INOVASI TATA KELOLA INFRASTRUKTUR UNTUK PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH MENJAWAB TANTANGAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015 Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat “Asia is tipped to be the world’s fastest growing region between now and 2020. Until the end of the present decade, the region is forecast to grow at a rate of around 7 percent a year” (Asia Construction Outlook, 2013)
ISU GLOBALISASI, DAYA SAING, DAN HADIRNYA MEA
P
erkembangan ekonomi global memberikan sinyal akan pentingnya peningkatan kemandirian dan daya saing sebuah negara di dunia internasional. Hal ini dimaksudkan agar suatu negara tidak tertinggal dengan kemajuan yang dialami negara lain. Zuhal (2010) dalam bukunya “Knowledge and Innovation Platform: Kekuatan Daya Saing” memberi arti daya saing sebagai sebuah gambaran bagaimana suatu bangsa, termasuk perusahaan (sektor bisnis) dan kondisi SDM mengendalikan kekuatan kompetensi yang dimilikinya secara terpadu guna mencapai kesejahteraan bangsa. Untuk berkompetisi di era globalisasi, suatu negara harus mengerahkan keunggulan komparatif serta kompetitif (comparative and competitive advantages) yang dimilikinya. Karena hanya berbekal keunggulan komparatif berupa kekayaan sumber daya alam saja tidak akan cukup untuk mendorong peningkatan daya saing. Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan World Economic Forum (WEF) yang merilis Global Competitiveness Index 2014 – 2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia. Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34. Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global, peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan infrastruktur1, terutama yang terkait dengan konektivitas wilayah (Gambar 1). Di sisi lain, tidak lama lagi Indonesia akan dihadapkan dengan “era” Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai pada 31 Desember 2015. Inisiatif pembentukan MEA yang lahir ketika penyelenggaraan KTT ASEAN di Bali pada tahun 2003 telah menghasilkan Kesepakatan Bali (Bali Concord II). Dari dokumen Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang dipersiapkan oleh negara – negara tersebut telah dijelaskan bahwa terdapat 7 (tujuh) kelompok keahlian/profesi yang dapat bekerja lintas negara, yaitu : insinyur (engineering services), arsitek (architectural services), surveyor (surveying), layanan medis, dokter gigi, perawat, dan akuntan.
1
Global Competitiveness Index 2014 – 2015 juga mencatat bahwa peringkat daya saing infrastruktur dan konektivitas Indonesia naik 5 (lima) tingkat ke posisi 56. Kualitas layanan publik dan tata kelola sektor swasta juga naik 14 peringkat menjadi 53.
Gambar 1. Pertumbuhan GDP Indonesia vs. OECD (Sumber : OECD, 2012) Pemberlakuan MEA dapat dimaknai sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara yang ditandai dengan terjadinya arus bebas (free flow) barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal. MEA juga akan menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang lebih dinamis dan kompetitif dalam konstelasi global. Dengan demikian, ini berarti bahwa pasar bebas ASEAN akan masuk hingga berbagai daerah kabupaten/kota di Indonesia. Untuk itu, pemerintah dan pemerintah daerah harus segera berbenah dan menyiapkan berbagai perangkat pendukungnya agar daya saing daerah/nasional mampu menarik investasi yang masuk dan mendayagunakannya untuk menciptakan “trickle down effect” yang mensejahterakan masyarakat. Sekedar ilustrasi betapa besarnya potensi, dengan mengambil contoh sektor konstruksi dan infrastruktur, hadirnya MEA dan MRA memberikan peluang yang sangat positif. Dari total pasar konstruksi2 ASEAN sebesar Rp. 1.800 triliun, 30%-nya (atau sekitar Rp. 600 triliun) berada di Indonesia. Ditambah dengan potensi “bonus demografi”3 kedepan, diyakini akan membuka peluang luas bagi pengembangan keahlian/profesi insinyur Indonesia untuk berkiprah menjawab tantangan MEA 2015. Namun di sisi lain yang patut menjadi perhatian adalah belum maksimalnya upaya memasyarakatkan MEA kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga menyebabkan belum siapnya SDM, baik di pusat maupun daerah, termasuk tata kelola kelembagaan yang terkait dalam 7 (tujuh) kelompok tenaga ahli/profesi tersebut. Terlebih lagi, jika melihat dalam perspektif yang lebih luas dalam lingkup nasional bahwa peningkatan daya saing harus dilakukan dengan menetapkan kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan daerah secara komprehensif (hulu – hilir) dan berkesinambungan, maka upaya memperkuat kelembagaan, tatakelola dalam membangun dan mengelola infrastruktur memegang kunci sukses bagi keberlanjutan daya saing. 2
Laporan Asia Construction Outlook pada tahun 2013 menyebutkan bahwa di saat ekonomi Eropa melambat, Asia menjadi satu – satunya kawasan di dunia dengan laju pertumbuhan ekonomi tercepat hingga tahun 2020. Laju pertumbuhannya diprediksi bahkan hingga mencapai rata – rata 7% pertahun. Selain itu, Asia juga akan menjadi pasar regional konstruksi terbesar dengan porsi sebesar 40% dari global construction spending. Dengan potensi pasar yang sedemikian besar, ditambah melemahnya ekonomi negara Barat, tentu saja menuntut kesiapan negara – negara di kawasan Asia, terutama 10 (sepuluh) negara yang tergabung dalam ASEAN untuk berbenah dan saling berkolaborasi menggarap pasar tersebut. 3 Salah satu fakta yang dikemukakan oleh McKinsey Global Institute (2012) bahwa saat ini Indonesia menduduki kekuatan ekonomi peringkat 16 di dunia dan berpeluang kuat berada di peringkat tujuh ekonomi terkuat di dunia pada tahun 2030. Jumlah populasi anak muda yang tumbuh cepat di daerah urban, faktor ini memberi kekuatan tersendiri untuk meningkatkan pemasukan negara.
Untuk itu, tulisan ini akan memfokuskan bahasan pada bagaimana isu globalisasi dan pentingnya daya saing tersebut dimaknai untuk kemudian diartikulasikan kedalam langkah – langkah strategis sebagaimana diamanatkan dalam kerangka regulasi pembangunan nasional jangka menengah (RPJMN 2015 – 2019). Agenda pembangunan infrastruktur nasional yang diarahkan untuk mengakselerasi peningkatan daya saing akan dideskripsikan untuk memberikan gambaran pentingnya infrastruktur sebagai “backbone” pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Pentingnya inovasi dalam bentuk penguatan SDM, tata kelola kelembagaan, serta memaksimalkan segenap potensi yang dimiliki (disamping terus berupaya menciptakan iklim investasi yang kondusif), menjadi hal yang mutlak harus dipenuhi agar keberlanjutan daya saing dapat dijaga. Dan terakhir, beberapa best practice dari negara – negara di kawasan ASEAN, seperti Thailand dan Filipina dalam menyiapkan SDM dan tata kelola kelembagaannya untuk merespon MEA 2015 juga akan diulas sebagai ilustrasi. Dengan mengetahui ilustrasi tersebut diharapkan dapat menjadi benchmark untuk mengetahui positioning kita di kancah regional, sekaligus menginspirasi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, para pelaku usaha, serta segenap masyarakat (civil society) untuk menempatkan diri, berkolaborasi dan saling bekerjasama, serta take actions menjawab tantangan MEA 2015 tersebut. AMANAT RPJMN UNTUK PENINGKATAN DAYA SAING DAN PERAN KEMENTERIAN PUPR Dalam Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015 – 2019 disebutkan bahwa peningkatan produktivitas nasional dan daya saing di pasar internasional menjadi salah satu agenda pembangunan nasional yang sangat penting. Untuk melaksanakannya, beberapa strategi telah digariskan, antara lain dengan membangun konektivitas nasional, membangun perumahan dan kawasan permukiman, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembiayaan infrastruktur, penguatan investasi, meningkatkan kapasitas inovasi teknologi4, dan sebagainya. Dari dokumen tersebut jelas bahwa untuk mewujudkan agenda tersebut bukanlah hal yang mudah karena daya saing merupakan interaksi yang kompleks antara faktor input (sebagai faktor utama pembentuk daya saing) dan output (inti dari kinerja perekonomian, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat) yang ada di daerah masing-masing. Hasil kajian yang dilakukan oleh Ditjen Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan (2014) menegaskan bahwa peningkatan daya saing harus dilakukan dengan menetapkan kebijakan yang komprehensif dan berkesinambungan, yaitu antara pemerintah pusat dan daerah, memperkuat kelembagaan dan tatakelola, serta membangun infrastruktur. Ketiga hal tersebut diramu untuk menghasilkan : (1) peningkatan produktivitas negara/ daerah pada skala ekonomi-nya; (2) inovasi; (3) peningkatan transparansi dan akuntabilitas; serta (4) penyempurnaan struktur sistem pembangunan nasional/ daerah. Mengapa harus komprehensif dan berkesinambungan antara pusat dan daerah? Karena daerah sebagai ujung tombak pemerintahan di era desentralisasi fiskal harus lebih berdaya saing dan memberikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan mengembangkan sektor – sektor unggulan sesuai potensi dan kebutuhan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah berkomitmen untuk mengakselerasi peningkatan daya saing, pertumbuhan ekonomi, dan pengembangan wilayah dengan membangun dan mengembangkan infrastruktur di berbagai daerah (lihat Gambar 2), antara lain : 1.000 km jalan bebas hambatan, 2.650 km pemeliharaan 4
Pekerjaan rumah pemerintah semakin bertambah dengan hasil kajian Persatuan Insinyur Indonesia (PII, 2013) yang mencatat bahwa indeks kesiapan teknologi Indonesia jauh lebih rendah (0,32) dibandingkan dengan Thailand (0,61) dan Malaysia (0,82).
jalan nasional, 47.000 km pemeliharaan jalan nasional, dukungan terhadap 500 km jalan daerah, membangun 1 juta ha irigasi baru, merehabilitasi 3 juta ha irigasi, pembangunan 65 bendungan, dan sebagainya. Tidak hanya sebatas itu, infrastruktur konektivitas5 juga dibangun untuk mendukung pembangunan kemaritiman (24 pelabuhan baru dan 60 pelabuhan penyeberangan), pengembangan 15 kawasan industri prioritas, 25 kawasan strategis pariwisata nasional, pengembangan 35 wilayah pengembangan strategis (WPS), dukungan intermoda antara jalan dengan jalan Kereta Api, dll.
Gambar 2. Dukungan Infrastruktur PUPR terhadap Pencapaian Dimensi Pembangunan (Sumber : Paparan Deputi Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas, 2015)
URGENSI INOVASI TATA KELOLA INFRASTRUKTUR DAN KOLABORASI MULTIPIHAK Melihat besarnya tantangan yang harus dihadapi dan banyaknya rencana program Kementerian PUPR untuk merespon agenda pembangunan infrastruktur tersebut, dirasa tidak cukup jika hanya mengandalkan “tangan” pemerintah saja. Karena apabila melirik data yang disajikan dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Kementerian PUPR Tahun 2014, dilihat dari aspek sumberdaya manusia saja, tercatat bahwa jumlah pegawai pada akhir tahun 2014 di kementerian teknis yang memiliki alokasi anggaran infrastruktur terbesar ini “hanya” 20.490 pegawai. Fakta lain yang perlu diperhatikan secara serius terkait kompetensi adalah, dari 20.490 pegawai tersebut masih cukup banyak pegawai yang berlatarbelakang pendidikan SD-SLTP-SLTA-D3, yakni sebanyak 9.380 pegawai (45,79%). Jika dibandingkan dengan 250 juta penduduk Indonesia, maka rasionya adalah 816 per 1 juta penduduk. Tantangan lain yang harus dijawab antara lain “idle capacity” infrastruktur yang membuat investasi infrastruktur kurang efektif dan efisien, masih rendahnya aksesibilitas dan konektivitas jalan dari dan menuju pusat distribusi logistik (pelabuhan, bandar udara, dll.), rantai pasok bahan, material, dan peralatan yang belum efisien sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi ditinjau dari indeks kemahalan konstruksi, mutu produk dan layanan infrastruktur yang belum terstandarisasi, serta persoalan lain yang perlu dipecahkan segera dan bersama-sama. 5
Infrastruktur konektivitas sangat penting karena Indeks Kinerja Logistik (Logistic Performance Index) Indonesia sangat jauh tertinggal dibandingkan negara – negara di kawasan ASEAN seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia. 6 Jika ingin membandingkan dengan Kementerian Infrastruktur Jepang (MLIT) telah memiliki rasio jumlah pegawai dengan jumlah penduduk sebesar 472 per 1 juta penduduk.
Kolaborasi7 multipihak menjadi kata kunci! Pemerintah daerah sebagai ujung tombak pemerintahan di tingkat kabupaten/kota harus lebih “aware” mengembangkan segenap potensi dan sumberdaya unggulan yang dimilikinya. Sektor – sektor unggulan daerah, seperti pertanian, industri pariwisata8 dan ekonomi kreatif9, kemaritiman10, serta sektor lain yang memiliki leveraging factor tinggi sehingga dapat “mendongkrak” perekonomian daerah haruslah mendapat prioritas. Dalam suatu kesempatan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Indroyono Soesilo menyatakan bahwa diprediksi akan terjadi tren penurunan devisa dari sektor migas, batubara, kelapa sawit dan karet alam sepanjang tahun 2015 sampai 2019. Hal ini akan membuat sektor pariwisata menjadi andalan pemerintah untuk menjadi penghasil devisa terbesar negara. Pemerintah menargetkan menarik wisatawan mancanegara di tahun 2015 sebanyak 10 juta orang (asumsi perolehan devisa negara dari sektor pariwisata akan mencapai US$12 miliar). Sedangkan di tahun 2019, jumlah target wisman mencapai 20 juta orang dengan pemasukan negara sebesar US$24 miliar. Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri dalam mengelola tempat pariwisata yang ada. Perlu koordinasi antara pemerintah dan swasta untuk menunjang pengelolaan pariwisata tersebut. Sebagai contoh, akibatnya, tempat wisata itu tidak memiliki penyediaan lahan parkir yang baik, sampah dimana-mana, dan sulitnya akses. Di Indonesia, standarisasi baik infrastruktur maupun pelayanan adalah hal yang perlu diperbaiki terus-menerus. Tidak berhenti di situ, tata kelola infrastruktur yang didesain sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi juga harus dipersiapkan. Hal ini untuk mengantisipasi agar infrastruktur yang belum, sedang, dan akan dibangun dapat dijaga kehandalannya. Hal – hal yang tidak boleh luput dari perhatian antara lain prasyarat : SDM perencana dan pengelola (kompetensi insinyur, arsitek, asosiasi, badan usaha, pekerja konstruksi, dll), penguasaan IPTEK, inisiatif inovatif dalam praktik governance (menggunakan mekanisme KSPI untuk penciptaan value, pengelolaan infrastruktur yang kolaboratif dan partisipatif, dll.), mekanisme insentif – disinsentif dan penciptaan iklim investasi yang kondusif, serta kualitas birokrasi yang memadai guna mendukung terwujudnya peningkatan daya saing daerah tersebut. 7
Dalam makalahnya yang berjudul “Dis-united States”, (Donahue, 1997) menegaskan pentingnya fokus pembangunan yang mengedepankan kolaborasi antarpemerintah daerah. Hadirnya “destructive competition” dimana antarpemerintah daerah saling berkompetisi untuk menarik sebanyak-banyaknya investasi dan pajak harus dihindari agar layanan infrastruktur publik dapat berkelanjutan. 8 Salah satu pendekatan pengembangan wisata alternatif adalah desa wisata untuk pembangunan pedesaan yang berkelanjutan. Ramuan utama desa wisata diwujudkan dalam gaya hidup dan kualitas hidup masyarakatnya. Keaslian juga dipengaruhi keadaan ekonomi, fisik dan sosial daerah pedesaan tersebut, misalnya ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian, bentangan alam, jasa, pariwisata sejarah dan budaya, serta pengalaman yang unik dan eksotis khas daerah. Dengan demikian, pemodelan desa wisata harus terus dan secara kreatif mengembangkan identitas atau ciri khas daerah. Ramuan penting lainnya dalam upaya pengembangan desa wisata yang berkelanjutan yaitu pelibatan atau partisipasi masyarakat setempat, pengembangan mutu produk wisata pedesaan, pembinaan kelompok pengusaha setepat. Keaslian akan memberikan manfaat bersaing bagi produk wisata pedesaan. 9 Industri kreatif dapat menjadi salah satu alternatif dalam menghadapi persaingan pasar dunia yang semakin ketat, sehingga Pemerintah serta Pemerintah Daerah berkewajiban untuk menemukan, mendukung potensi daerah serta menciptakan strategi pengembangan agar industri kreatif dapat lebih bersaing. Strategi kolaborasi antara tiga aktor yang menjadi pendukung dalam terwujudnya industri kreatif tersebut merupakan keharusan, yaitu : cendekiawan (intellectuals), dunia usaha/bisnis (business), dan pemerintah (government). 10 Visi Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD), yaitu Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis ekonomi kelautan, hankam, dan budaya maritim. Diharapkan Indonesia menjadi rujukan bagi bangsa-bangsa lain di bidang kelautan, mulai ekonomi, IPTEK, hankam, sampai cara menata pembangunan kelautan. Dalam rangka mendukung visi tersebut, Indonesia yang memiliki potensi sumber daya laut yang cukup besar dapat dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah Daerah di Indonesia.
Masih rendahnya rasio insinyur Indonesia dengan jumlah penduduk dibandingkan beberapa negara tetangga sebagaimana dicatat oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII, 2013) bahwa Indonesia “baru” memiliki 199 insinyur per 1 juta penduduk, perlu menjadi permasalahan utama yang harus diselesaikan bersama. Upaya komprehensif untuk menangani persoalan backlog SDM yang kompeten ini telah dilakukan oleh Thailand, Malaysia, dan Singapura yang mencetak insinyur dengan rasio secara berurutan 293, 503, dan 570 orang setiap 1 juta penduduk negara tersebut. Selanjutnya, untuk ilustrasi bagaimana negara lain mempersiapkan diri meningkatkan daya saing mereka, dalam bagian berikutnya akan dijelaskan upaya Thailand dan Filipina dalam menyambut MEA 2015 dengan melakukan reformasi tata kelola kelembagaan, penyiapan SDM, dan kerangka regulasinya. Kedua best practice tersebut diharapkan dapat menjadi benchmark dan menginspirasi proses pembuatan kebijakan di pusat dan daerah. BEST PRACTICE THAILAND DAN FILIPINA MENUJU MEA 2015 Upaya Thailand Kelembagaannya
dalam
Menyiapkan
Tata
Kelola
Infrastruktur
dan
Kerangka
Asia Construction Outlook (2013) mencatat belanja konstruksi yang dihabiskan Thailand pada tahun 2012 sebesar USD. 30,3 miliar atau sekitar Rp. 300 triliun lebih. Angka sebesar ini diproyeksikan akan terus naik 3,4% pertahun hingga lima tahun kedepan. Pembangunan infrastruktur sangat mendominasi negara ini. Seiring dengan meningkatnya permintaan properti, kebutuhan penyediaan infrastruktur juga semakin tinggi. Sebagai contoh : dengan adanya rencana pembangunan 10 jalur Mass Rapid Transit (MRT) melengkapi 4 (empat) jalur yang sudah ada saat ini, tentu saja akan men-generate permintaan hunian di kota – kota yang dilewati MRT tersebut, seperti : Nonthaburi, Pathumthani, dan Samut Prakarn. Dalam konteks MEA, Ministry of Commerce telah menyiapkan sejumlah strategi yang terangkum dalam sebuah blueprint untuk digunakan sebagai pedoman bagi lembaga terkait. Kedelapan strategi yang ada akan dieksekusi melibatkan partisipasi swasta melalui mekanisme PublicPrivate Partnerships (PPP) in Infrastructure Provision atau Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI) yang sedang digencarkan pemerintah RI baru – baru ini seiring dengan disahkannya Perpres No 38 Tahun 2015. Tidak hanya itu, serangkaian rencana aksi juga telah disiapkan agar seluruh pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta lembaga perwakilan Thailand di luar negeri dapat menjalankan strategi tersebut dengan baik. Thailand melihat hal ini menjadi 2 (dua) tantangan sekaligus, yaitu : pertama, mengembangkan daya saing keahlian individu, dan kedua, membangun iklim bisnis yang kondusif. Demikian disampaikan Aungsuras Areekul, Presiden Thai Contractors Association dalam sebuah forum nasional yang diselenggarakan tahun 2012 lalu di Thailand. MEA diyakini tidak hanya membuka peluang besar bagi kontraktor Thailand untuk mendapatkan proyek di kawasan ASEAN, tetapi juga sebaliknya, bagaimana kontraktor – kontraktor ASEAN dapat berpartisipasi membangun infrastruktur di Thailand. Dan untuk itu, industri konstruksi di Thailand telah menyiapkan berbagai perangkat kelembagaan dan peraturan perundang – undangan, diantaranya membentuk Thai Construction Council, merestrukturisasi iklim usaha konstruksi, menyiapkan lembaga keuangan (semacam construction bank) dan akses yang memadai guna mendukung kapasitas finansial para kontraktor Thailand yang sebagian besar tergolong Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), meningkatkan kemampuan dan standar keahlian para pekerja sektor konstruksi, serta berkoordinasi dengan Asean Contractors
Federation (ACF) untuk saling bertukar informasi, dimana salah satu hot issue yang digulirkan adalah pengembangan kapasitas tenaga ahli dan pekerja kontruksi.
Gambar 3. Rencana Pemerintah Thailand dalam Pembangunan Infrastruktur 2015 – 2022 (Sumber : Thailand Board of Investment, 2015)
Kesiapan Filipina dalam Membangun Tata Kelola Infrastruktur Menghadapi MEA 2015 Sebagai negara dengan jumlah penduduk ke-12 terbesar dunia, kesiapan Filipina dalam menyambut MEA patut diperhitungkan. Ketika Global Competitiveness Report 2013 – 2014 dirilis, disebutkan bahwa minimnya ketersediaan infrastruktur menjadi salah satu faktor utama penyebab rendahnya iklim usaha di Filipina. Untuk menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Filipina telah berkomitmen menaikkan investasi infrastruktur yang semula hanya sebesar 2,5% PDB pada tahun 2013 menjadi 5% pada 2015. Tidak hanya itu, sinyalemen positif tersebut diharapkan dapat menjaga stabilitas investasi domestik Filipina yang sudah mulai naik di atas 7% hingga akhir tahun 2013. Kinerja sektor manufaktur, konstruksi, dan jasa keuangan juga semakin membaik seiring naiknya PDB Filipina menjadi 7,5% pada semester pertama 2013. Dari angka ini, sebanyak USD 13,1 miliar (Rp. 130 triliun lebih) dibenamkan untuk sektor konstruksi dengan proyeksi kenaikan 2,5% selama 5 tahun kedepan (Aecom, 2013). Perbaikan kinerja tersebut rupanya juga terungkap melalui hasil riset yang dilakukan oleh Aldaba (2013), dimana para pemilik perusahaan yang menjadi responden merasa puas dengan meningkatnya stabilitas politik dan berkurangnya perilaku korupsi. Hal lain yang terungkap untuk menjadi catatan adalah pentingnya insentif untuk meningkatkan investasi, suku bunga yang rendah, dan lamanya pengurusan izin usaha. Berbicara mengenai data dan prospek pertumbuhan sektor konstruksi di Filipina, dapat dipastikan bahwa konstruksi di sektor properti dan infrastruktur masih sangat dominan di Filipina. Stagnannya pasar konstruksi selama beberapa tahun terakhir membuat Pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur dengan pendekatan PPP/KSPI, antara lain melalui perbaikan sistem transportasi di Manila, peningkatan investasi untuk membangun sistem penyediaan air minum dan pengolahan air limbah, perbaikan infrastruktur bandar udara regional di Cebu dan Davao, dan sebagainya.
REKOMENDASI Dari 9 (sembilan) Visi, Misi, dan Agenda Prioritas Presiden Joko Widodo yang dikenal dengan “Nawacita”, pentingnya daya saing telah diturunkan kedalam 3 (tiga) Agenda, yaitu : (1) meningkatkan kualitas hidup manusia; (2) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; serta (3) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Pemerintah dan pemerintah daerah memegang peranan penting untuk mengarahkan pembangunan yang sinergis dengan sektor swasta. Untuk itu, maka perlu dilakukan upaya terpadu dalam mendukung kemandirian daerah. Kemandirian daerah antara lain dapat dicapai melalui peningkatan daya saing, dimana daya saing tidak hanya berkutat pada indikator perekonomian semata, melainkan juga meliputi seluruh upaya mengelola potensi sumber daya yang dimiliki. Tantangan kedepan yang semakin berat, yaitu dengan adanya globalisasi ekonomi yang ditandai dengan perdagangan dan industri yang berlaku tanpa batas (borderless), serta implementasi MEA yang sudah berada di depan mata, mewajibkan kita untuk tetap menanamkan optimisme dengan melakukan berbagai upaya kreatif dan inovatif. SDM profesional di berbagai bidang diharapkan mampu berkiprah sejajar dengan tuntutan kebutuhan MEA 2015. Dan untuk memenuhinya, tentu tidak cukup hanya sekedar menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, sertifikasi, serta penerapan standar kompetensi yang ketat. Infrastruktur yang telah dan akan dibangun guna mewujudkan agenda pembangunan nasional perlu dikelola dengan mekanisme tata kelola yang komprehensif, “dipersenjatai” dengan kerangka kelembagaan, regulasi, dan insentif yang merangsang serta menguntungkan para pelaku usaha. Mekanisme KSPI berpeluang menjadi “primadona” guna mewujudkan kolaborasi multipihak, dan tidak hanya terbatas antara pemerintah dengan swasta. Civitas akademi dan masyarakat luas juga berperan penting untuk mendorong inovasi, serta mengoptimalkan segenap potensi/keunggulan kompetitif yang dimiliki. Pemerintah daerah sebagai ujung tombak pembangunan perlu menangkap peluang ini dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif agar sektor – sektor ekonomi di daerah dapat terus tumbuh berkembang dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Sektor pertanian, industri pariwisata dan ekonomi kreatif, kemaritiman, serta sektor lain yang dapat “mendongkrak” perekonomian daerah harus mendapat prioritas. Melirik kesiapan SDM, tata kelola infrastruktur dan kerangka kelembagaannya yang tengah dilakukan negara – negara tetangga kita, Thailand dan Filipina, mengisyaratkan bahwa begitu banyak hal yang harus dipersiapkan untuk berkompetisi menghadapi MEA 2015, khususnya dalam hal pembangunan infrastruktur dan pengembangan wilayah. Mulai dari menyiapkan blueprint, rencana aksi dan strategi eksekusi yang komprehensif, me-review perangkat kebijakan dan peraturan perundang – undangan terkait hukum ketenagakerjaan, berkoordinasi dengan asosiasi profesi keinsinyuran di lingkup ASEAN (khususnya mengenai penerapan standar kompetensi keahlian dan ketrampilan), berinovasi dalam hal pembiayaan untuk memberikan akses yang memadai bagi para pelaku usaha, terutama yang tergolong UMKM, serta berbagai upaya lain yang dapat kita petik dari pengalaman kedua negara tersebut. Semoga momentum MEA ini menjadi kesempatan bagi seluruh pemerintah daerah di Indonesia untuk bersama – sama pemerintah memperjuangkan kepentingan nasional dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi pasar keberadaan ASEAN; serta sebagai ajang refleksi diri untuk melakukan pembenahan di berbagai lini agar daya saing daerah (dan nasional) dapat ditingkatkan secara terencana dan berkesinambungan dengan memaksimalkan segenap potensi dan keunggulan kompetitif daerah dan memperkuat kapasitas inovasi daerah.
REFERENSI Aecom (2013), Asia Construction Outlook 2013, Los Angeles. Aldaba, R.M. (2013) Getting Ready for the ASEAN Economic Community 2015 : Philipine Investment Liberalization and Facilitation, Discussion Paper Series No. 2013 – 03, Phillipine Institute for Development Studies (PISD), Makati City. Aldaba, R.M. & Aldaba F.T. (2013) ASEAN Economic Community 2015 : Capacity-building Imperatives for Services Liberalization and Facilitation, Discussion Paper Series No. 2013 – 06, Phillipine Institute for Development Studies (PISD), Makati City. Ditjen Perimbangan Keuangan (2014) Kajian atas Kebijakan Penguatan Daya Saing Daerah dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Kementerian Keuangan, Jakarta. Donahue J.D. (1997), Disunited States, Basic Books, New York. McKinsey Global Institute (2012) Perekonomian Nusantara: Menggali Potensi Terpendam Indonesia, McKinsey & Company. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015 – 2019. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Pisu, M. (2010), Tackling the Infrastructure Challenge in Indonesia, OECD Economics Department Working Papers, No. 809, OECD Publishing. Thailand: Infrastructure and Construction Services Opportunities, http://economists-pickresearch.hktdc.com/business-news/article/Research-Articles/Thailand-Infrastructure-andConstruction-Services-Opportunities/rp/en/1/1X000000/1X0A2GPZ.htm, diakses tanggal 3 Agustus 2015. Zuhal (2010) Knowledge dan Innovation : Platform Kekuatan Daya Saing, Penerbit Gramedia, Jakarta.