ANALISIS KEBUTUHAN INFRASTRUKTUR MARITIM BAGI PENINGKATAN DAYA ADAPTIF MASYARAKAT SUMBA
Diusulkan oleh: Rahida Sari Yugiswara, C54130081 Budi Prabowo, C54130061
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ANALISIS KEBUTUHAN INFRASTRUKTUR MARITIM BAGI PENINGKATAN DAYA ADAPTIF MASYARAKAT SUMBA
Rahida Sari Yugiswara dan Budi Prabowo INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK Sumba merupakan salah satu pulau yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur, terletak di bioregion yang berbatasan dengan Laut Sawu dan Samudera Hindia serta beriklim kering dengan pengaruh kuat Angin Muson. Intensitas dan frekuensi kejadian badai siklon tropis tergolong tinggi, sehingga masyarakat di Pualu Sumba rentan terdampak, khususnya dalam aspek ketahanan pangan. Kawasan tersebut dikelilingi oleh perairan laut yang potensial menjadi penggerak sektor pembangunan maritim, sedangkan kurang berkembangnya sektor perikanan tangkap yang diberikan pemerintah Sumba belum dimanfaatkan secara baik. Masyarakat di empat kabupaten di pulau Sumba berada pada tingkat kemiskinan yang cukup tinggi dengan tingkat pendidikan yang rendah, sehingga masyarakat kurang adaptif terhadap gangguan alam yang sering melanda kawasan tersebut. Sebaran masyarakat pesisir di pulau Sumba Selatan sebanyak 34 kecamatan dengan masyarakat pesisir lebih banyak dibandingkan masyarakat pegunungan. Masyarakat daerah pesisir yang menggantungkan hidupnya pada sektor budidaya rumput laut dan perikanan tangkap harus dikembangkan sehingga tingkat pendidikan yang rendah tidak akan terlalu mempengaruhi berkembangnya sektor perikanan kelautan. Komoditas rumput laut di daerah pesisir Selatan kurang menerapkan aspek pengolahan pasca panen yang berpotensi meningkatkan nilai ekonomi masyarakatnya, ilmu serta teknologi yang dikembangkan dapat memajukan infrastruktur maritim seperti budidaya kelautan, perikanan tangkap, teknologi pengolahan sumberdaya kelautan, ocean-climatology dan lain sebagainya. Beberapa ilmu dan teknologi yang dapat dikembangkan agar masyarakat lebih adaptif adalah pengembangan early warning system sebagai teknologi agar masyarakat lebih siap menghadapi bencana badai, desalinasi pada sektor sumberdaya air, dan pemberian pengetahuan tambahan mengenai hubungan antara cuaca, arus Arlindo serta jenis budidaya atau perikanan tangkap di Pulau Sumba. Banyaknya sumberdaya alam yang mampu dimanfaatkan masyarakat Sumba dapat meningkatkan berbagai sektor kehidupan serta peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan. Masyarakat harus adaptif dengan alam sehingga dapat lebih tanggap terhadap berbagai permasalahan lingkungan yang melanda Pulau Sumba. Kata Kunci: Adaptif, Cuaca, Infrastruktur Maritim, Sumba, Sumberdaya Kelautan
ANALISIS KEBUTUHAN INFRASTRUKTUR MARITIM BAGI PENINGKATAN DAYA ADAPTIF MASYARAKAT SUMBA
1. PENDAHULUAN
Sumba merupakan salah satu pulau yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang terletak pada 9°16'32.44" LS - 10°20'29.40" LS dan 118°54'24.48" BT - 120°51'22.32" BT dengan luas 10.710 km² serta Sumba diapit oleh Laut Sawu dan Samudera Hindia. Sumba terdiri dari empat kabupaten yaitu Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Sumba memiliki iklim kering di karenakan oleh pengaruh kuat dari Angin Muson (Lazuardi 2014) Intensitas dan frekuensi kejadian siklon tropis dengan tipe Catastrophic damage yang terjadi selama empat kali dalam satu siklus (Al-Farisi 2013). Dampak dari siklon ini berpengaruh terhadap ketahanan pangan masyarakat Sumba, bencana ini menyebabkan beberapa sektor penghasilan masyarakat
Sumba terhenti.
Ketahanan pangan merupakan salah satu hal genting yang menjadi perhatian baik pemerintah daerah maupun daerah pusat. Penduduk Sumba lebih banyak hidup di daerah pesisir dibandingkan dengan daerah perbukitan. Sebanyak 34 kecamatan di pulau Sumba berada pada daerah pesisir pantai dan 19 kecamatan berada di daerah perbukitan, terlihat bahwa banyak kecamatan di pulau Sumba yang menggantungkan hidupnya dari hasil perikanan tangkap beserta usaha - usaha kelautan lainnya seperti rumput laut. Kabupaten Sumba Timur merupakan salah satu daerah yang maju dalam pembudidayaan rumput laut namun dalam hal pasca-panen belum berkembang pesat. Banyak petani rumput laut tidak mengolah rumput laut tersebut agar memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi namun hanya di jual dalam bentuk rumput laut basah yang nilai ekonomisnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang telah diolah. Begitupun dengan sektor perikanan tangkap, masyarakat Sumba tidak memanfaatkannya sebaik mungkin sedangkan perairan di sekitar Sumba merupakan Arus Lintas Indonesia (Arlindo) yang merupakan fishing ground dengan sumberdaya ikan yang melimpah.
1
Dari masalah - masalah yang dihadapi oleh masyarakat Sumba menyebabkan tingkat kemiskinan masyarakat Sumba mencapai 28.42% (BPS NTT 2013) meskipun presentase kemiskinan terus menurun setiap tahunnya namun penurunan yang terjadi tidaklah signifikan serta menunjukkan tidak adanya sifat adaptif masyarakat Sumba terhadap hal apa yang terjadi di sekitar lingkungannya. Pendidikan yang rendah merupakan faktor lainnya yang menyebabkan rendahnya sifat adaptif masyarakat Sumba terhadap lingkungan sekitarnya. Perlu adanya pengembangan teknologi - teknologi serta ilmu terutama dalam bidang kelautan yang bisa meningkatkan daya adaptif masyarakat Sumbat seperti halnya masyarakat Sumba harus mengetahui bagaimana teknologi teknologi pasca-panen rumput laut untuk meningkat nilai ekonomisnya lalu penerapan teknologi early warning system yang berfungsi untuk mempersiapkan masyarakat Sumba dari bencana alam yang akan menimpa daerah mereka. Oleh karena itu diperlukan penambahan wawasan tentang permasalahan - permasalahan yang dihadapi masyarakat Sumba dengan penerapan teknologi - teknologi kelautan yang mampu menyelesaikan masalah - masalah yang dihadapi oleh masyarakat Sumba seperti kemiskinan, ketahanan pangan dan rendahnya tingkat pendidikan. Tujuan dari tulisan ini agar dapat meningkatkan daya adaptif masyarakat Sumba melalui penerapan keilmuan dan teknologi - teknologi kelautan serta menambah wawasan masyarakat Sumba tentang hubungan cuaca dengan Arlindo terutama perairan Laut Sawu beserta budidaya yang tepat dan/atau perikanan tangkap di perairan Laut Sawu.
2. PEMBAHASAN
Masyarakat Sumba terutama yang tinggal di daerah pesisir banyak menggantungkan hidupnya pada sektor budidaya rumput laut, menurut Santoso (2008) salah satu faktor rumput laut dibudidayakan cukup banyak di Sumba karena modal yang dibutuhkan relatif kecil dan teknologi yang digunakan cukup sederhana sehingga cocok untuk masyarakat pesisir dengan kondisi ekonomi dan
2
pendidikan yang masih rendah. Akan tetapi pengolahan dengan teknologi sederhana tidak dapat meningkatkan nilai jual dari rumput laut, pada kenyataannya apabila masyarakat Sumba dapat mengolah rumput laut menjadi produk dengan harga jual yang lebih tinggi maka akan meningkatkan pendapatan dari petani rumput laut itu sendiri. Rumput laut yang banyak dibudidaya di daerah Sumba yaitu jenis Eucheuma spp.. Beberapa potensi yang dapat diambil dari rumput laut jenis ini adalah karaginan, agar - agar pada jenis Gracilaria, dan alginat dari jenis Sargassum (Santoso 2008). Sebenarnya, pengolahan rumput laut menjadi nori merupakan salah satu produk dengan hasil nilai jual tinggi, dengan penelitian dari mahasiswa IPB yang membuat nori dari jenis Glacilaria sp. dapat mempermudah penaikkan pengolahan produk rumput laut agar dapat dijual dengan harga tinggi serta dapat mendongkrak roda ekonomi kehidupan masyarakat pulau Sumba. Hal yang perlu ditingkatkan masyarakat Sumba termasuk peningkatan teknologi untuk early warning system, namun pada kenyataannya pemerintah sangat sulit untuk membuat sistem untuk jenis pendeteksi badai. Jenis teknologi yang dapat membantu daerah Sumba diantaranya buoy yang dapat mengambil data oseanografi dan meteorologi agar dapat mendeteksi badai yang akan melanda tempat tersebut, dengan buoy yang memiliki sensor - sensor seperti barometer, temperatur, anemometer, salinitas dan lainnya akan lebih memudahkan kita untuk mendeteksi secara dini badai siklon yang akan menimpa daerah Sumba. Walaupun teknologi tersebut masih kurang bahkan tidak ada di Indonesia tetapi sistem seperti MIOOS Buoy (Malaysian Integrated Ocean Observation System Buoy) buatan Malaysia dapat menjadi salah satu acuan terutama mahasiswa dan pihak terkait untuk terus meningkatkan teknologi agar masyarakat semakin terbantu dengan adanya sistem pendeteksian ini. Buoy yang dipasang didaerah yang berpotensial dapat disimpan ditengah laut lalu alat ini akan mendeteksi jenis badai yang sekiranyan mengancam masyarakat atau tidak, dengan teknologi ini masyarakat dapat lebih adaptif lagi terhadap bencana alam sehingga dapat mengurangi hambatan masyarakat dalam pengaplikasian teknologi.
3
Sebenarnya pengaplikasian buoy telah dapat dibuat oleh Indonesia, salah satunya dari departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan mengenai buoy. Akan tetapi, buoy tersebut belum dapat mendeteksi badai secara langsung. Banyaknya buoy yang dibuat biasanya hanya mendeteksi parameter - parameter oseanografi. Ada beberapa sistem observasi yang akan menjadikan acuan di masa mendatang mengenai hubungan parameter klimatologi dan oseanografi serta dapat diintegrasikan menjadi early warning system seperti contohnya Indonesian Global Ocean Observing System (INAGOOS), sistem ini memberikan data berupa pasang surut; arah dan kecepatan angin serta data kualitas air. Akan tetapi data yang paling mempengaruhi early warning system yang akan dibuat data arah dan kecepatan angin. Data angin dari INAGOOS dapat diintegrasikan dengan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), setelah itu data yang diolah dimasukkan kedalam sistem yang tersebar di pesisir pulau termasuk pulau Sumba. Data real-time yang didapat dapat dianalisis secara cepat sehingga dapat menambah kewaspadaan dan peringatan dini bagi masyarakat terutaman daerah pesisir. Sebenarnya INAGOOS telah memiliki tujuan dalam sistem pemantauan bersama serta skema prediksi untuk di kawasan pesisir, akan tetapi masih dianggap kurang terutama dalam sistem early warning system bencana sejenis badai siklon. Teknologi lain yang masih dapat dimanfaatkan masyarakat daerah Sumba adalah desalinasi air laut menjadi air minum yang layak. Masyarakat di pulau pulau masih banyak menggunakan air payau, di daerah pesisir lokasi sumber air berada jauh serta rendahnya bulan hujan menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan air bersih. Menurut BPS NTT (2013) bulan hujan dengan rata - rata 1000 mm serta hanya turun sekitar 3-5 bulan dalam setahun juga berpengaruh terhadap banyaknya air yang dapat digunakan masyarakat untuk hidup. Desalinasi ini akan efektif ketika masyarakat dapat mengimbangi dengan persediaan minum di daerah mereka. Air tampungan hujan yang dapat digunakan untuk minum dapat dihemat penggunaannya, air desalinasi dapat dipakai untuk mencuci dan mandi. Keterkaitan dua hal tersebut dapat berjalan secara harmonis
4
jika diimbangi dengan masyarakat yang sadar betapa pentingnya teknologi desalinasi sehingga mereka dapat menjaganya dengan baik. Faktor lain yang menyebabkan penyediaan air bersih yang kurang adalah kualitas konstruksi yang buruk, manajemen yang buruk serta kurangnya pelibatan masyarakat itu sendiri. Akibatnya waktu anak - anak bersekolah berkurang karena dihabiskan untuk mengambil air (Kanaf 2011). Dampak tersebut sangat terasa jika banyaknya anak yang putus sekolah karena diharuskan membantu keluarga. Padahal, generasi masyarakat Sumba terletak dari generasi mudanya. Oleh karena itu, pemberian pengetahuan pada masyarakat mengenai pentingnya desalinasi air berpengaruh pada generasi muda disana. Arlindo pun merupakan hal yang mempengaruhi perairan Sumba, Arlindo merupakan sirkulasi penting karena membawa nutrien penting yang berguna bagi kehidupan laut. Walaupun laut Sawu yang berbatasan langsung dengan Pulau Sumba hanya mendapatkan dampak kecil dari Arlindo akan tetapi laju penangkapan ikan dan udang disana cukup meningkat karena didukung dengan ketersediaan nutrien sehingga produktivitas primer sangat tinggi untuk menopang hidup populasi ikan disana. Upwelling yang sering terjadi disanapun merupakan hal yang perlu diperhatikan, karena faktor maritim tersebut dapat berdampak banyak bagi masyarakat disana. Upwelling yang merupakan fenomena oseanografi dapat membawa dampak sangat penting, upwelling yang hanya terjadi pada kedalaman yang dalam dapat membawa nutrien serta unsur hara yang dapat meningkatkan pula produktivitas primer. Karekterisktik arus juga secara tidak langsung berkontribusi kepada sumber daya perikanan tangkap di Laut Sawu dan dapat meningkatkan laju ekonomi dan daya adaptif masyarakatnya. Pemberian pengetahuan kepada masyarakat mengenai pentingnya Arlindo baik dari generasi muda maupun usia dewasa dapat berdampak panjang bagi kedepannya. Misalnya tingkat SMP, dari tingkat ini pemberian pengetahuan laut dapat berupa penyampaian secara atraktif dan menyenangkan sehingga tidak membosankan. Narasumber misalkan dari berbagai LSM dapat membuat penyampaian terasa menyenangkan sekaligus dapat memberi pengetahuan yang banyak bagi siswa - siswi disana.
5
Tingkat SMA merupakan tingkat yang paling menentukan dalam pemberian pengetahuan mengenai Arlindo ataupun pengetahuan laut lainnya, pada tingkat ini siswa dapat diajak menganalisa manfaat serta dampaknya secara bersama - sama sehingga jika mereka dapat melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi banyak ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di sekolah akan bermanfaat selanjutnya di kehidupan mereka terutama jika mereka melanjutkan ke jenjang teknologi dan dapat mengaplikasikannya ke masyarakat. Hal - hal diatas merupakan impian setiap masyarakat sekitar, mereka berharap besar kepada generasi muda untuk dapat mengaplikasikan ilmu mereka ke dalam masyakarat agar masyarakat dapat lebih peka dan adaptif lagi dalam aspek lingkungan terutama maritim. Guna pemerintah dalam hal ini selain menyukseskan begitu pula dengan membantu dalam tingkat infrastruktur agar lebih baik lagi. Sehingga peranan masyarakat, pemerintah dan generasi muda saling berkaitan satu sama lainnya. Tingkat adaptif yang rendah dari masyarakat indonesia terutama masyarakat pulau Sumba dapat terlihat pada gambar dibawah
Gambar 1. Grafik Index Kapasitas Adaptif di ASEAN (Yusuf 2009) Menurut Yusuf (2009) kapasitas adaptif didefinisikan sebagai tingkatan penyesuaian praktik, proses, atau struktur yang bisa tolerir dari potensi kerusakan
6
atau mengambil kesempatan dari bencana yang ada dan dapat dikalkulasikan sebagai berikut Kapasitas Adaptif = f(faktor sosial-ekonomi, teknologi, infrastruktur)2 Dengan formula tersebut dapat dilihat bahwa tingkat adaptif merupakan hal yang sangat penting bagi suatu negara, dilihat dari faktor sosial-ekonomi, teknologi dan infrastrukturnya. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain dan berjalan harmonis agar tingkat adaptif semakin meningkat. Dari penyampaian sebelumnya bahwa sosial ekonomi masyarakat Sumba begitu rendah, teknologi juga kurang serta sedikitnya masyakarat yang dilibatkan dalam pengelolaan infrastruktur itu sendiri, padahal peningkatan infrastruktur tersebut juga berpengaruh kedepannya bagi masyarakat Sumba.
3. KESIMPULAN
Sumba yang merupakan pulau di Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu pulau dengan dampak bencana cukup tinggi diantaranya curah hujan yang rendah dan badai siklon, ini mengakibatkan masyarakat disana menjadi kurang adaptif terhadap bencana yang ada dan berpengaruh terhadap perekonomian di daerah tersebut. Beberapa hal yang dapat diterapkan dalam hal - hal keilmuan untuk meningkatkan tingkat adaptif masyarakat Sumba antara lain dengan pemberian pengetahuan mengenai Arlindo dari tingkat SMP dan SMA, lalu penerapan berbagai teknologi diantaranya teknologi buoy untuk mendeteksi badai atau sistem pendeteksi yang terintegrasi dan desalinasi air serta peningkatan pengolahan pasca panen produk perikanan (rumput laut). Hal tersebut dapat meningkatkan tingkat adaptif masyarakat Sumba agar lebih peka dan sigap terhadap bencana yang sering melanda.
7
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farisi, S G. 2015. Pengaruh Siklon Tropis terhadap Karakteristik Gelombang Permukaan di Laut Timor. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Badan Pusat Statistik Provinsi NTT1. 2013. Kependudukan. [Internet]. [diunduh 20 Desember 2015]. Tersedia pada: http://www.ntt.bps.go.id/ Badan Pusat Statistik Provinsi NTT2. 2013. Iklim. [Internet]. [diunduh 20 Desember 2015]. Tersedia pada: http://www.ntt.bps.go.id/ Kanaf, Petrus, Moto A U dan Fallo P. 2011. Implementation of The Indonesian Policy, Community Based Drinking Water and Environmental Sanitation. Jakarta (ID): Deutsche Gesellsohaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ). Lazuardi M E, Sanjaya W, Hutasoit P , Welly M. dan Subijanto J. 2014. Kondisi Biofisik dan Sosial Ekonomi di Selatan Pulau Sumba – Propinsi Nusa Tenggara Timur. Bali (ID): Coral Triangle Center. Santoso L dan Nugraha T. 2008. Pengendalian Penyakit Ice – Ice untuk Meningkatkan Produksi Rumput Laut Indonesia. Jur Saintek Perikan. 3(2) : 37 - 43 Yusuf A A dan Fracisco H A. 2009. Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast Asia. International Development Research Centre (IDRC). H 78
8