KOMPARATIF HASIL SURVEY BERBAGAI METODE SURVEY POHON INDUK DI IUPHHK-HA PT.BINTUNI UTAMA MURNI WOOD INDUSTRIES, PAPUA Cecep Kusmana dan Zulkifli Abidin Chaniago Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB ABSTRAK Silvicultural system is system of forest wood harvesting in accordance with a particular growth site for sustainable forest management, by considering among others the aspects of forest formation, edaphic factors, climatic factors, and forest type (Departemen Kehutanan 2009). Silvicultural system used in IUPHHK-HA PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI) is bracksih water forest silvicultural system. One of the obligations in implementing this silvicultural system is leaving 40 mother trees per hectare to help regeneration process and fulfill the need for regeneration in the logged over areas. Survey of mother trees is one of the problems which should be faced by PT. BUMWI because this survey would determine the number of available mother trees, and at present, many of the mother trees died. Therefore, there is a need to test several methods to be used in survey of mother trees. This study is aimed at providing information and comparison of two survey methods for mother trees, namely the one which is conducted by PT. BUMWI and the other one, namely method of grid strip by leaving varying number of mother trees, namely 1 tree, 2 trees and 3 trees. Results of method testing show that survey of mother trees which is conducted by grid strip method had better results as compared with that of method practiced by PT. BUMWI. Species composition obtainded from grid strip method was more varied, and loss of volume experienced by the company was considerably small. The data shows that method of grid strip by leaving 1 tree, 2 trees or 3 trees exhibited more advantages as compared with survey method practiced by PT. BUMWI. Keywords: PT.BUMWI, mother trees, survey method
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan bertahan hidup serta dapat berkembang pada daerah pasang surut. Karakteristik habitat hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempeng dan berpasir, daerahnya selalu digenangi air laut secara berkala, frekuensi genangan menentukan komposisi mangrove dan dapat menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat
serta terlindung dari gelombang dan arus pasang surut yang kuat (Nontji 2002). Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.11/Menhut-II/2009, sistem silvikultur adalah sistem pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu melalui proses edafis dan klimatologis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari (Departemen Kehutanan 2009). Pengelolaan hutan lestari yang diterapkan pada hutan mangrove yakni menggunakan sistem silvikultur hutan payau sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. :60/Kpts/DJ/I/1978 mengenai Pedoman Sistem Silvikultur
Hutan Payau. Sistem ini mengatur cara penebangan dan pemeliharaan hutan payau sebagai satu kebulatan pekerjaan. Penebangan dilakukan dengan meninggalkan pohon induk sebagai bagian dari usaha peremajaan hutan dan kayu yang ditebang dikeluarkan sebanyak mungkin dari hutan untuk dimanfaatkan. Pohon induk adalah pohon yang sengaja ditinggalkan pada waktu dilakukan penebangan dan dimaksudkan untuk menghasilkan biji yang akan tumbuh secara alami serta membentuk tegakan utama yang bernilai tinggi pada siklus tebang berikutnya. Jumlah pohon induk adalah 40 batang tiap hektar atau dengan jarak antara pohon rata-rata ± 17 m. Diameter pohon induk adalah ± 20 cm yang diukur pada ketinggian ± 20 cm diatas pangkal banir atau di atas pangkal akar tunjang. Pohon induk harus mempunyai batang yang lurus dengan tajuk yang lebat dan sehat. Selain itu SK Direktur Jenderal Kehutanan No. :60/Kpts/DJ/I/1978 menyatakan bahwa di dalam areal hutan payau bekas tebangan yang tidak teratur dapat dilakukan penebangan tanpa meninggalkan pohon induk, jika hutannya telah mempunyai permudaan tingkat semai ±2500 per ha atau dengan jarak tanam 2m x 2m. PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI) merupakan salah satu IUPHHK-HA yang melakukan pemanfaatan hutan alam sebagai sumber produksi dengan bahan baku yang berasal dari kayu mangrove. Berdasarkan hal tersebut PT. BUMWI menggunakan sistem silvikultur hutan payau sebagai salah satu cara pengelolaan hutan secara lestari. Dalam penerapan sistem silvikltur hutan payau yang dilakukan banyak permasalahan yang terjadi, salah satunya adalah kematian pohon induk pasca dilakukanya penebangan. Pohon induk yang mengalami kematian atau tumbang mengakibatkan pasokan benih berkurang dan merupakan suatu pelanggaran
dalam surat keputusan, karena pada ketentuannya jumlah pohon induk telah ditetapkan yakni 40 pohon/ha serta dapat meningkatkan biaya dalam pelaksanaan kegiatan penanaman guna mengisi kebutuhan permudaan sebanyak ±2500 bibit per ha. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dalam pelaksanaan survey pohon induk, baik secara individu maupun berkelompok, karena menurut Macnae (1968) dalam Supriharyono (2000), mangrove mempunyai arti sebagai komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam atau salinitas serta pasang surut air laut. Hal tersebut membuat asumsi bahwa pada hakikatnya mangrove tidak dapat hidup secara individu akan tetapi harus hidup secara berkelompok. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini dilakukan untuk menunjukkan perbandingan survey pohon induk secara individu dan berkelompok dengan metode jalur grid yang lebih efektif sehingga dapat menjadi acuan bagi PT. BUMWI dalam mengelola hutan secara lestari. Tujuan Tujuan Materi Khusus ini adalah : 1. Membandingkan penyebaran komposisi jenis berdasarkan metode survey pohon induk yang dilakukan. 2. Mengetahui kerugian volume yang berasal dari pohon induk berdasarkan metode survey pohon induk yang dilakukan. METODE Waktu dan Lokasi Praktek Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan April 2016. Penelitian dilakukan pada hutan virgin dengan nomer TPn 260,263 dan 266 di RKT 2016 dan hutan bekas tebangan dengan nomer TPn 38 di RKT 2015 areal IUPHHK-HA Bintuni Utama Wood Industries, Teluk Bintuni, Papua Barat.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS, clinometer, kompas, pita meter 100 m, Diameter tape (phi band), plat ID, pita kuning, palu , paku, tally sheet serta software pengolahan data ms.excel.
25 meter dengan jumlah pohon 18 pohon/jalur grid. Kemudian pada pohon induk 3 pohon dibuat sebanyak 7 jalur grid dengan luasan 210m x 210m dan jarak antar jalur 30 meter dengan jumlah pohon 21 pohon/jalur grid. Adapun plot jalur grid yang akan dibuat dapat dilihat pada (Gambar 7).
Prosedur Penelitian a. Pembuatan Plot Contoh Permanen Plot contoh permanen dibuat pada hutan virgin dengan nomer TPn 266 untuk pohon induk tunggal dengan luasan 200m x 200m, TPn 260 untuk pohon induk 2 pohon dengan luasan 200m x 200m dan TPn 263 untuk pohon induk 3 pohon dengan luasan 210m x 210m, serta TPn 38 sebagai pembanding survey pohon induk yang dilakukan oleh PT. BUMWI. Dalam plot contoh akan dilakukan penebangan dengan plot berbentuk keyhole dengan luasan ±3.14 hektar dengan jumlah pohon induk mengacu kepada Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. :60/Kpts/DJ/I/1978 diperlukan 126 pohon, maka dari itu pohon induk yang diperlukan dalam masing-masing plot contoh yaitu 126 – 176 pohon. Untuk Posisi TPn dan titik awal plot akan di marking dengan menggunakan GPS. b. Pembuatan jalur seed trees Jalur seed trees dibuat disesuaikan dengan jumlah pohon induk yang akan disurvey. Pada pohon induk tunggal dibuat 10 jalur grid dengan luasan 200m x 200m dan jarak antar jalur 20 meter dengan jumlah pohon 15 pohon/jalur grid. Pada pohon induk 2 pohon dibuat sebanyak 8 jalur grid dengan luasan 200m x 200m dan jarak antar jalur
a
b
C c
Gambar 7 Plot contoh permanen yang dibuat di PT. BUMWI. Keterangan : (a) TPn 266 pohon induk 1 pohon, (b) TPn 260 pohon induk 2 pohon, (c) TPn 263 pohon induk 3 pohon. c. Survey pohon induk Pohon yang akan digunakan sebagai pohon induk adalah pohon sehat dan memiliki batang yang lurus serta memiliki diameter setinggi dada (DBH) ± 20-25 cm. DBH pohon diukur dengan menggunakan diameter tape pada ketinggian 1.3m dari permukaan tanah atau 20 cm dari akar banir tertinggi. Survey pohon induk dilakukan mengikuti jalur- jalur yang telah dibuat. Setiap pohon induk akan ditandai dengan pita kuning dan plat. Plat tersebut berisi identitas pohon berupa nomor jalur dan nomor pohon induk.
d. Evaluasi survey pohon induk PT. BUWMI Evaluasi survey pohon induk PT.BUMWI dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Evaluasi yang dilakukan secara langung yakni melakukan pengambilan data lapangan seperti diameter pohon serta jenis. Kemudian letak koordinat pohon induk di tandai menggunakan GPS. Selain itu dilakukan pula pemantauan kesehatan pohon setiap individu serta mendata jumlah pohon induk yang telah mati. Pemilihan TPn dilakukan secara acak, yakni dengan memilih areal yang memiliki pohon induk terbanyak berdasarkan data dari deparetemen foresrty dan luasan mendekati luas areal keyhole. Sedangkan evaluasi secara tidak langsung yakni melakukan wawancara kepada departemen forestry bagian pembinaan hutan mengenai metode yang dilakukan oleh PT. BUMWI dalam survey pohon induk. Survey pohon induk yang dilakukan oleh PT.BUMWI yakni mengacu pada SK 60 Direktur Jenderal Kehutanan dengan membuat jalur dengan menandai jalur setiap 17 meter dan mencari pohon induk dengan radius 5 meter. Selain itu, dengan tetap mengacu pada surat keputusan yang menyatakan diameter pohon induk harus ±20cm, maka pihak PT.BUMWI memilih pohon induk dari diameter minimal yakni 15cm. Analisis Data Analisis data vegetasi Data analisis vegetasi yang dilakukan di lapangan diolah menjadi data INP (indeks Nilai Penting)
Indeks Nilai Penting (INP) Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menganalisis dominansi (penguasaan) atau kerapatan suatu jenis dalam komunitas tertentu dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) dari suatu jenis tersebut (Curtis 1959 dalam Indriyanto 2008), dengan rumus: Misra (1968) dalam Widayanti (2014) menjelaskan lebih lanjut mengenai cara menghitung berbagai besaran untuk parameter vegetasi sebagai berikut: Kerapatan
=
Kerapatan Relatif (KR)
=
Frekuensi (F)
=
Frekuensi Relatif (FR)
=
Dominansi (D)
=
Dominansi Relatif (DR) %
=
Indeks Nilai Penting (INP) KR + FR + DR
=
Analisis data volume tebangan yang dapat dimanfaatkan (M.vol) . Analisis data dilakukan dengan rumus allometrik sebagai berikut : a. Bruguiera gymnorhiza (Kauffman and Cole 2010) Stem volume : dimana :
, Y = 2.542
b. Bruguiera parviflora (Hossain et al. 2008) logBiomassa : A + B log(10)DBH
stem volume : A = -0.08847 , B = 2.4701 c. Ceriops tagal (Kauffman and Domato 2012) logBiomassa : A + B log(10)DBH stem volume : A = -0.08333 , B = 2.3393 d. Rhizophora apiculata (Kauffman and Cole 2010) Stem volume : dimana : , Y = 2.521
e. Rhizopora mucronata (Kauffman and Cole 2010) Stem volume : dimana : , Y = 2.249
f. Sonneratia alba (Kauffman and Cole 2010) Stem volume : dimana : , Y = 2.221 g. Xylocarpus granatum (Kauffman and Cole 2010) Stem volume : dimana : , Y = 2.259
Kemudian dibuat persamaan untuk mengelompokan jenis-jenis yang memiliki dbh ≥ 10 dengan rumus : =IF(DBH≥10;StemVolume;0)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Praktik Lokasi Praktek Kerja Profesi secara khusus dilakukan di IUPHHK-HA PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries yang secara administratif terletak di Kabupaten
Teluk Bintuni, Papua Barat dan secara geografis terletak di antara 133.19’ BT – 133.59’ BT dan 2.22’ LS – 2.43’ LS. Luas wilayah kerja PT. BUMWI adalah 82 120 Ha yang terbagi menjadi kawasan lindung (17 784), areal tidak efektif produksi(3 320), areal efektif produksi(52 115), hutan darat(2 388), hutan rawa(1 058), hutan sagu(3 052) dan areal pemukiman (2 403). Jenis – jenis tanah yang berada di areal hutan PT. BUMWI sebanyak tiga jenis yaitu : Sulfaquent 80 % , Tropopsament 5 – 8 % dan Tropudult 12 – 15 %. Areal PT BUMWI didominasi oleh hutan mangrove, oleh karena itu topografinya datar dengan kelerengan kurang dari 2 % serta memiliki ketinggian dari 0 mdpl – 500 mdpl. Daerah Bintuni, Babo dan sekitarnya termasuk daerah tropika, yang berdasarkan klasifikasi iklim Koppen termasuk type Afa ( daerah tropika basah bersuhu tinggi ) dan menurut Schmidt – Ferguson termasuk tipe hujan A (daerah sangat basah). Curah hujan tahunan berdasarkan data statistik tahun 1993 s/d 2003 sekitar 2.000 – 4.400 mm, dengan curah hujan tertinggi pada bulan Juli – Agustus (300 – 330 mm) dan terendah pada bulan Oktober – Desember (190 – 210 mm). Suhu udara agak panas dengan nilai maksimum, rata-rata dan minimum berdasarkan statistik tahun 1993 s/d 2003 berturut-turut : 30.7° C, 26.0° C dan 21.9° C. Dan suhu udara absolut maksimum dan suhu udara absolut minimum adalah 35.5° C dan 22.6° C. Kelembaban udaranya relatif lembab dengan nilai maksimum, rata-rata dan minimumnya 90 %, 85% dan 82%. Pada bulan Desember sampai bulan April bertiup angin dari utara
Iklim mikro di hutan mangrove mempunyai suhu dan intensitas cahaya yang lebih tinggi dan kelembaban yang lebih rendah di siang hari dibandingkan dengan hujan tropis. Namun karena dekat laut (air) kisaran suhu dan kelembabannya tidak begitu besar. Suhu di hutan mangrove PT BUMWI berkisar antara 22° - 26° C dan kelembaban udaranya sekitar 84 – 90 % serta intensitas cahaya di hutan mangrove yang rapat sekitar 100 – 200 footcandle (1100 – 2200 mm) Masyarakat desa sekitar hutan di PT. BUMWI sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, peternak dan nelayan. Pertanian tanaman pangan menjadi bagian yang menjamin ketersediaan makanan bagi setiap penduduk di Kabupaten Teluk Bintuni, terdapat 36 Ha padi di Sawah yang menghasilkan 1 440 ton padi. Pada tahun 2006 di Kabupaten Teluk Bintuni terdapat 600 ekor sapi, 283 kambing dan 1 176 babi dalam sektor peternakan dan pada sektor perikanan pada tahun 2006 terdapat 263 rumah tangga perikanan laut dan 42 rumah tangga perikanan darat. Rumah tangga perikanan laut banyak terdapat di Aranday dengan 120 rumah tangga. 31 rumah tangga perikanan darat terdapat di distrik Babo sisanya sebanyak 11 rumah tangga terdapat di distrik Bintuni. Komposisi Jenis Pada kegiatan survey pohon induk sangat penting memperhatikan komposisi jenis dan besar diameter pohon yang akan di pilih. Memiliki hutan yang kaya akan spesies sangat penting dalam fungsinya sebagai penjaga ekosistem dan kesehatan hutan. Membuat hutan menjadi monokultur dengan satu spesies dapat menjadi kelemahan dan membuat kepunahan bagi spesies lain (Bosire et al. 2006). Maka dari itu perlu dilakukan pemilihan jenis secara tersebar dengan komposisi jenis yang mewakili kebaradaan jenis pohon pada suatu
Xylocarpus granatum Sonneratia alba
0,23% 1,13%
0,22% 0,45%
3,85%
5,58%
Rhizophora apiculata
52,15%
56,03%
Ceriops tagal
5,90%
4,24%
Bruguiera parviflora
24,26%
18,08%
Rhizophora mucronata
Bruguiera gymnorhiza
12,47%
15,40%
0% 20% 40% 60% 80% 100% Seed Trees
Timber Cruising (CIFOR method)
ekosistem tersebut. Adapun komposisi pohon induk yang dipilih dapat dilihat pada (Gambar 8). Pada gambar tersebut terlihat penyebaran jenis yang hampir merata dengan survey populasi pohon yang dilakukan dengan metode CIFOR. Pohon induk Jenis X.granatum, S.alba, C.tagal dan B.parviflora memiliki komposisi jenis yang lebih tinggi dibandingkan survey pohon yang dilakukan. Gambar 8 Perbandingan penyebaran jenis mangrove antara survey pohon induk dengan survey populasi pohon. Hal tersebut dikarenakan jenis-jenis seperti X.granatum, S.alba dan C.tagal merupakan jenis yang tidak tumbuh banyak pada areal hutan virgin dan keberadaanya dipilih hanya untuk mempertahankan keanekaragaman jenis, bukan untuk produksi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat (Rajkaran dan Adams 2010) yang menyatakan bahwa jenis-jenis yang ditinggalkan dalam penebangan mangrove harus memiliki keanekaragaman yang tinggi. Sehingga dalam kegiatan survey pohon induk keberadaan jenis tersebut sangat penting
untuk diperhatikan guna menjaga dan mempertahankan keanekaragaman jenis. Selain itu Clarke et al. (2001) menyatakan bahwa meninggalkan pohon induk merupakan upaya mempertahankan komposisi jenis pada suatu areal penebangan. Lopez – Hoffman et al. (2006) juga menyatakan bahwa komposisi jenis sangat mempengaruhi pertumbuhan tegakan baru, semakin beragam komposisi tegakan maka semakin baik pertumbuhan yang dimiliki tegakan tersebut. Akan tetapi Krauss et al (2008) berpendapat bahwa hutan mangrove memiliki variasi jenis yang rendah, sehingga mempertahankan variasi jenis sangat penting dilakukan dalam kegiatan pengelolaan hutan mangrove. Selain itu, pada (Gambar 8) terlihat jenis R.apiculata mendominasi dengan proporsi sebesar 52.15% untuk survey pohon induk dan 56.03% untuk survey populasi pohon. Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa survey pohon induk yang dilakukan telah mendekati kepada kondisi populasi pohon semula. Sehingga apabila dilakukan penebangan, jenis-jenis yang dipilih sebagai pohon induk diharapkan akan membantu proses regenarasi dan menjaga keseimbangan jenis pohon pada kawasan tersebut.
fungsi ekologi yang telah terjadi sebelumnya dan diprediksi dapat mempertahankan fungsi tersebut pasca dilakukanya penebangan. Pada perhitungan INP, diperlukan perhitungan kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi, frekuensi relatif, dominasi dan dominasi relatif. Adapun rekapitulasi hasil analisis vegetasi yang didapat dengan beberapa metode terlihat pada (Tabel 4, Tabel 5, Tabel 6 dan Tabel 7).
Tabel 4 Rekapitulasi hasil analisis vegetasi metode jalur grid 2 pohon di TPn 260 No
K 1 2 3 4 5 6 7
Bruguiera gymnorhiza Bruguiera parviflora Ceriops tagal Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia alba Xylocarpus granatum
KR(%)
F
FR(%)
D
DR(%)
INP(%)
4,25
11,81
0,3
19,39
4,25
11,81
43
7,75
21,53
0,33
21,43
7,75
21,53
64,48
2
5,556
0,09
6,122
2
5,556
17,23
21
58,33
0,75
48,98
21
58,33
165,6
1
2,778
0,06
4,082
1
2,778
9,637
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
36
100
1,53
100
36
100
300
Total
Kerapatan Pohon Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menganalisis dominansi (penguasaan) atau kerapatan suatu jenis dalam komunitas tertentu dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR) dari suatu jenis tersebut (Curtis 1959 dalam Indriyanto 2008). Kerapatan pohon atau dominansi pohon (INP) sangat penting diketahui, guna menjaga stabilitas jenis pohon yang ditinggalkan. Selain itu nilai kerapatan penting diketahui untuk menjaga
TPN 260
Jenis
Tabel 5 Rekapitulasi hasil analisis vegetasi No
TPN 263
Jenis K
1 2 3 4 5 6 7
Bruguiera gymnorhiza Bruguiera parviflora Ceriops tagal Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Total
KR(%)
F
FR(%)
D
DR(%)
INP(%)
4,76
14,29
0,22
15,71
5,25
14,29
44,29
4,76
14,29
0,27
18,57
5,25
14,29
47,14
3,17
9,524
0,18
12,86
3,5
9,524
31,9
18,8
56,46
0,65
45,71
20,8
56,46
158,6
1,81
5,442
0,1
7,143
2
5,442
18,03
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
33,3
100
1,43
100
36,8
100
300
No
TPN 38
Jenis K
1 2 3 4 5 6 7
Bruguiera gymnorhiza Bruguiera parviflora Ceriops tagal Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Total
KR(%)
F
FR(%)
D
DR(%)
INP(%)
8,25
20,75
0,3
20,41
8,25
20,75
61,918
4,5
11,32
0,18
12,24
4,5
11,32
34,886
5,25
13,21
0,21
14,29
5,25
13,21
40,701
21,8
54,72
0,78
53,06
21,8
54,72
162,5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
39,8
100
1,47
100
39,8
100
300
metode jalur grid 3 pohon di TPn 263 Berdasarkan rekapitulasi tersebut, nilai K,F dan D pada masing-masing TPn memiliki nilai yang kecil. Hal tersebut dikarenakan dalam analisis vegetasi yang dilakukan hanya melibatkan pohon induk dalam perhitungannya. Sehingga hasil yang No
TPN 266
Jenis K
1 2 3 4 5 6 7
Bruguiera gymnorhiza Bruguiera parviflora Ceriops tagal Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Sonneratia alba Xylocarpus granatum Total
KR(%)
F
FR(%)
D
DR(%)
INP(%)
4,25
11,33
0,17
11,97
4,25
11,33
34,638
13,8
36,67
0,52
36,62
13,8
36,67
109,95
1
2,667
0,04
2,817
1
2,667
8,1502
15,8
42
0,58
40,85
15,8
42
124,85
1,25
3,333
0,05
3,521
1,25
3,333
10,188
1,25
3,333
0,05
3,521
1,25
3,333
10,188
0,25
0,667
0,01
0,704
0,25
0,667
2,0376
37,5
100
1,42
100
37,5
100
300
didapat tidak akan memiliki nilai yang besar. Kerapatan perhektar yang dimiliki setiap jenis pada masing-masing TPn memiliki nilai yang relatif kecil, begitupun dengan jenis R.apiculata. Traynor dan Hill (2008) mengestimasikan jumlah tegakan yang harus disisakan dalam suatu ekosistem hutan dalam kegiatan penebangan yakni 18 400 pohon, dengan sebagian jenisnya merupakan jenis lokal.
Tabel 6 Rekapitulasi hasil analisis vegetasi metode jalur grid 1 pohon di TPn 266 Tabel 7 Rekapitulasi hasil analisis vegetasi metode PT. BUMWI di TPn 38 Akan tetapi menurut Macintosh dan Ashton (2004) menyatakan bahwa yang terpenting dalam kegiatan pengelolaan mangrove adalah menjaga zona penyangga, dan beberapa areal dilindungi serta menjaga kesuburan tanah pada setiap arealnya. (Gambar 9) tersebut menunjukan hasil dominansi yang sama, yakni terdapat pada jenis R.apicula dengan besar kerapatan di masing-masing TPn yaitu 116.667% pada TPn 260, 112.925% pada TPn 263, 84% pada TPn 266 dan 109.434% pada TPn 38. Hal tersebut sesuai dengan (Gambar 8) yang terlihat bahwa jenis yang mendominasi setelah dilakukan survey populasi pohon adalah R.apiculata. R.apiculata atau yang biasa disebut dengan Bako merupakan jenis kayu utama yang diproduksi oleh PT. BUMWI. Hal tersebut dapat menjadi alasan mengapa jenis R.apiculata sangat mendominasi pada kawasan hutan virgin di PT.BUMWI. Selain itu, berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa survey pohon induk yang dilakukan memiliki komposisi jenis yang lebih beragam dibandingkan survey pohon induk yang dilakukan oleh PT. BUMWI. Survey pohon induk yang dilakukan oleh PT. BUMWI hanya memiliki 4 jenis mangrove antara lain B.gymnorhiza, B.parviflora, C.tagal dan R.apiculata. Berbeda dengan metode jalur grid yang dilakukan, terdapat jenis lain seperti R.mucronata, S.alba dan X.granatum.
Bruguiera gymnorhiza
Bruguiera parviflora
Ceriops tagal
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Sonneratia alba
Xylocarpus granatum
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
1
2
3
4
5
6
7
INP
INP
INP
INP
Gambar 9 Dominansi jenis pohon induk di setiap TPn.
Volume Pohon Induk Pada kegiatan survey pohon induk, selain memperhatikan komposisi jenis perlu juga memperhatikan kisaran diameter yang baik bagi pohon induk yang akan dipilih. Hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas regenerasi yang didapat dan meminimalisir kerugian yang diterima oleh PT.BUMWI. Mengacu pada SK 60 Direktur Jenderal Kehutanan, diameter pohon yang diperbolehkan dipilih menjadi pohon induk adalah pohon yang memiliki DBH ±20cm. Hal tersebut diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh (Silanpaa dan Vantellingen 2015) yang menyatakan bahwa hanya pohon induk dengan diameter 20cm25cm saja yang dapat memiliki kesempatan
TPN 263
yang tinggi untuk menghasilkan buah dan bertahan hidup sampai waktu rotasi selanjutnya. Berdasarkan hal tersebut didapat hasil seperti pada (Gambar 10). Gambar 10 Volume pohon induk yang dapat dimanfaatkan di areal TPn Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa survey pohon induk yang dilakukan oleh PT BUMWI mengakibatkan kerugian volume yang cukup besar dengan M.vol sebesar 44.16m³. Berbeda dengan survey pohon induk yang dilakukan dengan metode jalur grid memiliki M.vol berkisar antara 28m³ sampai 32m³. Kerugian yang terjadi sangat berpengaruh terhadap hasil produksi yang akan didapat. Berdasarkan hal tersebut pemilihan diameter pohon sangat penting dalam meminimalisir kerugian yang akan didapat oleh PT.BUMWI. Selain itu, dari hasil evaluasi pohon induk yang dilakukan, terdapat 12 pohon induk yang telah mati dan 3 pohon induk yang tumbang. TPn 38 merupakan areal tebangan yang baru 1 tahun ditinggalkan, hal ini dapat merugikan pihak perusahaan karena dengan berkurangnya pohon induk maka regenerasi yang dibutuhkan akan berkurang dan biaya penanaman akan meningkat dan volume pohon terbuang dengan sia-sia. Tabel 8 Hasil perbandingan kelas diameter pada kedua metode survey. Variabel
DBH (cm) Metode BUMWI
Survey Pohon Induk
Min.
15.10
20
1st Qu.
18.60
20.50
Median
22.30
22.20
Mean
25.38
24.23
3rd Qu.
27.55
24.50
Max
62.80
225
TPN 260
Berdasarkan hasil pada (Tabel 8) terlihat bahwa metode yang dilakukan oleh
TPN 266
TPN 38 0
10
20
30
40
50
pihak PT.BUMWI memiliki diameter minimal 15.10cm dan diameter maksimal 62.80cm. Meskipun survey pohon induk yang dilakukan oleh PT.BUMWI memiliki rata-rata diameter 25.38cm akan tetapi dengan standar minimal dan maksimal yang dipilih, hal tersebut dapat menjadi masalah dalam keberadaanya. Mengacu pada hasil penelitian (Silanpaa dan Vantellingen 2015) dengan memilih diameter dibawah 20cm hal tersebut dapat menjadi masalah dalam regenerasi, karena pohon induk yang baik dalam memenuhi kebutuhan regenerasi adalah pohon induk yang memiliki diameter antara 20cm – 25cm. Kemudian dengan memilih pohon induk dengan diameter diatas 25cm dapat menjadi kerugian bagi volume tebangan serta pohon induk yang ditinggalkan sulit bertahan hingga rotasi tebang selanjutnya. Survey pohon induk yang dilakukan dengan metode jalur grid memiliki minimal diameter 20cm dan maksimal diameter 225cm. Pemilihan diameter maksimal tersebut terjadi karena ketika survey dilakukan, ditemukan 5 jenis S.alba yang memiliki diameter diatas rata-rata yakni sebesar 112.5cm, 130cm, 140cm, 175cm dan 225cm. Menjaga keberadaan pohon S.alba tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu upaya konservasi dan menstabilkan jenis S.alba pada kawasan tersebut. Pemilihan 5 pohon S.alba tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap rata-rata diameter pohon induk yang memiliki nilai sebesar 24.23cm. Akan tetapi apabila kelima jenis S.alba tersebut tidak dipilih maka dapat diperkirakan bahwa besar rata-rata diameter yang didapat akan kurang dari 24.23cm. Simpulan Metode survey pohon induk sangat penting diperhatikan guna meminimalisir kerugian, baik secara ekonomi maupun
ekologi. Metode survey dengan metode jalur grid memiliki komposisi jenis yang lebih beragam dibandingkan metode survey yang digunakan oleh PT.BUMWI. Kerugian volume pada metode jalur grid memiliki kerugian yang lebih rendah. Pemilihan jenis dan diameter pohon induk penting dilakukan untuk menjaga keberhasilan regenerasi tegakan dan kemampuan pohon induk pada waktu rotasi selanjutnya. Metode survey pohon induk yang direkomendasikan dalam penerapan sistem silvikultur hutan payau di PT.BUMWI adalah metode survey jalur grid dengan jumlah pohon induk 1 pohon, 2 pohon ataupun 3 pohon. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai keberhasilan produktivitas pohon induk dengan metode jalur grid. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui jumlah pohon induk yang paling sesuai dan berpengaruh dalam keberhasilan regenerasi (t+3). Sehingga dapat meminimalisir kegiatan penanaman dan menurunkan kerugian ekonomi dan ekologi bagi PT.BUMWI. Selain itu perlu dilakukan koordinasi antara petugas survey pohon induk dan petugas ITSP guna menjaga komposisi jenis pada kawasan mendekati komposisi semula. DAFTAR PUSTAKA Bosire J.O, Walton M, Crona B.I, Lewis R.R and Field C. 2006. Success rates of recruited tree species and their contribution to the structural development of reforested mangrove stands. Marine Ecology Progress. 325: 85-91. Clarke P.J, Kerrigan R.A dan Westphal C.J. 2001. Dispersal potential and early growth in14 tropical mangroves: do early life history traits correlate with
patterns of adult distribution? Journal of Ecology, Vol. 89, No. 4 (August 2001), pp 648-659 Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.11/Menhut-II/2009. Jakarta (ID) : Departemen Kehutanan Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): PT. Bumi Aksara. Kauffmann JB, Cole. 2010. Micronesian Mangrove Forest Structure and Tree Responses to a Severe Typhoon. Wetlands 30:1077–1084.
Kauffman JB, Donato DC. 2012. Protocols for the measurement, monitoring and reporting of structure, biomass and carbon stocks in mangrove forests. Bogor (ID) : CIFOR Working Paper 86. Krauss K.W, Lovelock C.E, McKee K.L, López-Hoffman L, Ewe S.M.L dan Sousa W.P. 2008. Environmental drivers in mangrove establishment and early development: A review. Aquatic Botany, Vol. 89, No. 2 (August 2008), pp 105–127 López-Hoffman L, Monroe I.E, Narváez E, Martínez-Ramos M dan Ackerly D.D. 2006. Sustainability of mangrove harvesting: how do harvesters’ perceptions differ from ecological analysis? Ecology and Society, Vol. 11, No. 2 (July 2006): 14 Macintosh D.J dan Ashton E.C. 2004. Principles for a Code of Conduct for the Management and Sustainable use of Mangrove Ecosystems. Prepared for World Bank, ISME, cenTER Aarhus.
Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Jakarta (ID) : Djambatan Rajkaran A & Adams JB. 2010. The implications of harvesting on the population structure and sediment characteristics of the mangroves at Mngazana Estuary, Eastern Cape, South Africa. Wetlands Ecology and Management, Vol. 18, No. 1 (July 2010), pp 79-89. Silanpaa M, Vantellingen J. 2015. Assessing Secondary Mangrove Forest Regenerationin PT BUMWI concessions. Papua Barat (ID) : Green Forest Product & Tech. Pte. Ltd., Research Department Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta(ID) : PT Gramedia Pustaka Utama Traynor C.H dan Hill T. 2008. Mangrove utilisation and implications for participatory forest management, South African. Conservation and Society, Vol. 6, No. 2 (March 2008):109-116 Widiyanti P. 2014. Komposisi jenis dan struktur vegetasi pada kawasan Karst Gunung Cibodas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor (ID) : Fakultas Kehutanan IPB.