KOMODIFIKASI ISI MEDIA TERHADAP TREND BERJILBAB GAUL DALAM RUBRIK FASHION MAJALAH ANNISA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I.)
Oleh:
Intan Purwatih NIM: 1110051000123
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarja Strata Satu (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 8 September 2014
Intan Purwatih
ABSTRAK Nama Judul NIM
: Intan Purwatih : Komodifikasi Isi Media Terhadap Trend Berjilbab Gaul dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa : 1110051000123
Jilbab tidak hanya digunakan oleh para perempuan dewasa, namun juga digunakan oleh remaja, yang selalu mengikuti mode yang sedang tren. Kini kita melihat jilbab sebagai bagian dari gaya hidup remaja muslim. Bahkan, saat ini mulai banyak bermunculan butik yang dengan khusus menjual jilbab yang telah dimodifikasi dengan berbagai cara. Jilbab yang merupakan kewajiban dari perempuan muslimah menutup aurat banyak ditampilkan dalam majalah. Majalah tersebut menilai bahwa perempuan Indonesia menyukai model jilbab gaul yang saat ini menjadi tren. Maka majalah pun berlomba-lomba menampilkan berbagai model jilbab yang lebih fashionable. Majalah tersebut seakan-akan menjadikan jilbab sebagai barang dagangan (komoditas) yang dapat laku dipasaran sehingga mendapatkan keuntungan yang lebih. Fenomena jilbab yang gaul tanpa mengedepankan syariat Islam, hal tersebut terjadi pada majalah Annisa karena terdapat kerjasama majalah Annisa dengan majalah asing. Pertanyaan penelitian, yaitu: Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto-foto jilbab gaul muslimah dengan motif lasercut di rubrik fashion pada majalah Annisa edisi Juni tahun 2013? Bagaimanakah komodifikasi isi media mewujudkan nilai guna ke nilai tukar di majalah Annisa? Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana semiotika. Teknik pengumpulan data yaitu, wawancara mendalam dengan direktur majalah Annisa, dan observasi yang digunakan yaitu observasi non partisipan, serta dokumentasi yaitu mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian berupa rubrik fashion yang terdapat di majalah Annisa. Penelitian ini menggunakan kerangka teori ekonomi politik media Vincent Mosco, yaitu komodifikasi khususnya pada komodifikasi isi media dan konsep foto semiotika Roland Barthes diantaranya, trick effect, pose, objects, photogenia, aesthetiscism, dan syntax. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa makna denotasi yang ditemukan menggambarkan bahwa jilbab yang disajikan Annisa, pakaiannya ketat, membentuk lekuk tubuh, tidak menutupi dada dan seperti pakaian laki-laki. Makna konotasinya, penggunaan jilbab pada Annisa tidak dalam kategori syar’i dan hanya mengedepankan mode. Mitosnya penggunaan jilbab yang tidak syar’i sama saja berbusana tapi tanpa pakaian karena membentuk lekuk tubuh. Adanya komodifikasi isi media pada majalah Annisa yang dipengaruhi oleh beberapa kultur dari internasional, sehingga barang atau jasa yang awalnya hanya merupakan nilai guna menjadi nilai tukar. Isi media dirubah sedemikian rupa, dengan cara seperti pemilihan model, teknik fotografer, jilbab gaul, dan iklan sehingga mendapat keuntungan untuk majalah Annisa.
Keyword: fashionable, lasercut, ekonomi politik, semiotika, trend
i
KATA PENGANTAR Alhamdulillaahirabbil’alamiin. Segala puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan karunia nikmat-Nya serta ridho-Nya kepada peneliti agar dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Komodifikasi Isi Media Terhadap Trend Gaya Jilbab Gaul Muslimah Modern dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa”. Tidak lupa shalawat dan salam juga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, beserta para sahabat dan keluarganya. Skripsi ini merupakan tugas akhir peneliti yang disusun guna melengkapi salah satu syarat yang telah ditentukan dalam menempuh program studi Strata Satu (S1). Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan dukungan dan bimbingan serta perhatian berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada: 1. Dr. H. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Suprapto, M.Ed, Ph.D, selaku Wakil Dekan I bidang Akademik, Drs. Jumroni, M.Si, selaku Wakil Dekan II
bidang
Administrasi Umum dan Dr. H. Sunandar Ibnu Noor, M.A selaku Wakil Dekan III bidang Kemahasiswaan. 2. Rachmat Baihaky, M.A selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 3. Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sekaligus dosen pembimbing peneliti yang selalu
ii
memberikan waktu luang, tenaga dan pikiran, motivasi serta memberikan pengarahan dengan penuh kesabaran dalam proses penyelesaian skripsi ini. 4. Prof. Dr. Murodi, M.A selaku Dosen Penasehat Akademik Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan ilmu yang tak ternilai, sehingga peneliti dapat menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Segenap staf akademik dan staf perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Teruntuk yang mulia kedua orang tuaku tersayang, Ibunda Siti Komariyah dan Ayahanda Kemas Ali Kosim, yang senantiasa mencurahkan cinta, kasih dan sayangnya dikala sehat maupun sakit, dikala susah maupun senang, dikala mudah maupun sulit. Membantu dengan segenap kemampuan dan doa-doa dalam setiap sholatnya, doa yang selalu mengiringi tiap langkah kaki ini sehingga peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini. 8. Ibu Avi Budimansyah selaku Direktur majalah Annisa, mba Ade Nur Sa’adah selaku managing editor, kak Andini Aprilliana selaku Asst. Fashion Stylist majalah Annisa beserta staf yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian.
iii
9. Adik-adikku tercinta, Randy Nurluddyn dan Salsa Nurapriyanda kalian semua adalah inspirasi dalam hidupku untuk terus menjadi kakak yang sukses dan dapat menjadi contoh untuk kalian, kakak sayang kalian. 10. Teman sejawat KPI 2010 dan sahabat KPI D Cory, Nadia, Arista (Madeh), Ucin, Rika, Erfa, Ibel, Dwinovita, Itha, Anis, Ewy, Anggy, Fitri, Nurul, Bobby, Abdurrahman, Agung, Ichsan, Mantri, Rachmat, Enjang Zaki, Helmi, Fahmi, dan Syehab terima kasih sudah menjadi sahabat terbaik selama ini, melewati waktu dalam suka duka, tawa canda, serta memberikan motivasi kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, pokoknya sayang kalian semuanya. 11. Special thanks to Nurmalisa Nazarani yang selalu siaga dan menemani peneliti disaat melakukan penelitian serta memberi masukan kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini serta selalu memberi semangat. 12. Terimakasih pula kepada Om JR yang sudah meluangkan waktu diselasela kesibukan kerjanya untuk membantu peneliti dalam melakukan penyelesaian skripsi ini dan juga tak pernah absen dalam memberikan motivasi kepada peneliti. 13. Sahabat KKN PETA 2013, Rezza Fahlevi, Imas, Novi (Ipil), Bebsy, Savira, Dian, Willy, Dio, Yogi, Muha, Umam, dan Makin, terimakasih sudah menjadi sahabat yang selalu memberikan masukan dan motivasi kepada peneliti. 14. Sahabat terbaikku Siti Ratna (Nyonyo) yang selalu setia dan bersedia meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluh kesah peneliti dalam
iv
proses penyelesaian skripsi ini dan juga tak henti-hentinya memberikan motivasi kepada peneliti. Dan untuk semua pihak yang pernah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini, yang tak bisa peneliti sebutkan satu persatu, mengucapkan banyak terima kasih untuk bantuannya sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti akan menerima segala kritik dan saran sehingga dapat menjadi acuan pembelajaran peneliti. Peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa/i Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan sebagai bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.
Jakarta, 8 September 2014
Intan Purwatih
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ..................................................................................................
ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................
viii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................................
1
B. Batas dan Rumusan Masalah .......................................................................
10
C. Tujuan Penelitian .........................................................................................
11
D. Manfaat Penelitian .......................................................................................
11
E. Metodologi Penelitian ..................................................................................
12
F. Tinjauan Pustaka ..........................................................................................
18
G. Sistematika Penulisan ..................................................................................
20
BAB II. LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP A. Landasan Teori.............................................................................................
21
1. Komodifikasi pada Media .......................................................................
21
2. Tinjauan Umum Tentang Semiotika .......................................................
26
B. Kerangka Konsep .........................................................................................
43
1. Media Cetak ............................................................................................
43
2. Majalah ...................................................................................................
45
3. Jilbab .......................................................................................................
51
4. Jilbab Gaul ..............................................................................................
55
vi
BAB III. GAMBARAN UMUM MAJALAH ANNISA A. Gambaran Umum Majalah Annisa...............................................................
58
B. Sasaran Pembaca dan Pendistribusian Majalah Annisa ...............................
60
C. Rubrikasi Majalah Annisa ............................................................................
60
D. Struktur Redaksi Majalah Annisa ................................................................
61
BAB IV. TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Analisis Semiotika Roland Barthes..............................................................
66
1. Analisis Data Foto 1 ..............................................................................
67
2. Analisis Data Foto 2 ..............................................................................
77
B. Analisis Pemaknaan Komodifikasi Isi Media di Majalah Annisa ................
85
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................................................
89
B. Saran ............................................................................................................
91
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
92
LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR 1. Gambar Peta Tanda Roland Barthes ...........................................
38
2. Gambar 1 Data Foto 1 .................................................................
67
3. Gambar Foto 2 ...........................................................................
75
4. Gambar 3 Data Foto 2 .................................................................
77
5. Gambar Foto 4 ...........................................................................
84
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini masyarakat di Indonesia telah akrab dengan media massa. Fenomena ini mulai tampak pasca era Orde Baru sekitar tahun 1998 ketika terjadi reformasi. Masyarakat merasakan perbedaan dalam diri mereka dimana semula pada era Orde Baru kebebasan media sangat terbatas, sangat tidak leluasa, namun kini menjadi begitu terbuka dan amat bebas. Media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan elektronik. Media cetak yang dapat memenuhi kriteria sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah.1 Media cetak adalah berita-berita yang disiarkan melalui benda cetak.2 Salah satu media cetak yang paling tua di Indonesia adalah surat kabar. Keberadaan surat kabar di Indonesia ditandai dengan perjalanan panjang melalui empat (4) periode, yakni masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, menjelang kemerdekaan dan awal kemerdekaan. Serta zaman Orde Lama dan Orde Baru. Sedangkan keberadaan majalah sebagai media massa terjadi tidak lama setelah surat kabar. Sebagaimana surat kabar, sejarah majalah diawali dari negara-negara Eropa dan Amerika. Edisi perdana majalah yang diluncurkan di Amerika pada pertengahan 1930-an memperoleh kesuksesan besar, majalah telah memuat segmentasi 1
Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 103. 2 Zaenuddin HM, The Journalist (Jakarta: Prestasi Pusta Karya, 2007), h. 12.
1
2
pasar tersendiri dan membuat fenomena baru dalam dunia media massa cetak di Amerika.3 Keberadaan majalah sebagai
media massa
di Indonesia dimulai
menjelang awal kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta pada tahun 1945 terbit majalah bulanan dengan nama
Pantja Raja
pimpinan Markoem
Djojohadisoeparto (MD) dengan prakata dari Ki Hajar Dewantoro selaku menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia. Majalah merupakan media cetak yang paling simpel organisasi atau struktur redaksinya, relatif mudah mengelolanya, serta tidak membutuhkan modal yang banyak. Majalah juga dapat diterbitkan oleh setiap kelompok masyarakat, dimana mereka dapat dengan leluasa dan luwes menentukan bentuk, jenis dan sasaran khalayaknya. Majalah mempunyai karakteristik tersendiri dibanding dengan media cetak lainnya, salah satunya adalah frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan, selebihnya dwi mingguan, bahkan bulanan, dalam majalah juga terdapat jumlah halaman yang lebih banyak sehingga menampilkan gambar atau foto yang lengkap dengan ukuran besar dan kadang-kadang berwarna serta kualitas kertas yang lebih baik. Di samping foto dan cover atau sampul majalah juga merupakan daya tarik tersendiri, karena cover adalah ibarat pakaian. Cover majalah biasanya menggunakan kertas yang bagus dengan gambar dan warna yang menarik. Majalah merupakan salah satu media cetak di Indonesia yang sangat berkembang, memiliki pengaruh yang besar terhadap pola pikir dan perilaku 3
Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 116.
3
masyarakat, karena dalam media cetak terdiri atas rubrik-rubrik yang biasa dijadikan sebagai inspirasi, tak terkecuali bagi media cetak nasional, seperti Majalah Annisa banyak memuat foto-foto dengan jilbab yang fashionable, yang mengikuti masukan tren dari Barat, sehingga banyak dijadikan inspirasi bagi perempuan muslimah masa kini. Dan yang menjadi persoalan adalah majalah Annisa sebagai majalah Islam dengan mengedepankan nilai-nilai Islam dan identitas Islam justru melakukan komodifikasi tentang makna jilbab yang sesungguhnya dalam Islam. Makna jilbab berubah karena tren atau gaya, bukan lagi mengedepankan syariat Islam. Keunikan lain yang peneliti nilai dari majalah Annisa adalah target pasar atau pembacanya kalangan aktif muslimah. Dimana muslimah dalam ajaran Islam diwajibkan menggunakan jilbab sesuai dengan perintah berjilbab dalam Al-Qur’an surat Al- Ahzab ayat 59: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka menutup jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Ahzab, 33:59)
Wanita merupakan pasar pembaca potensial, dan majalah banyak membuka diri bagi pekerja wanita dibandingkan dengan surat kabar. Majalah
4
juga menjadi instrumen penting dalam perubahan sosial.4 Sejalan dengan majalah-majalah muslimah yang bermunculan, majalah tersebut menjadi salah satu tolak ukur bagi perempuan muslimah dalam berjilbab masa kini, yang lebih modis dan mudah ditiru oleh para pembaca majalah muslimah agar berpenampilan lebih menarik dan tidak dianggap kuno. Peneliti khawatir dengan adanya isi media tentang gaya jilbab yang majalah Annisa tampilkan dapat merubah makna jilbab yang sebenarnya. Dari fenomena tren berjilbab muslimah pada masa sekarang ini, terutama yang dimuat di majalah Annisa tentang rubrik fashion yang berisi foto-foto penggunaan tren aksesoris lasercut dalam jilbab muslimah, harusnya tidak lepas dari syariat Islam beragama aturan berjilbab sesuai dalam AlQur’an. Nilai guna jilbab “kaffah” Islam memang sejalan dengan visi misi majalah Annisa yang menuliskan bahwa “Annisa menghadirkan informasi yang mencakup semua aspek kehidupan muslimah modern sesuai dengan tren lokal dan global, masih dalam nilai dan identitas Islam”. Namun pada kenyataannya majalah Annisa bertolak belakang dengan visi misinya, Annisa menyajikan model jilbab gaul yang awalnya dari nilai guna menjadi nilai tukar. Ini dikarenakan adanya faktor tren, ekonomi dan kerja sama dengan majalah asing. Dengan demikian, Annisa mengkomodifikasikan isi media melalui tren jilbab gaul. Maksudnya, mentrendikan gaya jilbab yang tidak sesuai dengan aturan Islam, kultur Islam, dan estetika. 4
Shirley Biagi, Media/ Impact Pengantar Media Massa (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), Edisi 9, h. 94.
5
Salah satu yang selalu dilihat dalam berpenampilan adalah bagaimana cara berpakaian seseorang. Berbicara tentang pakaian sesungguhnya berbicara sesuatu yang erat kaitannya dengan diri kita. Hal itu menunjukkan bahwa apa yang dipakai sehari-hari dapat menggambarkan kepribadian yang dimiliki. Cara berpakaian tentu mencirikan penampilan fisik. Berpakaian bukan sekadar untuk menutupi tubuh atau asal pantas, namun juga berusaha menciptakan kesan yang positif pada orang lain.5 Nilai-nilai agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan, semua itu memengaruhi cara kita berdandan.6 Salah satu cara berpakaian yang berkaitan dengan nilai agama dan yang sering menjadi pusat perhatian adalah dengan menggunakan jilbab. Jilbab adalah pakaian yang wajib hukumnya dikalangan perempuan muslim. Agamalah yang mewajibkan perempuan muslim untuk menutup aurat mereka dengan jilbab. Tentu saja dengan alasan mereka menggunakan jilbab hanyalah karena agama. Namun, jilbab bukan hanya menutup badan semata badan, tetapi jilbab itu menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat.7 Berjilbab adalah sebuah hukum dan syariat agama Islam yang berakar kuat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW., bukan kultur Arab atau cara berpakaian masyarakat Timur Tengah. Memakainya sesuai dengan ajaran tersebut termasuk dalam kategori ibadah kepada Allah SWT. Dalam ajaran Islam, para wanita dianjurkan mengenakan jilbab untuk menutupi seluruh 5
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 394. 6 Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, h. 392. 7 Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1991), h. 33.
6
badan, kecuali telapak tangan, kaki dan wajah. Tujuannya untuk menghindari pandangan yang mengundang syahwat. Perempuan-perempuan yang menggunakan jilbab sering kali dinilai perempuan yang memiliki fanatisme tentang agamanya. Tidak jarang perempuan yang menggunakan jilbab mendapat diskriminasi pada bidang politik, dikeluarkan dari sekolah, dan mendapat perlakuan buruk dari agama lain. Berjilbab tidak boleh dijadikan alasan untuk menghalangi kemajuan karir wanita.8 Pada saat itu jilbab hanya dipakai di kalangan terbatas dari segelintir keluarga aktivis Islam, pelajar muslim di pesantren atau sekolah umum sebagai ungkapan kepatuhan pada ajaran agama, sekaligus ungkapan perlawanan terhadap status quo.9 Hal tersebut yang membuat perempuan kini menciptakan bentuk-bentuk jilbab yang menarik agar jilbab dapat diterima oleh masyarakat. Saat ini jilbab tidak hanya digunakan oleh para perempuan dewasa, namun juga digunakan oleh remaja, bahkan oleh remaja akhir yang selalu mengikuti mode yang sedang tren. Kini kita melihat jilbab sebagai bagian dari gaya hidup remaja muslim. Bahkan, saat ini mulai banyak bermunculan butik yang dengan khusus menjual jilbab yang telah dimodifikasi dengan berbagai cara. Berjilbab tidak boleh menjadi sekadar tren, sehingga apabila tren tersebut berubah maka jilbab ditinggalkan.10
8
Husein Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Bandung: Mizan 2008),
h.10. 9
Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi. Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender (Yogyakarta: Jalasutra 1996), h. 11. 10 Shahab, Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, h. 11.
7
Hal itu yang seharusnya difikirkan oleh para perempuan. Penggunaan jilbab yang mereka lakukan seharusnya memang benar-benar atas dasar agama bukan karena adanya perkembangan jilbab yang saat ini sedang marak di pasaran. Pola, warna, dan aksesoris lainnya bisa saja berubah, tetapi substansinya, yakni seorang perempuan muslimah wajib berjilbab, tidak pernah berubah. Penggunaan aksesoris seperti bros, tentu tidak dilarang, namun kaidah penggunaan jilbab yang menutupi dada dan pakaian yang tidak menonjolkan bentuk tubuh tetap harus diperhatikan. Kini jilbab pun mulai berubah bentuk. Dahulu yang hanya berupa kain besar yang digunakan untuk menutupi kepala sampai dada, kini jilbab mulai disesuaikan dengan mode yang sedang tren. Jilbab yang saat ini ada digunakan para remaja akhir dinilai lebih luwes dan simpel. Hal ini pula yang membuat para remaja akhir tidak malu dan ragu menggunakan jilbab. Berkembangnya mode membuat jilbab menjadi busana yang ngetrend karena didesain untuk gaya dengan model-model kontemporer. Jilbab menjadi busana muslim yg selalu mendapatkan sentuhan gaya sehingga menjadi lebih menarik dan fashionable. Bahkan saat ini mulai dikenal dengan istilah jilbab gaul. Jilbab gaul memiliki ciri-ciri yaitu, pakaian yang digunakan merupakan pakaian yang ketat, transparan, dan membentuk lekuk tubuh. Kerudung yang digunakan tidak menutupi dada dan ujungnya diikat ke belakang. Pengguna jilbab gaul biasanya juga melengkapi tampilannya dengan dandanan menor, wewangian, serta aksesoris yang mencolok.
8
Seiring berkembangnya, jilbab kini mulai diterima di masyarakat luas. Para penggunanya juga tidak ragu lagi untuk memodifikasi jilbab yang ada. Beberapa kantor juga mulai mengizinkan para karyawan perempuannya menggunakan jilbab. Di instansi pemerintahan juga mulai banyak terlihat para perempuan yang menggunakan jilbab. Selain itu, jilbab yang merupakan ciri khas dari perempuan muslimah banyak ditampilkan dalam sebuah majalah. Majalah tersebut menilai bahwa perempuan Indonesia menyukai model jilbab gaul yang saat ini menjadi tren. Maka majalah pun berlomba-lomba menampilkan berbagai model jilbab yang lebih fashionable. Majalah tersebut seakan-akan menjadikan jilbab sebagai barang dagangan
(komoditas)
yang dapat
laku dipasaran sehingga
mendapatkan keuntungan yang lebih. Berbicara mengenai keuntungan, erat kaitannya dengan industri, dalam hal ini yaitu industri media, karena majalah merupakan salah satu bagian dari media cetak. Maka dari itu harus dipahami terlebih dahulu teori ekonomi politik Vincent Mosco. Mengenai ekonomi politik, Mosco menawarkan beberapa definisi ekonomi politik, yang boleh dibilang yang paling berguna adalah studi tentang hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan, yang saling merupakan produksi, distribusi, dan konsumsi sumber daya. Relasi sosial yaitu relasi antara individu dan institusi sosial yang ada dalam konteks ekonomi, politik, dan budaya. Misal relasi gender, kekuasaan, dan lain-lain. Relasi kekuasaan maksudnya disini adalah kemampuan kontrol orang lain,
9
proses dan benda meski terjadi resistensi. Produksi adalah proses menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan. Dalam penelitian ini, peneliti memandang perlu melakukan penelitian mengenai fenomena jilbab gaul. Jilbab di era sekarang ini dijadikan sebuah komoditas untuk diangkat di media massa. Komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi atau ditawarkan untuk dijual. Barang-barang dan jasa ini selalu mempunyai asal-usul dan konsekuensi ideologis.11 Dalam konsep teoritik Mosco, selanjutnya dalam bukunya menjelaskan “aktivitas” ekonomi politik, yang juga merupakan entry point atau pintu masuk untuk menjelaskan fenomena ekonomi politik media atau komunikasi terdiri dari 3 bagian, yaitu: komodifikasi (commodification), spasialisasi (spatialization), dan strukturasi (structuration).12 Peneliti tertarik untuk meneliti majalah muslimah yang menyajikan jilbab gaul sehingga menjadi inspirasi banyak wanita, terutama kalangan kaum muslim yang aktif yang ingin tampil modis dengan menggunakan jilbab gaul yang dimuat dalam majalah Annisa. Alasan peneliti memilih majalah Annisa dikarenakan, pertama, sasaran pasar majalah Annisa mayoritas adalah kalangan kaum muslim yang aktif yang gemar mencari trend dalam berjilbab gaul; kedua, adanya gaya jilbab unik atau aneh yang disajikan dalam majalah Annisa tanpa sesuai dengan syariat Islam; ketiga, para model yang digunakan majalah Annisa mayoritas merupakan model asing, sehingga menimbulkan
11
Lull James, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pengantar Global (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 223. 12 “Kajian Ekonomi Politik Media” Artikel diakses pada 3 Juni 2014 dari http://indiwan.blogspot.com/2010/05/kajian-ekonomi-politik-media.html.
10
kesan lebih menarik perhatian pembaca, keempat, penulisan setiap rubrik dalam majalah Annisa menggunakan bahasa Inggris. Maka dari itu judul yang diangkat oleh peneliti adalah “Komodifikasi Isi Media terhadap Trend Berjilbab Gaul dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa”. B. Batasan dan Rumusan Masalah Untuk lebih fokus dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi masalah pada analisis semiotika foto-foto jilbab gaul dalam majalah Annisa yaitu pada rubrik fashion edisi Juni tahun 2013, karena pada edisi ini majalah Annisa menyajikan gaya jilbab yang berbeda, yaitu menggunakan top lasercut sebagai jilbab, dimana gaya jilbab ini belum pernah disajikan pada edisi sebelumnya. Kemudian untuk membatasi penggunaan teori, peneliti hanya membahas mengenai poin komodifikasi dari Vincent Mosco, khususnya komodifikasi isi media, karena peneliti ingin mengetahui bagaimana Annisa mengolah suatu barang atau jasa dari nilai guna menjadi nilai tukar. Adapun perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto-foto jilbab gaul muslimah dengan motif lasercut di rubrik fashion pada majalah Annisa edisi Juni tahun 2013? 2. Bagaimanakah komodifikasi isi media mewujudkan nilai guna ke nilai tukar di majalah Annisa?
11
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini diantaranya: 1. Mendeskripsikan makna denotasi, konotasi dan mitos pada foto-foto di rubrik fashion yang terdapat pada majalah Annisa edisi Juni tahun 2013. 2. Mendeskripsikan
latar
belakang,
proses
produksi
dan
konsumsi
kapitalisme yang berada di balik proses komodifikasi di majalah Annisa. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Akademis Penelitian ini secara akademis dapat memberikan kontribusi positif pada bidang Ilmu Komunikasi, terutama dalam konteks analisis semiotika, terutama manfaat mengetahui makna dalam sebuah tanda di media cetak yaitu dengan semiotika, serta dapat memberikan informasi kepada mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang akan menggunakan jilbab gaul yang terdapat pada rubrik fashion di majalah Annisa serta diharapkan dapat menambah pemahaman tentang proses komodifikasi jilbab gaul yang dibangun oleh majalah Annisa. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi komunikasi mengenai pembelajaran tentang pemahaman penggunaan jilbab yang syar’i, khususnya bagi mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Serta bagi media sendiri diharapkan agar memberikan
12
fashion terutama jilbab gaul namun tetap dalam aturan agama yang sebenarnya tanpa mengurangi makna di dalamnya. E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.13 Paradigma dapat dikatakan sebagai cara pandang yang digunakan untuk memahami komplesitas yang ada dalam dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam asosiasi penganut dan praktisinya, paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan juga masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan pada mereka mengenai apa yang harus melakukan pertimbangan eksistensial ataupun epistimologis yang panjang.14 Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai pesan penyampai konstruktivisme
13
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kalitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Edisi Revisi, h.49. 14 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 9.
13
menganggap subjek (komunikan) sebagai faktor central dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial.15 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian pada skripsi ini adalah pendekatan kualitatif dengan sifat deskriptif. Yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang berorientasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistic dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan.16 Pendekatan kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya
melalui
pengumpulan
data
sedalam-dalamnya.
Pendekatan ini lebih menekankan pada persoalan kedalaman (kualitas) data bukan banyaknya kuantitas data.17 3. Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah semiotika model Roland Barthes. Menurut Barthes, pada tingkat denotasi, bahasa menghadirkan konvensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit, yakni kode-kode yang makna tandanya segera naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Dan pada tingkat konotasi, bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit,
15
Mulyadi Saputra, “Paradigma Positivisme, Konstruktivisme dan Kritis dalam Komunikasi”, artikel diakses pada 22 Mei 2014 dari http://terinspirasikomunikasi.blogspot.com/2012/12/paradigma-positivisme-konstruktivisme.html. 16 Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), h. 159. 17 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikas (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. Ke-5 h. 56.
14
yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi. Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi.18 4. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. a. Observasi Observasi adalah suatu cara mengumpulkan data dengan mengambil langsung terhadap objek atau penggantinya (misal: film, rekonstruksi, video dan sejenisnya)19. Ada dua macam observasi: 1. Observasi Partisipan Observasi partisipan adalah observasi yang memungkinkan periset atau peneliti mengamati kehidupan individu atau kelompok dalam situasi riil, dimana terdapat setting yang riil tanpa dikontrol atau diatur secara sistematis seperti riset eksperimental, misalnya.20 2. Observasi Non Partisipan Observasi
non
partisipan
adalah
observasi
yang
dalam
pelaksanaannya tidak melibatkan penelitian sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti.21
18
Tommy Christomy, Semiotika Budaya (Depok: PPKB Universitas Indonesia, 2004),
h.94. 19
Nazar Bakry, Tuntunan Praktis Metodologi Penelitian (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1994), h. 36. 20 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikas (Jakarta: Kencana, 2010), h. 112. 21 Jalaludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 83.
15
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non partisipan karena peneliti hanya mengunjungi tempat penelitian, menelaah apa yang ada di sana serta tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan penelitian sebagai partisipan yang diteliti. b. Wawancara Wawancara adalah teknis dalam upaya menghimpun data yang akurat untuk keperluan melaksanakan proses pemecahan masalah tertentu yang sesuai dengan data22. Wawancara dilakukan untuk memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab terhadap salah satu nara sumber. Ada dua jenis wawancara, yaitu: 1. Wawancara Terstruktur (Structured Interview) Wawancara terstruktur adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan menggunakan pedoman wawancara, yang merupakan bentuk spesifik yang berisi instruksi yang mengarahkan peneliti dalam melakukan wawancara. Wawancara jenis ini dikenal juga sebagai wawancara sistematis atau wawancara terpimpin23. 2. Wawancara Mendalam (Depth Interview) Wawancara mendalam adalah suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan
22
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian dan Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Bhinneka Cipta, 1996), Cet. Ke-10. h. 72. 23 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana 2010), Cet. Ke-5. h. 101.
16
agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan berulang-ulang secara intensif.24 Wawancara yang digunakan oleh peneliti adalah jenis wawancara mendalam, peneliti langsung mewawancarai narasumber, yaitu Ibu Avi Budimansyah selaku Director/ Publisher di majalah Annisa dan fotografer yaitu Roy Mega Antara. c. Dokumentasi Dokumentasi adalah penelitian yang mengumpulkan, membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah atau jurnal) yang terdapat di perpustakaan. Internet atau instansi lain yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini. Peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian berupa rubrik fashion yang terdapat pada majalah Annisa. 5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis semiotika model Roland Barthes, yaitu mencari tahu makna denotasi, konotasi dan mitos yang ada pada foto-foto yang terpilih dalam rubrik fashion pada majalah Annisa edisi Juni 2013 serta menerapkan pada teori komodifikasi Vincent Mosco. Dari data yang sudah terkumpul, peneliti terlebih dahulu menyeleksi foto-foto yang ada pada rubrik fashion, karena yang akan
24
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana 2010), Cet. Ke-5. h. 102.
17
peneliti analisis hanyalah foto yang menggunakan motif lasercut pada jilbab. Setelah tahap penyeleksian foto, peneliti menemukan dua foto model asing yang menggunakan motif lasercut sebagai jilbab. Dari kedua foto inilah peneliti akan menganalisis menggunakan semiotika Roland Barthes yang mengikuti enam prosedur yang dapat memengaruhi foto, setelah dianalisis kemudian peneliti menerapkan ke teori komodifikasi Vincent Mosco. 6. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 Februari s/d 12 Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di perusahaan media massa cetak majalah Annisa yang beralamat di Jalan Pangeran Antasari No. 53 Jakarta Selatan.
Telp
(021)
72793518
fax.
(021)
72793118
website:
www.annisamagazine.com 7. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah majalah Annisa dan objek dalam penelitian ini adalah foto-foto di rubrik
fashion tentang jilbab
menggunakan motif lasercut pada majalah Annisa. 8. Pedoman Penulisan Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) CeQda Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
18
F. Tinjauan Pustaka Dalam menentukan judul penelitian ini, peneliti sudah mengadakan tinjauan pustaka ke perpustakaan yang terdapat di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Perpustakaan Utama (PU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta maupun tinjauan ke perpustakaan lain. Selain dari buku-buku yang jadi rujukan utama, data-data yang diperoleh pada penelitian ini berfokus pada jilbab yang dijadikan fashion perempuan di media massa cetak, khususnya majalah muslimah. Menurut pengamatan peneliti dari hasil observasi yang peneliti lakukan sampai saat ini, hanya menemukan: Noor Hidayati mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang berjudul ”Analisis Semiotika Terhadap Rubrik Mode Pada Majalah Ummi” yang ditulis pada tahun 2011. Pada skripsi ini membahas tentang rubrik mode yang terdapat pada majalah Ummi, pada skripsi ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce yakni membagi objeknya menjadi icon, simbol, dan index. Risqa Fadhielah mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang berjudul “Analisis Semiotika Terhadap Rubrik Busana Pada Majalah Paras” yang ditulis pada tahun 2012. Pada skripsi ini membahas tentang rubrik busana yang terdapat pada majalah Paras, pada skripsi ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce yakni membagi objeknya menjadi icon, simbol, dan index.
19
Trigustia Pusporini mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik yang berjudul “Analisis Semiotika Terhadap Rubrik Fashion Style Majalah Kawanku” yang ditulis pada tahun 2009. Pada skripsi ini membahas tentang rubrik fashion style yang terdapat pada majalah Kawanku yang diambil dari edisi No 33-2008 sampai edisi No 36-2008 menyajikan foto fashion style yang bertemakan pakaian model tahun 70-an dan pergantian musim. Yang mencoba menggali makna konotasi dan denotasi yang menggunakan teori semiotika Roland Barthes. Aldillah Oriza Sativa mahasiswi Universitas Mercu Buana Fakultas Ilmu Komunikasi yang berjudul “Efek Majalah Fashion Terhadap Perilaku Konsumtif Remaja di Universitas Mercu Buana” yang ditulis pada tahun 2013. Ericha Nur Aprilia mahasiswi Universitas Mercu Buana Fakultas Ilmu Komunikasi yang berjudul “Komodifikasi Program Variety Eat Bulaga Indonesia di SCTV” yang ditulis pada tahun 2013. Dari kelima skripsi yang diteliti tersebut, ada tiga skripsi yang samasama membahas mengenai makna dan simbol pada rubrik foto yang terdapat pada majalah muslimah dengan menggukan analisis semiotika, namun pada skripsi ketiganya hanya meneliti foto-foto yang ada pada rubrik yang berbeda disetiap majalah yang diteliti. Dan dua skripsi dengan judul dan penelitian yang berbeda, peneliti mendapatkan inspirasi dari kedua skripsi tersebut yang akhirnya menyatukan antara komodifikasi majalah dan jilbab.
20
Perbedaan pada skripsi ini, peneliti selain menggunakan analisis semiotika, juga menggunakan teori ekonomi politik media dengan proses komodifikasi. G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN: Dalam bab ini berisi tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan. BAB II KERANGKA PEMIKIRAN TEORI: Dalam bab ini membahas tentang teori yang digunakan sesuai dengan permasalahan. Teori ekonomi politik media Vincent Mosco khususnya komodifikasi isi media, tinjauan umum semiotika, teori semiotika Roland Barthes, konsep media cetak, konsep majalah, konsep jilbab, dan jilbab gaul. BAB III GAMBARAN UMUM: Dalam bab ini membahas tentang sejarah singkat majalah Annisa, rubrikasi majalah Annisa, struktur redaksi majalah Annisa. BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA: Dalam bab ini berisi tentang tanda-tanda, makna, pesan yang terdapat pada foto-foto yang terpilih dalam rubrik fashion majalah Annisa edisi Juni 2013 dengan menggunakan teori semiotika foto Roland Barthes yaitu denotatif, konotatif dan mitos serta pemaknaan komodifikasi isi media di majalah Annisa. BAB V PENUTUP: Dalam bab ini membahas mengenai kesimpulan dan saran dari penelitian ini.
BAB II LANDASAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEP A. Landasan Teori 1. Komodifikasi pada Media Istilah ekonomi politik diartikan secara sempit oleh Mosco sebagai studi tentang hubungan-hubungan sosial, khususnya hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumber-sumber produksi, distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber yang terkait dengan komunikasi. Dari pendapat Mosco di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan kekuasaan (politik) dengan kehidupan ekonomi dalam masyarakat. Dalam studi media massa, penerapan pendekatan ekonomi politik memiliki tiga konsep awal, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. 1.
Komodifikasi adalah upaya mengubah apapun menjadi komoditas atau barang dagangan sebagai alat mendapatkan keuntungan. Dalam media massa tiga hal yang saling terkait adalah isi media, jumlah audiens, dan iklan. Berita atau isi media adalah komoditas untuk menaikkan jumlah audiens atau oplah. Jumlah audiens atau oplah juga merupakan komoditas yang dapat dijual pada pengiklan. Uang yang masuk merupakan profit dan dapat digunakan untuk ekspansi media. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi.
21
22
2.
Spasialisasi adalah cara-cara mengatasi hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial. Dengan kemajuan teknologi komunikasi, jarak dan waktu bukan lagi hambatan dalam praktik ekonomi politik. Spasialisasi berhubungan dengan proses transformasi batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial. Dapat dikatakan juga bahwa spasialisasi merupakan perpanjangan institusional media melalui bentuk korporasi dan besarnya badan usaha media.
3.
Strukturasi atau penyeragaman yaitu ideologi secara terstruktur.
Komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi atau ditawarkan untuk dijual. Barang-barang dan jasa-jasa ini selalu mempunyai asal-usul dan konsekuensi ideologis.25 Komoditas terjadi dari adanya jangkauan kebutuhan yang luas, baik fisik maupun kultural dan penggunaannya dapat dijabarkan melalui berbagai cara komoditas bisa muncul dari berbagai macam kebutuhan sosial
tersebut
termasuk
didalamnya
kepuasan
jasmani
sampai
pemenuhan status dalam masyarakat. Jadi nilai pakai tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup, tetapi lebih meluas sampai kepenggunaan yang didasarkan kepada kebutuhan sosial. Sehingga komodifikasi mengacu pada proses mengubah nilai pakai menjadi nilai tukar dan beragam cara bagaimana proses ini kemudian 25
Lull James, Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), h. 223.
23
diperluas ke dalam bidang sosial dari produk komunikasi, audiens dan tenaga kerja yang selama ini mendapat sedikit perhatian. Proses komodifikasi ini menggambarkan cara kapitalisme membawa modalnya melalui perubahan nilai pakai menjadi nilai tukar.26 Adam Smith dan ekonomi klasik membedakan antara produk yang nilainya berasal dari kepuasan keinginan dan kebutuhan spesifik dari manusia yang disebut nilai pakai dan produk yang nilainya berasal dari kemampuan produk tersebut untuk ditingkatkan sebagai nilai tukar. Komoditas adalah bentuk khusus dari produk ketika produksi mereka secara terorganisisr diatur melalui proses pertukaran.27 Dalam konsep komodifikasi ini, komunikasi merupakan arena potensial
tempat
terjadinya
komodifikasi.
Hal
ini
dikarenakan
komunikasi merupakan komoditas yang sangat besar pengaruhnya karena yang terjadi bukan hanya komodifikasi untuk mendapatkan surplus value, tapi juga karena pesan yang disampaikan mengandung simbol dan citra yang bisa dimanfaatkan untuk mempertajam “kesadaran” penerima pesan.28 Terdapat dua dimensi signifikan dalam hubungan antara komodifikasi dan komunikasi: 1.
Proses dan teknologi komunikasi yang memberi kontribusi kepada proses komodifikasi secara umum sebagai satu kesatuan.
26
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal (London: Sage Publication, 1996), h. 141. 27 Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, h. 141142. 28 Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, h..134.
24
2.
Proses komodifikasi yang bekerja dalam masyarakat merasuk dalam proses sosial komodifikasi sebagai suatu praktik sosial.29
Bentuk-bentuk komodifikasi dalam komunikasi: 1.
Komodifikasi Isi Media Proses
komodifikasi
pada
komunikasi
melibatkan
perubahan pesan-pesan dari sumber data sampai sistem pemikiran dan menjadi produk ysang dapat dipasarkan. Misalnya paket produk yang dipasarkan media dengan cara pemuatan tulisan seorang penulis, artikel lain dan iklan dalam suatu paket yang bisa dijual. Dari sudut pandang modal, komodifikasi isi media dipengaruhi oleh penciptaan nilai surplus atau keuntungan. Isi media
dibuat
sedemikian
rupa
sehingga
mendatangkan
keuntungan bagi pemilik modal.30 2.
Komodifikasi Khalayak Media komodifikasi memiliki dua peran, yaitu sebagai peran langsung pencipta surplus melalui produksi dan pertukaran komoditas. Dan tidak langsung melalui periklanan dalam penciptaan nilai surplus melalui sektor lain produksi komoditas. Pengiklan juga berperan dalam menentukan isi media, sehingga menciptakan khalayak sebagai komoditas, Smythe mengambil ide-ide ini dengan pandangan yang berbeda dengan menekankan pada audiens yaitu bahwa audiens adalah komoditas utama dari
29
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal (London: Sage Publication, 1996), h..142. 30 Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal, h. 146.
25
media massa. Menurut Smythe, media massa tebentuk dari sebuah proses dimana didalamnya perusahaan media memproduksi audiens dan mengirim mereka pada pengiklan. Dalam
pandangannya,
proses
tersebut
menciptakan
hubungan yang resiprokal yang mengikat antara media, khalayak dan pengiklan. Program atau isi media digunakan untuk membentuk khalayak dan pengiklan membayar perusahaan media untuk mendapatkan akses pada khalayak ini, dengan begitu khalayak dibawa kepada pengiklan.31 3.
Komodifikasi Pekerja Pekerja
merupakan
penggerak
kegiatan
produksi.
Pemanfaatan tenaga dan pikiran mereka secara optimal dengan cara
mengkonstruksi
pikiran
mereka
tentang
bagaimana
menyenangkannya jika bekerja dalam sebuah institusi media massa, walaupun dengan upah yang tak seharusnya.32 Tiga aspek di atas merupakan “kendaraan” untuk mendekati dan memahami perspektif komodifikasi dalam industri media. Dan komodifikasi isi media dianggapnya sebagai langkah awal untuk memahami komodifikasi dalam kegiatan komunikasi.33 Komodifikasi sering kali disamakan dengan komersialisasi,
31
Vincent Mosco, The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal (London: Sage Publication, 1996), h..148. 32 “Kajian Ekonomi Politik Media” Artikel diakses pada 3 Juni 2014 dari http://indiwan.blogspot.com/2010/05/kajian-ekonomi-politik-media.html 33 Syaiful Halim, Postkomodifikasi Media and Cultural Studies (Tangerang: Matahati Production, 2012), h. 54.
26
walaupun dalam pengertiannya sedikit berbeda. Komodifikasi merujuk pada semua nilai tukar, sedangkan komersialisasi lebih merujuk pada nilai tukar ekonomi. Namun, komodifikasi dilihat sebagai kegiatan produksi dan distribusi komoditas yang memiliki daya tarik agar dapat menarik
audiens
sebanyak-banyaknya,
tanpa
mementingkan
pertimbangan konteks sosial, sehingga komodifikasi menjadi tempat dimana proses bisnis berlangsung. Dalam
penelitian
ini,
peneliti
lebih
memfokuskan
dan
menganalisis komodifikasi tentang isi media atau konten dari majalah Annisa khususnya pada rubrik fashion. 2. Tinjauan Umum Tentang Semiotika 1. Pengertian Semiotik/ Semiologi Semiologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani semion atau sign dalam bahasa Inggris, yaitu tanda. Secara singkat, semiologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda, misalnya seperti bahasa, sinyal, kode, dan sebagainya. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Secara umum, istilah semiotika atau semiotics merupakan satu kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan tanda-tanda (semi/sign). Dalam hal ini tanda-tanda yang dimaksud adalah semua hal yang
27
diciptakan dan direka sebagai bentuk penyampaian informasi yang memiliki makna tertentu. Semiotika pada dasarnya ilmu yang mempelajari atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang sesuatu sebagai tanda-tanda yang bermakna. Contohnya asap menandai adanya api, sirine mobil yang keras menandai adanya kebakaran, bila disekitar rumah kita ada tetangga yang memasang janur maka pertanda ada pernikahan, dan sebagainya. Semiotika memiliki dua tokoh utama dalam perkembangan kajiannya, yakni Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Peirce adalah filsafat ahli logika dari Amerika Serikat. Sedangkan Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum di Eropa. Menurut Charles Sanders Peirce, semiotika tidak lain dari sebuah nama logika. Semiotika Peirce bermula dari ketertarikannya untuk menyelidiki bagaimana manusia berpikir, sampai Peirce menyimpulkan bahwa semiotika tak lain adalah sinonim untuk logika. Maksudnya bahwa kita hanya dapat berpikir dengan sarana tanda. Sudah pasti tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Peirce menjelaskan logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar, penalaran itu, menurutnya dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta.
28
Kemudian semiotika menurut Ferdinand de Saussure, semiologi sebuah kajian umum tentang tanda-tanda didalam masyarakat. Semiotika merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat dapat dibayangkan ada. Ia akan menjadi bagian dari psikologis sosial dan karenanya juga bagian dari psikologis umum. Saya akan menyebutnya semiologi (dari bahasa Yunani, semion “tanda”). Semiologi akan menujukkan hal-hal yang membangun tanda-tanda dan hukum-hukum yang mengaturnya. Semiotika Saussure mengemuka dari pikiran-pikiran yang dituliskan betdasarkan pada teori kebahasaan. Saussure mengembangkan dasar-dasar teori linguistik umum. Kekhasan teorinya terletak pada kenyataan bahwa ia menganggap bahasa sebagai sistem tanda. Ia menyatakan bahwa tanda linguistik perlu menemukan tempatnya dalam sebuah teori umum, dan untuk hal ini ia mengusulkan nama semiologi. Semiologi juga sama sebagai semiotika, mulai dari metode dan analisis bahasa. Untuk menganalisis bagaimana semua sistem tanda bekerja. Mengeksplorasi dari logika dan metodelogi dibalik komunikasi, dan memperlihatkan bagaimana kita mengerti sebuah sistem melalui metode semiotik, dan maksud dari komunikasi. Difokuskan terhadap pemaknaan dan dengan jalan dimana pemaknaan akan diproduksi dan dikirimkan. Semiotika pada umumnya adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungan dengan
29
tanda-tanda lain, pengirimnya, dan penerimanya oleh mereka yang mempergunakannya. Dengan demikian istilah semiotika maupun semiologi yaitu ilmu tentang tanda-tanda (the science of sign) tanpa adanya perbedaan pengertian yang terlalu tajam. Semiologi lebih dikenal di Eropa yang mewarisi tokoh dari Ferdinand de Saussure dengan tradisi linguistiknya. Sedangkan semiotika lebih dipakai oleh para penutur bahasa di Inggris mewarisi tradisi Charles Sanders Peirce. Dalam pemikiran Peirce dikenal dengan teori segitiga makna-nya (triangel meaning). Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang terdiri dari: tanda (sign), acuan tanda (object), pengguna tanda (interpretant). Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dibenak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila elemen-elemen tersebut berinteraksi dalam bentuk seseorang, maka munculah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Contohnya, gambar rambu telepon umum. Gambarnya adalah representamen yang berhubungan dengan misalnya, sebuah kata benda didalam bahasa Indonesia, telepon mengacu pada suatu alat komunikasi berupa telepon sungguhan. Kata telepon berkedudukan sebagai sebuah representamen yang berhubungan dengan alat komunikasi jarak jauh, dengan rujukan pada objek tertentu pula. Perkataan tersebut kemudian menjadi representamen yang berhubungan dengan interpretan baru lagi,
30
misalnya handphone atau ponsel. Kemudian representamen ponsel tersebut berhubungan dengan interpretasi lain, misalnya gambar iklan telepon dan seterusnya, sambung-menyambung tanpa pernah selesai. Dalam kajian Peirce terdapat tipologi tanda yaitu, pertama adalah ikon yakni kemiripan “rupa” (resemblance), contohnya suatu peta atau lukisan, misalnya hubungan ikonik dengan objeknya sejauh diantara keduanya terdapat kesamaan atau keserupaan. Kedua adalah indeks yakni keterkaitan eksistensi diantara representasi dan objeknya. Contohnya, ketukan pintu merupakan indeks dari ada kedatangan seseorang di rumah kita. Ketiga adalah simbol yang merupakan tanda yang bersifat abriter (semena-mena atau semaunya) dan konvensional berupa kesepakatan. Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah simbol-simbol. Misalnya rambu lalu lintas yang hanya berupa garis putih melintang di atas latar belakang merah. Pemaknaannya garis putih maupun bidang merah yang menjadi latar belakangnya adalah sebuah tanda arbiter yang berdasarkan konvensi atau kesepakatan. Menurut pandangan Saussure tentang tanda sangat berbeda dengan pandangan para ahli linguistik di zamannya. Saussure justru menyerang pemahaman historis terhadap bahasa yang dikembangkan pada abad ke-19.34 Menurutnya, definisi tanda linguistik merupakan entitas dua sisi yang bersifat arbiter (semena-mena atau semaunya).
34
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), h. 15
31
Sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier), dan sisi kedua dari tanda yaitu sisi yang diwakili secara material oleh penanda, disebut juga sebagai petanda (signified). Unsur penanda (signifier) merupakan aspek material tanda yang bersifat sensoris yang dapat diindrai (sensible). Dengan kata lain penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sementara petanda (signified) adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep, merupakan aspek mental dari tanda-tanda yang biasa disebut juga sebagai “konsep”, yakni konsepkonsep ide didalam benak penutur. Misalnya, gambar ayam, maka signifiernya adalah ayam tulisan “a-y-a-m”, berkokok (aspek material dari bahasa yang dikatakan, didengar, ditulis dan dibaca). Sedangkan signifiednya adalah berkaki dua, berbulu, berjengger (segala bentuk dan konsep dari ayam). Kedua elemen di atas tidak dapat dipisahkan karena saling menyatu dan tergantung satu sama lain. Walaupun penanda dan petanda dapat dibedakan, namun praktiknya tidak dapat dipisahkan. Tiada penanda tanpa petanda, tiada petanda tanpa penanda. Kombinasi dari suatu konsep dan suatu citra-bunyi inilah yang kemudian menghasilkan tanda khususnya didalam bahasa, tanda-tanda memiliki dua karakteristik primordial, yakni linear dan arbiter. Karakteristik pertama, linearitas penanda berkaitan dengan dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda kebahasaan harus diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak
32
mungkin secara sekaligus atau simultan. Karakteritik kedua, kearbiteran tanda bersangkutan dengan relasi diantara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan konvensi atau kesepakatan. Pada dasarnya para semiotikus melihat kehidupan sosial dan budaya sebagai pemaknaan, bukan sebagai hakikat esensial objek. Charles Morris memudahkan kita dalam memahami ruang lingkup kajian semiotika yang menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurutnya, kajian semiotika pada dasarnya terbagi menjadi tiga cabang penyelidikan (Branches of inquiry) yakni, sintaktik atau sintaksis, suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara suatu tanda dengan tanda-tanda lain”, dengan perkataan lain, karena hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengertian sintaktik kurang lebih adalah gramatika. 2. Semiotika Roland Barthes Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentukbentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland
Barthes
meneruskan
pemikiran
tersebut
dengan
menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan
33
konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan order of signification, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun tetap mempergunakan istilah signifiersignified yang diusung Saussure. Tanda bekerja di dua tingkatan dari pemaknaan denotasi dan konotasi. Definisi denotasi menurut Barthes adalah sistem signifikansi tingkat pertama. Jelasnya tingkatan tanda mengkomunikasikan dan mengacu kepada pemaknaan dari tanda yang masuk akal. Makna denotasi dapat diekspresikan dengan cara mendeskripsikan tanda dengan benar.35 Jadi tanda-tanda pada tataan pertama ini hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan dengan petanda-petanda pada tataran kedua. Denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya, bahkan kadang kala dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikansi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi yang biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Denotasi
merupakan
tingkat
pertandaan hubungan antara
penandaan dan petanda antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna sesungguhnya. Sesuatu hal yang disepakati bersama secara general dan universal. Misalnya, kerudung yang berarti 35
Michael O‟Shaughnessy and Jane Stadler, Media and Society (New York: Oxford, 1991), h. 115.
34
sebagai penutup aurat, penutup kepala, berwarna hitam, berbentuk segi empat. Sedangkan pengertian dari konotasi adalah tataran signifikansi tingkat kedua, konotasi mengacu pada emosi, nilai dan asosiasi yang menimbulkan tanda kepada para pembaca, penonton, atau pendengar. Makna konotasi dari tanda yang dapat diekspresikan dengan cepat melalui catatan atau pengalaman atau kenangan yang dibayangkan.36 Konotasi merupakan hubungan antara penanda dan petanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung. Konotasi adalah istilah signifikansi tahap kedua yang digunakan Barthes. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca dan nilai-nilai dari kebudayaan.
Makna
konotasi
adalah
bagaimana
cara
menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Contohnya, makna dibalik kerudung yang berarti identitas, kesucian dan harga diri. Konotasi identik dengan ideologi, yang disebutnya mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam periode tertentu. Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena ada hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif yang terjadi secara termotivasi.37 Ia juga memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang 36
Michael O‟Shaughnessy and Jane Stadler, Media and Society (New York: Oxford, 1991), h. 116. 37 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003), h. 71.
35
hidup di dunia tidak nyata atau imajiner dan ideal, walaupun kenyataan hidup yang sesungguhnya tidak demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada, itulah sebabnya Barthes menjelaskan berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya, misalnya seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain sebagainya. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu mitos yang menandai suatu masyarakat. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos. Mitos merupakan sesuatu yang dianggap alamiah, bersifat konvensional. Mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Didalam mitos terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda. Mitos juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Pada signifikansi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos primitif, misalnya mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan
36
atau memahami sesuatu. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan dan kesuksesan. 38 Mitos adalah suatu wahana ideologi berwujud.39 Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Sedangkan Van Zoest (1991) menegaskan, siapa pun menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya. Dalam pandangan Umar Yunus, mitos tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan oleh karenanya lebih baik hidup dalam masyarakat.40 Misalnya, ia mungkin hidup dalam gosip kemudian ia mungkin dibuktikan dengan tindakan nyata. Sikap kita terhadap sesuatu ditemukan oleh mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap suatu hal yang dinyatakan dalam mitos. Setiap tipe tuturan, entah berupa sesuatu yang tertulis atau sekedar representasi, verbal atau visual, secara potensial dapat menjadi mitos.41 Artinya, tidak hanya wacana tertulis yang dapat kita baca sebagai mitos, melainkan juga fotografi, film, pertunjukan, bahkan olah raga dan makanan. Contohnya, di sebuah cover majalah tampak foto seorang Negro muda yang mengenakan seragam serdadu Prancis. 38
John Fiske, Introduction to Communication Studie (London: Second Edition, 1990), h.
88. 39
Van Zoest dalam Alex Sobur, Analisis Teks Media (London: Second Edition), h. 88. Umar Yunus, Mitos dan Komunikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), h. 74. 41 Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), h. 41. 40
37
Pada tataran pertama, kita dapat mengidentifikasi setiap penanda didalam citra tersebut ke dalam konsep-konsep yang setepat mungkin, misalnya seorang serdadu, pakaian seragam, lengan yang diangkat, mata yang menatap ke atas dan sebuah bendera Prancis. Pada tataran kedua, (tataran konotasi atau mitos), citra ini memberikan makna: bahwa Prancis adalah sebuah bangsa yang besar, dengan segenap putranya yang tanpa diskriminasi ras sedikit pun setia di bawah lindungan benderanya. Pada tataran konotasi ini penandapenandanya menunjuk kepada seperangkat petanda atau fragmen ideologi tertentu, yakni campuran dari imperialitas Prancis dan kemiliteran. Contoh lain adalah pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, pohon beringin yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah mitos. Pendekatan semiotik Roland Barthes secara khusus tertuju kepada sejenis tuturan (speech) yang disebutnya sebagai mitos.42 Menurutnya, bahwa membutuhkan kondisi tertentu untuk dapat menjadi mitos, yaitu dicirikan oleh hadirnya tataran signifikansi yang disebut sebagai sistem semiologi tingkat kedua. Penanda-penanda berhubungan dengan petanda-
42
Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), h.38.
38
petanda kemudian menghasilkan tanda. Pada tataran signifikansi lapis kedua inilah mitos terlahir. Aspek material mitos, yaitu penanda-penanda pada tataran kedua sistem semiologi itu, dapat disebut sebagai retorik atau konator-konator yang tersusun dari tanda-tanda pada sistem pertama, sementara petanda-petandanya sendiri dapat dinamakan sebagai fragmen ideologi. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif, karena salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah satu dalam mengartikan makna suatu tanda. Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja43: 1. Signifier
2. Signified
(penanda)
(petanda)
3. Denotative Sign (tanda denotative) 4. Connotative Signifier
5. Connotative Signified
(penanda konotatif)
(petanda konotatif)
6. Connotative Sign (tanda konotatif) Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes
43
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h. 69.
39
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material, hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
yang
melandasi
keberadaannya.
Sesungguhnya
inilah
sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif. Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat ke-dua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna, dan dengan demikian sensor atau represi politisi. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi bersifat opresif ini, Barthes mencoba
40
menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang hanya adalah konotasi semata-mata. 3. Semiotika Foto Roland Barthes Foto bisa bersifat secara subjektif, setiap orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengartikan makna pada sebuah foto, sangat minim kemungkinannya dari dua orang yang berbeda memiliki detail pemikiran yang sama persis terhadap satu foto, dan suatu foto secara umum atau garis besar pasti akan memberikan satu makna tertentu. Artinya, sekaya apapun variasi interpretasi makna yang dihasilkan oleh khalayak tapi secara umum menuju ke satu fisik dan kesimpulan yang sama. Foto sebagai petanda atau signifier memberikan makna melalui orang, benda atau situasi dalam foto itu sendiri. Dalam hal ini segala sesuatu yang menjadi pusat perhatian dalam foto itu bisa dan akan mengambil alih realitas seperti yang sebenarnya dan tergantung pada maknanya. Orang benda, atau situasi dalam foto itu sangat berkaitan dengan tanda, yaitu korelasi original yang diterjemahkan kepada kita dan orang, benda, atau situasi itu menjadi tanda atau sign itu sendiri.44 Sebuah tanda atau sign menggantikan sesuatu untuk seseorang. Dia hanya bermakna jika dia memiliki seseorang yang mengartikannya. Meskipun demikian, semua tanda bergantung dari proses pemaknaannya dari keberadaan khalayak yang spesifik dan konkret, yaitu mereka yang 44
Judit Williams, Decoding Adwertisments: Ideology (London: Camelot Press, 1985), h.
35.
41
memperoleh dan menghasilkan semua sistem nilai dan kepercayaan. Dalam The Photographic Message, Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto, yaitu perseptif, kognitif, dan etis ideologis.45 Pertama, tahap perseptif terjadi ketika seseorang mencoba melakukan transformasi gambar ke kategori verbal, jadi semacam verbalisasi gambar. Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi sintagnatik yang pada dasarnya bersifat perspektif (forsee). Kedua, konotasi kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan beberapa signifier yang dikalimatkan. Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa di atas membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes menyebut signifier pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified dengan sebutan ideologi. Ini dibangun dengan imajinasi simbolik. Ketiga, tahap ini tidak menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Kita akan mencari objektivitas pesan foto melalui prosedur yang dapat diamati dan diukur.46 Dalam The Photographic Message Barthes juga menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk memengaruhi gambar sebagai analogon. Keenam langkah tersebut dapat dipandang sebagai kegiatan menulis karena pada hakikatnya lewat prosedur tersebut seorang fotografer dapat menentukan berbagai unsur tanda, hubungan, dan lain-
45
ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 187. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 187.
46
42
lain yang menjadi pertimbangan utama ketika orang membaca bahasa gambar tersebut. Pada bahasan ini, Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra, khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto. Prosedur-prosedur ini terbagi dalam dua bagian besar. Pertama, konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri. Maksudnya manipulasi atau rekayasa yang secara langsung dapat memengaruhi realitas atau kenyataan itu sendiri. Dalam hal ini dibagi lagi menjadi tiga bagian yaitu:47 Trick effect (efek tiruan) adalah gambar hasil rekayasa foto atau gambar yang sengaja dibuat berlebihan dalam menyampaikan tujuan pembuatan berita. Efek tiruan merupakan intervensi “without warning in the plane of denotation” artinya memanipulasi gambar sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan maksud pembuat berita. Selanjutnya, pose (sikap) adalah gaya, posisi, ekspresi dan sikap objek foto. Dalam mengambil foto berita seseorang, seorang wartawan foto akan memilih objek yang sedang diambil. Kemudian, objects (objek) adalah pemilihan dari objek itu sendiri untuk menentukan point of interest (POI) dari sebuah foto. Objek ini ibarat perbendaharaan kata yang siap dimasukkan ke dalam sebuah kalimat.
47
Jonathan Bignell, Media Semiotics an Introduction (USA: Manchester University Press, 1997), h. 99-102.
43
Bagian yang kedua adalah konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis foto yang meliputi, photogenia (fotogenia) yakni cara atau teknik dalam pengambilan foto atau gambar. Misalnya, lighting (pencahayaan), exposure (ketajaman foto), bluring (keburaman), panning (efek kecepatan), moving (efek gerak), freeze (efek beku), angle (sudut pandang pengambilan objek). Selanjutnya, aestheticism (estetisme) yaitu format atau gambar estetika foto secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi, contohnya komposisi dari sebuah foto. Terakhir adalah syntax (sintaksis), yaitu susunan kalimat yang bercerita atau caption dari isi foto untuk memberikan keterangan pada foto atau gambar yang dapat membatasi dan menimbulkan makna konotasi.
3. Kerangka Konsep a. Media Cetak Secara harfiah pengertian media cetak bisa diartikan sebagai sebuah media penyampai informasi yang memiliki manfaat dan terkait dengan kepentingan rakyat banyak, yang disampaikan secara tertulis. Dengan demikian yang dimaksud media cetak meliputi surat kabar, majalah, serta segala macam barang cetakan yang ditujukan untuk menyebarluaskan pesan-pesan komunikasi. Sementara dalam kutipan
44
Ronald H. Aderson media cetak berarti bahan bacaan yang diproduksi secara profesional seperti buku, majalah, dan buku petunjuk.48 Media
cetak
mempunyai
makna
sebuah
media
yang
menggunakan bahan dasar kertas atau kain untuk menyampaikan pesanpesannya. Unsur-unsur utama adalah tulisan atau teks, gambar visualisasi atau keduanya. Media cetak ini bisa dibuat untuk membantu fasilitator melakukan komunikasi interpersonal saat pelatihan atau kegiatan kelompok. Media ini juga bisa dijadikan sebagai bahan referensi atau bahan bacaan atau menjadi media instruksional atau mengkomunikasikan teknologi baru dan cara-cara melakukan sesuatu (leaflet, brosur, buklet). Bisa
juga
mengkomunikasikan
perhatian
dan
peringatan
serta
mengkampanyekan suatu isu (poster) dan menjadi media ekspresi dan karya personal (poster, gambar, kartun, komik).49 Saat ini media cetak mengalami perkembangan. Perusahaan media cetak mulai banyak yang berdiri dan melebarkan pemasarannya sampai pedesaan. Orang-orang yang berada jauh dari perkotaan dapat menikmati media cetak tersebut. Jenisnya pun menjadi bermacam-macam. Mulai dari koran harian sampai bulanan, tabloid, majalah, dan buletin. Informasi yang diberikan pun bukan hanya sekadar tentang politik atau ekonomi yang sedang
48
Ronald H.Anderson, Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 161. 49 Artikel diakses pada tanggal 5 Juni 2014 dari http://media.diknas.go.id/media/document/3537. pdf.
45
terjadi, tapi juga ada bidang hiburannya yang tercantum dalam media tersebut. Konsumen media cetak ini pun bukannya hanya dari kalangan ekonomi menengah ke atas saja, tapi kalangan ekonomi menengah ke bawah juga sudah dapat menikmati informasi dari media cetak tersebut. Harga yang terjangkau oleh semua kalangan tersebut, membuat semua kalangan mampu untuk membeli dan menikmati informasi yang diberikan oleh media tersebut. Jenis media cetak pun sudah bermacam-macam. Semua usia mempunyai media cetak masing-masing. Dari anak-anak sampai orang tua pun punya jenisnya. Media cetak berupa tabloid merupakan media informasi yang dikonsumsi oleh kalangan anak-anak dan remaja. Media cetak juga berusaha mengajak khalayak untuk membaca informasi yang dibutuhkan. Media cetak berusaha menarik minat baca khalayak untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan oleh berita-berita yang dimuatnya, sesuai dengan fungsi media cetak, yaitu menyebarkan informasi, mendidik,menghibur dan kontrol sosial.50
c.
Majalah Majalah adalah sebuah media publikasi atau terbitan secara
berkala yang memuat artikel-artikel dari berbagai penulis. Selain memuat artikel, majalah juga merupakan publikasi yang berisi cerita pendek, 50
Onong Uchjana, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya, 1992), h.
92.
46
gambar, review, ilustrasi atau feature lainnya yang mewarnai isi dari majalah. Majalah tidak hanya soal waktu terbit dan bentuknya saja, melainkan juga isinya. Kalau koran lebih banyak berisi berita kejadian aktual, ulasan berita, kolom opini, dan informasi yang bersifat penerangan. Maka majalah lebih banyak berisi feature penyuluhan, artikel masalah, pendirian penulisnya, cerita kocak, laporan hasil penyelidikan, sajak dan jenis-jenis kesusastraan lainnya, seringkali disertai foto dan ilustrasi.51 Oleh karena itu, majalah dijadikan salah satu pusat informasi bacaan yang sering dijadikan bahan rujukan oleh para pembaca dalam mencari sesuatu hal yang diinginkannya. Eksistensi majalah muncul karena kebutuhan masyarakat akan informasi beragam yang sesuai dengan gaya hidup masyarakat saat ini. Maka tak heran banyak berbagai ragam majalah beredar saat ini, yang disesuaikan dengan segmentasinya. Majalah dapat dibedakan menurut pembaca pada umumnya atau kelompok pembaca yang menjadi target pasarnya, yakni majalah dapat diklasifikasikan menurut segmen demografis (usia atau jenis kelamin), ataupun pembedaan secara psikografis, dan geografis atau dapat dilihat dari segi kebijakan editorialnya. Sebagai contoh untuk majalah yang terbitnya berdasarkan keadaaan
demografis,
misalnya
majalah
Gadis,
majalah
yang
diperuntukkan untuk wanita. Sedangkan majalah yang berdasarkan pengelompokan geografis (wilayah), misalnya: 51
majalah sekolah.
Slamet Suseno, Teknik Penulisan Ilmu Popular, Kiat Menulis Non-Fiksi Untuk Majalah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 7.
47
Berbagai bahasan artikel informasi yang diulas dalam majalah-majalah tersebut tentunya disesuaikan dengan karakter dan gaya bahasa target audiensnya, begitu pula dengan gaya pendekatan dalam hal tampilan atau desain majalahnya. Menurut Dominick, klasifikasi majalah dibagi ke dalam lima kategori utama, yaitu52: 1. General Consumer Konsumen majalah ini siapa saja. Mereka dapat membeli majalah tersebut di sudut-sudut, outlet, mall, supermall, atau toko buku lokal. Majalah konsumen umum ini menyajikan informasi tentang produk dan jasa yang diiklankan pada halaman tertentu. 2. Business Publication Majalah-majalah bisnis (disebut juga trade publication) melayani secara khusus informasi bisnis, industri atau profesi. Media ini tidak dijual di mall, atau supermall, pembacanya terbatas pada kaum profesional atau pelaku bisnis. Produk-produk yang diiklankan umumnya hanya dibeli oleh organisasi bisnis atau kaum profesional. 3. Literacy Reviews and Academic Journal Terdapat nama ribuan majalah kritik sastra dan majalah ilmiah, yang pada umumnya memiliki sirkulasi di bawah 10 ribu, dan banyak diterbitkan oleh organisasi-organisasi nonprofit, universitas, yayasan
52
Elvinaro Ardianto, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. (Bandung: Simbiosa Rekatama Media), 2007.
48
atau organisasi profesional. Mereka menerbitkan empat edisi atau kurang dari itu setiap tahunnya, dan kebanyakan tidak menerima iklan. 4. Newsletter Media ini dipublikasikan dengan bentuk khusus, 4-8 halaman dengan perwajahan khusus pula. Media ini didistribusikan secara gratis atau dijual secara berlangganan. Belakangan penerbitan newsletter telah menjadi lahan bisnis besar. 5. Public Relations Magazines Majalah public relations ini diterbitkan oleh perusahaan, dan dirancang untuk sirkulasi pada karyawan perusahaan, agen, pelanggan, dan pemegang saham. Jenis publikasi penerbitan ini berbeda sedikit dengan periklanan, kendati menjadi bagian dari promo organisasi atau perusahaan yang mensponsori penerbitan. Didalam suatu majalah terkandung banyak elemen-elemen grafis seperti gambar, tipografi, warna, ilustrasi dan elemen lainnya yang dimana hal itu untuk memperindah isi majalah dan untuk menarik perhatian masyarakat untuk membacanya. Majalah juga harus memiliki konsep atau target segmentasi yang jelas dan sesuatu hal yang berbeda dengan majalah lainnya. Agar dapat terlihat oleh masyarakat memiliki ciri khas serta keunggulan dari majalah-majalah pesaing. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, saat ini majalah tidak hanya terbatas dijual bebas di toko-toko atau kios-kios buku yang dibuat
49
oleh suatu perusahaan untuk masyarakat umum, namun suatu organisasi juga dapat menerbitkan majalahnya sendiri apabila kebutuhan informasi tentang lingkup organisasi tersebut dirasa perlu.53 Terdapat beberapa karakteristik mengenai majalah, yaitu: 1. Penyajian lebih lama Frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan, selebihnya dwi mingguan, bahkan bulanan. Majalah berita biasanya terbit mingguan, sehingga para reporternya punya waktu yang cukup lama untuk memahami dan mempelajari suatu peristiwa. Kuncinya adalah berita-berita dalam majalah disajikan lebih lengkap, karena dibubuhi latar belakang peristiwa. Unsur why dikemukakan secara lengkap. Peristiwanya
atau
proses
terjadinya
peristiwa
(unsur
how)
dikemukakan secara kronologis. 2. Nilai aktualitas lebih lama Apabila nilai aktualitas surat kabar hanya berumur satu hari, maka nilai aktualitas majalah bisa satu minggu. Sebagai contoh, kita akan menganggap usang surat kabar kemarin atau dua hari yang lalu bila kita baca saat ini. Akan tetapi, beda dengan majalah. Majalah tidak akan dianggap usang jika terbit dua atau tiga hari yang lalu. Sebagaimana dialami bersama, bahwa dalam membaca majalah tidak pernah tuntas sekaligus. Pada hari pertama mungkin hanya membaca
53
“Definisi Majalah”. Artikel diakses pada 10 Juni 2014 dari http://rahdinalspaceart.blogspot.com/2011/11/definisi-majalah-majalahadalah-sebuah.html?m=1
50
topik yang disenangi atau yang relevan dengan profesi, hari esok dan seterusnya membaca topik yang lain sebagai referensi.54 3. Gambar atau foto lebih banyak Jumlah halaman majalah lebih banyak, sehingga penyajian beritanya yang mendalam, majalah juga dapat menampilkan gambar atau foto yang lengkap, dengan ukuran besar dan kadang-kadang berwarna, serta kualitas kertas yang dipilihkannya pun lebih baik. Foto-foto yang ditampilkan memiliki daya tarik tersendiri, apalagi apabila foto tersebut bersifat eksklusif. 4. Cover sebagai daya tarik Disamping foto, cover atau sampul majalah juga memberikan daya tarik tersendiri. Cover ibarat pakaian dan aksesorisnya pada manusia. Cover majalah biasanya menggunakan kertas dan warna yang bagus dengan gambar dan warna yang menjajikan. Menarik tidaknya cover suatu majalah sangat bergantung pada tipe majalahnya, serta konsistensi dalam menampilkan ciri khasnya. Majalah bernafaskan Islam, khususnya yang ada di Indonesia telah berkembang sebelum kemerdekaan. Majalah-majalah tersebut muncul dengan tujuan mencoba menyebarkan gagasan modernisasi di kalangan umat Islam, menyebarkan semangat pembaharuan Islam, juga menyuarakan perjuangannya melawan kekuasaan kolonial dan pengaruh
54
Elvinarno Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Edisi Revisi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 121.
51
asing.55 Selain itu majalah Islam juga menjadi media penyebaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan untuk dakwah dan pembangunan umat.56 Kebutuhan kaum
muslim
akan informasi
dan semangat
pembaharu Islam membuat majalah-majalah Islam terus bermunculan sampai pada era Orde Baru. Pembangunan Orde Baru yang telah mendorong proses intelektualisasi yang pasif dan melahirkan kelas menengah terpelajar di Indonesia, dimana mayoritas adalah berasal dari kalangan santri atau muslim, ikut mempengaruhi muncul dan berkembangnya media massa seperti majalah dengan kualitas yang lebih baik.57 Pada perkembangan
sampai saat ini majalah Islam semakin
beragam, kini majalah Islam bermunculan untuk kalangan yang lebih khusus, yaitu ditujukan untuk kaum perempuan. Majalah seperti Femina dan Kartini adalah contoh dari majalah yang didesain untuk kaum wanita. Dengan perkembangan umat Islam seperti yang dijelaskan di atas, bermunculan pula majalah yang dikonsep untuk perempuan muslim, seperti Paras, Noor, Hijabella. Juga majalah Annisa.
d.
Jilbab Berdasarkan konteks pemakaian dan pengertiannya, kata jilbab
berasal dari bahasa Arab, Jalaba yang maknanya menutup sesuatu dengan 55
Kurniawan Djunaedhi, Rahasia Dapur Majalah Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1995), h. 307. 56 Djunaedhi, Rahasia Dapur Majalah Indonesia, h. 311. 57 M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 120.
52
sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat auratnya. Para ulama berbeda pendapat tentang pengertian jilbab. Ada yang mengatakan jilbab itu mirip rida' (sorban). Ada juga yang mengatakan kerudung yang lebih besar dari khimar (selendang). Sebagian lagi mengartikan dengan gina', yaitu penutup muka atau kerudung lebar. Muhammad Said Al - Asymawi menyimpulkan bahwa jilbab adalah gaun longgar yang menutupi sekujur tubuh perempuan. Jilbab pada prinsipnya adalah untuk mengendalikan diri dari dorongan nafsu (syahwat) dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Perempuan beriman tentu saja akan memilih busana sederhana dan tidak berlebihan sehingga menimbulkan perhatian publik dan tidak untuk pamer (riya'). Di lndonesia pemakaian jilbab pada perempuan muslimah bukan hal yang aneh karena mayoritas penduduk lndonesia beragama lslam. Setiap perempuan muslimah Indonesia memiliki pemahaman tersendiri mengenai arti jilbab. Ada yang menganggap jilbab sebagai penutup kepala dan ada juga yang menganggap jilbab itu sebagai pakaian komplit. Pengertian
jilbab
berbeda
dengan
kerudung.
Kerudung
merupakan kain yang digunakan untuk menutupi kepala, leher, hingga dada, sedangkan jilbab meliputi keseluruhan pakaian yang menutup mulai dari kepala sampai kaki, kecuali muka dan telapak tangan hingga
53
pergelangan tangan. Sehingga seseorang yang mengenakan jilbab pasti berkerudung tetapi orang yang berkerudung belum tentu berjilbab.58 Para perancang mode boleh saja mengatakan bahwa hasil rancangannya adalah jilbab, tetapi jika hal itu tidak memenuhi syariat sebagaimana yang diperintahkan Allah, maka itu bukanlah jilbab. Karena dalam Islam, suatu pakaian disebut jilbab jika memenuhi syarat yang telah ditentukan, diantaranya59 menutup seluruh badan selain yang dikecualikan, bukan berfungsi sebagai perhiasan, kainnya harus tebal (tidak tipis), harus longgar (tidak ketat) sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya, dan tidak menyerupai laki-laki. Namun pada saat ini, mayoritas perempuan muslimah lebih memahami pengertian jilbab adalah sama dengan kerudung atau hijab, yaitu berfungsi hanya untuk menutupi kepala, leher dan dada. Bahkan jilbab yang digunakan pada saat ini adalah jilbab yang jauh dari ketentuan-ketentuan ajaran agama Islam, atau lebih dikenal dengan sebutan jilbab gaul. Seorang muslimah adalah seorang wanita yang mengaku dirinya beriman kepada Allah dan keimanannya itu diyakini dalam hati, diikrarkan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan sehari-hari. Dan pengamalan dari keimanan ini adalah dengan menjalankan perintahperintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mengenakan jilbab 58
“Hukum Memakai Jilbab Menurut Islam”, Artikel diakses pada 3 Juni 2014 dari http://mmn-dot-org.blogspot.com/2013/05/hukum-memakai-jilbab-menurut-islam-jilbabmmn.html?m=1. 59 “Kriteria Jilbab Menurut Al-Qur‟an” Artikel diakses pada 31 Januari 2014 dari http:// efrialdy.wordpress.com/2009/08/13/kriteria-jilbab-menurut-al-qur%E2%80%99an-dan-as-sunnah/
54
bagi seorang wanita merupakan suatu perintah dari Allah SWT. dan hukumnya adalah wajib yang bila dikerjakan berpahala dan bila ditinggalkan berdosa. Allah SWT. mewajibkan wanita beriman untuk mengenakan jilbabnya atau kerudungnya, kecuali kepada orang-orang tertentu. Melalui Al-Qur‟an Islam mengajarkan bahwa tujuan utama berbusana, termasuk etika berjilbab bagi perempuan adalah semata-mata untuk mengekspresikan ketakwaan. “Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudahmudahan mereka ingat. (Q.S. Al-A‟raf, 7:26). Dan mempertegas jati diri agar terhindar dari tindakan tak senonoh kaum laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sesuai dengan firman Allah SWT.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,.......... (Q.S. An-Nur, 24:31).
55
e. Jilbab Gaul Seiring dengan semakin maraknya penggunaan jilbab dikalangan wanita muslimah, mulai terjadi pergeseran makna jilbab itu sendiri. Para muslimah yang latah berjilbab tanpa mengetahui hukum jilbab dan aturanaturan Syariahnya, menjadi trendsetter penggunaan jilbab yang lebih mengarah pada tujuan mode. Inilah yang dikenal dengan fenomena jilbab gaul. Jilbab gaul dicirikan dengan pakaian ketat, transparan dan membentuk lekuk tubuh. Kerudung yang digunakan tidak menutupi dada dan ujungnya diikat ke belakang. Pengguna jilbab gaul biasanya juga melengkapi penampilannya dengan dandanan menor, wewangian serta aksesoris yang mencolok. Yang menjadi acuan utama dalam memakai jilbab gaul ini bahwa mereka ingin menghilangkan pandangan lama yang dianggap kurang memihak pada para pemakai jilbab60. Berikut adalah ciri-ciri jilbab gaul61: 1. Jilbab gaul tidak menutup aurat secara sempurna (hanya “membungkus” aurat). Aurat wanita adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan. Namun, banyak dari busana muslimah saat ini, tidak menutupi aurat secara keseluruhan. Masih ada saja celah-celah yang menampakkan aurat. Di antaranya masih ada yang menampakkan leher, lengan, tangan, kaki. Padahal jilbab syar‟i adalah yang menutup aurat secara sempurna, kecuali muka dan telapak tangan saja.
60
“Dibalik Pesona Jilbab Gaul”, artikel diakses ada 3 September 2014 dari www.Anneahira.Com/Pesona-Jilbab-Htm 61 Ust. Abu Rufaid Agus Suseno, Lc “Dosa Dibalik Jilbab Gaul”, artikel diakses pada 3 September 2014 dari https://www.facebook.com/jilbabkujilbabsyari/posts/527685580621492
56
Dari Abu Dawud, dari Aisyah berkata, bahwa Asma suatu kali mendatangi Rasulullah dengan mengenakan pakaian tipis lalu Rasulullah berkata kepadanya,
ٌا أسواء إى الوسأة إذ بلغث الوحٍض لن جصلح أى ٌسي هٌها إال هرا وهرا وأشاز إلى وجهه وكفٍه ”Wahai Asma’, wanita yang telah haid (maksudnya telah baligh), tidak boleh terlihat darinya kecuali ini, beliau mengisyaratkan ke mukanya dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud no. 4104). 2. Jilbab gaul tipis dan transparan Menutup aurat tidak mungkin terwujud dengan pakaian tipis dan transparan, justru dengan pakaian tipis, akan menambah fitnah dan menjadi hiasan bagi kaum wanita. Karenanya Nabi SAW bersabda, ”Dua golongan dari ahli Neraka yang tidak pernah aku lihat: seseorang membawa cambuk seperti ekor sapi yang dia memukul orang-orang, dan perempuan
yang
berpakaian
tapi
telanjang,
berlenggak-lenggok,
kepalanya bagai punuk onta yang bergoyang. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya,sekalipun ia bisa didapatkan sejauh perjalanan sekian dan sekian” (HR.Muslim). Ibnu Abdil Barr mengatakan, ”Makna „kasiyatun „ariyatun‟ (berpakaian tapi telanjang) adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutup dengan sempurna). Mereka berpakaian, namun hakikatnya mereka telanjang.”62
62
Jilbab Mar‟ah Mudlimah h. 125-126
57
3. Jilbab gaul ketat Memakai jilbab itu bertujuan menghindari fitnah, dan hal ini tak mungkin terwujud dengan memakai pakaian ketat. Meskipun terkadang pakaian ini menutupi warna kulit, namun pakaian seperti ini menampakkan sebagian bahkan seluruh lekuk tubuh. 4. Jilbab gaul berparfum Padahal Nabi SAW menegaskan,
ٌحهَا فَ ِه ًَ شَ اًٍَِة ِ أٌَُّ َوا اه َسأَة اسحَعطَ َست فَ َوسَّت َعلَى قَىم لٍَِ ِج ُدوا ِهي ِز ”Tidaklah seorang wanita memakai minyak wangi lalu keluar melewati sebuah kaum supaya mereka mencium parfumnya, maka sesungguhnya wanita itu adalah pezina.” (HR.Ahmad). 5. Jilbab gaul menyerupai wanita-wanita kafir Biasanya jilbab gaul mengikuti mode yang sedang berkembang di dunia barat kemudian dipoles sedikit dengan nuansa Islami, belum lagi dengan model yang sedang ngetrend yang menyerupai biarawati Nasrani. 6. Jilbab gaul menarik perhatian kaum lelaki Diantara tujuan jilbab adalah melindungi diri dari godaan lelaki dan menghindar dari fitnah, namun jilbab gaul justru malah menarik perhatian kaum lelaki. Bagaimana mungkin jilbab justru menarik perhatian kaum lelaki? Hal ini disebabkan, jilbab gaul berwarna warni dan dihiasi berbagai macam motif. Syaikh al Albani menegaskan, “Tujuan disyari‟atkannya memakai jilbab adalah untuk menutup perhiasan wanita, maka tidak masuk akal jika seorang wanita muslim memakai jilbab yang penuh motif & hiasan”.
BAB III GAMBARAN UMUM MAJALAH ANNISA
A. Gambaran Umum Majalah Annisa Annisa merupakan majalah yang diperuntukan bagi perempuan, kehadirannya disesuaikan dengan perkembangan zaman melalui representasi muslimah dalam sajian-sajiannya. Annisa menghadirkan informasi yang mencakup semua aspek kehidupan muslimah modern sesuai dengan tren lokal dan global, masih dalam nilai dan identitas Islam. Annisa terbit pertama kali pada tanggal 28 November 2011. Terhitung dari terbit pertama kali, berarti sampai saat ini Annisa sudah berusia 2,5 tahun. Dilihat dari edisi November tahun 2012 majalah Annisa memperingati hari jadinya dalam edisi tersebut. Nama Annisa terlahir setelah melalui beberapa tahap penyesuaian dan penyeleksian. Sebelumnya ada beberapa pilihan nama yang akan ditetapkan, diantaranya ada Noura, Aisya, Aisah dan Annisa. Setelah melalui proses dan tahap penyeleksian, akhirnya Annisa ditetapkan sebagai nama majalah ini dengan alasan karena mengingat konsep yang diusung mengenai fashion lebih banyak dan memang majalah Annisa tujuannya diperuntukkan bagi kaum wanita. Maka ditetapkanlah Annisa, sesuai dengan artinya yaitu wanita. Selain itu, Annisa dipilih karena memang namanya yang simpel dan mudah diingat oleh masyarakat. Annisa memiliki slogan women insight “wawasan wanita”.
58
59
Sejalan dengan perkembangan Annisa, selama satu tahun berjalan Annisa selalu ingin memberikan sajian fashion yang up to date dan berkualitas. Annisa merupakan majalah lokal yang ingin berkonsep internasional, sehingga Annisa dengan segala cara menyajikan gaya busana dan jilbab yang memang selalu berbeda dengan yang lain. Pada dasarnya Annisa memang mengusung dan mengedepankan tentang fashion, pada saat Annisa masih berawal dari nol, banyak sekali kesulitan atau hambatan dalam peminjaman produk atau wardrobe yang berkualitas dan ternama. Maka pada saat itu Annisa memutuskan untuk bekerja sama dengan PT. Trinaya Media, yang mana didalamnya tergabung dengan beberapa majalah, lokal dan internasional yaitu Kartini, Elle, Marie Claire, Elle Decore, dan Working Mother. Hal ini dilakukan karena untuk mempermudah Annisa dalam meminimalisir hambatan yang ada sebelumnya, seperti dalam peminjaman produk yang digunakan untuk pemotretan, salah satunya misalnya dalam produk busana. Setelah bergabung atau bekerja sama dengan PT. Trinaya Media, Annisa lebih mendapatkan keleluasaan dalam peminjaman produk yang bisa dikatakan
famous
dan
berkualitas.
Karena
suatu
produk
dapat
mempercayakan penggunaan produknya terhadap media yang dianggap layak dan berkualitas. Dengan bergabungnya Annisa di PT. Trinaya Media inilah Annisa dianggap majalah yang memang layak untuk menggunakan produk yang famous. Terlebih lagi Annisa merupakan majalah muslim, sehingga banyak ide yang didapat dalam memadupadankan busana yang modern
60
dengan jilbab yang simpel namun tetap modis. Selain untuk mempermudah dalam peminjaman produk, bekerja samanya Annisa dengan PT. Trinadia Media yaitu untuk menambah iklan yang dimuat dalam Annisa dengan tujuan Annisa dapat menambah income yang besar.
B. Sasaran Pembaca dan Pendistribusian Majalah Annisa Kehadiran Annisa, sejatinya untuk referensi bacaan kaum perempuan. Sasaran atau target pembaca dari majalah Annisa itu sendiri diantaranya muslimah yang aktif (remaja maupun dewasa), dinamis, dan modern; usia 2530 tahun, mengikuti perkembangan tren dan gaya hidup terkini; memiliki SES A-B; perempuan karir atau pengusaha perempuan, ibu rumah tangga; memiliki mobilitas sosial dan aman secara finansial. Jumlah
sirkulasi
Annisa
adalah
50.000
eksemplar.
Wilayah
pendistribusian majalah Annisa tersebar di Indonesia yaitu Jabotabek 60%, Bandung 7%, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi 7%, Semarang, Solo, Yogyakarta 8%, Surabaya 11%, dan Bali 2%.
C. Rubrikasi Majalah Annisa Bagian yang terpenting dari majalah adalah rubrik-rubrik yang dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi pembaca. Rubrik merupakan ruangan yang terdapat dalam surat kabar yang memuat isi dan berita, ruangan khusus yang dapat dimuat dengan periode yang tetap dengan hari-hari tertentu atau beberapa minggu sekali, yang membuat masalah masing-masing sesuai yang ditulis rubrik tersebut.
61
Majalah Annisa mempunyai empat pembahasan inti, dari empat pembahasan inti inilah lahir rubrik-rubrik yang membahas masalah-masalah sesuai dengan rubrik-rubrik yang ada. Berikut empat bahasan inti pada majalah Annisa yaitu: inspirasi 20%, berita dan info komunitas 10%, fashion dan gaya hidup 40%, panduan dan wawasan 30%. Dalam empat pembahasan inti tersebut terdapat rubrik-rubrik yang berhubungan dengan bahasan inti yaitu:
Inspirasi : a topic, a success, a inspiration, a story, a event, a close
Berita dan info komunitas : a mushalla, a community, a news, a review
Fashion dan gaya hidup : a editor’s choice, a style guide, a fashion news, a beauty news, a catwalk, a street style, a style, a fashion, a hijab tutorial, a beauty, a make over, a home, a gadget, a credit, a resto
Panduan dan wawasan : a TO Z, a health, a money, a trip, a recipe, a couple, a halal, a parenting, a love notes. Sesuai dengan pembahasan inti yaitu fashion dan gaya hidup yang
sebanyak 40%, Annisa memang benar telah menyajikan rubrik-rubrik mengenai fashion lebih banyak dibandingkan dengan rubrik lainnya. Jadi Annisa memang sesuai dengan konsep awalnya yaitu majalah fashion untuk kaum wanita muslim yang aktif dan ingin tampil lebih modis.
D. Struktur Redaksi Majalah Annisa Editor in Chief
: Berliana Febrianti
Managing Editor
: Ade Nur Sa’adah
Fashion and Beauty Writer
: Dyah Ayu Amalia Andini Aprilliana
62
Features and Lifestyle Writer
: Rara Peni Asih Tri Sintarini
Editorial Secretary
: Andi Bramantya
Contributor
: Asma Nadia Dida Nurhaida Elvina Rahayu
Graphic Designer
: Dhoni Nurcahyo Ziyah Paramitasari
Photographer
: Arief Prabowo
Senior Account Executive
: Ria Eka Yulianti
Account Executive
: Erica Fabiola
Director/ Publisher
: Avi Budimansyah
Director
: S. Hadi Sutarto
Published
: PT. Madani Segarra Media
Berdasarkan kedudukannya masing-masing staff redaksi mempunyai tugas-tugas sebagi berikut: 1. Editor in Chief Editor in chief atau kepala redaksi adalah kepala utama publikasi ini, memiliki tanggung jawab akhir untuk semua operasi dan kebijakan. Memimpin
semua
departemen
organisasi,
serta
orang
yang
bertanggungjawab untuk mendelegasikan tugas kepada anggota staf serta menjaga dengan waktu yang dibutuhkan mereka untuk menyelesaikan tugas mereka. Tanggung jawab khas editor in chief mencakup, palang
63
pengecekan fakta, ejaan, tata bahasa, menulis halaman gaya desain, dan foto; menolak tulisan yang tampaknya menjiplak, hantu-ditulis oleh editor lainnya sub, atau diterbitkan sebelumnya di tempat lain; mengedit konten tersebut;
berkontribusi
potongan
editorial;
memotivasi
dan
mengembangkan staf editorial; memastikan draft akhir selesai dan daerah tidak kosong; penanganan keluhan pembaca dan mengambil tanggung jawab untuk masalah yang dihasilkan. 2. Managing editor Managing editor seorang redaktur pelaksana adalah anggota senior dari tim manajemen sebuah publikasi. Tugas pokok managing editor ialah mengkoordinasikan fungsi-fungsi editorial sebagaimana mestinya dalam rangka memenuhi seluruh rencana penerbitan. Ia lebur dalam totalitas kerja sama antarbagian redaksi, pemasaran, dan produksi. Ia mengarahkan fungsi-fungsi staf redaksi dalam kaitannya dengan pencapaian target. 3. Fashion and beauty writer Fashion and beauty writer bertugas mencari bahan dan menulis naskah/ artikel mengenai segala sesuatu tentang fashion dan kecantikan. 4. Features and lifestyle writer Features and lifestyle writer bertugas mencari bahan dan menulis naskah/ artikel mengenai gaya hidup dan hiburan.
64
5. Editorial secretary Nama lainnya ialah editorial assistant, editorial trainee, dan assistant editor. Bertugas membantu editor di dalam mengkoordinasikan kopi editor lepas dan pembaca proof, dan juga membantu mengurus jual beli copyrights. 6. Contributor Contributor adalah orang yang turut andil dalam pekerjaan sesuai dengan jobdesk-nya, namun contributor bukan merupakan pekerja tetap dalam suatu perusahaan tersebut. 7. Graphic designer Graphic designer adalah profesi yang menciptakan ilustrasi, tipografi, fotografi, atau grafis motion. Graphic designer bertugas untuk merancang cover atau kulit muka; membuat dummy atau nomor contoh sebelum produk di cetak dan dijual ke pasar; mendesain dan me-layout setiap halaman dengan naskah, foto, dan angka-angka; mengatur peruntukan halaman untuk naskah; menulis judul berita, anak judul, caption foto, nama penulis pada setiap naskah; menulis nomor halaman, nama rubrik, nomor volume terbit, hari terbit, dan tanggal terbit pada setiap edisi. 8. Photographer Photographer bertugas mengambil gambil gambar peristiwa atau objek tertentu yang bernilai berita atau untuk melengkapi tulisan berita
65
yang dibuat wartawan tulis, photographer merupakan mitra kerja yang setaraf dengan wartawan tulisan (reporter). 9. Account executive Tugas intim sebagai account executive adalah sebagai jembatan antara perusahaan dengan klien/nasabah, menjadi seorang account executive kerjanya tak lain adalah mencari klien/ nasabah/ sejenisnya kemudian menjaganya agar bisa menjadi pelanggan setia alias loyal. Tanggung jawab seorang account executive diantaranya, memonitor aktifitas sales, untuk memastikan implementasi program berjalan sesuai rencana; mengupdate account profile, untuk mengetahui profil yang dicover /tahun sebagai informasi data; membuat sales plan dan pelaksanaannya untuk program penunjang penjualan.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Majalah Annisa adalah majalah yang peduli terhadap perkembangan fashion. Kepedulian ini terlihat dari tersedianya pembahasan inti yaitu fashion dan gaya hidup, dimana di dalamnya memuat lebih banyak mengenai perkembangan fashion di zaman sekarang. Sebagai salah satu majalah muslim, tentunya Annisa pada setiap rubriknya mengandung unsur-unsur dan nilai-nilai keislaman yang dapat menjadi inspirasi dan bahan pendidikan maupun pembelajaran bagi pembaca-pembaca setianya. Fashion merupakan salah satu dari rubrik yang ada dalam kategori fashion dan gaya hidup. Sesuai dengan namanya, dalam rubrik fashion ini Annisa menyajikan model busana dilengkapi dengan gaya jilbab yang sangat simpel, sehingga memudahkan para pembaca yang tidak berjilbab pun dapat mengikuti gaya atau tren yang disajikan. Untuk lebih mengetahui apakah jilbab yang disajikan dalam Annisa sudah termasuk dalam kategori syar‟i ataukah hanya sebagai komoditi, maka peneliti akan menganalisis foto-foto yang terdapat pada rubrik fashion dalam tiga bahasan yaitu, denotasi, konotasi, dan mitos. Dalam tahapan konotasi, peneliti mengikuti prosedur dari Roland Barthes yang dapat memengaruhi sebuah foto, diantaranya trick effects, pose, objects, photoghenia, aestheticism, dan syntax.
66
67
A. Analisis Semiotika Roland Barthes
Gambar 1, data foto 1 A. Analisis Data Foto 1 1. Makna Denotasi Denotasi adalah hubungan antara penanda dengan petanda dalam sebuah tanda yang mengacu terhadap realitas eksternalnya. Dalam mengungkap makna denotatif dari sebuah foto bisa melalui
68
tahapan perseptif. Maksudnya makna paling nyata dari sebuah tanda yang artinya makna sesungguhnya dan yang digambarkan terhadap sebuah objek. Dapat dijelaskan analogon atau objek yang terdapat dalam foto yang tampak di atas, makna denotasi pada data foto 1 yaitu: model bernama Olena, dan rancangan busana skirt as headcover oleh Argyle & Oxford, sweater oleh Ask by Asky Febrianti, dan skirt oleh Friederich Herman. Tema dari foto ini adalah match point. Foto terdapat seorang model yang sedang berpose dengan menggunakan sweater hangat yang bermotif tribal dengan beragam warna, yaitu hijau, orange, biru, dan putih. Model menggunakan inner ninja berwarna hitam dan jilbab lasercut berwarna silver serta bawahan yang berwarna sama. Background berwarna putih dan terdapat tulisan yang berbahasa Inggris dengan warna abu-abu. 2. Makna Konotasi Makna konotasi adalah makna yang muncul berdasarkan atau pikiran dan perasaan yang timbul terhadap suatu tanda. Menurut Roland Barthes dalam memahami makna konotasi dari sebuah foto yang disebut konotasi kognitif, maksudnya adalah makna yang dikonstruksi berdasarkan imajinasi paradigmatik. Dalam hal ini, selain pemahaman budaya atau cultural juga bisa dari pengamatan prosedur yang berpengaruh terhadap foto atau gambar sebagai analogon.
69
2.1 Trick Effect atau Manipulasi Foto Efek tiruan yaitu rekayasa foto dan memadukan dua gambar sekaligus disebut manipulasi foto dengan cara menambah atau mengurangi objek dalam foto sehingga memiliki arti yang lain sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaikan tujuan si pembuat berita atau karya. Dalam data foto 1 ini, terlihat indikasi pemotongan sebagian gambar atau cropping yang dilakukan untuk membuang gambar yang dirasa tidak perlu atau mengganggu komposisi visual dari foto ini. Pada data foto 1 terdapat beberapa sentuhan
editing,
dengan menggunakan sebuah aplikasi pengolahan data foto atau gambar, seperti photoshop dan aplikasi sejenisnya dengan tujuan mengatur kontras warna yang lebih baik dan merubah foto atau gambar yang sebenarnya. Hal ini dikatakan Roy Mega Antara (fotografer) kepada peneliti ketika wawancara. “Editan ada dong, pasti ada editan. Tapi lebih banyak aslinya daripada editannya. Maksudnya yang diedit itu backgroundnya, karena pada saat shoot itu kita pakai background putih. Kalo untuk modelnya itu paling diedit ya dialus-alusin mukanya doang, misalnya kalo ada jerawat satu paling dipoles. Tapi realnya ya begini fotonya karena saat itu juga kita pakai lampu studio. Editan cropping juga terlihat di foto ini, karena seingat saya, saat itu saya foto full body. Tapi sebenarnya cropping itu menjadi hal yang wajar ya, itu disesuaikan dengan kemauan editor dan juga dihasil cetak nanti bagus atau tidak”62.
62
Hasil wawancara dengan Roy Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB.
70
Pada pernyataan di atas berlaku pada semua foto yang menjadi bahan penelitian yaitu data foto 1 dan foto 2. Penjelasan tersebut menerangkan bahwa foto-foto yang ada hanya dilakukan editing secara sederhana, yaitu untuk membuat model terlihat lebih cantik. 2.2 Pose Pose (gesture) adalah sikap atau ekspresi objek yang mempunyai arti tertentu. Dari data foto 1, karena foto ini memang foto fashion maka terlihat model yang sedang bergaya dengan ekspresi yang datar namun tetap memberikan kesan eksotik dan menarik dengan produk (jilbab gaul) yang digunakan. Dengan ekpresi seperti itu mewakilkan karakteristik jilbab gaul yang dikenakan. 2.3 Objects Objek merupakan benda-benda atau yang dikomposisikan sedemikian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide tertentu dan merupakan point of interest (POI) atau pusat perhatian dalam foto. Pada data foto 1, point of interestnya adalah pada bagian produk yang digunakan model yaitu sweater hangat bermotif tribal dan dengan gaya jilbabnya yang unik. Membuat model ini terlihat modis meskipun dengan gaya yang simpel. Point of interest ini dikatakan oleh Roy Mega Antara (fotografer) kepada peneliti. “Foto ini kan foto fashion ya, dimana seorang model yang digunakan itu harus mampu untuk menonjolkan produk yang
71
dia pakai, sehingga yang melihatnya menjadi tertarik pada apa yang dia pakai dalam foto itu”63. Pada pernyataan di atas berlaku pada semua foto yang menjadi bahan penelitian yaitu data foto 1 dan foto 2. Penjelasan tersebut menerangkan bahwa foto-foto itu ingin menonjolkakan karakteristik produk jilbab gaul yang dikenakan melalui model. 2.4 Photogenia atau Teknik Foto Photogenia adalah seni atau taknik memotret sehingga foto yang dihasilkan telah dibantu atau terkontaminasi dengan teknikteknik
dalam
fotografi,
misalnya
seperti
mengatur
ISO
(Internastional Standarts Organization), diafragma, speed serta teknik lighting, exposure, blurring, angle atau cara pengambilan foto, panning maupun moving. Untuk memperkuat hasil analisis, maka peneliti memasukkan hasil data wawancara dengan Roy Mega Antara selaku fotografer. “Waktu itu saya menggunakan kamera Canon 5D Mark2, lensanya pake Canon 70-200 F2.8. Foto ini ISOnya 100 waktu itu modenya manual cuman kalo speednya saya engga inget, Fnya saya rasa kayanyasih 13 speednya mungkin 160 paling ya. Semuanya dalam pemotretan saya pake Canon. Setelah saya terjun menjadi fotografer profesional saya menggunakan kamera Canon, awalnya saya menggunakan kamera Nikon”. “Untuk foto 1 dan 2 ini sama ya dari penggunaan kamera dan ISOnya juga, karena foto ini dilakukan di studio ya, dan menggunakan flash juga maksudnya flas gede yang ada di studio tapi pake listrik jadi gausah pake flash dari kamera lagi, kita cuma butuh trigger aja paling untuk nyalain lampunya”64.
63
Hasil wawancara dengan Roya Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB. 64 Hasil wawancara dengan Roya Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB.
72
Jika dilihat dari data foto 1, teknik pengambilan gambarnya menggunakan mode manual dengan cahaya bantuan yaitu flash besar yang yang menggunakan listrik.
Foto diambil di dalam
studio, dan menggunakan ISO 100, diafragma yang digunakan data foto 1 sekitar f/13. Selanjutnya adalah speed (kecepatan rana merekam gambar) yang digunakan berkisar 1/160 sesuai standar untuk pemotretan di dalam studio (indoor). Dalam data foto 1, fotografer mengambil sudut pandang yang sejajar dengan mata objek. Pandangan sudut sejajar ini adalah subjek difoto dengan posisi sama dengan kamera.
Fotografer
duduk dengan kamera sejajar dengan objek. Data foto 1 ini adalah medium shoot sehingga model terlihat lebih jelas, ini dimaksudkan untuk menonjolkan sisi karakteristik dari jilbabnya. 2.5 Aestheticism atau Komposisi Estetika berkaitan dengan komposisi gambar secara keseluruhan yang menimbulkan makna tertentu. Aestheticism atau komposisi merupakan susunan dari berbagai objek atau gambar yang mempunyai dua sifat saling bertentangan. Bila membangun gambar, namun juga bisa mengacaukan gambar. Gambar pada foto ini memiliki komposisi yang pas, dimana objek dari foto ini hanya satu sehingga foto fokus pada model, ditambah dengan tulisan-tulisan pada background membuat foto menjadi lebih menarik dan tidak kosong.
73
2.6 Syntax Syntax adalah penyusunan tanda-tanda menjadi satu kalimat atau suatu makna tertentu. Syntax tidak harus dibangun lebih dari satu foto. Dalam satu foto pun dapat dibangun syntax. Pembentukan syntax seperti ini biasanya dibantu dengan caption. Data foto 1 ini bukan merupakan foto jurnalistik sehingga tidak terdapat sintax. Misalnya seperti keterangan tempat maupun waktu
pengambilan foto. Hanya saja tulisan yang menjelaskan
tentang memadupadankan pakaian yang simpel, tapi tetap terlihat modis. 3. Mitos Mitos yang terkandung pada data foto 1 yang dianalisis dengan teori semiotika yang berlandaskan pada penggabungan makna denotasi dan konotasi yang dapat dimaknai dari data foto 1 dengan tema match point adalah seorang model yang mengenakan jilbab gaul sama saja seperti perempuan yang berjilbab tapi dengan pakaian telanjang karena apa yang dikenakannya itu membentuk lekuk tubuh, contohnya seperti data foto 1, model yang hanya memakai sweater hangat bermotif tribal dan bawahan berupa rok berwarna silver dan dipadukan dengan jilbab yang simpel pula. Dengan mix and match seperti itu, sudah bisa ditiru karena memang sangat simpel. Pakaian dan jilbab seperti itu merupakan model pakaian yang casual.
74
Namun jika dilihat dari ketentuan jilbab dalam kategori syar‟i, maka data foto 1 tersebut belum dapat dikatakan jilbab syar‟i yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Karena pada dasarnya kriteria jilbab yang syar‟i itu adalah menutup seluruh badan selain yang dikecualikan, bukan berfungsi sebagai perhiasan, kainnya harus tebal (tidak tipis), harus longgar (tidak ketat) sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya, dan tidak menyerupai lakilaki. Dari analisis yang ada dapat terlihat bahwa, jilbab yang digunakan oleh model asing ini memang kainnya tebal sehingga tidak terlihat atau menerawang, inner yang digunakan tidak terlapisi jilbab lagi, sehingga lehernya masih terlihat dan terbentuk. Pakaian yang digunakan memang tidak menyerupai laki-laki namun masih terlihat agak ketat sehingga sedikit menggambarkan lekukan tubuhnya. Jilbab berwarna silver yang digunakan memang sangat simpel, namun terlihat aneh dan mencolok karena bentuk dan penempatan fungsinya yang kurang tepat, meskipun dari warna pakaian dan jilbab tidak membuat menarik perhatian. Dilihat
dari
teori
ekonomi
politik
media
mengenai
komodifikasi isi media, terutama dalam rubrik fashion bahwa jilbab gaul yang digunakan oleh model itu memang pada dasarnya bukan jilbab yang sewajarnya, maksudnya jilbab yang digunakan adalah sebenarnya merupakan outfit yang seharusnya pemakaiannya pada
75
tubuh bukan pada kepala yang dijadikan sebagai jilbab. Berikut gambar perbandingannya.
Gambar foto 2 Dari kedua foto di atas dapat terlihat jelas, bahwa foto sebelah kiri seorang model menggunakan outfit bermotif lasercut berwarna silver yang dijadikan sebagai jilbab. Dan foto sebelah kanan menggunakan outfit bermotif lasercut berwarna silver sebagai top yang dikenakan ditubuhnya. Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
Annisa
menyajikan gaya jilbab yang trend namun belum memenuhi kategori syar‟i, jilbab yang digunakan merupakan hasil modifikasi, yang
76
bagaimana caranya agar barang atau produk tersebut dapat terlihat lebih menarik dan unik tentunya dapat menjadi nilai jual. Hal ini dibuktikan dengan Annisa dalam kiprahnya selama ini dalam pemilihan model asing yang dipilih, produk yang digunakan merupakan produk ternama (kualitas dan branded), serta modifikasi jilbab yang semaksimal mungkin di mix and match menjadi menarik dan unik, khususnya dalam rubrik fashion. Itu semua bertujuan agar Annisa mendapat pemasok iklan yang lebih banyak dan tentunya akan mendapat income yang lebih besar pula65.
65
Wawancara dengan Ibu Avi Budimansyah selaku Director/ Publisher, pada hari Kamis tanggal 10 Juli 2014, pukul 11.30 WIB.
77
Gambar 3, data foto 2 B. Analisis Data Foto 2 1. Makna Denotasi Denotasi adalah hubungan antara penanda dengan petanda dalam sebuah tanda yang mengacu terhadap realitas eksternalnya. Dalam mengungkap makna denotatif dari sebuah foto bisa melalui tahapan perseptif. Maksudnya makna paling nyata dari sebuah tanda yang artinya makna sesungguhnya dan yang digambarkan terhadap sebuah objek.
78
Dapat dijelaskan analogon atau objek yang terdapat dalam foto yang tampak di atas, makna denotasi pada data foto 1 yaitu: Model bernama Sicil, dan rancangan busana top as headcover oleh Argyle & Oxford, jacket oleh I.K.Y.K, dan dress oleh Ask by Asky Febrianti. Seorang model asing
bergaya menggunakan gaun
bermotif yang berwana gold, coklat muda dan ungu dengan warna dasar biru tua. Dengan gaun yang dilapisi cropped jacket polos berwarna gold yang hanya sampai bagian dada saja. Celana berwarna hitam polos dengan model lurus dan sedikit lebih katung. Model juga memakai wedges berwarna hitam dengan model yang sedikit lebih tertutup bagian depan kaki serta ada aksen tali. Model menggunakan inner ninja berwarna hitam dan memakai jilbab berwarna gold yang bermotif lasercut. Background berwarna putih, dengan berbagai tulisan bahasa Inggris yang berwarna grey. Di sebelah kanan bawah foto terdapat tulisan “pilih gaun bermotif sebagai kunci untuk tampil simple namun berkonsep. Cropped jacket dapat dijadikan tambahan istimewa” dengan tulisan berwarna putih. 2. Makna Konotasi Dalam memahami makna konotasi dari sebuah foto, digunakan enam prosedur dalam semiotik Roland Barthes. Makna konotasi yaitu makna yang datang berdasarkan atas perasaan, pikiran yang timbul terhadap suatu tanda. Barthes menjelaskan metode dan beberapa prosedur yang disebut dengan tahap konotasi kognitif, yaitu
79
makna yang dibangun atas dasar imajinasi paradigmatik. Selain pemahaman cultural atau budaya juga dapat diperoleh dengan memperhatikan
beberapa
perkembangan
prosedur
yang
mempengaruhi gambar sebagai analogon. 2.1 Trick Effect atau Manipulasi Foto Trick effect ialah rekayasa foto dan memadukan dua gambar sekaligus disebut manipulasi foto dengan cara menambah atau mengurangi objek dalam foto sehingga memilki arti yang lain sampai tingkat yang berlebihan untuk menyampaiakan tujuan si pembuat berita atau karya. Pada data foto 2, tidak banyak dilakukan manipulasi foto ataupun sentuhan editing. Data foto 2 ini sama dengan data foto 1, hanya
sentuhan
edit
pada
bagian
wajah
model
untuk
memperhalus dan terlihat lebih cantik, begitupun dengan background, pada saat pemotretan background berwarna putih polos. Tapi ada yang membedakan antara data foto 1 dan foto 2 yaitu, pada data foto 2 tidak terdapat cropping, namun full body. Ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh fotografer yang pernyataannya ada di data foto 1. 2.2 Pose Pose (gesture) adalah sikap atau ekspresi objek yang mempunyai arti tertentu. Misalnya seperti gerak-gerik dari seseorang dan arah pandang mata. Dalam prosedur ini dilihat
80
kode bahasa tubuh yang ditampilkan oleh objek yang mempunyai makna tertentu. Dari data
foto 2, model asing yang berpose dengan
mengangkat kedua tangannya yang diletakkan di pinggang, serta menyilangkan kaki. Layaknya pose model profesional, dengan wajah sedikit menunjukkan mimik eksotis.
Seperti hasil
wawancara peneliti dengan fotografer Roy Mega Antara, mengatakan, “sebenernya sih kalo untuk ekpresi dari setiap model fashion itu tidak memiliki makna tertentu ya, ekspresi disesuaikan dengan pakaian serta bjilbab yang dikenakan. Misalnya si model mengenakan pakaian dan jilbab untuk ke pesta, engga mungkin dong ekspresinya cengengesan? Jadi ekspresi itu hanya mewakili dari sisi karakteristik pakaian dan jilbab yang ingin ditonjolkan”66. 2.3 Objects Objek merupakan benda-benda atau yang dikomposisikan sedemikian rupa sehingga dapat diasosiasikan dengan ide-ide tertentu dan merupakan point of intereset (POI) atau pusat perhatian dalam foto. Dari data foto 2, seorang model asing sebagai satu-satunya point of interest atau pusat perhatian dalam foto tersebut, yaitu ingin menonjolkan sisi karakteristik dari pakaian dan jilbab yang dikenakan oleh model. 2.4 Photogenia atau Teknik Foto 66
Hasil wawancara dengan Roya Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB.
81
Photogenia adalah seni memotret sehingga foto yang dihasilkan telah menggunakan beberapa teknik-teknik memotret, seperti lighting, exposure, blurring, angle atau cara pengambilan foto, panning maupun moving. Data foto 2, terlihat model yang sedang bergaya. Fotografer memotret dengan kamera yang sejajar terhadap model. Untuk memperkuat hasil analisis, maka peneliti memasukkan hasil data wawancara dengan Roy Mega Antara selaku fotografer. “Untuk foto 1 dan 2 ini sama ya dari penggunaan kamera dan ISOnya juga, karena foto ini dilakukan di studio ya, dan menggunakan flash juga maksudnya flas gede yang ada di studio tapi pake listrik jadi gausah pake flash dari kamera lagi, kita cuma butuh trigger aja paling untuk nyalain lampunya”67. 2.5 Aestheticism atau komposisi Aiestheticism atau komposisi merupakan susunan dari berbagai objek atau gambar yang mempunyai dua sifat saling bertentangan. Bila membangun gambar, namun juga bisa mengacauskan gambar. Data foto 2, memang hanya terdapat satu objek foto sehingga model tepat berada di tengah-tengah sehingga foto terlihat lebih fokus. Dengan tambahan tulisan-tulisan pada background foto membuat foto menjadi lebih menarik.
67
Hasil wawancara dengan Roy Mega Antara selaku fotografer di majalah Annisa, pada hari Selasa tanggal 12 Agustus 2014, pukul 16.00 WIB.
82
2.6 Syntax Syntax adalah penyusunan tanda-tanda menjadi satu kalimat atau suatu makna tertentu. Syntax tidak harus dibangun lebih dari satu foto. Dalam satu foto pun dapat dibangun syntax. Pembentukan syntax seperti ini biasanya dibantu dengan caption. Data foto 2 ini bukan merupakan foto jurnalistik sehingga tidak terdapat syntax. Misalnya seperti keterangan tempat maupun waktu pengambilan foto. Hanya saja tulisan yang menjelaskan tentang memadupadankan pakaian yang simpel, tapi tetap terlihat modis. 3. Mitos Mitos yang terkandung pada data foto 2 yang dianalisis dengan teori semiotika yang berlandaskan pada penggabungan makna denotasi dan konotasi yang dapat dimaknai dari foto 2 dengan tema match point adalah seorang model yang mengenakan jilbab gaul sama saja seperti perempuan yang berjilbab tapi dengan pakaian telanjang karena apa yang dikenakannya itu membentuk lekuk tubuh. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu „Abdil Barr Rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun „ariyatun adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga dapat menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada
83
hakikatnya mereka telanjang.”68 Tidak jauh berbeda dengan foto 1, pada foto 2 ini, model menggunakan dres bermotif dan dilapisi cropped jacket polos berwara gold, serta menggunakan celana hitam polos lurus dipadukan dengan wedges yang berwarna senada dengan celana. Tidak terkecuali jilbab yang dipakai juga tidak kalah unik, dengan motif lasercut berwarna coklat membuat penampilan semakin terlihat anggun. Dari keanggunan jilbab gaul yang dikenakan model terlihat lekukan tubuhnya, dan itu jelas bukan jilbab syar‟i. Namun jika dilihat dari ketentuan jilbab dalam kategori syar‟i, maka foto tersebut belum dapat dikatakan jilbab syar‟i yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Karena pada dasarnya kriteria jilbab yang syar‟i itu adalah menutup seluruh badan selain yang dikecualikan, bukan berfungsi sebagai perhiasan, kainnya harus tebal (tidak tipis), harus longgar (tidak ketat) sehingga tidak menggambarkan sesuatu dari tubuhnya, dan tidak menyerupai laki-laki. Dari analisis yang ada dapat terlihat bahwa, jilbab yang digunakan oleh model asing cantik ini memang kainnya tebal sehingga tidak terlihat atau menerawang, inner yang digunakan tidak terlapisi jilbab lagi, sehingga lehernya masih terbentuk, bahkan sama sekali tidak menutup dada. Dalam foto kedua ini, model memakai celana hitam model lurus, yang pada dasarnya celana memang merupakan pakaian laki-laki, gaun yang digunakan model memang
68
Jilbab Al Mar‟ah Al Muslimah h. 125-126
84
lebih panjang sehingga tidak menonjolkan bagian dari aurat, namun jilbab gaul yang digunakan masih belum dapat dikatakan syar‟i karena memang masih terlihat lekukan tubuhnya, serta celana yang lumayan ketat. Dilihat
dari
teori
ekonomi
politik
media
mengenai
komodifikasi isi media, terutama dalam rubrik fashion. Karena antara data foto 1 dan data foto 2 ini masih memiliki tema yang sama, maka dalam pemakaian jilbab gaul oleh model pada dasarnya bukan jilbab yang
sewajarnya,
maksudnya
jilbab
yang
digunakan
adalah
sebenarnya merupakan outfit yang seharusnya pemakaiannya pada tubuh bukan pada kepala yang dijadikan sebagai jilbab.
Gambar foto 4
85
Dari kedua foto di atas sudah terlihat jelas bahwa foto sebelah kiri, model menggunakan outfit yang dijadikan sebagai jilbab dengan motif lasercut polos berwarna gold, dan sebelah kanan model menggunakan outfit motif lasercut berwarna yang sama yaitu gold digunakan sebagai top pada tubuhnya. Dengan demikian Annisa menjadikan jilbab sebagai nilai jual yang pada dasarnya dijadikan komoditi, dengan mengesampingkan bagaimana sebenarnya jilbab yang layak atau sesuai dengan syariat Islam.
B. Analisis Pemaknaan Komodifikasi Isi Media di Majalah Annisa Majalah Annisa merupakan majalah yang mengkomodifikasikan isi medianya, dimana isi artikel atau gambar pada majalah Annisa dijadikan komoditas agar mereka meraup untung yang besar. Sebagai contoh, dalam sebuah gambar di rubrik fashion mereka mempromosikan sebuah produk lasercut yang digunakan sebagai jilbab. Jilbab yang mereka tampilkan adalah jilbab yang telah dimodifikasi, sehingga terlihat lebih fashionable dan unik, sehingga menampilkan sesuatu yang berbeda dari majalah muslimah lainnya. Perbedaan tampilan jilbab inilah yang kemudian menjadi komoditas bagi majalah Annisa untuk mendapatkan keuntungan. Isi media merupakan sebuah pesan sebagai komoditas yang bisa menyenangkan
khalayak,
mengundang
para
pemasang
iklan,
dan
memperpanjang bisnis media, yang ditandai dengan penyajian informasiinformasi bertema sensasional meliputi kehidupan seputar artis, dan
86
selebritas, mistik atau tahayul, serbaserbi seks, juga ramah tamah yang dilakukan politisi atau pejabat, serta dikemas secara spektakuler.69 Dalam majalah Annisa, isi media pada rubrik fashion yang mengenai komodifikasi jilbab ini dipengaruhi karena pada dasarnya Annisa memiliki konsep internasional yang memang bergabung dalam beberapa majalah internasional seperti Elle, Marie Claire, Elle Decore, dan Working Mother, sehingga tren fashion yang disajikan di Annisa merupakan pengaruh dari majalah-majalah internasional tersebut.70 Selain rubrik fashion, terdapat juga rubrik-rubrik lain yang tidak kalah menarik, seperti kisah para selebritis, tokoh inspiratif, serta artikel lain mengenai keislaman juga dimuat dalam majalah ini. Semua dikemas secara detail dan gaya bahasa ditulis semenarik mungkin agar menarik perhatian pembaca. Dari olahan isi media tersebutlah, Annisa dapat menarik pemasang iklan, melalui pemasang iklan itu Annisa mendapat keuntungan. Karena semakin bagus kualitas Annisa, maka semakin mudah untuk bekerja sama dengan perusahaan lain maka semakin banyak pula pemasukan yang dapat diperoleh. Proses dari komodifikasi dalam suatu program berawal dengan mengubah data-data menjadi sistem makna oleh pelaku media menjadi sebuah produk yang akan dijual kepada konsumen, khalayak, maupun perusahaan pengiklan. Artinya, bahwa media tidak hanya berhenti pada
69
Syaiful Halim, Postkomodifikasi Media and Cultural Studies (Tangerang: Matahati Production, 2012), h. 56. 70 Wawancara dengan Ibu Avi Budimansyah selaku Director/ Publisher, pada hari Kamis tanggal 10 Juli 2014, pukul 11.30 WIB.
87
proses pembentukan budaya melalui konten yang didistribusikan saja, melainkan menjadikan budaya itu sebagai komoditas yang bisa dijual. Vincent Mosco mengemukakan bahwa di samping ketiga bentuk komodifikasi di atas, juga ada komodifikasi lain yang perlu untuk diperhatikan, yaitu komodifikasi “imanen”. Sebuah iklan yang membeli waktu tayang atau ruang dalam sebuah media massa, kemudian mendapatkan peningkatan keuntungan dari iklan yang mereka pasang pada media massa tersebut. Kemudian uang atau keuntungan dari proses hubungan antara media dan khalayak, maka dapat disebut juga sebagai hasil proses komodifikasi. Dalam hal ini, rating adalah sebuah komoditi yang penting karena dibentuk sebagai komoditas dalam proses mengkontribusikan terhadap produksi komoditas. Dan penting juga untuk menghubungkan advertiser (pemasang iklan). Pemilik perusahaan dan audiens yang juga sebagai konsumen dari produk-produk mereka. Serta bukan hanya sebagai komoditas media, tapi telah menjadi bagian dari tahapan-tahapan perkembangan komodifikasi komunikasi. Dalam komodifikasi isi media dibuat sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal, pada majalah Annisa dalam komodifikasi isi media ini salah satunya dengan cara, seperti: 1. Model Pemilihan model asing sebagai model yang dipakai Annisa dalam setiap rubriknya terutama pada rubrik fashion, menurut Annisa model
88
asing lebih dapat menonjolkan atau menjual produk (jilbab gaul) yang dikenakan. 2. Teknik fotografer Dalam sebuah pemotretan disetiap edisi, pastinya memiliki konsep yang berbeda-beda, dengan mengikuti konsep yang ada, fotografer yang profesional berusaha mewujudkan sesuai permintaan, itu tidaklah mudah harus menggunakan teknik tertentu agar mendapat hasil foto yang bagus. 3. Gaya jilbab gaul Gaya jilbab gaul yang ditampilkan Annisa memang berbeda dengan majalah lainnya, karena konsep dasar Annisa sendiri mengusung fashion internasional sehingga gaya jilbabnya sedikit lebih gaya ke barat-baratan namun dibuat atau dikemas semenarik mungkin untuk mendapat perhatian pembaca. 4. Iklan Semakin baik dan bagus kualitas Annisa maka akan semakin banyak pemasok iklan yang ingin bekerja sama dengan Annisa, dari pemasok iklan pula dapat menghasilkan income yang besar.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah majalah Annisa sebagai majalah muslimah yang memiliki rubrik fashion, dalam menyajikan foto-foto yang dimuat dengan tema match point merupakan foto yang dapat dikategorikan unik dalam penyajian jilbab gaul. Foto-foto ini terdapat pada edisi Juni 2013. 1. Makna denotasi, konotasi, dan mitos 1. Tahap Denotasi Dari data foto 1 dan foto 2 yang bertemakan match point adalah semua foto yang disajikan di rubrik fashion jilbabnya masih ketat, membentuk lekuk tubuh, tidak menutupi dada, dan seperti pakaian laki-laki. 2. Tahap konotasi Kedua foto yang diteliti memiliki point of interest (POI) hal ini sesuai dengan foto yang diteliti yaitu foto fashion, maka dalam foto tersebut harus menonjolkan sisi karakteristik dari jilbab gaul yang dikenakan, sehingga produk tersebut bisa memikat para pembaca majalah Annisa. Adapun tahap editing yang dilakukan hanya sedikit sentuhan aplikasi untuk memperhalus wajah model serta mengatur kontras, cropping dan lighting sehingga keindahan dari foto itu tidak berkurang. Jilbab gaul yang disajikan jauh dari kategori syar’i dan hanya sebatas mengedepankan mode dan mengesampingkan syariat Islam dalam berjilbab.
89
90
3. Tahap Mitoss Dari kedua foto yang diteliti, dapat dikatakan bahwa perempuan muslim yang mengenakan jilbab gaul itu sama saja seperti berbusana tapi tanpa pakaian. 2. Komodifikasi Isi Media di Majalah Annisa Dengan menyajikan jilbab gaul yang unik merupakan salah satu cara Annisa mengkomodifikasikan isi media melalui jilbab gaul. Yang awalnya hanya merupakan nilai guna menjadi nilai tukar. Dalam komodifikasi isi media dibuat sedemikian rupa sehingga mendatangkan keuntungan bagi pemilik modal, pada majalah Annisa dalam komodifikasi isi media dalam rubrik fashion dengan cara, seperti: 1. Model Pemilihan model asing sebagai model yang dipakai Annisa dalam setiap rubriknya terutama pada rubrik fashion, menurut Annisa model asing lebih dapat menonjolkan atau menjual produk (jilbab gaul) yang dikenakan. 2. Teknik fotografer Dalam sebuah pemotretan disetiap edisi, pastinya memiliki konsep yang berbeda-beda, dengan mengikuti konsep yang ada, fotografer yang profesional berusaha mewujudkan sesuai permintaan, itu tidaklah mudah harus menggunakan teknik tertentu agar mendapat hasil foto yang bagus. .
91
3. Gaya jilbab gaul Gaya jilbab gaul yang ditampilkan Annisa memang berbeda dengan majalah lainnya, karena konsep dasar Annisa sendiri mengusung fashion internasional sehingga gaya jilbabnya sedikit lebih gaya ke barat-baratan namun dibuat atau dikemas semenarik mungkin untuk mendapat perhatian pembaca. 4. Iklan Semakin baik dan bagus kualitas Annisa maka akan semakin banyak pemasok iklan yang ingin bekerja sama dengan Annisa, dari pemasok iklan pula dapat menghasilkan income yang besar.
B. Saran Saran yang bisa dijadikan masukan bagi majalah Annisa untuk perbaikan di edisi berikutnya adalah agar redaktur dalam memberikan gaya jilbab gaul harus lebih memenuhi kriteria jilbab syar’i yang sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam, karena sesungguhnya jilbab adalah penutup aurat perempuan dan bukan hanya sekedar perhiasan untuk sekedar “membungkus” aurat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku Ardianto, Elvinaro, dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007. Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian dan Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Bhinneka Cipta, 1996. Anwar, M. Syafi’i. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995. Bakry, Nazar. Tuntunan Praktis Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1994. Barnard, Malcolm. Fashion Sebagai Komunikasi. Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender. Yogyakarta: Jalan Sutra 1996. Biagi, Shirley. Media/ Impect Pengantar Media Massa. Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Bignell, Jonathan. Media Semiotics an Introduction. USA: Manchester University Press, 1997. Budiman, Kris. Semiotika Visual.Yogyakarta: Jalasutra, 2011. Christomy, Tommy. Semiotika Budaya. Depok: PPKB Universitas Indonesia, 2004. Djunaeddhi, Kurniawan. Rahasia Dapur Majalah Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1995. Fachruddin, Fuad Mohd. Aurat dan Jilbab Dalam Pandangan Mata Islam. Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya,1991. Fiske, Johan. Introduction to Communication Studi. London: Second Edition, 1990.
92
93
HM, Zaenuddin. The Journalist. Jakarta: Prestasi Pusta Karya, 2007. James, Lull. Media Komunikasi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997. Junus, Umar. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan, 1981. Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2006. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2003. Nazir, Muhammad. Metode Penelitian. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1986. O’Shaughnessy, Michael and Stadler, Jane. Media and Society, New York: Oxford, 1991. Rakhmat, Jalaludin. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. Shahab, Husein. Jilbab Menurut Al-Qur’an dan As-sunnah. Bandung: Mizan, 2008. Sunardi, ST. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal. 2002. Wahyu Wibowo, Indiwan Seto. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011. Williams, Judit. Decoding Adwertisments: Ideology. London: Camelot Press, 1985. B. Sumber Internet “Kriteria Jilbab Menurut Al-Qur’an”, diakses pada 31 Januari 2014 dari http:// efrialdy.wordpress.com/2009/08/13/kriteria-jilbab-menurut-alqur%E2%80%99an-dan-as-sunnah/
94
Mulyadi Saputra, “Paradigma Positivisme, Konstruktivisme dan Kritis dalam Komunikasi”, diakses pada 22 Mei 2014 dari http://terinspirasikomunikasi.blogspot.com/2012/12/paradigmapositivisme-konstruktivisme.html “Kajian
Ekonomi Politik Media”, diakses pada 3 Juni 2014 dari http://indiwan.blogspot.com/2010/05/kajian-ekonomi-politik-media.html
Shidarta, “The Reasoned Actioned Theory”, http://dartaanekateori.blogspot.com.
diakses pada 5 Juni 2014 dari
“Definisi Majalah”. Artikel diakses pada 10 Juni 2014 http://rahdinalspaceart.blogspot.com/2011/11/definisi-majalahmajalahadalah-sebuah.html?m=1
dari
“Hukum Memakai Jilbab Menurut Islam”, diakses pada 3 Juni 2014 dari http://mmn-dot-org.blogspot.com/2013/05/hukum-memakai-jilbabmenurut-islam-jilbab-mmn.html?m=1 “Dibalik Pesona Jilbab Gaul”, artikel diakses ada 3 September 2014 dari www.Anneahira.Com/Pesona-Jilbab-Htm Abu Rufaid Agus Suseno, Lc “Dibalik Jilbab Gaul”, artikel diakses pada 3 September 2014 dari https://www.facebook.com/jilbabkujilbabsyari/posts/527685580621492
Komodifikasi Isi Media terhadap Trend Berjilbab Gaul dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa Edisi Juni 2013 Nama Peneliti : Intan Purwatih (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) NIM
: 1110051000123
Narasumber
: Ibu Avi Budimansyah
Jabatan
: Director/ Publisher
Hari/Tanggal : Kamis, 10 Juli 2014 Tempat
: Lantai 3, kantor ANNISA
Waktu
: Pukul 11.30 WIB
1. Bagaimana sejarah kelahiran majalah ANNISA? ANNISA pertama kali terbit itu tanggal 28 November 2012. Engga ada tanggal berdirinya secara formal, Cuma kalo ditanya kapan ya edisi pertamanya itu keluar pada tanggal segitu. 2. Kenapa dinamakan majalah ANNISA? Sebenernya sih waktu itu ada beberapa nama yang menjadi pilihan, diantaranya Noura, Aisya, Aisah dan Annisa. Tapi setelah melalui beberapa tahap dan proses akhirnya nama Annisa-lah yang terpilih, dikarena sesuai dengan artinya yaitu “wanita”. Dan majalah Annisa memang merupakan majalah muslimah yang mengusung topik utamanya mengenai fashion yang memang diperuntukkan kaum wanita. Selain alasan tersebut juga, nama Annisa bisa lebih dikenal dan diingat oleh masyarakat tentunya. 3. Apakah ANNISA merupakan media cetak yang berdiri sendiri atau memang bagian dari perusahaan media lain? Hemmm, di awal tahun kemuculan Annisa memang berdiri sendiri tidak ada kerja sama dengan perusahaan lain, namun seiring berjalan dan berkembangnya
Annisa,
mendapatkan
beberapa
kendala
yang
mengharuskan Annisa untuk bekerja sama dengan perusahaan lain,
kendala yang didapati saat itu adalah mengenai fashionnya itu sendiri, misalnya seperti produk pakaian, jilbab atau wardrobe yang lainnya, karena kan Annisa majalah fashion, jadi harus up to date kan, gamungkin menyajikan fashion yang gitu-gitu aja. Nah, untuk meminimalisir kendala tersebut maka Annisa memutuskan untuk bekerja sama dengan PT. Trinaya Media, yang mana di dalamnya tergabung juga majalah-majalah lokal dan international seperti Kartini, Elle, Marie Claire, Elle Decore, dan Working Mother. Jadi saat ini Annisa tergabung di dalam PT. Trinaya Media. 4. Apakah ada alasan lain ANNISA selain untuk mempermudah dalam bekerja sama di PT. Trinaya Media? Hemm, gini yah Annisa kan pengennya menyajikan fashion yang selalu up to date ya, maksudnya pengen yang baguslah. Misalnya untuk peminjaman produk nih, nah produk itu sendiri memilih majalah yang kualitasnya bagus dalam menggunakan produknya, jadi misalnya gini deh, kamu punya rancangan baju nih, nah rancangan kamu dipakai oleh ehm misalnya artis dangdut, menurut kamu itu kurang layak untuk memakai rancangan kamu. Nah begitu juga dengan produk pakaian, semakin bagus kualitas majalah maka semakin mudah majalah itu untuk memakai produk yang bagus pula. Dari situlah, Annisa ikut bergabung di PT. Trinaya Media soalnya kan ada majalah lokal dan international juga. Selain itu juga Annisa kan majalah muslimah, nah selain pakaian kita juga memikirkan model jilbab yang disajikan. Nanti gimana ya model jilbabnya kalo bajunya begini atau begini, dengan bergabung kan jadinya Annisa lebih bisa mengeksplor model pakaian serta jilbabnya, karena Annisa sendiri mengusung tema international. Dengan produk dan gaya jilbab itulah yang membuat Annisa semakin mudah untuk bekerja sama dengan perusahaan lain (pemasok iklan), yang tidak lain membuat pemasukan Annisa menjadi lebih banyak.
5. Bagaimana struktur redaksi majalah ANNISA? Untuk struktur redaksi majalah Annisa bisa dilihat di bagian halaman awal pada majalah Annisa. 6. Rubrik apa saja yang ada di majalah ANNISA? Tolong dijelaskan Untuk majalah Annisa sendiri itu ada 4 topik utama ya, yang masingmasing diantaranya terbagi lagi, maksudnya ada rubrik-rubrik lainnya. Yaitu, Pertama Inspirasi di mana di dalamnya terdapat rubrik a topic, a success, a inspiration, a story, a event, a close. Kedua, Berita dan info komunitas yang terdiri dari rubruk a mushalla, a community, a news, a review. Ketiga, Fashion dan gaya hidup, ini merupakan topik yang paling banyak rubriknya diantara yang lain, yaitu terdiri dari rubrik a editor’s choice, a style guide, a fashion news, a beauty news, a catwalk, a street style, a style, a fashion, a hijab tutorial, a beauty, a make over, a home, a gadget, a credit, a resto. Dan keempat, Panduan dan wawasan terdiri dari rubrik a TO Z, a health, a money, a trip, a recipe, a couple, a halal, a parenting, a love notes. 7. Mengapa dalam contents majalah ANNISA, bagian fashion dan gaya hidup itu lebih banyak porsinya 40% dibandingkan dengan yang lain? Seperti yang sudah dijelaskan diawal ya, karena kan Annisa ini memang majalah muslimah yang diperuntukkan kaum perempuan, sehingga kajian utamanya itu memang mengenai fashion. 8. Apakah bedanya/karakteristik majalah ANNISA dibanding dengan majalah-majalah bernafaskan Islam lainnya? Fashionnya, Annisa lebih menonjolkan fashionnya. Karena kan Annisa itu tujuannya menginspirasi perempuan yang tadinya engga jilbab menjadi berjilbab. Dan setiap gaya jilbab yang disajikan itu lebih Annisa lebih memilih model jilbab yang simpel. Annisa juga kan memakai model asing, jadi itu sih yang membedakannya.
9. Bagaimana kedudukan rubrik fashion dalam majalah ANNISA? Apakah rubrik fashion hanya sebagai rubrik pendukung? Rubrik fashion kan memang bagian dari rubrik topik utama yaitu fashion dan gaya hidup, jadi rubrik fashion ini sebagai salah satu rubrik pendukung dari topik utamanya, karena kan selain rubrik fashion juga masih banyak rubrik pendukung lainnya yang masih berkaitan dengan fashion namun hanya nama rubriknya saja yang berbeda. 10. Apakah busana yang ada dalam rubrik fashion sudah termasuk busana muslimah menurut syariat Islam? Kalau untuk dikategorikan sudah syar’i atau belum dalam pakaian maupun jilbab, Annisa memang belum dapat dikatakan syar’i. Karena sebenarnya Annisa ingin mneginspirasi perempuan-perempuan yang tidak berjilbab sehingga ingin mengenakan jilbab setelah membaca Annisa. Oleh sebab itu Annisa menyajikan pakaian serta jilbab yang simpel, yang dapat ditiru oleh para pembaca. Dengan maksud, bahwa pakai jilbab itu engga ribet loh, dengan pakaian yang kamu punya, itu bisa di mix and match aja. Engga mungkin dong bagi perempuan yang masih diawal berjilbab mau langsung menggunakan jilbab yang panjang, pakaian yang terlihat lebih besar, pasti mereka melihatnya pun risih kan, makanya Annisa lebih memilih model gaya yang simpel-simpel aja. 11. Bagaimana tren rubrik fashion. Apakah mengambil tren masa kini, atau mengambil tren pada zaman dahulu lalu dikeluarkan atau disperkenalkan kembali di zaman sekarang? Kalo untuk tren fashion saat ini Annisa masih memakai tren pada zaman sekarang, tidak mengambil konsep fashion pada zaman dulu, walopun ada itu ada di rubrik a make over, dimana biasanya fashion itu di mix and match antara fashion tren zaman dulu dengan zaman sekarang. 12. Terinspirasi dari apa untuk mendapatkan sebuah tema? Kalo tema sendiri kita nyesuain sama momen-momen besar aja, misalnya kaya hari raya idul fitri dan hari raya idul adha kita menyajikan gaya tren jilbab yang berbeda dari edisi sebelumnya, kemudian seperti momen yang
olahraga itu, pekan olahraga nasional, kita juga mengikuti temanya misalnya seperti menyajikan gaya jilbab dan pakaian perempuan saat berolahraga namun tetap bisa terlihat modis. Ya gitu aja sih ya kalo untuk tema. 13. Mengapa
model
yang
digunakan
adalah
model
asing
yang
mengenakan jilbab? Kenapa ya, bisa lebih ngangkat bajunya sih ya. Jadi bajunya keliatan lebih bagus gitu. Pengen lebih kaya international gitu. Intinya lebih bisa menonjolkan pakaian dan jilbab yang dipakai aja. 14. Dari mana asal model asing tersebut? Kalo untuk model itu mayoritas mereka berasal dari negara Rusia dan Brazil.
Pewawancara
Narasumber
Intan Purwatih
Avi Budimansyah
Komodifikasi Isi Media terhadap Trend Berjilbab Gaul dalam Rubrik Fashion Majalah Annisa Edisi Juni 2013
Nama Peneliti : Intan Purwatih (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) NIM
: 1110051000123
Narasumber
: Roy Mega Antara
Jabatan
: Fotografer
Hari/Tanggal : Selasa, 12 Agustus 2014 Tempat
: Chily Cafe, lantai dasar, Senayan Trade Centre (STC)
Waktu
: Pkl.16.00 WIB
1. Apakah menjadi fotografer adalah cita-cita anda? Sudah berapa lama anda menjadi fotografer? Saya awalnya engga ada niat buat jadi fotografer. Saya menyukai fotografer sudah sekitar kurang lebih 4 tahun. Sebelum tahun 2008 itu saya tidak pernah sama sekali megang kamera, tidak bagaimana cara menggunakanya, hanya sekedar tahu kamera pocket untuk jepret-jepret. Dan akhirnya lama kelamaan diracunilah sama temen-temen. Dan perlahan saya baru mencari tahu bagaimana motret foto orang yang bagus, bukaannya mesti berapa, ISOnya mesti berapa. Selama 1 tahun itu saya benar-benar belajar fotografi. Tapi kalo untuk menjadi fotografer profesional saya baru sekitar 2 tahun, semenjak bergabung di ANNISA. Dan semenjak ANNISA mulai berdiri sampai saat ini usia ANNISA sudah 2 tahun. 2. Apa latar belakang pendidikan formal anda? Apakah ada keilmuan fotografi? Saya dulu sama sekali tidak ada pendidikan mengenai fotografi. Karena latar belakang pendidikan formal saya itu lulusan Ilmu Ekonomi di STEKPI. Saya belajar fotografi secara otodidak, tidak pernah mengikuti
kursus atau pelatihan motret. Awalnya saya diajak sama temen-temen, dari situ saya mulai tertarik dan diajak hunting foto. Kalo untuk pembelajarannya sendiri saya lebih suka sharing sama temen, karena saya termasuk orang yang lamban dalam menangkap materi, misalnya dari 100% itu saya hanya bisa menagkap sekitar 50% saya. Jadi saya lebih s banyak bertanya aja dan juga lebih suka baca dari buku. 3. Apakah dalam pengambilan foto, terutama dalam pengambilan fotofoto pada rubrik fashion edisi Juni 2013, menggunakan agenda perencanaan? Kalo agenda perencanaan itu pasti, karena sebelumnya sudah pasti menentukan tema, konsepnya seperti apa dan bagaimana, begitupun dengan waktu pemotretan akan dilaksanakan kapan dan dimana itu sudah pasti sebelumnya direncanakan terlebih dahulu. 4. Apa kamera yang digunakan pada saat pengambilan foto? Kamera yang saya gunakan saat motret itu kamera Canon SD Mark2 dengan lensa canon 70-200 F2.8. 5. Apa kesulitan yang menghalangi pengambilan foto? Sebenarnya tidak ada kesulitan dalam pengambilan foto, karena di sini saya bekerja sama dengan orang-orang yang sudah profesional. Sehingga hampir tidak ada kesulitan. 6. Bagaimana teknik pengambilan foto di rubrik fashion? Foto ini ISOnya 100 waktu itu modenya manual cuman kalo speednya saya engga inget, F-nya saya rasa kayanyasih 13 speednya mungkin 160 paling ya. Semuanya dalam pemotretan saya pake Canon. Setelah saya terjun menjadi fotografer profesional saya menggunakan kamera Canon, awalnya saya menggunakan kamera Nikon. Untuk foto 1 dan 2 ini sama ya dari penggunaan kamera dan ISOnya juga, karena foto ini dilakukan di studio ya, dan menggunakan flash juga maksudnya flash gede yang ada di studio tapi pake listrik jadi gausah pake flash dari kamera lagi, kita cuma butuh trigger aja paling untuk nyalain lampunya.
7. Apakah ada estetika komposisi gambar pada foto-foto yang saya teliti? Oh kalo untuk estetika iya sudah pasti ada dalam sebuah foto, tapi lagi-lagi untuk mengatur komposisi foto itu bagian dari editor karena saya hanya bertugas untuk memotret saja. 8. Apakah foto-foto yang akan saya teliti melalui proses editing terlebih dahulu? Proses editing pasti ada, kalau saya hanya bagian eksekusi. Jadi ketika saya sudah dikasih tau konsepnya apa dan gambarannya seperti apa, saya hanya bertugas untuk merealisasikan dari konsep yang diminta. Setelah saya memotret, hasil akhir itu bagian editor yang nantinya ingin seperti apa dan bagaimana hasil dari foto itu sendiri. 9. Apakah pada foto-foto yang saya teliti menggunakan flash? Pada saat motret di studio itu, flash yang digunakan itu flash yang besar. Maksudnya menggunakan lampu yang banyak, sehingga flash pada kamera tidak diperlukan lagi. 10. Apa saja syarat-syarat dan kriteria fotografi jurnalistik untuk ditampilkan dalam majalah ANNISA? Syaratnya sih menurut saya harus bagus. Dalam arti karya yang dihasilkan itu bagus menurut fotografer, dan menurut klien. Jadi fotografer mengikuti apa kata dari klien, misalnya dalam sebuah pemotretan klien sudah merasa puas dengan hasil karya saya, namun menurut saya sendiri itu hasil saya belum maksimal, karena masih bisa mendapatkan hasil yang jauh lebih bagus dari pada itu, tapi karena klien sudah merasa puas jadi saya stop dan mengikuti apa kata klien. 11. Terinspirasi dari apa untuk mendapatkan sebuah tema? Tema? Untuk di ANNISA saya tidak ikut terlibat dalam menentukan tema, tugas saya hanya sekedar memotret. Saya tinggal terima jadi aja, saya dikasih tau tema apa dan bagaimana maunya, ketika saya sudah mendapat gambaran ya saya langsung motret sesuai apa yang diinginkan atau diminta.
12. Bagaimana dengan model yang difoto untuk majalah ANNISA, khususnya pada rubrik fashion yang menggunakan model asing? Kalo untuk model, ANNISA memang mostly menggunakan model asing. Itu karena wajah model asing memang lebih terlihat cantik ketika dipakai jilbab ketimbang model yang Indonesia. Tapi kalo model asing ini aslinya itu ya biasa aja, engga cantik-cantik banget, rambutnya aja keriwil, tapi kalo dipakein jilbab itu cocok banget.
Pewawancara
Intan Purwatih
Narasumber
Roy Mega Antara