Informasi dan Panduan Umum
Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan Simposium Internasional 2009 Den Haag, 3-5 Juli 2009
Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman di Berlin
DAFTAR ISI
Kata Sambutan
1
Daftar Nama Pengarah, Tim Komisi dan Pemakalah
2
Perihal Transportasi dan Rute Perjalanan
3
Akomodasi
6
Susunan Acara Global SI-09
7
Susunan Acara Komisi
9
Mekanisme Presentasi Sidang Komisi
11
Abstraksi Pemakalah Komisi
12
Catatan : Buku panduan ini hanya sebagai pelengkap informasi Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan. Informasi komprehensif terdapat dalam buku panduan yang dikeluarkan Kepanitiaan SI-09 sebagai buku panduan utama.
i
KATA SAMBUTAN Perhimpunan Pelajar Indonesia di seluruh dunia mengadakan Simposium Internasional 2009 (SI-09) di Den Haag pada tanggal 3 s.d. 5 Juli 2009 dengan tema “Visi dan Misi Intelektual Indonesia di Luar Negeri: Strategi Pembangunan Indonesia menuju 2020”. Terdapat enam komisi yang akan membahas 6 aspek pembangunan di SI-09 yang akan melakukan sidang secara terpisah pada hari kedua kegiatan, yaitu 4 Juli 2009, antara lain: • Komisi Ekonomi (Penanggungjawab: PPI UK) • Komisi Sosial-Kemasyarakatan (Penanggungjawab: PPI Yaman) • Komisi Hukum, Politik dan Pemerintahan (Penanggungjawab: PPI Singapura) • Komisi Sains dan Teknologi (Penanggungjawab: PPI Belanda) • Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan (Penanggungjawab: PPI Jerman) • Komisi Kepemudaan dan Kepelajaran (Penanggungjawab: PPI Australia) Secara umum hasil yang ingin dicapai dari Sidang Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan adalah melihat keterpaduan antara 4 aspek yang akan berpengaruh dalam perjalanan Indonesia ke depan nanti ke dalam sebuah perspektif dengan sudut pandang interdisipliner, yaitu: • Kebencanaan • Kelautan • Energi Terbaharukan • Perubahan Iklim Global Dalam Sidang Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan terdapat 2 keynote scientific presentation dan 9 presentasi ilmiah reguler, serta diskusi kelompok yang dipisahkan menjadi 2 kelompok besar yang membahas 4 aspek tersebut di atas. Pemakalah yang terdaftar di Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan berasal dari Jerman (8 orang), Belanda (1 orang), Spanyol (1 orang) dan Indonesia (1 tim). Mewakili Panitia Pelaksana, kami mengucapkan selamat datang di Den Haag. Kami berharap seluruh pemakalah dapat memberikan kontribusi optimal untuk pembangunan berkelanjutan Indonesia melalui kegiatan ini. Terima kasih.
Hormat saya, Ketua Tim Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan Simposium Internasional 2009
Teuku Reiza Yuanda Graduate Program in Marine Geology and Geophysics, University of Bremen, Germany
1
DAFTAR NAMA PENGARAH, TIM KOMISI DAN PEMAKALAH Pengarah •
Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Federal Jerman H.E. Eddy Pratomo • Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin, Jerman Dr.-ing. Yul Y. Nazaruddin • Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Jerman Feby Kumara Adi
Tim Komisi •
Ketua: Teuku Reiza Yuanda • Anggota: Fahmi Rizanul Amrullah M. Ridwan Agustiawan Ali Burhan Haryotomo • Peninjau: Andi Egon Jenni
(PPI Jerman) (PPI Jerman) (PPI Jerman) (PPI Jerman) (PPI Belanda) (PPI Spanyol)
Pemakalah • • • • • • • • • • •
Dr.-ing. Suhendra Sumaryono Jonatan Lassa Tedi Yudistira Widodo S. Pranowo Adam Pamma Daniel P./Shana F. Jenni Farid Hendry Asti Wasistini Irdham Kusuma
(BAM Berlin, Jerman) (UNU-EHS Bonn, Jerman) (UNU-EHS Bonn, Jerman) (Geo Univ of Utrecht, Belanda) (UNU-EHS Bonn, Jerman) (AIPSE Bonn, Jerman) (ITB, Indonesia) (NMNS Madrid, Spanyol) (HS Bremerhaven, Jerman) (ISATEC Bremen, Jerman) (GKSS Geesthach, Jerman)
2
PERIHAL TRANSPORTASI DAN RUTE PERJALANAN
** seluruh tautan internet di lampiran ini telah dipersingkat menggunakan Tiny URL **
Rute Transportasi dari Amsterdam Airport Schiphol ke Den Haag Centraal • Dari Schiphol railway station naik kereta ke Den Haag Centraal • Untuk melihat jadwal kereta, silahkan membuka: http://tiny.cc/6Vfqp Masukkan From : Schiphol; To : Den Haag Centraal
Contoh tampilan situs
• •
Untuk simulasi bagaimana membeli tiket dari mesin di Schiphol railway station, silahkan membuka: http://tiny.cc/xBbv0 Lakukan mekanisme yang sama di atas untuk rute Den Haag Centraal ke Schiphol.
Transportasi Pemakalah di Den Haag • Di Den Haag, transportasi yang digunakan adalah bus dan trem, di bawah perusahaan HTM. • Setiap perjalanan menggunakan strip tiket atau ”strippenkaart” dalam Bahasa Belanda. Rute dari Den Haag Centraal ke KBRI menghabiskan 2 strip tiket. Harga strip tiket bervariasi tergantung jumlah strip tiket dan peruntukannya. Harga 15 strip tiket adalah 7,3 Euro. • Untuk informasi lebih lanjut mengenai strip tiket, lokasi pembelian tiket, bagaimana validasi tiket, dll dapat membuka: http://tiny.cc/tnk4e • Pemakalah akan didampingi oleh LO dari PPI Belanda setibanya di Den Haag. Sehingga mohon memberikan jadwal kedatangan di Schiphol Airport dan/atau Den Haag Centraal kepada Tim Komisi. 3
Rute Den Haag Centraal ke Lokasi SI-09 • Alamat tempat acara: Museon, Stadhouderslaan 37, 2517 HV Den Haag • Dari Den Haag Centraal, naik Bis nomor 24 ke arah Kijkduin. Turun di Halte Gemeentemuseum/Museon, yang merupakan halte ke-11 dari Den Haag Centraal. Informasi rute : http://tiny.cc/pqSpW Peta jalan dari halte ke Museon : http://tiny.cc/LPDN0
•
Bendera kotak adalah halte bus perhentian, bendera segitiga adalah tempat tujuan.
Rute Den Haag Centraal ke KBRI • Alamat KBRI: Tobias Asserlaan 8, 2517 KC Den Haag • Dari Den Haag Centraal, naik Bis nomor 24 ke arah Kijkduin. Turun di Halte Laan van Meerdervoort (West), yang merupakan halte ke-8 dari Den Haag Centraal. Informasi rute : http://tiny.cc/w4M35 Peta jalan dari halte ke KBRI : http://tiny.cc/it5FC
•
Bendera kotak adalah halte bus perhentian, bendera segitiga adalah tempat tujuan.
4
Penggantian biaya transportasi selama di Den Haag Pada pelaksanaan SI-09 di Den Haag, pengeluaran transportasi seluruh pemakalah Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan selama di Den Haag akan disubsidi oleh Kepanitiaan SI09 yang hanya diberikan satu kali menurut rute dan moda transportasi yang digunakan: Pengguna pesawat terbang kedatangan di Schiphol (Amsterdam), mendapat subsidi 25 Euro, yang meliputi: • Biaya kereta Schiphol – Den Haag Central : 7.6 Euro (one-way journey) • Biaya kereta Den Haag Central – Schiphol : 7.6 Euro (one-way journey) • Biaya bis dan trem dalam kota (3 hari) : 7.3 Euro (15 strip tiket) • Biaya lain-lain : 2.5 Euro Pengguna kereta kedatangan di Den Haag Central mendapat subsidi 10 Euro, yang meliputi: • Biaya bis dan trem dalam kota (3 hari) : 7.3 Euro (15 strip tiket) • Biaya lain-lain : 2.7 Euro Subsidi di atas hanya berlaku untuk: • Pemakalah di Schengen Area • Pemakalah yang biaya keberangkatannya tidak ditanggung proyek/institusi riset
Mekanisme penggantian biaya transportasi • Untuk penggantian biaya transportasi selama di Den Haag, akan diberikan pada hari kedua kegiatan SI-09 dengan menandatangani kuitansi penerimaan uang. Penggantian akan diberikan langsung setelah pendantanganan kuitansi. • Untuk penggantian biaya transportasi pemakalah yang ditanggung Kepanitiaan SI09, akan diberikan pada hari kedua kegiatan SI-09 dengan menandatangani kuitansi penerimaan uang dan memberikan fotokopi bukti pemesanan tiket (untuk yang belum mengirim). Penggantian akan diberikan langsung setelah pendantanganan kuitansi. • Untuk penggantian biaya transportasi pemakalah yang ditanggung KBRI Berlin, harap berkoordinasi dengan Ketua PPI Jerman pada hari pertama kegiatan dengan melengkapi dokumen yang dibutuhkan dan mengisi data rekening Bank di Jerman (Konto Nr., BLZ). Penggantian akan memakan waktu 2-4 minggu setelah verifikasi data oleh KBRI Berlin.
5
AKOMODASI • • •
Mekanisme alokasi akomodasi untuk pemakalah menjadi tanggung jawab Tim Acara SI09 setelah menerima data dari Tim Komisi, yang akan dipisahkan berdasarkan rentang usia dan jenis kelamin. Mekanisme alokasi akomodasi untuk panitia/utusan PPI Jerman menjadi tanggung jawab Tim Acara SI-09 setelah menerima data dari PPI Jerman yang akan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin. Akomodasi dan konsumsi selama pelaksanaan SI-09 3-5 Juli 2009 ditanggung Kepanitiaan SI-09 dengan melakukan registrasi ulang setiap harinya yang akan dijelaskan lebih lanjut di Den Haag.
Lokasi Akomodasi untuk Panitia Komisi/Utusan PPI Jerman : Asrama Sekolah Indonesia Nederland (SIN) Rijksstraatweg 789, 2245 CE, Wassenaar Phone: +31 70 517 9517; +31 70 5110532
Lokasi Akomodasi untuk Pemakalah Komisi : Stayokay Den Haag Scheepmakersstraat 27, 2515 VA, Den Haag Phone. +31 (0)70 315 78 88, Fax +31 (0)70 315 78 77 e-mail:
[email protected] URL: www.stayokay.com/denhaag disclaimer: www.stayokay.com/emaildisclaimer
6
SUSUNAN ACARA GLOBAL SI-09
PRA-ACARA (Kamis, 2 Juli 2009) 10.00 – 22.00 : Kedatangan undangan/panitia/pembicara/pemakalah SI-09 (Pemakalah yang menyusul tiba pada hari pertama harap mengkonfirmasi)
HARI PERTAMA (Jumat, 3 Juli 2009) 07.30 – 09.00 : Registrasi Peserta 09.00 – 09.10 : Menyanyikan Lagu Indonesia Raya 09.10 – 09.25 : Sambutan Ketua Panitia Pelaksana Simposium Internasional 2009 09.25 – 09.40 : Sambutan Sekretaris Jenderal PPI Belanda 09.40 – 09.50 : Sambutan oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda 09.50 – 10.10 : Sambutan oleh Presiden RI melalui video conference 10.10 – 11.00 : Ceramah utama oleh Menteri Riset dan Teknologi (*) 11.10 – 13.00 : Ceramah Umum “Reposisi Indonesia di Percaturan Internasional” Oleh: Dr. Dino Patti Djalal (Juru Bicara Kepresidenan) 13.10 – 14.50 : Istirahat, Shalat Jumat, dan Makan siang 15.00 – 17.30 : Diskusi Panel Pertama “Pemanfaatan Sumber Daya Alam Indonesia dalam Konteks Kerja Sama dengan Pihak Asing , Strategi Kerja Sama yang Berimbang dan Berkelanjutan” Oleh: Agusman Effendi (Anggota Dewan Energi Nasional) Sandiaga Uno (CEO AndroEnergy) Henricus Herwin (Direksi TOTAL Indonesie) 17.35 – 18.35 : Rehat sore, Shalat Ashar , Registrasi Sidang Komisi 18.45 – 21.00 : Diskusi Panel Kedua “Regenerasi Ilmuwan Muda Indonesia” Oleh: Menteri Pemuda dan Olahraga (*) Fahmi Amrullah (Ketua PPI Jerman 2007-2009) Perwakilan Ketua Organisasi Pemuda di Indonesia Perwakilan Ilmuwan Muda Indonesia di Luar Negeri 21.00 – selesai: Penutupan kegiatan hari pertama, Makan malam, dan acara bebas
7
HARI KEDUA (Sabtu, 4 Juli 2009) 09.00 - 11.00 : Kegiatan internal Komisi sesi I 11.00 - 11. 30 : Rehat Pagi 11.30 - 13.30 : Kegiatan internal Komisi sesi II 13.30 - 15.30 : Istirahat, Shalat Dzuhur, dan Makan siang 15.30 - 17.30 : Kegiatan internal Komisi sesi III 17.30 - 19.00 : Rehat sore dan Shalat Ashar 19.00 - 21.00 : Kegiatan internal Komisi sesi IV 21.00 – selesai : Penutupan kegiatan hari kedua, Makan malam, dan acara bebas
HARI KETIGA (Minggu, 5 Juli 2009) 07.30 - 09.00 : Registrasi 09.00 - 11.00 : Laporan Pleno hasil kegiatan internal seluruh Komisi (20 menit/komisi) 11.10 - 11.25 : Rehat pagi 11.30 - 13.30 : Persiapan Pembentukan Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia 13.35 - 14.25 : Istirahat, Shalat Dzuhur dan Makan siang
(Pemakalah Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan diperkenankan pulang ke kota/negaranya masing-masing mulai pukul 14.00. Kegiatan selanjutnya bersifat opsional)
14.30 - 17.45 : Finalisasi Pembentukan Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia 17.45 - 18.35 : Rehat sore dan Shalat Ashar 18.45 - 18.55 : Menyanyikan Lagu Indonesia Raya 19.00 - 19.10 : Sambutan Ketua Panitia Simposium Internasional 19.15 – 19.45 : Pelantikan Pengurus Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia 19.50- 20.15 : Sambutan Ketua Pengurus Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia 20.20- 20.35 : Penutupan oleh Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda 20.40 - selesai : Makan Malam dan Perpisahan
** kegiatan dari pukul 14.30 dan seterusnya, masih bersifat tentatif dan akan diberitahukan apabila ada perubahan **
8
SUSUNAN ACARA KOMISI
HARI KEDUA (Sabtu, 4 Juli 2009) 08.30 - 11.00 : Kegiatan internal komisi sesi I Keterangan kegiatan: 08.30 - 08.45 : Persiapan oleh seluruh pemakalah 08.45 - 09.00 : Pembukaan Sidang Komisi Oleh: Teuku Reiza Yuanda (5 menit sambutan dan perkenalan; 10 menit presentasi pendahuluan) 09.00 - 11.00 : Presentasi Pemakalah Sesi I Pemakalah: Jenni (NMNS Madrid) Tedi Yudistira (Geo Utrecht) Widodo S. Pranowo (UNU-EHS Bonn) Jonatan Lassa (UNU-EHS Bonn) Moderator: Teuku Reiza Yuanda (Per pemakalah: 20 menit presentasi ilmiah; 10 menit diskusi)
11.00 - 11.30 : Rehat Pagi 11.30 - 14.00 : Kegiatan internal komisi sesi II Keterangan kegiatan: 11.30 - 14.00 : Presentasi Pemakalah Sesi II Pemakalah: Sumaryono (UNU-EHS Bonn) Farid Hendry (HS Bremerhaven) Shana Fatina/Daniel Parsaroan (ITB) Irdham Kusuma (GKSS Geesthacht) Asti Wasistini (ISATEC Bremen) Moderator: Teuku Reiza Yuanda Fahmi Amrullah (Per pemakalah: 20 menit presentasi ilmiah; 10 menit diskusi)
14.00 - 15.30 : Istirahat, Shalat Dzuhur, dan makan siang 15.30 - 17.30 : Kegiatan internal komisi sesi III Keterangan kegiatan: 15.30 - 16.30 : Keynote Presentation I Oleh: Dr.-ing. Suhendra (BAM Berlin) “ Isu Politis dan Teknis dalam Penanganan Ancaman Perubahan Iklim Global” 16.30 - 17.30 : Keynote Presentation II Oleh: Adam Pamma (AIPSE Bonn) “ Transfer Teknologi Microhydro dan Integrasi Sosial di Sulawesi Selatan” Moderator:
Teuku Reiza Yuanda Fahmi Amrullah
(Per pemakalah: 40 menit presentasi ilmiah; 20 menit diskusi)
9
17.30 - 19.00 : Rehat sore dan Shalat Ashar 19.00 - 21.00 : Kegiatan internal komisi sesi IV Keterangan kegiatan: 19.00 - 19.15 : Pembagian dua grup diskusi kelompok Moderator: Teuku Reiza Yuanda • Kelompok I: Kebencanaan dan Kelautan Anggota: Jenni Tedi Yudistira Widodo S. Pranowo Jonatan Lassa Asti Wasistini Sumaryono • Kelompok II: Energi Terbaharukan dan Perubahan Iklim Global Anggota: Farid Hendry Shana Fatina/Daniel Parsaoran Irdham Kusuma Adam Pamma Dr.-ing. Suhendra 19.15 - 20.15 : Diskusi kelompok (Topik pembahasan diberitahukan pada pembagian grup) 20.00 - 20.30 : Presentasi kelompok Moderator: Teuku Reiza Yuanda (Per kelompok: 10 menit presentasi poin-poin utama; 5 menit diskusi) 20.30 - 20.50 : Penutupan Sidang Komisi Oleh: Teuku Reiza Yuanda (10 menit presentasi penutup; 10 menit penutupan dan pengkondisian) 20.50 – 21.00 : Administratif komisi
21.00 - selesai : Penutupan kegiatan hari kedua, makan malam, dan acara bebas
HARI KETIGA (Minggu, 5 Juli 2009) 07.30 - 09.00 : Registrasi 09.00 - 11.00 : Laporan Pleno hasil kegiatan internal seluruh komisi (20 menit per komisi) Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan: Teuku Reiza Yuanda “Indonesia: Geologi, Lingkungan dan Perubahan Iklim Global. Sudut Pandang Interdisipliner”
11.10 - 11.25 : Rehat pagi
** Jadwal bersifat tentatif, dan diberitahukan apabila terdapat perubahan. **
10
MEKANISME PRESENTASI SIDANG KOMISI Dalam kegiatan Sidang Komisi Kebumian, Energi dan Lingkungan, setiap pemakalah wajib membuat abstraksi makalah dan melakukan presentasi makalah tersebut. Makalah yang dipresentasikan merupakan bidang yang dikuasai dan merupakan bidang riset/keahlian/profesional pemakalah, dengan mengutamakan keaslian/tidak melakukan plagiasi. Adapun ketentuan mengenai presentasi adalah sebagai berikut: • Presentasi menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar • Ungkapan bahasa asing dalam presentasi dihindarkan, terkecuali istilah teknis yang sulit didapat padanan katanya dalam Bahasa Indonesia. • Dalam presentasi, seluruh pemakalah wajib mengedepankan ungkapan popular sciences of scientific knowledge, karena peserta sidang komisi berasal dari berbagai latar belakang keilmuan. • Tekankan mengenai sisi praktis dan aplikasi jangka panjang dari bahasan di dalam presentasi tersebut dan didukung oleh aspek keilmiahan yang dapat dipertanggungjawabkan. • Sebuah presentasi yang baik dapat membangkitkan controlled enthusiasm dan membuat audience tetap fokus, serta tersusun secara sistematis. • Perhatikan batas waktu presentasi anda dan tidak melebihi waktu yang ditentukan. • Motivasi dan kesimpulan presentasi anda wajib ditampilkan • Gunakan gambar/grafik dengan mencantumkan nara sumber. • Transisi antar slide atau elemen bersifat logis dan smooth. • Slides harus efisien dan tidak terlalu banyak menggunakan teks yang menimbulkan kesan ketidakberaturan dan crowded di slides. • Tim Acara akan berusaha menyediakan laser pointer atau tongkat kecil untuk membantu presentasi. Sedangkan format presentasi dengan slide power point adalah sebagai berikut: • Latar belakang slide power point adalah berwarna putih dan utamakan minimalisasi tampilan slide di luar materi yang akan disampaikan. • Gunakan huruf Arial berwarna hitam untuk seluruh teks (~24 font size); dan huruf Arial berwarna biru tua/maroon (~24 font size) untuk 2-3 kata yang ingin ditekankan (key points). Untuk diagram/picture citations gunakan huruf Arial berwarna hijau tua (~18-20 font size) yang dapat dicantumkan di bawah diagram/gambar, atau di sudut kanan bawah slide. Sedangkan pembagian pemakalah berdasarkan durasi waktu presentasi adalah sebagai berikut: • Keynote Presentation [30 s.d. 40 menit presentasi dan 20 menit diskusi] (1) Dr.-ing. Suhendra; (2) Adam Pamma. • Regular Presentation [20 menit presentasi dan 10 menit diskusi] (1) Sumaryono; (2) Jonatan Lassa; (3) Widodo S.P.; (4) Jenni Wang; (5) Farid Hendry; (6) Daniel P./Shana F.; (7) Irdham Kusuma; (8) Tedi Yudistira; (9) Wasistini B.
11
ABSTRAKSI
ISU POLITIS DAN TEKNIS DALAM MENANGANI ANCAMAN PEMANASAN GLOBAL MENURUT PROTOKOL KYOTO: PELAJARAN DARI PENELITIAN TERPADU KEBAKARAN TAMBANG BATUBARA DI CINA UTARA Dr.-ing. Suhendra 1, Martin Schmidt 1 1
Bundesanstalt für Materialforschung und –prüfung (BAM) Berlin, Germany
Pendahuluan Didorong oleh meningkatnya ancaman pemanasan global di satu sisi dan keterbatasan sumber daya alam di sisi lain, maka tim tim peneliti dari Jerman dan Cina membentuk tim riset bersama untuk mengatasi masalah kebakaran tambang batubara. Hasil riset tim ini diharapkan berguna bagi dunia ilmu pengetahun karena fenomena ini terjadi bukan hanya di Cina tapi juga di Indonesia, Amerika, Australia, India dan Afrika Selatan. Karena itu, International Energy Agency (IEA) mengkategorikan bencana alam di tambang batubara ini sebagai worldwide catastrophe, bencana yang mendunia. Sebagai gambaran kerugian yang dihasilkan, kebakaran tambang batubara di Cina tiap tahunnya membakar lebih dari 20 juta ton batubara dan lebih dari 100 juta ton hilang karena kerusakan mekanis. Akibatnya adalah timbul asap dan gas beracun dan kerusakan air serta tanah yang kesemuanya merusak lingkungan sekitar dan mengancam kesehatan penduduknya. Diharapkan hasil observasi tim riset ini dapat menemukan metode pemadaman kebakaran batubara yang sesuai dengan kondisi geologis, sosiologis dan ekonomis yang pada akhirnya mengurangi risiko ancaman pemanasan global. Selain itu, studi perhitungan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas pemadaman kebakaran batubara ini menjadi dasar perhitungan secara ilmiah untuk proyek mekanisme pembangunan bersih (CDM). Aktivitas Riset dan Hasil Aktivitas observasi lapangan meliputi survey geologis, pencitraan temperature anomali melalui satelit, pelacakan sebaran kobaran api dan perhitungan emisi keluaran gas. Selain itu, riset ini juga ditunjang juga dengan penelitian laboratorium untuk menemukan metode pemadaman dan ditunjang dengan simulasi numerik menggunakan kecanggihan perangkat lunak yang ada. Pekerjaan lapangan yang relevan untuk aktivitas CDM antara lain analisa geokimia kebakaran, pengukuran gas sebelum, ketika dan sesudah aktivitas pemadaman. Beberapa contoh hasil observasi lapangan dan simulasi komputer ditampilkan pada gambar di bawah. Hasil observasi lapangan yang ditunjang melalui pencitraan satelit menunjukkan bahwa kobaran yang terjadi di Cina Utara terbentang pada lahan seluas 923,5 ribu meter persegi. Kebakaran ini telah membakar 12,43 juta ton batubara dan mengeluarkan lebih dari 70 ribu ton gas beracun, meliputi belerang dioksida dan karbon monoksida. Diperkirakan awal mula kebaran terjadi sekitar tahun 1950-an. Suhu permukaan tanah yang ditemukan pada tambang ini dapat mencapai lebih dari 250°C. Dengan menggunakan data lapangan dan laboratorium, hasil analisa simulasi
12
ABSTRAKSI
komputer menunjukkan bahwa temperatur pusat kebakaran dapat mencapai 1700 derajat. Akibat hal ini, banyak ditemukan retakan-retakan permukaan tanah. Dengan kerja sama riset ini, Cina berharap menghasilkan tunjangan dana untuk aktivitas pemadaman kebakaran ini. Yakni jika emisi seperti kebakaran batubara digunakan perusahaan atau pembangkit energi, maka aktivitas pemadaman kebakaran dapat mendatangkan mega bisnis. Idenya adalah: perusahaan membeli ”brand” yang terkait dengan pelepasan emisi gas rumah kaca, yang akan ”diuangkan” bila semua upaya berhasil memadamkan kebakaran. Para ahli memperkirakan bahwa biaya untuk memadamkan tiap ton batubara adalah sekitar 2 euro. Sementara harga sertifikat untuk karbondioksida di pasaran eropa saat ini adalah lebih dari 10 euro. Artinya, bisnis memadamkan api memiliki untung 400 persen. Kesimpulan Tulisan ini menggambarkan aktivitas riset multidisipliin untuk pemadaman kebakaran batubara di Cina Utara. Akhir dari aktivitas pemadaman kebakaran batubara ini adalah menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai target protokol Kyoto dan mensukseskan proyek mekanisme pembangunan bersih di Cina. Secara ilmiah, kini China-German konsorsium sedang mempersiapkan standar perhitungan international yang diakui oleh konvensi kerja PBB untuk perubahan iklim global (UNFCC) sehingga dapat digunakan sebagai standar perhitungan proyek CDM untuk kebakaran tambang batubara di negara lain, termasuk Indonesia.
Gambar 3. Beberapa aktivitas pengamatan lapangan dan simulasi. A- Peta emisi karbondioksida di atas permukaan tambang yang terbakar. B-Observasi lapangan terhadap suhu permukaan. CObservasi fenomena retakan yang ditimbulkan. D-Pemodelan kebakaran tambang batubara dengan menggunakan simulasi komputer.
Corresponding Author:
[email protected]
13
ABSTRAKSI
KAJIAN KERENTANAN BANGUNAN TERHADAP BAHAYA TSUNAMI DENGAN PENDEKATAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Sumaryono 1,2,3,4, Günter Strunz1, Ralf Ludwig2, Joachim Post1, Kai Zoßeder1 1)
Remote Sensing Data Center, German Aerospace Center (DLR), Wessling, Germany 2) Department of Geography and Remote Sensing, Ludwig-Maximilians-Universität München, Germany 3) United Nations University, Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) Bonn, Germany 4) Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional, Indonesia
Tsunami dahsyat yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 telah menghantam banyak kota sepanjang pantai Samudra Hindia dan telah menewaskan lebih dari 300,000 manusia., menghancurkan bangunan, sarana, dan prasarana kota lainnya. Bencana tsunami ini akhirnya tercatat sebagai salah satu bencana yang paling mematikan dan merugikan dalam catatan sejarah tsunami dan bencana alam yang pernah terjadi. “Earthquake doesn’t kill people, but building does!“ adalah ungkapan yang cukup dikenal di kalangan ahli gempa bumi. Ungkapan ini maksudnya adalah sebagian besar korban manusia pada saat gempa bumi terjadi karena terkena reruntuhan bangunan yang roboh, bukan karena gempa itu sendiri. Dilain pihak, para ahli bencana tsunami memiliki istilah yang disebut “vertical evacuation shelter (VES)” dimaksudkan untuk menyebut gedung atau bangunan lainnya yang dapat digunakan untuk tempat menyelamatkan diri pada saat terjadi bencana tsunami. Kedua istilah tersebut menunjuk “bangunan” sebagai obyek bahasan dari sisi yang berbeda. Satu sisi bangunan dapat dianggap sebagai penyebab bencana dan pada sisi lain, bangunan dianggap sebagai tempat penyelamatan. Dari sini, dapat dipahami betapa pentingnya mengetahui karakteristik bangunan sehingga dapat meminimalisir korban gempa bumi dan tsunami. Kejadian tsunami di Indonesia hampir selalu didahului dengan gempa bumi yang cukup kuat. Dengan demikian, pembahasan tentang tingkat kerentanan bangunan terhadap tsunami, harus memperhitungkan juga kerentanan bangunan terhadap gempa bumi. Informasi tentang sebaran bangunan yang rentan terhadap tsunami sangat penting untuk tujuan mitigasi bencana. Untuk menjawab kebutuhan informasi ini, diperlukan kajian kerentanan bangunan (building vulnerability assessment, selanjutnya disingkat BVA). Kegiatan BVA dapat dilakukan dengan cara mengukur satu per satu kualitas bangunan (insitu survey) berdasarkan kaidah-kaidah teknik sipil dan arsitektur bangunan, antara lain dengan uji hammer test, ferro scanning, kajian material, konstruksi, geometri, orientasi dan lain-lain. Metoda pengujian ini akan dapat menentukan tingkat kerentanan bangunan terhadap bahaya gempa bumi dan tsunami. Di samping itu, dengan mengetahui ketinggian, luas, aksesibilitas bangunan dan informasi lainnya, metoda ini akan dapat menentukan apakah suatu bangunan layak untuk dijadikan VES.
14
ABSTRAKSI
Mengingat luasnya wilayah rawan bencana tsunami di Indonesia, maka metoda in-situ survey akan memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang luar biasa besar. Diperlukan pendekatan lain yang dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien. Dalam hal ini, teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis (SIG) menawarkan metodologi yang menjanjikan. Riset ini menggunakan pendekatan object-based image analysis (OBIA) dan in-situ survey dengan metoda systematic stratified sampling. Dengan pendekatan ini, maka pengukuran kerentanan bangunan tidak dilakukan terhadap setiap gedung yang ada, namun hanya terbatas pada bangunan-bangunan contoh saja. Dengan OBIA, dapat dilakukan pengkelasan secara otomatis berdasarkan contoh terpilih. OBIA adalah teknik analisis citra satelit dengan berbasis obyek (bukan berbasis pixel), sehingga dapat digunakan untuk memetakan bangunan pada skala rinci. Dengan OBIA, rule set yang telah dibangun diharapkan dapat diaplikasikan untuk wilayah lainnya. Secara umum, alur kerja metoda ini dapat dilihat pada gambar 1.
RS & GIS
In-Situ Survey
OBIA
Pengkajian Kelas Kerentanan Gedung
Parameter Spasial
Kelas Kerentanan
Analisa Statistik Rule Set Klasifikasi
Transfer Metoda ke Seluruh Area Kajian
Building Vulnerability Map
Gambar 1. Alur Kerja Metoda Kajian Kerentanan Gedung Terhadap Bahaya Tsunami
Penelitian ini dilakukan dalam kerangka proyek GITEWS (German-Indonesia Tsunami Early Warning System), pada sub bagian “Risk and Vulnerability Assessment”. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan evaluasi kemampuan teknologi penginderaan jauh dan SIG dalam pengkajian kerentanan bangunan terhadap bahaya tsunami. Beberapa pertanyaan kunci yang harus dijawab dalam penelitian ini antara lain : 1. Dapatkah kita melakukan kategorisasi bangunan berdasarkan tingkat kerentanannya? 15
ABSTRAKSI
2. Dapatkah kita melakukan klasifikasi kerentanan bangunan dengan pendekatan gabungan antara in-situ survey dan penginderaan jauh secara efektif? 3. Parameter apakah yang dapat digunakan dalam klasifikasi tingkat kerentanan bangunan dan bagaimana kita menurunkannya dengan metoda penginderaan jauh 4. Apakah metoda OBIA dapat digunakan untuk mendeteksi bangunan yang dapat digunakan untuk evakuasi vertikal 5. Dapatkah metoda ini diterapkan untuk wilayah lainnya? Penelitian ini dilakukan di Cilacap, Jawa Tengah, Indonesia. Cilacap, Padang dan Bali merupakan 3 pilot area proyek GITEWS. Riset ini pada akhirnya berhasil menjawab 5 pertanyaan pokok yang telah ditetapkan di atas. Gabungan metoda OBIA, SIG dan in-situ survey berhasil mengkelaskan tingkat kerawanan bangunan terhadap bahaya tsunami menjadi 4 kelas, yaitu kelas A, B, C dan EV (Evakuasi Vertikal). • Kelas A adalah kelas yang paling rentan dan memiliki peluang tingkat kerusakan yang sangat parah atau bahkan akan runtuh oleh gempa, sehingga sudah tidak mampu lagi bertahan pada saat tsunami datang. • Kelas B adalah kelas bangunan yang masih mampu bertahan setelah gempa, namun tidak mampu menahan kekuatan gelombang tsunami. • Kelas C adalah kelas bangunan dengan daya tahan yang kuat terhadap gempa dan tsunami, namun tidak bisa digunakan untuk tempat evakuasi. • Kelas EV adalah kelas dengan ketahanan bangunan yang tinggi, sehingga diperkirakan akan mampu bertahan terhadap gempa dan tsunami serta bisa dugunakan untuk tempat evakuasi. Metoda ini sudah berhasil diaplikasikan pada wilayah lain di luar area contoh dan selanjutnya akan diuji lagi pada wilayahwilayah lain di Indonesia. Dengan metoda ini, diharapkan akan dapat segera dilakukan pemetaan kelas kerentanan bangunan terhadap bahaya gempa bumi dan tsunami untuk seluruh wilayah Indonesia.
Kata kunci: kerentanan bangunan, tsunami, gempa bumi, penginderaan jauh, system informasi geografis, analisa citra berbasis obyek (OBIA)
Corresponding Author:
[email protected]
16
ABSTRAKSI
DISASTER RISK GOVERNANCE: MACRO AND MICRO SCALE ANALYSIS Jonatan A. Lassa x,y x
y
United Nations University Institute for Environment and Human Security PhD Candidate at Landwirtschaftliche Fakultät, University of Bonn, Germany
The increase of disaster risk incidents triggered by both geological and hydrometeorological hazards, coupled with anthropogenic driving forces throughout the Indonesian archipelago during the last 30 years have caused about 21 billion US$ economic losses with total people affected more than 18 millions and total of 190,000 casualties (CRED/OFDA 2008). These figures not yet include the 2008/2009 gross loss calculation and the direct losses of the ongoing mud volcano disasters in East Java Province in Indonesia since 2006. At global level, the Hyogo Framework for Actions (HfA) of the United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) endorsed at the World Conference on Disaster Reduction by 168 member states have served as new non-legally binding institutions for its member states to mainstream disaster risk reduction within national development and expected to be worldwide sustainable development agenda. Aside from HfA, existing disaster response laws such as International Human Rights Laws, International Humanitarian Law and Refugee Laws (Harper 2009) still serve as existing institutions for international humanitarian organizations but some notable paradigm shifts from reactive humanitarian response to more proactive disaster risk reduction are actually taking place. One of the dominant discourses within the disaster risk reduction communities today is that disaster risk reduction may provide strategic tools and means for adaptation to Climate Change. A closer look at the Climate Change institutions such as recent COPs (Conference of the Parties, the supreme body of United Nations Framework Convention on Climate Change-UNFCCC), have emerged to partly govern disaster risks that potentially trigger by climate change. Private institutions such as insurance market for disaster risk are considered potential tools for disaster risk reduction in the developing world; International Standard Organization (ISO) 31000 offers risk management principles and guidelines for all organizations through market mechanism; the International Code of Council may be functioning as facilitators for provision of national building codes (against seismic and climate risks) within developing countries. Indonesia has made significant strides in the sense of institutional response to the rising trend of the disaster risks through new formal laws and regulations concerning disaster risk. Notwithstanding all the progress, one of the challenges in disaster risk governance today is that it is high divergent; Risk reduction efforts come from multiple actors coming from many risk governance “regimes.” At global level, the Global Platform of ISDR serves to convergence the efforts at national level. At national level, National Platform for disaster risk reduction serves as to convergence countries’ level. Presumably, at lower level, local platforms are often argued by many to be vital to make local level risk reduction more robust and convergence. The platforms (national/global) are the governance for risk 17
ABSTRAKSI
reduction formed by a wide cross-section of the disaster risk reduction communities, including state actors, UN agencies, NGOs, scientific and technical experts, and others. All these institutions and organizations co-produce risk reduction agendas, including knowledge, technology and regulations cross scales and levels within countries. However, the interplay of these institutions is hardly understood to what extent their contribution to risk reduction sustainability. Until recently, disaster risk reduction is mainly achieved conceptually through disaster risk management framework. By definition, disaster risk management (DRM) is defined by UNISDR (2004) as “The systematic process of using administrative decisions, organization, operational skills and capacities to implement policies, strategies and coping capacities of the society and communities to lessen the impacts of natural hazards and related environmental and technological disasters. This comprises all forms of activities, including structural and non-structural measures to avoid (prevention) or to limit (mitigation and preparedness) adverse effects of hazards.” Notwithstanding the options for disaster risk reduction (DRR) today may be also approached from disaster risk governance (DRG) framework. Etymologically, DRM and DRG are not the same but related to each other. Historically, DRM is a viewed as an antithesis of reactive disaster management, a form of conventional responses to risks ex-post disaster events (in form of humanitarian emergency and recovery intervention) while marginally managing a set of ex-ante risk reduction activities such as risk prevention, mitigation, early warning systems and preparedness. This paper argues that DRM is important. However, there is a growing recognition of governance concept of risk. (Löfstedt and van Asselt 2008) A few research efforts have tried to develop ambitious risk governance framework that expected to encompass all kinds of risks including ‘natural’ disasters. The Institute of Risk Governance Council (IRGC) introduce a framework that claim to encompass disaster risk (see Renn 2008 and Renn and Walker 2008). However, this paper argues that no single DRG framework fit for all risk. IRGC framework is beneficial but actually a new disaster risk governance (DRG) framework is needed to encompass poly-centricity, multi-level, multi-sphere and crossscales and level of governance. The study uses an inclusive DRG framework and articulating disaster risks ranging from the geological and climate related risks within the context of global-local risk context. To avoid confusion, the term risk governance is defined here as the way society as a whole manages the full array of its total risks (i.e. geological risk, climate change risk, hydrometeorological risk, technological risk, political risk, economic risk, and risk that may come from conflict of social affairs) in order to achieve human security. While the level of analysis is multi-sphere (Van Niekrek 2005) and polycentric (McGinnis 2000). In this regards, polycentric governance of disaster risks is defined as many overlapping arenas (or centers) of authority, decision making and responsibility for disaster risk reduction. These arenas exist at all scales from individuals, local community groups, to national governments to the informal arrangements for governance at the global level.
Corresponding Author:
[email protected] 18
ABSTRAKSI
PENCITRAAN STRUKTUR BAWAH PERMUKAAN MENGGUNAKAN TOMOGRAFI SEISMIK GELOMBANG PERMUKAAN
Tedi Yudistira Dept. of Earth Sciences, Utrecht University, the Netherlands
Gempa bumi merupakan kejadian alam yang selalu dikaitkan dengan bencana seperti rusaknya infrastruktur dan kerugian-kerugian materil serta non-materil lainnya. Pada dasarnya, secara fisis, kejadian gempa bumi adalah proses perambatan gelombang dari posisi sumber gempa yang merambat ke segala arah. Daya tempuh serta besarnya getaran yang ditimbulkan di permukaan bumi tergantung dari kekuatan sumber penyebabnya. Hal ini juga bergantung pada tingkat resistansi batuan atau medium yang dilalui oleh gelombang gempa tersebut. Seismologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang karakterisasi gelombang gempa (gelombang seismik). Bidang ilmu seismologi terus berkembang, selain studi yang berkaitan dengan kebencanaan (seperti pemetaan daerah rawan gempa, early warning system, tsunami dan cabang kajian serupa lainnya), juga studi yang memanfaat penjalaran gelombang gempa untuk keperluankeperluan eksplorasi sumber daya alam. Makalah ini akan fokus pada studi gempa bumi untuk identifikasi kondisi geologi bawah permukaan bumi. Tomografi seismik merupakan metoda yang bisa digunakan untuk mencitrakan struktur bawah permukaan bumi berdasarkan distribusi kecepatan gelombang gempanya. Prinsip dasar yag digunakan mirip dengan tomografi di bidang kedokteran, yaitu magnetic resonance imaging (MRI). Berdasarkan fasa gelombang gempa yang digunakan tomografi seismik dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok besar, yaitu body waves tomography dan surface waves tomography. Pada presentasi makalah ini akan dijelaskan mengenai surface wave tomography (tomografi seismik gelombang permukaan). Dalam tomografi gelombang permukaan data yang digunakan bisa berupa rekaman seismik yang ditimbulkan oleh kejadian gempa ataupun dari sumber noise (bising) yang ada di sekitar (ambient noise), oleh karena itu tidak bergantung pada adanya kejadian gempa sehingga menjadi cukup aplikabel untuk daerah dengan tingkat seismisitas tinggi maupun daerah dengan tingkat seismitas rendah. Sifat dispersif gelombang permukaan dapat digunakan untuk mengkarakterisasi sifat fisis bawah permukaan berdasarkan kecepatan fasa (phase velocity) maupun kecepatan grup (group velocity) gelombangnya, dimana keduanya merupakan fungsi dari frekuensi. Gelombang permukaan yg ditimbulkan oleh kejadian gempa bisa digunakan untuk mengidentifikasi struktur yang cukup dalam hingga mencapai lapisan mantel atas, sementara gelombang permukaan yg ditimbulkan oleh noise bisa dimanfaatkan untuk mengidentifikasi struktur dangkal (lapisan kerak bumi). Berdasarkan cakupan wilayah yang dikaji, tomografi gelombang permukaan dapat diterapkan baik dalam skala global, regional maupun lokal. Phase velocity dan group velocity sebagai fungsi dari frekuensi ditentukan melalui teknik filtering menggunakan time-frekuensi analysis, dalam hal ini data pada frequensi tinggi merepresentasikan respons dari struktur dangkal sementara frekuensi rendah berasosiasi
19
ABSTRAKSI
dengan struktur dalam. Struktur bawah permukaan yang direpresentasikan oleh distribusi shear wave velocity (Vs) diperoleh melalui teknik inversi data phase atau group velocity. Bahasan akan ditekankan pada konsep dasar tomografi seismik gelombang permukaan menggunakan two-station method melalui simulasi pada kasus data sintetik, dan sebagai contoh kasus riil akan ditunjukkan hasil awal untuk sebagian wilayah Belanda. Kata kunci : gempa bumi, tomografi, gelombang permukaan, inversi.
Corresponding Author:
[email protected]
20
ABSTRAKSI
KONTRIBUSI PENGETAHUAN GEMPA UNTUK MASYARAKAT: SIMULASI GEMPA BUMI
Jenni National Museum of Natural Science, Consejo Superior de Investigación Científica, Madrid, Spain
Indonesia adalah negara yang rawan terhadap gempa yang dekstruktif, terutama tsunami akibat gempa bumi M>9 akhir tahun 2004 di Aceh (Great Sumatran-Andaman Earthquake) dan gempa bumi di Jogja tahun 2007. Bencana yang terjadi saat tsunami 2004 bukan saja berskala nasional, namun adalah bencana internasional karena dirasakan dampaknya oleh banyak negara. Indonesia rawan terhadap gempa karena terletak di Ring of Fire. Ini merupakan daerah pertemuan lempeng tektonik yang selalu bergerak, yang merupakan salah satu penyebab gempa. Studi tentang gempa merupakan studi yang kompleks yang melibatkan berbagai disiplin ilmu. Selain geofisik dan geologi untuk mengetahui tentang keadaan bumi sendiri yang sangat kompleks, ilmu teknik dan sains juga terlibat di sini. Pengetahuan yang ada hingga saat ini masih jauh dari sempurna untuk mengenal bumi di mana kita tinggal. Salah satu studi tentang gempa yang dilakukan adalah simulasi gempa untuk mempelajari karakteristik gempa di suatu lokasi tertentu. Dengan simulasi gempa, diharapkan dapat dibuat skenario gempa pada daerah yang akan dipelajari dan diadakan tindakan yang diperlukan dalam mengantisipasi skenario yang dihasilkan dari simulasi tersebut. Salah satu simulasi yang digunakan dalam studi gempa adalah bedasarkan analisis stokastik. Program komputer telah tersedia untuk analisis ini. Ada banyak parameter yang diperlukan dalam análisis ini, namun pada umumnya dapat dibagi dalam tiga kategori: sumber gempa, struktur bumi yang dilewati oleh gempa, dan lokasi di mana gempa itu dirasakan. Simulasi dilakukan dengan membandingkan hasil dari simulasi dengan data gempa, dalam hal ini accelerogram. Dengan mencocokkan hasil simulasi dan data dari lapangan, parameter yang digunakan dalam simulasi tersebut kemudian dikalibrasi dan digunakan untuk menganalisis skenario yang telah disiapkan untuk lokasi tersebut. Seluruh energi yang dilepaskan oleh patahan di mana sumber gempa terjadi mempunyai dampak besar terhadap infrastuktur dan bergantung terutama pada jarak pusat gempa dan kekuatan gempa yang sampai pada lokasi di mana bangunan tersebut berada. Hasil dari simulasi diharapkan akan memberikan masukan untuk mempelajari karakter pergerakan tanah (strong ground motion) yang berguna untuk analisis bangunan tahan gempa. Karena itulah simulasi ini bermanfaat untuk studi bahaya dan risiko gempa yang akan memberikan gambaran pada masyarakat tentang karakteristik dan kondisi di lokasi di mana studi dilakukan. Harapannya dengan hasil simulasi ini, dapat dimanfaatkan oleh para ahli konstruksi dalam pertimbangan pembangunan infrastruktur. Lebih lanjut lagi, masyarakat dapat mengetahui seberapa rawannya daerah tinggal mereka terhadap bencana gempa bumi. Namun diperlukan studi berkelanjutan dan kolaborasi dengan ilmu-ilmu lainnya untuk memperoleh hasil yang lebih lengkap, terpadu dan berkesinambungan. Corresponding Author:
[email protected] 21
ABSTRAKSI
UNSTRUCTURED FINITE ELEMENT TSUNAMI MODELING AND ITS APPLICATION IN/FOR INDONESIA (INDIAN OCEAN RIM COUNTRIES) Widodo S. Pranowo1,2,3, Jörn Behrens1 1 2
Alfred Wegener Institute (AWI) for Polar and Marine Research, Bremerhaven, Germany. United Nations University – Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS), Bonn, Germany. 3 Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Indonesia
Indonesia is a tsunami prone area, having been hit by 6 events within the last 6 years: The Christmas tsunami 26 December 2004 in Aceh (earthquake Mw 9.2) as the biggest in this decade, Nias 28 March 2005 (earthquake Mw 8.7), South Java 17 July 2006 (earthquake Mw 7.7), Bengkulu 12 September 2007 (earthquake Mw 7.7 – 8.4), Toli-toli Northern Sulawesi 17 November 2008 (earthquake Mw 7.6) and Manokwari Papua 4 January 2009 (earthquake Mw 7.3 – 7.6). Many scientists (in Indonesia and from other countries) have been working on investigating, simulating and analysing those events using numerical tsunami modeling tools, which are available as open-source/free-ware or even commercialware. Many numerical methods have been applied and are represented in these codes (Finite Difference, Finite Element, and Finite Volume). Gridding methods such as structured and unstructured non-adaptive have been applied. Since 11 November 2008, Indonesia has a sophisticated tsunami early warning system (Ina-TEWS) based on pre-computed simulation results for the database. An unstructured finite element based code developed at Alfred Wegener Institute (TsunAWI) as the official (operational) GITEWS tsunami model and an extended version of TUNAMI (finite difference) model as the contribution by Institut Teknologi Bandung are employed for this purpose as well as for creating hazard maps. Even though both tsunami models have been well tested and validated, they are still having some efficiency problems. TsunAWI suffers from high computational costs, while TUNAMI cannot be easily refined arbitrarily. To overcome those problems, we conduct further development in unstructured finite element tsunami modeling using adaptive mesh refinement. Similarly, to TsunAWI, the new TsunaFLASH code uses unstructured finite elements with conforming (P1) and nonconforming (P1nc) elements. The objective of developing TsunaFLASH is to improve computational efficiency by avoiding unnecessary calculations and saving computer memory. amatos (Adaptive Mesh generator for ATmosphere and Ocean Simulation) by Behrens et al. (2006) is employed for generating adaptive triangular meshes. In addition to the numerical development, the acquisition of detailed high-resolution bathymetry and topography is a pre-requisite for obtaining accurate and reliable modeling results. This presentation will show: A short introduction of the GITEWS achievements and its role in Ina-TEWS, unstructured finite element tsunami modeling and recent developments using adaptive methods, and some problems that arise during its applications in/for Indonesia and potentially other Indian Ocean rim countries. Keywords: adaptive mesh refinement, finite element, tsunami modeling, GITEWS Corresponding Author:
[email protected] 22
ABSTRAKSI
MENUJU KEMANDIRIAN ENERGI BANGSA DENGAN KOLABORASI DAN PARTISIPASI QUADROHELIKS INDONESIA Daniel Parsaoran Aritonang1, Shana Fatina Sukarsono2 1
Program Studi Teknik Geofisika, FTTM, Institut Teknologi Bandung, Indonesia 2 Program Studi Teknik Industri, FTI, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
Energi berkaitan sangat erat dengan sendi-sendi kehidupan suatu manusia dari cakupan manusia sebagai individua maupun dunia secara keseluruhan. Dengan demikian, pengelolaan energi nasional tentunya tidak bisa dilepaskan dari konteks Pembangunan Nasional. Energi dalam konsep nasional merupakan penyokong ketahanan multiaspek yang melibatkan baik bidang ekonomi, politik, sosial budaya, maupun pertahanan dan keamanan. Ketahanan multi aspek tersebut diperlukan untuk menciptakan kestabilan dan ketahanan nasional suatu negara. Menurut data perkembangan kebutuhan energi dunia, ternyata kebutuhan energi terus menerus meningkat dari tahun ke tahun seiring peningkatan jumlah populasi. Peningkatan konsumsi dunia, evolusi sistem pasar bebas, dan era globalisasi yang terjadi saat ini memungkinkan diperdagangkanya energi berdasarkan hukum kompetisi pasar. Akhirnya, adalah suatu hal yang wajar ketika setiap negara atau perusahaan multinasional akan berkompetisi demi menguasai sumber-sumber energi. Akibatnya, persoalan energi seringkali terbentur kepentingan multinasional yang kemudian memicu konflik multidimensional dunia. Namun, kejayaan energi fosil tidak akan berlangsung lama dengan munculnya isu baru: isu krisis energi dan kerusakan lingkungan. Energi fosil merupakan energi tak terbarukan yang persediaannya kian menipis dan harganya semakin menigkat. Permintaan dunia terhadap minyak mentah yang meningkat akan mendorong kenaikan harga berbagai bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas bumi. Sebagai catatan, kenaikan harga ini juga tidak dapat lepas dari aspek nonfundamental yaitu dipegaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran minyak. Kenaikan harga minyak disebabkan oleh naiknya kebutuhan minyak yang meningkat, juga karena terhambatnya produksi minyak di Timur Tengah yang disebabkan oleh ketidakstabilan pemerintahan pada negara-negara di daerah tersebut. Lihat saja lonjakan harga minyak mentah dunia pada tahun 2007. Indonesia secara reaktif harus memberlakukan kebijakan kenaikan harga BBM yang berkali lipat dan berdampak langsung timbulnya inflasi sekaligus keresahan di masyarakat. Kondisi ini berkontribusi terhadap serangkaian permasalahan lainnya, yaitu peningkatan angka kemiskinan, penambahan angka pengangguran, dan melemahnya ketahanan bangsa. Optimasi potensi energi bangsa (SDA, SDM) secara strategis dan berkelanjutan untuk mencapai kesejahteraan bangsa merupakan pilihan yang harus dilakukan oleh Indonesia untuk mencapai kemandirian energi. Dengan mengkolaborasikan lintas peran QUADROHELIX, melalui individu atau masyarakat berbasis kolaborasi perancangan strategis dan implementasi Infrastruktur secara berkala dan menyeluruh, mulai dari hulu ke hilir, salah satunya dapat dilakukan dengan pemetaan dan pengembangan energi alternatif berdasarkan potensi lokal. Jiwa negarawan dan paradigma kewirausahaan, kompetensi profesional, baik teknis spesifik maupun umum makro, yang kreatif dan inovatif dapat dilakukan dengan sistem pendidikan SDM lokal yang mumpuni melalui peran institusi pendidikan lokal, terutama Perguruan Tinggi.
23
ABSTRAKSI
Makalah ini menjelaskan secara singkat tentang cara yang dapat dilakukan dalam mewujudkan kemandirian energi Indonesia, menggagas suatu metode baru penataan ulang pengelolaan energi Indonesia melalui kolaborasi Masyarakat Sipil, Pemerintah, Masyarakat Pemodal dengan Perguruan Tinggi sebagai thinktank dan pusat peradaban bangsa. Dan kemudian, ini akan menjadi solusi dalam meningkatkan kualitas lembaga-lembaga pemerintah dan swasta itu sendiri diikuti oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat dalam masyarakat. Upaya ini digagas secara langsung lewat Konferensi Energi Nasional Mahasiswa Indonesia (KENMI) yang melibatkan mahasiswa dari seluruh provinsi di Indonesia. Gerakan ini menekankan pada kolaborasi seluruh elemen masyarakat dalam pengelolaan energi nasional dengan mahasiswa sebagai penggerak. Peran mahasiswa sangat penting mengingat akses yang dimilikinya. Sebagai bagian dari perguruan tinggi, mahasiswa memiliki akses kepada ilmu pengetahuan yang merupakan aspek penting dalam pengelolaan energi nasional. Selain itu, sebagai elemen masyarakat dengan konflik kepentingan minimum dan energi yang lebih besar mahasiswa memiliki akses baik kepada pembuat kebijakan (pemerintah, DPR), pelaku usaha, dan masyarakat yang secara langsung merasakan dampak baik-buruknya pengelolaan energi. Melalui KENMI mahasiswa didorong untuk secara aktif berperan dalam pengelolaan energi nasional. Mahasiswa dari berbagai provinsi yang terlibat dalam KENMI harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan masyarakatnya dalam pengelolaan energi, dalam pertemuan tahunan yang diadakan dilakukan evaluasi dan perencanan pelaksanaan peran tersebut secara konkrit. Peran ini berpusat pada implementasi ilmu pengetahuan dan analisis akan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Peran mahasiswa ini memungkinkan ilmu-ilmu yang ada di perguruan tinggi untuk berperan dalam pengelolaan energi sehingga perguruan tinggi tidak lagi menjadi ‘menara gading’. Gerakan KENMI ini juga menjadi payung bagi mahasiswa untuk menjadi rekan pemerintah, pusat dan daerah, dalam pengelolaan energi nasional.
Gambar 1 GKN KM ITB : KENMI 2009 untuk Kemandirian Energi Bangsa
Kata kunci: kemandirian energi, potensi lokal, paradigma, kolaborasi dan partisipasi, energi terbarukan, gerakan mahasiswa Corresponding Author:
[email protected] 24
ABSTRAKSI
THE PSYCHOLOGICAL DIMENSION OF DEVELOPMENT ASSISTANCE Adam Pamma Association of Indonesian Professionals for Science, Technology and Enterprises, Bonn, Germany
The motivation for development assistance is apparently to provide betterment to people who are in need of it. The provision of electricity to people in remote areas is an example for such a project and makes perfectly sense. It leads to various betterment for the community in different sectors, such as medicare, education, economic development, communication and social welfare. In regards to the question what development agencies do, the common answers are satisfying. They provide something people are need. But, development agencies tend to miss the psychological dimension of their work, which is scarcely considered. Projects cannot be solely evaluated by their most evident results, such as the supply of electricity to the community, which actually emphasize the technical and material result of the project. No doubt, this is a very important issue, but it is also important that the community does not associate inferiority with themselves because of these new facilities. If a German agency for example implements the newest ready-made technology in a traditional Indonesian village, even with the best intentions, the project might cause psychological damage to the community. Since the complexity of the technology and the knowledge required for its understanding, maintenance and implementation, it is out of range for local people to comprehend. Therefore, they tend to feel inferior and incapable of achieving betterment on their own. They are forced to perceive the operator of the project to be capable, educated and intelligent. In contrast to the operators’ characteristics, the local community perceives itself as incapable and less educated. Post-colonial studies and Edward Said in particular described this psychological effect, which is caused by technical domination, irrespective of the underlying intention. Once the assumed deficits were internalized, resignation is achieved instead of self-help. Since development assistance finally aims to help others to help themselves, the abovementioned psychological effect must be circumvented. The ability to self-help results – in many if not most cases – rather from a progressive, pro-active mental attitude, than from the input of mere technical knowledge. Therefore, it is of great importance to integrate the local community into the project from the beginning and also to make use of simple technical solutions and explain them. Technical solutions must be adjusted to the social context. Means, agencies shall balance the aspect of technical complexity and the way it affects the community. In this regards, primary supply of electricity with simple technical solution might be preferred to high efficient technical solutions that cannot be comprehended by the local community. Otherwise, projects might keep the community in dependency and resignation. To approach development projects this way is certainly challenging. There are prominent examples of expensive development assistance projects which were conceptualised too technically, particularly huge hydro power plants. We can learn from that and keep projects in accordance to the social and educational context. However, such considerations are valid and important for development assistance, not humanitarian help. Humanitarian assistance has different priorities and might not allow any considerations due to vital necessities and time limit. Corresponding Author:
[email protected] 25
ABSTRAKSI
THE POTENTIAL APPLICATION OF SMALL VERTICAL AXIS WIND TURBINE ON RURAL AREA IN INDONESIA Farid Hendry1, Friedrich Zastrow1, Widodo S. Pranowo2, and Sisfairy1 1
Department of Process Engineering and Energy Technology, University of Applied Science Bremerhaven, Germany. 2 Alfred Wegener Institute for Polar and Marine Research, Bremerhaven, Germany.
In industrialized countries such as Germany, Denmark, Spain and United States, wind energy is almost exclusively used for the generation of electricity which is fed into the public grid. At sites with suitable wind conditions, grid connected operation has crossed the threshold of becoming economically efficient. University of Applied Science Bremerhaven has been conducting research and development about Vertical Axis Wind Turbine (VAWT) and one of the results is the wind turbine HMW 56. The HMW 56 was successfully installed at Georg von Neumayer station (belongs to Alfred Wegener Institute) in Antarctic on January 1991, and now is still operational for supplying electricity. Indonesia is the largest archipelago and the fourth most populous country in the world. To fulfill the needs of electricity in Indonesia and to anticipate the electricity demands growth, wind energy is an alternative solution that applicable. It is recommended because its ability to produce electricity regarding to the world demands of non-pollution power generator. Regarding this issue we conduct preliminary feasibility study (desktop) for application small wind turbine on rural area. Since Indonesia has approximately 17,800 islands, in here we choose Karimunjawa islands as an object area. The majority of society living on Karimunjawa Islands works as Fisherman. It is so hard for them to dealing with oil price, by using diesel engine as the main power supply. Our first hypothesis, wind energy is one (alternative) solution in Karimunjawa Islands. It’s efficient to saving (diesel) fuel, renewable to supply the electric energy demand and decreasing the environmental impact (no CO2 pollution). This study is based on our experimental-lab results using installed small VAWT on the top of building of our university (University of Applied Science Bremerhaven, Germany). After compute some calculations, we positive that a small vertical axis wind turbine (VAWT) could supply the electrical energy demand for people living in rural area such as in Karimunjawa Islands. Also, it reduces oil consumption for the villagers. The small VAWT has small size, robust construction, not depends on the wind direction for operation condition, and simple installations are the main advantages. These wind turbines can be used independently of a power main grid in a stand alone system. Such application can be found, among others, in developing countries where there is no dense and far reaching main grid, particularly in rural areas. General specification of wind turbine, electrical consumption, prediction of wind probability, possible energy produce from small VAWT, and set up stand alone system will be presented here. Keyword(s): wind energy, renewable energy, electricity, small wind turbine, VAWT, Karimunjawa islands
Corresponding Author:
[email protected]
26
ABSTRAKSI
KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES PEMBENTUKAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT (DPL) DI KEPULAUAN SPERMONDE, SULAWESI SELATAN
Wasistini Baitoningsih International Study of Aquatic Tropical Ecology (ISATEC), University of Bremen, Germany
DPL adalah sebuah konsep untuk melindungi sumber daya kelautan baik dari sisi keanekaragaman yang dikandungnya maupun dari sisi sumber pangan. Konsep DPL telah dikenal oleh masyarakat tradisional Indonesia dalam menjamin keberlanjutan hasil perikanan dan kelautan. Saat ini upaya-upaya untuk menerapkan konsep DPL telah banyak dilakukan oleh LSM dan pemerintah terutama yang berbasiskan masyarakat (communitybased), salah satunya adalah yang dilakukan COREMAP di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan sejak tahun 2006. Penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan DPL: 1. Faktor-faktor apa saja yang membuat masyarakat bersedia untuk terlibat, yang berarti juga membatasi ruang gerak mereka dalam mengakses sumber daya laut; 2. Status terkini dari DPL-DPL yang telah ditetapkan; dan 3. Harapan masyarakat terhadap keberadaan DPL. Penelitian bersifat kualitatif melalui wawancara semi terbuka (open-ended interview) di lima pulau di Kepulauan Spermonde, yaitu: Salemo, Sabutung, Gondong Bali, Kapoposang, dan Karanrang. Wawancara dilakukan terhadap nelayan, aparat desa, pimpinan adat atau tokoh masyarakat lainnya, wanita, dan pengurus COREMAP di tingkat pulau atau desa. Proses penelitian berlangsung selama September 2008 – Februari 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum masyarakat belum terlibat secara penuh, dan mereka yang terlibat hanyalah menuruti petunjuk yang telah digariskan oleh COREMAP. Pengetahuan masyarakat tentang keberadaan DPL di pulau atau desanya sangat minim bahkan bisa dibilang tidak tahu. Padahal di sisi lain, masyarakat mengerti tentang pentingnya arti DPL bagi kelangsungan sumber daya perikanan dan kelautan. Lebih jauh lagi, masyarakat menginginkan adanya kepastian penegakan hukum terhadap pelaku praktik perikanan yang merusak (destructive fishing) sebagai tindakan utama yang harus dilakukan demi melindungi keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan. Sebagai rekomendasi, penulis menyarankan untuk membangun kesadaran masyarakat terlebih dahulu sebelum menetapkan DPL. Proses penyadaran masyarakat harus dilakukan secara intensif dan tidak terburu-buru. Untuk mendukung proses ini, dibutuhkan para pekerja sosial kemasyarakatan (community worker) yang baik sebagai ujung tombak pelaksanaan program. Kata kunci: Daerah Perlindungan Laut, DPL, Community-based, Spermonde, Sulawesi Selatan, COREMAP.
Corresponding Author:
[email protected] 27
ABSTRAKSI
FABRIKASI KOMPOSIT MEMBRAN REVERSE OSMOSIS DARI CARBON NANOTUBE UNTUK APLIKASI DESALINASI Irdham Kusumawardhana1, Klaus-Viktor Peinemann1 1
Department of Membrane for Sustainable Energy, Institute of Material Research, GKSS Research Centre GmbH, Geesthacht, Germany
Bumi semakin padat, menurut prediksi Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 2025 populasi total manusia yang hidup di bumi akan menembus angka 7 milyar. Jumlah populasi sebanyak ini menimbulkan masalah untuk mendapatkan air bersih di seluruh penjuru dunia. Saat ini lebih dari 300 juta orang hidup di area yang kekurangan air bersih. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.508 pulau dan luas wilayah sebesar 1.919.440 km2, juga mengalami masalah yang sama. Dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan, hal ini meupakan potensi bagi Indonesia untuk mengatasi masalah kesulitan air bersih ini. Berdasarkan masalah di atas diperlukan terobosan teknologi baru untuk pemurnian air dengan biaya dan energi yang terjangkau. Teknologi Desalinasi adalah proses untuk pengolahan air laut menjadi air bersih dengan menghilangkan kadar garam di dalamnya sehingga aman dikonsumsi oleh manusia. Dewasa ini dikenal dua macam cara untuk melakukan desalinasi, yaitu dengan distilasi dan teknologi membran. Teknik distilasi terbagi menjadi tiga bagian yaitu distilasi bertingkat (MSF), distilasi multi efek (MED) dan distilasi kompresi uap (VCD). Sedangkan teknologi membran terbagi atas Osmosis Terbalik (RO), Nanofiltrasi (NF) dan Elektrodialisis (ED). Saat ini distilasi banyak dilakukan dengan teknologi membran, hal ini disebabkan keunggulan yang dimiliki seperti ramah lingkungan, efektivitas tinggi, tidak terjadi perubahan fasa, dapat dilakukan pada suhu ruangan dan biaya energi yang lebih murah. Osmosis adalah fenomena alami yang ditandai dengan perpindahan air melalui membran permeabel selektif dari bagian dengan konsentrasi rendah ke konsentrasi tinggi. Perpindahan air terjadi melewati membran yang bersifat semipermeabel, yaitu dapat ditembus oleh pelarut (solvent), tapi tidak oleh zat terlarut (solut), yang mengakibatkan timbulnya gradien tekanan di sepanjang membran. Proses perpindahan pelarut ini akan terus berlangsung hingga terjadi keseimbangan konsentrasi diantara zat pelarut dan terlarut. Sedangkan pada osmosis terbalik (RO) terjadi perpindahan sebaliknya, dari konsentrasi tinggi ke rendah. Hal ini disebabkan oleh pemberian tekanan tinggi yang melebihi tekanan osmosis yang dimiliki oleh sistem larutan sehingga pelarut dapat berpindah dari konsentrasi tinggi ke rendah melalui membran semipermeabel. Desalinasi dapat berjalan dengan efisien apabila dilakukan dengan membran RO yang mempunyai karakteristik khusus. Membran tersebut harus mempunyai selektivitas (rejection) dan produktivitas (flux) yang tinggi. Selektivitas berarti membran dapat menahan garam dan zat terlarut lain yang tidak diinginkan dan pada saat yang sama pelarut (air) dapat dengan mudah melewati membran. Saat ini komposit membran sudah banyak digunakan dalam proses RO. Komposit membran mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan membran Selulosa Asetat (CA) yang pertama kali digunakan dalam proses RO yaitu membran ini secara fisik dan kimia lebih stabil, tidak mudah mengalami hidrolisis, dan 28
ABSTRAKSI
stabil dalam rentang pH yang besar. Komposit membran ini tersusun setidaknya dari dua lapisan yang berbeda, sehingga termasuk dalam tipe membran asimetrik. Lapisan pertama dibagian bawah merupakan support layer yang berfungsi untuk memberikan stabilitas mekanik pada membran dan lapisan kedua dibagian atas merupakan active layer yang sangat tipis, yang berfungsi untuk membuat membran menjadi bersifat selektif dan mempunyai flux yang tinggi. Saat ini mayoritas dari membran RO diproduksi dengan reaksi interfacial polymerization (IP), dalam reaksi ini terjadi polimerisasi permukaan dari dua monomer yang berbeda. Hasil dari reaksi permukaan dari dua monomer yang berbeda ini adalah terbentuknya lapisan tipis yang sangat selektif yang merupakan sisi aktif dari sebuah komposit membran. Saat ini para peneliti sedang berusaha untuk mengembangkan komposit membran dengan menambahkan filler pada bagian matriks membran. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan fabrikasi komposit membran dengan filler khusus yang disebut Carbon Nanotube (CNT). Material CNT merupakan molekul khusus yang tersusun dari atom karbon dengan konfigurasi penyusunan yang unik. CNT berukuran lebih tipis 50 ribu kali dari pada rambut manusia dan berbentuk silinder dengan lubang di bagian tengahnya. Penelitian ini dilakukan dengan memanfaatkan kelebihan dari CNT yang dapat berfungsi sebagai ribuan pori pada komposit membran. Apalagi dinding lubang bagian dalam CNT yang sangat halus sehingga membuat air mengalir dengan sangat cepat melalui lubang tersebut. CNT pun juga bersifat selektif, hal ini terlihat pada ukuran diameter lubang pori pada CNT yang sangat kecil sehingga hanya molekul air yang dapat mengalir sedangkan ion atapun zat terlarut lainnya tidak dapat melewatinya. Nilai lebih lain dari CNT komposit membran adalah apabila digunakan dalam desalinasi, dapat mengurangi total biaya sebesar 75% dibandingkan dengan konvensional membran. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pada CNT komposit membran flux air meningkat sampai 33.6 L/m2.hr. Nilai ini merupakan dua kali lipat dari flux air pada komposit membran tanpa CNT. Kenaikan nilai flux air ini kami asumsikan terjadi karena CNT memberikan jalan bagi molekul air untuk mengalir melewati membran. Sementara itu rejection garam NaCl, didapatkan nilai yang cukup tinggi berkisar dari 87-90%. Diharapkan pada masa mendatang penggunaan komposit membran dengan CNT akan dapat diproduksi secara komersial sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat manusia akan air yang kian hari kian bertambah.
Corresponding Author:
[email protected]
29