Nursalim, Kombinasi Cognitive Restructuring dan Systimatic
KOMBINASI COGNITIVE RESTRUCTURING DAN SYSTIMATIC DESENSITIZATION UNTUK MENANGANI KECEMASAN SISWA SLTP DI KOTA SURABAYA Mochamad Nursalim* Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji efektfitas cognitive restructuring dan systematic desensitization yang dikombinasikan untuk menurunkan tingkat kecemasan siswa SLTP di Kota Surabaya. Hasil analisis data menunjukkan bahwa: pertama, terdapat perbedaan tingkat kecemasan secara sangat signifikan antara kelompok subyek yang diberi CR, SD, Kombinasi CR dan SD dengan kelompok kontrol. Kedua, ditemukan pula bahwa CR, SD, Kombinasi CR dan SD lebih dapat menurunkan simtom kecemasan dari pada kelompok kontrol. Ke tiga, kelompok yang diberi Kombinasi CR dan SD terdapat penurunan tingkat kecemasan yang lebih besar dibanding dengan kelompok yang mendapat perlakuan CR, SD secara sendiri-sendiri. Abstract: The purpose of the research is to investigate the effect of cognitive restructuring and systematic desensitization to reduce anxiety symptoms.The subjects are students of Junior High Schools in Surabaya. The results suggest that 1) there is a significant difference of anxiety symptoms between the group given CR, SD, CR + SD and that which was not; 2) CR, SD and CR + SD can reduce the anxiety symptoms; 3) there is a reduced symptom of anxiety if CR + SD is given to a group rather than to individuals Kata kunci: kecemasan siswa SLTP, cognitive restructuring, systematic desensitization. Siswa merupakan titik sentral dalam keseluruhan sistem pendidikan di sekolah. Segala daya dan dana diadakan untuk mengembangkan siswa ke arah terbentuknya manusia seutuhnya seperti yang dimaksud UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. Oleh karena itulah sekolah di samping menyajikan kurikulum yagn menyangkut ilmu, tekhnologi, dan seni, juga menyelenggarakan kegiatan pembinaan kesiswaan. Salah satu bentuknya adalah layanan bimbingan konseling. Pada saat ini, ditengarai banyak siswa di SLTP dan SLTA yang mengalami masalah, salah satu diantaranya ialah masalah kecemasan. Studi awal yang dilakukan Suradi (2003) mendapati bahwa hampir 27% siswa SLTP dan SLTA kota Surabaya menderita kecemasan dalam taraf yang moderat sampai klinis. Kecemasan yang berlebihan akan mengakibatkan seorang siswa mengalami kegagalan-kegagalan yang menyebabkan ia menjadi pesimis, mempunyai harga diri kurang, putus asa, frustasi, tak dapat bertindak efektif dan tak dapat mencapai prestasi optimal. Sebenarnya kecemasan merupakan suatu yang normal dan dibutuhkan (Burgoon dan Rufner, 1978). Kecemasan merupakan suatu yang sehat bila kecemasan itu dapat mendorong individu untuk menambah usahanya supaya dapat melakukan pekerjaan dengan baik. Namun kecemasan yang berlebihan dapat mengganggu individu, karena akan menghambat individu dalam menggunakan kemampuannya. Siswa yang mempunyai tingkat kecemasan yang tinggi akan merasakan bahwa kegiatan belajar mengajar di sekolah merupakan suatu kegiatan yang mengancam dirinya, hal ini akan menyebabkan konsentrasi belajarnya terganggu yang pada akhirnya dapat mengakibatkan prestasi belajarnya menurun. *Dosen Jurusan PPB FIP Universitas Negeri Surabaya
9
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60 Pada umumnya kecemasan yang dialami siswa adalah kecemasan yang berkaitan dengan hasil ujian, baik itu ujian harian maupun ujian semester, karena hal tersebut termasuk dalam situasi yang tidak dapat diramalkan. Fakta ini didapatkan dari banyaknya keluhan siswa yang telah belajar semaksimal-maksimalnya, akan tetapi hasil ujiannya kurang memuaskan, dan juga perasaan khawatir dan gugup saat menghadapi ujian. Akan tetapi ada kemungkinan pula, siswa tersebut mengalami kecemasan karena hal-hal yang lain, misalnya siswa mengalami kecemasan bila disuruh guru maju ke depan kelas, kecemasan berbicara di muka umum, dan sebagainya. Melihat kenyataan seperti yang disebutkan di atas, perlu kiranya dicarikan jalan pemecahan untuk membantu siswa yang mengalami kecemasan. Untuk membantu mengatasi kecemasan digunakan antara lain cognitive restructuring (CR), systematic desensitization (SD) (Braid, 1981; Bower, 1986; Burgoon dan Rufner, 1978; Freimuth dalam Baker, 1982; Whitman dan Boose, 1983) Asumsi yang mendasari digunakannya strategi cognitive restructuring (CR) adalah perasaan dan perilaku individu sebagian besar ditentukan oleh cara dia memandang dunia. Kecemasan disebabkan oleh adanya keyakinan-keyakinan individu yang tidak rasional tentang suatu peristiwa tertentu (Adler dan Rodman, 1985). Lebih lanjut Burn (1988) menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh adanya distorsi kognitif pada diri individu, oleh karena itu perlakuan terhadap kecemasan difokuskan pada membantu individu merubah pola distorsi itu. Menurut Cormier dan Cormier (1985), cognitive restructuring (CR) pada awalnya diusulkan oleh Lazarus (1971),dan dikembangkan oleh Ellis (1975). CR memusatkan perhatian pada upaya mengidentifikasi dan mengubah pikiran-pikiran atau pernyataan diri negatif dan keyakinankeyakinan klien yang tidak rasional.CR mengunakan asumsi bahwa respon-respon perilaku dan emosional yang tidak adaptif dipengaruhi oleh keyakinan, sikap, dan persepsi (kognisi) klien. Banyak ahli mengusulkan beberapa tahapan prosedur CR secara berbeda meskipun tujuannya sama. Berdasarkan reviu tentang penggunaan CR dalam berbagai tujuan terapi, Cormier dan Cormier (1985), merangkum tahapan-tahapan prosedur CR ke dalam enam bagian utama, yaitu 1) Rational: purpose and overview of the procedure. 2) Identitification of client thoughts in problem situation. 3) Introduction and practice of coping thought. 4) Shifting from self-defeating to coping thoughts. 5) Introduction and practice of positive reinforcing self-statement. 6) Homework and follow up. Systimatic Desensitization (SD) memiliki asumsi bahwa kemampuan stimuli, khususnya yang menimbulkan kecemasan, dapat dikurangi atau diperlemah jika terjadi suatu respon antagonistik (yang berlawanan) terhadap kecemasan. Jika seseorang dapat belajar memberi respon asertif atau respon rileks terhadap stimuli dan situasi yang selalu muncul, kecemasan dapat dihambat atau dikurangi. Menurut Cormier dan Cormier (1985), bahwa prosedur SD menyajikan tujuh komponen tahapan. Berikut ini adalah tahapan-tahapan tersebut. 1) Rasional perlakuan. 2) Identifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan. 3) Konstruksi hirarkhi. 4) Seleksi dan pelatihan respon tandingan (counterconditioning or coping respon = cr). 5) Assesmen imajineri. 6) Sajian adegan (item) hirarkhis. 7). Tugas rumah dan tindak lanjut. Systematic Desensitization telah banyak digunakan untuk menangani kecemasan berbicara (Kirsch & Henry, 1979;Lent, Russel, & Zamostny, 1981), kasus-kasus phobia ganda anak-anak (Van Hasselt, 1979), muntah-muntah yang kronis (Reed, 1980), phobia darah (Elmore dkk. , 1980), takut kegelapan (Schindler, 1980), ketakutan mengemudi (Levine dan Wolpe, 1982), dan ketakutan terhadap air (Ultee, dkk. , 1982). SD juga digunakan secara luas untuk menangani ketakutanketakutan umum, termasuk ketakutan akan ketinggian (acrophobia), ketakutan tempat terbuka (agoraphibia), dan ketakutan tempat tertutup (clostrophobia). Disamping itu, SD juga digunakan untuk menangani individu yang takut untuk terbang, takut akan kematian, dan takut terhadap kritik dan penolakan (Cormier dan Cormier, 1985). Blackham (1981), juga melaporkan berbagai studi yang membuktikan keefektifan prosedur SD untuk menangani beberapa macam kasus dan subyek. Dilaporkan bahwa SD telah terjamin keefektifannya untuk menangani ketakutan dan kecemasan irrasional yang dialami klien
10
Nursalim, Kombinasi Cognitive Restructuring dan Systimatic dalam situasi ujian, ramai atau banyak orang, terhadap serangga, kecemasan terhadap, luka-luka fisik, pergi ke sekolah, terbang, beberapa tipe depresi, impotensi, frigiditas, dan gagap. Ia juga dilaporkan efektif untuk subyek laki-laki dan perempuan dari usia lima hingga lima puluh tahun, dan dengan subyek dari berbagai macam latar belakang budaya dan sosial ekonomi. Systematic desensitization juga pernah diteliti oleh Wark (dalam Wolpe, 1996) terhadap seorang kliennya yang bernama Juanita, seorang mahasiswa kelas extension yang telah menikah, yang mempunyai masalah, yaitu takut bertanya dan menjawab pada saat perkuliahan. Namun setelah melakukan terapi dengan teknik desensitization, ia tidak takut lagi untuk bertanya atau menjawab di kelas, bahkan ia dapat memberikan komentar dalam perkuliahan. Berdasarkan paparan di atas muncullah masalah sebagai berikut. Strategi manakah yang paling efektif diantara Cognitive Restructuring (CR), Systematic Desensitization (SD), kombinasi CR dan SD untuk menurunkan tingkat kecemasan siswa SLTP ?
Metode Dalam penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimen dengan pretestposttest control group design. Subyek penelitian ini adalah siswa SLTP di kota Surabaya yang mengalami kecemasan. Pemilihan subyek penelitian ini dengan menggunakan tekhnik cluster random sampling. Siswa yang terpilih menjadi subyek penelitian sebanyak 40 orang dibagi menjadi 4 kelompok, masing-masing 10 siswa. Satu kelompok sebagai kelompok yang mendapat perlakuan Cognitive Restructuring (CR), satu kelompok sebagai kelompok yang mendapat perlakuan Systematic Desensitization (SD), satu kelompok sebagai kelompok yang mendapat perlakuan kombinasi CR dan SD, serta satu kelompok merupakan kelompok kontrol. Instrumen pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Kecemasan (Manivest Anxiety Scale), dan angket evaluasi perlakuan. Eksperimen dilakukan oleh sepuluh orang konselor dalam enam kali pertemuan, setiap pertemuan kurang lebih 60 menit. Eksperimen dilakukan secara individual di ruang konseling. Perlakuan mengikuti protokol yang diadaptasi dari Cormier (1985) dan Blackham (1981). Data dianalisis tekhnik analisis statistik deskriptif dan tekhnik analisis varian (anava) 1 jalur.
Hasil Dan Pembahasan Setelah melalui uji asumsi terhadap data penelitian dan disimpulkan bahwa data tersebut normal dan homogen, maka selanjutnya adalah melakukan analisis dengan menggunakan Anava satu jalur. Analisis Variansi satu jalur dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji hipotesis 1 dan 2. Rangkuman hasil analisis variansi satu jalur terhadap skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan cognitive restructuring (CR), systematic desensitization (SD), Kombinasi CR dan SD, dan Kelompok kontrol, dapat dilihat pada tabel berikut.
Sumber Antar A Dalam Total
JK 23.9121 8, 925402 32, 837500
db 3 36 39
Tabel 3. Rangkuman anava 1 jalur RK F 7.970699 32, 149 247, 928 ----
R² 0.728 ---
P 0.000 ---
Harga F Antar A = 32,149 db = 3. 36 p = 0.000. Hasil uji signifikansi: Perbedaan rerata postes skor kecemasan antara kelompok yang mendapat strategi konseling cognitive restructuring (CR), systematic desensitization (SD), kombinasi CR dan SD dengan kelompok kontrol sangat signifikan. Kesimpulan: diketahui rerata skor kecemasan pada kelompok yang mendapat strategi cognitive restructuring (A1) = 30,100, rerata skor kecemasan pada kelompok yang mendapat strategi konseling systematic desensitization (A2) = 25,300, rerata skor kecemasan pada kelompok
11
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60 yang mendapat strategi kombinasi CR dan SD (A3)=10,000, serta rerata kecemasan pada kelompok kontrol (A4) = 75.600. Dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan rerata postes skor kecemasan antara kelompok yang mendapat strategi konseling cognitive restructuring (CR), systematic desensitization (SD), kombinasi CR dan SD dengan kelompok kontrol sangat signifikan. Sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada perbedaan rerata postes skor kecemasan antara kelompok yang mendapat strategi konseling cognitive restructuring (CR), systematic desensitization (SD), kombinasi CR dan SD dengan kelompok kontrol” dapat diterima. Di bawah ini disajikan hasil uji t antar kelompok setelah diberi perlakuan. Berdasarkan uji t antar A (Perlakuan) dapat diketahui bahwa: Harga t A1-A2 = 0.682 db = 36 p = 0.253 untuk satu ekor. Uji signifikansi: perbedaan rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan cognitive restructuring (CR) dan systematic desensitization (SD) nirsignifikan. Kesimpulan: dengan melihat rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan cognitive restructuring (CR) (A1) = 30,100 dan systematic desensitization (SD) (A2) = 25.300. Sehingga dapat disimpulkan bahwa antara kelompok yang mendapat perlakuan cognitive restructuring (CR) dan systematic desensitization (SD) tidak berbeda (sama) dalam menurunkan kecemasan. Harga t A1-A3 = 2.854 db = 36 p = 0.0035 untuk satu ekor. Uji signifikansi : perbedaan rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan cognitive restructuring (CR) (A1) dan kelompok yang mendapat perlakuan kombinasi CR dan SD(A3) sangat signifikan. Kesimpulan: dengan melihat rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan cognitive restructuring (CR) (A1) = 30.100 dan kombinasi CR dan SD (A3) = 10.000 sehingga dapat disimpulkan bahwa kelompok yang mendapat kombinasi CR dan SD lebih dapat menurunkan kecemasan dari pada kelompok yang mendapat perlakuan cognitive restructuring (CR). Harga t A1-A4 = -6.462 db = 36 p = 0.000 untuk satu ekor. Uji signifikansi : perbedaan rerata skor kecemasan antara cognitive restructuring (CR) dan kelompok kontrol sangat signifikan. Kesimpulan: dengan melihat rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan cognitive restructuring (CR) (A1) = 30.100 dan kelompok kontrol (A4) = 75.600 sehingga dapat disimpulkan bahwa cognitive restructuring (CR) lebih dapat menurunkan simtom kecemasan dari pada kelompok kontrol. Harga t A2-A3 = 2.173 db = 36 p = 0.017 untuk satu ekor. Uji signifikansi : perbedaan rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan systematic desensitization (SD) dan kombinasi CR dan SD signifikan. Kesimpulan: dengan melihat rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan systematic desensitization (SD) (A2) = 25.300 dan kombinasi CR dan SD (A3) = 10.000, sehingga dapat disimpulkan bahwa kelompok yang mendapat perlakuan kombinasi CR dan SD (A3) lebih dapat menurunkan tingkat kecemasan dibanding dengan kelompok yang mendapat perlakuan systematic desensitization (SD) (A2). Harga t A2-A4 = -7.143 db = 36 p = 0.000 untuk satu ekor. Uji signifikansi : perbedaan rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan systematic desensitization (SD) (A2) dan kelompok kontrol sangat signifikan. Kesimpulan: dengan melihat rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan systematic desensitization (SD) (A2) = 25.300 dan kelompok kontrol (A4) = 75.600. dapat disimpulkan bahwa kelompok yang mendapat perlakuan systematic desensitization (SD) (A2) lebih dapat menurunkan kecemasan dari pada kelompok kontrol. Harga t A3-A4 = -9.316 db= 36 p= 0.000 untuk dua ekor. Uji signifikansi : perbedaan rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan kombinasi SD dan CR (A3) dan kelompok kontrol sangat signifikan. Kesimpulan: dengan melihat rerata skor kecemasan antara kelompok yang mendapat perlakuan kombinasi SD dan CR (A3) = 10.000 dan kelompok kontrol (A4) = 75.600. Dapat disimpulkan bahwa kelompok yang mendapat perlakuan kombinasi SD dan CR(A3) lebih dapat menurunkan kecemasan dari pada kelompok kontrol. Berdasarkan uji t di atas dapat dirangkum bahwa kelompok yang diberi perlakuan strategi konseling kombinasi CR dan SD terdapat penurunan tingkat kecemasan yang lebih besar dibanding
12
Nursalim, Kombinasi Cognitive Restructuring dan Systimatic dengan kelompok yang mendapat strategi konseling cognitive restructuring (CR), dan systematic desensitization (SD) secara sendiri-sendiri. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan bahwa “ Cognitive restructuring (CR) yang dikombinasikan dengan systematic desensitization (SD) lebih efektif dari pada yang tanpa dikombinasikan untuk menangani kecemasan siswa SLTP". dapat diterima. Hasil analisis terhadap data tingkat kecemasan empat kelompok subyek pada ukuran sesudah perlakuan, ditemukan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan secara sangat signifikan antara kelompok subyek yang diberi CR, SD, kombinasi CR dan SD dan kelompok kontrol. Juga ditemukan bahwa CR, SD, kombinasi CR dan SD lebih dapat menurunkan kecemasan dari pada kelompok kontrol. Temuan tersebut mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Gatchel, dkk. (1977); Golfied, dkk (1974); Utami (1991); Wolpe (1996); Esti (1998), yang menemukan bahwa cognitive restructuring dan systematic desensitization dapat menurunkan berbagai jenis kecemasan dan dalam berbagai kelompok umur. Adanya penurunan rerata skor kecemasan pada kelompok eksperimen menunjukkan bahwa penurunan itu terjadi akibat adanya perlakuan yang diberikan yaitu pemberian strategi cognitif restructuring (CR) dan systematic desensitisation (SD), serta kombinasi diantara keduanya (CR dan SD). Hasil analisis berikutnya menunjukkan bahwa kelompok yang diberi perlakuan kombinasi CR dan SD terdapat penurunan tingkat kecemasan yang lebih besar dibanding dengan kelompok yang mendapat perlakuan CR dan SD yang tak dikombinasikan. Kelompok yang mendapat perlakuan CR sama dengan kelompok yang mendapat perlakuan SD dalam menurunkan tingkat kecemasan. Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa “Cognitive restructuring (CR) yang dikombinasikan dengan systematic desensitization (SD) lebih efektif dari pada yang tanpa dikombinasikan untuk menangani kecemasan siswa SLTP”. dapat diterima. Ketiga strategi (CR, SD, Kombinasi CR &SD) efektif untuk menurunkan kecemasan, di antara ketiga perlakuan tersebut yang paling efektif adalah kombinasi CR dan SD karena dapat menurunkan skor kecemasan paling banyak. Beberapa hal yang menyebabkan kombinasi CR dan SD paling efektif diantaranya adalah strategi tersebut mudah dilaksanakan oleh siswa (klien), siswa (klien) memiliki motivasi yang tinggi untuk melakukan berbagai tugas yang diberikan karena ia 160 140 120 100 80 60
Value
40 20
PRETES
0
POSTES
L O TR N OL KO TR L N O K O TR L N O KO TR L N O KO T R N SD KO dan D S R C n da SD R C dan D S R C n da D R nS da R C
C
SD
SD SD
SD
R
R
R
R
R
SD
C
C
C
C
C
STRATEGI
13
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60 berharap kecemasannya dapat berkurang, serta konselor memberi perlakuan konseling yang terbaik sehingga klien dapat berubah secara optimal. Selain itu, kelemahan pada masing-masing strategi dapat ditanggulangi oleh strategi yang lain, atau dapat dikatakan efikasi pada strategi CR dan SD menyatu sehingga dapat menurunkan kecemasan secara lebih optimal. Jika digunakan pengklasifikasian tingkat kecemasan yang merujuk pada pengklasifikasian skala alat ukur yang digunakan, yaitu: 1-46 = Kecemasan rendah, 47-95 = Kecemasan Sedang, 96ke atas = Kecemasan berat, maka ditemukan hasil sebagai berikut. Terdapat 9 subyek yang mendapat perlakuan CR termasuk dalam kategori kecemasan rendah dan ada 1 subyek yang masih tergolong kecemasan sedang. Pada subyek yang mendapat perlakuan SD, terdapat 9 subyek termasuk dalam kategori kecemasan rendah dan juga ada 1 subyek yang termasuk tingkat kecemasan sedang. Pada kelompok yang mendapat perlakuan kombinasi antara CR dan SD, semua subyek tergolong kecemasan rendah. Pada kelompok kontrol, walaupun ada penurunan skor kecemasan, namun terdapat 2 subyek termasuk dalam kategori kecemasan berat dan 8 lainnya termasuk kecemasan sedang. Bahkan pada kelompok kontrol, terdapat 2 subyek yang skor postesnya naik bila dibanding skor pretes kecemasan dan 2 subyek yang skor postes dan pretes sama/tetap. Untuk memperjelas hasil analisis deskriptif tesebut di atas, disajikan dalam bentuk grafik berikut. Grafik 1. skor kecemasan siswa sebelum dan sesudah perlakuan Keterangan: CR = Cognitive Restructuring SD = Systematic Desensitization CR & SD = kombinasi Cognitive Restructuring dan Systematic Desensitization Kontrol = kelompok kontrol _________ = pretes kecemasan ------------= postes kecemasan Hasil analisis deskriptif juga menunjukan bahwa semua subyek kelompok eksperimen telah mencoba mempraktekkan perlakuan untuk menghadapi kecemasan yang dihadapinya dan hampir semua subyek memiliki motivasi yang tinggi dan memiliki kemauan untuk berubah. Hal tersebut menjadi salah satu sebab adanya penurunan skor kecemasan pada subyek penelitian. Temuan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Beutler (1983) yang menyatakan keberhasilan suatu terapi sangat ditentukan oleh motivasi dan keterlibatan klien dalam proses terapi (Beutler, 1983). Pada kelompok kontrol juga ada 6 subyek yang mengalami penurunan skor kecemasan, meskipun penurunan tersebut hanya sedikit dan tidak signifikan. Penurunan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya perubahan secara alamiah pada subyek kelompok kontrol. Menurut Beutler (1983), pada diri seseorang walaupun tanpa memperoleh perlakuan secara formal secara alamiah mereka dapat berubah. Hasil analisis angket perlakuan dapat disimpulkan bahwa bahwa cognitive restructuring dan systematic desensitization memiliki manfaat yang sangat besar bagi klien, terbukti dengan pernyataan klien yang menyatakan bahwa dengan cognitive restructuring dan systematic desensitization dapat menghilangkan kecemasan yang di alami(73,33%), memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membantu menumbuhkan rasa percaya diri (70,00%), memiliki manfaat yang sangat besar (83,33%), sangat efektif dalam mengatasi kecemasan (86,67%) dan berperan besar dalam menolong diri klien (90,00%).
Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: pertama, terdapat perbedaan tingkat kecemasan secara sangat signifikan antara kelompok subyek yang diberi CR, SD, Kombinasi CR dan SD dengan kelompok kontrol. Kedua, ditemukan pula bahwa CR, SD, Kombinasi CR dan SD lebih dapat menurunkan simtom kecemasan siswa SLTP dari pada
14
Nursalim, Kombinasi Cognitive Restructuring dan Systimatic kelompok kontrol. Ketiga, kelompok yang diberi Kombinasi CR dan SD terdapat penurunan tingkat kecemasan yang lebih besar dibanding dengan kelompok yang mendapat perlakuan CR, SD secara sendiri-sendiri. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa untuk mengatasi kecemasan siswa lebih dianjurkan menggunakan kombinasi CR dan SD, dari pada menggunakan CR dan SD secara sendiri-sendiri. Berdasarkan simpulan dapat direkomendasikan: pertama, bagi praktisi yang akan menggunakan CR, SD, Kombinasi CR dan SD perlu menekankan pada klien bahwa keberhasilan klien dalam mengatasi masalahnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri. Meski demikian praktisi perlu juga menciptakan suasana yang dapat menimbulkan motivasi klien dalam mengatasi kecemasannya. Kedua, penelitian yang akan datang perlu adanya konseling secara kelompok untuk menangani kecemasan. Ketiga, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang implemantasi CR, SD, Kombinasi CR dan SD untuk mengatasi kecemasan dengan subyek yang berbeda dan jumlah yang lebih banyak.
Daftar Acuan Adler, R. B. & Rodman, G., 1985, Understanding Human Comunication, New York: Holt, Rinehart and Winston. Blackburn & Davidson, 1990, Terapi Kognitif, Jakarta: Rajawali. Blackham, G. 1981, Counseling:theory, process, and practice. Belmont, California: Wadsworth Publising Company. Bootzin, R. S, 1991, Behavior Modifikation and Therapy: An Introduction. Cambridge: Winthrop Publisher. Bower, S, 1986, Painless Publick Speaking, New York: Thorson Publishing Group. Burgoon, P. M & Ruffner, M. 1978, Human Coamunication, New York: Holt, Rinehart and Winston Byrne, D.& Kathryn K., 1981, An Intruduction to Personality. New Jersey: Prencite Hall, Inc. Cormier, W.H., & Cormier L. S., 1985. Interviewing Strategies for Helpers, Monterey California: Brooks/Cole Publishing. Elmore, R. T., Wildman R. W. dan Westefeld, J. S., 1980. The use of systematic desensitization in the treatment of blood phobia, Journal of Behavioral Therapy and Experiment Psychiatry, 11, 277 – 279. Kirsch, I., & Henry, D. 1979. Self desensitization and mediation in the reduction of public speaking anxiety. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 47, 536-541. Lent, R. W., Russell, R. K., & Zamostny, K.P.(1981), Comparison of cue-controlled desensitization, rational restructuring and acredible placebo in the treatment of speech anxiety, Journal of Consulting and Clinical Psychology, 49, 608-610. Reed, W. H., 1980. In vivo desensitization in the treatment of chonic emesis following gastrointestinal surgery. Behavior Therapy, 11, 421-427. Rimm, D. C. & Masters, J. C., 1979. Behavior therapy: Technique and empirical finding, New York: Academic Press. Schinder, F. E, 1980. Treatment by systematic desensitization of a recurring nightmare of a real life trauma. Behavior Therapy and Experimental Psychiatry, 11, 53-54. Ultee, C. A, et. al., 1982. The reduction of anxiety in Children: A comparation of the effect of “systematic desensitization in vitro and sistematic desensitization in vivo. Behavior reseach and Therapy, 20, 61- 67. Van Hasselt, V. B. et.al., 1979. Tripartitle of assesment of effect of systematic desensitization in a multi phobic child: An experimental analisys. Behavior Therapy and Experimental Psychiatry, 10, 51-55. Watson D. L & Trap R. G, 1981, Self direct behavior: Self modification for personal adjustment, Monterey: Brook /Cole. Wolpe, J., 1982, The Practice of Behavior Therapy, New York: Pergamon Press. Wolpe, J. & Lazarus E.G., 1996, The Receprocal Inhibition Theory. Boston : Little Brown and Co.
15
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005: 1 - 60
16