KKOMPILASI KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Edisi Kesebelas
DEPARTEMEN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN 2009 i
KOMPILASI KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Hak cipta © Tim Penyusun 1992/1993 All rights reserved Penyusun: Tim Puslitbang Kehidupan Beragama Tim Revisi Edisi ke-11: Abd. Rahman Mas’ud & A. Salim Ruhana Edisi ke-11, September 2009 Diterbitkan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Bayt al-Quran dan Museum Istiqlal Komplek Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Lantai III Telp. (021) 87790189 Faks. (021) 87793540 www.balitbangdiklat.depag.go.id Desain sampul: AsaR Tata letak: Imam Syaukani
Perpustakaan Nasional RI, Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Beragama KOMPILASI KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA oleh Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Beragama; Tim Revisi Edisi ke-11 Edisi 11 —— Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, September 2009 324 hlm, 14,8 x 21 cm ISBN : 978-979-99855-5-2 Dicetak oleh CV. PRASASTI ii
TIM PENYUSUN EDISI PERTAMA Drs. H. Hasbullah Mursyid H. Muh. Nahar Nahrawi, SH Drs. H.M. Yusuf Asry Drs. H. Nuhrison M. Nuh Drs. H. Syuhada Abduh Drs. H. Harisun Arsyad Drs. Bashori A. Hakim Dra. Titik Suwariyati
Pengarah Ketua Wk. Ketua Sekretaris Anggota Anggota Anggota Anggota
TIM REVISI EDISI KESEBELAS Abd.Rahman Mas’ud A. Salim Ruhana
iii
iv
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT DEPARTEMEN AGAMA RI Saya menyambut baik diterbitkannya kembali buku Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama; di mana berbagai kalangan juga telah menyatakan harapannya agar buku ini diterbitkan kembali. Sejak awal buku ini diperuntukkan bagi mereka yang berkecimpung dalam upaya-upaya peningkatan kerukunan umat beragama, baik dari kalangan pejabat pemerintah, para pemuka agama maupun masyarakat umum. Buku ini akan memudahkan mereka untuk menelusuri, mempelajari, atau mempergunakan beberapa ketentuan hukum yang terkait hubungan antarumat beragama. Oleh karena itu, Saya memandang buku ini sangat penting sebagai pedoman bagi para pejabat pemerintah dan pemuka agama dalam melakukan kerja-kerja kerukunan serta masyarakat umum yang tertarik dalam menciptakan kerukunan umat beragama yang lebih baik di masa depan. Seiring tumbuh dan berkembangnya berbagai masalah kerukunan umat beragama dan terbitnya beberapa kebijakan baru pemerintah terkait pengaturan kehidupan beragama, Saya me-ng-apresiasi segala bentuk upaya penyempurnaan buku ini. Saya berharap dengan penyempurnaan ini akan lebih mendekatkan substansi buku ini dengan persoalan yang dihadapi masyarakat. Sehingga buku ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam penyelesaian persoalan terkait. Saya berharap buku ini akan terus dinamis merespon segala perubahan sosial yang terjadi dan berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Saya bersyukur buku ini telah memenuhi harapan di atas dengan mencantumkan peraturan perundang-undangan terbaru dalam setiap penerbitannya, baik dalam bentuk UU, Ketetapan Presiden, Peraturan dan Keputusan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung, Instruksi Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, maupun Surat Edaran Menteri Agama dan Menteri Dalam v
Negeri, serta beberapa surat keputusan dan edaran pejabat terkait setingkat eselon satu. Akhirnya, semoga kehadiran buku ini dapat mencapai tujuannya yakni sebagai salah satu instrumen dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Jakarta, September 2009 Pgs.Kepala, Badan Litbang dan Diklat,
Prof. DR. H.M. Atho Mudzhar NIP. 19481020 196612 1 001
vi
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat menerbitkan kembali buku Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama. Kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional. Mengabaikan persoalan ini akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup manusia dan kemanusiaan, sekaligus mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemerintah, sebagai institusi negara yang telah diberikan kewenangan konstitusional untuk mengatur tata sosial masyarakat, berkewajiban untuk menyiapkan perangkat hukum yang dapat mendukung agar kerukunan umat beragama tetap terjaga. Kerukunan ini bukan barang jadi. Ia memerlukan kreatifitas dan inovasi sehingga kerukunan tidak lagi terlihat sekadar gagasan dari atas atau pemerintah, tetapi ia telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat dalam membangun kehidupan keagamaan, berbangsa, dan bernegara yang harmonis dalam bingkai NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, berbagai peraturan tentang kehidupan keberagamaan hendaklah dikembangkan dalam proses internalisasi dan sosialisasi. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka upaya menerbitkan kembali buku Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama, yang pada tahun 2009 ini sudah memasuki edisi kesebelas, patut dihargai. Pada edisi kesebelas ini, tidak terdapat perubahan berarti selain adanya penambahan terkait dengan masalah ‘agama anak’ yang diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang kami nilai penting dimasukan dalam buku kompilasi ini. Dengan revisi di atas, diharapkan buku ini semakin sempurna
vii
dan memberikan manfaat bagi banyak pihak dalam menciptakan kerukunan umat beragama Akhirnya, kami ucapkan terikasih kepada Kepala Badan Litbangdan Diklat Departemen Agama yang telah memberikan kata sambutan dan semua pihak yang turut serta membantu terbitnya buku ini.
Jakata, September 2009 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
Prof, H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005
viii
CATATAN TIM REVISI EDISI KESEBELAS Buku Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama ini merupakan cetak ulang yang kesebelas kalinya. Seperti halnya yang dilakukan terhadap edisi-edisi sebelumnya, pada edisi ini kami berupaya menambahkan atau melengkapinya dengan kebijakan atau peraturan perundangan yang kami nilai penting dan relevan dengan upaya pemeliharan kerukunan umat beragama.Namun, tidak banyak penambahanpada edisi yang kesebelas ini karena pada masa-masa ini belum ada peraturan perundangan baru terkait kerukunan beragama yang terbit. Atas masukan dan pertimbangan dari berbagai pihak, kami melihat perlunya memasukan peraturan terkait anak dalam buku kompilasi ini . Hal ini karena beberapa permasalahan terkait anak sempat mengemuka belakangan ini, misalnya terkait pengangkatan dan pengasuhan anak dalam kaitannya dengan agama anak dan sebagainya. Kami menyadari bahwa revisi buku ini bukanlah karyaperseorangan tetapi hasil sumbangsih banyak pihak, baik yang secara langsung membantu maupun yang tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami dengan setulus hati mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penyempurnaan edisi ini. Akhirnya, semoga buku ini bermanfaat dan memberi kontribusi bagi upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Jakarta, September 2009 Abd. Rahman Mas’ud A. Salim Ruhana
ix
x
DAFTAR ISI Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama ..................................................... Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan.. . Catatan Tim Revisi Edisi Kesebelas ...................................... Daftar Isi ............................................................................
v vii ix xi
BAB I
1
: PENDAHULUAN .................................................. A. Latar Belakang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama .......................................... B. Konsep Kerukunan Umat Beragama............ C. Kebijakan dan Upaya-upaya Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama ...
BAB II : AGAMA DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ...................................... A. Indonesia Bukan Negara Agama dan Bukan Negara Sekuler ........................................... B. Agama dan Negara dalam UUD 1945 Pasca Amandemen ..................................... C. Kebebasan Beragama yang Bertanggung Jawab .......................................................... BAB III : KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA ............................................ A. Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan ..... 1. Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan .................................. 2. Pembentukan Organisasi Kemasyarakatan ................................... a. Jenis dan Cara Pembentukan ........... b. Asas dan Tujuan .............................. c. Fungsi, Hak dan Kewajiban .............. 3. Pembinaan dan Bimbingan .................... 4. Sanksi Hukum .......................................
1 4 7 13 13 16 19
27 27 28 29 29 29 30 30 32
xi
B.
xii
a. Pembekuan dan Pembubaran.......... b. Tatacara Pembekuan dan Pembubaran ..................................... 5. Keberadaan, Fungsi dan Tujuan Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan .......................................................... a. Majelis-majelis Agama .................... b. Wadah Musyawarah Antarumat Beragama ...................... c. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) ............................................. d. Kedudukan Hukum Perkumpulan Gereja .............................................. 6. Pengumpulan Dana Organisasi ............. a. Bantuan Dana Organisasi Kemasyarakatan dari dan ke Luar Negeri ...................................... b. Pengumpulan Dana Organisasi Kemasyarakatan Dalam Negeri ...... Penyiaran Agama dan Tenaga Keagamaan 1. Penyiaran Agama ................................. a. Pedoman Penyiaran Agama ........... b. Tatacara Penyiaran Agama ............. c. Penyelenggaraan Hari-hari Besar Keagamaan ..................................... d. Bimbingan Pelaksanaan Dakwah ... e. Masalah Perbedaan Pendapat Keagamaan ..................................... 2. Tenaga Keagamaan ............................. a. Bantuan Tenaga Keagamaan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia ................ b. Pendataan Tenaga Asing ................ c. Rekomendasi bagi Tenaga Asing yang Melakukan Kegiatan Keagamaan di Indonesia .................. d. Rekomendasi bagi Tenaga Asing
32 33 34 34 40 42 46 46 46 47 48 48 48 49 51 52 55 55 55 56 57
di Bidang Keagamaan yang Mengajukan Naturalisasi ................. C. Pedoman Pendirian dan Penggunaan Rumah Ibadat .............................................. 1. Pendirian Rumah Ibadat ...................... a. Prosedur Pendirian Rumah Ibadat... 1) Rumah Ibadat dan Keperluan Nyata dan Sungguh-sungguh..... 2) Persyaratan Pendirian Rumah Ibadat ......................................... 3) Rekomendasi FKUB ................... 4) Izin Pendirian Rumah Ibadat ...... b. Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung .......................... 1) Persyaratan Memperoleh Izin Sementara .................................. 2) Pemberian Pertimbangan .......... 3) Masa Berlaku Izin Sementara .... 4) Pelimpahan Wewenang ............. c. Penyelesaian Perselisihan .............. 2. Tatacara Permohonan Pembangunan Rumah Ibadat (Khusus DKI Jakarta) ... 3. Pertimbangan Pemberian Izin Pembangunan Rumah Ibadat (Khusus DKI Jakarta) ........................... 4. Penggunaan Rumah Ibadat ................. 5. Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Rumah Ibadat .......................... a. Pengertian ........................................ b. Pemasangan Pengeras Suara .......... c. Pemakaian Pengeras Suara ............. d. Hal-hal yang Perlu Dihindari ............. e. Suara dan Kaset .............................. f. Penjagaan Kesunyian di Rumah Ibadat ...............................................
59 60 60 60 60 61 61 64 61 62 62 63 63 63 64 65 67 68 69 69 69 71 72 72
xiii
6.
Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Keppres No. 55 Tahun 1993) .. a. Pokok-pokok Kebijakan Pengadaan Tanah ............................................... b. Panitia, Musyawarah dan Ganti Kerugian .......................................... c. Pengadaan Tanah Skala Kecil ........ D. Hubungan Antaragama dalam Bidang Pendidikan, Perkawinan, Penguburan Jenazah dan Upacara Hari-hari Besar Keagamaan ................................................. 1. Bidang Pendidikan ............................... a. Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan b. Peserta Didik.................................... 2. Bidang Perkawinan ................................ a. Perkawinan di Kalangan Masyarakat Umum/Sipil ...................................... b. Perkawinan di Kalangan TNI dan POLRI .............................................. c. Agama Anak................................... d. Perkawinan Penganut Agama Khonghucu ....................................... 3. Bidang Penguburan Jenazah ................. 4. Bidang Upacara Hari-hari Besar Keagamaan ........................................... E. Pengamanan Terhadap Barang Cetakan ....... 1. Pelarangan terhadap Peredaran Barang Cetakan ..................................... 2. Impor Buku-buku Agama ....................... 3. Pengawasan terhadap Mushaf al-Quran F. Sumpah dan Janji ......................................... G. Penodaan dan Penghinaan Agama.............. 1. Pembekuan Aliran Kepercayaan/ Kerohanian ............................................ 2. Tugas dan Wewenang Kejaksaan Agung .................................................... 3. Instansi yang Membekukan Aliran..........
xiv
73 73 74 76
76 76 76 76 77 77 80 81 83 84 85 89 89 88 90 91 91 91 92 92
4. Sanksi Pidana Penodaan ...................... BAB IV : PENUTUP ............................................................
92 95
LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................ 1. Undang-Undang Dasar 1945 .......................................... 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan .......................................... 3. Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik .............................................................. 4. Penetapan Presiden RI No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama .......................................................... 5. Penetapan Presiden RI No. 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum .................. 6. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya ................................ 7. Undang-Undang No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-undang ................. 8. Petunjuk Presiden sehubungan dengan Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 .................................. 9. Instruksi Menteri Agama RI No. 3 Tahun 1995 tentang Tindak Lanjut Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/mdn-mag/ 1969 di Daerah .............................................................. 10. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia ......... 11. Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980 tentang Wadah Musyawarah Antarumat Beragama .......
97 99 126 141 182 190
194 198 206
207
210 216
xv
12. Keputusan Pertemuan Lengkap Wadah Musyawarah Antarumat Beragama tentang Penjelasan atas Pasal 3, 4 dan 6 serta Pembetulan Susunan Penandatanganan Pedoman Dasar wadah Musyawarah Antarumat Beragama ................................ 13. Instruksi Menteri Agama RI No. 3 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama di Daerah sehubungan dengan Telah Terbentuknya wadah Musyawarah Antarumat Beragama ..................................................... 14. Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep-108/JA/5/1984 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat .................................... 15. Surat Kawat Menteri Dalam Negeri No. 264/KWT/ DTPUM/DV/V/1975 perihal Penggunaan Rumah Tempat Tinggal sebagai Gereja ...................................... 16. Surat Kawat Menteri Dalam Negeri No. 933/KWT/ SOSPOL/DV/V/1975 perihal Penjelasan terhadap Surat Kawat Menteri Dalam Negeri No. 264/KWT/ DTPUM/DV/V/1975 perihal Penggunaan Rumah Tempat Tinggal sebagai Gereja, tanggal 28 November 1975 .............................................................. 17. Instruksi Menteri Agama No. 4 Tahun 1978 tentang Kebijaksanaan Mengenai Aliran-aliran Kepercayaan ................................................................. 18. Instruksi Menteri Agama No. 8 Tahun 1979 tentang Pembinaan, Bimbingan dan Pegawasan terhadap Organisasi dan Aliran dalam Islam yang Bertentangan dengan Ajaran Islam ...................................................... 19. Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 tentang Penyelenggaraan Hari-hari Besar Keagamaan .. 20. Keputusan Pertemuan Lengkap Wadah Musyawarah Antarumat Beragama tentang Hari-hari Besar Keagamaan ......................................................... 21. Instruksi Direktur Jenderal Bimas Islam No. Kep/D/101/ 78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla ........................ 22. Keputusan Menteri Agama RI No. 84 Tahun 1996
xvi
223
228 233 238
240 242
244 247 251 255
23. 24. 25. 26. 27.
28.
29. 30. 31. 32. 33.
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup Umat Beragama............... Keputusan Presiden RI No. 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina .... Keputusan Presiden RI No. 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek .................................................... Keputusan Menteri Agama RI No. 331 Tahun 2002 tentang Penetapan Hari Tahun Baru Implek sebagai Hari Libur Nasional ......................................................... Surat Mahkamah Konstitusi No. 356/PAN. MK/ XII/2005 perihal Penjelasan Mahkamah Konstitusi, tanggal 28 Desember 2005 ............................................ Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat .............. Surat Menteri Agama No. MA/12/2006 perihal Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu, tanggal 24 Januari 2006 ................................................. Surat Menteri Dalam Negeri No. 470/336/SJ perihal Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu, tanggal 24 Februari 2006 ............... Instruksi Menteri Agama No. 1 Tahun 2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu ........ Edaran Sekretaris Jenderal No. SJ/B.VII/1/BA.01.2/ 623/06 perihal Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu, tanggal 21 Maret 2007 ................... Edaran Menteri Dalam Negeri No. 450/2576/SJ perihal Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Dewan Penasihat FKUB ............ Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor : 3 Tahun 2008, Nomor : KEP-033/A/JA/6/ 2008, Nomor : 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut Anggota, dan atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga Masyarakat ...........................
265 284 286 288 291
293
311 313 315 319 321
323 xvii
xviii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama
Bangsa Indonesia dikenal sebagai sosok bangsa yang sangat pluralistik, memiliki berbagai nuansa kemajemukan yang mewujud dalam kelompok-kelompok etnis dengan kekhasan latar belakang bahasa daerah, tradisi, adat istiadat, seni, budaya, dan agama. Mengamati sosok kemajemukan bangsa Indonesia yang demikian, salah seorang sosiolog Amerika Serikat terkenal, Hildred Geertz dalam sebuah tulisannya berjudul Indonesiaan Cultures and Communities, secara tepat melukiskan sebagai berikut: Terdapat lebih dari 300 kelompok etnis yang berbedabeda di Indonesia, masing-masing dengan identitas budayanya sendiri-sendiri, dan lebih dari 250 bahasa daerah dipakai dan hampir semua agama-agama penting dunia diwakili, selain agama-agama asli yang banyak jumlahnya.1 Kemajemukan itu menempatkan Indonesia bagaikan mozaik. Laiknya sebuah mozaik, jika direnungkan sesaat, di dalam diri Indonesia tercermin apa yang pernah diucapkan seorang antropolog Prancis, Claude Levi-Strauss, pada 1955: “keragaman ada di belakang, di depan, dan bahkan, di sekeliling kita”. Dengan demikian, bagi Indonesia, keragaman dalam berbagai hal itu memang sebuah realitas, sama sekali bukan baru sebuah dugaan. Di atas, dan atas nama keragaman itu, Indonesia sesungguhnya adalah taman yang luar biasa indah, sehingga berada di dalamnya tidak merasa jemu. Indonesia adalah tempat yang sangat menjanjikan bagi semua untuk saling mengunjungi dan mengapresiasi, dan di atas segala-galanya, negara ini ibarat rumah bagi semua untuk saling berbagi dengan memberi. Satu-satunya yang dibutuhkan adalah mencari jalan bagaimana membuat keragaman itu menjadi berharga dan bermanfaat bagi semua.2 1 Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002), hlm. 229-230 2 Achmad Syahid & Zainuddin Daulay (Ed.), Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2002), hlm. xxix.
1
Walaupun hidup dalam suasana kemajemukan, bangsa Indonesia secara keseluruhan tetap merasa sebagai satu bangsa karena disatukan oleh berbagai bentuk kepahitan dan kegetiran pengalaman sejarah yang sama dalam perjuangan panjang menentang kolonialisme. Simbol kebangsaan ini secara jelas dieks-presikan oleh Para Pendiri Republik (the founding fathers) ini dalam suatu motto terkenal “Bhinneka Tunggal Ika”. Diambil dari kitab Sutasoma karangan Mpu Prapanca, motto tersebut berarti mengakui adanya “unitas dalam diver-sitas” atau “diversitas dalam unitas” dalam spektrum dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Penduduk Indonesia tidak memusat tetapi menyebar di ribuan pulau. Penyebaran penduduk di pulau-pulau tersebut tidak merata, ada pulau yang relatif kecil tetapi dihuni penduduk yang sangat padat seperti pulau Jawa. Pulau ini hanya memiliki luas sekitar 6,89% dari seluruh luas wilayah Indonesia tetapi dihuni oleh 59,99% penduduk Indonesia. Sebaliknya pulau Papua yang luasnya 21,99% dari seluruh wilayah Indonesia ternyata dihuni hanya oleh 0,92% penduduk Indonesia. Kepadatan penduduk di pulau Jawa per kilometer persegi 814 jiwa, sedangkan Papua, untuk luas yang sama hanya dihuni oleh 4 jiwa saja. Di samping keanekaragaman suku bangsa dan tidak meratanya penyebaran penduduk, bangsa Indonesia juga menganut berbagai agama dengan sebagian besar memeluk agama Islam. Hasil pendataan yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2005, selengkapnya menyatakan bahwa dari 208.819.860 jiwa penduduk Indonesia, pemeluk agama Islam berjumlah 182.083.594 jiwa atau 87,20%, Kristen berjumlah 12.964.795 jiwa atau 6,20%, Katolik berjumlah 6.941.884 jiwa atau 3,32%, Hindu berjumlah 4.586.754 jiwa atau 2,20%, dan Buddha berjumlah 2.242.833 jiwa atau 1,07%.3 Kemajemukan agama terjadi karena masuknya agama-agama 3 Biro Pusat Statistik (2005) dalam Tim Penyusun, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup umat Beragama (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2007), hlm. 1.
2
besar ke Indonesia yang diawali oleh agama Hindu, kemudian Buddha, Islam, Katolik, dan selanjutnya Kristen. Proses pengembangan dan penyebaran agama-agama tersebut berlangsung dalam suatu rentangan waktu yang cukup panjang sehingga terjadi pertemuan antara agama yang satu dengan yang lainnya. Dalam pertemuan agama-agama tersebut kadang-kadang timbul potensi integrasi dan kadang-kadang muncul potensi kompetisi tidak sehat yang dapat menimbulkan benturan-benturan sesama umat. Indonesia, sebagai negara yang pernah lama dijajah dahulu, telah ditanamkan akarakar perselisihan dan pertentangan baik yang berdasarkan pada berbedaan suku, politik maupun agama oleh kaum penjajah melalui “politik memecah belah” (devide et impera). Kemajemukan tidak semata-mata terjadi secara eksternal karena perbedaan konsep teologis antara agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu tetapi juga secara internal. Masing-masing agama tersebut secara sosiologis ternyata tidak tunggal. Di dalamnya tumbuh dengan subur sekte-sekte, aliran atau faham keagamaan yang berbeda-beda pula. Perbedaan secara internal ini, dalam banyak kasus juga berpotensi memicu konflik intraumat beragama. Manakala pihak-pihak yang terlibat tidak bisa saling menghargai perbedaan pendapat masing-masing. Sebaliknya, bila umat beragama yang bersangkutan bisa memanfaatkan perbedaan pendapat itu sebagai bagian dari rahmat Tuhan, tentu ia akan jadi sebuah modal sosial (social capital) bagi peningkatan kualitas sosial umat beragama tersebut.4 Dengan demikian, keanekaragaman suku, bahasa, adatistiadat dan agama tersebut merupakan suatu kenyataan yang harus disyukuri sebagai kekayaan bangsa. Namun, tingginya pluralisme bangsa Indonesia membuat potensi konflik bangsa Indonesia juga tinggi. Potensi perpecahan dan kesalahpahaman juga tinggi. Baik konflik dalam skala kecil maupun dalam skala besar. Dalam skala kecil, konflik tercermin pada komunikasi tidak sambung atau tidak 4 Fukuyama mendefinisikan modal sosial (social capital) sebagai serangkaian nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka. Francis Fukuyama, Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran (Jakarta: Qalam, 2007), hlm. xii.
3
berjalan sebagaimana mestinya, sehingga menyebabkan rasa tersinggung, marah, frustasi, kecewa, dongkol, bingung, bertanyatanya, dan lain-lain. Sementara itu, konflik dalam skala besar mewujud dalam, misalnya, kerusuhan sosial, kekacauan multibudaya, perseteruan antarras, etnis, dan agama.5 Menyadari hal tersebut, sudah barang tentu diperlukan kearifan dan kedewasaan di kalangan umat beragama untuk memelihara keseimbangan antara kepentingan kelompok dan kepentingan nasional. Guna mewujudkan hal tersebut, umat beragama tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Diperlukan interaksi aktif antara berbagai pihak, baik antarumat yang seagama maupun antarumat yang berbeda agama. Interaksi ini dibangun di atas landasan niat baik untuk bekerja sama dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera. Kepedulian terhadap penciptaan kerukunan umat beragama lebih-lebih harus ditunjukkan oleh pemerintah. Pemerintah harus bertindak sebagai wasit yang adil untuk mengatur lalu lintas pengamalan ajaran agama agar hubungan antarumat beragama dapat terwujud secara harmonis. Untuk itu pemerintah selama ini telah mengeluarkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan pemeliharaan kerukunan umat beragama. B.
Konsep Kerukunan Umat Beragama
Menteri Agama, K.H. M. Dachlan, dalam pidato pembukaan Musyawarah Antar Agama tanggal 30 Nopember 1967 antara lain menyatakan: Adanya kerukunan antara golongan beragama adalah merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi yang menjadi program Kabinet AMPERA. Oleh karena itu, kami mengharapkan sungguh 5 Secara umum konflik antar pemeluk agama disebabkan oleh beberapa faktor seperti: pelecehan terhadap agama dan pemimpin spiritual sebuah agama tertentu, perlakuan aparat yang tidak adil terhadap salah satu pemeluk agama tertentu, kecemburuan sosial-ekonomi dan pertentangan kepentingan politik. M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
4
adanya kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat beragama untuk menciptakan “iklim kerukunan beragama ini, sehingga tuntutan hati nurani rakyat dan cita-cita kita bersama ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang dilindungi Tuhan Yang Maha Esa itu benarbenar dapat berwujud”. Dari pidato K.H. M. Dachlan tersebutlah istilah “Kerukunan Hidup Beragama” mulai muncul dan kemudian menjadi istilah baku dalam berbagai dokumen negara dan peraturan perundangundangan, seperti dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Keputusan Presiden (buku REPELITA) dan Keputusan-keputusan Menteri Agama, bahkan sejak REPELITA I telah diadakan satu proyek dengan nama Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama. Kata kerukunan berasal dari kata dasar rukun, berasal dari bahasa Arab, ruknun (rukun) jamaknya arkan berarti asas atau dasar, misalnya: rukun Islam, asas Islam atau dasar agama Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti rukun adalah sebagai berikut: Rukun (nnomina): (1) sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti: tidak sah sembahyang yang tidak cukup syarat dan rukunnya; (2) asas, berarti: dasar, sendi: semuanya terlaksana dengan baik, tidak menyimpang dari rukunnya; rukun Islam: tiang utama dalam agama Islam; rukun iman: dasar kepercayaan dalam agama Islam. Rukun (a-ajektiva) berarti: (1) baik dan damai, tidak berten-tangan: kita hendaknya hidup rukun dengan tetangga: (2) bersatu hati, bersepakat: penduduk kampung itu rukun sekali. Merukunkan berarti: (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan: (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup bersama. Kata rukun (n) berarti perkumpulan yang berdasar tolongmenolong dan persahabatan; rukun tani: perkumpulan kaum tani, rukun tetangga: perkumpulan antara orang-orang yang bertetangga, 6 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdiknas dan Balai Pustaka, 2005), hlm. 966.
5
rukun warga atau rukun kampung: perkumpulan antara kampungkampung yang berdekatan (bertetang-ga, dalam suatu kelurahan atau desa).6 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kerukunan hidup umat beragama mengandung tiga unsur penting: Pertama, kesediaan untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelompok lain. Kedua, kesediaan membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya. Dan ketiga, kemampuan untuk menerima perbedaan selanjutnya menikmati suasana kesahduan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka mengamalkan ajaran agamanya. Adapun formulasi kerukunan tersebut pada dasarnya adalah sebagai aktualisasi dari keluhuran masing-masing ajaran agama yang menjadi anutan dari setiap orang. Lebih dari itu, setiap agama adalah pedoman hidup bagi kesejahteraan hidup umat manusia yang bersumber dari ajaran ketuhanan. Dalam terminologi yang digunakan oleh Pemerintah secara resmi, konsep kerukunan hidup umat beragama mencakup 3 kerukunan, yaitu: (1) kerukunan intern umat beragama; (2) kerukunan antar umat beragama; dan (3) kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah. Tiga kerukunan tersebut biasa disebut dengan istilah “Trilogi Kerukunan”.7 Sedangkan dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian rumah Ibadat dinyatakan bahwa: Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan 7 Alamsjah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Departemen Agama, 1982), hlm. 12.
6
bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mencermati pengertian kerukunan umat beragama, tampaknya Peraturan Bersama di atas mengingatkan kepada bangsa Indonesia bahwa kondisi ideal kerukunan umat beragama, bukan hanya tercapainya suasana batin yang penuh toleransi antarumat beragama, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mereka bisa saling bekerjasama. C.
Kebijakan dan Upaya-upaya Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama
Bermula dari munculnya berbagai ketegangan antar berbagai agama terutama antara Islam dan Kristen/Katolik di beberapa daerah, yang jika tidak segera diatasi akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, diselenggarakan Musyawarah Antar Agama tanggal 30 November 1967 oleh Pemerintah dan berlangsung di Gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Jakarta. Pada saat itu, (Pejabat) Presiden Soeharto dalam sambutannya menyatakan: Secara jujur dan dengan hati terbuka, kita harus berani mengakui, bahwa musyawarah antar agama ini justru diadakan oleh karena timbul berbagai gejala di beberapa daerah yang mengarah pada pertentangan-pertentangan agama. Pemerintah memang sangat berhati-hati dalam memberikan penilaian terhadap gejala-gejala itu, yang secara lahiriah memang bersifat lokal dan bersumber pada salah pengertian; bahkan mungkin telah pula sengaja ditimbulkan oleh kegiatan gerakan politik sisasisa G30S/PKI, alat-alat negara kita kemudian cukup mempunyai dokumen-dokumen bukti bahwa sisa-sisa G30S/PKI merencanakan memecah belah persatuan kita dengan usaha mengadudombakan antara suku, antara golongan, antara agama dan lain sebagainya. Akan tetapi di lain pihak, Pemerintah sungguh-sungguh merasa prihatin yang sangat mendalam; sebab apabila masalah tersebut tidak segera kita pecahkan bersama secara tepat
7
maka gelaja-gejala tersebut akan dapat menjalar ke manamana yang dapat menjadi masalah nasional. Bahkan, mungkin bukan sekadar masalah nasional, melainkan dapat mengakibatkan bencana nasional”. Presiden Soeharto dalam musyawarah tersebut juga memberikan pokok-pokok pikiran yang mendasar tentang perlunya tata cara atau dapat dianggap sebagai pokok-pokok kode etik penyiaran agama, dan keharusan mematuhi ketentuan hukum dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. Presiden menyatakan: Pemerintah tidak akan menghalang-halangi suatu penyebaran agama. Akan tetapi, hendaknya penyebaran agama tersebut ditujukan kepada mereka yang belum beragama, yang masih terdapat di Indonesia, agar menjadi pemeluk-pemeluk agama yang yakin. Penyebaran agama tidak ditujukan semata-mata untuk memperbanyak pengikut, apalagi apabila cara-cara penyebaran agama tersebut dapat menimbulkan kesan bagi masyarakat pemeluk agama yang lain, seolah-olah ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk agama tersebut. Presiden mengharapkan sungguh-sungguh kiranya semua pemuka agama dan masyarakat: “Benar-benar melaksanakan jiwa dan semangat toleransi yang jelas diajarkan oleh setiap agama dan Pancasila”. Musyawarah dihadiri pemuka-pemuka agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Pemerintah mengusulkan perlunya dibentuk Badan Konsultasi Antar Agama dan ditandatangani bersama suatu piagam yang isinya antara lain menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain. Musyawarah menerima usulan Pemerintah tentang pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama, tetapi tidak dapat menyepakati penanda-tanganan piagam yang telah diusulkan oleh Pemerintah tersebut. Hal itu disebabkan oleh sebagian pimpinan agama belum dapat menyetujui usulan pemerintah (Presiden) tersebut, terutama yang menyangkut “agar tidak boleh menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain”.
8
Musyawarah tersebut merupakan pertemuan pertama antara semua pimpinan/pemuka agama-agama di Indonesia, untuk membahas masalah yang memang sangat mendasar dalam hubungan antarumat bergama di Indonesia. Pertemuan tersebut kelak akan diikuti oleh berbagai jenis kegiatan antar agama, antara lain berupa: dialog, konsultasi, musyawarah, kunjungan kerja pimpinan majelis-majelis agama secara bersama ke daerah-daerah, seminar antar cendekiawan berbagai agama, sarasehan pimpinan generasi muda agama, dan sebagainya. Pemerintah terus mengusahakan pertemuan dan konsultasi dengan pimpinan agama-agama yang ada di Indonesia. Usaha Menteri Agama K.H. M. Dachlan untuk membentuk Badan Kontak Antar Agama diteruskan oleh Menteri-Menteri Agama berikutnya, yaitu H.A. Mukti Ali dan H. Alamsjah Ratu Perwiranegara. Pada periode Menteri Alamsjah-lah Badan Kontak tersebut dapat dibentuk dengan nama Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (WMAUB). Badan ini terbentuk dengan SK Menteri Agama No. 35 Tahun 1980, yakni setelah 13 tahun diadakan Musyawarah Antar Agama yang pertama 1967. Pembentukan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama tersebut dapat diwujudkan setelah diadakan serangkaian pertemuan oleh wakil-wakil Majelis Agama dan pejabat-pejabat Departemen Agama. Dalam Pertemuan Tingkat Puncak antara pimpinan MajelisMajelis agama dan pejabat-pejabat Departemen Agama tanggal 30 Juni 1980 di Jakarta telah disepakati Pedoman Dasar tentang Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang menjadi dasar bagi pembentukan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama oleh Menteri Agama. Kendati wadah di atas belum sempat berjalan secara efektif, namun sejak saat itu upaya-upaya peningkatan kerukunan umat beragama dalam berbagai bentuk terus dilakukan, baik oleh pemerintah pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Soesilo Bambang Yudhoyono maupun oleh masyarakat yang dipelopori oleh perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Berbagai dialog dan diskusi antarumat beragama terus digelar
9
hingga sekarang dengan landasan agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), sebuah gagasan yang dikemukakan Menteri Agama, A. Mukti Ali. Dengan mengembangkan pengertian setuju dalam perbedaan serta berdasarkan tugas pokok Departemen Agama sebagai salah satu departemen di bidang kesejahteraan rakyat di mana unsur pelayanan kepada masyarakat lebih menonjol daripada unsur memerintah, maka selanjutnya pemeliharaan kerukunan umat beragama menggunakan pendekatan praktis-pragmatis yaitu tidak lain untuk melayani masyarakat agar kehidupan keagamaan semakin semarak baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat. Dan mulai saat itu, pada saat Menteri Agama dijabat Alamsjah Ratu Perwiranegara, dirumuskan Trilogi Kerukunan, yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antarumat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.8 Pada masa pemerintah Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, melalui Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 ditetapkan bahwa peningkatan kerukunan intern dan antarumat beragama merupakan salah satu dari arah kebijakan pembangunan kehidupan beragama, dengan fokus pada upaya: pertama, memberdayakan masyarakat, kelompok-kelompok agama, serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah kerukunan umat beragama (KUB); dan kedua, memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan umat beragama. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, pada saat ini telah dibentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di 306 kabupaten/ kota dan di seluruh provinsi di Indonesia. Sedangkan terkait masalah yang kedua, pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan antar-umat beragama, baik yang berhubungan dengan hak dan kebebasan beragama, penyebarluasan ajaran agama, dan interaksi sosial di antara mereka. 8 Tim Penyusun, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama (Jakarta: Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, 1992), hlm. 3.
10
Merinci kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama di Indonesia, Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama dalam papernya berjudul Kebijakan Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia menyebutkan tujuh langkah upaya mendorong kerukunan antar umat beragama, yaitu:9 1.
Memperkuat landasan/dasar-dasar (aturan/etika bersama) tentang kerukunan internal dan antarumat beragama.
2.
Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi yang ideal untuk menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
3.
Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antarumat beragama.
4.
Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilainilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia.
5.
Melakukan pendalaman nilia-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan.
6.
Mengembangkan wawasan multikultural bagi segenap unsur dan lapisan masyarakat.
7.
Menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, hendaknya hal ini dapat dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
Dalam rangka memudahkan pemerintah dan masyarakat untuk mengetahui kebijakan dan peraturan perundang-undangan apa saja yang telah dikeluarkan pemerintah terkait kerukunan umat beragama, Puslitbang Kehidupan Keagamaan berinisiatif mengkompilasikannya 9 M. Atho Mudzhar, “Kebijakan Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”, paper, Palopo, 26 Mei 2008, hlm. 11.
11
dalam sebuah buku. Diterbitkan pertama kali tahun 1992 dengan judul Kompilasi Peraturan Perundang-undangan dan Kebijakan dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama kemudian berubah menjadi Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama, dan sekarang pada edisi kesepuluh menjadi Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama.
12
26
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Persoalannya, adakah undang-undang yang membatasi pelaksanaan kebebasan beragama itu? Pihak kedua berpendapat ada, yakni UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama di mana Pasal 1 berbunyi: Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
25
sesuatu agama yang menjadi keyakinannya dan kebebasan untuk menjalankan ibadahnya...Toleransi Agama...jelas meminta kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan tanggung jawab. Atas dasar itu maka, pihak kedua meyakini bahwa ada pembatasan dalam pelaksanaan kebebasan beragama di Indonesia. Pasal 28J UUD 1945 adalah pasal yang dapat dipahami mengatur tentang masalah pembatasan tersebut. Isyarat tentang adanya pembatasan kebebasan beragama dapat dipahami pula dari Pasal 70 dan Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999. Pasal 70 Dalam menjalankan hak dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Pasal 73 Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Dan Pasal 18 International Covenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005 ayat (3) yang berbunyi: (3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Jadi, pembatasan di atas bukan dimaksudkan untuk mengurangi kebebasan beragama orang lain, tetapi semata-mata untuk menjamin
24
Dalam sambutan Presiden Soeharto pada Pembukaan Musyawarah Antar Umat Beragama di Jakarta dan pada Sambutan Peringatan Hari Lahirnya Pancasila, tanggal 1 Juni 1967 di Jakarta disebutkan: Dengan demikian “... tidak berarti bahwa negara memaksa agama, sebab agama itu sendiri berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksakan; dan agama sendiri memang tidak memaksa setiap manusia untuk memeluknya...”. Dalam sambutan Presiden Soeharto pada waktu menerima Peserta Rapat Kerja Departemen Agama pada tanggal 12 Maret 1991 di Bina Graha, Jakarta dikatakan: Usaha membina kerukunan hidup umat beragama saya rasa perlu memperoleh perhatian yang lebih besar. Kerukunan mengandung makna hidup dalam kebersamaan. Oleh karena itu, dalam usaha membina kerukunan hidup bangsa kita yang menganut berbagai agama dan kepercayaan itu kita harus berusaha membangun semangat dan sikap kebersamaan di antara penganut berbagai agama dan kepercayaan di kalangan bangsa kita. Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto, tanggal 16 Agustus 1967 dikatakan: Bangsa Indonesia sungguh-sungguh merasa bahagia, bahwa kita mempunyai tradisi yang baik mengenai toleransi dan kerukunan hidup agama ini. Tradisi dan kenyataan inilah yang antara lain menguatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila kita; dan sebaliknya, dengan Pancasila itu kita kembangkan toleransi agama. Dan dalam sambutan Presiden Soeharto pada Peringatan Nuzulul Qur’an tanggal 18 Desember 1967 di Jakarta ditegaskan: “...Pengertian toleransi agama bagi kita adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga negara untuk memeluk
23
keagamaan. Hal ini tidak boleh terjadi dalam negara kita yang berdasarkan Pancasila. Tetapi sebaliknya alat-alat negara memang tidak dapat berdiam diri apabila ada unsur-unsur yang menyalahgunakan keleluasaan ibadat agama itu dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat. Oleh karena itu hendaknya terus dibina saling pengertian dan saling kerjasama antara pejabat pemerintah dan pemuka agama. Tanpa saling pengertian dan kerjasama antara kedua unsur itu, maka cita-cita kita untuk mewujudkan masyarakat Pancasila yang sosialistis religius itu, sukar dibayangkan untuk berhasil. Sedangkan dalam sambutan Presiden Soeharto pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada tanggal 29 Januari 1980 di Istana Negara, Jakarta ditegaskan: “...Pemerintah sangat berkepentingan dengan pembangunan kehidupan agama. Tapi ini tidak berarti bahwa Pemerintah akan mencampuri masalah-masalah intern keagamaan, baik yang menyangkut keyakinan, pemahaman maupun yang menyangkut ajaran-ajaran agama itu. Dalam hal ini pemerintah hanya ingin memberikan pelayanan dan bantuan agar supaya pelaksanaan ibadat pemeluk-pemeluknya dapat terjamin dengan aman dan tenteram. Kegiatan keagamaan itu pada dasarnya adalah kegiatan umat beragama sendiri...”. Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto tanggal 15 Agustus 1974 dikatakan: Terhadap agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Negara diwajibkan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Karenanya menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi kesempatan dan mendorong tumbuhnya kehidupan keagamaan yang sehat di negeri ini.
22
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksa setiap manusia untuk memeluk dan menganutnya. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kebebasan agama adalah merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian Negara atau bukan pemberian golongan. Sedangkan pihak kedua berpendapat bahwa selain menekankan tentang pentingnya kebebasan beragama sebagaimana yang disinggung pada Pasal 29, Pasal 28E dan Pasal 28I UUD 1945, Pasal 22 dan Pasal 55 UU No. 39 Tahun 1999, serta Pasal 18 International Covenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005 Ayat (1) dan (2), perlu disadari bahwa kebebasan beragama tidak bisa dilaksanakan sebebas-bebasnya. Kebebasan beragama harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sehingga tidak mengancam atau melanggar kebebasan beragama orang lain. Hal ini dimaksudkan agar kebebasan beragama dapat mendukung terciptanya kerukunan umat beragama bukan malah sebaliknya. Kebebasan beragama yang bertanggung menjadi perhatian pemerintah sejak dahulu. Dalam sambutan Presiden Soeharto pada Peringatan Nuzulul Qur’an tanggal 11 September 1976 di Istana Negara, Jakarta dikatakan: Hendaklah kita sadari bersama bahwa tanggung jawab pembinaan kehidupan beragama tidak dapat semata-mata dipikulkan pada bahu Pemerintah. Umat beragama sendirilah yang pertamatama dan terutama harus memikul tanggung jawab itu. Pemerintah lebih banyak berperan sebagai kekuatan penunjang, dan memberikan kesempatan agar pelaksanaan ibadah dan amal agama itu dapat berjalan dengan tenang dan tenteram. Adalah tidak benar dan tidak pada tempatnya apabila pejabat Pemerintah mempersukar atau menghalang-halangi kegiatan
21
(2)
Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. dan Pasal 55 UU No. 39 Tahun 1999: Pasal 55
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamnya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali. Selain itu, pasal yang mendukung dijumpai pula dalam Pasal 18 International Covenant on Civil and Political Rights yang di Indonesia diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005 Ayat (1) dan (2) yang berbunyi: Pasal 18 (1)
Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan baik secara individu maupun bersamasama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
(2)
Tidak seorang pun boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Berdasarkan pasal-pasal di atas pihak pertama berpendapat bahwa kebebasan beragama adalah hak yang tidak bisa dikurangi dalam bentuk apapun. Komitmen seperti itu dapat pula dirujuk di masa lalu, yakni sebagaimana yang tercantum dalam Penjelasan atas Bab II angka 1 Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila: Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, tanggal 22 Maret 1978. Dengan rumusan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa seperti pada Bab II angka 1 tidak berarti bahwa Negara memaksa agama suatu kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebab agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksakan dan memang agama dan
20
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat dijelaskan bahwa pasal-pasal di atas pada intinya menyatakan, setiap warga bebas dan berhak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, namun dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.12 C.
Kebebasan Beragama yang Bertanggung Jawab
Adanya pengaturan tentang kebebasan beragama dikaitkan dengan pelaksanaan hak asasi manusia merupakan langkah maju bagi upaya perlindungan negara atas hak-hak sipil di Indonesia. Namun, seiring dengan itu, rupanya masyarakat tidak satu pendapat dalam menyikapi pasal-pasal di atas. Pertama, pihak yang menekankan Pasal 28E dan 28I UUD 1945 dan semua pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan itu, serta mengabaikan Pasal 28J UUD 1945 dan pasal-pasal peraturan perundang-undangan lain yang sejalan. Kedua, pihak yang menyadari bahwa selain Pasal 28E dan Pasal 28I, dalam UUD itu ada juga Pasal 28J yang memberi kemungkinan pembatasan melalui UU, dan pasal-pasal peraturan perundang-undangan lain yang sejalan dengan itu. Pasal-pasal yang dimaksud pihak pertama adalah Pasal 22 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Pasal 22 (1)
Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
12 Tim Penyusun, buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI No. 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/6/ 2008, No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama, 2008), hlm. 48.
19
Pasal 28I (1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2)
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
(3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5)
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 28J
(1)
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta pengormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Dalam buku Sosialisasi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri RI No. 3 Tahun 2008, No. KEP-033/A/6/2008, No. 199 Tahun 2008 tentang Peri-ngatan dan Perintah kepada Penganut Anggota, dan/atau
18
Kendati diatur dalam satu pasal saja, hal tersebut telah menunjukkan bahwa konstitusi sangat memperhatikan kedudukan agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari kutipan ini dapat ditegaskan bahwa negara dan agama (Ketuhanan Yang Maha Esa) sangat erat hubungannya baik secara konstitusional, kultural, struktural maupun secara fungsional, dan keduanya diletakkan dalam bingkai konstitusional yang jelas dan tegas, walaupun agama tidak secara resmi dijadikan dasar negara. Hal ini, secara legal-konstitusional, sekaligus menjelaskan bahwa Indonesia bukan negara sekuler, tetapi juga bukan negara agama. Selanjutnya, menurut Faisal Ismail,11 dari Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tersebut dapat dipahami bahwa negara sepenuhnya menjamin adanya kebebasan dan kemerdekaan yang seluas-luasnya bagi setiap agama dan para pemeluknya di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara juga sepenuhnya menjamin setiap penduduk untuk beribadat sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan agama yang dipeluknya. Pengakuan terhadap eksistensi agama di Indonesia semakin kuat ketika UUD 1945 diamandemen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil reformasi. Hasilnya, pengaturan tentang kebebasan beragama dikaitkan dengan pelaksanaan hak asasi manusia dan dicantumkan dalam Pasal 28E, 28I dan 28J UUD 1945, dengan bunyi seutuhnya sebagai berikut: Pasal 28E (1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2)
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3)
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama, 2002), hlm. 76-77. 11
17
kukuh. Hal ini perlu saya tegaskan sebab masih ada anggapan bahwa usaha kita untuk memantapkan Pancasila sebagai ideologi nasional kita itu adalah usaha untuk menggeser kedudukan agama. Saya ingin menegaskan bahwa anggapan ini sama sekali tidak benar. Hal ini tidak pernah terbayangkan dalam pikiran kita. Pancasila bukanlah tandingan agama. Pancasila mendasari kehidupan kita bersama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang tidak mungkin diatur berdasarkan nilai-nilai suatu suku, suatu agama, suatu ras atau golongan. Pancasila tidaklah mengatur hal yang terdalam dalam hidup pribadi kita. Sebagai misalnya iman dan ibadat kita kepada Allah SWT, sebaliknya Pancasila justru menjamin pengamalannya sebaik-baiknya..... Selanjutnya pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada tanggal 16 Desember 1983 di Istana Negara, dalam sambutannya Presiden Soeharto menegaskan: .....Pancasila juga berfungsi sebagai landasan bersama bagi berbagai umat beragama dalam usaha mewujudkan dan mengembangkan kerukunan hidup beragama, dan dalam usaha membangun kehidupan bersama..... B.
Agama dan Negara dalam UUD 1945 Pasca Amandemen
Eksistensi agama dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sangat dihargai, baik sebelum maupun sesudah amandemen UUD 1945; hanya barangkali berbeda dalam jumlah pasalnya saja. Sebelum amandemen UUD 1945, pengaturan mengenai hubungan antara agama dan negara di Indonesia hanya diatur secara singkat dalam Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) dan (2) yang selengkapnya berbunyi: Pasal 29 (1)
Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
(2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
16
Sedangkan pada Malam Dharma Canti Hari Raya Nyepi Tahun Caka 1914 pada tanggal 9 April 1992, Presiden Soeharto mengatakan: .....Negara kita menjamin sepenuhnya kemerdekaan beragama. Negara kita bukan negara agama, sehingga ideologi negara kita tidak bersumber dari sesuatu agama tertentu. Kita tidak mengenal adanya agama resmi yang diakui oleh negara sehingga dalam kehidupan masyarakat kita tidak terdapat diskriminasi dalam kehidupan beragama di antara warganya. Sebab, bagi kita kemerdekaan beragama merupakan salah satu hak yang paling asasi dan berasal dari Tuhan sendiri, dan sama sekali bukan berasal dari negara. Oleh karena itu negara apalagi pemerintah, tidak berwenang mencampuri masalah intern agama, baik ajaran maupun lembaganya..... Penegasan yang sama dinyatakan pula oleh Menteri Agama ketika memberikan sambutan pada pembukaan Sidang Raya X Dewan Gereja-gereja di Indonesia tanggal 21 Oktober 1984 di Ambon, Maluku. .....Negara Pancasila bukanlah negara sekuler. Faham sekulerisme dalam pengertian politik praktis sebagaimana telah sering saya kemukakan, adalah penolakan terhadap campur tangan negara atau pemerintah dalam kehidupan beragama dari para warga negaranya. Sedangkan dalam negara Pancasila, Pemerintah secara langsung ikut serta dalam pemupukan kesejahteraan rohani para warganya dan dalam pengamanan kerukunan antar umat beragama.... Sedangkan terkait hubungan antara agama dan Pancasila, sambutan Presiden Soeharto pada Upacara Pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-41 pada tanggal 7 Desember 1985 di Stadion Sriwedari, Surakarta. .....Usaha kita memantapkan Pancasila sebagai ideologi nasional sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengurangi peranan agama dalam kehidupan bangsa kita. Bahkan justru untuk lebih memberinya landasan yang kuat dan
15
akan dirajam sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Ketiga, pola hubungan antara negara dan agama yang bersifat tidak formal. Dalam sistem kenegaraan dan pola pemerintahan seperti ini, agama secara resmi tidak dijadikan dasar negara dalam konstitusinya, akan tetapi pola hubungan antara keduanya dibuat langsung secara formal. Contoh kongkrit yang paling dekat untuk sistem dan model ini adalah Indonesia. Negara Indonesia tidak didasarkan pada agama tertentu (dengan demikian Indonesia bukan negara agama atau negara teokrasi) dan bukan pula negara sekuler yang sama sekali memisahkan dan memutuskan hubungan negara dan agama. Indonesia adalah negara Pancasila yang atas dasar prinsip silanya yang pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan tempat yang wajar dan ruang yang bebas bagi tumbuhnya nilai-nilai keagamaan dan Ketuhanan. Barangkali Indonesia, dengan dasar Pancasilanya, bersifat “unik” jika dilihat dari sudut pandang hubungan negara dan agama yang selama ini hanya mengenal adanya dua macam, yaitu negara teokratis dan sekuler. Indonesia bukan negara teokratis (agama) dan bukan pula negara sekuler. Walaupun demikian, hubungan negara dan agama di Indonesia tetap sangat aspiratif dan efektif kendati berlangsung secara tidak formal.10 Konsep kenegaraan bahwa Indonesia bukan negara agama atau negara sekuler berulang kali ditegaskan oleh pemerintah Orde Baru. Presiden Soeharto pada Upacara Pembukaan Rapat Kerja Departemen Agama pada tanggal 28 Maret 1989 di Bina Graha, Jakarta, mengatakan: .....Negara kita bukan negara agama. Kita tidak mengenal apa yang disebut sebagai agama negara. Kita tidak memilih-milih agama-agama yang ada menjadi agamaagama yang resmi dan agama-agama tidak resmi, agamaagama yang diakui dan agama-agama yang tidak diakui.....
10 Faisal Ismail, Ideologi, Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 36-38.
14
BAB II AGAMA DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A.
Indonesia Bukan Negara Agama dan Bukan Negara Sekular
Secara teoritik ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara. Pertama, pola hubungan antara negara dan agama yang ikatannya sama sekali terputus. Pola ini terlihat secara jelas dalam sistem pemerintahan negara-negara sekuler. Dalam sistem pemerintahan sekuler ini, agama tidak diberikan peluang dan ruang gerak untuk melakukan campur tangan dalam ranah urusan-urusan politik dan masalah-masalah kenegaraan. Singkat kata, tidak ada poros hubungan konstitusional, struktural dan fungsional sama sekali antara agama (gereja) dan negara. Dengan kata lain, pola hubungan agama dan negara benar-benar lepas dan antara keduanya tidak ada poros ikatan sama sekali. Kedua, pola hubungan formal antara negara dan agama. Formalisasi hubungan agama dan negara dalam sistem pemerintahan dan pola kenegaraan semacam ini telah menjadikan agama secara resmi sebagai dasar negara tadi dalam konstitusinya. Pola hubungan demikian dapat dilihat pada sistem, pola dan bentuk negara-negara berbasis agama atau negara-negara yang bercorak teokrasi. Negara Vatikan, di bawah kepemimpinan Paus dengan segala susunan hirarki otoritas dan kewenangannya ke bawah, bisa ditinjau sebagai salah satu contoh negara teokrasi ini. Contoh-contoh di kalangan bangsa-bangsa Muslim antara lain bisa ditunjuk seperti Pakistan, Iran, dan Arab Saudi di mana hukumhukum agama secara resmi dan formal menjadi undang-undang negara. Dalam negara yang secara resmi dan eksplisit berdasarkan Islam seperti Arab Saudi, Iran dan Pakistan, hukum-hukum agama— baik yang berkaitan dengan masalah-masalah perdata maupun yang berhubungan dengan masalah-masalah kriminal—diterapkan dan dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. Orang yang benar-benar terbukti mencuri dengan kasus pencurian yang berat atau berzina, misalnya, maka pencuri tadi sudah pasti
13
BAB III KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA A.
Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan
Dalam kehidupan keagamaan masyarakat di Indonesia, banyak dijumpai organisasi kemasyarakatan keagamaan (ormas keagamaan) yang didirikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, ormas keagamaan didefinisikan sebagai: .....organisasi nonpemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik. Dengan pengertian seperti itu maka ormas keagamaan merupakan salah satu jenis organisasi kemasyarakatan yang dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, sebagaimana yang dapat dipahami dari Pasal 1 yang menyatakan: Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Disebabkan berada dalam wilayah hukum negara Republik
27
Indonesia, maka dengan sendirinya setiap ormas keagamaan yang didirikan di Indonesia harus tunduk pada ketentuan UUD 1945 dan UU No. 8 Tahun 1985 serta aturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 18 Tahun 1996. 1.
Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan Keberadaan organisasi kemasyarakatan pada umumnya dan ormas keagamaan pada khususnya di Indonesia didukung oleh konstitusi (UUD 1945) dan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan serta aturan pelaksanaannya, PP No. 18 Tahun 1986, yakni dalam rangka memberikan ruang bebas bagi penyaluran pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia. Pemerintah sangat mendukung keberadaan organisasi kemasyarakatan, yang melaluinya masyarakat dapat diikutsertakan secara aktif dalam mewujudkan masyarakat Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Mengingat pentingnya peranan organisasi kemasyarakatan tersebut dan dalam rangka menjamin pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, menjamin keberhasilan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan sekaligus menjamin tercapainya tujuan nasional; pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Keberadaan organisasi kemasyarakatan merupakan wujud nyata kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang (UUD 1945 Pasal 28). Agar lebih berperan melaksanakan fungsinya, organisasi kemasyarakatan berhimpun dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 8). Dengan berlakunya Undang-undang ini organisasi kemasyarakatan yang sudah ada diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan Undang-undang ini, yang harus sudah diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah tanggal mulai berlakunya undang-undang ini (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 18). Penentuan organisasi kemasyarakatan yang mempunyai
28
ruang lingkup Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kotamadya sesuai dengan keberadaannya, diatur oleh Menteri Dalam Negeri (PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 10). 2.
Pembentukan Organisasi Kemasyarakatan
a.
Jenis dan Cara Pembentukan
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan profesi, fungsi, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 1). Anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela dapat membentuk organisasi kemasyarakatan atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 2 ayat (1)]. Organisasi kemasyarakatan yang baru dibentuk, pengurusnya memberitahukan secara tertulis kepada Pemerintah sesuai dengan ruang lingkup keberadaannya [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 2 ayat (2)]. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak tanggal pembentukan dengan melampirkan Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga dan Susunan Pengurus [PP No.18 Tahun 1986 Pasal 2 ayat (3)]. b.
Asas dan Tujuan
Organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas [UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 2 ayat (1)]. Asas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara [UU No. 8 tahun 1985 Pasal 2 ayat (2)]. Organisasi kemasyarakatan menetapkan tujuan masing-
29
masing sesuai dengan sifat kekhususannya dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 3). Organisasi kemasyarakatan wajib mencantumkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam pasal Anggaran Dasarnya (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 4). c.
Fungsi, Hak dan Kewajiban Organisasi kemasyarakatan berfungsi sebagai:
1)
wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya;
2)
wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi;
3)
wadah peranserta dalam usaha menyukseskan pembangunan nasional;
4)
sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar organisasi kemasyarakatan, dan antara kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 5).
1) 2)
1) 2) 3) 3.
30
Organisasi Kemasyarakatan berhak: melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi; mempertahankan hak hidupnya sesuai dengan tujuan organisasi (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 6). Organisasi Kemasyarakatan berkewajiban: mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; memelihara persatuan dan kesatuan bangsa (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 7). Pembinaan dan Bimbingan
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap organisasi kemasyarakatan [UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 12 ayat (1)]. Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah [UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 12 ayat (2)]. Guna meningkatkan kegiatan organisasi kemasyarakatan, Pemerintah melakukan pembinaan umum dan pembinaan teknis dalam bentuk bimbingan, pengayoman, dan pemberian dorongan dalam rangka pertumbuhan organisasi yang sehat dan mandiri [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 13 ayat (1)]. Bimbingan dilakukan dengan cara memberikan saran, anjuran, petunjuk, pengarahan, nasihat, pendidikan dan latihan atau penyuluhan agar organisasi kemasyarakatan dapat tumbuh secara sehat dan mandiri serta dapat melaksanakan fungsinya dengan baik [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 13 ayat (2)]. Pengayoman dilakukan dengan cara memberikan perlindungan hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 13 ayat (3)]. Pemberian dorongan dilakukan dengan cara menggairahkan, menggerakkan kreativitas dan aktivitas yang positif, memberikan penghargaan dan kesempatan untuk mengembangkan diri agar dapat melaksanakan fungsinya secara maksimal untuk mencapai tujuan organisasi [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 13 ayat (4)]. Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna pembinaan organisasi kemasyarakatan diupayakan untuk berhimpun dalam wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis agar lebih berperan dalam melaksanakan fungsinya (PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 14). Pembinaan umum organisasi kemasyarakatan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 16 ayat (1)]. Pelaksanaan pembinaan teknis organisasi Kemasyarakatan di daerah dilakukan oleh instansi teknis di bawah koordinasi
31
Gubernur, Bupati/Walikota [PP. No. 18 Tahun 1986 Pasal 16 ayat (2)]. Untuk memperoleh daya guna dan hasil guna dalam pembinaan umum dan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16, Menteri Dalam Negeri melakukan koordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 17). Untuk meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengawas-an terhadap kegiatan organisasi dan aliran dalam Islam yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka Menteri Agama menginstruksikan kepada aparat Departemen Agama di pusat dan di daerah untuk mengindahkan dan melaksanakan ketentuanketentuan sebagai berikut: a.
Meningkatkan hubungan dan kerja sama dengan aparat Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri, BAKIN dan aparatur Pemerintah Daerah serta Majelis Ulama Indonesia/ Majelis Ulama Daerah dan Lembaga-lembaga Keagamaan Islam dalam rangka meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap organisasi dan aliran-aliran tersebut di atas sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
b.
Meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengarahan terhadap organisasi dan aliran tersebut di atas ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam.
c.
Pembinaan, bimbingan dan pengarahan terhadap kegiatan organisasi dan aliran tersebut di atas dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Instruksi Menteri Agama No. 8 Tahun 1979).
4.
Sanksi Hukum
a.
Pembekuan dan Pembubaran
Pemerintah dapat membekukan pengurus atau pengurus pusat organisasi kemasyarakatan apabila organisasi kemasyarakatan: 1)
32
melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum;
2)
menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah;
3)
memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 13).
Apabila Organisasi Kemasyarakatan yang pengurusnya dibekukan tetap melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, maka Pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bersangkutan (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 14). Pemerintah dapat membubarkan organisasi kemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, dan/atau Pasal 18 (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 15). Pemerintah membubarkan organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran komunisme/marxisme Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk perwujudan (UU No. 8 Tahun 1985 ps. 16). b.
Tatacara Pembekuan dan Pembubaran
Tatacara pembekuan dan pembubaran organisasi kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Pemerintah (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 17). Organisasi Kemasyarakatan yang melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau menerima bantuan pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah Pusat dan/atau memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara, dapat dibekukan kepengurusannya [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 18 ayat (1)]. Pembekuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah sesuai dengan ruang lingkup keberadaan organisasi yang bersangkutan [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 18 ayat (2)].
33
5.
Keberadaan, Fungsi dan Tujuan Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan
a.
Majelis-majelis Agama 1)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Berdasarkan Musyawarah Nasional 1 Majelis Ulama seluruh Indonesia di Jakarta, pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 ditetapkan berdirinya Majelis Ulama Indonesia dengan dasar pertimbangan sebagai berikut: a) Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (QS. Ali Imran: 104). b) Ulama adalah pewaris Nabi (Hadits) c) Dua golongan di antara manusia, bila keduanya baik, maka baiklah seluruh manusia, sedang bila keduanya rusak, maka rusak pulalah manusia, yaitu Ulama dan Umara’ (Hadits). d) Bahwa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1), para Ulama berkewajiban membina Umat Islam untuk lebih bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan turut serta memperkokoh Ketahanan Nasional serta melawan atheisme. e) Bahwa berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara ditetapkan, hakikat Pembangunan Nasional ialah pembangunan manusia seutuhnya, dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, suatu pembangunan yang seimbang, materiil, spiritual, dunia akhirat. Oleh karena itu para ulama merasa bertanggung jawab untuk ikut serta mensukseskan Pembangunan Nasional. f) Bahwa berdasarkan sejarah sejak zaman kolonial para ulama telah merintis adanya persatuan Ulama;
34
dan pada dewasa ini di seluruh tanah air telah terbentuk Majelis Ulama Daerah maka dirasa perlu adanya wadah persatuan para Ulama Seluruh Indonesia, untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam rangka Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Indonesia (Piagam Berdirinya MUI, alinea 1-6). Majelis Ulama Indonesia berfungsi: a) Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan kepada Pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi munkar, dalam usaha meningkatkan Ketahanan Nasional. b) Memperkuat ukhuwah Islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. c) Mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama. d) Penghubung antara ulama dan umara (Pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara Pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan nasional (Pedoman Dasar MUI, Pasal 5). Majelis Ulama Indonesia bertujuan ikut serta mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah sesuai dengan Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang diridhai oleh Allah SWT (Pedoman Dasar MUI, Pasal 3). 2)
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia merupakan kelanjutan serta peningkatan Dewan Gereja-gereja di Indonesia yang telah didirikan di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1950 oleh 29 gereja di Indonesia (Tata Dasar PGI, Pasal 2).
35
Dasar pemikirannya adalah: a) Bahwa sesungguhnya orang-orang percaya di semua tempat dan dari segala zaman mengakui dan menghayati adanya satu gereja yang esa, kudus, am dan rasuli, seperti keesaan antara Allah Bapak, Anak dan Roh Kudus (Yoh 17; Ef4: 1-6; Kor 12: 27; Rm 12: 4-5). b) Bahwa pengakuan akan adanya satu gereja yang esa, kudus, am dan rasuli tadi, adalah juga merupakan satu panggilan dan suruhan bagi semua gereja untuk mewujudkan agar dunia percaya bahwa Allah Bapak telah mengutus anakNya, Tuhan Yesus Kristus, menjadi Juru Selamat Dunia. c) Bahwa oleh bimbingan dan kuasa Roh Kudus yang senantiasa membarui, membangun dan mempersatukan gereja-gereja, dan didorong pula oleh keinginan melanjutkan dan meningkatkan kebersamaan dalam keesaan yang telah dicapai selama ini melalui wadah DGI, maka 54 gereja anggota DGI, yang terhimpun dalam Sidang Raya X di Ambon (2131 Oktober 1984) telah sepakat untuk meningkatkan DGI dalam satu lembaga gerejawi dengan nama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia disingkat PGI, dengan tujuan “Perwujudan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia” (Pembu-kaan Tata Dasar, alinea 1, 2 dan 4). Fungsi PGI Wilayah adalah untuk: a) Membicarakan, menggumuli, dan mewujudkan kehadiran bersama gereja-gereja di wilayah. b) Menggalang kebersamaan gereja-gereja di wilayah melalui kegiatan-kegiatan bersama, dan membantu gereja-gereja untuk memikirkan/mengusahakan kebutuhan-kebutuhannya. c) Melaksanakan keputusan-keputusan Sidang Raya/ MPL PGI dengan menjabarkannya ke dalam bentukbentuk kegiatan bersama, sesuai dengan keadaan
36
dan kebutuhan wilayah yang bersangkutan (Tata Dasar PGI, Pasal 18). Tujuan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia adalah perwujudan Gereja Kristen yang Esa di Indonesia (Tata Dasar PGI, Pasal 4). 3)
Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Para Uskup, sebagai pimpinan umat Katolik, menjalankan tugas penggembalaan terhadap umat menurut ajaran dan teladan Yesus Kristus yang mendirikan Gereja Katolik (Mukadimah Statuta KWI, alenia 1). Tanpa mengurangi otonomi masing-masing, para Uskup Indonesia yang tergabung di dalam Dewan Uskup dengan maksud untuk melaksanakan berbagai tugas penggembalaan secara bersama-sama, agar tugas-tugas itu terselenggara secara terpadu, seirama dan berkesinambungan di seluruh wilayah Indonesia, sekaligus untuk mewujudkan secara nyata semangat kolegialitas antar para Uskup. Dewan Uskup di Indonesia bernama Konferensi Waligereja Indonesia, disingkat KWI, dibentuk atas dasar hukum Gereja universal. Oleh karena itu hanya kuasa tertinggi Gereja Katolik yang berwenang mendirikan, menghapus dan/atau merubahnya, setelah mendengar pendapat para Uskup yang bersangkutan (Kan. 449 par. 1) (Mukadimah Statuta KWI, alenia 2). KWI bertujuan memadukan kebijakan-kebijakan dalam pelaksanaan berbagai tugas pastoral bersama untuk kaum beriman kristiani, untuk meningkatkan kesejahteraan yang diberikan Gereja kepada manusia, terutama lewat bentuk-bentuk dan cara-cara kerasulan yang disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat, menurut norma hukum (kan. 447), agar sedapat mungkin berjalan seirama dan berkesinambungan di seluruh Indonesia (Statuta KWI, Pasal 4).
37
4)
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bahwa dengan dharma agama dan dharma negara, umat Hindu mewujudkan kehidupan yang serasi dengan berbhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan cinta kepada Tanah Air, Bangsa Negara yang berdasarkan Pancasila (Murdha Citta, Anggaran Dasar Parisada, alinea 3). Bahwa didorong oleh keinginan yang luhur dan tanggung jawab untuk membina umat, maka dengan ini umat Hindu berketetapan hati membentuk majelis tertinggi Agama Hindu sebagai wahana pengabdian dengan suatu Anggaran Dasar yang merupakan marga citta (Murdha Citta, Anggaran Dasar Parisada, alinea 4). Majelis ini bernama Parisada Hindu Dharma Indonesia disingkat Parisada, didirikan di Denpasar pada hari Senen Wage Julung Wangi, Purnama Palguna Masa, Isaka Warsa 1880, bertepatan dengan tanggal 23 Pebruari 1959 (Anggaran Dasar Parisada, Pasal 1). Parisada bertujuan mengantarkan Umat Hindu dalam mewujudkan jagadhita dan moksa (Anggaran Dasar Parisada, Pasal 6).
5)
Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) Bahwa, tugas mengisi kemerdekaan dan membangun negara Republik Indonesia adalah menjadi hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia tanpa membedakan golongan, keyakinan agama dan kepercayaan yang dianutnya, dan agama Buddha, yang telah berkembang kembali di Tanah Air Indonesia, merupakan sumber gairah umat Buddha dalam menyumbangkan dharma baktinya ikut melaksanakan pembangunan nasional demi tercapainya cita-cita bangsa dan negara Republik Indonesia, yakni masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila (Pembukaan Anggaran Dasar WALUBI, alinea 2).
38
Bahwa, dengan didorong oleh cita-cita luhur untuk mewujudkan persatuan, kesatuan, kerukunan dan kerjasama di antara umat Buddha Indonesia, maka dibentuklah wadah tunggal Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) yang berlandaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas; yang berbentuk federasi dari Sangha-Sangha dan Majelis-Majelis Agama Buddha/ Buddha Dharma di Indonesia, yang bernafaskan agama Buddha yang bersumber pada Kitab Suci Tripitaka/ Tipitaka serta merupakan lembaga informatif dan konsultatif tunggal dengan Pemerintah Republik Indonesia (Pembukaan Anggaran Dasar WALUBI, alinea 3). Perwakilan Umat Buddha Indonesia ini didirikan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 1978 [Anggaran Dasar WALUBI, Pasal (1)]. Perwakilan Umat Buddha Indonesia sebagai kekuatan sosial keagamaan, berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi serta mengikutsertakan seluruh potensi umat Buddha untuk berperan secara aktif dalam pembangunan nasional (Anggaran Dasar WALUBI, Pasal 5). Perwakilan Umat Buddha Indonesia bertujuan: a) Mempertahankan dan mengamankan agama Buddha, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b) Mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai dimaksud oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. c) Membina dan meningkatkan kehidupan beragama di kalangan umat Buddha Indonesia (Anggaran Dasar WALUBI, Pasal 6). 6)
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia atau The Supreme Council for Confucian Religion in Indonesia atau “Yinni Kongjiao Zonghui” dan disingkat MATAKIN (sebelumnya disebut Perserikatan Khung Chiau Hui
39
Indonesia). Majelis ini didirikan di Solo, Jawa Tengah, Indonesia, pada tanggal 16 April 1955, untuk jangka waktu yang tidak terbatas (Anggaran Dasar MATAKIN, Pasal 1) Dengan dasar iman agama Khonghucu, Majelis bertujuan: a) Mendidik, membimbing, membina, dan memberikan penyuluhan kepada umat Khonghucu di seluruh Indonesia tanpa kecuali dan tanpa membedabedakan, agar senantiasa dapat hidup lurus dalam Dao, menegakkan Firman Tian, mengamalkan Kebajikan yang Bercahaya, hidup harmonis, berperi cintakasih, selalu teguh menjunjung tinggi Kebenaran, Keadilan, dan Tanggung Jawab, mempunyai Keberanian yang dilandasi Kebenaran, kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi, hidup penuh Kesusilaan, menjunjung nilai moral dan etika, tekun belajar, dan Arif-Bijaksana, serta senantiasa Dapat Dipercaya dalam kehidupan sehari-hari. b) Mendidik, membimbing, dan membina umat Khonghucu di Indonesia agar selalu berbakti kepada orang tua, bersikap Dapat Dipercaya kepada kawan dan sahabat, mencintai dan membimbing generasi muda dengan penuh kasih sayang, dan menjadi warga negara yang baik dan berwawasan Kebangsaan Indonesia (Anggaran Dasar MATAKIN, Pasal 5). Anggota Majelis terdiri atas anggota biasa yaitu setiap warga negara Indonesia yang beragama Khonghucu dan anggota kehormatan yaitu seseorang yang telah berjasa terhadap kelembagaan agama Khonghucu di Indonesia, yang telah menyatakan kesediaannya menjadi Anggota Kehormatan Majelis (Anggaran Dasar MATAKIN, ps. 7). b.
Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (WMAUB)
Keberadaan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama didasarkan atas Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980 yang menyatakan terbentuknya “Wadah Musyawarah Antar
40
Umat Beragama” yang telah disepakati oleh wakil-wakil Majelis Agama dalam Pertemuan Tingkat Puncak pada tanggal 30 Juni 1980 di Jakarta. Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama merupakan forum komunikasi dan komunikasi antara Pimpinan-pimpinan Agama. Bentuknya adalah pertemuan-pertemuan yang diadakan sewaktuwaktu, sesuai dengan keperluan, baik atas undangan Menteri Agama maupun atas permintaan salah satu atau lebih majelis agama. Pertemuan-pertemuan tersebut terdiri atas: (1) pertemuan antara sesama wakil-wakil Majelis Agama; (2) pertemuan antara wakil-wakil Majelis Agama dengan Pemerintah. Badan atau Wadah Musyawarah ini hanya dibentuk di tingkat pusat, namun beberapa daerah atas inisiatif Gubernur dan Pimpinan Majelis-majelis Agama di daerah untuk kepentingan daerah masingmasing ada juga Badan serupa ini, misalnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi NTT No. 218/SKEP/HK/1992 tentang Pembentukan Forum Komunikasi dan Konsultasi Pemuka Agama dengan Pemerintah Tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur, tertanggal 9 Desember 1992.13 Fungsi Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama bagi para pemimpin atau pemuka agama adalah: 1)
Wadah atau forum bagi pemimpin-pemimpin/pemuka-pemuka agama untuk membicarakan tanggung jawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang menganut berbagai agama, dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan kita sebagai bangsa dan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
2)
Wadah atau forum bagi pemimpin-pemimpin/pemuka-pemuka agama untuk membicarakan kerjasama dengan pemerintah,
13 Sudjangi (Ed.), Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama 50 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (Jakarta: Proyek Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama, 1995), hlm. 90.
41
sehubungan dengan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan ketentuan lainnya dari Pemerintah khususnya yang menyangkut bidang keagamaan. 3)
Wadah Musyawarah membicarakan segala sesuatu tentang tanggung jawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang menganut berbagai agama, dan dengan Pemerintah, berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan kita sebagai bangsa dan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan ketentuan lainnya dari Pemerintah, khususnya yang menyangkut bidang keagamaan.
4)
Keputusan-keputusan yang diambil oleh Wadah Musyawarah merupakan kesepakatan yang mempunyai nilai ikatan moral dan bersifat saran/rekomendasi bagi Pemerintah, Majelismajelis Agama dan masyarakat.14
c.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Salah satu isi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 adalah pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), sebagaimana diatur pada Bab III Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. FKUB adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. 1)
Pembentukan FKUB
FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 8 ayat (1)]. Pembentukan FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Lampiran Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980, Pedoman Dasar Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama, Pasal 1 dan Pasal 6. 14
42
dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 8 ayat (2)]. FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hubu-ngan yang bersifat konsultatif [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 8 ayat (3)]. 2)
Tugas FKUB
FKUB Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas: a)
melakukan dialog dengan pemuka agama 15 dan tokoh masyarakat;
b)
menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c)
menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan
d)
melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 9 ayat (1)].
FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas: a)
melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
b)
menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat;
c)
menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/ walikota;
15 Pemuka agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak, yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan.
43
d)
melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan
e)
memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 9 ayat (2)].
3)
Keanggotaan FKUB
Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (1)]. Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang. [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (2)]. Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan kabupaten/kota [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (3)]. 4)
Pimpinan FKUB
FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (4)]. 5)
Dewan Penasihat FKUB
Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 11 ayat (1)]. 6)
44
Tugas Dewan Penasihat
Dewan Penasihat FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: a)
membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan
b)
memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 11 ayat (2)].
7)
Keanggotaan Dewan Penasihat FKUB
Keanggotaan Dewan Penasihat FKUB provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur dengan susunan keanggotaan: a)
Ketua
:
wakil gubernur
b)
Wakil Ketua :
kepala kantor wilayah departemen agama provinsi
c)
Sekretaris
:
kepala badan kesatuan bangsa dan politik provinsi
d)
Anggota
:
pimpinan instansi terkait.
[PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 11 ayat (3)]. Keanggotaan Dewan Penasihat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/walikota dengan susunan keanggotaan: a)
Ketua
:
wakil bupati/wakil walikota
b)
Wakil Ketua :
kepala kantor departemen agama kabupaten/kota
c)
Sekretaris
:
kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten/ kota.
d)
Anggota
:
pimpinan instansi terkait.
45
[PBM Menag dan Mendagri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 11 ayat (4)]. Ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasihat FKUB provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur (PBM Menag dan Mendagri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 12). d.
Kedudukan Hukum Perkumpulan Gereja
Gereja atau perkumpulan gereja, demikian pula bagian-bagian yang berdiri sendiri, berdasarkan hukum merupakan badan hukum (Stb. 1927-156 ps. 1). Untuk dianggap sebagai gereja atau perkumpulan gereja, demikian pula bagian-bagiannya yang berdiri sendiri, diperlukan surat keterangan dari Gubernur Jenderal (kini: Pemerintah) (s.d.t. dg. s. 1927-532). Keterangan ini sekali-kali tidak mengakibatkan bahwa bagi gereja, perkumpulan gereja dan bagian-bagian yang berdiri sendiri, diberlakukan hukum perdata lain, selain hukum yang diperuntukkan baginya dalam pemberian keterangan itu (Stb. 1927156 Pasal 2). 6.
Pengumpulan Dana Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan
a.
Bantuan Dana Organisasi Kemasyarakatan dari dan ke Luar Negeri
Keuangan organisasi kemasyarakatan dapat diperoleh dari sumbangan yang tidak mengikat (UU No. 8 Tahun 1985 Pasal 11 huruf b). Keuangan organisasi kemasyarakatan diperoleh dari sumbangan yang tidak mengikat baik dari dalam negeri maupun luar negeri [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 12 ayat (1)]. Bantuan keuangan kepada organisasi kemasyarakatan yang diperoleh dari luar negeri harus dengan persetujuan Pemerintah Pusat [PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 12 ayat (2)]. Bantuan dari pihak asing yang harus mendapat persetujuan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, meliputi
46
bantuan: 1) 2) 3) 4)
keuangan; peralatan; tenaga; fasilitas (PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 20).
Bantuan luar negeri, adalah segala bentuk bantuan berasal dari Luar Negeri yang berwujud bantuan tenaga, barang dan atau keuangan, fasilitas dan bentuk bantuan lainnya yang diberikan oleh Pemerintah Negara Asing, organisasi atau perseorangan di luar negeri kepada lembaga keagamaan dalam rangka pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama di Indonesia [SKB Menag dan Mendagri No. 1 Tahun 1979 Pasal 2 ayat (3)]. Segala bentuk usaha untuk memperoleh dan atau penerimaan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan, dilaksanakan dan melalui persetujuan Panitia Koordinasi Kerjasama Teknis Luar Negeri (PKKTLN) setelah mendapat rekomendasi dari Departemen Agama [SKB Menag dan Mendagri No. 1 Tahun 1979 Pasal 6 ayat (1)]. Bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan bangsa dan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, meliputi bantuan: 1) Yang dapat merusak hubungan antara negara Indonesia dengan negara lain; 2) Yang dapat menimbulkan ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan terhadap keselamatan negara; 3) Yang dapat mengganggu stabilitas nasional; 4) Yang dapat merugikan politik luar negeri (PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 21). b.
1)
Pengumpulan Dana Organisasi Kemasyarakatan Dalam Negeri Keuangan organisasi kemasyarakatan diperoleh dari: iuran anggota yang pelaksanaannya diserahkan kepada organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan;
47
2) 3)
sumbangan yang tidak mengikat baik dari dalam negeri maupun luar negeri; usaha lain yang sah (PP No. 18 Tahun 1986 Pasal 12).
B.
Penyiaran Agama dan Tenaga Keagamaan
1.
Penyiaran Agama
a.
Pedoman Penyiaran Agama
Penyiaran agama adalah segala kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran sesuatu agama (SKB Menag dan Mendagri No. 1 Tahun 1979, Pasal 1 ayat (1)]. Untuk menjaga stabilitas nasional dan demi tegaknya kerukunan antar umat beragama, pengembangan dan penyiaran agama supaya dilaksanakan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, tepaselira, saling menghargai, hormat-menghormati antarumat beragama sesuai dengan Pancasila (SK Menag No. 70 Ta-hun 1978, poin pertama). Pelaksanaan dakwah agama dan kuliah subuh melalui radio tidak memerlukan izin terlebih dahulu, dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Tidak mengganggu stabilitas nasional; 2) Tidak mengganggu jalannya pembangunan nasional; 3) Tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (SK Menag No. 44 Tahun 1978). Amanat Presiden Soeharto kepada para peserta Rapat Kerja Departemen Agama, tanggal 19 Juni 1979 di Jakarta: “...Khutbah dan dakwah agama memang tidak boleh dihalanghalangi. Tetapi juga harus ada kesadaran dan kejujuran kita semua, agar khutbah dan dakwah itu tidak kita kotori sendiri dengan tujuan-tujuan lain. Dan apabila itu terjadi, lebihlebih jika mengakibatkan keresahan masyarakat dan mengganggu stabilitas maka tentu saja alat-alat negara yang berwenang perlu menegur dan mengambil tindakan yang perlu. Ini tidak berarti bahwa khutbah atau dakwah itu sendiri yang dihalang-halangi,
48
melainkan karena ada pemboncengan untuk kepentingan lain yang merugikan kepentingan kita bersama”. b.
Tata Cara Penyiaran Agama
1)
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama ini bertujuan: a) Memberikan pengaturan dan pengarahan bagi usahausaha penyiaran agama, sehingga pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berlangsung tertib dan serasi. b) Mengokohkan dan mengembangkan kerukunan hidup di antara sesama umat beragama di Indonesia serta memantapkan stabilitas nasional yang sangat penting artinya bagi kelangsungan dan berhasilnya Pembangunan Nasional [SKB Menag dan Mendagri No. 1 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (1)].
2)
Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama lain dengan cara: a) Menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut. b) Menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku dan bentuk-bentuk barang penerbitan, cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/ menganut agama yang lain. c) Melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang te-lah memeluk/menganut agama yang lain (SKB Menag dan Mendagri No. 1 Tahun 1979 Pasal 4). 3) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikota/ Kepala Daerah Tingkat II mengkoordinir kegiatan Kepala Perwakilan Departemen yang berwenang melakukan pengawasan segala pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama oleh lembaga keagamaan, sehingga
49
pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berlangsung sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Keputusan Bersama ini, serta lebih menumbuhkan kerukunan hidup antar sesama umat beragama [SKB Menag dan Mendagri No. 1 Tahun 1979 Pasal 5 ayat (1)]. 4)
Pemerintah telah memberikan kebebasan dakwah dari segala macam izin. Kebijaksanaan ini membawa tanggung jawab yang besar bagi umat beragama, dalam arti memikul kepercayaan untuk tidak menyalahgunakan kebebasan, yaitu kebebasan dalam batas tanggung jawab bersama. Dengan demikian, kebebasan menyampaikan ajaran agama Islam sesuai dengan al-Quran dan al-Sunnah (Hadits) dan bukan digunakan sebagai agitasi, apalagi dijadikan arena mengeluarkan uneg-uneg dendam kesumat pribadi. Kebebasan beragama akan tetap terjamin. Tetapi tidak berarti kebebasan untuk mengagamakan orang yang telah beragama. Segalanya ada batas antara hak dan kewajiban. Ada batas yang tidak boleh dikorbankan demi prinsip lain, seperti hak asasi manusia. Hak asasi manusia, termasuk penyebaran agama tetap dihargai dan dihormati, akan tetapi hak itu hendaknya dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu hak asasi orang lain, sehingga akan menghancurkan keseluruhan sistem, yaitu demokrasi Pancasila yang menghormati keragaman atau pluralisme, di mana eksistensi semua agama dan umatnya bebas merdeka tanpa merasa diganggu oleh propaganda agama lain (Alamsyah Ratu Prawiranegara, Bimbingan Masyarakat Beragama, hlm. 65-67).
5)
Presiden Soeharto dalam pidatonya pada Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 29 Mei 1969 di Istana Negara, Jakarta mengatakan: Dalam penyebaran agamapun, hendaknya kita juga tetap berpegang teguh pada kemurnian semangat, ajaran dan petunjuk agama kita masing-masing agama tidak bisa dipaksakan, oleh karena agama bertolak dari keyakinan yang ada di dalam sanubari kita masing-masing. Marilah kita lihat cara para Nabi dalam menyiarkan agama.
50
Tidak seorang Nabipun yang melakukan paksaan dan tipu muslihat. Oleh karena itu, kepada pemimpin-pemimpin umat dari semua agama saya mengajak, agar kita dapat menumbuhkan kehidupan beragama yang tenang, hidup berdampingan secara rukun dan saling hormat menghormati. Penyebaran agama jangan sekali-kali disertai dengan intimidasi, jangan disertai dengan bentuk bujukan atau caracara lain yang sebenarnya justru bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Sebaliknya, justru oleh karena agama bertolak dari keyakinan kita masing-masing, karena kebebasan memeluk agama merupakan salah satu hak asasi, maka pilihan agama yang akan dipeluk dan juga pindah agama tidak boleh dihalang-halangi dengan paksaan dari luar. c.
Penyelenggaraan Hari-Hari Besar Keagamaan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama bersepakat untuk menyampaikan saran/rekomendasi tentang “pelaksanaan peringatan hari-hari besar keagamaan” kepada Pemerintah; dalam hal ini Menteri Agama, berupa pokok-pokok pikiran sebagai berikut: 1)
Peringatan hari-hari besar keagamaan yang pada umumnya telah berakar dan melembaga dalam kehidupan dan budaya bangsa Indonesia merupakan sarana peningkatan penghayatan dan pengamalan agama dan merupakan sarana dalam pembangunan kehidupan beragama serta pembinaan kerukunan hidup antar umat beragama, sebagai salah satu unsur utama dan bagian yang tak terpisahkan dari Pembangunan Nasional.
2)
Peringatan hari-hari besar keagamaan pada dasarnya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk agama yang bersangkutan, namun adalah wajar bila pemeluk agama lain turut menghormati sesuai dengan asas kekeluargaan, bertetangga baik dan kegotong-royongan, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agamanya.
3)
Para pejabat Pemerintah hendaknya memberikan perhatian yang wajar dan adil dalam melayani hajat keagamaan bagi semua pemeluk agama dalam wilayah kewenangannya, sesuai dengan isi pidato Bapak Presiden Republik Indonesia
51
tanggal 25 Mei 1981 termaksud di atas, bahwa hendaknya “segenap dan setiap warga negara berhak mendapat perlakuan pelayanan yang wajar dan adil dari aparat Pemerintah, juga dalam bidang agama” dan kehadirannya dalam upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya hendaknya dalam sikap pasif namun khidmat. Sikap demikian ini hendaklah dimiliki setiap insan manusia. 4)
Para guru, sebagai pembina anak didik tunas harapan bangsa, hendaknya dapat membekali diri dengan pengetahuan keagamaan agar dapat membina jiwa kerukunan anak didiknya menjadi lebih mantap, tanpa mengurangi keyakinan dan keimanan agama yang dipeluknya masing-masing.
5)
Kepada pemimpin lembaga kemasyarakatan perlu diimbau untuk memperhatikan hajat keagamaan dan memberikan kesempatan pelaksanaan ibadah dan peringatan hari-hari besar keagamaan bagi semua pemeluk dalam wilayah kewenangannya, dan agar bijaksana sehingga tidak menimbulkan kesan adanya paksaan atau larangan dan pembauran akidah dan syariat (ajaran dan aturan) agama yang berbeda-beda.
d.
Bimbingan Pelaksanaan Dakwah/Khotbah/Ceramah Agama
Menteri Agama menginstruksikan kepada para aparat Departemen Agama baik di Pusat maupun di Daerah untuk mengindahkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1)
52
Sesuai dengan bidang tugas dan wewenang masing-masing, supaya meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengarahan dakwah/khutbah/ceramah agama agar: a) Dakwah/khutbah/ceramah agama agar benar-benar dilaksanakan sesuai dengan hakikat dakwah agama agar: (1) Menyampaikan ajaran agama kepada masyarakat; (2) Mengajak dan menyeru umat beragama pada jalan yang benar sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing;
(3)
b)
c)
Meningkatkan ketakwaan umat beragama terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (4) Meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama masing-masing dan sebagai warga negara yang berdasarkan Pancasila agar selaras dengan penghayatan dan pengamalan Pancasila; (5) Menciptakan kebahagiaan hidup lahir batin di dunia dan di akhirat, dengan amal perbuatan nyata dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai orang seorang maupun sebagai anggota masyarakat. Dakwah/khutbah/ceramah agama dilaksanakan dalam rangka membantu usaha mewujudkan pembinaan umat beragama yang taat pada ajaran agama yang Pancasilais, sekaligus insan Pancasila yang beragama, yang merupakan faktor penting untuk: (1) Memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) Memantapkan stabilitas dan ketahanan nasional; (3) Memantapkan Tiga Kerukunan Hidup Beragama, yaitu: Kerukunan Intern Umat Beragama, Kerukunan Antar Umat Beragama, Kerukunan Antara Umat Beragama dengan Pemerintah; (4) Menyukseskan Pembangunan Nasional di segala bidang yang berkesinambungan; (5) Mewujudkan tujuan Pembangunan Nasional yaitu: masyarakat adil dan makmur yang merata, materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam memberikan bimbingan dan pengarahan dakwah/ khutbah/ceramah agama dalam hubungannya dengan masalah politik supaya ditingkatkan pendekatan yang
17 Keputusan Pertemuan Lengkap Wadah Masyarakat Antar Umat Beragama tentang Peringatan Hari-Hari Besar Keagamaan.
53
d)
54
persuasif, motivatif dan akomodatif, dengan berpedoman hal-hal sebagai berikut: (1) Pemerintah pada prinsipnya tidak melarang membicarakan masalah politik dalam dakwah/khutbah/ ceramah agama, sepanjang pembahasan tersebut merupakan pengkajian pemikiran politik secara ilmiah/populer yang bersifat perbandingan dengan ajaran agama masing-masing; (2) Hendaknya dapat dijaga bersama dalam dakwah/ khutbah/ceramah agama agar tidak melontarkan pernyataan/kata-kata yang dapat menyinggung perasaan pihak lain, seperti: menghina, menghasut, memfitnah, mencaci maki dan lain-lain ungkapan yang menyakitkan hati pihak lain. Dengan perkataan lain forum dakwah/khutbah/ceramah agama hendaknya tidak dimanfaatkan sebagai sarana/ajang pelaksanaan politik praktis untuk membina, menghimpun opini yang negatif terhadap siapapun juga; sebab masalah politik praktis telah terbuka melalui UU No. 3 Tahun 1975 tentang Kepartaian dan Golongan Karya (pen: sekarang yang berlaku UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik) ; (3) Pengarahan pelaksanaan dakwah/khutbah/ceramah agama ini tidak hanya untuk golongan agama tertentu saja, tetapi untuk semua golongan agama. Semuanya itu dimaksudkan oleh Pemerintah agar tidak terjadi saling curiga mencurigai yang akibatnya akan merugikan kita semua sebagaimana yang pernah dialami di masa yang lalu. Meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan aparataparat pemerintah dan keamanan baik pusat maupun di daerah, serta para alim ulama pemuka agama untuk menyukseskan pelaksanaan instruksi ini sehingga melahirkan satu pengertian (Instruksi Menteri Agama RI No. 5 Tahun 1981 tentang Bimbingan Pelaksanaan Dakwah/ Khutbah/Ceramah Agama).
e.
Masalah Perbedaan Pendapat Keagamaan
Dalam rangka menghindari terjadinya perselisihan masalah perbedaan pendapat dalam masalah cabang keagamaan (furu’iyyah khilafiyah), Menteri Agama RI melalui Surat Edaran Kagri No. A/ VII/9221 tanggal 12 Juni 1952, memperingatkan jajaran Departemen Agama tingkat provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia sebagai berikut: 1)
Hendaklah Saudara tidak mencampuri masalah-masalah furu’iyyah khilafiyah;
2)
Bila di daerah Saudara terdapat perselisihan mengenai soal semacam itu, hendaklah Saudara berusaha mendamaikannya dengan kebijaksanaan sebaik-baiknya;
3)
Di dalam melakukan kewajiban tersebut hendaknya Saudara bersifat adil dan tidak memihak pada salah satu pihak, meskipun Saudara sebagai persoon (bukan sebagai pegawai) menjadi anggota dari salah satu golongan yang sedang berselisih itu;
4)
Bila di dalam kantor Saudara terdapat pegawai yang dalam melakukan tugasnya mencampuri/memihak salah satu faham yang sedang berselisih itu, harap Saudara dapat bertindak dengan tegas terhadap pegawai tersebut.
2.
Tenaga Keagamaan
a.
Bantuan Tenaga Keagamaan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia
Dalam rangka pembinaan, pengembangan, penyiaran dan bimbingan terhadap umat beragama di Indonesia, maka penggunaan tenaga asing untuk pengembangan dan penyiaran agama dibatasi [SK. Menag No. 77 Tahun 1978 Pasal 3 ayat (1)]. Warga negara asing yang ada di Indonesia yang tugas pokoknya di luar bidang agama, hanya dibenarkan melakukan kegiatan di bidang agama secara insidental, setelah mendapat izin dari Menteri Agama [SK. Menag No. 77 Tahun 1978 Pasal 3 ayat (2)].
55
Lembaga keagamaan seperti dimaksud Pasal 1 huruf b keputusan ini dapat menggunakan warga negara asing untuk melakukan kegiatan di bidang agama, setelah mendapat izin dari Menteri Agama [SK. Menag No. 77 Tahun 1978 Pasal 3 ayat (3)]. Lembaga keagamaan seperti dimaksud Pasal 1 huruf b keputusan ini, wajib mengadakan program pendidikan dan latihan, dengan tujuan agar dalam waktu yang ditentukan tenaga-tenaga warga negara Indonesia dapat menggantikan tenaga asing yang melakukan kegiatan di bidang agama tersebut [SK. Menag No. 77 Tahun 1978 Pasal 3 ayat (4)]. Program pendidikan dan latihan seperti dimaksud ayat (4) pasal ini harus dilakukan selambat-lambatnya enam bulan setelah ditetapkannya keputusan ini dan selesai dilaksanakan selambatlambatnya dua tahun setelah pelaksanaan program pendidikan dan latihan tersebut [SK. Menag No. 77 Tahun 1978 Pasal 3 ayat (5)]. Lembaga keagamaan yang menerima bantuan luar negeri yang ternyata tidak memenuhi ketentuan pasal 2, pasal 3 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) keputusan ini dan Warga Negara Asing yang melanggar ketentuan pasal 3 ayat (2) keputusan ini, dapat diambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (SK. Menag No. 77 Tahun 1978 Pasal 4). Penggunaan rohaniawan asing dan atau tenaga ahli asing lainnya atau penerimaan segala bentuk bantuan lainnya dalam rangka bantuan luar negeri dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku [SKB Menag dan Mendagri No. 1 Tahun 1979 Pasal 6 ayat (2)]. b.
Pendataan Tenaga Asing
Menteri Agama menginstruksikan kepada semua kepala kantor wilayah departemen agama propinsi/setingkat, untuk: 1) Meningkatkan usaha pengumpulan data mengenai tenaga asing di bidang agama baik Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha di daerah masingmasing; 2) Mengadakan pengolahan dan penyajian data tersebut angka 1 sesuai dengan daftar isian sebagaimana tersebut
56
3)
4)
5)
dalam lampiran Instruksi ini; Meningkatkan hubungan kerjasama dengan pemerintah daerah, instansi-instansi di daerah dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu untuk melaksanakan instruksi ini; Menyampaikan data tersebut di atas kepada Sekretariat Jenderal Departemen Agama, untuk perhatian Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Agama; Menyampaikan tembusan data ini sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya, selambat-lambatnya akhir bulan April 1981 (Instruksi Menag RI No. 4 Tahun 1981).
c.
Rekomendasi bagi Tenaga Asing yang Melakukan Kegiatan Keagamaan di Indonesia
1)
Bagi tenaga asing yang melakukan kegiatan keagamaan di Indonesia diatur sebagai berikut: Pertama, orang asing dapat melakukan kegiatan di bidang agama di Indonesia setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Agama Republik Indonesia. Kedua, untuk memberikan rekomendasi termasuk diktum pertama Menteri Agama Republik Indonesia melimpahkan kepada Kepala Biro Hukum dan Humas Dep. Agama untuk, atas nama Menteri Agama Sekretaris Jenderal Dep. Agama, menandatangani surat rekomendasi tersebut. Ketiga, syarat-syarat untuk memperoleh rekomendasi seperti dimaksud diktum pertama dan kedua harus dilengkapi: a) Surat Permohonan referensi/sponsor; b) Surat Keterangan Kedutaan RI di luar negeri, khusus permohonan untuk mendapatkan Visa Berdiam Sementara (VBS); c) Riwayat Hidup (Curriculum Vitae); d) Surat Keterangan atau Ijazah/License yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah tenaga ahli yang belum dimiliki oleh bangsa Indonesia; di bidang agama/ rohaniwan/rohaniwati; e) Surat persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama provinsi yang bersangkutan;
57
f)
g)
h)
i)
2)
Surat persetujuan dari Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat yang bersangkutan dengan agama yang dianut rohaniwan/rohaniwati yang bersangkutan; Surat keterangan dari lembaga keagamaan di Indonesia yang akan menerima bantuan lembaga asing yang ber-sangkutan yang menyatakan batas waktu perbantuan tenaga asing itu, sesuai dengan Program Pendidikan dan Latihan Pasal 3 ayat (4) Keputusan Menteri Agama No. 77 Tahun 1978 dan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979 Pasal 7. Data Statistik mengenai: (1) Jumlah umat beragama di daerah kabupaten/kota tempat rohaniwan/rohaniwati bersangkutan melaksanakan kegiatan di bidang agama; (2) Jumlah jemaat dari gereja/lembaga bersangkutan; (3) Jumlah rohaniwan/rohaniwati warga negara asing untuk gereja/lembaga keagamaan bersangkutan; Surat keterangan dari aparat keamanan di daerah mengenai tenaga asing yang bersangkutan khusus bagi pemohon perpanjangan KIMS (Ke-putusan Menteri Agama RI No. 49 Tahun 1980).
Persyaratan Tenaga Asing di Bidang Agama yang mengajukan Naturalisasi Menjadi Warga Negara Indonesia
Dalam surat Menteri Kehakiman No. J.M/2/23 tanggal 10 Desember 1979 dijelaskan bahwa persyaratan dalam mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia adalah: a)
Sebagaimana dimaklumi, di samping persyaratan yang lain, bahwa orang asing yang dapat dilayani untuk mengajukan surat permohonan pewarganegaraan Republik Indonesia hanyalah yang memiliki KIM, STP dan SKK;
b)
Dengan ini kami beritahukan dan instruksikan, supaya orang yang berkedudukan sebagai rohaniwan asing (biarawan/ biarawati dan lain sebagainya) yang memiliki KIMS (Kartu Izin Masuk Sementara) dilayani permohonan pewarganegaraannya, dengan sendirinya bila persyaratan lain-lainnya telah
58
dipenuhi dengan baik sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang No. 62 Tahun 1958 (pen: telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia) dan semua peraturan/petunjuk pelaksanaan yang dikeluarkan untuk itu; c)
Di samping itu perlu kami tekankan di sini hal-hal sebagai berikut: (1) bahwa dalam menangani permohonan-permohonan itu supaya diproses dengan memperoleh prioritas utama serta meneruskan permohonan itu secepatnya ke Departemen Kehakiman RI dengan catatan; (2) bahwa sebelum surat/berkas permohonannya dikirim ke Departemen Hukum dan HAM RI wajib dilengkapi dengan surat rekomendasi dari Menteri Agama RI, rekomendasi yang diperolehnya akan dikoordinasikan oleh pusat mereka masing-masing yang ada di Jakarta, yang pada waktunya akan saudara terima dari para pemohon sendiri.
d.
Rekomendasi bagi Tenaga Asing di Bidang Agama yang Mengajukan Naturalisasi
Tenaga asing di bidang agama yang mengajukan permohonan naturalisasi menjadi warga negara Republik Indonesia kepada Presiden RI melalui Menteri Kehakiman Republik Indonesia dan Pengadilan Negeri tempat tinggal pemohon, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, harus menda-pat rekomendasi dari Menteri Agama Republik Indonesia (SK Menag RI No. 50 Tahun 1980 Pasal 2). Untuk melaksanakan pemberian rekomendasi tersebut Menteri Agama RI melimpahkan wewenang kepada Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Agama/Sekretaris Jenderal untuk memberikan rekomendasi kepada tenaga asing di bidang agama yang mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia (SK Menag No. 50 Tahun 1980 Pasal 3). Permohonan rekomendasi seperti dimaksud Pasal 2 dari pemohon atau referensi/sponsor yang bersangkutan harus dilengkapi dengan:
59
1)
Surat Keterangan Kelakuan Baik dari pemohon/foto copynya;
2)
Foto copy Ijazah/lisensi pemohon atau surat keterangan yang menyatakan bahwa pemohon sebagai tenaga ahli di bidang agama/rohaniwan;
c.
3 (tiga) buah pas foto ukuran 3 x 4 cm;
d.
Surat pengantar dari Kepala Kanwil Departemen Agama Pro-vinsi/setingkat di mana pemohon bertempat tinggal;
e.
Surat persetujuan dari Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat bersangkutan (SK Menag RI No. 50 Tahun 1980 Pasal 4).
C.
Pedoman Pendirian dan Penggunaan Rumah Ibadat
1.
Pendirian Rumah Ibadat
a.
Pendirian Rumah Ibadat 1) Keperluan Nyata dan Sungguh-sungguh Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 13 ayat (1)]. Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundangundangan [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 13 ayat (2)] Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (2) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 13 ayat (3)].
60
2)
3)
4)
Persyaratan Pendirian Rumah Ibadat Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 14 ayat (1)]. Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a) Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3). b) Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. c) Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d) Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 14 ayat (2)]. Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 14 ayat (3)]. Rekomendasi FKUB Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Ta-hun 2006, Pasal 15]. Izin Pendirian Rumah Ibadat Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 diajukan oleh panitia pem-
61
bangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 16 ayat (1)]. Bupati/Walikota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 16 ayat (2)]. b.
62
Izin Sementara Pemanfaatan Bangunan Gedung 1) Persyaratan memperoleh izin sementara Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/ walikota dengan memenuhi persyaratan: a) laik fungsi; b) pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.[PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006, Pasal 18 ayat (1)]; dan c) persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundangundangan tentang bangunan gedung [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006, Pasal 18 ayat (2)]. Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi: a) izin tertulis pemilik bangunan; b) rekomendasi tertulis lurah/kepala desa; c) pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota, dan d) pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006, Pasal 18 ayat (3)].
2)
3)
4)
c.
Pemberian pertimbangan Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006, Pasal 19 ayat (1)]. Masa berlaku izin sementara Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006, Pasal 19 ayat (2)]. Pelimpahan wewenang Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada camat [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006, Pasal 20 ayat (1)].
Penyelesaian Perselisihan Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006, Pasal 21 ayat (1)]. Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006, Pasal 20 ayat (2)]. Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat [PBM Menag dan Mendagri No. 9 dan 8 Tahun 2006, Pasal 21 ayat (3)].
63
Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap bupati/ walikota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 [PBM Menag dan Mendagri No. 9 Tahun 2006 dan 8 Tahun 2006, Pasal 22]. 2.
64
Tatacara Permohonan Pembangunan Rumah Ibadat (Khusus DKI Jakarta) 1) Semua permohonan pembangunan rumah ibadat dan kegiatan agama dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus ditujukan secara tertulis dan ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan tembusan disampaikan kepada: a) Ketua Tim Pertimbangan Pembangunan Tempattempat Ibadat dan Kegiatan Agama Daerah Khusus Ibukota Jakarta d.a. Kepala Direktorat III/Kesra Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jalan Merdeka Selatan 8-9 Jakarta; b) Walikota setempat; c) Kantor Wilayah Departemen Agama DKI Jakarta. 2) Surat permohonan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) di atas harus dilampiri: a) Keterangan tertulis dari Lurah setempat mengenai lokasi tanah benar ada di wilayahnya; b) Daftar jumlah umat yang akan menggunakan rumah ibadat yang berdomisili di sekitarnya; c) Daftar jumlah umat yang akan menggunakan rumah ibadat tersebut; d) Surat keterangan tentang status tanah dari Kepala Kantor Agraria setempat; e) Peta situasi dari Suku Dinas Tata Kota setempat; f) Rencana gambar bangunan; g) Daftar susunan Pengurus/Panitia tempat ibadah tersebut (Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 648 Tahun 1979).
3.
Pertimbangan Pemberian Izin Pembangunan Rumah Ibadat (Khusus DKI Jakarta)
a.
Tata Tertib Pemberian Izin Pembangunan Rumah Ibadat
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, memutuskan dan menetapkan Tata Tertib Pemberian Izin Pembangunan Tempat-tempat Ibadat dan Tempat Kegiatan Agama dalam Wilayah DKI Jakarta sebagai berikut: 1)
Penelitian Permohonan. a) Semua permohonan yang masuk, setelah mendapat disposisi Gubernur Kepala Daerah diteruskan kepada Ketua Tim; b) Sekretariat setelah menerima dokumen/berkas permohonan dari Ketua Tim, melakukan penelitian administrasi (kelengkapan) dokumen tersebut; c) Untuk melengkapi dokumen permohonan dengan informasi yang ditunjuk pemohon, Sekretariat mengkoordinir peninjauan lokasi untuk mengetahui apakah lokasi tersebut berdekatan dengan; (1) Tempat peribadatan yang lain. (2) Tempat peribadatan yang sejenis. (3) Fasilitas hiburan dan rekreasi, serta (4) Tidak bertentangan dengan ketentuan agama masing-masing. d) Untuk permohonan yang secara administrasi lengkap, Tim meminta kepada LAKSUSDA JAYA untuk melakukan penelitian mengenai situasi dan kondisi setempat tentang kemungkinan dapat atau tidaknya di daerah tersebut dibangun tempat peribadatan/kegiatan agama; e) LAKSUSDA JAYA secara tertulis menyampaikan hasil peninjauan dengan disertai saran, pendapatnya kepada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta; f) Dokumen permohonan yang secara administratif telah lengkap dan ditambah dengan informasi peninjauan lokasi yang dikoordinir oleh Sekretariat Tim serta hasil
65
g)
h)
peninjauan lingkungan oleh LAKSUSDA JAYA dibahas dalam rapat Tim; Selesai membahas dan meneliti permohonan, Tim menyampaikan hasil-hasil penelitian permohonan kepada Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan disertai pendapat dan saran serta pertimbangan; Permohonan-permohonan yang telah mendapatkan persetujuan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dituangkan dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan disampaikan kepada pemohon.
b.
Waktu Sidang Tim 1) Tim bersidang secara rutin pada minggu ketiga pada setiap bulan, yang dihadiri oleh seluruh anggota Tim; 2) Tim dapat sewaktu-waktu mengadakan rapat di luar ke-tentuan huruf (a) di atas, apabila ternyata terdapat halhal yang bersifat khusus perlu penanganan secara khusus.
c.
Kewajiban Pemohon yang telah Diberikan Izin Dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang pelulusan permohonan izin pembangunan tempat ibadah/tempat kegiatan agama, ditetapkan syarat-syarat bagi pemohon, antara lain sebagai berikut: (a) Menyelesaikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sesuai dengan ketentuan persyaratan yang berlaku ke Dinas Pe-ngawasan Pembangunan Kota DKI Jakarta dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung mulai ditetapkannya Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tentang pemberian izin dimaksud. (b) Apabila ternyata dalam batas waktu sebagaimana ditetapkan pada huruf (a) di atas, pemohon tidak menyelesaikan IMB-nya, maka Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta tersebut di atas akan dicabut (Keputusan Gubernur Kepala Daerah
66
Khusus Ibukota Jakarta No. 649/1979). 4.
Penggunaan Rumah Ibadat
a.
Penggunaan Rumah Tinggal Sebagai Rumah Ibadat 1) Surat Kawat Menteri Dalam Negeri Nomor: 264/KWT/ DITPUM/DV/V/1975 perihal Penggunaan Rumah Tinggal sebagai Gereja. Aaa ttk berdasarkan laphar bakin no. r-038/laphar/bakin/ 4/1975 tgl 17 april 1975 kma diperoleh informasi bhw dirumah seorang bernama willem pieter di pondok gede kel lubang buaya jakarta telah digunakan sbg tempat kebaktian oleh jemaah gkbi kramat jati dng menimbulkan protes penduduk gol islam setempat dng mengeluarkan sebuah resolusi dengan mengemukakan alasan bhw penduduk setempat mayoritas beragama islam serta tempat kebaktian sangat berdekatan dng mushalla dan madrasah ttk bbb ttk reaksi yang sama juga terjadi di kelurahan petogogan kebayoran baru jakarta terhadap penggunaan rumah kurniawan sbg tempat kebaktian oleh gol kristen pantekosta ttk kebaktian tsb telah dihentikan setelah diberikan pengertian oleh komwil setempat ttk ccc ttk sehub dng adanya kasus diatas kma maka kpd gub/kdh prop di seluruh indonesia utk memberikan pengertian kpd masyarakat utk tidak menjadikan rumah tempat tinggal mereka berfungsi sbg gereja krn dapat mengganggu keamanan ttk ddd ttk utk menghindarkan ekses yg mungkin timbul kma agar segera mengambil langkah peng-amanan dan penertiban ttk
b.
Surat Kawat Menteri Dalam Negeri Nomor: 933/KWT/ SOSPOL/DV/XI/75 Perihal: Penjelasan terhadap Surat Kawat Mendagri Nomor 264/KWT/DITPUM/DV/V/1975.
67
Isi berita Ttk ref surat kwt mendagri no 264/kwt/ditpum/dv/v/1975 perihal penggunaan rumah tempat tinggal sebagai gereja kma bersama ini diberitahukan bhw dibeberapa daerah telah terjadi salah penafsiran thd pelaksanaan dari instruksi dalam surat kawat tsb kma sehingga timbul protes dari golongan yang merasa dirugikan ttk Ttk sehubungan dengan itu bersama ini dijelaskan ulang dijelaskan bhw yang tidak diizinkanadalah penggunaan rumah tempat tinggal sehingga berfungsi sbg gereja kma adapun berkumpulnya orang kristen grmr katolik dlm satu rumah dgn kegiatan kekeluargaan tidak pernah dilarang ttk c.
Menurut laporan Menteri Dalam Negeri terdapat beberapa kasus tentang kegelisahan dan keresahan masyarakat karena merasa keberatan dengan keberadaan rumah ibadat di sekitar perumahan mereka di desa Pondok Pucung, Bekasi, keresahan itu telah menjurus pada benturan fisik atau tindakan kekerasan. Hal ini tidak bisa dibenarkan. Semua pihak harus mengendalikan diri, mematuhi ketentuan yang ada dan bersikap arif. Bahkan kepada para pendeta misalnya Menko Polkam Sudomo yang beragama Kristen Protestan itu mengaku telah menganjurkan untuk tidak mendirikan gereja tanpa izin termasuk menjadikan kebaktian rutin, sehingga berfungsi sebagai rumah ibadat tidak boleh, harus ada izinnya. Ini merupakan hasil keputusan Rakor Polkam tambahnya (Menko Polkam Sudomo, Hasil Rakor Polkam, Majalah Amanah No. 106, tanggal 27 Juli - 9 Agustus 1990, hlm. 2122).
5.
Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Rumah Ibadat
Berdasarkan Keputusan Lokakarya Pembinaan Perikehidupan Beragama Islam (P2A) tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam mengeluarkan Instruksi No. Kep/D/101/78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushalla.
68
a.
Pengertian 1) Pengertian pengeras suara di sini adalah perlengkapan teknik yang terdiri dari mikropon, amplifier, loud speaker dan kabel-kabel tempat mengalirnya arus listrik. 2) Pengeras suara di masjid, langgar atau mushalla, yaitu pengeras suara yang tersebut di atas yang dimaksudkan untuk memperluas jangkauan penyampaian dari apa-apa yang disiarkan di dalam masjid, langgar atau mushalla seperti adzan, iqamah, doa, praktik shalat, takbir, pembacaan ayat al-Quran, pengajian dan lain-lain.
b.
Pemasangan Pengeras Suara Untuk tercapainya fungsi pengeras suara perlu pengaturan pemasangan sebagai berikut: 1) Diatur sedemikian rupa sehingga corong yang keluar dapat dipisahkan dengan corong ke dalam. Jelasnya terdapat saluran yang hanya semata-mata ditujukan keluar. 2) Dan yang kedua berupa corong yang semata-mata ditujukan ke dalam ruangan masjid, langgar atau mushalla. 3) Acara yang ditujukan ke luar, tidak terdengar keras ke dalam yang dapat mengganggu orang shalat sunnat atau dzikir. Demikian juga corong yang ditujukan ke dalam masjid tidak terdengar ke luar sehingga tidak mengganggu yang sedang istirahat.
c.
Pemakaian Pengeras Suara Pada dasarnya suara yang disalurkan ke luar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu shalat. Demikian juga shalat dan doa pada dasarnya hanya untuk kepentingan jamaah ke dalam dan tidak perlu ditujukan ke luar untuk tidak melanggar ketentuan syariat yang melarang bersuara keras dalam ibadah shalat. Sedangkan dzikir pada dasarnya adalah ibadah individu langsung dengan Allah SWT karena itu tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam maupun ke luar. Secara lebih terperinci kiranya perlu dipedomani
69
ketentuan sebagai berikut: 1) Waktu Subuh a) Sebelum waktu subuh, dapat dilakukan kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk pembacaan ayat suci al-Quran yang dimaksudkan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan dan lain-lain. b) Kegiatan pembacaan ayat suci al-Quran tersebut dapat menggunakan pengeras suara ke luar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah dalam masjid. c) Adzan waktu shubuh menggunakan pengeras suara ke luar. d) Shalat subuh, kuliah subuh dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jamaah) dan hanya ditujukan ke dalam saja. 2) Waktu Dzuhur dan Jumat a) Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu Jumat supaya diisi dengan bacaan al-Quran yang ditujukan ke luar. b) Demikian juga suara adzan bilamana telah tiba waktunya. c) Bacaan shalat, doa, pengumuman, khutbah dan lainlain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam. 3) Ashar, Maghrib dan Isya a) Lima menit sebelum adzan pada waktunya, dianjurkan membaca al-Quran. b) Pada waktu datang shalat dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam. c) Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya
70
4)
5)
ke dalam. Takbir, Tarhim dan Ramadhan a) Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar. Pada Idul Fitri dilakukan malam 1 Syawal dan hari 1 Syawal. Pada Idul Adha dilakukan 4 hari berturut-turut sejak malam 10 Dzulhijjah. b) Tarhim yang berupa doa menggunakan pengeras suara ke dalam. Dan tarhim berupa dzikir tidak menggunakan pengeras suara. c) Pada bulan Ramadhan sebagaimana pada hari dan malam biasa dengan memperbanyak pengajian, bacaan al-Quran yang ditujukan ke dalam seperti tadarusan dan lain-lain. Upacara Hari Besar Islam dan Pengajian Tabligh pada hari besar Islam atau pengajian harus disampaikan oleh muballigh dengan memperhatikan kondisi dan keadaan audience (jamaah). Ekspresi dan raut muka pendengar harus diperhatikan dan memberikan bahan kepada muballigh untuk menyempurnakan tablighnya baik isi maupun cara penyampaiannya. Karena itu tabligh/ pengajian hanya menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam dan tidak untuk ke luar karena tidak diketahui reaksi pendengarnya atau lebih sering menimbulkan gangguan bagi yang istirahat daripada didengarkan sungguh-sungguh. Dikecualikan dari hal ini, apabila pengunjung tabligh atau hari besar Islam memang melimpah ke luar.
d.
Hal-hal yang Harus Dihindari Untuk mencapai pengaruh kepada masyarakat dan dicintai pendengar, kiranya diperhatikan agar hal-hal berikut dihindari untuk tidak dilaksanakan: 1) Mengetuk-ngetuk pengeras suara. Secara teknis hal ini akan mempercepat kerusakan pada peralatan di dalam yang teramat peka pada gesekan yang keras.
71
2) 3) 4)
5) 6)
e.
Kata-kata seperti: percobaan-percobaan, satu dua, dst. Berbatuk atau mendehem melalui pengeras suara. Membiarkan suara kaset sampai lewat dari dimaksud untuk memutar kaset (Quran, ceramah) yang sudah tidak betul suaranya. Membiarkan digunakan oleh anak-anak untuk bercerita macam-macam. Menggunakan pengeras suara untuk memanggil-manggil nama seseorang atau mengajak bangun (di luar panggilan adzan).
Suara dan Kaset Seperti diuraikan di depan, suara yang dipancarkan melalui pengeras suara, karena didengar orang banyak dan sebagainya tentu orang-orang terpelajar diperlukan syaratsyarat sebagai berikut: 1) Memiliki suara yang pas, tidak sumbang atau terlalu kecil. 2) Merdu dan fasih dalam bacaan/naskah. 3) Dalam hal menggunakan kaset, hendaknya diperhatikan dan dicoba sebelumnya, baik mutu atau lamanya untuk tidak dihentikan mendadak sebelum waktunya. 4) Adzan pada waktunya hendaknya tidak menggunakan kaset kecuali bila terpaksa (Lampiran Instruksi Dirjen Bi-mas Islam No. Kep/D/101/78 Bagian A,E,F,G, dan H).
f.
72
Penjagaan Kesunyian di Tempat Peribadatan 1) Untuk menjaga jangan sampai sesuatu peribadatan agama diganggu oleh sesuatu kegaduhan, keributan di sekitarnya. 2) Untuk menjaga keselamatan yang menjalankan ibadat, maka: a) perlu diadakan penjagaan kesunyian dengan memasang verkeersbaken dengan tanda larang toeter (klakson) di jalan dekat tempat ibadat itu, bila tempat itu dipergunakan, antara lain untuk shalat Jumat, sedang penjagaan di waktu biasa tidak
b)
diperlukan. Di mana tempat ibadat sangat penuh sesak, sehingga dipergunakan tempat-tempat yang biasa tidak diperuntukkan untuk beribadat, antara lain halaman muka gedung dan lain-lain, maka agaknya perlu diadakan penjagaan oleh pegawai polisi, untuk menjaga keamanan tempat tersebut, antara lain mengawasi sepedasepeda yang biasanya dilupakan oleh pemakai di waktu menjalankan ibadat (Surat Jawaban Kepolisian Negara bagian DPKN Jakarta No. B.3552/1052/ 52 tanggal 24 Juli 1952).
6.
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (antara lain tanah untuk tempat peribadatan)
a.
Pokok-pokok Kebijakan Pengadaan Tanah 1) Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum; 2) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk umum oleh Pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. 3) Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara jual-beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara suka rela oleh pihakpihak yang bersangkutan (Keppres RI No. 55 Tahun 1993 Bab II Pasal 2). 4) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah (Keppres RI No. 55 Tahun 1993 Bab II Pasal 3). 5) Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan
73
umum tersebut sesuai dan berdasar pada Rencana Umum Tata Ruang yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
6)
b.
74
Bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Umum Tata Ruang, pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan perencana ruang wilayah atau kota yang telah ada (Keppres RI No. 55 Tahun 1993 Bab II Pasal 4). Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki Pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut: a) Jalan umum, saluran pembuangan air; b) Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; c) Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d) Pelabuhan dan bandar udara atau terminal; e) Peribadatan; f) Pendidikan atau Sekolah; g) Pasar Umum dan Pasar INPRES; h) Fasilitas pemakaman umum; i) Fasilitas kesehatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana; j) Pos dan telekomunikasi; k) Sarana olah raga; l) Stasion penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya (Keppres R.I. No. 55 Tahun 1993 Bab II Pasal 5).
Panitia, Musyawarah dan Ganti Kerugian 1) Panitia Pengadaan Tanah a) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
2)
dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah yang dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I. b) Panitia Pengadaan tanah dibentuk di setiap Kabupaten atau Kotamadya Daerah Tingkat II. c) Pengadaan tanah berkenaan dengan tanah yang terletak di dua wilayah Kabupaten/Kotamadya atau lebih, dilakukan dengan bantuan Panitia Pengadaan Tanah tingkat Propinsi yang diketahui atau dibentuk oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan yang susunan keanggotaannya sejauh mungkin mewakili instansi-instansi yang terkait di Tingkat Propinsi dan Daerah Tingkat II yang bersangkutan (Keppres RI No. 55 Tahun 1993 Bab III Pasal 6). Musyawarah
3)
Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah (Keppres RI No. 55 Tahun 1993 Pasal 9). Ganti Kerugian Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas dasar: a) harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang terakhir untuk tanah yang bersangkutan; b) nilai jual bangunan yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pembangunan; c) nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab di bidang pembangunan (Keppres RI No.55 Tahun 1993 Bab III Pasal 1). Bentuk dan besarnya ganti kerugian atas dasar cara perhitungan dimaksud dalam pasal 15 ditetapkan dalam
75
musyawarah (Keppres RI No. 55 Tahun 1993 Bab III Pasal 16). Ganti Kerugian diserahkan kepada: a) pemegang hak atas tanah atau ahli warisnya yang sah; b) nadzir, bagi wakaf tanah. Dalam hal tanah, bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang dari mereka tidak dapat diketemukan, maka ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak dapat diketemukan tersebut, dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri setempat oleh Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah (Keppres RI No. 55 Tahun 1993 Bab III Pasal 17). c.
Pengadaan Tanah Skala Kecil Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidaklebih dari 1 (satu) Ha, dapat dilakukan langsung oleh instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak (Keppres RI No. 55 Tahun 1993 Bab IV Pasal 23).
D.
Hubungan Antar Agama dalam Bidang Pendidikan, Perkawinan, Penguburan Jenazah dan Upacara Hari-Hari Besar Keagamaan
1.
Bidang Pendidikan
a.
Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa [UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 4 ayat (1)].
b.
76
Peserta Didik
Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama [UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 12 ayat (1) butir a]. Pendidik dan/atau guru agama yang seagama dengan peserta didik difasilitasi dan/atau disediakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan satuan pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3) [Penjelasan UU No. 20 Tahun 2003, Pasal 12 ayat (1) butir a]. 2.
Bidang Perkawinan
a.
Perkawinan di Kalangan Masyarakat Umum/Sipil 1) Sahnya Perkawinan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu [UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1)]. Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
2)
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undangundang ini [Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974)]. Pelarangan Perkawinan
3)
Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin (UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 huruf f). Pencatatan Perkawinan Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan
77
oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk [PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat (1)].
4)
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundangundangan mengenai pencatatan perkawinan [PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat (2)]. Tatacara Perkawinan Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu [PP No. 9 Ta-hun 1975 Pasal 10 ayat (2)]. Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh kedua orang saksi [PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 10 ayat (3)].
5)
Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya [PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 11 ayat (2)]. Gugatan Perceraian Gugatan perceraian diajukan oleh suami isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat [PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 20 ayat (1)]. Untuk melindungi pihak isteri, maka gugatan perceraian dalam undang-undang ini diadakan perubahan, tidak diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat tetapi ke Pengadilan yang
78
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. (Penjelasan Umum atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
6)
Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam [Penjelasan PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 20 ayat (1)]. Pencatatan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Dalam menangani kasus pencatatan perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Menteri Agama RI menganggap perlu adanya kebijaksanaan Menteri Dalam Negeri mengenai pencatatan perkawinan para penganut Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa hendaknya didasarkan pada agama yang dipeluknya sebagaimana surat Menteri Agama yang dikirim kepada Menteri Dalam Negeri, antara lain disebutkan sebagai berikut : “...Oleh karena setiap pemeluk Aliran Kepercayaan inklusif para Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak kehilangan agama yang dipeluknya. Jika mereka pemeluk agama Islam pencatatannya di Kantor Urusan Agama Kecamatan [Pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975]. Sedangkan bagi mereka pemeluk selain Agama Islam pencatatannya di Kantor Catatan Sipil B.S.” [PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat (2)] (Surat Menteri Agama RI Nomor: MA/65/1979 tanggal 28-12-1979).
7)
Ketentuan ini berlaku bagi para penganut aliran kepercayaan yang masih menganut suatu agama tertentu. Perkawinan Beda Agama Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu [UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1)].
79
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 44). b.
Perkawinan di Kalangan TNI/Polri 1) Beristeri lebih dari seorang Pada asasnya seorang anggota ABRI pria/wanita hanya diizinkan mempunyai seorang isteri/suami (SK Menhankam/Panglima ABRI No. Kep/01/I/1980 Pasal 2a).
2)
Menyimpang dari ketentuan tersebut ayat (a) pasal ini seorang suami hanya dapat dipertimbangkan untuk diizinkan mempunyai isteri lebih dari seorang apabila hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan agama yang dianutnya dan dalam hal: isteri tidak dapat melahirkan keturunan, dengan surat keterangan dokter (SK Menhankam/ Panglima ABRI No. Kep/01/I/1980 Pasal 2b). Pelaksanaan Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Setiap perkawinan, perceraian dan rujuk dilaksanakan menurut ketentuan/tuntunan agama yang dianut oleh anggota ABRI yang bersangkutan dan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (SK Menhankam/ Panglima ABRI No. Kep.01/I/1980 Pasal 3). Anggota ABRI yang akan melaksanakan perkawinan harus mendapat izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang (SK Menhankam/Panglima ABRI No. Kep/01/ I/1980 Pasal 6a). Izin kawin hanya diberikan apabila perkawinan yang akan dilakukan itu tidak melanggar hukum agama yang dianut oleh kedua pihak yang bersangkutan. Untuk itu perlu adanya pernyataan/pendapat pejabat agama/angkatan/ Polri yang bersangkutan (SK Menhankam/Panglima ABRI No. Kep/01/I/1980 Pasal 6b). Pejabat agama ialah rohaniwan-rohaniwati Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha dari masing-masing
80
angkatan/Polri (SK Menhankam/Panglima ABRI No. Kep/ 01/I/1980 Pasal 1b). Izin cerai hanya diberikan apabila perceraian yang akan dilakukan tidak bertentangan dengan agama yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (SK Menhankam/ Panglima ABRI No. Kep/01/I/1980 Pasal 9b). c.
Agama Anak 1) Terkait Hak dan Kewajiban Anak Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. (UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 6) Setiap anak berkewajiban untuk : a. menghormati orang tua, wali, dan guru; b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. (UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 19) 2) Terkait Pengasuhan Anak (1) Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.; (2) Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.; (3) Dalam hal lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlandaskan agama, anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan; (4) Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang bersangkutan; (5) Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial; dan (6)
81
Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). [UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 37] 3) Terkait Pengangkatan Anak (1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya; (3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat; (4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir; dan (5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat. (UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 39) 4) Terkait Agama Anak (1) Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya; dan (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. (UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 42) (1) Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya; (2) Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak. (UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 43) 5) Terkait Peran Masyarakat terhadap Agama Anak (1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluasluasnya untuk berperan dalam perlindungan anak; (2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya
82
masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa. (UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 72) 6) Ketentuan Pidana tentang Agama Anak Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya sendiri, padahal diketahui atau patut diduga bahwa anak tersebut belum berakal dan belum bertanggung jawab sesuai dengan agama yang dianutnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). [UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 86]
d.
Perkawinan Penganut Agama Khonghucu Bahwa berdasarkan UU No. 1/PNPS/1965 Pasal 1 Penjelasan dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confusius). Sebagaimana diketahui UU tersebut sampai saat ini masih berlaku dan karena itu Departemen Agama melayani umat Khonghucu sebagai umat penganut agama Khonghucu. Selanjutnya berkaitan dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, maka Departemen Agama memberlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu yang dipimpin Pendeta Khonghucu adalah sah menurut Pasal 2 ayat (1) tersebut. (Surat Menteri Agama No. MA/12/2006, tanggal 24 Januari 2006, angka 1). Berkaitan dengan butir tersebut di atas, maka pencatatan perkawinan bagi para penganut agama Khonghucu dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada [Surat Menteri Agama No. MA/12/2006, tanggal 24 Januari 2006, angka 2].
83
Berkaitan dengan kebijakan Menteri Agama sebagaimana tertuang dalam Surat Menteri Agama Nomor MA/12/2006, tanggal 24 Januari 2006 tentang Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu, maka Menteri Agama meng-instruksikan kepada Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, para Direktur Jenderal, Kepala Badan Litbang dan Diklat, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, para Kepala Kanwil Departemen Agama agar mensosialisasikan Kebijakan yang tertuang dalam Isi Surat Menteri Agama Nomor MA/12/2006, tanggal 24 Januari 2006 kepada masyarakat luas, termasuk kepada Pemerintah Daerah dan Instansi Vertikal terkait (Instruksi Menteri Agama RI No. 1 Tahun 2006, tanggal 16 Maret 2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu, Diktum Pertama). Pelayanan pencatatan perkawinan terhadap umat Khonghucu di tingkat pusat dilaksanakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama pada Sekretariat Jenderal Departemen Agama (Instruksi Menteri Agama RI No. 1 Tahun 2006, tanggal 16 Maret 2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu, Diktum Pertama). Pelayanan terhadap Agama Khonghucu di tingkat pusat dilaksanakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama pada Sekretariat Jenderal Departemen Agama (Instruksi Menteri Agama RI No. 1 Tahun 2006, tanggal 16 Maret 2006 tentang Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu, Diktum Kedua). 3.
Bidang Penguburan Jenazah
a.
Tidak Dilihat Adanya Tatacara Penguburan Menurut Aliran Kepercayaan Berdasarkan Surat Menteri Agama RI Nomor B.VI/11215/ 1978, tanggal 18 Oktober 1978 yang disampaikan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I di seluruh Indonesia, bahwa penguburan jenazah adalah menyangkut keyakinan agama, maka dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
84
tidak dikenal adanya tatacara penguburan menurut aliran kepercayaan dan tidak dikenal pula adanya penyebutan “Aliran Kepercayaan” sebagai “Agama” baik dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan lain-lain. Alinea yang menyatakan hal itu dalam Surat Menteri Agama tersebut selengkapnya adalah: Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan mengingat pula bahwa masalah-masalah penyebutan agama, perkawinan, sumpah, penguburan jenazah adalah menyangkut keyakinan agama, maka dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak dikenal adanya tatacara perkawinan, sumpah dan penguburan menurut aliran kepercayaan, dan tidak dikenal pula penyebutan “Aliran Kepercayaan” sebagai “Agama” baik dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan lain-lain (Surat Menteri Agama No. B.VI/11215/1978, tanggal 18 Oktober 1978). b.
Penggunaan Kuburan Desa Menteri Agama mempermaklumkan bahwa: 1) Pada umumnya kuburan-kuburan adalah kepunyaan desa, untuk orang-orang desa, dengan tidak membedakan kepercayaan atau agamanya. 2) Kuburan yang bersifat wakaf hanya dipergunakan sesuai dengan niat orang yang mewakafkan. Pada kuburan ini tidak mungkin seorang yang tidak beragama Islam dikubur (Surat Edaran Kagri No. A. 287/E/3 tanggal 14 Mei 1947).
4.
Bidang Upacara Hari-Hari Besar Keagamaan
a.
Penyelenggaraan Hari-Hari Besar Keagamaan Sejalan dengan pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama tertanggal 25 Agustus 1981 dan petunjuk Bapak Presiden pada tanggal 1 September 1981, bahwa peringatan hari-hari besar keagamaan pada dasarnya hanya diselenggarakan dan dihadiri oleh para
85
pemeluk agama yang bersangkutan, namun sepanjang tidak bertentangan dengan akidah/ajaran agamanya, pemeluk agama lain dapat turut menghormati sesuai dengan asas kekeluargaan, bertetangga baik dan kegotongroyongan. Dalam penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan perlu dipedomani hal-hal sebagai berikut: 1) Unsur Peribadatan
2)
Unsur Peribadatan ialah “ibadat” bagi Islam, “kebaktian/ li-turgi” bagi Kristen Protestan dan Katolik, “yadnya” bagi Hindu dan “kebaktian” bagi Buddha, yang terkandung dalam penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan merupakan bentuk ajaran agama yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemimpin/Pemuka Agama yang bersangkutan untuk mengaturnya sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Dalam hal peribadatan atau adanya unsur peribadatan semacam ini, maka hanya pemeluk agama yang bersangkutan yang dapat menghadirinya. Unsur perayaan dan kegiatan lain ialah penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan yang di dalamnya tidak ada unsur ibadat. Dalam perayaan dan kegiatan semacam ini dapat dihadiri dan diikuti oleh pemeluk agama lain. Bila seseorang atau pejabat karena jabatannya akan hadir dalam peringatan dan upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya hendaklah dapat menyesuaikan diri dengan bersikap pasif dan khidmat, sehingga kelancaran jalannya upacara maupun pemantapan kerukunan umat beragama terjamin. Penanggung jawab sekolah dan para guru selaku pembina anak didik tunas harapan bangsa, agar menjaga dan memelihara keyakinan dan keimanan agama yang dipeluk oleh anak didik masing-masing, sehingga penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan di sekolah-sekolah diadakan sesuai dengan ketentuan dalam surat edaran ini.
86
Kepada pimpinan lembaga kemasyarakatan dan badan swasta dianjurkan untuk memperhatikan hajat keagamaan dengan memberikan kesempatan pelaksanaan ibadah dan penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan di dalam lingkungan masing-masing seperti: Rukun Warga dan Rukun Tetangga maupun perusahaan. Untuk itu hendaknya meminta petunjuk kepada pejabat Pemerintah/Agama dan/atau pemimpin/pemuka agama setempat, agar peringatan termaksud dapat benar-benar mengembangkan kehidupan beragama serta kerukunan antara umat beragama dalam masyarakat sesuai dengan maksud dalam surat edaran ini. Biaya penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan pada dasarnya menjadi tanggungan pemeluk agama yang bersangkutan dan tidak selayaknya mengusahakan sumbangan kepada bukan pemeluknya. Namun hal ini tidak berarti bahwa seseorang dilarang memberikan sumbangan atau hadiah kepada pemeluk agama lain atas dasar suka rela dan persahabatan. Bilamana dalam peringatan hari-hari besar keagamaan diundang pula pemeluk agama lain, hendaknya surat undangan dilampiri dengan susunan acara yang telah mengindahkan ketentuan tersebut di atas demi tertib dan lancarnya penyelenggaraan peringatan (Surat Edaran Menteri Agama RI No. MA/432/1981 tanggal 2 September 1981). b.
Petunjuk Presiden sehubungan Surat Edaran Menteri Agama Nomor: MA/432/1981. Pokok-pokok petunjuk Presiden tersebut ialah: 1) Surat Edaran Menteri Agama tersebut jangan hendaknya dikaitkan dengan masalah yang bukan-bukan. Akan tetapi supaya dikaitkan dengan tujuan kemerdekaan kita yaitu merdeka, bersatu, mencapai masyarakat adil dan makmur. 2) Sebagai jaminan kelanjutan mencapai tujuan kemerdeka-
87
3)
c.
an tersebut, hendaknya dalam menghadapi persoalan agama kita harus berhati-hati. Karena soal agama merupakan salah satu soal yang dapat membahayakan apabila kita sama-sama kurang berhati-hati. Tujuan Pemerintah dengan surat Edaran Menteri Agama itu, bukan mencampuri soal-soal agama, tetapi yang diatur ialah penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan demi persatuan dan kesatuan bangsa, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak kita inginkan bersama (Petunjuk Bapak Presiden sehubungan dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor: MA/432/1981).
Pemberian Pengarahan kepada Panitia Penyelenggara Peringatan Hari Besar Keagamaan Sehubungan sering timbulnya masalah akibat kekhilafan Panitia Penyelenggara Peringatan Hari Besar Keagamaan dalam melaksanakan Surat Edaran Menteri Nomor: MA/432/ 1981, maka Menteri Agama meminta kepada Ketua Lembaga Tinggi Negara, para Menteri Kabinet Pembangunan, Kepala Lembaga Non Departemen, Pangkomkamtib, Jaksa Agung, Kepolisian RI, dan para Gubernur seluruh Indonesia agar kiranya dapat memberikan pengarahan kepada Panitia Penyelenggara Peringatan Hari Besar Keagamaan yang dibentuk dalam instansi masing-masing supaya dalam undangan untuk memperingati hari besar keagamaan dapat dibedakan dengan jelas urutan waktu pelaksanaan acara yang bersifat ritual/kebaktian dan acara yang bersifat seremonial/ resepsi, silaturahmi dan sebagainya. Lebih lanjut dalam surat tersebut disebutkan: “Selanjutnya demi untuk memperoleh kekhidmatan acara yang bersifat ritual/ kebaktian seyogyanya hanya diikuti oleh para pemeluk agama yang bersangkutan sedang untuk acara yang bersifat seremonial/resepsi, silaturahmi dan sebagainya dapat diikuti oleh para undangan lain yang berminat. Untuk pelaksanaan teknis, para Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat dalam lingkungan Departemen Agama siap memberikan bantuannya” (Surat Menteri Agama No. SJ/6631/1985, tanggal 4 Oktober 1985).
88
E.
Pengamanan terhadap Barang Cetakan
1.
Pelarangan terhadap Peredaran Barang Cetakan
a.
Wewenang Pelarangan Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum [Penpres RI No. 4/1963 Pasal 1 ayat (1)].
b.
Sanksi terhadap Pelanggaran Larangan Barangsiapa menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan yang terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya 1 tahun atau denda setinggitingginya lima belas ribu rupiah [Penpres RI No. 4 Tahun 1963 Pasal 1 ayat (3)].
c.
Kewajiban Pengiriman Satu Eksemplar Barang Cetakan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Dalam waktu empat puluh delapan jam setelah selesai dicetak, maka pencetak wajib mengirimkan satu eksemplar barang cetakan yang dicetak, yang jenisnya tercantum dalam ayat (3) kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dengan dibubuhi tanda tangan pencetak [Penpres RI No. 4 Tahun 1963 Pasal 2 ayat (1)].
d.
Jenis Barang Cetakan Barang cetakan yang dimaksud adalah buku-buku, brosurbrosur, bulletin-bulletin, surat-surat kabar harian, majalahmajalah, penerbitan-penerbitan berkala, pamflet-pamflet, poster-poster, surat-surat yang dimaksudkan untuk disebarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak ramai dan barangbarang lainnya yang dapat dipersamakan dengan jenis barang cetakan yang ditentukan dalam pasal ini [Penpres RI No. 4 Tahun 1963 Pasal 2 ayat (3)].
e.
Pemeriksaan Barang Cetakan dari Luar Negeri Dengan suatu keputusan, Menteri Jaksa Agung dapat membatasi
89
jenis-jenis barang-barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari Luar Negeri (Penpres RI No. 4 Tahun 1963 Pasal 5 ayat (1)]. 2.
Impor Buku-buku Agama
a.
Pembebasan Bea Masuk Kiriman/Hadiah dari Luar Negeri Pembebasan bea masuk diberikan untuk barang-barang yang berupa kiriman-kiriman hadiah yang bertujuan kesejahteraan rohani penduduk atau maksud amal umum atau kebudayaan, barang-barang mana dikirimkan kepada badan-badan keagamaan, amal dan kebudayaan [Keppres No. 133 Tahun 1953 Pasal 1 ayat (1)]. Yang dimaksud dengan barang-barang yang bertujuan kesejahteraan rohani penduduk ialah: segala sesuatu yang meliputi kesejahteraan rohani dari penduduk, teristimewa berhubungan dengan berbagai corak keagamaan (Penjelasan Umum Keputusan Presiden No. 133 Tahun 1953).
b.
Pembebasan Bea Masuk Impor Buku-buku Agama Terhadap pemasukan buku agama dengan rekomendasi dari Departemen Agama Republik Indonesia diberikan pembebasan bea masuk dan PPn impor seluruhnya sebesar 100% (seratus persen) sehingga besarnya bea masuk dan PPn impor masing-masing menjadi 0% (nol persen) dari tarif yang berlaku (SK Menkeu. 497/KM.1/1979 Pasal 1).
3.
Pengawasan terhadap Mushaf Al-Qur’an Sehubungan masih terhadap Mushaf Al-Qur’an yang beredar dalam masyarakat belum ada tanda-tanda tashih dari Lajnah/ Panitia Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama, maka Menteri Agama RI menginstruksikan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten seluruh Indonesia untuk: Mengawasi dan meneliti peredaran Mushaf Al-Qur’an dalam masyarakat, toko-toko buku/kitab dan lain-lain untuk mengecek apakah sudah ada tanda tashih dari Lajnah/Panitia Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen
90
Agama ataukah belum ada tashih dari Lajnah, agar segera melaporkannya kepada Kepala Badan Litbang cq. Puslitbang Lektur Agama, guna dapat diberikan teguran atau peringatan ataupun dipertimbangkan tindakan hukum oleh instansi yang berwenang (Instruksi Menteri Agama No. 2 Tahun 1982). F.
Sumpah dan Janji
Setiap calon Pegawai Negeri Sipil segera setelah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat Sumpah/Janji Pegawai Negeri Sipil menurut agama/kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan ketentuan-ketentuan da-lam Peraturan Pemerintah ini (PP No. 21 Tahun 1975 Pasal 1). Apabila seorang Pegawai Negeri Sipil berkeberatan untuk mengucapkan sumpah karena keyakinannya tentang agama/ kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka ia mengucapkan janji [PP No. 21 Tahun 1975 Pasal 3 ayat (1)]. Pegawai Negeri Sipil yang mengangkat sumpah/janji didampingi oleh seorang rohaniwan menurut agama masing-masing (SK Menteri Agama No. 50 Tahun 1976, Lampiran A5). Sumpah janji bagi Pegawai Negeri Sipil yang menganut agama atau kepercayaan di luar Agama-agama Islam, Kristen, Hindu dan Buddha hanya dibenarkan melakukan janji sesuai dengan ketentuan yang berlaku (PP 21 Tahun 1975) bila yang bersangkutan tidak bersedia bersumpah (SK Menteri Agama No. 50 Tahun 1976, Lampiran A5). G.
Penodaan dan Penghinaan Agama
1.
Pembekuan Aliran Kepercayaan/Kerohanian
Pembekuan kegiatan suatu aliran kepercayaan masyarakat/ kerohanian/kebatinan dan perdukunan hendaklah bersendikan kepada: a. ketentraman hidup beragama; b. adanya tindakan-tindakan/kegiatan-kegiatannya bertentangan/ melanggar suatu peraturan hukum yang berlaku;
91
c.
terbukti menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum;
d.
terbukti bertentangan dengan policy/kebijaksanaan pemerintah;
e.
terbukti menjadi alat/tempat berlindung orang-orang yang berusaha/melakukan kegiatan-kegiatan untuk comebacknya PKI, menjadi tempat bernaung orang-orang PKI, dan orangorang yang berusaha menggagalkan PELITA (Surat Jaksa Agung No. B-523/C/8/69).
2.
Tugas dan Wewenang Kejaksaan Agung
Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum Kejaksaan Agung turut menyelenggarakan kegiatan: a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. pengamanan peredaran barang cetakan; d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal [UU No. 5 Tahun 1991 Pasal 27 ayat (3)]. 3.
Instansi yang Membekukan Aliran
Dalam hal pembekuan aliran kebatinan dapat dilaksanakan oleh: a. Kepala Kejaksaaan Negeri, kalau-kalau aliran tersebut hanya berkembang dalam wilayah hukum Kejaksaan Negeri setempat; b. Kepala Kejaksaan Tinggi; kalau-kalau aliran tersebut berkembang dalam wilayah hukum Kejaksaan Tinggi tersebut; c. Kejaksaan Agung, kalau-kalau aliran tersebut berkembang dalam dua wilayah hukum Kejaksaan Tinggi atau lebih (Surat Jaksa Agung No. B-170/B.2/1/73). 4.
Sanksi Pidana Penodaan
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk
92
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu (UU No. 5 Tahun 1969 jo. UU 1/PNPS/1965 Pasal 1). Barangsiapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri [UU No. 5/1969 jo. UU No. 1/PNPS/ 1965 Pasal 2 ayat (1)]. Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri [UU No. 1/PNPS/ 1965 jo. UU No. 5 Tahun 1969 Pasal 2 ayat (2)]. Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersamasama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun (UU No. 1/PNPS/1965 jo. UU No. 5 Tahun 1969 Pasal 3). Pada kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156 a Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
93
(1)
yang pada pokoknya bersifat permusuhan penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
(2)
dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa (UU No. 1/PNPS/1965 jo. UU No. 5 Tahun 1969).
94
BAB IV PENUTUP
Demikianlah penyusunan buku Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Umat Beragama ini telah dapat diselesaikan. Dengan demikian terwujud sebuah buku kompilasi secara khusus memuat peraturan perundang-undangan tentang kerukunan umat beragama. Buku ini merupakan pegangan dan pedoman dalam pembinaan dan pelayanan kerukunan umat beragama yang diharapkan untuk dipahami dengan penuh kesadaran dalam pelaksanaannya, baik oleh Pemerintah, Pemuka Agama dan semua umat beragama. Dengan demikian timbullah kesamaan pandangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama yang ada, maka akan terbina kerukunan yang semakin mantap dan dinamis. Dalam penyusunan kompilasi ini sudah barang tentu masih terdapat kekurangan-kekurangan dan hal-hal yang perlu disempurnakan. Sehubungan dengan hal tersebut, saran dari berbagai pihak sangat diperlukan demi perbaikan pada penerbitan berikutnya.
95
96
LAMPIRAN-LAMPIRAN
97
98
Lampiran 1:
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEKRETARIAT JENDERAL UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 PEMBUKAAN (Preambule) Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut (2)
99
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UNDANG-UNDANG DASAR BAB I BENTUK DAN KEDAULATAN Pasal 1 (1)
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
(2)
Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.***)
(3)
Negara Indonesia adalah negara hukum.***) BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT Pasal 2
(1)
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.****)
(2)
Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.
(3)
Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Pasal 3
(1)
100
Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.***)
Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.***/****) (3)
Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.***/****) BAB III KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA Pasal 4
(1)
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
(2)
Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Pasal 5
(1)
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.*)
(2)
Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Pasal 6
(1)
Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarga negaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.***)
(2)
Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.***) Pasal 6A
(1)
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.***)
101
(2)
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.***)
(3)
Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.***)
(4)
Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.****)
(5)
Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.***) Pasal 7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.*) Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***) Pasal 7B (1)
102
Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.***) (2)
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3)
Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(4)
Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.***)
(5)
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.***)
(6)
Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat Pasal
103
tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.***) (7)
Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.***) Pasal 7C
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.***) Pasal 8 (1)
Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.***)
(2)
Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambatlambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.***)
(3)
Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tigapuluh hari setelah itu, Majelis Permusyawarat-an Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai akhir masa jabatannya.****)
104
9 (1)
Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguhsungguh dihadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut: Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti, kepada Nusa dan Bangsa”. Janji Presiden (Wakil Presiden) : “Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadiladilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.*)
(2)
Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakil-an Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung.*) Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pasal 11 (1)
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.****)
105
(2)
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3)
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.***)
Pasal 12 Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 13 (1)
Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2)
Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*)
(3)
Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*) Pasal 14
(1)
Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.*)
(2)
Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.*) Pasal 15
Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undangundang.*) Pasal 16 Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.****)
106
BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG Dihapus.****) BAB V KEMENTERIAN NEGARA Pasal 17 (1)
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2)
Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.*)
(3)
Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.*)
(4)
Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.***) BAB VI PEMERINTAH DAERAH Pasal 18
(1)
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undangundang.**)
(2)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**)
(3)
Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotaanggotanya dipilih melalui pemilihan umum.**)
(4)
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.**)
(5)
Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.**)
107
(6)
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.**)
(7)
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.**) Pasal 18A
(1)
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.**)
(2)
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.**) Pasal 18B
(1)
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.**)
(2)
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.**) BAB VII DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Pasal 19
(1)
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum.**)
(2)
Susunan Dewan Perwakilan rakyat diatur dengan undangundang.**)
(3)
Dewan Perwakilan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.**)
108
Pasal 20 (1)
Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.*)
(2)
Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.*)
(3)
Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.*)
(4)
Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.*)
(5)
Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. **) Pasal 20A
(1)
Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.**)
(2)
Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.**)
(3)
Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.**)
(4)
Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang.**)
109
Pasal 21 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang.*) Pasal 22 (1)
Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang.
(2)
Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3)
Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Pasal 22A
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undangundang diatur dengan undang-undang.**) Pasal 22B Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.**) BAB VIIA ***) DEWAN PERWAKILAN DAERAH Pasal 22C (1)
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.***)
(2)
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(3)
Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.***)
110
(4)
Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.***) Pasal 22D
(1)
Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.***)
(2)
Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah hubungan pusat dan daerah pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undangundang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.***)
(3)
Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.***)
(4)
Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.***)
111
BAB VIIB ***) PEMILIHAN UMUM Pasal 22E (1)
Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.***)
(2)
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.***)
(3)
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.***)
(4)
Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.***)
(5)
Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.***)
(6)
Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.***) BAB VIII HAL KEUANGAN Pasal 23
(1)
Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.***)
(2)
Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.***)
(3)
Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh
112
Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.***) Pasal 23A Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.***) Pasal 23B Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.****) Pasal 23C Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undangundang.***) Pasal 23D Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.****) BAB VIIIA ***) BADAN PEMERIKSA KEUANGAN Pasal 23E (1)
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.***)
(2)
Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya.***)
(3)
Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang.***) Pasal 23F
(1)
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden.***)
(4)
Ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh
113
(2)
Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota.***) Pasal 23G
(1)
Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.***)
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan undang-undang.***) BAB IX KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24
(1)
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.***)
(2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.***)
(3)
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.****) Pasal 24A
(1)
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.***)
(2)
Hakim agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.***)
(3)
Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.***)
114
hakim agung.***) (5)
Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang.***) Pasal 24B
(1)
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.***)
(2)
Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.***)
(3)
Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***)
(4)
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.***) Pasal 24C
(1)
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenang-annya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.***)
(2)
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.***)
(3)
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masingmasing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.***)
115
(4)
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.***)
(5)
Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.***)
(6)
Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.***) Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. BAB IXA **) WILAYAH NEGARA Pasal 25A****) Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.**) BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK **) Pasal 26 (1)
Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
(2)
Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.**)
(3)
Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.**)
116
Pasal 27 (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(3)
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.**) Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. BAB XA **) HAK ASASI MANUSIA Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.**) Pasal 28B (1)
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.**)
(2)
Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.**) Pasal 28C
(1)
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.**)
(2)
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam dari
117
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.**) Pasal 28D (1)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.**)
(2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.**)
(3)
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.**)
(4)
Setiap orang berhak atas status kewarga negaraan.**) Pasal 28E
(1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarga negaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.**)
(2)
Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.**)
(3)
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.**) Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.**) Pasal 28G (1)
118
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.**) (2)
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.**) Pasal 28H
(1)
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.**)
(2)
Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.**)
(3)
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.**)
(4)
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.**) Pasal 28I
(1)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.**)
(2)
Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.**)
(3)
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.**)
(4)
Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.**)
119
(5)
Untuk menegakan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.**) Pasal 28J
(1)
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.**)
(2)
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.**) BAB XI AGAMA Pasal 29
(1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2)
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA **) Pasal 30
(1)
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.**)
(2)
Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.**)
120
(3)
Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara.**)
(4)
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.**)
(5)
Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan diatur dengan undang-undang.**) BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN****) Pasal 31
(1)
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.****)
(2)
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.****)
(3)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sis-tem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.****)
(4)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari aggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.****)
(5)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.****)
121
Pasal 32 (1)
Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya.****)
(2)
Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.****) BAB XIV PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL****) Pasal 33
(1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3)
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.****)
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.****) Pasal 34
(1)
Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.****)
(2)
Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.****)
122
(3)
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.****)
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.****) BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA , SERTA LAGU KEBANGSAAN**) Pasal 35
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Pasal 36 Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia. Pasal 36A Lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.**) Pasal 36B Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya.**) Pasal 36C Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.**) BAB XVI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR Pasal 37 (1)
Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****)
(2)
Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian Pasal II
123
yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.****) (3)
Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****)
(4)
Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.****)
(5)
Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.****) ATURAN PERALIHAN Pasal I
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini.****) Pasal II Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.****) Pasal III Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.****) ATURAN TAMBAHAN Pasal I Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003.****)
124
Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal.****) *) **) ***) ****)
Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan
pertama disahkan 19 Oktober 1999. kedua disahkan 18 Agustus 2000. ketiga disahkan 10 November 2001. keempat disahkan 10 Agustus 2002. dalam rangka menjamin pemantapan persatuan
125
Lampiran 2: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1985 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
126
:
a. bahwa dalam pembangunan nasional yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, kemerdekaan warga negara Republik Indonesia untuk berserikat atau berorganisasi dan kemerdekaan untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya masing-masing dijamin oleh UndangUndang Dasar 1945; b. bahwa pembangunan nasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a memerlukan upaya untuk terus meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat Indonesia serta upaya untuk memantapkan kesadaran kehidupan kenegaraan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; c. bahwa Organisasi Kemasyarakatan sebagai sarana untuk menyalurkan pendapat dan pikiran bagi anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia, mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat dalam mewujudkan masyarakat Pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
dan kesatuan bangsa, menjamin keberhasilan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan sekaligus menjamin tercapainya tujuan nasional; d. bahwa mengingat pentingnya peranan Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf c, dan sejalan pula dengan usaha pemantapan penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam rangka menjamin kelestarian Pancasila, maka Organisasi Kemasyarakatan perlu menjadikan Pancasila sebagai satusatunya asas; e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, maka dalam rangka meningkatan peranan Organisasi Kemasyarakatan dalam pembangunan nasional, dipandang perlu untuk menetapkan pengaturannya dalam Undang-undang; Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/ 1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN Menetapkan a.
:
UNDANG-UNDANG TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN wadah penyalur kegiatan sesuai kepentingan anggotanya;
127
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 (1)
Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
(2)
Asas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pasal 3
Organisasi Kemasyarakatan menetapkan tujuan masing-masing sesuai dengan sifat kekhususannya dalun rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UndangUndang Dasar 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 4 Organisasi Kemasyarakatan wajib mencantumkan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam pasal Anggaran Dasarnya. BAB III FUNGSI, HAK, DAN KEWAJIBAN Pasal 5 Organisasi Kemasyarakatan berfungsi sebagai:
128
b. c. d.
wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya dalam usaha mewujudkan tujuan organisasi; wadah peran serta dalam usaha menyukseskan pembangunan nasional; sarana penyalur aspirasi anggota, dan sebagai sarana komunikasi sosial timbal balik antar anggota dan/atau antar Organisasi Kemasyarakatan, dan antara Organisasi Kemasyarakatan dengan organisasi kekuatan sosial politik, Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat, dan Pemerintah. Pasal 6
Organisasi Kemasyarakatan berhak: a. melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi; b. mempertahankan hak hidupnya sesuai dengan tujuan organisasi. Pasal 7 Organisasi Kemasyarakatan berkewajiban: a. mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; b. menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; c. memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Pasal 8 Untuk lebih berperan dalam melaksanakan fungsinya, Organisasi Kemasyarakatan berhimpun dalam satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis. BAB IV KEANGGOTAAN DAN KEPENGURUSAN Pasal 9 Setiap warga negara Republik Indonesia dapat menjadi anggota Organisasi Kemasyarakatan.
129
Pasal 10 Tempat kedudukan Pengurus atau Pengurus Pusat Organisasi Kemasyarakatan ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya. BAB V KEUANGAN Pasal 11 Keuangan Organisasi Kemasyarakatan dapat diperoleh dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang tidak mengikat; c. usaha lain yang sah. BAB VI PEMBINAAN Pasal 12 (1)
Pemerintah melakukan pembinaan terhadap Organisasi Kemasyarakatan;
(2)
Pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VII PEMBEKUAN DAN PEMBUBARAN Pasal 13
Pemerintah dapat membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat Organisasi Kemasyarakatan apabila Organisasi Kemasyarakatan: a.
melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum;
b.
menerima bantuan dari pihak asing tanpa persetujuan Pemerintah;
c.
memberi bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan Bangsa dan Negara.
130
Pasal 14 Apabila Organisasi Kemasyarakatan yang Pengurusnya dibekukan masih tetap melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, maka Pemerintah dapat membubarkan organisasi yang bersangkutan. Pasal 15 Pemerintah dapat membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7, dan/atau Pasal 18. Pasal 16 Pemerintah membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya. Pasal 17 Tata cara pembekuan dan pembubaran Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 diatur dengan Peraturan Pemerintah. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 Dengan berlakunya Undang-undang ini Organisasi Kemasyarakatan yang sudah ada diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan Undang-undang ini, yang harus sudah diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini. PENJELASAN ATAS
131
BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Pelaksanaan Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penampatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd SOEHARTO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Juni 1985 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd SUDHARMONO, SH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 44
132
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1985 TENTANG ORGANISASI KEMASYARAKATAN I.
UMUM
Untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan di segala bidang yang pada hakikatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan hakekat pembangunan sebagaimana tersebut di atas, maka pembangunan merupakan pengamalan Pancasila. Dengan pengertian mengenai hakikat pembangunan tersebut, maka terdapat dua masalah pokok yang perlu diperhatikan. Pertama, pembangunan nasional menuntut keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat warga negara Republik Indonesia. Kedua, karena pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancasila, maka keberhasilannya akan sangat dipengaruhi oleh sikap dan kesetiaan bangsa Indonesia terhadap Pancasila. Masalah keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan nasional adalah wajar. Kesadaran serta kesempatan untuk itu sepatutnya ditumbuhkan, mengingat pembangunan adalah untuk manusia dan seluruh masyarakat Indonesia. Dengan pendekatan ini, usaha untuk menumbuhkan kesadaran tersebut sekaligus juga merupakan upaya untuk memantapkan kesadaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berorientasi kepada pembangunan nasional. Dalam kerangka inilah letak pentingnya peranan Organisasi Kemasyarakatan, sehingga pengaturan serta pembinaannya perlu diarahkan kepada pencapaian dua sasaran pokok, yaitu : 1.
terwujudnya Organisasi Kemasyarakatan yang mampu memberikan pendidikan kepada masyarakat warga negara Republik Indonesia ke arah: a. makin mantapnya kesadaran kehidupan bermasyarakat, Dengan Organisasi Kemasyarakatan yang berasaskan Pancasila, yang mampu meningkatkan keikutsertaan
133
b.
2.
berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; tumbuhnya gairah dan dorongan yang kuat pada manusia dan masyarakat Indonesia untuk ikut serta secara aktif dalam pembangunan nasional;
terwujudnya Organisasi Kemasyarakatan yang mandiri dan mampu berperan secara berdaya guna sebagai sarana untuk berserikat atau berorganisasi bagi masyarakat warga negara Republik Indonesia guna menyalurkan aspirasinya dalam pembangunan nasional, yang sekaligus merupakan penjabaran Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Oleh karena pembangunan merupakan pengamalan Pancasila, dan tujuan serta subyeknya adalah manusia dan seluruh masyarakat warga negara Republik Indonesia yang berPancasila, maka adalah wajar bilamana Organisasi Kemasyarakatan juga menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dalam rangka pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat Pancasila. Dalam Negara Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila, maka agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber motivasi dan inspirasi bagi para pemeluknya, dan mendapat tempat yang sangat terhormat. Penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Organisasi Kemasyarakatan tidaklah berarti Pancasila akan menggantikan agama, dan agama tidak mungkin diPancasilakan; antara keduanya tidak ada pertentangan nilai. Organisasi Kemasyarakatan yang dibentuk atas dasar kesamaan agama menetapkan tujuannya dan menjabarkannya dalam program masing-masing sesuai dengan sifat kekhususannya, dan dengan semakin meningkat dan meluasnya pembangunan maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial kemasyarakatan. Undang-undang ini tidak mengatur peribadatan, yang merupakan perwujudan kegiatan dalam hubungan manusia dengan Tuhannya.
134
secara aktif manusia dan seluruh masyarakat Indonesia dalam pembangunan nasional, maka perwujudan tujuan nasional dapat dipercepat. II.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Salah satu ciri penting dalam Organisasi Kemasyarakatan adalah kesukarelaan dalam pembentukan dan keanggotaannya. Anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia bebas untuk membentuk, memilih, dan bergabung dalam Organisasi Kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi Kemasyarakatan dapat mempunyai satu atau lebih dari satu sifat kekhususan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, yaitu kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Organisasi atau perhimpunan yang dibentuk secara sukarela oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia yang keanggotaannya terdiri dari warga negara Republik Indonesia dan warga negara asing, termasuk dalam pengertian Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, dan oleh karenanya tunduk kepada ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Organisasi atau perhimpunan yang dibentuk oleh Pemerintah seperti Praja Muda Karana (Pramuka), Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), dan lain sebagainya, serta organisasi atau perhimpunan yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga negara Republik Indonesia yang bergerak dalam bidang perekonomian seperti Koperasi, Perseroan Terbatas, dan lain sebagainya, tidak termasuk dalam pengertian Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini. Sekalipun demikian dalam rangka pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, organisasi atau perhimpunan tersebut juga berkewajiban untuk menjadikan Pancasila sebagai bila Organisasi Kemasyarakatan berusaha melakukan kegiatan sesuai
135
satu-satunya azas dan mengamalkannya dalam setiap kegiatan. Pasal 2 Dalam pasal ini pengertian asas meliputi juga kata “dasar”, “landasan”, “pedoman pokok”, dan kata-kata lain yang mempunyai pengertian yang sama dengan asas. Yang dimaksud dengan ‘Pancasila” ialah yang rumusannya tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi Organisasi Kemasyarakatan harus dipegang teguh oleh setiap Organisasi Kemasyarakatan dalam memperjuangkan tercapainya tujuan dan dalam melaksanakan program masing-masing. Pasal 3 Setiap organisasi Kemasyarakatan menetapkan tujuan masing-masing, yang sesuai dengan sifat kekhususannya dengan berpedoman kepada ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Berdasarkan tujuan tersebut di atas Organisasi Kemasyarakatan dapat menetapkan program kegiatan yang dikehendaki. Yang penting adalah, bahwa tujuan dan program yang dikehendaki dan ditetapkannya itu harus tetap berada dalam rangka mencapai Tujuan Nasional. Yang dimaksud dengan “tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945” ialah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Oleh karena Organisasi Kemasyarakatan dibentuk atas dasar sifat kekhususannya masing-masing, maka sudah semestinya apa-
136
dengan kepentingan para anggotanya. Huruf b Organisasi Kemasyarakatan sebagai wadah pembinaan dan pengembangan anggotanya merupakan tempat penempaan kepemimpinan dan peningkatan keterampilan yang dapat disumbangkan dalam pembangunan disegala bidang. Huruf c Pembangunan adalah usaha bersama bangsa untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Oleh karena itu Organisasi Kemasyarakatan sebagai wadah peran serta anggota masyarakat, merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Huruf d Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Dengan tidak mengurangi kebebasannya untuk lebih berperan dalam melaksanakan fungsinya, Organisasi Kemasyarakatan berhimpun dalam suatu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis sesuai dengan kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Yang dimaksud dengan “satu wadah pembinaan dan pengembangan yang sejenis” ialah hanya ada satu wadah untuk setiap jenis, seperti untuk Organisasi Kemasyarakatan pemuda dalam wadah yang sekarang bernama Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), untuk Organisasi Kemasyarakatan tani dalam wadah yang sekarang bernama Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan lain sebagainya. Organisasi Kemasyarakatan yang bersangkutan dan setelah
137
Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diperlukan dalam rangka membimbing, mengayomi, dan mendorong Organisasi Kemasyarakatan kearah pertumbuhan yang sehat dan mandiri sesuai dengan jiwa dan semangat undang-undang ini. Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Lembaga yang berwenang untuk membekukan Pengurus atau Pengurus Pusat dan membubarkan Organisasi Kemasyarakatan adalah Pemerintah. Yang dimaksud dengan “Pemerintah” dalam pasal-pasal ini adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I yaitu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, dan Pemerintah Daerah Tingkat II yaitu Bupati /Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Wewenang membekukan dan membubarkan tersebut berada pada: a.
Pemerintah Pusat bagi Organisasi kemasyarakatan yang ruang lingkup keberadaannya bersifat nasional;
b.
Gubernur bagi organisasi Kemasyarakatan yang ruang lingkup keberadaannya terbatas dalam wilayah Propinsi yang bersangkutan;
c.
Bupati/Walikotamadya bagi Organisasi Kemasyarakatan yang ruang lingkup keberadaannya terbatas dalam wilayah Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan.
Pembekuan dan pembubaran dapat dilakukan setelah mendengar keterangan dari Pengurus atau Pengurus Pusat
138
memperoleh pertimbangan dalam segi hukum dari Mahkamah Agung untuk tingkat nasional, sedangkan untuk tingkat Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kotamadya setelah memperoleh pertimbangan dari instansi yang berwenang sehingga dapat dipertanggungjawabkan dari semua segi, bersifat mendidik, dalam rangka pembinaan yang positif, dan dengan mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembubaran merupakan upaya terakhir. Pasal 16 Yang dimaksud dengan “ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya” ialah segala ideologi, paham, atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dasar negara, dan ideologi nasional, serta Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Organisasi Kemasyarakatan yang terbentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya Undangundang ini, baik yang berstatus badan hukum maupun tidak, sepenuhnya tunduk kepada ketentuan-ketentuan Undang-undang ini, dan oleh karenanya Organisasi Kemasyarakatan tersebut dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah tanggal mulai berlakunya Undang-undang ini wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Status badan hukum yang diperoleh Organisasi Kemasyarakatan tersebut di atas tetap berlangsung sampai adanya peraturan perundang-undangan nasional tentang badan hukum. Pasal 19 Cukup jelas.
139
Pasal 20 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3298
140
Lampiran 3: UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); d. bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara Republik Indonesia 5.
141
sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus-menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Mengingat
142
:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882); 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLlTIK). Pasal 1
(1)
Mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1.
(2)
Salinan naskah asli International Covenant on Civil and Poli-tical Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
143
Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd HAMID AWALUDIN
144
144
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 119
International Covenant on Civil and Political Rights Adopted and Opened for Signature, Ratification and Accession by General Assembly Resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966 entry into force 23 March 1976, in accordance with Article 49 Preamble The States Parties to the present Covenant, Considering that, in accordance with the principles proclaimed in the Charter of the United Nations, recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world. Recognizing that these rights derive from the inherent dignity of the human person, Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration of Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil and political freedom and freedom from fear and want can only be achieved if conditions are created whereby everyone may enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social and cultural rights. Considering the obligation of States under the Charter of the United Nations to promote universal respect for, and observance of, human rights and freedoms. Realizing that the individual, having duties to other individuals and to the community to which he belongs, is under a responsibility to strive for the promotion and observance of the rights recognized in the present Covenant. Agree upon the following articles:
145
PART I Article 1 1.
All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development.
2.
All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic cooperation, based upon the principle of mutual benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its own means of subsistence.
3.
The States Parties to the present Covenant, including those having responsibility for the administration of Non-Self-Governing and Trust Territories, shall promote the realization of the right of self-determination, and shall respect that right, in conformity with the provisions of the Charter of the United Nations. PART II Article 2
1.
Each State Party to the present Covenant undertakes to respect and to ensure to all individuals within its territory and subject to its jurisdiction the rights recognized in the present Covenant, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status.
2.
Where not already provided for by existing legislative or other measures, each State Party to the present Covenant under-takes to take the necessary steps, in accordance with its constitutional processes and with the provisions of the present Covenant, to adopt such laws or other measures as may be necessary to give effect to the rights recognized in the present Covenant.
3.
Each State Party to the present Covenant undertakes: (a) To ensure that any person whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that the violation has been committed by persons acting in an official capacity;
146
(b)
(c)
To ensure that any person claiming such a remedy shall have his right thereto determined by competent judicial, administrative or legislative authorities, or by any other competent authority provided for by the legal system of the State, and to develop the possibilities of judicial remedy; To ensure that the competent authorities shall enforce such remedies when granted.
Article 3 The States Parties to the present Covenant undertake to ensure the equal right of men and women to the enjoyment of all civil and political rights set forth in the present Covenant. 1.
Article 4 In time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to the present Covenant may take measures derogating from their obligations under the present Covenant to the extent strictly required by the exigencies of the situation, provided that such measures are not inconsistent with their other obligations under international law and do not involve discrimination solely on the ground of race, colour, sex, language, religion or social origin.
2.
No derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs I and 2), 11, 15, 16 and 18 may be made under this provision.
3.
Any State Party to the present Covenant availing itself of the right of derogation shall immediately inform the other States Parties to the present Covenant, through the intermediary of the Secretary-General of the United Nations, of the provisions from which it has derogated and of the reasons by which it was actuated. A further communication shall be made, through the same intermediary, on the date on which it terminates such
147
ing for any State, group or person any right to engage in any activity or perform any act aimed at the destruction of any of the rights and freedoms recognized herein or at their limitation to a greater extent than is provided for in the present Covenant. 2.
There shall be no restriction upon or derogation from any of the fundamental human rights recognized or existing in any State Party to the present Covenant pursuant to law, conventions, regulations or custom on the pretext that the present Covenant does not recognize such rights or that it recognizes them to a lesser extent. PART III Article 6
1.
Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
2.
In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgement rendered by a competent court.
3.
When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that nothing in this article shall authorize any State Party to the present Covenant to derogate in any way from any obligation assumed under the provisions of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
4.
Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all cases.
5.
Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women.
148
derogation. 1.
Article 5 Nothing in the present Covenant may be interpreted as imply6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital punishment by any State Party to the present Covenant. Article 7
No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific ex-perimentation. Article 8 1.
No one shall be held in slavery; slavery and the slave-trade in all their forms shall be prohibited.
2.
No one shall be held in servitude.
3.
(a) (b)
(c)
No one shall be required to perform forced or compulsory labour; Paragraph 3 (a) shall not be held to preclude, in countries where imprisonment with hard labour may be imposed as a punishment for a crime, the performance of hard labour in pursuance of a sentence to such punishment by a competent court; For the purpose of this paragraph the term “forced or compulsory labour” shall not include: (i) Any work or service, not referred to in subparagraph (b), normally required of a person who is under detention in consequence of a lawful order of a court, or of a person during conditional release from such detention; (ii) Any service of a military character and, in countries where conscientious objection is recognized, any national service required by law of conscientious objectors;
149
(iv) Any work or service which forms part of normal civil obligations. Article 9 1.
Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law.
2.
Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him.
3.
Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement.
4.
Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that court may decide without delay on the lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful.
5.
Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation. Article 10
1.
All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with respect for the inherent dignity of the human person.
2.
(a)
150
Accused persons shall, save in exceptional circumstances, be segregated from convicted persons and shall be subject to separate treatment appropriate to their status as unconvicted persons;
(iii)
(b)
Any service exacted in cases of emergency or calamity threatening the life or well-being of the community; Accused juvenile persons shall be separated from adults and brought as speedily as possible for adjudication. 3. The penitentiary system shall comprise treatment of prisoners the essential aim of which shall be their reformation and social rehabilitation. Juvenile offenders shall be segregated from adults and be accorded treatment appropriate to their age and legal status. Article 11
No one shall be imprisoned merely on the ground of inability to fulfil a contractual obligation. Article 12 1.
Everyone lawfully within the territory of a State shall, within that territory, have the right to liberty of movement and freedom to choose his residence.
2.
Everyone shall be free to leave any country, including his own.
3.
The above-mentioned rights shall not be subject to any restrictions except those which are provided by law, are necessary to protect national security, public order (ordre public), public health or morals or the rights and freedoms of others, and are consistent with the other rights recognized in the present Covenant.
4.
No one shall be arbitrarily deprived of the right to enter his own country. Article 13
An alien lawfully in the territory of a State Party to the present Covenant may be expelled therefrom only in pursuance of a decision reached in accordance with law and shall, except where compelling reasons of national security otherwise require, be allowed to submit the reasons against his expulsion and to have his case reviewed by, and be represented for the purpose before, the com-
151
Article 14 1.
All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law. The press and the public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order (ordre public) or national security in a democratic society, or when the interest of the private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interests of justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children.
2.
Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law.
3.
In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantees, in full equality: (a) To be informed promptly and in detail in a language which he understands of the nature and cause of the charge against him; (b) To have adequate time and facilities for the preparation of his defence and to communicate with counsel of his own choosing; (c) To be tried without undue delay; (d) To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing; to be informed, if he does not have legal assistance, of this right; and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interests of justice so require, and without payment by him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it;
152
petent authority or a person or persons especially designated by the competent authority. (e) To examine, or have examined, the witnesses against him and to obtain the attendance and examination of witnesses on his behalf under the same conditions as witnesses against him; (f) To have the free assistance of an interpreter if he cannot understand or speak the language used in court; (g) Not to be compelled to testify against himself or to confess guilt. 4.
In the case of juvenile persons, the procedure shall be such as will take account of their age and the desirability of promoting their rehabilitation.
5.
Everyone convicted of a crime shall have the right to his conviction and sentence being reviewed by a higher tribunal according to law.
6.
When a person has by a final decision been convicted of a criminal offence and when subsequently his conviction has been reversed or he has been pardoned on the ground that a new or newly discovered fact shows conclusively that there has been a miscarriage of justice, the person who has suffered punishment as a result of such conviction shall be compensated according to law, unless it is proved that the non-disclosure of the unknown fact in time is wholly or partly attributable to him.
7.
No one shall be liable to be tried or punished again for an offence for which he has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal procedure of each country. Article 15
1.
No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was committed. If, subsequent to the commission of the 153
2.
Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general princi-ples of law recognized by the community of nations. Article 16
Everyone shall have the right to recognition everywhere as a person before the law. Article 17 1.
No one shall be subjected to arbitrary or unlawful interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to un-lawful attacks on his honour and reputation.
2.
Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks. Article 18
1.
Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching.
2.
No one shall be subject to coercion which would impair his freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.
3.
Freedom to manifest one’s religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.
4.
The States Parties to the present Covenant undertake to have respect for the liberty of parents and, when applicable, legal guardians to ensure the religious and moral education of their children in conformity with their own convictions.
154
offence, provision is made by law for the imposition of the lighter penalty, the offender shall benefit thereby. Article 19 1.
Everyone shall have the right to hold opinions without interference.
2.
Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice.
3.
The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary: (a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals. Article 20
1.
Any propaganda for war shall be prohibited by law.
2.
Any advocacy of national, racial or religious hatred that cons-titutes incitement to discrimination, hostility or violence shall be prohibited by law. Article 21
The right of peaceful assembly shall be recognized. No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those imposed in conformity with the law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order (ordre public), the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others. Article 22
155
2.
No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those which are prescribed by law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order (ordre public), the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others. This article shall not prevent the imposition of lawful restrictions on members of the armed forces and of the police in their exercise of this right.
3.
Nothing in this article shall authorize States Parties to the Inter-national Labour Organisation Convention of 1948 concerning Freedom of Association and Protection of the Right to Organize to take legislative measures which would prejudice, or to apply the law in such a manner as to prejudice, the guarantees provided for in that Convention. Article 23
1.
The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the State.
2.
The right of men and women of marriageable age to marry and to found a family shall be recognized.
3.
No marriage shall be entered into without the free and full consent of the intending spouses.
4.
States Parties to the present Covenant shall take appropriate steps to ensure equality of rights and responsibilities of spouses as to marriage, during marriage and at its dissolution. In the case of dissolution, provision shall be made for the necessary protection of any children. Article 24
1.
2.
156
Every child shall have, without any discrimination as to race, colour, sex, language, religion, national or social origin, property or birth, the right to such measures of protection as are required by his status as a minor, on the part of his family, society and the State. Every child shall be registered immediately after birth and shall have a name.
1. 3.
Everyone shall have the right to freedom of association with others, including the right to form and join trade unions for the protection of his interests. Every child has the right to acquire a nationality. Article 25
Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions: (a)
To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely chosen representatives;
(b)
To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors;
(c)
To have access, on general terms of equality, to public service in his country. Article 26
All persons are equal before the law and are entitled without any discrimination to the equal protection of the law. In this respect, the law shall prohibit any discrimination and guarantee to all persons equal and effective protection against discrimination on any ground such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Article 27 In those States in which ethnic, religious or linguistic minorities exist, persons belonging to such minorities shall not be denied the right, in community with the other members of their group, to enjoy their own culture, to profess and practise their own religion, or to use their own language. PART IV Article 28
157
tee). It shall consist of eighteen members and shall carry out the functions hereinafter provided. 2.
The Committee shall be composed of nationals of the States Parties to the present Covenant who shall be persons of high moral character and recognized competence in the field of human rights, consideration being given to the usefulness of the participation of some persons having legal experience.
3.
The members of the Committee shall be elected and shall serve in their personal capacity. Article 29
1.
The members of the Committee shall be elected by secret ballot from a list of persons possessing the qualifications prescribed in article 28 and nominated for the purpose by the States Parties to the present Covenant.
2.
Each State Party to the present Covenant may nominate not more than two persons. These persons shall be nationals of the nominating State.
3.
A person shall be eligible for renomination. Article 30
1.
The initial election shall be held no later than six months after the date of the entry into force of the present Covenant.
2.
At least four months before the date of each election to the Committee, other than an election to fill a vacancy declared in accordance with article 34, the Secretary-General of the United Nations shall address a written invitation to the States Parties to the present Covenant to submit their nominations for membership of the Committee within three months.
3.
The Secretary-General of the United Nations shall prepare a list in alphabetical order of all the persons thus nominated, with an indication of the States Parties which have nominated them, and shall submit it to the States Parties to the present Covenant no later than one month before the date of each election.
158
1.
There shall be established a Human Rights Committee (here-after referred to in the present Covenant as the Commit4. Elections of the members of the Committee shall be held at a meeting of the States Parties to the present Covenant convened by the Secretary General of the United Nations at the Headquarters of the United Nations. At that meeting, for which two thirds of the States Parties to the present Covenant shall constitute a quorum, the persons elected to the Committee shall be those nominees who obtain the largest number of votes and an absolute majority of the votes of the representatives of States Parties present and voting. Article 31
1.
The Committee may not include more than one national of the same State.
2.
In the election of the Committee, consideration shall be given to equitable geographical distribution of membership and to the representation of the different forms of civilization and of the principal legal systems. Article 32
1.
The members of the Committee shall be elected for a term of four years. They shall be eligible for reelection if renominated. However, the terms of nine of the members elected at the first election shall expire at the end of two years; immediately after the first election, the names of these nine members shall be chosen by lot by the Chairman of the meeting referred to in article 30, paragraph 4.
2.
Elections at the expiry of office shall be held in accordance with the preceding articles of this part of the present Covenant. Article 33
1.
If, in the unanimous opinion of the other members, a member of the Committee has ceased to carry out his functions for any cause other than absence of a temporary character, the Chairman of the Committee shall notify the Secretary-General of
159
2.
In the event of the death or the resignation of a member of the Committee, the Chairman shall immediately notify the Secretary-General of the United Nations, who shall declare the seat vacant from the date of death or the date on which the resignation takes effect. Article 34
1.
When a vacancy is declared in accordance with article 33 and if the term of office of the member to be replaced does not expire within six months of the declaration of the vacancy, the Secretary-General of the United Nations shall notify each of the States Parties to the present Covenant, which may within two months submit nominations in accordance with article 29 for the purpose of filling the vacancy.
2.
The Secretary-General of the United Nations shall prepare a list in alphabetical order of the persons thus nominated and shall submit it to the States Parties to the present Covenant. The election to fill the vacancy shall then take place in ac-cordance with the relevant provisions of this part of the present Covenant.
3.
A member of the Committee elected to fill a vacancy declared in accordance with article 33 shall hold office for the remainder of the term of the member who vacated the seat on the Committee under the provisions of that article. Article 35
The members of the Committee shall, with the approval of the General Assembly of the United Nations, receive emoluments from United Nations resources on such terms and conditions as the General Assembly may decide, having regard to the importance of the Committee’s responsibilities. Article 36 The Secretary-General of the United Nations shall provide the necessary staff and facilities for the effective performance of the functions of the Committee under the present Covenant.
160
the United Nations, who shall then declare the seat of that member to be vacant. Article 37 1.
The Secretary-General of the United Nations shall convene the initial meeting of the Committee at the Headquarters of the United Nations.
2.
After its initial meeting, the Committee shall meet at such times as shall be provided in its rules of procedure.
3.
The Committee shall normally meet at the Headquarters of the United Nations or at the United Nations Office at Geneva. Article 38
Every member of the Committee shall, before taking up his duties, make a solemn declaration in open committee that he will perform his functions impartially and conscientiously. Article 39 1.
The Committee shall elect its officers for a term of two years. They may be reelected.
2.
The Committee shall establish its own rules of procedure, but these rules shall provide, inter alia, that: (a) Twelve members shall constitute a quorum; (b) Decisions of the Committee shall be made by a majority vote of the members present. Article 40
1.
The States Parties to the present Covenant undertake to submit reports on the measures they have adopted which give effect to the rights recognized herein and on the progress made in the enjoyment of those rights: (a) Within one year of the entry into force of the present Covenant for the States Parties concerned; (b) Thereafter whenever the Committee so requests.
2.
All reports shall be submitted to the Secretary-General of the
161
3.
The Secretary-General of the United Nations may, after consultation with the Committee, transmit to the specialized agencies concerned copies of such parts of the reports as may fall within their field of competence.
4.
The Committee shall study the reports submitted by the States Parties to the present Covenant. It shall transmit its reports, and such general comments as it may consider appropriate, to the States Parties. The Committee may also transmit to the Economic and Social Council these comments along with the copies of the reports it has received from States Parties to the present Covenant.
5.
The States Parties to the present Covenant may submit to the Committee observations on any comments that may be made in accordance with paragraph 4 of this article. Article 41
1.
162
A State Party to the present Covenant may at any time declare under this article that it recognizes the competence of the Committee to receive and consider communications to the effect that a State Party claims that another State Party is not fulfilling its obligations under the present Covenant. Communications under this article may be received and considered only if submitted by a State Party which has made a declaration recognizing in regard to itself the competence of the Committee. No communication shall be received by the Committee if it concerns a State Party which has not made such a declaration. Communications received under this article shall be dealt with in accordance with the following procedure: (a) If a State Party to the present Covenant considers that another State Party is not giving effect to the provisions of the present Covenant, it may, by written communication, bring the matter to the attention of that State Party. Within three months after the receipt of the communication the receiving State shall afford the State which sent the communication an explanation, or any other statement in writing clarifying the matter which should include, to the extent possible and pertinent, reference to domestic procedures
United Nations, who shall transmit them to the Committee for consideration. Reports shall indicate the factors and difficulties, if any, affecting the implementation of the present Covenant. and remedies taken, pending, or available in the matter; (b) If the matter is not adjusted to the satisfaction of both States Parties concerned within six months after the receipt by the receiving State of the initial communication, either State shall have the right to refer the matter to the Committee, by notice given to the Committee and to the other State; (c) The Committee shall deal with a matter referred to it only after it has ascertained that all available domestic remedies have been invoked and exhausted in the matter, in conformity with the generally recognized principles of international law. This shall not be the rule where the application of the remedies is unreasonably prolonged; (d) The Committee shall hold closed meetings when examining communications under this article; (e) Subject to the provisions of subparagraph (c), the Committee shall make available its good offices to the States Parties concerned with a view to a friendly solution of the matter on the basis of respect for human rights and fundamental freedoms as recognized in the present Covenant; (f) In any matter referred to it, the Committee may call upon the States Parties concerned, referred to in subparagraph (b), to supply any relevant information; (g) The States Parties concerned, referred to in subparagraph (b), shall have the right to be represented when the matter is being considered in the Committee and to make submissions orally and/or in writing; (h) The Committee shall, within twelve months after the date of receipt of notice under subparagraph (b), submit a report: (i) If a solution within the terms of subparagraph (e) is reached, the Committee shall confine its report to a brief statement of the facts and of the solution reached; (ii) If a solution within the terms of subparagraph (e) is not reached, the Committee shall confine its report
163
report. In every matter, the report shall be communicated to the States Parties concerned. 2.
The provisions of this article shall come into force when ten States Parties to the present Covenant have made declarations under paragraph I of this article. Such declarations shall be deposited by the States Parties with the Secretary-General of the United Nations, who shall transmit copies thereof to the other States Parties. A declaration may be withdrawn at any time by notification to the Secretary-General. Such a withdrawal shall not prejudice the consideration of any matter which is the subject of a communication already transmitted under this article; no further communication by any State Party shall be received after the notification of withdrawal of the declaration has been received by the Secretary-General, unless the State Party concerned has made a new declaration. Article 42
1.
(a) If a matter referred to the Committee in accordance with article 41 is not resolved to the satisfaction of the States Parties concerned, the Committee may, with the prior consent of the States Parties concerned, appoint an ad hoc Conciliation Commission (hereinafter referred to as the Commission). The good offices of the Commission shall be made available to the States Parties concerned with a view to an amicable solution of the matter on the basis of respect for the present Covenant; (b) The Commission shall consist of five persons acceptable to the States Parties concerned. If the States Parties concerned fail to reach agreement within three months on all or part of the composition of the Commission, the members of the Commission concerning whom no agreement has been reached shall be elected by secret ballot by a two-thirds majority vote of the Committee from among its members.
2.
164
The members of the Commission shall serve in their personal capacity. They shall not be nationals of the States Parties concerned, or of a State not Party to the present Covenant, or of a State Party which has not made a declaration under article 41.
to a brief statement of the facts; the written submissions and record of the oral submissions made by the States Parties concerned shall be attached to the 3. The Commission shall elect its own Chairman and adopt its own rules of procedure. 4.
The meetings of the Commission shall normally be held at the Headquarters of the United Nations or at the United Nations Office at Geneva. However, they may be held at such other convenient places as the Commission may determine in consultation with the Secretary-General of the United Nations and the States Parties concerned.
5.
The secretariat provided in accordance with article 36 shall also service the commissions appointed under this article.
6.
The information received and collated by the Committee shall be made available to the Commission and the Commission may call upon the States Parties concerned to supply any other relevant information.
7.
When the Commission has fully considered the matter, but in any event not later than twelve months after having been seized of the matter, it shall submit to the Chairman of the Committee a report for communication to the States Parties concerned: (a) If the Commission is unable to complete its consideration of the matter within twelve months, it shall confine its report to a brief statement of the status of its consideration of the matter; (b) If an amicable solution to the matter on tie basis of respect for human rights as recognized in the present Covenant is reached, the Commission shall confine its report to a brief statement of the facts and of the solution reached; (c) If a solution within the terms of subparagraph (b) is not reached, the Commission’s report shall embody its findings on all questions of fact relevant to the issues between the States Parties concerned, and its views on the possibilities of an amicable solution of the matter. This report shall also contain the written submissions and a record of the oral submissions made by the States Parties concerned;
165
months of the receipt of the report, notify the Chairman of the Committee whether or not they accept the contents of the report of the Commission. 8.
The provisions of this article are without prejudice to the res-ponsibilities of the Committee under article 41.
9.
The States Parties concerned shall share equally all the ex-penses of the members of the Commission in accordance with estimates to be provided by the Secretary-General of the United Nations.
10. The Secretary-General of the United Nations shall be empowered to pay the expenses of the members of the Commission, if necessary, before reimbursement by the States Parties concerned, in accordance with paragraph 9 of this article. Article 43 The members of the Committee, and of the ad hoc conciliation commissions which may be appointed under article 42, shall be entitled to the facilities, privileges and immunities of experts on mission for the United Nations as laid down in the relevant sections of the Convention on the Privileges and Immunities of the United Nations. Article 44 The provisions for the implementation of the present Covenant shall apply without prejudice to the procedures prescribed in the field of human rights by or under the constituent instruments and the conventions of the United Nations and of the specialized agencies and shall not prevent the States Parties to the present Covenant from having recourse to other procedures for settling a dispute in accordance with general or special international agreements in force between them. Article 45 The Committee shall submit to the General Assembly of the United Nations, through the Economic and Social Council, an annual report on its activities.
166
(d)
If the Commission’s report is submitted under sub paragraph (c), the States Parties concerned shall, within three PART V Article 46
Nothing in the present Covenant shall be interpreted as impairing the provisions of the Charter of the United Nations and of the constitutions of the specialized agencies which define the respective responsibilities of the various organs of the United Nations and of the specialized agencies in regard to the matters dealt with in the present Covenant. Article 47 Nothing in the present Covenant shall be interpreted as impairing the inherent right of all peoples to enjoy and utilize fully and freely their natural wealth and resources. PART VI Article 48 1.
The present Covenant is open for signature by any State Member of the United Nations or member of any of its specialized agencies, by any State Party to the Statute of the International Court of Justice, and by any other State which has been invited by the General Assembly of the United Nations to become a Party to the present Covenant.
2.
The present Covenant is subject to ratification. Instruments of ratification shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations.
3.
The present Covenant shall be open to accession by any State referred to in paragraph 1 of this article.
4.
Accession shall be effected by the deposit of an instrument of accession with the Secretary-General of the United Nations.
5.
The Secretary-General of the United Nations shall inform all States which have signed this Covenant or acceded to it of the
167
Article 49 1.
The present Covenant shall enter into force three months after the date of the deposit with the Secretary-General of the United Nations of the thirty-fifth instrument of ratification or instrument of accession.
2.
For each State ratifying the present Covenant or acceding to it after the deposit of the thirty-fifth instrument of ratification or instrument of accession, the present Covenant shall enter into force three months after the date of the deposit of its own instrument of ratification or instrument of accession. Article 50
The provisions of the present Covenant shall extend to all parts of federal States without any limitations or exceptions. Article 51 1.
Any State Party to the present Covenant may propose an amendment and file it with the Secretary-General of the United Nations. The Secretary-General of the United Nations shall thereupon communicate any proposed amendments to the States Parties to the present Covenant with a request that they notify him whether they favour a conference of States Parties for the purpose of considering and voting upon the proposals. In the event that at least one third of the States Parties favours such a conference, the Secretary-General shall convene the conference under the auspices of the United Nations. Any amendment adopted by a majority of the States Parties present and voting at the conference shall be submitted to the General Assembly of the United Nations for approval.
2.
Amendments shall come into force when they have been approved by the General Assembly of the United Nations and accepted by a two-thirds majority of the States Parties to the present Covenant in accordance with their respective constitutional processes.
3.
When amendments come into force, they shall be binding on those States Parties which have accepted them, other States
168
deposit of each instrument of ratification or accession. Parties still being bound by the provisions of the present Covenant and any earlier amendment which they have accepted. Article 52 Irrespective of the notifications made under article 48, paragraph 5, the Secretary-General of the United Nations shall inform all States referred to in paragraph I of the same article of the following particulars: (a)
Signatures, ratifications and accessions under article 48;
(b)
The date of the entry into force of the present Covenant under article 49 and the date of the entry into force of any amendments under article 51. Article 53
1.
The present Covenant, of which the Chinese, English, French, Russian and Spanish texts are equally authentic, shall be deposited in the archives of the United Nations.
2.
The Secretary-General of the United Nations shall transmit certified copies of the present Covenant to all States referred to in article 48.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 119
169
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) I.
UMUM
1.
Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik di kalangan rakyat negaranegara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka. Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hakhak dan kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta rancangan tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun 1949. Pada tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk
171
merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat Pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953 dan 1954. Setelah membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk memublikasikannya seluas mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas. Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB membahas rancangan naskah Kovenan itu Pasal demi Pasal mulai tahun 1955. Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal, naskah kedua Kovenan itu baru dapat diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI), MU PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama-sama dengan Protokol Opsional pada Kovenan ten-tang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan tentang Hakhak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik beserta Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976. 2.
Pertimbangan Indonesia untuk menjadi Pihak pada International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa
172
ketentuan tentang penghormatan HAM yang sangat penting. Hakhak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarga negaraan (Pasal 26); persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)); hak setiap warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)); hak berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap warga negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31 ayat (1)). Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terus berlanjut meskipun Indonesia mengalami perubahan susunan negara dari negara kesatuan menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15 Agustus 1950). Konstitusi yang berlaku pada waktu itu, yaitu Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat sebagian besar pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33). Indonesia yang kembali ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus 1950 terus melanjutkan komitmen konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi HAM. UndangUndang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS RI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33), dan bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan ketentuan yang bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping komitmen nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950, Indonesia juga menegaskan komitmen internasionalnya dalam pemajuan dan perlindungan HAM, sebagaimana yang ditunjukkan dengan keputusan Pemerintah untuk tetap
173
memberlakukan beberapa konvensi perburuhan yang dihasilkan oleh International Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional) yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda, menjadi pihak pada beberapa konvensi lain yang dibuat oleh Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II, dan mengesahkan sebuah konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni Convention on the Political Rights of Women 1952 (Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan 1952), melalui Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958. Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya pemajuan dan perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa upaya tersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada masa lain dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak mengindahkan pemajuan dan, perlindungan HAM akan selalu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dan tidak memberikan landasan yang sehat bagi pembangunan ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk jangka panjang. Gerakan reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telah membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk melakukan koreksi terhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama untuk menegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya Indonesia mencanangkan Rencana Aksi Na-sional (RAN) HAM melalui Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 19982003 yang kemudian dilanjutkan dengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi atau pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, 1984 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984) pada 28 September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998; Lembaran Negara
174
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3783). Selain itu melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999, Indonesia juga telah meratifikasi International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial). Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan dan perlindungan HAM, yaitu dengan mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat “Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia” (Lampiran angka I) dan “Piagam Hak Asasi Manusia” (Lampiran angka II). Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut menyatakan, antara lain, “bahwa Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pengakuan, penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan hak asasi manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” (huruf b) dan “bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia” (huruf c). Selanjutnya, Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan BangsaBangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) dan berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia” (Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa DUHAM 1948, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Protokol Opsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya adalah instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM dan yang lazim disebut
175
sebagai “International Bill of Human Rights” (Prasasti Internasional tentang Hak Asasi Manusia), yang merupakan instrumen-instrumen internasional inti mengenai HAM. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001; dan perubahan keempat disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002. Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan penting dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai dengan perubahan keempat UndangUndang Dasar 1945, yang kemudian disebut dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM, khususnya International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) serta International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). 3.
Pokok-pokok Isi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan
176
penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal. Pembukaan kedua Kovenan tersebut mengingatkan negaranegara akan kewajibannya, menurut Piagam PBB, untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kemiskinan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hakhak sipil dan politiknya maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya. Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun 1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan. Pasal 2 menetapkan kewajiban setiap Negara Pihak untuk menghormati hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. Pasal ini juga memastikan bahwa pelaksanaannya bagi semua individu yang berada di wilayahnya dan yang berada di bawah yurisdiksinya tanpa ada pembedaan apapun. Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pasal 4 menetapkan bahwa dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan keadaan itu diumumkan secara resmi, negara pihak dapat mengambil tindakan yang menyimpang dari kewajibannya menurut Kovenan ini sejauh hal itu mutlak diperlukan oleh kebutuhan
177
situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa tindakan itu tidak mengakibatkan diskriminasi yang semata-mata didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin bahasa, agama, atau asal usul sosial. Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan, atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit. Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau me-rendahkan martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorang pun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib (Pasal 8); bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10); dan bahwa tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya (Pasal 11). Selanjutnya Kovenan menetapkan kebebasan setiap orang yang berada secara sah di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggalnya di wilayah itu, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun dapat secara sewenangwenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri (Pasal 12); pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran or-
178
ang asing yang secara sah tinggal di negara pihak (Pasal 13); persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan, hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana, dan hak setiap orang yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi (Pasal 14); pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan perundang-undangan pidana (Pasal 15); hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum (Pasal 16); dan tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah privasi, keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang (Pasal 17). Lebih lanjut Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan berserikat (Pasal 22); pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan (Pasal 23); hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarga negaraan (Pasal 24); hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya (Pasal 25); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum
179
dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27). Pasal 27 merupakan akhir bagian substantif Kovenan ini. Untuk mengawasi pelaksanaan hak-hak yang termaktub dalam Kovenan ini, Pasal 28 sampai dengan Pasal 45 menetapkan pembentukan sebuah komite yang bernama Human Rights Committee (Komite Hak Asasi Manusia) beserta ketentuan mengenai keanggotaan, cara pemilihan, tata tertib pertemuan, kemungkinan bagi negara pihak untuk sewaktu-waktu menyatakan bahwa negara tersebut meng-akui kewenangan Komite termaksud untuk menerima dan membahas komunikasi yang menyatakan bahwa suatu negara pihak dapat mengadukan tentang tidak dipenuhinya kewajiban menurut Kovenan oleh negara pihak lain, dan cara kerja Komite dalam menangani permasalahan yang diajukan kepadanya. Kovenan kemudian menegaskan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan khusus dalam hubungan dengan masalah yang diatur dalam Kovenan ini (Pasal 46); dan bahwa tidak satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak melekat semua rakyat untuk menikmati dan menggunakan secara penuh dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alamnya (Pasal 47).
II.
180
Kovenan ini diakhiri dengan Pasal-Pasal penutup yang bersifat prosedural seperti pembukaan penandatanganan, prosedur yang harus ditempuh oleh suatu negara untuk menjadi pihak padanya, mulai berlakunya, lingkup berlakunya yang, meliputi seluruh bagian negara federal tanpa pembatasan dan pengecualian, prosedur perubahannya, tugas Sekretaris Jenderal PBB sebagai lembaga penyimpan (depositary) Kovenan, dan bahasa yang dipergunakan dalam naskah otentik (Pasal 48 sampai dengan Pasal 53). PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) merupakan dua instrumen yang saling tergantung dan saling terkait. Sebagaimana dinyatakan oleh MU PBB pada tahun 1977 (resolusi 32/130 Tanggal 16 Desember 1977), semua hak asasi dan kebebasan dasar manusia tidak dapat dibagi-bagi dan saling tergantung (interdependent). Pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan kedua kelompok hak asasi ini harus mendapatkan perhatian yang sama. Pelaksanaan, pemajuan, dan perlindungan hak-hak sipil dan politik tidak mungkin dicapai tanpa adanya pengenyaman hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Ayat (2) Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli dalam bahasa Inggris Kovenan Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik serta Pernyataan (Declaration) terhadap Pasal 1 Kovenan ini. Pasal 2 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4558 Lampiran: 4 SEKRETARIAT NEGARA
181
REPUBLIK INDONESIA PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang
:
a. bahwa dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat, cita-cita Revolusi Nasional dan Pembangunan Nasional Semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur, perlu pengadaan peraturan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama; b. bahwa untuk pengamanan Revolusi dan ketenteraman masyarakat, soal ini perlu diatur dengan Penetapan Presiden.
Mengingat
:
1. Pasal 29 Undang-Undang Dasar; 2. Pasal IV aturan Peralihan UndangUndang Dasar; 3. Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1962 (Lembaran Negara Tahun 1962 No. 34); 4. Pasal 2 ayat (1) Ketetapan MPRS No. II/ MPRS/1960. MEMUTUSKAN
Menetapkan
182
:
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA.
Pasal 1 Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceriterakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Pasal 2 (1)
Barangsiapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri;
(2)
Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Pasal 3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam Pasal 2 terhadap orang, organisasi atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima tahun. Pasal 4 Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 156a
183
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan ke Tuhanan Yang Maha Esa. Pasal 5 Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 1965 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEKARNO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Januari 1965 SEKRETARIS NEGARA ttd MOCH. ICHSAN
LEMBARAN NEGARA TAHUN 1965 NO. 3 PENJELASAN ATAS PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
184
NOMOR 1 TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA I.
UMUM
1.
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku bagi segenap bangsa Indonesia, ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 negara kita berdasarkan: 1. Ke-Tuhan Yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan; 5. Keadilan Sosial. Sebagai dasar pertama Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral di atas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan. Pengakuan sila pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisah-pisahkan dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok dari pada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation building.
2.
Telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir diseluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasiorganisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama. Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa aliranaliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan yang
185
menyalahgunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan Agama-agama yang sudah ada. 3.
Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut di atas yang dapat membahayakan persatuan bangsa dan negara, maka dalam rangka kewaspadaan Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Penetapan Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang merupakan salah satu jalan untuk menyalurkan ketatanegaraan dan keagamaan, agar oleh segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia ini dapat menikmati ketenteraman beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut agamanya masing-masing.
4.
Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka Penetapan Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewenganpenyelewengan dari ajaran-ajaran agama yang bersangkutan (Pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 4).
5.
Adapun penyelewengan-penyelewengan keagamaan yang nyata-nyata merupakan pelanggaran pidana dirasa tidak perlu diatur lagi dalam peraturan ini, oleh karena telah cukup diaturnya dalam berbagai-bagai aturan pidana yang telah ada.
Dengan Penetapan Presiden ini tidaklah sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggu-gugat hak hidup Agama-agama yang sudah diakui oleh Pemerintah sebelum Penetapan Presiden ini diundangkan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Dengan kata-kata “Dimuka Umum” dimaksudkan apa yang diartikan dengan kata itu dalam Kitab Undang-Undang
186
Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah = Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Tju (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agamaagama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Thaoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2 ) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. Terhadap badan/aliran kebathinan, Pemerintah berusaha menyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah KeTuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan ketetapan MPRS No. II/MPRS/ 1960, lampiran A Bidang I, angka 6. Dengan kata-kata “Kegiatan Keagamaan” dimaksud segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/caracara untuk menyelidikinya. Pasal 2. Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang ataupun penganut suatu aliran kepercayaan maupun anggota-anggota Pengurus Organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam Pasal 1, untuk permulaannya dirasa cukup diberi nasihat seperlunya. Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau
187
penganut-penganut aliran kepercayaan dan mempunyai efek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya (jo. Pasal 169 KUHP). Pasal 3. Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini, adalah tindakan lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan tersebut dalam Pasal 2. Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan di mana mudah dibedakan siapa pengurus dan siapa anggotanya, maka mengenai aliran-aliran kepercayaan, hanya penganutnya yang masih terus melakukan pelanggaran dapat dikenakan pidana sedang pemuka aliran sendiri, yang menghentikan kegiatannya tidak dapat dituntut. Mengingat sifat idiel dari tindak pidana dalam pasal ini maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar. Pasal 4. Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum di atas. Cara mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan dengan lisan, tulisan atau perbuatan lain. huruf a. Tindakan pidana yang dimaksud di sini, ialah sematamata (pada pokoknya ditunjuk) kepada niat untuk memusuhi atau menghina. Dengan demikian, maka uraian-uraian tertulis atau lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghin-dari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tindak pidana menurut pasal itu. Huruf b. Orang yang melakukan tindak pidana tersebut di sini, di samping mengganggu ketenteraman orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya
188
itu dipidana sepantasnya. Pasal 5. Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NO. 2726
189
Lampiran 5: SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1963 TENTANG PENGAMANAN TERHADAP BARANG-BARANG CETAKAN YANG ISINYA DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM Menimbang
:
Menimbang pula :
1. bahwa barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum akan membawa pengaruh buruk terhadap usahausaha mencapai tujuan revolusi, karena itu perlu diadakan pengamanan terhadapnya; 2. bahwa dianggap perlu Pemerintah dapat mengendalikan pengaruh asing yang disalurkan lewat barang-barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri, dalam rangka menyelamatkan jalannya revolusi Indonesia; bahwa pengaturan ini adalah dalam rangka pengamanan jalannya revolusi dalam mencapai tujuannya, sehingga dilakukan dengan Penetapan Presiden; MEMUTUSKAN
Menetapkan
190
:
PENETAPAN PRESIDEN TENTANG PENGAMANAN TERHADAP BARANGBARANG CETAKAN YANG ISINYA DAPAT MENGGANGGU KETERTIBAN UMUM.
Pasal 1 (1)
Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum;
(2)
Keputusan Menteri Jaksa Agung untuk melarang beredarnya barang cetakan seperti dalam ayat 1 tersebut dicantumkan dalam Berita Negara;
(3)
Barang siapa menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan yang terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya 1 tahun atau denda setinggitingginya lima belas ribu rupiah. Pasal 2
(1)
Dalam waktu empat puluh delapan jam setelah selesai dicetak, maka pencetak wajib mengirimkan satu exemplar barang cetakan yang dicetak, yang jenisnya tercantum dalam ayat (3) kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dengan dibubuhi tanda tangan pencetak;
(2)
Dalam hal barang cetakan di luar negeri tetapi diterbitkan di Indonesia, maka kewajiban tersebut ayat (1) di atas jatuh pada penerbitnya di Indonesia;
(3)
Barang cetakan yang dimaksud adalah buku-buku, brosurbrosur, bulletin-bulletin, surat-surat kabar harian, majalahmajalah penerbitan-penerbitan berkala, pamflet-pamflet, poster-poster, surat-surat yang dimaksud dan untuk disebarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak ramai dan barangbarang lainnya yang dapat dipersamakan dengan jenis barang cetakan yang ditentukan dalam pasal ini;
(4)
Pelanggaran atas ketentuan ini dihukum dengan hukum denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah.
191
Pasal 3 (1)
Setiap barang cetakan harus dibubuhi nama dan alamat si pencetak dan penerbitnya.
(2)
Pencetak yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah. Pasal 4
Menteri Jaksa Agung berwenang untuk menunjuk barang cetakan dari luar negeri yang tertentu untuk diperiksa terlebih dahulu sebelum diedarkan di Indonesia. Pasal 5 (1)
Dengan suatu keputusan, Menteri Jaksa Agung dapat membatasi jenis-jenis barang cetakan, yang dimasukkan ke Indonesia dari Luar Negeri.
(2)
Yang dimaksudkan dengan jenis barang cetakan dalam pasal ini ialah jenis yang didasarkan atau jenis bahasa, huruf, atau asal dari barang cetakan. Pasal 6
Terhadap barang-barang cetakan yang dilarang, berdasarkan Penetapan ini dilakukan pensitaan oleh Kejaksaan, Kepolisian, atau alat negara lain yang mempunyai wewenang memelihara ketertiban umum. Pasal 7 Apabila Menteri Jaksa Agung tidak menetapkan lain, maka barang-barang cetakan terlarang berasal dari luar negeri yang berada dalam kekuasaan kantor-kantor pos dikembalikan kepada alamat si pengirimnya di luar negeri. Pasal 8 Yang dimaksudkan dengan barang cetakan dalam penetapan ini ialah tulisan-tulisan dan gambar-gambar yang diperbanyak dengan mesin atau alat kimia.
192
Pasal 9 Barang cetakan yang dikeluarkan oleh atau untuk keperluan Negara dikecualikan dari penetapan ini. Pasal 10 Semua ketentuan yang isinya bertentangan atau telah diatur dalam penetapan ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 11 Penetapan Presiden ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 April 1963 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEKARNO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 23 April 1963 SEKRETARIS NEGARA ttd MOCH. ICHSAN
LEMBARAN NEGARA TAHUN 1963 No. 23
193
Lampiran 6: KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NO. 01/BER/mdn-mag/1969 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS APARATUR PEMERINTAHAN DALAM MENJAMIN KETERTIBAN DAN KELANCARAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN DAN IBADAT AGAMA OLEH PEMELUK-PEMELUKNYA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI Menimbang
194
:
1
bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu; 2. bahwa Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan bantuan guna memperlancar usaha mengembangkan agama sesuai dengan ajaran agama masing-masing dan melakukan pengawasan sedemikian rupa, agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agama dan dalam usaha mengembangkan agama itu dapat berjalan dengan lancar, tertib dan dalam suasana kerukunan; 3. bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha pengembangan agama dan pelaksanaan ibadat pemelukpemeluknya, sepanjang kegiatankegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum;
4. bahwa untuk itu, perlu diadakan ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan tugas aparatur Pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pengembangan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya. Mengingat
:
1. Pasal 17 ayat (3) dan pasal 29 UndangUndang Dasar 1945; 2. Ketetapan MPRS Nomor XXVII/RS/1965; 3. Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1956; 5. Keputusan Presiden R.I. Nomor 319 tahun 1968. MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PELAKSANAAN TUGAS APARATUR PEMERINTAHAN DALAM MENJAMIN KETERTIBAN DAN KELANCARAN PELAKSANAAN PENGEMBANGAN DAN IBADAT AGAMA OLEH PEMELUK-PEMELUKNYA. Pasal 1
Kepala Daerah memberikan kesempatan kepada setiap usaha penyebaran agama dan pelaksanaan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum. Pasal 2 (1)
Kepala Daerah membimbing dan mengawasi agar pelaksanaan penyebaran agama dan ibadat oleh pemeluk-pemeluknya
195
tersebut: a. tidak menimbulkan perpecahan di antara umat beragama; b. tidak disertai dengan intimidasi, bujukan, paksaan atau ancaman dalam segala bentuknya; c. tidak melanggar hukum serta keamanan dan ketertiban umum. (2)
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut pada ayat (1) pasal ini, Kepala Daerah dibantu dan menggunakan alat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat. Pasal 3
(1)
Kepala Perwakilan Departemen Agama memberikan bimbingan, pengarahan dan pengawasan terhadap mereka yang memberikan penerangan/penyuluhan/ceramah agama/ khotbah-khotbah di rumah-rumah ibadat, yang sifatnya menuju kepada persatuan antara semua golongan masyarakat dan saling pengertian antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda-beda;
(2)
Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat berusaha agar penerangan agama yang diberikan oleh siapa pun tidak bersifat menyerang atau menjelekkan agama lain. Pasal 4
(1)
Setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan ijin dari Kepala Daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu;
(2)
Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan ijin yang dimaksud, setelah mempertimbangkan: a. pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat; b. planologi; c. kondisi dan keadaan setempat.
(3)
Apabila dianggap perlu, Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari organisasi-
196
organisasi keagamaan dan ulama/rokhaniawan setempat. Pasal 5 (1)
Jika timbul perselisihan atau pertentangan antara pemelukpemeluk agama yang disebabkan karena kegiatan penyebaran/penerangan/penyuluhan/ceramah/khotbah agama atau pendirian rumah ibadat, maka Kepala Daerah segera mengadakan penyelesaian yang adil dan tidak memihak.
(2)
Dalam hal perselisihan/pertentangan tersebut menimbulkan tindakan pidana, maka penyelesaiannya harus diserahkan kepada alat-alat penegak hukum yang berwenang dan diselesaikan berdasarkan hukum.
(3)
Masalah-masalah keagamaan lainnya yang timbul dan diselesaikan oleh Kepala Perwakilan Departemen Agama segera dilaporkannya kepada Kepala Daerah setempat. Pasal 6 Keputusan bersama ini mulai berlaku pada hari ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 13 September 1969 MENTERI AGAMA ttd KH. MOH. DAHLAN
MENTERI DALAM NEGERI ttd AMIR MACHMUD
197
Lampiran 7: UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1969 TENTANG PERNYATAAN BERBAGAI PENETAPAN PRESIDEN DAN PERATURAN PRESIDEN SEBAGAI UNDANG-UNDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
a. bahwa di dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 perlu meninjau kembali produkproduk legislatif yang berbentuk Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang telah dikeluarkan sejak tanggal 5 Juli 1959; b. bahwa Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang materinya sesuai dengan suara hati nurani perlu dinyatakan sebagai UndangUndang.
Mengingat
:
1. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPRS/ 1966; 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXIX/MPRS/ 1968;
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong MEMUTUSKAN
198
Menetapkan
:
UNDANG-UNDANG TENTANG PERNYATAAN BERBAGAI PENETAPAN PRESIDEN DAN PERATURAN PRESIDEN SEBAGAI UNDANG-UNDANG. Pasal 1
Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran 1 Undang-Undang ini, sebagai Undang-Undang. Pasal 2 Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran II A dan II B UndangUndang ini, sebagai Undang-Undang, dengan ketentuan, bahwa materi Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi Penyusunan Undang-Undang yang baru. Pasal 3 Terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini, menyatakan Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden sebagaimana termaksud dalam Lampiran III A dan III B UndangUndang ini, diserahkan kewenangannya untuk meninjau lebih lanjut dan mengaturnya kembali kepada Pemerintah guna menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan atau dijadikan bahan bagi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan materi masing-masing. Pasal 4 Istilah-istilah dan kata-kata Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden yang tidak sesuai lagi dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sejak Sidang Umum ke-IV, dianggap tidak ada.
199
Pasal 5 Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah, kecuali pelaksanaan ketentuanketentuan dalam pasal 3. Pasal 6 Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Disahkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1969 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd SOEHARTO Jenderal TNI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1969 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd ALAMSYAH RATU PERWIRANEGARA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1969 NO. 36
200
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1969 TENTANG PERNYATAAN BERBAGAI PENETAPAN PRESIDEN DAN PERATURAN PRESIDEN SEBAGAI UNDANG-UNDANG A.
UMUM
Guna memenuhi tugas yang telah diberikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sebagai termaksud dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/ MPRS/1966, Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong telah meninjau kembali semua Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden yang dikeluarkan sejak Dekrit 5 Juli 1959. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam Ketetapan Nomor XIX/MPRS/1966 menentukan bahwa peninjauan kembali tersebut harus diselesaikan dalam jangka waktu dan tahun sesudah tanggal 5 Juli 1966. Kemudian Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam Ketetapan nomor XXXIX/MPRS/1968 mengingatkan Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong supaya pelaksanaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPRS/1966 diusahakan penyelesaiannya dalam batas waktu yang ditentu-kan tetapi apabila dipandang perlu dapat diberikan perpanja-ngan batas waktu paling lama sampai tanggal 5 Juli 1969. Peninjauan kembali Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden, meskipun telah diusahakan sesuai dengan jiwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XIX/MPRS/1966, ternyata tidak dapat diselesaikan sebelum tanggal 5 Juli 1968. Demikian batas waktu perlu diperpanjang dan perpanjangan itu telah diberikan oleh Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dalam Keputusan No. 274/B/1968 dengan jangka waktu enam bulan terhitung 5 Juli 1968 dan diperpanjang untuk kedua kalinya dengan Keputusan No. 001/b/569 juga untuk jangka waktu enam bulan terhitung 5 Januari 1969.
201
Peninjauan kembali Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan Presiden dilakukan dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945. Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden yang isi dan tujuannya tidak sesuai dengan suara hati nurani Rakyat telah dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1968 dan undang-undang lain, antara lain UndangUndang Nomor 10 Tahun 1966, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1963 dan sebagainya. Dengan Undang-Undang ini dinyatakan bahwa Penetapanpenetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden yang memenuhi suara hati nurani Rakyat berlaku terus dengan ketentuanketentuan sebagai berikut: 1.
Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden yang tercantum dalam Lampiran I Undang-Undang ini dinyatakan sebagai Undang-Undang.
2.
Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden dalam Lampiran II A dan II B juga dinyatakan sebagai Undang-Undang, dengan ketentuan bahwa harus diadakan perbaikan/penyempurnaan dalam arti bahwa materi dari pada Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan bagi penyusunan Undang-Undang yang baru.
3.
Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden dalam Lampiran III A dan III B merupakan produkproduk legislatif yang mengatur hal-hal atau persoalanpersoalan yang sebenarnya dapat dimasukkan dalam lingkungan tugas serta wewenang Pemerintah. Oleh karena itu kewenangan untuk mengaturnya kembali diserahkan kepada Pemerintah guna menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan materi masingmasing. Di samping itu mungkin ada juga PenetapanPenetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden yang dijadikan bahan bagi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan materi masing-masing. Apabila di kemudian hari ternyata masih terdapat Penetapan-Penetapan Presiden dan
202
Peraturan-Peraturan Presiden yang tidak tercantum dalam Lampiran-lampiran I, II A dan II B, III A dan III B dan UndangUndang ini maka Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut peninjauannya kembali dan pengaturannya diserahkan kepada Pemerintah dalam bentuk yang sesuai dengan materi masing-masing. 4.
Oleh karena harus diutamakan tujuan dan jiwa yang terkandung dalam Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut, maka istilah-istilah beserta kata-kata yang tidak sesuai lagi dengan UndangUndang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara sejak Sidang Umum ke IV dianggap tidak ada.
B.
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2
Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana tercantum dalam Lampiran II A dinyatakan sebagai undang-undang dengan ketentuan bahwa meteri Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden tersebut ditampung dan dituangkan dalam Undang-undang baru sebagai penyempurnaan, perubahan dan penambahan dari materi yang diatur dalam Undang-undang terdahulu. Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana tercantum dalam Lampiran II B dinyatakan sebagai undang-undang dengan ketentuan bahwa undang-undang tersebut berlaku dan baru hapus kekuatannya apabila telah ditetapkan undang-undang baru sebagai penggantinya yang menggunakan Penetapan-Penetapan Presiden dan PeraturanPeraturan Presiden sebagai bahan. Pasal 3 Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam pasal 3 ini ialah peraturan perundang-undangan yang pada pokoknya
203
lebih rendah tingkatannya dari pada Undang-Undang dan yang biasanya pengaturannya termasuk wewenang Pemerintah. Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana tercantum dalam Lampiran III A, oleh Pemerintah diatur kembali guna kemudian menuangkannya dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan materi masingmasing. Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden sebagaimana tercantum dalam Lampiran III B, peninjauan selanjutnya diserahkan kewenangannya kepada Pemerintah dengan ketentuan bahwa Penetapan-penetapan Presiden dan Peraturan-peraturan Presiden yang bersangkutan hapus kekuatannya pada saat berlakunya peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Khusus bagi Penetapan-penetapan Presiden dalam Lampiran III B materinya dapat juga dijadikan Undang-undang. Pasal 4 Yang dimaksud dengan istilah-istilah dan kata-kata dalam pasal 4 ini misalnya ialah Pemimpin Besar Revolusi, Nasakom dan lain sebagainya. Pasal 5 Pada umumnya Undang-Undang dilaksanakan dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan pokok ini diikuti juga oleh pasal 5. Mengingat bahwa pasal 3 memberi kemungkinan untuk pengaturan kembali oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan materi masing-masing misalnya dengan Surat Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri dan sebagainya, maka pelaksanaan pasal 3 praktis diserahkan kepada Pemerintah. Pasal 6 Cukup Jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2900
204
LAMPIRAN II A LAMPIRAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERNYATAAN BERBAGAI PENETAPAN PRESIDEN DAN PERATURAN PRESIDEN SEBAGAI UNDANG-UNDANG NO. URUT
No. Penetapan
Tahun
Lembaran Negara
Tentang
4.
dst
1962
34
Larangan adanya organisasi yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, menghambat penyelesaian Revolusi dan bertentangan dengan cita-cita Sosialisme Indonesia
5.
dst
9.
11
1963
101
Pemberantasan Kegiatan Subversi
10.
dst
12.
1
1965
3
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
1.
13.
205
Lampiran 8:
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
PETUNJUK BAPAK PRESIDEN SEHUBUNGAN DENGAN SURAT EDARAN MENTERI AGAMA NOMOR MA/432/1981 Bapak Presiden pada tanggal 22 September 1981 telah memberikan petunjuk kepada Menteri Agama sehubungan dengan Surat Edaran Menteri Agama Nomor MA/432/1981. Pokok-pokok petunjuk Bapak Presiden tersebut ialah: 1.
Surat Edaran Menteri Agama tersebut jangan hendaknya dikaitkan dengan masalah yang bukan-bukan. Akan tetapi supaya dikaitkan dengan tujuan kemerdekaan kita yaitu merdeka, bersatu, mencapai masyarakat adil dan makmur.
2.
Sebagai jaminan kelanjutan mencapai tujuan kemerdekaan tersebut, hendaknya dalam menghadapi persoalan agama kita harus hati-hati. Karena soal agama merupakan salah satu soal yang dapat membahayakan, apabila kita sama-sama kurang berhati-hati.
3.
Tujuan Pemerintah dengan surat Edaran Menteri Agama itu, bukan mencampuri soal-soal agama, tetapi yang diatur ialah penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan demi persatuan dan kesatuan bangsa, untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak kita inginkan bersama. Jakarta, 23 September 1981 MENTERI AGAMA RI ttd H. ALAMSYAH RATU PERWIRANEGARA
206
Lampiran 9: INSTRUKSI MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1995 TENTANG TINDAK LANJUT KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 01/BER//MDN-MAG/1969 DI DAERAH MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA Menimbang
:
a. bahwa Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/ Mdn-Mag/ 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, telah berjalan cukup lama, namun kenyataannya masih kurang dipatuhi dan sering terjadi kasus-kasus/penyimpangan yang apabila tidak ditangani secara sungguhsungguh dapat mengganggu kerukunan kehidupan umat beragama dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa; b. bahwa untuk mengantisipasi hal tersebut perlu ditingkatkan koordinasi dengan instansi terkait.
Mengingat
:
1. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen; 2. Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi
207
Departemen yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Presiden RI Nomor 61 Tahun 1995; 3. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 75 tahun 1984; 4. Keputusan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1981 tentang Penyempurnaan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi, Kandepag/Kodya dan Balai Pendidikan Latihan Pegawai Teknis Keagamaan Departemen Agama. MENGINSTRUKSIKAN Kepada
:
1. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi/Setingkat; 2. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya. Untuk
Pertama
:
Meningkatkan koordinasi dengan jajaran Pemerintahan di daerah dalam mengambil langkah pencegahan timbulnya penyimpangan masalah keagamaan terma-suk pendirian tempat ibadah.
Kedua
:
Meningkatkan peran Departemen Agama dalam Badan/Tim yang dibentuk Pemda atau memprakarsai terbentuknya Badan/ Tim oleh Pemda yang melibatkan Instansi terkait untuk memberikan pertimbangan, kepada Pemda.
208
Ketiga
:
Meningkatkan bimbingan, pengarahan dan pengawasan kepada masyarakat tentang pelaksanaan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pembinaan Kehidupan Beragama.
Keempat
:
Melaksanakan Instruksi ini dengan penuh tanggung jawab dan melaporkan kepada Menteri Agama d.h.i, Sekretaris Jenderal Departemen Agama. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 18 Desember 1995 MENTERI AGAMA RI SEKRETARIS JENDERAL ttd DRS. H. AHMAD GHOZALI
Tembusan: 1. Menko Kesra; 2. Menteri Dalam Negeri; 3. Komisi IX DPR RI; 4. Sekjen/Itjen/Dirjen/Ka. Balitbang Agama/Staf Ahli Dep. Agama; 5. Gubernur KDH Tk. I Seluruh Indonesia 6. Bupati/Walikota seluruh Indonesia 7. Kepala Biro/Direktur/Inspektur/Kapuslitbang Agama/Sekretaris/ Ka Pusdiklat Pegawai Departemen Agama; 8. Biro Hukum dan Humas, untuk Dokumentasi. Lampiran 10:
209
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG TATACARA PELAKSANAAN PENYIARAN AGAMA DAN BANTUAN LUAR NEGERI KEPADA LEMBAGA KEAGAMAAN DI INDONESIA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI Menimbang
:
Bahwa agar pelaksanaan pedoman penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia dapat berjalan tertib, dianggap perlu untuk memberikan petunjuk-petunjuk tentang tata cara pelaksanaannya.
Mengingat
:
1. Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 29 UndangUndang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila; 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; 4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah; 5. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen. 6. Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1974 tentang Susunan Organisasi Departemen, jo Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1978 tentang Perubahan Lampiran Nomor 14 Keputusan Presiden Nomor 45
210
Tahun 1974. 7. Keputusan Presidium Kabinet Nomor 81/ U/Kep/4/1967 tentang Pembentukan Panitia Koordinasi Kerjasama Teknik Luar Negeri; 8. Keputusan Presiden Nomor 59/M Tahun 1978 tentang Pengangkatan MenteriMenteri Kabinet Pembangunan III; 9. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/ Mdn-Mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya; 10. Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiar-an Agama; 11. Keputusan Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Memperhatikan :
Hasil Rapat Koordinasi Menteri-Menteri Bidang Kesejahteraan Rakyat tanggal 19 Oktober 1978. MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG TATACARA PELAKSANAAN PENYIARAN AGAMA DAN BANTUAN LUAR NEGERI KEPADA LEMBAGA KEAGAMAAN DI INDONESIA. BAB I TUJUAN
211
Pasal 1 (1)
Keputusan Bersama ini ditetapkan dengan tujuan untuk: a. memberikan pengaturan dan pengarahan bagi usaha-usaha penyiaran agama serta usaha-usaha untuk memperoleh dan atau menerima bantuan Luar Negeri kepada lembaga keagamaan di Indonesia sehingga cara pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berlangsung dengan tertib dan serasi; b. mengokohkan dan mengembangkan kerukunan hidup di antara sesama umat beragama di Indonesia serta memantapkan stabilitas nasional yang sama penting artinya bagi kelangsungan dan berhasilnya pembangunan nasional.
(2)
Keputusan Bersama ini tidak dimaksudkan untuk membatasi usaha-usaha pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama di Indonesia. BAB II PENGERTIAN Pasal 2 Di dalam Keputusan Bersama ini, yang dimaksud dengan:
(1)
Penyiaran Agama adalah segala kegiatan yang bentuk, sifat dan tujuannya untuk menyebarluaskan ajaran sesuatu agama;
(2)
Pengawasan, adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan penyiaran agama dan bantuan luar negeri;
(3)
Bantuan Luar Negeri, adalah segala bentuk bantuan berasal Luar Negeri yang berwujud bantuan tenaga, barang dan atau keuangan, fasilitas pendidikan dan bentuk bantuan lainnya yang diberikan oleh Pemerintah Negara Asing, organisasi atau perseorangan di luar negeri kepada lembaga keagamaan dalam rangka pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama di Indonesia.
(4)
Lembaga Keagamaan, adalah organisasi, perkumpulan, yayasan dan lain-lain bentuk kelembagaan lainnya termasuk perorangan
212
yang menyiarkan agama yang dari segi pelaksanaan Kebijaksanaan Pemerintah termasuk dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Departemen Agama. (5)
Kepala Perwakilan Departemen yang berwenang adalah Kepala Kantor Wilayah atau Perwakilan Departemen di daerah Tingkat I dan Tingkat II yang ruang lingkup tugas dan wewenangnya meliputi masalah agama. BAB III TATACARA PELAKSANAAN PENYIARAN AGAMA Pasal 3
Pelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dengan dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/menganut dan melakukan ibadat menurut agamanya. Pasal 4 Pelaksanaan penyiaran agama tidak dibenarkan untuk ditujukan terhadap orang atau kelompok orang yang telah memeluk/ menganut agama lain dengan cara : a. menggunakan bujukan dengan atau tanpa pemberian barang, uang, pakaian, makanan dan atau minuman, pengobatan, obat-obatan dan bentuk-bentuk pemberian apapun lainnya agar orang atau kelompok orang yang telah memeluk/ menganut agama yang lain berpindah dan memeluk/menganut agama yang disiarkan tersebut. b. menyebarkan pamflet, majalah, bulletin, buku-buku, dan bentuk-bentuk barang penerbitan cetakan lainnya kepada orang atau kelompok orang yang telah memeluk/menganut agama yang lain. c. melakukan kunjungan dari rumah ke rumah umat yang telah memeluk/menganut agama yang lain. Pasal 5
213
(1)
(2)
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikota/Kepala Daerah Tingkat II mengkoordinir kegiatan Kepala Perwakilan Departemen yang berwenang dalam melakukan bimbingan dan pengawasan atas segala kegiatan pembinaan, pengembangan dan penyiaran agama oleh Lembaga Keagamaan sehingga pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berlangsung sesuai dengan ketentuan pasal 4 Keputusan Bersama ini, serta lebih menumbuhkan kerukunan hidup antara sesama umat beragama. Gubernu1r/Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikota/ Kepala Daerah Tingkat II mengkoordinir kegiatan Kepala Perwakilan Departemen yang berwenang dalam melakukan bimbingan terhadap kehidupan Lembaga Keagamaan dengan mengikutsertakan Majelis-majelis Agama di daerah tersebut. BAB IV BANTUAN LUAR NEGERI KEPADA LEMBAGA KEAGAMAAN Pasal 6
(1)
(2)
Segala bentuk usaha untuk memperoleh dan atau penerimaan bantuan luar negeri kepada lembaga keagamaan, dilaksanakan dan melalui persetujuan Panitia Koordinasi Kerjasama Teknik Luar Negeri (PKKTLN) setelah mendapat rekomendasi dari Departemen Agama; Penggunaan tenaga rohaniawan asing dan atau tenaga ahli asing lainnya atau penerimaan segala bentuk bantuan lainnya dalam rangka bantuan luar negeri dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 7
Semua lembaga keagamaan wajib mengadakan pendidikan dan latihan bagi warga negara Indonesia untuk dapat menggantikan tenaga-tenaga rohaniawan dan atau tenaga asing lainnya, yang melakukan kegiatan dalam rangka bantuan luar negeri termasuk pasal 6. Pasal 8 214
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikota/Kepala Daerah Tingkat II mengkoordinir kegiatan Kepala Perwakilan Departemen yang berwenang dalam melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan tenaga rohaniawan asing serta warga negara asing yang membantu lembaga keagamaan di daerah; b. kegiatan semua lembaga-lembaga keagamaan di daerah yang bergerak di bidang pembinaan, pengembangan dan penyiaran; c. pelaksanaan bantuan luar negeri di bidang agama sesuai dengan maksud dan tujuan bantuan tersebut; d. pelaksanaan pendidikan dan latihan di bidang agama serta sosial kemasyarakatan lainnya yang diadakan oleh lembaga keagamaan di daerah. BAB V LAIN-LAIN Pasal 9 Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama dan Direktur Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri melaksanakan Keputusan Bersama ini dan mengambil langkahlangkah yang diperlukan dalam pelaksanaan Keputusan ini. Pasal 10 Keputusan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1979 MENTERI DALAM NEGERI ttd H. AMIR MAHMUD
MENTERI AGAMA ttd H. ALAMSJAH RATU PERWIRANEGARA
Lampiran 11:
215
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA NOMOR 35 TAHUN 1980 TENTANG WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA MENTERI AGAMA Menimbang
:
bahwa untuk meningkatkan pembinaan kerukunan hidup di antara sesama umat beragama, demi terciptanya kesatuan dan persatuan Bangsa dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan dalam rangka pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), serta tanggung jawab bersama atas pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), diperlukan suatu Wadah Musyawarah, yaitu suatu Forum Konsultasi dan Komunikasi, antara Pemimpin-pemimpin/Pemuka-pemuka Agama dan antara Pemimpin/Pemukapemuka Agama dengan Pemerintah.
Mengingat
:
1. Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 29 UndangUndang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila; 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; 4. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen; 5. Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 1974
216
tentang Susunan Organisasi Departemen pada Lampiran 14 jis. Keputusan Presiden RI Nomor 30 Tahun 1978, Keputusan Presiden RI Nomor 17 Tahuh 1978, Keputusan Presiden RI Nomor 17 22 Tahun 1980 tentang Perubahan-perubahan dalam Lampiran 14 Keputusan Presiden RI Nomor 45 Tahun 1974; 6. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia, yang dalam konsideransnya telah menampung Keputusan Menteri Agama Nomor 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia; Memperhatikan Kesimpulan Pertemuan Penjajagan dan Pembahasan Teknis antara PejabatPejabat Departemen Agama dengan Wakil-Wakil Majelis Agama dalam rangka pembentukan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama pada tanggal 17-18 Oktober 1979, Pertemuan Kerja tanggal 13-14 Februari 1980, Pertemuan Kerja tanggal 17 Maret 1980, Pertemuan Kerja tanggal 17-18 Juni 1980 dan Pertemuan Tingkat Puncak pada tanggal 30 Juni 1980 di Jakarta; MEMUTUSKAN Menimbang
:
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA TENTANG WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA.
Pertama
:
Menyatakan terbentuknya “WADAH
217
MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA” yang telah disepakati oleh wakilwakil Majelis Agama dalam Pertemuan Tingkat Puncak pada tanggal 30 Juni 1980 di Jakarta, dengan PEDOMAN DASAR yang menjadi Lampiran Keputusan ini; Kedua
:
Pengeluaran biaya untuk pelaksanaan Keputusan ini dibebankan kepada mata anggaran Departemen Agama;
Ketiga
:
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Juni 1980
MENTERI AGAMA RI ttd H. ALAMSJAH RATU PERWIRANEGARA LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI AGAMA NOMOR 35 TAHUN 1980 PEDOMAN DASAR
218
TENTANG WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa: Majelis-majelis Agama di Indonesia, yaitu: 1. Majelis Ulama Indonesia (MUI); 2. Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI); 3. Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI); 4. Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP); 5. Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI); Sependapat: Bahwa untuk meningkatkan pembinaan kerukunan hidup di antara sesama umat beragama demi tercapainya kesatuan dan persatuan Bangsa dengan berlandaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945, dan dalam rangka pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), serta tanggung jawab bersama atas pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), diperlukan adanya suatu Wadah Musyawarah, yaitu suatu Forum Konsultasi dan Komunikasi, antara Pemimpin-pemimpin/ Pemuka-pemuka Agama di Indonesia; dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pasal 1 Status Wadah Musyawarah, Forum Konsultasi dan Komunikasi, antara Pemimpin-pemimpin/Pemuka-pemuka Agama adalah: 1. Wadah atau Forum bagi Pemimpin-pemimpin/Pemukapemuka Agama untuk membicarakan tanggung jawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang menganut berbagai agama, dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan kita sebagai bangsa dan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN); 2.
Wadah atau Forum bagi Pemimpin-pemimpin/Pemuka-pemuka Agama untuk membicarakan kerjasama dengan Pemerintah, sehubungan dengan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan
219
Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan ketentuan lainnya dari Pemerintah, khususnya yang menyangkut bidang keagamaan. Pasal 2 Nama Wadah Musyawarah, Forum Konsultasi dan Komunikasi ini, bernama, “WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA” atau disingkat WADAH MUSYAWARAH” Pasal 3 Bentuk (1)
Wadah Musyawarah berbentuk pertemuan-pertemuan yang diadakan sewaktu-waktu sesuai dengan keperluan, baik atas undangan Menteri Agama maupun atas permintaan salah satu atau lebih Majelis Agama;
(2)
Pertemuan-pertemuan terdiri atas: a. Pertemuan antara sesama wakil-wakil Majelis Agama; b. Pertemuan antara wakil-wakil Majelis Agama dengan pihak Pemerintah; Pasal 4 Susunan
(1)
Wadah Musyawarah terdiri atas: a. Pertemuan-pertemuan b. Sekretariat.
(2)
Pertemuan-pertemuan dalam Wadah Musyawarah berupa: a. Pertemuan Lengkap, yang dihadiri oleh wakil-wakil Majelis-majelis agama dan Menteri Agama/Wakil Departemen Agama; b. Pertemuan Kerja, yang dihadiri oleh Sekretariat dan Penghubung (Liaison) dari Majelis-majelis Agama atau oleh orang-orang yang ditugaskan oleh Pertemuan Lengkap.
(3)
Atas permintaan Wadah Musyawarah, dalam Pertemuan Lengkap atau Pertemuan Kerja dapat diikutsertakan penasihat-
220
(4) (5)
(1)
(2) (3)
(4)
(1)
(2)
penasihat dari kalangan Pemerintah, Lembaga Negara, Lembaga Kemasyarakatan dan perorangan sesuai dengan keperluan; Departemen Agama menyediakan Sekretariat dan fasilitas bagi Wadah Musyawarah; Masing-masing Majelis Agama menunjuk seorang wakilnya untuk menjadi Penghubung (Liaison) antara Majelis Agama dengan Departemen Agama, dan untuk mendampingi Sekretariat Wadah Musyawarah. Pasal 5 Tata Kerja Keputusan-keputusan dalam Wadah Musyawarah diambil atas dasar musyawarah untuk mufakat, dan apabila tidak tercapai mufakat, maka permasalahannya ditangguhkan untuk dibicarakan kembali setelah dimatangkan lebih lanjut; Pertemuan Lengkap membahas masalah-masalah utama, setelah terlebih dahulu dipersiapkan oleh Pertemuan Kerja; Pertemuan Kerja bertugas untuk: a. mempersiapkan pembahasan masalah bagi Pertemuan Lengkap; b. membahas masalah perincian atas keputusan Pertemuan Lengkap; Sekretariat Wadah Musyawarah melaksanakan segala sesuatu untuk Pertemuan Lengkap dan Pertemuan Kerja. Pasal 6 Wewenang Wadah Musyawarah membicarakan segala sesuatu tentang tanggung jawab bersama dan kerjasama di antara para warga negara yang menganut berbagai agama, dan dengan Pemerintah, berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam rangka meningkatkan persatuan dan kesatuan serta keutuhan kita sebagai bangsa dan pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan kesatuan lainnya dari Pemerintah khususnya yang menyangkut bidang keagamaan. Keputusan-keputusan yang diambil oleh Wadah Musyawarah
221
merupakan kesepakatan yang mempunyai nilai ikatan moral dan bersifat saran/rekomendasi bagi Pemerintah, Majelis-majelis Agama dan Masyarakat. Pasal 7 Lain-lain Hal yang masih dianggap perlu, dimufakati bersama kemudian. Jakarta, 30 Juni 1980. Wakil-wakil Majelis 1. Majelis Ulama Indonesia (MUI); K.H.M. Syukri Ghazali Ketua Umum
Drs. H. Mas’udi Sekretaris Umum
2. Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI); Prof. Dr. P.D. Latuihamallo DR. S.A.E. Nababan Ketua Umum Sekretaris Umum 3. Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI); Mgr. Drs. F.X. Hadisumarto O.Carm Mgr. Drs. Ig. Harsana Pr. Sekretaris Jenderal Ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan 4. Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP); Drs. Ida Bagus Oka Puniatmadja I Wayan Surpha Ketua I Sekretaris Umum 5. Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI); Soeprapto Hs. Ir. T. Soekarno Ketua Umum Sekretaris Jenderal Wakil Departemen Agama Drs. H. Kafrawi, MA Sekretaris Jenderal Lampiran 12:
222
KEPUTUSAN PERTEMUAN LENGKAP WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA TENTANG PENJELASAN ATAS PASAL 3, 4 DAN 6 SERTA PEMBETULAN SUSUNAN PENANDATANGANAN PEDOMAN DASAR WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Pertemuan lengkap Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang diselenggarakan pada tanggal 16 Maret 1983, didahului dengan Pertemuan-pertemuan Kerja tanggal 14 Januari 1982, tanggal 27 - 28 Januari 1982, tanggal 31 Januari 1983, tanggal 5 Februari 1983, tanggal 3 Maret 1983, tanggal 8 Maret 1983 dan tanggal 12 Maret 1983, yang dihadiri oleh: A. 1. 2. 3. 4. 5.
Pimpinan Majelis-Majelis Agama: Majelis Ulama Indonesia (MUI); Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI); Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI); Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP); Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
B.
Pejabat-pejabat Teras Departemen Agama
Setelah membahas kembali Pedoman Dasar Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama khususnya masalah-masalah yang menyangkut prosedur dan tata kerja sekretaris Wadah Musyawarah, yaitu: (1)
Pasal 3 ayat (1) tentang undangan Pertemuan Wadah Musyawarah.
(2)
Pasal 4 ayat (5) tentang Wakil-wakil Majelis-majelis Agama sebagai Penghubung (Liaison) antara Majelis-majelis Agama dengan Departemen Agama dan sebagai pendamping Sekretariat Wadah Musyawarah.
223
(3)
Pasal 3 ayat (2a) dan (2b) tentang Pertemuan Wadah Musyawarah.
Memandang bahwa untuk menghindari timbulnya pemahaman yang berbeda-beda terhadap ketentuan tertulis yang sudah disepakati bersama, perlu adanya penjelasan guna memperlancar dan menyempurnakan prosedur dan tata kerja dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama. Maka Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama bersepakat untuk menyusun penjelasan Pedoman Dasar Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama tanggal 30 Juni 1980 sebagai berikut: I.
Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Pedoman Dasar Wadah Musyawarah. Setiap Undangan untuk menghadiri Pertemuan Wadah Musyawarah hendaknya diterima dan dihadiri oleh semua unsur Wadah Musyawarah.
II.
224
Penjelasan Pasal 4 ayat (5) Pedoman Dasar Wadah Musyawarah 1. Setiap pokok acara yang diusulkan untuk Pertemuan Wadah Musyawarah baik atas prakarsa Menteri Agama maupun atas permintaan salah satu atau lebih Majelis Agama dipersiapkan/diolah terlebih dahulu oleh Sekretariat dengan didampingi oleh semua Penghubung Majelis Agama. 2. Dalam persiapan/pengolahan ini dibicarakan: a. Apakah materi yang diusulkan itu dimufakati oleh semua unsur Wadah Musyawarah untuk dibahas atau tidak; b. Cara bagaimana pokok acara tersebut dibahas; c. Penggunaan dan pemanfaatan kesepakatan yang akan dicapai oleh Pertemuan Lengkap Wadah Musyawarah mengenai pokok acara tersebut. 3. Hasil persiapan/pengolahan disampaikan oleh Sekretariat kepada Menteri Agama dan Majelis-majelis Agama, dan kemudian Menteri Agama mengeluarkan undangan untuk menghadiri pertemuan.
III.
Penjelasan Pasal 3 ayat (2) a dan b dihubungkan dengan Pasal 6 ayat (2) Pedoman Dasar Wadah Musyawarah 1. Kalau kesepakatan bersama Wadah Musyawarah merupakan saran/rekomendasi kepada Pemerintah baik atas permintaan Menteri Agama maupun atas Keputusan Wadah Musyawarah maka pemerintah dalam hal ini Menteri Agama/Wakil Departemen Agama tidak ikut menandatangani kesepakatan tersebut; 2. Kalau kesepakatan bersama Wadah Musyawarah merupakan himbauan/seruan bersama kepada instansi yang lain atau masyarakat luas, maka Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama/Wakil Departemen Agama dapat ikut menandatangani; 3. Penandatanganan Keputusan Wadah Musyawarah dilakukan oleh yang berwenang dalam majelis-majelis Agama yang bersangkutan.
IV.
Pembetulan susunan penandatanganan Pedoman Dasar tanggal 30 Juni 1980 Berdasarkan pasal 7 Pedoman Dasar disepakati bersama untuk mengadakan perubahan terhadap susunan penandatanganan pada Pedoman Dasar tanggal 30 Juni 1980. Wakil-wakil Majelis Agama:
1. Majelis Ulama Indonesia (MUI); K.H.M. Syukri Ghazali Ketua Umum
Drs. H. Mas’udi Sekretaris Umum
2. Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI); Prof. Dr. P.D. Latuihamallo Ketua Umum
DR. S.A.E. Nababan Sekretaris Umum
3. Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI); Mgr. Drs. F.X. Hadisumarto O.Carm Mgr. Drs. Ig. Harsana Pr. Sekretaris Jenderal Ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan
225
Kepercayaan 4. Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP); Drs. Ida Bagus Oka Puniatmadja Ketua I
I Wayan Surpha Sekretaris Umum
5. Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI); Soeprapto Hs. Ir. T. Soekarno Ketua Umum Sekretaris Jenderal Wakil Departemen Agama Drs. H. Kafrawi, MA Sekretaris Jenderal Menjadi: Wakil-wakil Majelis Agama: 1. Majelis Ulama Indonesia (MUI); K.H. Hassan Basri Ketua Umum
HS. Prodjokusumo Sekretaris Umum
2. Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI); Prof. Dr. P.D. Latuihamallo DR. S.A.E. Nababan Ketua Umum Sekretaris Umum 3. Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI); Mgr. Drs. Leo Soekoto SJ Mgr. RS. Hardjosumarto Sekretaris Jenderal Ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan 4. Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP); Drs. Ida Bagus Oka Puniatmadja Drg. Willy P. Surya Ketua I Ketua III 5. Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI); Soemantri M.S. Seno Soenoto Ketua Umum Sekretaris Jenderal
226
Wakil Departemen Agama H. Aswasmarmo, SH Sekretaris Jenderal Lampiran 13: INSTRUKSI MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
227
NOMOR 3 TAHUN 1981 TENTANG PELAKSANAAN PEMBINAAN KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA DI DAERAH SEHUBUNGAN DENGAN TELAH TERBENTUKNYA WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA Menimbang
:
Bahwa berhubung dengan terbentuknya Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980 tanggal 30 Juni 1980, maka dipandang perlu mengeluarkan Instruksi bagi Pelaksanaan Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama di Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 39 Tahun 1980 tentang Pengesahan Keputusan Rapat Kerja Pejabat Departemen Agama Pusat dan Daerah tanggal 5 Juli 1980 dan penetapannya sebagai Pedoman Kerja Pelaksanaan Tugas tahun 1980/1981, terutama yang menyangkut Kerukunan Hidup Beragama.
Mengingat
:
1. Keputusan Menteri Agama No. 18 Tahun 1975 (disempurnakan) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, dihubungkan dengan Keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1979 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Agama No. 18 Tahun 1975 sebagai Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No. 30 Tahun 1978;
228
2. Keputusan Menteri Agama No. 35 Tahun 1980 tentang Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama; 3. Keputusan Menteri Agama No. 39 Tahun 1980 tentang Pengesahan Keputusan Rapat Kerja Pejabat Departemen Agama Pusat dan Daerah tanggal 5 Juli 1980 dan Penetapannya sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Tahun 1980/1981, berikut Instruksi Menteri Agama No. 8 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 39 tahun 1980. MENGINSTRUKSIKAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Sdr. Sekretaris Jenderal; Sdr. Inspektur Jenderal; Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji; Sdr. Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam; Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan; Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik; Sdr. Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha; Sdr. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama; Sdr. Rektor Institut Agama Islam Negeri di seluruh Indonesia; Sdr. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/ setingkat di seluruh Indonesia; Sdr. Ketua Pengadilan Tinggi Agama di seluruh Indonesia; Sdr. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya di seluruh Indonesia; Sdr. Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.
Untuk: Pertama:
229
A.
B.
230
Mengindahkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama: 1. Pembinaan kerukunan hidup beragama merupakan bagian dari “Tiga Prioritas Pembangunan Nasional dalam Pembinaan Tata kehidupan Beragama” yaitu: a. Memanfaatkan Ideologi dan Falsafah Pancasila dalam kehidupan umat beragama dan di lingkungan Aparatur Departemen Agama; b. Membantu usaha memantapkan stabilitas dan ketahanan Nasional dengan membina tiga kerukunan hidup beragama, yaitu: (1) Kerukunan Intern Umat Beragama; (2) Kerukunan Antar Umat Beragama; (3) Kerukunan Antara Umat Beragama dengan Pemerintah. c. Meningkatkan partisipasi Umat Beragama dalam mensukseskan dan mengamalkan pelaksanaan Pembangunan Nasional di segala bidang, yang berkesinambungan. 2. Pelaksanaan tugas pembinaan kerukunan hidup beragama pada hakikatnya dibebankan kepada keseluruhan Aparatur Departemen Agama, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, sesuai dengan bidang masing-masing. Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama. 1. Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama adalah forum konsultasi dan komunikasi antar para pemimpin/ pemuka agama dan antara para pemimpin/pemuka agama dengan Pemerintah. Wadah Musyawarah berbentuk pertemuan-pertemuan yang diadakan sewaktu-waktu sesuai dengan keperluan, baik atas undangan Menteri Agama maupun atas permintaan salah satu atau lebih Majelis Agama. 2. Pertemuan-pertemuan dalam Wadah Musyawarah berupa: a. Pertemuan Lengkap yang dihadiri oleh wakil-wakil
3. 4.
5.
Majelis Agama dan Menteri Agama/Wakil Departemen Agama. b. Pertemuan Kerja yang dihadiri oleh Sekretariat dan penghubung (Liaison) dari Majelis-majelis Agama atau oleh orang-orang yang ditugaskan oleh Pertemuan Lengkap. Untuk keperluan Wadah Musyawarah oleh Departemen Agama disediakan Sekretariat dan Fasilitas. Ketentuan-ketentuan di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya Wadah Musyawarah Antar Umat beragama hanya berada di tingkat Pusat dan tidak diperlukan pembentukannya di daerah. Hal ini dimaksudkan agar tidak mengurangi eksistensi dan integritas Majelis-majelis Agama yang ada di Indonesia, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Gereja di Indonesia (DGI), Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI), Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP) dan Per-walian Umat Buddha Indonesia (WALUBI). Selain itu agar tidak menimbulkan simpang siur dalam jalur pembinaan kehidupan beragama baik dari segi kepentingan umat beragama sendiri maupun dari segi pelaksanaan tugas Pemerintah d.h.i. Departemen Agama. Apabila dalam pembinaan kerukunan hidup beragama di daerah dianggap perlu adanya pemecahan masalah bersama, baik antar Instansi Pemerintah maupun dengan kalangan Pemimpin/Pemuka Agama di daerah setempat, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/Setingkat dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kotamadya secara “ex officio” berkewajiban menampung permasalahannya dan menyelesaikannya, dengan langkah-langkah: a. melakukan konsultasi dan koordinasi antar aparatur Departemen Agama sesuai dengan bidang tugas dan wewenang masing-masing. b. melakukan konsultasi dan koordinasi dengan instansiinstansi Pemerintah lainnya, baik sipil maupun militer,
231
6.
atas pengarahan dan petunjuk Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I atau Bupati/Walikota/Kepala Daerah Tingkat II, sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam pelaksanaan hal-hal tersebut di atas hendaknya berpedoman kepada Keputusan Menteri Agama No. 39 Tahun 1980 jo. Instruksi Menteri Agama No. 8 Tahun 1980, terutama pada materi Keputusan Rapat Kerja tanggal 1 6 Juli 1980 Bagian kedua huruf I dan Lampiran i tentang Program Kerja Pembudayaan Pancasila, Kerukunan Hidup Beragama, Stabilitas dan Ketahanan Nasional serta Pembangunan Nasional.
Kedua: Semua ketentuan tentang pembinaan kerukunan hidup beragama di daerah yang bertentangan dengan Instruksi ini dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketiga: Instruksi ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Februari 1981 MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA ttd H. ALAMSJAH RATU PERWIRANEGARA Lampiran 14: KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
232
NOMOR: KEP-108/J.A/5/1984 TENTANG PEMBENTUKAN TEAM KOORDINASI PENGAWASAN ALIRAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang
:
a. bahwa dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa semakin diamalkan baik di dalam kehidupan pribadi maupun hidup sosial kemasyarakatan; b. bahwa perlu dilakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar: 1. kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak mengarah kepada pembentukan agama baru; 2. dapat diambil langkah-langkah dan atau tindakan-tindakan terhadap aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat; 3. pelaksanaan aliran kepercayaan benar-benar sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; c. bahwa untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya koordinasi dan kerja sama antar instansi pemerintah; d. bahwa untuk pelaksanaan koordinasi dan kerjasama tersebut perlu dibentuk team koordinasi pengawasan aliran kepercayaan masyarakat.
233
Mengingat
:
1. Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; 2. Undang-Undang No. 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI; 3. Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama; 4. Keputusan Presiden RI No. 32/M Tahun 1981 tentang Pengangkatan sebagai Jaksa Agung RI; 5. Instruksi Presiden RI No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina.
Memperhatikan :
a. Hasil Kesepakatan rapat yang dihadiri wakil-wakil Departemen/Lembaga non Departemen tanggal 3 Nopember 1982 tentang saran-saran yang berkaitan dengan Pembentukan Team Koordinasi Pakem; b. Persetujuan Menteri/Kepala Lembaga non Departemen yang bersangkutan tentang penunjukan keanggotaan dalam Team Pakem Pusat, mewakili unsur instansinya. MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
KEPUTUSAN JAKSA AGUNG RI TENTANG PEMBENTUKAN TEAM KOORDINASI PENGAWASAN ALIRAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT. Pasal 1
(1)
234
Team koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat pada Kejaksaan Agung, disingkat Team Pakem Pusat, dibentuk dengan Keputusan Jaksa Agung;
(2)
Team Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat pada Kejaksaan Tinggi, disingkat Team Pakem Daerah Tingkat I, dibentuk dengan Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi;
(3)
Team Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat pada Kejaksaan Negeri, disingkat team Pakem Daerah Tingkat II dibentuk dengan Keputusan Kepala Kejaksaan Negeri. Pasal 2
(1)
Susunan Team Pakem terdiri dari: a. Seorang Ketua merangkap Anggota dari Kejaksaan; b. Seorang Wakil Ketua Merangkap Anggota dari Kejaksaan; c. Seorang Sekretaris merangkap Anggota dari Kejaksaan; d. Anggota-anggota yang terdiri dari wakil-wakil instansi Pemerintah lainnya yang lingkup tugas/wewenang mencakup penanganan masalah aliran kepercayaan.
(2)
Susunan dan Keanggotaan Team Pakem Pusat adalah: Ketua merangkap Anggota: Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen. Wakil Ketua merangkap Anggota: Kepala Direktorat Khusus Bidang Intelijen. Sekretaris merangkap Anggota: Kepala Sub Direktorat Pakem Kejaksaan Agung. Anggota: Wakil-wakil dari: 1. Departemen Dalam Negeri 2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 3. Departemen Kehakiman 4. Departemen Agama 5. MABES ABRI/KOPKAMTIB 6. BAKIN 7. MABES POLRI
(3)
Susunan dan Keanggotaan Team Pakem Daerah Tingkat I adalah: a. Ketua merangkap anggota: Kepala Kejaksaan Tinggi. b. Wakil ketua merangkap anggota: Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi. c. Sekretaris merangkap anggota: Kepala Seksi Khusus
235
d.
(4)
Kejaksaan Tinggi. Anggota-anggota: Wakil-wakil dari: 1. Pemerintah Daerah Tingkat I 2. Kodam/Korem 3. Polda/Polwil 4. Kanwil Departemen Kehakiman 5. Kanwil Departemen Agama 6. Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Susunan dan Keanggotaan Team Pakem Daerah Tingkat II adalah: a. Ketua merangkap anggota: Kepala Kejaksaan Negeri b. Wakil Ketua merangkap Anggota: Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri c. Sekretaris merangkap anggota: Kepala seksi-seksi Khusus Kejaksaan Negeri d. Anggota-anggota: Wakil-wakil dari: 1. Pemerintah Daerah Tingkat II 2. Kodim 3. Polres 4. Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya 5. Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten/Kodya Pasal 3
(1)
Team PAKEM berfungsi: a. Menyelenggarakan rapat baik secara berkala maupun sewaktu-waktu sesuai kebutuhan. b. Menyelenggarakan pertemuan konsultasi dengan instansi dan badan-badan lainnya baik Pemerintah maupun non Pemerintah. c. Melakukan pertukaran informasi masalah aliran kepercayaan.
(2)
Team PAKEM bertugas: a. Menganalisa informasi yang didapatkan dan membuat kesimpulan dan perkiraan.
236
b. c.
(3)
Mengajukan saran tindak lanjut kepada Kejaksaan Agung. Jika dipandang perlu mengambil tindakan dan segera melaporkan kepada Kejaksaan Agung mengenai tindakan tersebut.
Pertanggung-jawaban pelaksanaan tugas Team PAKEM ditentukan sebagai berikut: a. Team PAKEM Daerah Tingkat II bertanggung jawab kepa-da Kejaksaan Tinggi. b. Team PAKEM Daerah Tingkat I bertanggung jawab kepa-da Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen. c. Team PAKEM Pusat bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Pasal 4
Guna kelancaran pelaksanaan tugas Team PAKEM di tiap Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Agung dibentuk Sekretariat Team PAKEM. Pasal 5 Segala biaya yang diperlukan bagi para Anggota Team PAKEM dalam melaksanakan tugas Team dibebankan kepada instansi masing-masing. Pasal 6 Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 11 Mei 1984 JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA ttd ISMAIL SALEH, SH. Lampiran 15: DEPARTEMEN DALAM NEGERI
237
REPUBLIK INDONESIA TELKOM Dari Untuk Tgl Nomor Sifat Perihal
: Menteri Dalam Negeri : Gubernur KDH UP Kaditsus Prop. di Seluruh Indonesia : 5 Mei 1975 : 264/KWT/DITPUM/DV/75 : Rahasia : Penggunaan Rumah Tempat Tinggal sebagai Gereja ISI BERITA
Aaa ttk
berdasarkan laporan bakin no. R-088/lap-har/bakin/4/ 1975 tgl 17 april 1975 kma diperoleh informasi bhw di rumah seorg bernama willem pieter di pondok gede kel lubang buaya jakarta telah digunakan sbg tempat kebaktian oleh jemaah gkbi kramat jati shg menimbulkan protes penduduk gol Islam setempat dng mengeluarkan sebuah resolusi dng mengemukakan alasan bhw penduduk setempat mayoritas beragama Islam serta tempat kebaktian sangat berdekatan dng musholla dan madrasah ttk.
Bbbttk
reaksi yang sama juga terjadi di kelurahan petogogan kebayoran baru Jakarta terhadap penggunaan rumah kurniawan sbg tempat kebaktian oleh gol kristen pantekosta ttk kebaktian tsb telah dihentikan setelah diberikan pengertian oleh komwil setempat ttk
Ccc ttk
sehub dng adanya kasus di atas kma maka kpd/kdh prop diseluruh indonesia diinstruksikan untuk memberikan pengertian kpd masyarakat utk tidak menjadikan rumah tempat tinggal mereka berfungsi sbg gereja krn dapat mengganggu keamanan ttk
Ddd ttk
utk menghindarkan ekses yg mungkin timbul kma agar segera mengambil langkah pengamanan dan penertiban
238
ttk Eee ttk
dmk utk mendapatkan perhatian ttk hbs Mendagri
A.N. MENTERI DALAM NEGERI DIREKTUR JENDERAL SOSIAL POLITIK ttd SOENANDAR PRIJOSOEDARMO Lampiran 16:
239
DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA TELKOM MEMUTUSKAN Dari Untuk Tgl. Nomor Sifat Perihal
: Menteri Dalam Negeri : Gubernur KDH UP Kaditsus Prop. di Seluruh Indonesia : 28 Nopember 1975 : 933/KWT/DITPUM/DV/XI/75 : Rahasia : Penjelasan Thdp Surat Kawat Mendagri No. 264/ Kwt/DITPUM/DV/V/1975 ISI BERITA
Aaa ttk
ref surat kwt mendagri no. 264/kwt/ditpum/dv/v/1975 perihal penggunaan rumah tempat tinggal sebagai gereja kma bersama ini diberitahukan bhw di beberapa daerah telah terjadi salah penafsiran thdp pelaksanaan dari instruksi dalam surat kawat tsb kma sehingga timbul protes dari golongan yang merasa dirugikan ttk
Bbb ttk
sehubungan dng itu bersama ini dijelaskan ulang bahwa yg tidak diizinkan adalah penggunaan rumah tempat tinggal sehingga berfungsi sbg gereja kma adapun berkumpulnya orang kristen grmr katolik dlm satu rumah dng kegiatan kekeluargaan tdk pernah dilarang ttk
Ccc ttk
dmk utk menjadi maklum hbs Mendagri
240
A.N. MENTERI DALAM NEGERI DIREKTUR JENDERAL SOSIAL POLITIK CAP/TTD ttd. ERMAN HARI RUSTAMAN Lampiran 17:
241
INSTRUKSI MENTERI AGAMA R.I NOMOR : 4 TAHUN 1978 TENTANG KEBIJAKSANAAN MENGENAI ALIRAN-ALIRAN KEPERCAYAAN MENTERI AGAMA MEMUTUSKAN Menimbang
:
bahwa setelah ditetapkannya Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang GarisGaris Besar Haluan Negara, dianggap perlu untuk mengeluarkan suatu instruksi tentang kebijaksanaan mengenai aliranaliran kepercayaan, guna dijadikan pegangan oleh pejabat-pejabat Departemen Agama, baik di Pusat maupun di daerah-daerah.
Menimbang
:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia pasal 29; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978; 3. Keputusan Presiden Nomor 44 dan Nomor 45 Tahun 1974; 4. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975; 5. Instruksi Menteri Agama Nomor 13 Tahun 1975; 6. Hasil Konsultasi Menteri Agama dengan Presiden pada tanggal 3 April 1978. MENGINSTRUKSIKAN
242
Kepada
:
1. 2. 3. 4.
Untuk
:
Sekjen, Irjen, para Dirjen, dan Kepala Badan Litbang Agama; Para Rektor IAIN seluruh Indonesia; Para Ketua Mahkamah Tinggi Islam/ Kerapatan Qadi Besar/Pengadilan Agama Tingkat Banding seluruh Indonesia; Para Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi/setingkat seluruh Indonesia dalam lingkungan Departemen Agama.
Dalam melaksanakan tugas sejauh yang menyangkut kepercayaan supaya berpedoman kepada ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara yang antara lain menyatakan bahwa: Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan Agama. 2. Sehubungan dengan angka 1 (satu) di atas, maka Departemen Agama yang tugas pokoknya adalah melaksanakan sebagian tugas Pemerintahan Umum dan Pembangunan di bidang Agama, tidak akan mengurusi persoalan-persoalan aliran-aliran kepercayaan yang bukan merupakan agama tersebut. Ditetapkan di Pada tanggal
: :
Jakarta 11 April 1978
MENTERI AGAMA RI. Cap/ttd H. ALAMSJAH RATU PERWIRANEGARA Lampiran 18:
243
INSTRUKSI MENTERI AGAMA NOMOR 8 TAHUN 1979 TENTANG PEMBINAAN, BIMBINGAN DAN PENGAWASAN TERHADAP ORGANISASI DAN ALIRAN DALAM ISLAM YANG BERTENTANGAN DENGAN AJARAN ISLAM MENTERI AGAMA MEMUTUSKAN Menimbang
:
bahwa berhubungan dengan timbulnya organisasi dan aliran dalam Islam yang gejalanya bersifat bertentangan dengan ajaran Islam, maka dipandang perlu untuk meningkatkan pembinaan dan bimbingan terhadap mereka yang mengikuti organisasi dan aliran tersebut ke jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam.
Mengingat
:
1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1974 tentang Susunan Organisasi Departemen; 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1974 tentang Susunan Organisasi Departemen jo Nomor 30 Tahun 1978 tentang Perubahan Lampiran 14 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1974; 3. Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama (disempurnakan) jo Nomor 6 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1978. Surat Keputusan Jaksa Agung Republik
Memperhatikan :
244
Indonesia Nomor Kep-089/JA/10/1971 tertanggal 20 Oktober 1971 tentang Pelarangan terhadap Aliran-aliran Darul Hadits, Jamaah Qur’an Hadits, Islam Jamaah, JPID, JAPPENAS dan lain-lain organisasi yang bersifat/berajaran serupa. MENGINSTRUKSIKAN Kepada
:
1. 2. 3. 4.
Ditjen Bima Islam dan Urusan Haji; Kepala Badan Litbang Agama; Inspektur Jenderal Kepala Kantor Departemen Agama Propinsi/ Setingkat di lingkungan Departemen Agama. 1) Meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan aparat Kejaksaan Agung, Departemen Dalam Negeri, BAKIN dan aparatur Pemerintah Daerah serta Majelis Ulama Indonesia/Majelis Ulama Daerah dan Lembaga-lembaga keagamaan Islam dalam rangka meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengawasan terhadap organisasi dan aliran tersebut di atas sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. 2) Meningkatkan pembinaan, bimbingan dan pengarahan terhadap organisasi dan aliran tersebut di atas jalan yang benar sesuai dengan ajaran Islam. 3) Pembinaan, bimbingan dan pengarahan terhadap kegiatan organisasi dan aliran tersebut di atas dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4) Melakukan Instruksi ini dengan sebaikbaiknya.
245
5) Melaporkan pelaksanaan Instruksi ini kepada Menteri Agama. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 27 September 1979 MENTERI AGAMA RI. Cap/ttd H. ALAMSJAH RATU PERWIRANEGARA
246
Lampiran 19: SURAT EDARAN MENTERI AGAMA NOMOR TENTANG
: :
MA/432/1981 PENYELENGGARAAN HARI-HARI BESAR KEAGAMAAN Jakarta, 2 September 1981 M 4 Dzulkaidah 1401 H
Kepada Yth. 1.
Saudara Pimpinan Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga Tinggi Negara di Jakarta;
2.
Saudara-saudara Menteri Koordinator, Menteri, Menteri Muda Kabinet Pembangunan III dan Pimpinan Lembaga Non Departemen di Jakarta;
3.
Saudara-saudara Gubernur/Kepala Daerah di seluruh Indonesia.
SURAT EDARAN 1.
Sesuai dengan petunjuk Bapak Presiden R.I., pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama dan kerukunan hidup di antara sesama umat beragama diarahkan agar kemurnian aqidah terpelihara, tumbuhnya suasana kerukunan yang harmonis dan terpeliharanya persatuan bangsa, sehingga kehidupan beragama dapat berkembang dengan wajar dan harmonis serta bergotong royong dalam membangun, mengamankan dan melestarikan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2.
Pada akhir-akhir ini di kalangan instansi Pemerintah, Sipil dan ABRI, badan swasta, sekolah-sekolah dan masyarakat umum, dirasakan meningkatnya penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan. Namun di beberapa tempat timbul pelbagai kesalah-pahaman dan masalah antara lain: pencampuradukan
247
hal-hal yang bersifat aqidah/ajaran agama, disebabkan kurangnya pemahaman secara mendasar mengenai segi-segi aqidah/ajaran agama masing-masing. Hal serupa itu menghambat pembinaan kerukunan hidup beragama dan mengganggu usaha pemantapan stabilitas dan Ketahanan Nasional serta Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Oleh karenanya hambatan tersebut perlu dihindarkan sedini mungkin. 3.
Sejalan dengan pokok-pokok pikiran yang disampaikan oleh Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama tertanggal 25 Agustus 1981 dan petunjuk Bapak Presiden pada tanggal 1 September 1981, bahwa peringatan hari-hari besar keagamaan pada dasarnya hanya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk agama yang bersangkutan; namun sepanjang tidak bertentangan dengan aqidah/ajaran agamanya; pemeluk agama yang lain dapat turut menghormati sesuai dengan asas kekeluargaan, bertetangga baik dan kegotong-royongan.
4.
Dalam penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan perlu dipedomani hal-hal sebagai berikut: a. Unsur Peribadatan. Unsur peribadatan ialah “ibadah” bagi Islam, “kebaktian/ liturgia” bagi Kristen Protestan dan Katholik, “yadnya” bagi Hindu dan “Kebaktian” bagi Budha, yang terkandung dalam penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan merupakan bentuk ajaran agama yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemimpin/Pemuka Agama yang bersangkutan untuk mengaturnya sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.
b.
248
Dalam hal peribadatan atau adanya unsur peribadatan semacam ini, maka hanya pemeluk agama yang bersangkutan yang menghadirinya. Unsur perayaan dan kegiatan lain ialah penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan yang di dalamnya tidak ada unsur ibadat. Dalam perayaan dan kegiatan semacam ini dapat dihadiri dan diikuti oleh pemeluk agama
c.
lain. Petunjuk tentang macam-macam hari-hari besar keagamaan dan penyelenggaraan peringatannya bagi agama masingmasing tersebut dalam lampiran surat edaran ini.
5.
Bila seseorang atau pejabat karena jabatannya akan hadir dalam peringatan dan upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya hendaknya dapat menyesuaikan diri, dengan bersikap pasif namun khidmat, sehingga kelancaran jalannnya upacara maupun pemantapan kerukunan hidup beragama terjamin.
6.
Penanggung jawab sekolah dan para guru selaku pembina anak didik tunas harapan bangsa, agar menjaga dan memelihara keyakinan dan keimanan agama yang dipeluk oleh anak didik masing-masing, sehingga penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan di sekolah-sekolah diadakan sesuai dengan ketentuan dalam surat edaran ini.
7.
Kepada pimpinan lembaga kemasyarakatan dan badan swasta dianjurkan untuk memperhatikan hajat keagamaan dengan memberikan kesempatan pelaksanaan ibadah dan penyelenggaraan peringatan hari-hari besar keagamaan di dalam lingkungan masing-masing seperti: Rukun Kampung, Rukun Warga, dan Rukun Tetangga maupun perusahaan. Untuk itu hendaknya meminta pemuka agama setempat, agar peringatan termaksud dapat benar-benar mengembangkan kehidupan beragama serta kerukunan antara umat beragama dalam masyarakat sesuai dengan maksud dalam surat edaran ini.
8.
Biaya penyelenggaraan peringatan hari besar keagamaan pada dasarnya menjadi tanggungan pemeluk agama yang bersangkutan dan tidak selayaknya mengusahakan sumbangan kepada bukan pemeluk. Namun hal ini tidak berarti bahwa seseorang dilarang memberikan sumbangan atau hadiah kepada pemeluk agama lain atas dasar suka rela dan persahabatan.
9.
Bilamana dalam peringatan hari-hari besar keagamaan diundang pula pemeluk agama lain, hendaknya surat undangan dilampiri dengan susunan acara yang telah
249
mengindahkan ketentuan tsb. nomor 4 di atas demi tertib dan lancarnya penyelenggaraan peringatan. 10. Demikian kami mengharapkan bantuan dan kesediaan Saudara untuk menyebarluaskan pedoman di atas kepada para pejabat dan instansi dalam lingkungan kewenangan masing-masing serta masyarakat luas, dalam memberikan perhatian dan pelayanan hajat keagamaan bagi semua pemeluk agama, sehingga arah pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama dapat benarbenar memperkokoh landasan tegaknya kehidupan beragama dalam masyarakat Pancasila yang kita idam-idamkan. Semoga Allah, Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua. Wassalam, MENTERI AGAMA RI. Cap/ttd H. ALAMSJAH RATU PERWIRANEGARA Lampiran 20:
250
KEPUTUSAN PERTEMUAN LENGKAP WADAH MUSYAWARAH ANTAR UMAT BERAGAMA TENTANG PERINGATAN HARI-HARI BESAR KEAGAMAAN Pertemuan Lengkap Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang diselenggarakan pada tanggal 25 Agustus 1981, dengan didahului oleh Pertemuan-pertemuan Kerja berturut-turut tanggal 14 Mei 1981, tanggal 1 Juni 1981, tanggal 22 Juni 1981 dan tanggal 25 Agustus 1981 di Jakarta, dalam membahas pelaksanaan peringatan hari-hari besar keagamaan, yang dihadiri oleh: A. 1. 2. 3. 4. 5.
Wakil/Penghubung Majelis Agama: Majelis Ulama Indonesia (MUI); Dewan Gereja-gereja Indonesia (DGI); Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI); Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP); Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI).
B.
Pejabat-pejabat teras Departemen Agama
Setelah membahas pokok-pokok permasalahan pelaksanaan peringatan hari-hari besar keagamaan yang disampaikan oleh para pejabat Departemen Agama serta tanggapan-tanggapan yang disampaikan secara lisan dan tertulis oleh masing-masing Majelis Agama. Dengan memperhatikan Pedoman Dasar tentang Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang dinyatakan pembentukannya dengan Keputusan Menteri Agama No. 35 tahun 1980. Berdasarkan pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. II/MPR/1978 terutama mengenai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan oleh karenanya manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, “dan
251
bahwa” di dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk-pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga dapat selalu dibina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakininya, maka dikembangkanlah sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya tidak memaksakan satu agama dan kepercayaannya itu kepada orang lain, “dan bahwa” Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Kebebasan agama adalah merupakan salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan pemberian negara atau bukan pemberian golongan, “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1978 antara lain bahwa “Kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa makin dikembangkan, sehingga terbina hidup rukun di antara sesama umat beragama, di antara sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan antara semua umat beragama dan semua penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam usaha memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun masyarakat serta mengingat penegasan Bapak Presiden Republik Indonesia dalam upacara pembukaan Rapat Kerja Departemen Agama tanggal 25 Mei 1981, bahwa “Negara tidak mengatur dan tidak ingin mencampuri urusan syariah dan ibadah-ibadah agama, yang umumnya terbentuk dalam aliran agama masing-masing “serta” syariah dan pelaksanaan ibadah masing-masing orang menurut agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa pada dasarnya adalah hak setiap orang menurut keyakinan masingmasing, yang dijamin sepenuhnya oleh negara, “dimana pelaksanaannya itu” di bawah bimbingan para ulama dan pemukapemuka agama yang adil dan berwibawa dalam bidangnya.”
252
Maka Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama bersepakat untuk menyampaikan saran/rekomendasi tentang “pelaksanaan peringatan hari-hari besar keagamaan” kepada Pemerintah d.h.i Menteri Agama, berupa pokok-pokok pikiran sebagai berikut: I.
Peringatan hari-hari besar keagamaan yang pada umumnya telah berakar dan melembaga dalam kehidupan dan budaya bangsa Indonesia, merupakan sarana peningkatan penghayatan dan pengamalan agama dan merupakan sarana dalam pembangunan kehidupan beragama serta pembinaan kerukunan hidup antar umat beragama, sebagai salah satu unsur utama dan bagian yang tak terpisahkan dari Pembangunan Nasional.
II.
Peringatan hari-hari besar keagamaan yang pada dasarnya diselenggarakan dan dihadiri oleh pemeluk agama yang bersangkutan namun adalah wajar bila pemeluk agama lain turut menghormati sesuai dengan asas kekeluargaan, bertetangga baik dan gotong royong, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran agamanya.
III.
Para pejabat Pemerintah hendaknya memberikan perhatian yang wajar dan adil dalam melayani hajat keagamaan bagi semua pemeluk agama dalam wilayah kewenangannya, sesuai dengan isi pidato Bapak Presiden Republik Indonesia tanggal 25 Mei 1981 termaksud di atas, bahwa hendaknya “segenap dan setiap warga negara berhak mendapat perlakuan pelayanan yang wajar dan adil dari aparat Pemerintah, juga dalam bidang agama.” dan kehadirannya dalam upacara keagamaan dari suatu agama yang tidak dipeluknya hendaklah dalam sikap pasif namun khidmat. Sikap demikian hendaknya dimiliki setiap insan Pancasila.
IV.
Para guru, sebagai pembina anak didik tugas harapan bangsa, hendaknya dapat membekali diri dengan pengetahuan keagamaan agar dapat membina jiwa kerukunan anak didiknya menjadi lebih mantap, tanpa mengurangi keyakinan dan keimanan agama yang dipeluknya masing-masing.
V.
Kepada pemimpin lembaga kemasyarakatan perlu dihimbau untuk memperhatikan hajat keagamaan dan memberikan kesempatan
253
pelaksanaan ibadah dan peringatan hari-hari besar keagamaan bagi semua agama dalam wilayah kewenangannya, dan agar bijaksana sehingga tidak menimbulkan kesan adanya paksaan atau larangan dan pembauran akidah dan syariat (ajaran dan aturan) agama yang berbeda-beda. Jakarta, 25 Agustus 1981 Atas nama wadah Musyawarah Antar Umat Beragama wakilwakil Majelis Agama: 1. Majelis Ulama Indonesia (MUI): ttd ttd ( K.H.M. Syukri Ghazali ) (H.S. Projokusumo) Ketua Umum Sekretaris 2. Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI): ttd ttd ( DR. P.D. Latuihamallo) ( DR. S.A.E. Nababan ) Ketua Umum Sekretaris 3. Majelis Agung Waligereja Indonesia: ttd ttd ( Mgr. DR. Leo Soekoto SJ ) ( Mgr. Drs. Ig. Harsana ) Sekretaris Umum MAWI Ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan 4. Parisada Hindu Dharma Pusat (PHDP): ttd ttd ( Drs. Ida Bagus Oka Puniatmaja ) ( I Wayan Surpha ) Ketua I Sekretaris 5. Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI): ttd ttd ( Soeprapto H.S ) ( Seno Soenoto) Ketua Umum Sekretaris Jenderal 6. Departemen Agama: ttd ( Drs. H. Ahmad Ludjito ) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Lampiran 21:
254
ttd ( H. Zaini Ahmad Noeh ) Staf Ahli Menteri Agama
INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM NOMOR : KEP/D/101/78 TENTANG TUNTUNAN PENGGUNAAN PENGERAS SUARA DI MASJID DAN MUSHALLA MEMUTUSKAN MENIMBANG: a.
bahwa penggunaan pengeras suara oleh Masjid/Langgar/ Musholla telah menyebar sedemikian rupa di seluruh Indonesia, baik untuk adzan, iqomah, membaca ayat Al-Qur’an, membaca do’a, peringatan Hari Besar Islam dan lain-lain.
b.
bahwa meluasnya penggunaan pengeras suara tersebut selain menimbulkan kegairahan beragama dan menambah syi’ar kehidupan keagamaan, juga sekaligus pada sebagian lingkungan masyarakat telah menimbulkan ekses-ekses rasa tidak simpati disebabkan pemakaiannya yang kurang memenuhi syarat.
c.
Bahwa agar penggunaan pengeras suara oleh Masjid/Langgar/ Musholla lebih mencapai sasaran menimbulkan daya tarik untuk beribadah kepada Allah SWT, dianggap perlu mengeluarkan tuntunan tentang penggunaan pengeras suara oleh Masjid/Langgar/Musholla untuk dipedomani oleh para pengurus Masjid/Langgar/Musholla di seluruh Indonesia.
MENGINGAT: 1.
Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 18 tahun 1975 (disempurnakan); 2. Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 44 tahun 1978; 3. Instruksi Menteri Agama Nomor 9 tahun 1978; 4. Surat Edaran Menteri Agama Nomor 3 tahun 1978. MEMPERHATIKAN: Keputusan-Keputusan Lokakarya Pembinaan Perikehidupan
255
Beragama Islam (P2A) tentang penggunaan pengeras suara Masjid dan Musholla yang diadakan tanggal 28 dan 29 Mei 1978 di Jakarta. MENGINSTRUKSIKAN KEPADA: 1. Kepala Bidang Penerangan Agama Islam seluruh Indonesia; 2. Kepala Seksi Penerangan Agama Islam seluruh Indonesia; 3. Kepala Bidang Urusan Agama Islam seluruh Indonesia; 4. Kepala Seksi Urusan Agama Islam seluruh Indonesia; 5. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan di seluruh Indonesia; dengan Koordinasi Kepala Kantor Departemen Agama Propinsi/ Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya. UNTUK: 1. Memberikan tuntutan, bimbingan dan petunjuk kepada para Pengurus Masjid/Langgar/Musholla di daerah masing-masing tentang penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musholla sebagaimana Tuntunan terlampir. 2. Memberikan penjelasan kepada Pengurus Masjid/Langgar/ Musholla di daerah masing-masing secara face to face (langsung) dalam bentuk briefing, rapat, penataran dan lainlain tentang isi dan maksud dari pada Tuntunan terlampir bersama Keputusan Lokakarya P2A tentang hal yang sama. 3. Memberikan laporan pelaksanaan dan Instruksi nomor dua di atas dan pelaksanaannya di masyarakat kepada atasan masing-masing. Ditetapkan di Pada tanggal
: :
Jakarta 17 Juli 1978
DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM Cap/ttd DRS. H. KAFRAWI, M.A Tembusan: 1. Bapak Menteri Agama R.I
256
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Inspektur Jenderal Departemen Agama Sekretaris Jenderal Departemen Agama Kepala Kanwil Departemen Agama seluruh Indonesia Majelis Ulama Indonesia Para Direktur pada Ditjen Bimas Islam Organisasi-organisasi Masjid tingkat Pusat Lembaga Dakwah dan Majelis Ulama seluruh Indonesia. LAMPIRAN INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM NOMOR : KEP/D/101/78 TANGGAL 17 JULI 1978
257
TENTANG TUNTUNAN PENGGUNAAN PENGERAS SUARA DI MASJID DAN MUSHALLA A.
Pengertian
1.
Pengertian Pengeras Suara di sini adalah perlengkapan tehnik yang terdiri dari mikrofon, amplifier, loud speaker dan kabelkabel tempat mengalirnya arus listrik.
2.
Pengeras Suara di Masjid, Langgar atau Musholla yaitu Pengeras Suara yang tersebut di atas yang dimaksudkan untuk memperluas jangkauan penyampaian dari apa-apa yang disiarkan di dalam masjid, langgar atau musholla seperti adzan, iqomah, do’a, praktek sholat, takbir, pembacaan ayat AlQur’an, pengajian dan lain-lain.
B.
Keuntungan dan Kerugian menggunakan Pengeras Suara
1.
Keuntungan menggunakan Pengeras Suara di masjid, langgar dan musholla berarti tercapainya sasaran dakwah/ penyampaian agama kepada masyarakat yang lebih luas baik di dalam maupun di luar masjid, langgar dan atau musholla. Jamaah atau umat Islam yang jauh letaknya dari masjid, langgar atau musholla serentak dapat mendengarkan panggilan atau pesan dakwah walaupun tidak hadir dalam masjid. Dan kegunaan penggunaan Pengeras Suara di dalam masjid dimaksudkan agar anggota jamaah yang jauh dari imam, muballigh atau guru yang menyampaikan tabligh menjadi sama jelas mendengar sebagaimana yang duduknya dekat dengan imam/muballigh tersebut.
2.
258
Kerugian dari penggunaan Pengeras Suara ke luar masjid, langgar atau musholla diantaranya dapat mengganggu kepada orang yang sedang istirahat atau sedang beribadah di dalam rumah masing-
masing seperti mereka yang melaksanakan tahajjud, menyelenggarakan upacara agama dan lain-lain. Khusus di kota-kota besar di mana anggota masyarakat tidak lagi memiliki jam yang sama untuk bekerja, pergi dan pulang ke rumah sangat terasa sekali. Sebagaimana juga sifat majemuknya masyarakat kota yang rumah-rumah di sekitar masjid tidak jarang dihuni oleh mereka yang berlainan agama bahkan orang yang berlainan kewarga negaraan seperti para diplomat atau pegawai bangsa asing. Dari beberapa ayat Al-Qur’an terutama tentang kewajiban menghormati jiran/tetangga, demikian juga dari banyak hadits Nabi Muhammad SAW menunjukkan adanya batas-batas dalam hal ke luarnya suara yang dapat menimbulkan gangguan walaupun yang disuarakan adalah ayat suci, do’a atau panggilan kebaikan sebagaimana antara lain tercantum dalam dalil-dalil yang dilampirkan pada keputusan lokakarya P2A tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla. Selain dari ayat-ayat atau hadits-hadits yang tegas mengingatkan tidak bolehnya umat Islam menimbulkan gangguan kepada tetangga, juga terdapat ayat atau hadits yang mendorong disyiarkannya agama Islam supaya umat makin taqwa kepada Allah SWT. Kesemuanya itu mendorong umat Islam untuk mencari caracara yang bijaksana diantara melaksanakan syiar dan menjaga keutuhan hidup bertetangga yang tidak menimbulkan sesuatu gangguan bahkan keharmonisan dan rasa simpati yang timbal balik. C.
Fungsi Penggunaan Pengeras Suara oleh Masjid, Langgar dan Mushalla Dari beberapa ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi Muhammad SAW, kita dapat menarik kesimpulan bahwa fungsi Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Mushalla adalah untuk: 1.
Meningkatkan daya jangkau seruan keagamaan agar supaya umat makin mencintai agamanya dan melaksanakan agamanya dengan sebaik-baiknya.
2.
Menimbulkan Syiar keagamaan agar supaya masyarakat
259
memahami dan mencintai agama Islam dan keagungan Allah SWT. D.
Syarat-syarat Penggunaan Pengeras Suara
Agar supaya pengeras suara di dalam masjid, langgar atau musholla dapat berfungsi seperti tersebut di atas diperlukan terpenuhinya beberapa persyaratan sebagai berikut: 1. Perawatan Pengeras Suara oleh seorang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara-suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan anti-pati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar atau musholla. 2. Mereka yang menggunakan Pengeras Suara (muadzin, pembaca Al-Qur’an, imam shalat dan lain-lain) hendaklah memiliki suara yang fasih, merdu, enak, tidak cemplang, sumbang atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh dari pada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengarkan. 3. Dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara do’a, dzikir dan shalat. Karena pelanggaran hal-hal seperti ini bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan bahwa umat beragama sendiri tidak mentaati ajaran agamanya. 4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengar berasa dalam keadaan siap untuk mendengarnya. Bukan dalam waktu tidur istirahat, sedang beribadah ataupun melakukan upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali panggilan adzan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakat masih terbatas, maka suara-suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, mushalla selain berarti seruan taqwa, juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitar. 5. Dari tuntunan Nabi, suara adzan sebagai tanda masuknya shalat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan Pengeras Suara untuknya adalah tidak dapat diperdebatkan, yang perlu
260
diperdebatkan adalah agar suara muadzin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu. E.
Pemasangan Pengeras Suara:
Untuk tercapainya fungsi Pengeras Suara seperti tersebut pada bagian C, perlu pengaturan pemasangan sebagai berikut: 1.
Diatur sedemikian rupa sehingga corong yang ke luar dapat dipisahkan dengan corong ke dalam. Jelasnya terdapat saluran yang semata-mata ditujukan ke luar.
2.
Dan yang kedua berapa corong yang semata-mata ditujukan ke dalam ruangan masjid, langgar atau musholla.
3.
Acara yang ditujukan ke luar, tidak terdengar keras ke dalam yang dapat mengganggu orang shalat sunnat atau dzikir. Demikian juga corong yang ditujukan ke dalam masjid tidak terdengar ke luar sehingga tidak mengganggu yang sedang istirahat.
F.
Pemakaian Pengeras Suara
Pada dasarnya suara yang disalurkan ke luar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu shalat. Demikian juga shalat dan do’a pada dasarnya hanya untuk kepentingan jama’ah ke dalam dan tidak perlu ditujukan ke luar untuk tidak melanggar ketentuan syari’ah yang melarang bersuara keras dalam sholat dan do’a. Sedangkan dzikir pada dasarnya adalah ibadah individu langsung dengan Allah SWT karena itu tidak perlu menggunakan pengeras suara baik ke dalam atau ke luar. Secara lebih terperinci kiranya perlu dipedomani ketentuan sebagai berikut: 1.
Waktu Subuh a. Sebelum waktu subuh, dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan Pengeras Suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini dipergunakan untuk pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dimaksudkan untuk membangunkan kaum
261
b.
c. d.
Muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri dan lain-lain. Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Qur’an tersebut dapat menggunakan pengeras suara ke luar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah dalam masjid. Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara ke luar. Shalat subuh, kuliah subuh dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama’ah) dan hanya ditujukan ke dalam saja.
2.
Waktu Dzuhur dan Jum’at a. Lima menit menjelang dzuhur dan Jum’at supaya diisi dengan bacaan Al-Qur’an yang ditujukan ke luar. b. Demikian juga suara Adzan bilamana telah tiba waktunya. c. Bacaan shalat, do’a, pengumuman, khutbah dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.
3.
Ashar, Maghrib dan Isya’ : a. Lima menit sebelum adzan pada waktunya, dianjurkan membaca Al-Qur’an. b. Pada waktu datang waktu shalat dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam. c. Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya ke dalam.
4.
Takbir, Tarhim dan Ramadhan a. Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar. Pada Idul Fitri dilakukan malam 1 Syawal dan hari 1 Syawal. Pada Idul Adha dilakukan 4 hari berturut-turut sejak malam 10 Dzulhijjah. b. Tarhim yang berupa do’a menggunakan pengeras suara ke dalam. Dan tarhim berupa dzikir tidak menggunakan pengeras suara. c. Pada bulan Ramadhan sebagaimana pada hari dan malam
262
biasa dengan memperbanyak pengajian, bacaan Qur’an yang ditujukan ke dalam seperti tadarrusan dan lain-lain. 5.
Upacara hari besar Islam dan Pengajian Tabligh hari besar Islam atau Pengajian harus disampaikan oleh Muballigh dengan memperhatikan kondisi dan keadaan audience (jama’ah). Expresi dan raut muka pendengar harus diperhatikan dan memberikan bahan kepada muballigh untuk menyempurnakan tablighnya baik isi maupun cara penyampaiannya. Karena itu tabligh/pengajian hanya menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam, dan tidak untuk ke luar karena tidak diketahui reaksi pendengarnya atau lebih sering menimbulkan gangguan bagi yang istirahat daripada didengarkan sungguh-sungguh. Dikecualikan dari hal ini, apabila pengunjung tabligh atau hari besar Islam memang melimpah ke luar.
G.
Hal-hal yang harus dihindari
Untuk mencapai pengaruh kepada masyarakat dan dicintai pendengar, kiranya diperhatikan agar hal-hal berikut dihindari untuk tidak dilaksanakan: 1. Mengetuk-ngetuk Pengeras Suara. Secara teknis hal ini akan mempercepat kerusakan pada peralatan di dalam yang teramat peka pada gesekan yang keras. 2. Kata-kata seperti: percobaan-percobaan, satu, dua dan seterusnya. 3. Berbatuk atau mendehem melalui pengeras suara. 4. Membiarkan suara kaset sampai lewat dari yang dimaksud atau memutar kaset (Qur’an, ceramah) yang sudah tidak betul suaranya. 5. Membiarkan pengeras suara untuk memanggil-manggil nama seseorang atau mengajak bangun (di luar panggilan adzan). H. Suara dan Kaset Seperti diuraikan di depan, suara yang dipancarkan melalui
263
pengeras suara, karena didengar orang banyak dan sebagainya terutama orang-orang terpelajar diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Memiliki suara yang pas, tidak sumbang atau terlalu kecil. 2. Merdu dan fasih dalam bacaan/naskah. 3. Dalam hal menggunakan kaset hendaknya diperhatikan dan dicoba sebelumnya, baik mutu atau lamanya untuk tidak dihentikan mendadak sebelum waktunya. 4. Adzan pada waktunya hendaknya tidak menggunakan kaset kecuali bila terpaksa. I. 1.
2.
Pengeras Suara pada Masjid, Langgar atau Mushalla di Kampung Pada umumnya ketentuan yang ketat ini berlaku untuk kotakota besar yaitu Ibukota Negara, Ibukota Propinsi dan Ibukota Kabupaten/Kotamadya. Yakni di mana penduduk aneka warga agama dan kebangsaan, aneka warna dalam jam kerja dan keperluan bekerja tenang di rumah dan lain-lain. Untuk masjid, langgar dan mushalla di desa/kampung pemakaiannya dapat lebih longgar dengan memperhatikan tanggapan dan reaksi masyarakat. Kecuali hal-hal yang dilarang oleh syara’. Jakarta, 17 Juli 1978 DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM Cap/ttd DRS. H. KAFRAWI, M.A
Lampiran 22: KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 1996
264
TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KERAWANAN KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN Menimbang
:
a. bahwa keberagaman bangsa Indonesia yang meliputi bermacam suku bangsa, bahasa, dan adat istiadat, budaya dan agama, merupakan faktor yang potensial bagi timbulnya disintegrasi. Oleh karena itu setiap gejala dan kerawanan yang timbul ke arah itu perlu ditangani secara dini. b. bahwa interaksi antara warga masyarakat yang berbeda agama perlu dibina dan ditangani secara arif dan bijaksana. c. bahwa untuk memperoleh keseragaman langkah dan tindakan dalam menangani kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama perlu dikeluarkan petunjuk pelaksanaan tentang hal tersebut.
Mengingat
:
1. Undang-undang nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan; 2. Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi
265
3.
4.
5.
6.
Memperhatikan :
Departemen; Keputusan Presiden RI Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen, dengan segala perubahannya terakhir dengan Keputusan Presiden RI Nomor 18 Tahun 1994; Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1988 tentang Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional; Keputusan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 1975 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama yang telah diubah dan disempurnakan terakhir dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 75 Tahun 1984; Keputusan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1981 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi, Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya, dan Balai Pendidikan dan Latihan Pegawai Teknis Keagamaan Departemen Agama.
Keputusan Panglima ABRI Nomor: Skep/868/ X/1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tentang Manajemen Penanggulangan Krisis. MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
Pertama
:
266
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KERAWANAN DI BIDANG KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan di Bidang Kerukunan Hidup Umat Beragama selanjutnya disebut Juklak Kerawanan Kerukunan Hidup Umat Beragama
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini. Kedua
:
Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan di Bidang Kerukunan Hidup Umat Beragama ini merupakan pedoman kerja para pejabat dan pimpinan satuan organisasi di lingkungan Departemen Agama untuk mengambil langkah-langkah dan melaksanakan koordinasi dalam mencegah dan menanggulangi kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama yang terjadi.
Ketiga
:
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 28 Februari 1996 MENTERI AGAMA RI Ttd. Dr. H. TARMIZI TAHER
Tembusan : 1. Bapak Wakil Presiden RI; 2. Kepala Badan Pemeriksa Keuangan; 3. Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; 4. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat; 5. Menteri Dalam Negeri; 6. Ketua Komisi IX DPR RI; 7. Panglima ABRI/Ketua Bakorstanas; 8. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; 9. Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Para Direktur Jenderal; 10. Kepala Badan Litbang Agama dan Staf Ahli Menteri di lingkungan Departemen Agama; 11. Para Rektor IAIN Seluruh Indonesia; 12. Kepala Biro, Inspektur, Direktur, Kapuslitbang Agama; 13. Sekretaris, Kapusdiklat Pegawai di Lingkungan Dep. Agama;
267
14. Para Kepala Kanwil Dep. Agama Propinsi atau setingkat; 15. Ketua PTA di lingkungan Dep. Agama; 16. Biro Hukum dan Humas untuk Dokumentasi. LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI AGAMA RI NOMOR 84 TAHUN 1996 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN
268
PENANGGULANGAN KERAWANAN DI BIDANG KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA I.
PENDAHULUAN
A.
UMUM
1.
Keberagaman bangsa Indonesia yang meliputi bermacam suku bangsa, bahasa, adat-istiadat, budaya, dan agama, merupakan faktor yang potensial bagi timbulnya disintegrasi bangsa. Berkenaan dengan itu persatuan dan kesatuan bangsa merupakan politik nasional yang strategis, karena berkaitan langsung dengan eksistensi negara Republik Indonesia.
2.
Agama merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar dan sensitif. Interaksi antar warga masyarakat yang berbeda agama perlu dibina dan ditangani secara arif dan bijaksana dengan mendorong suasana dialogis, jujur, dan bertanggung jawab untuk memecahkan berbagai masalah yang menjadi penyebab timbulnya gangguan kerukunan hidup umat beragama.
3.
Departemen Agama sebagai lembaga pemerintahan yang bertugas mengatur tata kehidupan beragama dalam sistem kehidupan nasional, bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan setiap kerawanan yang timbul, sebagai akibat pergaulan umat beragama.
4.
Untuk itu perlu suatu piranti lunak yang berwujud petunjuk pelaksanaan tentang penanggulangan kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama yang mungkin timbul.
B.
MAKSUD DAN TUJUAN
Petunjuk pelaksanaan ini dimaksudkan sebagai pedoman dan acuan bagi para pejabat Departemen Agama di pusat dan daerah agar senantiasa siap untuk mendeteksi dan mencegah secara dini timbulnya kerawanan, menanggulangi, maupun merehabilitasi bidang kerukunan hidup umat beragama.
269
C.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup petunjuk pelaksanaan ini adalah keadaan rawan yang terjadi di bidang kerukunan hidup umat beragama, yang mencakup tata cara pencegahan pada pra krisis dan penanggulangan purna krisis (rehabilitasi). D.
DASAR HUKUM
1.
Undang-undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama; Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1988 tentang Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional; Keputusan Menteri Agama Nomor 70 Tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama; Keputusan Menteri Agama Nomor 77 Tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia; Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/Ber/Mdn-Mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparat Pemerintah Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya; Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979/1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia; Keputusan Menteri Agama Nomor 35 Tahun 1980 tentang Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama; Instruksi Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Pembinaan Kerukunan hidup umat beragama di daerah sehubungan dengan telah terbentuknya Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama; Surat Edaran Menteri Agama Nomor MA/432/1981 tanggal 2 September 1981 tentang Penyelenggaraan Peringatan Harihari Besar Keagamaan.
2. 3. 4.
5.
6.
7. 8.
9.
270
E. 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
PENGERTIAN Aman, adalah suatu keadaan dalam kehidupan masyarakat di mana administrasi pemerintahan, administrasi pembangunan dan administrasi kemasyarakatan dapat berfungsi dengan baik; Rawan, adalah suatu keadaan yang dapat mengganggu kerukunan hidup umat beragama, yang antara lain ditandai dengan timbulnya keresahan-keresahan sosial. Gawat, adalah suatu keadaan di mana keresahan sosial menjadi ketegangan sosial akibat dari gangguan terhadap kerukunan hidup umat beragama yang disertai berbagai isu-isu, aksi-aksi keberingasan sosial yang mengganggu atau mengancam stabilitas nasional; Huru-hara, adalah tindakan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh sekelompok massa secara bersama-sama dengan sengaja dan terbuka dalam bentuk ancaman kekerasan serta mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat; Konflik, adalah suatu persengketaan antara dua pihak atau lebih akibat perbedaan kepentingan; Krisis Kerukunan Hidup Umat Beragama, adalah suatu keadaan gawat/darurat yang mengancam stabilitas nasional dan integritas bangsa sebagai akibat dari adanya konflik terbuka antara dua pihak yang bersengketa, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah, disertai dengan tindakan anarki; kekerasan, dan pelecehan hukum, baik yang mendadak maupun eskalatip. Penodaan agama, adalah seseorang atau kelompok/ golongan yang sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan dari agama lain yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
271
8.
Manajemen penanggulangan kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama, adalah suatu sistem yang mengatur langkah-langkah perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian tentang tata cara pencegahan, penanggulangan, dan rehabilitasi terhadap keadaan luar biasa yang terjadi dalam pembinaan kerukunan hidup umat beragama.
F.
SISTEMATIKA
Petunjuk pelaksanaan ini disusun dan ditetapkan dengan sistematika: I. Pendahuluan II. Kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama III. Upaya penanggulangan kerawanan IV. Penutup II.
KERAWANAN DI BIDANG KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA
A.
HAKIKAT KERAWANAN
Kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama pada hakikatnya adalah suatu persengketaan atau pertentangan antara dua pihak atau lebih yang disebabkan masalah-masalah keagamaan, baik intern umat beragama, antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah, yang menjurus pada konflik terbuka dan tindakan-tindakan anarki dengan ciri kekerasan fisik serta pelecehan hukum. Apabila keadaan tersebut dibiarkan berlangsung, dapat mengganggu stabilitas nasional dan integritas bangsa. Kerawanan dapat terjadi secara mendadak ataupun bertahap/eskalatip. Umumnya terjadi tindakan yang sifatnya spontan. B.
PENYEBAB KERAWANAN
Kegiatan keagamaan yang dapat menjadi penyebab timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama, antara lain
272
adalah : 1.
Pendirian tempat ibadat Tempat ibadat yang didirikan tanpa mempertimbangkan situasi dan kondisi lingkungan umat beragama setempat sering menciptakan ketidak-harmonisan umat beragama yang dapat menimbulkan konflik antar umat beragama.
2.
Penyiaran agama Penyiaran agama, baik secara lisan, melalui media cetak seperti brosur, pamplet, selebaran dan sebagainya, maupun media elektronika, serta media yang lain dapat menimbulkan kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama, lebihlebih yang ditujukan kepada orang yang telah memeluk agama lain.
3.
Bantuan Luar Negeri Bantuan dari Luar Negeri untuk pengembangan dan penyebaran suatu agama, baik yang berupa bantuan materil/ finansial ataupun bantuan tenaga ahli keagamaan, bila tidak mengikuti peraturan yang ada, dapat menimbulkan ketidak harmonisan dalam kerukunan hidup umat beragama, baik intern umat beragama yang dibantu, maupun antar umat beragama.
4.
Perkawinan Berbeda Agama Perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, walaupun pada mulanya bersifat pribadi dan konflik antar keluarga, sering mengganggu keharmonisan dan kerukunan hidup umat beragama, lebih-lebih apabila sampai kepada akibat hukum dari perkawinan tersebut, atau terhadap harta benda perkawinan, warisan dan sebagainya.
5.
Perayaan hari besar keagamaan Penyelenggaraan perayaan hari besar keagamaan yang kurang mempertimbangkan kondisi dan situasi serta lokasi dimana perayaan tersebut diselenggarakan dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama.
6.
Penodaan agama
273
Perbuatan yang bersifat melecehkan atau menodai ajaran dan keyakinan suatu agama tertentu yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama. 7.
Kegiatan aliran sempalan Kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang didasarkan pada keyakinan terhadap suatu agama tertentu secara menyimpang dari ajaran agama yang bersangkutan dan menimbulkan keresahan terhadap kehidupan beragama, dapat menyebabkan timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup beragama.
8.
Aspek non agama yang mempengaruhi Aspek-aspek non agama yang dapat mempengaruhi kerukunan hidup umat beragama antara lain: kepadatan penduduk, kesenjangan sosial-ekonomi, pelaksanaan pendidikan, penyusupan ideologi dan politik berhaluan keras yang berskala regional maupun internasional yang masuk ke Indonesia melalui kegiatan agama.
III.
UPAYA PENANGGULANGAN KERAWANAN
A.
PENCEGAHAN
Mencegah timbulnya kerawanan merupakan upaya yang terbaik, karena dapat memberikan ketenangan, kedamaian, dan kesejukan kepada umat beragama untuk dapat melaksanakan ajaran agamanya. Untuk menciptakan kondisi yang demikian harus diusahakan sejak dini melalui bimbingan dan pembinaan kerukunan hidup umat beragama oleh jajaran Departemen Agama, baik di pusat maupun di daerah. Bimbingan dan pembinaan sebagai upaya mencegah timbulnya kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama tersebut antara lain:
274
1.
Penyuluhan dan pemasyarakatan peraturan perundangan terutama yang berhubungan dengan pembinaan tata kehidupan beragama seperti: a. Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri No. 01/Ber/Mdn-Mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparat Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. b. Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1979/1 tahun 1979 tentang Tatacara Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. c. Keputusan Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama. d. Keputusan Menteri Agama No. 77 tahun 1978 tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. e. Surat Edaran Menteri Agama No. MA/432/1981 tanggal 2 September 1981 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari-hari Besar Keagamaan.
2.
Perumusan kode etik pergaulan umat beragama
Kode etik pergaulan umat beragama mempunyai peranan penting bagi upaya pembinaan kerukunan hidup umat beragama. Melalui kode etik seorang pemeluk suatu agama dapat memahami bagaimana bersikap terhadap orang lain yang berbeda agama. Berbagai kebijaksanaan pemerintah di bidang ini pada hakekatnya merupakan rintisan untuk mewujudkan kode etik pergaulan umat beragama tersebut. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain: a.
Kakanwil Dep. Agama Propinsi dan Kakandep Agama Kabupaten/Kodya bersama-sama dengan pemuka agama setempat membuat kesepakatan-kesepakatan untuk melaksanakan kebijaksanaan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri di bidang kerukunan umat beragama beserta
275
pengembangannya di daerah masing-masing. b.
Kesepakatan tersebut dirumuskan melalui forum musyawarah, dialog, sarasehan, tatap muka dan sebagainya antara pemukapemuka agama dengan pemerintah. Kesepakatan-kesepakatan tersebut akan lebih baik apabila direkomendasikan oleh Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I atau Bupati/Kepala Daerah Tingkat II atau Kepala Kanwil Dep. Agama Propinsi atau Kepala Kantor Dep. Agama Kabupaten/Kotamadya.
c.
Memasyarakatkan kesepakatan-kesepakatan tersebut kepada seluruh umat beragama dan pejabat-pejabat pemerintahan melalui media yang ada sampai tingkat desa/kelurahan.
3.
Penerapan kode etik pergaulan umat beragama
Sikap dan perilaku hidup rukun yang telah mengakar dan membudaya di kalangan warga masyarakat hendaknya dibina dan dipupuk dengan menerapkan kode etik pergaulan umat beragama. Upaya membina dan memupuk sikap hidup rukun tersebut dapat dilaksanakan melalui penyelenggaraan kerjasama sosial kemasyarakatan, kegiatan bantuan umat beragama dan forum-forum kegiatan lain yang melibatkan umat beragama. 4.
Pembentukan kader kerukunan umat beragama.
Setiap satuan organisasi Dep. Agama di Propinsi dan di Kabupaten/Kotamadya hendaknya membentuk dan membina kader-kader kerukunan hidup beragama yang terdiri dari para pemuda-pemuda wakil dari Majelis-majelis Agama, dan tokoh-tokoh agama. Kader-kader kerukunan tersebut hendaknya selain mampu mengerti, memahami dan menghayati kerukunan hidup beragama hendaknya juga mampu menjadi motivator, dinamisator, dan stabilisator masyarakat dalam membina kerukunan hidup umat beragama. 5.
276
Forum pertemuan pemuka agama.
Dalam rangka pembinaan kerukunan hidup beragama, perlu diselenggarakan forum pertemuan tatap muka antara pemukapemuka agama dengan pimpinan satuan organisasi Dep. Agama di Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya secara berkala Forum pertemuan tersebut dapat berwujud forum dialog, musyawarah, silaturahmi, sarasehan dan sebagainya sebagai forum untuk saling tukar informasi, konsultasi dan sebagainya. B. PENANGGULANGAN KERAWANAN Apabila upaya mencegah kerawanan telah dilakukan secara optimal tetap terjadi keadaan luar biasa (kerawanan), maka tindakan yang dilakukan adalah menanggulangi kerawanan tersebut dengan cepat, tepat dan arif, dengan ketentuan sebagai berikut: 1.
Sepanjang masih dalam tingkat kerawanan, yakni pra krisis dan purna krisis, penanggulangan dilakukan oleh aparat Departemen Agama dibantu oleh instansi terkait dan aparat Hankam.
2.
Apabila sudah masuk dalam keadaan krisis, penanggulangan dilakukan oleh aparat keamanan (ABRI) berdasarkan Keputusan Pangab Nomor: Skep 868/X/1994 Juklak manajemen penanggulangan krisis dibantu oleh aparat Dep. Agama dan instansi terkait.
3.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab aparat Dep. Agama dalam menanggulangi kerawanan tersebut diatur sebagai berikut: a. Kepala KUA Kecamatan, Kepala MIN, Kepala MTsN dan Kepala MAN. 1) Apabila melihat, mendengar, atau mengetahui telah terjadi kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama, segera turun ke lapangan untuk mengidentifikasi kerawanan itu; apa masalahnya, di mana terjadi, waktu kejadian, apa sebabnya dan siapa saja yang terlibat dalam kerawanan tersebut. 2) Berusaha menormalisir keadaan berdasarkan kebijaksanaan pemerintah sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab selaku aparat Dep. Agama.
277
Berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Tripika setempat. Hasil identifikasi dituangkan dalam laporan singkat, ditandatangani oleh Kepala/Wakil atas nama jabatan, kemudian dikirimkan kepada Kepala Kandepag Kabupaten/Kotamadya masing-masing dan tembusannya dikirim kepada Kepala Kanwil dengan Facsimile (melalui Wartel terdekat). b.
278
Kepala Kantor Dep. Agama Kabupaten/Kodya 1) Setelah menerima laporan dari Kepala KUA, MIN, MTsN dan Kepala MAN atau mendengar, menyaksikan, dan mengetahui kejadian itu segera turun ke lapangan untuk mengidentifikasi kerawanan tersebut; apa masalahnya, tempat dan waktu kejadian, apa sebabnya dan siapa saja yang terlibat dalam kerawanan tersebut. 2) Mengatasi kerawanan tersebut berdasar kebijaksanaan Pemerintah sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab selaku aparat Dep. Agama. Berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Bupati/ Kepala Daerah, atau Walikota Madya dan Muspida setempat serta instansi terkait. 3) Berusaha untuk melokalisir agar kerawanan itu tidak meluas ke daerah lain baik fisik maupun non fisik. 4) Melaporkan dengan segera kejadian itu kepada Kepala Kanwil dengan Facsimile melalui Wartel terdekat kemudian diikuti dengan pengiriman tertulis melalui Pos atau melalui jasa pengiriman tercepat yang ada atau dengan cara khusus. Apabila dipandang perlu dapat mengirim langsung ke Departemen Agama Jakarta dengan Facsimile kepada salah satu nomor Facsimile berikut ini: Kepada Sekretaris Jenderal Nomor Fac : 021 3800177
Kepada Inspektur Jenderal Nomor Fac : 021 - 3140135
c.
Sehubungan dengan itu, Kepala Kanwil agar selalu membuka Facsimile selama 24 jam. 5) Ketua PA, Dekan Fakultas, dan Direktur Akademi Pendidikan Agama Kristen yang berkantor di Kabupaten/Kodya setempat yang mengetahui dan mendengar telah terjadi kerawanan di bidang kerukunan hidup umat beragama agar memberitahukan kepada Kepala Kandepag dengan segera untuk mendapatkan penanganan dan penanggulangan sesuai petunjuk di atas. Kepala Kanwil Dep. Agama Propinsi 1) Setelah menerima laporan dari Kepala Kandepag Kabupaten/Kodya atau mengetahui kerawanan tersebut segera turun ke lapangan untuk mengidentifikasi, apa masalahnya, waktu dan tempat kejadian, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam kerawanan itu. 2) Berusaha untuk mengatasi kerawanan itu berdasarkan kebijaksanaan pemerintah sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya selaku aparat Departemen Agama. 3) Berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan atau Muspida setempat. 4) Berusaha untuk melokalisir kejadian tersebut agar tidak meluas baik secara fisik maupun non fisik. 5) Melaporkan kejadian tersebut dan langkah-langkah yang telah dilakukan untuk mengatasinya kepada Menteri Agama melalui Facsimile kepada salah satu nonor Facsimile berikut: Sekretaris Jenderal Inspektur Jenderal
Nomor Fac : 021 - 3800177 Nomor Fac : 021 - 3140135
Kemudian diikuti dengan pengiriman laporan lengkap melalui pengiriman Pos Kilat atau jasa pengiriman tercepat yang ada. Penanganan selanjutnya pada tingkat Departemen akan dilakukan oleh Koordinator
279
d.
280
Wilayah yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama. 6) Rektor IAIN, Ketua PTA, dan Direktur APGAH di Bali yang mengetahui atau mendengar telah terjadi suatu kerawanan agar segera memberitahukan kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi untuk mendapatkan penanganan dan penanggulangan sesuai dengan petunjuk di atas. Penanganan oleh Pejabat Eselon I Pusat 1) Penanganan semua kasus keagamaan di kantor pusat Dep. Agama dilaksanakan oleh Pejabat Eselon I Pusat dengan pembagian tugas sebagai berikut: a) Semua kasus keagamaan yang terjadi di wilayah pulau Jawa ditangani oleh Sekretaris Jenderal selaku Koordinator Wilayah Jawa. b) Semua kasus keagamaan yang terjadi di wilayah pulau Sumatera ditangani oleh Inspektur Jenderal selaku Koordinator Wilayah Sumatera. c) Semua kasus keagamaan yang terjadi di wilayah pulau Kalimantan ditangani oleh Kepala Badan Litbang Agama selaku Koordinator Wilayah Kalimantan. d) Semua kasus keagamaan yang terjadi di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara ditangani oleh Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji selaku Koordinator Wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. e) Semua kasus keagamaan yang terjadi di wilayah Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya ditangani oleh Dirjen Bimas (Kristen) Protestan selaku Koordinator Wilayah Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya. f) Semua kasus keagamaan yang terjadi di
e.
wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat ditangani oleh Dirjen Bimas Hindu dan Buddha selaku Koordinator Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat. g. Semua kasus keagamaan yang terjadi di wilayah Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur ditangani oleh Direktur Jenderal Bimas Katolik selaku Koordinator Wilayah Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur. 2) Pejabat Eselon I tingkat pusat setelah mendengar dan menerima laporan dari Kakanwil dan atau tembusan laporan dari Kakandep bahwa telah terjadi suatu kerawanan di suatu daerah segera memberi petunjuk cara penyelesaian kerawanan tersebut dan melaporkan kepada Menteri Agama tentang kerawanan yang terjadi serta langkah yang sudah diambil untuk mengatasinya. 3) Apabila untuk menyelesaikan suatu kasus diperkirakan perlu keterlibatan instansi lain penyelesaian tersebut diselesaikan secara terkoordinasi. 4) Untuk melokalisir dan mengatasi kerawanan pada suatu daerah, press release agar dilakukan oleh satuan kerja kehumasan di tingkat Departemen. 5) Semua satuan organisasi baik di tingkat pusat maupun di daerah (Setjen, Ditjen, Badan Litbang, Kanwil Depag Prop., Kandepag Kab./Kodya, dan KUA Kecamatan) agar mendokumentasikan setiap kerawanan yang ada (dengan maping sistem) dengan cara-cara penyelesaiannya untuk menjadi acuan bagi pejabat berikutnya. Penanggulangan purna krisis 1. Penanggulangan kerawanan yang terjadi pada purna krisis bersifat konsolidasi, bimbingan dan pembinaan kembali serta penciptaan situasi agar tenang kembali. 2.
Penanggulangan sebagaimana dimaksud angka 1,
281
dilakukan oleh Kepala Kantor Dep. Agama Kabupaten/ Kotamadya apabila kerawanan itu terjadi di Kabupaten/Kotamadya atau oleh Kepala Kantor Wilayah apabila kerawanan terjadi di tingkat Propinsi/ DKI, DIY, atau Timor Timur. 3.
Upaya konsolidasi dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah/Kepala Kantor Dep. Agama bersama-sama dengan pimpinan umat beragama setempat, sekurang-kurangnya dengan pimpinan umat beragama terkait dengan peristiwa tersebut.
4.
Apabila dalam melakukan konsolidasi diperlukan keikutsertaan instansi lain, Kepala Kantor Wilayah/ Kepala Kantor Dep. Agama hendaknya mengusahakan keikutsertaan instansi lain tersebut.
5.
Konsolidasi diarahkan agar terwujudnya situasi tenang kembali seperti sediakala. Untuk mewujudkan situasi tersebut diusahakan agar komunikasi intern umat dan antar umat beragama dapat berjalan kembali, kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara kembali pulih dan berjalan biasa.
6.
Apabila kegiatan konsolidasi telah dilaksanakan, kemudian dilaporkan kepada Menteri Agama melalui saluran hirarki sebagaimana diatur pada huruf a sampai dengan d.
IV. P E N U T U P Petunjuk pelaksanaan ini dibuat agar dapat digunakan sebagai pedoman, dimasyarakatkan, dan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab serta dijabarkan oleh seluruh satuan organisasi dan satuan kerja di lingkungan Departemen Agama sesuai dengan kondisi dan perkembangan situasi yang dihadapi di lingkungan masing-masing.
282
Jakarta, 28 Pebruari 1996 MENTERI AGAMA RI ttd Dr. H. TARMIZI TAHER Lampiran 23:
283
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2000 TENTANG PENCABUTAN INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 14 TAHUN 1967 TENTANG AGAMA, KEPERCAYAAN, DAN ADAT ISTIADAT CINA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang
:
a. bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari hak asasi manusia; b. bahwa pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, dirasakan oleh warga negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadatnya. c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a dan b, dipandang perlu mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina dengan Keputusan Presiden.
Mengingat
:
1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 29 UndangUndang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaga Negara Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
284
MEMUTUSKAN Menetapkan
:
1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 29 UndangUndang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaga Negara Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
PERTAMA
:
Mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
KEDUA
:
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, semua ketentuan pelaksanaan yang ada akibat Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina tersebut dinyatakan tidak berlaku.
KETIGA
:
Dengan ini penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebgaimana berlangsung selama ini.
KEEMPAT
:
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Januari 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. ABDURRAHMAN WAHID Lampiran 24:
285
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 T E N TA N G HARI TAHUN BARU IMLEK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang
:
a. bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia; b. bahwa Tahun Baru Imlek merupakan tradisi masyarakat Cina yang dirayakan secara turun temurun di berbagai wilayah di Indonesia; c. bahwa sehubungan dengan huruf a dan huruf b, dipandang perlu menetapkan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional;
Mengingat
:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina; MEMUTUSKAN:
Menetapkan
:
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG HARI TAHUN BARU IMLEK Pasal 1
Menetapkan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional Pasal 2
286
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 April 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI Lampiran 25:
287
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 331 TAHUN 2002 TENTANG PENETAPAN HARI TAHUN BARU IMLEK SEBAGAI HARI LIBUR NASIONAL MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA Menimbang
:
a. bahwa untuk kelancaran pelaksanaan perayaan Hari Nasional di wilayah Republik Indonesia dipandang perlu menetapkan sebagai Hari Libur Nasional; b. bahwa Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2002 telah menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional; c. bahwa sehubungan dengan huruf a dan b di atas, dipandang perlu menetapkan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional.
Mengingat
:
1. Keputusan Presiden RI Nomor 254 Tahun 1967 tentang Hari-hari Libur yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden RI Nomor 3 Tahun 1983; 2. Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pelarangan Perayaan Adat Istiadat Cina; 3. Keputusan Presiden RI Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen; 4. Keputusan Presiden RI Nomor 109 Tahun
288
2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen; 5. Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek; 6. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. MEMUTUSKAN : Dengan mencabut Keputusan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2001 tentang Penetapan Imlek sebagai Hari Libur Fakultatif. Menetapkan
:
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENETAPAN HARI TAHUN BARU IMLEK SEBAGAI HARI LIBUR NASIONAL
Pertama
:
Menetapkan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional selama 1 (satu) hari, bagi masyarakat di Wilayah Indonesia.
Kedua
:
Penetapan hari dan tanggal Libur Nasional sebagaimana dimaksud pada diktum pertama pada setiap tahun, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama, dengan memperhatikan data dari Lembaga yang bertanggung jawab di bidangnya.
Ketiga
:
Lembaga sebagaimana dimaksud pada diktum kedua ditetapkan dengan Keputusan Menteri Agama.
Keempat
:
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. : Jakarta
Ditetapkan di
289
Pada tanggal
:
25 Juni 2002
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA Cap/ttd PROF. DR. H. SAID AGIL HUSEIN AL MUNAWAR, MA Tembusan: 1. Para Ketua Lembaga Tinggi Negara; 2. Para Menteri Kabinet Gotong Royong; 3. Jaksa Agung, Ka. POLRI; 4. Sekjen, Irjen, Para Dirjen, Staf Ahli Menteri, Kabalitbang Agama dan Diklat Keagamaan di lingkungan Departemen Agama; 5. Para Gubernur/KDH Tk. I di seluruh Indonesia; 6. Para Rektor dan Ketua Lembaga Pendidikan Tinggi Agama, Ketua PTA di seluruh Indonesia; 7. Para Kepala Biro, Direktur, Inspektur, Kapus, Sekretaris di lingkungan Departemen Agama; 8. Para Ka. Kanwil Departemen Agama seluruh Indonesia; Lampiran 26:
290
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 356/PAN.MK/XII/2005 Jakarta, 28 Desember 2005 Lampiran : Perihal : Penjelasan Mahkamah Konstitusi Kepada Yth. Ws. Budi S. Tanuwibowo Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) Kompleks Royal Sunter Blok F-23 Jl. Danau Sunter Selatan di - JAKARTA 14350 Dengan hormat kami sampaikan bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi telah menerima surat Saudara nomor 212/MATAKIN/SUX/ 1105 tertanggal 21 November 2005 perihal UU No. 1/PNPS/1965 jo. UU No. 5/1969. Ketua Mahkamah Konstitusi mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan perhatian Saudara kepada lembaga ini. Selanjutnya berdasarkan arahan Ketua Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan permasalahan Saudara, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: 1.
Bahwa Undang-undang No. 1/PNPS/1965 jo UU No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2727) masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat;
291
2.
Bahwa berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 jo Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun2003, Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan Kehakiman yang salah satu kewenangannya adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, apabila ada warga negara Republik Indonesia yang menganggap hak konstitusinya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang maka adalah hak setiap warga negara untuk mengajukan pengujian undang-undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Demikian, atas perhatian Saudara diucapkan terima kasih. Panitera
292
Lampiran 27:
PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 9 TAHUN 2006 NOMOR : 8 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/ WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI Menimbang
:
a. bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun; b. bahwa setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut agamanya; c. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
293
d. bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum; e. bahwa Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan rukun, lancar, dan tertib; f. bahwa arah kebijakan Pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama antara lain peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan beragama, serta peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama; g. bahwa daerah dalam rangka menyelenggarakan otonomi, mempunyai kewajiban melaksanakan urusan wajib bidang perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang serta kewajiban melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan, dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; h. bahwa kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional; i. bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenangnya mempunyai kewajiban memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
294
j.
bahwa Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/ MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya untuk pelaksanaannya di daerah otonom, pengaturannya perlu mendasarkan dan menyesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; k. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j, perlu menetapkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat; Mengingat
:
1. Undang-Undang Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2726); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3298); 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran
295
4.
5.
6.
7.
8.
296
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886); Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4468); Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1985 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 24 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3331); Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009;
9. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tatakerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005; 10. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dan terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2005; 11. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/ MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan Dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya; 12. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1/BER/ MDN-MAG/1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia; 13. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota; 14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri; 15. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama;
297
MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/ WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud dengan: 1.
Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.
3.
Rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
4.
Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan yang selanjutnya disebut Ormas Keagamaan adalah organisasi non pemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama
298
5.
6.
7.
8.
oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik. Pemuka Agama adalah tokoh komunitas umat beragama baik yang memimpin ormas keagamaan maupun yang tidak memimpin ormas keagamaan yang diakui dan atau dihormati oleh masyarakat setempat sebagai panutan. Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Panitia pembangunan rumah ibadat adalah panitia yang dibentuk oleh umat beragama, ormas keagamaan atau pengurus rumah ibadat. Izin Mendirikan Bangunan rumah ibadat yang selanjutnya disebut IMB rumah ibadat, adalah izin yang diterbitkan oleh bupati/walikota untuk pembangunan rumah ibadat. BAB II TUGAS KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Pasal 2
Pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah dan Pemerintah. Pasal 3 (1)
Pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur.
(2)
Pelaksanaan tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen agama provinsi.
299
Pasal 4 (1)
Pemeliharaan kerukunan umat beragama di kabupaten/kota menjadi tugas dan kewajiban bupati/walikota.
(2)
Pelaksanaan tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Pasal 5
(1)
Tugas dan kewajiban gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi: a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di provinsi; b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan d. membina dan mengoordinasikan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama.
(2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada wakil gubernur. Pasal 6 (1)
300
Tugas dan kewajiban bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi: a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di kabupaten/kota; b. mengoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/ kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; c. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama;
d.
e.
membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama; menerbitkan IMB rumah ibadat.
(2)
Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dapat didelegasikan kepada wakil bupati/ wakil walikota.
(3)
Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c di wilayah kecamatan dilimpahkan kepada camat dan di wilayah kelurahan/desa dilimpahkan kepada lurah/ kepala desa melalui camat. Pasal 7
(1)
Tugas dan kewajiban camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) meliputi: a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kecamatan; b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; dan c. membina dan mengoordinasikan lurah dan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan.
(2)
Tugas dan kewajiban lurah/kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) meliputi: a. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kelurahan/desa; dan b. menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama.
301
BAB III FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA Pasal 8 (1)
FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota.
(2)
Pembentukan FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah.
(3)
FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki hubungan yang bersifat konsultatif. Pasal 9
(1)
FKUB provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas: a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; dan d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.
(2)
FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) mempunyai tugas: a. melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b. menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; c. menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/ walikota; d. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
302
e.
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat. Pasal 10
(1)
Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat.
(2)
Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang.
(3)
Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 (satu) orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan kabupaten/kota.
(4)
FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota. Pasal 11
(1)
Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/kota.
(2)
Dewan Penasihat FKUB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas: a. membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; dan b. memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama.
(3)
Keanggotaan Dewan Penasihat FKUB provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur dengan susunan keanggotaan:
303
(4)
a. b.
Ketua Wakil Ketua
c.
Sekretaris
d.
Anggota
: wakil gubernur; : kepala kantor wilayah departemen agama provinsi; : kepala badan kesatuan bangsa dan politik provinsi; : pimpinan instansi terkait.
Dewan Penasihat FKUB kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh bupati/walikota dengan susunan keanggotaan: a. Ketua : wakil bupati/wakil walikota; b. Wakil Ketua : kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; c. Sekretaris : kepala badan kesatuan bangsa dan politik kabupaten/kota; d. Anggota : pimpinan instansi terkait. Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasihat FKUB provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur. BAB IV PENDIRIAN RUMAH IBADAT Pasal 13 (1)
Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
(2)
Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
(3)
Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di
304
wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi. Pasal 14 (1)
Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
(2)
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.
(3)
Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Pasal 15
Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf d merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis. Pasal 16 (1)
Permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati/walikota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.
(2)
Bupati/walikota memberikan keputusan paling lambat 90
305
(sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 17 Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah. BAB V IZIN SEMENTARA PEMANFAATAN BANGUNAN GEDUNG Pasal 18 (1)
Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan memenuhi persyaratan: a. laik fungsi; dan b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
(2)
Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.
(3)
Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi: a. izin tertulis pemilik bangunan; b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa; c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.
306
Pasal 19 (1)
Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) diterbitkan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/ kota.
(2)
Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 20
(1)
Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dapat dilimpahkan kepada camat.
(2)
Penerbitan surat keterangan pemberian izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/ kota. BAB VI PENYELESAIAN PERSELISIHAN Pasal 21
(1)
Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat.
(2)
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/ walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/ kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota.
(3) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat. 307
Pasal 22 Gubernur melaksanakan pembinaan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. BAB VII PENGAWASAN DAN PELAPORAN Pasal 23 (1)
Gubernur dibantu kepala kantor wilayah departemen agama provinsi melakukan pengawasan terhadap bupati/walikota serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat.
(2)
Bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap camat dan lurah/kepala desa serta instansi terkait di daerah atas pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat. Pasal 24
(1)
Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
(2)
Bupati/walikota melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota kepada gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
(3)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan setiap 6 (enam) bulan pada bulan Januari dan Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.
308
BAB VIII BELANJA Pasal 25 Belanja pembinaan dan pengawasan terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama serta pemberdayaan FKUB secara nasional didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. (1)
(2)
Pasal 26 Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di provinsi didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi. Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN
(1)
(2)
(1)
Pasal 27 FKUB dan Dewan Penasihat FKUB di provinsi dan kabupaten/ kota dibentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan. FKUB atau forum sejenis yang sudah dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota disesuaikan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan. Pasal 28 Izin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini dinyatakan sah dan tetap berlaku.
309
(2)
Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah mempunyai IMB untuk rumah ibadat, diproses sesuai dengan ketentuan IMB sepanjang tidak terjadi pemindahan lokasi.
(3)
Dalam hal bangunan gedung rumah ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah yang belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama ini, bupati/walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat dimaksud. Pasal 29
Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan daerah wajib disesuaikan dengan Peraturan Bersama ini paling lambat dalam jangka waktu 2 (dua) tahun. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 30 Pada saat berlakunya Peraturan Bersama ini, ketentuan yang mengatur pendirian rumah ibadat dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 01/BER/MDNMAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 31 Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Maret 2006 MENTERI AGAMA
MENTERI DALAM NEGERI
Ttd
Ttd
MUHAMMAD M. BASYUNI
H. MOH. MA’RUF
310
Lampiran 28:
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA Nomor : MA/12/2006 Jakarta, 24 Januari 2006 Lampiran : Perihal : Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu Kepada Yth. 1. Saudara Menteri Dalam Negeri 2. Saudara Menteri Pendidikan Nasional Jakarta Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Merujuk surat Saudara Menteri Sekretaris Negara No. B. 898/ M.Sesneg/6/2005 tanggal 27 Juni 2005 tentang Tindak Lanjut Pidato Presiden pada Peringatan Tahun Baru Imlek 2556 tanggal 13 Februari 2005 di Jakarta, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: 1.
Bahwa berdasarkan UU No. 1 PNPS 1965 Pasal 1 Penjelasan dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu (Confusius). Sebagaimana diketahui UU tersebut sampai saat ini masih berlaku dan karena itu Departemen Agama melayani umat Khonghucu sebagai umat penganut agama Khonghucu. Selanjutnya berkaitan dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
311
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, maka Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu yang dipimpin pendeta Khonghucu adalah sah menurut Pasal 2 ayat (1) tersebut. 2.
Berkaitan dengan butir 1 tersebut di atas, maka pencatatan perkawinan bagi para penganut agama Khonghucu dapat dilakukan sesuai peraturan perundangan yang ada. Demikian pula hak-hak sipil lainnya.
3.
Berkaitan dengan butir 1 di atas kami berpendapat bahwa pendidikan agama Khonghucu sesuai dengan ketentuan pasal 12a UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam hal ini Departemen Agama ke depan akan memfasilitasi penyediaan guru-guru pendidikan agama Khonghucu di sekolah-sekolah. Karena itu penyebutan “Pendidikan Agama Khonghucu” dalam RPP Pendidikan Agama dan Keagamaan dapat dipertimbangkan. Sedangkan penyebutan nama lembaga pendidikan keagamaan Khonghucu dalam RPP itu kami pandang tidak perlu dilakukan karena belum ada contohnya. Demikian, untuk menjadi maklum. Wassalam, Menteri Agama RI Ttd Muhammad M. Basyuni
Tembusan Yth : 1. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat 2. Menteri Sekretaris Negara 3. Menteri Hukum dan HAMs
312
Lampiran 29:
MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 24 Pebruari 2006 Nomor : 470/336/SJ Lampiran : Perihal : Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu Kepada Yth. 1. Gubernur 2. Bupati/Walikota di Seluruh Indonesia Dalam rangka meningkatkan pelayanan administrasi kependudukan dan catatan sipil sebagaimana dimaksud Pasal 13 ayat (1) huruf 1 dan Pasal 14 ayat (1) huruf 1 UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bersama ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1.
Memperhatikan surat Menteri Agama Nomor: MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 perihal Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu yang menegaskan bahwa: a. Masih berlakunya UU Nomor 1/PNPS/1965 khususnya dalam penjelasan agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Khonghucu.
313
b.
2.
Selanjutnya berkaitan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dalam hal ini Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut Agama Khonghucu yang dipimpin oleh Pendeta Khonghucu adalah sah.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, diminta kepada Saudara untuk memberikan pelayanan administrasi kependudukan kepada penganut agama Khonghucu dengan menambah keterangan agama Khonghucu pada dokumen administrasi kependudukan yang digunakan selama ini.
Demikian agar Saudara maklum dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. MENTERI DALAM NEGERI Ttd H. MOH. MA’RUF Tembusan disampaikan kepada Yth: 1. Presiden Republik Indonesia (sebagai laporan); 2. Ketua Mahkamah Agung RI; 3. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; 4. Menteri Agama; 5. Menteri Hukum dan HAM; 6. Menteri Pendidikan Nasional; 7. Jaksa Agung RI; 8. Kepala Kepolisian RI; 9. Kepala Badan Intelijen Negara RI.
314
Lampiran 30:
INSTRUKSI MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG SOSIALISASI STATUS PERKAWINAN, PENDIDIKAN DAN PELAYANAN TERHADAP PENGANUT AGAMA KHONGHUCU MENTERI AGAMA Menimbang
:
bahwa dalam rangka melaksanakan Kebijakan Menteri Agama sebagaimana tertuang dalam Surat Menteri Agama Nomor MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 tentang Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khonghucu dan Pendidikan Agama Khonghucu, dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Pelaksanaannya.
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 1 PNPS 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2726); 2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
315
Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005. 3. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2005; 4. Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten/Kota sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 480 Tahun 2003; 5. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama. MENGINSTRUKSIKAN: Kepada
:
Untuk
:
Pertama
:
316
1. 2. 3. 4. 5.
Sekretaris Jenderal; Inspektur Jenderal; Para Direktur Jenderal; Kepala Badan Litbang dan Diklat; Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama; 6. Para Kepala Kanwil Departemen Agama; di Lingkungan Departemen Agama Mensosialisasikan kebijakan yang tertuang dalam Isi Surat Menteri Agama Nomor MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 kepada masyarakat luas, termasuk kepada Pemerintah Daerah dan instansi vertikal sebagai berikut:
1. bahwa berdasarkan UU No. 1 PNPS 1965 pasal 1 penjelasan dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu (Confusius). Sebagaimana diketahui UU tersebut sampai saat ini masih berlaku dan karena itu Departemen Agama melayani Umat Khonghucu sebagai Umat Penganut Agama Khonghucu. Selanjutnya berkaitan dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, maka Departemen Agama memperlakukan perkawinan para Penganut Agama Khonghucu yang dipimpin Pendeta Khonghucu adalah sah menurut pasal 2 ayat (1) tersebut; 2. Berkaitan dengan butir 1 tersebut di atas, maka pencatatan perkawinan bagi para Penganut Agama Khonghucu dapat dilakukan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada. Demikian pula hak-hak sipil lainnya. 3. Berkaitan dengan butir 1 di atas kami berpendapat bahwa pendidikan Agama Khonghucu sesuai dengan ketentuan pasal 12 a UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam hal ini Departemen Agama ke depan akan memfasilitasi penyediaan guru-guru pendidikan Agama Khonghucu di sekolahsekolah. Karena itu penyebutan “Pendidikan Agama Khonghucu” dalam RPP Pendidikan Agama dan Keagamaan dapat diper-
317
timbangkan. Sedangkan penyebutan nama Lembaga Pendidikan Keagamaan Khonghucu dalam RPP itu kami pandang tidak perlu dilakukan karena belum ada contohnya; Kedua
:
Agar pelayanan terhadap Agama Khonghucu di tingkat pusat dilaksanakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama pada Sekretariat Jenderal Departemen Agama. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Maret 2006 MENTERI AGAMA RI Ttd MUHAMMAD M. BASYUNI
318
Lampiran 31:
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
Nomor Sifat Lampiran Perihal
: : : :
SJ/B.VII/1/BA.01.2/623/06 Jakarta, 21 Maret 2007 Penting Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu
Kepala Yth Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Seluruh Indonesia Memperhatikan surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan Nomor: MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 perihal penjelasan status perkawinan menurut agama Khonghucu dan pendidikan Agama Khonghucu serta Instruksi Menteri Agama kepada Sekjen Departemen Agama RI. Tanggal 28 Februari 2006 perihal Pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu dengan ini kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Bahwa berdasarkan UU No. 1 PNPS 1965 Pasal 1 Penjelasan dinyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khinghucu (Confusius). Sebagaimana diketahui UU tersebut sampai saat ini masih berlaku dan karena itu Departemen Agama melayani umat Khonghucu sebagai umat penganut Khonghucu. Selanjutnya berkaitan dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, maka Departemen Agama memperlakukan perkawinan para penganut agama Khonghucu adalah sah menurut Pasal 2 ayat (1) tersebut;
319
2.
Terkait dengan tindak lanjut pelayanan terhadap Penganut Agama Khonghucu, sesuai Instruksi Menteri Agama dimaksud, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama untuk sementara (sampai terbentuknya unit kerja yang defenitif) ditugasi oleh Menteri Agama memberikan pelayanan dan bimbingan kepada penganut agama Khonghucu;
3.
Untuk lebih lancarnya tugas pelayanan terhadap penganut agama Khonghucu maka kami harapkan saudara dapat mensosialisasikan kebijakan dimaksud kepada masyarakat luas, termasuk kepada pemerintah daerah dan instansi vertikal di lingkungan kerja saudara;
4.
Berkaitan dengan butir 2 dan 3 di atas, terutama perlunya tindak lanjut pelayanan dan bimbingan umat Khonghucu di daerah, maka kami minta saudara menugaskan Kasubag Humas dan KUB untuk melaksanakan Kebijakan dimaksud di atas. Penugasan ini berlaku sementara waktu sambil menunggu terbentuknya unit kerja yang definitif melayani agama Khonghucu;
5.
Sebagai bahan sosialisasi, bersama ini kami lampirkan: a. Surat Menteri Agama RI yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan Nasional Nomor: MA/ 12/2006 perihal penjelasan mengenai status perkawinan menurut agama Khonghucu, tanggal 24 Januari 2006 b. Surat Menteri Agama RI yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Departemen Agama Nomor: MA/ /2006 perihal Pelayanan terhadap penganut agama Khonghucu tanggal 28 Februari 2006 c. Surat Menteri Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia perihal Pelayanan Administrasi Kependudukan penganut agama Khonghucu Nomor: 470/336/SJ tanggal 24 Februari 2006.
6.
Demikian untuk dapat dipergunakan dan dilaksanakan.
Tembusan Yth: Menteri Agama RI
320
Sekretaris Jenderal ttd H. Faisal Ismail
Lampiran 32:
MENTERI AGAMA
Jakarta, 31 Oktober 2006 Nomor Sifat Lampiran Perihal
: 450/2576 SJ : : : Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Dewan Penasehat FKUB
Kepada: Yth. 1. Sdr. Gubernur 2. Sdr. Bupati/Walikota di SELURUH INDONESIA Sebagai tindak lanjut Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, bersama ini diinformasikan hal-hal sebagai berikut: 1.
FKUB Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
2.
Pasal 12 PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 telah menegaskan, bahwa Ketentuan lebih lanjut mengenai FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan Gubernur. Untuk itu dimintakan segera
321
menyiapkan konsep Peraturan Gubernur sesuai dengan kondisi daerah setempat. 3.
Peraturan Gubernur sebagaimana tersebut pada butir 2 dapat diselesaikan selambat-lambatnya pada akhir Tahun 2006 dan hasilnya segera dilaporkan kepada Menteri Dalam Negeri.
Demikian untuk menjadi maklum dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Menteri Dalam Negeri ttd H. Moh. Ma’ruf, SE Tembusan: 1. Yth. Bapak Presiden R.I, sebagai laporan 2. Yth. Sdr. MENKO POLHUKAM, di Jakarta 3. Yth. Sdr. MENKO KESRA, di Jakarta 4. Yth. Sdr. Menteri Agama R.I, di Jakarta 5. Yth. Sdr. Majelis-Majelis Agama, di Jakarta
322
Lampiran 33:
KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR NOMOR NOMOR
: 3 Tahun 2008 : KEP-033/A/JA/6/2008 : 199 Tahun 2008
TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
:
a. bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, setiap orang bebas untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, dan dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib
323
menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta tunduk kepada pem-batasan yang ditetapkan dengan undang-undang; b. bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu; c. bahwa Pemerintah telah melakukan upaya persuasif melalui serangkaian kegiatan dan dialog untuk menyelesaikan permasalahan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar tidak menimbulkan keresahan dalam kehidupan beragama dan mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, dan dalam hal ini Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) telah menyampaikan 12 (dua belas) butir Penjelasan pada tanggal 14 Januari 2008; d. bahwa dari hasil pemantauan terhadap 12 (dua belas) butir Penjelasan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagaimana dimaksud pada huruf c, Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM) menyimpulkan bahwa meskipun terdapat beberapa butir yang telah dilaksanakan namun masih terdapat beberapa butir yang belum dilaksanakan oleh penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
324
sehingga dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat; e. bahwa warga masyarakat wajib menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama untuk menciptakan ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat demi terwujudnya persatuan dan kesatuan nasional; f. bahwa dengan maksud untuk menjaga dan memupuk ketenteraman beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat, serta berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu menetapkan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat; Mengingat
:
1.
Pasal 28E, Pasal 28I ayat (1), Pasal 28J, dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 dan Pasal 156a; Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai UndangUndang; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan;
3.
4.
325
5. 6. 7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
326
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2005; Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik; Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan; Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 1989 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia; Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005; Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2005; Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia; Keputusan Jaksa Agung Republik Indone-sia Nomor: KEP-004/J.A/01/1994 tanggal 15
Januari 1994 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Keper-cayaan Masyarakat (PAKEM); 15. Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-115/J.A/10/1999 tanggal 20 Oktober 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia; 16. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri; 17. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama; Memperhatikan :
1. Hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 12 Mei 2005; 2. Hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 15 Januari 2008; 3. Hasil Rapat Tim Koordinasi PAKEM Pusat tanggal 16 April 2008; MEMUTUSKAN :
Menetapkan
: KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT
KESATU
:
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama
327
yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. KEDUA
:
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
KETIGA
:
Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
KEEMPAT
:
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).
KELIMA
:
Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
:
Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-
KEENAM
328
langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini. KETUJUH
:
Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Juni 2008
MENTERI AGAMA
JAKSA AGUNG
MENTERI DALAM NEGERI
ttd
ttd
ttd
MUHAMMAD M. BASYUNI
HENDARMAN SUPANDJI
H. MARDIYANTO
329
Lampiran 34: Jakarta, 6 Agustus 2008 Kepada Yang Terhormat: 1. 2. 3. 4. Di
Gubernur Kepala Kejaksaan Tinggi Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi Bupati/Walikota Seluruh Indonesia
SURAT EDARAN BERSAMA SEKRETARIS JENDERAL DEPARTEMEN AGAMA, JAKSA AGUNG MUDA INTELIJEN, DAN DIREKTUR JENDERAL KESATUAN BANGSA DAN POLITIK DEPARTEMEN DALAM NEGERI Nomor : SE/SJ/1322/2008 Nomor : SE/B-1065/D/Dsp.4/08/2008 Nomor : SE/119/921.D.III/2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA, JAKSA AGUNG, DAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 3 TAHUN 2008; NOMOR: KEP-033/A/JA/6/2008; NOMOR: 199 TAHUN 2008 TENTANG PERINGATAN DAN PERINTAH KEPADA PENGANUT, ANGGOTA, DAN/ATAU ANGGOTA PENGURUS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DAN WARGA MASYARAKAT.
330
A.
Dasar Hukum Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Menindaklanjuti SKB seperti tersebut di atas, kami minta agar Saudara melakukan sosialisasi, pembinaan, pengamanan, pengawasan, koordinasi dan pelaporan sebagai berikut:
B.
Sosialisasi 1. Kedudukan hukum SKB a. SKB ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, jo Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, sehingga SKB ini mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. b. SKB ini sesuai dengan Pasal 28 E, Pasal 28 I, Pasal 28 J dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; Pasal 22, Pasal 70 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia; serta, Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik). c. SKB ini bukanlah intervensi Pemerintah terhadap keyakinan seseorang, melainkan upaya Pemerintah sesuai kewenangan yang diatur oleh UndangUndang untuk menjaga dan memupuk ketenteraman beragama dan ketertiban kehidupan bermasyarakat
331
2.
yang terganggu karena adanya pertentangan dalam masyarakat yang terjadi akibat penyebaran faham keagamaan menyimpang. Sosialisasi kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Sosialisasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang isi dan maksud Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: Kep-033/A/JA/ 6/2008, Nomor: 199 Tahun 2008, Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, khususnya Diktum Kesatu, Diktum Kedua dan Diktum Ketiga. Diktum Kesatu berbunyi: “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Yang dimaksud dengan menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum ialah segala usaha, upaya, kegiatan atau perbuatan penyebaran yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, baik yang dilakukan di tempat umum maupun tempat khusus seperti bangunan rumah ibadat dan bangunan lainnya. Diktum Kedua berbunyi: “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW”.
332
Pengertian diktum ini adalah bahwa: a. Peringatan dan perintah ditujukan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang mengaku beragama Islam. Artinya bahwa penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengaku beragama Islam tidaklah termasuk objek yang diberi peringatan atau perintah. b. Isi peringatan dan perintah dimaksud adalah untuk menghentikan penyebaran penafsiran yang menyimpang dan menghentikan kegiatan yang menyimpang. Yang dimaksud dengan penafsiran yang menyimpang adalah faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pengertian kegiatan yang menyimpang adalah kegiatan melaksanakan dan menyebarluaskan ajaran adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian, pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun tulisan, dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media elektronik yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. termasuk yang diperingatkan dan diperintahkan untuk dihentikan. Diktum Ketiga berbunyi: “Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEDUA dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya”. Artinya apabila peringatan dan perintah untuk menghentikan penyebaran sebagaimana yang disebutkan pada Diktum Kedua tidak dilaksanakan, maka dapat dikenai sanksi.
333
Sanksi yang dimaksud dalam ketentuan diktum tersebut adalah sanksi pidana yang terkait dengan penyalah-gunaan dan/atau penodaan agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 jo Pasal 3 Undang-Undang Nomor: 1/PnPs/1965 dan/atau Pasal 156a KUHP, yang ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara.
3.
Disamping sanksi pidana tersebut di atas, terhadap organisasi JAI dapat dikenakan sanksi berupa pembubaran organisasi dan badan hukumnya melalui prosedur sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Sosialisasi kepada Warga Masyarakat Sosialisasi kepada Warga Masyarakat bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang isi Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008, Tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, khususnya Diktum Kesatu, Diktum Keempat dan Diktum Kelima. Diktum Kesatu adalah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Diktum Keempat berbunyi “Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/ atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)”. Artinya bahwa warga masyarakat diberi peringatan dan perintah untuk tidak melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dengan tujuan untuk melindungi penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah
334
Indonesia (JAI) termasuk harta bendanya dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan ber-masyarakat. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat mematuhi hukum dengan tidak melakukan tindakan anarkis seperti penyegelan, perusakan, pembakaran, dan perbuatan melawan hukum lainnya terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) serta harta bendanya. Diktum KELIMA berbunyi “Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU dan Diktum KEEMPAT dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Artinya warga masyarakat yang melanggar hukum dengan melakukan main hakim sendiri, berbuat anarkis dan bertindak sewenang-wenang terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan, antara lain sebagaimana diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156 tentang penyebaran kebencian dan permusuhan, Pasal 170 tentang tindakan kekerasan terhadap orang atau barang, Pasal 187 tentang pembakaran, Pasal 351 tentang penganiayaan, Pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan, Pasal 406 tentang perusakan barang, dan peraturan lainnya. C.
Pembinaan Sesuai dengan amanat SKB pada Diktum KEENAM yang berbunyi “Memerintahkan kepada aparat Pemerintah dan pemerintah daerah untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini” maka pembinaan dilakukan sebagai berikut:
335
1.
Pemerintah daerah Pemerintah daerah bersama tim PAKEM daerah diminta secara proaktif mengadakan pertemuan dengan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat untuk melakukan pembinaan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Mendorong penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan memupuk ketenteraman beragama dan ketertiban bermasyarakat serta melaksanakan ketentuan hukum yang berlaku dalam rangka mewujudkan kerukunan dan persatuan nasional. b. Membina penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di daerahnya yang dilakukan melalui: 1). bimbingan yang meliputi pemberian nasehat, saran, petunjuk, pengarahan, atau penyuluhan keagamaan dan dakwah agar tidak melakukan perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian, pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun tulisan, dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media elektronik yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.; 2). pemberian perlindungan sebagai warga negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 3). pemberian dorongan untuk memahami, mendalami dan mengamalkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, agar tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam. 4). pemberian dorongan untuk pembauran dalam
336
2.
D.
pelaksanaan kegiatan keagamaan dengan warga muslim lainnya. Pemerintah a. Pembinaan dilakukan oleh Pemerintah terhadap kegiatan organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang diarahkan untuk menghentikan perbuatan atau kegiatan seperti pidato, ceramah, khutbah, pengajian, pembaiatan, seminar, lokakarya, dan kegiatan lainnya, lisan maupun tulisan, dalam bentuk buku, dokumen organisasi, media cetak, dan media elektronik yang mengandung muatan dan dimaksudkan untuk penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW. b. Pembinaan dilakukan oleh Pemerintah terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), warga masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang diarahkan untuk memantapkan kesadaran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta menjamin persatuan dan kesatuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. c. Pembinaan di bidang agama dilakukan oleh Menteri Agama dan seluruh jajaran instansi Departemen Agama di pusat dan daerah bekerjasama dengan para ulama, tokoh masyarakat, dan pengurus organisasi keagamaan.
Pengamanan dan Pengawasan 1. Pemerintah daerah bersama tim PAKEM daerah melakukan pengamanan dan pengawasan yang ditujukan untuk mengetahui ketaatan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat dalam melaksanakan SKB di daerah masing-masing.
337
2.
3.
E.
338
Pemerintah melakukan pengamanan dan pengawasan pelaksanaan SKB melalui monitoring, evaluasi dan supervisi atas pengamanan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Masyarakat dapat melakukan pengawasan pelaksanaan SKB dengan memantau, mengamati dan melaporkan kepada aparat setempat yang berwenang, dengan tidak melakukan perbuatan main hakim sendiri, anarkis dan sewenang-wenang serta perbuatan lainnya yang melanggar hukum.
Koordinasi dan Pelaporan 1. Gubernur dan bupati/walikota melakukan koordinasi dalam pelaksanaan SKB yang meliputi pembinaan dan pengawasan. 2. Gubernur melaporkan pelaksanaan SKB yang meliputi pembinaan dan pengawasan kepada Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. 3. Bupati/walikota melaporkan pelaksanaan SKB yang meliputi pembinaan dan pengawasan kepada gubernur dengan tembusan disampaikan kepada ketua tim PAKEM provinsi. 4. Pelaporan pelaksanaan SKB yang meliputi pembinaan dan pengawasan dilakukan sesuai dengan keperluan, setidak-tidaknya sekali dalam enam bulan. 5. Pelaporan pelaksanaan SKB yang meliputi pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat yang bersifat tindak pidana diteruskan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Demikian, agar Surat Edaran Bersama ini dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
SEKRETARISJENDERAL DEPARTEMENAGAMA
JAKSAAGUNGMUDA INTELIJEN,
DIREKTURJENDERAL KESATUANBANGSADAN POLITIK DEPARTEMENDALAMNEGERI
ttd.
ttd.
ttd.
BAHRUL HAYAT, Ph.D.
WISNU SUBROTO, SH
DR. Ir. SUDARSONO H, MA, SH
Tembusan disampaikan kepada Yth: 1. Menteri Agama RI; 2. Jaksa Agung RI; 3. Menteri Dalam Negeri RI; 4. Kepala Kepolisian Negara RI.
339
340