KINERJA PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI LIMBAH RESTORAN HOTEL SAHID SEBAGAI PENGGANTI DEDAK PADI
SKRIPSI GUNADI SETIAWAN
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN GUNADI SETIAWAN. D24102014. Kinerja Produksi Ayam Broiler Yang Diberi Limbah Restoran Hotel Sahid Sebagai Pengganti Dedak Padi. Skripsi. Nutrisi Dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asep Sudarman, M. Rur.Sc Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Sumiati, MSc. Ayam broiler merupakan jenis ayam yang memiliki pertumbuhan yang cepat dan perdagingan yang baik. Untuk menunjang hal tersebut diperlukan pakan yang berkualitas. Dedak padi yang biasanya dipergunakan sebagai bahan pakan di industri pakan memiliki banyak kekurangan yaitu ada zat anti nutrisi, mudah teroksidasi, musiman dan banyak yang dipalsukan, sehingga diperlukan bahan alternatif yang memiliki kandungan nutrisi mirip dengan dedak padi. Limbah restoran merupakan salah satu bahan yang ketersediaannya melimpah dan tidak bersaing dengan manusia. Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan limbah restoran dalam menggantikan dedak padi dalam ransum ayam broiler. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 120 ekor DOC strain Cobb yang dialokasikan ke dalam rancangan acak lengkap (RAL) menggunakan 3 perlakuan dan 4 ulangan dengan masing-masing ulangan sebanyak 10 ekor. Perlakuan pertama (P1) adalah ransum dengan dedak 13%, perlakuan kedua (P2) adalah ransum dengan komposisi dedak 6,2% dan limbah restoran 6,2%, dan perlakuan ketiga (P3) adalah ransum dengan limbah restoran 12%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, dan konsumsi air minum tetapi tidak berbeda untuk konversi ransum. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tepung limbah restoran dapat digunakan dalam ransum sampai dengan taraf 12%, namun hasil terbaik diperoleh pada penggunaan limbah restoran sebesar 6,2% dalam ransum jika dilihat dari tingginya pertambahan bobot badan, bobot badan akhir dan rendahnya angka konversi ransum. Kata-kata Kunci : Dedak padi, limbah restoran, kinerja produksi ayam broiler
ii
ABSTRACT Broiler Performance Given Restaurant Waste of Sahid Hotel as Rice Bran Substitution Gunadi S., A. Sudarman, and Sumiati The aim of this experiment was to study the substitution of rice bran with restaurant waste in the broiler diets. One hundred and twenty day old chicks (DOCs) strain Cobb were used. They were divided into Completely Randomized Design consisted of 3 treatments and 4 replicates, each consisted of 10 broilers. They were kept in animal house with litter system. The treatments were:1) the diet contained 13% rice bran, without restaurant waste (P1), 2) the diet contained 6.2% rice bran and 6.2% restaurant waste (P2), 3) the diet without rice bran, but contained 12% restaurant waste (P3). The results showed that the treatments significantly (P<0.01) affected feed intake, body weight gain, final body weight, and water intake but did not affect to feed conversion. It was concluded that the restaurant waste could be used until the level of 12% in the diet, but the best result obtained at the level of 6.2% of restaurant waste. Key words : rice bran, restaurant waste, broiler performance
iii
KINERJA PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI LIMBAH RESTORAN HOTEL SAHID SEBAGAI PENGGANTI DEDAK PADI
SKRIPSI GUNADI SETIAWAN
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
iv
KINERJA PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI LIMBAH RESTORAN HOTEL SAHID SEBAGAI PENGGANTI DEDAK PADI
Oleh : GUNADI SETIAWAN D24102014
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Agustus 2006
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Asep Sudarman, MRurSc.
Dr. Ir. Sumiati, MSc.
NIP. 131 849 398
NIP. 131 624 182
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny R. Noor, MRurSc. NIP. 131 624 188
v
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Oktober 1984 di Cimahi, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Yoyo, M.Pd dan ibu Nuknik Kurniasih. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SDN Kadumanis Banjaran Bandung, pendidikan menengah pertama di MTs Persis 3 Pameungpeuk diselesaikan pada tahun 1999 dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di SMUN 1 Baleendah. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002. Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) periode 2003-2004 dan 2004-2005 sebagai staf divisi teknologi pakan dan ketua divisi informasi dan teknologi serta pernah mengikuti beberapa kepanitiaan kegiatan kampus dan mendapat beberapa penghargaan selama beberapa semester serta sebagai finalis PKM tingkat IPB.
vi
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWAT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Kinerja Produksi Ayam Broiler Yang Diberi Limbah Restoran Sebagai Pengganti Dedak Padi” ini ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis mulai 19 Januari hingga 23 Februari 2006 di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Unggas. Dedak Padi merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam ransum ayam broiler, namun ketersediaannya bersifat musiman, mudah teroksidasi, terdapat zat anti nutrisi inhibitor tripsin dan asam fitat. Dikarenakan ketersediannya yang terbatas, ada pihak yang menggunakan kesempatan itu dengan memalsukan dedak padi tersebut diantaranya dengan penambahan kulit ari kedelai. Oleh karena itu diperlukan suatu bahan yang dapat digunakan untuk menggantikannya. Limbah restoran merupakan bahan yang dapat diujicobakan sebagai bahan pakan ternak unggas yang tidak bersaing dengan manusia, murah, mudah didapat dan dibuat. Skripsi ini ditulis sebagai upaya untuk memenuhi solusi permasalahan diatas. Pemberian limbah restoran dengan kandungan protein kasar 10,89%, lemak kasar 9,7%, serat kasar 9,13%, kadar kalsium 0,08% dan fosfor 0,39% dapat menggantikan penggunaan dedak padi yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja produksi ayam broiler. Diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat baik untuk kalangan akademis sebagai sumber rujukan dan juga kalangan peternak ayam broiler yang ingin menggunakan limbah restoran sebagai bahan pakan alternatif pengganti dedak padi. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2006
Penulis
vii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..............................................................................................
ii
ABSTRAK ...................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .................................................................................
vii
DAFTAR ISI................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan ..............................................................................................
1 2 3
TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler .................................................................................. Ransum Ayam Broiler ..................................................................... Dedak Padi ....................................................................................... Limbah Restoran ............................................................................. Konsumsi Ransum .......................................................................... Pertambahan Bobot Badan ............................................................... Konversi Ransum ............................................................................. Konsumsi Air Minum ......................................................................
4 4 5 6 7 8 10 11
METODE Lokasi dan Waktu ............................................................................ 13 Materi ............................................................................................... 13 Ternak .................................................................................. 13 Ransum ................................................................................ 13 Kandang ............................................................................... 14 Prosedur ........................................................................................... 16 Pembuatan Limbah Restoran ............................................... 16 Perlakuan.............................................................................. 16 Rancangan ............................................................................ 17 Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 17 Peubah yang Diamati ........................................................... 18
viii
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum .......................................................................... Pertambahan Bobot Badan ............................................................... Bobot Badan Akhir ......................................................................... Konversi Ransum ............................................................................. Konsumsi Air Minum ......................................................................
20 23 27 30 31
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...................................................................................... Saran ................................................................................................
33 33
UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
35
LAMPIRAN .................................................................................................
38
ix
DAFTAR TABEL Nomor 1. Konsumsi Air Minum Pada Ayam Broiler ......................................
Halaman 12
2. Komposisi Zat Makanan Limbah Restoran dan Dedak Padi............................................... ................................................... 14 3. Komposisi dan Kandungan Ransum Penelitian ( 0-5 minggu) ........
15
4. Rataan Konsumsi Ransum, Pertambahan Bobot Badan, Bobot Badan Akhir, Konversi Ransum dan Konsumsi Air Minum selama 5 Minggu 20 5. Rataan Suhu Mingguan Kandang Selama 5 Minggu Penelitian ......
22
6. Rataan Jumlah Asupan Zat Makanan Per-ekor Ayam Perlakuan Selama 5 Minggu Penelitian ............................................................ 23 7. Rasio Efisiensi Protein Ayam Perlakuan Selama 5 Minggu Penelitian.......................................................................................... 25
x
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Respon Fisiologis Ayam Broiler terhadap Cekaman Panas Modifikasi dari Swick (1993) ..........................................................
9
2. Alat Pengolah Limbah dengan sistem Environmental Recycling System (ERS)...................................................................................
16
3. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Broiler Setiap Minggu Selama 5 Minggu Penelitian............................................................................
20
4. Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Setiap Minggu Selama 5 Minggu Penelitian ..........................................................................
26
5. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Setiap Minggu Selama 5 Minggu Penelitian...........................................................................
27
6. Rataan Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Setiap Minggu Selama 5 Minggu Penelitian.......................................................................... 31
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Ransum .......................................
39
2. Hasil Uji Lanjut Konsumsi Ransum ................................................
39
3. Hasil Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan ...........................
39
4. Hasil Uji Lanjut Pertambahan Bobot Badan ....................................
39
5. Hasil Analisis Ragam Bobot Badan Akhir ......................................
39
6. Hasil Uji Lanjut Bobot Badan Akhir ...............................................
39
7. Hasil Analisis Ragam Konversi Ransum .........................................
40
8. Hasil Uji Lanjut Konversi Ransum ..................................................
40
9. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Air Minum ..................................
40
10. Hasil Uji Lanjut Konsumsi Air Minum ...........................................
40
11. Environtment Recycling System (ERS)...........................................
41
12. Skema ERS ......................................................................................
42
xii
PENDAHULUAN Latar Belakang Ayam broiler merupakan spesies ayam yang termasuk ke dalam spesies Gallus domesticus. Kelebihan ayam broiler ini yaitu memiliki pertumbuhan yang cepat, perdagingan yang baik dan mempunyai konversi pakan yang efisien. Untuk menunjang pertumbuhan tersebut diperlukan bahan makanan yang berkualitas tinggi supaya diperoleh hasil yang maksimal. Salah satu bahan makanan yang sering digunakan dalam formulasi ransum adalah dedak padi. Dedak padi merupakan hasil ikutan dari proses penyosohan dan pembersihan gabah padi (SNI, 1996). Tiga puluh persen dari gabah adalah beras sosoh dan 70% murni dedak. Dedak padi sangat kaya dengan minyak dan tinggi serat kasarnya sehingga dedak padi biasanya digunakan sebagai bahan makanan sumber energi. Di samping kelebihannya tersebut, dedak padi memiliki beberapa kekurangan, yaitu mudah teroksidasi, adanya inhibitor tripsin dan tingginya asam fitat. Bagi ayam, inhibitor tripsin dapat mengganggu katabolisme protein. Beberapa proteosa dan pepton dihancurkan oleh tripsin menjadi peptida, sehingga apabila ada inhibitor tripsin maka katabolisme protein akan terganggu. Tingginya asam fitat dapat menyebabkan ketersediaan fosfor sangat rendah sehingga pertumbuhan tertunda dan efisiensi pakan menurun. Selain itu ketersediaan dedak padi bersifat musiman, ketika musim penghujan produksi dedak padi melimpah namun ketika musim kemarau produksinya menurun. Oleh karena itu diperlukan pemecahan untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu menggantikan dedak padi dengan bahan lain. Bahan yang dapat digunakan untuk menggantikan dedak padi harus memiliki kandungan nutrisi yang sama atau lebih baik dari dedak padi. Menurut Yanis et al. (2000) limbah restoran memiliki kandungan nutrisi yang hampir sama dengan dedak padi, diantaranya kadar protein kasar 10,89%, lemak kasar 9,7%, serat kasar 9,13% (lebih rendah), kadar kalsium 0,08% dan fosfor 0,39% (lebih tinggi). Penelitian mengenai penggunaan limbah restoran sebagai bahan pakan pada ayam buras telah dilakukan Yanis et al. (2000) dan hasilnya menunjukkan bahwa limbah restoran dapat digunakan maksimal 75% dari total ransum ayam buras. Penelitian mengenai penggunaan limbah restoran terhadap ayam ras
khususnya ras pedaging perlu dilakukan. Limbah restoran memiliki peluang yang cukup besar untuk digunakan sebagai bahan pakan mengingat bahwa bahan ini tidak bersaing dengan kebutuhan manusia dan jumlahnya yang tidak tergantung musim. Di Jakarta Pusat terdapat 180 hotel berbintang, 109 hotel non bintang, dan 153 restoran dan kafe dengan rataan pengunjung kurang lebih sebesar 10.500.000 orang per tahun. Sebagai contoh produksi limbah restoran salah satu hotel berbintang yaitu hotel Sahid sebesar 40 ton per hari. Dari data ini dapat dilihat bahwa betapa besar jumlah limbah yang tidak termanfaatkan dengan optimal, sementara perunggasan nasional sedang bangkit kembali dari keterpurukan akibat penyakit flu burung, Apabila kedua peluang ini dapat dimanfaatkan dengan optimal bukan tidak mungkin akan diperoleh penghasilan yang lebih tinggi dari yang ada sekarang. Perumusan Masalah Usaha ayam broiler merupakan salah satu jenis usaha yang membutuhkan ketelitian karena banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha ini. Terdapat tiga kunci sukses dalam pemeliharaan ayam broiler, yaitu genetik, pakan dan manajemen. Biaya terbesar yang harus dikeluarkan adalah untuk pakan, karena untuk menunjang pertumbuhan yang cepat diperlukan pakan yang banyak. Bahan baku yang sering digunakan sebagai pakan ayam adalah jagung (40-50%), bungkil kedelai (10-15%) dan sisanya bahan lain dengan porsi yang sangat sedikit (Poultry Indonesia, 2006). Amrullah (2004) menyatakan bahwa penggunaan dedak padi untuk ayam broiler maksimal sebesar 15%. Jagung dan dedak biasa digunakan sebagai sumber energi. Produksi dedak padi di Indonesia mencapai 3,5 ton per tahun (Busro, 2005). Dedak mengandung minyak dan serat kasar yang cukup tinggi. Karena kandungan minyaknya yang tinggi maka dedak padi sangat mudah mengalami ketengikan oksidatif. Jika dedak padi digunakan hingga taraf lebih dari 40% maka pertumbuhan sering tertunda dan efisiensi pakan menurun, oleh adanya inhibitor tripsin dan tingginya asam fitat. Asam fitat dapat mengikat mineral bervalensi dua sehingga ketersediaannya berkurang. Inhibitor tripsin mudah dihancurkan oleh panas, tetapi asam fitat lebih tahan, sehingga ketersediaan fosfornya sangat rendah dan dapat mengganggu keseimbangan Ca:P. Di samping
2
masalah di atas, saat ini banyak pemalsuan dedak melalui cara pencampuran dedak salah satunya dengan kulit ari kedelai yang dihaluskan sehingga serat kasarnya semakin tinggi. Ternak unggas tidak bisa mencerna serat kasar sebagaimana layaknya ternak ruminansia karena pada saluran pencernaan unggas tidak terdapat enzim selulase sebagai pencerna serat. Oleh karena itu diperlukan alternatif bahan makanan lain yang memiliki kualitas sama atau lebih dari dedak. Limbah restoran merupakan salah satu bahan makanan yang dapat diujicobakan kepada ternak unggas untuk menggantikan penggunaan dedak padi karena penggunaannya tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, mudah didapat dan harganya murah. Limbah restoran ini terdiri atas nasi, daging, tulang dan sayuran. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas penggunaan limbah restoran dalam menggantikan dedak padi dalam ransum ayam broiler .
3
TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler Ayam broiler merupakan ayam yang telah mengalami seleksi genetik (breeding) sebagai penghasil daging dengan pertumbuhan yang cepat sehingga waktu pemeliharaannya lebih singkat, pakan lebih efisien dan produksi daging tinggi (Ensminger, 1991). Menurut Amrullah (2004), ayam broiler adalah ayam yang mempunyai ciri khas yaitu tingkat pertumbuhannya yang cepat sehingga dalam waktu singkat sudah dapat dipasarkan kepada konsumen. Pada umur 4 minggu ayam sudah dapat dipasarkan dengan bobot badan kira-kira 0,8-1,0 kg, bahkan terkadang bisa lebih dari itu. Bobot hidup 2,1 kg dicapai pada umur 6 minggu untuk ayam broiler jantan dan 1,7 kg untuk ayam broiler betina pada tahun 1994, sedangkan pada tahun 1984 bobot badan tersebut dicapai pada umur 7 minggu pada program pemberian ransum yang sama (NRC, 1984 dan 1994). Ayam broiler jantan dan betina dipasarkan dengan bobot 1,8-2,0 kg (umur < 8 minggu) dalam bentuk karkas atau potongan komersial karkas dan juga dijual hidup (NRC, 1994). Keunggulan dari ayam broiler tersebut dipengaruhi oleh sifat genetik dan keadaan lingkungan, meliputi pakan, temperatur lingkungan dan cara pemeliharaan atau manajemen. Ransum Ayam Broiler Ransum merupakan kumpulan bahan makanan yang layak dimakan oleh ayam dan telah disusun mengikuti aturan tertentu (Piliang, 2006). Aturan itu meliputi kebutuhan gizi bagi ayam dan nilai kandungan gizi dari bahan makanan yang digunakan (Sutardi, 1981). Bahan makanan yang tersedia dan terbanyak dimakan oleh bangsa unggas terutama ayam berasal dari biji-bijian, limbah pertanian dan sedikit dari hasil hewani dan perikanan, yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, mudah didapatkan dan harganya relatif murah, seperti bekatul, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil kacang, bungkil kacang kedelai, tepung ikan, jagung kuning, lemak dan minyak (Rasyaf, 1992). Jagung memegang porsi terbesar dalam penyusunan ransum yaitu 40-50%, bungkil kedelai 10-15% dan sisanya bahan lain dengan porsi yang sangat sedikit (Poultry Indonesia,
4
2006). Amrullah (2004) menyatakan bahwa penggunaan dedak padi untuk ayam broiler maksimal sebesar 15%. Dedak Padi Dedak padi diperoleh dari penggilingan padi menjadi beras. Banyaknya dedak padi yang dihasilkan tergantung pada cara pengolahan. Sebanyak 14,44% dedak kasar, 26,99% dedak halus, 3% bekatul dan 1-17% menir dapat dihasilkan dari berat gabah kering. Menurut Busro (2005) produksi dedak padi di Indonesia mencapai 3,5 ton per tahun. Dedak padi cukup disenangi ternak tetapi pemakaian dedak padi dalam ransum ternak umumnya hanya sampai 15% dari campuran konsentrat karena dedak padi memiliki zat anti nutrisi inhibitor tripsin dan asam fitat (Amrullah, 2004). Inhibitor tripsin dapat menghambat katabolisme protein, karena beberapa proteosa dan pepton dihancurkan oleh tripsin menjadi peptida sehingga apabila terganggu maka ketersediaan asam amino menjadi menurun (NRC, 1994). Asam fitat dapat menyebabkan ketersediaan fosfor menjadi rendah sehingga pertumbuhan tertunda dan efisiensi pakan menurun (Sutardi, 1980). Asam fitat atau phytin pada dedak mencapai 89,9% yang membentuk ikatan kompleks dengan beberapa mineral seperti seng, kalsium, zat besi dan magnesium (Houston, 1972). Pembatasan ini dilakukan karena pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dapat menyebabkan susahnya pengosongan saluran pencernaan karena sifat pencahar pada dedak. Selain itu, pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dalam campuran konsentrat dapat memungkinkan ransum tersebut mudah mengalami
ketengikan
oksidatif
selama
penyimpanan.
Winarno
(1992)
menyatakan bahwa ketengikan oksidatif disebabkan oleh auto oksidasi radikal asam lemak tidak jenuh dalam lemak. Auto oksidasi dimulai dengan pembentukan radikal-radikal bebas, lalu radikal ini dengan oksigen membentuk peroksida aktif yang dapat membentuk hidroperoksida yang bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek (asam lemak, aldehida, keton) yang bersifat volatil dan menimbulkan bau tengik pada lemak. Secara kualitatif kualitas dedak padi dapat diuji dengan menggunakan bulk density ataupun uji apung. Bulk density dedak padi yang baik adalah 337,2 – 350,7 g/l. Makin banyak dedak padi yang mengapung, makin jelek kualitas dedak
5
padi tersebut. Selain itu uji organoleptik seperti tekstur, rasa, warna, bau dan uji sekam (flouroglusinol) dapat digunakan untuk mengetahui kualitas dedak padi yang baik. Bau tengik merupakan indikasi yang baik untuk dedak yang mengalami kerusakan. Dedak padi yang berkualitas baik mempunyai protein ratarata dalam bahan kering adalah 12,9%, lemak 13% dan serat kasar 11,4% (NRC, 1994). Dedak padi menyediakan protein yang lebih berkualitas dibandingkan dengan jagung. Dedak padi kaya akan thiamin dan sangat tinggi dalam niasin. Limbah Restoran Limbah pada dasarnya berarti suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat dikatakan mempunyai nilai ekonomi negatif. Limbah umumnya dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu limbah cair, padat dan gas. Limbah restoran merupakan limbah padat yang secara teknis terdiri dari bahan-bahan organik mudah busuk (garbage), terdiri dari sisa dapur, sisa makanan, sampah sayuran dan kulit buah-buahan (Murtadho dan Said, 1988). Pengolahan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi limbah tersebut adalah dengan melakukan pengomposan supaya dihasilkan produk yang memiliki nilai guna. Pengomposan secara alamiah memerlukan waktu yang cukup lama sekitar 14 hari, namun dengan sistem baru yang telah dikembangkan Jepang waktu pengomposan dapat lebih cepat, yaitu dengan sistem Environmental Recycling System (ERS). Metode ini menggunakan alat yang di dalamnya terdapat mesin giling, mesin pencampur dan dialiri dengan uap panas bersuhu 36-37oC lalu masuk ke dalam mesin pengering bersuhu 70-80oC. Waktu yang dibutuhkan dalam satu proses pengolahan lebih singkat yaitu 2 jam. Pada proses pengolahan ini terjadi fermentasi oleh mikroba akar bambu. Suhu pengolahan pangan yang baik menurut Winarno (1992) sekitar 60oC. Pada suhu ini bakteri, kapang dan jamur tidak dapat tumbuh serta tidak akan terjadi denaturasi protein. Apriyantono (2002) menyatakan bahwa protein dapat terdenaturasi (rusak) pada kisaran suhu 60-90oC. Penelitian mengenai limbah restoran telah dilakukan Yanis et al. (2000) dan dilaporkan bahwa pemberian limbah restoran sampai dengan 75% ke dalam ransum ayam buras tidak menunjukkan pengaruh yang negatif. Ransum ayam
6
yang digunakan meliputi 33% jagung, 33% dedak padi, 33% ransum broiler finisher, 0,2% starbio dan 1% vitamin dan mineral. Kandungan gizi limbah restoran tersebut adalah 10,89% protein kasar, 9,13% serat kasar, 9,70% lemak kasar, 0,08% kalsium, 0,39% fosfor dan 1780 kkal/kg energi metabolis. Penggunaan limbah restoran dalam pakan ayam buras antara 50% sampai dengan 75% dapat menekan biaya produksi 23,42% sampai dengan 35,13%. Konsumsi Ransum Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dimakan oleh ternak dalam jangka waktu tertentu dan ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat nutrisi lain (Wahju, 1992). Tinggi rendah konsumsi pakan pada ternak unggas sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan) dan faktor internal (kondisi ternak itu sendiri) (NRC, 1994). Tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi yaitu semakin tinggi energi ransum akan menurunkan konsumsi (Wahju, 1992). Energi oleh unggas digunakan untuk hidup dan untuk produksi (Leeson dan Summers, 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah bentuk fisik ransum, kecepatan pertumbuhan atau produksi telur, umur ternak, strain, stres dan ukuran tubuh (NRC, 1994). Pond et al. (1995) menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum adalah palatabilitas, kadar nutrisi ransum dan ukuran tubuh ayam. Palatabilitas dipengaruhi oleh bau, rasa, warna dan bentuk (Bappenas, 2000). Laksmiastuti (2005) menyatakan bahwa bau amis yang berlebihan pada ayam broiler dapat menurunkan konsumsi ransum. Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa rasa tidak mempengaruhi konsumsi ransum pada ayam broiler, tetapi faktor warna yaitu kuning lebih disukai oleh ayam broiler. Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa konsumsi ditentukan juga oleh aktivitas dan suhu lingkungan. Lott dan Simmon (2000) menyatakan bahwa temperatur lingkungan juga dapat mempengaruhi tingkat konsumsi, dimana pengaruh suhu lingkungan terlihat dengan menurunnya konsumsi ransum ketika suhu lingkungan di sekitar ternak meningkat. Suhu netral untuk ayam broiler berkisar antara 22-30oC (Appleby et al., 2004). Menurut Payne (1990) titik kritis suhu bagi ayam broiler adalah 27oC. Di Indonesia suhu netral untuk ayam
7
berkisar antara 19-27oC (Amrullah, 2004). Appleby et al. (2004) menyatakan bahwa cahaya berpengaruh terhadap konsumsi ransum. Ayam lebih menyukai makan dengan intensitas cahaya sebesar 200 lux. North dan Bell (1990) menyatakan selain faktor-faktor diatas, konsumsi ransum juga dipengaruhi oleh bobot badan, aktivitas ternak, mortalitas dan kandungan energi dalam ransum. Menurut Tillman et al. (1998) pemberian air minum yang kurang akan mengakibatkan berkurangnya konsumsi pakan. Wahju (1992) menyatakan bahwa ternak akan mencapai penampilan produksi yang optimum sesuai dengan genetiknya, apabila mendapatkan zat-zat makanan yang sesuai dengan kebutuhan yang diperoleh dengan cara mengkonsumsi sejumlah ransum tertentu. Rose (1997) mengemukakan bahwa unggas mengkonsumsi ransum kira-kira setara dengan 5% dari bobot badannya. Pertambahan Bobot Badan Ensminger (1991) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah suatu proses peningkatan ukuran tulang, otot, organ dalam dan bagian tubuh lainnya yang terdapat sebelum lahir dan sesudah lahir sampai mencapai tubuh dewasa. Salah satu kriteria untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan pengukuran pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan diartikan sebagai kemampuan untuk mengubah zat-zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Menurut Amrullah (2004) laju pertumbuhan yang cepat diimbangi dengan konsumsi makanan yang banyak. Rose (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan meliputi peningkatan ukuran sel-sel tubuh dan peningkatan ukuran sel-sel individual. Kecepatan pertumbuhan diukur dengan melakukan penimbangan berulang setiap hari, minggu atau bulanan (Tillman et al., 1998). Kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, selain faktor lingkungan seperti suhu dan aliran udara (Simmons et al., 1997) juga tergantung pada tipe ayam, strain, jenis kelamin, umur hewan, keseimbangan ransum dan jumlah ransum yang dikonsumsi (North dan Bell, 1990). Pertumbuhan erat kaitannya dengan konsumsi. Leeson dan Summers (1997) menjelaskan bahwa pada temperatur lingkungan yang tinggi, ayam akan melakukan aktivitas panting yang akan mengurangi aktivitas makan. Penurunan konsumsi ransum ini tentu saja akan
8
mempengaruhi pertumbuhan. Selain itu pertambahan bobot badan juga dipengaruhi oleh kandungan zat nutrisi ransum dan kondisi ternak. Pertambahan bobot badan ini akan menentukan bobot badan akhir yang dihasilkan. Respon fisiologis ayam broiler terhadap cekaman panas disajikan pada Gambar 1.
Kondisi Lingkungan Panas dan lembab Mengurangi aktivitas
Panting Alkalosis Pernapasan
Mengurangi konsumsi pakan
Ketidakseimbangan asam basa
Defisiensi nutrisi PBB turun Efisiensi turun Mortalitas naik Keuntungan turun
Gambar 1. Respon Fisiologis Ayam Broiler terhadap Cekaman Panas Modifikasi dari Swick (1993) D’Mello (2000) menyatakan bahwa kadar kalsium dalam makanan juga berpengaruh terhadap bobot badan. Semakin tinggi kalsium dalam makanan maka berat badan ternak akan menurun (Kamal, 1981). Kalsium mempunyai efek negatif terhadap permeabilitas sel-sel usus terhadap absorpsi glukosa (Piliang, 2006). Kalsium yang berlebih tidak akan diserap tubuh tapi bergabung dengan fosfor membentuk trikalsiumfosfat yang tidak dapat larut dan keluar bersama ekskreta yang menyebabkan defisiensi unsur fosfor (Anggorodi, 1979). McDowell (1992) menyatakan bahwa perbandingan Ca dan P yang direkomendasikan untuk ayam pedaging yaitu 1:1 hingga 2:1. Penyerapan Ca dan P bertempat di duodenum melalui proses transpor aktif maupun difusi. Fosfor cepat diserap yaitu dalam waktu lima menit setelah mencapai duodenum, dan efisiensi penyerapan tergantung pada beberapa faktor dari ransum, bentuk dan cara pencernaan makanan, pH usus halus, rasio Ca:P dan jumlah vitamin D yang tersedia (Refnita, 1990). Refnita (1990) menyatakan bahwa peningkatan fosfor dari 0,48% menjadi
9
0,7% (diantaranya 0,3% fosfor berasal dari tanaman) akan menyebabkan naiknya bobot badan dan abu tulang. Batas maksimum level Ca dan P yang bersifat racun bagi ayam masing-masing adalah 1,2% dan 1% (McDowell, 1992). Kelebihan kalsium dapat menyebabkan kelainan tulang, mengurangi konsumsi pakan dan mengurangi bobot badan. Level Ca yang
berlebihan dapat juga mengurangi
efisiensi penggunaan mineral lain. Kelebihan Ca dapat menyebabkan defisiensi beberapa mineral esensial seperti P, Mg, Fe, I, Zn, dan Mn (NRC, 1994). Konversi Ransum Konversi ransum adalah perbandingan antara konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh selama waktu tertentu. Konversi ransum yang tinggi menunjukan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk meningkatkan bobot badan per satuan berat, sedangkan semakin rendah angka konversi ransum berarti kualitas ransum semakin baik. Konversi ransum ini digunakan untuk mengukur produktivitas ternak (Lacy dan Vest, 2004). Angka konversi yang baik adalah dibawah 2 (NRC, 1994). Menurut NRC (1994) konversi ransum merupakan hubungan antara ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu satuan bobot badan. Konversi ransum melibatkan pertumbuhan ayam dan konsumsi ransum. Suhu, ventilasi kandang, kualitas air, penyakit dan pengobatannya, manajemen pemeliharaan dan penerangan akan mempengaruhi nilai konversi (Lacy dan Vest, 2004). Manajemen pemeliharaan meliputi cara pemberian pakan dan air minum, kontrol suhu, kepadatan kandang dan pengawasan kesehatan (Infovet, 2005). Konversi ransum berkaitan erat dengan pertambahan bobot badan sehingga faktor-faktor yang berpengaruh pada konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan akan berpengaruh juga pada konversi ransum. Faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah genetik, kualitas pakan, jenis ransum, penyakit, temperatur, sanitasi kandang, ventilasi, pengobatan dan manajemen kandang. Selain itu faktor pemberian pakan dan penerangan juga ikut andil dalam mempengaruhi konversi ransum. Kemudian laju perjalanan ransum dalam saluran pencernaan serta bentuk fisik pakan dan komposisi nutrien ransum juga mempengaruhi nilai konversi ransum (Anggorodi, 1995).
10
Konsumsi Air Minum Air minum merupakan salah satu bahan makanan terpenting karena hampir 75% tubuh ayam muda, 50% tubuh ayam dewasa terdiri atas air. Air tidak dicerna terlebih dahulu sebelum diabsorpsi dari usus halus. Air tidak mensuplai energi untuk pertumbuhan, pemeliharaan atau untuk kerja fisik, tetapi sebagai zat yang mempunyai sifat-sifat kima dan fisik yang unik (Piliang, 2006). Air berfungsi dalam pengangkutan zat makanan dalam tubuh, pembuangan hasil sisa dan pengaturan suhu. Ayam membutuhkan air yang bersih, segar dan dingin secara bertahap untuk pertumbuhan, produksi dan efisiensi penggunaan ransum. Seekor ternak dapat melangsungkan hidupnya hanya dengan mengambil kebutuhan dari sektor pakan, namun itu hanya pada batas kurun waktu tertentu. Tanpa air ternak akan mati hanya dalam beberapa hari (Wahju, 1992). Menurut NRC (1994) konsumsi air minum akan bertambah sekitar 7% setiap peningkatan suhu 1oC di atas 21oC. Konsumsi air minum ayam broiler menurut NRC (1994) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Konsumsi Air Minum pada Ayam Broiler Umur (minggu)
Konsumsi air minum (ml/ekor)
1
225
2
480
3
725
4
1000
5
1250
Sumber: NRC (1994)
Wahju (1992) menyatakan bahwa jumlah air yang dikonsumsi oleh ayam tergantung dari beberapa faktor diantaranya adalah jumlah makanan yang dikonsumsi, suhu dan kelembaban lingkungan, aktivitas ayam dan sifat dari makanan yang dikonsumsi terutama kandungan air, garam dan kandungan protein. Willyanto (1997) menyatakan bahwa konsumsi air minum pada unggas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor keasaman, dimana pH yang mampu ditoleransi oleh unggas adalah sekitar 5-8. Kekurangan air dalam tubuh ayam dapat mengganggu pertumbuhan, kesehatan dan produksi ayam
11
tersebut. Kekurangan air sekitar 20% atau lebih akan menghasilkan penurunan yang nyata dalam efisiensi penggunaan pakan dan suatu penurunan sebanding dalam laju pertumbuhan broiler (Wahju, 1992).
12
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 19 Januari 2006 sampai 23 Februari 2006, di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Materi Ternak Penelitian ini menggunakan 120 ekor anak ayam broiler umur sehari (DOC) tipe berat strain Cobb 500 yang diperoleh dari PT. Sierad Breeding Farm dan dipelihara selama 5 minggu. Limbah Restoran Limbah restoran yang digunakan merupakan produk pupuk yang dihasilkan oleh hotel Sahid. Ransum Ransum percobaan dibuat di PT. Indofeed serta kebutuhannya disusun berdasarkan NRC (1994) dengan kandungan Energi Metabolis 3200 kkal/kg dan protein kasar 23 % dengan bentuk ransum tepung (mash). Komposisi zat makanan limbah restoran dan dedak padi disajikan pada Tabel 2 serta komposisi dan kandungan zat makanan ransum penelitian disajikan pada Tabel 3. Ransum yang digunakan tersebut menggunakan bahan baku jagung kuning, bungkil kedelai, tepung ikan, tepung daging, limbah restoran, dedak padi, CPO (Crude Palm Oil) dan premiks. Pemberian ransum dilakukan ad libitum setiap hari dan konsumsi ransum diukur setiap minggu.
13
Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Limbah Restoran dan Dedak Padi Nama Komponen
Limbah Restoran1
Dedak Padi2
Bahan Kering (%)
100
100
Abu (%)
8,88
13,85
Protein Kasar (%)
15,29
14,17
Serat Kasar (%)
8,97
12,53
Lemak Kasar (%)
7,73
14,29
Beta-N (%)
59,12
50,22
Ca (%)
1,63
0,08
P tersedia (%)
0,70
0,24
Na (%)
0,20
0,08
Cl (%)
0,33
0,08
Energi Bruto (kkal/kg)
2760
-
Energi Metabolis (kkal/kg)
17803
2980
Keterangan: Hasil Analisa Laboratorium Teknologi Pakan, Fapet IPB (2006)1 NRC (1994)2 Yanis et al. (2000)3
Kandang Kandang yang digunakan merupakan kandang sistem litter yang menggunakan sekam padi. Kandang tersebut dibagi menjadi 12 unit dengan ukuran 1 m x 1 m untuk 10 ekor ayam yang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat air minum dan pemanas buatan (lampu pijar 60 watt).
14
Tabel 3. Komposisi dan Kandungan Ransum Penelitian (0-5 Minggu) Bahan Makanan
Ransum Perlakuan P1 P2 P3 ------------------------- (%) ------------------------46,9 46,9 46,9
Jagung Kuning Dedak Padi
13
6,2
0
Limbah Restoran
0
6,2
12
CPO
5,7
6,3
6,7
Tepung Ikan
10
10
10
Tepung Daging
10
10
10
Bungkil Kedelai
14,3
14,3
14,3
Premiks
0,1
0,1
0,1
Jumlah
100
100
100
3206,40
3200,30
Kandungan zat makanan Energi Metabolis (kkal/kg)1 3200,65 Energi Bruto (kkal/kg)
2
4085
4002
3940
Energi Metabolis (kkal/kg)
3
2859,50
2801,40
2758,00
Energi Metabolis (kkal/kg)
4
3606,72
3339,74
3420,57
Protein kasar (%)1
23,02
22,92
22,85
Protein kasar (%)2
23,28
21,94
22,93
Lemak Kasar (%)1
9,99
10,09
10,06
Lemak Kasar (%)2
5,01
4,66
4,24
1
4,01
3,69
3,42
2
4,22
4,37
3,38
1,50
1,58
1,65
0,38
0,40
0,45
0,40
0,40
0,40
Serat Kasar (%)
Serat Kasar (%) Kalsium (%)
1
Fosfor tersedia (%) NaCl (%)1
1
Keterangan : 1. Berdasarkan perhitungan NRC (1994) 2. Analisa di Laboratororium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fapet IPB (2006) 3. Nilai Pendugaan Energi Metabolis berdasarkan 72% Energi Bruto (Amrullah, 2004) 4. Nilai Energi Metabolis Semu terkoreksi Nitrogen (Hapsari, 2006)
15
Prosedur Pembuatan Limbah Restoran Limbah restoran segar dikumpulkan lalu dipisahkan berdasarkan sifat bahannya, organik atau anorganik. Bahan anorganik meliputi plastik, tusuk gigi, logam, kerikil dan tali rafia. Limbah organik hasil sortiran lalu dimasukkan ke dalam alat pengolah limbah menjadi kompos melalui sistem Environmental Recycling System (ERS) yang di dalamnya terdapat alat penggiling dan pencampur sambil dialiri udara panas bersuhu 36-37o, lalu masuk ke dalam alat pengering bersuhu 70-80oC. Hasil yang diperoleh berupa limbah restoran kering yang berwarna coklat dan berbau amis. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan satu kali proses pengolahan adalah 2 jam. Alat pengolah limbah dengan sistem ERS disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Alat Pengolah Limbah dengan sistem Environmental Recycling System (ERS). Perlakuan Ransum perlakuan yang diberikan adalah: P1
= Ransum dengan dedak 13%, tanpa limbah restoran (kontrol)
P2
= Ransum dengan komposisi dedak padi 6,2% dan limbah restoran 6,2%
P3
= Ransum dengan kandungan limbah restoran 12%, tanpa dedak padi
16
Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 4 ulangan, masingmasing ulangan terdiri dari 10 ekor DOC. Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = µ + τi + εij Keterangan : Yij
= Respon percobaan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ
= Rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ke-i
εij
= Galat perlakuan ke-i ulangan ke-j
Data yang diperoleh dari hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Steel dan Torrie, 1995). Pelaksanaan Penelitian Persiapan Kandang. Sebelum anak ayam datang, kandang ayam dan peralatan kandang dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan desinfektan, lalu sekeliling kandang ditutup dengan tirai plastik. Setelah itu, dilakukan pengapuran pada dinding dan lantai kandang. Dua hari kemudian setelah kapur kering dilakukan penaburan sekam dan penyemprotan desinfektan kembali ke seluruh ruangan kandang dan dibiarkan selama 2 minggu dengan tujuan untuk memutus siklus mikroorganisme di dalam kandang. Anak ayam dipelihara dalam kandang berlantai litter dan dibagi ke dalam 12 unit, tiap unit terdiri dari 10 ekor. Pembagian dilakukan secara acak dan tiap unit mendapatkan perlakuan ransum yang acak pula. Penanganan Anak Ayam. DOC yang baru datang diberi air gula sebagai sumber energi untuk memulihkan kondisi DOC akibat stres pengangkutan. Cara pembuatan air gula yaitu gula pasir sebanyak 250 gram dimasak dengan satu liter air sumur lalu didinginkan dan diberikan pada anak ayam. Pemeliharaan Ayam. Pada umur tiga hari pertama diberikan ransum perlakuan yang ditebarkan di atas koran dalam jumlah sedikit untuk mengenalkan ransum
17
dan sebagian lainnya ditempatkan pada tempat pakan. Ransum dan air minum diberikan ad libitum. Air minum ditambah obat anti stres dan vitamin selama tiga hari pemeliharaan, serta sebelum dan sesudah penimbangan serta vaksinasi. Pemberian vitamin diberikan pada minggu pertama. Alat pemanas berupa lampu pijar 60 watt dipasang di atas kandang ayam yang digunakan sampai umur dua minggu, setelah itu hanya dinyalakan pada malam hari sebagai alat penerang. Vaksinasi. Vaksinasi dilakukan tiga kali yaitu vaksin ND I strain La Sota (umur 4 hari), Gumboro strain B1 (umur 10 hari) dan ND II strain La Sota (umur 28 hari). Cara memberikan vaksin ND I dan gumboro (melalui air minum) yaitu vaksin dosis 500 ekor dilarutkan ke dalam 5 liter air sumur lalu dibuang 3 liter karena ayam yang dipelihara hanya 200 ekor. Sebelum diberikan vaksin, ayam dipuasakan dari air minum selama kurang lebih 2 jam dan setelah 2 jam pemberian vaksin, habis atau tidak vaksin diangkat dan ayam diberi air minum yang sudah ditambah vitastres. Vaksinasi ND II (melalui tetes mata) yaitu vaksin dosis 200 ekor dilarutkan ke dalam larutan dapar kemudian satu persatu anak ayam diteteskan vaksin sebanyak satu tetes pada salah satu mata. Pengukuran Kinerja Produksi Ayam. Penimbangan konsumsi dan bobot ayam broiler dilakukan setiap minggu selama 5 minggu penelitian. Peubah yang Diamati Peubah yang akan diamati meliputi : 1. Konsumsi ransum (g/ekor) Konsumsi ransum dihitung dari selisih ransum yang diberikan dengan sisa ransum selama pemeliharaan. 2. Pertambahan bobot badan (g/ekor) Pertambahan bobot badan dihitung dari selisih antara bobot badan akhir dengan bobot badan awal ayam broiler selama pemeliharaan. 3. Bobot badan akhir (g/ekor) Bobot badan akhir yang digunakan adalah bobot badan ayam umur lima minggu.
18
4. Konversi ransum Konversi ransum dihitung dari jumlah ransum yang dikonsumsi selama pemeliharaan dibagi dengan pertambahan bobot badan. 5. Konsumsi Air Minum (ml/ekor) Konsumsi air minum dihitung dari selisih air minum yang diberikan dengan sisa air minum selama pemeliharaan
19
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian tepung limbah restoran terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, bobot badan akhir, konversi ransum dan konsumsi air minum disajikan pada Tabel 4. Tabel 4.
Rataan, Konsumsi Ransum, Pertambahan Bobot Badan, Bobot Badan Akhir, Konversi Ransum dan Konsumsi Air minum selama 5 Minggu Penelitian
Peubah
Perlakuan P1
Konsumsi Ransum (g/ekor)
P2
1267,98C± 9,73
1906,03A± 27,01 1503,95B±25,87
Pertambahan Bobot Badan (g/ekor) 591,8B±20,68 Bobot Badan Akhir (g/ekor)
635,75B ±21,76
Konversi Ransum
824,05A±73,55
616,575B±56,82
869,50A ±73,5
660,75 B±56,78
2,32±0,32
2,44±0,39
2,14±0,10
Konsumsi Air Minum (ml/ekor)
P3
2567,63C ±8,43
3690,88A ±12,81 3149,80B±14,14
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Konsumsi Ransum Konsumsi ransum merupakan indikator yang terkait dengan pertumbuhan. Berdasarkan analisis ragam, perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi ransum. Rataan konsumsi ransum ayam broiler setiap
(g/ekor/minggu)
Konsumsi Ransum
minggu selama 5 minggu penelitian disajikan dalam Gambar 3. 800 600
P1
400
P2
200
P3
0 1
2
3
4
5
Umur (minggu) Keterangan : P1 = Ransum dengan proporsi dedak 13% dan limbah restoran 0%(kontrol) P2 = Ransum dengan proporsi dedak padi 6,2% dan limbah restoran 6,2% P3 = Ransum dengan proporsi dedak padi 0% dan limbah restoran 12%
Gambar 3. Rataan Konsumsi Ransum Ayam Broiler Setiap Minggu Selama 5 Minggu Penelitian
20
Uji beda nyata terkecil (BNT) menunjukan nilai konsumsi ransum perlakuan pemberian 6,2% limbah restoran (P2) lebih besar (P<0,01) dari perlakuan kontrol (tanpa limbah restoran) (P1) dan pemberian 12% limbah restoran (P3). Level konsumsi pakan pada ternak unggas sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan) dan faktor internal (kondisi ternak itu sendiri) (NRC, 1994). Konsumsi ransum dipengaruhi oleh palatabilitas ransum, kandungan nutrisi ransum dan bobot badan, sedangkan palatabilitas sendiri diindikasikan dengan faktor bau, rasa dan warna (Pond et al. 1995). Penambahan tepung limbah restoran dalam ransum sampai batas tertentu dapat menarik perhatian ayam untuk makan yang disebabkan bau khas dari limbah restoran. Limbah restoran mempunyai bau amis yang sangat menyengat sehingga diduga aroma ini mempengaruhi konsumsi ransum ayam broiler sehingga pada perlakuan P2 lebih tinggi dibanding P3. Laksmiastuti (2005) menyatakan bahwa bau amis yang berlebihan dapat menekan konsumsi ransum ayam broiler. Rendahnya konsumsi pada perlakuan P1 bisa dikarenakan keambaan bahan yang digunakan dalam ransum, dimana pada perlakuan P1 digunakan dedak padi yang lebih amba dibandingkan dengan limbah restoran. Keambaan ini dikarenakan tingginya faktor serat kasar dalam bahan tersebut. Serat kasar dalam dedak padi adalah 12,53% (NRC, 1994) dan limbah restoran 8,97% dalam 100% bahan kering. Semakin tinggi keambaan maka akan mempercepat timbulnya keregangan pada tembolok yang menyebabkan ayam berhenti mengkonsumsi ransum. Amrullah (2004) menyatakan bahwa konsumsi ransum juga ditentukan oleh penuh tidaknya tembolok. Di samping itu, ayam pada perlakuan P1 lebih sedikit mengkonsumsi ransum paling sedikit dimungkinkan karena energi metabolis ransum tersebut paling besar. Wahju (1992) menyatakan bahwa tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi yaitu semakin tinggi energi ransum akan menurunkan konsumsi. Nilai energi metabolis ransum perlakuan adalah 3606,72 kkal/kg (P1), 3339,74 kkal/kg (P2) dan 3420,57 kkal/kg (P3). Pada Perlakuan P2 dan P3, untuk mencukupi kebutuhan energi yang sama diperlukan konsumsi yang lebih tinggi. Konsumsi ransum total selama penelitian berkisar antara 1267,98±9,73 sampai dengan 1906,03±27,01 g/ekor. Konsumsi Ransum total selama 5 minggu
21
pemeliharaan lebih rendah dibandingkan dengan standar NRC (1994) yaitu sebesar 2402 g/ekor. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan ransum dan lingkungan sekitar yang bisa menyebabkan terjadinya stres terhadap ternak yang terkait dengan masalah temperatur kandang dan sistem pembuangan panas kandang. Ransum yang digunakan oleh NRC (1994) menggunakan ransum dengan kandungan energi metabolis 3200 kkal/kg selama 5 minggu dan protein kasar 23% untuk fase starter (0-3 minggu) dan 20% untuk finisiher (3-5 minggu), sementara ransum perlakuan memiliki kandungan energi metabolis dan protein kasar yang berbeda untuk tiap perlakuan serta ransum tersebut digunakan dari mulai fase starter hingga finisher sehingga menghasilkan konsumsi pakan yang lebih rendah. Hal ini terkait dengan imbangan energi dan protein ransum. Pada fase starter ransum memiliki imbangan energi dan protein yang lebih kecil dibandingkan fase finisher karena pada fase starter merupakan periode awal pertumbuhan dimana pada periode ini ayam tumbuh sangat cepat, sehingga apabila diberikan ransum dengan kualitas nutrisi yang baik maka pertumbuhan akan optimal. Di samping itu standar suhu lingkungan kandang pada daerah 4 musim yaitu sekitar 22-30oC (Appleby et al., 2004). Suhu yang tinggi dapat menurunkan konsumsi ransum (Leeson dan Summers, 2001). Rataan suhu mingguan kandang selama 5 minggu penelitian disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Suhu Mingguan Kandang Selama 5 Minggu Penelitian Minggu
Suhu Minimum (oC)
Suhu Maksimum (oC)
1
23,9
31,1
2
23,1
30,6
3
23,4
31,6
4
23,4
31,7
5
24,3
34,4
Rataan
23,6
31,9
Pada suhu lingkungan di atas 27oC, ayam mulai menggunakan energi lebih banyak sebagai usaha agar tetap nyaman. Ayam mulai memelarkan pembuluh darah tertentu untuk mengalirkan darah lebih banyak ke jengger, gelambir, kaki dan lainnya dalam usaha untuk meningkatkan kapasitas
22
pendinginan. Jika suhu lingkungan tinggi, yang lebih mudah diamati yaitu ditandai panting (meningkatkan frekuensi pernapasannya), dan sayap turun begitu suhu mulai meningkat sehingga luas permukaan tubuh meningkat dan udara mudah mengalir bebas menyentuh kulit dan menyerap lalu membuang panas (Amrullah, 2004). Appleby et al. (2004) menyatakan bahwa thermonetral zone untuk ayam broiler berkisar antara 22-30oC di daerah 4 musim. Keprihatinan utama di bawah kondisi cuaca panas adalah kemampuan ayam untuk mengkonsumsi ransum menurun dan konsumsi air minum meningkat. Titik kritis atas bagi ayam di daerah tropis adalah 27oC (Payne, 1990). Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan salah satu cara untuk mengukur pertumbuhan. Rata-rata pertambahan bobot badan total selama 5 minggu berkisar antara 591,8±20,68 g/ekor sampai 824,05±73,55 g/ekor. Nilai rataan ini jauh lebih rendah dibanding dengan standar untuk ayam broiler yang dipelihara berbaur antara jantan dan betina selama 5 minggu yaitu sebesar 1460 g (NRC, 1994). Hal ini berhubungan erat dengan asupan zat nutrisi dalam ransum yang dikonsumsi oleh ayam dan bentuk ransum yang digunakan. Tabel 6 memperlihatkan asupan zat nutrisi ransum selama penelitian. Tabel 6. Rataan Jumlah Asupan Zat Makanan Per-Ekor Ayam Perlakuan Selama 5 Minggu Penelitian Zat Makanan
P1
P2
P3
5179,70
7786,80
5925,56
Energi metabolis (kkal/ekor) 4573,23
6365,65
5144,37
Protein kasar (g/ekor)
295,20
443,72
344,86
Lemak kasar (g/ekor)
63,50
88,82
63,77
Serat kasar (g/ekor)
53,50
83,29
50,83
Kalsium (g/ekor)
19,10
30,50
25,57
Fosfor (g/ekor)
11,30
17,15
13,54
Natrium (g/ekor)
1,80
2,80
2,26
Klor (g/ekor)
2,30
3,70
3,01
Energi bruto (kkal/ekor)
Keterangan : Nilai tersebut diperoleh dengan mengalikan jumlah konsumsi pakan selama 5 minggu dengan persentase zat makanan dalam ransum perlakuan
23
Ransum yang digunakan dalam percobaan ini berbentuk tepung (mesh). Keunggulan bentuk ransum ini dapat digunakan pada berbagai umur ayam, mudah diserap usus dan harganya lebih murah. Kelemahan penggunaan ransum bentuk ini adalah banyaknya ransum yang tercecer dikarenakan ayam memilih-milih pakan sehingga asupan makanan ke dalam tubuh ayam menjadi rendah. Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah asupan zat nutrisi pada perlakuan P2 lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P3. Faktor yang paling kritis dalam proses pertumbuhan ayam broiler adalah proses pemenuhan kebutuhan hidup pokok dan produksi ayam tersebut. Untuk dapat berproduksi (dalam hal ini tumbuh) maka ayam broiler memerlukan energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokoknya, apabila sudah terpenuhi maka sisa energi yang ada akan digunakan untuk pertumbuhan. Ketika energi yang dibutuhkan oleh ayam tersebut kekurangan maka ayam akan mengkonversi sebagian cadangan tubuhnya dalam bentuk glikogen menjadi energi dalam bentuk fosfat dengan bantuan enzim fosforilase (Winarno, 1992). Piliang (1992) menyatakan bahwa ayam yang diberi ransum rendah energi (2600 kkal/kg) akan mengkonsumsi makanan 30% lebih banyak dibandingkan dengan ayam yang diberi ransum dengan energi tinggi (3300 kkal/kg). Ransum dengan konsentrasi energi tinggi biasanya lebih efisien dalam arti kata pertambahan bobot badan untuk setiap unit memerlukan lebih sedikit unit ransum yang dikonsumsi (Piliang, 1992). Selain energi, faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan adalah protein. Konsumsi protein pada perlakuan P2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, maka sebagai zat pembangun protein yang tersedia pada ayam perlakuan P2 lebih tinggi sehingga pembentukan jaringan baru lebih banyak terjadi pada ayam perlakuan P2 dan pertambahan bobot badan yang dihasilkan semakin besar. Semasa kehidupan, protein dalam jaringan tubuh juga secara terus menerus dipecah menjadi asam-asam amino. Jika protein dalam jaringan dipecah, maka perlu diganti oleh protein baru. Untuk mempertahankan jaringan-jaringan tubuh, diperlukan suplai asam-asam amino tetap. Asam-asam amino berasal dari makanan, digunakan untuk sintesa protein-protein baru, molekul-molekul baru, dan untuk energi (Piliang, 2006). Winarno (1992) menyatakan bahwa protein dalam tubuh berfungsi sebagai enzim, alat pengangkut dan alat penyimpan,
24
pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pertahanan tubuh / imunisasi, media perambatan impuls syaraf dan pengendalian pertumbuhan. Kebutuhan energi metabolis dan protein per-ekor selama 5 minggu menurut NRC (1994) adalah 7686,4 kkal/ekor dan 506,8 g/ekor. Secara kuantitatif kebutuhan energi dan protein ketiga ayam perlakuan masih di bawah standar tetapi karena pada perlakuan P2 lebih banyak mengonsumsi energi dan protein maka pertambahan bobot badannya lebih tinggi dibandingkan perlakuan P1 dan P3. Penilaian keefektifan relatif dari protein dalam makanan sebagai sumber dari asam-asam amino esensial salah satunya dapat dilihat dari segi rasio efisiensi proteinnya (REP). Rataan REP ayam perlakuan adalah 1,99 (P1), 1,98 (P2) dan 1,80 (P3). Semakin tinggi nilai rasio efisiensi proteinnya maka kualitas ransumnya semakin bagus. REP ayam perlakuan secara lengkap diperlihatkan pada Tabel 7. Tabel 7. Rasio Efisiensi Protein Ayam Perlakuan Selama 5 Minggu Penelitian Ulangan
Perlakuan P1
P2
P3
1
2,00
2,20
1,68
2
1,87
2,05
1,73
3
2,10
1,77
2,01
4
1,97
1,88
1,76
Rataan
1,99±0,09
1,98±0,19
1,80±0,15
Keterangan : Rasio Efisiensi Protein = Pertambahan bobot badan (g) Konsumsi protein (g) Sumber : Wahju (1992)
Tillman et al. (1998) menyatakan bahwa konsumsi ransum yang rendah bisa menyebabkan berkurangnya bobot badan ternak. Perlakuan P1 memiliki konsumsi ransum paling rendah sehingga kemungkinan besar asupan zat nutrisi ke dalam tubuh menjadi berkurang. Salah satu faktor yang diduga kurang adalah Beta-N. Beta-N merupakan karbohidrat bukan serat kasar. Kandungan Beta-N limbah restoran lebih tinggi dibandingkan dedak padi, yaitu 59,12% pada limbah restoran dan 50,22% pada dedak padi dalam 100% bahan kering karena pada limbah restoran bagian penyusun terbanyak adalah nasi yang terdiri atas pati sehingga pada perlakuan yang diberi limbah restoran lebih cepat memperoleh
25
energi untuk hidup pokok dan produksi. Beta-N merupakan sumber karbohidrat utama penghasil energi yang murah (Winarno, 1992). Energi yang berasal dari karbohidrat digunakan ternak sebanyak 95% sedangkan energi dari protein hanya 70% sehingga penggunaan energi dari karbohidrat lebih efisien dari protein dan lemak. Rataan pertambahan bobot badan ayam broiler setiap minggu selama 5
Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/minggu)
minggu penelitian diilustrasikan pada Gambar 4.
400 300
P1
200
P2
100
P3
0 1
2
3
4
5
Umur (minggu) Keterangan : P1 = Ransum dengan proporsi dedak 13% dan limbah restoran 0% (kontrol) P2 = Ransum dengan proporsi dedak padi 6,2% dan limbah restoran 6,2% P3 = Ransum dengan proporsi dedak 0% dan limbah restoran 12%
Gambar 4.
Rataan Pertambahan Bobot Badan Ayam Broiler Setiap Minggu Selama 5 Minggu Penelitian
Gambar 4 memperlihatkan bahwa secara umum pertumbuhan ayam pada minggu ke-1 sampai minggu ke-5 dari semua perlakuan terus meningkat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nesheim et al. (1979) bahwa kecepatan pertumbuhan pada anak ayam yang tertinggi mulai sejak menetas sampai umur delapan minggu dan setelah itu statis lalu menurun. Pada minggu ke 4 pertambahan bobot badan ayam perlakuan P2 terlihat lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya dikarenakan konsumsi ransumnya lebih tinggi. Untuk dapat tumbuh dan berkembang maka seekor ternak harus mendapatkan kebutuhan nutrisi yang cukup meliputi karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin dan air. Zat makanan ini merupakan sumber energi, sumber bagi pembentukan bagian-bagian tubuh yang aus dan sebagai pengatur metabolisme tubuh (Piliang, 2006). Widyani (2001) menyatakan bahwa perbedaan energi pakan dalam selang 200-250 kkal/kg mempengaruhi jumlah ransum yang dikonsumsi. Ayam mempunyai kemampuan untuk mengatur konsumsinya yaitu dengan mengurangi konsumsinya bila kandungan energi ransum tinggi dan menaikkan konsumsinya
26
bila kandungan energi rendah. Hal senada juga diungkapkan oleh Wahju (1992) bahwa tingkat energi dalam ransum menentukan banyaknya pakan yang dikonsumsi yaitu semakin tinggi energi ransum akan menurunkan konsumsinya. Ayam yang diberi perlakuan limbah restoran mempunyai tingkat energi yang lebih rendah sehingga konsumsinya meningkat. Apabila energi yang dikonsumsi oleh ayam tersebut berlebihan atau memang sengaja dibuat berlebih maka kelebihan dari yang dibutuhkan akan disimpan sebagai cadangan energi, antara lain dalam bentuk lemak. Bila energinya kurang maka ayam akan menggunakan cadangan energinya dengan merombak glikogen menjadi glukosa dan bila masih kurang juga, maka protein akan dirubah menjadi energi agar ia tetap hidup sehingga ketersediaan zat nutrisi untuk produksi akan berkurang dan pertambahan bobot badannya menjadi rendah. Bobot Badan Akhir Bobot badan akhir merupakan suatu kriteria yang digunakan untuk menilai keberhasilan dalam beternak. Bobot badan yang dihasilkan akan mempengaruhi besar kecilnya pendapatan peternak, karena akan menentukan harga jual pasar. Rataan bobot badan akhir ayam broiler penelitian (5 minggu) diilustrasikan pada
Bobot Badan Akhir (g/ekor)
Gambar 5.
1000.00 800.00
73,5A 21,76B
56,78B
600.00 400.00 200.00 0.00 P1
P2
P3
Perlakuan Keterangan : P1 = Ransum dengan proporsi dedak 13% dan limbah restoran 0% (kontrol) P2 = Ransum dengan proporsi dedak padi 6,2% dan limbah restoran 6,2% P3 = Ransum dengan proporsi dedak 0% dan limbah restoran 12%
Gambar 5. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Setiap Minggu Selama 5 Minggu Penelitian
27
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap bobot badan akhir. Bobot badan akhir ayam perlakuan P2 sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dibandingkan dengan P1 dan P3. Hal ini dikarenakan ransum juga energi dan nutrien lainnya yang dikonsumsi ayam perlakuan P2 lebih tinggi dibanding P1 dan P3. Tillman et al. (1998) menyatakan
bahwa
konsumsi
ransum yang
rendah
bisa
menyebabkan
berkurangnya bobot badan ternak. Konsumsi energi berpengaruh terhadap kontrol pertumbuhan (Leeson dan Summers, 2001). Konsumsi energi metabolis ayam perlakuan selama 5 minggu adalah 4573,25 kkal/ekor (P1), 6365,65 kkal/ekor (P2) dan 5144,82 kkal/ekor (P3). Standar yang dikeluarkan oleh NRC (1994) mengenai konsumsi energi ayam selama 5 minggu adalah 7686,40 kkal/ekor. Sehingga pada ketiga perlakuan terlihat bahwa konsumsi energi ayam perlakuan masih di bawah standar NRC tetapi dikarenakan perlakuan P2 memiliki konsumsi energi yang lebih tinggi maka bobot badan akhir yang dihasilkan lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya. Rataan bobot badan akhir ayam perlakuan adalah 635,75 g/ekor (P1), 869,50 g/ekor (P2), 660,75 (P3) g/ekor. Rataan bobot badan akhir ini lebih rendah dibandingkan standar NRC (1994) yaitu sebesar 1460 g/ekor selama 5 minggu pemeliharaan. Hal ini bisa disebabkan kondisi lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan ayam baik itu dari faktor suhu maupun ransumnya sendiri. Suhu lingkungan kandang sekitar 23,6-31,9oC (Tabel 5). Appleby et al. (2004) menyatakan bahwa suhu terbaik bagi pertumbuhan ayam di daerah tropis berkisar antara 19-26oC. Peningkatan suhu lingkungan pada ayam broiler akan menurunkan produksi hormon tiroksin yang berakibat laju saluran pencernaan menjadi lambat, sehingga laju pengosongan perut menjadi lambat pula, ternak masih merasa kenyang dan akan menurunkan konsumsi ransumnya yang akhirnya nutrien yang dimetabolis dalam tubuh ternak menjadi berkurang dan bobot badan yang dihasilkan menjadi rendah. Kadar kalsium dalam makanan juga berpengaruh terhadap bobot badan (D’Mello, 2000). Kadar kalsium ransum perlakuan adalah 1,50% (P1), 1,58% (P2) dan 1,65% (P3). Nilai ini lebih tinggi dibanding standar batas toleransi ayam terhadap toksisitas kalsium yaitu sebesar 1,2% (McDowell, 1992). Semakin tinggi kalsium dalam makanan maka berat badan ternak akan
28
menurun (Kamal, 1981). Hal ini dikarenakan kalsium yang berlebih dapat mengikat mineral lain yang berguna dalam transpor asam amino ke dalam darah dan merupakan pemborosan energi karena kalsium yang berlebih tidak akan diserap tubuh tapi bergabung dengan fosfor membentuk trikalsiumfosfat yang tidak dapat larut dan keluar bersama ekskreta yang menyebabkan defisiensi unsur fosfor (Anggorodi, 1979). Leeson dan Summers (2001) menyatakan bahwa fosfor diperlukan untuk pembentukan fosfat energi tinggi, DNA, RNA dan enzim. Fosfor terlibat juga dalam penyimpanan, pembebasan dan transfer energi, pengaturan keseimbangan asam basa cairan tubuh, pembentukan fosfolipid, fosfoprotein,
nukleoprotein
dan
beberapa
enzim.
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi penyerapan, utilisasi dan metabolisme Ca dan P, salah satunya yaitu taraf Ca terhadap P ataupun P terhadap Ca. Perbandingan Ca dan P yang biasa direkomendasikan yaitu 1:1 hingga 2:1. Penyerapan Ca dan P bertempat di duodenum melalui proses transpor aktif maupun difusi. Ayam broiler akan mengalami keracunan Ca bila taraf yang dikonsumsi terlalu banyak. Di bawah kondisi normal maka kedua mineral tersebut diserap berdasarkan kebutuhan dan dibuang bila kelebihan. Kelebihan kalsium dapat menyebabkan kelainan tulang, mengurangi konsumsi pakan dan mengurangi bobot badan. Level Ca yang berlebihan dapat juga mengurangi efisiensi penggunaan mineral lain. Kelebihan Ca dapat menyebabkan defisiensi beberapa mineral esensial seperti P, Mg, Fe, I, Zn, dan Mn (NRC, 1994). Defisiensi P menyebabkan berkurangnya nafsu makan, ricketsia dan pertumbuhan terhambat, lemah dan mati dalam 10-12 hari. Defisiensi Mg menyebabkan Mg dalam plasma darah menurun, tumbuh dengan perlahan, mengantuk, koma dan kematian. Defisiensi Fe menyebabkan anemia, penurunan sel darah merah dan depigmentasi dari bulu merah dan hitam dari ayam New Hampshire. Defisiensi I menyebabkan penyakit gondok (Wahju, 1992). Defisiensi Mn dapat menyebabkan perosis (ditandai dengan siku bengkak dan tendon achiles tergelincir dari condilusnya) sehingga pertumbuhan tulang tidak baik dan pendek (Anggorodi, 1979). Pada penelitian ini terjadi kejadian yang memiliki ciri-ciri seperti terkena perosis setelah dianalisa di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan (2006) pada perlakuan P3 sebanyak satu ekor. Defisiensi Zn dapat berakibat pada penurunan aktifitas berbagai macam
29
proses metabolisme, penurunan aktifitas sel NK, limfosit T, menurunnya populasi sel prekursor (sel cikal bakal) limfosit T dan limfosit B serta menurunnya limfosit B yang dewasa (limfosit B yang mampu berdiferensiasi dan menghasilkan antibodi) (Subekti, 2005). Sel NK adalah sel imun yang bertanggungjawab mencari dan memusnahkan penceroboh asing. Sekiranya ternak mempunyai aktivitas sel NK kurang dari 20%, maka akan mempunyai resiko terhadap kesehatan dan sukar pulih dari penyakit yang dihadapi (Bennet, 2006). Mineral Zn merupakan mikronutrien yang sangat penting dan perlu pada berbagai proses metabolisme. Kepentingan mineral tersebut berkaitan dengan metabolisme karbohidrat dan energi, degradasi dan sintesis protein, sintesis asam nukleat, transpor CO2 dan terlibat aktivitas bersama lebih dari 100 macam enzim. Amrullah (2004) menyatakan bahwa ayam broiler tumbuh sangat cepat sehingga jaringan tulang tempat pertautan otot daging haruslah tumbuh dengan sempurna. Apabila jaringan tulangnya kurang sempurna maka akan berakibat kepada penurunan bobot badan. Konversi Ransum Konversi ransum menunjukan ukuran efisiensi dalam penggunaan ransum oleh tubuh ternak. Semakin rendah konversi ransum maka semakin efisien, karena semakin sedikit ransum yang dibutuhkan untuk menghasilkan per unit pertambahan bobot badan dalam jangka waktu tertentu. Konversi ransum yang rendah
merupakan tujuan utama pemeliharaan ayam. Hasil percobaan
memperlihatkan secara umum bahwa pada ayam perlakuan P1 memiliki konversi paling rendah. Konversi ransum yang rendah merupakan tujuan utama pemeliharaan ayam. Hasil analisa statistik memperlihatkan bahwa konversi ransum perlakuan tidak berbeda nyata terhadap semua perlakuan (P1, P2 dan P3). Dari data REP ayam perlakuan dapat diketahui pula bahwa nilainya sejalan dengan nilai konversi ransum. Hal ini menunjukan bahwa penambahan limbah restoran sampai dengan taraf 12% dalam ransum ayam broiler tidak memberikan efek yang negatif terhadap konversi ransum. Tetapi bila dibandingkan dengan standar yang dikeluarkan NRC (1994) bahwa konversi yang baik bernilai di bawah angka 2, nilai konversi ransum ketiga perlakuan memperlihatkan nilai yang lebih tinggi
30
dibanding standar NRC (1994). Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan pada beberapa faktor yaitu genetik ayam yang digunakan, kualitas pakan, jenis ransum, penyakit, temperatur, sanitasi kandang, ventilasi, pengobatan dan manajemen kandang (Anggorodi, 1995). Apabila keadaan genetik, lingkungan dan manajemen yang digunakan sama maka peluang untuk mendapatkan nilai konversi ransum yang sama akan besar. Konsumsi Air Minum Hasil sidik ragam menunjukan bahwa penggantian dedak padi dengan limbah restoran dalam ransum ayam broiler berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi air minum. Rataan konsumsi air minum ayam perlakuan
Konsumsi Air Minum (ml/ekor)
selama 5 minggu disajikan pada Gambar 6.
2000 1500
P1
1000
P2
500
P3
0 1
2
3
4
5
Umur (minggu)
Keterangan : P1 = Ransum dengan proporsi dedak 13% dan limbah restoran 0% (kontrol) P2 = Ransum dengan proporsi dedak padi 6,2% dan limbah restoran 6,2% P3 = Ransum dengan proporsi dedak 0% dan limbah restoran 12%
Gambar 6. Rataan Konsumsi Air Minum Ayam Broiler Setiap Minggu Selama 5 Minggu Penelitian Konsumsi air minum perlakuan P1 lebih rendah dibanding P2 dan P3. Hal ini karena ayam perlakuan P1 mengonsumsi ransum paling rendah. Air dalam tubuh ternak berfungsi sebagai bagian dari darah, cairan interseluler dan intraseluler yang bekerja aktif dalam transformasi zat makanan, metabolit dan hasil sisa ke dan dari semua sel dalam tubuh (Pond et al., 1995). Oleh karena itu semakin tinggi ransum yang dikonsumsi maka kebutuhan air untuk transformasi zat makanan semakin bertambah. Wahju (1992) menyatakan bahwa jumlah air yang dikonsumsi oleh ayam tergantung dari beberapa faktor diantaranya adalah jumlah makanan yang dikonsumsi, suhu dan kelembaban lingkungan, aktivitas
31
ayam dan sifat dari makanan yang dikonsumsi terutama kandungan air, garam dan kandungan protein. Rasio konsumsi normal air dengan pakan adalah 2:1 (NRC, 1994). Rasio konsumsi air dengan ransum penelitian ketiga perlakuan adalah 2:1 (P1), 1,94:1 (P2) dan 2,1:1 (P3). Secara umum konsumsi air minum ketiga ayam perlakuan mempunyai pola yang normal walaupun pada perlakuan P3 memperlihatkan pola konsumsi air minum yang lebih tinggi dari normal. Air merupakan nutrien yang paling penting untuk tubuh ternak. Ternak dapat bertahan hidup beberapa minggu tanpa makanan, tapi hanya beberapa hari tanpa air.
32
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penambahan tepung limbah restoran dapat digunakan hingga level 12% dalam ransum, namun level terbaik diperoleh pada penggunaan 6,2% limbah restoran dalam ransum jika dilihat dari tingginya pertambahan bobot badan, bobot badan akhir dan angka konversi ransum. Saran Pemberian limbah restoran dalam ransum ayam broiler sebaiknya diberikan pada level 6,2% dan ransum yang digunakan sebaiknya dalam bentuk crumble atau remahan.
33
UCAPAN TERIMA KASIH Assalamualaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Asep Sudarman, MRurSc dan Dr. Ir. Sumiati, MSc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penelitian hingga penulisan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Ibnu Katsir Amrullah, MS selaku dosen penguji seminar, Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc, dan Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgrSc selaku dosen penguji sidang atas segala masukannya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Muhammad Ridla, MAgr sebagai dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan motivasi dan nasehat selama ini serta kepada Perhimpunan Hotel Seluruh Indonesia (PHRI) dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atas dana yang telah diberikan. Rasa terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada Ibu (Nuknik Kurniasih), Bapak (Drs. Yoyo, M.Pd), Adik-adikku (Firman Ihsannurdin dan Annisa Nurbaeti Sholeha) dan seluruh keluarga di Bandung yang senantiasa berdoa, mencurahkan kasih sayang serta memberikan bantuan material, moral, dan spiritual yang fundamental bagi penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada adinda Ratih yang selalu mendampingiku, memberikan nasehat dan semangat ketika menghadapi cobaan hidup selama ini. Tidak lupa juga penulis sampaikan terima kasih kepada rekan sepenelitian Supra dan Randy, teman-teman di Laboratorium Lapang (Om Albet, Pondok Asmat, Warkop Ace, Zona Computindo, Bengkel, seluruh mahasiswa INMT angkatan ’37, ’38, ’39, ’40, ’41 serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah membantu penulis selama penelitian dan penulisan tugas akhir. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, 2006 Penulis
34
DAFTAR PUSTAKA Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Cet. ke-2. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor. Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Anggorodi, R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Appleby, M. C., Joy A. M., dan Barry O. H. 2004. Poultry Behaviour and Welfare. CABI Publishing, Cambridge. Apriyantono, A. 2002. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi dan keamanan pangan. Seminar on-line Kharisma ke-2. http://www.google.com/seacrhwww.kharisma.com [28 Juli 2006]. Bappenas. 2000. Pakan ternak. Editor : Kemal Prihatman. Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Jakarta. http://www.ristek.go.id// [25 Juli 2006]. Bennet, R. 2006. Penemuan baru meningkatkan pengetahuan kita tentang imuniti. Sains Hayat Gunaan. Malaysia. http://www.shirleys-wellnesscafe.com/malay-transfer-factor.htm [22 Agustus 2006]. Busro, M. R. 2005. Efektifitas stabilisasi dedak padi dengan metode pemasakan ekstrusif. Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi Bandung. http://abstraksita.fti.itb.ac.id/?abstraksi=1&details=1&id=744&tahun=200 [12 Agustus 2006]. D’Mello, J. P. F. 2000. Farm Animal Metabolism and Nutrition. CABI Publishing, Cambridge. Ensminger, K. 1991. Animal Science. 11th Edition. Interstate Publisher, USA. Houston, R. 1972. Chemistry and Technology American Association of Cereal Chemists, Inc. Vol. IV, St. Paul Minnesota. Infovet. 2005. Kiat turunkan konversi pakan. Edisi 28 Maret, Hal. 58. Kamal, M. 1981. Pengaruh kadar mangan dan kalsium/fosfor dalam ransum terhadap performans ayam pedaging di daerah tropik. Prosiding Seminar Penelitian Peternakan. 23-26 Maret 1981, Bogor. Lacy, M. P., dan L. R. Vest. 2004. Improving feed conversion in broiler : a guide for growers. http://www.agricoat.nedfeedconversion.htm. [13 Juni 2006]. Laksmiastuti, F. 2005. Pengaruh pemberian kepala udang dalam ransum terhadap performan ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lesson, S., dan J. D. Summers. 1997. Commercial Poultry Nutrition. Department of Animal and Poultry Science. University of Guelph, Ontario, Canada. Leeson, S., dan J. D. Summers. 2001. Nutrition of The Chicken. 4th Edition. Guelph, Ontario, Canada.
35
Lott, B. D. dan J. D. Simmons. 2000. Effect of air velocity on broiler Performance and feed and water consumption. Br. Poult. Sci. (79): 1396-1400. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh, dan C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Ashford Colour Press, Ltd., Gosport. McDowell, L. R. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic Press Inc, Harcourt Brace Jovanovich Publishers, California. Murtadho, D. dan E. G. Sa’id. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. P.T. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Revised Edition. National Academic Press, Washington, DC. Nesheim, M. C., R. E. Austic dan L. E. Card. 1979. Poultry Production. 12th Edition. Lea and Febiger. Philadelphia, California. North, M.O. dan D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Edition. The Avi Publishing Company, Inc. West Port, Connecticut. Payne, W.J.A. 1990. An Introduction to Animal Husbandary In the Tropics. 4th Edition. Longman Scientific and Technical, UK. Piliang, W. G. 1992. Manajemen Beternak Unggas. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Piliang, W. G. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume I. Ed. Rev. : Januari 2006. IPB Press, Bogor. Pond, W. G., D. C. Church, dan K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th Edition. John Wiley and Sons Inc. Canada, USA. Poultry Indonesia. 2006. Problem bahan baku. http://www.poultryindonesia.com/ [13 Juli 2006]. Rasyaf, M. 1992. Produksi dan Pemberian Ransum Unggas. Cet. Ke-1. Kanisius, Jakarta. Rasyaf, M. 2004. Beternak Ayam Pedaging. P.T. Penebar Swadaya, Jakarta. Refnita. 1990. Pengaruh penggunaan dedak padi yang difermentasi dengan Aspergillus niger dalam ransum dengan serat kasar tinggi terhadap penampilan produksi dan ketersediaan mineral P, Ca, dan Mg ayam pedaging. Tesis. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rose, S. P. 1997. Principles of Poultry Science. CAB International. Biddles Ltd, Guildford. Simmons, J. D., B. D. Lott., dan J. D. May. 1997. Heat loss from broiler chickens subjected to varisus air speeds and ambient temperature. Appl. Eng. Agric. (13) : 665-669. Standar Nasional Indonesia. 1996. Dedak Padi / Bahan Baku Pakan. Revisi SNI 01-3178-1992, Jakarta.
36
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Terjemahan: M. Syah. P.T. Gramedia, Jakarta. Subekti, D. T. 2005. Nutrisi dan sistem imun (2). Infovet Edisi 128 Maret. Hal. 55-56. Sutardi, T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi. INMT. Fapet. IPB, Bogor. Swick, R. A. 1993. Feeding and management considerations for broiler during heat stress. Proceeding of The Feed Technology Workshop. June 27-July 01, 1993. Bogor, Indonesia. Tillman, A.D, H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Widyani, Rr. R., S. Prawirokusumo, Nasroedin dan Zuprizal. 2001. Pengaruh peningkatan aras energi dan protein terhadap kinerja ayam pedaging. Buletin Peternakan. (25):109-119. Willyanto, I. 1997. Kualitas air bagi ayam pedaging. Infovet. Edisi 52 November. Hal. 25-26. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Cet. Ke-6. P.T. Gramedia, Jakarta. Yanis, M., D. Zainudin, R. W. Suryawati, dan M. Rochjat. 2000. Pemanfaatan limbah restoran untuk ransum ayam buras. http://www.pustakadeptan.go.id/agritech/dkij0112.pdf/ [20 Maret 2006].
37
LAMPIRAN
38
Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Ransum SK
DB
JK
KT
F hitung
F 0,05
F0,01
Perlakuan Galat Total
2 9 11
832608,41 127847,71 960456,12
416304,21 14205,30
29,31**
4,26
8,02
Ket : ** = berbeda nyata pada taraf P< 0,01
Lampiran 2. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil Konsumsi Ransum Perlakuan P1 P2 P3
Rataan±sd 1267,98±9,73 1906,03±27,01 1503,95±25,87
Hasil Uji C A B
Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan SK
DB
JK
KT
F hitung
F 0,05
F0,01
Perlakuan Galat Total
2 9 11
130132,99 27196,98 157329,96
65066,49 3021,89
21,53**
4,26
8,02
Ket : ** = berbeda nyata pada taraf P< 0,01
Lampiran 4. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil Pertambahan Bobot Badan Perlakuan P1 P2 P3
Rataan±sd 591,80±20,68 824,05±73,55 616,58±56,82
Hasil Uji B A B
Lampiran 5. Hasil Analisis Ragam Bobot Badan Akhir SK
DB
JK
KT
F hitung
F 0,05
F0,01
Perlakuan Galat Total
2 9 11
131787,50 27298,50 159086,00
65893,75 3033,17
21,72**
4,26
8,02
Ket : ** = berbeda nyata pada taraf P< 0,01
Lampiran 6. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil Bobot Badan Akhir Perlakuan P1 P2 P3
Rataan±sd 635,75±21,76 869,50±73,50 660,75±56,78
Hasil Uji B A B
39
Lampiran 7. Hasil Analisis Ragam Konversi Ransum SK
DB
JK
KT
F hitung
Perlakuan Galat Total
2 9 11
0,19 0,26 0,45
0,09 0,03
3,18
F 0,05
F0,01
4,26
8,02
F 0,05
F0,01
4,26
8,02
Lampiran 8. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Air Minum SK
DB
Perlakuan Galat Total
2 9 11
JK
KT
F hitung
2524507,27 1262253,63 15,54** 730870,66 81207,85 3255377,92
Ket : ** = berbeda nyata pada taraf P< 0,01
Lampiran 9. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata Terkecil Konsumsi Air Minum Perlakuan P1 P2 P3
Rataan±sd 2567,6±8,43 3690,9±12,81 3149,8±14,14
Hasil Uji C A B
40
ENVIRONTMENT RECYCLING SYSTEM (ERS) •
ERS merupakan teknologi mutakhir untuk memproses material organik seperti limbah makanan, ikan atau aneka daging menjadi pupuk atau produk lain seperti pakan ternak dengan cara yang efisien dan ramah lingkungan.
•
ERS menggunakan IMO (Indigenous Microrganism).
•
IMO adalah kelompok aneka ragam mikroba yang tinggal dalam tanah yang bebas polusi. IMO lebih efektif dibanding mikroba buatan dan IMO dapat memperbaiki ekosistem tanah dan tidak merusak keseimbangan ekosistem.
•
Fitur ERS: 9 Menghasilkan pupuk organik dan pakan ternak terfermentasi dari penanaman mikroba. 9 Mampu diseting dari temperatur rendah ke temperatur tinggi. 9 Menghilangkan bau busuk. 9 Mampu berkinerja tinggi dengan input energi yang kecil. 9 Menghasilkan produk berkualitas tinggi. 9 Satu mesin bisa memproses berbagai macam limbah organik. 9 Tingkat kevakuman dapat diatur dengan manometer sehingga kondisi yang sama dapat diulang untuk proses yang sama selanjutnya.
•
Fitur Alat: 9 Mixer dengan kekuatan dinamo 3 phase 5,5 KW 1450 RPM. 9 Pompa vakum dengan kekuatan dinamo 4 KW 350 PA L/S. 9 Pompa Sirkulasi dengan kekuatan dinamo 3 phase 1,5 KW 9 Tower Pendingin. 9 Tempat Penyimpanan air. 9 Boiler (pemanas). 9 Pompa air dengan kekuatan 3,7 KW. 9 Saringan air.
41
42