KINERJA PERDAGANGAN DAN DAMPAK FREE TRADE AREA (FTA) ASEAN PLUS THREE TERHADAP PEREKONOMIAN .INDONESIA
AHMAD HERI FIRDAUS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian.Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Ahmad Heri Firdaus H151080171
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT AHMAD HERI FIRDAUS. Trade Performance and The Impact of Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three on Indonesian Economy. Under direction of RINA OKTAVIANI and M. PARULIAN HUTAGAOL. The trade liberalization is important issue in the era of globalization. Many countries establish a Free Trade Area, one of which is the ASEAN Plus Three FTA. The purpose of this study is to analyze the performance and the impact of ASEAN Plus Three FTA for the Indonesian economy. The level of trade performance of Indonesia were analyzed by examining the export performance through sector's comparative advantage in ASEAN Plus Three, Export Product Dynamic and trade integration with the ASEAN Plus Three. Furthermore, Global Trade Analysis Project (GTAP) model is used to analyze the impact of ASEAN Plus Three FTA on the Indonesian macroeconomic and sectoral performance. Indonesia has a comparative advantage in a mining and quarrying sectors as well as vegetable and animal oil. Meanwhile, Indonesia has a high level of integration in manufacturing sectors, like textiles chemicals, rubber, plastic, machinery and equipment. ASEAN Plus Three FTA will generate a positive impact on several economic indicators such as real GDP, investment, government consumption and the household consumption. In contrast, the trade balance in deficit to the APT, but have a surplus to other countries. From the sectoral performance of Indonesia all commodities have increased imports, while only a few commodity exports increased. Key Words: Trade Performance, RCA, EPD, IIT, GTAP, the impact of ASEAN Plus Three FTA
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi di berbagai kawasan, khususnya integrasi dalam bidang ekonomi. Salah satu bentuk integrasi ekonomi adalah dengan membentuk kawasan perdagangan bebas atau FTA (Free Trade Area). Indonesia telah terlibat dalam beberapa kesepakatan FTA diantaranya ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan ASEAN-Cina FTA (ACFTA) serta masih banyak lagi kesepakatan FTA yang sedang dirundingkan diantaranya adalah ASEAN Plus Three FTA. FTA ini akan menjadi kawasan FTA terbesar di seluruh dunia karena akan menyebabkan terjadinya integrasi perekonomian yang meliputi sekitar 2,5 milyar konsumen, yaitu lebih dari 1,6 milyar dari Asia Timur dan lebih dari 700 juta dari ASEAN (ASEANSEC, 2010). Implikasi bagi Indonesia dan negara lain yang terlibat adalah tentu saja harus menghadapi pasar bebas kawasan ASEAN dan Asia Timur dengan tingkat persaingan yang lebih ketat. ASEAN Plus Three FTA dapat memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN Plus Three lainnya. Di lain pihak, penerapan FTA ini juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik. Ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three lebih dari 50 persen total ekspor Indonesia ke seluruh dunia. Ekspor andalan Indonesia ke pasar ASEAN Plus Three didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian seperti gas alam, minyak mentah, batu bara dan mineral. Kontribusi 10 (sepuluh) besar sektor andalan ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three mencapai 80 persen dari total ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three. Begitu juga dengan impor dari ASEAN Plus Three, mencapai lebih dari separuh total impor Indonesia. Impor Indonesia dari pasar ASEAN Plus Three didominasi oleh sektor manufaktur khususnya yang padat modal, seperti kilang minyak dan produk batu bara; mesin dan peralatannya; produk kimia, karet dan plastik; peralatan elektronik; kendaraan bermotor dan suku cadang; dan peralatan transportasi. Pangsa sepuluh besar sektor yang diimpor dari ASEAN Plus Three mencapai 90 persen total impor dari ASEAN Plus Three. Kinerja ekspor Indonesia dalam penelitian ini dianalisis dengan mengukur dayasaing secara komparatif yaitu dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan dengan melihat pertumbuhan pangsa pasar di ASEAN Plus Three yakni dengan metode Export Product Dynamics (EPD). Intra Indutry Trade (IIT) digunakan untuk melihat tingkat integrasi perdagangan antara Indoensia dengan ASEAN Plus Three. Berdasarkan analisis kinerja perdagangan Indonesia dalam menghadapi ASEAN Plus Three FTA maka dapat disimpulkan bahwa saat ini Indonesia belum memiliki kinerja atau dayasaing (komparatif) dalam mengahadapi ASEAN Plus Three FTA. Alasanya antara lain karena sektor-sektor yang menjadi andalan ekspor Indonesia tidak seluruhnya memiliki performa yang
baik di ASEAN Plus Three, hal ini terlihat dari hasil analisis RCA dan EPD. Walaupun analisis RCA menggambarkan keunggulan komparatif Indonesia, namun hanya pada sektor pertambangan dan penggalian serta sektor minyak nabati dan hewani saja. Hasil analisis EPD memperkuat hasil analisis RCA yang menyatakan bahwa sektor-sektor yang tidak memiliki keunggulan komparatif akan semakin kehilangan pangsa pasarnya, bahkan hal ini juga terjadi pada sektor logam dasar dan kilang minyak yang masih memiliki keunggulan komparatif namun mengalami kehilangan pangsa pasar karena keunggulan komparatifnya semakin kecil. Analisis dampak ASEAN Plus Three FTA dilakukan dengan menggunakan model Global Trade Analysis Project (GTAP). Berdasarkan analisis dampak ASEAN Plus Three FTA maka dapat disimpulkan bahwa FTA ini hanya berpengaruh kecil terhadap performa ekonomi makro Indonesia. Terlihat dari peningkatan PDB riil, investasi dan peubah makro lainnya yang meningkat relatif lebih kecil dari negara-negara ASEAN Plus Three lainnya. Secara umum Indonesia mengalami peningkatan impor di seluruh sektor, sementara peningkatan ekspor tidak sebesar peningkatan impornya. Namun keadaan ini lebih baik daripada tidak melakukan FTA. Karena defisit neraca perdagangan Indonesia menjadi menjadi lebih kecil pada saat melakukan FTA. Sektor-sektor yang mengalami peningkatan impor relatif besar umumnya sektorsektor yang mengalami penurunan tarif secara signifikan. Sementara sektor-sektor yang mengalami peningkatan ekspor yang relatif besar umumnya adalah sektorsektor yang mengalami penurunan tarif relatif besar di negara tujuan. Dampak terhadap output adalah terjadi penurunan output pada hampir seluruh sektor yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN Plus Three. Kecuali pada sektor tanaman pangan; peternakan, kehutanan, perikanan; produk kimia, karet, plastik; peralatan elektronik; serta mesin dan peralatannya. Harga ouput pada sektor-sektor yang diperdagangkan Indonesia secara keseluruhan mengalami kenaikan. Penurunan harga ouput juga terjadi khususnya pada sektor yang menjadi impor terbesar Indonesia, seperti kendaraan bermotor dan suku cadang. Peningkatan harga output dan penurunan output serta penurunan penyerapan tenaga kerja pada sebagian besar sektor yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN Plus Three menunjukkan Indonesia belum siap melakukan Free Trade Area dengan ASEAN Plus Three. Liberalisasi akan memberikan guncangan di sektor riil. Walaupun beberapa sektor outputnya mengalami peningkatan, namun secara total neraca perdagangan pun menunjukkan nilai yang negatif.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
Halaman ini sengaja dikosongkan
KINERJA PERDAGANGAN DAN DAMPAK FREE TRADE AREA (FTA) ASEAN PLUS THREE TERHADAP PEREKONOMIAN .INDONESIA
AHMAD HERI FIRDAUS
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Judul Tesis
:.Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian Indonesia
Nama Mahasiswa
: Ahmad Heri Firdaus
Nomor Pokok
: H151080171
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Ketua
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 2 Maret 2011
Tanggal Lulus:
Halaman ini sengaja dikosongkan
PRAKATA
Segala puji bagi Allah SWT yang atas izin-Nya tesis yang berjudul “Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian Indonesia” ini akhirnya bisa terselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja perdagangan Indonesia dalam rangka menghadapai perdagangan bebas kawasan ASEAN Plus Three yang terdiri dari negara anggota ASEAN dan Cina, Jepang serta Rep. Korea. Selain itu tesis ini menganalisis dampak FTA tersebut terhadap perekonomian Indonesia. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. Sebagai ketua komisi pembimbing yang telah benyak memberikan arahan dan masukan selama penulisan tesis ini, Beliau juga telah banyak memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat terlibat dalam berbagai penelitian dan kajian ekonomi, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada program studi Ilmu Ekonomi IPB dan mendapat gelar Magister Sains. Ucapan terima kasih juga disampaikan untuk Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec yang telah banyak memberikan banyak pelajaran dan masukan yang berharga terhadap penelitian ini serta Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr yang telah banyak memberikan masukan mengenai penulisan sehingga membuat tesis ini menjadi lebih baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua yaitu M. Rizal dan Henny Gandawati yang selalu memberikan doa’ dan dukungan dalam berbagai bentuk sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S2 pada program studi Ilmu Ekonomi IPB. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekanrekan program pascasarjana Ilmu Ekonomi angkatan 2008 dan Syarifah Amaliah, SE atas segala bantuan, dukungan dan kebersamaannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan serta keterbatasan dalam tesis ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang semata-mata bertujuan untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang ada sangat penulis harapkan. Akhirnya, semoga tesis ini bisa memberikan sumbangan kecil bagi perkembangan ekonomi Indonesia serta dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan kita.
Bogor, Mei 2011
Ahmad Heri Firdaus
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ahmad Heri Firdaus, lahir pada tanggal 13 Januari 1985 di Depok, Jawa Barat. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan M. Rizal dan Henny Gandawati. Pada tahun 1990-1997 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Islam As-Syafi’iah, kemudian melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 20 Jakarta. Tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikannya di SMA Negeri 51 Jakarta dan diterima di Departemen Imu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama kurang dari empat tahun, penulis berhasil menyelesaikan program sarjana dan menyandang gelar Sarjana Ekonomi (SE) pada tahun 2007. Pada tahun 2008 pernulis melanjutkan studinya di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor untuk mendapatkan gelar Magister Sains. Selama menjadi Mahasiswa Pascasarjana, penulis aktif dalam kegiatan penelitian ekonomi dan menjadi asisten pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Kinerja Perdagangan dan Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Perekonomian Indonesia” ini akhirnya dapat diselesaikan.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ………………………………..…………….…………………… DAFTAR TABEL …………………………..…………….…………………... DAFTAR GAMBAR ………………………..…………….…………………..
i iii v
I. 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
PENDAHULUAN ……………………..…………….………………... Latar Belakang ……...……………………..………….………………… Perumusan Masalah .................................................................................. Tujuan Penelitian ...................................................................................... Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................
1 1 6 10 10
II. 2.1. 2.2.
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... Pengertian Liberalisasi Perdagangan ....................................................... Free Trade Area (FTA): Pengertian dan Dampak Integrasi Ekonomi Regional ….…………………………………….…………...… 2.2.1. Trade Creation …………………………………………………… 2.2.2. Konsensus yang Lebih Besar …………………………………….. 2.2.3. Kerjasama Politik ………………………………………………… 2.2.4. Trade Diversion …………………………………………………... 2.2.5. Pergeseran Tenaga Kerja …………………………………………. 2.2.6. Hilangnya Kedaulatan Publik …………………………………….. Tinjauan Penelitian Terdahulu ................................................................. Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................... 2.4.1. Teori Perdagangan Internasional ................................................... 2.4.2. Teori Keseimbangan Umum …………………………………… 2.4.2.1. Landasan Teori …….……………………………....….... 2.4.2.2. Pemberlakuan Tarif ........................................................ 2.4.3. Teori Revealed Comparatif Advantage (RCA)………………...... 2.4.4. Teori Intra Indutry Trade (IIT) ..................................................... Kerangka Pemikiran Penelitian .................................................................
13 13
2.3. 2.4
2.5. III. 3.1. 3.2.
METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data............................................................................... Metode Analisis ……………………………………………………..…... 3.2.1. Menganalisis Performa Ekspor Indonesia di Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea ........................................................ 3.2.1.1. Revealed Comparative Advantage (RCA) ........................ 3.2.1.2. Export Product Dynamics (EPD) ...................................... 3.2.1.3. Intra Indutry Trade (IIT) …………………………..……. 3.2.2. Analisis Dampak FTA ASEAN Plus Three Terhadap Performa Ekonomi Makro dan Sektoral Indonesia: Aplikasi Global Trade Analysis Project (GTAP) ………..………
13 16 17 17 17 18 19 19 21 21 25 26 28 32 33 35
37 37 37 37 38 40
41
ii
IV. 4.1. 4.2.
V. 5.1.
GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE ………………………………………………… Kerjasama Ekonomi ASEAN Plus Three .................................................. Aliran Perdagangan Indonesia Ke Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea (ASEAN Plus Three) ……………………………………….. 4.2.1. Perkembangan Ekspor Indonesia Ke Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea (ASEAN Plus Three) …………………………… 4.2.2. Perkembangan Impor Indonesia Dari Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea (Juta US$) ..............................................................
5.3. VI. 6.1. 6.2.
VII. 7.1. 7.2
55 55 59
ALIRAN PERDAGANGAN, KONDISI TARIF DAN PERFORMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR ASEAN PLUS THREE ............... 63 Aliran Perdagangan dan Kondisi Tarif Antar Negara ASEAN Plus Three .................................................................................... 63 5.1.1. Aliran Perdagangan Antar Negara ASEAN Plus Three ...................... 5.1.2. Kondisi Tarif Antar Negara ASEAN Plus Three ..............................
5.2.
53 53
Analisis Kinerja Perdagangan Indonesia di Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea ........................................................................................... 5.2.1. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) 72 5.2.2. Analisis Export Product Dynamics (EPD) ..................................... 5.2.3. Analisis Intra Industry Trade (IIT) ................................................. Kemampuan Industri dalam Menghadapi Persaingan Global ………….…
63 70
72 74 77 78
FREE TRADE AREA DALAM SKEMA ASEAN Plus Three ……….. 81 Dampak FTA (Free Trade Area) ASEAN Plus Three terhadap Ekonomi Makro Indonesia …..................................................................................... 81 Dampak Free Trade Area ASEAN Plus Three terhadap Ekonomi Sektoral ………………………………………………………..…..…..…. 88 KESIMPULAN DAN SARAN…………….……………………….…... 97 Kesimpulan ................................................................................................. 97 Saran ........................................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 101 LAMPIRAN …………………………………………………………………...... 105
iii
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1.1. Perkembangan Indikator Makroekonomi Beberapa Anggota ASEAN Plus Three Tahun 2007-2009 (dalam persen) ............................................... 1.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina, Rep. Korea dan Jepang Periode 2005-2009 (Juta Dolar) …………………………………………… 1.3. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina (Ribu dolar) ………………... 2.1. Klasifikasi dari nilai IIT (Austria, 2004) ...................................................... 3.1. Matriks Posisi Dayasaing …………………………………………………. 4.1. Perbandingan Nilai Ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three dan Dunia (Juta US$) ..................................................................................................... 4.2. Ekspor 10 (Sepuluh) Sektor Terbesar Indonesia ke Pasar ASEAN Plus Three (Juta US$) ........................................................................................... 4.3. Pangsa Ekspor Terbesar Sektor Indonesia Ke Pasar ASEAN Plus Three (Persen) ......................................................................................................... 4.4. Perbandingan Nilai Impor Indonesia Dari ASEAN Plus Three dan Dunia (jutaUS$) ....................................................................................................... 4.5. Impor 10 (Sepuluh) Sektor Terbesar Indonesia Dari Pasar ASEAN Plus Three (US$ Juta) ........................................................................................... 4.6. Pangsa Impor Sektor Terbesar Indonesia Dari Pasar ASEAN Plus Three (Persen) ......................................................................................................... 5.1. Aliran Ekspor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta dolar) ..................... 5.2. Aliran Impor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta dolar) ....................... 5.3. Ekspor Indonesia ke Negara-negara ASEAN Plus Three (Juta dolar) ......... 5.4. Impor Indonesia Dari Negara-negara ASEAN Plus Three (Juta U$) ........... 5.5. Tarif Impor Antar Negara ASEAN Plus Three (Persen) .............................. 5.6. Nilai RCA (Revalead Comparatif Advantage) Beberapa Komoditi Indonesia Tahun 2005-2009 .......................................................................... 5.7. Analisis Export Product Dynamics (EPD) Beberapa Komoditi Indonesia Di Pasar ASEAN Plus Three Tahun 2005-2009 ........................................... 5.8. Nilai IIT (Intra-Industry Trade) Beberapa Komoditi Indonesia Ke Pasar ASEAN Plus Three ....................................................................................... 6.1. Neraca Perdagangan Sebelum dan Setelah ASEAN Plus Three FTA .......... 6.2. Dampak FTA dalam Skema ASEAN Plus Three terhadap Peubah Ekonomi Makro ............................................................................................ 6.2. Dampak Free Trade Area dalam Skema ASEAN, China, Jepang dan Rep. Korea terhadap Ekspor, Impor, Output dan Harga Domestik Indonesia (perubahan persentase) ..................................................................................
6 7 8 35 39 55 57 58 59 60 61 64 65 67 69 71 74 76 78 84 87
92
iv
Halaman ini sengaja dikosongkan
v
DAFTAR GAMBAR
No. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5.
Halaman Trade Creation ……………………………………………………………. Trade Diversion …………………………………………………………… Kurva Perdagangan Internasional ................................................................. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara ............................. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Kecil ………………………………………………………………………. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Besar ............................................................................................................. Kerangka Pemikiran Penelitian …………………………………………… Daya Tarik Pasar dan Kekuatan Bisnis pada Export Product Dynamics (EPD) ………………………..…………………………………………….. Pemanfaatan GTAP dengan Alat RunGTAP dan Penyelesaiannya ............. Struktur Produksi Model GTAP ................................................................... Struktur Konsumsi dalam Model GTAP ………………………………….. Struktur Impor Model GTAP ……………………………………………....
16 18 23 27 30 32 36 39 43 48 49 50
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi
di berbagai kawasan, khususnya integrasi dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ekonomi ini penting dilakukan bagi masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia. Salah satu bentuk integrasi ekonomi adalah dengan membentuk kawasan perdagangan bebas atau FTA (Free Trade Area). Dengan dibentuknya FTA maka suatu negara akan memberikan perlakuan khusus kepada negara mitra dagangnya dan mendiskriminasi negara mitra dagang yang lain. FTA dapat berupa penetapan tarif dan non tarif yang lebih rendah bahkan tidak ada sama sekali. Dalam FTA plus, akses pasar yang lebih baik juga dikombinasikan dengan berbagai kerjasama dan kemudahan lainnya, seperti perlakuan pajak yang lebih longgar. Dengan adanya FTA diharapkan dapat meningkatkan volume perdagangan diantara kawasan tersebut sehingga masyarakatnya akan mencapai tingkat kepuasan yang paling optimal. Pada akhirnya akan mendorong tercapainya tingkat kesejahteraan yang merata diantara negara anggota. Perekonomian dunia yang semakin berkembang akan membuka hubungan perdagangan antar negara yang kian pesat, ditandai dengan semakin cepatnya aliran barang dan jasa antar negara. Menurut pendapat sebagian ahli ekonomi, perdagangan antar negara sebaiknya dibiarkan secara bebas dengan seminimal mungkin pengenaan tarif dan hambatan lainnya. Hal ini didasari argumen bahwa liberalisasi perdagangan akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat perdagangan dan bagi dunia serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan. Demikian pula menurut Hadi (2003) selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar negara perdagangan bebas juga akan meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Sementara Stephenson (1994) mengidentifikasikan bahwa liberalisasi perdagangan akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan
2
meningkatkan akses pasar ke negara lain. Dengan demikian suatu negara akan berusaha membuka dirinya terhadap perdagangan dengan negara lainnya. Alasan diselenggarakannya liberalisasi perdagangan dalam jangka panjang yakni: Pertama, untuk membuka kesempatan bagi pengembangan industri. Hal ini dimungkinkan karena integrasi merupakan mekanisme yang mendorong pembagian tenaga kerja intra kelompok secara rasional. Sebaliknya, tanpa adanya integrasi: (1). masing-masing hanya akan menerima manfaat terbatas bila pembagian kerja terjadi pada masing-masing negara, (2). Masing-masing negara mungkin tidak akan dapat menyediakan pasar yang cukup besar untuk memberi kesempatan pada industri-industri untuk menurunkan biaya produksi melalui pengembangan skala ekonomi. Tanpa
integrasi maka industri yang sama
mungkin akan dibangun di dua atau lebih negara yang berdekatan. Masing-masing industri akan beroperasi di bawah kapasitas optimal dan dengan demikian akan dilindungi dari barang-barang impor dari negara lain dengan tarif yang tinggi atau hambatan non tarif. Duplikasi seperti ini bukan hanya pemborosan sumberdaya yang langka, tetapi juga konsumen dipaksa membayar harga yang lebih tinggi untuk barang yang sama dibanding bila pasar bagi barang tersebut cukup besar untuk menghasilkan produksi dengan volume tinggi, biaya murah yang dibangun di satu tempat. Industrialisasi melalui substitusi impor biasanya hanya akan merupakan pembangunan industrialisasi yang tidak efisien dan berbiaya tinggi. Kedua, dengan menghilangkan hambatan (barrier) perdagangan antar negara anggota, maka koordinasi perencanaan industri sangat mungkin diciptakan, terutama berdasar skala ekonominya. Perencanaan pengembangan industri yang terkoordinasi memungkinkan negara anggota mempercepat pertumbuhan industri dengan menempatkan industri di negara-negara yang berbeda sehingga membawa negara mitra (partner) ke dalam haluan ekonomi yang kian dekat, bahkan akhirnya kesatuan politik. Bagi Indonesia, liberalisasi perdagangan pada dasarnya adalah suatu bagian dari kebijakan perdagangan luar negeri Indonesia yang merupakan keputusan politik ekonomi. Diawali sejak adanya keinginan untuk membentuk kawasan perdagangan bebas di ASEAN atau AFTA (ASEAN Free Trade Area) pada tahun 90 an (Departemen Perdagangan RI, 2010). Kesepakatan AFTA
3
adalah kerangka ekonomi utama di ASEAN. AFTA diterapkan melalui Skema Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang mencanangkan semua tarif bakal dihapus sebelum tahun 2010 untuk ASEAN-6 dan sebelum tahun 2015 Kambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam (Departemen Perdagangan RI, 2010) Selain AFTA, Indonesia yang tergabung dalam ASEAN juga terlibat dalam beberapa kesepakatan perdagangan bebas lainnya. Diantaranya: a. ASEAN-Cina (ACFTA, ditandatangi pada 29 November 2004), merupakan kesepakatan antara negara anggota ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina. b. ASEAN-Rep. Korea (AKFTA, ditandatangi pada 26 Agustus 2006), merupakan kesepakatan antara negara anggota ASEAN dengan Rep. Korea untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Rep. Korea. c. ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP, ditandatangi pada 1 Maret 2008), merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan Jepang. Hal ini untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas
dengan
menghilangkan
atau
mengurangi
hambatan-hambatan
perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para anggotanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Jepang. d. ASEAN-India Regional Trade and Investment Area ditandatangi pada 13 Agustus 2009. Tingkat liberalisasi perdagangan barang dalam AIFTA tidak setinggi liberalisasi perdagangan barang yang dicapai antara ASEAN dengan
4
mitra FTA lainnya. Namun kedua pihak sepakat untuk meningkatkan komitmen
liberalisasi
melalui
proses
”review”
setelah
perjanjian
diimplementasikan e. ASEAN-Australia and New Zealand FTA (penandatangannya pada 27 Februari 2009), merupakan FTA regional yang bersifat komprehensif yang menggunakan pola single undertaking. AANZ-FTA perlu dilihat sebagai sebuah paket komprehensif yang menawarkan tidak saja tantangan di sektor tertentu, tetapi juga manfaatnya secara lintas sektoral dan peluang kerjasama bilateral yang dirintis selama perundingan yang mencakup sektor-sektor yang sensitif bagi Indonesia. f. ASEAN-European Union FTA, yang telah ditandatangani pada November 2007, namun dihentikan sementara sejak awal 2009, karena kesulitan EU untuk melanjutkan perundingan dengan seluruh anggota ASEAN Lebih jauh lagi, gagasan pembentukan FTA yang lebih luas telah disepakati, yaitu ASEAN Plus Three FTA atau East Asia Free Trade Area (EAFTA). FTA ini melibatkan negara anggota ASEAN dan tiga negara besar di kawasan Asia Timur, yakni Cina, Rep. Korea dan Jepang. ASEAN Plus Three telah sepakat untuk menciptakan perdagangan bebas di kawasan tersebut. Pada dasarnya ASEAN Plus Three FTA adalah salah satu rangkaian kerjasama antara negara anggota ASEAN dan 3 (tiga) negara Asia Timur. Kerjasama ini berfokus pada pilar kerjasama ekonomi dan keuangan yang meliputi perdagangan dan investasi, kerjasama keuangan, kesesuaian standar, HKI, transportasi, pariwisata, pangan, pertanian, perikanan dan kehutanan, sumberdaya mineral, UKM, komunikasi dan informasi, serta kerjasama pembangunan. Pembentukan ASEAN Plus Three FTA adalah salah satu dari sembilan langkah jangka panjang yang diusulkan oleh kelompok studi Asia Timur (EASG) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Plus Three November 2002. Selanjutnya pada KTT ASEAN Plus Three pada tanggal 29 November 2004, para pemimpin meminta Menteri ekonomi ASEAN Plus Three untuk merumuskan sebuah kelompok ahli pada setiap negara untuk mempelajari kelayakan ASEAN Plus Three FTA. Pertemuan konsultasi ke-11 Menteri Ekonomi ASEAN Plus
5
Three pada tanggal 15 Agustus 2009 mencatat laporan akhir ASEAN Plus Three yang salah satu isinya adalah rekomendasi dari para ahli dari 10 negara ASEAN dan Cina, Jepang dan Rep. Korea mengenai prospek dari pembentukan kawasan pedagangan bebas Asia Timur. Rekomendasi utama dari kajian tersebut kepada Menteri ASEAN dan Kepala Negara ASEAN adalah: (i) ASEAN Plus Three merupakan proses integrasi kawasan yang sangat penting dan memiliki arti strategis; (ii) proses dilanjutkan dengan membentuk 2 kelompok kerja untuk Rule of Origin (RoO) dan klasifikasi tarif serta; (iii) paling lambat negosiasi FTA dimulai tahun 2012. Para Menteri sepakat agar hasil kajian ASEAN Plus Three dapat
disampaikan
kepada
Kepala
Negara/Pemerintahan
(Departemen
Perdagangan RI, 2010). Akhirnya dengan melewati berbagai proses studi dan konsultasi yang membutuhkan waktu lama, skema ASEAN Plus Three FTA ditandatangani pada bulan Oktober 2009 di Thailand. FTA ini akan menjadi kawasan FTA terbesar di seluruh dunia karena akan menyebabkan terjadinya integrasi perekonomian yang meliputi sekitar 2,5 milyar konsumen, yaitu sebanyak lebih dari 1,6 milyar dari Asia Timur dan lebih dari 700 juta dari ASEAN (ASEANSEC, 2010). Implikasi bagi Indonesia dan negara lain yang terlibat adalah tentu saja harus menghadapi pasar bebas kawasan ASEAN dan Asia Timur dengan tingkat persaingan yang lebih ketat. ASEAN Plus Three FTA dapat memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN Plus Three lainnya. Di lain pihak, penerapan FTA ini juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik. Perkembangan beberapa indikator makro ekonomi selama beberapa tahun terakhir seperti yang terlihat pada Tabel 1.1, menunjukkan bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) bagi negara-negara yang lebih maju seperti Rep. Korea dan Jepang relatif rendah dengan tingkat inflasi yang lebih stabil. Sementara Cina jauh mengungguli negara ASEAN Plus Three lainnya dengan persentase neraca perdagangan terhadap PDB yang relatif besar. Indonesia memperlihatkan penurunan dalam persentase neraca perdagangan terhadap PDB bahkan mencapai angka negatif pada tahun 2009. Dari sekilas gambaran tersebut
6
maka diperkirakan Cina lebih siap dalam menghadapi persaingan pasar bebas di kawasan ASEAN dan Asia Timur. Tabel 1.1. Perkembangan Indikator Makroekonomi Beberapa Anggota ASEAN Plus Three Tahun 2007-2009 (persen) Harga Konsumen1
PDB Riil
Negara
Neraca Perdagangan2 2007 2008 2009 2.5 0.1 –0.1
Indonesia
2007 6.3
2008 6.1
2009 5.5
2007 6.2
2008 9.8
2009 8.8
ASEAN 5
6.3
5.5
4.9
4.4
9.6
7.2
5.1
2.7
2.1
11.9
9.7
9.3
4.8
6.4
4.3
11.3
9.5
9.2
5.1 2.1
2.2 0.7
0.2 0.5
2.5 0.3
4.6 1.6
2.7 0.9
0.6 4.8
-0.6 4.0
5.1 3.7
Cina Rep Korea Jepang
Sumber : IMF, 2011 Keterangan: 1 Perkembangan harga konsumen dihitung berdasarkan nilai pertumbuhan rata-rata tahunan 2 Dinyatakan sebagai persentase dari PDB
1.2.
Perumusan Masalah ASEAN Plus Three FTA akan menimbulkan implikasi bagi negara-negara
yang terlibat termasuk Indonesia. Sebagai gambaran, jika melihat perkembangan neraca perdagangan Indonesia dengan Cina, Rep. Korea dan Jepang selama 5 tahun terakhir seperti pada Tabel 1.2, terlihat bahwa Indonesia mengalami penurunan neraca perdagangan khususnya dengan Cina. Dengan tingkat tarif sebelum diberlakukannya skema ASEAN Plus Three neraca perdagangan Indonesia dengan Cina menunjukkan kecenderungan yang menurun, bahkan mulai tahun 2008 mencapai angka negatif. Hal ini menunjukkan bahwa dayasaing produk-produk Cina semakin unggul di pasar Indonesia. Terlebih setelah diberlakukannya skema ASEAN-Cina FTA (ACFTA). Neraca perdagangan Indonesia dengan Jepang mengalami peningkatan dari tahun 2006 hingga 2007. Namun kembali mengalami penurunan meski belum mencapai angka negatif. Penurunan tersebut dikhawatirkan akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya terlebih setelah ASEAN Plus Three FTA diberlakukan. Sementara dengan Rep. Korea, neraca perdagangan Indonesia lebih cenderung stabil walaupun sempat turun pada tahun 2008 namun kemudian meningkat kembali pada tahun 2009.
7
Tabel 1.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina, Rep. Korea dan Jepang Periode 2006-2010 (Juta Dolar) Negara Mitra Cina
Rep. Korea
Jepang
Uraian
2006
2007
2008
2009
2010
Ekspor Impor
8,343.6 6,636.9
9,675.5 8,557.9
11,636.5 15,247.2
11,499.3 14,002.2
15.692.6 20.424.2
Neraca
1,706.7
1,117.6
-3,610.7
-2,502.8
-4.731.6
Ekspor Impor
7,693.5 2,875.9
7,582.7 3,196.7
9,116.8 6,920.1
8,145.2 4,742.3
12.574.6 7.702.9
Neraca
4,817.7
4,386.0
2,196.8
3,402.9
4.871.6
Ekspor Impor
21,732.1 23,632.8 5,515.8 6,526.7
27,743.9 15,128.0
18,574.7 9,843.7
25.781.8 16.965.8
Neraca
16,216.3 17,106.1
12,615.8
8,731.0
8.816.0
Sumber: Departemen Perdagangan RI, 2011 Sebelum pemberlakuan FTA dalam kerangka ASEAN Plus Three, ASEAN juga telah menyepakati berbagai FTA dalam kerangka ASEAN Plus One. Salah satu bentuk FTA dalam kerangka ASEAN Plus One yang sudah diberlakukan per tanggal 1 Januari 2010 adalah ACFTA (ASEAN China Free Trade Area). Dampak ACFTA merupakan isu yang banyak diperbincangkan karena telah menimbulkan berbagai implikasi bagi perekonomian semua negara yang terlibat. Bagi Indonesia, implikasi yang terlihat jelas adalah dengan semakin banyaknya produk Cina di pasar Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data neraca perdagangan Indonesia dengan Cina hingga tahun 2010 seperti yang terlihat pada Tabel 1.3. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sejak ACFTA resmi berlaku tahun 2010 menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap neraca perdagangan Indoensia dengan Cina. Dimana neraca perdagangan Indonesia tahun 2010 mengalami defisit hampir dua kali lipat dari tahun 2009. ACFTA menimbulkan pro dan kontra khususnya bagi Indonesia. Pihak yang menentang dengan kebijakan ini menilai bahwa akan terjadi peningkatan permintaan produk dari Cina yang secara langsung akan memperluas lapangan pekerjaan di Cina, di sisi lain industri-industri kecil Indonesia dikhawatirkan akan mulai berguguran yang pada akhirnya berpotensi mengurangi lapangan pekerjaan di Indonesia. Hal inilah yang menjadi keluhan para pelaku usaha Indonesia.
8
Berdasarkan informasi dari berbagai media, ACFTA dianggap oleh sebagian besar masyarakat, khususnya pengamat ekonomi industri domestik dan pelaku industri sebagai suatu ancaman bagi perkembangan industri skala kecil dan menengah di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa distribusi massal produk-produk asal Cina di banyak negara seringkali dianggap sebagai suatu ancaman terhadap produk-produk lokal. Padahal ACFTA tidak selalu memiliki pandangan yang negatif jika Indonesia dapat memanfaatkan peluang kerjasama FTA tersebut. Tabel 1.3. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Cina (Juta dolar) Uraian 2006 2007 Total perdagangan 14.980,4 18.233.3 - Migas 4.011,8 3.612.1 - Non migas 10.968,6 14.621,3 Ekspor 8.343,5 9.675,5 - Migas 2.876,9 3.011,4 - Non migas 5.466,6 6.664,1 Impor 6.636,9 8.557,8 - Migas 1.134,9 600,6 - Non migas 5.501,9 7.957,2 Neraca perdagangan 1.706,7 1.117,6 - Migas 1.742,1 2.410,7 - Non migas -353,7 -1.293,1 Sumber: Departemen Perdagangan RI, 2011
2008 26.883,6 4.148,6 22.735,1 11.636,5 3.849,3 7.787,2 15.247,1 299,2 14.947,9
2009 25.501,4 3.090,1 22.411,4 11.499,3 2.579,2 8.920,1 14.002,2 510,8 13.491,4
2010 36.116,8 2.347,9 33.768,9 15.692,6 1.611,7 14.080,9 20.424,2 736,2 19.688,1
-3.610,6 3.550,1 -7.160,7
-2.502,8 2.068,4 -4.571,3
-4.731,6 875,4 -5.607,1
Meningkatnya produk Cina yang masuk ke Indonesia tidak lepas dari faktor kompetitif harga. Barang-barang impor dari Cina relatif lebih murah dibanding produk dari industri lokal. Ditambah dengan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang lebih mencari barang murah (kurang memperhatikan asal atau nasionalisme dan komparasi kualitas), maka secara perlahan pasar produk lokal disaingi oleh produk Cina. Keadaan tersebut tentu saja menimbulkan kekhawatiran bagi Indonesia, mengingat kita akan segera menghadapi pasar bebas dengan tiga negara di Asia Timur dalam kerangka ASEAN Plus Three. Perdagangan antar negara di kawasan ini akan berlangsung sangat bebas, jauh lebih bebas dari AFTA. Di dalam AFTA, pemerintah masih dimungkinkan misalnya menerapkan bea masuk 1 sampai 5 persen atau juga mengeluarkan kebijakan khusus untuk melindungi industri atau
9
barang-barang produksi dalam negeri yang sangat sensitif. Sedangkan, dalam kerangka ASEAN Plus Three produk-produk Indonesia akan sepenuhnya bersaing dengan produk-produk negara lainnya. Dengan kualitas yang ada saat ini serta tingginya pajak dan pungutan sebagaimana banyak dikeluhkan pengusaha, niscaya akan sangat sulit bagi barang Indonesia untuk bisa bersaing. Vietnam dan Kamboja memiliki keunggulan dalam hal tenaga kerja yang lebih murah, sedangkan Singapura, Malaysia dan Thailand sangat bersaing dalam kualitas dan juga manajemen. Oleh sebab itu, FTA dalam kerangka ASEAN Plus Three diduga akan menimbulkan dampak yang lebih besar dari AFTA maupun ACFTA. Harus disadari bahwa keikutsertaan Indonesia ke dalam blok semacam ini tentunya merupakan “keputusan politik“ pemerintah. Para pihak yang mendukung pembentukan FTA ini tentunya bukan hanya sekedar dukungan semata. Melainkan telah dikaji oleh tim ahli yang tentu sudah memikirkan segala aspek positif maupun negatifnya. Oleh karena itu, Indonesia sudah seharusnya memetik pelajaran berharga. Sudah saatnya pemerintah maupun para ahli kita mengkaji secara mendalam dan memikirkan masak-masak segala persoalan yang terkait dengannya. Berbagai studi serta persiapan maksimal perlu dilakukan agar kita bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya. Tahapan-tahapan yang realistis perlu dipikirkan untuk menekan dampak negatif yang mungkin timbul. Di sisi pemerintah, perbaikan pelayanan birokrasi Indonesia ke arah yang “lebih baik atau bermutu, lebih cepat dan lebih murah” (better, faster and cheaper) hendaknya bukan hanya slogan politis, tetapi juga demi efisiensi pelaku bisnis. Di sisi lain, pelaku usaha seharusnya juga terus melakukan perbaikan internal dengan arahan dan orientasi bisnis yang semakin jelas, sehingga pemerintah pun bisa mendukung dan bersama-sama menghadapi serangkaian tantangan yang dihadapi dalam rangka ASEAN Plus Three FTA. ASEAN Plus Three FTA dapat memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN Plus Three lainnya. Di lain pihak, proses integrasi juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik.
10
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka masalah yang relevan untuk dirumuskan pada penelitian ini antara lain: 1.
Bagaimanakah kinerja perdagangan Indonesia dalam rangka menghadapi perdagangan bebas ASEAN Plus Three?
2.
Bagaimanakah dampak perdagangan bebas ASEAN Plus Three terhadap performa ekonomi makro dan sektoral Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, maka tujuan
penelitian ini antara lain: 1.
Menganalisis
kinerja
perdagangan
Indonesia
dalam
menghadapi
perdagangan bebas ASEAN Plus Three. 2.
Menganalisis dampak perdagangan bebas ASEAN Plus Three terhadap performa ekonomi makro dan sektoral Indonesia.
1.4.
Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup pada penelitian ini antara lain:
1.
Komoditi yang akan dibahas dalam penelitian ini mencakup 10 (sepuluh) komoditi yang memiliki nilai ekspor tertinggi ke pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.Korea (ASEAN Plus Three) serta 10 (sepuluh) komoditi yang memiliki nilai impor tertinggi dari ASEAN Plus Three.
2.
Performa ekspor Indonesia ke pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.Korea dapat dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif, yaitu dengan melihat pertumbuhan ekspor selama 5 (lima) tahun terakhir dan dengan menggunakan alat analisis Revalead Comparatif Advantage (RCA) dan Intra Industry Trade (IIT).
3.
Untuk menganalisis dampak dari dibukanya area perdagangan bebas ASEAN Plus Three terhadap performa ekonomi makro dan sektoral Indonesia digunakan data dan model GTAP (Global Trade Analysis Project).
4.
Agregasi regional GTAP dan komoditi untuk ASEAN Plus Three FTA masing-masing adalah sebagai berikut:
11
a. Negara Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, Rest of ASEAN, Cina, Jepang, Rep. Korea, Rest of Asia dan Rest of the World. b. 10 (sepuluh) Komoditi yang memiliki nilai ekspor tertinggi ke pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep.Korea serta 10 (sepuluh) komoditi yang memiliki nilai impor tertinggi dari ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea.
12
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian Liberalisasi Perdagangan Definisi mengenai liberalisasi perdagangan salah satunya dikemukakan
oleh Madeley dan Solagral (2001) yang menyebutkan bahwa liberalisasi perdagangan adalah sebagai suatu proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non tarif antar negara sebagai mitra dagang. Liberalisasi perdagangan menjadi semakin menarik untuk dibahas karena menimbulkan pro dan kontra. Menurut kelompok yang mendukung liberalisasi, kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi setiap negara. Pemikiran ini didasarkan pada pandangan bahwa penghapusan hambatan perdagangan akan menyebabkan arus barang dan jasa menjadi semakin lancar. Pandangan ini kontras dengan pemahaman kelompok anti liberalisasi. Menurut kelompok ini, liberalisasi akan menghancurkan perekomomian negaranegara di dunia. Pengaruh negatif muncul karena barang impor yang semakin menguasai pasar domestik sehingga mematikan produksi dalam negeri atau menurunkan ekspor domestik terutama yang berdayasaing rendah. Turunnnya ekspor selanjutnya berdampak negatif pula terhadap produksi dalam negeri jika sebagian besar dari barang-barang yang dibuat dalam negeri untuk tujuan ekspor, atau karena kurangnya dana untuk membiayai proses produksi yang disebabkan oleh berkurangnya devisa dari hasil ekspor. Namun demikian, bila domestik memiliki dayasaing yang lebih tinggi, maka liberalisasi perdagangan dunia menciptakan peluang ekspor yang besar. 2.2.
Free Trade Area (FTA): Pengertian dan Dampak Integrasi Ekonomi Regional Kegiatan
ekonomi
internasional
memiliki
kecenderungan
untuk
membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bermanfaat
14
bagi Negara anggota. Contoh organisasi yang terkenal sekarang antara lain European Union (EU) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA). Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global. Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk meningkatkan integrasi ekonomi global. Organisasi
ini
terdiri
dari
berbagai
bentuk,
tergantung
tingkat
kerjasamanya yang mengarah ke tingkat integrasi yang berbeda antara negara peserta. Ada lima tingkat kerja sama formal antar negara anggota kelompok regional, yaitu Free Trade Area (FTA), Custom Union, Common Market, Monetary Union, dan Political Union (Kotabe dan Helsen, 2001). Free Trade Are (FTA) adalah kerjasama formal antara dua atau lebih negara untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota. Akan tetapi masing-masing negara anggota bebas menentukan tingkat tarif individu dengan negara yang bukan anggota. FTA adalah salah satu bentuk reaksi adanya globalisasi dan liberalisasi yang berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan dalam kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tariff-barrier) maupun hambatan non tarif (non-tariff barier=NTB). FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi regional yang memperdagangkan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya yang tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. Dengan kata lain, ”internal tariff” antara negara anggota menjadi 0 persen, sedangkan masing-masing negara memiliki “external tariff” sendiri-sendiri. Contohnya AFTA (Asean Free Trade Area) yang diawali dengan CEPT (Common Effective Preferential Tariff) yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1993 serta ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) yang telah diberlakukan 1 Januari 2010. Dampak dibukanya perdagangan bebas tidak hanya akan dirasakan oleh ekonomi negara-negara yang berdagang, namun juga akan dirasakan oleh perekonomian
dunia
secara
keseluruhan.
Dampak
diliberalisasikannya
perdagangan tersebut secara keseluruhan mengakibatkan kesejahteraan dunia menurun. Berdasarkan teori perdagangan internasional, perdagangan internasional
15
seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang melakukan perdagangan bebas, karena melalui perdagangan bebas akan terjadi peningkatan efisiensi
penggunaan sumberdaya domestik dan akses pasar ke negara lain
(Stephenson, 1994). Namun demikian, secara umum terdapat beberapa variabel ekonomi dunia yang meningkat seperti investasi global barang-barang kapital, volume perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan dunia. Peningkatan arus perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluas-luasnya mengakibatkan peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi volume perdagangan dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan tingkat pengembalian kapital yang negatif sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan dunia. Custom Union. Anggota Custom Union tidak hanya mampu mengurangi atau menghilangkan tarif antara anggota, tapi juga mereka mempunyai tarif eksternal bersama terhadap negara yang bukan anggota Custom Union. Hal ini mencegah negara yang bukan anggota mengekspor ke negara anggota yang mempunyai tarif eksternal rendah. Common Market. Jika kerja sama meningkat di antara negara Custom Union, maka dapat terbentuk Common Market. Common Market menghilangkan semua tarif dan hambatan lain dalam perdagangan antara anggota, mengadopsi seperangkat tarif eksternal bersama pada negara bukan anggota, dan menghilangkan batasan-batasan pada aliran modal dan tenaga kerja antar negara anggota. Monetary Union. Monetary Union berada pada level integrasi keempat dengan satu mata uang bersama antar negara. Contohnya Negara anggota European Union menggunakan mata uang. Tingkat integrasi ini juga disebut Economic Union karena juga melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi negara anggota, seperti pajak, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal (Wild, Wild dan Han, 2000). Political Union. Political Union merupakan puncak dari proses integrasi. Political Union dapat menjadi nama lain dari sebuah negara ketika union secara sungguh-sungguh mencapai tingkat integrasi. Terkadang, negara-negara yang
16
berkumpul dalam Political Union antara lain adalah karena alasan sejarah, seperti British Commonwealth yang terdiri dari negara-negara yang pernah menjadi bagian oleh British Empire. Namun ketika British bergabung dengan European Union, perlakuan istimewa ini hilang. Sekarang kelompok ini hanya sebagai forum untuk diskusi dan ikatan sejarah yang sama. Integrasi ekonomi regional (termasuk FTA) akan memberikan dampak positif dan negatif terhadap perdagangan barang dan jasa dinegara-negara anggota FTA. Dampak positif dari integrasi ekonomi adalah (Wild, Wild dan Han, 2000): 2.2.1.
Trade Creation Dengan analisis partial equilibrium, trade creation adalah penggantian
dimana produk domestik suatu negara yang melakukan integrasi ekonomi regional melalui pembentukan FTA dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara full employment dan dengan melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing negara akan memperoleh dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah.
Px
Sx
4 3 2 1
G
H
J
A
B
N M C V U 10 20
S1+T
Z 50
W 70
S1 Dx Qx
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.1. Trade Creation Efek positif dari trade creation ini bukan hanya berlaku untuk negara anggota, tetapi juga untuk negara lain yang bukan anggota karena adanya peningkatan spesialisasi produksi yang mendorong peningkatan impor dari negara
17
lain (rest of the world). Terjadinya trade creation dapat diilustrasikan pada Gambar 2.1. (Salvatore, 1997). Dx dan Sx masing-masing merupakan kurva permintaan dan penawaran domestik untuk barang X dari negara II, sedangkan kurva S1 merupakan kurva penawaran yang elastis sempurna dalam keadaan free trade untuk barang X dari negara I ($1). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100 persen, negara II mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I, sehingga harga impornya menjadi $2 atau kurva S1 + T. Produksi domestik negara II sebanyak 20 unit barang X atau AM, sedangkan total konsumsi dalam negara II sebanyak 50 unit barang X atau GH. Kemudian negara I dan negara II membentuk integrasi ekonomi regional dalam bentuk FTA. Setelah membentuk FTA, negara II mengimpor 60 unit barang X atau CB dari negara tanpa bea masuk pada harga $1 (kurva S1). Produk domestik negara I turun menjadi 10 unit barang X atau CM dan total konsumsi naik menjadi 70 unit barang X atau AB. Dengan pembentukan FTA, maka : Penerimaan bea masuk untuk negara II akan hilang, Konsumen domestik akan memperoleh transfer dari produsen domestik sebesar area AGJC yang merupakan kenaikan konsumen surplus, Manfaat lain yang diperoleh negara II setara dengan area CJM + area BHN, atau setara dengan $15. 2.2.2. Konsensus yang Lebih Besar Keuntungan untuk mengelimainasi hambatan perdagangan lebih mudah dilakukan pada kelompok negara-negara yang lebih kecil. Contohnya seperti ASEAN dibandingkan dengan kelompok yang lebih besar seperti WTO. 2.2.3. Kerjasama Politik Secara politik terdapat keuntungan dari negara-negara yang berintegrasi. Salah satu keuntungan yang juga diutamakan adalah dapat memperjuangkan kepentingan bersama di forum perundingan yang lebih besar seperti WTO. Integrasi ekonomi juga memberikan dampak negatif terhadap anggotanya. Wild, Wild dan Han (2000) mengidentifikasi terdapat tiga dampak negatif yaitu trade diversion, pergeseran tenaga kerja, hilangnya kedaulatan nasional. 2.2.4. Trade Diversion Terjadinya pengalihan perdagangan dari negara yang tidak ikut serta dalam perjanjian perdagangan tapi lebih efisien ke negara yang ikut serta dalam
18
perjanjian walaupun kurang efisien. Gambar 2.2 menunjukkan terjadinya trade diversion pada negara yang melakukan integrasi ekonomi. Sebagai contoh, Dx dan Sx merupakan kurva permintaan dan penawaran domestik untuk barang X dari negara II, sedangkan kurva S1 dan S3 merupakan kurva penawaran yang elastis sempurna dalam keadaan free trade untuk barang X dari negara I ($1) dan negara III ($1,5). Dengan mengenakan tarif bea masuk 100 persen, negara II mengimpor 30 unit barang X atau JH dari negara I sehingga harga impornya menjadi $2 atau kurva S1+T. Kemudian negara II membentuk integrasi ekonomi regional dalam bentuk FTA dengan negara III. Setelah pembentukan FTA, negara II mengimpor 45 unit barang X atau C’B’ dari negara III yang bebas bea masuk pada harga $ 1,5 (kurva S3).Dengan pembentukan FTA maka : kesejahteraan / manfaat yang diperoleh negara II adalah sebesar segitiga C’JJ’ + segitiga H’HB’, atau senilai $1,25 + $2,5 = $3,75 ; kesejahteraan / manfaat yang hilang dari negara II sebesar segiempat MNH’J’ atau senilai $15 ; kesejahteraan / manfaat neto yang hilang adalah sebesar $15 $3,75 = $11,25 (Lihat Gambar 2.2.).
Px
Sx H
3
E
2
G
1,5
G’
J
H
C’
J’
H’
M
N
S1+T B’
S3 S1
1 10
20
50
Z
Dx
Qx
60
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.2. Trade Diversion 2.2.5. Pergeseran Tenaga Kerja Karena adanya kerjasama perdagangan maka produsen akan berproduksi ke negara yang lebih efisien. Sebagai contoh, untuk industri yang memerlukan
19
tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan yang rendah akan mengalihkan tempat produksinya ke negara anggota yang memiliki tingkat upah yang rendah. 2.2.6. Hilangnya Kedaulatan Politik Jika integrasi ekonomi sudah mencapai political union, maka suatu negara akan kehilangan kebebasan dalam menentukan politik luar negerinya sendiri. Sejauh ini, bentuk integrasi pada tingkat yang paling tinggi (political union) sulit untuk dicapai. 2.3.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Haryadi (2008) manganalisis dampak liberalisasi perdagangan pertanian
terhadap perekonomian negara maju dan berkembang (analisis GTAP). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa negara berkembang termasuk Indonesia belum siap sepenuhnya untuk meliberalisasi perdagangan dengan tarif nol persen. Negara maju paling diuntungkan oleh kebijakan penghapusan tarif. Penelitian Oktaviani et al (2008) berjudul ”Consultancy and Training Services to Develop Quantitative Analytical Tools and Framework for Assessing Investment and Trade Competitiveness” dengan metode analisis RCA, Ekspor Produk Dinamik, CMSA dan CGE menunjukkan selama periode tahun 2000-2006 nilai ekspor Indonesia tumbuh sebesar 10.76 persen pertahun, nilai ini lebih rendah secara relatif dibandingkan Cina (23.61 persen). Terdapat 194 komoditas Indonesia yang memiliki nilai RCA lebih dari 1 dan tingkat pertumbuhan ekspor yang positif. Berdasarkan matriks ekspor produk dinamik kategori komoditas ekspor dalam kuadran rising star adalah komoditas pertanian dan agroindustri. Berdasarkan market destinatination Indonesia, Malaysia, Thailand dan Cina memiliki kesamaan dalam penetrasi pasar, dimana seluruh negara tersebut berorientasi pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, dan Cina. Berdasarkan CMSA pertumbuhan ekspor Indonesia dipengaruhi efek pertumbuhan impor dan efek komposisi komoditas. Rendahnya dayasaing investasi Indonesia dipengaruhi oleh infrastruktur seperti sedikitnya jalan yang sudah diaspal, sambungan telepon dan koneksi internet yang minim, dan rendahnya konsumsi listrik. Faktor fundamental seperti share hutang luar negeri terhadap GDP dan tingkat inflasi sangat berpengaruh terhadap dayasaing investasi di Indonesia.
20
Hasil model CGE menunjukkan bahwa kenaikan harga komoditas pangan dunia akan memberikan dampak negatif bagi kondisi makroekonomi Indonesia. Pendapatan Nasional akan menurun disertai dengan peningkatan inflasi karena sebagian besar komoditas yang mengalami kenaikan adalah komoditas impor misalnya vegetable oils, fats dan palm oils. Penelitian Oktaviani, et al (2007) menganalisis FTA dalam skema ASEAN Plus One yakni ASEAN-Cina dan ASEAN-Rep. Korea. Alat analisis yang digunakan adalah IIT dan GTAP, menunjukkan hasil terjadi integrasi yang tinggi pada komoditi manufaktur antara ASEAN dengan negara Cina dan Rep. Korea. Komoditi pertambangan terutama untuk negara Indonesia lebih banyak terjadi one way trade atau nilai IIT bernilai 0. Pada kelompok lainnya, yaitu kelompok komoditi pertanian primer secara umum belum mampu bersaing menghadapi pasar bebas. Nilai IIT yang relatif rendah dari angka maksimal 100 yang menunjukkan integrasi yang tinggi antar kedua wilayah menunjukkan ketidakmampuan dayasaing produk pertanian primer Indonesia tersebut. Beberapa sub sektor kemungkinan dapat dikembangkan mengingat memiliki nilai IIT yang cukup, seperti komoditi pertanian lainnya yang mencapai nilai IIT lebih dari 60. Integrasi yang tinggi menunjukkan kedekatan perdagangan di antara negaranegara di kawasan tersebut. Jika dilihat fokus pada sektor pengolahan pertanian, maka komoditi minyak nabati terutama produk CPO (Crude Palm Oil) serta turunannya merupakan produk andalan Indonesia. Malaysia dan Indonesia menempati urutan pertama dan kedua di dunia untuk eskpor CPO dan turunannya. Secara keseluruhan dampak makro ekonomi FTA dalam Skema ASEANCina maupun ASEAN-Rep. Korea meningkatkan total GDP negara-negara ASEAN walaupun relatif kecil. Peningkatan GDP lebih banyak didorong oleh pengeluaran/konsumsi masyarakat yang lebih tinggi. Peningkatan GDP yang disebabkan oleh peningkatan investasi relatif kecil. Hal ini tentunya kurang baik apabila dilihat dalam perspektif jangka panjang. Penelitian Thorpe (2005) yang bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi IIT pada industri manufaktur di Asia Timur 1970-1996 dengan memisahkan IIT menjadi IIT horizontal dan vertikal. IIT horizontal timbul sebagai akibat adanya economies of scale dan differensiasi produk sedangkan
21
vertikal terjadi pada perdagangan komoditi yang sama dengan kualitas yang berbeda. Selain itu, Thorpe (2005) menggunakan model gravity, yang hasilnya menunjukkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi IIT pada sektor manufaktur di Asia Timur adalah GDP, perbedaan GDP, GDP perkapita, perbedaan GDP perkapita, jarak, kurs, ketidakseimbangan perdagangan, dan economies of scale. Austria (2004)
yang penelitiannya bertujuan untuk menganalisis
karakteristik perdagangan pada 11 sektor prioritas ASEAN periode 1997-2001 dan mengukur integrasi pada 11 sektor tersebut melalui IIT menunjukkan bahwa IIT relatif tinggi hanya pada sektor ICT dan elektronik. Penelitian Menon (1996) bertujuan untuk mengukur besarnya kontribusi pertumbuhan perdagangan intra industri dan pertumbuhan perdagangan neto terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN periode 1981-1986 dan 19861991 khususnya manufaktur. Dengan metode Grubel-Lloyd Index untuk mengukur IIT hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan perdagangan intra industri terhadap pertumbuhan total perdagangan ASEAN adalah lebih besar dibandingkan kontribusi yang diberikan oleh perdagangan neto di sebagian besar negara ASEAN. Dari berbagai penelitian terdahulu, maka penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui dampak ASEAN Plus Three FTA cukup relevan untuk dilakukan. Dengan posisi dayasaing seperti saat ini, penelitian ini ingin melihat dampak secara luas dari adanya FTA dalam skema ASEAN Plus Three dan bagaimana jika dibandingkan dengan skema ASEAN Plus One seperti yang telah dilakukan pda penelitiannya sebelumnya. 2.4
Kerangka Pemikiran Teoritis
2.4.1. Teori Perdagangan Internasional Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja. Bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy, 1997).
22
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Selain motif mencari keuntungan, Krugman (1991) mengungkapkan bahwa alasan utama terjadinya perdagangan internasional: 1.
Negara-negara berdagang karena mereka berbeda satu sama lain.
2.
Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economic of scale) Menurut
Tambunan
(2001),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perdagangan internasional dapat dilihat dari teori penawaran dan permintaan. Dari teori penawaran dan permintaan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya kelebihan produksi dalam negeri (penawaran) dengan kelebihan permintaan negara lain. Secara teoritis, suatu negara (misal negara A) akan mengekspor suatu komoditi (misal pakaian jadi) ke negara lain (misal negara B) apabila harga domestik negara A (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan harga domestik negara B (Gambar 2.3). Stuktur harga yang terjadi di negara A lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sehingga di negara A telah terjadi excess supply (memiliki kelebihan produksi). Dengan demikian, negara A mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di negara B terjadi kekurangan supply karena konsumsi domestiknya lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di negara B lebih tinggi. Dalam hal ini negara B berkeinginan untuk membeli pakaian jadi dari negara lain yang relatif lebih murah. Jika kemudian terjadi komunikasi antara negara A dengan negara B, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengah harga yang diterima oleh kedua negara adalah sama.
23
DA
A
SA ES PB
X P*
M
PA
B
ED O
SB
DB
QA
O
Negara A (ekspor)
Q*
O
Perdagangan Internasional
QB
Negara B (impor)
Sumber : Salvatore, 1997 Gambar 2.3. Kurva Perdagangan Internasional Keterangan: PA : Harga domestik di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional OQA : Jumlah produk domestik yang diperdagangkan di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional A : Kelebihan penawaran (excess supply) di negara A (pengekspor) tanpa perdagangan internasional X : Jumlah komoditi yang diekspor oleh negara A PB : Harga domestik di negara B (pengimpor) tanpa perdangangan internasional. OQB : Jumlah produk domestrik yang diperdagangkan di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional. B : Kelebihan permintaan (excess demand) di negara B (pengimpor) tanpa perdagangan internasional. M : Jumlah komoditi yang diimpor oleh negara B P* : Harga keseimbangan antara kedua negara setelah perdangangan internasional OQ* : Keseimbangan penawaran dan permintaan antar kedua negara dimana jumlah yang diekspor (X) sama dengan jumlah yang diimpor (M).
Gambar
2.3
memperlihatkan
sebelum
terjadinya
perdangangan
internasional harga di negara A sebesar PA, sedangkan di negara B sebesar PB. Penawaran pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih tinggi dari PA sedangkan permintaan di pasar internasional akan jika harga internasional lebih rendah dari PB. Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PA maka negara B akan terjadi excess demand (ED) sebesar B. Jika harga internasional sama dengan PB maka di negara A akan terjadi excess supply (ES) sebesar A. Dari A dan B akan terbentuk kurva ES dan ED akan menentukan harga yang terjadi di pasar internasional sebesar P*. Dengan adanya perdagangan tersebut, maka
24
negara A akan mengekspor komoditi (pakaian jadi) sebesar X sedangkan negara B akan mengimpor komoditi (pakaian jadi) sebesar M, dimana di pasar internasional sebesar X sama dengan M yaitu Q*. Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative). Teori Adam Smith kemudian disempurnakan oleh David Ricardo (1817) dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage). Berbeda dengan konsep keunggulan absolut yang menekankan pada biaya riil yang lebih rendah, keunggulan komparatif lebih melihat pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan. Menurut David Ricardo (Hady, 2001), perdagangan dapat dilakukan oleh negara yang tidak memiliki keunggulan absolut pada kedua komoditi yang diperdagangkan dengan melakukan spesialisasi produk yang kerugian absolutnya lebih kecil atau memiliki keunggulan komparatif. Hal ini dikenal sebagai Hukum Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan production comparative advantage (labor productivity). Asumsi yang digunakan (Salvator, 1997): a) Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi b) Perdagangan bersifat bebas c) Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara. d) Biaya produksi konstan e) Tidak terdapat biaya transportasi f) Tidak ada perubahan teknologi Menurut teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efisien. Berdasarkan
analisis
production
comparative
advatage
(labor
productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari
25
perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut berproduski lebih produktif serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Dengan kata lain, cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi. Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative advantage dan production advantage. Atau dengan mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor barang yang keunggulan komparatifnya rendah. Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh HeckscherOhlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model HO mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods). Pendekatan tentang perdagangan internasional untuk bisa memahami manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan bisa dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan. Kedua pendekatan tersebut adalah: pendekatan keseimbangan parsial dan pendekatan keseimbangan umum. 2.4.2. Teori Keseimbangan Umum Teori keseimbangan umum pertama kali dikembangkan oleh Leon Walras pada abad ke-19. Walras menyusun model keseimbangan pasar kompetitif pada sebuah sistem ekonomi pertukaran (exchange economy), dimana tidak terdapat kegiatan produksi. Dengan demikian, semua agen ekonomi adalah para konsumen
26
sehingga aggregat supply adalah sama dengan agregrat endowment yang dimiliki konsumen. Pada pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar akan berakibat perubahan pula di pasar lainnya. Pendekatan ini memperlakukan pasar sebagai suatu sistem. 2.4.2.1. Landasan Teori Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar”. Dengan model ini dimisalkan, ketika pemerintah negara A mengenakan pemberlakukan kebijakan tarif pada produk X1, maka harga relatif produk tersebut di domestik akan meningkat. Kenaikan harga relatif ini mendorong produsen domestik untuk meningkatkan produksi X1 dan mengurangi produksi X2. Bersamaan dengan itu, faktor produksi seperti tenaga kerja akan berpindah ke industri yang menghasilkan X1. Dalam keseimbangan parsial kejadian di industri lain tidak terlihat, padahal dengan mengasumsikan perekonomian berada dalam keadaan tenaga kerja penuh (full employment), maka produksi X2 akan menurun. Contoh lain adalah ketika impor negara A menurun karena pengenaan tarif. Negara lain yang menerima dampak penurunan impor negara A tersebut akan menurun penerimaannya sehingga kemampuan mengimpornya juga akan turun. Dampaknya adalah ekspor negara A akan mengalami penurunan juga. Tarif impor bisa menimbulkan berbagai dampak ekonomi. Untuk melakukan cara-cara yang komprehensif dalam melihat dampak tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan analisis keseimbangan umum. Berikut akan dijelaskan dampak distorsi perdagangan internasional dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Secara grafis, terjadinya perdagangan antara dua negara, dapat dijelaskan melalui Gambar 2.4. Model ini merangkum informasi mengenai produksi, konsumsi, dan perdagangan antar kedua negara dalam kondisi keseimbangan (equilibrium) menjadi satu diagram yang utuh. Blok-blok produksi dari negara 1 dan 2 digabungkan pada satu tempat yang terpusat di titik E*, dimana kurva tawar-menawar antara kedua negara saling berpotongan.
27
Y 120
Negara 1
100
PB=PB’=1
E
1
80
III
2
E’ 60 40 20
X
X
0 60
40
20
20
20
40
60
80
100
120
140
Negara 2
40 60
E’
80 III’
Y
Sumber: Salvatore, 1997 Gambar 2.4. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara Untuk menyederhanakan analisis, ansumsi-asumsi yang dipergunakan dalam pembahasan ini adalah: (1) hanya ada dua negara di dunia, yaitu negara A dan negara B atau gabungan negara-negara lainnya (rest of world atau ROW), (2) hanya terdapat dua produk dalam perdagangan, (3) pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna, dan (4) perekonomian berada dalam kondisi full employment. Setelah perdagangan berlangsung, negara 1 akan memproduksi 130X dan 20Y (titik E yang identik dengan titik E*). Negara tersebut akan mengkonsumsi 70X dan 80Y (juga ditunjukkan oleh titik E yang sama namun ditarik dari pusat sumbu atau 0), sedangkan 60X dan 60Y sisanya akan diperdagangkan dengan negara 2. Sementara itu negara 2 memproduksi 40X dan 120Y (titik E’ yang juga identik dengan titik E*). Negara 2 mengkonsumsi 100X dan 60Y (juga disimbolkan oleh titik E’ yang sama
28
namun mengacu pada pusat sumbu atau 0), sementara sisanya akan diperdagangkan dengan negara 1. Perdagangan internasional akan berada dalam kondisi equilibrium bila kedua negara saling mempertukarkan 60X dan 60Y berdasarkan harga relatif PB=1 yang ditunjukkan oleh titik perpotongan antara kurva tawar menawar negara 1 dan negara 2 atau titik E*. Harga relatif komoditi dalam kondisi keseimbangan tersebut adalah PB =1. Harga relatif itu pulalah yang berlaku dalam transaksi domestik di masing-masing negara. Dengan demikian produsen, konsumen, dan pedagang di kedua negara akan melakukan transaksi atas dasar harga relatif yang sama. Titik E yang terletak pada kurva indiferen III milik negara 1 itu mengukur tingkat konsumsinya dari pusat sumbu atau 0, sedangkan titik E yang sama pada blok produksi negara 1 mengukur besar kecilnya produksi dari titik E’. Secara teoritis, sebagaimana pemikiran kaum klasik maupun neoklasik, sistem perdagangan bebas antar negara akan dapat menciptakan manfaat yang maksimal. Namun demikian, mekanisme pasar tidak selalu berjalan secara sempurna. Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali terdapat campur tangan (intervensi) pemerintah yang berakibat pada munculnya distorsi pasar. Beberapa bentuk intervensi yang sering ditemukan antara lain adalah berupa pemberlakuan tarif impor, pemberian subsidi ekspor, dan berbagai bentuk domestik support lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya distorsi pasar. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pemberlakuan intervensi yang mendistorsi pasar tersebut. 2.4.2.2. Pemberlakuan Tarif Tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang masuk atau keluar dari suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif memberikan pemasukan bagi pemerintah. Banyak negara yang mengandalkan tarif sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda antara negara. Pada negaranegara kecil yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, penerapan tarif hanya
29
akan merubah harga di negara tersebut, sementara harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dampak pemberlakuan tarif impor pada kasus negara kecil dan kasus negara besar. Tarif Impor Pada Kasus Negara Kecil Negara
kecil
didefinisikan
sebagai
negara
yang
tidak
mampu
mempengaruhi harga dunia, sehingga TOT dunia tidak mengalami perubahan sekalipun negara kecil tersebut melakukan perubahan kebijakan perdagangannya. Di dalam keseimbangan perdagangan bebas, yang mengasumsikan hanya ada dua komoditi misalkan makanan dan pakaian, negara A akan memaksimumkan kesejahteraannya dengan berproduksi pada titik dimana rasio dari marginal cost (MC) domestiknya sama dengan rasio nilai tukar dunia. Negara tersebut akan melakukan perdagangan untuk mencapai kemungkinan kurva indiferen yang paling tinggi. Keseimbangan perdagangan bebas seperti itu ditunjukkan oleh Gambar 2.5, dengan rasio harga dunia ditunjukkan oleh slope TT, produksi berada pada titik P1, dan konsumsi pada titik C1. TT bersinggungan dengan kurva indiferen i2, negara A mengekspor pakaian dan mengimpor makanan. Jika negara A menetapkan tarif pada impor makanannya, dampak pertamanya adalah meningkatnya harga domestik makanan, yang menyebabkan divergensi antara rasio nilai tukar domestik dan rasio nilai tukar dunia. Akibatnya rasio nilai tukar domestik menjadi sama dengan slope DD, lebih landai dari TT, yang menunjukkan suatu harga relatif yang lebih tinggi untuk makanan. Tarif tersebut merubah rasio harga domestik dan rasio harga eksternal. Secara geometrik hal ini terlihat sebagai sudut antara dua garis harga. Harga makanan yang lebih tinggi menyebabkan perusahaan mengembangkan produksi makanan dan mengurangi produksi pakaian. Titik produksi berpindah ke P2, dimana garis harga domestik (DD) merupakan tangen terhadap kurva kemungkinan produksi. Dengan asumsi bahwa rasio harga dunia tetap tidak berubah, perdagangan internasional terjadi sepanjang garis P2C2 (pararel terhadap TT). Keseimbangan baru pada konsumsi dicapai ketika dua kondisi terpenuhi: Pertama, garis harga domestik, EE, yang slopenya sama dengan rasio harga domestik, merupakan tangen terhadap suatu kurva indiferen i1, Kedua, garis harga dunia, P2C2,
30
memotong kurva indiferen komuniti pada titik tangennya dengan garis harga domestik, EE. Kedua kondisi ini terpenuhi pada titik C2 pada Gambar 2.3. Kondisi pertama menjamin bahwa MRS pada konsumsi menyamai rasio harga domestik yang dihadapi konsumen; kondisi kedua memenuhi persyaratan bahwa rasio harga domestik berbeda dari rasio harga dunia. Pada keseimbangan baru, negara A terus mengekspor pakaian dan mengimpor makanan tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dari sebelumnya. Tarif telah mendorong produksi makanan dan mengurangi ketergantungan negara A terhadap makanan impor. Tarif juga telah mengurangi output domestik berupa ekspor pakaian dan mengurangi kesejahteraan sebagaimana diindikasikan oleh pergerakan kurva indifferent yang lebih rendah, dari i2 ke i1. Jadi, baik dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum maupun keseimbangan parsial, kebijakan tarif pada kasus negara kecil berdampak pada berkurangnya kesejahteraan nasional. T
C1T
Makanan
E
D
i2
C2
i1
Rasio harga dunia
F Harga domestik P2 Rasio nilai tukar domestik
E P1 D T
0
G Pakaian
Sumber: Dunn, 2000 Gambar 2.5. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Kecil
31
Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar Negara besar diasumsikan sebagai negara yang mampu mempengaruhi harga dunia. Artinya, bila negara tersebut mengenakan tarif terhadap suatu komoditi impornya, maka kebijakan tersebut akan berdampak pada perubahan rasio harga dunia oleh karena itu TOT akan berubah. Untuk menjelaskan dampak kebijakan tarif pada kasus negara besar, digunakan contoh yang sama dengan yang diterapkan pada kasus negara kecil. Anggap bahwa negara A mengenakan pajak pada makanan impor. Dampak dari dikenakannya tarif adalah harga makanan dunia turun secara relatif terhadap harga pakaian. Pada kondisi ini, untuk suatu tingkat tarif ad valorem tertentu, harga domestik makanan tidak akan meningkat
setinggi sebelumnya. Jadi pergeseran dalam produksi akan
menjadikannya lebih kecil. Kita ilustrasikan hasil ini pada Gambar 2.6. dimana kondisinya adalah sama dengan kasus yang baru dijelaskan kecuali bahwa tarif sekarang menyebabkan rasio harga dunia berubah dari kemiringan garis TT ke kemiringan garis P3C3. Produksi terjadi pada P3. Garis tersebut memeliki proporsi yang sama dengan sebelumnya, karena diukur berdasarkan size of the wedge. Perdagangan internasional sekarang terjadi pada rasio harga (sepanjang garis P3C3). Keseimbangan baru konsumsi dicapai pada titik C, yaitu saat tarif-garis yang mendistorsi harga domestik yang merupakan tangen dari suatu kurva indiferen, dan garis harga dunia juga bersinggungan dengan titik singgung ini. Sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.6, negara A mencapai suatu kurva indiferen yang lebih tinggi disebabkan oleh tarif. Kondisi ini tidak dapat dihindari. Responnya tergantung pada besarnya perubahan dari rasio harga dunia. Dapat diartikan bahwa negara A mendapatkan keuntungan dari tarif ketika keuntungannya dari perbaikan TOT melebih kerugiannya dari penggunaan sumberdaya domestik yang kurang efisien. Berapa besar perbaikan dari TOT, tergantung kepada elastisitas permintaan dan penawaran domestik dan luar negeri.
32
T
Rasio harga dunia setelah tarif C1 C23 i2
Makanan
i1
F Rasio harga domestik setelah tarif
P2
P1 Rasio harga dunia sebelum tarif T 0
G
Pakaian
Sumber: Dunn, 2000 Gambar 2.6. Dampak Tarif Pada Model Keseimbangan Umum untuk Kasus Negara Besar Keuntungan lainnya adalah adanya kerugian yang akan diterima ROW (negara lainnya). Jika negara-negara lain melakukan secara bersama-sama, mereka dapat membalas dengan mengenakan tarif mereka sendiri, sehingga menyebabkan TOT bergeser kembali kebelakang. TOT dapat bergeser ke rasio perdagangan bebas (bukan hasil yang diperlukan), tetapi perdagangan dunia berkurang dan demikian juga kesejahteraan dunia. Persetujuan perdagangan secara
bersama,
membalikkan
pengurangan
tarif
timbal
balik
akan
menguntungkan kedua negara. 2.4.3. Teori Revealed Comparatif Advantage (RCA) Revealed Comparatif Advantage (RCA) atau keunggulan komparatif yang terungkap, merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (negara, propinsi dan lain-lain) yang
33
cukup sering digunakan. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Ballasa pada tahun 1965, yang menganggap bahwa keunggulan komparatif suatu negara direfleksikan atau terungkap dalam ekspornya (Syahresmita dalam Pramudito, 2004). Metode RCA didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor suatu produk terhadap total ekspor suatu wilayah yang kemudian dibandingkan dengan pangsa nilai produk dalam perdagangan dunia. 2.4.4. Teori Perdagangan Intra Industri Perdagangan internasional yang dikenal luas adalah perdagangan komoditas dari sektor/industri yang berbeda, atau disebut juga dengan Inter Industry Trade. Inter Industry Trade terjadi berdasarkan teori keunggulan komparatif dimana negara yang memiliki keunggulan komparatif pada komoditas tertentu akan mengekspor komoditas tersebut dan mengimpor komoditas yang negara tersebut tidak memiliki keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif, menurut Hecksher dan Ohlin dapat disebabkan oleh perbedaan endowment yang dimiliki suatu negara dimana negara yang memiliki keberlimpahan tenaga kerja akan mengekspor komoditas yang intensif menggunakan tenaga kerja sedangkan negara yang memiliki keberlimpahan barang modal akan mengespor komoditas yang intensif menggunakan barang modal. Misalkan Cina yang memiliki kelimpahan barang modal mengekspor barang-barang padat modal seperti pesawat terbang, sedangkan Indonesia yang keberlimpahan sumber daya alam mengekspor komoditas yang padat sumber daya alam seperti migas dan mineral. Sehingga perdagangan antara dua negara ditandai dengan perdagangan komoditas yang berbeda. Pada masa kini, perdagangan internasional antara dua negara tidak hanya diakibatkan oleh perbedaan antara kedua negara tersebut. Perdagangan dua negara tidak lagi sebatas perdagangan komoditas yang berbeda. Suatu negara dapat mengekspor barang tertentu dan sekaligus mengimpor barang yang sama. Misal Cina mengekspor mobil ke Indonesia dan Indonesia mengekspor mobil ke Cina..
34
Dengan demikian, antara Indonesia dan Cina terjadi perdagangan dalam industri yang sama (Intra Industry Trade). Pengertian perdagangan intra industri adalah perdagangan di dalam industri yang sama. Teori perdagangan intra industri masuk kategori teori perdagangan baru (new trade theory). Paul Krugman adalah salah satu tokoh ekonomi yang mendalami teori ini (Koo dalam Aprilianda, 2007). Apabila teori perdagangan neoklasik menyatakan penyebab timbulnya perdagangan karena adanya spesialisasi yang didasarkan perbedaan ketersediaan faktor produksi dan teknologi (keunggulan komparatif), maka dalam teori perdagangan intra industri perdagangan tetap terjadi antarnegara yang memiliki keunggulan komparatif yang relatif sama. Perdagangan intra industri lebih didasarkan pada differensiasi produk dan economies of scale serta mencakup perdagangan dua arah dalam industri yang sama. Perdagangan intra industri menjadi penting ketika tarif dan non tarif barrier dihapuskan pada arus perdagangan antarnegara. Disamping
itu
perdagangan intra industri memberikan keuntungan (gain) yang lebih besar, sebagai contoh konsumen mempunyai lebih banyak pilihan karena differensiasi produk dan harga yang lebih murah karena meningkatnya economies of scale. Intra Industry Trade dimungkinkan karena adanya skala ekonomis yang berarti biaya produksi rata-rata menjadi lebih murah. Dengan demikian, output dapat lebih tinggi dibandingkan bila tidak ada Intra-Industry-Trade. Skala ekonomis dan spesialisasi dalam suatu indstri tertentu akan mendorong inovasi dalam perusahaan. Inovasi akan membuat biaya produksi menjadi lebih rendah. Terdapat 2 (dua) alasan terjadi perdagangan intra industri yaitu pertama, differensiasi produk. Pada perekonomian modern sebagian besar produk yang dihasilkan adalah produk yang terdifferensiasi. Produk yang terdifferensiasi adalah produk yang jenisnya sama atau dihasilkan dalam industri yang sama tetapi berbeda secara kualitas dan atau preferensi. Dalam perdagangan internasional terjadi perdagangan produk-produk yang terdifferensiasi. Atau dapat dinyatakan bahwa sebagian besar perdagangan internasional merupakan perdagangan intra industri. Kedua, economies of scale. Motif perdagangan intra industri adalah memperoleh keuntungan dari adanya economies of scale. Dalam hal
ini
35
persaingan internasional memaksa setiap perusahaan untuk membatasi model atau tipe produknya agar dapat berkonsentrasi memanfaatkan sumberdayanya untuk menekan biaya produksi per unit sehingga dapat menghasilkan beberapa jenis produk saja tentunya dengan kualitas terbaik dan harga dapat bersaing dari produk lainnya. Disisi lain kebutuhan konsumen akan produk atau tipe lain dipenuhi melalui impor dari negara lain. Indeks Intra Industry Trade (IIT) yang umum digunakan adalah GrubelLloyd Index. Nilai Grubel Lloyd index berkisar 0-100. Jika jumlah yang diekspor sama dengan jumlah yang diimpor untuk suatu produk, maka indeksnya akan bernilai 100. Sebaliknya apabila perdagangan suatu negara hanya melibatkan satu pihak saja (ekspor atau impor saja) maka nilai indeksnya adalah 0. Tabel 2.1. Klasifikasi dari nilai Intra Industry Trade Intra Industri Trade 0.00 >0.00 – 24.99 25.00 – 49.99 50.00 – 74.99 75.00 – 99.99 Sumber: Austria, 2004 2.5.
Klasifikasi No integration (one way trade) Weak integration Mild Integration Moderately strong integration Strong integration
Kerangka Pemikiran Penelitian Indikator kinerja perdagangan Indonesia salah satunya dapat dilihat dari
dayasaing secara komparatif dan pertumbuhan pangsa ekspor di pasar tujuan. Dalam mengukur dayasaing komparatif, metode RCA cukup banyak digunakan. Sedangkan untuk melihat pertumbuhan pangsa ekspor digunakan metode EPD. Negara yang tergabung dalam ASEAN Plus Three telah sepakat untuk membentuk FTA. Dengan perfoma ekspor Indonesia seperti sekarang ini, dampak yang akan terjadi dari adanya ASEAN Plus Three FTA dapat terlihat, khususnya dampak terhadap ekonomi makro dan sektoral Indonesia. Dalam penelitian ini sektor yang akan disimulasi adalah 10 (sepuluh) sektor yang memiliki nilai ekspor dan impor terbesar. Peningkatnya volume perdagangan yang diharapkan karena adanya FTA akan mendatangkan multiplier effect terhadap kegiatan ekonomi lainnya yang mungkin akan membawa perubahan terhadap kondisi makroekonomi dan sektoral
36
sehingga perlu ada kajian tentang dampak skema FTA, dengan kasus FTA ASEAN Plus Three. Dengan mengkaji FTA ASEAN Plus Three mengggunakan model GTAP, maka akan dapat diidentifikasi dampaknya terhadap perekonomian Indonesia secara menyeluruh, baik ditingkat makro dan sektoral. Gambaran mengenai kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Kinerja Perdagangan Indonesia dengan ASEAN Plus Three Ekspor dan Impor Terbesar Indonesia
Dayasaing produk Indonesia ke ASEAN Plus Three (RCA)
Ekspor Produk Dinamis (EPD)
Keterkaitan perdagangan antar negara (IIT)
Simulasi Dampak FREE TRADE AREA ASEAN Plus Three (GTAP)
Dampak Ekonomi bagi Indonesia, ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea: - Makro Ekonomi (GDP, Konsumsi, Investasi, Pengeluaran Pemerintah, Ekspor Bersih) - Sektoral Ekonomi (Ekspor, Impor, Output, Harga, Kesempatan Kerja)
Implikasi Kebijakan Gambar 2.7. Kerangka Pemikiran Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Seluruh data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder.
Sumber data aliran perdagangan antara negara-negara ASEAN dan Asia Timur adalah COMTRADE yang dikeluarkan oleh United Nations Commodity Trade Statistics Database. Data utama lainnya adalah Data Base GTAP untuk menganalisis dampak adanya Free Trade Area (FTA) ASEAN dan Asia Timur yang dikeluarkan oleh Centre for Global Trade Analysis, Purdue University. Selain itu, digunakan pula data pendukung lain yang bersumber dari World Bank dan International Monetary Fund (IMF). 3.2.
Metode Analisis
3.2.1. Analisis Kesiapan Indonesia Dalam Menghadapi Perdagangan Bebas ASEAN Plus Three Kesiapan Indonesia dalam rangka menghadapi perdagangan bebas kawasan ASEAN Plus Three (ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea) dapat dilihat dari perfoma ekspor Indonesia di pasar ASEAN Plus Three (APT) yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir. Berbagai indikator dapat dijadikan alat analisis untuk mengidentifikasi performa ekspor Indonesia di pasar APT. Antara lain analisis Revealed Comparative Advantage (RCA), Export Product Dynamics (EPD) dan Intra Industry Trade (IIT). 3.2.1.1. Revealed Comparative Advantage (RCA) Performa ekspor produk Indonesia di pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea dapat dilihat dari tingkat keunggulan komparatifnya, dimana hal ini dapat diketahui dengan metode RCA. Performa ekspor ini menggambarkan dayasaing secara komparatif untuk masing-masing komoditi. Metode ini didasarkan pada suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki suatu negara. Variabel yang diukur adalah kinerja ekspor Indonesia ke pasar tujuan dengan menghitung pangsa nilai ekspor terhadap total ekspor ke negara tujuan yang kemudian dibandingkan
38
dengan pangsa nilai ekspor dunia ke negara tujuan. Rumusnya adalah sebagai berikut : Xi / Xt RCA =
…………………………………. (3.1) Wj / Wt
Dimana :
Xi = Nilai ekspor Indonesia untuk komoditi i ke ASEAN Plus Three Xt = Nilai total ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three Wi = Nilai ekspor dunia untuk komoditi i ke ASEAN Plus Three Wt = Nilai total ekspor dunia ke ASEAN Plus Three
Indeks RCA merupakan perbandingan antara nilai RCA sekarang dengan nilai RCA tahun lalu. Rumus indeks RCA adalah sebagai berikut : RCAt Indeks RCA =
…………………………………. (3.2) RCAt-1
RCAt = Nilai RCA tahun ke-(t) RCAt-1 = Nilai RCA tahun ke(t-1) Indeks RCA berkisar antara nol sampai tak hingga. Nilai indeks RCA sama dengan satu berarti tidak terjadi kenaikan RCA atau kinerja ekspor Indonesia di pasar tujuan tahun sekarang sama dengan tahun lalu. 3.2.1.2. Export Product Dynamics (EPD) Salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran yang baik tentang tingkat dayasaing adalah Export Product Dynamics (EPD). Indikator ini mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Ukuran ini mempunyai kemampuan untuk membandingkan kinerja ekspor diantara negara-negara di seluruh dunia. Selain itu, dengan menggunakan EPD dinamis atau tidaknya performa suatu produk dapat diketahui. Sebuah matriks EPD terdiri dari daya tarik pasar dan informasi kekuatan bisnis. Daya tarik pasar dihitung berdasarkan pertumbuhan dari permintaan sebuah produk untuk tujuan pasar tertentu, dimana informasi kekuatan bisnis diukur berdasarkan pertumbuhan dari perolehan pasar (market share) sebuah negara pada tujuan pasar tertentu. Kombinasi dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis ini menghasilkan karakter posisi dari produk yang ingin dianalisis ke dalam empat kategori. Keempat
39
kategori itu adalah “Rising Star”, “Falling Star”, “Lost Opppotunity”, dan “Retreat”. Tabel 3.1. Matriks Posisi Dayasaing Share of Product in World Trade Rising Falling (Dynamic) (Stagnant) Rising Star Falling Star Lost Opportunity Retreat
Share of Country’s Export in World Trade Rising (Competitive) Falling (Non-Competitive) Sumber: Esterhuizen, 2006
Tabel 3.1 dapat dikonversikan menjadi gambar seperti Gambar 3.1, sehingga komoditi yang diestimasi posisi dayasaingnya akan menempati salah satu dari empat kuadran seperti yang ditunjukkan pada gambar berikut, tergantung dari daya tarik pasar dan kekuatan bisnis komoditi tersebut. Dengan dimasukkannya komoditi yang diuji ke dalam gambar matriks EPD (Gambar 3.1) akan lebih mudah untuk melihat posisi dayasaing masing-masing komoditi. y
Catatan:
Lost Opportunity
+
-
0
Retreat
-
Rising Star x +
Falling Star
Sumbu x menggambarkan peningkatan pangsa pasar ekspor negara Indosnesia di perdagangan dunia. Sumbu y menggambarkan peningkatan pangsa pasar produk i di perdagangan dunia.
Sumber: Esterhuizen, 2006 Gambar 3.1. Daya Tarik Pasar dan Kekuatan Bisnis pada EPD
40
Adapun yang dimaksud dengan pangsa pasar ekspor suatu negara (negara i) dan pangsa pasar produk (produk n) dalam perdagangan dunia adalah sebagai berikut: Sumbu x:
Pertumbuhan pangsa pasar ekspor Indonesia = t
X in t 1 X n
Sumbu y:
t X 100% in t 1 X n t T
100% t 1
.......................
(3.3)
Pertumbuhan pangsa pasar produk n =
Xn t 1 X t
Dengan:
t 1 100% X n 100% t X t 1 t T
X T t n
......................... (3.4)
= volume ekspor = jumlah tahun = tahun ke-t = jenis produk
Posisi pasar yang ideal adalah yang mempunyai pangsa pasar tertinggi pada ekspornya sebagai “Rising Star” atau “bintang terang”, yang menunjukkan bahwa negara tersebut memperoleh tambahan pangsa pasar pada produk mereka yang bertumbuh cepat (fast-growing products). “Lost Opportunity” atau “kesempatan yang hilang”, terkait dengan penurunan pangsa pasar pada produkproduk yang dinamis, yaitu posisi yang paling tidak diinginkan. “Falling Star” atau “bintang jatuh” juga tidak disukai, meskipun masih lebih baik jika dibandingkan dengan “Lost Opportunity”, karena pangsa pasarnya tetap meningkat. Sementara itu, “Retreat” atau “kemunduran” biasanya tidak diinginkan, tetapi pada kasus tertentu 'mungkin' diinginkan jika pergerakannya menjauhi produk-produk yang stagnan dan menuju produk-produk yang dinamik (Oktaviani, et al, 2008). 3.2.1.3. Intra Indutry Trade (IIT) Performa ekspor Indonesia dapat dilihat juga melalui keterkaitan perdagangannya antar negara. Keterkaitan perdagangan antar negara tersebut dapat dilakukan dengan analisis Intra Indutry Trade (IIT). Intra Industry Trade index (IIT index) digunakan untuk menganalisis tingkat integrasi dalam suatu
41
kawasan tertentu. Integrasi yang tinggi menunjukkan kedekatan perdagangan di antara negara-negara di kawasan tersebut. Intra Industry Trade (IIT) index yang umum digunakan adalah Grubel-Lloyd Index dengan rumus:
IIT
X M X M X M
dimana: X = ekspor;
x 100 atau 1
X M x100 X M
… (3.5)
M = impor
Nilai Grubel Lloyd Index berkisar antara 0 sampai 100. Jika jumlah yang diekspor sama dengan jumlah yang diimpor untuk suatu produk, maka indeksnya akan bernilai 100. Sebaliknya apabila perdagangan suatu negara hanya melibatkan satu pihak saja (ekspor atau impor saja) maka nilai indeksnya adalah 0. Data ekspor dan impor berdasarkan kode atau klasifikasi GTAP tahun 2007-2009 yang berasal dari UN Statistic (COMTRADE) akan digunakan untuk menghitung IIT index. 3.2.2. Analisis Dampak FTA ASEAN Plus Three Terhadap Performa Ekonomi Makro dan Sektoral Indonesia: Aplikasi Global Trade Analysis Project (GTAP) Model GTAP dikembangkan di Purdue University’s, Departemen Ekonomi Pertanian yang berkembang sejak tahun 1993 dan dipimpin serta diprakarsai oleh Prof. Thomas Hertel dalam sebuah konsorsium. Sedikitnya sekali dalam setahun, para pengguna GTAP di seluruh dunia mengadakan pertemuaan untuk mempresentasikan makalah, mendiskusikan isu-isu global, dan data dasar. Model GTAP merupakan model komparatif statik sehingga perubahan persentase yang dihasilkan dalam model menggambarkan perubahan yang terjadi sebelum dan setelah kebijakan. Model GTAP adalah model standar dengan banyak negara dan banyak komoditas dengan mengaplikasikan model ekonomi keseimbangan umum. Pada model GTAP secara eksplisit dilakukan permodelan pada margin transport internasional. Suatu global bank juga dibentuk dalam model sebagai intermediasi dari investasi dan tabungan dunia. Sistem permintaan konsumen diduga dengan menggunakan Constant Difference of elasticities (CDE) untuk menangkap kepekaan terhadap perbedaan harga dan pendapatan antar negara (Hertel, et al, 2000). Selain itu, aliran barang dalam perdagangan internasional mengikuti model
42
Armington (1969) dimana setiap produk dibedakan berdasarkan asal negara. Setiap barang diasumsikan substitusi yang tidak sempurna satu sama lainnya untuk komoditas yang diproduksi di dalam negeri. Dengan asumsi ini, model dapat menangkap aliran perdagangan antar dua negara. Kelemahan model ini adalah mengasumsikan sistem pasar persaingan sempurna dan skala usaha yang konstan pada aktivitas produksi. Hertel (1997) mengakui bahwa pada konteks negara kecil dan terbuka, asumsi pasar persaingan sempurna mengakibatkan simulasi dampak penurunan tarif menjadi lebih besar dari yang sesungguhnya. Model GTAP dengan data basenya diolah dengan menggunakan software RunGTAP. Tahapan pengolahan data dijelaskan mengikuti Gambar 3.2. Proses agregasi sektor dan negara atau wilayah merupakan salah satu tahap pengolahan data di dalam model GTAP. Pada tahap tersebut juga dilakukan penyesuaian closure dan shock sesuai dengan tujuan penelitian. Dengan menggunakan software RunGTAP akan dihasilkan keluaran (out) seperti file solusi (solution file), perubahan volume (volume changes) dan dekomposisi (decomposition). Hubungan di dalam model GTAP dirangkum di dalam hubungan antara bermacam-macam nilai agregat. Persamaan-persamaan yang telah dirubah dalam perubahan persentase merupakan persamaan-persamaan yang akan ada di dalam model utama GTAP. Seluruh notasi, variabel, parameter, persamaan dan lain-lain dapat dibaca lebih rinci pada Hertel (1997). Struktur model GTAP terdiri dari persamaan-persamaan simultan yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) Persamaan yang menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen ekonomi di suatu region (accounting relationship), dan (2) persamaan yang menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Semua set, subset, parameter dan variabel bentuk nominal (value/levels form) dinotasikan dengan huruf kapital. Sedangkan variabel dalam bentuk persentase perubahan (percentage change) atau bentuk linier dinotasikan dengan huruf kecil. Sebagai contoh:
PM i, r adalah variabel bentuk level untuk harga pasar komoditi i di region r, dan pmi, r = dPM i, r / PM i, r adalah bentuk linier dari variabel harga tersebut. Set, sub-set, parameter dan variabel yang digunakan dalam model GTAP standar disajikan pada lampiran. Berikut ini diuraikan secara ringkas struktur model GTAP standar yang bersumber dari Hertel (1997).
43
Dalam model GTAP ekonomi sebuah region dipresentasikan oleh satu rumah tangga regional (regional household) yang memperoleh income dari hasil penjualan endowment, VOA (value of output at agents prices), dan penerimaan pajak, dan industri (TAXES). Selain itu, pajak juga diterima dari region lain (rest of the world) berupa pajak ekspor (XTAX) dan pajak impor (MTAX). Penghasilan rumah tangga region tersebut selanjutnya dialokasikan sebagai pengeluaran (expenditures) sektor rumah tangga swasta (PRIVEXP), rumah tangga pemerintah (GOVEXP), dan sebagai tabungan ke global bank (SAVE). Konsumsi rumah tangga swasta, VDPA (value of domestic purchases by private households at agent’s prices) diasumsikan mengikuti fungsi pengeluaran CDE (Constant Difference of Elasticity). Konsumsi rumah tangga pemerintah, VDGA (value of domestic purchases by government households at agent’s prices) dipresentasikan dengan fungsi utilitas Cobb Douglas sehingga porsi pengeluaran untuk seluruh komoditi adalah konstan. Dalam model GTAP diasumsikan bahwa tabungan seluruhnya digunakan sebagai investasi (NETINV) melalui bank global. Desain Simulasi
Base Data (.HAR)
In
Main Model File (.TAB)
Experiment (.EXP)
Closure (.CLS) Solution Method Parameter File (.PRM) Shocks (.SHK, .SHF)
RunGTAP (Gempack executables)
Out
Solution Files (.SL4, SOL…)
Volume Changes (.HAR)
Decompo sitions (.HAR)
Sumber: Hertel, 1997 Gambar 3.2. Pemanfaatan GTAP dengan Alat RunGTAP dan Penyelesaiannya
44
Di sisi produsen (industri), penerimaan diperoleh dari hasil penjualan barang konsumsi ke rumah tangga swasta (VDPA) dan pemerintah (VDGA), penjualan barang input antara ke industri lain (VDFA), serta penjualan barang investasi ke sektor tabungan (NETINV). Disamping hasil penjualan di pasar domestik, produsen juga memperoleh penerimaan dari hasil ekspor barang ke region lain (Rest of the world). Nilai penerimaan ekspor tersebut dinyatakan sebagai value of exports at market prices by destination (VXMD). Oleh karena setiap industri diasumsikan beroperasi pada kondisi zero profit maka jumlah penerimaan produsen seluruhnya dibelanjakan untuk pembelian faktor primer (VOA), input antara yang diproduksi di dalam negeri (VDFA) dan input antara yang berasal dari impor (VIFA). Sifat multi-regon dari model GTAP selain ditunjukkan dengan bank global juga oleh adanya sektor perdagangan internasional (ekpor dan impor) dari satu region lain (Rest of the world). Region lain tersebut memperoleh penerimaan impor dari rumah tangga swasta (VIPA), rumah tangga pemerintah (VIGA), dan industri (VIFA). Penerimaan tersebut selanjutnya dibelanjakan untuk barang impor (VXMD), pembayaran pajak ekspor (VTAX) dan pajak impor (MTAX) kepada rumah tangga regional. Seluruh hubungan yang menggambarkan hubungan antara penerimaan dan pengeluaran oleh setiap agen ekonomi di suatu region (accounting relationship) tersebut di dalam model GTAP dituliskan dalam bentuk persamaan-persamaan. Persamaan-persamaan tersebut menjelaskan distribusi penjualan ke pasar wilayah di dalam model ekonomi terbuka dengan pajak, sumber pengeluaran rumah tangga dan pemerintah, sumber pengeluaran perusahaan dan pendapatan faktor rumah tangga, disposisi dan sumber pendapatan regional, sektor global, dan kondisi keseimbangan umum (market clearing). Berikut dijelaskan persamaanpersamaan tersebut. Sumber Pengeluaran Rumah Tangga dan Pemerintah Nilai pengeluaran rumahtangga swasta pada harga agen (Value of Private household purchases at Agents’ prices, VPA(i,s), suatu barang adalah pengeluaran agregatnya terhadap barang-barang yang diproduksi domestik (domestically produced good, VDPA(i,s), dan komposit dari impor barang-barang pada harga
45
agen (composite imports of this good at agents’ prices, VIPA(i,s). Nilai pengeluaran domestik oleh rumah tangga swasta pada harga pasar (Value of domestic purchases by the Private household at Market prices, VDPM(i,s), ditentukan setelah ditambahkan pajak komoditi domestik (domestic commodity taxes, DPTAX(i,s), dari pengeluaran barang-barang domestik (expenditure on domestic good, VDPA(i,s). Seperti juga pada pengeluaran barang-barang yang diproduksi domestik, untuk mendapatkan nilai impor dari rumah tangga swasta pada harga pasar (Value of Imports by the Private household at the Market prices, VIPM(i,s), pajak untuk komoditi rumah tangga swasta IPTAX(i,s), ditambahkan dari nilai komposit impor pada harga agen (value of composite imports at agents’ prices, VIPA(i,s). Hubungan nilai pengeluaran pemerintah mekanismenya juga sama seperti pada rumah tangga swasta. Sumber Pengeluaran Perusahaan dan Pendapatan Faktor Rumah Tangga Input perusahaaan terdiri dari faktor antara dan faktor primer. Aliran input antara dapat dijelaskan sebagai nilai pembelian perusahaan untuk komoditi i, sektor j, di region s pada harga agen (Value of Firms’ purchases of i, by sector j, in region s at Agents’ prices, VFA(i,j,s)), termasuk komponen domestik (the domestic components, VDFA(i,j,s)) dan komponen impor (imported components, VIFA(i,j,s)). Penambahan pajak domestik DFTAX(i,j,s) dari VDFA(i,j,s) menghasilkan nilai komponen domestik pada harga pasar (Value of Domestic components at Market prices, VDFM(i,j,s). Demikian pula jika ingin mendapatkan nilai pasar komponen impor (market value of imported components, VIFM(i,j,s)), diperoleh dari VIFA(i,j,s) dikurangi pajak impor (imports taxes IFTAX(i,j,s)). Disposisi dan Sumber Pendapatan Regional Di dalam model GTAP, Hertel dan Tsigas (1997) mengasumsikan bahwa terdapat ”rumah tangga super” pada masing-masing ekonomi yang disebut rumah tangga regional. Keuntungan asumsi ini adalah kesejahteraan rumah tangga ini menawarkan
penggunaan
kesejahteraan
regional
yang
diproksi,
yang
memfasilitasi analisis antar region jika ada intervensi kebijakan. Sebagai model GDP nasional, pengeluaran permintaan akhir (pengeluaran rumah tangga super) harus seimbang atau sama dengan pendapatan rumah tangga.
46
Seluruh pendapatan di dalam suatu region diasumsikan ditambahkan pada rumah tangga di region tersebut. Pendapatan regional terdiri dari pembayaran faktor dikurangi depresiasi ditambah pajak yang dikumpulkan oleh pemerintah. Sektor Transportasi dan Sektor Bank Global Seperti telah dijelaskan sebelumnya, terdapat dua sektor global di dalam model GTAP, yaitu sektor transportasi dan sektor bank global. Nilai jasa transportasi global untuk komoditi tertentu yang dikirim pada rute tertentu. Harga jasa transportasi diasumsikan sama untuk semua rute dan komoditi. Sektor bank global berperan sebagai penghubung antara tabungan dan investasi. Investasi regional bersih (depresiasi) membentuk suatu komposit barang investasi (GLOBINV). Seluruh rumahtangga regional menunjukkan harga yang sama untuk tabungan (PSAVE) dan tabungan agregatnya harus sama dengan investasi global. Investasi regional bersih ditambah modal stok, VKB(r), memberikan periode akhir modal stok, VKE(r). Belakangan tidak tersedia penggunaan produksi selama periode sekarang, seperti perlakuan stok modal di dalam model nasional. Awalnya (tersedia untuk penggunaan dengan segera) stok modal dialokasikan kepada sektor-sektor berdasarkan fungsi CET (constant elasticity transformation) jika diperlakukan sebagai komoditi yang tidak mobile atau sebagai permintaan pada harga yang seragam ke semua sektor jika diperlakukan sebagai komoditi yang mobile. Kondisi Keseimbangan Umum Penawaran dan permintaan pada setiap komoditi, termasuk faktor-faktor produksi, harus sama di dalam model keseimbangan umum. Demikian pula dengan nilai penawaran harus sama dengan nilai permintaan. Untuk komoditi yang diperdagangkan, nilai output dihubungkan dengan nilai penjualan. Kuantitas output pada gilirannya akan berhubungan dengan penggunaan input melalui fungsi produksi. Hubungan terakhir yang digambarkan juga dalam nilai. Untuk melengkapi keseimbangan umum, penawaran faktor harus sama dengan permintaan untuk faktor; atau ekuivalen, dimana nilai harus sama. Untuk faktor yang mobile, kondisinya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Untuk faktor yang tidak mobile, permintaan pada industri harus sama dengan penawaran.
47
Permintaan spesifik menurut fungsi transformasi. Ini harus ditambahkan ke penawaran. Sehingga, QO =
QFE. Tapi QFE secara langsung proporsional
dengan QO dan menambahkan 1 dengan asumsi fungsi produksi dan tingkah laku perusahaan. Dengan harga pasar untuk faktor, VOM = GTAP
memasukkan
seluruh
persamaan
VFE. yang
diperlukan
untuk
keseimbangan umum, pada sebagian besar model CGE, variabel pengganti (slack) masuk didalam variasi persamaan yang membuat persamaan-persamaan tersebut menjadi model yang mudah diubah. Pada GTAP variabel slack dimasukkan ke dalam persamaan market clearing untuk komoditi yang diperdagangkan dan faktor-faktor yang mobile, diantara yang lain. Di pasar, variabel slack berarti bahwa harga dapat diset menjadi eksogen dengan penawaran dan permintaan dalam kondisi keseimbangan bisa berubah, merefleksikan kelebihan penawaran atau permintaan, dan memfasilitasi analisis keseimbangan parsial. Behavioral Equations Bagian kedua struktur model GTAP berisi persamaan-persamaan yang menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi (behavioral equations). Berikut dijelaskan persamaan-persamaan terstruktur yang menjelaskan suatu perilaku agen ekonomi, yaitu struktur produksi, konsumsi, impor, kesejahteraan dan makroekonomi. Struktur Produksi Struktur produksi dari sebuah industri pada satu region diasumsikan mengikuti fungsi produksi secara berjenjang (nested), constant returns to scale (CRS) dan dalam pasar persaingan sempurna. Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.3, untuk menghasilkan sebuah output, qo(j,s), produsen/industri akan mengkombinasikan penggunaan nilai tambah faktor primer, qva(j,s), dengan input antara, qf(i,j,s), berdasarkan fungsi produksi Leontief. Faktor produksi primer terdiri dari: land, skilled and un-skilled labor, capital, dan natural resources. Jumlah faktor produksi primer yang digunakan adalah sebesar qfe(i,j,s), dimana setiap faktor dapat saling bersubstitusi melalui fungsi constant elasticity of substitution (CES). Output
Leontief
Barang 1
Up
Barang C
Input Primer
48
Keterangan: : Bentuk Fungsional ;
: Input / Output
Sumber: Hertel, 1997 Gambar 3.3. Struktur Produksi Model GTAP Input antara (intermediate inputs) dibedakan menjadi yang berasal dari produksi dalam negeri qfd(i,j,s) dan barang impor, qfm(i,j,s) berdasarkan asumsi Armington. Barang impor tersebut merupakan gabungan impor dari beberapa region lain yang ada di dalam model yang diasumsikan dengan fungsi CES. Fungsi CES secara umum dapat dirumuskan sebagai berikut:
y A bx1 g (1 b) x 2 g
v / g
dimana: y x1 x2 A g
= = = = =
Output Input 1 Input 2 Parameter efisiensi Parameter substitusi
= Parameter elastisitas, dimana ( Konsumsi
1 ). 1 g
49
Rumah tangga regional akan mengalokasikan pendapatannya untuk konsumsi rumah tangga swasta, rumah tangga pemerintah, dan investasi (Gambar 3.4). Konsumsi rumah tangga swasta dispesifikasikan dalam fungsi constant difference of elasticity (CDE). Fungsi CDE digunakan karena preferensi rumah tangga tidak bersifat homothetic. Fungsi CDE yang non-homothetic secara konsisten dapat menjelaskan perubahan konsumsi akibat perubahan tingkat pendapatan rumah tangga. Konsumsi rumah tangga pemerintah dispesifikasikan mengikuti fungsi preferensi Cobb-Douglas dan bersifat eksogen. Permintaan investasi juga bersifat eksogen. Kapital dihasilkan dengan cara yang sama dengan komoditi yang diperdagangkan tetapi tidak menggunakan input faktor primer. Dalam model GTAP permintaan antar-industri dispesifikasikan berdasarkan matrik InputOutput Konsumsi
Investasi
Pemerintah
Rumah Tangga Swasta
CDE
Cobb-Douglas
Barang 1
Up to
CES
Barang Domestik 1
Barang Impor 1
Barang C
Barang 1
CES
CES
Barang Domestik C
Barang Impor C
Keterangan: : Bentuk Fungsional ;
Barang Domestik 1
Barang Impor 1
: Input / Output
Sumber: Hertel, 1997 Gambar 3.4. Struktur Konsumsi dalam Model GTAP Impor
Up to
Barang C CES
Barang Domestik C
Barang Impor C
50
Di dalam model GTAP, terdapat tiga sumber permintaan input antara, yaitu: sektor industri (produsen), sektor pemerintah, dan sektor rumah tangga. Selanjutnya diasumsikan bahwa bagian impor dari ketiga sektor tersebut memiliki komposisi regional yang sama, meskipun secara agregat bagian impor tersebut dapat berasal dari sumber yang berbeda. Impor dibedakan menurut negara asal, sehingga menimbulkan biaya transportasi yang nilainya proporsional terhadap nilai perdagangan. Harga domestik dari barang impor yang masuk ke region r dari region s adalah sama dengan jumlah harga fob ekspor dari region s, pajak ekspor di region s, biaya transportasi, dan tarif impor yang berlaku di region r. Gambar 3.5 menunjukkan agregasi impor dan biaya transportasi yang dari model GTAP. Impor Industri (Produsen)
Impor Pemerintah
Impor Rumah Tangga
Impor
Dari Region r (gross biaya transportasi) σ=0
Jasa Transportasi σ=1
Dari Region r
Dari Region s (gross biaya transportasi) σ=0
Dari Region r (net biaya transportasi)
Dari Region s
Dari Region r
Sumber: Hertel, 1997 Gambar 3.5. Struktur Impor Model GTAP
Kesejahteraan
Jasa Transportasi σ=1
Dari Region s (net biaya transportasi)
Dari Region s
51
Perubahan kesejahteraan di sebuah region dalam model GTAP dinyatakan dalam equivalent variation, EV(r), yang dihitung dengan persamaan: EV(r) = u(r) * INC(r)/100, dimana u(r) adalah persentase perubahan kesejahteraan per kapita dan INC(r) adalah pendapatan (income) sebuah region. Dalam database GTAP, nilai EV(r) dihitung berdasarkan nilai US$ tahun versi GTAP terbaru dalam satuan juta (million). Selanjutnya, kesejahteraan dunia (WEV) dihitung dengan menjumlahkan seluruh kesejahteraan region. Penutup Makroekonomi Sebagai penutup makroekonomi, model GTAP menggunakan persamaan identitas, sebagai berikut: S–I=X+R–M Persamaan tersebut menyatakan bahwa tabungan (S) dikurangi investasi (I) adalah sama dengan surplus neraca transaksi berjalan, dimana R adalah penerimaan transfer luar negeri. Oleh karena nilai R tidak terdapat dalam data base GTAP maka dalam simulasi model nilai R tersebut dianggap nol. Tingkat tabungan, investasi dan neraca transaksi berjalan ditetapkan secara eksogen. Simulasi Kebijakan Simulasi kebijakan yang dianalisis untuk menjawab tujuan penelitian ini adalah penurunan tarif impor sampai 0 persen secara serentak. Pada setiap simulasi dilakukan penurunan tarif impor untuk semua komoditas yang terpilih di negara yang terlibat kemudian akan dilihat dampaknya secara makro ekonomi dan sektoral dari FTA ASEAN Plus Three tersebut.
52
Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE 4.1.
Kerjasama Ekonomi ASEAN Plus Three Kerjasama ASEAN dengan negara-negara besar di Asia Timur atau lebih
dikenal dengan istilah Plus Three dimulai dengan dilakukannya pertemuan informal antara pemimpin ASEAN dan mitra mereka dari Asia Timur, yaitu Cina, Jepang dan Korea Selatan (Rep. Korea) saat berlangsungnya ASEAN Informal Summit ke-dua di Malaysia pada Desember 1997. Pada tahap awal ini fokusnya lebih ditekankan pada proses daripada kegiatan yang berorietasi kerja nyata. Namun baru pada tahun 1999 proses kerjasama ASEAN Plus Three ditetapkan sebagai forum resmi ketika para pemimpin kedua kawasan mengeluarkan pernyataan bersama mengenai kerjasama Asia Timur pada ASEAN Plus Three (APT) Summit ke tiga di Manila. Dari sinilah dimulai kerjasama yang sifatnya substantif dan laju interaksi semakin intensif. Saat itu para pemimpin ASEAN Plus Three menunjukkan ketetapan dan keyakinan yang tinggi dalam memperkuat dan memperdalam kerjasama Asia Timur di berbagai tingkat dan bidang, khususnya di bidang ekonomi, sosial dan politik. Tidak lama kemudian, dihasilkan beberapa dokumen penting untuk menentukan arah kerjasama ASEAN Plus Three. Implementasi dari isi rekomendasi dokemen ini merupakan kerangka dasar pembangunan komunitas Asia Timur yang merupakan tujuan jangka panjang. Perkembangan kerjasama ASEAN Plus Three yang cukup pesat, baik internal maupun eksternal, menuntut pengamatan yang terus-menerus. Dalam hal pendalaman kerjasama akan ditinjau kerjasama politik dan keamanan serta kerjasama ekonomi, perdagangan dan keuangan. Sedangkan dalam hal perluasan kerjasama, East Asia Summit (EAS) menjadi isu penting dan memunculkan pertanyaan bagaimana posisi ASEAN Plus Three terhadap EAS. Pemulihan ekonomi di kawasan Asia Tenggara sudah menunjukkan perbaikan dan ditunjang oleh pertumbuhan global yang positif. Kawasan Asia Tenggara menyumbang pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang cukup besar, sementara kawasan seluruh Asia Timur juga menyumbang PDB yang lebih
54
besar lagi. Beberapa hal yang memungkinkan tumbuhnya ekonomi regional ini antara lain: meningkatnya produksi dari Amerika Serikat dan Jepang sebagai kekuatan ekonomi yang utama, permintaan yang kuat dan berkelanjutan dari Cina yang sedang tumbuh pesat, dan meluasnya industri teknologi informasi dan komunikasi. Singapura, Malaysia dan Vietnam menunjukkan kinerja ekonomi yang lebih baik dari pada negara anggota ASEAN lainnya. Dari perspektif ekonomi, motivasi yang mendorong ketiga negara Asia Timur menjalin kerjasama dengan ASEAN adalah: a). ASEAN dengan jumlah penduduk yang besar (mencapai 700 juta jiwa) merupakan pasar yang potensial untuk terus dikembangkan; b) ASEAN merupakan sumber bahan baku dan energi bagi ketiga negara tersebut; c) ASEAN dapat dijadikan tempat tujuan investasi bagi industri dari ketiga negara karena masih memiliki keunggulan komparatif, seperti upah buruh yang relatif murah. Pandangan lain dikemukanan oleh Wang Jianqun (2003) bahwa ASEAN tidak dipaksa untuk memperkuat hubungan eksternal dengan Asia Timur, tetapi ASEAN mengambil inisiatif untuk merangkul tetangganya. Krisis ekonomi Asia membawa Asia Tenggara dan Asia Timur ke arah kerjasama yang lebih erat. Negara-negara ASEAN memerlukan bantuan dan negara Asia Timur mengulurkan bantuan. Namun kerjasama ASEAN Plus Three berkembang menjadi equal partnership dan negara Plus Three melihat ASEAN sebagai suatu organisasi penting yang bisa memainkan peran yang signifikan di kawasan. Kerjasama di bidang ekonomi dan keuangan dalam kerangka ASEAN Plus Three menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Salah satu indikasinya ialah tumbuhnya nilai perdagangan antara ASEAN dan negara-negara Plus Three. Meskipun dunia sedang mengalami krisis global, volume perdagangan ASEAN Plus Three tetap tinggi. Perdagangan antara ASEAN dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea mencapai 413 milyar dolar pada tahun 2009, meskipun menurun namun hanya 15.5 persen dibandingkan pada tahun 2008 yaitu sebesar 489.5 milyar dolar. Dalam hal investasi, total arus Penanaman Modal Asing (PMA) dari negara-negara Plus Three masih cukup tinggi dan hanya menurun sebesar 1.3 persen dari 8.4 milyar dolar pada tahun 2008 menjadi 8.2 milyar dolar pada tahun 2009 (www.aseansec.org). Pengaturan perdagangan bilateral yang telah terjadi
55
yaitu ASEAN-Cina, ASEAN-Jepang ataupun ASEAN-Rep. Korea bisa menjadi building blocks bagi pembentukan ASEAN Plus Three Free Trade Area (APT FTA). 4.2.
Aliran Perdagangan Indonesia Ke Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea (ASEAN Plus Three) 4.2.1. Perkembangan Ekspor Indonesia Ke Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea (ASEAN Plus Three) Negara anggota ASEAN Plus Three (APT) merupakan salah satu pasar tujuan utama ekspor Indonesia selain AS dan Uni Eropa. Hal ini terlihat dari besarnya pangsa ekspor Indonesia di pasar ASEAN Plus Three yaitu mencapai rata-rata dari tahun 2005 hingga 2009 sebesar 53.76 persen dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia. Dengan kata lain, lebih dari separuh total ekspor Indonesia tertuju ke ASEAN Plus Three. Volume perdagangan juga selalu meningkat dari tahun 2005 hingga tahun 2008 (Tabel 4.1). Ini menunjukkan bahwa peranan negara-negara di ASEAN Plus Three sangat penting bagi tujuan ekspor Indonesia. Jika terdapat guncangan di pasar APT maka dimungkinkan akan dapat berpengaruh signifikan terhadap kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan. Tabel 4.1. Perbandingan Nilai Ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three dan Dunia (Juta US$) Uraian 2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata
Ekspor Indonesia Ke ASEAN Plus Three Ke Dunia 46,729.30 85,658.61 54,916.88 100,798,43 61,396.66 114,100,86 73,506.63 137,020,42 60,933.43 116,509,99 59,496.58 110,817,66
Pangsa ke ASEAN Plus Three (%) 54.55 54.48 53.81 53.65 52.3 53.76
Sumber: WITS, 2010 Berdasarkan data yang diperoleh dari COMTRADE yang diakses melalui program WITS (World Trade Integrated Solution) total ekspor ke negara-negara tersebut mengalami pertumbuhan yang positif selama 2005-2008, namun sempat mengalami penurunan di tahun 2009. Walaupun demikian nilai total ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut mencapai rata-rata sebesar US$ 59.496,58 juta per tahun selama periode 2005-2009. Dengan nilai ekspor terbesar terjadi
56
pada tahun 2008 yaitu mencapai US$ 73.506,64 juta. Tabel 4.2 menunjukkan ekspor 10 (sepuluh) sektor dengan nilai terbesar selama tahun 2005-2009. Dari sepuluh sektor tersebut, lima diantaranya didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian, yaitu gas, minyak mentah, batu bara, mineral dan kilang minyak. Sedangkan lima sektor lainnya adalah produk kimia, karet, plastik; logam; mesin dan peralatannya; elektronik dan peralatannya serta sektor minyak nabati dan hewani. Dilihat dari perkembangannya, sektor-sektor tersebut mengalami rata-rata pertumbuhan yang positif selama tahun 2005-2009, kecuali untuk sektor elektronik dan peralatannya yang mengalami rata-rata pertumbuhan negatif. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2006, 2007 dan 2009 sektor tersebut mengalami penurunan nilai ekspor ke negara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea. Sektor gas memiliki nilai ekspor terbesar yaitu mencapai rata-rata US$ 9.852,43 juta selama tahun 2005-2009. Selain itu sektor ini juga selalu mengalami pertumbuhan yang positif dari tahun 2005 hingga 2009, dimana hal tersebut tidak dialami oleh sektor yang lain. Sektor minyak mentah menempati urutan ke-dua dengan ratarata nilai US$ 6.906,86 juta, kemudian diikuti oleh produk-produk kimia, karet dan plastik dengan rata-rata nilai US$ 5.879.19 juta. Sementara sektor minyak lemak menenpati urutan sepuluh dengan rata-rata nilai US$ 2.657,37 juta. Data aliran perdagangan yang dibahas pada bab ini digunakan untuk menganalisis kinerja perdagangan Indonesia dalam menghadapi ASEAN Plus Three Free Trade Area. Kinerja perdagangan Indonesia dilihat selama 5 tahun terakhir. Dengan melihat kinerja perdagangan Indonesia di pasar ASEAN Plus Three, maka akan dapat dilihat sektor-sektor apa sajakah yang telah memiliki dayasaing khususnya dayasaing secara komparatif dan sektor-sektor apa saja yang belum
memiliki
dayasaing.
Dengan
demikian
Indonesia
dapat
lebih
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat terjadi ketika FTA tersebut berlaku.
57
Tabel 4.2. Ekspor 10 (Sepuluh) Sektor Terbesar Indonesia ke Pasar ASEAN Plus Three (Juta US$) No
Sektor
2005 8,102.70
2006 9,993.39 (23.33)
2007 9,773.05 (-2.20)
2008 12,993.55 (32.95)
2009 8,399.45 (-35.36)
Rata-rata 9,852.43 (4.68)
1
Gas alam
2
Minyak Mentah
6,509.18
5,942.82 (-8.70)
7,098.70 (19.45)
9,358.94 (31.84)
5,624.66 (-39.90)
6,906.86 (0.67)
Produk kimia, karet dan plastik
4,187.07
3
5,581.50 (33.30)
6,903.44 (23.68)
7,130.05 (3.28)
5,593.88 (-21.54)
5,879.19 (9.68)
4
Logam
3,369.39
4,671.00 (38.63)
6,502.09 (39.20)
6,210.68 (-4.48)
4,679.91 (-24.65)
5,086.61 (12.18)
5
Batu bara
2,150.95
2,879.23 (33.86)
3,559.95 (23.64)
5,574.24 (56.58)
7,918.81 (42.06)
4,416.64 (39.04)
6
Mesin dan Peralatan
2,801.76
3,487.24 (24.47)
3,942.32 (13.05)
4,310.12 (9.33)
3,763.83 (-12.67)
3,661.06 (8.54)
7
Peralatan elektronik
4,372.31
3,439.46 (-21.34)
3,389.94 (-1.44)
3,473.75 (2.47)
2,895.07 (-16.66)
3,514.11 (-9.24)
8
Mineral
2,089.56
3,326.52 (59.20)
3,292.24 (-1.03)
3,388.85 (2.93)
4,300.60 (26.90)
3,279.56 (22.00)
2,311.74
2,855.51 (23.52)
2,962.60 (3.75)
3,558.34 (20.11)
2,299.25 (-35.38)
2,797.49 (3.00)
1,260.09
1,801.06 (42.93)
2,665.38 (47.99)
3,940.20 (47.83)
3,620.11 (-8.12)
2,657.37 (32.66)
46,729.30
54,916.88
61,396.67
73,506.64
60,933.43
59,496.58
9
10
Kilang minyak dan produk batu bara Minyak nabati dan hewani Total Ekspor
Angka dalam tanda ( ) menunjukkan pertumbuhan per tahun Sumber: WITS, 2010 Seluruh sektor yang telah disebutkan, merupakan sektor yang memiliki pangsa ekspor terbesar ke pasar ASEAN Plus Three. Data pada Tabel 4.3 menunjukkan pangsa ekspor sepuluh sektor yang memiliki nilai terbesar. Dari tabel tersebut terlihat bahwa sepuluh sektor itu menyumbang pangsa yang cukup dominan yaitu dengan rata-rata sebesar 80.66 persen pada tahun 2005 hingga 2009. Pangsa terbesar terjadi pada tahun 2007 dimana total kesepuluh sektor tersebut menyumbang pangsa sebesar 81.58 persen. Pangsa ekspor terbesar hingga tahun 2009 terdapat pada sektor gas, yaitu mencapai rata-rata 16.58 persen (2005-2009). Puncaknya adalah pada tahun 2006, dimana pangsa ekspor gas ke ASEAN Plus Three mencapai 18.20 persen dari
58
total ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three. Sektor minyak mentah menempati urutan kedua dengan menyumbang pangsa ekspor rata-rata sebesar 11.66 persen. Kemudian diikuti oleh produk-produk dari kimia, karet dan plastik serta logam dengan masing-masing pangsa ekpor rata-rata sebesar 9.85 persen dan 8.49 persen selama 2005 hingga 2009. Sektor minyak lemak menyumbang pangsa ekspor yang paling kecil dari sepuluh sektor tersebut yakni sebesar 4.32 persen. Tabel 4.3. Pangsa Ekspor Terbesar Sektor Indonesia Ke Pasar ASEAN Plus Three (Persen) No Sektor 1 Gas alam 2 Minyak mentah Produk kimia, karet dan 3 plastic 4 Logam 5 Batu bara 6 Mesin dan Peralatannya 7 Peralatan elektronik 8 Minerals Kilang minyak dan 9 produk batu bara Minyak nabati dan 10 hewani Total Pangsa
2005 17.34 13.93
2006 18.20 10.82
2007 15.92 11.56
2008 17.68 12.73
2009 13.78 9.23
Ratarata 16.58 11.66
8.96 7.21 4.60 6.00 9.36 4.47
10.16 8.51 5.24 6.35 6.26 6.06
11.24 10.59 5.80 6.42 5.52 5.36
9.70 8.45 7.58 5.86 4.73 4.61
9.18 7.68 13.00 6.18 4.75 7.06
9.85 8.49 7.24 6.16 6.12 5.51
4.95
5.20
4.83
4.84
3.77
4.72
2.70 79.51
3.28 80.08
4.34 81.58
5.36 81.54
5.94 80.57
4.32 80.66
Sumber: WITS, 2010 (diolah) Dari gambaran mengenai perkembangan ekspor Indonesia ke pasar ASEAN Plus Three tersebut, terlihat bahwa sektor sepuluh terbesar ekspor Indonesia didominasi oleh sektor-sektor dari pertambangan dan penggalian, seperti gas alam, minyak mentah, minyak batu bara, mineral dan kilang minyak. Sedangkan yang lainnya adalah produk dari kimia, karet, plastik, logam, mesin, elektronik dan peralatannya serta minyak nabati dan hewani. Produk-produk pertanian justru tidak memberikan kontribusi ekspor yang berarti ke negara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea. Hal ini ironis dengan kondisi Indonesia yang masih tercatat sebagai negara agraris. Salah satu penyebab rendahnya kontribusi ekspor produk-produk pertanian antara lain dimungkinkan karena rendahnya dayasaing Indonesia di pasar internasional.
59
4.2.2. Perkembangan Impor Indonesia Dari Pasar ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea (Juta US$) ASEAN Plus Three (APT) merupakan salah satu pasar sumber impor bagi Indonesia. Dari Tabel 4.4 terlihat bahwa sebesar 54.57 persen impor Indonesia berasal dari APT (rata–rata dari tahun 2005 hingga 2009). Dengan volume impor yang selalu meningkat selama tahun 2005 hingga 2008. Ini menunjukkan bahwa Indonesia cukup tergantung pada impor dari APT. Jika terjadi guncangan ekonomi khususnya guncangan perdagangan dalam kawasan APT, dapat dipastikan akan berdampak signifikan terhadap Indonesia. Tabel 4.4. Perbandingan Nilai Impor Indonesia Dari ASEAN Plus Three dan Dunia (jutaUS$) Impor Indonesia Pangsa ke ASEAN Uraian Dari dunia Dari ASEAN Plus Three Plus Three (%) 2005 31,006.65 57,700.88 53.74 2006 31,524.52 61,065.46 51.62 2007 39,179.87 74,473.43 52.61 2008 75,109.10 129,244.04 58.11 2009 54,984.02 96,829.16 56.78 Rata-rata 46,360.83 83,862.59 54.57 Sumber: WITS, 2010 Impor terbesar Indonesia yang bersumber dari negara ASEAN Plus Three pada umumnya adalah sektor industri pengolahan (manufaktur). Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.5, sembilan dari sepuluh sektor impor terbesar adalah dari sektor industri pengolahan. Secara umum, impor Indonesia dari ASEAN Plus Three cenderung mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir. Tabel 4.5 menunjukkan impor sepuluh sektor terbesar Indonesia dari pasar ASEAN Plus Three. Dari tabel tersebut sektor kilang minyak dan produk batu bara merupakan sektor impor terbesar Indonesia dari ASEAN Plus Three dengan rata-rata dari tahun 2005 hingga 2009 adalah sebesar US$ 10.734,11 juta. Nilai impornya pun cenderung bertambah, kecuali pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 48.56 persen. Sementara itu sektor mesin dan peralatannya menempati urutan kedua dengan rata-rata nilai impor sebesar US$ 8.198.02 juta. Kemudian diikuti oleh produk kimia, karet, plastik serta peralatan elektronik
60
dengan rata-rata masing-masing sebesar US$ 6.856.08 juta dan US$ 3.777,12 juta (2005-2009). Tabel 4.5. Impor 10 (Sepuluh) Sektor Terbesar Indonesia Dari Pasar ASEAN Plus Three (US$ Juta) No 1
2 3 4 5
6
7 8 9 10
Sektor Kilang minyak dan produk batu bara Mesin dan Peralatannya Produk kimia, karet dan plastik Peralatan elektronik
2005 8,532.85
2006 8,605.87 (0.86)
2007 10,741.36 (24.81)
2008 17,029.60 (58.54)
2009 8,760.87 (-48.56)
Rata-rata 10,734.11 (8.91)
5,306.00
4,659.96 (-12.18)
6,276.62 (34.69)
13,525.00 (115.48)
11,222.51 (-17.02)
8,198.02 (30.24)
4,908.82
5,440.26 (10.83)
6,306.55 (15.92)
9,909.87 (57.14)
7,714.88 (-22.15)
6,856.08 (15.43)
951.11
1,038.91 (9.23)
1,870.89 (80.08)
8,607.06 (360.05)
6,417.63 (-25.44)
3,777.12 (105.98)
2,448.47
1,999.66 (-18.33)
2,832.48 (41.65)
5,394.15 (90.44)
3,459.01 (-35.87)
3,226.75 (19.47)
Kendaraan bermotor &suku cadang Peralatan transportasi
2,574.12
1,939.72 (-24.65)
2,543.96 (31.15)
5,530.28 (117.39)
3,144.60 (-43.14)
3,146.53 (20.19)
553.95
1,748.02 (215.56)
827.95 -52.63
2,108.29 154.64
2,808.30 33.20
1,609.30 (87.69)
Minyak mentah Barangbarang dari logam
1,631.69
1,654.16 (1.38)
1,412.19 -14.63
1,465.67 3.79
1,592.81 8.67
1,551.30 (-0.20)
783.78
637.81 (-18.62)
865.69 (35.73)
2,309.98 (166.83)
2,235.39 (-3.23)
1,366.53 (45.18)
531.08
518.95 (-2.28)
632.11 (21.81)
2,275.70 (260.02)
2,061.46 (-9.41)
1,203.86 (67.53)
31,006.65
31,524.52
39,179.87
75,109.10
54,984.02
46,360.83
Logam besi
Textiles Total Impor
Angka dalam tanda ( ) menunjukkan pertumbuhan per tahun Sumber: WITS, 2010 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa impor terbesar Indonesia dari ASEAN Plus Three didominasi oleh sektor manufaktur. Hal ini diperkuat dari pangsa impor sepuluh sektor tersebut yang sangat besar, yakni mencapai rata-rata 89.76 persen dari total sektor yang diimpor. Dari Tabel 4.6 menunjukkan kontribusi (pangsa) impor masing-masing sektor. Kilang minyak yang merupakan sektor impor terbesar Indonesia dari pasar ASEAN Plus Three ternyata memberikan kontribusi dengan rata-rata sebesar 24.17 persen, atau sekitar seperempat dari total impor Indonesia. Puncaknya pada
61
tahun 2007 yaitu mencapai 27.42 persen. Sektor mesin dan perlatannya juga memiliki pangsa impor dengan rata-rata sebesar 17.27 persen (2005-2009). Produk-produk kimia, karet dan plastik memberikan kontribusi rata-rata sebesar 15.28 persen (2005-2009). Sementara itu, untuk sektor lain, pangsa impornya hanya berkisar antara 2.35 persen hingga 6.85 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kilang minyak, mesin dan peralatannya serta produk kimia, karet dan plastik memberikan kontribusi yang signifikan terhadap impor Indonesia dari negara-negara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea. Tabel 4.6. Pangsa Impor Terbesar Sektor Indonesia Dari Pasar ASEAN Plus Three (Persen) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sektor Kilang minyak dan produk batu bara Mesin dan Peralatannya Produk kimia, karet dan plastic Peralatan elektronik Logam besi Kendaraan bermotor &suku cadang
Peralatan transportasi Minyak mentah Barang-barang dari logam Tekstil Total pangsa
Sumber: WITS, 2010 (diolah)
Ratarata
2005
2006
2007
2008
2009
27.52 17.11
27.30 14.78
27.42 16.02
22.67 18.01
15.93 20.41
24.17 17.27
15.83 3.07 7.90
17.26 3.30 6.34
16.10 4.78 7.23
13.19 11.46 7.18
14.03 11.67 6.29
15.28 6.85 6.99
8.30 1.79 5.26
6.15 5.54 5.25
6.49 2.11 3.60
7.36 2.81 1.95
5.72 5.11 2.90
6.81 3.47 3.79
2.53 1.71 91.02
2.02 1.65 89.59
2.21 1.61 87.57
3.08 3.03 90.74
4.07 3.75 89.88
2.78 2.35 89.76
BAB V ALIRAN PERDAGANGAN, KONDISI TARIF DAN PERFORMA EKSPOR INDONESIA DI PASAR ASEAN PLUS THREE
5.1.
Aliran Perdagangan dan Kondisi Tarif Antar Negara ASEAN Plus Three Sebelum menganalisis kinerja ekspor Indonesia di pasar ASEAN Plus
Three, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai kondisi aliran perdagangan dan kondisi tarif yang sedang berlaku antar negara ASEAN Plus Three sebelum diberlakukannya Free Trade Area (FTA). Dimana data aliran perdagangan dan tarif yang sedang berlaku tersebut keseluruhannya bersumber dari GTAP Data Base versi 7.0. 5.1.1. Aliran Perdagangan Antar Negara ASEAN Plus Three Gambaran mengenai aliran perdagangan antar negara ASEAN Plus Three sebelum diberlakukannya FTA dapat dijadikan tolak ukur untuk melihat sejauh mana kemampuan negara yang terlibat dalam kesepakatan ASEAN Plus Three FTA untuk mengekspor dan mengimpor berbagai macam sektor ke sesama negara ASEAN Plus Three. Dengan memahami kondisi awal (sebelum FTA) aliran perdagangan antar negara-negara tersebut, maka justifikasi terhadap dampak FTA yang akan ditimbulkan akan lebih objektif. Tabel 5.1 dan Tabel 5.2 menunjukkan aliran perdagangan antar negara ASEAN Plus Three. Tabel 5.1 adalah aliran ekspor antar sesama negara ASEAN Plus Three dan Tabel 5.2 adalah aliran impor antar sesama negara ASEAN Plus Three. Kedua tabel tersebut bersumber dari data base GTAP versi 7. Dari tabel tersebut terlihat bahwa negara Jepang adalah negara yang memiliki nilai ekspor dan impor tertinggi diantara sesama negara ASEAN Plus Three, dengan tujuan ekspor terbesar adalah ke Cina, sedangkan impor terbesar Jepang juga berasal dari Cina. Nilai ekspor dan impor negara-negara ASEAN secara keseluruhan relatif lebih kecil jika dibanding ketiga negara Asia Timur tersebut. Indonesia sendiri hanya menyumbang 5.60 persen dalam aliran ekspor ASEAN Plus Three dan sebesar 5.70 persen dalam aliran impornya.
64
Tabel 5.1. Aliran Ekspor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta dolar) Pengimpor (Partner) Indonesia
Filipina
Singapura
Thailand
Cina
Jepang
Korea
Total
Indonesia
0
3,366.5
1,185.2
6,877.9
2,211.5
8,124.0
14,088.9
4,742.6
40,596.7
Malaysia
2,574.4
0
1,805.0
15,699.1
5,768.4
22,587.8
13,953.0
4,396.5
66,784.2
395.8
2,544.5
0
3,067.2
1,383.7
5,417.9
8,596.9
2,447.2
23,853.1
Singapura
10,435.7
13,256.8
2,889.9
0
4,590.6
16,600.2
9,039.8
6,138.7
62,951.7
Thailand
2,854.1
5,587.3
1,790.9
4,944.4
0
14,437.2
14,546.3
2,673.9
46,834.0
Cina
8,277.2
9,546.4
5,364.8
13,184.7
7,514.8
0
89,210.3
28,902.3
162,000.4
Jepang
9,124.2
13,262.4
9,015.5
16,019.4
19,985.6
93,356.2
0
48,426.3
209,189.7
Korea
3,710.5
5,529.9
3,231.1
4,939.4
3,650.3
66,399.3
24,462.5
0
111,922.9
Total
37,371.9
53,093.7
25,282.5
64,732.0
45,104.9
226,922.6
173,897.8
97,727.4
724,132.6
Filipina Pengekspor (Reporter)
Malaysia
Sumber: GTAP Data Base Versi 7.0
65
Tabel5.2.AliranImporAntarNegaraASEANPlusThree(Jutadolar) Pengekspor (Partner) Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Indonesia Malaysia
Pengimpor (Reporter)
Filipina
Jepang Korea Total
0.0 3,947.7 1,324.7 7,317.7 2,507.7 9,585.2 15,467.4 5,405.9 45,556.3 2,805.1
0.0 1,932.7 16,356.0 6,320.7 24,405.0 14,950.9 4,757.8 71,528.1
418.7 2,648.4
0.0 3,158.6 1,541.4 5,741.5 9,243.6 2,644.8 25,396.9
Singapura 11,162.5 14,063.4 3,037.2
0.0 4,987.6 17,943.9 9,338.2 6,369.6 66,902.5
Thailand
3,287.2 6,101.1 1,973.5 5,190.4
0.0 16,545.0 16,320.5 3,241.4 52,658.9
Cina
9,307.4 10,841.5 6,008.1 13,725.0 8,845.0
Jepang
10,151.3 15,256.3 9,634.7 16,576.7 23,598.1 104,406.6
Korea
4,149.4 6,313.0 3,454.8 5,076.3 4,291.3 74,732.9 25,995.4
Total
41,281.5 59,171.3 27,365.7 67,400.6 52,091.7 253,360.0 190,124.6 108,396.2 799,191.6
0.0 98,808.6 33,305.1 180,840.6 0.0 52,671.6 232,295.2 0.0 124,013.0
Sumber:GTAPDataBaseVersi7.0
65
66
Ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN Plus Three ditunjukkan pada Tabel 5.3. Data tersebut merupakan salah satu data dasar yang akan digunakan untuk melakukan simulasi dampak FTA. Dari tabel tersebut terlihat bahwa ekspor Indonesia cukup didominasi oleh sektor-sektor primer dari pertambangan dan penggalian seperti gas alam dan minyak mentah. Selain itu ternyata Indonesia juga cukup banyak dalam mengekspor produk kimia, karet dan plastik, peralatan elektronik serta industri manufaktur lainnya. Berdasarkan data dasar GTAP versi 7.0 sektor industri pengolahan (manufaktur) yang memiliki kontribusi ekspor paling besar adalah berasal dari sektor peralatan elektronik serta sektor kimia, karet dan plastik. Sementara yang sektor primer yang memiliki kontribusi ekspor paling besar adalah sektor gas alam, minyak mentah dan batu bara. Sedangkan sektor pertanian justru tidak terlalu memberikan kontribusi ekspor yang besar ke ASEAN Plus Three. Dalam konteks ASEAN Plus Three, Jepang merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia, diikuti oleh Cina dan Singapura. Nilai ekspor Indonesia ke Jepang berdasarkan data dasar GTAP versi 7.0 adalah sebesar US$ 14,088.9 juta, sementara ke Cina sebesar US$ 8,124 juta dan ke Singapura sebesar US$ 6,877.9 juta. Sektor andalan ekspor Indonesia ke Jepang adalah sektor gas alam. Dilain hal ekspor ke Cina lebih banyak didominasi oleh sektor kimia, karet dan plastik, sedangkan ekspor terbesar ke Singapura ternyata lebih benyak dari sektor peralatan elektronik. Berdasarkan data perkembangan ekspor Indonesia yang ditampilkan pada Bab IV juga memperlihatkan kondisi yang sama, bahkan untuk tahun-tahun berikutnya nilai ekspor Indonesia pada sektor gas alam, produk kimia, karet dan plastik, peralatan elektronik serta industri manufaktur lainnya mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa sektor-sektor tersebut memang menjadi andalan ekspor Indonesia. Pemberlakuan kesepakatan ASEAN Plus Three FTA tentunya akan memberikan dampak terhadap sektor-sektor yang selama ini menjadi unggulan ekspor Indonesia. Pada bab berikutnya akan lebih dibahas mengenai dampak pembelakuan FTA tersebut terhadap ekonomi makro dan sektoral Indonesia.
67
Tabel 5.3. Ekspor Indonesia Ke Negara-negara ASEAN Plus Three (Juta dolar) Sektor Tanaman pangan Peternakan, kehutanan dan perikanan Batu bara Minyak Mentah Gas alam Mineral Makanan Olahan Minyak nabati dan hewani Tekstil Kilang minyak Kimia, Karet dan plastic Logam besi Logam non besi Kendaraan bermotor dan suku cadang Peralatan transportasi Peralatan elektronik Mesin dan peralatannya Industri Manufaktur lain Listrik, gas, air bersih dan bangunan Transportasi dan Komunikasi Jasa lainnya Total
Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea Total 286.0 26.3 134.2 26.5 37.5 89.5 17.6 617.6 44.7 5.6 130.2 9.5 96.7 133.1 5.2 424.9 163.0 127.8 0.1 176.9 76.5 995.1 495.4 2,034.7 41.6 9.6 218.7 320.0 1,070.1 340.9 1,071.4 3,072.1 0.6 0.0 0.0 0.0 0.0 3,182.8 1,021.9 4,205.4 22.1 339.6 92.9 3.3 135.2 699.8 195.0 1,487.9 145.7 68.2 155.2 57.0 85.3 721.6 63.6 1,296.5 364.5 10.0 141.1 0.8 792.9 4.7 47.1 1,361.1 146.4 64.2 105.3 90.2 317.1 370.4 189.8 1,283.3 42.0 4.8 81.3 7.3 171.0 484.7 110.5 901.6 473.7 169.4 510.9 446.2 1,557.3 1,042.2 384.5 4,584.3 52.8 3.3 85.7 14.6 23.6 43.8 30.2 253.9 292.0 56.9 766.3 272.9 219.0 1,541.2 56.4 3,204.8 87.8 68.0 21.9 170.3 34.5 179.3 1.3 563.1 49.9 12.6 110.2 32.1 3.9 14.9 4.0 227.5 422.4 70.3 2,591.7 162.6 1,399.8 1,073.9 171.8 5,892.4 236.2 57.2 1,027.9 197.8 329.5 873.2 105.1 2,826.9 457.1 80.6 634.1 187.8 1,623.6 1,967.0 681.2 5,631.4 4.9 0.5 7.0 4.5 14.7 60.4 0.5 92.5 23.1 7.9 44.2 23.2 98.9 189.0 67.3 453.7 10.2 2.6 19.2 7.9 37.0 81.5 22.8 181.2 3,366.5 1,185.2 6,877.9 2,211.5 8,124.0 14,088.9 4,742.6 40,596.7
Sumber: GTAP Data Base Versi 7.0
67
68
Aliran impor Indonesia dari negara-negara ASEAN Plus Three lainnya ditunjukkan pada Tabel 5.4. Pada tabel tersebut terlihat bahwa impor Indonesia cukup didominasi oleh sektor-sektor manufaktur seperti peralatan elektronik yang nilainya mencapai US$ 6,211.3 juta, kemudian diikuti oleh sektor kimia, karet dan plastik sebesar US$ 5,558.4 juta. Berdasarkan data dasar GTAP versi 7.0, selain mengimpor sektor-sektor dari industri pengolahan ternyata Indonesia juga cukup banyak mengimpor gas alam dari Jepang dan Korea. Impor terbesar Indonesia berasal dari Jepang, Cina dan Singapura. Dimana nilai impor dari Jepang mencapai US$ 15,467.4 juta, sementara impor dari Cina dan Singapura masing-masing mencapai US$ 9,585.2 juta dan US$ 7,317.7 juta. Sektor yang paling banyak diimpor ternyata juga merupakan sektor andalan ekspor Indonesia, seperti sektor kimia, karet dan plastik serta peralatan elektronik. Hal ini mengindikasikan bahwa antara Indonesia dengan negara-negara tersebut memiliki perdagangan dua arah (two way trade). Dengan kata lain Indonesia memiliki tingkat integrasi yang tinggi dengan negara-negara tersebut. Berdasarkan data pada Tabel 5.3 dan 5.4 yang bersumber dari data dasar GTAP versi 7, menunjukkan bahwa Indonesia lebih banyak mengimpor daripada mengekspor. Dimana nilai total ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three mencapai US$ 40,596.7 juta sedangkan nilai impornya mencapai US$ 45,556.3 juta. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum pemberlakuan FTA ASEAN Plus Three Indonesia telah mengalami defisit neraca perdagangan sebesar US$ 4,959.60. Hal ini sejalan dengan data perkembangan impor Indonesia pada bab IV, dimana menunjukkan bahwa impor sektor-sektor manufaktur seperti peralatan elektronik, produk kimia, karet dan plastik serta manufaktur lainnya cenderung meningkat pada tahun 2005-2009. Perlu diingat bahwa hal ini terjadi sebelum FTA diberlakukan. Diperkirakan ketika ASEAN Plus Three FTA diberlakukan maka tidak hanya impor pada sektor-sektor tersebut saja yang besar, melainkan impor pada seluruh sektor akan mengalami lonjakan.
69
Tabel 5.4. Impor Indonesia Dari Negara-negara ASEAN Plus Three (Juta dolar) Sektor Tanaman pangan Peternakan, kehutanan dan perikanan Batu bara Minyak Mentah Gas alam Mineral Makanan Olahan Minyak nabati dan hewani Tekstil Kilang minyak Kimia, Karet dan plastik Logam besi Logam non besi Kendaraan bermotor dan suku cadang Peralatan transportasi Peralatan elektronik Mesin dan peralatannya Industri Manufaktur lain Listrik, gas, air bersih dan bangunan Transportasi dan Komunikasi Jasa lainnya Total
Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Korea Total 353.7 31.0 149.8 37.9 49.3 98.4 69.7 789.6 56.8 6.2 151.8 10.3 117.0 155.7 6.4 504.3 210.8 156.2 0.1 203.7 90.0 1,144.3 581.2 2,386.3 45.0 10.3 230.7 337.6 1,128.8 359.6 1,186.8 3,298.7 0.7 0 0 0 0 3,391.6 1,099.9 4,492.1 24.7 391.5 118.9 4.1 173.5 739.4 207.1 1,659.2 288.2 75.4 169.5 68.5 111.3 827.1 83.8 1,623.7 418.9 10.9 159.5 1.4 892.2 5.0 62.6 1,550.5 166.9 70.7 113.3 109.2 379.5 416.5 223.0 1,479.2 46.1 5.1 86.7 7.9 200.8 531.5 123.7 1,001.8 533.0 183.2 560.2 524.4 2,139.6 1,159.3 458.8 5,558.4 60.3 3.6 94.3 16.9 27.5 47.9 33.0 283.5 309.4 59.5 788.4 292.5 235.7 1,614.1 61.3 3,360.9 99.8 72.5 23.3 187.9 41.4 189.4 1.4 615.7 53.8 13.5 115.3 33.7 4.3 15.4 4.0 240.0 446.0 73.2 2,688.3 173.3 1,531.4 1,112.6 186.5 6,211.3 257.8 61.5 1,094.2 218.7 383.8 937.1 118.2 3,071.2 537.8 89.6 703.1 244.4 1,928.4 2,391.8 807.8 6,702.8 4.9 0.5 7.0 4.5 14.7 60.4 0.5 92.5 23.1 7.9 44.2 23.2 98.9 189.0 67.3 453.7 10.2 2.6 19.2 7.9 37.0 81.5 22.8 181.2 3,947.7 1,324.8 7,317.7 2,507.7 9,585.2 15,467.4 5,405.8 45,556.3
Sumber: GTAP Data Base Versi 7.0
69
70
5.1.2. Kondisi Tarif Antar Negara ASEAN Plus Three Free Trade Area (FTA) dengan negara tertentu pada dasarnya memberikan perlakuan khusus kepada negara mitra dagang tertentu dan mendiskriminasikan mitra yang lain. FTA dapat berupa akses pasar yang lebih baik, tarif dan non tarif yang lebih rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Dengan demikian, FTA dengan negara tertentu dapat meningkatkan volume perdagangan antara kedua negara, tetapi dilain pihak dapat berdampak negatif terhadap perdagangan dengan mitra lain. Dalam mewujudkan liberalisasi perdagangan barang dan dalam rangka kerjasama perdagangan ASEAN Plus Three, Indonesia dan negara-negara yang terlibat diharuskan menurunkan tingkat tarif impor yang ada menjadi lebih rendah atau bahkan tidak ada sama sekali (0 persen). Bagian ini akan memberikan gambaran mengenai kondisi tarif yang sedang berlaku berdasarkan data dasar GTAP versi 7.0. Tarif impor yang berlaku antar sesama negara ASEAN Plus Three ditunjukkan pada Tabel 5.5. Data tersebut diambil dari data dasar GTAP versi 7.0. Dari data tersebut terlihat bahwa tarif di Malaysia, Thailand dan Rep Korea masih relatif lebih besar dari pada di negara lain. Indonesia terkena tarif impor paling besar adalah di negara Rep. Korea, Thailand dan Malaysia, sedangkan Indonesia mengenakan tarif paling besar adalah dari negara Rep. Korea, Jepang dan Cina. Secara umum tingkat tarif di negara-negara Asia Timur lebih besar dari tingkat tarif di sesama negara ASEAN, khususnya Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura. Berdasarkan data dasar GTAP versi 7.0, tingkat tarif pada sektor-sektor yang menjadi andalan ekspor Indonesia ternyata relatif kecil, seperti pada sektor gas alam dan minyak mentah dan batu bara (Lampiran 2). Sedangkan pada sektor manufaktur yang kurang menjadi andalan ekspor Indonesia memiliki tingkat tarif yang relatif lebih tinggi, seperti pada sektor makanan olahan dan kendaraan bermotor.
71
Tabel 5.5. Tarif Impor Antar Negara ASEAN Plus Three (Persen) Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura
Thailand
Cina
Jepang
Rep. Korea
Indonesia
0
6.62
2.43
0
8.47
6.50
1.37
17.67
Malaysia
2.30
0
2.01
0
9.10
6.81
1.75
6.91
Filipina
1.79
14.96
0
0
6.38
7.13
2.17
7.79
Singapura
3.01
4.14
1.80
0
6.86
7.23
1.73
8.85
Thailand
3.97
2.37
2.91
0
0
7.62
3.22
13.35
Cina
5.37
8.73
6.14
0.04
13.16
0
2.94
11.98
Jepang
5.56
10.61
4.83
0
14.72
8.61
0
8.13
Rep. Korea
6.08
11.66
5.18
0
15.78
8.32
3.14
0
Sumber: GTAP Data Base Versi 7.0
71
72
5.2.
Analisis Kinerja Ekspor Indonesia di Pasar ASEAN Plus Three Analisis kinerja perdagangan Indonesia dilakukan untuk mengidentifikasi
dayasaing produk-produk Indonesia dalam rangka menghadapi ASEAN Plus Three Free Trade Area (APT FTA). Kinerja ekspor Indonesia di pasar ASEAN Plus Three dapat dilihat dari berbagai macam indikator. Antara lain dapat dilihat melalui keunggulan komparatif suatu komoditi, produk ekspor dinamis dan dapat dilihat pula dengan mengukur tingkat integrasi perdagangan di suatu kawasan yang melakukan kegiatan perdagangan. Indikator yang dibahas dalam penelitian ini antara lain dengan cara melihat keunggulan komparatif komoditi Indonesia di pasar tujuan ekspor dengan mengukur posisi pasar dari produk Indonesia untuk tujuan pasar tertentu. Nilai ekspor yang tinggi belum cukup untuk menjustifikasi apakah komoditi tersebut memiliki performa yang baik di pasar tujuan. Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan beberapa alat analisis untuk mengukur performa ekspor Indonesia di pasar tujuan yaitu Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, Jepang, Rep. Korea dan Cina (ASEAN Plus Three). 5.2.1. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) Performa ekspor produk Indonesia di pasar ASEAN Plus Three dapat dilihat dari tingkat keunggulan komparatifnya, dimana hal ini dapat diketahui dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA). RCA menggambarkan daya saing secara komparatif untuk masing-masing komoditi di pasar ASEAN Plus Three. Tabel 5.6 menunjukkan beberapa komoditi yang diperdagangkan dan memiliki nilai ekspor dan impor terbesar dalam pasar tujuan yaitu ASEAN Plus Three. Dari tabel tersebut terlihat bahwa nilai RCA (Revalead Comparatif Advantage) terbesar Indonesia ke negara-negara tersebut didominasi oleh sektor dari pertambangan dan penggalian. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi ekspor sektor pertambangan dan penggalian Indonesia cukup besar terhadap total ekspor komoditi tersebut dari seluruh dunia. Selain itu kontribusi ekspor komoditi dari sektor pertambangan dan penggalian Indonesia sangat besar terhadap total ekspor seluruh komoditi Indoensia ke pasar ASEAN Plus Three. Dengan kata lain
73
komoditi pada sektor tersebut memiliki dayasaing yang tinggi di pasar ASEAN Plus Three. Dari Tabel 5.6, komoditi gas memiliki nilai RCA tertinggi selama tahun 2005-2009 yaitu dengan rata-rata 12.7, komoditi minyak lemak juga konsisten diurutan ke dua dengan nilai RCA sebesar 6.93. Kemudian diikuti oleh komoditi batu bara (5.51), metal (1.98), minyak mentah (1.88), mineral (1.77) dan kilang minyak (1.21). Komoditi dengan nilai RCA di atas 1 tersebut ternyata memilki nilai ekspor yang relatif tinggi dan memberikan kontribusi yang besar terhadap total ekspor Indonesia ke pasar ASEAN Plus Three (Tabel 4.1 dan Tabel 4.2). Sedangkan untuk komoditi seperti barang-barang kimia, karet dan plastik walaupun memiliki nilai ekspor dan kontribusi yang besar terhadap total ekspor Indonesia namun tidak cukup memiliki daya saing secara komparatif. Hal ini dikarenakan ekspor barang-barang kimia, karet dan plastik dari seluruh dunia memiliki nilai yang jauh lebih besar. Dengan kata lain produk-produk tersebut kurang memilki kontribusi yang besar terhadap total ekspor dunia untuk komoditi yang sama, walaupun komoditi tersebut merupakan salah satu komoditi unggulan ekspor Indonesia. Komoditi yang memiliki nilai RCA dibawah angka 1 menunjukkan komoditi tersebut tidak memiliki daya saing secara komparatif di pasar ASEAN Plus Three. Dari Tabel 5.6, terlihat bahwa komoditi-komoditi yang tergolong industri manufaktur seperti tekstil, elektronik, mesin dan peralatannya kurang memiliki dayasaing secara komparatif. Terlihat dari nilai RCA nya yang berada dibawah kisaran angka 1. Seperti tekstil yang memiliki nilai RCA sebesar 0.85, mesin dan peralatannya sebesar 0.33 serta elektronik dan peralatannya sebesar 0.28. Komoditi yang memiliki nilai RCA rendah tersebut pada umunnya adalah komoditi yang nilai impornya cukup besar dan berkontribusi signifikan terhadap total impor Indonesia dari pasar ASEAN Plus Three (Bab IV). Seperti komoditi mesin dan peralatannya yang memiliki pangsa impor sebesar 17.27 persen, nilai RCA komoditi tersebut hanya sebesar 0.33.
73
74
Tabel 5.6. Nilai RCA (Revealed Comparatif Advantage) Beberapa Komoditi Indonesia Tahun 2005-2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Sektor Gas alam Minyak nabati dan hewani Batu bara Logam Minyak mentah Mineral Kilang minyak dan produk batu bara Tekstil Produk kimia, karet dan plastik Kendaraan bermotor dan suku cadang Barang-barang dari logam Peralatan transportasi Mesin dan peralatannya Logam besi Peralatan elektronik
2005 14.98 6.09 4.29 2.1 1.48 1.88
2006 12.27 7.35 5.44 1.87 1.33 2.19
2007 12.65 6.97 6.48 2.25 1.4 1.73
2008 10.14 6.91 4.55 1.87 2.01 1.3
2009 13.48 7.3 6.78 1.81 3.16 1.74
Ratarata 12.7 6.93 5.51 1.98 1.88 1.77
1.38 0.90
1.32 0.84
1.25 0.88
1.06 0.84
1.05 0.82
1.21 0.85
0.77
0.87
0.93
0.81
0.7
0.81
0.61 0.52 0.31 0.34 0.26 0.41
0.55 0.47 0.40 0.36 0.40 0.27
0.53 0.53 0.34 0.34 0.34 0.26
0.58 0.55 0.48 0.31 0.31 0.24
0.51 0.49 0.78 0.32 0.30 0.22
0.56 0.51 0.46 0.33 0.32 0.28
5.2.2. Analisis Export Product Dynamics (EPD) Indikator lain yang dapat memberikan gambaran tentang tingkat daya saing suatu produk adalah Export Product Dynamics (EPD). Indikator ini mengukur posisi pasar dari produk suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Dengan menggunakan EPD dinamis atau tidaknya performa suatu produk dapat diketahui. Hasil perhitungan EPD dapat dilihat melalui Tabel 5.7. Berdasarkan perhitungan EPD tersebut, sektor-sektor Indonesia hanya berada pada dua posisi pasar yang berbeda di pasar ASEAN Plus Three, yaitu berada di posisi Rising Star dan Lost Opportunity. Dari sektor-sektor yang memiliki pengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia dengan ASEAN Plus Three. Hanya empat sektor yang berada pada posisi Lost Opportunity, yaitu pada sektor logam dasar, kilang minyak dan produk batu bara, kendaraan dan suku cadangnya serta sektor industri peralatan elektronik. Posisi Lost Opportunity adalah posisi yang paling tidak diinginkan karena hilangnya kesempatan akibat semakin menurunnya pangsa
75
pasar sektor-sektor Indonesia di ASEAN Plus Three. Hilangnya pangsa pasar untuk sektor-sektor ini dikhawatirkan akan terus berlanjut bahkan menular ke sektor-sektor lainnya apabila ASEAN Plus Three FTA benar-benar telah diberlakukan. Salah satu cara untuk menghindari hal tersebut adalah dengan meningkatkan kembali pangsa pasar sektor-sektor ekspor Indonesia di ASEAN Plus Three. Posisi sektor pertambangan gas alam Indonesia selama tahun 2005 hingga 2009 di pasar ASEAN Plus Three adalah Rising Star, dimana posisi ini merupakan posisi yang paling tinggi karena komoditi tersebut kompetitif dan memiliki dinamika perdagangan yang positif. Indonesia memperoleh tambahan pangsa pasar pada sektor tersebut yang tumbuh cepat. Demikian pula dengan sektor industri minyak nabati dan hewani, batu bara, minyak mentah, mineral dan sektor lainnya (Tabel 5.7). Sebuah sektor dikatakan “kompetitif” jika terjadi peningkatan maket share untuk sektor-sektor Indonesia yang lebih besar dibandingkan dengan pertumbuhan market share sektor-sektor di ASEAN Plus Three. Suatu sektor ekspor dikatakan sebagai sektor yang “dinamik” dari sisi perdagangan apabila perkembangan rata-rata market share lebih cepat dibandingkan dengan rata-rata market share dari seluruh sektor yang diperdagangkan di ASEAN Plus Three. Jika dibandingkan dengan hasil analisis RCA, maka sebagian besar sectorsektor Indonesia yang memiliki nilai RCA lebih dari 1 (satu) atau dengan kata lain yang memiliki keunggulan komparatif adalah sektor-sektor yang berada pada posisi Rising Star pada analisis EPD. Nilai RCA yang relatif besar dan cenderung meningkat dari tahun 2005 hingga 2009 ternyata dari hasil analisis EPD memang mengalami peningkatan pangsa pasar di ASEAN Plus Three. Terkecuali untuk sektor logam dasar yang memiliki rata-rata nilai RCA lebih dari 1 (satu) namun berada pada posisi Lost Opportunity. Hal ini dikarenakan sektor logam dasar mengalami penurunan nilai RCA dari tahun 2007 hingga 2009. Maka hasil analisis EPD cukup tepat jika menilai sektor logam dasar mengalami kehilangan pangsa pasarnya. Dari berbagai pernyataan tersebut maka dapat dikatakan hasil analisis EPD dan RCA cukup sejalan dan saling mendukung satu sama lain.
75
76
Tabel 5.7. Analisis Export Product Dynamics (EPD) Beberapa Komoditi Indonesia Di Pasar ASEAN Plus Three Tahun 2005-2009 Nilai
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Sektor
Rata-rata Pertumbuhan (X)
Gas alam Minyak nabati dan hewani Batu bara
Rata-rata Pertumbuhan (Y)
Posisi Pasar
2.12
2.97
Rising Star
8.20
2.97
Rising Star
19.02
2.97
-0.21
2.97
Rising Star Lost Opportunity
27.99
2.97
Rising Star
3.78
2.97
Rising Star
-3.87
2.97
Lost Opportunity
Tekstil
0.49
2.97
Rising Star
Produk kimia, karet dan plastic
1.08
2.97
Kendaraan bermotor dan suku cadang
-0.58
2.97
Lost Opportunity
Barang-barang dari logam
2.17
2.97
Rising Star
34.17
2.97
Rising Star
Mesin dan peralatannya
0.92
2.97
Rising Star
Logam besi
9.94
2.97
-10.40
2.97
Rising Star Lost Opportunity
Logam Minyak mentah Mineral Kilang minyak dan produk batu bara
Peralatan transportasi
Peralatan elektronik
Rising Star
5.2.3. Analisis Intra Industry Trade (IIT) Mengukur tingkat integrasi perdagangan di suatu kawasan yang melakukan kegiatan perdagangan dapat juga dijadikan alat untuk melihat kinerja perdagangan Indonesia. Tingkat integrasi diukur melalui aliran dan keterkaitan perdagangan. Aliran perdagangan suatu negara dapat diketahui dari nilai ekspor dan impor antara negara tersebut dengan negara lain. Berdasarkan data nilai aliran perdagangan tersebut dapat dikalkulasikan nilai dari IIT (Intra-Industry Trade) masing-masing komoditi yang diperdagangkan. Nilai dari IIT masing-masing komoditi digunakan untuk menganalisis tingkat integrasi dan keterkaitan perdagangan antara Indonesia dengan ASEAN Plus Three. Integrasi yang tinggi menunjukkan keterkaitan yang erat diantara negaranegara tersebut. Nilai IIT yang tinggi menunjukkan adanya keterkaitan yang bersifat dua arah (two-way trade) dimana Indonesia melakukan ekspor dan impor ke negara ASEAN Plus Three. Sementara itu, nilai IIT yang kecil menunjukkan
77
adanya keterkaitan yang bersifat satu arah (one-way trade) dimana Indonesia hanya berperan sebagai negara eksportir atau importir ke negara ASEAN Plus Three. Aliran perdagangan (ekspor dan impor) serta nilai Intra-Industry Trade (IIT) antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN Plus Three tercantum dalam Tabel 5.8. Berdasarkan Tabel 5.8, terlihat bahwa komoditi kimia, karet dan plastik merupakan komoditi yang memiliki nilai IIT sangat besar yaitu dengan rata-rata tahun 2005-2009 sebesar 90.80. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi perdagangan yang bersifat dua arah antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN Plus Three. Jika melihat kembali data pada Tabel 4.2 dan 4.3, terlihat jelas bahwa kelompok komoditi kimia, karet dan plastik memiliki kontribusi ekspor dan impor yang besar terhadap total ekspor dan impor Indonesia, khususnya ke pasar ASEAN Plus Three. Komoditi-komoditi lain seperti peralatan transportasi, tekstil, mesin dan peralatannya, barang-barang dari logam, peralatan elektronik, kendaraan bermotor dan suku cadang serta kilang minyak dan produk batu bara juga memiliki nilai IIT yang cukup tinggi selama tahun 2005 hingga 2009. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5.8, rata-rata nilai IIT untuk peralatan transportasi adalah sebesar 67.09, tekstil sebesar 66.64, mesin dan peralatannya sebesar 66.09, barang-barang dari logam sebesar 56.56, peralatan elektronik sebesar 54.59, kendaraan bermotor dan suku cadang serta kilang minyak dan produk batu bara masing-masing sebesar 52.61 dan 42.37. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi-komoditi tersebut juga mengalami perdagangan yang bersifat dua arah. Komoditi yang bernilai IIT rendah seperti gas alam dan batu bara yaitu menunjukkan perdagangan yang terjadi hanya bersifat satu arah. Untuk komoditi tersebut, Indonesia lebih unggul dalam mengekspor dan sangat sedikit dalam mengimpor.
77
78
Tabel 5.8. Nilai IIT (Intra-Industry Trade) Beberapa Komoditi Indonesia Ke Pasar ASEAN Plus Three No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
5.3.
Komoditi Produk kimia, karet dan plastik Peralatan transportasi Tekstil Mesin dan peralatannya Barang-barang dari logam Peralatan elektronik Kendaraan bermotor dan suku cadang Kilang minyak dan produk batu bara Logam besi Minyak mentah Logam Mineral Minyak nabati dan hewani Batu bara Gas alam
2005
2006
2007
2008
2009
Ratarata
92.07 76.02 62.31 69.11 59.35 35.73
98.72 51.81 60.70 85.61 72.30 46.40
95.48 82.73 66.93 77.16 71.14 71.13
83.69 64.70 72.36 48.33 43.29 57.51
84.06 60.19 70.92 50.23 36.74 62.17
90.80 67.09 66.64 66.09 56.56 54.59
50.62
63.91
57.07
40.70
50.75
52.61
42.63 33.21 40.09 20.39 10.09 5.28 0.58 0.00
49.83 54.84 43.55 21.80 7.51 4.44 0.49 0.00
43.24 44.14 33.19 23.07 8.79 4.19 0.25 0.00
34.57 32.24 27.08 40.43 21.26 4.39 0.32 0.03
41.58 32.69 44.14 34.06 8.70 5.83 0.37 0.05
42.37 39.42 37.61 27.95 11.27 4.83 0.40 0.02
Kemampuan Industri dalam Menghadapi Persaingan Global Pemaparan akan gambaran aliran perdagangan antara Indonesia dengan
ASEAN Plus Three disertai dengan penghitungan RCA dan Intra-Industry Trade (IIT) dari masing-masing komoditi, dapat menjelaskan bagaimana kemampuan sektor-sektor tersebut di negara Indonesia dalam menghadapi persaingan global. Secara umum, dari beberapa kelompok komoditi, dapat disimpulkan bahwa komoditi manufaktur telah terjadi integrasi yang tinggi antara ASEAN dengan negara Cina, Jepang dan Rep. Korea. Komoditi pada sektor pertambangan dan penggalian terutama untuk negara Indonesia lebih banyak terjadi one way trade atau nilai IIT bernilai 0. Kenyataan lain menunjukkan bahwa secara umum, pola perdagangan diantara negara-negara anggota ASEAN menunjukkan keterkaitan yang lemah satu dengan lainnya (Oktaviani et al, 2006). Lemahnya keterkaitan ini bukan disebabkan oleh tingginya tingkat tarif diantara anggota ASEAN, namun oleh
79
karena tingkat tarif rata-rata barang dari luar ASEAN yang menikmati status MFN (most favoured nation). Pada kelompok industri lainnya, yaitu kelompok komoditi pertanian primer secara umum belum mampu bersaing menghadapi pasar bebas. Nilai IIT yang relatif rendah dari angka maksimal 100 yang menunjukkan integrasi yang tinggi antar kedua wilayah dan menunjukkan ketidakmampuan dayasaing produk pertanian primer Indonesia tersebut. Beberapa sub sektor kemungkinan dapat dikembangkan mengingat memiliki nilai IIT yang cukup. Integrasi yang tinggi menunjukkan kedekatan perdagangan diantara negara-negara di kawasan tersebut. Jika dilihat fokus pada sektor pengolahan pertanian, maka komoditi minyak nabati dan hewani terutama produk minyak nabati yang merupakan turunan dari komoditi Crude Palm Oil (CPO) merupakan produk andalan Indonesia. Malaysia dan Indonesia menempati urutan pertama dan kedua di dunia untuk ekspor CPO dan turunannya. Cina sebagai negara yang pesat perkembangannya merupakan salah satu tujuan ekspor CPO terbesar bagi kedua negara tersebut. Untuk Indonesia, ekspor minyak nabati dan hewani Indonesia ke ASEAN Plus Three merupakan 5.94 persen dari total ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three pada tahun 2009. Kemampuan industri ini dalam pasar ASEAN Plus Three dapat dikatakan memiliki potensi yang lebih baik lagi, terlihat dari nilai IIT Indonesia untuk minyak nabati dan hewani yang selalu meningkat dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Meski demikian, Indonesia masih mampu memanfaatkan peluang yang ada. Hasil penelitian Kurniawan (2007) menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan komparatif atau daya saing yang kuat pada kelompok-kelompok komoditi agribisnis, seperti: komoditi perikanan, kelompok komoditi kopi, teh, dan rempah-rempah, kelompok komoditi minyak dan lemak hewani dan nabati, kelompok komoditi kimia, karet dan plastik, serta kelompok komoditi kayu dan barang dari kayu. Kelima kelompok komoditi agribisnis Indonesia tersebut memiliki rataan nilai RCA (Revealed Comparative Advantage) tertinggi (diatas satu) selama periode 2000-2005 dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan Cina.
79
80
Halaman ini sengaja dikosongkan
81
BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu kawasan perdagangan bebas. Persetujuan tersebut resmi ditandatangani pada bulan Oktober 2009 di Thailand. FTA ini akan menjadi kawasan FTA terbesar di seluruh dunia karena akan menyebabkan terjadinya integrasi perekonomian yang melibatkan jumlah konsumen yang sangat besar. Implikasi bagi Indonesia dan negara lain yang terlibat adalah tentu saja harus menghadapi pasar bebas kawasan ASEAN Plus Three dengan tingkat persaingan yang lebih ketat. Karena hambatan-hambatan perdagangan yang salah satu bentuknya adalah tarif akan dihapuskan. Dalam bab ini akan dibahas lebih dalam mengenai dampak dari diberlakukannya FTA ASEAN Plus Three (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Cina, Jepang dan Rep. Korea) terhadap ekonomi makro dan sektoral, khususnya bagi Indonesia. 6.1.
Dampak ASEAN Plus Three Free Trade Area (FTA) terhadap Ekonomi Makro Indonesia Pengaruh penghapusan tarif terhadap beberapa peubah ekonomi makro di
masing-masing negara (ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea) sesuai dengan kesepakatan kerjasama ASEAN Plus Three (ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea) pada komoditi yang diperdagangkan dapat dilihat pada Tabel 6.2. Penghapusan tarif berdampak pada peningkatan kesejahteraan semua negara anggota ASEAN dan Cina, Jepang serta Rep. Korea yang terlihat dari adanya peningkatan nilai equivalent variation pada masing-masing negara ASEAN Plus Three. Hal ini mengimplikasikan bahwa pembentukan kerjasama FTA ASEAN Plus Three setidaknya memiliki pengaruh positif bagi negara yang terlibat. Peningkatan kesejahteraan yang terjadi pada ASEAN Plus Three karena adanya trade creation effect dimana kesejahteraan masyarakat meningkat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah. Trade creation adalah penggantian produk domestik negara yang melakukan FTA dengan produk impor yang lebih murah dari anggota lain. Jika seluruh sumber daya digunakan secara
82
full employment dan dengan melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing negara akan memperoleh dampak positif berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat karena memperoleh barang dengan harga yang relatif lebih murah. Indonesia mengalami peningkatan kesejahteraan sebesar US$ 685.90 juta. Sementara peningkatan terkecil dialami oleh Filipina yaitu sebesar US$ 148.85 juta dan peningkatan paling besar dialami oleh Jepang yaitu sebesar US$ 8428.85 juta. Jika dibandingkan dengan negara sesama ASEAN lainnya seperti Thailand dan Malaysia, Indonesia masih mengalami peningkatan yang jauh lebih kecil. Hal ini mencerminkan bahwa trade creation effect di Thailand dan Malaysia lebih berpengaruh positif dibanding di Indonesia. Jika dilihat dampak FTA dalam skema ASEAN Plus Three terhadap performa pertumbuhan nasional, maka secara keseluruhan terjadi peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) riil di semua negara ASEAN Plus Three, kecuali Singapura yang mengalami penurunan PDB riil sebesar 0.03 persen. Sebagai negara berkembang yang masih mengandalkan ekspor sebagai instrumen untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, peningkatan PDB riil yang dialami Indonesia relatif kecil, yaitu hanya sebesar 0.18 persen. Lebih kecil dibanding Filipina, Malaysia dan Thailand. Dimana Thailand mengalami peningkatan PDB riil paling besar yaitu sebesar 1.34 persen. Di kawasan Asia Timur, Rep. Korea mengalami peningkatan PDB riil paling besar, yaitu 0.56 persen. Sementara peningkatan PDB riil pada Cina dan Jepang masing-masing hanya sebesar 0.13 persen dan 0.05 persen. Kuantitas PDB meningkat dengan besaran yang relatif kecil dan lebih disebabkan oleh peningkatan konsumsi walaupun di satu sisi investasi meningkat, tetapi peningkatannya relatif kecil untuk mendorong peningkatan PDB kuantitas (volume). Uraian tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.2. Peningkatan PDB riil Indonesia dan negara ASEAN Plus Three lainnya lebih disebabkan karena peningkatan investasi dan konsumsi rumah tangga. Namun investasi yang terjadi di Indonesia jauh lebih kecil dari yang terjadi di Malaysia dan Thailand. Ini menunjukkan bahwa daya tarik Investasi di Indonesia lebih lemah jika dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand. Hal ini diperkuat dengan data Global Competitiveness Index dalam World Economic Forum (2010), dimana peringkat Indonesia jauh berada di bawah Malaysia dan Thailand.
83
Indonesia berperingkat 44, sementara Thailand berada pada peringkat 38 dan Malaysia peringkat 26. Jika dilihat hasil simulasi penghapusan tarif terhadap PDB deflator atau tingkat inflasi di negara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea meski meningkatkan inflasi, namun peningkatannya relatif kecil, bahkan untuk Malaysia dan Filipina terjadi penurunan tingkat inflasi yakni masing-masing sebesar 0.29 persen dan 0.17 persen. Sedangakan Indonesia meningkat sebesar 0.25 persen, Singapura sebesar 1.12 persen, Thailand sebesar 3.53 persen. Untuk Cina, Jepang dan Rep. Korea meningkat masing-masing sebesar 0.35 persen; 1,07 persen dan 1.58 persen. Meningkatnya PDB deflator di negara-negara ASEAN ini, termasuk Indonesia, salah satunya karena masih tingginya tingkat ketergantungan beberapa komoditi impor khususnya dari Cina yang harganya menjadi meningkat sehingga mempengaruhi indeks harga umum. Secara umum hal tersebut mengartikan bahwa antar sesama negara ASEAN Plus Three mengalami saling ketergantungan terhadap barang-barang impor dari sesama negara ASEAN Plus Three itu sendiri. Dengan adanya saling ketergantungan tersebut, ketika tarif impor dihapuskan, maka permintaan terhadap barang-barang impor dapat dipastikan langsung meningkat, sehingga harganya pun akan meningkat menyesuaikan tingkat permintaan dan mempengaruhi indeks harga umum. Variabel Term of Trade (TOT) atau kurs riil mencerminkan harga relatif barang-barang antara dua negara. Dari hasil simulasi, TOT negara ASEAN menjadi meningkat karena adanya penghapusan tarif impor (kecuali Filipina). Kurs riil atau TOT tinggi mencerminkan barang-barang impor relatif lebih murah dan barang-barang domestik di negara-negara ASEAN relatif lebih mahal. Hal ini berarti dengan adanya penghapusan tarif impor maka negara ASEAN semakin turun daya saingnya, dimana dalam hal ini Thailand yang paling besar mengalami peningkatan TOT. Sedangkan TOT Cina, menurun sebesar 0.004 persen, yang menandakan produk yang diperdagangkan dari Cina sedikit meningkat daya saingnya dengan penghapusan tarif di negara-negara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea. Lebih jauh, dampak kenaikan atau penurunan ekspor dan impor secara total masing-masing sektor di negara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea maupun sebaliknya berdampak pada neraca perdagangan di hampir seluruh negara
84
yang terlibat. Pada Tabel 6.2 terlihat bahwa neraca perdagangan semua negara mengalami penurunan, namun sebenarnya dengan adanya FTA ini justru memperbaiki neraca perdagangan diantara sesama negara ASEAN Plus Three. Karena pada kondisi awal sebelum diberlakukannya FTA neraca perdagangan di hampir seluruh negara yang terlibat sudah mengalami defisit yang jauh lebih besar (Tabel 6.1). Pada Tabel 6.1 terlihat perbedaan neraca perdagangan antara sebelum FTA dan sesudah FTA. Pada umumnya neraca perdagangan setiap negara menjadi lebih baik setelah adanya FTA, kecuali yang dialami oleh Thailand. Perubahan neraca perdagangan yang relatif paling baik dialami oleh Singapura, yaitu dari US$ -3,950.80 juta menjadi US$ -97.69 juta. Sementara Indonesia berubah dari US$ -4,959.60 juta menjadi US$ -491.09 juta. Karena semakin kecilnya defisit neraca perdagangan, hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya FTA mampu memperbaiki kinerja perdagangan masing-masing negara yang terlibat. Tabel 6.1. Neraca Perdagangan Sebelum dan Setelah ASEAN Plus Three FTA (Juta dolar) Neraca Perdagangan Neraca Perdagangan Negara Sebelum FTA Setelah FTA Indonesia -4,959.60 Malaysia -4,743.90 Filipina -1,543.80 Singapura -3,950.80 Thailand -5,824.90 Cina -18,840.20 Jepang -23,105.50 Korea -12,090.10 Sumber: Data Base GTAP versi 7.0 (diolah)
-491.09 -1,136.65 -289.05 -97.69 -13,730.20 -3,521.26 -2,732.31 -2,231.78
Peningkatan TOT (term of trade) atau kurs riil mengakibatkan barangbarang dan jasa Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan barang dan jasa dari luar negeri. Hal ini mengakibatkan peningkatan impor Indonesia masih lebih besar dari peningkatan ekspornya (Tabel 6.2). Walaupun demikian, perubahan penurunannya tergolong kecil dibandingkan Malaysia dan Thailand serta lebih kecil juga dibandingkan negara-negara Asia Timur. Neraca perdagangan yang negatif juga merupakan signal bahwa peningkatan investasi dibiayai oleh saving (tabungan). Secara teoritis, kenaikan permintaan investasi akan menurunkan tabungan bersih dan mengurangi persediaan rupiah yang diinvestasikan ke luar
85
negeri, sehingga kurs riil keseimbangan akan meningkat dan mengakibatkan kurs rupiah mengalami apresiasi, barang-barang domestik menjadi relatif lebih mahal terhadap barang luar negeri, dan ekspor netto turun. Pada gilirannya, hal ini mengakibatkan neraca perdagangan menjadi negatif. Dilihat dari neraca perdagangan dengan negara-negara selain ASEAN Plus Three maka terjadi peningkatan. Misalnya pada rest of Asia dan rest of the World. Hal ini menunjukkan bahwa defisit neraca perdagangan yang dialami oleh negaranegara yang terlibat dalam ASEAN Plus Three FTA dapat dikompensasi apabila negara-negara tersebut melakukan perdagangan dengan kawasan lain. Variabel investasi pada masing-masing negara menunjukkan performa yang berbeda-beda akibat skema FTA ASEAN Plus Three. Diharapkan dengan FTA ASEAN Plus Three akan memberikan fasilitas bagi penanam modal. Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanam modal sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Bab X Pasal 4(a) pajak penghasilan
melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu
terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu, (b) pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri, (c) pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu, (d) pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu, (e) penyusutan atau amortisasi yang dipercepat, (f) keringanan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Berdasarkan hasil simulasi yang ditunjukkan pada Tabel 6.2, investasi Indonesia meningkat relatif kecil yaitu sebesar 1.57 persen, sedangkan Thailand mengalami peningkatan terbesar mencapai 36.81 persen dan Malaysia sebesar 10.01 persen. Walaupun untuk Indonesia peningkatan investasi relatif kecil diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja yang disertai dengan peningkatan keahlian dan keterampilan sehingga dalam jangka panjang output dapat ditingkatkan dan efisiensi dapat tercapai. Dengan peningkatan output domestik maka dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan akan mengurangi volume impor.
86
Jika seluruh sumber daya digunakan secara penuh dan dengan melakukan spesialisasi berdasarkan comparative advantage, masing-masing negara akan memperoleh dampak positif akibat liberalisasi berupa peningkatan kesejahteraan karena memperoleh barang dengan harga yang relatif murah. Efek positif dari trade creation tidak hanya berlaku bagi masyarakat yang melakukan konsumsi namun Pemerintah yang juga melakukan belanja negara, juga mengalami peningkatan. Pengeluaran Pemerintah menjadi meningkat dengan adanya penghapusan tarif impor. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan pengeluaran Pemerintah yang positif dialami kedua belah pihak yaitu negaranegara ASEAN maupun Cina, Jepang dan Rep. Korea. Pengeluaran pemerintah yang terbesar terjadi pada negara Thailand yaitu sebesar 6.63 persen, diikuti Jepang dan Rep Korea masing-masing sebesar 1.16 persen dan 2.49 persen. Sementara itu pengeluaran pemerintah yang terjadi bagi Indonesia meningkat sebesar 0.53 persen. Dibukanya perdagangan antara ASEAN, Cina, Jepang dan Rep Korea mempunyai konsekuensi yang luas terhadap perekonomian, salah satunya terhadap konsumsi (consumption effect). Secara teori, salah satu pengaruh pada konsumsi masyarakat adalah bergesernya garis Consumption Possibility Frontier (CPF) ke atas. Ini berarti bahwa adanya perdagangan membuat masyarakat bisa mengkonsumsi dalam jumlah yang lebih besar daripada sebelum adanya perdagangan. Dengan kata lain bahwa pendapatan riil masyarakat (yaitu pendapatan yang diukur dari berapa jumlah barang yang bisa dibeli oleh jumlah uang tersebut) meningkat dengan adanya perdagangan. Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa konsumsi di negara ASEAN Plus Three naik akibat dihapusnya tarif impor dikedua belah pihak. Konsumsi Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0.5 persen. Persentase peningkatan konsumsi tertinggi diduduki oleh Thailand sebesar 6.25 persen. Sementara konsumsi di negara Filipina hanya akan meningkat sebesar 0.17 persen. Cina, jepang dan Rep Korea juga mengalami peningkatan konsumsi, yaitu masing-masing sebesar 0.57 persen, 1.13 persen dan 2.03 persen. Seluruh informasi mengenai dampak ASEAN Plus Three FTA terhadap konsumsi pada masing-masing negara ditunjukkan pada Tabel 6.2.
87
Tabel 6.2.
Dampak FTA dalam Skema ASEAN Plus Three terhadap Peubah Ekonomi Makro
Indonesia
Neraca Perdagangan (US$ juta) -491.09
Malaysia Filipina
Negara
Kesejahteraan (US$ juta)
PDB riil (%)
Term of PDB Pengeluaran Konsumsi Investasi trade Deflator Pemerintah Rumah (%) (%) (%) (%) Tangga(%) 0.18 0.25 1.57 0.53 0.5
685.90
0.18
-1136.65
1811.13
0.99
0.15
-0.29
10.01
1.08
0.55
-289.05
148.85
0.25
-0.18
-0.17
2.39
0.19
0.17
-97.69
697.90
-0.03
0.44
1.12
1.08
1.21
1.19
-13730.20
4437.77
1.34
1.95
3.53
36.81
6.63
6.25
Cina
-3521.26
2629.35
0.13
-0.004
0.35
1.04
0.5
0.57
Jepang
-2732.31
8428.85
0.05
1.08
1.07
0.45
1.16
1.13
Rep. Korea
-2231.78
5965.90
0.56
0.92
1.58
2.44
2.49
2.03
Rest Of Asia
1708.21
-4402.81
-0.04
-0.43
-0.68
-0.75
-0.76
-0.75
25353.07
-13015.75
-0.01
-0.14
-0.36
-0.43
-0.38
-0.38
Singapura Thailand
Rest Of World
Sumber: Hasil Analisi GTAP
88
Dampak FTA secara makro ekonomi tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Oktaviani, et al (2007) yang mengalisis dampak FTA ASEAN-Cina dan ASEAN-Rep. Korea. Hasil penelitian tersebut menyebutkan antara lain PDB negara-negara ASEAN meningkat walaupun relatif kecil. Peningkatan PDB lebih banyak didorong oleh pengeluaran atau konsumsi masyarakat yang lebih tinggi. Dengan adanya penghapusan tarif impor negara ASEAN semakin turun dayasaingnya, terlihat dari peningkatan TOT. 6.2.
Dampak Free Trade Area (FTA) ASEAN Plus Three terhadap Ekonomi Sektoral Dampak terhadap ekonomi sektoral dapat dijelaskan dengan melihat
dampak FTA ASEAN, Cina, Jepang dan Rep Korea terhadap ekspor, impor, output dan harga masing-masing komoditi. Tabel 6.3 menunjukkan pengaruh penghapusan tarif impor di ASEAN Plus Three terhadap beberapa peubah ekonomi sektoral di Indonesia sesuai dengan kesepakatan kerjasama ASEAN Plus Three FTA pada komoditi yang diperdagangkan. Seperti pada uraian sebelumnya, dampak ASEAN Plus Three FTA mengakibatkan neraca perdagangan di hampir seluruh negara yang terlibat menjadi lebih baik, terlihat dari semakin kecilnya defisit neraca perdagangan, kecuali untuk negara Thailand. Walaupun Indonesia banyak melakukan ekspor pada sektor-sektor tertentu, seperti batu bara, minyak mentah, produk kimia, karet dan plastik serta logam dan barang-barang dari logam, namun hampir keseluruhan impor Indonesia meningkat dengan peningkatan antara 1.35 hingga 31.81 persen. Impor Indonesia dari sektor kimia, karet dan plastik, mesin dan peralatannya, peralatan elektronik serta kilang minyak dan produk batu bara juga merupakan komoditi andalan ekspor bagi Indonesia ke pasar ASEAN Plus Three. Hal demikian dapat terjadi karena selama ini Indonesia masih dilindungi oleh tingkat tarif impor yang relatif tinggi (Bab V). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi pada sektor makanan olahan, dimana tarif rata-rata sebelum FTA adalah 11.86 persen. Ketika tarif ini dihilangkan, maka yang terjadi adalah meningkatnya impor Indonesia akan makanan olahan yakni sebesar 14.24 persen. Kemudian untuk kendaraan bermotor dan suku cadangnya, tarif rata-rata yang berlaku sebelum FTA adalah sebesar 8.74 persen. Ketika tarif dihapuskan, maka impor kendaraan
89
bermotor meningkat sebesar 9 persen. Berbeda halnya pada sektor yang tingkat tarifnya relatif kecil seperti pada minyak mentah dan mineral, dengan rata-rata tingkat tarif masing-masing sebesar 0.63 persen dan 1.92 persen (Tabel 5.4 Bab V). Peningkatan impor yang dialami oleh sektor tersebut juga relatif kecil yakni untuk sektor minyak mentah sebesar 2.67 persen dan mineral sebesar 1.35 persen. Ekspor di masing-masing komoditi ada yang mengalami peningkatan dan ada pula yang mengalami penurunan. Penurunan yang akan terjadi berkisar antara -0.2 hingga -12.1 persen. Peningkatan terbesar terjadi pada komoditi makanan olahan yaitu sebessar 12.36 persen, diikuti mesin dan perlengkapannya dan tanaman pangan masing-masing sebesar 8.29 persen dan 7.87 persen. Komoditikomoditi yang merupakan andalan ekspor Indonesia ke pasar ASEAN Plus Three yang diharapkan akan mengalami peningkatan namun tidak terjadi pada seluruh komoditinya, misalnya pada komoditi batu bara, gas alam, mineral, serta minyak nabati dan hewani. Namun penurunan yang terjadi hanya berkisar -0.2 persen hingga 0.59. Sektor andalan ekspor Indonesia yang mengalami peningkatan cukup besar diantaranya adalah adalah kilang minyak (6.54 persen), produk kimia, karet dan plastik (5.78 persen) serta peralatan elektronik (6.5 persen). Fenomena dibalik menurunnya ekspor andalan Indonesia salah satunya adalah karena pengaruh tarif. Sebelum terjadi FTA, tarif Indonesia di negaranegara ASEAN Plus Three lainnya untuk sektor andalan ekspor Indonesia sudah relatif rendah (Tabel 5.3 Bab V). Seperti sektor batu bara (1,05 persen), gas alam (0.13 persen) dan mineral (0.59 persen). Oleh sebab itu ketika tarif dihapuskan, maka tidak akan terlalu berpengaruh terhadap performa ekspor sektor-sektor tersebut. Dampak terhadap perubahan impor Indonesia juga dapat dilihat dalam Tabel 6.3. Secara keseluruhan, impor Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar justru terjadi pada komoditi gas alam (31.81 persen) yang merupakan komoditi andalan ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three. Peningkatan impor yang besar juga terjadi pada komoditi makanan olahan dan tekstil yang meningkat masing-masing sebesar 14.24 persen dan 10.35 persen. Peningkatan impor yang terjadi pada seluruh komoditi ini adalah akibat dari
90
penghapusan tarif impor, sehingga harga barang-barang impor menjadi lebih murah, yang pada akhirnya tingkat permintaan pun semakin meningkat. Dampak penghapusan tarif terhadap output juga dapat dilihat pada Tabel 6.3. Hasilnya adalah terjadi penurunan output pada hampir seluruh komoditi yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN, Cina, Jepang dan Rep Korea. Kecuali pada komoditi tanaman pangan; peternakan, kehutanan, perikanan; produk kimia, karet, plastik; peralatan elektronik; serta mesin dan peralatannya. Penurunan terbesar terjadi pada komoditi kendaraan bermotor dan suku cadang yakni sebesar -9.09 persen dan diikuti logam besi sebesar -4.44 persen. Untuk kendaraan bermotor dan suku cadangnya menunjukkan bahwa jika dibukanya FTA ASEAN Plus Three industri kendaraan bermotor dan suku cadang domestik dapat semakin terpuruk karena tingginya permintaan impor. Hal ini disebabkan karena daya saing indutri ini belum dapat menandingi negara-negara lain khusnya dari Jepang, Cina dan Rep Korea. Terlihat dari nilai RCA yang rendah pada industri ini (Bab 5, Tabel 5.5). Hal yang sama dapat terjadi pada industri logam besi Indonesia. Bagi komoditi-komoditi yang mengalami peningkatan ouput maka dapat dikatakan bahwa komoditi ini masih mempunyai potensi untuk berdaya saing baik di pasar domestik ataupun di pasar impor. Pada tabel yang sama dapat pula dilihat dampak FTA ASEAN Plus Three terhadap harga output. Harga ouput pada sektor-sektor yang diperdagangkan Indonesia secara keseluruhan mengalami kenaikan antara 0.27 hingga 1.08 persen. Penurunan harga ouput juga terjadi khususnya pada komoditi-komoditi yang menjadi impor terbesar Indonesia, seperti kendaraan bermotor dan suku cadang. Peningkatan harga output dan penurunan output pada sebagian besar komoditi yang diperdagangkan Indonesia ASEAN Plus Three menunjukkan Indonesia belum siap melakukan Free Trade Area dengan ASEAN Plus Three. Liberalisasi akan memberikan guncangan di sektor riil. Walaupun beberapa komoditi outputnya mengalami peningkatan, namun secara total neraca perdagangan pun menunjukkan nilai yang negatif. Sementara itu, jika dilihat dampak FTA ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea terhadap jumlah tenaga kerja, maka pada sebagian besar industri terjadi penurunan jumlah tenaga kerja (kesempatan kerja) baik tenaga kerja yang terdidik
91
maupun yang tidak terdidik. Penurunan tersebut terjadi pada industri yang outputnya mengalami penurunan, seperti industri kendaraan bermotor dan suku cadang, industri logam besi dan sebagian pada industri manufaktur lainnya. Sedangkan peningkatan jumlah tenaga kerja yang terdidik maupun yang tidak terdidik terjadi pada sektor pertanian, seperti tanaman pangan, peternakan, kehutanan dan perikanan, serta industri tekstil, kimia, karet, plastik dan peralatan elektronik. Hal tersebut wajar terjadi, karena peningkatan output akan menyebabkan produsen memerlukan tambahan tenaga kerja baik yang terdidik maupun tidak terdidik demikian pula sebaliknya. Peningkatan jumlah tenaga kerja terbesar terjadi pada sektor industri peralatan elektronik, yaitu sebesar 5.54 persen untuk tenaga kerja yang terdidik dan 5.44 persen pada tenaga kerja yang tidak terdidik. Hal ini menyebabkan ouput peralatan elektronik meningkat sebesar 6.5 persen. Sementara itu peningkatan yang cukup besar terjadi juga pada sektor industri mesin dan peralatannya yaitu sebesar 3.86 persen untuk tenaga kerja yang terdidik dan 3.76 persen pada tenaga kerja yang tidak terdidik yang menyebabkan ouput pada industri ini meningkat sebesar 8.29 persen. Penurunan jumlah tenaga kerja yang terbesar terjadi pada industri kendaraan bermotor dan suku cadang, yaitu turun sebesar 9.07 persen pada tenaga kerja yang terdidik dan 9.17 persen pada tenaga kerja yang tidak terdidik. Hal ini menyebabkan ouput pada industri ini mengalami penurunan yang cukup besar yaitu turun sebesar 9.09 persen. Kemudian menyebabkan ekspor industri ini mengalami penurunan. Kebutuhan domestik akan barang-barang kendaraan bermotor dan suku cadang lebih banyak diperoleh dari impor, terlihat dari peningkatan impor kendaraan bermotor dan suku cadang yang cukup besar yaitu sebesar 9 persen. Hal yang serupa terjadi pula pada industri logam besi, dimana jumlah tenaga kerjanya menurun menyebabkan ouput dan ekspornya mengalami penurunan, sementara impornya mengalami peningkatan.
92
Tabel 6.3.
Dampak Free Trade Area dalam Skema ASEAN, Cina, Jepang dan Rep. Korea terhadap Ekspor, Impor, Output dan Harga Domestik Indonesia (perubahan persen)
Sektor Tanaman pangan Peternakan, kehutanan dan perikanan Batu bara Minyak mentah Gas alam Mineral Makanan olahan Minyak nabati dan hewani Tekstil Kilang minyak Kimia, karet dan plastik Logam besi Logam non besi Kendaraan bermotor dan suku cadang Peralatan transportasi Peralatan elektronik Mesin dan peralatannya Industri manufaktur lain Listrik, gas, air bersih Jasa transportasi dan komunikasi Jasa lain .
Harga Tenaga Kerja ouput Tidak Terdidik Terdidik (ppd) 1.08 0.05 0.04
Ekspor (qxw)
Impor (qiw)
Output (q0)
7.87
3.38
0.01
3.54 -0.47 3.45 -0.2 -0.36 12.36
2.89 10.21 2.67 31.81 1.35 14.24
0.19 -0.25 -0.1 -0.23 -0.15 -0.09
0.8 0.44 0.73 0.49 0.77 0.65
0.25 -0.36 -0.15 -0.33 -0.16
0.23 -0.37 -0.16 -0.34 -0.18
-0.07
-0.15
-0.59 7.49 6.54
3.18 10.35 2.93
-0.55 0.64 -0.42
0.84 -0.8 0.53
-0.51 0.67 -0.43
-0.6 0.57 -0.53
5.78 -0.8 1.92
5.85 2.13 9.8
0.18 -4.44 -0.42
0.38 0.31 -0.05
0.2 -4.43 -0.39
0.1 -4.53 -0.49
-12.1
9.00
-9.09
-0.37
-9.07
-9.17
6.15 6.5
2.34 2.76
-0.81 5.53
0.28 -0.17
-0.79 5.54
-0.89 5.44
8.29
2.76
3.84
-0.37
3.86
3.76
0.77
6.76
-0.23
0.27
-0.21
-0.31
-1.86
2.16
1.1
0.28
1.13
1.02
-2.9 -3.9
1.46 2
0.08 -0.13
0.62 0.81
0.14 -0.13
0.01 -0.23
93
Hasil analisis dampak sektoral dari adanya FTA tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani, et al (2007), yang menganalisis dampak FTA ASEAN-Cina dan ASEAN-Rep.Korea. Dalam penelitian itu menyebutkan bahwa terjadi penurunan hampir keseluruhan pada output yang diperdagangkan Indonesia ke Cina yang menunjukkan Indonesia belum siap melakukan FTA dengan Cina. Walaupun beberapa komoditi outputnya mengalami peningkatan, namun secara total neraca perdagangan pun menunjukkan nilai yang negatif. Demikian juga FTA ASEAN-Rep. Korea, walaupun penurunnya relatif lebih kecil dibandingkan FTA ASEAN-Cina. Harga output yang diperdagangkan Indonesia secara keseluruhan mengalami kenaikan. Peningkatan kesempatan kerja, baik tenaga kerja yang terdidik maupun yang tidak terdidik, terjadi pada sektor-sektor yang outputnya mengalami peningkatan. Dibukanya kerjasama FTA ASEAN Plus Three membawa konsekuensi dibukanya liberalisasi perdagangan barang. Salah satu sarana untuk mencapainya adalah dengan mengurangi atau menghilangkan hambatan tarif bea masuk yang merupakan salah satu pos dalam pendapatan negara. Oleh karena itu dampaknya dapat terlihat turunnya penerimaan Pemerintah dari pos tarif bea masuk. Namun demikian,
sesuai dengan
tujuan dari
liberalisasi perdagangan,
melalui
pengurangan/penghapusan hambatan tarif maka akan terjadi peningkatan volume perdagangan barang yang mencakup ekspor dan impor barang diantara negaranegara anggota maupun meningkatnya kegiatan investasi. Walaupun untuk saat ini neraca perdagangan Indonesia menunjukkan nilai negatif namun untuk investasi menunjukkan nilai yang positif. Dengan meningkatnya volume perdagangan maka akan mendatangkan multiplier effect terhadap kegiatan ekonomi lainnya yang selanjutnya akan membawa perubahan terhadap penerimaan negara dari sektor pajak. Sehingga diharapkan penerimaan Pemerintah dalam jangka panjang akan meningkat. Namun yang perlu mendapat perhatian khusus Pemerintah Indonesia bahwa ASEAN Plus Three FTA dapat dilakukan namun dengan beberapa persyaratan, yaitu: 1. ASEAN Plus Three FTA dibuka hanya bagi sektor sektor yang memiliki dayasaing tinggi (competitive), seperti sektor gas alam, minyak nabati dan
94
hewani atau sektor batu bara. Jadi Pemerintah harus memiliki komitmen tinggi untuk membuka perdagangan bagi sektor-sektor yang berdayasaing, sedangkan yang belum memiliki daya saing perlu mendapat dukungan untuk pengembangan kapasitas kelembagaan ekspor seperti memfasilitasi promosi tetap, peningkatan kemampuan negosiasi, dan usaha membangun kepercayaan internasional. 2. Sektor yang lebih padat karya (menyerap tenaga kerja banyak) apabila belum mempunyai kemampuan untuk berkompetisi atau berdayasaing tinggi hendaknya jangan dibuka FTA dahulu, mengingat apabila dibuka FTA maka sektor yang belum mampu bersaing akan terancam gulung tikar, sehingga berpengaruh terhadap nasib tenaga kerja yang dipekerjakan (pengangguran akan meningkat). 3. Indonesia harus meningkatkan dayasaing pada sektor-sektor non primer, seperti sektor industri pengolahan agar dapat berkompetisi dalam perdagangan global, sebab sektor tersebut lebih memiliki nilai tambah jika dibandingkan sektor-sektor primer. Jika Indonesia mampu mengekspor lebih banyak pada produk-produk dari sektor industri pengolahan maka keuntungan yang didapat Indonesia tentunya akan lebih besar. FTA ASEAN Plus Three nantinya harus dipahami oleh Pemerintah dengan perspektif yang lebih luas. Terlepas dari pilihan mana yang akan diambil, apakah memandang keluar guna mempromosikan ekspor dan menganut perdagangan bebas atau sebaliknya memandang ke dalam sambil menjalankan kebijakan
proteksionis
atau
berusaha
menjalankan
keduanya
sekaligus,
Pemerintah harus memahami kondisinya yang ada sekarang ini serta prospeknya di masa yang akan datang di tengah-tengah pergaulan masyarakat dunia. Membuka perekonomian dengan perdagangan dunia itu baik, namun ada batasnya. Karena selain mengandung manfaat dan keuntungan, FTA juga membawa resiko yang harus diperhitungkan, yaitu: 1.
Karena Indonesia tidak mempunyai pilihan, yang mana harus terlibat secara aktif dalam perdagangan global, maka alternatif terbaik adalah menyesuaikan arah atau orientasi perdagangan internasional, yakni lebih mengutamakan kerjasama atau hubungan dagang dengan sesama negara ASEAN Plus Three.
95
Bagi Indonesia akan sangat baik seandainya memperkuat upaya integrasi ekonomi diantara sesama demi menggalang kekuatan, memaksimalkan skala ekonomis, dan juga memperbesar pasar. 2.
FTA ASEAN Plus Three dibuka hanya bagi komoditi Indonesia yang memiliki daya saing tinggi (competitive). Jadi Pemerintah harus memiliki komitmen tinggi untuk membuka perdagangan bagi sektor yang berdaya saing sedangkan yang belum memiliki dayasaing perlu mendapat dukungan untuk pengembangan kapasitas kelembagaan ekspor seperti memfasilitasi promosi tetap, peningkatan kemampuan negosiasi, dan usaha membangun kepercayaan internasional.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Kesimpulan Ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three mencapai separuh lebih dari total
ekspor Indonesia ke seluruh dunia. Ekspor andalan Indonesia ke pasar ASEAN Plus Three didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian seperti gas alam, minyak mentah, batu bara dan mineral. Kontribusi sepuluh besar sektor andalan ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three mencapai 80 persen dari total ekspor Indonesia ke ASEAN Plus Three. Begitu juga dengan impor dari ASEAN Plus Three, mencapai separuh lebih dari total impor Indonesia. Impor Indonesia dari pasar ASEAN Plus Three didominasi oleh sektor manufaktur khususnya yang padat modal, seperti kilang minyak dan produk batu bara; mesin dan peralatannya; produk kimia, karet dan plastik; peralatan elektronik; kendaraan bermotor dan suku cadang; dan peralatan transportasi. Pangsa sepuluh besar sektor impor dari ASEAN Plus Three mencapai 90 persen dari total impor Indonesia dari ASEAN Plus Three. Berdasarkan tujuan penelitian yang pertama yaitu menganalisis kinerja perdagangan Indonesia dalam menghadapi ASEAN Plus Three FTA maka dapat disimpulkan bahwa saat ini Indonesia belum memiliki kinerja atau daya saing (komparatif) dalam mengahadapi ASEAN Plus Three FTA. Alasanya antara lain karena sektor-sektor yang menjadi andalan ekspor Indonesia tidak seluruhnya memiliki performa yang baik di ASEAN Plus Three, hal ini terlihat dari hasil analisis RCA dan EPD. Walaupun analisis RCA menggambarkan keunggulan komparatif Indonesia, namun hanya pada sektor pertambangan dan penggalian serta sektor turunan CPO saja. Hasil analisis EPD memperkuat hasil analisis RCA yang menyatakan bahwa sektor-sektor yang tidak memiliki keunggulan komparatif akan semakin kehilangan pangsa pasarnya, bahkan hal ini juga terjadi pada sektor logam dasar dan kilang minyak yang masih memiliki keunggulan komparatif namun mengalami kehilangan pangsa pasar karena keunggulan komparatifnya semakin kecil.
98
Hasil analisis dari tujuan penelitian yang pertama dapat dijadikan tolak ukur untuk mensimulasikan dampak dibentuknya FTA (Free Trade Area) ASEAN Plus Three. Berdasarkan tujuan penelitian yang kedua yaitu menganalisis dampak ASEAN Plus Three FTA maka dapat disimpulkan bahwa FTA ini hanya berpengaruh kecil terhadap performa ekonomi makro Indonesia. Terlihat dari peningkatan PDB riil, investasi dan peubah makro lainnya yang meningkat relatif lebih kecil dari negara-negara ASEAN Plus Three lainnya. Secara umum Indonesia mengalami peningkatan impor di seluruh sektor, hal ini tidak terjadi pada ekspor. Inilah yang menyababkan neraca perdagangan Indonesia masih mengalami defisit. Namun defisit ini tidak sebesar ketika Indonesia belum melakukan FTA. Sektor-sektor yang mengalami peningkatan impor relatif besar umunya sektor-sektor yang mengalami penurunan tarif secara signifikan. Sementara sektor-sektor yang mengalami peningkatan ekspor yang relatif besar umumnya adalah sektor-sektor yang mengalami penurunan tarif relatif besar di negara tujuan. Dampak terhadap output adalah terjadi penurunan output pada hampir seluruh sektor yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN Plus Three. Kecuali pada sektor tanaman pangan; peternakan, kehutanan, perikanan; produk kimia, karet, plastik; peralatan elektronik; serta mesin dan peralatannya. Harga ouput pada sektor-sektor yang diperdagangkan Indonesia secara keseluruhan mengalami kenaikan. Penurunan harga ouput juga terjadi khususnya pada sektor yang menjadi impor terbesar Indonesia, seperti kendaraan bermotor dan suku cadang. Peningkatan harga output dan penurunan output serta penurunan penyerapan tenaga kerja pada sebagian besar sektor yang diperdagangkan Indonesia ke ASEAN Plus Three menunjukkan Indonesia belum siap melakukan Free Trade Area dengan ASEAN Plus Three. Liberalisasi akan memberikan guncangan di sektor riil. Walaupun beberapa sektor outputnya mengalami
peningkatan,
namun
secara
total
neraca
perdagangan
pun
menunjukkan nilai yang negatif.
7.2.
Saran Sesuai dengan hasil peneltian yang menganalisis kinerja perdagangan
indonesia dalam menghadapi ASEAN Plus Three FTA dan simulasi dampak
99
ASEAN Plus Three FTA maka beberapa saran yang dapat dikemukakan antara lain: 1. Kinerja perdagangan Indonesia untuk sektor-sektor primer relatif lebih baik. Sedangkan untuk sektor-sektor pengolahan secara umum kinerjajanya masih belum baik. Maka hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan kinerja sektor-sektor pengolahan agar dapat lebih bersaing dalam memasuki pasar internasional. Mengingat sektor ini lebih memiliki nilai tambah yang besar daripada sektor primer. Diperlukan insentif (fiskal) dari pemerintah salah satunya dengan pengurangan pajak atau pemberian subsidi dalam berbagai bentuk, memudahkan dalam mengadopsi dan penggunaan teknologi yang lebih maju, serta pembangunan fasilitas dan infrastruktur yang merata guna menambah daya tarik untuk kegiatan investasi bagi para investor. Selain itu diperlukan dukungan untuk pengembangan kapasitas kelembagaan ekspor seperti memfasilitasi promosi tetap, peningkatan kemampuan negoisasi dan usaha membangun kepercayaan internasional. Hal-hal tersebut diperlukan karena ketika tarif dihapuskan, maka yang berperan dalam menentukan performa ekspor Indonesia adalah daya saing. 2. Indonesia harus terlibat secara aktif dalam perdagangan global, maka alternatif terbaik adalah menyesuaikan arah atau orientasi perdagangan internasional, yakni lebih mengutamakan kerjasama atau hubungan dagang dengan sesama negara ASEAN Plus Three. Bagi Indonesia akan sangat baik seandainya memperkuat upaya integrasi ekonomi diantara sesama demi menggalang
kekuatan,
memaksimalkan
skala
ekonomis,
dan
juga
memperbesar pasar dengan cara mencari pasar-pasar internasional yang potensial.
DAFTAR PUSTAKA Aprilianda, W.D. 2007. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intra Industry Trade (IIT) Pada Sektor Elektronik Intra ASEAN-5 [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Armington, P.A. 1969. A Theory of Demand for Products Distinguished by Place of Production. International Monetary Fund Staff Papers, 16 (5): 159-78. ASEAN. 2010. Final Report of the East Asia Study Group. www.aseansec.org. [diakses 30 Mei 2010] Aswicahyono, H. dan M.E. Pangestu. 2000. Indonesia's Recovery: Exports and Regaining Competitiveness. Volume 38 Thn 2000 No 4 Austria, M. 2004. The Pattern of Intra-ASEAN Trade in Priority Good Sectors. ASEAN Sekretariat. Jakarta Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Industri Besar dan Menegah. Badan Pusat Statistik, Jakarta. Baltagi, B. H. 2005. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley & Sons, LTD, The Atrium, Southerm Gate, Chichester West Sussex PO198SQ. Departemen Keuangan. 2009. Mengatasi Dampak Krisis Global Melalui Program Stimulus Fiskal 2009. www.fiskal.depkeu.go.id. [diakses 24 Februari 2009] Departemen Perdagangan. 2010. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional 2005 – 2009. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Jakarta. Departemen Perdagangan. 2010. Neraca www.depdag.go.id. [diakses 30 Mei 2010]
Perdagangan
Indonesia.
Dumairy. 1997. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Dunn Jr, R.M. (2000). International Economics. Fifth Edition. Routledge, New York. Estherhuizen, D. 2006. Measuring and Analyzing Competitiveness in the Agribusiness Sector: Methodological and Analytical Framework. University of Pretoria. Gujarati, D.N. 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill, Boston.
102
Hadi, PU. 2003. Marketing Policy to Improve Competitiveness of Agricultural Commodities Facing Trade Liberalization. Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 1 (2). Juni 2003. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Hsiao, C. 2003. Analysis of Panel Data. Cambridge Univ. Press. Hady, H. 2001. Ekonomi Internasional : Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Buku Kesatu. Ghalia Indonesia. Jakarta. Haryadi. 2008. Dampak Liberalisasi Perdagangan Pertanian terhadap Perekonomian Negara Maju dan Berkembang. [Disertasi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hertel, T. 2000. Potential Gains from Reducing Trade Barriers in Manufacturing, Services and Agriculture. Federal Reserve Bank of St. Louis Review 2000 (July): 77–104. Hertel, T. 1997. Global Trade Analysis, Modeling and Applications. Cambridge University Press, New York. Hertel dan Tsigas. 1997. Structure of GTAP. Global Trade Analysis, Modeling and Applications. Cambridge University Press, New York. International Monetary Fund. 2008. World Economic Outlook: Financial Stress, Downturns, and Recoveries. International Monetary Fund, Washington DC Jianqun, H. 2003. Forging Closer China-ASEAN Cooperation At The Regional Multilateral Arena. China-ASEAN Occasional Paper No.2. 2003. Centre of Asian Studies. The University of Hongkong. Kotabe, M. dan K. Helsen. 2001. Global Marketing Management. Second Edition. John Wiley and Sons, Inc, New York Kurniawan, K. 2007. Posisi Bersaing Komoditi Agribisnis Utama Indonesia Dibandingkan dengan Cina dan ASEAN di Pasar Internasional. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Krugman, P. 1991. Increasing Returns and Economic Geography, Journal of Political Economy, University of Chicago Press, vol. 99(3), pages 483-99, June. Krugman dan Obstfeld. 2000. International Economics Theory and Policy. An imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Massachosetts.
103
Madeley, J. dan Solagral. 2001. The Impact of Trade on Food Security in the South Literature Review. http:// www.cidse.org/en/tg1/tradelibbgr01.htm#select. [diakses 10 November 2010] Mankiw, Gregory N. 2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Penerbit Erlangga, Jakarta Menon, J. 1996. How Realible are Intra Industry Trade Measures as Indicators of Adjusment Cost. Centre of Policy Studies/IMPACT Centre, Monash University, Melbourne. Oktaviani, R., E.I.K. Puteri, S. Hartoyo, Widyastutik, dan A. Rifin, E. Puspitawati .2007. Perhitungan Penerimaan Bea Masuk Berdasarkan Kebijakan tarif dalam Skema Umum dan Skema Free Trade Area dan Evaluasi Dampak Kebijakan tarif Bea masuk dalam Skema ASEAN-China Free Trade Area dan ASEAN-Korea terhadap Pendapatan Negara. Departemen Keuangan, Jakarta. Oktaviani, R., M. Firdaus, H. Siregar, B. Djuanda, Sahara, dan E. Puspitawati. 2008. Consultancy and Training Services to Develop Quantitative Analytical Tools and Framework for Assessing Investment and Trade Competitiveness. Submitted final project for Bappenas, Jakarta. Oktaviani, R. .2008. Pola dan Dinamika Perdagangan Indonesia-Timur Tengah dan Indonesia-Meksiko; Kajian Awal Analisis Dampak FTA. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Pramudito. 2004. Analisis Daya Saing Minyak Sawit Indonesia di Pasar Cina serta Strategi Pemasarannya [Skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Haris Munandar [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Sibarani, M.H.M. 2002. Kontribusi Infrastruktur terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, Jakarta. Stephenson, S. M. 1994. The Uruguay Round and Its Benefit to Indonesia. Ministry of Trade, Republic of Indonesia, Jakarta. Tambunan, T.H. Tulus. 2001. Industrialisasi Di Negara sedang Berkembang :kasus Indonesia. Ghalia Indonesia, Jakarta. Todaro, M.P. and S.C. Smith. 1993. Economic Development. Pearson Addison Wesley, New York.
104
Thorpe, M. and Zhang, Z. (2005), Study of the Measurement and Determinants of Intra-industry Trade in East Asia. Asian Economic Journal, 19: 231–247. Wild, J.J., K.L. Wild, dan J.C.Y. Han. 2000. International Business an Integration Approach. Prentice Hal, New Jersey WEF/IMD. 2010. The World Competitiveness Report, World Economic Forum and Institute for Management Development, Geneva and Lausanne. World
Integrated Trade Solution. 2010. Commodity https://wits.worldbank.org/wits/ [12 Desember 2010].
Trade.
105
LAMPIRAN
106
LAMPIRAN 1. Aliran Perdagangan Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta Dolar) Sektor Tanaman Pangan 1
Indonesia
Malay sia 286.02
Malaysia
11.87
0
4.05
124.49
23.17
Filipina
6.27
2.84
0
10.06
Singapura
42.21
43.37
3.7
Thailand
69.12
112.97
249.77
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 26.3 134.2 26.47 37.48
Indone sia 0
Cina Jepang Rep. Korea Total
Jepang 89.48
Rep. Korea 17.64
Total 617.6
8.58
58.9
8.03
239.1
1.33
42.87
530.03
98.5
691.9
0
1.9
1.61
15.95
1.55
110.3
11.53
29.98
0
472.73
125.84
76.33
898.5
289.71
162.89
90.93
79.5
0
1302.33
539.24
2714.4
2.85
1.47
1.75
3.69
6.44
16.98
0
25.57
58.75
2.22
2.89
0.47
1.55
2.51
27.35
159.42
0
196.41
384.31
739.27
210.69
394.9
141.32
607.6
2281.95
766.86
5526.9
Jepang 133.05
Rep. Korea 5.16
Total 424.9
Sektor Peternakan Kehutanan dan Perikanan 2
Indonesia
Malay sia 44.68
Malaysia
13.3
0
1.57
189.09
32.09
444.95
118.97
18.87
818.8
Filipina
0.24
0.34
0
6.01
4.46
6.3
13.43
26.3
57.1
Singapura
3.58
8.2
1.31
0
13.56
4.13
12.63
1.97
45.4
Thailand
0.62
24.81
0.77
23.36
0
18.41
31
13.23
112.2
14.01
9.55
1.9
19.03
28.3
0
911.39
366.7
1350.9
1.32
2.63
1.61
4.67
13.75
28.2
0
124.73
176.9
5.53
1.23
0.04
2.62
0.52
19.48
300.05
0
329.5
38.6
91.44
12.79
375
102.21
618.18
1520.52
556.96
3315.7
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 5.59 130.22 9.53 96.71
Indone sia 0
Cina Jepang Rep. Korea Total
107
LAMPIRAN 1. Aliran Perdagangan Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta Dolar) (Lanjutan) Sektor Batu Bara 3
Indonesia
Malay sia 162.96
Malaysia
0
0
0.01
0
0
Filipina
0
0
0
0
Singapura
0
0
0
Thailand
0
0.02
0.13
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 127.75 0.07 176.94 76.47
Indone sia 0
Cina Jepang Rep. Korea Total
Jepang 995.07
Rep. Korea 495.42
Total 2034.7
0
0.08
0
0.1
0
0
0
0
0.0
0
0.01
0
0
0
0.0
0.03
0
0
0
0
0
0.1
3.2
122.66
0.01
11.03
0
1422.28
993.85
2553.2
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0
0.13
166.18
250.45
0.08
187.98
76.47
2417.43
1489.27
4587.99
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 9.57 218.66 319.98 1070.1
Jepang 340.85
Rep. Korea 1071.4
Total 3072.1
Sektor Minyak Mentah 4
Indonesia
Indone sia 0
Malay sia 41.61
Malaysia
334.75
0
146.4
369.64
868.56
609.7
278.59
514.66
3122.3
Filipina
0
0
0
0.17
0
0.23
0
0.04
0.4
Singapura
0
0
0.12
0
0.13
0
0
0
0.3
35.2
0
0
1.32
0
43.99
0.76
11.42
92.7
213.31
44.94
11.24
9
0.05
0
79.74
197.74
556.0
0
0
0.01
0
0
0.01
0
0
0.0
0
0
0.12
0.33
0
0.02
0
0
0.5
583.26
86.55
167.46
599.12
1188.72
1724
699.94
1795.26
6844.3
Pengekspor (Reporter)
Negara
Thailand Cina Jepang Rep. Korea Total
108
LAMPIRAN 1. Aliran Perdagangan Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta Dolar) (Lanjutan) Sektor Gas Alam 5
Indonesia
Malay sia 0.63
Malaysia
0.04
0
0
0.06
0
Filipina
0
0
0
0
Singapura
0
0
0
Thailand
0
0
0.01
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 0 0 0 0
Indone sia 0
Cina Jepang Rep. Korea Total
Jepang 3182.8
Rep. Korea 1021.94
Total 4205.4
0
1985.17
662.46
2647.7
0
0
0
0
0.0
0
0
0
0
0
0.0
0
0
0
0
0
0
0.0
0
0.01
5.86
1.61
0
1.54
0.42
9.5
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0
0.05
0.63
0.01
5.92
1.61
0
5169.51
1684.82
6862.6
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 339.64 92.87 3.29 135.17
Jepang 699.8
Rep. Korea 194.99
Total 1487.9
Sektor Mineral 6
Indonesia
Indone sia 0
Malay sia 22.14
Malaysia
8.8
0
2.53
12.77
4.26
38.05
6.27
12.71
85.4
Filipina
0.06
0.84
0
0.64
0.14
12.09
264.09
2.03
279.9
Singapura
17.16
26.43
3.29
0
7.12
9.02
0.28
0.44
63.7
Thailand
16.81
21.61
5.12
1.55
0
16.12
25.97
8.97
96.2
37
33.07
40.84
4.94
34.9
0
343.38
243.26
737.4
16.77
6.92
3.12
3.67
17.53
103.29
0
70.61
221.9
3.01
2.05
0.1
1.37
0.59
44.09
20.29
0
71.5
99.61
113.06
394.64
117.81
67.83
357.83
1360.08
533.01
3043.9
Pengekspor (Reporter)
Negara
Cina Jepang Rep. Korea Total
109
LAMPIRAN 1. Aliran Perdagangan Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta Dolar) (Lanjutan) Sektor Makanan Olahan 7
Indonesia
Malay sia 145.67
Malaysia
184.5
0
77.94
412.81
91.66
Filipina
67.09
12.69
0
13.71
Singapura
206.49
237.89
184.12
Thailand
371.96
456.9
Cina
245.19
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 68.18 155.23 57.04 85.28
Indone sia 0
Jepang Rep. Korea Total
Jepang 721.55
Rep. Korea 63.59
Total 1296.54
78.58
138.84
24.97
1009.3
119.65
30.58
165.64
43.68
453.04
0
70.83
106.09
344.63
31.91
1181.96
202.49
229.66
0
494.34
2177.58
255.86
4188.79
292.9
187.66
229.5
155.81
0
5838.95 1086.27
8036.28
24.67
25.19
20.89
78.64
110.01
248.82
0
256.97
765.19
36.96
12.44
22.85
21.75
61.87
157.98
1069.38
0
1383.23
1136.9
1183.7
764.13
1141.3
666.87
1201.7
10456.6 1763.25
18314.3
Jepang 4.72
Rep. Korea 47.09
Total 1361.1
Sektor Minyak Nabati dan Hewani 8
Indonesia
Indone sia 0
Malay sia 364.45
Malaysia
21.36
0
73.56
234.84
67.38
1499.8
280.72
128.88
2306.51
Filipina
4.46
40.33
0
17.43
0.01
6.76
43.26
32.2
144.45
Singapura
12.04
12.15
6.94
0
7.38
2.8
7.35
3.43
52.09
Thailand
10.4
48.96
1.83
3.27
0
11.72
16.17
2.14
94.49
Cina
2.36
17.67
1.22
5.89
20.9
0
218.32
48.28
314.64
Jepang Rep. Korea
2.96
2.11
0.39
1.92
2.29
2.96
0
7.81
20.44
0.1
0.04
0.07
0.43
0.02
2.3
1.84
0
4.8
53.68
485.71
94.02
404.88
98.8
2319.2
572.38
269.83
4298.52
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 10.01 141.1 0.82 792.91
Total
110
LAMPIRAN 1. Aliran Perdagangan Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta Dolar) (Lanjutan) Sektor Tekstil 9
Indonesia
Malay sia 146.43
Malaysia
44
0
21.73
121.26
31.3
7.42
5.5
0
4.1
Singapura
170.39
98.32
9.49
Thailand
112.84
120.03
652.6
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 64.2 105.27 90.15 317.13
Indone sia 0
Filipina
Cina Jepang Rep. Korea Total
Jepang 370.37
Rep. Korea 189.79
Total 1283.34
173.4
71.84
26.34
489.87
12.37
47.47
39.66
7.51
124.03
0
26.73
73.78
10.58
32.29
421.58
77.29
80.87
0
408.07
287.09
93.46
1179.65
515.8
480.79
762.62
533.3
0
7854.3
2166.21
12965.6
146.17
109.58
121.37
79.21
272.04
3375.9
0
351.15
4455.5
525.27
64.13
207.06
93.73
153.87
3100.5
453.61
0
4598.17
1658.7
1059.8
981.93
1247.06
1119.76
7496.3
9087.45
2866.75
1283.34
Jepang 484.69
Rep. Korea 110.46
Total 901.59
Sektor Kilang Minyak 1 0
Indonesia
Malay sia 41.98
Malaysia
110.37
0
75.3
112.52
15.83
360.11
198.69
61.84
934.66
Filipina
0.24
6.13
0
2.32
1.05
53.71
24.03
4.23
91.71
Singapura
2537
930.5
276.31
0
48.07
1263.2
126.5
23.26
5204.86
Thailand
52.48
61.48
103.48
151.11
0
453.97
165.78
2.7
991
1367.5
40.72
119.54
140.74
36.49
0
1375.26
167.71
3247.96
89.62
15.35
102.35
10.05
13.26
698.07
0
286.74
1215.44
250.49
1.96
283.53
47.69
7.85
2356.5
1807.96
0
4755.93
4407.7
1098.1
965.27
545.77
129.88
5356.6
4182.91
656.94
17343.2
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 4.76 81.34 7.33 171.03
Indone sia 0
Cina Jepang Rep. Korea Total
111
LAMPIRAN 1. Aliran Perdagangan Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta Dolar) (Lanjutan) Sektor Kimia, Karet dan Plastik 1 1
Indonesia
Malay sia 473.68
Malaysia
633.62
0
264.62
1417.57
801.96
Filipina
33.05
49.76
0
37.03
Singapura
1774.8
2062.9
499.88
Thailand
528.46
1317.9
Cina
838.91
Jepang Rep. Korea
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 169.43 510.87 446.24 1557.3
Indone sia 0
Total
Jepang 1042.24
Rep. Korea 384.53
Total 4584.26
2618.5
1206.77
521.69
7464.7
46.85
180.93
166.19
41.88
555.69
0
1478.89
3687.7
1320.11
691.91
11516.3
252.48
730.65
0
3368.5
1628.47
628.81
8455.3
624.31
520.12
636.44
829.95
0
4754.96 1862.85
10067.5
1153.9
1399.2
964.26
1798.83
2494.76
12862
0
7890.18
28562.9
723.75
464.53
331.59
365.72
563.37
12205
2517.23
0
17170.3
5686.6
6392.4
3002.38
5497.11
6662.02
36479
12635.9 12021.8
88376.9
Jepang 43.82
Rep. Korea 30.19
Total 253.91
Sektor Logam Besi 1 2
Indonesia
Indone sia 0
Malay sia 52.76
Malaysia
54.2
0
18.11
130.33
178.74
152.73
18.91
109.55
662.57
Filipina
18.58
19.66
0
51.67
55.13
3.29
21.84
26.96
197.13
219.45
161.91
9.37
0
42.87
40.26
31.7
27.82
533.38
55
143.58
37.87
59.01
0
117.13
78.67
31.15
522.41
Cina
412.98
337.08
154.47
332.76
657.54
0
1190.8
1845.2
4930.83
Jepang Rep. Korea
453.56
801.9
258.96
496.61
1676.55
4372.2
0
4442.26
12503
258.25
260.92
94.97
193.89
316.49
3297.5
1201.39
0
5623.39
1472.1
1777.8
577.1
1349.97
2941.89
8006.7
2587.13 6513.13
25225.6
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 3.27 85.7 14.57 23.6
Singapura
Thailand
Total
112
LAMPIRAN 1. Aliran Perdagangan Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta Dolar) (Lanjutan) Sektor Logam non Besi 1 3
Indonesia
Malay sia 292.03
Malaysia
91.29
0
69.85
722.76
248.87
Filipina
7.62
39.33
0
56.96
Singapura
240.56
642.38
92.39
Thailand
74.76
138.14
Cina
447.88
Jepang Rep. Korea
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 56.86 766.33 272.9 219
Indone sia 0
Total
Jepang 1541.22
Rep. Korea 56.41
Total 3204.75
264.63
354.72
170.62
1922.74
51.77
314.36
148.72
229.59
848.35
0
172.51
356.93
245.56
121.42
1871.75
37.72
114.03
0
157.68
641.57
63.01
1226.91
342.84
189.47
569.59
694.11
0
3713.61
2283.7
8241.2
445.75
1049.6
360.14
966.39
1039.6
3588.4
0
1870.16
9320.05
162.25
184.19
147.01
202.86
315.55
3044.4
1191.97
0
5248.19
1470.1
2688.5
953.44
3398.92
2795.31
7945.4
7837.37
4794.91
31883.9
Jepang 179.34
Rep. Korea 1.33
Total 563.14
Sektor Kendaraan Bermotor dan Suku Cadang 1 4
Indonesia
Indone sia 0
Malay sia 87.78
Malaysia
37.73
0
9.72
67.08
58.78
31.81
78.98
15.88
299.98
Filipina
34.39
44.45
0
12.19
332.59
16.32
357.67
3.86
801.47
Singapura
127.93
26.3
38.48
0
33.11
33.16
7.27
13.07
279.32
Thailand
604.7
326.82
284.41
257.76
0
81.25
422.38
16.8
1994.12
Cina
131.05
95.65
51.28
169.54
89.35
0
1211.47
469.09
2217.43
Jepang Rep. Korea
1852.7
1563.2
702.59
1103.45
3006.38
5166.7
0
1182.42
14577.5
100.01
397.21
79.84
175.79
70.64
1815.9
403.91
0
3043.35
2888.5
2541.4
1234.33
1807.69
3761.17
7179.7
2661.02
1702.45
23776.3
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 68.01 21.88 170.32 34.48
Total
113
LAMPIRAN 1. Aliran Perdagangan Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta Dolar) (Lanjutan) Sektor Peralatan Transportasi 1 5
Indonesia
Malay sia 49.89
Malaysia
159.74
0
1.88
384.3
60.74
6.83
0.8
0
20.54
Singapura
211.8
122.45
14.09
Thailand
113.57
131.98
Cina
340.14
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 12.63 110.17 32.09 3.85
Indone sia 0
Filipina
Jepang Rep. Korea Total
Jepang 14.9
Rep. Korea 3.95
Total 227.48
22.14
49
14.94
692.74
1.36
1.45
41.06
0.49
72.53
0
35.02
71.48
55.32
26.63
536.79
57.51
340.88
0
1.67
102.1
10.61
758.32
88.96
134.49
295.55
40.12
0
958.45
212.96
2070.67
133.1
438.09
73.45
548.91
71.5
523.66
0
166.71
1955.42
39.16
151.54
1.72
157
38.4
78.3
30.27
0
496.39
1004.4
983.71
295.77
1857.35
279.23
702.55
1251.1
436.29
6810.34
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 70.25 2591.68 162.63 1399.8
Jepang 1073.9
Rep. Korea 171.79
Total 5892.42
Sektor Peralatan Elektronik 1 6
Indonesia
Indone sia 0
Malay sia 422.36
Malaysia
367.83
0
774.43
8577.19
2185.17
14396
5637.54 1481.88
33419.9
Filipina
140.84
2190.7
0
2574.46
603.72
3962.8
4998.8 1657.74
16129.1
Singapura
2293.7
6324.2
1267.92
0
1529
7734.8
4176.13 3577.06
26902.9
Thailand
101.1
1619.7
465.01
1818.17
0
6283.8
3901.26
666.9
14855.9
Cina
896.9
4204.7
1772.41
5903.83
2080.64
0
20087.9 7857.02
42803.5
894.99
4108.1
3599.82
5566.04
4175.33
26718
0
8302.13
53364.6
783.81
3032.1
1702.86
2809.76
1285.22
21112
6244.09
0
36969.4
5479.1
21902
9652.7
29841.1
12021.7
81607
46119.7 23714.5
230338
Pengekspor (Reporter)
Negara
Jepang Rep. Korea Total
114
LAMPIRAN 1. Aliran Perdagangan Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (Juta Dolar) (Lanjutan) Sektor Mesin dan Peralatannya 1 7
Indonesia
Malay sia 236.16
Malaysia
280.21
0
117.63
1523.14
725.93
Filipina
40.72
94.15
0
165.96
Singapura
1654.8
1821.5
372.61
Thailand
433.81
667.53
Cina
1280.5
Jepang Rep. Korea
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 57.21 1027.88 197.81 329.5
Indone sia 0
Total
Jepang 873.24
Rep. Korea 105.07
Total 2826.87
1155.9
1018.55
205.39
5026.82
115.54
620.01
1206.55
188.45
2431.38
0
662.25
2066.2
658.53
400.48
7636.32
142.67
682.18
0
1291.2
2654.26
249.41
6121.11
1469.1
795.21
1419.61
1318.61
0
12817.7
3158.46
22259.2
2995.7
2944.4
2543.86
3632.09
6018.08
30867
0
15874.9
64875.2
426.78
688.26
226.15
318.06
581.47
16630
2714.73
0
21585.4
7112.4
7921.1
4255.34
8768.92
9619.69
52959
21943.5
20182.2
132762
Jepang 1967.04
Rep. Korea 681.2
Total 5631.4
Sektor Industri Manufaktur Lainnya 1 8
Indonesia
Indone sia 0
Malay sia 457.06
Malaysia
132.4
0
127.27
1112.62
299.89
473.47
1781.03
197.84
4124.52
Filipina
7.78
16.39
0
52.52
16.57
40.77
394.39
20.82
549.24
Singapura
494.84
509.81
62.71
0
178.8
171.07
129.35
146.53
1693.11
Thailand
149.53
308.49
81.36
176.02
0
754.01
1318.7
227
3015.11
Cina
589.91
958.13
559.95
1627.77
487.3
0
22010.0
4352.21
30585.3
Jepang Rep. Korea
254.04
435.08
184.95
462.56
643.3
2724.5
0
2039.19
6743.63
217.77
132.78
96.83
121.13
100.66
2026.8
1256.17
0
3952.12
1846.3
2817.7
1193.62
4186.75
1914.34
7814.2
28856.7
7664.79
56294.5
Negara
Pengekspor (Reporter)
Pengimpor (Partner) SingaThaiFilipina pura land Cina 80.55 634.13 187.82 1623.6
Total
115
LAMPIRAN 2. Tingkat Tarif yang Berlaku Untuk Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (persen) Sektor Tanaman Pangan Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 11.59 4.7 0 27.20 8.70 2.39 238.78 2.80 0 3.51 0 19.50 20.28 8.68 44.09 2.43 197.64 0 0 15.21 12.96 9.56 30.29 4.01 1.44 3.59 0 20.85 14.40 0.05 51.33 3.43 9.81 4.86 0 0 11.72 3.94 63.38 4.71 6.99 14.14 0 36.58 0 10.70 97.60 2.78 18.90 5.28 0 34.81 6.58 0 23.13 2.73 19.28 6.96 0 28.73 20.08 6.04 0
Sektor Peternakan Kehutanan dan Perikanan Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 0.40 2.21 0 3.65 9.91 2.47 12.72 1.39 0 0.41 0 2.39 0.2 0.34 3.39 4.40 0.04 0 0 4.44 15.94 1.89 22.20 3.44 0.24 1.95 0 2.25 8.59 2.89 7.70 1.85 0.19 0.90 0 0 10.19 2.8 17.91 4.78 2.70 4.25 0 21.44 0 4.83 15.26 3.62 1.56 2.99 0 4.26 9.48 0 16.70 4.40 14.93 3.79 0 37.34 9.44 5.23 0
Sektor Batu Bara Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 0 3 0 0 4.4 0 1 2.86 0 3 0 0 3.67 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2.54 0 0 0 0 0 0 0 5 0 3 0 0 0 0 0 5 0 4.96 0 1 0 0 1 5 0 3.16 0 1 3.78 0 1 5 0 0 0 1 3.34 0 0
116
LAMPIRAN 2. Tingkat Tarif yang Berlaku Untuk Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (persen) (Lanjutan) Sektor Minyak Mentah Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang 0 2.50 3.00 0 0 0 0 0 0 3.00 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.43 0.68 2.80 0 0 0 0 0 1.38 0 0 0 0 0 0 2.50 3.00 0 0 0 0 4.63 2.50 3.00 0 0 0 0 0 0 3.00 0 0 0 0
Rep. Korea 5.00 5.00 5.00 0 5.00 5.00 0 0
Sektor Gas Alam Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang 0 0 0 0 0 0 0 5.00 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5.00 0 0 0 0 0 0 5.00 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3.14 0 0 0 0 0 0 0 0
Rep. Korea 1.00 1.00 0 0 0 0 1.00 0
Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 0.03 3.00 0 0.06 0.6 0 1.02 1.71 0 2.26 0 0.09 1.41 0.01 2.08 2.24 0.04 0 0 0 0.9 0 2.95 0.90 0.05 0.83 0 0 2.32 0 2.2 2.38 0 2.55 0 0 1.04 0.03 4.41 2.41 0.41 2.99 0 6.37 0 0.3 2.34 2.11 0.05 2.99 0 3.74 2.71 0 2.45 3.58 0.07 3.62 0 4.79 2.36 0.28 0
Sektor Mineral
117
LAMPIRAN 2. Tingkat Tarif yang Berlaku Untuk Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (persen) (Lanjutan) Sektor Makanan Olahan Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 80.37 3.65 0 10.97 11.82 7.85 12.13 8.57 0 3.71 0 21.8 16.74 11.6 17.95 0.98 45.88 0 0 46.79 15.87 15.95 27.15 17.5 43.93 3.85 0 21.35 15.17 20.82 39.29 28.66 3.43 14.03 0 0 5.67 36.83 87.97 7.01 34.51 10.38 0.77 38.17 0 19.86 29.97 14.9 40.84 7.4 0 47.6 16.08 0 39.16 17.23 24.63 17.15 1.79 44.85 11.47 16.13 0
Sektor Minyak Nabati dan Hewani Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 0.26 2.96 0 56.38 2.81 1.83 4.64 0.7 0 2.68 0 76.95 0.81 0.73 3.7 0 0 0 0 0 10.01 0.01 4.46 2.27 1.68 2.2 0 27.01 16.26 5.86 11.9 0.53 0.51 2.27 0 0 12.56 3.6 10.35 0.69 0.47 4.72 0 9.39 0 0.15 4.5 5.2 1.74 4.41 0 28.1 19.67 0 9.84 1.91 0.18 3.74 0 27 17.3 11.15 0
Sektor Tekstil Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand 0 4.47 2.93 0 12.31 2.39 0 2.6 0 13.88 3.98 4.47 0 0 11.03 1.92 4.4 3.77 0 11.1 3.31 4.07 2.12 0 0 9.94 18.56 7.45 0 23.44 5.76 13.91 5.87 0 18.46 9.53 15.3 6.69 0 20.93
Cina Jepang Rep. Korea 9.98 3.6 8.09 11.69 3.49 8.27 13.81 4.58 8.76 9.69 0 8.29 10.85 4.42 8.13 0 7.66 10.51 13.85 0 8.89 12.62 6.65 0
118
LAMPIRAN 2. Tingkat Tarif yang Berlaku Untuk Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (persen) (Lanjutan) Sektor Kilang Minyak Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 0.24 0.01 0 0.91 5.97 3.12 5.11 1.92 0 0.62 0 0.99 6.38 3.74 5.09 2.33 0.21 0 0 1 6.48 4.17 5.13 1.21 0.36 1.8 0 0.99 6.53 0 5.12 1.79 0.19 1.53 0 0 6.86 4.12 5.1 2.63 7.24 2.71 0 2.28 0 1.48 5.18 2.76 9.16 2.73 0 1.09 6.51 0 5.14 2.7 7.78 2.66 0 1.01 6.54 3.42 0
Sektor Kimia, Karet dan Plastik Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand 0 1.31 2.17 0 5.41 2.12 0 3.13 0 6.6 2.5 2.59 0 0 10.28 2.27 1.53 2.42 0 6.18 2.24 1.12 3.7 0 0 5.58 6.12 5.78 0 10.43 5.58 7.64 5.55 0 15.09 4.74 6.98 6.41 0 16.25
Cina Jepang Rep. Korea 10.27 0.16 4.4 11.49 0.02 4.14 11.38 0.05 5.49 8.66 0.06 5.98 13.17 0.1 4.33 0 0.18 7.01 8.56 0 6.61 8.18 2.09 0
Sektor Logam Besi Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 2.08 1.78 0 5.03 5.09 0.01 1.87 2.4 0 2.03 0 3.45 4.37 0.02 1.31 0.8 0.32 0 0 0.82 3.15 0.03 1.12 2.5 1.72 1.22 0 5.44 3.96 0 2.46 3.02 2.66 2.27 0 0 5.54 0 1.19 4.47 4.95 3.25 0 7.18 0 0.67 1.91 8.06 13.46 2.78 0 11.84 5.14 0 1.32 9.77 7.23 3.01 0 13.4 5.26 0.18 0
119
LAMPIRAN 2. Tingkat Tarif yang Berlaku Untuk Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (persen) (Lanjutan)
Sektor Logam non Besi Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 1.8 1.3 0 4.14 3.94 0.07 3.95 1.59 0 1.18 0 3.08 5.41 0 4.58 1.36 0.47 0 0 4.29 2.26 0.09 3.51 2.17 2.33 1.09 0 4.52 6.37 0 4.83 1.39 3.16 2.1 0 0 5.68 0.01 4.34 8.49 8.8 6.62 0 9.48 0 0.23 4.8 8.23 8.17 5.23 0 15.52 6.04 0 6.45 7.92 10.4 4.43 0 8.17 5.87 1.01 0
Sektor Kendaraan Bermotor dan Suku Cadang Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang 0 7.95 3.72 0 5.7 14.59 0 2.55 0 3.16 0 4.81 15.22 0 4.7 11.93 0 0 5.33 14.91 0 3.02 11.67 3.53 0 5.23 15.58 0 4.05 9.56 3.89 0 0 23.4 0 10.91 19.87 11.57 0 22.98 0 0 15.59 48.47 11.78 0 31.46 23.67 0 29.11 80.55 18.38 0 39.91 21.79 0
Rep. Korea 4.58 8.52 8.06 7.65 8.07 7.7 7.93 0
Sektor Peralatan Transportasi Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang 0 2.01 3.93 0 1.25 10.23 0 0.56 0 1.02 0 0.61 7.2 0 0.55 1.04 0 0 0.73 2.1 0 0.1 0.72 0.28 0 0.32 5.99 0 4.12 1.44 4.19 0 0 7.5 0 11.56 17.73 11.5 0 9.84 0 0 6.1 10.09 14.22 0 25.05 9.35 0 0.29 4.08 3.14 0 3.6 6.23 0
Rep. Korea 0.24 1.22 0.58 0.82 4.74 4.83 2.18 0
120
LAMPIRAN 2. Tingkat Tarif yang Berlaku Untuk Masing-masing Sektor Antar Negara ASEAN Plus Three (persen) (Lanjutan)
Sektor Peralatan Elektronik Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 0.54 1.32 0 2.25 5.45 0 4.12 0.57 0 0.21 0 1.11 2.53 0 0.85 0.18 0.01 0 0 0.23 0.31 0 0.18 0.66 0.06 0.09 0 0.61 0.54 0 0.09 0.68 0.51 0.11 0 0 1.77 0 1.01 4.01 2.12 0.62 0 7.02 0 0 1.93 0.59 0.66 0.17 0 3.73 3.41 0 1.48 1.56 2.64 0.25 0 7.9 2.68 0 0
Sektor Mesin dan Peralatannya Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 1.91 1.63 0 2.99 8.95 0 5.3 1.35 0 0.56 0 2.57 8.01 0 6.7 2.06 1.77 0 0 2.64 8.36 0 6.85 1.49 1.64 0.71 0 2.07 7.65 0 5.24 1.7 2.17 1.48 0 0 9.1 0 7.33 5.2 7.24 5.12 0 10.85 0 0 6.78 3.53 4.53 2.73 0 7.87 6.85 0 6.38 3.78 5.92 3.41 0 9.4 6.9 0.16 0
Sektor Industri Manufaktur Lainnya Negara Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea
Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand Cina Jepang Rep. Korea 0 1.67 2.47 0 14.29 4.26 3.18 4.09 2.87 0 3.14 0 5.91 7.2 2.79 6.41 3.63 2.95 0 0 12.08 9.92 2.66 8.52 2.73 2.06 2.32 0 15.63 8.4 1.38 6.36 2.35 2.41 3.36 0 0 6.13 2.14 7.05 9.3 16.94 11.46 0 20.51 0 6.92 9.27 5.63 9.38 6.72 0 15.41 10.11 0 6.74 5.16 9.99 6.54 0 19.73 9.7 4.13 0
100
Halaman ini sengaja dikosongkan
96
Halaman ini sengaja dikosongkan
62
Halaman ini sengaja dikosongkan
vi
Halaman ini sengaja dikosongkan
Halaman ini sengaja dikosongkan