KINERJA OSD (OIL SPILL DISPERSANT) DARI SURFAKTAN MINYAK SAWIT DENGAN PENAMBAHAN Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 UNTUK BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR HIDROKARBON MINYAK BUMI
SHAFIRA ADLINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul kinerja OSD (Oil Spill Dispersant) dari surfaktan minyak sawit dengan penambahan bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 untuk bioremediasi tanah tercemar hidrokarbon minyak bumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Penelitian ini merupakan sebagain dari penelitian yang berjudul “Peningkatan Kinerja Produk Oil Spill Dispersant dari Surfaktan Minyak Sawit Menggunakan Pseudomonas sp. untuk Pengendalian Lahan Tercemar Minyak Bumi” yang dibiayai program Insentif Riset Sistem Nasional (INSINAS) kemenrisrekdikti anggaran 2016. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Shafira Adlina NIM A154140021
RINGKASAN SHAFIRA ADLINA. Kinerja OSD (Oil Spill Dispersant) dari Surfaktan Minyak Sawit dengan Penambahan Bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 untuk Bioremediasi Tanah Tercemar Hidrokarbon Minyak Bumi. Dibimbing oleh MOHAMAD YANI dan ERLIZA HAMBALI. Minyak dan gas bumi merupakan sumber energi utama untuk transportasi, rumah tangga, dan industri. Kegiatan industri perminyakan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Penanggulangan pencemaran akibat limbah minyak bumi dapat dilakukan secara fisik, kimia dan biologi (bioremediasi). Bioremediasi merupakan proses pemulihan lingkungan secara alami menggunakan aktivitas mikroorganisme untuk mendegradasi senyawa organik berbahaya menjadi senyawa sederhana yang tidak berbahaya. Penambahan Oil Spill Dispersant (OSD) pada proses bioremediasi berperan untuk meningkatkan kelarutan minyak dalam fase cairan sehingga minyak lebih mudah dibiodegradasi oleh bakteri. Penelitian ini terbagi menjadi empat tahap : tahap pertama yaitu formulasi OSD berbahan dasar surfaktan dietanolamida (DEA) dan sodium metil ester sulfonat (SMES); tahap kedua yaitu persiapan kultur Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662; Tahapan ketiga adalah formulasi produk OSD dengan P. aeruginosa ; tahap keempat yaitu uji kinerja bioremediasi. Bioremediasi tanah tercemar minyak bumi disimulasikan dengan mencampur minyak mentah (crude oil), tanah, formula OSD dan P. aeruginosa dalam berbagai komposisi. Kinerja proses bioremediasi dievaluasi selama 6 minggu, dengan pengambilan sampel dan analisis kadar air, suhu, pH, populasi bakteri dengan Total Plate Count (TPC), Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) secara gravimetri, dan komponen hidrokarbon dengan kromatografi gas spektrofotometri massa (GCMS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa, formulasi OSD terbaik diperoleh pada pencampuran surfaktan DEA 1,5% dengan SMES 0,9% dengan rasio 7:3. Produk OSD terpilih menunjukkan stabilitas yang baik dengan karakteristik yang baik meliputi densitas sebesar 0,996 g/cm3, tegangan permukaan 23,57 dyne/cm, tegangan antar muka 0,20 dyne/cm, pH 9,59, viskositas 1,17cP, dan rerata ukuran droplet 1,55 µm. Hasil pengujian penambahan P. aeruginosa ke dalam larutan OSD menunjukkan bahwa, bakteri ini dapat memanfaatkan OSD sebagai sumber karbonnya, sehingga pada pengujian bioremediasi sebaiknya OSD dan bakteri disiapkan secara terpisah. Aplikasi OSD pada bioremediasi tanah terkontaminasi minyak bumi menunjukkan bahwa persentase biodegradasi minyak tidak berbeda nyata antara penambahan OSD, P. aeruginosa maupun kombinasi keduanya. Hal ini diduga bakteri P. aeruginosa bila dikombinasikan dengan OSD tidak dapat mendegradasi hidrokarbon secara optimal. Persentase biodegradasi minyak terbesar diperoleh pada perlakuan dengan perbandingan penambahan OSD dengan cemaran minyak (DOR) 0,5:1 yakni sebesar 91,1% selama 6 minggu masa inkubasi. Hasil analisis kromatografi gas spektrofotometri massa menunjukkan bahwa keenam perlakuan mendegradasi hidrokarbon dengan cara memotong rantai karbon senyawa penyusun minyak mentah menjadi rantai karbon yang lebih pendek. Kata kunci: bioremediasi, OSD, Pseudomonas, surfaktan, TPH
SUMMARY SHAFIRA ADLINA. The OSD (Oil Spill Dispersant) Performance from Surfactant of Palm Oil with Addtion of Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 for Bioremediation of Soil Contaminated Petroleum Hydrocarbons. Supervised by MOHAMAD YANI and ERLIZA HAMBALI. The oil and gas are the promising energy sources for transportations, household and industries. Oil and gas industries cause environmental pollution. The reduction of petroleum waste can be done through physical, chemical and biological (such as bioremediation). Bioremediation is a natural process of environmental recovery using microorganism activity to degrade hazardous organic compounds into simple and harmless compounds. The addition of OSD in bioremediation process serves to increase the solubility of the oil in the liquid phase so that oil can be biodegraded by bacteria. The research is conducted in four steps: the first step is OSD formulation with raw material surfactant DEA and SMES; the second step is preparation of Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662; The third step is formulation OSD with P. Aeruginosa; and the fourth step is bioremediation test to performance of OSD. The bioremediation test of petroleum contaminated soil was simulated by mixing of crude oil, soil, OSD and P. aeruginosa in various compositions. The bioremediatioan process was evaluated by sampling and analysis of moisture content, temperature, pH, Total Plate Count (TPC), Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) by gravimetric, and hydrocarbon composition by gas chromatography-mass spectrophotometry (GCMS). The result indicated that the best formulation of OSD is obtained by mixing of surfactant DEA 1,5% with SMES 0,9% with ratio of 7 : 3. The OSD product shows an excellent stability with a good properties including; density of 0,996 g/cm3, surface tension of 23.57 dyne/cm, interfacial tension of 0.20 dyne/cm, pH of 9,59, viscosity of 1,17cP, and average droplet size of 1,55 µm. The result of addition of P.aeruginosa to formulated OSD solution shows that this bacteria can utilize OSD as a source of carbon, so at the bioremediation test, the formulated OSD and bacteria should be preprared separately. The OSD application to bioremediation of contaminated soil by petroleum show that, the percentage of TPH biodegradation is not significantly different to the addition of the OSD, P. aeruginosa or a combination of them. It is suspected that P. aeruginosa combined with OSD can not optimally degrade hydrocarbon. The highest percentage of biodegradation of oil was obtained by dispersant to oil ratio (DOR) 0,5: 1, which is equal of 91,1% during 6 weeks incubation period. The result of GCMS analysis showed that all treatments can degrade crude oil by cutting the carbon chain of crude oil into a shorter carbon chains.
Keywords: bioremediation, OSD, Pseudomonas, surfactant, TPH
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KINERJA OSD (OIL SPILL DISPERSANT) DARI SURFAKTAN MINYAK SAWIT DENGAN PENAMBAHAN Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 UNTUK BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR HIDROKARBON MINYAK BUMI
SHAFIRA ADLINA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Prof Dr Ir Dwi Andreas Santosa
Judul Tesis : Kinerja OSD (Oil Spill Dispersant) dari Surfaktan Minyak Sawit dengan Penambahan Bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 untuk Bioremediasi Tanah Tercemar Hidrokarbon Minyak Bumi Nama : Shafira Adlina NIM : A154140021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Mohamad Yani, M Eng Ketua
Prof Dr Erliza Hambali Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Bioteknologi Tanah dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Dwi Andreas Santosa
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 29 Juli 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian dengan judul “Kinerja OSD (Oil Spill Dispersant) dari Surfaktan Minyak Sawit dengan Penambahan Bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 untuk Bioremediasi Tanah Tercemar Hidrokarbon Minyak Bumi”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Mohamad Yani M, Eng. dan Prof. Dr. Erliza Hambali selaku pembimbing. Di samping itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Suami (Nur Hidayat) dan anak (Halim Sakha Ahmad Al Khawarizmi) atas pengorbanan, cinta, doa dan dukungan yang selalu mengalir. Tak luput dari doa dan dukungan dari Orang tua, Mertua dan seluruh keluarga juga yang telah mengantarkan penulis dalam menyelesaikan studi. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus kepada sahabat-sahabat yang selalu mendukung dalam penyelesaian studi di Pascasarjana, seluruh teknisi serta staff Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) LPPM-IPB serta semua pihak yang telah memberikan dukungan dan masukan bagi penulisan tesis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016 Shafira Adlina
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Hipotesis Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Surfaktan Oil Spill Dispersant (OSD) Limbah Tumpahan Minyak Mikroorganisme Pendegradasi Minyak Bumi
3 3 4 5 5
3 METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian
6 6 6 6
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi OSD dan Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 Pengujian Bioremediasi
11 11 24
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
38 38 39
DAFTAR PUSTAKA
39
LAMPIRAN
43
RIWAYAT HIDUP
47
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
Komposisi dari masing-masing perlakuan 9 Sifat fisiko kimia surfaktan DEA dan SMES 11 Penilaian stabilitas emulsi produk OSD 14 Sifat fisiko kimia OSD 15 Hasil penilaian OSD berdasarkan pembobotan terhadap parameter OSD 20 Persentase laju penurunan degradasi TPH 33 Perubahan luas puncak (%) senyawa yang terdeteksi dengan GCMS di awal dan di akhir pengukuran pada perlakuan P2,P3,P4,P5 dan P6 36
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
23 24
Struktur umum molekul surfaktan (Fessenden dan Fessenden 1989) 4 Penetapan Kurva Standar populasi bakteri (Herdiyantoro 2005) 8 Diagram alir tahapan penelitian 10 Pengaruh konsentrasi surfaktan DEA terhadap tegangan permukaan 12 Pengaruh konsentrasi surfaktan SMES terhadap tegangan permukaan 13 Penampilan fisik formulasi Oil Spill Dispersant (OSD) yang stabil (kiri) dan yang tidak stabil (kanan) 14 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap tegangan permukaan 15 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap tegangan antarmuka 16 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap pH 17 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap ukuran droplet 17 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap densitas 18 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap uji viskositas 19 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap absorbansi 19 Kurva baku populasi Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 21 Kurva pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 22 Uji cakram bakteri dengan OSD 22 Pengaruh lama penyimpanan larutan OSD dengan bakteri P.aeruginosa IPBCC.b11662 terhadap tegangan permukaan 23 Pengaruh lama penyimpanan larutan OSD dengan bakteri P.aeruginosa IPBCC.b11662 terhadap kerapatan optik 23 Pengaruh waktu proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi terhadap perubahan suhu (°C) media pada masing-masing perlakuan 25 Pengaruh waktu proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi terhadap perubahan kadar air (%) media pada masing-masing perlakuan 26 Pengaruh waktu proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi terhadap perubahan pH media pada masing-masing perlakuan 28 Pengaruh waktu proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi terhadap perubahan populasi bakteri (Log (SPK/g)) media pada masing-masing perlakuan 29 Penurunan kadar TPH (%) pada masing-masing perlakuan selama proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi selama 6 minggu 32 Persentase penurunan degradasi TPH selama 6 minggu proses bioremediasi 34
25 Kromatogram GCMS pada awal perlakuan DOR (Dispersant to Oil Ratio) sebesar 0,5:1 35 26 Kromatogram GCMS pada perlakuan DOR (Dispersant to Oil Ratio) sebesar 0,5:1 38
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Prosedur analisis surfaktan dan OSD Prosedur analisis uji kinerja bioremediasi Data perubahan suhu (oC) masing-masing perlakuan selama 6 minggu Data pengukuran kadar air (%) masing-masing perlakuan selama 6 minggu Data pengukuran pH masing-masing perlakuan Data pengukuran populasi bakteri Log TPC (SPK/g) masing-masing perlakuan Data analisis degradasi TPH masing-masing perlakuan
43 44 44 45 45 45 46
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi minyak bumi terus meningkat dari tahun ke tahun sejalan dengan meningkatnya proses industrialisasi. Hal ini senada dengan data pada Global Energy Statistical Yearbook (2015) yang menyatakan bahwa saat ini dunia mengkonsumsi hampir 90 juta barrel (13.000 mtoe) minyak per tahunnya. Peningkatan limbah minyak berbanding lurus dengan konsumsi minyak bumi. Hal ini menyebabkan limbah minyak bumi merupakan produk yang tidak mungkin dihindarkan. Permasalahan terjadi ketika minyak bumi mencemari lingkungan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan bagi manusia sendiri ataupun bagi lingkungan sekitar. Efek tersebut dapat terjadi baik dari pengeboran, pengilangan proses produksi, transportasi dan pemanfaatan minyak bumi itu sendiri. Menurut PP No. 85 tahun 1999, menyatakan bahwa limbah minyak bumi termasuk ke dalam limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Pencemaran minyak bumi di tanah merupakan ancaman bagi kesehatan manusia. Pada daerah-daerah yang mengandalkan air tanah sebagai sumber utama kebutuhan air bersih dan air minum dapat menimbulkan efek serius, karena minyak bumi yang mencemari tanah dapat mencapai lokasi air tanah, danau atau sumber air yang menyediakan air bagi kebutuhan domestik maupun industri. Pencemaran minyak bumi, meskipun dengan konsentrasi hidrokarbon yang sangat rendah sangat mempengaruhi bau dan rasa air tanah (Nugroho 2006). Selain mengancam kesehatan manusia, cemaran minyak bumi juga dapat merugikan lingkungan. Hal ini dikarenakan pencemaran tanah dapat memberikan dampak negatif terhadap ekosistem. Sekalipun dosis cemaran rendah, hal tersebut dapat menyebabkan perubahan metabolisme dari mikroorganisme yang hidup di sekitar lingkungan tersebut. Bahkan dapat mengakibatkan musnahnya beberapa spesies primer dari rantai makanan, yang dapat memberi akibat yang besar terhadap predator atau tingkatan lain dari rantai makanan tersebut. Penanggulangan pencemaran akibat limbah minyak bumi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu pengolahan secara fisika, kimia, dan biologi. Pengolahan limbah secara fisika dan kimia merupakan cara penanganan yang relatif singkat untuk mengelola limbah tumpahan minyak, namun penanganan ini memiliki kekurangan yaitu menimbulkan pencemaran lingkungan lainnya yang disebabkan oleh bahan-bahan kimia yang kurang ramah lingkungan. Dengan menggunakan pengolahan limbah secara biologi untuk mengatasi masalah pencemaran hidrokarbon merupakan alternatif yang efektif dan ramah terhadap lingkungan. OSD (Oil Spill Dispersant) adalah produk yang dapat mendispersi limbah minyak dengan komposisi beberapa bahan kimia dan surfaktan (zat aktif permukaan) sehingga dapat terurai di lingkungan. Lapisan minyak dapat menjadi butiran kecil dengan pemberian OSD sehingga dapat didispersi secara alami di perairan. Kriteria umum OSD diantaranya adalah toksisitas yang rendah untuk mamalia dan lingkungan perairan serta mudah terdegradasi. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, OSD merupakan campuran dari surfaktan dan pelarut yang didesain untuk menguraikan limbah minyak Pada umumnya OSD
2 menggunakan surfaktan nonionik dan anionik yang dikembangkan oleh beberapa peneliti berikut : Fiocco et al. (1999), Place et al. (2010) dan Song et al. (2013). Surfaktan memiliki gugus polar dan nonpolar sekaligus dalam satu molekulnya. Salah satu sisinya akan mengikat minyak (nonpolar), di sisi lain surfaktan akan mengikat air (polar). Surfaktan akan bertindak sebagai pengemulsi, yaitu senyawa yang dapat mengurangi tegangan antarmuka dua cairan (air dan minyak). Emulsi yang terjadi akan meningkatkan dispersi minyak bumi di dalam air, dan memperluas daerah pertemuan antara minyak bumi dan bakteri sehingga mampu meningkatkan ketersediaan nutrisi untuk metabolisme mikroorganisme di dalam tanah (Pokethitiyook et al. 2002). Fungsi pelarut pada komposisi produk OSD berfungsi untuk melarutkan surfaktan dan mengurangi viskositas sehingga lebih mudah di aplikasikan. Formulasi OSD dari dua jenis surfaktan dietanolamida (DEA) 3% dalam air dan larutan sodium metil ester sulfonat (SMES) 5% dalam pelarut metil ester, dengan rasio 1:3 mampu mendispersikan limbah minyak cukup baik dibanding OSD komersial (Elvina 2015). Gogoi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa penggunaan biosurfaktan yang diisolasi dari Pseudomonas sp akan memaksimalkan tingkat biodegradasi minyak mentah dibandingkan dengan tanpa penambahan biosurfaktan. Penelitian yang serupa dilakukan (Eris 2006), melaporkan bahwa isolat Pseudomonas pseudomallei (PP) dan Enterobacter aggloimerans (EA) dapat mendegradasi nilai TPH sebesar 85,29 % pada tanah tercemar hidrokarbon. Hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan diatas menunjukkan bahwa dengan penambahan OSD akan mempengaruhi kinerja dari biodegradasi minyak bumi beserta turunannya oleh suatu bakteri. Uraian diatas mendasari dilakukan penelitian dengan menggunakan OSD untuk meningkatkan dispersi limbah minyak bumi yang akan mempengaruhi kemampuan mikrob dalam melakukan degradasi minyak bumi. Namun sebelumnya perlu dilakukan peningkatan kinerja OSD dengan pemilihan pelarut yang ramah lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mempelajari peranan dan mekanisme OSD dan bakteri Pseudomonas sp. dalam mendegradasi tanah tercemar hidrokarbon.
Perumusan Masalah Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana komposisi DEA dan SMES sehingga dihasilkan emulsi produk OSD yang stabil? 2. Bagaimana sifat fisiko kimia produk OSD yang dihasilkan? 3. Bagaimana kinerja OSD dalam mempercepat proses degradasi hidrokarbon? 4. Bagaimana proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi dengan menggunakan campuran OSD dan bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 pada tanah terkontaminasi minyak bumi?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan produk OSD dari campuran surfaktan dietanolamida (DEA) dan
3 sodium metil ester sulfonat (SMES). 2. Memperoleh informasi sifat fisiko kimia produk OSD yang dihasilkan. 3. Mengetahui kemampuan biodegradasi hidrokarbon minyak bumi oleh OSD dan bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 pada tanah terkontaminasi minyak bumi.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dalam pemecahan masalah pencemaran tanah oleh minyak bumi dengan penerapan teknologi bioremediasi. Manfaat lain dari penelitian ini adalah mengamati kinerja aplikasi OSD berbahan dasar DEA dan SMES dalam membantu proses bioremediasi dan diharapkan dapat diaplikasikan di lapangan.
Hipotesis Penelitian Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa pemanfaatan OSD dengan bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 memberikan hasil terbaik dibandingkan perlakuan tanpa kombinasi dengan bakteri dalam menurunkan nilai TPH sebagai upaya bioremediasi tanah tercemar minyak bumi.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah : a. Surfaktan dietanolamida (DEA) dan sodium metil ester sulfonat (SMES) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari minyak sawit yang diperoleh dari SBRC LPPM IPB. b. Bakteri yang digunakan adalah P. aeruginosa IPBCC.b11662 yang diperoleh dari IPB Culture Collection (IPBCC). c. Tanah tercemar minyak bumi yang digunakan merupakan simulasi tumpahan minyak bumi pada media tanah yang diperoleh dari daerah Serpong, Tangerang, Banten, serta pasir gunung yang berasal dari daerah Rangkas, Banten. d. Limbah minyak yang digunakan diperoleh dari salah satu lapangan minyak Indonesia yang memiliki densitas sebesar 0,7981 g/cm3 dan API gravity sebesar 43,13o API.
2 TINJAUAN PUSTAKA Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan. Molekul surfaktan mengandung suatu ujung hidrofilik dan ujung hidrofobik (satu
4 rantai hidrokarbon atau lebih). Porsi hidrokarbon dari suatu molekul surfaktan harus mengandung 12 atom karbon atau lebih agar efektif. Stuktur umum molekul surfaktan (Gambar 1) tersebut menyebabkan surfaktan mampu mereduksi tegangan permukaan dan antar permukaan serta membentuk mikroemulsi sehingga hidrokarbon dapat larut dalam air dan begitupun sebaliknya (Desai dan Banat 1997).
Gambar 1 Struktur umum molekul surfaktan (Fessenden dan Fessenden 1989) Surfaktan menurunkan tegangan permukaan air dengan cara mematahkan ikatan-ikatan hidrogen melalui peletakan kepala-kepala hidrofiliknya pada permukaan air sedangkan ekor-ekor hidrofobiknya terentang menjauhi permukaan air (Fessenden dan Fessenden 1989). Salah satu gugus pada molekul surfaktan harus lebih dominan jumlahnya. Apabila gugus non polarnya lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air. Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu. Sementara itu, bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul surfaktan tersebut akan diabsorpsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak. Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinu (Tang 2011). Jumlah minimal surfaktan yang dibutuhkan untuk menurunkan tegangan permukaan disebut dengan critical micelle concentration (CMC). Pada konsentrasi ini akan terbentuk misel yang terdiri atas 10-200 molekul surfaktan (Volkering et al. 1995). Nilai CMC menunjukkan proses agregasi dari misel surfaktan menyebabkan solubilitas surfaktan di dalam air akan bertambah. Gugus hidrofobik dari molekul-molekul surfaktan akan mengelompok ke dalam struktur misel, sementara gugus hidrofiliknya berada di fase air. Pada kondisi ini bagian di dalam misel akan mempunyai keadaan yang baik bagi molekul-molekul organik yang tidak dapat larut dalam air, termasuk minyak. Maka terjadilah pelarutan minyak ke dalam misel. Nilai CMC suatu surfaktan menentukan efektivitas surfaktan itu sendiri. Suatu surfaktan dikatakan efektif bila dapat menurunkan tegangan permukaan air dari 72 dyne/cm menjadi sekitar 35 dyne/cm (Santosa 1995). Oil Spill Dispersant (OSD) Dispersan adalah campuran surfaktan (zat aktif permukaan) dan pelarut, dirancang untuk mempercepat minyak membentuk droplet yang menyebar dan terdegradasi secara alami oleh mikroorganisme. Surfaktan yang merupakan zat aktif yang memiliki dua gugus yang berlainan sifat dalam satu molekulnya yaitu gugus hidrofilik dan hidrofobik sehingga mampu menyatukan dua bahan yang berbeda kepolarannya. Berdasarkan sifat tersebut surfaktan pada dispersan dapat digunakan untuk menurunkan energi antarmuka yang membatasi pada lapisan
5 antara cairan minyak dan air yang tidak saling larut. Dengan menurunkan tegangan permukaan pada bagian antarmuka, menghalangi molekul minyak dan air berikatan dengan molekul sesamanya. Hal ini juga mengurangi energi yang dibutuhkan untuk mencampur minyak sebagai gumpalan kecil yang terpisah dari lapisan minyak ke dalam fase air. Dispersan dapat menyebabkan minyak pecah menjadi butiranbutiran kecil (droplet). Surfaktan melalui proses dispersi dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam fase cairan sehingga permukaan minyak yang dapat didegradasi oleh bakteri bertambah. Limbah Tumpahan Minyak Senyawa hidrokarbon merupakan salah satu kontaminan yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan. Senyawa utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah alifatik, alisiklik dan aromatik (Udiharto 1996). Senyawa hidrokarbon minyak bumi bersifat mutagenik dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun di darat. Selain itu, hidrokarbon dapat menjadi sumber pencemar bagi lingkungan air dan tanah (Margesin dan Schinner 2001). Menurut Bartha dan Bossert (1984) jenis dan asal pencemaran minyak bumi di tanah dapat terjadi melalui rembesan limbah minyak dan gas bumi. Oleh sebab itu limbah kegiatan industri perminyakan dapat mencemari lingkungan. Proses pengeboran dan pengilangan minyak bumi juga menghasilkan lumpur minyak dalam jumlah besar. Menurut UU No. 23 tahun 1997 dan PP No. 18 dan 85 tahun 1999 mengkategorikan lumpur minyak dan tumpahan minyak sebagai limbah B3 (Bahan Kimia Berbahaya dan Beracun). Dalam pengaturan tersebut ditegaskan bahwa setiap produsen yang menghasilkan limbah B3 hanya diizinkan menyimpan limbah tersebut paling lama 90 hari sebelum diolah dan perlu dilakukan perlakuan tertentu sehingga tidak mencemari lingkungan sekitarnya. Mikroorganisme Pendegradasi Minyak Bumi Aktivitas mikroorganisme dan kondisi lingkungan mempengaruhi keberhasilan biodegradasi hidrokarbon minyak bumi. Menurut Kadarwati et al. (1994) mikroorganisme yang banyak hidup dan berperan di lingkungan hidrokarbon minyak bumi sebagian besar adalah bakteri. Bakteri yang sesuai harus mempunyai kemampuan fisiologi dan metabolik untuk mendegradasi bahan pencemar. Dalam beberapa hal, lingkungan yang akan dilakukan bioremediasi sudah terdapat bakteri indigenous. Akan tetapi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik perlu ditambahkan bakteri eksogenus yang lebih sesuai (Noegroho 1999). Telah banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan mikroorganime pendegradasi minyak bumi. Sejumlah mikrob pendegradasi hidrokarbon telah dilaporkan dan dijelaskan mekanisme mineralisasinya seperti Mycobacterium sp.,, Pseudomonas putida, P. fluorescens, P. paucimobilis, P. vesicularis, P. cepacia, P. testosteroni, Rhodococcus sp., Corynebacterium venale, Bacillus cereus, Moraxella sp., Streptomyces sp., dan Vibrio cyclotrophicus, (Hedlund dan Staley 2001) (Samanta et al. 2001). Pseudomonas sp. merupakan bakteri hidrokarbonoklastik yang mampu mendegradasi berbagai jenis hidrokarbon. Keberhasilan penggunaan bakteri
6 Pseudomonas sp. dalam upaya bioremediasi lingkungan akibat pencemaran hidrokarbon terlihat dari beragam penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Murniasih et al. (2009) bahwa salah satu senyawa poliaromatik hidrokarbon (PAH) mampu didegradasi oleh isolat terpilih Pseudomonas sp. Kalp3b22 sebesar 59,5% selama 29 hari. Penelitian yang dikemukan oleh Styani (2008) di Laboratorium Bioteknologi Lemigas, menunjukkan bahwa Pseudomonas sp. membutuhkan waktu 3 minggu untuk mendegradasi minyak bumi kadar TPH dari 1,52 % menjadi 0,79 %. Pseudomonas aeruginosa UL07 dan Bacillus megaterium UL05 dilaporkan oleh Riskuwa-Shehu dan Ijah (2016) dapat meningkatkan degradasi dalam tanah tercemar minyak dengan mendegradasi senyawa hidrokarbon C14-C38. Selain itu pada tahun 2009, Charlena menjelaskan pada penelitiannya bahwa selama lima minggu, isolat D8 dan A10 masing-masing mampu menurunkan kadar TPH pada tanah tercemar minyak hingga 92.30% dan 60.23%.
3 METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan dari bulan November 2015 hingga Maret 2016. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC), Kampus IPB Baranang Siang, Bogor.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah pH meter Schott, densitymeter DMA 4500M, viscometer Brookfield, waterbath shaker, hot plate, oven, desikator, spinning drop interfacial tensiometer, thermometer, rotary evaporator dan alat-alat gelas serta gas chromatography-mass spectrophotometry (GCMS) AGILENT 5973. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah surfaktan dietanolamida berbasis minyak nabati dan Sodium Metil Ester Sulfonat (SMES), bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662, minyak mentah (crude oil), akuades, crude oil, Na2SO4 anhidrat, silika gel, heksana, tanah dari wilayah Serpong, pasir dari wilayah Rangkas, pupuk urea, pupuk TSP-36, K2HPO4, (NH4)2Cl, MgSO4.7H2O, Yeast Ekstrak, 0,1 g Casamino Acid, FeSO4, CuSO4.5H2O, MnSO4.4H2O, ZnSO4, media Nutrien Agar (NA) dan Nutrien Broth (NB).
Metode Penelitian Penelitian terdiri atas 4 bagian, yaitu: (1) formulasi OSD berbahan dasar surfaktan DEA dan SMES dari minyak sawit, (2) persiapan kultur Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662, (3) formulasi produk OSD dengan Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 dan (4) pengujian bioremediasi. Uji kinerja dan analisis yang meliputi: pengukuran pH, suhu, kadar air, Total Petroleum Hydrocarbon
7 (TPH), analisa komponen minyak dengan kromatografi gas spektrofotometri massa (GC-MS), dan pengukuran populasi bakteri dengan Total Plate Count (TPC). Formulasi OSD Proses formulasi OSD dilakukan melalui tiga tahapan sesuai dengan prosedur (Elvina 2014). Tahap pertama adalah menentukan nilai critical micelle concentration (CMC) surfaktan dietanolamida (DEA) dan sodium metil ester sulfonat (SMES). Surfaktan dietanolamida (DEA) dengan air pada konsentrasi 0,5 sampai 2,5 % dan melarutkan surfaktan SMES dalam air pada konsentrasi 0,1 sampai 1,0%. Pelarut yang digunakan adalah air, sehingga diperoleh OSD dengan water based dispersant. Konsentrasi surfaktan yang memiliki nilai CMC terkecil, akan dilanjutkan pada pencampuran formulasi OSD. Selanjutnya tahap kedua adalah seleksi rasio larutan DEA dan SMES terpilih. Kedua larutan dicampur dengan rasio diantaranya 1:9, 2:8, 3:7, 4:6, 5:5, 6:4, 7:3, 8:2, 9:1. Proses formulasi dilakukan pada suhu 50C, kecepatan pengadukan 4000 rpm, selama 20 menit, lalu diamati stabilitas emulsinya secara visual selama 7 hari. Campuran formulasi surfaktan yang menghasilkan stabilitas terbaik, dipilih untuk selanjutnya dilakukan pengujian sifat fisiko-kimia surfaktan. Tahap ketiga yaitu analisa sifat fisiko kimia produk OSD terpilih. OSD berbahan dasar surfaktan DEA dan SMES dari minyak sawit dilakukan analisis sifat fisiko kimia antara lain, tegangan antar muka, tegangan permukaan, visikositas, densitas, pH dan ukuran droplet. Prosedur analisis sifat fisiko kimia OSD ditunjukkan pada Lampiran 1.
Persiapan kultur Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 1. Peremajaan Isolat Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 Peremajaan isolat bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 dilakukan pada media Nutrien Broth (NB). Bakteri dalam media agar miring sebanyak 1 ose diinokulasikan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml yang berisi 100 ml media cair Nutrien Broth. Kemudian media baru tersebut di inkubasi pada shaker dengan kecepatan 120 rpm dan suhu 30°C selama 1 hari. 2. Penentuan Kurva Standar Populasi Bakteri Kultur hasil peremajaan diencerkan secara aseptik 2, 4, 8, dan 16 kali, lalu diukur Optical Density (OD) dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm, dan diukur populasi bakterinya dengan metode cawan tuang (Herdiyantoro 2005). Dari kedua data tersebut dapat dibuat kurva hubungan linear antara nilai kerapatan optik (sumbu x) dengan jumlah satuan pembentuk koloni (SPK) bakteri per ml biakan (sumbu y). Kurva ini ditentukan dengan metode turbidimetrik (Gambar 2). Kurva standar yang diperoleh digunakan untuk menentukan jumlah bakteri sejenis untuk keperluan inokulasi pada suatu percobaan dengan populasi yang seragam. Kurva pertumbuhan bakteri ditentukan dengan mengukur kerapatan optik (600 nm) pada waktu tertentu. Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 ditumbuhkan dalam NB dengan pengocokan kemudian diukur kerapatan optiknya. Kerapatan optik diukur pada menit ke: 0, 40, 80, 120, 160, 1440, 2880 dan 4320. Selanjutnya dibuat kurva dengan sumbu x adalah waktu inkubasi dan sumbu y adalah nilai kerapatan optik.
8
Gambar 2 Penetapan Kurva Standar populasi bakteri (Herdiyantoro 2005)
Formulasi OSD dengan P. aeruginosa IPBCC.b11662 1. Uji Viabilitas P. aeruginosa IPBCC.b11662 Uji viabilitas ditujukan untuk melihat kemampuan bakteri dalam menggunakan formula OSD dan sebagai penentuan cara aplikasi OSD dan bakteri pada pengujian bioremediasi. Uji viabilitas dilakukan dua tahap yakni dengan metode cakram dan viabilitas dalam larutan OSD. A. Metode cakram Medium 1/10 NA (NA 2,3 g/L dan bacto agar 20 g/L) sebanyak 15 ml dituangkan ke dalam masing-masing cawan petri kemudian dipadatkan. Suspensi bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 dituang dengan metode spread plate. Cakram kertas saring yang telah disterilkan dengan larutan alkohol diletakkan masing-masing pada permukaan medium, lalu larutan OSD dan minyak diteteskan di atas kertas saring. Diinkubasi pada suhu 30320C selama 24 jam. Daerah zona bening di sekitar kertas cakram diamati dan diukur. B. Viabilitas P. aeruginosa IPBCC.b11662 dalam Larutan OSD Larutan OSD ditambahkan kultur bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662. sebanyak 10% (v/v) dengan konsentrasi 107 dan dilakukan analisis tegangan permukaan dan kerapatan optik. 2. Adaptasi kultur P. aeruginosa IPBCC.b11662. Adaptasi bakteri dilakukan pada erlenmeyer 250 mL dengan menambahkan 10 mL suspensi bakteri pada 100 mL media minimal untuk minyak bumi. Komposisi media minimal minyak bumi dalam 1000 ml mengandung 0,5 g K2HPO4, 1 g (NH4)2Cl, 0,02 g MgSO4.7H2O, 0,2 g Yeast Ekstrak, 0,1 g Casamino Acid, 1 ml unsur kelumit (0.05 g/l MgSO4.7H2O, 0,002 g FeSO4,0,5 mg/l CuSO4.5H2O, 0,2 mg/l MnSO4.4H2O, 0,2 mg/l ZnSO4), dengan 10 persen (v/v) crude oil. Campuran media dan bakteri diinkubasi pada waterbath shaker dengan suhu 37°C selama 5 hari dengan kecepatan 120 rpm.
9 Kultur mikrob yang telah teradaptasi ini selanjutnya digunakan untuk uji bioremediasi. Pengujian Bioremediasi Pengujian aplikasi OSD pada tanah tercemar minyak bumi dilakukan sesuai dengan hasil terbaik dari campuran tanah yang dikembangkan oleh Arifuddin (2016). Simulasi tumpahan minyak di tanah menggunakan wadah plastik berukuran 40 cm x 20 cm x 12 cm. Wadah plastik diisikan tanah latosol yang berasal dari wilayah Serpong, Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Tanah tersebut ditambahkan crude oil (minyak bumi) dari salah satu lapangan minyak di Indonesia. Tanah latosol sebanyak 4,2 kg dicampurkan dengan pasir sungai (1,8 kg) dan minyak mentah (360 mL). Setelah tanah diaduk hingga rata, tanah yang sudah terkontaminasi minyak bumi tersebut didiamkan selama 24 jam untuk proses penstabilan. Pengujian dilakukan dengan rasio antara penambahan OSD terhadap jumlah cemaran crude oil (Dispersant to Oil Ratio/DOR) sebesar 0 : 1 ; 0,5 : 1 dan 1 : 1. Kemudian bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 ditambahkan sesuai variabel (0% dan 10% v/v). Masing-masing wadah diberikan nutrien dengan cara menambahkan urea dan TSP-36 hingga rasio C : N : P = 100 : 10 : 1. Secara periodik dilakukan pengukuran pH, suhu, kadar air, pengukuran populasi bakteri dengan Total Plate Count (TPC) dan Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) serta analisa komponen minyak dengan kromatografi gas spektrofotometri massa (GC-MS). Selama 6 minggu pengukuran parameter dilakukan pada setiap minggu sementara pengukuran TPH dilakukan 2 minggu sekali dan analisa GCMS dilakukan pada awal dan akhir aplikasi bioremediasi. Prosedur analisis uji kinerja ditunjukkan pada Lampiran 2. Komposisi dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Sementara diagram alir secara keseluruhan tahapan penelitian disajikan pada Gambar 3. Tabel 1 Komposisi dari masing-masing perlakuan Komposisi Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6
Campuran Tanah dan Pasir (Kg) 6 6 6 6 6 6
Keterangan : OSD (Oil Spill Dispersant) C (Karbon) N (Nitrogen) P (Fosfor)
Crude Oil (ml) 360 360 360 360 360 360
OSD (ml)
Konsentrasi bakteri (%)
C:N:P
180 360 180 360
0 0 0 10 10 10
100:10:1 100:10:1 100:10:1 100:10:1 100:10:1 100:10:1
10
Perbaikan formulasi OSD
DEA
Analisa sifat fisiko kimia OSD
SMES
Stabilitas Emulsi
Analisa densitas, tegangan permukaan, pH, viskositas
Formulasi OSD dan P. aeruginosa IPBCC.b11662
Simulasi tanah terkontaminasi Minyak bumi
Uji Kinerja (TPH, TPC, suhu, pH, kadar air dan komposisi hidrokarbon) Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian
Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan 2 faktor, yaitu rasio perbandingan OSD dengan minyak bumi dan konsentrasi bakteri P. aeruginosa IPBCC. Rasio perbandingan OSD dengan minyak bumi yang terdiri dari 4 taraf, yaitu: S0 = tanpa penambahan OSD S1 = rasio penambahan OSD dengan cemaran minyak (DOR) sebesar 0,5:1 S2 = rasio penambahan OSD dengan cemaran minyak (DOR) sebesar 1:1 Konsentrasi bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 yang terdiri dari 2 taraf: P0 = tanpa inokulasi bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 P1 = inokulasi bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 sebanyak 10% Pengamatan pada percobaan tersebut dilakukan dengan 3 kali ulangan setiap parameternya sehingga jumlah unit percobaannya adalah 3 x 2 x 3 = 18 unit percobaan. Data hasil pengamatan pada penelitian ini dianalisis dengan ANOVA (Analysis of Variance) pada taraf α 0.05. Apabila efek tersebut nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf α 0.05.
11 Model matematika dalam percobaan ini sebagai berikut : Yijk
µ + Ti + αj + βk + (αβ) jk + εijk
Yijk
= Pengamatan pada ulangan ke-i yang menerima perlakuan rasio perbandingan konsentrasi OSD dengan minyak mentah ke-j dan dengan inokulasi bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662. ke-k dengan i= 1,2,3 j= 1,2,3 dan k= 1,2
µ Ti αj βk (αβ) jk
= rata-rata umum = pengaruh ulangan ke-i = pengaruh perlakuan rasio perbandingan OSD dengan minyak mentah = pengaruh bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 = pengaruh interaksi rasio perbandingan OSD dengan minyak mentah kej dan perlakuan bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 ke-j
εijk
= pengaruh galat/error
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Formulasi OSD dan Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 Karakteristik Bahan Baku Surfaktan Pada penelitian ini, surfaktan DEA dan SMES digunakan karena memiliki sifat biodegradable dan ramah lingkungan. Hal ini disebabkan bahan baku pembuatan kedua surfaktan yang berasal dari olein sawit. Selain itu kedua surfaktan juga memiliki sifat pendispersi yang baik karena kedua surfaktan memiliki gugus hidrofilik dan hidrofobik. Gugus hidrofilik akan mengikat molekul air, sedangkan gugus hidrofobik akan mengikat molekul minyak sehingga dapat berikatan dalam sistem emulsi. Tabel 2 Sifat fisiko kimia surfaktan DEA dan SMES Parameter Unit Hasil Analisis Larutan DEA (1,5%) SMES(0,9%) Densitas (30oC) g/cm3 0,995 0,9952 Viskositas cP 1,32 1,06 pH 9,84 7,15 Tegangan Permukaan dyne/cm 25,492 36,60 Keterangan : sodium metil ester sulfonat (SMES) dietanolamida (DEA)
DEA yang merupakan salah satu dari surfaktan nonionik disintesis menggunakan bahan baku metil ester olein berasal dari minyak olein sawit yang direaksikan dengan dietanolamina dan katalis NaOH pada suhu 140 oC (Hambali et al. 2014). Proses produksi surfaktan DEA menggunakan metil ester dari minyak
12 sawit melalui reaksi amidasi, yaitu dengan mereaksikan metil ester olein sawit dengan dietanolamina. Surfaktan DEA yang dihasilkan dilakukan analisa sifat fisiko kimia surfaktan (Tabel 2). Penggunaan surfaktan nonionik pada penelitian ini dikarenakan surfaktan jenis ini tidak memiliki muatan saat dilarutkan pada media air, dimana surfaktan ini mengandung rantai polietilen oksida sebagai gugus hidrofilik sehingga mudah larut di air (Tardos 2005). Surfaktan nonionik diketahui dapat menstimulasi biodegradasi hidrokarbon poliaromatik melalui peningkatan bioavailabilitas (Zheng dan Obbard 2001). Surfaktan nonionik umum digunakan dalam penelitian biodegradasi hidrokarbon karena kurang toksik terhadap bakteri dan tidak menyebabkan perubahan pH yang dapat mengganggu proses biodegradasi (Volkering et al. 1995). Surfaktan kedua yang digunakan dalam formulasi OSD adalah sodium metil ester sufonat (SMES) dari metil ester olein sawit. Sintesis surfaktan anionik ini dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan gas SO3 pada konsentrasi rendah sebagai agen pensulfonasi pada suhu 90o-100o C (Hambali et al. 2009). Analisis surfaktan SMES yang dilakukan meliputi densitas, viskositas pH, dan tegangan permukaan. Hasil dari analisis tersebut disajikan pada Tabel 2. CMC (Critical Micelle Concentration) Batas konsentrasi pembentukan misel ditentukan pada nilai CMC (Critical Micelle Concentration). CMC merupakan parameter standar untuk mengetahui konsentrasi emulsi yang seimbang pada formulasi surfaktan, karena umumnya CMC menjadi titik dimana surfaktan membentuk struktur asosiasi surfaktan (Wang et al. 2003). Asosiasi surfaktan yang diharapkan pada produk ini adalah mikroemulsi air dalam minyak. CMC juga diketahui sebagai titik jenuh surfaktan dapat bekerja untuk mengikat air dan minyak.
Tegangan permukaan (dyne/cm)
80 70 60
50 40 30 20 10
0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
Konsentrasi surfaktan DEA (%)
Gambar 4 Pengaruh konsentrasi surfaktan DEA terhadap tegangan permukaan Untuk mengetahui nilai CMC dilakukan pengukuran tegangan permukaan. Pada nilai CMC, tegangan permukaan akan konstan walaupun konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan yang dipakai dari nilai
13 CMC, semakin tidak efisien. Hal ini dikarenakan penggunaan dosis surfaktan yang lebih besar dari nilai CMC dapat mengakibatkan terjadinya emulsi balik (reemulsification). Secara ekonomis, semakin besar konsentrasi yang digunakan maka semakin besar biaya yang dikeluarkan. Pengukuran tegangan permukaan surfaktan DEA dilakukan antara 1% hingga 2,5%. Sementara surfaktan SMES dilakukan antara konsentrasi 0,1% hingga 1%. Berdasarkan Gambar 4, hasil grafik pengukuran tegangan permukaan surfaktan DEA terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi surfaktan maka tegangan permukaan semakin rendah. Air yang digunakan sebagai pelarut surfaktan memiliki nilai tegangan permukaan sebesar 67,80 dyne/cm. Air mempunyai tegangan permukaan yang lebih besar diantara kebanyakan cairan karena gaya kohesifnya lebih besar berdasarkan ikatan hidrogennya (Charlena et al. 2009). Pada konsentrasi DEA 1% dan 1,5% tegangan permukaan menurun dari 27,94 menjadi 25,49 dyne/cm. Pada konsentrasi 2% dan 2,5% tegangan permukaan meningkat menjadi 26,37 dan 27,06 dyne/cm. Hal ini menunjukkan bahwa CMC untuk surfaktan DEA terletak pada konsentrasi 1,5%.
Tegangan permukaan (dyne/cm)
80 70 60 50 40
30 20 10 0 0,0
0,1
0,2
0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 Konsentrasi surfaktan SMES (%)
0,9
1,0
Gambar 5 Pengaruh konsentrasi surfaktan SMES terhadap tegangan permukaan Tegangan permukaan berbagai konsentrasi surfaktan SMES ditunjukkan pada Gambar 5. Nilai tegangan permukaan SMES pada konsentrasi 0,1% hingga 0,9% terus menurun dari 39,50 menjadi 36,60 dyne/cm, kemudian pada konsentrasi 1% kembali naik menjadi 40,44 dyne/cm. Hal tersebut menandakan bahwa nilai CMC untuk surfaktan SMES terletak pada konsentrasi 0,9%. Konsentrasi tersebut adalah konsentrasi terpilih yang akan digunakan sebagai dosis pada tahap pembuatan produk OSD pada penelitian ini.
14 Formulasi OSD Tahap penelitian awal dilakukan untuk mendapatkan komposisi yang tepat untuk menghasilkan produk OSD. OSD yang dihasilkan ditujukan untuk aplikasi bioremediasi pada tanah tercemar minyak bumi. Sesuai dengan tahap penelitian sebelumnnya, bahan baku surfaktan yang digunakan adalah surfaktan DEA 1,5% dan SMES 0,9%. Pembuatan OSD dilakukan dengan mencampur kedua bahan baku dengan 9 macam rasio. Uji stabilitas emulsi terhadap produk OSD dilakukan dengan skoring 1-5 (Tabel 3), dimana semakin besar nilai stabilitas emulsi semakin baik. Berdasarkan nilai stabilitas emulsi, OSD yang dipiih untuk tahap selanjutnya yang memiliki nilai 4-5. Hasil uji menunjukkan sistem emulsi yang stabil pada rasio surfaktan DEA dan SMES sebesar 9:1, 8:2, 7:3, 6:4 dan 5:5. Hasil produk OSD yang memiliki kestabilan yang tinggi dan rendah ditunjukkan pada Gambar 6. Kelima macam rasio OSD dilakukan analisa lanjutan, yaitu pengukuran densitas, pH, tegangan permukaan, tegangan antarmuka, viskositas serta kejernihan berupa nilai absorbansi dan transmisi (Tabel 4). Data pengukuran masing-masing OSD ditunjukkan pada Lampiran 5. Hasil pengukuran dianalisis dengan ANOVA, kemudian dilakukan uji lanjut DMRT. Produk OSD terbaik ditentukan dengan metode skoring dari hasil analisis ke-6 parameter. Tabel 3 Penilaian stabilitas emulsi produk OSD Rasio DEA (1,5%) : SMES (0,9%) 9:1 8:2 7:3 6:4 5:5 4:6 3:7 2:8 1:9
Kejernihan
Stabilitas Emulsi
Sangat jernih Sangat jernih Sangat jernih Jernih Jernih Tidak jernih Tidak jernih 2 fase 2 fase
Sangat stabil Sangat stabil Sangat stabil Stabil Stabil Cukup stabil Cukup tidak stabil Tidak stabil Tidak stabil
Nilai stabilitas emulsi 5 5 5 4 4 3 2 1 1
Keterangan : Semakin besar nilai stabilitas emulsi semakin baik stabilitas emulsinya
Gambar 6 Penampilan fisik formulasi Oil Spill Dispersant (OSD) yang stabil (kiri) dan yang tidak stabil (kanan)
15 Tabel 4 Sifat fisiko kimia OSD SIFAT FISIKO KIMIA Tegangan Tegangan Ukuran Absorbansi Densitas antarmuka permukaan Viskositas (cP) pH droplet (gr/cm3) (dyne/cm) (dyne/cm) (µm) 3,2 0,19a 25,72c 1,24d 0,99568a 9,8e 1,26a 3 0,19a 24,92b 1,23d 0,99571b 9,69d 1,46a 3 0,20a 23,57a 1,17c 0,99597c 9,59c 1,55a 2,8 0,22a 25,22b 1,1b 0,99600d 9,46b 3,73b 2,8 0,32b 26,02c 1,03a 0,99617e 9,38a 4,83b Keterangan : - OSD (Oil Spill Dispersant) - Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%
RASIO (DEA : SMES) 9:1 8:2 7:3 6:4 5:5
Tegangan permukaan (dyne/cm)
Tegangan Permukaan OSD Parameter tegangan permukaan diberi bobot skoring sebesar 40% pada penentuan produk OSD. Tegangan permukaan dinilai cukup besar mempengaruhi kinerja OSD dalam mendegradasi minyak dibandingkan dengan sifat fisiko kimia lainnya. Tegangan permukaan merupakan energi yang dibutuhkan dalam meningkatkan luas permukaan cairan dalam satuan luas. Oleh sebab itu semakin rendah nilai tegangan permukaan OSD semakin baik. Surfaktan dapat meningkatkan kelarutan minyak dalam fase cairan melalui proses dispersi, sehingga permukaan minyak yang didegradasi oleh bakteri bertambah (Herdiyantoro 2005). Peran surfaktan dalam proses bioremediasi adalah meningkatkan bioavailabilitas senyawa minyak yang memiliki kadar solid yang tinggi sehingga dapat lebih terlarut dalam media. 27 26 25 24 23 22 21 20 9:1
8:2
7:3
6:4
5:5
Rasio DEA : SMES
Gambar 7 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap tegangan permukaan Menurut Schramm (2000) penurunan tegangan permukaan terjadi karena adanya gaya kohesi dan adhesi pada permukaan air. Gaya adhesi yang terjadi pada permukaan dapat mengakibatkan molekul pada permukaan akan tarik menarik dengan molekul di bawah permukaan. Densitas yang kecil memiliki kerapatan partikel yang kecil sehingga gaya yang diperlukaan saat memecahkan permukaan cairan akan kecil (Young 2004). Grafik hasil pengukuran tegangan permukaan
16 kelima produk OSD ditunjukkan pada Gambar 7. Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa untuk OSD dengan rasio DEA : SMES sebesar 9:1 dan 5:5 tidak berbeda nyata. Sama halnya dengan produk OSD 8:2 dan 6:4 memiliki nilai yang tidak berbeda nyata. Sementara produk OSD 7:3 memiliki nilai tegangan permukaan yang paling rendah di antara produk OSD lainnya, yakni 23,57 dyne/cm.
Tegangan antarmuka (dyne/cm)
Tegangan Antarmuka OSD Gambar 8 menunjukkan hasil pengujian tegangan antarmuka yang dihasilkan kelima produk OSD. Nilai tegangan antarmuka atau IFT (Interfacial Tension) yang dihasilkan oleh surfaktan semakin meningkat seiring dengan peningkatan rasio larutan SMES yang ditambahkan. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak dengan air. Larutan surfaktan yang mempunyai kinerja baik adalah larutan yang mampu menurunkan tegangan antarmuka sebesar < 10 -2dyne/cm (Rivai 2011). Nilai IFT diberi bobot 15% dalam penilaian produk OSD. Tegangan antar muka yang dihasilkan oleh produk OSD DEA dan SMES 5:5 berbeda nyata dengan ke-4 produk OSD lainnya. 0,40 0,35 0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00 9:1
8:2
7:3
6:4
5:5
Rasio DEA : SMES
Gambar 8 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap tegangan antarmuka
pH dan Ukuran droplet OSD Parameter pH dan ukuran droplet produk OSD masing-masing diberi bobot 10% pada metode skoring penentuan produk OSD yang akan digunakan pada tahap aplikasi bioremediasi. Hasil pengukuran pH produk OSD menurun seiring dengan penambahan rasio surfaktan SMES (Gambar 9). Nilai pH formulasi bersifat basa, karena ada keseimbangan ion di antara kedua campuran tersebut. Semakin besar konsentrasi SMES, maka pH semakin rendah. Nilai pH ideal untuk pemanfaatan di lingkungan adalah sektiar 6-9 atau mendekati netral. Kondisi optimum untuk proses bioremediasi biasanya antara 6-8.
17 10,0 9,8
pH
9,6 9,4 9,2 9,0 9:1
8:2 7:3 6:4 Rasio DEA : SMES
5:5
Gambar 9 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap pH Ukuran droplet pada suatu sistem emulsi sangat berpengaruh pada faktor stabilitas emulsi, semakin kecil ukuran droplet maka emulsi yang terbentuk semakin stabil. Menurut Raymundo et al. (2005), bahwa ukuran droplet pada suatu sistem emulsi sangat berpengaruh pada faktor stabilitas emulsi. Semakin kecil ukuran droplet maka emulsi yang terbentuk juga lebih stabil. Ukuran droplet emulsi produk OSD disarankan berukuran kecil dan seragam (Fingas et al. 2008). Gambar 10 menunjukkan hasil uji droplet kelima formula OSD. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa peningkatan rasio surfaktan SMES diikuti dengan peningkatan droplet OSD. Berdasarkan uji DMRT bahwa formula DEA:SMES dengan perbandingan 6:4 dan 5:4 memiliki ukuran droplet yang berbeda nyata dibandingkan dengan formula OSD lainnya.
5,0
Ukuran droplet (µm)
4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 9:1
8:2
7:3
6:4
5:5
Rasio DEA : SMES
Gambar 10 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap ukuran droplet
18 Densitas dan Viskositas OSD Densitas merupakan berat jenis suatu cairan atau larutan. Berat jenis ini ditentukan oleh jumlah komponen cairan yang berbeda yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu setiap cairan atau larutan memiliki berat jenis yang berbeda. Hasil analisis densitas larutan OSD dengan rasio kedua surfaktan yang berbeda dapat mengubah nilai densitas yang dihasilkan. Nilai densitas produk OSD menunjukkan bahwa semakin besar rasio surfaktan SMES yang ditambahkan, semakin besar pula densitas larutan yang dihasilkan (Gambar 11). Densitas setiap produk OSD berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Semakin besar nilai densitas maka akan semakin rapat partikel-partikel di dalam larutan, sehingga nilai tegangan permukaan akan semakin besar. Pada penentuan jenis OSD yang akan dipilih dengan metode skoring, sifat densitas dan viskositas diberi bobot 10%. Analisis viskositas larutan OSD disajikan pada Gambar 12 berikut.
Densitas (g/cm3)
0,9964 0,9962 0,9960 0,9958 0,9956 0,9954 9:1
8:2
7:3
6:4
5:5
Rasio DEA : SMES
Gambar 11 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap densitas
Nilai viskositas yang tinggi mempengaruhi terbentuknya misel-misel yang lebih sempurna pada larutan surfaktan (Elfiyani 2013). Viskositas suatu cairan merupakan sifat fluida yang dipengaruhi oleh ukuran molekul dan gaya antarmolekul. Parameter viskositas memiliki hubungan dengan stabilitas emulsi. Besarnya viskositas dapat meningkatkan stabilitas emulsi karena dapat menghambat proses bersatunya misel atau coalescence (Waistra 1996). Hasil pengamatan menunjukkan semakin besar perbandingan DEA semakin besar nilai viskositasnya.
19 1,25
Viskositas (cP)
1,20 1,15 1,10 1,05 1,00 9:1
8:2
7:3
6:4
5:5
Rasio DEA : SMES
Gambar 12 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap uji viskositas Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada suhu 30°C dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Pengaruh suhu terhadap densitas suatu zat cair tidak dapat diabaikan karena cairan akan meregang mengikuti peningkatan suhu yang terjadi. Pada umumnya densitas dikaitkan dengan viskositas dimana cairan yang lebih padat akan mempunyai viskositas yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh data produk OSD (Gambar 11 dan 12) bahwa densitas produk OSD berbanding lurus dengan nilai viskositas. Kejernihan OSD Kejernihan kelima produk OSD pada penelitian ini diukur dengan menggunakan spektrofotometer. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi SMES pada larutan OSD semakin kecil nilai absorbansinya. Sebaliknya semakin besar konsentrasi SMES pada larutan OSD semakin besar nilai transmisinya. Diagram hasil pengukuran ditunjukkan pada Gambar 13. Sifat fisik OSD ini diberi bobot 5% pada penilaian formulasi. 3,3
Absorbansi
3,2 3,1 3,0 2,9 2,8 2,7 2,6 9:1
8:2 7:3 6:4 Rasio DEA : SMES
5:5
Gambar 13 Pengaruh rasio DEA : SMES terhadap absorbansi
20 Tabel 5 Hasil penilaian OSD (Oil Spill Dispersant) berdasarkan pembobotan terhadap parameter fisikokimia Rasio (DEA:SMES)
IFT (15%)
9:1 8:2 7:3 6:4 5:5
2 2 2 2 1
Tegangan Permukaan (40%) 1 2 3 2 1
Pembobotan Parameter Viskositas pH Densitas Droplet (10%) (10%) (10%) (10%) 4 4 3 2 1
1 2 3 4 5
1 2 3 4 5
2 2 2 1 1
Absorbansi Jumlah (5%) Penilaian 1 2 3 4 5
Tabel 5 menunjukkan nilai masing-masing produk OSD. Produk OSD yang memiliki nilai terbesar dari penilaian seluruh parameter sifat fisiko kimia akan digunakan pada tahap pengujian bioremediasi tanah tercemar. Produk OSD terbaik dengan skor tertinggi yakni OSD dengan formula perbandingan antara surfaktan DEA 1,5% dan SMES 0,9% sebesar 7 : 3. OSD terpilih memiliki karakteristik densitas sebesar 0,996 g/cm3,tegangan permukaan 23,57 dyne/cm, tegangan antar muka 0,20 dyne/cm, pH 9,59, viskositas sebesar 1,17cP, rerata ukuran droplet sebesar 1,55 µm, dan kejernihan (absorbansi pada 460 nm) 3 A. Hasil penelitian Elvina (2015) menunjukkan formulasi OSD terbaik dari dua jenis surfaktan dietanolamida (DEA) 3% dalam air dan larutan sodium metil ester sulfonat (SMES) 5% dalam pelarut metil ester, dengan rasio 1:3. Produk OSD tersebut memiliki sifat fisiko kimia berupa densitas sebesar 0,90 g/cm3, tegangan permukaan 25,59 mN/m, pH 9,1 dan viskositas sebesar 131 cP.
Persiapan kultur Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 Kurva baku populasi Kurva standar populasi Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 disajikan pada Gambar 14. Kurva standar populasi memperlihatkan persamaan regresi linear antara satuan pembentuk koloni (SPK) dan kerapatan optik (OD). Nilai rapatan optik merupakan hasil perhitungan berdasarkan nilai transmitan. penyerapan sinar atau pemantulan partikel dalam media yang menyebabkan terukurnya nilai transmitan. Sedangkan jumlah bakteri dihitung dengan Total Plate Count (TPC). Pada metode ini diasumsikan bahwa tiap satu sel mikrob dapat membentuk koloni sehingga satu koloni merupakan indeks jumlah bakteri yang ada pada sampel. Kurva baku populasi diperlukan untuk mengetahui waktu inkubasi bakteri saat mencapai fase eksponensial. Selain itu, kurva baku digunakan untuk menentukan jumlah populasi bakteri yang akan digunakan pada tahap formulasi dan aplikasi bioremediasi. Hal ini bertujuan untuk memperhatikan kecepatan isolat bakteri dalam mendegradasi minyak bumi.
1,55 2,2 2,75 2,4 2
21
Populasi 106 SPK/ml
250 y = 107,65x - 8,1467 R² = 0,9167
200 150 100 50 0 0
0,5
1
1,5
2
Kerapatan optik
Gambar 14 Kurva baku populasi Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 Persamaan garis linear antara nilai OD dan jumlah populasi bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 Y=107,65x-8,1467 dengan nilai r = 0,957. Nilai kerapatan optik dan jumlah populasi bakteri selengkapnya disajikan pada Lampiran 4. Koefisien korelasi bakteri cukup tinggi, yaitu 95,7%, artinya benar bahwa nilai rapat optik dipengaruhi oleh banyaknya populasi bakteri. Makin kecil jumlah sel dalam suspensi, makin besar intensitas cahaya yang lolos, sehingga makin tinggi persen transmitan yang tercatat dan nilai OD makin kecil (Hadioetomo 1995). Kurva pertumbuhan Gambar 15 memperlihatkan bahwa pada selang waktu 0-5 jam bakteri P.aeruginosa IPBCC.b11662 mengalami fase adaptasi. Bakteri mengalami fase pertumbuhan eksponensial pada selang waktu 4-20 jam dan mengalami fase pertumbuhan stasioner pada selang waktu 20-72 jam. Data selengkapnya disajikan pada lampiran 5. Setiap mikrob memiliki waktu tumbuh yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui waktu tumbuh isolat mencapai fase eksponensialnya, yaitu suatu fase pertumbuhan yang cepat dan produktif (Pelczar 1986). Fase ini terjadi pada saat OD0.6. Kerapatan optik menunjukkan kepadatan bakteri yang terlihat sebagai kekeruhan media. Waktu tumbuh merupakan waktu yang diperlukan oleh satu sel untuk membelah menjadi dua atau waktu yang dibutuhkan oleh suatu populasi mikrob untuk menggandakan jumlahnya (Lim 1998). Dari hasil penelitian diperoleh waktu tumbuh isolat Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 mencapai fase stasioner pada jam ke-20 sementara fase akhir stasioner pada jam ke-70.
22
Kerapatan Optik
2,5 2 1,5 1 0,5 0 0
20
40 60 Waktu Inkubasi (Jam)
80
Gambar 15 Kurva pertumbuhan bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 Fase stationer dibutuhkan ketika proses adaptasi bakteri. Dimana bakteri P.aeruginosa IPBCC.b11662 diadaptasikan untuk menggunakan crude oil sebagai sumber karbonnya. Fase stationer adalah fase dimana jumlah sel hidup sama dengan sel mati. Di akhir fase ini bakteri sudah terbiasa menggunakan nutrient saat beradaptasi dengan minyak bumi. Isolat bakteri yang telah diremajakan, disubkultur ke dalam media mineral modifikasi. Setelah mencapai fase akhir stationer, isolat bakteri siap diaplikasikan ke dalam tanah simulasi.
Formulasi OSD dengan P. aeruginosa IPBCC.b11662 Uji Viabilitas P. aeruginosa IPBCC.b11662 Metode difusi cakram digunakan untuk melihat aktivitas bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 terhadap formulasi OSD terpilih. Gambar 16 menunjukkan bahwa bakteri dapat menggunakan OSD sebagai nutrisi.
Cakram OSD
Gambar 16 Uji cakram bakteri dengan OSD
23
Tegangan permukaan (dyne/cm)
Selain dengan metode difusi cakram, tegangan permukaan diukur pada larutan OSD yang telah dicampurkan bakteri. Selama 3 hari, tegangan permukaan diukur untuk melihat stabilitas produk OSD. Gambar 17 menunjukkan grafik tegangan permukaan OSD. Tegangan permukaan larutan OSD yang telah ditambahkan bakteri terus berubah setiap harinya, hal ini menandakan larutan OSD yang telah dikombinasikan bakteri tidak memiliki tegangan permukaan yang stabil. 29 29 28 28 27 27 26 26 0
1
2
3
Hari ke-
Gambar 17 Pengaruh lama penyimpanan larutan OSD dengan bakteri P.aeruginosa IPBCC.b11662 terhadap tegangan permukaan Perubahan kerapatan optik pada larutan OSD memperlihatkan bahwa larutan mengalami kekeruhan (Gambar 18). Hasil kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa bakteri P.aeruginosa IPBCC.b11662 di dalam OSD terus mengalami pertumbuhan dan bakteri dapat menggunakan OSD sebagai sumber nutrisinya. Oleh sebab itu saat simulasi bioremediasi tanah tercemar hidrokarbon, aplikasi OSD dan bakteri dilakukan secara terpisah. Aplikasi OSD dilakukan saat awal kemudian larutan bakteri ditambahkan sesuai dosis yang ditentukan. Hal ini dikarenakan agar OSD dapat mendispersi minyak di tanah terlebih dahulu, kemudian bakteri dapat lebih mudah memanfaatkan minyak yang tersedia.
Kerapatan optik
0,1
0,05
0 0
1
2
Lama penyimpanan (hari)
Gambar 18 Pengaruh lama penyimpanan larutan OSD dengan bakteri P.aeruginosa IPBCC.b11662 terhadap kerapatan optik
24 Pengujian Bioremediasi Pada tahap pengujian sumber minyak pencemar yang digunakan merupakan crude oil yang diperoleh dari salah satu lapangan minyak di Pulau Sumatera, Indonesia. Pengujian aplikasi produk OSD ini dilakukan terhadap tanah tercemar minyak bumi, seperti yang diteliti oleh Arifuddin (2016) dengan menggunakan campuran tanah, pasir dan minyak mentah. Pada tahap aplikasi bioremediasi, analisis dilakukan selama 6 minggu. Pengukuran TPH dilakukan setiap 2 minggu sekali, sementara pengukuran pH, suhu, kadar air dan populasi bakteri tanah dilakukan seminggu sekali. Analisa senyawa hidrokarbon dengan GC-MS dilakukan di awal dan akhir pengujian bioremediasi. Ketersediaan sumber nutrisi berdampak langsung terhadap aktivitas mikrob dan biodegradasi dalam menurunkan nilai TPH (Yang et al. 2009). Senyawa organik diperlukan sebagai sumber donor/akseptor elektron. Sementara senyawa inorganik termasuk kation yang dapat ditukarkan, nitrat dan fosfat juga penting untuk proses bioremediasi. Walaupun dalam jumlah sedikit, senyawa lain seperti nitrogen, fosfor, asam amino, vitamin atau molekul organik lainnya diperlukan dalam proses bioremediasi. (Thomassin-Lacroix 2000). Hal ini diperkuat oleh Bragg et al. (1993) yang menyatakan bahwa bioremediasi limbah minyak bumi biasanya dilakukan penambahan nutrisi nitrogen dan fosfor sehingga proses penguraian berlangsung lebih cepat dan pertumbuhan bakteri meningkat. Oleh sebab itu, pada awal penelitian seluruh perlakuan diberi nutrisi hingga rasio kandungan C/N/P di dalam tanah sebesar 100/10/1. Rasio tersebut sesuai kondisi yang disarankan Vidali (2001). Sebagai sumber nitrogen dan fosfor pada penelitian ini digunakan urea dan TSP 36. Perubahan suhu, kadar air dan pH pada bioremediasi lahan tercemar minyak Menurut Vidali (2001), pertumbuhan bakteri dan aktivitasnya dipengaruhi oleh suhu, kelembaban dan pH. Meskipun bakteri dapat diisolasi pada kondisi ekstrim, bakteri lebih banyak tumbuh optimal di kisaran sempit, sehingga penting untuk mencapai kondisi optimal. Suhu akan mempengaruhi sifat fisik dan kimia komponen-komponen minyak dan laju biodegradasi senyawa hidrokarbon oleh mikrob. Menurut Atlas (1981) biodegradasi minyak bumi berlangsung pada kisaran suhu yang luas tetapi tidak selalu menjadi faktor utama yang membatasi biodegradasi jika faktor lingkungan lain baik. Bakteri dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok berdasarkan suhu lingkungannya yaitu: psikrofilik memerlukan suhu optimum antara 5-15°C, mesofilik memerlukan suhu optimum antara 25-40°C dan thermofilik memerlukan suhu optimum antara 45-60°C (Udiharto 1996). Proses bioremediasi umumnya menggunakan bakteri mesofilik. Gambar 19 menunjukkan suhu dari masing-masing perlakuan yang dilakukan pengukuran setiap minggu selama 6 minggu masa inkubasi. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan setiap minggu, nilai suhu yang terukur berkisar antara 24,1ºC-27ºC (Lampiran 6). Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 dapat hidup pada suhu normal.
25 28 27
Suhu(°C)
26
25 24 23 22 0
1
2
3
4
5
6
Minggu keP1 (Kontrol) P2 (DOR 0,5:1) P3 (DOR 1:1) P4 (P. aeruginosa IPBCC.b11662) P5 ((DOR 0,5:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662) P6 (DOR 1:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662)
Gambar 19 Pengaruh waktu proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi terhadap perubahan suhu (°C) media pada masing-masing perlakuan Menurut Vidali (2001) suhu yang tepat dapat meningkatkan metabolisme bakteri dalam mendegradasi hidrokarbon, khususnya suhu yang berkisar antara 20ºC-30ºC. Selama proses bioremediasi, keenam perlakuan masuk ke dalam kisaran suhu tersebut. Suhu media ke-6 perlakuan selama proses bioremediasi memiliki suhu yang tidak berbeda nyata. Namun, P5 dan P6 memiliki suhu yang lebih rendah dibanding perlakuan yang lain pada minggu ke-4 proses bioremediasi. Pada proses degradasi, suhu akan mempengaruhi sifat fisik dan kimia komponen-komponen minyak, kecepatan degradasi oleh mikrob, dan komposisi komunitas mikrob. Suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan toksisitas hidrokarbon terhadap bakteri. Sedangkan suhu rendah dapat menghambat proses biodegradasi. Hal ini disebabkan viskositas minyak akan meningkat dan volatilitas hidrokarbon berantai pendek serta kelarutan minyak dalam air akan menurun. Hasil penelitian Retno dan Mulyana (2013) pada bioremediasi lahan tercemar limbah lumpur minyak menggunakan konsorsia mikrob dan kompos iradiasi menunjukkan perubahan suhu berkisar 25°C –30,5°C. Kisaran tersebut mengindikasikan bahwa mikrob (Aspergillus niger, Pseudomonas aeruginosa, Trichoderma zeanum, Bacillus sphaeric dan Bacillus cereus) yang digunakan dapat hidup dalam temperatur normal. Keberadaan air sangat berpengaruh terhadap aktivitas metabolik dari mikrob. Sebagian besar komposisi sel mikrob mengandung air sehingga kandungan air tanah sangat penting untuk aktivitas metabolit pada proses degradasi hidrokarbon minyak bumi. Oleh karena itu kadar air merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses bioremediasi. Menurut Fletcher (1992) jika selama proses bioremediasi kandungan air terlalu tinggi akan mengakibatkan sulitnya oksigen untuk masuk ke dalam tanah, sedangkan tanpa air mikrob tidak dapat hidup
26 dalam limbah minyak karena mikrob akan hidup aktif di interfase antara minyak dan air. Kelembaban tanah dapat mempengaruhi keberadaan kontaminan, transfer gas dan tingkat toksisitas dari kontaminan. Kontaminan minyak bumi di permukaan tanah bisa menjadi penghalang bagi bakteri dalam memperoleh oksigen. Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini ialah bakteri aerob yaitu bakteri yang membutuhkan oksigen (O2). Oksigen yang diperlukan bakteri diperoleh dari air dan udara melalui proses pengadukan. Menurut Santosa et al. (2004) pada kondisi yang kaya akan oksigen banyak mikrob yang dapat merombak minyak mentah. Selama masa inkubasi, kadar air pada seluruh perlakuan dipertahankan minimal sebesar 20% agar suplai air untuk pertumbuhan mikrob selalu terpenuhi. Penambahan air dan pengadukan dilakukan setiap hari untuk menjaga kadar air dan suplai O2. Dengan pengadukan setiap hari, distribusi O2 dalam media lebih merata dan setiap sel bakteri akan mendapat suplai O2 yang cukup untuk menunjang pertumbuhannya (Brahmana dan Moelyo 2003). Selain itu, pengadukan juga bertujuan meratakan minyak di dalam tanah serta mengoptimalkan proses pengolahan secara biologis. 30
kadar air (%)
25 20 15 10 5 0 0
1
2
3
4
5
6
Minggu keP1 (Kontrol) P2 (DOR 0,5:1) P3 (DOR 1:1) P4 (P. aeruginosa IPBCC.b11662) P5 ((DOR 0,5:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662) P6 (DOR 1:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662)
Gambar 20 Pengaruh waktu proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi terhadap perubahan kadar air (%) media pada masingmasing perlakuan Berdasarkan pengukuran yang dilakukan setiap minggu, kadar air yang terukur berkisar antara 14,8-29,8 % (Lampiran 7). Santosa et al. (2004) menjelaskan bahwa proses bioremediasi tanah sebaiknya kandungan air dipertahankan pada kisaran 20-24%. Kekurangan air pada media dapat menyebabkan terhambatnya proses degradasi. Gambar 20 menunjukkan kadar air pada masing-masing perlakuan pada Minggu ke-0 hingga minggu ke-6. Data
27 pengamatan menunjukkan bahwa kadar air seluruh perlakuan hingga proses biodegradasi selesai memenuhi kriteria kadar air yang disarankan. Suhu mempengaruhi penurunan kadar air tanah. Suhu secara tidak langsung mempengaruhi tekanan uap atmosfer. Pada cuaca cerah tekanan udara pada permukaan tanah lembab sangat tinggi. Adanya perbedaan tekanan uap air yang besar antara tanah dengan atmosfer mengakibatkan penguapan berlangsung cepat (Irawathi 2005). Salah satu faktor penting dalam proses degradasi hidrokarbon adalah tingkat keasaman atau pH (Zhu et al. 2001). Keberhasilan degradasi dapat dicapai jika pH tanah sesuai dengan kondisi optimum mikrob pendegradasi hidrokarbon. Nilai pH berhubungan dengan jumlah asam yang terkandung dalam tanah. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan setiap minggu, pH yang terukur menunjukan kisaran pH antara 5,07-9,12 (Lampiran 8). Vidali (2001) melaporkan bahwa kisaran pH optimum untuk degradasi minyak bumi sebesar 6,5 hingga 8. Pada minggu pertama proses biodegradasi, semua perlakuan mengalami kenaikan pH. Hal ini dapat disebabkan adanya penambahan konsentrasi bahan organik berupa crude oil dan pupuk (urea dan SP36). Menurut Tanner (1997) peningkatan pH dapat terjadi jika adanya proses reduksi nitrat membentuk amonia atau gas nitrogen. Respon toleransi bakteri terhadap asam dengan mekanisme pompa hidrogen dapat menyebabkan kenaikan pH. Beberapa bakteri memiliki kemampuan untuk melakukan upaya homeostatis terhadap keasaman lingkungan sebatas masih dalam toleransi adaptasinya. Dengan cara melakukan pertukaran kation K+ dari dalam sel dan menukarnya dengan H+ yang banyak terdapat di lingkungannya, sehingga keasaman lingkungan dapat dikurangi (Nugroho 2006). Oleh sebab itu perlu dilakukan penambahan senyawa asam setelah minggu pertama. Larutan H2SO4 5% digunakan untuk mengembalikan nilai pH pada kondisi optimum proses biodegradasi. Minggu kedua hingga minggu terakhir proses bioremediasi semua perlakuan mengalami penurunan pH (Gambar 21). Penurunan pH terjadi bila terbentuknya asam-asam organik sebagai hasil proses fermentasi (Tanner 1997). Hal ini seperti apa yang disampaikan Udiharto (1996), bahwa penurunan pH disebabkan oleh senyawa-senyawa asam organik yang dihasilkan selama proses bioremediasi. Selama proses bioremediasi nilai pH P1 cenderung lebih tinggi/basa dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena P1 adalah kontrol sehingga eksresi metabolit asamnya jauh lebih sedikit dibanding dengan perlakuan lainnya. Nilai pH dapat berasal dari hasil reaksi enzimatis yang dihasilkan oleh bakteri. Hal ini didasarkan pada teori degradasi minyak bumi bahwa bakteri akan menyisipkan oksigen pada rantai karbon kemudian rantai karbon bergugus fungsi akan dipecah menjadi rantai karbon yang lebih pendek. Gugus fungsi yang dihasilkan pada rantai karbon tergantung jenis enzim yang digunakan bakteri dan jenis hidrokarbon (Bossert dan Compeau 1995, Rockne dan Reddy 2003).
28
10 9
pH
8 7
6 5 4 3 0
1
2
3 Minggu ke-
P1 (Kontrol) P2 (DOR 0,5:1) P3 (DOR 1:1)
4
5
6
Penambahan H2SO4
P4 (P. aeruginosa IPBCC.b11662) P5 ((DOR 0,5:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662) P6 (DOR 1:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662)
Gambar 21 Pengaruh waktu proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi terhadap perubahan pH media pada masing-masing perlakuan Kemampuan mikrob dalam menjaga kelangsungan aktivitas-aktivitas seluler, transpor membran sel, dan kesetimbangan reaksi yang dikatalis enzim dipengaruhi oleh nilai pH (Charlena 2010). Nilai pH tanah dapat diakibatkan oleh adanya senyawa yang memiliki gugus karboksilat yang dihasilkan dari degradasi minyak bumi. Ekskresi CO2 dan produk metabolit yang bersifat asam yang dihasilkan dari aktivitas bakteri pendegradasi minyak bumi dapat menyebabkan perubahan nilai pH tanah. Nilai pH yang diperoleh dari hasil penelitian tidak dapat dijadikan parameter laju degradasi karena nilai pH tanah berfluktuasi disebabkan oleh produk degradasi tidak semuanya sama. Produk degradasi selain dipengaruhi oleh rantai hidrokarbon yang diputus juga dari kontaminasi bakteri selain pendegradasi hidrokarbon. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa ada penurunan pH pada proses bioremediasi. Hal ini memperkuat hasil penelitian Charlena et al. (2009) mengenai pengaruh mikrob pada bioremediasi tanah tercemar minyak ringan dimana pada akhir bioremediasi terjadi penurunan pH media yang berkisar dari 8,77 sampai 8,33. Menurut Dwidjoseputro (2003), penguraian senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan membentuk amonium karbonat. Selanjutnya amonium karbonat mudah terurai menjadi amoniak, karbondioksida dan air. Amoniak bereaksi dengan air menjadi NH4OH dan dapat menaikkan pH.
29 Perubahan populasi bakteri pada bioremediasi lahan tercemar minyak Rentang jumlah sel untuk dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon yaitu 1 x 106 SPK/g sampai 1 x 108 SPK/g. Menurut Trinidade (2002) jumlah sel optimum dalam mendegradasi hidrokarbon adalah sebesar 1 x 108 SPK/g. Seluruh perlakuan pada penelitian ini memiliki kriteria jumlah populasi yang disarankan. Setiap spesies bakteri mengalami penaikan dan penurunan jumlah sel seiring dengan bertambchaahnya waktu (Gambar 22 dan Lampiran 9). Pada perlakuan dengan penambahan OSD dan bakteri eksogenus berupa Pseudomonas aeruginosa IPBCC.B11662 memiliki jumlah populasi bakteri optimum sejak awal proses bioremediasi. Sedangkan perlakuan kontrol cenderung fluktuatif di awal proses dan mulai memiliki jumlah populasi optimum pada akhir proses bioremediasi. 10
Log TPC (SPK/g)
9 8 7 6 5 4 3 1
2
3
4
5
6
Minggu KeP1 (Kontrol) P2 (DOR 0,5:1) P3 (DOR 1:1) P4 (P. aeruginosa IPBCC.b11662) P5 ((DOR 0,5:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662) P6 (DOR 1:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662)
Gambar 22 Pengaruh waktu proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi terhadap perubahan populasi bakteri (Log (SPK/g)) media pada masing-masing perlakuan Bioremediasi minyak bumi merupakan suatu proses yang kompleks. Proses ini bergantung pada komunitas bakteri, kondisi lingkungan, dan senyawa yang akan diurai. Dalam proses tersebut terjadi penguraian hidrokarbon oleh bakteri yang telah beradaptasi dengan baik di lingkungan tersebut (Udiharto et al. 1995). Hal ini ditunjukkan pada perlakuan yang tidak diberi bakteri eksogenus (P1,P2,P3) memiliki jumlah populasi bakteri optimum di akhir proses bioremediasi. Pada akhir proses bioremediasi, kombinasi perlakuan OSD dengan penambahan bakteri eksogenus (P5 dan P6) menunjukkan semakin besar konsentrasi OSD yang diberikan maka semakin kecil populasi bakteri yang dihasilkan. Hal yang sama ditunjukkan oleh hasil penelitian Cueva et al. (2016). Penelitian tersebut pada skala laboratorium dengan menggunakan surfaktan tween 80 menunjukkan bahwa menurunnya populasi mikrob diikuti dengan kenaikan konsentrasi surfaktan. Fenomena ini dapat dikaitkan dengan efek toksik surfaktan
30 dengan konsentrasi tinggi pada populasi bakteri. Efek toksik ini dapat terjadi melalui dua mekanisme melalui dua komponen yang sangat penting bagi fungsi sel. Mekanisme tersebut yakni: (1) interaksi antara komponen lipid dari membran sel dengan surfaktan dan (2) reaksi antara protein molekul membran sel dan surfaktan. (Volkering et al. 1998). Namun perlakuan tanpa penambahan bakteri eksogenus (P2 dan P3), kenaikan konsentrasi OSD diikuti dengan kenaikan populasi bakteri. Hal ini bisa dikarenakan nilai TPC juga dipengaruhi oleh keanekaragaman jenis bakteri yang hidup di dalam tanah tercemar minyak. Setiap bakteri memiliki waktu fase pertumbuhan yang berbeda sehingga ketika satu jenis bakteri mengalami fase kematian, bakteri jenis lain dapat mengalami fase pertumbuhan. Pada fase pertumbuhan terjadi asosiasi sinergis antara mikrob. Salah satu mikrob memproduksi senyawa yang diperlukan untuk pertumbuhan mikrob lainnya secara kometabolisme atau sinergisme. Sinergisme ini memberikan kemampuan pada kombinasi populasi mikrob untuk melakukan sintesa suatu produk yang tidak bisa dilakukan sendiri (Atlas dan Bartha 1998 ;Yu et al. 2001). TPC merupakan metode perhitungan jumlah koloni bakteri yang terdapat dalam suatu produk yang tumbuh pada media agar pada suhu dan waktu yang ditetapkan. Kemampuan bakteri pendegradasi minyak akan ditentukan oleh total bakteri yang aktif. Pada umumnya kenaikan nilai TPC akan diikuti oleh penurunan nilai TPH. Data pengamatan menunjukkan jumlah populasi mikrob P2, P3, P5 dan P6 pada minggu kedua berbeda nyata dengan P1 yang diikuti dengan penurunan nilai TPH (Lampiran 13). Degradasi TPH minyak bumi Total petroleum hydrocarbon (TPH) merupakan salah satu parameter acuan keberhasilan proses bioremediasi tanah terkontaminasi limbah minyak bumi dan limbah turunannya. Nilai TPH menunjukkan besarnya kandungan kadar hidrokarbon (unsur C dan H) di dalam minyak bumi. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 128 tahun 2003, menyatakan bahwa TPH tanah sebelum proses pengolahan secara bioremediasi tidak lebih dari 15%. Selain itu terdapat nilai optimum TPH awal untuk degradasi minyak bumi secara biologi yaitu sebesar 2-10%. Hal ini dikarenakan pada kondisi ini merupakan kodisi yang tidak terlalu toksik untuk aktivitas bakteri sehingga harus dipenuhi sebagai persyaratan teknis pada proses bioremediasi. Seluruh prosedur kerja serta pelaksanaan bioremediasi mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang tata cara dan persyaratan teknik pengelolaan limbah minyak dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis. Kandungan TPH pada limbah yang akan diolah dengan metode biologis harus dianalisis terlebih dulu. Batas konsentrasi maksimum TPH awal sebelum proses pengolahan biologis adalah tidak lebih dari 15%. Sedangkan nilai TPH akhir hasil pengolahan adalah di bawah 1%. Hasil pengukuran yang dilakukan setiap 2 minggu menunjukkan TPH awal tiap perlakuan ±6% (Lampiran 10). Nilai TPH yang terukur pertama kali tidak persis sama dengan jumlah crude oil bumi yang ditambahkan. Hal ini dapat disebabkan karena proses pencampuran antara tanah dan minyak bumi dilakukan dengan manual yaitu dengan pengadukan
31 biasa. Selain dikarenakan pengambilan sampel tanah yang tidak merata, kecilnya nilai TPH awal yang terukur pada perlakuan mengindikasikan bahwa crude oil yang digunakan termasuk kategori light crude oil atau minyak mentah ringan yang memiliki kandungan hidrokarbon dengan rantai pendek dalam jumlah yang cukup tinggi yang memiliki karakteristik mudah menguap. Menurut Mulyono (1989) hidrokarbon dengan panjang rantai karbon kurang C15 (titik didih kurang dari 250°C) bersifat lebih mudah menguap, rantai karbon C15-C25 (titik didih 250400°C) menguap lebih lambat sementara rantai karbon lebih dari C25 sulit untuk menguap. Dampak penurunan TPH tanah terkontaminasi minyak bumi oleh semua perlakuan terlihat berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Kadar TPH tanah terkontaminasi minyak bumi menurun hingga di bawah 1% pada minggu ke-6. Perbandingan penambahan OSD dengan cemaran minyak / dispersant to oil ratio (DOR) sebesar 0,5:1 mampu mendegradasi minyak bumi sebesar 4,55% menjadi 0,41%. Sementara dengan DOR sebesar 1:1 (P3) mampu mendegradasi minyak bumi sebesar 5,11% menjadi 0,47%. Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 (P4) mampu mendegradasi minyak bumi sebesar 4,3% menjadi 0,72%. Kombinasi antara DOR 0,5 : 1 dengan penambahan Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 (P5) mampu mendegradasi minyak bumi sebesar 4,97% menjadi 0,5%. Sementara kombinasi antara DOR 1 : 1 dengan penambahan Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 (P6) mampu mendegradasi minyak bumi sebesar 5,15% menjadi 0,64%. Pada minggu kedua proses degradasi semua perlakuan berlangsung cepat dengan grafik yang menurun tajam (Gambar 23). Proses awal degradasi tersebut berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini memperlihatkan bahwa bakteri Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 langsung memanfaatkan minyak ringan sebagai sumber karbon dalam proses metabolismenya. OSD mampu meningkatkan kelarutan minyak bumi pada tanah melalui proses dispersi sehingga luas permukaan minyak untuk didegradasi oleh bakteri semakin meningkat. Tiehm dan Stieber (2001) menyatakan bahwa penambahan surfaktan dapat meningkatkan bioavailabilitas secara signifikan dari tanah yang terkontaminasi. Surfaktan berperan dalam menurunkan tegangan permukaan minyak sehingga dapat memperluas kontak permukaan minyak dengan air melalui pembentukan mikro emulsi. Oleh sebab itu mikrob lebih mudah dalam merombak struktur hidrokarbon. Dengan meningkatnya kontak permukaan minyak dan air akan mempermudah masuknya suplai oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan mikrob untuk lebih cepat dalam mendegradasi limbah minyak bumi. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian Herdiyantoro (2005) penambahan surfaktan Tween 80 mempengaruhi kinerja bakteri dalam mendegradasi minyak bumi.
32 6 5
TPH(%)
4 3
P1 (Kontrol) P2 (DOR 0,5:1)
2 1 0 0
1
2
3 Minggu ke-
4
5
6
6 5
TPH(%)
4 3
P3 (DOR 1:1)
2
P4 (P. aeruginosa IPBCC.b11662)
1 0 0
1
2
3 Minggu ke-
4
5
6
6
TPH(%)
5 P5 ((DOR 0,5:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662)
4 3 2 1
P6 (DOR 1:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662)
0 0
1
2
3 Minggu ke-
4
5
6
Keterangan : DOR (Dispersant to Oil Ratio)
Gambar 23 Penurunan kadar TPH (%) pada masing-masing perlakuan selama proses bioremediasi tanah tercemar minyak bumi selama 6 minggu
33 Manalu (2013) melaporkan bahwa kombinasi tiga isolat Bacillus sp ICBB 7859, Bacillus sp. ICBB 9461 dan Bacillus sp. ICBB 5071 dapat mendegradasi nilai TPH sebesar 5,22% menjadi 0,41% pada tanah tercemar minyak ringan. Menurut Atlas (1981), kecepatan menguraikan minyak mentah bergantung kepada komposisi minyak mentah tersebut dan faktor lingkungan. Bakteri indigenus di dalam tanah lambat laun dapat beradaptasi dengan kontaminan minyak dengan membuat biosurfaktan. Hal tersebut terlihat pada minggu keempat proses bioremediasi, perlakuan tanpa Pseudomonas aeruginosa IPBCC.b11662 dan OSD (P1) mampu mendegradasi TPH sebesar 51,0%. Mukherjee dan Das (2005) ; Ron dan Rosenberg (2001) menjelaskan bahwa produksi biosurfaktan mikrob merupakan adaptasi pemanfaatan substrat hidrofobik (minyak) guna untuk meningkatkan luas permukaan. Pada minggu ke-4 sampai ke-6, seluruh perlakuan memperlihatkan semakin kecil persentase degradasi TPH. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama proses bioremediasi laju penurunan TPH semakin lambat. Pada awal proses bioremediasi diduga bakteri menggunakan hidrokarbon minyak bumi yang lebih mudah untuk didegradasi terlebih dahulu sebagai sumber karbon. Proses bioremediasi hidrokarbon minyak bumi fraksi yang lebih mudah untuk didegradasi adalah fraksi parafinik dibandingkan fraksi naftenik dan aromatik (Leahly dan Colwell 1990). Pada perlakuan P2 menurunkan nilai TPH sebesar 91,1%, sementara perlakuan P3 sebesar 90,7%. Perlakuan P5 sebesar 89,9% sedangkan P6 sebesar 87,5% (Tabel 6, Gambar 24). Degradasi TPH menurun seiring dengan penambahan konsentrasi OSD yang digunakan. Penurunan TPH ini dapat disebabkan pengembangan struktur yang kompleks pada surfaktan konsentrasi tinggi (Hyde 2001). Struktur yang kompleks tersebut dapat menghasilkan penurunan bioavailabilitas karena akses mikrob terhambat oleh pembentukan zona kedap air (Zhang et al. 1998). Hasil penelitian Cueva et al. (2016) melaporkan bahwa penambahan surfaktan Tween 80 sebanyak 0,5% berbeda nyata dibandingkan dengan penambahan konsentrasi surfaktan. Tabel 6 Persentase laju penurunan degradasi Total Petroleum Hydrocarbon (TPH) Minggu kePerlakuan 2 4 6 P1 (Kontrol) 15,1a 51,0a 67,6a P2 (DOR 0,5:1) 84,3b 89,8b 91,1b P3 (DOR 1:1) 60,1b 85,5b 90,7b P4 (P. aeruginosa IPBCC.b11662) 67,9b 81,7b 83,2ab P5 (DOR 0,5:1+ P. aeruginosa 75,9b 80,6b 89,9b IPBCC.b11662) P6 (DOR 1:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662)
68,2b
82,8b
87,5b
Keterangan : -
DOR (Dispersant to oil ratio) Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%
34 Perlakuan yang memiliki persen degradasi terbesar adalah P2 sebesar 91,1%. Nilai ini tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya meskipun tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Nilai ini juga telah memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 128 Tahun 2003, yaitu 1%. 100 90
% Degradasi TPH
80 70 60 50 40 30 20 10 0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
Jenis perlakuan Keterangan : DOR (Dispersant to Oil Ratio) P1 (Kontrol) P2 (DOR 0,5:1) P3 (DOR 1:1) P4 (P. aeruginosa IPBCC.b11662) P5 (DOR 0,5:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662) P6 (DOR 1:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662) Minggu Ke-2
Minggu Ke-4
Minggu Ke-6
Gambar 24 Persentase penurunan degradasi TPH selama 6 minggu proses bioremediasi Menurut Kosaric (2001), ada 2 cara penanganan kontaminasi dalam tanah yang dipakai, yang pertama ialah penambahan nutrisi pada tanah berupa nitrogen, fosfor dan jika diperlukan senyawa karbon. Penambahan nutrisi bertujuan untuk mempercepat perkembangan populasi Bakteri asli yang terdapat di dalam tanah terkontaminasi (indigenus). Cara ini sering disebut dengan biostimulasi. Penanganan yang kedua adalah dengan cara bioaugmentasi. Bioaugmentasi adalah cara untuk mengurangi polutan dengan penambahan nutrisi dan bakteri ke dalam tanah terkontaminasi. Pada penelitian ini, P1, P2 dan P3 dinamakan biostimulasi karena pada awal proses aplikasi hanya nutrisi berupa urea dan SP36 saja yang diberikan. Sementara pada P4, P5 dan P6 disebut bioaugmentasi karena selain nutrisi yang ditambahkan ke dalam tanah, bakteri pendegradasi minyak juga ikut diberikan. Kondisi lingkungan fisik seperti suhu dan aersi serta faktor mekanik seperti pengadukan juga sangat mempengaruhi besarnya persentase degradasi TPH. Senyawa hidrokarbon yang tertumpah di alam akan mengalami degradasi secara alamiah karena faktor-faktor lingkungan, meskipun laju degradasinya berlangsung
35 lambat (Doerffer 1992). Proses degradasi tersebut meliputi penguapan, teremulsi dalam air, teradsorpsi pada partikel padat, tenggelam dalam perairan serta mengalami biodegradasi oleh mikrob pengguna hidrokarbon. Selain itu, suhu tinggi dapat menyebabkan terjadi penguapan hidrokarbon, terutama senyawa berberat molekul rendah yang biasanya bersifat toksik (Harayama 1995). Hal tersebut yang menyebabkan mengapa tanpa penambahan OSD maupun bakteri eksogenus pada P1 tetap terjadi degradasi TPH. Perubahan senyawa hidrokarbon Penentuan perubahan senyawa hidrokarbon selama proses degradasi oleh bakteri, ditentukan dengan membandingkan senyawa hidrokarbon pada awal dan akhir proses bioremediasi. Berdasarkan data yang diperoleh dari kromatogram GCMS diketahui bahwa senyawa hidrokarbon yang terdapat pada minyak bumi terdiri dari 3 jenis, yaitu alifatik, alisiklik, dan aromatik. Penentuan senyawa hidrokarbon ini berdasarkan data yang terdapat pada CAS Number yang digunakan sebagai library pengidentifikasi sampel. Data library yang digunakan pada penentuan senyawa ini ialah WILLEY09TH.L dari hasil identifikasi tersebut dipilih sampel yang memiliki kemiripan ≥90. Aktivitas mikrob dalam mendegradasi hidrokarbon dilakukan dengan cara memotong-motong rantai karbon yang panjang pada komponen hidrokarbon alifatik serta mengubah senyawa-senyawa yang lebih sederhana, sehingga limbah minyak bumi tersebut memperlihatkan perubahan komposisi fraksi hidrokarbon penyusunnya (Sharpley 1996). Kromatogram hasil GCMS untuk awal proses bioremediasi ditunjukkan pada Gambar 25. Secara umum, data yang diperoleh menunjukan banyak kehilangan senyawa hidrokarbon rantai panjang. Jika pun ada terjadi penurunan luas area puncak yang terdeteksi pada waktu retensi 1 sampai 34 menit dibandingkan awal pengukuran. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi degradasi senyawa hidrokarbon. Perubahan senyawa hidrokarbon pada keseluruhan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7.
Gambar 25 Kromatogram GCMS pada awal perlakuan DOR (Dispersant to Oil Ratio) sebesar 0,5:1
36 Tabel 7 Perubahan luas puncak (%) senyawa yang terdeteksi dengan GCMS di awal dan di akhir pengukuran pada perlakuan P2,P3,P4,P5 dan P6 Senyawa hidrokarbon Decane 1,5-Dimethylnaphthalene 1,4-Dimethylnaphthalene
Jumlah atom karbon 10 11 11
Luas area (%) Awal
P1
P2
P3
P4
P5
P6
0,31 3,34 1,15
td 3,16 1
td 1,85 td
td td 1,19
td td td
td td td
td td td
Undecane 1-Methyl Naphthalene 1,7-Dimethylnaphthalene 1,4,6-Trimethylnaphthalene Dodecane Tridecane 9,9-Dimethyl-1,4-dihydro1,4-methanol naphthalene Tetradecane 2-Methyldodecane
11 11 11 12 12 13
1,71 1,76 4,07 0,60 3,49 4,47
td 0,54 1,51 td td 2,77
td td td 2,61 td 1,97
td td 1,57 2,14 td td
td td td 2,40 0,93 2,45
td td td td td td
td td td 0,52 td td
13
0,92
td
td
td
td
td
td
14 14
6,03 0,72
td td
5,67 td
3,49 td
3,26 td
5,81 td
1,65 td
Cadalene Farnesane
15 15
1,47 2,84
1,85 td
td td
td td
1,86 td
0,77 td
2,07 td
Pentadecane Hexadecane
15 16
6,51 5,47
3,79 td
td td
1,94 td
3,57 1,04
2,05 8,98
3,48 4,70
Heptadecane Octadecane
17 18
3,51 3,35
td td
5,73 4,94
td td
td td
td td
1,13 td
2,6,10-trimethylpentadecane Nonadecane
18 19
3,41 3,02
td td
td td
2,57 td
td td
0,38 1,87
td td
pristane Eicosane
19 20
3,06 2,46
td td
td 2,30
td td
td 2,27
td 10,88
td 2,38
Phytane Heneicosane
20 21
1,53 1,91
td 2,57
td td
td td
td td
td 1,56
td td
Docosane Tricosane Tetracosane Pentacosane Hexacosane Heptacosane
22 23 24 25 26 27
1,63 1,50 1,29 0,96 0,80 0,69
1,48 td td td td td
2,46 td td td td td
td td td td td td
td td td td td td
10,78 td td td td td
6,20 td td td td td
td
td
td
td
td
td
Octacosane 28 0,52 Keterangan : P1 (Kontrol) P2 (DOR 0,5:1) P3 (DOR 1:1) P4 (P. aeruginosa IPBCC.b11662) P5 ((DOR 0,5:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662) P6 (DOR 1:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662) Td (tidak terdeksi) DOR (Dispersant to Oil Ratio)
37
Berdasarkan data yang diperoleh, pada awal perlakuan senyawa hidrokarbon yang memiliki kemiripan ≥90 diketahui lebih banyak hidrokarbon alifatik dibandingkan hidrokarbon siklik dan aromatik. Oleh karena itu perubahan senyawa hidrokarbon difokuskan pada senyawa alifatik. Beberapa senyawa yang terdeteksi di awal proses bioremediasi tidak terdekteksi lagi setelah 6 minggu proses bioremediasi. Pada data kromatogram dapat dilihat penurunan kelimpahan atau abundance. Kromatogram GCMS pada akhir proses bioremediasi memperlihatkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang hilang dengan berkurangnya peak yang dihasilkan. Hal ini dapat dikarenakan senyawa tersebut terdegradasi menjadi senyawa yang memiliki rantai karbon lebih pendek atau menjadi senyawa yang lebih sederhana. Namun ada pula senyawa yang menunjukan kenaikan persen area. Hal tersebut dikarenakan banyaknya senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam minyak bumi. Akan tetapi, sebagian besar senyawa berkurang kadarnya pada akhir pengukuran yang dikuatkan pula dengan data total petroleum hidrokarbon (TPH). Tabel 7 menunjukkan kelimpahan senyawa hidrokarbon pada awal dan akhir proses bioremediasi. Berdasarkan data kromatogram GCMS dapat dilihat perubahan senyawa hidrokarbon. Pada awal proses teridentifikasi 31 senyawa hidrokarbon yang terdiri C-10 sampai C-28. 24 senyawa diantaranya adalah hidrokarbon alifatik. Perlakuan P1 menghasilkan senyawa hidrokarbon yang didominasi kelompok aromatik dan alisiklik. Hal ini duduga mikrob yang berada pada tanah hanya aktif mendegradasi senyawa alifatik. Selama proses bioremediasi menyisakan hidrokarbon kelompok alifatik dan alisiklik dengan terdistribusi rantai C-11 sampai C-22. Sebagai contoh pentadecane (C-15) memiliki persen area tertinggi sebesar 6,51 di awal perlakuan, di akhir perlakuan senyawa ini pun memiliki persen area tertinggi sebesar 3,79. Pada akhir proses bioremediasi P1 dan P5 memiliki 10 senyawa yang sama yang terdeteksi di awal. Sementara P2, P4 dan P6 memiliki 10 senyawa yang mengalami perubahan peak. Perlakuan P3 menyisakan senyawa yang paling sedikit di antara perlakuan lainnya, yakni sebanyak 6 senyawa. Sebagai contoh senyawa 2,6,10-trimethylpentadecane adalah senyawa yang memiliki gugus C terpanjang dengan atom C-18. Senyawa alifatik terpanjang yang ditemukan pada akhir perlakuan P1, P2, P5 dan P6 adalah Docosane dengan atom C sebanyak 22. Sementara senyawa siklik yang masih terdeteksi di akhir perlakuan adalah cadalene di perlakuan P1, P4, P5, dan P6. Senyawa yang hilang pada akhir perlakuan dapat dikatakan sebagai hidrokarbon yang paling mudah didegradasi oleh bakteri. Senyawa hidrokarbon yang masih ada pada akhir perlakuan dapat dikatakan sebagai hidrokarbon yang paling sulit didegradasi oleh bakteri. Gambar 26 menunjukkan kromatogram P2 di akhir perlakuan. Pada proses biodegradasi rantai alkana terjadi insersi molekul oksigen ke dalam struktur pada gugus metil terminal maupun subterminal yang membentuk alkohol, aldehid dan asam lemak. Kemudian pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson 1995). Rantai panjang dari asam lemak dikonversi oleh acyl coenzyme A membentuk asetil-CoA dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus
38 karbonnya sebagai CO2 melalui siklus tricarboxylic acid (TCA) secara berulangulang (Atlas dan Bartha 1998).
Gambar 26 Kromatogram GCMS pada perlakuan DOR (Dispersant to Oil Ratio) sebesar 0,5:1
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Komposisi OSD yang terbaik yang digunakan untuk aplikasi bioremediasi adalah campuran surfakan DEA 1,5% dan SMES 0,9% dengan perbandingan 7:3. Produk OSD terpilih menunjukkan stabilitas yang baik dengan karakteristik yang baik meliputi densitas sebesar 0,996 g/cm3,tegangan permukaan 23,57 dyne/cm, tegangan antar muka 0,20 dyne/cm, pH 9,59, viskositas sebesar 1,17cP, dan rerata ukuran droplet sebesar 1,55 µm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja OSD dengan rasio penambahan OSD dengan cemaran minyak (DOR) sebesar 0,5:1 memiliki persentasi degradasi TPH terbaik, yaitu sebesar 91,1%. Proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi dengan menggunakan OSD dan bakteri P. aeruginosa IPBCC.b11662 maupun kombinasi keduanya memberikan pengaruh nyata pada awal proses bioremediasi. Perlakuan tersebut menghasilkan kadar TPH yang sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 128 tahun 2003 yaitu kadar TPH ≤1%. Penambahan OSD mampu membantu proses degradasi minyak bumi yang ditunjukkan dengan perubahan struktur minyak bumi yang memiliki rantai karbon panjang menjadi lebih pendek.
39 Saran Pengujian penerapan OSD dari minyak sawit ini telah memberikan hasil yang baik, sehingga dapat dikembangkan pada skala pilot, sebelum diterapkan pada skala lapangan. Dosis (OSD : minyak) yang dicobakan adalah 0,5:1 dan 1:1, sehingga perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut dosis optimum (minimum) yang dapat mempercepat proses bioremediasi pada tanah maupun pada perairan yang tercemar minyak bumi
DAFTAR PUSTAKA Arifuddin. 2016. Perbaikan proses bioremediasi tanah terkontaminasi minyak bumi pada teknik biopile dengan penambahan pasir [tesis]. Bogor (ID): IPB. Atlas RM. 1981. Microbial degradation of petroleum hydrocarbons: an environmental perspective. Microbiol Rev. 45(1):180-209. Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications 4th edition. Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. Bartha R, Bossert I. 1984. The treatment and disposal of petroleum wastes. Di dalam: Atlas RM, editor. Petroleum Microbiology. New York: Macmillan Publishing Co. 553-577. Bossert ID dan GC Compeau. 1995. Cleanup of petroleum hydrocarbon contamination in soil. Dalam LY Young dan CE Cerniglia. Microbial Transformation and Degradation of Toxic Organic Chemicals. New York: Wiley-Liss. hal 77-125. Bragg JR, Prince RC, Wilkinson JB, Atlas RM. 1993. Bioremediation for Shoreline Clean Up Following the 1989 Alaskan Oil Spill. Washington: Office of Research and Development, UESPA. Brahmana SS, Moelyo M. 2003. Penelitian bioremediasi sumber air tercemar bahan berbahaya dan beracun. JLP.17:7 Charlena. 2010. Bioremediasi tanah tercemar limbah minyak Berat menggunakan konsorsium bakteri [disertasi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Charlena, Mas’ud ZA, Syahreza A. Purwadayu AS. 2009. Solubility profile of petroleum waste in water as effect of nonionic surfactant and stirring rate. J Chem Prog. 2(2):69-78. Charlena, A. Haris, Karwati. 2009. Degradasi Hidrokarbon pada Tanah Tercemar Minyak Bumi dengan Isolat A10 dan D8. Di dalam : Prosiding Seminar Naional Sains II; 14 November 2009; Bogor (ID) : Biosains. Christofi N dan IB Ivshina. 2002. A review: microbial surfactants and their use in field studies of soil remediation. J Appl Microbiol. 93: 915-929. Desai JD, Banat IM. 1997. Microbial production of surfactants and their commercial potensial. Microbiol and Molecul Biol Rev. 47-64. Doerffer JW. 1992. Oil Spill Response in the Marine Environment. Pergamon Press, Tokyo (JP). Dwidjoseputro D. 2005. Dasar-dasar mikrobiologi. Penerbit Djambatan. Jakarta.
40 Elfiyani R, Yati K, Nurhayati S, Lestari NM. 2013. Perbandingan pengunaan setil alkohol dan setostearil alkohol sebagai thickening agent terhadap stabilitas fisik scalp lotion ekstrak etanol 96% buah mengkudu (Morinda citrifolia. L). Farmasains. 2(1):31-37. Elvina W. 2015. Formulasi oil spill dispersant (OSD) dengan bahan baku surfaktan metil ester sulfonat (MES) dan dietanolamida (DEA) [tesis]. Bogor (ID): IPB. Eris FR. 2006. Pengembangan teknik bioremediasi dengan slurry bioreaktor untuk tanah tercemar minyak diesel [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fingas M, Science S, Edmonton A.2008. A Review of literature related to Oil Spill Dispersant especially relevant to Alaska. PWSRCAC. 955.08.03. Fiocco RJ, Lewis A. 1999. Oil spill dispersants UK. Pure Appl Chem 71(1):27–42. Fletcher. 1992. Biodegradation of polyphenols with immobilized Candida tropicalis under metabolic induction. FEMS Microbiology Letters. 223: 215-219 Global Energy Statistical Yearbook 2015. 2015. Energy data. http://yearbook.enerdata.net/ [diunduh 2015 Oktober 21] Gogoi BK, Dutta NN, Goswami P, Mohani TRK. 2002. Studi kasus bioremediasi pada tumpahan minyak-hidrokarbon yang mencemari suatu lokasi tumpahan minyak mentah. Regional Research Laboratory. Bangalore India. Hadioetomo RS. 1995. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta: Gramedia. Hambali E, Rivai M, Rahmini, Nisya FN, Siregar NC. 2014. Perbaikan proses produksi surfaktan nonionik DEA dari sawit untuk meningkatkan efektifitas insektisida dalam pengendalian wereng coklat pada padi. Bogor (ID): IPB Press. Harayama SK. 1995. Biodegradation of Crude Oil. Program and Abstracts in the First Asia-Pasific Marine Biotechnology Conference. Shimizu, Shizuoka, Japan Herdiyantoro D. 2005. Biodegradasi hidrokarbon minyak bumi oleh Bacillus sp. galur ICBB 7859 dan ICBB 7865 dari ekosistem air hitam Kalimantan tengah dengan penambahan surfaktan [tesis]. Bogor (ID): IPB. Hedlund BP, Staley JT. 2001. Vibrio cyclotrophicus sp. nov., a polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH)-degrading marine bacterium. Internat J System and Evolut Microbiol. 51: 61–66 Hyde S T. 2001. Identification of lyotropicliquid crystalline mesophases. In K. Holmberg (Ed.), Handbook of applied surface and colloid chemistry (2) : 299– 331.USA:Wiley. Irawathi, Tuti. 2005.Bioremediasi tanah terkontaminasi minyak bumi dengan menggunakan Bacillus popilliae ICBB 7859 di PT. Caltex Pacific Indonesia. IPB [tesis]. Bogor (ID): IPB. Kadarwati S,Udiharto M, Legowo H, Bagio E, Rahman M, Jasifi E. 1994. Aktivitas bakteri dalam transformasi substansi di lingkungan situs hidrokarbon. Lembaran Publikasi Lemigas. 2:28-38. Leahy JG, Colwell R. 1990. Microbial degradation of hydrocarbons in the environments. Microbiol Rev. 54 (3) : 305-315. Manalu RT. 2013. Aplikasi bakteri lokal indonesia dalam bioremediasi tanah terkontaminasi minyak berat, minyak ringan dan limbah oli bekas [tesis]. Bogor (ID): IPB. Margesin R, Schinner F. 2001. Biodegradation and bioremediation of hydrocarbons in extreme environments. Appl Microbiol Biotechnol. 56: 650–663.
41 Murniasih T, Yopi, Budiawan. 2009. Biodegradasi fenantren oleh bakteri laut Pseudomonas sp KalP3b22 asal kumai kalimantan tengah. Makara Sains.13(1): 77-80. Mukherjee AK, Das K. 2005. Correlation between diverse cyclic lipopeptides production and regulation of growth and substrate utilization by Bacillus subtilisstrains in a particular habitat. FEMS Microbiol Ecol. 54: 479–489. Mulyono M. 1989. Hidrokarbon di lingkungan perairan. Jakarta (ID): PPPTMGB Lemigas. Nugroho A. 2006. Biodegradasi sludge minyak bumi dalam skala mikrokosmos: simulasi sederhana sebagai kajian awal bioremediasi land treatment. Makara. 10(2): 82-89. Noegroho H. 1999. Pengaruh aerasi pada bioproses limbah kilang minyak. Lembaran Publikasi Lemigas. 2:20-24. Place B, Anderson B, Mekebri A, Furlong ET, Gray JL, Tjeerdema R, Field J. 2010. A Role for Analytical Chemistry in Advancing our Understanding of the Occurrence, Fate, and Effect of Corexit Oil Dispersant. Environ Sci Tech. 44: 6016-6018. Pokethitiyook P, Sungpetch A, Upatham S, Kruatrachue MM. 2002. Enhancement of Acinetobacter calcoaceticus in biodegradation of tapis crude oil. Di dalam : Proceeding of 17th World Congress of Soil Science, Bangkok, 2309-1-9. Raymundo A, Gouveia L, Batista AP, Empis J, Sousa I. 2005. Fat mimetic capacity of Chlorella vulgaris biomass in oil-in-water food emulsion stabilized by pea protein. J Food Res Int.38: 961-965. Retno T, Mulyana N. 2013. Bioremediasi lahan tercemar limbah lumpur minyak menggunakan campuran bulking agents yang diperkaya konsorsia mikrob berbasis kompos iradiasi. Scientif J Appl Isotop Radiat. 9(2):139–150. Riskuwa-Shehu ML, Ijah UJ. 2016. Enhanced Removal of Crude Oil in Soil by Mixed Culture of Bacillus Megaterium UL05 and Pseudomonas Aeruginosa UL07. Internat J Environm Bioremediat dan Biodegrad. 4(1): 8-12 Rivai M. 2011. Produksi dan formulasi surfaktan berbasis metil ester sulfonat dari olein sawit untuk aplikasi enhanced oil recovery [disertasi]. Bogor (ID): IPB. Rockne KJ, Reddy KR. 2003.Bioremediation of contaminated sites. International e-Conference on Modern Trend In Foundation Engineering: Geotechnical Challenges and Solutions. Madras: Indian Institut of Technology Ron EZ, Rosenberg E. 2001. Natural roles of biosurfactants. Environ Microbiol. 3, 229–236. Samanta, SK, B Bhushan, RK Jain. 2001. Efficiency of naphthalene and salicylate degradation by a recombinant Pseudomonas putida mutant strain defective in glucose metabolism. Appl Microbiol Biotechnol 55: 627–631. Santosa DA. 1995. Bioteknologi Penambangan Minyak Bumi. Laboratorium Biologi Tanah Jurusan Tanah Faperta IPB. Schramm LL. 2000. Surfactants: fundamentals and application in the petroleum industry. Cambridge (GB): Cambridge University Pr. Sharpley JM. 1996. Elementary Petroleum Microbiology. Gulf Publishing Company. Texas Song D, Liang S, Qianqian Z, Wang J. Limey Y. 2013. Development of high efficient and low toxic oil spill dispersants based on sorbitol derivants non ionic surfactants and glycolipid biosurfactants. J Environ Protect. 4:16-22.
42 Styani E. 2008 Bioremediasi tanah terkontaminasi minyak bumi menggunakan bakteri Bacillus sp dan Pseudomonas sp. Bogor: Warta akab. 19. Tang M, Suendo V. 2011. Pengaruh Penambahan Pelarut Organik Terhadap Tegangan Permukaan Larutan Sabun. Di dalam : Prosiding Simposium Nasional Inovasi Pembelajaran dan Sains 2011. Tardos TF. 2005.Applied surfactants principles and applications. Weinheim; Wiley-VCH. Tiehm A, Stieber M. 2001. Treatment of Contaminated Soil. Springer Berlin Heidelberg. 299-323. Thomassin-Lacroix, EJM. 2000. Fate and effects of hydrocarbon-degrading bacterial used to inoculate soil for on-site bioremediation in the Arctic [tesis]. Canada (US) : Royal Military College of Canada. Trindade PVO. 2002. Evaluation of techniques for bioaugmentation and biostimulation treatment of hydrocarbon contaminated soil from oil [tesis]. do Rio de Janeiro (Brazil) : Universidade Federal do Rio de Janeiro. Udiharto M, Rahayu SA, Haris A, Zulkifliani. 1995. Peran Bakteri dalam Degradasi Minyak dan Pemanfaatannya dalam Penanggulangan Minyak Buangan. Di dalam : Prosiding Diskusi Ilmiah VIII PPPTMGB Lemigas; Jakarta, 13-14 Juni 1995. 235-239. Udiharto M. 1996. Bioremediasi minyak bumi. Di dalam: Prosiding Pelatihan dan Lokakarya: Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan ; Cibinong, 24-28 Jun 1996. Cibinong: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 24-39. Volkering F, Breure AM, Andel JG, Rulkens WH. 1995. Influence of nonionic surfactants on bioavailability and biodegradation of policyclic aromatic hydrocarbons. Appl Environm Microbiol. 61(5):1699-1705. Vidali, M. 2001. Bioremediation. An overview. Pure Appl Chem. 73( 7): 1163– 1172. Wang H, De-Shan L.2003. CMC of Nonyphenol Polyoxyehylene Ethers in Oil Phases and Problems Concerned, Chem J Chinese Universities, 24(6):11261130. Yang SZ, Jin HJ, Wei Z, He RX ,Ji YJ, Li XM, Yu SP. 2009. Bioremediation of Oil Spills in Cold Environments: A Review. Pedosphere. 19(3): 371–381. Zhang Z, Ganzuo L, Patel R, Friberg S E, Aikens PA. 1998. Formation kinetics and stability of surfactant vesicles. J Surfact Deterg. 1(13), 393–398. Zheng Z, Obbard JP. 2001. Effect of Nonionic Surfactant on Biodegradation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAHs) in Soil by Phanerochaete chrysosporum. J Chem Technol Biotechnol. 76: 423-429. Zhu X, AD Venosa, MT Suidan, K Lee. 2001. Guidelines For The Bioremediation of Marine Shorelines and Freshwater Wetlands. U.S. Environmental Protection Agency. Cincinnati
43 Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan dan OSD a. Pengukuran densitas menggunakan Density Meter DMA 4500M Densitymeter DMA 4500M dinyalakan. Sebelum dipakai, sel pengukuran harus dipastikan dalam kondisi kering dan bersih. Suhu pengukuran diatur pada 70oC dan dilakukan kalibrasi. Sampel yang hendak diuji diinjeksikan ke dalam sel pengukuran dan dibiarkan selama beberapa saat hingga suhu 70oC tercapai. Setelah suhu tersebut tercapai, pengukuran dilakukan. Pembacaan dilakukan setelahh alat menunjukkan nilai dan keterangan yang stabil dan valid. b. Pengukuran tegangan permukaan menggunakan Spinning Drop Tensiometer Larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung sampel hingga hampir penuh namun diberi sedikit ruang untuk udara didalamnya kemudian tabung ditutup dan dimasukkan ke dalam alat Spinning Drop Tensiometer. Kemudian suhu dan kecepatan rotasi alat diset. Nilai Tegangan permukaan sampel diperoleh dari nilai diameter gelembung udara didalam tabung yang kemudian dikonversikan menjadi tegangan permukaan secara otomatis oleh alat. c. Uji IFT (SBRC, 2012) Pengukuran tegangan antarmuka minyak-air dilakukan dengan menggunakan Spinning Drop Interfacial Tensiometer. Uji ini dilakukan dengan memasukkan sampel formula sebanyak 0,3 mikron ke dalam tube. Tube tersebut kemudian dimasukkan ke dalam alat yang kecepatan putarnya disetting 6000 rpm pada suhu 95 0C, lalu diukur lebar droplet yang terbentuk. Nilai tegangan antarmuka dapat dihitung juga dengan menggunakan rumus berikut. Y = ¼ �2D3∆p, dengan syarat : (L/D ≥ 4)
Keterangan :
Y = nilai tegangan antarmuka (dyne/cm) � = kecepatan angular (s-1)
D = radius droplet pada axis (cm) ∆p = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (g.cm3) d. Penentuan Viskositas Menggunakan Rheometer Brookfield DV-III Ultra Pertama spindle yang tersedia dipasang ke viscometer dan kemudian diturunkan perlahan sehingga spindle masuk ke dalam sampel. Volume sampel yang digunakan jangan terlalu banyak atau berlebihan karena sangat menentukan system kalibrasi. Untuk memperoleh sampel yang mewakili, ketinggian cairan diatur segaris dengan batang spindlepada garis kira-kira 3,2 mm di atas bagian atas spindleyang meruncing dan kabel pengukur suhu pada alat dipasangkan. Rhometer kemudian dijalankan dengan kecepatan 6 rpm dan kemudian baca nilai viskositas setiap 2 detik selama 1 menit. Nilai viskositas akan terbaca secara otomatis oleh alat. Data hasil pembacaan di-export ke dalam format .xlsx dan beberapa data pertama dari hasil pembacaan dibuang karena dianggap kondisi putaran spindle belum stabil. Pengambilan data dimulai dari nilai
44 yang mulai terbaca stabil. Ubah data viskositas, torque, shear rate, dan shear stress menjadi dua angka desimal dan temperatur menjadi satu angka desimal. Setelah itu rata-ratakan data dari semua nilai pengukuran. Lampiran 2 Prosedur analisis uji kinerja bioremediasi a. Analisis komponen minyak bumi Penentuan perubahan senyawa hidrokarbon selama proses degradasi menggunakan mikrorganisme dilakukan pada awal dan akhir proses bioremediasi menggunakan GC-MS AGILENT 5973. Analisis GC-MS bertujuan untuk mengetahui komposisi dan jenis senyawa hidrokarbon sebelum dan sesudah proses bioremediasi. Hidrokarbon poliaromatik dan n-alkana dapat diukur dengan menggunakan kromatografi gas (GC) (Chung dan King 2001). Metode yang digunakan, yaitu metode uji standar EPA 8270, dengan kondisi operasi suhu oven awal 50oC, suhu oven akhir 325oC, volume injeksi 4 μl, tekanan kolom 3.99 psi, dan laju alir eluen 0.7 ml/menit. b. Pengukuran tegangan permukaan menggunakan Spinning Drop Tensiometer Sampel tanah sebanyak 10 gram dilarutkan dalam air destilat sebanyak 25 ml. Kemudian larutan dikocok dengan magnetic stirrer selama 30 menit. Larutan didimasukkan ke dalam tabung sampel hingga hampir penuh namun diberi sedikit ruang untuk udara didalamnya kemudian tabung ditutup dan dimasukkan ke dalam alat Spinning Drop Tensiometer. Kemudian suhu dan kecepatan rotasi alat diset. Nilai Tegangan permukaan sampel diperoleh dari nilai diameter gelembung udara didalam tabung yang kemudian dikonversikan menjadi tegangan permukaan secara otomatis oleh alat. Lampiran 3 Data perubahan suhu (oC) masing-masing perlakuan selama 6 minggu Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6
0 26,25a 26,08a 26,25a 26,25a 26,17a 26,58a
1
Minggu ke2 3
4
5
6
25,33a 25,1a 25,22a 24,2a 24,98a 26,33a 25,07a 25,15a 25,28ab 24,63bc 24,85a 26,32a 25,17a 24,92a 25,48b 24,67bc 24,85a 26,03a 25,1a 25,1a 25,3ab 24,55b 24,97a 25,83a 25,17a 25a 25,12a 24,75c 24,88a 26,03a 25,17a 25,03a 25,33ab 24,72c 24,9a 26,37a
Keterangan : Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%
45 Lampiran 4 Data pengukuran kadar air (%) masing-masing perlakuan selama 6 minggu Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6
0
1
2
Minggu Ke3
20,00a 16,15a 19,55ab 19,35ab 20,57ab 22,70b
17,63a 20,84a 18,03a 21,03a 20,22a 19,99a
22,51a 21,36a 22,72a 17,84a 19,84a 19,57a
19,26a 20,01a 18,31a 19,34a 19,83a 20,60a
4
5
6
24,64b 25,64b 23,61ab 22,12ab 22,95ab 21,04a
22,90a 24,81a 22,42a 20,91a 22,76a 22,13a
19,16ab 21,35b 17,57a 20,13ab 19,42ab 19,24ab
Keterangan : Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%
Lampiran 5 Data pengukuran pH masing-masing perlakuan Perlakuan P1 (Kontrol) P2 (DOR 0,5:1) P3 (DOR 1:1) P4 (P. aeruginosa IPBCC.b11662) P5 ((DOR 0,5:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662) P6 (DOR 1:1 + P. aeruginosa IPBCC.b11662)
Minggu Ke2 3 4
0
1
5
6
8.28 8.30 8.28
8.50 9.11 9.12
8.89 8.70 8.70
8.59 8.33 8.28
8.37 7.78 7.47
7.80 6.62 7.37
7.66 6.50 6.87
8.33
9.06
8.72
8.16
7.69
6.57
6.61
8.35
9.11
8.57
8.21
7.61
6.85
6.42
8.23
9.01
8.33
8.12
7.43
7.11
6.78
Keterangan : Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%
Lampiran 6 Data pengukuran populasi bakteri Log TPC (SPK/g) masing-masing perlakuan Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6
0 9,55a 1,31a 4,56a 1,93a 1,91a 9,15a
1
Minggu Ke2 3
4
5
3,85a 0,27a 4,44a 57,47a 154a 8,72a 11,2b 16,03a 94,67a 196,67a 4,78a 9,3b 95,3a 224,5a 257,83a 61,87a 6,75ab 66,1a 142,33a 174,33a 64,8a 10,17b 58,1a 89a 1035a 32,03a 12,53b 110a 763,5b 339,67a
6 131,2a 422,83a 787,67a 236,33a 673,5a 546,33a
Keterangan : Setiap data dikali dengan 100,000, Untuk kolom yang sama, angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf nyata 5%
46
Lampiran 7 Data analisis degradasi TPH masing-masing perlakuan
Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6
0 5,37 4,55 5,11 4,30 4,97 5,15
Minggu Ke2 4 4,56 2,63 0,71 0,46 2,04 0,74 1,38 0,79 1,20 0,96 1,64 0,89
6 1,74 0,41 0,47 0,72 0,50 0,64
47
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 26 November 1991 sebagai putri keempat dari pasangan Bapak Bambang Imam M,Hum dan Ibu Eneng Sinarti S,pd. Pendidikan sarjana ditempuh di Program studi bioteknologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Al Azhar Indonesia, Penulis lulus sebagai wisudawan terbaik lingkup fakultas pada tahun 2012. Setelah 2 tahun berkarir di salah satu perusahaan asing yang bergerak di bidang kultur jaringan, pada tahun 2014 Penulis melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Institut Pertanian Bogor, Selama perkuliahan penulis juga aktif di kegiatan kepemudaan baik di dalam maupun luar kampus, seperti Forum WACANA (Mahasiswa Pascasarjana) IPB dan Forum Indonesia Muda. Penulis juga mempublikasikan sebagian penelitiannya dalam “The 2nd international conference on food agriculture and natural resources 2016” di Universitas Brawijaya, Malang.