Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak dan Pengaruhnya Dalam Pembangunan Nasional (Efforts to Stimulate the Legal Awareness of Society to Pay Taxes and Its Impact to National Development) Oleh Sofyan Jafar1
Abstract The use of tax efficiently by the government is a good instrument to increase national economy. For that, the government constantly maximize state income from taxation through several ways, such as tax reform, by creating the law concerning national taxes, giving trust to the society in paying taxes, socialitation, tax service and controlling, so the government could get trust from society. Tax is a financial source to pay states expensein order to bring social welfare. It also gives contribution to national development. This shows that tax could be proceed if only it gives benefit to society. Keywords: Society,Tax, National Development
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Menurut kodrat alam, manusia di mana-mana dan pada zaman apapun juga selalu hidup bersama, hidup berkelompok-kelompok,2 dengan perkataan lain manusia tidak pernah lepas dari interaksi antara satu dengan yang lainnya dan termasuk dengan lingkungannya. Interaksi ini biasanya melahirkan suatu norma yang disepakati dan dipatuhi secara bersama untuk mengatur dan menjamin keharmonisan hidupnya. Dengan demikian, manusia dalam bersosialisasi di lingkungannya tidak boleh 1
2
96
Sofyan Jafar, S.H., M.H. adalah Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Ketujuh (Dilengkapi), Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 29.
Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak… (Sofyan Jafar) melakukan perbuatan semaunya sendiri, tetapi harus menjunjung tinggi nilai dan kepentingan bersama agar harmonisasi hidup dapat terealisasi. Jadi, pada hakekatnya dalam kehidupan manusia selalu terikat pada aturan-aturan yang membatasi ruang gerak langkahnya demi suatu kebutuhan dan kepentingan bersama, seperti kebutuhan akan rumah peribadatan, keamanan, sekolah, kebersihan lingkungan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Aturan-aturan tersebut biasanya tertuang dalam norma hukum yang mengatur falsafah hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menciptakan kemakmuran yang berasaskan keadilan sosial. Adapun untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan bersama sebagai tujuan luhur tersebut adalah melalui pembangunan, dan untuk melakukan pembangunan tersebut negara tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Dalam penyelenggaraan pembangunan diperlukan dukungan dana agar pembangunan berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Untuk ini, upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak sangatlah penting, karena dana yang dihimpun berasal dari masyarakat ataupun pemerintah. Dana tersebut dikumpulkan dari segenap potensi sumber daya alam yang dimiliki suatu negara, baik berupa hasil kekayaan alam maupun iuran dari masyarakat. Salah satu bentuk iuran dari masyarakat adalah pajak, karena pajak merupakan sumber penerimaan negara yang berperan sebagai penopang jalannya pembangunan. Dalam hal ini masyarakat mempunyai andil yang cukup besar dalam pengisian kas negara, sebab tanpa adanya peran serta dari masyarakat maka sektor pajak tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai salah satu sumber dana pemerintah. Sehubungan dengan itu, peran serta aktif masyarakat sebagai warga negara sangat dibutuhkan untuk memberikan iuran kepada negaranya dalam bentuk pajak sehingga segala keperluan pembangunan dapat dibiayai. Jadi, timbulnya pungutan pajak merupakan suatu hal yang logis dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, sebagaimana tertuang dalam pasal 23, ayat 2, Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi ”pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara. Untuk itu pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan pemasukan kas negara melalui sektor ini. Langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah antara lain dengan intensifikasi pemungutan pajak yaitu pajak yang diarahkan sebagai upaya meningkatkan 97
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
penerimaan dari sumber pajak yang telah ada, dan ekstensifikasi pemungutan pajak yaitu upaya meningkatkan penerimaan pajak dengan jalan memperluas basis pajak itu sendiri. Cara-cara seperti ini dapat berhasil apabila didukung oleh administrasi pajak yang baik dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kewajibannya untuk membayar pajak. Walaupun penerimaan pajak dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, namun di sisi lain terdapat petunjuk bahwa potensi perpajakan nasional belum tergali secara maksimal. Hal ini antara lain disebabkan persepsi masyarakat sejak dulu bahwa pajak dipandang sebagai pengabdian masyarakat dalam pembangunan, serta pajak juga dipersepsikan sebagai alat penjajah dan sumber korupsi.3 Hal ini tidak terlepas oleh trauma masa lalu, yaitu pada zaman penjajahan, di mana anggapan masyarakat umum mengenai pajak hanya dijadikan sapi perahan oleh penguasa atas masyarakat. Sebaliknya, mereka tidak menyadari bahwa kontribusi pembayaran pajak yang dihimpun oleh pemerintah adalah untuk kepentingan bersama melalui pelayanan umum seperti membiayai pendidikan, memperbaiki fasilitas kesehatan, fasilitas keamanan, dan banyak lagi hal lainnya yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. 2.
Rumusan Masalah
Penggunaan pajak yang tepat yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakatnya merupakan suatu alat/sarana yang ampuh untuk mengatur perekonomian negara. Sebagaimana fungsinya, pajak selain untuk membiayai pengeluaran rutin pemerintah, tetapi juga untuk membiayai pembangunan. Ini menyiratkan bahwa pajak pada hakikatnya hanya dibenarkan pemungutannya apabila bermanfaat bagi masyarakat. Jika pajak-pajak hanya digunakan untuk segolongan kecil dari masyarakat atau untuk kepentingan penguasa, maka pemungutan pajak tidak dapat dibenarkan.4 Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan potensi penerimaan dalam negeri seoptimal mungkin melalui perluasan sumber penerimaan negera yang salah satu sumber yang cukup dominan adalah berasal dari penerimaan pajak. Langkah yang ditempuh pemerintah dalam rangka penerimaan negara dari pajak ini antara lain 3
4
98
Radius Prawiro, Prospek dan Faktor Penentu Reformasi Perpajakan, PT. Bina Rena Parawira, Jakarta, 1990, hlm. 35. Sumyar, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2004, hlm. 17.
Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak… (Sofyan Jafar) dengan memberlakukan undang-undang perpajakan yang baru yang dikenal istilah reformasi di bidang perpajakan (tax reform). Kebijakan reformasi perpajakan ini secara umum dilakukan untuk mengantisipasi perubahan ekonomi yang bergerak secara dimanis, yang juga merupakan implementasi dari munculnya semangat baru dalam kebijaksanaan fiskal. Namun pada kenyataannya, persepsi masyarakat yang menganggap pajak sebagai momok yang menakutkan dan cenderung menghindar untuk berurusan dengan pajak, serta faktor ketidakjujuran wajib pajak itu sendiri dalam melaporkan kewajiban perpajakannya, nyaris menjadi penghambat bagi pemerintah dalam memungut pajak. Selain itu upaya yang dilakukan fiskus demi pemasukan pajak yang lebih besar terkadang menciptakan kesan terlalu mengada-ada dan tidak mengindahkan peraturan yang ada. Akibat langsung yang dirasakan oleh masyarakat khususnya dunia usaha sebagai wajib pajak dari kondisi seperti ini adalah terjeratnya mereka dalam kebingungan yang tiada henti. Wajib pajak harus mengalokasikan dana yang tidak sedikit untuk membayar utang pajaknya, yang berarti secara tidak langsung keadaan ini berakibat pada membengkaknya biaya perusahaan, yang pada akhirnya membuat perusahaan kalah bersaing, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa perusahaan terancam kelangsungan hidupnya. Di samping itu, produk peraturan di bawah undangundang yang beberapa kali dibuat atau diubah memberikan kesan hanya untuk kepentingan sepihak, serta kepercayaan kepada pemerintah dalam pengelolaan pajak yang masih relatif rendah, yang tidak jarang pada sebagian kalangan masyarakat masih mempertanyakan apakah pajak yang telah disetorkan sudah sampai ke kas negara dan sejauhmana optimalisasi pemanfaatannya dalam pembangunan untuk kepentingan umum. Oleh sebab itu maka dalam tulisan ini penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambatnya? 2. Bagaimanakah upaya pemerintah menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak? 3. Sejauhmanakah pengaruh pajak dalam tujuannya untuk pembangunan nasional? B.
PEMBAHASAN
1.
Perkembangan dan Pengertian Pajak
Secara historisnya, pajak sudah mulai dikenal sejak adanya kelompok manusia yang disebut masyarakat. Adanya kepentingan bersama dalam masyarakat yang 99
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
membutuhkan biaya untuk menyelenggarakan kepentingan bersama tersebut tentunya juga mau tidak mau harus dipikul oleh warga masyarakat itu sendiri, yaitu dengan memberikan in natura (sebagian dalam bentuk tenaga, waktu, ternak, sebagian hasil panen dan lain-lain). Pemberian in natura dalam masyarakat yang masih sederhana tersebut dapat dianggap sebagai pajak dalam arti yang paling sederhana,5 yang berfungsi untuk menyelenggarakan kepentingan bersama para warga masyarakat. Masyarakat yang sederhana ini makin lama semakin berkembang dan persoalan-persoalan yang dihadapi juga semakin kompleks, sehingga memerlukan organisasi yang akhirnya dalam bentuk yang sekarang disebut organisasi negara. Negara sebagai suatu organisasi dalam rangka penyelenggaraan negara, tentu saja membutuhkan banyak uang (dana) untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran bagi penyelenggaraan kepentingan umum, sehingga di dalam masyarakat modern dalam bentuk organisasi negara,6 pemberian dalam bentuk in natura sudah tidak sesuai lagi dan digantikan dalam bentuk uang, yaitu dengan cara pemberian sejumlah uang. Pemberian sejumlah uang tersebut di dalam masyarakat modern berfungsi sebagai pembayaran pajak. Jadi, jika ditinjau dari segi historisnya, pajak merupakan pungutan sejumlah uang. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pajak harus pula memiliki unsur-unsur yang antara lain adalah adanya masyarakat, adanya undangundang, adanya pemungut pajak, adanya subyek dan obyek pajak, dan adanya surat ketetapan pajak. Menurut Soeparman Soemahamidjaja7 pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum. Pendapat lainnya adalah menurut Prof. P.J.A. Adriani8 pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
5 6 7
8
I b I d.., hlm. 18. I b I d.., hlm. 19. Soeparman Soemahamidjaja, Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong, Disertasi pada Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964, hlm. 46. Sebagaimana dikutip dalam R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Ketiga, Eresco, Bandung, 1986, hlm. 2.
100
Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak… (Sofyan Jafar) pengeluaran-pengeluaran umum menyelenggarakan pemerintahan.
berhubung
dengan
tugas
negara
untuk
Selain dua pendapat di atas masih terdapat beberapa pengertian mengenai pajak menurut pendapat para ahli yang pada intinya dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran wajib kepada negara oleh wajib pajak yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum. Jika ditinjau dari segi hukumnya, sebagaimana menurut Prof. Rochmat Soemitro9, pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undangundang (tatbestand) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas) negara yang dapat dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat (pendorong-penghambat) untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan. Titik beratnya di sini ada pada perikatan yang timbul karena undang-undang. Sedangkan jika ditinjau dari segi ekonominya, pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat (pendorong, penghambat atau pencegah) untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara. Defenisi tersebut lebih bercorak ekonomis karena adanya peralihan kekayaan dan guna dalam masyarakat. Adanya istilah “tidak mendapatkan prestasi kembali” dari negara harus diartikan sebagai prestasi khusus yang didapat secara individual yang erat hubungannya dengan pembayaran iuran itu, karena prestasi dari negara yang secara umum diberikan, seperti hak untuk menggunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari fihak polisi dan tentara, pelayanan kesehatan masyarakat dan lain sebagainya, juga diperoleh oleh para pembayar pajak, termasuk orang yang tidak membayar pajakpun dapat menikmati prestasi yang diberikan oleh negara tersebut. 2.
Pengaturan Hukum Pajak
Pemerintah telah mengadakan perubahan dan pembaharuan di bidang perpajakan (tax reform). Hal ini karena pemerintah menganggap bahwa peraturan 9
Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Eresco, Bandung, 1977, hlm. 23. 101
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
perpajakan yang berlaku sampai tanggal 1 Januari 1983 tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, tidak sesuai lagi dengan struktur dan organisasi pemerintahan, tidak berdasarkan Pancasila, dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan ekonomi, yang selama ini berlaku di Indonesia.10 Sejak diadakannya tax reform yaitu dengan diberlakukannya peraturan perpajakan yang baru atau kemudian dikenal dengan lahirnya undang-undang pajak nasional, dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya lagi peraturan perpajakan yang lama. Lahirnya undang-undang pajak nasional ini merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan hingga sekarang, sehingga kelahirannya memiliki arti sejarah bagi bangsa dan negara.11 Terdapat perbedaan dalam pengaturan hukum pajak, yakni sebelum diadakan tax reform dan setelah diadakan tax reform, yaitu: 1) Sebelum tax reform (sebelum tahun 1983) Di dalam ordonansi perpajakan yang lama (ordonansi pajak Hindia Belanda) atau sebelum diadakannya tax reform, pengaturan hukum pajak formil dan hukum pajak materil dijadikan satu atau diatur dalam satu undang-undang yang sama, yaitu di dalam peraturan perundang-undangan yang lama ketentuan hukum pajak formalnya adalah tercantum di dalam masing-masing jenis undangundang pajak yang bersangkutan, misalnya Pajak Pendapatan (PPd), di situ dimuat baik ketentuan materil dan ketentuan formilnya, yakni memuat subjek, objek, tarif pajak dan sekaligus memuat pula tentang tata cara perpajakannya. 2) Setelah tax reform (sejak 1 Januari 1983) Setelah diadakan tax reform, yaitu di dalam peraturan perpajakan yang baru, pengaturan hukum pajak formilnya dipisahkan dengan hukum pajak materil. Hukum pajak formil diatur dalam satu undang-undang tersendiri yang dapat menampung beberapa ketentuan materil perpajakan. Peraturan perpajakan setelah tax reform tersebut adalah: a. UU No. 6 Tahun 1983 yang telah diubah untuk ke dua kalinya, dan terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
10 11
Sumyar, Op. Cit., hlm. 6-7. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Kelima, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 5.
102
Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak… (Sofyan Jafar) b. UU No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah untuk ke tiga kalinya, dan terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). c. UU No. 8 Tahun 1983 yang telah diubah untuk ke dua kalinya, dan terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah (PPn). d. UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). e. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Aturan Bea Materai Baru. Setelah tax reform, ketentuan hukum formil mengenai tata cara pemungutannya diatur tersendiri yaitu dalam UU No. 6 Tahun 1983 yang telah diubah untuk ke dua kalinya, dan terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sedangkan undang-undang yang mengatur tentang perpajakan lainnya di atas memuat ketentuan hukum materilnya saja, yaitu mengenai subjek, objek dan besarnya pajak. Undang-undang pajak nasional memiliki prinsip-prinsip tersendiri,12 yang terdiri dari tiga prinsip, pertama bahwa pemungutan pajak berdasarkan undang-undang pajak nasional merupakan perwujudan dan pengabdian dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung melaksanakan kewajiban perpajakan yang sangat diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan; kedua tanggung jawab pelaksanaan pajak berada pada anggota wajib pajak sendiri. Pemerintah hanya memberikan pembinaan, penelitian dan pelaksanaan kewajiban perpajakan tersebut. Oleh karena itu undang-undang ini sebagai suatu undang-undang di bidang perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945 berbeda dengan undang-undang pajak yang lama. Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap wajib pajak, di mana dalam undang-undang pajak yang baru wajib pajak tidak dianggap sebagai objek, tetapi merupakan subjek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan sadar memenuhi kewajiban kenegaraan. Di segi lain tuntutan masyarakat terhadap adanya “aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih” dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dan undang-undang perpajakan ini; ketiga wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang berutang, sehingga dengan cara ini kejujuran dari wajib pajak sangat diperlukan dalam rangka pemungutan pajak. 12
Sebagaimana tertuang dalam penjelasan UU No. 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. 103
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Berdasarkan ketiga prinsip di atas maka wajib pajak diwajibkan menghitung, membayar serta melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan, sehingga penentuan penerapan besarnya pajak yang terutang berada pada wajib pajak sendiri.13 Selain itu wajib pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang seharusnya terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan oleh peraturan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokrasi dapat dihilangkan. Administrasi perpajakan menurut undang-undang perpajakan yang baru hanya berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian, pengawasan dan penerapan sanksi administrasi. Pembinaan masyarakat wajib pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya/usaha, antara lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa maupun penerangan langsung kepada masyarakat. 3. Fungsi Pemungutan Pajak Sebagaimana telah diketahui bahwa ada dua fungsi pemungutan pajak, yaitu fungsi budgetair dan fungsi nonbudgetair atau regulerend. Terdapat perbedaan pendapat antar para sarjana mengenai hal ini, yakni pendapat sarjana yang mengatakan bahwa pajak haruslah ditujukan pada usaha untuk semata-mata menutup biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk menunaikan tugasnya,14 oleh karena itu mereka berpendapat bahwa pengenaan pajak harus diatur senetralnetralnya dan tidak boleh diarahkan untuk tujuan-tujuan lain dari padanya. Banyak sarjana yang menentang pendapat tersebut seperti di atas, mereka yang menentang berpendapat bahwa fungsi pajak disamping untuk mengisi kas negara, pajak mempunyai fungsi yang lainnya yang tidak kalau pentingnya yaitu fungsi mengatur, sebagai usaha pemerintah untuk turut campur dalam segala lapangan atau bidang guna menyelenggarakan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh pemerintah yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur banyak ditujukan kepada sektor swasta. Dewasa ini fungsi mengatur mempunyai peranan yang sangat penting sebagai alat kebijaksanaan pemerintah (fiscal policy) dalam menyelenggarakan politiknya dalam segala bidang. Bahkan dalam negara modern fungsi mengatur justru menjadi 13 14
Bohari, Op. Cit., hlm. 8. I b I d.., hlm. 133.
104
Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak… (Sofyan Jafar) tujuan politik dari pajak. Dalam fungsi mengatur inilah terletak suatu lapangan yang luas bagi perpajakan, baik dalam bidang ekonomi, maupun dalam bidang sosial dan budaya.15 1) Fungsi budgetair Salah satu faktor terlaksananya pembangunan dalam suatu negara adalah tersedianya keuangan yang cukup pada kas negara, dan sudah dimakfuni bahwa penerimaan terbesar dalam keuangan negara adalah bersumber dari pajak. Pajak juga memegang peranan dalam keuangan negara lewat tabungan pemerintah untuk disalurkan ke sektor pembangunan. Tabungan pemerintah ini diperoleh dari surplus, penerimaan rutin/biasa setelah dikurangi dengan pengeluaran rutin/biasa. Penerimaan rutin seperti penerimaan dari sektor pajak, retribusi, bea dan cukai, hasil perusahaan negara, denda dan sita.16 Penerimaan rutin/biasa adalah untuk membiayai pengeluaran rutin/biasa dari pemerintah, seperti gaji pegawai, pembelian alat tulis, ongkos pemeliharaan gedung pemerintah, bunga dan angsuran pembayaran utang-utang kepada negara lain, tunjangan sosial dan lain sebagainya. Fungsi budgetair ini letaknya di sektor publik, dan pajak-pajak di sini merupakan suatu alat (suatu sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. 2) Fungsi regulerend Dengan fungsi mengaturnya, pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu baik dalam bidang ekonomi, moneter sosial, kultural, maupun dalam bidang politik, yang letaknya di luar bidang keuangan dan biasanya fungsi mengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor swasta. Dalam fungsi mengatur ini adakalanya pemungutan pajak dengan tarif yang tinggi atau sama sekali dengan tarif nol persen. Bentuk konkritnya sebagai contoh dapat kita lihat dalam pengenaan tarif yang tinggi bagi produk luar negeri yang diimpor ke Indonesia sebagai upaya pemerintah untuk menjaga produk dan industri dalam negeri dan menghindarinya agar tidak sampai mati/gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan hasil produk dan industri luar negeri. Contoh lainnya adalah kebijakan pemeritah dalam merangsang penanam modal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan memberikan 15 16
I b I d.., hlm. 134. I b I d.. 105
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
pembebasan pajak atau tax holiday untuk masa tertentu bagi para investor tersebut, dan masih banyak contoh lainnya dalam fungsi mengatur ini. Dari uraian di atas, dalam hal pemungutan pajak setidaknya harus harus dilihat dari berbagai sudut, antara lain keuangan, ekonomi, sosial, serta tata usaha (teknik pemajakan), yang merupakan satu kesatuan dan harus memenuhi syarat-syarat keadilan untuk mencapai kesejahteraan (kemakmuran) umum. Hal ini tidak terlepas terhadap perkembangannya di dalam negara modern, bahwa fungsi pajak ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum. 4. Faktor-Faktor Penghambat dalam Pemungutan Pajak Pemerintah terus berupaya untuk mengoptimalkan penerimaan dalam negeri melalui perluasan sumber penerimaan negara non migas untuk menggantikan pendanaan negara yang bersumber dari utang luar negeri, yang tentunya sumber penerimaan dalam negeri yang cukup dominan tersebut adalah berasal dari penerimaan pajak. Selaku fiskus pajak, pemerintah juga telah merencanakan dan menggodok undang-undang perpajakan atas dasar dan prinsip perpajakan yang seadil-adilnya, yang memiliki nilai dan manfaat, baik bagi masyarakat maupun bagi negara itu sendiri. Dalam melaksanakan tugasnya selaku perancang dan pembuat undang-undang perpajakan, pemerintah harus membuat peraturan itu sedemikian rupa sehingga mudah dimengerti dan dapat ditafsirkan secara jelas, karena jika suatu produk peraturan yang dibuat sulit dimengerti oleh masyarakat, maka akan timbul suatu bentuk perlawanan pajak, yang cara, bentuk, dan dalihnya bisa bermacammacam. Dalam rangka menyukseskan pemungutan pajak tersebut, diperlukan berbagai upaya terutama dari segi fungsinya sebagai pengisi kas negara, yang antara lain perlu untuk menumbuhkan atau meningkatkan kesadaran wajib pajak yang untuk mencapainya pemerintah tentunya harus berupaya sedapat mungkin menciptakan iklim perpajakan yang sehat yang dapat menghilangkan hambatan-hambatan psikologis yang masih melekat pada diri wajib pajak dewasa ini. Iklim yang sehat berarti masyarakat masyarakat wajib pajak mau dan sadar akan kewajibannya untuk membayar pajak. Dengan melihat dasar historis perpajakan baik sewaktu masa penjajahan maupun sekarang, tidak bisa kita pungkiri bahwa masyarakat wajib pajak masih kurang menyenangi soal pajak, entah karena tidak mengerti atau karena pengalaman pahit yang pernah dialami sewaktu berhadapan dengan aparat pajak. Persepsi negatif masyarakat mengenai pajak sejak dulu hingga sekarang ini tidak terlepas oleh trauma masa lalu, yaitu pada zaman penjajahan, dimana pajak hanya 106
Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak… (Sofyan Jafar) dijadikan sapi perahan oleh penguasa penjajah atas masyarakat, dan juga pandangan kebanyakan orang yang menilai pajak dari sisi aparatnya adalah sebagai “hantu yang ditakuti”, sehingga banyak wajib pajak yang cenderung enggan untuk berurusan dengan mereka. Di sisi lain fiskus tidak percaya apakah wajib pajak telah dengan jujur menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya. Jadi, di sini terjadi distrust, yaitu rasa saling tidak percaya antara wajib pajak sebagai pembayar pajak dan fiskus, yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi pajak, serta muncul dugaan adanya indikasi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) antara aparat pajak dengan wajib pajak. Selain itu produk peraturan di bawah undang-undang yang beberapa kali dibuat atau diubah telah memberikan kesan bahwa pajak hanya untuk kepentingan sepihak saja. Akibatnya masyarakat, khususnya dunia usaha sebagai wajib pajak dari kondisi seperti ini menjadi kebingungan. Dampaknya adalah wajib pajak harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membayar utang pajaknya, yang berarti secara tidak langsung berakibat pada membengkaknya biaya perusahaan, yang pada akhirnya membuat perusahaan kalah bersaing, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa perusahaan terancam kelangsungan hidupnya. Untuk itu perlu diciptakan sistem yang dapat menghasilkan suatu pengertian yang baik antara masyarakat sebagai pembayar pajak/wajib pajak dan pemerintah selaku pembuat peraturan dan undang-undang perpajakan. Sebaliknya, kurangnya kesadaran masyarakat bahwa kontribusi pembayaran pajak yang dihimpun oleh pemerintah adalah untuk kepentingan bersama yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, seperti ketidakjujuran wajib pajak dalam melaporkan kewajiban perpajakannya, nyaris menjadi penghambat bagi pemerintah dalam memungut pajak. Hal ini setidaknya sebagaimana laporan Riset Transparansi Internasional Indonesia terhadap 900 pengusaha yang menyimpulkan bahwa kebocoran pajak mencapai 60% di tahun 2005. Ini merupakan angka yang cukup fantastis, yang dalam hitungan matematis telah merugikan negara yang tidak sedikit dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi serta pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan wajib pajak merasakan suatu ketidak adilan karena mereka kurang merasakan manfaat yang mereka peroleh dari negara, misalnya rasa keamanaan penduduk yang kurang, terbatasnya sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan lain sebagainya, sehingga mereka enggan untuk membayar pajak.
107
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Berdasarkan beberapa faktor di atas maka perlu diciptakan suatu trust yang baik kepada pemerintah tentang pajak itu sendiri secara menyeluruh. Artinya apakah pajak yang telah disetorkan harus benar-benar masuk ke kas negara dan pemanfaatannya dalam pembangunan untuk kepentingan umum harus diupayakan seoptimal mungkin, sehingga hasil-hasil dari pajak yang dipungut pemerintah kepada masyarakat sebagai wajib pajak dapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat wajib pajak diibaratkan sebagai pembeli dan perlu dilayani sebaik mungkin, dibantu dan diberi informasi, seperti memberi tahu untuk apa dan manfaat apa yang diperoleh dari pajak-pajak yang mereka bayar, supaya mereka sadar akan kewajibannya. Pemerintah juga harus mampu mengubah paradigma berfikir dari pemungutan pajak sebagai suatu pungutan yang sifatnya dapat dipaksakan, menjadi suatu pungutan yang menyenangkan hari masyarakat wajib pajak yang berarti juga mengajak masyarakat berperan aktif dalam pembangunan melalui pajak yang mereka bayar. 5. Upaya Pemerintah untuk Meningkatkan Pemasukan Kas Negara di Sektor Pajak Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa pemerintah terus berupaya untuk mengoptimal pemasukan kas negara di sektor pajak ini. Upaya tersebut antara lain adalah dengan mengadakanpembaharuan di bidang perpajakan (tax reform), yaitu dengan diberlakukannya peraturan perpajakan yang baru atau kemudian dikenal dengan lahirnya undang-undang pajak nasional, dan sekaligus menyatakan tidak berlakunya lagi peraturan perpajakan yang lama. Hasil dari tax reform ini memang telah memberikan dampak yang positif, hal ini setidaknya dengan adanya peningkatan penerimaan pajak dari tahun ke tahun, seperti grafik di bawah ini:17
Grafik 1
17
Sumber grafik: http://www.kanwilpajakwpbesar.go.id/?task=static&PID=75, tanggal 11 April 2012.
108
diakses
Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak… (Sofyan Jafar) Sebelum dilakukannya tax reform pelaksanaan kewajiban perpajakan sangat tergantung pada aktifitas aparat perpajakan. Berbagai jenis pajak yang ada menimbulkan ketidakjelasan bagi masyarakat dalam memenuhi kewajibannya. Di samping itu terdapat pula tarif pajak baik untuk perseorangan maupun badan beraneka ragam yang terhutang.18 Walaupun struktur tarif dalam sistem lama sudah cukup progresif, tetapi tingginya tarif menimbulkan kecenderungan pada masyarakat untuk menghindari pajak melalui berbagai cara. Selain itu tatacara pemungutan pajakpun dinilai terlalu berbelit-belit dan sangat menyulitkan. Kebijakan reformasi perpajakan yang secara umum dilakukan untuk mengantisipasi perubahan ekonomi yang bergerak secara dimanis, yang juga merupakan implementasi dari munculnya semangat baru dalam kebijaksanaan fiskal. Pembaruan undang-undang perpajakan setelah tax reform ini mempunyai ciri utama yaitu prosedur pemungutan pajak dimudahkan dengan memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada anggota masyarakat atau wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya yang dikenal dengan sistem self assessment.19 Berdasarkan sistem ini wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri dan melaporkan jumlah pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar administrasi perpajakan dapat dilakukan dengan rapi, sederhana dan mudah untuk difahami oleh masyarakat wajib pajak. Tujuan utama tax reform antara lain:20 1) Meningkatkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan mengerahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri; 2) Menciptakan kesederhanaan dalam sistem pemungutan pajak, sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat dan mudah dilaksanakan baik oleh aparatur perpajakan maupun oleh masyarakat; 3) Kewajiban dalam pemungutan pajak; 4) Dapat dicapainya suasana pemungutan pajak yang adil sesuai wajib pajak dan merata meliputi seluruh wajib pajak, serta merangsang timbulnya rasa tanggung jawab bernegara melalui partisipasi secara sukarela. 18
19 20
Mar’ie Muhammad, Pajak, Manfaat dan Permasalahannya, dalam B. Wiwoho, dkk, (editor), Zakat dan Pajak, Cetakan Ketiga, PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1992, hlm. 39. I b I d.. I b I d.., hlm. 40. 109
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
5) Dapat menopang kebijaksanaan pemerintah dalam meningkatkan perkembangan ekonomi dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional. Untuk itu pemerintah juga diharapkan dapat memberikan pengertian kepada masyarakat, memberikan bimbingan dan penyuluhan, serta menerbitkan buku-buku, peraturan, prosedur, perhitungan pajak, dan informasi lainnya tentang perpajakan. Dalam hal program bimbingan dan penyuluhan sering timbul kendala sedikitnya aparat yang dapat melakukan/menanganinya. Hal ini sering dimanfaatkan oleh para usahawan untuk menyelenggarakan berbagai seminar perpajakan dengan mengundang pakar di bidang ini. Akan tetapi, sangat disayangkan biasanya produk seminar semacam ini sangat mahal sehingga tidak dapat dijangkau oleh kalangan tertentu. Selain itu pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat pembayar pajak sebagai wajib pajak merupakan pihak-pihak yang terkait langsung dalam sistem perpajakan. Jalinan kedua belah pihak ini harus harmonis di dalam pelaksanaan pemungutan pajak yang optimal. Pemerintah mempunyai fungsi penting dalam sistem perpajakan, yaitu sebagai pemrakarsa terjalinnya hubungan antara masyarakat wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak dalam pemungutan pajak. Bentuk jalinan hubungan antara Direktorat Jenderal Pajak dan masyarakat wajib pajak telah diatur dalam undang-undang perpajakan agar tiap-tiap pihak mempunyai interpretasi yang sama mengenai sistem perpajakan yang sedang dijalankan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Ciri-ciri umum jalinan dalam sistem perpajakan adalah tersebut yaitu adanya peralihan kekayaan dari pihak masyarakat kepada kas negara, tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, digunakan untuk kepentingan umum, dan tentunya diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu tuntutan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan yang makin mampu dan bersih dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dan undangundang perpajakan ini harus mampu diwujudkan, karena undang-undang perpajakan nasional ini sebagaimana halnya dari defenisi dan tujuan hukum (goal of law)21 itu sendiri yaitu untuk mengatur aktifitas masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, maka pemerintah perlu untuk memberikan penyuluhan, pelayanan dan pemeriksaan pajak.
21
Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Cetakan Kedua (edisi revisi), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 5.
110
Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak… (Sofyan Jafar) 6. Pengaruh Pajak dalam Tujuannya untuk Pembangunan Nasional Di negara manapun, untuk memenuhi pendapatan negara, upaya yang dilakukan ialah melakukan pemungutan pajak, karena sektor pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara.22 Dari sudut pandang ekonomi, pajak adalah salah satu penerimaan negara yang paling potensial. Bahkan, saat ini sektor pajak memberikan kontribusi yang terbesar dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Penerimaan dari sektor pajak ini merupakan penerimaan dalam negeri dan penerimaan sektor lainnya yang selanjutnya digunakan oleh negara untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana kepentingan umum bagi masyarakat. Untuk tujuan ini tentunya pemerintah terus mengupayakan agar pemasukan kas negara ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat, dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.23 Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya pajak bagi negara karena pajak merupakan sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran negara/pemerintah yang disebut sebagai fungsi budgeteir. Seperti diuraikan di atas bahwa pajak merupakan kontribusi masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam membangun negaranya, yaitu membangun sarana dan prasarana kepentingan umum bagi masyarakat itu sendiri. Dengan kontribusi ini masyarakat berhak untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Di pihak lain, tidak boleh dilupakan bahwa pajak memang merupakan bentuk tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di sinilah letak pentingnya pajak bagi masyarakat sebagai wajib pajak. C.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi faktor penghambat dalam pemungutan pajak selama ini di Indonesia adalah adanya anggapan negatif masyarakat wajib pajak, distrust antara wajib pajak sebagai pembayar pajak dan fiskus, muncul dugaan adanya indikasi KKN antara aparat pajak dengan wajib pajak, serta produk peraturan di bawah undang-undang yang beberapa kali dibuat atau diubah.
22 23
Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 12. Mar’ie Muhammad, dalam B. Wiwoho, dkk, (editor), Op. Cit., hlm. 43. 111
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Pemerintah senantiasa berupaya untuk memaksimalkan pemasukan di sektor pajak ini, antara lain dengan melakukan tax reform yakni dengan dikeluarkannya undang-undang perpajakan nasional, memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk aktif dalam perpajakan, memberikan penyuluhan, pelayanan dan pemeriksaan pajak, serta sebagai pemrakarsa terjalinnya hubungan baik dan kepercayaan (trust) antara masyarakat wajib pajak dan pemerintah. Pajak memiliki arti yang sangat penting bagi negara karena pajak merupakan sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran negara/pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum. DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Ade Maman Suherman, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Cetakan Kedua (edisi revisi), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Cetakan Kelima, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. B. Wiwoho, dkk, (editor), Zakat dan Pajak, Cetakan Ketiga, PT. Bina Rena Pariwara, Jakarta, 1992. C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan Ketujuh (Dilengkapi), Balai Pustaka, Jakarta, 1986. Radius Prawiro, Prospek dan Faktor Penentu Reformasi Perpajakan, PT. Bina Rena Parawira, Jakarta, 1990. Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, Eresco, Bandung, 1977. R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Ketiga, Eresco, Bandung, 1986. Sumyar, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Perpajakan, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2004.
Sumber Bacaan Lainnya Soeparman Soemahamidjaja, Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong, Disertasi pada Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964.
112
Upaya Menumbuhkan Kesadaran Hukum Masyarakat Membayar Pajak… (Sofyan Jafar) Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah (PPn). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Aturan Bea Materai baru.
113