ABSTRACT
Health centers are primary health centers, one of the closest units to the public . Medication management is a top priority in this aspect of pharmaceutical services for the improvement of public health efforts. The purpose of research is to see and observation drug compounding services and knowledge workers in health centers particular area of the city of Yogyakarta. This study is a descriptive survey study that aims to make a systematic deskripsive or picture. Checklist is used to find a picture about drug compounding services at health centers and questionnaires to determine the knowledge power of compounding drug. The study was conducted in six primary health centers Yogyakarta region . Data services include drug compounding facilities and infrastructure at health centers such as personnel, facilities, cleanliness, equipment, and documentation. Knowledge workers views of knowledge about weighing, equipment, preparations, additives, drug calculations and synonyms. Research data observation drug compounding services and the data were analyzed descriptively analyzed knowledge workers with scoring value. The results of knowledge workers in healh centers Yogyakarta region showed 78.34 % said that the level of knowledge of drug force six health centers in the city of Yogyakarta in either category. three power centers have pharmacists, pharmacist assistants and technicians. Compounding tables are generally not separated from other activities that are multifunctional. The tools used for grinding medicinal drug in the form of mortar and blender. Cleanliness that support drug compounding has not met a good drug manufacturing standards. All health centers do not have specific documentation for the drugs are formulated. It can be concluded that the compounding facilities and infrastructure in the clinic area of the city of Yogyakarta is still lacking despite the level of knowledge.
Keywords : health centers, drug compounding, knowledge, pharmacist .
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, meliputi kesehatan pribadi maupun keluarganya. Upaya pemerintah dalam pemberian hak atas kesehatan dan meningkatkan kesehatan telah dilakukan dengan cara menyediakan berbagai sarana kesehatan misalnya rumah sakit dan puskesmas baik di desa maupun kota. Selain dilaksanakan oleh pemerintah, program kesehatan dapat dilakukan oleh pihak swasta baik bersifat perseorangan maupun dalam bentuk yayasan berupa pendirian rumah sakit swasta, apotek dan toko obat. Kontribusi nyata apotek dalam rangka pemberian hak atas kesehatan dan meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia adalah berupa aktivitas penyediaan dan penyaluran perbekalan kesehatan. Perbekalan kesehatan disini yaitu berupa sediaan farmasi, alat kesehatan dan perbekalan lain serta pemberian informasi yang berkaitan dengan sediaan farmasi dan alat kesehatan juga dilakukan di apotek, baik itu berupa aturan pakai dan cara penggunaan suatu obat. Apotek berperan sebagai tempat pengabdian profesi apoteker atau farmasis. Melalui praktek profesi di apotek maka seorang apoteker dapat dinilai oleh masyarakat sejauh mana dia dapat memberikan yang terbaik. Apoteker dalam melakukan praktek profesi mempunyai tanggung jawab yang besar secara hukum maupun etik, untuk itu diperlukan pemahaman yang baik terhadap kode etik apoteker 1
Indonesia dan segenap peraturan perundangan yang berkaitan dengan apotek. Selain itu pengetahuan dan pemahaman akan asuhan kefarmasian yang telah ditetapkan juga menjadi syarat mutlak agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat merupakan pelayanan yang terbaik dan tepat sasaran. Menurut
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
(KepMenKes)
No
1027/MenKes/SK/IX/2004, apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat, sedangkan perbekalan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), alat kesehatan dan kosmetika. Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai farmasis (Anonim, 2004). Aspek pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengelolaan resep menjadi prioritas utama dalam aspek pelayanan kefarmasian (Anonim, 2004). Kemampuan memilih dan menggunakan obat yang baik merupakan standar yang penting sekali dalam profesi kefarmasian. Penggunaan obat yang tidak rasional menghasikan pengobatan yang tidak efektif, tidak aman, eksaserbasi penyakit, perpanjangan masa sakit, penderitaan bagi pasien, peningkatan biaya pengobatan, dan
merusak lingkungan, misalnya berkembangnya resistensi terhadap antibiotika (Mashuda, 2011). Pergeseran konsep yang sangat mendasar mengenai meracik obat merupakan peristiwa yang terjadi secara alamiah dan tidak dapat ditolak oleh profesional farmasis. Perkembangan tersebut dipicu oleh meningkatnya jumlah kebutuhan obat, perkembangan produksi massal, kemajuan teknologi, dan adanya inovasi dalam penemuan obat baru serta timbulnya berbagai penyakit baru. Perkembangan yang terjadi menyebabkan peran farmasis meracik obat telah diambil alih oleh pabrik. Pelayanan farmasi di apotek diharapkan tidak hanya menjual obat, tetapi lebih kepada menjamin tersedianya obat yang berkualitas dan disertai dengan informasi yang memadai (Mashuda, 2011). Banyak macam obat yang digunakan dalam pengobatan, namun tidak semua jenis obat berupa sediaan yang dapat langsung digunakan, ada beberapa yang harus diracik terlebih dahulu ataupun diubah bentuk sediaannya dikarenakan penyesuaian dosis, untuk dijadikan sediaan baru, dapat mempermudah penggunaannya ataupun disesuaikan dengan kondisi pasien agar penyembuhannya optimal. Puskesmas merupakan tempat pelayanan kesehatan utama salah satu unit terdekat dengan masyarakat, yang mudah untuk dijangkau dan dilakukan penanganan masalah kesehatan untuk masyarakat sekitarnya. Puskesmas dapat dievaluasi pelayanan kesehatannya dalam peracikan obat, sesuai dengan standar kesehatan yang ada dan tenaga peracik memiliki kemampuan potensial untuk menangani pasien, karena apabila terjadi kesalahan dalam peracikan obat dapat berakibat fatal.
Pelayanan obat yang tidak tepat atau medication error dapat terjadi dalam pelayanan kesehatan meliputi tahap penulisan resep, pembacaan resep, peracikan, penyerahan dan monitoring pasien. Setiap tahapan mempunyai potensi terjadi kesalahan dan tenaga kesehatan dalam mata rantai tersebut memberikan konstribusi terhadap kesalahan (Soedarsono, 2012 ). Pengetahuan dan ketrampilan tenaga peracik harus selalu dikembangkan agar tidak tertinggal dari ilmu pengetahuan yang terus berkembang, tenaga peracik harus dapat membantu pelayanan farmasi klinis yang berorientasi pada pasien, mengintegrasikan pelayanannya kepada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan harus bermutu tinggi. Kesalahan yang terjadi sering tidak hanya dari tenaga kesehatan, namun juga dipengaruhi kondisi ruang, pencahayaan, ketenagaan seperti jumlah dan pembagian shift kerja, sistem penyimpanan obat, serta sistem penerimaan resep dan penomoran resep (Soedarsono,2012). Penelitian dilakukan untuk melihat dan observasi pelayanan peracikan obat dan pengetahuan tenaga peracik dalam usaha pengevaluasian struktur pelayanan peracikan obat.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Seperti apakah struktur pelayanan peracikan obat di puskesmas wilayah kota Yogyakarta ? 2. Seperti apakah pengetahuan tenaga peracik obat di puskesmas wilayah kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran struktur pelayanan praktek peracikan yang dilakukan di puskesmas. 2. Mengetahui pengetahuan tenaga peracik dalam peracikan obat. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan adalah: 1. Memberikan gambaran tentang struktur pelayanan peracikan obat di pusat kesehatan masyarakat. 2. Memberikan data bagi pembuat kebijakan dan pendidik di perguruan tinggi dalam
mengevaluasi, dan memutuskan tentang peraturan peracikan obat serta
pelatihan yang perlu diberikan untuk tenaga kesehatan.
E. Tinjauan Pustaka 1. Puskesmas Puskesmas merupakan unit pelaksana tingkat pertama dan ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk menyelenggarakan upaya kesehatan di tingkat kecamatan. Visi puskesmas mewujudkan masyarakat sehat dan misi mendukung tercapainya pembangunan kesehatan nasional dapat dilihat keberhasilannya lewat 4 indikator, yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat, pelayanan kesehatan bermutu serta derajad kesehatan penduduk kecamatan (Trihono, 2005). Oleh karena itu, puskesmas harus menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang ditunjang oleh pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) yang bermutu sesuai dengan UU No 36 tahun 2009 pasal 54 ayat 1. Pelayanan kesehatan yang diberikan di puskesmas adalah pelayanan kesehatan yang meliputi pelayanan pengobatan (kuratif), upaya pencegahan (preventif),
peningkatan
kesehatan
(promotif),
dan
pemulihan
kesehatan
(rehabilitatif) yang ditujukan kepada semua penduduk dan tidak dibedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia. (Adrian, 2012). Pada tahun 2004, tercatat jumlah puskesmas induk untuk seluruh Indonesia sebanyak 7.237 unit, puskesmas pembantu sebanyak 21.267 unit, dan puskesmas keliling 6.392 unit dengan rasio sarana dan prasarana kesehatan terhadap jumlah penduduk di luar pulau Jawa lebih baik dibandingkan dengan di pulau Jawa
(Departemen Kesehatan RI, 2004). Pada tahun 2012, tercatat jumlah puskesmas di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebanyak 119 unit yang merupakan puskesmas induk (Departemen Kesehatan RI, 2012). Fungsi puskesmas sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya, membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat dan memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya (Trihono, 2005). Pengelolaan obat di puskesmas dapat dilakukan oleh seorang apoteker atau seorang asisten apoteker. Tugas pokoknya adalah mengelola obat-obatan yang ada di puskesmas, meliputi: perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, distribusi, penggunaan, pencatatan dan pelaporan (Trihono, 2005).
2. Obat a. Pengertian obat Obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi termasuk produk biologi (Purwanto, 2008). Obat merupakan komponen yang penting dalam upaya pelayanan kesehatan baik di Pusat Pelayanan Kesehatan primer maupun di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Keberadaan obat merupakan kondisi pokok yang harus terjaga ketersediaannya. Penyediaan obat sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan yaitu
menjamin tersedianya obat dengan mutu terjamin dan tersedia merata dan teratur sehingga mudah diperoleh pada tempat dan waktu yang tepat (Purwanto, 2008). b. Macam-macam sedian obat dan tujuan penggunaannya Bentuk - bentuk obat serta tujuan penggunaannya antara lain adalah sebagai berikut (Anief, 2005) : a.) Pulvis (Serbuk) Merupakan campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan, ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar. b.) Pulveres Merupakan serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih kurang sama, dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum. c.) Tablet (Compressi) Merupakan sediaan padat kompak dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler kedua permukaan rata atau cembung mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan. d.) Pilulae Merupakan bentuk sediaan padat bundar dan kecil mengandung bahan obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Saat ini sudah jarang ditemukan karena tergusur tablet dan kapsul. Masih banyak ditemukan pada seduhan jamu. e.) Kapsulae (Kapsul) Merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Keuntungan/tujuan sediaan kapsul yaitu: menutupi bau dan rasa
yang tidak enak, menghindari kontak langsung dengan udara dan sinar matahari, dapat untuk 2 sediaan yang tidak tercampur secara fisis (income fisis), dengan pemisahan antara lain menggunakan kapsul lain yang lebih kecil kemudian dimasukkan bersama serbuk lain ke dalam kapsul yang lebih besar dan mudah ditelan. f.) Solutiones (Larutan) Merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air, yang karena bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaannya, tidak dimasukkan dalam golongan produk lainnya. Dapat juga dikatakan sebagai sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang larut, misalnya terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Cara penggunaannya yaitu larutan oral (diminum) dan larutan topikal (kulit). g.) Suspensi Merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut terdispersi dalam fase cair. Macam suspensi antara lain: suspensi oral (juga termasuk susu/magma), suspensi topikal (penggunaan pada kulit), suspensi tetes telinga (telinga bagian luar), suspensi optalmik, suspensi sirup kering. h.) Emulsi Merupakan sediaan berupa campuran dari dua fase cairan dalam sistem dispersi, fase cairan yang satu terdispersi sangat halus dan merata dalam fase cairan lainnya, umumnya distabilkan oleh zat pengemulsi.
i.) Galenik Merupakan sediaan yang dibuat dari bahan baku yang berasal dari hewan atau tumbuhan yang disari. j.) Extractum Merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang ditetapkan. k.) Infusa Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan 0
air pada suhu 90 C selama 15 menit. l.) Immunosera (Imunoserum) Merupakan sediaan yang mengandung Imunoglobin khas yang diperoleh dari serum hewan dengan pemurnian. Berkhasiat menetralkan toksin kuman (bisa ular) dan mengikat kuman/virus/antigen. m.) Unguenta (Salep) Merupakan sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Dapat juga dikatakan sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obat harus larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok.
n.) Suppositoria Merupakan sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau uretra, umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. Tujuan pengobatan yaitu: 1) Penggunaan lokal; memudahkan defekasi serta mengobati gatal, iritasi, dan inflamasi karena hemoroid. 2) Penggunaan sistemik; aminofilin dan teofilin untuk asma, chlorprozamin untuk anti muntah, chloral hydrat untuk sedatif dan hipnotif, aspirin untuk analgenik antipiretik. o.) Guttae (Obat Tetes) Merupakan sediaan cairan berupa larutan, emulsi, atau suspensi, dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes beku yang disebutkan Farmakope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa antara lain: Guttae (obat dalam), Guttae Oris (tetes mulut), Guttae Auriculares (tetes telinga), Guttae Nasales (tetes hidung), Guttae Ophtalmicae (tetes mata). p.) Injectiones (Injeksi) Merupakan sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Tujuannya yaitu kerja obat cepat serta dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pengobatan melalui mulut.
c.
Cara pemberian obat serta tujuan penggunaannya Berbagai macam cara pemberian obat serta tujuan penggunaannya adalah
sebagai berikut (Anief, 2005) : a) Oral Obat yang cara penggunaannya masuk melalui mulut. Keuntungannya relatif aman, praktis, ekonomis. Kerugiannya timbul efek lambat; tidak bermanfaat untuk pasien yang sering muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif dan rasa tidak enak penggunaannya terbatas; obat yang inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus tidak bermanfaat (penisilin G, insulin); obat absorpsi tidak teratur. Untuk tujuan terapi serta efek sistematik yang dikehendaki, penggunaan oral adalah yang paling menyenangkan dan murah, serta umumnya paling aman. Hanya beberapa obat yang mengalami perusakan oleh cairan lambung atau usus. Pada keadaan pasien muntah-muntah, koma, atau dikehendaki onset yang cepat, penggunaan obat melalui oral tidak dapat dipakai. b) Sublingual Cara penggunaannya, obat ditaruh dibawah lidah. Tujuannya supaya efeknya lebih cepat karena pembuluh darah bawah lidah merupakan pusat sakit. Misal pada kasus pasien jantung. Keuntungan cara ini efek obat cepat serta kerusakan obat di saluran cerna dan metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak lewat vena porta).
c) Inhalasi Penggunaannya dengan cara disemprot (ke mulut). Misal obat asma. Keuntungannya yaitu absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar obat dapat dikontrol, terhindar dari efek lintas pertama, dapat diberikan langsung pada bronkus. Kerugiannya yaitu, diperlukan alat dan metoda khusus, sukar mengatur dosis, sering mengiritasi epitel paru – sekresi saluran nafas, toksisitas pada jantung. Dalam inhalasi, obat dalam keadaan gas atau uap yang akan diabsorpsi sangat cepat melalui alveoli paru-paru dan membran mukosa pada perjalanan pernafasan. d) Rektal Cara penggunaannya melalui dubur atau anus. Tujuannya mempercepat kerja obat serta sifatnya lokal dan sistemik. Obat oral sulit/tidak dapat dilakukan karena iritasi lambung, terurai di lambung, terjadi efek lintas pertama. Contoh, asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin, barbiturat. e) Pervaginam Bentuknya hampir sama dengan obat rektal, dimasukkan ke vagina, langsung ke pusat sasar. Misal untuk keputihan atau jamur. f) Parenteral Digunakan tanpa melalui mulut, atau dapat dikatakan obat dimasukkan ke dalam tubuh selain saluran cerna. Tujuannya tanpa melalui saluran pencernaan dan langsung ke pembuluh darah. Misal suntikan atau insulin. Efeknya biar langsung sampai sasaran. Keuntungannya yaitu dapat untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah, diare, yang sulit menelan/pasien yang tidak kooperatif; dapat untuk obat yang
mengiritasi lambung; dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati; bekerja cepat dan dosis ekonomis. Kelemahannya yaitu kurang aman, tidak disukai pasien, berbahaya (suntikan – infeksi). Istilah injeksi termasuk semua bentuk obat yang digunakan secara parenteral, termasuk infus. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi, atau emulsi.Apabila obatnya tidak stabil dalam cairan, maka dibuat dalam bentuk kering. Bila mau dipakai baru ditambah aqua steril untuk memperoleh larutan atau suspensi injeksi. g) Topikal/lokal Obat yang sifatnya lokal.Misal tetes mata, tetes telinga, salep. h) Suntikan Diberikan bila obat tidak diabsorpsi di saluran cerna serta dibutuhkan kerja cepat (Anief, 2005). d. Kerasionalan penggunaan obat Yang dimaksud dengan pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional adalah pengelolaan obat yang dilaksanakan secara efektif dan efisien yang pemanfaatan atau efikasi, keamanan (safety) dan mutu (quality) obat terjamin; serta penggunaan obat secara 4 Tepat 1 Waspada, artinya harus diberikan dengan indikasi yang tepat, untuk penderita yang tepat dengan jenis obat yang tepat dan diberikan dengan regimen dosis yang tepat serta senantiasa waspada terhadap kemungkinan terjadinya efek obat yang tidak diinginkan (Quick dkk, 1997). Kerasionalan obat merupakan faktor yang sangat penting dalam perencanaan kebutuhan obat. Penggunaan obat yang irasional (tidak rasional) dapat berpengaruh negatif terhadap
mutu
pelayanan,
dampak
ekonomi
dan
efek
samping
pengguna
obat.
Ketidakrasionalan penggunaan obat akan berefek perencanaan kebutuhan obat tidak efektif dan tidak efisien (Departemen Kesehatan RI, 1996). Pengelolaan obat merupakan serangkaian kegiatan yang menyangkut aspek perencanaan, pengadaan, pendistribusian dan penggunaan serta pelayanan obat dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia seperti tenaga, dana dan perangkat lunak (metode dan tatalaksana) dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan di berbagai tingkat unit kerja. Pengelolaan obat bertujuan untuk terlaksananya optimasi penggunaan obat melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi pengelolaan obat dan penggunaan obat secara tepat dan rasional (Departemen Kesehatan RI, 1994). Menurut hasil konferensi World Health Organization (WHO) di Nairobi 1985, yang dikemukakan oleh Thabrany Hasbullah, definisi penggunaan obat rasional adalah kebutuhan obat sesuai dengan kepentingan kedokteran dan klinik, sesuai dengan dosis individu, jangka waktu pemberian cukup, harga murah dan dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Menurut Departemen Kesehatan RI (1996), penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria antara lain : Sesuai dengan indikasi penyakit, tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau, diberikan dengan dosis yang tepat, cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat, lama pemberian tepat, obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin dan aman, dengan demikian secara garis besar, penggunaan obat dikatakan rasional bila memenuhi persyaratan
antara lain: ketepatan diagnosis, ketepatan indikasi pemakaian obat, ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis, cara dan lama pemberian, ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien, ketepatan pemberian informasi, dan ketepatan dalam tindak lanjut. e. Proses pengelolaan obat di puskesmas Hal yang masih menjadi masalah di bidang pelayanan kefarmasian, obat, sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah menyangkut ketersediaan, keamanan manfaat, serta mutu dengan jumlah dan jenis yang cukup serta terjangkau dan mudah diakses oleh masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2004). Tenaga peracik dalam memberikan atau melaksanakan pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada penerapan hasil pengobatan yang optimal bagi pasien maka diperlukan jaminan ketersediaan barang dan dana yang cukup sehingga pelayanan kepada pasien berjalan lancar. Kelancaran pelayanan kepada pasien di instalasi farmasi rumah sakit ditentukan oleh kelancaran komponen-komponen yang terlibat ataupun yang membawa pengaruh terhadap pelayanan tersebut, salah satunya adalah jaminan kelancaran persediaan obat. Hal tersebut berarti operasional pelayanan yang telah disusun harus dilakukan proses pengendalian persediaan obat yang tujuannya agar tidak terjadi gangguan dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Sistem pengendalian obat yang bertujuan untuk meningkatkan kelancaran pelayanan bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan, sering didapat masalah dalam sistem pengendalian persediaan obat yang mempengaruhi kelancaran pelayanan itu sendiri.
Menurut Handoko (2003) yang dimaksud persediaan adalah suatu istilah umum yang menunjukkan segala sesuatu sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasi terhadap pemenuhan permintaan akan sumber daya internal atau external. Persediaan memungkinkan organisasi dapat memenuhi permintaan langganan tanpa tergantung dari suplier. Proses pengelolaan obat terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap perencanaan, tahap pengadaan, tahap penyimpanan, tahap distribusi, dan tahap penggunaan (Quick dkk,1997). Pengadaan obat adalah salah satu aspek penting dan menentukan dalam pengelolaan obat. Tujuan pengadaan obat adalah tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada saat yang diperlukan. Pengelolaan obat adalah suatu urutan kegiatan yang mencakup perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dan pencatatan/pelaporan obat (Ditjen POM, 2000). a.) Perencanaan obat di kabupaten dilakukan oleh tim perencana obat terpadu kabupaten yang dibentuk dengan keputusan Bupati atau pejabat yang mewakilinya. Perencanaan obat dapat dihitung menggunakan metode konsumsi obat dan metode morbiditas (Ditjen POM, 2000). b.) Pengadaan obat dilakukan setelah tim perencanaan obat terpadu kabupaten melakukan penghitungan biaya kebutuhan obat dalam rupiah yang disesuaikan dengan dana yang tersedia. Salah satu hal yang penting dalam pengadaan obat
adalah kesesuaian jumlah dan jenis obat antara yang direncanakan dan yang diadakan, untuk mencegah kekurangan atau kelebihan obat (Ditjen POM, 2000). c.) Penyimpanan setiap obat dilengkapi dengan kartu stok untuk mencatat setiap mutasi obat. Obat yang disimpan harus sedemikian rupa sehingga memudahkan distribusi obat secara first in first out (FIFO), yaitu sisa stok tahun lalu digunakan lebih dahulu daripada pengadaan baru untuk mencegah terjadinya obat rusak atau obat kadaluwarsa (Ditjen POM, 2000). d.) Pendistribusian obat dari Gudang Farmasi Kabupaten (GFK) ke puskesmas dilakukan secara bijaksana agar obat yang tersedia di kabupaten/kotamadya dapat tersebar merata memenuhi kebutuhan puskesmas (Ditjen POM, 2000). e.) Pelaporan obat merupakan fungsi pengendalian dan evaluasi administratif obat mulai dari perencanaan, pengadaan, penyimpanan, sampai pendistribusian obat. Pencatatan perencanaan kebutuhan jumlah dan jenis obat digunakan untuk mengevaluasi kesesuaian dengan pengadaan obat. Pencatatan penggunaan total semua jenis obat pada pasien puskesmas, sisa stok obat, dan pola penyakit dapat digunakan untuk perencanaan kebutuhan obat tahun mendatang (Ditjen POM, 2000). 3. Apoteker Apoteker memiliki peran penting yang tidak tergantikan oleh tenaga kesehatan lain terkait manajemen obat dan perbekalan kesehatan. Salah satu contoh kegiatan manajemen yang dilakukan meliputi: perencanaan, permintaan obat ke
Gudang Farmasi Kabupaten (GFK), penerimaan obat, penyimpanan menggunakan kartu stok, pendistribusian dan pelaporan penggunaan. Mengacu pada definisi apoteker di KepMenKes No.1027 tahun 2004 maka untuk menjadi seorang apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan di perguruan tinggi farmasi baik di jenjang S-1 dilanjutkan ke jenjang pendidikan profesi. Apoteker/farmasis memiliki suatu perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom yaitu ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia) yang sekarang menjadi IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) (Hartini dan Sulasmono, 2006). Tenaga pengracik (apoteker dan asisten apoteker) melaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi : (1). Administrasi Umum Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pencatatan dan pelaporan terhadap pengelolaan psikotropika diatur dalam pasal 33 UU No.5 tahun 1997 yakni pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan atau lembaga pendidikan wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing
yang berhubungan dengan psikotropika. Laporan narkotika
disampaikan setiap bulan dan pencatatan narkotika menggunakan buku register narkotika (Hartini dan Sulasmono, 2006).
(2). Administrasi Pelayanan Pengarsipan resep, pengarsipan catatan, pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. Apoteker pengelola apotek mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus disimpan sekurang kurangnya selama tiga tahun, resep yang mengandung narkotik harus dipisahkan dari resep lainnya. PerMenKes No.922 tahun 1993 pasal 1 17 ayat 2 menyebutkan bahwa resep harus dirahasiakan dan disimpan dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun (Hartini dan Sulasmono, 2006). Pelayanan di apotek memiliki makna luas, bukan hanya pelayanan resep, dalam KepMenKes No. 1027 tahun 2004 yang dimaksud pelayanan adalah pelayanan resep, promosi dan edukasi dan pelayanan residensial (Hartini dan Sulasmono, 2006). 1). Pelayanan resep Resep adalah permintaan tertulis dari seorang dokter kepada apoteker untuk membuat dan atau menyerahkan obat kepada pasien (Anief, 2000). Pelayanan resep meliputi : a). Skrining resep Apoteker melakukan skrining resep meliputi : (1). Persyaratan administratif: (a). Nama, SIP dan alamat dokter. (b). Tanggal penulisan resep (c). Tanda tangan/ paraf dokter penulis resep (d). Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
(e). Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta (f). Cara pemakaian yang jelas (g). Informasi lainnya (2). Kesesuaian farmasetik (a). Bentuk sediaan (b). Dosis (c). Potensi (d). Stabilitas (e). Inkompatibilitas (f). Cara dan lama pemberian (3). Pertimbangan Klinis (a). Adanya alergi (b). Efek samping (c). Interaksi (d).Kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain) Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan (Hartini dan Sulasmono, 2006). b). Penyiapan Obat (1). Peracikan Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat
suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar (Anonim, 2004). (2). Etiket Etiket harus jelas dan dapat dibaca, obat yang diserahkan atas dasar resep harus dilengkapi dengan etiket berwarna putih untuk obat dalam dan warna biru untuk obat luar (Hartini dan Sulasmono, 2006). (3). Kemasan Obat yang Diserahkan Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya (Anonim, 2004). (4). Penyerahan Obat Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien (Anonim, 2004). (5). Informasi Obat Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurangkurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Anonim, 2004). Ruang lingkup kompetensi tersebut meliputi seluruh kegiatan pemberian informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan lain, masyarakat dan pihak-pihak lain yang membutuhkan untuk kepentingan upaya-upaya positif lain yang terkait secara aktif maupun pasif (Anonim, 2004).
(6). Konseling Peredaran obat-obat tanpa resep memungkinkan seseorang individu mencoba mengatasi masalah mediknya dengan cepat, ekonomis dan nyaman tanpa perlu mengujungi dokter. Penggunaan obat tanpa resep yang tidak tepat dapat mengakibatkan peningkatan biaya dan penyakit pasien menjadi lebih serius. Untuk melayani pasien dengan lebih baik, apoteker perlu memaksimalkan pelayanan pribadinya, dalam menghadapi pertanyaan dari pasien, seorang apoteker harus bisa menunjukan manfaat dari setiap petujuk yang diberikan terutama dalam menyeleksi dan memantau pengobatan dengan obat tanpa resep (Hartini dan Sulasmono, 2006). Menurut Kepmenkes No.1027 tahun 2004, apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, tubercolosis, asma dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. (7). Monitoring Penggunaan Obat Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, tubercolosis, asma dan penyakit kronis lainnya (Anonim, 2004). Tujuan yang diinginkan dari adanya monitoring penggunaan obat adalah :
(a). Tersedianya informasi efek samping akibat penggunaan obat (b). Mencegah, meminimalkan dan mengatasi timbulnya efek samping obat (Anonim, 2004). 2). Promosi dan edukasi Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan dan lain-lainya. 3). Pelayanan residensial (home care) Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).
4. Evaluasi Mutu Pelayanan Evaluasi mutu pelayanan merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian di apotek yang meliputi penilaian terhadap sumber daya manusia, pengelolaan perbekalan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, dan pelayanan kefarmasian kepada pasien (KepMenKes RI, 2004). Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan di apotek antara lain (KepMenKes RI, 2004):
a.) Tingkat kepuasan pasien: dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung. b.) Dimensi waktu, lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). c.) Prosedur tetap, untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Tujuan evaluasi mutu pelayanan adalah untuk mengevaluasi seluruh rangkaian kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek dan sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian selanjutnya. Untuk mengetahui mutu pelayanan kefarmasian, salah satu indikator yang mudah dilakukan adalah dengan mengukur kepuasan pasien dengan cara angket (KepMenKes RI, 2004).