REDUKSI COUPLING LEVEL ANTAR ELEMEN PADA ARRAY GPR DENGAN RESISTIVE LOADING Richard Martinus Halim 13204043/Teknik Telekomunikasi Pembimbing : Dr. Ir. Adit Kurniawan M.Eng Sekolah Teknik Elektro Informatika Institut Teknologi Bandung
KEYWORDS Array, Return Loss, Coupling Level, Standing Wave Ratio, Resistive Loading
ABSTRAKSI Aplikasi Ground Penetrating Radar (GPR) membutuhkan suatu antenna yang adaptif agar dapat beroperasi pada segala jenis tanah. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan sistem array adaptif. Ide utamanya adalah membuat susunan antenna yang banyak di mana karakteristik satu antenna merupakan karakteristik yang paling efektif untuk jenis tanah tertentu. Pada penggunaannya, antenna ini tidak dicatu semuanya, hanya salah satu saja. Masalah dari sistem array ini adalah perlunya reduksi coupling level antar elemen sampai dengan di bawah -30 dB. Coupling level antar elemen harus bernilai kurang dari -30 dB untuk menjamin scenario adaptasi berhasil. Tujuan dari penelitian ini adalah reduksi coupling level antar elemen dengan resistive loading dan penambahan jarak antar elemen. Antena akan dibuat berdasarkan rancangan yang terbaik dari kedua metode tadi. Tugas Akhir ini akan menjelaskan kelebihan yang dimiliki resistive loading dibandingkan dengan penambahan jarak antar elemen. Pembuktian dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi antara kedua metode. Kemudian dibandingkan juga hasil pengukuran dengan hasil simulasi. Hasil yang diharapkan adalah antenna yang diusulkan dapat memenuhi kriteria-kriteria untuk aplikasi GPR. Penelitian Tugas Akhir ini mengambil data dari dua proses. Proses pertama adalah simulasi software dengan Ansof t Ensemble 7 Student Version. Proses kedua adalah pengukuran secara langsung array microstrip dengan menggunakan Vector Network Analyzer (VNA). Hasil dari dua proses ini kemudian akan ditampilkan dalam grafik yang menunjukkan hubungan resistansi dengan coupling level antar elemen. Dari penelitian Tugas Akhir ini, dapat disimpulkan bahwa array GPR yang lebih kecil dapat dicapai dengan jarak antar elemen 18,5 mm dengan resistive loading. Tanpa resistive loading, dibutuhkan jarak antar elemen 41 mm untuk menurunkan coupling level antar elemen hingga 30 dB.
PENDAHULUAN Aplikasi Ground Penetrating Radar (GPR) membutuhkan suatu antenna yang adaptif agar dapat beroperasi pada segala jenis tanah. Kebutuhan ini dapat dipenuhi dengan sistem array adaptif. Ide utamanya adalah membuat susunan antenna yang banyak di mana karakteristik satu antenna merupakan karakteristik yang paling efektif untuk jenis tanah tertentu. Pada penggunaannya, antenna ini tidak dicatu semuanya, hanya salah satu saja. Masalah dari sistem array ini adalah perlunya reduksi coupling level antar elemen sampai dengan di bawah -30 dB. Coupling level antar elemen harus bernilai kurang dari -30 dB untuk menjamin scenario adaptasi berhasil. Tujuan dari penelitian ini adalah reduksi coupling level antar elemen dengan resistive loading dan penambahan jarak antar elemen. Selain parameter di atas, parameter lain yang juga harus diusahakan dalam perancangan ini adalah return loss kurang dari -10 dB dan SWR kurang dari 2. Dengan terpenuhinya semua parameter tadi, antena akan berfungsi dengan optimal sebagai antena ultrawideband GPR. DESAIN ANTENA GPR Pada Tugas Akhir ini digunakan desain antena sebagai berikut
Gambar 1Desain Antena
1
Model antena pada gambar 1 adalah array dua elemen dipol yang ujungnya ditekuk. Berbeda dengan rancangan antena yang dipakai di aplikasi nyata, array ini hanya terdiri dari dua elemen saja. Ini dilakukan setelah dilihat bahwa coupling level antara elemen-elemen yang tidak bertetangga secara langsung cukup kecil dibandingkan coupling level antar elemen yang bertetangga. Antena di atas dibuat pada sebuah microstrip yang bahan trace dan ground plane-nya terbuat dari tembaga dan dielektriknya terbuat dari epoxy atau FR4 dengan ketebalan 3,2 mm. Model ini akan dipakai pada proses simulasi dan juga pengukuran. Hasilnya kemudian akan dibandingkan dan dianalisis.
Gambar 3 Kurva SWR terhadap Jarak antar Elemen pada 200 MHz
HASIL SIMULASI Simulasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program Ansoft Ensemble 7 Student Version. Simulasi dilakukan pada frekuensi 100 MHz – 1 GHz dengan 91 titik pengamatan. Ini berarti hasil simulasi dilakukan secara incremental setiap 10 MHz. Simulasi dilakukan dengan menggunakan dua metode reduksi coupling level antar elemen,yaitu penambahan jarak antar elemen dan resistive loading. Penambahan jarak antar elemen dilakukan dengan inkremen sebesar 5 mm dari jarak antar elemen semula 18,5 mm. Resistive loading dilakukan dengan memasang beban setiap kelipatan 10 ohm hingga 150 ohm. Hasil-hasil simulasi disampling pada tiga frekuensi, yaitu frekuensi rendah (200 MHz), frekuensi menengah (500 MHz), dan frekuensi tinggi (800 MHz). Hasilnya dapat dilihat pada kurva-kurva di bawah.
Gambar 4 Kurva Scattering Parameter terhadap Jarak antar Elemen pada 500 MHz
Gambar 5 Kurva SWR terhadap Jarak antar Elemen pada 500 MHz
Gambar 2 Kurva Scattering Parameter terhadap Jarak antar Elemen pada 200 MHz
Gambar 6 Kurva Scattering Parameter terhadap Jarak antar Elemen pada 800 MHz
2
Gambar 7 Kurva SWR terhadap Jarak antar Elemen pada 800 MHz
Gambar 11 Kurva SWR terhadap Pembebanan pada 500 MHz
Gambar 8 Kurva Scattering Parameter terhadap Pembebanan pada 200 MHz
Gambar 12 Kurva Scattering Parameter terhadap Pembebanan pada 800 MHz
Gambar 9 Kurva SWR terhadap Pembebanan pada 200 MHz
Gambar 13 Kurva SWR terhadap Pembebanan pada 800 MHz
Dari gambar 2 dapat disimpulkan bahwa pada frekuensi rendah, 200 MHz, penambahan jarak antar elemen menyebabkan penurunan coupling level antar elemen. Semakin jauh jarak antar elemen coupling level antar elemen semakin mengecil. Pada frekuensi 200 MHz ini diperlukan jarak antar elemen lebih dari 20 mm untuk mencapai coupling level antar elemen di bawah-30 dB. Berbeda dengan coupling level antar elemen, return loss elemen 1 dan 2 tidak terpengaruh jarak Gambar 10 Kurva Scattering Parameter terhadap Pembebanan pada 500 MHz
3
cenderung sama dengan perilakunya pada frekuensi menengah. Pada frekuensi menengah diperlukan hambatan antara 60 – 98 ohm, dan pada frekuensi tinggi diperlukan hambatan antara 50 – 80 ohm , untuk mencapai coupling level antar elemen antar elemen di bawah -30 dB dan return loss kedua elemen di bawah -10 dB. Irisan dari ketiga daerah di mana syarat-syarat array GPR tercapai adalah daerah antara 50 – 80 ohm. Maka dibutuhkan pembebanan resistif dengan hambatan sebesar 50 – 80 ohm untuk membuat array dengan jarak antar elemen 18,5 mm memiliki coupling level antar elemen di bawah -30 dB dan return loss kedua elemen di bawah -10 dB. Titik optimum didapat pada 70 ohm. Gambar 9, gambar 11, dan gambar 13 menunjukkan perubahan nilai SWR terhadap pembebanan resistif. Perubahan harga SWR ini terlihat menurun pada interval tertentu dan meningkat lagi pada interval yang lain. Penyebab hal ini akan dibahas pada analisis. Untuk memenuhi syarat array GPR bahwa SWR kedua elemen di bawah 2, diperlukan hambatan sebesar 50 – 100 ohm, dengan titik optimum ada pada 70 ohm. Dari pengamatan kurva-kurva di atas, dapat disimpulkan bahwa hambatan yang dapat digunakan untuk mencapai SWR di bawah 2, coupling level antar elemen antar elemen di bawah -30 dB, dan return loss kedua elemen di bawah -10 dB, diperlukan pembebanan resistif dengan hambatan antara 50 – 80 ohm.
antar elemen. Penyebab hal ini akan dikaji pada bagian analisis. Dengan pengamatan yang sama seperti pada gambar 2, dari gambar 4 dan 6 juga terlihat bahwa pada frekuensi sedang (500 MHz) dan frekuensi tinggi (800 MHz) perilaku yang sama terjadi pada coupling level antar elemen yang mengecil dan return loss yang konstan. Gambar 4 menunjukkan bahwa untuk mencapai coupling level antar elemen di bawah -30 dB pada frekuensi menengah, diperlukan jarak antar elemen lebih dari 22 mm. Dengan pengamatan serupa dapat dilihat bahwa pada gambar 6 dibutuhkan jarak antar elemen lebih dari 41 mm. Dari gambar 2, 4, dan 6 dapat disimpulkan bahwa spacing antar elemen minimum harus 41 mm agar dicapai coupling level antar elemen di bawah -30 dB. Gambar 3, gambar 5, dan gambar 7 menunjukkan bahwa SWR tidak terlalu sensitif terhadap penambahan jarak antar elemen. Penyimpangan terjadi pada frekuensi menengah dan tinggi yang diwakili oleh berturut-turut 500 MHz dan 800 MHz pada gambar 7. Pada frekuensi ini terdapat kenaikan yang signifikan terutama pada frekuensi menengah dan tinggi. Harga SWR sangat tinggi dan sukar diamati kapan dicapai SWR kurang dari 2.Secara umum, dari tiga gambar ini dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa SWR tidak terlalu sensitif terhadap jarak antar elemen, dan perubahannya cenderung meningkat. Dari tiga gambar ini juga terlihat bahwa penambahan jarak antar elemen tidak dapat menurunkan SWR hingga di bawah 2. Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa pada frekuensi rendah, yang diwakili oleh frekuensi 200 MHz, coupling level antar elemen dan return loss sangat dipengaruhi oleh besarnya hambatan resistor yang dipasang. Perubahan nilai coupling level antar elemen dan return loss cukup berbeda pada frekuensi ini, di mana return loss mengalami penurunan kemudian meningkat lagi, sedangkan coupling level antar elemen cenderung menurun. Akan tetapi dapat diperkirakan bahwa pada hambatan resistor yang lebih besar dari 150 ohm, harga coupling level antar elemen akan meningkat. Penyebab perilaku yang demikian akan dibahas pada bagian analisis. Untuk mencapai return loss kedua elemen di bawah -10 dB dan coupling level antar elemen di bawah -30 dB , dibutuhkan hambatan sebesar 42 - 130 ohm pada frekuensi rendah. Dengan pengamatan yang sama pada gambar 10 dan 12 dapat dilihat bahwa return loss dan coupling level antar elemen pada frekuensi menengah dan tinggi memiliki perilaku yang
HASIL PENGUKURAN Pengukuran dilakukan dengan menggunakan VNA. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan harga-harga resistor yang tersedia di pasaran, yaitu 62 ohm, 69 ohm, dan 75 ohm. Sama seperti pada simulasi, data-data pengukuran akan ditampilkan pada tiga frekuensi sebagai perwakilannya.
Gambar 14 Pengukuran Scattering Parameter terhadap Pembebanan pada 200 MHz
4
Gambar 15 Pengukuran SWR terhadap Pembebanan pada 200 MHz
Gambar 19 Pengukuran SWR terhadap Pembebanan pada 800 MHz
Pada gambar 14 dapat dilihat bahwa pembebanan resistif mempengaruhi return loss dan coupling level antar elemen. Pada frekuensi rendah yang diwakili oleh 200 MHz, terlihat bahwa return loss dan coupling level antar elemen mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya nilai hambatan yang dipasang. Kecenderungan penurunan coupling level antar elemen dan return loss ini belum diketahui secara pasti sampai kapan akan berlanjut, sebab nilai hambatan yang dicoba hanya berada di sekitar harga hambatan yang dinilai optimum pada simulasi, yaitu 62 ohm, 69 ohm, dan 75 ohm. Pengaruh pembebanan resistif pada frekuensi menengah dan tinggi dapat dilihat pada gambar 16 dan 18. Pada gambar 16 dapat dilihat bahwa pada frekuensi menengah, 500 MHz, harga coupling level antar elemen cenderung turun, sebaliknya harga return loss cenderung menurun. Namun, kecenderungan ini kurang bisa teramati sebab hanya ada tiga nilai hambatan yang dicoba dalam pengukuran. Pada gambar 18 dapat dilihat bahwa pada frekuensi tinggi, diwakili oleh 800 MHz, harga coupling loss dan return loss cenderung mengalami kenaikan. Dari pengamatan gambar 14, 16, dan 18 dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa nilai hambatan yang paling sesuai untuk mencapai coupling level antar elemen antar elemen di bawah -30 dB dan return loss kedua elemen di bawah -10 dB adalah 62 ohm. Namun perlu diingat bahwa syarat ini sebetulnya tidak terlalu dipenuhi sebab pada frekuensi tinggi return loss kedua elemen berada di atas -30 dB. Pengaruh pembebanan resistif pada SWR dapat dilihat pada gambar 15, 17, dan 19. Harga SWR cenderung membesar, kecuali pada frekuensi rendah. Pembebanan optimum untuk mendapat harga SWR yang minimum didapat pada harga 62 ohm. Hasil ini cukup sesuai dengan pengamatan
Gambar 16 Pengukuran Scattering Parameter terhadap Pembebanan pada 500 MHz
Gambar 17 Pengukuran SWR terhadap Pembebanan pada 500 MHz
Gambar 18 Pengukuran Scattering Parameter terhadap Pembebanan pada 800 MHz
5
sesuai dengan persyaratan pada pembebanan dari 50 ohm hingga 80 ohm. Pada range hambatan ini, harga return loss kedua elemen kurang dari atau sama dengan -10 dB, coupling level antar elemen kurang dari atau sama dengan -30 dB, dan harga SWR berada di bawah 2 pada frekuensi 100 MHz hingga 1 GHz. Di luar range tadi, tiga parameter tadi kurang memenuhi syarat antenna GPR. Dari penjelasan tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembebanan yang dilakukan akan optimum jika beban yang ditambahkan harganya berada di sekitar impedansi masukan sistem, dalam simulasi ini 50 ohm, atau berada di dekat kondisi matched. Pembebanan yang terbaik menurut kami adalah pembebanan dengan 70 ohm, pada harga 70 ohm ini didapat kurva SWR yang minimum. Harga SWR yang semakin kecil akan mempermudah skema pengontrolan input-output sistem dan meningkatkan ketelitian deteksi sistem, sebab gelombang pantul yang diterima oleh antena pengirim semakin sedikit. Menurunnya harga SWR ini juga menunjukkan bahwa resistive loading dapat menggeser area frekuensi kerja suatu antena. Hasil simulasi resistive loading ini juga menunjukkan keunggulan resistive loading dalam mempertahankan dimensi antenna yang kompak. Ini dapat dibuktikan dari simulasi metode sebelumnya, diperlukan jarak antar elemen lebih dari 41 mm untuk mendapatkan coupling level antar elemen di bawah -30 dB. Namun, pada resistive loading kita dapat memberi jarak antar elemen 18,5 mm hanya dengan pembebanan untuk mencapai coupling level antar elemen di bawah -30 dB. Keuntungan ini menyebabkan biaya pembuatan antena menjadi lebih murah, maka hanya metode resistive loading saja yang dicoba pada pengukuran sebenarnya. Sebagai sebuah metode, resistive loading juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu dari sisi efisiensi atau lebih umum dinyatakan dalam gain. Menurut teori, adanya penambahan bahan asing bagi sistem antena, dalam hal ini resistor akan menyebabkan kalor yang terakumulasi pada resistor. Kalor ini dihasilkan dari arus yang dicatu ke antenna. Akibatnya, arus yang diubah menjadi gelombang elektromagnetik ke udara bebas akan berkurang. Ini menyebabkan gain antena, atau efisiensi antena berkurang. Teori ini telah dicoba disimulasikan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Hasil simulasi hanya menunjukkan adanya penurunan gain maksimum hanya 0.01 dB. Ini tidak signifikan terhadap gain antenna yang berkisar dari -40 dB hingga -20 dB. Penjelasan yang logis untuk hasil ini adalah gain antenna microstrip memang tidak terlalu besar, maka pengaruhnya kurang terlihat.
tentang pengukuran harga coupling level antar elemen dan return loss sebelumnya. ANALISIS Dengan melihat gambar 2, 4, dan 6, dapat dilihat bahwa penambahan jarak antar elemen dapat menurunkan coupling level antar elemen. Ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin jauh antena parasit, maka pengaruhnya terhadap antena lain akan mengecil. Pada jarak lebih dari 41 mm didapat coupling level antar elemen antar elemen di bawah -30 dB. Ini berarti untuk mendapatkan array tanpa pembebanan resistif yang coupling level antar elemennya di bawah -30 dB diperlukan jarak antar elemen setidaknya 41 mm, yang berarti membuat dimensi antena menjadi tidak kompak. Ini adalah satu kerugian dari metode penambahan jarak. Berbeda dengan coupling level antar elemen yang cenderung menurun, return loss relatif konstan dan jika terdapat perubahan, perubahan ini bersifat naik. Ini terjadi karena menurut teori, return loss tidak ada hubungannya dengan jarak. Akan tetapi, pada kenyataannya, jarak antar elemen juga mempengaruhi return loss, walaupun hanya menimbulkan peningkatan yang sangat kecil. Return loss merupakan satu-satunya parameter yang diperhitungkan dalam menghitung SWR sistem. Penjelasan di atas juga menjawab pertanyaan mengapa harga SWR juga konstan dan kecenderungannya untuk naik tidak terlalu signifikan. Harga SWR pada array yang tidak diberi beban resistor masih sangat besar dan harga SWR yang berada di bawah 2 hanya ada pada frekuensi sangat tinggi,yaitu frekuensi-frekuensi 1 GHz ke atas. Dari penjelasan bahwa bandwidth adalah daerah di mana frekuensi-frekuensi memiliki harga SWR kurang dari 2, maka dapat dikatakan bandwidth antenna berada pada frekuensi-frekuensi lebih dari 1 GHz. Ini jelas tidak sesuai dengan kriteria antenna GPR yang harus bekerja optimum pada frekuensi 100 MHz – 1 GHz. Ini merupakan kelemahan kedua dari penambahan jarak. Metode kedua yang dicoba untuk mengurangi return loss, coupling level antar elemen dan SWR antenna adalah resistive loading. Resistive loading ini disimulasikan dengan resistor-resistor yang bernilai dari 10 ohm hingga 150 ohm dengan selisih resistansi 10 ohm setiap percobaan. Hasil simulasi ini, yang dapat dilihat pada lampiran, menunjukkan bahwa metode ini sangat sesuai untuk menurunkan return loss, coupling level antar elemen dan SWR. Namun, dengan melihat gambar 8 hingga 13, dapat disimpulkan bahwa harga return loss, coupling level antar elemen dan SWR hanya
6
SWR adalah 1,5 saat kurva mengalami kenaikan. Pada pengukuran, harga tersebut dicapai pada 500 MHz, sedangkan pada simulasi, harga tersebut dicapai pada 1 GHz. Dari uraian tadi dapat dikatakan bahwa kurva pengukuran adalah kurva simulasi yang mengalami advance sebesar 500 MHz. Simpangan terjadi juga pada scattering parameter, namun besarnya simpangan pada sumbu selain frekuensi sulit disimpulkan, karena simpangan ini tidak konsisten, sehingga sulit diprediksi pola perilakunya. Penyimpangan yang ditunjukkan di atas tadi dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan ini berasal dari bahan penyusun lapisan dielektrik microstrip. Kemungkinan pertama mungkin disebabkan material yang menyusun dielecric layer pada antenna ini tidak uniform atau tidak homogen. Artinya karakteristiknya tidak sama pada setiap titik. Sebagai contoh, mungkin permitivitas bahan adalah fungsi dari posisi. Kemungkinan kedua adalah karakteristik material merupakan fungsi dari frekuensi. Ini tentu saja menyebabkan penyimpangan dari simulasi, sebab simulasi dilakukan dengan perhitungan menggunakan Method of Moments yang mengasumsikan material-material antenna bersifat homogen dan karakteristiknya konstan pada seluruh rentang frekuensi, kemudian melakukan perhitungannya pada mesh-mesh yang banyak jumlahnya. Pada simulasi ini, hasil perhitungannya akan sangat ideal, sebab diasumsikan bahwa seluruh mesh sifatnya homogen. Namun, pada pengukuran kondisi homogen yang ideal ini sulit dipenuhi, maka terjadi penyimpangan pada rentang-rentang frekuensi yang relatif rendah. Jika karakteristik bahan yang digunakan homogen, maka akan diperoleh hasil pengukuran yang hampir sama dengan hasil simulasi.
Penjelasan lain yang bisa diberikan mengapa gain hampir tidak berubah adalah antena ini memang tidak dirancang untuk bekerja pada frekuensi rendah. Ini dibuktikan dari proses iterasi dengan Ansoft Ensemble 7 pada antena yang tidak diberi beban. Kami mencari solusi dengan mengganti-ganti sweep frequency dari 1 GHz hingga 10 GHz dari tingkat ketelitian yang tidak terlalu teliti hingga paling teliti. Hasilnya terlihat pada kurva yang ada pada lampiran. Dari kurva tersebut terlihat bahwa bandwidth salah satu elemen ada pada rentang frekuensi 7,6955 – 7,742 GHz, dengan bandwidth 46,5 MHz.Di luar rentang frekuensi tadi, gain sangatlah kecil. Akan tetapi, karena aplikasi GPR tidak terlalu menuntut gain yang terlalu tinggi, kerugian ini masih dapat ditoleransi. Pengukuran dilakukan berdasarkan hasil simulasi resistive loading. Pengukuran dilakukan hanya pada beberapa pembebanan, yaitu 0, 62, 69, dan 75 ohm. Harga-harga 62 ohm, 69 ohm, dan 75 ohm dipilih berdasarkan harga resistor yang tersedia di pasaran. Hasil pengukuran, yaitu gambar 14 hingga gambar 19, menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan dengan hasil simulasi. Hasil pengukuran memiliki persamaan dengan hasil simulasi dalam hal kecenderungan perubahan nilai-nilai SWR, coupling level antar elemen dan return loss. Hasil pengamatan ini cukup valid pada pembebanan antara 60 ohm hingga 75 ohm. Pada pembebanan di luar rentang tadi, tidak dapat disimpulkan apa-apa sebab pengukuran hanya dilakukan pada antena yang dibebani 62 ohm, 69 ohm dan 75 ohm. Beberapa perbedaan juga ada pada perbandingan hasil simulasi dengan hasil pengukuran. Perbedaan yang cukup terlihat ada pada harga-harga SWR, coupling level antar elemen dan return loss pada pengukuran cukup berbeda dengan harga-harga parameter yang sama pada simulasi. Salah satu contoh perbedaan hargaharga parameter tadi adalah pada simulasi, pembebanan optimum terjadi dengan 70 ohm, sedangkan pada pengukuran , pembebanan optimum terjadi dengan 62 ohm. Untuk menjelaskan perbedaan ini, akan dilakukan perbandingan pada simulasi dan pengukuran dengan menggunakan resistansi yang sama, yaitu pada beban 75 ohm. Gambar yang dibandingkan dapat dilihat pada lampiran.Dari pengamatan terlihat jelas penyimpangan hasil pengukuran dari hasil simulasi. Penyimpangan ini terlihat pada sumbu frekuensi kurva hasil pengukuran yang seolah-olah mengalami advance hingga 500 MHz. Ini paling terlihat jelas dari titik di mana harga
KESIMPULAN Pada penelitian Tugas Akhir ini dapat disimpulkan bahwa : • Antena yang memiliki coupling level antar elemen kurang dari -30 dB, return loss kurang dari -10 dB, dan SWR kurang dari 2 dapat direalisasikan dengan metoda resistive loading • Untuk menurunkan coupling level antar elemen sampai dengan di bawah -30 dB, diperlukan jarak antar elemen minimum 41 mm. • Resistive loading dapat menurunkan level coupling sampai dengan di bawah -30 dB dengan jarak antar elemen cukup 18,5 mm.
7
•
[9].Iskander, Magdy F., Electromagnetic Fields and Waves, Prentice Hall, 1992. [10]. Deni Yulian, Perancangan dan Realisasi Sistem Antenna GPR yang Dioptimasi terhadap Beberapa Durasi Pulsa dengan Menggunakan Metode FDTD, Tugas Akhir, ITB,2006
Resistive loading paling optimum saat beban yang ditambahkan memiliki resistansi yang bernilai di sekitar resistansi port masukan, dalam penelitian ini rentang resistansi yang ideal berada di sekitar 50 ohm, yaitu 50 ohm 80 ohm.
STUDI LANJUTAN Penelitian ini masih memerlukan studi lebih lanjut. Kesempatan-kesempatan untuk penelitian selanjutnya adalah • Desain antenna sebaiknya dipilih yang memiliki gain tinggi agar dapat terlihat jelas penurunan gain antenna akibat resistive loading. • Pembebanan yang dilakukan tidak hanya bersifat resistif, namun merupakan kombinasi dari resistor dan kapasitor. • Pembebanan yang dilakukan dapat dicoba mengikuti profil-profil yang tidak uniform untuk setiap elemennya.
REFERENSI [1].A.A. Lestari, Y.A. Kirana, A.B. Suksmono, E. Bharata, Applied research on Ground Penetrating Radar, Bow-tie An-tenna, GPR antenna, Adaptive antenna, Ultra-wideband antennas, Supplemental Report (Project ID: IS 03143), no. IRCTR-S-043-04, Delft University of Technology, The Netherlands, Dec. 2004. [2].A.A. Lestari, Antennas For Improved Ground Penetrating Radar: Modeling, Tools, Analisys And Design, Ph.D.Dissertation, ISBN 9076928-05-3, Delft University of Technology, The Netherlands, 2003. [3].Judawisastra, Herman, Catatan Kuliah: Antena dan Propagasi, Penerbit ITB. [4].Kraus,John.,Antennas 2nd ed., McGraw-Hill, 1988. [5].A.A. Lestari, A.G. Yarovoy, L. P. Ligthart, Adaptive Antenna for Ground Penetrating Radar , Delft University of Technology, The Netherlands [6].A. Adya Pramudita, Adit Kurniawan, A. Bayu Suksmono, A. Andaya Lestari, “Footprint Adjustment on SFCW GPR With Modified Dipole Array”, ITB,2007. [7].A. Adya Pramudita, Adit Kurniawan, A. Bayu Suksmono, “Resistive Loading for Coupling Reduction Between Element in Array Antenna For GPR”, TSSA-WSSA, 2006 [8].Warent L.Slutzman, Gary A.Thiele, Antenna Theory and Design, John Wiley & Sons, New York, 1981.
8