TOLERANSI DALAM BINGKAI PEMBERITAAN DAN BUDAYA POP Fajar Kurniawan Program Studi Penyiaran Akom BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta-Timur
[email protected]
Abtract Today’s society condition are really ironic. Although the era of reform, promising openness, freedom, prosperity, and anti-oppression is ongoing, but all that give rise to communal conflict, which is far from expectation tolerance. All of the news that brought by press, whether in concious or not, could cause a big separation in society. News coverage about descrimination, oftenly made out of proposition, and nearly against the code of ethic journalistic, and the Ethics which been already made. The rules that being made, though it’s related to the code of ethic journalistic, also the P3-SPS that been brought by KPI, oftenly not being seen by the media. The variety of the violations are diverse, from the News room policy, the carelessness of writing, and the ignorance of the ethic code and the other rules like P3-SPS until to the competency of a journalist. Keyword: tolerance, news, code of ethic journalistic. Abstraksi Kondisi masyarakat saat ini, sungguh ironis. Meski era reformasi, yang menjanjikan keterbukaan, kebebasan, kesejahteraan, dan anti penindasan sedang berlangsung namun semua itu menimbulakan konflik komunal, yang jauh dari harapan toleransi. Pemberitaan di layar kaca belakangan ini, sadar atau tidak, dapat menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Pemberitaan yang terkait dengan suku agama ras antar golongan (SARA), sering dimunculkan tidak proposional, dan cenderung melanggar kode etik jurnalistik dan etika yang sudah ada. Peraturan yang dibuatpun, apakah itu terkait kode etik jurnalistik, maupun program perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3-SPS) yang dikeluarkan KPI, sering diangap angin lalu oleh media. Pelangaran itu beragam, dari kebijakan redaksi, kecerobohan penulisan, ketidaktahuan tentang kode etik dan peratuan lain seperti hingga mengarah kepada kompetensi yang dimiliki seorang jurnalis. Kata kunci: toleransi, pemberitaan, kode etik jurnalistik. I. PENDAHULUAN Hampir genap sudah 15 tahun masyarakat di nusantara mencicipi era reformasi. Sebuah era yang menjanjikan keterbukaan, kebebasan, kesejahteraan, dan anti penindasan. Sebagai upaya mewujudkan semangat reformasi, distribusi wewenang menjadi bagian yang tak terelakan. Inilah yang kita kenal sebagai otonomi daerah. Ironisnya saat keran kekuasaan dibuka, konflik komunal semakin sering kita lihat di layar kaca. Hasil riset SETARA Institute soal intoleransi keberagamaan selama beberapa tahun terakhir ternyata sangat meresahkan. Media massa cetak dan elektronik seakan berlomba untuk menyuguhkan potret tersebut dalam bingkai berita. Anggapan bahwa perbedaan itu indah dan tidak harus dipermasalahkan, tampaknya harus ditinjau ulang. Setelah runtuhnya rezim orde baru, perbedaan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia saat ini sudah diluar ambang batas toleransi.
Secara konsep, sebagai mahluk sosial, manusia selalu berhubungan dengan individu dan kelompok lain. Dalam kehidupan sosial, manusia cenderung untuk berkelompok dengan manusia lain yang memiliki kesamaan dengannya. Persamaan disini dapat berupa latar belakang, kesamaan visi dan misi, atau kesamaan lain yang intinya bisa membuat manusia lebih nyaman untuk berinteraksi satu dengan lainnya. Disisi lain dorongan ini juga menimbulkan kesadaran tentang perbedaan terhadap orang-orang yang dianggap tidak memiliki kesamaan dari dirinya. Orang-orang ini disebut the other atau liyan. Menurut Huber Cancik dan Hildegard Cancik-Lindermaier dalam Frietche (1996), toleransi berasal dari bahasa Latin tolerantia-digunakan pertama kali pada tahun 46 SM oleh Marcus Tulius Cicero-yang berarti kemampuan manusia menanggung keadaan, hal, dan halangan yang biasa dialaminya dalam hidup. Lebih lanjut kata tolerantia 1
dapat juga diartikan sebagai “menyokong” atau membuat sesuatu menjadi dapat ditanggung (A.Wierlacher, 1996). Namun arti kata toleran itu banyak mengalami perubahan setelah banyaknya peperangan dalam sejarah Eropa, sehingga semakin berkaitan erat dengan masalah sosial-politik.Selain itu toleransi juga didefinisikan oleh Iring Fletscher sebagai pengakuan terhadap orang lain dalam perbedaannya. Menurutnya, pengakuan ini cukup berupa sikap menghormati dan memandang sederajat. Seseorang tidak perlu sampai mengikuti gaya hidup, kebudayaan dan kepercayaan liyan. “Ich möte allerdings zum vollen Begriff von Toleranz die Annerkenung der Legitimität des Anderen in seiner Andersartigkeit hinzuzähen. Annerkenung verlangt ja nicht die Übernahme des Glaubens, der Lebensfrom, kulturellen Eigenart des Anderen, sondern nur ihre Respektierung als gleichberechtigt (K.Peter Fritzsche, 1996).” Toleransi dalam konteks sosial budaya dan agama dapat diartikan sebagai sikap dan perbuatan yang melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Istilah toleransi juga digunakan dengan menggunakan definisi “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dan lain-lain. Hingga saat ini masih banyak kontroversi dan kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum liberal maupun konservatif. Jadi toleransi antar umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia yang beragama lain. Dalam www.vivanews.com dituliskan sebagai berikut: “Makin meluasnya intoleransi beragama menjadi rapor merah bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Kasus intoleransi yang berujung pada kekerasan ini terjadi sebanyak 64 kasus di tahun 2012. Intoleransi ini juga didukung dengan tidak adanya hukuman yang setimpal bagi pelaku. Kasus ini paling banyak menimpa kelompok Kristen dan Katolik. Berdasarkan data dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) setidaknya ada 22 gereja yang ditutup dan disegel pemerintah, seperti yang dialami oleh jemaat HBKP Filadelfia dan jemaat GKI Yasmin yang tidak bisa beribadat karena dilempari telur busuk dan air comberan. Kelompok Ahmadiyah pun tidak luput dari para intoleran. Selain itu, ada 12 peristiwa khusus yang ditujukan kepada 2
kelompok yang dicap penganut aliran sesat, seperti perusakan tempat ibadah dan larangan melakukan ibadah.” Secara terminologi, toleransi adalah sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya. Toleransi juga diartikan sebagai suatu sikap penerimaan yang simpati terhadap perbedaan pandangan/sikap. Toleransi (tasamuh) adalah modal utama dalam menghadapi keragaman dan perbedaan (yanawwu'iyyah). Toleransi bisa bermakna penerimaan kebebasan beragama dan perlindungan undang-undang bagi hak asasi manusia dan warga negara. Toleransi adalah sesuatu yang mustahil untuk dipikirkan dari segi kejiwaan dan intelektual dalam hegemoni sistem-sistem teologi yang saling bersikap ekslusif. Menurut Said Agil Husein al-Munawwar (2004), salah satu agenda besar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan membangun kesejahteraan hidup bersama seluruh warga Negara dan umat beragama. Hambatan yang cukup berat untuk mewujudkan kearah tersebut adalah masalah kerukunan nasional, termasuk di dalamnya hubungan antar agama dan kerukunan hidup umat beragama. Akhir-akhir ini, nilai-nilai kerukunan yang dijaga dengan baik oleh masyarakat mulai terkikis, mengalami degradasi, semboyan bhineka tunggal ika sudah mulai luntur dalam pemahaman dan pengamalan masyrakat. Ini bisa dilihat berbagai konflik yang terjadi diberbagai daerah seperti kasus Poso, Ambon, Sampang yang mengatasnamakan agama atau kondisi sosial yang berlindung dibalik simbol agama. Konflik-konflik yang mengatas namakan agama ini bahkan menimbulkan terjadinya disintegrasi (perpecahan) bangsa. Voltaire menerangkan bahwa yang dimaksud dengan toleransi adalah hukum alam yang sudah tertera dalam hati setiap manusia, seseorang yang tidak bertoleransi bukanlah seseorang yang mengungkapkan perasaannya yang sepenuhnya untuk menjadi marah kepada permusuhan atau pertentangan itu benar merupakan sebuah tanda kelemahan. Tentu saja ada banyak orang yang tidak mengakui prinsip toleransi sebagai suatu hal yang abadi, karena dalam kondisikondisi yang beragam godaan balas dendam menjadi sangat kuat (Kartasapoetra dan Harini, 1992). Jika dilihat kecenderungan yang terjadi saat ini di Indonesia, bukan tidak mungkin disintegrasi terjadi. Indikasi yang muncul ini disebabkan faktor yang sangat kompleks.
Masalah ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, sosial, agama, budaya, ikatan primordial dan lain sebagainya. Puncak dari semua kompleksitas permasalah yang terjadi di Indonesia, beberapa tahun belakang ini muncul kerusuhan diberbagai tempat diwilayah Indonesia, kerusuhan yang menimbukkan korban harta benda dan jiwa, yang tidak kalah pentingnya adalah rusaknya harmonisasi kehidupan masyarakat yang telah terbentuk sekian lama. Kasus Ahmadiyah, kasus Syiah di Sampang merupakan contoh ketidakharmonisan yang terjadi. Identitas keberagaman di Indonesia terus diuji dengan beragam tindakan diskriminasi. Selama 14 tahun setelah reformasi, berdasarkan data yang didapat dari Yayasan Denny JA, setidaknya 2.398 kasus kekerasan dan diskriminasi terjadi di Indonesia (www.kompas. com). Toleransi lebih sering dibicarakan dalam negara majemuk karena terdapat perbedaan suku bangsa, ras, dan agama yang merupakan bentuk perbedaan paling umum yang berkaitan dengan toleransi. Masalah toleransi juga dapat terjadi karena adanya perbedaan kelas sosial, haluan politik, dan lain sebagainya. Masalah toleransi juga tidak hanya dialami orang-orang dewasa. Anak kecil dan remajapun bisa mengalaminya. Karena tingkat kematangan yang rendah, justeru remaja dan anak-anak cenderung lebih banyak mengalami masalah toleransi (www.kksp. or.id). Berdasarkan catatan Pusat Pendidikan dan Hak Anak (KKSP), kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah, menjadi salah satu catatan buruk penegakan hak anak di Sumatera Utara sepanjang tahun 2011 awal. Hal ini tidak bisa terus dibiarkan, melainkan harus diambil langkah untuk mereduksinya. Yayasan KKSP (Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak mencatat setidaknya ada sekitar 50 orang anak yang mengalami kekerasan di lingkungan pendidikan dan sekolah. Angka ini masih yang muncul di permukaan saja. Diperkirakan, kasus-kasus lainnya masih banyak terjadi yang tidak terpantau dan tidak dilapokan. Sebelum menganalisis dan mengaitkannya dengan pemberitaan yang saat ini banyak menyoroti soal perbedaan yang disuguhkan secara dramatis terutama di televisi-televisi atau layar kaca, ada baiknya kita melihat pemberitaan dalam konteks memberitakan peristiwa yang terkait dengan bentukbentuk diskriminasi serta intoleransi. Karena dalam sebuah organisasi media, terdapat campur tangan redaksi dalam membingkai peristiwa. memag tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembingkaian ini seringali menimbulkan masalah pada isi berita.
II. PEMBAHASAN 2.1. Pemberitaan Isu SARA Pemberitaan di www.metrotvnews.com, seharusnya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk menyelesaikannya. Dalam pemberitaan itu dituliskan bahwa di Indonesia kekerasan berdasarkan agama dan atau kepercayaan jumlahnya meningkat. Menurut Human Rights Working Group (HRWG) dalam kurun waktu 2011-2013 jumlah tindak kekerasan berdasarkan agama dan kepercayaan meningkat. HRWG kemudian menuliskan surat terbuka kepada pelapor khusus (special rapporteur) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait meningkatnya kekerasan berdasarkan agama atau kepercayaan di Indonesia. Human Rights Working Group (HRWG) adalah Koalisi LSM untuk Advokasi Hak Asasi Manusia Internasional didirikan oleh mayoritas aktivis LSM yang bekerja dalam isu-isu yang berbeda mempunyai pandangan yang sama terhadap hak asasi manusia untuk melayani kebutuhan advokasi dengan tujuan mendesak kepada pemerintah suatu negara, untuk melaksanakan kewajiban internasional dan konstitusional untuk melindungi, memenuhi, menghormati dan mempromosikan hak asasi manusia di negara itu. Dalam www.bbc.co.uk edisi bahasa Indonesia, dituliskan sebagai berikut: Hasil pantauan kasus Intoleransi tahun 2012 yang dikeluarkan Setara mencatat terdapat 264 peristiwa dan 371 tindakan. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2011, yang tercatat 244 peristiwa dan 299 tindakan. Dari 371 tindakan sepanjang tahun ini, Setara mencatat 145 kasus (39%) dilakukan oleh negara berupa tindakan aktif (117) dan pembiaran (28). Kepolisian masih masuk dalam daftar aktor negara yang masih melakukan pelanggaran terbanyak diikuti pemerintah kabupaten, kota, kementerian agama dan camat. Sementara Aktor non negara yang melakukan kekerasan beragama meliputi warga, MUI, FPI, gabungan ormas dan institusi pendidikan. Sementara 61% dari tindakan pelanggaran kebebasan beragama dilakukan oleh aktor non negara. Soal intoleransi, dalam pemberitaan di layar kaca, media televisi dengan gamblang, sangkil dan mangkus menyuguhkan pemberitaan intoleran itu dengan gambar-gambar yang disadari atau tidak dapat mempengaruhi pemirsa dalam menentukan pilihan hingga kepada sikap. Dalam penggambaran itu, jurnalisme televisi pada umumnya lebih menyuguhkan gambar yang dramatis, gambar 3
kekerasan seperti terjadinya bentrokan, pembakaran yang harusnya bisa dinilai apakah pemberitaan itu sudah sesuai dengan etika jurnalistik atau belum. Terlebih lagi pasca rezim Soeharto runtuh, dan era reformasi bergulir, ada lembaga yang mengawasi persoalan etis tidak etis tayangan dan pemberitaan di layar kaca. Lembaga dimaksud adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga ini lahir atas amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah (tingkat provinsi). Dalam pelaksanaan tugasnya, KPI dibantu oleh sekretariat tingkat eselon II yang stafnya terdiri dari staf pegawai negeri sipil serta staf profesional non PNS. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran harus mengembangkan program-program kerja hingga akhir kerja dengan selalu memperhatikan tujuan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 Pasal 3: "Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia." Organisasi KPI terbagi menjadi tiga bidang, yaitu bidang kelembagaan, struktur penyiaran dan pengawasan isi siaran. Bidang kelembagaan menangani persoalan hubungan antar kelembagaan KPI, koordinasi KPID serta pengembangan kelembagaan KPI. Bidang struktur penyiaran bertugas menangani perizinan, industri dan bisnis penyiaran. Sedangkan bidang pengawasan isi siaran menangani pemantauan isi siaran, pengaduan masyarakat, advokasi dan literasi media. Mekanisme pembentukan KPI dan rekrutmen anggota yang diatur oleh Undang-undang nomor 32 tahun 2002 akan menjamin bahwa pengaturan sistem penyiaran di Indonesia akan dikelola secara partisipatif, transparan, akuntabel sehingga menjamin independensi KPI. Kasus Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten pada 6 Februari 2011, merupakan sebuah pementasan dalam dunia layar kaca di tanah air. Insiden itu, bagi hampir seluruh media televisi, menjadi menu andalan. Apapun alasannya, yang jelas perilaku kekerasan, kekejaman yang jelas melanggar Etika Jurnalistik, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam kode etik yang dikeluarkan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dalam Bab III mengenai cara pemberitaan dijelaskan secara rinci dalam 4
Pasal 5 yang berbunyi, dalam menayangkan sumber dan bahan berita secara akurat, jujur dan berimbang, Jurnalis Televisi Indonesia: a. Selalu mengevaluasi informasi semata-mata berdasarkan kelayakan berita, menolak sensasi, berita menyesatkan, memutar balikkan fakta, fitnah, cabul dan sadis. b. Tidak menayangkan materi gambar maupun suara yang menyesatkan pemirsa. c. Tidak merekayasa peristiwa, gambar maupun suara untuk dijadikan berita. d. Menghindari berita yang memungkinkan benturan yang berkaitan dengan masalah SARA. e. Menyatakan secara jelas berita-berita yang bersifat fakta, analisis, komentar dan opini. f. Tidak mencampur-adukkan antara berita dengan advertorial. g. Mencabut atau meralat pada kesempatan pertama setiap pemberitaan yang tidak akurat dan memberikan kesempatan hak jawab secara proorsional bagi pihak yang dirugikan. h. Menyajikan berita dengan menggunakan bahasa dan gambar yang santun dan patut, serta tidak melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. i. Menghormati embargo dan off the record. Sementara dalam program perilaku penyiaran dan standar program soaran (P3-SPS) yang merupakan produk dari KPI jelas dituliskan dalam isi pedoman perilaku dan penyiaran di Bab III, bahwa siaran dan pemberitaan televisi haruslah menghormati suku, agama, ras, antar golongan. Sehingga dapat ditarik benang merah, bahwa suguhan di pada layar kaca, yang mengetengahkan kasus-kasus SARA termasuk isu intoleransi belakangan ini lebih menjual kekerasan dibandingkan dengan konteks penghargaan terhadap perbedaan dan juga pembelajaran. 2.2. Budaya Pop di Indonesia Dalam budaya pop yang bagi sebagian orang dianggap tak penting, mungkin perlu disinggung terkait tulisan ini. Mendefinisikan “budaya” dan “populer”, yang pada dasarnya adalah konsep yang masih diperdebatkan, sangat rumit. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam cultural theory and popular culture, membahas enam definisi. Definisi kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya “luhur” (Misalnya: festival-festival kesenian daerah) jauh lebih disukai. “Budaya pop juga didefinisikan sebagai sesuatu yang “diabaikan” saat kita telah memutuskan yang disebut “budaya luhur”. Namun, banyak karya
yang melompati atau melanggar batas-batas ini misalnya Shakespeare, Dickens, Puccini-Verdi-PavarottiNessun Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang perbedaan-perbedaan tersebut seperti misalnya sistem pendidikan. Definisi ketiga menyamakan budaya pop dengan Budaya Massa. Hal ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika atau, "budaya pop" dapat didefinisikan sebagai budaya "otentik" masyarakat. Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan "masyarakat". Storey berpendapat bahwa ada dimensi politik pada budaya populer; teori neo-Gramscian "…melihat budaya pop sebagai tempat perjuangan antara 'resistansi' dari kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan 'persatuan' yang beroperasi dalam kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat." Suatu pendekatan postmodernism pada budaya populer "tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya luhur dan budaya populer." Storey menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi "budaya massa". Penelitian terhadap Shakespeare (oleh Weimann atau Barber Bristol, misalnya) menemukan banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare dalam partisipasinya terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi kontemporer, misalnya Dario Fo dan John McGrath, menggunakan budaya populer dalam rasa Gramscian yang meliputi tradisi masyarakat kebanyakan. Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependen mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur, yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop mainstream begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat. Dalam konteks kekinian, penulis menilai bahwa budaya pop tidak ada salahnya untuk diterapkan dalam pemberitaan yang menyangkut intoleransi di Indoensia. Kita bisa memulainya untuk menuliskan persoalan-persoalan SARA dan intoleransi tidak selalu menyuguhkan penderitaan, chaos dan air mata, meskipun hal itu mungkin didasari atas kebutuhan bisnis. Sudah saatnya para jurnalis baik
itu cetak maupun elektronika merubah jurnalistik konflik itu dengan yang humanis, mungkin bisa diartikan mengemasnya dalam konteks jurnalisme damai. Terkait dengan kode etik jurnlistik dan juga rambu penyiaran yang dikeluarkan oleh KPI melalui P3SPSnya, sudah saatnya para jurnlis memperhatikan dan menjalankannya. Karena dengan memperhatikan dan menerapkan kode etik jurnalistik dan juga P3SPS maka kompetensi seorag jurnalis akan terukur. Jika hal itu sudah terwujud, maka pengertian toleransi seperti yang diutarakan A.Wierlacher dan K.Peter Fritzsche dan juga pendapat lainnya bisa diartikan secara harafiah dengan tidak meninggalkan sedikitpun pemahaman tentang perbedaan. Penulis berpendapat, dengan memaknai perbedaan itu, maka akan terjadi penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia, yang lebih jauh bisa dibingkai dengan keberagaman dan kesatuan. Untuk seorang jurnalis, maka pemberitaan yang sesuai dengan etika dan juga menerapkan rambu-rambu yang ada akan menjauhkan pemberitaan dari fitnah yang dapat menyulut perpecahan. III. PENUTUP Kebanyakan dari pelaku media tidak mengindahkan pedoman perilaku penyiaran (P3) dan standar program siaran (SPS) serta etika penyiaran. Pemberitaan media massa, khususnya televisi yang menyangkut kasus SARA di Indonesia masih kerap bersikap intoleransi. Hal ini mengambil peran signifikan terhadap pembentukan opini di kalangan masyarakat. Redaksi bukan lagi menjadi agen perubahan kearah positif namun malah menjadi pemicu konflik. Terlebih jurnalisme televisi yang pada umumnya menyuguhkan gambar yang dramatis, gambar kekerasan seperti terjadinya bentrokan dan pembakaran. Gambargambar seperti ini justru malah menjadimemperkeruh suasana. Alih-alih ingin menampilkan gambar yang dramatis malah menjadai provokator di ruang publik. Sudah saatnya media menerapkan konsep budaya pop alam memberitakan peristiwa, dalam hal ini khususnya peristiwa yang bersifat SARA. Karena budaya pop memiliki spektrum yan lebih luas di masyarakat. Sehingga gambar yang disuguhkan pada saat peristiwa konflik diubah menjadi gambar yang humanis. DAFTAR PUSTAKA Bbc.co.uk.(2012,Desember,17).Intoleransi di Indonesia http://www.bbc.co.uk/ indonesia/berita_indonesia/121217_intoleransi_indonesia. shtml. Diakses 12 Desember 2012 5
Kartasapoetra dan Hartini. 1992. Kamus Sosiologidan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara. Kksp.or.id.Diskriminasi terhadap anak.http://www. kksp.or.id/berita-379-ka sus-kekerasan—dan diskriminasi-terhadap-anak-di-sekolah-menjadi-catatan-buruk-pendidikan-di-sumut-2011. html. Diakses 23 Desember 2012 Kompas.com.Lima Kasus Intoleransi Terburuk Pasca Reformasi.http://nasional.kompas.com / ead/2012/12/23/15154962/Lima.Kasus.Diskriminasi.Terburuk.Pascareformasi. Diakses 23 Desember 2012. Metrotvnews.com.(2013,Mei,01).HRWG Kirim Surat Terbuka ke PBB. http:// www.metrotvnews. com/metronews/read/150796/HRWG-BuatSurat Terbu ka-ke-PBB-soal-Pening katan-Aksi-Intoleran. Diakses 10 Januari 2013 Peter Fritzsche. 1996. Toleranz im Umbruch-Über die Schwierigkeit, tolerant zu sein”, Kulturthema Toleranz zur Grundlegung einen Interdisziplinaren und interkulturellen Toleranzforschung, München, ed.A, Wierlacher. . Said Agil Husein Al-Munawwa. 2000, Fiqh Hubungan antar Agama. Jakarta. Ciputat Press. Viva.co.id.KasusIntoleransi http://nasional.news. viva.co.id/news/read/380872-64-kasus intoleransi-beragama-tercatat-di-2012. Diakses 9 Januari 2013. Wierlacher. 1996. Aktive Toleranz, Kulturthema Toleranz zur Grund legung einen Interdisziplinaren und interkulturellen Toleranz forschung. München. ed. A. Wierlacher.
6