DEKONSTRUKSI DAN HIPEREALITAS FILM DJANGO A. Yudo Triartanto Program Studi Penyiaran Akom BSI Jakarta Jl. Kayu Jati V No 2, Pemuda Rawamangun, Jakarta-Timur
[email protected]
Abstract Western or cowboy movie genre synonymous with American cinema, including the story of a character named Django. Django films was first known to the public in 1966 starring Franco Nero. At the end of 2012, re-created Django movie directed by Quentin Tarantino with a unique and different approach. That is character Django is no longer white, but the black comes from a slave played by actor Jamie Foxx. In this movie Django full shades of black. There was slavery in the pre-civil war, humans fight (mandingo), violence, murder, and other sadistic things. Django eventually became a movie full of myths and hiprealitas, tends to overload. Django a protest to the dark pages of history in the American past. Resentment that welled bulk ultimately the right choice, when oppression and persecution are considered beyond the limits of humanity. Keyword : deconstruction, hipereality, myth, mandingo Abstraksi Film genre western atau koboi identik dengan sinema Amerika, termasuk kisah tokoh bernama Django. Film Django pertama kali dikenal publik pada 1966 diperankan Franco Nero. Pada akhir 2012, Django kembali dibuat flmnya melalui sutradara Quentin Tarantino dengan pendekatan yang unik dan berbeda. Artinya tokoh Django tidak lagi berkulit putih, tapi berkulit hitam berasal dari seorang budak yang diperankan aktor Jamie Foxx. Jadilah Django penuh nuansa hitam. Ada perbudakan di masa pra perang sipil, pertarungan manusia (mandingo), kekerasan, pembunuhan, dan hal sadis lainnya. Django akhirnya menjadi film yang sarat mitos dan hiprealitas, cenderung berlebihan. Django menjadi protes bagi lembar sejarah kelam Amerika di masa lalu. Rasa dendam yang membuncah ruah pada akhirnya menjadi pilihan paling benar, ketika penindasan dan penganiayaan dianggap melebihi batas kemanusiaan. Kata kunci: dekonstruksi, hiperealitas, mitos, mandingo I. PENDAHULUAN Film Django termasuk genre western atau cowboy. Film western menjadi subtil kejayaan sinema Amerika pada awal abad ke-20. Menelusuri liku historinya, salah satu genre western momumental dan fenomenal adalah, The Great Train Robbery, produksi 1903 karya Edwin S. Poter dalam format film bisu. Film ini tidak menonjolkan satu hero pun. Namun, salah satu pemainnya, Gilbert M. Anderson, kelak menjadi bintang western bisu terkenal. Lalu ia dinobatkan menjadi bintang terlaris pertama film western. Pada 1914, sutradara DW Griffith memproduksi The Battle of Elderbush Gulch, mengisahkan peperangan suku Indian dengan pasukan kavaleri yang berusaha menyelamatkan satu keluarga dalam suatu kabin. Lantas, ketika elemen suara pertama diperkenalkan dalam film pada medio 1920-an, mencuat beberapa film box office, yaitu, In Old Arizona (1928), The Virginian (1929), dan sebuah film
rilisan Fox dan MGM dalam format layar lebar, The Big Trail (1930). Pada 1936 dan 1939 diproduksi dua film spektakuler The Seachers dibintangi John Wayne dan Destry Rides Again dibintangi aktris Marlene Dietrick Menurut Gary Johnson, salah satu daya tarik dan kepopuleran film western adalah menyuguhkan bentuk naratif baru yang berkaitan dengan mitos mengenai daerah perbatasan dan takdir laki-laki kulit putih sebagaimana termuat dalam beberapa teks budaya seperti novel-novel populer yang mengisahkan kehidupan nyata para cowboy legendaris seperti Kit Carson, Wild Bill Hickok, atau Jesse James. Ilustrasi tersebut menampilkan sebuah dunia dengan panorama perbukitan, aksi-aksi heroik yang dilakukan pasukan kavaleri, atau konflik terbuka antara orang Indian dengan orang-orang kulit putih. Seorang peneliti budaya Wil Wright dalam Storey (2010), pernah menganalisa film western 95
Hollywood sebagai mitos. Hasil penelitian itu, diberinya judul Sixguns and Society (1975). Dalam penelitian itu, Wright mempersoalkan struktur biner dan naratif yang terdapat dalam sejumlah film koboi produksi Hollywood. Di dalam kedua struktur tersebut, ia menemukan tiga tahapan; tahapan klasik, transisi, dan profesional. Masing-masing tahapan memiliki fungsi narasinya. Contohnya, tahapan klasik dibagi menjadi enam belas fungsi, yakni: a. Sang hero memasuki kelompok sosial. b. Sang hero tidak dikenal masyarakat c. Sang hero diketahui punya kemampuan luar biasa. d. Adanya perbedaan antara diri mereka dengan hero, sang hero diberi status khusus. e. Masyarakat tidak sepenuhnya menerima sang hero f. Ada konflik kepentingan antara sang penjahat dan masyarakat. g. Sang penjahat lebih kuat ketimbang masyartakat, masyarakat lemah. h. Ada penghormatan atau persahabatan yang kental antara sang hero dan sang penjahat. i. Sang penjahat mengancam masyarakat. j. Sang hero mengelak terlibat konflik. k. Sang penjahat mengancam teman sang hero. l. Sang hero berkelahi dengan sang penjahat m. Sang hero mengalahkan penjahat n. Masyarakat aman. o. Masyarakat menerima sang hero. p. Sang hero menghilang atau meninggalkan status khususnya. Tidak disangkal, film genre western atau cowboy lekat dengan Amerika. Namun, ada beberapa sineas Eropa mencoba menggarap genre tersebut dengan gaya berbeda. Pada 1966, Django identik dengan aktor Italia, Franco Nero. Django merupakan tokoh fiktif dalam film berjudul Django, suatu film genre western. Dalam sosok Franco Nero, Django dikenal sebagai seorang yang kemana-mana menyeret peti mati, dan terkenal sebagai jago tembak gerak cepat dengan sepucuk pistol di genggamannya. Ia ingin membalas dendam dan terus mencari tahu pembunuh istrinya. Django dianggap film terkejam pada masanya. Meski genre ini lekat dengan Amerika (Meksiko), namun julukannya adalah western spaghetti yang berkonotasi Italia, karena digarap oleh sutradara Italia, Sergio Corbuci. Selain Django, ada sejumlah legenda yang pernah menghias layar lebar. Sebelumnya aktor Amerika, Clint Eastwood, melalui trilogi A Fistful of Dollars (1964), For a Few Dollars More (1965), dan The Good, the Bad and the Ugly (1966), genre 96
western sangat digemari hasil dari garapan sutradara Italia, Sergio Leone. Singkatnya tiga film tersebut juga dikenal sebagai Trilogy Dollars atau The Man With No Name Trilogy. Walau berpredikat sebagai film tanpa nama pemeran, namun dalam film trilogi ini, Eastwood memerankan tokoh bernama singkat yaitu Joe, Manco, dan Blondie. Sejak itu, tokoh koboi mulai dikenal publik sebagai ikon budaya pop Amerika yang menghias layar bioskop. Melalui proses ruang dan waktu, cowboy menjadi mitos sebagai khazanah kebudayaan Amerika. Ada topi, padang tandus atau gersang, bukit, perkampungan tenda suku Indian, baju bermotif kotak-kotak, rompi, jeans, sepatu lars, kuda, tali laso, pistol, adu tembak cepat, kereta api, bar (saloon), merupakan tanda-tanda atau simbol yang melekat dalam mitos cowboy atau western. Terlebih sejak cerita-cerita sejenis beredar luas dalam bentuk buku yang ditulis Karl May pada akhir 1800-an dan awal 1900-an. Seolah tergerus sosok para super hero dan genre action kontemporer yang makin canggih, genre western tampaknya tidak lagi mampu menyedot penonton bioskop pada dekade awal 2000-an. Catatan sukses terakhir genre western adalah film Unforgiven (1992) yang dibintangi Clint Eastwood berhasil menarik simpati juri Academy Award untuk menobatkan sebagai gambar terbaik, sutradara terbaik, penyunting gamnbar terbaik, dan aktor pendukung terbaik. Meski ada pula beberapa judul film yang dirilis pada 1990an tercatat sukses, antara lain, Dances With Wolves (1990), Young Guns II (1990), Tombstone (1993), Wyatt Earp (1994). II. PEMBAHASAN Sebelum membahas tentang film Django Unchained, penulis akan memaparkan beberapa pustaka terdahulu yang membahas tentang film western. Buku karya Paul Heru Wibowo berjudul Masa Depan Kemanusiaan: Superhero dalam Pop Culture (2012), mengungkapkan sosok hero dalam film western dan cowboy pada salah satu babnya. Wibowo mengupas tentang fenomena film western atau cowboy dari perspektif sejarah dan budaya pop. Menurut Derrida yang ditulis Piliang (2012: 14), dekontruksi adalah suatu metode analisis yang membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna akhir. Dalam Jurnal Psikologika Vol.7 No.14 (2002), yang ditulis Tina Afiatin terntang Pengaruh Film Kekerasan Terhadap Agresivitas Suatu Studi
Meta-Analisis. Dalam Jurnal ini, menganalisa tentang suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa pengaruh kekerasan dari suatu film ditinjau dari disip- makna akhir. Meski aktor Franco Nero menyimpan magnet lin psikologi, termasuk genre western atau cowboy. nostalgia, namun ia tampil sejenak menjadi cameo seFilm Django di akhir Desember 2012, yang bagai bos para budak dalam pertarungan Mandingo. sangat berbeda dengan versi awal. Melalui Django Seperti halnya mini seri televisi film 24 Hours, pasca Unchained sutradara Quentin Tarantino, menyajikan pemilihan presiden Obama 2008, sosok presiden yang Django yang ingin membalas dendam atas pencu- ditampilkan dalam serial tersebut adalah orang kulikan dan penyiksaan terhadap istrinya, Bloomhil- lit hitam. Melalui Django Unchained, ia menggugat da. Django di tangan Tarantino memiliki paradoks. perbudakan meski harus dengan cara yang keras dan Django versi Tarantino sarat memuat ideologi re- hiperealitas. Film menjadi berlebihan tidak realistis, sistensi. Django tidak lagi berwajah khas Eropa, tapi meski itulah ciri khas Tarantino menyiasati kekerasAfrika. Aktor hitam Amerika pemenang Oscar 2004 an. Ditinjau dari paradigma ilmu komunikasi, lewat film Ray, Jamie Foxx, dipilih Tarantino untuk memerankan Django. Maka Django Unchained karya sebuah film cerita tidak pernah merefleksikan menjelma menjadi penuh nuansa hitam dengan la- realitas sesungguhnya. Ada satu opini yang menuntar belakang sejarah Amerika masa lalu yang ke- jang hal itu. Pada bagian opening film Public Enemy lam di tahun 1858. Ada kisah perbudakaan sebelum No.1 yang dibintangi Vincent Cassal dan disutradarai perang sipil (1861 – 1865), Mandigo, anjing-anjing Jean Francois Richet, tertera tulisan “beberapa adebuas yang siap mengoyak tubuh si negro, garis-garis gan dari film ini berdasarkan hal fiksi, tidak mungkin luka bekas cambukan cemeti, serta resistensi para untuk melengkapi pertunjukan”. Bahkan realitas yang negro yang melawan terhadap hegemoni kulit putih. disajikan di dalam sebuah film, kerap berlebihan. DaKesadisan dan kekerasan merupakan basis lam istilah Baudillard sebagai hiperealitas dan simulakonsistensi kekhasan Tarantino, yang juga dikenal crum. ini bisa dipahami sebagai hal berlebihan di luar dengan gaya eksploitasi film-nya. Dalam film ini atau terlampau melampui batas. Sedangkan menurut menjadi blaxplotation. Meski pada adegan akhir film- Umberto Eco dimaknai, sebagai segala sesuatu yang nya nampak dipenuhi visual darah, tetapi estetika film menjadi replikasi, salinan atau imitasi, dari unsurmasih bisa terjaga indah dilihat. Komedi topeng dari unsur masa lalu, yang dihadirkan konteks masa kini para gerombolan berkuda seperti gaya klu klux klan, sebagai sebuah nostalgia. Meski Baudrillard dan Eco, serta lagu-lagu yang tepat dengan sound western-nya sama-sama menggunakan istilah hiper realitas, namun dan rap, menjadi penyeimbang beberapa adegan yang keduanya memiliki pemahaman dan konsep berbeda. Menurut Baudrillard, seperti dikutip Piliang, hiperealitas. Lagu pembuka “Django” yang pernah Secara definitif, hiperealitas dimaknai sebagai kontenar, kembali terdengar dari Luis Bacalov,. Mencermati mozaik adegan dalam Django Un- disi ketika imaji yang diciptakan oleh media massa, chained yang memuat pesan ideologi, memunculkan termasuk film, menjadi semakin mirip dengan remulti tafsir mengenai wacana negro dalam pemerin- alitas aslinya, semakin sulit untuk dibedakan antara tahan Presiden Amerika Setikat Barack Obama, yang keduanya, bahkan imaji melampui realitas. Intinya, memang keturunan kulit hitam. Menampilkan sosok hiperealitas merupakan realitas buatan yang meniru kulit hitam melalui sosok Django yang sebelumnya suatu realitas yang mengambil model tertentu. Tetapi, diperankan aktor kulit putih, bukan tanpa alasan bagi karena proses manipulasi, realitas buatan itu terpuTarantino. Mitos koboi kulit putih sebagai pahlawan tus hubungannya dengan realitas aslinya (Baudillard, pembela kebenaran dan jago tembak didekonstruksi 1983). Istilah Simulacrum oleh Baudrillard dapat dioleh Tarantino. Dekontruksi Tarantino menyodorkan oposisi hitam dan putih, yang direpresentasikan da- artikan sebagai tanda dan simbol yang disajikan melalam sosok koboi berkulit hitam sebagai si baik dan si lui media atau budaya sebagai suatu realitas. Realiputih sebagai si jahat. Seperti halnya sineas Amerika, tas yang dibuat atau disimulasikan. Realitas tersebut yang kerap menempatkan stereotype suku Indian yang tanpa rujukan, tanpa acuan. Rujukannya filmografi berwarna kulit merah sadis dan jahat terhadap kulit atau adegan film terdahulu. Namun, fakta sejarah putih. Menurut Derrida dalam Piliang (2012), dekon- mencatat, kekejaman orang kulit putih terhadap kulit truksi adalah suatu metode analisis yang membong- hitam (negro) adalah benar terjadi hingga tahun 1940kar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya oposisi an, yang dilakukan Klu Klux Klan (perburuan negro pasangan, sedemikian rupa, sehingga menciptakan 97
oleh kulit putih dengan kostum mengenakan topeng dan jubah putih), termasuk menyiksa negro dengan topeng besi pada abab ke-19. Meski begitu, dalam telusur sejarah Amerika, faktanya tidak pernah terjadi pertarungan Mandigo. Budaya Mandigo berasal dari Afrika. Mandingo sekadar mitos lewat wacana dan narasi film. Dari catatan filmografi, Mandingo yang dirilis 1975 menampilkan petinju legendaris Ken Norton berperan sebagai Mede. Disamping itu, walau tercatat pula, ada beberapa aktor kulit hitam menjadi peran utama dalam film-film genre western atau cowboy, antara lain, film The Bronze Buckaroo, Buck and the Preacher, Boss Nigger, The Soul of Nigger Charley, Harlem Riders The Range, Adios Amigo, Posse, dan lain-lain. Fenomena cowboy yang menorehkan legenda, mitos, dan sejarah, yang diproses dalam ruang dan waktu, akhirnya menjadi salah satu subyek industri hiburan kebanggaan Amerika. Seorang bandit bernama Billy The Kid, dikenal sama tenarnya dengan Wyatt Earp. Lewat film Young Guns yang dibintangi Emelio Estevaz, sosok Billy the Kid kembali hidup. Bahkan lewat mitos, Billy the Kid dinyatakan sebagai seorang yang memiliki empat tangan. Sedangkan Wyatt Earp dalam film Tombstone (Val Kilmer) dan Wyatt Ertp (Kevin Costner), sosok Marshall yang mampu merepresentasikan sebagai awak hukum penegak kebenaran, seperti Elliot Ness di masa sang mafioso Al Capone, yang juga pernah difilmkan lewat serial layar kaca berjudul The Untouchables diperankankah Robert Stack pada dekade 1960-an, dan layar lebar dilakonkan Kevin Costner dan disutradarai Brian De Palma pada 1989. Bukan cuma itu. Melalui serial televisi tokoh Lone Ranger, sosok jagoan dalam koboi bertopeng penunggang kuda putih berkarib seorang Indian, Tonto, telah menjadi ikon yang menguat di era 1960-an. Lalu pada 2013, sosok Lone Ranger /John Reid (Armie Hammer) dan Tonto (Johnny Depp) ditampilkan kembali dalam layar lebar berjudul Lone Ranger. Setiap genre film yang menuntut adegan kekerasan dan darah, Tarantino selalu ingin terlibat menggarap versi filmnya. Misalnya dwilogi Kill Bill, ia meramu gaya martial arts Mandarin dan Jepang. Melalui Inglourious Basterds (2009), kekerasan dimunculkan di era Nazi, saat menduduki Prancis dimana kaum Yahudi juga menghimpun pasukan tentara. Pada Django Unchained, pistol, cemeti, dinamit, menjadi unsur kekerasan yang juga mampu memuncratkan darah. Lazimnya gaya film Tarantino, selain Mandingo (1975) yang diselipkan dari film terdahulu dalam Django Unchained, ada gaya serial televisi Bonanza 98
yang terlihat pada kostum, gaya kaca mata hitam Charles Bronson (The White Buffalo/1977) yang dikenakan Django, serta serial televisi Kojak (1970an) yang dibintangi Telly Savalas untuk mantel Dr. King Schultz. Lalu wanita bernama Broomhilda, merupakan wanita yang menjadi kekasih Siegfried Sang Pembunuh Naga, suatu legenda dari Jerman yang terkenal dan sangat klasik. Singkatnya, Tarantino ingin bernostalgia dengan masa kecil dan remajanya, ketika ia pernah menikmati film-film tersebut. Selain itu, ia juga menyelipkan kisah legenda Siegfried sebagai sosok pahlawan yang dimetaforakan kepada sosok Django, yang berani menyelamatkan kekasihnya walau harus mempertaruhkan nyawa. III. PENUTUP Dekontruksi film Django menjadi pahlawan berkulit dalam latar masa Amerika pada praktik perbudakan adalah suatu bentuk protes, dalam terhadap kelaliman kulih putih di masa lampau. Meski pada pengemasannya menjadi sesuatu hiperealitas, Namun ini bisa dijadikan sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi kulit putih yang dirpresentasikan pada film itu. Walau mitos yang disematkan mengenai pertarungan orang negro (mandingo), menjadi bagian kekerasan yang melengkapi narasi film. Tapi fakta topeng besi yang dikenakan oleh para budak (negro), menjadi suatu kebenaran sejarah sekaligus lembar kelam sejarah Amerika. Nuansa hitam dalam narasi Django Unchained merupakan upaya sutradara Tarantino menyampaikan pesannya melalui bahasa film. Meski kekerasan yang disodorkan terkesan menjadi hiperealitas, berlebihan tanpa rujukan. DAFTAR PUSTAKA Barthes, Roland. 2006. Mitologi (edisi revisi). Yogyakarta. Kreasi Wacana. _____________. 2007. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Semiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Cetakan 1. Yogyakarta. Jalasutra. Barker, Chris, 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik. Cetakan pertama. Yogyakarta. Bentang. Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Cetakan I. Jogyakarta. Jalasutra. Hoed, Benny H. 2008. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Cetakan Pertama. Depok. Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI. Konigsberg, Ira. 1989. The Complete Film Dictionary. New Yortk. New American Library
and Meridian Book. Nugrogo, Garin. 2005. Seni Merayu Massa. Jakarta Penerbit Buku Kompas. Piliang, Yasraf Amir. 2008. Semiotika dan Hipersemiotika: kode, gaya & matinya makna. Yogyakarta, Jalasutra. Pratista, Himawan. Memahami Film. 2008. Cetakan I. Jogyakarta. Homerian Pustaka. Storey, John. 2010. Pengantar Komprehensif Teori dan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta. Jalasutra. Strinati, Dominic. 2004. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta, Bentang.
99