Kewirausahaan Untuk Semua Orang
Entrepreneurship (kewirausahaan), dalam beberapa tahun terakhir menjadi topik yang makin sering dibicarakan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997 telah mengajarkan kepada masyarakat bahwa menggantungkan harapan kepada orang lain atau bekerja pada orang lain sudah bukan lagi pilihan utama sebagaimana yang selama ini selalu diajarkan oleh para orang tua kita sejak kita masih kecil. Krisis ekonomi telah menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menimpa jutaan pegawai. Angka pengangguran melonjak drastis. Baik mereka yang menganggur karena belum juga dapat pekerjaan, baru lulus kuliah, maupun para penganggur baru yang berasal dari perusahaan-perusahaan yang bangkrut. Di sisi lain, krisis ekonomi telah menumbuhkan ''berkah'' berupa lahirnya para entrepreneur (wirausahawan) baru. Mereka ini adalah orang-orang yang jeli melihat peluang, dan tak gamang menghadapi kesulitan-kesulitan. Ketika banyak orang meratapi nasibnya yang malang akibat terkena PHK dan tak juga dapat pekerjaan, mereka mengarahkan segenap daya dan upaya untuk menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Mereka menyadari bahwa jalan untuk meraih sukes, kekayaan maupun kebahagiaan bukanlah dengan menjadi kuli, melainkan menjadi bos bagi diri sendiri dan orang lain. Mereka menyadari bahwa rezeki itu sebagian besar ada di tangan pengusaha, bukan di tangan pekerja. Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa 9 dari 10 kekayaan berada di tangan pedagang, sedangkan sisanya yang hanya satu bagian itu dibagi-bagi di antara sekian banyak orang yang lebih memilih menjadi pekerja. Tingkat wirausaha di Indonesia memang masih rendah bila dibandingkan dengan
negara-negara
di
kawasan
Asia
Pasifik.
Rasio
kewirausahaan
dibandingkan penduduk di Indonesia hanya 1:83 sedangkan di Filipina 1:66, Jepang 1:25 bahkan Korea kurang dari 20. Berdasarkan ratio secara internasional, ratio ideal adalah 1:20.
Di Indonesia, gerakan kewirausahaan sebenarnya sudah ada sejak tahun 1995. Pemerintah melalui INPRES No. 4 tahun 1995 mencanangkan sebuah Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan (GNMMK). Tujuannya
adalah
menumbuhkembangkan
budaya kreatif,
inovatif,
di
masyarakat baik kalangan dunia usaha, pendidikan maupun aparatur pemerintah. Namun dalam perjalanannya, gerakan tersebut kurang mendapat dukungan. Memang ketika itu pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tinggi dan dukungan kepada pembentukan wirausahawan baru serta UKM hanya bersifat politis. Meski banyak seminar, rakor, lokakarya diadakan, namun pada akhirnya Inpres tersebut tidak lebih sekedar retorika dan tidak terinternalisasikan dalam program di instansi-instansi pemerintah baik bidang permodalan, perijinan, pemasaran, teknis, dan lain-lain.
Kewirausahaan Adalah Untuk Semua Orang Ada banyak alasan untuk mengatakan hal itu. Pertama, setiap orang memiliki cita-cita, impian, atau sekurang-kurangnya harapan untuk meningkatkan kualitas hidupnya sebagai manusia. Hal ini merupakan semacam "intuisi" yang mendorong manusia normal untuk bekerja dan berusaha. "Intuisi" ini berkaitan dengan salah satu potensi kemanusiaan, yakni daya imajinasi kreatif. Manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang dianugerahi daya imajinasi kreatif, maka ia dapat menggunakannya untuk berpikir. Pikiran itu dapat diarahkan ke masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dengan berpikir, ia dapat mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penting seperti: Dari manakah aku berasal? Dimanakah aku saat ini? Dan kemanakah aku akan pergi? Serta apakah yang akan aku wariskan kepada dunia ini? Menelusuri sejarah pribadi di masa lalu dapat memberikan gambaran mengenai kekuatan dan kelemahan seseorang. Di dalamnya terdapat sejumlah pengalaman hidup, hambatan dan kesulitan yang pernah kita hadapi dan bagaimana kita mengatasinya, kegagalan dan keberhasilan, kesenangan dan keperihan, dan lain sebagainya. Namun, karena semuanya sudah berlalu, maka tidak banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mengubah semua itu. Kita harus menerimanya dan memberinya makna yang tepat serta meletakkannya dalam suatu perspektif masa kini dan masa depan.
2
Masa kini menceritakan situasi nyata dimana kita berada, apa yang telah kita miliki, apa yang belum kita miliki, apa yang kita nikmati dan apa yang belum dapat kita nikmati, apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita dan apa yang menjadi hak asasi kita sebagai manusia, dan lain sebagainya. Dengan menyadari keberadaan kita saat ini, kita dapat bersyukur atau mengeluh, kita dapat berpuas diri atau menentukan sasaran berikutnya, dan seterusnya. Masa depan memberikan harapan, paling tidak demikianlah seharusnya bagi mereka yang beriman. Bila kita memiliki masa lalu yang tidak menyenangkan, dan masih berada pada situasi dan kondisi yang belum sesuai dengan cita-cita atau impian kita, maka adalah wajar jika kita mengharapkan masa depan yang lebih baik, lebih cerah, lebih menyenangkan. Sebab selama masih ada hari esok, segala kemungkinan masih tetap terbuka lebar. Jelas bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan bertalian langsung dengan daya imajinasi kita. Dan di dalam masa-masa itulah segala hambatan (obstacle), kesulitan (hardship), dan kesenangan atau suka cita (very rewarding life) bercampur baur jadi satu. Sehingga, jika Poppy King, wirausaha muda dari Australia mengatakan bahwa ketiga hal itulah yang dihadapi oleh seorang wirausaha dalam bidang apapun, maka bukankah itu berarti bahwa kewirausahaan adalah untuk semua orang? Siapakah manusia di muka bumi ini yang tidak pernah menghadapi hambatan dan kesulitan untuk mencapai cita-cita dan impiannya? Kedua, kewirausahaan itu pada dasarnya untuk semua orang karena hal itu dapat dipelajari. Peter F. Drucker, misalnya, pernah menulis dalam Innovation and Entrepreneurship bahwa, "Setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha, dan berperilaku seperti wirausaha. Sebab kewirausahaan lebih merupakan perilaku daripada gejala kepribadian, yang dasarnya terletak pada konsep dan teori, bukan pada intuisi". Dan perilaku, konsep, dan teori merupakan hal-hal yang dapat dipelajari oleh siapapun juga. Sepanjang kita bersedia membuka hati dan pikiran untuk belajar, maka kesempatan untuk menjadi wirausaha tetap terbuka. Sepanjang kita sadar bahwa belajar pada hakekatnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan, yang tidak selalu berarti dimulai dan berakhir di sekolah atau universitas tertentu, tetapi dapat dilakukan seumur hidup, dimana saja dan kapan saja, maka belajar berwirausaha dapat dilakukan oleh siapa saja.
3
Ketiga, fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa para wirausaha yang paling berhasil sekalipun pada dasarnya adalah manusia biasa. Sabeer Bathia, seorang digital entrepreneur yang meluncurkan hotmail.com tanggal 4 Juli 1996, baru menyadari hal ini setelah ia berguru kepada orang-orang seperti Steve Jobs, penemu komputer pribadi (Apple). Dan kesadaran itu membuatnya cukup percaya diri ketika menetapkan harga penemuannya senilai US$400 juta kepada Bill Gates, pemilik Microsoft, yang juga manusia biasa. Keempat, kiat-kiat sukses yang dimiliki wirausaha sukses pada dasarnya sangat sederhana. Tidak memerlukan orang yang luar biasa, tetapi semua orang dapat melakukannya. Kiat-kiat tersebut adalah: 1. Digerakkan oleh ide dan impian 2. Lebih mengandalkan kreativitas 3. Menunjukkan keberanian 4. Percaya pada hoki, tapi lebih percaya pada usaha nyata 5. Melihat masalah sebagai peluang 6. Memilih usaha sesuai hobi dan minat 7. Mulai dengan modal seadanya 8. Senang mencoba hal baru 9. Selalu bangkit dari kegagalan 10. Tak mengandalkan gelar akademis Kelima, kewirausahaan mengarahkan orang kepada kepemimpinan. Dan kepemimpinan adalah untuk semua orang. Penjelasan di atas menegaskan bahwa kewirausahaan adalah untuk semua orang. Pandangan yang diyakini sebagian orang Indonesia bahwa hanya orang yang berdarah Tionghoa saja yang dapat sukses berwirausaha tidaklah benar. Sebab dengan demikian bagaimana menjelaskan keberhasilan orang Aceh, Batak, Minangkabau, Lampung, Sulawesi, Lombok, dan pribumi lainnya yang juga sukses berwirausaha? Teori Max Weber yang menempatkan kaum protestan sebagai wirausaha ulung tanpa tanding juga tidak sepenuhnya benar. Sebab bagaimana menjelaskan keberhasilan wirausaha-wirausaha di wilayah Asia dan Timur Tengah yang bukan protestan? Bukankah keberhasilan Taiwan dan Singapura oleh Lee Tenghui dan Lee Kuan Yew dinyatakan sebagai "dampak" etika konfusianisme?
4
Kehidupan Rasululah SAW sebelum menjadi nabi, sungguh tepat dijadikan teladan. Ketika itu, beliau adalah seorang pedagang dengan kombinasi semangat kejujuran dan keadilan yang digambarkan empat sifat mulia Muhammad SAW; yakni shidiq, amanah, tabliq dan fathonah. Berbekal semangat
kejujuran
dan
keadilan
itu,
Muhammad
SAW
membangun
kewirausahaannya. Hampir semua pelosok Kota Makkah pernah disinggahinya sekaligus membangun relationship dengan rekan bisnisnya yang kesemuanya mencatat kesuksesan. Hal itu terlengkapi dengan kehadiran Siti Khadijah sebagai istri beliau, di mana Siti Khadijah merupakan pengusaha yang sukses. Semangat kewirausahaan dalam kalangan muslim juga terlihat dari pepatah bahasa Arab "Inna al-samaa la tumtiru dhahaban wa la fidhatan" di mana diartikan langit tidak menurunkan hujan emas dan perak, tetapi perlu dengan semangat kerja yang tidak mengenal lelah. Atau kata bijak yang bisa diimplementasikan ke kehidupan yang nyata "isy ka annaka ta'isyu abada" atau "i'mal lid dunyyaka kaannaka ta'isyu abada". Di mana artinya adalah "bekerjalah bagi duniamu seakan-akan kamu hidup abadi" yang menunjukkan kepada semua orang bahwa etos kerja orang muslim sangat bisa untuk diandalkan. Seorang
wirausaha
harus
tetap
memperhatikan
beberapa
paradigma
kewirausahaan yang berkembang: 1. Seorang wirausaha harus mampu memprediksi kemungkinan dimasa mendatang. Sebab, entrepreneur itu harus sarat ide-ide, seolah hanya melihat peluang dan kepuasan pelanggan. Sedangkan eksekutif, adalah seorang
yang
senantiasa
menyelesaikan
masalah
yang
timbul
di
perusahaan. 2. Fleksibilitas dari sang wirausaha. Seorang entrepreneur harus bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja maupun lingkungan usaha. 3. Rule of the game, harus dinamis dalam mengantisipasi sebagal macam kemungkinan sebagai kemampuan mengubah aturan main. Hal ini berkaitan erat dengan inovasi atau penciptaan hal-hal baru dalam berbisnis. 4. Kemampuan melanjutkan perubahan dari aturan atau bentuk yang telah ada sebelumnya. Inovasi yang dibuat dalam beberapa masa ke depan akan selalu tertinggal. Kemampuan memperbaharui produk dan aturan main inilah yang dapat membuat seorang wirausaha menjadi superior.
5
Penutup Melahirkan wirausaha baru tidaklah sederhana, lebih mudah diucapkan ketimbang dilaksanakan. Sehingga perlu ada persiapan dari segi pendidikan, regulasi, sumber daya manusia serta pembiayaan yang selalu menjadi masalah. Wirausaha baru memang bisa lahir dengan sendirinya tapi jumlahnya kecil. Perlu ada penanganan terpadu sehingga menghasilkan wirausaha yang berkualitas dan jumlahnya signifikan. Kewirausahaan hendaknya jangan dipahami hanya sekedar kemampuan membuka usaha sendiri. Namun lebih dari itu, kewirausahaan haruslah dimaknai sebagai momentum untuk mengubah mentalitas, pola pikir dan perubahan sosial budaya. Prinsip-prinsip dasar yang ada dalam kewirausahaan itu, antara lain, bagaimana membangun karakter yang tangguh, kreatif, inovatif, cerdas, mandiri, produktif dan mampu memanfaatkan peluang atau sumberdaya yang ada. Karenanya, dengan pengertian yang luas itu, maka pengembangan budaya kewirausahaan mestinya mencakup lintas bidang, bukan bisnis atau usaha belaka. Generasi muda hendaknya didorong untuk mampu mengubah mentalitas dan standar berpikir mereka. Selama ini, yang tampak di permukaan adalah fenomena 'generasi instan'. Banyak anak-anak muda yang bermimpi cepat sukses, kaya dan terkenal. Hal itu dapat dibuktikan dari maraknya berbagai ajang adu bakat menjadi penyanyi atau artis yang selalu diserbu ribuan peminat. Dalam kondisi bangsa yang lemah dalam berbagai aspek, kita tidak membutuhkan banyak penghibur saja. Kita ingin lahir banyak generasi baru yang jago dalam inovasi dan aplikasi teknologi untuk mampu mengelola sumberdaya yang berlimpah di negeri ini. Dengan demikian dapat mengurangi, syukur-syukur, menghilangkan, ketergantungan kita kepada bangsa lain. Sayangnya dalam konteks kewirausahaan pun yang banyak berkembang adalah konsep
yang
digulirkan
oleh
ilmuwan
barat
penganut
kapitalisme.
Keberhasilan diukur dari pencapaian nilai nominal, indikator materi atau akumulasi benda yang didapatkan semata. Konsep David Mc Cleland, misalnya, menyebutkan untuk mencapai prestasi, orang mesti mengoptimalkan kadar
6
need of achievement setinggi mungkin dan mengorbankan kadar silaturahmi atau keinginan membangun harmoni sosial (need of affiliation). Mestinya keinginan untuk mandiri, itikad untuk mencari solusi atas problematika yang ada adalah bagian dalam perjuangan hidup yang bernilai ibadah. Karena bermotif ibadah, maka apapun yang kita lakukan menuju keberhasilan haruslah mengikuti nilai-nilai syariat, etika dan moralitas. Perjuangan membangun kualitas diri dilakukan agar tiap pribadi mampu berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak. Oleh karenanya, dalam program pengembangan budaya kewirausahaan kita mestinya
mampu
membangun
transformasi
atas
wacana
ilmu
yang
berkembang. Memang, tidak semua gagasan yang dikembangkan dari barat selalu buruk. Ada juga beberapa prinsi-prinsip yang layak kita kembangkan. Misalnya tentang kaidah-kaidah profesionalisme, mobilitas, keterbukaan, kedisiplinan dan pencapaian kemajuan teknologi. Namun dalam beberapa aspek substansi pemikiran hendaknya kita memperkuat diri dengan prinsipprinsip yang amat lengkap tertuang dalam Alquran dan Sunah Rasul.
-----ooo0ooo-----
7