BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Dunia wirausaha menimbulkan ketertarikan tersendiri bagi orang-orang
yang memiliki keinginan untuk memulai dan mengembangkan usahanya. Tidak semua orang terlahir dengan bakat berwirausaha, namun sifat-sifat kewirausahaan dapat diciptakan dengan menanamkan bibitnya sejak dini. Dahulu kebanyakan pelatihan dan pendidikan kewirausahaan diberikan saat seseorang mengenyam perguruan tinggi. Saat ini konsep dan pelajaran kewirausahaan pun telah diberikan sejak usia sekolah, terutama sekolah menengah atas. Sejak tahun 2010, pendidikan kewirausahaan telah disosialisasikan untuk dimasukkan dalam
muatan
lokal
sekolah
oleh
Badan
Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional (Balitbang Kemendiknas). Pemberian pendidikan kewirausahaan tersebut diharapkan menjadi tambahan nilai budaya untuk meningkatkan daya saing dan karakter bangsa. Pendidikan kewirausahaan tersebut bertujuan untuk membentuk manusia secara utuh (holistik), sebagai insan yang memiliki karakter, pemahaman dan keterampilan sebagai wirausaha. Pelaksanaan pendidikan kewirausahaan dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor), peserta didik secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidikan. Pendidikan kewirausahaan tersebut dapat diintregrasikan dalam bentuk mata pelajaran, ekstrakurikuler, atau melalui pengembangan diri.
Pada usia sekolah, upaya optimalisasi potensi, bakat, dan minat kewirausahaan dilakukan agar dapat mengurangi tingkat pengangguran dan menambah jumlah wirausahawan di Indonesia. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia diketahui bahwa jumlah pengangguran sampai Februari 2012 mencapai 7,6 juta. Dari jumlah itu, paling banyak adalah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 10,34% dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 9,51% (Hida, 2012). Berdasarkan data tahun 2011, jumlah pengangguran di kota Malang mencapai 10.175 dari total 850 ribu lebih jiwa (Oktavia, 2012). Oswari (2005) menyatakan bahwa kurangnya jumlah wirausaha di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yakni kurangnya pengetahuan tentang kewirausahaan, etos kerja yang kurang menghargai kerja keras, cepat merasa puas dengan hasil kerja yang telah dicapai, pengaruh penjajahan negara asing yang terlalu lama terhadap rakyat Indonesia dan kondisi ekonomi yang buruk. Padahal McClelland (dalam Ciputra, 2008) menyatakan bahwa agar suatu negara bisa menjadi makmur dibutuhkan minimum 2% jumlah wirausaha dari total jumlah penduduknya. Menurut pernyataan Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan bahwa rasio kewirausahaan Indonesia meningkat dalam satu tahun terakhir. Pada 2011, terdata jumlah wirausaha di Indonesia baru sebanyak 0,24 persen dari total populasi penduduk. Namun ternyata angka ini meningkat, menjadi 1,56 persen atau sekitar 3.744.000 orang dari jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2012 (depkop.go.id, 2012). Peningkatan jumlah entrepreneur ini tidak lepas dari dukungan pemerintah, perusahaan, perbankan, sekolah, dan universitas. Beberapa
sekolah dan universitas di Indonesia kini mulai mengedepankan kewirausahaan sebagai nilai tambahnya seperti yang dilakukakn oleh SMAN 10 Malang. Menghadapi tantangan kewirausahaan tersebut, SMAN 10 Malang melakukan upaya untuk memperkenalkan kewirausahaan secara dini pada siswasiswinya dengan program kewirausahaan muda (Youth Entrepreneurship Progam). Program ini memberikan pembelajaran kepada pesertanya dengan metode yang didesain dan dikembangkan untuk memahami dan melakukan kegiatan berwirausaha secara langsung. Diawali pada tahun 2011, program ini diikuti sebanyak 36 siswa yang telah lulus dan
sebanyak 48 siswa sukses
mengikuti program tersebut tahun ini. Ciputra (2008) menyatakan bahwa pendidikan entrepreneurship akan mampu menghasilkan dampak nasional yang besar bila kita berhasil mendidik seluruh bangku sekolah
kita
dan
mampu
menghasilkan
empat
juta
entrepreneur baru dari lulusan lembaga pendidikan Indonesia selama 25 tahun mendatang. Pendapat yang dikemukakan oleh Longenecker dkk (2001), menyatakan bahwa usia paling tepat untuk berwirausaha adalah antara pertengahan 20-an dan 30-an. Pada usia persiapan
pengalaman
dan
kewajiban
ini ada keseimbangan antara
terhadap
keluarga.
Namun
ada
pengecualian dari generalisasi ini bahwa beberapa remaja memulai perusahaan milik sendiri dan pada sisi lain ada generasi yang lebih tua yang memulai bisnis mereka pada usia 50 hingga 60 tahun. Dari dua pendapat yang dikemukakan, patut disimak bahwa usia memulai bisnis tidaklah ada patokan yang tepat. Oleh karena itu keinginan individu yang
ingin memulai bisnis mereka sejak usia dini (usia sekolah yakni 18 - 24 tahun) bukanlah hal yang
tidak
lazim.
Di kalangan etnis Tionghoa,
pebisnis
kawakan di Indonesia maupun di mancanegara aktivitas bisnis sudah mereka mulai sejak usia muda melalui pembelajaran dari toko orang tuanya sejak mereka masih di Sekolah Dasar. Saat mereka merasa ingin memulai aktivitas bisnis sendiri mereka tidak lagi bekerja dengan bisnis orang tuanya tetapi sudah memulai bisnis sendiri. Di Indonesia etnis lain yang mempunyai motif berbisnis yang relatif tinggi dapat dilihat pada etnis tertentu antara lain Minang, Bugis dan Madura. Ketertarikan siswa terhadap kewirausahaan ini tidak lepas pengaruhnya dari minat yang timbul dari dirinya. Hurlock (1993) menjelaskan bahwa minat adalah sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan apa saja yang ingin dilakukan ketika bebas memilih. Minat tidak bersifat permanen namun bersifat sementara atau dapat berubah-ubah. Tampubolon (1993) mengemukakan bahwa minat adalah perpaduan antara keinginan dan kemauan yang berkembang jika ada motivasi. Hal senada juga dikemukakan oleh Sandjaja (2005) bahwa suatu aktivitas akan dilakukan atau tidak sangat tergantung sekali oleh minat seseorang terhadap aktivitas terebut, disini nampak bahwa minat merupakan motivator yang kuat untuk melakukan suatu aktivitas. Hurlock (1993) mengemukakan bahwa minat merupakan hasil dari pengalaman belajar, bukan hasil bawaan sejak lahir. Hurlock juga menekankan pentingnya minat menjadi sumber motivasi kuat bagi seseorang untuk belajar, minat juga mempengaruhi bentuk dan intesitas aspirasi seseorang dan minat juga menambah kegembiraan pada setiap kegiatan yang ditekuni seseorang.
Minat merupakan suatu respon yang positif yang berhubungan secara terus menerus, terhadap faktor yang memberikan kepuasan (Kadarsah, 2004). Menurut Suryaman (2006), minat pada dasarnya adalah penerimaan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri pribadi sehingga kedudukan minat tidaklah stabil karena dalam kondisi-kondisi tertentu, karena itulah minat dapat berubahubah, tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya. Minat bertalian erat dengan perhatian, maka faktor-faktor tersebut adalah pembawaan, suasana hati atau perasaan, keadaan lingkungan, perangsang dan kemauan (Nurwakhid, 1995). Menurut Kartini Kartono (1980) dalam Suryaman (2006), faktor lingkungan yang mempengaruhi minat meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Dalam Susanto (2009), faktor-faktor pendorong kewirausahaan antara lain faktor personal, faktor lingkungan, faktor sosiologis, dan faktor ketersediaan sumber daya. Minat berwirausaha dipengaruhi beberapa faktor diantaranya karakteristik kepribadian, faktor demografi dan karakteristik lingkungan. Karakteristik kepribadian seperti efikasi diri dan kebutuhan akan prestasi merupakan prediktor yang signifikan minat berwirausaha, faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja seseorang diperhitungkan sebagai penentu bagi minat berwirausaha, faktor lingkungan seperti hubungan sosial,
infrastruktur
fisik
dan
institusional
serta
faktor
budaya
dapat
mempengaruhi minat berwirausaha (Indarti, 2008). Minat berwirausaha sendiri sebenarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terangkum dalam dua kategori, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi : dorongan dari dalam (individu atau personal), seperti hobi/kesenangan, kepuasan pribadi,
emosional, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal meliputi : lingkungan, demografi, sosial, dan lain-lain (Purnama, 2009). Beberapa peneliti terdahulu membuktikan bahwa faktor kepribadian seperti kebutuhan akan prestasi (McClelland, 1961; Sengupta dan Debnath, 1994) dan efikasi diri (Gilles dan Rea, 1999; Indarti, 2004) merupakan prediktor signifikan intensi kewirausahaan. Kristiansen (2001) menyebutkan bahwa faktor lingkungan
seperti
ketersediaan
informasi
dan
jaringan
sosial
dapat
mempengaruhi intensi kewirausahaan. Pentingnya variabel kepribadian juga didukung oleh Scriber dalam Alma (2003) yang menyatakan bahwa keberhasilan seseorang yang ditentukan oleh pendidikan formal hanya sebesar 15% dan selebihnya (85%) ditentukan oleh sikap mental atau kepribadian orang tersebut. Muhyi (2007) menyatakan bahwa kepribadian yang mempengaruhi kewirausahaan
adalah
motif
berprestasi,
komitmen, nilai-nilai kepribadian, pendidikan dan pengalaman. Muhyi (2007) menyatakan bahwa variabel lingkungan mempengaruhi minat kewirausahaan, dari faktor lingkungan yang mempengaruhi faktor lingkungan adalah peluang, model peran dan aktivitas. Menurut Indarti (2008) dan Kristiansen (2001) ada tiga faktor yang mempengaruhi yaitu faktor demografi dan latar belakang individu, faktor kepribadian, dan unsur unsur lain yang berhubungan. Faktor demografi dan latar belakang individu yang diteliti disini mencakup usia, jenis kelamin, dan pendidikan. Faktor kepribadian mencakup kebutuhan untuk berprestasi, sumber
kendali, dan keyakinan diri, sedangkan unsur unsur yang berhubungan mencakup ketersediaan informasi dan jaringan sosial. Dalam Harefa (2006), Ciputra menyatakan bahwa motivasi adalah modal lain yang sangat penting untuk menjadi entrepreneur. Dan itu akan sangat baik jika dipupuk sejak dini. Lingkungan keluarga adalah pilar yang penting untuk membangun motivasi menjadi entrepreneur. Ditambahkan pula bahwa lingkungan adalah tempat membentuk motivasi terbaik, yang kemudian menjadi dorongan untuk selalu bekerja keras. Penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan minat berwirausaha lebih banyak dilakukan pada mahasiswa dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Siswa SMK dan mahasiswa biasanya dianggap lebih berpotensi untuk melakukan kegiatan wirausaha karena telah memiliki pengetahuan dan keterampilan tertentu. Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja Sosial Pemerintah Kota Malang, Sri Supangasih, di kota Malang pada tahun 2010 jumlah sarjana yang menganggur mencapai 12.424 orang atau hampir 45 persen dari total pengangguran sebanyak 27.238 orang. Lulusan SMK menempati urutan kedua sebanyak 5.978 orang dan urutan berikutnya lulusan SMA sebanyak 5.899 orang (Sucipto, 2010). Dari pernyataan di atas mengindikasikan bahwa pada usia produktif, mahasiswa, siswa SMK, dan SMA masih banyak yang menganggur. Kemungkinan hal ini terjadi karena adanya mindset atau pemikiran bahwa dengan keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki, mereka lebih memilih untuk mencari pekerjaan daripada menciptakan lapangan pekerjaan yang menyebabkan
rendahnya minat berwirausaha. Sehingga dalam kondisi ini, tidak hanya siswa SMK dan mahasiswa saja yang perlu diketahui minat berwirausahanya, namun juga siswa SMA. Siswa SMA memiliki potensi yang sama besar dengan siswa SMK dan mahasiswa untuk menjadi wirausahawan. Bahkan seharusnya tidak hanya siswa SMK atau mahasiswa saja yang diberi pendidikan kewirausahaan, siswa SMA juga seharusnya diarahkan untuk menjadi entrepreneur. Walaupun orientasi siswa SMA masih banyak yang ingin melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi yakni kuliah, namun tetap memungkinkan bagi mereka untuk memiliki keinginan berwirausaha dan bahkan melakukan wirausaha saat mereka berkuliah. Selain itu apabila lulusan siswa SMA gagal atau tidak dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi mereka juga telah mendapatkan bekal ilmu kewirausahaan sehingga dapat menciptakan usaha. Pada tahun ajaran 2010-2011, Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh
mengatakan
Departemen
Pendidikan
Nasional
(Depdiknas)
mulai
menerapkan konsep kurikulum berbasis kewirausahaan untuk seluruh jenjang pendidikan (republika, 2009). Hal ini dilakukan agar sekolah dapat mendorong rasa ingin tahu, fleksibilitas berfikir, kreatifitas, dan kemampuan berinovasi dalam rangka pembentukan karakter kewirausahaan sejak dini. Oleh karena itu, penelitian mengenai minat berwirausaha ini dirasa dapat diterapkan pada siswa SMA terutama yang telah mendapatkan pendidikan kewirausahaan baik secara teori maupun praktek. Penelitian ini tidak dilakukan pada siswa SMK atau mahasiswa karena peneliti ingin mengetahui tingkat jiwa
entrepreneur melalui minat berwirausaha pada siswa SMA. Masih jarangnya penelitian (scarcity) minat berwirausaha pada siswa Sekolah Menengah Atas, menjadikan salah satu alasan peneliti untuk melakukan penelitian pada siswa SMA yakni SMAN 10 Malang. Penelitian ini dibatasi pada siswa SMAN 10 Malang yang merupakan peserta Youth Entrepreneurship Program atau program kewirausahaan muda. Program kewirausahaan muda yang bertujuan untuk menumbuhkan dan melatih kemampuan wirausaha ini merupakan yang pertama di Indonesia dan pertama kali dilakukan di SMAN 10 Malang sehingga menjadi percontohan bagi sekolah menengah atas lainnya. Siswa-siswi peserta program kewirausahaan muda dipersiapkan untuk menjadi wirausahawan dengan mempelajari tentang studi kelayakan bisnis, dasar-dasar manajemen, dan kewirausahaan. Selain itu mereka telah terjun langsung ke lapangan selama empat bulan dengan menjadi co-owner pada unit bisnis tertentu dan mengalami proses dalam unit bisnis yang diikutinya. Dengan kondisi tersebut, subyek penelitian yang dipilih ini dianggap relevan dan layak untuk diketahui minat berwirausahanya. Dari aspek-aspek yang mempengaruhi minat berwirausaha, disesuaikan dengan responden penelitian, maka pada penelitian ini akan diteliti aspek-aspek faktor kepribadian dan lingkungan eksternal yang mempengaruhi minat berwirausaha siswa SMAN 10 Malang yang mengikuti Youth Entrepreneurship Program
atau program kewirausahaan muda. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar faktor kepribadian dan lingkungan eksternal berpengaruh terhadap minat berwirausaha sebagai upaya untuk menginspirasi
generasi
muda
lainnya
untuk
menjadi
wirausahawan
selanjutnya.1.2
Rumusan Masalah 1.2.1 Identifikasi Masalah Dalam memupuk minat berwirausaha sejak dini, perlu diketahui faktorfaktor yang mempengaruhi minat berwirausaha siswa-siswi peserta program kewirausahaan muda. Dengan mengetahui seberapa besar faktor kepribadian dan lingkungan
eksternal
terhadap
minat
berwirausaha
diharapkan
dapat
memaksimalkan potensi dan bakat mereka untuk mengembangkan diri dan memilih jalan berwirausaha di masa mendatang. 1.2.2 Perumusan Masalah Perumusan masalah adalah usaha untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang perlu dijawab atau dicarikan jalan pemecahannya (Usman, 2003). Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah deskripsi kepribadian, lingkungan eksternal, dan minat berwirausaha? 2. Apakah kepribadian dan lingkungan eksternal berpengaruh terhadap minat berwirausaha? 3. Variabel apa yang paling dominan dalam mempengaruhi minat berwirausaha? 1.3
Batasan Masalah Dalam penelitian ini, batasan obyek dan subyek penelitian yang ditentukan
agar tidak keluar dari pokok permasalahan adalah:
a. Pada variabel kepribadian sebagai variabel bebas, didasari oleh teori David McCleland yakni need for achievement, teori J.B. Rotter yakni locus of control, dan teori Albert Bandura yakni self-efficacy. b. Pada variabel lingkungan eksternal sebagai variabel bebas, didasari oleh penelitian Purnama (2009) yakni lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sosial. c. Pada variabel minat sebagai variabel terikat didasari oleh Hurlock (1993) bahwa minat adalah sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan apa saja yang ingin dilakukan ketika bebas memilih.
Minat
diukur
dengan
pengungkapan/ucapan,
tindakan/perbuatan, dan dengan menjawab sejumlah pertanyaan (Super & Crites dalam Sukardi, 1998) d. Penelitian minat berwirausaha ini dilakukan pada 48 siswa peserta Youth Entrepreneurship Program atau program kewirausahaan muda di SMAN 10 Malang. Pemilihan dan pembatasan ini didasarkan pada anggapan bahwa siswa yang telah mengikuti program kewirausahaan muda tersebut telah mempelajari tentang kewirausahaan baik teori maupun praktek dan aplikasinya. 1.4
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui deskripsi kepribadian, lingkungan eksternal, dan minat berwirausaha.
2.
Untuk menguji pengaruh kepribadian dan lingkungan eksternal terhadap minat berwirausaha.
3.
Untuk mengetahui variabel yang dominan dalam mempengaruhi minat berwirausaha.
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang manajemen sumber daya manusia khususnya tentang pengaruh faktor kepribadian dan lingkungan eksternal terhadap minat berwirausaha pada generasi muda di kota Malang. 1.5.2 Untuk Praktisi Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi para entrepreneur, khususnya generasi muda, agar mengetahui faktor kepribadian dan lingkungan eksternal apa saja yang berpengaruh pada minat berwirausaha. Diharapkan pula penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya.