1
KEWENANGAN PIMPINAN TERTINGGI OTORITAS JASA KEUANGAN MENGELUARKAN PERINTAH TERTULIS KEPADA BANK UNTUK MEMBUKA RAHASIA BANK DEMI KEPENTINGAN PERPAJAKAN Bagus Utoyo Kertoprojo Fakultas Hukum - Universitas Mulawarman
[email protected] ABSTRAK di Indonesia, bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi yang harus menjaga kepercayaan masyarakat dengan cara menjaga rahasia bank. Namun, terdapat keadaan dimana orang-orang atau badan hukum yang beritikad buruk, menjadikan rahasia bank sebagai tempat berlindung dari penegakan hukum dan merugikan kepentingan pihak lain, terutama kepentingan umum seperti pajak. Pengelakan pajak dengan memanfaatkan rahasia bank dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan cara menyembunyikan keadaan atau perbuatan yang sebenarnya dapat dikenakan pajak, pada rekening orang lain. Untuk mengatasinya, regulasi yang berkaitan dengan rahasia bank selalu diperbarui, terakhir kali dengan Undangundang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mengalihkan kewenangan Pimpinan Bank Indonesia untuk membuka rahasia bank kepada Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan. Namun, apakah Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar membuka rahasia bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak, dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Pajak yang dielakkan Wajib Pajak ke dalam simpanan dan/atau investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tersebut?, dan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan tersebut. Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif yang bersifat eksplanatori dengan pendekatan undang-undang, historis, komparatif, dan konseptual. Jenis dan sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan teknik pengumpulan studi pustaka dan analisis kualitatif. Berdasarkan penelitian, Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan tidak berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar membuka rahasia bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak, dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Pajak yang dielakkan Wajib Pajak ke dalam simpanan dan/atau investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tersebut. Untuk mengatasinya, perlu segera dilakukan amandemen terhadap regulasi yang mengatur rahasia bank, seperti regulasi yang mengatur Otoritas Jasa Keuangan dan/atau perbankan dan perbankan syariah. Kata Kunci
: bank, perbankan, rahasia bank, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, pajak, pengelakan pajak, wajib pajak, nasabah.
2
ABSTRACT In Indonesia, the bank serves as an intermediary institution which is must maintain public confidence by maintaining bank secrecy. However, there are circumstances where the person or legal entity who act in bad faith, making bank secrecy as a refuge from the law enforcement and harm the interests of other parties, especially the public interest, such as taxes. Tax evasion by using bank secrecy can be made by the taxpayer by way of hiding the actual circumstances or actions may be taxed, on account of others. To overcome this, the regulations relating to bank secrecy always updated, the last time the Law of the Republic of Indonesia Number 21 Year 2011 on the Financial Services Authority has transferred the competency of the Leaders of Bank Indonesia on issuing written order to bank for bank secrecy disclosure for the purposes of taxation to the Highest Leader of the Financial Services Authority. However, whether the Highest Leader of the Financial Services Authority has the competency to issuing written order to bank for disclosing bank secrecy of Non Taxpayers Depositors and/or Investing Costumer, where is in their savings and/or investments found tax fund which is an inevitable tax by Taxpayer into the savings and/or investments of the Non Taxpayers Depositors and/or Investing Costumer?, and the aims of this study is to understand the competency mentioned above. The Type of this research is a normative explanatory with legislation, historical, comparative, and conceptual approach. Types and sources of legal materials used are of primary, secondary, and tertiary legal materials with literature collection techniques and qualitative analysis. Based on the research, the Highest Leader of the Financial Services Authority has no competency to issuing written order to bank for disclosing bank secrecy of Non Taxpayers Depositors and/or Investing Costumer, where is in their savings and/or investments found tax fund which is an inevitable tax by Taxpayer into the savings and/or investments of the Non Taxpayers Depositors and/or Investing Costumer. To fix this, we need to make amendments to regulations governing bank secrecy, such as regulations governing the Financial Services Authority an /or banking and Islamic banking. Key Words
: bank, banking, bank secrecy, Bank of Indonesia, Financial
Services Authority, tax, tax evasion, taxpayer, costumer. PENDAHULUAN Di Indonesia, bank merupakan lembaga yang fungsi utamanya adalah sebagai tempat untuk menghimpun dana masyarakat yang menganggur dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang memerlukan dalam bentuk kredit.1 Simpanan tersebut merupakan bentuk kepercayaan masyarakat kepada bank yang ditempatkan secara sukarela, sehingga bank harus menjaga kepercayaan yang telah diberikan tersebut dengan sebaikbaiknya. Bank yang kehilangan kepercayaan dari masyarakat sangat rentan terhadap penarikan dana secara besar-besaran oleh nasabahnya.2 Penarikan dana secara besar-besaran dari bank karena kehilangan kepercayaan dari nasabahnya dapat menimbulkan kepanikan yang akhirnya mengancam perekonomian suatu negara 1
Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 2 Iskandar Simorangkir, 2011, Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental, Buletin Ekonomi, Moneter, dan Perbankan edisi Juli 2011, Jakarta, halaman 53.
3
bahkan dunia. Selain itu, tanpa kepercayaan masyarakat maka bank tidak akan dapat melaksanakan fungsi utamanya sebagai lembaga intermediasi. Kegagalan bank menjaga kepercayaan masyarakat berarti kegagalan mencapai tujuan akhir perbankan Indonesia, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank adalah kemampuan bank dan pihak terafiliasi menjaga, menyimpan, dan tidak memberitahukan keterangan mengenai nasabah yang menyimpan dananya di bank tersebut kepada pihak lain atau disebut rahasia bank.3 Dengan adanya jaminan kerahasiaan atas semua keterangan mengenai nasabah dalam hubungannya dengan bank, maka masyarakat akan mempercayai bank tersebut.4 Kemudian, berdasarkan rasa kepercayaan itu, masyarakat akan menempatkan dananya di bank tersebut. Legislasi mengenai rahasia bank pertama kali lahir ±300 tahun yang lalu di negara-negara Eropa, termasuk negara yang terkenal akan kerahasiaan perbankannya, Swiss. Tepatnya pada tahun 1713, the Great Council of Geneva (Dewan Agung Jenewa) menetapkan regulasi yang mengharuskan para bankir menjaga catatan nasabah mereka, namun melarang mereka untuk memberitahukan catatan tersebut kepada siapapun kecuali nasabah itu sendiri atau Dewan Kota memberikan persetujuan untuk membuka catatan tersebut.5 Di Indonesia, ketentuan mengenai rahasia bank pertama kali secara tegas diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank yang kemudian dicabut dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Kemudian Undang-undang tersebut diganti dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan maupun Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan samasama mengatur bahwa yang dimaksud rahasia bank adalah seluruh data mengenai nasabah. Pengaturan rahasia bank yang demikian berakibat pinjaman nasabah juga termasuk dalam rahasia bank. Hal yang demikian membuat rahasia bank dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang beritikad buruk untuk melakukan tindakan melawan hukum. Ketentuan rahasia bank dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan kemudian diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang yang baru ini lebih fleksibel dan fokus kepada nasabah penyimpan dan simpanannya saja sehingga memberikan ruang informasi mengenai debitur.6 Ketentuan serupa juga Penulis temukan di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Namun terdapat sedikit perbedaan yaitu tidak hanya nasabah penyimpan dan simpanannya tetapi juga nasabah investor dan investasinya. Perubahan regulasi mengenai rahasia bank kembali terjadi. Perubahan tersebut terletak pada pengalihan berbagai macam kewenangan Pimpinan Bank Indonesia kepada Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan. Jika berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 3 Sutan Remy Sjahdeini, 2005, Rahasia Bank: Berbagai Masalah Disekitarnya, Makalah dalam Diskusi Pengaturan Rahasia Bank di Bank Indonesia pada tanggal 13 Juni 2005, halaman 2. 4 Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 168. 5 Lee Ann Obringer, 2007, How Swiss Bank Accounts Work, http://money.howstuffworks.com/personal-finance/banking/swiss-bank-account.htm, diakses pada tanggal 19 May 2012 pukul 22.03 WITA. 6 Muhamad Djumhana, Op.cit., halaman 172.
4
kemudian diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang berwenang untuk memberikan perintah tertulis kepada bank untuk membuka rahasia bank adalah Pimpinan Bank Indonesia, maka dengan diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan untuk memberikan perintah tertulis kepada bank untuk membuka rahasia bank dialihkan kepada Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan sesuai amanat regulasi tersebut.7 Namun demikian, perubahan regulasi rahasia bank yang ada masih belum mampu mengatasi suatu keadaan dimana orang-orang atau badan hukum yang tidak beritikad baik, menjadikan rahasia bank sebagai benteng untuk berlindung dari penegakan hukum dan merugikan kepentingan pihak lain, terutama kepentingan umum. Salah satu contoh dari keadaan tersebut adalah pemanfaatan rahasia bank untuk mengelak dari pajak. Hal tersebut dimungkinkan bilamana kita mencermati Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Adapun Pasal 41 ayat (1) berbunyi: untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Kemudian, Pasal 41 ayat (2) berbunyi: “Perintah tertulis sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya”. Selain itu, regulasi serupa juga Penulis temukan di dalam Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Adapun Pasal 42 ayat (1) berbunyi: untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat pajak. Kemudian, Pasal 42 ayat (2) berbunyi: “Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyebutkan nama pejabat pajak, nama nasabah wajib pajak, dan kasus yang dikehendaki keterangannya”. Seperti yang telah Penulis ungkapkan sebelumnya, karena kewenangan untuk memberikan perintah tertulis kepada bank untuk membuka rahasia bank telah dialihkan kepada Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan, maka Pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta Pasal 42 ayat (1) dan (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah harus dimaknai sebagai kewenangan Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan bunyi pasal-pasal tersebut, pengelakan pajak dengan memanfaatkan rahasia bank dapat dilakukan oleh wajib pajak dengan cara 7
Pasal 55 ayat (2) jo. Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
5
menyembunyikan keadaan atau perbuatan yang sebenarnya dapat dikenakan pajak, bukan di rekeningnya sendiri, melainkan pada rekening orang lain. Padahal dari berbagai alternatif sumber penerimaan pemerintah, pajak merupakan komponen yang penting bagi pemerintah Indonesia karena terbukti dari tahun ke tahun penerimaan pajak semakin meningkatkan dan mendominasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.8 Disisi lain pajak bukan hanya berfungsi untuk memasukkan uang ke kas negara tetapi juga merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan memenuhi kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kemandirian bangsa dalam melaksanakan pembangunan nasional.9 Berdasarkan latar belakang tersebut, apakah Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank untuk membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan?, dan apakah Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar membuka rahasia bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak, dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Pajak yang dielakkan Wajib Pajak ke dalam simpanan dan/atau investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tersebut?. PEMBAHASAN A. Kewenangan Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan Mengeluarkan Perintah Tertulis Kepada Bank Untuk Membuka Rahasia Bank Demi Kepentingan Perpajakan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai grundnorm memberikan jaminan bahwa Indonesia adalah sebuah negara hukum. Sebagai negara hukum, asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan, terutama bagi negara hukum yang menjalankan sistem hukum eropa kontinental.10 Menurut H. D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt, asas ini dinamakan juga dengan de heerschappij van de wet yang artinya kekuasaan undang-undang.11 Hal tersebut sejalan dengan pendapat R. J. H. M. Huisman yang mengatakan bahwa organ pemerintah tidak dapat menganggap ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang.12 1. Perkembangan Regulasi Rahasia Bank Di Indonesia a. Pra Tahun 1960 Sebelum tahun 1960, tidak ada regulasi yang secara eksplisit mengatur rahasia bank di Indonesia. Namun, jika diperhatikan dengan lebih seksama, di dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-undang Pokok Bank Indonesia disebutkan, Bank Indonesia bertugas untuk memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan Bank Indonesia di Republik Indonesia pada umumnya dan dari urusan kredit nasional dan urusan bank nasional pada khususnya. Kemudian pada ayat (4) berbunyi: Bank, yaitu Bank Indonesia, melakukan pengawasan terhadap urusan kredit. 8
Marihot Pahala Siahaan, 2010, Hukum Pajak Elementer; Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, halaman 21. 9 Ibid. 10 Ridwan H. R., Op.cit., halaman 94. 11 Ibid. 12 Ibid., halaman 103.
6
Menurut Penulis, hal-hal tersebut, khususnya tugas untuk memajukan urusan bank nasional, bermakna bahwa Bank Indonesia seharusnya bertugas untuk membina, mengawasi, dan mengatur segala kegiatan perbankan di Indonesia, karena dalam memajukan suatu urusan, tidak dapat dilakukan secara parsial atau dengan kata lain harus dilakukan secara menyeluruh dan dilakukan oleh satu institusi agar berbagai hal yang memiliki sangkut-paut dengan urusan tersebut selaras. Namun demikian, hal ini merupakan cikal-bakal upaya menjaga kesehatan bank di Indonesia yang dilakukan oleh sebuah lembaga tersendiri, yaitu Bank Indonesia sebagai banking supervision authority. Walaupun upaya pengawasan lebih dititikberatkan pada salah satu sektor di dalam perbankan itu sendiri, yaitu sektor kredit. Upaya menjaga kesehatan perbankan tersebut sangat erat kaitannya dengan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, dimana salah satu caranya adalah dengan menjaga rahasia bank. b. Periode Tahun 1960 – 1967 Pada tanggal 09 Juni 1960, Pemerintah Republik Indonesia mengundangkan sebuah regulasi yang secara khusus mengatur rahasia bank, yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank. Regulasi ini dibentuk dengan tujuan untuk menciptakan rasa percaya masyarakat terhadap institusi perbankan yang pada akhirnya diharapkan dapat menarik minat masyarakat dalam hal menabung dan merupakan sebuah jaminan keamanan terhadap data simpanan-simpanan yang berada di bawah penguasaan bank.13 Regulasi ini, sesuai dengan bentuk formalnya, dibentuk dalam kondisi yang memaksa, dengan alasan: ...perlu diadakan penertiban sekitar rahasia bank, terutama terhadap tindakan-tindakan petugas-petugas Negara yang menyampingkan rahasia bank, agar orang-orang menyimpan uangnya di bank tidak kuatir, bahwa simpanannya dibank itu akan disalahgunakan oleh pihak ketiga. Dengan adanya ketentuan dan penertiban sekitar rahasia bank itu mudahmudahan masyarakat akan merasa lebih lega akan bertambah banyak jaminan hukumnya untuk menyimpan uangnya dibank tanpa batas, hal mana akan menimbulkan iklim baru untuk memberi pengaruh baik terhadap perkembangan ekonomi dan moneter pada umumnya.14 Menyimak alasan yang diterangkan oleh pembuat undang-undang, Peneliti berpendapat bahwa keadaan yang diterangkan dalam penjelasan atas peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut memang memerlukan tindakan cepat karena tindakan-tindakan petugas negara yang menyampingkan rahasia bank tersebut membuat nasabah khawatir akan data-data mengenai dirinya disalahgunakan. Hal tersebut diperparah dengan situasi dan kondisi politik, ekonomi, dan keamanan Indonesia yang tidak kondusif pada di tahun-tahun sebelumnya. Seperti yang telah Penulis ungkapkan sebelumnya bahwa kekhawatiran nasabah dapat memicu
13
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank. 14 Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank.
7
kepanikan yang dapat mengancam perokonomian negara apabila terjadi penarikan dana secara besar-besaran dari bank.15 Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank, bank dilarang untuk memberikan keterangan-keterangan tentang keadaan keuangan langganannya yang tercatat padanya dan hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan.16 Artinya, Pemerintah sebagai regulator menyerahkan jenis hal-hal yang harus dirahasiakan kepada pihak yang merahasiakan, yaitu bank. Penjelasan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank semakin memperjelas bahwa data-data yang dimaksud oleh regulasi ini tidak hanya berupa data-data pribadi mengenai nasabah beserta simpanannya tetapi juga mengenai seluruh transaksi yang dilakukan oleh nasabah di dalam perbankan, termasuk pengiriman uang, cek, bunga dari bank, serta penerimaan, pembayaran, atau penitipan pada Bank sebagai akibat dari pelaksanaan tugas sehari-hari dari Bank. Menurut Penulis, berdasarkan regulasi ini, perlindungan terhadap rahasia bank di Indonesia pada periode waktu ini terlalu berlebihan dan bahkan mengancam perbankan itu sendiri. Hal tersebut dikarenakan, datadata yang dimaksud oleh regulasi ini tidak hanya berupa data-data pribadi mengenai nasabah beserta simpanannya tetapi juga mengenai seluruh transaksi yang dilakukan oleh nasabah di dalam perbankan sebagai akibat dari pelaksanaan tugas sehari-hari dari Bank. Para pihak yang tidak memiliki itikad baik dapat memanfaatkan celah luasnya cakupan rahasia bank untuk mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri dan merugikan orang lain, bahkan dapat merugikan perekonomian negara. Di dalam regulasi ini, demi kepentingan umum dan negara, telah terdapat dua hal yang menjadi batasan atau pengecualian bagi rahasia bank untuk menjamin, salah satunya adalah alasan pajak, beserta dengan prosedur untuk membuka rahasia bank tersebut.17 Menurut Penulis, pengecualian rahasia bank dengan alasan pajak dapat ditinjau dari definisi pajak itu sendiri.18 Sinsian Isa Djajadiningrat berpendapat: Pajak adalah suatu kewajiban menurut peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah serta dapat dipaksakan, untuk menyerahkan sebagian kekayaan kepada negara, yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan, yang memberi kedudukan tertentu bagi si pembayar pajak, tetapi bukan sebagai hukuman, tanpa ada jasa balik dari negara secara langsung, dalam rangka usaha negara untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan umum.19 Berdasarkan definisi tersebut, Penulis berpendapat bahwa pajak merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang sifatnya memaksa kepada negara, pajak tersebut digunakan untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan umum, sehingga Wajib Pajak 15
Iskandar Simorangkir, Loc.cit. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank. 17 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank. 18 Definisi yang diberikan adalah definisi menurut ahli, karena Penulis tidak dapat menemukan definisi resmi yang diberikan oleh undang-undang pada masa itu. 19 Marihot Pahala Siahaan, Op.cit., halaman 32. 16
8
tidak akan menerima manfaat dari pajak yang ia bayarkan secara langsung karena penggunaanya diserahkan kepada negara untuk kepentingan umum. Selain itu, pengecualian rahasia bank dengan alasan pajak juga dapat ditinjau melalui 3 (tiga) dari 4 (empat) fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair atau dikenal juga dengan fungsi fiskal, fungsi distribusi pendapatan, dan fungsi demokrasi. Semua itu karena dana yang dimasukkan kedalam kas negara (fungsi fiskal) akan dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat melalui program program pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur pendidikan, kesehatan, transportasi (fungsi distribusi pendapatan), serta penyelenggaraan kehidupan berdemokrasi (fungsi demokrasi). Hal-hal tersebut berarti Republik Indonesia menganut teori rahasia bank yang bersifat relatif. Berkaitan dengan kewenangan, prosedur atau tata cara untuk membuka rahasia bank, Peneliti berpendapat bahwa Pasal 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank, yang berbunyi: Menteri Keuangan atas permintaan tertulis dari Kepala Jawatan Pajak berwenang untuk memerintahkan kepada bank, supaya memberikan keterangan-keterangan dan memperlihatkan buku-buku, bukti-bukti tertulis atau suratsurat kepada pejabat pajak sebagai dimaksud dalam Pasal 22 Ordonansi Pajak Pendapatan 1944, Pasal 54A Ordonansi Pajak Kekayaan 1932, Pasal 43A Ordonansi Pajak Perseroan 1925, dan Pasal 16 Peraturan Pajak Dividen 1959. Permintaan tertulis tersebut diatas harus menyebutkan wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. Telah sama sekali mengabaikan tugas Bank Indonesia sebagai banking supervision authority sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-undang Pokok Bank Indonesia, yang menugaskan Bank Indonesia untuk memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan Bank di Republik Indonesia pada umumnya dan dari urusan kredit nasional dan urusan bank nasional pada khususnya. Kewenangan untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan yang diserahkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia membuat tata perbankan di Indonesia menjadi rancu dan kacau karena Menteri Keuangan Republik Indonesia adalah atasan langsung dari fiskus, yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik kepentingan bagi Menteri Keuangan Republik Indonesia. Selain itu, pemberian kewenangan untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan diserahkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia juga bertentangan dengan alasan pembentukan peraturan ini, sebagaimana yang diterangkan oleh pembuat undang-undang. Seperti yang telah Penulis ungkapkan sebelumnya, tugas untuk memajukan urusan bank nasional, bermakna bahwa Bank Indonesia seharusnya bertugas untuk membina, mengawasi, dan mengatur segala kegiatan perbankan di Indonesia, karena dalam memajukan suatu urusan, tidak dapat dilakukan secara parsial atau dengan kata lain harus dilakukan secara menyeluruh dan dilakukan oleh satu institusi agar berbagai hal yang memiliki sangkut-paut dengan urusan tersebut berjalan dengan selaras.
9
c. Periode Tahun 1967 – 1992 Pada tahun 1967, diundangkanlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Regulasi ini hadir dengan niat dan semangat untuk memperbaiki tata perbankan, khususnya mengenai organisasi, pengawasan dan bimbingan terhadap kebijaksanaan moneter, serta mengkoordinir, membina, dan mengawasi semua perbankan. Selain itu, regulasi ini membawa semangat untuk memobilisasi dan mengembangkan segala potensi, inisiatif dan daya kreasi rakyat dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum, sehingga dengan demikian segala kekuatan ekonomi potensial dapat dikerahkan menjadi kekuatan ekonomi riil bagi kemanfaatan peningkatan kemakmuran rakyat.20 Peneliti menemukan hal yang sangat kontradiktif dengan niat dan semangat awal diundangkannya regulasi ini ketika menelaah ketentuan yang mengatur rahasia bank, yaitu Pasal 37 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan berwenang untuk memerintahkan kepada bank secara tertulis, supaya memberikan keterangan-keterangan dan memperlihatkan buku-buku, bukti - bukti tertulis atau surat-surat dari seorang nasabah kepada penjabat pajak untuk keperluan perpajakan. Perintah tersebut di atas harus menyebutkan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. Pasal 37 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan yang secara eksplisit menyerahkan kewenangan untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan kepada Menteri Keuangan dan bukan kepada Bank Indonesia, merupakan pengulangan kesalahan yang terjadi pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank. Menurut Penulis, kewenangan untuk memberikan perintah kepada bank agar membuka rahasia bank seharusnya diberikan kepada Bank Indonesia sebagai konsekuensi logis dari semangat memperbaiki tata perbankan, yaitu mengenai organisasi, pengawasan dan bimbingan terhadap kebijaksanaan moneter, serta mengkoordinir, membina, dan mengawasi semua perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-undang Pokok Bank Indonesia dimana Bank Indonesia bertugas untuk memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan Bank di Republik Indonesia pada umumnya dan dari urusan kredit nasional dan urusan bank nasional pada khususnya. d. Periode Tahun 1992 – 1998 Pada tanggal 25 Maret 1992, Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang yang baru ini menggantikan keberadaan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokokpokok Perbankan, namun tidak banyak ketentuan yang berkaitan dengan rahasia bank yang diubah oleh regulasi ini.
20
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokokpokok Perbankan.
10
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dihadirkan karena perbankan dipandang sebagai wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien, yang dengan berasaskan demokrasi ekonomi, mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Selain itu, terhadap institusi perbankan perlu senantiasa terdapat pembinaan dan pengawasan yang efektif, berdasarkan landasan gerak yang kokoh agar institusi perbankan di Indonesia mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar, dan mampu menghadapi persaingan yang bersifat global, mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta mampu menyalurkan dana masyarakat tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan.21 Penulis menemukan bahwa, menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, untuk membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan, yang berwenang untuk memberikan perintah atau izin tertulis tetaplah Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagaimana disebutkan pada Pasal 41 yang berbunyi: untuk kepentingan perpajakan Menteri berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah tertentu kepada pejabat pajak. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan alasan perlunya pembinaan dan pengawasan yang efektif terhadap perbankan, yang menjadi landasan dihadirkannya regulasi ini. Selain itu, pemberian kewenangan untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia tidak memperhatikan kewajiban Bank Indonesia sebagai pembina perbankan dan pengawas urusan kredit di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral yang berbunyi: Pasal 29 (1) Bank memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan perbankan. (2) Bank mengadakan pengawasan terhadap urusan kredit. Pasal 30 Bank membina perbankan dengan jalan: (1) memperluas, memperlancar dan mengatur lalu-lintas pembayaran giral dan menyelenggarakan clearing antar Bank; (2) menetapkan ketentuan-ketentuan umum tentang solvabilitas dan likwiditas Bank-bank; (3) memberikan bimbingan kepada Bank-bank guna penatalaksanaan Bank secara sehat. e. Periode Tahun 1998 – 2011 Pada tahun 1998, lahirlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini lahir untuk menutupi kelemahan-kelemahan dan memperbaiki kesalahan21
Perbankan.
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
1992 tentang
11
kesalahan yang ada pada undang-undang sebelumnya, salah satunya adalah: Agar pembinaan dan pengawasan bank dapat terlaksana secara efektif, kewenangan dan tanggung jawab mengenai perizinan bank, yang semula berada pada Menteri Keuangan, menjadi berada pada Pimpinan Bank Indonesia sehingga Bank Indonesia memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang utuh untuk menetapkan perizinan, pembinaan, dan pengawasan bank serta pengenaan sanksi terhadap bank yang tidak mematuhi peraturan perbankan yang berlaku.22 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan memindahkan kewenangan untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan dari Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana disebutkan oleh Pasal 41 yang berbunyi: untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Kemudian pada tahun 2008, seiring dengan kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah dan kekhususan yang dimiliki oleh perbankan syariah, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama dengan Presiden Republik Indonesia menetapkan sebuah undangundang yang secara khusus mengatur tentang perbankan syariah, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Secara filosofis, undang-undang ini lahir dengan tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah.23 Dalam mengatur rahasia bank, beleid ini serupa dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Hal itu dapat dilihat dari Pasal 42 yang berbunyi: untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat pajak. Penulis setuju dengan langkah yang diambil oleh para pembuat undang-undang, karena sejalan dengan tugas yang diemban Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan di Indonesia, sehingga conflict of interest Menteri Keuangan Republik Indonesia dapat dihindari dan tata perbankan di Indonesia menjadi teratur. 22
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 23 Konsideran a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
12
f. Pasca Diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pada tahun 2011, lahirlah Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Undang-undang ini lahir karena berbagai pertimbangan, yaitu: Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.24 Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang terintegrasi.25 Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembagalembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi.26 Selain pertimbangan-pertimbangan terdahulu, UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang- Undang, juga mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga pengawasan sektor jasa keuangan tersebut di atas pada 24
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 25 Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 26 Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
13
hakikatnya merupakan lembaga bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah.27 Dengan berbagai pertimbangan yang tersebut, seluruh fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 8 huruf c, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang; b. Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; c. Pasal 1 angka 15, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 46, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; akan beralih menjadi fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 31 Desember 2013 berdasarkan Pasal 55 jo. Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Penulis sepakat dengan tindakan yang diambil oleh para pembuat undang-undang dalam hal memindahkan kewenangan untuk membuka rahasia bank dari Pimpinan Bank Indonesia kepada Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan, mengingat gangguan yang muncul di salah satu sektor keuangan dapat merusak sektor keuangan lainnya. Sehingga memang perlu dilakukan restrukturisasi institusi-institusi yang berwenang melakukan pengaturan dan pengawasan pada sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Regulasi dan supervisi yang dilakukan terhadap kegiatan jasa keuangan harus dilakukan secara terintegrasi atau diurus oleh satu institusi tersendiri, agar penangan masalah yang muncul di sektor jasa keuangan dapat cepat diselesaikan. Peralihan fungsi, tugas, dan wewenang untuk membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan dari Pimpinan Bank Indonesia kepada Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-undang 27
Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
14
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan merupakan bentuk perolehan wewenang dengan cara atribusi. Hal ini sesuai dengan pendapat H. D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt Attributie:
toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan. (Atribusi merupakan pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).28 Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh F. A. M. Stroink dan J. G. Steenbeek, yaitu:
Bij attributie gaat het om het toekennen van een nieuwe beveogdheid; bij delegatie gaat het om het overdragen van een reeds bestaande bevoegdheid (door het orgaan dat die bevoegdheid geattubutueerd heeft gekregen, aan een ander orgaan; aan delegatie gaat dus altijd logischewijs vooraf). (Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi)).29 Menurut Peneliti, berdasarkan uraian diatas, peralihan fungsi, tugas, dan wewenang untuk membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan dari Pimpinan Bank Indonesia kepada Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan, merupakan pemberian wewenang pemerintahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama dengan Presiden Republik Indonesia kepada Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan. Maka dengan kata lain, berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada bank untuk membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan. 2. Prosedur untuk Membuka Rahasia Bank Demi Kepentingan Perpajakan a. Pra Berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan 1) Prosedur di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia Di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia, prosedur untuk meminta keterangan atau bukti kepada bank mengenai keadaan simpanan nasabah, yang artinya membuka rahasia bank, diatur dalam Pasal 35 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana terakhir kali telah diubah dengan Undangundang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam beleid ini, permintaan untuk membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan harus dilakukan dengan permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari bank selanjutnya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 201/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Permintaan atau Bukti dari Pihak28
Ridwan H. R., Op.cit., halaman 105.
29
Ibid.
15
pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan. Di dalam regulasi ini Penulis menemukan pengaturan mengenai syarat permintaan keterangan atau bukti secara tertulis, yang minimal harus menyebutkan identitas Wajib Pajak, keterangan dan/atau bukti yang diminta, serta maksud dilakukannya permintaan keterangan dan/atau bukti tersebut. Selain itu juga diatur mengenai batas waktu pemberian keterangan dan bukti yang diminta, yaitu 7 (tujuh) hari sejak izin tertulis dari Bank Indonesia diberikan. Regulasi ini memerintahkan pengaturan mengenai petunjuk pelaksanaan permintaan keterangan atau bukti yang antara lain berupa prosedur permintaan keterangan, prosedur pemanggilan pihak ketiga, prosedur permintaan bukti dan dokumen yang digunakan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Hingga saat ini, belum ada Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur petunjuk pelaksanaan permintaan keterangan atau bukti secara spesifik, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 201/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Permintaan atau Bukti dari Pihakpihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan. Amanat dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 201/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Permintaan atau Bukti dari Pihak-pihak yang Terikat oleh Kewajiban Merahasiakan, yang seharusnya diatur dalam sebuah peraturan tersendiri, justru diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-34/PJ/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, tepatnya pada Pasal 24. Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini pun tidak mengatur sebagaimana dikehendaki oleh Peraturan Menteri Keuangan, yang mengkehendaki pengaturan mengenai permintaan keterangan atau bukti yang antara lain berupa prosedur permintaan keterangan, prosedur pemanggilan pihak ketiga, prosedur permintaan bukti dan dokumen yang digunakan. 2) Prosedur di Lingkungan Bank Indonesia Pasal 41 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyaratkan bahwa untuk membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan, Menteri Keuangan harus meminta kepada Pimpinan Bank Indonesia untuk memberikan perintah tertulis kepada bank agar membuka rahasia bank. Kemudian, perintah tertulis yang dikeluarkan oleh Pimpinan Bank Indonesia itu harus menyebutkan nama pejabat pajak dan nama nasabah wajib pajak yang dikehendaki keterangannya. Hal serupa juga Peneliti temukan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, namun pada perintah tertulis yang dikeluarkan oleh Pimpinan Bank Indonesia tersebut harus ditambah dengan penjelasan mengenai kasus yang menimpa nasabah yang dikehendaki keterangannya. Ketentuan yang mengatur lebih rinci tentang persyaratan dan tata cara untuk membuka rahasia bank diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut terdapat penambahan syarat-syarat untuk membuka rahasia bank, yaitu nama kantor Bank tempat Nasabah
16
mempunyai simpanan; keterangan yang diminta, dan alasan diperlukannya keterangan. Permintaan Menteri Keuangan tersebut ditujukan kepada Gubernur Bank Indonesia u.p. Direktorat Hukum Bank Indonesia Gedung Tipikal Lantai 10 Jalan M. H. Thamrin 2 Jakarta 10110.30 Permintaan Menteri Keuangan tersebut diproses (dalam hal ini diterima atau pun ditolak) oleh Gubernur Bank Indonesia atau Deputi Gubernur Senior atau salah satu Deputi Gubernur dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah surat permintaan diterima secara lengkap oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia.31 b. Pasca Diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Setelah diundangkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka semua prosedur yang ada di lingkungan Bank Indonesia akan beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 31 Desember 2013. B. Kewenangan Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan Mengeluarkan Perintah Tertulis Kepada Bank agar Membuka Rahasia Bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang Bukan Wajib Pajak, Dimana di Dalam Simpanan dan/atau Investasinya Terdapat Dana Pajak yang Dielakkan Wajib Pajak ke Dalam Simpanan dan/atau Investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang Bukan Wajib Pajak 1. Sumber Kewenangan Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dipergunakan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum yang menjalankan sistem hukum kontinental. Menurut H. D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt, asas ini dinamakan juga dengan de heerschappij van de wet yang artinya kekuasaan undang-undang.32 Secara teoritis, seiring dengan wewenang pemerintah yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, terdapat tiga cara untuk memperolehnya, yaitu dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat.33 Tentang atribusi, delegasi, dan mandat, H. D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt berpendapat: a. Attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan. (Atribusi: pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan); b. Delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander. (Delegasi: pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya); dan 30
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. 31 Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. 32 Ridwan H. R., Op.cit., halaman 94. 33 Ibid., halaman 104.
17 c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander. (Mandat: terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya).34 Menurut Penulis, berdasarkan uraian tersebut diatas dan kemudian memperhatikan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penulis tidak menemukan satu pun landasan yang dapat dijadikan pijakan bagi Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar membuka rahasia bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak, dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Pajak yang dielakkan Wajib Pajak ke dalam simpanan dan/atau investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tersebut. Pasal 41 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Pasal 42 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah hanya memberikan pengecualian rahasia bank bagi Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang menjadi Wajib Pajak, artinya rahasia bank Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang bukan Wajib Pajak namun di dalam simpanan atau investasinya terdapat Pajak yang dielakkan Wajib Pajak tidak dapat ditembus. Sedangkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan tidak mengatur perihal pengelakan pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang melibatkan Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang bukan Wajib Pajak dengan memanfaatkan rahasia bank Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang bukan Wajib Pajak, dengan demikian potensi penerimaan negara dari sektor pajak akan berkurang. Tabel 1. Perbandingan Pendapatan Negara Dari Sektor Pajak dan Bukan Pajak.
No.
Tahun Anggaran
Pajak
Bukan Pajak
Jumlah
Nilai
(%)
Nilai
(%)
Nilai
(%)
1.
2007
490.988,6
69,5
215.119,7
30,5
706.108,3
100
2.
2008
658.700,8
67,3
320.604,6
32,7
979.305,4
100
3.
2009
619.922,2
73,1
227.174,5
26,9
847.166,7
100
4.
2010
723.306,7
72,9
268.941,9
27,1
992.248,6
100
5. 2011 873.873,9 72,5 331.471,9 27,5 1.205.345,8 100 Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2007 s.d. 2011.
34
Ibid., halaman 105.
18
Padahal apabila kita mencermati Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, dari berbagai alternatif penerimaan negara, pajak merupakan komponen dengan nilai sumbangan paling besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dibandingkan dengan penerimaan negara dari sektor bukan pajak. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan memperhatikan Tabel 1, walaupun pada tahun 2009 terjadi penurunan, namun secara persentase terjadi peningkatan hingga 6,2%. Demikian juga pada tahun 2008 dan tahun 2010, walaupun secara persentase terjadi penuruan, namun secara nominal terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara merupakan sumber daya yang pada hakikatnya digunakan untuk menyelenggarakan negara, seperti membayar gaji pegawai negeri sipil, militer, kepolisian, utang negara, pertahanan dan keamanan, hingga pelaksaan pesta demokrasi serta untuk kepentingan umum, seperti pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan jalan. Ketiadaan landasan yang dapat dijadikan pijakan bagi Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar membuka rahasia bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan Wajib Pajak, dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Wajib Pajak yang merupakan pajak yang dielakkan Wajib Pajak tersebut di dalam simpanan Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tersebut, merupakan ancaman bagi penerimaan negara dari sektor pajak atau dengan kata lain ancaman bagi kepentingan umum itu sendiri. Ancaman tersebut terjadi karena Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan tidak dapat melakukan tindakan apapun terhadap pengelak pajak yang menyembunyikan pajaknya di dalam simpanan Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan Wajib Pajak. Pada akhirnya, jika Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan tidak dapat melakukan apapun dalam situasi demikian, maka Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia pun akan kehilangan peluang untuk melakukan penindakan terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut yang pada akhirnya kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nominal penerimaan yang lebih besar dari sektor pajak atau dengan kata lain fungsi budgetair atau juga dikenal dengan fungsi fiskal pajak tidak akan tercapai. Seiring dengan tidak tercapainya fungsi fiskal, 2 (dua) dari 3 (tiga) fungsi pajak, yaitu fungsi redistribusi pendapatan dimana pajak digunakan sebagai alat untuk mengalihkan kekayaan dari sebagian masyarakat ke golongan masyarakat lain yang berpenghasilan rendah, dan fungsi demokrasi yang berarti setiap anggota masyarakat ikut berkonstribusi dalam kehidupan bernegara, yaitu tidak hanya menggunakan hak konstitusional tetapi juga menjalankan kewajiban konstitusionalnya,35 juga tidak akan maksimal pelaksanaanya. Berdasarkan uraian diatas, setidak-tidaknya, dua tujuan hukum tidak akan tercapai, yaitu keadilan dan kefaedahan/kemanfaatan. Hal tersebut terjadi karena pengelak pajak lepas tak tersentuh oleh hukum karena hukum belum mengatur mengenai permasalahan ini, sehingga melukai rasa keadilan di masyarakat, khususnya masyarakat yang melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Seiring dengan rasa keadilan yang tidak tercapai maka manfaat hukum bagi masyarakat umum itu sendiri tidak akan tercapai. Sehingga, Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan harus diberikan 35
Marihot Pahala Siahaan, Op.cit., halaman 44-45.
19
kewenangan untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar membuka rahasia bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak, dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Pajak yang dielakkan Wajib Pajak ke dalam simpanan dan/atau investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tersebut. 2. Cara Mengidentifikasi Pengelakan Pajak yang Memanfaatkan Rahasia Bank Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang Bukan Wajib Pajak Pengelakan pajak yang memanfaatkan rahasia bank Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang bukan Wajib Pajak tentu tidak serta-merta dapat diketahui dengan mudah. Oleh karena itu diperlukan instrumen yang dapat dipergunakan untuk mendeteksinya. Menurut Peneliti, Upaya untuk mengidentifikasi pengelakan pajak dengan memanfaatkan alasan rahasia bank Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang bukan Wajib Pajak dapat dilakukan dengan cara mengadaptasi prinsip mengenal nasabah pada perbankan oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk diterapkan pada bidang perpajakan. Adapun prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.36 Menurut Peneliti, terhadap prinsip mengenal nasabah tersebut, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia dapat melakukan penyesuaian atau adaptasi sebagai berikut: a. Mengidentifikasi Wajib Pajak dengan cara meminta calon Wajib Pajak memberikan informasi atau bahan hukum yang lengkap dan akurat, yang kesemuanya itu dibuktikan dengan keberadaan dokumendokumen pendukung, seperti keterangan penghasilan dan data kependudukan dan/atau badan hukum; dan b. Pemantauan dan pengkinian bahan hukum (updating) Wajib Pajak dalam hal terdapat perubahan dokumen-dokumen pendukung Wajib Pajak, yang dilakukan secara periodik pada waktu tertentu untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya situasi yang tidak sesuai profil Wajib Pajak. Dari identifikasi, pemantauan, dan pengkinian Wajib Pajak tersebut akan didapatkan informasi yang utuh dan lengkap mengenai keadaan Wajib Pajak yang sebenar-benarnya. c. Setelah didapatkan informasi yang utuh dan lengkap mengenai keadaan Wajib Pajak yang sebenar-benarnya, jika terjadi ketidaksesuaian profil Wajib Pajak dan jumlah pajak yang diserahkan, maka Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia selanjutnya memeriksa keuangan Wajib Pajak tersebut untuk menemukan kemana pajak tersebut dielakkan. Apabila perlu Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia meminta izin kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk membuka rahasia bank nasabah Wajib Pajak tersebut, sehingga akan terlihat arus transaksi yang mencurigakan dan menemukan kemana pajak tersebut dielakkan. d. Kemudian setelah arus transaksi yang mencurigakan dan kemana pajak yang dielakkan tersebut ditemukan, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia meminta izin kepada 36
Rachmadi Usman, Op.cit., halaman 87.
20
Otoritas Jasa Keuangan untuk membuka rahasia bank nasabah yang bukan Wajib Pajak dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Pajak yang dielakkan Wajib Pajak ke dalam simpanan dan/atau investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tersebut untuk dianalisa. 3. Solusi Bagi Pengelakan Pajak yang Memanfaatkan Rahasia Bank Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang Bukan Wajib Pajak Peluang hilangnya penerimaan negara dari sektor perpajakan karena pengelakan pajak dengan memanfaatkan alasan rahasia bank Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang bukan Wajib Pajak tersebut harus segera diatasi, mengingat alasan yang telah Penulis uraikan sebelumnya. Untuk itu, cara yang dapat ditempuh adalah dengan mengganti dan/atau mengamandemen Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Amandemen dan/atau penggantian dilakukan terhadap UUndangundang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah karena kedua undang-undang tersebut merupakan undangundang yang secara langsung mengatur tentang rahasia bank. Amandemen dan/atau penggantian tidak dilakukan terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan karena regulasi ini hanya akan mengalihkan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam: a. Pasal 8 huruf c, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang; b. Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 16, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 31A, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 37A, Pasal 38, Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 44, Pasal 52, dan Pasal 53 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; c. Pasal 1 angka 15, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 46, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
21
kepada Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 31 Desember 2013 berdasarkan Pasal 55 juncto Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Pada undang-undang hasil amandemen dan/atau penggantian kelak harus dicantumkan klausula yang mengatur tentang wewenang Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar membuka rahasia bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak, dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Pajak yang dielakkan Wajib Pajak ke dalam simpanan dan/atau investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak.
PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank untuk membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan, mengingat Pasal 55 juncto Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan mengalihkan fungsi, tugas, dan wewenang untuk membuka rahasia bank demi kepentingan perpajakan dari Pimpinan Bank Indonesia kepada Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan. 2. Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan tidak berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar membuka rahasia bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak, dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Pajak yang dielakkan Wajib Pajak ke dalam simpanan dan/atau investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tesebut, karena di dalam Undangundang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, tidak ada satupun landasan yang dapat dijadikan pijakan bagi Pimpinan Tertinggi Otoritas Jasa Keuangan untuk mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar membuka rahasia bank Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor Yang Bukan Wajib Pajak, dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Wajib Pajak yang merupakan pajak yang dielakkan Wajib Pajak tersebut di dalam simpanan Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tersebut. B. Saran 1. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia perlu mengadaptasi prinsip mengenal nasabah pada perbankan untuk diterapkan pada bidang perpajakan, adaptasi terutama dilakukan pada bagian identifikasi, pemantauan, dan pengkinian data Wajib Pajak. Penyesuaian atau adaptasi dapat dilakukan sebagai berikut: a. Mengidentifikasi Wajib Pajak dengan cara meminta calon Wajib Pajak memberikan informasi atau bahan hukum yang lengkap dan akurat, yang kesemuanya itu dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen
22
pendukung, seperti keterangan penghasilan dan data kependudukan dan/atau badan hukum; dan b. Pemantauan dan pengkinian bahan hukum (updating) Wajib Pajak dalam hal terdapat perubahan dokumen-dokumen pendukung Wajib Pajak, yang dilakukan secara periodik pada waktu tertentu untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya situasi yang tidak sesuai profil Wajib Pajak. Dari identifikasi, pemantauan, dan pengkinian Wajib Pajak tersebut akan didapatkan informasi yang utuh dan lengkap mengenai keadaan Wajib Pajak yang sebenar-benarnya. c. Setelah didapatkan informasi yang utuh dan lengkap mengenai keadaan Wajib Pajak yang sebenar-benarnya, jika terjadi ketidaksesuaian profil Wajib Pajak dan jumlah pajak yang diserahkan, maka Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia selanjutnya memeriksa keuangan Wajib Pajak tersebut untuk menemukan kemana pajak tersebut dielakkan. Apabila perlu Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia meminta izin kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk membuka rahasia bank nasabah Wajib Pajak tersebut, sehingga akan terlihat arus transaksi yang mencurigakan dan menemukan kemana pajak tersebut dielakkan. d. Kemudian setelah arus transaksi yang mencurigakan dan kemana pajak yang dielakkan tersebut ditemukan, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia meminta izin kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk membuka rahasia bank nasabah yang bukan Wajib Pajak dimana di dalam simpanan dan/atau investasinya terdapat dana Pajak yang dielakkan Wajib Pajak ke dalam simpanan dan/atau investasi Nasabah Penyimpan dan/atau Nasabah Investor yang bukan wajib pajak tersebut untuk dianalisa. 2. Peluang hilangnya penerimaan negara dari sektor perpajakan karena pengelakan pajak dengan memanfaatkan alasan rahasia bank Nasabah Penyimpan/Nasabah Investor yang bukan Wajib Pajak tersebut harus segera ditutupi, dengan cara mengganti dan/atau mengamandemen Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undangundang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Asikin, Zainal, 1997, Pokok-pokok Hukum Perbankan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Djumhana, Muhamad, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung. ________, 2008, Asas-Asas Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung Fuady, Munir, 1999, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Citra Aditya Bhakti, Bandung. ________, 2003, Hukum Perbankan Modern, Buku Kesatu, Citra Aditya Bhakti, Bandung.
23 H. R., Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pres, Jakarta. Hasibuan, H. Malayu S. P., 2005, Dasar-dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta. Hermansyah, 2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Kasmir, 2011, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Rajawali Pres, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung. Siahaan, Marihot Pahala, 2010, Hukum Pajak Elementer; Konsep Dasar Perpajakan Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta. Soeroso, R., 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Suandy, Erly, 2008, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta. Sudarsono, 2007, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2007, Hukum Perbankan; Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta. Suyatno, Thomas, Dkk., 2001, Utama, Jakarta.
Kelembagaan Perbankan, Gramedia Pustaka
Wijanarto, 1997, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. B. Peraturan PerUndang-undangan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-undang Pokok Bank Indonesia. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1960 tentang Rahasia Bank. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana terakhir kali telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
24
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1955 tentang Pengawasan Terhadap Urusan Kredit. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasi Bank. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 201/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Permintaan Keterangan atau Bukti dari Pihak-pihak Yang Terikat Kewajiban Merahasiakan. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER-34/PJ/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. C. Dokumen Hukum, Hasil Penelitian, Tesis, dan Disertasi Nasution, Rina Suryana, 2005, Pengaturan Rahasia Bank Dalam Penanganan Kejahatan Money Laundering (Pencucian Uang) Di Indonesia, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. D. Artikel Jurnal Ilmiah, Artikel Koran, Artikel Internet, dan Makalah Seminar Obringer, Lee Ann, 2007, How Swiss Bank Accounts Work, http://money.howstuffworks.com/personal-finance/banking/swiss-bankaccount.htm, diakses pada tanggal 19 May 2012 pukul 22.03 WITA. Poddar, Ankur, Swati Aggarwal, dan Peevush Razdan, 2009, The Future Of Bank Secrecy & Switzerland, Makalah untuk mempelajari dampak pembatalan kerahasiaan bank pada struktur keuangan global dan perekonomian Swiss pada tanggal 11 Agustus 2009. Simorangkir, Iskandar, 2011, Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental, Buletin Ekonomi, Moneter, dan Perbankan edisi Juli 2011, Jakarta. Sjahdeini, Sutan Remy, 2005, Rahasia Bank: Berbagai Masalah Disekitarnya, Makalah dalam Diskusi Pengaturan Rahasia Bank di Bank Indonesia pada tanggal 13 Juni 2005.