KETIDAKBERDAYAAN MASYARAKAT TANJUNG SIAMBANG DALAM RELOKASI PEMUKIMAN PENDUDUK
NASKAH PUBLIKASI
DISUSUN OLEH : NAMA : HOT WENOVSKA NIM : 100569201046
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2016
SURAT PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
Yang bertanda tangan dibawah ini adalah Dosen Pembimbing Skripsi mahasiswa yang disebut dibawah ini:
Nama
: HOT WENOVSKA
NIM
: 100569201046
Jurusan/Prodi : SOSIOLOGI
Alamat
: Jalan
Nomor TELP : 0812
Email
Bhayangkara, Gang Tongkol IV VII Blok B No. 13
7014 6649
:
[email protected]
Judul Naskah : KETIDAKBERDAYAAN MASYARAKAT TANJUNG SIAMBANG DALAM RELOKASI PERUMAHAN PENDUDUK
Menyatakan bahwa judul tersebut sudah sesuai dengan aturan tata tulis naskah ilmiah dan untuk dapat diterbitkan.
Tanjungpinang, 16 Agustus 2016 Yang menyatakan, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
SITI ARIETA,MA NIP.1983040620150420023
RAHMA SYAFITRI, S.Sos,M.Sos NIP. 1985082020150420001
1
KETIDAKBERDAYAAN MASYARAKAT TANJUNG SIAMBANG DALAM RELOKASI PERUMAHAN PENDUDUK HOT WENOVSKA
SITI ARIETA,MA RAHMA SYAFITRI, S.Sos,M.Sos ABSTRAK Ketidakberdayaan merupakan ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk merubah nasib mereka baik dikarenakan faktor internal maupun faktor eksternal hingga mempengaruhi lingkungan, ekonomi dan masa depannya, sedangkan faktor-faktor keberhasilan relokasi yaitu masyarakat ikut berpartisipasi dalam perencanaan, pemilihan lokasi, identifikasi kebutuhan dasar, desain rumah, pelaksanaan pembangunan, mata pencaharian tidak terganggu, sarana dan prasarana tersedia, hingga komunikasi yang intensif perlu dilakukan, sebagaimana tujuan penelitian maka perlu untuk mengetahui bentuk-bentuk ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan menggunakan dimensi-dimensi variabel ketidakberdayaan oleh Narayan (2000) karena apabila relokasi tersebut tidak berhasil maka akan semakin menyebabkan masyarakat menjadi semakin tidak berdaya. Untuk menjawab tujuan tersebut dilaksanakan penelitian secara deskriptif dengan pendekatan kualitatif, dan alat yang digunakan yaitu pedoman wawancara yang ditujukan kepada sampel bertujuan berjumlah 24 informan dari 844 penduduk Tanjung Siambang yang kesemuanya merupakan warga dalam Rukun Warga I Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang. Hasil analisa dari variabel ketidakberdayaan dengan 10 dimensi dan indikator masing-masing didapati bahwa hasil penelitian ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk kecenderungannya mengarah pada bahwa masyarakat mengalami bentuk ketidakberdayaan dalam hal lokasi yang terpencil, beresiko, kekurangan informasi, pendidikan, keterampilan, kepercayaan diri karena penghasilan yang tidak menentu, tidak memadai dan tidak tersedianya cukup sarana karena penghasilan didapat secara musiman, dan kurangnya nilai tawar masyarakat dalam menentukan segala hal terkait relokasi. Adapun saran dari penelitian ini yaitu diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau lebih optimal dalam memberdayakan masyarakat, memenuhi sarana dan prasarana pemukiman masyarakat serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan sehingga tidak ada kendala nantinya dikemudian hari. Kata Kunci: Ketidakberdayaan, Relokasi, Kemiskinan
2
KETIDAKBERDAYAAN MASYARAKAT TANJUNG SIAMBANG DALAM RELOKASI PERUMAHAN PENDUDUK HOT WENOVSKA
SITI ARIETA,MA RAHMA SYAFITRI, S.Sos,M.Sos ABSTRACT
Powerlessness are disability of individual or community to change the events of his life, because internal factor or external factor until that influence his environment, economic and his future, meanwhile factor that make the relocation gets success are society participated in planning, choosing the location, can identified their basic needs, designing their homes, participating in development, livelihood are safed, infrastructure and services is good, until the communication are intensife between them, so it can shows the purpose of this research and therefore is to see the forms of powerlessness in Tanjung Siambang communities in their relocation to the new place as the government of Riau Islands Province ask them to do which use the interlocking dimension of powerlessness by Narayan (2000), if the relocation is not success there will make the society more suffer in powerless. To answer the goal of the research which is use descriptive research with the qualitative approach, was used the interview guide to gather data from 24 informan that choose in purposive sampling from 844 people village of Tanjung Siambang that all of it in the neighbourhood I of Dompak urban communities of Tanjungpinang City. Results of the analysis of the powerlessness variable with the 10 interlocking dimensions and the indicator within were found that results of the research are trend to form of powerlessness like people are isolated, risky, lack of information, lack of education, lack of skills, lack of confidence because the livelihoods is precarious, inadequate and also unserviced, then the livelihood are seasonal, lack of bargainng power or powerlessness in decision making for relocations. As for the suggestion from this research that is expected from Government of Riau Islands Province to be more optimalise in empowerment, fulfill the services and infrastructure and also let the society get participated in development so there is no problem in the future. Keywords:Powerlessness, Relocation, Poverty
3
pusat pemerintahan adalah milik masyarakat Tanjung Siambang dan masyarakat lainnya, sehingga perlu dilakukan pembebasan lahan terlebih dahulu. Dalam proses pembebasan lahan masyarakat Tanjung Siambang telah memberikan lahan mereka untuk pembangunan Gedung Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau, dimana saat ini lokasi gedung tersebut sangat dekat dengan daerah yang dulunya disebut dengan Tanjung Siambang. Pasca pembangunan pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2012 dibuatkanlah perumahan penduduk tipe 36 yang berlokasi di Tanjung Siambang untuk masyarakat Tanjung Siambang sebagai bentuk apresiasi Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau terhadap partisipasi dalam pembangunan oleh masyarakat Tanjung Siambang, akan tetapi konsekuensinya adalah masyarakat Tanjung Siambang yang tinggal di bagian pesisir pulau Dompak itu harus rela direlokasi ke perumahan tersebut dan meninggalkan rumah lama mereka yang berlokasi di pinggiran pantai tersebut. Perumahan baru yang dibangun pada tahun 2011 hingga 2012 berjumlah 100 unit, jikalau dipikirkan jumlah tersebut kurang dikarenakan jumlah Kepala Keluarga pada saat itu berjumlah 202 Kepala Keluarga. Walaupun ada penduduk masyarakat yang pindah dari Tanjung Siambang menuju daerah yang lain, akan tetapi jumlah yang pindah tidak terlalu signifikan. Pada proses pembangunan perumahan untuk masyarakat Tanjung Siambang tersebut yang didanai dari APBD Provinsi Kepulauan Riau ada terdapat hal-hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Hal tersebut diantaranya adalah penentuan lokasi perumahan Tanjung Siambang yang letaknya agak jauh dari laut padahal perumahan tersebut diperuntukkan bagi masyarakat Tanjung Siambang yang notabene pekerjaan mereka sehari-hari kebanyakan adalah nelayan. Sehingga letak geografis perumahan baru akan membawa pengaruh terhadap pekerjaan mereka. Selain itu merubah kebiasaan atau budaya yang sudah melekat pada masyarakat pesisir juga tidaklah mudah, terlebih lagi menyangkut bentuk fisik rumah yang berubah dari dinding kayu ke dinding bata, lokasi yang berada di darat jauh dari laut, kebiasaan meletakkan perahu untuk mencari ikan yang dekat dengan rumah, kebiasaan mandi, cuci dan kakus serta kebiasaan-kebiasaan lainnya. Selain itu selama ini masyarakat Tanjung Siambang merupakan salah satu masyarakat yang miskin dikarenakan hanya mengandalkan hidupnya
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam proses pembangunan, masyarakat semestinya terlibat dalam keseluruhan proses baik dari identifikasi kebutuhan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan hingga tahap monitoring dan evaluasi secara terus menerus sebagai satu kesatuan proses, ini biasanya disebut dengan pembangunan partisipatif. Oleh karena itu keberhasilan pembangunan tidak semata-mata mengandalkan pemerintah karena peran serta masyarakat juga diperlukan. Dikarenakan masyarakat yang nantinya akan menikmati dan menggunakan hasil pembangunan tersebut. Pembangunan yang dilakukan dengan partisipatif merupakan salah satu bentuk dari pemberdayaan kepada masyarakat, memberdayakan masyarakat berarti merubah masyarakat yang tidak berdaya atau tingkat ketidakberdayaan masyarakat yang tinggi menjadi masyarakat yang berdaya menuju kearah masyarakat yang maju, makmur dan sejahtera. Provinsi Kepulauan Riau adalah provinsi ke-32 sejak pembentukannya pada tahun 2002 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002. Dimana pada pasal 7 disebutkan ibukota Provinsi Kepulauan Riau berkedudukan di Kota Tanjungpinang, oleh sebab itu perlu dilakukan pembangunan pusat pemerintahan provinsi tersebut di Kota Tanjungpinang. Sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Kepulauan Riau Nomor 308.a Tahun 2006 ditetapkanlah lokasi perkantoran Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau yaitu di Pulau Dompak, Kelurahan Dompak, Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang. Pulau Dompak setelah penetapan tersebut, pada awalnya dihuni oleh 202 Kepala Keluarga yang hampir keseluruhannya adalah bersuku Melayu dan mendiami bagian pesisir dari pulau Dompak. Pulau Dompak dengan luas 957 Ha adalah sebuah pulau yang sepi dengan tingkat kepadatan penduduk yang rendah. Masyarakat yang mendiami pulau Dompak berpusat di Tanjung Siambang yang merupakan ujung barat dari pulau Dompak tersebut. Dahulu untuk menuju Tanjung Siambang dengan menggunakan perahu tambang, hal ini dikarenakan belum adanya akses jalan beraspal menuju Tanjung Siambang. Dikarenakan beberapa faktor inilah pulau Dompak dipilih untuk menjadi lokasi pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Proses pembangunan pusat pemerintahan tidak serta merta mudah, hal ini dikarenakan tanah yang nantinya akan dijadikan perkantoran dan fasilitas penunjang 4
sebagai nelayan, dikarenakan mereka hidup di daerah pesisir, jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat Tanjung Siambang tersebut termasuk masyarakat yang tidak berdaya dilihat sisi ekonomi dan sangat tergantung kepada daerah pesisir dan laut untuk kehidupan karena mata pencahariannya adalah nelayan. Sehingga memunculkan pertanyaan apakah pembangunan perumahan bagi masyarakat Tanjung Siambang yang berada di darat atau agak jauh dari pesisir pantai/laut tidak mempengaruhi mereka dalam pekerjaan sebagai nelayan. Apabila setelah itu mereka direlokasi malah akan semakin menjauhkan mereka dari pesisir pantai sehingga semakin susah untuk melaut. Oleh karena itu dari masyarakat yang miskin yang tergantung ekonominya kepada laut dan pesisir yang kurang berdaya itu setelah dipindahkan ke darat malah akan membuat mereka semakin tidak berdaya. Proses pembangunan perlu dilakukan bersama-sama baik yang nantinya akan menjadi obyek pembangunan maupun subjek pembangunan, sehingga perlu melihat siapa saja yang ikut serta dalam proses pembangunan tersebut. Terkait hal tersebut pemerintah dan masyarakat perlu melakukan dialog guna tercapai pembangunan yang tepat guna. Dalam sudut pemerintah tidak hanya dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, akan tetapi perlu juga dari Pemerintah Kota Tanjungpinang, hal ini dikarenakan pulau Dompak termasuk dalam wilayah administratif Kota Tanjungpinang, sehingga Pemerintah Kota Tanjungpinang perlu juga menjadi anggota dalam dialog tersebut, selain itu dalam sudut masyarakat perlu juga ikut dalam proses dialog pembangunan perumahan tersebut, terutama kepada Kepala Keluarga yang nantinya akan direlokasi, tokoh masyarakat hingga pemuka agama yang ada di wilayah Tanjung Siambang tersebut. Siapnya pembangunan perumahan Tanjung Siambang membawa pengaruh baru kepada masyarakat Tanjung Siambang, bahwa harus bersedia untuk direlokasi, salah satu prinsip relokasi menurut Jha dalam Martanto dan Sagala (Tanpa Tahun: 70) yaitu relokasi bukan sekedar merumahkan kembali manusia, namun juga menghidupkan dan membangun kembali masyarakat, lingkungan dan modal sosial. Selain itu perlu dilakukan perencanaan yang efektif dalam membangun daerah sebagai lokasi relokasi. Pemilihan lokasi perumahan memang melihat salah satu prinsip yang disebutkan oleh Jha yaitu lokasi relokasi mengambil tempat sedekat mungkin dengan lokasi asal, akan tetapi dalam konteks masyarakat pesisir yang akan direlokasi ke
perumahan yang sepenuhnya berada di darat itu cukup memberikan perubahan yang berbeda kepada mereka. Dimana hal ini menimbulkan pertanyaan apakah pemilihan lokasi ini tidak melalui proses dialog dan tidak meminta partisipasi dari masyarakat yang akan direlokasi. Lokasi yang dirasa sangat berpengaruh pada masyarakat pesisir yang diminta untuk relokasi ke wilayah darat pasti akan mempengaruhi keadaan ekonomi masyarakat yang sangat tergantung kepada pesisir dan laut sebagai mata pencaharian utama mereka. Permasalahan lain yang menjadi perhatian masyarakat Tanjung Siambang terhadap perumahan yang telah disediakan oleh Pemerintah tersebut yaitu tipe rumah yang hanya bertipe 36, kecil bagi beberapa masyarakat. Terutama bagi mereka yang telah memiliki rumah yang besar, bentuk rumah yang lebih bagus bahkan lokasi rumah yang sudah mereka sukai sangat berpengaruh pada kesediaan mereka untuk direlokasi. Tetapi untuk beberapa masyarakat rumah dengan tipe 36 tersebut sudah dirasa cukup untuk kehidupan mereka. Selain itu masalah yang muncul kemudian adalah fasilitas yang terdapat di perumahan tersebut baik dari listrik dan air. Listrik belum masuk ke Pulau Dompak sehingga mereka juga belum merasakan listrik dari PLN, akan tetapi listrik dari warga setempat yang memiliki mesin cukup memadai bagi mereka walau waktu nyala listrik hanya beberapa jam saja. Dari beberapa masalah di atas dapat disimpulkan kembali yaitu penentuan lokasi perumahan untuk relokasi masyarakat Tanjung Siambang perlu dikaji apakah telah melalui proses pembangunan yang partisipatif dari masyarakat sehingga perlu dilihat jenis partisipasi yang terjadi, dalam proses pembangunan siapa saja pihak yang ikut berpartisipasi dalam penentuan lokasi, jumlah rumah, bentuk rumah, luas rumah maupun dari jumlah keluarga yang nantinya akan mendiami satu rumah tersebut, dan pada akhirnya yang akan dilihat adalah bagaimana partisipasi masyarakat Tanjung Siambang dalam perencanaan pembangunan, penentuan lokasi, dorongan partisipasi masyarakat, jalur partisipasi masyarakat hingga menuju pada bentuk pemberdayaan masyarakat. Dari beberapa masalah di atas yang menjadi dasar dalam upaya mengangkat sebuah judul penelitian mengenai Ketidakberdayaan Masyarakat Tanjung Siambang dalam Relokasi Pemukiman Penduduk.
5
B.
C.
D.
Perumusan Masalah Oleh karena itu setelah melihat uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut: Bagaimanakah bentuk bentuk ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk? Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini yaitu: Untuk mengetahui bentuk-bentuk ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk. 2. Kegunaan Penelitian Dan kegunaan penelitian ini adalah, yaitu: a. Dari hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan tentang pembangunan daerah terutama pada konsep pembangunan berbasis masyarakat serta memberikan masukan dalam pengembangan Sosiologi. b. Hasil penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan masukan dalam pengembangan konsepkonsep ketidakberdayaan masyarakat dalam pembangunan. Konsep Operasional Agar dapat memberikan gambaran yang jelas, serta untuk menghindari kesalahpahaman tentang istilah atau variabel yang ada dalam penelitian ini. Maka perlu kiranya diberikan definisi yang jelas secara konseptual dan operasional yaitu mengenai analisis ketidakberdayaan untuk menjawab rumusan masalah yaitu mengenai bagaimanakah ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk maka digunakan pengertianpengertian sebagai berikut : 1. Ketidakberdayaan yaitu ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk merubah nasib mereka dikarenakan lack of power yaitu ketiadaan kekuasaan, bahwa seseorang atau kelompok itu tidak memiliki kekuasaan terhadap diri mereka sendiri maupun lingkungan di luar mereka dikarenakan pengetahuan yang kurang, pendidikan yang kurang dan lainnya. 2. Kerentanan yaitu ketidakberdayaan karena ketiadaan kontrol diri (lack of personal control) yang berarti tidak mampu untuk menguasai diri sendiri baik secara internal maupun eksternal.
3. Ketergantungan yaitu ketidakberdayaan seseorang atau kelompok yang hanya mengandalkan mata pencaharian dan kebutuhan mereka kepada 1 jenis usaha. 4. Relokasi adalah upaya pemindahan sebagian atau seluruh aktivitas berikut sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari suatu tempat ke tempat lain guna mempertinggi faktor keamanan, kelayakan, legalitas pemanfaatan dengan tetap memperhatikan keterkaitan antara yang dipindah dengan lingkungan alami dan binaan di tempat tujuan. II. KERANGKA TEORITIS A. Alienasi Amitai Etzioni memberikan definisi tentang alienasi yaitu “a social situation which is beyond the control of the actor, and hence unresponsive to his basic needs”. Yang berarti alienasi adalah situasi sosial dimana melampaui kemampuan dari aktor dan dikarenakan itu tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Melvin Seeman memberikan 5 cara dasar untuk melihat alienasi yaitu : ketidakberdayaan (powerlessness), ketidakberartian (meaninglessness), ketidakberaturan (normlessness), isolasi (isolation) dan pengucilan diri sendiri (self-estrangement). B. Ketidakberdayaan (Powerlessness) Melvin Seeman memberikan definisi ketidakberdayaan (powerlessness) yaitu : "the expectancy or probability held by the individual that his own behavior cannot determine the occurrence of the outcomes or reinforcements he seeks" yang berarti bahwa harapan atau kemungkinan yang dimiliki oleh seseorang yang perilakunya sendiri tidak mampu menentukan tercapai atau tidaknya hasil atau bantuan yang dicari. Atau lebih dapat dimengerti dengan "the depiction of man's relation to the larger social order” yaitu gambaran hubungan seorang manusia dengan tatanan sosial masyarakat yang besar. Sebagaimana didefinisikan oleh Seeman, ketidakberdayaan memiliki 2 aspek, yaitu : pertama, “that the person has no confidence in being able to influence the events of his life”. Yang berarti bahwa seseorang tidak memiliki kepercayaan dalam mengubah jalan kehidupannya. Yang dimaksudkan disini yaitu bahwa pihak luar, lingkungan sekitar, masyarakat sekitar, pihak yang berwenang tidak memperhatikan kebutuhan dasar mereka dan mereka sendiri tidak dapat mengubah walau sudah berusaha. Aspek pertama ini lebih mengarah pada faktor eksternal atau berasal dari luar diri seseorang. Sedangkan aspek yang kedua, “the effect it has upon the individual”. Yang berarti bahwa ketidakberdayaan itu diakibatkan oleh dalam diri individu itu sendiri. Aspek ini lebih mengarah pada faktor internal, yang dapat dikarakterisasikan seperti bersikap apatis, putus asa, kehilangan harapan, depresi, pengucilan diri 6
dan ketiadaan motivasi. Akan tetapi Seeman juga melihat bahwa dari 2 faktor itu ketidakberdayaan yang diakibatkan oleh pihak luar akan dapat dipahami sedikit demi sedikit berdasarkan pengalaman seseorang akan tetapi seseorang tersebut tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasinya sebagaimana dikatakan oleh Seeman yaitu “a person will definitely learn less from experiences he conceives to dominated by outsiders, or by chance, which he feels cannot influence”. Pengertian ketidakberdayaan lainnya yaitu menurut Kalekin dan Fishman (1996:97) dalam Senekal (1970:23) yaitu “powerlessness refers to a gap existing between what a person wants to do and what that person feels capable of doing”, yang berarti ketidakberdayaan adalah jarak yang ada antara apa yang seseorang ingin lakukan dan apa yang seseorang rasa mampu untuk dilakukan. Pendapat Kalekin dan Fishman ini diperjelas juga oleh Seeman yang mengatakan bahwa ketidakberdayaan terkait kedalam hal kemampuan dan ketidakmampuan, baik dari dalam diri sendiri maupun dikarenakan pengaruh dari luar diri orang tersebut. Menurut pendapat ahli lainnya yaitu Robert Chambers yang memasukkan ketidakberdayaan dalam 5 unsur perangkap kemiskinan (deprivation trap) yang terdiri dari : 1. Poverty (kemiskinan itu sendiri), 2. Kelemahan fisik, 3. Keterasingan atau kadar isolasi, 4. Kerentanan (vulnerability) dan 5. Ketidakberdayaan (powerlessness). Menurut Chambers dalam Suyanto (2010) yang mengatakan bahwa ketidakberdayaan kaum miskin itu disebabkan oleh ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi kaum yang berkuasa/penguasa atau yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan menjadi kunci dalam perangkap kemiskinan selain dari kerentanan, hal ini dikarenakan ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk merubah nasib mereka dari kemiskinan akan memperburuk keadaan mereka sendiri selain itu ditambah adanya pengaruh kekuasaan dari luar yang tidak menginginkan masyarakat yang miskin itu untuk berubah atau penguasa itu melakukan penipuan dengan mengatakan akan memberikan perubahan akan tetapi hanya merubah masyarakat yang tidak tahu-menahu malah bertambah menjadi miskin karena kebijakan yang salah. Selain beberapa pendapat di atas terdapat beberapa bentuk ketidakberdayaan yang salah satu disebutkan oleh Sadan (1997:116) yang mengatakan bahwa salah satu bentuk ketidakberdayaan adalah ketergantungan ekonomi (economic dependence). Sadan mengatakan ketidakberdayaan merupakan kunci untuk proses pemberdayaan sesuai dengan definisinya tentang pemberdayaan yaitu pemberdayaan individu merupakan proses pembangunan dalam kerangka
sosial: yaitu sebuah proses dari ketidakberdayaan dan dari bayang-bayang ketidakberdayaan tersebut kearah kehidupan yang aktif dan kemampuan untuk bertindak dan untuk mengambil inisiatif dalam hubungan ke lingkungannya dan masa depannya. Salah satu bentuknya yaitu ketergantungan ekonomi, jika seseorang atau masyarakat masih tergantung ekonominya kepada 1 (satu) atau sedikit kegiatan untuk menghidupi keluarganya atau tergantung kepada suatu keadaan dan kekuasaan maka perlu dilakukan pemberdayaan. Maka apa yang dikatakan oleh Sadan ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Seeman dan Rotter mengenai ketidakberdayaan yaitu ketidakberdayaan manusia dalam merubah nasib mereka dikarenakan ketergantungan baik itu berasal dari diri mereka sendiri maupun ketergantungan dari luar. Sehingga dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan pengertian ketidakberdayaan yaitu ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk merubah nasib mereka baik dikarenakan faktor internal maupun faktor eksternal hingga mempengaruhi lingkungan, ekonomi dan masa depannya. Menurut Narayan, Dkk telah menyusun dimensi dari ketidakberdayaan sebagai dikatakan oleh Narayan yaitu : “Powerlessness it has multiple dimensions, interlocking dimensions. The dimensions combine to create and sustain powerlessness, a lack of freedom of choice and action. Each dimension can cause or compound the others. Not all aplly all the time or in every case, but many apply much of the time. For those caught in multiple deprivations, escape is a struggle. To describe this trap poor people use the metaphor of bondage, of slavery, of being tied like bundles of straw. Ten interlocking dimensions of powerlessness and illbeing emerge from poor people’s experiences : (1). Livelihoods and assets are precarious, seasonal adn inadequate; (2) places of the poor are isolated, risky, unserviced and stigmatized; (3) the body is hungry, exhausted, sick and poor in appearance; (4) gender relations are troubled and unequal; (5) social relations are discriminating and isolating; (6) security is lacking in the sense of both protection and peace of mind; (7) behaviors of those more powerfull are marked by disregard and abuse; (8) institutions are disempowering and excluding; (9) organizations of the poor are weak and disconnected; (10) capabilities are weak because of the lack of information, education, skills and confidence.
7
Dari Narayan, Dkk tersebut dapat disusun dimensi ketidakberdayaan dan indikatornya, yaitu sebagai berikut : 1. Mata Pencaharian (Livelihoods) yaitu sumber penghasilan dengan indikator yaitu : sumber penghasilan tidak menentu (precarious), sumber penghasilan didapat secara musiman (seasonal), sumber penghasilan tidak memadai (inadequate); 2. Tempat (Places) yaitu tempat tinggal dengan melihat apakah tempat tinggal itu letaknya terpencil (isolated), tempat tinggalnya berisiko (risky), tempat tinggalnya tidak memiliki sarana yang memadai (unserviced) dan tempat tinggalnya memberikan kesan buruk atau tidak baik (stigmatized); 3. Keamanan (Security) yaitu perasaan psikologi berkaitan kenyamanan dan aman dan melihat ketidakberdayaan dalam hal keamanan yaitu ketiadaan perlindungan (lack of protection) dan ketiadaan ketenangan pikiran (peace of mind); 4. Sikap (Behaviors) yaitu sikap dari pihak yang berwenang apakah sikap mereka kepada pihak yang dibawahnya yaitu bersikap tidak peduli/mengacuhkan (Disregard) dan sikap mereka menyalahi aturan atau menyalahi kewenangan yang ada pada mereka (abuse by the more powerfull); 5. Institusi (Institutions) yaitu tindakan institusi yang berwenang kepada masyarakat yaitu bertindak melemahkan masyarakat (disempowering) dan bertindak mengucilkan atau mengecualikan masyarakat (excluding); 6. Organisasi (Organizations) yaitu melihat organisasi yang ada di masyarakat apakah organisasi masyarakat tersebut lemah (weak) dan organisasi tersebut kurang terorganisir atau tidak berhubungan dengan masyarakat (disconnected); 7. Kemampuan (Capabilities) yaitu melihat kemampuan masyarakat lemah karena kekurangan informasi (lack of information), kurang berpendidikan (lack of education), kurang terampil (lack of skills) dan kurang percaya diri (lack of confidence); 8. Hubungan Gender (Gender Relations) yaitu melihat hubungan gender yang ada di masyarakat apakah bermasalah (troubled) dan terjadi ketidaksetaraan gender di masyarakat (unequal); 9. Hubungan Sosial (Sosial Relations) yaitu melihat hubungan sosial yang ada di masyarakat bersifat diskriminasi (discriminating) dan bersifat terkucil (isolating); 10. Tubuh Manusia (The Body) yaitu melihat kondisi keadaan masyarakat apakah dalam kondisi kelaparan (hungry), dalam kondisi kelelahan (exhausted), dalam kondisi sakit
(sick) dan dalam kondisi miskin dalam penampilan (poor in appearance). C. Masyarakat Pesisir Hal yang penting dipahami sebelum membahas karakteristik sosial masyarakat pesisir, khususnya kaum nelayan, adalah konsep masyarakat itu sendiri. Telah banyak definisi masyarakat. Salah satunya, Horton et al (1991) dalam Satria (2015) mendefinisikan masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri, yang hidup bersama-sama cukup lama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Ada lagi Ralph Linton (1956) dalam Sitorus et al (1998) dalam Satria (2015) yang mengartikan masyarakat sebagai kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan secara jelas. Sementara itu, Soerjono Soekanto (1995) dalam Satria (2015) merinci unsur-unsur masyarakat sebagai berikut: a. Manusia yang hidup bersama, b. Mereka bercampur untuk waktu yang lama, c. Mereka sadar sebagai suatu kesatuan, dan d. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1990) dalam Satria (2015) memaknai masyarakat sebagai komunitas dengan mengacu pada satuansatuan sosial dan unsur-unsur pengikat satuan sosial tersebut, satuan sosial mencakup kerumunan, golongan sosial, kategori sosial, jaringan sosial, kelompok, himpunan dan komunitas. Sementara itu, unsur pengikat mencakup pusat orientasi, sarana interaksi, aktivitas interaksi, kesinambungan, identitas tempat, lokasi, sistem adat dan norma, organisasi tradisional, organisasi buatan dan pimpinan, dan masih menurut Koentjaraningrat, identitas tempat merupakan unsur pengikat yang penting dan dapat membedakannya dari satuan sosial lainnya, sebagai contoh dalam penelitian ini yaitu masyarakat Tanjung Siambang, masyarakat mengikat satuan sosial mereka pada identitas tempat mereka tinggal yaitu Tanjung Siambang sehingga mereka menamakan masyarakat mereka masyarakat Tanjung Siambang. Baik yang sudah pindah ke perumahan baru maupun masih di kampung lama, masyarakat masih lekat pada identitas tempat yaitu Tanjung Siambang. D. Relokasi Menurut Jha et al (2010) dalam Martanto dan Sagala (2010:70) relokasi adalah sebuah proses dimana pemukiman masyarakat, aset dan infrastruktur publik dibangun kembali di lokasi lain, sedangkan menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2011) relokasi merupakan bagian dari pemukiman kembali (resettlement) di lokasi yang 8
baru di luar kawasan rawan bencana. Menurut Martanto dan Sagala (2010:70) relokasi adalah upaya pemindahan sebagian atau seluruh aktivitas berikut sarana dan prasarana penunjang aktivitas dari suatu tempat ke tempat lain guna mempertinggi faktor keamanan, kelayakan, legalitas pemanfaatan dengan tetap memperhatikan keterkaitan antara yang dipindah dengan lingkungan alami dan binaan di tempat tujuan. Dalam melaksanakan relokasi terdapat beberapa prinsip yang harus dipegang sebagai pedoman. Menurut Jha et al (2010) dalam Martanto dan Sagala (2010:70) menyebutkan beberapa prinsip tentang relokasi yaitu: a. Perencanaan relokasi yang efektif adalah yang bisa membantu membangun dan melihat secara positif; b. Relokasi bukanlah sebuah pilihan yang harus dilakukan karena resiko bisa dikurangi dengan mengurangi jumlah penduduk pada suatu pemukiman daripada memindahkan seluruh pemukiman; c. Relokasi bukan sekedar merumahkan kembali manusia, namun juga menghidupkan dan membangun kembali masyarakat, lingkungan dan modal sosial; d. Lebih baik menciptakan insentif yang mendorong orang untuk merelokasi daripada memaksa mereka untuk meninggalkan; e. Relokasi seharusnya mengambil tempat sedekat mungkin dengan lokasi asal mereka; f. Masyarakat di lokasi yang akan ditempati merupakan salah satu yang mendapatkan dampak dari relokasi dan harus dilibatkan dalam perencanaan. Jha et al (2010) dalam Martanto dan Sagala (2010:71) menyebutkan beberapa kriteria mengenai faktor-faktor keberhasilan relokasi, yaitu sebagai berikut: a. Masyarakat yang direlokasi ikut berpartisipasi dalam relokasi dan keputusan implementasi (pemilihan lokasi, identifikasi kebutuhan dasar, perencanaan pemukiman, desain rumah dan implementasi pembangunan); b. Mata pencaharian tidak spesifik pada lokasi sehingga tidak terganggu; c. Air, angkutan umum, pelayanan kesehatan, pasar dan sekolah dapat diakses dan terjangkau; d. Orang dapat membawa barang-barang yang berhubungan dengan spiritual, budaya atau nilai emosional tinggi (benda-benda keagamaan, bagian-bagian bangunan diselamatkan, patung atau landmark lokal lainnya); e. Orang pada kelompok masyarakat yang sama, bersama-sama dipindahkan ke lokasi baru;
f. Keterikatan emosional, spiritual dan budaya lampiran pada lokasi yang sama tidak terlalu tinggi; g. Desain rumah, tatanan pemukiman, habitat alami, dan fasilitas masyarakat sesuai dengan cara hidup masyarakat; h. Penilaian resiko sosial, lingkungan dan bahaya mengkonfirmasi bahwa resiko tidak dapat dikurangi di lokasi lama, sementara masyarakat yakin dengan kesesuaian tempat relokasi; i. Komunikasi yang intensif dengan kelompok sasaran dan transparan; j. Mekanisme penyelesaian keluhan yang efektif; k. Relokasi dan bantuan untuk mengurangi dampak ekonomi yang didanai secara memadai selama periode waktu yang wajar. Faktor-faktor kegagalan relokasi yang juga menurut Jha (2010) yaitu adalah sebagai berikut : a. Tidak memadainya lokasi yang baru; b. Jarak yang jauh dari sumber penghidupan dan jaringan sosial; c. Susunan pemukiman yang tidak sesuai dengan keadaan sosial budaya; d. Kurangnya partisipasi masyarakat; e. Kurangnya anggaran untuk relokasi. Dalam penelitian ini selaras pada pemikiran Jha et al (2010) dalam Martanto dan Sagala (2010:73) yaitu partisipasi semua pihak terkait dalam pelaksanaan suatu kebijakan dalam hal ini relokasi merupakan salah satu pendukung dari keberhasilan pelaksanaan kebijakan itu. Singkatnya kegagalan dan keberhasilan relokasi dipengaruhi oleh faktor partisipasi masyarakat, masyarakat yang direlokasi berpartisipasi dalam relokasi dan juga berpartisipasi dalam penentuan keputusan implementasi (pemilihan lokasi, identifikasi kebutuhan dasar, perencanaan pemukiman, desain rumah dan implementasi). III. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lebih lanjut Arikunto (2010:3) yang dimaksud penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau hal lain-lain yang sudah disebutkan, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, 9
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang terdapat atau terjadi di masyarakat khususnya mengenai . 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian diambil secara purposive (sengaja), yaitu ditetapkan secara sengaja berdasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu (Faisal, 2001). Penelitian mengambil lokasi di Tanjung Siambang, Pulau Dompak, Kelurahan Dompak, Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Pemilihan lokasi didasari alasan yang sangat penting yaitu karena lokasi pusat pembangunan kantor Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau terletak di pulau Dompak yang terdampak pada masyarakat Tanjung Siambang yang akan direlokasi ke Perumahan Tanjung Siambang yang berdekatan dengan kantor Gubernur Kepulauan Riau. 3. Populasi Dan Sampel a. Populasi Populasi adalah suatu kumpulan menyeluruh dari suatu objek yang merupakan perhatian penelitian atau populasi adalah keseluruhan subjek penelitian untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian Arikunto (2010:173). Menurut Spradley (dalam Sugiyono,2011:215) dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi social situation atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Pada situasi sosial atau partisipan, dapat diamati secara mendalam aktivitas (activity) orang-orang (actors) yang ada pada tempat (place) tertentu. Adapun Populasi yang diambil yaitu seluruh masyarakat Tanjung Siambang, Pulau Dompak. b. Sampel Arikunto (2010:174) menyebutkan “Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti”. Sedangkan menurut Sugiyono (2011:81) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive
sampling yaitu sampel bertujuan dilakukan dengan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Pengambilan sampel dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sebanyak mungkin dari berbagai sumber. Maksud kedua dari sampling adalah mengenali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebanyak 24 orang informan. Adapun alasan pengambilan sampel sebanyak ini untuk memperoleh informasi yang akurat dan sampel yang diambil adalah yang kompeten dan berdasarkan keterwakilan gender baik laki-laki maupun perempuan serta berhubungan langsung dengan ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk yaitu dengan kriteria pemilihan informan adalah masyarakat Tanjung Siambang dengan rentang umur antara 20 tahun hingga 75 tahun baik penduduk yang telah relokasi ke perumahan baru Tanjung Siambang maupun penduduk yang masih bertempat tinggal di kampung Tanjung Siambang. 4. Jenis Dan Sumber Data a. Jenis Data 1) Data Primer yaitu data yang diterima langsung dari informan, berkaitan dengan partisipasi masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk. 2) Data sekunder yaitu sumber data kedua selain data primer berupa data tertulis yakni data yang diperoleh atau yang dikumpulkan berupa buku-buku dalam daftar pustaka dan akses internet serta dokumen pendukung lainnya dalam kebijakan. Serta data dari media massa, dan dari Kelurahan Dompak dan dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. b. Sumber Data Menurut Lofland (dalam Moleong, 2009:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, 10
selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data pada penelitian ini didapat dari wawancara dan observasi yang dilakukan terhadap informan. 5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah mendapatkan data Sugiyono (2011:224). Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan atas metode serta situasi dan kondisi lapangan yang dijadikan objek dalam penelitian. Untuk itu perlu ditentukan teknik pengumpulan data yang digunakan sebagai berikut : a.
b.
Observasi ini dilaksanakan untuk mengamati secara langsung objek penelitian, baik berupa bentuk kegiatan yang dilaksanakan maupun keadaan lingkungan, sarana, prasarana, dan lain-lain. Berdasarkan alasan tersebut, sesuai dengan pengamatan observasi menurut Nasution (dalam Sugiyono, 2011:226) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Guba dan Lincolin (dalam Moleong, 2009:125) mengemukakan bahwa: “Teknik pengamatan didasarkan atas pengamatan secara langsung, memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana terjadi pada keadaan sebenarnya”. Sebagaimana menurut Nazir (2003:175) observasi langsung atau pengamatan langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Pada dasarnya observasi dijadikan sebagai salah satu cara pengumpulan data secara langsung berdasarkan pengamatan. Dalam penelitian ini, observasi digunakan untuk memperkaya sumber data lainnya. Adapun aspek-aspek yang di observasi yaitu proses pembelajaran, proses interaksi, peserta didik, instruktur dan lingkungan pembelajaran. Observasi dilakukan untuk melihat atau mengamati ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk, dengan alat pengumpulan data yaitu check list atau panduan pengamatan.
Wawancara (interview) Teknik pengumpulan data yang paling utama digunakan yaitu wawancara, dapat dipandang sebagai teknik pengumpulan data dengan tanya jawab, yang dilakukan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian. Menurut Moleong (2009:135) bahwa “Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu”. Selanjutnya Esterber dalam Sugiyono (2011:231) menjelaskan bahwa: “wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu”. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dari informan, sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya. Kemudian berguna untuk mengetahui lebih mendalam mengenai masalah penelitian dari sudut pandang ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk yang dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan (interview guide). Observasi (observation)
6.
11
Teknik Analisa Data Adapun teknik analisa data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, sebagaimana penjelasan tersebut dikemukakan oleh Moleong (2009:248), yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menyintesiskan data, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Selanjutnya data-data yang didapat dari para informan dan selanjutnya
di analisa antara data dari satu informan dengan informan yang lain sehingga dapat diketahui segala bentuk ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk.
Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat dengan melihat lokasi tempat perumahan warga dengan dimensi terpencil dengan hasil wawancara kepada pak J (38) yang merupakan informan kunci, mengatakan bahwa: “lokasi perumahan baru Tanjung Siambang lokasinya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat Tanjung Siambang, karena lokasinya agak jauh dari bibir pantai yang digunakan warga untuk meletak sampan, sehingga tidak dapat mengawasi sampan tersebut, sudahlah jarak agak jauh, itupun komplain masyarakat, karena saya juga baru jadi RW tapi saya tau kalo masyarakat berkeberatan pada lokasi ini, kalo untuk lokasi perumahan Tanjung Siambang maupun kampung lama Tanjung Siambang itu memang terpencil lokasinya, jauh dari pusat kota Tanjungpinang, mau ke kota juga jauh, tidak ada transportasi umum dari sini ke kota”.
IV. ANALISA DATA 4.1 Karakteristik Informan Sebelum membahas mengenai ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk, maka terlebih dahulu akan dikemukakan karakteristik informan dalam penelitian ini. Adapun karakteristik yang disajikan meliputi jenis kelamin informan, umur informan, pekerjaan informan dan pendidikan terakhir informan. Seluruh informan merupakan masyarakat Tanjung Siambang Kelurahan Dompak Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau. 4.2 Analisa Data Ketidakberdayaan Masyarakat Tanjung Siambang Dalam Relokasi Pemukiman Penduduk Analisa data variabel dalam penelitian ini yaitu ketidakberdayaan dilakukan dengan analisa deskriptif kualitatif. Dalam analisa deskriptif kualitatif ini dilakukan untuk mengetahui bentukbentuk ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Analisa data ini menggunakan konsep ketidakberdayaan (powerlessness) oleh Narayan, Chambers, Shah dan Petesch (2000) yang mengemukakan 10 Dimensi Ketidakberdayaan (10 dimensions of powerlessness and illbeing) yang dikembangkan untuk penelitian tentang kemiskinan dan ketidakberdayaan kepada 20.000 orang miskin di 23 negara di dunia termasuk di Indonesia. Berikut analisa data untuk mengetahui bentuk-bentuk ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk, yaitu : 4.2.1 Ketidakberdayaan Ketidakberdayaan yaitu ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk merubah nasib mereka dikarenakan lack of power yaitu ketiadaan kekuasaan, bahwa seseorang atau kelompok itu tidak memiliki kekuasaan terhadap diri mereka sendiri maupun lingkungan di luar mereka dikarenakan pengetahuan yang kurang, pendidikan yang kurang dan lainnya. Uraian tentang ketidakberdayaan dalam tanggapan informan dapat dilihat melalui beberapa indikator yaitu sebagai berikut : a. Terpencil (Isolated) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah tempat tinggal itu letaknya terpencil, beresiko, tidak memiliki sarana atau memberikan kesan tidak baik..
Senada dengan pendapat pak M.A (62) yang menyatakan bahwa: “lokasi Tanjung Siambang ini terpencil, dibelakang Tanjung Siambang ini baru ada kota Tanjungpinang, cobalah lihat peta, hampir diselatan. Transportasi umum susah, dulu jalan raya juga susah, sekarang aja sejak dibukanya ibukota Provinsi Kepulauan Riau di Dompak, maka akses jalan raya sudah ada, lampu penerangan juga sudah ada, tapi kalo dilihat dari tempat atau lokasi, Tanjung Siambang ini masih dapat dikatakan terpencil”. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa kampung Tanjung Siambang itu letaknya agak terpencil diujung barat daya pulau Dompak. Dengan letak rumah yang tidak jauh dari bibir pantai dan bahkan terdapat pelantar pelabuhan yang lumayan panjang untuk akses ke kampung Tanjung Siambang, sedangkan dulu akses jalan belum terlalu baik, akan tetapi sekarang akses jalan raya sudah beraspal dan sudah lebih baik, itupun hanya sampai depan kampung Tanjung Siambang sedangkan untuk di Perumahan Baru Tanjung Siambang akses jalan raya sudah beraspal dengan sangat baik, sampai di depan rumah sudah beraspal dan sudah seperti perumahan di perkotaan. Apabila di perumahan Baru Tanjung Siambang tidak dapat dikatakan terpencil walau lokasi sangat jauh, hal ini dikarenakan letak Perumahan Baru Tanjung Siambang hanya berjarak 700 meter dari Pusat Pemerintahan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau. Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat Narayan, dkk yaitu “poor people live in areas that are geographically isolated” yang 12
“bahwa lokasi Tanjung Siambang beresiko terhadap angin dan musim hujan badai”. Narayan, dkk menyatakan bahwa lokasi yang beresiko itu tidak memiliki infrastruktur dasar, tidak sehat dan rentan kepada bencana alam. c. Ketiadaan Perlindungan (Lack of Protection) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah masyarakat merasakan ada atau tidak adanya perlindungan. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa untuk di kampung Tanjung Siambang masyarakat sangat merasa aman dikarenakan hampir semua orang di dalam masyarakat saling mengenal dan hampir kesemuanya memiliki persamaan yaitu persamaan dalam hal persaudaraan. Menurut beberapa informan, di kampung Tanjung Siambang sangat aman, tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk terkait keamanan, dan perbandingan untuk di Perumahan Baru Tanjung Siambang, menurut informan kunci yang diwawancarai dan informan lainnya mengatakan agak aman di lingkungan tersebut, cuma agak cemas dikarenakan mereka tinggal di perumahan, sehingga nanti dipikir yang tinggal disitu adalah orang-orang berada yang memiliki banyak uang, apalagi jikalau malam agak gelap dikarenakan beberapa rumah tidak memiliki penerangan karena belum teraliri listrik, jikapun teraliri listrik itu berasal dari mesin generator set yang dimiliki tidak semua warga masyarakat dan jangka waktu nyala listrik tidak terlalu lama. Selain itu yang membuat cemas adalah tidak adanya portal perumahan, sehingga orang dari luar dapat masuk dengan leluasa, sehingga kewaspadaan masyarakat yang dituntut lebih untuk menjaga keamanan rumah mereka sendiri. Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan semua informan lainnya menyatakan bahwa: “tidak ada yang salah dengan pemerintah dalam memberikan keamanan, dikarenakan rasa aman itu muncul dari masyarakat itu sendiri”. d. Ketenangan Pikiran (Peace of Mind) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah masyarakat merasakan ada atau tidak adanya ketenangan pikiran. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa hampir kebanyakan masyarakat Tanjung Siambang sudah merasa tenang di dalam pikiran mereka. Hanya ada beberapa hal yang mengganjal terutama untuk di kampung Tanjung Siambang yaitu ketidaktenangan pikiran dalam hal keharusan untuk pindah dan mendapat ganti rugi yang tidak seberapa dari pemerintah. Sedangkan untuk warga di perumahan baru Tanjung Siambang tidak terlalu cemas masalah relokasi, dikarenakan mereka sudah berada di tempat relokasi, hanya saja yang masih
berarti masyarakat miskin tinggal di area yang secara geografis terisolasi. Sama hal nya seperti hasil wawancara di atas didapati bahwa lokasi Tanjung Siambang itu terpencil dan terisolasi dulunya tetapi sekarang sudah terdapat akses jalan dan dekat dengan pusat ibukota Provinsi Kepulauan Riau. b. Beresiko (Risky) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah tempat tinggal itu letaknya terpencil, beresiko, tidak memiliki sarana atau memberikan kesan tidak baik.. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa kampung Tanjung Siambang itu letaknya agak beresiko dikarenakan banyak rumah warga yang menghadap ke laut. Apabila terjadi angin kuat maka beresiko tertiup angin, atau atap terangkat oleh angin. Jikalau ombak kuat maka agak tidak terlalu beresiko dikarenakan rumah-rumah di kampung Tanjung Siambang agak jauh dar bibir pantai sekitar 25 meter dari bibir pantai. Oleh karena itu yang paling beresiko adalah angin kuat yang mempengaruhi resiko rumah-rumah di kampung Tanjung Siambang. Dalam penelitian ini membandingkan dengan rumah di Perumahan Baru Tanjung Siambang yang terbuat dari batu bata, resiko ketahanan terhadap angin sudah lebih baik, ketimbang rumah-rumah di kampung Tanjung Siambang yang kebanyakan terbuat dari kayu. Kemudian resiko terhadap ombak besar juga tidak terlalu berpengaruh di Perumahan Baru Tanjung Siambang. Hal ini dikarenakan letak Perumahan Baru Tanjung Siambang sekitar 40 meter. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara dengan informan yang diwakili oleh pak Ju (39) yang mengatakan bahwa: “setiap rumah itu memiliki resiko bang, kalo rumah di kampung Tanjung Siambang itu resiko lebih besar karena lebih dekat ke laut dan kebanyakan rumahnya terbuat dari kayu walau ada beberapa yang terbuat dari bata, resiko paling utama yang angin kuat atau kencang atau ketimpa oleh pohon-pohon yang tumbang karena ditiup angin kencang, kalo di perumahan baru Tanjung Siambang mungkin resiko lebih sedikit, walau lokasi juga agak berdekatan dengan laut akan tetapi resiko ketimpa pohon mungkin kecil tapi kalo resiko atap terangkat angin lumayan besar karena berada di tanah yang terbuka, jadi intinya rumah-rumah di Tanjung Siambang ini memiliki resikonya tersendirilah.” Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan semua informan lainnya menyatakan bahwa: 13
mengganjal yaitu sarana dan prasarana serta rasa aman sebagaimana tersebut di indikator di atas. Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan semua informan lainnya menyatakan bahwa: “bahwa kami masih bisa berpikir tenang dan tidak terlalu pusing, hanya saja sarana yang sampai sekarang belum didapat”. e. Tidak mengacuhkan/tidak peduli (Disregard) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah sikap pihak berwenang itu tidak peduli kepada masyarakat atau peduli kepada masyarakat. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa dari informan yang berada di kampung Tanjung Siambang, mereka merasakan sikap pemerintah Provinsi Kepulauan Riau tidak terlalu memperdulikan mereka dikarenakan biaya ganti rugi yang diminta oleh masyarakat tidak dapat dinegosiasikan lebih lanjut karena secara sepihak pemerintah provinsi telah menentukan harga tanah ganti rugi kepada masyarakat. Dari informan memang tidak mau menyebutkan berapa harga tanah yang ditawarkan kepada masyarakat Cuma mereka berkata bahwa harga itu tidak cukup dan tidak masuk akal, bahkan sangat merugikan masyarakat. Untuk warga masyarakat yang sudah relokasi, mereka pindah dikarenakan kondisi rumah mereka sudah rusak dan tanah mereka tidak terlalu luas, sedangkan yang masih berada di kampung Tanjung Siambang itu menganggap bahwa harga yang dtetapkan tidak sesuai karena tanah mereka luas dan apabila dijual tidak dapat dibagi kepada saudara-mara yang ada. Selain itu berbeda respon dari warga masyarakat di perumahan baru Tanjung Siambang, mereka juga merasa pemerintah tidak peduli dengan mereka, akan tetapi dalam hal sarana, dikarenakan sampai dengan sekarang rumah-rumah tersebut belum teraliri listrik dari proses relokasi tahun 2014 belum juga teraliri listrik. Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan semua informan lainnya menyatakan bahwa: “pemerintah masih peduli pada masyarakat, tidak ada rasa yang muncul di masyarakat bahwa pemerintah itu tidak peduli”. f. Penyalahgunaan wewenang (Abuse by the more powerful) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah sikap pihak berwenang itu tidak peduli kepada masyarakat atau peduli kepada masyarakat. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa dari informan baik di kampung Tanjung Siambang maupun di perumahan baru Tanjung Siambang, mereka tidak mengetahui dan tidak terlalu peduli apakah pihak berwenang dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau itu menyalahgunakan wewenang atau tidak. Dan masyarakat pun tidak merasakan
adanya paksaan harusnya relokasi. Sebagaimana hasil wawancara dengan informan kunci dan para ketua Rukun Tetangga menyatakan bahwa tidak ada paksaan harus relokasi, siapa warga masyarakat yang mau pindah dipersilahkan pindah dan masyarakat yang belum mau tidak dipaksa. Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan semua informan lainnya menyatakan bahwa: “kami tidak ada merasakan adanya penyalahgunaan kekuasaan, semua masih dapat dibicarakan dengan baik”. Narayan, dkk menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah maupun orang-orang di dalam pemerintahan itu seperti korupsi, menggunakan wewenang secara berlebihan, menghina masyarakat, menolak melayani masyarakat maupun mengganggu aktivitas masyarakat dengan berbagai bentuk. Berdasarkan hasil wawancara didapati bahwa halhal tersebut tidak terjadi, yaitu tidak ada satu pihak pun yang melakukan penyalahgunaan wewenang walau dalam beberapa kesempatan dapat dilihat bahwa penentuan harga tanah ditentukan oleh pemerintah, akan tetapi masyarakat tidak melihat itu sebagai penyalahgunaan wewenang. g. Pelemahan institusi (Disempowering) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah tindakan institusi pihak berwenang itu melemahkan atau tidak. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa masyarakat baik di kampung Tanjung Siambang maupun di perumahan baru Tanjung Siambang tdak merasakan adanya tindakan pihak berwenang dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau itu melemahkan posisi masyarakat, hanya saja masyarakat selama ini hanya sebagai pengguna (user) tidak ikut serta dalam menentukan keputusan baik dalam hal harga tanah, lokasi perumahan baru maupun penentuan fasilitas yang diperlukan masyarakat. Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan semua informan lainnya menyatakan bahwa: “kami tidak ada merasakan adanya pelemahan dari pemerintah, tidak ada upaya melemahkan organisasi masyarakat, mungkin hanya institusi masyarakat yang kurang aktif”. Seperti pendapat Narayan, dkk (2000: 199) yaitu: “poor people describe and hoping, state, private, and civil society institutions are more propoor”. Yang berarti masyarakat miskin menyatakan dan berharap bahwa institusi negara, pribadi, dan kemasyarakatan lebih memihak pada masyarakat miskin. Kemungkinan dikarenakan tidak adanya upaya penggantian tokoh masyarakat, pembubaran organisasi masyarakat sehingga masyarakat Tanjung Siambang tidak menganggap adanya pelemahan institusi, apalagi mereka merasa masih dipedulikan oleh pemerintah. 14
semua warga punya, mau baca koran gak semua mau beli koran, lagian untuk apa, mau nonton TV, gak semua warga punya TV apalagi kayak sekarang mau internet gak semua warga ngerti gunakan internet, jadi masyarakat sudah paham dan maklum dari ketiadaan fasilitas bagaimana masyarakat mendapatkan informasi, kalo dikatakan kurang informasi ya sangat jelas sekali masyarakat Tanjung Siambang kurang mendapatkan informasi.”
h. Pengecualian institusi (Excluding) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah tindakan institusi pihak berwenang itu mengucilkan/mengecualikan atau tidak. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa masyarakat baik di kampung Tanjung Siambang maupun di perumahan baru Tanjung Siambang tdak merasakan adanya tindakan pihak berwenang dari Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau itu mengucilkan posisi masyarakat, hanya saja masyarakat selama ini memang dalam rapat dengan pihak berwenang hanya diwakili oleh tokoh masyarakat, tetapi dalam keikutsertaan rapat mungkin hanya sesekali saja dan pendapat masyarakat tidak selalu terakomodir dalam setiap hasil rapat dan kenyataan di lapangan. Yaitu seperti pernyataan pak J (38) dan semua informan lainnya menyatakan bahwa: “kami tidak ada merasakan adanya pengecualian dari pemerintah, ada apa-apa selalu diberitahu, mungkin hanya suara kami aja yang kurang didengar”. Seperti pendapat Narayan, dkk (2000: 281) yaitu: “poor people are excluded from participation in decisionmaking and in equal sharing of benefits from government programs”. Yang berarti masyarakat miskin dikecualikan dari berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan dan dari mendapatkan bantuan dari program-program pemerintah. Kemungkinan karena informan tidak terlalu paham bahwa mereka tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan sehingga para informan menjawab tidak adanya pengecualian oleh pemerintah. i. Kekurangan informasi (Lack of information) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah kurangnya kemampuan masyarakat itu dikarenakan kurangnya informasi atau tidak. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa hampir kesemua informan menyadari dan paham bahwa kemampuan masyarakat terbilang cukup rendah dilihat dari ketiadaan akses kepada informasi yang lebih. Baik informasi yang berasal dari buku, internet, media massa dan lainnya, sehingga kemampuan masyarakat hanya bertumpu pada kemampuan alam yakni kemampuan untuk menentukan kapan baiknya untuk melaut menangkap ikan dan hewan laut lainnya. Hanya itulah kemampuan dasar mereka yang diakui oleh para informan. Hal tersebut di atas sesuai dengan konfirmasi dengan informan kunci pak J (38) dan informan lainnya yang mengatakan: “kalo dulu masyarakat dapat informasi darimana sih bang?, mau dengar radio gak
Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat Narayan, dkk (2000: 239) yaitu: “poor people’s isolation from information is compounded by lack of access to communication and information technology, including telephones, internet, radio, printed material and television. The degree of isolation varies across regions”. Hal tersebut di atas berarti yaitu masyarakat miskn terisolasi dari informasi disebabkan oleh ketiadaan akses pada komunikasi dan teknologi informasi, termasuk telepon, internet, radio, media cetak dan televisi. Tingkat isolasi berbeda di setiap daerah. j. Kurang berpendidikan (Lack of education) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah kurangnya kemampuan masyarakat itu dikarenakan kurangnya pendidikan atau tidak. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa hampir kesemua informan menyadari dan paham bahwa kemampuan masyarakat terbilang cukup rendah dilihat dari rata-rata pendidikan terakhir warga masyarakat hanyalah tamatan Sekolah Dasar (SD). Atau bahkan ada juga yang tidak menamatkan Sekolah Dasarnya, kemampuan mereka berorientasi pada kemampuan dasar yaitu mampu membaca, menulis dan menghitung. Akan tetapi ada kesadaran dari masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, apalagi sekarang perguruan tinggi sudah dekat, hanya saja Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan yang lokasinya masih jauh dari wilayah Tanjung Siambang. Hal itu semua di atas berdasarkan hasil wawancara kepada informan dan diwakili oleh informan kunci yaitu pak J (38) yang mengakan bahwa: “jikalau abang mengumpulkan data dari kantor Lurah nanti, abang cek berapa jumlah masyarakat Tanjung Siambang dari pendidikan terakhinya, kalo secara kasat mata dan sepengetahuan saya masyarakat Tanjung Siambang itu kebanyakan tamatan SD, jadi dapat dikatakan kurang berpendidikan tinggilah 15
bang, bahkan ada juga yang tak tamat SD, kalo orang-orang dulu tu berpikir untuk apa pendidikan tinggi, kalo bisa makan sudah cukup lah, kita ni kan ikut aja kata orang tua. Maka oleh itu banyak masyarakat Tanjung Siambang yang tak sekolah tinggi, selain jauh sekolah seperti SMP atau SMA dulunya kebanyakan masyarakat juga tak mampu untuk melanjutkan sekolah. Kalaupun ada masyarakat yang pendidikannya SMP atau SMA atau lebih tinggi lagi tu pasti bukan masyarakat asli Tanjung Siambang kemungkinannya pendatang atau anak dari penduduk asli yang sudah tinggi pendidikannya, karena sarana dan prasarana sudah cukup memadai sekarang.”
k. Tidak terampil (Lack of skills) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah kurangnya kemampuan masyarakat itu dikarenakan kurangnya keterampilan atau tidak. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa hampir kesemua informan menyadari dan paham bahwa kemampuan masyarakat terbilang cukup rendah dilihat dari hal keterampilan, masyarakat masih kurang mampu menghasilkan pekerjaan yang menunjukkan keterampilan masyarakat, hal ini mungkin masih dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat pesisir yang bergantung pada alam sehingga keterampilan masyarakat pesisir hanya berputar pada laut dan keterampilan dalam memancing ikan dan hewan laut lainnya, atau keterampilan dasar mereka yaitu kemampuan untuk berenang dan menyelam. Hal tersebut semua diakui oleh masyarakat Tanjung Siambang. Sebagaimana hasil wawancara dengan informan kunci pak J (38) yaitu: “mau dibilang tak terampil masyarakat harus dilihat dulu keterampilan seperti apa ya bang, kalo keterampilan memancing atau nelayan, masyarakat disini cukup terampil, tapi kalo keterampilan lain yang berkaitan dengan pekerjaan ya kayak keterampilan komputer, keterampilan menjahit untuk ibu-ibu, keterampilan las dan permesinan ya masyarakat disini kurang terampil kalo seperti itu, kalo masyarakat disini keterampilannya yaitu keterampilan yang turun temurun yaitu nelayan, keterampilan dasarnya seperti berenang dan menyelam karena dekat dengan laut sehingga yang diasah ya hanya keterampilan seperti itu, keterampilan lain seperti menjaring, menjala, memancing, menyondong udang, menangkap sotong atau gurita itu keterampilan yang diajar oleh orang-orang tua dulu kepada anaknya.”
Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat Narayan, dkk (2000: 245) yaitu : “poor people make distinctions between literacy and education, the important is for reading, for checking prices and they see basic literacy as a key ability, nowadays poor people in community after community indicate that they value education highly as a key to a better future for themselves and especially for their children” Yang berarti bahwa masyarakat miskin membuat perbedaan diantara literatur dan pendidikan, yang penting adalah untuk membaca, mengecek harga dan mereka melihat kemampuan dasar adalah kunci dari semuanya, saat sekarang ini masyarakat miskin di komunitas-komunitas mengindikasikan bahwa mereka sangat menghargai pendidikan sebagai kunci untuk masa depan yang lebih baik untuk mereka sendiri dan terutama untuk anak-anak mereka. Hal tersebut sesuai dengan pendapat informan yaitu orang-orang dulu menganggap hal yang paling penting adalah bisa membaca, menulis dan menghitung atau calistung, tetapi untuk orang tua di zaman sekarang sangat mementingkan pendidikan untuk masa depan anaknya sehingga akan berpengaruh pada masa depan orang tua mereka juga nantinya. Akan tetapi untuk masyarakat Tanjung Siambang hal ini hampir sama, hanya saja dikarenakan kurangnya pendidikan masyarakat Tanjung Siambang yang dikarenakan kata orang tua-orang tua dulu yang menyatakan cukup bisa calistung maka pendidikan masyarakat Tanjung Siambang hanya terbatas pada kemampuan dasar itu dan hingga tamat SD saja. Dengan terbatasnyaa pendidikan tersebut berpengaruh pada ketidakberdayaan masyarakat yang tidak memiliki mata pencaharian yang tinggi atau formal, dikarenakan pendidikan tersebut.
Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat Narayan, dkk (2000: 245) yaitu : “in the world poor people speak about the importance of learning practical skills to enable them to make a livelihood, the importance of skills of poor people in every family is learning from they father when they are children”. Yang berarti bahwa di dalam dunia masyarakat miskin berbicara tentang pentingnya belajar kemampuan praktis untuk dapat dijadikan sebagai mata pencaharian, pentingnya kemampuan masyarakat miskin di setiap keluarga diajarkan oleh ayah mereka ketika mereka masih anak-anak. Senada dengan hasil wawancara yaitu kemampuan 16
atau keterampilan masyarakat didapat dari orangorang tua dulu yang diturunkan kepada anakanaknya.
mata pencaharian masyarakat Tanjung Siambang yang kebanyakan adalah nelayan masih bersifat tidak menentu. Selain nelayan masyarakat di Tanjung Siambang juga bekerja sebagai tenaga harian lepas atau buruh dengan penghasilan yang tidak menentu juga, terkadang apabila terdapat pekerjaan maka penghasilan dapat dipastikan, sedangkan apabila tidak ada pekerjaan bangunan maka penghasilan menjadi tidak menentu. Begitu pula dengan nelayan, apabila pergi melaut untuk memancing ikan, apabila mendapat tangkapan maka akan mendapat penghasilan sedangkan apabila tidak memancing ataupun memancing akan tetapi tidak mendapat hasil tangkapan maka penghasilan menjadi tidak menentu bahkan merugi. Rugi apabila memancing mengeluaran modal seperti umpan dan bahan bakar sampan yang digunakan untuk memancing. Apabila dibandingkan dengan masyarakat di Perumahan Baru Tanjung Siambang hal ini tidak jauh berbeda dikarenakan pekerjaan masyarakat kebanyakan masih nelayan dan karyawan swasta yang penghasilannya tidak menentu. Hal tersebut di atas berdasarkan wawancara dengan informan kunci pak J (38) yang menyatakan bahwa: “mata pencaharian penduduk Tanjung Siambang banyak yang tak menentu pak, kalau melihat pekerjaan tetap mereka akan mengatakan kalau mereka nelayan, termasuk saya juga nelayan, tapi macam bapak lihat saya sekarang tak melaut, jadi hasil tu tak menentu betulllah pak, kalo istri yang mengurus rumah tangga ni kerja sambilan jual-jual makanan sarapan, jadi adalah sedikit-sedikit tambahan penghasilan pak, tapi sekarang sudah banyak warga yang buat usaha rumahan juga jadi penghasilan istri saya pun tak menentu juga.”
l. Tidak percaya diri (Lack of confidence) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah kurangnya kemampuan masyarakat itu dikarenakan kurangnya kepercayaan diri atau tidak. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan kunci pak J (38) didapati hasil yaitu : “masyarakat Tanjung Siambang yang kebanyakan pendidikan tamat SD atau kadang tak tamat SD agak kurang percaya diri karena rendahnya pendidikan sehingga terkadang masyarakat kurang percaya diri untuk tampil atau bicara dengan orang luar.” Dari hasil bahwa hampir kesemua informan menyadari dan paham pada kemampuan diri mereka sendiri dan mereka percaya diri mengakuinya. Mereka tidak sungkan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui hal tersebut dan tidak malu pada kemampuan diri mereka, mereka yakin dan percaya setiap masyarakat memiliki kemampuannya sendiri-sendiri. Sesuai dengan pendapat Narayan, dkk (2000: 237) yaitu: “poor people are disadvantage by lack of confidence, they limited from schooling, and these thing contribute to limited confidence, and together they reinforce powerlessness and voicelessness and marginalization in society”. Yang berarti yaitu masyarakat miskin dalam keadaan rugi diakibatkan oleh tidak percaya diri sendiri, mereka terbatas dari tingkat pendidikannya, dan hal tersebut mengakibatkan pada terbatasnya kepercayaan diri, dan bersama menciptakan ketidakberdayaan dan ketidakmampuan memberikan pendapat dan termarginalisasi di dalam masyarakat. 4.2.2 Kerentanan Kerentanan yaitu ketidakberdayaan karena ketiadaan kontrol diri (lack of personal control) yang berarti tidak mampu untuk menguasai diri sendiri baik secara internal maupun eksternal. Uraian tentang kerentanan dalam tanggapan informan dapat dilihat melalui beberapa indikator yaitu sebagai berikut : a. Tidak Menentu (Precarious) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah mata pencaharian masyarakat itu hasilnya tidak menentu atau dapat dipastikan hasilnya. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa
Hal tersebut sesuai dengan wawancara dengan pak MH (41) yang mengatakan bahwa: “kalo bapak tanya saya pekerjaannya nelayan, tapi nelayan tradisional pak, dengan alat seadanya, kalo cuaca lagi bagus dan musim ikan, saya turun melaut, tapi kalo tidak ya saya dirumah saja, kalo ditanya penghasilan jelas tak menentulah pak, tak macam pegawai yang penghasilannya bulanan, penghasilan sebagian besar penduduk Tanjung Siambang tu tak menentu pak, kalo melaut baru dapat penghasilan itupun kalau mendapat ikan untuk dijual atau paling tidak untuk dimakan istri dan anak” Senada dengan informan sebelumnya hasil wawancara dengan pak I (67) pula mengatakan dengan ringkas yaitu “kami ni nelayan pak, pasti penghasilan tak menentu, terkadang besar, 17
terkadang kecil, terkadang tak ada hasil, terkadang rugi pun ada”. Pendapat lain dari penduduk yang pekerjaannya bukan nelayan yaitu berdasarkan hasil wawancara dengan pak R (24) yang mengatakan bahwa: “kalo pekerjaan sesuai KTP saya Karyawan Swasta, kalo ditanya benarnya saya buruh harian lepas, atau tukang bangunan orang taunya begitu, penghasilan sesuai dengan namanya pak, harian lepas, jadi kalo ada pekerjaan borongan, ya saya kerja, tapi kalo tak ade ya saya dirumah bantu-bantu lain atau melaut, mancing. Untuk makan sehari-hari saja. Penghasilan jelas tak menentu lah pak, tak bisa kaya orang kayak kami ni pak. Kalo orang bilang kerja serabutan pak, serampangan lah kerjanya, kalo lagi banyak borongan, lumayan sikit, tapi duit tu tak boleh pakai semua, simpan. Jagajaga kalo lagi tak ada duit nak beli beras atau bayar sekolah anak”.
bersama pembayaran-pembayaran. Banyak masyarakat miskin bergantung pada pemberi pinjaman lokal dan pemilik warung untuk mendapatkan kredit pada saat darurat dan ketika butuh pinjaman, sedikit akses kepada layanan lembaga simpan dan pinjam yang resmi. Sehingga benarlah bahwa pendapatan masyarakat Tanjung Siambang itu tidak menentu sehingga rentan pada ketidakberdayaan dalam mata pencaharian dan kehidupannya sehari-hari. b. Tidak Memadai (Inadequate) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah mata pencaharian masyarakat itu hasilnya memadai atau tidak memadai. Berdasarkan wawancara yang dilakukan ke informan terkait mata pencaharian yang hasilnya tidak memadai, hasil wawancara dengan bu N (51) memberikan pendapat yaitu: “saya hanya ibu rumah tangga, tapi ada usaha sikit-sikitlah, suami saya Cuma nelayan, jelas penghasilan hanya sikit dan tidaklah besar jelas tidak memadai untuk setiap bulannya, maka saya bantu dengan berjualan kue. Kalau ditanya memadai atau tidak ya tidak memadai lah pak, bukan saya mau buka aib keluarga, tapi penghasilan kami warga miskin ni tak seberapa dan tak memadai lah pak, tapi dicukup-cukupkan untuk hidup lah pak. Pandai-pandailah kata orang.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut semua dan hasil wawancara lainnya dengan pendapat yang hampir sama, dapat diketahui bahwa mata pencaharian penduduk Tanjung Siambang itu hasilnya tidak menentu. Seperti pendapat Narayan, dkk (2000: 248) yaitu: “precariousness is compounded by limited ownership and access to assets – physical, financial, human, environmental and social, to cope with such precarious livelihood conditions, poor people often struggle to diversify their sources of income and food; they work on the land and in quarries and mines; they hunt down temporary jobs and sell an endless variety of goods on the streets; they do piecework in factories and from homes; the patch together remittances. Many poor people count on local moneylenders and shopkeepers for credit in emergencies and during lean times; few have access to formal credit and savings services”.
Begitu pula hasil wawancara dengan bu E (41) yang menyatakan bahwa: “penghasilan saya tidaklah besar pak, apalagi Cuma ibu rumah tangga dan saya hanya menunggu hasil dari anak saya, karena saya sudah tidak memiliki suami lagi, anak saya kasih saya hanya untuk dapat hidup sebulan lah pak, jelas tidak memadai, apalagi anak saya hanya nelayan, jelas tidak mencukupi dan tidak memadai untuk hidup, tapi orang macam saya ni untuk apa juga banyak-banyak uang, kan tak ada lagi yang dikejar, jadi hidup sederhana saja, mencukup-cukupi hidup untuk waktu-waktu tertentu.”
Yang berarti yaitu ketidakmenentuan berasal dari terbatasnya kepemilikan dan akses pada harta atau fisik, keuangan, manusia lainnya, lingkungan dan sosial, untuk mengatasi kondisi mata pencaharian yang tidak menentu tersebut, masyarakat miskin selalu berusaha untuk melakukan diversifikasi sumber pendapatan dan makanan, mereka bekerja di daratan dan di penggalian dan pertambangan, mereka selalu mencari pekerjaan tambahan yang bersifat sementara dan menjual segala jenis barangan di tepi jalan, mereka melakukan pekerjaan di pabrikpabrik dan dari rumah, mereka menanggung
Senada dengan wawancara dengan A (39) yang menyatakan bahwa: “pekerjaan saya hanya nelayan, penghasilan tak memadai setiap bulan, cukup untuk makan aja sudah syukur, cukup untuk biaya anak sekolah dan uang jajan anak juga sudah syukur. Ya harus rajin melaut, kalo lagi musim ikan, harus selalu sering melaut, agar bisa mendapatkan hasil yang besar, terus uang disimpan kalo nanti-nanti tak melaut. Yang penting hidup sederhana, tidak 18
untuk hal-hal yang mewah lah, maka bisa cukuplah untuk sebulan, kalo tak cukup ya dicukup-cukupkan.”
Sedangkan apabila dibandingkan dengan di Perumahan Baru Tanjung Siambang sarana masih belum banyak tersedia, yang paling utama yaitu listrik, sampai dengan tahun 2016 listrik belum teraliri di rumah-rumah, walaupun peralatan listrik seperti kabel sudah diinstalasi, tetapi box listrik di rumah masyarakat belum tersedia. Air juga agak susah, masyarakat di perumahan baru mengandalkan pada mesin pompa air untuk mengalirkan air dari rumah ke rumah dengan sumber air yang berasal dari kolam penampungan di sekitar perumahan atau dari sumur bersama. Sekolah tidak tersedia sehingga anak-anak masih bersekolah di sekolah yang lama yang berlokasi di kampung Tanjung Siambang. Mesjid juga tidak ada yang ada hanyalah mushola kecil. Dan untuk pendidikan yang tersedia hanya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) itupun baru akhir 2015 beroperasi. Dilihat dari hasil perbandingan, lebih baik sarana di kampung Tanjung Siambang daripada di Perumahan Baru Tanjung Siambang. Hal tersebut di atas sesuai dengan konfirmasi kepada informan kunci yaitu pak J (38) dan informan lainnya yang mengatakan bahwa: “sarana di perumahan baru belum ada selain rumah, seperti listrik, air dan fasilitas umum lainnya belum ada. Yang baru dibangun pada tahun 2015 itu hanya ada PAUD. Kalo listrik pake genset bagi yang punya genset dan masyarakat lain bisa numpang kalo kabelnya sampai kerumah atau bisa pasang sendiri, sedangkan air yang numpang dengan masyarakat yang punya sumur dan mesin sedot air, kalo tidakpun masyarakat ambil di kolam penampungan yang letaknya berdekatan dengan perumahan baru Tanjung Siambang.”
Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara tersebut di atas kepada informan didapati hasil bahwa mata pencaharian masyarakat Tanjung Siambang yang kebanyakan adalah nelayan dan buruh harian lepas yaitu penghasilan mereka hampir tidak memadai setiap bulannya, apalagi untuk biaya sekolah anak, makan seharihari dan biaya transportasi ke kota yang jauh. Sebelum adanya jembatan dari pulau dompak ke Tanjungpinang, masyarakat menggunakan jasa kapal kecil bertenaga mesin atau disebut boat. Namun sekarang setelah adanya jembatan, kebanyakan masyarakat mengambil kredit kendaraan bermotor roda dua, dan penghasilan yang tidak menentu tersebut dan mengikut musim semakin tidak memadai. Akan tetapi dari semua hasil wawancara, informan mengatakan penghasilan mereka dicukup-cukupkan untuk setiap bulannya. Jawaban ini hampir sama di masyarakat baik masyarakat di kampung Tanjung Siambang maupun di masyarakat Perumahan Baru Tanjung Siambang. Hal di atas seperti yang dikatakan oleh Narayan, dkk (2000: 53) yaitu “for people had a formal sector jobs used to be provided adequate earnings, but for poor people the earning is inadequate, so their patching for temporary jobs, bundles of livelihood activities can sometimes be a way forward” Yang berarti yaitu untuk beberapa orang memiliki pekerjaan di sektor formal adalah untuk mendapatkan penghasilan yang memadai, akan tetapi untuk masyarakat miskin pendapat mereka tidak memadai, sehingga mereka menutupinya dengan pekerjaan sementara, melakukan sekumpulan aktivitas mata pencaharian lain terkadang dapat menjadi jalan keluarnya. Senada dengan hasil wawancara yang menyatakan bahwa pendapatan mereka memang tidak memadai, akan tetapi mereka akan melakukan pekerjaan lain seperti hasil wawancara yaitu dengan berjualan kue sebagai pekerjaan lainnya. c. Tidak Memiliki Sarana (Unserviced) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah tempat tinggal itu letaknya terpencil, beresiko, tidak memiliki sarana atau memberikan kesan tidak baik.. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa kampung Tanjung Siambang itu sudah memilki sarana seperti sekolah dasar dan mesjid, kemudian listrik di setiap rumah sudah tersedia dari PLN, dan walaupun air masih menggunakan air sumur.
Berbeda dengan pendapat pak M.H (41) yang mengatakan bahwa : “sarana di kampung lama Tanjung Siambang lumayan sudah adalah bang, seperti listrik sudah masuk, air dari sumur juga ada disetiap rumah penduduk, mesjid ada, sekolah ada walau hanya SD, pelabuhan ada juga. Jadi sarana di kampung lama lebih banyak daripada di perumahan baru Tanjung Siambang, alasan ini juga yang membuat saya masih enggan untuk relokasi, apalagi jumlah rumah yang disediakan tidak cukup, dari semua total Kepala Keluarga tidak terfasilitasi dari rumah yang ada yang hanya sekitar 150an rumah.” Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat Narayan, dkk (2000: 72) yang menyatakan bahwa: “poor people has serious gaps in access to basic services and infrastructure, a great many lists indicate difficulties with service to water, roads and transport, housing,
19
fuel, energy sources or electricity, supplies and sanitation”
Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara tersebut di atas. kepada informan didapati hasil bahwa mata pencaharian masyarakat Tanjung Siambang yang kebanyakan adalah nelayan, penghasilan mereka tergantung pada musim memancing atau bahkan musim ikan yang akan didapatkan. Jadi hasil memancing para nelayan bergantung pada musim angin dan ombak, nelayan akan melihat apabila angin sedang kuat dan ombak sedang tinggi, maka nelayan tidak akan melaut untuk memancing, namun apabila angin sedang tenang dan ombak juga tenang maka nelayan akan melaut untuk memancing. Tetapi tidak terlepas juga pada musim ikan yang ada, seperti ketika bulan terang maka nelayan tidak akan memancing ikan akan tetapi akan memancing sotong, atau ada jenis-jenis ikan yang muncul sesuai dengan musimnya. Selain itu strategi nelayan yaitu memperbanyak melaut untuk memancing ikan sebelum datangnya musim angin utara yang merupakan musim angin dengan angin yang kuat. Selain dengan metode memancing nelayan di Tanjung Siambang biasanya menggunakan metode menjaring ikan. Bahkan terdapat musim menangkap udang dengan menggunakan alat yang bernama condong dan masyarakat biasanya menamakannya dengan menyondong udang. Hal ini terjadi baik kepada masyarakat yang sudah pindah maupun masyarakat yang belum pindah dari kampung Tanjung Siambang. Hal tersebut di atas senada dengan pendapat Narayan, dkk (2000: 71) yaitu: “many of the worst deprivations that come with living in these places are seasonal in nature like rain and wind” dan “seasonal fluctuations in rural and also urban opportunities and rewards for work can be sharply seasonal, during the rains in Somalia, livestock sales plummet and prices for food rise sharply, putting at a disadvantage those poorer people who need to sell animals to buy food and the other season, fishing in some countries like Bangladesh, Egypt, Indonesia, India are reported to be highly seasonal” dengan hasil wawancara penelitian tersebut yaitu “nothing to do during three to four months of rainy/stormy season” (2000: 55-56).
Yang berarti bahwa masyarakat miskin memiliki jurang yang serius dalam mendapatkan akses ke pelayanan dasar dan infrastruktur, banyak daftar yang mengindikasikan kesulitan dalam mendapatkan pelayanan dasar tersebut sepert air bersih, jalan dan transportasi, perumahan, bahan bakar, sumber energi atau listrik, perlengkapan dan sanitasi yang baik. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa apabila sarana masih belum baik maka masih terdapat ketidakberdayaan di tengahtengah masyarakat, karena keterbatasan dalam mendapatkan akses kepada pelayanan dasar tersebut sehingga masyarakat masih rentan pada ketidakberdayaan. 4.2.3 Ketergantungan Ketergantungan yaitu ketidakberdayaan seseorang atau kelompok yang hanya mengandalkan mata pencaharian dan kebutuhan mereka kepada 1 (satu) jenis usaha. Uraian tentang ketergantungan dalam tanggapan informan dapat dilihat melalui beberapa indikator yaitu sebagai berikut : a. Musiman (Seasonal) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah mata pencaharian masyarakat itu hasilnya mengikut kepada musim atau tidak mengikut kepada musim. Berdasarkan hasil wawancara kepada informan yaitu dengan pak M (55) memberikan pendapat terkait mata pencaharian masyarakat Tanjung Siambang yang musiman, menurut pak M (55) mengatakan bahwa: “mata pencaharian penduduk Tanjung Siambang, terutama yang nelayan itu turun kelaut berdasarkan musim, kalo lagi musim angin tak kuat, maka banyaklah yang turun melaut, baik menjaring ikan, memancing ikan, menangkap udang, atau mencari gonggong dan mencari hasil laut yang lainnya, tapi melihat musim, kalo tak melihat musim ya sama aja tau tak dapat hasil” Senada pula dengan pendapat di atas, hasil wawancara dengan pak J (39) memberikan pendapat yaitu: “saya turun melaut pastilah melihat musim, kalo tak lihat musim ngapain turun ke laut, kalo Cuma mancing-mancing aja, ikan untuk makan tak perlu lihat angin atau musim, cukup mancing dekat-dekat tubir pantai atau kalau tak mau keluar biaya, mancing di pelantar pelabuhan aja, tapi kalo saya yang ditanya untuk kapan melaut ya pastinya saya akan melihat musim angin dulu, baru melaut”
Yang berarti bahwa “banyak perangkap kemiskinan di beberapa daerah atau tempat dipengaruhi oleh musim dan alam terutama hujan dan angin” dan “fluktuasi musiman di pedesaan dan juga wilayah perkotaan dapat memberikan kesempatan dan penghasilan sesuai dengan musim yang terjadi, (dengan contoh) seiring hujan di Somalia, penjualan pakan ternak dan harga bahan makanan meningkat tajam, memberikan pengaruh 20
pada ketidakmampuan bagi warga miskin yang memelihara hewan ternak dan untuk membeli makanan, di musim yang lain, memancing di beberapa negara seperti Bangladesh, Mesir, Indonesia dan India dilaporkan sangat musiman”, dengan hasil wawancara penelitian tersebut yaitu “tidak ada yang dapat dilakukan dalam tiga hingga empat bulan kedepan dengan keadaan musim hujan lebat dan berbadai”. Masyarakat Tanjung Siambang dalam hal ini sangat tergantung kepada musim untuk mendapatkan penghasilan dari memancing walaupun dilain pihak musim tersebut memberikan lahan pekerjaan yang lain yaitu apabila tidak bisa melaut maka kesempatan untuk mencari pekerjaan seperti menjadi buruh kerja bangunan dapat dilakukan ketika tidak bisa memancing karena cuaca yang ekstrim. b. Tidak terhubungnya organisasi (Disconnected) Untuk melihat ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang maka akan dilihat apakah organisasi yang ada di masyarakat itu terhubung ke masyarakat atau terorganisir atau tidak. Berdasarkan data yang diterima dari hasil wawancara kepada informan didapati hasil bahwa masyarakat baik di kampung Tanjung Siambang maupun di perumahan baru Tanjung Siambang tidak merasa organisasi mereka itu kurang komunikasi atau tidak terhubung ke masyarakat atau bahkan merasa organisasi mereka itu lemah, bahkan mereka memiliki organisasi tersendiri yaitu Persatuan Masyarakat Tanjung Siambang (PMTS) dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang bersifat birokrasi baik dari Rukun Tetangga (RT) hingga Rukun Warga (RW), karena yang menjadi anggota organisasi adalah mereka-mereka yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan masyarakat sehingga antara organisasi masyarakat dengan masyarakat selalu terhubung, akan tetapi dari hasil wawancara lebih mendalam didapati bahwa keterhubungan masyarakat dengan organisasi sudah baik, akan tetapi keterhubungan antara organisasi dan nilai tawar dari organisasi tersebut untuk mewakili suara warga dengan komunikasi dengan institusi pemerintah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau masih minim, minim dalam nilai tawar, pengaruh dan lainnya. Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil wawancara dengan pak J (38) yang mengatakan bahwa : “organisasi masyarakat di Tanjung Siambang itu saling terhubung pak, karena satu sama lainnya saling kenal, dan contoh organisasi yang ada di masyarakat yaitu RT dan RW dan saya selaku Ketua RW juga memiliki banyak hubungan persaudaraan dengan warga Tanjung
Siambang, dan juga RT-RT yang ada di RW I (satu) ini juga memiliki hubungan persaudaraan dengan warga, jadi tidak mungkin antara warga dengan ketua RT dan RW tidak saling terhubung, apatah lagi ada organisasi baru masyarakat Tanjung Siambang yaitu Persatuan Masyarakat Tanjung Siambang (PMTS) yang dibentuk oleh warga untuk wadah organisasi masyarakat Tanjung Siambang dengan berbagai fungsi sesuai kebutuhan masyarakat Tanjung Siambang, tapi kalo untuk mewakili masyarakat dalam hal relokasi sih dek masih belum kuat, kami yang RT dan RT aja masih tidak kuat dalam memberikan pengaruh ke pemerintah, apalagi PMTS, tentu juga begitu, sudah jumpa ke Pemko yaitu pihak kelurahan, masih tidak ditanggapi karena mereka bilang bukan kewenangan kelurahan, tetapi kewenangan pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, dalam pengambilan keputusan pun RT dan RW itu hanya sebagai yang menyaksikan aja, bukan yang ikut mengambil keputusan” Hal tersebut sebagaimana pendapat Narayan, dkk (2000:250) yaitu sebagai berikut : “poor women dan men participate in a range of informal and formal local networks and organizations, although by and large these groups are limited in number, resources and leverage. These groups and networks rarely connect with other similar groups or with resources of the state or other agencies. Isolated and disconnected, poor people’s organizations have difficulties shifting their bargaining power with institutions of the state, market and civil society” Yang berarti bahwa, “wanita dan pria berpartisipasi dalam jaringan dan organisasi yang bersifat informal dan formal, walaupun keikutsertaan dan besarnya grup terbatas dalam jumlah, sumber daya dan pengaruh. Organisasi (grup) dan jaringan jarang terhubung dengan organisasi lain yang serupa atau dengan institusi pemerintah atau lembaga yang lain. Terisolasi dan tidak terhubung menjadi masalah bagi organisasi masyarakat miskin terutama dalam nilai tawar mereka terhadap institusi pemerintah, pasar dan masyarakat”. Dengan demikian walau organisasi terhubung akan tetapi nilai tawar organisasi masyarakat di mata institusi pemerintah masih minim dalam memberikan pengaruh. Dari 17 indikator di atas merupakan bentuk-bentuk ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam relokasi pemukiman penduduk. 21
Siambang untuk dapat berpartisipasi lebih dalam pembangunan dan terutama berpartisipasi dalam memberikan pendapat dan pengambilan keputusan, dikarenakan masyarakat Tanjung Siambang merupakan yang merasakan relokasi dan pembangunan ke masa depannya sehingga tidak ada kendala dalam pembangunan daerah selanjutnya.
V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari kesepuluh dimensi ketidakberdayaan yang dijelaskan di atas, dihasilkan beberapa bentuk ketidakberdayaan masyarakat Tanjung Siambang dalam upaya relokasi pemukiman penduduk dari kampung Tanjung Siambang ke Perumahan Baru Tanjung Siambang. Bentuk-bentuk ketidakberdayaan yang paling jelas terlihat adalah dari dimensi : 1. Kerentanan dimana ketika berada di kampung Tanjung Siambang mata pencaharian dengan hasil yang tidak menentu dan tidak memadai dengan relokasi mata pencaharian hampir sama ketika masih berada di kampung sehingga upaya relokasi tidak berpengaruhi terhadap hal ini, atau hanya berpengaruh kepada segelintir pihak yang diberikan pekerjaan sebagai tenaga honorer di Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, itupun pekerjaan seperti penjaga dan petugas kebersihan, serta dimana ketika masyarakat tidak berdaya ketika lokasi mereka tinggal diambil alih hanya untuk resort pariwisata dan penentuan lokasi tersebut tidak mengikutsertakan masyarakat dalam mengambil keputusan dalam hal penentuan lokasi relokasi dan harga tanah untuk ganti kerugian kepada masyarakat serta model atau tipe rumah relokasi yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat baik dalam segi besaran, sarana dan fasilitas umum lainnya; 2. Ketergantungan, dimana upaya relokasi tidak mengubah ketidakberdayaan masyarakat dari yang berkemampuan rendah untuk dapat memiliki kemampuan yang lebih, dikarenakan upaya relokasi hanya berdasarkan pada pola ekonomi tidak berdasarkan kemampuan masyarakat. 5.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu : 1. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk dapat lebih memperhatikan masyarakat kampung Tanjung Siambang dengan lebih mengoptimalkan upaya pemberdayaan masyarakat dari segala bidang, terutama bidang ekonomi, sosial dan kesejahteraan masyarakat. 2. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk dapat memenuhi janjijanji dalam upaya relokasi dengan terlebih dahulu melengkapi sarana untuk perumahan Baru Tanjung Siambang dan fasilitas-fasilitas umum yang lengkap untuk kenyamanan dan sebagai salah satu langkah upaya pemberdayaan masyarakat. 3. Diharapkan kepada Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau untuk dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat Tanjung
DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan, 2007, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana Chambers, Robert. 2013. Rural Development: Putting the Last First. London and New York:Routledge. Dwirianto, Sabarno. 2013. Kompilasi Sosiologi Tokoh dan Teori. Pekanbaru : UR Press Irawan, Prasetya, 2006, Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: DIA FISIP UI. Kamanto, Sunarto. 2000. Pengantar Sosiologi (Edisi Kedua). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI. Narayan, Deepa dan Robert Chambers, Meera K. Shah, Patti Petesch. 2000. Voices of The Poor Crying Out for Change. New York: Oxford University Press for the World Bank. Nurcahyono, Okta Hadi. 2014. Perangkap Kemiskinan Pada Warga Relokasi (Studi Korelasional Unsur-Unsur Perangkap Kemiskinan Pada Warga Relokasi Pucang Mojo, Kedungtungkul, Mojosongo, Jebres, Surakarta). Tesis. Surakarta:Universitas Sebelas Maret Surakarta. Poe, William D dan Jerry H. Borup. 2014. The Sociology of Client Alienation in Relation to Societal Structure. Dalam The Journal of Sociology & Social Welfare: Vol. 1:Iss. 1, Article 4. Poloma,
Margaret M., 2010, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Raho, Bernard SVD., 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustakaraya Ritzer, G, dan Goodman, D.J., 2010, Teori
22
Sosiologi Modern, Jakarta: Prenada Media Group Ritzer,
Kencana
George dan Goodman, Douglas 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana
Sarfraz, Hamid. 1997. Alienation: A Theoretical Overview. Pakistan Journal of Psychological Research Vol. 12, Nos. 1-2: 45-60.
J. 6.
Schmidt,
Satria, Arif. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Scott, John. 2011. Sosiologi the Key Concepts. 1. Jakarta: PT. Raja Grifindo Persada Silalahi, Ulber, 2010, Metode Penelitian Sosial, Bandung : Refika Aditama
Kenneth A. 2011. Alienational Powerlessness and Meaninglessness: A Neo-Thomistic Approach. The Journal for the Sociological Integration of Religion and Society. Volume 1, No. 2.
Seeman, Melvin. 1982. On The Meaning of Alienation. American Sociological Rev. 24:783-91. University of California, Los Angeles.
Soekanto, Soerjono, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Senekal, B.A. 2010. Alienation in Irvine Welsh’s Trainspotting. Department of Afrikaans & Dutch, German & French University of the Free State. Literator 31(1): 19-35.
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta
Sumber lain : Monografi Kelurahan Dompak, Kecamatan Bukit Bestari, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016. Chambers. Robert. 1994. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts? Institute of Development Studies University of Sussex Brighton BNI 9Re, England. Elmiyah, Nurul. 2011. Ketidakberdayaan Masyarakat Adat di Bidang Pertambangan Pada Suku Dayak Basap: Di Kecamatan Bengalon dan Kecamatan Sangkulirang Kutai Timur, Kalimantan Timur. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, No. 1, Maret 2011:63-89. Kartono, Rinikso. Tanpa Tahun. Ketidakberdayaan (Powerlessness) Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kota Malang. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. Martono, Fakhrudin dan Sagala, Saut Aritua H. 2010. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Persoalan Relokasi Pasca Bencana Lahar Dingin di Kali Putih (Studi Kasus Dusun Gempol, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota B Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan ITB V3N1:69-82.
23