KETERPILIHAN DAN KEBAKUAN DOSIS ANESTESI KETAMINE DAN PROPOFOL MENGGUNAKAN METODE GRAVIMETRIK PADA ANJING
I GUSTI NGURAH SUDISMA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : “Keterpilihan dan Kebakuan Dosis Anestesi Ketamine dan Propofol Menggunakan Metode Gravimetrik pada Anjing”. adalah gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan dari komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar apapun di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, September 2011 Yang membuat pernyataan,
I Gusti Ngurah Sudisma B361070011
ABSTRACT I GUSTI NGURAH SUDISMA. The electability and the standardization of anaesthetic doses of ketamine and propofol in dogs by a gravimetric method. Under the supervision of Setyo Widodo, Dondin Sajuthi, and Harry Soehartono. Inhalation anaesthetic agents have been used worldwide for anaesthesia in animals with improving safety and efficacy, but these agents are expensive, difficult or impossible to use for bronchoscopies and laryngoscopies, more over, these may couse organ toxicity, have an operating theatre pollution on personnel, and possible environmental damage caused by nitrous oxide and the halogenated volatile anaesthetics. A suitable alternative methode to compare with and reduce those side effects of inhalation anaesthesia agents is needed. The aim of this study was to evaluate quality of anaesthesia by gravimetric infusion anaesthesia with ketamine HCl and propofol to get a standard dose of ketamine HCl and propofol in dogs. The quality of anaesthesia, duration of actions, and the physiological response of anaesthesia were evaluated in two steps of the study. In the first step, twenty four male domestic dogs were used in this experiment and divided randomly into six groups. In the second step, twenty male domestic dogs were used and divided randomly into five groups. In the first step, group 1, group 2, and group 3 were preanaestheted intramuscularly with 0.03 mg/kg BW atropine and 2 mg/kgBW xylazine respectively. Group 4 to 6 received in the same way 0.03 mg/kgBW atropine and 0.2 mg/kgBW midazolam respectively. Group 1 and 4 were induced then with 4 mg/kgBW ketamine HCl, group 2 and 5 with 4 mg/kgBW propofol, and group 3 and 6 were induced with a combination dose of 4 mg/kgBW ketamine HCl and propofol respectively. The quality of anaesthesia, duration of action and the physiological responses were evaluated. From the first step, group 3 was elected the best premedication for the second step. In the second step, all group received 0.03 mg/kgBW atropine sulfate and 2 mg/kgBW xylazine intramuscularly and were then induced intravenously with 4 mg/kgBW Ketamine HCl and propofol respectively. Following the anaesthesia, group I, II, III in second step received intravenous infusion of mixed ketamine HCl and propofol in saline by a gravimetric method to maintain the anaesthesia status. The doses of mixture were arranged at the rate of 0.2, 0.4, and 0.6 mg/kgBW/ minute respectively. Group IV was only infused with 0.4mg/kgBW/minute propofol in saline and compared to the inhalation anaesthesia, and group V was given isoflurane of 1.0 – 2.0 %. The quality of anaesthesia, duration of action, heart rate (HR), capillary refill time (CRT), noninvasive blood pressure (NIBP), electrocardiogram (ECG), respiratory rate (RR), blood oxygen saturation (SpO 2 ), end tidal CO 2 (ET CO 2 ), and rectal temperature (RT) were measured. All groups showed rapid and smooth inductions, prolonged surgical stage, and rapid recovery. Animals of groups I and II yielded minimal physiological effects. The HR, RR, ET CO2, SpO2, CRT, NIBP, RT, and ECG wave were relatively stable. The combination of group III showed SpO 2 depression, and an increase in instability of HR, RR and ET CO 2 . Group IV showed a decrease in HR, SpO 2 and respiratory depression. All combinations showed no significant influence (P>0,05) on the electrocardiogram. The combination of ketamine HCl-propofol at the dose rates of 0.2 and 0.4 mg/kgBW/minute was an ideal dose of gravimetric method of infusion. Key words : Anaesthesia, Gravimetric, Ketamine HCl, Propofol, Dogs
RINGKASAN I GUSTI NGURAH SUDISMA. Keterpilihan dan kebakuan dosis anestesi ketamine dan propofol menggunakan metode gravimetrik pada anjing. Dibimbing oleh Setyo Widodo, Dondin Sajuthi, dan Harry Soehartono. Anestesi umum mempunyai resiko jauh lebih besar daripada prosedur pembedahan yang dijalankan, untuk itu diperlukan pemilihan anestetikum yang aman dan ideal. Anestesi inhalasi digunakan sebagai pilihan anestesi yang cukup aman saat ini, tetapi peralatannya rumit dan mahal, tidak mungkin diterapkan pada prosedur bronkoskopi dan laringoskopi, sulit digunakan untuk penanganan pasien di lapangan, menyebabkan keracunan organ, menyebabkan polusi ruangan bedah, dan menyebabkan kerusakan lapisan ozon. Suatu metode alternatif yang aman dibandingkan terhadap efek-efek samping anestesi inhalasi sangat diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan keterpilihan dan kebakuan dosis anestesi kombinasi ketamine HCl dengan propofol secara infusi gravimetrik pada anjing. Dua puluh empat anjing jantan domestik dibagi enam kelompok perlakuan dan masing-masing empat ekor sebagai ulangan digunakan pada penelitian tahap pertama. Penelitian tahap kedua menggunakan 20 ekor anjing jantan domestik dibagi lima kelompok perlakuan masing-masing empat ekor sebagai ulangan. Penelitian tahap pertama, grup 1, 2, dan grup 3 dipreanestesi dengan atropine sulfate 0,03 mg/kgBB dan xylazine HCl 2 mg/kgBB secara intramuskuler. Grup 4 sampai 6 dipreanestesi dengan atropine sulfate 0,03 mg/kgBB dan midazolam 0,2 mg/kgBB secara intramuskuler. Grup 1 dan 4 diinduksi secara intravena dengan ketamine HCl 4 mg/kg BB, Grup 2 dan 5 diinduksi secara intravena dengan propofol 4 mg/kg BB, dan Grup 3 dan 6 diinduksi secara intravena dengan kombinasi ketamine HCl 4 mg/kg BB dan propofol 4 mg/kg BB. Dilakukan evaluasi terhadap kualitas anestesi, durasi, dan respon fisiologis. Diperoleh bahwa Grup 3 adalah perlakuan terpilih sebagai preanestesi dan induksi terbaik untuk penelitian tahap kedua. Penelitian tahap kedua, semua perlakuan dipreanestesi atropine sulfate 0,03 g/kgBB dan xylazine HCl 2 mg/kgBB secara intramuskuler, setelah 10 menit diinduksi intravena dengan ketamine HCl dan propofol dosis 4 mg/kg BB, dan 15 menit kemudian diinfusi secara gravimetrik dengan campuran ketamine HCl 2mg/ml dan propofol 2mg/ml dalam cairan infusi NaCl 0,9% sampai menit ke-120. Dilakukan infusi ketamine HCl-propofol dosis 0,2 mg/kg/menit, 0,4 dan dosis 0,6 mg/kg/menit masing-masing pada grup I, II, dan III. grup IV diinfusi hanya dengan propofol 0,4 mg/kg/menit, serta grup V dianestesi dengan isofluran 1,0 – 2,0%. Sebelum dan selama hewan teranestesi dilakukan pemeriksaan terhadap kualitas anestesi, durasi, frekuensi denyut jantung, capillary refill time (CRT), noninvasive blood pressure (NIBP), elektrokardiogram (EKG), frekuensi respirasi, end tidal CO 2 (ET CO 2 ), dan saturasi oksigen (Sp O 2 ). Pemeriksaan juga dilakukan terhadap suhu tubuh, gambaran darah serta tes fungsi hati dan fungsi ginjal. Penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa kombinasi preanestesi atropine sulfate–xylazine HCl (0,03 & 2 mg/kgBB) secara intramuskuler, setelah 10 menit diinduksi intravena dengan ketamine HCl-propofol (@ 4 mg/kg BB, memberikan kualitas anestesi yang baik dan aman sehingga dapat digunakan untuk preanestesi dan induksi anestesi pada anjing. Penelitian tahap kedua
memperlihatkan bahwa semua kombinasi anestetika tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap waktu induksi, durasi anestesi, waktu sadar, dan waktu pemulihan. Grup I dan II menunjukkan perubahan minimal terhadap denyut jantung, respirasi, ET CO 2 , Sp O 2 , nilai CRT, NIBP, suhu tubuh, dan EKG. Sedangkan grup III menunjukkan penurunan tajam terhadap Sp O 2 dan peningkatan tidak stabil terhadap denyut jantung, respirasi, serta ET CO 2 . Pemeliharaan status teranestesi pada grup IV menyebabkan tertekannya respirasi, Sp O 2 , dan penurunan denyut jantung. Keseluruhan kombinasi perlakuan anestetika tidak mempengaruhi gambaran listrik jantung. Penelitian ini menunjukkan kombinasi ketamine HCl-propofol dosis 0,2-0,4 mg/kg/menit secara infusi gravimetrik menghasilkan kualitas anestesi yang baik dan dapat digunakan untuk pemeliharan status teranestesi sebagai kebakuan dosis anestesi pada anjing. Kata kunci : Anestesi, Gravimetrik, Ketamine HCl, Propofol, Anjing
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KETERPILIHAN DAN KEBAKUAN DOSIS ANESTESI KETAMINE DAN PROPOFOL MENGGUNAKAN METODE GRAVIMETRIK PADA ANJING
I GUSTI NGURAH SUDISMA
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Mayor Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup : 1. Dr. dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt., MSc. 2. drh. Deni Noviana, PhD.
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Dr. dr. Bambang Joewono Oetoro, Sp.An (KNA) (Dokter Spesialis Anestesi, Konsultan Neuroanestesi Brawijaya Women & Children Hospital, Tahir Neurosience, Sahid Sahirman Memorial Hospital, Jakarta).
2. Dr. Nastiti Kusumorini (Dosen Bagian Fisiologi Departeman Anatomi Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB)
Judul Disertasi: Keterpilihan dan Kebakuan Dosis Anestesi Ketamine dan Propofol Menggunakan Metode Gravimetrik pada Anjing Nama NIM Mayor
: I Gusti Ngurah Sudisma : B361070011 : Ilmu Biomedis Hewan (IBH)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Setyo Widodo Ketua
Prof. drh. Dondin Sajuthi, M.S.T., Ph.D.
drh. R. Harry Soehartono, MApp Sc., Ph.D.
Anggota
Anggota
Diketahui
Ketua Program Mayor Ilmu Biomedis Hewan,
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
drh. Agus Setiyono, MS., Ph.D., AP Vet
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 14 September 2011
Tanggal Lulus : ……………………
UCAPAN TERIMAKASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul “Keterpilihan dan Kebakuan Dosis Anestesi
Ketamine dan Propofol menggunakan Metode
Gravimetrik pada Anjing”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Setyo Widodo selaku ketua komisi pembimbing, Prof. drh. Dondin Sajuthi, M.S.T., Ph.D. dan drh. R. Harry Soehartono, MApp Sc., Ph.D. selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran, nasihat, pengarahan dan pembimbingan yang tulus dan penuh kesabaran. Penghargaan yang dalam penulis sampaikan kepada Direktur Jendral Pendidikan Tinggi, Rektor Universitas Udayana, Dekan FKH Universitas Udayana, Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Mayor IBH Pascasarjana IPB , Direktur Rumah Sakit Hewan IPB, Ketua Departemen KRP FKH IPB, Ketua Departemen AFF FKH IPB, yang telah membantu fasilitas dan pelayanan selama studi dan penelitian. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan mahasiswa pascasarjana IPB dan temanteman dalam suka-duka di Asrama Bali Bogor atas dukungan yang tulus dan kerjasamanya yang penuh kekeluargaan. Dengan rasa cinta kasih penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada istri tercinta dr. Ni Gusti Ayu Ketut Widiastiti serta anak tersayang I Gusti Ayu Dewi Sawitri, I Gusti Ngurah Bagus Nala Purusatama, dan I Gusti Ngurah Bagus Aryha Wirasha atas kesabaran, dorongan semangat dan pengorbanan selama masa studi. Kepada kedua orangtua ayah dan ibu, kedua mertua, serta seluruh keluarga penulis sampaikan terimakasih atas segala pengorbanan, pengertian dan doa yang tidak pernah putus. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, September 2011 Penulis
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala karuniaNya, sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Penulisan disertasi ini berjudul “Keterpilihan dan kebakuan dosis anestesi campuran ketamine dan propofol menggunakan metode gravimetrik pada anjing”, diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Doktor (S3) pada Program Doktor (S3) Mayor Ilmu Biomedis Hewan (IBH) Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian disertasi ini dirancang untuk mengetahui kualitas, efektivitas, dan keamanan pemeliharaan status teranestesi secara infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine dan propofol pada anjing. Hasil penelitian ini juga diharapkan mendapatkan keterpilihan dan kebakuan kombinasi dan dosis ketamine-propofol sebagai agen anestesi secara infusi gravimetrik pada anjing. Dengan demikian, pemeliharaan status teranestesi dengan kombinasi ketamine dan propofol secara infusi gravimetrik diharapkan menghasilkan potensi anestesi umum yang baik dan aman. Kombinasi ketamine dan propofol diharapkan dapat menciptakan kondisi sedasi, analgesi, dan relaksasi yang oftimal serta adequat untuk dilakukan tindakan atau prosedur diagnostik maupun terapeutik tanpa menimbulkan gangguan hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam. Penulisan disertasi ini telah mendapat masukan dan pengujian oleh dra. Hj. Ietje Wientarsih, Apt., MSc. dalam bidang Farmasi, drh. Deni Noviana, Ph.D dalam bidang Bedah, Dr. dr. Bambang Joewono Oetoro, Sp.An (KNA) dalam bidang Neuro-Anestesi dan oleh Dr. Nastiti Kusumorini dalam bidang NeuroFisiologi. Penulis menyadari bahwa penulisan dan isi disertasi ini sudah tentu sangat jauh disebut sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan masukan serta kritik demi kesempurnaannya.
Bogor, September 2011 Penulis i
RIWAYAT HIDUP
I Gusti Ngurah Sudisma, dilahirkan di Badung Bali pada tanggal 30 Januari 1969, merupakan putra pertama dari tiga bersaudara, pasangan dari Ayahanda I Gusti Ngurah Made Arta dan Ibunda I Gusti Ayu Martini. Menikah dengan dr. Ni Gusti Ayu Ketut Widiastiti dan telah dikaruniai satu orang putri I Gusti Ayu Dewi Sawitri (12 tahun), dua orang putra I Gusti Ngurah Bagus Nala Purusatama (4 tahun) dan I Gusti Ngurah Bagus Aryha Wirasha (2 tahun). Pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) penulis tempuh di Bali. Pada tahun 1988 penulis diterima di Program Studi Kedokteran Hewan (PSKH) Universitas Udayana lewat jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK), tahun 1992 penulis berhasil memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (Drs.Med.Vet) dan ditempat yang sama penulis meraih gelar Dokter Hewan (drh) pada tahun 1994. Sejak tahun 1997 penulis dianggkat menjadi staf dosen (PNS) di FKH Universitas Udayana Bali. Pada akhir tahun 2002, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan jenjang Magister (S-2) di Program Studi Sains Veteriner (SVT) Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, tahun 2004 memperoleh gelar Magister (M.Si.). Pada akhir tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan jenjang Doktor (S-3) di Program Mayor Ilmu Biomedis Hewan (IBH) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, lewat jalur Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Bogor, September 2011 Penulis
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................... i RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... iii PENDAHULUAN ………………………………………………………….. 1 Latar Belakang. …………………………………………………………. 1 Kerangka Pemikiran. ……………………………………………………. 4 Tujuan Penelitian. ………………………………………......................... 7 Manfaat Penelitian. ……………………………………………………... 8 Hipotesis. .................................................................................................... 8 TINJAUAN PUSTAKA ………………………….....………………………. 9 Anestesi . …………………….....……………………………………... 9 Preanestesi. ...….............………………………………………….. 10 Klasifikasi Anestesi . .…………………………………………….. 10 Anestesi Lokal. ............................................................................... 11 Anestesi Regional. .......................................................................... 12 Anestesi Umum. ............................................................................. 13 Tahapan Anestesi Umum. ................................................................ 19 Sejarah dan Mekanisme Kerja Anestesi Umum. ……………....… 23 Tinjauan Anestetikum Umum. ...………………...…………………….... 29 Ketamine HCl. ........................……………………..……................. 29 Propofol. ............................................................................................ 31 Xylazine …………………......……………………........................ 34 Midazolam. …………………….....………………………….......... 36 Atropine …………….………...…………………………................. 39 Perubahan Aspek Fisiologi dalam Anestesi ..…………………..…..…. 40 Sistem Kardiovaskuler. …………………………………...…………….. 41 Capillary Refill Time (CRT). ………………………………............ 45 Warna Membrana Mukosa. ……………………………………….... 45 Tekanan Darah. …………………………………………………….. 46 Gambaran Darah. ............................................................................... 46 Sistem Respirasi. ………………………….....………………………... 48 Suhu Rektal. .............................................................................................. 50 Anjing. ....................................................................................................... 51 Klasifikasi Status Pasien. .......................................................................... 54 Pemantauan Anestesi. .............................................................................. 55 MATERI DAN METODE PENELITIAN …………………....…................. 57 Waktu dan Tempat Penelitian. .................................................................. 57 Materi Penelitian……..…….…....………………………........................ 57 Metode Penelitian ……………….………………………....................... 61 Parameter. ………………………….....……………........................... 62 Difinisi dan Batasan Parameter. ........................................................... 63 Bahan dan Alat. .................................................................................... 64 Perekaman dan Pengukuran Parameter. ............................................... 64 Perekaman EKG, Denyut Jantung, dan Respirasi. ..……………....…. 65 Pengukuran Tekanan Darah. ………………....……........................... 67 Perekaman Tekanan CO 2 Respirasi. ..................................................... 67 Pengukuran Suhu Rektal. …..............…………....………….............. 68 iii
Gambaran Darah. …................................…………….……………… Protokol dan Pelaksanaan Penelitian. ………………….…....……….. Rancangan Penelitian dan Analisis Statistik. ............................................ HASIL DAN PEMBAHASAN. ...................................................................... Penelitian Pendahuluan. ........….……………………............................... Penelitian Tahap Pertama. …….……………………............................... Waktu Anestesi. .…………………………………........................... Denyut Jantung. ....................... ........................................................... Respirasi. .............................................................................................. Suhu Rektal. .................................................…………………………. Saturasi Oksigen . ...................………....……………........................... Tekanan Darah. ..................................................................................... Tekanan Darah Sistol (SAP). ........................................................... Tekanan Darah Diastol (DAP)......................................................... Tekanan Darah Rata rata (MAP). .................................................... Nilai end tidal CO 2 (ET CO 2 ). .........…..............…………………....... Elektrokardiogram (EKG). .................................................................... Amplitudo Gelombang P. ......................…………………………... Amplitudo Gelombang R. .......................…………………………. Komplek QRS. .............................……………………………........ Interval PR. .........................………………………….................... Interval QT. ..................….............………………………………... Nilai CRT. ....................................................….....…………………… Penelitian Tahap Kedua. ........….……………………….......................... Waktu Anestesi. .…………………………………….......................... Denyut Jantung. ...................... ............................................................ Respirasi. .............................................................................................. Suhu Rektal. ................................................…………………………. Saturasi Oksigen . ..................……………………............................... Tekanan Darah. .................................................................................... Tekanan Darah Sistol (SAP). ............................................................... Tekanan Darah Diastol (DAP).............................................................. Tekanan Darah Rata rata (MAP). ......................................................... Nilai end tidal CO 2 (ET CO 2 ).............……………………................... Elektrokardiogram (EKG). ................................................................... Amplitudo Gelombang P. .........................…………....…………… Amplitudo Gelombang R. .............................……...........………… Interval PR. ......................…...............…………………….............. Komplek QRS. ...................................…………………………….. Interval QT. ......................…..........………………....…….............. Nilai CRT. ....................................................………………………… Darah dan Kimia Darah. ........................................................................ KESIMPULAN DAN SARAN. ................……………………...................... Kesimpulan. ...........................….......……………………......................... Saran. ........................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA. .................................................................................... LAMPIRAN. ...................................................................................................
iv
68 69 69 71 71 72 73 76 78 83 84 86 86 88 90 92 96 96 97 99 100 102 102 108 108 110 113 117 118 120 120 124 125 127 129 129 129 132 132 133 136 137 145 145 146 147 153
DAFTAR TABEL No 1.
Teks Tahapan dan indikasi status teranestesi oleh anestetikum umum. ...................
Hal
2.
Perubahan fisiologi yang diperiksa selama periode anestesi ....................................
40
3.
Kriteria elektrokardiogram (EKG) dan tekanan darah normal pada anjing................
44
4.
Kriteria normal pemeriksaan darah pada anjing.........................................................
48
5.
Tekanan gas respirasi dan gas darah normal pada anjing (mmHg).............................
49
6.
Data fisiologi anjing....................................................................................................
53
7.
Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi .......................................................
54
8.
Data hasil edaran kuesioner kepada Dokter Hewan Praktek di Jawa dan Bali dengan responden 87 tempat praktek Dokter Hewan dari 110 kuesioner yang diedarkan (79%). ………………………………………………………………………………...
72
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) waktu induksi, durasi, dan waktu pemulihan selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing. ……
74
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal dan nilai saturasi O 2 selama preanestesi dan induksi anestesi pada anjing. ................................................................................................
82
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) tekanan darah tidak langsung (NIBP : SAP, DAP, MAP) dan CO 2 respirasi selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing.……………………….………………………………
95
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II gelombang P dan gelombang R selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing………………………………………………………..
98
9. 10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
22
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II interval PR, komplek QRS, interval QT) dan nilai CRT selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing……………………………………..
101
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) waktu induksi, durasi, sadar, dan waktu pemulihan selama pemberian induksi atropine-xylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. ………………………………………………………………..
109
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal dan nilai saturasi O 2 selama pemberian induksi atropinexylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. ………………………………………..
116
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) tekanan darah tidak langsung (NIBP : SAP, DAP, MAP) dan CO 2 respirasi selama pemberian induksi atropinexylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. ………………………………………..
123
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata±SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II gelombang P dan gelombang R selama pemberian induksi atropine-xylazineketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. ………………………………………………..
131
v
18.
19.
20.
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata±SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II interval PR, komplek QRS, interval QT) dan nilai CRT selama pemberian induksi atropine-xylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. ………..…………..
135
Nilai rata-rata indeks eritrosit darah selama pemberian induksi atropinxilazin-ketamin-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infus gravimetrik dengan ketamin dan propofol pada anjing. ………………………………….
138
Nilai rata-rata jumlah sel darah putih , diferensial leukosit, dan kimia darah selama pemberian induksi atropin-xilazin-ketamin-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infus gravimetrik dengan ketamin dan propofol pada anjing. …………………………………………………………
139
vi
DAFTAR GAMBAR No 1.
Teks
Hal
Klasifikasi agen preanestesi yang digunakan pada anestesi umum. ........................
10
Reseptor GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, masing masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, 4-transmembran (TM) sebagai saluran ion dan tempat terikatnya anestetika. ............
25
Skema reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) komfleks. .........................................
26
Anestesi umum bekerja dengan cara mempengaruhi aktivitas transmitter-gate ion channel dengan cara meningkatkan (+) sinyal inhibitori dan/atau menghambat (-) sinyal eksitatori neurotransmiter (Cameron JW 2006).................................................
27
Anestetika volatil (isofluran) bekerja pada reseptor GABA A subunit α dan anestetika intravena (propofol) bekerja pada reseptor GABA A subunit β. .................
29
6.
Struktur kimia ketamine HCl. .....................................................................................
30
7.
Struktur kimia propofol................................................................................................
32
8.
Struktur kimia xylazine HCl. ......................................................................................
35
9. Struktur kimia midazolam.............................................................................................
37
10. Struktur kimia atropine.................................................................................................
39
11. Diagram gambaran gelombang elektrokardiogram (EKG)..........................................
44
12. Diagram alir penelitian tahap pertama pada anjing......................................................
59
13. Diagram alir penelitian tahap kedua pada anjing.........................................................
61
2.
3. 4.
5.
14. Perubahan rata-rata denyut jantung selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing. …..…………………………………………………...
77
15. Perubahan rata-rata frekuensi respirasi selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing. ……………………………………………..........
79
16. Perubahan rata-rata suhu rektal selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing. …………………………………................................
83
17. Perubahan rata-rata saturasi O 2 selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing . ……………………..………….................................
85
18. Perubahan rata-rata tekanan darah sistol (SAP) selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing………………………………………………………
87
19. Perubahan rata-rata tekanan darah diastol (DAP) selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing………………………………………………………...
89
20. Perubahan rata-rata tekanan darah rata-rata (MAP) selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing……………………………………………………
91
21. Perubahan rata-rata end tidal CO 2 (ET CO 2 ) selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing……………………………………………………….
93
22. Perubahan rata-rata denyut jantung selama pemberian induksi atropine-xylazineketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. …………………………………………………
vii
111
23. Perubahan rata-rata frekuensi respirasi selama pemberian induksi atropinexylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. …………………………...……………
114
24. Perubahan rata-rata suhu rektal selama pemberian induksi atropine-xylazineketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. …………………………………………………
117
25. Perubahan rata-rata nilai saturasi O 2 selama pemberian induksi atropine-xylazineketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. …………………………..…...………………...
119
26. Perubahan rata-rata tekanan darah sistol (SAP) selama pemberian induksi atropinexylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. …………………………………….….
121
27. Perubahan rata-rata tekanan darah diastol (DAP) selama pemberian induksi atropine-xylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. …………………….……..
124
28. Perubahan rata-rata tekanan darah rata-rata (MAP) selama pemberian induksi atropine-xylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. ……………….………….
126
29. Perubahan rata-rata end tidal CO2 (ET CO2) selama pemberian induksi atropinexylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. …………………………………….….
128
30. Perubahan rata-rata nilai CRT selama pemberian induksi atropine-xylazineketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing. ………………………………………….………
viii
136
DAFTAR LAMPIRAN No
Teks
Hal
1.
Contoh cara pembuatan campuran Ketamine-Propofol sebanyak 100 ml …..
153
2.
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata±SD) darah dan kimia darah selama pemberian induksi atropine-xylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing………………………………………………………….
154
ix
PENDAHULUAN Latar Belakang Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting dan strategis pada tindakan pembedahan, karena pembedahan tidak dapat dilakukan bila belum dilaksanakan anestesi. Sejarah membuktikan bahwa ilmu bedah mengalami revolusi pesat setelah ditemukan eter sebagai anestesi umum. Sebelum ditemukan anestesi, tindakan pembedahan tidak dapat dilakukan dengan baik dan ilmu bedah tidak mengalami perkembangan. Setelah Thomas Green Morton melakukan demonstrasi menggunakan eter sebagai anestesi umum untuk pembedahan tumor leher di rumah Sakit Umum Massachusetts pada 16 Oktober 1846, penanganan pasien dengan tindakan pembedahan dapat dilakukan dengan baik dan ilmu bedah berkembang sangat pesat. Anestesi umum adalah tahapan yang sangat penting dan mempunyai resiko jauh lebih besar dari prosedur pembedahan, karena anestesi yang dalam akan mengancam nyawa pasien. Pemberian agen anestetikum yang kurang atau tidak mencukupi menyebabkan pasien akan tetap merasakan sakit, tetapi apabila dosis anestetikum yang diberikan dalam keadaan cukup atau berlebihan akan dapat mengancam terjadinya kematian. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemilihan anestetikum yang memenuhi kriteria ideal, yaitu anestetikum yang menghasilkan sedasi, analgesi, relaksasi, ketidaksadaran, dan aman untuk sitem vital, serta mudah diaplikasikan (Fossum 1997; Miller 2010). Anestesi umum yang dinyatakan cukup aman dan sering digunakan untuk anjing adalah anestesi inhalasi, tetapi anestesi inhalasi memerlukan perangkat yang rumit, mahal, dan tidak praktis untuk menangani kasus pembedahan di lapangan. Anestesi inhalasi tidak dapat digunakan untuk penanganan presedur bronkoskopi dan laringoskopi, serta menyebabkan polusi terhadap individu yang berada di ruangan operasi. Anestesi inhalasi, seperti gas nitrogen oksida dan anestesi yang diuapkan dengan halogen mengakibatkan pencemaran lingkungan dan penipisan lapisan ozon (Amadasun dan Edomwonyi 2005).
2
Data penggunaan anestesi pada praktek kedokteran hewan di Indonesia menunjukkan bahwa penggunaan anestesi inhalasi hanya 10,5%, anestesi injeksi 81%, dan anestesi gabungan 8,5%. Penanganan pasien dengan melakukan pembedahan diluar ruangan operasi (eksitu) cukup besar, yaitu 43%. Anestetika yang paling banyak digunakan adalah injeksi kombinasi ketamine-xylazine. Kombinasi ini menghasilkan anestesi tidak stabil, memerlukan pengulangan pemberian, pemulihan lama, mempunyai efek samping kejang dan muntah. Dengan demikan proses pembedahan menjadi terganggu. Mengatasi kelemahan anestesi inhalasi dan untuk mengatasi permasalahan penggunaaan anestesi di lapangan, digunakan metode anestesi intravena total intraveous anesthesia, TIVA).
(total
Anestesi intravena total menggunakan anestetika
secara intravena (IV) untuk induksi dan pemeliharaan anestesi. Penggunaan mesin pompa infusi dengan komputer pada metode TIVA menghasilkan jumlah infusi yang stabil dan akurat. Metode TIVA mirip dengan penggunaan alat penguap (vaporizer) pada anestesi inhalasi sehingga anestesi menjadi lebih stabil, tetapi pompa infusi yang digunakan masih mahal dan rumit serta tidak cocok untuk penanganan pasien di lapangan. Metode alternatif yang lebih praktis dan paling memungkinkan adalah metode infusi gravimetrik. Metode infusi gravimetrik menggunakan anestetikum parenteral melalui tetes infusi intravena secara terus menerus. Anestetikum dicampur dalam kantong cairan dan cairan anestetikum dialirkan melalui tetes infusi intravena berdasarkan gaya gravitasi dengan dosis dan kecepatan tetes tertentu (Amadasun dan Edomwonyi 2005). Anestetikum parenteral yang dapat diberikan melalui tetes infusi intravena adalah propofol (BBraun 2009).
Propofol adalah agen anestetikum parenteral
generasi terbaru yang diperkenalkan pada praktek kedokteran hewan pada tahun 1990-an. Propofol merupakan substansi parenteral sebagai agen induksi pada anestesi umum inhalasi, mempunyai waktu induksi dan pemulihan yang singkat,
serta
pengeluaran dari tubuh yang cepat (Stoelting 1999; Dzikiti et al. 2007). Propofol mempunyai molekul mirip alkohol, molekulnya akan bekerja dan berikatan pada reseptor γ amino butiric acid (GABA) pada membran sel syaraf pada otak khususnya
3
reseptor GABA A subtipe ß3 sehingga menyebabkan ketidaksadaran dan pada reseptor GABA A subtipe ß2, lebih dari setengah jumlah reseptor terdapat pada SSP, akan menyebabkan sedasi. Propofol menghasilkan pengaruh menghilangkan kesadaran dan pelemas otot yang baik, menyebabkan hipotensi arterial, bardikardi, depresi respirasi, dan mengancam nyawa pasien terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi. (Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007). Pengaruh anestesi dan efek samping propofol sangat berhubungan dengan dosis dan keuntungan penggunaaan propofol dapat diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan anestetikum lain seperti ketamine (McKelvey dan Hollingshead 2003). Ketamine mempunyai tempat kerja yang berbeda dengan propofol. Mekanisme kerja ketamine secara antagonis pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), mempunyai pengaruh analgesik kuat dan mampu meningkatkan pengaruh anestesi apabila dikombinasikan dengan propofol untuk induksi anestesi pada manusia (Lerche et al. 2000). Ketamine dosis rendah menghasilkan analgesik yang baik (Intelisano et al. 2008), tetapi ketamine menyebabkan kekejangan otot dan peningkatan denyut jantung (Pathak et al.1982; Kul et al. 2001). Mengatasi efek samping ketamine, dapat dikombinasikan dengan preanestesi sedatif hipnotik golongan α2-adrenoceptor seperti xylazine atau golongan benzodiazepin
seperti
diazepam
atau
midazolam.
Golongan
benzodiazepin
memperkuat kerja GABA yang merupakan neurotransmiter inhibitori utama pada otak, mampu menekan refleks-refleks polisinaps dan berpengaruh terhadap medulla spinalis (Brander et al. 1991). Midazolam bekerja pada reseptor benzidiazepin dengan cara meningkatkan pengikatan GABA pada reseptor GABA A , sehingga menimbulkan penghambatan SSP, mencegah hipertonus otot, meningkatkan efek sedasi dan hipnotik (Stawicki 2007). Midazolam lebih potensial dibandingkan diazepam (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000). Xylazine HCl adalah golongan alpha 2 -adrenoceptor stimulant atau alpha-2 adrenergic receptor agonist. Xylazine bekerja melalui mekanisme yang menghambat tonus simpatik karena xylazine mengaktivasi reseptor postsinap α2 -adrenoseptor sehingga menyebabkan medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung,
4
penurunan peristaltik, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Xylazine menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan syaraf pusat dan dapat menyebabkan muntah. Xylazine juga dapat menekan termoregulator (Adams 2001). Pemberian atropine sulfat secara bersamaan sebagai preanestesi, dapat menurunkan pengaruh hipersalivasi dan bradikardi dari xylazine (Bishop 1996). Atropine adalah agen menghambat muskarinik atau antimuskarinik dengan mekanisme kerja secara kompetisi dengan reseptor acetilkolin. Penggunaan kombinasi atropine sulfat, xylazine HCl atau midazolam sebagai preanestesi akan memberikan pengaruh lebih baik terhadap anestesi serta meningkatkan potensi anestetikum. Preanestesi juga sangat penting pada hewan untuk tujuan merestrain sebelum dilakukan anestesi. Penelitian ini dirancang untuk mengetahui kualitas, efektivitas, dan keamanan pemeliharaan status teranestesi secara infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine dan propofol pada anjing. Hasil penelitian ini juga diharapkan mendapatkan keterpilihan dan kebakuan kombinasi dan dosis ketamine-propofol sebagai agen anestesi secara infusi gravimetrik pada anjing. Dilakukan evaluasi terhadap waktu anestesi untuk menentukan kualitas anestesi, evaluasi terhadap fungsi kardiovaskuler dan respirasi untuk menentukan tingkat keamanan penggunaan anestesi. Evaluasi fungsi kardiovaskuler terdiri dari frekuensi denyut jantung, tekanan darah (noninvasive
blood
pressure/NIBP),
capillary
refill
time
(CRT),
dan
elektrokardiogram (EKG), sedangkan evaluasi fungsi respirasi terdiri dari frekuensi respirasi, end tidal CO 2 (ET CO 2 ), dan saturasi oksigen (Sp O 2 ).
Kerangka Pemikiran Pembedahan hanya dapat dilakukan dengan baik apabila hewan telah dibius atau dianestesi. Anestesi juga sangat diperlukan untuk membuat diagnosis dan tindakan medis lainnya pada hewan. Banyak diagnosis, tindakan medis, dan terutama tindakan pembedahan tidak dapat dilakukan sebelum dilakukan anestesi. Anestesi merupakan tahapan yang sangat penting pada proses pembedahan dan penggunaan anestesi umum mempunyai resiko yang sangat besar karena dapat mengancam nyawa
5
hewan yang dianestesi serta mempunyai resiko jauh lebih besar dibanding prosedur pembedahan yang dijalankan. Diperlukan pemilihan anestetikum
yang ideal yang memenuhi kriteria
komponen anestesi : sedasi, analgesi, relaksasi (immobilisasi), ketidaksadaran, aman dan nyaman untuk sistem vital, ekonomis serta mudah diaplikasikan. Sampai saat ini belum ditemukan anestesi umum yang benar-benar aman dan memenuhi kriteria ideal. Anestesi umum inhalasi yang dipandang aman, memerlukan perangkat yang rumit, mahal, dan mempunyai waktu induksi (onset) yang relatif lambat. Keterbatasan anestesi inhalasi adalah tidak bisa digunakan untuk penanganan bronkoskopi dan laringoskopi serta tidak praktis untuk menangani hewan di lapangan. Anestesi umum alternatif yang masih mungkin dilakukan adalah anestesi umum parenteral. Anestesi parenteral lebih ekonomis dan praktis untuk penanganan hewan di lapangan, tetapi menghasilkan anestesi yang tidak stabil dan sering memerlukan pengulangan atau penambahan dosis anestesi karena waktu anestesi sudah selesai sedangkan tindakan medis atau pembedahan belum selesai dilakukan. Pilihan anestesi yang lebih memungkinkan adalah anestesi parenteral intravena dengan metode anestesi intravena total (TIVA, total intraveous anesthesia). Penggunaan mesin pompa infusi dengan komputer pada metode TIVA menghasilkan anestesi yang stabil dan akurat, sehingga metode TIVA mirip dengan penggunaan alat penguap (vaporizer) pada anestesi inhalasi. Pompa infusi yang digunakan pada metode TIVA masih mahal dan rumit serta tidak cocok untuk penanganan pasien di lapangan. Metode anestesi yang lebih praktis dan memungkinkan adalah metode infusi gravimetrik melalui tetes intravena.
Metode infusi gravimetrik menggunakan
anestetikum parenteral melalui tetes infusi intravena secara terus menerus, anestetikum dicampur dalam kantong cairan dan cairan anestetikum dialirkan melalui tetes infusi intravena berdasarkan gaya gravitasi dengan dosis dan kecepatan tetes tertentu. Ketamine HCl adalah salah satu jenis anestesi umum injeksi yang dapat diberikan secara intravena dan menjadi pilihan digunakan pada hewan kesayangan
6
seperti anjing. Ketamine HCl adalah anestetikum disosiatif dari golongan nonbarbiturat mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit (analgesik) yang kuat serta reaksi anestesinya tidak menyebabkan ngantuk (sedasi) (Pathak et al.1982; Kul et al. 2001). Ketamine menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor N methyl D aspartate (NMDA). Ketamine diklasifikasikan sebagai antagonis reseptor NMDA, pada daerah tempat kerja PCP. Afinitas ketamine sangat kuat pada reseptor NMDA, sehingga menghasilkan pengaruh analgesik yang sangat kuat (Stawicki 2007). Antagonis NMDA akan menghambat refleks nosiseptik spinal, menghambat konduksi rasa sakit ke talamus dan daerah kortek. Penghambatan reseptor NMDA dengan dosis ketamine yang rendah akan menghasilkan pengaruh analgesik yang baik (Intelisano et al. 2008). Propofol termasuk agen anestetikum intravena short acting hyptotic yang dapat diberikan secara berulang atau secara infusi terus menerus. Propofol menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor GABA A (Intelisano et al. 2008). Propofol memperbesar pengaruh GABA yang mempunyai fungsi menghambat aksi (inhibitory) sistem syaraf pusat, meningkatkan konduksi Cl- yang menyebabkan hiperpolarisasi sehingga tingkat rangsangan sel (excitability) menurunkan, menyebabkan sedasi dan relaksasi (Mihic dan Harris 1997; Intelisano et al. 2008). Molekul propofol akan bekerja dan berikatan pada reseptor GABA A pada membran sel syaraf pada otak khususnya reseptor GABA A subtipe ß3 bagian N265 (ßN265) sehingga menyebabkan ketidaksadaran dan pada reseptor GABA A subtipe ß2 sehingga menyebabkan sedasi. Propofol menghasilkan pengaruh menghilangkan kesadaran dan sedasi yang baik, tetapi subtipe ß3 yang terdapat pada reseptor GABA A merespon terjadinya depresi respirasi akibat propofol (Henschel et al .2008). Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan (Stawicki 2007). Propofol akan menghasilkan sedasi yang baik dengan efek samping yang minimal apabila digunakan pada dosis yang rendah. Efek samping propofol berhubungan dengan dosis penggunaan dan keuntungan penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen
7
anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang ditimbulkan. Kombinasi campuran propofol dengan ketamine merupakan anestetika parenteral yang paling umum digunakan sebagai agen induksi untuk anestesi umum inhalasi. Anestesi pada manusia dengan metode TIVA menggunakan propofol dan ketamine, menunjukkan hasil yang sangat memuaskan secara klinik. Metode TIVA dengan propofol digunakan secara luas pada pasien manusia yang ditangani diluar ruang operasi. Kombinasi propofol dan ketamine akan berpotensi menghasilkan sedasi dan relaksasi yang baik karena potensi propofol serta menghasilkan analgesi yang kuat karena potensi ketamine. Kombinasi propofol dan ketamine dapat menurunkan
dosis
hipnotik
propofol
dan
mengurangi
pengaruh
depresi
kardiovaskuler dan respirasi akibat propofol. Dengan demikian, pemeliharaan status teranestesi dengan kombinasi ketamine dan propofol secara infusi gravimetrik diharapkan menghasilkan potensi anestesi umum yang baik dan aman. Kombinasi ketamine dan propofol diharapkan dapat menciptakan kondisi sedasi, analgesi, dan relaksasi yang oftimal serta adequat untuk dilakukan tindakan atau prosedur diagnostik maupun terapeutik tanpa menimbulkan gangguan hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan keterpilihan anestetika yang memenuhi kriteria komponen dasar anestesi (sedasi, analgesi, relaksasi, aman, dan mudah diaplikasikan), sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah : 1. Memperoleh kombinasi dan dosis preanestesi dan induksi anestesi pada anjing. 2. Memperoleh metode pemeliharaan status teranestesi secara infusi gravimetrik pada anjing. 3. Menjadikan campuran ketamine dengan propofol sebagai keterpilihan kebakuan kombinasi dan dosis anestetika pada anjing.
8
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Memberikan keyakinan untuk pemeliharaan status teranestesi secara infusi gravimetrik selama masa pembiusan pada anjing. 2. Kombinasi bahan anestetikum dan dosis ketamine dan propofol dapat dipilih sebagai kebakuan anestetikum pada anjing. 3. Metode dan hasil kajian anestesi
infusi gravimetrik pada anjing dapat
dijadikan acuan dalam mengkaji anestesi pada spesies lain maupun manusia.
Hipotesis 1. Kombinasi preanestesi atropine-xylazine atau atropine-midazolam dengan induksi ketamine dan propofol menghasilkan waktu induksi (onset) yang lebih singkat, waktu anestesi (duration of action) yang lebih lama dan waktu pemulihan (recovery) yang lebih cepat. 2. Kombinasi ketamine dan propofol secara gravimetrik melalui infusi intravena, menghasilkan perubahan yang tidak bermakna terhadap aspek fisiologis anjing.
9
TINJAUAN PUSTAKA Anestesi Istilah anestesi dimunculkan pertama kali oleh dokter Oliver Wendell Holmes (1809-1894) berkebangsaan Amerika, diturunkan dari dua kata Yunani : An berarti tidak, dan Aesthesis berarti rasa atau sensasi nyeri. Secara harfiah berarti ketiadaan rasa atau sensasi nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran.
Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan
pembedahan. Anestetikum yang diberikan pada hewan akan membuat hewan tidak peka terhadap rasa nyeri sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Perjalanan waktu sepanjang sejarah menunjukkan bahwa anestesi pada hewan digunakan untuk menghilangkan rasa dan sensasi terhadap suatu rangsangan yang merugikan (nyeri), menginduksi relaksasi otot, dan terutama untuk membantu melakukan diagnosis atau proses pembedahan yang aman. Alasan lain penggunaan anestesi pada hewan adalah untuk melakukan pengendalian hewan (restraint), keperluan penelitian biomedis, pengamanan pemindahan (transportasi) hewan liar, pemotongan hewan yang humanis, dan untuk melakukan ruda paksa (euthanasia). Secara umum tujuan pemberian anestetikum pada hewan adalah mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan meminimalkan kerusakan organ tubuh dan membuat hewan tidak terlalu banyak bergerak. Semua tujuan anestesi dapat dicapai dengan pemberian obat anestetikum secara tunggal maupun dalam bentuk balanced anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun dengan agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).
10
Preanestesi Preanestesi adalah pemberian zat kimia sebelum tindakan anestesi umum dengan tujuan utama menenangkan pasien, menghasilkan induksi anestesi yang halus, mengurangi dosis anestetikum, mengurangi atau menghilangkan efek samping anestetikum, dan mengurangi nyeri selama operasi maupun pasca operasi (Debuf 1991;
McKelvey
dan
Hollingshead
2003).
Pemilihan
preanestetikum
dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien, derajat pengendalian, jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian anestetikum (Booth dan Branson 1995). Preanestetikum yang paling umum digunakan pada hewan adalah atropine, acepromazin, xylazine, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik. Atropine digunakan untuk mengurangi salivasi, peristaltik dan mengurangi bradikardia akibat anestesi. Acepromazin digunakan sebagai penenang atau tranquilizer. Xylazine, medetomidin, diazepam, dan midazolam digunakan sebagai agen sedatif dan merelaksasi otot. Opioid atau narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit, seperti disajikan pada Gambar 1. Preanestesi
Antikolinergik : Atropine, Scopolamine, Aminopentamid, Glikopirolat.
Pelemas otot (Muscle paralyzer): Xylazine, Diazepam, Midazolam, Medetomidin, Lorazepam, Curare.
Agen Dissosiatif : Penciklidine, Ketamine, Tiletamine.
Narkotik : Morpin, Apomorpin, Meperidin, Oksimorpin, Etorpin, Nalorpin.
Tranquilizer : Promazin, Acepromazin, Chlorpromazin, Xylazine, Diazepam, Midazolam, Lorazepam, Madetomidin.
Gambar 1. Klasifikasi agen preanestesi yang digunakan pada anestesi umum (Sumber: Warren 1983; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Klasifikasi Anestesi Keadaan teranestesi dapat dihasilkan secara kimia dengan obat-obatan dan secara fisik melalui penekanan sensori pada syaraf. Obat-obatan anestetika umumnya diklasifikasikan berdasarkan rute penggunaannya, yaitu: 1). Topikal misalnya melalui
11
kutaneus atau membrana mukosa; 2). Injeksi seperti intravena, subkutan, intramuskular, dan intraperitoneal; 3). Gastrointestinal secara oral atau rektal; dan 4). Respirasi atau inhalasi melalui saluran nafas (Tranquilli et al. 2007). Anestetetikum juga dapat diklasifikasikan berdasarkan daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhinya, yaitu : 1). Anestesi lokal, terbatas pada tempat penggunaan dengan pemberian secara topikal, spray, salep atau tetes, dan infiltrasi. 2). Anestesi regional, mempengaruhi pada daerah atau regio tertentu dengan pemberian secara perineural, epidural, dan intratekal atau subaraknoid. 3). Anestesi umum, mempengaruhi seluruh sistem tubuh secara umum dengan pemberian secara injeksi, inhalasi, atau gabungan (balanced anaesthesia) (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anestesi Lokal Anestetikum lokal adalah suatu bahan kimia yang mampu menghambat konduksi syaraf
perifer tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada syaraf
tersebut. Mekanisme kerja anestetikum lokal dengan cara menghambat (blok) saluran ion sodium (Na) pada syaraf
perifer, konduksi atau aksi potensial pada syaraf
terhambat sehingga respon nyeri secara lokal hilang. Anestetikum lokal mencegah proses depolarisasi membran syaraf secara lokal melalui penghambatan saluran ion Na, sehingga membran akson tidak dapat bereaksi dengan neurotransmitter acetilkolin dan membran akan tetap dalam keadaan semipermiabel serta tidak terjadi perubahan potensial. Keadaan tersebut menyebabkan aliran inpuls yang melewati syaraf berhenti, sehingga semua rangsangan tidak sampai ke SSP. Sifat hambatan syaraf umumnya bersifat lokal, selektif, dan tergantung pada dosis atau jumlah obat yang diberikan (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Sifat sifat yang harus dimiliki oleh obat anestetikum lokal adalah poten, artinya efektif dalam dosis rendah, daya penetrasinya baik, mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama, toksisitas sistemik rendah, tidak mengiritasi jaringan, pengaruhnya reversibel, dan mudah dikeluarkan dari tubuh (Adams 2001; Tranquilli et al. 2007).
12
Penggunaan anestetikum lokal bisa dilakukan dengan meneteskan pada permukaan daerah yang akan dianestesi (surface aflication), dengan melakukan injeksi secara sub-kutan pada daerah yang akan dianestesi (subdermal, intradermal), serta dengan melakukan pemblokiran pada daerah tertentu (field block anestesi). Anestetikum yang sering digunakan sebagai anestetikum lokal adalah procaine HCI 2% - 4%, Lidocaine 0,5 - 2%, Lidocaine 4%, Tetracaine, bupivacaine 0,25% atau 0,5%, Dibucain, Pehacaine, Lidonest, dan Chlor buthanol dengan dosis pemberian secukupnya (Quantum statis, QS). Lidocaine dan bupivacaine dapat diencerkan dengan larutan salin (bukan air) untuk menurunkan konsentrasinya. Bupivacaine mempunyai onset lebih lambat (20 menit) dan durasi lebih panjang (6 jam) dibandingkan lidocaine (onset lebih cepat dan durasi 1-2 jam) (Adams 2001; Sudisma 2006; Tranquilli et al. 2007).
Anestesi Regional Anestesi regional adalah tindakan menghilangnya nyeri yang dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang menginervasi regio atau daerah tertentu sehingga menyebabkan hambatan konduksi inpuls yang reversibel. Anestetikum regional dapat menghilangkan rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secera reversibel tanpa disertai hilangnya kesadaran. Mekanisme kerja dan jenis anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal, tetapi daerah atau luasan pada tubuh yang dipengaruhi adalah daerah atau regio tertentu. Anestesi regional dibedakan berdasarkan rute pemberiannya, yaitu secara epidural, spinal atau intrathekal atau subaraknoid, dan blok pleksus brakhialis (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestesi epidural dihasilkan dengan cara menginjeksikan anestetikum lokal diantara duramater dan periosteum dari canalis spinalis (epidural space). Anestetikum tidak langsung mengenai medula spinalis, sehingga efek anestesi terjadi setelah 15-20 menit pemberian. Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol motorik daerah abdominal, pelvis, ekor, dan kaki belakang. Anestesi ini biasanya digunakan untuk laparotomi, amputasi ekor, urethrostomi, pembedahan cesar,
13
pembedahan daerah pelvis, dan amputasi daeran kaki belakang. Pada hewan kecil dilakukan antara tulang lumbar terakhir dan tulang sakral 1. Sedangkan pada hewan besar dilakukan antara tulang coccigia 1 dan 2. Anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal, seperti lidocaine 2%, bupivacain 0,5%, ropivacain 0,75% atau mepivacaine 2% dengan dosis pemberian 1ml/5kg BB. Lidocain menghasilkan durasi sekitar 1-2 jam dan bupivacain sekitar 6 jam (McKelvey dan Hollingshead 2003). Spinal atau intrathekal atau subaraknoid anestesi sama dengan anestesi epidural tetapi dilakukan melalui duramater dan subaraknoid dimana jarum menembus duramater dan subaraknoid sehingga anestetikum masuk ke dalam dan langsung mengenai syaraf spinal, menghasilkan anestesi yang segera dan lebih cepat. Anestesi ini mengakibatkan resiko berontak dan rasa sakit yang memerlukan kesembuhan lebih lama. Anestetikum yang digunakan sama dengan anestetikum lokal. Sedangkan blok pleksus brakhialis adalah anestesi regional dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal di daerah perjalanan fleksus brakhialis yang menginervasi daerah kaki depan (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003; Sudisma 2006; Tranquilli et al. 2007).
Anestesi Umum Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem
syaraf
pusat karena adanya induksi secara farmakologi atau penekanan
sensori pada syaraf.
Agen anestesi umum bekerja dengan cara menekan sistem
syaraf pusat (SSP) secara reversibel (Adams 2001). Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (McKelvey dan Hollingshead 2003).
14
Mekanisme kerja anestesi umum pada tingkat seluler belum diketahui secara pasti, tetapi dapat dihipotetiskan mempengaruhi sistem
otak karena hilangnya
kesadaran, mempengaruhi batang otak karena hilangnya kemampuan bergerak, dan mempengaruhi kortek serebral karena terjadi perubahan listrik pada otak. Anestesi umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut tergantung pada dosis yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara ideal dimulai dari keadaan terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon nyeri (analgesia), tidak bergerak dan relaksasi (immobility),
tidak sadar
(unconsciousness), koma, dan kematian atau dosis berlebih (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Anestesi umum yang baik dan ideal harus memenuhi kriteria : tiga komponen anestesi atau trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi), penekanan refleks, ketidaksadaran,
aman untuk sistem
vital (sirkulasi dan respirasi), mudah
diaplikasikan dan ekonomis. Dengan demikian, tujuan utama dilakukan anestesi umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik
atau
pembedahan
tanpa
menimbulkan
gangguan
hemodinamik,
respiratorik, dan metabolik yang dapat mengancam (Wolfensohn dan Lloyd 2000; Adams 2001; Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Agen anestesi umum dapat digunakan melalui injeksi, inhalasi, atau melalui gabungan secara injeksi dan inhalasi.
Anestetikum dapat digabungkan atau
dikombinasikan antara beberapa anestetikum atau dengan zat lain sebagai preanestetikum dalam sebuah teknik yang disebut balanced anesthesia untuk mendapatkan efek anestesi yang diinginkan dengan efek samping minimal. Anestetika umum inhalasi yang sering digunakan pada hewan adalah halotan, isofluran, sevofluran, desfluran, dietil eter, nitrous oksida dan xenon. Anestetika umum yang diberikan secara injeksi meliputi barbiturat (tiopental, metoheksital, dan pentobarbital),
cyclohexamin (ketamine, tiletamin), etomidat, dan propofol
(McKelvey dan Hollingshead 2003; Garcia et al. 2010).
15
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum yang dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara inspirasi. Mekanisme kerja anestesi umum inhalasi sangat rumit dan sampai saat ini masih merupakan misteri, karena pemberian anestetikum inhalasi melalui pernapasan menuju organ sasaran yang jauh adalah suatu hal yang unik. Hiperventilasi akan menaikkan ambilan anestetikum dalam alveolus dan hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus. Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting dalam menentukan induksi dan pemulihan anestesi inhalasi. Induksi dan pemulihan akan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada zat yang larut. Kadar alveolus minimal atau minimum alveolar cencentration (MAC) adalah kadar minimal zat anestesi dalam alveolus pada tekanan satu atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan rangsangan insisi standar. Immobilisasi tercapai pada 95% pasien apabila kadar anestetikum dinaikkan di atas 30% nilai MAC. Dalam keadaan seimbang, tekanan parsial anestetikum dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan otak tempat kerja anestetikum (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestetika umum inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan untuk membantu pembedahan adalah N 2 O. Kemudian menyusul, eter, kloroform, etil klorida, halotan, metoksifluran, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Anestetika umum inhalasi yang umum digunakan saat ini adalah N 2 O, halotan, enfluran, isofluran, desfluran, sevofluran, dan xenon. Obat obat anestesi yang lain ditinggalkan, karena efek sampingnya yang tidak dikehendaki. Misalnya, eter mudah terbakar dan meledak, menyebabkan sekresi bronkus berlebihan, mual dan muntah, kerusakan hati, dan baunya yang sangat merangsang. Kloroform menyebabkan aritmia dan kerusakan hati. Metoksifluran menyebabkan kerusakan hati, toksik terhadap ginjal, dan mudah terbakar (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007). Nitrous oxide (N 2 O) atau dinitrogen monoksida adalah anestesi inhalasi yang diperoleh dengan cara memanaskan amonium nitrat (NH 4 NO 3 ) sampai 240oC. Gas
16
ini bersifat anestetikum lemah, tetapi analgesianya kuat, sehingga jarang digunakan secara tunggal.
Anestetikum yang sering dikombinasikan dengan N 2 O adalah
halotan. Pada akhir anestesi setelah N 2 O dihentikan, akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran oksigen dan terjadi hipoksia difusi. Mengatasi hipoksia difusi, biasanya diberikan 100% oksigen selama 5 – 10 menit. Potensi N 2 O digunakan pada hewan tidak baik, karena mempunyai MAC yang tinggi. MAC N 2 O pada manusia mendekati 100%, tetapi pada anjing hampir 200% dan kucing mendekati 250% (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Halotan sering digunakan sebagai induksi anestesi dikombinasikan dengan N 2 O, karena halotan adalah analgesik lemah tetapi sifat anestesinya kuat sehingga kombinasi keduanya sangat ideal. Pemeliharaan anestesi dengan halotan biasanya digunakan dosis 1-2% pada napas spontan atau dosis 0,5-1% pada napas terkendali, dan dapat disesuaikan dengan respon klinis pasien. Nilai MAC halotan adalah moderat, potensinya berada diantara metoksifluran dan isofluran, yaitu 0,3 – 0,75%. Halotan mempunyai tekanan uap yang tinggi, sehingga memerlukan ketelitian penggunaan vaporizer yang lebih tinggi. Penggunaan vaporizer yang memiliki tingkat ketelitian kurang, dapat menyebabkan konsentrasi halotan mencapai 30%, padahal konsentrasi normal halotan yang diperlukan untuk anestesi adalah 1-2%, sehingga penggunaan
halotan
memerlukan
vaporizer
khusus.
Halotan
menyebabkan
vasodilatasi cerebral, meningkatkan aliran darah pada otak yang sulit dikendalikan. Kelebihan dosis halotan menyebabkan depresi napas, menurunkan tonus simpatik, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, dan depresi miokardium. Halotan dimetabolisme 20% di hati secara oksidatif menjadi komponen bromin, klorin, dan asam trikloro asetat. Halotan menyebabkan gangguan hati dan pasca pemberian sering menyebabkan pasien meninggal (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Desfluran adalah halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip dengan isofluran. Desfluran sangat mudah menguap dibandingkan anestetikum lainnya, sehingga perlu menggunakan vaporizer khusus. Potensi desfluran sangat rendah (MAC 6,0%), bersifat simpatomimetik, menyebabkan takikardia dan
17
hipertensi. Pengaruh depresi nafasnya sama dengan isofluran dan merangsang jalan napas atas sehingga tidak dapat digunakan sebagai induksi anestesi. Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat mirip dengan metoksifluran dan sevofluran. Rentang keamanan isofluran lebih lebar dibandingkan halotan dan metoksifluran, sehingga sangat umum digunakan pada hewan terutama anjing dan kuda walaupun dengan harga yang lebih mahal. Penggunaaan isofluran pada dosis anestesi atau subanestesi menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi akan meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga menjadi pilihan pada pembedahan otak. Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung (cardiac output) sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan kelainan jantung. Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan karena mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan. Pemeliharaan anestesi dengan isofluran biasanya digunakan konsentrasi 1,5 – 2,5 % isofluran dalam oksigen (Latief et al. 2007; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anestesi umum injeksi merupakan metode anestesi umum yang dilakukan dengan cara menyuntikkan agen anestesi langsung melalui muskulus atau pembuluh darah vena. Anestesi injeksi biasanya digunakan untuk induksi pada hewan kecil maupun pada hewan besar dan dapat juga digunakan untuk pemeliharaan anestesi. Anestetika injeksi yang baik memiliki sifat-sifat tidak mengiritasi jaringan, tidak menimbulkan rasa nyeri pada saat diinjeksikan, cepat diabsorsi, waktu induksi, durasi, dan masa pulih dari anestesi berjalan mulus, tidak ada tremor otot, memiliki indeks terapeutik tinggi, tidak bersifat toksik, mempunyai pengaruh minimal terhadap organ tubuh terutama saluran pernapasan dan kardiovaskular, cepat dimetabolisme, tidak bersifat akumulatif, dapat dikombinasikan dengan obat lain seperti relaksan otot, analgesik, dan sudah diketahui antidotanya. Beberapa anestetika injeksi yang sering digunakan pada hewan adalah golongan barbiturat seperti thiopental sodium, methoheksital, dan pentobarbital. Golongan lainnya yang juga sering digunakan pada hewan adalah golongan cycloheksamin (ketamine dan tiletamin), etomidat, dan propofol. (Brander et all. 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003).
18
Semua golongan barbiturat untuk keperluan anestesi berada dalam bentuk garam sodium dan dilarutkan dalam air menjadi larutan 2,5 atau 5%. Tiga klas golongan barbiturat yang digunakan pada hewan adalah ultrashort-acting barbiturates (metoheksital), short-acting barbiturates (tiopental), dan intermediateacting
barbiturates
(pentobarbital).
Sedangkan
long-acting
barbiturates
(penobarbital) biasanya digunakan untuk sedatip dan antikonvulsi, bukan untuk anestesi. Barbiturat menimbulkan sedasi, hipnosis, dan depresi pernafasan tergantung dosis dan kecepatan pemberian serta pengaruh analgesia yang ditimbulkan sedikit. Efek utama golongan barbiturat adalah depresi pusat pernafasan, depresi pusat vasomotor, dan miokardium sehingga menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Etomidat berbentuk kristal putih, dapat larut dalam air, etanol, dan propilin glikol. Etomidat adalah sedatif hipnotik imidazol yang biasanya digunakan sebagai induksi anestesi pada anjing dan kucing. Kombinasi anestetikum dengan etomidat menghasilkan relaksasi otot yang baik tetapi tidak menghasilkan analgesia dan durasinya sangat singkat seperti propofol, karena metabolisme etomidat sangat cepat. Etomidat mempunyai pengaruh yang minimal terhadap fungsi kardiovaskuler seperti denyut jantung, curah jantung, dan tekanan darah. Etomidat dapat diberikan secara infusi dengan kecepatan dosis 50 -150 µ/kg/menit. Ketamine adalah anestetikum umum injeksi golongan nonbarbiturat, termasuk golongan phenilsycloheksamin. Ketamine mempunyai efek analgesia yang sangat kuat akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya kurang (tidur ringan). Ketamine meningkatkan tekanan darah sistol maupun diastol kira kira 20- 25%, karena adanya aktivitas syaraf simpatik meningkat dan depresi baroreseptor. Pemberian anestetikum ketamine secara tunggal dosis 10-15 mg/kg berat badan secara intra muskular pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan anestetikum ketamine secara tunggal, ketamine sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai preanestesi. Propofol
adalah
anestesi
umum
injeksi turunan
alkil
penol
(2,6-
diisopropylphenol), mempunyai pH netral, dan dapat diberikan dalam bentuk emulsi minyak dalam air. Walaupun propofol memperlihatkan warna putih seperti susu,
19
sangat aman diberikan secara intravena dan dapat diberikan secara berulang-ulang atau sebagai alternatif dapat diberikan secara infusi terus-menerus. Propofol mempunyai efek analgesia yang sangat ringan akan tetapi efek sedasi dan hipnotiknya sangat kuat. Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan. Efek samping utama yang sangat dihindari dari propofol adalah penekanan sistem respirasi. Efek samping tersebut sangat berkaitan dengan dosis dan kecepatan penyuntikannya, keuntungan penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang ditimbulkan (Stawicki 2007).
Tahapan Anestesi Umum Tahapan anestesi sangat penting untuk diketahui terutama dalam menentukan tahapan terbaik untuk melakukan pembedahan, memelihara tahapan tersebut sampai batas waktu tertentu, dan mencegah terjadinya kelebihan dosis anestetikum. Tahapan anestesi dapat dibagi dalam beberapa langkah, yaitu: preanestesi, induksi, pemeliharaan, dan pemulihan (McKelvey dan Hollingshead 2003). Tahap preanestesi merupakan tahapan yang dilakukan segera sebelum dilakukan anestesi, dimana data tentang pasien dikumpulkan, pasien dipuasakan, serta dilakukan pemberian preanestetikum. Induksi adalah proses dimana hewan akan melewati tahap sadar yang normal atau conscious menuju tahap tidak sadar atau unconscious. Agen induksi dapat diberikan secara injeksi atau inhalasi. Apabila agen induksi diberikan secara injeksi maka akan diikuti dengan intubasi endotracheal tube untuk pemberian anestetikum inhalasi atau gas menggunakan mesin anestesi. Waktu minimum periode induksi biasanya 10 menit apabila diberikan secara intramuskular (IM) dan sekitar 20 menit apabila diberikan secara subkutan (SC). Tahap induksi ditandai dengan gerakan tidak terkoordinasi, gelisah dan diikuti dengan relaksasi yang cepat serta kehilangan kesadaran.
Idealnya, keadaan gelisah dan tidak tenang
dihindarkan pada tahap induksi, karena menyebabkan terjadinya aritmia jantung.
20
Preanestesi dan induksi anestesi dapat diberikan secara bersamaan, seperti pemberian acepromazin, atropine, dan ketamine dicampur dalam satu alat suntik dan diberikan secara intravena (IV) pada anjing. (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007). Selanjutnya hewan akan memasuki tahap pemeliharaan status teranestesi. Pada tahap pemeliharaan ini, status teranestesi akan terjaga selama masa tertentu dan pada tahap inilah pembedahan atau prosedur medis dapat dilakukan.
Tahap
pemeliharaan dapat dilihat dari tanda-tanda hilangnya rasa sakit atau analgesia, relaksasi otot rangka, berhenti bergerak, dilanjutkan dengan
hilangnya refleks
palpebral, spingter ani longgar, serta respirasi dan kardiovaskuler tertekan secara ringan. Begitu mulai memasuki tahap pemeliharaan, respirasi kembali teratur dan gerakan tanpa sengaja anggota tubuh berhenti. Bola mata akan bergerak menuju ventral, pupil mengalami konstriksi, dan respon pupil sangat ringan. Refleks menelan sangat tertekan sehingga endotracheal tube sangat mudah dimasukkan, refleks palpebral mulai hilang, dan kesadaran mulai hilang. Anestesi semakin dalam sehingga sangat nyata menekan sirkulasi dan respirasi. Pada anjing dan kucing, kecepatan respirasi kurang dari 12 kali per menit dan respirasi semakin dangkal. Denyut jantung sangan rendah dan pulsus sangat menurun karena terjadi penurunan seluruh tekanan darah. Nilai CRT akan meningkat menjadi 2 atau 3 detik. Semua refleks tertekan secara total dan terjadi relaksasi otot secara sempurna serta refleks rahang bawah sangat kendor. Apabila anestesi dilanjutkan lebih dalam, pasien akan menunjukkan respirasi dan kardiovaskuler lebih tertekan dan pada keadaan dosis anestetikum berlebih akan menyebabkan respirasi dan jantung berhenti. Dengan demikian, pada tahap pemeliharaan sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan status teranestesi terhadap sistim kardiovaskuler dan respirasi (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007 ). Ketika tahap pemeliharaan berakhir, hewan memasuki tahap pemulihan yang menunjukkan konsentrasi anestetikum di dalam otak mulai menurun. Metode atau mekanisme bagaimana anestetikum dikeluarkan dari otak dan sistem sirkulasi adalah bervariasi tergantung pada anestetikum yang digunakan. Sebagian besar anestetikum
21
injeksi dikeluarkan dari darah melalui hati dan dimetabolisme oleh enzim di hati dan metabolitnya dikeluarkan melalui sistem urinari. Pada hewan kucing, ketamine tidak mengalami metabolisme dan dikeluarkan langsung tanpa perubahan melalui ginjal. Kadar anestetikum golongan tiobarbiturat di dalam otak dapat dengan cepat menurun karena dengan cepat disebarkan ke jaringan terutama otot dan lemak, sehingga hewan akan sadar dan terbangun dengan cepat mendahului ekskresi anestetikum dari dalam tubuh hewan. Anestetikum golongan inhalasi akan dikeluarkan dari tubuh pasien melalui sistem
respirasi, molekul anestetikum akan keluar dari otak memasuki
peredaran darah, alveoli paru-paru, dan akhirnya dikeluarkan melalui nafas. Tanda tanda adanya aktivitas refleks, ketegangan otot, sensitivitas terhadap nyeri pada periode pemulihan dinyatakan sebagai kesadaran kembali (McKelvey dan Hollingshead 2003). Durasi atau lama waktu kerja anestetikum dan kualitas anestesi dapat dilihat dari pengamatan perubahan fisiologis selama stadium teranestesi. Dikenal dua waktu induksi pada durasi anestesi. Waktu induksi 1 adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak dapat berdiri. Waktu induksi 2 adalah waktu antara anestetikum diinjeksikan sampai keadaan hewan tidak ada refleks pedal atau hewan sudah tidak merasakan sakit (stadium operasi). Durasi adalah waktu ketika hewan memasuki stadium operasi sampai hewan sadar kembali dan merasakan sakit jika daerah disekitar bantalan jari ditekan. Waktu siuman atau recovery adalah waktu antara ketika hewan memiliki kemampuan merasakan nyeri bila syaraf disekitar jari kaki ditekan atau mengeluarkan suara sampai hewan memiliki kemampuan untuk duduk sternal, berdiri atau jalan (Moens dan Fargetton 1990; Verstegen dan Petcho 1993; McKelvey dan Hollingshead 2003). McKelvey dan Hollingshead (2003) dan Tranquilli et al. (2007) menyatakan bahwa untuk memonitor anestesi dilakukan pengamatan tahap-tahap anestesi umum. Kualitas status teranestesi dapat dilihat dari perubahan fisiologis sebagai tanda kedalaman anestesi, seperti disajikan pada Tabel 1.
22
Tabel 1 Tahapan dan indikasi status teranestesi oleh anestetikum umum Fase/Tahapan
I
Indikator
II
III Plane 1
III Plane 2
III Plane 3
III Plane 4
IV
Tingkah laku
Tidak terkontrol
Eksitasi: kuat, bersuara, anggora gerak, mengunyah ternganga.
Teranestesi
Teranestesi
Teranestesi
Teranestesi
Hampir mati
Respirasi
Normal, cepat 2030x/mnt
Tidak teratur, tertahan atau hiperventilasi
Teratur: 12-20x/mnt
Teratur, dangkal: 12-16x/mnt
Dangkal: <12x/mnt
Putus-putus (ada berhenti)
Apnea (berhenti)
Fungsi Kardiovaskuler
Tetap
denyut jantung meningkat
Pulse kuat, denyut jantung >90x/mnt
denyut jantung >90x/mnt
Denyut jantung 60-90/mnt, CRT meningkat, Pulse lemah
Denyut jantung <60x/mnt, CRT lama, membran pucat.
Kollap
Respon bedah/ insisi
Kuat
Kuat
Ada respon dengan gerakan
Denyut jantung dan respirasi meningkat
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Kedalaman anestesi
Tidak teranestesi
Tidak teranestesi
Dangkal
Sedang
Dalam
Over dosis
Mati
Posisi Bola mata
Tengah
Tengah, tidak tetap
Sering rotasi di ventral
Tengah
Normal
Mungkin berdilatasi
Ditengah, rotasi di ventral Dilatasi sedang
Tengah
Ukuran Pupil
Tengah, rotasi, tidak tetap Normal
Dilatasi lebar
Dilatasi lebar
Respon Pupil
(+)
(+)
(+)
Lambat
Sangat lambat, (-).
(-)
(-)
Kejangan Otot
Baik
Baik
Baik
Relaksasi
Sangat menurun
Lembek
Lembek
Refleks
Ada
Ada, mungkin berlebih
Ringan, hilang
Ada (patella, telinga, palpebral, kornea), yang lain hilang
Semua minimal, hilang
Tidak ada
Tidak ada
Dilatasi ringan
Stadiun 1 atau stadium analgesi adalah stadium awal anestesi yang terjadi segera setelah dilakukan anestesi secara inhalasi atau injeksi. Hewan pada stadium ini masih sadar tetapi kehilangan orientasi dan menurunnya sensitifitas terhadap rasa
23
nyeri. Respirasi dan denyut jantung masih normal atau meningkat, dan semua refleks masih ada;
Stadium 2 atau stadium delirium atau eksitasi adalah stadium yang
dimulai dari hilangnya kesadaran. Semua refleks masih ada dan bisa muncul berlebihan. Hewan masih dapat mengunyah, menelan, dan mulut umumnya menganga. Kondisi pupil yang dilatasi tetapi akan berkontriksi apabila ada rangsangan sinar. Stadium ini berjalan cepat dan bahkan akan terlewati apabila diberikan preanestesi yang baik. Stadium 2 akan berakhir apabila hewan menunjukkan tanda relaksasi otot, respirasi menurun, dan terjadi penurunan refleks; Stadium 3 atau stadium pembedahan adalah stadium melakukan tindakan bedah dan dibagi menjadi empat plane, yaitu plane 1 atau anestesi ringan, plane 2 atau anestesi pembedahan, plane 3 atau anestesi dalam, dan plane 4 atau paralisa; dan Stadium 4 atau stadium terminal (stadium kelebihan dosis).
Sejarah dan Mekanisme Kerja Anestesi Umum Anestetikum pertama kali ditemukan adalah eter oleh William Thomas Green Morton pada tahun 1846. Morton memperagakan penggunaan dietil eter untuk menghilangkan kesadaran dan rasa nyeri pada pasien yang sedang ditangani untuk pembedahan tumor rahang di Massachusetts General Hospital Boston pada tanggal 16 Oktober 1846 dan berhasil tanpa memperlihatkan gejala kesakitan. Dengan ditemukannya eter sebagai anestetikum tahun 1846, pembedahan dapat dilakukan tanpa siksaan dan bebas rasa nyeri sehingga mendorong berkembangnya ilmu bedah dengan pesat. Kemudian muncul teori mekanisme kerja anestesi oleh Vonbibra dan Harles tahun 1847 yang menjelaskan bahwa anestetikum bekerja karena larut pada lipid di otak. Dikemudian hari dipertanyakan kembali oleh karena tidak semua bahan yang larut pada lemak dapat digunakan sebagai anestetikum. Selanjutnya oleh Hans Meyer pada tahun 1899 dan Charles Overton tahun 1901 memperkenalkan teori “Meyer-Overton”. Teori ini menyatakan bahwa potensi anestesi berhubungan dengan kelarutan bahan anestetikum pada lemak. Anestetikum akan larut pada lipid dan merusak struktur lipid membran syaraf . Dengan demikian, makin mudah suatu bahan anestetikum larut dalam lemak, makin kuat daya anestesinya. Namun hal ini hanya
24
berlaku untuk anestetikum inhalasi cair atau volatil sedangkan pada anestetikum parenteral seperti pentotal pernyataan di atas tidak berlaku. Hipotesis Vonbibra dan Harles tahun 1847 dan Meyer-Overton tahun 1901 dimentahkan dengan munculnya hipotesis protein membran yang mempengaruhi ion, bahwa membran sel syaraf mengandung protein dan anestetikum akan terikat pada protein, selanjutnya akan mempengaruhi saluran ion. (Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010). Dalam perkembangan selanjutnya, pemahaman teori saluran ion yang dipengaruhi oleh neurostransmiter dan reseptor kini diterima sebagai teori mekanisme kerja anestesi umum. Anestetikum akan bekerja mempengaruhi dua jenis reseptor yaitu : 1. Reseptor γ amino butiric acid (GABA) terutama reseptor GABA A yang merupakan reseptor inhibitori, dan 2. Reseptor Glutamat yang merupakan reseptor eksitatori kususnya pada sub tipe N-methyl D-aspartat (NMDA) (Rudolph dan Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia et al. 2010 ) . Gamma-amino butiric acid merupakan neurotransmiter inhibitori utama di otak, disintesis dari glutamat dengan bantuan enzim glutamic acid decarboxylase (GAD), didegradasi oleh GABA-transaminase. Sekali dilepaskan, GABA berdifusi menyeberangi celah sinap untuk berinteraksi dengan reseptornya sehingga menimbulkan aksi penghambatan fungsi SSP. Neurotransmiter GABA lepas dari ujung syaraf gabanergik, berikatan dengan reseptornya, membuka saluran ion Cl, ion Cl masuk ke dalam sel, terjadi hiperpolarisasi sel syaraf , terjadi efek penghambatan transmisi syaraf , dan depresi SSP. Reseptor GABA sebagi tempat terikatnya GABA terdiri dari dua jenis, yaitu ionotropik (GABA A ) dan metabotropik (GABA B ). Reseptor GABA A terletak di postsinaptik dan cukup penting karena merupakan tempat aksi obat-obat benzodiazepin dan golongan barbiturat. Reseptor GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, masing masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, dan mempunyai 4transmembran (TM) saluran ion. Sampai saat ini telah diketahui ada 19 reseptor subunit GABA A , yaitu
lebih dari 85% konsentrasinya dalam bentuk kombinasi
α1ß2γ2, α2ß3γ2, dan α3ß1 -3γ2. Reseptor GABA A adalah reseptor komfleks yang memiliki beberapa tempat aksi obat, seperti benzodiazepin (BZ), GABA, barbiturat,
25
dan neurosteroid (Gambar 2) (Rudolph dan Antkowiak 2004; Cameron 2006; Garcia et al. 2010; Miller 2010) .
Reseptor GABAA Komfleks
di luar sel
di dalam sel
BZ = Bezodiazepin ETOH = Etanol (alkohol) GABA = γ amino butiric acid
Gambar 2. Reseptor GABA A terdiri dari lima subtipe (pentamer) 2α, 2ß, dan 1γ, m asing masing subtipe mempunyai N-terminal binding site, terdiri dari 450 asam amino, 4transmembran (TM) sebagai saluran ion dan tempat terikatnya anestetika (Sumber: Cameron J Weir 2006; Miller 2010) .
Glutamat merupakan asam amino yang termasuk neurotransmiter eksitatori dan berperan penting dalam fungsi sistem syaraf pusat. Reseptor glutamat yang teridentifikasi secara farmakologi terdiri dari subtipe reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA),
5-hydroxy
tryptamine
(5HT),
dan
amino
hydroxy
methyl
isoxazolepropionate (AMPA). Aktivasi reseptor NMDA akan meningkatkan Ca+ dan Na+ intrasel dan memicu aksi potensial. Terikatnya neurostransmiter glutamat pada reseptor NMDA, menyebabkan aliran ion Ca+ dan NA+ ke dalam sel, ion Ca+ intracellular akan meningkat, terjadi depolarisasi, menyebabkan eksitatori, memicu konvulsi (Gambar 3) (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
dan
26
Skema subtipe reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA)
ekstraseluler
Sitoplasma
Gambar 3. Skema reseptor N-methyl D-aspartat (NMDA) komfleks (Sumber: Uwe Rudolph dan Bernd Antkowiak 2004; Miller 2010) .
Reseptor GABA dan Glutamat adalah reseptor yang sebagaian besar terletak pada otak khususnya di hipotalamus yang merupakan target kerja anestetikum, yaitu di daerah tuberomammilary nucleous (TMN). Anestetikum terkonsentrasi untuk meningkatkan aktivitas reseptor GABA A
umum akan (Cameron 2006;
Mashour 2006; Pretto 2002; Miller 2010). Konsentrasi rendah isofluran, enfluran, halotan, dan propofol mempengaruhi GABA dan induksi Cl-, pada dosis tinggi akan secara langsung mempengaruhi reseptor GABA A menjadi terbuka (Henschel et al. 2008). Secara seluler, anestetika bekerja pada sel neuron melalui interaksi dengan kanal ion. Membran protein akan diaktivasi oleh rangsangan kimia atau karena adanya perubahan sebagai sinyal pada membran sel. Dengan adanya sinyal, terjadi aktivasi membran protein, kanal ion akan mempengaruhi elektrik neuron, terjadi perpindahan ion pada permukaan membran sel sehingga terjadi perubahan kondisi di dalam sel yang sangat negatif atau sangat positif. Kondisi di dalam sel yang sangat negatif menyebabkan hiperpolarisasi sel
sehingga terjadi inhibitori, sedangkan
kondisi yang sangat positif menyebabkan depolarisasi sel sehingga terjadi kondisi
27
eksitatori. Pada umumnya, anestesi umum bekerja dengan cara memperkuat (+) sinyal inhibitori atau menghambat (-) sinyal eksitatori. Secara klinis, anestetikum mempengaruhi fungsi kanal ion lebih dari satu pada sistem syaraf dan hal ini berdampak pada aktivitas neuron dengan drajat berbeda dan daerah berbeda, seperti disajikan pada Gambar 4 (Cameron 2006; Garcia et al. 2010).
Anestesi Umum
Inhibitori
Eksitatori
Gambar 4 Anestesi umum bekerja dengan cara mempengaruhi aktivitas transmitter-gate ion channel dengan cara meningkatkan (+) sinyal inhibitori dan/atau menghambat (-) sinyal eksitatori neurotransmiter. GABA= γ amino butiric acid, NMDA= Nmethyl D-aspartat, 5HT3 = 5-hydroxy tryptamine, AMPA = amino hydroxy methyl isoxazolepropionate. (sumber: Cameron J Weir 2006).
Anestetika umum yang sering digunakan saat ini sebagai induksi dan pemeliharaan anestesi ada lima jenis anestetika inhalasi dan lima jenis anestetika injeksi intravena. Anestetika inhalasi yaitu N 2 O, isofluran, sevofluran, desfluran, dan xenon. Anestetika intravena yaitu propofol, etomidat, ketamine, metoheksital, dan tiopental. Ketamine, N 2 O, dan xenon bekerja dengan cara menghambat reseptor glutamat dengan pengaruh yang sangat kuat menghambat reseptor subtipe NMDA dan berpengaruh sangat lemah pada reseptor lain seperti reseptor GABA A . Anestetika sisanya bekerja pada reseptor GABA A dengan pengaruh utama meningkatkan fungsi reseptor GABA A dan berpengaruh juga pada kanal ion lainnya seperti reseptor glisin,
28
reseptor nikotin, reseptor 5HT3, reseptor glutamat, dan pompa ion kalium. Reseptor GABA A adalah reseptor inhibitori neurotransmiter yang sebagian besar terletak di SSP (Garcia et al. 2010). Dengan demikian anestetikum secara umum bertindak sebagai sinyal yang akan merangsang reseptor GABA A , menyebabkan hiperpolarisasi (inhibitori), mengganggu proses fisiologi dan menimbulkan perubahan klinis seperti hipnosis, depresi refleks spinal, dan amnesia (Cameron 2006; Garcia et al. 2010). Anestetika umum injeksi, selain ketamine, bekerja meningkatkan pengaruh reseptor GABA A pada otak khususnya subtipe ß3 menyebabkan kehilangan kesadaran dan subtipe ß2 (50% pada SSP) menyebabkan sedasi. Sedangkan anestetikum ketamine, anestetika gas, N 2 O, Xenon dan sejenisnya bekerja sedikit atau lemah pada reseptor GABA A atau Glisin, tetapi sangat kuat menghambat pada reseptor glutamat subtipe NMDA sehingga akan menutup aliran Ca2+ dan membuka saluran ion K yang menyebabkan terjadinya analgesik kuat (Miller 2010). Reseptor GABA A adalah reseptor yang ditemukan di SSP dan reseptor inilah merupakan target anestesi. Anestetika umum meningkatkan kerja GABA dan menginduksi saluran ion Cl. Pada dosis tinggi, anestetika dapat langsung mengaktivasi reseptor GABA A , tanpa GABA. Sedangkan anestetika apolar seperti xenon atau cyclopropan mempunyai pengaruh yang sedikit atau tidak berpengaruh pada reseptor GABA A . Pengaruh fungsional anestetika pada reseptor GABA A sangat tergantung pada komposisi reseptor subunitnya, yaitu subunit α, β, atau subunit γ (Franks 2008; Miller 2010). Franks (2008) dan Miller (2010) menerangkan bahwa anestetikum volatil bekerja pada reseptor GABA A
subunit α pada transmembran (TM)2 dan TM3
bagian protein Ser270 (αS270). Propofol sebagai anestetikum intravena bekerja pada reseptor GABA A subunit ß TM2 dan TM3 bagian N265 (ßN265). Sedangkan anestetika isofluran dan halotan mempunyai ikatan anestetik pada TM1, TM2, TM3, dan TM4 bagian M159 yang sangat mempengaruhi tranduksi sinyal. Sedangkan isofluran dan xenon lebih banyak menghambat reseptor melalui kompetisi dengan glisin ( Gambar 5).
29
Mascia et al. (2000) menyebutkan bahwa alkohol dan anestetika mempengaruhi reseptor glisin dan reseptor GABA A melalui asam amino pada TM2 dan TM3 dari α subunit, yaitu pada reseptor glisin pada S267, A288, dan Ser270 sedangkan pada reseptor GABA A subunit β pada S270, A291, Asn 265, dan Met286. Propofol mirip dengan propanethiol bekerja pada reseptor Glisin TM2 α1 (S267C), pada reseptor GABA A TM2 α2 (S270C)ß1, pada TM3 α1 (A288C),
pada TM3 α2
(A291C)ß1, pada TM2 β2 (Tyr445). Asam amino pada TM2 adalah tempat terikatnya anestetika dan alkohol (Gambar 5) (Mascia et al. 2000; Franks 2008; Miller 2010).
Gambar 5. Anestetika volatil (isofluran) bekerja pada reseptor GABA A subunit α dan anestetika intravena (propofol) bekerja pada reseptor GABA A subunit β. (Sumber : Miller 2010).
Tinjauan Anestetikum Umum Ketamine HCl Ketamine HCl adalah anestetikum golongan phencyclidine (PCP) dengan rumus 2-(0-chlorophenyl)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride, golongan nonbarbiturat, dan termasuk dissosiatif anestesi, yaitu pada dosis rendah sebagai preanestesi dan pada dosis lebih tinggi sebagai anestesi umum.
Ketamine HCl
merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan mempunyai tingkat keamanan lebar (Gambar 6) (Sulistia 1987; Adams 2001).
30
Gambar 6 Struktur kimia ketamine HCl
Ketamine HCl mempunyai sifat menghilangkan rasa sakit yang kuat serta reaksi anestesinya tidak menyebabkan ngantuk (Pathak et al.1982; Kul et al. 2001). Ketamine menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor N methyl D aspartate (NMDA). Ketamine diklasifikasikan sebagai antagonis reseptor NMDA, pada daerah tempat kerja PCP. Afinitas ketamine sangat tinggi pada reseptor NMDA, sehingga menghasilkan pengaruh analgesik yang sangat kuat (Stawicki 2007). Sebagai antagonis NMDA, ketamine menghambat refleks nosiseptik spinal, yaitu menghambat konduksi rasa nyeri ke talamus dan daerah kortek. Penghambatan reseptor NMDA dengan dosis ketamine yang rendah akan menghasilkan pengaruh analgesik yang baik (Intelisano et al. 2008). Ketamine juga menyebabkan gangguan fungsi pada beberapa tempat di otak seperti pada talamus dan kortek serebral menjadi tertekan. Ketamine juga memperpanjang kerja GABA (gamma amino butyric acid), suatu neurotransmiter penghambat di otak dengan cara menghambat pengikatannya di ujung syaraf (Cullen 1997). Reseptor GABA dapat merubah permiabilitas ion Cl- dan dapat menyebabkan pelepasan norepineprin pada syaraf simpatik (Adams 2001; Rudolph dan Antkoeiak 2004). Pengaruh klinis yang ditimbulkan ketamine sangat bervariasi seperti : analgesia, anestesi, halusinasi, neurotoksisitas, hipertensi arterial, dan bronkodilatasi. Ketamine juga menimbulkan agitasi (kehilangan orientasi, gelisah, dan menangis) yang sering disebut penomena emergence delirium (Stawicki 2007). Adams (2001) menyebutkan bahwa aktivitas ketamine dapat secara langsung menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan (uptake) catecholamine terutama norepineprin. Ketamine dapat mengubah aktivitas
31
listrik jantung dengan memperpanjang interval PR dan QT, tetapi tidak mempengaruhi bentuk gelombang EKG. Ketamine juga dapat menghambat efferen vagal (vagolitik) melalui aktivitas pada syaraf
pusat.
Terhadap sistem
kardiovaskuler, ketamine menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan cardiac output, peningkatan tekanan vena (Cullen 1997), peningkatan tekanan arteri, temperatur tubuh, dan peningkatan tekanan intraokuler (Haskin 1989). Pemberian anestetikum ketamine secara tunggal dosis 10-15 mg/kg berat badan secara intra muskular pada anjing menimbulkan kekejangan otot dan hipersalivasi serta durasi kerja anestesi yang sangat pendek. Mengatasi kerugian penggunaan anestetikum ketamine secara tunggal, ketamine sering dikombinasikan dengan obat lain sebagai preanestesi, misalnya sedatif tranquuilizer golongan penotiazin seperti acepromazin atau clorpromazin, sedatif hipnotik golongan α2-adrenoceptor seperti xylazine,
dan golongan benzodiazepin seperti diazepam atau
midazolam yang
diberikan secara IM atau IV (Bishop 1996). Penggunaan kombinasi xylazine 2 mg/kgBB lima menit kemudian diikuti dengan ketamine 20 mg/kgBB, menyebabkan menurunnya denyut jantung, tekanan darah arteri dan respirasi (Kul et al. 2001). Waktu anestesi yang dihasilkan oleh kombinasi anestesi xylazine (2 mg/kgBB) dan ketamine (15 mg/kgBB) dalam satu spuit secara intamuskular pada anjing lokal sekitar 45 menit (Sudisma et al. 2001). Pemberian xylazine secara tunggal pada anjing akan menyebabkan muntah dan penurunan denyut jantung beberapa menit setelah pemberian xylazine (Bishop 1996).
Propofol Propofol dapat digunakan secara tunggal pada prosedur anestesi yang singkat atau untuk induksi sebelum intubasi dan anestesi inhalasi. Propofol mempunyai pH netral dan dapat diberikan dalam bentuk emulsi minyak dalam air dengan konsentrasi 10 mg/ml. Walaupun propofol memperlihatkan warna putih seperti susu, sangat aman diberikan
secara
intravena.
Propofol
adalah
turunan
alkil
penol
diisopropylphenol), seperti pada Gambar 7 (McKelvey dan Hollingshead 2003).
(2,6-
32
2,6-diisopropylphenol (C 12 H 18 O) Gambar 7 Struktur kimia propofol
Propofol termasuk agen anestetikum intravena short acting hypnotic. Propofol menghasilkan pengaruh anestesi melalui mekanisme yang bekerja pada reseptor GABA A (Intelisano et al. 2008). Propofol memperbesar pengaruh GABA yang mempunyai fungsi menghambat aksi (inhibitory) sistem syaraf pusat, meningkatkan konduksi Cl- yang menyebabkan hiperpolarisasi sehingga tingkat rangsangan sel (excitability) menurunkan, menyebabkan sedasi dan relaksasi (Mihic dan Harris 1997; Intelisano et al. 2008). Propofol mempunyai molekul mirip alkohol, molekulnya akan bekerja dan berikatan pada reseptor GABA A pada membran sel syaraf pada otak khususnya reseptor GABA A subtipe ß3 pada transmembran (TM)2 dan TM3 bagian N265 (ßN265) sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran dan pada reseptor GABA A subtipe ß2 (50% pada SSP) akan menyebabkan sedasi. Subtipe ß3 yang terdapat pada reseptor GABA A merespon propofol dan etomidat sehingga terjadi depresi respiratoris (Henschel et al. 2008). Propofol menghasilkan pengaruh menghilangkan kesadaran dan pelemas otot yang baik, menyebabkan hipotensi arterial, bardikardi, depresi respirasi terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi (Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007). Propofol menyebabkan vasodilatasi pada vena dan arteri serta berakibat langsung penurunan tekanan darah dan menyebabkan relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999). Penelitian pada manusia, propofol menyebabkan rendahnya tekanan darah sistol (SAP) dan tekanan darah rata-rata (MAP) tanpa menimbulkan pengaruh pada denyut jantung (Belo et al. 1994 dalam Mohamadnia et al. 2008).
33
Efek samping propofol berhubungan dengan dosis penggunaan dan keuntungan penggunaan propofol akan diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen anestetikum lain untuk menurunkan dosis dan meminimalkan pengaruh buruk yang ditimbulkan (Dzikiti et al. 2007). Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan (Stawicki 2007). Propofol dapat dilarutkan dalam larutan salin (garam) atau dektrosa 5% dalam air untuk digunakan pada anjing. Larutan tersebut lebih akurat dan dapat melindungi efek samping terhadap respirasi dan kardiovaskular. Propofol tidak dianjurkan untuk dilarutkan dalam konsentrasi yang kurang dari 0,2% (2mg/ml), karena tidak dapat bercampur dengan pelarut atau agen lain. Tidak seperti cycloheksamin dan barbiturat, propofol dapat diberikan secara berulang-ulang dan injeksi dapat diulang setiap 3-5 menit atau sesuai dengan kebutuhan yang disesuaikan dengan status pasien atau sebagai alternatif dapat diberikan secara infus terus-menerus. Periode pemulihan anestesi dengan propofol sangat cepat dan berjalan dengan lembut, walaupun diberikan secara berulang-ulang. Pemulihan anestesi dengan propofol pada anjing sekitar 20 menit (McKelvey dan Hollingshead 2003). Dosis propofol yang dibutuhkan pasien dan durasi anestesinya tergantung dari preanestetikum yang digunakan. Apabila digunakan dosis 6 mg/kg IV, onset anestesinya kurang dari 60 detik dan durasinya sekitar 5-10 menit. Dosis propofol yang kecil (0,2-0,4 mg/kg/menit) dapat diberikan pada pasien secara infusi terusmenerus dengan pompa injeksi atau tetes IV. Propofol dapat digunakan pada anjing dengan dosis pemberian 4mg/kg secara intravena (Bishop 1996). Penggunaan propofol pada hewan kecil sebagai induksi digunakan dosis 3-8mg/kg secara intravena, sedangkan sebagai pemeliharaan anestesi digunakan dosis 0,5-1mg/kg diulang setiap 3-5 menit atau dapat diberikan secara infusi intravena 0,30,5mg/kg/menit. Metode total intraveous anesthesia (TIVA) menggunakan propofol digunakan secara luas pada pasien manusia yang ditangani diluar ruang operasi. Propofol yang digunakan pada manusia mempunyai waktu pemulihan yang singkat, kadang lebih cepat dari isofluran dan menyebabkan muntah dan mabuk pasca operasi.
34
Penggunaan propofol dengan metode TIVA juga dipercaya sebagai anestesi alternatif untuk hewan kesayangan terutama anjing (Tsai et al. 2007). Induksi anestesi pada anjing dengan propofol (4mg/kg) dan ketamine (2mg/kg) secara intravena dalam satu spuit dilanjutkan dengan infusi intravena dengan propofol (0,5mg/kg/menit) dan ketamine (0,2mg/kg/menit), menghasilkan anestesi dengan hemodinamik yang stabil (Intelisano et al. 2008).
Anestesi pada anjing dengan
kombinasi propofol (4mg/kg) dan ketamine (4mg/kg) secara intravena menghasilkan anestesi yang aman dan dapat digunakan sebagai alternatif anestesi untuk prosedur pembedahan yang panjang (Muhammad et al. 2009). Kombinasi propofol dengan preanestetikum mempunyai rentang keamanan yang lebar pada anjing. Eksitasi dan tremor otot jarang terjadi, oleh karena itu diperlukan preanestetikum seperti acepromazin(0,1mg/kg IV), pentobarbital (2mg/kg), atau diazepam (0,3-0,5mg/kg IV). Propofol sangat aman diberikan pada hewan dengan gangguan hati dan ginjal, karena metabolisme propofol sangat cepat. Satu kekurangan propofol adalah kelemahan untuk disimpan, karena mengandung minyak kedelai, lesithin, dan gliserol sehingga akan mendukung pertumbuhan bakteri. Ampul dan botol harus disimpan dengan aseptik dan tidak dianjurkan untuk digunakan setelah dibuka selama 12 jam (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tsai et al. 2007; BBraun 2009).
Xylazine Xylazine adalah salah satu golongan alpha 2 -adrenoceptor stimulant atau alpha2 adrenergic receptor agonist. Alpha-2 agonist seperti xylazine dan medetomidin adalah preanestetikum yang sering digunakan pada anjing dan kucing untuk menghasilkan sedasi, analgesi, dan pelemas otot. Golongan alpha-2 agonist yang lain seperti romifidin sering digunakan pada kuda, tetapi tidak direkomendasikan untuk anjing dan kucing (Lemke 2004). Xylazine HCl mempunyai rumus kimia 2(2,6dimethylphenylamino)-4H-5,6-dihydro 1,3-thiazine hydrochloride, seperti disajikan pada Gambar 8. (Booth et al. 1977; Brander et al. 1991; Bishop 1996).
35
N-(2,6-dimethylphenyl)-5,6-dihydro-4H-1,3-thiazin-2-amine (C 12 H 16 N 2 S) Gambar 8 Struktur kimia xylazine HCl
Xylazine bekerja melalui mekanisme yang menghambat tonus simpatik karena
xylazine
mengaktivasi reseptor postsinap
α2 -adrenoseptor sehingga
menyebabkan medriasis, relaksasi otot, penurunan denyut jantung, penurunan peristaltik, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Aktivitas xylazine pada susunan syaraf pusat adalah melalui aktivasi atau stimulasi reseptor α 2 -adrenoseptor, menyebabkan penurunan pelepasan simpatis, mengurangi pengeluaran norepineprin dan dopamin. Reseptor α 2 -adrenoseptor adalah reseptor yang mengatur penyimpanan dan atau pelepasan dopamin dan norepineprin. Xylazine menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan syaraf pusat dan dapat menyebabkan muntah. Xylazine juga dapat menekan termoregulator (Adams 2001). Xylazine menghasilkan sedasi dan hipnotis yang dalam dan lama, dengan dosis yang ditingkatkan mengakibatkan sedasi yang lebih dalam dan lama serta durasi panjang (Hall and Clarke 1983).
Xylazine diinjeksikan secara intramuskular
menyebabkan iritasi kecil pada daerah suntikan, tetapi tidak menyakitkan dan akan hilang dalam waktu 24 –48 jam (Hall and Clarke 1983; Brander et al. 1991). Xylazine menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat, bermula dari sedasi, kemudian dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan hypnosis, tidak sadar dan akhirnya keadaan teranestesi (Hall dan Clarke 1983). Pada sistem
pernafasan,
xylazine menekan pusat pernafasan. Xylazine juga menyebabkan relaksasi otot yang bagus melalui imbibisi transmisi intraneural impuls pada SSP. Penggunaan xylazine pada anjing menghasilkan efek samping merangsang muntah tetapi dapat mengosongkan lambung pada anjing diberi makan sebelum dianestesi.
36
Xylazine biasa digunakan pada kucing, anjing dan kuda sebagai agen sedatif untuk keperluan pembedahan minor dan untuk menguasai hewan atau handling. Penggunaaan xylazine dengan dosis yang lebih tinggi bukan saja untuk sedasi dan analgesi, tetapi juga menghasilkan immobilisasi. Xylazine bisa digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat lain seperti benzodiazepin atau opioid untuk menghasilkan sedasi. Xylazine juga dapat dikombinasikan dengan anestesi injeksi seperti ketamine, tiopental, dan propofol atau anestesi inhalasi seperti halotan dan isofluran untuk menghasilkan anestesi yang lebih baik (Lemke 2004). Xylazine biasanya digunakan sebagai preanestesi, tetapi pada anjing akan menyebabkan muntah sehingga bersifat kontra-indikasi untuk hewan yang menderita obstruksi gastro-intestinal. Waktu induksi dari suatu agen anestesi bisa dikurangi sampai 5075% dengan pemberian preanestesi xylazine untuk menghindari overdosis (Bishop 1996). Sebagai preanestesi pada kuda, xylazine dapat diikuti dengan tiopenton, metoheksiton atau ketamine. Dengan anestetikum ketamine, penggunaan xylazine adalah dosis 1,1 mg/kg berat badan secara intra muskular dan diikuti dengan ketamine 2,2 mg/kg berat badan. Pada anjing, xylazine bisa digunakan secara subkutan atau intra muskular dengan dosis 1-3 mg/kg berat badan (Bishop 1996). Xylazine dapat digunakan sebagai preanestetikum pada anjing dengan dosis 0,252mg/kg secara intramuskular dan dosis 0,2-0,5mg/kg secara intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Midazolam Midazolam adalah golongan short-acting benzodiazepin (Gambar 9) umumnya digunakan pada manusia tetapi dapat digunakan pada anjing, kucing, babi, burung, dan kuda. Midazolam stabil dalam larutan, sehingga dapat dikombinasikan dengan ketamine atau ketamine-larutan salin untuk pemberian secara infus, diabsorbsi dengan baik dan tidak mengiritasi jaringan bila diaplikasikan secara intramuskular (Lumb dan Jones 1996).
37
Gambar 9 Struktur kimia midazolam
Midazolam merupakan golongan Imidazobenzodiazepin yang larut dalam air, menghasilkan efek hipnotik, relaksasi otot dan lebih potensial daripada golongan benzodiazepine lain seperti diazepam (Plumb 1991; Luna et al. 1992). Golongan benzodiazepin memperkuat kerja GABA yang merupakan neurotransmiter inhibitori utama pada otak, mampu menekan reflekss-refleks polisinaps dan berpengaruh terhadap medulla spinalis (Brander et al. 1991). Midazolam bekerja pada reseptor benzodiazepin dengan cara meningkatkan pengikatan GABA pada reseptor GABA A , sehingga menimbulkan penghambatan SSP (Stawicki 2007). Midazolam dimetabolisme di hati. Produk metabolit utama midazolam adalah hidroksimidazolam
yang
diekresikan
melalui
hati
sebanyak
40-50%,
α-
hydroxymidazolam yang terbentuk akan segera terikat dengan asam glukoronat (tidak aktif) dan 50-70% dosis midazolam yang diberikan kemudian dieliminasi melalui ginjal. Waktu paruh eliminasi midazolam pada manusia 1,5-3 jam (Anonim 2002). Midazolam mempunyai waktu paruh singkat dan aktivitas farmakologi yang rendah. Waktu paruh midazolam dalam serum dan durasi midazolam pada manusia lebih pendek dibandingkan penggunaan diazepam. Waktu paruh eliminasi midazolam pada manusia lebih kurang 2 jam sedangkan diazepam mencapai 30 jam (Plumb 1991). Midazolam diabsorbsi cepat dengan kesempurnaan absorbsi 91% pasca injeksi intramuskular dan rentang bioavailabilitas 31-72% pada pemberian per-oral. Onset pasca injeksi midazolam secara intravena sangat cepat karena midazolam termasuk zat lipofilik tinggi. Reflekss akan berkurang pada 30-97 detik post pemberian midazolam pada manusia. Obat ini memiliki ikatan kuat dengan protein (94-97%) dan secara cepat menembus blood brain barrier (Plumb 1991). Menurut
38
Anonim (2002), ketersediaan hayati midazolam post injeksi intramuskular lebih dari 90% dan konsentrasi plasma maksimum pada manusia dicapai dalam 30 menit. Ikatan protein plasma midazolam adalah 96-98%. Selain menembus blood brain barrier, midazolam juga mampu menembus plasenta dan memasuki sirkulasi janin. Midazolam dapat digunakan secara sendiri sebagai tranquilizer atau dikombinasikan dengan anestetikum umum untuk mencegah hipertonus otot dan meningkatkan sedasi. Pada anjing, midazolam diinjeksikan intramuskular atau intravena, walau pemberian intravena lebih sering digunakan untuk induksi anestesi (Lumb dan Jones 1996). Midazolam digunakan sebagai preanestesi untuk mengurangi kegelisahan sebelum prosedur pembedahan, sebagai sedatif, hipnotik, dan menimbulkan amnesia (Stawicki 2007). Midazolam dapat mencegah hipertonus otot, meningkatkan efek sedasi, menghasilkan efek hipnotik, dan lebih potensial dibandingkan diazepam (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000). Midazolam diindikasikan untuk sedasi preoperasi, amnesia, penanganan seizures atau status epilepsi, sedasi dan amnesia untuk endoskopi, dan dikombinasikan dengan agen anestesi lain sebagai anestesi umum (Stawicki 2007). Efek samping penggunaan midazolam adalah hipotensi, bradikardi, depresi respirasi, kerusakan fungsi motor, dan koma. Overdosis midazolam dapat ditangani dengan pemberian flumazenil (Stawicki 2007). Midazolam lebih baik dibandingkan dengan diazepam. Midazolam bersifat stabil di dalam larutan sehingga dapat dikombinasikan dengan ketamine atau ketamine-larutan saline untuk pemberian secara infus (Plumb 1991; Jacobson dan Hartsfield 1993). Midazolam diabsorbsi dengan baik dan tidak mengiritasi jaringan bila diaplikasikan intramuskular dan pengaruhnya akan muncul setelah tiga menit penyuntikan (Lumb dan Jones 1996). Dosis midazolam yang dianjurkan pada anjing 100-200 microgram/kgBB intravena, intramuskular atau subkutan (Lumb dan Jones 1996; Bishop 1996). Midazolam digunakan sebagai preanestesi pada anjing dengan dosis 0,1-0,2mg/kg (maksimal 10mg) secara intramuskular maupun intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003). Midazolam juga sering digunakan pada kucing dan dikombinasikan dengan ketamine (0,2mg/kg midazolam dan 10mg/kg ketamine
39
IM). Penggunaan midazolam untuk preoperasi berkisar 0,066-0,22 mg/kgBB intramuskular atau intravena (Plumb 1991; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Atropine Atropine adalah prototipe agen menghambat muskarinik atau antimuskarinik dan merupakan ekstrak alkaloid dari tumbuhan belladona yang termasuk famili potato (Adams 2001). Atropine dan derivat alamiahnya adalah ester alkaloid ammonium tersier asam tropat (Katzung 1992).
Secara kimia, molekul atropine
terdiri dari dua komponen yang berikatan melalui ikatan ester. Komponen pertama adalah tropine yang merupakan sebuah basa organik dan komponen kedua adalah asam tropat (Gambar 10).
Gambar 10 Struktur kimia atropine
Atropine merupakan antimuskarinik, digunakan untuk mengurangi salivasi dan sekresi bronkial dan melindungi serta mencegah kejadian aritmia disebabkan prosedur atau sifat obat-obat anestesi. Sebagai preanestesi, atropine diindikasikan pada anjing untuk mencegah sejumlah saliva yang dapat menghalangi jalan nafas. Atropine dan hyoscin tidak direkombinasikan untuk preanestesi pada kuda karena dapat menyebabkan eksitasi dan medriasis. Atropine mencegah efek samping muskarinik dari antikolinesterase, yang digunakan untuk mengembalikan pengaruh non-depolarisasi obat-obat neuromuskular blok. Atropine adalah obat yang paling umum untuk digunakan sebagai antimuskarinik untuk pengobatan bradikardia. Penggunaan atropine pada anjing adalah 30–100 mikrograms/Kg BB (Bishop 1996). Dosis atropine sulfas sebagai preanestetikum 0,02-0,04 mg/kgBB intramuskular atau subkutan (Plumb 1991). Atropine biasa digunakan sebagai preanestetik pada anjing dengan dosis 0,02-0,04mg/kg secara subkutan, intramuskular, maupun secara
40
intravena (McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemakaian atropine sulfas dosis tinggi berakibat peningkatan frekuensi jantung dan tonus vagal perifer dan sentral. Kejadian disarithmia jantung dan takhikardi pada pemberian atropine sulfas pernah dilaporkan pada anjing (Lumb dan Jones 1996).
Perubahan Aspek Fisiologi dalam Anestesi Pengamatan aspek fisiologi untuk pengawasan suatu anestesi dapat dikatakan sempurna apabila seluruh perubahan aspek fisiologi dapat diamati, tetapi perubahan aspek fisiologi pada sistem kardiovaskuler, respirasi dan suhu tubuh merupakan parameter yang terpenting diamati selama periode anestesi (Adams 2001, Flecknell, 1987). Kunci efektifitas anestesi dan tingkat keamanan selama periode anestesi adalah dilakukannya pengawasan dan pemantauan (monitoring) anestesi yang baik. Pemeriksaan cepat dan seksama selama periode anestesi dilakukan terhadap kedalaman anestesi, kardiovaskuler dan respirasi, oksigenasi, dan variabel yang lain, seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perubahan fisiologi yang diperiksa selama periode anestesi • Respirasi : kecepatan, kedalaman, dan sifat (gerak kantong reservoir dan gerakan dada). • Warna membrana mukosa dan capillary refill time (CRT). • Denyut jantung • Pulsus : kecepatan dan kekuatan • Ketegangan rahang, posisi bola mata, dan aktivitas refleks palpebral. • Oksigenasi (kecepatan aliran dan tekanan) • Temperatur tubuh pasien Sumber: McKelvey dan Hollingshead 2003
Tanda-tanda vital dan refleks harus diperiksa selama hewan teranestesi. Tanda vital menunjukkan variabel yang mengindikasikan mekanisme respon keseimbangan (homeostasis) hewan terhadap anestesi, seperti denyut jantung, kecepatan respirasi, capillary refill time (CRT), dan temperatur. Tanda vital bagi pasien menandakan kemampuan pasien untuk mempertahankan fungsi respirasi dan sirkulasi selama teranestesi. Tanda vital dapat diamati dengan indera (sentuhan, pendengaran, atau
41
penglihatan) atau menggunakan alat seperti mesin EKG atau oximeter. Tanda vital yang harus diperiksa selama teranestesi adalah denyut dan ritme jantung, pulsus, CRT, warna membrana mukosa, kehilangan darah, kecepatan dan kedalaman respirasi, dan temperatur. Tanda vital lain yang juga diperiksa adalah oksigenasi, CO 2 , EKG, dan tekanan darah. Sedangkan refleks adalah reaksi tidak sengaja dari hewan terhadap rangsangan seperti ditusuk atau dipukul. Refleks memberikan informasi terhadap kedalaman anestesi tetapi tidak berhubungan dengan keamanan anestesi atau mekanisme homeostasis pasien (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Sistem Kardiovaskeler Sistem kardiovaskuler adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari jantung, pembuluh darah dan darah. Fungsi utama sistem kardiovaskuler adalah sebagai sistem
sirkulasi atau alat transport.
Sirkulasi darah akan mengangkut
substansi penting untuk kesehatan dan kehidupan, seperti oksigen (O 2 ) dan nutrisi yang diperlukan oleh setiap sel dalam tubuh. Darah juga membawa karbondioksida (CO 2 ) dan hasil sisa metabolisme tubuh dari tiap-tiap sel dan mengirimnya ke paruparu, hati, atau ginjal sebagai tempat untuk pengeluaran (Cunningham 2002). Jantung berfungsi sebagai pompa yang melakukan tekanan terhadap darah untuk menimbulkan tekanan yang diperlukan agar darah dapat mengalir ke jaringan. Pembuluh darah berfungsi sebagai saluran untuk mengarahkan dan mendistribusikan darah dari jantung ke semua bagian tubuh dan mengembalikan ke jantung (Sherwood 2001, Cunningham 2002). Denyut jantung adalah hitungan berapa kali jantung berdenyut dalam satu menit. Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat menggambarkan kualitas fungsi kardiovaskuler yang bertugas mengangkut O 2 dan nutrien ke seluruh jaringan tubuh, membawa
limbah
metabolisme
dan
mempertahankan
homeostasis
seluler.
Pengamatan frekuensi denyut jantung dapat dihitung secara auskultasi dengan mempergunakan stetoskop yang diletakkan tepat di atas apeks jantung di rongga dada sebelah kiri, atau dapat pula dengan merasakan pulsus hewan pada pembuluh darah arteri femoralis atau brachialis. Selain itu, pengukuran frekuensi denyut jantung
42
dapat juga dilakukan dengan elektrokardiogram (EKG) (Cunningham 2002, Nelson 2003). Denyut jantung minimal yang masih aman pada anjing teranestesi adalah 60 kali/menit. Denyut jantung yang lebih rendah menandakan kedalaman anestesi yang berlebihan atau ada gangguan. Denyut jantung yang umum pada hewan yang teranestesi adalah 60-120 kali per menit (anjing sehat 60-180x/menit). Penurunan denyut jantung pada kondisi teranestesi adalah normal, akibat adanya pengaruh sebagian besar anestetikum yang dapat menekan denyut jantung dan fungsi miokardiak. Hanya beberapa atestetika yang dapat meningkatkan denyut jantung seperti atropine, ketamine, dan tiletamin (McKelvey dan Hollingshead 2003). Selama
dalam
keadaan
teranestesi,
jantung
dapat
diamati
dengan
elektrokardiograf untuk melihat gambaran elektrokardiogram. Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu rekaman keadaan yang menggambarkan konduksi listrik jantung. Rekaman konduksi listrik jantung sangat umum digunakan secara klinis untuk mendiagnosa disfungsi listrik jantung. Depolarisasi atrial, depolarisasi ventrikel, dan repolarisasi ventrikel akan menyebabkan depleksi voltase yang khas dalam bentuk gelombang pada elektrokardiogram. Alat elektrokardiograf dapat digunakan untuk melihat gambaran elektrokardiogram dan denyut jantung (Cunningham 2002). Jantung dibentuk oleh tiga jenis sel yang menyebabkan terjadinya eksitasi, yaitu sel pacemaker sebagai sumber bioelektrik jantung dan secara dominan berada di nodus SA (Sino-Atrial node), sel konduksi sebagai kawat penghubung arus bioelektrik seperti nodus AV (Atrio-Ventricular node), berkas his atau serabut purkinje, dan sel otot jantung (miokardium) yang berfungsi untuk kontraksi (Cunningham 2002). Jantung berdepolarisasi apabila terdapat dua buah kesatuan yang secara fungsional terisolasi, yaitu atrium kanan dan kiri serta ventrikel kanan dan kiri yang dijembatani oleh nodus AV. Jalur gelombang depolarisasi dimulai dari nodus SA pada atrium kanan, kemudian menyeberangi atrium dari nodus SA ke atrium kiri. Dinding atrium relatif tipis sehingga depolarisasi berjalan terus melalui endokardium dan epikardium. Kecepatan depolarisasi ini dipengaruhi oleh rangsangan otonom,
43
suhu dan ukuran serabut miokardium. Gelombang depolarisasi menyebabkan atrium berkontraksi dan darah akan mengalir ke ventrikel. Kemudian gelombang depolarisasi mengalir melalui berkas his dan serabut purkinje yang menyebabkan dinding ventrikel berkontraksi dan darah dapat dialirkan keluar ventrikel (Sherwood 2001, Karim dan Kebo 2002). Gelombang EKG ditandai dengan satu seri defleksi atau gelombang, dengan perjanjian bahwa suatu potensial positif menghasilkan defleksi ke atas dan suatu potensial negatif menghasilkan defleksi ke bawah. Gelomgang P, menunjukkan depolarisasi atrium atau kontraksi atrium. Gelombang untuk repolarisasi atrium tidak terlihat pada EKG, karena tertutup oleh gelombang Q, R, dan S. Gelombang Q, R, dan gelombang S, bersama-sama merupakan komplek QRS. Komplek QRS menunjukkan depolarisasi ventrikel atau kontraksi ventrikel. Ketetapan pada komplek QRS adalah setiap awal defleksi negatif ditunjukkan oleh Q, setiap defleksi positif (dengan atau tanpa didahului oleh Q) ditunjukkan oleh R, dan setiap defleksi negatif yang mengikuti R, ditunjukkan oleh S. Gelombang T menunjukkan repolarisasi ventrikel. Walaupun depolarisasi dan repolarisasi adalah proses yang bertolak belakang, gelombang T dan gelombang R biasanya menunjuk kearah yang sama, yang menunjukkan bahwa penyebab aktivasi dan penurunan mengambil jalur yang berbeda melalui miokardium. Interval PR atau PQ adalah waktu yang berlalu antara permulaan eksitasi atrium dan permulaan eksitasi ventrikel atau penjumlahan dari waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul AV. Interval QT bervariasi dengan denyut jantung, segmen ini menunjukkan waktu yang diperlukan untuk depolarisasi dan repolarisasi ventrikel atau jarak antara permulaan gelombang Q sampai akhir gelombang T, sedangkan durasi QRS adalah waktu yang diperlukan untuk depolarisasi atau kontraksi ventrikel, seperti disajikan pada Gambar 11 (Sherwood 2001; Karim dan Kebo 2002; Gay dan Rothenburger 2000).
44
1= Durasi P 2= Interval PR 3= Durasi QRS 4= Interval QT
Gambar 11 Diagram gambaran gelombang elektrokardiogram (EKG).
Selain EKG, tekanan darah juga dapat mempengaruhi terjadinya gangguan pada sistem kardiovaskuler. Tekanan darah arteri sangat dipengaruhi oleh cardiac output dan tahanan total perifer, denyut jantung, serta stroke volume. Peningkatan stroke volume atau cardiac output akan meningkatkan tekanan darah. Peningkatan tahanan perifer juga akan mempengaruhi peningkatan tekanan darah. Jadi penurunan denyut jantung, stroke volume atau tahanan perifer secara sendiri-sendiri atau dikombinasikan akan menurunkan tekanan darah arteri (Muir et al. 2000; Cunningham 2002 ). Nilai normal denyut jantung, elektrokardiogram, dan tekanan darah arteri pada anjing disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria elektrokardiogram (EKG) dan tekanan darah normal pada anjing Parameter Denyut Jantung (denyut per menit) Gelombang P (maximum)(detik dan mv) Interval PQ(detik) Interval QRS(detik) Gelombang R(mv) Segmen ST(mv) Gelombang T (maximum) Interval QT(detik) Tekanan sistol/diastol (rata-rata)( mmHg)
Kisaran Normal pada Anjing 70 – 160 0,04 dan 0,4 0,06 – 0,13 0,04 – 0,05 3 0,2 1/3 R 0,15 – 0,25 100/65(90)-160/100(100)
Sumber : Nelson 2003
Denyut jantung, gambaran elektrokardiogram dan tekanan darah arteri adalah parameter penting pada sistem kardiovaskuler yang harus diperhatikan sebelum dan
45
selama melakukan tindakan anestesi maupun pembedahan (Muir et al. 2000; Cunningham 2002 ).
Capillary Refill Time (CRT) Capillary refill time (CRT) adalah kecepatan kembalinya warna membrana mukosa setelah dilakukan penekanan yang lembut dengan jari. Capillary refill time menandakan adanya aliran darah pada jaringan. Penekanan pada membrana mukosa akan menekan pembuluh darah kapiler dan menghambat aliran darah di daerah tersebut, apabila penekanan dilepaskan kapiler akan terisi kembali oleh darah dengan cepat dan warnanya akan kembali, menandakan bahwa jantung masih mampu untuk menghasilkan tekanan darah yang cukup (McKelvey dan Hollingshead 2003). Nilai CRT yang lama (lebih dari 2 detik) menandakan pengisian jaringan oleh darah tidak optimal dan aliran darah ke jaringan menurun. Hal ini menandakan terjadi penurunan tekanan darah akibat pemberian obat, hipotermia, gangguan jantung, anestesi yang dalam, atau karena terjadi shock (Cunningham 2002; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Warna Membrana Mukosa Lokasi yang paling mudah dilakukan untuk pemeriksaan warna membrana mukosa adalah daerah gusi. Hewan yang mempunyai gusi berpigmen, di daerah lain dapat
dilakukan pemeriksaan seperti lidah, konjungtiva bawah, atau daerah
prepusium dan vulva. Warna membrana mukosa yang pucat menandakan kejadian kehilangan darah atau anemia atau karena aliran darah yang lemah akibat hewan terlalu lama dianestesi. Warna membrana mukosa yang ungu atau biru adalah kondisi yang disebut sianosis, sebagai tanda berhentinya aliran darah atau kekurangan oksigen pada jaringan. Sianosis pada hewan selama dianestesi menandakan terjadi gangguan respirasi atau terjadi obstruksi saluran respirasi bagian atas dan hewan harus segera diselamatkan (Cunningham 2002; McKelvey dan Hollingshead 2003).
46
Tekanan Darah Tekanan darah dapat diukur secara kasar melalui palpasi pulsus, tetapi untuk mendapatkan tekanan darah yang akurat harus dilakukan dengan alat pengukur tekanan darah. Beberapa istilah yang digunakan untuk menentukan tekanan darah adalah tekanan darah sistol (systolic arterial pressure, SAP), tekanan darah diastol (diastolic arterial pressure, DAP), dan tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure, MAP). Systolic arterial pressure adalah tekanan darah tertinggi yang dihasilkan karena kontraksi ventrikel yang memompa darah ke aorta dan arteri besar. Diastolic arterial pressure adalah tekanan darah terendah yang merupakan tekanan sisa pada saat jantung berada pada tahap istirahat atau relaksasi sebelum kontraksi berikutnya. Mean arterial pressure adalah tekanan rata-rata siklus jantung dan merupakan tekanan darah yang paling penting yang berhubungan dengan anestesi, karena merupakan indikator paling baik untuk mengetahui aliran darah pada organ dalam. Mean arterial pressure dapat diketahui secara langsung pada alat ukur atau dengan menghitung menggunakan rumus sebagai berikut :
(SAP – DAP) MAP = DAP + 3 Nilai normal SAP pada anjing adalah sekitar 120 mmHg (90-160 mmHg) dan nilai normal DAP adalah 80 mmHg (50-90 mmHg) sehingga dapat dikatakan bahwa nilai normal SAP/DAP adalah 120/80. Sedangkan nilai MAP normal adalah 90-100 mmHg, pada hewan yang teranestesi adalah 70-90 mmHg (Cunningham 2002; Nelson 2003; McKelvey dan Hollingshead 2003).
Gambaran Darah Pengamatan laboratoris yang diperlukan sebelum dan selama tindakan anestesi adalah penghitungan sel darah lengkap (CBC, complete blood cell count). Penghitungan sel darah lengkap terdiri dari penentuan PCV (packed cell volume), Hb (hemoglobin), TPP (total plasma protein), dan evaluasi blood smear untuk sel darah
47
putih (WBC, white blood cell), sel darah merah (RBC, red blood cell), dan platelet. Pengamatan tersebut bertujuan untuk melihat status hidrasi dan status hematologi volume sel darah merah yang bersirkulasi. Dengan diketahui status hidrasi maka shok dan anemia karena kehilangan banyak darah dapat dicegah sedini mungkin pada saat operasi (Dodman et al. 1984; McKelvey dan Hollingshead 2003). Informasi yang diperoleh dari pemeriksaan PCV dan Hb menandakan kemampuan darah untuk mengirim oksigen ke jaringan. Nilai PCV yang berada diatas normal menandakan jumlah relatif sel darah merah meningkat yang terjadi pada keadaan kehilangan cairan dan menyebabkan terjadinya dehidrasi. Tingginya nilai PCV sangat penting diperhatikan, karena berhubungan dengan hemokonsentrasi dan meningkatnya kekentalan darah, yang menyebabkan penurunan curah jantung. Apabila nilai PCV rendah, menandakan terjadinya anemia yang disebabkan oleh kehilangan darah, hemolisis, atau gangguan produksi sel darah merah, akhirnya akan menyebabkan penurunan kapasitas penyediaan oksigen ke jaringan. Nilai PCV di bawah 25% pada anjing menandakan bahwa oksigenasi pada jaringan tidak cukup, terutama untuk jantung dan anestesi harus ditunda sampai terjadi perbaikan anemia. Nilai TPP juga sangat penting seperti nilai PCV, karena peningkatan nilai TPP sama dengan peningkatan nilai PCV yang menandakan adanya dehidrasi. Penurunan nilai TPP menandakan terjadinya hipoproteinemia yang diakibatkan oleh gangguan ginjal, hati, atau gastrointestinal. Sedangkan jumlah sel darah putih menandakan ada tidaknya infeksi atau tingkat stres yang terjadi pada hewan. Kondisi terinfeksi dan stres akan meningkatkan resiko anestesi. Tabel 4. menunjukkan nilai normal gambaran darah anjing (Dodman et al. 1984; McKelvey dan Hollingshead 2003).
48
Tabel 4. Kriteria normal pemeriksaan darah pada anjing (Sumber : Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003; Foster 2009)
Kisaran Referensi Parameter
untuk Anjing
Denyut Jantung (denyut per menit)
70-160
Hb (g/dl)
14-18
PCV (%)
35-54
Red Blood Cell Count (x106/µl)
5.6-8.7
White Blood Cell Count (/µl)
6,000-17,000
Neutrophils(/µl)
3,000-12,000
Lymphocytes(/µl)
530-4,800
Monocytes(/µl)
100-1800
Eosinophils(/µl)
0-1,900
Basophils(/µl)
<100
Platelets(/µl)
145-440
TPP (g/dl)
5,7-7,8
PaO 2 (mmHg)
91-97
PaCO2 (mmHg)
30-43
Arterial pH
7,36-7,46
Sistem Respirasi Respirasi merupakan faktor penting dalam ventilasi pulmonum, sehingga udara alveoler diperbaharui oleh udara atmosfir. Terdapat dua mekanisme penting dalam satu kali respirasi yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah udara atmosfir masuk ke dalam saluran paru-paru dan ekspirasi adalah keluarnya udara alveoler dari paru-paru dan saluran pernapasan (Lumb dan Jones 1984; Cunningham 2002). Nilai normal gas respirasi dan gas di dalam darah anjing disajikan dalam Tabel 5.
49
Tabel 5. Tekanan gas respirasi dan gas darah normal pada anjing (mmHg) (Sumber : Muir 2000; Nelson 2003; McKelvey dan Hollingshead 2003)
Gas O2 CO 2 N2 Kelembaban air Total End Tidal CO 2
atsmosfer (inspirasi)
alveolar
arteri
Vena
160 0,2 595 4,8 760
102 40 570 48 760
100 40 572 48 760
40 45 572 48 705
(CO 2 alveolar – [5 s/d 10])
35-46 mmHg (anjing)
Frekuensi Respirasi
15 (10 – 30) kali/menit (anjing)
Respirasi pada hewan akan mengambil udara atau gas inspirasi dalam jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan ekspirasi. Volume udara atau gas yang masuk dan keluar saluran respirasi disebut volume tidal, sedangkan jumlah inspirasi atau ekspirasi yang dilakukan setiap menitnya disebut frekuensi respirasi per menit (respiratory rate). Volume tidal dan frekuensi respirasi akan menghasilkan volume respirasi per menit (menute volume). Kedalaman respirasi akan mempengaruhi ukuran volume tidal. Respirasi yang lebih dangkal akan menurunkan volume tidal dan sebaliknya (Muir et al. 2000). Pengamatan terhadap frekuensi respirasi dapat dilakukan dengan melekatkan sebuah monitor pada katub ekhalasi pada sirkuit anestesi per inhalasi yang dapat berdesis pada setiap kali ekhalasi. Metode lain yang dapat digunakan untuk mengamati frekuensi respirasi adalah dengan memasukkan sebuah thermistor probe ke dalam saluran pernapasan. Pengamatan frekuensi respirasi juga dapat dilakukan dengan cara visual dengan memperhatikan gerakan inspirasi dan ekspirasi pada tulang iga di bagian dada (Moens dan Fargetton 1990; Cunningham 2002; Nelson 2003). Dalam keadaan normal, O 2 diangkut ke dalam alveoli paru-paru dan CO 2 diangkut dari alveoli paru-paru, sehingga komposisi udara di dalam alveoli paru-paru dapat dipertahankan dalam konsentrasi yang konstan. Pertukaran gas di paru-paru terjadi dengan melewati membran alveoli dan membran kapiler, yang tebalnya kira-
50
kira tidak lebih dari satu mikron, sehingga dapat berlangsung dengan cepat. Keadaan udara di dalam pembuluh kapiler paru-paru dan di dalam alveoli paru-paru mendekati seimbang, sehingga tekanan gas CO 2 dan O 2 di dalam darah relatif sama dengan tekanan CO 2 dan O 2 di dalam alveoli paru-paru (Cunningham 2002).
Suhu Rektal Suhu rektal adalah variabel fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk diamati selama anestesi. Suhu rektal adalah parameter paling sederhana untuk diamati perubahannya dengan menggunakan alat fisiograf. Panas dalam tubuh berasal dari hasil metabolisme di dalam tubuh dan dari luar tubuh. Pada saat energi makanan dicerna, panas akan dihasilklan dari keseluruhan tahap proses metabolisme di dalam tubuh. Energi yang terdapat didalam makanan dirubah dalam bentuk panas, yang disebarkan ke lingkungan dan dipancarkan keseluruh permukaan. Hewan akan melawan panas dari lingkungan bila suhu disekitarnya lebih besar dari suhu tubuh dan bila terpapar oleh radiasi panas. Hal yang sama juga terjadi jika hewan terpapar sinar matahari langsung atau berada dekat dengan benda padat yang lebih hangat dari pada suhu tubuhnya. Panas tubuh akan hilang menuju lingkungan sekitar melalui pemancaran dari permukaan tubuh menuju objek yang lebih dingin. Pemancaran panas terjadi melalui pergerakan udara atau air yang menjadi lebih hangat oleh tubuh, melalui penguapan sekresi respirasi, keringat atau saliva dan melalui penghantaran pada permukaan yang lebih dingin karena tubuh hewan bersentuhan. Panas juga hilang melalui urin dan feses. Banyak sumber panas dari metabolisme dalam tubuh, seperti hati, jantung, dan otot berada jauh dari kulit sebagai tempat pelepasan atau kehilangan panas, sehingga diperlukan pemindahan panas. Jaringan tubuh adalah penghantar panas yang tidak baik, sehingga panas dipindahkan terutama oleh pergerakan di dalam sirkulasi. Jantung dan pembuluh darah akan memegang peranan yang sangat penting untuk pemindahan panas di dalam tubuh (Cunningham 2002). Pusat pengaturan seluruh informasi dari berbagai reseptor terjadi di anterior hipotalamus. Informasi yang berasal dari reseptor temperatur pusat lebih besar
51
pengaruhnya dari pada informasi yang berasal dari reseptor kulit dan visceral, sehingga peningkatan temperatur pusat 0,5oC menyebabkan tujuh kali lipat peningkatan pada peredaran darah di kulit, penurunan temperatur pusat menyebabkan vasokonstriksi dan menggigil. Pengaruh reseptor pusat adalah duapuluh kali lipat lebih besar dari pada pengaruh reseptor perifer (Cunningham 2002; Nelson 2003). Salah satu penyebab hilangnya panas tubuh pada hewan selama teranestesi adalah penempatan hewan diatas meja operasi stainles steel dan ruangan operasi yang menggunakan pendingin ruangan atau air-conditioning dengan pengaturan suhu yang sangat rendah. Periode anestesi lama lebih dari 30 menit juga dapat menyebabkan penurunan suhu tubuh (Warren 1983; Muir et al. 2000). Abnormalitas termoregulasi yang menyebabkan penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi disebabkan oleh kehilangan panas akibat produksi yang menurun, penekanan pada susunan syaraf pusat, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot, penyuntikan cairan dengan suhu rendah, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak lingkungan (Muir et al. 2000). Perubahan suhu pada hewan yang teranestesi masih diperkenankan apabila masih berada pada batas-batas nilai normal. Suhu normal pada anjing adalah 37,5-39,2oC (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Anjing Anjing (Canis familiaris) telah didomestikasi selama ribuan tahun. Banyak jenis (breeds) anjing yang telah dikenal. Jenis anjing yang umum digunakan untuk kepentingan penelitian laboratorium adalah anjing jenis Beagle. Anjing Beagle sering digunakan sebagai model untuk penyakit pada manusia, karena mempunyai anatomi dan fisiologi yang mirip dengan manusia, ukuran tubuhnya baik dan ideal (berat badan rata-rata 10-15kg), mempunyai watak atau sifat yang baik dan bersahabat sehingga sangat cocok untuk penelitian yang memerlukan pengamatan sangat dekat. Anjing Beagle adalah jenis anjing yang pintar, mudah menerima perintah, penurut, serta cepat beradaptasi dengan lingkungan, manusia maupun sesama anjing (Wolfensohn dan Lloyd 2000).
52
Anjing adalah hewan yang sangat suka berkelompok dalam suatu kawanan. Anjing dapat dipelihara dalam sebuah kelompok atau berpasangan tetapi dengan pemberian makanan yang cukup. Anjing sangat perlu bersosialisasi dengan manusia atau anjing lain terutama pada saat umur masih muda 6 – 8 minggu, tetapi pada umur 14 minggu akan sulit untuk didekati. Sosial kontak bagi anjing sangat penting dan harus dipertahankan untuk membuat anjing tetap bersifat bersahabat. Anjing dengan sosialisasi baik akan lebih mudah ditangani (handle), tidak mudah stres, dan akan mudah dapat memberikan prosedur perlakuan pada anjing. Anjing tergolong binatang yang pintar dan mudah belajar sehingga sangat baik digunakan sebagai hewan laboratorium. Anjing jantan umumnya lebih agresif dibandingkan betina, tetapi hal ini tergantung pada jenis anjing. Anjing jenis Beagle lebih tenang, lebih penurut, dan menerima perintah tambahan dengan lebih baik. Anjing mempunyai metode komunikasi yang banyak dengan manusia atau sesama anjing, dan indera penciumannya sangat penting. Anjing jantan akan memberi marka daerah kekuasaan dengan urinasi (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Anjing sangat adaptif dengan lingkungan, dapat menyesuaikan dengan suhu lingkungan 15-24oC, dan pada suhu yang lebih rendah dapat beradaptasi apabila dalam kelompok. Anak anjing baru lahir perlu beradaptasi pada suhu 30-32oC, pada umur 5 hari dapat beradaptasi pada suhu 26-28oC, dan pada umur 4 minggu dengan suhu 24oC sudah cukup. Anjing sangat baik beradaptasi terhadap makanan dan sangat jarang terjadi defisiensi. Anjing Beagle berat 13 kg memerlukan pakan sekitar 0,8kg atau 0,25kg pakan kering per hari, air minum lebih kurang 1 liter per hari (7080ml/kg/hari). Dewasa kelamin pada anjing jantan dicapai pada umur 7-8 bulan dan pada betina umur 8-14 bulan. Anjing dapat dikawinkan setelah umur 1-2 tahun dan anjing betina dapat dikawinkan setelah hari ke 6-12 birahi, kehamilan biasanya berkisar 59-68 hari atau rata-rata 63 hari. Jumlah anak yang dilahirkan rata-rata 1-12 ekor, dengan berat lahir rata-rata 250 gram. Masa hidup anjing jenis Beagle adalah 12 tahun, seperti disajikan pada Tabel 6. (Wolfensohn dan Lloyd 2000).
53
Tabel 6. Data fisiologi anjing (Sumber : Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003) Parameter
Kisaran nilai Referensi
Parameter
Kisaran nilai Referensi
Berat badan dewasa (kg)
10-15
Data Hematologi :
Pakan (g/kg)
18
RBC (x106/mm3)
5,5-8,5
Air minum (ml)
1200
PCV (%)
37-55
Harapan hidup (th)
12
Hb (g/dl)
Data biologi :
o
12-18 3
3
Suhu rektal ( C)
37,9-39,9
WBC (x10 /mm )
6-17
Tekanan darah sistol (mmHg)
95-136
Neutrofil (%)
60-70
Tekanan darah diastol (mmHg)
43-66
Eosinofil (%)
2-10
Tekanan darah rata-rata (mmHg)
100 (<50)+
Basofil (%
-
Volume darah (ml/kg)
76-107
Limfosit (%)
12-30
Respirasi (x/min)
22 (<4)+
Monosit (%)
3-10
Volume tidal (ml)
251-432
Platelet (x103/mm3)
200-900
Denyut jantung (x/min)
70-160 (<40, >175)+
Data Reproduksi :
Data kimia : Protein serum (g/dl)
6-7,5
Pubertas (bln)
6-9
Albumin (g/dl)
3-4
Dewasa kelamin jantan (bln)
7-8
Globulin (g/dl)
2,4-3,7
Dewasa kelamin betina (bln)
8-14
Glukosa (g/dl)
54-99
Umur dikawinkan (th)
1-2
Blood Urea Nitrogen (mmol/l)
3,-7,5
Bunting (hr)
59-68(63)
Kreatinin (µmol/l)
<120
Jumlah anak
1-12(4-6)
Total billirubin (µmol/l)
<5
Berat lahir (gr)
250
Kolesterol (mmol/l)
4-7
Keterangan : += kritis
54
Klasifikasi Status Pasien Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi telah ditetapkan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA), seperti disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi (Sumber : Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003)
Katagori
Kondisi fisik
Contoh kondisi klinik
Klas I Resiko minimal
Hewan normal (sehat klinis) Tidak ada penyakit
Overiohisterektomi, kastrasi, operasi declawing, radiografi, hipdisplasia.
Klas II Resiko ringan, ada penyakit ringan
Hewan dengan gangguan atau penyakit sistem ik ringan, ada kemampuan kompensatoar, tidak ada gejala klinis penyakit.
Hewan neonatal atau geriatrik, obesitas, tumor kulit, hernia tanpa komplikasi, criptorchid, fraktura tanpa shok, diabetes ringan, penyakit jantung dengan kompensatoar, infeksi lokal, infestasi cacing jantung ringan.
Klas III Resiko sedang, ada penyakit yang pasti
Hewan dengan gangguan atau penyakit sistem ik sedang, terdapat gejala klinis ringan.
Anemia, anoreksia, dehidrasi sedang, penyakit ginjal ringan, murmur ringan jantung atau penyakit jantung, demam, hipovolemia sedang.
Kelas IV Resiko tinggi, Sangat berbahaya karena penyakit
Hewan dengan penyakit sistem ik berat tetapi dapat menjalani pengobatan atau gangguan alami yang berat
Dehidrasi berat, shok, uremia, toksemia, demam tinggi, anemia, penyakit jantung tidak terkompensasi, diabetes, gangguan ginjal dan pulmonum, serta kekurusan.
Klas V Resiko sangat berat atau parah
Pasien parah hampir mati, dengan atau tanpa operasi tidak ada harapan hidup dalam 24 jam.
Penyakit jantung, ginjal, hati, paruparu, atau endokrin yang lanjut; Shok berat dengan disertai dehidrasi berat, luka kepala yang parah, trauma berat, emboli pulmonum, dan tumor maligan stadium akhir.
Evaluasi status pasien dan penentuan status pasien harus dilakukan sebelum dilakukan anestesi dan pembedahan. Evaluasi meliputi pemeriksaan fisik, sejarah pasien, dan hasil pemeriksaan tes laboratorium diagnosis. Secara umum, pasien dengan klasifikasi klas I dan klas II sangat aman untuk dilakukan anestesi dengan
55
protokol dan teknik yang standar (Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Pada penelitian ini, hewan coba yang digunakan adalah anjing domestik dengan kriteria memenuhi data fisiologis Tabel 6 dan klasifikasi status pasien Tabel 7. Pemantauan Anestesi Pemberian anestetikum yang kurang atau tidak mencukupi menyebabkan pasien akan tetap merasakan nyeri, masih dalam keadaan sadar, masih adanya refleks dan masih ada pergerakan. Apabila dosis anestetikum yang diberikan dalam keadaan cukup atau berlebihan, mengancam terjadinya kematian. Guna mencegah dua kejadian yang ekstrim tersebut, harus dilakukan pemantauan yang baik selama teranestesi. Pemantauan dilakukan terhadap fungsi respirasi, fungsi sirkulasi, dan temperatur tubuh serta tetap mempertahankan kedalaman anestesi (McKelvey dan Hollingshead 2003). Kedalaman anestesi tidak dapat diberikan batasan yang tegas seperti terjaga, tertidur, maupun meninggal. Tetapi secara umum berdasarkan pengalaman, dapat digambarkan bahwa anestesi mempunyai empat tahap (4 stages) dimana tahap 3 (tahap anestesi untuk pembedahan) dibagi dalam 4 plane. Sedangkan pada binatang mempunyai banyak spesies, biasanya digunakan balanced anesthetic dengan kombinasi beberapa obat sehingga tahap-tahap anestesi tidak menjadi jelas. Anestesi pada hewan memerlukan pengawasan yang lebih sering dan lebih teliti untuk mengetahui tercapainya kedalaman anestesi, sehingga kedalaman anestesi tetap dapat diawasi serta dipertahankan, dan tidak berpengaruh buruk terhadap sistem vital. Lebih dari satu tanda harus digunakan untuk mengetahui kedalaman anestesi, karena kedalaman anestesi tidak dapat ditentukan hanya dari satu tanda saja.
Selama
teranestesi harus tetap terjaga penyediaan oksigen yang cukup ke jaringan dan terbuangnya karbondioksida hasil respirasi. Jumlah oksigen yang cukup menuju jaringan sangat tergantung pada beberapa faktor seperti cardiac output, nilai saturasi aoksigen, dan Hb (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).
56
Pada kondisi teranestesi, sistem fisiologi hewan akan mengalami penurunan terutama cardiac output dan penurunan efisiensi paru-paru (saturasi arteri), sehingga akan menyebabkan penurunan ketersediaaan O 2 ke jaringan dan ditambah dengan kondisi sakit dapat menyebabkan hipoksia serta kematian. Penggunaaan anestesi harus tetap mempertahankan kedalaman anestesi tetapi tetap juga menjaga agar tidak terjadi gangguan pada sistem kardiovaskuler dan respirasinya. Dua hal tersebut dapat dijaga hanya dengan memperhatikan refleks dan mengawasi tanda-tanda vital hewan. Refleks pedal, menjepit ekor dan telinga dapat digunakan untuk melihat bahwa anestesi sudah dalam dan anestesi tahap pembedahan sudah tercapai, tetapi tidak dapat digunakan untuk memantau bahwa anestesi terlalu dalam dan sudah membahayakan. Pada keadaan tahap anestesi yang terlalu dalam, hewan dapat dalam keadaan bahaya terhadap gagalnya respirasi dan kardiovaskuler. Tanda-tanda vital pada aktivitas kardiovaskuler dan respirasi
yang menunjukkan kegagalan atau
bahaya harus diamati dengan baik seperti mata terbuka, nafas sangat lambat dan dangkal, nafas sangat dalam, warna membrana mukosa membiru, dan tekanan darah yang sangat menurun (Wolfensohn dan Lloyd 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003).
57
MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Bedah Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Bagian Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan dan Rumah Sakit Hewan, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga Bogor. Penelitian dilaksanakan kurang lebih selama 12 bulan mulai bulan Desember 2009 sampai bulan November 2010. Ruangan periksa dan kamar bedah disiapkan dengan steril pada suhu ruangan 24oC.
Materi Penelitian Dalam penelitian ini digunakan 24 ekor anjing domestik. Berat anjing ratarata 10 ± 2 kilogram, kisaran umur sama (22 ± 2 bulan) dan jenis kelamin jantan. Anjing diperoleh dari masyarakat di sekitar Darmaga Bogor dan selama penelitian diperlakukan sesuai dengan asas kesejahteraan hewan “3R”, yaitu : Replacement, Reduction, dan Refinement. Anjing dikarantina, diadaptasikan selama 10 hari dan sebelum dilakukan perlakuan, hewan dilatih untuk handling dan diadaptasikan dengan ruangan operasi. Dilakukan evaluasi status pasien dan penentuan status pasien sebelum dilakukan anestesi. Evaluasi meliputi sejarah pasien, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan tes laboratorium diagnosis. Pasien dengan klasifikasi status klas I (Tabel 7.) yang digunakan untuk perlakuan anestesi sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) (Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemeriksaan hewan sebelum anestesi adalah pemeriksaan status kesehatannya yaitu sejarah pasien, pemeriksaan fisik (respirasi, kardiovaskuler, hati, ginjal, status dehidrasi, signalmen, refleks pedal dan refleks palpebral serta pemeriksaan organ), dan pemeriksaan diagnostik laboratorium (PCV, Hb, RBC, WBC, platelet, dan elektrokardiogram). Semua hewan dibebaskan dari parasit eksterna dan interna dengan memberikan obat cacing dan ektoparasit sesuai dengan McKelvey dan Hollingshead (2003).
58
Mengikuti prosedur Intelisano et al. (2008), sebelum dilakukan eksperimen hewan dipuasakan selama 12 jam dan tidak diberikan air minum tiga jam menjelang perlakuan. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama penelitian untuk mendapatkan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing, penelitian tahap kedua untuk mendapatkan kombinasi anestesi untuk pemeliharaan status teranestesi dengan metode infusi gravimetrik menggunakan kombinasi ketamine HCl dan propofol. Hewan coba dibagi enam kelompok perlakuan, masing-masing empat ekor sebagai ulangan pada penelitian tahap pertama, sedangkan penelitian tahap kedua dibagi lima kelompok perlakuan dan masing-masing empat ekor sebagai ulangan. I. Penelitian tahap pertama untuk mendapatkan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada Anjing, yaitu : 1. Grup 1, perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropine sulfate (0,03 mg/kgBB)–xylazine HCl (2 mg/kgBB) disuntikkan secara intramuskuler dan 10 menit kemudian dilakukan induksi secara intravena dengan ketamine HCl (4 mg/kg BB). Grup1 disebut pula kelompok AXK. 2. Grup
2, perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropine sulfate (0,03
mg/kgBB)–xylazine HCl (2 mg/kgBB) disuntikkan secara intramuskuler dan 10 menit kemudian dilakukan induksi secara intravena dengan propofol (4 mg/kg BB). Grup 2 disebut pula kelompok AXP. 3. Grup
3, perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropine sulfate (0,03
mg/kgBB)–xylazine HCl (2 mg/kgBB) disuntikkan secara intramuskuler dan 10 menit kemudian dilakukan induksi secara intravena dengan ketamine HCl (4 mg/kg BB)-propofol (4 mg/kg BB). Grup 3 disebut pula kelompok AXKP. 4. Grup
4, perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropine sulfate (0,03
mg/kgBB)–midazolam (0,2 mg/kgBB) disuntikkan secara intramuskuler dan 10 menit kemudian dilakukan induksi secara intravena dengan ketamine HCl (4 mg/kg BB). Grup 4 disebut pula kelompok AMK. 5. Grup 5, perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropine sulfatee sulfate (0,03 mg/kgBB)–midazolam (0,2 mg/kgBB) disuntikkan secara intramuskuler dan 10
59
menit kemudian dilakukan induksi secara intravena dengan propofol (4 mg/kg BB). Grup 5 disebut pula kelompok AMP. 6. Grup
6, perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropine sulfate (0,03
mg/kgBB)–midazolam (0,2 mg/kgBB) disuntikkan secara intramuskuler dan 10menit kemudian dilakukan induksi secara intravena dengan propofol (4 mg/kg BB) - ketamine HCl (4 mg/kg BB). Grup 6 disebut pula kelompok AMKP.
Diagram alir penelitian tahap pertama pada anjing disajikan pada Gambar 12. Anjing domestik bobot 10±2kg, kondisi sehat, siap dianestesi (24 ekor)
1 (4 ekor)
2 (4 ekor)
3 (4 ekor)
(Atropine sulfate 0,03 mg/kg + Xilazin 2mg/kg )
4 (4 ekor)
5 (4 ekor)
6 (4 ekor)
Atropine sulfate 0,03 mg/kg + Midazolam 0,2mg/kg )
AX
AX
AX
AM
AM
AM
Ketamine HCl 4mg/kg
Propofol 4mg/kg
Ketamine HCl 4mg/kg + Propofol 4mg/kg
Ketamine HCl 4mg/kg
Propofol 4mg/kg
Ketamine HCl 4mg/kg + Propofol 4mg/kg
AXK
AXP
AXKP
AMK
AMP
AMKP
• •
Peubah yang diamati : Waktu Induksi, Durasi dan Pemulihan anestesi Perubahan fisiologis sistem Kardiovaskuler dan Respirasi
Gambar 12 Diagram alir penelitian tahap pertama pada anjing.
60
II. Penelitian
tahap
kedua
untuk
mendapatkan
kombinasi
anestesi
untuk
pemeliharaan status teranestesi dengan metode infusi gravimetrik. Hewan coba dibagi lima kelompok perlakuan dan masing-masing empat ekor sebagai ulangan. Anjing dipreanestesi dan diinduksi dengan kombinasi terbaik pada penelitian tahap pertama. Semua hewan coba diberikan preanestesi atropine sulfate–xylazine HCl (0,03 mg/kgBB & 2 mg/kgBB) yang terpilih secara intramuskuler dalam satu syringe, setelah 10 menit dilakukan induksi secara intravena dengan ketamine HCl-propofol (@ 4 mg/kg BB), dan 15 menit kemudian
diberi tetes infusi
intravena secara gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol sampai menit ke-120. Infusi dipasang pada vena cephalica antibrachii menggunakan infusi set kateter 20G (terumo® 15 drop/ml). Campuran infusi ketamine HClpropofol dibuat dengan cara mengencerkan propofol (Propofol-Lipuro® 1%, BBraun) dengan cairan infusi NaCl 0,9% dengan perbandingan 1:4 mengikuti prosedur BBraun (2009) dan ditambahkan ketamine HCl (Ketamil® 10%, Illium) sebanyak 2 mg/ml) (Lampiran 1). Pengukuran parameter dilakukan sebelum perlakuan (menit ke-0) dan setiap 10 menit sampai menit ke-140, yaitu : 1. Grup I (AXKP-K2P2), perlakuan pemeliharaan anestesi secara tetes infusi intravena gravimetrik dengan campuran ketamine HCl dan propofol masing – masing dosis 0,2mg/kg BB/menit. 2. Grup II (AXKP-K4P4), perlakuan pemeliharaan anestesi secara tetes infusi intravena gravimetrik dengan campuran ketamine HCl dan propofol masing – masing dosis 0,4mg/kg BB/menit. 3. Grup III (AXKP-K6P6), perlakuan pemeliharaan anestesi secara tetes infusi intravena gravimetrik dengan campuran ketamine HCl dan propofol masing – masing dosis 0,6mg/kg BB/menit. 4.
Grup IV (AXKP-P4), perlakuan pemeliharaan anestesi secara tetes infusi intravena gravimetrik dengan propofol dosis 0,4mg/kg BB/menit.
5. Grup V (AXKP-I), perlakuan pemeliharaan anestesi secara inhalasi dengan isofluran dosis 1-2%.
61
Diagram alir penelitian tahap kedua pada anjing disajikan pada Gambar 13. 20 ekor Preanestesi dan induksi (terpilih tahap I) AXKP
Metode Infusi Gravimetrik (setelah 15 menit induksi)
ravimetrik In
I
II
III
IV
V
Ketamine + Propofol ( @0,2mg/kg/mnt)
Ketamine + Propofol ( @0,4mg/kg/mnt)
Ketamine + Propofol ( @0,6mg/kg/mnt
Propofol (0,4mg/kg/mnt)
Inhalasi Isofluran ( 1-2%)
AXKP-K2P2
AXKP-K4P4
AXKP-K6P6
AXKP-P
AXKP-I
Peubah yang diamati : • • • •
Waktu induksi, durasi dan pemulihan anestesi Perubahan fisiologis sistem kardiovaskuler dan respirasi Perubahan atau evaluasi hematologis Evaluasi toksisitas
Gambar 13 Diagram alir penelitian tahap kedua pada anjing.
Metode Penelitian Kegiatan utama dalam penelitian ini adalah persiapan dan pengadaan hewan coba, perekaman parameter fisiologis seperti elektrokardiogram, pengukuran tekanan darah arteri, pengukuran suhu rektal, pengukuran kadar gas CO 2 respirasi, nilai saturasi oksigen, dan pengukuran parameter hemodinamika serta pengamatan tanda klinis periode anestesi seperti waktu induksi, durasi, dan waktu pemulihan anestesi. Sebelum dilakukan perlakuan (menit ke-0) dilakukan pengukuran terhadap parameter penelitian seperti pulsus, suhu rektal, respirasi, denyut jantung, refleks (palpebral, pupil, pedal, telinga, dan ekor), urunasi, dan defikasi. Selanjutnya dilakukan pengukuran parameter setiap 10 menit (dihitung dari penyuntikan induksi anestetikum) selama 120 menit. Pemeriksaan darah dilakukan sebelum perlakuan, saat perlakuan, dan setelah 24 jam selesai perlakuan anestesi.
62
Parameter Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah : 1. Parameter waktu anestesi : 1.1. Waktu induksi; 1.2. Waktu anestesi; dan 1.3. Waktu pemulihan 2. Parameter respirasi: 2.1 Frekuensi respirasi; 2.2 Tekanan CO 2 respirasi (end tidal CO 2 /ET CO 2 ); dan 2.3 Nilai saturasi oksigen. 3
Parameter kardiovaskuler : 3.1 Frekuensi denyut jantung; 3.2 Tekanan darah (noninvasive blood pressure/NIBP), yaitu; 3.2.1
SAP (systole arterial pressure),
3.2.2
DAP (diastole arterial pressure), dan
3.2.3
MAP (mean arterial pressure).
3.3 Elektrokardiogram ( EKG, Lead II), yaitu: 3.3.1
Amplitudo gelombang P (mV),
3.3.2
Amplitudo gelombang R (QRS) (mV),
3.3.3
Durasi interval PR (detik),
3.3.4
Durasi interval QRS (detik), dan
3.3.5
Durasi interval QT (detik).
3.4. Nilai CRT (capillary refill time) 4
Parameter hematologis : 4.1 Nilai eritrosit, 4.2 Nilai leukosit, 4.3 Nilai hemoglobin, dan 4.4 Nilai hematokrit.
5
Parameter suhu rektal.
6
Parameter toksisitas (fungsi hati dan ginjal)
63
Difinisi dan Batasan Parameter 1. Waktu induksi (induction time) adalah waktu yang diukur dari penyuntikan anestetikum sampai terjadinya anestesi. Anestesi mulai terjadi ditandai dengan hilangnya rasa nyeri (menjepit telinga dan interdigitti), tidak ada gerakan hewan, tidak ada refleks kelopak mata, spingter ani longgar, bola mata menuju ventrocantus. 2. Waktu anestesi (duration of actions) adalah waktu yang dihitung dari mulai terjadinya anestesi sampai hewan mulai sadar. Hewan mulai sadar ditandai dengan adanya gerakan ekor, kaki, telinga atau kepala, adanya respon rasa nyeri (menjepit kulit
dan muskulus di telinga dan sela-sela jari kaki (interdigitti)
dengan pinset), adanya suara dari hewan, adanya refleks kelopak mata, spingter ani menegang. 3. Waktu pemulihan (recovery) adalah waktu yang dihitung dari hewan mulai sadar sampai hewan bisa berdiri dengan keempat kaki. 4. Frekuensi respirasi adalah faktor penting dalam ventilasi pulmonum, udara alveolar diperbaharui oleh udara atmosfir. Pengamatan frekuensi respirasi dilakukan dengan menghitung jumlah ekspirasi atau inspirasi yang terjadi selama satu menit dengan mempergunakan alat fisiograf. 5. Frekuensi denyut jantung adalah hitungan berapa kali jantung berdenyut dalam satu menit. Pengamatan frekuensi jantung dilakukan dengan elektrokardiograf. 6. Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu rekaman keadaan yang menggambarkan konduksi listrik jantung. Rekaman konduksi listrik jantung sangat umum digunakan secara klinis untuk mendiagnosa disfungsi listrik jantung. Depolarisasi atrial, depolarisasi ventrikel, dan repolarisasi ventrikel akan menyebabkan depleksi voltase yang khas dalam bentuk gelombang pada elektrokardiogram (Cunningham 2002; Nelson 2003). Gambaran elektrokardiogram jantung diukur dengan elektrokardiograf. 7. Tekanan darah sistol (systole arterial pressure/SAP), tekanan darah diastol (diastole arterial pressure/DAP) dan Tekanan darah rata-rata (mean arterial
64
pressure/MAP) diukur secara tidak langsung (noninvasive blood pressure/NIBP) dengan cara menempelkan cuff pada proximal radius untuk mengukur tekanan darah arteri brachialis dengan menggunakan alat fisiograf. 8. Pengukuran oksigen dan CO 2 dilakukan untuk melihat jumlah gas CO 2 yang dikeluarkan serta jumlah gas O 2 yang dihirup dengan menggunakan alat fisiograf dan oxymetri. 9. Suhu tubuh adalah variabel fisiologis yang paling sederhana dan mudah untuk diamati selama anestesi. Suhu rektal adalah paling sederhana untuk diamati perubahannya dengan menggunakan alat fisiograf.
Bahan dan Alat Penelitian ini menggunakan alat fisiograf model BSM-800 (Nihon Kohden®). Alat fisiograf model BSM-800 adalah alat yang digunakan untuk melakukan pemantauan
(monitoring)
perubahan-perubahan
parameter
fisiologis
selama
pembedahan. Seluruh parameter fisiologis dapat diukur secara bersamaan selama proses pembedahan. Parameter utama yang dapat diukur adalah respirasi, tekanan darah, elektrokardiogram (EKG) dan temperatur. Sedangkan parameter tambahan yang dapat diukur adalah kadar gas CO 2 respirasi, dan tekanan darah non inpasif (Noninvasive Blood Pressure/NIBP). Oxymetri VE02-14 digunakan untuk mengukur saturasi oksigen.
Perekamam dan Pengukuran Parameter Setiap anjing diperiksa secara klinis dan anjing yang digunakan adalah anjing yang dinyatakan sehat dengan klasifikasi status klas I (Lumb dan Jones 1996; Muir et at. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Selanjutnya dilakukan pencukuran bulu di daerah pemasangan elektroda. Setelah dilakukan pembersihan dengan kapas beralkohol pada lokasi penempelan elektroda, dilakukan penempelan elektroda sebagai persiapan perekaman parameter.
65
Perekaman EKG, Denyut Jantung, dan Respirasi Perekaman
elektrokardiogram
(EKG)
dilakukan
dengan
menggunakan
seperangkat elektrokardiograf yang menyatu dalam alat fisiograf model BSM-8800 (Nihon Kohden®). Slot panel bawah ECG/RESP dihubungkan dengan slot yang menghubungkan pasien dengan kode slot AC-800PJ yang mempunyai tiga elektroda. Pemasangan elektroda dilakukan dengan cara menempelkan elektroda pada kulit anjing yang telah dibersihkan dengan alkohol 70% pada posisinya masing-masing. Anjing diletakkan pada posisi berbaring dengan posisi terlentang dengan dada menghadap keatas (dorsal recumbency). Elektroda yang berwarna merah (R) ditempelkan pada kulit daerah fossa infraclavicular kanan, elektroda berwarna kuning (L) ditempelkan pada kulit daerah fossa infraclavicular kiri dan elektroda yang berwarna hijau (F) ditempelkan pada kulit daerah anterior kiri garis axilla diatas tulang rusuk terakhir. Setelah ketiga elektroda dipasang, perekaman elektrokardiograf segera dijalankan dengan menekan tombol ECG pada keypad alat fisiograf sehingga keluar ECG setting screen. Sebelum dijalankan secara bersamaan dengan perekaman parameter yang lainnya, dilakukan pemilihan terutama terhadap sensitifitas, kecepatan serta waktu perekaman EKG, sebagai berikut: a. Sensitivitasnya
: ECG SENS…..x1
b. Lead
: ECG LEADS…II (untuk 3 elektroda)
c. HR Alarm Limits
: ALM LIMITS
d. Arrhytmia-related Alarm Limits
: ARRHYTMIA SETUP
e. ECG Setup Screen
: ECG SETUP
Dari hasil perekaman elektrokardiogram, diamati terhadap gelombang P dan R, interval PR, QRS, dan interval QT. serta frekuensi jantung. Semua gelombang diukur terhadap amplitudonya (mv) sedangkan interval PR, QRS, dan interval QT diukur durasinya (detik). Dari ketiga hantaran perekaman elektrokardiogram, hanya hantaran II yang diutamakan untuk dilakukan pengujiannya terhadap amplitudo dan durasinya. Hal ini disebabkan karena hantaran II digunakan sebagai penyidikan terhadap adanya
66
gangguan jantung sebelum hantaran yang lainnya digunakan, hantaran II adalah syarat minimal untuk pemantauan pada saat pembedahan dan karena hantaran II mempunyai gambaran gelombang yang mudah dibaca. Pemerikasaan frekuensi denyut jantung dilakukan pada elektrokardiogram (EKG) yang direkam secara otomatis pada mesin fisiograf. Dilakukan perekaman terhadap EKG dan frekuensi denyut jantung sebelum perlakuan (menit ke-0), pada menit ke 10, 20, 30, 40, 50, 60, dan seterusnya yang dihitung dari penyuntikan anestetikum pertama sampai hewan sadar setelah infusi anestesi dicabut (sekitar 120 menit). Perekaman frekuensi respirasi dilakukan dengan menggunakan alat fisiograf model BSM-8800 (Nihon Kohden®). Slot panel bawah ECG/RESP dihubungkan dengan slot yang menghubungkan pasien dengan kode AC-800PJ yang mempunyai tiga elektroda. Elektroda merah (R) dan elektroda hijau (F) digunakan untuk mengukur frekuensi respirasi dan ditempatkan agar paru-paru berada diantara elektroda tersebut. Pemasangan elektroda dilakukan dengan cara yang sama dengan perekaman elektrokardiogram (EKG). Setelah ketiga elektroda dipasang, perekaman frekuensi respirasi dilakukan dengan menekan tombol RESP pada keypad sehingga keluar RESP setting screen. Dilakukan pemilihan : a. Sensitivitasnya
: RESP SENS……..x1
b. Respirasi ON/OFF
: ON/OFF RESP MEAS
c. RESP Alarm Limits : ALM LIMITS d. RESP Setup Screen
: RESP SETUP
Dari hasil perekaman frekuensi respirasi, diamati terhadap prekuensi respirasi yang akan tercatat secara otomanis pada layar. Dilakukan perekaman terhadap frekuensi respirasi sebelum perlakuan (menit ke-0), pada menit ke 10, 20, 30, 40, 50, 60, dan seterusnya yang dihitung dari penyuntikan anestetikum pertama sampai hewan sadar setelah infusi anestesi dicabut (sekitar 120 menit).
67
Pengukuran Tekanan Darah Perekaman tekanan darah dilakukan dengan menggunakan alat fisiograf model BSM-8800 (Nihon Kohden®). Tekanan darah yang direkam adalah tekanan darah non infasif (non invasive blood pressure, NIBP) yang terdiri dari tekanan darah sistol (systole
arterial
pressure/SAP),
tekanan
darah
diastol
(diastole
arterial
pressure/DAP) dan tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure/MAP). Slot panel bawah NIBP dihubungkan dengan slot yang menghubungkan pasien dengan kode slot AP-860PA. Pada ujung slot dipasangkan cuff ukuran kecil (Model YS-025P4). Penempelan cuff dilakukan pada daerah sepertiga proximal radius untuk mengukur tekanan darah arteri brachialis. Setelah cuff dipasang, perekaman tekanan darah dilakukan dengan menekan tombol NIBP pada keypad sehingga keluar NIBP setting screen. Dilakukan pemilihan: a. FREQUENCY SET………MANUAL / CONTINUOUS / INTERVAL b. VITAL LIST STORE……………………..ON Dari hasil perekaman tekanan darah, diamati terhadap tekanan darah yang akan tercatat secara otomanis pada layar. Dilakukan perekaman terhadap tekanan darah sebelum perlakuan (menit ke-0), pada menit ke 10, 20, 30, 40, 50, 60, dan seterusnya yang dihitung dari penyuntikan anestetikum pertama sampai hewan sadar setelah infusi anestesi dicabut (sekitar 120 menit).
Perekaman Tekanan CO 2 Respirasi (End Tidal CO 2 /ET CO 2 ) Perekaman kadar gas CO 2 respirasi dilakukan dengan menggunakan alat fisiograf model BSM-8800 (Nihon Kohden®). Slot panel bawah CO 2 dihubungkan dengan slot yang menghubungkan pasien dengan kode slot AG-800PA/ AG-830PA. Sensor CO 2 (AG-830PA) dan gas adapter tube dipasang pada ujung slot yang akan menghubungkan pasien dengan mesin fisiograf. Pada ujung Gas adapter tube dipasang tracheal tube yang akan dimasukkan pada saluran pernapasan anjing. Setelah alat dipasang, perekaman kadar gas CO 2 dilakukan dengan menekan tombol CO 2 pada keypad sehingga keluar CO 2 setting screen. Dilakukan pemilihan :
68
a. Sensitivitasnya
: Tekan CO 2 SENS multi-function key (40mmHg)
b. CO 2 Alarm Limits
: ALM LIMITS
c. CO 2 Setup Screen
: CO 2 SETUP
Dari hasil perekaman kadar gas CO 2 , diamati terhadap kadar gas CO 2 yang akan tercatat secara otomanis pada layar. Dilakukan perekaman terhadap kadar gas CO 2 sebelum perlakuan (menit ke-0), pada menit ke 10, 20, 30, 40, 50, 60, dan seterusnya yang dihitung dari penyuntikan anestetikum pertama sampai hewan sadar setelah infusi anestesi dicabut (sekitar 120 menit).
Pengukuran Suhu Rektal Perekaman suhu tubuh dilakukan dengan menggunakan alat fisiograf model BSM-8800 (Nihon Kohden®). Slot panel bawah TEMP (1, 2) dihubungkan dengan slot yang menghubungkan pasien dengan kode slot AW-800PA/ AP-851PA. Alat pengukur temperatur yang akan dimasukkan pada rektal adalah YSI-401J (YSI-401). Setelah alat dipasang, perekaman suhu tubuh dilakukan dengan menekan tombol TEMP pada keypad sehingga keluar TEMP setting screen. Dilakukan pemilihan pada menu temperatur. Dari hasil perekaman suhu tubuh, diamati terhadap suhu tubuh yang akan tercatat secara otomanis pada layar. Dilakukan perekaman terhadap suhu tubuh sebelum perlakuan (menit ke-0), pada menit ke 10, 20, 30, 40, 50, 60, dan seterusnya yang dihitung dari penyuntikan anestetikum pertama sampai hewan sadar setelah infusi anestesi dicabut (sekitar 120 menit).
Gambaran Darah Penghitungan jumlah eritrosit, hemoglobin, jumlah leukosit total dan nilai hematokrit/PCV dilakukan dengan cell counter machine celdyn-1400. MCV (mean corpuscular volume) = PCV x 10/ ∑ RBC (fl). MCH (mean corpuscular hemoglobin) = Hb x 10/ ∑ RBC (pg). MCHC (mean corpuscular hemoglobin concentration) = Hb/PVC x 100 (%). Diferensiasi Leukosit: dilakukan dengan menghitung di bawah mikroskop perbesaran 100x untuk sejumlah 100 leukosit yang meliputi netrofil,
69
eosinofil, limfosit dan monosit pada preparat ulas darah tipis dengan pewarnaan Giemsa. Hasil yang diperoleh (%) kemudian dikalikan dengan jumlah leukosit total, sehingga diperoleh nilai absolut dan masing-masing sel leukosit.
Protokol dan Pelaksanaan Penelitian Pemeriksaan terhadap seluruh parameter fisiologis dilakukan sebelum perlakuan (menit ke-0), pada menit ke 10, 20, 30, … dan seterusnya sampai menit ke120 yang dihitung dari penyuntikan anestetikum pertama sampai hewan sadar. Hewan dinyatakan teranestesi apabila telah memenuhi minimal tiga syarat yaitu sedasi, analgesi, dan relaksasi atau tidak bergerak. Hewan dinyatakan sadar ditandai dengan adanya gerakan, adanya suara hewan, rasa sakit, munculnya respon atau refleks (kelopak mata, pupil, pedal, telinga, spingter ani, dan ekor), dan hewan dapat berdiri dengan keempat kakinya.
Rancangan Penelitian dan Analisis Statistik Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dan masing-masing perlakuan terdiri dari empat ekor anjing sebagai ulangan. Data hasil penelitian dianalisis berdasarkan sidik ragam. Apabila didapat perbedaan yang nyata, maka untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan, dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan dengan selang kepercayaan 95 % dan 99% (Rossi and Junqueira 2003; Steel and Torrie 1991).
70
71
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Data penggunaan bahan anestetika diperoleh dari kuesioner yang diedarkan secara acak kepada 87 Dokter Hewan praktek melalui survei secara acak dari tempat praktek Dokter Hewan di Rumah Sakit Hewan , Klinik Hewan, dan Praktek Umum. Survei dilakukan di daerah Jawa dan Bali dengan jumlah responden 87 tempat praktek dari 110 kuesioner yang diedarkan. Dari evaluasi kuesioner diperoleh informasi bahwa penggunaan metode anestesi yang lebih banyak dipilih adalah metode anestesi secara injeksi, yaitu sebesar 81%, sedangkan anestesi inhalasi hanya 10,5%, dan anestesi gabungan sebesar 8,5%. Penanganan pasien dengan melakukan pembedahan diluar ruangan operasi atau eksitu mencapai 43%. Jenis anestetika yang paling banyak digunakan adalah injeksi kombinasi ketamine HCl-xylazine HCl kurang lebih 85%, sedangkan anestesi inhalasi dengan isofluran hanya 15%. Kendala yang ditemukan apabila menggunakan anestesi injeksi adalah status teranestesi tidak stabil dan memerlukan pengulangan pemberian anestetikum pada saat operasi sedang berlangsung mencapai 45%, sedangkan pemulihan lama, tidak mulus, dan mempunyai efek samping kejang dan muntah mendekati 32,5%. Hal ini berdampak pada ketenangan proses operasi mengalami gangguan sekitar 22,5%. Penggunaan anestesi inhalasi dengan isofluran juga menimbulkan kendala seperti penggunaaan instalasi yang rumit mencapai 48,5%, keterbatasan penggunaan mesin anestesi inhalasi untuk operasi hewan dilapangan kurang lebih 41%, dan keterbatasan jenis operasi yang dapat dilakukan sekitar 10,5% karena tidak dapat digunakan untuk penangan bronkhoskopi dan laringoskopi. Sebagian besar para Dokter Hewan praktek sangat mengharapkan adanya anestesi yang menghasilkan durasi panjang menjangkau 65,4% dan adanya anestetikum yang praktis, aman, serta ekonomis sekitar 34,6%, seperti disajikan pada Tabel 8.
72
Tabel 8 Data hasil edaran kuesioner kepada Dokter Hewan Praktek di Jawa dan Bali dengan responden 87 tempat praktek Dokter Hewan dari 110 kuesioner yang diedarkan (79%)
Parameter
Jenis
Prosentase
Metode anestesi
Injeksi
81,0
Inhalasi
10,5
Gabungan
Jenis anestetikum Tempat pelaksanaan operasi Kendala selama operasi
8,5
Injeksi ketamine HCl dan xylazine HCl
85,0
Inhalasi isofluran
15,0
Lapangan (outdoor)
43,0
Ruangan (indoor)
57,0
Metode Injeksi : Ulangan pembiusan
45,0
Siuman tidak mulus (smooth)
32,5
Gangguan operasi
22,5
Metode Inhalasi :
Keinginan praktisi
Instalasi rumit
48,5
Keterbatasan di lapangan
41,0
Keterbatasan jenis operasi
10,5
Durasi pemeliharaan panjang
65,4
Aman dan praktis
34,6
Catatan : Prosentase yang diperoleh hanya merupakan penilaian individu terhadap pertanyaan, tidak menjelaskan alasan pemilihan.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan di atas, diperlukan inovasi untuk mendapatkan jenis anestetikum dan metode anestesi yang praktis untuk operasi dilapangan, aman untuk sistem vital, ekonomis, dan mempunyai durasi yang panjang sehingga menghasilkan anestesi yang lebih stabil dan tindakan operasi dapat berjalan dengan tenang.
Penelitian Tahap Pertama Studi ini dilakukan tanpa tindakan operasi. Penelitian tahap pertama untuk mendapatkan keterpilihan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing, yaitu : grup 1, 2, dan grup 3 dipreanestesi
dengan atropine sulfate dosis 0,03
73
mg/kgBB–xylazine HCl dosis 2 mg/kgBB secara intramuskuler dan 10 menit kemudian diinduksi secara intravena masing-masing dengan ketamine HCl dosis 4 mg/kg BB, propofol dosis 4 mg/kg BB, dan kombinasi ketamine HCl dosis 4 mg/kg BB - propofol dosis 4 mg/kg BB. Grup 4, 5, dan grup 6 dipreanestesi atropine sulfate dosis 0,03 mg/kgBB–midazolam dosis 0,2 mg/kgBB secara intramuskuler dan 10 menit kemudian masing-masing diinduksi secara intravena dengan ketamine HCl dosis 4 mg/kg BB, propofol dosis 4 mg/kg BB, dan kombinasi ketamine HCl dosis 4 mg/kg BB - propofol dosis 4 mg/kg BB. Pengukuran parameter dilakukan sebelum perlakuan atau menit ke-0 dan setiap 10 menit sampai menit ke-80. Parameter yang diamati adalah waktu anestesi dan respon fisiologis hewan terutama perubahan sistem kardiovaskuler dan respirasi.
Waktu Anestesi Grup 1 menunjukkan waktu induksi sekitar 9,25 ± 3,30 menit, durasi anestesi 17,5 ± 3,87 menit, dan waktu pemulihan 38,00 ± 12,36 menit. Grup 2 menunjukkan waktu induksi lebih cepat, yaitu 2,25 ± 0,50 menit, durasi singkat, sekitar 22,50 ± 5,91 menit, dan waktu pemulihan mencapai 39,75 ± 9,03 menit. Grup 3 menunjukkan waktu induksi yang cepat, menpai 2,75 ± 0,50 menit, durasi lebih lama, yaitu 30,50 ± 9,39 menit, dan waktu pemulihan 31,25 ± 7,32 menit. Grup 4 dan 5 menunjukkan waktu induksi, durasi, dan waktu pemulihan yang tidak dapat ditentukan karena hanya menghasilkan sedasi ringan, sedangkan analgesia dan relaksasi tidak terjadi, sehingga hewan tidak memenuhi syarat disebut teranestesi. Sedangkan grup 6 menunjukkan waktu induksi sekitar 2,25 ± 0,57 menit, durasi 9,00 ± 2,58 menit, dan waktu pemulihan 22,50 ± 8,58 menit. Data tiap grup ditunjukkan pada Tabel 9.
74
Tabel 9
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) waktu induksi, durasi, dan waktu pemulihan selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing
Perlakuan Anestesi
Waktu (menit) Durasi
Induksi a, α
9,25 ± 3,30 2,25 ± 0,50b, β 2,75 ± 0,50b, β NA NA 2,25 ± 0,57b, β
Grup 1 Grup 2 Grup 3 Grup 4 Grup 5 Grup 6
b, β γ
17,50 ± 3,87 22,50 ± 5,91b, α β 30,50 ± 9,39a, α NA NA 9,00 ± 2,58c, γ
Pemulihan 38,00 ± 12,36a, α β 39,75 ± 9,03a, α 31,25 ± 7,32ab, α β NA NA 22,50 ± 8,58b, β
Keterangan : Pada baris (waktu anestesi) sama, huruf (a,b,c,d) yang berlainan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05), huruf (α,β, δ, γ) yang berlainan menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01). NA= not applicable (hanya sedasi ringan).
Waktu induksi grup 1 sangat nyata (P<0,01) lebih lama dibandingkan dengan grup lainnya. Grup 2, 3, dan grup 6 menunjukkan waktu induksi yang singkat dan tidak berbeda nyata (P>0,05). Durasi anestesi grup 3, nyata (P<0,05) lebih lama dibandingkan dengan grup 2, bahkan sangat nyata (P<0,01) lebih lama dibandingkan dengan grup 1 dan 6. Waktu pemulihan grup 1, 2, dan 3 tidak berbeda (P>0,05), grup 6 nyata lebih cepat (P<0,05) dibandingkan grup 1 dan 2, dan tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan grup 3. Grup 4 dan 5 tidak dapat diukur waktu induksi, durasi, dan waktu pemulihannya karena tidak menunjukkan adanya anestesi. Grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan sedasi ringan, hewan tidak mengalami analgesia, tidak mengalami relaksasi atau tidak terimobolisasi, dan tidak kehilangan kesadaran,
sehingga hewan tidak memenuhi syarat untuk disebut teranestesi.
Sedangkan grup 1, 2, dan grup 3 menunjukkan sedasi yang baik, analgesia, dan relaksasi serta immobilisasi yang sempurna. Durasi anestesi pada grup 4 adalah 0 menit, grup 5 juga 0 menit, dan grup 6 sekitar 9,00 ± 2,58 menit, sangat pendek dibandingkan grup 1, 2, dan 3, masing-masing mencapai 17,50 ± 3,87 menit, 22,50 ± 5,91 menit, dan 30,50 ± 9,39 menit. Gambaran waktu induksi, durasi, dan waktu pemulihan yang ditunjukkan oleh grup 1, 2, dan 3 lebih baik dari pada gambaran yang ditunjukkan grup 4, 5, dan 6, memberikan kejelasan bahwa faktor xylazine HCl berperanan penting dalam preanestesi. Xylazine HCl memiliki kemampuan menekan sistem syaraf pusat, bekerja pada aktivasi reseptor postsinap α2 -adrenoseptor dengan
75
dampak pada pengurangan pelepasan norepineprin dan dopamin (Adams 2001; McKelvey dan Hollingshead 2003). Sedangkan midazolam bekerja pada polisinaps di medula spinalis lebih kuat dibandingkan sebagai neurotransmitter inhibitor di SSP (Brander et all. 1991). Potensi midazolam secara intramuskular menghasilkan peningkatkan relaksasi otot dan analgesik lebih ringan dibandingkan dengan xylazine HCl . Disamping itu dosis midazolam yang diberikan belum cukup meningkatkan relaksasi otot maupun analgesia. Bishop (1996), menyatakan bahwa jika midazolam tidak efektif, harus diberikan secara intavena dan dosisnya dapat ditingkatkan sampai 15mg/kg BB. Selain daripada itu, bioavailibilitas midazolam pada pemberian intramuskuler sangat tidak baik dalam penyiapan status teranestesi (Katzung, 1992). Terungkap pula bahwa Sudisma et al. (2001), menyimpulkan bahwa diazepam yang satu golongan dengan midazolam, bila dikombinasikan dengan ketamine HCl untuk anestesi pada anjing secara intramuskular akan menghasilkan anestesi yang tidak sempurna. Induksi anestesi dengan ketamine HCl, propofol, atau kombinasi ketamine HCl dan propofol menghasilkan waktu anestesi yang berbeda. Grup 1 menunjukkan waktu induksi lebih lama dibandingkan dengan grup 2 masing masing 9,25 ± 3,30 menit dan 2,25 ± 0,50 menit. Durasi yang ditunjukkan oleh grup 1 lebih singkat dibandingkan dengan grup 2 masing masing 17,50 ± 3,87 menit dan 20,50 ± 5,91 menit. Sedangkan waktu pemulihan yang ditunjukkan oleh grup 1 tidak berbeda dengan grup 2, masing-masing 38,00 ± 12,36 menit dan 39,75 ± 9,03 menit. Grup 3 menunjukkan waktu induksi lebih cepat, sekitar 2,75 ± 0,50 menit, waktu durasi anestesi lebih lama, kurang lebih 30,50 ± 9,39 menit, dan waktu pemulihan lebih singkat, yaitu 31,25 ±
7,32 menit, dibandingkan dengan grup 1 maupun grup 2.
Gambaran durasi dan waktu pemulihan yang ditunjukkan oleh grup 3 lebih baik dari pada gambaran yang ditunjukkan grup 1 dan grup 2, memberikan kejelasan bahwa faktor kombinasi ketamine HCl dan propofol memberikan pengaruh yang positif terhadap waktu anestesi. Kombinasi ketamine HCl dan propofol menghasilkan waktu pemulihan cepat dan lembut, induksi lembut, dan fungsi psikomotor cepat kembali saat pemulihan dibandingkan dengan pemberian tanpa dikombinasikan (VanNatta
76
dan Rex 2006; Holmeister et al. 2008; Muhammad et al. (2009) . Propofol menghasilkan pengaruh anestesi dengan mekanisme yang bekerja pada reseptor GABA A dan sering digunakan sebagai induksi anestesi karena mempunyai mula kerja dan waktu pengeluaran dari tubuh yang cepat (Stoelting 1999). Pengaruh anestesi dan efek samping propofol sangat berhubungan dengan dosis dan keuntungan penggunaaan propofol dapat diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen anestesi lain seperti ketamin (McKelvey dan Hollingshead 2003). Ketamin mempunyai tempat kerja yang berbeda dengan propofol. Mekanisme ketamin menghasilkan anestesi bekerja secara antagonis dengan reseptor N-methyl-Daspartate (NMDA), mempunyai pengaruh antinociseptik, analgesik, dan mampu meningkatkan pengaruh anestesi apabila dikombinasikan dengan propofol (Lerche et al. 2000). Propofol adalah agen sedasi dan relaksasi, sedangkan ketamine HCl adalah agen analgesik, sehingga kombinasi ketamine-propofol menghasilkan anestesi yang memenuhi komponen anestesi, yaitu sedasi, analgesi, dan relaksasi. Kombinasi ketamine-propofol dapat saling melengkapi dan memberikan pengaruh positif terhadap hasil anestesi yang ditimbulkan.
Denyut Jantung Grup 1 menunjukkan penurunan denyut jantung pada menit ke-10, selanjutnya terjadi peningkatan denyut jantung yang sangat tajam pada menit ke-20, kemudian menurun dari menit ke-40 sampai menit ke-80, tetapi tidak berbeda dengan nilai awal. Grup 2 dan 3 juga menunjukkan pola yang sama dengan grup 1, yaitu menurun pada menit ke-10, kemudian meningkat tajam pada menit ke-10, dan kembali menurun mendekati nilai normal pada menit ke-40 sampai akhir perlakuan. Tetapi, grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan pola yang berlawanan, terjadi peningkatan denyut jantung pada menit ke-10, selanjutnya menurun pada menit ke-30 sampai menit ke80. Grup 4 dan 6 menunjukkan peningkatan denyut jantung yang sangat nyata (P<0,01) pada menit ke-20 dibandingkan dengan nilai awal, selanjutnya menurun mendekati nilai awal sampai menit ke-80. Sedangkan grup 5 menunjukkan penurunan
77
denyut jantung yang sangat nyata (P<0,01) dari menit ke-20 sampai menit ke-80, seperti disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 14. Grup 1 AXK Grup 2 AXP Grup 3 AXKP Grup 4 AMK Grup 5 AMP Grup 6 AMKP
Denyut Jantung (x/menit)
250 200 150 100 50
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu (menit) Gambar 14 Perubahan rata-rata denyut jantung selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing.
Gambaran denyut jantung yang ditunjukkan oleh grup 1, 2, dan 3 lebih baik daripada gambaran yang ditunjukkan grup 4, 5, dan 6, memperlihatkan bahwa xylazine HCl dan modazolam berpengaruh sangat berbeda terhadap denyut jantung. Kombinasi preanestesi atropine sulfate-xylazine HCl
menyebabkan penurunan
denyut jantung pada menit ke-10, sedangkan kombinasi preanestesi atropine sulfate midazolam menyebabkan peningkatan denyut jantung. Xylazine HCl mempunyai potensi bekerja lebih cepat dibandingkan atropine sulfate, sehingga xylazine HCl berpengaruh sangat kuat menurunkan denyut jantung. Potensi xylazine HCl yang termasuk golongan α2-adrenergik agonis menyebabkan menurunnya transmisi simpatik dari susunan syaraf pusat, tertekannya pacemaker secara langsung, tertekannya konduksi, terhambatnya pelepasan noradrenalin dari ujung syaraf simpatik, peningkatan pelepasan acetylcholine dari syaraf parasimpatik, dan meningkatnya tonus vagal (Rossi dan Junqueira 2003). Xylazine HCl menyebabkan aktivitas simpatik menurun dan aktivitas vagal meningkat (Rand et al. 1996 dalam Kul 2001). Sedangkan midazolam mempunyai potensi lebih rendah bekerja
78
mempengaruhi jantung, sehingga potensi atropine sulfate
untuk meningkatkan
denyut jantung terlihat sangat nyata (Muir et al. 2000). Induksi anestesi dengan ketamine HCl, propofol, maupun kombinasi ketamine HCl-propofol menghasilkan pengaruh perubahan denyut jantung anjing yang tidak berbeda dengan sebelum perlakuan. Gambaran denyut jantung terlihat lebih stabil setelah dilakukan induksi anestesi, menunjukkan bahwa propofol menimbulkan pengaruh yang tidak nyata terhadap denyut jantung. Mohamadnia et al. (2008), menyatakan bahwa propofol tidak menimbulkan pengaruh terhadap denyut jantung. Begitu pula penelitian Belo et al. (1994), bahwa propofol menyebabkan penurunan tekanan darah tetapi tidak menyebabkan perubahan pada denyut jantung. Ketamine HCl sebagai induksi anestesi juga menyebabkan perubahan yang tidak nyata pada denyut jantung anjing karena pengaruh preanestesi xylazine HCl
sangat kuat
menurunkan denyut jantung, sehingga pengaruh ketamine HCl meningkatkan denyut jantung tidak terlihat nyata. Kombinasi ketamine HCl -propofol sebagai induksi anestesi juga tidak menyebabkan perubahan yang nyata pada denyut jantung. Kombinasi ketamine HCl-propofol memberikan pengaruh kestabilan yang baik terhadap denyut jantung. Pengaruh anestesi dan efek samping propofol adalah depresi kardiovaskuler, efek samping propofol sangat berhubungan dengan dosis dan keuntungan penggunaaan propofol dapat diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen anestesi lain seperti ketamine HCl, sehingga pengaruh depresi kardiovaskuler akibat propofol dapat dikurangi (McKelvey dan Hollingshead 2003).
Respirasi Respirasi pada hewan adalah usaha mengambil udara atau gas inspirasi dalam jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan melalui ekspirasi. Volume udara atau gas yang masuk dan keluar saluran respirasi disebut volume tidal, sedangkan jumlah inspirasi atau ekspirasi yang dilakukan setiap menitnya disebut frekuensi respirasi per menit atau respiratory rate. Nilai frekuensi respirasi normal pada anjing adalah 10 – 30 kali per menit, dalam keadaan teranestesi dengan kedalaman sedang akan mencapai 8-20 kali per menit, dan dalam keadaan pemeliharaan anestesi biasanya
79
kurang dari 8 kali per menit.
Keadaan respirasi di bawah normal disebut
hipoventilasi dan sebaliknya adalah hiperventilasi. Grup 1, 2, dan grup 3 menunjukkan pola penurunan nilai respirasi pada menit ke-10 dan terus menurun sampai menit ke-20, selanjutnya terjadi peningkatan nilai respirasi sampai menit ke80 dan tidak berbeda dengan nilai awal. Grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan pola peningkatan nilai respirasi pada menit ke-10, bahkan grup 4 terus menunjukkan peningkatan sampai menit ke-20, selanjutnya terjadi pola penurunan nilai respirasi mendekati nilai awal sampai menit ke-80. Sedangkan grup 6 menunjukkan gambaran pola perubahan nilai respirasi yang tidak stabil, meningkat tajam pada menit ke-10, kemudian turun tajam pada menit ke-20 dan kembali meningkat tajam pada menit ke40 dan 50, selanjutnya turun mendekati nilai awal. Kestabilan nilai respirasi mendekati nilai awal terjadi mulai menit ke-60 sampai 80. Data tiap grup disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 15. 45
Grup 1 AXK Grup 2 AXP Grup 3 AXKP Grup 4 AMK Grup 5 AMP Grup 6 AMKP
Respirasi (x/menit)
40 35 30 25 20 15 10 5 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu (menit)
Gambar 15 Perubahan rata-rata respirasi selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anesthesia pada anjing.
Gambaran respirasi yang ditunjukkan grup 1, 2, dan grup 3 menurun dan lebih stabil dibandingkan gambaran yang ditunjukkan oleh grup 4, 5, dan 6 yang meningkat dan tidak sabil. Pemberian xylazine HCl menyebabkan terjadi relaksasi otot-otot diantara tulang iga dan perut yang dapat mengembang-kempiskan rongga dada
80
sewaktu terjadi respirasi, karena xylazine HCl tergolong muscle relaxant (Adams 2001; Bishop 1996). Respirasi menurun karena tertekannya otot-otot pernapasan oleh xylazine HCl dan pengaruh α2-adrenergik agonis dari xylazine HCl. Xylazine HCl termasuk golongan α2-adrenergik agonis, dikombinasikan dengan atropine sulfate sebagai preanestesi menyebabkan terjadinya sedasi dan tertekannya respirasi (Rossi dan Junqueira 2003). Atropine sulfate
juga memungkinkan terjadinya dilatasi
bronchial pada anjing yang mengalami sedasi (Ko et al. 2001), sehingga penggunaan kombinasi preanestesi atropine sulfate dan xylazine HCl menyebabkan penurunan nilai rata-rata respirasi. Grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan peningkatan respirasi pada menit ke-10, disebabkan karena preanestesi midazolam menyebabkan sedikit penekanan pada respirasi dan penekanan respirasi oleh midazolam bersifat sementara, sehingga penggunaan kombinasi preanestesi dengan atropine sulfate memberikan pengaruh yang dominan terhadap peningkatan respirasi (Lumb dan Jones 1996). Sedangkan grup 6 menunjukkan pola perubahan nilai respirasi yang tidak stabil, karena midazolam tidak menghasilkan preanestesi yang baik sehingga pengaruh ketamine HCl dan propofol tidak menghasilkan induksi yang baik. Grup 1, 2, dan 3 menunjukkan penurunan respirasi yang sangat tajam pada menit ke-20, karena pengaruh xylazine HCl dan propofol. Efek samping utama yang sangat dihindari dari propofol adalah penekanan sistem respirasi (Stawicki 2007). Propofol menyebabkan depresi respirasi terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi (Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007). Semua grup yang menerima perlakuan xylazine HCl dan propofol menunjukkann penurunan gambaran respirasi pada menit ke-20, kecuali grup 4 menunjukkan peningkatan. Nilai respirasi pada menit ke-20 yang ditunjukkan oleh grup 2 sangat rendah, sedangkan nilai respirasi oleh grup 3 lebih tinggi dibandingkan grup 2. Kombinasi ketamine HCl -propofol mampu mengurangi tekanan respirasi dibandingkan hanya dengan induksi propofol saja. Propofol menghasilkan pengaruh menghilangkan kesadaran dan depresi respirasi terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi (Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007). Efek samping penggunaaan propofol adalah apnea (Stawicki 2007). Propofol menyebabkan apnea karena
81
pemberian yang cepat (Maddison et al. 2002; Andrews et al. 1997; Mohamadnia et al. 2008). Kombinasi ketamine HCl -propofol mampu mengurangi pengaruh buruk peopofol terhadap respirasi. Nilai respirasi pada menit ke-30 sampai menit ke-80, mulai satabil mendekati nilai awal, terjadi pemulihan nilai rata-rata respirasi mendekati nilai stabil seperti pada awal sebelum perlakuan. Sedangkan ketamine HCl tidak memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap frekuensi respirasi (Haskin et al 1985).
82
Tabel 10 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal, dan nilai saturasi O 2 selama perlakuan kombinasi preanestesi atropine sulfate -xylazine HCl atau atropine sulfate -midazolam dan induksi ketamine HCl dan atau propofol pada anjing Jenis Perlakuan Pengamatan
0
10
20
Waktu Pengamatan (menit) 30 40 50
Grup 1 99±16 46±15** 103±27 75±33 114±17 106±18 Grup 2 104± 9 71±18* 110±35 123±24 107± 7 89± 3 Denyut Jantung Grup 3 99±13 59±16** 120±14* 96±14 100± 9 96±13 (x/menit) Grup 4 100±12 153±52 192±15** 170±55* 154±44 144±36 119± 8 120± 8 106± 4** 102± 7** 101± 7** 91± 1** Grup 5 91± 8 134± 6* 158±35** 121±41 122±26 112±27 Grup 6 Grup 1 19±2 13± 4 11± 5** 12± 3* 15±2 17±3 Grup 2 21±4 17± 4 9± 4** 16± 4 14±3 16±7 Respirasi 21±1 17± 2 10± 4** 14± 1* 13±4* 16±4 Grup 3 (x/menit)) 18±3 20± 2 24± 6** 17± 1 18±2 18±2 Grup 4 16±5 18± 2 11± 1 10± 2** 15±3 14±3 Grup 5 Grup 6 23±8 30±11 16±17 21±11 34±6 33±1 Grup 1 38,7±0,4 38,5±0,7 38,7±0,6 38,6±0,6 38,3±0,7 38,1±0,7 Grup 2 38,4±0,5 38,0±0,3 37,6±0,4* 37,2±0,6** 37,1±0,6** 36,8±0,6** 39,2±0,5 39,1±0,6 38,8±0,7 38,6±0,8 38,5±0,7 38,1±0,7 Grup 3 Suhu Rektal ±0,6 ±0,8 ±0,9 ±0,6 ±0,6 Grup 4 38,2 37,8 37,8 38,0 38,0 37,9±0,5 (oC) Grup 5 38,8±0,4 38,7±0,3 38,5±0,3 38,4±0,3 38,4±0,3 38,3±0,2 38,3±0,5 38,0±1,1 38,1±0,6 38,0±0,8 38,0±0,7 38,0±0,7 Grup 6 98±0,6 96±1,5 97±1,7 95±2,2 95±2,2 97±0,5 Grup 1 Grup 2 96±2,0 89±3,3 81±12,1** 93±1,0 94±1,7 93±1,0 Saturasi O 2 Grup 3 97±2,0 90±1,0* 90±7,2* 89±5,7* 93±1,9 93±2,6 (%) 98±0,8 97±3,0 96±2,5 95±2,9 95±2,9 95±2,9 Grup 4 98±0,5 93±1,2** 93±1,2** 88±2,1** 90±0,5** 91±1,0** Grup 5 97±1,2 97±1,2 95±1,2* 95±1,0* 95±1,0* 94±1,6** Grup 6 Keterangan : Pada kolom (perlakuan) sama, * = berbeda nyata (P<0,05), ** = berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan nilai awal (menit ke-0).
60 94±14 87± 9 85±11 130±26 98± 3** 106±22 21±5 13±7 16±5 13±1 14±2 16±5 37,9±0,8 37,1±,05** 37,9±0,7* 37,9±0,5 38,2±0,2* 37,9±0,6 97±0,5 89±5,1 93±1,9 95±2,9 92±0,0** 94±1,0*
70 86±15 82±10 80±13 123±30 100± 2** 99±17 21±5 14±6 16±5 14±2 14±3 16±4 37,8±0,9 37,1±0,5** 37,7±0,6* 37,8±0,6 38,2±0,2* 37,8±0,7 97±0,5 94±1,5 93±1,9 95±2,9 94±1,0** 95±1,2*
80 78±17 82±10 80±16 118±26 100± 1** 91±10 19±2 14±6 16±5 16±2 16±2 15±5 37,6±1,0 37,1±0,5** 37,7±0,5* 37,8±0,5 38,2±0,1* 37,7±0,6 98±0,6 94±1,5 93±1,9 95±2,9 96±1,0** 95±1,0
83
Suhu Rektal Grup 1 menunjukkan pola penurunan suhu rektal.
Pola penurunan suhu
terjadi pada menit ke-10 setelah penyuntikan sampai akhir anestesi. Grup 2, 3, 4, 5, dan grup 6 juga menunjukkan pola penurunan suhu rektal. Penurunan suhu yang tajam dan berbeda dengan nilai awal ditunjukkan oleh grup 2 pada menit ke-20 dan terus menurun sangat tajam dari menit ke-30 sampai menit ke-80, seperti disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 16. 40,00
Grup 1 AXK Grup 2 AXP Grup 3 AXKP Grup 4 AMK Grup 5 AMP Grup 6 AMKP
39,50
Suhu ( C)
39,00 38,50 38,00 37,50 37,00 36,50 36,00 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu (menit)
Gambar 16 Perubahan rata-rata suhu rektal selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing.
Terjadi penurunan suhu yang ditunjukkan oleh grup 1, 2, dan 3, begitu pula grup 4, 5, dan 6, bahkan terjadi penurunan yang sangat tajam ditunjukkan oleh grup 2. Keadaan teranestesi menyebabkan laju metabolisme tubuh menurun sehingga proses pembentukan energi tubuh yang menghasilkan panas juga akan menurun. Xylazine HCl dan propofol menyebabkan sedasi, penurunan metabolisme, relaksasi otot, dan tertekannya susunan syaraf pusat, serta menyebabkan penekanan termoregulasi yang lebih lama (Rossi dan Junqueira 2003). Agen anestesi seperti xylazine HCl, midazolam, propofol, dan ketamine HCl secara umum menekan pusat pengaturan suhu. Penambahan induksi dengan propofol menyebabkan penurunan suhu berlanjut, karena propofol menyebabkan penurunan cardiak output, penurunan
84
tekanan darah, terjadi fase dilatasi arteri dan vena, menyebabkan relaksasi pembuluh darah sehingga terjadi penurunan suhu tubuh lebih tajam, serta menekan pusat pengaturan suhu di hipotalamus, sehingga anjing kehilangan kemampuan untuk mengatur suhu (Karsli et al. 1999).
Propofol mempunyai potensi mendepresi
respirasi dan menyebabkan penurunan metabolik (Seymour dan Novakovski 2007), sehingga menyebabkan penurunan suhu tubuh lebih tajam. Selain pengaruh agen anestesi, hilangnya panas tubuh pada hewan selama teranestesi juga disebabkan karena penempatan hewan diatas meja operasi stainles steel dan ruangan operasi yang menggunakan pendingin ruangan atau airconditioning dengan pengaturan suhu yang rendah, di bawah 24oC. Periode anestesi lama lebih dari 30 menit juga dapat menyebabkan penurunan suhu tubuh (Warren 1983; Muir et al. 2000). Abnormalitas termoregulasi yang menyebabkan penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi disebabkan karena kehilangan panas akibat produksi yang menurun, penekanan pada susunan syaraf pusat, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot, penyuntikan cairan dengan suhu rendah, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak lingkungan (Muir et al. 2000). Penurunan suhu yang ditunjukkan oleh semua grup masih berada pada batas normal suhu rektal anjing dalam kondisi teranestesi, yaitu diatas 35oC.
Saturasi Oksigen (O 2 ) Saturasi oksigen adalah oksigen yang berikatan dengan hemoglobin dalam darah. Prosen saturasi menggambarkan perbandingan volume oksigen yang berikatan dengan hemoglobin dari keseluruhan oksigen dalam tubuh, ikatan hemoglobin dengan oksigen dalam keadaan normal mencapai 95%. Nilai normal saturasi oksigen adalah 95% atau sama dengan tekanan oksigen arteri (PaO 2 ) sekitar 85-100 mmHg. Apabila saturasi turun menjadi 90%, berarti tekanan oksigen arteri menjadi sekitar 60 mmHg, terjadi hipoksia. Apabila nilai oksimetri menunjukkan 85% selama 60 detik, telah terjadi hipoksia yang serius. Grup 1 menunjukkan penurunan nilai saturasi oksigen mulai menit ke-10 sampai akhir anestesi. Grup 2, 3, 4, 5, dan 6 juga menunjukkan penurunan saturasi oksigen mulai menit ke-10 sampai akhir anestesi.
85
Penurunan yang sangat tajam ditunjukkan oleh grup 2 pada menit ke-10 dan 20, kemudian meningkat pada menit ke-30 sampai menit ke-80 mendekati nilai awal. Sedangkan grup lainnya menunjukkan penurunan saturasi oksigen tetapi tidak berbeda nyata dengan nilai awal dan mulai menit ke-50 sampai 80, terjadi saturasi oksigen yang satabil mendekati nilai awal. Data tiap grup ditunjukkan pada Gambar 17. 100
Grup 1 AXK Grup 2 AXP Grup 3 AXKP Grup 4 AMK Grup 5 AMP Grup 6 AMKP
Saturasi O2 (%)
95 90 85 80 75 70 65
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu (menit)
Gambar 17 Perubahan rata-rata saturasi oksigen selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing.
Penurunan saturasi oksigen ditunjukkan oleh grup 1, 2, dan 3, begitu pula grup 4, 5, dan 6. Obat-obat anestesi menyebabkan relaksasi otot bronkhial dan penurunan tingkat oksigenasi darah (Ismail et al. 2010). Preanestesi xylazine HCl menyebabkan penurunan saturasi oksegen akibat menurunnya respirasi, karena tertekannya otot-otot pernapasan oleh xylazine HCl dan pengaruh α2-adrenergik agonis dari xylazine HCl. Xylazine HCl termasuk golongan α2-adrenergik agonis, dikombinasikan dengan atropine sulfate sebagai preanestesi menyebabkan terjadinya sedasi dan tertekannya respirasi (Rossi dan Junqueira 2003), sehingga saturasi oksigen juga menurun. Atropine sulfate
juga memungkinkan terjadinya dilatasi
bronchial pada anjing yang mengalami sedasi (Ko et al. 2001), selanjutnya Baniadam et al. (2007), menyebutkan bahwa xylazine HCl menyebabkan penurunan saturasi oksigen, sehingga kombinasi preanestesi atropine sulfate-xylazine HCl menyebabkan
86
penurunan nilai rata-rata respirasi dan penurunan saturasi oksigen. Induksi dengan propofol menimbulkan efek samping utama yang sangat dihindari berupa penekanan sistem respirasi, sehingga menurunkan nilai saturasi oksegen
(Stawicki 2007).
Propofol menyebabkan depresi respirasi terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi (Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007). Nilai saturasi oksegen yang ditunjukkan oleh grup 2 menurun sangat tajam pada menit ke-10 dan lebih tajam pada menit ke-20, setelah dilakukan induksi dengan propofol.
Tekanan Darah Tekanan Darah Sistol (Systole Arterial Pressure/SAP) Systolic arterial pressure (SAP) atau tekanan darah sistol adalah tekanan darah tertinggi yang dihasilkan karena kontraksi ventrikel yang memompa darah ke aorta dan arteri besar. Tekanan darah dapat diukur secara kasar melalui palpasi pulsus, tetapi untuk mendapatkan tekanan darah yang akurat harus dilakukan dengan alat pengukur tekanan darah. Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan secara langsung pada pembuluh darah arteri (invasive) atau secara tidak langsung menggunakann cuff tekanan darah yang ditempelkan pada arteri (noninvasive). Tekanan darah sistol normal pada anjing adalah 120 mmHg (90-160 mmHg). Grup 1, 2, dan grup 3 menunjukkan peningkatan tekanan darah sitol pada menit ke 20, 30 dan 40 selanjutnya menurun mendekati nilai awal sampai menit ke-80. Sedangkan grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan penurunan nilai SAP sampai menit ke-50, selanjutnya meningkat mendekati nilai awal sampai menit ke-80. Grup 1, 2, dan grup 3, maupun grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan tekanan darah yang stabil dan mendekati nilai awal mulai menit ke-50 sampai 80, seperti ditunjukkan pada Gambar 18.
87
220
Grup 1 AXK AXP Grup 2 AXKP Grup 3 AMK Grup 4 AMP Grup 5 AMKP Grup 6
200
SAP (mmHg)
180 160 140 120 100 80 60 40 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu (menit)
Gambar 18 Perubahan nilai rata-rata tekanan darah sistol (systole arterial pressure, SAP) selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing.
Grup 1, 2, dan grup 3 menunjukkan peningkatan nilai SAP sampai menit ke40, selanjutnya menurun, sedangkan grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan penurunan, selanjutnya meningkat, memberikan kejelasan bahwa preanestesi xylazine HCl menyebabkan peningkatan tekanan arteri atau hipertensi pada awal pemberian dan diikuti dengan penurunan atau hipotensi akibat tertekannya syaraf pusat (Muir et al. 2000). Peningkatan nilai SAP juga disebabkan karena adanya atropine sulfate pada kombinasi preanestesi atropine sulfate-xylazine HCl. Alibhai et al. (1996), menyebutkan bahwa atropine sulfate dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, terjadi bersama-sama dengan meningkatnya denyut jantung. Pengaruh atropine sulfate yang dikombinasikan dengan golongan α2-adrenergik seperti xylazine HCl akan menghasilkan lama kerja sekitar 60 menit, sehingga meningkatnya tekanan darah akan terjadi selama 60 menit setelah penyuntikan atropine sulfate. Sedangkan adanya kecenderungan penurunan nilai SAP disebabkan karena pengaruh xylazine HCl yang menstimulasi reseptor adrenergik, menyebabkan pelepasan norepineprin dan pengaruh simpatomimetik dari ketamine HCl ditutupi oleh aktivitas simpatolitik dari xylazine HCl (Wixson et al. 1987). Kombinasi xylazine HCl dan ketamine HCl juga akan menginduksi penurunan tekanan darah arteri. Grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan penurunan tekanan darah sistol akibat penggunaan
midazolam,
yang
bekerja
memperkuat
kerja
GABA
sebagai
88
neurotransmiter inhibitori utama pada otak, mampu menekan reflekss-refleks polisinaps dan berpengaruh terhadap medulla spinalis (Brander et al. 1991). Midazolam bekerja pada reseptor benzodiazepin dengan cara meningkatkan pengikatan GABA pada reseptor GABA A , sehingga menimbulkan penghambatan SSP (Stawicki 2007). Efek samping penggunaan midazolam adalah hipotensi, bradikardi, depresi respirasi, kerusakan fungsi motor, dan koma (Stawicki 2007). Selanjutnya, penurunan tekanan darah juga disebabkan karena efek samping penggunaaan propofol yang menyebabkan apnea dan penurunan tekanan darah (Stawicki 2007). Propofol menyebabkan turunnya tekanan darah karena secara langsung menyebabkan vasodilatasi pada vena dan arteri serta menyebabkan relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999). Propofol menyebabkan rendahnya tekanan darah sistol (SAP) dan tekanan darah rata-rata (MAP) tanpa menimbulkan pengaruh pada denyut jantung (Belo et al. 1994 dalam Mohamadnia et al. 2008).
Tekanan Darah Diastol (Diastole Arterial Pressure/DAP Diastolic arterial pressure (DAP) atau tekanan darah diastol adalah tekanan darah terendah yang merupakan tekanan sisa pada saat jantung berada pada tahap istirahat atau relaksasi sebelum kontraksi berikutnya. Pengukuran tekanan darah diastol dapat dilakukan secara langsung pada pembuluh darah arteri (invasive) atau secara tidak langsung menggunakann cuff tekanan darah yang ditempelkan pada arteri (noninvasive). Tekanan darah diastol normal pada anjing adalah 80 mmHg (50-90 mmHg). Grup 1, 2, dan grup 3 menunjukkan peningkatan nilai tekanan darah diastol (diastole arterial pressure, DAP) dari menit ke-20 sampai menit ke-40, selanjutnya menurun mendekati nilai awal sampai menit ke-80.
Grup 4, 5, dan grup 6
menunjukkan penurunan nilai DAP yang sangat nyata sampai menit ke-30, selanjutnya terjadi peningkatan sampai menit ke-70 dan pada menit ke-80 terjadi penurunan, seperti disajikan pada Tabel 11 dan Gambar 19.
89
160
Grup AXK 1 Grup AXP 2 Grup AXKP3 Grup AMK4 Grup AMP 5 AMKP Grup 6
140
DAP (mmHg)
120 100 80 60 40 20
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu (menit)
Gambar 19 Perubahan nilai rata-rata tekanan darah diastol (diastole arterial pressure DAP) selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing.
Grup 1, 2, dan grup 3 menunjukkan peningkatan nilai DAP pada menit ke-20 sampai 40, sedangkan grup 4, 5, dan 6 menunjukkan penurunan, menggambarkan bahwa adanya perbedaan pengaruh yang sangat nyata antara preanestesi xylazine HCl dengan preanestesi midazolam. Xylazine HCl menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri pada awal pemberian, kemudian diikuti dengan penurunan tekanan darah arterial karena tertakannya syaraf pusat oleh xylazine HCl. Peningkatan tekanan darah juga disebabkan karena pengaruh atropine sulfate yang terjadi bersama-sama dengan meningkatnya denyut jantung (Ko et al. 2001). Meningkatnya nilai DAP juga disebabkan karena terjadi fase eksitasi pada awal pemberian anestesi, sedangkan pengaruh penurunan nilai DAP pada menit ke-50 sampai 80 juga disebabkan karena pengaruh xylazine HCl yang menyebabkan relaksasi otot pada pembuluh darah dan menurunnya denyut jantung. Xylazinee HCl bekerja melalui mekanisme yang menghambat tonus simpatik karena xylazine mengaktivasi reseptor postsinap α2 adrenoseptor sehingga menyebabkan relaksasi otot, penurunan denyut jantung, dan penurunan tekanan darah melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada susunan syaraf pusat (Adams 2001). Grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan penurunan tekanan darah diastol akibat penggunaan
midazolam,
yang
bekerja
memperkuat
kerja
GABA
sebagai
90
neurotransmiter inhibitori utama pada otak, mampu menekan reflekss-refleks polisinaps dan berpengaruh terhadap medulla spinalis (Brander et al. 1991). Midazolam bekerja pada reseptor benzodiazepin dengan cara meningkatkan pengikatan GABA pada reseptor GABA A , sehingga menimbulkan penghambatan SSP (Stawicki 2007). Efek samping penggunaan midazolam adalah hipotensi dan bradikardi (Stawicki 2007).
Tekanan Darah Rata-rata (Mean Arterial Pressure/MAP) Mean arterial pressure (MAP) atau tekanan darah rata-rata adalah tekanan rata-rata siklus jantung dan merupakan tekanan darah yang paling penting yang berhubungan dengan anestesi, karena merupakan indikator paling baik untuk mengetahui aliran darah pada organ dalam. Mean arterial pressure dapat diketahui secara langsung pada alat ukur atau dengan menghitung menggunakan rumus berdasarkan nilai SAP dan DAP. Tekanan darah rata-rata normal pada anjing adalah 90-100 mmHg, atau dalam keakaan teranestesi kurang lebih 70 – 90 mmHg. Grup 1, 2, dan grup 3 menunjukkan peningkatan nilai MAP dari menit ke-10 sampai menit ke-40, selanjutnya menurun mendekati nilai awal sampai menit ke-80. Sedangkan grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan pola penurunan nilai MAP dari menit ke-10 sampai menit ke-30, selanjutnya meningkat mendekati nilai awal sampai menit ke-80, seperti ditunjukkan pada Gambar 20.
91
190
Grup 1 AXK Grup 2 AXP Grup 3 AXKP Grup 4 AMK Grup 5 AMP Grup 6 AMKP
170
MAP (mmHg)
150 130 110 90 70 50 30
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Waktu (menit)
Gambar 20 Perubahan nilai rata-rata tekanan darah rata-rata (mean arterial pressure,MAP) selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing.
Meningkatnya tekanan darah rata-rata (MAP) pada menit ke-10 sampai menit ke-40 yang ditunjukkan oleh grup 1, 2, dan grup 3 karena terjadinya fase eksitasi dan pengaruh xylazine HCl
yang menyebabkan hipertensi pada tahap awal.
Meningkatnya nilai MAP juga akibat dari atropine sulfate dan terjadi peningkatan tekanan darah bersama-sama dengan meningkatnya denyut jantung. Pulsus alternans juga dapat terjadi pada anjing yang diberikan atropine sulfate. Pulsus alternans ditandai dengan terjadinya pergantian antara pulsus kuat dan lemah sebelum terjadi irama jantung yang mantap dan tetap (Ko et al. 2001). Selanjutnya, menurunnya MAP yang ditunjukkan oleh grup 1, 2, dan 3 pada menit ke-50 sampai 80, disebabkan oleh pengaruh xylazine HCl yang menyebabkan relaksasi otot, menurunnya denyut jantung dan tertekannya syaraf pusat. Perubahan tekanan darah juga dapat disebabkan oleh perubahan dosis kombinasi atropine sulfate, xylazine HCl , dan ketamine HCl yang digunakan. Hal ini juga disebutkan oleh Ko et al. (2001) bahwa terjadinya perubahan pada tekanan darah tergantung pada dosis penggunaan atropine sulfate , xylazine HCl
dan ketamine HCl. Selanjutnya, penurunan tekanan darah juga
disebabkan karena efek samping penggunaaan propofol yang menyebabkan apnea (Stawicki 2007). Propofol menyebabkan turunnya tekanan darah karena secara langsung menyebabkan vasodilatasi pada vena dan arteri serta menyebabkan relaksasi
92
pembuluh darah (Karsli et al. 1999). Propofol menyebabkan rendahnya tekanan darah sistol (SAP) dan tekanan darah rata-rata (MAP) tanpa menimbulkan pengaruh pada denyut jantung (Belo et al. 1994 dalam Mohamadnia et al. 2008). Sedangkan penurunan nilai MAP yang ditunjukkan oleh grup 4, 5, dan grup 6 dari menit ke-10 sampai menit ke-30, karena midazolam dapat memperkuat kerja GABA yang merupakan neurotransmiter inhibitori utama pada otak, mampu menekan reflekss-refleks polisinaps dan berpengaruh terhadap medulla spinalis (Brander et al. 1991). Midazolam bekerja pada reseptor benzodiazepin dengan cara meningkatkan pengikatan GABA pada reseptor GABA A , sehingga menimbulkan penghambatan SSP yang menyebabkan hipotensi, bradikardi, depresi respirasi, kerusakan fungsi motor, dan koma. (Stawicki 2007)
End Tidal CO 2 (ET CO 2 ) Respirasi pada hewan akan mengambil udara atau gas inspirasi dalam jumlah yang sama dengan yang dikeluarkan atau ekspirasi. Volume udara atau gas yang masuk dan keluar saluran respirasi disebut volume tidal, sedangkan end tidal CO 2 atau ET CO 2 adalah volume atau tekanan gas CO 2 yang dikeluarkan pada akhir ekspirasi. End tidal CO 2 dapat diukur menggunakan adapter tube yang dipasang pada ujung tracheal tube yang dimasukkan pada saluran pernapasan. Nilai ET CO 2 normal pada anjing adalah 35 – 46 mmHg, keadaan hipercapnia terjadi apabila nilainya di atas normal dan hipocapnia apabila nilanya dibawah normal. Nilai ET CO 2 yang ditunjukkan oleh grup 4 dan 5 tidak dapat diukur, karena anjing hanya mengalami sedasi ringan, tidak mengalami analgesi dan relaksasi. Grup 1, 2, 3, dan grup 6 menunjukkan tidak adanya perubahan nilai ET CO 2 sampai menit ke-40, selanjutnya terjadi penurunan dari menit ke-50 sampai menit ke-70, tetapi masih pada batas normal. Grup 2 dan 6 menunjukkan penurunan yang nyata, sedangkan pada grup 1 dan 3 menunjukkan penurunan yang sangat nyata, seperti disajikan pada Tabel 11 dan Gambar 21.
93
ET CO2 Respirasi (mmHg)
50
AXK Grup 1 AXP Grup 2 AXKP Grup 3 AMK Grup 4 AMP Grup 5 AMKP Grup 6
45 40 35 30 25 20 15
0
10
20
30
40
50
60
70
Waktu (menit)
Gambar 21 Perubahan nilai rata-rata end tidal CO 2 (ET CO 2 ) respirasi selama perlakuan kombinasi preanestesi dan induksi anestesi pada anjing. (grup 4 dan 5 tidak ada data, hanya sedasi ringan).
Tidak adanya perubahan nilai ET CO 2 selama perlakuan anestesi sampai menit ke-40, disebabkan karena perlakuan anestesi belum mengakibatkan perubahan terhadap volume tidal dan nilai ET CO 2 . Greene dan Thurmon (1988) menyebutkan bahwa tidak ditemukan perubahan tekanan O 2 dan CO 2 setelah penyuntikan xylazine HCl
pada anjing. Begitu pula Allen et al. (1986) mendapatkan bahwa anestesi
kombinasi xylazine HCl dan ketamine HCl tidak menyebabkan perubahan pada tekanan CO 2 dan O 2 . Hal ini menunjukkan bahwa volume tidal sangat ditentukan oleh kedalaman respirasi. Respirasi yang lebih dalam dengan frekuensi yang lebih rendah akan dapat mempertahankan volume tidal dan jumlah gas CO 2 respirasi. Penurunan nilai ET CO 2 yang terjadi pada menit ke-50 sampai menit ke-70 disebabkan karena xylazine HCl menyebabkan penurunan suhu dan propofol juga menyebabkan penurunan suhu, sehingga menyebabkan penurunan suhu lebih tajam dan ET CO 2 juga menurun lebih tajam. Turunnya suhu tubuh karena turunnya metabolisme, menurunnya curah jantung (cardiac output), dan menurunya respirasi akibat anestesi sehingga menyebabkan menurunnya gas CO 2 . Tubuh berusaha mempertahankan homeostasis supaya tetap normal
dengan cara metabolisme
anaerobik dan terjadi alkalosis respirasi yang ditandai dengan penurunan tekanan
94
CO 2 respirasi (Woodrow 2004). Apabila kondisi tekanan oksigen darah menurun, akan terjadi rangsangan untuk stimulasi pernapasan atau hiperventilasi yang menyebabkan tekanan CO 2 respirasi akan menurun (Aditama 1987). Penurunan ET CO 2 juga disebabkan karena terhambatnya volume respirasi akibat relaksasi otot-otot pernafasan pada hewan yang teranestesi dan karena terganggunya volume respirasi akibat pemasangan endotracheal tube pada saluran respirasi.
95
Tabel 11 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) tekanan darah tidak langsung (NIBP : SAP, DAP, MAP) dan CO 2 respirasi selama perlakuan kombinasi preanestesi atropine sulfate -xylazine HCl atau atropine sulfate -midazolam dan induksi ketamine HCl dan atau propofol pada anjing Jenis Pengamatan Perlakuan
0
10
20
Waktu Pengamatan (menit) 30 40 50
60
70
80
Grup 1 137±22 131±15 147±29 150±19 173±18* 173±20* 150±11 140±13 137±15 Grup 2 123± 8 147±40 145±30 165±24 148±32 126±28 110±25 109±22 112±19 SAP Grup 3 142±14 140±21 182±12** 182±15** 162±30 137± 4 139± 2 130±12 128±11 (mmHg) Grup 4 123±15 83±36** 142±19 94±27* 137± 1 114± 5 108±10 123± 4 127± 8 Grup 5 126± 4 112± 8* 110± 7** 114± 5* 119± 9 117± 6 122± 2 118±11 103± 5** Grup 6 123±14 137± 5* 116± 5 98±15** 98± 3** 96± 3** 116± 5 115±14 103±12* Grup 1 74±28 77±24 102±31 107±31 126±14** 124±15** 110± 8 100±17 97±18 Grup 2 65± 4 102±30* 104±28* 125±27** 114±34* 90±22 70±18 55±14 55±14 DAP Grup 3 91± 8 86±13 130±13** 126±11** 120±17* 99±17 108± 6 87±24 94±10 (mmHg) Grup 4 80± 4 61±15 65±26 41±17** 63±17 59± 1 65± 4 70± 7 54± 8* Grup 5 74±14 66±11 50±10** 45± 5** 62± 4* 67± 3 64± 4 70± 2 45± 5** Grup 6 58± 7 69±5* 53± 9 35± 2** 63± 2 47± 3** 63± 4 68± 4* 49± 8* Grup 1 103±33 99±23 110±51 127±20 139±15 142±9 128±11 117±13 115±17 Grup 2 84±10 117±30 122±25 151±22** 132±28* 97±35 93±22 88±22 88±22 MAP Grup 3 119± 3 115±18 149±15* 147±17* 145±32 106±18 125± 4 101±20 107± 8 (mmHg) Grup 4 93± 9 71±18 90±19 59±26** 106±16 98± 2 121± 7* 118±15 113±15 Grup 5 92± 6 79± 3** 71± 7** 72± 3** 75± 5** 80± 4** 79± 2** 81± 7** 74± 5** Grup 6 75± 2 94±17* 87±10 73±17 84± 4 82± 5 83± 5 115±13** 112±14** Grup 1 40,5±6,4 41,2±2.5 40,8±2,2 41,2±3,0 35,5±1,7 32,0±5,4* 29,3±7,9** 22,8±3,5** NA Grup 2 40,5±6,4 36,8±1,2 37,3±2,2 37,3±0,5 37,3±1,5 35,0±2,0* 35,3±2,2* 35,3±2,2* NA CO 2 Respirasi Grup 3 40,5±6,4 41,8±1,0 41,5±1,3 41,3±1,3 37,3±1,3 34,3±1,5** 33,8±2,5** 33,8±2,5** NA (mmHg) Grup 4 NA NA NA NA NA NA NA NA NA Grup 5 NA NA NA NA NA NA NA NA NA Grup 6 40,5±6,4 41,8±1,3 42,3±2,1 38,0±1,6 33,5±4,4 31,5±6,6* 31,5±6,6* 31,5±6,6* NA Keterangan : SAP = Systole Arterial Pressure (tekanan darah sistol), DAP = Diastole Arterial Pressure (tekanan darah diastol), MAP = Mean Arterial Pressure (tekanan darah rata-rata). NA= not applicable (sedasi ringan, tidak diukur) ; Pada kolom (perlakuan) sama, * = berbeda nyata (P<0,05), ** = berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan nilai awal (menit ke-0).
96
Elektrokardiogram (EKG) Elektrokardiogram
(EKG)
adalah
suatu
rekaman
keadaan
yang
menggambarkan konduksi listrik jantung. Rekaman konduksi listrik jantung sangat umum digunakan secara klinis untuk mendiagnosa disfungsi listrik jantung. Depolarisasi
atrial,
depolarisasi
ventrikel,
dan
repolarisasi
ventrikel
akan
menyebabkan depleksi voltase yang khas dalam bentuk gelombang pada elektrokardiogram. Alat elektrokardiograf dapat digunakan untuk melihat gambaran elektrokardiogram dan denyut jantung. Gelombang EKG ditandai dengan satu seri defleksi atau gelombang, dengan perjanjian bahwa suatu potensial positif menghasilkan defleksi ke atas dan suatu potensial negatif menghasilkan defleksi ke bawah.
Amplitudo Gelombang P Amplitudo gelomgang P, menunjukkan kukuatan listrik pada saat terjadi depolarisasi atau kontraksi atrium yang dinyatakan dalam milli Volt (mV). Gelombang untuk repolarisasi atrium tidak terlihat pada EKG, karena tertutup oleh gelombang Q, R, dan S. Nilai normal gelombang P pada anjing adalah maksimum 0,4 mV dengan durasi maksimum sekitar 0,04 detik. Gelombang P yang ditunjukkan oleh grup 1 selama preanestesi dan induksi anestesi tidak mengalami perubahan dari nilai normal sebelum dianestesi, yaitu sekitar 0,17 ± 0,03 mV. Begitu pula grup 2, 3, 4, 5, dan grup 6 selama teranestesi nilai gelombang P tidak mengalami perubahan dari nilai normalnya masing-masing, yaitu 0,12 ± 0,05 mV, 0,18 ± 0,03 mV, 0,16 ± 0,01 mV, 0,16 ± 0,01 mV, dan 0,16 ± 0,02 mV. Nilai gelombang P tiap grup disajikan pada tabel 12. Amplitudo gelombang P yang ditunjukkan oleh grup 1, 2, dan grup 3 maupun grup 4, 5, dan 6 selama teranestesi, mengalami perubahan yang tidak berbeda dengan nilai awal. Amplitudo gelombang P tidak mengalami perubahan selama perlakuan. Perlakuan anestesi belum menyebabkan perubahan terhadap aliran listrik jantung pada saat terjadi depolarisasi atrium, sehingga amplitudo depolarisasi antrium tidak menunjukkan perubahan yang berbeda nyata. Perubahan amplitudo gelombang P
97
juga tidak terpola secara jelas dan tidak berbeda nyata selama perlakuan anestesi, menunjukkan bahwa perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada grup 1, 2, dan grup 3, maupun grup 4, 5, dan grup 6 tidak menunjukkan perubahan depolarisasi atrium. Kekuatan listrik pada atrium yang bersumber dari nodus sinoatrial (SA node) dan penyebarannya pada dinding atrium, tidak terpengaruh oleh perubahan aksi potensial pada sistim syaraf akibat perlakuan anestesi. Tetapi ada kecenderungan amplitudo gelombang P menunjukkan penurunan pada grup 4, karena pengaruh frekuensi jantung yang lebih tinggi sehingga kekuatan jantung berdenyut akan menurun bersamaan dengan meningkatnya frekuensi denyut jantung.
Amplitudo Gelombang R Gelombang Q, R, dan gelombang S, bersama-sama merupakan komplek QRS. Amplitudo komplek QRS atau disebut gelombang R menunjukkan depolarisasi atau kontraksi ventrikel yang dinyatakan dalam milli Volt (mV). Ketetapan pada komplek QRS adalah setiap awal defleksi negatif ditunjukkan oleh Q, setiap defleksi positif yang disertai dengan atau tanpa didahului oleh Q, ditunjukkan oleh R, dan setiap defleksi negatif yang mengikuti R, ditunjukkan oleh S. Nilai normal gemombang R pada anjing adalah maksimum 3 mV. Grup 1 menunjukkan perubahan nilai amplitudo gelombang R selama teranestesi tidak berbeda dengan nilai normal sebelum dianestesi, yaitu sekitar 1,93 ± 0,66 mV. Begitu pula grup 2, 3, 4, 5, dan grup 6 selama teranestesi tidak mengalami perubahan nilai amplitudo gelombang R dari nilai normalnya masing-masing, yaitu 1,71 ± 0,84 mV, 2,06 ± 0,56 mV, 1,16 ± 0,55 mV, 1,16 ± 0,60 mV, dan 1,16 ± 0,56 mV. Nilai amplitudo gelombang R tiap grup disajikan pada tabel 12.
98
Tabel 12
Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II gelombang P dan gelombang R selama perlakuan kombinasi preanestesi atropine sulfate -xylazine HCl atau atropine sulfate -midazolam dan induksi ketamine HCl dan atau propofol pada anjing
Jenis
Waktu Pengamatan (menit)
Pengamatan Perlakuan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Grup 1
0,17±0,03
0,18±0,04
0,11±0,04
0,13±0,10
0,20±0,05
0,23±0,05
0,20±0,03
0,19±0,04
0,15±0,11
Grup 2
0,12±0,05
0,13±0,10
0,10±0,10
0,16±0,07
0,17±0,07
0,14±0,05
0,15±0,05
0,19±0,06
0,19±0,06
Grup 3
0,18±0,03
0,15±0,03
0,17±0,06
0,15±0,07
0,17±0,02
0,16±0,01
0,17±0,01
0,14±0,03
0,15±0,05
Grup 4
0,16±0,01
0,17±0,03
0,20±0,04
0,10±0,07
0,10±0,02
0,11±0,01
0,09±0,01
0,09±0,02
0,09±0,02
Grup 5
0,16±0,01
0,16±0,02
0,16±0,02
0,16±0,03
0,16±0,03
0,16±0,03
0,16±0,02
0,16±0,02
0,16±0,02
Grup 6
0,16±0,02
0,16±0,03
0,16±0,03
0,16±0,03
0,16±0,01
0,16±0,01
0,16±0,02
0,16±0,02
0,16±0,02
Grup 1
1,93±0,66
2,08±0,56
2,18±0,54
2,20±0,43
2,14±0,49
2,30±0,45
2,32±0,40
1,93±0,89
2,31±0,37
Grup 2
1,71±0,84
1,76±0,76
1,87±0,89
1,81±0,78
1,85±0,87
1,70±1,05
1,61±1,05
1,63±1,05
1,63±1,05
Grup 3
2,06±0,56
1,91±0,64
1,72±0,55
1,90±0,74
1,88±0,72
1,91±0,69
1,98±0,74
2,03±0,66
2,01±0,67
Grup 4
1,16±0,55
0,99±0,44
1,36±0,45
1,72±0,54
1,68±0,60
1,73±0,65
1,62±0,70
1,62±0,60
1,62±0,60
Grup 5
1,16±0,60
1,16±0,54
1,16±0,60
1,36±0,56
1,36±0,60
1,16±0,56
1,16±0,60
1,16±0,54
1,16±0,54
Grup 6
1,16±0,56
1,26±0,60
1,16±0,56
1,16±0,54
1,16±0,56
1,16±0,54
1,26±0,60
1,16±0,56
1,26±0,56
Gelombang P (mV)
Gelombang R (mV)
Keterangan : Pada kolom (perlakuan) sama, * = berbeda nyata (P<0,05), ** = berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan nilai Awal (menit ke-0).
Perubahan amplitudo gelombang R selama teranestesi yang ditunjukkan oleh sgrup 1, 2, dan grup 3 maupun grup 4, 5, dan grup 6 tidak berbeda nyata dengan nilai awal, bahwa depolarisasi yang terjadi pada ventrikel jantung tidak dipengaruhi oleh semua kombinasi anestesi. Kekuatan listrik pada dinding ventrikel jantung yang bersumber dari nodus atrio ventrikel (AV node), berkas his, dan serabut purkintje tidak terpengaruh oleh perubahan aksi potensial pada sistim syaraf pada jantung akibat perlakuan anestesi. Otot jantung mampu berkontraksi sendiri akibat aliran listrik dari nodus sino-atrial sebagai pace maker, nodus atrio-ventrikel, berkas his, dan serabut purkinje. Sedangkan sistim syaraf hanya dapat memodifikasi aliran listrik pada jantung, sehingga perubahan aliran listrik atau aksi potensial pada sistim syaraf akibat perlakuan anestesi belum mampu mengubah kekuatan aliran listrik pada ventrikel jantung yang bersumber dari nodus atrio-ventrikel, berkas his dan serabut purkinje.
Komplek QRS Interval komplek QRS menunjukkan lamanya atau waktu untuk depolarisasi atau kontraksi ventrikel yang dinyatakan dalam detik. Nilai komplek QRS normal pada anjing adalah 0,04 – 0,05 detik. Perubahan komplek QRS yang ditunjukkan oleh grup 1, 2, dan grup 3 maupun grup 4, 5, dan grup 6 tidak berbeda dengan nilai awalnya masing-masing, yaitu 0,04 ± 0,01 detik, seperti ditunjukkan pada Tabel 13. Lama waktu yang diperlukan untuk terjadinya depolarisasi pada ventrikel jantung tidak terpengaruh oleh semua kombinasi anestesi. Perubahan durasi komplek QRS juga tidak menunjukkan pola yang jelas. Perubahan aksi potensial sistim syaraf akibat perlakuan anestesi, tidak mampu memodifikasi aliran listrik pada ventrikel jantung. Otot jantung mampu berkontraksi sendiri akibat aliran listrik dari nodus sino-atrial sebagai pace maker, nodus atrio-ventrikel, berkas his, dan serabut purkinje.
100
Interval PR Interval PR atau PQ adalah waktu yang berlalu antara permulaan eksitasi atrium dan permulaan eksitasi ventrikel atau penjumlahan dari waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul Atrio-Ventricular (AV). Nilai interval PR normal pada anjing adalah 0,06 – 0,13 detik. Gambaran nilai interval PR yang ditunjukkan oleh grup 1 selama teranestesi tidak mengalami perubahan dari nilai awalnya, yaitu 0,09 ± 0,06 detik. Grup 2, 3, 4, 5, dan grup 6 juga menunjukkan nilai interval PR yang tidak berbeda dengan nilai awalnya masing-masing, yaitu 0,10 ± 0,02 detik, 0,12 ± 0,01 detik, 0,08 ± 0,02 detik, 0,08 ± 0,04 detik, dan 0,08 ± 0,04 detik. Data masing-masing grup disajikan pada Tabel 13. Perlakuan preanestesi dan induksi anestesi belum menyebabkan perubahan terhadap waktu depolarisasi atrium dan perlambatan atrio-ventrikel, sehingga nilai durasi depolarisasi antrium dan perlambatan atrio-ventrikel tidak menunjukkan perubahan yang berbeda nyata. Semua perlakuan tidak menyebabkan perubahan terhadap waktu depolarisasi atrium dan perlambatan atrio-ventrikel (AV), sehingga nilai durasi depolarisasi antrium dan perlambatan AV tidak menunjukkan perubahan yang berbeda nyata. Perubahan aksi potensial pada sistim syaraf akibat anestesi, tidak mampu memodifikasi aliran listrik pada dinding atrium jantung.
101
Tabel 13 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II interval PR, komplek QRS, interval QT dan nilai CRT selama perlakuan kombinasi preanestesi atropine sulfate -xylazine HCl atau atropine sulfate -midazolam dan induksi ketamine HCl dan atau propofol pada anjing Jenis
Waktu Pengamatan (menit)
Pengamatan Perlakuan
Interval PR (detik)
Komplek QRS (detik)
Interval QT (detik)
CRT (detik)
Grup 1 Grup 2 Grup 3 Grup 4 Grup 5 Grup 6 Grup 1 Grup 2 Grup 3 Grup 4 Grup 5 Grup 6 Grup 1 Grup 2 Grup 3 Grup 4 Grup 5 Grup 6 Grup 1 Grup 2 Grup 3 Grup 4 Grup 5 Grup 6
0
10
20
30
40
50
60
70
80
0,09±0.06
0,09±0,06
0,06±0,07
0,11±0,07
0,12±0,02
0,12±0,01
0,12±0,01
0,11±0,01
0,09±0,06
0,10±0.02
0.08±0,07
0,09±0,08
0,12±0,02
0,12±0,01
0,11±0,01
0,11±0,01
0,11±0,01
0,11±0,01
0,12±0,01
0,14±0,02
0,15±0,04
0,13±0,02
0,13±0,02
0,13±0,02
0,14±0,02
0,14±0,02
0,13±0,02
0,08±0,02
0,07±0,01
0,07±0,01
0,10±0,02
0,10±0,01
0,10±0,04
0,11±0,01
0,11±0,02
0,11±0,02
0,08±0,04
0,08±0,04
0,08±0,02
0,08±0,01
0,08±0,01
0,08±0,02
0,08±0,04
0,08±0,02
0,08±0,02
0,08±0,04
0,08±0,02
0,09±0,01
0,09±0,04
0,08±0,02
0,08±0,01
0,10±0,01
0,10±0,02
0,10±0,02
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,06±0,01*
0,05±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,06±0,01*
0,05±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,06±0,01*
0,05±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,03±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,21±0,02
0,22±0,01
0,25±0,06
0,23±0,01
0,17±0,12
0,23±0,03
0,18±0,12
0,24±0,12
0,16±0,14
0,20±0,03
0,21±0,01
0,21±0,02
0,21±0,01
0,22±0,02
0,23±0,04
0,24±0,04
0,25±0,03
0,25±0,03
0,20±0,01
0,21±0,01
0,19±0,02
0,20±0,01
0,20±0,12
0,21±0,01
0,22±0,01
0,21±0,01
0,22±0,01
0,17±0,01
0,16±0,02
0,16±0,01
0,20±0,02
0,21±0,02
0,22±0,02
0,23±0,02
0,17±0,01
0,17±0,01
0,17±0,02
0,17±0,01
0,21±0,02
0,22±0,02
0,17±0,01
0,17±0,02
0,17±0,02
0,17±0,01
0,17±0,01
0,17±0,01
0,17±0,01
0,17±0,01
0,17±0,02
0,21±0,01
0,22±0,01
0,17±0,01
0,18±0,02
0,18±0,02
2,0±0,0
2,8±0,5*
2,8±0,5*
2,3±0,5
2,5±0,6
2,3±0,5
2,3±0,5
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,8±0,5*
2,8±0,5*
2,5±0,6
2,5±0,6
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,8±0,5*
2,5±0,6
2,5±0,6
2,3±0,5
2,3±0,5
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,5±0,5
2,3±0,5
2,3±0,5
2,3±0,5
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,5±0,6
2,5±0,6
2,5±0,6
2,5±0,6
2,5±0,6
2,5±0,6
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0 2,5±0,6 2,5±0,6 2,5±0,6 2,0±0,0 2,3±0,5 Keterangan : Pada kolom (perlakuan) sama, * = berbeda nyata (P<0,05), ** = berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan nilai Awal (menit ke-0).
102
Interval QT Interval QT bervariasi dengan denyut jantung, segmen ini menunjukkan waktu yang diperlukan untuk depolarisasi dan repolarisasi ventrikel atau jarak antara permulaan gelombang Q sampai akhir gelombang T. Nilai normal interval QT pada anjing adalah 0,15 – 0,25 detik. Grup 1 menunjukkan perubahan nilai interval QT yang tidak berbeda dengan nilai normalnya, yaitu 0,21 ± 0,02 detik. Grup 2 dan grup 3, maupun grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan perubahan nilai interval QT yang tidak berbeda dengan nilai normalnya masing-masing, yaitu 0,20 ± 0,03 detik, 0,20 ± 0,01 detik, 0,17 ± 0,01 detik, 0,17 ± 0,02, dan 0,17 ± 0,01 detik. Data masing-masing grup disajikan pada Tabel 13. Lama waktu yang diperlukan untuk terjadinya depolarisasi dan repolarisasi pada atrium dan ventrikel jantung tidak terpengaruh oleh semua kombinasi anestesi. Perubahan durasi interval QT juga tidak menunjukkan pola yang jelas. Perubahan aksi potensial sistim syaraf akibat perlakuan anestesi, tidak mampu memodifikasi aliran listrik pada atrium dan ventrikel jantung.
Capillary Refill Time (CRT) Capillary refill time (CRT) adalah kecepatan kembalinya warna membrana mukosa setelah dilakukan penekanan yang lembut dengan jari. Capillary refill time menandakan adanya aliran darah pada jaringan. Nilai CRT yang lama, yaitu lebih dari 2 detik, menandakan pengisian jaringan oleh darah tidak optimal dan aliran darah ke jaringan menurun. Grup 1, 2, dan grup 3 menunjukkan perubahan nilai CRT lebih lama dari pada nilai awalnya pada menit ke-10, selanjutnya semakin cepat mendekati nilai awal sampai menit ke-80. Grup 4, 5, dan grup 6 menunjukkan perubahan nilai CRT selama perlakuan preanestesi dan induksi anestesi yang tidak berbeda dengan nilai awalnya, seperti disajikan pada Tabel 13. Grup 1, 2, dan grup 3 menunjukkan nilai CRT lebih lama pada menit ke-10, selanjutnya menurun mendekati nilai CRT sebelum perlakuan, sedangkan nilai CRT yang ditunjukkan grup 4, 5, dan 6 tidak mengalami perubahan. Perbedaan gambaran nilai CRT antara grup 1, 2, dan 3 dengan grup 4, 5, dan 6 disebabkan karena xylazine
103
HCl. Xylazine HCl
pada kombinasi preanestesi atropine sulfate -xylazine HCl
mempunyai potensi bekerja lebih cepat dibandingkan atropine sulfate , xylazine HCl mempunyai pengaruh yang sangat kuat menurunkan denyut jantung sehingga aliran darah juga menurun. Potensi xylazine HCl yang termasuk golongan α2-adrenergik agonis menyebabkan tertekannya pusat vasomotor di bagian perifer yang menyebabkan vasodilatasi, menurunkan curah jantung, dan menurunkan tekanan darah. Penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh darah perifer dapat menyebabkan meningkatnya nilai CRT (Rossi dan Junqueira 2003; Rand et al. 1996 dalam Kul 2001). Grup 1 yang memperoleh perlakuan preanestesi atropine sulfate-xylazine HCl dan induksi ketamine HCl, menunjukkan waktu induksi yang lama, durasi singkat, dan pemulihan yang lama. Gambaran denyut jantung yang tunjukkan oleh grup 1 adalah menurun pada menit ke-10, segera naik dan stabil sampai akhir anestesi. Respirasi menurun sampai menit ke-20, selanjutnya mendekati nilai awal. Gambaran suhu rektal tidak berbeda dengan grup lainnya, menurun pelan sampai akhir anestesi. Gambaran saturasi oksigen juga turun, tetapi pelan dan stabil. Tekanan darah sistol, diastol, maupun tekanan rata-rata yang ditunjukkan oleh grup 1 mengalami peningkatan pada menit ke-20, 30, dan 40, selanjutnya menurun mendekati normal. Sedangkan nilai ET CO 2 dan nilai EKG yang ditunjukkan oleh grup 1 tidak mengalami perubahan yang berarti selama teranestesi. Grup 2 adalah hewan yang mendapatkan perlakuan preanestesi atropine sulfate-xylazine HCl dan induksi propofol, menunjukkan waktu induksi yang cepat, tetapi durasi juga singkat, dan waktu pemulihan yang lama.
Gambaran denyut
jantung yang ditunjukkan grup 2 juga menurun pada menit ke-10 dan segera naik mendekati nilai awal sampai akhir anestesi. Sedangkan nilai respirasi menurun sampai menit ke-20, selanjutnya naik mendekati nilai awal. Grup 2 menunjukkan penurunan suhu rektal yang sangat tajam, tidak stabil dan mengancam sampai akhir anestesi. Begitu pula saturasi oksigen yang ditunjukkan oleh grup 2 menurun sangat tajam pada menit ke-10 dan 20, selanjutnya meningkat mendekati normal. Gambaran tekanan darah sistol, diastol, dan tekanan darah rata-rata yang ditunjukkan oleh grup
104
2 meningkat pada menit ke-20 sampai 40, selanjutnya menurun mendekati normal. Sedangkan nilai ET CO 2 tidak mengalami perubahan yang berarti, begitu pula gambaran EKG yang ditunjukkan oleh grup 2 tidak mengalami perubahan sepanjang teranestesi. Grup 3 mendapatkan perlakuan
preanestesi atropine sulfate-xylazine HCl
dan induksi kombinasi ketamin HCl-propofol, menunjukkan waktu anestesi paling baik, karena induksi yang cepat, durasi panjang , dan pemulihan singkat. Gambaran denyut jantung yang ditunjukkan oleh grup 3, menurun pada menit ke-10 dan segera meningkat mendekati nilai awal sampai akhir anestesi. Sedangkan nilai respirasinya menurun sampai menit ke-20 dan segera stabil mendekati normal. Begitu juga suhu rektal dan nilai saturasi oksigen yang ditunjukkan grup 3 menurun dengan pelan dan teratur. Grup 3 menunjukkan nilai tekanan darah meningkat sampai menit ke-40 dan segera turun dengan stabil mendekati nilai awal. Nilai ET CO 2 dan EKG yang ditunjukkan oleh grup 3 tidak mengalami perubahan. Grup 4 menerima perlakuan
preanestesi atropine sulfate-midazolam dan
induksi ketamin HCl, menunjukkan waktu anestesi yang tidak terukur, karena hanya mengalami sedasi ringan. Gambaran denyut jantung yang ditunjukkan oleh grup 4 meningkat tajam sampai menit ke-20, selanjutnya menurun sangat lambat sampai akhir anestesi. Nilai respirasi juga meningkat sampai menit ke-20, selanjutnya menurun dan stabil. Sedangkan suhu rektal dan saturasi oksigen yang ditunjukkan oleh grup 4 menurun dengan pelan dan teratur. Begitu pula tekanan darah menunjukkan penurunan sampai menit ke-50, kemudian naik menuju normal. Sedangkan nilai ET CO 2 tidak terukur karena hanya mengalami sedasi ringan. Grup 4 juga menunjukkan nilai EKG yang tidak berubah. Grup 5 adalah kelompok hewan yang memperoleh perlakuan preanestesi atropine sulfate-midazolam dan induksi propofol. Waktu anestesi yang ditunjukkan oleh grup 5 juga tidak dapat diukur, karena hanya sedasi ringan dan tidak memenuhi kriteria teranestesi. Gambaran denyut jantungnya menurun sampai akhir anestesi, sedangkan nilai respirasinya menurun sampai menit ke-20 dan selanjutnya meningkat normal. Suhu rektal dan nilai saturasi oksigen yang ditunjukkkan oleh grup 5 turun
105
teratur dan stabil, tekanan darah turun sampai menit ke-50, selanjutnya naik mendekati normal. Grup 5 menunjukkan nilai ET CO 2 yang tidak dapat diukur, karena hanya mengalami sedasi ringan. Begitu pula nilai EKG oleh grup 5 tidak mengalami perubahan sepanjang perlakuan anestesi. Grup 6 merupakan hewan yang diperlakukan dengan preanestesi atropine sulfate-midazolam dan induksi kombinasi ketamin HCl-propofol, menunjukkan nilai induksi singkat, tetapi durasinya juga singkat, dan pemulihan cepat. Gambaran denyut jantung yang ditunjukkan oleh grup 6 meningkat sangat tajam sampai menit ke-20, selanjutnya menurun tajam sampai akhir perlakuan. Gambaran respirasi yang ditunjukkan oleh grup 6 tidak stabil, meningkat tajam pada menit ke-10, turun tajam, dan kembali meningkat sangat jatam pada menit ke-40 sampai 50. Suhu rektal dan nilai saturasi oksigen yang ditunjukkan grup 6 turun dengan teratur dan tidak membahayakan. Tekanan darah yang ditunjukkan oleh grup 6 menurun sampai menit ke-50, kemudian naik mendekati normal. Grup 6 juga menunjukkan nilai ET CO 2 dan EKG yang tidak berubah. Grup 1, 2, dan grup 3, yang dikenakan kombinasi preanestesi atropinexylazine menunjukkan hasil lebih baik dari pada grup 4, 5, dan 6, yang dikenakan kombinasi atropine-midazolam. Pemberian preanestesi atropine-midazolam pada anjing hanya menghasilkan sedasi ringan dan hewan tidak tertidur, sedangkan kombinasi atropine-xylazine menghasilkan sedasi yang baik dan hewan mengalami relaksasi sempurna. Potensi midazolam sebagai preanestesi pada anjing terlihat sangat lemah, hal ini disebabkan karena kemampuan midazolam untuk menghasilkan anestesi bedah yang memadai pada anjing tidak cukup, karena midazolam yang diberikan secara intramuskular pada anjing mempunyai bioavailibilitas tidak baik. Grup 1, 2, dan 3, menunjukkan penurunan denyut jantung pada menit ke-10, sedangkan grup 4, 5, dan 6, menunjukkan peningkatan denyut jantung. Xylazine mempunyai potensi bekerja lebih cepat dibandingkan atropin, sehingga xylazine berpengaruh sangat kuat menurunkan denyut jantung. Potensi xylazine yang termasuk golongan α2-adrenergik agonis menyebabkan menurunnya transmisi simpatik dari susunan syaraf pusat, tertekannya pacemaker secara langsung, tertekannya konduksi,
106
terhambatnya pelepasan noradrenalin dari ujung syaraf simpatik, peningkatan pelepasan acetylcholine dari syaraf parasimpatik, dan meningkatnya tonus vagal (Rossi dan Junqueira 2003). Xylazine menyebabkan aktivitas simpatik menurun dan aktivitas vagal meningkat (Rand et al. 1996 dalam Kul 2001). Sedangkan midazolam mempunyai potensi lebih sedikit bekerja mempengaruhi jantung, sehingga potensi atropin untuk meningkatkan denyut jantung terlihat sangat nyata. Midazolam digunakan untuk mencegah hipertonus otot, meningkatkan efek sedasi, dan menghasilkan efek hipnotis (Muir et al. 2000). Induksi anestesi dengan ketamine, propofol, atau kombinasi ketaminepropofol menghasilakn respon fisiologi yang berbeda. Grup 3 dan 6 yang dikenakan perlakuan induksi dengan kombinasi ketamine-propofol menunjukkan respon fisiologi yang lebih baik dari pada grup lainnya yang dikenakan perlakuan induksi ketamine atau propofol secara tunggal tanpa kombinasi. Kombinasi ketamine HCl dan propofol sangat baik digunakan sebagai induksi anestesi pada anjing (Larche et al. 2000) dan pada manusia dengan hasil anestesi dan respon klinis yang baik (Mayer et al. 1990; Guit et al. 1991; Palermo et al. 1991; Schuttler et al. 1991; Hernandez et al. 1999, dalam Intelisano et al. 2008).
Kombinasi ketamine HCl-propofol
menghasilkan pengaruh sinergis positif dibandingkan tanpa dikombinasikan. Kombinasi ketamine HCl-propofol dapat menurunkan 50 sampai 60% dosis anestesi dibandingkan tanpa dikombinasikan (Hui et al. 1995; Watkins et al. 1987; Intelisano et al. 2008). Grup 2 dan 5 yang dikenakan perlakuan induksi dengan propofol, menunjukkan penurunan respirasi, suhu, serta tertekannya saturasi oksigen dan tekanan darah. Propofol akan menurunkan denyut jantung dan tekanan darah (Scarrone et al. 1990; Hui et al. 1995, dalam Intelisano et al. 2008). Propofol menurunkan tekanan darah arteri karena menurunnya tekanan darah perifer dan menurunnya kontraksi otot jantung (Gauss et al. 1991; Pagel dan Waritier 1993). Induksi anestesi dengan propofol juga akan menurunkan respirasi, tetapi bila dikombinasikan dengan ketamine HCl (Intelisano et al. 2008).
mampu mengurangi tertekannya respirasi
107
Grup 1 menunjukkan peningkatan tekanan darah yang tidak stabil dan penurunan CO 2 respirasi. Grup 2 menunjukkan tertekannya respirasi, suhu, saturasi oksigen, dan peningkatan tekanan darah yang tidak stabil. Sedangkan grup 3 menunjukkan nilai fisiologis yang lebih stabil terhadap jantung, respirasi, suhu, saturasi oksigen, CO 2 , EKG, dan nilai CRT, hanya tekanan darah yang meningkat tidak stabil. Grup 4 menunjukkan peningkatan denyut jantung dan tertekannya tekanan darah. Grup 5 menunjukkan penurunan tekanan darah. Grup 6 menunjukkan peningkatan denyut jantung dan respirasi yang tidak stabil, serta tertekannya tekanan darah. Grup 1, 2, dan 3 menunjukkan komponen anestesi yang sempurna, yaitu sedasi, analgesi, dan relaksai yang baik, sedangkan grup 4, 5, dan 6, menunjukkan komponen anestesi yang tidak sempurna karena hanya mengalami sedasi ringan. Dengan demikian, grup 3 yang mendapatkan perlakuan preanestesi atropine sulfatexylazine HCl dan induksi kombinasi ketamin HCl-propofol menunjukkan kelompok perlakuan terpilih karena menunjukkan hasil anestesi dengan kualitas terbaik dan respon fisiologi lebih stabil. Waktu anestesinya paling baik, karena induksi yang cepat, durasi panjang, dan pemulihan singkat. Begitu pula respon fisiologisnya selama teranestesi menunjukkan kestabilan, karena denyut jantung dan
respirasi
mengalami perubahan yang tidak jauh menyimpang dari nilai normal, suhu rektal dan saturasi oksigen menunjukkan penurunan tetapi stabil, begitu pula tekanan darah, ET CO 2 , CRT, dan EKG tidak menunjukkan perubahan yang membahayakan. Hasil penelitian tahap satu menunjukkan bahwa preanestesi terpilih adalah kombinasi atropine sulfate dosis 0,03 mg/kgBB-xylazine HCl dosis 2 mg/kgBB dan induksi anestesi terpilih adalah kombinasi ketamine HCl dosis 4 mg/kgBB-propofol dosis 4 mg/kgBB, karena menghasilkan preanestesi dan induksi anestesi yang baik, lembut, relaksasi otot yang baik, menghasilkan pengaruh yang tidak bermakna terhadap sistem respirasi dan kardiovaskuler. Kombinasi induksi anestesi dengan ketamine HCl-propofol menghasilkan berpengaruh baik terhadap kestabilan hemodinamik pada anjing. Hasil ini sesuai juga dengan penelitian yang dilakukan Intelisano et al. (2008), bahwa penggunaan kombinasi ketamine HCl dan propofol
108
secara TIVA pada anjing menghasilkan pengaruh yang baik terhadap kestabilan hemodinamik.
Penelitian Tahap Kedua Penelitian tahap kedua merupakan tahap pemeliharaan status teranestesi untuk mendapatkan kebakuan kombinasi dan dosis ketamine HCl
dan propofol untuk
pemeliharaan status teranestesi dengan metode infusi gravimetrik pada anjing. Hewan coba diberikan kombinasi preanestesi dan induksi dari hasil penelitian terpilih tahap pertama. Anjing dipreanestesi atropine sulfate dan xylazine HCl dosis 0,03 mg/kgBB dan 2 mg/kgBB secara intramuskuler, setelah 10 menit dilakukan induksi secara intravena dengan ketamine HCl dan propofol dosis masing-masing 4 mg/kg BB, dan 15 menit kemudian dilanjutkan dengan pemberian kombinasi campuran ketaminepropofol dengan metode tetes infusi intravena secara gravimetrik sampai menit ke120. Dosis campuran ketamine-propofol sebesar 0,2 mg/kg/menit, 0,4 mg/kg/menit, dan dosis 0,6 mg/kg/menit masing-masing pada grup I, II, dan grup III, sedangkan grup IV diinfusi hanya dengan propofol dosis 0,4 mg/kg BB/menit. Sebagai grup V, hewan dianestesi secara inhalasi dengan isofluran 1-2%. Pengukuran parameter dilakukan sebelum perlakuan atau menit ke-0 dan setiap 10 menit sampai menit ke140. Pengamatan dilakukan terhadap parameter seperti penelitian tahap pertama. Waktu Anestesi Grup I menunjukkan waktu induksi sekitar 2,50 ± 0,58 menit, durasi anestesi 115,50 ± 6,03 menit, waktu sadar atau waktu siuman 11,25 ± 5,68 menit, dan waktu pemulihan 29,25 ± 7,89 menit. Grup II menunjukkan waktu induksi mencapai 2,25 ± 0,50 menit, durasi anesthesia sekitar 118,00 ± 12,94 menit, waktu siuman mendekati 11,25 ± 5,68 menit, dan waktu pemulihan 43,50 ± 32,36 menit. Grup III menunjukkan waktu induksi mencapai 2,50 ± 0,58 menit, durasi anesthesia 113,33 ± 5,77 menit, waktu sadar atau waktu siuman 9,75 ± 5,12 menit, dan waktu pemulihan 25,00 ± 1,73 menit. Grup IV menunjukkan waktu induksi sekitar 2,50 ± 0,58 menit, durasi anestesi 117,00 ±
1,42 menit, waktu siuman mendekati 7,50 ± 2,89 menit,
109
dan waktu pemulihan 27,50 ± 20,62 menit. Grup V menunjukkan waktu induksi 2,00 ± 0,00 menit, durasi sekitar 114,75 ±
3,30 menit, waktu sadar atau waktu siuman
4,25 ± 1,50 menit, dan waktu pemulihan kurang lebih 16,25 ± 4,79 menit. Data tiap grup ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) waktu induksi, durasi, sadar, dan waktu pemulihan selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing Perlakuan
Waktu (menit)
Anestesi
Induksi
Durasi
Sadar/Siuman
Pemulihan
Grup I
2,50 ± 0,58
115,50 ± 6,03
11,25 ± 5,68
29,25 ± 7,89
Grup II
2,25 ± 0,50
118,00 ± 12,94
9,75 ± 5,12
43,50 ± 32,36
Grup III
2,50 ± 0,58
113,33 ± 5,77
5,33 ± 4,04
25,00 ± 1,73
Grup IV
2,50 ± 0,58
117,00 ± 1,42
7,50 ± 2,89
27,50 ± 20,62
Grup V
2,00 ± 0,00
114,75 ± 3,30
4,25 ± 1,50
16,25 ± 4,79
Grup I menunjukkan waktu induksi yang tidak berbeda dengan grup V sebagai kontrol. Begitu pula grup II, III, dan IV menunjukkan waktu induksi yang tidak berbeda dengan kontrol grup V. Grup I, II, III, dan grup IV juga menunjukkan durasi yang tidak berbeda dengan grup V, masing-masing 115,50 ± 6,03 menit, 118,00 ± 12,94 menit, 113,33 ± 5,77 menit, 117,00 ± 1,42 menit, dan 114,75 ± 3,30 menit. Waktu sadar atau waktu pulih yaitu waktu yang dihitung dari dicabutnya perlakuan infusi gravimetrik sampai hewan menunjukkan tanda-tanda kembali sadar, grup I, II, III, dan grup IV tidak berbeda dengan kontrol grup V. Begitu pula waktu pemulihan perlakuan infusi gravimetrik pada grup I, II, III, dan IV menunjukkan tidak adanya perbedaan dengan grup V, masing-masing 29,25 ±7,89 menit, 43,50 ± 32,36 menit, 25,00 ± 1,73 menit, 27,50 ± 20,62 menit, dan 16,25 ± 4,79 menit. Semua grup menunjukkan waktu induksi yang tidak berbeda karena preanestesi dan induksi yang digunakan sama yaitu preanestesi atropine sulfate-xylazine HCl dan induksi ketamine-propofol. Sedangkan durasi, waktu siuman, dan waktu pemulihan yang ditunjukkan oleh semua grup tidak ada perbedaan, artinya pemeliharaan status teranestesi secara gravimetrik dengan kombinasi ketamine-propofol menunjukkan
110
hasil yang tidak berbeda dengan anestesi inhalasi isofluran. Kombinasi campuran ketamine-propofol mempunyai potensi yang baik untuk pemeliharaan status teranestesi. Pemeliharaan status teranestesi secara infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol menghasilkan kualitas waktu anestesi yang tidak berbeda dengan anestesi inhalasi isofluran. Kombinasi ketamine HCl -propofol dapat digunakan sebagai alternatif terhadap anestesi inhalasi isofluran. Kombinasi ketamine HCl-propofol memberikan pengaruh yang positif terhadap waktu anestesi. Kombinasi ketamine HCl-propofol menghasilkan induksi cepat dan lembut, waktu anestesinya lama, waktu sadar dan waktu pemulihan juga cepat dan lembut. VanNatta dan Rex (2006), Holmeister et al. (2008), dan Muhammad et al. (2009), menyatakan bahwa kombinasi ketamine HCl dan propofol dapat menghindari depresi respirasi, waktu pemulihan yang cepat dan lembut, induksi lembut, dan fungsi psikomotornya cepat kembali saat pemulihan. Propofol menghasilkan pengaruh sedasi yang kuat dan anestesi yang baik dengan mekanisme bekerja pada reseptor GABA A dan digunakan sebagai induksi anestesi karena mempunyai mula kerja dan waktu pengeluaran dari tubuh yang cepat (Stoelting 1999). Ketamine HCl menghasilkan pengaruh analgesia yang kuat dan anestesi dengan mekanisme kerja yang berbeda dengan propofol, mekanisme ketamine HCl
menghasilkan analgesia dan anestesi bekerja secara
antagonis dengan reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan mampu meningkatkan pengaruh anestesi apabila dikombinasikan dengan propofol (Lerche et al. 2000).
Frekuensi Denyut Jantung Grup I menunjukkan pola perubahan denyut jantung yang menurun pada menit ke-10, kemudian naik pada menit ke-20, dan kembali turun sampai menit ke140. Grup II menunjukkan penurunan denyut jantung ringan pada menit ke-10 dan meningkat ringan pada menit ke-20, selanjutnya menurun mulai menit ke-20 sampai menit ke 140 tetapi tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan nilai awal. Sedangkan grup III menunjukkan pola perubahan denyut jantung yang tidak stabil dan meningkat sangat tajam pada menit ke-50 sampai 80, selanjutnya menurun mendekati nilai awal.
111
Grup IV menunjukkan penurunan mulai menit ke-20 sampai menit ke 140, menurun tajam dan berbeda nyata (P<0,05) terjadi pada menit ke-60 dan menurun sangat tajam dan berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan nilai awal terjadi pada menit ke-70 sampai menit ke-140. Sedangkan grup V menunjukkan peningkatan dari menit ke-10 sampai menit ke-40 dan menurun dari menit ke-40 sampai menit ke-140, seperti ditunjukkan pada Tabel 15 dan Gambar 22. Denyut Jantung (X/menit)
180
AXKP-K2P2 Grup I AXKP-K4P4 Grup II Grup III AXKP-K6P6 Grup IV AXKP-P4 Grup V AXKP-I
160 140 120 100 80 60 40 20
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Gambar 22 Perubahan rata-rata denyut jantung selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing.
Grup IV adalah kelompok hewan yang mendapat perlakuan pemeliharaan status teranestesi melalui tetes infusi gravimetrik hanya dengan propofol dosis 0,4 mg/kg/menit,
meunjukkan bahwa terjadi penurunan denyut jantung yang sangat
nyata pada menit ke-70 sampai menit ke-140. Sedangkan Grup I dan grup II yang memperoleh perlakuan tetes infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HClpropofol dosis 0,2 mg/kg/menit dan dosis 0,4 mg/kg/menit, menunjukkan perubahan denyut jantung yang stabil dan tidak berbeda dengan grup V yang memperoleh perlakuan anestesi isofluran (1%). Tetapi grup III yang mendapat perlakuan tetes infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol dosis 0,6 mg/kg/menit menunjukkan peningkatan denyut jantung yang tajam dan terjadi pola denyut jantung yang tidak stabil. Gambaran denyut jantung yang ditunjukkan oleh grup I, II, dan V
112
lebih baik dan lebih stabil dari pada gambaran yang ditunjukkan grup II dan grup IV, memberikan kejelasan bahwa faktor kombinasi dan perbedaan dosis berperan sangat penting dalam menjaga kestabilan denyut jantung. Perbedaan gambaran denyut jantung ini membuktikan propofol menimbulkan pengaruh yang tidak nyata terhadap denyut jantung anjing (Mohamadnia et al. 2008). Belo et al. (1994), menyatakan bahwa propofol menyebabkan penurunan tekanan darah tetapi tidak menyebabkan perubahan pada denyut jantung. Sehingga infusi dengan propofol saja akan menyebabkan penurunan denyut jantung adalah akibat pengaruah preanestesi xylazine HCl sangat kuat menurunkan denyut jantung dan pengaruh preanestesi atropine sulfate yang diberikan secara intravena sudah hilang sampai menit ke-50. Ko et al. (2001) juga menyebutkan bahwa penambahan atropine sulfate pada anjing yang mengalami sedasi akibat anestesi, akan sangat efektif mencegah bradikardia selama 50 menit. Infusi gravimetrik dengan kombinasai ketamine HCl-propofol dosis 0,2 mg/kg/menit dan dosis 0,4 mg/kg/menit mampu mencegah penurunan denyut jantung, tetapi dengan dosis 6 mg/kg/menit menyebabkan peningkatan denyut jantung yang tajam dan tidak stabil akibat dosis ketamine HCl dan propofol yang tinggi. Pemeliharaan status teranestesi melalui tetes infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol dosis 0,2-0,4 mg/kg/menit memberikan pengaruh yang baik terhadap denyut jantung, karena tidak menyebabkan perubahan yang nyata terhadap denyut jantung dan tetap stabil sampai akhir anestesi. Tetapi dengan kombinasi ketamine HCl -propofol dosis lebih tinggi, yaitu 0,6 mg/kg/menit, menyebabkan peningkatan denyut jantung yang tajam dan terjadi pola denyut jantung yang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena pengaruh anestesi dan efek samping propofol sangat berhubungan dengan dosis dan keuntungan penggunaaan propofol dapat diperoleh dengan cara mengkombinasikan dengan agen anestesi lain seperti ketamine HCl
(McKelvey dan Hollingshead 2003). Ketamine HCl
berperan
menimbulkan analgesia dan mempunyai tempat kerja yang berbeda dengan propofol, mekanisme ketamine HCl
menghasilkan analgesia dan anestesi bekerja secara
antagonis dengan reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan mempunyai pengaruh antinociseptik, serta mampu meningkatkan pengaruh anestesi apabila dikombinasikan
113
dengan propofol (Lerche et al. 2000). Afinitas ketamine HCl
sangat kuat pada
reseptor NMDA, sehingga menghasilkan pengaruh analgesia yang sangat kuat (Stawicki 2007). Antagonis NMDA akan menghambat refleks nosiseptik spinal, menghambat konduksi rasa sakit ke talamus dan daerah kortek. Penghambatan reseptor NMDA dengan dosis ketamine HCl
yang rendah akan menghasilkan
pengaruh analgesik yang baik dan efek samping yang minimal (Intelisano et al. 2008). Adams (2001) menyebutkan bahwa aktivitas ketamin dapat secara langsung menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan (uptake) catecholamine terutama norepineprin. Ketamin dapat menghambat efferen vagal atau vagolitik melalui aktivitas pada syaraf
pusat.
Terhadap sistem
kardiovaskuler, ketamin menyebabkan peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, peningkatan cardiac output, peningkatan tekanan vena (Cullen 1997). Sedangkan propofol berperan menghasilkan sedasi dan relaksasi yang kuat. Mekanisme propofol menghasilkan sedasi dan relaksai, akan bekerja dan berikatan pada reseptor GABA A pada membran sel syaraf
pada otak khususnya reseptor
GABA A subtipe ß3 pada transmembran (TM)2 dan TM3 bagian N265 (ßN265) sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran dan pada reseptor GABA A subtipe ß2 (50% pada SSP) akan menyebabkan sedasi. Propofol menghasilkan pengaruh menghilangkan kesadaran dan pelemas otot yang baik (Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007).
Respirasi Grup I menunjukkan penurunan respirasi dari menit ke-10 sampai menit ke140, tetapi tidak berbeda dengan nilai awal. Grup II juga menunjukkan penurunan respirasi dari menit ke-10 sampai menit ke-40, kemudian meningkat mendekati nilai normal. Grup III menunjukkan pola perubahan respirasi yang tidak stabil, menurun sampai menit ke-20, kemudian meningkat tidak stabil, dan meningkat sangat tajam pada menit ke-90, kemudian turun tajam dan kembali meningkat dengan tajam sampai menit ke-140. Sedangkan grup IV menunjukkan nilai respirasi yang mengalami penurunan tajam pada menit ke-40 sampai menit ke70, selanjutnya
114
meningkat mendekati nilai awal sampai menit ke-140. Grup V menunjukkan perubahan nilai respirasi yang stabil dan tidak berbeda dengan grup I dan II. Data tiap grup ditunjukkan pada Tabel 15 dan Gambar 23. 50
Grup I AXKP-K2P2 Grup II AXKP-K4P4 Grup III AXKP-K6P6 Grup IV AXKP-P4 AXKP-I Grup V
45
Respirasi (X/menit)
40 35 30 25 20 15 10 5
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
Waktu (menit) Gambar 23 Perubahan rata-rata respirasi selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing.
Grup IV yang menerima perlakuan pemeliharaan status teranestesi melalui tetes infusi gravimetrik hanya dengan propofol dosis 0,4 mg/kg/menit, menunjukkan penurunan respirasi yang sangat tajam dan nyata pada menit ke-40 sampai menit ke70. Sedangkan grup I dan II yang menerima perlakuan masing-masing dengan tetes infusi gravimetrik kombinasi ketamine HCl-propofol dosis 0,2 mg/kg/menit dan kombinasi ketamine HC -propofol dosis 0,4 mg/kg/menit, menunjukkan nilai respirasi yang stabil dan tidak mengalami perubahan dari nilai awalnya. Begitu pula dengan grup V yang mendapat peralakuan anestesi isofluran (1%), juga menunjukkan nilai respirasi yang stabil dan tidak mengalami perubahan yang nyata terhadap nilai awal. Sedangkan grup III yang mendapat perlakuan kombinasi ketamine HClpropofol dosis 0,6 mg/kg/menit, menunjukkan nilai respirasi yang menurun dan tidak stabil sampai menit ke-40 selanjutnya meningkat tajam dan tidak stabil sampai akhir anestesi. Gambaran nilai respirasi yang ditunjukkan oleh grup I, II, dan grup V lebih stabil dari pada gambaran yang ditunjukkan oleh grup III dan IV, memberikan
115
kejelasan bahwa faktor kombinasi dan besarnya dosis berperan penting dalam menjaga stabilitas respirasi. Propofol mempunyi molekul mirip alkohol, melekulnya akan bekerja dan berikatan pada reseptor GABA A pada membran sel saraf pada otak khususnya reseptor GABA A subtipe ß3 (pada transmembran (TM)2 dan TM3 bagian N265 (ßN265)) sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran (unconciousness) dan pada reseptor GABA A subtipe ß2 (50% pada SSP) akan menyebabkan sedasi. Propofol menghasilkan pengaruh menghilangkan kesadaran dan pelemas otot yang baik, menyebabkan hipotensi arterial, bardikardial, depresi respirasi terutama apabila diberikan secara cepat dengan dosis yang tinggi (Franks 2008; Miler 2010; Stawicki 2007). Subtipe ß3 yang terdapat pada reseptor GABA A juga merespon terjadinya depresi respirasi akibat etomidat dan propofol pada SSP (Henschel et al .2008). Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan (Stawicki 2007). Propofol secara tunggal menyebabkan apnea dan kombinasi
ketamine
HCl-propofol
mampu
mengurangi
tekanan
respirasi
dibandingkan hanya dengan propofol saja (Maddison et al. 2002; Andrews et al. 1997; Mohamadnia et al. 2008). Kombinasi ketamine HCl -propofol dengan dosis yang tinggi sekitar 0,6 mg/kg/menit menyebabkan respirasi yang tidak stabil karena kompensasi respirasi yang dilakukan akibat ketamine HCl dosis tinggi menyebabkan meningkatnya denyut jantung yang lebih kuat serta propofol yang sangat menekan respirasi, sehingga terjadi naik turun respirasi yang tajam dan tidak stabil. seperti ditunjukkan oleh grup III.
116
Tabel 15 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) denyut jantung, frekuensi respirasi, suhu rektal dan nilai saturasi O 2 selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing Jenis Pengamatan
Perlakuan Grup I
Waktu Pengamatan (menit) 60 70 80
0
10
20
30
40
50
100
110
120
130
140
118± 5
84±35
111±36
95±45
92±31
93±22
86±22
82±17
78±17
75±17*
76±17*
79±15
76±20*
68±16*
73±14*
Grup II Denyut Jantung (x/menit) Grup III
108± 20
101±48
105±19
83±22
85±12
80± 2
80±20
87±24
87±23
88±22
86±26
84±25
87±28
74±25
83±24
110±19
59± 8*
101±33
95±33
94±16
101±22
109±14
105±17
128±29
94±31
98±15
84±28
78±34
87±12
75±29
Grup IV
121±22
65±27**
115± 7
107±29
96±14
89± 5
79±21*
75±17**
72±17**
63±16**
62±21**
58±13**
60±10**
60±11**
71±21**
Grup V
112±19
47±17**
84±19
104± 5
108±15
94±18
81±18
75±13
74± 9*
65± 9*
65± 8*
64± 9*
85±24
83±38
86±34
Grup I
19± 3
19±10
15±10
14± 8
15±10
13± 9
13± 6
13± 5
15± 7
14± 7
14± 7
14± 5
14± 3
16± 7
16± 6
Grup II
21± 7
13± 5
12± 4
11± 5
10± 6
11± 6
13± 6
15±11
14±10
16±10
17±13
18±11
16±10
12± 4
18± 6
Grup III
16± 6
18± 5
13± 3
18± 5
13± 6
18± 8
14± 8
17±10
18± 9
34±23
16±13
28± 6
26±10
19±13
28± 4
Grup IV
23± 6
13± 5
16±12
11± 3
10± 3*
10± 4*
11± 3*
12± 3
14± 3
16± 3
16± 2
21±13
16± 8
14± 6
Respirasi (x/menit)
Suhu Rektal (oC)
Saturasi O 2 (%)
9± 4*
90
Grup V
20±10
18± 4
10± 3*
11± 3
12± 1
13± 1
14± 1
14± 3
15± 2
14± 4
14± 4
13± 6
17± 7
18± 4
17± 4
Grup I
39,0±0,4
38,8±0,5
38,3±1,2
38,8±0,8
38,7±0,8
38,6±0,7
38,4±0,7
38,3±0,7
38,2±0,7
38,1±0,7
38,0±0,7
37,9±0,7
37,7±0,8*
37,4±0,9*
37,4±0,9*
Grup II
38,3±0,2
38,0±0,5
37,5±0,7
37,6±1,0
37,4±1,0
37,3±1,1
37,1±1,0
36,9±0,9
36,8±0,9
36,5±1,0
36,4±1,1*
36,3±1,1*
36,0±1,4*
35,8±1,5*
35,6±1,8**
Grup III
38,8±0,3
38,9±0,2
38,6±0,3
38,5±0,3
38,3±0,3
38,1±0,2
37,9±0,2
37,7±0,3*
37,4±0,3** 37,2±0,4** 37,1±0,5** 36,7±0,7** 36,8±1,1** 36,7±1,2** 36,6±1,3**
Grup IV
38,4±1,4
38,9±0,6
38,8±0,6
38,6±0,5
38,4±0,5
38,2±0,5
38,0±0,6
37,8±0,6
37,6±0,6
Grup V
39,0±0,3
38,9±0,2
38,8±0,5
38,6±0,5
38,4±0,3** 38,2±0,2** 38,0±0,2** 37,8±0,1** 37,6±0,1** 37,4±0,1** 37,3±0,0** 37,1±0,1** 37,1±0,1** 37,0±0,2** 36,9±0,2**
Grup I
96±2
95±2
85±23
86±6
86±5
86± 9
86± 5
87± 5
92± 3
93± 3
93± 2
93± 2
94± 2
95± 2
96± 2
Grup II
97±1
95±2
89± 4
89±5
91±5
92± 6
93± 2
93± 2
82±21
83±21
83±22
91± 5
89±10
93± 3
96± 1
Grup III
97±2
94±4
79± 8
85±6
92±2
74±21
75±23
73±29
71±27
74±29
73±29
74±29
76±31
76±32
78±33
Grup IV
97±2
96±2
85± 8*
90±0
91±6
89± 8
89± 8
86±10*
87± 9
91± 6
94± 4
95± 3
95± 3
95± 3
95± 3
Grup V
97±1
91±6
87± 3
88±5
88±3
92± 3
97± 1
96± 2
96± 2
95± 2
93± 3
88±12
86±10*
91± 9
95± 5
37,4±0,6
37,2±0,6
37,0±0,6** 36,9±0,5** 36,6±0,6** 36,4±0,5**
Keterangan : Semua Grupdi premedikasi Atropine sulfate (0,03mg/kgBB),Xylazine HCl (2mg/kgBB),Ketamine HCl (4mg/kgBB),Propofol(4mg/kgBB). Grup I, II, dan grup III masing-masing diinfusi dengan Ketamine HCl -Propofol (@0,2mg/kgBB/menit), Ketamine HCl -Propofol (@0,4mg/kgBB/menit), dan Ketamine HCl -Propofol 0,6mg/kgBB/menit), Grup IV dengan Propofol(0,4mg/kgBB/menit), dan grup V dengan Isofluran (1%). Pada kolom (perlakuan) sama, * = berbeda nyata (P<0,05), ** = berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan nilai awal (menit ke-0).
117
Suhu Rektal Grup I menunjukkan penurunan suhu rektal mulai menit ke-10 sampai menit ke-140, penurunan suhu terlihat berbeda nyata dengan nilai awal pada menit ke-120 sampai menit ke-140. Grup II juga menunjukkan penurunan suhu rektal mulai menit ke-10 sampai menit ke-140 , tetapi menurun berbeda sangat nyata dengan nilai awal hanya pada menit ke-140. Grup III menunjukkan penurunan suhu rektal yang nyata mulai menit ke-80 sampai menit ke-140. Sedangkan grup IV menunjukkan penurunan suhu rektal yang sangat nyata pada menit ke-110 sampai menit ke-140. Bahkan pada grup V menunjukkan penurunan suhu yang berbeda sangat nyata dengan nilai awal mulai menit ke-40 sampai menit ke-140. Data tiap grup disajikan pada Tabel 15 dan Gambar 24. 41,00
Grup I AXKP-K2P2 Grup II AXKP-K4P4 Grup III AXKP-K6P6 Grup IV AXKP-P4 AXKP-I Grup V
40,00
Suhu ( C)
39,00 38,00 37,00 36,00 35,00 34,00 33,00
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Gambar 24 Perubahan rata-rata suhu rektal selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing.
Gambaran suhu rektal yang ditunjukkan oleh grup I, II, III, dan grup IV, maupun grup V, semakin lama dilakukan anestesi, terjadi penurunan suhu rektal semakin tajam. Nilai suhu rektal menurun mulai menit ke-10 sampai akhir anestesi, memperlihatkan bahwa dalam keadaan teranestesi, laju metabolisme tubuh akan menurun sehingga proses pembentukan energi tubuh yang menghasilkan panas juga
118
akan menurun. Xylazine HCl
dan propofol menyebabkan sedasi, penurunan
metabolisme, relaksasi otot dan tertekannya susunan syaraf pusat serta menyebabkan penekanan termoregulasi yang lebih lama (Rossi dan Junqueira 2003). Pemeliharaan status teranestesi melalui infusi gravimetrik dengan propofol maupun kombinasi ketamine HCl-propofol dan perbedaan dosis pemberian, menyebabkan penurunan suhu yang semakin tajam apabila pemberiannya dilakukan semakin lama. Perbedaan kombinasi dan dosis tidak menunjukkan perubahan suhu yang berbeda. Propofol menyebabkan penurunan cardiak output, penurunan tekanan darah, terjadi fase dilatasi arteri dan vena, dan menyebabkan relaksasi pembuluh darah sehingga menyebabkan penurunan suhu tubuh semakin rendah (Karsli et al. 1999).
Propofol mempunyai potensi mendepresi respirasi dan menyebabkan
penurunan metabolik (Seymour dan Novakovski 2007) sehingga menyebabkan penurunan suhu tubuh yang lebih rendah. Faktor lain sebagai penyebab hilangnya panas tubuh adalah periode anestesi yang panjang dan penempatan hewan diatas meja operasi stainles steel dan ruangan operasi yang menggunakan pendingin ruangan (airconditioning) dengan pengaturan suhu yang sangat rendah (24oC) (Warren 1983, Muir et al. 2000). Periode anestesi lama lebih dari 30 menit dapat menyebabkan penurunan suhu tubuh lebih tajam (Warren 1983; Muir et al. 2000). Penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi juga dapat disebabkan oleh kehilangan panas akibat produksi yang menurun, penekanan pada susunan syaraf pusat, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak lingkungan (Muir et al. 2000).
Saturasi Oksigen (O 2 ) Nilai saturasi oksigen yang ditunjukkan oleh grup I menurun sampai menit ke-20, selanjutnya meningkat mendekati nilai awal sampai menit ke-140. Begitu juga grup II menunjukkan nialai saturasi oksigen yang menurun sampai menit ke-20, kemudian meningkat, dan menurun pada menit ke-80, kemudian kembali meningkat mendekati nilai normal sampai menit ke-140. Tetapi grup III menunjukkan nilai saturasi oksigen yang sangat tertekan, terjadi penurunan yang sangat tajam mencapai
119
75% mulai menit ke-50, terus tertekan berada di bawah normal, hanya mengalami sedikit peningkatan sampai akhir anestesi. Grup IV menunjukkan nilai saturasi oksigen juga sangat tertekan, terjadi penurunan tajam pada menit ke-20 dan mulai meningkat pada menit ke-80 sampai akhir anestesi. Sedangkan grup V menunjukkan nilai saturasi yang lebih stabil, hanya terjadi penurunan yang nyata pada menit ke120. Data masing-masing grup disajikan pada Tabel 15 dan Gambar 25. Grup I AXKP-K2P2 Grup II AXKP-K4P4 Grup III AXKP-K6P6 Grup IV AXKP-P4 Grup V AXKP-I
120
Saturasi O2 (%)
110 100 90 80 70 60 50 40
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
Waktu (menit)
Gambar 25 Perubahan rata-rata saturasi oksigen selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol (AXKP) dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl (K) dan propofol(P) pada anjing.
Penurunan saturasi oksigen pada hewan yang teranestesi disebabkan karena obat-obat anestesi menyebabkan relaksasi otot bronkhial dan penurunan tingkat oksigenasi darah (Ismail et al. 2010). Preanestesi xylazine HCl juga menyebabkan penurunan saturasi oksigen akibat menurunnya respirasi. Xylazine HCl termasuk golongan α2-adrenergik agonis, dikombinasikan dengan atropine sulfate sebagai preanestesi menyebabkan terjadinya sedasi dan tertekannya respirasi (Rossi dan Junqueira 2003), sehingga saturasi oksigen juga menurun. Atropine sulfate juga memungkinkan terjadinya dilatasi bronchial pada anjing yang mengalami sedasi (Ko et al. 2001), sehingga penggunaan kombinasi preanestesi atropine sulfate xylazine HCl
menyebabkan penurunan nilai rata-rata respirasi dan penurunan saturasi
oksigen. Baniadam et al. (2007) juga menyebutkan bahwa xylazine HCl
120
menyebabkan penurunan saturasi oksigen, sehingga nilai saturasi oksegen pada perlakuan atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol menurun lebih tajam pada menit ke-10 dan 20. Selanjutnya tubuh sudah melakukan kompensasi sehingga nilai saturasi oksegen meningkat mendekati nilai awal. Grup III yang dikenakan perlakuan pemeliharaan status teranestesi melalui infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol pada dosis yang lebih tinggi, yaitu 0,6 mg/kg/menit, menyebabkan penurunan nilai saturasi oksigen lebih tajam pada menit ke-50 sampai menit ke-140. Konsentrasi propofol yang tinggi menyebabkan tertekannya respirasi lebih dalam, sehingga saturasi oksigen juga menurun. Propofol mempunyai potensi mendepresi respirasi dan menyebabkan saturasi oksigen dan penurunan metabolik (Seymour dan Novakovski 2007). Mohamadnia et al. (2008) menyebutkan bahwa saturasi oksigen akan menurun akibat pemberian propofol dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Penurunan saturasi oksigen juga dapat disebabkan oleh terganggunya saluran respirasi karena adanya tranduser pada lidah. Tekanan Darah Tekanan Darah Sistol (Systole Arterial Pressure/SAP) Gambaran perubahan nilai tekanan darah sistol (SAP) yang ditunjukkan oleh grup I sangat stabil dibandingkan grup lainnya, terjadi sedikit penurunan pada menit ke-10,
selanjutnya sedikit meningkat sampai menit ke-50, dan kembali sedikit
menurun sampai menit ke-140. Sedangkan grup II menunjukkan sedikit peningkatan pada menit ke-20, selanjutnya menurun sampai akhir anestesi. Grup III menunjukkan perubahan nilai SAP yang lebih tajam, terjadi peningkatan pada menit ke-20 sampai 30, selanjutnya menurun dengan tajam sampai akhir anestesi. Begitu pula grup IV dan grup V, menunjukkan peningkatan sampai menit ke-30, selanjutnya menurun tajam sampai menit ke-140, seperti disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 26.
121
250
AXKP-K2P2 Grup I AXKP-K4P4 Grup II AXKP-K6P6 Grup III AXKP-P4 Grup IV AXKP-I Grup V
SAP (mmHg)
200
150
100
50
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
Waktu (menit) Gambar 26 Perubahan nilai rata-rata tekanan darah sistol (SAP) selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing.
Gambaran nilai rata-rata SAP yang ditunjukkan oleh grup III, IV, dan V meningkat lebih tajam pada menit ke 20 dan 30 dibandingkan pada grup I dan II. Grup I menunjukkan urutan perubahan nilai SAP yang paling stabil dibandingkan grup lainnya, kemudian grup II, sedangkan grup III, IV, dan V menunjukkan perubahan yang kurang stabil. Gambaran ini memperlihatkan bahwa perbedaan dosis dan jenis kombinasi mempengaruhi kestabilan tekanan darah. Xylazine HCl yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri atau hipertensi pada awal pemberian dan diikuti dengan penurunan tekanan arteri atau hipotensi akibat tertekannya syaraf pusat (Muir et al. 2000). Peningkatan nilai SAP juga disebabkan karena adanya atropine sulfate
pada kombinasi preanestesi atropine sulfate
al.(1996) menyebutkan bahwa atropine sulfate
xylazine HCl. Alibhai et
dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Meningkatnya tekanan darah terjadi bersama-sama dengan meningkatnya denyut jantung. Sedangkan adanya kecenderungan penurunan nilai SAP disebabkan karena pengaruh xylazine HCl
yang menstimulasi reseptor
adrenergik, menyebabkan pelepasan norepineprin dan pengaruh simpatomimetik dari ketamine HCl ditutupi oleh aktivitas simpatolitik dari xylazine HCl (Wixson et al. 1987). Kombinasi xylazine HCl dan ketamine HCl akan menginduksi penurunan
122
tekanan darah arteri. Selanjutnya terjadi penurunan nilai SAP, penurunan lebih tajam terjadi pada grup yang mendapatkan perlakuan dosis lebih tinggi, yaitu grup II dan rup III maupun perlakuan tunggal hanya propofol. Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan (Stawicki 2007). Propofol menyebabkan turunnya tekanan darah karena secara langsung menyebabkan vasodilatasi pada vena dan arteri serta menyebabkan relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999). Propofol menyebabkan rendahnya tekanan darah sistol (SAP) dan tekanan darah rata-rata (MAP) tanpa menimbulkan pengaruh pada denyut jantung (Belo et al. 1994 dalam Mohamadnia et al. 2008). Kombinasi propofol dengan ketamine dapat mengurangi pengaruh perubahan tekanan darah akibat propofol.
123
Tabel 16 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD) tekanan darah tidak langsung (NIBP : SAP, DAP, MAP) dan CO 2 respirasi selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing Jenis Pengamatan
SAP (mmHg)
DAP (mmHg)
MAP (mmHg)
CO 2 Respirasi (mmHg)
Waktu Pengamatan (menit) 60 70 80
Perlakuan Grup I
0
10
20
30
40
50
132±29
118±24
129±32
129±15
135±27
140±30
131±21
123±26
Grup II
122±22
120±25
140±35
130±42
119±35
106±18
102± 7
103± 5
Grup III
133±24
125±29
162±22
169±51
145±27
128±25
109±41
104±44
95±47
98±40
97±37
98±45
95±43
126± 6
110±14*
Grup IV
142±17
126±13
168± 9
165± 8
161± 9
141± 6
121±15
124±20
117±22
115±18
115±21
116±20
114±23
106±26*
119±25
Grup V
123± 4
125±22
173±36*
177± 8*
134±48
150±29
134±33
121±19
115±13
111±23
109±19
107±20
104±23
118±12
112± 8
Grup I
83±36
84±22
91±22
96±18
98±21
107±23
101±19
91±17
88±14
84±16
83±13
78±11
80±13
75±12
78±11
Grup II
72±20
95±11
100±32
98±36
86±30
70±17
72±10
68± 5
63± 8
55± 9
60± 8
68±13
61± 4
62± 8
65± 9
Grup III
88±13
90±11
126± 7
131±14
101±10
84± 7
67±33
58±36
55±34
54±27
53±31
55±32
53±31
63±39
60±37
Grup IV
94±13
86±21
80±24
75±25
77±21
73±23
70±25
68±22
76±23
118±24 94± 9*
90
100
110
120
130
140
113±22
110±19
111±18
103±12
107±17
108±17
89± 9**
95± 3*
98±10
95± 4*
96± 4*
97± 4*
77±14
79± 7
130±12**
123±21*
118± 7
111± 7
Grup V
62±15
87±21
126±32**
135± 8**
131±23**
113±31*
98±29
85±27
82±21
91± 5
76±14
74±20
74±27
69±24
65±19
Grup I
109±37
98±23
105±21
115±17
116±25
125±26
114±21
106±20
100±19
92±16
94±17
94±15
90±13
89±14
91±16
Grup II
87±24
86±11
113±34
109±36
102±33
91±18
86±10
85± 9
76± 7
74±10
75± 6
79±15
77± 5
79± 9
78± 9
Grup III
104±18
100±22
140±16
147±41
118±18
105±17
89±42
78±51
75±38
75±36
78±48
73±44
72±40
76±43
70±40
Grup IV
102± 4
97± 2
146±12**
145± 9**
130± 2*
122± 9
108±15
101±13
97±20
87±22
91±16
91±19
92±20
88±20
95±18
Grup V
94±17
90±32
145±38*
153±14*
145±23*
127±30
113±28
98±30
99±11
97±21
91±18
88±22
89±26
84±18
79±11
Grup I
40±6
38±11
56± 9
48±3
45±8
47±7
47± 6
46± 5
45± 5
44± 5
43± 6
43± 4
42± 3
37± 2
35±4
Grup II
40±6
39± 3
46± 4
44±8
43±8
43±7
42± 6
42± 8
46±12
44±15
47±19
43±14
46±17
37± 7
33±3
Grup III
40±6
38± 0
52± 4
40±6
45±3
48±5
58±16
43±13
40±19
38±20
46±11
36± 0
36± 0
34± 0
34±0
Grup IV
40±6
38± 0
42±21
46±3
43±4
45±5
45± 7
44± 6
43± 5
42± 5
38± 2
35± 4
34± 4
34± 4
34±4
Grup V
40±6
39± 2
52± 4
48±2
47±1
46±2
45± 2
44± 3
43± 2
42± 1
41± 2
41± 2
35± 4
34± 6
34±6
Keterangan : Semua Grupdi premedikasi Atropine sulfate (0,03mg/kgBB),Xylazine HCl (2mg/kgBB),Ketamine HCl (4mg/kgBB),Propofol(4mg/kgBB). Grup I, II, dan grup III masing-masing diinfusi dengan Ketamine HCl -Propofol (@0,2mg/kgBB/menit), Ketamine HCl -Propofol (@0,4mg/kgBB/menit), dan Ketamine HCl -Propofol 0,6mg/kgBB/menit), Grup IV dengan Propofol(0,4mg/kgBB/menit), dan grup V dengan Isofluran (1%). Pada kolom (perlakuan) sama, * = berbeda nyata (P<0,05), ** = berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan nilai awal (menit ke-0).
124
Tekanan Darah Diastol (Diastole Arterial Pressure/DAP) Grup I menunjukkan peningkatan nilai DAP yang landai sampai menit ke-50, selanjutnya menurun juga landai sampai menit ke-140. Grup II menunjukkan sedikit peningkatan DAP sampai menit ke- 20, kemudian menurun pelan sampai menit ke140. Sedangkan grup III menunjukkan peningkatan nilai DAP yang tajam sampai menit ke 30, kemudian turun tajam sampai akhir anestesi. Perubahan nilai DAP yang ditunjukkan oleh grup IV dan V juga sama, yaitu meningkat tajam sampai menit ke 30, kemudian turun tajam sampai menit ke-140. Data masing-masing grup ditunjukkan pada Tabel 16 dan Gambar 27.
180
AXKP-K2P2 Grup I AXKP-K4P4 Grup II Grup III AXKP-K6P6 Grup IV AXKP-P4 Grup V AXKP-I
160
DAP (mmHg)
140 120 100 80 60 40 20
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Gambar 27 Perubahan nilai rata-rata tekanan darah diastol (DAP) selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing.
Grup I dan II menunjukkan perubahan nilai DAP yang lebih stabil dibandingkan grup III, IV, dan V. Peningkatan nilai DAP pada menit ke-10 sampai 20, disebabkan karena pengaruh atropine sulfate yang menyebabkan tekanan darah meningkat dan terjadi bersama-sama dengan meningkatnya denyut jantung (Ko et al. 2001). Meningkatnya nilai DAP juga disebabkan karena terjadi fase eksitasi dan pengaruh xylazine HCl yang menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri pada
125
awal pemberian, kemudian diikuti dengan penurunan tekanan darah arterial karena tertakannya syaraf pusat oleh xylazine HCl. Penurunan nilai DAP pada menit ke-40 sampai 140 juga disebabkan karena pengaruh xylazine HCl
yang menyebabkan
relaksasi otot pada pembuluh darah dan menurunnya denyut jantung. Selanjutnya, pemeliharaan status teranestesi melalui infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol menyebabkan penurunan nilai DAP. Penurunan yang lebih tajam pada menit ke-40 sampai menit ke-140 ditunjukkan oleh grup yang memperoleh perlakuan kombinasi ketamine HCl-propofol dengan dosis yang lebih tinggi yaitu pada grup II dengan dosis 0,4 mg/kg/menit dan grup III dengan dosis 0,6 mg/kg/menit, begitu pula grup yang memperoleh perlakuan propofol secara tunggal. Hal ini disebabkan karena efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan (Stawicki 2007). Propofol dengan dosis yang lebih tinggi menyebabkan turunnya tekanan darah karena secara langsung menyebabkan vasodilatasi pada vena dan arteri dan menyebabkan relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999).
Tekanan darah Rata-rata (Mean Arterial Pressure/MAP) Gambaran perubahan nilai MAP yang ditunjukkan oleh grup I mengalami sedikit peningkatan sampai menit ke-50, kemudian sedikit menurun sampai menit ke140. Begitu pula perubahan yang ditunjukkan olehn grup II, menunjukkan sedikit peningkatan DAP sampai menit ke- 20, kemudian menurun pelan sampai menit ke140. Sedangkan perubahan nilai MAP yang ditunjukkan oleh grup III, IV, dan V, terjadi perubahan yang lebih tajam. Grup III menunjukkan peningkatan nilai DAP yang tajam sampai menit ke 30, kemudian turun tajam sampai menit ke-70 dan stabil sampai akhir anestesi. Grup IV dan V juga sama, yaitu meningkat tajam sampai menit ke 30, kemudian turun tajam sampai menit ke-140, seperti ditunjukkan pada Tabel 16 dan Gambar 28. Nilai rata-rata MAP meningkat pada menit ke-20, selanjutnya menurun sampai menit ke-140. Hal ini disebabkan karena xylazine HCl yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri (hipertensi) pada awal pemberian dan diikuti dengan
126
penurunan (hipotensi) akibat tertekannya syaraf pusat (Muir et al. 2000). Peningkatan nilai MAP juga disebabkan karena adanya atropine sulfate
pada kombinasi
preanestesi atropine sulfate xylazine HCl. Alibhai et al.(1996) menyebutkan bahwa atropine sulfate
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah. Meningkatnya
tekanan darah terjadi bersama-sama dengan meningkatnya denyut jantung. Sedangkan adanya kecenderungan penurunan nilai MAP disebabkan karena pengaruh xylazine HCl
yang menstimulasi reseptor adrenergik, menyebabkan pelepasan
norepineprin dan pengaruh simpatomimetik dari ketamine HCl ditutupi oleh aktivitas simpatolitik dari xylazine HCl (Wixson et al. 1987).
200 180
AXKP-K2P2 Grup I AXKP-K4P4 Grup II Grup III AXKP-K6P6 Grup IV AXKP-P4 Grup V AXKP-I
MAP (mmHg)
160 140 120 100 80 60 40 20
0
Gambar 28
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
Waktu (menit) Perubahan nilai rata-rata tekanan darah rara-rata (MAP) selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing.
Gambaran perubahan nilai MAP yang ditunjukkan oleh grup I dan II lebih stabil dibandingakn gambaran yang ditunjukkan grup III, IV, dan V, memberikan gambaran bahwa dosis kombinasi yang lebih rendah dan penggunaaan kombinasi ketamine-propofol dibandinkan hanya propofol saja, berperan mengurangi perubahan nilai
MAP.
Infusi
gravimetrik
dengan
kombinasi
ketamine
HCl-propofol
menyebabkan penurunan nilai MAP, tetapi penurunan yang lebih tajam terjadi pada grup yang memperoleh perlakuan kombinasi ketamine HCl-propofol pada dosis yang
127
lebih tinggi yaitu pada grup II dengan dosis 0,4 mg/kg/menit dan grup III pada dosis 0,6 mg/kg/menit. Propofol menyebabkan hipotensi dan apnea (Stawicki 2007). Propofol menyebabkan turunnya tekanan darah karena secara langsung menyebabkan vasodilatasi pada vena dan arteri dan menyebabkan relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999). propofol menyebabkan rendahnya tekanan darah sistol (SAP) dan tekanan darah rata-rata (MAP) tanpa menimbulkan pengaruh pada denyut jantung (Belo et al. 1994 dalam Mohamadnia et al. 2008).
Nilai end tidal CO 2 (ET CO 2 ) Grup I menunjukkan pola perubahan nilai end tidal CO 2 (ET CO 2 ) yang stabil, meningkat sampai menit ke-20, kemudian menurun pelan sampai akhir anestesi. Grup II juga menunjukkan perubahan yang satabil, terjadi sedikit peningkatan sampai menit ke-20, selanjutnya sedikit menurun pada menit ke-30 dan selanjutnya sangat stabil sampai menit ke-140. Sedangkan grup III menunjukkan perubahan nilai ET CO 2 yang tidak stabil, meningkat tajam pada menit ke-20, kemudian turun tajam pada menit ke-30, selanjutnya kembali naik sangat tajam sampai menit ke-60, dan terus naik turun tidak stabil sampai menit ke-140. Grup IV dan V menunjukkan perubahan nilai CO 2 yang stabil, sedikit meningkat pada menit ke-20, kemudian sedikit menurun sampai akhir anestesi. Data tiap-tiap grum disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 29.
128
80
ET CO2 (mmHg)
70
Grup I AXKP-K2P2 Grup II AXKP-K4P4 Grup III AXKP-K6P6 Grup IV AXKP-P4 Grup V AXKP-I
60 50 40 30 20 10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
Waktu (menit) Gambar 29
Perubahan nilai rata-rata end tidal CO 2 (ET CO 2 ) respirasi selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing.
Grup III menunjukkan perubahan nilai ET CO 2 yang tidak stabil, sedangan grup I, II, IV, dan V menunjukkan nilai CO 2 yang lebih stabil. Gambaran perubahan nilai ET CO 2 ini menandakan bahwa semua kombinasi anestesi tidak menyebabkan perubahan pada ET CO 2 , tetapi pada dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan CO 2 yang tidak stabil. Perlakuan anestesi belum mengakibatkan perubahan terhadap volume tidal dan nilai ET CO 2 . Volume tidal sangat ditentukan oleh kedalaman respirasi. Respirasi yang lebih dalam dengan frekuensi yang lebih rendah akan dapat mempertahankan volume tidal dan jumlah gas CO 2 respirasi. Greene dan Thurmon (1988) menyebutkan bahwa tidak ditemukan perubahan tekanan O 2 dan CO 2 setelah penyuntikan xylazine HCl pada anjing. Begitu pula Allen et al. (1986) mendapatkan bahwa anestesi kombinasi xylazine HCl dan ketamine HCl tidak menyebabkan perubahan pada tekanan CO 2 dan O 2 . Selanjutnya, Grup III menunjukkan perubahan nilai CO 2 yang tidak stabil karena efek samping penggunaaan propofol dan ketamine HCl dengan dosis yang lebih tinggi. Pemberian anestesi akan menyebabkan penurunan metabolisme tubuh dan menyebabkan penurunan tekanan oksigen sehingga tubuh berusaha mempertahankan homeostasis supaya tetap normal dengan cara metabolisme anaerobik dan terjadi alkalosis respirasi yang ditandai dengan
129
penurunan tekanan CO 2 respirasi (Woodrow 2004). Apabila kondisi tekanan oksigen darah menurun, akan terjadi rangsangan untuk stimulasi pernapasan atau hiperventilasi yang menyebabkan tekanan CO 2 respirasi akan menurun (Aditama 1987). Dosis propofol yang lebih tinggi, yaitu 0,6 mg/kg/menit akan menekan respirasi lebih kuat dan dosis ketamine HCl yang lebih tinggi (0,6 mg/kg/menit) memaksa jantung berdenyut lebih kuat sehingga terjadi naik turun respirasi yang tajam dan tidak stabil yang menyebabkan tekanan CO 2 juga tidak stabil.
Elektrokardiogram (EKG) Amplitudo Gelombang P Grup I menunjukkan perubahan nilai gelombang P selama tersanestesi tidak berbeda dengan sebelum dianestesi, yaitu 0,15 ± 0,03 mV. Begitu pula grup II, III, IV, dan grup V menunjukkan perubahan nilai gelombang P yang tidak berbeda dari nilai normalnya masing-masing, yaitu 0,16 ± 0,06 mV, 0,17 ± 0,05 mV, 0,19 ± 0,09 mV, dan 0,19 ± 0,06 mV. Nilai gelombang P tiap grup disajikan pada tabel 17. Perubahan amplitudo gelombang P yang ditunjukkan oleh grup I, II, III, IV, dan grup V mengalami perubahan yang tidak berbeda dengan nilai awalnya masingmasing, berarti perlakuan preanestesi, induksi, dan pemeliharaan status teranestesi belum menyebabkan perubahan terhadap aliran listrik jantung pada saat terjadi depolarisasi atrium, sehingga amplitudo depolarisasi antrium tidak menunjukkan perubahan yang berbeda nyata dengan nilai awal. Pemeliharaan status teranestesi secara infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol tidak menyebabkan perubahan terhadap depolarisasi atrium. Kekuatan listrik pada atrium yang bersumber dari nodus sinoatrial (SA node) dan penyebarannya pada dinding atrium, tidak terpengaruh oleh perubahan aksi potensial pada sistim syaraf akibat perlakuan anestesi.
Amplitudo Gelombang R Perubahan amplitudo gelombang R selama teranestesi yang ditunjukkan oleh grup I tidak berbeda nyata dengan nilai awalnya, yaitu 1,59 ± 0,38 mV. Betitu juga
130
grup II, III, IV, dan grup V menunjukkan perubahan nilai amplitudo gelombang R yang tidak berbeda dengan nilai normalnya masing-masing, yaitu 1,70 ± 0,54 mV, 1,57 ± 0,16 mV, 1,52 ± 0,10 mV, dan 2,03 ± 0,36 mV, seperti ditunjukkan pada Tabel 17. Grup I menunjukkan perubahan gelombang R selama teranestesi tidak berbeda dengan nilai awalnya, begitu pula grup II, III, IV, dan grup V, menggambarkan bahwa depolarisasi yang terjadi pada ventrikel jantung tidak dipengaruhi oleh semua kombinasi anestesi yang diberikan. Perubahan amplitudo gelombang R juga tidak menunjukkan pola yang jelas, menunjukkan kekuatan listrik pada dinding ventrikel jantung yang bersumber dari nodus atrio ventrikel (AV node), berkas his, dan serabut purkintje tidak terpengaruh oleh perubahan aksi potensial pada sistim syaraf pada jantung akibat perlakuan anestesi. Otot jantung mampu berkontraksi sendiri akibat aliran listrik dari nodus sino-atrial sebagai pace maker, nodus atrio-ventrikel, berkas his, dan serabut purkinje. Sedangkan sistim syaraf hanya dapat memodifikasi aliran listrik pada jantung, sehingga perubahan aliran listrik atau aksi potensial pada sistim syaraf akibat perlakuan anestesi belum mampu memodifikasi aliran listrik pada ventrikel jantung yang bersumber dari nodus atrioventrikel, berkas his dan serabut purkinje.
131
Tabel 17 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata±SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II gelombang P dan gelombang R selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl-ketamine HCl-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing Jenis Pengamatan
Waktu Pengamatan (menit) Perlakuan
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
0,15±0,03
0,16±0,08
0,18±0,05
0,14±0,01
0,14±0,05
0,14±0,04
0,14±0,02
0,13±0,02
0,14±0,02
0,13±0,02
0,12±0,02
0,13±0,01
0,14±0,03
0,14±0,06
0,13±0,03
0,16±0,06
0,15±0,08
0,16±0,04
0,16±0,04
0,15±0,03
0,17±0,04
0,16±0,04
0,15±0,03
0,15±0,03
0,14±0,03
0,14±0,03
0,15±0,03
0,11±0,07
0,11±0,07
0,11±0,07
0,17±0,05
0,18±0,04
0,17±0,02
0,17±0,07
0,16±0,01
0,14±0,00
0,15±0,01
0,16±0,01
0,15±0,00
0,14±0,02
0,13±0,04
0,13±0,04
0,10±0,06
0,14±0,02
0,14±0,02
Grup IV
0,19±0,09
0,16±0,04
0,10±0,09
0,10±0,09
0,16±0,03
0,10±0,09
0,18±0,05
0,19±0,04
0,18±0,04
0,16±0,05
0,14±0,04
0,16±0,05
0,16±0,06
0,16±0,06
0,10±0,10
Grup V
0,19±0,06
0,09±0,08
0,20±0,09
0,15±0,01
0,18±0,08
0,16±0,04
0,15±0,03
0,15±0,01
0,10±0,08
0,15±0,02
0,15±0,01
0,10±0,09
0,16±0,03
0,15±0,01
0,15±0,01
Grup I
1,59±0,38
1,63±0,44
1,71±0,56
1,93±0,42
1,97±0,40
1,94±0,42
1,93±0,43
1,91±0,42
1,87±0,43
1,83±0,43
1,84±0,46
1,74±0,43
1,69±0,36
1,65±0,40
1,64±0,42
Grup II
1,70±0,54
1,78±0,54
1,85±0,47
1,90±0,45
1,73±0,54
1,88±0,43
1,91±0,53
1,82±0,47
1,71±0,40
1,64±0,35
1,63±0,38
1,63±0,42
1,75±0,43
1,68±0,39
1,70±0,39
Gelombang R Grup III (mV)
10
Grup II Gelombang P Grup III (mV)
0
Grup I
1,57±0,16
1,67±0,08
1,68±0,32
1,69±0,01
1,69±0,09
1,78±0,18
1,77±0,04
1,70±0,00
1,65±0,04
1,55±0,28
1.44±0,36
1,32±0,53
1,58±0,34
1,93±0,31
1,93±0,31
Grup IV
1,52±0,10
1,65±0,06
1,60±0,26
1,78±0,26
1,56±0,39
1,52±0,36
1,48±0,39
1,53±0,32
1,47±0,28
1,49±0,23
1,50±0,18
1,34±0,42
1,35±0,16
1,36±0,16
1,33±0,18
Grup V
2,03±0,36
1,99±0,03
1,87±0,17
2,11±0,16
1,80±0,70
2,09±0,12
2,06±0,14
2,05±0,15
2,05±0,14
1,52±1,04
1,99±0,16
1,88±0,09
1,88±0,09
2,02±0,22
2,02±0,22
Keterangan : Semua Grupdi premedikasi Atropine sulfate (0,03mg/kgBB),Xylazine HCl (2mg/kgBB),Ketamine HCl (4mg/kgBB),Propofol(4mg/kgBB). Grup I, II, dan grup III masing-masing diinfusi dengan Ketamine HCl -Propofol (@0,2mg/kgBB/menit), Ketamine HCl -Propofol (@0,4mg/kgBB/menit), dan Ketamine HCl -Propofol (@0,6mg/kgBB/menit), Grup IV dengan Propofol(0,4mg/kgBB/menit), dan grup V dengan Isofluran (1%). Pada kolom (perlakuan) sama, * = berbeda nyata (P<0,05), ** = berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan nilai awal (menit ke-0).
132
Interval PR Interval PR atau PQ adalah waktu permulaan eksitasi atrium sampai awal eksitasi ventrikel atau penjumlahan dari waktu depolarisasi atrium dan waktu perlambatan simpul Atrio-Ventricular (AV). Nilai interval PR normal pada anjing adalah 0,06 – 0,13 detik. Grup I menunjukkan perubahan interval PR yang masih stabil dan tidak berbeda dengan nilai interval PR normalnya, sekitar 0,12 ± 0,03 detik. Gambaran nilai interval PR yang ditunjukkan oleh grup II, III, IV, dan grup V juga tidak berbeda dengan nilai awalnya masing-masing, sekitar 0,11 ± 0,01 detik, 0,10 ± 0,00 detik, 0,10 ± 0,01 detik, dan 0,12 ± 0,01 detik. Data tiap grup ditunjukkan pada Tabel 18. Nilai durasi interval PR selama teranestesi yang ditunjukkan oleh grup I tidak berbeda dengan nilai awalnya, begitu pula grup II, III, IV, dan grup V, menandakan bahwa perlakuan kombinasi premedikasi, induksi, dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik belum menyebabkan perubahan terhadap waktu depolarisasi atrium dan perlambatan atrio-ventrikel, sehingga nilai durasi depolarisasi antrium dan perlambatan atrio-ventrikel tidak menunjukkan perubahan yang berbeda nyata. Pemeliharaan status teranestesi secara infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol tidak menyebabkan perubahan terhadap waktu depolarisasi atrium dan perlambatan atrio-ventrikel (AV), sehingga aman untuk aktivitas atrium dan ventrikel. Perubahan aksi potensial pada sistim syaraf akibat anestesi, tidak mampu memodifikasi aliran listrik pada dinding atrium dan ventrikel jantung.
Komplek QRS Kontraksi atau depolarisasi ventrikel secara normal membutuhkan waktu beberapa detik, yang disebut dengan interval komplek QRS. Nilai komplek QRS normal pada anjing sekitar 0,04 – 0,05 detik. Grup I menunjukkan perubahan komplek QRS yang terjadi selama teranestesi tidak berbeda dengan nilai normalnya, sekitar 0,05 ± 0,01 detik. Nilai interval komplek QRS yang ditunjukkan oleh grup II, III, IV, dan grup V juga tidak berbeda dengan nilai awalnya masing-masing, yaitu :
133
0,05 ± 0,01 detik, 0,04 ± 0,00 detik, 0,04 ± 0,01 detik, dan 0,04 ± 0,01 detik, seperti ditunjukkan pada Tabel 18. Gambaran interval komplek QRS yang ditunjukkan oleh grup I tidak berbeda dengan niali awalnya, begitu juga dengan grup, II, III, IV, dan grup V menunjukkan perubahan interval komplek QRS yang tidak berbeda dengan nilai awalnya masingmasing, menandakan bahwa lama waktu yang diperlukan untuk terjadinya depolarisasi pada ventrikel jantung tidak terpengaruh oleh semua kombinasi anestesi. Perubahan aksi potensial sistim syaraf akibat perlakuan anestesi, tidak mampu memodifikasi aliran listrik pada ventrikel jantung. Otot jantung mampu berkontraksi sendiri akibat aliran listrik dari nodus sino-atrial sebagai pace maker, nodus atrioventrikel, berkas his, dan serabut purkinje.
Interval QT Grup I menunjukkan bahwa interval QT selama teranestesi mengalami perubahan yang tidak berbeda nyata dengan nilai awal, sekitar 0,20 ± 0,01 detik. Begitu pula grup II menunjukkan perubahan yang tidak berbeda dengan nilai normalnya, yaitu 0,19 ± 0,03 detik. Sedangkan grup III menunjukkan pola perubahan yang menurun lebih tajam dan tidak stabil terjadi pada menit ke-50,80,90, dan menit ke-100. Grup IV dan V menunjukkan perubahan interval QT yang meningkat nyata mulai menit ke-80 sampai menit ke-140, bahkan meningkat sangat nyata pada grup IV pada menit 110 sampai menit 140, seperti ditunjukkan pada Tabel 18. Grup III menunjukkan perubahan interval QT yang tidak stabil dan cenderung menurun, menggambarkan waktu yang dibutuhkan jantung untuk berdenyut lebih cepat, bersamaan dengan meningkatnya denyut jantung yang tidak stabil. Sedangkan Grup IV dan V menunjukkan perubahan durasi interval QT mengalami peningkatan, perlakuan
pemeliharaan
status
teranestesi
dengan
propofol
dan
isofluran
menyebabkan perlambatan repolarisasi ventrikel sehingga durasi interval QT meningkat. Grup IV dan V menunjukkan kecenderungan mempengaruhi waktu yang dibutuhkan jantung untuk berdenyut lebih lama terutama pada saat terjadinya repolarisasi ventrikel atau interval QT. Sedangkan kemampuan atau kekuatan jantung
134
untuk berdenyut tidak terpengaruh. Keadaan ini bersamaan dengan terjadinya penurunan frekuensi denyut jantung. Telah diketahui bahwa waktu untuk ventrikel mengadakan repolarisasi berbanding lurus dengan laju jantung. Semakin cepat jantung berdenyut, semakin cepat pula waktu untuk repolarisasi, dan semakin pendek interval QT. Sebaliknya apabila denyut jantung semakin lambat, maka semakin panjang pula interval QT (Karim dan Kebo 2002). Dalam penelitian ini, perpanjangan interval QT disebabkan oleh penggunaan xylazine HCl pada perlakuan preanestesi anestesi dan pada saat pemeliharaan status teranestesi pada grup IV dan V tidak dikombinasikan dengan ketamine HCl sehingga menunjukkan penurunan denyut jantung. Dengan kata lain interval QT sangat tergantung pada laju jantung.
135
Tabel 18 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata±SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II interval PR, komplek QRS, interval QT) dan nilai CRT selama pemberian induksi atropine sulfat -xylazine HCl-ketamine HCl-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing Jenis Pengamatan
Waktu Pengamatan (menit) 60 70 80
Perlakuan Grup I
0,12±0,03
0,12±0,02
0,11±0,03
0,13±0,01
0,13±0,02
0,13±0,02
0,12±0,01
0,13±0,02
0,13±0,02
0,09±0,06
0,09±0,06
0,13±0,01
0,12±0,02
0,12±0,01
0,12±0,01
Grup II
0,11±0,01
0,08±0,06
0,11±0,01
0,12±0,02
0,11±0,03
0,12±0,01
0,09±0,06
0,12±0,01
0,12±0,01
0,12±0,01
0,08±0,06
0,11±0,01
0,09±0,06
0,09±0,06
0,08±0,05
Interval PR
Grup III
0,10±0,00
0,11±0,01
0,13±0,06
0,11±0,01
0,09±0,03
0,12±0,01
0,12±0,01
0,11±0,01
0,11±0,01
0.11±0,01
0,12±0,01
0,12±0,01
0,12±0,01
0,11±0,00
0,11±0,00
(detik)
Grup IV
0,10±0,01
0,11 ±0,02
0,12±0,02
0,12±0,01
0,12±0,01
0,13±0,02
0,13±0,02
0,13±0,02
0,13±0,02
0,13±0,02
0,13±0,02
0,13±0,02
0.12±0,02
0,12±0,02
0,12±0,02
Grup V
0,12±0,01
0,08±0,07
0,11±0,01
0,12±0,03
0,13±0,03
0,13±0,03
0,12±0,02
0,13±0,02
0,09±0,08
0,13±0,02
0,13±0,02
0,09±0,08
0,12±0,01
0,12±0,02
0,12±0,02
Grup I
0,05±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,04±0,00
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
Grup II
0,05±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
Komplek QRS Grup III
0
10
20
30
40
50
90
100
110
120
130
140
0,04±0,00
0,04±0,00
0,05±0,01
0,05±0,01
0,04±0,01
0,04±0,00
0,04±0,01
0,04±0,00
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,00
0,05±0,00
0,05±0,01
0,04±0,00
0,04±0,00
Grup IV
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,04±0,02
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,06±0,02
0,06±0,02
0,06±0,02
Grup V
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,04±0,01
0,05±0,01
0,05±0,01
0,06±0,01
0,06±0,01
0,05±0,00
0,05±0,00
0,05±0,00
Grup I
0,20±0,01
0,14±0,13
0,12±0,10
0.21±0,03
0,13±0,12
0,22±0,01
0,22±0,01
0,23±0,01
0,23±0,00
0,23±0,01
0,23±0,01
0,23±0,01
0,24±0,01
0,21±0,05
0,24±0,02
Grup II
0,19±0,03
0,20±0,02
0,10±0,02
0,15±0,11
0,11±0,02
0,16±0,10
0,22±0,02
0,17±0,11
0,23±0,02
0,24±0,02
0,18±0,12
0,25±0,02
0,26±0,02
0,18±0,12
0,19±0,14
Interval QT
Grup III
0,19±0,01
0,17±0,03
0,16±0,01
0,18±0,02
0,16±0,04
0,10±0,04
0,20±0,01
0,20±0,01
0,11±0,06
0,12±0,07
0,13±0,08
0,20±0,08
0,24±0,04
0,24±0,04
0,24±0,04
(detik)
Grup IV
0,20±0,01
0,20±0,02
0,21±0,02
0,21±0,01
0,20±0,01
0,21±0,02
0,22±0,01
0,23±0,01
0,24±0,01*
0,23±0,01*
0,25±0,03*
0,26±0,03** 0,26±0,03** 0,26±0,04**
0,26±0,04**
Grup V
0,19±0,02
0,20±0,01
0,20±0,01
0,20±0,02
0,17±0,06
0,21±0,02
0,22±0,02
0,23±0,03
0,24±0,02*
0,24±0,01*
0,27±0,02*
0,26±0,01*
0,25±0,01*
0,24±0,02*
0,24±0,02*
Grup I
2,0±0,0
2,0±0,0
2,5±0,6
2,7±0,5
2,7±0,5
2,7±0,5
2,3±0,5
2,5±0,6
2,3±0,5
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
Grup II
2,0±0,0
2,0±0,0
2,5±0,6
2,5±0,6
2,5±0,6
2,5±0,6
2,3±0,5
2,0±0,0
2,3±0,5
2,3±0,5
2,35±0,6
2,5±0,6
2,3±0,5
2,3±0,5
2,3±0,5
CRT
Grup III
2,0±0,0
2,0±0,0
2,7±0,6
2,7±0,6
2,3±0,6
2,7±0,6
2,7±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
(detik)
Grup IV
2,0±0,0
2,0±0,0
2,7±0,6
2,7±0,6
2,7±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,7±0,6
2,3±0,6
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
Grup V
2,0±0,0
2,3±0,6
2,7±0,6
2,7±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,0±0,0
2,0±0,0
2,0±0,0
2,3±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,3±0,6
2,0±0,0
2,0±0,0
(detik)
Keterangan : Semua Grup di premedikasi Atropine sulfate (0,03mg/kgBB),Xylazine HCl (2mg/kgBB),Ketamine HCl (4mg/kgBB),Propofol(4mg/kgBB). Grup I, II, dan grup III masing-masing diinfusi dengan Ketamine HCl -Propofol (@0,2mg/kgBB/menit), Ketamine HCl -Propofol (@0,4mg/kgBB/menit), dan Ketamine HCl -Propofol (@0,6mg/kgBB/menit), Grup IV dengan Propofol (0,4mg/kgBB/menit), dan grup V dengan Isofluran (1%). Pada kolom (perlakuan) sama, * = berbeda nyata (P<0,05), ** = berbeda sangat nyata (P<0,01) dengan nilai awal (menit ke-0).
136
Capillary Refill Time (CRT) Capillary refill time (CRT) menandakan adanya aliran darah pada jaringan. Nilai CRT yang lama menandakan pengisian jaringan oleh darah tidak optimal dan aliran darah ke jaringan menurun, yaitu lebih dari 2 detik. Grup I, II, dan III menunjukkan perubahan nilai CRT lebih lama dari pada nilai awalnya pada menit ke-20 sampai 40, selanjutnya semakin cepat mendekati nilai awal sampai menit ke-140. Grup IV dan V juga menunjukkan perubahan nilai CRT lebih lama pada menit ke-20 sampai 40, selanjutnya semakin cepat mendekati nilai awal sampai menit ke-140, tetapi tidak berbeda nyata dengan nilai awal. seperti ditunjukkan pada Tabel 18 dan Gambar 30.
3,50
Grup I AXKP-K2P2 Grup II AXKP-K4P4 Grup III AXKP-K6P6 Grup IV AXKP-P4 Grup V AXKP-I
3,30
CRT (detik)
3,10 2,90 2,70 2,50 2,30 2,10 1,90 1,70 1,50
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130
140
Waktu (menit) Gambar 30 Perubahan nilai rata-rata capillary refill time (CRT) selama pemberian induksi atropine sulfate -xylazine HCl -ketamine HCl -propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine HCl dan propofol pada anjing.
Nilai CRT mengalami pola peningkatan pada menit ke-20 sampai menit ke- 40, selanjutnya menurun mendekati nilai awal sampai menit ke-140. Hal ini disebabkan karena xylazine HCl pada kombinasi preanestesi atropine sulfatexylazine HCl
mempunyai potensi bekerja lebih cepat dibandingkan atropine
sulfate, xylazine HCl mempunyai pengaruh yang sangat kuat menurunkan denyut jantung sehingga aliran darah juga menurun. Potensi xylazine HCl yang termasuk golongan α2-adrenergik agonis menyebabkan tertekannya pusat vasomotor di bagian perifer yang menyebabkan vasodilatasi, menurunkan curah jantung, dan menurunkan tekanan darah. Penurunan curah jantung dan dilatasi pembuluh darah
137
perifer dapat menyebabkan meningkatnya nilai CRT (Rossi dan Junqueira 2003; Rand et al. 1996 dalam Kul 2001). Pemeliharaan status teranestesi melalui infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol menyebabkan nilai CRT lebih lama sampai menit ke-50, selanjutnya menurun mendekati nilai awal sampai menit ke-140. Hal ini disebabkan karena tingginya konsentrasi propofol yang digunakan. Propofol mempunyai potensi mendepresi respirasi dan menyebabkan penurunan metabolik (Seymour dan Novakovski 2007). Subtipe ß3 yang terdapat pada reseptor GABA A merespon terjadinya depresi respirasi akibat etomidat dan propofol pada SSP (Henschel et al .2008). Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi, apnea, dan rasa sakit pada tempat suntikan (Stawicki 2007). Propofol menyebabkan turunnya tekanan darah karena secara langsung menyebabkan vasodilatasi pada vena dan arteri dan menyebabkan relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999), sehingga nilai CRT untuk mengisi pembuluh darah perifer menjadi lebih lama. Selanjutnya nilai CRT menurun mendekati nilai awal karena pengaruh anestesi sudah berkurang dan tubuh sudah melakukan homeostasis.
Darah dan Kimia Darah Pengambilan darah dilakukan pada awal, yaitu sebelum dilakukan perlakuan anestesi atau menit ke-0, sebagai kontrol, kemudian pada saat infusi gravimetrik akan dicabut, dan 24 jam setelah anestesi selesai. Dilakukan pemeriksaan terhadap indeks eritrosit, diferensial leukosit, tes fungsi hati, dan tes fungsi ginjal. Pemeriksaan indeks eritrosit dilakukan terhadap Mean Corpuscular Volume (MCV) yang menggambarkan nilai rata-rata volume sel darah merah, Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) yang menggambarkan rata-rata jumlah Hb per sel darah merah,
dan Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
(MCHC) yang menggambarkan rata-rata konsentrasi Hb pada sel. Nilai normal MCV pada anjing adalah 32 – 60 fl, MCH sekitar 15 – 29 picogram/cell, dan nilai normal MCHC adalah 23-42 g/dl. Indeks eritrosit selama teranestesi maupun 24 jam setelah teranestesi yang ditunjukkan oleh grup I, II, dan grup III tidak
138
mengalami perubahan. Begitu pula yang ditunjukkan oleh grup IV dan V tidak mengalami perubahan, seperti ditunjukkan pada Tabel 19.
Tabel 19 Nilai rata-rata indeks eritrosit darah selama pemberian induksi atropin-xilazin-ketaminpropofol dan pemeliharaan anestesi secara infus gravimetrik dengan ketamin dan propofol pada anjing Perlakuan
Waktu Jenis Pengamatan MCV (fl)
MCH (picogram/cell)
MCHC (g/dl))
(Jam)
Grup I
Grup II
Grup III
Grup IV
Grup V
0
41,75
42,70
42,11
46,64
47,59
2
44,05
41,30
42,55
42,39
49,35
24
41,70
53,97
46,62
45,31
43,39
0
25,06
24,00
35,57
24,82
23,32
2
24,59
20,42
23,19
23,89
25,04
24
22,2
18,98
25,17
24,06
26,55
0
30,65
33,01
32,68
32,52
30,05
2
33,21
33,31
37,08
33,01
31,68
24
35,99
35,16
29,06
36,84
36,18
Keterangan : MCV = Mean Corpuscular Volume, MCH= Mean Corpuscular Hemoglobin, MCHC= Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration. Pada kolom (grup perlakuan) sama, hurup (a,b,c) berbeda = berbeda nyata (P<0,05), hurup (α,β,γ) berbeda = berbeda sangat nyata (P<0,01).
Secara umum, indeks eritrosit yang tidak berubah menggambarkan kondisi yang normal, karena tidak ada kelihalangan darah akibat operasi dan pemeliharaan anestesi belum menyebabkan perubahan indeks eritrosit. Jika prosedur anestesi dilakukan dengan prosedur operasi yang menyebabkan perdarahan, dimungkinkan akan terjadi perubahan gambaran indeks eritrosit, sehingga kemungkinan komplikasi dan penanganan selama operasi dapat dilakukan dengan segera. Gambaran leukosit dan diferensial leukosit pada prosedur anestesi akan menggambarkan status fiologis hewan, apakah dalam keadaan tenang atau stres, ketakutan, maupun tingkat penekanan sistem homeostasis akibat teranestesi. Secara umum, gambaran leukosit dan diferensial leukosit pada saat teranestesi dan 24 jam setelah teranestesi tidak menunjukkan adanya perubahan pada seluruh perlakuan anestesi, hal ini menggambarkan bahwa hewan dalam kondisi tidak stres dan tenang, karena telah dilakukan penyesuaian hewan terhadap kondisi laboratorium dan prosedur anestesi. Pemeliharaan status teranestesi juga tidak
139
menekan atau merangsang sistem tubuh yang menyebabkan perubahan pada leukosit dan diferensialnya. Data leukosit dan diferensial leukosit ditunjukkan pada Tabel 20. Tabel 20 Nilai rata-rata jumlah sel darah putih , diferensial leukosit, dan kimia darah selama pemberian induksi atropin-xilazin-ketamin-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infus gravimetrik dengan ketamin dan propofol pada anjing Jenis Pengamatan Sel Darah Putih (juta/mm3) Netrofil (%)
Waktu (Jam)
Limfosit (%) Kreatinin (mg/dL) SGPT (U/L) SGOT (U/L)
Grup I
Grup II
Grup III
Grup IV
Grup V
0
8,99 ±1,77
14,93 ±10,70
16,97 ±12,11
16,62 ±12,50
9,83 ±1,08
2
8,25 ±2,18
4,96 ± 2,46
21,15 ±12,59
15,17 ± 5,53
8,92 ±1,58
24
11,29 ±5,27
19,88 ±13,36
10,50 ± 3,70
15,77 ± 9,19
14,90 ±6,17
0
65,25 ±16,58
58,50 ±13,89
56,33 ±16,17
64,00 ± 4,36
68,00 ± 4,24
2
74,50 ± 6,45
47,00 ±18,81
57,33 ±15,28
60,67 ±30,29
67,50 ± 6,36
24
60,75 ± 6,24
47,50 ±11,73
57,00 ± 4,24
44,67 ±11,72
60,33 ±14,57
0
Eusinofil (%)
Perlakuan
2
5,25 ±2,99
7,50 ± 5.45
6,75 ±3,86
15,50 ±10.79
5,67 ±2,08
7,50 ±2,12
a
8,00 ±4,58
9,00 ± 4,36 2,67 ± 1,53
b
12,25 ± 8.38
11,50 ±0,71
18,00 ±12,73
8,50 ±3,54
0
27,50 ±10,28a,αβ
33,75 ±16.58
26,50 ±0,71
26,00 ± 0,00
26,00 ± 0,00
2
14,00 ± 4,24b,α
30,50 ±16.74
33,67 ±16,50
33,33 ±30,92
33,33 ± 9,54
24
5,75 ±3,77
7,00 ±6,56
ab
a,β
24
33,25 ± 5,62
36,75 ± 9.71
27,00 ± 0,00
40,00 ±13,21
40,00 ±14,85
0
0,18 ±0,12
0,33 ±0,28
0,21 ±0,16
0,18 ±0,06
0,46 ±0,15
2
0,51 ±0,14
0,50 ±0,24
0,32 ±0,29
0,37 ±0,15
0,54 ±0,35
24 0
0,48 ±0,28
0,58 ±0,27
0,56 ±0,04
0,40 ±0,26
0,79 ±0,12
2
18,71 ± 9,74 16,88 ±19,27
a
a,α
13,96 ±4.98 6,33 ±5.83ab
13,24 ±5,84 17,65 ±11,52
13,24 ±1,52 4,22 ±1,33b,β
11,51 ±0,00a,αβ 15,54 ±2,45a,α
24
7,19 ± 2,42
4,99 ±2.90b
14,96 ± 0,00
3,45 ±1,99b,β
3,07 ±2,40b,β
0
9,50 ±10,61
6,91 ± 3.64
7,67 ±4,04
12,66 ±10,03
4,99 ± 3,52
2
7,69 ± 4,34
6,62 ± 6.60
8,82 ±5,79
2,30 ± 1,52
11,13 ± 4,35
10,36 ± 7,46 10,36 ±12,00 5,37 ±3,33 12,28 ± 5,79 24 Keterangan : SGPT = Serum Glutamic Pyruvate Transaminase, SGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase, Pada kolom (grup perlakuan) sama, hurup (a,b,c) berbeda = berbeda nyata (P<0,05), hurup (α,β,γ) berbeda = berbeda sangat nyata (P<0,01).
Kimia darah menunjukkan gambaran berbagai zat kimia dalam darah yang dapat digunakan untuk mengetahui keadaan fisiologi tubuh, untuk mengetahui apakah tubuh berfungsi dengan baik. Kimia darah yang digunakan untuk mengetahui terjadinya keracunan akut adalah tes fungsi hati atau tes fungsi ginjal, karena organ hati dan ginjal akan menggambarkan ada tidaknya bahan toksik di dalam tubuh. Tes fungsi hati yang paling umum dilakukan adalah tes untuk mengukur enzim yang terdapat dalam hati. Kadar enzim yang tinggi menandakan adanya kerusakan hati akibat obat-obatan atau alkohol. Tes fungsi hati yang
11,89 ±10,06
140
paling umum dilakukan adalah Serum Glutamic Pyruvate Transaminase (SGPT) dan Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT). Apabila kadar SGOT dan SGPT dalam darah tinggi, menandakan adanya kerusakan pada hati. Sedangkan tes fungsi ginjal yang biasa dilakukan adalah mengukur kadar kretinin darah. Kreatinin adalah hasil buangan pencernaan protein, yang menandakan fungsi ginjal sebagai organ ekskresi. Apabila kadar kreatinin dalam darah sangat tinggi, menandakan adanya gangguan ginjal. Kisaran nilai normal pada anjing untuk SGPT sekitar 24- 60 U/L , SGOT kurang lebih 36 -77 U/L, dan kadar kreatinin adalah kurang dari 120 µmol/L. Kadar SGOT, SGPT, dan kretinin selama teranestesi maupun 24 jam setelah teranestesi yang ditunjukkan oleh grup I tidak mengalami perubahan. Begitu pula yang ditunjukkan oleh grup II, III, IV, dan V tidak mengalami perubahan, seperti ditunjukkan pada Tabel 20. Gambaran nilai SGOT, SGPT, dan kreaninin yang normal dan tidak mengalami perubahan selam pemeliharaan status teranestesi, menandakan bahwa pemeliharaan status teranestesi yang dilakukan pada grup I, II, dan grup III maupun grup IV dan grup V tidak menimbulkan gangguan pada hati dan ginjal, artinya pemeliharaan anestesi dengan kombinasi ketamine HCl dan propofol sangat aman untuk digunakan kurang lebih selama dua jam. Grup I, II, dan grup III yang memperoleh perlakuan pemeliharaan status teranestesi secara infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol dosis 0,2 – 0,6 mg/kg/menit
dan grup V yang mendapat perlakuan anestesi
inhalasi isofluran, menunjukkan waktu anestesi yang tidak berbeda. Kombinasi ketamine HCl-propofol memberikan pengaruh positif terhadap waktu anestesi, menghasilkan induksi cepat dan lembut, waktu anestesinya lama, waktu sadar dan waktu pemulihan juga cepat dan lembut. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian VanNatta dan Rex (2006), Holmeister et al. (2008), dan Muhammad et al. (2009), bahwa kombinasi ketamine HCl dan propofol dapat menghindari depresi respirasi, induksi lembut, waktu pemulihan cepat dan lembut, serta fungsi psikomotornya cepat kembali saat pemulihan. Propofol menghasilkan pengaruh anestesi dengan mekanisme yang bekerja pada reseptor GABA A dan digunakan sebagai induksi anestesi karena mempunyai mula kerja dan waktu pengeluaran
141
dari tubuh yang cepat (Stoelting 1999). Sedangkan grup IV, yang mendapat perlakuan pemeliharaan status teranestesi melalui tetes infusi gravimetrik dengan propofol dosis 0,4 mg/kg/menit, menunjukkan penurunan denyut jantung dan penurunan respirasi sangat nyata. Infusi dengan propofol saja akan menyebabkan penurunan denyut jantung karena pengaruh preanestesi xylazine HCl sangat kuat menurunkan denyut jantung dan pengaruh preanestesi atropine sulfate
yang
diberikan secara intramuskular sudah hilang sampai menit ke-50. Ko et al. (2001), menyebutkan bahwa penambahan atropine sulfate pada anjing yang mengalami sedasi akibat anestesi, akan sangat efektif mencegah bradikardia selama 50 menit. Propofol menimbulkan pengaruh tidak nyata terhadap denyut jantung anjing (Mohamadnia et al. 2008). Begitu pula penelitian Belo et al. (1994), bahwa propofol menyebabkan penurunan tekanan darah tetapi tidak menyebabkan perubahan pada denyut jantung. Subtipe ß3 yang terdapat pada reseptor GABA A juga merespon terjadinya depresi respirasi akibat etomidat dan propofol pada SSP (Henschel et al. 2008). Propofol secara tunggal menyebabkan apnea dan kombinasi ketamine HCl-propofol mampu mengurangi tekanan respirasi dibandingkan hanya dengan propofol saja (Maddison et al. 2002; Andrews et al. 1997; Stawicki 2007; Mohamadnia et al. 2008). Grup I dan II yang dikenakan tetes infusi gravimetrik masing-masing dengan kombinasi ketamine HCl-propofol dosis 0,2 dan dosis 0,4 mg/kg/menit, serta grup V yang memperoleh perlakuan dengan isofluran dosis 1-2%, menunjukkan perubahan yang tidak berpengaruh nyata terhadap denyut jantung, respirasi, dan saturasi oksigen. Tetapi grup III yang dikenakan perlakuan infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine HCl-propofol dosis 0,6 mg/kg/menit, menunjukkan denyut jantung dan respirasi meningkat tidak stabil, sedangkan nilai saturasi oksigen menurun tajam. Gambaran ini menunjukkan bahwa pengaruh anestesi dan efek samping propofol sangat berhubungan dengan dosis dan keuntungan penggunaaan propofol diperoleh dengan cara mengatur dosis dan mengkombinasikan dengan agen anestesi lain seperti ketamine HCl (McKelvey dan Hollingshead 2003). Sedangkan penurunan nilai saturasi oksigen yang tajam disebabkan karena tingginya konsentrasi propofol. Propofol mempunyai potensi mendepresi respirasi dan menyebabkan penurunan metabolik (Seymour dan
142
Novakovski 2007). Mohamadnia et al. (2008), menyebutkan bahwa saturasi oksegen akan menurun akibat pemberian propofol dengan konsentrasi lebih tinggi. Penurunan saturasi oksigen juga dapat disebabkan oleh terjepitnya lehar dan karena adanya tranduser pada lidah sehingga mengganggu respirasi. Grup I, II, dan grup III, maupun grup IV dan V, menunjukkan pola penurunan suhu rektal, karena pada keadaan teranestesi laju metabolisme tubuh akan menurun sehingga proses pembentukan energi tubuh yang menghasilkan panas juga akan menurun. Propofol menyebabkan sedasi, penurunan metabolisme, relaksasi otot dan tertekannya susunan syaraf pusat serta menyebabkan penekanan termoregulasi yang lebih lama (Rossi dan Junqueira 2003). Propofol menyebabkan penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah, terjadi fase dilatasi arteri dan vena, dan menyebabkan relaksasi pembuluh darah sehingga menyebabkan penurunan suhu tubuh semakin rendah (Karsli et al. 1999). Propofol mempunyai potensi mendepresi respirasi dan menyebabkan penurunan metabolik (Seymour dan Novakovski 2007), sehingga menyebabkan penurunan suhu tubuh. Periode anestesi lama, lebih dari 30 menit, juga dapat menyebabkan penurunan suhu tubuh (Warren 1983; Muir et al. 2000). Penurunan suhu tubuh selama hewan teranestesi juga dapat disebabkan karena kehilangan panas akibat produksi yang menurun, penekanan pada susunan syaraf pusat, terjadi vasodilatasi, penurunan produksi panas oleh aktivitas otot, dan kapasitas tubuh yang terbuka terhadap kontak lingkungan (Muir et al. 2000). Grup I menunjukkan perubahan nilai rata-rata tekanan darah (SAP, DAP, MAP) meningkat pada awal anestesi selanjutnya menurun. Begitu pula grup II, III, maupun grup IV dan V menyebablan perubahan nilai tekanan darah dengan pola yang sama dengan grup I. Xylazine HCl menyebabkan peningkatan tekanan arteri atau hipertensi pada awal pemberian dan diikuti dengan penurunan atau hipotensi akibat tertekannya syaraf pusat (Muir et al. 2000). Penurunan tekanan darah lebih tajam ditunjungkan oleh grup II dan III yang memperoleh perlakuan infusi kombinasi ketamine HCl-propofol dengan dosis lebih tinggi, yaitu 0,4 dan 0,6 mg/kg/menit. Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi (Stawicki 2007). Dosis propofol lebih tinggi menyebabkan penurunan tekanan darah lebih tajam.
143
Grup I menunjukkan perubahan nilai CO 2 respirasi yang tidak berbeda, begitu juga dengan grup II, III, IV dan grup V, belum menunjukkan perubahan terhadap volume tidal dan nilai CO 2 respirasi. Volume tidal sangat ditentukan oleh kedalaman respirasi. Respirasi yang lebih dalam dengan frekuensi yang lebih rendah akan dapat mempertahankan volume tidal dan jumlah gas CO 2 respirasi. Grup I, II maupun grup III, menunjukkan perubahan amplitudo gelombang P dan R, durasi PR dan QRS selama teranestesi yang tidak berbeda dengan nilai awal. Anestesi belum menyebabkan perubahan terhadap aliran listrik jantung pada saat terjadi depolarisasi dan repolarisasi atrium maupun depolarisasi ventrikel. Otot jantung mampu berkontraksi sendiri akibat aliran listrik dari nodus sino-atrial sebagai pace maker, nodus atrio-ventrikel, berkas his, dan serabut purkinje. Sedangkan sistim syaraf hanya dapat memodifikasi aliran listrik pada jantung, sehingga perubahan aliran listrik atau aksi potensial pada sistim syaraf akibat perlakuan anestesi belum mampu mengubah aliran listrik pada atrium maupun ventrikel jantung. Sedangkan grup IV dan V, yang memperoleh perlakuan anestesi dengan propofol saja dan isofluran, menunjukkan perlambatan repolarisasi ventrikel sehingga durasi interval QT meningkat. Pemeliharaan anestesi dengan propofol dan isofluran lebih cenderung mempengaruhi waktu yang dibutuhkan jantung untuk berdenyut lebih lama terutama pada saat terjadinya repolarisasi ventrikel. Sedangkan kemampuan atau kekuatan jantung untuk berdenyut tidak terpengaruh. Keadaan ini bersamaan dengan terjadinya penurunan frekuensi denyut jantung. Telah diketahui bahwa waktu untuk ventrikel mengadakan repolarisasi berbanding lurus dengan laju jantung. Semakin cepat jantung berdenyut, semakin cepat pula waktu untuk repolarisasi, dan semakin pendek interval QT. Sebaliknya apabila denyut jantung semakin lambat, maka semakin panjang pula interval QT (Karim dan Kebo 2002). Penurunan denyut jantung, curah jantung, dan dilatasi pembuluh darah perifer dapat menyebabkan meningkatnya nilai CRT (Rossi dan Junqueira 2003; Rand et al. 1996 dalam Kul et al. 2001). Konsentrasi propofol yang tinggi mempunyai potensi mendepresi respirasi dan menyebabkan penurunan metabolik (Seymour dan Novakovski 2007). Subtipe ß3 yang terdapat pada reseptor GABA A juga merespon terjadinya depresi respirasi akibat propofol pada SSP (Henschel et
144
al .2008). Efek samping penggunaaan propofol adalah hipotensi dan apnea (Stawicki 2007), secara langsung menyebabkan vasodilatasi dan relaksasi pembuluh darah (Karsli et al. 1999), sehingga nilai CRT menjadi lebih lama. Grup I, II dan grup V yang memperoleh perlakuan masing-masing dengan infusi
kombinasi
ketamine–propofol
dosis
0,2
mg/kg/menit,
dosis
0,4
mg/kg/menit, dan anestesi inhalasi isofluran 1%, menunjukkan perubahan yang minimal dan stabil terhadap denyut jantung, respirasi, ET CO 2 , Sp O 2 , nilai CRT, NIBP, dan EKG, walaupun terjadi penurunan suhu yang masih pada batas normal. Sedangkan grup III yang dikenakan perlakuan infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine-propofol dosis lebih tinggi, yaitu 0,6 mg/kg/menit, menunjukkan penurunan tajam terhadap Sp O 2 dan peningkatan tidak stabil terhadap denyut jantung, respirasi, serta ET CO 2 . Begitu pula grup IV yang dikenakan perlakuan hanya dengan propofol dosis 0,4 mg/kg/menit, menunjukkan tertekannya respirasi, Sp O 2 , dan penurunan denyut jantung. Dengan demikian, grup I dan II yang dikenakan perlakuan infusi gravimetrik dengan campuran ketamine HCl-propofol dosis 0,2 dan 0,4 mg/kg/menit mempunyai resiko paling minimal terhadap perubahan fisiologi anjing selama teranestesi.
145
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1. Kombinasi atropine dosis 0,03 mg/kgBB-xylazine dosis 2 mg/kgBB dan ketamine dosis 4 mg/kgBB-propofol dosis 4 mg/kgBB sebagai preanestesi dan induksi anestesi yang baik, karena menghasilkan waktu induksi singkat, waktu anestesi panjang, waktu sadar cepat serta waktu pemulihan cepat. 2. Metode anestesi secara infusi gravimetrik dengan kombinasi ketamine dan propofol dapat digunakan sebagai pilihan pemeliharaan status teranestesi pada anjing. 3. Anestesi gravimetrik dengan campuran ketamine dan propofol dosis 0,2-0,4 mg/kg/menit menghasilkan kualitas anestesi yang baik untuk pemeliharaan status teranestesi, yaitu : dapat menciptakan kondisi sedasi, analgesi, dan relaksasi yang oftimal dengan waktu induksi 2,25 - 2,5 menit, durasi 118,00 – 115,50 menit, waktu siuman 9,75 – 11,25 menit dan waktu pemulihan 29,25 – 43,50 menit dan mempunyai resiko minimal terhadap perubahan fisiologi, yaitu : perubahan frekuensi denyut jantung sekitar 68 – 118 x/menit, tekanan darah rata-rata 75 – 125 mmHg, frekuensi respirasi 10 – 21 x/menit, end tidal CO 2 (ET CO 2 ) 33 – 56 mmHg, saturasi oksigen (Sp O 2 ) 82 – 97 %, nilai capillary refill time (CRT) 2-3 detik, dan nilai elektrokardiogram (EKG) pada bentangan stabil. 4. Anestesi gravimetrik dengan campuran ketamine dan propofol dosis 0,2-0,4 mg/kg/menit harus memperhatikan penurunan suhu rektal yang signifikan (P< 0,05).
146
Saran
Kesimpulan penelitian diatas adalah hasil pengamatan pada hewan sehat, untuk itu : 1. Diperlukan penelitian lanjut, untuk mempelajari kombinasi pilihan atropinexylazine dan ketamine-propofol pada hewan anjing sehat muda atau pediatrik dan pada hewan anjing tua atau geriatrik. 2. Diperlukan penelitian lanjut, untuk mempelajari kombinasi pilihan atropinexylazine dan ketamine-propofol pada hewan anjing sakit degeneratif, terutama yang melibatkan jantung, hati, dan ginjal, serta syaraf.
147
DAFTAR PUSTAKA Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8. United States of America: Iowa State Press. 1201 hlm. Adams HA. 1987. S(+)ketamine. Circulatory interactions during total intravenous anesthesia and analgesia-sedation. Anaesthesist. 46:1081-1087. Aditama TY. 1987. Interpretasi analisis gas darah. Cermin Dunia Kedokteran 43:51-54. Allen DG, Dyson DH, Pascoe PJ, Ogrady MR. 1986. Evaluation of a xylazineketamine hydrochloride combination in the cat. Canadian Journal of Veterinary. 50: 23-26. Alibhai HI, Clark KW, Lee YH. 1996. Cardiopulmonary effects of combinations of medetomidine hydrochloride and atropine sulphate in dog. Vet. Rec. 138: 11-13. Amadasun FE, Edomwonyi NP. 2005. Evaluation of the gravimetric method of propofol infusion with intermittent ketamine injections for total intravenous anaesthesia (TIVA). JMBR. 4:65-70. Andrews DT, Leslie K, Sessler DI, Bjorksten AR. 1997. The arterial blood propofol concentration preventing movement in 50% of healthy women after skin incision. Anesth Analg. 85: 414-419 [Anonim]. 2002. Information for Health Profesional. Dormicum Midazolam. Roche. [Anonim]. 2003. Neuronal Signaling. http://www.columbia.edu/cu/psychology/courses/1010/mangels/neuro/neur osignaling/neurosignaling. html [ 30 Januari 2004]. Baniadam A, Afshar SF, Balani MRB. 2007. Cardiopulmonary effects of acepromazine-ketamine administration in the sheep. Bull Vet Inst Pulawy 51:93-96. BBraun. 2009. Propofol-Lipuro. Basic scientific information. Germany: B.Braun Melsungen. Belo SE, Kolesar R, Mazer CD. 1994. Intracoronary propofol does not decrease myocardial contractile function in the dogs. Can. J.Anesth. 4: 43-49. Bishop YM. 1996. The Veterinary Formulary. Ed ke-3. London : The Pharmaceutical Press. 513 hlm. Booth NH, Branson KR. 1995. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-7. United States of America: Iowa State Press. Brander GC, Pugh DM, Water RJB, Jenkins WL. 1991. Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-5. London: Bailliere Tindal. Bradley PB. 1989. Introduction to Neuropharmacology. London: Wrright. Budiana NS. 2008. Anjing : Panduan Lengkap Memelihara, Merawat, dan Melatih Anjing Kesayangan. Jakarta: Penebar Swadaya. Cameron JW, 2006. The molecular mechanism of general anaesthesia; dissecting the GABA A receptor. Continuing Education and Anaesthesia, Critical Care & Pain. 6:49-53. Carlson NR. 1986. Physiology of Behavior. Ed ke-3. United States of America. Cross JP, Mackintosh CG, Griffin JFT. 1988. Effect of physical restraint and xylazine sedation on haemotological values in red deer (Cervus elaphus). Research in Vet Science 45: 281-286
148
Cullen LK. 1997. Lecture Notes on Veterinary Anesthesia. Australia : Murdoch University. Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Ed ke-3. London: Saunders Company. Debuf YM. 1991. The Veterinary Formulary. Ed ke-1. London : The Pharmaceutical Press. hlm 181-194. Dharma DMN, Hartaningsih N, Rudyanto MD. 1999. Anjing Bali. Pemuliabiakan dan Pelestarian. Jakarta: Kanisius. Demirkan I, Atalan G, Gokce HI, Ozaydin I, Celebi F. 2002. Comparative study of butorphanol-ketamin HCl and xylazine-ketamin HCl combinations for their clinical and cardiovascular/respiratory effects in healthy dogs. Turk J Vet Anim Sci. 26:1073-1079. Dzikiti TB, Chanaiwa S, Mponda P, Sigauke C, Dzikiti LN. 2007. Comparison of quality of induction of anaesthesia between intramuscularly administered ketamine, intravenously administered ketamine and intravenously administered propofol in xylazine premedicated cats. Journal of the South African Veterinary Association. 78:201–204. Ernawati MDW. 2006. Pengaruh paparan udara halotan dengan dosis subanestesi terhadap gangguan hati mencit. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 11: 71-75. Franks NP. 2008. General anaesthesia: from molecular targets to neuronal athways of sleep and arousal. Nature Reviews Neuroscience. 9: 370-386. www.nature.com/reviews/neuro. [24 Juli 2009]. Franks NP, Lieb WR. 1990. Mechanism of general anesthesia. Environmental Healt Perspectives. 87: 199-205. Fossum TW. 1997. Small Animal Surgery. United States of America: Mosby-Year Book. Garcia PS, Kolesky SE, Jenkins A. 2010. General anaesthetic action on GABA A receptors. Current neuropharmacology. 8:2-9. Gauss A, Heinrich H, Wilder-Smith OHG. 1991. Echocardiographic assessment of the haemodynamic effects ot propofol: a comparison with etomidate and thiopentone. Anaesthesia 46: 99-105. Gay WR, Rothenburger A. 2000. Atlas Berwarna dan Teks Fisiologi. Jakarta: Hipokrates. Greene SA, Thurmon TC. 1988. Xylazine a review of its farmacology and use in veterinary medicine. Journal of Veterinary Pharmacology and Therapeutics. 11: 295-313. Guit JBM, Koning HM, Coster ML, Niemeijer RPE, Mackie DP. 1991. Ketamine as analgesic for total intravenous anaesthesia with propofol. Anaesthesia 46: 24-27. Hall LW, Clarke KW. 1983. Veterinary Anesthesia. 8th Ed. London : Engglish Language Book Society and Bailliere Tindall. Haskin SC, Patz JD, Farver TB. 1989. Xylazine and xylazine-ketamine in dog. Am J Vet. 47:636-641. Haskin SC, Farver TB, Patz JD. 1985. Ketamine in dog. Am. J.Vet 9:1855-1860. Henschel O, Keith E, Dipson, Bordey A. 2008. GABA A receptors, anesthetics and anticonvulsants in brain development. CNS & Neurological DisordersDrug Targets. 7:211-224.
149
Hofmeister EH, Williams CO, Braun C, Moore PA. 2008. Propofol versus thiopental: effects on peri-induction intraocular pressures in normal dogs. Vet. Anaesth. Anlg. 35: 275-281. Hui TW, Short TG, Hong W, Suen T, Gin T, Plummer J. 1995. Additive interactions between propofol and ketamine when used for anesthesia induction an famale patients. Anesthesiology 82: 641-648. Intelisano TR, Kitahara FR, Otsuki DA, Fantoni DT, Auler JOC, Cortopassi SRG. 2008. Total intravenous anaesthesia with propofol-racemic ketamine and propofol-S-ketamine: a comparative study and haemodynamic evaluation in dogs undergoing ovariohysterectomy. Pesquisa Veterinaria Brasileira. 28:216-222 Ismail ZB, Jawasreh K, Al-majali A. 2010. Effect of xylazine-ketamine-diazepam on certain clinical and arterial blood gas parameter in sheep and goats. Comp Clin Pathol 19:11-14. Jacobson JD, hartsfield. 1993. Cardiorespiratory effects of intravenous bolus administration and infusion of ketamine-midazolam in dogs. American Journal Veterinary Research 54: 1710-1714. Karim S, Kabo P. 2002. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Karsli B, Kaya T, Sarioglu Y. 1999. Effects of ketamine, propofol and midazolam on spontaneus contractions of isolated pregnant rat myometrium. T Klin J Med Res. 17:70-76. Katzung BG. 1992. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 628 hlm. Katzung BG. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Ed ke-8. Jakarta : Penerbit Salemba Medika. 764 hlm. Kazuto Y, Mayumi N, Hiroko T, Yasushi S, Keiku T, Masanori K, Yasuharu I, Tadao K, Muir WW. 2001. Medetomidine with thiopental, ketamine, or propofol as premedication and induction for inhalation anesthesia indogs. J Jap. Vet. Med. Assc. 54: 282-287. Ko JCH, Fox SM, Mandsager RE. 2001. Effects of preemptive atropine administration on incidence of medetomidine-induced bradycardia in dogs. JAVMA. 218: 52-57. Kul M, Koc Y, Alkan F, Ogurtan Z. 2001. The effects of xylazine-ketamine and diazepam-ketamine on arterial blood pressure and blood gases in dog. OJVR 4:124-132. Lemke KA. 2004. Perioperative use of selective alpha-2 agonists and antagonists in small animals. Can Vet J. 45: 475-480. Lerche P, Nolan AM, Reid J. 2000. Comparative study of propofol or propofol and ketamine for the induction of anaesthesia in dog. The Veterinary Record. 146:571-574. Lumb WV, Jones EW. 1996. Veterinary Anesthesia. Ed ke-3. Philadelphia: Lea and Febiger. Luna SPL, Massone F, Castro GB, Fantoni DT, Hussni CA, Aquiar AJA. 1992. A combination of methotripeperazine , midazolam, and guaiphenesine with and without ketamine, in an anaesthetic procedure for horse. The Veterinary Record. 11: 33-35.
150
Maddison J, Page S, Church D. 2002. Small Animal Clinical Pharmacology. Ed ke-1. USA. WB Saunders. Mascia, M. P., Trudell, J. R., Harris, R. A. 2000. Specific binding sites for alcohols and anesthetics on ligand-gated ion channels. Proc.Natl.Acad.Sci.U.S.A. 97: 9305-9310. Mashour GA. 2006. Integrating the science of consciousness and anesthesia. Anesth Analg. 103:975-982. Martini FH. 1995. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Ed ke-3. United States of America: Prentice Hall International. McKelvey D, Hollingshead KW. 2003. Veterinary Anesthesia and Analgesia. Ed ke-3. United States of America: Mosby. 448 hlm. Mihic SJ, Harris RA. 1997. GABA and GABA A receptor. Neurotransmitter Review. 21: 127-131. Miller RD. 2010. Miller’s Anesthesia. Ed ke-7. United States of America: Churchill Livingston Elsevier. Moens Y, Fargetton X. 1990. A comparative study of medetomidine/ketamine and xylazine/ketamine in dogs. Vetrinary Record. 127: 567-578. Muhammad N, Zafar MA, Muhammad G, Masood MZ, Manzoor A, sarfaraz I. 2009. Comparative anaesthetic efficacy of propofol, thiopental sodium and combination of propofol with ketamine hydrochloride in dogs. Pakistan Vet.J. 29: 11-15. Mohamadnia AR, Shabazkia H, Akhlaghi M, Shahrokhi M, saberin L. 2008. Clinical evaluation of repeated propofol total intravenous anesthesia in dog. Pakistan Journal of Biological Sciences 11: 1820-1824. Muir WW, Hubbell JAE, Skarda RT, Bednarski RM. 2000. Veterinary anesthesia. Ed ke-3. United States of America: Mosby. Nelson OL. 2003. The Practical Veterinarian Small Animal Cardiology. United States of America: Elsevier Science. Pagel PS dan Waritier DC. 1993. Negative inotropic effects of propofol as evaluated by the regional preload recruitable stroke work relationship in chronically instrumented dogs. Anesthesiology 78: 100-108. Pathak SC, Migan JM, Peshin PK, Singh AP. 1982. Anesthetic and hemodynamic effecs of ketamine hydrochloride in buffalo calves. Am.J.Vet 5:875-877. Plumb DC. 1991. Veterinary Drug Handbook. Minnesota : Pharma vet publishing. Hlm. 56-98. Pretto EA. 2002. Pursuing the holy grail of anesthesia. Anesthesiology News. 1:1-9. Rossi RD, Junqueira AL. 2003. Analgesic and systemic effects of ketamine, xylazine, and lidocaine after subarachnoid administration in goats. Am.Journal Vet.R 64: 51-56. Rudolph U, Antkowiak B. 2004. Molecular and neuronal substrates for general anaesthetics. Nature Reviews Neuroscience. 5:709-720. Ruply AE. 1997. Manual of Avian Practice. W.B. London: Saunders Company. Seymour C, Novakovski TD. 2007. Manual of Canine and Feline Anaesthesia and analgesia. Ed ke-2. BSAVA. Brithis small animal veterinari association. Hlm. 71. Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
151
Stawicki SP. 2007. Common sedative agents. OPUS 12 Scientist. 1:8-9. Steele RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biomedik. Ed ke-2. Jakarta : Cetakan kedua. PT. Gramedia Pustaka Tama. Stoelting RK.1999. Nonbarbiturate Induction drugs. Philadelphia : In Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. Hlm.140-157. Sudisma IGN, Pemayun IGAGP, Warditha AAGJ, Gorda IW, Dada IKA. 2001. Uji klinik premedikasi xylazin dan diazepam terhadap anestesi umum ketamin pada anjing lokal. Jurnal Veterinet. 3:104-107. Sudisma IGN. 2011. Survei Penggunaan Anestesi pada Praktek Kedokteran Hewan. Laporan Pegabdian Masyarakat. Denpasar : LPPM Universitas Udayana. Sudisma IGN, Pemayun IGAGP, Warditha AAGJ, Gorda IW. 2006. Ilmu Bedah Veteriner dan Teknik Operasi. Ed ke-1. Denpasar : Plawa Sari Press. 133 hlm. Sulistia G. 1987. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-3. Jakarta : Bagian Farmakologi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Suwed MA, Budiana NS. 2006. Membiakkan Kucing Ras. Jakarta: Penebar Swadaya. Tranquilli WJ, Thurmon JC, Grimm KA. 2007. Lumb & Jones’ Veterinary Anesthesia and Analgesia. Ed. Ke-4. Australia: Blackwell Publishing. 1096 hlm. Tsai YC, Wang LY, Yeh LS. 2007. Clinical comparison of recovery from total intravenous anesthesia with propofol and inhalation anesthesia with isoflurane in dogs. J. Vet. Med. Sci. 69:1179–1182. VanNatta ME, Rex DK. 2006. Propofol alone titrated to deep sedation versus propofol in combination with opioid and/or benzodiazepines and titrated to moderate sedation for colonoscopy. Amer.J.Gastroenteral 101: 2209-2217. Verstegen J, Petcho A. 1993. Medetomidine-butorphanol-midazolam for anesthesia in dogs and its reversal by atipamazole. Vet Record. 132: 353357. Wanna O, Werawatganon T, Piriyakitphaiboom S, Taesiri B. 2004. A comparison of propofol and ketamine as induction agents for cesarean section. J Med Assoc Thai. 87:774-9 Warren RG. 1983. Small Animal Anesthesia. St Louis : The C.V. Mosby Company. Watkins SB, Hall LW, Clarke KW. 1987. Propofol as an intravenous anesthetic agent in dogs. Vet.Rec. 120:326-329. White PF, Ham J, Way WL. 1980. Pharmacology of ketamine isomers in surgical patients. Anesthesiology 52:231-239. Wixson SK, White WJ, Hughes HC, Lang CM, Marshall WK. 1987. The effects of pentobarbital, fentanyl-droperidol, ketamin-xylazin and ketaminediazepam on arterial blood pH, blood gases, mean arterial blood pressure and heart rate in adult male rats. Laboratory Animal Science. 37: 736-742. Wolfensohn S, Lloyd M. 2000. Handbook of Laboratory Animal Management and Welfare. Ed ke-2. London: Blackwell Science. 334 hlm. Woodrow P. 2004. Blood gas analysis. Nursing Standart 18:45-52.
152
153
LAMPIRAN 1 Campuran infusi ketamine-propofol dibuat dengan cara mengencerkan propofol (Propofol-Lipuro® 1%, BBraun) dengan cairan infusi NaCl 0,9% dengan perbandingan 1:4, ditambahkan ketamine HCl (Ketamil® 10%, Illium) sebanyak 2 mg/ml.
Contoh cara pembuatan campuran Ketamine-Propofol sebanyak 100 ml adalah sebagai berikut : Bahan
Propofol (Propofol-Lipuro® 1%, BBraun) Ketamine HCl (Ketamil® 10%, Illium) NaCl 0,9% Total Larutan Hasil : Ketafol 2 mg/ml, Volume 100 ml
Volume (ml) 20 2 78 100
154
LAMPIRAN 2 Nilai rata-rata ± simpangan baku (rata-rata±SD) darah dan kimia darah selama pemberian induksi atropine-xylazine-ketamine-propofol dan pemeliharaan anestesi secara infusi gravimetrik dengan ketamine dan propofol pada anjing Jenis Pengamatan Sel Darah Merah (x103/mm3) Sel Darah Putih (juta/mm3)
PCV (%)
Hb (gram %)
Netrofil (%)
Eusinofil (%)
Monosit (%)
Grup I
Grup II
Grup III
Grup IV
5,63 ±0,39a,α
5,78 ±0,99ab
5,58 ±0,77a
5,67 ±0,96
6,09 ±0,54ab
2
4,35 ±0,99b,β
5,38 ±0,37a
4,34 ±1,04b
5,22 ±0,55
5,30 ±0,83a
24
6,37 ±0,27a,α
6,65 ±1,32b
5,66 ±0,56a
5,59 ±0,24
6,51 ±0,88b
0
8,99 ±1,77
14,93 ±10,70
16,97 ±12,11
16,62 ±12,50
9,83 ±1,08
2
8,25 ±2,18
4,96 ± 2,46
21,15 ±12,59
15,17 ± 5,53
8,92 ±1,58
24
11,29 ±5,27
19,88 ±13,36
10,50 ± 3,70
15,77 ± 9,19
14,90 ±6,17
Kreatinin (mg/dL)
46,00 ± 2,32
42,00 ± 3,92
40,25 ±2,17
43,25 ±4,13
47,25 ±0,00a,α
2
32,19 ±12,84
32,95 ±12,58
27,17 ±6,85b,α
37,75 ±1,25ab
42,08 ±1,23b,β
24
39,31 ±13,55
35,88 ±12,87
49,00 ±0,00a,β
36,50 ±2,65b
47,75 ±1,06a,α
0
14,10 ±0,48
13,86 ±1,02
13,16 ±0,91
14,06 ±1,44
14,20 ±0,00
2
10,69 ±4,03
10,98 ±4,83
10,07 ±2,88
12,46 ±0,67
13,31 ±2,53
24
14,15 ±5,09
12,61 ±4,94
14,24 ±0,00
13,45 ±1,60
17,28 ±0,76
0
65,25 ±16,58
58,50 ±13,89
56,33 ±16,17
64,00 ± 4,36
68,00 ± 4,24
2
74,50 ± 6,45
47,00 ±18,81
57,33 ±15,28
60,67 ±30,29
67,50 ± 6,36
24
60,75 ± 6,24
47,50 ±11,73
57,00 ± 4,24
44,67 ±11,72
60,33 ±14,57
SGOT (U/L)
a
ab
0
5,25 ±2,99
7,50 ± 5.45
7,00 ±6,56
9,00 ± 4,36
7,50 ±2,12
2
6,75 ±3,86
15,50 ±10.79
5,67 ±2,08
2,67 ± 1,53a
8,00 ±4,58
b
24
5,75 ±3,77
12,25 ± 8.38
11,50 ±0,71
18,00 ±12,73
8,50 ±3,54
0
3,50 ±3,70
4,75 ±4.50
2,00 ±0,00
2,33 ±2,31
5,00 ±0,00
2
2,25 ±1,26
4,00 ±2.83
3,33 ±4,04
3,33 ±2,08
2,00 ±1,00
24
3,00 ±1,41
3,50 ±4.36
2,00 ±1,41
3,33 ±1,53
5,50 ±0,71
33,75 ±16.58
26,50 ±0,71
26,00 ± 0,00
26,00 ± 0,00
30,50 ±16.74
33,67 ±16,50
33,33 ±30,92
33,33 ± 9,54
2
a,αβ
27,50 ±10,28
b,α
14,00 ± 4,24
a,β
24
33,25 ± 5,62
36,75 ± 9.71
27,00 ± 0,00
40,00 ±13,21
40,00 ±14,85
0
0,18 ±0,12
0,33 ±0,28
0,21 ±0,16
0,18 ±0,06
0,46 ±0,15
2
0,51 ±0,14
0,50 ±0,24
0,32 ±0,29
0,37 ±0,15
0,54 ±0,35
24
0,48 ±0,28
0,58 ±0,27
0,56 ±0,04
0,40 ±0,26
0,79 ±0,12
0
SGPT (U/L)
a,αβ
Grup V
0
0
Limfosit (%)
Perlakuan
Waktu (Jam) 0
18,71 ± 9,74
a
13,96 ±4.98
ab
13,24 ±5,84
a,α
11,51 ±0,00a,αβ
b,β
15,54 ±2,45a,α
13,24 ±1,52
2
16,88 ±19,27
6,33 ±5.83
17,65 ±11,52
4,22 ±1,33
24
7,19 ± 2,42
4,99 ±2.90b
14,96 ± 0,00
3,45 ±1,99b,β
3,07 ±2,40b,β
0
9,50 ±10,61
6,91 ± 3.64
7,67 ±4,04
12,66 ±10,03
4,99 ± 3,52
2
7,69 ± 4,34
6,62 ± 6.60
8,82 ±5,79
2,30 ± 1,52
11,13 ± 4,35
24
10,36 ± 7,46
10,36 ±12,00
5,37 ±3,33
12,28 ± 5,79
11,89 ±10,06
Keterangan : PCV = Paked Cell Volume, SGPT = Serum Glutamic Pyruvate Transaminase, SGOT = Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase, Pada kolom (grup perlakuan) sama, hurup (a,b,c) berbeda = berbeda nyata (P<0,05), hurup (α,β,γ) berbeda = berbeda sangat nyata (P<0,01).