PERBANDINGAN STABILITAS ELEKTROKARDIOGRAM PADA ANJING DOMESTIK YANG DIANESTESI ANTARA KETAMIN, PROPOFOL DAN KOMBINASINYA
I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul: “Perbandingan Stabilitas Elektrokardiogram pada Anjing Domestik yang Dianestesi Antara Ketamin, Propofol, dan Kombinasinya”, adalah karya saya sendiri dengan bimbingan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Mei 2012 Yang Membuat Pernyataan
I Putu Gede Yudhi Arjentinia B351080011
ABSTRACT I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA. The comparison of the stability on electrocardiogram in anesthetized domestic dogs between ketamine with propofol, and its combination. Under the supervision Setyo Widodo and Deni Noviana. The aim of this study is to determine the comparison of stability on electrocardiogram in anesthetized dogs between ketamine, propofol, and its combination. The study was divided into 2 steps. In the first step, eighteen (18) experimental dogs were divided into three groups, group I received ketamine (4 mg/kgBW), group II propofol (4 mg/kgBW), and group III received combination of ketamine (4 mg/kgBW) and propofol (4 mg/kgBW). All groups were preanesthetized with combination of atropine sulphate (0,03 mg/kgBW) and xylazine (2 mg/kgBW), 10 minutes prior to the experiment. The observed parameters were the amplitude of P, R, and T, the interval of QRS, PQ, and QT electrocardiogram (ECG) wave of lead II, as well as heart rate and cardiac axis. The combination of ketamine and propofol yeilded a good depth of anesthesia, provide stability of the ECG is better than single administration of ketamine HCl anesthesia or propofol. In the second step, eighteen (18) experimental dogs were divided in to three groups. All groups are received 0.03 mg/kgBW atropin sulphate and 2 mg/kgBW xylazine intramuscularly and were induced with 4 mg/kgBW ketamine and propofol 4mg/kgBW intravenously respectively 10 minutes prior the experiment, and then received intravenous infusion by a gravimetric method to maintain the anaesthesia status, 20 minutes prior to the experiment. Group I were received ketamine (0.4 mg/kgBW/minutes) infusion, group II propofol (0.4 mg/kgBW/minutes), and group III combination of ketamine (0.4 mg/kgBW/minutes) and propofol (0.4 mg/kgBW/minutes) respectively. The observed parameters were the amplitude of P, R, and T, the interval of QRS, PQ, and QT ECG wave of lead II, as well as heart rate and cardiac axis. The intravenous drip by gravimetric infusion anaesthesia in combination with ketamine and propofol provides stability of the ECG better than single ketamine or propofol. Keyword: Anaesthesia, Propofol, Ketamine, Electrocardiogram, Dogs
RINGKASAN I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA. Perbandingan stabilitas elektrokardiogram pada anjing domestik yang dianestesi antara ketamin, propofol, dan kombinasinya. Dibimbing oleh Setyo Widodo dan Deni Noviana. Pemberian anestetik jangka panjang dapat menyebabkan perubahanperubahan pada sistem kardiovaskular yang cenderung menimbulkan aritmia jantung. Penilaian elektrokardiogram (EKG) selama hewan teranestesi dapat mencegah terjadinya aritmia jantung. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang dianestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya serta perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang teranestesi dengan ketamin HCl, propofol dan kombinasinya dengan tetes infus secara gravimetrik. Penelitian dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk melihat gambaran EKG sadapan II pada anjing yang diberikan ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya dengan preanestesi kombinasi atropin sulfat–xylazin HCl. Digunakan 18 ekor anjing, dibagi menjadi tiga kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor anjing, yaitu kelompok I, II, dan III, yang diberikan kombinasi preanestesi atropin sulfat dosis 0,03 mg/kgBB dan xylazin HCl dosis 2 mg/kgBB secara intramuskular (IM) dan 10 menit kemudian diinduksi secara intravena (IV) dengan ketamin HCl dosis 4 mg/kgBB (kelompok I), propofol dosis 4 mg/kgBB (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl dosis 4 mg/kgBB dan propofol dosis 4 mg/kgBB (kelompok III). Pengambilan data dilakukan sebelum perlakuan atau menit ke-0, setiap 10 menit sampai menit ke90. Parameter yang diamati adalah amplitudo gelombang P, R, dan T; interval gelombang QRS, PQ, dan QT pada sadapan II; serta denyut jantung dan aksis jantung. Kestabilan EKG anjing yang paling baik terlihat pada pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol dibandingkan dengan pemberian tunggal anestesi ketamin HCl atau propofol. Penelitian kedua dilakukan untuk melihat gambaran EKG anjing yang diberikan pemeliharaan anestesi dengan tetes infus intravena secara gravimetrik. Digunakan 18 ekor anjing yang dibagi menjadi tiga kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor anjing. Semua anjing diberikan preanestesi atropin sulfat (0,03 mg/kgBB) dan xylazine HCl (2 mg/kgBB) secara IM, 10 menit kemudian diinduksi dengan kombinasi ketamin HCl (4 mg/kgBB) dan propofol (4 mg/kgBB) secara IV, dan 10 menit kemudian dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi dengan dengan metode tetes infus intravena secara gravimetrik dengan ketamin HCl 0,4 mg/kgBB/menit (kelompok I), propofol 0,4 mg/kgBB/menit (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl 0,4 kg/kgBB/menit dan propofol 0,4 mg/kgBB/menit (kelompok III). Infus IV diberikan sampai menit ke-120. Pengukuran EKG diambil dari menit ke-0 sampai dengan menit ke-140. Parameter yang diamati adalah amplitudo gelombang P, R, dan T; interval gelombang QRS, PQ, dan QT pada sadapan II; serta denyut jantung dan aksis jantung. Kestabilan EKG anjing yang paling baik terlihat pada pemberian pemeliharaan anestesi tetes infus intravena secara gravimetrik dengan kombinasi ketamin HCl-propofol dibandingkan dengan pemberian tunggal ketamin HCl atau propofol saja. Kata kunci: Anestesia, Propofol, Ketamin HCl, Elektrokardiogram, Anjing
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
PERBANDINGAN STABILITAS ELEKTROKARDIOGRAM PADA ANJING DOMESTIK YANG DIANESTESI ANTARA KETAMIN, PROPOFOL DAN KOMBINASINYA
I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. drh. Sri Estuningsih, M.Si., APVet.
Judul Tesis
:
Perbandingan Stabilitas Elektrokardiogram pada Anjing Domestik yang Dianestesi Antara Ketamin, Propofol dan Kombinasinya
Nama
:
I Putu Gede Yudhi Arjentinia
NRP
:
B351080011
Program Studi
:
Ilmu Biomedis Hewan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Setyo Widodo Ketua
drh. Deni Noviana, PhD. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan
Dekan Sekolah Pascasarjana-IPB
drh. H. Agus Setiyono, MS., Ph.D., APVet
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 19 Maret 2012
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Perbandingan Stabilitas Elektrokardiogram pada Anjing Domestik yang Dianestesi Antara Ketamin, Propofol dan Kombinasinya”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Setyo Widodo dan drh. Deni Noviana, Ph.D. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan nasehat, pengarahan, saran, serta pembimbingan dengan penuh ketulusan dan kesabaran. Rasa terima kasih penulis sampaikan pula kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Rektor Universitas Udayana, Dekan FKH Universitas Udayana, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Mayor IBH Sekolah Pascasarjana IPB, Direktur Rumah Sakit Hewan Pendidikan IPB, dan Ketua Departemen KRP FKH IPB yang telah membantu fasilitas dan pelayanan selama studi. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IPB, teman-teman Punawacana serta adik-adik asrama Wyata Brahmacarya atas dukungan, motivasi, dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada istri tercinta Ni Ketut Nova Ariani, SE serta kedua anak-anak tersayang Putu Kartika Widya Arjentinia dan Made Sastra Dhyatmika Arjentinia atas segala doa, kesabaran, motivasi, pengorbanan, dan kasih sayangnya. Tidak lupa juga penulis sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta, mertua, dan seluruh keluarga atas doa, motivasi, dan pengorbanan yang tak pernah putus. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP I Putu Gede Yudhi Arjentinia, dilahirkan di Mendoyo Dangin Tukad pada tanggal 14 Juli 1978, merupakan putra pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ayah I Wayan Jendra, SPd (Alm.) dan Ibu Ni Putu Armoni, SPd. Menikah dengan Ni Ketut Nova Ariani, SE dan telah dikaruniai dua orang putra Putu Kartika Widya Arjentinia dan Made Sastra Dhyatmika Arjentinia. Pendidikan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Umum (SMU) penulis tempuh di Kabupaten Jembrana, Bali. Pada tahun 1997 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH–IPB) lewat jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2001 penulis berhasil memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) IPB dan di tempat yang sama penulis meraih gelar Dokter Hewan (drh) pada tahun 2003. Sejak tahun 2005 penulis diangkat menjadi PNS (dosen) di FKH Universitas Udayana, Bali ditempatkan pada Bagian Klinik Hewan.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
iv
PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... Kerangka Pemikiran ............................................................................. Tujuan Penelitian .................................................................................. Manfaat Penelitian ................................................................................ Hipotesis ..............................................................................................
1 3 4 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Fisioanatomi Jantung ............................................................................ Syaraf Jantung ...................................................................................... Elektrofisiologi dan Konduksi Jantung ................................................ Elektrokardiografi ................................................................................. Aksis Jantung ........................................................................................ Xylazin HCl .......................................................................................... Atropin Sulfat ....................................................................................... Ketamin HCl ......................................................................................... Propofol .................................................................................................
5 6 10 15 21 23 24 24 26
MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................... Materi Penelitian ................................................................................... Metode Penelitian dan Parameter Penelitian ........................................ Alat dan Bahan ...................................................................................... Pengambilan Sadapan EKG .................................................................. Protokol Pengukuran EKG .................................................................... Rancangan Penelitian dan Intepretasi Hasil Penelitian .........................
29 29 30 30 31 31 32
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik ................................................................................. Pemberian Preanestesi dan Induksi Anestesi ........................................ Amplitudo Gelombang P ................................................................. Amplitudo Gelombang R ................................................................. Interval Gelombang QRS ................................................................. Interval Gelombang PQ ................................................................... Interval Gelombang QT ................................................................... Amplitudo Gelombang T .................................................................
33 33 36 38 40 42 44 46
i
Denyut Jantung ................................................................................ Aksis Jantung ................................................................................... Pemberian Preanestesi, Induksi, dan Pemeliharaan Anestesi ............... Amplitudo Gelombang P ................................................................. Amplitudo Gelombang R ................................................................. Interval Gelombang QRS ................................................................. Interval Gelombang PQ ................................................................... Interval Gelombang QT ................................................................... Amplitudo Gelombang T ................................................................. Denyut Jantung ................................................................................ Aksis Jantung ................................................................................... Pembahasan Hipotesis .....................................................................
47 49 51 53 55 57 59 61 62 64 66 68
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ........................................................................................... Saran .....................................................................................................
71 71
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
73
LAMPIRAN ..................................................................................................
77
ii
DAFTAR TABEL
No. 1.
2.
3.
4.
5.
Teks
Halaman
Kisaran sadapan elektrokardiogram (EKG) normal pada anjing .............................................................................................
21
Metode penentuan aksis jantung dengan metode defleksi tertinggi .........................................................................................
23
Rata-rata 18 ekor hasil pemeriksaan anjing yang dipergunakan untuk penelitian .............................................................................
33
Nilai rata-rata dan simpangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II amplitudo gelombang P, amplitudo gelombang R, amplitudo gelombang T, gelombang QRS, interval PQ, interval QT, denyut jantung, dan aksis jantung sebelum teranestesi, selama preanestesi dengan atropin sulfat sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi dengan ketamin HCl HCl, propofol, dan kombinasi ketamin HCl HCl-propofol ...................
35
Nilai rata-rata dan simpangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II amplitudo gelombang P, amplitudo gelombang R, amplitudo gelombang T, gelombang QRS, interval PQ, interval QT, denyut jantung, dan aksis jantung sebelum teranestesi, selama preanestesi dengan atropin sulfatxylazin, induksi anestesi dengan kombinasi ketamin HClpropofol, dan pemeliharaan anestesi tetes infus intravena secara gravimetrik dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasi ketamin HCl-propofol ...................................................................
52
iii
DAFTAR GAMBAR
No. 1.
Teks
Halaman
Peranan EKG pada perubahan sistem kardiovaskular karena pemberian anestesi ........................................................................
3
2.
Gambaran penampang jantung ......................................................
6
3.
Pengaruh perangsangan oleh syaraf vagus ....................................
7
4.
Pengaruh perangsangan syaraf simpatis pada jantung ..................
8
5.
Mekanisme terjadinya curah jantung ............................................
9
6.
Diagram fase potensial aksi ..........................................................
11
7.
Gambaran skematik terjadinya depolarisasi dan repolarisasi pada otot jantung ....................................................................................
13
8.
Gambaran skematik penyebaran sistem konduksi jantung ............
14
9.
Ilustrasi diagram bidang frontal pada potongan melintang jantung yang ditandai dengan derajat-derajat sudut orientasi ......
16
Ilustrasi enam sadapan ekstremitas yang bergantian berperan sebagai kutub positif atau negatif ..................................................
17
11.
Kertas rekam EKG beserta gambaran EKG normal ......................
18
12.
Gambaran aksis jantung anjing .....................................................
22
13.
Perubahan rata-rata gelombang P sadapan II sebelum teranestesi, setelah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) ...............................................................................
36
Perubahan rata-rata amplitudo gelombang R sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) ........................................................
39
10.
14.
iv
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Perubahan rata-rata interval gelombang QRS sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) .........................................................
41
Perubahan rata-rata interval PQ sadapan kedua sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) .........................................................
42
Perubahan rata-rata interval QT sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) ...............................................................................
44
Perubahan rata-rata amplitudo gelombang T sadapan kedua sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) ...........................................
46
Perubahan rata-rata denyut jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) ...............................................................................
48
Perubahan rata-rata aksis jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) ...............................................................................
50
Perubahan rata-rata amplitudo gelombang P sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfatxylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (Kelompok III) ..............................................................................
53
v
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
Perubahan rata-rata amplitudo gelombang R sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfatxylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HClpropofol (Kelompok III).................................................................
55
Perubahan rata-rata interval gelombang QRS sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfatxylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HClpropofol (Kelompok III) ................................................................
57
Perubahan rata-rata interval PQ sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (Kelompok III) ..............................................................................
59
Perubahan rata-rata interval QT sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (Kelompok III) ..............................................................................
61
Perubahan rata-rata amplitudo gelombang T sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfatxylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HClpropofol (Kelompok III) ................................................................
63
Perubahan rata-rata denyut jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (Kelompok III) ..............................................................................
65
Perubahan rata-rata aksis jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (Kelompok III) ..............................................................................
67
vi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pemberian anestetikum pada hewan akan membuat hewan tidak peka terhadap rasa nyeri, sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Anestesikum dapat diberikan secara tunggal maupun dalam bentuk balance anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007). Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan oleh ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri, ingatan, respon terhadap rangsangan atau refleks serta gerak spontan dan kesadaran. Anestesi umum terdiri atas beberapa tahapan, yaitu preanestesi, induksi, pemeliharaan, dan pemulihan. Pemberian anestetikum dapat mempengaruhi otak, otot, sistem respirasi, dan sistem kardiovaskular. Pada tahap induksi dan pemeliharaan anestesi, sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan status teranestesi terhadap sistem kardiovaskular dan respirasi. Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang paling terpengaruh oleh pemberian anestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Narbutas dan Lekas 2002; Tranquilli et al. 2007). Jantung merupakan organ tubuh yang bekerja sebagai pompa darah dengan melakukan tekanan terhadap darah sehingga dapat mengalir ke jaringan. Secara fisiologis fungsi jantung sebagai organ sirkulasi untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh, yaitu membawa zat makanan ke jaringan tubuh dan produkproduk tidak berguna dari jaringan tubuh, menghantarkan hormon dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dan secara umum memelihara lingkungan yang sesuai dalam seluruh jaringan tubuh agar sel dapat bertahan hidup dan berfungsi secara optimal (Guyton dan Hall 2006). Jantung diinervasi oleh sistem syaraf otonom yaitu syaraf simpatis dan parasimpatis. Syaraf parasimpatis berasal dari pusat syaraf vagus di medula oblongata, serabut-serabutnya akan bergabung dengan serabut simpatis di dalam plexus cardialis. Syaraf parasimpatis (syaraf
2
vagus) terutama menginervasi pada nodus sinoatrial (NSA), atrioventrikular (NAV), serabut-serabut otot atrium, dan menyebar ke ventrikel kiri (Guyton dan Hall 2008). Penurunan denyut jantung pada kondisi teranestesi adalah normal, akibat adanya pengaruh sebagian besar anestetikum yang dapat menekan jantung dan fungsi miokardium. Hanya beberapa anestetikum yang dapat meningkatkan denyut jantung seperti atropin sulfat, ketamin, dan tiletamin (McKelvey dan Hollingshead 2003). Selama dalam keadaan teranestesi, jantung dapat diamati dengan alat elektrokardiograf untuk melihat gambaran elektrokardiogram (EKG). Rekaman konduksi listrik jantung digunakan secara klinis untuk mendiagnosa fungsi kelistrikan jantung. Alat elektrokardiograf digunakan untuk melihat gambaran EKG dan denyut jantung (Cunningham 2002). Gambaran EKG memberikan informasi perubahan-perubahan fungsi elektrofisiologis yang berhubungan dengan jantung diantaranya ritme jantung, konduksi, depolarisasi dan repolarisasi yang tidak dapat menggunakan metode yang lain (Hanton dan Rabemampianina 2006). Denyut jantung, gambaran EKG dan tekanan darah arteri adalah parameter penting pada sistem kardiovaskular yang harus diperhatikan selama melakukan tindakan anestesi maupun pembedahan (Muir et al. 2000). Gambaran EKG direkam berdasarkan perbedaan potensial listrik melalui elektroda-elektroda yang diletakkan pada permukaan tubuh. Hasil rekaman digambarkan ke dalam kertas rekaman yang mempunyai garis kalibrasi. Fungsi alat elektrokardiograf adalah sebagai alat pemeriksaan rutin digunakan untuk mengevaluasi adanya kelainan jantung, pengawasan selama anestesi dan pembedahan, pemeriksaan rutin jantung, mengetahui adanya abnormalitas elektrolit tubuh, dan sumber data untuk informasi dan konsultasi terutama pada pemberian obat yang berhubungan dengan jantung (Edwards 1993; Hanton dan Rabemampianina 2006; Nelson 2003).
Kerangka Pemikiran Anestetikum yang ideal memenuhi kriteria anestesi, yaitu sedasi, analgesi, relaksasi, ketidaksadaran, aman untuk sistem vital tubuh, ekonomis, dan mudah diaplikasikan. Anestesi umum inhalasi yang dipandang aman, memerlukan
3
perangkat yang rumit, mahal, dan mempunyai waktu induksi yang relatif lambat serta tidak praktis untuk penanganan hewan di lapangan. Anestesi umum secara parenteral merupakan alternatif yang mungkin dilakukan karena lebih ekonomis dan praktis untuk penanganan hewan di lapangan, tetapi menghasilkan anestesi yang kurang stabil dan sering memerlukan penambahan dosis jika tidakan medis memerlukan waktu yang lebih lama. Metode anestesi yang lebih praktis adalah metode tetes infus intravena (IV) secara gravimetrik. Metode infus gravimetrik menggunakan anestetikum parenteral melalui tetes infus IV secara terus menerus, anestetikum dicampur dalam kantong cairan infus dan dialirkan melalui tetes infus IV berdasarkan gaya gravitasi dengan dosis dan kecepatan tertentu. Pemberian anestetikum dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada sistem kardiovaskular yang cenderung menimbulkan terjadinya aritmia jantung. Penilaian EKG selama hewan teranestesi mempunyai arti yang sangat penting untuk nantinya mencegah terjadinya aritmia jantung akibat timbulnya kondisi stress yang berhubungan dengan pembedahan dan prosedur anestetika. Untuk mengetahui kestabilan gambaran EKG pada anjing yang diberikan anestesi kombinasi ketamin HCl–propofol sebagai agen induksi anestesi dan pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan premedikasi atropin sulfat–xylazin HCl. Alur kerangka pemikiran terhadap peranan EKG pada perubahan listrik jantung karena pemberian anestesi seperti pada Gambar 1.
Anjing sehat teranestesi
Dilihat gambaran EKG normal
Perubahan sistem kardiovaskular
EKG: lead II Denyut jantung, Aksis jantung
Cegah Stres karena pembedahan dan anestetikum
Gambar 1 Peranan EKG pada perubahan listrik jantung karena pemberian anestesi
4
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Memperoleh perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang dianestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya dengan preanestesi atropin sulfatxylazin HCl 2. Memperoleh perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang teranestesi dengan metode tetes infus intravena (IV) secara gravimetrik antara ketamin HCl, propofol dan kombinasinya.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut, yaitu: 1. Memberikan informasi mengenai anestetikum yang memberikan kestabilan listrik yang paling baik antara ketamin HCl dan propofol dengan kombinasinya. 2. Memberikan informasi mengenai bahan untuk pemeliharaan status anestesi dengan metode tetes infus IV secara gravimetrik antara ketamin HCl dan propofol dengan kombinasinya
Hipotesis 1. Kombinasi ketamin HCl-propofol memberikan kestabilan listrik jantung yang lebih baik daripada pemberian tunggal ketamin HCl atau propofol saja. 2. Pemberian pemeliharaan anestesi dengan kombinasi ketamin HCl-propofol dengan metode infus IV secara gravimetrik memberikan kestabilan listrik jantung yang lebih baik daripada pemberian tunggal ketamin HCl atau propofol saja.
5
TINJAUAN PUSTAKA Fisioanatomi Jantung Anatomi jantung terdiri dari empat ruang yaitu atrium kanan dan kiri, serta ventrikel kanan dan kiri yang dipisahkan oleh septum. Jantung dibungkus oleh suatu lapisan jaringan ikat yang disebut perikardium. Darah vena mengalir ke dalam jantung melalui vena cava superior dan inferior kemudian masuk ke dalam atrium kanan, yang tertampung selama fase sistol ventrikel. Ventrikel kanan berbentuk bulan sabit atau setengah bulatan. Secara fungsional ventrikel kanan dapat dibagi dalam alur masuk dan alur keluar. Ruang alur masuk ventrikel kanan (right ventricular inflow tract) dibatasi oleh katup trikuspidalis, trabecular anterior dan dinding inferior ventrikel kanan. Sedangkan alur keluar ventrikel kanan (right ventricular outflow tract) berbentuk tabung atau corong, berdinding licin terletak di bagian superior ventrikel kanan yang disebut infundibulum atau conus arteriosus. Alur masuk dan alur keluar dipisahkan oleh crista supraventrikular yang terletak tepat di atas daun katup trikuspidalis (Guyton dan Hall 2008). Atrium kiri menerima darah dari empat vena pulmonal yang bermuara pada dinding postero-superior atau postero-lateral, masing-masing sepasang vena kanan dan kiri. Dinding atrium kiri sedikit lebih tebal daripada dinding atrium kanan. Ventrikel kiri berbentuk lonjong seperti telur, dimana bagian ujungnya mengarah ke antero-inferior kiri menjadi apex cordis. Bagian dasar ventrikel tersebut adalah annulus mitral. Tebal dinding ventrikel kiri adalah 2-3 kali lipat dinding ventrikel kanan (Guyton dan Hall 2008; Sherwood 2001). Katup jantung terdiri atas empat katup yaitu katup trikuspidalis yang memisahkan atrium kanan dengan ventrikel kanan, katup mitral atau bikuspidalis yang memisahkan antara atrium kiri dengan ventrikel kiri, serta dua katup semilunar yaitu katup pulmonal dan katup aorta, sedangkan katup pulmonal adalah katup yang memisahkan ventrikel kanan dengan arteri pulmonalis. Katup aorta adalah katup yang memisahkan ventrikel kiri dengan aorta (Sherwood 2001). Gambar skematik penampang jantung seperti pada Gambar 2.
6
Gambar 2 Gambaran penampang jantung anjing (O’Grady dan O’Sullivan 2004)
Syaraf Jantung Efektivitas pompa jantung dikendalikan oleh syaraf parasimpatis (syaraf vagus) yang sangat banyak menyuplai jantung dan syaraf simpatis. Perangsangan syaraf vagus akan menyebabkan pelepasan hormon asetilkolin pada ujung syaraf vagus. Hormon asetilkolin akan dapat menurunkan irama nodus sinus dan menurunkan eksitabilitas serabut-serabut penghubung nodus atrioventrikular (NAV), sehingga akan menghambat penjalaran impuls jantung yang menuju ventrikel. Hormon asetilkolin juga akan meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion kalium, sehingga akan mempermudah terjadinya kebocoran kalium yang cepat dari serabut-serabut konduksi yang mengakibatkan peningkatan kenegatifan di dalam serabut (hiperpolarisasi). Kejadian hiperpolarisasi dapat menyebabkan penurunan denyut jantung. Peningkatan permeabilitas membran terhadap ion kalium akan menghambat masuknya ion kalsium, sehingga dapat menyebabkan penurunan kekuatan kontraksi ventrikel dan denyut jantung yang disebut
sebagai
inotropik
negatif.
Keadaan
hiperpolarisasi
pada
NAV
menyebabkan perangsangan syaraf vagus akan menyulitkan serabut atrium
7
mencetuskan listrik dalam jumlah yang cukup untuk merangsang serabut nodus. Penurunan arus listrik yang sedang hanya akan memperlambat konduksi impuls, namun penurunan yang besar akan menghambat konduksi secara keseluruhan (Guyton dan Hall 2008; Rogers 1999). Mekanisme perangsangan syaraf vagus seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Perangsangan Syaraf Vagus
Nodus Sinoatrial (NSA)
Meningkatkan Permeabilitas Membran Terhadap Ion Kalium
Hiperpolarisasi
Nodus Atrioventrikular (NAV)
Penurunan Arus Listrik
Penurunan Konduksi Impuls (Dromotropik Negatif)
Otot Atrium
Penghambatan Masuknya Ion Kalsium Melalui Membran
Penurunan Kontraksi Otot Jantung (Inotropik Negatif)
Denyut Jantung Menurun (Kromotropik Negatif) Gambar 3 Mekanisme perangsangan oleh syaraf vagus (Guyton dan Hall 2008)
Perangsangan syaraf simpatis pada jantung akan menimbulkan pengaruh yang berlawanan dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh perangsangan syaraf vagus. Perangsangan syaraf simpatis akan melepaskan hormon norepinefrin yang dapat meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion natrium dan kalsium. Pada nodus sinus, peningkatan permeabilitas natrium-kalsium akan menyebabkan potensial membran istirahat akan menjadi lebih positif dan dapat menyebabkan peningkatan kecepatan penyimpangan ke atas dari potensial membran diastolik
8
menuju nilai ambang untuk mempercepat self exitation sehingga akan meningkatkan frekuensi denyut jantung. Di dalam NAV dan berkas AV, peningkatan permeabilitas natrium–kalsium akan membuat potensial aksi lebih mudah merangsang serabut berikutnya sehingga akan meningkatkan konduksi impuls. Adanya pengaruh syaraf simpatik, peningkatan permeabilitas ion kalsium dapat menyebabkan peningkatan kontraksi jantung, sebab ion kalsium mempunyai peran yang sangat kuat dalam merangsang proses kontraksi miofibril otot jantung, sehingga dapat bersifat inotropik positif (Guyton dan Hall 2008; Rogers 1999). Mekanisme perangsangan syaraf simpatis pada jantung seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Perangsangan Syaraf Simpatis
Nodus Sinoatrial (NSA)
Permeabilitas Membran Terhadap ion Na dan Ca Meningkat, penurunan ion K
Hipopolarisasi
Nodus Atrioventrikular (NAV)
Otot Atrium dan Ventrikel
Perangsangan BerkasNAV
Peningkatan Permeabilitas Ion Kalsium
Peningkatan Konduksi Impuls (Dromotropik Positif)
Peningkatan Kontraksi Otot Jantung (Inotropik Positif)
Denyut Jantung Meningkat (Kromotropik positif) Gambar 4 Pengaruh perangsangan syaraf simpatis pada jantung (Guyton dan Hall 2008)
9
Pengaruh perangsangan syaraf vagus dan syaraf simpatis pada jantung juga dapat mempengaruhi cardiac output (curah jantung). Perangsangan syaraf simpatis akan dapat meningkatkan jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap menitnya (curah jantung), karena adanya peningkatan tekanan atrium. Sebaliknya, perangsangan syaraf parasimpatis akan menurunkan nilai curah jantung, bahkan pada titik nol. Selain karena pengaruh denyut jantung, curah jantung diperngaruhi juga oleh stroke volume pada otot jantung. Stroke volume dipengaruhi oleh perangsangan syaraf simpatis, hormon epinefrin pada plasma, dan volume akhir diastolik. Perangsangan syaraf simpatis dan pengaruh hormon epinefrin akan menyebabkan peningkatan stroke volume. Volume akhir diastolik juga berbanding lurus dengan stroke volume. Hubungan volume akhir diastolik dengan stroke volume berlaku hukum Frank-Starling pada jantung, yaitu semakin besar otot jantung direnggangkan selama pengisian, semakin besar kekuatan kontraksi dan semakin besar pula jumlah darah yang dipompa ke dalam aorta (Guyton dan Hall, 2008; Rogers 1999). Mekanisme terjadinya curah jantung digambarkan seperti ditunjukkan pada Gambar 5.
Aktivitas Syaraf Parasimpatis (Menurun)
Aktivasi Syaraf Simpatis Epinefrin (Meningkat)
Denyut Jantung/ Nodus SA (Meningkat)
Volume Akhir Diastolik (Meningkat)
Stroke Volume (Meningkat)
Cardiac Output (Curah Jantung)
Gambar 5 Mekanisme terjadinya curah jantung (Guyton dan Hall 2008)
10
Elektrofisiologi dan Konduksi Jantung Setiap sel termasuk sel jantung, dilapisi oleh membran sel yang memisahkan bagian luar dan bagian dalam sel. Adanya membran sel akan memungkinkan terjadinya perpindahan ion yang mempunyai konsentrasi berbeda untuk menjaga keseimbangan pada bagian intraseluler dan ekstraseluler. Perbedaan voltase antara di dalam dan luar sel otot jantung akan menyebabkan terbuka
atau
menutupnya
ion-channel.
Jika
ion-channel
terbuka
akan
memungkinkan terjadinya perpindahan ion melewati membran sel. Perbedaan konsentrasi antara intraseluler dan ekstraseluler dibentuk dan dijaga oleh adanya pompa sodium, yaitu ion Na+, K+, ATP-ase yang sudah terdapat di dalam sel. Pompa sodium berperan penting dalam menjaga keseimbangan proses bioelektrikal sel-sel pacu jantung (Kusumoto 2009). Kontraksi otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan oleh potensial aksi yang menyebar melalui membran sel otot. Jantung berkontraksi atau berdenyut secara berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkan sendiri, suatu sifat yang dikenal dengan otoritmisitas. Terdapat dua jenis sel otot jantung yaitu sebagian besar terdiri atas sel otot jantung kontraktil yang melakukan kerja mekanis, yaitu memompa. Sel-sel pekerja ini dalam keadaan normal tidak menghasilkan sendiri potensial aksi. Sebaliknya, sebagian kecil sel sisanya adalah sel otoritmik, sel yang tidak berkontraksi namun mengkhususkan diri mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi yang bertanggung jawab terhadap kontraksi sel-sel pekerja (Guyton dan Hall 2008). Perbandingan muatan ion antara di dalam dan luar sel relatif seimbang, dimana pada fase polarisasi muatan ion positif khususnya Na+ berada di luar sel. Secara fisiologi bahwa proses terjadinya bioelektrikal secara terus menerus tanpa adanya pengaruh luar. Proses ini dapat berjalan lambat atau cepat akibat pengaruh sistem inervasi syaraf serta gangguan keseimbangan elektrolit. Jika permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ meningkat, sehingga ion Na+ masuk ke dalam sel secara mendadak (fase ke-0), setelah itu proses depolarisasi terjadi pada fase ke-1 dan ke-2 dimana muatan dalam sel relatif positif, sesaat setelah depolarisasi ion K+ keluar dari dalam sel. Fase ke-2 atau fase plateau, setelah ambang tercapai, terjadi fase naik dari potensial aksi sebagai respon terhadap pengaktifan saluran
11
ion Ca2+. Pada fase ke-3, pompa sodium akan berperan optimal untuk mengembalikan keseimbangan muatan ion antara di dalam dan luar sel. Pompa sodium akan mengeluarkan ion Na+ dari sel dan memasukan ion K+ dari luar sel. Pada fase ke-4, membran sel siap untuk menerima perubahan untuk mengulang aksi potensial (Kusumoto 2009; Luna 2007). Fase diagram potensial aksi jantung seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Diagram fase potensial aksi (http://www.cvphysiology.com)
Menurut Thaler (2009) dari sudut pandang elektrokardiografi, jantung tersusun atas tiga tipe sel, yaitu 1) sel pacu jantung, 2) sel penghantar listrik, dan 3) sel miokardium. Sel pacu jantung banyak terdapat di bagian atas atrium kanan yang disebut nodus sinoatrial (NSA). Sel-sel NSA mencetuskan impuls bergantung pada aktivitas syaraf otonom misalnya stimulasi simpatik dari adrenalin akan mempercepat NSA sedangkan syaraf vagus memperlambat serta bergantung pada kebutuhan tubuh akan adanya peningkatan curah jantung. Sel penghantar listrik merupakan sel yang tipis dan panjang. Seperti halnya kabel sirkuit listrik, sel-sel ini menghantarkan arus listrik dengan cepat dan efisien ke seluruh daerah jantung. Sel penghantar listrik di ventrikel akan membentuk jalur listrik yang berbeda. Sistem jalur konduksi di atrium lebih bervariasi, salah satunya adalah adanya serabut-serabut di puncak septum intra-
12
atrium di berkas Bachman yang memungkinkan adanya aktivasi yang cepat dari atrium kiri ke atrium kanan. Sel miokardium adalah sel yang menyusun jaringan jantung. Miokardium bertanggung jawab atas kerja kontraksi dan relaksasi berulang-ulang sehingga dapat mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Sel miokardium banyak mengandung protein kontraktil aktin dan miosin. Adanya depolarisasi menyebabkan kalsium dilepaskan ke dalam sel miokardium yang memungkinkan protein kontraktil aktin dan miosin berinteraksi dan menyebabkan sel berkontraksi. Sel miokardium dapat menghantarkan arus listrik sama seperti sel penghantar listrik tetapi kurang efisien. Setiap siklus jantung terdiri dari urutan peristiwa listrik dan mekanik yang saling terkait. Gelombang arus listrik tersebar dari NSA melalui sistem penghantar menuju miokardium untuk merangsang kontraksi otot yang dikenal dengan depolarisasi, kemudian diikuti oleh pemulihan listrik kembali yang disebut repolarisasi. Respon mekaniknya adalah sistolik yaitu kontraksi otot dan diastolik yaitu relaksasi otot. Aktivitas listrik dari sel dicatat secara grafik dengan perantaraan elektroda intrasel mempunyai bentuk yang khas, yang disebut potensial aksi. Aktivitas listrik dari sel miokardium dapat dilihat pada suatu gambaran elektrokardiogram (EKG). Gelombang-gelombang EKG berkorelasi dengan penyebaran rangsangan listrik melalui sistem penghantar dan miokardium (Kusumoto 2009). Dalam keadaan istirahat, sel jantung berada dalam keadaan terpolarisasi secara elektris, yaitu bagian dalamnya bermuatan lebih negatif daripada luarnya. Polaritas listrik ini dijaga oleh pompa membran yang menjamin agar ion-ion (terutama Na+, Cl-, K+, dan Ca2+) yang diperlukan untuk mempertahankan bagian dalam sel supaya relatif bersifat elektronegatif, seperti ditunjukkan pada Gambar 7.1 (Thaler 2009).
13
1
4
2
5
3
6
Gambar 7 Gambaran skematik terjadinya depolarisasi dan repolarisasi pada otot Jantung (Kusumoto 2009)
Menurut Guyton dan Hall (2008) dan Kusumoto (2009) proses depolarisasi dan repolarisasi dijelaskan sebagai berikut: 1. Proses depolarisasi diperlihatkan sebagai muatan positif di sisi dalam dan muatan negatif di sisi luar. Separuh bagian pertama dari serabut sudah terdepolarisasi, sementara separuh lagi masih dalam keadaan polarisasi. Oleh karena itu, elektroda kiri yang terletak di luar serabut berada pada daerah kenegatifan dan elektroda kanan berada pada daerah kepositifan, seperti pada Gambar 7.2. 2. Pada Gambar 7.3 dan 7.4, digambarkan proses depolarisasi telah menyebar ke seluruh serabut otot dan rekaman sebelah kanan sudah kembali ke garis dasar nol karena kedua elektroda memiliki kenegatifan yang sama. Gelombang yang telah mengakhiri penjalarannya disebut gelombang depolarisasi, karena gelombang ini timbul dari penyebaran depolarisasi sepanjang membran serabut otot. 3. Pada Gambar 7.5 menunjukkan proses repolarisasi pada separuh bagian yang terjadi di dalam serabut otot yang sama, dengan kepositifan kembali ke sisi luar dari serabut otot. Pada titik ini, elektroda kiri berada pada daerah
14
kenegatifan. Akibatnya, rekaman yang ditunjukkan di sebelah kanan akan menjadi negatif. 4. Pada Gambar 7.6, seluruh serabut otot telah mengalami repolarisasi dan kedua elektroda mengalami kepositifan, sehingga tidak ada perbedaan potensial listrik yang dapat direkam di antara kedua elektroda. Gelombang negatif yang telah mengakhiri penjalaran disebut gelombang repolarisasi, sebab gelombang ini berasal dari penyebaran proses repolarisasi di sepanjang membran serabut otot. Sistem konduksi jantung menggambarkan arah arus listrik jantung yang akan terekam sebagai hasil sadapan EKG. Sistem konduksi jantung yang berperan dalam EKG antara lain nodus sinoatrial (NSA), nodus atrioventrikular (NAV), berkas His, dan serabut Purkinje. Gambar skematis penyebaran sistem konduksi jantung melalui jaringan khusus seperti ditunjukkan pada Gambar 8.
Aorta
Atrial exitation Exitation across AV node Exitation of ventricles begins
Sino-atrial (SA) node Pulmonary artery Left atrium
Atrioventricular Bundle (HIS) Right atrium
Left ventricle
Atrio ventricular (AV) node
Right ventricle
Interventricular septum
Gambar 8 Gambaran skematik penyebaran (http://faculty.ksu.edu.sa)
sistem konduksi
jantung
Impuls listrik jantung dihasilkan oleh NSA, yang disebut juga Pacemaker. NSA terletak di batas atrium kanan dan vena cava superior. Sel-sel NSA bekerja secara otomatis dan teratur mengeluarkan impuls listrik yang kemudian menjalar ke atrium menuju NAV yang terletak di sekat internodus bagian sebelah kanan di
15
atas katup trikuspidalis, sehingga menyebabkan terjadinya depolarisasi atrium. Proses penyebaran pacuan jantung dalam miokardium atrium berlangsung dari sel yang satu ke sel yang lainnya, berkat adanya syncitial myocardium (Kusumoto 2009).
Elektrokardiografi Alat elektrokardiograf ditemukan pertama kali oleh Willem Einthoven pada abad ke-19 dan penemuan tersebut telah mengantarkannya mendapatkan hadiah Nobel pada bidang fisiologi dan kedokteran pada tahun 1924. Elektrokardiograf digunakan untuk melihat rekaman EKG dan denyut jantung (Cunningham 2002). Untuk mendapatkan gambaran EKG, dipasang dua elektroda di sekitar letak jantung. Satu elektroda dihubungkan pada kutub positif alat EKG dan dinamakan elektroda positif, sedangkan elektroda lainnya dipasang pada kutub negatif dan dinamakan elektroda negatif. Selain itu masih diperlukan satu elektroda lagi untuk menghubungkan pasien melalui elektrokardiograf dengan tanah. Elektroda ini dinamakan elektroda G (Grounding). Pasangan elektroda dalam perekaman EKG dinamakan sadapan atau hantaran atau disebut juga lead (Kertohoesodo 1987). Sadapan EKG standar pada hewan biasanya menggunakan sadapan ekstremitas, yang terdiri dari enam sadapan. Enam sadapan standar direkam dari elektroda yang dipasang pada ekstremitas. Enam sadapan ekstremitas terdiri dari tiga buah sadapan bipolar standar, yaitu sadapan I, II, dan III, serta tiga buah sadapan lengan sebagai sadapan tambahan, yaitu aVR, aVL, dan aVF (Hampton 2003; Thaler 2009). Sadapan ekstremitas memandang jantung dalam sebuah bidang vertikal yang disebut bidang frontal. Bidang frontal dapat dibayangkan sebagai satu lingkaran yang berhimpitan dengan tubuh hewan. Lingkaran ini kemudian ditandai dengan derajat-derajat sudut orientasi yang dikenal sebagai vektor-vektor EKG. Skema dari vektor EKG diilustrasikan seperti pada Gambar 9 (O’Grady dan O’Sullivan 2004; Thaler 2009).
16
Gambar 9 Ilustrasi diagram bidang frontal pada potongan melintang jantung ditandai dengan sudut orientasi (O’Grady dan O’Sullivan 2004) Hasil sadapan yang diperoleh dapat menggambarkan permukaan jantung secara anatomik. Sadapan II, III, dan aVF dapat memandang permukaan inferior jantung, karena sadapan ini dapat menggambarkan hampir keseluruhan jantung, sehingga disebut juga sadapan inferior. Sadapan I dan aVL mempunyai pandangan paling jelas terhadap dinding lateral kiri jantung, sehingga disebut juga sadapan lateral kiri. Secara klinis standar sadapan yang dipergunakan adalah sadapan II (Thaler 2009). Untuk menghasilkan enam sadapan bidang frontal, setiap elektroda secara bergantian berperan sebagai kutub positif atau negatif. Setiap sadapan mempunyai sudut orientasi, yakni sudut pandangnya sendiri yang khas terhadap jantung. Sudut tiap sadapan dapat ditentukan dengan cara menarik garis dari elektroda negatif ke elektroda positif (Martin 2007; Thaler 2009). Ilustrasi dari gambaran sudut orientasi pada enam sadapan ekstremitas seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
17
Gambar 10 Ilustrasi sudut orientasi pada enam sadapan ekstremitas yang bergantian berperan sebagai kutub positif atau negatif (Martin 2007) Dari Gambar 9 dan 10, hasil sadapan ekstremitas standar dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Sadapan I dihasilkan dengan cara menjadikan kaki depan kiri sebagai kutub positif dan kaki depan kanan sebagai kutub negatif, sehingga sudut orientasinya adalah 0o. 2. Sadapan II dihasilkan dengan cara menjadikan kaki belakang sebagai kutub positif dan kaki depan kanan sebagai kutub negatif, sehingga menghasilkan sudut orientasi 60o. 3. Sadapan III dihasilkan dengan cara menjadikan kaki belakang sebagai kutub positif dan kaki depan kiri sebagai kutub negatif, sehingga menghasilkan sudut orientasi 120o (Martin 2007; Thaler 2009). Sadapan ekstremitas unipolar (sadapan tambahan) merupakan rekaman perbedaan potensial listrik antara kaki depan kanan (aVR), kaki depan kiri (aVL), atau kaki-kaki belakang (aVF) terhadap indifferent electrode yang berpotensial 0 (nol). Sadapan tambahan dapat dihasilkan sebagai berikut: 1. Sadapan aVL dihasilkan dengan cara menjadikan kaki depan kiri sebagai kutub positif dan kaki belakang kanan sebagai kutub negatif, sehingga diperoleh sudut orientasi -30o.
18
2. Sadapan aVR dihasilkan dengan cara menjadikan kaki depan kanan sebagai kutub positif dan kaki belakang sebagai kutub negatif, sehingga akan dihasilkan sudut orientasi -150o. 3. Sadapan aVF dihasilkan dengan cara menjadikan salah satu kaki belakang sebagai kutub positif dan kaki belakang lainnya sebagai kutub negatif, sehingga dihasilkan sudut orientasi 90o (Martin 2007; Thaler 2009). Untuk mendapatkan rekaman EKG secara tepat dan baik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti posisi hewan, pengendalian (restrain), dan lokasi penempatan sadapan pada tubuh hewan (Colleman dan Robson 2005). Posisi hewan dan lokasi penempatan sadapan pada tubuh hewan sebaiknya memenuhi standar EKG yang tepat pada waktu melakukan perekaman EKG. Pada hewan anjing, posisi standar perekaman EKG adalah right lateral recumbency dengan kaki depan dan kaki belakang dipegang sehingga tegak lurus dengan tubuh. Elektroda yang digunakan adalah elektroda bipolar (Cunningham 2002; Edwards 1993). Hasil sadapan EKG digambarkan di atas pita kertas berlapis plastik putih dan bergaris halus serta terbagi dalam kotak seluas 1 mm2. Kotak tersebut dikelompokkan dalam kotak tebal seluas 5 x 5 mm. pada waktu dilakukan perekaman EKG, pita kertas dijalankan dengan kecepatan 25 mm tiap detik atau 50 mm tiap detik. Pita kertas rekaman EKG seperti ditunjukkan pada Gambar 11.
Keterangan: P amp = amplitude gelombang P; P dur = durasi gelombang P; PR int = interval PR; R amp = amplitude gelombang R; QRS dur = durasi gelombang kompleks QRS; QT int = interval QT; T amp = amplitude gelombang T
Gambar 11 Kertas rekam EKG beserta gambaran EKG normal (O’Grady dan O’Sullivan 2004)
19
Dalam EKG garis lurus merupakan garis isoelektris karena menandakan seluruh permukaan miokardium memiliki potensial listrik yang sama, yaitu dengan selisih 0 mV. Belokan dari garis isoelektris disebut dengan defleksi. Jika defleksi mengarah ke atas dinamakan defleksi positif, sedangkan jika mengarah ke bawah dinamakan defleksi negatif. Arah defleksi ke atas atau ke bawah tergantung pada letak elektroda yang digunakan terhadap arah penyebaran potensial listrik pada miokardium (Swenson 1984; Kertohoesodo 1987). Pada saat terjadi depolarisasi atrium akan terjadi perubahan arus listrik jantung. Perubahan yang terjadi akan menimbulkan adanya defleksi. Defleksi yang dihasilkan pada proses ini digambarkan pada kertas EKG sebagai defleksi P (Thaler 2009). Selama impuls listrik menjalar menuju NAV maupun berkas His, pada EKG tergambar garis isoelektris karena potensial listrik pada permukaan atrium maupun ventrikel tetap sama. Defleksi mulai tergambar lagi setelah pacuan jantung sampai pada sekat interventrikular melalui berkas His atau fasikulus septal dan mendepolarisasi sekat interventrikular sehingga menimbulkan defleksi Q. Sel-sel NAV sendiri juga dapat mengeluarkan impuls listrik dengan frekuensi lebih rendah daripada NSA, sehingga pada hasil sadapan EKG impuls listrik dari NAV tertutup oleh impuls listrik dari NSA. Bila NSA mengalami gangguan, maka impuls listrik akan dikeluarkan oleh NAV (Kertohoesodo 1987 dan Thaler 2009). Pacuan jantung menjalar ke seluruh miokardium dinding ventrikel kanan maupun kiri melalui dua jalan, yaitu melalui NAV ke berkas His kanan dan kiri dan secara cepat disebarkan ke seluruh miokardium melalui serat serabut Purkinje. Sel-sel ventrikel lainnya diaktifkan melalui penyebaran impuls dari sel ke sel melalui gap junction. Dengan demikian, atrium berkontraksi sebagai satu kesatuan, kemudian diikuti oleh kontraksi ventrikel serta melalui sel-sel miokardium satu ke sel miokardium lainnya walaupun tidak begitu cepat, misalnya pada dinding atrium (Kertohoesodo 1987). Depolarisasi seluruh dinding ventrikel kanan dan kiri yang lebih tebal dari dinding atrium, dapat diselesaikan dalam waktu kira-kira sama dengan depolarisasi seluruh dinding atrium. Depolarisasi seluruh dinding ventrikel akan menghasilkan defleksi R. Dapat dijelaskan pula bahwa bentuk defleksi P karena adanya depolarisasi ventrikel yang dinamakan kompleks QRS, dengan bentuk
20
yang lebih kompleks daripada defleksi P. Pada akhir defleksi P dan awal kompleks QRS terdapat garis lurus yang dinamakan segmen PQ. Namun kadang defleksi Q tidak terlihat sehingga segmen PQ sering disebut dengan segmen PR. Segmen PQ menunjukkan selang waktu antara depolarisasi atrium dan ventrikel, sedangkan interval PR menunjukkan waktu yang diperlukan jantung dalam melakukan depolarisasi atrium sampai sebelum terjadinya depolarisasi ventrikel (Thaler 2009). Segmen merupakan garis yang menghubungkan antara gelombang satu dengan gelombang sesudahnya. Interval menunjukkan panjang gelombang beserta garis isoelektris sesudah gelombang tersebut. Dengan demikian, segmen hanya berupa garis, sedangkan interval terdiri dari gelombang dan garis yang mengikutinya. Pada akhir segmen PQ atau awal kompleks QRS terjadi repolarisasi atrium yang telah menyelesaikan sistol. Defleksi yang ditimbulkan oleh repolarisasi atrium tersebut biasanya tidak tampak kerena terlampau datar atau terbenam pada kompleks QRS yang terjadi pada waktu yang sama (Kertohoesodo 1987). Thaler (2009) mengungkapkan penamaan standar pada kompleks QRS, yaitu: 1. Jika defleksi pertama ke bawah, gelombang ini disebut gelombang Q 2. Defleksi ke atas yang pertama disebut gelombang R. 3. Bila terdapat defleksi ke atas kedua, maka gelombang ini disebut sebagai gelombang R’ (R-pelengkap atau R-prime). 4. Defleksi ke bawah pertama yang mengikuti defleksi ke atas disebut gelombang S. Setelah miokardium dinding ventrikel selesai berdepolarisasi, terdapat gambaran garis isoelektris pendek yang dinamakan segmen ST yang menunjukkan selang waktu antara depolarisasi atau repolarisasi ventrikel (Thaler 2009). Setelah terjadi segmen ST, akan tergambar defleksi T akibat adanya repolarisasi dinding ventrikel. Sistol ventrikel kanan dan kiri terjadi pada akhir kompleks QRS dan kemudian disusul oleh diastole ventrikel. Akhir sistol ventrikel terjadi bersamaan dengan akhir repolarisasi dinding ventrikel (Kertohoesodo 1987).
21
Setelah defleksi T berakhir, biasanya tergambar suatu garis isoelektris yang menggambarkan jantung dalam keadaan istirahat atau diastase, dengan kondisi seluruh miokardium terpolarisasi. Keadaan ini merupakan keadaan saat sel jantung tidak dapat stimulasi syaraf. Kadang terjadi defleksi kecil pada awal garis isoelektris yang dinamakan defleksi U. Defleksi U menunjukkan repolarisasi yang terlambat pada serabut Purkinje di ventrikel jantung (Edwards 1993; Kusumoto 2009). Hasil sadapan EKG yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan sadapan EKG normal. Kisaran sadapan EKG normal pada anjing seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kisaran sadapan elektrokardiogram (EKG) normal pada anjing Parameter
Kisaran Normal pada Anjing Nelson
Tilley
70 – 160 kali permenit
70 – 160 kali permenit
0,4 mV
0,4 mV
Interval PR
0,06 – 0,13 detik
0,06 – 0,13 detik
Interval QRS
0,04 – 0,05 detik
Maksimum 0,05 detik
3 mV
3 mV
0,2 mV
Maksimum 0,2 mV
Tidak lebih dari 1/3 R
Tidak lebih dari ¼ R
Denyut jantung Gelombang P (maksimum)
Gelombang R (maksimum) Segmen ST Gelombang T
(positif, negatif, bifasik) Interval QT
0,15 – 0,25 detik
0,15 – 0,25 detik
40o – 100o
40o – 100o
Aksis jantung Sumber: Nelson 2003 dan Tilley et al. 2008
Aksis Jantung Sadapan ekstremitas memiliki sudut orientasi tertentu dalam pembentukan aksis jantung. Aksis jantung yang merupakan vektor rata-rata baik dari depolarisasi atrium maupun ventrikel dapat digunakan untuk mengetahui abnormalitas perluasan jantung. Aksis jantung hanya dapat ditentukan pada bidang frontal dengan kompleks QRS yang hampir bifasik. Aksis QRS tersebut
22
harus terletak kira-kira tegak lurus terhadap aksis aliran listrik (Martin 2007; Thaler 2009). Letak aksis jantung normal anjing seperti pada Gambar 12.
Gambar 12 Letak skematis aksis jantung anjing (warna hijau) (O’Grady dan O’Sullivan 2004)
Untuk memperoleh nilai aksis jantung pada bidang frontal, ada beberapa metode yang umum dipergunakan, diantaranya dengan metode vektor dan metode defleksi tertinggi dari sadapan (O’Grady dan O’Sullivan 2004; Thaler 2009; Widjaja 1990). 1. Metode vektor, yaitu menggunakan hasil dari sadapan I, II, III dan diagram bidang frontal. Dengan melakukan perhitungan dari arah defleksi gelombang QRS pada setiap dua sadapan, dimana gelombang P dan T tidak termasuk dalam perhitungan. Sebagai contoh menggunakan kompleks QRS pada sadapan I dan III. Pada sadapan I gelombang Q dan gelombang R dijumlahkan, demikian pula pada sadapan III. Hasil penjumlahan digambarkan pada sistem heksasial bidang frontal yang kemudian ditarik garis tegak lurus. Hasil perpotongan garis tegak lurus dibuatkan gambar vektor yang merupakan nilai aksis jantung.
23
2. Metode defleksi tertinggi, dapat diperkirakan dengan cepat dari hasil sadapan I dan aVF. Hasil perkiraan aksis jantung dengan metode defleksi tertinggi seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Metode penentuan aksis jantung dengan metode defleksi tertinggi Aksis
Sadapan I
Sadapan aVF
Aksis normal
Positif
Positif
Deviasi aksis ke kiri
Positif
Negatif
Deviasi aksis ke kanan
Negatif
Positif
Deviasi aksis ekstrim ke kanan
Negatif
Negatif
Sumber: Thaler 2009
Xylazin HCl Xylazin HCl merupakan golongan alpha2-adrenoceptor stimulant yang memiliki potensi sebagai sedativa, pelemas otot, dan analgesia. Xylazin HCl bekerja sebagai penghambat pelepasan norepineprin dan insulin. Efek agonis xylazine HCl pada reseptor alpha terletak di jantung dengan menekan sistem kardiovaskular (Seymour dan Novakovski 2007). Xylazin HCl menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat memberikan efek sedasi, analgesia, dan pada akhirnya ketidaksadaran karena teranestesi. Xylazin HCl menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada sistem syaraf pusat dan dapat menyebabkan muntah. Xylazin HCl juga dapat menekan termoregulator (Adams 2001). Xylazin HCl sebagai agen sedativa sering biasa digunakan pada hewan anjing, kucing, serta kuda untuk handling dan bedah minor. Xylazin HCl sering juga digunakan sebagai agen preanestesi. Kelemahan xylazine HCl adalah efek analgesia yang tidak dapat diukur, mengakibatkan bradikardia jantung, hipotensi, hipoventilasi, aritmia, menghasilkan efek seperti tertidur, dan khusus pada anjing serta kucing dapat disertai dengan efek muntah (Dart 1999). Rute pemberian xylazin HCl dapat dengan intramuskular (IM), subkutan (SC), maupun intravena (IV) karena dapat diabsorbsi oleh tubuh dengan baik dan cepat. Pada anjing dan kucing, onset pemberian xylazin HCl baik secara IM
24
maupun SC sekitar 10–15 menit, dan secara IV memiliki onset yang lebih cepat yaitu 2–5 menit. Xylazin HCl menimbulkan efek analgesik yang relatif sebentar yaitu 15–30 menit, namun memiliki efek sedativa yang cukup lama yaitu sekitar 1–2 jam tergantung pada jumlah dosis yang diberikan. Dosis yang diberikan pada anjing secara IM atau SC adalah 1,1–2,2 mg/kg berat badan (BB), sedangkan jika pemberiannya dengan IV dosis anjurannya adalah 1,1 mg/kgBB. Hewan pulih dari pengaruh Xylazin HCl sekitar 2–4 jam setelah pemberian (Plumb 2005).
Atropin Sulfat Atropin sulfat adalah preparat antimuskarinik yang merupakan agen parasimpatolitik dan antikolinergik, dapat menyebabkan penghambatan asetilkolin pada sistem syaraf vagus yang berakibat terhalangnya arus listrik dari NSA ke NAV. Terhalangnya impuls listrik ini sering disebut sebagai AV-block. Atropin sulfat seolah-olah dapat menyebabkan AV-block derajat pertama sampai dengan derajat kedua. Gambaran AV-block derajat pertama ditandai dengan pemanjangan interval PR. Atropin sulfat adalah obat yang paling umum digunakan sebagai antimuskarinik pada pencegahan bradikardia karena dapat menyebabkan penurunan tonus nervus vagus. Pada jantung berakibat pada peningkatan kronotropik (kronotropik positif) dan dromotopik (dromotropik positif) dengan sedikit atau tidak sama sekali terjadinya peningkatan efek inotropik. Penggunaan atropin sulfat pada anjing adalah sebagai preanestetikum dengan dosis 0,02–0,04 mg/kgBB IM atau SC (Plumb, 2005). Atropin sulfat digunakan untuk mengurangi salivasi, sekresi bronkial, dan mencegah muntah karena pemberian xylazin HCl. Kejadian aritmia jantung dan takikardia akibat pemberian atropin sulfat pernah dilaporkan pada anjing (Lumb dan Jones 1996).
Ketamin HCl Ketamin HCl adalah anestetikum golongan nonbarbiturat dan termasuk golongan disosiatif anestesi yaitu pada dosis rendah dapat sebagai preanestesi dan pada dosis yang lebih tinggi dapat sebagai anestesi umum. Ketamin HCl
25
merupakan analgesik yang kuat dan reaksi anestesinya tidak menyebabkan mengantuk (Kul et al. 2001). Ketamin HCl memperpanjang kerja Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang merupakan zat penghambat neurotransmiter di otak dengan cara menghambat pengikatannya pada ujung syaraf (Cullen 1997). Reseptor GABA dapat merubah permeabilitas ion Cl- dan menyebabkan pelepasan norepineprin pada syaraf simpatis. Pelepasan GABA pada medula spinalis dapat menyebabkan depolarisasi (Adams 2001). Selain menghambat kerja GABA, ketamin HCl juga dapat menghambat pelepasan serotonin, norepineprin, dan dopamin pada sistem syaraf pusat (Plumb 2005). Kerja ketamin HCl dapat menyebabkan gangguan fungsi pada beberapa tempat di otak karena tertekannya thalamus dan korteks serebral. Pengaruh yang bisa ditimbulkan akibat pemberian ketamin HCl berupa dilatasi pupil, hipertensi arterial, halusinasi, salivasi, gerakan tungkai spontan, dan peningkatan tonus otot. Pada masa pemulihan dapat menimbulkan agitasi (gelisah, menangis, disorientasi, dan halusinasi) yang disebut sebagai emergence phenomenom (Gunawan 2009). Ketamin HCl memberikan efek secara langsung dapat menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan norepineprin. Pada sistem kardiovaskular, ketamin HCl dapat menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung, dan tekanan darah (Adams 2001). Ketamin HCl dapat mengubah aktivitas listrik jantung dengan memperpanjang interval PR dan QT, tetapi tidak mempengaruhi bentuk gelombang EKG. Pemberian ketamin HCl dapat meningkatkan denyut jantung (takhikardia) (Karib dan Kabo 2002; McKelvey dan Hollingshead 2003). Ketamin HCl dapat diberikan pada anjing maupun kucing secara intra muskular, sering diberikan secara kombinasi antara ketamin HCl-xylazin HCl, ketamin HCl-diazepam, serta ketamin HCl–halotan. Pemberian dengan kombinasi zat lain dapat meningkatkan relaksasi otot, efek analgesik, dan menghindari efek samping akibat pemberian anestesi ketamin HCl. Dosis anestesi pada anjing adalah 11 mg/kgBB (Plumb 2005).
26
Propofol Propofol merupakan derivat fenol yang digunakan sebagai anestesikum IV, dapat digunakan untuk induksi dan pemeliharaan pada anestesi umum. Mekanisme kerja propofol berlangsung di reseptor GABA. Propofol dapat menghilangkan kesadaran dan pelemas otot yang baik, serta dapat menyebabkan hipotensi arterial, bradikardia, dan depresi respirasi terutama jika diberikan pada dosis yang tinggi. Propofol juga menyebabkan terjadinya vasodilatasi vena dan arteri sehingga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan relaksasi pembuluh darah (Miler 2010; Stawicki 2007). Eliminasi propofol terjadi pada hati menjadi suatu metabolit tidak aktif. Waktu paruh propofol diperkirakan antara 2–24 jam, namun dalam kenyataannya lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Waktu paruh pemberian pada anjing adalah 1,4 jam. Pada sistem kardiovaskular dapat menyebabkan depresi jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali yang disertai dengan peningkatan denyut nadi, namun pengaruh terhadap frekuensi denyut jantung sangat minim (McKelvey dan Hollingshead 2003; Plumb 2005). Pemberian anestesi pada anjing dengan kombinasi propofol (4 mg/kg) dengan ketamin HCl (2 mg/kg) secara IV yang dilanjutkan dengan infusi IV dengan propofol (0,5 mg/kg/menit) dan ketamin HCl (0,2 mg/kg/menit) dapat menghasilkan anestesi dengan hemodinamik yang stabil (Intelisano et al. 2008).
27
MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian Bedah dan Radiologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Bagian Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi IPB, dan Rumah Sakit Hewan Pendidikan Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor. Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih 11 bulan, dari bulan Februari sampai dengan bulan Desember 2010.
Materi Penelitian Anjing yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 24 ekor dengan kisaran umur sama (20±2 bulan), berjenis kelamin jantan, dan dengan berat ratarata 10±2 kilogram (kg). Anjing yang dipergunakan adalah anjing lokal yang diperoleh di sekitar kampus IPB Darmaga, Bogor. Anjing dikandangkan sebagai proses adaptasi. Selama proses adaptasi anjing diberikan pakan dog food serta dilakukan pemeriksaan kesehatan secara klinis dan anjing dilatih dalam hal handling dan adaptasi terhadap ruangan tempat pengambilan data. Pemeriksaan fisik meliputi signalemen, respirasi, kardiovaskuler, status dehidrasi, refleksrefleks (refleks pedal dan palpebral). Hewan (anjing) yang digunakan untuk perlakuan anestesi adalah anjing yang memiliki klasifikasi status klas I (Lampiran I), yang mengacu pada American Society of Anaesthesiologist (ASA). Dalam proses adaptasi, semua anjing dibebaskan dari parasit eksterna dan interna dengan pemberian obat cacing dan antiektoparasit (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Sebelum diberi perlakuan, anjing dipuasakan selama 12 jam dan tidak diberikan air minum 3 jam sebelum perlakuan. Penelitian dilakukan dengan dua metode, yaitu metode penelitian pertama adalah untuk mendapatkan sadapan elektrokardiogram (EKG) anjing saat preanestesi dengan kombinasi atropin sulfat–xylazin HCl yang pemberiannya secara intramuskular (IM) dan terinduksi anestesi dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasi ketamin HCl–propofol secara intravena (IV). Metode penelitian kedua adalah untuk mendapatkan sadapan EKG anjing saat preanestesi dengan kombinasi atropin sulfat–xylazin
28
HCl secara IM, diinduksi anestesi menggunakan kombinasi ketamin HCl-propofol secara IV, dan pemeliharaan anestesi yang pemberiannya dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya. Pada penelitian pertama, 18 ekor anjing dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok I, II, dan III. Masing-masing kelompok terdiri atas enam ekor anjing sebagai ulangan pada tiap perlakuan. Metode penelitian pertama untuk kelompok perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing dibagi menjadi: 1. Kelompok I, yaitu perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropin sulfat (0,03 mg/kg berat badan (BB))–xylazin HCl (2 mg/kgBB), disuntikkan secara intramuskular (IM) dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara intravena (IV) dengan ketamin HCl (4 mg/kgBB). 2. Kelompok II, yaitu perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropin sulfat (0,03 mg/kgBB)–xylazin HCl (2 mg/kgBB), disuntikkan secara IM dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara IV dengan propofol (4 mg/kgBB). 3. Kelompok III, yaitu perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropin sulfat (0,03 mg/kgBB–xylazin HCl (2 mg/kgBB), disuntikkan secara IM dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara IV dengan ketamin HCl (4 mg/kg BB)–propofol (4 mg/kgBB).
Pada metode penelitian kedua, 18 ekor anjing dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Kelompok I, II, dan III. Masing-masing kelompok terdiri dari enam ekor anjing sebagai ulangan tiap perlakuan. Masing-masing anjing diberikan perlakuan preanestesi dengan kombinasi atopin sulfat (0,03 mg/kgBB)–xylazin HCl (2 mg/kgBB) secara IM dan dianestesi dengan kombinasi ketamin HCl (4 mg/kgBB) – propofol (4 mg/kgBB) secara IV. Kemudian dilakukan pemeliharaan anestesi dengan tetes infus secara gravimetrik berdasarkan pembagian kelompok sebagai berikut: 1. Kelompok I, yaitu perlakuan pemeliharaan anestesi secara tetes infus IV gravimetrik dengan ketamin HCl (0,4 mg/kg BB/menit).
29
2. Kelompok II, yaitu perlakuan pemeliharaan anestesi secara tetes infus IV gravimetrik dengan campuran ketamin HCl–propofol (0,4 mg/kg BB/menit). 3. Kelompok III, yaitu perlakuan pemeliharaan anestesi secara tetes infus IV gravimetrik dengan propofol (0,4 mg/kg BB/menit).
Parameter Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk pengambilan EKG pada sadapan II, denyut jantung, dan aksis jantung anjing yang teranestesi. Sebelum dilakukan perlakuan terlebih dahulu diambil data EKG awal (menit ke-0). Selanjutnya dilakukan pengukuran EKG setiap 10 menit (dihitung dari penyuntikan induksi anestetikum) selama 140 menit. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah gambaran EKG sadapan II, yaitu amplitudo gelombang P (mV), amplitudo gelombang R (mV), amplitudo gelombang T (mV), interval gelombang PQ (detik), interval gelombang QRS (detik), interval gelombang QT (detik), denyut jantung (beep per minute (bpm)), dan aksis jantung (derajat).
Alat dan Bahan Perekaman EKG dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat elektrokardiograf model Fukuda M.E. Cardisuny D300, tipe BX, yang mempunyai 4 buah elektroda. Alkohol dan gel digunakan sebagai penghantar listrik dari tubuh anjing ke elektroda. Meja operasi dilapisi dengan lapisan karet untuk mencegah kontak langsung antara anjing dengan meja operasi yang terbuat dari logam. Alat lain yang diperlukan adalah spuit 3 ml dan 1 ml, yang dipergunakan untuk pemberian preparat anestesi secara parenteral. Sebagai bahan anestesi disediakan preparat atropin sulfat, xylazin HCl, ketamin HCl, propofol dan infus NaCl fisiologis lengkap dengan infus set.
Pengambilan Sadapan EKG Setiap anjing diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat sesuai dengan klasifikasi status klas I (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Dilakukan pencukuran rambut di daerah pemasangan
30
elektroda. Sebelum elektroda dipasang, terlebih dahulu dimasukkan data-data anjing yaitu nomor urut, nama anjing, ras, umur, berat tubuh, jenis kelamin, posisi anjing pada saat sadapan EKG, dan pengaturan rekaman. Pemasangan elektroda dilakukan dengan cara menjepitkan klip elektroda sesuai dengan letak elektroda berdasarkan warna kabel. Kabel merah dipasang pada daerah siku kaki kanan depan, kabel kuning dipasang pada daerah siku kaki kiri depan, kabel hijau dipasang pada daerah lutut kaki belakang kiri, dan kabel hitam dipasang pada daerah lutut kaki belakang kanan. Tempat pemasangan klip dibasahi dengan alkohol dan dapat ditambahkan dengan gel. Posisi standar sadapan EKG anjing adalah posisi berbaring kanan (right lateral recumbency) (Coleman dan Robson 2005; Edwards 1993; Martin 2007). Setelah keempat elektroda terpasang, sadapan EKG dilakukan dengan menekan tombol “A” pada monitor EKG. Kemudian dilakukan pengaturan kecepatan kertas. Standar kecepatan kertas yang dipergunakan pada penelitian ini adalah 50 mm/s. Sadapan EKG dilakukan setiap 10 menit dengan cara menekan tombol “START”.
Protokol Pengukuran EKG Pemeriksaan parameter dilakukan sebelum perlakuan (menit ke-0), pada menit ke-10, 20, 30, dan seterusnya sampai menit ke-140 yang dihitung dari penyuntikan anestetikum pertama sampai anjing sadar. Anjing dinyatakan teranestesi apabila telah memenuhi minimal 3 syarat yaitu analgesia, sedasia, dan relaksasi. Anjing dinyatakan sadar ditandai dengan adanya gerakan, adanya suara, rasa sakit, munculnya respon (kelopak mata, pupil, pedal, telinga, dan ekor), dan anjing akan berusaha untuk berdiri.
Rancangan dan Intepretasi Hasil Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dan masing-masing perlakuan pada setiap tahapan penelitian terdiri dari 6 ekor anjing sebagai ulangan. Data hasil penelitian dianalisis berdasarkan sidik ragam (Steel dan Torrie 1993).
31
Intepretasi hasil penelitian yang diperoleh dilakukan dengan metode deskripsi. Standar deviasi yang diperoleh dari hasil analisis diabaikan karena mempunyai hasil yang sangat bias. Anjing yang dipergunakan pada penelitian ini merupakan anjing domestik yang diperoleh dari sekitar kampus IPB Darmaga, Bogor.
32
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Keseluruhan anjing yang dipergunakan pada penelitian diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat sesuai dengan klasifikasi status klas I yang telah ditetapkan oleh American Society of Anaesthesiologist (ASA), yaitu anjing yang sehat dan bebas dari penyakit seperti parasit interna maupun eksterna (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemeriksaan respirasi, kardiovaskuler, status dehidrasi, dan refleks-refleks secara keseluruhan menunjukkan hasil yang baik dan 18 ekor anjing layak dipergunakan untuk perlakuan penelitian. Hasil pemeriksaan rata-rata 18 ekor anjing yang dipergunakan pada penelitian seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata Hasil Pemeriksaan 18 ekor Anjing yang Dipergunakan untuk Penelitian Parameter Pemeriksaan Berat badan
Rata-rata Hasil Pemeriksaan (18 ekor anjing) 10 ± 1 kg
Umur anjing
19 ± 2 bulan
Denyut jantung
105± 9 kali/menit
Respirasi
20 ± 4 kali/menit
Suhu tubuh
38,4 ± 0,4 0C
Turgor kulit
Baik
Refleks-refleks
Baik
Pemberian Preanestesi dan Induksi Anestesi Penelitian
tahap
pertama
dilakukan
untuk
melihat
gambaran
elektrokardiogram (EKG) anjing yang diberikan kombinasi preanestesi atropin sulfat–xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasi ketamin HCl-propofol. Penelitian dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok I, II, dan III yang diberikan preanestesi kombinasi atropin sulfat dosis 0,03 mg/kgBB–xylazin HCl dosis 2 mg/kgBB secara intramuskular (IM) dan 10 menit
33
kemudian masing-masing diinduksi secara intravena (IV) dengan ketamin HCl dosis 4 mg/kgBB (kelompok I), propofol dosis 4 mg/kgBB (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl dosis 4 mg/kgBB–propofol dosis 4 mg/kgBB (kelompok III). Pengambilan data dilakukan sebelum perlakuan atau menit ke-0 dan setiap 10 menit sampai menit ke-90. Parameter yang diamati adalah amplitudo gelombang P, R, dan T; interval gelombang QRS, PQ, QT masing-masing pada sadapan II; serta denyut jantung dan aksis jantung. Nilai rata-rata dan simpangan baku (ratarata ± SD) dari hasil penelitian seperti ditunjukkan pada Tabel 4.
30
Tabel 4 Nilai rata-rata dan simpangan baku (rata-rata±SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II amplitudo gelombang P, amplitudo gelombang R, amplitudo gelombang T, interval gelombang QRS, interval PQ, interval QT, denyut jantung, dan aksis jantung sebelum teranestesi; preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl; induksi anestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya Parameter
Perlakuan
Amplitudo Gelombang P (mV) Amplitudo Gelombang R (mV) Amplitudo Gelombang T (mV) Interval Gelombang QRS (detik)
Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III
Interval PQ (detik) Interval QT (detik) Denyut Jantung (kali/menit) Aksis Jantung (derajat)
0 0,16±0,02 0,14±0,04 0,08±0,02 1,63±0,14 1,62±0,60 1,48±0,86 -0,36±0,17 -0,25±0,20 -0,08±0,12 0,05±0,01 0,05±0,00 0,04±0,01 0,09±0,06 0,11±0,01 0,07±0,05 0,15±0,01 0,19±0,01 0,22±0,04 107±14,24 112±11,25 105±16,88 72±4,76 67±12,36 74±8,81
10 0,14±0,03 0,12±0,04 0,06±0,04 1,39±1,00 1,46±0,73 1,08±0,58 -0,23±0,17 -0,23±0,14 -0,03±0,20 0,04±0,02 0,05±0,00 0,04±0,01 0,08±0,05 0,09±0,01 0,05±0,06 0,15±0,01 0,20±0,01 0,22±0,03 87±11,20 93±17,10 67±12,43 66±4,62 62±15,00 76±5,45
20 0,12±0,02 0,10±0,03 0,04±0,05 1,63±0,51 1,25±0,68 1,19±0,66 -0,13±0,24 -0,09±0,20 -0,08±0,19 0,04±0,00 0,05±0,00 0,04±0,00 0,09±0,06 0,12±0,02 0,06±0,07 0,22±0,01 0,21±0,01 0,20±0,01 95±12,28 83±16,77 106±15,99 72±8,16 62±12,77 74±7,72
Waktu Pengamatan (menit) 30 40 50 0,15±0,04 0,12±0,05 0,10±0,03 1,72±0,53 1,13±0,60 1,62±0,61 -0,12±0,23 -0,10±0,19 0,13±0,26 0,04±0,01 0,05±0,01 0,04±0,00 0,10±0,07 0,14±0,04 0,06±0,06 0,24±0,06 0,19±0,02 0,21±0,01 97±18,04 105±18,50 105±17,33 76±9,22 62±12,26 77±9,11
0,16±0,05 0,11±0,06 0,14±0,01 1,73±0,48 1,21±0,69 1,29±0,43 -0,07±0,31 -0,11±0,18 0,13±0,27 0,05±0,01 0,04±0,00 0,04±0,01 0,10±0,07 0,13±0,01 0,08±0,06 0,23±0,01 0,20±0,00 0,21±0,01 98±17,26 95±15,13 118±14,45 75±9,60 62±13,48 76±5,97
0,18±0,06 0,13±0,02 0,15±0,03 1,69±0,53 1,20±0,72 1,31±0,54 -0,08±0,34 -0,19±0,12 0,12±0,26 0,04±0,01 0,04±0,01 0,04±0,01 0,12±0,02 0,13±0,01 0,11±0,01 0,17±0,01 0,22±0,01 0,22±0,02 111±12,62 114±16,50 94±9,98 75±10,78 62±14,45 76±8,04
60
70
80
90
0,19±0,05 0,12±0,03 0,12±0,05 1,80±0,41 1,23±0,72 1,13±0,79 -0,13±0,29 -0,10±0,15 -0,06±0,13 0,04±0,01 0,05±0,01 0,05±0,00 0,11±0,01 0,13±0,01 0,10±0,00 0,23±0,02 0,21±0,01 0,22±0,02 93±18,34 96±12,39 90±12,07 76±6,13 62±14,90 76±8,29
0,19±0,02 0,14±0,02 0,13±0,05 1,81±0,34 1,31±0,76 1,06±0,82 -0,04±0,32 -0,11±0,15 -0,04±0,13 0,05±0,00 0,05±0,01 0,05±0,01 0,11±0,01 0,13±0,02 0,13±0,01 0,18±0,01 0,21±0,02 0,22±0,02 85±16,91 87±11,41 81±14,85 75±5,68 63±12,39 79±3,00
0,19±0,03 0,11±0,03 0,12±0,04 1,77±0,29 1,34±0,74 1,25±0,61 -0,08±0,27 -0,11±0,16 -0,07±0,12 0,05±0,01 0,05±0,00 0,04±0,01 0,12±0,01 0,12±0,01 0,08±0,06 0,23±0,01 0,20±0,02 0,23±0,04 84±11,96 85±16,44 84±12,26 76±4,57 63±13,18 79±2,99
0,16±0,04 0,11±0.05 0,09±0,03 1,80±0,30 1,48±0,72 1,24±0,61 -0,22±0,17 -0,22±0,16 -0,08±0,11 0,05±0,00 0,05±0,00 0,04±0,01 0,11±0,02 0,12±0,01 0,08±0,05 0,22±0,03 0,19±0,01 0,22±0,05 81±19,28 91±7,09 91±7,80 78±5,35 65±12,23 79±2,36
35
Amplitudo Gelombang P Gelombang P merupakan gambaran perubahan arus listrik jantung pada saat terjadi depolarisasi atrium. Rangsangan normal untuk depolarisasi atrium berasal dari nodus sinus. Besarnya arus listrik yang berhubungan dengan eksitasi nodus sinus terlalu kecil untuk dapat terlihat pada EKG. Gelombang P dalam keadaan normal berbentuk melengkung dan arahnya ke atas pada kebanyakan hantaran. Nilai normal amplitudo gelombang P pada anjing adalah maksimum 0,4 mV (Nelson 2003; Tilley et al. 2008). Gambaran hasil pengamatan seperti
Gelombang P (mV)
ditunjukkan pada Gambar 13.
0,22 0,2 0,18 0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 13 Perubahan rata-rata gelombang P sadapan II sebelum teranestesi, setelah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) Pada kelompok I, setelah pemberian preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl terjadi penurunan amplitudo P dari 0,16±0,02 mV ke 0,14±0,03 mV, begitu pula pada kelompok II dari 0,14±0,04 mV ke 0,12±0,04 mV, dan pada kelompok III dari 0,08±0,02 mV ke 0,06±0,04 mV. Secara umum penurunan amplitudo pada 10 menit pertama relatif sama yaitu 0,02 mV. Penurunan masih berlanjut setelah pemberian anestesi pada menit ke-10. Pada kelompok I turun sampai 0,12±0,02 mV, pada kelompok II sampai 0,10±0,03 mV, dan kelompok III sampai 0,04±0,05 mV pada menit ke-20. Penurunan gelombang P pada preanestesi berlangsung
36
selama 20 menit pertama dengan pola dan kekuatan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl memberikan pengaruh terhadap depolarisasi atrium. Xylazin HCl yang merupakan golongan alpha-2 adrenergic receptor agonist bekerja melalui mekanisme penghambatan tonus syaraf simpatik yang dapat menyebabkan relaksasi otot, konduksi impuls dan denyut jantung, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Pemberian xylazin HCl seolah-olah dapat menyebabkan terjadinya penghambatan konduksi listrik pada atrioventrikular
(AV
block).
Terjadinya
AV
block
dapat
menyebabkan
keterlambatan penyebaran konduksi listrik di atrium (Avdosko et al. 2010). Pemberian atropin sulfat yang merupakan antimuskarinik, digunakan untuk mengurangi sekresi bronkial serta mencegah kejadian aritmia terutama bradikardia karena prosedur anestesi. Pemakaian atropin sulfat dosis tinggi dapat mengakibatkan peningkatan frekuensi jantung. Atropin sulfat dapat mencegah terjadinya penghambatan konduksi listrik di atrium (Conti-Patara et al. 2009; O’Grady dan O’Sullivan 2004). Perubahan gelombang P tiap tahap anestesi terlihat setelah menit ke-20. Pada kelompok I, setelah pemberian anestesi ketamin HCl terjadi kenaikan menjadi 0,15±0,04 mV pada menit ke-30 dengan kenaikan tertinggi terjadi pada menit ke-60 sampai dengan menit ke-80 sebesar 0,19±0,05 mV, 0,19±0,02 mV, dan 0,19±0,03 mV. Rata-rata peningkatan pada kelompok I adalah sebesar 0,07 mV dan pada menit ke-90 amplitudo gelombang P kelompok I sebesar 0,16±0,04 mV. Pada kelompok II, setelah pemberian anestesi ketamin HCl mengalami peningkatan menjadi 0,12±0,05 mV menit ke-30 dengan kenaikan tertinggi pada menit ke-70 sebesar δ 0,04 mV (0,14±0,02 mV) dan pada saat anjing siuman sebesar 0,11±0.05 mV. Pada kelompok III, setelah pemberian anestesi terjadi kenaikan yang tajam pada menit ke-30 sebesar 0,06 mV (0,10±0,03 mV) dengan kenaikan tertinggi pada menit ke-50 sebesar 0,09 mV(0,15±0,03 mV), kemudian terjadi penurunan sampai dengan anjing siuman pada menit ke-90 sebesar 0,09±0,03 mV (0,05 mV). Setelah dianestesi dengan ketamin HCl dan kombinasi ketamin HCl– propofol, terjadi kenaikan amplitudo gelombang P. Ketamin HCl dapat menstimulasi pelepasan norepineprin pada syaraf simpatik dan menghambat
37
perangsangan pada syaraf vagus (Adams 2001). Perangsangan syaraf simpatik dan penghambatan pada syaraf vagus dapat mengakibatkan peningkatan denyut jantung (kronotropik positif), peningkatan konduksi impuls (dromotropik positif), dan peningkatan kontraksi otot jantung (inotropik positif). Pemberian anestesi propofol memberikan sedikit pengaruh terhadap kenaikan amplitudo gelombang P. Pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol perlu diwaspadai pengaruhnya terhadap kenaikan gelombang P yang tajam dibandingkan pemberian anestesi ketamin HCl maupun propofol segera setelah menit ke-20 terlampaui. Perbedaan potensial aksi pada syaraf akibat pengaruh pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol seolah-olah mengakibatkan terjadinya AV block menyebabkan terkumpulnya impuls listrik dan akan segera mencetuskan impuls listrik cukup besar yang akan menyebar ke seluruh dinding atrium. Kekuatan impuls listrik atrium yang berasal dari nodus sinoatrial (NSA) lebih besar dibandingkan pengaruh anestesi yang diberikan, setelah menit ke-30 terlampaui. Ini berarti bahwa stabilitas EKG pada ketiga kelompok dapat terlihat setelah pemberian anestesi baik dengan ketamin HCl, propofol, maupun kombinasinya.
Amplitudo Gelombang R Amplitudo gelombang R menunjukkan kekuatan listrik saat terjadi depolarisasi ventrikel. Kekuatan listrik pada dinding ventrikel berasal dari nodus atrioventrikular (NAV), berkas His, dan serabut Purkinje. Amplitudo gelombang R juga merupakan amplitudo gelombang QRS, yang dibentuk bersama-sama oleh gelombang Q, R, dan gelombang S. Amplitudo gelombang R cukup besar karena banyak massa otot yang harus dilalui oleh impuls listrik. Hasil yang diperoleh dari pengamatan penelitian seperti ditunjukkan pada Gambar 14.
Gelombang R (mV)
38
2,2 2 1,8 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 14 Perubahan rata-rata amplitudo gelombang R sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCldan dan induksi anestesi ketamin (kelompok I), propofol HCl induksi anestesi ketamin HCl, HCl propofol, dan kombinasi in Cl (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) Pada kelompok I, setelah preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl terjadi penurunan amplitudo gelombang R dari 1,63±0,14 mV ke 1,39±1,00 mV, begitu pula pada kelompok II dari 1,62±0,60 mV ke 1,46±0,73 mV, dan pada kelompok III dari 1,48±0,86 mV ke 1,08±0,58 mV. Setelah pemberian anestesi masingmasing kelompok memberikan gambaran yang berbeda, kelompok I mengalami peningkatan menjadi 1,63±0,51 mV dengan kenaikan tertinggi terjadi pada menit ke-70 (1,81±0,34 mV) sampai anjing siuman pada menit ke-90 dengan amplitudo gelombang R sebesar 1,80±0,30 mV. Begitu pula dengan kelompok III terjadi peningkatan pada menit ke-20 (1,19±0,66 mV) sampai menit ke-50 (1,31±0,54 mV), dan menit ke-90 dengan amplitudo gelombang R sebesar 1,48±0,72 mV. Sedangkan pada kelompok II, setelah pemberian anestesi propofol, penurunan amplitudo gelombang R masih berlanjut sampai dengan menit ke-30 (1,13±0,60 mV), yang kemudian perlahan meningkat sampai anjing siuman pada menit ke-90 dengan amplitudo gelombang R sebesar 1,48±0,72 mV. Penurunan amplitudo gelombang R pada menit ke-0 sampai menit ke-10 disebabkan pemberian preanestesi atropin sulfat–xylazin HCl. Atropin sulfat– xylazin HCl dapat menghambat konduksi listrik pada ventrikel jantung dan serabut Purkinje. Penghambatan konduksi listrik diventrikel digambarkan dengan
39
menurunnya kekuatan impuls listrik di ventrikel (Carareto et al. 2008). Kestabilan EKG mulai terlihat pada menit ke-20 terlampaui, yaitu pada saat pemberian induksi anestesi, terutama pada pemberian anestesi ketamin HCl dan kombinasi ketamin HCl-propofol. Kestabilan amplitudo gelombang R diperoleh setelah menit ke-30 terlampaui dengan induksi anestesi propofol. Penghambatan konduksi listrik tidak terlalu berpengaruh karena besarnya kekuatan impuls listrik yang bersumber dari NSA dan nodus atrioventrikuler (NAV), sehingga berkas His dan serabut Purkinje tidak terpengaruh oleh perbedaan potensial aksi pada sistem syaraf yang menginervasi jantung akibat pengaruh pemberian anestesi. Otot jantung mampu berkontraksi sendiri akibat aliran listrik dari NSA sebagai pacemaker, NAV, berkas His, dan serabut Purkinje. Sedangkan sistem syaraf hanya dapat memodifikasi aliran listrik pada jantung, sehingga perubahan potensial aksi pada sistem syaraf akibat perlakuan anestesi belum mampu memodifikasi aliran listrik pada ventrikel jantung yang bersumber dari NAV, berkas His, dan serabut Purkinje.
Interval Gelombang QRS Gelombang QRS dibentuk bersama-sama oleh gelombang Q, R, dan S. Standar penamaan kompleks QRS adalah jika defleksi pertama ke bawah (defleksi negatif) disebut gelombang Q, defleksi pertama ke atas (defleksi positif) disebut sebagai gelombang R, dan defleksi ke bawah pertama yang mengikuti defleksi ke atas disebut sebagai gelombang S (Thaler 2009). Interval gelombang QRS menggambarkan adanya depolarisasi yang terjadi pada ventrikel. Impuls listrik di ventrikel menyebar cukup cepat dengan lamanya interval gelombang QRS pada anjing normal adalah antara 0,04 sampai 0,05 detik (Nelson 2003; Tilley et al. 2008). Repolarisasi atrium terjadi selama masa depolarisasi ventrikel. Tetapi besarnya gelombang QRS tersebut akan menutupi gambaran pemulihan atrium yang tercatat pada sadapan EKG. Hasil pengamatan interval gelombang QRS seperti ditunjukkan pada Gambar 15.
Interval Kompleks QRS (detik)
40
0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
20
40
60
80
Waktu (menit) Kelompok I
Gambar 15
Kelompok II
Kelompok III
Perubahan rata-rata interval gelombang QRS sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III)
Pada kelompok I, setelah preanestesi terjadi penurunan interval gelombang QRS dari 0,05±0,01 detik ke 0,04±0,02 detik. Sedangkan pada kelompok II tidak terjadi perubahan interval gelombang QRS sampai dengan menit ke-30, begitu pula pada kelompok III tidak terjadi perubahan interval gelombang QRS sampai dengan menit ke-50. Hal ini berarti pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfat-xylazin HCl tidak mempengaruhi waktu depolarisasi pada ventrikel. Pada kelompok I dan II setelah menit ke-30 sampai dengan menit ke-60 terjadi ketidakstabilan interval gelombang QRS dan baru mencapai kestabilan setelah menit ke-60 sampai dengan anjing siuman pada menit ke-90 dengan interval gelombang QRS masing-masing 0,05±0,00 detik (kelompok I) dan 0,05±0,00 detik (kelompok II). Sedangkan pada kelompok III terjadi peningkatan interval gelombang QRS pada menit ke-60 dari 0,04±0,01 ke 0,05±0,00 detik dan turun kembali ke 0,04±0,01 detik pada menit ke-80. Perubahan interval gelombang QRS pada kelompok I dan II menunjukkan bahwa pemberian anestesi ketamin HCl dan propofol dapat memberikan ketidakstabilan gambaran interval gelombang QRS terlihat pada menit ke-30. Setelah menit ke-60 terlampaui, gambaran interval gelombang QRS terlihat kembali stabil. Pada kelompok III,
41
ketidakstabilan gambaran interval gelombang QRS terlihat pada menit ke-60 dan kembali stabil setelah menit ke-70 terlampaui. Gambaran interval gelombang QRS dapat dipengaruhi oleh kondisi teranestesi sempurna baik dengan induksi ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya. Namun karena impuls listrik yang dihasilkan oleh NSA begitu kuat dan sangat cepat dilewatkan ke NAV melalui berkas His menuju ke serabut Purkinje yang akan mengadakan kontak dengan seluruh sel-sel ventrikel untuk dialiri impuls listrik maka kestabilan gambaran interval gelombang QRS dapat tercapai. Di ventrikel sendiri juga tersebar sel-sel Pacemaker yang dapat menghasilkan impuls listrik sendiri.
Interval Gelombang PQ Interval gelombang PQ atau kadang disebut interval gelombang PR diukur dari permulaan gelombang P hingga awal kompleks QRS. Dalam interval ini mencakup penghantaran impuls listrik melalui atrium (depolarisasi atrium) dan hambatan impuls melalui nodus atrioventrikular (NAV). Interval gelombang PQ pada anjing normal adalah berkisar antara 0,06 sampai 0,13 detik (Nelson 2003; Tilley et al. 2008). Perpanjangan interval gelombang PQ yang abnormal menandakan adanya gangguan hantaran impuls (AV block). Gambaran hasil pengamatan pada interval PQ seperti pada Gambar 16. 0,18 Interval PR (detik)
0,15 0,12 0,09 0,06 0,03 0 0
20
40
60
80
Waktu (detik) Kelompok I
Gambar 16
Kelompok II
Kelompok III
Perubahan rata-rata interval PQ sadapan kedua sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III)
42
Pada kelompok I, setelah preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl terjadi penurunan interval gelombang PQ dari 0,09±0,06 detik ke 0,08±0,05 detik, begitu pula pada kelompok II dari 0,11±0,01 detik ke 0,09±0,01 detik, dan pada kelompok III dari 0,07±0,05 detik ke 0,05±0,06 detik. Rata-rata penurunan interval gelombang PQ pada 10 menit pertama adalah 0,01-0,02 detik. Pemberian xylazin HCl dapat menyebabkan terjadinya penghambatan pada NAV dan menyebabkan
terjadinya keterlambatan konduksi
listrik
di
atrium
dan
perpanjangan interval gelombang PQ. Seolah-olah terjadi AV block setelah pemberian xylazin HCl yang menyabkan terjadinya penurunan interval gelombang PQ (Avdosko et al. 2010; Conti-Patara et al. 2009). Setelah 10 menit pertama terlampaui, yaitu setelah dianestasi dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasinya (kelompok III) terjadi peningkatan interval gelombang PQ pada ketiga kelompok, yaitu masing-masing 0,01 detik pada kelompok I, 0,02 detik pada kelompok II, dan 0,01 detik pada kelompok III. Peningkatan interval gelombang PQ masih terjadi pada kelompok I dan II sampai dengan anjing siuman pada menit ke-90. Pada kelompok III, terjadi peningkatan interval gelombang PQ yang tajam pada menit ke-70 sebesar 0,13±0,01 detik, dan menit ke-80 kembali turun 0,05 detik sampai dengan anjing siuman pada menit ke-90 dengan interval gelombang PQ sebesar 0,08±0,05 detik. Peningkatan interval gelombang PQ terjadi setelah pemberian anestesi baik dengan ketamin HCl, propofol, maupun kombinasinya yang terjadi pada ketiga kelompok pengamatan. Anjing yang teranestesi dengan kombinasi ketamin HCl-propofol, setelah menit ke-70 akan berusaha memperoleh kestabilan terhadap waktu
depolarisasi
atrium
yang ditunjukkan dengan kembali
menurunnya nilai interval gelombang PQ sesuai dengan kondisi sebelum induksi anestesi. Ini menunjukkan pemberian induksi anestesi baik dengan ketamin HCl, propofol,
maupun
kombinasi
ketamin
HCl-propofol
cenderung
dapat
meningkatkan durasi interval gelombang PQ walaupun masih pada kisaran normal. Aktivitas ketamin HCl dapat secara langsung menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan catecholamine terutama norepineprin. Ketamin HCl dapat mengubah aktivitas listrik jantung dengan memperpanjang interval gelombang PQ, tetapi tidak mempengaruhi
43
bentuk gelombang EKG (Adams 2001). Hal ini berarti bahwa pemberian induksi anestesi belum menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap waktu depolarisasi atrium dan perlambatan impuls listrik yang melalui NAV. Perubahan potensial aksi pada sistem syaraf akibat anestesi tidak mampu memodifikasi aliran listrik pada dinding atrium jantung.
Interval Gelombang QT Interval gelombang QT diukur dari awal kompleks QRS sampai akhir gelombang T yang merupakan lamanya waktu depolarisasi dan repolarisasi oleh ventrikel. Interval gelombang QT bervariasi sesuai dengan frekuensi jantung. Rata-rata interval gelombang QT pada anjing normal adalah 0,15–0,25 detik (Nelson 2003; Tilley et al. 2008). Gambaran hasil dari pengamatan seperti
Interval QT (detik)
ditunjukkan pada Gambar 17.
0,27 0,24 0,21 0,18 0,15 0,12 0,09 0,06 0,03 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 17 Perubahan rata-rata interval QT sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III).
Pada kelompok I, setelah preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl sampai dengan menit ke-10 tidak terjadi perubahan yaitu 0,15±0,01 detik, begitu pula dengan kelompok III sebesar 0,22±0,04 detik. Sedangkan pada kelompok III terjadi sedikit peningkatan interval gelombang QT dari 0,19±0,01 detik ke
44
0,20±0,01 detik. Hal ini menunjukkan bahwa preanestesi dengan atropin sulfatxylazin HCl tidak memberikan pengaruh terhadap lamanya waktu depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Perubahan interval gelombang QT tiap tahap anestesi terlihat setelah menit ke-20. Pada kelompok I setelah dianestesi dengan ketamin HCl terjadi peningkatan interval gelombang QT menjadi 0,22±0,01 detik sampai dengan menit ke-40 (0,23±0,01 detik) dan setelah menit ke-40 terlihat ketidakstabilan interval gelombang QT sampai dengan anjing siuman pada menit ke-90 sebesar 0,22±0,03 detik. Pada kelompok II setelah dianestesi dengan propofol terjadi penurunan interval gelombang QT pada menit ke-30 sebesar 0,21±0,01 detik dan setelah menit ke-30 terlampaui, gambaran interval gelombang QT relatif stabil sampai dengan anjing siuman pada menit ke-90 sebesar 0,19±0,01 detik. Begitu pula dengan kelompok III, setelah dianestesi terjadi sedikit penurunan interval gelombang QT pada menit ke-20 sebesar 0,21±0,01 detik, kemudian gambaran interval gelombang QT relatif stabil sampai dengan anjing siuman pada menit ke90 dengan interval gelombang QT sebesar 0,22±0,05 detik. Peningkatan interval gelombang QT setelah dianestesi dengan ketamin HCl berarti bahwa ketamin HCl menyebabkan terjadinya perlambatan repolarisasi ventrikel sedangkan perlakuan dengan
anestesi
propofol
dan
kombinasi
ketamin
HCl-propofol
tidak
menyebabkan perubahan repolarisasi ventrikel. Perlakuan anestesi dengan ketamin HCl dapat mempengaruhi waktu yang dibutuhkan jantung untuk berdenyut terutama pada saat terjadinya repolarisasi ventrikel (interval gelombang QT), sedangkan kemampuan atau kekuatan jantung untuk berdenyut tidak terpengaruh. Perpanjangan interval gelombang QT dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain obat-obatan antiaritmia, hipnotik dan penenang; gangguan keseimbangan elektrolit seperti hipokalemia, hipomagnesemia, dan hipokalsemia; serta oleh penyakit seperti gagal jantung kongestif, infark, dan miokarditis; dan lain-lainnya seperti hipertensi dan hipotermia (Karim dan Kabo 2002).
45
Amplitudo Gelombang T Amplitudo gelombang T menggambarkan kekuatan impuls listrik pada saat repolarisasi ventrikel. Gelombang T berkaitan dengan kejadian iskemia miokardium serta hiperkalemia (peningkatan kadar kalium serum) yang akan mempertinggi dan mempertajam puncak gelombang T. Tinggi gelombang T pada anjing normal adalah tidak lebih dari 1/3 R (Nelson 2003; Tilley et al. 2008). Pada anjing defleksi gelombang T dapat ke bawah (defleksi negatif), ke atas (defleksi positif), maupun bifasik (Tilley et al. 2008). Hasil pengamatan terhadap tinggi
Gelombang T (mV)
gelombang T terlihat seperti pada Gambar 18.
0,4 0,3 0,2 0,1 0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu (menit) Kelompok I
Gambar 18
Kelompok II
Kelompok III
Perubahan rata-rata amplitudo gelombang T sadapan kedua sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III)
Pada kelompok I, setelah pemberian preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl terjadi kenaikan amplitudo gelombang T dari -0,36±0,17 mV ke -0,23±0,17 mV pada menit ke-10. Demikian pula halnya dengan kelompok II terjadi kenaikan amplitudo gelombang T dari -0,25±0,20 mV ke -0,23±0,14 mV, dan kelompok III terjadi kenaikan amplitudo gelombang T dari -0,08±0,12 mV ke -0,03±0,20 mV. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfatxylazin HCl dapat mempengaruhi kekuatan impuls listrik pada saat repolarisasi ventrikel sehingga menyebabkan kenaikan amplitudo gelombang T.
46
Setelah pemberian anestesi ketamin HCl, pada kelompok I, kenaikan amplitudo gelombang T masih berlanjut sampai dengan menit ke-40 sebesar -0,07±0,31 mV. Dari menit ke-50 (-0,08±0,34 mV) perlahan terjadi penurunan amplitudo gelombang T sampai dengan menit ke-70 sebesar -0,04±0,32 mV. Pada menit ke-80 terjadi kenaikan gelombang T -0,08±0,27 mV dan terjadi penurunan kembali pada menit ke-90 sebesar -0,22±0,17 mV. Pada kelompok II, setelah pemberian anestesi propofol, kenaikan amplitudo gelombang T masih berlanjut sampai dengan menit ke-20 sebesar -0,09±0,20 mV. Setelah menit ke-20 terlampaui, perlahan terjadi penurunan amplitudo gelombang T sampai dengan menit ke-50 sebesar -0,19±0,12 mV, kemudian terjadi peningkatan amplitudo gelombang T pada menit ke-60 sebesar -0,10±0,15 mV, dan perlahan mengalami penurunan setelah menit ke-60 terlampaui sampai dengan menit ke-90 sebesar -0,22±0,16 mV. Sedangkan pada kelompok III, setelah pemberian induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol terjadi penurunan amplitudo gelombang T pada menit ke-20 sebesar -0,08±0,19 mV, kemudian terjadi kenaikan amplitudo gelombang T setelah menit ke-20 terlampaui sebesar 0,13±0,26 mV. Penurunan amplitudo gelombang T kembali terjadi setelah menit ke-50 terlampaui sebesar -0,06±0,13 mV sampai dengan hewan siuman pada menit ke-90 dengan amplitudo gelombang T sebesar -0,08±0,11 mV. Setelah induksi anestesi, terlihat bahwa pemberian anestesi baik dengan ketamin HCl maupun propofol dan kombinasi ketamin HCl-propofol memberikan gambaran amplitudo gelombang T yang relatif stabil. Pada pemberian anestesi dengan kombinasinya perlu diwaspadai setelah menit ke-20 terlampaui sampai dengan menit ke-50. Kekuatan impuls listrik pada saat repolarisasi ventrikel tidak dipengaruhi oleh pemberian induksi anestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasi ketamin HCl-propofol.
Denyut Jantung Denyut jantung merupakan jumlah denyut per menit (beat per minute bpm). Jumlah denyut jantung dapat diperoleh dari EKG dengan menghitung jumlah gelombang R selama satu menit. Jumlah rata-rata denyut jantung pada
47
anjing normal adalah 70–160 bpm (Nelson 2003; Tilley et al. 2008). Hasil
Denyut Jantung (beat per minute)
pengamatan dapat digambarkan seperti ditunjukkan pada Gambar 19.
140 120 100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 19 Perubahan rata-rata denyut jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) Pada kelompok I, setelah preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl terjadi penurunan denyut jantung dari 107±14,24 bpm ke 87±11,20 bpm, begitu pula pada kelompok II dari 112±11,25 bpm ke 93±17,10 bpm, dan kelompok III dari 105±16,88 bpm ke 67±12,43 bpm. Semua kelompok pada menit ke-0 sampai menit ke-10, terlihat mengalami penurunan denyut jantung. Xylazin HCl termasuk golongan dari α2-adrenoceptor agonist yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa mekanisme reaksi seperti merangsang tonus pada syaraf vagus, tertekannya pacemaker secara langsung, dan tertekannya sistem konduksi jantung (Atalan et al. 2002 dan Kinjavdekar et al. 1999). Pemberian xylazin HCl dapat menekan sistem kardiovaskuler dan menyebabkan penurunan tekanan darah (Ozkan et al. 2010). Perangsangan syaraf vagus mengakibatkan pelepasan hormon asetilkolin pada ujung syaraf vagus, yang menyebabkan penurunan denyut jantung, penurunan konduksi impuls, dan penurunan kontraksi otot jantung. Untuk menghindari penurunan denyut jantung terlalu rendah, digunakan atropin sulfat yang dapat menghambat pelepasan hormon asetilkolin. Pemberian atropin sulfat
48
dapat juga digunakan untuk mengurangi efek yang tidak diharapkan karena pemberian xylazin HCl, diantaranya mengurangi efek muntah dan hipersalivasi. Setelah dianestesi, penurunan masih terjadi pada kelompok II yaitu pada menit ke-20 sebesar 83±16,77 bpm, namun pada kelompok I dan III terjadi kenaikan denyut jantung yaitu masing-masing 95±12,28 bpm (kelompok I) dan 106±15,99 bpm (kelompok III). Masing-masing kelompok perlakuan mencapai kestabilan denyut jantung setelah menit ke-20 terlampaui. Ini berarti kestabilan denyut jantung diperoleh setelah pemberian anestesi baik dengan ketamin HCl, propofol, maupun kombinasi ketamin HCl-propofol. Ketamin HCl dapat bekerja sebagai inotropik positif, yaitu dapat meningkatkan kontraksi otot jantung. Propofol tidak menimbulkan pengaruh terhadap denyut jantung (Mohamadnia et al. 2008). Propofol mempunyai onset kerja yang cepat yaitu kurang dari satu menit dan metabolisme tubuh terhadap propofol juga sangat cepat, sehingga kurang baik dipergunakan untuk anestesi dalam jangka waktu panjang jika sekali aplikasi dan dalam bentuk pemberian tunggal (Plumb 2005; Tsai et al. 2007). Sehingga untuk aplikasi dengan propofol perlu dikombinasikan dengan ketamin HCl guna memperoleh kestabilan yang lebih baik terhadap denyut jantung.
Aksis Jantung Aksis jantung merupakan vektor rata-rata baik dari depolarisasi atrium maupun ventrikel dapat digunakan untuk mengetahui abnormalitas perluasan jantung yang diperoleh dari hasil sadapan ekstremitas, baik yang disebabkan oleh perubahan posisi jantung atau oleh gangguan pada konduksi jantung. Aksis jantung anjing normal ada pada kisaran 40o–100o (Nelson 2003; Tilley et al. 2008). Gambaran rata-rata aksis jantung seperti ditunjukkan pada Gambar 20.
Aksis Jantung (derajat)
49
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 20 Perubahan rata-rata aksis jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III)
Setelah pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfat-xylazin HCl, kelompok III mempunyai gambaran yang berbeda dengan kelompok I dan II. Pada kelompok I, terjadi penurunan rata-rata aksis jantung dari 72±4,76 derajat ke 66±4,62 derajat. Begitu pula dengan kelompok II terjadi penurunan rata-rata aksis jantung dari 67±12,36 derajat ke 62±15,00 derajat. Sedangkan pada kelompok III, terjadi kenaikan rata-rata aksis jantung dari 74±8,81 derajat ke 76±5,45 derajat. Hal ini berarti bahwa pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfat-xylazin HCl tidak mempengaruhi rata-rata aksis jantung. Setelah pemberian anestesi baik dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) yaitu setelah menit ke-20 terlampaui, terlihat adanya kestabilan gambaran ratarata aksis jantung anjing. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian preanestesi sulfat-xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasi ketamin HCl-propofol tidak mempengaruhi rata-rata aksis jantung, yang berarti juga tidak menyebabkan terjadinya kelainan yang mengakibatkan perluasan jantung.
50
Pemberian Preanestesi, Induksi, dan Pemeliharaan Anestesi
Penelitian kedua dilakukan untuk melihat gambaran EKG anjing yang diberikan pemeliharaan anestesi dengan tetes infus intravena (IV) secara gravimetrik. Anjing terlebih dahulu diberikan preanestesi kombinasi atropin sulfat (0,03 mg/kgBB)–xylazin HCl (2 mg/kgBB) secara IM, 10 menit kemudian diinduksi dengan kombinasi ketamin HCl (4 mg/kgBB)–propofol (4 mg/kgBB) secara IV, dan 10 menit kemudian dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi dengan metode tetes infus IV secara gravimetrik masing-masing dengan ketamin HCl (0,4 mg/kgBB/menit), propofol (0,4 mg/kgBB/menit), dan kombinasi ketamin HCl (0,4 kg/kgBB/menit)–propofol (0,4 mg/kgBB/menit). Infus IV ini diberikan sampai menit ke-120. Pengukuran EKG diambil dari menit ke-0 sampai dengan menit ke-140. Parameter yang diamati adalah tinggi gelombang P, R, dan T; interval gelombang QRS, PQ, dan QT; serta denyut jantung dan aksis jantung. Nilai rata-rata dan simpangan baku dari hasil penelitian kedua seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
41
Tabel 5
Nilai rata-rata dan simpangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II amplitudo gelombang P, amplitudo gelombang R, amplitudo gelombang T, interval gelombang QRS, interval PQ, interval QT, denyut jantung, dan aksis jantung sebelum teranestesi, selama preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi tetes infus intravena secara gravimetrik dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III)
Parameter
Perlakuan
Amplitudo Gelombang P Amplitudo Gelombang R Amplitudo Gelombang T Interval Gelombang QRS Interval Gelombang PQ Interval Gelombang QT Denyut Jantung
Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III Klp I Klp II Klp III
Aksis Jantung
0 0,14±0,06 0,13±0,03 0,18±0,06 1,71±0,44 1,43±0,13 1,47±0,83 -0,14±0,09 -0,23±0,16 -0,28±0,25 0,04±0,00 0,05±0,01 0,05±0,01 0,11±0,01 0,11±0,02 0,11±0,00 0,20±0,02 0,20±0,01 0,21±0,02 125±14,48 118±16,68 120±11,21 72±7,90 61±4,72 75±4,72
10 0,12±0,07 0,11±0,06 0,16±0,03 1,70±0,50 1,38±0,17 1,41±0,99 -0,10±0,08 -0,11±0,23 -0,26±0,09 0,04±0,00 0,04±0,01 0,05±0,01 0,11±0,01 0,11±0,01 0,11±0,01 0,20±0,03 0,21±0,02 0,22±0,01 70±38,60 72±35,85 65±13,45 65±7,27 63±6,52 76±6,52
20 0,12±0,03 0,10±0,05 0,15±0,03 1,66±0,45 1,32±0,25 1,38±0,70 -0,10±0,15 -0,05±0,28 -0,24±0,10 0,04±0,00 0,05±0,01 0,05±0,01 0,12±0,02 0,12±0,02 0,12±0,01 0,21±0,10 0,22±0,02 0,22±0,02 113±20,92 115±39,03 116±21,00 74±6,15 65±9,31 80±9,31
30 0,15±0,03 0,14±0,04 0,18±0,03 1,94±0,47 1,62±0,28 1,71±0,18 -0,12±0,17 -0,14±0,25 -0,22±0,07 0,04±0,00 0,04±0,01 0,05±0,01 0,11±0,01 0,11±0,03 0,12±0,01 0,13±0,10 0,22±0,01 0,22±0,02 99±28,98 89±16,40 93±25,80 76±9,37 66±8,68 75±8,68
40 0,15±0,03 0,15±0,04 0,19±0,03 1,85±0,50 1,18±0,50 1,28±0,48 -0,11±0,16 -0,13±0,20 -0,22±0,08 0,04±0,00 0,05±0,01 0,05±0,01 0,10±0,02 0,12±0,02 0,12±0,01 0,12±0,10 0,21±0,02 0,21±0,05 104±29,38 87±18,31 97±28,77 72±4,75 64±8,70 79±8,70
50 0,15±0,03 0,13±0,04 0,19±0,03 1,93±0,43 1,51±0,23 1,21±0,12 -0,07±0,22 -0,13±0,17 -0,27±0,07 0,04±0,01 0,04±0,01 0,05±0,01 0,12±0,01 0,12±0,01 0,12±0,02 0,14±0,02 0,22±0,02 0,24±0,02 98±16,51 82±14,60 88±41,49 65±7,53 62±5,90 67±5,60
Waktu Pengamatan (menit) 60 70 80 0,16±0,03 0,14±0,03 0,15±0,03 0,12±0,03 0,15±0,02 0,14±0,01 0,19±0,03 0,19±0,03 0,19±0,03 1,98±0,44 1,89±0,44 1,79±0,41 1,47±0,25 1,49±0,20 1,44±0,19 1,09±0,12 1,24±0,12 1,21±0,12 -0,14±0,18 -0,15±0,21 -0,15±0,21 -0,16±0,13 -0,16±0,14 -0,17±0,11 -0,18±0,18 -0,21±0,18 -0,23±0,18 0,05±0,01 0,04±0,00 0,05±0,00 0,04±0,01 0,04±0,00 0,04±0,01 0,05±0,01 0,05±0,01 0,05±0,01 0,12±0,01 0,12±0,01 0,12±0,01 0,12±0,01 0,12±0,01 0,12±0,01 0,13±0,02 0,12±0,02 0,12±0,02 0,21±0,09 0,18±0,09 0,19±0,09 0,22±0,01 0,23±0,01 0,23±0,01 0,24±0,01 0,24±0,02 0,22±0,02 91±21,83 92±17,06 91±19,69 82±23,81 88±24,60 81±17,63 85±21,84 80±13,82 75±11,91 69±12,27 69±12,37 70±11,91 61±6,60 61±6,20 60±7,01 68±6,60 70±6,20 70±7,01
90 0,15±0,02 0,12±0.01 0,18±0,04 1,71±0,43 1,45±0,16 1,27±0,73 -0,14±o,22 -0,15±0,15 -0,27±0,14 0,04±0,01 0,04±0,01 0,05±0,01 0,11±0,01 0,12±0,01 0,12±0,02 0,19±0,12 0,22±0,02 0,22±0,01 91±20,76 74±8,15 70±11,00 70±11,48 58±6,86 71±6,86
100 0,14±0,03 0,12±0,01 0,18±0,04 1,67±0,46 1,52±0,15 1,34±0,14 -0,15±0,22 -0,14±0,14 -0,24±0,21 0,05±0,01 0,05±0,01 0,05±0,01 0,11±0,01 0,11±0,00 0,13±0,02 0,15±0,04 0,23±0,01 0,23±0,02 91±19,59 68±5,54 73±11,94 70±11,82 55±5,49 68±5,49
110 0,14±0,03 0,12±0,01 0,17±0,03 1,63±0,53 1,44±0,30 0,88±0,20 -0,16±0,19 -0,15±0,14 -0,25±0,20 0,06±0,01 0,05±0,01 0,06±0,01 0,11±0,01 0,11±0,02 0,13±0,02 0,23±0,04 0,21±0,03 0,21±0,05 90±18,80 68±6,11 70±13,57 69±11,37 59±8,52 68±8,52
120 0,15±0,03 0,13±0,02 0,17±0,04 1,74±0,42 1,44±0,16 1,23±0,19 -0,13±0,14 -0,17±0,13 -0,23±0,22 0,04±0,00 0,05±0,01 0,06±0,01 0,11±0,01 0,12±0,01 0,13±0,02 0,23±0,04 0,19±0,04 0,19±0,10 93±12,59 76±12,51 76±13,95 68±14,14 58±7,28 76±7,28
130 0,15±0,04 0,13±0,04 0,17±0,04 1,66±0,38 1,41±0,13 1,23±0,42 -0,13±0,17 -0,21±0,17 -0,14±0,20 0,06±0,01 0,05±0,01 0,06±0,01 0,11±0,01 0,11±0,01 0,13±0,02 0,19±0,10 0,21±0,03 0,21±0,05 96±11,36 82±13,88 78±15,06 69±13,65 59±8,35 76±8,35
140 0,14±0,03 0,12±0,03 0,17±0,03 1,69±0,36 1,34±0,10 1,21±0,80 -0,11±0,11 -0,23±0,15 -0,12±0,23 0,07±0,01 0,05±0,01 0,06±0,01 0,11±0,01 0,12±0,01 0,13±0,02 0,22±0,06 0,21±0,04 0,21±0,05 101±14,14 87±9,27 85±11,74 70±15,46 60±8,11 65±8,11
52
Amplitudo Gelombang P Hasil pengamatan terhadap nilai amplitudo gelombang P seperti ditunjukkan pada Gambar 21. Pada kelompok I, setelah diberikan preanestesi kombinasi atropin sulfat–xylazin HCl, amplitudo gelombang P mengalami penurunan dari 0,14±0,06 mV ke 0,12±0,07 mV. Begitu pula pada kelompok II dari 0,13±0,03 mV ke 0,11±0,06 mV dan pada kelompok III dari 0,18±0,06 mV ke 0,16±0,03 mV. Secara umum penurunan amplitudo gelombang P pada 10 menit pertama relatif sama yaitu 0,02 mV. Setelah pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol terutama pada kelompok II terjadi penurunan amplitudo gelombang P sampai dengan 0,10±0,05 mV dan kelompok III turun sampai dengan 0,15±0,03 mV. Sedangkan pada kelompok I menit ke-20 amplitudo gelombang P relatif sama dengan menit ke-10 yaitu sebesar 0,12±0,03 mV. Penurunan nilai amplitudo gelombang P ini dapat disebabkan karena pengaruh pemberian xylazin HCl yang dipergunakan sebagai preanestesi. Xylazin HCl seolah-olah dapat menyebabkan terjadinya penghambatan pada atrioventrikular (AV block). Terjadinya penghambatan pada atrioventrikular dapat menyebabkan terjadinya keterlambatan pada konduksi listrik di atrium jantung (Avdosko et al. 2010).
Gelombang P (mV)
0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 21 Perubahan rata-rata amplitudo gelombang P sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III)
53
Setelah menit ke-20, yaitu setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik terlihat perubahan amplitudo gelombang P. Pada kelompok I, setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan ketamin terjadi kenaikan amplitudo gelombang P menjadi 0,15±0,03 mV dengan kenaikan tertinggi terjadi pada menit ke-60 sebesar 0,16±0,03 mV. Pada menit ke-70 mengalami penurunan sebesar 0,14±0,03 mV. Setelah menit ke-70 terlampaui, gambaran amplitudo gelombang P terlihat relatif stabil sampai dengan menit ke-140 sebesar 0,14±0,03 mV. Pada kelompok II, setelah pemberian propofol sebagai pemelihara anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik terlihat ketidakstabilan amplitudo gelombang P sampai dengan menit ke-80. Terjadi kenaikan amplitudo gelombang P pada menit ke-30 sampai dengan menit ke-40 berturut-turut adalah 0,13±0,04 mV dan 0,15±0,04 mV. Pada menit ke-50 sampai dengan menit ke-60 terjadi penurunan amplitudo gelombang P sebesar 0,13±0,04 mV dan 0,12±0,03 mV, kemudian pada menit ke-70 mengalami kenaikan sebesar 0,15±0,02 mV. Setelah menit ke70 terlampaui, terjadi penurunan amplitudo gelombang P sebesar 0,14±0,01 mV sampai dengan menit ke-140 sebesar 0,12±0,03 mV. Pada kelompok III, setelah pemberian kombinasi ketamin-propofol sebagai pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik gambaran amplitudo gelombang P relatif lebih stabil dibandingkan dengan pemberian ketamin atau propofol saja. Setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan kombinasi ketamin-propofol, yaitu pada menit ke-20, terjadi peningkatan amplitudo gelombang P pada menit ke-30 menjadi 0,18±0,03 mV dengan kenaikan tertinggi terjadi pada menit ke-40 sampai dengan menit ke-80 yaitu dengan amplitudo gelombang P berturut-turut sebesar 0,19±0,03 mV, 0,19±0,03 mV, 0,19±0,03 mV, 0,19±0,03 mV, dan 0,19±0,03 mV. Setelah menit ke-80 terlampaui, secara perlahan terjadi penurunan amplitudo gelombang P sampai dengan menit ke-140 menjadi 0,17±0,03 mV. Kenaikan amplitudo gelombang P berhubungan dengan kenaikan denyut jantung yang disebabkan karena pemberian ketamin HCl. Ketamin HCl mempunyai pengaruh dapat meningkatkan denyut jantung, sehingga nilai amplitudo gelombang P juga dapat meningkat (Avdosko et. al 2010). Ketamin juga dapat menstimulasi pelepasan norepineprin pada syaraf simpatik dan
54
menghambat perangsangan pada syaraf vagus (Adams 2001). Perangsangan syaraf simpatik dan penghambatan pada syaraf vagus dapat mengakibatkan peningkatan denyut jantung, peningkatan konduksi impuls listrik jantung, dan peningkatan kontraksi otot jantung. Pemberian tetes infus IV secara gravimetrik dengan propofol memberikan dinamika listrik jantung yang lebih dinamis dibandingkan dengan pemberian ketamin HCl maupun kombinasi ketamin HClpropofol. Pemberian kombinasi ketamin HCl-propofol mampu memberikan kestabilan listrik jantung yang paling baik.
Amplitudo Gelombang R Amplitudo gelombang R adalah besarnya kekuatan arus listrik saat terjadinya depolarisasi ventrikel. Arus listrik ventrikel berasal dari NAV yang kemudian menyebar ke berkas His dan serabut Purkinje. Amplitudo gelombang R terlihat paling besar pada gambaran EKG karena banyaknya massa otot yang dilalui oleh impuls listrik yang dipergunakan untuk mendepolarisasi otot ventrikel. Hasil pengamatan amplitudo gelombang R seperti ditunjukkan pada Gambar 22.
Gelombang R (mV)
2,5 2 1,5 1 0,5 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 22 Perubahan rata-rata amplitudo gelombang R sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III)
55
Pada kelompok I, setelah pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfatxylazin HCl terjadi penurunan amplitudo gelombang R dari 1,71±0,44 mV ke 1,70±0,50 mV, demikian pula dengan kelompok II dari 1,43±0,13 mV ke 1,38±0,17 mV, dan kelompok III dari 1,47±0,83 mV ke 1,41±0,99 mV. Penurunan amplitudo gelombang R masih berlanjut setelah pemberian anestesi pada menit ke-10. Pada menit ke-20, kelompok I turun sampai dengan 1,66±0,45 mV, kelompok II 1,32±0,25 mV, dan kelompok III 1,38±0,70 mV. Penurunan amplitudo gelombang R dari menit ke-0 sampai dengan menit ke-20 disebabkan karena pengaruh pemberian preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl. Kombinasi atropin sulfat-xylazin HCl menyebabkan penghambatan konduksi listrik di ventrikel jantung dan serabut Purkinje, yang digambarkan dengan penurunan kekuatan impuls listrik di ventrikel (Carareto et al. 2008). Setelah pemberian pemeliharaan anestesi tetes infus IV secara gravimetrik, baik pada kelompok I, II, dan III pada menit ke-30 terjadi kenaikan amplitudo gelombang R, yaitu masing-masing menjadi 1,94±0,47 mV pada kelompok I, 1,62±0,28 mV pada kelompok II, dan 1,71±0,18 mV pada kelompok III. Kemudian pada menit ke-40 masing-masing kelompok mengalami penurunan amplitudo gelombang R menjadi 1,85±0,50 mV pada kelompok I, 1,18±0,50 mV pada kelompok II, dan 1,28±0,48 mV pada kelompok III. Setelah menit ke-40 terlampaui, gambaran masing-masing kelompok terlihat berbeda. Pada kelompok I, setelah menit ke-40 terlampaui, terjadi kenaikan amplitudo gelombang R secara perlahan dengan kenaikan tertinggi terjadi pada menit ke-60 sebesar 1,98±0,44 mV dan kemudian kembali turun sampai dengan menit ke-140 menjadi 1,69±0,36 mV. Pada kelompok II, terjadi kenaikan amplitudo gelombang R pada menit ke50 menjadi 1,51±0,23 mV dan secara perlahan menurun sampai dengan menit ke140 menjadi sebesar 1,34±0,10 mV. Sedangkan pada kelompok III, setelah menit ke-40 terlampaui, tetap terjadi penurunan amplitudo gelombang R sampai dengan menit ke-60 menjadi sebesar 1,09±0,12 mV, kemudian perlahan mengalami kenaikan sampai dengan menit ke-100 menjadi 1,34±0,14 mV. Pada menit ke-110 terjadi penurunan sebesar 0,88±0,20 mV, kemudian kembali naik menjadi 1,23±0,19 mV pada menit ke-120 dan relatif stabil sampai dengan menit ke-140 sebesar 1,21±0,80 mV.
56
Setelah pemberian tetes infus IV secara gravimetrik baik dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya mempunyai dinamika yang hampir sama pada 20 menit pertama. Setelah menit ke-40 terlampaui masing-masing kelompok perlakuan mengalami gambaran amplitudo gelombang R yang berbeda-beda. Secara umum gambaran amplitudo gelombang R yang diperoleh adalah relatif stabil. Pada pemberian kombinasi ketamin HCl-propofol perlu diwaspadai pada menit ke-110 dimana terjadi penurunan amplitudo gelombang R, namun pada menit selanjutnya kembali naik dan mencapai kestabilan. Perbedaan potensial aksi syaraf
karena
pemberian
kombinasi
ketamin
HCl-propofol
seolah-olah
menyebabkan terkumpulnya impuls listrik jantung dan akan segera mencetuskan impuls listrik yang cukup besar pada dinding ventrikel jantung.
Interval Gelombang QRS Interval gelombang QRS dibentuk dari gelombang Q, gelombang R, dan gelombang S. Interval gelombang QRS menggambarkan terjadinya depolarisasi pada ventrikel. Hasil pengamatan interval gelombang QRS seperti ditunjukkan pada Gambar 23.
0,08 Interval QRS (detik)
0,07 0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 23 Perubahan rata-rata interval gelombang QRS sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III)
57
Pada kelompok I, setelah pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfatxylazin HCl, induksi anestesi dengan kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan ketamin HCl, interval gelombang QRS relatif stabil dari menit ke-10 sampai dengan menit ke-50 sebesar 0,04±0,00 detik. Setelah menit ke-50 terlampaui gambaran interval gelombang QRS terlihat tidak stabil sampai dengan menit ke-140. Pada kelompok II, dari menit ke-10 sampai dengan menit ke-40 interval gelombang QRS terlihat tidak stabil. Setelah menit ke-40 terlampaui, terlihat kestabilan interval gelombang QRS yaitu sebesar 0,04±0,01 detik, kemudian pada menit ke-100 mengalami kenaikan menjadi 0,05±0,01 detik dan stabil sampai dengan menit ke140 sebesar 0,05±0,01 detik. Sedangkan pada kelompok III, kestabilan interval gelombang QRS terlihat dari menit ke-10 sampai dengan menit ke-100 yaitu sebesar 0,05±0,01 detik, kemudian mengalami kenaikan pada menit ke-110 menjadi 0,06±0,01 detik dan stabil kembali sampai dengan menit ke-140 sebesar 0,06±0,01 detik. Pada kelompok I dan II terlihat gambaran gelombang QRS yang kurang stabil dibandingkan dengan kelompok III. Hal ini disebabkan karena jantung mengalami aritmia jantung, yang ditandai dengan denyut jantung yang tidak beraturan akibat dari pemberian ketamin HCl atau propofol. Aritmia pada ventrikel jantung dapat disebabkan karena adanya wandering pacemaker pada ventrikel. Wandering pacemaker ditimbulkan oleh sekelompok sel yang dapat bertindak sebagai pacemaker selain NSA, sehingga menimbulkan pergeseran lokasi sumber arus listrik jantung. Wadering pacemaker diakibatkan karena pengaruh syaraf vagus. Perangsangan oleh syaraf vagus menyebabkan terjadinya kromotropik negatif, inotropik negatif, dan dromotropik negatif sehingga merangsang sel-sel pacemaker selain NSA untuk menghasilkan impuls listrik jantung. Kombinasi ketamin HCl-propofol dapat mengurangi kejadian aritmia pada jantung. Impuls listrik yang dihasilkan oleh NSA begitu kuat dan sangat cepat dilewatkan ke NAV sehingga akan melakukan kontak dengan seluruh sel-sel ventrikel untuk dialiri impuls listrik, maka kestabilan gambaran interval gelombang QRS dapat tercapai.
58
Interval Gelombang PQ Interval gelombang PQ menggambarkan adanya penghantaran impuls listrik melalui atrium saat depolarisasi atrium serta terjadinya hambatan impuls listrik melalui NAV. Interval gelombang PQ awal (menit ke-0) yang diperoleh adalah 0,11±0,01, 0,11±0,02, dan 0,11±0,00. Hasil pengamatan nilai interval PQ
Interval PQ (detik)
seperti ditunjukkan pada Gambar 24.
0,16 0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 24 Perubahan rata-rata interval PQ sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) Pada kelompok I, setelah pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfatxylazin HCl interval gelombang PQ terlihat stabil dari 0,11±0,01 detik ke 0,11±0,01 detik. Demikian pula halnya dengan kelompok II dari 0,11±0,02 detik ke 0,11±0,01 detik, dan kelompok III dari 0,11±0,00 detik ke 0,11±0,01 detik. Setelah pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol terjadi kenaikan interval gelombang PQ, yaitu sampai dengan 0,12±0,02 detik pada kelompok I, 0,12±0,02 detik pada kelompok II, dan 0,12±0,01 detik pada kelompok III. Setelah menit ke-20 terlampaui, yaitu setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan infus IV secara gravimetrik masing-masing dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya, gambaran interval gelombang PQ terlihat bervariasi. Pada kelompok I, setelah menit ke-20 terlampaui terjadi penurunan interval gelombang PQ pada menit ke-30 dan berlanjut sampai dengan menit ke-40
59
masing-masing menjadi 0,11±0,01 detik dan 0,10±0,02 detik. Kemudian terjadi kenaikan dari menit ke-50 menjadi 0,12±0,01 detik, turun kembali pada menit ke80 menjadi 0,12±0,01 detik, dan mengalami kestabilan sampai dengan menit ke140 sebesar 0,11±0,01 detik. Pada kelompok II, terjadi penurunan interval gelombang PQ pada menit ke-30 menjadi 0,11±0,03 detik, kemudian pada menit ke-40 naik kembali menjadi 0,12±0,02 detik lalu stabil sampai menit ke-80 sebesar 0,12±0,01 detik. Setelah menit ke-80 terlampaui terjadi ketidakstabilan interval gelombang PQ sampai dengan menit ke-140, yaitu mengalami kenaikan sebesar 0,12±0,01 detik dan penurunan sebesar 0,11±0,01 detik. Pada kelompok III, setelah menit ke-20 terlampaui tetap mencapai kestabilan sampai dengan menit ke-50 sebesar 0,12±0,02 detik, kemudian pada menit ke-60 naik menjadi 0,13±0,02 detik, lalu pada menit ke-70 turun kembali menjadi 0,12±0,01 detik. Setelah menit ke-90 terlampaui, terjadi peningkatan interval gelombang PQ sebesar 0,13±0,02 detik pada menit ke-100 dan mencapai kestabilan sampai dengan menit ke-140 sebesar 0,13±0,02 detik. Gambaran interval gelombang PQ dari hasil pengamatan pada masingmasing kelompok terlihat bahwa kestabilan interval gelombang PQ yang lebih baik terlihat pada pemberian kombinasi ketamin HCl–propofol sebagai pemelihara anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dibandingkan dengan pemberian tunggal ketamin HCl atau propofol saja. Pemeliharaan anestesi dengan kombinasi ketamin HCl-propofol kurang mempengaruhi penghantaran impuls listrik melalui atrium dan hambatan impuls melalui NAV. Penghambatan impuls listrik jantung pada atrium yang terlihat pada gambaran amplitudo gelombang P tidak mempengaruhi interval gelombang PQ. Hal ini menunjukkan bahwa pada pemeliharaan status anestesi dengan pemberian kombinasi ketamin HCl–propofol belum mampu menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap waktu depolarisasi atrium dan perlambatan impuls listrik yang melalui NAV. Perubahan potensial aksi pada sistem syaraf akibat induksi anestesi tidak mampu memodifikasi aliran listrik pada dinding atrium jantung.
60
Interval Gelombang QT Interval gelombang QT merupakan rentang waktu ventrikel jantung untuk melakukan depolarisasi dan repolarisasi. Rentang interval QT bervariasi tergantung frekuensi denyut jantung. Hasil pengamatan terhadap interval gelombang QT seperti ditunjukkan pada Gambar 25.
0,3
Interval QT (detik)
0,25 0,2 0,15 0,1 0,05 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 25 Perubahan rata-rata interval QT sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) Pada kelompok I, setelah pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfatxylazin HCl interval gelombang QT terlihat stabil dari 0,20±0,02 detik ke 0,02±0,03 detik. Gambaran berbeda terlihat pada kelompok II dan kelompok III. Pada kelompok II, terjadi kenaikan interval gelombang QT dari 0,20±0,01 detik ke 0,21±0,02 detik. Begitu pula halnya dengan kelompok III, dari 0,21±0,02 detik ke 0,22±0,01 detik. Setelah pemberian anestesi dengan kombinasi ketamin HClpropofol, kelompok I tetap mengalami peningkatan menjadi 0,21±0,01 detik, demikian pula dengan kelompok II tetap mengalami kenaikan menjadi 0,22±0,02 detik, sedangkan pada kelompok III mengalami kestabilan pada 0,22±0,02 detik. Pada pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfat-xylazin HCl dan anestesi
61
dengan kombinasi ketamin HCl-propofol tidak memberikan pengaruh terhadap lamanya waktu depolarisasi dan repolarisasi ventrikel. Setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik, pada kelompok I terlihat relatif stabil yaitu berkisar antara 0,12–0,14 detik sampai dengan menit ke-50 menjadi 0,14±0,02 detik. Setelah menit ke-50 terlampaui terlihat gambaran interval gelombang QT yang tidak stabil sampai dengan menit ke-140. Pada kelompok II, setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan propofol terlihat gambaran interval gelombang QT yang relatif stabil sampai dengan menit ke-140, yaitu berkisar pada 0,22–0,23 detik. Pada kelompok III, setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan kombinasi ketamin HCl-propofol, terlihat gambaran interval gelombang QT yang relatif stabil sampai dengan menit ke-100 yaitu sebesar 0,23±0,02 detik, pada menit ke110 mengalami penurunan menjadi 0,21±0,05 detik dan kemudian relatif stabil sampai menit ke-140 sebesar 0,21±0,05 detik. Pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan ketamin HCl memberikan dinamika gambaran interval gelombang QT yang kurang stabil dibandingkan dengan dengan propofol maupun kombinasi ketamin HCl-propofol. Ketamin HCl dapat menyebabkan terjadinya perlambatan repolarisasi ventrikel sedangkan propofol dan kombinasi ketamin HCl-propofol tidak menyebabkan perubahan repolarisasi ventrikel. Perlakuan anestesi dengan ketamin HCl dapat mempengaruhi waktu yang dibutuhkan jantung untuk berdenyut terutama saat terjadinya repolarisasi ventrikel (interval gelombang QT), sedangkan kemampuan atau kekuatan jantung untuk berdenyut tidak terpengaruh.
Amplitudo Gelombang T Amplitudo gelombang T merupakan gambaran kekuatan impuls listrik jantung saat terjadi repolarisasi ventrikel. Pada hewan anjing defleksi gelombang T dapat ke bawah (defleksi negatif), ke atas (defleksi positif), maupun bifasik (Tilley et al. 2008). Hasil pengamatan terhadap amplitudo gelombang T seperti ditunjukkan pada Gambar 26.
62
0,2 Gelombang T (mV)
0,1 0 -0,1 -0,2 -0,3 -0,4 -0,5 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 26 Perubahan rata-rata amplitudo gelombang T sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) Pada kelompok I, setelah pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfatxylazin HCl amplitudo gelombang T mengalami kenaikan dari -0,14±0,09 mV ke -0,10±0,08 mV. Demikian pula halnya dengan kelompok II dari -0,23±0,16 mV ke -0,11±0,23 mV dan kelompok III dari -0,28±0,25 mV ke -0,26±0,09 mV. Setelah pemberian anestesi dengan kombinasi ketamin HCl-propofol, kelompok I mencapai kestabilan pada -0,10±0,15 mV. Sedangkan pada kelompok II tetap mengalami kenaikan menjadi -0,05±0,28 mV, demikian pula halnya dengan kelompok III tetap mengalami kenaikan amplitudo gelombang T menjadi -0,24±0,10 mV. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfat-xylazin HCl dan anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol dapat mempengaruhi kekuatan impuls listrik pada saat repolarisasi ventrikel sehingga menyebabkan kenaikan amplitudo gelombang T. Setelah menit ke-20 terlampaui, yaitu setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik, terlihat gambaran amplitudo gelombang T yang bervariasi pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok I, mengalami sedikit penurunan pada menit ke-30 menjadi -0,12±0,17 mV, lalu mengalami peningkatan pada menit ke-50 menjadi -0,07±0,22 mV
63
kemudian pada menit ke-60 turun kembali menjadi -0,14±0,18 mV dan mencapai kestabilan sampai dengan menit ke-140 menjadi -0,11±0,11 mV. Pada kelompok II,
menit
ke-30
terjadi
penurunan
amplitudo
gelombang
T
menjadi
-0,14±0,25 mV, lalu stabil sampai dengan menit ke-110 pada kisaran -0,15 mV. Menit ke-120 mengalami penurunan sampai dengan menit ke-140 masing-masing menjadi -0,17±0,13 mV dan -0,23±0,15 mV. Pada kelompok III, menit ke-30 tetap mengalami kenaikan menjadi -0,22±0,07 mV. Pada menit ke-50 terjadi penurunan menjadi -0,27±0,07 mV kemudian mengalami kenaikan pada menit ke60 menjadi -0,18±0,18 mV. Setelah menit ke-60 terlampaui perlahan mengalami penurunan sampai dengan menit ke-90 menjadi -0,27±0,14 mV dan kemudian mengalami kenaikan sampai dengan menit ke-140 menjadi -0,12±0,23 mV. Setelah pemberian pemeliharaan anestesi, terlihat bahwa pemberian tetes infus IV secara gravimetrik baik dengan ketamin HCl, propofol maupun kombinasnya memberikan gambaran amplitudo gelombang T yang relatif stabil. Kekuatan impuls listrik pada saat repolarisasi ventrikel tidak dipengaruhi oleh pemberian induksi anestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasi ketamin HClpropofol. Ini berarti kekuatan impuls listrik saat terjadi repolarisasi ventrikel tidak
dipengaruhi pemeliharaan status anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasi ketamin HCl-propofol.
Denyut Jantung Denyut jantung merupakan jumlah denyut per menit (beat per minute bpm). Jumlah denyut jantung dapat diperoleh dari EKG dengan menghitung jumlah gelombang R selama satu menit. Hasil pengamatan terhadap denyut jantung seperti ditunjukkan pada Gambar 27.
Denytu Jantung (beat per minute)
64
180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Gambar 27 Perubahan rata-rata denyut jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) Setelah pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfat-xylazin HCl, pada kelompok I mengalami penurunan denyut jantung dari 125±14,48 bpm menjadi 70±38,60 bpm. Demikian pula dengan kelompok II dari 118±16,68 bpm ke 72±35,85 bpm, dan kelompok III dari 120±11,21 bpm ke 65±13,45 bpm. Setelah pemberian anestesi dengan kombinasi ketamin HCl-propofol pada menit ke-10, kelompok I mengalami kenaikan denyut jantung menjadi 113±20,92 bpm, demikian pula dengan kelompok II menjadi 115±39,03 bpm, dan kelompok III menjadi 116±21,00 bpm pada menit ke-20. Semua kelompok pada menit ke-0 sampai menit ke-10, terlihat mengalami penurunan denyut jantung. Xylazin HCl termasuk golongan dari α2-adrenoceptor agonist yang dapat menyebabkan terjadinya beberapa mekanisme reaksi seperti merangsang tonus pada syaraf vagus, tertekannya pacemaker secara langsung, dan tertekannya sistem konduksi jantung (Atalan et al. 2002; Kinjavdekar et al. 1999). Pemberian xylazin HCl dapat menekan sistem kardiovaskuler dan menyebabkan penurunan tekanan darah (Ozkan et al. 2010). Perangsangan syaraf vagus mengakibatkan pelepasan hormon asetilkolin pada ujung syaraf vagus, yang menyebabkan penurunan denyut jantung, penurunan konduksi impuls, dan penurunan kontraksi otot jantung. Untuk menghindari penurunan denyut jantung
65
terlalu rendah, digunakan atropin sulfat yang dapat menghambat pelepasan hormon asetilkolin. Pemberian atropin sulfat dapat juga digunakan untuk mengurangi efek yang tidak diharapkan karena pemberian xylazin HCl, diantaranya mengurangi efek muntah dan hipersalivasi. Kenaikan denyut jantung yang terlihat pada pengamatan menit ke-20 dapat disebabkan karena pengaruh dari pemberian atropin sulfat sebagai preanestesi dan ketamin HCl sebagai induksi anestesi. Pemberian atropin sulfat pada anjing yang teranestesi dapat mencegah kejadian bradikardia selama 50 menit (Ko et al. 2001). Pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol juga dapat meningkatkan denyut jantung. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari ketamin HCl yang bekerja sebagai inotropik positif, yaitu dapat meningkatkan kontraksi otot jantung. Setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik, pada kelompok I yang diberikan tetes infus ketamin HCl mengalami penurunan menjadi 99±28,98 bpm dan selanjutnya terlihat relatif stabil sampai dengan menit ke-140 menjadi 101±14,14 bpm. Demikian pula halnya dengan kelompok II menjadi 89±16,40 bpm, selanjutnya terlihat stabil sampai dengan menit ke-140 menjadi 87±9,27 bpm, dan kelompok III menjadi 93±25,80 bpm, selanjutnya terlihat stabil setelah menit ke-30 terlampaui sampai dengan menit ke140 menjadi 85±11,74 bpm. Kestabilan denyut jantung terlihat pada pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik baik dengan ketamin HCl, propofol, maupun kombinasinya.
Aksis Jantung Aksis jantung dipergunakan untuk mengetahui abnormalitas perluasan jantung, baik perubahan posisi jantung atau oleh gangguan pada konduksi jantung. Hasil pengamatan awal terhadap aksis jantung pada masing-masing kelompok yaitu 72±7,90 (kelompok I), 61±4,72 (kelompok II), dan 75±4,72 (kelompok III). Hasil pengamatan yang diperoleh dari aksis jantung seperti ditunjukkan pada Gambar 28.
Aksis Jantung (derajat)
66
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100 110 120 130 140
Waktu (menit) Kelompok I
Gambar 28
Kelompok II
Kelompok III
Perubahan rata-rata aksis jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III)
Pada kelompok I, setelah pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfatxylazin HCl mengalami penurunan nilai rata-rata aksis jantung dari 72±7,90 derajat ke 65±7,27 derajat. Sedangkan pada kelompok II mengalami kenaikan dari 61±4,72 derajat ke 63±6,52 derajat, demikian pula dengan kelompok III mengalami kenaikan dari 75±4,72 derajat ke 76±6,25 derajat. Setelah pemberian anestesi dengan kombinasi ketamin HCl–propofol, pada kelompok I mengalami kenaikan menjadi 74±6,15 derajat, demikian pula halnya dengan kelompok II tetap mengalami kenaikan menjadi 65±9,31 derajat dan kelompok III juga tetap mengalami kenaikan menjadi 80±9,31 derajat. Hal ini berarti bahwa pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfat–xylazin HCl dan pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl–propofol tidak mempengaruhi rata-rata aksis jantung. Setelah pemberian pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik, pada kelompok I yang diberikan tetes infus ketamin HCl masih mengalami kenaikan menjadi 76±9,37 derajat, kemudian mengalami penurunan rata-rata aksis jantung sampai 65±7,53 derajat pada menit ke-50 dan selanjutnya mencapai kestabilan sampai dengan menit ke-140 menjadi 70±15,46 derajat. Pada kelompok II yang diberikan tetes infus dengan propofol, setelah menit ke-20
67
terlampaui gambaran rata-rata aksis jantung terlihat stabil sampai dengan menit ke-140 sebesar 60±8,11 derajat. Pada kelompok III, setelah diberikan tetes infus dengan kombinasi ketamin HCl-propofol, terlihat terjadi penurunan pada menit ke-30 menjadi 75±8,68 derajat dan berlanjut pada menit ke-50 menjadi 67±5,60 derajat. Setelah menit ke-50 terlampaui rata-rata aksis jantung terlihat stabil sampai dengan menit ke-140 manjadi 65±8,11 derajat. Pemeliharaan status anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik baik dengan ketamin HCl, propofol maupun kombinasinya tidak mempengaruhi nilai rata-rata aksis jantung. Hal ini berarti bahwa pemeliharaan status anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik baik dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya tidak menyebabkan terjadinya abnormalitas perluasan jantung yaitu perubahan posisi jantung.
Pembahasan Hipotesis Pemberian anestesi umum berpedoman pada trias anestesia, yaitu sedasia, analgesia, dan relaksasi. Pemberian anestesi dapat mempengaruhi kelistrikan jantung. Kestabilan listrik jantung dapat diperoleh dengan pemilihan bahan anestesi yang sesuai, penentuan teknik anestesi yang tepat serta pemberian dosis anestesi yang tepat. Pada penelitan pertama dengan pemberian preanestesi kombinasi atropin sulfat–xylazin HCl yang kemudian diberikan induksi anestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasi ketamin HCl–propofol memberikan gambaran kestabilan listrik jantung yang berbeda-beda. Pemberian induksi anestesi dengan ketamin HCl memberikan gambaran listrik jantung yang kurang stabil. Hal ini terlihat pada amplitudo gelombang P dan R yang memberikan gambaran amplitudo listrik jantung yang tetap tinggi sampai dengan anjing siuman, serta pada interval gelombang QRS, QT memberikan gambaran listrik jantung yang kurang stabil. Pada pemberian induksi anestesi dengan propofol memberikan gambaran yang relatif stabil, namun anjing telah siuman pada menit ke 60–70, sehingga kurang baik jika dipergunakan untuk melakukan anestesi yang membutuhkan durasi waktu relatif lama. Sedangkan pemberian induksi anestesi dengan kombinasi ketamin HCl–propofol memberikan kestabilan listrik jantung yang lebih baik
68
daripada pemberian anestesi dengan ketamin HCl atau propofol saja. Hal ini terlihat dari gambaran amplitudo gelombang P, R; interval gelombang QRS, QT; serta denyut jantung. Pemberian kombinasi ketamin HCl–propofol perlu diwaspadai pada menit ke 40–60. Pada penelitian kedua, yaitu dengan pemberian preanestesi atropin sulfat (0,03 mg/kgBB)–xylazin HCl (2 mg/kgBB) secara IM, kemudian diinduksi dengan kombinasi ketamin HCl (4 mg/kgBB)–propofol (4 mg/kgBB) secara IV dan dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi dengan metode tetes infus IV secara gravimetrik masing-masing dengan ketamin HCl (0,4 mg/kgBB/menit), propofol
(0,4
mg/kgBB/menit),
kg/kgBB/menit)–propofol
(0,4
dan
kombinasi
mg/kgBB/menit).
ketamin
Pemberian
HCl
(0,4
pemeliharaan
anestesi dengan kombinasi ketamin HCl-propofol dengan metode infus IV secara gravimetrik memberikan kestabilan listrik jantung yang lebih baik daripada ketamin HCl atau propofol saja. Hal ini terlihat dari gambaran amplitudo gelombang P dan T; interval gelombang QRS, PQ, dan QT; denyut jantung dan aksis jantung. Pada pemberian pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl saja dengan metode infus IV secara gravimetrik memberikan gambaran listrik jantung yang kurang stabil terutama terlihat pada gambaran interval gelombang QRS dan QT. Pada pemberian pemeliharaan anestesi dengan propofol saja dengan metode infus IV secara gravimetrik memberikan kestabilan listrik jantung yang lebih baik dari pemberian ketamin HCl saja, namun anjing telah siuman pada menit ke-90, yaitu sebelum pemberian tetes infus dihentikan pada menit ke-100 yang ditandai dengan terlihatnya gerakan-gerakan pada daun telinga dan adanya rasa sakit setelah distimulasi pada daerah pedalnya.
69
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Dari hasil 90 menit pengamatan terhadap ketiga kelompok perlakuan, kestabilan elektrokardiogram anjing yang paling baik terlihat pada pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl dan propofol dibandingkan dengan pemberian tunggal anestetikum ketamin HCl atau propofol. 2. Kestabilan elektrokardiogram anjing yang paling baik terlihat pada pemberian
pemeliharaan status teranestesi dengan metode tetes infus intravena secara gravimetrik menggunakan kombinasi ketamin HCl dan propofol dibandingkan dengan pemberian tunggal ketamin HCl atau propofol saja.
Saran Berdasarkan penelitian dan kesimpulan yang diperoleh, penulis merasa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap: 1. Gambaran kestabilan listrik jantung terhadap pemberian anestesi pada anjing muda/pediatrik maupun pada anjing tua/geriatrik. 2. Gambaran kestabilan listrik jantung terhadap pemberian anestesi pada anjinganjing yang mengalami kelainan degeneratif khususnya yang melibatkan jantung dan syaraf. 3. Gambaran kestabilan listrik jantung terhadap pemberian anestesi pada anjing yang mempunyai status atau sislsilah keturunan yang jelas.
70
DAFTAR PUSTAKA Adams HR. 2001. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-8. United State of America: Iowa State University Press. 1201 hlm. Atalan G, Demirka I, Gunes V, Cihan M, Celebi F, dan Citil M. 2002. Comparison of xylazine+ketamine HCl anaesthetic agens with acepromazine+butorphanol+ketamine combinations for their clinical and cardiorespiratory effects in dogs. Veteriner Cerrahi Dergisi 8 (3-4). 3540 Avdosko G, Edite B, Lelde M. 2010. Changes in electrocardiogram of Cocker Spaniel and German Shepherd dogs during anaesthesia. Veterinarija Zootechnika (Vet Med Zoot). T 49 (71). Booth NH, Branson KR. 1995. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-7. United State of America: Iowa State Press. Carareto R, Sousa MG, Zacheu JC, Aguiar AJ, dan Camacho AA. 2008. Effects of propofol and sufentanil on the electrocardiogram of the premedicated with acepromacine. Revista Portuguesa de Ciencias Veterinarias 103 (565-566) 73-77. Coleman MG, Robson MC. 2005. Evaluation of six-lead electrocardiograms obtained from dogs in sitting position or sternal recumbency. Am J Vet Res 66(2): 233-7. Conti-Patara A, Fantoni DT, Cortopassi SRG. 2008. Electrocardiographic study on geriatric dogs undergoing general anesthesia with isoflurane. Ciencia Rural, Santa Maria, Online. ISSN 0103-9478 Cullen LK. 1997. Lecture Notes on Veterinary Anesthesia. Australia: Murdoch University. Hal 25-28. Cunningham JG. 2002. Textbook of Veterinary Physiology. London, New York, Sydney, Toronto. WB Saunders. 575 hlm. Dart CM. 1999. Advantages and disadvantages of using aipha-2 agonists in veterinary practice. Australian Veterinary Journal 177(11).720-722 Debuf YM. 1991. The Veterinary Formulary. Ed ke-1. London. The Pharmaceutical Press. London. Hal 181 - 1994 Edwards. 1993. ECG Manual for The Veterinary Technician. Phyladelphia. W.H. Saunders Company. 204 hlm. Gunawan S G. 2009. Farmakologi dan Terapi. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 926 hlm. Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. Ed ke-11. 1179 hlm. Hamptom JR. 2006. Dasar-dasar EKG. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. Handoko T. 1983. Anestetik Umum, Farmakologi dan Terapi. Ed ke-3. Jakarta. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran universitas Indonesia. Hal 103 – 115. Hanton G, Rabemampianina Y. 2006. The electrocardiogram of the beagle dog: reference values and effect of sex, genetic strain, body position and heart rate. Laboratory Animal Ltd. 40, 123-136. Franch. Departement of Toxicology and Comparative Medicine, Pfizer Global Reserach and Development.
71
Intelisano TR, Kitahara FR, Otsuki DA, Fantoni DT, Auler JOC, Cortopassi SRG. 2008. Total intravenous anaesthesia with propofol-racemic ketamine and propofol-S-ketamine: a comparative study and haemodynamic evaluation in dogs undergoing ovariogyhisterectomy. Pesquisa Veterinaria Brasileira. 28:216-222. Ikeno S., Sathosi A, Reiju S, Yashusi N, Ryousuke I, Soichiro I, dan Masaaki S. 1999. Propofol does not affect the canine cardiac conduction system under outonomic blockade. Can J Anesth. 46/2. Hal 148-153. Karim S, Kabo P. 2002. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung untuk Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Kertohoesodo S. 1987. Pengantar Kardiologi. Ed ke-3. Jakarta. Universitas Indonesia. 299 hlm. Kinjavdekar P. Singh GR, Amarphal A, Pawde AM, dan Aithal HP. 1999. Effect of subarachnoid xylazine and medetomidine on haemodynamic and ECG on goats. Blackwell Wissenschafts-Verlag, 1071–1076. Ko JCH, Fox SM, Mandsager RE. 2001. Effects of preempetive atropine administration on incidence and induction for inhalation anesthesia in dogs. J. Jap. Vet. Med. Assc. 54: 282-287. Kul M, Koc Y, Alkan F, Ogurtan Z. 2001. The effects of xylazine-ketamine and diazepam-ketamine on arterial blood pressure and blood gases in dog. OJVR 4:124-132. Kusumoto F. 2009. ECG Interpretation: From Pathophysiology to Clinical Application. United State of America. Springer. 298 hlm. Lumb WV, Jones EW. 1996. Veterinary Anesthesia. Ed. Ke-4. Philadelphia: Lea and Febiger. 1096 hlm. Luna AB. 2007. Basic Electrocardiography. Normal and Abnormal ECG Pattern. Singapore. Blackwell Futura. 174 hlm. Martin M. 2007. Small Animal ECGs. An Introductory Guide. Ed ke-2. Singapore. Blackwell Futura. 121 hlm. McKelvey D, Hollingshead KW. 2003. Veterinary anaesthesia and analgesia. Ed ke-3. United State of America: Mosby, 448 hlm. Miller RD. 2010. Miller’s Anesthesia. Ed ke-7, United State of America: Churchill Livingstone Elsevier. 3312 hlm. Mohamadnia AR. Shabazkia H, Akhlaghi M, Shahrokhi M, Saberin L. 2008. Clinical evaluation of repeated propofol total intravenous anesthesia in dog. Pakistan Journal of Biological Sciences 11: 1820-1824. Muir WW, Hubbell JAE, Skarda RT, Bednarski RM. 2000. Veterinary Anesthesia. Ed.ke-3. United State of America: Mosby. 656 hlm. Narbutas K, Lekas R. 2002. Characteristics of general anesthesia in the investigation of heart electrophysiology. Journal of Medicine 38(8):8438. Nelson OL. 2003. Small Animal Cardiology. Butterwort Hememann. United State of America: Elsevier Science. 256 hlm. Nunes N, Rezende ML, Santos PSP, Martins SEC. 2004. Effects of levomepromazine and different desflurene concentration upon electrocardiographic variable in dogs. Veterinary Anaesthesia and Analgesia. Jan;31(1):73-7.
72
O’Grady MR, O’Sullivan ML. 2004. Clinical cardiology concepts for the dog and cat. www.vetgo.com. Diunduh tanggal 26 Juli 2011 Owczuk R, Magdalena AW, Wioletta S, Agnieszka PK, Aleksandra SM, Krystyna R dan Maria W. 2008. Effects of anaesthetic agents on P-wave dispersion on the electrocardiogram: comparison of propofol and desflurane. Clinical and Experimental Pharmacology and Physiology. 1071–1076. Ozkan F., Nilufer CO, Ahmet E, Tamer Y, dan Unal E. 2010. Comparison of ketamine-diazepam with ketamine-xylazine anesthetic combination in sheep spontaneously breathing and undergoing maxillofacial surgery. Bosnian Journal of Basic medical sciences. 10 (4): 297-302. Plumb DC. 2005. Veterinary drug handbook. Ed ke-5. United State of America. Blackweel Publishing. 929 hlm. Rogers J. 1999. Cardiovascular Physiology. World Federation of Societies of Anaesthesiologist. Oxford. USA. Artikel hal 1-4. Seymour C, Novakovski. 2007. BSAVA Manual of Canine and Feline Anaesthesia and Analgesia. BSAVA. Gloucester. 79 hlm. Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta. Penerbit EGC Stawicki SP. 2007. Common sedative agents. OPUS 12 Scientist. 1:8-9. Stell RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama Sudisma IGN. 2004. Respon fisiologis penyuntikan kombinasi Atropin-XylazinKetamin dan pengulangannya untuk anestesi umum pada anjing lokal. [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Swenson MJ. 1984. Regulation of The Heart. Physiology of Domestic Animal. Ed ke-10. London: Cornell University Press. 66 hlm. Thaler MS. 2009. Satu-satunya Buku EKG yang Anda Perlukan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 321 hlm. Tilley LP, Francis WKS, Mark AV, dan Meg MS. 2008. Manual of canine and feline cardiology. Ed ke-4. United State of America: Elsevier Science. 443 hal. Tranquilli WJ, Thurmon JC, Grimm KA. 2007. Lumb & Jones’s Veterinary Anesthesia and Analgesia. Ed. Ke-4. Australia: Blackwell Publishing. 1096 hlm Tsai YC, Wang LY, Yeh LS. 2007. Clinical comparison of recovery from total intravenous with propofol and inhalation anesthesia with isoflurane in dogs. J. Vet. Med. Sci. 69: 1179-1182. Widjaja S. 1990. EKG Praktis. Ed ke-1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal 110-118.
73
LAMPIRAN
74
Lampiran 1 Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi menurut American Society of Anaesthesiologist (ASA) Katagori
Kondisi Fisik Hewan normal (sehat klinis) Tidak ada penyakit
Contoh kondisi klinik Ovariohisterektomi, kastrasi, operasi declawing, radiografi, hipdisplasia
Klas II Resiko ringan, ada penyakit ringan
Hewan dengan gangguan ringan, ada kemampuan kompensatorik, tidak ada gejala klinis penyakit
Hewan neonatal atau geriatrik, obesitas, tumor kulit, hernia tanpa komplikasi, criptorchid, fraktura tanpa shock, diabetes ringan, penyakit jantung dengan kompensatorik, infeksi lokal, infestasi cacing jantung ringan.
Klas III Resiko sedang, ada penyakit yang pasti
Hewan dengan gangguan sedang, atau penyakit sistemik sedang terdapat gejala klinis ringan
Anemia, anoreksia, dehidrasi ringan, penyakit ginjal ringan, murmur jantung ringan atau penyakit jantung ringan, demam, hipovolemia sedang.
Klas IV Resiko tinggi, sangat berbahaya karena penyakit
Hewan dengan penyakit sistemik berat tetapi dapat menjalani pengobatan atau gangguan alami yang berat
Dehidrasi berat, shock, uremia, toksemia, demam tinggi, anemia, penyakit jantung tidak terkompensasi, diabetes, gangguan ginjal dan pulmonum, kekurusan.
Klas V Resiko sangat berat atau parah
Pasien parah hampir mati, dengan atau tanpa operasi tidak ada harapan hidup dalam 24 jam
Penyakit jantung, ginjal, hati, paru, atau endokrin lanjut, shock berat disertai dengan dehidrasi berat, luka kepala yang parah, trauma berat, emboli pulmonum, dan tumor malignan stadium akhir.
Klas I Resiko minimal
(Sumber: Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003)
75
Lampiran 2 Tabel elektrokardiogram anjing sebelum teranestesi, setelah preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) No.
Kelompok
1.
I
0 -Negatif T
2.
II
- Negatif T
- Negatif T -First degree AV block
- Negatif T - Perpanjangan interval QT
3.
III
- Negatif T
- Negatif T -First degree AV block
- Negatif T -First degree AV block -Sinus arrhythmia
70 I
II
III
-Flat T -First degree AV block - Negatif T -First degree AV block -Sinus arrhythmia - Negatif T -First degree AV block - Perpanjangan interval QT
Menit Ke80 - Negatif T - Perpanjangan interval QT - Negatif T - Perpanjangan interval QT
-Flat T -First degree AV block - Perpanjangan interval QT
10 -Flat T -First degree AV block
90 - Negatif T Perpanjangan interval QT - Negatif T - Perpanjangan interval QT
-Flat T -Tachycardia - Perpanjangan interval QT
20 - Perpanjangan interval QT
Menit ke30 -Flat T
- Negatif T -First degree AV block - Perpanjangan interval QT -Flat T -AV-2 block -Sinus arrhythmia
40 - Negatif T -AV-2 block - Perpanjangan interval QT
50 - Negatif T
- Negatif T -First degree AV block - Perpanjangan interval QT -Flat T -AV-2 block -bradycardia
- Negatif T -First degree AV block
- Negatif T -First degree AV block -Bradycardia
60 -Flat T -First degree AV block - Perpanjangan interval QT - Negatif T -First degree AV block
- Negatif T -First degree AV block
76
Lampiran 3 Tabel elektrokardiogram anjing sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl; induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol; pemeliharaan anestesi dengan tetes infus intravena secara gravimetrik dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (Kelompok III) No.
Kelompok
0
10 -Negatif T -Sinus aritmia -low voltage -Sinus arrhythmia
20 -Negatif T -Left atrial overload -Bradycardia -Sinus arrest -Negatif T -First degree AVblock -Bradycardia
1.
I
-flat T
2.
II
-Flat T
3.
III
-Negatif T
- Negatif T -Sinus arrhythmia -First degree AVblock
80 -Negatif T -Left atrial overload -Negative T -Sinus arrhythmia Perpanjangan interval QT -Negatif T -First degree AVblock
90 -Negatif T
I
II
III
70 -Negatif T -Left atrial overload Perpanjangan interval QT
-Negatif T -First degree AV-block
-Negatif T -Sinus arrhythmia - Perpanjangan interval QT -Negatif T -First degree AVblock
Menit ke30 -Negatif T -Left Atrial overload -Tachycardia -Atrial fibrillation-flutter -Negatif T -First degree AVblock - Perpanjangan interval QT
Menit ke100 110 -Negatif T -Negatif T -first degree AV block -Negatif T -Negatif T -AV-2 block -Sinus arrhythmia -Bradycardia - Perpanjangan interval QT -Negatif T -Negatif T -First degree AV- -First degree AVblock block
40 -Negatif T -Perpanjangan interval QT -Tachycardia - Perpanjangan interval QT -Flat T -Tachycardia - Perpanjangan interval QT
50 -Negatif T -Perpanjangan interval QT - Perpanjangan interval QT
60 -Negatif T -Perpanjangan interval QT - Perpanjangan interval QT
-Negatif T -First degree AVblock
-Negatif T -First degree AVblock
120 -Negatif T -Perpanjangan interval QT - Perpanjangan interval QT
130 -Negatif T -Perpanjangan interval QT - Perpanjangan interval QT
140 -Negatif T -Perpanjangan interval QT -Sinus arrhythmia
-Negatif T - Perpanjangan interval QT
-Negatif T - Perpanjangan interval QT
-Negatif T - Perpanjangan interval QT
77
Lampiran 4
Gambar alat elektrokardiograf model Fukuda M.E. Cardisuny D300, tipe BX
Gambar posisi standar sadapan EKG pada anjing (right lateral recumbency) dan peletakan elektroda-elektroda pada sadapan ekstremitas