TESIS
KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PARIWISATA BALI
I GUSTI AGUNG NGURAH IRIANDHIKA PRABHATA NIM: 1390561017
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PARIWISATA BALI
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AGUNG NGURAH IRIANDHIKA PRABHATA NIM: 1390561017
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 10 MARET 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH NIP. 196502211990031005
Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH NIP. 195609021985032001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM NIP. 196111011986012001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195902151985102001
Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal 17 Februari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor 602/UN14.4/HK/2015 Tanggal 16 Februari 2015
Ketua
: Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH
Sekretaris
: Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH
Anggota
: 1. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum 2. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum 3. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: I Gusti Agung Ngurah Iriandhika Prabhata
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Kepastian Penegakan Hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan
Tanpa
Rokok
Dalam
Rangka
Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 23 Januari 2015 Yang menyatakan
I.G.A Ngurah Iriandhika Prabhata
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia beliau penulis berhasil menyelesaikan Tesis dengan judul “KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PARIWISATA BALI”. Selesainya penyusunan Tesis ini tentu tidak lepas dari dorongan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini ijinkan penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD KEMD, Rektor Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan lanjutan pada Program Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana; 2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister (S2); 3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang dengan sabar memberikan nasehat dan masukan kepada penulis; 4. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,L.LM, Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang senantiasa memberikan bimbingan dan motivasi untuk menyelesaikan Tesis ini;
5. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum, Sekretaris Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana yang senantiasa memberikan bimbingan dan motivasi untuk menyelesaikan Tesis ini 6. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH, Pembimbing I, yang penuh kesabaran dan pengertian dalam membimbing dan memberikan motivasi bagi penulis sehingga Tesis ini dapat terselesaikan; 7. Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH, Pembimbing II, yang dengan kesabarannya memberikan masukan, saran, kritik, serta membimbing dengan penuh ketelitian sehingga Tesis ini dapat terselesaikan; 8. Para penilai usulan penelitian Tesis ini, Bapak/Ibu Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH; Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH; Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum; Dr. I Dewa Gede Palguna, SH.,M.Hum; Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM yang telah berkenan memberikan penilaian atas usulan penelitian Tesis ini; 9. Para penguji Tesis ini, Bapak/Ibu Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH; Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH; Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH.,M.Hum; Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum; Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM yang telah berkenan memberikan penilaian atas Tesis ini; 10. Para guru besar dan dosen penanggung jawab mata kuliah Program Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Kepariwisataan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas wawasan keilmuan yang telah diberikan selama mengikuti perkuliahan dan memberikan dukungan sehingga dapat membantu terselesaikannya Tesis ini;
11. Para Staf Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, yang telah memberikan pelayanan dengan penuh kesabaran selama penulis mengikuti perkuliahan hingga penyelesaian Tesis; 12. Ayahnda I.G.Ngurah Arthanaya, S.H., M.Hum dan Ibunda I.G.A. Pandi Darini, yang senantiasa tanpa letih dan jemu memberikan kasih sayang dan bimbingan serta dukungan baik secara materiil maupun imateriil kepada penulis sehingga Tesis ini bisa terselesaikan; 13. Saudara-saudara terkasih Ir. I.G.A Ngurah Jaya Atmaja, I.G.A Ratna Artha Windari, SH.,MH, I.G.A Ngurah Pramana Adyaksa, dan seluruh keluarga besar Arya Kepakisan Dawuh Baleagung, yang selalu memberikan dukungan bagi penulis dalam pengerjaan Tesis ini; 14. Rekan-rekan mahasiswa konsentrasi Hukum Kepariwisataan angkatan 2013, Eva Laheri, Ditha Praja, Sukma Sanjiwani, Amila Faizal, Andika Wahyu, Intan Permatasari, Agus Indra, Innez Primantara, Ketut Sukarta yang senantiasa memberikan masukan dan dukungan bagi penulis dalam pengerjaan Tesis ini; 15. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan dukungan serta bantuan dalam menyelesaikan Tesis ini; Akhirnya, semoga Tesis ini dapat bermanfaat serta mampu memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu hukum.
Denpasar, 23 Januari 2015
Penulis
ABSTRAK
Pariwisata secara global dipandang sebagai bagian dari hak asasi manusia, tidak terkecuali hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat dalam kegiatan pariwisata. Kepariwisataan di Indonesia diselenggarakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, tidak terkecuali Bali yang bergerak dalam sektor pariwisata. Terkait hal tersebut Pemerintah Provinsi Bali membuat kebijakan yang mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat, melalui Perda Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Perda Provinsi Bali tentang KTR belum dapat ditegakkan secara efektif akibat adanya kekaburan norma hukum terkait prosedur penegakan hukum dan sanksi hukum dalam Perda tersebut yang belum mampu memberikan efek jera. Berdasarkan hal tersebut, adapun permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: a). Bagaimana pengaturan mengenai penegakan hukum KTR di Bali?, b). Bagaimana keterkaitan antara kepastian penegakan hukum KTR dengan upaya meningkatkan kualitas pariwisata Bali? Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang berdasarkan adanya kekaburan norma hukum mengenai substansi hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR. Pendekatan yang digunakan dalam mengkaji permasalahan adalah melalui pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan dibantu pula oleh pendekatan analisis konsep (legal analitical and conceptual approach) terkait KTR, serta pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan mengenai kebijakan KTR di Bali perlu dilakukan perubahan, khususnya dalam substansi hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR, dengan merumuskan prosedur penegakan hukum yang jelas dan penerapan sanksi hukum yang mampu memberikan efek jera, sehingga mampu memberikan kepastian dalam penegakan hukum. Melalui kepastian penegakan hukum KTR, maka akan mampu meningkatkan kualitas pariwisata Bali khususnya dalam hal Cleanliness and Personality comfort. Kata Kunci: Kawasan Tanpa Rokok, Hak Asasi Manusia, Kepastian Hukum, Penegakan Hukum, Kualitas Pariwisata.
ABSTRACT
Global tourism is seen as part of human rights, not least the right to obtain a good and healthy environment in tourism. Tourism in Indonesia held on the principle of upholding human rights, especially Bali which engaged in the tourism sector. In response to the Bali Provincial Government policies governing the protection of human rights to obtain a good and healthy environment, through the Bali Local Regulation No. 10 Year 2011 on No Smoking Area. The policy can not work effectively due to the vagueness of legal norms related enforcement procedures, and legal sanction that have not been able to provide a deterrent effect. Accordingly, while the issues raised in this study are: a). How the provisions of the law enforcement No Smoking Area in Bali?, b). How is the relationship between law enforcement certainty No Smoking Area with efforts to improve quality tourism in Bali ? This research uses normative legal research which is based on the vagueness of legal norms of the local regulation of Bali Province perceived No Smoking Area. The approach used to study the problem is through the statute approach, analitical legal and conceptual approach, as well as the comparative approach. The results showed that the provisions of No Smoking Area policy in Bali need to be changed, especially in the legal substance of the Bali Local Regulation on No Smoking Area, by inserting a clear formulation of the law enforcement procedures, and to implement legal sanctions that can provide a deterrent effect, so as to provide certainty in law enforcement. Through the certainty in law enforcement, it will be able to improve the quality of tourism in Bali, especially in terms of Cleanliness, Personality and comfort. Keywords: No Smoking Area, Human Rights, Legal Certainty, Law Enforcement, Quality in Tourism.
RINGKASAN
Penelitian dengan judul Kepastian Penegakan Hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali, telah penulis selesaikan dengan sebaikbaiknya. Tesis ini selanjutnya akan diuraikan secara lengkap ke dalam lima (5) Bab. BAB I: PENDAHULUAN, berisi tentang latar belakang masalah yang menguraikan mengenai Hak Asasi Manusia untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat serta bebas dari asap rokok, dimana asap rokok dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia khususnya perokok aktif. Sejalan dengan itu pariwisata di Bali yang merupakan bagian dari pariwisata Indonesia wajib menerapkan prinsip menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Melalui suatu kebijakan yang mengatur mengenai penghormatan HAM bagi wisatawan, akan mampu meningkatkan kualitas pariwisata Bali itu sendiri. Adapun salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali adalah dengan membuat Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Terkait hal tersebut Perda Provinsi Bali tentang KTR dalam penegakannya masih belum efektif akibat masih memuat kekaburan norma hukum khususnya yang mengatur mengenai prosedur penegakan hukum dan ketentuan sanksi yang tidak mampu memberikan efek jera. Dalam bab ini juga diuraikan tentang: Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Manfaat Penelitian; Landasan Teoritis; dan Metode Penelitian. BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK, berisi uraian tentang Pengertian Kawasan Tanpa Rokok; Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan KTR, dimana HAM merupakan dasar filosofis dibentuknya kebijakan mengenai KTR; Teori Negara Hukum Dalam Kebijakan KTR, dimana setiap perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah harus berdasarkan atas hukum, sehingga hak asasi untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat serta bebas dari asap rokok harus diatur di dalam aturan hukum; Aspek Sosiologis Kebijakan KTR, dimana kebijakan KTR tersebut diarahkan agar dapat memberikan
kemanfaatan bagi masyarakat; dan Pengaturan Hukum Kebijakan KTR, yaitu mengenai dasar hukum pengaturan mengenai KTR, dari UUD Negara RI Tahun 1945 hingga pengaturan yang berkedudukan lebih rendah. BAB III: KETENTUAN DAN KEWENANGAN PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA ROKOK DI BALI, yang berisi uraian tentang penafsiran hukum terhadap substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR, dimana penafsiran tersebut dilakukan terhadap substansi aturan Perda Provinsi Bali tentang KTR, terhadap penegak hukum, maupun sarana prasarana terkait penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR. Adapun penafsiran yang dilakukan adalah melalui: penafsiran sistematis, yaitu memandang bahwa suatu aturan tidak berdiri sendiri melainkan berada dalam suatu sistem perundang-undangan; penafsiran gramatikal, yaitu menafsirkan terhadap bahasa dalam suatu aturan; penafsiran perbandingan, yaitu melakukan perbandingan dengan hukum negara lain yang mengatur hal yang sama, dalam hal ini terkait KTR; dan penafsiran teleologis/sosiologis, yaitu tentang tujuan dari aturan tersebut agar bermanfaat bagi masyarakat. Di samping itu dalam bab ini, diuraikan mengenai kewenangan penegakan hukum KTR dan alternatif sanksi dalam penegakan hukum KTR. BAB IV: KETERKAITAN ANTARA KEPASTIAN PENEGAKAN HUKUM KTR DENGAN UPAYA MENINGKATKAN PARIWISATA BALI, yang berisi uraian tentang profil pariwisata Bali, dimana Bali merupakan pariwisata andalan bagi bangsa Indonesia, dan juga Bali menjadikan pariwisata sebagai lokomotif ekonomi. Dalam bab ini, juga menguraikan tentang meningkatkan pariwisata Bali melalui penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR, serta keterkaitan antara kepastian penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR dengan meningkatkan pariwisata Bali. BAB V: PENUTUP, yang berisi simpulan dari hasil penelitian dan saran atau rekomendasi yang bisa penulis rumuskan sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan dan semua stakeholder.
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM..........................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ...................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ................................................................. iv SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................ vi ABSTRAK ...................................................................................................... ix ABSTRACT ....................................................................................................
x
RINGKASAN TESIS ...................................................................................... xi DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 12 1.3 Ruang Lingkup Masalah .................................................................... 12 1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................. 12 1.4.1 Tujuan Umum........................................................................... 12 1.4.2 Tujuan Khusus .......................................................................... 13 1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................ 13 1.5.1 Manfaat Teoritis ....................................................................... 13 1.5.2 Manfaat Praktis ......................................................................... 14 1.6
Orisinalitas Penelitian ........................................................................ 14
1.7 Landasan Teoritis ............................................................................. 16 1.8 Metode Penelitian ............................................................................. 31 1.8.1 Jenis Penelitian ........................................................................ 31 1.8.2 Jenis Pendekatan ...................................................................... 32 1.8.3 Sumber Bahan Hukum ............................................................. 33
1.8.4 Bahan Hukum Penunjang ...................................................... 35 1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................... 35 1.8.6 Teknik Analisis Bahan Hukum .............................................. 36 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK ... 39 2.1
Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ........................................ 39
2.2
Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan KTR ...................................... 42
2.3
Teori Negara Hukum Dalam Kebijakan KTR ................................... 46
2.4
Aspek Sosiologis Dalam Kebijkan KTR ........................................... 51
2.5
Pengaturan Kawasan Tanpa Rokok di Bali ....................................... 62
BAB III KETENTUAN DAN KEWENANGAN PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA ROKOK DI BALI ........................................ 71 3.1
Penafsiran Hukum Terhadap Perda KTR ........................................... 71
3.2
Kewenangan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok ................... 90
3.3
Alternatif Pengaturan Dalam Penegakan KTR ................................... 98
BAB IV KEPASTIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA ROKOK DIKAITKAN DENGAN PENINGKATAN KUALITAS PARIWISATA BALI ................................................. 109 4.1
Profil Pariwisata Bali ......................................................................... 109
4.2
Peningkatan Kualitas Pariwisata Bali Melalui Kebijakan KTR ......... 111
4.3
Keterkaitan Antara Kepastian Penegakan Hukum KTR Dengan Upaya Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali .................................. 116
BAB V PENUTUP......................................................................................... 122 5.1
Kesimpulan ...................................................................................... 122
5.2
Saran ................................................................................................ 123
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 124 DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. 131 Lampiran 1 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Kawasan Tanpa Rokok ......................................... 131 Lampiran 2 Peraturan Gubernur Bali Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok .................. 142
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1
Orisinalitas Penelitian .............................................................. 15
Tabel 2
Perbandingan Pengaturan KTR ................................................ 87
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Setiap orang dilahirkan bebas dan merdeka serta memiliki hak-hak tertentu yang bersifat alamiah, inherent, dan tidak dapat dikurangi, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dan keselamatan. 1 Hak asasi manusia dalam hal memperoleh kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang berkedudukan setara bagi semua orang tanpa terkecuali. Di sisi lain, kesehatan merupakan hak bagi semua orang dimana hak tersebut harus pula diposisikan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada kesenjangan antara satu dengan yang lainnya.2 Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Michael J. Perry mengemukakan bahwa “we should live in accordance with the fact that every human being has inherent dignity”.3 Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945). Di dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, dinyatakan bahwa “Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, memperoleh tempat tinggal, dan
1
Feri Amsari, 2009, Satjipto Rahardjo Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 2, Jakarta, h. 170. 2 Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 1, Jakarta, h. 140. 3 Micheal J. Perry, 2007, Toward a Theory of Human Rights, Cambridge University Press, New York, h. 5.
1
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Hal tersebut adalah salah satu bentuk kebijakan negara dalam hal perlindungan hak asasi manusia di bidang kesehatan. Adapun peraturan perundang-undangan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam hal menjamin perlindungan hak asasi manusia dalam bidang kesehatan antara lain: Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (LN No. 165 Tahun 1999-TLN No. 3886), Pasal 9 ayat (3) UU 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Di samping itu Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (LN No. 144 Tahun 2009-TLN No. 5063), di dalam ketentuan Pasal 6 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan”. Dalam perkembangannya dewasa ini, masih sering dijumpai pelanggaranpelanggaran terhadap hak seseorang di bidang kesehatan. Salah satu hal yang aktual adalah pola hidup masyarakat Indonesia dalam kegiatan merokok, dimana selain berdampak negatif bagi kesehatan perokok juga bagi kesehatan orang lain yang terpaksa harus terkena paparan asap rokok tersebut. Di Indonesia kegiatan merokok itu sendiri masih menjadi sebuah fenomena sosial yang luar biasa dan para pecandu rokok pun baik dari mereka yang tergolong miskin hingga terkaya, mereka yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan. Setiap waktu dapat ditemukan seseorang sedang merokok di sembarang tempat tanpa mempertimbangkan aspek negatif yang ditimbulkan dari gaya hidup tersebut. Masyarakat khususnya para perokok yang merokok tanpa memperhatikan
lingkungan sekitarnya seperti telah kehilangan pemahaman akan nilai-nilai masyarakat yang dengan kata lain, telah kehilangan kemampuan untuk menilai. Menilai dalam arti kemampuan untuk menimbang terhadap suatu kegiatan manusia yang berhubungan satu dengan yang lain, sehingga mampu mengambil suatu keputusan, dan keputusan tersebut merupakan keputusan nilai yang menyatakan apakah nantinya memiliki kegunaan atau tidak, baik atau tidak baik, indah ataupun tidak indah.4 Menurut World Health Organization (WHO), manusia bumi masih jauh dari kata sadar akan dampak negatif yang juga mematikan, akibat dari tembakau atau rokok. WHO juga mencatat adanya jumlah kematian yang sangat tinggi sekitar 11.000 orang tewas setiap harinya akibat terkena penyakit dari tembakau. Bahkan tembakau setiap tahunnya menewaskan 4 juta orang di seluruh dunia dan ironisnya angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 10 juta dalam 25 tahun mendatang, 5 padahal penyakit akibat tembakau adalah penyakit yang paling dapat dicegah. Penyakit berbahaya yang ditimbulkan akibat tembakau seperti impotensi, kemandulan, gangguan janin, enfisema, bronhitis kronis sampai berbagai jenis kanker. Kanker yang dimaksud seperti kanker paru-paru, mulut, tenggorokan, pankreas, kandung kemih, mulut rahim bahkan leukimia, serta kanker kardiovaskular dan stroke adalah berbagai penyakit yang juga telah menimpa sejumlah masyarakat Indonesia hingga detik ini. Bagi para wanita hamil, merokok
4
Kaelan MS, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, h. 87. URL: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/, Diakses Pada Tanggal 14 Pebruari 2014. 5
tidak hanya menyebabkan kelainan pada fisik, seperti resiko terserang asma, epilepsi, bronhitis dan pneumonia, melainkan juga kelainan psikologis pada anak yang dapat berupa depresi, hiperaktif atau imatur.6 WHO telah mengeluarkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan perjanjian internasional berlaku sejak tanggal 27 Pebruari 2005, dengan bertujuan untuk melindungi generasi saat ini dan yang akan datang dari kehancuran kesehatan, konsekuensi sosial, lingkungan dan ekonomi yang diakibatkan oleh rokok dan paparan asapnya. 7 Meskipun tidak dapat dipungkiri pula bahwa dalam beberapa kasus seorang perokok menjadi dapat dikatakan sebagai pecandu adalah berawal dari alasan kesehatan, dimana dengan merokok seseorang yang bersangkutan menjadi merasa lebih sehat. Di sisi lain kegiatan merokok akan mengakibatkan pencemaran udara dimana hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam hal memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Di samping itu pencemaran terhadap lingkungan kerap kali mengandung adanya risiko terhadap kesehatan manusia. 8 Ketika mengkaji mengenai bidang kesehatan, maka akan mencakup aspek sosial dan kemasyarakatan. Hal ini yang menjadi dasar pentingnya kajian terhadap bidang hukum kesehatan, karena tujuan hukum kesehatan tidak berbeda dengan tujuan hukum pada umumnya, yaitu menciptakan ketertiban dan
6
URL: http://www.who.int/ tobacco/ research/ youth/ health_effects/ en/, Diakses Pada Tanggal 14 Pebruari 2014. 7 WHO Framework Convention on Tobacco Control, Fifty-Sixth World Health Assembly, 27 February 2005, Available at www.ino.searo.who.intl. Diakses Pada Tanggal 19 September 2013, h.1 8 Takdir Rahmadi, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 4.
keseimbangan di dalam masyarakat sehingga mampu melindungi kepentingan masyarakat, khususnya dalam hal memperoleh kesehatan. 9 Terhadap pelanggaran di bidang kesehatan tersebut, selain pola prilaku masyarakat yang belum sadar terhadap arti pentingnya melakukan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Hal ini tidak terlepas dari tingkat keefektifan hukum positif yang mengatur tentang kesehatan di Indonesia khususnya yang mengatur tentang rokok, baik dilihat dari segi substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) maupun budaya hukum (legal culture). Universal Declaration of Human Rights (UDHR) khususnya Generasi ketiga mengkaji Hak-Hak masyarakat di dalam Pembangunan yang meliputi: the right to peace, the right to development, and the right to clean environment.10 Pemerintah Indonesia sudah sepatutnya memberikan perhatian bagi perlindungan hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih bebas dari sampah,11 serta udara yang sehat bebas dari asap rokok. Mengenai pengaturan tentang rokok, salah satunya berkenaan dengan peraturan tentang kawasan tanpa rokok. Produk hukum yang mengatur tentang tempat atau area tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan dimana seseorang dilarang untuk merokok. Di Indonesia hal tersebut masih belum mendapatkan
9
Alexandra Indriyanti Dewi, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Publisher, Yogyakarta, h. 242. 10 Ni Ketut Supasti Dharmawan, 2011, ”The Right To Tourism” Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana: Vol. 36. N0. 2., Denpasar, h. 6. 11 Mohammad Taufik Makarao, 2011, Aspek-Aspek Hukum Lingkungan, Indeks, Jakarta, h. 155.
perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat. Padahal dalam hal ini dengan peraturan kawasan tanpa rokok maka akan mampu melindungi hak-hak masyarakat khususnya para perokok pasif, sehingga perlu adanya pengaturan yang tegas mengenai kawasan tanpa rokok tersebut. Kegiatan pariwisata yang notabene adalah salah satu andalan bangsa Indonesia pun tidak bisa terlepas dari jaminan perlindungan hak asasi manusia baik yang melekat pada masyarakat Indonesia maupun pelaku pariwisata asing, karena dalam ketentuan Pasal 5 huruf b Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (LN No. 11 Tahun 2009-TLN No. 4966), dinyatakan bahwa “Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Oleh sebab itu Pemerintah Indonesia sudah sepatutnya memberikan perhatian terhadap kawasan-kawasan yang menjadi objek pariwisata Internasional, sebagaimana yang telah diterapkan pada negara-negara lainnya yang juga bergerak pada sektor pariwisata, khususnya dalam hal ini yang menjadi objek kajian peneliti adalah pariwisata di Bali. Bali merupakan pariwisata andalan bagi negara Indonesia, tercatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke pulau Bali pada bulan Pebruari 2014 mencapai 275.795 orang.12 Meningkatnya kualitas pariwisata di Bali juga akan memberikan dampak positif bagi Indonesia itu sendiri, oleh karena itu maka pada hakekatnya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh manusia adalah dengan melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia itu sendiri
12
Parwata, 2014, Dilema Pariwisata Bali 2014, Bali Post, Edisi Tgl. 28 April-Mei 2014, Denpasar, h. 38.
terlebih dahulu, yang salah satunya dengan memperhatikan kesehatan sehingga nantinya dapat pula meningkatkan kualitas lingkungan hidup, dalam hal ini adalah destinasi pariwisata itu sendiri. 13 Sebagai akibat meningkatnya kualitas pariwisata Bali dengan menerapkan aturan yang baik dan mampu memberikan kepastian hukum mengenai kawasan tanpa rokok, maka nantinya diharapkan akan mampu meningkat pula kuantitas pariwisata Bali itu sendiri, baik dari segi peningkatan jumlah wisatawan maupun peningkatan jumlah pendapatan dari hotel, bar, restoran, dan sarana pariwisata lainnya. Mengenai salah satu bentuk tindakan pemerintah khususnya dalam hal ini Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi masalah tersebut adalah dengan membuat produk hukum berupa Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 10 Tahun 2011-TLD No. 10), selanjutnya disingkat Perda Provinsi Bali tentang KTR. Perda Provinsi Bali tentang KTR dibentuk dengan tidak mengesampingkan peraturan perundang-undangan diatasnya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun peraturan yang menyangkut tentang pelaksanaan pengaturan dan perlindungan HAM akan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta bebas dari asap rokok meliputi : 1. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, 2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
13
Moh. Soerjani, dkk. 2008, Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h. 13.
4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 5. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, 6. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan, 7. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, 8. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, 9. Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, 10. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, 11. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Ketentuan Perda Provinsi Bali tentang KTR secara jelas mengatur tentang kawasan yang terkena kebijakan sebagai KTR, namun demikian di dalam hal penegakan hukumnya masih terdapat permasalahan akibat adanya kekaburan norma hukum dalam Perda tersebut. Di dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang dilarang merokok di kawasan tanpa rokok”. Sebagai sanksi terhadap pelanggaran Pasal 13 tersebut maka dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa ”Setiap orang dan/atau badan yang melanggar
ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)”. Meski telah diatur mengenai sanksinya namun dalam Perda tersebut tidak secara jelas diatur mengenai prosedur penegakan hukum terkait pelanggaran di lapangan, di sisi lain dengan denda yang tergolong rendah tersebut dianggap tidak akan memberikan efek jera. Berdasarkan hal tersebut, proses penegakan hukum Perda Provinsi Bali Tentang KTR tersebut belum dapat ditegakkan sebagaimana mestinya, mengingat masih banyak ditemukan perokok aktif yang merokok di kawasan bebas asap rokok. Di samping itu terhadap ketentuan yang mengatur tentang sanksi pidana sebagaimana Pasal 18 ayat (1) “Setiap orang dan/atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)”, dianggap belum mampu memberikan efek jera.14 Di sisi lain, ketika mengkaji mengenai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, maka tidak dapat dilepaskan dari prinsip Good Governance itu sendiri, karena ketika kebijakan yang dibuat tidak mencerminkan prinsip tersebut maka kebijakan itu nantinya akan menimbulkan berbagai permasalahan. Di dalam buku Legislative Drafting for Democratic Social Change keefektifan implementasi kebijakan Good Governance dapat dilihat dalam beberapa elemen antara lain:15
14 I Nyoman Mudana, 2014, Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Perlindungan Terhadap Perokok Pasif, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana Kertha Negara: Vol. 2. NO. 1., Denpasar, h. 4. 15 Ann Seidman, et. Al. 2001, Legislative Drafting for Democratic Social Change, Kluwer Law International. London, h. 8.
1. Governance by rule: decision-makers decide, not pursuant to the decisionmaker’s intuition or passing fancy, but according to agreed-upon norms grounded in reason and experience. 2. Accountability: decision-makers justify their decisions publicly, subjecting their decisions to review by recognized higher authority, and ultimately by the electorate. 3. Transparency: officials conduct government business openly so that the public and particularly the press can learn abaout and debate its details. 4. Participation: persons affected by a potential decision-the stakeholdershave the maximum feasible opportunity to make inputs and otherwise take part in governmental decisions. Dengan kata lain elemen-elemen yang harus dipenuhi dalam menerapkan pemerintahan yang baik adalah meliputi: 1. Pemerintah berdasarkan undang-undang: bahwa pengambil keputusan dalam keputusanannya tidak didasarkan atas intuisi dan imajinasi, melainkan didasarkan pada alasan dan pengalaman yang telah disepakati oleh norma yang berlaku. 2. Akuntabilitas: pengambil keputusan dapat menunjukkan bahwa keputusan yang mereka ambil bersifat publik, diakui oleh otoritas yang lebih tinggi, dan diakui pula oleh para pemilih (dalam hal ini masyarakat). 3. Transparansi: bahwa pejabat pemerintah dalam melakukan urusan pemerintahan harus secara terbuka, sehingga masyarakat dan pers dapat mempelajari mengenai hal tersebut.
4. Partisipasi: bahwa masyarakat yang terkena dampak potensial dari keputusan yang dikeluarkan oleh pemangku kepentingan, memiliki kesempatan untuk memberikan masukan dan turut menjadi bagian dalam keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hukum pada dasarnya adalah tatanan objektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum. 16 Di samping itu proses penegakan hukum khususnya dalam hal pelanggaran terhadap kebijakan KTR ini masih belum mendapatkan tempat dalam ruang Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch.17 Berpijak dari latar belakang masalah tersebut, maka penting kiranya bagi peneliti untuk mengkaji mengenai “Kepastian Penegakan Hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali”.
16 Bernard L. Tanya. Dkk, 2010, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta, h. 31. 17 Bernard Arief Sidharta, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Rafika Aditama, Bandung, h. 20
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan mengenai penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok di Bali? 2. Bagaimana keterkaitan antara kepastian penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok dengan upaya meningkatkan kualitas pariwisata Bali?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk memperoleh uraian yang lebih jelas, terarah dan sistematis, maka perlu diadakan pembatasan terhadap ruang lingkup masalah. Hal ini untuk menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Permasalahan yang terkait dengan judul akan diteliti mengenai kepastian penegakan hukum Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dalam rangka meningkatkan kualitas pariwisata Bali. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan yang terdiri dari tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut: 1.4.1 Tujuan Umum Dalam dunia keilmuan dikenal adanya paradigma ilmu sebagai proses. Hal ini tentunya menjadi landasan bahwa pengkajian terhadap berbagai produk hukum khususnya terhadap Perda Provinsi Bali tentang KTR harus dilakukan, mengingat pentingnya jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia khususnya
dalam memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta bebas dari asap rokok. Oleh karena itu, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, terutama terkait upaya meningkatkan kualitas pariwisata di Bali. Di samping itu penulisan hukum yang representatif dan akurat merupakan faktor strategis bagi berperannya hukum dalam masyarakat yang mendambakan ketertiban, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan. 18 1.4.2 Tujuan Khusus Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana pengaturan mengenai penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok di Bali. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana keterkaitan antara kepastian penegakan hukum Kawasan Tanpa Rokok dengan upaya meningkatkan kualitas pariwisata Bali. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut: 1.5.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk perluasan wawasan ilmu hukum. Ilmu hukum yang dimaksud adalah dalam penggunaan teori-teori hukum dan asas-asas hukum terhadap permasalahan normatif yang ditimbulkan sebagai akibat terjadinya kekaburan norma hukum (vague van normen), di dalam
18
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 166.
peraturan perundang-undangan yang menjadi fokus peneliti dalam hal ini adalah Perda Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok. 1.5.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan nantinya akan memberikan manfaat dan kontribusi antara lain: a. Bagi pemerintah, diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai perumus dan pelaksana kebijakan agar melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran kebijakan tersebut. b. Bagi kalangan akademisi,
diharapkan dapat
bermanfaat
dalam
memberikan tambahan pengetahuan dan memberikan kontruksi berpikir yang metodis atas permasalahan normatif yang ditimbulkan akibat adanya kekaburan norma hukum dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR. c. Bagi masyarakat, diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan pemahaman terhadap kesadaran dalam mentaati aturan hukum serta kepedulian terhadap kesehatan dan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta bebas dari asap rokok. 1.6 Orisinalitas Penelitian Masalah rokok merupakan masalah yang begitu kompleks sehingga hal ini menyebabkan berbagai kalangan tertarik untuk mengangkat topik ini menjadi objek penelitian. Adapun beberapa penelitian yang juga mengangkat isu mengenai kawasan tanpa rokok antara lain:
Tabel 1. Orisinalitas Penelitian Nama/Tahun/ Universitas
Judul Penelitian
Andi Mariani/2009/ Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
Pemberlakuan Larangan Merokok Di Tempat Umum dan Hak Atas Derajat Kesehatan Maksimal
Rumusan Masalah
1.
2.
3.
Iswanti/2013/ Universitas Negeri Surabaya
Implementasi Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok di Terminal Joyoboyo Surabaya
Agil Prianggara/201 3/Universitas Brawijaya Malang
Pelaksanaan Pasal 7 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok (Studi Di Dinas Kesehatan Kota Surabaya)
1.
2.
1.
2.
Jenis Penelitian
Perbedaan
Apakah yang dimaksud dengan hak atas derajat kesehatan optimal? Bagaimanakah ketentuan tentang pemberlakuan larangan merokok di tempat umum? Apakah pemberlakuan larangan merokok di tempat umum telah memenuhi hak atas derajat kesehatan optimal?
Penelitian Hukum Normatif
Penelitian ini tidak mengkaji mengenai kepastian dalam hal penegakan hukum, hanya mengenai ketentuan pengaturan larangan merokok terhadap pemenuhan hak atas kesehatan
Bagaimana implementasi Perda No. 5/2008? Bagaimana upaya mengatasi kendala dalam pemberlakuan Perda 5/2008?
Penelitian Hukum Empiris
Mengkaji mengenai implementasi Perda Kota Surabaya, faktor yang mempengaruhi implementasi serta upaya yang dilakukan terhadap kendala dalam pemberlakuan Perda Kota Surabaya No. 5/2008
Bagaimana Pelaksanaan Pasal 7 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas merokok? Apakah hambatanhambatan yang
Penelitian Hukum Empiris
Mengkaji mengenai keefektivitasan dalam impementasi ketentuan Pasal 7 terkait pembinaan dan pengawasan Perda Kota Surabaya, serta
timbul dalam Pelaksanaan Pasal 7 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2008 tentang kawasan tanpa rokok dan kawasan terbatas merokok dan Bagaimana cara mengatasinya?
hambatan yang terjadi dalam penegakan di lapangan
1.7 Landasan Teoritis Teori ilmu hukum dapat diartikan pula sebagai disiplin ilmu hukum yang dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam penerapan praktisnya, dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan jelas tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kemasyarakatan. Adapun dalam penelitian ini menggunakan beberapa teori hukum sebagai berikut: 1) Teori Negara Hukum Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pernyataan ini secara eksplisit memberi isyarat bahwa hukum di dalam negara Indonesia berkedudukan sangat mendasar dan tertinggi (supreme). 19 Oleh sebab itu sudah tentu setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh penguasa maupun rakyat Indonesia haruslah berlandaskan atas koridor hukum.20
19 20
Imam Syaukani, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 83. Ahmad Kamil, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, h. 19.
Berdasarkan pandangan dari Friedrich J. Stahl, menyatakan bahwa mengenai negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu: 21 a. Adanya jaminan atas hak-hak asasi manusia; b. Adanya pembagian kekuasaan; c. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wetmatig van bestuur); dan d. Adanya peradilan administrasi negara (PTUN) yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Di samping itu Ismail Suny dalam tulisannya “Mekanisme Demokrasi Pancasila” memiliki pandangan bahwa suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum harus memenuhi unsur-unsur tertentu yang meliputi: 22 a. Menjunjung tinggi hukum; b. Adanya pembagian kekuasaan; c. Adanya perlindungan terhadap HAM serta remedy-remedy procedural untuk mempertahankannya; d. Dimungkinkan adanya peradilan administrasi. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum ketika kedaulatan atau supremasi hukum atas orang dan pemerintah terikat oleh hukum. Disamping itu
21
Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 77. C.S.T. Kansil, et. Al, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 87. 22
suatu negara juga haruslah memenuhi setidak-tidaknya ciri atau unsur sebagai negara hukum. Adapun ciri atau unsur tersebut adalah sebagai berikut:23 a. Constitutionalism, bahwa konstitusionalisme diterima sebagai syarat baik bagi demokrasi maupun negara hukum, karena konstitusi dipandang sebagai bentuk kesepakatan, baik kesepakatan bersama terhadap tujuan dan cita-cita, kesepakatan bahwa rule of law merupakan landasan penyelenggaraan negara, maupun kesepakatan tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan. b. Law Governs the Government, bahwa dalam membuat undang-undang, pembentuk undang-undang terikat oleh pembatasan-pembatasan yang ditentukan dalam konstitusi, tidak terkecuali semua cabang pemerintahan yang bertindak berdasarkan hukum. c. An Independent Judiciary, bahwa kekuasaan peradilan haruslah merdeka dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap tindakan legislatif maupun eksekutif, serta menjamin tegaknya rule of law melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances. d. Law Must be Fairly and Consistently Applied, bahwa hukum harus diterapkan secara adil dan konsisten tanpa adanya diskriminasi. e. Law is Transparent and Accessible to All, bahwa hukum harus bersifat transparan dan dapat diakses oleh semua orang, dalam hal ini transparan yang dimaksud adalah bahwa hukum haruslah dibuat secara tranparan
23
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, h. 30.
dimana pembentuk undang-undang diharapkan bersifat terbuka terhadap pendapat publik dalam pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undangan, di samping itu transparan yang dimaksud juga bahwa suatu peraturan perundang-undangan dapat dimengerti dengan baik dan dipublikasikan secara luas sehingga masyarakat mendapatkan cukup peringatan terhadap tindakan yang dapat melahirkan sanksi dan juga agar mereka dapat menuntut hak-hak hukumnya pada saat yang tepat dan dihormati oleh pihak-pihak lain yang memiliki akses serupa terhadap keberadaan hukum yang berlaku. f. Application of Law is Efficient and Timely, bahwa hukum haruslah diterapkan secara efisien dan tepat waktu. g. Property and Economic Rights are Protected, including Contracts, bahwa harus adanya perlindungan terhadap pembangunan di bidang ekonomi, adapun hal yang dianggap penting dalam pembangunan ekonomi adalah adanya perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, terhadap kebebasan berkontrak, serta kedudukan yang sama dalam hukum bagi semua orang. h. Human and Intellectual Rights are Protected, bahwa salah satu landasan perkembangan teori hukum mengenai Rule of Law adalah konsepsi tentang keberadaan hak-hak individu dan berbagai asas bahwa pemerintahan harus menghormati hak-hak yang dimaksud, sebagaimana yang tertuang dalam sejumlah dokumen, yang bukan hanya mencakup hak-hak sipil dan politik tetapi juga hak ekonomi.
i.
Law can be Changed by An Established Process which itseft is Transparent and Accessible to All, bahwa hukum dapat diubah ketika hukum tersebut tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan guna memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak individu, namun demikian prosedur perubahan tersebut haruslah bersifat transparan dan dapat diakses oleh semua orang.
Hukum menjadi dasar suatu tindakan itu dilarang atau tidak di masyarakat sehingga hukum itu sendiri juga dipandang sebagai suatu perintah. Hukum yang didalamnya memuat tentang kaidah-kaidah atau norma yang berlaku di dalam suatu waktu tertentu, dalam suatu masyarakat tertentu, ditetapkan oleh pengemban kekuasaan yang berwenang akan memberikan gambaran bahwa kaidah hukum yang “positif” sebagai suatu perintah. Sejalan dengan itu Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State menjelaskan, “in our attempt to explain about the nature of the norm, let us provisionally assume that norm is a command”24. Jika dilihat dari segi arti bahasa dikatakan bahwa “the word ‘norm’ comes from the Latin norma, and has been adopted in German to refer primarily, though not exclusively, to a command, a prescription, an order”.25 2) Teori Kewenangan Fokus kajian teori kewenangan adalah berkaitan dengan sumber kewenangan dari pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam kaitannya dengan
24 Hans Kelsen, 1945, General Theory of Law and State, Russel & Russel The Division of Atheneum Publisher Inc. United Stated of America (Selanjutnya disebut Hans Kelsen I), h. 30. 25 Hans Kelsen, 1973, General Theory of Norms, Clarendon Press Oxford. New York (Selanjutnya disebut Hans Kelsen II), h. 1.
hukum publik maupun hukum privat.26 Setiap tindakan pemerintah ataupun suatu kebijakan harus bersumber dan bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan yang sah jika ditinjau dari mana kewenangan itu diperoleh, maka ada tiga kategori kewenangan, yaitu: atributif, delegasi, maupun mandat.27 Kewenangan tidak hanya diartikan sebagai hak untuk melakukan praktik kekuasaan, namun adapun pengertian kewenangan (authority) berdasarkan Black’s Law Dictionary adalah “Right to exercise powers; to implement and enforce laws; to exact obedience; to command; to judge. Control over; jurisdiction. Often synonymous with power”.28 Dapat diartikan bahwa kewenangan adalah bagaimana menerapkan dan menegakkan hukum. Dalam kaitannya terhadap kepastian penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka perlu diatur secara khusus dan jelas mengenai kewenangan penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran terhadap kebijakan KTR, sehingga kebijakan KTR Bali dapat diterapkan dengan baik, tentunya kewenangan yang diberikan harus berdasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Konsep Kepastian Hukum Kepastian hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam hal penegakan hukum, dimana kepastian hukum yang dimaksud adalah perlindungan hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
26 Salim HS, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 193. 27 Ridwan HR, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 104. 28 Henry Campbell Black, 1978, Black’s Law Dictionary, West Publishing, USA, h. 121.
tertentu.29 Kepastian hukum itu sendiri tidak hanya mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dan negara, karena sebagai sebuah nilai, esensi dari kepastian hukum adalah masalah perlindungan terhadap warga negara dari tindakan kesewenang-wenangan. Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut:30 1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara; 2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturanaturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya; 3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut; 4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan 5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum
29
E. Fernando M. Manullang, op.cit, h. 92. Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, h. 85. 30
yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainty), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. 4) Konsep Penegakan Hukum Penegakan hukum dalam suatu negara memiliki kaitan yang erat terhadap sistem hukum negara tersebut, sesuai pandangan Lawrence Meir Friedman ”The substance is composed of substantive rules and rules about how institutions should behave”.31 Terkait hal tersebut peneliti mengkaji penegakan hukum dari segi aturan hukum (legal substance) yakni berupa Perda Provinsi Bali tentang KTR, dimana proses penegakan hukum Perda tersebut dianggap lemah akibat dari adanya kekaburan norma hukum dalam substansi hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut, sehingga penegakan hukum Perda tersebut tidak dapat berjalan secara efektif. Di sisi lain mengkaji mengenai penegakan hukum, Soerjono Soekanto berpandangan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu meliputi: 32 1. Faktor hukumnya sendiri, dimana terdapat ketidakjelasan substansi di dalam suatu peraturan sehingga menimbulkan multi tafsir, serta belum adanya aturan pelaksana yang dibutuhkan untuk menerapkan peraturan tersebut; 2. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, yaitu mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil maupun organisasi yang baik; 31
Lawrance M. Friedman, 1975, The Legal System: a Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, h. 14. 32 Soerjono Soekanto, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, h. 17-18.
4. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan; dan 5. Faktor budaya, yaitu hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam di dalam pergaulan hidup. Mengenai penegakan hukum, Andi Hamzah menjelaskan bahwa proses penegakan hukum dibagi menjadi dua, yaitu tindakan represif dan tindakan preventif. 33 Adapun tindakan preventif disini adalah tindakan yang dilakukan sebelum dilakukannya penegakan secara repesif baik dengan cara diadakannya negosiasi, persuasi, dan supervisi agar peraturan hukum atau syarat-syarat izin ditaati. Sedangkan tindakan represif adalah tindakan menerapkan hukum atau instrumen sanksi ketika terjadi pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku, biasanya hal ini dikenal dengan istilah law enforcement atau penegakan hukum dalam arti sempit. Kedua fase tersebut baik tindakan preventif maupun represif diartikan sebagai penegakan hukum secara luas (rechthandhaving). Berdasarkan pandangan mengenai penegakan hukum tersebut diatas maka penting untuk menerapkan tindakan baik represif maupun peventif terhadap proses penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut. 5) Konsep Pariwisata Berkualitas Pergeseran pasar dari mass tourism ke quality tourism menjadikan berbagai produk pariwisata mengalami modifiksi. 34 Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas bukan hanya menekankan pada
33
Andi Hamzah, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 48. URL: http://ojs.unud.ac.id/ index.php /piramida/ article/ download/ 3002/ 2160. Diakses Pada Tanggal 24 September 2014. 34
aspek hasil akhir, yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia, kualitas lingkungan, karena sangatlah mustahil menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas tanpa melalui manusia dan proses yang berkualitas. 35 Mengkaji mengenai kualitas pariwisata, UNWTO dalam Quality Support Committee yang diselenggarakan di Varadero Cuba, 9-10 Mei 2003, menyatakan bahwa kualitas pariwisata menentukan keberlanjutan pembangunan suatu pariwisata (Sustainable Development on Tourism), adapun yang dimaksud dengan kualitas pariwisata (quality in tourism) adalah: 36 ….the result of a process which implies the satisfaction of all the legitimate product and service needs, requirements and expectations of the consumer, at an acceptable price, in conformity with mutually accepted contractual conditions and the underlying quality determinants such as safety and security, hygiene, accessibility, transparency, authenticity and harmony of the tourism activity concerned with its human and natural environment. Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan kualitas pariwisata adalah hasil dari suatu proses yang menunjukkan kepuasan terhadap semua produk dan layanan, sesuai dengan persyaratan dan harapan konsumen, dengan harga yang dapat diterima, serta sesuai dengan kondisi kontrak dan penentu kualitas yang mendasarinya, seperti halnya keselamatan dan keamanan, kebersihan, aksesibilitas, transparansi, keaslian dan harmoni kegiatan pariwisata yang bersangkutan dengan lingkungan manusia dan alam. Oleh sebab itu, suatu destinasi pariwisata tidak terkecuali Bali, haruslah menerapkan prinsip kualitas pariwisata tersebut, yang salah satunya melalui meningkatkan kebersihan lingkungan.
35 URL: http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab%202__10-63.pdf. Diakses Pada Tanggal 24 September 2014. 36 URL: http://sdt.unwto.org/ en/ content/ quality-t ourism. Diakses Pada Tanggal 24 September 2014.
Kegiatan pariwisata yang juga meliputi industri jasa modern (modern hospitality industry) memandang bahwa kunci kesuksesan suatu pariwisata adalah kualitas pariwisata itu sendiri. Terkait hal tersebut, Walter Jamieson37 mengemukakan bahwa faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas pariwisata yaitu: 38 1. Condition, dilakukannya perawatan (maintenance) dan menjaga sebaik mungkin apa yang menjadi daya tarik pariwisata. 2. Physical and personal comfort, perlu menjaga kenyamanan bagi wisatawan yang berkunjung di destinasi pariwisata. 3. Service and Hospitality afforded to guests, pelayanan dan keramahtamahan kepada wisatawan merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan di dalam menyelenggarakan kegiatan pariwisata. 4. Attention to detail, memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki hak yang sama untuk memperoleh standar tertentu dalam kegiatan pariwisata. 5. Guest choice and ease of use, menyerahkan sepenuhnya kepada wisatawan untuk memilih fasilitas yang terbaik untuk diri wisatawan, dan tidak adanya pemaksaan untuk memilih layanan jasa tertentu.
37
UNWTO Expert Dean, Professor of Tourism and Travel Industry Management School of Travel Industry Management University of Hawaii at Manoa. 38 World Tourism Organization (UNWTO), 2007, Workshop on Indicators of Sustainable Development for Tourism, World Tourism Organization, Madrid Spain, h. 11.
6. Cleanliness, merupakan faktor terpenting untuk mengukur kualitas suatu pariwisata, yang dimaksud kebersihan dalam destinasi pariwisata adalah kebersihan lingkungan itu sendiri, tidak terkecuali kebersihan udara. Disamping itu, untuk menjaga atau bahkan meningkatkan kualitas pariwisata, maka perlu memahami pula terhadap faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pariwisata. Adapun yang menjadi faktor-faktor eksternal yang dapat memberikan dampak bagi pariwisata antara lain: 39 a. Changing
Demographics,
peningkatan
jumlah
populasi
dunia
berpengaruh terhadap kegiatan pariwisata, dimana semakin tinggi jumlah populasi manusia di dunia maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi terhadap pariwisata. b. Technological Advances, teknologi berpengaruh terhadap kegiatan pariwisata, sebagai contoh dalam hal transportasi, dengan adanya teknologi pesawat dan kereta api dengan kecepatan tinggi maka laju dinamika perpindahan orang dari satu negara/wilayah ke negara/wilayah lain akan semakin tinggi pula sehingga memudahkan orang untuk melakukan kegiatan pariwisata. c. Political Change, sistem politik suatu negara berpengaruh terhadap pariwisata khususnya di bidang ekonomi, dimana pemerintahan demokratis yang menerapkan perdagangan bebas akan berdampak bagi
39
WTO Tourism Education and Training Series, 1997, International Tourism: A Global Perspective, World Tourism Organization, Madrid Spain, h. 33.
pasar pariwisata karena akan mempengaruhi negara lain untuk melakukan kegiatan investasi di bidang pariwisata pada negara tersebut. d. Sustainable Tourism and the Environment, lingkungan hidup merupakan wadah bagi kegiatan pariwisata, oleh sebab itu pembangunan pariwisata berkelanjutan dianggap penting dan mampu memberikan pengaruh yang besar bagi pariwisata karena dengan menerapkan prinsip keberlanjutan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan pariwisata juga akan dirasakan manfaatnya bagi generasi mendatang. e. Safety and Health, jaminan keselamatan dan kesehatan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh besar bagi suatu destinasi pariwisata, ancaman akan terjangkit penyakit ketika melakukan kegiatan pariwisata dalam suatu negara tertentu akan berdampak bagi pariwisata tersebut, sehingga perlu adanya jaminan bagi wisatawan untuk dapat melakukan kegiatan pariwisata dengan sehat termasuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan udara yang sehat. f. Human Resource Development, terhadap negara-negara berkembang khususnya, dianggap perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan di bidang pariwisata sehingga dapat menyelenggarakan pariwisata dengan baik. g. Tourism Market Trends, perlu adanya perencanaan yang matang terhadap pasar pariwisata di masa yang akan datang, sehingga mampu mencegah atau menanggulangi permasalahan tersebut dengan baik.
h. Changing Consumer Preferences, memandang bahwa negara-negara yang memiliki jumlah populasi yang besar dimana masyarakatnya membutuhkan liburan dan beristirahat dari rutinitas pekerjaan yang padat sangat membutuhkan destinasi-destinasi pariwisata yang mampu memberikan fasilitas untuk menghilangkan stres. i.
Product Development and Competition, destinasi pariwisata semakin berkembang akibat pengaruh persaingan di bidang pariwisata baik regional maupun internasional. Masing-masing negara berupaya untuk mengembangkan pariwisatanya agar mampu bersaing di pasar global.
Mengacu pada faktor-faktor yang mampu mempengaruhi pariwisata tersebut, maka dengan menerapkan kebijakan kawasan tanpa rokok, diharapkan akan memberikan dampak positif terhadap kualitas pariwisata Bali. Disamping mampu menjamin kenyamanan para wisatawan juga mampu memberikan jaminan terhadap kebersihan lingkungan dalam hal ini memperoleh udara yang sehat bebas dari asap rokok, yang notabene merupakan faktor dari meningkatnya kualitas pariwisata. 6) Konsep Penafsiran Hukum Dalam kaitan terjadinya suatu kekaburan norma hukum pada suatu produk perundang-undangan, diperlukan adanya penafsiran hukum, dimana penafsiran hukum merupakan suatu kegiatan yang terjadi dalam praktek hukum, namun tidak dapat dipisahkan dari teori hukum yang ada. Lebih lanjut dapat juga dikatakan bahwa penafsiran hukum yang merupakan bagian dari penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat
umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu.40 Dalam kaitannya dengan interpretasi, terdapat tiga asas yang perlu diperhatikan dalam contextualism yang dikemukakan oleh McLeod sebagaimana dikutip oleh Philipus M. Hadjon, sebagai berikut:41 1.
Asas Noscitur a Sociis, artinya suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya;
2.
Asas Ejusdem Generis, artinya satu kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya;
3.
Asas Expressio Unius Exclusio Alterius, artinya jika satu konsep sudah digunakan untuk satu hal maka belum tentu berlaku untuk hal lain. Contoh: konsep Rechtmatigheid yang digunakan dalam Hukum Tata Usaha Negara, maka konsep yang sama belum tentu berlaku untuk kalangan hukum perdata atau pidana. Metode interpretasi hukum, dilakukan dalam hal peraturannya ada namun
tidak jelas sehingga tidak mampu diterapkan dalam peristiwa hukum konkrit. 42 Tujuan utama dari penemuan hukum adalah untuk memberikan rasa keadilan dan jaminan kepastian hukum bagi kepentingan proses hukum yang berkeadilan dan penerapan ketentuan hukum yang adil. 43 Dalam kaitannya terhadap hal tersebut, peneliti menggunakan teknik interpretasi sistematis; teknik interpretasi gramatikal;
40
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h. 37. 41 Philipus M.Hadjon, 2008, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Surabaya, h. 26. 42 Asep Dedi Suwasta, 2012, Tafsir Hukum Positif Indonesia, Alia Publishing, Bandung, h. 53. 43 H.F. Abraham Amos, 2007, Legal Opinion: Aktualisasi Teoritis dan Empirisme, Rajawali Pers, Jakarta, h. 23.
teknik interpretasi perbandingan; dan teknik interpretasi teleologis/sosiologis. Hal ini nantinya akan dijadikan kajian bagi peneliti untuk mengkaji kebijakan Kawasan Tanpa Rokok guna meningkatkan kualitas kepariwisataan di Bali. 1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum teoritis, dimana fokus kajian dalam penelitian ini adalah dengan inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. 44 Penelitian ini juga sering disebut penelitian hukum doktrinal, yang berangkat dari masalah adanya kekaburan norma hukum dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR, khususnya ketentuan yang mengatur mengenai penegakan hukum terhadap pelanggaran Perda tersebut. Pada jenis penelitian ini, hukum sering dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books), di sisi lain hukum juga dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.
44
h. 81-99.
Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1.8.2 Jenis Pendekatan Merupakan proses pemecahan masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian. 45 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa jenis pendekatan diantaranya: 1) Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua peraturan hukum maupun regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti. 46 Dalam hal ini peneliti melakukan analisis terhadap peraturanperaturan yang terkait dengan kebijakan tentang kawasan tanpa rokok, serta kebijakan di bidang kepariwisataan; 2) Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical and Conceptual Approach). Dalam hal ini peneliti melakukan analisis terhadap konsepkonsep hukum yang berhubungan dan menjadi dasar adanya kebijakan tentang kawasan tanpa rokok, serta hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat dalam perspektif kepariwisataan; 3) Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach). Kaitannya dalam kekaburan norma, salah satu upaya peneliti untuk melakukan penemuan hukum adalah dengan melakukan perbandingan hukum. Terkait hal tersebut perbandingan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan perbandingan atas dua atau lebih hukum positif yang
45 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 112. 46 Dyah Ochtorina Susanti, 2014, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar Grafika, Jakarta, h. 110.
berbeda. 47 Disamping itu perbandingan hukum merupakan metode penyelidikkan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam terhadap suatu bahan hukum tertentu, serta merupakan suatu cara untuk mengkaji unsur hukum asing yang aktual dalam suatu masalah hukum. 48 Dalam hal ini peneliti melakukan perbandingan hukum tentang aturan larangan merokok di Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta melalui Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok dan perbandingan hukum terhadap aturan larangan merokok di Pemerintah Kota Surabaya melalui Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Dalam kaitan hal tersebut peneliti melakukan perbandingan terhadap prosedur dan kewenangan penegakan hukum dan instrumen sanksi yang digunakan sebagai salah satu upaya untuk memberikan efek jera bagi yang melanggar ketentun tersebut. Dalam hal perbandingan hukum, maka metode yang dapat digunakan adalah dengan membandingkan baik melalui aturan hukum, penegak hukum, ataupun budaya hukum masyarakat yang mencakup perangkat kaidah atau perilaku dalam suatu negara atau daerah tertentu.49 1.8.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang digunakan di dalam penulisan tesis ini diperoleh melalui :
47
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 354. Soedjono Dirdjosisworo, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Grafindo, Jakarta, h. 60. 49 Soeratman, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, h. 65. 48
1) Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat umum dengan kata lain merupakan asas dan kaidah hukum. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; c. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan; d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; e. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; f. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan; g. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara; h. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan; i.
Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok;
j.
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok;
k. Peraturan Gubernur Bali No. 8 Tahun 2012 Tentang Pedoman KTR.
2) Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang bersumber dari buku-buku dan artikel-artikel hukum yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diteliti50. Bahan hukum Sekunder terdiri atas: a) Buku-buku Hukum (text book), khususnya yang berkaitan dengan hukum kepariwisataan dan teori-teori hukum; b) Jurnal-jurnal hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa terkait penelitian tesis ini; c) Kamus
dan
ensiklopedia
hukum
(beberapa
penulis
hukum
menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum tertier), dan Internet dengan menyebut nama situsnya. 1.8.4 Bahan Hukum Penunjang Bahan hukum penunjang adalah bahan hukum yang berupa hasil wawancara mendalam dari pihak-pihak terkait. Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum penunjang dalam penelitian ini adalah data dan informasi yang peneliti peroleh dari pihak terkait kebijakan KTR sehingga nantinya akan memberikan data yang valid, disamping itu juga bahan hukum penunjang digunakan untuk mencari faktor-faktor non hukum dalam proses penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR. 1.8.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan snowball method (metode bola salju).51 Adapun yang dimaksud dengan metode bola salju adalah metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu
50 51
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 155. Djam’an Satori, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, h. 18.
kepada peraturan perundang-undangan, dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka yang berkaitan dengan penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR. Selanjutnya bahan hukum yang terdiri dari aturan perundang-undangan, buku-buku hukum, jurnal hukum, dan lainnya akan diinventarisasi dan dilakukan pengklasifikasian sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Dengan kata lain, bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah, disistematisasi dan dianalisis, sehingga pokok permasalahan yang ditelaah dalam penelitian ini akan terjawab. 1.8.6 Teknik analisis Bahan Hukum Dalam hal menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, peneliti menggunakan beberapa teknik analisis, antara lain: 1) Deskripsi, dengan menguraikan suatu kondisi atau posisi dari proposisiproposisi hukum atau non hukum; 2) Interpretasi, berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum. Dalam penelitian ini Interpretasi hukum digunakan terhadap permasalahan akibat adanya kekaburan norma hukum dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR. Adapun Interpretasi yang digunakan antara lain: Interpretasi Gramatikal/Bahasa, metode penafsiran ini memegang peranan penting pada penemuan makna dari sebuah teks undangundang, adapun untuk mengetahui makna dari ketentuan suatu aturan hukum maka ketentuan tersebut harus ditafsirkan atau dijelaskan dengan cara menguraikan makna dari aturan hukum tersebut. Disamping itu metode interpretasi gramatikal tersebut dilakukan melalui penalaran
hukum untuk diterapkan pada teks yang kabur atau kurang jelas (applaying the obscure texts the multiple resources of judicial reasoning);52 Interpretasi Teleologis/Sosiologis, metode penafsiran ini digunakan untuk mengetahui tujuan suatu aturan hukum yang hendak dicapai dalam masyarakat, serta hubungan antara peraturan perundangundangan dengan situasi sosial masyarakat,53 dalam hal ini tujuan yang hendak dicapai dengan menerapkan kebijakan KTR terhadap manfaatnya
bagi
Komparatif,
yaitu
masyarakat metode
khususnya
penafsiran
di
yang
Bali;
Interpretasi
digunakan
untuk
membandingkan aturan hukum suatu negara dengan aturan hukum di negara lain, 54 dalam hal ini perbandingan hukum tersebut digunakan untuk menyelesaikan isu hukum, 55 terkait dengan hal tersebut dalam penelitian ini, peneliti melakukan penafsiran perbandingan dengan membandingkan aturan larangan merokok di negara lain yang juga bergerak di sektor pariwisata dengan kebijakan KTR di Bali; Interpretasi Sistematis, pada metode sistematis ini, makna dari formulasi sebuah kaidah hukum atau makna dari sebuah istilah yang ada di dalamnya ditetapkan dengan menunjuk (mengacu) pada hukum sebagai suatu sistem, dengan kata lain metode ini memandang bahwa tak ada satupun dari peraturan perundang-undangan yang dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri. Dalam kaitannya terhadap penelitian ini, penafsiran 52
Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 59. Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 64. 54 Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 65. 55 Amiruddin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 166 53
dilakukan tidak hanya terhadap isi dari substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR, melainkan juga tentang hubungan Perda tersebut baik secara vertikal maupun horizontal terhadap peraturan perundangundangan yang lain. 3) Evaluasi, berupa penilaian tepat atau tidak tepat terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun sekunder; 4) Argumentasi, berupa suatu argumen yang diakukan guna memperkuat penilaian, serta melakukan penalaran hukum; 5) Sistematisasi, mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK
2.1 Pengertian Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat tersebut, diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dimana salah satu upaya dimaksud adalah pengamanan zat adiktif sebagaimana diatur di dalam Pasal 113 UndangUndang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Rokok mengandung zat adiktif yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Zat adiktif adalah zat yang jika dikonsumsi manusia akan menimbulkan adiksi atau ketagihan, dan dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke, penyakit paru obstruktif kronik, kanker paru, kanker mulut, impotensi, kelainan kehamilan dan janin. Rokok itu sendiri merupakan hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Berdasarkan Perda Provinsi Bali tentang KTR, di dalam penjelasan umum, dijelaskan bahwa asap rokok tidak hanya membahayakan perokok, tetapi juga orang lain disekitar perokok (Perokok pasif). Asap rokok tersebut terdiri dari asap rokok 39
utama (main stream) yang mengandung 25% kadar bahan berbahaya dan asap rokok sampingan (side stream) yang mengandung 75% kadar berbahaya. Asap rokok mengandung lebih dari 4000 jenis senyawa kimia. Sekitar 400 jenis diantaranya merupakan zat beracun (berbahaya) dan 69 jenis tergolong zat penyebab kanker (karsinogenik).56 Asap rokok pasif merupakan zat sangat kompleks berisi campuran gas, partikel halus yang dikeluarkan dari pembakaran rokok. Zat karsinogen Benzo (A) Pyrene merupakan salah satu kandungan asap rokok, merupakan salah satu zat pencetus kanker. Zat ini banyak ditemukan pada orang bukan perokok aktif, tetapi kehidupan mereka bersentuhan dengan perokok aktif. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut diatas dalam ketentuan Pasal 3 huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (LN No. 36-TLN No. 4276), selanjutnya disingkat PP 19/2003, dinyatakan bahwa dianggap perlu adanya suatu kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka mencegah dan/atau menangani dampak penggunaan rokok baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan, salah satunya dengan menetapkan pengaturan Kawasan Tanpa Rokok. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Perda Provinsi Bali tentang KTR, adapun yang dimaksud dengan KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Adapun kawasan yang dimasukkan dalam kategori KTR berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 2
56
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Karsinogen, Diakses Pada Tanggal 27 Januari 2015.
Perda Provinsi Bali tentang KTR meliputi: Fasilitas pelayanan kesehatan; Tempat proses belajar mengajar; Tempat anak bermain; Tempat ibadah; Angkutan umum; Tempat kerja; Tempat umum; dan Tempat lain yang ditetapkan. Dalam hal ini tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g meliputi : Pasar modern; Pasar tradisional; Tempat wisata; Tempat hiburan; Hotel; Restoran; Tempat rekreasi; Halte; Terminal angkutan umum; Terminal angkutan barang; Pelabuhan; dan Bandara. Kawasan Tanpa Rokok merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu, masyarakat, lembaga-lembaga pemerintah dan nonpemerintah, untuk melindungi hak-hak generasi sekarang maupun yang akan datang atas kesehatan diri dan lingkungan hidup yang sehat. Komitmen bersama dari lintas sektor dan berbagai elemen akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kawasan tanpa rokok. Adapun yang menjadi tujuan penetapan Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana yang termuat dalam buku pedoman penetapan Kawasan Tanpa Rokok yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia antara lain, untuk menurunkan angka kesakitan dan/atau angka kematian dengan cara mengubah perilaku masyarakat untuk hidup sehat; meningkatkan produktivitas kerja yang optimal; mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok; menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula; mewujudkan generasi muda yang sehat. Disamping itu penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan
upaya perlindungan untuk masyarakat terhadap risiko ancaman gangguan kesehatan karena lingkungan tercemar asap rokok.57
2.2 Hak Asasi Manusia Dalam Kebijakan KTR Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh sebab itu untuk memperoleh jaminan atas kehidupan yang sehat serta lingkungan hidup yang bersih bebas dari asap rokok merupakan bagian dari HAM sehingga negara memiliki kewajiban untuk melindunginya. Disamping itu pengakuan terhadap HAM untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat juga diatur di dalam prinsip-prinsip global, adapun prinsip-prinsip tersebut meliputi: a. Universal Declaration of Human Rights 1948, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), di dalam Article 25 paragraph 1 dinyatakan bahwa: Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.
57
Kementerian Kesehatan, 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta, h. 16-17.
Dengan kata lain telah adanya pengakuan secara internasional bahwa untuk memperoleh standar kehidupan yang baik serta derajat kesehatan maksimal merupakan bagian dari hak asasi manusia. UDHR menjadi contoh bagi semua negara yang hendak membangun dan mengembangkan diri sebagai negara demokrasi yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia.58 b. International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights 1966, yang lebih dikenal sebagai generasi HAM ke-2, di dalam Article 12 paragraph 1 dinyatakan bahwa “The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health”. Pengaturan terhadap kawasan tanpa rokok bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari ancaman bahaya rokok terhadap kesehatan manusia, baik kesehatan fisik maupun mental, dimana hal tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib diakui oleh setiap negara. Adapun langkah-langkah yang dapat diambil oleh negara guna mewujudkan
hak
atas
kesehatan
tersebut
salah
satunya
dengan
mengupayakan perbaikan segala aspek kesehatan lingkungan dan industri. 59 c. African Charter 1981, yang selanjutnya dikenal sebagai produk dari HAM generasi ke-3, dimana mengutamakan hak-hak kolektif salah satunya hak di bidang pariwisata (tourism rights), di dalam ketentuan Article 16 dinyatakan bahwa “Every individual shall have the right to enjoy the best attainable state 58 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 91. 59 H. Ahmad Sukardja, 2013, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, h. 215.
of physical and mental health”, disamping itu dalam Article 24 juga dinyatakan bahwa “All peoples shall have the right to a general satisfactory environment favourable to their development”. Jadi dengan kata lain pelaksanaan kebijakan KTR itu sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dalam memperoleh standar kesehatan, serta bertujuan pula untuk menjamin hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. d. Rio Declaration on Environtment and Development 1992, yang lebih dikenal dengan Deklarasi Rio, dimana deklarasi ini menjadi dasar terhadap pembentukkan produk hukum nasional di bidang lingkungan hidup. Deklarasi Rio tidak secara implisit mengatur mengenai HAM, meskipun demikian deklarasi Rio memuat prinsip mengenai kewajiban bagi setiap negara untuk menjaga lingkungan hidup dari ancaman polusi yang akan berdampak bagi ekosistem alam serta kesehatan manusia itu sendiri, baik polusi yang terjadi akibat bencana alam maupun akibat tindakan manusia secara berkelanjutan. Polusi yang dimaksud tidak hanya menyangkut air dan tanah melainkan juga polusi udara. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (LN No. 140-TLN No. 5059, selanjutnya disingkat UUPPLH) diatur mengenai kriteria pencemaran lingkungan hidup yang mampu mempengaruhi baku mutu lingkungan hidup salah satunya meliputi baku mutu udara ambien, dalam hal ini yang dimaksud pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke
dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Di sisi lain terhadap pencemaran udara secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut asap rokok dapat dikategorikan sebagai bahan berbahaya dan beracun, adapun yang dimaksud dengan bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya,
baik secara
langsung
maupun tidak
langsung,
dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Oleh sebab itu masyarakat memiliki hak yang sama berdasarkan undang-undang untuk memperoleh lingkungan yang bebas dari ancaman penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia itu sendiri. Sudah menjadi konsensus dalam konstitusi Indonesia bahwa hak atas kesehatan merupakan hak mendasar bagi manusia. Falsafah dasar dari jaminan hak kesehatan sebagai HAM merupakan raison d ‘etre kemartabatan manusia (human
dignity).60 Dimensi politik, ekonomi, hukum, sosial dan budaya serta pendidikan memberikan pengaruh signifikan terhadap kualitas kesehatan individu dan masyarakat di sebuah negara. Oleh sebab itu proteksi kesehatan tidak akan bisa dilepaskan dari persoalan hak asasi manusia atas kesehatan, karena bidang kesehatan telah dinyatakan sebagai fundamental rights of every human being.61 Dalam kaitannya terhadap kebijakan KTR, konsepsi hak asasi manusia tidak hanya sebatas pemahaman akan pentingnya jaminan atas hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, melainkan juga “The rights conception of the rule of law assumes that citizens have moral rights and duties with respect to one another, and political rights against the state as a whole”.62 Dengan kata lain menekankan bahwa setiap orang memiliki kewajiban yang sama untuk menghormati hak asasi orang lain.
2.3 Teori Negara Hukum Dalam Kebijakan KTR Dalam kaitannya terhadap hak asasi manusia, hukum berfungsi sebagai pembatas sehingga hak asasi manusia tidak lagi dipandang sebagai hak masyarakat untuk bertindak sebebas-bebasnya, karena melalui hukum pula hak asasi manusia tersebut mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Oleh sebab itu hukum menjadi dasar bertindaknya masyarakat maupun pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
60
Majda El Muhtaj, 2009, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 152 61 Roberia, 2012, Hak Atas Kesehatan dan Urgensi Proteksinya Dalam Rangka Kontinuitas Pembangunan Hukum Kesehatan, Jurnal Hukum Kesehatan: Vol. 4. NO. 6, Jakarta, h. 126. 62 URL: https://www.law.utoronto.ca/documents/Dyzenhaus/rule_law_as_ rule_ liberal_ principle. Diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2014.
Dampak sosial yang diakibatkan oleh asap rokok yang secara langsung bersinggungan dengan hak asasi manusia, maka terhadap manfaat dan tujuan untuk melakukan pengendalian terhadap pencemaran udara yang dihasilkan oleh asap rokok perlu memperoleh pengaturan dalam kebijakan kawasan tanpa rokok. Kebijakan KTR yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dalam hal ini merupakan pejabat yang memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk menetapkan suatu kebijakan daerah, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkedudukan diatasnya yang nantinya menjadi dasar yuridis pembentukan kebijakan KTR. Doktrin tentang HAM sekarang ini sudah diterima secara universal sebagai a moral, political, legal framework and as a guideline dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari perlakuan yang tidak adil. 63 Oleh karena itu, dalam paham negara hukum, jaminan perlindungan hak asasi manusia dianggap sebagai ciri yang mutlak harus ada di setiap negara yang dapat disebut sebagai rechtsstaat. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum ketika kedaulatan atau supremasi hukum atas orang dan pemerintah terikat oleh hukum, tidak terkecuali menyangkut kebijakan KTR, adapun ciri atau unsur negara hukum dalam kaitannya terhadap kebijakan KTR meliputi:64 a. Constitutionalism, konstitusi dipandang sebagai bentuk kesepakatan, baik kesepakatan bersama terhadap tujuan dan cita-cita, kesepakatan bahwa rule of law merupakan landasan penyelenggaraan negara, maupun kesepakatan
63 64
Jimly Asshiddiqie, op.it, h. 85. I Dewa Gede Palguna, loc.cit.
tentang bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan. HAM tidak akan mampu berdiri tegak dan terlindungi dengan baik apabila hak asasi yang telah dideklarasikan dan disetujui dalam perjanjian internasional tersebut tidak diletakkan dasar hukumnya dalam konstitusi masing-masing negara. Oleh sebab itu pelaksanaan atau implementasi HAM yang dilakukan oleh setiap negara harus berdasarkan proses konstitusional. 65 Disamping itu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah berdasarkan atas konstitusi tidak terkecuali kebijakan KTR. Dengan alasan untuk melindungi hak asasi manusia untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 maka kebijakan KTR dianggap telah berdasarkan atas amanat konstitusi terkait HAM. b. Law Governs the Government, bahwa dalam membuat undang-undang, pembentuk undang-undang terikat oleh pembatasan-pembatasan yang ditentukan dalam konstitusi, tidak terkecuali semua cabang pemerintahan yang bertindak berdasarkan hukum. Tidak terkecuali Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang telah membuat suatu produk hukum berupa kebijakan KTR. c. An Independent Judiciary, bahwa kekuasaan peradilan haruslah merdeka dengan diberikannya kewenangan untuk melakukan judicial review terhadap
65
Siti Maimunah, 2009, Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan, Jurnal Hukum Kesehatan: Vol. 2. NO. 4.,Jakarta, h. 77.
tindakan legislatif maupun eksekutif, serta menjamin tegaknya rule of law melalui pemisahan kekuasaan dan check and balances. d. Law Must be Fairly and Consistently Applied, bahwa hukum harus diterapkan secara adil dan konsisten tanpa adanya diskriminasi. Dalam kaitannya terhadap kebijakan KTR, penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran, aparatur penegak hukum wajib menindak secara tegas baik masyarakat yang merupakan WNI maupun warga negara asing dalam kaitannya sebagai wisatawan tanpa adanya diskriminasi. e. Law is Transparent and Accessible to All, bahwa hukum harus bersifat transparan dan dapat diakses oleh semua orang, dalam hal ini transparan yang dimaksud adalah bahwa hukum haruslah dibuat secara tranparan dimana pembentuk undang-undang diharapkan bersifat terbuka terhadap pendapat publik dalam pembahasan suatu rancangan peraturan perundang-undangan, disamping itu transparan yang dimaksud juga bahwa suatu peraturan perundang-undangan dapat dimengerti dengan baik dan dipublikasikan secara luas sehingga masyarakat mendapatkan cukup peringatan terhadap tindakan yang dapat melahirkan sanksi dan juga agar mereka dapat menuntut hak-hak hukumnya pada saat yang tepat dan dihormati oleh pihak-pihak lain yang memiliki akses serupa terhadap keberadaan hukum yang berlaku. Ciri tersebut erat kaitannya terhadap kebijakan KTR, dimana jauh sebelum Pemerintah Provinsi Bali membuat kebijakan KTR dianggap perlu terlebih dahulu dilakukan kegiatan sosialisasi atas kebijakan tersebut, sehingga masyarakat maupun wisatawan dapat memahami bahwa suatu perbuatan
tertentu yang dilakukannya akan mendapatkan sanksi, serta tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk menuntut hak-hak hukumnya. f. Application of Law is Efficient and Timely, bahwa hukum haruslah diterapkan secara efisien dan tepat waktu. Agar suatu kebijakan dapat diterapkan dengan baik dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut harus diberlakukan secara efektif dan juga memperhatikan perkembangan dinamika di masyarakat. Tidak terkecuali kebijakan KTR yang perlu diberlakukan secara efektif sehingga proses penegakkan hukumnya pun dapat dilakukan dengan baik, mengingat untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan udara yang sehat merupakan isu hak asasi manusia. Hak asasi manusia yang dimaksud di sini juga termasuk hak asasi bagi wisatawan. g. Property and Economic Rights are Protected, including Contracts, bahwa harus adanya perlindungan terhadap pembangunan di bidang ekonomi, adapun hal yang dianggap penting dalam pembangunan ekonomi adalah adanya perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, terhadap kebebasan berkontrak, serta kedudukan yang sama dalam hukum bagi semua orang. h. Human and Intellectual Rights are Protected, bahwa harus adanya penghormatan terhadap hak-hak individu tidak hanya hak sipil dan politik melainkan juga hak ekonomi. i.
Law can be Changed by An Established Process which itseft is Transparent and Accessible to All, bahwa hukum dapat diubah ketika hukum tersebut
tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan guna memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak individu, namun demikian prosedur perubahan tersebut haruslah bersifat transparan dan dapat diakses oleh semua orang. Ketika suatu kebijakan dianggap tidak lagi mampu diterapkan secara efektif di masyarakat maka perlu dilakukannya perubahan atas peraturan tersebut. Dalam kaitannya terhadap hal tersebut diatas maka kebijakan KTR yang diangap masih memuat instrumen sanksi yang lemah sehingga tidak mampu memberikan efek jera serta kewenangan penegakkan yang tidak secara jelas mendapatkan pengaturan, maka perlu dilakukannya perubahan agar dapat berjalan efektif dan mampu memberikan jaminan atas kepastian hukum, sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat.
2.4 Aspek Sosiologis Kebijakan KTR Kebiasaan yang buruk bagi kesehatan, seperti merokok, adalah penyebab utama dari penyakit dan kematian di banyak negara. Sayangnya, prilaku ini sering sudah dimulai sejak dini, sebelum orang menyadari bahaya dari tindakan mereka.66 Bahaya asap rokok orang lain dihadapi salah satunya bagi bayi dalam kandungan ibu yang merokok dan orang-orang yang berada dalam ruangan yang terdapat asap rokok yang telah ditinggalkan perokok. Dampak langsung setelah terpapar asap rokok orang lain adalah batuk, bersin, sesak napas, pusing, sedangkan efek jangka panjang akan menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Dampak kesehatan asap rokok orang lain terhadap orang dewasa antara lain menyebabkan penyakit
66
Shelley E. Taylor.,et.al, 2009, Psikologi Sosial, Kencana, Jakarta, h. 539.
jantung dan pembuluh darah, kanker paru dan payudara, dan berbagai penyakit saluran pernafasan. Perempuan yang tinggal bersama orang yang merokok mempunyai risiko tinggi terkena kanker payudara. Asap rokok orang lain akan memicu serangan asthma serta menyebabkan asthma pada orang sehat. Ibu hamil yang merokok selama kehamilan akan mempengaruhi pertumbuhan bayi, kelahiran prematur dan kematian. Bayi dan anak-anak para perokok yang terpapar asap rokok orang lain akan menderita sudden infant death syndrome, infeksi saluran pernafasan bawah (ISPA), asthma, bronchitis, dan infeksi telinga bagian tengah yang dapat berlanjut hilangnya pendengaran. Mereka juga akan menderita terhambatnya pertumbuhan fungsi paru, yang akan menyebabkan berbagai penyakit paru ketika dewasa. Anak para perokok mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami kesulitan belajar, masalah perilaku seperti hiperaktif dan penurunan konsentrasi belajar dibanding dengan yang orang tuanya tidak merokok. Padahal anak pun memiliki HAM yang sama untuk memperoleh jaminan akan kesehatan yang dikemukakan oleh Kofi A. Annan sebagaimana dikutip oleh Majda El Muhtaj, bahwa ”if we can get it right for children – if we can deliver on our commitments and enable every child to enjoy the right to a childhood, to health, education, equality and protection – we can get it right for people of all ages”.67
67
Majda El Muhtaj, 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta, h. 225.
Selain dampak kesehatan asap rokok orang lain juga akan berdampak terhadap ekonomi individu, keluarga dan masyarakat akibat hilangnya pendapatan karena sakit dan tidak dapat bekerja, pengeluaran biaya obat dan biaya perawatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia setiap orang. Hak asasi masyarakat bukan perokok atas lingkungan hidup yang sehat, termasuk bersih dari cemaran dan risiko kesehatan dari asap rokok juga harus dilindungi. Demikian juga dengan perokok aktif, perlu disadarkan dari kebiasaan merokok yang dapat merusak kesehatan diri dan orang lain disekitarnya. Hal tersebut diatas menjadi landasan sosiologis bagi Pemerintah Provinsi Bali untuk membuat pengaturan tentang Kawasan Tanpa Rokok, dimana memberikan batasan bagi orang untuk tidak merokok di area tertentu yang ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok. Meski demikian masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat tidak terkecuali wisatawan asing dikarenakan ketidaktahuan masyarakat karena kurangnya sosialisasi, dan dalam beberapa kasus banyak dijumpai orang yang masih merokok meski telah mengetahui bahwa area tersebut merupakan KTR, hal tersebut dikarenakan karena selama ini tidak ada penegakan yang dilakukan bagi para pelanggar kebijakan. Dengan kata lain tidak adanya kepastian penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran dilapangan. Pertumbuhan jumlah penduduk yang demikian cepat, masalah-masalah sosial yang baru dan banyak ditimbulkan oleh perkembangan industri merupakan faktor-faktor yang bisa disebut sebagai penyebab munculnya suatu gambaran sosial baru. Oleh sebab itu negara memiliki kewajiban untuk mencampuri urusan-urusan
seperti kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Perkembangan yang demikian itu membawa serta peranan dan pengaturan melalui hukum dan melontarkan suatu bahan baru untuk dikerjakan oleh para pakar hukum. Kebijakan KTR lahir dengan tujuan untuk memberikan jaminan perlindungan HAM bagi masyarakat dalam kaitannya terhadap bidang kesehatan yang merupakan salah satu aspek sosial masyarakat. Dalam bidang ekonomi, bahkan penerapan kebijakan KTR dianggap mampu memberikan efek positif terhadap jumlah pendapatan dari sektor pariwisata, akibat kualitas pariwisata yang meningkat setelah diterapkannya aturan larangan merokok di berbagai negara. Di sisi lain pengaturan mengenai kebijakan KTR ini diharapkan akan memberikan ketertiban di dalam masyarakat, dimana ketertiban merupakan nilai yang mengarahkan pada tiap-tiap individu untuk bersikap dan bertindak yang seharusnya agar keadaan yang teratur tersebut dapat dicapai dengan baik. Di sisi lain, tidak berbeda halnya dengan kebijakan pemerintah lainnya, dimana kebijakan KTR secara nasional juga mengalami pro dan kontra. Tidak sedikit mitos yang berkembang di masyarakat yang justru merugikan masyarakat sendiri, dan terus dilakukan oleh industri tembakau untuk menghalangi perlindungan kesehatan masyarakat. Beberapa mitos yang sering dijumpai di masyarakat adalah sebagai berikut: 68
68
URL: http://www.ino.searo.who.int/LinkFiles/Tobacco _ Initiative _ Bab _ 8 Perlindungan _ Terhadap _ Paparan _ Asap _ Rokok _ Orang_ Lain. Diakses Pada Tanggal 15 Oktober 2014.
1) Asap rokok orang lain tidak membahayakan kesehatan: Industri rokok sering melawan bukti ilmiah, yang menganggap asap rokok orang lain sekedar gangguan, bukan masalah kesehatan. Faktanya, penelitian ilmiah sudah sangat jelas bahwa asap rokok orang lain mematikan. Asap yang mengandung berbagai bahan kimia berbahaya dapat berdampak buruk bagi kesehatan manusia. 2) Tidak diperlukan Undang-Undang atau Peraturan Daerah karena kebijakan yang bersifat sukarela dianggap sudah cukup: Industri tembakau menyukai konsep kebijakan yang bersifat kesukarelaan tanpa sanksi hukum dari pada undang-undang atau peraturan daerah, karena hal tersebut bisa menjadi alasan tidak perlu tindakan hukum bagi pelanggaran. Skema pilihan bebas yang mengakomodir keinginan perokok dan bukan perokok dengan mempertahankan ”smoking area” dan ”non smoking area” dalam ruang yang sama adalah konsep yang diinginkan industri rokok. 3) Sistem ventilasi akan mengatasi masalah asap rokok orang lain: Baik ruang merokok maupun sistem ventilasi tidak memberikan perlindungan dari paparan asap rokok orang lain. Studi di Amerika menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat asap tembakau di udara dan jumlah nikotin yang diserap pekerja di ruang merokok dan tanpa asap rokok karena ruang merokok tetap akan mengkontaminasi ruang tanpa asap rokok. Sangat mustahil bahwa ruangan merokok tidak akan dimasuki petugas kebersihan ataupun petugas keamanan, dan ini akan menempatkan mereka
pada resiko. Berbagai studi lain menunjukkan zat penyebab kanker pada asap rokok yang disaring sama dengan yang tidak mengalami penyaringan udara, dan ventilasi tidak menghilangkan gas dan partikel beracun dari udara. Asap tembakau mengandung partikel padat dan gas. Sistem ventilasi tidak dapat menghilangkan partikel dan gas beracun di udara. Berbagai partikel terhirup dan tertinggal di baju, furnitur, dinding, langit-langit dan sebagainya. 4) Undang-Undang atau Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok melanggar hak asasi. Perokok harus diizinkan mengisap produk legal dan perusahaan harus bisa menentukan akan menerapkan kawasan tanpa rokok atau tidak: Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak asasi untuk hidup sehat dan lingkungan sehat. Paparan asap rokok orang lain melanggar hak asasi manusia. Hak bukan perokok untuk menghirup udara bersih melebihi hak perokok untuk mencemari udara yang akan dihirup orang lain. Kebijakan kawasan tanpa rokok bukan tentang apakah orang merokok tetapi dimana orang merokok. Mereka meninggalkan resiko kesehatan bagi orang lain yang menghirup asap rokoknya. 5) Undang-Undang atau Peraturan Daerah mengenai lingkungan bebas asap rokok tidak populer. Masyarakat pada umumnya tidak menginginkannya: Sebaliknya, kebijakan ini sangat populer di banyak negara dan semakin banyak orang yang menyadari bahwa mereka berhak dilindungi dari paparan asap rokok orang lain. Kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan ini adalah tertinggi di tempat dimana kesadaran akan bahaya kesehatan adalah tinggi.
6) Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang melarang orang merokok pada waktu santai tidak bisa diterapkan: Bukti di negara-negara di dunia ini menunjukkan bahwa perokok maupun pelaku bisnis patuh pada Undang-Undang atau Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok. Tingkat kepatuhan rata-rata 90%. 7) Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok tidak tepat untuk negeri ini: Pengalaman di dunia menunjukkan bahwa undang-undang atau aturan Kawasan Tanpa Rokok cukup berhasil diterapkan baik di negara besar atau kecil, perkotaan atau pedesaan, negara kaya ataupun miskin. Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok semakin populer di banyak negara, karena semakin banyak orang menyadari haknya untuk menghirup udara bersih dan sehat. Polling pendapat masyarakat yang dilakukan di 8 kota besar di Indonesia tahun 2008, menyatakan 84% responden menyatakan adalah hak pengunjung dan pekerja untuk menghirup udara bersih dan sehat. Hanya 16% responden yang menyatakan bahwa perokok punya hak untuk mengisap rokok di dalam gedung. 69 8) Jika orang tidak diperbolehkan merokok di tempat umum, mereka akan lebih banyak merokok di rumah masing-masing dan resiko paparan pada anakanak akan lebih besar: Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok mendorong orang dewasa untuk berhenti merokok. Dengan demikian anak-anak yang terpapar asap rokok di rumah juga turut berkurang. Undang Undang ini membuat perokok meneruskan
69
URL: http://www.ino.searo.who.int/LinkFiles/Tobacco, Ibid.
kebiasaannya di rumah dan membuat rumahnya bebas asap rokok secara sukarela. Di New Zealand dilaporkan bahwa paparan asap rokok orang lain di rumah tangga berkurang 50% selama 3 tahun setelah Undang Undang Tanpa Rokok diberlakukan. 9) Jika Undang-Undang atau Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok diterapkan, industri jasa dan industri pariwisata akan merugi: Penelitian independen berulang kali membuktikan tidak adanya efek ekonomi yang negatif dari aturan KTR pada industri jasa dan turisme. Studi yang dilakukan di Kanada, Italia, Norwegia dan beberapa kota seperti El Paso dan New York memperlihatkan bila dilihat secara rata-rata, bisnis tetap seperti biasa bahkan ada yang meningkat setelah diberlakukan pelarangan merokok. Di Australia Selatan pada tahun 1991 – 2001, ratio omzet restoran terhadap omzet penjualan tetap. Undang-Undang Kawasan Tanpa rokok di Australia Selatan diterapkan pada tahun 1999. Di Kota New York, penerimaan pajak bar dan restoran naik 8,7% sementara tenaga kerja sektor jasa naik lebih dari 10.000 orang. Angka Kunjungan hotel (Hotel occupancy rate) di Kota Davao naik 12,59% dalam kurun waktu lima tahun setelah diterapkannya undang-undang Kawasan Tanpa Rokok. 10) Peraturan Kawasan Tanpa Rokok tidak penting karena akan meningkatkan masalah sosial termasuk kekerasan dan keributan di jalanan: Tidak ada bukti yang menunjukkan hal tersebut. Seandainya ada, maka hal ini relatif kecil dibandingkan dengan dampak resiko kesehatan yang
diakibatkan asap rokok orang lain. Hal ini diatasi secara terpisah dengan peraturan yang sesuai. Talcott Parsons mengemukakan pandangan mengenai fungsi dari struktur sosial atau institusi sosial dan tipe prilaku/tindakan sosial tertentu dalam sebuah masyarakat dan pola hubungannya dengan elemen lainnya. Menurutnya keberlangsungan masyarakat sebagai sistem dan bertahan dari berbagai perubahan internal dan eksternal. 70 Adapun elemen-elemen dari perubahan sosial dalam masyarakat meliputi: nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat; lembaga/institusi sosial masyarakat; dan prilaku masyarakat. Dalam kaitan terhadap penegakan kebijakan KTR, maka pemahaman masyarakat terhadap bahaya rokok dan kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan hukum berperan penting dalam proses penegakan tersebut. Mengenai penegakan hukum, Satjipto Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Moh. Mahfud MD,71 mengemukakan bahwa penegakan hukum pada hakekatnya adalah penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang abstrak, seperti ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. Dapat dikatakan pula bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide atau keinginan-keinginan menjadi kenyataan. Disamping itu, penegakan hukum menurut Jimly Asshiddiqie adalah suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman prilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum masyarakat dalam kehidupan
70
George Ritzer, et.al, 2007, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media Group, Jakarta, h. 118. Moh. Mahfud MD,.et.al, 2013, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, h. 160. 71
berbangsa dan bernegara. 72 Oleh sebab itu, agar norma-norma hukum di dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR dapat berfungsi sebagaimana mestinya di dalam masyarakat, maka perlu adanya perumusan yang jelas di dalam substansi hukumnya sehingga mampu memberikan kepastian dalam penegakkannya. M. Laica Marzuki menguraikan masing-masing unsur sistem hukum pada dasarnya juga berkaitan dengan penegakan hukum (law enforcement), yaitu bagaimana substansi hukum ditegakkan serta dipertahankan. Dengan demikian struktur hukum merupakan institusionalisasi ke dalam entitas-entitas hukum. 73 Oleh sebab itu, Friedman menambahkan bahwa, bagaimanapun baiknya norma hukum suatu undang-undang tanpa didukung penegak hukum yang handal dan dipercaya serta budaya masyarakat, hukum tidak akan efektif mencapai tujuannya. 74 Dalam mewujudkan aturan hukum yang mampu bekerja secara efektif di masyarakat, maka ketiga hal tersebut tentunya harus terpenuhi. Produk hukum yang dapat menciptakan kepastian hukum adalah produk hukum yang pelaksanaannya tidak menimbulkan multi tafsir akibat adanya inkonsistensi antar pasal dalam suatu undang-undang atau munculnya kekaburan norma dalam peraturan perundangundangan tersebut. Mengkaji suatu aturan hukum yang berlaku efektif, Hans Kelsen dalam bukunya Pure Theory of Law menjelaskan bahwa:75
72 73 74
Ibid. Yuliandari, op.cit, h. 32.
I Gde Pantja Astawa, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 43-44. 75 Hans Kelsen, 1967, Pure Theory of Law, University of California Press, California USA, h. 11.
A legal norm becomes valid before becomes effective, that is, before it is applied and obeyed; a law court that applies a statute immediately after promulgation – therefore before the statute had a chance to become “effective” – applies a valid legal norm. But a legal norm is no longer considered to be valid, if it remains permanently ineffective. Effectiveness is a condition of validity in the sense that effectiveness has to join the positing of a legal norm if the norm is not to lose its validity. Dengan kata lain, Hans Kelsen mempersyaratkan hubungan timbal balik antara unsur validitas dan keefektifan dari suatu kaidah hukum. Sebelum berlaku secara efektif, suatu norma hukum harus terlebih dahulu valid, karena jika suatu kaidah hukum tidak valid maka hukum tersebut tidak dapat diterapkan, sehingga kaidah hukum tersebut tidak pernah efektif berlaku. Tetapi sebaliknya bahwa keefektifan merupakan syarat mutlak bagi sebuah kaidah hukum yang valid. Adapun agar suatu kaidah hukum dapat efektif, haruslah memenuhi dua syarat utama, yaitu: (1) kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan; dan (2) kaidah hukum tersebut harus dapat diterima oleh masyarakat.76 Hukum bukanlah gejala yang netral, yang semata-mata merupakan hasil rekaan bebas manusia, tetapi berada dalam jalinan yang sangat erat dengan masalah-masalah dan perkembangan kemasyarakatan. Pada satu sisi, hukum dijelaskan dengan bantuan faktor-faktor kemasyarakatan, dan pada sisi lain gejalagejala kemasyarakatan dapat dijelaskan dengan bantuan hukum. 77 Oleh sebab itu keefektifan penerapan kebijakan KTR di dalam masyarakat sangat ditentukan oleh pengaturan substansi yang mampu memberikan kepastian hukum dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR. 76 Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta, h. 116-117. 77 Khudzaifah Dimyati, 2014, Pemikiran Hukum: Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 37.
2.5
Pengaturan Kawasan Tanpa Rokok di Bali Pembuatan hukum yang dilakukan oleh badan yang berwenang merupakan
sumber hukum yang besifat utama. Suatu perundang-undangan menghasilkan peraturan yang memiliki ciri-ciri:78 1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas; 2. Bersifat universal, yang diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk konkritnya. Oleh karena itu ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja; 3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Oleh sebab itu merupakan hal yang lazim bahwa suatu peraturan untuk mencantumkan
klausul
yang
memuat
kemungkinan
dilakukannya
peninjauan kembali. Jika dibandingkan dengan aturan kebiasaan, maka perundang-undangan memperlihatkan karakteristik, suatu norma bagi kehidupan sosial yang lebih matang, khususnya dalam hal kejelasan dan kepastiannya. Sebagai sumber hukum, peraturan perundang-undangan mempunyai kelebihan dibandingkan norma-norma sosial yang lain, karena ia dikaitkan pada kekuasaan yang tertinggi di suatu negara dan karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar. Di sisi lain ciri demokratis masyarakat-masyarakat dunia sekarang ini memberikan capnya sendiri terhadap cara perundang-undangan itu diciptakan, yaitu dengan menghendaki
78
Satjipto Rahardjo, op.cit, h. 83.
masuknya unsur-unsur sosial ke dalam perundang-undangan.79 Tidak terkecuali lahirnya Perda Provinsi Bali tentang KTR ini juga dipengaruhi oleh aspek sosial terkait bidang kesehatan. Masyarakat dianggap memiliki hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan udara yang sehat bebas dari asap rokok. Oleh sebab itu lahirnya kebijakan KTR tersebut untuk memberikan ketegasan dan jaminan kepastian hukum yang mengatur terhadap hal tersebut. Secara teoritis, pembahasan tentang bentuk-bentuk peraturan perundangundangan, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari konsep hierarki norma hukum. Konsep ini merujuk pada pandangan Hans Kelsen yang lebih dikenal dengan teori hierarki norma hukum (stufenbau des rechts). Berkaitan dengan kedudukan dan keberadaan norma hukum, Hans Kelsen menjelaskan bahwa: 80 The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of one norm, the lower one is determined by another, the higher, the creation of which determined by a still higher norm, and that this regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity. Dengan kata lain bahwa norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang dan berlapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma dasar).81
79
Satjipto Rahardjo, op.cit, h. 85. Hans Kelsen, op.cit, h. 124. 81 Yuliandari, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 47. 80
Di dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut telah ditentukan mengenai area tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 bahwa tempat umum merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai KTR, tempat umum yang dimaksud tersebut sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 salah satunya adalah tempat wisata. Dalam hal ini kebijakan KTR tersebut memiliki tujuan untuk melindungi hak-hak wisatawan untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih serta agar wisatawan dapat berwisata dengan baik tanpa khawatir akan ancaman penyakit akibat paparan asap rokok. Oleh sebab itu dalam ketentuan Pasal 13 secara tegas dalam ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap orang dilarang untuk merokok di kawasan sebagaimana ditentukan sebagai kawasan tanpa rokok”, dan dalam ayat (2) “setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli rokok di KTR”. Perda Provinsi Bali tentang KTR dibentuk dengan tidak mengesampingkan peraturan perundang-undangan diatasnya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun peraturan yang menyangkut tentang pelaksanaan pengaturan dan perlindungan HAM akan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta bebas dari asap rokok meliputi: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, di dalam ketentuan Pasal 28 H ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera baik lahir maupun batin, memperoleh tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Pada prinsipnya
kebijakan KTR tersebut bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia (khususnya perokok pasif) untuk memperoleh kesehatan, karena dengan melakukan pengaturan terhadap kegiatan merokok tersebut, maka diharapkan masyarakat (perokok aktif) tidak lagi merokok di sembarang tempat sehingga melanggar hak asasi manusia orang lain untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat; b. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di dalam ketentuan Pasal 9 ayat (3) dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pengaturan kebijakan KTR merupakan salah satu upaya untuk menjamin HAM guna memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mencegah masyarakat dari ancaman penyakit akibat paparan asap rokok. c. Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, dalam ketentuan Pasal 5 huruf b dinyatakan bahwa kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta dalam ketentuan Pasal 20 huruf b menyatakan pula bahwa wisatawan memiliki hak untuk memperoleh layanan pariwisata yang memenuhi standar, dalam hal ini standar-standar yang dimaksud tersebut adalah antara lain standar yang menjamin wisatawan untuk memperoleh udara yang sehat dan bebas dari ancaman penyakit akibat asap rokok. Kebijakan KTR di Bali dianggap memiliki keterkaitan secara langsung terhadap kegiatan pariwisata Bali, karena pariwisata yang merupakan lokomotif perekonomian di Bali tentu akan terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah. Melalui kebijakan KTR dianggap akan mampu memberikan dampak positif bagi kepariwisataan Bali. d. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa Pengendalian
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan
hidup
dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup, dalam penjelasan terhadap ketentuan pasal tersebut dimana Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dimaksud dalam ketentuan ini, antara lain pengendalian di bidang pencemaran udara. Disamping itu dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) huruf d, menjelaskan bahwa baku mutu lingkungan hidup salah satunya adalah baku mutu udara ambien, dalam penjelasan terhadap ketentuan pasal tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada, dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Jadi kaitannya terhadap kebijakan KTR adalah bahwa kegiatan merokok di tempat-tempat tertentu seperti misalnya tempat wisata, dimana akan mengakibatkan berkurangnya kualitas udara yang di hirup oleh orang (wisatawan) lain yang berada dalam satu area yang sama. e. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menjadi dasar pengaturan KTR, dimana dalam ketentuan Pasal 115 ayat (1) mengatur tentang kawasan mana saja yang menjadi ruang lingkup KTR antara lain: tempat proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah;
angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Disamping itu dalam ketentuan Pasal 115 ayat (2) mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya masing-masing. Oleh sebab itu pembentukan kebijakan KTR di sini merupakan kewajiban bagi pemerintah daerah tidak terkecuali Pemerintah Provinsi Bali, serta mengupayakan agar kebijakan mengenai KTR dapat diterapkan dengan baik di wilayahnya masing-masing. f. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan menjadi dasar pembentukkan kebijakan kawasan tanpa rokok, dalam hal ini lahirnya Perda Provinsi Bali tentang KTR adalah berdasarkan ketentuan peraturan yang berada di atasnya sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1), disamping itu Undang-Undang ini memberikan dasar hukum pemberlakuan sanksi pidana di dalam suatu Peraturan Daerah, dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa materi muatan berupa sanksi pidana hanya dapat dimuat dalam UndangUndang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Serta dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan pidana dalam Perda tersebut sebagaimana dalam ayat (1) adalah berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). g. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, memberikan penjelasan di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 bahwa yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Jadi dalam hal ini merokok dapat dikategorikan sebagai kegiatan manusia yang memberikan dampak pencemaran bagi udara, dimana zat beracun yang terdapat dalam asap rokok dapat mengurangi kualitas udara yang dihirup oleh orang yang berada disekitarnya. Oleh sebab itu salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah hal tersebut salah satunya adalah dengan mengupayakan dan menerapkan kebijakan KTR. h. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, secara jelas menjadi dasar kebijakan KTR dimana dalam peraturan ini pemerintah memandang perlu adanya perhatian untuk melakukan sosialisasi bahwa rokok dapat memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Salah satunya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan bertujuan untuk mencegah penyakit akibat penggunaan rokok bagi individu dan masyarakat dengan : 1) melindungi kesehatan masyarakat terhadap insidensi penyakit yang fatal dan penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup akibat penggunaan rokok; 2) melindungi penduduk usia produktif dan remaja dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan untuk inisiasi penggunaan dan ketergantungan terhadap rokok;
3) meningkatkan kesadaran, kewaspadaan, kemampuan dan kegiatan masyarakat terhadap bahaya kesehatan terhadap penggunaan rokok i.
Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan atau yang lebih dikenal dengan PP Tembakau dilahirkan (sejak ditandatangani Presiden RI pada 24 Desember 2012) bertujuan untuk melindungi kesehatan perseorangan/individu, keluarga, masyarakat, dan lingkungan; melindungi penduduk usia produktif, terutama pada anak-anak, remaja, dan perempuan hamil dari dorongan lingkungan dan pengaruh iklan; meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya merokok; serta melindungi kesehatan masyarakat dari asap rokok orang lain. PP 109/2012 terdiri atas 8 Bab dan 65 pasal. Hal-hal yang diatur secara spesifik pada PP ini, diantaranya: Pencantuman Informasi kadar nikotin dan tar serta bahan tambahan lainnya (dilarang mencantumkan kata-kata yang menyesatkan); Pencantuman peringatan kesehatan berbentuk gambar dan tulisan seluas 40% kemasan depan dan belakang; Kawasan Tanpa Rokok (KTR); Perlindungan anak dan wanita hamil; Pengendalian Iklan Rokok; Pengawasan terhadap Perusahaan Rokok; dan lain-lain. Disamping itu juga PP 109/2012 ini mampu memberikan pemahaman bahwa petani tidak dilarang untuk menanam tembakau. PP menjamin kelestarian tanaman tembakau dengan tetap mengupayakan pengembangan mutu tanaman tembakau agar dapat bersaing dengan mutu tembakau impor dan mampu memenuhi kebutuhan tembakau bagi industri rokok dalam negeri. PP ini justru mendorong
pengembangan
diversifikasi
produk
tembakau,
serta
memberikan
kemudahan bagi produk rokok nasional dan industri kecil. Selain itu, PP ini tidak melarang iklan secara total, hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 6, 7 dan 8. Terhadap hal tersebut maka PP ini mendorong untuk dilakukannya kegiatan ekspor tembakau, sehingga negara dan petani tidak mengalami kerugian terhadap hal tersebut, bahkan melalui pengoptimalan kegiatan ekspor maka produk tembakau Indonesia akan mampu bersaing secara global dan mampu meningkatkan devisa negara. 82 j.
Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, memberikan pengaturan tentang pedoman pelaksanaan KTR, secara filosofis dan sosiologis, peraturan ini memberikan pemahaman bahwa asap rokok dapat membahayakan kesehatan individu, masyarakat, dan lingkungan, sehingga perlu adanya perlindungan terhadap paparan dari asap rokok melalui kebijakan KTR. Di dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) dinyatakan bahwa di dalam Perda Provinsi tentang KTR harus memuat mengenai: pengaturan tentang KTR; peran serta masyarakat; pembentukan satuan tugas khusus penegak KTR; larangan dan kewajiban; serta sanksi.
82
Adrian Sutedi, 2014, Hukum Ekspor Impor, Raih Asa Sukses, Jakarta, h. 14-15.
BAB III KETENTUAN DAN KEWENANGAN PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA ROKOK DI BALI
3.1
Penafsiran Hukum Terhadap Perda Provinsi Bali tentang KTR Substansi hukum adalah seperangkat kaidah hukum (set of rules and norms),
lazim disebut peraturan perundang-undangan. Substansi hukum tidak hanya mencakupi pengertian kaidah hukum tertulis (written law), tetapi termasuk kaidahkaidah hukum kebiasaan (adat) yang tidak tertulis. 83 Dalam substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR masih memuat adanya kekaburan norma hukum sehingga belum adanya jaminan kepastian hukum dalam penerapannya. Terkait hal tersebut dalam prinsip penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, prinsip kepastian hukum menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan publik. Oleh karena itu setiap kebijakan publik dan peraturan-perundang-undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan, dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang telah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta terdapat ruang untuk mengevaluasinya. Terhadap hal tersebut maka suatu peraturan perundangundangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundangundangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan dapat dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
83
Yuliandari, op.cit, h. 33.
71
Terkait dengan kekaburan suatu norma hukum maka perlu adanya penafsiran/interpretasi hukum. Machtel Boot sebagaimana dikutip oleh Asep Dedi Suwasta, berpandangan bahwa “Every legal norm needs interpretation”, yang berarti bahwa setiap norma hukum membutuhkan penafsiran. 84 Sejalan dengan hal tersebut Van Bemmelen dan Van Hattum secara tegas menyatakan “Elke geschreven wetgeving behoeft interpretatie”, dengan kata lain bahwa setiap aturan perundang-undangan tertulis membutuhkan penafsiran. 85 Sementara Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa hukum tidak dapat berjalan tanpa penafsiran, oleh karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi. Membuat hukum adalah suatu hal dan menafsirkan hukum yang sudah dibuat merupakan keharusan berikutnya.86 Di dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR terdapat kekaburan norma hukum dalam hal kewenangan penegakan hukum khususnya yang mengatur mengenai prosedur penegakan. Di dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR dinyatakan bahwa “Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini”, namun terkait hal tersebut tidak secara jelas mengatur mengenai prosedur penegakan ketika terjadi pelanggaran di lapangan. Di sisi lain pengaturan mengenai sanksi masih belum mampu memberikan efek jera, sebagaimana ketentuan Pasal 12 dinyatakan bahwa setiap pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab KTR wajib untuk: 84
Asep Dedy Suwasta, op.cit, h. 55. Asep Dedy Suwasta, loc.cit. 86 Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, h. 65. 85
a. melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya; b. melarang semua orang untuk tidak merokok di KTR yang menjadi tanggung jawabnya; c. menyingkirkan asbak atau sejenisnya pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya; dan d. memasang tanda-tanda dan pengumuman dilarang merokok sesuai persyaratan di semua pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca dan/atau didengar baik. Disamping itu dalam ketentuan Pasal 13 dinyatakan bahwa: (1) Setiap orang dilarang merokok di KTR. (2) Setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli rokok di KTR. (3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk tempat umum yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati/Walikota. Terkait hal tersebut, di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dinyatakan bahwa “Setiap orang dan/atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah)”. Dalam memahami Perda Provinsi Bali tentang KTR yang memuat kekaburan norma hukum dalam hal penegakan, maka teknik interpretasi yang relevan digunakan meliputi: 3.1.1 Interpretasi Sistematis terkait Kewenangan dan Sanksi dalam penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR Penafsiran sistematis ini dilakukan dengan memandang bahwa tak satupun dari peraturan perundang-undangan dapat ditafsirkan seakan-akan berdiri sendiri, tetapi harus dipahami dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya, atau dengan kata lain bahwa metode ini melihat hukum sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak merupakan bagian yang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari satu
sistem.87 Sejalan dengan hal tersebut, Andrei Marmor berpandangan bahwa “a norm can only be legally valid even if it belongs to a system”. 88 Adapun tujuan dari penafsiran ini adalah untuk mengidentifikasi tentang pengelompokan dan penggolongan asas-asas hukum, serta kaidah hukum atau aturan hukum. Dari tujuan tersebut, interpretasi ini dapat menyebabkan kata-kata dalam undang-undang diberi pengertian yang lebih luas atau lebih sempit. Perda Provinsi Bali tentang KTR tidak berdiri sendiri, melainkan lahir atas perintah UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang mewajibkan Pemerintah Daerah untuk menerapkan kawasan tanpa rokok di daerahnya masing-masing dengan baik. Hal tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa masyarakat perlu memperoleh derajat kesehatan yang optimal, dengan salah satunya melalui pengaturan atas rokok. Disamping itu UUD Negara RI Tahun 1945 memberi penekanan bahwa untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi, serta dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM juga menjelaskan terhadap hal tersebut. Oleh sebab itu lahirnya Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut dengan bertujuan untuk menjamin hak asasi masyarakat maupun wisatawan untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam upaya menerapkan Perda Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 tentang KTR, sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 15 ayat (4), bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur dengan Peraturan Gubernur", Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan Peraturan
87 88
Asep Dedi Suwasta, op.cit, h. 9. Andrei Marmor, 2011, Philosophy of Law, Princeton University Press, New Jersey, h. 19.
Gubernur Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (Berita Daerah No. 8 Tahun 2012-TLD No. 8). Adapun dalam ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 dijelaskan terkait tata cara pembinaan dan pengawasan KTR, yaitu pembinaan dan pengawasan KTR dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai tugas pokok dan fungsi sesuai dengan tempat yang dinyatakan sebagai KTR. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 14 Peraturan Gubernur Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, dinyatakan bahwa “Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD Provinsi Bali adalah Unit Kerja Pemerintah Daerah di Provinsi Bali yang mempunyai tugas mengelola anggaran dan barang daerah”. Salah satu SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang pariwisata dan bidang perhubungan melakukan pembinaan dan pengawasan KTR di tempat umum, di sisi lain SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang ketertiban umum melakukan pembinaan dan pengawasan di seluruh KTR. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah (LD No. 4 Tahun 2013-TLD No. 4), dinyatakan bahwa ”Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disebut Satpol PP adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum, dan ketenteraman masyarakat”. Sementara itu dalam ketentuan Pasal 15 dijelaskan mengenai mekanisme pengawasan internal di tempat umum yang ditetapkan sebagai KTR, yaitu meliputi: (1) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum, wajib melarang pengguna tempat umum dan/atau pengunjung merokok di tempat umum.
(2) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menegur, memperingatkan dan/atau mengambil tindakan kepada pengguna tempat umum dan/atau pengunjung apabila terbukti merokok di tempat umum. (3) Pengguna tempat dan/atau pengunjung berkewajiban melaporkan kepada pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum apabila ada yang merokok di tempat umum. (4) Pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat umum wajib memperingatkan pelanggar dan mengambil tindakan atas laporan yang disampaikan oleh pengguna tempat dan/atau pengunjung sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Berdasarkan ketentuan tersebut diatas diatur mengenai kewenangan untuk melakukan proses pembinaan dan pengawasan KTR, maka Satpol PP yang memiliki tugas di bidang ketertiban umum dapat melakukan proses penegakan yang meliputi pembinaan dan pengawasan di seluruh kawasan yang ditetapkan sebagai KTR. Oleh sebab itu proses penegakan hukum di tempat wisata dapat dilakukan oleh SKPD di bidang pariwisata bersama-sama dengan Satpol PP, serta untuk pengawasan internal dapat dilakukan oleh pengelola tempat tersebut. Sementara dalam penegakannya di daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Kabupaten Badung mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (LD No. 8-TLD No. 8), di dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) dinyatakan bahwa “Dalam rangka menegakkan pelaksanaan KTR, Bupati membentuk satuan tugas penegak KTR di wilayah Daerah”. Satuan tugas tersebut dilaksanakan oleh SKPD yang melaksanakan tugas penegakan Peraturan Daerah. Dengan kata lain, dalam proses penegakan kebijakan KTR tersebut, Pemerintah Kabupaten Badung dapat membuat satuan tugas khusus penegak KTR untuk menjalankan proses penegakan di wilayah hukum Kabupaten Badung. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, Perda Provinsi Bali tentang KTR
sebaiknya memuat rumusan mengenai pembentukan satuan tugas penegakan KTR, sehingga nantinya, Kabupaten/Kota lainnya di Bali yang saat ini belum memiliki pengaturan terhadap kebijakan KTR, akan meletakkan rumusan mengenai satuan tugas penegakan KTR tersebut di dalam substansi Perda masing-masing wilayah, sehingga penegakan KTR di Bali akan berjalan efektif. Di dalam ketentuan yang mengatur mengenai sanksi sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1), Perda Provinsi Bali tentang KTR masih memuat sanksi yang tergolong rendah sehingga belum mampu memberikan efek jera bagi pelanggar. Terkait hal tersebut guna memberikan efek jera maka sebaiknya dalam proses penegakannya lebih mengutamakan pidana kurungan atau merumuskan mengenai sanksi administratif khususnya bagi pengelola yang melakukan pelanggaran terhadap KTR, sehingga efek jera yang ditimbulkan bagi pelanggaran atas KTR dapat lebih optimal. 3.1.2 Interpretasi Gramatikal/Bahasa terkait Kewenangan dan Sanksi dalam penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR Metode penafsiran ini dilakukan dengan menuangkan isi peraturan perundang-undangan dalam bentuk bahasa tertulis. Untuk mengetahui makna ketentuan peraturan perundang-undangan yang belum jelas perlu ditafsirkan dengan menguraikannya melalui bahasa yang baik. Jika ditinjau dari segi definisi, adapun yang dimaksud dengan Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan produk tembakau. Berdasarkan definisi tersebut telah jelas bahwa setiap orang
dilarang atau tidak diperbolehkan secara hukum untuk merokok, menjual, bahkan memproduksi produk olahan tembakau. Di sisi lain terhadap perbuatan mengiklankan/mempromosikan, dalam proses penegakan masih menimbulkan multi tafsir, karena dalam beberapa kasus, seseorang yang membawa rokok di kawasan yang ditetapkan sebagai KTR akan tetap ditindak oleh tim penegakan hukum KTR meskipun hanya dalam maksud konsumsi pribadi. Oleh sebab itu masih terdapat perbedaan pandangan oleh masyarakat maupun petugas yang melakukan penegakan. Terkait hal tersebut, substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR dianggap masih mengandung kekaburan/ketidak jelasan dalam hal pengaturan tentang penegakan hukumnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dinyatakan bahwa kawasan yang termasuk KTR meliputi: 1) Fasilitas pelayanan kesehatan, dalam Pasal 3 menyatakan bahwa, fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi: rumah sakit; rumah bersalin; poliklinik; puskesmas; balai pengobatan; laboratorium; posyandu; dan tempat praktek kesehatan swasta; 2) Tempat proses belajar mengajar, dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa, tempat proses belajar mengajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi: sekolah; perguruan tinggi; balai pendidikan dan pelatihan; balai latihan kerja; bimbingan belajar; dan tempat kursus. 3) Tempat anak bermain, dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa, tempat anak bermain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi:
kelompok bermain; penitipan anak; Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD); dan Taman Kanak-Kanak. 4) Tempat ibadah, dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, tempat ibadah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d meliputi: pura; masjid/mushola; gereja; vihara; dan klenteng. 5) Angkutan umum, dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa, angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e meliputi: bus umum; taxi; angkutan kota termasuk kendaraan wisata, bus angkutan anak sekolah dan bus angkutan karyawan; angkutan antar kota; angkutan pedesaan; dan angkutan air. 6) Tempat kerja, dalam Pasal 8 dinyatakan bahwa, tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f meliputi: perkantoran pemerintah baik sipil maupun TNI dan POLRI; perkantoran swasta; industri; dan bengkel. 7) Tempat umum; dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa, tempat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g meliputi: pasar modern; pasar tradisional; tempat wisata; tempat hiburan; hotel; restoran; tempat rekreasi; halte; terminal angkutan umum; terminal angkutan barang; pelabuhan; dan bandara. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 tersebut diatas, sudah secara jelas mengatur mengenai area/tempat yang termasuk sebagai kawasan tanpa rokok, tidak terkecuali tempat wisata dan penunjang pariwisata lainnya seperti tempat hiburan, hotel, restoran, dan tempat rekreasi. Terhadap hal tersebut di dalam ketentuan Pasal 11
ayat (1) menyatakan bahwa “pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat kerja dan tempat umum dapat menyediakan tempat khusus merokok”, dan di dalam ketentuan ayat (2) menyatakan bahwa “tempat khusus merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. merupakan ruang terbuka atau ruang yang berhubungan langsung dengan udara luar sehingga udara dapat bersirkulasi dengan baik; b. terpisah dari gedung/tempat/ruang utama dan ruang lain yang digunakan untuk beraktifitas; c. jauh dari pintu masuk dan keluar; dan d. jauh dari tempat orang berlalu-lalang”. Terkait hal tersebut, dalam Pasal 12 menyatakan bahwa setiap pengelola, pimpinan dan/atau penanggung jawab KTR wajib untuk: a. Melakukan pengawasan internal pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya; b. melarang semua orang untuk tidak merokok di KTR yang menjadi tanggung jawabnya; c. menyingkirkan asbak atau sejenisnya pada tempat dan/atau lokasi yang menjadi tanggung jawabnya; dan d. memasang tanda-tanda dan pengumuman dilarang merokok sesuai persyaratan di semua pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca dan/atau didengar baik. Adapun dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR dinyatakan bahwa setiap orang dilarang merokok di KTR, dan dalam ayat (2) bahwa setiap orang/badan dilarang mempromosikan, mengiklankan, menjual, dan/atau membeli rokok di KTR. Disamping itu pengelola yang melanggar ketentuan Pasal 12 tersebut maka akan dijatuhi sanksi sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Pasal 18 yang menyatakan bahwa, setiap orang dan/atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Mengenai pemberian sanksi denda bagi pengelola tempat umum misalnya restoran, sanksi yang diatur adalah hanya sebesar Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah), sedangkan setiap individu yang pelanggar juga dijatuhi sanksi pidana denda yang sama. Hal tersebut menjadi tidak sesuai oleh karena pengelola memiliki peran yang lebih besar dalam menyediakan ruang bagi terjadinya pelanggaran, serta memiliki kewajiban yang berbeda pula, karena seakan pengelola menjalankan usahanya tersebut hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa turut peduli akan hak asasi manusia perokok pasif yang terpaksa harus turut terkena dampak negatif dari paparan asap rokok. Disamping itu terhadap prosedur pemberian sanksi bagi pengelola yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana Pasal 12, tidak diatur secara jelas dalam ketentuan pasal lainnya dalam Perda tersebut, dan hanya merujuk pada ketentuan sanksi pidana denda atau kurungan. Padahal jika dikaitkan dengan kegiatan usaha yang mengutamakan laba/keuntungan, dengan dijatuhi pidana denda yang begitu rendah tersebut, maka tidak samasekali mampu memberikan efek jera. Oleh sebab itu, maka terhadap pengelola perlu diberikan ancaman sanksi yang berbeda dengan individu pelanggar, baik berupa ancaman sanksi administratif pencabutan izin usaha, sanksi denda yang lebih besar, maupun sanksi paksa badan yang mengharuskan pengelola usaha untuk melakukan kegiatan sosial. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR menyatakan bahwa “Gubernur berwenang melakukan pembinaan dan pengawasan sebagai upaya untuk mewujudkan KTR di daerah”. Dalam ayat (2) dinyatakan bahwa “pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sosialisasi dan koordinasi; b. pemberian pedoman; c. konsultasi; dan d. monitoring dan evaluasi. Berdasarkan hal tersebut secara jelas diatur mengenai pencegahan salah satunya melalui sosialisasi”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Perda Provinsi Bali tentang KTR hanya sebatas mengatur tanpa mewajibkan Pemerintah Daerah beserta Dinas terkait untuk melakukan upaya pencegahan, sehingga jarang kita jumpai sosialisasisosialisasi tehadap kebijakan KTR tersebut. Padahal jika mengacu pada pandangan Andi Hamzah tentang penegakan hukum yang baik, maka sebelum dilakukannya tindakan represif maka perlu terlebih dahulu mengoptimalkan peran dari instrumen pencegahan, sehingga suatu kebijakan akan dikenal oleh masyarakat dan dapat diterapkan secara efektif di lapangan. 3.1.3 Interpretasi Komparatif/Perbandingan terkait Kewenangan dan Sanksi dalam penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR Istilah comparative itu sendiri memberikan sifat kepada hukum yang dibandingkan. Maka dengan demikian, istilah perbandingan hukum lebih menitik beratkan kepada membandingan antara satu aturan hukum suatu negara tertentu dengan aturan hukum negara lain, dimana merupakan aturan hukum yang mengatur suatu hal yang sama. Terkait dengan masalah substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR yang masih belum mampu diterapkan dengan baik akibat keberlakuan sanksi hukum yang lemah (belum mampu memberikan efek jera), maka berdasarkan perbandingan hukum yang dilakukan terhadap pengaturan tentang KTR di DKI Jakarta dan Surabaya, dimana kedua aturan tersebut masing-masing dapat berlaku cukup efektif di lapangan. Hal tersebut tidak terlepas dari ketetuan yang mengatur
mengenai penegakan hukum telah diatur dengan jelas, serta pengaturan mengenai sanksi bagi yang melanggar kebijakan KTR tersebut, mampu memberikan efek jera. Mengkaji mengenai sanksi adapun daerah di luar Bali yang telah menerapkan kebijakan KTR salah satunya adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Adapun Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta menerapkan sanksi administratif bagi pimpinan/penanggungjawab tempat yang ditetapkan sebagai KTR. Dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok dinyatakan bahwa “Sasaran kawasan dilarang merokok adalah tempat umum, tempat kerja, tempat proses belajar mengajar, tempat pelayanan kesehatan, arena kegiatan anak-anak, tempat ibadah, dan angkutan umum”, terkait pelanggaran sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1), dinyatakan bahwa: Pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat yang ditetapkan sebagai kawasan dilarang merokok, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila terbukti membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok, dapat dikenakan sanksi administrasi berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan atau usaha; c. pencabutan izin. Sejalan dengan itu Pemerintah Kota Surabaya yang juga menerapkan kebijakan KTR melalui Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok, memberikan pengaturan mengenai sanksi dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) yang dinyatakan bahwa “Pimpinan atau penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok atau Kawasan Terbatas Merokok apabila terbukti membiarkan orang merokok di kawasan dilarang merokok dapat dikenakan sanksi berupa: peringatan tertulis; penghentian
sementara kegiatan; pencabutan izin; dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. Dalam proses penegakan hukumnya terkait kebijakan KTR, Pemerintah DKI Jakarta mengatur sejara jelas mengenai kewenangan dan prosedur penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran di lapangan, yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentng Pengendalian Pencemaran Udara. Di dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1), dinyatakan bahwa “Selain Pejabat Penyidik POLRI yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidik tindak pidana sebagai dimaksud dalam Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku”. Selanjutanya dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2), dinyatakan bahwa “Dalam melaksanakan tugas penyidikan para Pejabat Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan beda dan/atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya; i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Terkait kewenangan yang diberikan kepada Penyidik sebagaimana tersebut diatas, maka di dalam ketentuan 40 ayat (4), dinyatakan bahwa “Penyidik membuat berita acara setiap tindakan tentang: a. b. c. d. e. f. g.
pemeriksaan tersangka; pemasukan rumah; penyitaan benda; pemeriksaan surat; pemeriksaan saksi; pemeriksaan di tempat kejadian; dan mengirimkan berkasnya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI.
Terkait kebijakan KTR, Perda KTR Surabaya juga telah secara jelas mengatur mengenai kewenangan dan prosedur penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran di lapangan. Dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1), dinyatakan bahwa “Penyidikan terhadap tindak pidana pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah”. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 10 ayat (2), dinyatakan bahwa “Penyidik dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah; b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik POLRI bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;
i.
mengadakan tindakan dipertanggungjawabkan.
lain
menurut
hukum
yang
dapat
Terkait kewenangan yang diberikan kepada Penyidik sebagaimana tersebut diatas, maka di dalam ketentuan Pasal 10 ayat (4), dinyatakan bahwa, “Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membuat berita acara setiap tindakan dalam hal: a. b. c. d. e. f.
pemeriksaan tersangka; memasuki tempat tertutup; penyitaan barang; pemeriksaan saksi; pemeriksaan di tempat kejadian; pengambilan sidik jari dan pemotretan.
Berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai kewenangan dan prosedur penegakan sebagaimana yang termuat dalam kebijakan KTR di Jakarta dan Surabaya, maka dapat dilihat bahwa penegakan hukum terkait kebijakan KTR ketika terjadi pelanggaran di lapangan telah diatur secara jelas sehingga mampu memberikan kepastian dalam hal penegakan. Disamping itu terkait sanksi, baik Jakarta dan Surabaya telah memuat ketentuan sanksi yang besar, sehingga mampu memberikan efek jera bagi pelanggar, serta rumusan mengenai sanksi administratif bagi pengelola tempat yang telah ditetapkan sebagai KTR. Adapun perbandingan terkait kewenangan dan sanksi dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2. Perbandingan Pengaturan KTR
Substansi
Sanksi
Perda Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok
Perda Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dan Kawasan Terbatas Merokok
Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 75 Tahun 2005 Tentang Kawasan Larangan Merokok
a. Bagi Individu: Sanksi pidana kurungan kaling lama 3 Bulan atau denda paling Banyak Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah)
a. Bagi Individu: Sanksi pidana kurungan paling lama 3 Bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
a. Bagi Individu: Sanksi pidana kurungan paling lama 6 Bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
b. Bagi Pengelola: Sanksi administratif berupa peringatan tertulis; penghentian sementara kegiatan; pencabutan izin; dan/atau denda Paling Banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
b. Bagi Pengelola: Sanksi administratif berupa peringatan tertulis; penghentian sementara kegiatan atau usaha; pencabutan izin.
b. Bagi Pengelola: Sanksi pidana kurungan paling lama 3 Bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah) c. Bagi yang menjual produk rokok: Sanksi pidana kurungan paling lama 3 Bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah)
Badan Penegakan
Dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
c. Bagi yang menjual produk rokok: Sanksi pidana kurungan paling lama 3 Bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
Dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
c. Bagi yang menjual produk rokok: Sanksi pidana kurungan paling lama 6 Bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah)
Dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Sumber: Diolah Sendiri
3.1.4 Interpretasi Sosiologis/Teleologis terkait Kewenangan dan Sanksi dalam penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR Interpretasi ini identik dengan tujuan kemasyarakatan, maka disebut juga dengan interpretasi sosiologis. Di sisi lain I Dewa Gede Atmadja menjelaskan
bahwa Teleologis merupakan metode yang mengkaji perihal ajaran atau teori tujuan hukum, dengan kata lain teleologi hukum merujuk pada hal yang ideal yakni mengarah kepada sesuatu yang hendak dicapai. 89 Metode ini digunakan, apabila pemaknaan hukum ditafsirkan sesuai dengan tujuan dari pembuatan aturan hukum tersebut dan apa yang hendak dicapai dalam masyarakat. Dengan kata lain dapat juga dimaknai bahwa interpretasi ini terjadi apabila makna suatu undang-undang ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan, peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undangundang yang masih berlaku namun tidak sesuai lagi dengan realitas kemasyarakatan, jika diterapkan pada peristiwa hukum konkrit, maka undangundang tersebut harus ditafsirkan ulang. Terkait dengan Perda Provinsi Bali tentang KTR yang belum mampu memberikan jaminan akan kepastian penegakan hukum, maka perlu dilakukan penafsiran terhadap Perda tersebut. Secara sosiologis Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut dibuat untuk melindungi masyarakat dari ancaman penyakit yang dihasilkan dari paparan asap rokok, dan tujuan yang hendak dicapai adalah agar masyarakat mampu memperoleh derajat kesehatan yang optimal sehingga menganggap perlu adanya kebijakan mengenai kawasan tanpa rokok. Namun jika dikaitkan dengan dinamika sosial masyarakat maka dapat dilihat bahwa masih banyak terjadi pelanggaran di lapangan. 90 Seiring dengan perkembangan jaman dan meningkatnya produktivitas ekonomi suatu individu, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi masyarakat 89 I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi, Tematis & Historis, Setara Press, Malang, h. 36. 90 URL: http://news.okezone.com/read/2013/07/16/340/837566/ setahun- diberlakukanperda- ktr- di- bali- belum- efektif. Diakses Pada Tanggal 20 Desember 2014.
terhadap rokok dan produk olahan tembakau lainnya. Oleh karena itu denda yang termuat dalam ketentuan Pasal 18 Perda Provinsi Bali tentang KTR terhadap pelanggaran masih merupakan batasan terendah ketentuan sanksi denda jika dikaitkan dengan Pasal 15 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011, belum mampu memberikan efek jera dan dengan kata lain Perda tersebut masih berlaku lemah di dalam masyarakat. Pengaturan mengenai kewenangan penegakan hukum dalam hal prosedur penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR, masih belum mampu memberikan kepastian dalam hal penegakan di lapangan akibat adanya kekaburan norma hukum. Terkait hal tersebut salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam proses penegakan hukum di masyarakat menurut Soedikno Mertokusumo adalah kepastian hukum. 91 Adapun kepastian hukum yang dimaksud adalah suatu aturan hukum yang di dalamnya tidak mengandung kekaburan norma, kekosongan norma, maupun konflik norma, sehingga mampu memberikan kepastian pula bagi masyarakat dalam melaksanakan aturan hukum yang berlaku. Untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, maka hukum memiliki tugas untuk menciptakan keteraturan dan kepastian hukum, tidak hanya kepastian yang diciptakan oleh hukum itu sendiri, melainkan juga kepastian di dalam substansi hukumnya. 92 Bali yang bergerak dalam sektor pariwisata harus mampu melindungi pariwisatanya
melalui
kebijakan-kebijakan.
Jika
ditinjau
dari
prinsip
penyelenggaraan pariwisata di Indonesia yang berdasarkan atas menjunjung tinggi 91 E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, h. 92. 92 Soediman Kartohadiprodjo, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Gatra Pustaka, Jakarta, h. 49.
hak asasi manusia, maka Perda Provinsi Bali tentang KTR merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali memiliki hubungan secara langsung dengan kegiatan pariwisata di Bali. Oleh sebab itu penegakan atas Perda tersebut haruslah dapat dilaksanakan dengan baik. 3.2 Kewenangan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok Asas pemerintahan berdasarkan undang-undang, secara historis berasal dari pemikiran hukum abad ke-19 yang berjalan seiring dengan keberadaan negara hukum klasik atau negara hukum liberal (de liberale rechtsstaatidee) dan dikuasai oleh berkembangnya pemikiran hukum legalistic-positivistik, terutama pengaruh aliran hukum legisme, yang menganggap hukum hanya apa yang tertulis dalam undang-undang.93 Oleh sebab itu, undang-undang dijadikan sebagai sendi utama penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Secara normatif, prinsip bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau berdasarkan pada kewenangan ini memang dianut di setiap negara hukum. Sejalan dengan hal tersebut Rene J.G.H. Seerden berpandangan bahwa “All act of administrative authorities are subject to the principle of legality, this implies that no organ of state has any authority unless it has been attributed to it explicitly by a norm it did not make itself”.94 Disamping itu H.W.R. Wade mengemukkan bahwa “An element which is essential to the lawful exercise of power is that it should be exercised by authority upon whom it is conferred, and by no one else”.95
93
Ridwan HR, op.cit, h. 95. Rene J.G.H. Seerden, 2007, Administrative Law of the European Union, its Member States and the United States: A Comparative Analysis, Intersentia Antwerpen, Oxford, h. 26. 95 H.W.R. Wade, 1977, Administrative Law, Oxford University Press, London, h. 305. 94
Sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritis, kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Pada kewenangan atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, dengan kata lain di sini dilahirkan suatu wewenang baru. Sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Di dalam kewenangan mandat tidak terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang satu kepada yang lain, dengan kata lain tanggung jawab kewenangan atas dasar mandat masih tetap pada pemberi mandat, tidak beralih kepada penerima mandat. Pada delegasi terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Disamping itu delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain tersebut. Dengan kata penyerahan, ini berarti adanya perpindahan tanggung jawab dari yang memberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegetaris). Adapun suatu delegasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yang meliputi: 96 1) Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
96
H. Salim. HS, op.cit, h. 195.
2) Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya bisa dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; 3) Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi; 4) Kewajiban
memberi
keterangan
(penjelasan),
artinya
delegasi
berwewenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; 5) Peraturan kebijakan (beleidsregel) artinya delegasi memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. Dalam kajian Hukum Administrasi Negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ pemerintahan ini penting, karena berkenaan dengan pertanggungjawaban hukum (rechtelijke verantwording) dalam penggunaan wewenang tersebut, seiring dengan salah satu prinsip dalam negara hukum “geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility” (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban). 97 Di dalam setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Berdasarkan keterangan tersebut diatas, tampak bahwa wewenang yang diperoleh secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima
97
Ridwan HR, op.cit, h. 108
wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Atribusi merupakan merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti materiil. Atribusi juga dikatakan sebagai suatu cara normal untuk memperoeh wewenang pemerintahan. Sehingga tampak jelas bahwa kewenangan yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintahan adalah kewenangan asli, karena kewenangan itu diperoleh langsung dari peraturan perundang-undangan. Penerapan Perda Provisi Bali tentang KTR masih belum dapat ditegakkan secara baik dengan masih banyak terjadinya pelanggaran terhadap KTR dan peran serta masyarakat yang belum optimal. Selama ini dalam proses penegakan hukum dilaksanakan oleh Satpol PP Provinsi Bali yang memperoleh kewenangan berdasarkan undang-undang (atribusi). Mengacu pada pandangan Friedman bahwa penegakan hukum ditentukan oleh seberapa efektif aparat penegak hukum mampu menjalankan prosedur penegakan, dan jika dikaitkan dengan ketentuan penegakan hukum dalam Perda tersebut, maka substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR belum memberikan kepastian dalam hal kewenangan penegakan hukumnya. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Perda Provinsi Bali tentang KTR, menyatakan bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini. Sementara itu dalam ayat (2) menyatakan bahwa, wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang pelanggaran ketentuan KTR; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan pelanggaran ketentuan KTR; c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang sehubungan dengan pelanggaran ketentuan KTR; d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang pelanggaran ketentuan KTR; e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam pelanggaran ketentuan KTR; f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan pelanggaran ketentuan KTR; dan g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan tentang adanya pelanggaran ketentuan KTR. Terkait hal tersebut, di dalam ketentuan Pasal 255 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (LN No. 244 Tahun 2014-TLN No. 5587), dinyatakan bahwa untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja (selanjutnya disebut Satpol PP). Dengan kata lain bahwa Satpol PP memiliki wewenang berdasarkan undang-undang untuk melakukan penegakan atas Peraturan Daerah. Terhadap hal tersebut, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (LN No. 9 Tahun 2010-TLN No. 5094), adapun yang menjadi kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 6 adalah meliputi: a. melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; b. menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; c. fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat; d. melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah; dan
e. melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah. Mengacu pada ketentuan di dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 6 Tahun 2010 mengenai kewenangan, sudah diatur secara jelas bahwa kewenangan untuk menegakan Perda adalah diberikan kepada Satpol PP, tidak terkecuali Perda Provinsi Bali tentang KTR, namun di dalam kenyataannya (das sein), Satpol PP tidak mampu melaksanakan tugas sebagaimana mestinya diakibatkan belum adanya pemahaman yang baik atas prosedur penegakan ketika terjadi pelanggaran KTR akibat tidak diaturnya secara jelas mengenai hal tersebut di dalam substansi Perda. Oleh sebab itu menjadi penting bagi Perda Provinsi Bali tentang KTR untuk merumuskan secara jelas mengenai kewenangan dan prosedur penegakan di dalam substansi hukum. Berdasarkan ketentuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah, dalam Pasal 140 dinyatakan bahwa “Susunan Organisasi Satpol PP terdiri dari: a. Sekretariat; b. Bidang; c. Sub Bagian; d. Seksi; dan e. Kelompok Jabatan Fungsional”. Adapun dalam ketentuan Pasal 142 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Bidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b, terdiri dari: a. Bidang Penegakan Perundang-undangan Daerah; b. Bidang Ketertiban Umum dan Ketertiban Masyarakat; c. Bidang Sumber Daya Aparatur; dan d. Bidang Perlindungan Masyarakat. Bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d dipimpin Kepala Bidang, berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Satuan. Mengenai bidang penegakan, dalam ketentuan Pasal 143 ayat (1) dinyatakan bahwa “Bidang
Penegakan Perundang-undangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) huruf a, terdiri dari: a. Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan; dan b. Seksi Penyelidikan dan Penyidikan. Berdasarkan ketentuan sebagaimana tersebut diatas, maka dalam hal melakukan penegakan atas Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka menjadi tugas bagi Kepala Bidang Penegakan untuk membentuk tim penegakan di lapangan. Terkait hal tersebut, mengenai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Satpol PP diatur di dalam PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja. Di dalam ketentuan Pasal 4 dinyatakan bahwa “Satpol PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat”. Disamping itu dalam ketentuan Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Satpol PP mempunyai fungsi: a. penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta perlindungan masyarakat; b. pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerah; c. pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat di daerah; d. pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat; e. pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya; f. pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah; dan g. pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pejabat terkait penegakan kebijakan KTR,98 menyatakan bahwa terhadap pelanggaran atas Kawasan Tanpa Rokok maka dibentuk tim penegak hukum yang dapat terdiri dari Satpol PP Provinsi Bali, Penyidik PNS Provinsi Bali, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, POMDAM IX Udayana, Korwas Polda Bali. Mengenai prosedur penegakan di lapangan bagi pelanggar maka akan langsung ditindak oleh tim penegak, diawali dari dibuatkannya BAP, penyitaan KTP sebagai barang bukti untuk sidang. Adapun terkait proses sidang, beliau menambahkan bahwa jika memungkinkan sidang dapat dilakukan di tempat disesuaikan dengan situasi yang ada, disamping itu juga sidang ditempat dimaksudkan untuk mempercepat proses persidangan dan juga berupaya untuk memberikan efek jera bagi pelanggar di lapangan. Terkait hal tersebut, maka Satpol PP Provinsi Bali bekerja sama dengan Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri. Di sisi lain, proses penegakan tersebut masih mengalami kendala dikarenakan masih kurangnya jumlah personel (SDM) untuk menegakan Perda tersebut, terhitung penyidik Satpol PP Provinsi Bali hanya berjumlah 11 personel. Dalam hal kawasan/tempat yang dapat dilakukan proses penegakan oleh Satpol PP Provinsi, dinyatakan bahwa adapun tempat-tempat yang dilakukannya proses penegakan adalah tempat-tempat yang merupakan area yang ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok berdasarkan Perda Provinsi Bali tentang KTR, sementara tempat-tempat sebagaimana yang ditetapkan sebagai KTR yang
98 Kepala Seksi Penegak Hukum Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali, I Ketut Pongres Language, pada tanggal 10 Desember 2014, Pukul 09.00 waktu setempat, bertempat di Kantor Polisi Pamong Praja Provinsi Bali yang berlokasi di Jalan D.I. Panjaitan No. 10 Niti Mandala Renon Denpasar.
berada dalam wilayah hukum Kabupaten/Kota dapat ditegakkan oleh Satpol PP Kabupaten/Kota. Kabupaten/Kota yang masih belum memiliki Perda tentang KTR atau masih dalam tahap sosialisasi maka penegakan dapat dilakukan oleh Satpol PP Provinsi dengan koordinasi kepada Satpol PP daerah masing-masing. Dengan kata lain, Satpol PP Provinsi masih bersifat fungsional, sehingga dalam proses penegakan hukumnya masih belum berjalan secara efektif, oleh sebab itu perlu adanya kepastian dalam pengaturan mengenai kewenangan penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR.
3.3 Alternatif Pengaturan Dalam Penegakan Hukum KTR Dalam penjelasan Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011, bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus berdasarkan atas asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, salah satunya adalah bahwa peraturan perundangundangan harus dapat dilaksanakan, serta harus mampu memperhitungkan efektivitas keberlakuannya di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Disamping itu suatu peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai, serta mampu menunjukkan bahwa dibuatnya peraturan tersebut atas dasar dapat bermanfaat bagi masyarakat dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Perda Provinsi Bali tentang KTR belum dapat ditegakkan sebagaimana mestinya karena belum adanya kepastian dalam hal penegakan hukum terhadap kawasan tanpa rokok. Jika dibandingkan dengan pengaturan di Jakarta dan Surabaya, maka di Bali sendiri masih banyak terjadi pelanggaran, bahkan meski
masyarakat telah mengetahui adanya aturan mengenai KTR mereka tetap saja melakukan pelanggaran karena ketika mereka melakukan pelanggaran tersebut tidak adanya petugas yang melakukan tindakan represif, selama ini proses penegakan hanya sebatas tindakan inspeksi mendadak (sidak) saja, sehingga proses penegakan masih belum efektif, bahkan ancaman sanksi pidana denda tergolong masih sangat rendah sehingga masyarakat (perokok aktif) tidak khawatir untuk merokok di kawasan yang telah ditetapkan sebagai KTR. Sejalan dengan itu berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011, dinyatakan bahwa di dalam Perda Provinsi tentang KTR harus mengenai: pengaturan tentang KTR; peran serta masyarakat; pembentukan satuan tugas khusus penegak KTR; larangan dan kewajiban; serta sanksi. Oleh sebab itu untuk menjamin adanya kepastian penegakan hukum Perda tersebut, maka perlu adanya perumusan yang jelas dalam Perda untuk membentuk satuan tugas khusus penegak KTR. Jika peran penegakan Perda hanya dibebankan kepada Satpol PP semata, maka penegakan hukum di lapangan akan terus mengalami permasalahan akibat begitu banyaknya aturan Perda yang harus ditegakkan oleh Satpol PP dan masih kurangnya SDM terkait hal tersebut. Berdasarkan hal tersebut diatas, menurut Ketut Pongres selaku Kepala Seksi Penegakan Hukum Satpol PP Provinsi Bali, 99 penerapan Perda Provinsi Bali tentang KTR masih belum dapat berjalan dengan efektif, selain kurangnya SDM 99 Kepala Seksi Penegak Hukum Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Bali, I Ketut Pongres Language, pada tanggal 10 Desember 2014, Pukul 09.00 waktu setempat, bertempat di Kantor Polisi Pamong Praja Provinsi Bali yang berlokasi di Jalan D.I. Panjaitan No. 10 Niti Mandala Renon Denpasar.
dalam penegakan, juga pemahaman masyarakat maupun pengelola tempat akan kesadaran untuk mematuhi aturan hukum masih cukup rendah sehingga peluang untuk terjadinya pelanggaran atas Perda tersebut masih cukup tinggi. Beliau turut menambahkan terkait substansi Perda, bahwa ketentuan sanksi masih sangat rendah sehingga masih belum mampu memberikan efek jera. Dalam kaitannya terhadap proses sidang ditempat, yang dianggap akan mampu memberikan efek jera bagi pelanggar, namun dalam kenyataannya hal tersebut masih mengalami kendala, dikarenakan menurut pengalaman beliau bahwa perlu koordinasi yang panjang untuk meminta pihak terkait dari Pengadilan Negeri dan Kejaksaan Negeri dalam hal sidang ditempat. Oleh sebab itu beliau berpandangan bahwa perlu pengaturan mengenai satuan tugas khusus dalam substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR sehingga proses penegakan akan lebih efektif. Berdasarkan perbandingan pengaturan terkait kebijakan KTR di Jakarta dan Surabaya, maka terlihat bahwa perlu dilakukan perubahan pada Perda Provinsi Bali tentang KTR. Terkait hal tersebut, perubahan khususnya yang mengatur mengenai kewenangan penegakan hukum dan sanksi bagi pelanggaran Perda tersebut perlu dilakukan, agar nantinya mampu memberikan kepastian hukum di masyarakat. Lon Fuller memandang bahwa hukum merupakan suatu keterampilan dan seni, yang dimaksud dengan ketrampilan dan seni di sini adalah ketrampilan membuat undang-undang. Ketrampilan membentuk undang-undang merupakan kewajiban moral (moral duty) dengan memperhatikan aspirasi moral (moral aspiration). Dengan demikian setiap sistem hukum selalu terikat pada prinsip-
prinsip moral yang disebut dengan inner morality.100 Prinsip moral inilah menurut Fuller, menjadi prima facie peletakan kewajiban setiap warga negara untuk menghormati hukum. Berdasarkan inner morality sebagaimana pandangan Lon Fuller diatas, suatu aturan haruslah memperhatikan delapan (8) kriteria agar tidak menghasilkan peraturan perundang-undangan yang gagal (eight ways to fail to make law).101 Adapun alternatif kebijakan KTR yang baik di Bali jika dikaitkan terhadap kriteria tersebut meliputi: 1)
Failure to establish rules at all, leading to absolute uncertainty, yaitu peraturan harus bersifat umum, dimana peraturan harus tidak memuat suatu keistimewaan atau kekhususan seseorang. Terkait kebijakan KTR di Bali, maka perubahan atas Perda tersebut harus memuat kepentingan bagi masyarakat luas, tidak hanya bagi masyarakat termasuk wisatawan yang tergolong sebagai perokok pasif tetapi juga bagi perokok aktif, melalui perumusan kebijakan untuk membuat ruangan khusus bagi perokok di berbagai tempat tertentu. Hal tersebut menjadikan penerapan kebijakan KTR dapat lebih efektif, oleh sebab itu perlu adanya rumusan dalam substansi Perda tersebut untuk menekankan kepada Pemerintah Daerah, agar membangun sarana atau fasilitas publik berupa ruangan khusus merokok, khususnya di area yang ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok.
100 101
89.
Dewa Gede Atmadja, op.cit, h. 129. Hilaire McCoubrey.,et.al, 1996, Jurisprudence, Blackstone Press Limited, London, h.
2)
Failure to make rules public to those required to observe them, yaitu suatu peraturan harus diumumkan atau diundangkan, karena hal tersebut merupakan syarat mengikatnya suatu peraturan. Masih banyaknya pelanggaran yang terjadi di lapangan salah satunya disebabkan pula oleh ketidaktahuan masyarakat maupun wisatawan akan kebijakan KTR di Bali. Oleh karena itu, perlu adanya berbagai kegiatan pencegahan yang dapat berupa sosialisasi dimasyarakat, dan pendidikan sejak dini akan bahaya rokok, serta menambah iklan/himbauan berupa poster, spanduk maupun tanda larangan merokok (no smoking signs) di berbagai tempat. Dengan kata lain, peran dari pengelola tempat tertentu sangatlah penting untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap aturan tersebut, dengan mewajibkan pengelola tempat untuk memasang tanda larangan merokok yang jelas. Terhadap pengelola yang tidak memasang tanda larangan merokok dapat diberikan sanksi.
3)
Improper use of retroactive lawmaking, yaitu suatu peraturan tidak boleh berlaku surut, suatu peraturan tidak boleh bersifat mengatur prilaku seseorang ke belakang (non-retroactive);
4)
Failure to make comprehensible rules, yaitu peraturan harus jelas dan mudah dimengerti serta tidak multi tafsir, karena akan menjadi pegangan bagi pencari keadilan (justifiabel). Perubahan atas substansi Perda Provinsi Bali tentang KTR nantinya harus memuat ketentuan yang tidak mengandung kekaburan, konflik maupun kekosongan norma hukum, untuk menjamin kepastian penegakan hukum di lapangan. Dengan munculnya aturan hukum
yang memuat kekaburan norma tentunya juga akan berdampak pada rendahnya daya kerja hukum bagi perubahan masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Jay A. Sigler, 102 bahwa kebanyakan hukum hanya memiliki sedikit pengaruh atas perubahan masyarakat akibat tidak jelasnya pelaksanaan dan sulitnya penerapan dari hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, perumusan mengenai ketentuan kewenangan dan prosedur penegakan hukum haruslah dirumuskan secara jelas dalam substansi hukum Perda tersebut. 5)
Making rules which contradict each other, yaitu suatu peraturan tidak boleh bertentangan, karena itu tidak boleh memerintahkan sesuatu dan pada saat yang bersamaan melarang pula hal yang sama. Agar perubahan Perda Provinsi Bali tentang KTR tersebut tidak mengalami tumpang tindih dengan peraturan lainnya khususnya dalam hal kewenangan penegakan hukum, maka pengaturan substansi yang jelas terhadap hal tersebut harus dilakukan mengingat sebagai Autonome Satzung, Peraturan Daerah harus mampu menjadi lex specialis yang dapat ditegakkan secara konkrit di lapangan. Kewenangan penegakan hukum terhadap Perda Provinsi Bali tentang KTR seharusnya tidak hanya dibebankan kepada Satpol PP saja, melainkan perlu dibentuk satuan tugas khusus KTR yang berwewenang melakukan tindakan di lapangan, serta mengoptimalkan peran dari Dinas Kesehatan dan Dinas Pariwisata di Daerah Provinsi Bali.
102
Jay A.Sigler, 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books, D.C Heath and Company Lexington, Massaehusetts, Toronto, h. 7.
6)
Making rules which impose requirements with which compliance is impossible, yaitu suatu peraturan tidak boleh memuat persyaratan yang tidak mungkin dipenuhi, karena peraturan meletakan kewajiban dan penilaian moral yang manusiawi.
7)
Changing rules so frequently that the required conduct becomes wholly unclear, yaitu suatu peraturan tidak boleh terlalu sering diubah atau direvisi, hal tersebut dikarenakan subyek hukum akan kesulitan menyesuaikan tindakannya. Oleh sebab itu, perumusan substansi hukum nantinya harus lebih menjamin kepastian hukum agar tidak berpeluang untuk terjadinya perubahan terhadap aturan hukum KTR, namun apabila perubahan dianggap perlu, maka sosialisasi adalah tindakan yang wajib dilakukan oleh pemerintah agar masyarakat memahami bahwa perubahan atas aturan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.
8)
Discontinuity between the stated content of rules and their administration in practice, yaitu suatu peraturan berlaku baik bagi pencari keadilan (justifiable) maupun pemerintah (administration/official), karena peraturan haruslah tidak memuat unsur diskriminatif dan harus bersifat adil. Moral merupakan dasar dari otoritas hukum, karena jika otoritas hukum atau
kekuasaan negara hanya didasari paksaan atau undang-undang yang dogmatis saja, maka hukum yang demikian akan sulit untuk bertahan di masyarakat. Dalam hal ini, agar lebih dipatuhi oleh masyarakat, dan agar kekuasaan dari otoritas tersebut dapat bertahan lama, maka hukum dapat bersandarkan juga kepada unsur moral. 103
103
Munir Fuady, Op.cit, h. 84.
Disamping itu, ketika ada penafsiran hukum, maka moral adalah salah satu sumber yang dapat digunakan. Munir Fuady berpandangan bahwa adanya hubungan fungsional antara moral dan hukum yaitu: 104 1. Moral diperlukan ketika hukum menjadi sempit dan kaku. 2. Moral merupakan dasar dari otoritas hukum. 3. Moral menyediakan kaidahnya dalam penciptaan hukum. 4. Moral mengisi kekosongan hukum dan membantu penafsiran hukum. 5. Moral mengarahkan hukum ketika hukum mengalami kontradiksi internal, dogmatisme, dan irasionalitas. 6. Pemenuhan unsur moral merupakan kriteria bagi suatu kaidah hukum yang baik. Agar fungsi hukum dapat terlaksana dengan baik, maka bagi para penegak hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dengan baik, dengan seni yang dimiliki masing-masing petugas, misalnya dengan melakukan penafsiran hukum sesuai dengan nilai keadilan. 105 UU No. 12 Tahun 2011 dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) telah memberikan legitimasi untuk dilakukannya perubahan atas rumusan sanksi bagi Perda Provinsi Bali tentang KTR, agar mampu memberikan efek jera. Dengan kata lain dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Menurut Hans Kelsen, hukum tidak lain merupakan norma utama yang mengandung sanksi di
104 105
Ibid. R. Soeroso, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 55.
dalamnya. Law is the primary norm which stipulates the sanction.106 Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, oleh karena kewajiban atau larangan yang termuat di dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak akan berguna jika aturan mengenai tingkah laku itu tidak dapat dipaksakan.107 Pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan menuntut untuk terciptanya suasana tertib, termasuk tertib hukum. Pembangunan negara merupakan bagian mendasar dari pelaksanaan tugas pemerintahan karena hal tersebut tidak terlepas dari upaya pemberian pelayanan pada warga. Di dalam rangka mewujudkan suasana tertib itu, maka berbagai program dan kebijakan pembangunan negara perlu didukung dan ditegakkan oleh seperangkat kaidah peraturan perundang-undangan yang memuat aturan dan pola perilaku tertentu, berupa larangan, kewajiban, dan anjuran. Salah satu upaya pemaksaan hukum adalah melalui pemberlakuan sanksi pidana terhadap pelanggar, mengingat sanksi pidana membawa serta akibat hukum yang berpaut dengan kemerdekaan pribadi, yang dapat meliputi pidana penjara, kurungan, dan berupa denda dari pelanggar.108 Berbagai ketentuan kaidah peraturan perundang-undangan selalu disertai dengan pemberlakuan sanksi pidana tersebut, dimana terhadap ketentuan sanksi pidana tersebut diberlakukan baik terhadap produk hukum berupa Undang-Undang, maupun peraturan yang memiliki kedudukan lebih rendah, dalam hal ini berupa Peraturan Daerah. 109 Oleh karena itu mengingat pengaturan mengenai kawasan
106
H.L.A. Hart, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York, h. 35. Philipus M. Hadjon.,et.al, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Introduction to the Indonesian Administrative Law, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 245. 108 Ibid, h. 262. 109 Ibid, h. 263 107
tanpa rokok di Bali berupa Perda Provinsi Bali tentang KTR tidak dapat tegak dan diterapkan sebagaimana mestinya, maka perlu adanya perubahan atas Perda tersebut yang memuat ketentuan sanksi yang lebih memberikan efek jera. Menurut Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh I Gede Pantja Astawa, adapun sistem hukum setidaknya mencakup 3 (tiga) subsistem penting, yaitu: 110 1) Subsistem penciptaan atau pembentukan hukum; 2) Subsistem yang berkaitan dengan isi atau materi hukum, baik berupa asas-asas hukum maupun kaidah-kaidah hukum; 3) Subsistem penerapan hukum dan penegakan hukum. Berdasarkan pandangan tersebut diatas, maka perubahan atas Perda Provinsi Bali tentang KTR selanjutnya harus mengatur secara jelas mengenai kewenangan penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran atas kebijakan KTR. Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah hukum yang baik.111 Oleh sebab itu, rumusan mengenai kewenangan yang diberikan kepada Satpol PP maupun nantinya kepada satuan tugas khusus KTR atau organ pemerintah lainnya, harus secara jelas diatur di dalam substansi Perda tersebut, karena berdasarkan teori hirarki norma, UU No. 23 Tahun 2014 dan PP No. 6 Tahun 2010 telah memberikan legitimasi terhadap kewenangan penegakan hukum, sehingga nantinya perubahan atas Perda tersebut tidak menjadi peraturan yang bertentangan (invalid) dengan peraturan yang berkedudukan diatas. Asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan
110 111
I Gde Pantja Astawa, op.cit, h. 43. Soerjono Soekanto, op.cit. h. 5.
pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yakni “Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen”,112 yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik, dan kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.
112
Ridwan HR, op.cit, h. 101.
BAB IV KEPASTIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM KAWASAN TANPA ROKOK DIKAITKAN DENGAN PENINGKATAN KUALITAS PARIWISATA BALI
4.1 Profil Pariwisata Bali Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan nama pulau yang menjadi bagian dari Provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Serangan.
Bali
terletak
di
antara
Pulau
Jawa
dan
Pulau
Lombok.
Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang danAustralia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 8 Kabupaten dan 1 Kota. Selain dari sektor pariwisata, penduduk Bali juga hidup dari pertanian dan perikanan, yang paling dikenal dunia dari pertanian di Bali ialah sistem Subak. Sebagian juga memilih menjadi seniman. Saat ini, industri pariwisata menjadi objek pendapatan terbesar bagi Bali. Hasilnya, Bali menjadi salah satu daerah terkaya di Indonesia. Pada tahun 2003, sekitar 80% perekonomian Bali bergantung pada industri pariwisata. Pada akhir Juni 2011, non-performing loan dari semua bank di 109
Bali adalah 2,23%, lebih rendah dari rata-rata non-performing loan industri perbankan Indonesia (sekitar 5%).113 Bali merupakan destinasi yang tidak asing lagi bagi sebagian besar wisatawan. Bali selalu disanjung sebagai destinasi wisata yang terkenal bahkan dapat dikatakan tersukses dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Keindahan Bali selalu menjadi buah bibir dan kenangan yang eksotis. Bali dengan pantainya yang indah, penduduknya yang terkenal ramah, dan budayanya yang unik. Semua itu sudah menjadi daya tarik sejak dahulu kala. Dengan jumlah wisatawan asing dan domestik yang rata-rata mencapai 1,5 juta orang per-tahunnya, sehingga tidak berlebihan kalau majalah Time and Travel Leisure menganugerahkan Bali sebagai pulau wisata terbaik di dunia. 114 Bali dan pariwisata adalah dua hal yang saling melekat satu dengan yang lain. Namun di tengah geliat pariwisata sebagai lokomotif perekonomian Bali, aksi terorisme yang tidak bertanggung jawab pada tahun 2002 dan 2005 mengakibatkan merosotnya jumlah wisatawan yang datang ke Bali secara signifikan. Keadaan tersebut bahkan diperburuk oleh travel warning, travel advisory, hingga travel ban dari sejumlah negara pemasok wisatawan asing, seperti Amerika Serikat dan Australia. Hingga saat ini berbagai upaya telah dilakukan pemerintah guna mengembalikan citra pariwisata Bali. Mengenai upaya mengembalikan citra pariwisata dapat dilakukan salah satunya melalui branding. Dalam membentuk sebuah brand yang nantinya diharapkan dapat membawa perubahan kearah yang
113
URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Bali, Diakses Pada Tanggal 20 Desember 2014. I Putu Anom, et.al, 2010, Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global, Udayana University Press, Denpasar, h. 218. 114
lebih baik bagi Bali, maka salah satu hal yang harus diperhatikan adalah mengenai personality.115 Perilaku masyarakat dan kepribadian yang baik dari masyarakat Bali merupakan hal yang penting karena sebuah brand hanyalah kata-kata ketika tidak didukung oleh budaya masyarakat yang baik. Adapun personality yang dimaksud meliputi keramah tamahan masyarakat, jaminan keamanan, serta prilaku masyarakat yang menjaga kebersihan lingkungan pariwisata (cleanliness). Disamping itu, mengkaji mengenai kepariwisataan yang berkelanjutan maka salah satu hal yang perlu menjadi perhatian adalah mengenai kebersihan lingkungan (environment purity), hal tersebut menjadi kewajiban semua stakeholders untuk melakukan tindakan to minimize the pollution of air, water and land and the generation of waste by tourism enterprises and visitor. 116
4.2 Peningkatan Kualitas Pariwisata Bali Melalui Penegakan KTR Sejalan dengan kecenderungan perkembangan HAM yang telah menyentuh generasi ketiga, kegiatan berwisata telah mendapatkan pengakuan sebagai HAM. Secara implisit pengakuan ini bertitik tolak pada rumusan Artikel 24 UDHR yang menyatakan bahwa “everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay”.117 Konstruksi realitas di atas menunjukkan begitu pesatnya perkembangan pariwisata dunia dan bahkan telah menjadi fenomena global. Pariwisata kini telah menjadi
115
I Putu Anom, et.al, Ibid, h. 224 World Tourism Organization (UNWTO), 2011, Policy and Practice for Global Tourism, World Tourism Organization, Madrid Spain, h. 40-41. 117 IGN Parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Konstruksi Konsep, Ragam Masalah dan Alternatif Solusi, Udayana University Press, Denpasar, h. 64. 116
kebutuhan dasar dan merupakan bagian dari HAM yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Secara progresif, pemerintah, pemangku kepentingan, dan masyarakat berkewajiban untuk dapat mempromosikan dan memenuhi hak berwisata tersebut sehingga pada gilirannya mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat manusia, peningkatan kesejahteraan, serta persahabatan antar bangsa dalam koridor perdamaian dunia. Oleh sebab itu, sustainable tourism should also maintain a high level of tourist satisfaction and ensure a meaningful experience to the tourists, raising their awareness about sustainability issues and promoting sustainable tourism practices.118 Dengan kata lain, hak atas lingkungan hidup yang baik merupakan salah satu syarat bagi negara-negara berkembang, untuk terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif, dimana hal tersebut merupakan tuntutan atas hak solidaritas atau hak bersama (kolektif) yang terpresentasikan dari hak-hak pada generasi HAM ketiga.119 Agar permasalahan dan kondisi tersebut di atas dapat dikendalikan maka perlu dilakukan upaya pengamanan terhadap bahaya merokok melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok dan juga membatasi ruang gerak para perokok Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali terkait dengan kepariwisataan, karena melalui suatu kebijakan pula, sektor pariwisata akan berjalan secara berkelanjutan, sehingga manfaat dari pariwisata tidak hanya akan dirasakan oleh generasi saat ini melainkan juga generasi yang akan datang. Melalui
118 119
World Tourism Organization (UNWTO), loc.cit. IGN Parikesit Widiatedja, op.cit, h. 69.
penegakan hukum KTR, maka faktor meningkatnya kualitas suatu pariwisata akan terpenuhi. Oleh sebab itu, penting kiranya untuk menegakan aturan hukum yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kepariwisataan di Bali. Terkait hal tersebut diatas, selain dikenal sebagai kota industri, Jakarta juga bergerak pada sektor pariwisata.120 Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah DKI
Jakarta
untuk
meningkatkan
kualitas
pariwisata,
adalah
dengan
memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan bagi wisatawan (physical and personal comfort) dalam melakukan kegiatan pariwisata. Beberapa upaya yang dilakukan adalah dengan meletakkan Camera Circuit Television (CCTV) di berbagai area pariwisata, dan juga menambah jumlah personel dari polisi pariwisata untuk melakukan pengamanan. Di sisi lain dengan menerapkan kebijakan larangan merokok di kawasan wisata, salah satunya di dalam bus tingkat wisata city tour, 121 maka pemerintah DKI Jakarta berupaya untuk meningkatkan kualitas dari pariwisata Jakarta dalam hal kebersihan (cleanliness) khususnya kebersihan udara. Pemerintah Kota Surabaya telah menerapkan kebijakan KTR sejak tahun 2008, adapun salah satu sasaran kebijakan tersebut adalah tempat wisata. Dari segi pariwisata, layaknya kota yang sarat akan sejarah, Surabaya memiliki beberapa obyek wisata yang bisa dikunjungi yang berhubungan dengan sejarah masa lampau. Ditambah lagi, Surabaya memiliki keanekaragaman kuliner yang selalu dicari oleh
120 URL:http://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_ tempat_ wisata_ di_ Jakarta, Diakses Pada Tanggal 7 Februari 2015. 121 URL: http:// tribunnews.com/ metropolitan/ 2014/ 02/ 24/ bus-wisata-beri-pelayananterbaik, Diakses Pada Tanggal 7 Februari 2015.
wisatawan yang datang.122 Saat ini pemerintah Kota Surabaya memberikan perhatian bagi sektor pariwisata salah satunya dengan mengupayakan rasa nyaman bagi wisatawan dalam berwisata serta meningkatkan kebersihan di destinasi pariwisata.123 Terkait hal tersebut maka pemerintah Kota Surabaya telah melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas pariwisata khususnya dari faktor kenyamanan (physical and personal comfort) dan kebersihan (cleanliness) bagi wisatawan. Disamping itu, Kota Surabaya merupakan kota pertama yang mempunyai Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok secara eksklusif, yaitu Peraturan Daerah Kota Surabaya No. 5 Tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok. Perda ini membagi 2 kawasan yaitu Kawasan Tanpa Rokok yang menerapkan 100% Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok yang menyediakan ruang khusus untuk merokok. Terkait hal tersebut maka salah satu faktor meningkatnya kualitas pariwisata yaitu faktor Attention to detail telah dilakukan, dimana faktor tersebut memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki hak yang sama untuk memperoleh standar tertentu dalam kegiatan pariwisata, baik bagi wisatawan sebagai perokok pasif dengan menerapkan larangan merokok di area tertentu, dan wisatawan sebagai perokok aktif untuk dibuatkan fasilitas ruangan khusus merokok. Salah satu tempat wisata populer di Surabaya yang menerapkan kebijakan KTR secara tegas adalah Kebun Binatang Surabaya.
122
URL: http://www.eastjava.com/tourism/surabaya/ina/, Diakses Pada Tanggal 9 Februari
2015. 123
URL: http://surabaya.tribunnews.com/ tag/ tempat- wisata, Diakses Pada Tanggal 9 Februari 2015.
Aturan larangan merokok telah diterapkan tidak hanya di Indonesia melainkan di berbagai negara. Di negara-negara lain yang juga bergerak pada sektor pariwisata telah menerapkan aturan larangan merokok secara tegas di negaranya masing-masing. Penelitian independen berulang kali membuktikan bahwa suatu negara atau wilayah dalam suatu negara tertentu yang menerapkan aturan mengenai larangan merokok, tidak memberikan efek negatif pada sektor ekonomi, bahkan mengalami peningkatan di sektor pariwisata dan industri jasa lainnya. Studi yang dilakukan di California dan San Fransisco bahkan menunjukkan adanya peningkatan pendapatan di bidang pariwisata setelah menerapkan aturan kawasan tanpa rokok.124 Menguatkan hal tersebut American Medical Association melakukan penelitian dari beberapa kota besar di Amerika yang juga berjalan di sektor pariwisata seperti misalnya New York, Los Angeles, California, dll, mengalami peningkatan jumlah wisatawan dan pendapatan setelah menerapkan pengaturan tentang larangan merokok.125 Disamping itu berdasarkan berita yang dimuat oleh New York Times, di Irlandia terdapat peningkatan yang pesat di bidang pariwisata setelah negara tersebut menerapkan aturan larangan merokok di kawasan tertentu, seperti di kawasan pariwisata.126 Study of the effect of the International Smoking Ban on World Wide Tourism juga dalam penelitiannya memperoleh kesimpulan bahwa penerapan aturan mengenai larangan merokok tidak berdampak negatif bagi bisnis
124
URL: http://www.cleanlungs.com/education/features/tourism2.html, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014. 125 URL: http://www.lphi.org/LPHIadmin/uploads/Tourism%20Study-32064.pdf, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014. 126 URL: http://www.nytimes.com/2014/06/15/travel/in-ireland-10-years-of-fresh-air.html, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.
pariwisata, bahkan terjadi peningkatan setelah memberlakukan aturan mengenai larangan merokok di kawasan tertentu.127 Penetapan Kawasan Tanpa Rokok sebenarnya selama ini telah banyak diupayakan oleh berbagai pihak baik lembaga/institusi pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Namun pada kenyataannya upaya yang telah dilakukan tersebut jauh tertinggal dibandingkan dengan penjualan, periklanan/promosi dan atau penggunaan rokok. Asumsi lain adalah perokok membebankan biaya keuangan dan risiko fisik kepada orang lain yang berarti bahwa seharusnya perokoklah yang menanggung semua ”biaya” atau kerugian akibat merokok. Tetapi pada kenyataannya perokok membebankan secara fisik dan ekonomi kepada orang lain juga. Beban ini meliputi risiko orang lain yang terkena asap rokok di lingkungan sekitarnya dan biaya yang dibebankan pada masyarakat untuk pelayanan kesehatan.
4.3 Keterkaitan Antara Kepastian Penegakan Hukum KTR Dengan Upaya Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali Pariwisata dewasa ini dianggap sebagai ladang emas baru, karena begitu besarnya potensi yang dimiliki. Tidak hanya sebagai aktivitas tertier yang bersifat sampingan, tetapi pariwisata merupakan sebuah industri jasa yang dinilai dari berbagai faktor produksi seperti: modal, tanah, tenaga kerja, teknologi, manajemen dan keragaman inovasi, serta menjanjikan keuntungan yang maksimal. Di dalam konsideran UU No. 10 Tahun 2009, pemerintah menempatkan pariwisata sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara sistematis, terencana dan terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab,
127
URL: http://www.undpi.am/node/28, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014.
dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya yang hidup dalam masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup serta kepentingan nasional. Undang-undang yang mulai berlaku sejak 16 Januari 2009 tersebut juga menyatakan bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. Ditinjau dari sisi definisi, Pasal 1 angka 1 Undang-undang Kepariwisataan menyebutkan bahwa wisata merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sementara Pariwisata sendiri seperti yang tersebut dalam Pasal 1 angka 3 merupakan berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan, yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha,
pemerintah
dan
pemerintah
daerah.
Kemudian
kepariwisataan diartikan sebagai keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha. Penerapan aturan larangan merokok yang tegas dan mampu memberikan kepastian dalam hal penegakan akan memberikan dampak bagi kualitas pariwisata, karena destinasi pariwisata tersebut mampu menjamin perlindungan HAM bagi masyarakat dalam hal ini wisatawan, serta memberikan perhatian juga terhadap kualitas lingkungan hidup. Norma hukum mengatur secara nyata internal kehidupan
pribadi dan juga mengatur hubungan antara pribadi dalam proses-proses sosial, baik secara langsung maupun tidak. Adapun fungsi dari norma hukum mencakup 2 (dua) hal, yaitu: 1) Berfungsi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan ketenangan, dan 2) Berfungsi untuk memperbaharui prilaku masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka dengan menerapkan kebijakan KTR yang baik, faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya kualitas pariwisata di Bali akan terpenuhi, antara lain: 1. faktor Physical and personal comfort, yaitu perlu menjaga kenyamanan bagi wisatawan yang berkunjung di destinasi pariwisata, dengan melindungi wisatwan dari paparan asap rokok sehingga wisatawan akan merasa nyaman tanpa khawatir akan ancaman penyakit yang diakibatkan oleh asap rokok; 2. faktor Attention to detail, memastikan bahwa setiap wisatawan memiliki hak yang sama untuk memperoleh standar tertentu dalam kegiatan pariwisata, baik bagi wisatawan sebagai perokok pasif dengan menerapkan larangan merokok di area tertentu, dan wisatawan sebagai perokok aktif untuk dibuatkan fasilitas ruangan khusus merokok; serta 3. faktor Cleanliness, merupakan faktor terpenting untuk mengukur kualitas suatu pariwisata, yang dimaksud kebersihan dalam destinasi pariwisata adalah kebersihan lingkungan itu sendiri, tidak terkecuali kebersihan udara.
Melalui kepastian penegakan hukum Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka kebijakan KTR akan mampu diterapkan dengan baik, sehingga kualitas pariwisata Bali akan meningkat seiring berlakunya aturan KTR secara efektif di lapangan. Bali yang mengandalkan sektor jasa perlu menjaga keberlangsungan pariwisata (sustainable tourism)
dengan meningkatkan kualitas pariwisata (quality
tourism).128 Sejalan dengan hal tersebut diatas, peran budaya hukum dalam hal ini masyarakat, memiliki kedudukan yang tidak kalah penting untuk turut memajukan pariwisata Bali, salah satunya melalui dukungan dan peran serta dalam berbagai kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pariwisata Bali. Masyarakat merupakan sekelompok orang yang berada di suatu wilayah geografi yang sama dan memanfaatkan sumber daya alam lokal yang ada di sekitarnya. Di negara-negara maju dan berkembang pada umumnya pariwisata dikelola oleh kalangan swasta yang memiliki modal usaha yang besar yang berasal dari luar daerah dan bahkan luar negeri. Sehingga masyarakat lokal yang berada di suatu daerah destinasi pariwisata tidak dapat terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata. Ketidakterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata sering kali menimbulkan opini bahwa masyarakat lokal bukan termasuk stakeholders dari pariwisata dan merupakan kelompok yang termarjinalisasi dari kesempatan bisnis dalam bidang pariwisata.
128
Parwata, 2015. Mass Tourism atau Quality Tourism?. Bali Post, Edisi 76, Tgl. 9-15 Februari 2015, h. 38.
Pada dasarnya masyarakat lokal memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan budaya yang ada di sekitarnya. Namun mereka tidak memiliki kemampuan secara finansial dan keahlian yang berkualitas untuk mengelolanya atau terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata yang berbasiskan alam dan budaya. Sejak beberapa tahun terakhir ini, potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal tersebut dimanfaatkan oleh para pengelola wilayah yang dilindungi (protected area) dan pengusaha pariwisata untuk diikutsertakan dalam menjaga kelestarian alam dan biodiversitas yang ada di daerahnya. Masyarakat lokal harus terlibat secara aktif dalam pengembangan pariwisata. Lebih jauh, pariwisata juga diharapkan memberikan peluang dan akses kepada masyarakat lokal untuk mengembangkan usaha pendukung pariwisata seperti; toko kerajinan, toko cindramata (souvenir), warung makan dan lain-lain agar masyarakat lokalnya memperoleh manfaat ekonomi yang lebih banyak dan secara langsung dari wisatawan yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya. Melalui masyarakat maka pengendalian sosial dapat dilakukan, baik antara individu maupun kelompok. Soerjono Soekanto berpandangan bahwa terhadap pengendalian sosial tersebut memiliki tujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dari sudut sifatnya maka dapat dikemukakan bahwa pengendalian sosial dapat bersifat preventif maupun represif, atau bahkan kedua-duanya. Preventif di sini berarti bahwa adanya usaha untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan keadilan, sementara tindakan represif meliputi
usaha yang bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan. 129 Tuntutan perubahan sosial memberikan dampak pada keberadaan sistem hukum yang selama ini berlangsung dalam keajegannya. Jika hukum tidak mengalami perubahan maka akan menemui berbagai kendala baik itu yang berhadapan langsung dengan rasa keadilan masyarakat maupun persoalan penegakan hukum. Tuntutan yang terjadi pada substansi hukum yang harus melakukan pemulihan-pemulihan terhadap eksistensinya dalam masyarakat akan memberikan konsekuensi berbeda pada perubahan hukum yang akan dilakukan. Selama perubahan hukum dilakukan responsif dan mengikuti hukum yang hidup di dalam masyarakat, maka hukum akan selalu selaras dengan kehidupan masyarakat.130 Gustav Radbruch mengidentifikasikan tiga tujuan keberadaan hukum. Menurutnya, hukum dibuat untuk mencapai tujuan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan (Gerechtigkeit, Rechtssicherheit, und Zweckmachtigkeit). Melalui penegakan hukum, maka dapat memberikan kepastian hukum maupun keadilan bagi masyarakat.131 Oleh sebab itu dengan adanya kepastian hukum dalam hal penegakan Perda Provinsi Bali tentang KTR, maka Perda tersebut dapat memberikan kemanfaatan dan rasa adil bagi masyarakat maupun wisatawan.
129
Soerjono Soekanto, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
179-180. 130 131
249.
Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung, h. 26. Antonius Cahyadi, 2009, Sosiologi Hukum Dalam Perubahan, Buku Obor, Jakarta, h.
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan
tersebut, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan guna menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Melalui
interpretasi sistematis;
interpretasi
gramatikal;
interpretasi
perbandingan; dan interpretasi teleologis terkait prosedur penegakan dan sanksi hukum, dapat dilihat bahwa Perda Provinsi Bali tentang KTR tidak secara jelas mengatur mengenai prosedur penegakan hukum, dengan kata lain memuat suatu kekaburan norma hukum, sehingga belum mampu memberikan kepastian dalam penegakan hukumnya. Disamping itu sanksi hukum terhadap pelanggaran Perda Provinsi Bali tentang KTR belum mampu memberikan efek jera. 2. Melalui jaminan kepastian hukum dalam hal penegakan kebijakan KTR, maka akan meningkatkan kualitas pariwisata Bali, sebagaimana yang telah diterapkan di DKI Jakarta dan Surabaya, khususnya terpenuhinya faktor kebersihan dan kenyamanan dalam berwisata (cleanliness and personality comfort) yang merupakan faktor meningkatnya kualitas suatu pariwisata.
122
5.2
Saran Berdasarkan uraian pembahasan tersebut diatas, maka adapun yang menjadi
saran dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Perlu adanya perubahan substansi dalam Perda Provinsi Bali tentang KTR, dengan merumuskan secara jelas mengenai prosedur penegakan hukum sehingga tidak menimbulkan multi tafsir, serta membentuk satuan tugas khusus penegak KTR. Disamping itu, dalam penerapan sanksi lebih diutamakan untuk menerapkan pidana kurungan dan denda yang lebih besar, maupun sanksi administratif agar dapat memberikan efek jera bagi pelanggar, sekaligus menjadi upaya untuk mencegah seseorang melakukan pelanggaran. 2. Pariwisata di Indonesia diselenggarakan dengan prinsip menjunjung tinggi HAM, dan secara global kegiatan pariwisata saat ini menjadi bagian dari HAM. Oleh sebab itu sudah sepatutnya Pemerintah Provinsi Bali memberikan perhatian yang lebih terhadap sektor pariwisata yang notabene merupakan lokomotif ekonomi Bali. Melalui kebijakan-kebijakan agar pariwisata Bali dapat berlangsung secara berkelanjutan. Salah satunya dengan menerapkan kebijakan KTR yang mampu memberikan kepastian hukum, sehingga citra pariwisata Bali yang berkualitas akan semakin dikenal di mata dunia akibat terjaminnya HAM wisatawan untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Ali, Zainuddin, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Amiruddin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta. Amos, H.F. Abraham, 2007, Legal Opinion: Aktualisasi Teoritis dan Empirisme, Rajawali Pers, Jakarta. Anom, I Putu, et.al, 2010, Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global, Udayana University Press, Denpasar. Asshiddiqie, Jimly, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. Astawa, I Gde Pantja, 2008, Dinamika Hukum Dan Ilmu Perundang-Undangan Di Indonesia, Alumni, Bandung. Atmadja, I Dewa Gede, 2013, Filsafat Hukum: Dimensi, Tematis & Historis, Setara Press, Malang. Black, Henry Campbell, 1978, Black’s Law Dictionary, West Publishing, USA. Cahyadi, Antonius, 2009, Jakarta.
Sosiologi Hukum Dalam Perubahan, Buku Obor,
Dewi, Alexandra Indriyanti, 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Publisher, Yogyakarta. Dimyati, Khudzaifah, 2014, Pemikiran Hukum: Konstruksi Epistemologis Berbasis Budaya Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta. Dirdjosisworo, Soedjono, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Grafindo, Jakarta. Friedman, Lawrance M, 1975, The Legal System: a Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York. Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana, Jakarta. Hadjon, Philipus M, 2008, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Surabaya.
124
, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia: Introduction to the Indonesian Administrative Law, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hamzah, Andi, 2005, Penegakkan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta. Hart, H.L.A, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York. Hiariej, Eddy O.S, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta. HR, Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. HS, Salim, 2013, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Raja Grafindo, Jakarta. Kaelan, MS, 2010, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta. Kamil, Ahmad, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta. Kansil, C.S.T. et. al, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Kartohadiprodjo, Soediman, 2010, Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Gatra Pustaka, Jakarta. Kelsen, Hans, 1945, General Theory of Law and State, Russel & Russel The Division of Atheneum Publisher Inc. United Stated of America. ______, 1967, Pure Theory of Law, University of California Press, USA. Kementerian Kesehatan, 2011, Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta. Makarao, Mohammad Taufik, 2011, Aspek-Aspek Hukum Lingkungan, Indeks, Jakarta. Manullang, E. Fernando M, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Marmor, Andrei, 2011, Philosophy of Law, Princeton University Press, New Jersey. Marzuki, Peter Mahmud, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
McCoubrey, Hilaire.,et.al, 1996, Jurisprudence, Blackstone Press Limited, London. Mertokusumo, Sudikno, 2007, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Muhtaj, Majda El, 2009, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Raja Grafindo Persada, Jakarta. , 2012, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta. Palguna, I Dewa Gede, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta. Perry, Micheal J, 2007, Toward a Theory of Human Rights, Cambridge University Press, New York. Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Rahmadi, Takdir, 2012, Hukum Lingkungan di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Ritzer, George, et.al, 2007, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media Group, Jakarta. Saifullah, 2007, Refleksi Sosiologi Hukum, Refika Aditama, Bandung. Satori, Djam’an, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung. Seidman, Ann, et. al. 2001, Legislative Drafting for Democratic Social Change, Kluwer Law International, London. Seerden, Rene J.G.H, 2007, Administrative Law of the European Union, its Member States and the United States: A Comparative Analysis, Intersentia Antwerpen, Oxford. Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung. Sidharta, Bernard Arief, 2008, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Bandung: Rafika Aditama.
Sigler, Jay A, 1977, The Legal Sources of Public Policy, Lexington Books, D.C Heath and Company Lexington, Massaehusetts, Toronto. Soeratman, 2014, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung. Soerjani, Moh. Dkk. 2008, Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta. ______, 2012, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta. Soeroso, R, 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Sukardja, H. Ahmad, 2013, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2009, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2014, Hukum Ekspor Impor, Raih Asa Sukses, Jakarta. Suwasta, Asep Dedi, 2012, Tafsir Hukum Positif Indonesia, Alia Publishing, Bandung. Syaukani, Imam, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Tanya, Bernard L. Dkk, 2010, Teori Hukum (Strategi tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi), Genta Publishing, Yogyakarta. Taylor, Shelley E.,et.al, 2009, Psikologi Sosial, Kencana, Jakarta. Wade, H.W.R, 1977, Administrative Law, Oxford University Press, London. Widiatedja, IGN Parikesit, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Konstruksi Konsep, Ragam Masalah dan Alternatif Solusi, Udayana University Press, Denpasar. WTO Tourism Education and Training Seris, 1997, International Tourism: A Global Perspective, World Tourism Organization, Madrid Spain. World Tourism Organization (UNWTO), 2011, Policy and Practice for Global Tourism, World Tourism Organization, Madrid Spain.
World Tourism Organization (UNWTO), 2007, Workshop on Indicators of Sustainable Development for Tourism, World Tourism Organization, Madrid Spain. Yuliandari, 2013, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Karya Ilmiah: Faiz, Pan Mohamad, 2009, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 1, Jakarta. Feri Amsari, 2009, Satjipto Rahardjo Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 2, Jakarta. Maimunah, Siti, 2009, Cakupan Hak Asasi Manusia Bidang Kesehatan, Jurnal Hukum Kesehatan: Vol. 2. NO. 4, Jakarta. Parwata, 2014. Dilema Pariwisata Bali 2014. Bali Post, Edisi Tgl. 28 April-Mei 2014. ______, 2015. Mass Tourism atau Quality Tourism?. Bali Post, Edisi 76, Tgl. 9-15 Februari 2015. Roberia, 2012, Hak Atas Kesehatan dan Urgensi Proteksinya Dalam Rangka Kontinuitas Pembangunan Hukum Kesehatan, Jurnal Hukum Kesehatan: Vol. 4. NO. 6, Jakarta. Supasti Darmawan, Ni Ketut, 2011, ”The Right To Tourism” Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Di Indonesia, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana: Vol. 36. NO. 2, Denpasar. Mudana, I Nyoman, 2014, Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Dalam Rangka Perlindungan Terhadap Perokok Pasif, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana Ketha Negara: Vol. 2. NO. 1., Denpasar. Artikel Internet: WHO Framework Convention on Tobacco Control, Fifty-Sixth World Health Assembly, 21 May 2003, Available at www.ino.searo.who.intl. Accessed 19 September 2013. URL: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs339/en/, Diakses Pada Tanggal 14 Pebruari 2014.
URL: http://www.who.int/tobacco/research/youth/health_effects/en/, Diakses Pada Tanggal 14 Pebruari 2014. URL: http://www.cleanlungs.com/education/features/tourism2.html, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014. URL: http://www.lphi.org/LPHIadmin/uploads/Tourism%20Study-32064.pdf. Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014. URL:http://www.nytimes.com/2014/06/15/travel/in-ireland-10-years-of-freshair.html, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014. URL: http://www.undpi.am/node/28, Diakses Pada Tanggal 11 Agustus 2014. URL: http://sdt.unwto.org/en/content/quality-tourism, Diakses Pada Tanggal 24 September 2014. URL: http://ojs.unud.ac.id/ index.php / piramida / article / download/ 3002/2160.t Diakses Pada Tanggal 24 September 2014. URL: http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/Bab%202__10-63.pdf. Diakses Pada Tanggal 24 September 2014. URL: https://www.law.utoronto.ca/documents/Dyzenhaus/rule_ law_ as_ rule_ liberal_ principle. Diakses Pada Tanggal 16 Oktober 2014. URL: http://www.antaranews.com/berita/417190/88- juta- wisatawan- asingkunjungi-indonesia- selama- 2013, Diakses pada tanggal 13 November 2014. URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Karsinogen, Diakses Pada Tanggal 27 Januari 2015. URL: http://id.wikipedia.org/wiki/ Daftar_ tempat_ wisata_ di_ Jakarta, Diakses Pada Tanggal 7 Februari 2015. URL: http:// tribunnews.com/ metropolitan/ 2014/ 02/ 24/ bus-wisata-beripelayanan-terbaik, Diakses Pada Tanggal 7 Februari 2015. URL: http://www.eastjava.com/tourism/surabaya/ina/, Diakses Pada Tanggal 9 Februari 2015. URL: http://surabaya.tribunnews.com/ tag/ tempat- wisata, Diakses Pada Tanggal 9 Februari 2015.
Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 TLN No. 3886). Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11 TLN No. 4966). Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 TLN No. 5059). Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 TLN No. 5063). Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan PerundangUndangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 TLN No. 5234). Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 TLN No. 5587) Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 36 TLN No. 4276). Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 9 TLN No. 5094). Peraturan Pemerintah No. 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278 TLN No. 5380) Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri No. 7 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49). Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 10 Tahun 2011 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2011 Nomor 10 TLD No. 10). Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 8 Tahun 2013 Tentang Kawasan Tanpa Rokok (Lembaran Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 8 TLD No. 8).
Lampiran 1
131
Lampiran 2
142