Keterangan Cover Sumber Foto : Agus Budiyanto Desain Cover : Siti Balkis
STUDI BASELINE EKOLOGI KABUPATEN MENTAWAI TAHUN 2007
Disusun oleh :
TIM CRITC COREMAP II - LIPI
TIM STUDI BASELINE EKOLOGI
KABUPATEN MENTAWAI
KOORDINATOR TIM PENELITIAN : ANNA MANUPUTTY
PELAKSANA PENELITIAN : MUHAMMAD ABRAR FRENSLY D. HUKOM YASER ARAFAT SAMSUARDI
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..................................................i
KATA PENGANTAR ......................................ii
RINGKASAN EKSEKUTIF ..............................1
BAB
I. PENDAHULUAN ...............................7
BAB II. METODE PENELITIAN .....................11
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............20
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ..............70
DAFTAR PUSTAKA ......................................74
LAMPIRAN...................................................76
i
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa, yang telah memberikan karunia berupa wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas dan keanekaragaman hayatinya yang dapat dimanfaatkan baik untuk kemakmuran rakyat maupun untuk objek penelitian ilmiah. Sebagaimana diketahui, COREMAP yang telah direncanakan berlangsung selama 15 tahun yang terbagi dalam 3 Fase, kini telah memasuki Fase kedua. Pada Fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Adapun lokasi-lokasi tersebut adalah : Mentawai, Nias, Nias Selatan, Tapanuli Tengah, Batam, Natuna, Lingga dan Bintan. Kegiatan studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangat diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang merupakan pembanding yang dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP. Pada kesempatan ini pula kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penelitian lapangan dan analisa datanya, sehingga buku tentang baseline ekologi terumbu karang ini dapat tersusun. Kami juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Jakarta, Desember 2007 Direktur CRITC-COREMAP II - LIPI Prof.Dr.Ir.Kurnaen Sumadiharga, M.Sc. ii
RINGKASAN EKSEKUTIF A. PENDAHULUAN COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 Fase, kini telah memasuki Fase II. Pada Fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kepulauan Mentawai, yang secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Mentawai , Provinsi Sumatera Barat. Wilayah Kabupaten Mentawai merupakan gugusan pulau yang terdiri dari empat pulau besar yaitu P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara dan P. Pagai Selatan serta beberapa pulau kecil disekitarnya, yang terletak sekitar 120 mil di sebelah barat pantai Padang, Sumatera Barat. Gugusan pulau-pulau tersebut dikenal sebagai Kepulauan Mentawai yang dahulu secara administratif masuk kedalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, kini kepulauan tersebut berkembang menjadi kabupaten sendiri yaitu Kabupaten Mentawai dengan ibukota kabupaten di Tua Pejat yang berada di P. Sipora. Kepulauan Mentawai secara geografis berada di Samudera Hindia sehingga perairan di kepulauan ini mempunyai sistem arus dan karakteristik massa air yang sangat dipengaruhi oleh sistem yang berkembang di Samudera Hindia. Rataan pantainya umumnya sempit dan memiliki pantai yang curam dan dalam baik di sisi Samudera Hindia maupun pada sisi yang menghadap daratan Sumatera. Penduduk Kepulauan Mentawai merupakan campuran dari beberapa suku, baik suku asli maupun 1
pendatang yang telah bermukim sejak lama. Mata pencaharian umumnya sebagai petani dan nelayan. Namun pekerjaan sebagai petani (terutama cengkeh dan kelapa) lebih dominan. Pada umumnya, kegiatan sebagai nelayan hanya dilakukan apabila harga ikan relatife mahal. Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para ”stakeholder” dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi, agar kondisinya bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan memiliki arti penting sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP. Kegiatan penelitian di lapangan dilakukan pada bulan Mei 2007. Kegiatan lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, dan beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah. Tujuan penelitian baseline ekologi ini, ialah untuk mendapatkan data dasar ekologi terumbu karang di perairan Kabupaten Mentawai, dan membuat transek permanen di beberapa titik yang akan dipantau kondisi terumbu karangnya secara kontinyu di masa mendatang.
2
B. HASIL Dari data yang diperoleh di lapangan, kemudian dilakukan analisa data. Hasil dan pembahasannya adalah sebagai berikut : •
Luas terumbu karang yang meliputi “fringing reef”, “patch reef” dan “shoal” di perairan antara P. Sipora bagian utara (Tua Pejat dan Igosoinan) dan P. Siberut bagian selatan (Katurai dan Muara Siberut) yaitu 24300 ha.
•
Dari hasil pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 40 stasiun dijumpai persentase tutupan karang hidup antara 2,78% - 36,36%, dengan rerata persentase tutupan karang hidup 10,77%. Persentase tutupan karang hidup tertinggi terdapat di MTWR 85.
•
Dari hasil LIT dan pengamatan bebas berhasil ditemukan 49 jenis karang batu yang termasuk dalam 14 suku.
•
Kemerataan jenis karang batu di semua stasiun umumnya rendah. Hal ini disebabkan ada jenisjenis tertentu yang memonopoli lokasi, seperti misalnya di stasiun MTWL 53 didominasi oleh karang dari marga Pocillopora sp., di stasiun MTWL 78 didominasi oleh Montipora sp., dan di stasiun MTWL 84 didominasi oleh Galaxea sp. serta Porites sp.
•
Dari hasil pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 9 stasiun transek permanen diperoleh persentase tutupan karang hidup mulai dari 3,43 % - 52,07% dengan rerata sebesar 17,22 %
•
Kelimpahan sejenis gastropoda yaitu Drupella sp. dicatat sebanyak 643 individu/ha. 3
4
•
Kelimpahan karang jamur (CMR=Coral Mushrom) sangat tinggi, dijumpai berlimpah yaitu 9143 individu/ha.
•
Kima (Giant clam) dengan ukuran panjang >20 cm kelimpahannya sebesar 143 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 571 individu/ha.
•
Teripang (holothurian) yang berukuran besar (diameter >20) kelimpahannya hanya sebesar 71 individu/ha, sedangkan yang berukuran kecil tidak dijumpai sama sekali selama pengamatan.
•
Jenis ikan karang Ctenochaetus striatus merupakan jenis yang paling sering dijumpai selama pengamatan, Frekuensi relatif kehadirannya berdasarkan jumlah stasiun yang diamati= 79 %).
•
Pengamatan ikan dengan metode ”Underwater Visual Census” (UVC) yang dilakukan di 9 Stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 167 jenis ikan karang yang termasuk dalam 30 famili, dengan kelimpahan ikan karang sebesar 13745 individu per hektarnya. Jenis Cirrhilabrus cyanopleura dari suku Labridae merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi pada setiap transek permanen di 9 lokasi pengamatan dengan jumlah individu sebesar 1857 ekor kemudian diikuti oleh Rastreliger kanagurta dari suku (Scrombidae) dengan kelimpahan 1229 individu dan Chromis t e rn a te ns i s da ri s uk u P o m a e nt ri d a e (771 individu).
•
Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari UVC di lokasi transek permanen seperti ikan Rastreliger kanagurta (termasuk kedalam suku Scrombidae) yaitu 1229 individu, ikan kerapu (termasuk dalam
suku Serranidae) 147 individu/ha, Acanthurus blochii (termasuk kedalam suku Acanthuridae) yaitu 234 individu/ha dan Pterocaesio tile (termasuk kedalam suku Caesionidae) yaitu 220 individu/ha. •
Jenis Caesio lunaris (suku Caesionidae) dengan kelimpahan 571 individu/ha yang diikuti oleh C t e no c h ae t us s tr i a t us (s uk u Ac a nt h ur i d a e) dengan kelimpahan 317 individu/ha.
•
Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator sebesar 21:12:1. Artinya dari 34 individu ikan karang di suatu lokasi bila ada 1 ikan indikator maka terdapat 12 ikan target dan 21 ekor ikan major.
C. SARAN Dari pengalaman dan hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian di lapangan maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: •
Hasil pengamatan, mungkin tidak seluruhnya dapat menggambarkan kondisi Kepulauan Mentawai secara keseluruhan mengingat penelitian kali ini difokuskan hanya pada perairan P. Sipora bagian utara dan perairan P. Siberut bagian selatan. Selain itu, jumlah stasiun yang diambil untuk transek permanen (untuk penelitian karang, megabentos dan ikan karang) yang jumlahnya 9 stasiun juga masih sangatlah terbatas. Hal ini dikarenakan waktu penelitian yang sangat terbatas. Untuk itu sebaiknya jumlah stasiun transek permanen bisa ditambahkan pada penelitian selanjutnya.
5
6
•
Secara umum, kualitas perairan di lokasi yang diteliti, dapat dikatakan relatif masih baik untuk kehidupan karang serta biota laut lainnya. Keadaan seperti ini perlu dipertahankan bahkan jika mungkin, lebih ditingkatkan lagi daya dukungnya, untuk kehidupan terumbu karang dan biota lainnya. Pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan harus dicegah sedini mungkin, sehingga kelestarian sumberdaya yang ada tetap terjaga dan lestari.
•
Dengan meningkatnya kegiatan di darat di sekitar Kepulauan Mentawai, pasti akan membawa pengaruh terhadap ekosistem di perairan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penelitian kembali di daerah ini sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi sehingga hasilnya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, data hasil pemantauan tersebut juga bisa dipakai sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP.
BAB I. PENDAHULUAN COREMAP yang direncanakan berlangsung selama 15 tahun, yang terbagi dalam 3 Fase, kini telah memasuki Fase II. Pada Fase ini terdapat penambahan beberapa lokasi baru yang pendanaannya dibiayai oleh ADB (Asian Development Bank). Salah satu lokasi baru itu adalah Kepulauan Mentawai, yang secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Mentawai, Propinsi Sumatera Barat.
A. LATAR BELAKANG Wilayah Kabupaten Mentawai merupakan gugusan pulau yang terdiri dari empat pulau besar yaitu P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara dan P. Pagai Selatan serta beberapa pulau kecil disekitarnya, yang terletak sekitar 120 mil di sebelah barat pantai Padang, Sumatera Barat. Gugusan pulau-pulau tersebut dikenal sebagai Kepulauan Mentawai yang dahulu secara administratif masuk kedalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Tetapi seiring dengan perkembangan otonomi daerah, kini kepulauan tersebut berkembang menjadi kabupaten sendiri yaitu Kabupaten Mentawai dengan ibukota kabupaten di Tua Pejat yang berada di P. Sipora. Secara umum daerah kajian merupakan daerah dataran rendah dengan beberapa puncak bukit. Tutupan lahannya sebagian besar adalah berupa hutan primer. Untuk P. Siberut, sebagian besar hutan itu dikonservasi dalam bentuk sebagai kawasan Taman Nasional. Dari segi pemanfaatan lahan, P. Sipora terlihat lebih berkembang dibandingkan P. Siberut. Pemanfaatan yang lazim di kedua pulau tersebut adalah perkebunan rakyat yang umumnya berupa tanaman kelapa di mintakat dekat pantai serta tanaman cengkeh untuk mintakat 7
yang agak kedalam. Ditinjau secara litologis, kedua pulau mempunyai litologi batu lempungan dengan di beberapa tempat ada sisipan batuan intrusive. Dari umur geologi dapat diindikasikan sebagai wilayah yang berumur resen dan masih muda. Oleh karena wilayah ini termasuk dalam jalur katulistiwa maka mempunyai curah hujan, kelembaban dan suhu udara yang tinggi. Curah hujan tahunan di atas 3000 mm, kelembaban di atas 75% dengan suhu udara antara 22 – 33 o C. Dengan batuan dasar lempungan dan kondisi iklim yang demikian, maka perkembangan tanah di wilayah itu sangat baik. Solum tanah cukup tebal walaupun sifatnya jelek karena tidak dapat meloloskan air dan batuannyapun tidak dapat menyimpan air. Sebagai akibatnya air tanah di daerah itu kurang mencukupi. Jikalau ada air tanah pun hanya di mintakat dekat pantai yang mutunya kurang baik. Kepulauan Mentawai secara geografis berada di Samudera Hindia sehingga perairan di kepulauan ini mempunyai sistem arus dan karakteristik massa air yang sangat dipengaruhi oleh sistem yang berkembang di Samudera Hindia. Rataan pantainya umumnya sempit dan memiliki pantai yang curam dan dalam baik di sisi Samudera Hindia maupun pada sisi yang menghadap daratan Sumatera. Penduduk Kepulauan Mentawai merupakan campuran dari beberapa suku, baik suku asli maupun pendatang yang telah bermukim sejak lama. Mata pencaharian umumnya sebagai petani dan nelayan. Namun pekerjaan sebagai petani (terutama cengkeh dan kelapa) lebih dominan. Pada umumnya, kegiatan sebagai nelayan hanya dilakukan apabila harga ikan relative mahal. Dilihat dari sumberdaya perairannya, Kepulauan Mentawai memiliki potensi sumberdaya yang cukup andal bila dikelola dengan baik. Perairan ini memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan laut seperti ekosistem 8
mangrove, lamun dan karang. Seiring dengan berjalannya waktu dan pesatnya pembangunan di segala bidang serta krisis ekonomi yang berkelanjutan telah memberikan tekanan yang lebih besar terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan perairannya. Perubahan kondisi perairan yang diakibatkan oleh perubahan fungsi hutan untuk peruntukan lahan di daratan Kabupaten Mentawai, terutama pada penebangan hutan yang intensif akan mengubah kondisi lingkungan. Perubahan sekecil apapun yang terjadi di daratan akan membawa pengaruh yang signifikan pada kualitas perairannya. Pengaruhnya disamping terjadi di daerah tersebut juga akan terdistribusi ke daerah lain yang terbawa oleh gerakan massa air melalui sistem arus yang berkembang di daerah ini. Ada tambahan beberapa lokasi di kabupaten ini. Sebagai lokasi baru COREMAP, studi baseline ekologi (ecological baseline study) sangatlah diperlukan untuk mendapatkan data dasar ekologi di lokasi tersebut, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove dan juga kondisi lingkungannya. Data-data yang diperoleh diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain itu, dalam studi ini juga dibuat beberapa transek permanen di masing-masing lokasi baru tersebut sehingga bisa dipantau di masa mendatang. Adanya data dasar dan data hasil pemantauan pada masa mendatang sebagai data pembanding, dapat dijadikan bahan evaluasi yang penting bagi keberhasilan COREMAP.
B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari studi baseline ekologi ini adalah sebagai berikut:
9
•
Untuk mendapatkan data dasar ekologi terumbu karang di Kabupaten Mentawai, termasuk kondisi ekosistem terumbu karang termasuk biota yang hidup di dalamnya.
•
Membuat transek permanen di beberapa tempat di Kabupaten Mentawai agar dapat dipantau di masa mendatang.
C. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup studi ekologi terumbu karang ini meliputi empat tahapan yaitu:
10
1.
Tahap persiapan, meliputi kegiatan administrasi, koordinasi dengan tim penelitian baik yang berada di Jakarta maupun di daerah setempat, pengadaan dan mobilitas peralatan penelitian serta perancangan penelitian untuk memperlancar pelaksanaan survey di lapangan. Selain itu, dalam tahapan ini juga dilakukan persiapan penyediaan peta dasar untuk lokasi penelitian yang akan dilakukan.
2.
Tahap pengumpulan data, yang dilakukan langsung di lapangan yang meliputi data terumbu karang, megabentos dan ikan karang.
3.
Tahap analisa data, yang meliputi verifikasi data lapangan dan pengolahan data sehingga data lapangan bisa disajikan dengan lebih informatif.
4.
Tahap pelaporan, yang meliputi pembuatan laporan sementara dan laporan akhir.
BAB II. METODE PENELITIAN A. LOKASI PENELITIAN Pengamatan kondisi terumbu karang di Kabupaten Mentawai, dipusatkan di sekitar perairan P. Sipora bagian selatan, P. Siberut bagian timur dan P. Pagai serta pulau-pulau kecil di sekitarnya (Gambar 1), Di lokasi ini, penelitian dikhususkan hanya di sekitar desa yang menjadi lokasi COREMAP Fase 2 yaitu Tua Pejat (P. Sipora), serta Katurai dan Muara Siberut (P. Siberut).
Gambar 1.
Peta lokasi penelitian di Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat.
11
B. WAKTU PENELITIAN Kegiatan penelitian di lapangan dilakukan menggunakan perahu nelayan setempat. Kegiatan lapangan di lokasi tersebut berlangsung pada bulan Mei 2007.
C. PELAKSANA PENELITIAN Kegiatan penelitian di lapangan ini melibatkan staf CRITC (Coral Reef Information and Training Centre) Jakarta dibantu oleh para peneliti dan teknisi Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, dan beberapa staf dari daerah setempat yang berasal dari CRITC daerah.
D. METODE PENARIKAN SAMPEL DAN ANALISA DATA Penelitian ”Ecological Baseline Study” ini melibatkan beberapa kelompok penelitian dan dibantu oleh personil untuk dokumentasi. Metode penarikan sampel dan analisa data yang digunakan oleh masingmasing kelompok penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Sistem Informasi Geografi Dalam penelitian ini, sebelum penarikan sampel dilakukan, terlebih dahulu ditentukan peta sebaran terumbu karang di perairan tersebut berdasarkan peta sementara (tentative) yang diperoleh dari hasil interpretasi data citra digital Landsat 7 ”Enhanced Thematic Mapper Plus” (Landsat ETM+). Kemudian dipilih secara acak titik-titik penelitian (stasiun) sebagai sampel. Jumlah stasiun untuk masingmasing kelompok penelitian berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah personil dan waktu yang 12
tersedia, tetapi diharapkan sampel yang terambil cukup mewakili untuk menggambarkan tentang kondisi perairan di lokasi tersebut. Untuk keperluan pembuatan peta dasar sebaran ekosistem perairan dangkal, data citra penginderaan jauh (inderaja) digunakan sebagai data dasar. Data citra inderaja yang dipakai dalam studi ini adalah citra digital Landsat 7 ”Enhanced Thematic Mapper Plus” (selanjutnya disebut Landsat ETM+) pada kanal sinar tampak dan kanal infra-merah dekat (band 1, 2, 3, 4 dan 5). Saluran ETM+ 7 tidak digunakan dalam studi ini karena studinya lebih ke mintakat perairan bukan mintakat daratan. Sedangkan saluran infra-merah dekat ETM+ 4 dan 5 tetap dipakai karena band 4 masih berguna untuk perairan dangkal dan band 5 berguna untuk pembedaan mintakat mangrove. Citra yang digunakan adalah citra dengan cakupan penuh (full scene) yaitu 185 km x 185 km persegi. Ukuran piksel, besarnya unit areal di permukaan bumi yang diwakili oleh satu nilai digital citra, pada saluran ”multi-spectra”l (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) adalah 30 m x 30 m persegi. Adapun citra yang digunakan dalam studi ini adalah path–row 128 –061 dan 127-062 yang merekam P. Siberut; dan P. Sipora, P. Pagai Utara dan Selatan. Sebelum kerja lapang dilakukan, di laboratorium terlebih dulu disusun peta sebaran terumbu karang dan mangrove tentatif. Pengolahan citra untuk penyusunan peta dilakukan dengan perangkat lunak Extension Image Analysis 1.1 pada ArcView 3.2. Prosedur untuk pengolahan citra sampai mendapatkan peta tentatif daerah studi meliputi beberapa langkah berikut ini. Pertama, citra dibebaskan atau setidaknya dikurangi terhadap pengaruh noise yang ada. 13
Koreksi untuk mengurangi noise ini dilakukan dengan teknik ”smoothing” menggunakan filter ”low-pass”. Kedua, memblok atau membuang daerah tutupan awan. Ini dilakukan dengan pertama-tama memilih areal contoh (training area) tutupan awan dan kemudian secara otomatis komputer diminta untuk memilih seluruh daerah tutupan awan pada cakupan citra. Setelah terpilih kemudian dikonversikan menjadi format “shape file”. Konversi ini diperlukan agar didapatkan data berbasis vektor (data citra berbasis raster) beserta topologinya yaitu tabel berisi atribut yang sangat berguna untuk analisis selanjutnya. Dari tabel itu kemudian dilakukan pemilihan daerah yang bukan awan dan selanjutnya disimpan dalam bentuk “shape file”. Daerah bukan awan inilah yang akan digunakan untuk analisis lanjutan. Ketiga yaitu memisahkan mintakat darat dan mintakat laut. Pada citra yang telah bebas dari tutupan awan dilakukan digitasi batas pulau dengan cara digitasi langsung pada layar komputer (on the screen digitizing). Agar diperoleh hasil digitasi dengan ketelitian memadahi, digitasi dilakukan pada skala tampilan citra 1 : 25.000. Digitasi batas pulau ini dilakukan pada citra komposit warna semu kombinasi band 4,2,1. Kombinasi ini dipilih karena dapat memberikan kontras wilayah darat dan laut yang paling baik. Agar kontrasnya maksimum, penyusunan komposit citra mengunakan data yang telah dipertajam dengan perentangan kontras nonlinier model ”gamma”. Setelah batas pulau diselesaikan, dengan cara yang sama pada mintakat laut didigitasi batas terluar dari mintakat terumbu. Komposit citra yang digunakan adalah kombinasi band 3,2,1 dengan model perentangan kontras yang sama. Sedangkan untuk digitasi batas sebaran mangrove, digunakan kombinasi citra lain yaitu kombinasi band 5,4,3. Dengan kombinasi ini disertai teknik perentangan 14
kontras model ”gamma”, mintakat pesisir yang ditumbuhi mangrove akan sangat mudah dibedakan dengan mintakat yang bervegetasi lain. Hasil interpretasi berupa peta sebaran mangrove dan terumbu karang yang bersifat tentatif. Berdasarkan peta tentatif tersebut kemudian secara acak dipilih titik-titik lokasi sampel serta ditentukan posisinya. Titik-titik sampel itu di lapangan dikunjungi dengan dipandu oleh alat penentu posisi secara global atau GPS. Selain sampel model titik-titik ini digunakan pula sampel model garis transek dari pantai kearah tubir yang juga dipilih secara acak. GPS yang digunakan saat kerja lapang adalah tipe GPS Map Garmin 76C dengan ketelitian posisi absolut sekitar 15 meter. Di atas laut ketelitiannya dapat mencapai 5 meter. Dari data yang terkumpul kemudian di laboratorium dilakukan interpretasi dan digitasi ulang agar diperoleh batas yang lebih akurat. 2. Karang Untuk mengetahui secara umum kondisi terumbu karang seperti persentase tutupan biota dan substrat di terumbu karang pada setiap stasiun penelitian digunakan metode ”Rapid Reef Resources Inventory” (RRI) (Long et al., 2004). Dengan metode ini, di setiap titik pengamatan yang telah ditentukan sebelumnya, seorang pengamat berenang selama sekitar 5 menit dan mengamati biota dan substrat yang ada di sekitarnya. Kemudian pengamat memperkirakan persentase tutupan dari masingmasing biota dan substrat yang dilihatnya selama kurun waktu tersebut dan mencatatnya ke kertas tahan air yang dibawanya. Pada beberapa stasiun penelitian dipasang transek permanen di kedalaman antara 3-5 m yang diharapkan bisa dipantau di masa mendatang. Pada lokasi transek permanen, data diambil dengan 15
menggunakan metode ”Line Intercept Transect” (LIT) mengikuti English et al., (1997), dengan beberapa modifikasi. Panjang garis transek 10 m dan diulang sebanyak 3 kali. Teknis pelaksanaan di lapangannya yaitu seorang penyelam meletakkan pita berukuran sepanjang 70 m sejajar garis pantai dimana posisi pantai ada di sebelah kiri penyelam. Kemudian LIT ditentukan pada garis transek 0-10 m, 30-40 m dan 60-70 m. Semua biota dan substrat yang berada tepat di garis tersebut dicatat dengan ketelitian hingga centimeter. Dari data hasil LIT tersebut bisa dihitung nilai persentase tutupan untuk masing-masing kategori biota dan substrat yang berada di bawah garis transek. Selain itu juga bisa diketahui jenis-jenis karang batu dan ukuran panjangnya, sehingga bisa dihitung nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H’) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou’s evenness index = J’) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis karang batu pada masing-masing stasiun transek permanen yang diperoleh dengan metode LIT. Rumus untuk nilai H’ dan J’ adalah : k
H ' = − ∑ p i Lnp i =1
Dimana
p =
i
n i /N
n = frekuensi kehadiran jenis i N
16
= frekuensi kehadiran semua jenis
J'=(H'/ H'max) dimana
H' m a x = ln S S
= jumlah jenis
Selain itu, beberapa analisa lanjutan dilakukan dengan bantuan program statistik seperti analisa regresi (Supranto, 1991; Neter et al. 1996), analisa korelasi (Supranto, 1991; Neter et al. 1996), pengelompokan (Cluster analysis) (Warwick and Clarke, 2001) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001). 3. Megabentos Untuk mengetahui kelimpahan beberapa megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan bisa dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang, dilakukan metode “Reef Check” (yang dimodifikasi) pada semua stasiun transek permanen. Semua biota megabentos tersebut yang berada 1 m di sebelah kiri dan kanan pita berukuran 70 meter dicatat jumlahnya, sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (2 x 70) = 140 m 2 . Analisa lanjutan seperti analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001) dilakukan terhadap data kelimpahan individu dari beberapa mega bentos yang dijumpai. 4. Ikan Karang Seperti halnya terumbu karang, metode RRI juga diterapkan pada penelitian ini untuk mengetahui 17
secara umum jenis-jenis ikan yang dijumpai pada setiap titik pengamatan. Sedangkan pada setiap titik transek permanen, metode yang digunakan yaitu metode “Underwater Visual Census” (UVC), dimana ikan-ikan yang dijumpai pada jarak 2,5 m di sebelah kiri dan sebelah kanan garis transek sepanjang 70 m dicatat jenis dan jumlahnya. Sehingga luas bidang yang teramati per transeknya yaitu (5 x 70 ) = 350 m 2 . Identifikasi jenis ikan karang mengacu kepada Matsuda (1984), Kuiter (1992) dan Lieske dan Myers (1994). Khusus untuk ikan kerapu (grouper) digunakan acuan dari Randall and Heemstra (1991) dan ”FAO Species Catalogue”, Heemstra dan Randall (1993). Sama halnya seperti pada karang, nilai indek keanekaragaman Shannon (Shannon diversity index = H’) (Shannon, 1948 ; Zar, 1996) dan indeks kemerataan Pielou (Pielou’s evenness index = J’) (Pielou, 1966 ; Zar, 1996) untuk jenis ikan karang di masing-masing stasiun transek permanen dari hasil UVC. Selain itu juga dihitung kelimpahan jenis ikan karang dalam satuan unit individu/ha. Dari data kelimpahan tiap jenis ikan karang yang dijumpai dimasing-masing stasiun transek permanen dilakukan analisa pengelompokan (Cluster analysis) dan Multi Dimensional Scaling (MDS) (Warwick and Clarke, 2001). Spesies ikan yang didata dikelompokkan ke dalam 3 kelompok utama (ENGLISH, et al., 1997), yaitu : a.
18
Ikan-ikan target, yaitu ikan ekonomis penting dan biasa ditangkap untuk konsumsi. Biasanya mereka menjadikan terumbu karang sebagai
tempat pemijahan dan sarang/daerah asuhan. Ikan-ikan target ini diwakili oleh famili Serranidae (ikan kerapu), Lutjanidae (ikan kakap), Lethrinidae (ikan lencam), Nemipteridae (ikan kurisi), Caesionidae (ikan ekor kuning), Siganidae (ikan baronang), Haemulidae (ikan bibir tebal), Scaridae (ikan kakak tua) dan Acanthuridae (ikan pakol); b.
Ikan-ikan indikator, yaitu jenis ikan karang yang khas mendiami daerah terumbu karang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem daerah tersebut. Ikan-ikan indikator diwakili oleh famili Chaetodontidae (ikan kepe-kepe);
c.
Ikan-ikan major, merupakan jenis ikan berukuran kecil, umumnya 5–25 cm, dengan karakteristik pewarnaan yang beragam sehingga dikenal sebagai ikan hias. Kelompok ini umumnya ditemukan melimpah, baik dalam jumlah individu maupun jenisnya, serta cenderung bersifat teritorial. Ikan-ikan ini sepanjang hidupnya berada di terumbu karang, diwakili oleh famili Pomacentridae (ikan betok laut), Apogonidae (ikan serinding), Labridae (ikan sapu-sapu), dan Blenniidae (ikan peniru).
19
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. SISTEM INFORMASI GEOGRAFI Peta hasil digitasi di laboratorium kemudian dibawa ke lapangan untuk dilakukan pengecekan (ground truth dan sea truth). Pengamatan lapangan dilakukan dengan cara menelusuri wilayah pantai baik menggunakan “speed boat” maupun kendaraan darat. Pembahasan berikut akan mencakup geometri citra, hasil pengamatan langsung di lapangan, dan hasil interpretasi citra dalam hal keterbatasan-keterbatasan dalam pemrosesan yang ada sehingga dihasilkan peta akhir. 1. Geometri citra Citra yang digunakan dalam studi ini adalah citra Landsat 7 dimana produk yang dijual di pasaran adalah citra yang secara geometris telah mempunyai koordinat bumi ”Universal Tranverse Mercator” (UTM) dalam unit meter. Dengan demikian proses koreksi geometris citra tidak diperlukan lagi mengingat berdasarkan pengalaman selama ini koordinat citra Landsat 7 mempunyai ketelitian yang cukup baik yaitu kurang dari 1 piksel (30 m). Hal ini ternyata juga berlaku untuk citra yang merekam wilayah studi di Kabupaten Mentawai. Dari sekitar 42 titik lokasi yang dikunjungi di lapangan yang tersebar dari P. Siberut di utara, P. Sipora di tengah, dan P. Pagai Utara dan Selatan, kesemuanya dapat diplot ke dalam peta hasil digitasi dengan baik dan tidak ada satu titikpun yang meleset.
20
2. Kondisi fisik wilayah studi Pulau-pulau di Mentawai umumnya mempunyai topografi yang berbukit sampai berombak dengan dataran yang sempit di tepi pantainya. Pulaunya terbentuk dari endapan dasar samudera yang bersifat lempungan. Pada beberapa pulau kecil umumnya terbentuk karena perkembangan terumbu karang sehingga mempunyai pasir putih. Hal ini sangat berbeda dengan pulau-pulau utamanya yang pantai-pantainya secara umum mempunyai bahan dasar lumpur liat. Kondisi topografi dan batuan dasar yang demikian itu menyebabkan batuan dasar di sana tidak dapat menyimpan air. Hal itu juga terlihat dengan tidak adanya sungai besar mengalir di pulau-pulau yang ada di Mentawai. Sungai-sungai yang ada lebih pada sungai yang akan mengalir penuh pada saat musim hujan tiba. Oleh karena itu ketersediaan air tanah akan menjadi persoalan utama di daerah itu. Air tanah umumnya ditemukan di mintakat pinggir pantai yang artinya hanya merupakan rembesan dari air laut. Kondisi fisik wilayah yang sedemikian itu menyebabkan konsentrasi permukiman penduduk di Mentawai lebih terkonsentrasi di mintakat dataran rendah pinggir pantai. Ada beberapa permukiman yang berkembang di daerah pedalaman tetapi itu sangat sedikit. Walaupun mereka lebih banyak hidup di pinggiran pantai, akan tetapi pola hidup mereka lebih banyak tergantung ke darat atau hutan. Ini terutama bagi para penduduk asli yang masih mengandalkan hidup dari perkebunan, berburu atau bahkan peladangan berpindah. Masyarakat yang bermata pencaharian dengan menjadi nelayan, umumnya bukan etnis Mentawai asli. Kondisi yang demikian tidak baik bagi alam Mentawai karena tekanan ke darat yang berlebih. Sedangkan di sisi lain hutan di sana sangat rentan terhadap gangguan. 21
Jika saja hutan sampai tereksploitasi berlebih apalagi sampai gundul, bahaya banjir bandang mengancam. 3. Hasil interpretasi Peta hasil interpretasi diklasifikasikan dalam 4 klas utama yaitu daratan, rataan terumbu, mangrove dan obyek lain. Klas obyek lain merupakan pengelompokan obyek di wilayah perairan dangkal yang tidak termasuk ke dalam mintakat terumbu seperti rataan lumpur dan daerah estuari. Dalam klas rataan terumbu sendiri sesungguhnya di lapangan terdiri dari beberapa klas yang lebih kecil lagi seperti rataan pasir, lamun, alga, karang mati, serta karang hidup. Berhubung obyek-obyek tersebut sangat sulit untuk diinterpretasi dan didelineasi secara sendirisendiri, maka dijadikan satu kelompok besar yaitu klas rataan terumbu. Berdasarkan peta hasil interpretasi, terlihat bahwa sebaran mangrove di Kabupaten Mentawai secara umum lebih berkembang di pantai timur dari pulau-pulanya. Hal ini terutama untuk pulau-pulau besar yang ada yaitu P. Sipora, P. Siberut, P. Pagai Utara dan P. Pagai Selatan. Kondisi ini disebabkan adanya lebih banyak sungai yang mengalir kearah timur daripada kearah barat. Walaupun secara umum sungai di sana merupakan sungai ”intermiten” (penuh air saat musim hujan dan kurang air atau bahkan kering saat kemarau), tetapi sungai-sungai tersebut membawa sedimen yang cukup tinggi. Ini berkaitan dengan sifat tanah di Mentawai seperti telah diuraikan di depan. Sedimen tersebut sangat dibutuhkan untuk perkembangan mangrove. Namun demikian mangrove juga ditemukan realatif tebal di pantai selatan P. Siberut dan P. Pagai Utara, serta pantai utara P. Sipora dan P. Pagai Selatan. Ini juga berkaitan dengan adanya beberapa sungai kecil yang mengalir kearah tersebut, serta ditunjang adanya bentuk morfologi pantai yang berupa teluk-teluk kecil (pertelukan). Kondisi tersebut akan mendukung 22
adanya perkemangan mangrove. Dikarenakan sifat pantai pada umumnya di Mentawai yang cenderung berlumpur, maka mangrove yang berkembang lebih dominan di sana adalah dari jenis Rhizopora spp. Hanya saja secara umum kurang dapat berkembang menjadi pohon-pohon dengan diameter besar karena kedalaman lumpurnya kurang. Ini berkaitan dengan suplai sedimen dari sungai-sungai yang ada yang relatif kecil dibanding dengan sungai-sungai di pantai timur Sumatera misalnya. Oleh karena itu mangrove di pantai timur Sumatera dapat mencapai diameter yang sangat besar. Berbeda dengan mangrove yang tidak tumbuh pada semua pantai di Kepulauan Mentawai, rataan terumbu berkembang mengelilingi semua pulau yang ada di sana baik pulau besar maupun pulau kecil. Untuk pulau-pulau besar yang ada, rataan terumbu ditemukan lebih tipis di pantai yang menghadap ke barat. Perkecualian terjadi untuk P. Sipora dimana rataan terumbu di barat dan timur pulau relatif sama lebarnya. Keadaan itu dapat dimengerti karena pantai yang menghadap ke barat akan menerima hantaman gelombang dan ombak yang kuat dari Samudera Hindia sehingga akan menghambat perkembangan terumbu. Pantai yang menghadap ke timur relati f lebih tenang dari gangguan hantaman ombak dan gelombang s ehi ngga rataan terumbunya lebih berkembang. Namun yang menarik adalah kenapa hal ini tidak berlaku untuk P. Sipora dimana pada kedua sis i pantainya mempunyai rataan terumbu yang relatif sama. Untuk dapat menerangkan hal ini sepertinya diperlukan studi khusus, dan tidak cukup dengan dugaan atau perkiraan hipotesis saja. Berdasarkan klasifikasi yang ada dan telah diverifikasi dengan data lapangan, disusunlah peta klasifikasi akhir. Dengan peta akhir ini kemudian dihitung luas masing-masing klas obyek terutama klas 23
rataan terumbu dan mangrove. Informasi luas mangrove dan rataan terumbu ini sangat penting untuk keperluan pengelolaan wilayah pesisir setempat. Hasil penghitungan luas mangrove dan rataan terumbu di wilayah studi berdasarkan citra satelit disajikan pada Tabel 1. Tabel 1.
No.
Nama unit
Luas rataan terumbu (ha) dan mangrove (ha) di Kepulauan Mentawai. P. Siberut dan sekitarnya
P. Sipora dan sekitarnya
P. Pagai Utara dan Selatan
Total
1
Mangrove
6.382,0
1.275,0
1.966,0
9.623,0
2
Terumbu tepi
9.083,0
5.791,0
5.880,0
20.754,0
3
Terumbu gosong
2.568,0
505,0
473,0
3.546,0
11.651,0
6.296,0
6.353,0
24.300,0
Sub-total terumbu
B. KARANG Pengamatan karang dilakukan dengan dua metode. Untuk mengetahui kondisi terumbu karang secara global digunakan metode RRI, sedangkan untuk mengetahui kondisi karang, biota bentik dan substrat secara rinci dengan membuat transek permanen digunakan metode LIT. Hasil pengamatan diuraikan secara terpisah. Untuk memudahkan pemantauan dan penyajian hasil pengamatan dalam bentuk gambar, maka lokasi pengamatan dibagi menjadi tiga wilayah yaitu Pulau Pagai, Pulau Sipora dan Pulau Siberut.
24
1.
Hasil Pengamatan dengan metode RRI (Rapid Reef Resources Inventory) Pengamatan karang dengan metode RRI telah dilakukan di 40 stasiun di Kepulauan Mentawai. Lokasi tersebut tersebar di tiga lokasi yaitu Pulau Pagai, Pulau Sipora dan Pulau Siberut Umumnya pantai ditumbuhi oleh mangrove khususnya yang berdekatan dengan sungai. Tipe terumbu yang diamati di daerah ini adalah terumbu karang tepi dan patch reef dengan lebar terumbu kurang dari 200m. Dasar perairan tersusun oleh pecahan karang mati yang ditumbuhi alga. Lokasi pengamatan dengan titik stasiun RRI di ketiga wilayah, ditunjukkan dalam Gambar 2a, 2b dan 2c.
Gambar 2a.
Posisi stasiun pengamatan karang, ikan karang dan biota lainnya dengan metode RRI di perairan P. Pagai.
25
Gambar 2.b.
26
Posisi stasiun penelitian untuk karang, ikan karang dan biota lainnya dengan metode RRI di perairan P. Sipora dan sekitarnya.
Gambar 2c.
Posisi stasiun pengamatan karang dan ikan karang dan biota lainnya dengan metode RRI di perairan Pulau Siberut. Acropora Non Acropora DC DCA Soft coral Sponge Fleshy seaweed OT Rubble
Gambar 3.
Rerata persentase tutupan karang hidup dan kategori bentik lainnya hasil RRI di perairan Mentawai (n = 40 ). 27
Kategori abiotik didominasi oleh patahan karang mati (rubble) dengan persentase tutupan rata-rata 31,04%, kemudian diikuti oleh tutupan pasir dan DCA (Dead coral algae) yaitu karang mati yang sudah ditumbuhi alga, masing-masing 19,12% dan 18,93%. Pertumbuhan karang hidup sangat jarang sekali dengan tutupan karang hidup rata-rata yaitu 10,77% yang terdiri dari karang Acropora 1,91% dan Non Acropora 8,86%. Rerata persentase tutupan karang dan kategori bentik di lokasi pengamatan (N = 40) di perairan Mentawai dapat dilihat pada Gambar 3. Dari semua lokasi, terdapat 3 stasiun yang tutupan karang hidupnya tidak ada atau nilainya nol dan hanya pasir yang mendominasi di ketiga lokasi tersebut. Sedangkan persentase tutupan karang hidup tertinggi tercatat sebesar 36,36 % yang berada di stasiun MTWR 85. Tidak ada tutupan karang yang masuk kategori baik (tutupan > 50%). Hasil lengkap persentase tutupan untuk kategori biota dan substrat hasil RRI di masing-masing stasiun pengamatan dapat dilihat Gambar 4 a, 4 b dan 4 c. Rendahnya persentase tutupan tersebut mungkin disebabkan oleh sedimentasi dan faktor gelombang yang kuat pada beberapa lokasi dimana perairan sangat terbuka dengan arus dan gelombang yang cukup kuat. Namun demikian perairan relatif jernih dengan jarak pandang mencapai 7 meter. Sudut kemiringan lereng terumbu antara 40°60°. Pertumbuhan karang umumnya berbentuk mengerak (encrusting) dan massive, seperti pada jenis Montipora informis, Echinopora mammiformis dan Favia speciosa.
28
100°6'
100°9'
100°12'
100°15'
100°18'
100°21'
#
2°42'
2°42'
MATOBEK #
SILABU
#
SIKAKAP
2°45'
2°45'
#
TAIKAKO
#
#
#
#
P. Bakatpeigu
2°48'
TUTUPAN LIFEFORM PER STASIUN RRI DI PAGAI U
#
P. Sitonggo #
#
P. Masusu
#
P. Siatanusa #
P. Lamui
P. Singingi
P. Ragi UPT TAIKAKO I 2°51'
P. Nusa 100°6'
100°9'
Gambar 4a.
#
MAKALO 100°12'
100°15'
2°48'
Legenda :
#
100°18'
Acropora Non acropora Dca Dc Soft coral Sponge Fleshy seaweed Other biota Rubble Sand Silt Rock Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat
2°51' 100°21'
Persentase tutupan karang, biota bentik lainnya dan kategori abiotik hasil RRI di perairan P. Pagai.
29
99°45'
99°48'
ARA
2°18'
99°51'
99°54'
99°57'
100°00'
2°18'
NEM-NEM LEU UPT SIGECI BERIULEU #
#
BOSUA
2°21'
2°21' #
Tg. Bulak
TUTUPAN LIFEFORM PER STASIUN RRI DI SIPORA U
#
#
2°24'
2°24'
Tg. Batukinapat
Sa mu
Legenda : Acropora Non acropora Dca Dc Soft coral Sponge Fleshy seaweed Other biota Rubble Sand Silt Rock Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat
de ra Hin d ia
2°27' 99°45'
Gambar 4b.
30
99°48'
99°51'
99°54'
99°57'
2°27' 100°00'
Persentase tutupan karang, biota bentik lainnya dan kategori abiotik hasil RRI di perairan P. Sipora dan sekitarnya.
98°55'
1°15'
99°00'
99°5'
99°10'
99°15'
99°20'
SIRILOGUI
99°25'
1°15' #
CIMPUNGAN #
#
# #
1°20'
SIMATALU SIPOKAK
1°20'
# #
#
#
SAIBI SAMUKOP
TUTUPAN LIFEFORM PER STASIUN RRI DI SIBERUT U
#
1°25'
#
1°25'
# #
Legenda :
#
#
# SALIGUMA (SILACI NAN TANGAH)
SAGALUBEK TAILEU
1°30'
Acropora Non acropora Dca Dc Soft coral Sponge Fleshy seaweed Other biota Rubble Sand Silt Rock Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat
# # #
#
SARAREKET ULU
SIBERUT ULUMAILEPAT
MADOBEK UGAI 98°55'
99°00'
Gambar 4c.
99°5'
99°10'
99°15'
99°20'
1°30'
99°25'
Persentase tutupan karang, biota bentik lainnya dan kategori abiotik hasil RRI di perairan P. Siberut dan sekitarnya.
Pada kedalaman 2-7 m, lereng terumbu didominasi oleh pertumbuhan Porites sp. dengan bentuk pertumbuhan massive dan pertumbuhan karang Acropora sub-massive dari jenis Acropora palifera. Karang dari jenis Pocillopora sp. juga banyak dijumpai. Biota lain yang sering terlihat adalah hydroid, karang lunak (soft coral) dan spong. Pada kedalaman lebih dari 10 m, karang sudah jarang dijumpai, yang terlihat hanya hamparan pasir yang sangat luas. Persentase tutupan karang hidup hasil RRI di masing-masing wilayah disajikan dalam Gambar 5a, 5b dan 5c.
31
Gambar 5a.
32
Persentase tutupan karang hidup hasil RRI di perairan P. Pagai.
Gambar 5b.
Persentase tutupan karang hidup hasil RRI di perairan P.Sipora dan sekitarnya.
33
Gambar 5c.
Persentase tutupan karang hidup hasil RRI di perairan P. Siberut dan sekitarnya.
2. Hasil Pengamatan Karang dengan Metode LIT (Line Intercept Transect) Pengamatan dengan melakukan LIT dan pemasangan transek permanen telah dilakukan pada lokasi tambahan di Kabupaten Mentawai, sebanyak 9 stasiun. Adapun lokasinya adalah di P. Pagai, P. Sipora dan P. Siberut (Gambar 6 a, 6 b dan 6 c).
34
Gambar 6a.
Lokasi transek karang, megabentos dan ikan karang di perairan P. Pagai, Kabupaten Mentawai.
35
Gambar 6b.
36
Lokasi transek karang,megabentos dan ikan karang di perairan P. Sipora, Kabupaten Mentawai.
Gambar 6c.
Lokasi transek karang,megabentos dan ikan karang di perairan P. Siberut, Kabupaten Mentawai.
Hasil pengamatan selanjutnya diuraikan berdasarkan masing-masing stasiun sebagai berikut : 1. Stasiun MTWL 81, Pagai Selatan Lokasi ini terletak di pesisir timur laut P. Pagai Selatan merupakan gosong karang. Daerah perairan sangat terbuka dengan arus dan gelombang cukup kuat, agak keruh dengan jarak pandang sekitar 7 meter. Substrat dasar terdiri dari pasir dan patahan karang mati yang ditumbuhi alga. Persentase tutupan karang hidup sangat rendah yaitu 3,43 % yang terdiri dari persentase 37
tutupan karang Acropora 0,77 % dan Non-Acropora 2,67 %. Persentase tutupan kategori bentik bervariasi, kategori abiotik dengan tutupan mencapai 45,77 % terdiri dari substrat keras (rock) dan tutupan pasir 15,80 %. Persentase tutupa DCA dicatat 29,77 %. Kondisi karang di lokasi ini sangat jelek dan merupakan lokasi dengan tutupan karang yang paling jelek dari seluruh lokasi di Kabupaten Mentawai. 2. Stasiun MTWL 84, bagian utara Pagai Selatan Stasiun ini berada pada pesisir bagian utara Pulau Pagai Selatan di depan mulut selat. Hampir sebagaian besar daerah pesisirnya ditumbuhi mangrove. Panjang rataan terumbu 150 meter dari pantai dengan dasar perairan sebagain besar merupakan endapan patahan karang mati yang telah ditumbuhi alga dan biota bentik lainnya. Lereng terumbu sangat landai sampai kedalaman 15 meter. Dari hasil transek dicatat persentase tutupan karang hidup 52,07 % yang terdiri dari tutupan karang Non-Acropora saja. Karang hidup didominasi oleh genus Porites dengan bentuk pertumbuhan sub-massive. Persentase tutupan “DCA” dicatat 39,93%. Kategori biota lain (OT) dicatat cukup rendah, yaitu 3,83 %. Kondisi karang d i k a te g or i k a n b ai k , dan d i c at a t m e r u pak a n persentase tutupan tertinggi dari semua lokasi pengamatan di perairan Kabupaten Mentawai. 3.
Stasiun MTWL 91, Desa Sikakap, Pagai Utara. Lokasi pengamatan merupakan sebuah gosong karang (patch reef) yang berada pada pesisir bagian utara Desa Sikakap. Panjang rataan terumbu kurang lebih sekitar 1 km. Perairan menghadap ke laut lepas, pada waktu pengamatan perairan relatif tenang dengan arus dan gelombang
38
tidak terlalu besar, agak keruh dengan jarang p an dan g seki ta r 6 mete r. Dasa r pe rairan didominasi oleh pasir, patahan karang mati dan sedikit karang hidup. Batas tubir cukup jelas dengan lereng terumbu agak landai sampai kedalaman 20 meter. Persentase tutupan karang hidup dicatat 14,67 % yang terdiri dari karang Acropora 2,33 % dan Non-Acropora 12,3 %. Persentase tutupan kategori abiotik cukup tinggi yang terdiri dari patahan karang mati (rubble) yaitu 45,67 %. Persentase tutupan DCA dicatat 37,67 %. Kondisi karang di lokasi ini masuk dalam kategori jelek. Hasil pengamatan untuk ditunjukkan dalam Gambar 7a.
ketiga
lokasi
ini
39
100°9'
100°12'
100°15'
100°18'
100°21'
2°42'
2°42'
MATOBEK
#
SIKAKAP 2°45'
2°45'
P. Sitonggo
TAIKAKO
#
TUTUPAN LIFEFORM PER STASIUN LIT DI PAGAI U
P. Bakatpeigu
2°48'
P. Masusu
P. Siatanusa #
P. Lamui
P. Singingi
P. Ragi UPT TAIKAKO I 2°51'
P. Nusa MAKALO P. Siopa Besar
100°9'
Gambar 7a.
2°48'
100°12'
100°15'
100°18'
Legenda : Acropora Non acropora Dca Dc Soft coral Sponge Fleshy seaweed Other biota Rubble Sand Silt Rock Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat Jalan
2°51'
100°21'
Persentase tutupan karang, biota bentik lainnya dan kategori abiotik hasil LIT di P. Pagai, Kabupaten Mentawai.
4. Stasiun MTWL 71, Sipora.
pesisir selatan
Desa Bosua, P.
Lokasi ini berada pada sisi selatan pesisir Bosua, P.Sipora. Daerah pesisir sebagaian besar adalah pantai berpasir, sedikit cadas dan agak terjal dengan vegetasi umumnya adalah kelapa dan tumbuhan pantai. Daerah perairan ini merupakan lokasi pilihan bagi kegiatan surfing dan wisata bahari. Perairan terbuka dengan gelombang dan arus cukup kuat, terutama pada musim timur (MeiOktober) bisa mencapai 4-5 meter, agak keruh dengan jarak pandang sekitar 6-7 meter. Panjang rataan terumbu sekitar 50 m ke arah laut. Dasar 40
perairan terdiri dari patahan karang mati. Lereng terumbu agak curam sampai kedalaman 20 meter lebih. Persentase tutupan karang hidup dicatat 30,50 % yang terdiri dari tutupan Acropora 9,30 % dan Non-Acropora 21,20 %. Persentase tutupan Acropora tertinggi dicatat di lokasi ini. Kategori lain dicatat DCA 42,90 %, pasir 15,73 % dan “rubble” 7,83 %. Kondisi karang di lokasi ini masuk dalam kategori sedang. 5. Stasiun MTWL 76, pesisir timur Desa Bosua, P. Sipora. Lokasi ini berada pada bagian timur pesisir Bosua, Sipora Kepulauan Mentawai. Daerah pesisir merupakan pantai berpasir dengan vegetasi utama kelapa. Perairan terbuka dengan arus dan gelombang cukup kuat, jernih dengan jarak pandang mencapai 10 meter. Tipe terumbu adalah karang tepi dengan rataan terumbu cukup luas dengan jarak lebih kurang 500 meter dari pantai. Dasar perairan terdiri dari substrat keras, patahan karang mati dan sedikit bongkahan karang mati. Tubir jelas dengan lereng terumbu agak curam sampai kedalaman 20 meter Persentase tutupan karang hidup dicatat 8,03 %, terdiri dari tutupan Acropora 0,57 % dan NonAcropora 7,47 %. Persentase tutupan DCA cukup tinggi yaitu 59,47 %, dan “rubble” 30 %. Kondisi karang di lokasi ini masuk dalam kategori jelek. 6.
Stasiun MTWL 78, pesisir timur laut Desa Bosua, P. Sipora. Stasiun ini terletak pada pesisir timur paling utara dari Desa Bosua, P.Sipora. Daerah pesisir merupakan pantai dengan vegetasi mangrove dan sedikit bagian berpasir dan batuan cadas dengan vegetasi umumnya kelapa, mangrove dan hutan 41
hujan. Kawasan perairan dimanfaatkan sebagai daerah tangkapan nelayan lokal dan lokasi wisata bahari. Perairan sedikit agak terlindung dengan arus dan gelombang tidak besar, keruh dengan jarak pandang 4-5 meter. Dasar perairan berpasir dengan sedikit patahan karang mati ditumbuhi alga, bongkahan karang mati dan pertumbuhan beberapa karang hidup bentuk massive. Lereng terumbu landai dan dangkal sampai ke kedalaman 6 meter. Persentase tutupan karang hidup dicatat 7,83 %, terdiri dari tutupan Acropora 1,00 % dan NonAcropora 6,83 %. Persentase tutupan DCA sangat tinggi yaitu 76,73 %, merupakan catatan tertinggi dari semua lokasi pengamatan, Biota lain yaitu spong dicatat 10,17 % dan biota lain (OT) dicatat 3,70 %. Kondisi karang di lokasi ini masuk dalam kategori jelek. Hasil pengamatan di tiga lokasi ini disajikan dalam Gambar 7 b.
42
99°47'
99°48'
99°49'
99°50'
99°51'
99°52'
99°53'
99°54'
NEM-NEM LEU #
2°20'
2°20'
BERIULEU BOSUA
2°21'
2°21' #
TUTUPAN LIFEFORM PER STASIUN LIT DI SIPORA U
2°22' Tg. Bulak
2°22'
#
Legenda : Acropora Non acropora Dca Dc Soft coral Sponge Fleshy seaweed Other biota Rubble Sand Silt Rock Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat Jalan
2°23'
2°24' Tg. Batukinapat 99°47'
99°48'
99°49'
99°50'
99°51'
99°52'
99°53'
2°23'
2°24'
99°54'
Gambar 7b. Persentase tutupan karang, biota bentik lainnya dan kategori abiotik hasil LIT di P. Sipora, Kabupaten Mentawai. 7. Stasiun MTWL 53, Desa Saibi Samukop, P. Siberut. Lokasi pengamatan merupakan gosong karang yang berada cukup jauh dari pantai yaitu lebih kurang 1 km. Tipe terumbu termasuk karang tepi yang mengalami pertumbuhan kearah luar dan terpisah menjadi gososng karang. Dasar perairan umumnya dasar yang keras, terdiri dari patahan karang mati, pasir dan bongkahan karang mati. Lereng terumbu sangat landai kemudian langsung terjal sampai kedalaman 15-20 meter. Persentase tutupan karang hidup dicatat 19 % yang terdiri dari tutupan Acropora 2,83 % dan NonAcropora 16,17 %. Persentase tutupan DCA cukup tinggi yaitu 52,17 %, Biota lain yaitu spong dicatat 43
0,33 %. Kategori abiotik lainnya yaitu “rubble” dicatat 18,67 % dan pasir, 9,33 %. Kondisi karang di lokasi ini masuk dalam kategori jelek. 8. Stasiun MTWL 61, pesisir timur Desa Saliguma, P. Siberut. Lokasi pengamatan berada di pesisir timur P. Siberut, dengan pertumbuhan karang terpisahterpisah menjadi kelompok-kelompok terumbu (patch reef) di tempat yang dangkal dengan kedalaman 4 meter. Dasar perairan didominasi oleh substrat keras dan sebagian ditutupi oleh patahan karang mati yang ditumbuhi alga, pasir dan bongkahan-bongkahan karang mati. Lereng terumbu relatif landai dan kadang-kadang tidak jelas sampai kedalaman 15 meter. Persentase tutupan karang hidup dicatat 5,83 % yang terdiri dari tutupan Non-Acropora saja. Persentase tutupan DCA cukup tinggi yaitu 51,57 %, Biota lain yaitu spong dan karang lunak masing-masing 0,17 %. Biota lain (OT) dicatat 0,33 %. Kategori abiotik lainnya yaitu “rubble” dicatat cukup tinggi yaitu 39,03 % dan pasir 2,9 %. Kondisi karang tidak berbeda jauh dengan di Stasiun MTWL81 di P. Pagai dan masuk dalam kategori sangat jelek. 9. Stasiun MTWL 64, pesisir timur Desa Saliguma, P. Siberut. Lokasi ini merupakan daerah perlindungan laut (DPL) yang masih berada pada pesisir timur Pulau Siberut. Stasiun pengamatan merupakan tipe terumbu karang tepi dari beberapa pulau kecil dalam teluk. Rataan terumbu selalu berada terendam pada saat surut terendah sehingga kadang-kadang tidak jelas. Dasar perairan didominasi oleh pasir berlumpur, patahan karang mati ditumbuhi makroalga dan sedikit bongkahanbongkahan karang mati yang ditumbuhi ‘turf 44
algae” (TA). Lereng terumbu landai dan dangkal hanya mencapai lebih kurang 10 meter dan jarak pandang sekitar 5 m. Persentase tutupan karang hidup dicatat 13,60 % yang terdiri dari tutupan Acropora 0,23 % dan Non-Acropora 13,37 %. Persentase tutupan DCA 27,43 %, Biota lain yaitu spong, persentasenya cukup tinggi yaitu 12,53% dan makro alga (FS) 2,53 %. Kategori abiotik lainnya yaitu “rubble” dicatat 19,90 % dan pasir 19,67 %. Juga dicatat lumpur halus (silt) 4,33 %. Kondisi karang masuk dalam kategori jelek. Hasil pengamatan untuk ketiga loksi ini disajikan dalam Gambar 7 c.
45
99°00' 1°15'
99°5'
99°10'
99°15'
99°20' 1°15'
CIMPUNGAN
# #
1°20'
1°20'
SAIBI SAMUKOP
TUTUPAN LIFEFORM PER STASIUN LIT DI SIBERUT U 1°25'
1°25' Legenda : Acropora Non acropora Dca Dc Soft coral Sponge Fleshy seaweed Other biota Rubble Sand Silt Rock Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat Jalan
#
SALIGUMA (SILACI NAN TANGAH) #
SAGALUBEK TAILEU
1°30'
1°30'
SARAREKET ULU
99°00'
Gambar 7c.
99°5'
99°10'
99°15'
99°20'
Persentase tutupan karang, biota bentik lainnya dan kategori abiotik hasil LIT di P. Siberut, Kabupaten Mentawai.
Dari hasil transek dengan metode LIT yang dilakukan di 9 stasiun di perairan Mentawai, dihitung nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon dan nilai indeks kemerataan Pielou dan disajikan dalam Tabel 2.
46
Tabel 2.
Nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e) dan Indeks kemerataan Pielou (J’) untuk karang batu di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode LIT. S t a s iu n
H’
J’
MTWL53
1.641
0.789
MTWL61
0.888
0.808
MTWL64
1.589
0.887
MTWL71
2.577
0.892
MTWL76
2.046
0.889
MTWL78
1.025
0.572
MTWL81
2.301
0.926
MTWL84
1.647
0.846
MTWL91
1.499
0.931
Dari Tabel 2 tersebut terlihat bahwa kemerataan jenis disemua stasiun umumnya rendah. Hal ini disebabkan ada jenis-jenis tertentu yang mendominasi, seperti misalnya di stasiun MTWL53 didominasi oleh karang dari marga Pocillopora, di stasiun MTWL78 didominasi oleh Montipora, dan di stasiun MTWL84 didominasi oleh Galaxea dan Porites. Berdasarkan nilai kemiripan Bray-Curtis (Bray -Curtis Similarity) yang dihitung dari jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu (data ditransformasikan ke bentuk fourth root atau √√y) di setiap stasiun transek permanen dengan menggunakan program PRIMER v5 dilakukan analisa pengelompokan (cluster analysis) dengan menggunakan metode rerata kelompok (group average) 47
sehingga dihasilkan dendrogram seperti pada Gambar 8. Selain itu juga dilakukan analisa multivariat non-metric multidimensional scaling (MDS) dimana hasilnya disajikan pada Gambar 9.
Gambar 8.
48
Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Mentawai berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu (data ditransformasikan ke bentuk √√y).
Gambar 9. MDS untuk stasiun transek permanen di Mentawai berdasarkan berdasarkan jumlah kehadiran masing-masing jenis karang batu (data ditransformasikan ke bentuk √√y).
Dari Gambar 8 dan Gambar 9 terlihat bahwa antara stasiun MTWL53 dan MTWL91, serta stasiun MTWL76 dan MTWL81 mengelompok dengan nilai kemiripan lebih besar dari 50%. Dari hasil pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 9 stasiun transek permanen dicatat 7 lokasi masuk dalam kondisi jelek atau rusak (tutupan karang hidup <25%), 1 lokasi masuk dalam kategori sedang, dan 1 lokasi masuk dalam kategori baik. Persentase tutupan karang hidup mulai dari 3,43 % - 52,07% dengan rerata sebesar 17,22 % (Gambar 8). Rendahnya persentase tutupan juga diikuti dengan rendahnya keragaman jenis. Dari hasil LIT diperoleh 14 suku dan 44 jenis karang (Lampiran 3). Rerata persentase tutupan 49
kategori biota dan substrat dari masing-masing stasiun transek permanen disajikan dalam dan Gambar 10, sedangkan hasil persentase tutupan di masing-masing lokasi pengamatan dirangkum dalam histogram dan disajikan dalam Gambar 11.
Acropora Non Acropora DCA DC Soft Coral Sponge Fleshy Seaweed Other Biota Rubble Sand Silt Rock
Gambar 10.
50
Rerata persentase tutupan karang dan kategori bentik lainnya berdasarkan LIT di masing-masing lokasi.
100%
Rock Silt
80%
Sand Rubble
60%
Other Biota Fleshy Seaweed
40%
Sponge 20%
Soft Coral DC
0%
M
TW L 5 M TW 3 L 6 M TW 1 L 6 M TW 4 L 7 M TW 1 L M 76 TW M L7 8 TW L 8 M TW 1 L 8 M TW 4 L 91
DCA
Gambar 11.
Non Acropora Acropora
Histogram persentase tutupan kategori biota dan substrat di masing-masing stasiun transek permanen dengan metode LIT.
C. MEGABENTOS Pengamatan megabentos dengan metode “reef check” dilakukan di lokasi transek permanen. Biota yang dicatat ialah biota bentik yang bernilai ekonomis penting ataupun yang bisa dijadikan indikator dalam menilai kondisi kesehatan terumbu karang. Sebaran megabentos di perairan pesisir Pulau Mentawai cukup bervariasi, dengan keragaman berkisar antara 1 – 6 kelompok biota. Megabentos dengan keragaman tertinggi ditemukan pada stasiun MTWL52 sebanyak 6 kelompok biota dan terendah di stasiun MTWL61, MTWL71 dan MTWL81 masing-masing 1 biota (Tabel 3). 51
Kelimpahan megabentos didominasi oleh karang jamur (CMR=Coral Mushrom) yaitu sebesar 9143 individu/ha. Tingginya kelimpahan karang jamur terutama dijumpai pada Stasiun MTWL78 (3071 individu/ha) dan MTWL71 (1214 individu/ha) yang posisinya berada pada barat laut Pulau Sipora bagian utara, tepatnya di daerah teluk dekat dengan muara sungai serta stasiun MTWL84 (2714 individu/ha) yang berada di Pulau Pagai bagian selatan. Untuk jenis biota lain seperti Drupella sp. kelimpahan tertinggi ditemukan di St. MTWL76 yaitu sebesar 643 individu/ha. Tingginya biota ini mengindikasikan bahwa perairan ini relatif jernih serta tidak ada sedimentasi. Semakin baik pertumbuhan karang maka jenis ini semakin banyak ditemukan. Untuk kelompok biota ekonomis penting lain, seperti teripang (holothurian) ditemukan dalam jumlah yang relatif sedikit, dimana untuk yang berukuran besar (panjang ≥ 20 cm) kelimpahannya sebanyak 714 individu/ha dan yang berukuran kecil (panjang ≤ 20) hanya sebanyak 71 individu/ha. Demikian juga dengan kima dimana yang berukuran besar (diameter >20) kelimpahannya hanya sebanyak 143 individu/ha dan yang berukuran kecil (diameter ≤ 20) sebanyak 571 individu/ha. Rendahnya nilai kelimpahan kedua biota ini lebih disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan dari penduduk setempat ataupun nelayan lain yang datang dari luar wilayah tersebut. Dalam pengamatan ini tidak ditemukan bulu babi “Pencil sea urchin”, lobster dan Diadema setosum serta Acanthaster planci, yang merupakan hewan pemakan polip karang. Beberapa jenis mungkin tidak ditemukan pada saat pengamatan berlangsung karena luas pengamatan yang dibatasi (luasan bidang pengamatan = 140 m 2 /transek), sehingga tidak menutup kemungkinan akan dijumpai pada lokasi di luar transek. Hasil pengamatan megabentos selengkapnya di masing-masing lokasi transek dapat dilihat dalam Gambar 11a, 11b dan 11c. 52
Tabel 3.
Kelimpahan megabentos (Individu /ha)di perairan Kepulauan Metawai. MTW L 52
Acanthaster planci
214
71
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
286
0
0
0
71
71
0
0
929
121 4
643
307 1
0
271 4
500
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
71
214
0
214
0
643
143
0
0
143
Large Giant Clam
143
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Small Giant Clam
0
0
571
0
0
0
0
0
0
0
Large Holothurian
71
71
0
0
0
71
214
143
143
0
Small Holothurian
0
0
0
0
0
0
0
0
71
0
Lobster
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Pencil sea urchin
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Trochus niloticus
71
71
0
0
0
0
71
0
0
0
Banded Coral Shrimp CMR Diadema setosum Drupella sp.
MTW MTW L 53 L 61
MT WL 64
MEGABENTOS
MTW MTW MTW MTW MTW MTWL L 71 L 76 L 78 L 81 L 84 91
53
Gambar 11a.
54
Kelimpahan biota megabentos hasil “reef check” di perairan P. Pagai, Kabupaten Mentawai.
Gambar 11b.
Kelimpahan biota megabentos hasil “reef check” di perairan P. Sipora, Kabupaten Mentawai.
55
Gambar 11c. Kelimpahan masing-masing megabentos hasil LIT di perairan P. Siberut, Kabupaten Mentawai.
D. IKAN KARANG Pengamatan ikan karang di Kabupaten Mentawai dilakukan di lokasi-lokasi yang ditentukan dapat mewakili P. Pagai, P. Sipora dan P. Siberut, di lokasilokasi yang sama dengan lokasi pengamatan karang. Pengamatan dilakukan dengan dua metode yaitu metode RRI dan metode UVC. Hasil pengamatan diuraikan berdasarkan metode masing-masing.
56
Hasil pengamatan ikan karang dengan metode RRI Pengamatan ikan karang dilakukan dengan metode RRI pada 38 lokasi yang dipilih di Perairan Mentawai. Dari hasil pengamatan, ditemukan 153 individu ikan karang dari jenis Ctenochaetus striatus. Jenis ini adalah yang paling sering dijumpai selama pengamatan, dan dijumpai di 30 stasiun dari 38 pengamatan stasiun RRI, dengan frekuensi relatif kehadiran berdasarkan jumlah stasiun yang diamati sebesar 79 %. Kemudian nilai frekuensi kehadiran tertinggi berikutnya dicatat pada jenis Labroides dimidiatus (74 %), Balistapus undulatus (66 %) dan Scarus bleekery yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran 58 %. Sepuluh ikan karang yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadirannya diatas 42 % (berdasarkan jumlah stasiun RRI yang diamati dan dijumpai ikan karang) di Perairan Mentawai dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
No.
Sepuluh jenis ikan karang yang memiliki nilai frekuensi relatif kehadiran terbesar berdasarkan jumlah stasiun RRI yang diamati dan dijumpai ikan karang di Perairan Mentawai (n= 38 stasiun). Jenis
Frekuensi relatif kehadiran (%)
1
Ctenochaetus striatus
79
2
Labroides dimidiatus
74
3
Balistapun undulates
66
4
Scarus bleekery
58
5
Melycthys niger
53
6
Lutjanus decusatus
50
7
Zebrasomma scopes
50
8
Suflamen crysopterus
50
9
Halichoeres hortulanus
42
10
Thalasomma hardwickey
42 57
Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator di masing-masing stasiun RRI di Perairan Mentawai terlihat pada Gambar 12a, 12b dan 12c di bawah ini.
100°9'
100°12'
100°15'
100°18'
100°21'
#
2°42'
2°42'
MATOBEK #
SILABU
#
SIKAKAP
2°45'
2°45'
#
TAIKAKO
P. Sitonggo #
# #
#
#
#
KOMPOSISI IKAN PER STASIUN RRI DI PAGAI U
#
P. Bakatpeigu
2°48'
#
P. Masusu
#
P. Siatanusa #
P. Lamui
Legenda :
P. Singingi
P. Ragi UPT TAIKAKO I 2°51'
P. Nusa 100°9'
Gambar 12a.
58
2°48'
#
Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat
MAKALO 100°12'
100°15'
Ikan indikator Ikan major Ikan target
100°18'
2°51'
100°21'
Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator hasil RRI di perairan P. Pagai, Kabupaten Mentawai.
99°48'
2°18'
99°51'
99°54'
99°57'
100°00'
2°18'
NEM-NEM LEU UPT SIGECI BERIULEU #
#
BOSUA
2°21'
2°21' #
#
Tg. Bulak
#
KOMPOSISI IKAN PER STASIUN RRI DI SIPORA U
2°24'
Tg. Batukinapat
Sa
mu de
ra
Hi n d ia
Legenda : Ikan indikator Ikan major Ikan target
2°27'
Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat 99°48'
Gambar 12b.
2°24'
99°51'
99°54'
99°57'
2°27'
100°00'
Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator hasil RRI di perairan P. Sipora, Kabupaten Mentawai.
59
98°55'
1°15'
99°00'
99°5'
99°10'
99°15'
99°20'
SIRILOGUI
1°15' #
CIMPUNGAN #
#
#
1°20'
SIMATALU SIPOKAK
1°20' #
# #
SAIBI SAMUKOP #
1°25'
1°25'
#
KOMPOSISI IKAN PER STASIUN RRI DI SIBERUT U
# # # # # SALIGUMA (SILACI NAN TANGAH)
SAGALUBEK TAILEU
1°30'
#
Legenda :
#
#
SARAREKET ULU
Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat
SIBERUT ULU MAILEPAT
MADOBEK UGAI 98°55'
99°00'
99°5'
99°10'
1°30'
Ikan indikator Ikan major Ikan target
#
99°15'
99°20'
Gambar 12c. Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator hasil RRI di perairan P. Siberut, Kabupaten Mentawai.
Hasil pengamatan ikan karang dengan metode UVC Dari hasil pengamatan ikan karang dengan metode ”Underwater Fish Visual Census” (UVC) yang dilakukan di 9 lokasi di Perairan Mentawai, ditemukan sebanyak 167 jenis ikan karang yang termasuk dalam 30 suku, dengan nilai kelimpahan ikan karang sebesar 13745 individu. Jenis Cirrhilabrus cyanopleura dari suku Labridae merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi pada setiap transek di 9 lokasi pengamatan dengan jumlah individu sebesar 1857 ekor kemudian diikuti oleh Rastreliger kanagurta dari suku (Scrombidae) dengan kelimpahan 1229 individu dan Chromis ternatensis dari suku Pomaentridae (771 60
individu). Lima belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan yang tertinggi ditampilkan dalam Tabel 5. Kelimpahan suku ikan yang paling tinggi adalah Pomacentridae dengan kelimpahan 4029 individu/ha disajikan dalam Tabel 6. Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator hasil UVC di perairan Mentawai dapat dilihat dalam Gambar 13a, 13b, dan 13c. Tabel 5.
No .
Lima belas jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi hasil UVC di perairan Mentawai. (n=9)
Nama Jenis
Grup
Suku
Kelimpahan (jmlh indv./ha)
1
Cirrhilabrus cyano-
Major fish
Labridae
1857
2
Rastreliger kanagurta
Target fish
Scrombidae
1229
3
Chromis ternatensis
Major fish
Pomacentridae
771
4
Chromis iomelas
Major fish
Pomacentridae
594
5
Caesio lunaris
Target fish
Caesionidae
571
6
Chromis viridis
Major fish
Pomacentridae
543
7
Pomacentrus molucen- Major group Pomacentridae
509
8
Ctenochaetus striatus
Target fish
Acanthuridae
317
9
Chromis margaritifer
Major fish
Pomacentridae
286
10 Cirrhilabrus sp.
Major fish
Labridae
286
11 Dascylus reticulatus
Major fish
Pomacentridae
266
12 Chromis dimidiata
Major fish
Pomacentridae
257
13 Neopomacentrus azys- Major group Pomacentridae
243
14 Acanthurus blochii
Target fish
Acanthuridae
234
15 Pterocaesio tile
Target fish
Caesionidae
220
61
Tabel 6.
Kelimpahan ikan karang untuk masing-masing sukuhasil UVC di Perairan Mentawai.
No.
Suku
Kelimpahan (jmlh indv./ha)
62
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Pomacentridae Labridae Acanthuridae Scrombidae Caesionidae Balistidae Scaridae Serranidae Lutjanidae Mullidae Sphyraenidae Scolopsidae Carangidae Siganidae Cirrhitidae Lethrinidae Holocentridae Zanclidae Pomacanthidae Bleniidae Haemulidae Microdesmidae
23
Pinguipedidae
6
24 25 26 27
Scorpaenidae Ephippidae Ostraciidae Tetraodontidae
6 3 3 3
3834 2589 1374 1229 483 291 280 203 186 149 143 100 69 69 63 49 43 43 34 11 9 9
Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari UVC di lokasi transek permanen seperti ikan Rastreliger kanagurta (termasuk kedalam suku Scrombidae) dicatat 1229 individu, ikan kerapu (termasuk dalam suku Serranidae) 147 individu/ha, Acanthurus blochii (termasuk kedalam suku Acanthuridae) yaitu 234 individu/ha dan Pterocaesio tile (termasuk kedalam suku Caesionidae) yaitu 220 individu/ha. Jenis Rastreliger kanagurta dari suku (Scrombidae) dicatat memi liki kelimpahan 1229 individu/ha, Caesio lunaris (suku Caesionidae) dengan kelimpahan 571 individu/ha yang diikuti oleh Ctenochaetus striatus (suku Acanthuridae) dengan kelimpahan 317 individu/ha. Sedangkan ikan Napoleon atau ikan mami ng ( Cheilinus undulatus ) tidak ditemukan selama sensus. Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator sebesar 21:12:1. Artinya pada satu lokasi bila ada 1 ikan indikator maka ada terdapat 12 ikan target serta ada 21 ekor ikan mayor (Tabel 7). Tabel 7.
Kelimpahan kelompok ikan karang pada masingmasing lokasi.
Kelimpahan (jumlah individu/ ha)
Perbandingan ikan Major : Target : Indikator
Total
Ikan Ma- Ikan Ikan Indikajor Target tor
13745
8343
4851
391
21 : 12 : 1
63
100°9'
100°12'
100°15'
100°18'
100°21'
2°42'
2°42'
MATOBEK
#
SIKAKAP 2°45'
2°45'
P. Sitonggo
TAIKAKO
#
P. Bakatpeigu
2°48'
2°48'
P. Masusu
P. Siatanusa #
P. Lamui
P. Singingi
P. Ragi
KOMPOSISI IKAN PER STASIUN LIT DI PAGAI U Legenda :
UPT TAIKAKO I 2°51'
Ikan indikator Ikan major Ikan target
P. Nusa
P. Siopa Besar 100°9'
Gambar 13a.
64
100°12'
100°15'
2°51'
Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat Jalan
MAKALO
100°18'
100°21'
Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator hasil UVC diperairan P. Pagai, Kabupaten Mentawai.
99°47'
99°48'
99°49'
99°50'
99°51'
99°52'
99°53'
99°54'
99°55'
NEM-NEM LEU #
2°20'
2°20'
BERIULEU
BOSUA
2°21'
2°21' #
2°22'
2°22' #
Tg. Bulak
KOMPOSISI IKAN PER STASIUN LIT DI SIPORA U
2°23'
2°23'
Legenda :
Sa m uder a
2°24'
99°47'
Hindia
99°48'
Gambar 13b.
Ikan indikator Ikan major Ikan target Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat Jalan
Tg. Batukinapat
99°49'
99°50'
99°51'
99°52'
99°53'
99°54'
2°24'
99°55'
Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator hasil UVC diperairan P. Sipora, Kabupaten Mentawai.
65
99°00'
99°5'
99°10'
99°15'
99°20'
1°15'
1°15' CIMPUNGAN
# #
1°20'
1°20'
KAK
SAIBI SAMUKOP
1°25'
KOMPOSISI IKAN PER STASIUN LIT DI SIBERUT U
1°25'
#
Legenda : Ikan indikator Ikan major Ikan target Fringing Reef Patch Reef Hutan Mangrove Darat Jalan
SALIGUMA (SILACI NAN TANGAH) BEK TAILEU
#
1°30'
99°00'
99°5'
99°10'
99°15'
1°30'
99°20'
Gambar 13c. Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator hasil UVC diperairan P. Siberut, Kabupaten Mentawai.
Dari hasil UVC yang dilakukan di 9 stasiun pengamatan di perairan Mentawai, dihitung nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon dan nilai indeks kemerataan Pielou. Hasilnya disajikan dalam Tabel 8.
66
Tabel 8.
Indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) yang dihitung menggunakan ln (=log e) dan Indeks kemerataan Pielou (J’) untuk ikan karang hasil pengamatan dengan metode UVC di perairan Mentawai.
Stasiun
H’
J’
MTWL53
3.505
0.900
MTWL61
3.761
0.851
MTWL64
2.786
0.772
MTWL71
2.899
0.822
MTWL76
3.003
0.717
MTWL78
2.882
0.701
MTWL81
2.061
0.533
MTWL84
3.176
0.758
MTWL91
3.324
0.859
Dari Tabel 8 tersebut terlihat bahwa pada stasiun MTWL 81 memiliki nilai indeks keanekaragaman dan kemerataan yang terendah dibandingkan dengan stasiun-stasiun lainnya. Berdasarkan nilai kemiripan Bray-Curtis (BrayCurtis Similarity) yang dihitung dari data jumlah individu ikan karang (yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk fourth root atau √√y ) yang di dijumpai di masing -masing stasiun transek permanen, dengan menggunakan program PRIMER v5 dilakukan analisa pengelompokan (cluster analysis) dengan menggunakan metode rerata kelompok (group average) sehingga dihasilkan 67
dendrogram seperti pada Gambar 14. Selain itu juga dilakukan analisa multivariat non-metric multidimensional scaling (MDS) dimana hasilnya disajikan pada Gambar 15.
Gambar 14.
68
Dendrogram analisa pengelompokan stasiun transek permanen di Mentawai berdasarkan jumlah individu ikan karang yang telah ditransformasikan ke bentuk √√y.
Gambar 15.
MDS untuk stasiun transek permanen di Mentawai berdasarkan jumlah individu ikan karang yang telah ditransformasikan ke bentuk √√y.
Dari Gambar 14 dan Gambar 15 tersebut terlihat bahwa dengan batas kemiripan 40%, stasiun MTWL64 dan MTWL71 merupakan kelompok yang terpisah dengan stasiun-stasiun lainnya.
69
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
70
•
Luas terumbu karang yang meliputi ”fringing reef”, ”patch reef” dan ”shoal” di perairan antara P. Sipora bagian utara (Tua Pejat dan Igosoinan) dan P. Siberut bagian selatan (Katurai dan Muara Siberut) yaitu adalah 24300 ha.
•
Dari hasil LIT dan pengamatan bebas berhasil di catat 49 jenis karang batu yang termasuk dalam 14 suku.
•
Dari pengamatan terumbu karang dengan metode RRI yang dilakukan di 40 stasiun dicatat persentase tutupan karang hidup antara 2,78% 36,36%, dengan rerata persentase tutupan karang hidup 10,77%. Persentase tutupan karang hidup tertinggi terdapat di MTWR 85.
•
Kemerataan jenis karang batu disemua stasiun umumnya rendah. Hal ini disebabkan ada jenisjenis tertentu yang mendominasi, seperti misalnya di stasiun MTWL53 didominasi oleh karang dari marga Pocillopora, di stasiun MTWL78 didominasi ole h Montip ora, dan di s t a s iu n MTWL84 didominasi oleh Galaxea dan Porites.
•
Hasil pengamatan terumbu karang dengan metode LIT di 9 stasiun transek permanen diperoleh persentase tutupan karang hidup mulai dari 3,43 % - 52,07% dengan rerata sebesar 17,22%
•
Kelimpahan Drupella sp. Dijumpai sebanyak 643 individu/ha. Kelimpahan karang jamur (CMR=Coral Mushrom) dijumpai dalam jumlah yang berlimpah yaitu 9143 individu/ha. Sedangkan Kima (Giant clam) panjang >20 cm kelimpahannya sebesar 143 individu/ha, dan yang berukuran kecil (panjang < 20 cm) sebesar 571 individu/ha. Demikian pula halnya dengan tripang (holothurian) dimana yang berukuran besar (diameter >20) kelimpahannya hanya sebesar 71 individu/ha, sedangkan yang berukuran kecil tidak dijumpai sama s e k al i selama p e n g a m a ta n dilakukan.
•
Jenis ikan karang Ctenochaetus striatus merupakan jenis yang paling sering dijumpai selama pengamatan, Frekuensi relatif kehadiran berdasarkan jumlah stasiun yang diamati= 79 %).
•
’Underwater Visual Census” (UVC) yang dilakukan di 9 Stasiun transek permanen menjumpai sebanyak 167 jenis ikan karang yang termasuk dalam 30 famili, dengan kelimpahan ikan karang sebesar 13745 individu per hektarnya. Jenis Cirrhilabrus cyanopleura dari suku Labridae merupakan jenis ikan karang yang memiliki kelimpahan tertinggi pada setiap transek permanen di 9 lokasi pengamatan dengan jumlah individu sebesar 1857 ekor kemudian diikuti oleh Rastreliger kanagurta dari suku (Scrombidae) dengan kelimpahan 1229 individu dan Chromis ternatensis dari suku Pomaentridae (771 individu).
•
Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting yang diperoleh dari UVC di lokasi transek permanen seperti ikan Rastreliger kanagurta (termasuk kedalam suku Scrombidae) yaitu 1229 individu, ikan kerapu (termasuk dalam suku Serranidae) 147 individu/ha, Acanthurus blochii (termasuk kedalam suku Acanthuridae) yaitu 234 71
individu/ha dan Pterocaesio tile (termasuk kedalam suku Caesionidae) yaitu 220 individu/ha. •
Jenis Rastreliger kanagurta dari suku (Scrombidae) dengan kelimpahan 1229 individu/ ha, Caesio lunaris (suku Caesionidae) dengan kelimpahan 571 individu/ha yang diikuti oleh Ctenochaetus striatus (suku Acanthuridae) dengan kelimpahan 317 individu/ha
•
Perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator sebesar 21:12:1. Artinya pada satu lokasi bila ada 1 ikan indicator maka ada terdapat 12 ikan target serta ada 21 ekor ikan mayor
B. SARAN Dari pengalaman dan hasil yang diperoleh selama melakukan penelitian di lapangan maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut:
72
•
Jumlah stasiun yang diambil untuk transek permanen (untuk penelitian karang, mega benthos dan ikan karang) yang jumlahnya 9 stasiun juga masih sangatlah terbatas. Hal ini dikarenakan waktu penelitian yang sangat terbatas. Untuk itu sebaiknya jumlah stasiun transek permanen bisa ditambahkan pada penelitian selanjutnya.
•
Dengan meningkatnya kegiatan di darat di sekitar Kepulauan Mentawai, pasti akan membawa pengaruh terhadap ekosistem di perairan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu, penelitian kembali di daerah ini sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi sehingga hasilnya bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para stakeholder dalam mengelola ekosistem terumbu karang secara lestari. Selain
itu, data hasil pemantauan tersebut juga bisa dipakai sebagai bahan evaluasi keberhasilan COREMAP.
73
DAFTAR PUSTAKA English, S.; C. Wilkinson and V. Baker, 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Second edition. Australian Institute of Marine Science. Townsville: 390 p. Heemstra, P.C and Randall, J.E., 1993. FAO Species Catalogue. Vol. 16. Grouper of the World (Family Serranidae, Sub Family Epinephelidae). Lieske E. & R. Myers, 1994. Reef Fishes of the World. Periplus Edition, Singapore. 400p. Long, B.G. ; G. Andrew; Y.G. Wang and Suharsono, 2004. Sampling accuracy of reef resource inventory technique. Coral Reefs: 1-17. Matsuda, A.K.; Amoka, C.; Uyeno, T. and Yoshiro, T., 1984. The Fishes of the Japanese Archipelago. Tokai University Press. Odum, E.P. 1971. Fundamental of Ecology. W.B. sounders Company, Philadelphia: 574 p. Pielou, E.C. 1966. The measurement of diversity in different types of biological collections. J. Theoret. Biol. 13: 131-144. Kuiter, R. H., 1992. Tropical Reef-Fishes of the Western Pacific, Indonesia and Adjacent Waters. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia. Randall, J.E and Heemstra, P.C. 1991. Indo-Pacific Fishes. Revision of Indo-Pacific Grouper (Perciformes: Serranidae: Epinepheliae), With Description of Five New Species.
74
Shannon, C.E. 1948. A mathematical theory of communication. Bell System Tech. J. 27: 379-423, 623-656. Warwick, R.M. and K.R. Clarke, 2001. Change in marine communities: an approach to stasistical analysis and interpretation, 2 n d edition. PRIMER-E:Plymouth. Zar, J. H., 1996. Biostatistical Analysis. Second edition. Prentice-Hall Int. Inc. New Jersey: 662 p.
75
LAMPIRAN Lampiran 1.
76
Posisi stasiun RRI di perairan P. Pagai, P. Sipora dan P. Siberut dan sekitarnya, kabupaten Mentawai, Provinsi Sumatera Barat.
NO.
STASIUN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
MTWR 49 MTWR 50 MTWR 51 MTWR 52 MTWR 53 MTWR 54 MTWR 55 MTWR 56 MTWR 57 MTWR 58 MTWR 59 MTWR 60 MTWR 61 MTWR 62 MTWR 63 MTWR 64 MTWR 65 MTWR 66 MTWR 67 MTWR 68 MTWR 71 MTWR 74 MTWR 76 MTWR 77 MTWR 78 MTWR 79 MTWR 80 MTWR 81 MTWR 82 MTWR 83 MTWR 84 MTWR 85 MTWR 86 MTWR 87 MTWR 88 MTWR 89 MTWR 90 MTWR 91 MTWR 92 MTWR 93
LONGITUDE LATITUDE 99,076687 99,079306 99,064341 99,088870 99,109454 99,099937 99,120169 99,114443 99,135388 99,146707 99,161045 99,173120 99,185091 99,198071 99,178158 99,151801 99,182876 99,207321 99,227632 99,147173 99,834125 99,867136 99,856198 99,852468 99,838734 100,278081 100,265988 100,287586 100,272524 100,259300 100,242346 100,253763 100,227448 100,211656 100,188515 100,205800 100,226040 100,230073 100,214527 100,199799
-1,262004 -1,279135 -1,282091 -1,300079 -1,309769 -1,341937 -1,348123 -1,368182 -1,373781 -1,395993 -1,418380 -1,438787 -1,451906 -1,486470 -1,470491 -1,479851 -1,503124 -1,512755 -1,532337 -1,465351 -2,371856 -2,389215 -2,356127 -2,342119 -2,330161 -2,841937 -2,812364 -2,820882 -2,800608 -2,792805 -2,785795 -2,773474 -2,775891 -2,786109 -2,789858 -2,778250 -2,751154 -2,736826 -2,721689 -2,695506
LOKASI Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Siberut Sipora Sipora Sipora Sipora Sipora Pagai Selatan Pagai Selatan Pagai Selatan Pagai Selatan Pagai Selatan Pagai Selatan Pagai Selatan Pagai Selatan Pagai Selatan Pagai Selatan Pagai Utara Pagai Utara Pagai Utara Pagai Utara Pagai Utara
Desa Samukop Samukop Samukop Samukop Samukop Samukop Samukop Samukop Samukop Samukop Samukop Samukop Samukop Saliguma Saliguma Saliguma Saliguma Saliguma Saliguma Samukop Bosua Bosua Bosua Bosua Bosua Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap Sikakap
Lampiran 2. Posisi stasiun LIT di perairan P. Pagai, P. Sipora dan P. Siberut dan sekitarnya, Kabupaten Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. NO.
STASIUN
LONG.
LAT.
LOKASI
1
MTWL01
99.68182
-2.06760
P. Sipora
2
MTWL02
99.57745
-2.02533
P. Sipora
3
MTWL03
99.59967
-1.98093
P. Sipora
4
MTWL04
99.54128
-2.14322
P. Sipora
5
MTWL05
99.53700
-2.13300
P. Sipora
6
MTWL06
99.30110
-1.69577
P. Siberut
7
MTWL07
99.27022
-1.75085
P. Siberut
8
MTWL08
99.29150
-1.81112
P. Siberut
9
MTWL09
99.28552
-1.87213
P. Siberut
Lampiran 3.
NO.
Jenis-jenis karang batu yang ditemukan di perairan P. Pagai, P. Sipora dan P. Siberut dan sekitarnya, Kabupaten Mentawai.
SUKU JENIS
I 1 2 3 4 5 6 II 7 8 9 10 11 III 12 IV 13 V 14 15 16 17
ACROPORIDAE Acropora abrolhosensis Acropora gemmifera Acropora humilis Acropora millepora Acroporasp. Montiporasp. AGARICIIDAE Leptoserissp. Pachyseris speciosa Pavona explanulata Pavonasp. Pavona varians CARYOPHYLLIIDAE Euphyllia glabrescens DENDROPHYLLIIDAE Turbinariasp. FAVIIDAE Cyphastreasp. Echinopora gemmacea Favitessp. Goniastreasp.
MT WL 01
MT WL 02
MT WL 03
MT WL 04
MT WL 05
MT WL 06
MT WL 07
MT WL 08
MT WL 09
+
-
-
+ + +
+ + + + +
-
+ + +
+
+ + +
-
-
-
-
+ + + +
+ -
+ -
-
+ +
+ -
-
-
-
-
+
+
-
-
+ -
-
-
+ + -
+ + + +
-
-
-
-
77
Lampiran 3. (lanjutan) VI 18 VII
FUNGIIDAE
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Fungiasp.
-
-
-
+
+
-
+
-
-
MERULINIDAE
19
Hydnophora microconos
-
-
-
-
+
-
-
-
-
20
Hydnophora rigida
-
-
-
-
+
-
+
-
+
Hydnophora sp.
-
-
-
+
-
-
-
-
-
21 VIII 22 IX 23 X 24 XI 25 XII
MILLEPORIDAE -
-
-
+
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
OCULINIDAE
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Milleporasp. MUSSIDAE Lobophylliasp. Galaxeasp.
+
-
-
+
+
-
+
-
-
PECTINIDAE
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Pectiniasp.
-
-
-
+
-
-
-
-
-
POCILLOPORIDAE
26
Pocillopora damicornis
-
-
-
-
+
-
-
+
-
27
Pocillopora eydouxi
-
-
+
-
+
-
-
-
+
28
Pocillopora meandrina
-
-
-
-
+
-
-
-
-
29
Pocilloporasp.
-
-
-
+
+
-
+
-
+
30
Pocillopora verrucosa
-
-
-
-
+
-
-
-
-
31
Seriatopora caliendrum
-
-
-
+
-
-
-
-
+ -
32
Seriatopora hystrix
-
-
-
+
+
-
-
-
33
Stylophora pistillata
-
-
-
-
+
-
-
-
-
33
Stylophorasp.
-
-
-
+
-
-
-
-
+
XIII
PORITIDAE
35
Gonioporasp.
-
+
-
-
-
-
-
-
-
36
Porites cylindrica
-
+
-
-
-
-
+
+
-
37
Porites danae
-
-
+
-
-
-
-
-
38
Porites lichen
+
-
-
-
-
-
-
-
-
39
Porites lobata
-
+
-
-
-
+
-
-
-
40
Porites lutea
-
-
+
-
+
+
+
+
-
41
Porites nigrescens
-
-
-
-
+
-
-
-
-
42
Porites rus
-
-
-
-
+
-
-
-
-
43
Poritessp.
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
+
-
+
-
-
-
-
XIV SIDERASTREIDAE 44
Psammocorasp.
Keterangan : + = ditemukan - = tidak ditemukan 78
79
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
M T W R
-
III AULOSTOMIDAE 23 Aulostomus chinensis
+ -
-
-
-
-
-
-
-
-
+ + + + + + + + + -
-
-
+ + + + + + + + + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
- + + - - - - - - - - - - - + - - + - - + - + - - - - - + + - - + - + - - - - - - + - - + - - - - + + - - - - - - + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - + - + + - + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - + - + + - - - + + + + + + + + + + + + - - - - - - + - - - - - - - - - - - - - + - - - - - - - + - - - - - - - - - - + - - - - + - + - - - + + - + + + - - - - - - - - - - - - - + - - - + - - - - - + + - - - + - + + - + - - - - - - + - - + + -
-
-
-
-
-
+ + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
- + - - - - - - + - + - + - - - + - - + - - - - - - - + + - - + + + - + - - + - - - - - + + - - - - - - + - - - - - + - - - - - - - + + - - - - - - - - - - - - - - + - + + + + + + + + + + + + + + + + + - + - + - - - - - - - - - - - - - - - + - - - - - - - + - - + + - + - + + - + + - - - + - - - - - - - + - - - + - + + + + + + + - - + - - - - + -
-
-
+ + + + + + -
-
-
+ + + + + + + + -
+
-
-
-
- - - - - + - - + - - - + - - - + + - - + + -
-
-
-
-
-
-
-
- - - - - - - - - - + - - - - - - - - - - +
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - + - + + + - - - + - - + + - - - + - - - + - - - - - - - - - - + + + + - - - - - - - + - - + - - + - - - - - - - + + - + - - - -
49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 71 74 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93
-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
JENIS ACANTHURIDAE Acanthurus barienne Acanthurus blochii Acanthurus leucocheilus Acanthurus leucosternon Acanthurus lineatus Acanthurus nigricans Acanthurus pyroferus Acanthurus sp. Acanthurus triostegus Acanthurus xanthopterus Ctenochaetus binotatus Ctenochaetus striatus Ctenochaetus strigosus Dascyllus melanurus Naso fageni Naso hexacanthus Naso lituratus Naso thynnoides Naso unicornis Zebrasoma scopas Zebrasoma veliferum
M T W R
II APOGONIDAE 22 Apogon sp
I
NO.
SUKU
Lampiran 4. Jenis-jenis ikan karang yang ditemukan di perairan P. Pagai, P. Sipora dan P. Siberut dan sekitarnya, Kabupaten Mentawai, Provinsi Sumatera Barat.
80 -
-
VII CARANGIDAE 37 Carang sp 38 Caranx melampygus
VIII 39 40 41 42 43 44 45 46 47
CHAETODONTIDAE Chaetodon baronessa Chaetodon bennetti Chaetodon citrinellus Chaetodon collare Chaetodon guttatissimus Chaetodon kleinii Chaetodon lunula Chaetodon meyeri Chaetodon ornatissimus
-
CAESIONIDAE Caesio lunaris Caesio teres Pterocaesio tile Pterocaesio trilineata
33 34 35 36
-
+ -
-
-
-
+ - + - + - - + - - -
VI
BALISTIDAE Balistapus undulatus Balistoides viridescens Melycthis niger Odonus niger Rhinecanthus verrucosus Sufflamen bursa Sufflamen crysopterus
BLENIIDAE 31 Meiacanthus smithi 32 Valencienna strigata
24 25 26 27 28 29 30
V
IV
Lampiran 4. (Lanjutan)
-
-
-
-
-
-
+ + + + + +
-
+
+ -
-
+ + + + + - -
-
+ + + + +
-
-
-
-
-
+ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + + - + + - - - - - + - - + + + + - - - - - - - - - - - - + + + - - + + +
-
-
- + - + - + - - - + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + +
-
-
+ - - - - - + - - - - - + - + - - - - -
-
+ + -
-
+ + + + + - - - - + - - + + + - - - - - - - + - - - - + - - + +
+ + +
+
-
+ + + +
-
+
-
-
-
-
+
+ +
-
-
-
-
-
+ + -
-
+ + -
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ + - - + + - + + - + - -
-
+ + +
+ -
+ + - + + - - - - + + + + + + - - - + - - + - - - - + + + + + +
- - - + + - - - - - -
-
-
-
+ + + + + - - + - + + + - + - + - - - - - + - + - + - + - +
- + - + - - - + - + - - + - - - - - - - - - - - - - - - +
-
-
-
+ - - - - - + - + + - - - + - + +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + +
-
-
+ - - - - + - + -
+
+ -
-
-
-
-
+
-
-
-
-
+ + + - - + - + + - - - + - + - +
- - - + - + - - - - -
-
-
-
-
81
HAEMULIDAE 64 Plectorhynchus orientalis
XI
XIII LABRIDAE 71 Anampses melanurus
HOLOCENTRIDAE Myripristis adusta Myripristis colubrinus Myripristis sp. Myripristis violaceus Sargocentron caudimaculatus Sargocentron rubrum
EPHIPPIDAE 63 Platax teira
X
XII 65 66 67 68 69 70
CIRRHITIDAE 61 Paracirrhythis arcatus 62 Paracirrhythis fosteri
Chaetodon oxycephalus Chaetodon rafflesi Chaetodon trifascialis Chaetodon trifasciatus Chaetodon ulietensis Chaetodon vagabundus Forcipiger flavissimus Forcipiger longirostris Heniochus acuminatus Heniochus dipreutes Heniochus monoceros Heniochus pleurotaenia Heniochus singularius
IX
48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Lampiran 4. (Lanjutan)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ + +
-
-
-
-
-
-
-
+ + -
-
- - - - - - - + - + - + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - - - - - - - + - + - - - - - - - - - - - - + - - -
- - - - + + -
- - - - - - - - + - + + - - - - - - - - - - - - - - - - -
+ -
+ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - - - - - - - + - - -
-
-
-
+ + + +
-
-
-
-
+ -
-
+ + + + + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ + + + -
+ + + -
-
-
-
-
-
+ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ + -
- - - - - - - + - + - - - - - - - - - - - - - - - + - + - + - - - - - - -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ -
+ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - - - - - + - + - - + - - - - - - - - - - - + - - -
- - + - + - -
- - - - - - - - - + + - - -
-
-
+ -
-
-
-
- + - + -
- + - - - + - - - - - - + - - - - - - - - - + + - - + + + - - - + - + + - - + - + - + + - - - - - - - - - - - - - + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - + - - + + - - + - - - + -
- - - - - - - + - + + + -
- - - - + - - - - - + - + - - - - + - - - - + + + + - + - + - - + - + - - + - + - - - - - - - - - - + - + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - + - - - - + - +
- + -
- - - - + - - + + + + + -
- - - - - - - - + - - - - - + + - + - - - - + - - + + + - - - - - - - - + - - - - - - - - + - - - - + - - - - - - - - +
-
-
-
-
-
-
-
- - - - - - - - - + - - -
-
-
-
-
-
-
- - - - + - +
- - - - - - - - - - - - - + - - + - + - - - - - - - - - - - - - - - - + - - - - -
82
XIV 98 99 100 101 102
72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97
LETHRINIDAE Gnatodentex aurielonastus Lethrinus harak Lethrinus obseletus Lethrinus ornatus Monotaxis grandoculis
Anampses sp Bodianus mesothprax Cheilinus chlorurus Cheilinus fasciatus Cheilinus trilobatus Cirrhilabrus adonatus Cirrhilabrus cyanopleura Cirrhilabrus sp. Cirrhitichthys falco Epibulus insidiator Gomphosus varius Halichoeres argus Halichoeres hortulanus Halichoeres melanurus Hemygimnus fasciatus Hemygimnus melapterus Labroides bicolor Labroides dimidiatus Novaculichthys taeniurus Pseudocheilinus hexataenia Pseudocoris heteropterus Stethojulis strigiventer Thalassoma amblycephalus Thalassoma hardwickei Thalassoma janseni Thalassoma lunare
-
+ + -
Lampiran 4. (Lanjutan)
-
+ -
+
+ - - + + - - - - + - - + - - - - + - - - - + - - - - + - - + - - + - - - - + - - - - + + + + - - + + - - - - - - - + - + - - - - +
-
-
- - - - - - + - + - + - + - - - - + - - - - - + + - -
+ -
+ + -
-
+ +
+
+ + + + + + + -
-
+ + + + + +
-
+ + + + -
+ + + + + + + + + + + + +
- - - - + - +
+ + + + -
-
+ + + + + -
+ + + + +
- - - - + +
+ + + + -
-
+ + + + + +
-
- - - - + -
+ + + + + -
+ + + + + + + + + +
+ + -
- - - - - + - - + - -
-
+ + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ + + + -
+ + + + + -
+ + + + + + + + + + + + + + -
+ - - - - - - - - + + - + - - + - + + - + - + - - + -
+ + + + + + + + + + +
-
+ + + + + -
+ + + -
-
+ + + + + + + + -
+
+ + + + + + + + + + + + + + + + + +
-
-
- + - + - - - - - - + + + - + - - + - - - - + + - - + -
+ -
- + - - - -
-
-
-
-
+ + + + + -
+
+ + + + + + + + + + + + + -
+ + + -
- - - - + - -
+ + + + -
83
- - + - - - + - - - - - - -
-
-
-
-
XIX MURAENIDAE 116 Echidna nebulosa 117 Gymnothorax meleagris
XX OSTRACIIDAE 118 Ostraction solorensis
XXI PEMPHERIDAE 119 Pempheris oualensis
XXII PINGUINIDAE 120 Parapercis macrophthalmus 121 Parapercis sp.
MULLIDAE Parupeneus barberinus Parupeneus bifasciatus Parupeneus cyclostomus Parupeneus indicus Parupeneus macronema Upeneus tragula
-
-
-
-
-
-
-
-
-
XVIII 110 111 112 113 114 115
-
-
-
-
-
+ -
-
-
-
-
-
-
+ + + -
-
-
- - - + + - + - - - + -
-
-
XVII MONACANTHIDAE 109 Paraluterus prionorus
-
- + -
LUTJANIDAE Lutjanus bohar Lutjanus decussatus Lutjanus fulvus Macolor macularis Macolor niger
XVI MICRODESMIDAE 108 Ptereleotris evides
XV 103 104 105 106 107
Lampiran 4. (Lanjutan)
-
-
-
-
-
-
+ + -
-
-
+ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
- + + + + - - - - - - - - - - - - - + + + - - - - -
-
-
- - - + + - - - - - - -
-
-
-
-
-
-
-
+ + -
-
-
+ + + +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - + - + + + - - + + - - - - - - -
-
-
+ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ + + + -
+ -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + - - -
- + -
-
+ + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- - + - + + + - - + - - - - - - -
- + -
- + -
- - - + + - + - - - + -
- + - + - + - + + + - - - + - - - - + - - - - - - - - - - - - - - + - - - - + - + - + - - + - - - - - - - - - +
-
-
- - - - - + - + + - - - + - - - - - - - - +
- + + - - - - - - - - + - - -
-
-
- - - + + - - - - - - -
- + - - - + - - - + - - -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + +
-
-
-
-
-
- - - + - - -
- + - + -
-
-
- + - - -
+ + -
-
-
- - - + + - - - - - - -
- + + - - - - - - - + - - -
-
-
-
84 -
124 Chaetodontoplus mesoleucus
125 Pygoplites diacanthus
-
+ + -
129 Amphiprion ephipium
130 Amphiprion ocellaris
131 Amphiprion sandaracinos
132 Chromis atripectoralis
133 Chromis dimidiata
134 Chromis iomelas
135 Chromis margaritifer
136 Chromis ternatensis
137 Chromis viridis
138 Chrysiptera talboti
139 Dascylus aruanus
140 Dascylus reticulatus
141 Dascylus trimaculatus
142 Dischistodus perspecillatus
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
146 Chrysiptera talboti
147 Premnas biaculeatus
-
-
-
-
-
+ - + + -
-
-
-
145 Pomacentrus molucensis
-
- + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
-
-
-
- + -
- + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
-
-
- + + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
- + -
-
-
-
-
-
-
-
- + + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + - +
-
-
-
- + +
- + -
- + + -
-
-
- + -
-
-
-
-
- + + -
-
- + -
- + -
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + - +
-
-
-
-
- + - + -
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
-
- + - + - + +
-
-
- + - + - + - + - +
-
-
- + -
-
-
-
-
-
-
- + - + -
-
-
-
- + + -
- + + -
- + -
- + + -
- + -
-
-
-
-
-
- + + -
- + + - + + -
- + -
-
- + -
- + - + + -
-
-
- + -
-
-
- + - + -
- + -
-
-
-
- + + - + -
-
- + -
- + - + -
-
-
- + - + - + - + -
-
-
- + + + + -
- + -
-
-
- + - + -
- + -
-
-
- + + + + + -
- + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + - + + + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + - + + + + + + + + -
- + + -
- + - + - + - + - + -
-
- + -
-
- + -
-
-
-
-
-
- + + -
-
-
- + + + -
-
- + -
-
-
-
- + -
-
- + -
- + -
- + -
- + -
-
- + -
- + + -
-
-
- + -
- + -
-
-
- + -
-
-
- + - + + + + -
-
-
-
-
- + -
-
-
- + + + + - + - + -
-
-
-
-
-
-
-
- + + -
-
-
-
-
- + + -
-
-
- + + - + -
+ -
-
-
-
-
- + + -
-
-
-
-
- + -
- + -
-
-
-
-
-
-
- + - + + -
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
-
144 Pomacentrus bankanensis -
-
-
-
-
-
- + + -
143 Neopomacentrus azysron
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
128 Amphiprion clarkii
-
-
-
- + - + -
- + -
- + -
-
- + + -
127 Amblyglyphidodon aureus
-
-
-
126 Abudefduf vaigiensis
XXIV POMACENTRIDAE
-
123 Centropyge eibili
POMACANTHIDAE
122 Apolemichthys trimaculatus
XXIII
Lampiran 4. (Lanjutan)
85
-
-
-
- - - - - + - + +
- - - + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - - - - - - - - + + - + + + + - - - - - - - - - + - + - - - - - - - - - - - - -
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
- + - + - + - - -
-
-
-
-
-
- + - - - + - - - - - - - + - + + - -
+ + + + + + -
-
- - - + - - - - - + - + - - - - -
-
-
- + + + - - - - - - - - -
- - - - +
-
-
-
-
SERRANIDAE Aethaloperca rogaa Anyperodon leucogrammicus Cephalopholis argus Cephalopholis boenack
-
-
- - + - - - - + + -
XXX 165 166 167 168
-
-
-
XXIX SCORPAENIDAE 163 Pterois radiata 164 Pterois volitans
-
-
-
XXVIII SCOMBRIDAE 162 Rastrelliger kanagurta
-
-
-
SCOLOPSIDAE Scolopsis bilineata Scolopsis ciliata Scolopsis margaritifer
-
XXVII 159 160 161
-
- - - - - - - - - - - - - - + + - - - - - - - - - + - - - - + - - - + - + + - + + + - + + - - - - - - + - + - - - - - + + - - - - - - - - - + + - - - + - + - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - + - - - - - - - - - - - -
-
SCARIDAE Cetoscarus bicolor Scarus atripectoralis Scarus atripectoralis Scarus bleekeri Scarus dimidiatus Scarus frenatus Scarus ghobhan Scarus prasiognathus Scarus schelegeli Scarus sp 1
-
XXVI 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158
-
-
Lampiran 4. (Lanjutan)
XXV PRIACANTHIDAE 148 Priacanthus hambrur -
+ + + + + -
+ + + -
-
+ + + + + + + -
-
+ -
-
+ + -
-
+ + -
-
+ + + + + -
-
+ + + +
-
+ + + + + + +
-
+ + + + + -
-
+ -
-
-
-
-
-
-
- + - - - - - - - + - - - + + - - - + + - - - - + - - - - - - - - + - - - - - - - - - - - - - - - + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + - - - + - + -
-
- - - + -
-
-
- + -
- + - - - - - - -
-
- + -
- + - + - + - - -
-
-
-
-
-
- + - - - + - - -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - - - + - - -
-
-
-
-
-
-
-
-
- - - - - - - + - + - - - -
-
-
- - + - + - + - + + + + + + + + - - - + - + - - - - - - - - - - - - - - - - - + - - - - + + - + - - - + - + - + + - - + - - - - -
+ -
- + -
- - - - + - - - - + - + - - - + + - - + - - - - -
-
86 -
171 Cephalopholis urodeta
172 Diploprion bifasciatum
173 Epinephelus hexagonatus
174 Epinephelus merra
175 Epinephelus quoyanus
176 Gracila albomarginata
177 Plectropomus leopardus
178 Plectropomus maculatum
179 Pseudanthias dispar
180 Pseudanthias sp.
181 Variola louti
-
183 Siganus coralinus
184 Siganus javus
185 Siganus magnificus
186 Siganus pueleus
187 Siganus punctatus
188 Siganus vulpinus
-
189 Arothron immaculatus
190 Arothron nigropunctatus
191 Canthygaster compressa
XXXII TETRAODONTIDAE
-
182 Siganus argenteus
SIGANIDAE
-
170 Cephalopholis miniata
XXXI
-
169 Cephalopholis cyanostigma
Lampiran 4. (Lanjutan)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + +
-
- +
-
-
-
-
-
-
- + +
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + -
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
- +
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
+ +
+
+
+
+
-
-
-
- +
- +
- +
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- + +
-
-
-
-
+
-
+
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
- +
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ +
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+ +
-
-
-
-
- + + - + +
+
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
- +
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
- +
-
-
+
-
- +
-
+
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
- +
-
-
- +
-
-
-
-
- +
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
87
ZANCLIDAE -
Keterangan : + = ditemukan - = tidak ditemukan
192 Zanclus cornutus
XXXIII -
Lampiran 4. (Lanjutan)
-
+ +
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
+
-
-
+ + + + + + +
-
+
-
+ +
-
-
-
+
-
-
-
-