Foto Cover : Taufik Rinaldi
Diterbitkan: Justice for The Poor World Bank - Sub Office Jalan Kusuma Atmadja No. 36 Menteng, Jakarta 10310 Ph. 62 -21 310 7158, 391 1908/09 Fax. 62 -21 392 4640 Website: www.justiceforthepoor.or.id
Mei 2009
Menemukan Titik Keseimbangan:
Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Prakata
Prakata Reformasi di sektor hukum dan peradilan menjadi hal yang esensial untuk pembangunan berkelanjutan, pemerintahan yang efektif dan pengurangan kemiskinan – jantung dari misi utama Bank Dunia. Pemerintah Indonesia, dengan dukungan dari masyarakat internasional, sedang menjalankan serangkaian program pembaharuan untuk meningkatkan penegakan keadilan melalui institusi-institusi negara - Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Pembaharuan penting kelembagaan telah dijalankan dalam beberapa tahun terakhir melalui prestasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan implementasi cetak biru reformasi Mahkamah Agung yang tengah berlanjut. Akan tetapi, dalam suatu negeri seperti Indonesia, yang kaya dengan berbagai macam kebudayaan dan pluralisme hukum, hukum tidak hanya menjadi tanggungjawab negara. Mayoritas permasalahan hukum pada kenyataannya dipecahkan di luar pengadilan melalui mekanisme yang berlaku di masyarakat. Satu-satunya pengalaman “keadilan” yang dialami oleh sebagian besar warga negara justru tidak didapat dari gedung pengadilan, dari balai desa, majelis adat, atau melalui mediasi oleh pemimpin agama dan kepala desa. Perselisihan sehari-hari yang kerap muncul pada tingkatan ini - tanah, tenaga kerja, warisan, pernikahan, dan perceraian - mempunyai dampak sosial ekonomi yang berarti dalam kehidupan warga Indonesia. Jika perselisihan seperti itu tidak bisa dipecahkan secara efisien dan adil, maka bisa mengakibatkan konflik kekerasan sosial. Oleh karena itu, kebijakan yang berfokus kepada sistem keadilan non-negara adalah elemen yang penting dalam strategi reformasi hukum dan peradilan. Laporan ini merupakan salah satu keluaran dari program Justice for the Poor-Bank Dunia, diluncurkan untuk mengembangkan kerangka kebijakan dan operasional guna meningkatkan efektivitas dan inklusifitas sosial peradilan non-negara di Indonesia. Berdasarkan riset lapangan yang dilakukan selama delapan belas bulan di lima provinsi dan data kuantitatif mengenai keadilan dan konflik Survei Pemerintahan dan Desentralisasi, laporan ini mendokumentasikan proses, preferensi, dan praktik dalam upaya penyelesaian masalah melalui sistem peradilan non-negara di Indonesia dan mengidentifikasi inovasi lokal serta regional untuk meningkatkan kinerjanya. Bekerjasama dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA), laporan ini diharapkan bisa menjadi masukan dalam pengembangan cetak biru pembaruan MA pada tahap berikutnya. Ini juga kontribusi kepada Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan yang sedang dikembangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kita berharap bahwa studi ini akan memperluas pemahaman mengenai proses penyelesaian sengketa nonnegara yang bervariasi dan kompleks. Dengan demikian membantu pembuat kebijakan menemukan jalan yang baru untuk membangun membangun sistem hukum dan peradilan yang efektif dan mudah diakses oleh semua warga Indonesia.
Joachim von Amsberg Country Director, Indonesia
ii
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ucapan Terima Kasih
Ucapan Terima Kasih Laporan ini adalah produk Unit Pembangunan Sosial, Bank Dunia di Indonesia, dengan dukungan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Ini merupakan hasil kerja tim Justice for the Poor (disingkat Tim Justice) sebagai bagian dari program “Otonomi Peradilan Desa” (Village Judicial Autonomy). Penelitian ini didasarkan pada sejumlah studi kasus dari sengketa yang dipecahkan melalui kelembagaan di desa di Indonesia, dilengkapi dengan data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi (Governance and Decentralization Survey atau GDS). Penelitian lapangan dilakukan oleh anggota Tim Justice bersama fasilitator lokal di lima provinsi. Fasilitator tersebut adalah Fitriyanti dan Rifai Lubis dari LSM Limpapeh di Sumatera Barat; Agus Hadi dan L. Prima Wira Putra dari Yayasan Lembaga Kemanusiaan Masyarakat Pedesaan di Nusa Tenggara Barat; Yuanita Oktavania dari Universitas Palangkaraya di Kalimantan Tengah; aktivis LSM Bata Peillouw dan Bai Tualeka di Maluku; dan peneliti Zuyyinah dan Novia Cici Anggraini di Jawa Timur. Tim Justice mengucapkan terima kasih kepada seluruh penduduk desa, tokoh masyarakat, pejabat lokal, para pengacara bantuan hukum, wartawan, akademisi, aktivis masyarakat sipil, polisi, jaksa dan hakim yang berpartisipasi pada riset, baik sebagai responden maupun peserta pada lokakarya dan diskusi lanjutan. Ucapan terima kasih secara khusus juga ditujukan kepada Hakim Agung H. Abdurrahman SH. MH., Profesor Rehngena Purba SH MS. dan Prof. Dr. Valerine J.L.K, SH. MA untuk bimbingan dan dukungan di sepanjang studi. Penulis utama laporan ini adalah Matt Stephens dan Samuel Clark. Anggota Tim Justice ikut memberikan kontribusi dan masukan secara tertulis dan lisan serta komentar atas naskah laporan. Lene Ostergaard dan Pieter Evers berkontribusi terhadap keseluruhan kerangka dan pengembangan panduan penelitian lapangan. Laporan dari lima provinsi ditulis oleh Peri Umar Farouk (Nusa Tenggara Barat), Dewi Novirianti (Maluku), Lene Ostergaard (Sumatera Barat), Samuel Clark (Jawa Timur), dan Matt Stephens (Kalimantan Tengah ). Taufik Rinaldi, Bambang Soetono, Megadianty Adam, Matt Zurstrassen, dan Philippa Venning turut memberi komentar dan masukan. Terima kasih juga tertuju kepada Arya Gaduh dan Daan Pattinasarany atas bantuan mereka dengan analisa data GDS. Dr. Sinclair Dinnen dari Australian National University, Professor Julio Faundez dari Universitas Warwick, Steven Golub dari Universitas California di Berkeley, dan Dr. Jaap Timmer dari Leiden University bertindak sebagai reviewer atas naskah laporan. Alexandre Marc ikut mereview dari internal Bank Dunia. Erica Harper dari International Development Law Organization, Patrick Barron, Andrea Woodhouse, dan Pamela Dale juga ikut memberikan komentar. Juliana Wilson, Teguh Nugroho, dan Agni Paramita juga memberi masukan editoral yang berharga. Seluruh tim mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Joel Hellman, Susan Wong, dan Scott Guggenheim untuk dukungan intelektual serta bimbingan untuk menyusun laporan ini dan kepada Program Justice for the Poor. Kami juga menyampaikan penghargaan kepada Bank Dunia-DFID Poverty Reduction Partnership Trust Fund dan Kedutaan Besar Belanda atas dukungan finansialnya. Pertanyaan seputar laporan bisa dialamatkan kepada Matt Stephens (
[email protected]/ mjkstephens@ gmail.com) dan Samuel Clark (
[email protected]/
[email protected]).
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
iii
Daftar Isi
Daftar Isi Prakata Ucapan Terima Kasih Daftar Isi Daftar Istilah Ringkasan Eksekutif Pengantar Bagian I: Pendahuluan A. Pentingnya Peradilan Non-Negara di Indonesia B. Pendekatan Kebijakan Pemerintah Terhadap Non-State Justice di Indonesia C. Menemukan Titik Keseimbangan D. Metodologi
iv
ii iii iv vi vii xiv 1 2 4 6 8
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa A. Peradilan Non-Negara dalam Praktek: Tipologi Sengketa, Pelaku, dan Institusi B. Prosedur, Norma, Sanksi dan Pendorong Penyelesaian Sengketa C. Persinggungan antara Peradilan Formal dan Informal
11 12 19 30
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara A. Kekuatan: Mengapa Orang-orang Lebih Memilih Peradilan Non-negara? B. Kelemahan: Ketika Mekanisme Peradilan Informal Gagal
37 38 41
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan B. Saran-saran
57 57 63
Lampiran Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
71 82
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Isi
Gambar Gambar 1: Gambar 2: Gambar 3: Gambar 4: Gambar 5: Gambar 6: Gambar 7:
Sengketa yang dilaporkan terjadi di desa responden selama dua tahun terakhir Pengalaman responden dengan pengadilan, pemahaman soal hak hukum, dan kepercayaan terhadap pengadilan Pelaku Peradilan Informal dan formal yang biasa menyelesaikan sengketa Struktur Organisasil Majelis Adat di Desa Pelau, Kabupaten Maluku Tengah Penyelesaian kasus perkelahian di pasar Kepuasan dengan pelaku formal dan informal Kepercayaan terhadap tetangga dekat dan desa-desa sekitar
13 14 15 18 20 39 48
Tabel Tabel 1: Tabel 2: Tabel 3: Tabel 4:
Konflik regional berdasarkan jenis konflik Konflik regional berdasarkan jenis konflik Sanksi bagi tindak pidana menurut hukum negara dan hukum adat di lokasi riset terpilih Kerangka kerja
viii 13 27 65
Contoh hukum adat dari Bentek, Nusa Tenggara Barat Contoh perubahan I: Menghadapi kurangnya keterwakilan perempuan dan bias gender melalui pemberdayaan hukum Contoh Perubahan II: Memperjelas norma dan struktur resolusi perselisihan di NTB Contoh-contoh Perubahan III: Meningkatkan kesesuaian antara peradilan formal dan informal dan membangun kapasitas – Unit Perantara Peradilan Komunitas Papua Nugini Contoh Perubahan IV: Mendefinisikan Persinggungan–Sistem Peradilan Barangay di Filipina.
24
Boks Boks 1: Boks 2: Boks 3: Boks 4: Boks 5:
45 51 54 54
Studi Kasus Studi Kasus 1: Studi Kasus 2: Studi Kasus 3: Studi Kasus 4: Studi Kasus 5: Studi Kasus 6: Studi Kasus 7: Studi Kasus 8: Studi Kasus 9: Studi kasus 10 : Studi Kasus 11: Studi Kasus 12: Studi Kasus 13: Studi Kasus 14: Studi Kasus 15: Studi Kasus 16:
Perkelahian di pasar dalam bayangan konflik etnis Perselisihan antara sepupu di panangguan, Jawa Timur Perbatasan yang tidak jelas di Desa Souhoku, Pulau Seram, Maluku Warisan membawa petaka Penghinaan ketua adat Reaksi cepat raja dan polisi mencegah kerusuhan meluas di Ruhua Perkosaan yang diabaikan di Desa Sepa Gugatan terhadap denda adat yang berat Perkelahian jalanan di Madura Perkelahian (baku hantam) diselesaikan dengan cepat Lahan Bu Marnis dijual saudara laki-lakinya: Sumpur, Sumatera Barat ’Itu cuma kelebihan nafsu’ Konflik antara Etnis Batak dan Minang di Kinali Tembok berlinnya Lombok: Karang Genteng vs Patemon Pertambangan Sari Gunung menciptakan Kekacauan Penusukan di Kota – Resolusi Dua Jalur
xiv 16 17 22 25 28 29 32 34 40 43 44 46 49 50 52
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
v
Daftar Istilah
Daftar Istilah Awig-awig BJS Bundo Kanduang Carok Damang Datuk GDS Grosok KAN KDRT Kyai LAN Let Adat Mamak Marga Nagari Negeri Ninik Mamak Raja Saniri Negeri Santet Sasi Soa Tua Biroko Tuan Guru
vi
Aturan hukum adat (Lombok, Nusa Tenggara Barat) Barangay Justice System - Sistem Peradilan Barangay (di Filipina) Dewan adat perempuan, tidak termasuk dalam KAN (Sumatera Barat) Pertarungan kekerasan fisik sampai mati (Madura, Jawa Timur) Pemimpin adat (Kalimantan Tengah) Gelar adat turun-temurun yang diwariskan melalui garis matrimonial (garis ibu), namun hanya untuk pria (Sumatera Barat) Governance and Decentralization Survey - Survei Pemerintahan dan Desentralisasi Endapan lumpur atau kepingan sisa-sisa pertambangan kapur Kerapatan Adat Nagari -- Dewan Adat Nagari (Sumatera Barat) Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tokoh agama (Islam) di Jawa Timur dan Jawa Tengah, di Jawa Barat disebut Ajengan, di Sumatera Barat disebut Buya, di Nusa Tenggara Barat disebut Tuan Guru Lembaga Adat Nagari -- Dewan Adat Nagari. Sama seperti KAN, namun penggunaan istilah ini tergantung pada masing-masing Nagari Perangkat Adat (Kalimantan Tengah) Paman dari garis keturunan ibu (Sumatera Barat) Kelompok kaum/keturunan/keluarga (Maluku) Kelompok kecil adat berdasarkan wilayah atau desa (Sumatera Barat) Unit pemerintahan terendah setingkat dengan desa (Maluku) Garis keturunan tertua yang memegang gelar keturunan (Sumatera Barat) Di Maluku berarti pemimpin desa/pemimpin adat Perangkat dewan adat (di Maluku) Ilmu hitam Sanksi-sanksi berdasar adat, terkait upaya pemeliharaan lingkungan (Maluku) Kelompok suku/marga/kaum di Maluku Pengurus adat yang menyediakan informasi kepada masyarakat (Maluku) Tokoh/pimpinan agama Islam, biasanya mengasuh pesantren (NTB)
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Ringkasan Eksekutif Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan proses peradilan non-negara (non-state justice) di tingkat desa, dengan fokus utama pada inklusifitas sosial dan perspektif dari pihak-pihak yang terpinggirkan. Laporan ini juga dimaksudkan untuk memahami dinamika perubahan di masyarakat dan bagaimana menerjemahkannya dalam sebuah kerangka kerja yang mempertahankan kekuatan dan mengatasi kelemahan peradilan non-negara. Laporan ini terdiri dari 34 kajian kasus etnografi yang dikumpulkan dari lima provinsi di Indonesia selama lebih dari 18 bulan, serta data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi 2006. Hal ini merupakan masalah krusial bagi agenda pembangunan Indonesia. Sistem peradilan yang berjalan baik merupakan faktor penting dalam menjaga ketertiban sosial dan untuk menjamin kepastian hukum yang mendasari pertumbuhan ekonomi, serta memajukan dan melindungi hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat miskin. Kesimpulan utama •
Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. Peradilan informal merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin.
•
Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi.
•
Namun juga memiliki kelemahan yang signifikan. Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks, dan ada keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak di atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal, serta dikombinasikan dengan tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas, bisa menciptakan kesewenang-wenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang menentukan proses dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa.
•
Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. Sistem politik dan demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagai pihak di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan inklusif. Kelompok masyarakat pro-reformis ini layak didukung.
Kenyataan keadilan di Indonesia dijalankan bukan di ruang sidang di kota-kota besar, tapi di balai desa di penjuru nusantara. Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah peradilan non-negara merupakan bentuk utama dalam penyelesaian sengketa. Dalam konteks Indonesia, “peradilan non-negara” atau “peradilan informal” pada dasarnya adalah “penyelesaian sengketa di-tingkat lokal” – arbitrase dan mediasi yang dilakukan oleh kepala desa, para pemuka adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama – kadang-kadang didasarkan pada tradisi, namun sering pula hanya berdasarkan pertimbangan subyektif para pemimpin warga tanpa dasar yang jelas atau mengacu kepada hukum negara maupun hukum adat.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
vii
Ringkasan Eksekutif
Pesan penting kedua adalah bagaimana berjalannya non-state justice akan sangat berdampak pada stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Sebagaimana ditunjukkan pada tabel di bawah ini, jenis sengketa yang paling sering dihadapi oleh masyarakat Indonesia adalah tindak pidana, sengketa tanah, kekerasan dalam rumah tangga, warisan, perkawinan, dan perceraian. Individu dan komunitas yang tidak mampu menyelesaikan sengketa tersebut mengalami dampak sosio-ekonomi yang besar. Efektivitas peradilan informal menentukan apakah suatu konflik bisa diselesaikan secara damai atau justru berkembang mengarah pada kekerasan. Konflik lahan seringkali tercatat sebagai masalah yang paling sulit dipecahkan dan yang paling mungkin memicu kekerasan. Tabel 1: Konflik regional berdasarkan jenis konflik Tipe Konflik Pidana Umum Sengketa Tanah/Gedung Perselisihan Keluarga Penyalahgunaan Wewenang KDRT Sengketa Pemilu SARA
Indonesia 16.4%
Sumatera 15.6%
Jawa/Bali 16.0%
Kalimantan 10.9%
Sulawesi 16.9%
NTB/NTT 24.2%
Maluku 18.6%
13.3%
9.6%
9.2%
14.2%
17.5%
23.3%
19.5%
10.9%
8.3%
11.0%
8.0%
9.8%
17.3%
15.3%
2.8%
1.7%
3.0%
2.4%
2.3%
4.0%
4.8%
7.6% 3.2% 2.0%
5.1% 1.3% 1.2%
6.2% 4.2% 1.7%
5.2% 1.8% 1.2%
4.1% 2.0% 3.4%
13.8% 2.6% 1.9%
19.8% 8.8% 3.9%
Secara keseluruhan, penyelesaian perselisihan informal bukan merupakan suatu sistem yang menyeluruh dan koheren, namun merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang berpengaruh. Di beberapa lokasi penelitian, majelis adat setempat dengan struktur dan norma yang jelas sudah terbentuk. Akan tetapi, secara umum lebih sering dijumpai proses tersebut yang dijalankan oleh para kepala desa atau para pemimpin agama setempat yang berpengaruh. Mereka biasanya menyelesaikan sengketa berdasarkan konsep keadilan lokal, atau pemikiran subyektif atas apa yang dianggap pantas, tanpa mengacu kepada hukum negara, agama atau adat. Pada kenyataannya, norma sosial dan kekuasaan yang biasanya menentukan hasil penyelesaian perselisihan di tingkat lokal. Jadi, pada umumnya peradilan non-negara merupakan suatu lingkungan tanpa hukum (“delegalized environment”). Hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fleksibel. Tetapi tanpa ada struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang yang sangat luas. Dimana norma sosial yang dominan, hubungan sosial dan relasi kuasa akan menjadi faktor penentu. Akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berkuasa melewati jalan yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi jalan yang penuh hambatan. Pemulihan harmoni masyarakat merupakan tujuan utama yang melandasi penyelesaian sengketa oleh peradilan non-negara. Akan tetapi, tujuan untuk mempertahankan kerukunan sering disalahgunakan, menjadi diartikan sama dengan upaya untuk menjaga status quo. Pencapaian keharmonisan lebih mengutamakan hubungan komunal, dengan mengorbankan hak asasi dan keadilan individu. Sebaliknya, sistem peradilan formal sering mengutamakan keadilan pribadi diatas kepentingan bersama. Keadaan ini menciptakan kondisi dimana ketika mencari keadilan baik kepentingan individu ataupun kelompok, sama-sama tidak terlayani dengan baik. Tujuan untuk mempertahankan harmoni juga melandasi sanksi yang dikenakan oleh sistem non-state justice. Sanksi untuk sengketa pidana maupun perdata biasanya diukur dengan uang, menggabungkan unsur hukuman dengan ganti rugi atas kerugian materiil. Penelitian di lapangan juga menemukan beberapa kejadian hukuman fisik, termasuk cambukan dan pemukulan, yang secara hukum di luar wewenang para pelaku nonstate justice .
viii
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Kekuatan dan Kelemahan Untuk sebagian besar kasus kecil dan ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan efektif. Dari empat belas kasus kecil yang tercatat dalam penelitian ini, sebelas kasus diselesaikan tanpa kesulitan. Secara keseluruhan, peradilan non-negara populer, mencerminkan kekuatannya. Para pelaku non-state justice memiliki legitimasi dan otoritas lokal, yang tidak selalu dimiliki oleh para hakim dan polisi. Masyarakat mencari bantuan dari para aktor non-state justice justru karena mereka memiliki legitimasi sosial di lingkungan kampung. Lagipula, prosedur dan substansinya sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan kerukunan. Tujuannya bersifat menghindari konflik dan bersifat restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan sangat murah. Sifat-sifat tersebut sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama lain secara ekonomi dan sosial. Akibatnya masyarakat puas dengan para pelaku peradilan informal – 69 persen responden menyatakan kepuasannya pada aktor non-state justice dibandingkan dengan 58 persen responden puas dengan pelaku peradilan formal. Akan tetapi, penelitian ini menemukan beberapa kekurangan yang signifikan dalam sistem peradilan non-negara. Ketika kasus yang dihadapi semakin rumit, pihak dari luar desa turut campur tangan atau ketika kepentingan perempuan yang dipertaruhkan, peradilan informal mulai terpecah. Tidak adanya norma dan struktur yang jelas dan tidak adanya pertanggungjawaban keatas maupun kebawah mengakibatkan terjadinya kesewenang-wenangan. Hal yang mendasari kekuatan peradilan informal adalah otoritas sosial, namun pelaksanaannya tanpa kontrol sekaligus merupakan kelemahan terbesarnya. Kelemahan tersebut biasanya dieksploitasi oleh pihak yang kuat sehingga merugikan pihak yang lemah. Perempuan kurang terwakili dalam lembaga penyelesaian sengketa di pedesaan. Dari dua pelaku peradilan informal yang paling populer – kepala desa dan kepala dusun – hanya 3 persen dan 1 persen perempuan. Oleh karena itu, masalah hukum yang menyangkut kepentingan perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi secara serius. Persengketaan antar etnis sulit untuk dipecahkan. Khususnya dalam mekanisme tradisional berbasis adat, pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu merupakan kaum elit dari suku asli setempat. Kelompok minoritas, terutama di daerah pasca konflik, secara konsisten cenderung memilih pengadilan formal, karena dinilai relatif netral dan tidak mengandung prasangka. Sengketa antar kelompok masyarakat juga merupakan masalah yang berat.. Para aktor non-state justice jarang mampu menerapkan kewenganan mereka melampaui batas wilayah atau sosial. Dalam kasus yang diteliti, lembaga desa tidak mampu memecahkan sengketa dimana perusahaan swasta – yang sering didukung oleh pemerintah – turut terlibat. Kasus-kasus ini biasanya mengenai hak atas tanah dan kekayaan di dalamnya, yang terbukti secara konsisten paling sulit dipecahkan. Ketidakberdayaan ini dapat memicu konflik horizontal di tingkat desa. Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan dengan kewenangan yurisdiksi, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kemungkinan penyalahgunaan dan manipulasi. Polisi menentukan dan memilih apakah akan melakukan mediasi atau penuntutan atas suatu kasus, tanpa prosedur resmi. Pengadilan wajib mempertimbangkan hasil penyelesaian
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
ix
Ringkasan Eksekutif
sengketa informal, akan tetapi hakim sering mengabaikan kewajiban ini atau bingung tentang yang mana yang merupakan proses hukum lokal yang sah dan yang tidak. Ketidakpastian tersebut membuat pihak yang lemah dan tidak berpendidikan, yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami atau bergerak di antara beberapa sistem rentan dieksploitasi. Kegagalan dalam mendefinisikan persinggungan tersebut juga berarti bahwa para pelaku non-state justice seringkali memediasikan tindak pidana berat, seperti perkosaan dan pelecehan seksual. Hal ini sering dilakukan dengan persetujuan atau dukungan dari pihak kepolisian setempat.
Kesenjangan Kebijakan Meskipun pentingnya untuk menjaga stabilitas sosial dan kesejahteraan ekonomi serta kepopulerannya di tingkat lokal, peradilan non-negara sangat diabaikan oleh pembuat kebijakan. Program reformasi hukum dan peradilan dari pemerintah dan donor hampir selalu hanya memperhatikan lembaga negara. Cetak Biru Mahkamah Agung dan program reformasi Kejaksaan Agung, berbagai macam komisi tingkat nasional yang baru dibentuk, dan upaya reformasi hukum nasional didukung oleh bantuan donor sebesar lebih dari $60 juta untuk meningkatkan kualitas keadilan di Indonesia. Prakarsa tersebut penting, akan tetapi mengingat bahwa sebagian besar orang Indonesia tergantung pada peradilan informal, kebijakan dan upaya reformasi hukum harus memberikan fokus yang seimbang terhadap sistem tersebut. Sebuah strategi reformasi hukum yang menyeluruh harus menyoroti peradilan informal apabila strategi tersebut ingin mencakup sistem yang merupakan satu-satunya pengalaman keadilan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pemerintah saat ini kurang memperhatikan masalah ini. Kebijakan dan peraturan perundang-undangan pemerintah pusat penuh dengan pernyataan umum tentang pentingnya mengakui dan mendukung kewenangan lembaga desa untuk menyelesaikan sengketa. Namun, pernyataan tersebut memerlukan penjelasan tambahan agar menjadi berarti. Pemerintah kota/kabupaten memiliki peluang dengan adanya otonomi daerah. Proses desentralisasi telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur bentuk dan struktur pemerintahan desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal tersebut memungkinkan terbentuknya struktur baru untuk mengatasi konflik antar etnis, meningkatkan keterwakilan perempuan, dan mengatasi sengketa antar masyarakat. Akan tetapi, tidak ditemukan contoh pengaturan kembali atas lembaga tersebut selama penelitian lapangan. Faktanya, di Sumatera Barat, Maluku, dan Kalimantan Tengah, kewenangan tersebut telah digunakan untuk menghidupkan kembali struktur pemerintahan berdasarkan hukum adat. Upaya untuk kembali ke “cara lama” dimaknai untuk menegaskan kembali identitas budaya asli. Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaktifan kembali lembaga adat kemungkinan tidak akan dapat mengatasi masalah utama yang telah diidentifikasi terkait kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan kaum minoritas. Beberapa unsur masyarakat madani mendesak diadakannya pengakuan menyeluruh atas mekanisme peradilan informal. Akan tetapi, desakan tersebut mengabaikan tidak adanya standar minimum, tidak adanya pengawasan dan kelemahan mendasar dalam pelaksanaan peradilan informal yang telah diidentifikasi dalam peneilitian ini.
x
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Peluang untuk Perubahan Otonomi daerah merupakan sebuah peluang untuk perubahan. Meskipun tidak ditemukan contoh reformasi yang substantif di tingkat daerah, perbincangan dengan ratusan pejabat pemerintah, anggota parlemen, aktivis, pemuka desa dan anggota masyarakat biasa selama pelaksanaan penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pihak-pihak yang mendukung perubahan. Pihak-pihak tersebut dapat dan harus didukung untuk mengadvokasikan peraturan daerah yang mendukung sistem peradilan informal yang lebih inklusif dan akuntabel. Perubahan yang inovatif di tingkat akar rumput telah teridentifikasi. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi dalam meningkatkan kesadaran hukum dan mobilisasi masyarakat untuk mengubah prosedur dan struktur adat. Persatuan desa Perekat Ombara di Lombok Barat memiliki pandangan yang progresif tentang adat yang mengakui bahwa adat istiadat setempat perlu beradaptasi dengan realitas modern, termasuk keterwakilan perempuan. Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah terbukti membuka berbagai pilihan dan membuat sistem formal lebih mudah diakses oleh semua pihak. Dengan mengurangi monopoli para pelaku peradilan non-negara, kesadaran akan hak dapat memberdayakan pihak yang terpinggirkan untuk mendapatkan keadilan yang lebih baik. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa prakarsa pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput juga dapat mendorong upaya reformasi institusional yang sistematik.
Rekomendasi Pentingnya peradilan informal berarti bahwa strategi yang menyeluruh untuk mendukung penegakan hukum di Indonesia harus mempertimbangkan hal-hal di luar pengadilan. Strategi reformasi hukum dan peradilan yang berbasis pada pengacara, litigasi dan institusi formal semata tidak menjangkau masyarakat miskin di pedesaan. Namun demikian, merancang suatu strategi menyeluruh terhambat oleh banyaknya ragam pelaku, lembaga dan proses yang terlibat. Upaya pembaharuan tersebut kemungkinan betentangan dengan norma sosial dan struktur kekuasaan yang telah baku – dan norma tersebut tidak dapat dengan mudah dihapuskan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan atau pernyataan kebijakan baru. Memang dapat dikatakan bahwa begitu rumitnya peradilan informal sehingga seolah-olah tidak ada yang dapat dilakukan. Terdapat dua alasan pembenar untuk menerapkan pendekatan “tidak melakukan apaapa”. Pertama, memberikan dukungan kepada peradilan non-negara akan hanya memberikan “peradilan yang buruk” bagi masyarakat miskin. Dengan demikian, sumberdaya harus diarahkan untuk menjadikan sistem formal berjalan lebih efektif. Alasan kedua adalah bahwa peradilan informal terlalu rumit dan melekat secara sosial dan oleh karena itu bukan sasaran yang tepat untuk kegiatan intervensi dari pihak luar. Pihak lainnya memiliki sikap yang berbeda, dengan beranggapan bahwa praktik lokal merupakan hal yang ideal dan mendesak adanya pengakuan menyeluruh dari negara atas mekanisme peradilan informal. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan, karena mengabaikan tidak adanya standar minimum dan tidak adanya pengawasan efektif, yang diidentifikasikan sebagai suatu kelemahan dalam studi ini. Di tengah-tengah, terdapat sudut pandang yang lebih realistis; sebuah titik keseimbangan. Peradilan informal merupakan cara utama untuk menyelesaikan sengketa. Peradilan informal telah terbukti sangat andal. Oleh karena itu, sistem informal seharusnya menjadi unsur penting yang dipertimbangkan dalam setiap program yang mendukung penegakan hukum. Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa masalah yang serius terkait dengan peradilan informal yang perlu ditangani oleh pemerintah dan masyarakat madani.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
xi
Ringkasan Eksekutif
Laporan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membangun “titik keseimbangan” antara praktik peradilan non-negara yang berlaku saat ini dan sistem peradilan formal. Pendekatan ini berupaya untuk mengawinkan aksesibilitas sosial, kewenangan dan legitimasi proses hukum informal dengan akuntabilitas kepada masyarakat dan negara. Titik keseimbangan ini berupaya untuk mengakomodasikan berbagai konteks sosial budaya, adat istiadat dan kebiasaan namun secara bersamaan menetapkan prinsip umum untuk melindungi pihak yang terpinggirkan. Dengan berdasar pada UUD 1945, prinsip tersebut antara lain adalah: (i) keterwakilan dengan basis yang luas; (ii) pertanggungjawaban publik dan transparansi; (iii) anti-diskriminasi; (iv) kesetaraan di depan hukum; dan (v) kebebasan dari penyiksaan. Rekomendasi tersebut tidak bertujuan untuk menciptakan peradilan informal yang ideal atau sempurna, tetapi untuk mengatasi dua kelemahan utama: (i) mengatasi kesewenang-wenangan dan menyeimbangkan otoritas sosial dengan akuntabilitas sosial; dan (ii) meningkatkan kinerja peradilan non-negara dalam melayani perempuan dan kelompok minoritas. Pembentukan titik keseimbangan tersebut memerlukan gabungan perubahan di tingkat kebijakan, peraturan perundang-undangan dan akar rumput. Perubahan tersebut harus memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelaksanaan peradilan dan menetapkan standar minimum yang jelas melalui reformasi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, tindakan yang direkomendasikan terdiri atas empat tingkatan. 1.
2. 3. 4.
xii
Pertama, lakukan kegiatan di tingkat akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi. Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di tingkat menengah untuk mengembangkan kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal. Prioritas ketiga di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka pilihan dan memperluas ”bayangan” hukum. Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah perubahan kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i) pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif sehingga sesuai dengan standar konstitusi.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Ringkasan Eksekutif
Prioritas tersebut dituangkan dalam tabel di bawah ini. Tingkat Akar Rumput/ Masyarakat
Tindakan Prioritas Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh masyarakat Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar Lembaga Desa dan Pelaku Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan nonPeradilan informal negara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional Mendukung klarifikasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa Tingkat Kabupaten/Kota Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah Tingkat Nasional Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifikasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a vis pengadilan Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas) di Departemen Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini).
Rekomendasi dalam laporan ini mengkerangkakan sebuah kerangka kerja yang pragmatis untuk mencapai perubahan mendasar yang dapat secara bertahap meningkatkan keadilan bagi pihak yang terpinggirkan. Berbagai elemen dari kerangka kerja tersebut akan dapat diberlakukan hanya di beberapa lokasi saja, sehingga tindakan harus disesuaikan dengan kondisi setempat dan didasarkan pada kenyataan yang ada. Rekomendasi yang luas yang telah diidentifikasi disini dapat melengkapi reformasi tingkat nasional dengan cara memfokuskan bantuan pada tingkat yang paling membutuhkannya, sehingga memungkinkan masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk menyelesaikan sengketa mereka dan mendukung upaya reformasi Indonesia.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
xiii
Pengantar
Pengantar Studi Kasus 1:
Perkelahian di pasar dalam bayangan konflik etnis
Marhat adalah seorang penjual ikan yang sukses di Pasar Induk Kuala Kapuas, di tepi sungai Kapuas, Kalimantan Tengah. Dia besar di daerah tersebut, tapi berasal dari suku Banjar. Kombit adalah seorang petugas di pasar dan berasal dari suku Dayak. Upah dari pekerjaannya rendah dan dia hidup bersama keluarganya di komplek perumahan sederhana di daerah pinggiran kota. Kombit dan Marhat memiliki hubungan yang tidak baik. Dalam beberapa kesempatan, Kombit telah memperingatkan Marhat untuk berhenti berdagang di wilayah terlarang di pasar tersebut. Kesal dengan peringatan tersebut, suatu hari Marhat membentak dan mendorong jatuh Kombit. Mereka berkelahi dan melukai lengan Kombit. Kombit melaporkan kejadian itu ke atasannya, Ramses, yang kemudian melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Ramses khawatir bahwa peristiwa itu diantara dua pihak yang berbeda suku. Dia tahu beberapa stafnya terlibat dalam konflik etnis di Kalimantan Tengah yang memakan ribuan korban di tahun 2001 dan oleh karena itu, penting menangani kekerasan antaretnis di pasar dengan tegas. Dia mengamati bahwa kejadian di tahun 2001 itu merupakan akibat serangkaian sengketa kecil yang tidak terselesaikan; yang perlahan-lahan “meledak”. Ramses dan Kombit memilih untuk menyelesaikan masalah dengan mendatangi polisi, karena seperti kata Ramses, ‘hukum polisi lebih dikenal disini...damang [tokoh adat] tidak terlalu berwibawa di daerah ini.’ Segera setelah kasus tersebut dilaporkan, Kombit dan Marhat dipanggil polisi untuk memberikan kesaksian. Penyelidikan berjalan berbulan-bulan, karena Marhat menyuap polisi untuk menutup kasus. Setelah beberapa waktu, Marhat melihat Kombit tetap berupaya menyelesaikan kasus dan dia minta kasus ditarik dan diserahkan kepada damang. Akhirnya Marhat berhasil meyakinkan Kombit dan Ramses akan penyesalannya yang dalam dan keinginannya untuk menyelesaikan masalah secara kekeluargaan di luar pengadilan. Beberapa teman Marhat dari PERKEBAN (Asosiasi Masyarakat Suku Banjar) juga mengancam Kombit dengan kekerasan jika dia tidak menarik tuntutan di polisi. Karena faktor tersebut dan ditambah dengan frustasi terhadap lamanya proses hukum, Kombit dan Ramses setuju untuk menyerahkan kasus tersebut pada damang. Ramses secara khusus merasa tidak mempunyai pilihan lain. ‘Secara hukum nasional, saya tidak puas,’ katanya. Setelah proses pengumpulan data dan pertimbangan yang dalam dengan Dewan Adat, Damang memutuskan total kompensasi dan denda sebesar Rp. 6 juta, termasuk biaya kasus Rp.600.000. Kedua pihak menandatangani persetujuan ini, tapi Marhat hanya membayar Rp.1,5 juta. Tidak ada tindak lanjut untuk memenuhi persetujuan. Damang hanya bersikap pasif. ‘Bagaimana bisa saya menyelesaikannya?’ ujarnya. Kombit tidak puas, tapi seperti kata Ramses, ‘dianggap lunas saja.’
Kasus ini menunjukkan masalah yang biasa dihadapi rakyat Indonesia ketika berupaya menyelesaikan masalah hukum. Sekilas masalah ini terlihat sederhana, tapi penyelidikan mendalam membuktikan adanya penyuapan, intimidasi, kelambanan polisi dan bayangan kekerasan suku. Proses resolusi bolak-balik antara pelaku keadilan formal dan informal, dan ketika penyelesaian telah didapat, pelaku penyelesaian sengketa tidak memiliki keinginan atau kemampuan untuk menegakkan perjanjian perdamaian. Terpaksa mengikuti proses yang tidak diinginkan, resolusi hanya menyebabkan pihak yang lemah kecewa, sehingga sangat memungkinkan masalah ini akan terjadi lagi. Ketika akses terhadap keadilan menjadi sangat penting untuk kerukunan sosial dan kesejahteraan masyarakat, tindakan apa yang harus dilakukan untuk menangani kelemahan dan mengatasi ketidaksamaan yang ada? Melalui penyelidikan konteks sosial dan politik, studi kasus dan pengumpulan data survei, laporan ini mempertimbangkan masalah tersebut dan berusaha mengajukan beberapa solusi.
xiv
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
Foto : Taufik Rinaldi
Bagian I:
Pendahuluan “[ Negara ] adalah korup…terpisah dan jauh dari masyarakat, yang melihat, tanpa adanya alternatif yang dapat berjalan, ke cara lama yang menjamin keberlangsungan. Namun cara lama bukan seperti dahulu lagi, dilemahkan oleh migrasi tenaga kerja, industrialisasi parsial, urbanisasi dan lebih umum lagi oleh kapitalisme.” H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World1 “Jika kita mengetahui bagaimana memanfaatkan aspek positif dari keadilan tradisional dan mengidentifikasi kelemahannya sebagai mekanisme dengan nilai-nilainya, keadilan tradisional (dengan kata lain, keadilan yang diterapkan masyarakat) akan memainkan peranan penting dalam mencegah masalah kecil berkembang menjadi konflik besar, termasuk konflik dalam keluarga atau didalam dusun diantara satu dengan yang lain” Xanana Gusmao, Perdana Menteri Timor Leste2 12
Berfungsinya sistem peradilan dengan baik sangat penting dalam memelihara ketertiban sosial, menjamin kepastian hukum yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan untuk memajukan dan memberikan perlindungan hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat
1
H. Patrick Glenn ( 2000) Legal Traditions of the World, Oxford: Oxford University Press, hal.77.
2
Jose ‘Kay Rala Xanana’ Gusmao, ’Pidato Pembukaan Presiden’, yang disampaikan pada saat Konferensi Internasional Penyelesaian Konflik Tradisional dan Keadilan Tradisional di Timor-Leste, Dili, 27 Juni 2003.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
1
Bagian I: Pendahuluan
miskin. Warga negara merasa sektor keadilan berjalan lambat, korup dan berjarak.3 Pemerintah sendiri mengakui adanya kelemahan tersistem.4 Upaya pembaharuan hukum untuk mengatasi kelemahan tersebut sudah cukup kuat dalam mendiagnosa tetapi lamban dalam perkembangannya. Tetapi penciptaan keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara secara eksklusif. Kebanyakan orang Indonesia mencari penyelesaian masalah hukum mereka melalui sektor informal atau sistem keadilan nonnegara. Keadilan non-negara sering dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa, tapi dalam kenyataannya merupakan media utama bagi sebagian besar warga miskin. Barangkali sebanyak 90 persen dari perselisihan ditangani oleh insititusi non-negara.5 Dalam konteks Indonesia, “peradilan non-negara” adalah “penyelesaian perselisihan di tingkat lokal” – arbitrasi dan mediasi yang dilakukan oleh kepala desa, pemimpin adat, tokoh masyarakat dan pemuka agama, terkadang berdasarkan tradisi, namun tidak jarang perselisihan ini diselesaikan secara subyektif oleh pemimpin komunitas tanpa mengacu kepada hukum negara atau hukum adat. Untuk kepentingan laporan ini, “peradilan non-negara” atau “peradilan informal” didefinisikan sebagai semua bentuk penyelesaian sengketa di luar proses ajudikasi pengadilan formal.6 Ini termasuk sistem hukum adat sebagai salah satu bagiannya.
A. Pentingnya Peradilan Non-Negara di Indonesia Seperti digambarkan di kasus yang di atas, peradilan informal penting untuk beberapa alasan. Sebagai alat utama untuk menyelesaikan perselisihan, efektivitasnya menentukan apakah konflik dapat dipecahkan dengan damai atau meledak menjadi kekerasan. Ketika sistem formal lemah dan rentan penyuapan, apabila sistem peradilan non-negara tidak berfungsi, alternatif penyelesaian lain adalah kekerasan atau pengabaian konflik. Hal ini juga bisa mengarah menjadi kekerasan di kemudian hari.7 Ketidakadilan dan pengabaian konflik atas akses terhadap sumber daya alam selama era Orde Baru merupakan dua diantara beberapa penyebab kekerasan sosial yang
2
3
Asia Foundation (2001) Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector, Jakarta: Asia Foundation. Bagan mengenai sistem hukum formal adalah di Lampiran 3.
4
Sebagai contoh, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan yang disampaikan dalam pertemuan Consultative Group on Indonesia pada tanggal 14 Juni 2006, ”Orang-orang belum melihat keadilan nyata dikarenakan oleh persepsi bahwa lembaga yudikatif yang korup telah merasuk kedalam sistem dan menyebar keseluruh sektor.”
5
Lihat Stephen Golub (2003) ‘Beyond Rule of Law Orthodoxy: the Legal Empowerment Alternative’, Working Paper No. 14, Carnegie Endowment for International Peace: Washington DC dan Chidi Anselm Odinkalu (2005) ‘Poor Justice or Justice for the Poor? A View from Africa,’ yang dipresentasikan pada World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember 2005. Menurut Asia Foundation (2001), di atas n.3, dari orang Indonesia yang telah benar-benar mengalami sebuah persengketaan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, 57 persen mengejar penyelesaian di luar sistem formal, 18 persen menggunakan sistem formal dan 32 persen tidak melakukan apapun. Keseganan terhadap litigasi juga merupakan hal yang umum di negara-negara maju. Di Australia, sebagai contoh, hanya 6 persen dari sengketa komersiil yang sampai di pengadilan: Australian Law Reform Commission (1998), Issues Paper 25, Review of the Adversarial System of Litigation, Canberra: Commonwealth of Australia. Michelson mengutip riset [yang] menyatakan sekitar 15 persen sengketa di Amerika Serikat, Wales dan Inggris masuk kedalam sistem hukum formal: Ethan Michelson ( 2007) ‘Climbing the Dispute Pagoda: Grievances and Appeals to the Official Justice System in Rural China.’ 72 American Sociological Review 459, 461.
6
Ini tidak menunjukkan bahwa ada perbedaan yang jelas antara sistem negara dan peradilan non-negara atau formal dan informal. Beberapa proses “informal” juga mengikuti proses formal dan dapat melibatkan anggota-anggota aparat negara (terutama polisi dan pegawai pemerintah daerah). Lagipula, penyelesaian sengketa informal kadang-kadang mempergunakan peraturan dan sumber yang lain dari sistem hukum formal.
7
Pengabaian konflik ‘di permukaan tampak tenang dan damai, namun ada gunung berapi yang tersembunyi dibawah permukaan.’ Thomas Zitelmann (2005) “The Cambodian Conflict Structure. Conflict about land in a wider perspective.” GTZ: Phnom Penh.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
terjadi di Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah lain di Indonesia pada masa setelah reformasi.8 Penyelesaian masalah yang efektif juga sangat krusial bagi kesejahteraan masyarakat miskin. Laporan ini meneliti sejumlah kasus yang menggarisbawahi hubungan antara keadilan dengan kemiskinan – keluarga di pedesaan secara melanggar hukum diambil lahannya oleh perusahaan perkebunan di Sumatera Barat; anak yang diadopsi yang tidak diberikan warisan di Jawa Timur; perempuan yang bercerai tidak bisa mendapatkan haknya atas harta gono-gini di Kalimantan Tengah. Semuanya tergantung pada sistem keadilan informal untuk menjamin hak ekonominya. Kegagalan yang terjadi pada kasus-kasus tersebut membuat mereka harus menghadapi kenyataan terpinggirkan secara ekonomi dan sosial. Popularitas keadilan non-negara adalah respon alami atas ketidakmampuan negara memenuhi permintaan masyarakat untuk mendapatkan keadilan.9 Tapi itu juga merefleksikan karakteristik di dalamnya yang justru cocok dengan kondisi lokal. Peradilan non-negara melekat dalam realitas politik dan sosial di tingkat lokal. Pelaksana keadilan di luar negara mempunyai legitimasi dan otoritas yang tidak selalu dimiliki oleh polisi atau hakim. Prosedur dan substansi sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan pentingnya harmoni. Tujuannya bersifat menghindari konflik dan restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan sangat murah. Sifat-sifat tersebut sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama lain secara ekonomi dan sosial. Tetapi ada masalah dengan praktik non-state justice pada saat ini. Yang paling mendasar, peradilan informal mengabaikan kepentingan kelompok minoritas dan perempuan. Banyak pelaku peradilan non-negara di tingkat desa kurang mampu menyelesaikan masalah. Ketidakseimbangan kekuasaan menghalangi perlakuan yang sama dan mengakibatkan pihak yang lemah sering terpaksa menerima penyelesaian yang tidak diinginkan atau tidak mampu menerapkan putusan yang telah disepakati. Hal ini menyebabkan banyak konflik yang hanya diselesaikan secara parsial, dengan kemungkinan bisa muncul lagi dalam bentuk kekerasan. Lagipula, persinggungan yang kurang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan dengan yurisdiksi kewenangan masing-masing, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka peluang terjadinya manipulasi dalam menyelesaikan konflik. Oleh karena itu, terlihat adalah, meskipun diluar kewenangannya kasus pidana berat dapat dimediasikannya pada tingkat lokal, bahkan seringkali justru memperkuat struktur kekuasaan yang ada diatas tercapainya keadilan untuk para korban. Namun, meski non-state justice sangat penting untuk stabilitas, keamanan dan kesejahteraan warga miskin, sangat mengagetkan ketika tidak banyak dokumentasi mengenai bagaimana masyarakat menggunakan sistem peradilan informal untuk mencari keadilan di Indonesia. Bahkan sedikit kebijakan pemerintah yang ada yang dimaksudkan untuk membuat sistem ini lebih adil dan inklusif secara sosial. Hal ini apabila dibandingkan dengan program reformasi hukum dan peradilan pemerintah dan lembaga donor yang lebih terfokus pada institusi negara. Ini terjadi karena pengadilan, kejaksaan dan kepolisian lebih mudah dilihat, dijangkau dan dimengerti. Paling tidak untuk organisasi donor, lembaga ini juga jauh lebih dikenal. Ini juga disebabkan cara kerja peradilan non-negara kurang dipahami. Perumusan kebijakan yang tepat untuk keadilan informal sangat kompleks karena diversitas institusi, norma dan proses dalam ”sistem” tersebut. Sehingga, strategi komprehensif untuk reformasi hukum dan peradilan harus mengangkat peradilan non-negara apabila 8
Pada puncaknya, konflik sosial mempengaruhi 7 dari [pada masa itu] 32 propinsi di Indonesia. Menurut pengamatan Jakarta Post, ‘Konflik antar suku di Maluku berakar dari pemerintahan yang lemah, kesenjangan antara rakyat kaya dan miskin yang semakin merenggang, dan ketidakadilan.’ Jakarta Post, ‘Maluku, Kalimantan Strife “Lingering”’, 1 May 2006. Untuk informasi tambahan, lihat International Crisis Group (2001) Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan, Asia Report No 19; dan International Crisis Group (2000) Indonesia’s Maluku Crisis: the Issues, Indonesia Briefing Paper, 19 July.
9
Hal ini yang oleh Faundez disebut sebagai “pemerintahan yang belum mampu” (governance deficit). Lihat Julio Faundez (2006) ‘Should Justice Reform Projects Take Non-State Justice Seriously? Perspectives from Latin America.’ Makalah dipaparkan di World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember 2005.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
3
Bagian I: Pendahuluan
bercita-cita menjangkau sistem yang menjadi satu-satunya pengalaman keadilan untuk sebagian besar warga Indonesia. Laporan ini bertujuan untuk memberikan kontribusi kecil dalam membantu mengisi kesenjangan informasi dan kebijakan ini. Penelitian ini dilakukan secara eksplisit untuk mengidentifikasi kerangka kerja untuk memperkuat inklusivitas sosial dan efektifitas kerja sistem peradilan non-negara. Secara spesifik, tujuan dari laporan ini adalah: •
• •
Mendokumentasikan proses, preferensi dan praktik sistem peradilan non-negara di Indonesia, dengan perhatian khusus pada inklusifitas sosial dari proses ini dengan fokus pada pengalaman kelompok minoritas dan perempuan Meneliti prakarsa dan inovasi lokal untuk pembaharuan peradilan non-negara Mengembangkan sebuah kerangka kerja yang memadukan sistem peradilan non-negara yang menghormati tradisi lokal tetapi didasarkan pada standar Undang Undang Dasar Republik Indonesia
Fokus pada inklusifitas sosial berdasarkan asumsi bahwa bias gender merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan;10 dan bahwa diskriminasi etnis adalah inti dari konflik sosial yang melanda Indonesia sejak jatuhnya rezim Soeharto. Memahami bagaimana peradilan informal mempertahankan bias gender dan diskriminasi etnis dan pada saat yang sama bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi adalah salah satu hasil utama yang diharapkan dari studi ini.
B. Pendekatan Kebijakan Pemerintah Terhadap Non-State Justice di Indonesia Sebagaimana yang berlaku di hampir sebagian besar negara berkembang, sistem hukum di Indonesia adalah pluralistik. Yaitu bahwa aturan dan institusi hukum berasal dari dua atau lebih tradisi hukum. Tantangan kebijakan untuk memadukan non-state justice dalam kerangka kerja hukum nasional bukanlah suatu hal yang baru. Bahkan, sepanjang sejarah kolonialisme dan setelah kemerdekaan, pemerintah terus bergulat dengan pertanyaan bagaimana mendekati peradilan informal dan mengakomodasi sistem hukum yang beragam. Ada empat pendekatan umum untuk menjangkau non-state justice.11 Abolisi adalah ketika negara bersikeras terhadap keseragaman atau penyatuan hukum dan menghapuskan sistem peradilan non-negara. Pendekatan ini sering didasarkan kecenderungan peradilan non-negara bertentangan dengan hak asasi manusia. Pada sisi ekstrim yang lain, penyatuan penuh (full incorporation) adalah pendekatan dimana peradilan non-negara secara penuh terintegrasi dengan sistem hukum negara, dengan peran masing-masing yang jelas. Di bawah pendekatan kemandirian (non-incorporation), komunitas lokal diberikan wewenang untuk menerapkan dan mengikuti nilai, norma dan kebiasaan lokal. Pada pendekatan ini, peradilan formal dan informal berdampingan/ hidup bersama tapi beroperasi secara mandiri, dengan batasan yurisdiksi yang ketat diantara keduanya. Pendekatan ini sering digunakan untuk mengakomodasi hukum tradisional di dalam komunitas masyarakat asli. Terakhir, usaha pendekatan penyatuan parsial (partial incorporation) berusaha untuk menggabungkan keuntungan dan kekurangan dari peradilan formal dan informal. Kedua sistem bekerja secara independen, tetapi sistem keadilan informal mendapat pengakuan, dampingan dan pengawasan dari negara. Model terakhir ini merupakan kompromi antara penyatuan penuh dan kemandirian. 10 Sebagai contoh, diperkirakan bahwa Indonesia mengalami kerugian sebesar $2.4 milyar per tahun, dikarenakan oleh ketidaksetaraan di tempat kerja: lihat Bappenas/World Bank/AusAID/ADB/DFID (2007) Gender in CDD Projects: Implications for PNPM. 11
4
Connolly, B. (2005) ‘Non-State Justice Systems and the State: Proposals for a Recognition Typology’, 38 Connecticut Law Review 239.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
Di Indonesia terjadi fluktuasi antara penyatuan penuh (minimal secara retorika), abolisi dan kemandirian.
Pendekatan Historis Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, warisan sistem hukum terdiri dari kombinasi pengaruh hukum tradisi, kolonial dan Islam. Pemerintah kolonial Belanda menghadapi keadaan ini dengan menerapkan hukum secara berbeda berdasarkan kelompok etnis. Artinya, orang Eropa mengikuti hukum Belanda, sedangkan orang Indonesia menjadi subyek hukum adat. Hukum adat sendiri sangat beragam–ada sekitar 300 kelompok etnis yang masing-masing memiliki hukum adat sendiri.12 Secara kelembagaan, status mekanisme peradilan desa juga bermacam-macam, merefleksikan ketegangan antara, pada satu sisi pengakuan keberagaman, dan pada sisi lain keinginan untuk kesatuan hukum dan “modernitas”. Hingga 1874, yang disebut Pengadilan Pribumi beroperasi sesuai dengan hukum dan prosedur adat. Pada 18741935, pengakuan terhadap pengadilan ini dibatalkan, meski dalam praktiknya tetap berlangsung. Pada 1935, pemerintah kolonial menghidupkan kembali peradilan desa dengan mewajibkan hakim mempertimbangan hasil Dewan Adat di pengadilan negeri.13 Ketika Republik baru dibentuk pada tahun 1945, kebijakan nasional mengajukan keseragaman sistem hukum. Secara institusional, pluralisme hukum dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kedudukan sebagai negara merdeka dan modernitas.14 Namun demikian, konstitusi beserta dengan amandemennya kemudian telah memberikan pengakuan bersyarat terhadap hukum adat.15 Pengakuan ini sangat terbatas. Hakim ‘wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat’.16 Dukungan untuk peradilan non-negara juga direfleksikan dalam dokumen kebijakan nasional pemerintah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, dimana dinyatakan bahwa hukum adat perlu dihormati dan diperkuat.17 Disamping pernyataan dan retorika di atas, sebagaimana dinyatakan oleh Lindsey, ‘Adat adalah sumber hukum cadangan yang hanya diterapkan secara informal atau jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur.’18 Hukum negara tertulis selalu diutamakan dibandingkan hukum adat. Dan walaupun hakim wajib mempertimbangkan hasil dari peradilan non-negara, pada kenyataannya mereka bebas untuk mengabaikannya, dan banyak berlaku seperti itu.
Pendekatan Kontemporer: Dampak Desentralisasi Kebijakan pemerintah mengenai kebutuhan untuk menghormati dan memperkuat pengakuan terhadap peradilan non-negara hanya retorika saja. Akan tetapi, walaupun peradilan tetap menjadi fungsi pemerintah 12 Szczepanski, K (2002) ‘Land Policy & Adat Law in Indonesia’s Forests’, 11 Pacific Rim Law & Policy Journal 231. 13 Sebastiaan Pompe (2002) Court Corruption in Indonesia. Mimeo belum diterbitkan: Jakarta. 14 Daniel Fitzpatrick (1999) ‘Beyond Dualism: Land Acquisition and Law in Indonesia’, di T Lindsey (ed) Indonesia: Law and Society. Sydney: Federation Press, hal.74. 15 Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa: ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indoneisa, yang diatur dalam undang-undang.’ (Pasal 18(2)); dan bahwa ‘Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.’ ( Pasal 28I(3)). 16 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28(1). 17 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Bab 9. 18 Timothy Lindsey (2006) ‘Inheritance and Guardianship and Women: Islamic Laws in Aceh, a Year After the Tsunami.’ Makalah dipersiapkan untuk International Development Law Organization.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
5
Bagian I: Pendahuluan
pusat, proses otonomi daerah yang diterapkan pada 1999 telah membuka kesempatan untuk memperkuat atau mengubah penyelesaian sengketa informal. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan pemerintah daerah mempunyai otoritas untuk mengkonfigurasi ulang struktur pemerintahan desa – termasuk mekanisme penyelesaian masalah – sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan. Seiring dengan semangat otonomi, UU No. 22 Tahun 1999 juga membentuk Badan Perwakilan Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat dan membagi kekuasaan eksekutif pada tingkat desa. Pada sisi “yudisial”, pasal 101 ayat (e) memberikan otoritas kepada kepala desa, bersama dengan Dewan Adat untuk menyelesaikan konflik. UU No. 32 Tahun 2004, yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 menghapus yurisdiksi ini, tapi kemudian dikembalikan lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Hakim Agung Rehngena Purba telah menyoroti manfaat mendukung “otonomi peradilan desa” ini. Menurut dia, ‘proses membawa kasus ke pengadilan dapat dihindari [dan] harmonisasi kehidupan yang damai ...bisa semakin ditingkatkan’.19 Akan tetapi, kalau pemerintah daerah telah mengeksploitasi peluang ini, perubahan yang dilakukan bukan demokratis atau inklusif, melainkan penghidupan kembali“cara lama”(Lampiran 1 meringkas perubahan peraturan pada lima provinsi yang diteliti). Di Maluku, provinsi itu berusaha untuk kembali ke struktur desa tradisional yang dikenal dengan nama “negeri” dan di Sumatera Barat dikenal dengan “nagari”. Di Kalimantan Tengah, inisiatif diambil untuk memperkuat pengakuan terhadap pemimpin adat, dikenal dengan nama “damang”. Perubahan tersebut menempatkan etnis setempat dan elit laki-laki sebagai pemegang kendali. Konsep keadilan lokal yang sempit bisa diajukan – apa yang digambarkan oleh Benda-Beckmann sebagai, ‘sering berlaku sebagai hukum laki-laki senior’ yang ‘dipertahankan sebagai alasan untuk membenarkan hubungan dominasi dan penindasan.’20 Didorong oleh “regionalisme dan nasionalisme lokal” (semangat kedaerahan), resiko ini mencegah tuntutan dari kelompok yang terpinggirkan seperti perempuan dan etnis minoritas untuk keterwakilan dan pengakuan di dalam institusi lokal yang mengatur hidup mereka. Proses marginalisasi terhadap kelompok terpinggirkan dapat menimbulkan perpecahan sosial yang bisa memicu konflik kekerasan, dan menyebabkan kemiskinan. Kebijakan pemerintah harus merespon secara tepat untuk mencegah munculnya perpecahan sosial. Peradilan non-negara mempunyai peranan penting dalam hal ini. Jadi, otonomi daerah meciptakan resiko maupun peluang. Dan perpaduan dinamika sosial dan politik ini telah mengacaukan proses ini sekali lagi dengan menimbulkan pertanyaan: sistem peradilan seperti apa yang ingin dimiliki Indonesia dalam masyarakat yang sangat beragam dan pluralistik.
C. Menemukan Titik Keseimbangan Jika negara lemah dan “cara lama” patut dipertanyakan relevansinya, memicu munculnya pertanyaan, “Apa lagi?” Menurut Glenn kejahatan dan kekerasan adalah dampak yang tidak bisa dielakan.21 Ini memang mungkin bisa menjelaskan terjadinya konflik di sejumlah wilayah di Indonesia pada pasca reformasi. Dia juga mengacu pada middle ground atau “titik keseimbangan” yang memadukan kekuatan keadilan formal dan informal. Konsep ini mengakui kenyataan bahwa komunitas harus diberdayakan sehingga bertanggungjawab atas manajemen konflik, tapi pada saat yang sama merefleksikan kepentingan seluruh unsur masyarakat, tidak hanya elit etnis asli. Konsep ini juga dapat mengakomodir tradisi hukum pluralistik yang beragam, tetapi sekaligus menghormati 19 Rehngena Purba (2004) ‘Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Alternatif Kajian Pada Masyarakat Karo’, makalah dipaparkkan di Universitas Karo, 1 July 2004, di hal. 15. 20 Franz von Benda-Beckmann (1990) ‘Ambonese Adat as Jurisprudence of Insurgency and Oppression,’ 5 Law & Anthropology 25 di hal 39. 21
6
Glenn n.1 diatas, hal.77.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
supremasi Undang-Undang Dasar dan kerangka hukum negara. Secara retorika, inilah pendekatan yang diterapkan oleh Republik Indonesia dalam era otonomi daerah, tapi dalam kenyataan, hasil konkrit di lapangan dari arah kebijakan ini belum kelihatan. Sebenarnya, “menemukan titik keseimbangan” merupakan hal yang kompleks, karena cenderung berlawanan dengan tradisi dan kepentingan yang berkuasa. Respon secara hukum dan teknokratis tidak tepat. Membuat kebijakan mengenai peradilan non-negara sangat rumit, mengingat keberagaman dan jumlah institusi, pelaku dan norma yang merupakan “sistem” informal ini. Reformasi peradilan ternyata menjadi tugas yang berat dalam pengadilan di Indonesia, yang hanya menjangkau pada tingkat kabupaten di seluruh 450 kabupaten di Indonesia. Tapi peradilan informal berada di lebih dari 70.000 desa. Akan tetapi, sangatlah jelas bahwa penegakan hukum mensyaratkan baik lembaga sosial maupun negara kuat dimana semua warga negara diperlakukan sama dan kepentingan serta nilai-nilai kehidupan mereka dihormati. Seiring dengan semakin diakuinya dominasi regionalisme, para pakar juga mengobservasi bahwa ‘kecenderungan mengarah ke kepentingan lokal dan etnisitas tidak diterima oleh semua pihak.’22 Pendukung model pemerintahan desa dan penyelesaian sengketa yang inklusif dan contoh perubahan telah ada di berbagai kalangan masyarakat. Studi ini diluncurkan untuk meletakkan titik keseimbangan mendasar peradilan lokal, bukan keadilan tradisional, yang dilandasi tindakan pendukung reformasi di tingkat lokal di luar elit tradisional. Pendekatan ini berusaha mengawinkan aksesibilitas sosial, otoritas dan legitimasi proses peradilan informal dengan akuntabilitas terhadap komunitas dan negara. Pendekatan ini mengakui kenyataan pluralisme hukum di Indonesia dan bahwa satu model yang seragam untuk peradilan non-negara tidak menjadi pilihan dan tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu, titik keseimbangan ini seharusnya mengakomodasi konteks perbedaan sosio-kultural, kebiasaan dan sifat yang berbeda tetapi pada saat yang bersamaan juga menghormati perlindungan hukum dalam konstitusi untuk melindungi pihak yang terpinggirkan.23 Membangun kerangka kerja untuk memadukan harus didasarkan pada pemahaman yang paripurna terhadap pelaksanaan peradilan non-negara saat sekarang ini. Sehingga, bagian IIA dan B, tubuh utama dari tulisan ini, menggambarkan tipologi dan proses sengketa, berdasarkan studi kasus kualitatif dan data kuantitatif survei. Bagian ini menjelaskan preferensi, persepsi dan pengalaman komunitas, dengan fokus khusus pada kelompok minoritas etnis dan agama, serta perempuan. Bagian IIC menguji persinggungan antara peradilan informal dan formal sebagai hal yang krusial untuk meningkatkan kualitas keduanya dan menuju kearah kepastian hukum. Bagian III menganalisa kekuatan dan kelemahan keadilan non-negara, mencatat bagaimana aksesibilitas dan legitimasi sosial terkadang dikalahkan oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan penekanan pada menjaga keteraturan sosial diatas rasa keadilan. Bagian IV menyimpulkan temuan-temuan utama sebelum menampilkan sejumlah rekomendasi yang konkrit.
22 Franz & Keebet von Benda-Beckmann (2001), “Recreating the nagari: Decentralisation in West Sumatera”, makalah dipaparkan di konferensi ke-3 European Association for SE Asian Studies, London, 6-8 September 2001. 23 Serangkaian prinsip ini mencakup representasi berbasis luas, akuntabilitas dan transparansi publik. Termasuk didalamnya, di antaranya, hak untuk melawan diskriminasi, (Undang-Undang Dasar pasal 28B2 & 28I2), kesetaraan dimuka hukum (28D1) dan kebebasan dari penyiksaan (28G2). Pemerintah juga baru-baru ini memasukkan Pernyataan Hak Asasi Manusia Internasional kedalam perundangan nasional melalui Undang-undang No. 11 dan No. 12 Tahun 2005, termasuk didalamnya proses perlindungan (due process) yang lengkap.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
7
Bagian I: Pendahuluan
D. Metodologi Metode analisa yang digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana menemukan tititik keseimbangan adalah pendekatan metode campuran (mixed-methods) yang mengkombinasikan data kualitatif dan kuantitatif untuk mendapatkan analisis yang mendalam dan luas. Sumber data utama termasuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Konsultasi dengan institusi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) dan lembaga donor di tingkat nasional. Kerjasama dengan Mahkamah Agung dibangun pada tahap ini. Riset lapangan di Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat selama 2004 dan 2005.24 Data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi [Governance and Decentralization Survey (GDS)] 2006. Studi konteks hukum untuk peradilan non-negara di Indonesia. . Studi literatur mengenai sistem peradilan non-negara yang diterapkan di luar Indonesia. Studi banding untuk meneliti peradilan informal di Bangladesh dan Filipina.
Sensitivitas, kompleksitas dan ambiguitas berbagai isu yang dikaji mengarah bahwa metode utama dari penelitian ini adalah kualitatif. Karena itu, sebagian besar temuan dan analisa di dalam laporan ini berdasarkan pada studi kasus, wawancara informan kunci dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussions) di tingkat desa.
Sumber Data Sumber data utama adalah 34 studi kasus yang dikumpulkan dari lokasi penelitian oleh tim Justice for the Poor bekerjasama dengan peneliti dari LSM atau universitas setempat.25 Kasusnya bervariasi dari yang bersifat perselisihan kecil seperti perbedaan pendapat antar penduduk di dalam satu desa, perselisihan antar-desa yang berjalan lama dan mengarah ke kekerasan, hingga konflik antara penduduk desa dengan pihak luar. Ada tujuh belas kasus tanah, sumber daya alam dan kerusakan lingkungan; tujuh kasus pidana ringan atau penganiayaan; empat pembunuhan; tiga perkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga; dua berhubungan dengan pernikahan; dan satu “penghinaan adat”. Pola-pola ini konsisten dengan data lain mengenai tipologi perselisihan lokal.26 Ringkasan dari setiap kasus terdapat di Matriks Kasus pada Lampiran 2. Penelitian kualitatif dilengkapi dengan data dari Survei Desentralisasi dan Pemerintahan (GDS) 2006 yang dilakukan oleh Pusat Studi Kebijakan Publik-Universitas Gadjah Mada (PSKP-UGM), dan didukung oleh Bank Dunia. Pada tahun 2006, GDS mengumpulkan informasi dari 32.000 responden termasuk kepala keluarga, kepala desa, pekerja di bidang pendidikan dan kesehatan serta pejabat pemerintah. Survei dilakukan di 133 dari 450 kabupaten di Indonesia, mencakupi seluruh 33 provinsi. 24 Laporan terpisah ditulis dari kelima lokasi dan tersedia online di www.justiceforthepoor.or.id. Laporan ini didiskusikan dalam lokakarya verifikasi dan konsultasi secara berseri dengan pemangku kepentingan setempat selama tahun 2005 dan 2006 di semua lokasi penelitian kecuali Jawa Timur. Peserta lokakarnya termasuk pegawai pemerintahan, anggota DPRD, akademisi, LSM, tokoh adat dan pejabat desa, pelajar dan anggota masyarakat. 25 Ada lebih banyak kasus yang terdokumentasi, namun 34 kasus di dalam makalah ini adalah kasus-kasus yang memiliki data yang lengkap dari pihak yang bersengketa, mediator, dan dokumentasi (berkas kasus setempat, laporan polisi dan pengadilan) untuk mengecek informasinya. Salah satu kasus diambil dari kunjungan lapangan di Lampung tahun 2007. 26 Bahkan kasus-kasus yang sampai ke polisi mengikuti pola yang serupa. Pada survei di Jawa Timur, polisi melaporkan bahwa tiga bentuk kasus yang paling umum yang mereka tangani adalah penganiayaan (33 persen), kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan (31 persen) dan sengketa tanah (10 persen): lihat Anton Baare (2004), ‘Policing and Local Level Conflict Management in Resource Constrained Environments’ Mimeo, Jakarta: World Bank. Lihat juga World Bank (2004), Village Justice in Indonesia; World Bank: Jakarta dan UNDP et al (2006) Access to Justice in Aceh: Making the Transition to Sustainable Peace and Development, UNDP: Jakarta.
8
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
Selain studi kasus dan data survei, wawancara informan kunci dilakukan dengan LSM, akademisi, hakim, jaksa, polisi dan pengacara serta pejabat pemerintah dan anggota parlemen di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten untuk meningkatkan pemahaman terhadap konteks lokal dan arah kebijakan lokal. Pada tingkat daerah ke bawah, wawancara selalu dilakukan dengan pihak yang bersengketa dan saksi, kepala desa dan dusun, pemimpin agama, pemuka adat dan tokoh masyarakat. Diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan perempuan dan etnis minoritas. Secara keseluruhan, 452 orang diwawancara dan 343 menghadiri lokakarya verifikasi yang diselenggarakan di lima provinsi.
Pemilihan Lokasi Penelitian Provinsi lokasi penelitian dipilih berdasarkan empat kriteria. Pertama, mewakili konstelasi etnis dan agama. Kedua, merupakan kombinasi lokasi paska-konflik dan wilayah dimana hukum adat masih berlaku secara kuat atau sudah hampir tidak ada lagi. Ketiga, mewakili cakupan geografis di Barat, Tengah dan Timur dari wilayah Indonesia. Pertimbangan terakhir adalah sejauhmana pemerintah lokal di setiap lokasi telah berinisiatif mengeluarkan peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah di tingkat pedesaan. Lokasi desa di setiap provinsi dipilih berdasarkan masukan dari responden di tingkat lokal.
Keterbatasan Data Data kualitatif dan kuantitatif sama-sama memiliki keterbatasan. Ada resiko bahwa penelitian kualitatif terlalu fokus pada kasus yang sensasional atau luar biasa. Survei kuantitatif dapat menggenalisir dan menyaring pengalaman nyata yang sebaiknya ditangkap melalui pengamatan dan interaksi langsung. Kami sudah berupaya mengatasi keterbatasan ini dengan mengintegrasikan kedua sumber utama dan memverifikasi temuan melalui lokakarya dengan berbagai kelompok yang berkepentingan (multi-stakeholder) dan mendiskusikannya dengan cakupan responden yang luas. Dari diskusi kelompok terfokus dan wawancara informal di tingkat pedesaan kami telah dikumpulkan data baik dari pihak yang berselisih maupun penduduk biasa untuk memperoleh perpaduan pengalaman langsung beserta pendapat umum mengenai proses peradilan non-negara.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
9
10
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Foto : Taufik Rinaldi
Bagian II:
Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Untuk memperdalam pemahaman mengenai non-state justice di Indonesia, bagian ini menguraikan secara terperinci tipologi dan proses sengketa. Bagian ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama memaparkan tipologi, para pelaku dan preferensi dalam penyelesaian sengketa. Bagian ini menggarisbawahi pentingnya non-state justice dalam menyelesaikan sengketa di Indonesia dan keterkaitan erat antara keadilan, konflik dan kemiskinan. Bagian kedua menguraikan proses penyelesaian sengketa informal - prosedur, norma-norma dan pendorong resolusi. Bagian ketiga menguji persinggungan antara sistem peradilan formal dan informal, mengeksplorasi kapan dan mengapa kedua sistem berinteraksi, beserta dampaknya.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
11
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
A. Peradilan Non-Negara dalam Praktek: Tipologi Sengketa, Pelaku, dan Institusi Temuan Utama & Implikasi Kebijakan Tipologi Sengketa. Kriminalitas, konflik tanah, kawin/cerai dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah jenis perselisihan yang paling sering terjadi. Kasus tanah merupakan yang paling sukar untuk dipecahkan dan paling rentan memicu kekerasan. Peradilan non-negara adalah forum penyelesaian sengketa utama. Kepala dan perangkat desa, tokoh masyarakat, pemuka adat dan polisi adalah pelaku yang paling sering diminta bantuan dalam hal penyelesaian sengketa. Persidangan di pengadilan dan pengacara hampir tidak libat sama sekali, bahkan untuk kasus pidana. Perempuan dan Minoritas kurang terwakili. Pelaku penyelesaian sengketa biasanya laki-laki yang berumur setengah baya atau sudah tua. Hampir tidak ada perempuan yang berperan sebagai pengambil keputusan dalam lembaga desa dan etnis minoritas juga nyaris tidak terwakilkan. Kesadaran hukum. Orang yang memahami hak mereka lebih cenderung percaya pada dan menggunakan sistem hukum formal. Ini berarti kesadaran hukum membuka pilihan dan megalihkan ketidakseimbangan kekuasaan sesuai dengan kehendak mereka. Variasi regional. Jenis sengketa dan pola resolusi berbeda-beda di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, suatu strategi untuk menjangkau dan memperkuat peradilan non-negara perlu disesuaikan dengan kondisi lokal.
Tipologi Perselisihan ‘Sembilan puluh persen kasus yang masuk adalah kasus tanah.’ Kepala Desa, Tamilou, Pulau Seram, Maluku. Seperti ditunjukkan di Gambar 1, kriminalitas, konflik tanah, masalah hukum perdata (kawin, cerai dan warisan) dan KDRT secara konsisten dilaporkan oleh anggota masyarakat sebagai jenis sengketa yang paling sering terjadi pada tingkat desa selama dua tahun terakhir. Tanpa perkecualian di semua lokasi penelitian, sengketa tanah dilaporkan sebagai masalah yang paling rumit diselesaikan dan paling mungkin memicu kekerasan. Perempuan biasanya melaporkan permasalahan hukum pribadi (pernikahan, perceraian dan warisan) sebagai permasalahan hukum utama mereka. Pola umum sengketa ini dan sengketa tanah adalah persaingan atas penguasaan sumber daya yang sangat penting terhadap kesejahteraan dan ekonomi. Banyak kasus warisan dan perceraian berkaitan dengan tanah dan pembagian harta kekayaan.
12
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Gambar 1: Sengketa yang dilaporkan terjadi di desa responden selama dua tahun terakhir
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Persentase
Sumber: Survei GDS
Walaupun tindak pidana menjadi sengketa yang paling sering terjadi secara nasional, kejadian sengketa tanah meningkat menjadi 19 persen di luar Pulau Jawa, dimana masyarakat pedesaan lebih sering berhadapan dengan perusahaan perkebunan, kehutanan dan pertambangan, sebuah sumber utama ketegangan. Tabel di bawah membandingkan angka di tingkat nasional dengan hasil di tingkat regional. Tabel 2: Konflik regional berdasarkan jenis konflik Tipe Konflik
Indonesia Sumatera Jawa/Bali Kalimantan Sulawesi NTB/NTT Maluku/Papua
Tindak Pidana
16,4%
15,6%
16,0%
10,9%
16,9%
24,2%
Sengketa Tanah/Gedung
13,3%
9,6%
9,2%
14,2%
17,5%
23,3%
18,6% 19,5%
Perselisihan Keluarga
10,9%
8,3%
11,0%
8,0%
9,8%
17,3%
15,3%
Penyalahgunaan Wewenang
2,8%
1,7%
3,0%
2,4%
2,3%
4,0%
4,8%
KDRT
7,6%
5,1%
6,2%
5,2%
4,1%
13,8%
19,8%
Sengketa Pemilu
3,2%
1,3%
4,2%
1,8%
2,0%
2,6%
8,8%
SARA
2,0%
1,2%
1,7%
1,2%
3,4%
1,9%
3,9%
Sumber: Survei GDS
Siapa Menyelesaikan Perselisihan? Formal Melawan Informal Masyarakat pedesaan mempunyai banyak pilihan atau “jalan menuju keadilan.” Sistem hukum formal adalah salah satunya, terutama di kawasan perkotaan. Namun pada umumnya pilihan ini dipandang korup, mahal, lamban, dan berjarak. Gambar 2 menunjukkan hanya 2.1 persen dari responden pernah berhubungan dengan pengadilan dalam dua tahun terakhir. Lebih lanjut, hanya 34.2 persen percaya pada keadilan formal; mayoritas tidak percaya (24.3 persen) atau tidak beropini (41.5 persen). Jadi, masyarakat menyatakan preferensi yang kuat pada penyelesaian sengketa secara informal, berdasarkan mediasi dan konsiliasi.27 Menariknya, orang yang sadar 27 Hal ini sesuai dengan temuan dari penelitian yang sebelumnya, lihat Asia Foundation (2001) diatas n.3 dan World Bank (2004) diatas n.26. UNDP (2007) Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia Jakarta: UNDP menggatakan bahwa 58 persen masyarakat merasa puas dengan keadilan informal, berbanding dengan 28 persen untuk keadilan formal.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
13
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
akan hak hukum mereka cenderung lebih sering menggunakan hukum formal dan mempercayainya. Gambar 2: Pengalaman responden dengan pengadilan, pemahaman soal hak hukum, dan kepercayaan terhadap pengadilan Pengalaman dengan Peradilan
Memahami Hak-hak yang benar
Percaya kepada Pengadilan
0%
20%
40% Yes
60% No
80%
100%
Don't know
Sumber: Survei GDS
Kepada Siapa Orang-orang Meminta Bantuan? ‘Rakyat pergi ke yang dekat dan yang mereka kenal dulu’ Penduduk desa, Kalimantan Tengah. Kepala desa dan Kepala dusun merupakan pilihan yang paling dituju oleh kebanyakan penduduk desa. Seperti ditunjukkan di Gambar 3, 41.1 persen dari responden mengatakan bahwa perangkat desa yang biasanya menyelesaikan masalah. Pelaku penyelesaian sengketa utama yang lain adalah pemuka agama; tokoh masyarakat dan pemimpin adat (semuanya 34,8 persen); dan polisi serta militer (27,6 persen). Sebagian besar tindak pidana berat diserahkan kepada polisi, walaupun seperti terlihat dalam Studi Kasus nomor 10 di bawah, hal itu tidak mencegah penyelesaian secara adat pada saat yang bersamaan. Pelaku lain lebih jauh dan cenderung hanya dipanggil ketika ada perselisihan yang serius, yang melintasi batas wilayah desa atau ketika perselisihan gagal diselesaikan di tingkat bawah. Untuk kasus yang melibatkan pihak luar, seperti sengketa antara masyarkat desa dan perusahaan kelapa sawit, pejabat kecamatan dan kabupaten bisa terlibat.
Dominasi Laki-laki Setengah Baya Aparat desa, para pemimpin adat dan agama serta tokoh masyarakat adalah pelaku penyelesaian perselisihan yang paling populer. Kecuali kepala desa, semua biasanya ditunjuk dan tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Hampir semuanya laki-laki setengah baya atau sudah tua. Secara keseluruhan, 97 persen kepala desa dan 99 persen kepala dusun adalah laki-laki. Rata-rata umur kepala desa 45 tahun, dan kepala dusun 48 tahun.28 Selama penelitian, kami hanya menemukan seorang kepala desa perempuan di Maluku, satu di Nusa Tenggara Barat, diberitahu bahwa ada seorang damang yang perempuan di Kalimantan Tengah tetapi tidak bertemu 28 Data survei GDS.
14
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
dan tidak seorangpun di Jawa Timur. Perempuan dilarang menjadi anggota lembaga adat di Sumatera Barat, jadi mereka tidak terwakili dalam Kerapatan Adat.29 Organisasi perempuan berperan sedikit sebagai mediator, khususnya untuk sengketa yang melibatkan perempuan, tetapi mereka jarang mempunyai otoritas pengambilan keputusan. Terutama untuk sistem peradilan berbasis adat, pelaku yang menyelesaikan perselisihan hampir selalu berasal dari suku asli atau pribumi. Ini tidak berarti bahwa kelompok etnis lain selalu dilarang – di Sumatera Barat, misalnya, pendatang dapat diakui menjadi anggota suku. Di beberapa wilayah di Maluku, suku non-asli membentuk marga sendiri dan mengintegrasikan diri ke dalam struktur adat setempat. Tetapi pada dasarnya peradilan adat itu bersifat eksklusif berdasarkan asal etnis. Implikasi dari ini akan diuji lebih lanjut di bagian III di bawah. Gambar 3: Pelaku Peradilan Informal dan formal yang biasa menyelesaikan sengketa Pemerintah Desa Tokoh Adat/ Masyarakat Polisi Keluarga/Teman Pemerintah Kecamatan Kurang tahu Jaksa Paralegal Pemerintah Kabupaten Pengacara LSM 0
5
10
15
20
25
30
35
persentase
Sumber: Survei GDS
Tidak Terlihatnya Sektor Formal Sektor formal hampir tidak kelihatan. Pertanahan, kriminalitas dan masalah hukum keluarga adalah hal fundamental bagi keamanan dan kesejahteraan masyarakat biasa, tetapi para pengacara, jaksa dan pengadilan hampir tidak relevan dalam penyelesaian sengketa mereka.30 Kepolisian aktif, seperti yang diharapkan terhadap kasus kriminal, tapi hampir sebagian besar keluhan yang dilaporkan ke polisi pada kenyataannya dimediasikan atau dikembalikan ke desa ketimbang diproses pada sistem formal.31 Jadi, walaupun pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa hanya pengadilan yang boleh memberikan sanksi atas tindak pidana, pelaku peradilan non-negara juga melakukan hal yang sama untuk menangani tindak pidana.
29 Perempuan diwakili melalui lembaga Bundo Kanduang, namun tidak punya peran yang nyata dalam proses mengambil putusan. 30 Sektor formal terlibat dalam 16 dari 34 kasus yang dipelajari untuk laporan ini, dengan 4 kasus berlanjut ke pengadilan. Pengacara terlibat dalam negosiasi informal di dua studi kasus – dalam salah satunya untuk mengintimidasi pihak yang lebih lemah. Namun di kasus lainnya pengacara tidak memiliki peran langsung. 31 Lihat Baare, diatas n.26, hal 9.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
15
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
LSM Juga Tidak Menonjol Minimnya pengakuan peran LSM, walaupun ada banyak yang aktif dalam menyelesaikan perselisihan dan advokasi di bidang seperti pertanahan, hak buruh dan perlindungan lingkungan. Hasil survei membuktikan minimnya kapasitas LSM untuk menjangkau wilayah pedesaan.
Bagaimana Orang-orang Memilih Pelaku Penyelesaian Sengketa? Pilihan tentang ke mana masyarakat membawa kasus mereka umumnya bergantung pada kebiasaan pembagian tugas di antara pemimpin mereka, dan pada kapasitas dari individu-individu yang terlibat. Masalah pidana ringan yang dapat didamaikan biasanya dirujuk kepada kepala RT/RW, kepala dusun, pemuka adat atau kepala desa. Kasus perceraian atau masalah rumah tangga juga biasanya ditujukan kepada pelaku yang sama, walau terkadang pemuka agama juga mempunyai peranan. Masalah yang terkait pemerintahan desa biasanya langsung ditangani oleh kepala desa. Dalam beberapa kasus, orang melaporkan langsung ke polisi setempat. Konflik tanah biasanya dilaporkan ke kepala desa atau pemimpin adat dimana mereka sangat berpengaruh. Perselisihan besar yang melibatkan kepentingan pihak luar selalu menjadi lebih kompleks. Kasus tersebut terkadang ditangani LSM, atau dilaporkan langsung ke Camat, pemerintah kabupaten atau Badan Pertanahan Nasional. Pilihan-pilihan itu sering tergantung tidak hanya pada pembagian tugas antara pelaku, tetapi pada kemampuan masing-masing untuk memediasikan suatu masalah. Kepala desa di desa Sembuluh I di Kalimantan Tengah, sebagai contoh, tidak terlalu disukai masyarakat sehingga jarang dilibatkan dalam penyelesaian perselisihan. Di desa lainnya, polisi setempat mempunyai reputasi yang buruk. ‘Apa yang dilakukan polisi disini?’ kata salah seorang penduduk. ‘Tidak ada.’ Dikenal sebagai penerima uang pelicin dari pengusaha, polisi itu secara praktis bukan merupakan penengah antara masyarakat dan sistem hukum formal. Dengan demikian, satu “jalan menuju keadilan” sudah tertutup. Warga desa tidak berharap adanya netralitas dari mediator dalam kasus yang melibatkan keluarga atau sahabat dekat. ‘Jelas, Pak RT lebih bersimpati kepada keluarganya,’ kata seorang warga desa Henda di Kalimantan Tengah. Ini adalah salah satu fakta yang mempengaruhi pilihan pelaku penyelesaian sengketa. Jadi, pihak yang bersengketa biasanya memilih pelaku penyelesaian sengketa berdasarkan kapasitas mereka untuk memecahkan sebuah perselisihan secara kasus per kasus. Kapasitas ditentukan oleh kombinasi hubungan pribadi dan kelembagaan dengan status dan keterampilan individu. Berikut ini dua contoh kasus, selain menggambarkan proses penyelesaian sengketa, juga menggambarkan bagaimana cara pemilihan pelaku untuk menyelesaikan sengketa dapat dinegosiasikan atau bisa langsung turun ke kepala desa. Studi Kasus 2:
Perselisihan antara sepupu di panangguan, Jawa Timur
Sengketa tanah ini antara Halim (kepala dusun) dan Amir (sepupunya Halim) terjadi pada 2001 di desa Panangguan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Perselisihan berawal ketika Amir kembali ke Panangguan setelah pergi beberapa lama. Ketika kembali, ia mendengar bahwa seseorang telah menawarkan Halim uang Rp. 8 juta untuk tanah yg menurut dia masih kepunyaan bapaknya. Kakak Halim, Ali, menawarkan bantuan untuk menjadi penengah dalam perselisihan ini. Tiga pertemuan dilakukan di rumah Ali untuk mengklarifikasi pemilikan atas tanah tersebut. Pada pertemuan itu, tidak ada titik temu untuk menyelesaikan masalah, jadi Halim melaporkan kasus ini kepada kepala desa. Seminggu kemudian, kepala desa mengadakan rapat yang dihadiri Halim, Amir dan para saksi masing-masing.
16
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Kepala desa kemudian menjelaskan bagaimana prosesnya berlangsung: ‘Karena (masalah) nggak selesai pada tingkat bawah jadi dibawa ke tingkat desa. Guna menyelesaikan masalah ini, saya mengacu pada dokumen yang saya punya yang tertera nama ayah Halim. Penjelasan saksi agak membingungkan. Mereka nggak sepakat. Rupanya (tanah itu) tidak dibeli secara transparan di masa lalu. Sepertinya tanah itu dijual ketika si pemilik membutuhkan uang secara mendadak, dan akan membeli kembali kalau sudah punya uang. Harga jualnya juga murah. Pihak Amir sudah mengakui hal ini. Menurut versi Halim, tanah itu benar-benar terjual. Suasana pada pertemuan itu tegang. Amir mengancam akan melakukan kekerasan. Lalu, tanah itu kemudian saya bagikan. Saya mengembalikan sebagian kepada Amir. Saya menekan mereka juga. Apabila dia tidak menerima resolusi itu, tanah itu akan menjadi milik desa. Mereka takut. Rakyat desa mendukung proses ini. Masalah berhasil selesai’. Dokumen yang dipegang kepala desa adalah dokumen tanah yang lama (Petok C) yang digunakan pada masa penjajahan Belanda. Seperti yang sering terjadi, buku itu ketinggalan zaman dan tidak bisa menentukan pemilikan. Pada akhirnya, kepala desa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk membagi tanah, didukung oleh tekanan dari masyarakat serta diwarnai ancaman kekerasan.
Kasus berikutnya juga mengenai peselisihan tentang batas dan kepemilikan tanah yang diselesaikan oleh kepala desa sebagai pemegang otoritas sosial dan bukan menjalankan penerapan hukum. Studi Kasus 3:
Perbatasan yang tidak jelas di Desa Souhoku, Pulau Seram, Maluku
Udin dan Haryadi membeli tanah dari Among Pieters. Tanah itu terdaftar, tetapi Among tidak memberikan sertifikat ketika menjual tanah itu. Tanah itu berdekatan dengan tanah milik Minggus Tamaela. Beberapa waktu kemudian, Among meminta Udin dan Haryadi untuk menebang pohon di tanah tersebut. Setelah hal itu dilakukan, Minggus protes dan mengatakan bahwa pohon itu ada di wilayah tanah miliknya. Dia mengancam Udin dan Haryadi dengan akan mengambil tindakan kekerasan apabila tidak mengembalikan pohon yang sudah ditebang itu. Udin dan Haryadi melaporkan kasus ini kepada kepala desa (Raja). Raja dan stafnya memanggil pihak yang berselisih itu untuk bertemu di kantornya. Dia meminta Among dan Minggus untuk membayar sehingga Badan Pertanahan Nasional bisa turun dan menentukan batas dari tanah milik mereka. Keputusan ini langsung menyelesaikan masalah. Enam tahun kemudian, Udin bertengkar dengan tetangganya, Lahamaku, seputar masalah perbatasan tanah. Udin melaporkan masalah ini kepada Raja yang kemudian mengirimkan “tim tanah” untuk mengukur perbatasan tanah milik Udin dan Lahamaku. Tim itu menentukan bahwa tanah yang diperebutkan itu menjadi milik Udin, tapi karena Lahamaku sudah menggunakan tanah itu sejak lama, dia juga punya hak untuk membelinya. Udin tidak puas dengan keputusan itu tapi akhirnya menerima, sadar bahwa hanya sedikit alternatif bagi warga desa biasa selain menerima keputusan Raja.
Dalam dua kasus di atas ini, pelaku penyelesaian sengketa menggunakan kombinasi antara pengetahuan umum, pengetahuan sejarah, tekanan komunitas dan kompromi untuk mencari penyelesaian secara damai sehingga bisa menghindari terjadinya kekerasan. Ada implikasi positif dan negatif dari pluralitas pilihan yang tersedia bagi warga desa dalam menyelesakan perselisihan. Kebebasan yang luas memberikan anggota masyakarat kemampuan untuk memilih pelaku yang mempunyai legitimasi sosial yang tepat untuk setiap tipe perselisihan. Di sisi lain, pihak yang berselisih kemungkinan tidak setuju mengenai siapa yang mempunyai otoritas untuk menyelesaiakan sebuah kasus kalau ini terjadi sangat susah mencari konsensus.
Apa yang dimaksud dengan Dewan Adat? Seperti ditulis di atas, “sistem” non-state justice sering merupakan mediasi secara kekeluargaan di antara keluarga dan komunitas. Akan tetapi, di beberapa lokasi, Dewan Adat berkerja dengan struktur kelembagaan dan
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
17
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
norma – biasanya secara lisan tapi terkadang tertulis. Sistem hukum adat biasanya terorganisir, dengan struktur institusional yang menerapkan peraturan dan prosedur tertulis serta menghasilkan putusan tertulis. Berdasarkan definisinya, proses dan struktur adat adalah bervariasi dan fleksibel, tapi diagram di bawah ini disajikan sebagai contoh salah satu struktur adat di Desa Pelau, Provinsi Maluku. Gambar 4: Struktur Organisasil Majelis Adat di Desa Pelau, Kabupaten Maluku Tengah Raja Otoritas Tertinggi di Desa
Saniri Negeri Pemimpin masing-masing Soa dan perangkat adat
Wakil pemuda
Wakil Pemuda
Perempuan
Laki-laki
Penghulu Mesjid Pemuka Agama Islam
Tuabiroko Menyediakan Informasi ke publik
Juru Catat Menulis hasil Majelis Adat
Soa
Marga
Struktur Adat ini mencakup unsur utama di komunitas – Raja atau kepala desa sebagai sumber otoritas tertinggi, penghulu Islam mewakili otoritas agama dan pemimpin masing-masing Soa (suku) mewakili masyarakat secara keseluruhan. Wakil pemuda merupakan jalur komunikasi dari Raja ke pemuda di desa. Kadang-kadang mereka berperan dalam menyelesaikan perselisihan kecil yang melibatkan pemuda. Untuk peselisihan di dalam suatu keluarga atau marga, kepala marga yang bertanggungjawab atas proses penyelesaian. Ketika perselisihan lebih serius atau antar[a] marga, otoritas Raja biasanya diperlukan. Raja boleh pilih untuk bertindak sendirian atau di dewan dengan kepala soa, yang juga merupakan pengurus adat (dikenal dengan nama saniri negeri). Ketika sudah dicapai kesepakatan untuk menyelesaikan masalah, saniri negeri bertanggung jawab atas mengatur penyelenggaraan.
Variasi Regional Bercermin dari keanekaragaman norma sosial di setiap lokasi yang diteliti, variasi regional yang signifikan telah ditemukan dalam hal pelaku dan lembaga penyelesaian sengketa yang digunakan oleh masyakarat, norma yang diterapkan serta kekuatan struktur institusi hukum adat dan pelaku. Pemuka agama, misalnya, memainkan peranan yang terbatas di Kalimantan Tengah, tapi justru menjadi pelaku kunci di Jawa Timur dan sebagian wilayah Lombok, dimana Kyai dan Tuan Guru sangat dihormati dan diakui sebagai tokoh pimpinan penting bagi umat Islam. Di Sumatera Barat, para pemimpin agama tergabung dalam struktur adat, seperti di Lombok, di bawah
18
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
“trias politica”, yaitu gabungan antara negara, adat dan agama sebagai elemen penting dalam pemerintahan desa. Kekuatan hukum adat dan tingkat intensitas masyarakat dalam pengakuan adat juga sangat bervariasi. Di Jawa Timur, lembaga dan hukum “adat” bukan merupakan wacana yang mengemuka, sedangkan di Sumatera Barat, NTB dan Maluku, para pemimpin adat sangat penting dalam penyelesaian sengketa. Di Kalimantan Tengah, kebangkitan “adat” sejak otonomi daerah hanya kuat di atas kertas saja tapi belum terealisasi di lapangan.
Implikasi Dari sisi kebijakan, variasi ini memiliki dua implikasi penting. Pertama, berbagai kebijakan pemerintah nasional maupun peraturan daerah dalam memperkuat peradilan informal (non-state justice) akhir-akhir ini tidak mencakup seluruh preferensi dan pengalaman keadilan di tingkat lokal. Dengan memfokuskan pada Dewan Adat dan pemulihan struktur tradisional, mereka melewatkan, misalnya, peran sentral kyai di Jawa Timur. Mereka mengabaikan fakta bahwa perangkat adat seringkali memiliki tingkat penerimaan terbatas dari masyarakat di wilayah urban. Implikasi kedua adalah, kerangka kerja untuk menjangkau peradilan non-negara harus cukup fleksibel untuk mengakomodasi variasi regional. Juga harus cukup luas untuk menangkap keinginan masyarakat secara keseluruhan dibandingkan kelompok masyarakat tertentu saja.
B. Prosedur, Norma, Sanksi dan Pendorong Penyelesaian Sengketa Apa yang kita tuju adalah suatu situasi yang win-win, sehingga semua pihak merasa seolah-olah mereka tidak dihukum atau kena sanksi melalui mediasi tersebut. Yang mereka rasakan adalah kewajiban untuk berbagi dan untuk mencapai keadilan. Tak ada yang kalah.’ Hasanain, Tuan Guru Muda, Lombok Barat, NTB. Temuan Utama •
Prosedur penyelesaian sengketa bersifat fleksibel dan cair, tapi biasanya terdiri dari proses pencarian fakta, pertimbangan secara mendalam, dan mediasi atau arbitrase “ringan”.
•
Sukarela tapi seringkali tidak ada alternatif lain. Peradilan informal secara teori sifatnya sukarela, tetapi tanpa adanya alternatif lain, seringkali orang miskin terpaksa menerima keputusan yang tidak memuaskan. Pihak yang lemah juga sering dipaksa menerima proses atau hasil penyelesaian sengketa karena intimidasi atau karena takut akan kemungkinan balas dendam.
•
Norma sosial mengalahkan norma hukum. Norma yang diterapkan kadang-kadang jelas, tetapi yang lebih sering diterapkan justru adalah norma sosial yang berdasarkan rasa keadilan setempat atau apa yang layak menurut pertimbangan pimpinan desa. Dengan demikian, hubungan sosial dan kekuasaan biasanya menentukan hasil penyelesaian sengketa informal.
•
Sanksi-sanksi bervariasi, tapi biasanya berupa uang denda. Jumlahnya biasanya mempertimbangkan kemampuan finansial tertuduh untuk membayar. Hukuman fisik pernah terjadi, meskipun jarang.
•
Pentingnya harmoni bisa menghasilkan impunitas. Tujuan utama penyelesaian sengketa adalah untuk memulihkan harmoni dan ketertiban sosial, tetapi faktor ini dapat mengorbankan keadilan dan hak asasi. Ini terutama terjadi pada perempuan, dimana haknya kadang-kadang dikorbankan demi menjaga kestabilan sosial dan status quo.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
19
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Bagaimana Sengketa Diselesaikan? Prosedur penyelesaian sengketa informal secara inheren bersifat fleksibel dan bervariasi. Tapi dalam banyak studi kasus yang terdokumentasi, sebuah prosedur umumnya sudah jelas, sebagaimananya digambarkan dalam diagram di bawah. Gambar 5: Penyelesaian kasus perkelahian di pasar 32 Keluhan Diterima: Kombit dan Ramses Melapor ke Polisi dan Damang Setelah tidak mendapat tanggapan efektif dari polisi, Kombit dan Ramses melapor ke damang secara lisan.
Pencarian Fakta: Perangkat Adat, Saksi-saksi dan Pihak yang Bersengketa Setelah terima laporan, damang memanggil pengurus adat (yang dikenal dengan let adat) untuk diberi penjelasan mengenai insiden yang terjadi. Setelah itu dia memanggil kedua belah pihak dan para saksi secara terpisah ke rumahnya untuk menggali fakta kasus.
Pengambilan keputusan/Mediasi/Arbitrase “Ringan” Damang memanggil perangkat adat untuk “persidangan” Dewan Adat. Dalam mengkaji fakta kasus, mereka mengacu pada buku hukum adat dan menentukan sanksi bagi Marhat. Sanksi ini disampaikan secara tertulis dalam bentuk surat perdamaian. Marhat dan Kombit kemudian dipanggil kembali oleh damang dan kedua pihak menyetujui tawaran penyelesaian yang diajukan Dewan Adat dan menandatangani surat tersebut.
Penerimaan/Pemulihan/Upacara Adat Menurut adat dayak, setelah penyelesaian tercapai maka kedua pihak yang bertikai diakui sebagai anggota baru keluarga masing-masing. Ini kemudian disahkan melalui upacara adat dengan mengorbankan seekor ayam (diperlukan bila dalam perkelahian sengketa menyebabkan kucuran darah), selanjutnya dua pihak makan bersama.
PENOLAKAN
Penerapan Surat Perdamaian yang ditandatangani itu memperkuat penerapan penyelesaian sengketa, didukung oleh sanksi sosial. Damang tidak memiliki kekuasaan untuk menegakkan pelaksanaan sanksi, jadi, seperti dalam banyak kasus, Marhat sebagai pihak yang lebih kaya dan berkuasa hanya membayar 25 persen dari denda yang dijatuhkan. Damang tidak bertindak untuk menerapkan sanksi.
Melaporkan ke Otoritas yang Lebih Tinggi/ Mediator lain atau Menghindari Konflik Dalam kasus ini, pihak yang bertikai menerima “arbitrase ringan” dari damang. Bila mereka menolak, bagaimanapun, pilihan Kombit adalah melaporkan ke mediator lain, otoritas yang lebih tinggi, atau sekali lagi melapor ke polisi. Alternatif terakhir adalah menyingkir - menghentikan kasus-atau meningkatkan konflik.
32 Kasus Perkelahian di Pasar ditampilkan di Pengantar. Diagram ini mempergunakan Bagan 8 dalam UNDP (2007), diatas n.27, hal. 225.
20
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Proses penyelesaian kasus Perkelahian di Pasar secara umum menggambarkan proses resolusi sengketa yang sering digunakan: 1. 2. 3. 4.
5.
6.
Keluhan/keberatan diterima dalam bentuk tertulis atau, lebih sering, lisan. Pencarian fakta: mediator mendiskusikan kasus secara terpisah dengan pihak yang bersengketa, saksi mata, dan tokoh masyarakat dari wilayah tinggal mereka. Pertimbangan fakta kasus: bisa dilakukan sendirian, bersama dengan dewan adat, atau dalam musyawarah. Untuk kasus rumit, proses ini bisa memerlukan beberapa kali pertemuan. Mediasi atau Arbitrase “Ringan”: Mediator mempertemukan pihak-pihak yang bertikai untuk mencoba menengahi, atau menyampaikan saran penyelesaian dan/atau sanksi. Ini bisa didasarkan pada hukum adat baik tertulis maupun lisan, hukum agama atau justru pandangan subyektif dari mediator. Kesepakatan atau Penolakan: Pihak yang bertikai bisa menerima atau menolak penyelesaian yang ditawarkan. Kesepakatan kadang disertai dengan intimidasi/ancaman, keinginan untuk menghindari sistem hukum formal atau ketakutan terhadap kemungkinan balas dendam. Jika kesepakatan penyelesaian sengketa tidak tercapai, mereka beralih ke mediator lain, membawah kasus ke hukum formal atau menghentikan tuntutannya. Penerapan: Kesepakatan seringkali dalam bentuk tertulis dan ditandatangani justru untuk memperkuat tekanan dalam penerapannya. Keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa bisa menjadi faktor tambahan sebagai sanksi sosial. Ketakutan akan balas dendam atau proses hukum formal juga mendukung penegakkan kesepakatan itu. Pada akhirnya, bagaimanapun juga, pelaksanaan kesepakatan ini tergantung pada kemauan orang yang bersengketa. Pihak yang berkuasa sering mengabaikan hasil mediasi.
Meski prosedur ini sering diikuti dalam penyelesaian sengketa informal, tidak selalu persis seperti di atas. Sebagaimana jelas ditunjukkan dalam Studi Kasus 4 di bawah, beberapa proses penyelesaian bisa berjalan sekaligus dengan melibatkan beberapa mediator berbeda. Dan seperti ditunjukkan dalam kasus Perkelahian di Pasar, sengketa maju-mundur antara sistem formal dan informal. Kadang-kadang proses penyelesaian berjalan pada jalur yang paralel atau sejajar. Ancaman melimpahkan kasus ke kepolisian atau ancaman balas dendam sering digunakan untuk mendorong penyelesaian yang cepat. Tentu saja ada variasi setempat terkait standar prosesnya. Di Madura, Jawa Timur, umum terjadi pembalasan dendam, vigilantisme dan “membunuh untuk harga diri”. Perkelahian berdarah satu lawan satu hingga meninggal – yang dikenal di tempat itu sebagai carok – diterima baik secara sosial dan kultural sebagai cara memecahkan perselisihan, terutama sekali jika harga diri dan kedudukan sosial laki-laki ditantang. Secara paradoks, ketakutan akan carok merupakan pendorong kuat untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Hak untuk Mendengar dan Didengarkan Pihak yang bersengketa boleh menghadirkan diri, menyampaikan argumentasi mereka dan berpartisipasi secara aktif dalam proses penyelesaian sengketa informal. Tetapi ada pengecualian di Sumatera Barat, dimana mereka yang bersengketa hanya bisa menghadap Dewan Adat, sementara proses pengambilan keputusan menjadi hak eksklusif dari para pemimpin garis keturunan suku laki-laki, atau disebut mamak. Kaum perempuan tidak terwakili dalam proses ini – akibatnya kepentingan mereka sering diabaikan.
Proses-proses Sengketa Proses penyelesaian sengketa informal biasanya berbentuk mediasi dan konsiliasi, dan pada dasarnya bersifat sukarela. Seperti kata salah seorang pemimpin adat di Kalimantan, ‘Masyarakat melihat damang sebagai salah
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
21
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
satu pemimpin lokal. Kalau mereka ingin terima kami, mereka terima. Kalau nggak mau, nggak.’ Walaupun bersifat sukarela dan berdasarkan pada konsensus, mekanisme ini sering menggunakan apa yang bisa disebut “arbitrase ringan”, dimana para pelaku atau institusi penyelesaian sengketa mengeluarkan “putusan”, namun persetujuan tetap berada di pihak yang bersengketa. Seperti kata Raja dari Desa Asilulu di Maluku, ‘Raja tidak bertindak seperti pengadilan, kita pakai pendekatan kekeluargaan. Jika para pihak tidak puas, mereka bisa membawa kasusnya ke polisi atau pengadilan. Namun himbauan saya jarang tidak dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa.’ Akan tetapi, sifat sukarela itu bersifat relatif. Membawa kasus ke pengadilan sebetulnya mustahil bagi sebagian besar masyarakat miskin. Demikian juga, menentang kekuasan Raja bisa berdampak buruk. Demikianlah, bagi pihak lemah khususnya, bila mereka menolak atau gagal menerapkan hasil penyelesaian sengketa informal, hampir bisa dipastikan mereka tidak akan membawa kasus itu ke pengadilan atau penguasa yang lebih tinggi, melainkan lebih untuk menghindari konflik. Kasus di bawah ini menggambarkan pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa dan tipe kasus yang sering terjadi. Studi Kasus 4:
Warisan membawa petaka33
Sengketa warisan antar-kampung ini melibatkan dua saudara sepupu. Sammat tinggal di Desa Palengaan Daja dan Sadirman adalah warga Desa Poreh, keduanya ada di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Sengketa ini mengenai lahan yang digarap Sardiman, tapi lahan itu berada di desa tempat tinggal Sammat. Sardiman menerima lahan itu sebagai warisan dari ayahnya, yang sebelumnya menikah dengan perempuan asal Desa Palengaan Daja. Istri ayahnya terdahulu meninggal---sebelum melahirkan anak---dan meninggalkan warisan lahan, dan selanjutnya ayah Sadirman menikah lagi, dan lahirlah Sardiman. Perempuan yang dinikahi ayah Sadirman dari Desa Palengaan Daja itu rupanya bibi dari Sammat, dan karena itu, ketika ayah Sadirman meninggal, Sammat mengklaim lahan itu menjadi haknya. Pada awalnya, Sammat mencoba mengklaim secara sepihak lahan yang disengketakan itu dengan memberi tanda berupa patok-patok. Tapi Sardiman menolak tindakan itu, sehingga Sammat melapor ke kepala desa wilayah sengketa, Desa Palengaan Daja – desa tempat tinggal Sammat. Kepala desa mengundang kedua pihak ke rumahnya, tapi Sardiman menolak hadir. Salah satu saksi, Rahmat, menjelaskan apa yang terjadi: ‘Dalam penyelesaian kasus ini semuanya ada lima kali pertemuan. Yang pertama dilakukan dirumah pak Klebun (kepala desa) tetapi tidak ada kesepakatan, kemudian pertemuan kedua dilakukan di lokasi karena Pak Klebun langsung turun ke lokasi, tetapi juga tidak diperoleh penyelesaian.’ Pertemuan ketiga dilakukan di Dusun Tenggina Dua. Pertemuan dilakukan di dusun ini agar dua pihak dapat hadir dalam musyawarah karena lokasi ini merupakan lokasi tengah-tengah antara pihak Palengaan Daja dan pihak Poreh. Pertemuan bertempat di rumah seorang tokoh masyarakat yang juga dulu sebagai kepala dusun. Ketika Sardiman dan para pendukungnya dari Desa Poreh datang di dusun itu, tiba-tiba mereka bersorak ‘Carok...carok... carok...!’ Kedua pihak yang bersengketa ini sama-sama membawa pendukung, dan hampir semuanya membawa clurit. Kepala dusun maupun kepala desa mampu menenangkan massa, dan meyakinkan mereka agar menyerahkan senjata tajam itu. Bagaimanapun, mereka tidak mampu memfasilitasi kesepakatan. Sampai sekarang belum ada penyelesaian. Untuk waktu yang cukup lama, tanah yang disengketakan dibiarkan dan tidak terpakai. Kepala desa dua kali lagi mencoba mengadakan pertemuan, tapi dua pihak menolak hadir. Selanjutnya, Sadirman dari Desa Poreh kembali menggarap lahan itu. Saat ini status lahan tidak ditentang tapi juga belum terselesaikan.’ 33 Untuk kasus yang selengkapnya lihat Mohammad Said (2004), “Inheritance brings Misfortune” di Samuel Clark (ed.), (2004) ‘More than just Ownership: Ten Land and Natural Resource Conflict Case Studies from East Java and Flores’, Indonesian Social Development Paper No. 4, Jakarta: World Bank.
22
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Yang agak mengejutkan, meskipun kasus warisan ini melibatkan warga beragama Islam, pemimpin agama tidak terlibat. Ini menunjukkan bahwa pihak yang bersengketa bisa memilih mediator yang paling tepat menurut mereka. Kasus ini juga menggambarkan sulitnya mencapai konsensus dan peranan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam penyelesaian konflik. Tanpa ada penyelesaian berdasarkan dasar hukum yang jelas, kemungkinan besar perselisihan ini akan muncul kembali.
Norma-norma Apa yang Diterapkan? Sistem peradilan non-negara terdiri dari beberapa sumber hukum dan norma, yang tersedia dengan tingkat yang berbeda dan dengan kekuatan berbeda pada wilayah-wilayah penelitian ini. Sumber hukum itu termasuk: (i) hukum adat; (ii) hukum keagamaan; dan (iii) hukum negara dan peraturan daerah. Di beberapa area penelitian, dua atau bahkan tiga dari sistem normatif ini sudah terintegrasi, tetapi persaingan juga muncul ketika hukum negara, agama dan adat dan prosesnya tidak konsisten.
Kodifikasi Hukum Adat Makin Sering Dilakukan... Hukum adat biasanya disampaikan melalui tradisi lisan, tapi di sebagian lokasi penelitian sudah ada upaya mengkodifikasi atau membukukan hukum adat yang dilakukan pemerintah, LSM dan/atau tokoh adat setempat. Di Kalimantan Tengah, misalnya, pada tahun 1996 sekelompok LSM dan cendekiawan dari suku Dayak, bersamasama dengan Pemerintah Provinsi, mengeluarkan buku hukum adat. Buku tersebut mencakup prosedur dan sanksi untuk berbagai pelanggaran, termasuk perselingkuhan; hubungan seksual/kehamilan sebelum nikah; pembunuhan; pencurian dan perampokan; dan fitnah.34 Seluruh damang yang berjumlah delapan orang yang kami ajak bicara selama penelitian ini mengetahui adanya buku tersebut dan mengatakan bahwa kitab itu menjadi sebagai rujukan dalam hal penyelesaian sengketa, tapi hanya seorang yang memilikinya. Seorang damang yang lain di Kalimantan Tengah juga mencoba melakukan kodifikasi hukum adat di kecamatannya dan diterbitkan tahun 2004.35 Beberapa kabupaten di Kalimantan Barat juga sedang menyusun buku hukum adat setempat.36 Di Sumatera Barat, hukum adat mencakupi berbagai aspek dalam kehidupan sosial, terutama berkaitan dengan hak kepemilikan dan penggunaan tanah. Baru-baru ini beberapa nagari sudah mulai menyusun kodifikasi hukum adat melalui Peraturan Nagari.37 Di Lombok, ada perbedaan pandangan mengenai sisi baik dan buruknya mengkodifikasi hukum adat, tetapi ada kecenderungan terhadap upaya kodifikasi adat lokal dalam bentuk peraturan desa, yang disana dikenal sebagai awig-awig.38
34 Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah (1996) Lembaga Kedamangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Propinsi Kalimantan Tengah; Palangkaraya: Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah. 35 Y. Nathan Ilun (2004) ‘Mengenal Hukum Adat’ Makalah tidak diterbitkan, 2004. 36 Lihat http://www.sanggau.go.id/bappeda/index.php?option=com_content&task=view&id=53 &Itemid=9, pemberitaan media dari Kabupaten Sanggau, Kalimantan Selatan tertanggal 23 Mei 2007, diakses 20 November 2007. 37 Contohnya, Nagari Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar telah mengeluarkan Peraturan Nagari No. 1 Tahun 2002, tentang Pemberantasan Penyakit Sosial, No. 2 Tahun 2003 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan, serta No. 3 Tahun 2002 tentang Gotong Royong. 38 Di Desa Bentek misalnya, awig-awig dikeluarkan pada tahun 2001 meliputi pengelolaan lingkungan, kewajiban keagamaan dan kerjasama antar desa dalam pengelolaan sumber air.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
23
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Boks 1: Contoh hukum adat dari Bentek, Nusa Tenggara Barat Bentek berada di bawah kepemimpinan kepala desa yang terkenal, Kamardi. Dia seorang aktivis dan pengacara yang sering menghadiri dialog nasional mengenai masalah pemerintahan desa, adat maupun soal penyelesaian sengketa. Pada tahun 2001, Majelis Adat Bentek mengeluarkan Kitab Awig-Awig tertulis. Berisi 28 pasal, aturan itu mengatur kewajiban keagamaan, hubungan seksual pra-nikah, dan perlindungan lingkungan. Contoh pasal yang mencakup prinsip umum hingga persyaratan khusus, yang didukung dengan sanksi-sanksi, diantaranya: • • • • •
• •
Pasal 3 (c): Setiap orang wajib mentaati ajaran agamanya masing-masing Pasal 6 (a): Pergaulan muda-mudi hendaknya didasarkan atas norma-norma yang berlaku baik yang tertuang dalam ajaran agama maupun adat istiadat dengan menjaga kehormatan masing-masing Pasal 9 (a): Setiap manusia berkewajiban menjaga, melestarikan keutuhan dan memanfaatkan alam secara selaras, serasi dan seimbang Pasal 10 (b): Setiap orang atau kelompok maupun badan usaha yang diberikan izin pemanfaatan Gumi paer dilarang melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan. Pasal 10 (c): Setiap orang dilarang: membuka merambah kawasan hutan secara tidak syah; melakukan penebangan atau mengambil hasil hutan secara besar-besaran (bisnis); melakukan penebangan pohon dengan radius/jarah 500 meter dari tepi waduk, embung, dam, dll; 200 meter dari mata air sungai atau anak sungai. Pasal 10 (f ): Setiap orang dilarang menangkap ikan dengan menggunakan zat kimia (racun). Pasal 10 (h): Setiap orang dilarang membakar hutan.
Banyak responden dari seluruh lima lokasi penelitian menyatakan pandangan bahwa dalam konteks modern, kodifikasi merupakan hal yang penting untuk legitimasi dan pengakuan dari luar terhadap hukum adat. Sementara, beberapa responden lainnya menolak kodifikasi, karena bertentangan dengan sifat hukum adat yang dinamis. Mereka juga khawatir, kodifikasi hukum adat bisa membatasi penafsiran hanya pada perorangan atau kelompok tertentu tentang isi norma-norma yang diatur, sedangkan hal itu sering diperdebatkan. Ada juga kekhawatiran yang cukup beralasan, bahwa mendefinisikan kebiasan atau tradisi – termasuk proses penyelesaian sengketa – dengan meniru prosedur resmi pemerintah, bisa mengurangi fleksibilitas mekanisme peradilan nonnegara.
...tetapi norma-norma sosial yang tidak tertulis masih dominan Akan tetapi, yang lebih sering ditemukan dari pada hukum adat tertulis adalah proses penyelesaian sengketa tanpa ada aturan atau norma yang berlaku. Perselisihan sering diselesaikan berdasarkan konsep keadilan setempat atau bahkan apa yang secara subyektif dipikirkan oleh para pemimpin lokal, tanpa mengacu pada hukum negara, agama atau adat. Pihak yang mampu mengumpulkan sebagian besar yang berwenang biasanya yang menentukan lokasi dan proses dan kemudian juga hasilnya. Jadi, walaupun ada banyak “jalan menuju keadilan,” secara keseluruhan proses penyelesaian sengketa informal bukan merupakan sistem yang komprehensif dan jelas, melainkan seperangkat proses yang dijalankan dan dikuasai oleh individu yang berpengaruh. Mereka menentukan struktur, proses dan norma-norma yang akan diterapkan. Apakah norma dalam bentuk tertulis atau lisan atau semata-mata didasarkan pada akal sehat, pada kenyataannya norma sosial dan kekuasaan yang biasanya menentukan hasil penyelesaian sengketa di tingkat lokal.39 Kasus Souhoku dan Panangguan di atas adalah dua contoh dimana kepala desa berhasil mencapai kompromi untuk 39 Sebagaimana dinyatakan oleh Narayan, ‘Interaksi warga miskin dengan tuan tanah, pengusaha, rentenir,[...] lebih diatur oleh normanorma sosial, yang mengarahkan siapa yang memiliki nilai apa dalam setiap hubungan timbal balik daripada diatur melalui hukum negara.’, Deepa Narayan et al (2000), Voices of the Poor, Can Anyone Hear Us?, New York: OUP, hal. 278.
24
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
memecahkan sengketa tanah antara teman dan saudara sepupu. Hasil yang dicapai tidak mengacu pada hukum negara atau adat atau kebenaran obyektif. Hal itu tidak relevan. Sebagaimana kata seorang Kepala Desa di Lombok, Kamardi, ‘Yang kita upayakan adalah solusinya.’ Hasil penyelesaian sengketa tersebut mampu menenangkan ketegangan – memberikan suatu solusi – paling tidak dalam jangka pendek. Jadi, pada umumnya peradilan non-negara merupakan suatu lingkungan tanpa hukum (‘delegalized environment’). Hal tersebut dapat memudahkan pencapaian hasil mediasi yang fleksibel. Tetapi tanpa ada struktur atau norma yang jelas, para pelaku penyelesaian sengketa informal memiliki wewenang yang sangat luas. Apabila norma sosial yang dominan, hubungan sosial dan kekuasaan akan menjadi faktor penentu. Kenetralan sulit ditemukan di tingkat desa dan akibatnya, jalan menuju keadilan tidak setara bagi semua orang. Pihak yang berkuasa melewati jalan yang lancar; pihak yang lemah harus menghadapi jalan yang penuh hambatan. Bahkan kalau norma dan prosedur penyelesaian sengketa sudah jelas dan dipahami dengan baik, belum tentu bisa diterapkan dengan konsisten. Penyalahgunaan dan eksploitasi sangat biasa, sebagaimana diterangkan dalam kasus berikut dari Sumatera Barat. Dalam kasus ini, lemahnya status sosial perempuan dan keinginan kepala adat untuk “memberi pelajaran”, mendorong tindakan pemaksaan sanksi terhadap perempuan, padahal hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya dalam kasus yang sama. Norma sosial, bukan undang-undang, memang menentukan hasil yang dicapai. Studi Kasus 5:
Penghinaan ketua adat
Kedua pihak hidup bertetangga di nagari Sumpur, Sumatera Barat. Salah satunya bergelar Datuk, menunujukkan bahwa dia ketua adat. Pihak lain adalah seorang perempuan yang menikah dengan marga lain di nagari itu. Konflik meletus di antara mereka, ketika terjadi perkelahian antara anak-anak mereka, dan kemudian menyebabkan tindakan saling mengejek antar keluarga. Pada saat mengejek itu, ketua adat dipanggil dengan “wa’ang”, (kamu) bukannya dipanggil “Datuk” sebagaimana mestinya. Beberapa anggota keluarga dari ketua adat itu mendengar dan kemudian melaporkan ke lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN), bahwa mamak mereka dihina menurut adat. Anggota KAN adalah semua ketua adat/mamak dan oleh karena itu kaum laki-laki. Selanjutnya KAN mengundang dua pihak untuk menjelaskan apa yang terjadi, kemudian membentuk tim untuk merumuskan sanksi yang tepat. Pada akhirnya perempuan itu kena denda Rp 300.000,- untuk dibayarkan kepada KAN. Denda itu justru dibayarkan pada KAN daripada kepada “korban”, karena dianggap sebagai penghinaan terhadap nagari secara keseluruhan. Pihak perempuan menganggap keputusan itu tidak wajar, karena dia juga menerima penghinaan dari pihak lain, ‘Ini bukan kali pertama Datuk dipanggil dengan sebutan “wa’ang”oleh seseorang. Bahkan kemenakannya juga melakukannya. Tetapi sebelumnya tidak ada sanksi.’ Kepala Kerapatan Adat Nagari (KAN) juga menyadari kedua pihak sama-sama bersalah. ‘Tetapi ninik mamak ingin memberi pelajaran. Pada masa ini banyak orang muda yang tidak menghormati mamak mereka.’ Dia juga mengakui ada kecemburuan sosial karena perempuan itu sukses dalam berbisnis dan bisa membangun rumah di nagari, sedangkan ketua adat itu masih tinggal di gubuk bambu dan penghasilannya juga tidak pasti. Pihak perempuan belum secara formal diangkat dalam kelompok suku atau marga (dalam istilah Minangkabau belum “bermamak”), dan dengan begitu tidak ada mamak yang bisa mewakilinya. Secara adat dia masih orang luar atau orang asing. Jika perempuan ada mamak yang bisa mewakili dia, maka kasusnya akan langsung diselesaikan oleh para tokoh suku itu, daripada diangkat ke KAN. Berdasarkan pengalaman itu, perempuan kemudian diangkat dalam kelompok suku Datuk Basa Nan Tinggi, yang nantinya akan mewakilinya dalam kasus-kasus adat mendatang.
Pada adat Sumatera Barat, tidak ada kemungkinan “naik banding”. Hanya perselisihan yang belum terpecahkan yang bisa “naik tangga-batanggo naik”, dengan begitu hanya sedikit proses “check and balance” dalam model peradilan ini. Tanpa akuntabilitas ke atas, perempuan ini tidak memiliki alternatif, kecuali menerima keputusan yang menurut ia tidak adil.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
25
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Sanksi-sanksi Pertautan dengan sistem-sistem peradilan non-negara seharusnya didasarkan pada konsep supremasi konstitusi. Karena itu, sanksi harus konsisten dengan hak kebebasan dari siksaan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 28G ayat 2 UUD 1945. Walaupun menurut hukum nasional, pengadilan memiliki wewenang eksklusif untuk mengadili kasus pidana dan kasus perdata yang mencakup hak yang dilindungi oleh perundang-undangan nasional, dalam kenyataannya para pelaku peradilan informal juga menangani dua jenis kasus itu. Penerapan sanksi melalui peradilan informal, pada dasarnya tidak membedakan antara pelanggaran pidana (kepentingan publik) dan perdata (kepentingan pribadi). Pembedaan semacam ini jarang terjadi, terutama di lingkungan masyarakat adat, dimana masalah pribadi seringkali dipahami melalui kacamata suku atau keluarga. Pemulihan kerukunan antar suku atau keluarga menjadi pendorong penyelesaian, bukan hak individu. Bentuk sanksi yang diterapkan juga ditentukan oleh kepentingan kerukunan atau harmoni komunal. Untuk perselisihan sederhana, kata maaf seringkali bisa diterima. Dalam kasus lain, pembayaran denda atau ganti rugi merupakan bentuk sanksi utama – seringkali sanksi berbentuk uang ini mengandung unsur hukuman dan pembayaran kompensasi atas luka fisik atau kerusakan barang. Bila terdapat hukum adat tertulis, biasanya juga mencantumkan jumlah denda untuk setiap pelanggaran. Pada kenyataannya, ketika menentukan sanksi yang dianggap sesuai, pengurus adat biasanya bersikap fleksibel dan mempertimbangkan kemampuan keuangan dari pihak yang dianggap bersalah. Di Kalimantan Tengah, pasal 37 dari Buku Hukum Adat mencantumkan, bila pelaku yang bersalah tidak bisa membayar denda, maka dibebankan pada keluarganya.
Hukuman Badan Pernah Terjadi, Tapi Jarang Hukuman fisik atau badan memang jarang, tapi masih dipraktikkan di beberapa wilayah. Di Desa Amahai, Pulau Seram, Maluku, seorang pemuda pernah dicambuk karena melempari kantor kepala desa dengan batu (Studi Kasus 21). Di Nagari Paninggahan dan Gantung Ciri, Sumatera Barat, Wali Nagari kadang-kadang mendelegasikan proses penyelesaian sengketa kecil ke organisasi pemuda, yang nanti akan memberikan sanksi berupa pukulan bagi siapa yang melanggar. Sanksi lain meliputi nasihat, atau dikeluarkan dari acara-acara adat, sampai sanksi diusir dari desa-dibuang secara adat. Tabel dibawah berisi perbandingan sanksi untuk kasus-kasus pidana tertentu berdasarkan undang-undang negara, contoh hukum adat tertulis dari Kalimantan Tengah, dan dari sebuah desa di Nusa Tenggara Barat, serta sanksi yang diterapkan dalam kasus-kasus yang dikaji dalam laporan ini.
26
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Tabel 3: Sanksi bagi tindak pidana menurut hukum negara dan hukum adat di lokasi riset terpilih Pidana/ KUHP Norma Pembunuhan Maksimal 15 tahun Pemerkosaan Maksimal 12 tahun 4 – 15 tahun/Rp 12 juta – 300 juta jika terjadi dalam rumah tangga (UU PKDRT) Bukan tindak kriminal jika atas kesepakatan bersama. 7 – 9 tahun jika disertai kekerasan. Dakwaan alternatif adalah pelanggaran moralitas publik. Maksimal 32 bulan atau Rp 450,Penganiayaan Maksimal 32 bulan/ denda Rp 4500,Pencurian/ Perampokan
Fitnah
Pencurian: Maksimal 5 tahun; 9 tahun jika disertai kekerasan atau Rp 900,Perampokan: 12 tahun, 20 tahun jika disertai kekerasan; hukuman mati jika menyebabkan korban tewas atau Rp 900,9 bulan – 4 tahun
Adat Dayak, Kalimantan Tengah 375-750 kati ramu ** 45 – 90 kati ramu
Adat Desa Bentek, NTB Dirujuk ke polisi 49,000 – 100,000 UB *
Contoh Sanksi dari kasus yang diteliti. Rp 36 juta: Kasus 16 Tidak ada sanksi.
90 – 150 kati ramu, jika korban belum dewasa.
Kasus 7 & 28.
Denda bervariasi antara 30 – 300 kati ramu.
Rp 5 juta untuk si pria. Kasus 24
1 – 15 kati ramu
49,000 – 100,000 UB
15 – 45 kati ramu
49,000 – 100,000 UB
30 – 45 kati ramu
5,450 – 49,000 UB
Rp 6 juta: Kasus 1 Permintaan Maaf: Kasus 9 Tiada sanksi: Kasus 12 Tidak ada contoh kasus
Permintaan maaf, Rp 300,000 dan makanan untuk seluruh penghuni desa. Kasus 5
*UB atau “Uang bolong” merupakan bentuk mata uang atau alat tukar menukar yang sah yang berlaku pada zaman dahulu di pulau Lombok, NTB. Sekarang dipakai sebagai ukuran sanksi adat. Pada 2006, 1000 UB = 1 ekor ayam, 1 botol minyak kelapa, satu kotak buah-buahan, kayu, atau Rp 12,000,-. ** Kati ramu adalah ukuran/takaran barang, biasanya 1 kati ramu setara dengan 6 ons. Barang bisa berupa emas atau uang. Dalam kasus pembunuhan terkenal di Palangkaraya, sanksi denda sebesar Rp 12 juta. Tapi lebih dari itu, ada hewan yang harus dikorbankan, upacara adat serta biaya penguburan yang layak. Pokoknya, sanksi bersifat luas dan fleksibel.
Sebagian sanksi yang didokumentasikan dalam riset ini, termasuk mencambuk dan memukul pelanggar, berlawanan dengan perlindungan UUD terhadap larangan penyiksaan. Namun, dengan tidak adanya pengawasan yang efektif atas peradilan non-negara, sanksi seperti itu diberikan dengan impunitas.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
27
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Pendorong Resolusi: Menjaga Harmoni Yang kita upayakan adalah solusinya. Kalau mencari yang benar, tidak pernah akan selesai.’ Kepala Desa, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Prinsip utama peradilan informal adalah pemulihan kerukunan. Ketertiban sosial sangat penting di masyarakat pedesaan, dimana saling ketergantungan sosial dan ekonomi sangat tinggi. Jadi, dengan sifat tidak saling berhadapan dan mengutamakan kompromi dan fleksibilitas, maka peradilan nonformal memiliki beberapa kelebihan dibanding keputusan hakim pengadilan. Di Palangkaraya, pada kasus pembunuhan (Studi Kasus 16), keluarga pelaku dan keluarga korban sudah dua kali bertemu dan berbagi makanan sejak peristiwa terjadi, dan mereka memiliki hubungan baik. Dalam Studi Kasus 4, resolusi tidak tercapai tetapi kekerasan bisa dihindari. Sebuah kasus di Desa Tanah Awu, Lombok Tengah, diselesaikan melalui adat, sedangkan keputusan Mahkamah Agung untuk kasus yang sama diabaikan masyarakat. Pada kasus Ruhua di Seram, Maluku (yang digambarkan di bawah ini), kepala desa bisa memulihkan kembali hubungan baik antara kelompok yang bertikai yang sudah melewati perbatasan desa. Tindakan yang cepat, yang didasarkan pada realitas sosial bisa mencegah meluasnya kekerasan. Studi Kasus 6:
Reaksi cepat raja dan polisi mencegah kerusuhan meluas di Ruhua
Halue Sunawe, seorang pemuda dari Ruhua di Pulau Seram, Maluku, pergi memetik cengkeh ke desa sebelah, Haya. Desa Haya sejak lama bermusuhan dengan desa tetangga, Tehoru. Beberapa orang dari Desa Haya mencurigai Halue berasal dari Tehoru, sehingga kemudian mereka memukuli Halue saat memetik cengkeh. Halue kemudian mengumpulkan teman-temannya dan berencana membalas dendam. Mereka menghentikan angkutan umum dari desa Haya, dan melemparinya dengan batu hingga semua kaca jendela pecah. Pemilik kendaraan melaporkan insiden itu ke kepolisian. Polisi kemudian memanggil Raja dan Sekretaris Desa, serta pihakpihak yang bertikai. Difasilitasi oleh Raja, kedua pihak itu setuju untuk saling memaafkan dan menandatangani perjanjian ‘damai’. Halue didenda Rp 500,000,- untuk mengganti kerusakan kendaraan. Dia puas dengan hasil kesepakatan, karena diproses cepat dan tanpa melalui proses pengadilan.
Harmoni dan Impunitas Akan tetapi, mengutamakan kerukunan bisa mengorbankan hak asasi manusia dan keadilan perorangan. Khususnya pada komunitas yang berbasis suku, dasarnya pemulihan harmoni adalah keseimbangan hubungan komunal. Inilah yang menjadi alasan sesungguhnya, misalnya, Dewan Adat di Maluku dan Sumatera Barat terdiri atas para kepala suku. Keberadaan mereka mewakili komunitas secara keseluruhan dan mereka melihat masalah melalui kacamata komunal. Kepentingan komunal mengalahkan individu, karena harmoni antar suku menjaga stabilitas dan keamanan desa secara keseluruhan.
28
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Studi Kasus 7:
Perkosaan yang diabaikan di Desa Sepa
Pada tahun 2003, perempuan berinisial P berusia 17 tahun diperkosa oleh adik suaminya sendiri di Desa Sepa, Pulau Seram, Maluku. Ketika P mengadukan kasus yang dialaminya, P malah dipukuli oleh suaminya. Perempuan itu lantas menceritakan kepada orang tuanya apa yang terjadi, kemudian hubungan antara keluarga P dan suami memanas. Muncullah ancaman-ancaman dan penghinaan. Karena merasa diancam, maka orangtua suami P mengadukan kasus ancaman ini kepada kepala desa. Namun kepala desa memutuskan untuk mengembalikan kasusnya kepada pihak ketua Adat, karena para pihak yang bersengketa merupakan anggota suku Naulu dan suku Naulu telah mempunyai mekanisme sendiri untuk menyelesaikan kasus/sengketa. Ketua adat akhirnya menggelar musyawarah. Pertemuan dihadiri kedua keluarga, saniri negeri dan kepala dusun masingmasing. Tetapi yang diselesaikan oleh mekanisme adat bukan persoalan perkosaan, melainkan peristiwa ancaman yang justru dialami oleh keluarga suami P. Oleh sebab itu, pelaku perkosaan tidak ikut dipanggil dalam musyawarah. Musyawarah diakhiri dengan penentuan denda. Kedua belah pihak baik keluarga korban maupun pelaku diwajibkan membayar denda berupa piring dan kain berang. Kasus perkosaannya diabaikan. Ketika ditanya tanggapannya atas penyelesaian kasus itu, P menjawab dengan marah, ‘Puas? Tidak. Saya tidak puas.’
Kasus ini menunjukkan bahwa subyektifitas konsep harmoni itu bisa disalahgunakan dan dimanipulasi untuk mendiamkan pengaduan dari kaum lemah. Pihak atau kelompok yang terpinggirkan juga rentan “dimusyawarahkan” atau dipaksa untuk menerima keputusan yang tidak memuaskan.40 “Kerukunan atau ketentraman” seringkali diartikan dengan mempertahankan status quo atau sikap jangan melawan pihak yang punya kekuasaan. Dalam kasus di atas, kebutuhan untuk mementingkan keharmonisan membuat hak-hak korban diturunkan ke posisi sekunder, atau bahkan tidak mendapat perhatian sama sekali. Ini juga terlihat jelas pada Studi Kasus 5 (kasus “Penghinaan Ketua Adat”), dimana perempuan tanpa status sosial di desa dipaksa untuk menerima denda yang menurut ia tidak adil. Bandingkan juga dengan Studi Kasus 8 di bawah, dimana seorang anggota DPRD sanggup mengabaikan sanksi adat. Baginya, harmoni itu tidak terlalu penting. Kekuasaan dan status memberinya kebebasan untuk mengabaikan kepentingan komunal.
Pola-pola Penyelesaian Sengketa Kasus-kasus Kecil Diselesaikan Secara Cepat... Kasus-kasus kecil di dalam satu desa, seperti pencurian kecil-kecilan, perkelahian antara pemuda, atau sengketa atas batas tanah atau sumber daya alam, pada umumnya mudah ditangani melalui penyelesaian secara informal. Dari empat belas kasus semacam itu yang terdokumentasi di dalam laporan ini, sebelas diantaranya bisa dipecahkan di tingkat lokal. Otoritas dan legitimasi sosial yang dimiliki pelaku penyelesaian sengketa cukup untuk mencapai resolusi.
... tetapi ketika kasus yang dihadapi semakin rumit atau pihak dari luar desa turut campur tangan, peradilan informal mulai terpecah. Sebaliknya, kategori kasus lain secara konsisten sulit dipecahkan. Dari sembilan kasus perselisihan antar desa, 40 Seperti apa yang Merry telah simpulkan, ‘Umumnya keadilan populer (popular justice) cenderung mendorong dan menguatkan kekuasaan setempat daripada merubahnya,’ lihat Sally Engle Merry, ‘Sorting Out Popular Justice,’ dalam Sally Engle Merry & Neal Milner (ed)(1993) The Possibility of Popular Justice, Ann Arbor, Michigan: University of Michigan Press.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
29
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
hanya tiga kasus yang bisa diselesaikan. Hanya satu dari tiga kasus yang melibatkan pihak luar dapat dipecahkan, dan dalam kasus ini hasil resolusi belum bisa sepenuhnya diterapkan. Ini biasanya terkait masalah tanah atau kepentingan ekonomi lain yang cukup signifikan. Kasus yang melibatkan perempuan atau kelompok etnis minoritas biasanya juga sulit dipecahkan (lihat Bab III). Dan perlu diperhatikan juga bahwa semata-mata kasus saja tidak menceritakan keseluruhan cerita – banyak masalah hukum yang dialami oleh perempuan khususnya ditekan, sampai mereka diam saja dan masalahnya sama sekali diabaikan.
C. Persinggungan antara Peradilan Formal dan Informal Temuan utama: 1.
Interaksi antara peradilan formal dan non-formal sering terjadi. Dari 34 kasus yang dikaji, 16 kasus melibatkan pelaku sektor hukum formal dan empat kasus dibawa ke pengadilan. Interaksi ini biasanya terpicu bila kasusnya mengarah pada kekerasan, kasusnya ada kaitan dengan kepentingan ekonomi atau melibatkan kepentingan di luar desa.
2.
Kepolisian menengahi hampir semua keluhan. Diskresi polisi untuk memediasikan sengketa sangat luas dan tidak terbatas; kadang-kadang akibatnya ketidakadilan dan korupsi.
3.
Persinggungan kurang terdefinisikan. Pengadilan wajib mempertimbangkan hasil peradilan informal. Tapi hakim seringkali kurang memahami kebiasaan dan tradisi lokal. Wewenang peradilan informal tidak terdefinisikan, dengan konsekuensi kejahatan serius dimediasi padahal seharusnya diadili melalui jalur formal.
4.
Norma-norma yang bertentangan. Norma-norma sering bertentangan. Hasil proses peradilan formal dan informal bisa berbeda untuk kasus yang sama, yang menimbulkan inkonsistensi dan ambiguitas hukum.
Interaksi Antara Sistem Hukum Formal dan Informal Sering Terjadi Walaupun kebanyakan perselisihan ditangani melalui mekanisme informal, interaksi antara upaya penyelesaian formal dan informal biasa terjadi dan sungguh tidak bisa dielakkan di negara dengan sistem hukum yang bersifat pluralistis. Dari 34 kasus yang dimuat dalam laporan ini, 16 melewati mekanisme informal dan melibatkan pelaku peradilan formal. Empat kasus dibawa ke pengadilan. Oleh karena itu, kasus-kasus ini menjadi contoh yang tepat untuk mendokumentasikan dan menganalisa persinggungan antara peradilan formal dan informal. Temuan riset ini menunjukkan bahwa interaksi antara formal dan informal nampaknya muncul oleh tiga faktor utama. Pertama, kasus itu diwarnai kekerasan serius. Data konflik yang diperoleh dari surat kabar menunjukkan ketika kasus melibatkan kekerasan, keterlibatan polisi dalam penyelesaian kasus meningkat dari 27 persen ke 86 persen. Kedua, kasus yang melibatkan “pihak luar”, termasuk kepentingan sektor swasta atau etnis minoritas. Beberapa kasus dari Sumatera Barat menggambarkan situasi ini (lihat Kasus 13, 29, 30 dan 33). Faktor terakhir, kasus yang terkait dengan kepentingan ekonomi yang besar mungkin akan diselesaikan lewat “naik banding” melalui sistem formal. Kebanyakan kasus yang sudah melewati sistem informal akan masuk sistem formal melalui polisi. Data GDS (Survei Pemerintahan dan Desentralisasi) yang ditampilkan di atas menunjukkan polisi terlibat dalam 26,7 persen perselisihan, sedangkan jaksa maupun pengacara hanya 1,4 persen dan 2,4 persen masing-masing.41 41 Serupa dengan hal ini, rangkaian data berbasis laporan surat kabar mengenai konflik di Jawa Timur menunjukkan 37,4 persen dari semua persengketaan melibatkan polisi, tapi hanya 7,3 persen yang sampai ke pengadilan. Lihat Patrick Barron and Joanne Sharpe (2005) ‘Counting Conflicts: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia’, Conflict Prevention and Reconstruction Paper No. 25. Washington, DC: World Bank.
30
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Akan tetapi, keterlibatan polisi tidak berarti perselisihan itu pasti akan menuju ke tuntutan hukum. Polisi memiliki wewenang yang luas untuk memutuskan kasus mana yang cukup serius untuk diserahkan kepada jaksa dan pengadilan. Di Jawa Timur, misalnya, polisi mengklaim bahwa mereka menyelesaikan 80 persen kasus secara informal, baik melalui mediasi, atau diserahkan kembali kepada mekanisme peradilan non-negara.42 Wewenang itu tidak didasarkan pada peraturan atau pedoman operasi.43 Persinggungan antara formal dan informal ini penting untuk beberapa alasan. Pertama, kepastian hukum. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 memberikan mandat kepada kepala desa, bekerja sama dengan lembaga adat, untuk ‘mendamaikan perselisihan masyarakat’ (Pasal 15 Ayat 1(k)). Definisi hubungan antara peradilan formal dan informal sangat tidak terinci. Kondisi ini menimbulkan hasil yang berbeda-beda untuk keluhan yang sama, sehingga menyebabkan ketidakpastian, ambiguitas dan kebingungan. Kedua, pengawasan. Jika pengadilan cukup kuat, maka negosiasi di tingkat lokal bisa dijalankan mengatasi maslah ketidakpastian hukum. Keputusan yang tidak adil melalui sistem peradilan informal bisa diperbaiki di tingkat yang lebih tinggi, yang membuka pilihan lebih bagi kelompok lemah dan terpinggirkan.
Bagaimana Pengadilan Formal dan Informal Berinteraksi? Studi kasus yang diteliti menunjukkan bahwa sistem formal dan informal saling berhubungan melalui dua cara – interaksi langsung atau pun tidak langsung. Interaksi langsung terjadi (i) ketika sistem pengadilan formal dilibatkan secara langsung dalam menangani kasus yang sudah melalui sistem informal, melalui proses ‘naik banding’; (ii) atau ketika suatu perselisihan secara simultan diselesaikan melalui mekanisme formal dan informal. Akan tetapi, penelitian ini menunjukkan bahwa sekalipun sistem formal tidak secara langsung menangani suatu kasus, secara tidak langsung tetap memainkan peran penting dalam proses penyelesaian sengketa. Ini terjadi ketika (i) pelaku sistem formal bertindak secara informal; atau (ii) ketika para pelaku informal atau pihak yang berselisih menggunakan sistem keadilan formal sebagai acuan atau sumber norma dalam proses penyelesaian sengketa informal.
Interaksi Langsung: Pengawasan dan Naik Banding Sama halnya dengan kasus yang bisa naik melalui jalur formal hingga Mahkamah Agung, sengketa juga bisa “naik banding” dari penyelesaian informal ke formal. Ini bentuk pengawasan pasif, yang hanya muncul ketika kasus yang sudah ditangani melalui mekanisme informal dirujuk ke sistem hukum formal. Pada Studi Kasus 8 di bawah ini, seorang yang mengalami masalah terkait siapa yang dinikahi anak perempuannya tidak puas dengan sanksi adat yang dijatuhkan padanya dan mengajukan “banding” terhadap putusan adat berupa gugatan ke Pengadilan Negeri.
42 Baare, di atas n.27, hal. 9. 43 Wawancara dengan Profesor Adrianus Meliala, Universitas Indonesia, 7 Desember 2007. Dengan perbandingan polisi di negara lain, Polisi Federal Australia contohnya, memiliki pedoman yang rinci berdasarkan kekuatan barang bukti, sifat dasar kejahatan, mempertimbangkan kepentingan umum, usia dan intelegansia dari pelaku kejahatan, sikap daripada korban, dan sebagainya.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
31
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Studi Kasus 8:
Gugatan terhadap denda adat yang berat44
Haji Anggeng merupakan seorang tokoh terkenal dan anggota DPRD di Lombok Barat. Ia berasal dari Kecamatan Tanjung di Lombok Barat, tapi karena aktivitas politiknya ia tinggal di ibukota provinsi di Mataram. Pada bulan Februari 2002, putrinya Linda “diculik” Sahrudin, pemuda dari desa tetangga.44 Sehari kemudian, keluarga Sahrudin meminta kepala dusun memberitahu secara resmi kepada Anggeng mengenai niat Sahruddin menikahi Linda. Menurut seorang saksi mata yang hadir dalam salah satu pertemuan, Anggeng menyetujui niat ini tetapi meminta uang Rp 5 juta sebagai “ganti rugi” atas penculikan itu. Akan tetapi, dua hari kemudian, Anggeng mengunjungi Linda di rumah Sahruddin, untuk meminta penjelasan mengenai keinginannya menikah. Ia juga mempertanyakan apakah keluarga Sahruddin mampu menanggung hidupnya. Hari berikutnya, Linda meninggalkan rumah Sahruddin, dan setelah penyelidikan dari pihak desa, Linda ternyata ada di rumah ayahnya di Mataram. Ini kemudian ditafsirkan sebagai pelanggaran prosedur perkawinan adat. Sore itu, kepala dusun, pemimpin agama dan tokoh masyarakat menggelar musyawarah, untuk membahas masalah itu. Pertemuan itu memutuskan Anggeng melanggar adat. Ia didenda cukup berat, mencakup pembayaran satu kambing putih, satu kambing hitam, makanan dan uang yang harus dibagikan kepada orang miskin. Anggeng menolak denda itu dan membawa kasus itu ke pengadilan negeri. Di pengadilan, Anggeng keberatan atas prosedur, keputusan dan sanksi yang dikeluarkan lembaga adat. Pengadilan kemudian memutuskan denda itu tidak sah, bukan karena menganggap dewan adat tidak berhak bertindak di luar kewenangannya hingga menjatuhkan sanksi yang keras seperti itu, tapi karena sanksi itu tidak konsisten dengan hukum adat setempat. Dalam pertimbangan pengadilan, jika sanksi itu sesuai dengan hukum adat lokal, maka pengadilan akan mendukungnya. Menanggapi keputusan pengadilan itu, dewan adat justru meningkatkan sanksi, termasuk mengusir Anggeng dari desa selama tiga tahun dan membekukan hak-hak perdatanya dan perannya dalam acara adat. Bagaimanapun, sanksi ini tidak diterapkan, dan tidak berdampak atas kehidupan Anggeng di desa.
Dalam kasus ini, sistem formal bertindak sebagai mekanisme pengawasan proses adat. Seperti dicatat diatas, pengadilan wajib mempertimbangkan proses peradilan informal dan nilai dan tradisi lokal. Tentu saja “mempertimbangkan” tidak berarti “mengikat secara hukum”, dan dalam kasus ini keputusan pengadilan membatalkan keputusan adat. Jika memenuhi perannya yang sesuai, pengadilan seharusnya memutuskan apakah sanksi adat yang dijatuhkan atas Anggeng sudah melanggar hak asasi atau hak sipil Anggeng; atau apakah prosedur adat itu cacat menurut proses hukum yang adil (mungkin, karena tidak seorang pun – bahkan pimpinan adat - bisa mengharuskan orang lain membayar denda untuk alasan yang tidak jelas). Jika pengadilan memutuskan perkara atas dasar ini, seharusnya ada keputusan pengadilan bahwa sanksi yang membebankan Anggeng tidak sah dan tidak bisa dilaksanakan, karena sanksi itu melanggar hukum perdata nasional, dan bukan karena sanksi itu tidak konsisten dengan adat setempat. Reaksi dari para pelaku peradilan informal menunjukkan, bahwa pengawasan dari pihak luar tidak selalu disambut baik. Status Anggeng berarti bahwa dia bisa mengabaikan denda dan sanksi sosial. Tapi pilihan ini tidak tersedia bagi masyarakat desa yang lebih bergantung pada hubungan sosial yang harmonis dan tunduk pada hubungan kekuasaan lokal.
44 Di Lombok ada tradisi, yang dikenal sebagai merariq atau memulang, dimana mempelai pria secara simbolis menculik calon mempelai perempuan dan membawanya ke rumah keluarga si pria, sebagai cara untuk menyampaikan niatnya menikah. Meskipun tidak selalu begitu, tetapi diasumsikan perempuan setuju.
32
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Interaksi langsung antara proses penyelesaian perselisihan formal dan informal sering memerlukan kompromi dan negosiasi antara kedua sistem itu, yang seringkali memiliki tujuan yang berbeda. Kasus penikaman di Kalimantan (Studi Kasus 16 di bawah) memberi contoh bagaimana sistem formal dan informal bisa bekerjasama dengan baik untuk menyeimbangkan tujuan dari keduanya. Akan tetapi, seringkali interaksi menjadi berlawanan, terutama bila sistem formal dan informal berada di sisi berbeda dalam suatu kasus perselisihan. Memang, dalam beberapa peristiwa, sistem formal enggan menerima upaya banding dari kasus yang sudah diselesaikan secara informal.45 Dalam Studi Kasus 32 yang berasal dari Sumatera Barat, pengadilan nampaknya diintimidasi dengan ruwetnya aturan kepemilikan tanah adat dan karenanya menghindari inti masalah perselisihan. Sebagai konsekuensinya, kasus tetap tidak terpecahkan. Dalam banyak contoh, masyarakat desa tidak mempunyai akses terhadap proses upaya banding ini. Pada kasus KDRT di Kalimantan Tengah (Studi Kasus 12), upaya korban menyerahkan kembali kasusnya ke polisi dihalangi oleh ancaman dari pengacara pelaku maupun minimnya kesadaran korban atas hukum. Butuh usaha tambahan yaitu meningkatkan aksesibilitas pengadilan, bila ingin memperkuat peran “pengawasan” pengadilan terhadap hukum adat. Dengan demikian, akses terhadap sistem pengadilan formal merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kerangka memperkuat sistem peradilan informal.
Interaksi Tidak Langsung: Membentuk “Bayangan Hukum” Bukanlah merupakan hal yang layak dan bukan juga menjadi kepentingan publik bahwa semua masalah diselesaikan melalui sistem hukum formal. Kita sudah melihat sebelumnya, di negara majupun, hanya sedikit kasus yang diselesaikan melalui keputusan pengadilan.46 Salah satu fungsi utama dari pengadilan, disamping memproses sengketa, adalah untuk menetapkan satu standard dari kepastian hukum formal, yang bawahnya bisa menjalankan penyelesaian perselisihan informal. Inilah yang sering disebut “bayangan hukum” (“shadow of the law”) dimana ancaman sanksi hukum mengikuti setiap proses. Beresikonya tindakan hukum dan biaya serta perasaan malu yang terkait bisa menjadi insentif atau pendorong yang kuat untuk menyelesaikan sebuah kasus secara informal – untuk menghindari proses hukum formal. Itu juga berarti bahwa akses terhadap sistem pengadilan formal bisa membantu mengatasi ketidakseimbangan yang bisa menimbulkan ketidakadilan melalui sistem peradilan informal. Dengan demikian, keterlibatan institusi formal dalam penerapan hasil penyelesaian sengketa informal tidak hanya terjadi secara langsung melalui upaya banding. Dalam beberapa peristiwa, keterlibatan polisi dengan ancaman sanksi hukumnya, “membayangi” hasil dan prosedur peradilan informal. Dalam kasus di bawah ini, polisi terlibat dalam upaya mencari solusi atas perkelahian jalanan di Madura, Jawa Timur, pertama-tama dengan melindungi korban, kemudian ambil bagian dalam negosiasi dan akhirnya dengan menjamin terselenggaranya proses penyelesaian sengketa.
45 Ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 16 (1), ‘Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.’ 46 Lihat diatas, n. 5.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
33
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
Studi Kasus 9:
Perkelahian jalanan di Madura
Perkelahian ini bermula dari peristiwa kecil yang kemudian meledak menjadi ruwet, ketika pihak yang bermasalah dan para pendukungnya tidak setuju soal bagaimana menyelesaikan masalah. Perselisihan ini terjadi di Desa Blumbungan, Pamekasan, tetapi salah satu pihak yang bersengketa berasal dari desa tetangga. Perkelahian itu terjadi tiba-tiba, ketika ada kecelakaan sepeda motor di dekat acara penyambutan jamaah haji yang baru pulang. Seorang pengendara sepeda motor menyalip mobil di dekat lampu lalu lintas, tapi mobil itu langsung belok kanan tanpa sadar dan menabrak jatuh pengendara motor itu. Wardi, yang tengah menyaksikan proses penyambutan jamaah haji itu bergegas menolong pengendara motor, dan meneriaki si pengendara mobil, Paidi. ‘Kalau bawa mobil hati-hati, jangan ugal-ugalan. Ini yang terjadi kalau kamu ngebut.’ Merasa dipermalukan di depan orang banyak, Paidi turun dari mobil dan menonjok Wardi. Perkelahiannya tidak berjalan lama, karena beberapa orang berhasil memisahkan mereka. Paidi pulang, sementara Wardi tetap menyaksikan prosesi itu. Tapi Paidi menganggap itu belum selesai. Merasa marah karena dijadikan bahan hinaan, ia kembali ke lokasi sambil membawa pisau dapur. Ia lantas menyerang Wardi, dibantu ayahnya, Djoko, yang memukul Wardi menggunakan kursi. Orang-orang yang lewat segera menghentikan perkelahian dan mereka dipisahkan lagi. Djoko tetap mengancam Wardi, dan berteriak ia akan membunuh Wardi kalau melihatnya di jalan. Merasa terancam, Wardi segera melapor ke kepolisian setempat. Setelah mengumpulkan bukti dari saksi, polisi segera menahan Paidi di kantor kepolisian. Mereka kemudian mengundang kyai untuk mendamaikan persoalan perselisihan itu, tanpa harus melalui proses formal kepolisian. Tapi, Wardi menolak upaya kyai menyelesaikan kasus itu. Beberapa hari kemudian Djoko dan Paidi melaporkan kasusnya ke kepala desa. Kepala desa kemudian mengusulkan musyawarah desa untuk memecahkan masalah. Wardi setuju hadir. Kemudian, kepala desa mengundang tokoh masyarakat, babinsa, anggota preman dan sejumlah tokoh desa, semuanya dari desa Djoko dan Paidi. Mereka membawa rancangan surat perdamaian yang isinya Wardi setuju untuk mencabut laporan ke polisi. Wardi merasa diintimidasi, khususnya atas kehadiran preman dan babinsa. Awalnya ia menolak bekerjasama. Akhirnya, setelah diskusi yang lama, Wardi setuju kasus itu diselesaikan secara informal, asalkan surat perdamaian itu disaksikan dan ditandatangani di kantor polisi.
Mekanisme peradilan non-negara umumnya gagal menyeimbangkan hubungan kekuasaan selama negosiasi terjadi atau penerapan hasil penyelesaian47 Pada kasus KDRT di Kalimantan Tengah (Studi Kasus 12), Perkelahian di Pasar (Studi Kasus 1) dan pada hampir semua sengketa yang menghadapkan komunitas dengan pihak luar yang berkuasa, pihak lemah tidak bisa menerapkan hasil resolusi. Hal ini sejalan dengan hasilnya temuan pada penelitian Village Justice in Indonesia –dimana dari seluruh lima kasus yang dikaji dimana pejabat yang berkuasa menggelapkan dana pembangunan, perjanjian tertulis melalui mekanisme peradilan informal untuk membayar kembali uang yang digelapkan diabaikan.48 Penerapan atau penegakkan hasil mekanisme informal tergantung pada tekanan sosial, rasa malu dan ketergantungan ekonomi. Sama halnya, status hubungan antara pihak-pihak yang bersengketa mempengaruhi posisi tawar dalam negosiasi. Dengan demikian, pelaku sistem penyelesaian sengketa informal harus pintar memahami dan menyeimbangkan insentif dan hubungan sosial pihak yang bersengketa agar hasil yang keluar dapat diterapkan. Ketika elit desa atau orang kuat dari luar dilibatkan, maka akan sulit mencapai keseimbangan itu. Kadang-kadang, memanfaatkan kekuasaan negara bisa membantu membuat keseimbangan itu. Dalam kasus di atas, partisipasi kepolisian berhasil menyeimbangkan hubungan kekuasaan yang tidak setara antara dua pihak 47 Lihat Matthew Stephens (2003) ‘Local-level Dispute Resolution in Post-Reformasi Indonesia: Lessons from the Philippines’ Australian Journal of Asian Law 5(3), hal. 229. 48 Lihat World Bank (2004) di atas, n.26.
34
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian II: Memahami Mekanisme Peradilan Non-Negara: Tipologi & Proses Sengketa
yang bertikai. Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) dari kasus itu menguraikan bagaimana partisipasi polisi dan ancaman tindakan hukum bisa memudahkan proses negosiasi: Kami (polisi) siap menengahi sengketa, inilah yang awalnya kami lakukan dalam kasus ini, agar setiap kasus tidak perlu dibawa ke pengadilan...Dalam kasus ini kedua belah pihak setuju berdamai asal jika kasus ini terjadi lagi maka akan dibawa ke pengadilan. Akan tetapi, pelimpahan kewenangan untuk menengahi atau menuntut pelaku kejahatan rentan disalahgunakan atau dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan. Dalam kasus perkelahian di pasar, polisi menahan proses kasusnya sampai uang suapnya habis dan kemudian serta merta terlibatannya dihentikan. Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, polisi menyerahkan kembali laporan kasus ke damang, tanpa ada tindak lanjut atau pengawasan terhadap proses selanjutnya, yang ternyata merugikan bagai pihak lemah. Jadi, kewenangan ini bisa memudahkan maupun menghalangi tercapainya penyelesaian yang baik.
Persinggungan – Ringkasan Singkat Sistem peradilan negara (formal) maupun non-negara (informal) seringkali digambarkan berada pada posisi bertentangan (“opposite ends of a continuum”). Istilah yang seringkali digunakan untuk menggambarkan masingmasing sistem mengindikasikan adanya dikotomi: adversarial vs. restoratif; menang-kalah vs. sama-sama menang, lepas secara sosial vs melekat secara sosial; netral dan tidak berpihak vs. berpihak dan diskriminatif; sistem yang berdasarkan aturan vs. sistem yang berdasarkan kekuasaan. Akan tetapi, kasus-kasus yang diuraikan dalam bagian ini telah menunjukkan kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan. Pertama, kemampuan bagi mereka yang bersengketa untuk “mengugat” keputusan peradilan informal melalui sistem formal, bekerja sebagai bentuk akuntabilitas pada suatu sistem yang “lebih tinggi” dari nilai dan kebiasaan lokal. Kedua, kemampuan negara untuk bekerjasama dengan pelaku informal sempat memperluas “bayangan hukum” - ini membawa otoritas dan kekuasaan negara turun ke tingkat desa. Ini bisa mempermudah penerapan hasil penyelesaian sengketa informal karena memperkuat legitimasi sosial dengan kekuatan negara. Ketiga, pengakuan yang lebih besar oleh pengadilan terhadap peradilan non-negara bisa sekaligus meningkatkan legitimasi dan relevansi pengadilan karena menjadi lebih sesuai dengan tradisi lokal. Tapi bagaimanapun, tanpa adanya pendekatan atau kerangka kerja yang jelas dan konsisten, persinggungan antara dua sistem itu akan tetap rentan disalahgunakan. Dalam kasus penikaman di Kalimantan (Studi Kasus 16), hasil peradilan non-negara dinilai sah oleh pengadilan. Sedangkan pada kasus “penculikan putri Anggeng” hasil penyelesaian informal ditolak. Dalam kedua kasus tersebut, tidak ada satupun penjelasan mengenai bagaimana keputusan itu dicapai. Yurisdiksi masing-masing dari sistem formal dan informal tidak tentu; akibatnya kejahatan serius dapat dimediasi pada tingkat desa. Standar dan perlindungan prosedural tidak dinyatakan. Atas dasar apa proses pengambilan keputusan dinyatakan cacat pada satu kasus tapi pada kasus lain dinyatakan sah? Senada dengan itu, panduan apa yang dipakai oleh polisi untuk memutuskan menengahi secara informal atau menuntut secara formal? Persinggungan antara sistem formal dan informal justru tidak didefinisikan dan, seperti terlihat dari kasus KDRT di Kalimantan dan kasus penculikan di Lombok, kadang-kadang hasilnya ambiguitas dan ketidakpastian hukum, yang justru menguntungkan orang kaya dan berkuasa. Ini kelemahan yang sangat jelas, dan ini akan dibahas lebih jauh pada bagian berikutnya.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
35
36
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Foto : Taufik Rinaldi
Bagian III:
Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Penelitian yang dipaparkan sejauh ini menunjukkan bahwa ada kekuatan dan kelemahan yang jelas pada praktik peradilan non-negara saat ini di Indonesia. Beberapa kasus menunjukkan peradilan informal sering gagal untuk menyatu dengan standar dasar konstitusional. Para perempuan kurang terwakili, kaum minoritas merasakan didiskriminasi dan norma-norma tidak selalu jelas. Beberapa sanksi sifatnya sangat keras dan pelaksanaannya menimbulkan masalah . Bahkan, masyarakat desa tidak hanya lebih sering menggunakan aktor informal daripada yang formal, tapi mereka juga menyampaikan tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Sebagaimana ditunjukkan di Gambar 6 dihalaman bawah, survei GDS menunjukkan bahwa 69 persen mereka puas dengan para pelaku peradilan informal dibandingkan dengan 58 persen aktor peradilan formal.49 Untuk mengembangkan sebuah strategi yang melibatkan peradilan non-negara membutuhkan pemahaman terhadap kekuatan dan kelemahannya. Bagian III ini menganalisa dan membahas hal tersebut secara terperinci. Bagian ini juga disertai dengan serangkaian “contoh perubahan” dari kondisi lapangan dan negara-negara tetangga. Langkah-langkah kecil ini memberikan beberapa pandangan yang sederhana menjadi langkahlangkah yang berbeda tentang bagaimana kelemahan dapat diatasi, dan kekuatan dapat dipertahankan.
49 Yang dianggap formal adalah polisi, pengacara dan jaksa. Sisanya dianggap informal. Asia Foundation (2001), diatas n.3 mencatat bahwa 86 persen orang menunjukkan kepuasannya terhadap peradilan non-negara.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
37
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
A. Kekuatan: Mengapa Orang-orang Lebih Memilih Peradilan Non-negara? ‘Pilihan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa informal bukan hanya disebabkan mekanisme ini murah, cepat dan mudah. Tetapi aspek yang lebih penting adalah kepatuhan warga terhadap suatu pendekatan yang memberikan rasa tertib dan tenteram dalam diri dan komunitasnya’ Tokoh Agama dari Ambon, Provinsi Maluku Temuan utama •
Mudah diakses, cepat dan murah. Peradilan non-negara lebih dapat diakses, cepat dan lebih murah dibandingkan pengadilan. Ini benar-benar berjalan baik untuk kasus-kasus ringan.
•
Menjaga keharmonisan sosial. Menjaga kerukunan sosial sangat dihargai dalam kehidupan pedesaan, dan para pelaku informal mengutamakan pemulihan hubungan sosial ketika terjadi masalah.
•
Fleksibel. Struktur-struktur dan norma-norma bersifat longgar, dalam arti untuk menyesuaikan dengan perubahan sosial.
•
Berdasarkan otoritas dan legitimasi lokal. Masyarakat lebih memilih peradilan non-negara utamanya karena otoritas para pelakunya di lingkungan pedesaan untuk memecahkan masalah dan melaksanakan putusan.
Mudah Diakses, Cepat dan Murah Beberapa kekuatan dari peradilan informal sederhana dan ternyata. Kemudahan diakses secara nyata adalah salah satu keuntungan yang jelas. Ketua rukun warga (ketua RT/RW), kepala desa, pemimpin adat dan tokoh agama tinggal di desa, dikenal oleh masyarakat dan gampang ditemui. Sebaliknya, polisi dan pengadilan seringkali berada di ibu kota kabupaten/kota yang terletak jauh. Kekuatan berikutnya adalah kecepatan. Terutama ketika terkait dengan hak-hak ekonomi, proses penyelesaian yang lama dapat mempengaruhi kehidupan kaum miskin. Pada saat terjadi kekerasan akan muncul – seperti pada beberapa kasus di Jawa Timur – tindakan yang cepat sangat diperlukan. Dalam kasus yang berhasil diselesaikan, prosesnya biasanya berjalan dengan cepat. Kasus pembunuhan di Palangkaraya diselesaikan dalam tiga minggu, dan perkelahian di Kuala Kapuas dalam dua minggu. Kebanyakan kasus di Jawa Timur dan Maluku juga ditangani dalam dua-tiga minggu atau kurang. Sebaliknya, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menunggu antara proses pengarsipan dan pembacaan kasus berkisar antara 4-6 bulan di Pengadilan Negeri, 12 bulan di Pengadilan Tinggi dan 2-3 tahun di Mahkamah Agung.50 Data terbaru menunjukan rata-rata waktu yang diperlukan untuk penyelesaian kasus hukum dari kejadian awal sampai kasasi yaitu 7-12 tahun.51
50 Bappenas/World Bank (1996) Law Reform in Indonesia, Cyber Consult: Jakarta, hal. 130. 51 Mahkamah Agung RI (2003), Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung: Jakarta, hal 161.
38
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Biaya merupakan pertimbangan penting lainnya. Sengketa kecil pada umumnya diselesaikan tanpa biaya bagi pihak yang bertikai.52 Pada sebagian besar kasus yang diteliti tidak ada biaya untuk proses pengarsipan atau pembacaan kasus (sidang).53 Gambar 6: Kepuasan dengan pelaku formal dan informal Informal Formal
Tokoh Adat/ Masyarakat Paralegal Keluarga/Teman Pemerintah Desa Pengacara Jaksa Polisi Pemerintah Kecamatan Pemerintah Kabupaten LSM
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Sumber: Survei GDS
Data pada Gambar 6, menggambarkan para responden menyatakan kepuasannya yang sangat besar terhadap pihak-pihak yang sudah mereka kenal – tokoh masyarakat dan tokoh adat, pendamping hukum (paralegal), anggota keluarga dan teman, dan pemerintah desa. Temuan ini menunjukkan dua implikasi. Pertama, strategi untuk memperbaiki penyelesaian sengketa sebaiknya berfokus pada tingkat desa dan komunitas, tidak hanya institusi-institusi negara. Kedua, hal itu juga mendukung usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dengan para pelaku dari tingkat kecamatan dan kabupaten (LSM, para jaksa, pejabat pemerintah, dll), dapat membantu meningkatkan tingkat kepuasaan dan kepercayaan pada mereka juga.
Kasus Ringan Diselesaikan Secara Cepat dan Damai Sebagian besar sengketa yang muncul di tingkat desa biasanya ringan – perkelahian antar tetangga atau anakanak muda, pencurian kecil dan hujatan atau fitnah. Dimana resikonya kecil, mekanisme peradilan non-negara biasanya berjalan efektif. Karena kasus-kasus semacam ini adalah yang paling umum terjadi, kepuasan yang tinggi sangat diharapkan.
52 Sehubungan dengan keuntungan ekonomis atas peradilan non-negara, penelitian di Colombia menyimpulkan bahwa dengan menggunakan sistem peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa tanah dan warisan, pendapatan yang didapatkan lebih besar dari pada menggunakan pengadilan (formal): lihat Edgardo Buscaglia (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution Mechanisms’ Makalah dipaparkan di Empowerment, Opportunity and Security through Law and Justice Conference, St. Petersburg, July 2001, hal. 9 & 10. 53 Penyelesaian sengketa adat di Kalimantan Tengah adalah pengecualian. Biaya pencatatan kasus dalam kasus pekelahian pasar adalah Rp 600,000. Dalam kasus pembunuhan (tidak terencana), Dewan Adat membebankan biaya Rp 6 juta.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
39
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Studi kasus 10 : Perkelahian (baku hantam) diselesaikan dengan cepat54 Pak Nuri adalah seorang petani dari sebuah desa di provinsi Lampung. Suatu hari, anaknya terlibat perkelahian dengan teman sekolahnya. Ayah anak (laki-laki) itu ikut campur dan memukul anak laki-lakinya. Bukannya melaporkan kasus tersebut ke polisi, Pak Nuri mendekati Pak Parmin dan Pak Bejo, kepala dusunnya dan seorang pendamping hukum (paralegal) dibawah program yang dijalankan oleh LSM bantuan hukum setempat. Seperti yang Pak Nuri katakan, mereka dikenal sebagai orang-orang, ’Yang dapat memecahkan masalah.’ Parmin dan Bejo bersama memanggil pihak-pihak yang bertikai ke rumah Parmin, membicarakan masalah tersebut dan mampu memecahkan masalah tersebut dengan cepat dan damai. Pak Nuri berkata blak-blakan bahwa masalahmasalah yang dibawa ke polisi tidak akan berhasil diselesaikan dengan baik. ‘Jika dibawa ke polisi,’ kata dia, ‘mereka suka memukulmu dan mengurungmu. Tidak ada yang mengontrol.’
Kewenangan dan Legitimasi Lokal Faktor penting dan terkait lainnya adalah kemampuan peradilan non-negara untuk menjaga keselarasan hubungan. Menurut survei Asia Foundation tahun 2001, kebanyakan responden yang memilih peradilan informal menyatakan bawa motivasi utama mereka adalah harapan mempertahankan kerukunan bersama.55 Para pelaku peradilan informal mampu mencapai hal ini dengan kearifan kewenangan lokal mereka. Warga mencari bantuan dari kepala desa, pemimpin keagamaan dan tradisional karena mereka memiliki legitimasi sosial di lingkungan desa. Mereka bukanlah pelaku yang netral dan independen (sebagaimana yang diharapkan dari para hakim). Mereka secara langsung terlibat dengan perkembangan desa dari hari ke hari dan terbiasa dengan latar belakang sosial dan politik sengketa. Membedakan antara fungsi penyelesaian sengketa dan fungsi pemerintahan desa, hubungan politik dan sosial merupakan suatu usaha yang lebih teoritis. Usaha seperti ini jarang diikuti di tingkat lokal. Ini terbukti dalam kasus-kasus tanah di desa Panangguan dan Souhoku yang digambarkan diatas (Studi kasus 2 & 3). Dalam kejadian-kejadian ini, kepala desa dan Raja mampu mencapai sebuah jalan keluar yang disetujui bersama. Bukan menentukan kebenaran yang obyektif atau merujuk kepada norma hukum apapun, tapi hasilnya diterima oleh pihak-pihak yang bertikai. Kewenangan satu-satunya kepala desa sudah mencukupi untuk menyelesaikan sengketa dan menjamin penyelenggaraannya.
Mengacu Norma-norma yang Lebih Tinggi Di banyak tempat di Indonesia, para pelaku peradilan non-negara dianggap memiliki kekuatan supernatural – faktor ini meningkatkan kapasitas mereka untuk menyelesaikan sengketa lokal dan menjamin pelaksanaannya. Banyak masyarakat perdesaan di Maluku, contohnya, percaya melanggar sanksi adat yang berhubungan dengan perlindungan lingkungan, dikenal sebagai sasi, dapat menyebabkan sakit atau bahkan kematian. Di Jawa Timur dan Lombok, Kyai dan Tuan Guru sering mendapatkan penghargaan kesetiaan yang tinggi dari para pengikutnya, karena berdasarkan kemampuan mereka untuk mengacu norma “yang lebih tinggi”. Dalam sebuah kasus di Jawa Timur, seorang kyai mampu mencegah gerombolan orang yang ingin membunuh seorang penduduk desa yang dituduh melakukan praktik ilmu hitam. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Tokoh masyarakat, Desa Paengaan Daja, Pamekasan, Jawa Timur:
54 Kasus ini diambil dari catatan lapangan oleh Alpian, Pieter Evers dan Cathy McWilliam dari perjalanan lapangan ke Lampung tahun 2007 untuk mengevaluasi salah satu program dari Justice for the Poor, Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat. 55 The Asia Foundation (2001), diatas n.3
40
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Hamzah dituduh melakukan praktik santet, dan sebuah rencana dibuat untuk membunuhnya. Akan tetapi, seorang kyai mendengar tentang rencana itu, dan berdiri di depan jamaah Jum’at di Mesjid dan bersumpah bahwa Hamzah tidak akan melakukan praktik santet lagi.
Dalam kasus di atas ini, kewenangan dan legitimasi pribadi dari para aktor peradilan non-negara terbukti berperan efektif. Pengadilan resmi dan sistem formal tidak selalu memiliki legitimasi ini. Kasus Tanah Ayu dari Lombok yang disebutkan di atas merupakan salah satu dari banyak contoh dimana keputusan pengadilan resmi diabaikan.56 Ketika Anggeng (Studi Kasus 8), menolak sanksi adat di pengadilan, Dewan Adat menambah hukumannya.
Fleksibilitas ‘Jika sungai penuh karena hujan, pencucian piring berpindah. Dengan adanya pergantian raja maka adat juga berubah’
Pepatah adat Minangkabau57 Peradilan non-negara bersifat longgar (fleksibel). Karena norma, proses dan sanksinya biasanya tidak tertulis, para aktor dapat menemukan solusi dan menyediakan pendekatan yang cocok secara sosial, dan dibuat khusus untuk konteks masing-masing kasus. Sebagaimana diperlihatkan melalui contoh-contoh perubahan yang dicatat nanti di bagian ini, peradilan informal bisa menjadi longgar dan terbuka terhadap perubahan dinamika dan kenyataan sosial. Contoh-contoh perubahan tersebut memang sederhana – para perempuan mendapat suaranya di Sumatera Barat; klarifikasi atas norma dan proses di Nusa Tenggara Barat; kekuatan kesadaran hukum untuk membuka pilihan. Meskipun sederhana, contoh-contoh tersebut memberi kesan adanya potensi untuk menjalankan reformasi di tingkat lokal - dan peluang seperti itu saat ini mungkin tidak ada di pengadilan dan institusi keadilan formal lainnya.
B. Kelemahan: Ketika Mekanisme Peradilan Informal Gagal ‘Sulit hadapi orang yang kuat, pandai dan kaya,’ Penduduk desa perempuan, Palangkaraya, Kalimantan Timur. Temuan utama • Kesewenang-wenangan dan kurangnya pengawasan. Walaupun otoritas sosial menjadi kekuatan inti atas peradilan non-negara, pelaksanaannya yang tidak dikontrol, menjadi kelemahan utama. Kurangnya prosedur dan norma yang jelas dan tidak adanya akuntabilitas akan membuat pihak yang lemah dan terpinggirkan kurang dilayani, tanpa alternatif lain.
56 Seorang hakim Pengadilan Negeri di Ambon, menyampaikan kepada tim peneliti setidaknya satu sengketa tanah di wilayah tersebut, dimana orang-orang mengabaikan keputusan Mahkamah Agung. 57 Pepatah yang menyatakan bahwa adat Minangkabau pada dasarnya dinamis. Disebutkan dalam makalah Timothy Lindsey (1998) ‘Square Pegs & Round Holes: Fitting Modern Title into Traditional Societies in Indonesia’ 7 Pacific Rim Law and Policy Journal, 699.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
41
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
• Bias terhadap perempuan. Perempuan memiliki modal politik yang terbatas di tingkat desa, sehingga hanya sedikit manfaat untuk melindungi kepentingan mereka. Masalah-masalah hukum yang dihadapi perempuan (seperti isuisu hukum keluarga, kekerasan dalam rumah tangga), seringkali tidak ditanggapi secara serius atau diabaikan demi menjaga kerukunan komunal. •
Eksklusivitas Etnis. Terutama sekali untuk sistem adat, banyak institusi-institusi peradilan non-negara didominasi oleh kaum elit etnis asli. Hal ini dapat bertentangan dengan penyelesaian efektif untuk sengketa antar etnis.
•
Sengketa antar kelompok (trans-communal). Mekanisme peradilan non-negara tidak dapat menunjukkan otoritas di luar batas desa. Akibatnya, sengketa antar desa dan yang melibatkan pihak-pihak ketiga yang berkuasa akan sulit untuk diselesaikan.
•
Pertentangan antara sistem formal dan informal. Mekanisme informal hancur ketika bertentangan, daripada bekerjasama, dengan sistem formal
Penelitian ini diluncurkan dengan fokus pada pengalaman dan pandangan kaum perempuan dan kelompok minoritas. Hal ini didasari pemikiran bahwa bias gender adalah salah satu penyebab utama kemiskinan, dan diskriminasi antara kelompok identitas memicu kekerasan dan ini menjadi inti persoalan konflik sosial yang telah melanda Indonesia di jaman pasca Soeharto. Memahami bagaimana peradilan non-negara mempertahankan masalah-masalah ini, dan pada saat yang sama, bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi adalah salah satu hasil utama yang diharaplan dari studi ini. Ketidakseimbangan kekuasaan yang melekat pada peradilan non-negara mendiskriminasi pihak yang lemah telah dicatat dengan baik.58 Otoritas sosial mungkin menjadi kekuatan kunci dari peradilan informal, tapi pelaksanaannya yang tanpa pengawasan sekaligus menjadi kelemahan pokoknya. Akibatnya, peradilan informal menghadapi kelemahan baik internal dan terkait dengan pihak luar. Di bagian ini kita mengemukakan tiga dari kelemahan-kelemahannya. Ketiga hal tersebut adalah: menyediakan akses terhadap keadilan bagi perempuan; memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum minoritas etnis; dan akhirnya sengketa antar desa dan pihak ketiga yang berasal dari luar.
Akses Perempuan Terhadap Keadilan ‘Sangat sulit memikirkan bahwa perempuan akan memutuskan nasib kita.’ Tokoh adat laki-laki di Sumatera Barat. Secara keseluruhan mekanisme peradilan informal tidak melindungi dan melayani kepentingan perempuan dengan baik.59 Peradilan informal cenderung untuk mempertahankan keberadaan norma sosial dan hubungan baik. Perempuan dipisahkan dari struktur kewenangan lokal; kepentingan mereka sering diabaikan. Melindungi hak perempuan tidak begitu bermanfaat secara politik atau sosial. Hal ini disebabkan dan dicerminkan dengan kurangnya keterwakilan perempuan dalam mekanisme penyelesaian lokal dan sebuah paradigma yang mengobyektifikasi hak-hak perempuan. Akibatnya, banyak permasalahan hukum perempuan yang diabaikan atau tidak ditangani dengan serius. 58 ‘Pernyataan yang tegas bahwa laki-laki yang kuat memperoleh perlakuan yang lebih baik dalam penerapan hukum adat sangat jelas.’ Odinkalu ( 2005) diatas n.5 dan World bank (2005) n.26. Lihat juga Sinclair Dinnen (2001) “Building Bridges - Law and Justice Reform in Papua New Guinea” State, Society & Governance in Melanesia Project Working Paper 01/3; Australian National University: Canberra. Tentu saja banyak penelitian mengindikasikan bahwa sistem hukum formal tidak jauh berbeda. Lihat, contohnya, artikel seminal oleh Mark Galanter “Why the ‘Haves’ Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change” (1974) 9 Law & Society Review 95. 59 Untuk mendapatkan lebih banyak infomasi tentang topik ini, lihat juga Julia Suryakusuma (2004) Sex Power and Nation, Metafor: Jakarta. Pengacara dari LBH - APIK (LSM Bantuan Hukum untuk perempuan) di Lombok juga mengatakan perempuan lebih baik dilayani dengan peradilan formal. Penemuan serupa muncul dalam penelitian tentang akses perempuan terhadap keadilan yang dilaksanakan oleh Bank Dunia di tiga provinsi selama 2007, Yohanna M.L. Gultom Hardiyanto et al (2008), Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia: Studi Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok, Jakarta: World Bank.
42
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Kita perhatikan di atas, wakil perempuan dalam kepemimpinan desa hampir tidak ada dan biasanya tidak ada peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembuatan keputusan dalam struktur adat. Di Sumatera Barat, contohnya, meskipun masyarakat Minangkabau menganut paham matrilineal, keanggotaan Dewan Adat terbatas untuk laki-laki. Para perempuan tergantung pada paman dari pihak ibu untuk mewakili kepentingan mereka dalam Dewan Adat, seringkali membawa akibat sosial ekonomi yang signifikan. Studi Kasus 11: Lahan Bu Marnis dijual saudara laki-lakinya: Sumpur, Sumatera Barat Ibu Marnis dan saudara-saudara perempuan di keluarganya menemukan bawa paman dari pihak ibu (mamak) berencana untuk menjual tanah warisan tanpa ijin dari para perempuan untuk membayar hutang yang dibuat oleh anak laki-lakinya. Ketika mereka menolak, mamak mengancam mereka secara lisan (langsung) dan fisik. Mereka memohon kepada empat keturunan tetua (ninik mamak) untuk mendesak mamak untuk tidak menjual tanahnya. Tapi ninik mamak mendukung si mamak dan terjadilah penjualan. Mereka lebih memikirkan kemungkinan si mamak mendapat malu jika keluarganya tidak dapat membayar hutang daripada akibat yang harus ditanggung pihak perempuan sebagai pemilik tanah. Pihak perempuan ditekan untuk menandatangai perjanjian dan pada akhirnya dilakukan juga, tapi hanya dengan syarat bahwa tidak ada tanah warisan yang lainnya yang disita. Namun si mamak terus menjual tanah warisan lagi di tahun berikutnya. Si mamak sekarang sudah meninggal, tapi sudah lebih dari 20 tahun Ibu Marnis masih menggunakan tabungannya untuk membeli kembali tanah yang dijual si mamak.
Kurangnya keterwakilan belum tentu sama dengan kurangnya akses terhadap keadilan untuk perempuan. Berbeda dengan Studi Kasus 7 diatas dari desa Sepa, perkosaan dan pelecehan seksual pada umumnya dianggap sangat serius dan diserahkan langsung kepada polisi. Contohnya, dalam sebuah kasus di Kabupaten Sampang, Jawa Timur, pemimpin keagamaan dan LSM sukses mendorong dibelakang si korban untuk memaksa polisi menahan dan menghukum si pelaku. Kekerasan dalam rumah tangga tidak dipandang sama. Menurut survei Asia Foundation, hanya 12 persen responden menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai masalah hukum. Stigma yang melekat terhadap kekerasan dalam rumah tangga bahwa pihak perempuan tidak melaporkan kasus. Seorang perempuan di Jawa Timur menyatakan ‘Saya malu melapor, karena orang akan bertanya apa yang telah saya lakukan sampai dipukuli.’60 Perempuan tidak mungkin mengorbankan perkawinannya karena ketergantungan ekonomi. Dalam diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) di Jawa Timur, seorang peneliti lokal dari STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) menyatakan, penelitian kuantitatif tentang Pengadilan Agama setempat menunjukkan bahwa para perempuan di perdesaan dari kelas bawah lebih sering meminta cerai dibanding perempuan perkotaan dan kelas menengah atas. Penjelasannya adalah para perempuan ini sering mengerjakan tanah dan memberikan proporsi besar terhadap pendapatan rumah tangga, alias kurang bergantung secara ekonomi pada suaminya. Observasi ini ditolak secara cepat oleh kebanyakan (pria di perkotaaan) partisipan FGD. Kata mereka fenomena ini terjadi karena para perempuan itu tidak berpendidikan dan tidak mengerti posisi mereka dalam Islam. Cara lain, menghindari konflik merupakan “strategi” umum bagi para perempuan.61 Seperti dikatakan oleh seorang pemimpin komunitas di desa Henda, Kalimantan Tengah: Memang terjadi disini (kekerasan dalam rumah tangga). Sering juga. Yang dipukul diam aja. Yang mukul diam aja. Tunggu aja sampai semuanya tenang, dan masalahnya selesai.
60 Wawancara, 26 Februari 2005, Pamekasan, Jawa Timur. 61 Juga lihat Stephens (2003), diatas n.47 mendiskusikan kasus-kasus dari Flores, propinsi NTT: ‘Seringkali para perempuan tidak mengadukan ke siapa-siapa dan tetap diam mengenai masalah mereka,’ hal. 231.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
43
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Bahkan ketika kekerasan dalam rumah tangga memang dilaporkan, belum pasti bahwa peradilan formal atau informal akan merespon dengan baik. Studi Kasus 12: ’Itu cuma kelebihan nafsu’ Sri tinggal di sebuah rumah sederhana dengan suaminya di salah satu jalan utama di Kecamatan Pahandut, dekat pusat Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Menurut saudara perempuan Sri, Eka, ketika terlibat hubungan seksual, suami Sri bisa menjadi sangat kasar, memukul dan mengigitnya. Tidak sanggup menerimanya lagi, Sri pergi meninggalkan suaminya dan memberitahu ayahnya apa yang terjadi. Mereka melaporkannya kepada polisi. Setelah dua minggu tanpa ada tindakan, polisi menyarankan masalah tersebut diselesaikan melalui damang, pemimpin adat tradisional. Dalam adat Dayak, jika seorang istri meninggalkan suaminya, anggapan dasar adalah dia sedang meminta (mengusahakan) perceraian. Jadi, ketika keluarga-keluarga itu bertemu dihadapan damang, suami Sri meminta perceraian. Adat Dayak juga memerintahkan bahwa dalam perceraian, harta kekayaan dan barang-barang harus diserahkan kepada istri, sesuai dengan perjanjian pra-pernikahan yang tertulis. Sri tidak ingin bercerai hanya ingin kekerasan dihentikan. Bagaimanapun perceraian akhirnya diteken. Suaminya menandatangani dan dia merasa terpaksa untuk menandatanganinya juga. Ini antara lain karena ada ancaman dari pengacara si suami bahwa dia akan didenda Rp 100 juta karena melarikan diri. Sri, tidak mengerti hukum dan tidak mampu membayar penasehat hukum, tidak tahu apa-apa lagi. Eka, saudara perpempuannya, menilai, ‘Sulit hadapi orang yang kuat, pandai dan kaya.’ Si Damang tidak menanggapi aspek kekerasan dalam rumah tangga, merasa hal ini ditangani oleh polisi. Si Polisi, bagaimanapun juga, telah menyerahkan masalah ini kepada si damang. Jadi, berantakanlah semua. Si suami tidak menghargai (melaksanakan) pembagian harta kekayaan yang disetujui. ‘Mereka tidak peduli,’ kata Eka. Meskipun si damang tinggal benar-benar di seberang jalan, dia tidak mengambil tindakan apapapun untuk mendorong pelaksanaan perjanjian. Tidak ada sanksi sosial yang diterapkan terhadap suaminya juga – dia masih diundang ke acara sekitar lingkungan rumah dan adat. Sungguh, kekerasan dalam rumah tangga tidak dianggap sebagai masalah serius. Ketika ditanya mengenai kasus tersebut, Sekretaris damang tertawa dan bekata ’Itu cuma kelebihan nafsu.’
Ketidakmampuan Sri untuk mendapatkan hak atas harta kekayaannya setelah perceraian, terjadi juga di beberapa provinsi penelitian lainnya. Survei awal untuk program “Pemberdayaan Hukum Perempuan” Bank Dunia juga menunjukkan bahwa perempuan tidak menuntut harta kekayaan mereka atau hak tunjangan atas perceraian. Ini terkait stigma sosial dan kurangnya pengetahuan akan hak-hak dan prosedur hukum.62 Hal ini menimbulkan akibat sosial dan ekonomi yang signifikan buat si istri. Sri sendiri sekarang tinggal kembali dengan orang tuanya, bekerja dengan gaji rendah.
Paradigma Perlindungan dan Dominasi Laki-Laki Kebanyakan hukum adat biasanya dimaksudkan melindungi perempuan dari pelanggaran “moral”, seperti kehamilan diluar nikah dan pelecehan seksual. Seorang kepala desa di Lombok mengatakan bahwa perempuan adalah “pembawa hukum”. Dengan kata lain, melindungi kesucian perempuan adalah salah satu prinsip dasar utama dalam sistem hukum adat. Meskipun hal ini dapat melindungi hak-hak perempuan di keadaan tertentu, hal tersebut juga mencerminkan sebuah paradigma dimana perempuan dinilai sebagai obyek bukan subyek aktif terhadap hak mereka sendiri. Bagaimanapun, mengatasi bias jender adalah mungkin. Boks 2 memberikan dua contoh perubahan yang dicatat selama penelitian lapangan. Contoh-contoh ini menunjukkan pentingnya memahami dan berkerja dalam sistem, begitu juga dengan kemampuan kepemimpinan masyarakat dan mobilisasi sosial untuk mengubahnya. Contoh-contoh itu juga menitikberatkan pentingnya anggota komunitas terpinggirkan untuk meraih kesadaran tentang bagaimana sistem berjalan dan norma-norma diterapkan dan dapat dimanipulasi. 62
44
Untuk laporan lebih rinci tentang metodologi dan temuan survei baseline, lihat www. www.justiceforthepoor.or.id.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Boks 2: Contoh perubahan I: Menghadapi kurangnya keterwakilan perempuan dan bias gender melalui pemberdayaan hukum Kasus Afrida: Menangatasi bias jender di Sumatera Barat dengan memahami hukum adat. Afrida, seorang perempuan yang tidak berpendidikan dan miskin, lelah karena melihat tanah leluhurnya (warisan/ pusaka) dijual oleh kepala sukunya (ninik mamak). Pada suatu kesempatan, Afrida mendapati para pejabat dari kantor pemerintahan (petugas BPN) mengukur tanah ibunya dan, mengantisipasi kalau-kalau akan ada penjualan berikutnya, dia memanggil kepala desa untuk meminta agar pengukuran tanah itu dihentikan. Ketika si ninik mamak mendengar hal itu dia datang dan, membawa pisau, dengan marah mengancam Afrida, bertanya kenapa pengukuran tanah-tanah itu dihentikan. Meskipun ada protes, tanah ibunya tetap dijual. Meskipun Afrida merasa sistem peradilan formal lebih adil ketimbang mekanisme informal, karena terkait kepentingan keluarganya (si mamak adalah saudara laki-laki ibunya) dan takut akan ada pembalasan dari sekitarnya maka dia merespon dengan mengembangkan pengertian tentang norma dan proses adat serta mencoba untuk mengubahnya. Afrida bergabung dan berpartisipasi secara aktif dalam musyawarah kepala suku. Bukan hanya sekedar menyediakan minuman dan makanan kecil, peran yang biasanya disediakan untuk perempuan, dia secara berani menyampaikan kepentingan perempuan dan mendesak adanya partisipasi yang lebih besar untuk perempuan dalam penjualan tanah. Afrida sukses mendesak agar semua kepala suku mesti menyetujui kalau ada tanah yang ingin dijual. Hal ini efektif menghilangkan monopoli satu pihak (kaum laki-laki) atas penjualan tanah dan menyebarkan hak dalam membuat keputusan diantara kelompok pemimpin keturunan, meskipun laki-laki. Usaha Afrida telah berhasil mencegah penjualan tanah yang tidak adil dan telah mengangkat statusnya. Dia sekarang dipercaya untuk menjaga dokumen silsilah yang berharga. Kemampuannya dalam mempelajari “permainan” adat dan berbicara dalam musyawarah, membuatnya dia sekarang diajak berunding mengenai isu-isu mengenai harta kekayaan dan silsilah. Perempuan Mengorganisasi dan Melobi untuk Aksi Di Batu Gadang, Sumatera Barat, sebuah kelompok perempuan, yang awalnya dibentuk karena aktivitas bisnis kecilkecilan, menjadi aktif dalam menengahi perselisihan masyarakat. Pada tahun 2002 mereka adalah bagian dari koalisi yang menyelesaikan perikaian lingkungan antara komunitas dan perusahaan besar, Semen Padang. Di tingkat yang lebih kecil, kelompok itu juga telah berhasil menengahi perselisihan mengenai pencurian listrik dan melobi untuk mendapatkan sebuah jalan desa. Mereka berhasil menjamin alokasi kursi di parlemen desa dan juga sedang meminta perwakilan perempuan dalam Dewan Adat. Kesuksesan mereka didasari tiga faktor. Pertama, kelompok tersebut mempunyai hubungan dengan sebuah institusi para perempuan yang berbasis tradisional di Sumatera Barat, Bundo Kanduang. Hal ini memberikan keabsahan sehingga perempuan dinilai bisa memperbaiki majelis yang sudah ada daripada memperkenalkan struktur baru. Yang kedua, dengan mengembangkan ekonomi mandiri, para perempuan memperoleh penghargaan dan meningkatkan pengaruh dalam desa. Terakhir, hubungan dengan LSM lokal membantu para perempuan dalam mempelajari strategi untuk mengatur bersama- sama dan meningkatkan kesadaran hukum. Hal ini telah membuat mereka siap bergerak lebih aktif tidak hanya untuk memecahkan masalah tetapi juga untuk mendapatkan kedudukan desa.
Ekslusivitas Etnis ‘Kenapa kok lewat adat sih? Lebih baik hukum Indonesia’ Warga etnis minoritas Madura yang baru kembali ke Kalimantan Tengah
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
45
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Proses penyelesaian sengketa yang berdasarkan adat biasanya tidak cocok untuk sengketa antar etnis.63 Provinsiprovinsi yang dipelajari bermacam-macam dalam komposisi etnis dan hubungan antar etnis. Kalimantan Tengah mengalami konflik berdarah berskala besar antara orang Dayak dan Madura. Karena kebangkitan kembali adat setempat sangat terkati dengan kekuasaan etnis Dayak, warga etnis minoritas menganggap penyelesaian sengketa adat tidak adil buat mereka. Sama halnya di Maluku, para pendatang tidak selalu mengakui Raja, jadi adat tidak selalu merupakan sebuah jalan keluar untuk menyelesaikan pertikaian yang melibatkan pendatang.64 Di Jawa Timur, homogenitas etnis berarti masalah jarang muncul.65
Kasus di Sumatera Barat Di Sumatera Barat, adat Minangkabau bisa disebut eksklusif, dalam hal semua warga nagari diharuskan untuk tunduk pada adat tersebut. Ini memberi akibat khusus bagi pedagang etnis Cina yang telah hidup dari beberapa generasi di Sumatera Barat, dan juga pada transmigran orang Jawa dan anggota kelompok etnis lainnya, terutama Batak dari Sumatera Utara. Anggota-anggota kelompok ini disyaratkan untuk ‘diangkat’ oleh marga sehingga mereka bisa diakui oleh seorang mamak yang dapat mewakili mereka di nagari. Hal ini dikenal dengan ‘bermamak’. Meskipun diangkat ke dalam suku lokal, penduduk non-Minang dihalangi untuk mendapatkan posisi kepemimpinan. Hukum adat itu asing dan sering kurang dipahami oleh warga pendatang. Hal ini dapat menimbulkan diskriminasi dan berakibat pada kekerasan, sebagaimana yang terlihat dalam kasus di bawah ini. Studi Kasus 13: Konflik antara Etnis Batak dan Minang di Kinali Di desa yang berpenduduk 13.000, sekitar 2.000 diantaranya merupakan etnis Batak dari Sumatera Utara. Kasus ini muncul di pasar Tempurung di akhir tahun 2000, sebagai sengketa pribadi antara orang Batak dan Minang, yang sedang berjudi. Perkelahian terjadi antara mereka dan kemudian berkembang menjadi konflik besar antara komunitas dua etnis. 94 rumah yang dimiliki oleh orang Batak dibakar dan penduduk Batak melarikan diri atau dievakuasi dari nagari. Selama tiga bulan, pasar itu ditutup, tidak ada anak-anak yang pergi ke sekolah dan para orang tua tidak pergi kerja. Sebelumnya, ada sekitar 400 keluarga Batak yang berada di komunitas tersebut. Sekarang sisa 56. Menurut pemimpin dusun Minang di wilayah tersebut, latar belakang sosial atas konflik tersebut adalah perlakuan yang tidak adil terhadap orang Batak oleh pemimpin suku. Upaya penyelesaian dilakukan oleh kepala adat dan pejabat pemerintah kecamatan. Perwakilan dari penduduk Batak dan Minang, termasuk 32 kepala suku, bertemu dengan pejabat pemerintah senior dan kesepakatan ditanda-tangani oleh dua pihak di kantor kecamatan. Pemerintah daerah memberi ganti rugi kepada pemilik rumah yang telah kehilangan harta benda dengan Rp 2 juta per-rumah, terlalu sedikit untuk membangun kembali rumah tersebut. Orang-orang Batak diberikan dusun mereka sendiri dan dapat menggunakan adat mereka. Mereka hanya perlu melaporkan kepada pemimpin adat Minang untuk pernikahan. Menurut orang-orang Batak, interaksi antara dua komunitas masih terbatas.
Kasus Kalimantan Tengah Perselisihan hukum dan norma, diperparah dengan tidak adanya kerangka kerja penyelesaian sengketa yang efektif untuk mempertemukan perbedaannya, akan meningkatkan resiko yang justru memungkinkan sengketa meledak menjadi kekerasan. Sebagaimana pengamatan Kane et al, ‘masalah ini lebih gawat di daerah paska konflik...dimana ada kebutuhan yang mendesak untuk mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan konflik 63 Seperti pengamatan Benda Beckman, ‘Hukum adat lokal ... jarang mewakili nilai dan aspirasi dari semua anggota penduduk desa.’ Franz von Benda Beckman (2000) “Legal Plurarism and Social Justice in Economic and Political Development”, Makalah dipresentasikan dalam IDS Internasional Woorkshop on Rule of Law and Development, 1-3 Jun1 2000. 64 Untuk pandangan yang bersifat kesejarahan tentang Maluku dan dampak ketertutupan hukum adat atas penduduk tidak asli lihat Franz von Benda Beckmann (1990) diatas n.20 dan Beckmann, ibid —’seringkali para pendatang memiliki status politik dan ekonomi kelas kedua dibawah hukum adat tuan rumahnya’, hal.11. 65 78 persen penduduk adalah suku Jawa dan 20 persen suku Madura .
46
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
antara anggota komunitas yang berbeda.’66 Meskipun demikian, di beberapa daerah paska konflik di seluruh Indonesia, daripada membuat mekanisme lokal yang mewakili semua anggota masyarakat, pemerintah daerah berinisiatif untuk memperkuat penyelesaian sengketa dengan mengembalikan ke struktur dan proses adat. Kembalinya ke “cara lama”, yang didorong oleh kebijakan politik, menegaskan kembali berlakukanya identitas regional dan etnis. Hal itu justru mempertegas perbedaan, bukannya persamaan. Di Kalimantan Tengah, contohnya, salah satu dari dampak yang paling terlihat dari konflik etnis pada 2001 merupakan sebuah penegasan kembali atas identitas kebudayaan Dayak. Seperti dinyatakan oleh seorang pejabat pemerintah di Kabupaten Kuala Kapuas, ‘Rasa bangga Dayak udah bangkit sejak konflik.’ Banyak yang lainnya menyampaikan pandangan seperti disampaikan seorang pejabat Pemerintah Provinsi, yaitu ’Kalau orang luar menghormati adat kita, mungkin konflik tidak akan terjadi’. Respon politik untuk membangkitkan peran pemimpin adat belum begitu berdampak di daerah tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh anggota DPRD provinsi, ‘Hukum adat itu belum begitu dominan. Apa yang ada di dalam peraturan belum merefleksikan apa yang ada di bawah.’ Para damang tidak memiliki sumber daya, kurang keahlian dan ilmu, dan dapat dipengaruhi dan dimanipulasi oleh kepentingan pemerintah dan/ atau perusahan swasta. Damang di Pondok Demar di Kabupaten Seruyan, contohnya, menerima upah bulanan Rp 750,000 dari perkebunan kelapa sawit yang terlibat dalam sejumlah sengketa tanah di daerah tersebut. Dia menyebutnya sebagai biaya penghubung antara perusahaan dengan masyarakat, tapi LSM lokal dan masyarakat desa menyebutnya sebagai uang sogok. Namun, dari sisi politik, usaha untuk membangkitkan kembali peran adat tidak berjalan dengan tanpa diketahui oleh orang yang non-Dayak. Sebelum konflik, adat dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan sejumlah masalah yang meningkat antara orang Madura dan Dayak. Di saat yang bersamaan, banyak orang Dayak percaya bahwa sistem peradilan formal dikuasai oleh orang Madura.67 Orang Madura yang diwawancarai untuk penelitian ini mengungkapkan bahwa lebih menyukai penyelasaian oleh pemerintah lokal atau sistem hukum formal. Mereka melihat adat benar-benar milik suku Dayak. Jadi, perubahan-perubahan aturan yang disahkan sejak otonomi daerah telah memperkuat posisi orang Dayak, tapi tidak merupakan sebuah jalan untuk penyelesaian masalah lintas etnis. Kondisi ini merupakan permasalahan besar di Kalimantan Tengah paska-konflik. Orang-orang Madura kembali lagi dalam jumlah yang banyak.68 Banyak yang kembali dengan kondisi yang sulit. Peraturan Daerah di Kabupaten Kotawaringin Timur, salah satu dari pusat konflik utama, membuat kriteria untuk orang Madura untuk dapat kembali dan tinggal.69 Orang Madura yang dapat diterima oleh masyarakat lokal mungkin mendapati dirinya sebagai gelandangan, akibat banyak lingkungan orang-orang Madura yang dihancurkan selama konflik. Rumahrumah mereka yang masih berdiri mungkin sekarang ditempati oleh keluarga lain. Dalam kasus lainnya, barangbarang milik orang Madura telah dicuri atau dijual. Dalam kasus seperti itu, orang-orang Madura yang meminta untuk kembali ke rumah mereka menghadapi negosiasi yang sulit dengan orang-orang yang menghuni tempat tinggal mereka. Banyak yang sudah menghabiskan atau kehilangan segala-galanya ketika melarikan diri dari Kalimantan setelah kerusuhan, jadi untuk kembali kepada kehidupan biasa tergantung kepada penjaminan terhadap hak atas harta kekayaan mereka. 66 M.Kane, J.Oola-Onyango & A. Tejan-Cole ( 2005) ‘Reassessing Customary Law Systems as a Vehicle for Providing Equitable Access to Justice for the Poor.’ Makalah dipaparkan dalam konferensi Arusha, New Frontiers of Social Policy, Desember 12-15, 2005. 67 Dalam sebuah wawancara pada tahun 2003, mantan Kapolda Provinsi Kalimantan Tengah memberitahu kami bahwa polisi pada kenyataannya tidak berpihak (berat sebelah) atas dasar etnis tapi hanya sekedar mendukung kepada siapapun yang membayar mereka paling banyak. Hal ini umumnya terjadi pada orang Madura. 68 Sampai dengan Desember 2004, ada 9.000 yang terdaftar telah kembali dari 120.000 orang Madura yang telah mengungsi. 69 Peraturan Daerah Kotawaringin Timur Tahun 2004 tentang Pengawasan Kependudukan di Kotawaringin Timur.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
47
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Tentu saja mereka pada dasarnya merasa bahwa posisi tawar mereka masih sangat lemah. Kapanpun mereka dapat dikembalikan ke Madura. Ancaman-ancaman masih sangat umum terjadi. Sebagai orang Madura kelahiran Kalimantan, Ova, bercerita kepada kami, ‘Sebelum konflik, orang Madura keras. Sekarang kami harus merendahkan diri… posisi kami sangat lemah.’ Hal ini disebabkan rasa takut akan adanya balas dendam dan terulangnya kembali kekerasan pada February 2001. ‘Pokoknya kami takut,’ dia menambahkan. Ova menceritakan kembali bagaimana rumah salah satu temannya ditempati oleh orang Dayak setelah mereka melarikan diri ke Madura akibat konflik tersebut. Keluarga Dayak tersebut kemudian menjual rumahnya ke sebuah keluarga etnis Cina. Teman Ova itu sekarang harus membeli kembali rumah mereka sendiri, bahkan tanpa uang, tanpa kekuatan yang nyata untuk menjamin hak-hak atas harta kekayaan mereka. Meskipun beberapa orang damang memberitahu tim peneliti bahwa mereka berpikir adanya sebuah lembaga multi-etnis untuk menyelesaikan sengketa akan berguna, belum ada tindakan sama sekali untuk memperbaiki proses penyelesaian sengketa untuk menangani masalah-masalah seperti itu. ‘Tidak ada lembaga yang dapat melindungi kami,’ Ova menilai. Sikap yang sama ditunjukan di Pulau Buru, Maluku oleh para transmigran yang menghadapi sengketa pertanahan yang besar, yang bermula sejak tahun 1954 (Studi kasus 22). Kepala desa yang orang Jawa dan sekretarisnya tidak ingin menyelesaikannya berdasarkan hukum adat, karena mereka tidak mengerti dan merasa hukum itu mendiskriminasi pendatang baru. Hal ini menciptakan ketegangan di wilayah tersebut. Sekretaris desa dari desa transmigran tersebut dengan merujuk kepada konflik etnis di Sambas, Kalimantan Barat, tahun 1999 menyatakan, ‘Ini bisa menjadi Sambas kedua’. Raja dari desa tetangga setempat mengakui, ‘Muncul ketegangan disana.’
Sengketa Antar Kelompok Masyarakat Kekuasaan pelaku peradilan non-negara jarang melampaui batas lingkungan pengaruh mereka, apakah itu berdasarkan batas wilayah (kepala desa dan lingkungan rumah), berdasarkan marga (tokoh adat) atau sosial (tokoh agama). Lebih jauh lagi, kepercayaan dan sanksi sosial penting bagi keberlangsungan perjanjian yang dimediasikan. Sebagaimana dalam Gambar 7 di bawah, responden GDS dilaporkan memiliki tingkat kepercayaan sosial yang lebih rendah secara drastis terhadap orang-orang dari desa yang bersebelahan dibandingkan dengan lingkungan tempat tinggal mereka sendiri. Gambar 7: Kepercayaan terhadap tetangga dekat dan desa-desa sekitar
Kepercayaan terhadap tetangga
Kepercayaan terhadap desa-desa sekitar
0%
10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%
Semua Orang
Beberapa
Sedikit
Tak Satu Pun
Kurang Tahu
Sumber: Survei GDS
Dua faktor tersebut, yaitu ketidakmampuan untuk mempunyai kewenangan sosial dan kurangnya kepercayaan sosial – dengan ketidakhati-hatian mengkompromikan kemampuan para pelaku desa untuk menyelesaikan sengketa antar masyarakat. Kasus di bawah ini merupakan contoh yang luar biasa atas masalah tersebut, dari pulau wisata Lombok, Nusa Tenggara Barat.
48
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Studi Kasus 14: Tembok berlinnya Lombok: Karang Genteng vs Patemon70 Konflik dimulai pada pertengahan tahun 1999 ketika seorang penduduk Patemon memperoleh hak milik tanah atas sebuah kuburan yang berlokasi diantara desanya dan desa sebelah, Karang Genteng. Masyarakat Karang Genteng memperselisihkan sertifikat, merasa tanah itu berada dalam wilayah mereka. Tidak seorangpun yakin saat ini apa yang memicu kekerasan, tapi perkelahian yang memanas pecah di bulan Juli 1999 ketika penduduk Karang Genteng menyerang Patemon. Konflik tersebut memanas sepanjang sisa tahun 1999, memuncak pada bulan Januari 2000, menyebabkan banyak luka-luka dan kematian.71 Sengketa itu sekarang telah berkembang tidak hanya sekedar soal ketidaksetujuan atas tanah dan terjadi saling balas dendam. Sebagaimana yang diamati oleh Sibawai, pemimpin keagamaan di Karang Geteng, ‘Yang penduduk tahu, bahwa ada anggota keluarga mereka yang telah dibunuh si anu atau si anu...yang tinggalnya di Kampung Patemon.’ Berlusin-lusin peperangan terjadi selama lebih dari 10 tahun terakhir. ‘Sampai kapanpun kita akan melawan mereka,’ kata kepala desa Patemon. ‘Bahkan saya sudah perintahkan kepada laki-laki di atas 16 tahun sampai 50 tahun untuk harus selalu siap sedia berperang melawan Kampung Karang Geteng, … bilamana tidak bersedia lebih baik tidak menjadi warga Kampung Patemon!’ Penduduk di Patemon menyiapkan persediaan senjata seperti batu, botol, tombak, dan bahkan senjata tangan buatan. ‘Kalau sudah ada isyarat akan terjadi penyerangan,’ lanjut kepala desa Patemon, didukung oleh kepala organisasi pemuda setempat, ‘kami memesan batu atau botol beberapa truk untuk menyerang dan bertahan.’ Respon pemerintah setempat luar biasa. Benteng setinggi 3 meter dibangun sepanjang jalan membatasi dua desa. Sekolah dan fasilitas kesehatan terpisah juga telah dibangun sehingga para penduduk tidak perlu berinteraksi. ‘Coba perhatikan saja,’ kata Sibawai, ‘melerai pertikaian antar warga, kok yang dilakukan pemerintah malah membuat benteng! apa menurut pemerintah konflik ini sekedar masalah fisik? Tentunya kan yang harus dilakukan adalah pembenahan secara sosial kemasyarakatan.’ Pengaruh ekonomi yang timbul atas tembok tersebut benar-benar signifikan. ‘Masyarakat mungkin mulai berfikir,’ kata kepala desa Patemon. ‘Yang semula perputaran roda bisnis sekitar Rp 35 juta perhari, menjadi sampai Rp 100 ribu pun tidak dapat. Konflik ini tidak lebih hanya mengorbankan segalanya sampai nyawa.’ LSM lokal telah mencoba untuk mendamaikan dua desa, tapi upaya hanya pada tingkat permulaan. Belum ada upaya untuk mempertemukan pihak-pihak yang berbeda secara bersama. Sementara itu, dinding setinggi tiga meter diantara dua desa berdiri sebagai sebuah simbol pemisahan.
Tidak adanya forum yang diakui sebagai wadah komunikasi dan pertemuan perdamaian yang melewati batas wilayah dapat menyebabkan pertentangan atas nilai dan membuat perselisihan kecil berubah menjadi konflik kekerasan masal. Lebih jauh lagi, ketidakmampuan pelaku peradilan di luar lembaga Negara untuk memproyeksikan kewenangan di luar batas pengaruh mereka, yang dianggap bisa meningkatkan pengakuan sosial lewat tindakan ”nasionalisme lokal” di mana mereka berperan sebagai pendukung atau pendamping desa mereka dan bukan sebagai fasilitator netral yang bertindak sebagai penengah dalam sengketa
Sengketa Melibatkan Pihak Ketiga Sengketa yang melibatkan warga desa dan pihak ketiga, khususnya perusahaan-perusahaan kehutanan dan perkebunan kelapa sawit, menjadi hal yang semakin biasa terjadi di lokasi-lokasi penelitian. Sistem informal biasanya tidak mampu menangani pertikaian-pertikaian seperti itu, ketika sengketa tersebut melibatkan pihakpihak di luar kontrol sosial desa. Di Kalimantan Tengah, perselisihan seperti ini makin sering terjadi seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit ke dalam tanah adat.71 Didukung oleh pemerintah, perkebunan sering mendapatkan tanah dengan cara tidak adil atau dengan memberi ganti rugi yang tidak mencukupi. Warga desa di seluruh Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin, contohnya, melaporkan bahwa mereka secara rutin menerima rata-rata Rp 400,000 per hektar sebagai kompensasi atas 70 Kami tidak memiliki angka (jumlah) yang pasti, karena masyarakat satu desa tidak terbuka memberi data yang konkrit dan polisi tidak bisa memastikan datanya. 71 Lihat John F McCarthy (2004) “Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-legal Configurations in Central Kalimantan, Indonesia.” World Development. 32(7) hal. 1199-1223, Juli 2004.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
49
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
tanah mereka yang jatuh ke pihak perkebunan. Kepala Divisi Ekonomi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur, menginformasikan, bahwa kompensasi minimum diharapkan sekitar Rp 600.000,- sampai Rp 1 juta. Kasus pertambangan batu kapur Sari Gunung di Sampang, Jawa Timur, yang digambarkan dibawah merupakan contoh bagaimana kewenangan para aktor lokal tidak cukup untuk mencegah kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pertambangan baru kapur. Studi Kasus 15: Pertambangan Sari Gunung menciptakan Kekacauan72 Batu kapur telah ditambang di dekat desa Sampang di Jawa Timur sejak masa penjajahan Belanda. Sejak kemerdekaan, pengoperasiannya dimiliki oleh pemerintah setempat tapi ditangani oleh perusahaan swasta, PT. Sari Gunung. Selama lebih dari 20 tahun masyarakat setempat telah menyampaikan keluhan kepada perusahaan dan Pemerintah Kabupaten tentang kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan terhadap infrastruktur desa. Pertambangan itu memproduksi cukup banyak grosok, sebuah produk tidak berguna campuran dari kepingan-kepingan dan lumpur keras. Karena pertambangan tersebut berada di atas bukit di atas perdesaan, selama musim hujan grosok tersebut jatuh ke bawah, dari pertambangan tersebut ke perdesaan. Selama hujan deras grosok menyebabkan kerusakan yang parah pada jalan-jalan dan beberapa rumah warga. Di tahun 1980-an, Sekretaris Desa mengirimkan surat keluhan kepada Bupati, ditandatangani Camat, Kepala Dusun dan Kepala Desa. Mereka berpikir karena itu merupakan perusahaan milik pemerintah maka Bupati akan mengambil tanggung jawab. Namun demikian, Bupati menyatakan bahwa masalah grosok itu bukanlah prioritas. Tiba-tiba pada tahun 1997 Pemerintah Kabupaten membangun saluran air sehingga air hujan dan grosok akan dialirkan menjauh dari perdesaan. Akan tetapi, langkah ini mengalihkan masalah itu dari dusun di sebelah barat ke dusun yang di sebelah timur. Hujan deras yang terjadi pada tahun itu menyebabkan rumah-rumah di bagian timur juga sawah yang berada jauh di hilir dibanjiri dengan air bercampur grosok. Surat lainnya dikirimkan, kali ini ke DPRD dan Badan Perencanaan Daerah, tapi lagi-lagi tidak ada respon. Mengalihkan masalah dari dusun yang di sebelah barat ke yang ke di sebelah timur mulai memicu ketegangan antar kelompok masyarakat. Pada tahun 2003, sekelompok anak muda dan petani yang lelah membersihkan grosok setelah hujan deras dan melihat sawah tercemar air kotor, menyumbat saluran yang mengalihkan air. Menanggapi aksi protes ini Kepala Desa memanggil anak-anak muda ke rumahnya untuk sebuah pertemuan. Masyarakat di dusun sebelah timur mengartikan hal ini sebagai gerakan permusuhan oleh Kepala Desa, dan sekitar 20 orang warga desa dari dusun bagian timur mendatangi Kepala Desa. Tidak ingin memanaskan ketegangan, Kepala Desa menerima aksi protes mereka dan saluran tersebut tetap disumbat. Hujan berlanjut dan air grosok membanjiri jalan utama dan sejumlah toko serta rumah-rumah. Tidak seorangpun berani untuk membuka saluran atau bahkan membersihkan air grosok. Dwi Pertiwi, anggota Badan Perwakilan Desa, menyatakan, ‘Tidak seorangpun di komunitas lainnya berani membersihkannya, bisa timbul keributan jika seseorang membersihkannya.’ Sudah banyak kecelakaan motor terjadi di jalan utama, menjadi licin karena grosok itu. Aksi mereka tidak pernah dianggap apalagi dipertimbangkan oleh Pemerintah Desa. Direktur pertambangan tersebut menjelaskan jika setiap tahun dia memberikan keuntungan perusahaan kepada Pemerintah Kabupaten, jadi, menurutnya terserah mereka apakah mereka akan menyelesaikan masalah grosok tersebut atau tidak. Karena perusahan mempekerjakan orang-orang desa, Kepala Desa dan Kecamatan merasa segan untuk menghujat perusahaan tersebut. Pada saat laporan ini ditulis, sengketa tersebut tetap tidak terselesaikan. Ketegangan sosial tetap tinggi, khususnya antara dusun di sebelah timur dan barat akibat penyumbatan saluran tersebut.
72 Kasus ini dari Patrick Baron, Rachel Diprose dan Michael Woolclock (2006) Local Conflict and Community Development in Indonesia: Assessing the Impact of the Kecamatan Development Program, Kertas Kerja 10, Social Development, World Bank, Jakarta.
50
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Warga desa takut menentang kepentingan yang berkuasa dalam kasus penyalahgunaan hak tanah atau kerusakan lingkungan. Penduduk desa Sembuluh II di Kalimantan Tengah mengeluhkan penyakit kulit dari polusi air yang mereka yakini disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit setempat. Bahkan, seorang perempuan mengatakan, ‘Kami bergantung kepada mereka untuk pekerjaan dan duit. Kami sih takut melaporkan masalah ini.’ Kondisi ini dapat menyebabkan ketegangan horisontal antara warga desa yang pro dan kontra terhadap masuknya investasi dari luar. Komunitas lokal, didukung LSM advokasi mulai belajar mengorganisir diri sendiri dan belajar menghadapi kepentingan-kepentingan yang melanggar atas hak-hak tanah mereka. Keterbukaan politik dan demokrasi mendukung gerakan-gerakan seperti itu. Tapi secara umum, mekanisme peradilan non-negara tidak dapat menghadapi kekuatan yang tidak berimbang tersebut. Seperti pada pengalaman orang-orang Madura di Kalimantan Tengah, salah satu tantangan paling mendasar bagi masyarakat yang bukan penduduk asli dalam memahami dan menjalankan sistem norma adat adalah kenyataan bahwa prosedur dan substansi tidak tertulis dan tidak jelas buat mereka. Salah satu cara yang telah diusahakan masyarakat untuk mengatasinya adalah kodifikasi norma dan struktur penyelesaian sengketa. Boks 3 dibawah ini menggambarkan sebuah contoh serupa dari Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Boks 3: Contoh Perubahan II: Memperjelas norma dan struktur resolusi perselisihan di NTB ‘Desa Bentek, dan desa-desa lain yang bergabung dalam Perekat Ombara merasa perlu memformalkan lembaga yudikatif di tingkat desa. Disamping fungsinya yang positif di masyarakat, juga secara legal, Kepala Desa sebagaimana ditetapkan Undang-undang Otonomi Daerah (Pasal 101e UU No. 22/99, penulis) wajib dan berwenang menyelesaikan permasalahan atau sengketa di wilayah pemerintahannya. Jadi dengan pembentukan secara formal Mahkamah Adat Desa yang menjadi salah satu bagian dari aparat pemerintahan desa, kami bukan sedang melakukan percobaan yang mengada-ada. Dan ini pembelajaran berharga bagi masyarakat, karena bermasyarakat juga tidak lepas dari konflik, yang juga harus ada saluran untuk penyelesaiannya. - Kamardi, Kepala Desa dan Pendiri Perekat Ombara, Lombok, NTB. Di Kabupaten Lombok Barat, dua puluh lima desa bergabung bersama di tahun 2000 untuk membentuk Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara). Aliansi tersebut awalnya dibentuk untuk merespon kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan kehutanan di wilayah tersebut. Sejak itu, Perekat Ombara telah meluas ke 32 desa di seluruh kecamatan dan menjadi sebuah pergerakan untuk memperbaharui institusi desa, termasuk dalam penyelesaian sengketa. Masing-masing desa anggota telah mengkaji proses penyelenggaran penyelesaian sengketa dengan membentuk pengadilan desa, yang dikenal sebagai Mahkamah Adat atau Majelis Krama Adat yang terdiri dari tiga pihak yang berwenang yaitu pemerintah, adat dan pemimpin keagamaan. Beberapa memilih untuk menyusun hukum adat untuk diterapkan di dalam desa mereka. Desa-desa tersebut memiliki badan eksekutif (kepala desa), legislatif (BPD) dan yudikatif (dewan adat). Aliansi tersebut juga telah mendirikan sebuah dewan untuk mendengarkan sengketa-sengketa di tingkat antar desa, memperkenalkan sistem pengawasan untuk tingkat di bawahnya, melalui hak untuk banding. Tidak seperti kebangkitan adat yang bersifat dari atas-ke-bawah di lokasi-lokasi penelitian lainnya, Perekat Ombara merupakan gerakan alami. Dengan dukungan dari luar, organisasi tersebut sekarang bergerak untuk memperkuat posisi perempuan dan kaum minoritas di institusi-institusi setempat. Hal ini termasuk partisipasi dalam pembukuan adat setempat, diikuti oleh analisa hukum adat yang memiliki perspektif gender dan hak asasi manusia. Karena berbasis tradisional, kepemimpinan Perekat Ombara memiliki pengertian yang luas tentang “adat” sebagai hal yang dinamis, perubahan yang bertahap, sejalan dengan fakta sosial modern. Kepemimpinan tersebut menganggap bahwa mengulurkan tangan kepada kaum perempuan sebagai bagian penting untuk pengakuan sosial.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
51
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Benturan Antara Sistem Formal dan Informal Pluralisme hukum mengandung maksud bahwa norma dan sistem hukum yang berbeda kadang-kadang akan berbenturan. Kasus yang dipelajari menunjukkan bahwa persinggungan diartikan secara luas dalam arti yang khusus—jika ketentuan perpaduan keduanya tidak ditegaskan, dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan dan kekacauan. Studi kasus dibawah ini menggambarkan bagaimana perselisihan norma-norma dan sanksisanksi antara yang formal dan informal yang berasal dari ketentuan mereka yang berbeda. Studi Kasus 16: Penusukan di Kota – Resolusi Dua Jalur73 Empat orang laki-laki pergi minum-minum bersama di pusat Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah di malam hari tanggal 31 Agustus 2003. Dua dari mereka salah paham dan terjadilah perkelahian. Setelah saling pukul, Ranno Jonfrid Siae yang berusia 18 tahun menodongkan pisau dan menusuk temannya Syahmanto. Rano melarikan diri dari tempat kejadian, sementara teman-temannya membawa Syahmanto ke rumah sakit terdekat. Dia meninggal, tidak lama setelah itu. Rano ditangkap dan ditahan oleh polisi selama dua bulan selama mereka melakukan penyelidikan. Di saat yang bersamaan proses penyelesaian secara adat dijalankan secara berbarengan. Kedua pelaku dan korban adalah orang Dayak dan tidak lama setelah kejadian tersebut keluarga mereka bertemu di rumah Ketua RT dari korban untuk mengusahakan penyelesaian cara adat. Dua pandangan berbeda muncul di antara dua keluarga, yang dimediasi oleh Ketua RT. Ketika persetujuan dicapai, kemudian itu dibawa ke damang untuk mendapat pengakuan resmi. Selanjutnya daftar barang-barang yang diminta untuk dibayar oleh keluarga Ranno disusun, jumlah keseluruhannya Rp 36 juta. 75 Ayah Ranno, Jonfrid, dan pengacaranya merasa kalau harga beberapa barang tertentu nilainya berlebihan, tapi posisi tawar Jonfrid sangat lemah dalam situasi tersebut dan dia mengakui, ‘Sulit bernegosiasi dengan mereka, karena bisa membuat mereka sangat emosional.’ Dia memutuskan untuk tetap mengikuti proses adat meskipun beberapa teman dan keluarga mendesaknya mundur... ‘Saya dapat saja membatalkan proses adat, tetapi secara pribadi rasanya nggak benar. Yang anak saya lakukan nggak benar...menyentuh perasaan dan emosi.’ Jonfrid menerangkan. Hanya 18 hari setelah kejadian tersebut, persetujuan ditanda-tangani dan Jonfrid membayar denda. Motivasi utamanya adalah mengurangi ketegangan dan menjamin kerukunan dengan keluarga si korban. ‘Ini mengurangi balas dendam dan ketakutan... dan itu sudah terbukti.’ Dia juga tahu jalan tengah atau mediasi akan diterima dengan baik di pengadilan dan diharapkan dapat mengurangi hukuman untuk Ranno. Memang, pengacaranya sudah memberitahu contoh-contoh yang pernah terjadi sebelumnya. Sekretaris damang juga menjelaskan, tujuan dari resolusi adat adalah membantu ’mengurangi hukuman penjara.’ Dia menambahkan, bagaimanapun, pelaku membutuhkan ’pengampunan ilahi’ untuk mengurangi beratnya dosa. ‘ Di penjara hal seperti itu tidak ada’ dia mengatakan dengan muka masam. Untuk kasus-kasus seserius ini, penyelesaian adat jarang yang menjadi akhir dari penyelesaian masalah. Tuntutan pidana berlanjut. Sadar akan proses adat dan permohonan keluarga korban yang sudah ditujukkan ke pengadilan untuk meminta keringanan hukuman yang paling rendah, Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara. Keputusan Pengadilan menyatakan: …karena antara pihak keluarga korban dan pihak keluarga terdakwa telah mengadakan perdamaian adat, perdamaian mana pihak terdakwa telah memenuhi semua tuntutan menurut Hukum Adat Dayak, sehingga nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut, patut diperhatikan dan dihormati, oleh karena mana disamping memperhatikan aspek yuridis dan aspek filisofis Majelis Hakim juga memperhatikan aspek sosiologis... Hukuman tersebut kemudian diperkuat oleh banding ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Ranno sekarang sudah keluar dari penjara dan bekerja di kabupaten lain. Kedua keluarga telah bertemu dua kali dan menyatakan bahwa hubungan antara mereka baik. 74
73 Studi kasus ini berdasarkan wawancara dengan ayah pelaku dan pengacara, keluarga korban, jaksa penuntut umum dan salah satu hakim dalam kasus tersebut dan diskusi dengan si-Damang yang membantu menyelesaikannya. Studi kasus ini juga mempergunakan Keputusan Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya279/Pid.B/2003 & Keputusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah 14/Pid/2004/PT.PR 16 Feruari 2004. Kutipan ini berasal dari keputusan Pengadilan Negeri. 74 Daftar tersebut meliputi barang-barang untuk upacara adat, dua babi, satu kerbau, satu sapi, 15 ayam, 500kg beras dan 100kg gula dan piring dan mangkok khusus. Jumlah ini juga termasuk Rp 6 juta untuk biaya kasus kepada damang dan perangkat adatnya.
52
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Kasus tersebut membedakan dasar pikir kedua sistem peradilan. Bagi keluarga tersebut dan damang, hal yang utama adalah mempercepat penyelesaian dan ”mengurangi balas dendam dan ketakutan.” Sebaliknya tujuan utama pengadilan formal yaitu untuk menyelenggarakan keadilan untuk kepentingan umum dan untuk memberikan aspek jera. Kasus tersebut juga mencerminkan bagaimana sistem tersebut saling mendekati satu sama lain. Keinginan untuk menghindari resiko dimana pelaku bisa saja “disidang” dan dihukum dua kali untuk pelanggaran yang sama, membawa pengadilan termasuk Mahkamah Agung, untuk mengetahui sanksi adat. Sama halnya si damang dan pengacara Ranno mengerti sanksi adat sehingga dapat mengurangi besarnya hukuman penjara. Dalam kasus tersebut, “benturan” antara norma dan ketentuan yang berlaku berhasil dinegosiasikan untuk memberikan kepuasan bagi semua pihak. Sebaliknya, pembunuhan karena “ilmu hitam” yang tercatat di Jawa Timur (Studi Kasus 18 & 19) menggambarkan adanya kesulitan-kesulitan pada persidangan pengadilan untuk menentukan aturan yang tepat atas apa yang dimaksud sebagai, “adat-istiadat dan nilai lokal” dan sejauh mana hal ini harus digunakan sebagai bahan pertimbangan. Di Jawa Timur, praktik santet dianggap tindak pidana. Pada saat yang bersamaan, juga dipraktikkan secara luas. Dalam banyak kasus, polisi melindungi anggota masyarakat yang dituduh melakukan santet. Bagi sebagian besar masyarakat menerima keterlibatan polisi. Akan tetapi, jika masyarakat memutuskan untuk menangani sendiri kasus ini dan meminta keadilan bagi orang yang dituduh melakukan santet, polisi jarang bertindak untuk menyelidiki pembunuhan tersebut. Singkatnya, sistem formal tidak menentukan, secara konsisten dan dapat diprediksi, nilai pantas terhadap adatistiadat dan tidak menjelaskan tindakan apa yang tidak mencapai nilainya. Dalam kasus penusukan di atas, pengadilan memandang hasil dari proses peradilan non-negara sebagai hal yang absah dibandingkan dalam kasus “penculikan” anak Haji Anggeng (Studi Kasus 8), dimana penyelesaian informal ditolak. Tapi tidak ada satu catatan penjelasan tentang bagaimana keputusan-keputusan ini dicapai. Batas yurisdiksi antara sistem formal dan informal tidak ditegaskan, artinya meskipun diluar kewenangannya, kasus pidana berat kadang kadang masih dapat dimediasi di tingkat desa. Standar dan perlindungan prosedural tidak disebutkan. Atas dasar apa proses tersebut dinyatakan tidak sah dalam salah satu kasus dan sah di kasus lainnya? Demikian juga, apa yang menjadi pedoman kebijakan polisi untuk menengahi atau menuntut? Persinggungan tersebut tidak diperjelas dan, sebagaimana yang digambarkan dalam kasus kekerasan rumah tangga di Kalimantan dan kasus Anggeng, kadang-kadang menghasilkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum yang menguntungkan pihak yang kaya dan berkuasa.
Memperjelas Persinggungan - Contoh-contoh dari Beberapa Negara Tetangga. Negara-negara sekitar menghadapi tantangan pluralism hukum yang sama dan mengadopsi pendekatanpendekatan praktis untuk menghadapi hubungan formal-informal. Negara tetangga Papua Nugini, contohnya, mengakui pentingnya peran peradilan tradisional, dengan membuat sebuah mekanisme pemerintah untuk menyelaraskan sistem formal dan informal.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
53
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Boks 4: Contoh-contoh Perubahan III: Meningkatkan kesesuaian antara peradilan formal dan informal dan membangun kapasitas – Unit Perantara Peradilan Komunitas Papua Nugini Seperti Indonesia, sistem informal merupakan bentuk peradilan yang dominan di negara tetangga Papua Nugini. Dengan tujuan meningkatkan kesesuaian dan konsistensi antara sistem formal dan informal; untuk meningkatkan kapasitas pelaku peradilan di luar negara; untuk mendokumentasikan dan menyebarkan inovasi lokal yang bersifat progresif; untuk mendukung keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam sektor peradilan dan untuk mendorong peradilan yang saling menguatkan, Pemerintah Papua Nugini telah mendirikan sebuah Unit Perantara Peradilan Komunitas (Community Justice Liaison Unit atau CJLU) sebagai bagian resmi dari Sektor Hukum dan Peradilan. Melalui pelatihan reguler, pengawasan, peningkatan kesadaran dan program khusus untuk perempuan dan kelompok yang rentan, CJLU merupakan ekspresi kebijakan yang nyata atas peradilan non-negara. Tapi pada saat yang bersamaan sebuah praktik untuk menemukan titik keseimbangan antara dua wilayah peradilan. Sumber: Pemerintah Papua Nugini (2007)
Beberapa ketidakpastian, ambiguitas dan potensi benturan norma-norma dapat dikurangi, dengan mendefinisikan secara jelas yurisdiksi antara putusan pengadilan dan penyelesaian sengketa di desa. Hal ini secara tepat menjadi pendekatan yang diadopsi di negara tetangga dekat Indonesia, Filipina.75 Boks 5: Contoh Perubahan IV: Mendefinisikan Persinggungan–Sistem Peradilan Barangay di Filipina. Sistem Peradilan Barangay di Filipina (BJS) merupakan program konsiliasi dan mediasi wajib di tingkat barangay atau desa, dilaksanakan di semua 42,000 barangay di Filipina. Didirikan di tahun 1978, BJS merupakan perpaduan antara penyelesaian sengketa formal dan informal. Sistem ini mencoba untuk memperoleh kekuatan mediasi di masyarakat, dengan pelaksanaan kekuasaan negara. Filosofi dasar dari BJS bahwa tidak ada sengketa yang boleh ditangani oleh pengadilan sebelum ada usaha awal untuk menengahinya di tingkat barangay. Mediasi dengan sistem ini dilaksanakan secara informal tanpa pilihan untuk pembuktian alat bukti. Hal tersebut pada pokoknya merupakan lingkungan yang “tidak resmi”. BJS tersebut terdiri atas sebuah badan mediasi di masing-masing desa. Kepala desa, atau pemimpin Barangay, mengetuai badan tersebut yang terdiri dari 10-20 anggota tergantung pada ukuran desa. Kasus-kasus tersebut awalnya dibawa ke pemimpin barangay untuk mendapatkan usaha perdamaian. Jika penyelesaian sudah didapat, lalu ditulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Penyelesaian tersebut kemudian mendapat status sama dengan keputusan pengadilan. Jika pemimpinnya gagal menghasilkan penyelesaian yang memuaskan, kasus tersebut ditingkatkan ke 3 orang dewan majelis yang dipilih oleh pihak yang bertikai. Jika gagal, maka kemudian kasus tersebut dapat dibawa untuk diselesaikan melalui proses peradilan di pengadilan. Yuridiksi BJS meliputi semua tipe sengketa dengan pengecualian dibawah ini: • salah satu pihak adalah pejabat pemerintah • pelaku tindak pidana dapat diberi hukuman penjara melebihi satu tahun atau denda lebih dari 5000 peso. • ketika sengketa melibatkan pengembang perumahan yang berlokasi di kota-kota yang berbeda; dan • sengketa lainnya yang oleh Kepala Barangay dianggap lebih tepat diselesaikan pengadilan demi kepentingan keadilan. (Undang-undang Pemerintah Daerah 1991 Pasal 408) Walaupun jauh dari sempurna, Sistem Peradilan Barangay secara konsisten memberikan tingkat kepuasan yang tinggi dan menangani banyak kasus.
75 Untuk informasi lebih lengkap mengenai Sistem Peradilan Barangay, lihat Gerry Roxas Foundation (2000a), Report on the Efficacy of the Katarungang Pambarangay Justice System in the National Capital Region, Manila: Gerry Roxas Foundation; Gerry Roxas Foundation (2000b), The Panay and Guimaras Experience in Barangay Justice. Manila: Gerry Roxas Foundation; GC Sosmena Jr. (1996), ‘Barangay Justice: a Delegalisation Mechanism’ 20 Hiroshima Law Journal 404; & G. Sidney Silliman (1985), ‘A Political Analysis of the Philippines Katarungang Pambarangay System of Informal Justice Through Mediation’ 19 Law & Society Review 279.
54
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian III: Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara
Menegaskan batas yurisdiksi antara sistem formal dan informal melalui perundang-undangan nasional, seperti contoh Filipina di atas, memperjelas batas-batas kewenangan polisi dan membatasi kapasitas mekanisme informal untuk menengahi kasus-kasus tindak pidana berat serius, misalnya perkosaan dan kekerasan seksual. Tentu saja sekedar mengatur hal ini tidak lantas mewujudkannya menjadi kenyataan di lapangan. Di Filipina, tindak pidana serius terus dimediasi di tingkat barangay walaupun bertentangan dengan hukum negara. Tetapi mengklarifikasi isu ini membantu mengurangi kebingungan dan memberi pedoman untuk pelaksanaan kebijakan.76 Contoh-contoh dari negara tetangga ini dapat memberikan beberapa inspirasi bagi pembuat kebijakan di Indonesia.
76 Alfredo Tadiar (1988) ‘Institutionalising Traditional Dispute Resolution: the Philippine Experience’ di Asia-Pacific Organization for Mediation (APOM), Transcultural Mediation in the Asia-Pacific, Manila.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
55
56
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Foto : Taufik Rinaldi
Bagian IV:
Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Tujuan dari penelitian ini adalah mendokumentasikan proses peradilan non-negara di tingkat desa terutama dari segi inklusifitas sosial dan perspektif pihak-pihak yang terpinggirkan. Tulisan ini juga mencoba untuk memahami dinamika perubahan peradilan non-negara dan menerapkannya ke dalam strategi yang memanfaatkan kelebihan maupun mengatasi kelemahan penyelesaian sengketa informal. Kesimpulan Utama •
Bentuk utama penyelesaian sengketa; penting bagi kesejahteraan orang miskin. Peradilan informal merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Bagaimana perselisihan itu dipecahkan memiliki dampak sosio-ekonomi yang berarti bagi masyarakat miskin.
•
Mekanisme peradilan informal memiliki beberapa kekuatan yang nyata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kasus kecil di tingkat komunitas, peradilan non-negara berjalan cepat dan efektif. Keberhasilan tersebut tercermin pada tingkat kepuasan yang tinggi.
•
Namun juga memiliki kelemahan yang signifikan. Ketika kasus menjadi lebih besar dan kompleks dan ada keterlibatan relasi kuasa, tidak adanya standar peradilan yang jelas, tidak adanya pertanggungjawaban ke pihak di atas dan di bawahnya, persinggungan yang kabur terhadap sistem hukum formal serta dikombinasikan dengan tingkat keterwakilan yang rendah dari perempuan dan kelompok minoritas bisa menciptakan kesewenangwenangan. Dalam kondisi demikian, relasi kekuasa di tingkat lokal dan norma sosial yang menentukan proses dan hasilnya, yang seringkali merugikan bagi pihak lemah dan tidak berkuasa. Kasus-kasus mengenai hak atas tanah dan kekayaan didalamnya, adalah kasus yang paling rumit dan sulit dipecahkan.
•
Terdapat contoh perubahan yang positif, meskipuan hanya sedikit dan jarang. Sistem politik dan demokrasi yang makin terbuka menciptakan dinamika yang progresif yang dimanfaatkan oleh berbabagi pihak di tingkat lokal untuk mengeksploitasi terbentuknya berbagai model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan inklusif.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
57
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Temuan paling penting dalam penelitian ini adalah bahwa peradilan non-negara merupakan bentuk utama penyelesaian sengketa. Perpaduan antara kemudahan diakses dan kewenangan sosial berarti bahwa sistem peradilan informal –mediasi dan negosiasi melalui kepala desa, pemimpin agama, hukum adat dan pemimpin masyarakat–merupakan pengalaman keadilan satu-satunya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Akibatnya, dalam mengadakan pembaharuan sektor peradilan di Indonesia, pendekatan yang terfokus terhadap sistem negara menjadi tidak cukup karena sebagian besar masyarakat mencari keadilan di tingkat desa dan bukan di pengadilan negara. Temuan penting kedua adalah bahwa cara berjalannya peradilan non-negara akan sangat berdampak pada stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat miskin. Kasus yang diteliti mencakup akses terhadap tanah dan sumber daya alam, sengketa kekeluargaan, perceraian dan warisan, tindak pidana berat dan konflik kekerasan antar suku. Ketidakberhasilan penyelesaian sengketa menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi bagi perseorangan dan masyarakat. Untuk sebagian besar kasus ringan, peradilan informal merupakan proses yang tepat dan efektif. Masyarakat lebih puas dengan kinerja mekanisme peradilan non-negara daripada pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Legitimasi dan kewenangan sosial merupakan sumber kepuasan masyarakat terhadap peradilan non-negara, namun di lain sisi pelaksanaan kewenangan sosial yang tidak terpantau justru menjadi kelemahan utamanya. Tanpa pengawasan, kelompok terpinggirkan sering tidak diikutsertakan, pembuatan putusan berjalan sewenangwenang dan penyelesaian sengketa lebih ditentukan oleh relasi kuasa daripada negara hukum. Peradilan nonnegara cenderung mencerminkan dan dipengaruhi oleh kedekatan hubungan sehingga merugikan perempuan dan kelompok terpinggirkan. Padahal jelas bahwa ketidakadilan seperti inilah yang memicu meluasnya konflik kekerasan. Konflik lahan—yang mempunyai nilai ekonomi yang jelas—adalah hal yang paling sering memicu konflik dan sulit untuk diselesaikan. Karena itu, hal ini terlalu penting untuk diabaikan. Kegagalan dalam mendukung peradilan non-negara berarti berlanjutnya ketidaksamarataan, hilangnya hak atas ekonomi dan meningkatnya peluang terjadinya konflik. Tetapi mencari solusi bukanlah hal yang mudah. Perbedaan prosedur dan substansi peradilan non-negara di masing-masing daerah mempersulit proses untuk membuat kerangka kerja yang berkaitan dengan sistem peradilan non-negara. Karena itu tidak mengherankan bahwa penelitian ini tidak menemukan contoh perubahan atau pembaharuan yang menyeluruh yang membuka kesempatan bagi perempuan dan kelompok terpinggirkan. Namun, keterbukaan politik dan demokrasi menciptakan dinamika progresif dimana beberapa kelompok lokal menggali pembentukan model penyelesaian sengketa yang lebih inovatif dan tepat sasaran. Munculnya gerakan yang mendesak perubahan dan adanya perubahan yang didorong dari bawah – baik berasal dari pemerintah maupun masyarakat madani – merupakan pertanda bahwa sudah mulai ada perubahan. Hal ini perlu didukung.
Pemahaman Peradilan Non-Negara di Indonesia: Temuan-temuan Utama Peradilan Non-Negara telah menjadi Mekanisme Utama dalam Penyelesaian Sengketa Meskipun sering dipandang sebagai cara penyelesaian alternatif seringkali peradilan non-negara merupakan satu-satunya pengalaman di bidang keadilan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Kepala desa, petugas pemerintahan desa dan agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat diakui oleh sebagian besar rakyat desa sebagai pelaku utama dalam penyelesaian sengketa. Sebagai perbandingan, hanya dua persen dari masyarakat
58
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
pernah berhubungan dengan pengadilan formal. Berhubungan dengan jaksa dan pengacara juga hampir tidak dilakukan.
Adanya Kaitan antara Keadilan, Stabilitas dan Kemiskinan Peradilan non-negara menangani persengketaan secara luas, termasuk kasus-kasus yang berkaitan erat dengan stabilitas dan kehidupan sosial. Kejahatan, konflik tanah, warisan, perkawinan dan perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga adalah bentuk-bentuk masalah hukum yang paling umum. Penyelesaian adil dari sengketa-sengketa tersebut membantu pihak perempuan mendapatkan harta gono-gini dalam perceraian dan memastikan bahwa anak mereka memiliki status hukum untuk mendapatkan akses atas pelayanan kesehatan dan pendidikan. Dan pastinya tidak ada yang lebih penting bagi keamanan dan kesejahteraan mereka selain kepastian hak penguasaan tanah.
Mekanisme Peradilan Non-Negara didominasi oleh Norma-norma Sosial Penyelesaian sengketa informal secara keseluruhan tidak memiliki sistem jelas yang menyeluruh, melainkan merupakan serangkaian proses yang dijalankan oleh pihak yang berpengaruh. Di beberapa wilayah, misalnya Sumatera Barat, dimana dewan adat setempat telah terbentuk, peradilan nonnegara ditegakkan dengan baik dan memiliki struktur serta hukum dan prosedur tertulis. Namun di kebanyakan wilayah proses berjalan serupa dengan yang terjadi di Kalimantan dan Maluku, dimana kepala desa atau pemimpin agama menyelesaikan sengketa berdasarkan pandangan lokal terhadap keadilan ataupun pendapat subyektif. Keputusan sering tidak ditunjuk kepada hukum negara, agama atau adat. Norma sosial dan relasi kekuasan menentukan keputusan. Ketidakjelasan prosedur peradilan non-negara memberi pelaku peradilan non-negara keleluasan dalam menentukan penyelesaian dan sanksi yang sesuai dengan budaya lokal. Tapi hal ini juga dapat mengakibatkan ketidakadilan dan diskriminasi bagi kaum lemah.
Menjaga Kerukunan dapat Menghasilkan Kebebasan dari Hukuman (Impunitas) Kemampuan mengembalikan kerukunan antar pihak adalah salah satu kekuatan utama dari peradilan nonnegara. Namun kepentingan kerukunan dapat juga disalahgunakan untuk mempertahankan status quo. Selain itu, pada masyarakat yang memiliki marga atau suku, upaya mencapai kerukunan umumnya mengutamakan menjaga keseimbangan hubungan antar-marga. Seringkali tercapainya kerukunan berarti hilangnya hak asasi manusia dan keadilan secara individu. Hal ini sangat jelas terlihat pada kasus Sepa, dimana keluarga dari korban perkosaan yang berusia tujuh belas tahun dipaksa untuk meminta maaf pada pelaku. Kasus ini merupakan contoh dimana dorongan untuk mengembalikan kerukunan digunakan untuk menekan keluhan yang sah dan berdasar dari kaum lemah. Tidak adanya proses pengawasan berarti kaum lemah tidak mempunyai saluran untuk banding ataupun menolak keputusan yang tercapai. Upaya menjaga kerukunan juga berpengaruh terhadap penentuan sanksi dalam sistem peradilan non-negara. Sanksi terhadap sengketa perdata dan pidana biasanya berupa kompensasi berbentuk uang, sehingga tampak menyamakan unsur hukuman dengan ganti rugi kerusakan material. Penelitian ini juga mencatat adanya hukuman fisik, termasuk cambuk dan pukulan, yang secara hukum berada diluar wewenang pelaku peradilan non-negara. Tanpa adanya kerangka pengawasan yang efektif, pemberian sanksi secara berlebihan dapat terjadi dan begitu juga pembebasan dari hukuman.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
59
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Kekuatan: Kemudahan Akses dan Legitimasi Sosial Kombinasi dari flexibilitas dan legitimasi serta kewenangan sosial di tingkat lokal memberi banyak keuntungan. Peradilan non-negara, selain lebih populer daripada peradilan formal, kinerjanya juga dilaporankan memberikan tingkat kepuasan kepada warga masyarakat yang lebih tinggi, yaitu sekitar 69 persen untuk peradilan non-negara dan 59 persen untuk peradilan negara. Sengketa sederhana dan ringan di dalam masyarakat umumnya terselesaikan dengan cepat. Dari empat belas kasus yang tercatat dalam studi ini, sebelas diantaranya dapat diselesaikan tanpa kesulitan berarti. Pada kasus sederhana, kemudahan akses, kelonggaran, biaya ringan dan kecepatan kinerja dari peradilan nonnegara membawa keuntungan yang lebih signifikan daripada peradilan formal. Kasus-kasus yang diteliti rata-rata terselesaikan dalam dua sampai tiga minggu, bahkan kurang. Biaya untuk administrasi kasus biasanya ringan. Kesukarelaan dan dasar mufakat juga memungkinkan kembalinya hubungan harmonis yang tidak dapat dilakukan dengan keputusan dari pengadilan. Dalam kasus penikaman di Kalimantan, tercapai penyelesaian yang memenangkan keduabelah pihak melalui penyelesaian adat yang memungkinkan keluarga pelaku dan korban tetap menjalin hubungan yang baik. Kekuatan utama dari peradilan non-negara berada pada wewenang dan legitimasi sosial yang dimilik para pelakunya. Legitimasi yang melekat pada kepala desa, pemimpin agama dan tokoh masyarakat mampu meyakinkan pihak yang bersengketa untuk mencari jalan keluar secara bersama dan juga memungkinkan penegakkan putusan yang dihasilkan dari proses mediasi tersebut.
Kelemahan: Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Kurangnya Pertanggungjawaban Meskipun legitimasi sosial adalah kekuatan hukum adat, pelaksanaannya yang tidak diawasi dapat mengarahkannya pada ketidakadilan. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak yang lebih berkuasa untuk menggunakan pengaruh mereka untuk mengatur norma-norma dan proses penyelesaian sengketa. Hal ini sangat jelas pada kasus penghinaan adat di Sumatera Barat dimana norma-norma diterapkan secara selektif sesuai wewenang orang-orang yang bersengketa. Kasus perkelahian di pasar dan Anggeng juga menunjukkan bahwa kekuasaan orang-orang yang bersengketa dapat membuat mereka kebal dari kewajiban pelaksanaan putusan.
Kurangnya Keterwakilan Perempuan Perempuan dan minoritas kurang terwakili dalam institusi penyelesaian sengketa di desa. Kepala desa dan kepada dusun adalah pelaku utama penyelesaian sengketa, tetapi hanya 3 persen dan 1 persen dari keduanya adalah perempuan. Hal ini tidak mengakibatkan tertutupnya sama akses terhadap keadilan, sebagaimana tetap banyaknya perempuan yang menyetujui pendapat seorang penduduk desa perempuan di desa Sembuluh II di Kalimantan Selatan bahwa, ‘Akan lebih mudah (untuk melaporkan masalah) dengan perempuan. Terkadang kami malu dengan pria’. Kasus perceraian di Kalimantan dan beberapa kasus lahan dari Sumatera Barat menunjukkan bahwa kurangnya perwakilan perempuan di institusi peradilan informal membuat mereka mudah dimanfaatkan dan dirugikan. Ini
60
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
juga berarti bahwa masalah hukum perempuan sering diabaikan atau tidak ditanggapi secara serius. Lebih serius lagi, untuk kasus peka seperti kekerasan dalam rumah tangga, banyak perempuan yang tidak melapor karena khawatir akan dampak sosialnya.
Sengketa Antar Suku, Antar Desa dan “Pihak Ketiga” Sulit untuk Diselesaikan Sengketa lintas suku atau agama sulit untuk diselesaikan. Terutama karena dalam mekanisme yang berdasarkan adat pelaku penyelesaian sengketa hampir selalu berasal dari golongan elit dari suku setempat. Suku minoritas dan transmigran sering diberi status kelas dua oleh hukum adat. Konflik antara suku Batak dan kelompok Minang lokal di Kinali, Sumatera Barat, dan kembalinya orang Madura ke Kalimantan Tengah memunculkan keraguan atas kemampuan sistem peradilan yang berdasarkan hukum adat tradisional untuk menjawab kebutuhan keadilan dengan tetap tanggap menghadapi kebutuhan modernitas keberagaman Indonesia. Kelompok minoritas, terutama di daerah yang pernah berkonflik, secara konsisten lebih memilih sektor peradilan formal karena menganggap sistem formal cenderung lebih netral, tidak melihat perbedaan suku, dan lebih bebas dari pengaruh politik. Sengketa lintas wilayah perbatasan juga sulit diselesaikan. Jarang ada pelaku hukum adat yang dapat membangun wewenangnya di luar batas wilayah atau sosial mereka. Kenyataan ini diperburuk dengan rendahnya tingkat kepercayaan sosial antar desa yang berbatasan. 58 persen penduduk desa menyatakan bahwa orang-orang yang berada di lingkungan mereka dapat dipercaya, tapi hanya 36 persen mengatakan bahwa orang-orang dari desa-desa tetangga dapat dipercaya. Kasus “Tembok Berlin” di Lombok adalah contoh yang luar biasa. Pada sebuah pulau tempat pesiar yang indah, perselisihan dan bentrokan antar kampung mengakibatkan didirikannya tembok pemisah antar kampung setinggi tiga meter. Pemimpin lokal tidak memiliki wewenang untuk menghentikan kekerasan.
Pentingnya Sengketa Tanah Sengketa kecil dalam desa tentang batas-batas tanah umumnya dapat diselesaikan tanpa kesulitan melalui sistem hukum adat. Namun, seperti yang jelas terlihat pada kasus pertambangan Gunung Sari dan sengketa antara masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah, masalah menjadi lebih rumit ketika melibatkan kepentingan kelompok luar yang berkuasa. Aparat desa biasanya tidak memiliki kewenangan maupun pengaruh yang cukup untuk mencegah timbulnya masalah-masalah lingkungan dan sengketa lahan dimana pihak perusahaan swasta – yang biasanya didukung oleh pemerintah – mulai terlibat. Lemahnya aparat desa dalam kondisi seperti ini dapat berakibat munculnya konflik horizontal di tingkat lokal, seperti di Sampang di pertambangan Sari Gunung dan lokasi penelitian lain di Kalimantan Tengah. Program pemerintah pusat dan daerah untuk mengembangkan perkebunaan kelapa sawit secara besarbesaran ikut memperumit pokok permasalahan. Sistem peradilan formal maupun informal belum mampu bekerja secara efektif untuk menyelesaikan sengketa semacam ini. Sistem peradilan non-negara gagal karena ketidakseimbangan kekuasaan dan pengaruh seperti yang telah disebutkan diatas. Pengadilan formal gagal dengan alasan yang sama, dan juga karena persengketaan tersebut seringkali mencakup lebih dari permasalahan hukum murni. Masyarakat sering juga menginginkan kerja sama dengan perusahaan swasta melalui persetujuan hak guna tanah bersama. Namun sering juga inti sengketa tidak terletak pada hak dan kewajiban hukum dan lebih terletak pada penegakan prinsip kewajaran dan keadilan sosial – misalnya berkaitan dengan para penghuni liar jangka lama di tanah milik negara; ataupun komunitas penghuni yang mendapat ijin tinggal tidak resmi namun tetap dipaksa untuk pindah ke tempat yang baru. Masalah-masalah ini membutuhkan hasil mediasi yang lentur berdasarkan kepentingan publik.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
61
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Mekanisme peradilan informal tidak berfungsi sebagai forum mediasi yang efektif untuk sengketa-sengketa ini. Maka dibutuhkan sebuah mekanisme alternatif. Mekanisme alternatif ini harus berdasarkan mediasi dan dapat mewakili semua pihak yang berkepentingan – pemerintah, sektor swasta, kelompok masyarakat madani dan masyarakat itu sendiri.
Ketidakjelasan Persinggungan antara Sistem Formal dan Informal Tidak adanya persinggungan yang jelas antara peradilan informal dan formal, khususnya mengenai kewenangan, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka kesempatan untuk mencari keuntungan dan manipulasi sengketa. Seperti yang terjadi pada kasus perceraian di Kalimantan, polisi menentukan kasus apa akan dimediasikan atau diteruskan secara sepihak dan tanpa mengikuti prosedur resmi. Seperti pada kasus Anggeng dan carok, pengadilan juga memutuskan secara sepihak untuk menerima atau menolak adat istiadat lokal tanpa mengunakan kriteria yang jelas. Ketidakpastian seperti ini membuat masyarakat lemah dan tidak berpendidikan menjadi mudah dieksploitasi. Tidak adanya kejelasan hak untuk mengajukan banding terhadap hasil peradilan non-negara di pengadilan negara juga mengurangi pertanggungjawaban fungsi aparat hukum negara.
Otonomi Daerah Merupakan Awal dari Perubahan Otonomi daerah memberi kesempatan untuk mengatasi beberapa kelemahan-kelemahan ini. Peraturan perundang-undangan di bidang desentralisasi memberi wewenang pada pemerintah daerah untuk mengatur bentuk dan struktur pemerintahan desa, termasuk mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini memungkinkan lahirnya stuktur dan mekanisme baru untuk mengatasi konflik antar suku, menambah perwakilan perempuan dan mengatasi sengketa antar desa yang rumit. Namun demikian, penelitian lapangan ini tidak menemukan adanya contoh pembentukan struktur ataupun mekanisme baru seperti yang diharapkan. Bahkan di Sumatera Barat, Maluku dan Kalimantan Tengah, wewenang ini justru digunakan untuk menghidupkan kembali struktur pemerintahan tradisional yang berdasarkan adat. Kembalinya ke “cara lama” tidak hanya menegaskan kembali identitas budaya suku lokal, tapi juga melambangkan idealisme yang dibawa dari masa lalu. Seperti yang diungkapkan oleh Benda-Beckmann pada Sumatera Barat, ‘adat telah diberikan kepentingan simbolis dan retorik… dan dianggap sebagai jimat yang dapat membawa masa depan yang lebih baik.’77 Temuan penelitian ini juga memperlihatkan bahwa kembalinya hukum adat tidak dapat mengatasi kelemahankelemahan peradilan non-formal, seperti kebutuhan akan perlakuan yang lebih setara terhadap perempuan dan kaum minoritas.
Namun Contoh Perubahan yang Baik Juga Ada Penelitian menemukan beberapa contoh pembaharuan di tingkat masyarakat. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah memanfaatkan potensi emansipasi yang muncul dari kesadaran hukum dan mobilisasi masyarakat. Setelah membekali diri dengan pengetahuan mendalam mengenai hukum adat, kini mereka diterima secara baik oleh masyarakat dan mendapatkan hak suara dalam proses penyelesaian sengketa. Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara) di Lombok Barat menganut pandangan yang progresif terhadap adat yang mengakui perlunya budaya lokal untuk beradaptasi dengan realita modern, 77
62
Benda Beckmann (2001), diatas n.22, hal.33.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
termasuk berkaitan dengan perwakilan perempuan. Desa-desa di dalam persekutuan ini telah membangun struktur dan mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas. dengan norma-norma dan prosedur tertulis serta hak untuk mengajukan permohonan banding. Kesadaran hukum dan pendidikan hukum telah membuat sistem formal menjadi lebih mudah diakses semua kalangan. Dengan mengurangi monopoli pelaku sistem peradilan non-negara, peningkatan kesadaran hak dapat memberdayakan kelompok terpinggirkan untuk mendapat hasil pengadilan yang lebih baik. Contoh dari Negara tetangga seperti Sistem Pengadilan Barangay di Filipina dan Unit Perantara Peradilan Komunitas di Papua Nugini juga dapat memberi inspirasi bagi pembuat kebijakan dalam memperkuat kemampuan, keberhasilan dan keterbukaan mekanisme peradilan informal. Walaupun contoh perubahan positif masih terbatas, diskusi dengan ratusan pegawai pemerintah, anggota DPRD, aktivis, pemimpin desa, dan masyarakat umum memperlihatkan bahwa banyak pihak yang ingin menuntut ataupun mendorong perubahan. Pihak pro-perubahan seperti ini dapat dan harus didukung.
B. Saran-saran Saran-saran Utama • Menggabungkan perubahan di tingkat masyarakat dan perubahan kebijakan. Menemukan titik keseimbangan yang bermakna yang mensyaratkan gabungan antara perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat lokal. • Memperkuat pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Memberdayakan kelompok yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut kualitas pelayanan yang lebih baik dari peradilan non-negara. • Meningkatkan kualitas peradilan non-negara. Meningkatkan kapasitas dan keahlian teknis dari institusi dan pelaku peradilan non-negara. • Memperluas ”bayangan” hukum (“Shadow of the law”). Meningkatkan akses ke sistem peradilan formal untuk menambah pilihan dalam memproses sengketa tingkat lokal. • Meningkatkan pertanggungjawaban kepada negara dan pengadilan formal. Membentuk pedoman nasional untuk memperkuat persinggungan dengan peradilan formal dan peraturan daerah supaya prinsip-prinsip utama yang memajukan kesetaraan dan sejalan dengan standar Undang-Undang Dasar dapat dilembagakan.
Pentingnya peradilan non-negara menunjukkan bahwa sebuah strategi yang menyeluruh dalam mendukung penegakan hukum di Indonesia harus melihat jauh hingga ke luar pengadilan. Strategi yang hanya meliputi pengacara, proses litigasi dan pengadilan formal tidak akan menjangkau masyarakat miskin, khususnya di daerah perdesaan. Namun perencanaan strategi seperti ini dipersulit dengan besarnya keragaman pelaku, institusi dan proses. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat adanya norma sosial dan struktur kekuasaan yang tidak dapat ditiadakan oleh peraturan dan kebijakan negara. Rekomendasi untuk memperbaharui institusi lokal dengan mudah dapat diabaikan karena dianggap terlalu sulit ataupun karena ketidaklayakannya atau diartikan sebagai upaya sentris untuk merekayasa dan mengubah struktur sosial di tingkat lokal. Ada anggapan bahwa kerumitan peradilan non-negara sedemikian rupa hingga tidak ada yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya. Berdasarkan pandangan ini, masalah-masalah yang telah dikemukakan tidak bisa dipecahkan sama sekali. Mendukung peradilan non-negara hanya akan mempertahankan “keadilan yang lemah”
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
63
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
bagi orang miskin. Sehingga sumber daya yang ada lebih baik diarahkan untuk upaya meningkatkan efektivitas pengadilan formal.78 Namun pandangan lain menganggap peradilan non-negara dan adat lebih ideal sehingga layak diakui secara luas oleh negara.79 Sama halnya dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini juga memiliki cacat, karena seakan-akan meremehkan permasalahan yang timbul dari tidak adanya standar minimum dan pengawasan yang efektif. Diantara keduanya adalah pandangan yang lebih realistis. Peradilan non-negara adalah mekanisme utama dalam penyelesaian sengketa. Daya tahannya telah terbukti. Karena itu, pelibatan sistem informal harus menjadi elemen inti dalam setiap program yang bertujuan mendukung penegakan hukum di Indonesia. Seperti kata Xanana Gusmao, yang terpenting adalah memupuk bagian yang baik dan membuang bagian yang jelek. Dapat dikatakan dengan adanya desentralisasi yang efektif pemerintah memberi ruang untuk menerapkan pendekatan “penyatuan parsial” (partial incorporation) sistem peradilan non-negara. Bagaimanapun, pendekatan ini belum diterjemahkan dalam tindakan nyata. Di daerah dimana telah ada tindakan, seringkali hasilnya justru kembali ke “cara lama”, yang cenderung tertutup dan melawan arus kemajuan sosial. Tulisan ini mengusulkan sebuah kerangka kerja untuk membentuk “titik keseimbangan” antara sistem peradilan non-negara dan pengadilan formal. Pendekatan ini mencoba untuk menggabungkan akses sosial, wewenang dan legitimasi dari proses non-negara dengan mekanisme pertanggungjawaban, baik terhadap masyarakat dan negara. Pendekatan ini menyadari realita pluralisme hukum di Indonesia dan juga bahwa penetapan satu model untuk seluruh bentuk peradilan non-negara tidak diinginkan ataupun dimungkinkan. Karena itu titik keseimbangan tersebut harus mengakomodir perbedaan sosial budaya dan adat istiadat dengan tetap memperkenalkan prinsip-prinsip umum guna melindungi masyarakat terpinggirkan. Jadi di bagian akhir ini, kami memberi beberapa saran dalam membentuk titik keseimbangan tersebut. Tujuannya bukan untuk membuat peradilan non-negara yang ideal atau sempurna, tetapi lebih ditujukan pada dua kelemahan (i) mengatasi ketidakadilan dan menyeimbangkan wewenang sosial dengan pertanggungjawaban sosial; dan (ii) untuk meningkatkan kinerja peradildan non-negara dalam melayani perempuan dan kelompok minoritas. Saran-saran ini ditujukan pada pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, organisasi masyarakat yang aktif di bidang ini dan pihak donor yang mendukung mereka.
Menggabungkan Aksi Masyarakat di Tingkat Akar Rumput dengan Perubahan Kebijakan Studi kasus, analisa dan contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa pembentukan titik keseimbangan membutuhkan gabungan dari perubahan kebijakan, peraturan dan tindakan di tingkat lokal. Perubahan ini harus memberdayakan kaum lemah dan terpinggirkan, meningkatkan kualitas pelayanan pengadilan melalui mekanisme peradilan informal dan menetapkan standar minimum yang jelas melalui perubahan peraturan. Jadi, ada empat tingkatan dari tindakan yang disarankan. 78 Hohe dan Nixon membedakan antara “idealis’, yang berpegang pada sistem pengadilan yang sempurna, dan “realis”, yang lebih cenderung untuk bekerjasama dengan apa yang ada. Lihat Tania Hohe & Rod Nixon (2003) ‘Reconciling Justice: “Traditional” Law and State Judiciary in East Timor’ (Laporan Kerja yang disiapkan untuk United States Institute of Peace, January 2003), 38. Untuk “pendirian” tipologi umum, Negara dapat menggunakan kepada mekanisme hukum adat, lihat Connolly (2005), diatas n.11. 79 Studi baru LP3ES mengenai mediasi desa menggembarkan beberapa elemen terkait dengan pendekatan ini: Widodo S. Dwi Saputro, Burhanuddin, Adnan Anwar & Badrus Sholeh (2007). Balai Mediasi Desa: Perluasan akses hukum dan keadilan untuk rakyat, Jakarta: LP3ES & NZAID.
64
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
1.
2. 3. 4.
Pertama, lakukan kegiatan di tingkat akar rumput untuk mendukung pertanggungjawaban ke bawah dan memberdayakan pihak yang lemah dan terpinggirkan untuk menuntut layanan dengan kualitas yang lebih baik dari peradilan informal. Hal tersebut merupakan prioritas yang paling penting karena kegiatan tersebut mengatasi kelemahan utama yang dihadapi. Prioritas kedua adalah untuk melakukan kegiatan di tingkat menengah untuk mengembangkan kapasitas dan keterampilan teknis dari lembaga dan pelaku peradilan informal. Prioritas ketiga di luar desa untuk meningkatkan akses terhadap sistem peradilan formal guna membuka pilihan dan memperluas ”bayangan” hukum. Untuk mendasari kegiatan di tingkat akar rumput, prioritas terakhir adalah perubahan kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung pertanggungjawaban ke atas dengan membuat (i) pedoman tingkat nasional yang memperkuat persinggungan dengan sektor formal; dan (ii) peraturan daerah untuk melembagakan serangkaian prinsip untuk peradilan non-negara yang adil dan inklusif sehingga sesuai dengan standar konstitusi.
Tabel 4: Kerangka kerja Tingkat
Tindakan Prioritas
Akar Rumput/ Masyarakat
Memberdayakan perempuan dan kelompok minoritas melalui peningkatan kesadaran akan hak Membuat agar para pelaku peradilan non-negara bertanggung jawab ke bawah dengan menjadikan posisi mereka sebagai posisi yang harus dipilih oleh masyarakat Membuka akses terhadap sistem formal melalui program pendidikan hukum dan pengadilan keliling Mendukung mobilisasi dan organisasi sosial untuk mengatasi sengketa antara masyarakat dan pihak luar
Lembaga desa dan Pelaku Peradilan Informal
Mengembangkan keterampilan dan kemampuan para pelaku peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa secara profesional Mendukung klarifikasi berbagai struktur dan norma yang berlaku di dalam sistem peradilan informal Mendukung keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas di lembaga desa
Tingkat Kabupaten/Kota
Membuat suatu kerangka peraturan daerah yang menjunjung tinggi standar konstitusi yang menjamin hak banding, sanksi yang manusiawi dan keterwakilan perempuan dan kelompok minoritas Mengembangkan pertanggungjawaban ke atas dengan mendukung pemantauan dan pengawasan atas peradilan informal oleh masyarakat madani dan pemerintah
Tingkat Nasional
Mengeluarkan Surat Edaran pengadilan yang mengklarifikasikan yurisdiksi peradilan non-negara vis-a-vis pengadilan Membentuk Community Justice Liaison Unit (Unit Penghubung Peradilan Komunitas) di Kementerian Hukum dan HAM untuk mendorong keselarasan dan konsistensi antara peradilan negara dan non-negara (seperti model di Papua Nugini).
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
65
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
1. Mendukung Pertanggungjawaban ke bawah: Memberdayakan Masyarakat terpinggirkan untuk Menuntut Keadilan yang Lebih Baik Contoh-contoh perubahan menunjukkan bahwa cara yang paling efektif untuk membawa perubahan adalah melalui tindakan di tingkat masyarakat yang memberdayakan kelompok lemah dan terpinggirkan untuk menuntut pelayanan pengadilan yang lebih baik. Kasus Afrida di atas menunjukkan bagaimana kekuatan informasi hukum dapat mendorong keterwakilan perempuan di dewan adat. Termasuk dalam saran khusus adalah: •
Kesadaran akan hak-hak hukum: program penyuluhan hukum yang berfokus pada jenis-jenis sengketa utama yang telah diidentifikasi dalam penelitian ini (yaitu sengketa tanah, kekerasan dalam rumah tangga, dan hukum keluarga) akan membantu masyarakat untuk memamahi hak-hak mereka dan juga cara mempertahankannya. Hal ini juga melindungi kelompok lemah dan terpinggirkan agar tidak dimanipulasi dan ditipu oleh pihak yang berkuasa.
•
Mobilisasi sosial: khususnya untuk sengketa yang melibatkan kepentingan pihak luar, masyarakat harus belajar bagaimana cara mengambil tindakan bersama. Pendampingan hendaknya disediakan untuk dan oleh LSM demi meningkatkan kemampuan lokal dalam mengorganisir dan melakukan pembelaan agar dapat menandingi kekuatan dari sektor swasta dan kepentingan pihak luar yang berkuasa.
•
Pemilihan pelaksana peradilan non-negara pada tingkat desa: dimana memungkinkan dan mendapat dukungan lokal, pelaksana peradilan non-negara hendaknya dipilih untuk menjamin adanya pertanggungjawaban kepada pencari keadilan. Hal ini bisa dimuat dalam peraturan daerah atau desa. Namun saran ini tidak akan berlaku untuk beberapa daerah tertentu dimana norma-norma dan praktek lokal dalam menentukan pelaksana peradilan non-negara sudah berjalan dengan baik, seperti di Sumatera Barat.
2. Peningkatan Kualitas: Mengembangkan Kapasitas dan Mendorong Perubahan Struktural Di beberapa daerah di Indonesia mekanisme informal tidak lagi cukup berfungsi secara memadai. Hal ini khususnya ditemui di lokasi penelitian di Kalimantan Tengah, dimana banyak damang merasa kekurangan sumber daya dan keahlian teknis dalam menyelesaikan sengketa secara efektif. Kerjasama dengan institusi tingkat lokal untuk memenuhi kebutuhan ini hendaknya dipusatkan pada:
66
•
Pengembangan pelatihan dan keahlian: Program pelatihan yang dikhususkan pada mediasi, jender dan dokumentasi kasus akan sangat berguna. Pelatihan dan pengembangan keahlian hendaknya mengutamakan pihak yang paling sering terlibat dalam proses penyelesaian sengketa informal—yaitu pemimpin masyarakat, pemimpin adat, kepala desa dan polisi. Pelatihan dan pengembangan keahlian hendaknya diutamakan pada penyelesaian dari bentuk sengketa yang paling sering terjadi—tindakan pidana, sengketa tanah, warisan dan perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.
•
Pengadaan program akreditasi untuk pelaksana peradilan non-negara: Pengembangan pelatihan dan keahlian hendaknya diupayakan agar mendapat akreditasi dari Mahkamah Agung. Pelatihan harus meliputi prosedur dan substansi dasar dari sistem pengadilan formal dan juga memberi keahlian dalam mediasi dan penyelesaian sengketa. Program seperti ini akan meningkatkan legitimasi mekanisme informal dimata pelaksana formal dan sebaliknya.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
•
Pengupayaan perwakilan dengan terus melibatkan kelompok terpinggirkan tertentu: Mendorong keterwakilan membutuhkan dua pendekatan. Pertama, sarana perwakilan perempuan dan kelompok terpinggirkan harus disediakan. Contoh dari Sumatera Barat dan juga seorang kepala desa perempuan di Maluku menunjukkan bahwa lobi dan keterwakilan dapat membuat perbedaan. Namun penetapan aturan yang menentukan batas minimum perwakilan tidak akan menjamin hasil di lapangan. Keterwakilan harus berjalan sesungguhnya. Untuk memastikan partisipasi kelompok terpinggirkan – seperti perempuan, suku dan agama minoritas – dibutuhkan pemberdayaan dan pengembangan kapasitas. Kelompok perempuan di Sumatera Barat telah menunjukkan bagaimana hal ini dapat dilakukan.
•
Mendukung prakarsa pembukuan/kodifikasi sistem peradilan non-negara: Memperjelas prosedur dan struktur mekanisme informal memberi beberapa kelebihan. Mekanisme yang lebih transparan dan mudah dimengerti masyarakat lokal dapat memberdayakan masyarakat. Hal ini juga dapat memperjelas hubungan dengan sistem pengadilan formal. Bagaimanapun, ada juga resiko yang signifikan. Upaya kodifikasi dapat menjadi penghalang bagi kelenturan mekanisme informal. Selain itu, upaya kodifikasi juga dapat dimanfaatkan untuk mengukuhkan pendapat kelompok elit tentang mekanisme informal dan struktur kekuasaan yang ada. Meskipun demikian, penelitian ini menemukan bahwa kodifikasi peradilan non-negara semakin umum dilakukan. Dimana ada permintaan akan kodifikasi maka masyarakat sipil dan donor harus memberi dukungan agar dapat mengurangi akibat-akibat yang negatif. Jelasnya, dukungan ini dapat berbentuk: (a) mendukung proses partisipasif yang melibatkan semua pemegang kepentingan, khususnya perempuan dan kelompok minoritas; dan (b) mengadakan analisa jender dan hak asasi manusia atas norma-norma yang terdapat pada langkah dan substansi peradilan non-negara setempat.
•
Pengembangan kapasitas forum antar desa: Kapasitas mekanisme peradilan non-negara pada tingkat desa untuk menyelesaikan sengketa antar desa dan sengketa yang melibatkan pihak luar sangat kurang. Forum antar desa yang telah ada harus didukung dengan upaya pengembangan kapasitas mereka,.
•
Pendirian Unit Perantara Peradilan Komunitas di Kementerian Hukum dan HAM di tingkat pusat dan daerah. Unit ini dapat berfungsi sebagai badan pengawas, menjalankan program peningkatan kapasitas pelaku peradilan non-negara, menjalankan program peningkatan kepedulian bagi kelompok terpinggirkan, serta pendokumentasian dan penyebaran informasi mengenai prakarsa lokal di tingkat internasional, nasional dan daerah. Unit ini dapat mengembangkan kerjasama dan kesesuaian antara sistem peradilan non negara dan negara—yaitu menjadi agen aktif dalam membentuk “titik keseimbangan” antara kedua sistem peradilan tersebut.
3. Memperlebar “Bayangan Hukum”: Membuat Sistem Pengadilan Formal Menjadi Lebih Mudah Diakses Keunggulan yang dimiliki peradilan non-negara tidak dapat meniadakan kebutuhan untuk mempermudah akses terhadap peradilan negara dan meningkatkan kemandirian pengadilan. Meski jarang digunakan, pengadilan bertindak sebagai mekanisme pertanggungjawaban. Jika salah satu pihak tidak puas dengan hasil dari proses informal—apakah karena alasan teknis, politik, korupsi atau normatif—keputusan itu dapat “dibanding” atau ditinjau kembali oleh sistem formal. Banyak perempuan dan etnis minoritas yang lebih memilih sistem formal untuk menyelesaikan kasus yang serius. Meningkatkan akses terhadap pengadilan akan memperkuat pengawasan terhadap peradilan non-negara. •
Pendidikan hukum: Data dari GDS menunjukkan bahwa orang yang sadar akan hak-haknya lebih cenderung menggunakan dan mempercayai sistem hukum formal. Karena itu, pendidikan formal merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam mempermudah akses terhadap sistem
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
67
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
pengadilan. Program kesadaran hukum masyarakat hendaknya bertujuan untuk membuat sistem pengadilan formal menjadi lebih jelas dan mudah dimengerti, menyampaikan ruang lingkup dan wewenangnya, dan menunjukkannya sebagai alternatif yang baik. •
Meningkatkan program paralegal sebagai perantara informal-formal: Kesadaran akan hak tidak akan berarti tanpa adanya sumber daya untuk menegakkannya. Paralegal adalah anggota masyarakat, yang telah diberikan pelatihan di bidang hukum, yang dapat dijadikan sumber pertama dalam pencarian bantuan hukum. Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa walaupun jumlah paralegal hanya sedikit, tingkat kepuasan kepada paralelal sangat tinggi. Mereka bisa menyediakan keahlian di bidang organisasi dan membuka akses ke sistem formal.
•
Mendukung program bantuan hukum yang aktif dan berkesinambungan, khususnya untuk kelompok rentan: Agar akses ke sistem formal menjadi berarti, paralegal dan orang yang bersengketa membutuhkan jaringan dimana mereka bisa mendapatkan bantuan hukum. Bantuan hukum ini lebih diperlukan untuk beberapa jenis sengketa, seperti tindak pidana berat, pelanggaran berulang, sengketa yang melibatkan tokoh setempat yang berpengaruh, dan sengketa yang secara luas melibatkan sumber daya ekonomi. Dukungan ini juga khususnya penting untuk perempuan, yang sering dihambat oleh tekanan sosial dalam mencari bantuan hukum.
•
Mendukung program pengadilan keliling: pengadilan keliling, dimana hakim melakukan perjalanan ke tingkat daerah dan desa untuk menerima kasus perdata dan pidana ringan, memberi dan membuka kemungkinan untuk mengajukan banding dari hukum adat ke pengadilan negara.
4. Memperkuatkan Pertanggungjawaban ke Atas: Sebuah Kerangka Kerja Kebijakan dan Peraturan Sebuah kerangka kerja kebijakan dan peraturan akan menampilkan sejumlah prinsip dan standar minimum untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan dari peradilan non-negara. Perbaikan kerangka kerja kebijakan dan peraturan tidak akan secara langsung menghasilkan perubahan tindakan. Indonesia, seperti umumnya negara berkembang, marak dengan contoh hukum, peraturan dan kebijakan yang tidak diterapkan. Tapi adanya peraturan tetap merupakan pernyataan niat yang kuat. Hal ini menjadi titik awal dalam pedoman kerja pemerintah, LSM dan donor untuk mengadakan peningkatan kapasitas, pelatihan dan intervensi lainnya dalam meningkatkan kualitas peradilan lokal.
68
•
Pedoman Kebijakan Nasional: Bappenas dalam proses menyusun Strategi Nasional untuk Akses Keadilan untuk dimasukkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk tahun 2010-2014. RPJMN 2004-2009 saat ini mengadung retorika standar mengenai pentingnya peradilan non-negara, tanpa memberi pedoman mengenai cara membentuk hubungan dengan pengadilan formal ataupun cara mendukung pertanggunjawaban terhadap pencari keadilan dan terhadap negara. Rencana 2010-2014 seharusnya mencakup kerangka kerja menuju perubahan sambil juga memberdayakan pemerintah daerah untuk mengatur agar mendapat hasil yang diinginkan.
•
Peraturan Mahkamah Agung untuk Memfasilitasi Interaksi Formal-Informal: Kewenangan di bidang peradilan masih merupakan fungsi utama dari pemerintahan pusat. Jadi, meski pemerintah daerah mempunyai wewenang untuk mengatur struktur mekanisme peradilan non-negara, Mahkamah Agung tetap memiliki yurisdiksi untuk menetapkan peraturan dan kebijakan yang memfasilitasi hubungan formal-informal. Hal ini bisa dicapai dengan: (a) memberi definisi yang jelas tentang yurisdiksi mekanisme peradilan non-negara; (b) mengembangkan program mediasi di pengadilan oleh Mahkamah Agung untuk memperluas akreditasi mediator tingkat desa; (c) memfasilitasi keterlibatan Pengadilan Negeri
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
dan Pengadilan Tinggi dalam pengembangan peraturan regional yang berkaitan dengan peradilan non-negara; dan (d) membuat mekanisme dan pedoman yang jelas untuk mengajukan upaya banding dari peradilan informal ke pengadilan formal. •
Membuat Kerangka Kerja Peraturan Daerah: Peraturan tidak akan lansung tercermin pada tindakan namun tetap diperlukan untuk kemudian dapat menerjemahkan kebijakan nasional menjadi standar mininum dan kerangka pertanggungjawaban yang tepat di tingkat lokal. Laporan ini menyarankan ditetapkannya peraturan daerah yang memuat prinsip-prinsip universal yang dapat diterapkan secara luas namun tetap memberi ruang untuk diadaptasi sesuai kebiasaan dan keadaan setempat. Pemerintah daerah disarankan untuk menerbitkan peraturan daerah tentang sistem peradilan informal yang mencakup hal-hal berikut: Yurisdiksi: menjelaskan yurisdiksi antara sistem pengadilan formal dan sistem peradilan nonnegara. o Perwakilan: Memberi jaminan keterwakilan bagi semua anggota masyarakat untuk mekanisme peradilan non-negara, termasuk perempuan dan kelompok minoritas. o Pemilihan Pelaku: Kerangka kerja harus menciptakan pertanggungjawab terhadap pencari keadilan dengan membuat prosedur jelas tentang cara memilih pelaku peradilan non-negara. o Prosedur Dasar: Kerangka kerja harus memuat pedoman umum berkaitan dengan langkahlangkah dalam proses mediasi dan penyelesaian sengketa. Pedoman ini hanya mengatur jaminan terhadap prinsip kesukarelaan, serta hak untuk mendengar dan didengar. o Sengketa antar-komunitas: Mekanisme khusus harus dibentuk mengatasi sengketa antar-desa, sengketa antar-komunitas, dan sengketa antara masyarakat dan pihak luar. o Hak Pengajuan banding: Kerangka kerja harus membuat jalur dan kriteria yang jelas untuk mengajukan banding dari sistem informal ke sistem formal. o Sanksi: Memastikan sanksi yang dijatuhkan oleh sistem peradilan non-negara tidak memberatkan dan tidak bertentangan dengan UUD. Membuat forum antar pihak/mediasi sengketa tanah: Untuk meningkatkan komunikasi dan pengawasan terhadap peradilan desa, forum antar pihak yang terdiri dari hakim, jaksa, polisi dan pelaku peradilan informal harus dibentuk di tingkat daerah. Dengan pertemuan teratur, forum dapat memberi ruang untuk membahas dan mengatasi sengketa khusus, membangun sikap saling mengerti, memfasilitasi dialog mengenai perubahan peraturan dan hukum, serta melakukan pengawasan terhadap peradilan non-negara. Forum ini juga dapat membentuk mekanisme baru dalam mengatasi sengketa tanah dan sengketa antar etnis yang rumit, dimana mediasi cenderung lebih efektif daripada putusan pengadilan karena sifat sengketa yang peka dan rentan kekerasan. o
•
Saran-saran diatas mencoba untuk meningkatkan kekuatan dan mengatasi kelemahan pengadilan informal. Saran-saran tersebut didasarkan pada harapan, yang cukup masuk akal, bahwa perubahan secara bertahap dapat meningkatkan keadilan bagi kelompok terpinggirkan. Program Justice for the Poor sedang menindak lanjuti studi ini dengan dua cara. Pertama, berkaitan dengan kebijakan, melalui masukan temuan-temuan dan saran-saran penelitian kepada Strategi Nasional Akses terhadap Keadilan (Stranas) yang sedang dikembangkan oleh Bappenas. Cara kedua lebih berupa operasional, dengan mengupayakan penerapan saran-saran dalam kerjasama dengan beragam pihak di propinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat. Selama pengamatan dalam penelitian ini, kedua propinsi tersebut telah terbentuk kelompok-kelompok kerja yang beranggotakan pejabat pemerintah propinsi dan kabupaten/kota, anggota DPRD, hakim, jaksa dan polisi, organisasi masyarakat, kepala desa, kepala adat dan organisasi keagamaan.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
69
Bagian IV: Menemukan Titik Keseimbangan: Kesimpulan dan Saran
Bersama kelompok-kelompok kerja ini, Justice for the Poor telah mengembangkan program-program peningkatan kualitas peradilan non-negara di beberapa desa percontohan, dengan menerapkan saransaran yang dikemukakan di tulisan ini. Pendekatan ini sengaja bekerja secara bertahap dengan tujuan yang tidak muluk-muluk tetapi bersifat mendasar,dengan menanfaatkan institusi yang telah ada. Pendekatan ini juga dipastikan akan disesuaikan dengan keadaan setempat, dengan mengakui bahwa kesempatan dan ruang mengadakan perubahan akan berbeda di setiap lokasi. Di Sumatera Barat, advokasi kebijakan sedang diutamakan karena peraturan daerah tentang hukum adat sedang diujikembali dan diperbaiki. Di NTB, program mengutamakan pendefinisian proses, norma dan strukur penyelesaian sengketa, karena pada sisi-sisi inilah pemangku kepentingan setempat mengidamkan perubahan. Maka, kerangka kerja yang dibuat diatas menawarkan berbagai pilihan-pilihan yang dapat diterapkan pada tingkat yang berbeda di lokasi yang berbeda. Karena itu, kerangka kerja tersebut harus disesuaikan dengan keadaan yang sesungguhnya. Pemerintah Indonesia juga menerapkan beberapa saran-saran dalam tulisan ini dengan membentuk komponen pemberdayaan hukum masyarakat yang berdiri sendiri dibawah proyek Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.80 Laporan ini telah menekankan pentingnya keterkaitan peradilan non-negara dengan stabilitas sosial dan kehidupan ekonomi di tingkat lokal. Strategi menyeluruh yang mendukung penegakan hukum perlu disesuaikan dengan kenyataan dan mencakup mekanisme peradilan non-negara di tingkat desa. Saran-saran yang telah dikemukakan di tulisan ini dapat membantu mendukung perbaikan dan perubahan di tingkat nasional dengan memusatkan bantuan pada tingkatan yang paling dibutukan, memberdayakan kelompok miskin dan terpinggirkan untuk dapat menyelesaikan sengketa, dan mendukung Indonesia dalam menjalankan pembaharuan.
80
70
Lihat http://p2dtk.bappenas.go.id/ .
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Lampiran
Lampiran Lampiran 1: Perubahan peraturan yang berhubungan dengan pemerintahan desa dan peradilan nonnegara di lokasi penelitian sejak adanya Otonomi Daerah Provinsi
Tindakan Provinsi dan Kabupaten
Sumatera Barat Provinsi: Peraturan Daerah No. 9 tahun 2000 tentang Pokok-pokok Pemerintah Nagari. Provinsi kembali menggunakan nagari sebagai bentuk terendah pemerintahan local, berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa
Kalimantan Tengah
Jawa Timur
Nusa Tenggara Barat
Maluku
Penerapan di Desa Administrasi tradisional nagari yang berbasis klan sebagian besar telah terbentuk kembali di Sumatera Barat
Kabupaten: Dari 12 Kabupaten, delapan di antaranya telah melaksanakan Peraturan Daerah No. 9 tahun 2000; tiga kabupaten di antaranya baru terbentuk dan kini mengikuti kabupaten lamanya. Yang lainnya berada di Kepulauan Mentawai yang secara etnis sangat berbeda, yang memiliki sistem mereka sendiri. Provinsi: membuat Peraturan Daerah No. 25 tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Otonomi.
Lembaga Adat Nagari (LAN) memiliki tanggung jawab resmi dalam penyelesaian sengketa, namun dalam praktiknya terbagi dengan kepala desa (wali nagari)
Kabupaten: sejumlah kabupaten telah membuat peraturan dengan topik yang sama, termasuk Peraturan Daerah Pulang Pisau No. 11 tahun 2003 tentang Formasi dan Pemberdayaan Lembaga Adat Dayak dan Peraturan Daerah Kotawaringin Timur No. 15 tahun 2001 tentang Lembaga Adat di Kotawaringin Timur. Tidak ada perubahan.
Kenyataannya, kembalinya adat hanya setengah hati dan tidak didukung oleh tindakan nyata. Tidak merubah stuktur pemerintahan, tapi memperkuat status hukum adat dan ketua adat (damang).
Provinsi: Membuat peraturan yang menjelaskan peranan dan struktur pemerintah desa, namun tidak banyak berbeda dengan pengaturan sebelumnya. Tidak ada perubahan berarti pada penyelesaian sengketa. Kabupaten: Beberapa kabupaten mempertimbangkan untuk membuat peraturan yang mengakui lembaga adat dan hukum adat. Provinsi: Peraturan Daerah Provinsi Maluku No. 14 tahun 2005 tentang Kembali ke Negeri menetapkan untuk kembali ke struktur pemerintahan tradisional, yang dikenal sebagai ‘negeri’, dipimpin seorang raja. Peraturan ini juga meningkatkan wewenang raja dalam penyelesaian sengketa.
Memberi kepercayaan lebih pada ketua adat (damang) dan peranan hukum adat dalam penyelesaian sengketa.
Pemimpin lokal telah lebih politis dengan perubahan demokratis. Identitas Islam juga diperkuat. Beberapa inisiatif yang dipimpin oleh masyarakat telah menggambarkan semangat dari otonomi daerah untuk membuat pengadilan adat desa yang berdiri sendiri, dengan struktur dan susunan prosedur dan hukum adat yang jelas. Hanya sedikit pengaruhnya pada tingkat desa. Seperti sebelum situasi tahun 1999, raja mendapatkan tingkat penerimaan yang cukup tinggi di beberapa daerah, terutama di pedalaman, namun memiliki kewenangan yang berbeda di kota.
Kabupaten: Hanya Maluku Tengah yang telah menerapkan peraturan daerah tersebut. Kota Ambon telah mempersiapkan rancangan dan empat kabupaten lainnya melakukan hal yang sama.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
71
72
Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, 2003
Penangguan, Pamekasan, Jawa Timur, 2001
Souhoku, Pulau Seram, Maluku Tengah 1997 dan 2003
1
2
3
Lokasi/ Waktu
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia Kasus 2: Udin melawan Lahamaku
Daya tawar dua pihak yang bersengketa seimbang. Kepala desa mendorong ke arah kompromi Kasus I: Udin dan Haryadi melawan Minggus Tamaela
Responden: Halim
Posisi tawar Marhat yang lebih kuat menyebabkan ia menolak penyelesaian sengketa yang tidak diinginkannya. Penuntut: Amir
Responden: Marhat, pedagang sukses yang rasional. Suku Banjar
Penuntut: Kombit, petugas pasar dari suku Dayak
Pihak yang bersengketa
Lampiran 2: Matriks Kasus
1-2 minggu
Kasus 2: Udin berkelahi dengan Lahamaku mengenai batas tanah mereka. Udin melaporkan kasus ini ke Raja. Kali ini Raja mengirimkan timnya dari Negeri Saniri untuk memastikan batas tanah dan memutuskan hasilnya.
Udin tidak puas dengan putusan Raja, tapi terpaksa menerima karena kurangnya alternatif penyelesaian sengketa.
Kasus 2: Udin benar dalam kasus ini, jadi Lahamaku harus membayar untuk sejumlah tanah. Kasus ini ditutup
Kasus 1: Raja meminta Among dan Minggus untuk membayar guna mendapatkan kepastian batas tanah.
Informal: Penyelesaian sengketa dicapai dalam dua minggu. Marhat meminta maaf dan setuju membayar uang pengganti sebesar 6 juta rupiah dan uang perkara 600 ribu rupiah. Marhat hanya membayar 1,5 juta rupiah. Damang tidak mengambil tindakan memaksa apapun. Meskipun tidak ada penyelesaian yang ideal dan secara hukum, tapi kepala desa telah mengambil keputusan yang masuk akal untuk meredakan ketegangan. Kurangnya kepastian hukum dapat mengakibatkan sengketa terulang kembali.
Informal: Damang, dewan adat dan atasan Kombit
Informal: pihak keluarga, kepala desa
Formal: Penyidikan berlangsung selama empat bulan lebih tanpa ada hasil.
Hasil dan Upaya yang dilakukan
Formal: Polisi dan atasan Kombit di pasar
Pihak yang mendukung penyelesaian
Kepala desa merujuk pada surat-surat kepemilikan tanah. Untuk menyelesaikan ketegangan, ia membagi dua tanah. Amir diminta menerima keputusan itu dengan ancaman seluruh tanah yang disengketakan akan diambil oleh pemerintah desa. Kasus 1: Udin dan Haryadi membeli tanah Among Pieters. Informal: Raja dan staffnya Tanah tersebut telah bersertifikat, namun Among tidak memberikan sertifikat saat penjualan. Tanah tersebut berbatasan dengan bidang tanah milik Minggus Tamaela. Selanjutnya, Among meminta Udin dan Haryadi untuk menebang pohon yang ada di lahannya. Setelah pohon dipotong, Minggus memprotes dan mengklaim pohon itu ada di tanahnya. Minggus mengancam Udin dan Haryadi jika tidak segera mengembalikan pohonnya. Udin dan Haryadi melaporkan kasus ini ke Raja.
Halim, sepupu Amir menjual tanah yang diklaim oleh Amir seharga 8 juta rupiah. Upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh saudara Halim gagal. Kasus ini dilaporkan ke kepala desa.
Teman-teman Marhat mengintimidasi Kombit agar merujuk masalah ini ke Damang dan menarik laporan polisi. Damang tidak menyadari kalau Kombit dipaksa untuk menerima penyelesaian masalah secara adat.
Kombit dan atasannya melaporkan kejadian ini pada polisi. Tidak ada tindakan apapun yang karena Marhat mencoba untuk menyuap sebagai cara keluar dari permasalahan.
Marhat telah diperingati berkali-kali oleh Kombit untuk tidak berdagang di wilayah yang dilarang dipasar. Pada akhirnya Marhat menentang peringatan-peringatan tersebut dan memukul Kombit hingga cedera.
Deskripsi sengketa dan proses penyelesaiannya
Lampiran
Palengan, Daja dan Poreh, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur 1996
Sumpur, Sumatera Barat, 2003
Ruhua, Pulau Seram, Maluku Tengah, Desember 2003
Sepa, Pulau Seram, Maluku Tengah, 2003
4
5
6
7
Saat musyawarah dilakukan secara terbuka, ketua adat mengesampingkan kasus pemerkosaan. Ia memfokuskan masalah pada ancaman yang dilontarkan keluarga P kepada suami P. Pemerkosa tidak dipanggil. Secara kebetulan, ketua adat adalah kakak ipar P lainnya.
P adalah remaja putri melawan keluarga yang berkuasa
Pelaku : kakak ipar P
P diperkosa oleh kakak iparnya. Saat ia melaporkan ini ke suaminya, ia dipukuli. Orang tua P mempermasalahkan ini, menyebabkan ketegangan dengan keluarga suami P. Saling maki dan mengancam datang bergantian. Keluarga suami P melaporkan hal ini ke kepala desa. Namun oleh kepala desa, kasus ini diserahkan ke ketua adat. Alasanya, kedua pihak berasal dari klan yang sama.
Korban: P, perempuan 17 tahun.
Sengketa tanah warisan yang melintasi batas desa. Tanah yang dipermasalahkan berlokasi di desa yang ditinggali Sammat. Namun tanah itu digunakan Sardiman. Setelah menelusuri ikatan kekeluargaan dan isu pewarisan yang rumit, Sammat merasa tanah tersebut miliknya. Sammat Posisi daya tawar hampir mencoba mempertegas klaim tanah tersebut dengan seimbang memasang patok kayu dibatas tanah. Sardiman melawan dan mengklaim tanah tersebut miliknya. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh kepala desannya Sammat tidak diterima oleh Sardiman. Upaya penyelesaian oleh pihak netral juga gagal dan hampir menyebabkan kekerasan masal antara pendukung dari kedua kelompok. Pihak-pihak: Masalah timbul setelah anak Gus dan Datuk Rangkayo Gus, warga baru di desa, berkelahi di jalanan. Gus sangat kecewa. Saat mengadu ke Datuk Rangkayo Basa, tetua Datuk Rangkayo, ia lebih menggunakan kata ganti ‘anda’, adat setempat. ketimbang memanggilnya dengan sebutan terhormat Datuk. Insiden ini dilaporkan ke KAN. Sebuah pertemuan dilangsungkan. Gus diwakili oleh suaminya, mamak. Gus Posisi tawar yang tidak diperintahkan untuk membayar “uang emas”sebesar 300 ribu rupiah, menyediakan beras untuk seluruh desa, dan meminta setara maaf secara terbuka. Pihak-pihak: Halue Sunawe, pemuda dari Ruhua, pergi ke desa terdekat Halue Sunawe dan desa Haya untuk membeli cengkeh. Desa Haya telah lama Haya. bermusuhan dengan desa Tehoru. Beberapa orang dari Haya menduga Halue berasal dari Tehoru dan memukulinya. Halue kemudian membawa teman-temanya dan melempari angkutan umum yang dimiliki oleh orang Haya dengan batu. Pemilik angkutan umum melaporkan kasus ini ke polisi.
Pihak-pihak: Sammat dan Sardiman
Kedua pihak meminta maaf dan menandatangani surat pernyataan. Halue didenda 500 ribu rupiah untuk mengganti kerusakan mobil. Ia menerimanya, karena prosesnya cepat dan terhindar dari pengadilan. Hasil: Kedua keluarga didenda karena saling mengancam. Kasus pemerkosaan hanya diumumkan ke publik, tidak dilaporkan ke polisi.
Informal: Polisi, Raja, Sekretaris desa
Korban sangat kecewa, karena kasus perkosaannya diumumkan ke masyarakat, setelah itu didiamkan.
Hasil: Masalah terselesaikan. Datuk Rangkayo puas, namun Gus tidak. Ia merasa telah dihina.
Informal: Dewan adat
Informal: kepala desa, ketua adat
Hasil: penyelesaian sengketa yang gagal. Kepala desa dan tokoh masyarakat mencegah terjadinya kekerasan
Informal: Kepala desa, tokoh-tokoh masyarakat, kelompok bersenjata yang mendukung masing-masing pihak
Lampiran
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
73
74
Bumbungan, Pamekasan, Jawa Timur, Januari 2005
Lampung, 2007
Sumpur, Sumatera Barat, 1983
10
11
Desa Jenggala, Lombok Barat, NTB, 2002
9
8
Anggeng menanyakan kepada putrinya, apakah ia memang meminta dinikahi oleh Sahrudin. Putri Anggeng kemudian ditemukan kembali ke rumah orang tuanya. Warga melihat itu bertentangan dengan adat. Akibatnya, Anggeng didenda oleh dewan adat. Anggeng menolak putusan itu dan mengajukan kasus ini ke pengadilan setempat. Pengadilan memutuskan sanksi adat kepada Anggeng tidak berlaku.
Anggeng, anggota masyarakat yang punya kedudukan kuat, mampu mengabaikan keputusan untuk harmonis dengan warga lain
Menanggapi itu, dewan adat memperberat sanksi yang telah mereka jatuhkan ke Anggeng. Anggeng dikucilkan dari desanya selama tiga tahun dan hak-hak sipilnya (seperti pembuatan KTP, perayaan adat dan lain-lain) tidak diakui. Dua orang tidak saling kenal, P dan W, saling mengejek, Pelaku: Paidi setelah kendaraan keduanya bertabrakan. P dan ayahnya mengancam W dengan pisau. W melaporkan kasus ini ke Korban: Wardi. Polisi dan menolak penyelesaian damai yang digagas oleh seorang kyai. Polisi menahan P. Kasus ini lalu dilaporkan ke kepala desa. Musyawarah kemudian digelar. Beberapa hari P harus menghabiskan kemudian, kepala desa, pejabat militer setempat, anggota geng, dan sejumlah tokoh masyarakat, semuanya berasal waktunya di penjara, dan kasus saling dari desa P, berkumpul di rumah kepala desa. Mereka telah ejeknya dengan W menyiapkan sebuah pernyataan tertulis, di mana Wardi juga diselesaikan lewat bersedia setuju mencabut laporannya ke polisi. Merasa tertekan, ia menolaknya. Pada akhirnya, para anggota geng perjanjian bersama menyakinkan dua pihak untuk menyetujui pernyataan tersebut. Pak Nuri adalah petani desa terpencil di Lampung. Satu hari, Pihak-pihak: anaknya berkelahi dengan teman sekelasnya disekolah. Kaum muda dua desa Orang tua teman sekelas anak Pak Nuri turut campur dan Posisi tawar yang memukulinya. Pak Nuri tidak melaporkan kasus ini ke polisi, seimbang, dengan bobot tapi melaporkannya ke Pak Pamin dan Pak Bejo, kepala dusunnya dan paralegal dari sebuah LSM bantuan hukum. kasus yang ringan Pak Nuri mengatakan bahwa mereka ini dikenal sebagai “Orang-orang yang bisa menyelesaikan masalah“. Penuntut: Ibu Marnis dan Di tahun 1983, mamak berencana menggadaikan beberapa Suami petak sawah yang dimiliki Marnis, untuk membayar hutang anaknya. Secara adat, mamak harus meminta ijin Marnis Responden: Ibu Des terlebih dulu, namun hal tersebut tidak Mamak lakukan. Marnis membawa kasus ini kepada empat ninik mamak Keterwakilan perempuan dalam garis keturunannya. Marnis berharap ninik mamaknya dalam institusi adat sangat bisa melindungi tanahnya. Untuk menghindari mamak dan kurang. Hal ini merugikan putranya dipermalukan, ninik mamak mendesak Marnis untuk mereka. setuju dengan putusannya. Marnis setuju, walaupun dia merasa tidak rela,dengan syarat mamak harus memberikan pernyataan tertulis bahwa ia tidak akan menjual tanah warisannya lagi.
Anak perempuan Anggeng “diculik” agar bisa dinikahi oleh Sahrudin, terkait dengan aturan adat. Anggeng setuju, dan akan mendapatkan pembayaran sebesar 5 juta rupiah sebagai denda adat untuk “penculikan”.
Pihak-pihak: H. Anggeng Aswadi, anggota DPRD dan dewan adat
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia Hasil: Penyelesaian sengketa berhasil.
Hasil: Marnis kecewa dengan keputusan itu. Saudara lakilakinya telah meninggal, namun ia tetap masih harus membayar hutang yang ditanggungnya ketika membeli kembali tanah yang dijual tanpa sepengetahuan Marnis.
Informal: ketua adat
Gabungan antara sanksi sosial dan intimidasi fisik dipergunakan untuk penyelesaian sengketa.
Hasil: penyelesaian diterima, dimana P dan ayahnya meminta maaf ke W. P dibebaskan dari penjara, kasus selesai.
Hasil: Anggeng tetap tinggal di desa dan menjadi bagian dari masyarakat. walaupun sanksi telah diberikan kepadanya.
Informal: Parmin dan Bejo, paralegal di bawah dari sebuah program LSM bantuan hukum didusunnya
Informal: Polisi, lurah, anggota gang, kyai, warga dan tokoh masyarakat, babinsa Terlibat dalam penyelesaian masalah ini
Formal: Polisi menahan Paidi
Formal: pengadilan tingkat kabupaten
Informal: Kepala dusun, ketua RT/RW, kepala adapt di dusun dan desa
Lampiran
Genteng & Patemon, Mataram, NTB (tahun?)
14
Desa Sampung, Ponorogo, Jawa Timur, 2003
Tempurang, Sumatera Barat, 2000
13
15
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, 2004
12
Seorang perempuan mengadukan kekerasan yang dilakukan suaminya kepada keluarganya. Keluarga melaporkan kasus ini ke polisi dan polisi mengembalikan kasus ini kepada tetua adat, damang. Suami yang bersangkutan kemudian menceraikan Siti dan menolak membagi hartanya. Karena diintimidasi oleh pengacara sang suami, Siti akhirnya menerima putusan kasusnya tersebut. Informal: Tetua adat
Formal: Polisi
Kepentingan pihak luar dan ketidakseimbangan kekuatan
Responden: Pertambangan Sari Gunung. Pertambangan ini dimiliki pemerintah tapi dijalankan oleh perusahaan swasta.
Penuntut: Warga desa Sampung,
Pihak yang bersengketa: konflik dalam satu desa, antara suku Batak dan Minang
Kepala desa mengirimkan surat kepada pemerintah kabupaten dan DPRD, namun tidak ada tanggapan. Perusahaan dan pemerintah kabupaten sama-sama menolak bertanggung jawab. Tidak ada pihak yang mengambil langkah hukum. Warga desa dan pemerintah kecamatan merasa tidak sanggup melawan perusahaan pertambangan, karena sebagian besar penduduk desa juga bekerja dipertambangan itu.
Aksi saling serang terus berlangsung sampai hari ini, bahkan kekerasan kerap terjadi tanpa ada hubungan dengan sebab awal sengketa. Beberapa orang tewas dalam sengketa berkepanjangan ini. Kedua warga desa menyiapkan senjata, seperti batu, botol, tombak, bahkan pistol. Polisi dan pemerintah lokal terbukti tak berdaya menangani kasus ini. Mereka membangun tembok setinggi tiga meter untuk memisahkan kedua kelompok. Lumpur dari pertambangan secara terus-menerus membanjiri sebagian wilayah desa, merusak jalan, rumah dan sawah. Saluran air yang dibangun pemerintah kabupaten menyebabkan sebagian lumpur teralihkan ke bagian lain desa . Ini menyebakan ketegangan di antara penduduk desa tersebut.
Formal: tidak ada satupun yang terlibat
Informal: Kepala desa, sekretaris desa, dewan kelurahan, dan camat
Informal: Kepala desa, Kekerasan berlatar etnis antara Batak dan Minang meletus setelah terjadi perselisihan kecil saat berjudi. Sebuah pasar pemimpin adat, polisi dan 94 rumah terbakar. Banyak warga Batak keluar dari nagari (sebelum kerusuhan ada 400 kepala keluarga, sekarang tinggal 56). Ketegangan terjadi sebelum kerusuhan. Sejumlah keluarga Batak menolak untuk melebur dengan warga asli dan bersikeras untuk tetap terpisah. Mereka yang telah berbaur dengan adat Minang, tidak menerima hak yang sama dengan warga asli Minang. Pihak yang bersengketa: Warga di Patemon mengamankan sertifikat tanah Polisi, Pemerintah lokal Warga Genteng dan diperbatasan dua desa. Warga Genteng merasa, tanah Patemon yang disengketakan sebagai milik mereka. Warga Genteng menyerang warga Patemon.
Ketidakseimbangan kekuasaan
Pelaku: Suaminya
Korban: Siti
Hasil: masalah tidak terselesaikan, ketegangan di antara masyarakat desa setempat tetap berangsur karena lumpur terus menggenangi sebagian desa.
Hasil: kegagalan dalam menyelesaikan sumber masalah menyebabkan konflik berkelanjutan. Akibat sengketa, ekonomi di Patemon merosot.
Informal: Kasus kekerasan diabaikan dan damang tidak mendorong pembagian harta bersama sesuai dengan perjanjian pranikah. Hasil: rasa takut tetap ada di antara keluarga Batak yang bertahan. Sengketa tanah berlanjut di antara kedua kelompok masyarakat itu.
Formal: Kasus dikembalikan ke desa
Lampiran
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
75
76
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Agustus 2003
Desa Sembuluh II, Kalimantan Tengah, 2002
Palengaan Laok, Pamekasan, Jawa Timur, 2001
Palengaan Daja, Pamekasan, Jawa Timur, 2001
Kabupaten Ponorogo dan Wonogiri, Jawa Timur, 2001
16
17
18
19
20
Pengadilan mempertimbangkan penyelesaian secara adat yang telah ditempuh dan hanya menjatuhkan hukuman setahun penjara. Batuni dan Buntang menggunakan jaring ikan yang menyimpang, sehingga mereka mendapatkan ikan dalam jumlah besar. Namun, hal tersebut menyebabkan peralatan memancing milik warga desa lainnya rusak. Permintaan warga agar mereka tidak menggunakan jaring tersebut tidak didengarkan. Warga akhirnya mengadukan masalah ini ke kepala desa dan polisi. Namun upaya mereka gagal.
Perkelahian antar dua teman terjadi usai meminum minuman keras. Ranno Jonfrid Siae menusuk temannya Syahmanto. Syahmanto akhirnya tewas karena luka tusukan yang dideritanya. Selama proses pemeriksaan, Jonfrid dipenjara polisi selama dua bulan. Penyelesaian secara adat dilakukan secara bersamaan. Ketua RT menjadi mediator kedua keluarga. Sebagai penyelesaian secara adat, keluarga korban menulis surat kepada jaksa agar menjatuhkan hukuman seringan mungkin kepada Jonfrid.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia Keterlibatan Kyai berhasil mencegah terus berlanjutnya aksi balas dendam. Brudin, yang dituduh mempraktikkan ilmu hitam, dibunuh Korban: Brudin, Warga desa yang diketahui oleh preman yang disewa warga yang dendam terhadapnya. mempraktikkan ilmu hitam Kepala desa takut terlibat dalam masalah ini. Tidak ada yang dituntut atas pembunuhan. Pelaku: pembunuh yang disewa warga desa Setahun kemudian, istri Brudin juga dituduh mempraktekkan ilmu hitam. Ia juga dibunuh oleh preman bayaran. Pemuda dari kelompok Pemuda dari Wonogiri memukul kelompok pemuda beladiri yang berseteru perguruan beladiri Jujitsu dari Ponorogo. Muncul ancaman balasan, sehingga gang pemuda Wonogiri merencanakan serangan lebih dulu. Kekurangpercayaan antara dua kelompok Polisi mencium gelagat keributan tersebut dan menurunkan menimbulkan konflik aparatnya. Selain memisahkan kedua kelompok, polisi juga mengundang pemimpin kedua kelompok untuk berdialog di perbatasan.
Hubungan dekat para pelaku dengan kepala desa Warga mengeluarkan ancaman kekerasan kepada Bantuni menyebabkan mereka dan Buntang. Ini memaksa kepala desa menengahi masalah dan melarang penggunaan jaring yang menyimpang. terlindungi Larangan ini kemudian diatur dalam peraturan desa. Korban: Pencuri pompa Warga berhasil menggagalkan pencurian pompa air. Pelaku air kemudian ditangkap dan dibunuh sekelompok warga. Polisi tidak mengambil tindakan apapun. Warga desa takut ada Pelaku: sekelompok pembalasan. Ketakutan tersebut terbukti dengan tewasnya warga desa dua warga desa.
Korban: seluruh warga desa
Pelaku: Batuni dan Buntang, dua nelayan setempat
Responden: Keluarga Jonfrid, pelaku penusukan
Penuntut: keluarga Syahmanto, anak muda yang ditusuk hingga tewas di Palangkaraya
Hasil: untuk sementara rangkaian kekerasan terhenti. Tidak ada tuntutan atas pembunuhan yang terjadi.
Menariknya, tahun 2003 dan 2004 desa-desa lain secara sporadis menerapkan penyelesaian seperti ini.
Formal: Jonfrid dipenjara setahun dan dijalankan penuh oleh Jonfrid. Para nelayan berhenti mengancam dan ada tindakan dari kepala desa.
Informal: keluarga Jonfrid meminta maaf dan membayar denda 36 juta rupiah. Denda dibayar dalam bentuk hewan dan makanan, serta uang tunai 6 juta rupiah untuk Damang. Sebuah upacara dilangsungkan, dan kedua keluarga kini kembali berkomunikasi.
Formal: pemimpin utama pelaku pemukulan ditahan dan diproses secara hukum
Informal: Polisi dan pemimpin masyarakat mencegah bertambahnya kekerasan
Hasil: kekerasan tambahan berhasil dihindari dan pemimpin kelompok dihukum.
Informal: kepala desa dan Hasil: Brudin terbunuh dan tidak ada tindakan yang kyai tahu apa yang terjadi, tapi tidak mengambil langkah diambil. pencegahan. Tidak ada tindak lanjut dari polisi
Formal: Polisi terlibat dalam kasus pembunuhan yang kedua
Informal: Kyai
Secara keseluruhan proses ini memakan waktu hampir setahun
Informal: warga desa, polisi desa, kepala desa.
Formal: Polisi, jaksa distrik, provinsi, dan Mahkamah Agung
Informal: Ketua RT memfasilitasi penyelesaian konflik yang kemudian didorong oleh damang
Lampiran
Desa Sei, Pihak-pihak: Abidin Kecamatan Leihitu, dan Yedade, keduanya Maluku, 2004-2005 mengklaim masalah warisan setelah ayah mereka meninggal
Keliang, Lombok, NTB (tahun?)
23
24
Pihak-pihak: Ratni dan Udin
Desa Savana Jaya dan Jikumerasa, Pulau Buru, Maluku
22
Tidak ada usaha untuk mempertemukan kedua kelompok secara langsung
Hasil: Kasus tidak terselesaikan. Kedua kelompok berharap bupati yang baru tertarik menyelesaikan masalah ini.
Informal: Kepala desa Savana Jaya telah melaporkan kasus ini kepada camat, bupati,polisi dan pemerintahan setempat. Sebuah LSM dari Ambon juga dilibatkan.
Udin tidak mampu membayar denda. Kedua pihak membawa kasus ini ke polisi, lalu ditahan selama beberapa hari karena perzinahan. Setelah membayar suap, mereka dibebaskan dan kasus dihentikan. Dua bulan kemudian, Udin menikahi wanita lain, menghindar dari tanggungjawabnya atas Ratni.
Tak lama kemudian Johra meninggal, dan beberapa tahun kemudia Mahmoud juga meninggal. Yedade dan Abidin merasa memiliki hak atas tanah Mahmoud dan Johra. Sebagai anak kandung, Abidin merasa memiliki hak penuh atas warisan. Sementara Johra, sesuai dengan hukum Islam tidak memiliki hak sama sekali. Abidin kemudian menjual sebagian lahan tanpa memperdulikan upaya Yedade untuk menghentikannya. Tahun 2005, Abidin melaporkan masalah ini ke Imam setempat. Sebuah musyawarah dilakukan untuk membahas masalah ini. Ratni hamil setelah lima tahun ditinggalkan suaminya. Kepala desa mempertemukan keduanya beserta keluarga. Ratni minta Udin menikahinya, dan Udin tidak keberatan. Namun perkawinan tidak bisa dilakukan karena Ratni secara resmi masih dalam status menikah. Menggunakan hukum adat setempat, Udin dikenakan denda 5 juta rupiah karena mengambil istri orang. Pembayaran denda memungkinkan Udin untuk menikahi Ratni.
Informal: Kepala dusun merupakan mediator utama
Hasil: Ratni ditinggalkan tanpa dukungan untuk anak keduanya. Tidak ada cara mendesak keputusan adat untuk memaksa Udin.
Hasil : diputuskan kedua pihak punya hak atas lahan. Tapi saat penelitian dilakukan, tidak ada keputusan akhir tentang dasar hukum atas pembagian tanah.
Konflik hukum klasik yang diperparah dengan ketidaefektifan birokrasi dan system hukum serta mekanisme dialog antardesa.
Hasil: Setelah hukuman cambuk dilaksanakan, Buce meninggalkan desa dan tidak pernah kembali.
Informal: Dewan adat
Setelah pemerintahan Soeharto tumbang, banyak penduduk local yang mempermasalahkan kasus ini. Tidak ada pihak yang dipersalahkan dalam hal ini, namun sesuatu harus dilakukan untuk mencegah beralihnya ketegangan menjadi konflik karena provinsi tersebut pernah terjebak dalam konflik antar etnis selama 6 tahun. Mahmoud dan Johra telah menikah, tapi tidak mempunyai Informal: Imam anak. Mereka mengadopsi anak, Yedade. Mahmoud menikah lagi dan mempunyai sejumlah anak, termasuk Abidin.
Setelah menunggak minuman keras, Buce melempar batu ke kantor kepala desa. Kaca jendela pecah. Dewan adat memanggil Buce, sebelum rapat desa mendiskusikan masalah ini. Hasil rapat menyetujui hukuman yang dikenakan berupa hukuman cambuk di depan publik dengan rotan sebanyak sembilan kali. Pihak-pihak: Warga desa Tahun 1954, pemerintah menyediakan tanah dua hektar Savana Jaya (transmigran) untuk setiap keluarga transmigran asal Jawa di Pulau Buru. dan Jikumerasa (penduduk Hampir semua transmigran adalah tahanan politik di pulau Buru yang telah dibebaskan. Setelah keluarga transmigran asli) tinggal disana dan berkembang, lahan dua hektar mulai dirasa kurang. Mereka pindah ke tanah yang dimiliki penduduk lokal di desa Jikumerasa. Kompensasi tak pernah dibayar. Banyak para transmigran yang bisa mendapatkan sertifikat tanah atas dasar persetujuan 1954.
Pelaku: Buce Salisi, pemuda desa
Amahai, Pulau Seram, Maluku Tengah, 2003
21
Lampiran
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
77
78
Sumpur dan Bungo Tanjung, Sumatera Barat, 1987-sekarang
Gunung Syarik, Kecamatan Kuranji, Sumatera Barat, 1990-2000
26
27
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia Hasil: konflik tidak terselesaikan karena anggota garis keturunan warga Sumpur menghalangi kasus ini sampai ke dewan adat. Pemimpin adat enggan menyelesaikan kasus ini ke pengadilan dengan alasan akan mengurangi pengaruh institusi adat.
Informal: Staf kecamatan, Dewan Adat, dewan kelurahan, dan kepala desa
Hasil: Afrida kehilangan tanahnya, tapi dia bisa berkampanye untuk perubahan prosedur adat untuk mengamankan hak-hak wanita.
Hasil: Dibawah tekanan untuk mempertahankan relasi kekeluargaan/tetangga, Gandhi akhirnya setuju pada saat mediasi yang difasilitasi oleh kepala desa. untuk memberikan sebagian lahannya untuk membayar utang Gatot.
Informal: Kepala desa
Sementara, masyarakat lainnya menyebut ini adalah kasus sengketa batas wilayah dua nagari . Informal: kepala desa, Ninik Ninik Mamak dari Afrida telah menjual tanah adatnya sejak 1987. Suatu hari, Afrida melihat petugas kelurahan mengukur Mamak tanah ibunya. Afrida kemudian meminta kepala desa untuk menghentikan petugasnya. Saat mendengar hal ini, Ninik Mamak Afrida datang dan mengancam Afrida dengan pisau. Pada akhirnya, tanah tersebut terjual.
Kepala desa Sumpur melihat kasus ini sebagai konflik antar dua nagari. Wakil Ketua Dewan Adat Sumpur percaya ini adalah konfik internal warga Sumpur. Hal ini terkait dugaan adanya tetua masyarakat Sumpur yang menjual atau menggadaikan tanah secara illegal kepada Bungo Tanjung. Kelompok perempuan juga percaya, konflik terjadi akibat penjualan tanah adat secara illegal dan tetua masyarakat tidak mau mengakui kesalahannya.
Gatot meminjam uang kepada ketua RTyang juga mendesak Gandhi untuk membuat sertifikat atas tanah tersebut dan menjualnya pada Gatot. Kasus ini memiliki sejarah yang sudah berlangsung lama dan rumit. Melibatkan hampir 100 hektar lahan pertanian disepanjang perbatasan kedua nagari. Kedua penduduk nagari bercocok tanam di tanah tersebut. Nagari Sumpur mengklaim itu merupakan tanah adat mereka. Sementara penduduk Bungo Tanjung mengklaim mereka telah mendaftarkan tanah tersebut.
Terbebani oleh utang, Gatot mendesak adik tirinya untuk mendaftarkan petak tanah yang mereka miliki atas nama mereka berdua. Awalnya, Gandhi setuju. Curiga dengan alasan Gatot, bibi Gandhi meminta Gandhi untuk mengubah keputusannya. Gandhi menyewa pengacara dan permintaan perubahan sertifikat dibatalkan.
Afrida berhasil mengatasi ketidakseimbangan kekuasaan lewat kesadaran Afrida kemudian mempelajari prosedur adat dan berargumen dalam rangka melawan balik. Tahun 2000, Afrida atas hak-haknya dan mobilisasi mengorganisir petisi, meminta agar wanita harus dimintai persetujuan dalam setiap penjualan tanah. Afrida berhasil menggolkan tuntutannya dan dimasukkan dalam hukum adat.
Responden: Ninik Mamak
Penuntut: Afrida, aktivis perempuan setempat
Pihak-pihak: Tetua masyarakat Sumpur dan penduduk Bungo Tanjung
Cakranegara Barat, Pihak-pihak: Gatot, anak Mataram, angkat yang telah berusia NTB, 2004 40 tahun, dan Gandhi, remaja dari ayah yang sama
25
Lampiran
Meskipun dua-duanya orang Minang, tapi bukan asli Minang. Keduanya diangkat dalam sistem kekeluargaan Minang
Pelaku: pemuda 22 tahun
Korban: gadis lima tahun
Informal: Antar keluarga, Gadis berusia lima tahun diperkosa oleh pemuda berusia Polisi, pejabat pemerintah 22 tahun yang merupakan tetangganya. Sebagai penduduk baru di desa, ibu korban masih sungkan untuk melaporkan ke kabupaten, dan LSM kepala desa dan ninik mamak.
Batugadang, Sumatera Barat, 1983 dan 2003
Sarinang Baka dan Muara Pingai Nagari, Sumatera Barat, Desember 2003
31
Tahun 2003, pemerintah desa mengeluarkan sebuah aturan yang mencantumkan klaim mereka atas lahan yang dipersengketakan. Kebanyakan warga desa menganggap aturan tersebut telah menyelesaikan masalah, meskipun pemerintah desa tidak berhak mengeluarkan aturan semacam itu. Pihak-pihak: Warga desa, Lumpur dan limbah yang dihasilkan PT Semen Padang telah merusak lahan pertanian di Batugadang. Setelah dewan diwakili Puti, seorang adat menolak menangani kasus ini, Puti dan 19 keluarga aktivis perempuan. PT Semen Padang, desa berunjuk rasa ke PT Semen Padang. Disepakati adanya perusahaan semen pembayaran ganti rugi tapi jauh dari yang diharapkan. 10 persen dari ganti rugi bahkan diambil dewan adat. Hal ini terkemuka mengecewakan Puti dan keluarga lainnya. Hanya sedikit warga desa yang mendukung merekaDikarenakan oleh PT Semen Padang telah membayar banyak pihak yang duduk diadministrasi desa. Pihak yang bersengketa: Konflik terjadi saat dua petani dari dua nagari yang berbeda Petani dan kelompok beradu mulut di sawah. Kedua petani itu mempermasalahkan pemuda dari dua nagari hak untuk mengolah lahan tersebut. Dua kelompok pemuda yang bertetangga ikut campur dalam masalah itu. Perkelahian terjadi dan menyebabkan satu orang tewas. Pimpinan dewan adat dari nagari tetangga dan nagari yang tidak terlibat melakukan pendekatan kepada kedua kelompok untuk menghentikan kekerasan. Dua pertemuan perdamaian diadakan oleh bupati dan polisi kecamatan.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Hasil: kekerasan yang berkelanjutan berhasil dihindarkan. Kesepakatan damai dibuat di masjid yang dihadiri oleh masyarakat umum. Kasus tanah dan pembunuhan tidak terselesaikan.
Informal: Ketua KAN, bupati, camat, dan kepala desa. Formal: Polisi
Hasil: sengketa diselesaikan lewat negoisasi, namun pelaksanaanya tidak memuaskan.
Potensi kekerasan masih ada jika perusahaan memutuskan menggunakan kembali hak guna untuk menentang warga desa.
Hasil: Warga menduduki lahan, meskipun peternakan PT Jenyta masih memegang ijin hak guna usaha.
Polisi mengklaim ibu korban hanya mencari keuntungan dalam kasus ini.
Hasil: Tidak ada penyelesaian, kedua keluarga terus hidup bertetangga. Ibu korban sangat kecewa, apalagi pelaku tetap tinggal disebelah rumahnya.
Informal: dewan adat, kaum wanita di desa
Orang tua korban dan pelaku mencoba untuk menyelesaikan konflik ini sendiri. Pada pertemuan pendahuluan, orang tua pelaku mengaku bersalah, namun tidak mau membayar uang pengganti. Orang tua pelaku juga menolak menghadiri pertemuan yang diselenggarakan oleh pejabat pemerintahan kabupaten. Ia minta kasus ini ditangani oleh ninik mamak Dua bulan kemudian, sebuah LSM di Padang menganjurkan ibu korban untuk memeriksakan anaknya ke dokter. Akibat pemeriksaan yang yang tertunda, tidak ditemukan bukti adanya perkosaan. Sungai Kamuyang, Pihak-pihak:Warga Sungai Sengketa tanah yang rumit, melibatkan sebuah perusahaan Informal: Dewan adat, kepala Kamuyang dan peternakan peternakan PT Jenyta. Sengketa tanah berlangsung selama Kecamatan desa PT Jenyta 30 tahun (1968-1998). Sengketa di atas lahan 66 hektar, Luhak, Sumatera PT Jenyta memiliki ijin hak guna usaha, sementara warga Barat, 1968mengklaim itu adalah tanah adat. Pimpinan perusahaan sekarang Kepentingan luar yang peternakan PT Jenyta adalah seorang perwira militer. sangat kuat Tahun 1998, warga menolak perpanjangan hak guna usaha. Setelah berunjuk rasa dan bentrok dengan polisi dan petugas keamanan perusahaan, warga menduduki lahan tersebut. Namun pemerintah masih tetap memperpanjang hak guna usaha.
Pariaman, Sumatera Barat, 2004
30
29
28
Lampiran
79
80
Dilam, Solok, Sumatera Barat, 2004
Batu Sangkar, Sumatera Barat 2000
Batu Gadang, Sumatera Barat, 2003
32
33
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
34
Responden: pemilik rumah
Penuntut: Penyewa rumah
Pengadilan mengatasi masalah ketidakseimbangan kekuasaan atas Sunardi sebagai orang Jawa
Responden: Datuk Rajo Intan
Penuntut: Sunardi (orang Jawa)
Pihak yang bersengketa: Konflik antar warga desa , melibatkan klan Melayu dan Tanjung
Ketua RT berusaha menyelesaikan masalah ini tapi gagal. Sebuah kelompok perempuan mendengar kasus ini dan menawarkan bantuan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bersama dengan Ketua RT, mereka berhasil menyelesaikan masalah lewat musyawarah.
Sengketa terjadi ketika pemilik rumah menyadari bahwa tagihan listrik rumah yang disewakan tidak pernah dibayar.
Hakim berhasil memediasi persoalan ini. Sunardi bersedia mengembalikan lahan, selama ia mendapat ganti rugi atas kerusakan tanamannya dan uang pembelian tanah dikembalikan. Penyewa rumah salah membayar tagihan listrik. Penyewa membayar tagihan listrik pemilik rumah bukan tagihan listrik rumah yang disewanya.
Agustus 2004, Klan Melayu membawa kasus ini ke pengadilan negeri di Kabupaten Solok. Mereka menuntut ganti rugi atas perusakan tanaman dan kepastian kepemilikan. Secara implisit, putusan pengadilan mengakui kepemilikan klan Melayu, namun pada akhirnya pengadilan menghindari pertanyaan utamanya. Tahun 2000, Sunardi membeli lahan warisan keluarga dari Datuk Rajo Intan, ninik mamak setempat. Tiga bulan setelah jual beli, Sunardi mulai memanfaatkan lahan, namun upayanya ditentang masyarakat sekitar. Ancaman kekerasan diterima Sunardi jika ia tetap melanjutkan mengolah lahan tersebut. Musyawarah desa diselenggarakan namun tidak membuahkan hasil. Kedua pihak menyewa pengacara dan membawa kasus ini ke pengadilan.
Lelah dengan gangguan yang terus menerus, Klan Melayu berniat menjual kembali tanah tersebut kepada Klan Tanjung, jika ada ganti rugi atas perusakan tanaman. Klan Tanjung menolaknya dan memberikan tuntutan balik atas sewa tanah tersebut sejak 1964. Klan Melayu melaporkan kasus ini ke polisi, namun tidak berhasil dan akhirnya menyerah.
Informal: Ketua RT dan Kelompok Perempuan
Formal: Pengadilan
Informal: Musyawarah dan Polisi
Informal: Polisi, pemuka adat Tahun 1964, Klan Melayu di Dilam membeli tanah warisan Formal: Polisi dan pengadilan klan Tanjung. Perjanjian tertulis dibicarakan bersama dan negeri penjualan disetujui oleh tetua klan. Namun demikian sejumlah orang dari Klan Tanjung tidak mendukung proses penjualan tersebut dan terus mengganggu klan Melayu yang menggunakan lahan tersebut dan merusak tanaman.
Hasil: Mediasi yang berhasil dan kepuasan dikedua pihak.
Hasil : Masyarakat dan Rajo Intan mengembalikan uang penjualan tanah dan membayar uang ganti rugi kerusakan tanaman kepada Sunardi.
Tanah yang disengketakan tetap tidak digunakan dan potensi timbulnya konflik tetap tinggi.
Hasil: Semua forum mengakui kepemilikan tanah atas nama Klan Melayu, tapi putusan tersebut tidak dilaksanakan.
Lampiran
High Religious Court Pengadilan Tinggi Agama
Religious Court Pengadilan Agama
District Court Pengadilan Negeri
Constitutional Court Mahkamah Konstitusi
Administrative Court Pengadilan Tata Usaha Negara Military Court Pengadilan Militer
High Military High Administrative Court Court Pengadilan Tinggi Pengadilan Tinggi Militer Tata Usaha Negara
Supreme Court Mahkamah Agung
High Court Pengadilan Tinggi
Additional Courts of Special Jurisdiction
Kehakiman
Lampiran 3: Struktur sistem hukum formal Indonesia Kejaksaan
POSPOL
Village Police Post
POLSEK
Sub-District Police
POLRES
District / Municipal Police
POLDA
Provincial Police
POLRI
Indonesian National Police
Kepolisian
Lampiran
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
81
Lampiran
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Nasional UUD 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa UU No. 22 tahun1999 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internsational tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) UU No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004 -2009 Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa
Peraturan Daerah (Perda) Tingkat Provinsi Perda Sumatera Barat No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari Perda Kalimantan Tengah No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom Perda Pemerintah Provinsi Maluku No. 14 tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Pemerintahan Provinsi Maluku Peraturan Daerah (Perda) Tingkat Kabupaten Perda Pesisir Selatan No. 17 tahun 2001 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari Perda Pesisir Selatan No. 18 tahun 2001 tentang Susunan Dewan Perwakilan Nagari Perda Kotawaringin Timur No. 15 tahun 2001 tentang Kedamangan Perda Kotawaringin Timur No. 2 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran dan Pengendalian Penduduk di Kabupaten Kotawaringin Timur Perda Pulang Pisau No. 11 tahun 2003 tentang Pembentukan Kelembagaan dan Pemberdayaan Adat Dayak
Peraturan Desa Kitab Awig-Awig Adat Desa Bentek 2000/2001 (Peraturan Desa Bentek 2000/2001) Peraturan Nagari Minangkabau No. 1 tahun 2002 tentang Pembasmian Penyakit Sosial Peraturan Nagari Minangkabau No. 2 tahun 2002 tentang Perintah Kebersihan dan Keindahan Peraturan Nagari Minangkabau No. 3 tahun 2002 tentang Gotong Royong
82
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Artikel, Buku dan Laporan Abaya, A. (1999) “A Comparative Assessment of Community Justice Systems in the Philippines, Sri Lanka and Bangladesh.” Nasakah yang belum dipublikasikan, disusun oleh Gerry Roxas Foundation, Manila. Abel, RL (ed.) (1982) The Politics of Informal Justice. New York: Academic Press. Anderson, M.R. (1999) ‘Access to Justice and Legal Process: Making Legal Institutions Responsive to Poor People in LDCs.’ Naskah dibacakan pada World Development Report Meeting, 16-17 Agustus 1999. Antlöv, H (2003) ‘Village Government and Rural Development in Indonesia: the New Democratic Framework.’ Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 39, no.2. Arnaldo, AT, Zapa, DB, & Zuniga, MM (1980) ‘The Katarungang Pambarangay: an Appraisal of its Effectivity (sic)’ 55 Philippines Law Journal 464. Asia Foundation (2001), Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector. Jakarta: Asia Foundation. Asian Development Bank (2001a) Law and Policy Reform at the Asian Development Bank. Manila: Asian Development Bank. Asia-Pacific Organization for Mediation (APOM) (1988) Transcultural Mediation in the Asia-Pacific, Manila: AsiaPacific Organization for Mediation. Australian Law Reform Commission (1998) Issues Paper 25: Review of the Adversarial System of Litigation, Canberra: Commonwealth of Australia. Baare, Anton (2004) ‘Policing and Local Level Conflict Management in Resource Constrained Environments’ Mimeo, Jakarta: World Bank. Bappenas/World Bank (1997) Law Reform in Indonesia. Jakarta: Cyberconsult. Bappenas/World Bank/AusAID/ADB/DFID (2007) Gender in CDD Projects: Implications for PNPM. Jakarta: Bappenas. Barron, P. & Sharpe, J. (2005) ‘Counting Conflicts: Using Newspaper Reports to Understand Violence in Indonesia’, Conflict Prevention and Reconstruction Paper No. 25. Washington DC: World Bank. Barron, P. Diprose, R. & Woolcock, M, (2006) Local Conflict and Community Development in Indonesia: Assessing the Impact of the Kecamatan Development Program, Working Paper 10, Social Development, Jakarta: World Bank. Benda-Beckmann, K von (1981) ‘Forum Shopping and Shopping Forums: Dispute Processing in a Minangkabau Village in West Sumatra’ 19 Journal of Legal Pluralism: 117-59
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
83
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Benda-Beckmann, K von (1984) The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau. Dordrecht: Foris Publications. Benda-Beckmann, F (1990) ‘Ambonese Adat as Jurisprudence of Insurgency and Oppression’ 5 Law and Anthropology 25. Benda-Beckmann, F (2000) ‘Legal pluralism and social justice in economic and political development,’ naskah dipresentasikan pada IDS International Workshop on Rule of Law and Development, 1-3 Juni 2000. Benda-Beckmann, F & K von (2001) ‘Recreating the Nagari: Decentralization in West Sumatra,’ versi ter-update paper yang dipresentasikan pada 3rd Conference of the European Association for Southeast Asian Studies, London, 6-8 September 2001. Buscaglia, E. (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution Mechanisms: A Governance-Based Approach,’ naskah dipresentasikan pada Empowerment, Opportunity and Security through Law and Justice Conference, St. Petersburg, Juli 2001 Butt, S., David, N. and Laws, N. (2004) Looking Forward: Local Dispute Resolution Mechanisms in Timor Leste, Sydney: Australian Legal Resources International. Clark, S. (ed.) (2004) ‘More than just Ownership: Ten Land and Natural Resource Conflict Case Studies from East Java and Flores,’ Indonesia Social Development Paper No. 4, Jakarta: World Bank. Connolly, B. (2005) ‘Non-State Justice Systems and the State: Proposals for a Recognition Typology.’ 38 Connecticut Law Review 239. Dinnen, S. (2001) ‘Building Bridges – Law and Justice Reform in Papua New Guinea’ State, Society & Governance in Melanesia Project Working Paper 01/3; Canberra: Australian National University. Evers, P. J. (2002) ‘The Indonesian Rural Judiciary’, Mimeo yang tidak dipublikasikan, Jakarta: World Bank. Faundez, J. (2006) ‘Should Justice Reform Programs Take Non-State Justice Seriously? Perspectives from Latin America,’ naskah dipresentasikan pada World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember 2005. Galanter, M. (1974) ‘Why the ‘Haves’ Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change’ 9 Law & Society Review 95-160. Galanter, M. & Krishnan, J. (2004) ‘Bread for the Poor: Access to Justice and the Right of the Needy in India,’ Hastings Law Journal 55(4) 789. Gerry Roxas Foundation (2000a) Report on the Efficacy of the Katarungang Pambarangay Justice System in the National Capital Region. Manila: Gerry Roxas Foundation. Gerry Roxas Foundation (2000b) The Panay and Guimaras Experience in Barangay Justice. Manila: Gerry Roxas
84
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Foundation. Glenn, H. Patrick (2001) Legal Traditions of the World; Oxford: Oxford University Press. Golub, S. (2003) ‘Beyond Rule of Law Orthodoxy: the Legal Empowerment Alternative’. Working Paper No. 14, Washington DC: Carnegie Endowment for International Peace. Golub, S. (2003) ‘Non-state Justice Systems in Bangladesh and the Philippines,’ naskah dipersiapkan untuk DfiD, Januari 2003. Griffith, J. (1986). ‘What is Legal Pluralism?’ 24 Journal of Legal Pluralism 1-50. Gusmao, Jose Kay Rala Xanana ‘President’s Opening Speech’, naskah disampaikan pada International Conference Traditional Conflict Resolution and Traditional Justice di Dili, Timor Leste, 27 Juni 2003. Haverfield, R. (1999) ‘Hak Ulayat and the State: Land Reform in Indonesia’, in Lindsey (ed) Indonesia: Law and Society, Sydney: Federation Press. Hohe, T. & Nixon, R. (2003) Reconciling Justice: “Traditional” Law and State Judiciary in East Timor, Kertas kerja dipersiapkan untuk US Institute of Peace, Januari 2003. Hooker, MB. (1978) Adat Law in Modern Indonesia. New York: Oxford University Press. Ilun, Y. Nathan (2004) Introducing Adat Law. Naskah yang tidak dipublikasikan, 2004. International Crisis Group (2001) Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan. Jakarta/Brussels: International Crisis Group. International Crisis Group (2000) Indonesia’s Maluku Crisis: the Issues, Indonesia Briefing Paper 19 Juli 2000. Jakarta Post, ‘Maluku, Kalimantan Strife “Lingering”’, 1 Mei 2006 Kane, M, Oloka-Onyango, J. & Tejan-Cole, A. (2005) ‘Reassessing Customary Law Systems as a Vehicle for Providing Equitable Access to Justice for the Poor.’ Naskah dipresentasikan pada Arusha Conference, New Frontiers of Social Policy, 12-15 Desember 2005. Lindsey, T. (1998) ‘Square Pegs and Round Holes: Fitting Modern Title into Traditional Societies in Indonesia?’ 7 Pacific Rim Law and Policy Journal 699. Lindsey, T. (ed.) (1999) Indonesia: Law and Society, Sydney: Federation Press. Lindsey, T. (2006) ‘Inheritance and Guardianship and Women: Islamic Laws in Aceh, a Year After the Tsunami,’ naskah dipersiapkan untuk the International Development Law Organization. Mangahas, M. (1999) ‘Social Climate – A Bright Spot: Barangay Justice.’ 24 January 1999 at www.sws.org.ph/
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
85
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
jan00.htm. Mahkamah Agung Republik Indonesia (2003) Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI. Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia. McCarthy, John F (2004) ‘Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-legal Configurations in Central Kalimantan, Indonesia.’ World Development. 32(7) p. 1199-1223, Juli 2004. Menkel-Meadow, C. (1999) ‘Do the “Haves” Come Out Ahead in Alternative Judicial Systems?’ 15 Ohio State Journal on Dispute Resolution 19. Merry, S.E. (1982) ‘The Social Organization of Mediation in Non-industrial Societies: Implications for Informal Community Justice in America’, dalam Abel, R.L. (ed), The Politics of Informal Justice, New York: Academic Press. Merry, S.E. (1988) ‘Legal Pluralism’ 22(5) Law and Society Review 869. Merry, S.E. (1993) ‘Sorting Out Popular Justice,’ pada Merry, S.E. & Milner, N. (eds) (1993) The Possibility of Popular Justice, Ann Arbor, Michigan: University of Michigan Press. Messick, R. (1999) ‘Judicial Reform and Economic Development: A Survey of the Issues’ World Bank Research Observer 14 (1): 117-136. Messick, R & Beardsley, L (eds) (2002) Sourcebook on Access to Justice. Koleksi paper yang tidak dipublikasikan yang dipersiapkan oleh World Bank Legal Institutions Thematic Group, World Bank Empowerment Retreat, 7-8 Mei 2002. Michelson , E. (2007) ‘Climbing the Dispute Pagoda: Grievances and Appeals to the Official Justice System in Rural China.’ 72 American Sociological Review 459. Moore, S.F. (1973) ‘Law & Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study’ 7(4) Law and Society Review 719. Narayan, DC. (2000), Voices of the Poor: Can Anyone Hear Us? New York: Oxford University Press. Nyamu-Musembi, C. (2003) ‘Review of Engaging with Non-State Justice Systems in East Africa’. Naskah dibuat oleh DfID, Februari 2003. Odinkalu, C. (2005) ‘Poor Justice or Justice for the Poor? A View from Africa.’ Naskah dipresentasikan pada World Bank Legal Development Forum, Desember 2005. Pompe, S. (2003), Court Corruption in Indonesia: An anatomy of institutional degradation and strategy for recovery. Naskah yang tidak dipublikasikan dibuat oleh penulis. Purba, R. (2004) ‘Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Alternatif Kajian Pada Masyarakat Karo.’ Naskah dipaparkan di Universitas Karo, 1 Juli 2004.
86
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
Rinaldi, T, Purnomo, M. & Damayanti, D. (2007) Combating Corruption in a Decentralized Indonesia, Jakarta: World Bank. Saputro, Widodo. S, Burhanuddin, Anwar, A. & Sholeh, B. (2007), Balai Mediasi Desa: Perluasan akses hukum dan keadilan untuk rakyat, Jakarta: LP3ES dan NZAID. Setwilda Tingkat I Kalimantan Tengah (1996) Lembaga Kedamangan dan Hukum Adat Dayak Ngaju di Provinsi Kalimantan Tengah; Palangkaraya: Provincial Government of Central Kalimantan. Silliman, G. Sidney (1985), ‘A Political Analysis of the Philippines Katarungang Pambarangay System of Informal Justice Through Mediation’ 19 Law & Society Review 279. Soerodibroto, S.H. (2001), Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sosmena Jr., G.C. (1996) ‘Barangay Justice: a Delegalisation Mechanism.’ 20 Hiroshima Law Journal 384-404. Stephens, M. (2003) ‘Local-level Dispute Resolution in Post-reformasi Indonesia: Lessons from the Philippines.’ 5(3) Australian Journal of Asian Law 213. Suryakusuma, J. (2004) Sex, Power and Nation, Jakarta: Metafor. Szczepanski, K (2002) ‘Land Policy and Adat Law in Indonesia’s Forests.’ 11 Pacific Rim Law & Policy Journal 231. Tadiar, A (1988) ‘Institutionalising Traditional Dispute Resolution: the Philippine Experience’ pada AsiaPacific Organization for Mediation (APOM), Transcultural Mediation in the Asia-Pacific, Manila: Asia-Pacific Organization for Mediation. Tamanaha, B.Z. (1993) “The Folly of Legal Pluralism” 20 Journal of Law and Society 192. Tan, BK & Pulido, MG (1981), ‘Katarungang Pambarangay Law: its goals, processes and impact on the right against self-incrimination’, 56 Philippine Law Journal 425. UNDP, Bappenas, Syiah Kuala University, World Bank, IDLO & BRR (2006) Access to Justice in Aceh: Making the Transition to Sustainable Peace and Development, Jakarta: UNDP. UNDP (2007) Justice for All? An Assessment of Access to Justice in Five Provinces of Indonesia; Jakarta: UNDP. World Bank (2004), Village Justice in Indonesia: Case Studies on Access to Justice, Village Democracy and Governance, Jakarta: World Bank. Zitelmann, T. (2005) ‘The Cambodian Conflict Structure: Conflict About Land in a Wider Perspective’, Phnom Penh: GTZ.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
87
Daftar Bacaan dan Sumber Informasi
88
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia