Ketakutan duduk bersama: catatan tentang bus Patas AC di Jakarta Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org)
Ketakutan duduk bersama: catatan tentang bus Patas AC di Jakarta Oleh Ardi Yunanto Dibuat 08/13/2007 - 01:40 Oleh Ardi Yunanto (13 Agu 2007 - 01:40) Topik: FOKUS 3: TRANSPORTASI UMUM pedje_busac_web.jpg [1]
Pernahkah Anda memperhatikan bahwa hanya di bus Patas AC di Jakarta, penumpangnya punya kesadaran lebih untuk duduk? Dan tentu saja, memilih dengan siapa mereka akan duduk. Ardi Yunanto menuliskan pengamatannya selama setahun tentang perilaku kolektif penumpang bus Patas AC dalam memilih tempat duduk. Tentang mereka, atau Anda, yang mungkin saja tak ingin duduk bersama.
HANYA DI bus Patas AC,[1] kita memiliki kesadaran lebih untuk duduk dan merasa nyaman. Hal yang, tentu saja, hanya terjadi di waktu yang manusiawi, tidak di pagi atau sore hari ketika warga Jakarta berjejalan di bus seperti sarden dalam kaleng. Kenyamanan duduk inilah yang membedakan bus Patas AC dengan bus lain. Hal yang pada akhirnya, membuat keseluruhan perilaku duduk penumpang yang akan saya jelaskan nanti, hanya terjadi di sini: bus Patas AC yang melintasi jalanan ibukota.
* Cukup beralasan jika kita menuntut kenyamanan lebih pada bus Patas AC. Tarif Rp. 5000 termasuk mahal, membuat kita selalu ingin tidur kedinginan sampai tujuan. Sebuah pesona bus kota yang bahkan belum serta-merta tersaingi oleh bus Transjakarta (busway). Satu tahun setelah
busway koridor I berjalan, banyak rute bus yang diubah karena bersinggungan dengan lintasan bus Transjakarta. Namun setidaknya, sampai saat ini—sebelum koridor baru busway akan ditambah lagi—bus Patas AC tidak menanggung korban ubah-jalur sebanyak bus lain.[2] Sementara dalam hal ongkos, tarif Rp. 5000 bus Patas AC bahkan bisa dibilang masih masuk akal jika dibandingkan dengan tarif Rp.
3500 dari bus Transjakarta yang belum memenuhi janji kenyamanannya. Semburan pendingin udaranya memang cukup dramatis, namun jumlah bus Transjakarta, terutama di beberapa koridor baru, masih kurang. Lintasan bebas hambatannya menjadi mubazir, belum lagi keharusan berganti koridor bagi penumpang yang menempuh jarak jauh, membuat waktu mereka banyak terbuang di jalanan.
Sementara, tujuan yang jauh justru menjadi salah satu alasan utama orang naik bus Patas AC sejak dulu. Lagipula, bus Patas AC itu seperti pasar tradisional: harganya bisa ditawar. Jika cukup tega, Anda bisa hanya membayar Rp. 2000 untuk jarak dekat atau Rp. 3500 untuk jarak agak jauh. Selain itu, karakter bus Patas AC sendiri akhirnya identik dengan besarnya kemungkinan kita untuk duduk. Memang, berharap duduk di dalam bus terkadang seperti memimpikan Jakarta tak macet lagi. Walau pada awalnya setiap pencipta bus berharap semua orang bisa duduk nyaman, tetap saja ruang berdiri sekecil apapun di dalamnya akan selalu menggoda kenek dan penumpang untuk menjejalinya hingga jarak paling intim. Kita akhirnya hanya bisa pasrah menahan kram di kaki, yang untungnya lama-lama menjadi kebiasaan. Berdiri, mungkin tidak menjadi masalah bagi penumpang bus Transjakarta. Di sana tersedia ruang berdiri yang lebih luas, dan tarifnya bisa mengajak kita berkeliling kota dengan sensasi udara pegunungan. Sementara bagi penumpang bus lain, seperti Kopaja, Metro Mini, atau bus reguler lain, mereka tidak masalah untuk berdiri asal cepat sampai. Lagipula, apa lagi yang bisa kita harapkan dari angkutan umum dengan tarif Rp. 2000? Di bus Patas AC, kita tidak membayar Rp. 5000 untuk maklum. Sejak saya kecil, ibu selalu mengajak saya bepergian dengan bus ini karena alasan: kemungkinan besar untuk mendapatkan kursi dan udara yang sejuk. Jika harganya yang mahal seringkali menimbulkan asumsi bahwa rata-rata penumpangnya adalah kelas menengah, ternyata tidak juga. Ada banyak hal lain yang membuat orang tetap naik bus ini, seperti tempat duduk berlimpah, pendingin udara, rute yang jauh namun tetap melintasi jalan-jalan utama, sehingga kita tak perlu membayar lebih karena masih harus berganti-ganti bus serta membuang waktu di simpang jalan atau koridor busway manapun. Tinggal menunggu agak sabar, naik, duduk, tidur, dan tahu-tahu sampai. Namun semua itu bukan tanpa akibat. Hanya di ruang yang memiliki nilai kenyamanan lebih, kita bisa leluasa melanjutkan tabiat lama. Sadar atau tidak, kita selalu membawa segenap ketakutan atas jalanan di luar, ketika masuk ke dalam bus Patas AC ini. * Jika di bus lain kita cenderung hanya memilih di mana kita bisa duduk, di bus Patas AC kita bahkan
Ketakutan duduk bersama: catatan tentang bus Patas AC di Jakarta Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org) bisa sampai memilih dengan siapa kita akan duduk. Jumlah kursi yang melimpah akhirnya memberi aneka pilihan, dari tempat sampai penumpang lain. Memang, akses turun lebih cepat tetap menjadi alasan utama dalam memilih kursi. Itulah mengapa penumpang lebih suka duduk di kursi bagian depan. Selain karena tombol pembuka pintu belakang seringkali tidak berfungsi, kenek kedua tidak selalu ada di sana. Tidak semua penumpang mau berteriak minta dibukakan pintu pada supir yang jauh di depan. Alasan lain mengapa orang duduk di bagian depan bus ini adalah demi keamanan. Interior bus cukup remang-remang karena jendelanya dilapisi kaca film dan dilindungi tirai. Sehingga jika kita baru naik, bagian belakang bus terlihat lebih gelap. Belum lagi, semua kursinya yang tinggi besar seperti bus antarakota, membuat kita sulit melihat dan terlihat penumpang lain. Tidak heran jika pernah terjadi beberapa aksi penodongan di sini. Sementara itu, ada beberapa penumpang yang tak suka duduk di kursi bagian tengah bus, karena di sanalah biasanya pengamen bersandar. Punggung mereka akan menempel pada lengan atau kepala Anda. Setelah itu, pengamen suka duduk-duduk dulu di kursi belakang sebelum akhirnya turun. Satu alasan lagi mengapa sebagian orang risih duduk di kursi belakang. Sekalipun sebagian besar pengamen di bus Patas AC adalah mereka yang terbaik, secara kualitas bermusik dan kepribadian, sosok mereka ternyata masih dianggap sebagai gangguan. Pada awalnya, secara alamiah semua penumpang akan duduk sendiri-sendiri atau berdua bersama pasangan perjalanan mereka di masing-masing kursi yang tersedia. Dari dua jenis kursi: kursi deret dua dan kursi deret tiga, kursi deret dua adalah kursi favorit. Bagi mereka yang berdua, duduk di sana membuat mereka tidak akan terganggu orang ketiga—karena memang tidak ada tempat lagi. Bagi mereka yang sendirian, berarti hanya akan ada satu orang lagi yang nanti duduk di sampingnya. Namun selain itu, ada sejumlah pola lain yang lebih menarik. Para perempuan tua, baik ibu-ibu atau nenek-nenek, selain menyukai kursi bagian depan karena faktor keamanan dan kemudahan akses turun, mereka juga memilih dengan siapa mereka akan duduk. Pilihan pertama adalah sesama perempuan, lebih muda tak apa, tapi lebih baik jika mendekati usia mereka, karena siapa tahu nanti mereka bisa saling terlibat perbincangan. Jika sesama perempuan tidak ada, baru mereka mau duduk di samping pria, semakin tua semakin baik. Jika itu pria muda, sebisa mungkin yang berpenampilan meyakinkan, tidak urakan apalagi mencurigakan. Itupun terkadang dengan catatan: begitu ada kesempatan, para perempuan tua itu akan segera berpaling ke penumpang lain yang lebih baik. Pernah, saya duduk di samping ibu tua di kursi deret tiga di bagian tengah bus. Sekalipun penampilan saya cukup rapi untuk dikira mau melamar pekerjaan, tetap saja ibu tua itu akhirnya pindah-duduk ke samping kakek tua di seberang-depan kursi kami. Awalnya saya mengira ia hanya ingin turun lebih mudah. Namun, ketika bus kami hampir sampai di Terminal Blok M, justru saya yang turun lebih dulu. Setelah sempat agak tersinggung dan merenungkan kembali penampilan saya hari itu, kejadian itulah sebenarnya yang membuat saya mulai memperhatikan semua ini. Sekarang, kita sampai pada wanita muda. Pilihan tempat duduk mereka sebenarnya kurang-lebih sama dengan pilihan wanita tua, yaitu sesama perempuan (kali ini lebih terbuka secara usia) atau pria, dari yang paling tua hingga yang paling muda dan tidak mencurigakan, dan tetap dengan catatan: mereka juga akan pindah begitu mendapatkan teman duduk yang lebih baik. Hanya, dalam beberapa hal—terutama bagi perempuan yang sendirian dalam bus dan berpenampilan menarik sejak lahir—layaknya beban konstruksi sosial, menjadi yang “dipilih” lebih meresahkan daripada menjadi yang “memilih”. Duduk sendirian membuat si wanita muda menjadi yang “dipilih”. Biasanya mereka dapat kita temukan duduk di kursi favorit, kursi deret dua pada sisi jendela, dengan alasan: hanya akan ada satu penumpang baru di sisi mereka, dan isi jendela bisa menjadi pelarian dan sandaran untuk pura-pura tidur, begitu mereka harus menghindari ajakan berkenalan pria di sampingnya nanti. Terkadang, bahkan hanya dengan ‘ada’, kehadiran pria sudah cukup mengganggu. Seorang teman
Ketakutan duduk bersama: catatan tentang bus Patas AC di Jakarta Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org) perempuan bahkan selalu gelisah jika setiap kali ia terbangun sudah ada seorang pria duduk di sampingnya. Namun, duduk di kursi deret dua memang masih lebih baik daripada di kursi deret tiga. Di kursi deret tiga ini, si wanita muda tidak akan bisa tidur nyenyak. Jika ia duduk di sisi gang, ia akan terbangun begitu ada penumpang baru yang ingin duduk bersamanya. Ia telah “dipilih”, dan setelah itupun, ia masih harus “memilih”. Apakah ia yang akan bergeser atau membiarkan orang itu duduk di sisi jendela? Jika orang itu kurang meyakinkan, lebih baik ia tetap duduk di sisi gang itu daripada terpojok di jendela. Jika orang itu terlihat baik-baik saja, atau karena ia sendiri yang akhirnya mau duduk di sisi jendela, maka ia yang akan bergeser ke sana. Masing-masing lalu akan duduk di ujung kursi dengan sebuah tas yang membatasi mereka. Namun, dengan duduk di sisi jendela, si wanita muda kita tak bisa lagi “memilih”. Semua tergantung pada penumpang baru di sisi gang itu. Apakah orang itu yang nanti akan duduk di sampingnya, atau justru orang lain yang mungkin saja lebih tak diinginkan olehnya? Tersudut di sisi jendela pada kursi deret tiga memang tidak menyenangkan. Jika si wanita muda turun lebih dulu, berarti ia harus melewati teman duduknya dengan susah-payah, pantatnya akan sangat dekat untuk digoda tangan mereka. Ada beberapa perempuan yang pernah menjadi korban “kesempatan dalam kesempitan” ini. Bahkan, sekadar menyadari bahwa pantat mereka sangat terjangkau untuk menarik perhatian pria di belakangnya saja, sebenarnya sudah cukup membuat mereka risih. Lalu, bagaimana dengan pilihan duduk pria? Tidak mengejutkan memang, jika sebagian besar pria sedemikian praktis. Mereka menyukai kursi yang paling mudah diraih dan ditinggalkan begitu saja. Ketika mereka memilih dengan siapa mereka akan duduk, itu pun sangat sederhana: dengan seorang perempuan cantik, setelah itu mereka tak peduli mau duduk dengan siapa saja, selama orang itu terlihat aman. Saya pernah beberapa kali melihat seorang pria yang langsung duduk di samping perempuan menarik. Ia duduk begitu saja, seakan tak menyadari kalau masih banyak kursi kosong lain yang baru dilewatinya dan sebenarnya bisa saja ditempati olehnya. Bagi sejumlah pria, seperti saya yang kurang bernyali, mau tidak mau saya akan duduk di kursi kosong itu. Lagipula perempuan menarik biasanya cukup awas dengan hal ini. Ia akan sangat waspada begitu tahu kalau ada seorang pria yang dengan sengaja duduk di sampingnya. Para pria pemberani itu seringkali memang mencoba berkenalan, walau biasanya berakhir dengan kegagalan total. Si wanita muda yang menarik hati itu biasanya tak peduli, merapikan roknya, mendekap erat tasnya, menyandar jendela, lalu pura-pura melamun, membaca pesan di telepon genggam, tidur, atau bersiap kabur ke kursi lain yang lebih aman seperti bagaimana ibu tua itu memperlakukan saya. Namun dari semua pria gagah berani yang selalu gagal itu, justru lebih banyak lagi yang tidak melakukan apa-apa. Lalu untuk apa mereka duduk di sana? Mungkin memang hanya ingin merasakan sensasi duduk bersebelahan dengan perempuan menarik. Tetapi bukankah lebih baik jika sekalian saja mereka menjadi pengecut seperti saya? Dengan duduk di seberang wanita itu, saya masih bisa menikmati semua pesonanya. Masih mungkin mengintip isi rok mininya, misalnya, atau apa yang mungkin terlihat dari sela kancing kemejanya, atau cukup dengan bisa memandangi seluruh paras cantik itu. Sesuatu yang tak mungkin bisa dilakukan oleh mereka yang duduk tepat di sampingnya, kecuali sensasi sentuhan antarlengan atau semerbak wangi parfum. Saya pernah menanyakan hal ini pada seorang teman. Kesimpulannya sama: sensasi itu. Sejumlah pria bisa saja berencana, apapun misinya, tetapi mereka tetap tak pernah tahu apa mereka akan berani melakukannya atau tidak. Selama mereka duduk, keraguan itu melahirkan sensasi baru yang janggal, namun jelas memicu adrenalin. Hal itu selalu berulang, sampai akhirnya pada suatu saat keberanian mereka akan tumbuh. Sekalipun tak menjamin keberhasilan di masa depan, namun tetap, itu adalah sebuah tantangan bagi mereka—seperti layaknya seluruh tantangan dalam menentukan dengan siapa kita akan merasa nyaman, sebelum kembali ke jalanan yang lebih nyata panas dan riuhnya. *
Ketakutan duduk bersama: catatan tentang bus Patas AC di Jakarta Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org) Seluruh paparan saya tersebut berdasarkan pengalaman saya naik bus Patas AC 08 jurusan Pulogadung-Blok M sepanjang 2004, ditambah dengan wawancara bersama sejumlah penumpang tetap bus Patas AC di jurusan lain dalam kurun waktu yang sama. Semua hal itu memang bisa saja terjadi di bus lain. Namun interior bus Patas AC yang berbeda, membuat semua pola tersebut menjadi terlihat lebih jelas. Penumpang yang terseleksi dengan sendirinya—karena tujuan, waktu-pergi, atau tarif yang bisa saja merujuk pada suatu kelas sosial tertentu—membuat pola tersebut menjadi lebih rumit. Penentuan dalam seperkian detik secara wajar yang mungkin hanya terjadi di alam bawah sadar. Pola yang setelah tiga tahun silam, sampai akhirnya saya kembali naik bus itu lagi beberapa minggu lalu, ternyata belum berubah. Ada ‘ketakutan dan ketidaknyamanan tak terlihat’ yang masih sama. Jika Anda ingin mengalaminya sendiri, naiklah bus Patas AC diantara jam 10 pagi sampai 3 sore ketika bus tidak terlalu penuh, waktu dimana drama ini sesungguhnya terjadi. Mungkin tak semua pola ‘pilihan duduk’ itu akan Anda temukan, karena sebelumnya, perlu setiap hari selama satu tahun bagi saya untuk akhirnya bisa memetakan sekaligus mengujinya. Mungkin saja, Anda bahkan tak akan menemukan apa-apa. Tiba-tiba semua orang bisa duduk tanpa kegelisahan tertentu. Suatu hal yang justru lebih baik, daripada jika Anda menemukan pola lain yang sama sekali baru, yang menyimpan alasan yang lebih tidak masuk akal lagi. Bagaimana kita menerjemahkan semua ini? Apakah memori ketidaknyamanan atas jalanan akhirnya masih terekam, sekalipun kita sudah berada di dalam bus Patas AC yang dengan sendirinya telah menyeleksi orang-orang yang semula ada di jalanan? Atau semua itu karena orang-orangnya sendiri, yang karena seleksi itu pula, akhirnya mengelompokkan suatu sikap tertentu? Juga, kapankah ruang khalayak kita akhirnya bisa mempertemukan sejumlah orang asing, yang mungkin tak perlu sampai berbincang begitu akrab, tapi setidaknya tak menghasilkan penilaian sepihak berdasarkan penampilan, usia, atau gender? Atau, perilaku sejumlah orang ternyata masih bisa dibayangkan dari penampilan luarnya? Para pencopet ulung sejak dulu bahkan sudah menyadari hal itu. Berpakaian serapi pekerja kantor, mungkin bisa membuat mereka tak ditinggal-pergi begitu saja oleh seorang ibu tua. Setidaknya, jika ibu tua itu tetap pergi, pencopet tetap menghasilkan dompet. Sementara saya hanya menghasilkan pengamatan pribadi tak terjawabkan, dengan harapan kalau semua yang saya tulis ini suatu saat nanti akan tiada—sekalipun saya ragu, apalagi mengingat kenyataan jalanan Jakarta yang tak kunjung membaik. Namun lebih baik berharap daripada tidak sama sekali, walau berharap dan bermimpi di kota ini semakin hari semakin tipis bedanya. Jakarta, Juli 2007 ARDI YUNANTO lahir di Jakarta, 21 November 1980. Setelah lulus dari jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Nasional Malang, ia kembali ke Jakarta pada 2003, kota di mana ia dibesarkan. Sejak 2004 bergabung dengan ruangrupa dan sejak 2007 menjadi redaktur untuk Karbonjournal.org ini. Selain menulis dengan sangat tidak produktif, ia bekerja lepas sebagai penyunting, peneliti, desainer grafis, penyelenggara pameran, sambil terus meluangkan waktu menulis fiksi.
Bus Patas AC di Jakarta, 2007. Foto oleh Ardi Yunanto.
Catatan kaki [1] Patas adalah singkatan dari Cepat dan Terbatas, sebuah bus berpendingin udara (AC: air conditioner) yang beroperasi di Jakarta. Pada akhirnya istilah Cepat dan Terbatas ini menjadi rancu karena macet luar biasa Jakarta membuat semua kendaraan tak bisa bergerak cepat, dan penuhnya penumpang membuat semua orang berjejalan di dalam bus tanpa terbatas. [2] Sejak Rabu, 24 Agustus 2005 tercatat ada empat jalur bus Patas AC yang berubah karena bersinggungan dengan jalur busway Koridor I Blok M-Kota. Bus tersebut dalah Patas AC 580 (4 bus), Patas AC 2 (9 bus), Patas AC 10 (24 bus) dan Patas AC 17 (16 bus). (Majalah Gatra, Rabu 24 Agustus 2005 / http://tianarief.multiply.com/journal/item/452 [2])
FOKUS 3 | Agustus 2007 [3]
Ketakutan duduk bersama: catatan tentang bus Patas AC di Jakarta Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://www.karbonjournal.org) FOKUS 3 | Agustus 2007 URL sumber: http://www.karbonjournal.org/focus/ketakutan-duduk-bersama-catatan-tentang-bus-patas-ac-di-jakar ta Links: [1] http://www.karbonjournal.org/sites/default/files/images/thumb/pedje_busac_web.jpg [2] http://tianarief.multiply.com/journal/item/452 [3] http://www.karbonjournal.org/edition/fokus-3-agustus-2007
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)