KETAHANAN KLON KENTANG LIAR (Solanum chacoense) TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) SECARA IN VITRO DAN DI LAPANGAN
AI ELY YULIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRACT AI ELY YULIATI. In vitro and field resistances of wild potato Solanum chacoense clones to the bacterial wilt disease (Ralstonia solanacearum). Under direction of G.A. Wattimena, M. Machmud, and Nurhajati A. Mattjik. Potato is one of the world most important crops after rice, wheat, and maize. One of the major constraints to potato production is yield losses due to bacterial wilt (Ralstonia solanacearum). Planting resistant potato cultivars is an effective measure to control the disease, but resistant potato cultivars are lacking. Genetic resistance to bacterial wilt were found in wild potato species, such as Solanum chacoense. A research was carried out from January to September 2007 with objectives: (1) to find clones of wild potato Solanum chacoense that are resistant to the bacterial wilt, both in vitro and in the field; (2) to obtain an effective inoculation in vitro technique for evaluation of resistance to the disease, and (3) to identify an in vitro technique that give comparable results to that from the field trial. The research activities consisted of an in vitro trial and a field trial. Nineteen S. chacoense clones were evaluated for their resistance to bacterial wilt, and one susceptible potato cultivar Atlantic was used as a susceptible check. In the in vitro trial, two inoculation techniques were evaluated, i. e., the flooding and the leaf clipping techniques. The trial was arranged in a Factorial Experiment using a Completely Randomized Design with three replications. In the field trial, which was carried out in Pasir Sarongge, Cianjur, West Java (+1100 m above sea level), a Randomized Block Design with five replications was used to evaluate resistances of the potato clones. The trial was carried out in a homogenous heavily infested soil. Results of the trials showed that resistances of the 19 S. chacoense clones varied. These were indicated by the incubation period and incidence of the disease of each clones. Two of the clones (Pi230580 no. 01 and 03) were resistant to the disease both in vitro and in the field. Another clone (Pi230580 no. 04) was found resistant to the disease in the evaluation using the flooding technique. Among the clones in the field trial, four clones were moderately resistant, 6 clones were moderately susceptible, and 7 clones were susceptible. Both the flooding and leaf clipping techniques were effective for in vitro evaluation of the potato clones for resistance to the bacterial wilt, and the results was comparable to that from the field trial. The leaf clipping technique is preferably chosen for the in vitro evaluation of potato clones for resistance to bacterial wilt, since it showed results comparable to that of the field trial. Besides, comparing to the flooding technique, the leaf clipping technique was more effective in inoculum spreading and more efficient in time and number of inoculum used. Keywords: resistance to bacterial wilt, Solanum chacoense, in vitro and field trials.
RINGKASAN AI ELY YULIATI. Ketahanan Klon Kentang Liar (Solanum chacoense) terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) secara In Vitro dan di Lapangan. Dibimbing oleh G.A. Wattimena, M. Machmud, dan Nurhajati A. Mattjik. Kentang merupakan tanaman pangan utama dunia setelah padi, terigu, dan jagung. Luas pertanaman kentang di Indonesia pada tahun 2005 adalah 55.110 ha dengan produktivitas rata-rata 16,39 ton/ha. Produktivitas ini masih tergolong rendah dibandingkan dengan potensinya yang dapat mencapai 30 ton/ha. Rendahnya produktivitas ini antara lain disebabkan oleh sulitnya memperoleh bibit kentang bermutu, keterbatasan lokasi tanam yang sesuai serta gangguan hama dan penyakit. Diantara penyakit yang banyak ditemukan pada pertanaman kentang di Indonesia adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum merupakan salah satu penyakit utama tanaman kentang. Penyakit ini dapat menurunkan hasil kentang hingga 80%. Sejak dilaporkan pertama kali oleh Smith pada tahun 1896, penyakit layu bakteri masih menjadi kendala utama produksi kentang di dunia. Salah satu komponen pengendalian terpadu penyakit layu bakteri yang efektif adalah menanam varietas kentang yang tahan serta berproduksi dan berkualitas sesuai dengan kebutuhan konsumen. Namun, sampai saat ini di Indonesia belum tersedia klon kentang yang mempunyai ketahanan tinggi terhadap penyakit layu bakteri. Oleh karena itu, upaya menemukan klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri perlu mendapatkan prioritas dalam pengembangan budidaya kentang. Beberapa spesies kentang liar dilaporkan tahan terhadap penyakit layu bakteri dan telah digunakan sebagai sumber gen ketahanan, di antaranya adalah Solanum chacoense. Klon S. chacoense telah diperbanyak secara klonal dari eksplan kecambah biji secara in vitro dan dikoleksi di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Klon-klon ini belum dan perlu dikonfirmasi ketahanannya terhadap penyakit layu bakteri. Klon yang tahan diharapkan dapat dijadikan kultivar baru atau sebagai sumber gen ketahanan dalam pemuliaan tanaman kentang. Sementara itu kultivar Atlantic, yang diperbanyak dengan umbi, dikenal sebagai kultivar yang rentan terhadap penyakit layu bakteri tetapi banyak dibudidayakan oleh petani. Pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri yang telah dilakukan kebanyakan dilaksanakan di lapangan, sehingga memerlukan waktu yang lama, biaya yang cukup besar dan hasil yang seringkali beragam. Akhir-akhir ini metode evaluasi ketahanan terhadap penyakit layu bakteri mulai dilakukan secara in vitro, karena memiliki beberapa kelebihan, di antaranya biaya relatif murah, jumlah materi yang diuji dapat banyak, waktu lebih cepat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai September 2007 dengan tujuan untuk : (1) mendapatkan metode inokulasi yang efektif dan efisien secara in vitro; (2) mendapatkan klon kentang yang tahan terhadap penyakit layu bakteri dari 19 klon kentang liar S. chacoense, serta (3) mendapatkan metode uji ketahanan klon kentang terhadap penyakit layu bakteri secara in vitro yang hasilnya setara dengan hasil uji di lapangan. Penelitian ini terdiri atas dua kegiatan, yaitu percobaan in vitro dan percobaan di lapangan. Sembilan belas
klon kentang liar S. chacoense diuji ketahanannya terhadap penyakit layu bakteri. Kultivar kentang Atlantic yang rentan terhadap penyakit layu bakteri digunakan sebagai pembanding rentan. Pada percobaan in vitro, 120 botol kultur yang berisi media MurashigeSkoog digunakan sebagai media tumbuh; pada setiap botol ditumbuhkan 10 tanaman (planlet). Inokulum R. solanacearum disiapkan berbentuk suspensi bakteri dalam air steril yang dibuat dari kultur bakteri berumur 48 jam pada medium Sukrose Peptone Agar dan kerapatan inokulum ditetapkan 9x108 sel/ml berdasarkan larutan McFarland no. 3. Pada percobaan ini digunakan dua metode inokulasi, yaitu metode gunting pucuk dan metode siram. Inokulasi dilakukan pada tanaman umur 30 hari. Pada metode gunting pucuk, inokulasi dilakukan dengan cara mencelupkan gunting inokulasi ke dalam suspensi inokulum bakteri setiap kali akan menggunting pucuk tanaman. Sedangkan pada metode inokulasi siram, digunakan 1,0 ml inokulum per botol kultur, kemudian disiramkan pada perakaran tanaman. Percobaan faktorial dalam penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah 19 klon kentang liar S. chacoense yang terdiri atas 11 nomor (Pi175415) dan 8 nomor (Pi230580), serta satu kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan. Faktor kedua adalah metode inokulasi yang terdiri atas dua metode yaitu metode gunting pucuk dan metode siram. Peubah yang diamati adalah periode inkubasi (hari) dan kejadian penyakit (%). Periode inkubasi diamati mulai dari 1 hari setelah inokulasi sampai timbul gejala awal layu bakteri. Kejadian penyakit diamati dengan menghitung persentase jumlah tanaman yang bergejala penyakit dilakukan setiap hari mulai saat tanaman berumur satu hari sampai 21 hari setelah inokulasi.. Percobaan lapangan dilakukan di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur, pada lahan yang terdiri dari lima blok yang telah diinfestasikan bakteri R. solanacearum secara merata dengan populasi 8.5 x 105 sel/ml. Selanjutnya, lahan percobaan ditanami dengan 19 klon kentang yang diuji dan satu kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan. Pada setiap blok dibuat 20 petakan, masing-masing berukuran 3 m x 0.5 m. Pada setiap petakan dibuat 10 lubang tanam dengan jarak antar lubang adalah 30 cm. Jarak antar lubang dari petakan yang berbeda adalah 50 cm. Setiap petakan diberi 3 kg pupuk kandang. Percobaan ini menggunakan 1000 tanaman uji. Penempatan tanaman dari klon yang berbeda pada masing-masing petakan dalam satu blok dilakukan secara acak. Setiap petakan ditanami 10 tanaman dari klon yang sama. Dengan demikian pada setiap blok terdapat 19 klon dan satu kultivar yang berbeda. Hasil percobaan in vitro menunjukkan bahwa reaksi ketahanan klon-klon S. chacoense terhadap penyakit layu bakteri, baik yang diinokulasi dengan menggunakan metode gunting pucuk maupun dengan metode siram, beragam mulai dari rentan hingga tahan. Pada pengujian dengan metode gunting pucuk diperoleh dua klon yang tahan (Pi230580 no. 03 dan 01), sedangkan pada pengujian dengan metode siram diperoleh tiga klon tahan (Pi230580 no. 03, 01, dan 04). Periode inkubasi dan kejadian penyakit layu bakteri pada klon-klon yang diinokulasi dengan metode gunting pucuk dan metode siram juga beragam. Untuk metode inokulasi gunting pucuk periode inkubasi mulai dari 2.3 – 9.0 hari setelah inokulasi, dengan kejadian penyakit antara 17 – 100%. Sementara itu, pada metode inokulasi siram periode inkubasi mulai dari 6.0 – 11.7 hari setelah inokulasi, dengan kejadian penyakit antara 10 – 90%. Rata-rata periode inkubasi pada klon-klon yang diinokulasi dengan metode inokulasi gunting pucuk adalah 5.4 hari, sedangkan rata-rata periode inkubasi pada klon yang diinokulasi dengan metode siram selama 8.2 hari atau tiga hari lebih lama. Rata-rata kejadian penyakit pada klon-klon yang diinokulasi dengan
metode gunting pucuk adalah 59,1%, sedangkan rata-rata kejadian penyakit pada klon-klon yang diinokulasi dengan metode siram adalah 49.1% atau 10% lebih rendah. Pada metode siram, tanaman tidak dilukai seperti pada metode gunting pucuk, sehingga patogen memerlukan waktu lebih lama untuk masuk ke dalam tanaman, karena bakteri hanya dapat masuk melalui luka atau lubang alami seperti stomata dan lentisel. Pada tanaman yang diinokulasi dengan metode siram, gejala awal penyakit diawali dengan tumbuhnya koloni bakteri di sekitar pangkal tanaman, sehingga warnanya berubah menjadi kecoklatan. Selanjutnya, pada klon yang rentan, infeksi bakteri mengakibatkan daun pada bagian bawah tanaman menguning, tanaman menjadi layu, dan akhirnya mati. Pada tanaman yang diinokulasi dengan metode gunting pucuk, gejala penyakit diawali dengan munculnya warna coklat kehitaman pada bagian daun yang digunting. Pada klon yang rentan, gajala ini juga terus berkembang, sehingga seluruh daun dan batang tanaman menjadi layu, batang membusuk, dan tanaman mati. Pada pengujian di lapangan, ketahanan klon-klon S. chacoense yang diuji juga menunjukkan reaksi ketahanan yang beragam mulai dari rentan hingga tahan. Dua klon (Pi230580 nomor 03 dan 01) bereaksi tahan, sama dengan jumlah dan nomor klon tahan pada hasil pengujian in vitro dengan metode gunting pucuk. Gejala awal penyakit layu bakteri di lapangan dimulai dari pucuk daun yang mengalami kelayuan dan berwarna hijau keabu-abuan. Selanjutnya, pada tanaman yang rentan, daun-daun tanaman yang terinfeksi berubah warna menjadi kuning sampai kecoklatan, layu, mengering, dan akhirnya tanaman mati. Kejadian penyakit layu bakteri pada klon-klon kentang yang diuji juga beragam antara 18 - 98%. Kejadian penyakit ini berpengaruh terhadap jumlah dan bobot umbi kentang yang dihasilkan, semakin tinggi kejadian penyakit, semakin rendah jumlah dan bobot umbi per petak, serta semakin tinggi persentase umbi yang terinfeksi R. solanacearum. Umbi yang terinfeksi dapat menunjukkan gejala busuk atau tidak bergejala (infeksi laten). Perbandingan hasil uji ketahanan klon kentang secara in vitro baik menggunakan metode inokulasi gunting pucuk maupun dengan metode siram dengan uji ketahanan di lapangan menunjukkan korelasi positif yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa hasil uji dengan menggunakan kedua metode inokulasi tersebut mendekati kesetaraan (setara) dengan hasil uji di lapangan. Dengan kata lain, pengujian ketahanan klon kentang secara in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting pucuk dan metode siram dapat mewakili pengujian ketahanan di lapangan. Namun demikian, hasil uji menggunakan metode gunting pucuk menunjukkan koefisien korelasi (r) = 0.9114 yang relatif lebih tinggi daripada hasil pada metode siram dengan koefisien korelasi (r) = 0.8979. Hal ini menunjukkan bahwa hasil uji dengan metode gunting pucuk lebih mendekati kesetaraan dengan hasil uji di lapangan. Metode uji ketahanan in vitro dengan metode gunting pucuk lebih disukai, karena metode ini lebih efektif dan efisien, efektif dalam hal hasil inokulasi dan efisien dalam hal waktu dan jumlah inokulum yang dibutuhkan. Kata kunci: ketahanan terhadap penyakit layu bakteri, Solanum chacoense, percobaan in vitro dan percobaan di lapangan.
KETAHANAN KLON KENTANG LIAR (Solanum chacoense) TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) SECARA IN VITRO DAN DI LAPANGAN
AI ELY YULIATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.
Judul Tesis Nama NIM
: Ketahanan Klon Kentang Liar (Solanum chacoense) Terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Secara In Vitro dan di Lapangan : Ai Ely Yuliati : A151060121
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. G.A. Wattimena, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. M. Machmud, M.Sc., APU Anggota
Prof. Dr. Ir. Nurhajati A. Mattjik, M.S. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 18 Februari 2008
Tanggal Lulus :
PRAKATA Tesis ini, berjudul “Ketahanan Klon Kentang Liar (Solanum chacoense) Terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Secara In vitro dan di Lapangan” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, di
Laboratorium
Fitopatologi,
Balai
Besar
Penelitian
Bioteknologi
dan
Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor dan di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: Prof. Dr. Ir. G.A.Wattimena, M.Sc., selaku Ketua Komisi Pembimbing, Dr. Ir. Muhammad Machmud, M.Sc., APU, dan Prof. Dr. Ir. Nurhajati
A.
Mattjik, MS., masing-
masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan, nasehat serta saran, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam melakukan penelitian, baik di laboratorium maupun di lapangan, serta teman sejawat yang telah banyak memberikan saran dalam penyelesaian tesis ini. Dukungan dan pengertian dari suami dan anak-anak tercinta merupakan modal utama dalam membangun semangat belajar selama penyelesaian studi pascasarjana ini. Semoga karya kecil ini bermanfaat dalam menunjang usaha peningkatan penyediaan pangan bagi umat manusia. Bogor, Desember 2007 Ai Ely Yuliati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 18 Februari 1969 dari ayah T.M. Sumantri dan ibu Djuarsih.
Penulis merupakan putri kedua dari empat
bersaudara. Tahun 1988, penulis lulus dari Sekolah Pembangunan Pertanian, Cianjur. Pada tahun 1989 penulis melanjutkan pendidikan pada Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Djuanda, Bogor. Penulis memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis menikah dan dikarunia dua orang putri Nyayu Azliani dan Nyayu Azlisani. Pada tahun 2006 penulis mulai mengikuti pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Agronomi, Institut Pertanian Bogor, dengan biaya sendiri. Penulis mendapatkan gelar Magister Sains dalam bidang Agronomi dari Institut Pertanian Bogor pada bulan Februari 2008.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………...........……………………....
xii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………...........…
xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….........…
xv
PENDAHULUAN ……………………………………………............. Latar Belakang ……………………………………...................... Tujuan Penelitian ……………………………………................... Hipotesis ……………………………………….............................
1 1 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………........… Botani Tanaman Kentang ……………………...…………........ Penyakit Layu Bakteri ………………………...………….......… Ciri-ciri Bakteri R. solanacearum ............................................. Gejala Serangan ……………………………..............…........... Penyebaran Patogen …………………………………...........…. Ketahanan Tanaman Kentang terhadap R. solanacearum ...... Pengujian Ketahanan secara In vitro………………….....…......
4 4 5 5 7 7 8 10
METODE PENELITIAN ...... … ……………………………….....…. Tempat dan Waktu ………… …………..……………………....... Bahan dan Alat ……………………..……………………............ Pengujian Secara In Vitro …………………………...……........... Pengujian di Lapangan ...………………………………………...
12 12 12 13 19
HASIL ................................. ……………………....…........................... Pengujian Ketahanan Secara in vitro ......……… ...…….....….. Periode Inkubasi .......……………………………................ Kejadian Penyakit dan Ketahanan Tanaman ................... Pengujian Ketahanan di Lapangan ...………………………...... Periode Inkubasi…………………………………................. Kejadian Penyakit dan Ketahanan Tanaman …................ Korelasi antara Pengujian In Vitro dan di Lapangan ........ Morfologi Tanaman Kentang ............................................. Pengaruh Kejadian Penyakit terhadap Umbi.....................
26 26 26 27 30 30 33 34 36 38
PEMBAHASAN ..................................................................................
43
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………….....................
49
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………................
50
LAMPIRAN ……………………………………………….……..…..…….
55
DAFTAR TABEL Halaman 1 Ciri-ciri isolat R. solanacearum dalam Biovar berdasarkan kemampuannya menggunakan senyawa karbohidrat (He et al., 1983) ………………………………………………….………………..
7
2 Kesamaan dan perbedaan ketahanan terhadap hama dan penyakit antara klon S. chacoense Pi230580 dan S. chacoense Pi175415 ………….………………........................………....……….
10
3 Jumlah sel bakteri menurut skala Mc Farland (Klement et al., 1990) ……………………………………………………………….……
17
4 Tingkat ketahanan klon kentang terhadap R. solanacearum (Valdez, 1985) ……………………..…..…………………………..…..
19
5 Periode inkubasi penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting dan siram ………..……..
26
6 Kejadian penyakit layu bakteri pada 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting dan siram …………………………………
28
7 Periode inkubasi penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan.. ………..……….
31
8 Kejadian penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan.………………………
33
9 Jumlah, bobot, dan umbi terinfeksi per petak pada berbagai tingkat ketahanan dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada pengujian di lapangan ………………...……….………
39
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Tanaman kentang mati dan potongan batang kentang di dalam tabung reaksi yang diambil dari Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur ..……………………………..…………………….
14
2 Sel bakteri R. solanacearum berbentuk batang dengan ukuran bervariasi …………………………………………..…………………..
15
3 Koloni bakteri R. solanacearum virulen yang ditumbuhkan pada media TZC (Triphenyltetrazolium Chloride) ……………………….
15
4 Koloni bakteri R. solanacearum avirulen yang ditumbuhkan pada media TZC (Triphenyltetrazolium Chloride) …………………
16
5 Eksplan yang ditumbuhkan pada media MS dan diregenerasi menjadi planlet ..............................................................................
20
6 Planlet yang ditumbuhkan pada media arang sekam ...................
21
7 Stek mini berumur satu minggu di rumah kasa Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur ………………………………………..
22
8 Stek mini berumur tiga minggu yang siap dipindahkan ke lapangan di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur .......
22
9 Contoh tanaman uji berumur 14 hari setelah inokulasi pada percobaan in vitro .……….…………………………………..…..…..
27
10 Hubungan antara periode inkubasi dan kejadian penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic dengan metode inokulasi gunting …………………………………………….
29
11 Hubungan antara periode inkubasi dan kejadian penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic dengan metode inokulasi siram ….……………………..………………..…..
30
12 Contoh tanaman uji yang bergejala penyakit layu bakteri berumur 10 minggu di lapangan .………………….………………..
31
13 Contoh potongan batang tanaman kentang yang sakit di dalam tabung reaksi yang mengeluarkan aliran massa bakteri seperti asap …………………………………………………………………….
32
14 Hubungan antara periode inkubasi dan kejadian penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan ………….……………………………………
34
15 Hubungan antara kejadian penyakit dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic secara in vitro dengan metode gunting dan di lapangan ....................................................................................
35
16 Hubungan antara kejadian penyakit dari 19 klon S. chacoense
35
dan kultivar Atlantic secara in vitro dengan metode siram dan di lapangan ……………..................................................................... 17 Tanaman S. chacoense berumur 8 minggu dengan daun berbentuk eliptik dan tepi tak bergelombang, di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur …………………………..
37
18 Tanaman S. chacoense berumur 8 minggu dengan bunga berwarna putih dan anther berwarna kuning, di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Cianjur …………………………..
38
19 Hubungan antara kejadian penyakit layu bakteri dan jumlah umbi per petak dari 19 klon S. chacoense pada percobaan di lapangan ..……………………………………………………….…..…
40
20 Hubungan antara kejadian penyakit layu bakteri dan bobot umbi per petak dari 19 klon S. chacoense pada percobaan di lapangan …………………………………….…………………………
40
21 Hubungan antara kejadian penyakit layu bakteri dan umbi terinfeksi dari 19 klon S. chacoense pada percobaan di lapangan ……………..……………………………….……………….
41
22 Contoh umbi klon S. chacoense yang ukurannya lebih kecil dari umbi kultivar Atlantic ………………………………………………..
42
23 Contoh umbi klon S. chacoense yang terinfeksi penyakit layu bakteri dan umbi sehat …..…………..………………………….…..
42
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Komposisi Media Murashige dan Skoog …………..…………
56
2 Komposisi Media Sukrose Pepton Agar (SPA) ………………
56
3 Komposisi Media Triphenyltetrazolium Chloride (TZC)……..
56
4 Denah lahan percobaan di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge. ……………………………………………………….
57
5 Daftar sidik ragam periode inkubasi dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro……
58
6 Daftar sidik ragam kejadian penyakit dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro …..
58
7 Daftar sidik ragam periode inkubasi dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan ………………………………………………………….
58
8 Daftar sidik ragam kejadian penyakit dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan ………………………………………………………….
58
9 Morfologi Tanaman Kentang Koln S. chacoense dan kultivar Atlantic ...................................................................................
59
PENDAHULUAN Latar Belakang Kentang merupakan tanaman pangan utama dunia setelah padi, gandum, dan jagung. Kentang mampu memenuhi kebutuhan pangan dan kecukupan gizi masyarakat karena umbi kentang mengandung protein, vitamin B dan vitamin C, serta mineral, fosfor, magnesium dan kalium (International Potato Center, 1984). Kentang merupakan salah satu komoditi sayuran yang cukup penting dan mendapat prioritas untuk dikembangkan selain beberapa tanaman seperti bawang merah, bawang putih, kacang panjang, tomat dan cabai (Asian Vegetable Research and Development Centre, 1991). Wattimena (1992) menyatakan bahwa kentang adalah komoditi penting bagi Indonesia karena merupakan: (1) tanaman yang menjadi sumber uang bagi petani (cash crop), (2) komoditas ekspor non migas yang menghasilkan devisa bagi negara, (3) salah satu makanan siap saji (fast food) yang banyak digemari masyarakat perkotaan dan (4) makanan bernilai gizi tinggi dan lengkap yang dapat digunakan sebagai pangan alternatif disamping beras. Kebutuhan akan kentang dari tahun ke tahun cenderung meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Kahar (1996) menyatakan bahwa pesatnya peningkatan kebutuhan kentang dipicu oleh semakin meningkatnya industri-industri makanan kecil, misalnya keripik kentang (potato chips). Salah satu kendala yang dihadapi Indonesia adalah produktivitas kentangnya masih rendah dibandingkan dengan negara penghasil kentang lainnya, yaitu rata-rata 16,39 ton/ha, meskipun menurut hasil penelitian potensi produksinya bisa mencapai 30 ton/ha (Badan Pusat Statistik, 2005). Sementara negara lain seperti Amerika Serikat produktivitas kentangnya sekitar 38 ton/ha, Selandia Baru 35 ton/ha, Jepang 33 ton/ha dan Belanda 37 ton/ha. Rendahnya produktivitas ini antara lain disebabkan oleh sulitnya memperoleh bibit kentang bermutu, keterbatasan lokasi pertanaman yang sesuai serta gangguan hama dan penyakit.
Salah satu penyakit yang banyak
ditemukan pada pertanaman kentang di Indonesia adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum Yabuuchi, et al. (1995). Sejak
dilaporkan pertama kali oleh Smith pada tahun 1896, penyakit layu bakteri masih menjadi kendala utama produksi kentang di dunia (Sequeira 1992). Di Indonesia penyakit layu bakteri terutama dijumpai di seluruh sentra produksi kentang di Pulau Jawa, dapat menyebabkan kematian tanaman kentang 10 - 30%, bahkan dapat menurunkan hasil lebih dari 50% (Hutagalung, 1985). Menurut Wattimena, (1994) penyakit ini dapat menurunkan hasil kentang hingga 80%. Kematian awal dan penurunan hasil panen kentang yang disebabkan oleh R. solanacearum, dipandang dari segi ekonomi sangat merugikan dan dapat menyebabkan penurunan pendapatan petani. Salah satu komponen pengendalian terpadu penyakit layu bakteri yang efektif adalah menanam varietas kentang yang tahan serta berproduksi dan berkualitas sesuai dengan kebutuhan konsumen.
Namun, sampai saat ini di
Indonesia belum tersedia klon kentang yang mempunyai ketahanan tinggi terhadap
penyakit
layu
bakteri
(Sahat
&
Sulaeman,
1990).
Dalam
pengembangan budidaya kentang, upaya menemukan klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri perlu mendapatkan prioritas. Beberapa spesies kentang liar dilaporkan tahan terhadap penyakit layu bakteri dan telah digunakan sebagai sumber gen ketahanan, di antaranya adalah Solanum chacoense (International Potato Center, 1984). Berdasarkan tingkat ploidinya klon S. chacoense ini termasuk spesies diploid (2n=2x=24). Klon S. chacoense telah dikembangkan dan dikoleksi secara in vitro dalam bentuk biji di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat Penelitian Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. Klon-klon ini belum dan perlu dikonfirmasi ketahanannya terhadap penyakit layu bakteri. Klon yang tahan diharapkan dapat dijadikan kultivar baru atau sebagai sumber gen ketahanan dalam pemuliaan kentang. Pengujian
ketahanan
penyakit
layu
bakteri
yang
telah
dilakukan
kebanyakan dilaksanakan di lapangan, sehingga memerlukan waktu lama, biaya yang cukup besar dan hasil yang seringkali beragam. Akhir-akhir ini metode evaluasi ketahanan penyakit mulai dilakukan secara in vitro, karena memiliki beberapa kelebihan, di antaranya biaya relatif murah, jumlah materi yang diuji dapat banyak, waktu lebih cepat (Palupi, 2001; Samanhudi, 2001 ).
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1)
Mendapatkan metode inokulasi yang efektif dan efisien secara in vitro
(2)
Mendapatkan klon kentang yang tahan terhadap penyakit layu bakteri dari 19 klon kentang liar S. chacoense
(3)
Mencari metode percobaan ketahanan klon kentang terhadap penyakit layu bakteri secara in vitro yang hasilnya setara dengan hasil pada percobaan di lapangan
Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : (1)
Metode inokulasi gunting lebih efektif dan efisien daripada metode inokulasi siram dalam menginfeksi tanaman kentang pada percobaan in vitro
(2)
Dari 19 klon kentang S. chacoense yang diseleksi akan ditemukan satu atau beberapa klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum)
(3)
Hasil pengujian ketahanan klon kentang terhadap penyakit layu bakteri secara in vitro setara (comparable) dengan hasil pengujian di lapangan
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Kentang Kentang berasal dari dataran tinggi Andean, Amerika Selatan. Pada tahun 1794 kentang telah dibudidayakan di sekitar Cisarua, Bandung. Baru pada tahun 1811, kentang
tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah
pegunungan di Aceh, Tanah Karo, Padang, Bengkulu, Sumatera Selatan, Minahasa, Bali dan Flores.
Di Jawa, kentang banyak terdapat di daerah
Pengalengan, Lembang dan Pacet (Jawa Barat), Wonosobo dan Tawangmangu (Jawa Tengah), Batu, Dieng dan Tengger (Jawa Timur). Kentang yang dibudidayakan terdiri dari beberapa spesies yang meliputi kurang lebih 150 spesies yang berumbi. Tanaman tersebut termasuk famili Solanaceae, genus Solanum,
subgenus
Pachystemonum,
seksi
Tuberarium,
subseksi
Hyperbasarthrum (Hooker, 1990; Permadi, 1989). Kentang merupakan tanaman herba semusim dengan tipe biji berkeping dua.
Tinggi tanaman dapat mencapai 0.3 - 1 meter, batangnya agak lunak,
berbulu dan bercabang, akarnya merupakan akar adventif.
Pada awal
pertumbuhannya batang tanaman kentang tegak, kemudian menyebar dan rebah di atas tanah. Bentuk batang bulat sampai persegi tiga atau empat dengan warna hijau kemerah-merahan atau keungu-unguan. Sedangkan daun berwarna hijau, berbentuk delta sampai lonjong, berpasangan di sebelah kiri dan kanan tangkai membentuk rangkaian yang berakhir dengan daun tunggal pada ujungnya (Ashari, 1995). Bunga kentang
mempunyai dua jenis kelamin (bunga sempurna).
Mahkotanya berwarna putih, merah, ungu atau biru tergantung varietasnya dan berbentuk terompet yang ujungnya seperti bintang (Smith, 1977). Terdapat lima benang sari yang berwarna kuning melingkari tangkai putiknya, bersifat protogeni yakni putiknya lebih cepat masak daripada tepung sarinya, hal ini menyebabkan terjadinya penyerbukan silang dan tidak memiliki kelenjar madu. Buah kentang berwarna hijau tua sampai keunguan, berbentuk bulat dan berongga dua, dengan biji berwarna krem dan berukuran kecil (0.5 mm). Pada bagian batang yang terletak di bawah permukaan tanah terdapat daun-daun kecil seperti sisik. Pada ketiak daun ini terdapat tunas ketiak yang tumbuh menjulur secara diageotropik. Tunas ketiak ini disebut stolon. Umbi kentang terbentuk
sebagai pembesaran bagian ujung stolon dan berfungsi sebagai tempat cadangan makanan. Umbi tersebut memiliki banyak mata tunas. Bentuk umbi bulat, lonjong dan berkulit tipis. Warna umbi putih, merah agak ungu dan kuning sesuai varietasnya dan umumnya umbi dipakai sebagai bahan perbanyakan tanaman (Soewito, 1991).
Penyakit Layu Bakteri Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, dilaporkan pertama kali oleh E.F. Smith pada tahun 1896 (Kelman et al., 1994). Bakteri ini sebelumnya dikenal dengan nama Bacillus solanacearum E.F. Smith, Bacterium solanacearum Chester, Bacillus nicotianae Uyeda, Bacillus musae Rorer, Bacillus musarum Zeman, Phytomonas solanacearum E.F. Smith, Erwinia nicotiana Uyeda atau Xanthomonas solanacearum E.F. Smith dan Pseudomonas solanacearum E.F. Smith (Kelman, 1953; Mehan et al., 1994). Yabuuchi et al., (1995)
kemudian
merevisi
nama
bakteri
tersebut
menjadi
Ralstonia
solanacearum. Layu bakteri merupakan penyakit penting pada famili Solanaceae terutama pada tanaman kentang, tomat, terung, lada, jahe, cabai, kacang tanah, pisang dan tembakau.
Bakteri ini merupakan penyebab penyakit yang mempunyai
sebaran yang luas di daerah tropis dan sub-tropis (Asandhi, 1996).
Ciri-ciri R. solanacearum Bakteri R. solanacearum mempunyai ciri-ciri berbentuk batang, bersifat gram negatif, dan tidak
membentuk spora. Ukuran sel bakteri ini bervariasi
sekitar (0.5 - 1.0) x (1.5 - 4.0)
m, tergantung pada kondisi pertumbuhan.
Bentuk koloni bakteri bervariasi dari tidak tembus cahaya sampai bintik-bintik kecil. Dalam media padat, koloni bakteri berwarna coklat keruh, tidak beraturan, halus, bercahaya, kebasah-basahan dan berdiameter 3 - 5
m (Kelman, 1953).
Pada media biakan, R. solanacearum cenderung membentuk koloni tidak virulen atau tingkat virulensinya rendah. Koloni yang virulen dan tidak virulen dapat
dideteksi
dengan
menumbuhkan
Triphenyltetrazolium Chloride (TZC). dengan
isolat
bakteri
pada
medium
Koloni bakteri virulen berwarna putih
pusat berwarna merah muda, dan bentuknya bulat tidak beraturan,
sedangkan yang tidak virulen koloni bakterinya berbentuk bulat kecil dengan pusat berwarna merah tua.
Pada media cair, bakteri virulen biasanya tidak
bergerak, sedangkan bakteri yang tidak virulen aktif bergerak (Hooker, 1983; 1990). Klasifikasi R. solanacearum dibagi dalam dua sistem, yaitu sistem Ras dan sistem Biovar. Sistem pengelompokan Ras didasarkan pada perbedaan kisaran tanaman inang dari patogen pada kondisi di lapangan (Hayward, 1964 dan 1986; He et al., 1983; Martin dan French, 1996).
Berdasarkan sistem Ras, R.
solanacearum dikelompokkan menjadi lima Ras, yaitu: Ras 1, mempunyai kisaran tanaman inang yang sangat luas, menyerang kentang, tomat, cabai, tembakau, kacang tanah dan gulma, terjadi terutama di daerah dataran rendah tropis dan sub tropis dan termasuk Biovar 1, 3 dan 4;
Ras 2, menyerang
tanaman famili Musaceae, contoh pisang dan Heliconia spp., yang pada awalnya terbatas ditemukan di daerah tropis Amerika, namun saat ini telah menyebar ke Asia, dan termasuk Biovar 1 dan 3;
Ras 3, terutama menyerang tanaman
kentang dan tomat di daerah dataran tinggi, dan termasuk Biovar 2; Ras 4, menyerang tanaman jahe, ditemukan terutama di Filipina dan termasuk Biovar 3 dan 4; dan Ras 5, menyerang murbei di Cina dan termasuk Biovar 5. Sistem Biovar didasarkan pada karakteristik biokimia, yaitu kemampuan bakteri menggunakan atau menghidrolisis tiga disakarida (selobiosa, laktosa dan maltosa) dan tiga alkohol heksosa (dulsitol, mannitol dan sorbitol). Sistem ini membedakan isolat R. Solanacearum menjadi lima Biovar (Hayward, 1964 dan 1986; He et al., 1983) (Tabel 1). Isolat Biovar 1 tidak menggunakan semua senyawa karbohidrat. Isolat Biovar 2 menghidrolisis tiga disakarida, tetapi tidak menghidrolisis alkhol heksosa. senyawa karbohidrat.
Isolat Biovar 3 dapat menghidrolisis semua
Isolat Biovar 4 hanya menggunakan alkohol heksosa,
tetapi tidak menghidrolisis disakarida. semua
Isolat Biovar 5 dapat menghidrolisis
senyawa disakarida dan alkohol heksosa
manitol, tetapi tidak
menggunakan sorbitol dan dulsitol. Hayward (1991) menyatakan bahwa biovar 1 dominan ditemukan di Amerika Serikat, sedangkan Biovar 3 ditemukan di Asia.
Biovar 2, 3 dan 4
ditemukan di Australia, Cina (bersama-sama ras 5), India, Indonesia, Papua New Guinea dan Srilanka. Sedangkan di Filipina ditemukan Biovar 1 sampai 4. Hubungan antara Ras dan Biovar belum banyak diketahui, namun demikian Hayward (1991) menyatakan bahwa Ras 3 identik dengan Biovar 2.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Machmud (1986) diketahui bahwa R. solanacearum yang ditemukan di Indonesia adalah Ras 1 dan Ras 3, atau berdasarkan sistem biotipe tergolong Biovar 2, 3 dan 4. Tabel 1. Ciri-ciri Biovar R. Solanacearum yang dikelompokan berdasarkan kemampuannya menggunakan senyawa karbohidrat (Hayward, 1964 dan 1986; He et al., 1983 ; Martin dan French, 1996). Senyawa Karbohidrat
Biovar 1
2
3
4
5
-
+
+
-
+
Laktosa
-
+
+
-
+
Maltosa
-
+
+
-
+
Alkohol
Manitol
-
-
+
+
+
heksosa
Sorbitol
-
-
+
+
-
Dulsitol
-
-
+
+
-
disakarida Selubiosa
Keterangan : + (reaksi positif/tumbuh); - (reaksi negatif/tidak tumbuh)
Gejala Serangan Gejala serangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum dapat terlihat pada semua fase pertumbuhan tanaman kentang (Martin dan French, 1996). Pada kebanyakan tanaman, biasanya gejala yang ditimbulkan penyakit layu pertama kali terlihat pada tanaman yang berumur 30 hari, daun-daun menjadi layu pada salah satu atau beberapa daun saja atau kelayuan mendadak pada seluruh tanaman. biasanya layu semua.
Dalam satu rumpun batang
Daun-daun layu berwarna suram sampai pucat, dan
akhirnya berubah menjadi coklat tanpa diikuti oleh penggulungan daun. Kelayuan yang hebat disertai robohnya batang lebih sering terjadi pada tanaman muda dan dari varietas-varietas yang rentan.
Penyebaran Patogen Sumber utama penyebaran bakteri R. solanacearum di lapangan adalah umbi bibit yang terinfeksi secara laten, dan melalui tanah yang terinfestasi (Semangun, 1989). Penyebaran bakteri jarak dekat dapat melalui kontak antara
akar yang satu dengan akar lainnya, alat-alat yang digunakan saat penanaman, dan air irigasi ataupun percikan air hujan. Sedangkan penyebaran jarak jauh dapat melalui umbi, serangga dan bahan perbanyakan vegetatif yang terinfeksi secara laten. Hal ini dapat berlangsung dalam waktu yang relatif lama, bahkan sampai beberapa tahun (Semangun, 1989). Bakteri R. solanacearum umumnya masuk ke dalam tanaman melalui luka yang terjadi pada waktu bercocok tanam atau melalui pertumbuhan akar sekunder.
Akar-akar tanaman yang luka, oleh nematoda atau luka mekanik
selama bercocok tanam atau lubang-lubang alamiah merupakan tempat masuknya patogen ke jaringan tanaman sehingga cocok untuk kolonisasi bakteri (Kelman, 1953). Perkembangan penyakit layu bakteri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor lingkungan, tanaman, dan mikroorganisme tanah. Faktor yang sangat penting peranannya dalam perkembangan bakteri adalah suhu. Kelman (1953) mengemukakan bahwa suhu memegang peranan penting dalam distribusi patogen.
Suhu optimum untuk perkembangan bakteri layu
adalah 27 - 37oC, sedangkan pada suhu 15oC penyakit ini tidak berkembang dan kondisi tanah yang kering sangat tidak sesuai untuk perkembangan penyakit. French (1986) melaporkan bahwa strain R. solanacearum Ras 3 Biovar 2 menyebabkan kerusakan yang berat pada tanaman kentang yang ditanam di daerah yang suhunya lebih rendah. Kelembaban dan suhu tanah juga dapat mempengaruhi kemampuan bertahannya hidup bakteri.
Penelitian yang dilakukan oleh Akiew (1985)
menunjukkan bahwa populasi R. solanacearum menurun tajam pada suhu tanah yang tinggi serta kelembaban tanah yang rendah. Sebaliknya pada kelembaban tanah yang tinggi dan suhu tanah yang rendah, bakteri tersebut menunjukkan kemampuan bertahan hidup untuk waktu yang relatif lama di dalam tanah.
Ketahanan Tanaman Kentang Terhadap R. solanacearum Pemuliaan ketahanan kentang terhadap layu bakteri baru dimulai sekitar tahun 1967 di Wisconsin, USA (Schmiediche, 1984). Tahun 1972, Rowe dan Sequeira mulai mengadakan persilangan antara beberapa klon
tahan yang
berasal dari spesies diploid S. phureja dengan S. tuberosum. Pada tahun 1976 telah diperoleh 369 klon yang menunjukkan ketahanan yang tinggi. Klon-klon ini
kemudian dikirimkan ke beberapa negara, diantaranya ke Peru, Fiji dan Indonesia.
Di Peru, dua klon telah menjadi varietas unggul, yaitu Caxmarca
(BR.63.74) dan Molinera (Br. 63.69), sedangkan di Fiji adalah Amapola yaitu klon BR 69.84 (Herrera, 1977). Pemuliaan tanaman kentang dapat dilakukan dengan cara persilangan baik persilangan antar varietas (Atlantic X Granola) maupun persilangan antar spesies (S. tuberosum X S. phureja). Persilangan-persilangan tersebut terutama ditujukan untuk mencari turunan yang berproduksi dan berkualitas, serta tahan terhadap hama dan penyakit. Juga dengan cara mendatangkan bahan-bahan pemuliaan dari luar negeri (introduksi) berupa varietas-varietas unggul, klon-klon hasil silangan atau berupa biji-biji hasil silangan. Pemuliaan tanaman kentang bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul, yang berproduksi dan tahan terhadap penyakit. Menurut Sahat (1984), varietas dikatakan unggul jika mempunyai daya hasil tinggi, tahan terhadap penyakit, kualitas hasil baik, berpenampilan baik (warna, bentuk, kedalaman dan jumlah mata) serta mempunyai daya adaptasi lingkungan yang luas. Tanaman pada dasarnya akan memberikan reaksi tertentu terhadap setiap faktor luar, termasuk infeksi oleh patogen.
Ketahanan tanaman terhadap
patogen dapat dibedakan sebagai ketahanan horizontal dan ketahanan vertikal. Ketahanan horizontal adalah ketahanan yang dikendalikan oleh banyak gen atau disebut ketahanan poligenik, bersifat lemah tetapi efektif mengatasi semua ras dari satu spesies patogen. Gen-gen yang tercakup dalam ketahanan horizontal ini
memberi
pengaruh
terhadap
patogen
dengan
cara
memperlambat
perkembangan infeksi patogen dan menurunkan penyebaran penyakit dan perkembangan epidemik di lapangan. Ketahanan vertikal adalah ketahanan yang dikendalikan oleh satu atau beberapa gen saja atau disebut ketahanan monogenik, bersifat kuat tetapi hanya terbatas pada ras tertentu saja. Gen-gen yang terlibat pada ketahanan vertikal dapat menyebabkan interaksi inang dan patogen tidak cocok, sehingga patogen tidak dapat bertahan dan memperbanyak diri dalam tanaman inang. Dapat menghambat penyerangan awal patogen dan menghambat perkembangan epidemik dengan membatasi jumlah inokulum awal. Diantara klon kentang liar, S. chacoense dilaporkan tahan terhadap beberapa penyakit, antara lain layu bakteri (Ralstonia solanacearum), blackleg (Erwinia carotovora), Potato Virus X (PVX), dan Potato Virus Y (PVY) (Hawkes,
1994). Menurut Bamberg et al. (1994), saat ini telah diketahui beberapa kesamaan dan perbedaan ketahanan terhadap hama dan penyakit antara klon kentang S. chacoense Pi230580 dan S. chacoense Pi175415 (Tabel 2). Tabel 2.
No. 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7.
Kesamaan dan perbedaan ketahanan terhadap hama dan penyakit antara klon S. chacoense Pi230580 dan S. chacoense Pi175415 (Bamberg et al. 1994) Kesamaan
Perbedaan Klon S. chacoense Klon S. chacoense Pi230580 Pi175415 Bacterial Wilt / Layu Potato Virus A Potato Leaf Roll Bakteri (Ralstonia Virus (PLRV) solanacearum) Blackleg / Busuk Lunak Potato Virus F Potato Virus Y (Erwinia caratovora) Northern Root-Knot Potato Virus M Nematode (Meloidogyne hapla) Colorado Potato Beetle Potato Virus X (Leptinotarsa decemlineata)
Tarnish Plant Bug
Potato Leaf Hopper Verticillium Wilt (Empoasca fabae) (Jamur Verticillium ssp.) Ringrot (Corynebacterium sepedonicum) Green Peach Aphid (Myzus persicae)
Pengujian Ketahanan secara In vitro Pengujian ketahananan tanaman kentang terhadap penyakit layu bakteri secara in vitro merupakan metode pengujian yang mudah dilakukan. Kelebihan dari cara pengujian ini antara lain tidak memerlukan lahan yang luas, waktu yang diperlukan lebih singkat dan hasil seleksi dapat diulangi di rumah kaca atau di rumah plastik sementara patogen yang digunakan menyebar terbatas di laboratorium. Metode ini mudah dikerjakan dan telah dipelajari pada beberapa tanaman dalam program pemuliaan tanaman untuk mendapatkan sifat ketahanan terhadap penyakit.
Fock et al. (2000) melakukan seleksi secara in vitro terhadap klon-klon kentang hasil fusi protoplas antara BF15 (2x) dengan S. Phureja (2x) untuk mendapatkan klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri. Metode inokulasi yang digunakan yaitu dengan memasukkan akar tanaman ke dalam inokulum. Hasil penelitian menunjukan metode inokulasi yang digunakan belum efektif dan periode inkubasinya relatif lama.
Oleh karena itu, melakukan pengujian
ketahanan klon kentang terhadap penyakit layu bakteri secara in vitro masih perlu dicoba dengan metode-metode inokulasi yang lain, sehingga didapatkan suatu metode seleksi secara in vitro yang efektif dan efisien.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, di Laboratorium Fitopatologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor, dan di Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan Januari sampai dengan bulan September 2007.
Bahan dan Alat Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 19 klon kentang S. chacoense dan satu kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan. Bahan tanaman tersebut merupakan koleksi dari Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor, yang diperbanyak secara klonal dari eksplan kecambah biji. Klon-klon tersebut berasal dari dua nomor koleksi yaitu Pi175415 dan Pi230580, yang masing-masing terdiri atas 11 klon dan 8 klon. Selain itu juga digunakan media MS (Murashige & Skoog, 1962) (Tabel Lampiran 1), Betadine, alkohol 70%, akuades, spirtus, isolat R. solanacearum
Ras 3 Biovar 2 yang berasal dari
tanaman kentang kultivar Atlantic yang bergejala layu bakteri, yang diambil dari Kebun Percobaan IPB, Pasir Sarongge, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat., arang sekam, tanah, pupuk kandang, pupuk daun Vitabloom-D, Urea, TSP, KCl, Furadan 3G, fungisida Antracol 50 WP dan insektisida Curacron, serta tanah yang terinfestasi R. solanacearum, yang diperoleh dengan cara menanam terlebih dulu kentang kultivar Atlantic. Peralatan yang digunakan untuk perbanyakan tanaman adalah laminar, almunium foil, pinset, gunting, sarung tangan, kertas lakmus, botol, labu erlenmeyer 1000 ml, cawan petri, pipet, dan otoclaf.
Peralatan yang digunakan
untuk isolasi R. Solanacearum adalah tabung reaksi, ose, pipet 1 ml, erlenmeyer 1000 ml, cawan petri, ruang isolasi (clean bench), timbangan dan pengocok (shaker).
Sedangkan peralatan yang digunakan pada percobaan lapangan
adalah toples, bak plastik berukuran 31 cm x 23 cm x 6 cm, cangkul, gunting, koret, gembor, ajir, alat ukur dan semprotan.
Pengujian secara In Vitro
Rancangan Percobaan Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri atas dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah 19 klon kentang liar S. chacoense yang
terdiri atas 11 klon Pi175415 dan 8 klon
Pi230580, serta satu kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan. Faktor kedua adalah metode inokulasi, metode gunting pucuk.
terdiri atas dua metode, yaitu metode siram dan Kombinasi dari kedua faktor tersebut menjadi 40
perlakuan. Satuan perlakuan terdiri atas satu botol kultur yang ditanami dengan 10 tanaman dari klon yang sama. Model linier dari percobaan ini adalah: Yij = μ + τi + βj + τβij + εijk dimana : Yij : nilai pengamatan dari respon yang diamati μ : nilai tengah umum respon yang diamati τi
: pengaruh klon ke-i terhadap respon yang diamati
βj : pengaruh cara inokulasi ke-j terhadap respon yang diamati τβij
:
pengaruh interaksi klon dan cara inokulasi ke-ij terhadap respon yang diamati
εijk : galat percobaan pada klon ke-i, cara inokulasi ke-j,dan ulangan ke-k
Isolasi dan Perbanyakan Bakteri R. solanacearum Isolat R. solanacearum dengan nomor EY07(01), yang digunakan sebagai sumber inokulum, diperoleh dari contoh tanaman kentang kultivar Atlantic yang ditanam di Kebun Percobaan Pasir Sarongge (± 1100 m dpl), Kabupaten Cianjur, Jawa Barat (Gambar 1, kiri). Menurut Machmud (1998) isolat R. solanacearum dari tanaman kentang yang ditanam di dataran tinggi Indonesia kebanyakan termasuk Ras 3 Biovar 2. Batang tanaman kentang yang sakit dipotong-potong sepanjang lebih kurang 0.5 cm dan direndam dalam larutan Na-hipoklorit selama 5 menit untuk membersihkan bagian permukaan. Kemudian potongan batang kentang dibilas dengan akuades.
Selanjutnya, potongan batang kentang
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi air steril sebanyak 10 ml
(Gambar 1, kanan). Setelah itu potongan batang kentang didiamkan selama 5 15 menit di dalam tabung reaksi sampai keluar eksudat bakteri. Untuk menumbuhkan bakteri, satu lup suspensi bakteri diambil dari tabung reaksi tersebut dengan menggunakan ose dan digores-goreskan pada 5 cawan petri yang berisi masing-masing 15 ml media agar TZC (Triphenyltetrazolium Chloride). Setelah cawan petri ditutup, isolat tersebut diinkubasi di dalam lemari kultur dengan suhu 30oC selama 48 jam (Machmud, 1986).
Bakteri R.
solanacearum, berbentuk batang bersifat gram negatif, dan tidak membentuk spora, dengan ukuran bervariasi sekitar (0.5 - 1.0) x (1.5 - 4.0)
m (Gambar 2).
Bakteri tersebut jika ditumbuhkan pada media TZC dapat dibedakan berdasarkan virulensinya. Bagian tengah dari koloni bakteri yang virulen berwarna merah muda dengan tepi lingkaran tidak beraturan (Gambar 3).
Sedangkan koloni
bakteri yang tidak virulen lebih kecil dengan bagian tengahnya berwarna merah tua (Gambar 4).
Gambar 1. Tanaman kultivar Atlantic yang mati (kiri), dan potongan batang tanaman kentang di dalam tabung reaksi yang diambil dari Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas Cianjur.
Gambar 2.
Sel bakteri R. solanacearum berbentuk batang dengan ukuran (0.5 - 1.0) x (1.5 - 4.0) μm
V
V V
Gambar 3. Koloni bakteri R. Solanacearum virulen yang ditumbuhkan pada media TZC (Triphenyltetrazolium Chloride)
AV
Gambar 4. Koloni bakteri R. Solanacearum tidak virulen yang ditumbuhkan pada media TZC (Triphenyltetrazolium Chloride) Penumbuhan
isolat
bakteri
ini
dilakukan
berulang-ulang
sampai
membentuk koloni tunggal. Kemudian isolat yang virulen dimurnikan dengan cara memindahkan koloni bakteri ke tabung reaksi yang berisi media SPA (Sukrosa Pepton Agar) miring dan ditutup rapat dengan kapas, selanjutnya diinkubasi pada suhu 30oC selama 48 jam.
Isolat bakteri murni ini dipindahkan ke dalam
tabung reaksi yang berisi 10 ml air steril, kemudian dikocok merata dan dipindahkan lagi ke dalam labu yang selanjutnya ditambah air steril sampai volumenya menjadi 1000 ml. Setelah itu labu digoyang dengan menggunakan pengocok (shaker) dengan kecepatan 150 rpm selama 48 jam, agar isolat bakteri tersebut tercampur merata. Selanjutnya dilakukan pengenceran sampai di dapat konsentrasi yang digunakan yaitu 9x108 sel/ml berdasarkan larutan McFarland skala no. 3 (Klement et al. 1990) (Tabel 3).
Inokulum tersebut siap untuk
diinokulasikan ke tanaman.
Persiapan Tanaman Percobaan Untuk pembuatan media perbanyakan tanaman digunakan larutan baku yang dibuat dengan komposisi medium Murashige & Skoog.
Campuran larutan
baku yang telah dibuat ditambahkan akuades hingga volumenya 1000 ml, kemudian ditambahkan sukrosa sebanyak 30 g dan diaduk hingga rata.
Keasaman larutan diatur sampai
pH 6.0, dengan cara meneteskan larutan
NaOH 0.1 N untuk menaikan pH atau HCl 0.1 N untuk menurunkan pH yang diukur dengan menggunakan kertas lakmus.
Sebagai bahan pemadat
ditambahkan 7 g agar, dan dimasak sampai mendidih. Larutan media yang sudah siap dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 15 - 20 ml per botol, kemudian ditutup rapat-rapat dengan menggunakan kertas almunium foil. Media dimasukkan kedalam otoclaf untuk disterilisasi selama 30 menit pada suhu 120oC. Kemudian media yang sudah steril disimpan pada rak-rak kultur yang telah disediakan selama 3 hari sebelum penanaman eksplan. Tabel 3. Jumlah sel bakteri menurut skala Mc Farland (Klement et al., 1990) Skala Mc Farland”s
BaCl2 (ml)
H2SO4 (ml)
Jumlah bakteri (108 sel/ml)
1
0.10
9.90
3.00
2
0.20
9.80
6.00
3
0.30
9.70
9.00
4
0.40
9.60
12.00
5
0.50
9.50
15.00
6
0.60
9.40
18.00
7
0.70
9.30
21.00
8
0.80
9.20
24.00
9
0.90
9.10
27.00
10
1.00
9.00
30.00
Untuk penanaman eksplan digunakan eksplan yang berasal dari koleksi tanaman kentang yang diperbanyak di Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Perbanyakan dilakukan dengan menanam stek pada media MS dengan panjang satu buku. Sebelum ditanam pada botol media, stek direndam dalam larutan betadine selama dua menit untuk menghindari kontaminasi. Setiap botol diisi sepuluh buku batang eksplan yang diregenerasi menjadi plantlet. Kemudian botol ditutup dengan menggunakan kertas almunium foil, dan disimpan pada rak-rak kultur di dalam ruangan berpendingin (Air Conditioner) yang dilengkapi lampu sebagai sumber cahaya. Setelah berumur empat minggu eksplan mengalami
regenerasi menjadi planlet, berakar dan bertunas mikro, selanjutnya tanaman siap diinokulasi dengan inokulum R. solanacearum.
Pelaksanaan Percobaan Dalam percobaan ini digunakan 120 tanaman uji yang berumur empat minggu yang ditempatkan dalam botol kultur.
Tanaman uji ini teridiri atas 19
klon S. chacoense dan satu kultivar Atlantic, masing-masing tersedia 6 tanaman. Enam tanaman dari masing-masing klon dan kultivar ini diacak untuk menetapkan tiga tanaman uji yang akan diinokulasi dengan metode inokulasi gunting dan tiga lainnya diinokulasi dengan inokulasi siram. Pada metode inokulasi gunting dilakukan dengan mencelupkan gunting ke dalam inokulum bakteri setiap kali akan menggunting pucuk tanaman.
Pada
metode inokulasi siram digunakan inokulum sebanyak satu ml per botol kultur, kemudian disiramkan ke perakaran tanaman.
Pengamatan Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi: (1) Periode Inkubasi (hari setelah inokulasi; hsi). Periode inkubasi merupakan periode waktu yang dibutuhkan oleh patogen sejak penetrasi hingga timbulnya infeksi melalui gejala yang dapat dilihat pada tanaman atau bagian tanaman. Pengamatan terhadap periode inkubasi dilakukan setiap hari dan dimulai satu hari setelah inokulasi sampai timbul gejala awal. (2) Kejadian Penyakit (%). Kejadian penyakit layu bakteri diamati dengan menghitung persentase jumlah tanaman yang bergejala penyakit.
Suatu
tanaman dinyatakan terserang penyakit layu bakteri apabila paling tidak satu daun menunjukkan gejala layu.
Pengumpulan data persentase kejadian
penyakit dilakukan setiap hari dimulai saat tanaman berumur satu hari setelah inokulasi sampai tanaman berumur 21 hari dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
KP =
n × 100% , N
dimana: KP = Kejadian Penyakit (% layu) n = Jumlah tanaman layu N = Jumlah tanaman yang diamati
Untuk mengetahui tingkat ketahanan masing-masing klon kentang yang diuji, nilai persentase kejadian penyakit diklasifikasikan menggunakan kriteria ketahanan menurut Valdez (1985) yang tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4. Kriteria Tingkat Ketahanan Klon Kentang terhadap R. solanacearum (Valdez, 1985) Kejadian Penyakit (%)
Tingkat Ketahanan
0 - 20
Tahan
21 - 40
Agak Tahan
41 - 60
Agak Rentan
> 60
Rentan
Pengujian di Lapangan
Rancangan Percobaan Percobaan di lapangan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 20 perlakuan dan 5 kelompok sebagai ulangan. Perlakuan adalah 19 klon kentang liar S. chacoense
yang terdiri atas 11 klon (Pi175415) dan 8 klon
(Pi230580) serta satu kultivar Atlantic sebagai kontrol rentan. Satuan percobaan adalah petakan yang ditanami dengan 10 tanaman dari klon yang sama. Model linier dari percobaan ini adalah sbb Yij = μ + τi + βj + εij dimana : Yij
: nilai pengamatan dari respon yang diamati
μ
: nilai tengah umum respon yang diamati
τi
: pengaruh klon ke-i terhadap respon yang diamati
βj
: pengaruh blok ke-j terhadap respon yang diamati
εijk : galat percobaan klon ke-i yang ditanam pada blok ke-j Pembuatan media perbanyakan tanaman Larutan baku dibuat dengan komposisi medium MS.
Campuran larutan
baku yang telah dibuat ditambah akuades hingga volumenya 1000 ml, kemudian ditambah sukrosa sebanyak 30 g dan diaduk hingga rata. Keasaman larutan diatur sampai
pH 6.0, dengan cara meneteskan larutan NaOH 0.1 N untuk
menaikan pH atau HCl 0.1 N untuk menurunkan pH yang diukur dengan menggunakan kertas lakmus. Sebagai bahan pemadat ditambahkan 7 g agar, dan dimasak sampai mendidih. Larutan media yang sudah siap dimasukkan ke dalam botol kultur sebanyak 15 - 20 ml per botol, kemudian ditutup rapat-rapat dengan menggunakan kertas almunium foil. Media dimasukkan ke dalam otoklaf
untuk disterilisasi selama 30 menit pada suhu 120oC. Kemudian media yang sudah steril disimpan pada rak-rak kultur yang telah disediakan selama 3 hari sebelum penanaman eksplan.
Penanaman Eksplan Eksplan yang digunakan adalah 19 klon kentang S. chacoense dan satu kultivar Atlantic sebagai kontrol rentan. Bahan tanaman tersebut merupakan koleksi yang diperbanyak dari Laboratorium Biomolekuler dan Seluler, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Perbanyakan dilakukan dengan menanam stek dengan panjang satu buku pada botol yang berisi media MS (Gambar 5, kiri).
Sebelum ditanam pada botol
media, stek direndam dalam larutan betadine selama dua menit untuk menghindari kontaminasi. Setiap botol diisi 10 buku eksplan, sebanyak 240 botol kultur yang diregenerasi menjadi plantlet. Kemudian botol ditutup dengan menggunakan kertas almunium foil, dan disimpan pada rak-rak kultur didalam ruangan yang dilengkapi lampu sebagai sumber cahaya. Setelah berumur 6 minggu eksplan mengalami regenerasi menjadi planlet, berakar dan bertunas mikro, dan siap untuk diaklimatisasi (Gambar 5, kanan).
Gambar 5. Eksplan yang ditumbuhkan pada media MS (kiri) dan diregenerasi menjadi planlet (kanan).
Aklimatisasi Plantlet berumur 6 minggu dikeluarkan dari botol, dan akar-akarnya dibersihkan dari agar yang masih menempel. Kemudian plantlet di tanam pada media arang sekam dalam wadah stoples (diameter 14 cm, tinggi 7 cm) sebanyak 20 stoples yang berisi 100 plantlet per stoples, dan ditutup kembali. Selanjutnya plantlet-plantlet tersebut disimpan di laboratorium pada rak-rak kultur, yang dilengkapi dengan lampu sebagai sumber cahaya selama empat hari.
Selanjutnya plantlet-plantlet tersebut (masih dalam media yang sama)
dipindahkan pada kondisi lapangan (dalam rumah kasa), selama satu minggu (Gambar 6). Setelah satu minggu diaklimatisasi, tanaman siap untuk distek. Stek pucuk diambil dan di tanam pada bak plastik berukuran 31 cm x 23 cm x 6 cm yang berisi media tanam tanah, pupuk kandang dan arang sekam dengan perbandingan 1 : 1 : 1 berdasarkan volume (gambar 7). Setiap bak plastik ditanami 60 stek pucuk dari klon yang sama, sebanyak 20 bak plastik. Pada saat berumur dua hari tanaman diberi pupuk daun Vitabloom-D dengan dosis 2 g/l, sebanyak 5 liter untuk 20 bak plastik yang diberikan 3 kali seminggu.
Setelah
berumur tiga minggu, tanaman siap dipindahkan ke lapangan (Gambar 8). Selama aklimatisasi di laboratorium dan di rumah kasa, plantlet diberi air seperlunya.
Gambar 6. Planlet yang ditumbuhkan pada media arang sekam
Gambar 7. Stek mini berumur satu minggu di rumah kasa Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas Cianjur.
Gambar 8. Stek mini berumur tiga minggu yang siap dipindahkan ke lapangan di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas Cianjur. Persiapan Tanah dan Penanaman
Sebelum penanaman tanaman uji, lahan tersebut diinokulasi secara alami dengan cara menanam terlebih dahulu kultivar Atlantic. Dalam mempersiapkan penanaman kultivar Atlantic, tanah digemburkan, diberi 300 kg pupuk kandang, dan Furadan 3G sebanyak 1.5 kg untuk 1000 lubang tanam. Kemudian lahan tersebut ditanami 1000 tanaman kentang kultivar Atlantic.
Pada saat
penanaman disekitar tanaman diberi pupuk buatan sebanyak 5 g Urea, 10 g TSP dan 5 g KCl per tanaman. Tanaman tersebut dipelihara selama 40 hari. Berdasarkan pengamatan ternyata 87.6% tanaman kentang kultivar Atlantic di lahan percobaan ini bergejala penyakit layu bakteri. Seluruh tanaman dihancurkan dan diratakan dengan tanah. Selanjutnya lahan tersebut diolah kembali untuk menyebarkan dan meratakan inokulum R. solanacearum. Contoh tanah diambil dari 5 tempat secara diagonal masing-masing sebanyak 100 g untuk mengetahui jumlah bakteri per gram tanah. Tanah tersebut dibawa dan dianalisis di Laboratorium Fitopatologi, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor
ternyata mengandung 8.5 x 105 sel
bakteri per gram tanah. Machmud (1998) mengatakan bahwa tanah yang mengandung 8.5 x 105 sel bakteri per gram tanah, merupakan konsentrasi yang cukup tinggi untuk di lapangan.
Pelaksanaan Percobaan Lahan yang digunakan untuk percobaan lapangan berukuran 10 m x 17 m (Lampiran 4) dan dibagi menjadi 5 blok, masing-masing berukuran 10 m x 3 m. Diantara blok-blok tersebut dibuat parit selebar 0,5 m (Gambar 9). Pada setiap blok dibuat 20 petakan, masing-masing berukuran 3 m x 0.5 m. Pada setiap petakan dibuat 10 lubang tanam dengan jarak antar lubang adalah 30 cm. Jarak antar lubang dari petakan yang berbeda adalah 50 cm. Setiap petakan diberi 3 kg pupuk
kandang. Percobaan ini menggunakan 1000 tanaman uji. Setiap
lubang dalam satu petakan ditanami satu tanaman kentang yang berasal dari klon yang sama. Penempatan tanaman dari klon yang berbeda pada masingmasing
petakan dalam satu blok dilakukan secara acak.
Setiap petakan
ditanami 10 tanaman dari klon yang sama. Dengan demikian pada setiap blok terdapat 19 klon dan satu kultivar yang berbeda. Pada saat penanaman diberi pupuk buatan sebanyak 5 g Urea, 10 g TSP dan 5 g KCl untuk setiap tanaman uji. Pemeliharaan Tanaman
Selama masa pemeliharaan tanaman, penyiangan dilakukan seperlunya, sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan gulma. Pada umur satu minggu setelah tanam sampai akhir percobaan dilakukan penyemprotan menggunakan fungisida Antracol 50 WP dan insektisida Curacron dengan dosis 2 g/l setiap 2 minggu sekali.
Setelah tanaman berumur 6 minggu lahan percobaan diberi
pupuk lagi dengan dosis yang sama seperti pada awal penanaman. Tanaman dibiarkan tumbuh sampai berumbi, tanaman yang mati karena penyakit layu bakteri dicabut, tanpa penyulaman.
Pengamatan Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi: (1) Periode inkubasi (hari setelah tanam; hst). Pengamatan terhadap periode inkubasi dilakukan setiap hari dan dimulai satu hari setelah tanam sampai timbul gejala awal penyakit layu bakteri. (2)
Kejadian penyakit (%). Kejadian penyakit layu bakteri diamati dengan menghitung persentase jumlah tanaman yang bergejala layu pada setiap petakan.
Suatu tanaman dinyatakan terserang penyakit layu bakteri
apabila paling tidak satu daun menunjukkan gejala layu.
Pengumpulan
data persentase kejadian penyakit dilakukan dengan interval waktu satu minggu dimulai saat tanaman berumur satu minggu setelah tanam sampai tanaman berumur 10 minggu setelah tanam, dengan menggunakan rumus seperti pada percobaan in vitro.
Untuk mengetahui tingkat ketahanan
masing-masing klon kentang yang diuji, nilai persentase kejadian penyakit diklasifikasikan menggunakan kriteria tingkat ketahanan menurut Valdez (1985) yang tercantum pada Tabel 3. (3)
Pengamatan morfologi tanaman kentang klon S. chacoense dan kultivar Atlantic mencakup
tinggi tanaman, jumlah buku, jumlah daun, jumlah
cabang, bentuk dan warna bunga, serta ukuran stolon.
Pengamatan
tersebut dimulai satu minggu setelah tanam dengan interval waktu satu minggu sampai tanaman berumur 10 minggu setelah tanam. (4)
Pengamatan jumlah umbi, bobot umbi dan umbi terinfeksi yang dilakukan saat panen, yaitu pada saat tanaman kentang berumur 10 minggu setelah tanam. Data jumlah umbi dihitung berdasarkan jumlah total umbi per petak. Data bobot umbi diperoleh dengan menimbang bobot total umbi per petak. Pengamatan umbi terinfeksi dilakukan secara visual dengan melihat gejala
dan tanda yang nampak pada bagian luar dan dalam umbi hasil panen dari setiap petak. Untuk mengetahui perbedaan respon klon yang diamati, dilakukan analisis ragam data hasil pengamatan. Jika hasil analisis ragam ini menunjukkan adanya perbedan respon yang bermakna akibat perbedaan klon, pengujian akan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) untuk melihat klon-klon mana saja yang menyebabkan perbedaan respon tersebut.
HASIL
Pengujian Ketahanan secara In Vitro
Periode Inkubasi Hasil analisis ragam periode inkubasi atau saat timbulnya gejala penyakit (Lampiran 5) menunjukkan bahwa baik perbedaan klon maupun perbedaan metode inokulasi berpengaruh nyata terhadap periode inkubasi. Untuk melihat pengaruh dari klon yang berbeda terhadap periode inkubasi baik pada metode gunting maupun pada metode siram dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) (Sokal dan Rolf, 1995). Hasil uji lanjut disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Periode inkubasi penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting dan siram
No. Klon Kentang Pi230580/03 Pi230580/01 Pi230580/04 Pi230580/08 Pi230580/02 Pi175415/02 Pi175415/03 Pi230580/06 Pi230580/07 Pi175415/05 Pi175415/06 Pi175415/12 Pi175415/10 Pi175415/07 Pi175415/09 Pi175415/08 Pi230580/05 Pi175415/11 Pi175415/04 Atlantic (rentan) Rataan Keterangan:
Periode Inkubasi (hsi) Gunting Siram 9.0 a 11.7 a 8.7 a 10.3 b 7.3 b 10,3 b 6.3 bc 10.0 bc 6.0 bcd 9.7 bc 6.0 bcd 9.7 bc 6.0 bcd 9.7 bc 5.7 defg 9.7 bc 5.7 defg 9.0 c 5.0 fgh 9.3 bc 5.0 fgh 7.0 d 4.7 gh 6.7 d 4.3 h 6.7 d 4.7 gh 6.3 d 4.7 gh 6.7 d 4.7 gh 6.0 d 4.3 h 6.0 d 4.3 h 6.3 d 4.0 h 6.0 d 2.3 h 6.0 d 5.4 m 8.2 n
Angka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan bahwa antar klon-klon yang bersangkutan tidak terdapat perbedaan respon yang nyata pada uji BNJ taraf 5%. hsi = hari setelah inokulasi. Data dihitung dari 10 tanaman.
Gejala awal penyakit layu bakteri pada metode inokulasi siram ditunjukkan dengan tumbuhnya bakteri pada media yang mengakibatkan media berubah warna menjadi kecoklatan, diikuti dengan daun pada bagian bawah tanaman menguning dan selanjutnya tanaman menjadi layu dan mati.
Pada metode
inokulasi gunting, awal timbulnya gejala penyakit terlihat pada daun dan batang sekitar pucuk daun yang digunting berwarna coklat kehitaman yang terus berkembang sampai daun layu serta batang membusuk dan lunak, akhirnya tanaman mati (Gambar 9).
Siram
Gunting
Gambar 9. Contoh tanaman uji yang bergejala penyakit layu bakteri setelah diinokulasi dengan metode inokulasi siram dan metode inokulasi gunting pada percobaan in vitro. Kejadian Penyakit dan Ketahanan Tanaman Seperti pada analisis ragam periode inkubasi, hasil analisis ragam kejadian penyakit (Lampiran 6) menunjukkan hal yang sama, baik perbedaan klon maupun perbedaan metode inokulasi berpengaruh nyata terhadap kejadian penyakit. Untuk melihat
pengaruh dari klon yang berbeda terhadap kejadian
penyakit baik pada metode gunting maupun pada metode siram dilakukan juga uji lanjut menggunakan Uji
BNJ
(Sokal dan Rolf, 1995). Hasil uji lanjut ini
ditampilkan pada Tabel 6. Tingkat ketahanan yang ditampilkan pada Tabel 6 ini
ditetapkan berdasarkan kriteria Valdez (1985) yang tercantum pada Tabel 4, Bab Metode. Tabel 6. Kejadian penyakit dan tingkat ketahanan terhadap penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro dengan menggunakan metode inokulasi gunting dan siram Kejadian Penyakit (%)* No. Klon Kentang
Gunting
Siram
Tingkat Ketahanan Gunting
Siram
Pi230580/03
17 a
10 a
T
T
Pi230580/01
20 a
10 a
T
T
Pi230580/04
30 b
13 a
AT
T
Pi230580/08
40 b
27 ab
AT
AT
Pi230580/02
40 b
30 b
AT
AT
Pi175415/02
43 bc
37 b
AR
AT
Pi175415/03
47
c
37 b
AR
AT
Pi230580/06
47
c
37 b
AR
AT
Pi230580/07
50
c
37 b
AR
AT
Pi175415/05
60
cd
43 bc
AR
AR
Pi175415/06
67
cd
47
c
R
AR
Pi175415/12
67
d
63
cd
R
R
Pi175415/10
70
d
63
cd
R
R
Pi175415/07
73
d
67
d
R
R
Pi175415/09
77
d
67
d
R
R
Pi175415/08
80
d
70
d
R
R
Pi230580/05
87
d
73
d
R
R
Pi175415/11
87
d
80
d
R
R
Pi175415/04
90
d
80
d
R
R
Atlantic (rentan)
100
d
90
d
R
R
Rataan
59.6s
49.1 r
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan bahwa antar klon tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%. *) Data dihitung dari 10 tanaman dan ditransformasi dengan arcsin Vx;. hsi = hari setelah inokulasi; T=tahan; AT=agak tahan; AR=agak rentan; R=rentan.
Dari Tabel 6 terlihat pula bahwa dengan metode inokulasi gunting diperoleh dua klon S. chacoense (Pi230580 no. 03 dan 01) yang tahan, tiga klon yang agak tahan, lima klon yang agak rentan dan 9 klon yang rentan terhadap penyakit layu bakteri, sedangkan dengan metode inokulasi siram diperoleh tiga klon S. chacoense yang tahan (Pi230580 no. 03, 01, dan 04), 6 klon yang agak
tahan, dua klon yang agak rentan, dan 8 klon yang rentan terhadap penyakit layu bakteri. Untuk memperjelas adanya hubungan antara periode inkubasi dengan kejadian penyakit pada pengujian secara in vitro baik dengan menggunakan metode inokulasi gunting maupun metode inokulasi siram dilakukan analisis regresi yang hasilnya disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11. Besarnya kejadian penyakit terkait erat dengan periode inkubasi. Makin panjang periode inkubasi, makin kecil kejadian penyakitnya. Pada metode inokulasi gunting, penurunan kejadian penyakit karena peningkatan periode inkubasi lebih cepat dibandingkan dengan penurunan kejadian penyakit pada metode inokulasi siram dengan penurunan kejadian penyakit karena peningkatan periode inkubasi lebih lambat. Pada metode inokulasi gunting, periode inkubasi terpendek sekitar 2.3 hsi dengan rata-rata kejadian penyakit tertinggi mencapai 100% untuk kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan. Sementara untuk klon-klon S. chacoense yang rentan rata-rata kejadian penyakit 90% ketika tanaman berumur 4 hsi. Sedangkan pada metode inokulasi siram, periode inkubasi terpendek sekitar 6 hsi dengan kejadian penyakit tertinggi untuk kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan 90%, dan untuk klon-klon S. chacoense yang rentan rata-rata kejadian penyakit sekitar 80% ketika tanaman berumur antara 6 – 6.7 hsi.
Kejadian penyakit (%)
100 80
y = -14.039x + 136.61 R2 = 0.8774
Rentan 60 Agak rentan 40 Agak tahan 20 Tahan 0 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
Periode inkubasi (hsi)
Gambar 10. Hubungan antara periode inkubasi dengan kejadian penyakit layu bakteri pada 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic dengan metode inokulasi gunting
Kejadian penyakit (%)
100 80 y = -11.572x + 143.42 R2 = 0.8167
Rentan 60 Agak rentan 40 Agak tahan
20
Tahan 0 0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
Periode inkubasi (hsi)
Gambar 11. Hubungan antara periode inkubasi dengan kejadian penyakit layu bakteri pada 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic dengan metode inokulasi siram Pengujian Ketahanan di Lapangan
Periode Inkubasi Hasil analisis ragam periode inkubasi (Lampiran 7) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan periode inkubasi yang sangat nyata antara klon-klon yang diuji. Untuk melihat pengaruh dari klon yang berbeda terhadap periode inkubasi dilakukan uji lanjut menggunakan Uji Beda Nyata Jujur (Sokal dan Rolf, 1995). Hasil uji lanjut ini disajikan pada Tabel 7. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa gejala awal penyakit layu bakteri mulai nampak pada minggu kedua setelah tanam, berupa kelayuan pada pucuk daun (Gambar 12, kiri).
Daun-daun berubah warna menjadi kuning
sampai kecoklatan yang akhirnya mati.
Apabila semua daun sudah layu, maka
dalam waktu satu sampai dua minggu tanaman kering berwarna coklat kehitaman dan selanjutnya tanaman tersebut mati (Gambar 12, kanan). Kelayuan yang disertai robohnya batang terjadi pada tanaman kentang dari klonklon yang rentan, sehingga tanaman menjadi rebah (Gambar 12, tengah).
Tabel 7. Periode Inkubasi penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan No. Klon Kentang Pi230580/03 Pi230580/01 Pi230580/04 Pi230580/08 Pi230580/02 Pi175415/02 Pi175415/03 Pi230580/06 Pi230580/07 Pi175415/05 Pi175415/06 Pi175415/12 Pi175415/10 Pi175415/07 Pi175415/09 Pi175415/08 Pi230580/05 Pi175415/11 Pi175415/04 Atlantic (rentan)
Periode Inkubasi (hst) 25.4 a 24.6 a 25.0 a 23.2 ab 23.8 ab 19.4 b 19.2 b 19.0 b 18.6 b 18.4 b 12.4 c 13.2 c 12.2 c 11.4 cd 11.8 cd 12.2 c 9.0 d 9.2 d 8.2 d 8.0 d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan bahwa antar klon tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%. Data dihitung dari 10 tanaman. hst = hari setelah tanam.
Pucuk layu
Tanaman mati
Tanaman rebah
Gambar 12. Contoh tanaman yang bergejala penyakit layu bakteri di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas Cianjur.
Jika batang tanaman kentang yang sakit ditekan, maka akan keluar cairan berwarna putih susu.
Cairan berupa lendir berwarna putih susu tersebut
dinamakan eksudat bakteri, hasil serupa ditemukan oleh Lelliot dan Stead (1987) serta Hayward (1983).
Saat potongan batang tersebut dimasukan ke dalam
tabung reaksi yang berisi air steril, dalam waktu 5 sampai 15 menit akan terlihat aliran massa bakteri yang berwarna putih seperti asap keluar dari berkas pembuluh (Gambar 13). Aliran massa bakteri ini merupakan salah satu ciri khas penyakit layu bakteri yang membedakannya dengan penyakit layu yang disebabkan oleh cendawan Fusarium sp. (Semangun, 1989).
Gambar 13. Contoh potongan batang tanaman kentang yang sakit di dalam tabung reaksi yang mengeluarkan aliran massa bakteri yang berwarna putih seperti asap
Kejadian Penyakit dan Tingkat Ketahanan Hasil analisis ragam kejadian penyakit (Lampiran 8) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kejadian penyakit yang sangat nyata antara klon-klon yang diuji. Untuk melihat pengaruh dari klon yang berbeda terhadap kejadian penyakit dilakukan uji lanjut menggunakan Uji BNJ (Sokal dan Rolf, 1995). Hasil uji lanjut ini disajikan pada Tabel 8. Tingkat ketahanan yang ditampilkan pada Tabel 8 ini ditetapkan berdasarkan kriteria Valdez (1985) yang tercantum pada Tabel 4, Bab Metode. Tabel 8. Kejadian penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan No. Klon Kentang Pi230580/03 Pi230580/01 Pi230580/04 Pi230580/08 Pi230580/02 Pi175415/02 Pi175415/03 Pi230580/06 Pi230580/07 Pi175415/05 Pi175415/06 Pi175415/12 Pi175415/10 Pi175415/07 Pi175415/09 Pi175415/08 Pi230580/05 Pi175415/11 Pi175415/04 Atlantic (rentan)
Kejadian Penyakit (%)* 18 a 20 a 28 b 30 b 32 b 40 b 42 bc 42 bc 42 bc 44 c 48 c 60 c 62 cd 66 d 70 d 86 d 90 d 94 d 94 d 98 d
Tingkat Ketahanan T T AT AT AT AT AR AR AR AR AR AR R R R R R R R R
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan bahwa antar klon tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5%. *) Data dihitung dari 10 tanaman dan ditransformasi dengan arcsin Vx;. T=tahan; AT=agak tahan; AR=agak rentan; R=rentan.
Dari Tabel 8 terlihat ada dua klon S. chacoense yang tahan terhadap penyakit layu bakteri, sama dengan klon tahan yang ditemukan pada pengujian in vitro dengan metode inokulasi gunting pucuk, yaitu klon Pi230580 nomor 03 dan 01. Tabel 8 ini juga memperlihatkan adanya empat klon yang agak tahan,
enam klon yang agak rentan dan 7 klon yang rentan terhadap penyakit layu bakteri. Seluruh klon S. chacoense yang diuji memiliki periode inkubasi yang lebih panjang dengan kejadian penyakit yang lebih rendah daripada kultivar Atlantic sebagai kontrol rentan. Seperti pada pengujian in vitro, semakin tahan suatu klon terhadap penyakit layu bakteri, maka periode inkubasi semakin panjang dan persentase kejadian penyakit semakin kecil. Sebaliknya, semakin rentan suatu klon terhadap penyakit layu bakteri, maka periode inkubasi semakin pendek dan persentase kejadian penyakit semakin tinggi (Gambar 14).
100
Kejadian penyakit (%)
80
Rentan 60
Agak rentan 40
Agak tahan y = -4.0643x + 122.81 R2 = 0.8802
20
Tahan 0 -
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
Periode inkubasi (hst)
Gambar 14. Hubungan antara periode inkubasi dan kejadian penyakit layu bakteri pada klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada Korelasi antara Pengujian In Vitro dengan Pengujian di Lapangan percobaan di lapangan. Korelasi antara Pengujian In Vitro dengan Pengujian di Lapangan Untuk melihat hubungan antara kejadian penyakit dari klon yang sama pada percobaan in vitro dengan percobaan di lapangan dilakukan analisis regresi yang hasilnya ditampilkan pada Gambar 15 dan Gambar 16. Gambar 15 dan 16 menunjukkan hubungan antara kejadian penyakit pada pengujian ketahanan secara in vitro menggunakan metode inokulasi gunting dan siram dengan pengujian di lapangan memberikan korelasi positif yang sangat nyata.
Namun
demikian,
pada
metode
inokulasi
gunting
koefisien
determinasinya lebih besar, dengan persamaan regresi Y = 0.9845x – 2.8781 dan koefisien korelasi (r) = 0.9114, serta koefisien determinasi (r2) = 0.8307,
dibandingkan pada metode inokulasi siram, dengan persamaan regresi Y = 0.9518x + 8.6139 dan koefisien korelasi (r) = 0.8979, serta koefisien determinasi (r2) = 0.8063.
Kejadian penyakit (%), di lapangan
100 y = 0.9845x - 2.8781 R2 = 0.8307
80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Kejadian penyakit (%), in vitro
Gambar 15. Hubungan antara kejadian penyakit dari 19 klon S. chacoense pada pengujian secara in vitro dengan metode inokulasi gunting dengan pengujian di lapangan
Kejadian penyakit (% ), di lapangan
100 y = 0.9518x + 8.6139 R2 = 0.8063
80 60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Kejadian penyakit (%), in vitro
Gambar 16. Hubungan antara kejadian penyakit dari 19 klon S. chacoense pada pengujian secara in vitro dengan metode inokulasi siram dengan pengujian di lapangan Disamping itu, pada Gambar 15 terlihat ada dua klon tahan baik pada percobaan in vitro dengan metode inokulasi gunting maupun pada percobaan di
lapangan, sedangkan pada Gambar 16 ada tiga klon tahan pada percobaan in vitro dengan metode inokulasi siram, akan tetapi hanya ada dua klon tahan pada percobaan di lapangan. Dilihat dari dua fenomena tersebut, hubungan antara hasil pengujian kejadian penyakit di lapangan dan pengujian in vitro dengan metode inokulasi gunting lebih kuat daripada dengan metode inokulasi siram (Sokal dan Rolf, 1995).
Morfologi Tanaman Kentang klon S. chacoense dan kultivar Atlantic Untuk melihat lebih jelas perbedaan morfologi tanaman kentang dari klon S. chacoense dan kultivar Atlantic, disajikan pada Lampiran 9. kentang dari klon S. chacoense ini tumbuh
Tanaman
lebih tinggi dari kultivar Atlantic.
Tinggi tanaman klon S. chacoense berkisar antara 45 – 60 cm, sedangkan kultivar Atlantic lebih pendek kurang dari 45 cm. Klon S. chacoense mempunyai cabang yang lebih banyak dari jumlah cabang kultivar Atlantic. Batang tanaman klon S. chacoense dan kultivar Atlantic berwarna hijau, tumbuh semi tegak dan agak menyebar dengan sudut kemiringan tanaman antara mempunyai
30 – 45o serta
lebih dari 9 cabang, sedangkan kultivar Atlantic antara 4 – 8
cabang. Klon S. chacoense mempunyai buku yang lebih banyak dari jumlah buku kultivar Atlantic. Jumlah buku per tanaman yang terdapat pada klon S. chacoense berkisar antara 20 – 30, sedangkan pada kultivar Atlantic tidak lebih dari 20 per tanaman. Morfologi daun dari klon S. chacoense terlihat berbeda dari klon Atlantic. Pada klon S. chacoense panjang tangkai daun berkisar antara 25 – 30 cm, warna tangkai daun agak ungu (berpigmen) dengan jumlah anak daun primer berkisar antara 4 – 6 pasang, serta panjang anak daun primer berkisar antara 6 8 cm. Daun tanaman klon S. chacoense ini berbentuk eliptik dengan tepi yang tidak bergelombang dan berambut jarang. Anak daun pada tangkai daun terletak simetris dan tidak mempunyai anak daun sekunder (Gambar 17). Pada kultivar Atlantic, panjang tangkai daun kurang dari 25 cm, warna tangkai daun hijau (tak berpigmen) dengan jumlah anak daun primer berkisar antara 1 - 3 pasang, serta panjang anak daun primer kurang dari 6 cm. Daun kultivar Atlantik ini berbentuk oval (bagian dasar daun lebar) dengan tepi yang tidak bergelombang dan berambut jarang. Anak daun pada tangkai daun terletak simetris. Berbeda dengan klon S. chacoense, kultivar Atlantik ini mempunyai
anak daun sekunder yang terletak pada anak tangkai daun primer dengan panjang daun berkisar antara 1 - 2 cm. Baik pada klon S. chacoense maupun kultivar Atlantic, kedua tanaman tersebut mempunyai bunga dengan tandan bunga sederhana, terbagi atas dua tangkai bunga, masing-masing tangkai mempunyai beberapa bunga. Tangkai tandan bunga pada kedua tanaman ini pendek, kurang dari 5 cm dengan tangkai bunga berkisar antara 1 - 2 cm dan diameter bunga sekitar 2.5 cm. Kuncup dan tajuk bunga berwarna putih, anther berwarna kuning dengan stamen berbentuk normal.
Pada klon S. chacoense tangkai putik pendek kurang dari 1 cm,
sedangkan pada kultivar Atlantic tangkai putik cukup panjang sekitar 1 cm diatas anther (Gambar 18). Klon S. chacoense dan klon Atlantik mempunyai stolon yang berbeda. Pada S. chacoense ukuran stolon agak panjang berkisar antara 20 - 40 cm dengan warna stolon putih berbintik ungu, sedangkan pada klon Atlantik ukuran stolon hanya berkisar antara 10 - 20 cm dengan warna stolon putih.
Gambar 17. Tanaman S. chacoense berumur 8 minggu dengan daun berbentuk eliptik dan tepi tak bergelombang, di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas Cianjur.
Gambar 18. Tanaman kentang klon S. chacoense berumur 8 minggu dengan bunga warna putih dan anther berwarna kuning, di Kebun Percobaan IPB Pasir Sarongge, Cipanas Cianjur. Pengaruh kejadian penyakit terhadap umbi Data jumlah dan bobot umbi per petak serta persentase umbi terinfeksi dari masing-masing klon S. chacoense yang tahan, agak tahan, agak rentan dan rentan, serta kultivar Atlantic sebagai pembanding rentan dapat dilihat pada Tabel
9.
Tabel 9 ini menunjukkan bahwa klon S. chacoense
yang tahan
terhadap penyakit layu bakteri menghasilkan jumlah umbi per petak yang lebih banyak, bobot umbi per petak yang lebih berat dan umbi yang terinfeksi lebih sedikit dibandingkan dengan klon S. chacoense yang agak tahan, agak rentan dan rentan. Dengan demikian klon yang tahan mempunyai potensi hasil yang tinggi, dengan jumlah umbi total berkisar antara 102 – 108 umbi per petak (10 tanaman), serta memiliki bobot umbi total 959 – 992 g per petak, dan umbi terinfeksi antara 10.2 – 11.8%.
Tabel 9. Periode Inkubasi, Kejadian Penyakit, Tingkat Ketahanan, Jumlah Umbi, Bobot Umbi, dan Umbi Terinfeksi penyakit layu bakteri dari 19 klon S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan No. Klon
PI
KP
TK
Jumlah Umbi per Petak
Bobot Umbi
Umbi Terinfek si (%)
(g) Per Per petak umbi Pi230580/03 25.4 a 18 a T 108 959 8.9 10.2 Pi230580/01 24.6 a 20 a T 102 992 9.7 11,8 Pi230580/04 25.0 a 28 b AT 98 931 9.1 12,2 Pi230580/08 23.2 ab 30 b AT 102 836 8.5 15,7 Pi230580/02 23.8 ab 32 b AT 94 801 8.5 13,8 Pi175415/02 19.4 b 40 b AT 92 781 8.5 16,3 Pi175415/03 19.2 b 42 bc AR 80 655 8.2 25.0 Pi230580/06 19.0 b 42 bc AR 79 595 7.1 25.3 Pi230580/07 18.6 b 42 bc AR 78 555 7.1 25.6 Pi175415/05 18.4 b 44 c AR 76 527 6.6 28.9 Pi175415/06 12.4 c 48 c AR 84 450 5.7 55.9 Pi175415/12 13.2 c 60 c AR 80 430 5.7 50.0 Pi175415/10 12.2 c 62 cd R 60 398 6.1 75.0 Pi175415/07 11.4 cd 66 d R 54 383 7.1 74.1 Pi175415/09 11.8 cd 70 d R 65 322 5.4 75.4 Pi175415/08 12.2 c 86 d R 45 398 8.8 66.7 Pi230580/05 9.0 d 90 d R 46 255 5.5 82,6 Pi175415/11 9.2 d 94 d R 34 283 8.3 82.4 Pi175415/04 8.2 d 94 d R 30 204 6.8 83.3 Atlantic 8.0 d 98 d R 34 1751 51.5 88.2 Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNJ taraf 5%. Data dihitung dari 10 tanaman dan ditransformasi dengan arcsin Vx. (PI) periode inkubasi; (KP) kejadian penyakit; hst (hari setelah tanam); TK (tingkat ketahanan); T(tahan); AT (agak tahan); AR (agak rentan); R(rentan) S. chacoense
(hst)
(%)
Untuk memperjelas hubungan antara kejadian penyakit dengan jumlah umbi, bobot umbi
dan persentase umbi terinfeksi pada tanaman uji S.
chacoense dilakukan analisis regresi yang hasilnya ditampilkan pada Gambar 19, 20 dan 21. Dari ketiga gambar tersebut terlihat jelas bahwa semakin tinggi kejadian penyakit layu bakteri, semakin rendah jumlah umbi per petak, dan semakin ringan bobot umbi per petak, serta semakin tinggi persentase umbi yang terinfeksi.
Perbedaan jumlah dan bobot umbi yang dihasilkan diduga
berhubungan dengan perbedaan karakter genotipe antar klon kentang yang diuji. Karena pada dasarnya klon-klon yang digunakan pada pengujian ini diperbanyak secara klonal, sehingga turunan dari klon-klon tersebut akan membawa sifat-sifat genetik yang berbeda-beda.
120
Jumlah umbi/petak
100 80
y = -0.9292x + 123.35 R2 = 0.9384
60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
Kejadian penyakit (%)
Gambar 19. Hubungan antara kejadian penyakit dan jumlah umbi per petak pada 19 klon S. chacoense 1200
Bobot umbi/ petak (g)
1000 800
y = -9.4579x + 1067.8 R2 = 0.8572
600 400 200 0 0
20
40
60
80
100
Kejadian penyakit (%)
Gambar 20. Hubungan antara kejadian penyakit dan bobot umbi per petak pada 19 klon S. chacoense Pada penelitian ini ditemukan bahwa persentase umbi yang terinfeksi lebih tinggi pada kultivar Atlantic dibandingkan dengan persentase umbi terinfeksi dari klon S. chacoense. Hal ini nampaknya karena sebagian dari klon S. chacoense dapat bertahan terhadap penyakit layu bakteri. Hakim (1999) melaporkan bahwa tahan atau rentannya klon kentang yang ditanam mempengaruhi kemampuan R. solanacearum untuk menginfeksi umbi masing-masing klon. Persentase umbi terinfeksi R. solanacearum pada kultivar Atlantic yang rentan lebih tinggi dibanding klon AD-12 yang tahan.
Ciampi et al. (1980) menyatakan bahwa kemampuan suatu isolat untuk menimbulkan gejala layu dan menginfeksi umbi berbeda-beda tergantung pada klon kentang Ras patogen.
Dilaporkan bahwa yang diinokulasi dengan Ras 1
pada intensitas gejala penyakit layu bakteri yang sama 90%, umbi terinfeksi 53.3% pada varietas Mariva dan 39.7% pada varietas Molinera. Sementara yang diinokulasi dengan Ras 3, pada intensitas gejala penyakit layu bakteri 100%, persentase umbi terinfeksi sebesar 36.3% pada varietas Mariva dan 53.7% pada varietas Molinera.
100
U m b i terin feksi (% )
80 60
y = 1.0944x - 14.364 R2 = 0.8746
40 20 0 0
20
40
60
80
100
Kejadian penyakit (%) Gambar 21. Hubungan antara kejadian penyakit dan persentase umbi terinfeksi pada klon S. chacoense Berdasarkan pengamatan, klon S. chacoense dan mempunyai morfologi umbi yang hampir sama.
kultivar Atlantic
Umbi berwarna putih,
mempunyai mata tunas berwarna putih tidak lebih dari 5 buah per umbi, kulit umbi kasar berwarna kecoklatan, dan daging umbi berwarna putih. Perbedaan umbi kedua tanaman ini adalah dalam bentuk dan ukuran umbi (Gambar 22). Umbi klon S. chacoense berbentuk oval memanjang, berukuran kecil, dengan diameter rata-rata kurang dari 5 cm, sedangkan umbi kultivar Atlantic berukuran besar, berbentuk bulat, rata-rata diameter lebih dari 5 cm.
Atlantic
S. chacoense
Gambar 22. Contoh umbi klon S. chacoense dan kultivar Atlantic Salah satu karakteristik kentang yang terinfeksi penyakit layu bakteri, pada kulit umbi nampak bercak-bercak kecoklatan dan bila umbi dibelah muncul eksudat bakteri berupa lingkaran warna coklat, sehingga menyebabkan umbi menjadi busuk (Gambar 23).
Infeksi umbi cenderung meningkat menurut
kerentanannya terhadap penyakit. Secara visual sebagian umbi yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala sakit (terinfeksi laten). Jika umbi ini dijadikan bibit dan ditanam akan menjadi sumber inokulum yang berbahaya di lapangan (Janse, 2005). Umbi Terinfeksi
Eksudat bakteri
Umbi sehat
Gambar 23. Contoh umbi klon S. chacoense yang terinfeksi penyakit layu bakteri dan umbi yang sehat.
PEMBAHASAN Periode inkubasi merupakan periode waktu yang dibutuhkan oleh patogen sejak penetrasi hingga timbulnya infeksi melalui gejala yang dapat dilihat pada tanaman atau bagian tanaman. Kadang-kadang diperlukan waktu yang relatif lama antara terjadinya infeksi hingga muncul gejala awal. Periode inkubasi ini dipengaruhi oleh umur tanaman, konsentrasi dan virulensi inokulum, serta faktor lingkungan (Agrios, 1997).
Pada percobaan in vitro yang dilakukan pada
penelitian ini semua faktor tersebut dibuat relatif sama. Karena itu perbedaan periode inkubasi yang terjadi diduga disebabkan oleh perbedaan klon kentang yang diuji dan metode inokulasi yang digunakan. Temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa periode inkubasi rata-rata pada metode inokulasi gunting lebih cepat daripada metode inokulasi siram. Fenomena ini
diduga terjadi karena pada metode inokulasi gunting terjadi
pelukaan pada jaringan tanaman sehingga patogen lebih mudah masuk ke dalam tanaman dan waktu yang diperlukan untuk menimbulkan gejala penyakit lebih singkat. Pada metode inokulasi siram tidak ada pelukaan pada jaringan tanaman, sehingga patogen memerlukan waktu yang lebih lama untuk dapat masuk ke dalam tanaman. Sequeira (1992) dan Janse (2005) mengemukakan bahwa luka merupakan faktor penting dalam proses infeksi bakteri ke dalam tanaman. Pada metode inokulasi gunting, awal timbulnya gejala penyakit terlihat pada daun dan batang sekitar pucuk daun yang digunting berwarna coklat kehitaman yang terus berkembang sampai daun layu serta batang membusuk dan lunak, akhirnya tanaman mati. Pada metode inokulasi siram, media tanam berubah warna menjadi kecoklatan yang nampaknya akibat tumbuhnya bakteri pada media tersebut. Tumbuhnya bakteri yang memenuhi media ini
diduga
merupakan penyebab daun pada bagian bawah tanaman menguning dan selanjutnya tanaman menjadi layu dan mati. Hasil serupa dilaporkan oleh Palupi (2001) dan Samanhudi (2001). Pada percobaan in vitro ditemukan hubungan yang erat antara periode inkubasi dan kejadian penyakit. Di samping itu ditemukan juga rata-rata persentase kejadian penyakit pada metode inokulasi gunting
lebih tinggi
daripada rata-rata persentase kejadian penyakit pada metode inokulasi siram.
Kedua temuan ini memperkuat dugaan bahwa metode inokulasi gunting lebih efektif dan lebih efisien dalam menginfeksi tanaman. Beragamnya ketahanan terhadap penyakit layu bakteri dari klon-klon uji yang ditemukan pada penelitian ini diduga terkait dengan keragaman faktor genetik dari klon-klon tersebut yang diturunkan melalui biji yang menyebabkan keragaman respon terhadap gejala penyakit. Hakim (1999) mengatakan bahwa kejadian penyakit ditentukan oleh kemampuan tanaman menghambat aktivitas bakteri patogen di dalam tubuh inang. Hal yang serupa dikemukakan oleh Agrios (1997) bahwa ketahanan dari tanaman itu sendiri juga berperan dalam menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan bakteri untuk menimbulkan gejala awal. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa gejala awal penyakit layu bakteri mulai nampak pada minggu kedua setelah tanam, berupa kelayuan pada pucuk daun. Daun-daun berubah warna menjadi kuning sampai kecoklatan yang akhirnya mati. Apabila semua daun sudah layu, maka dalam waktu satu sampai dua minggu tanaman mati. Kelayuan yang disertai robohnya batang terjadi pada tanaman kentang dari klon-klon yang rentan, sehingga tanaman menjadi rebah. Klement et al., (1990) mengatakan bahwa kelayuan pada tanaman disebabkan oleh bakteri berkembang di dalam jaringan xylem dan mengeluarkan lendir ekstraseluler polisakarida (EPS) sehingga menyumbat jaringan pembuluh. Dampak
dari
penyumbatan
jaringan
pembuluh
tersebut
mengakibatkan
translokasi air dan zat makanan dari bawah ke atas terhambat dan menyebabkan tanaman menjadi layu. Hasil yang dilaporkan oleh Grimault et al. (1992) bahwa penyebaran R.solanacearum dalam jaringan vaskular batang, secara garis besarnya mengikuti pola yang sama antara klon rentan dan tahan, kecuali bahwa penyebaran dalam batang frekuensinya lebih sedikit pada klon tahan karena kemampuan tanaman untuk membatasi pergerakan bakteri ke bagian atas. Pada saat batang diinvasi, kenyataannya klon tahan mampu untuk mentoleransi atau menjaga invasi tanpa gejala layu. Sumber utama penyebaran bakteri di lapangan adalah melalui umbi bibit yang terinfeksi secara laten, dan melalui tanah yang terinfestasi (Semangun, 1989). Penyebaran bakteri jarak dekat dapat melalui kontak antara akar yang satu dengan akar lainnya, alat-alat yang digunakan saat penanaman, dan air irigasi ataupun percikan air hujan.
Sedangkan penyebaran jarak jauh dapat
melalui umbi, serangga dan bahan perbanyakan vegetatif yang terinfeksi secara laten. Hal ini dapat berlangsung dalam waktu yang relatif cukup lama bahkan sampai beberapa tahun (Semangun, 1989). Bakteri R. solanacearum umumnya masuk melalui luka yang terjadi pada waktu bercocok tanam atau melalui pertumbuhan akar sekunder.
Akar-akar
tanaman yang luka, yang disebabkan oleh nematoda atau luka mekanik selama bercocok tanam atau melalui lubang-lubang alamiah merupakan tempat masuknya patogen ke jaringan tanaman sehingga cocok untuk kolonisasi bakteri (Kelman, 1953). Kemampuan R.solanacearum bertahan dalam tanah biasanya terjadi pada lahan yang terus menerus ditanami tanaman yang rentan (Seneviratne, 1978; Persley et al., 1986). Daya tahannya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kepadatan inokulum, faktor fisik, kimia dan biologi tanah. Pada lahan-lahan yang sudah terinfestasi patogen, seringkali kejadian penyakit dan beratnya penyakit oleh bakteri R.solanacearum meningkat.
Dalam hal ini, keterkaitan antara
sumber inokulum dan ketahanan tanaman memegang peranan penting terhadap kejadian dan beratnya penyakit yang ditimbulkan (Martin & French, 1996). Perbedaan periode inkubasi dan persentase ketahanan tanaman antara pengujian in vitro dan di lapangan diduga berhubungan dengan kondisi lingkungan pada saat percobaan, ketahanan tanaman, konsentrasi inokulum dan cara inokulasi yang berbeda. Hal ini diduga menyebabkan perbedaan kemampuan bakteri dalam hal menimbulkan penyakit pada tanaman.
Agrios
(1997) mengatakan bahwa berat ringannya pengaruh infeksi patogen bergantung pada ketahanan tanaman itu sendiri, virulensi patogen, serta faktor lingkungan. Pada pengujian secara in vitro, cara inokulasi yang langsung diberikan pada tanaman uji dapat memberikan peluang lebih besar pada tanaman untuk bergejala penyakit layu bakteri serta kepekatan inokulum yang digunakan relatif lebih tinggi yaitu 9 x 108 sel/ml. Kondisi seperti ini diduga membantu bakteri R. solanacearum untuk tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga periode inkubasi menjadi lebih cepat dan kejadian penyakit menjadi lebih tinggi. Pada pengujian di lapangan, inokulasi dilakukan secara alami.
Lahan
yang digunakan adalah tanah yang terinfestasi bakteri R. solanacearum yang mengandung kepekatan konsentrasi inokulum lebih rendah, yaitu 8.5 x 105 sel/g tanah dibandingkan pada pengujian secara in vitro. Namun, Martin & French (1996) mengatakan bahwa konsentrasi inokulum yang tinggi tidak selalu
berkorelasi positif dengan beratnya penyakit, khususnya jika tanaman yang ditanam adalah tanaman yang tergolong tahan. Tanaman pada dasarnya akan memberikan reaksi tertentu terhadap setiap faktor luar, termasuk infeksi oleh patogen. Selain itu lahan untuk pengujian di lapangan menggunakan pupuk kandang tanpa disterilkan terlebih dahulu. Kondisi ini diduga mengandung agen antagonis yang dapat menekan aktivitas R. solanacearum dalam hal menimbulkan penyakit layu bakteri. Hasil penelitian Hakim (1999) dengan menggunakan agen antagonis
Gliocladium
fimbriatum,
Pseudomonas
fluorescens
GI-3
dan
Pseudomonas fluorescens B-29 sebanyak 50 ml/pot dengan cara menyiramkan langsung ke lubang tanam dapat menekan aktivitas bakteri R. solanacearum. Pada kultivar Atlantic yang tidak diberi agen antagonis, persentase kejadian penyakitnya sebesar 80%, sedangkan yang diberi agen antagonis, persentase kejadian penyakitnya menurun menjadi 60%.
Mikroorganisme antagonis
disamping aktif menghasilkan bahan-bahan metabolit yang toksik bagi patogen juga mempunyai potensi untuk tumbuh cepat dan mengkolonisasi sistem perakaran tanaman (Aspiras dan Cruz, 1985). Agen antagonis yang mampu tumbuh cepat dan secara aktif mengkolonisasi sistem perakaran tanaman akan dapat berperan aktif menekan perkembangan bakteri R. solanacearum. Suhu
dan
kelembaban
udara
maupun
kelembaban
tanah
juga
mempengaruhi perkembangan dan kejadian penyakit layu bakteri (Machmud et al., 1998; Mehan et al., 1994). Kelman (1953), menyatakan bahwa faktor suhu sangat penting peranannya terhadap perkembangan patogen. Penelitian yang dilakukan oleh Akiew (1985) menunjukkan bahwa populasi bakteri menurun tajam pada suhu tanah yang tinggi serta
kelembaban tanah yang rendah.
Sebaliknya pada kelembaban tanah yang tinggi dan suhu tanah yang rendah, bakteri tersebut menunjukkan kemampuan bertahan hidup untuk waktu yang relatif lama di dalam tanah. Penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh bakteri R. solanacearum adalah penyakit yang banyak menyerang tanaman dari famili Solanaceae, salah satunya adalah kentang (Yabuuchi, et al., 1995). Lebih dari 50% tanaman kentang klon S. chacoense yang digunakan dalam penelitian ini bergejala penyakit layu bakteri. Pada kultivar Atlantic tanaman yang bergejala penyakit layu bakteri bahkan lebih banyak lagi hampir 100%.
Tingginya persentase
tanaman yang terserang penyakit layu bakteri pada klon Atlantic memang sudah
diperkirakan karena klon Atlantic ini memang rentan terhadap penyakit layu bakteri. Hakim (1999) melaporkan bahwa 91.1 % tanaman kentang kultivar Atlantic yang dipergunakan dalam penelitiannya terserang penyakit layu bakteri. Tung dan Rascao Jr. (1987) melaporkan bahwa S. chacoense, seperti juga S. raphanifolium, S. sparcipilum dan S. microdontum, merupakan salah satu jenis kentang yang mempunyai sumber ketahanan terhadap bakteri R. solanacearum. Bahkan Hawkes (1994) menggolongkan S. chacoense sebagai jenis kentang yang tahan terhadap penyakit layu bakteri. Namun demikian dalam penelitian ini ternyata persentase kematian dari semua tanaman S. chacoense yang digunakan cukup tinggi, mencapai lebih dari 50% dari seluruh tanaman uji. Hal ini nampaknya karena dari 19 klon S. chacoense yang diuji hanya dua klon yang tergolong tahan terhadap penyakit layu bakteri.
Hal serupa dilaporkan oleh
Hakim (1999), bahwa 74% klon yang digunakan rentan terhadap penyakit layu bakteri. Pada umumnya para ahli mengatakan bahwa gen yang mengontrol ketahanan terhadap bakteri R. solanacearum bersifat komplek.
Kempe &
Sequeira (1983) menyatakan bahwa gen tahan adalah komplek dan tidak ada klon kentang yang mempunyai sifat ketahanan terhadap banyak strain patogen. Jumlah gen yang terlibat untuk mengekspresikan sifat ketahanan sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Tung et al. (1992) melaporkan bahwa semua gen dominan maupun gen minor terlibat dalam ekspresi ketahanan terhadap layu bakteri. Setidaknya terdapat tiga gen dominan dan gen bebas yang mengontrol sifat ketahanan kentang terhadap layu bakteri (Hooker, 1990).
Dari hasil
penelitiannya, Sahat (1984) menyimpulkan bahwa pada kentang komersial (S. tuberosum) penurunan sifat ketahanan terhadap layu bakteri dikontrol oleh tiga gen dominan. Dua gen mengontrol sifat tahan dan satu gen mengontrol sifat rentan. Gen tahan tersebut bersifat bebas satu sama lain, sedang gen rentan bersifat epistatis terhadap kedua gen tadi. Kejadian penyakit pada klon kentang di lapangan berpengaruh terhadap jumlah dan bobot umbi yang dihasilkan. Semakin tinggi kejadian penyakit layu bakteri, maka semakin rendah jumlah dan bobot umbi per petak. Menurut Kosuge (1978), rendahnya produksi kentang terjadi karena serangan R. solanacearum menyebabkan terhambatnya translokasi air dan zat makanan dari tanah ke tanaman, sehingga proses fotosintesis terganggu, akibatnya jumlah asimilat yang diperlukan untuk inisiasi dan pembesaran umbi berkurang.
Di
samping itu, pada klon rentan beberapa tanaman mati sebelum menghasilkan umbi. Hasil serupa dilaporkan oleh Hakim (1999). Kejadian penyakit pada klon kentang di lapangan berpengaruh juga terhadap persentase umbi terinfeksi. Semakin tinggi kejadian penyakit layu bakteri, maka semakin tinggi persentase umbi terinfeksi. Salah satu penyebab perbedaan ketahanan terhadap infeksi umbi diduga adanya perbedaan pada lapisan periderm (kulit) umbi.
Menurut Kelman (1953), selain masuk melalui
stolon, R.solanacearum dapat juga masuk melalui lentisel yang terdapat pada kulit umbi.
Ukuran dan jumlah lentisel maupun ketebalan lapisan epidermis
dapat mempengaruhi proses penetrasi patogen dan berfungsi sebagai penghalang yang bersifat fisik (Agrios, 1997). Pada penelitian ini ditemukan bahwa jumlah umbi kentang S. chacoense lebih banyak tetapi ukurannya lebih kecil dari umbi kultivar Atlantic.
Hal ini
kemungkinan karena berdasarkan tingkat ploidinya kultivar Atlantic merupakan tanaman tetraploid, sedangkan klon S. chacoense merupakan tanaman diploid. Gejala umum yang terjadi pada kentang tetraploid (kultivar Atlantic) mempunyai umbi lebih besar dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan kentang diploid (S. chacoense). Kelebihan tanaman kentang tetraploid (2n=4x=48) umumnya lebih superior dalam kemampuan menghasilkan umbi, kualitas umbi dan tanaman lebih vigor dibandingkan tanaman diploid (24=2x=24).
Hal ini
didukung oleh hasil penelitian Hutten et al. (1995) bahwa secara keseluruhan rata-rata hasil dari tanaman diploid 25% lebih rendah daripada tanaman tetraploid. Hasil yang tinggi dari tanaman tetraploid hanya karena umbinya lebih besar, tetapi jumlah umbinya lebih sedikit dibandingkan dengan tanaman diploid. Hasil percobaan in vitro dengan teknik inokulasi gunting pucuk
setara
(comparable) dengan hasil pengujian di lapangan. Pengujian ketahanan terhadap penyakit layu bakteri secara in vitro dengan metode inokulasi gunting pucuk memberikan beberapa keuntungan antara lain waktu lebih cepat, biaya lebih murah, tenaga lebih sedikit, periode inkubasi lebih cepat, penggunaan inokulum bakteri lebih sedikit dan tidak memerlukan lahan yang luas. Dengan demikian pengujian secara
in vitro dengan metode inokulasi gunting dapat
digunakan sebagai alternatif dari pengujian di lapangan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1.
Dilihat dari ketahanan klon kentang liar S. chacoense terhadap penyakit layu bakteri pada percobaan in vitro, metode inokulasi gunting lebih efektif dan efisien daripada metode inokulasi siram.
2.
Dari 19 klon kentang liar S. chacoense yang diuji, dua klon yang tahan terhadap penyakit layu bakteri baik pada percobaan in vitro maupun percobaan di lapangan, yaitu klon Pi230580 no. 01 dan 03.
3.
Hasil pengujian secara in vitro dengan inokulasi gunting pucuk setara (comparable) dengan hasil pengujian di lapangan.
Saran 1.
Pengujian ketahanan klon kentang terhadap penyakit layu bakteri dapat dilakukan secara in vitro dengan metode inokulasi gunting pucuk sebagai alternatif dari pengujian di lapangan.
2.
Klon yang tahan dapat digunakan sebagai sumber ketahanan pada program pemuliaan tanaman kentang untuk memperoleh kultivar yang tahan
DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1997. Plant Diseases caused by bacteria. Di dalam: Plant Pathology. “Ed ke-4”. Academic Press, Inc. San Diego. 713 hal. Akiew, E.B. 1985. Influence of soil moisture and temperature on the persistence of P. solanacearum. Hal: 77-79. Di dalam: Persley G.J., editor. Bacterial wilt disease in Asia and the South Pacific. ACIAR Proceedings No. 13, Canberra, Australia. Asandhi, A.A. 1996. Meningkatkan produktivitas kentang. Seminar agribisnis kentang, Jakarta, 18-19 Januari, 1996. Ashari, S. 1995. Hortikultura aspek budidaya. UI-Press. Jakarta. 458 hal.. Asian Vegetable Research and Development Centre. 1991. Vegetable research and development. Di dalam: The 1990s,: A strategic plant. Asian Vegetable Research and Development Center. Taipei. 61 hal. Aspiras, R.B. dan Cruz. Potensial biological control of bacterial wilt in tomato and potato with Bacillus polymyxa FU6 and Pseudomonas fluorescens. Hal : 89-92. Di dalam: Persley, G.J., editor. Bacterial wilt disease in Asia and the South Pacific. Proceedings of an international workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines 8-10 October 1985. ACIAR Proceedings No. 13, Canberra, Australia. Badan Pusat Statistik (BPS). 2005. Statistik Indonesia. Statistical Year Book of Indonesia 2004. BPS, Jakarta. 604 hal. Bamberg, J.B., M.W. Martin dan J.J. Schartner. 1994. Elite Selections of Tuberbearing Solanum Spesies Germplasm, Based on Evaluations for Disease, Pest and Stress Resistance. Inter-Regional Potato Introduction Station, USA. Ciampi, L. , L. Sequeire, dan E.R. French. 1980. Latent infection of potato tubers by P. solanacearum. Amer. Pot. J. 57: 377-386. Fock, I., C. Collonnier, A. Purwito., J. Luisetti, V. Souvannavong, F. Vedel, A. Servaes, A. Ambroise, H. Kodja, G. Ducreux dan D. Sihachakr. 2000. Resistance to Bacterial Wilt in Somatic Hybrids beetwen Solanum tuberosum and S. phureja. Plant Science (Acceptance). French, E.R. 1986. Interaction between strains of P. solanacearum, its hosts and the environment. Hal: 99-104. Di dalam: Persley G.J., editor. Bacterial wilt disease in Asia and the South Pacific. ACIAR Proceeding No. 13, Canberra, Australia. _________. 1996. Integrated control of bacterial wilt of potato. Bacterial wilt, Training manual. International Potato Centre (CIP), Lima, Peru.
Grimault, V., J. Schmis dan P. Prior. 1992. Some characteristics involved in bacterial wilt (Pseudomonas solanacearum) resistance in tomato. Hal: 112-119. Di dalam: G.L. Hartman dan A.C. Hayward, editor. Bacterial wilt: Proceedings of an International conference, held at Kaohsiung, Taiwan, 28-31 October 1992. ACIAR Proceeding No. 45. Canberra, Australia. Hakim, L. 1999. Kajian Komponen Pengendalian Terpadu Penyakit Layu Bakteri Ralstonia (Pseudomonas) solanacearum Yabuuchi et al. pada Kentang. Disertasi Program Pascasarjana IPB, Bogor. 162 hal. Hawkes, J.G. 1994. Origin of cultivated potatoes and species relationships. Di dalam: Bradshaw, J.E. & G.R. Mackay, editor. Potato Genetic. CAB International Cambridge. Hayward, A.C. 1964. Characteristics of P. solanacearum. J. of App. Bacterial. 27 : 265-277. ___________. 1983. Pseudomonas : The non-fluorescent Pseudomonas. Hal: 107-140. Di dalam: P.C. Fahy & G.J. Persley, editor. Plant bacterial disease: A diagnostic guide. Academic Press, Sydney. ___________. 1986. Bacterial wilt cause by P. solanacearum in Asia and Australia. Hal: 15-24. Di dalam: Persley G.J., editor. Bacterial wilt disease in Asia and the South Pacific. Proceedings No. 13, Canberra, Australia. ___________. 1991. Biologi and Epidemilogy of bacterial wilt cause by P. solanacearum. Annual Review of Phytopathology. 29: 65-87. He, L.Y., L. Sequeira and A. Kelman. 1983. Characteristic of strains of P. solanacearum from China. Plant Disease 67:1357-1361. Herrera, I.A. 1977. Caxamarca, New Potato variety resistant to bacterial wilt, Special Information No. 49. Ministry of Agriculture, Lima - Peru. Hooker, W.J. 1983. The potato. Hal: 1-5. Di dalam: W.J. Hooker, editor. Compedium of potato disease. Amer. Phytopath. Soc. St. Paul, Minnesota. USA. __________. 1990. Compedium of potato disease. Amer. Phytopathol. Soc., St. Paul, Minnesota, USA. Hutagalung, L. 1985 Senyawa kimia untuk pengendalian penyakit layu bakteri. Gatra penelitian penyakit tumbuhan dalam pengendalian terpadu. Risalah seminar PFI, 29-31 Oktober 1985, Jakarta. Hutten, R.C.B., M.G.M. Schippers, J.G.Th. Hermsen & E. Jacobsen. 1995 Cooperative performance of diploid and tetraploid progenies from 2x. 2x cross in potato. Euphytica. 81: 187-192.
International Potato Center. 1984. Potatoes for the developing world. International Potato Center, Lima. Peru. 148 hal. Janse, J.D. 2005. Phytobacteriology: Principles and practice. CABI Publ., Wallingford, UK. 360 hal. Kahar, A. 1996 Pengarahan Direktur Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura pada Seminar Agribisnis Kentang. Jakarta, 18-19 Januari, 1996. Kelman, A. 1953 The bacterial wilt caused by P. solanacearum. A literature review and bibliography. North Carolina Agric. Expt. Sta. Tech. Bull., 99. Kelman, A., G.L. Hartman dan A.C. Hayward. 1994. Introduction. Hal: 1-7. Di dalam: A.C. Hayward & G.L. Hartman, editor. 1994. Bacterial wilt: The disease and its causative agent, P .solanacearum. CAB, International, Wallingford. Kempe, J. dan Sequeira. 1983. Biological control of bacterial wilt of potatoes: attempts to induce resistence by treating tubers with bacteria. Plant Disease. 67: 499-503. Klement, Z., K. Rudolph dan D.C. Sands. 1990. Inoculation of plant tissues. Hal: 96-124. Di dalam Z. Klement, K. Rudolph dan D.C. Sands, editor. Methods in Phytobacteriology. Vol I. Akademiai Kiado, Budapest. Kosuge, T. 1978. The capture and use of energy by diseased plants. Hal: 86116. Di dalam: J.G. Horsfall dan E.B. Cowling, editor. Plant Diseases, an Advanced Treatise. Academic Press, New York. Lelliot, R.A. dan D.E. Stead. 1987. Methods for the diagnosis of bacterial diseases on plants. Second edition. Blackwell Sci. Publ., Oxford. Machmud, M. 1986. Bacterial wilt in Indonesia. Hal: 30-34. Di dalam: Persley, G.J., editor. Bacterial wilt disease in Asia and the South Pacific. Proceedings of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines 8 - 10 October 1985. ACIAR Proceedings No. 13, Canberra, Australia. Machmud, M., S.A. Rais dan Y. Suryadi. 1998. Strategi pengendalian penyakit layu bakteri guna menunjang upaya peningkatan produksi kacang tanah di Indonesia. Hal: 363-371. Risalah Seminar Nasional Prospek Pengembangan Agribisnis Kacang Tanah di Indonesia. Martin, C., dan E.R. French. 1996. Bacterial wilt of potato. Bacterial wilt, Training manual. International Potato Centre (CIP), Lima, Peru. Mehan, V.K., B.S. Liao, Y.J. Tan, A. Robinson-Smith, D. McDonald, dan A.C. Hayward. 1994. Bacterial wilt of groundnut. ICRISAT No. 35, Hyderabad, India. Murashige, T. and F. Skoog. 1962. A rivised medium for rapid growth and bioassay with tobacco tissue culture. Physiol Plant . 15: 473-497.
Palupi, T. 2001. Evaluasi Ketahanan Klon Kentang Hasil Fusi Protoplas terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) melalui Seleksi In vitro dan Pengujian di Rumah Plastik. Tesis Program Pascasarjana IPB, Bogor. 66 hal. Permadi, A.H. 1989. Asal-usul dan penyebaran kentang. Hal: 3-8. Di dalam: A.A. Asandhi, S. Sastrosiswojo, Suhardi, S. Abidin, Subhan, editor. Kentang. Badan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Hortikultura Lembang, Lembang. Persley, G.J., P. Bartugal, D. Gapasin dan P. Vander Zaag. 1986. Summary of Discusion and Recommendations. Hal: 7-13. Di dalam: G.J. Persley, editor. Bacterial wilt disease in Asia and the South Pacific. Proceedings of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines 810 October 1985. ACIAR Proceedings No. 13, Canberra, Australia. Sahat, S. 1984. Hasil-hasil penelitian pemuliaan kentang di Indonesia, dalam kumpulan makalah latihan teknik pembibitan kentang, Balai Penelitian Hortikultura Lembang-USAID. Sahat, S. dan H. Sulaiman. 1990. Evaluasi plasma nutfah kentang untuk ketahanan terhadap penyakit layu bakteri. Bull. Penel. Hort. Vol. XIX, No. 2: 5-9. Samanhudi, 2001. Identifikasi Ketahanan Klon Kentang Hasil Fusi Protoplas BF15 dengan Solanum stenotomum terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum). Tesis Program Pascasarjana IPB, Bogor. 88 hal. Schmiediche, P. 1984. Breeding bacterial wilt P. International Potato Center, Lima. Peru.
solanacearum EFS.
Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sequeira, L. 1992. Bacterial wilt: Past, Present, and Future. Hal: 12-21. Di dalam: G.L. Hartman dan A.C. Hayward, editor. Bacterial wilt: Proceedings of an International conference, held at Kaohsiung, Taiwan, 28-31 October 1992. ACIAR Proceeding No. 45. Canberra, Australia. Seneviratne, S.N. de S. 1978. Survival in the soil of P. solanacearum. Di dalam: Proceedings of the second regional symposium on potato production Southeast Asia and the Pacific. Los Banos, Laguna, Philippines. Smith, H. 1977. Molecular biology of plant cells. publication, Oxford.
Blackwell scientific
Soewito, D.S. 1991. Memanfaatkan lahan ke-7. Bercocok tanam kentang. C.V. Titik Terang, Jakarta.
Sokal, R.R. dan F.J. Rolf. 1995. Biometry: The principles and practice of statistics in biological research. “Ed ke-3”. W.H. Freeman and Company, New York. Tung, P.X. dan E.T. Rasco Jr. 1987. Bacterial wilt resistance in potato populations with multiple sources of resistance and adaptation. ACIAR. Bacterial Wilt Newslet. No. 2 July 1987. Tung, P.X., J.G. Th. Hermsen, P. Vander Zaag dan P. Scmiediche. 1992. Effects of resistance genes, heat tolerance genes and cytoplasms on expression of resistance to P. solanacearum E.F. Smith in potato. Euphytica 60: 127-138. Valdez, R.B. 1985. Bacterial wilt in the Phillippines. Hal: 49 - 56. Di dalam: Persley, G.J., editor. Bacterial wilt disease in Asia and the South Pacific. Proceedings of an International Workshop held at PCARRD, Los Banos, Philippines 8-10 October 1985. ACIAR Proceedings No. 13, Canberra, Australia. Wattimena, G. A. 1992. Pemuliaan tanaman secara in-vitro. Di dalam: Tim laboratorium kultur jaringan, editor. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hal: 105-59. Wattimena, G. A. 1994. Pengembangan propagul kentang unggul dan bermutu. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor. Hal: 80-90. Yabuuchi, E., Y. Kosaka, I. Yano, H. Hotta, dan Y. Nishiuchi. 1995. Transfer of two burkholderia and an alcaligenes spesies to Ralstonia gen : proposal of R. pickettii (Ralston, Palleroni, dan Doudoroff, 1973) comb. nov., R. solanacearum (Smith 1896). comb. nov. and R. eutropha (Davis 1969) comb.nov. J.Microbiol. and Immunol. 39 (11): 897-904.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi Media Murashige dan Skoog Lar. baku A B C
D E
F G
Bahan Kimia NH4NO3 KNO3 H3BO3 KH2PO4 CoCl2.6H2O Na2MoO4.2H2 O KI CaCl2.2H2O MgSO4.7H2O ZnSO4.7H2O CuSO4.5H2O MnSO4.4H2O Na2EDTA FeSO4.7H2O Nicotinic-acid Pyridoxin Thiamine Glycine CAP Myoinositol
Konsentrasi Lar. baku (g/l) 82.5 95.0 1.24 34.00 0.005 0.050 0.166 88.00 74.00 1.720 0.005 3.400 7.46 5.56 0.50 0.50 0.10 2.00 2.00 20.00
Vol Lar. baku Media (ml/l) 20 20 5
Konsentrasi dalam Media (ml/l) 1650.0 1900.0 6.2 170.0 0.025 0.25
5 5
5 1
4 5
0.83 440.0 370.0 8.6 0.025 170.0 37.3 27.8 0.5 0.5 0.1 2.0 8.0 100.0
Lampiran 2. Komposisi Media Sukrose Pepton Agar (SPA) Bahan Kimia Sukrose Peptone Agar K2HPO4 MgSO4.7H2O
Konsentrasi (g/l) 20 5 20 0.5 0.25
Lampiran 3. Komposisi Media Triphenyltetrazolium Chloride (TZC) Bahan Kimia Bacto-peptone Glukosa Agar TTC Casamino-acid
Konsentrasi (g/l) 10 10 20 0.05 1
Lampiran 4. Denah lahan percobaan di Kebun Percobaan Pasir Sarongge
Lampiran 5. Daftar sidik ragam periode inkubasi dari 19 klon kentang S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro Sumber Jumlah Derajat Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas Tengah F Teknik Inokulasi 210.68 1 210.68 58.79** Klon 311.49 19 16.39 4.58** Interaksi 46.49 19 2.45 0.68 Galat 286.67 80 3.58 Total 855.33 119 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata pada taraf 5%
Lampiran 6. Daftar sidik ragam kejadian penyakit dari 19 klon kentang S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan in vitro Sumber Jumlah Derajat Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas Tengah F Teknik Inokulasi 0.73 1 0.73 36.15** Klon 11.98 19 0.63 31.22** Interaksi 0.49 19 0.03 1.27 Galat 1.62 80 0.02 Total 14.81 119 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata pada taraf 5%
Lampiran 7. Daftar sidik ragam periode inkubasi dari 19 klon kentang S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan Sumber Jumlah Derajat Kuadrat Keragaman Kuadrat Bebas Tengah F Kelompok 22.96 4 5.74 1.18 Klon 568.96 19 29.95 6.13** Galat 371.04 76 4.88 Total 962.96 99 Keterangan: ** = berbeda sangat nyata pada taraf 5%
Lampiran 8. Daftar sidik ragam kejadian penyakit dari 19 klon kentang S. chacoense dan kultivar Atlantic pada percobaan di lapangan Sumber Keragaman Kelompok Klon Galat Total
Jumlah Kuadrat 1.00 13.35 12.64 26.99
Derajat Bebas 4 19 76 99
Kuadrat Tengah 0.25 0.70 0.17
F 1.51 4.23**
Keterangan: ** = berbeda sangat nyata pada taraf 5%
Lampiran 9. Morfologi Tanaman Kentang Klon S. chacoense dan Kultivar Atlantic
Karakter A. Morfologi Batang 1. Tinggi tanaman 2. Pertumbuhan batang tanaman 3. Jumlah batang 4. Jumlah buku 5. Warna batang 6. Sayap batang B. Morfologi Daun 1. Letak tangkai daun pada batang 2. Warna tangkai daun 3. Susunan letak daun primer dan sekunder pada tangkai daun 4. Panjang tangkai daun (daun tengah) 5. Jumlah anak daun primer 6. Panjang anak daun primer (sub terminal) 7. Anak daun sub terminal
S. chacoense Sedang (45 – 60 cm) Semi tegak/menyebar
Atlantic
Banyak (> 10 btg) Sedang (20 – 25) Hijau Tidak nyata
Pendek (< 45 cm) Semi tegak/menyebar Sedang (4 – 5 btg) Sedikit (< 20) Hijau Tidak nyata
Tajam/acute (< 450)
Tumpul (> 450)
Berpigmentasi (agak Tidak ungu) berpigmentasi Sedang (kurang rapat) Kurang rapat Sedang (25-30 cm)
Pendek (<25 cm)
Sedang (4-6 pasang)
Sedikit pasang) Kecil(<6 cm)
Sedang (6-8 cm)
Terpisah dengan anak daun terminal 8. Pasangan anak daun sub Sudut tajam dengan terminal tangkai daun
9. Rambut pada daun 10. Tepi/pinggir anak daun primer
Jarang Tidak bergelombang
11. Bentuk anak daun
Eliptik
12. Letak anak daun pada tangkai daun 13. Anak daun sekunder - Jumlah - Letak
Simetris
-
Bentuk
Tidak ada
-
Ukuran
Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
(1-3
Terpisah dengan anak daun terminal Sudut tumpang tindih dengan tangkai daun Jarang Tidak bergelombang Oval (bagian dasar daun lebar) Simetris Ada Anak tangkai daun primer Mengarah ke anak daun terminal Sedang (1-2 cm)
C. Morfologi bunga 1. Kemampuan berbunga 2. Tandan bunga (inflorence)
3. Tangkai tandan 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tangkai bunga Diameter bunga Kuncup bunga Warna tajuk bunga Bentuk stamen Warna anter Tangkai putik
D. Morfologi stolon 1. Ukuran stolon 2. Warna E. 1. 2. 3. 4.
Morfologi umbi Mata umbi Jumlah mata umbi Bentuk kulit umbi Bentuk umbi
5. 6. 7. 8. 9.
Warna kulit umbi Warna daging umbi Warna mata umbi Umur tanaman Ukuran umbi
Berbunga Sederhana (terbagi dua tangkai bunga, masing-masing punya beberapa bunga) Pendek (< 5 cm)
Berbunga Sederhana (terbagi dua tangkai bunga, masing-masing punya beberapa bunga) Pendek (< 5 cm)
Pendek (1-2 cm) Kecil (2,5 cm) Berpigmen (putih) Putih Normal Kuning Pendek
Pendek (1-2 cm) Kecil (2,5 cm) Berpigmen (putih) Putih Normal Kuning Panjang (1 cm di atas anter)
Panjang (20-40 cm) Putih berbintik ungu
Sedang (10-20 cm) Putih
Sedang Sedikit (< 5) Kasar Oval panjang, kedua ujung sama melebar Kecoklatan Putih Putih Genjah (60-95 hari) Kecil-kecil (< 5 cm)
Sedang Sedikit (< 5) Kasar Bulat Kecoklatan Putih Putih Genjah Besar (> 5 cm)