KETAHANAN KLON SOMATIS NILAM (Pogostemon cablin Benth.) TERHADAP Ralstonia solanacearum PATCHOULI (Pogostemon cablin Benth.) SOMATIC CLONES RESISTANCE TO Ralstonia solanacearum Arfita Sari1, Aziz Purwantoro2, Endang Hadipoentyanti3 INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik inokulasi yang paling tepat dalam seleksi ketahanan somaklon nilam terhadap R. solanacearum penyebab penyakit layu bakteri, mengetahui ada tidaknya peningkatan ketahanan terhadap bakteri layu pada somaklon nilam yang diinduksi mutasi in vitro dan diiradiasi dengan sinar gamma, serta mengetahui ada tidaknya somaklon yang tahan terhadap R. solanacearum penyebab penyakit layu bakteri. Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) yang berlokasi di Kampus Pertanian Cimanggu, Bogor pada bulan Januari - Juni 2009. Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial 2 x 8 dengan 3 ulangan. Faktor pertama yaitu perlakuan inokulasi (tusuk dan siram) sedangkan faktor kedua yaitu somaklon nilam (Tapak Tuan dan Sidikalang), somaklon nilan hasil irradiasi (1,5 krad; 3,5 krad; dan 4,5 krad) dan somaklon nilam hasil irradiasi yang telah melalui seleksi in vitro dengan filtrat bakteri (2 krad F4; 5,5 krad F4; dan 6 krad F2). Hasil percobaan menunjukkan bahwa teknik inokulasi yang paling tepat dalam seleksi ketahanan somaklon nilam terhadap layu bakteri adalah teknik tusuk, pada somaklon nilam yang diinduksi mutasi in vitro dan irradiasi sinar gama tidak ada peningkatan ketahanan somaklon nilam terhadap layu bakteri, dan somaklon yang tahan terhadap R. solanacearum adalah somaklon Tapak Tuan. Kata kunci: seleksi ketahanan, nilam, layu bakteri ABSTRACT This study aimed to (1) determine the most appropriate inoculation technique in the selection of patchouli soma clone resistance to R. solanacearum which causes bacterial wilt disease, (2) determine if there is an increase in resistance to bacterial wilt in soma clone patchouli-induced mutations in vitro and irradiated with gamma rays, and (3) determine whether there is a resistance to R. solanacearum which causes bacterial wilt disease. The research was conducted in the Research Institute Medicinal and Aromatic Plants (IMACRI) greenhouse located at the Cimanggu Agricultural Campus, Bogor in January-June 2009. The field experiment was arranged in 2 Factor Completely Randomized Design (CRD) with three replications. The first factor was the inoculation treatment (puncture and water) while the second factor was patchouli soma clone (Tapak Tuan and Sidikalang), patchouli soma clone the irradiation (1.5 krad; 3.5 krad, and 4.5 krad) and selected patchouli soma clone through in vitro selection with bacterial filtrate (2 krad F4: 5.5 F4 krad; and 6 krad F2). 1Alumni 2
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Fakultas Pertanian Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Peneliti Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor
The results showed that the most appropriate inoculation technique in the selection of resistance to wilting bacterial of patchouli soma clone was puncture technique, the soma clone patchouli-induced mutations in vitro and gamma ray irradiation did not increase the resistance to wilting bacterial of patchouli soma clone, and soma clone that is resistant to R. solanacearum was soma clone Tapak Tuan. Key words: selection of resistance, patchouli, bacterial wilt PENDAHULUAN Nilam (Pogostemon cablin Benth) merupakan tanaman atsiri yang cukup penting peranannya, baik sebagai sumber devisa negara maupun sebagai sumber pendapatan petani. Ekspor miyak nilam mencapai 1000 – 2000 ton, dengan nilai devisa US$ 16 - 30 juta. Laju peningkatan ekspor dalam 10 tahun terakhir mencapai 6% tiap tahun (Hobir, et.al, 1998; Ditjenbun, 2007). Dengan volume tersebut pada saat ini Indonesia merupakan produsen minyak nilam terbesar di dunia dengan kontribusi sekitar 90% dari kebutuhan minyak dunia (Anonim, 1994 dalam Asman, 1996). Layu bakteri merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman nilam yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, disamping penyakit yang disebabkan oleh nematoda dan penyakit budok yang penyebabnya jamur (Synchytrium sp.). Penyakit layu bakteri dapat menyebabkan kematian tanaman nilam relatif cepat dan dapat menurunkan produksi cukup tinggi yaitu sampai 6095 %, sehingga penyakit tersebut sering menimbulkan kerugian yang sangat fatal (Asman et al., 1998). Penggunaan varietas tahan adalah cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit tanaman termasuk penyakit layu bakteri nilam dalam upaya meningkatkan produksi nilam. Keterbatasan sumber genetik merupakan faktor pembatas dalam program pemuliaan nilam. Sempitnya keragaman genetik nilam serta perbanyakannya selalu dilakukan secara vegetatif yaitu dengan setek pucuk atau setek batang, sehingga salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik nilam untuk ketahanan terhadap penyakit layu bakteri yaitu dengan induksi mutasi in vitro dan irradiasi. Pada tahun 2007, dilakukan induksi mutasi in vitro dan irradiasi dari varietas Sidikalang yang mempunyai sifat agak tahan terhadap R. solanacearum dan kadar minyak tinggi, dan telah dihasilkan ± 50 somaklon. Kemudian
somaklon tersebut pada tahun 2008 diseleksi in vitro dengan filtrat atau suspensi bakteri R. solanacearum di tingkat laboratorium. Namun, untuk mengetahui apakah somaklon nilam yang dihasilkan tersebut benar-benar tahan terhadap R. solanacearum perlu dilakukan pengujian lebih lanjut salah satunya adalah dengan seleksi ketahanannya terhadap R. solanacearum di rumah kaca (in vivo ). BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) yang berlokasi di Kampus Pertanian Cimanggu, Bogor pada bulan Januari - Juni 2009. Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah filtrat atau suspensi bakteri Ralstonia solanacearum yang mengandung bakteri sekitar 108 sel/ml dan somaklon nilam (Sidikalang dan Tapak Tuan), somaklon nilam Sidikalang hasil mutasi in vitro dan irradiasi (1,5 krad; 3,5 krad; dan 4,5 krad;), serta somaklon nilam Sidikalang hasil irradiasi yang telah melalui seleksi in vitro dengan menggunakan filtrat bakteri layu (2 krad F4; 5,5 krad F4; dan 6 krad F2). Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap Faktorial 2 x 8 dengan 3 ulangan. Faktor pertama yaitu perlakuan inokulasi (tusuk dan siram) sedangkan faktor kedua yaitu somaklon nilam Pengamatan penyakit layu (a) hari muncul gejala, (b) persentase daun layu, (c) periode inkubasi, (d) intensitas serangan, dan (e) ketahanan tanaman. Pengamatan morfologi tanaman. HASIL DAN PEMBAHASAN Infeksi dimulai ketika patogen melakukan penetrasi pada tanaman, infeksi ini disebut infeksi setempat. Kemudian patogen melalui plasmodesmata atau langsung secara perlahan-lahan menyebar ke sel sekelilingnya. Gejala lokal tampak pada tempat masuknya patogen sedangkan gejala sistemik tampak setelah patogen menyebar melalui seluruh sistem inang dan infeksi menjadi sistemik. Untuk mengetahui kecepatan patogen dapat menginfeksi tanaman dapat dilihat pada hari muncul gejala. Hari muncul gejala dihitung semenjak dilakukan inokulasi hingga tanaman menunjukkan gejala layu. Gejala penyakit pada tanaman yang terserang layu bakteri yaitu: 1. Layu tanaman berlangsung dari cabang ke cabang tanpa suatu urutan yang teratur.
2. Pada saat yang bersamaan ada cabang layu, disamping itu ada cabang yang kelihatan masih sehat. 3. Gejala lanjut terlihat semua cabang dan seluruh bagian tanaman mati total. 4. Pada tanaman muda yang berumur 1-3 bulan kematian hanya dalam waktu 6 hari sejak terlihat gejala awal dan tanaman berumur 4-5 bulan sebagian kecil bagian tanaman dan tajuk lainnya masih bertahan dan baru mati total 1-2 minggu. 5. Sebagian besar jaringan batang dan akar tanaman yang bergejala layu, membusuk, kulit akar sekunder mengelupas, akar serabut banyak yang busuk. 6. Penampang melintang tanaman terserang memperlihatkan warna coklat kehitaman sepanjang jaringan yang layu sampai kambium (Asman et al., 1998). Tabel 4.2 Hari muncul gejala somaklon nilam (mulai 3 hsi) Somaklon Sdk Sdk Sdk Sdk Sdk Sdk Perlakuan TT Sdk 1.5 k 3.5 k 4.5 k 2 k F4 5.5 k F4 6 k F2 Rata 2 8 Siram 10 8.5 bc 16.5 ab 16 ab 9.67 bc 13 abc 7.5 bc 11.86 a Tusuk 108 19 a 4c 4.67 c 5c 4.67 c 4.5 c 4.67 c 5c 6.44 b K siram K tusuk Rata 2 19 a 6.25 b 10.59 b 5b 10.33 b 7.085 b 8.84 b 6.25 b Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% TT = Tapak Tuan, Sdk = sidikalang, k = krad, F4 = filtrat 104sel/ml, F2 = filtrat 102 sel/ml. Gejala layu lebih cepat terlihat pada somaklon nilam yang diinokulasi dengan cara tusuk karena perlakuan tusuk melukai batang somaklon nilam yang masih muda. Selain itu, metode inokulasi tusuk mempercepat bakteri
R.
solanacearum masuk ke jaringan pengangkutan sehingga proses transportasi tanaman terganggu. Meskipun antara perlakuan tusuk dan siram tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun pemberian inokulasi dengan cara tusuk lebih efektif dibandingkan metode siram, karena metode tusuk lebih cepat memperlihatkan gejala layu daripada siram. Somaklon Tapak Tuan merupakan satu-satunya somaklon yang dapat menahan serangan bakteri layu dalam waktu yang cukup lama pada metode
tusuk dan bahkan sama sekali tidak layu pada saat diinokulasi dengan cara siram. Hal ini menunjukkan bahwa somaklon nilam Tapak Tuan memiliki ketahanan terhadap bakteri layu. Mekanisme yang mungkin dimiliki somaklon nilam yaitu Avoidance atau menghindar, dimana somaklon nilam Tapak Tuan mampu mencegah atau menurunkan penetrasi bakteri layu di dalam jaringan tanaman sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Somaklon nilam dianggap terserang bakteri layu bila pada somaklon nilam tersebut menunjukkan gejala layu, organ yang paling cepat menunjukkan gejala layu adalah daun. Banyaknya daun yang layu dapat mengindikasikan besarnya serangan penyakit layu / rentannya somaklon terhadap bakteri layu. Pengamatan persen daun layu dilakukan pada minggu ke-4 setelah inokulasi. Tabel 4.3 Tabel Persentase daun layu pada minggu ke - 4
TT
Sdk
Sdk 1.5 k
Sdk 3.5 k
Somaklon Sdk Sdk 4.5 k 2 k F4
8
0d
90 a
41.75 c
0 d
38 c
63.72 ab
71.75 a
90 a
49.40
8
60 abc 0d 0d
90 a 0d 0d
90 a 0d 0d
90 a 0d 0d
90 a 0d 0d
68.03 ab 0d 0d
90 a 0d 0d
90 a 0d 0d
83.50 0 0
Perlakuan Siram 10
Tusuk 10 K siram K tusuk
Sdk 5.5 k F4
Sdk 6 k F2
Rata 2
Rata2 15 45 32.93 22.5 32 32.93 40.43 45 Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% TT = Tapak Tuan, Sdk = sidikalang Adanya perbedaan persen daun layu pada tiap somaklon menunjukkan adanya perbedaan tingkat ketahanan somaklon nilam untuk mencegah serangan penyakit layu. Mekanisme ketahanan pada klon-klon kultur anter, hibrid somatik maupun pada tetua liarnya, diduga dipengaruhi oleh kemampuan tanaman untuk menghambat perkembangan bakteri. Kemampuan tanaman untuk menghambat perkembangan bakteri mungkin berhubungan dengan senyawa antibaktri. Daun somaklon nilam layu disebabkan oleh masa bakteri yang menginfeksi tanaman berkembang di dalam jaringan xylem yang mengeluarkan ekstraseluler polysakaride (EPS) sehingga menyumbat jaringan pembuluh (Klement, 1990). Menurut
French
(1982)
dampak
dari
tersumbatnya
jaringan
pembuluh
menyebabkan translokasi air dan nutrisi dari bawah (akar) ke atas terhambat sehingga tanaman menjadi layu. Selain itu adanya massa bakteri menyebabkan
+
akar tidak dapat menyerap air dan nutrisi, sehingga air yang hilang akibat transpirasi tidak tergantikan (Pramanik, 2003). Periode inkubasi adalah waktu yang dibutuhkan oleh patogen sejak muncul gejala awal (layu) hingga tanaman mati. Selain dipengaruhi oleh konsentrasi dan virulensi bakteri patogen, ketahanan tanaman itu sendiri juga berperan dalam menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan bakteri untuk menimbulkan gejala awal. Pada perlakuan ini, konsentrasi dan virulensi bakteri yang digunakan sama, sehingga faktor yang berpengaruh terhadap berbedanya lama periode inkubasi pada nilam adalah ketahanan somaklon nilam dan metode yang digunakan untuk inokulasi bakteri.
Perlakuan 8
Siram 10 Tusuk 108 K siram K tusuk Rata 2
Tabel 4.4 Periode inkubasi somaklon nilam Somaklon Sdk Sdk Sdk Sdk Sdk Sdk TT Sdk 1.5 k 3.5 k 4.5 k 2 k F4 5.5 k F4 6 k F2 46.71 a 44.3 a 40.58 a 54.38 a 34.42 a 20.61 a 49.56 a 30 a 30.22 a 30 a 30.44 a 39.78 a 30 a 29.55 a 49.56 a 38.36 a 37.26 a 30 a 35.51 a 39.78 a 32.21 a 25.08 a Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% TT = Tapak Tuan, Sdk = sidikalang Metode siram dan tusuk tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, namun metode tusuk dinilai lebih efektif dibandingken metode siram. Periode inkubasi tanaman nilam yang mendapat perlakuan tusuk lebih cepat karena bakteri langsung masuk ke dalam jaringan tanaman sehingga dapat langsung menginfeksi tanaman nilam. Nilam yang mendapat perlakuan tusuk langsung mengalami layu dalam tingkatan yang berat karena bakteri langsung masuk dan berkembang di dalam jaringan tanaman sehingga proses transportasi dalam tubuh tanaman terganggu. Daun tidak mendapatkan air dan nutrisi karena terjadi penyumbatan pada bagian batang. Selain itu, perlakuan tusuk pada batang tanaman nilam yang masih muda menyebabkan kerusakan yang cukup besar pada batang nilam, akibatnya sebagian besar tanaman nilam yang diperlakukan dengan cara tusuk tidak dapat bertahan hidup. Intensitas serangan menggambarkan besarnya tingkat serangan penyakit pada suatu tanaman tertentu. Intensitas serangan penyakit dihitung dengan cara mengamati gejala layu daun yang terjadi pada daun setelah tanaman diinokulasi,
Rata 2 37.32 a 31.43 a -
pengamatan dilakukan setiap hari agar diketahui perkembangan penyakitnya, karena serangan bakteri R. solanacearum dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang sangat singkat setelah timbul gejala layu.
Perlakuan Siram 108 Tusuk 108 K siram K tusuk Rata 2
Tabel 4. 5 Intensitas Serangan Bakteri Layu Somaklon Sdk Sdk Sdk Sdk Sdk Sdk 6 TT Sdk 1.5 k 3.5 k 4.5 k 2 k F4 5.5 k F4 k F2 0c 51.97 ab 41.75 bc 0c 38.03 bc 63.72 ab 71.75 ab 60 ab 49.78 ab 90 a 90 a 90 a 90 a 62.48 ab 90 a 90 a 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0c 0 c 12.45 b 35.49 a 32.94 a 22.5 ab 32.0 a 31.55 a 40.44 a 37.5 a Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% TT = Tapak Tuan, Sdk = sidikalang Meski somaklon Sidikalang dan somaklon hasil irradiasi yang digunakan belum tahan terhadap penyakit layu bakteri, namun dari lamanya somaklon yang masih berusia 3 bulan ini dapat bertahan, ada kemungkinan bahwa irradiasi yang dilakukan telah meningkatkan ketahanan somaklon nilam terhadap bakteri layu mengingat bakteri layu dapat menimbulkan kematian dalam waktu yang singkat. Asman et.al (1998) mengatakan bahwa pada bibit nilam yang berumur 1-3 bulan, penyakit layu bakteri dapat menyebabkan kematian dalam waktu 6 hari setelah terlihat gejala awal, sedangkan pada tanaman nilam yang berumur 4-5 bulan sebagian kecil dari bagian tajuk masih bertahan dan baru mati total setelah 1-2 minggu. Ada tidaknya pelukaan pada organ tanaman mempengaruhi proses infeksi bakteri patogen. Luka yang terjadi pada waktu dilakukan inokulasi dengan cara menusukkan jarum pada batang tanaman menyebabkan inokulum lebih cepat masuk ke dalam jaringan tanaman. Umumnya bakteri masuk ke dalam jaringan tanaman melalui dua cara yaitu secara aktif dan pasif. Secara pasif yaitu melalui pelukaan dan lubang alami seperti stomata. sedangkan secara aktif melalui tekanan mekanik dan reaksi enzimatik. Kempe dan Sequeira (1983) menyatakan bahwa gen yang mengontrol ketahanan bersifat kompleks. Menurut Liao (1990) tingkat ketahanan merupakan manifestasi dari ketahanan tanaman dari perkembangan penyakit, yang akan berbeda antara kultivar tanamannya. Ekspresi dari tanaman tahan dapat dibentuk dengan melihat faktor-faktor seperti jenis tanaman, tingkat inokulum,
Rata 2 40.90 b 81.53 a 0c 0c -
virulensi patogen dan faktor lingkungan. Menurut Rusell (1978) ketahanan klon tanaman terhadap baketri sangat ditentukan oleh konsentrasi, ukuran dan morfologi dari stomata atau lentisel dan distribusinya di permukaan daun. Kondisi tersebut secara genetik mengontrol karakteristik, yang dapat mempengaruhi kemampuan dari beberapa bagian genotipe tanaman terhadap infeksi bakteri. Ciampi-Panno et al. (1981) mengatakan bahwa selain dipengaruhi oleh isolat patogen, klon tanaman juga berpengaruh terhadap kemampuan R. solanacearum untuk menimbulkan gejala layu dan menginfeksi tanaman. Hal ini disebabkan
karena
tanaman
memiliki
beberapa
mekanisme
untuk
mempertahankan diri dari penyakit. Mekanisme ketahanan dapat dibagi menjadi : 1. Avoidance (menghindar=mengelak), apabila stress yang eksternal ini mampu dicegah atau diturunkan penetrasinya ke dalam jaringan atau dikucilkan (exclude) dalam jaringan, sehingga tidak dapat menimbulkan strain. 2. Tolerance (menenggang) bila stress dapat masuk ke dalam jaringan namun tanaman mampu mencegah atau mengurangi terjadinya strain atau dapat memperbaiki kerusakan kerusakan yang disebabkan oleh strain (Levit, 1980). 3. Escape (lolos), tanaman sebenarnya tidak tahan, tetapi karena tidak ada stress selama daur hidup tanaman karena umur pendek atau karena adanya plastisitas perkembangan sehingga stress tidak terjadi bersamaan dengan fase pertumbuhan yang rentan (O’Toole dan Chang, 1977 cit. Soemartono, 1995) Mekanisme ketahanan pada tanaman tomat berkaitan dengan adanya kolonisasi terbatas pathogen pada jaringan vaskuler (Grimault et al., 1994), sehingga jumlah bakteri di bagian pucuk tetap stabil bahkan dapat mengecil. Pembatasan penyebaran bakteri di jaringan vaskuler tanaman-tanaman tahan dilengkapi dengan produksi tilosis, induksi barier non spesifik, dan adanya getah (gums) dan deposit-deposit yang lain. Tilosis terbentuk di jaringan xylem pada tanaman yang mengalami kondisi tercekam akibat serangan pathogen vaskuler, dan tanaman tahan akan memproduksi tilosis dalam jumlah besar dan cepat, sehingga mampu mencegah pathogen untuk menyebar ke seluruh bagian tanaman sedangkan pada tanaman rentan produksi tilosis jumlahnya sangat sedikit (Agrios,1998).
Tabel 4.6 Tingkat ketahanan somaklon nilam Siram 108 Tusuk 108 Kesimpulan % DL Kriteria % KP Kriteria % DL Kriteria % KP Kriteria Tapak Tuan 0 T 0 ST 60 AR 33.33 AT tahan Sidikalang 90 R 33.33 AT 90 R 100 SR rentan Sdk 1.5 k 41.75 AR 33.33 AT 90 R 100 SR rentan Sdk 3.5 k 0 T 0 ST 90 R 100 SR rentan Sdk 4.5 k 38 AT 33.33 AT 90 R 100 SR rentan Sdk 2 k F4 63.72 R 33.33 AT 68.03 R 66.7 R rentan Sdk 5.5 k 71.75 R 66.67 R 90 R 100 SR rentan F4 Sdk 6 k F2 90 R 66.67 R 90 R 100 SR rentan Keterangan : DL : daun layu KP : kejadian penyakit ST : sangat tahan T : tahan AT : agak tahan R : rentan AR : agak rentan SR : sangat rentan Berdasrkan tabel 4.6 terlihat tingkat ketahanan somaklon nilam terhadap penyakit layu bakteri, dimana hanya somaklon tapak tuan yang dinyatakan tahan, selebihnya rentan. Meskipun pada penelitian sebelumya disebutkan bahwa somaklon yang paling tahan adalah Sidikalang, ternyata pada penelitian ini justru somaklon Tapak Tuan yang tahan terhadap bakteri layu. Hal ini dapat terjadi karena perlakuan kultur jaringan yang dilakukan dapat menimbulkan variasi somaklonal pada somaklon Tapak Tuan. Somaklon nilam yang diiradiasi dengan sinar gama (1.5 krad, 3.5krad, dan 4.5 krad) justru tidak ada yang tahan, pada perlakuan siram somaklon hasil irradiasi 3.5 krad menunjukkan ketahanan terhadap bakteri layu, namun ketika diperlakukan dengan tusuk somaklon ini tidak dapat bertahan hidup. Somaklon nilam yang telah melalui seleksi in vitro setelah diiradiasi sinar gama (2 F4, 5.5 F4 dan 2 F6) justru tidak ada yang tahan. Morfologi/penampakan habitus nilam juga memiliki pengaruh terhadap ketahanan tanaman nilam terhadap layu bakteri. Somaklon nilam yang terbukti tahan pada penelitian ini adalah somaklon nilam Tapak Tuan. Berdasarkan gambar 4.7 terlihat bahwa somaklon nilam Tapak Tuan lebih kekar daripada somaklon Sidikalang. Somaklon Tapak Tuan lebih pendek daripada Somaklon Sidikalang, jarak antar cabang pada somaklon Tapak Tuan lebih dekat daripada somaklon Sidikalang. Lebar daun Tapak Tuan (6.25 cm) sedikit lebih lebar daripada somaklon Sidikalang (5.43 cm). Daun Tapak Tuan juga sedikit lebih tebal (0.157 cm) dibandingkan dengan daun Sidikalang (0.149 cm).
Somaklon nilam hasil irradiasi sinar gamma 3,5 krad memiliki bentuk pertumbuhan yang berbeda dengan somaklon nilam yang lain. Somaklon nilam hasil irradiasi sinar gamma 3.5 krad memiliki bentuk pertumbuhan yang merumpun. Pada perlakuan siram, bentuk tubuh tanaman merumpun memiliki kemampuan bertahan terhadap serangan layu bakteri yang cukup baik, karena semakin banyak rumpun maka jumlah daun semakin banyak sehingga energi dan fotosintat yang dihasilkan juga semakin besar. Selain itu pada tanaman berumpun penyebaran bakteri dapat dihambat karena serangan bakteri hanya terkonsentrasi pada satu batang, sedangkan batang lain yang sehat dapat berfungsi dengan normal.
Gambar 4.7 Somaklon Tapak Tuan (28 hsi)
nilam
Gambar 4.8 Somaklon nilam Sidikalang (28 hsi)
Pada perlakuan tusuk dan siram, somaklon nilam yang dirradiasi dengan sinar gamma memiliki tingkat ketahanan penyakit layu bakteri yang tidak signifikan, atau dapat dikatakan bahwa hampir semua somaklon nilam hasil irradiasi sinar gamma tidak tahan terhadap serangan penyakit layu bakteri. Somaklon nilam yang memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap serangan layu bakteri adalah somaklon Tapak Tuan hasil mutasi in vitro. Secara morfologi, tanaman somaklon Tapak Tuan memiliki penampang daun yang lebih lebar daripada somaklon Sidikalang dan somaklon-somaklon nilam hasil irradiasi, selain itu batang somakon Tapak Tuan lebih pendek dan tebal. Dengan daun yang lebih lebar fotosintat dan energi yang dihasilkan oleh nilam Tapak Tuan lebih banyak, sehingga dimungkinkan kemampuan regenerasi sel pada nilam Tapak Tuan lebih cepat daripada nilam Sidikalang dan somaklon nilam hasil irradiasi sinar gamma.
Kapatral et.al (2000) mengatakan bahwa penyakit layu bakteri disebabkan oleh masa bakteri menginfeksi tanaman berkembang di dalam jaringan xylem, kemudian mengeluarkan EPS sehingga menyumbat jaringan pembuluh yang berakibat jaringan batang dan akar menjadi busuk. Dampak dari tersumbatnya jaringan pembuluh menyebabkan translokasi air dan nutrisi dari akar ke daun menjadi terhambat. Menurut Mahmud, bakteri R. solanacearum mempunyai daya rusak yang besar terhadap tanaman yang diserangnya, hal ini disebabkan karena selain memproduksi EPS, bakteri ini juga memproduksi enzim pektinase dan selulase yang merusak lamella tengah dan memisahkan satu sel dengan sel lainnya, serta menyebabkan peningkatan permeabilitas dan kehilangan air yang dapat menyebabkan dekompososi. Terhambatnya proses translokasi air
dan nutrisi pada tanaman
menyebabkan pertumbuhan dan metabolisme tanaman menjadi terganggu, pada tanaman yang masih muda terganggunya metabolisme memberikan dampak yang cukup besar karena tanaman belum memiliki cadangan makanan dan masih membutuhkan banyak energi dalam regenerasi sel. Oleh karena itu, serangan layu bakteri pada tanaman yang masih muda dapat mengakibatkan kematian dalam waktu yang singkat. Tanaman nilam yang tidak tahan terhadap layu bakteri pada umur 1- 3 bulan akan mati ± 6 hari setelah terlihat gejala awal dan tanaman umur 4 - 5 bulan kematian terjadi 1 – 2 minggu. Patogen yang berhasail menginfeksi inang kemudian tumbuh dan berkembang dalam tubuh inang akan menyebabkan gangguan fisiologis yang terus menerus sehingga menyebabkan penyakit. Namun terkadang pathogen tidak mampu menginfeksi tubuh tumbuhan karena adanya hambatan mekanis dan kimiawi (Suhara dan Yulianti, 2005). Kemampuan tanaman untuk mencegah masuknya atau menghambat perkembangan dan aktivitas pathogen dalam jaringan tanaman merupakan ketahanan tanaman (Agrios, 1997). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, somaklon nilam hasil radiasi sinar gamma belum menunjukkan adanya sifat tahan terhadap penyakit layu bakteri. Nilam yang sanggup bertahan hingga akhir pengamatan hanyalah somaklon Tapak Tuan. Mekanisme ketahana pada somaklon Tapak Tuan yaitu toleran, hal ini dibuktikan dengan tidak terlihatnya penebalan dinding sel atau penyumbatan yang dapat mencegah bakteri masuk ke dalam jaringan tanaman. Pada mekanisme ini, somaklon Tapak Tuan terserang bakteri layu namun tetap
dapat bertahan hidup. Serangan bakteri layu dapat diatasi sehingga tidak menimbulkan gejala layu. KESIMPULAN 1. Perlakuan siram lebih efektif untuk menyeleksi ketahanan tanaman terhadap serangan bakteri layu. Pada perlakuan tusuk, kemungkinan bakteri layu masuk kedalam jaringan lebih besar daripada pada metode siram. 2. Tidak terdapat perbedaan ketahanan pada somaklon nilam hasil irradiasi sinar gamma. Somaklon nilam yang diperlakukan dengan tusuk atau siram mengalami serangan layu bakteri pada tingkatan yang berat. 3. Somaklon nilam yang tahan adalah somaklon Tapak Tuan hasil perbanyakan in vitro. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G. N. 1997. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Akiew, E. 1985. Management of Bacterial Wild Tobacco. Bacterial Wild. CAB Internasional, UK. Asman, A., Nasrun, A. Nurawan, dan D. Sitepu. 1993. Penelitian Penyakit Nilam. Risalah Kongres Nasional XII dan Seminar Ilmiah PFI, Yogyakarta. Baldoni, L. and E. Rugini. 2002. Genetic Modification of Agronomic Traits In Fruit Crops. Valpuesta, V. (Eds.). Fruit and Vegetable Biotechnology. England: Woodhead Publ. Ltd, Cambrigde. Boertjes, C. and A.A. van Harten. 1978. Application of Mutation Breeding Methods in the Improvement of Vegetatively Propagated Crops. Elsevier Scientific Publishing Co, New York. Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of The Economic product of The malay Penisula. Univ. Pers Oxford, Great Bretain, London. Crowder, L. V. 1990. Genetika Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ditjenbun. 2007. Nilam. Statistik Perkebunan. Direktorat Jendral Produksi Perkebunan, Jakarta. Hadipoentyanti, E. S. Y. Hartati, Amalia, Nursalam, S. Suhesti, Nuri dan Suyatna. 2009. Evaluasi Ketahanan Nilam Terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Rencana Operasional Pelaksanaan Penelitian (ROPP). Balittro, Bogor. Hayward, A. 1991. Diagnosis, Distribution and Status of Groundnut Bacterial Wilt. ACIAR Proceedings, Australia. Hobir, N. Nurjanah, I. Mariska, dan R. E. Pribadi. 1998. Prospek Pengembangan Nilam di Indonesia. Seminar Agribisnis Club Indonesia, Jakarta.
Hooker, W. J. 1990. Compedium of Potato Deseases. The Amer Phytopathol. Soc., Minnesota, USA. Ismachin, M. 1988. Pemuliaan Tanaman Dengan Mutasi Buatan. Pusat Aplikasi Isotop Radiasi. BATAN, Jakarta. Mustika, I dan Nuryani. 2006. Strategi pengendalian nematoda parasit pada tanaman nilam. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol 25 (1): 7-15. Nasrun, Y. Nuryani, Hobir dan Repianyo. 2004. Seleksi ketahanan varian nilam terhadap penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) secara in planta. Journal Stigma. 12(4): 471-473. Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Prasetyorini. 1991. Pengaruh Radiasi Sinar Gamma dan Jenis Eksplan Terhadap Keragaman Somaklonal Pada Tanaman gerbera (Gerbera jamesonii Bolus ex Hook). Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Semangun, H. 1989. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Sitepu, D. dan A. Asman. 1989. Laporan Penelitian Penyakit Nilam di Daerah Istimewa Aceh. Kerjasama PT Pupuk Iskandarmuda (Persero) dan Balittro, Bogor. Syukur, C dan Y. Nuryani. 1998. Plasma Nutfah. Monograf Nilam. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Toriyama, K. R. 1975. Progress of Studies on Horizontal Resistance in Rice Breeding for Blast Resistance in Japan. CIAT. Cali, Colombia. Van der Bulk, R. W. 1991. Application of cell and tissue culture and in vitro selection for disease resistance. Breeding And Review. Euphytica 56: 269-285. Yabuuchi, E. Y. Kosaka, I. Yano, H. Hotta and Nishiuchi. 1995. Transfer of two Burkholderia and an alcaligenes to Ralstonia gen proposal of R. Pickettii (Ralstonia, Palleroni and Doudoroff, 1973) comb. Nov. R. solanacearum (Smith, 1896) comb. Nov. J. Microbiol and Immunol. 39 (11): 897 – 904