KETAHANAN IN VITRO BEBERAPA KLON KENTANG (Solanum tuberosum L.) TERHADAP SUHU TINGGI
FITRA FARHANA
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ketahanan In Vitro Beberapa Klon Kentang (Solanum tuberosum L.) terhadap Suhu Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015
Fitra Farhana NIM A24110169
ABSTRAK FITRA FARHANA. Ketahanan In Vitro Beberapa Klon Kentang (Solanum tuberosum L.) terhadap Suhu Tinggi. Dibimbing oleh AWANG MAHARIJAYA. Rendahnya produktivitas kentang (Solanum tuberosum L) di Indonesia salah satunya dikarenakan oleh keterbatasan tempat yang memiliki suhu dan kelembapan sesuai untuk pertanaman kentang. Kultivar adaptif pada suhu tinggi diperlukan untuk memperluas daerah penanaman kentang di dataran medium. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi pertumbuhan dan produksi umbi mikro klon-klon tanaman kentang pada dua suhu yang berbeda yaitu suhu tinggi (29-31 oC) dan suhu rendah (23-25 oC). Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2015 di Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor, Baranang Siang. Induksi umbi mikro kentang dilakukan dengan dua belas klon (IPB-K1, IPB-K2, IPB-K3, IPB-K4, IPB-K5, IPB-K6, IPB-K7, IPB-K9, IPB-K10, IPB-K12, IPB-K13, dan kultivar Granola). Penelitian disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan sepuluh ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan respons ketahanan klon kentang terhadap suhu tinggi pada pertumbuhan vegetatif dan pengumbian mikro. Interaksi antara suhu dan klon berpengaruh sangat nyata (p<0.01) terhadap peubah yang diamati pada fase pertumbuhan dan pengumbian. Klon IPB-K6 dan IPB-K13 bersifat toleran terhadap suhu tinggi. Toleran terhadap suhu tinggi dapat dilihat dari perbedaan daya adaptasi berdasarkan kecilnya perubahan persentase kontaminasi akibat suhu tinggi. Tahap produksi umbi pada klon IPB-K2, IPB-K3, dan IPB-K10 memiliki respons yang tidak berbeda nyata (p>0.05) pada suhu tinggi dan suhu rendah. Klon-klon tersebut dapat dijadikan sebagai calon kultivar kentang yang adaptif pada suhu tinggi. Kata kunci : dataran medium, pengumbian, pertumbuhan, suhu rendah, suhu tinggi
ABSTRACT FITRA FARHANA. Resistance In Vitro of Several Potato Clones (Solanum tuberosum L.) to High Temperature. Supervised by AWANG MAHARIJAYA. One of the factors limiting the productivity of potato (Solanum tuberosum L.) in Indonesia is the limited land with suitable temperature and humidity for planting potatoes. Therefore adaptive cultivars to high temperatures are needed for expanding the potato’s planting area. This study aimed to get information about growth and yield of potato plant’s clones on two types of temperatures which are high temperature (29-31 oC) and low temperature (23-25 oC). The research were carried out from Maret to August 2015 at the Tissue Culture Laboratory, Tropical Horticulture Research Center (PKHT), Bogor Agricultural University, Baranang Siang. Induction micro tuber potato were carried with twelve clones (IPB-K1, IPB-K2, IPB-K3, IPB-K4, IPB-K5, IPB-K6, IPB-K7, IPB-K9, IPB-K10, IPBK12, IPB-K13, and a cultivar Granola). Research groups arranged in a complete randomized design (RKLT) with ten replications. The results showed that there are differences in the response of potato clones resistance to high temperature on vegetative growth and micro tuber development. The interaction between rising temperatures and the clones was highly significant difference (p<0.01) on the observed variables in the growth phase and tuber development. Klon IPB-K6 and IPB-K13 clone are tolerant towards high temperatures. Tolerance to heat stress can be determined from the differences of adaptation by small changes in contamination percentage due to high temperatures. Production stage tuber clones were IPB-K2, IPB-K3, and IPB-K10 responsed not significantly different (p>0.05) at high temperature and low temperature. Clones can be used as an adaptive cultivars of potatoes at high temperatures. Keywords : growth phase, high temperature, low temperature, medium land, tuber development
KETAHANAN IN VITRO BEBERAPA KLON KENTANG (Solanum tuberosum L.) TERHADAP SUHU TINGGI
FITRA FARHANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan hidayah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi yang berjudul “Ketahanan In Vitro Beberapa Klon Kentang (Solanum tuberosum L.) terhadap Suhu Tinggi” ini dilaksanakan sejak bulan Maret sampai Agustus 2015 di Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor, Baranang Siang. Penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr Awang Maharijaya, SP MSi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama perencanaan dan pelaksanaan penelitian serta pembuatan skripsi ini. 2. Dr Ir Winarso Drajad Widodo, MS yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan terkait dengan permasalahan akademik. 3. Dr Ani Kurniawati, SP Msi dan Dr Ir Yudiwanti Wahyu MS sebagai dosen penguji 4. Ayah (M. Naseh), ibu (Husni Dewi Hilda), kakak (Ramadhini Rizkiyah), dan adik (Alifa Amalia Hasna) yang selalu mendukung, memotivasi, memberikan kasih sayang dan doa yang membuat penulis menjadi lebih bersemangat untuk dapat segera menyelesaikan skripsi. 5. Bapak Sulaeman Taufik dan Ibu Dede Sapitri yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan telah memberikan izin penulis untuk menggunakan sebagian data dari “Log Book Harian Suhu dan Temperatur Laboratorium PKHT” 6. PKHT IPB yang telah mendukung penulis untuk ikut bergabung dalam tim peneliti kentang dan membiayai penelitian ini, 7. Teman-teman Agronomi dan Hortikultura angkatan 48 yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala perhatian, dukungan, semangat, dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis berharap kritik dan saran dari semua pihak. Semoga skripsi yang penulis buat ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Desember 2015 Fitra Farhana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN
13
Latar Belakang
13
Tujuan
14
Hipotesis
14
TINJAUAN PUSTAKA
15
Botani Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.)
15
Syarat Tumbuh Tanaman Kentang
15
Keragaman Genetik Kentang
16
Induksi Umbi Mikro Kentang secara In Vitro
4
Kentang Dataran Menengah
5
METODE PENELITIAN
18
Tempat dan Waktu
18
Bahan dan Alat
18
Rancangan Percobaan
18
Pelaksanaan Penelitian
19
Pengamatan
20
Analisis Data
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
22
Kondisi Umum Penelitian
22
Pertumbuhan Eksplan
23
Produksi Umbi
32
SIMPULAN DAN SARAN
42
Simpulan
42
Saran
42
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL 1 Temperatur ruang perlakuan pada bulan Maret hingga Agustus 2015
10
2 Rekapitulasi analisis ragam terhadap karakter kuantitatif yang diamati pada klon-klon kentang secara in vitro
11
3 Nilai tengah persentase kontaminasi klon-klon kentang perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
12
4 Nilai tengah persentase eksplan hidup klon-klon kentang perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
14
5 Nilai tengah tinggi tanaman klon-klon kentang saat 4 MST pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
16
6 Nilai tengah jumlah daun klon-klon kentang saat 4 MST pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
17
7 Nilai tengah jumlah buku klon-klon kentang saat 4 MST pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
18
8 Nilai tengah jumlah akar klon-klon kentang saat 4 MST pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
19
9 Hasil analisis korelasi antara tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah buku, dan jumlah akar klon-klon kentang perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi pada 4 MST
20
10 Nilai tengah waktu inisiasi umbi mikro klon-klon kentang pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
21
11 Nilai tengah jumlah umbi mikro kentang per botol pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
23
12 Nilai tengah diameter umbi mikro klon-klon kentang pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
24
13 Nilai tengah bobot basah per umbi klon-klon kentang pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
25
14 Nilai tengah persentase bobot kering umbi mikro klon-klon kentang pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
26
15 Hasil analisis korelasi antara jumlah umbi, diameter umbi, bobot basah per umbi, persentase bobot kering umbi klon-klon kentang perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
27
16 Nilai tengah produksi umbi per tanaman mikro klon-klon kentang pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
28
17 Karakter kualitatif klon-klon kentang secara in vitro
29
DAFTAR GAMBAR 1
2 3
Kondisi eksplan kentang pada minggu ke-4 pengamatan: (A) Eksplan hijau, (B) Eksplan terkontaminasi cendawan, (C) Eksplan terkontaminasi bakteri
13
Kematian jaringan eksplan beberapa klon kentang pada suhu tinggi secara in vitro
15
Keragaan warna kulit dan warna daging umbi mikro klon-klon kentang secara in vitro
29
DAFTAR LAMPIRAN 1
Komposisi media Murashige dan Skoog
35
2
Data kelembapan ruang perlakuan suhu pada bulan Maret sampai Agustus 2015
36
13
PENDAHULUAN Latar Belakang Kentang merupakan salah satu tanaman sayur utama dunia (FAOSTAT 2014). Konsumsi kentang di Indonesia sebagai bahan pangan berkembang cukup cepat. Konsumsi kentang dalam rumah tangga pada tahun 2002-2012 rata-rata meningkat sebesar 1.76% setiap tahunnya. Diversifikasi menu makanan yang didominasi oleh serealia bergeser ke komposisi pangan yang lebih berimbang cenderung dilakukan konsumen (Pusdatin 2013). Nilai gizi kentang relatif berimbang yaitu mengandung air (78%), karbohidrat (18%), protein (2%), mineral dan vitamin C (Rubatzky dan Yamaguci 1998). Produktivitas kentang di Indonesia cenderung meningkat dalam kurun waktu 2010-2014. Tahun 2010 produktivitas kentang di Indonesia sebesar 15.94 ton ha-1, tahun 2012 mejadi 16.58 ton ha-1, dan pada tahun 2014 produktivitas kentang mengalami peningkatan yaitu 17.67 ton ha-1 (BPS 2014). Produktivitas ini masih lebih rendah dibandingkan dengan potensi hasil yang dapat mencapai 25-30 ton ha-1 (Pusdatin 2013). Faktor penyebab rendahnya produktivitas kentang di Indonesia salah satunya disebabkan oleh keterbatasan daerah penanaman yang memiliki ketinggian tempat dan suhu yang optimal. Daerah yang cocok untuk menanam kentang di Indonesia adalah dataran tinggi atau daerah pegunungan dengan ketinggian 1 000–3 000 m diatas permukaan laut (m dpl). Ketinggian ideal untuk daerah penanaman kentang adalah 1 000-1 300 m dpl (Samadi 2007). Tanaman kentang menghendaki suhu udara antara 15 sampai 22 oC (optimumnya 18-20 oC) dengan kelembapan udara 80-90 % (Sunarjono 2007). Usaha meningkatkan produksi kentang dapat dilakukan selain melalui intensifikasi, diperlukan juga upaya ekstensifikasi. Ekstensifikasi dapat dilakukan dengan mengoptimalkan pemanfaatan lahan–lahan dataran medium yang arealnya terdapat pada ketinggian 500-700 m dpl dengan suhu udara 28-30 oC (Handayani et al. 2011). Andriyanto et al. (2013) menyatakan luas areal berpengaruh secara nyata terhadap produksi kentang di Indonesia. Peningkatan luas areal akan meningkatkan produksi kentang. Terbatasnya lahan optimal untuk pertanaman kentang menyebabkan pergeseran pada area yang kurang optimal untuk produksi kentang seperti pada lahan dengan tingkat ketinggian medium. Pengembangan tanaman kentang di dataran medium hingga saat ini masih menghadapi beberapa kendala. Kendala utama yang membatasi pengembangan penanaman kentang di dataran medium salah satunya adalah belum adanya kultivar tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi cekaman suhu tinggi. Tanaman kentang yang menerima suhu melebihi suhu optimum dapat dikatakan mengalami cekaman suhu tinggi (Kotak et al. 2007). Penanaman kentang di luar daerah asalnya memiliki ketidakmampuan untuk beradaptasi pada suhu tinggi yang membatasi produksinya di daerah rendah tropika. Suhu siang dan malam yang tinggi menyebabkan berkurangnya laju asimilasi bersih, jumlah bahan kering yang terbagi ke umbi berkurang karena tingginya laju respirasi (Rubatzky dan Yamaguci 1998). Tanaman mengalami berbagai perubahan morfologi tanaman dan umbi, serta mengalami penurunan produksi umbi sebagai respons terhadap cekaman suhu tinggi (Wahid et al. 2007). Suhu tinggi memiliki
efek langsung dan tidak langsung yang mengurangi produksi tanaman. Efek langsungnya ialah mengurangi fotosintesis dan meningkatkan respirasi menyisakan sedikit fotosintat untuk pertumbuhan dan perkembangan. Suhu tinggi menginduksi perkembangan tanaman dengan batang yang tipis, daun kecil, stolon panjang, peningkatan jumlah ruas, penghambatan pembangunan umbi dan penurunan rasio berat umbi segar dengan total berat segar (Rykaczewska 2015). Suhu tinggi secara tidak langsung memecah ikatan gula diantara organ berbeda yang mempengaruhi hasil produksi (Minhas 2012a). Paparan terhadap tanaman kentang oleh tekanan suhu panas mengubah keseimbangan hormon antara akar dan tunas, sehingga mempengaruhi pengumbian dan pembesarannya. Ketika tanaman kentang terkena suhu tinggi, kandungan giberelin pada daun meningkat, pertumbuhan akar dan pengumbian terhambat (Menzel 1983). Perluasan areal tanam kentang di dataran medium dapat diupayakan dengan seleksi tanaman kentang pada suhu tinggi untuk mengatasi permasalahan kenaikan suhu di dataran medium melalui teknik kultur in vitro. Pemanfaatan karakter terseleksi pada kultur in vitro berpeluang untuk mempercepat kegiatan seleksi. Teknik kultur in vitro dapat dilakukan dengan waktu yang cepat, sifat seragam, tidak tergantung musim, tidak membutuhkan banyak bahan tanaman dan lahan yang relatif kecil (Wattimena 2000). Penelitian Gopal (2001) menunjukkan pengujian pengumbian kentang secara in vitro dan in vivo memiliki korelasi positif secara umum sehingga dapat digunakan untuk menduga performa tanaman di lapangan terhadap pengaruh suhu tinggi. Induksi umbi mikro secara in vitro pada suhu tinggi diharapkan dapat memberikan informasi awal tentang potensi budidaya tanaman kentang pada suhu tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk pengembangan kentang di lapang. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi pertumbuhan dan produksi umbi mikro klon-klon tanaman kentang pada dua suhu yaitu suhu tinggi dan suhu rendah. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Terdapat minimal satu klon dengan daya adaptasi yang baik terhadap suhu tinggi. 2. Terdapat minimal satu klon yang mampu menghasilkan umbi pada suhu tinggi.
TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) Tanaman kentang berasal dari wilayah pegunungan Andes di Peru dan Bolivia. Arkeolog menunjukkan bahwa kentang telah dimanfaatkan sekurangkurangnya sejak 8 000 tahun yang lalu. Tanaman kentang liar dan yang dibudidayakan dapat bertahan di habitat tumbuhnya (in situ) dengan baik karena umbinya memiliki kadar air, pati, dan cadangan hara lain yang memungkinkan untuk regenerasi (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Kentang merupakan tanaman herba semusim. Tanaman kentang memiliki batang berwarna hijau, ungu atau merah apabila mengandung antosianin. Batang tanaman kentang memiliki dua tipe yaitu batang yang tumbuh di atas tanah (aerial) dan batang yang tumbuh di bawah tanah (underground). Batang yang tumbuh di bawah tanah terdiri dari stolon dan umbi yang memiliki fungsi serupa dengan batang di atas tanah, namun setiap stolon mengakhiri pertumbuhan dengan bertambah besar atau membentuk umbi (Sunarjono 2007). Tanaman kentang memiliki daun yang rimbun dan terletak berselang seling pada batang tanaman, berbentuk oval dengan tulang daun menyirip dan ujung daun yang runcing. Bunganya merupakan bunga sempurna, ukurannya kecil, memiliki warna yang bervariasi kuning dan ungu, tumbuh pada ketiak daun teratas (Samadi 2007). Umbi kentang merupakan umbi batang yang terbentuk dari pembesaran stolon. Stolon tersebut dapat menimbun dan menyimpan produk fotosintesis pada bagian ujungnya sehingga membentuk umbi. Bentuk umbi beragam, ada yang memanjang, kotak, bulat atau pipih (Rukmana 2002). Berdasarkan warna umbinya, kentang dibedakan ke dalam tiga golongan sebagai berikut: (1) Kentang putih, yaitu jenis kentang yang memiliki warna putih pada daging umbi dan kulitnya, misalnya, kultivar Marita, Donate, Radosa, Diamante, dan lain-lain, (2) Kentang kuning, yaitu jenis kentang yang memiliki warna kuning pada umbi dan kulitnya, misalnya, kultivar Patrones, Thung, Eigenheimer, Rapan, Granola, Cipanas, Segunung, Cosima, dan lain-lain, dan (3) Kentang merah, yaitu jenis kentang yang memiliki warna merah pada umbi dan kulitnya, misalnya kultivar Desiree dan Arka (Samadi 2004). Syarat Tumbuh Tanaman Kentang Kentang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik bila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan persyaratan tumbuhnya. Keadaan iklim dan tanah merupakan hal penting yang perlu diperhatikan, di samping faktor penunjang lainnya. Daerah yang ideal untuk menanam kentang adalah dataran tinggi atau daerah pegunungan dengan ketinggian antara 1 000 sampai 1 300 m dpl (Samadi 2007). Tanaman kentang menghendaki suhu udara antara 15 sampai 22 oC, namun suhu optimum penanaman kentang adalah suhu 18-20 oC dengan kelembapan udara 80-90 % (Sunarjono 2007). Penanaman kentang di dataran rendah (dibawah 700 m dpl) dengan suhu rata-rata 30oC menyebabkan tipe tumbuh tanaman lebih tegak, batang memanjang, ukuran daun mengecil, serta permukaan umbi tidak teratur. Toleransi terhadap cekaman suhu tinggi dapat dilihat dari perbedaan produksi umbi pada kondisi lingkungan normal dengan
lingkungan tercekam suhu tinggi (Handayani et al. 2013). Sementara itu, jika kentang ditanam di atas ketinggian 2 000 m dpl, pembentukan umbi menjadi lambat (Kementan 2014). Menurut Rosmayati (2005) respons pembentukan umbi pertanaman dan rata-rata produksi dipengaruhi oleh panjang penyinaran. Pembentukan dan produksi umbi lebih baik pada penyinaran hari pendek (matahari menyinari kurang dari 10 jam sehari) dibandingkan pada penyinaran panjang (matahari menyinari lebih lama dari 14 jam sehari), tetapi untuk pembentukan bunga tanaman menghendaki hari panjang. Berat umbi dan berat jenis umbi tidak dipengaruhi panjang penyinaran. Tanaman kentang dapat tumbuh pada jenis tanah yang berdrainase baik, bertekstur sedang hingga agak kasar, remah dengan pH 5.5 – 6.5 (agak masam) lebih disukai. Tekstur dan kepadatan tanah berpengaruh sangat besar terhadap bentuk, hasil, dan kualitas umbi (Rubatzky dan Yamaguci 1998). Keragaman Genetik Kentang Plasma nutfah adalah bahan genetik yang dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Bahan genetik ini mempunyai susunan kimia tertentu yang membentuk sifat-sifat fisik tertentu yang dikenal dengan nama kromosom (Wattimena 2006). Kultivar kentang komersial yang ada saat ini Solanum tuberosum subsp andigena dan Solanum tuberosum subsp tuberosum adalah spesies yang memiliki kromosom tetraploid (2n = 4x = 48). Solanum tuberosum subsp andigena berasal dari hibridisasi Solanum stenotonum (2n = 2x = 24) dengan Solanum sparsipilum (2n = 2x = 24) yang diikuti penggadaan kromosom secara alamiah, sedangkan Solanum tuberosum subsp tuberosum berasal dari Solanum tuberosum subsp andigena yang telah beradaptasi pada lingkungan hari panjang (Wattimena 2000). Genus Solanum sekitar 70% bentuk liar adalah diploid (2n = 24) yang sebagian besar adalah self-incompatible (tidak dapat membuah sendiri) dan sekitar 15% adalah tetraploid yang sebagian besar self-fertil (membuahi sendiri) (Rubatzky dan Yamaguci 1998). Menurut Rukamana (2002) jumlah kultivar unggul kentang di Indonesia yang telah dilepas baru sedikit antara lain kultivar Cosima, Desiree, Eigenheimer, Atlantik, Patrones, Rapan, Cipanas, Thung, Segunung, Katela, dan Granola. Diantara kultivar-kultivar unggul kentang yang ada di Indonesia Granola dan Atlantik adalah kultivar yang banyak disukai dan ditanam oleh para petani. Kusmana (2007) menyatakan Granola dirakit pada tahun 1975 di Jerman. Kultivar Granola banyak dipilih oleh petani karena keunggulannya antara lain berumur pendek, hasil produksi cukup tinggi, bentuk umbi bulat, dan agak tahan penyakit layu bakteri, meskipun kelemahannya mempuyai kadar air tinggi dan tidak cocok untuk kentang olahan. Induksi Umbi Mikro Kentang secara In Vitro Dasar pemikiran teknik kultur jaringan adalah teori totipotensi sel, yaitu kemampuan sel tumbuh membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai. Umumnya sifat totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih juvenile dan banyak dijumpai pada daerah
meristematik (Santoso dan Nursandi 2003). Keunggulan teknik kultur jaringan adalah dapat menghasilkan propagul tanaman dalam jumlah banyak dalam waktu singkat, bebas hama dan penyakit (sistemik dan non sistemik), serta identik dengan induknya (Wattimena 2000). Pengumbian in vitro dapat terjadi karena kondisi lingkungan tumbuh dan komposisi media yang digunakan mampu mendorong inisiasi umbi. Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu faktor yang menentukan arah perkembangan kultur selain komposisi media, eksplan, dan lingkungan kultur seperti suhu lingkungan yang rendah (18-20 oC), keadaan gelap pada saat pengumbian dan konsentrasi sukrosa yang tinggi (Hasni et al. 2014). Pembentukan umbi mikro secara in vitro tergantung dari nisbah zat tumbuh pendorong dan penghambat pengumbian. Nisbah ini dapat dilakukan dengan pemberian pendorong, mengurangi penghambat, atau kombinasi keduanya. Zat penghambat tumbuh yang berperan dalam pengumbian diantaranya adalah coumarin dan aspirin, sedangkan zat pendorongnya adalah sitokinin ( Sakya et al. 2003). Coumarin sebagai retardan berfungsi merangsang pengumbian dengan jalan menghambat biosintesis giberelin yang berperan dalam pertumbuhan tanaman. Terhambatnya pertumbuhan mengakibatkan akumulasi asimilat pada batang dan daun sehingga mampu menginduksi terbentuknya umbi (Hasni et al. 2014). Menurut hasil penelitian Sakya et al. (2003) aktivitas coumarin lebih berpengaruh nyata daripada aspirin maupun interaksinya dalam menginduksi umbi mikro kentang. Hal ini diduga bahwa coumarin sebagai senyawa fenolik aktivitasnya lebih kuat daripada aspirin sebagai turunan fenolik. Hasil penelitian Hasni et al. (2014) mengatakan kosentrasi coumarin 25 ppm berpengaruh nyata meningkatkan persentase planlet yang menghasilkan umbi dan diameter umbi mikro terbesar. Kentang Dataran Menengah Pengembangan tanaman kentang di dataran menengah hingga saat ini masih menghadapi beberapa kendala. Salah satu kendala utamanya adalah masih belum adanya kultivar tanaman kentang yang sesuai dengan faktor lingkungan, khususnya suhu tinggi dan kelembaban udara rendah. Oleh karena itu perlu dicari kultivar baru yang sesuai dengan kondisi lingkungan untuk dataran menengah (Hamdani 2009). Tujuan pemuliaan tanaman secara luas adalah memperoleh atau mengembangkan varietas agar lebih efisien dalam penggunaan unsur hara, tahan terhadap cekaman biotik, dan toleran terhadap cekaman abiotik sehingga memberikan hasil optimal dan menguntungkan petani dan konsumen (Syukur et al. 2012). Pemanfaatan karakter terseleksi pada kultur in vitro berpeluang untuk mempercepat kegiatan seleksi. Teknik kultur in vitro dapat dilakukan dengan waktu yang cepat, sifat seragam, tidak tergantung musim, tidak membutuhkan banyak bahan tanaman dan lahan yang relatif kecil (Wattimena 2000). Penelitian Gopal (2001) menunjukkan pengujian pengumbian kentang secara in vitro dan in vivo memiliki korelasi positif nyata, sehingga sebagai langkah awal induksi umbi mikro secara in vitro pada suhu tinggi diharapkan dapat memberikan informasi awal tentang potensi budidaya tanaman kentang pada suhu tinggi sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan pelaksanaan penelitian pengembangan kentang
pada suhu menengah di lapang. Ketidakmampuan kultivar yang ditanam terhadap stress lingkungan perlu diupayakan selain dengan rekayasa genetik adalah upaya rekayasa lingkungan yang dapat dilakukan untuk memberikan kondisi pertumbuhan yang optimum bagi pertanaman kentang agar produktifitasnya dapat mendekati potensinya. Penggunaan mulsa jerami dan mulsa plastik hitam perak pada kultivar Granola dan Panda memberikan pengaruh peningkatan luas daun, bobot kering tanaman, jumlah umbi dan bobot umbi pertanaman. (Hamdani 2009).
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga Agustus 2015 di Laboratorium Kultur Jaringan, Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor, Baranang Siang. Bahan dan Alat Bahan tanam yang digunakan adalah sebelas klon kentang koleksi kentang IPB yang ada di laboratorium Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) yaitu IPB-K1, IPB-K2, IPB-K3, IPB-K4, IPB-K5, IPB-K6, IPB-K7, IPB-K9, IPB-K10, IPB-K12, IPB-K13, dan satu kultivar pembanding Granola. Bahan yang digunakan untuk media perbanyakan adalah media MS0 (Murashige and Skoog tanpa ZPT) dengan penambahan gula pasir 30 g l-1, dan agar-agar 7 g l-1. Media pengumbian mikro yang digunakan adalah ½ MS cair dengan penambahan gula pasir 90 g l-1 dan coumarin 25 ppm. Sterilisasi ruang tanam menggunakan alkohol 70% dan alkohol 96% untuk sterilisasi alat tanam. Bahan pelengkap lain adalah KOH, HCl, aquades, plastik, dan karet. Alat–alat yang digunakan terdiri atas laminar air flow cabinet (LAFC), autoklaf, oven, magnetic stirrer, neraca analitik, pH meter, botol kultur, rak kultur yang dilengkapi lampu fluoresence 1 000 lux, desikator, jangka sorong digital, termometer, alat tanam, dan peralatan laboratorium pada umumnya seperti labu takar, gelas piala, gelas ukur, pipet volumetrik, dan lain-lain. Rancangan Percobaan Penelitian disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah suhu yang terdiri atas dua taraf, yaitu suhu rendah (23-25 oC/malam-siang) dan suhu tinggi (29-31 oC/malam-siang). Faktor kedua adalah genotipe kentang yang terdiri atas dua belas taraf yaitu IPBK1, IPB-K2, IPB-K3, IPB-K4, IPB-K5, IPB-K6, IPB-K7, IPB-K9, IPB-K10, IPBK12, IPB-K13, dan satu kultivar pembanding Granola. Pengulangan dilakukan sepuluh kali pada setiap perlakuan. Kombinasi dari faktor tersebut menghasilkan 240 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas 2 botol (5 stek per botol).
Model linier adaptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 2007) :
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + Pk + εijk Keterangan : Yijk = Nilai pengamatan pengaruh suhu ke-i, genotipe ke-j, dan ulangan ke-k μ = Nilai tengah umum αi = Pengaruh suhu ke-i (i = 1,2) βj = Pengaruh genotipe ke-j ( j = 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12 ) (αβ)ij = Pengaruh interaksi antara suhu ke-i dengan genotipe ke-j Pk = Pengaruh ulangan ke-k ( k = 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 ) = Galat percobaan ijk Pelaksanaan Penelitian Sterilisasi Botol Kultur dan Alat Botol kultur dan alat-alat tanam seperti pinset, pisau tanam, dan cawan patri yang akan digunakan terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan air bersih dan detergen, kemudian botol kultur dan alat-alat tanam disterilkan dalam autoklaf pada tekanan 17.5 Psi dan suhu 121oC selama 60 menit. Pembuatan Media Perbanyakan Media yang akan digunakan untuk perbanyakan adalah media MS0. Komposisi larutan baku tercantum dalam tabel Lampiran 1. Media dibuat dengan memipet larutan baku sesuai dengan kebutuhan per liter ke dalam gelas ukur. Larutan baku yang telah dicampur ditambahkan aquades hingga volumenya menjadi 1 000 ml, kemudian ditambahkan gula pasir 30 g l-1 dan diaduk dengan magnetic stirrer. Larutan yang telah homogen pH nya diatur hingga mencapai pH antara 5.8 sampai dengan 6.0 dengan cara penambahan NaOH 0.1 N untuk menaikan pH atau penambahan HCl 0.1 N untuk menurunkan pH. Larutan media ditambahkan agar-agar 7 g l-1 untuk memadatkan media. Media tersebut dimasak hingga mendidih sambil diaduk. Larutan media yang sudah siap dimasukan ke dalam botol kultur sebanyak 15-20 ml per botol dan ditutup rapat menggunakan plastik. Media yang sudah dibuat kemudian dimasukan kedalam autoklaf untuk disterilisasi selama 30 menit dengan tekanan 17.5 Psi dan suhu 121oC. Perbanyakan Eksplan Kentang Perbanyakan eksplan dilakukan dalam laminar yang telah disinari lampu UV dan disemprot alkohol 70%. Botol kultur dan alat-alat yang akan digunakan disemprot dengan alkohol 70% terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam laminar. Kontaminasi dapat dihindari dengan sterilisasi alat tanam di atas bunsen dan penyemprotan tangan dengan alkohol sebelum penanaman. Perbanyakan dilakukan dengan menanam stek dua buku pada media MS0. Setiap botol diisi
lima eksplan yang akan beregenerasi menjadi planlet. Botol yang berisi stek mikro 1 MST disimpan di dalam ruangan yang diberikan penyinaran penuh selama 16 jam dengan intensitas cahaya 1 000 lux. Pengumbian Media pengumbian merupakan media cair yang terdiri atas media ½ MS cair dengan penambahan gula pasir 90 g l-1 dan coumarin 25 ppm. Media pengumbian sebanyak 25 ml dituangkan ke dalam botol berisi planlet yang telah berumur 6 MST. Penuangan dilakukan di dalam laminar, kemudian botol ditutup kembali dengan plastik dan diikat karet gelang. Botol diletakkan kembali ke tempat perlakuan dengan penambahan plastik hitam tidak tembus cahaya yang dipasang mengelilingi rak kultur. Pengumbian dilakukan selama 12 MSP (Minggu Setelah Pengumbian). Pemanenan Pemanenan dilakukan pada planlet yang telah menampakkan ciri-ciri untuk panen yaitu perubahan warna daun planlet yang tadinya berwarna hijau segar kemudian menjadi kekuningan, umbi mikro kentang tersebut sudah siap dipanen. Panen dilakukan dengan cara mengeluarkan seluruh bagian planlet dari dalam botol dan membersihkan umbi yang terbentuk dengan air yang mengalir. Pengamatan Pengamatan akan dilakukan dalam dua tahap yaitu pengamatan tahap pertumbuhan tunas dan tahap pengumbian. Peubah yang akan diamati meliputi: 1. Pengamatan pada tahap pertumbuhan tunas: a. Presentase kontaminasi % Kontaminasi = ∑ Planlet terkontaminasi x 100% ∑ Planlet yang ditanam Diamati setiap minggu mulai 2 MST sampai dengan 5 MST. b. Presentase eksplan hidup Presentase eksplan hidup dihitung dengan rumus: % Eksplan hidup = ∑ Planlet hidup x 100% ∑ Planlet yang ditanam Diamati setiap minggu mulai 2 MST sampai dengan 5 MST. c. Tinggi tanaman Pengamatan dilakukan dengan mengukur tinggi tanaman dari luar botol kultur dimulai dari permukaan media sampai ujung tanaman. Diamati setiap minggu mulai 2 MST sampai dengan 5 MST. d. Jumlah daun Pengamatan dilakukan dengan menghitung banyaknya daun yang telah membuka sempurna tiap eksplan. Diamati setiap minggu mulai 2 MST sampai dengan 5 MST. e. Jumlah buku Pengamatan dilakukan dengan menghitung banyaknya buku yang tumbuh pada eksplan. Diamati setiap minggu mulai 2 MST sampai dengan 5 MST.
f. Jumlah akar Pengamatan dilakukan dengan menghitung banyaknya akar primer atau akar tunggang yang melekat langsung pada batang eksplan. Diamati setiap minggu mulai 2 MST sampai dengan 5 MST. 2. Pengamatan pada tahap pengumbian : a. Waktu inisiasi umbi Pengamatan dilakukan dengan mencatat waktu saat pertama kali umbi terbentuk setelah penyiraman media pengumbian. b. Jumlah umbi Pengamatan dilakukan dengan menghitung rata-rata jumlah umbi yang terbentuk dalam satu botol, diamati setiap minggu mulai 1 minggu setelah pemberian media pegumbian sampai tanaman tidak lagi menghasilkan umbi (12 MSP). c. Diameter umbi Pengamatan dilakukan dengan mengukur diameter umbi dengan cara pengukuran jangka sorong pada akhir pengamatan (panen). Pengamatan dilakukan pada 5 umbi sampel setiap perlakuan. d. Bobot basah per umbi (BB) Pengamatan dilakukan dengan menimbang 5 umbi contoh setiap perlakuan yang telah dipanen (12 MSP) dengan neraca analitik. Bobot basah per umbi dihitung dengan menggunakan rumus : Bobot basah per umbi = Bobot basah umbi Jumlah umbi e. Presentase bobot kering umbi (BK) Pengukuran bobot kering umbi dilakukan dengan mengeringkan umbi dalam oven pada suhu 105oC selama 24 jam, kemudian umbi dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang. Perhitugan dilakukan pada 5 umbi contoh setiap perlakuan diakhir pengamatan (panen). Bobot kering umbi dihitung dengan menggunakan rumus : Bobot kering umbi x 100% Bobot basah umbi f. Produksi umbi per tanaman: Produksi umbi pertanaman dihitung dengan rumus: Bobot basah per umbi x jumlah umbi per tanaman g. Warna kulit umbi : Pengamatan mengacu pada panduan pengujian individual tanaman kentang dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PVT 2006). 1) kuning, 2) merah, 3) biru, 4) sebagian merah, 5) sebagian biru. h. Warna daging umbi : Pengamatan mengacu pada panduan pengujian individual tanaman kentang dari Pusat Perlindungan Varietas Tanaman (PVT 2006). 1) putih, 2) krem, 3) kuning muda, 4) kuning, 5) kuning tua.
Analisis Data Data karakter kuantitatif dianalisis menggunakan uji F, jika terdapat pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT ( Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%. Korelasi antar karakter dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson. Analisis data dilakukan menggunakan perangkat Statistical Tool for Agricultural Research (STAR) versi 2.0.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Penelitian utama mulai dilakukan pada minggu terakhir bulan Maret 2015 dengan penanaman eksplan steril berupa stek dua buku ke dalam media pertunasan (MS0 padat). Klon-klon kentang ditanam sebanyak 10 ulangan yang disimpan pada 2 suhu ruang yang berbeda sehingga total terdapat 240 satuan percobaan dimana setiap satuan percobaan terdiri atas 2 botol dengan tiap botol ditanami 5 eksplan. Inkubasi eksplan dilakukan di dua ruang yang berbeda yaitu ruang inkubasi dengan suhu berkisar antara 23-25 oC (suhu rendah) dan ruang laboratorium umum dengan suhu berkisar antara 29-31 oC (suhu tinggi). Penyinaran yang digunakan pada dua ruang tersebut adalah penyinaran dengan intensitas cahaya 1 000 lux selama 16 jam setiap hari. Kondisi suhu yang berbeda pada ruang inkubasi dan laboratorium umum dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1 Temperatur ruang perlakuan pada bulan Maret hingga Agustus 2015
Bulan Maks Maret April Mei Juni Juli Agustus
27.6 23.0 27.9 24.9 24.9 27.8
Ruang inkubasi
Ruang laboratorium umum
Suhu
Suhu
Min ..... oC ..... 22.0 21.2 23.0 22.5 23.5 20.6
Rataan 24.5 23.6 25.0 23.9 24.4 25.6
Maks 32.6 32.2 32.0 31.0 31.2 31.3
Min ..... oC ..... 28.7 29.3 29.3 29.0 29.4 28.1
Rataan 30.3 31.0 30.8 30.2 30.2 29.7
Sumber: Log book harian suhu PKHT (2015)
Perlakuan suhu tinggi mulai dilakukan dengan pemindahan botol-botol kultur yang berisikan eskplan 1 MST (minggu setelah tanam). Kondisi lingkungan yang ekstrem pada fase vegetatif menyebabkan peningkatan kontaminasi dan penurunan jumlah eksplan hidup. Perbedaan vigor tanaman akibat perlakuan suhu terlihat secara visual sejak 1 minggu setelah pemindahan atau 2 MST. Klon yang diberikan perlakuan suhu tinggi terlihat mempunyai pertumbuhan yang sedikit lebih lambat.
Produksi umbi mikro pada penelitian ini diawali dengan induksi tunas mikro selama enam minggu. Perlakuan ruang gelap dilakukan saat awal tahap inisiasi umbi mikro kentang selama 4 MSP (Minggu Setelah Pengumbian). Umbi mikro mulai terbentuk setelah 1 MSP. Klon kentang yang diamati tidak semua menghasilkan umbi. Ketidakterbentukan umbi diduga karena kondisi lingkungan tumbuh (suhu tinggi) dan komposisi media pengumbian yang diberikan tidak cocok untuk semua jenis klon kentang. Menurut Gopal (2001) produksi umbi mikro secara in vitro baik secara kualitas maupun kuantitas dipengaruhi oleh suhu, komposisi media tumbuh serta kualitas dari pertumbuhan planlet yang akan diinduksi umbi mikro. Analisis ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa suhu, klon dan interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati. Nilai koefisien keragaman menunjukkan tingkat ketepatan dengan perlakuan yang diperbandingkan dan merupakan indeks yang baik dari keadaan percobaan (Gomez dan Gomez 2007). Nilai koefisien keragaman pada penelitian ini berkisar antara 8.26 -19.76 %. Tabel 2 Rekapitulasi analisis ragam terhadap karakter kuantitatif yang diamati pada klon-klon kentang secara in vitro Peubah Persentase kontaminasi (%) Persentase eksplan hidup (%) Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Jumlah buku Jumlah akar Waktu inisiasi (hari) Jumlah umbi per botol (umbi) Diameter umbi (mm) Bobot basah per umbi (g) Presentase bobot kering (%) Produksi umbi per tanaman
KT KT Suhu Kelompok 0.22** 2.94** 1.64** 0.28** 1.56** 2.12** 0.02tn 0.03tn 0.05tn 0.01tn 0.02tn 0.13 tn
11.36** 155.40** 314.90** 535.51** 740.43** 249.89** 2.46** 29.45** 5.18** 0.15** 3.92** 10.82**
KT Klon 0.48** 8.99** 6.17** 8.23** 9.40** 19.15** 8.24** 1.80** 0.56** 0.01** 0.39** 0.64**
KT Interaksi 0.21** 4.70** 2.03** 1.82** 1.81** 1.72** 4.39** 0.47** 0.14** 0.01** 0.39** 0.47**
KK (%) 19.76T 16.87 15.24 11.86 12.33 14.70 10.51T 18.02 8.26 19.41T 16.81 14.30
a
KT: kuadrat tengah; KK: koefisien keragaman; ** berpengaruh nyata pada taraf 1%; *berpengaruh nyata pada taraf 5%; tn tidak berpengaruh nyata; T data transformasi √
Pertumbuhan Eksplan Tingkat Kontaminasi Kontaminasi merupakan masalah utama yang ditemui pada teknik kultur in vitro. Kontaminasi pada eksplan dapat menyebabkan penurunan tingkat keberhasilan kultur dan produksi eksplan. Kondisi eksplan yang aseptik merupakan syarat untuk mendapatkan eksplan hidup yang aseptik sehingga dapat dilanjutkan ke tahapan berikutnya. Kontaminasi secara umum dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu faktor eksplan, faktor media kultur, faktor kondisi lingkungan, dan faktor manusia. Pengamatan kontaminasi dilakukan pada eksplan kentang yang diberikan perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi selama 5 MST. Kontaminasi mulai terjadi setelah 2 MST dan peningkatannya diamati setiap minggu sampai 5 MST. Pengamatan kontaminasi dilakukan dengan cara mengamati eksplan yang tumbuh dan media kultur yang digunakan. Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu, klon, dan interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap persentase kontaminasi. Tabel 3 Nilai tengah persentase kontaminasi klon-klon kentang pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro Persentase kontaminasia
No
Klon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
1.3 b 7.5 b 11.3 b 3.8 b 8.8 b 3.8 b 2.5 b 11.3 b 11.3 b 6.3 b 1.3 b 6.3 b
Rata-rata
6.3
Suhu rendah
Suhu tinggi ..... % ..... 21.0 a 43.5 a 27.8 a 32.5 a 28.8 a 20.5 a 13.0 b 58.5 a 28.5 a 19.0 a 28.5 a 8.5 b 27.5
Rata-rata klon
11.2 25.5 19.6 18.2 18.8 12.2 7.8 34.9 19.9 12.7 14.9 7.4 16.9
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC
Tabel 3 menunjukkan bahwa klon-klon yang ditanam pada perlakuan suhu rendah memiliki respons yang tidak berbeda nyata, namun persentase kontaminasi klon IPB-K2, IPB-K7, dan IPB-K9 lebih tinggi dibandingkan klon-klon lainnya. Nilai tengah persentase kontaminasi pada klon IPB-K2 dan IPB-K7 tidak berbeda nyata dengan IPB-K9 sebesar 11.3%. Perlakuan suhu tinggi klon IPB-K7 mengalami kontaminasi paling tinggi diantara semua klon yang diamati saat 4 MST, yaitu sebesar 58.5%. Persentase kontaminasi perlakuan suhu tinggi dalam penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan suhu rendah. Kontaminasi yang terjadi pada suhu rendah berkisar antara 1.3-11.3 %, sedangkan pada perlakuan suhu tinggi berkisar antara 8.5-58.5 %. Hasil uji lanjut DMRT pada taraf 5% menunjukkan persentase kontaminasi yang lebih tinggi pada perlakuan suhu 29-31oC. Persentase kontaminasi yang terjadi pada suhu tinggi dikarenakan adanya kesesuaian antara suhu inkubasi dengan suhu optimum yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan mikroba. Laju pertumbuhan mikroba meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Setiap mikroba (bakteri dan cendawan) mempunyai suhu optimum, maksimum dan
minimum untuk pertumbuhannya (Suriani et al. 2013). Menurut Sari (2013) pertumbuhan mikroba terjadi pada suhu dengan kisaran kira-kira 30oC. Kecepatan pertumbuhan mikroba meningkat dengan naiknya suhu mencapai kecepatan pertumbuhan maksimum. Kontaminasi yang terjadi secara umum disebabkan oleh dua jenis kontaminan. yaitu bakteri dan cendawan (Gambar 1). Kontaminasi oleh bakteri ditandai dengan adanya cairan putih pada media yang kemudian berubah menjadi cokelat pekat ataupun berubah menjadi warna lain. Kontaminasi cendawan ditandai dengan adanya hifa-hifa berwarna putih yang muncul disekitar eksplan ataupun media kultur. Kondisi media kultur yang mengandung banyak nutrisi menyebabkan pertumbuhan cendawan lebih cepat menyebar daripada pertumbuhan eksplan (Purnawati 2012).
Gambar 1 Kondisi eksplan kentang pada 4 MST; (A) Eksplan hijau, (B) Eksplan terkontaminasi cendawan, (C) Eksplan terkontaminasi bakteri Tabel 3 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persentase kontaminasi yang ditemukan pada penelitian ini. Perbedaan respons kontaminasi diduga terkait dengan keragaman faktor genetik dari klon-klon yang diuji. Klon IPB-K6 dan IPB-K13 memiliki tingkat kontaminasi paling rendah diantara semua klon yang diamati pada perlakuan suhu tinggi. Menurut Agrios (1996) mengatakan ketahanan dari tanaman itu sendiri juga berperan dalam menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan bakteri untuk menimbulkan gejala awal penyakit. Hal serupa juga dikemukakan oleh Prabaningrum et al. (2015) kejadian penyakit ditentukan oleh kemampuan tanaman menghambat aktivitas patogen di dalam tubuh inang. Tingkat kontaminasi yang dimiliki klon IPB-K6 dan IPB-K13 pada suhu tinggi tidak berbeda nyata dengan suhu rendah sehingga kedua klon tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi klon kentang adaptif suhu tinggi. Eksplan Hidup Penggunaan dua belas klon yang berbeda sebagai bahan tanam pada perlakuan suhu rendah tidak berbeda nyata terhadap persentase eksplan hidup berdasarkan uji lanjut DMRT pada taraf 5%. Periode inkubasi selama 4 minggu di suhu tinggi telah melampaui heat killing temperature bagi eksplan kentang (Gambar 3). Heat killing temperature adalah suhu yang mengakibatkan kematian tanaman. Kisaran suhu tersebut diharapkan dapat menunjukkan perbedaan tanaman yang tidak tahan dan tahan (Ajijah et al. 2010).
Tabel 4 Nilai tengah persentase eksplan hidup klon-klon kentang pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro No
Klon
Presentase eksplan hidupa Suhu rendah
Suhu tinggi
Rata-rata klon
..... % ..... 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
98.8 a 92.5 a 88.8 a 96.3 a 91.3 a 96.3 a 97.5 a 88.8 a 88.8 a 93.8 a 98.8 a 93.8 a
76.8 b 56.0 b 70.3 b 67.0 b 70.8 b 79.5 b 85.8 a 40.3 b 70.5 b 79.8 b 71.3 b 89.8 a
87.8 74.3 79.6 81.7 81.1 87.9 91.7 64.6 79.7 86.8 85.1 91.8
Rata-rata
93.8
71.5
82.7
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC
Perlakuan suhu tinggi memberikan tekanan yang nyata terhadap kemampuan hidup eksplan yang ditunjukkan oleh persentase eksplan hidup yang berkisar antara 40.3 sampai 89.9 % pada semua jenis klon. Persentase eksplan hidup pada suhu tinggi mengalami penurun dengan bertambah lamanya periode inkubasi. Perlakuan suhu rendah rata-rata persentase eksplan hidup pada seluruh klon yang ditanam berkisar antara 88.8 sampai 98.8 %. Suhu mempengaruhi komponen dan metabolisme sel dalam spektrum yang luas. Besarnya cekaman yang ditimbulkan oleh suhu berbeda-beda tergantung dari laju perubahan suhu, intensitas dan lamanya periode cekaman (Wahid et al. 2007). Menurut Fernie dan Wilmitzer (2001) laju respirasi tanaman meningkat jika suhu lingkungan meningkat. Peningkatan laju respirasi diduga menyebabkan terjadinya penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan dan pada akhirnya mengakibatkan kematian eksplan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ajijah et al. (2010) bahwa cekaman suhu tinggi jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan yang kemudian digantikan oleh kerusakan dan kematian sel. Kebocoran ion merupakan ciri pertama terjadinya kerusakan sel akibat suhu tinggi dan terjadi akibat adanya kerusakan pada sel. Suhu yang digunakan selama ini untuk menumbuhkan dan mengembangkan umbi mikro pada kultur in vitro kentang kisaran 20-25 oC (Kusumaningrum 2007). Perlakuan suhu rendah yang digunakan pada penelitian ini berada pada kisaran 23-25 oC dan suhu tinggi 29-31 oC. Kisaran suhu yang berada di atas suhu optimum tersebut memberikan pengaruh cekaman terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan dengan respons terhadap cekaman yang berbeda.
Gambar 2 Kematian jaringan eksplan beberapa klon kentang pada suhu tinggi secara in vitro Hasil pengamatan menunjukkan bahwa klon IPB-K6 dan IPB-K13 memiliki respons tidak berbeda nyata terhadap perlakuan suhu yang digunakan. Menurut Aulia et al. (2014) persentase tumbuh kentang di atas 80% pada lingkungan tumbuh tanam yang baru secara agronomis telah mendekati syarat tumbuh jenis klon kentang. Tinggi Tanaman Tinggi tanaman kentang mulai bertambah dari awal pertumbuhan hingga 5 MST. Tinggi tanaman diamati dari permukaan media sampai titik tumbuh paling tinggi dari eksplan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara klon dan suhu berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 4 MST. Tinggi tanaman in vitro pada perlakuan suhu rendah berbeda dengan tinggi tanaman pada suhu tinggi. Perlakuan suhu tinggi secara umum menyebabkan pertumbuhan tinggi tanaman lebih rendah dibandingkan tinggi tanaman pada suhu rendah (Tabel 5). Tabel 5 menunjukkan bahwa tinggi tanaman klon-klon yang diuji pada perlakuan suhu rendah tidak berbeda nyata, namun Granola, IPB-K5, IPB-K10, dan IPB-12 mengalami pertumbuhan tinggi lebih cepat diantara klon-klon yang diamati saat 4 MST. Perbedaan tinggi yang terjadi disebabkan oleh perbedaan genotipe dari setiap klon yang diuji. Genotipe yang berbeda akan memberikan respons pertumbuhan yang berbeda pula sehingga terjadi keanekaragaman yang berpotensi untuk dilakukannya seleksi. Menurut Sakya et al. (2003) pertumbuhan yang berkembang dari eksplan tergantung pada potensi genetik dari tanaman yang dibiakkan, lingkungan fisik dan lingkungan kimia tempat pembiakan bagian tanaman. Tinggi tanaman saat 4 MST menunjukkan bahwa tanaman yang diberikan perlakuan suhu rendah mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan suhu tinggi. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Hamdani (2009) yang membuktikan suhu yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan tinggi tanaman kentang akibat perpanjang ruas . Perpanjang ruas batang disebabkan oleh kandungan asam giberelin yang tinggi yang dipicu oleh suhu tinggi. Pengaruh asam giberelin dapat memacu pertumbuhan bagian atas tanaman melalui peningkatan pembelahan dan perpanjangan sel.
Tabel 5
Nilai tengah tinggi tanaman klon-klon kentang saat 4 MST pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro
No
Klon
Tinggi tanamana Suhu rendah
Suhu tinggi
Rata-rata klon
..... cm ..... 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
8.42 a 6.94 a 7.50 a 7.46 a 6.64 a 8.35 a 7.44 a 6.86 a 7.01 a 8.22 a 8.29 a 7.46 a
5.57 a 5.21 b 5.91 a 4.92 b 5.08 b 5.88 a 4.64 b 3.87 b 4.95 b 5.71 a 5.14 b 6.23 a
7.00 6.08 6.71 6.19 5.86 7.12 6.04 5.37 5.98 6.97 6.72 6.85
Rata-rata
7.55
5.26
6.41
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC
Peningkatan konsentrasi hormon giberelin pada suhu tinggi dalam penelitian ini tidak terekspresi sebagai pertambahan tinggi tanaman. Faktor yang perlu diperhatikan dalam lingkungan kultur jaringan tanaman adalah cahaya dan suhu. Rendahnya intensitas cahaya yang digunakan diduga menghambat pertumbuhan planlet pada suhu tinggi. Pencahayaan dalam ruang kultur yang digunakan dalam penelitian ini adalah pencahyaan dengan intensitas cahaya 1 000 lux. Menurut Kusumaningrum (2007) intensitas cahaya optimum untuk tahap inisiasi kultur dan tahap perbanyakan adalah 1 000 – 3 000 lux. Pertamawati (2010) menyatakan tanaman yang tumbuh pada kondisi lingkungan sub optimum memiliki laju fotosintesis yang lebih rendah sehingga mengakibatkan pertumbuhan yang kurang optimum. Pertambahan tinggi Granola, IPB-K2, IPB-K5, IPB-K10, dan IPB-K13 memiliki pertumbuhan yang baik pada suhu rendah dan memiliki respons pertambahaan tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata pada perlakuan suhu tinggi. Tanaman kentang yang tidak memiliki perbedaan respons tumbuh pada lingkungan suhu tinggi berpotensi menjadi klon kentang yang adaptif pada suhu tinggi. Jumlah Daun Pengamatan jumlah daun dilakukan pada daun yang telah membuka sempurna mulai 2 sampai 5 MST. Jumlah daun yang terbentuk pada masingmasing klon yang diberikan perlakuan suhu tinggi dan suhu rendah berbeda. Perbedaan jumlah daun yang terbentuk dikarenakan oleh perbedaan genotipe dari setiap klon dan perbedaan suhu lingkungan tumbuh eksplan yang diuji (Tabel 6).
Menurut Gopal (2001) karakter morfologi dipengaruhi oleh lingkungan, dan interaksi lingkungan dengan genotipe merupakan informasi yang penting untuk kondisi in vivo maupun in vitro. Menurut Sofiari (2009) tinggi tanaman, jumlah ruas dan jumlah daun merupakan karakter kuantitatif yang ekspresinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Tabel 6 Nilai tengah jumlah daun klon-klon kentang saat 4 MST pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro No
Klon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah dauna
Rata-rata klon
Suhu rendah
Suhu tinggi
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
8.2 a 6.9 a 7.1 a 7.2 a 6.4 a 7.9 a 6.6 a 6.3 a 6.5 a 7.3 a 7.5 a 7.1 a
4.8 b 4.0 b 4.1 b 3.8 b 3.7 b 5.1 a 3.7 b 2.8 b 3.0 b 3.9 b 4.7 b 5.7 a
6.5 5.5 5.6 5.5 5.1 6.5 5.2 4.6 4.8 5.6 6.1 6.4
Rata-rata
7.1
4.1
5.6
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC
Tabel 6 diketahui bahwa semua klon memiliki jumlah daun yang lebih banyak pada perlakuan suhu rendah. Kondisi suhu tinggi berhubungan dengan perubahan metabolisme tanaman yang mengarah pada peningkatan toleransi tanaman melalui pengurangan kehilangan air dengan cara penurunan jumlah daun. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Handayani et al. (2013) pengujian di lingkungan dengan suhu tinggi terlihat pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang didominasi organ-organ yang terdapat di atas permukaan tanah yang ditunjukkan dengan pemanjangan batang, banyaknya jumlah daun, terbentuknya percabangan, dan munculnya bunga. Peningkatan jumlah daun tanaman kentang akibat suhu tinggi dilaporkan oleh Fleisher et al. (2006) meskipun daun yang terbentuk lebih banyak, tetapi ukurannya kecil. Pada penelitian ini, peningkatan jumlah daun tidak terjadi sebagai respons terhadap suhu tinggi dikarenakan oleh pencahayaan yang kurang optimal pada perlakuan suhu tinggi. Menurut Sari (2013) penelitian kultur meristem kentang pada suhu 26-28 oC menggunakan intensitas cahaya 1 200 lux dengan fotoperiode 16 jam. Tabel 6 menunjukkan bahwa klon-klon yang diuji pada perlakuan suhu rendah saat 4 MST menunjukan respons jumlah daun tidak berbeda nyata, namun jumlah daun terbanyak terdapat pada Granola yaitu 8.2 helai. Perlakuan suhu tinggi jumlah daun IPB-K13 lebih banyak diantara semua klon yang diamati yaitu 5.7 helai. Penampilan tanaman yang menghasilkan jumlah helai daun lebih
banyak akan mempengaruhi pada produktivitas jumlah umbi yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusmana et al. (2009) menyatakan peningkatan jumlah daun yang maksimum diperlukan tanaman karena semakin banyak daun, semakin tinggi kandungan fotosintat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Jumlah daun klon IPB-K5 dan IPB-K13 memiliki pertumbuhan yang baik pada suhu rendah dan memiliki respons pertambahaan daun yang tidak berbeda nyata pada perlakuan suhu tinggi. Tanaman kentang yang tidak memiliki perbedaan respons tumbuh pada lingkungan suhu tinggi memiliki kemungkinan untuk dikembangkan menjadi kultivar adaptif suhu tinggi. Jumlah Buku Analisis ragam pada Tabel 2 diketahui bahwa perlakuan suhu, klon, dan interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah buku yang diamati saat 4 MST. Tabel 7 menunjukkan pertumbuhan jumlah buku dari semua klon kentang yang diuji pada 4 MST. Tabel 7 Nilai tengah jumlah buku klon-klon kentang saat 4 MST pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro No
Klon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah buku
Rata-rata klon
Suhu rendah
Suhu tinggi
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
8.4 a 7.3 a 7.2 a 7.8 a 6.8 a 8.5 a 6.7 a 6.4 a 6.8 a 7.7 a 8.2 a 7.8 a
4.5 b 4.1 b 4.2 b 3.4 b 3.4 b 4.6 b 4.3 b 2.0 b 3.4 b 4.3 b 4.3 b 4.9 a
6.5 5.7 5.7 5.6 5.1 6.6 5.5 4.2 5.1 6.0 6.3 6.4
Rata-rata
7.5
4.0
5.7
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC
Jumlah buku lebih tinggi pada suhu rendah dibandingkan dengan suhu tinggi. Pertumbuhan buku tertinggi terdapat pada Granola, IPB-K5, dan IPB-K12 di suhu rendah dan IPB-K13 di suhu tinggi. Perlakuan suhu rendah Granola menunjukkan jumlah buku yang tidak berbeda nyata dengan seluruh klon yang diuji saat 4 MST. Granola dan IPB-K5 di suhu rendah dan IPB-K13 di suhu tinggi menunjukkan pertambahan jumlah daun terbanyak dari semua klon yang diamati. Menurut Maharijaya (2007) jumlah daun pada planlet kentang dapat juga digunakan untuk menentukan jumlah buku yang ada pada planlet. Jumlah daun atau buku dapat menggambarkan kecepatan dalam multiplikasi tanaman kentang
secara in vitro. Jumlah buku yang terbentuk akibat respons perbedaan suhu terhadap pertumbuhan klon-klon yang diuji. Pada perlakuan suhu rendah jumlah buku yang terbentuk berkisar antara 6.4 sampai 8.5 buku, sedangakan untuk perlakuan suhu tinggi jumlah buku yang terbentuk berkisar antara 2.0 sampai 4.9 buku. Menurut Kusumaningrum (2007) jumlah buku akan mempengaruhi pembentukan umbi mikro karena umbi pada umumnya terbentuk pada stolon yang muncul dari ketiak buku. Jumlah buku IPB-K13 memiliki pertumbuhan yang baik pada suhu rendah dan memiliki respons yang tidak berbeda nyata pada perlakuan suhu tinggi. Tanaman kentang yang tidak memiliki perbedaan respons tumbuh pada lingkungan suhu tinggi memiliki kemungkinan untuk dikembangkan menjadi kultivar adaptif suhu tinggi. Jumlah Akar Kentang membentuk akar tunggang ramping dengan akar lateral yang banyak (Sunarjono 2007). Pengamatan dilakukan pada akar primer atau akar tunggang yang melekat langsung pada batang tanaman (Kusumaningrum 2007). Jumlah akar yang muncul berbeda pada setiap genotipe yang diuji (Tabel 8). Tabel 8 Nilai tengah jumlah akar klon-klon kentang perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi pada 4 MST secara in vitro Jumlah Akar
No
Klon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
7.7 a 5.6 a 5.9 a 6.4 a 5.6 a 8.5 a 5.4 a 4.9 a 4.9 a 6.2 a 6.4 a 7.3 a
4.6 b 3.4 b 4.2 b 4.3 b 3.6 b 5.4 a 4.3 b 2.6 b 2.9 b 4.3 b 4.9 b 5.7 a
6.2 4.5 5.1 5.4 4.6 6.9 4.9 3.8 3.9 5.3 5.7 6.5
Rata-rata
6.2
4.2
5.2
Suhu rendah
Suhu tinggi
Rata-rata klon
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC
Tabel 8 menunjukkan bahwa suhu rendah memberikan jumlah akar lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu tinggi. Jumlah akar yang terbentuk bervariasi antara 4.9 sampai 8.5 akar pada suhu rendah, sedangkan perlakuan suhu tinggi membentuk akar antara 2.6 sampai 5.7 akar. Menurut Handayani et al. (2013) pertumbuhan tanaman pada kondisi suhu tinggi mengalami penurunan pertumbuhan bagian bawah tanaman (akar dan umbi). Hal ini disebabkan pada kondisi suhu tinggi distribusi fotosintat ke bagian akar dan umbi menurun.
Tabel 8 menunjukkan bahwa semua klon mampu membentuk akar pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi. Setiap klon menunjukkan respons yang berbeda terhadap perlakuan suhu tinggi. IPB-K13 memiliki jumlah akar terbanyak saat 4 MST pada perlakuan suhu tinggi sebesar 5.7. IPB-K2, IPB-K3, IPB-K6, dan IPB-K10 yang diberikan perlakuan suhu tinggi memiliki jumlah akar yang tidak berbeda nyata tetapi jumlah akar keempat klon tersebut lebih banyak dari klon IPB-K7. Perlakuan suhu rendah menyebabkan klon-klon yang diuji memiliki respons yang tidak berbeda nyata terhadap karakter akar yang diamati. Klon IPBK5 memiliki jumlah akar lebih banyak dari semua klon yang diuji yaitu sebesar 8.5. Pengamataan akar saat 4 MST klon IPB-K5 dan IPB-K13 memiliki jumlah akar tidak berbeda nyata pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi. Hasil ini menunjukkan kedua klon tersebut dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan suhu tinggi dibandingkan dengan semua klon yang diamati pada karakter jumlah akar. Tabel 9 Hasil analisis korelasi antara tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah buku, dan jumlah akar klon-klon kentang perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi pada 4 MST
Tinggi tanaman Jumlah daun Jumlah buku a
Jumlah dauna
Jumlah bukua
Jumlah akara
0.91**
0.94** 0.96**
0.70** 0.62** 0.67**
Keterangan: ** sangat nyata taraf 5%
Analisis korelasi yang dilakukan terhadap keempat peubah yang diamati menunjukkan korelasi positif sangat nyata (Tabel 9). Tanda positif pada nilai r menunjukkan kedua peubah berubah ke arah yang sama. Nilai r positif apabila perubahan positif pada satu peubah berhubungan dengan perubahan positif pada peubah lainnya (Gomez dan Gomez 2007). Hasil analisis tersebut menunjukkan keempat peubah tersebut meningkat secara serempak dikarenakan adanya kesesuaian faktor lingkungan tumbuh. Suhu rendah (23-25 oC) adalah lingkungan yang dibutuhkan tanaman kentang untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Produksi Umbi Waktu Inisiasi Umbi Pertumbuhan dan perkembangan akar didasari oleh tiga proses pokok yaitu pembelahan sel, pembesaran sel, dan diferensiasi sel yang terjadi pada tempat yang berbeda di ujung akar (Wattimena et al. 2011). Pembentukan umbi diawali dengan Inisiasi umbi dan penumpukan pati yang berakibat meningkatnya volume dan bobot. Inisiasi umbi adalah fase terjadinya diferensiasi tunas pada stolon menjadi primordia umbi (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Waktu inisiasi umbi dicatat saat pertama kali umbi terbentuk setelah penyiraman media pengumbian. Pengamatan umbi dilakukan mulai 1 MSP sampai tanaman tidak lagi menghasilkan umbi (12 MSP).
Klon-klon yang diujikan dalam penelitian ini, tidak semuanya mampu membentuk umbi. Ketidakterbentukan umbi diduga karena kondisi lingkungan tumbuh dan komposisi media pengumbian yang diberikan tidak cocok untuk semua jenis klon kentang. Pengumbian in vitro dapat terjadi karena kondisi lingkungan tumbuh dan komposisi media yang digunakan mampu mendorong inisiasi umbi. Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu faktor yang menentukan arah perkembangan kultur selain komposisi media, eksplan, dan lingkungan kultur seperti suhu lingkungan yang rendah (18-20 oC), keadaan gelap pada saat pengumbian dan konsentrasi sukrosa yang tinggi (Hasni et al. 2014). Tabel 10
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nilai tengah waktu inisiasi umbi mikro klon-klon kentang pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi secara in vitro Klon
Waktu inisiasi umbia Suhu rendah
Suhu tinggi
Rata-rata klon
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
..... hari ..... 17.4 b 29.8 a 36.4 a n.a 17.4 b 20.0 b 12.4 b 20.2 b 30.4 a 30.0 a 25.3 b 31.0 a 18.8 b 24.0 b n.a n.a 22.5 b 38.0 a 27.9 a 30.8 a 28.1 a n.a 23.6 b 28.7 a
23.6 n.a 18.7 16.3 30.2 28.2 21.4 n.a 30.3 29.4 n.a 26.2
Rata-rata
23.7
24.9
28.1
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC; n.a: tidak ada data
Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu inisiasi umbi yang dibutuhkan masing-masing klon. Pada perlakuan suhu rendah waktu inisiasi umbi yang dibutuhkan berkisar antara 12.4 hari sampai 36.4 hari, sedangakan untuk perlakuan suhu tinggi waktu yang dibutuhkan berkisar antara 20.0 hari sampai 38 hari. Rata-rata umbi mulai terbentuk setelah 23.7 hari pada perlakuan suhu rendah dan 28.2 hari pada suhu tinggi. Hal ini dikarenakan pada umur planlet 7 hari coumarin belum bersifat sebagai penghambat pertumbuhan vegetatif melainkan bersifat sebagai nutrisi untuk pertumbuhan planlet. Setelah planlet berumur 14 hari, sifat coumarin sebagai penghambat pertumbuhan vegetatif mulai terlihat. Selain itu, perbedaan genetika pada setiap tanaman juga berpengaruh terhadap kemampuan metabolisme tanaman dalam membentuk umbi (Hasni et al. 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perbedaan respons antara klonklon yang diuji, dimana waktu pembentukan umbi tercepat pada suhu rendah adalah klon IPB-K3 yaitu 12.4 hari. Klon IPB-K3 memiliki waktu inisiasi umbi
yang tidak berbeda nyata dengan Granola, IPB-K2, IPB-K6, IPB-K9, dan IPBK13. Waktu inisiasi tersebut lebih cepat jika dibandingkan dengan waktu inisiasi yang terjadi pada suhu tinggi. Waktu inisiasi umbi tercepat pada suhu tinggi terjadi pada klon IPB-K2 dan IPB-K3. Klon IPB-K2 memiliki waktu inisiasi umbi yang tidak berbeda nyata dengan IPB-K3 yaitu 20.0 hari. Menurut Sumarni et al. (2013) kenaikan suhu rata-rata sebesar 2oC akibat penurunan ketinggian tempat menyebabkan mundurnya inisiasi umbi selama 13 hari. Hal ini sesuai dengan hasil percobaan Mailangkay et al. (2012) bahwa suhu tinggi memperpanjang lama pengisian umbi karena pengunduran saat inisiasi umbi. Pengunduran terjadi karena suhu tinggi memacu sintesis asam giberelin yang dapat menghambat inisiasi umbi. Klon IPB-K1, IPB-K7, dan IPB-K12 tidak dapat menghasilkan umbi sampai akhir pengamatan. Klon IPB-K7 tidak dapat menghasilkan umbi pada perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi, sedangkan klon IPB-K1 dan IPB-K12 yang tidak dapat menghasilkan umbi pada suhu tinggi. Menurut Halimah et al. (2008) salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan maupun produksi tanaman kentang adalah jenis tanaman yang berkaitan dengan genotipe. Perbedaan waktu pembetukan umbi pada klon-klon dikerenakan perbedaan genotipe yang mempengaruhi proses metabolisme tanaman. Cepat lambatnya pembentukan umbi dipengaruhi oleh jenis klon, fotoperiode dan zat pengatur tumbuh. Tabel 10 menunjukkan bahwa klon IPB-K2, IPB-K3, dan IPB-K6 memiliki respons waktu inisiasi umbi yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan suhu yang diberikan. Tanaman kentang yang tidak memiliki perbedaan respons tumbuh pada lingkungan suhu tinggi memiliki kemungkinan untuk dikembangkan menjadi kultivar adaptif suhu tinggi. Jumlah Umbi per Botol Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kentang masih dapat terbentuk pada suhu 29-31 oC. Jumlah umbi mikro yang berbeda antar klon disajikan pada Tabel 11. Analisis data secara statistik menunjukkan bahwa perlakuan suhu, klon, dan interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah umbi mikro per botol. Tabel 11 menunjukkan bahwa hasil panen pada perlakuan suhu tinggi memiliki jumlah umbi mikro per botol yang lebih rendah akibat banyaknya planlet yang tidak dapat menghasilkan umbi dan terserang kontaminasi mikroba. Rata-rata jumlah umbi yang dihasilkan bervariasi antara 1.0 sampai 3.1 umbi pada suhu tinggi, sedangkan perlakuan suhu rendah menghasilkan jumlah umbi antara 3.0 sampai 8.7 umbi. Peningkatan suhu yang diberikan cenderung menurunkan jumlah umbi. Tekanan suhu tinggi dapat menurunkan hasil umbi melalui pengurangan translokasi fotosintat ke umbi (Basu dan Minhas 2005). Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Handayani et al. (2013) menyatakan bahwa suhu tinggi menghambat pembentukan umbi, memicu terbentuknya bunga, cabang sekunder, meningkatkan jumlah daun, serta menyebabkan tanaman lebih tinggi. Pengujian kentang secara in vitro menunjukkan bahwa tidak semua klon dapat menghasilkan umbi. Faktor genotipe sangat berpengaruh terhadap produksi umbi pada kondisi suhu rendah ataupun suhu tinggi. Klon IPB-K2 dan IPB-K3 memperlihatkan jumlah umbi yang konsisten cukup tinggi di suhu rendah dan suhu tinggi. Klon IPB-K5, IPB-K6, dan IPB-K9 memiliki jumlah umbi yang
rendah di kedua kondisi suhu. Penurunan jumlah umbi yang besar ditunjukkan oleh klon IPB-K1 dan IPB-K12 yang tidak dapat menghasilkan umbi pada suhu tinggi, sedangkan IPB-K7 tidak dapat menghasilkan umbi meskipun telah diberikan perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi. Menurut Sakya et al. (2003) Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan maupun produksi tanaman kentang adalah jenis tanaman yang berkaitan dengan genotipe yang mempengaruhi proses metabolisme dalam jaringan tanaman. Tabel 11 Nilai tengah jumlah umbi mikro per botol pada perlakuan suhu tinggi dan suhu rendah secara in vitro No
Klon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah umbi
Rata-rata klon
Suhu rendah
Suhu tinggi
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
6.8 a 3.3 b 8.7 a 8.3 a 3.0 b 3.5 b 3.5 b n.a 3.5 b 4.6 a 3.5 b 4.4 a
1.2 b n.a 2.9 b 3.1 b 1.8 b 1.2 b 1.3 b n.a 1.0 b 1.8 b n.a 1.2 b
4.0 n.a 5.8 5.7 2.4 2.4 2.4 n.a 2.3 3.2 n.a 2.8
Rata-rata
4.8
1.7
3.3
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC; n.a: tidak ada data
Berdasarkan kemampuan menghasilkan umbi klon IPB-K2, IPB-K3 dan IPB-K10 dapat digolongkan toleran terhadap cekaman suhu tinggi. Ketiga klon tersebut mengalami penurunan jumlah umbi diatas 50%, namun IPB-K2, IPB-K3 dan IPB-K10 mampu menghasilkan jumlah umbi per botol diatas rata-rata jumlah umbi yang dihasilkan pada kondisi suhu tinggi. Klon IPB-K2, IPB-K3 dan IPBK10 diharapkan dapat menjadi klon kentang yang berpotensi untuk berproduksi di lingkungan suhu tinggi. Diameter Umbi Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu, klon, dan interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap diameter umbi. Diameter umbi mikro kentang berbeda pada setiap klon yang diuji. Perlakuan suhu tinggi pada penelitian ini menyebabkan penurunan diamater umbi. Tabel 12 menunjukkan bahwa klon-klon yang diberi perlakuan suhu rendah memiliki diameter umbi lebih besar daripada perlakuan suhu tinggi. Diameter umbi yang dimiliki bervariasi antara 4.23 mm sampai 6.70 mm pada suhu rendah, sedangkan perlakuan pada suhu tinggi diameter umbi antara 1.60 mm sampai 4.23 mm.
Menurut Timlin et al. (2006) setiap kenaikan suhu 5oC diatas 20oC terjadi penurunan laju fotosintesis 25% sehingga tekanan suhu tinggi dapat menurunkan hasil melalui pengurangan translokasi fotosintat ke umbi. Tabel 12 Nilai tengah diameter umbi mikro klon-klon kentang pada perlakuan suhu tinggi dan suhu rendah secara in vitro No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Klon
Diameter umbia Suhu rendah
Suhu tinggi
Rata-rata klon
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
..... mm ..... 6.33 a 3.00 b 4.86 a n.a 5.53 a 3.73 b 6.14 a 3.48 b 4.23 a 1.89 b 6.70 a 3.38 b 4.85 a 2.45 b n.a n.a 5.86 a 1.60 b 6.16 a 4.03 a 5.28 a n.a 5.82 a 4.23 a
4.67 n.a 4.63 4.81 3.06 5.04 3.65 n.a 3.73 5.10 n.a 5.03
Rata-rata
5.61
4.35
3.08
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC; n.a: tidak ada data
Klon-klon yang diberikan perlakuan suhu rendah menunjukkan respon yang tidak berbeda nyata, namun klon IPB-K5 memiliki diameter umbi yang lebih besar dibandingkan dengan klon-klon lainnya yaitu 6.70 mm. Diameter umbi terbesar di suhu tinggi terdapat pada IPB-K13 yaitu 4.23 mm yang tidak berbeda nyata dengan IPB-K10. Diameter yang terbentuk dalam perlakuan suhu rendah secara umum telah memenuhi syarat umbi mikro berkualitas. Diameter umbi mikro berkualitas baik adalah 5-10 mm (Wattimena 2000). Keanekaragaman ukuran umbi yang terjadi dalam penelitian ini disebabkan oleh genotipe yang berbeda dan terdapat perbedaan letak tumbuh umbi pada planlet. Menurut Kusumaningrum (2007) ukuran umbi juga dipengaruhi jarak umbi dengan media. Umbi yang dekat dengan media bahkan terendam dalam media umumnya mempunya ukuran lebih besar dari umbi yang terletak jauh diatas media. Hal ini dikarenakan umbi yang mengalami kontak dengan media akan lebih luas menyerap hara sehingga ukuran umbi semakin membesar. Tabel 12 memperlihatkan bahwa diameter umbi klon IPB-K10 dan IPB-K13 memiliki respons tidak berbeda nyata pada perlakuan suhu yang digunakan. Tanaman kentang yang tidak memiliki perbedaan respons tumbuh pada lingkungan suhu tinggi memiliki kemungkinan untuk dikembangkan menjadi kultivar adaptif suhu tinggi.
Bobot Basah per Umbi Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu, klon, dan interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap bobot basah per umbi. Perlakuan suhu tinggi masih mampu menginduksi umbi mikro pada beberapa klon yang diuji. Rata-rata bobot basah kedua belas klon yang diuji nyata lebih tinggi hingga 50% pada suhu rendah. Bobot basah per umbi pada suhu tinggi rata-rata berkisar antara 0.02 gram sampai 0.10 gram. Bobot basah per umbi terbesar pada suhu tinggi terdapat pada klon IPB-K5 dengan bobot 0.10 gram, sedangkan bobot basah umbi terendah terdapat pada IPB-K4 dengan bobot 0.02 gram. Hasil penelitian menunjukkan bobot basah umbi pada suhu tinggi lebih kecil dibandingkan dengan bobot basah umbi pada suhu rendah yang berkisar antara 0.07 gram sampai 0.22 gram. Suhu berpengaruh terhadap bobot umbi. Menurut Liu et al. (2006) peningkatan suhu sebesar 3oC dari 18oC menjadi 21oC dapat menurunkan bobot umbi 4.2 g tahun-1. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sumarni et al. (2013) produksi umbi dipengaruhi oleh laju dan lama pengisian umbi. Laju pengisian umbi semakin rendah dengan meningkatnya suhu. Suhu tinggi menghambat translokasi asimilat ke umbi, sehingga pembentukan umbi terhambat. Tabel 13 Nilai tengah bobot basah per umbi klon-klon kentang pada perlakuan suhu tinggi dan suhu rendah secara in vitro No
Klon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13 Rata-rata
Bobot basah per umbia Suhu rendah Suhu tinggi ..... gram ..... 0.21 a 0.04 b 0.07 b n.a 0.16 a 0.07 b 0.19 a 0.05 b 0.08 a 0.02 b 0.22 a 0.10 a 0.11 a 0.06 b n.a n.a 0.16 a 0.05 b 0.18 a 0.06 b 0.08 b n.a 0.14 a 0.07 b 0.15
0.06
Rata-rata klon
0.13 n.a 0.12 0.12 0.05 0.16 0.09 n.a 0.11 0.12 n.a 0.11 0.12
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC; n.a: tidak ada data
Tabel 13 menunjukkan bahwa bobot basah umbi per umbi klon IPB-K5 memiliki respons yang tidak berbeda nyata pada perlakuan suhu yang diberikan. Tanaman kentang tersebut berpotensi untuk dikembangkan menjadi kultivar adaptif suhu tinggi.
Bobot Kering Umbi Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu, klon, dan interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap bobot kering umbi. Tabel 14 menunjukkan bahwa perlakuan suhu rendah memiliki bobot kering umbi mikro berkisar antara 17.2% sampai 20.5%, sedangkan perlakuan suhu tinggi memiliki bobot kering antara 4.0% sampai 11.9%. Bobot kering umbi terbesar terdapat pada IPB-K10 yaitu 20.5% pada suhu rendah dan IPB-K2 yaitu 11.9% pada suhu tinggi. IPB-K10 pada perlakuan suhu rendah tidak berbeda nyata dengan klon-klon yang diuji, namun IPB-K10 memiliki persentase bobot kering umbi lebih tinggi. Tabel 14 Nilai tengah persentase bobot kering umbi mikro klon-klon kentang pada perlakuan suhu tinggi dan suhu rendah secara in vitro Bobot kering umbia
No
Klon
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
..... % ..... 17.4 a 17.2 a 16.7 a 17.9 a 17.3 a 18.9 a 17.2 a n.a 18.8 a 20.5 a 18.9 a 18.0 a
Rata-rata
18.1
Suhu rendah
Suhu tinggi
Rata-rata klon
5.1 b n.a 11.9 a 6.9 b 7.3 b 5.0 b 4.0 b n.a 5.6 b 7.5 b n.a 10.9 a
11.3 n.a 14.3 12.4 12.3 11.9 10.6 n.a 12.2 14.0 n.a 14.5
7.1
12.6
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC; n.a: tidak ada data
Peningkatan suhu yang diberikan dalam penelitian cenderung menurunkan bobot kering umbi mikro. Penurunan bahan kering tanaman akibat dari turunnya produksi karbohidrat ke umbi, tetapi juga karena penurunan distribusi karbohidrat ke umbi karena pendeknya masa pengisian umbi (Basu dan Minhas 2005). Akumulasi bahan kering dapat tertunda pada suhu tanah lebih dari 24oC dan sangat terganggu pada suhu 33oC karena sebagian besar karbohidrat dikonsumsi untuk respirasi. Akibatnya, karbohidrat yang digunakan untuk pertumbuhan umbi berkurang (Liu et al.2006). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa laju respirasi secara bertahap meningkat pada waktu yang sama dengan meningkatnya suhu sehingga kehilangan air melalui respirasi lebih besar dibandingkan aktivitas fotosintesis. Penambahan suhu 10oC menyebabkan respirasi bertambah dua kali lipat (Pereira dan Nova 2008).
Tabel 14 menunjukkan bahwa bobot kering klon-klon yang diuji pada perlakuan suhu rendah lebih besar dari 14 %. Kriteria umbi mikro berkualitas baik adalah umbi dengan bahan kering lebih besar dari 14% (Wattimena 2000). Menurut Kusumaningrum (2007) pengembangan dan pemanfaatan setiap klon akan berbeda tergantung kepada kandungan air dan bahan kering umbi. Komsumsi segar kentang menghendaki bobot kering kecil sedangkan umbi kentang untuk industri pengolahan menghendaki umbi kentang dengan bobot kering besar. Hal ini terkait dengan kandungan air dan pati di dalam umbi saat diolah. Hasil pengamatan diameter umbi menunjukkan bahwa klon IPB-K2 dan IPB-K13 memiliki respons bobot kering umbi yang tidak berbeda nyata pada perlakuan suhu yang diberikan. Klon-klon tersebut berpotensi dikembangkan menjadi kultivar adaptif suhu tinggi. Tabel 15 Hasil analisis korelasi antara jumlah umbi, diameter umbi, bobot basah per umbi, bobot kering umbi klon-klon kentang perlakuan suhu rendah dan suhu tinggi pada tahap pengumbian Diameter umbia
Bobot basah per umbia
Bobot kering umbia
0.69**
0.83** 0.71**
0.73** 0.83** 0.73**
Jumlah umbi Diameter umbi Bobot basah per umbi a
Keterangan: ** sangat nyata taraf 5%
Hasil analisis korelasi pada Tabel 15 menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif sangat nyata antara jumlah umbi, diameter umbi, bobot basah per umbi, dan bobot kering umbi. Hal ini serupa dengan hasil penelitian Mustika (2005) umbi yang berdiameter besar memiliki bobot basah yang tinggi juga. Menurut Wattimena (2000) propagul bibit mikro kentang harus memenuhi standar kualitas tertentu yaitu berdiameter lebih besar dari 5 mm, bobot basah lebih dari 100 mg, dan bahan kering lebih dari 14%. Penggunaan bahan tanam Granola, IPB-K2, IPB-K5, dan IPB-K10 pada perlakuan suhu rendah telah memenuhi standar untuk menjadi bibit mikro berkualitas baik. Produksi Umbi per Tanaman Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu, klon, dan interaksi antar perlakuan berpengaruh sangat nyata terhadap produksi umbi per tanaman. Tinggi rendahnya produksi umbi yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh jumlah umbi per tanaman dan bobot basah per umbi. Produksi umbi per tanaman berkisar antara 1.18 gram sampai 7.56 gram pada suhu rendah, sedangkan pada suhu tinggi produksi umbi per tanaman berkisar antara 0.06 gram sampai 0.52 gram. Tabel 16 menunjukkan klon-klon yang diberikan perlakuan suhu tinggi memproduksi umbi yang lebih rendah dibandingkan klon-klon pada perlakuan suhu rendah. Rendahnya produksi umbi per tanaman pada suhu tinggi dipengaruhi oleh faktor genotipe dan faktor lingkungan. Faktor genotipe merupakan karakter yang dibawa oleh masingmasing tanaman, sedangkan faktor lingkungan seperti suhu, cahaya, kelembapan udara lingkungan, media tanam, dan serangan hama dan penyakit juga dapat
mempengaruhi. Kesesuaian antara tanaman dan lingkungan tumbuh berpengaruh terhadap pertumbuhan dan tingginya hasil yang dicapai (Aulia et al. 2014). Kentang dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik bila ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai dengan syarat tumbuhnya. Tanaman kentang menghendaki suhu udara antara 15 sampai 22 oC (Sunarjono 2007). Tabel 16 Nilai tengah produksi umbi mikro per tanaman pada perlakuan suhu tinggi dan suhu rendah secara in vitro No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Klon
Produksi umbi per tanamana Suhu rendah
Granola IPB-K1 IPB-K2 IPB-K3 IPB-K4 IPB-K5 IPB-K6 IPB-K7 IPB-K9 IPB-K10 IPB-K12 IPB-K13
7.56 a 0.86 b 6.73 a 8.21 a 0.89 b 3.40 a 2.05 b n.a 2.24 a 3.70 a 1.18 b 2.08 b
Rata-rata
3.54
Suhu tinggi
..... gram ..... 0.08 b n.a 0.34 b 0.52 b 0.06 b 0.20 b 0.06 b n.a 0.02 b 0.22 b n.a 0.09 b 0.18
Rata-rata klon
3.82 n.a 3.54 4.37 0.48 1.80 1.06 n.a 1.13 1.96 n.a 1.09 1.93
a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut DMRT taraf 5%; Suhu tinggi: 29oC-31oC; Suhu rendah: 23oC-25oC; n.a: tidak ada data
Faktor genotipe sangat berpengaruh terhadap produksi umbi, baik pada perlakuan suhu rendah (23-25 oC) maupun suhu tinggi (29-31 oC) Perlakuan suhu rendah, produksi umbi tertinggi di tunjukkan oleh klon IPB-K3 yaitu sebesar 8.21 gram. Produksi umbi klon IPB-K3 pada suhu rendah tidak berbeda nyata dengan kultivar Granola, IPB-K2, IPB-K5, dan IPB-K10, sedangkan produksi umbi klon IPB-K3 berbeda nyata dengan klon IPB-K1, IPB-K4, IPB-K6, IPB-K9, IPB-K12, dan IPB-K13. Perlakuan suhu tinggi produksi umbi per tanaman tertinggi dihasilkan oleh IPB-K3 yaitu sebesar 0.52 gram yang tidak berbeda nyata dengan klon-klon lainnya. Hasil pengamatan berdasarkan kemampuan produksi umbi klon IPB-K2, IPB-K3, dan IPB-K10 dapat digolongkan toleran terhadap cekaman suhu tinggi. Ketiga klon tersebut mampu beradaptasi dan berproduksi dengan baik pada kondisi lingkungan suhu tinggi Menurut Handayani et al. (2013) tingkat toleran dapat dinilai dari perubahan produksi dari kondisi lingkungan normal dengan lingkungan tercekam. Seleksi dapat dilakukan berdasarkan sifat toleran tersebut, apabila tujuan utama seleksi ialah meningkatkan produksi di lingkungan tercekam, meskipun dapat menyebabkan penurunan produksi dan produktivitas rerata di lingkungan normal.
Warna Kulit Umbi dan Warna Daging Umbi Warna kulit umbi pada Tabel 17 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan warna kulit umbi pada klon-klon yang diuji di suhu rendah dan suhu tinggi. Klon IPB-K6 memiliki warna yang berbeda dengan semua klon yaitu sebagian biru. Klon IPB-K1, IPB-K4, IPB-K10, IPB-K12, IPB-K13, dan Granola memiliki kulit umbi yang berwarna kuning. Warna merah pada kulit umbi dimiliki oleh klon IPB-K2, IPB-K3, IPB-K5, dan IPB-K9. Tabel 17 Karakter kualitatif warna kulit dan warna daging umbi klon-klon kentang secara in vitro Karakter
Skoring kualitatif
Warna kulit umbi
Kuning
Warna daging umbi
Merah Biru Sebagian merah Sebagian biru Putih Krem Kuning muda Kuning Kuning tua
Klon Granola, IPB-K1, IPB-K4, IPB-K10, IPB-K12, IPB-K13 IPB-K2, IPB-K3, IPB-K5, IPB-K9 IPB-K 6 IPB-K1, IPB-K13 IPB-K5, IPB-K12 IPB-K2, IPB-K4, IPB-K10 Granola, IPB-K9 IPB-K3, IPB-K6
Warna daging umbi belum tentu sama dengan warna kulit yang dimilikinya. Berdasarkan penelitian karakter warna kulit umbi terdiri atas warna kuning, merah, biru, sebagian merah dan sebagian biru, sedangkan warna daging umbi kentang memiliki warna antara putih, kuning muda, krem, kuning, dan kuning tua.
Gambar 3
Keragaann warna kulit dan warna daging umbi mikro klon-klon kentang secara in vitro
Menurut Hamdani (2009) sifat-sifat yang terdapat pada tanaman kentang dikendalikan oleh satu atau lebih gen, sifat ini berbeda antar kultivar seperti halnya bentuk dan warna batang serta daun, tinggi tanaman, warna bunga, bentuk dan warna umbi, umur tanaman, ketahanan terhadap penyakit dan ketahanan terhadap suhu tinggi. Menurut Gopal (2001) penampilan genotipe kentang dalam kondisi in vitro mencerminkan penampilan di lapang karakter hasil dan pertumbuhan. Karakter yang berkorelasi sangat nyata adalah warna umbi, jumlah mata, jumlah umbi, dan bobot umbi.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perlakuan suhu tinggi dengan suhu 29-31 oC masih mampu merangsang pertumbuhan dan pembentukan umbi mikro kentang meskipun dengan respons yang lebih rendah dibandingkan dengan suhu rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa klon-klon kentang yang diuji pada perlakuan suhu tinggi memiliki daya adaptasi yang berbeda-beda. Klon IPB-6 dan IPB-K13 memiliki daya adaptasi yang lebih baik dibandingkan dengan klon-klon lainnya. Kedua klon tersebut memiliki persentase eksplan hidup yang tidak berbeda nyata pada perlakuan suhu yang diberikan. Perlakuan suhu berpengaruh sangat nyata terhadap produksi umbi mikro kentang. Terdapat interaksi antara perlakuan suhu dan perlakuan klon yang berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diamati (presentase kontaminasi, presentase eksplan hidup, peningkatan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah buku, jumlah akar, waktu inisiasi, jumlah umbi, diameter umbi, bobot basah per umbi, bobot kering umbi dan produksi umbi per tanaman). Klon IPB-K2, IPB-K3, dan IPB-K10 berpotensi untuk dikembangkan pada suhu tinggi. Ketiga klon tersebut masih mampu menghasilkan umbi dengan jumlah umbi, diameter umbi, persentase bahan kering umbi, dan produksi umbi per tanaman yang memberikan respons tidak berbeda nyata dengan produksi umbi kentang pada suhu rendah.
Saran Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut. Klon IPB-K2, IPB-K3, IPB-K6, IPB-K10 dan IPB-K13 secara in vitro memiliki daya adaptasi dan potensi hasil yang baik pada suhu tinggi dengan suhu berkisar antara 29 sampai 31oC sehingga pengujian di lapang perlu dilakukan terhadap klon-klon kentang yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi kultivar adaptif suhu tinggi.
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan.Haryono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Ajijah N, Ireng D, Yudiwanti, Roostika. 2010. Pengaruh suhu inkubasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio somatik purwoceng (Pimpinella Pruatjan Molk.). J Littri. 16(2):57-63. Andriyanto F, Setiawan B, Riana FD. 2013. Dampak impor kentang terhadap pasar kentang di Indonesia. Habitat. 24(1):64-76. Aulia AL, Mochamad N, Tatik W. 2014. Uji daya hasil tujuh klon tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). J Produksi Tanaman. 1(6): 515-519. Basu PS, Minhas JS. 2005. Heat tolerance and assimilate transport in different potato genotypes. J Experimental Botany. 42(7):861-866. [BPS] Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (ID). 2014. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Kentang, 2009-2014 [Internet]. [diunduh 2015 Okt 10]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/site/resultTab [FAOSTAT] Food and Agriculture Organization of the United Nations Statistics Division. 2014. Food and agriculture commodities by regions. FAO [internet]. [diunduh 2015 Okt 10]. Tersedia pada: http://faostat3.fao.org/browse/rankings/ commodities_by_region. Fernie AR, Willmitzer L. 2001. Molecular and biochemical triggers of potato tuber development. Plant Physiol. 127:1459-65. Fleisher, Dennis JT, dan Vanginalla RR. 2006. Temperature influence on potato leaf and branch distribution and on canopy photosynthetic rate. J Agron. 98:1442-52. Gomez KA, Gomez AA. 2007. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi ke-2. Endang S, Justika SB, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Statistical Procedurs for Agricultural Research Gopal J. 2001. In vitro and in vivo genetic parameters and character associations in potato. Euphytica. 118:145-151 Halimah S, Ansyar M, Kuswinati T, Sjahril R, Baharudin, Ala A, Sam’un E. 2008. Kajian pemanfaatan filtrat cendawan Lasiodiplodia theobromae dan ekstrak daun gamal sebagai penginduksi umbi mikro kentang secara in vitro. Seminar Nasional Pekan Kentang; 2008 Agu 20-21; Lembang, Indonesia. Lembang (ID): Balit Tanaman Sayuran. hlm 13. Hamdani JS. 2009. Pengaruh jenis mulsa terhadap pertumbuhan dan hasil tiga kultivar kentang (Solanum tuberosum L.) yang ditanam di dataran medium. J Agron Indonesia. 37(1):14-20. Handayani T, Basunanda P, Murti RH, Sofiari E. 2013. Perubahan morfologi dan toleransi tanaman kentang terhadap suhu tinggi. J Hortikultura. 23(4):318-328. Handayani T, Sofiari E, Kusmana. 2011. Karakterisasi morfologi klon kentang di dataran medium. Buletin Plasma Nutfah 17(2): 116-117.
Hasni VU, Asil B, Ferry ETS, Rina CBH. 2014. Respons pemberian coumarin terhadap prosuksi mikro tuber planlet kentang (Solanum tuberosum L.) varietas Granola. J Agroekoteknologi. 2(4): 1552-1562. [Kementan] Kementrian Pertanian. 2014. Syarat tumbuh kentang. CYBEX [internet]. [diunduh 2015 Sep 9]. Tersedia pada: http://cybex.pertanian.go.id/penyuluhan/ syarat-tumbuh-tanaman-kentang Kotak S, Larkindale J, Lee U, Do ring, PvK, Vierling E, Scharf KD. 2007. Complexity of the heat stress response in plants. Curr Opin Plant Biol. 10:310. Kusumaningrum IS. 2007. Evaluasi pertumbuhan in vitro dan produksi umbi mikro beberapa klon kentang (Solanum tuberosum L.) hasil persilangan kultivar Atlantik dan Granola [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusmana, Basuki RS, Kurniawan H. 2009. Uji adaptasi lima varietas bawang merah asal dataran tinggi dan medium pada ekosistem dataran rendah Brebes. J Hortikultura. 19(3):281-286. Liu, F., A. Shahnazari, M.N. Andersen, S.E. Jacobsen, C.R. Jensen. 2006. Physiological responses of potato (Solanum tuberosum L.) to partial root zone drying: ABA signalling, leaf gas exchange, and water use efficiency. J Experimental Botany. 57:3727-3735. Maharijaya A. 2007. Seleksi in vitro klon klon kentang hasil persilangan CV. Atlantik dan CV. Granola untuk mendapatkan calon kultivar kentang unggul [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mailangkay BH, Jeanne MP, Johannes EXR. 2012. Pertumbuhan dan produksi 2 varietas kentang (Solanum tuberosum L.) pada dua ketinggian tempat. Eugenia. 18(2): 161-170. Menzel CM. 1985. Tuberization in potato at high temperatures: Interaction between temperature and irradiance. Ann Bot. 55:35-39. Minhas JS. 2012a. Potato : Production Strategies under Abiotic Stress. Di dalam: Tuteja N, Sarvajeet Singh Gill, Antonio F. Tiburcio, Renu Tuteja, editor. Improving Crop Resistance to Abiotic Stress . Volume. 1. Weinheim (DE): Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. hlm 1155-67 doi:10.1002/9783527632930.ch45. Mustika H. 2005. Pengaruh kombinasi beberapa taraf nitrogen dengan inhibitor terhadap pengumbian kentang (Solanum tuberosum L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Prabaningrum L, Moekasam TK, Sulastrini I, Sahat JP. 2015. Teknologi pengendalian organisme pengganggu tumbuhan pada budidaya kentang toleran suhu tinggi. J Hortikultura. 25(1):44-53 Pereira A, Nilson VN. 2008. Potato maximum yield as affected by crop parameters and climatic factors in Brazil. HortScience. 43(5):1611-1614. Pertamawati. 2010. Pengaruh fotosintesis terhadap pertumbuhan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) dalam lingkungan fotoautotrof secara in vitro. J Sains dan Teknologi Indonesia.12(1):31-37. [Pusdatin] Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2013. Kentang. Bul Konsumsi Pangan. 4(1):16.
Pusat Perlindungan Varietas Tanaman. 2006. Panduan Pengujian Individual Kebaruan, Keunikan, Keseragaman dan Kestabilan Kentang (Solanum tuberosum L.). Pusat Perlindungan Varietas Tanaman, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Rubatzky VE, Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia: Prinsip, Produksi dan Gizi. Herison C, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung (ID): ITB Pr. Terjemahan dari World Vegetable: Principles, Production and Nutritive Values. Ed-. Rukmana R. 2002. Usaha Tani Kentang Sistem Mulsa Plastik. Yogyakarta (ID): Kanisius Rosmayati. 2005. Pengaruh lama penyinaran pada genotipa kentang dan ketahanan terhadap penyakit hawar daun Phytophtora [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rykaczewska, K. 2015. The Effect of High Temperature Occurring in Subsequent Stages of Plant Development on Potato Yield and Tuber Physiological Defects. American Journal of Potato Research. 92:339–49. doi:10.1007/s12230-0159436-x. Sahat S, Hidayat IM. 1996. Teknik Perbanyakan Umbi Bibit Kentang Secara Cepat [monograf]. Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayur. Sakya AT, Yunus A, Samanhudi, Baroroh U. 2003. Respons pemberian coumarin terhadap produksi mikro tuber planlet kentang (Solanum tuberosum L.) varietas granola. J Agrosains. 5(1): 19-22. Samadi B. 2007. Kentang dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta (ID): Kanisius. Samadi B. 2004. Usaha Tani Kentang. Yogyakarta (ID): Kanisius. Santoso U, Nursandi F. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Malang (ID): UMM Pr. Sari DC. 2013. Induksi umbi mikro kentang (Solanum tuberosum L.) secara in vitro pada suhu medium dengan beberapa konsentrasi gula [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sofiari E. 2009. Daya hasil beberapa klon kentang di Garut dan Banjarnegara. J Hortikultura. 19(2):148-154 Sumarni E, Herry S, Kudang BS, dan Satyanto KS. 2013. Pendinginan zona perakaran (Root zone cooling) pada produksi benih kentang menggunakan sistem aeroponik. J Agron Indonesia. 41(2):155-159 Sunarjono H. 2007. Petunjuk Budidaya Kentang. Jakarta (ID): Agromedia Pustaka. Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Timlin D, Lutfor R, Jeffery B, David HF, Bruno Q. 2006. Whole plant photosynthesis, development and carbon partitioning in potato (Solanum tuberosum L.) as a function of temperature. J Agronomy. 98:1195-1203. Wahid A, Gelani S, Ashraf M, Foolad MR. 2007. Heat tolerance in plants: an overview. Environmental Experimental Botany. 61:199-223. Wattimena GA, Nurhajati AM. Armini W, Agus P, Darda E, Bambang SP, Nurul K. 2011. Bioteknologi dalam Pemulian Tanaman. Bogor (ID): IPB Pr.
Wattimena GA. 2006. Prospek plasma nutfah kentang dalam mendukung swasembada benih kentang di Indonesi. Penyusunan Action Plan dalam Rangka Swasembada Benih Kentang di Indonesia; 2006 Apr 19 – 21; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB Wattimena GA. 2000. Pengembangan Propagul Kentang Bermutu dan Kultivar Kentang Unggul dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kentang di Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Hortikultura. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN Lampiran 1 Komposisi media Murashige dan Skoog Komponen Makro
mg/l
mg/l [10x]
gr/l
Alquot ml/l
NH4NO3
1650
16500
16.5
1/10X200=20
KNO3
1900
19000
19
1/10X200=20
KH2PO4
170
1700
1.7
1/10X200=20
MgSO4.7H2O Mikro [100x] Mikro A MnSO4.4H2O
370
3700
3.7
1/10X200=20
22.3
2230
2.23
1/100X500=5
H3BO3
6.2
620
0.62
1/100X500=5
ZnSO4.7H2O Mikro B KI NaMoO4.2H2O
8.6
860
0.86
1/100X500=5
0.83 0.25
83 25
0.083 0.025
1/100X500=5 1/100X500=5
CuSO4.5H2O
0.025
2.5
0.0025
1/100X500=5
CoCl2. 6H2O Vitamin [100x] Glysine Thiamin-Hcl Pyrdoksin Nicotinic acid Myo inositol [10x] CaCl2. 2H2O [10x]
0.025
2.5
0.0025
1/100X500=5
2 0.1 0.5 0.5 100 440
200 10 50 50 1000 4400
0.2 0.01 0.05 0.05 1 4.4
1/100X500=5 1/100X500=5 1/100X500=5 1/100X500=5 1/10X100=10 1/10X100=10
Na2EDTA [100x] FeSO4.7H2O
37.3 27.8
3730 2780
3.73 2.78
1/100X500=5 1/100X500=5
Lampiran 2 Data kelembapan ruang perlakuan suhu pada bulan Maret hingga Agustus 2015 Bulan
Maret April Mei Juni Juli Agustus
Kelembapan inkubasi
Kelembapan laboratorium umum
Maksimum Minimum Rata-rata Maksimum 55.5 51.5 50.0 45.0 46.0 48.5
Sumber : : Log book
38.5 46.0 41.5 41.0 43.0 41.5
..... % ..... 45.0 59.0 48.3 61.0 47.5 57.5 43.2 62.0 44.8 54.0 44.3 54.5
harian kelembapan PKHT (2015)
Minimum
Rata-rata
48.5 48.5 42.0 32.0 35.5 21.0
54.5 54.0 50.6 49.2 46.9 47.0