KESWADAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN RW LAYAK ANAK (STUDI PADA MASYARAKAT RW 06, KELURAHAN TANAH BARU, KECAMATAN BEJI, KOTA DEPOK) Ika Narwidya Putri dan Sri Susilih Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Abstrak Kebijakan Kota Layak Anak (KLA) merupakan wujud komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak-anak dan memenuhi hak-haknya. KLA diterapkan dengan menunjuk beberapa provinsi dan kabupaten/kota untuk menjadi proyek percontohan. Salah satu kota yang ditunjuk adalah Kota Depok. Pada tahun 2010, salah satu RW di Kota Depok yakni RW 06 Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji telah membentuk lingkungan layak anak yang menjadi cikal bakal RW Layak Anak berdasarkan inisiatif masyarakat sendiri. RW Layak Anak di lingkungan RW 06 dikembangkan dengan keswadayaan masyarakat. Bertolak dari hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keswadayaan masyarakat RW 06 dalam pengembangan RW Layak Anak. Penelitian ini menggunakan teori keswadayaan masyarakat dengan pendekatan positivis dan teknik pengumpulan data kualitatif. Teknik analisis data menggunakan analisis deksriptif terhadap indikator-indikator keswadayaan masyarakat. Hasil dari penelitian ini adalah keswadayaan masyarakat sudah terbangun akan tetapi mengalami pelemahan setelah 3 tahun berjalan. Hal ini disebabkan oleh melemahnya beberapa unsur keswadayaan khususnya energi sosial. Kata kunci : Kebijakan Kota Layak Anak, RW Layak Anak, Keswadayaan Masyarakat Abstract City Fit For Children’s Policy (KLA) is a commitment of the government to provide protection and fulfill the rights of children. It was implemented by appointing several provinces and residence/city as pilot projects. At 2010, one of RW in Depok City, RW 06 at Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji had developed an environment that is appropriate for children, which served as foundation of RW Fit For Children, by its own initiative. RW Fit For Children in RW 06 was developed with the society self-help. Therefore, the purpose of this research is to understand community self-help in RW 06. Researcher used community self-help theory and applied positivist approach. The data were collected in qualitative method and analized descriptively towards the indicators of society self-help. The result of this research shows that society self-help has been developed, although it has undergone a descent after 3 years of its application. The reason behind it is because some self-help factors, especially social energy, have run down. Keywords : City Fit For Children’s Policy, RW Fit For Children, Community Self-Help Pendahuluan Berdasarkan tujuan bernegara yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melindungi seluruh warga negara, termasuk anakanak. Pentingnya melindungi anak-anak dikarenakan anak-anak adalah kelompok penduduk usia muda yang mempunyai potensi untuk dikembangkan agar dapat berpartisipasi aktif
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
dalam pembangunan di masa yang akan datang (KPPPA & BPS, 2011). Berdasarkan UndangUndang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jumlah anakanak yang berusia 0 hingga 17 tahun di Indonesia mencapai 34,26% dari seluruh jumlah penduduk (KPPPA, BPS, 2011). Hal ini berarti setiap 3 penduduk Indonesia 1 di antaranya adalah anak-anak. Untuk membentuk generasi muda yang berkualitas, maka perlu adanya perlindungan khusus terhadap anak-anak beserta hak-hak yang dimilikinya. Berdasarkan Konvensi Hak Anak (KHA) terdapat 5 kluster hak anak terdiri dari hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; serta perlindungan khusus. Saat ini upaya pemenuhan hak-hak anak masih belum terwujud secara optimal. Hal ini terlihat dari sejumlah kasus kekerasan yang terjadi pada anak. Ketua P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Jawa Barat, Netty Heryawan, mengatakan bahwa anak menjadi salah satu pihak yang sangat rentan mengalami tindak kekerasan. Ironisnya, kekerasan tidak hanya terjadi di luar rumah, akan tetapi di lingkungan keluarga pun banyak anak yang mengalami kekerasan (www.jakartatoday.com, 2012). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Komnas PA (Komisi Nasional Perlindungan Anak) pada tahun 2010 setidaknya 21 juta anak menjadi korban kekerasan, 292 orang di antaranya tewas setelah disiksa, 70% pelakunya adalah perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (www.sejiwa.org, 2010). Posisi anak-anak dalam kekerasan tidak hanya menjadi objek kekerasan, akan tetapi juga sebagai pelaku tindak kekerasan. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi anak melakukan tindak kekerasan hingga tindak pidana yaitu: (a) pendidikannya terlantar, (b) berasal dari keluarga yang pecah (broken home), (c) pengaruh dari lingkungan tempat tinggal atau lingkungan pendidikan yang tidak baik (Mustining, 2007). Jumlah anak sebagai pelaku tindak pidana pun kecenderungannya menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2007, terdapat 3.145 kasus, tahun 2008 meningkat sebesar 4,3% menjadi 3.280 kasus. Pada tahun 2009, terjadi peningkatan kembali sebesar 28,4% menjadi 4.213 kasus, dan meningkat signifikan sebesar 48,89% menjadi 6.273 kasus. Namun, pada tahun 2011 terjadi penurunan yang signifikan pula sebesar 47,2% menjadi 3.312 (KPPPA & BPS, 2012; Dirjen HAM Kemenkumham, 2012; Nasikhah & Duratul, 2012)
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
Melihat kenyataan bahwa anak-anak dapat menduduki posisi baik sebagai objek kekerasan maupun pelaku tindak kekerasan/ pidana, maka pemerintah menyediakan seperangkat tindakan guna mencegah, meminimalisasi tindakan pidana oleh anak, menanggulangi masalah kekerasan pada anak serta menjamin pemenuhan hak-hak anak. Salah satu tindakan yang diambil oleh Pemerintah adalah mengimplementasikan kebijakan KLA pada tahun 2010. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak
Nomor
11
Tahun
2011
tentang
Kebijakan
Pengembangan
Kabupaten/Kota Layak Anak, pengertian kabupaten/kota layak anak adalah kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, pembentukan kabupaten/kota layak anak pada tahun 2010 sudah dilakukan di 10 provinsi serta 20 kabupaten/kota. Salah satu provinsi yang ditunjuk sebagai proyek percontohan KLA adalah Jawa Barat karena menduduki peringkat kedua dalam hal kekerasan terhadap anak setelah DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta (www.fokusriau.com, 2013). Pemerintah Provinsi Jawa Barat kemudian menunjuk 5 kabupaten/kota sebagai proyek percontohan dimana salah satu kota tersebut adalah Kota Depok. Hal yang melatarbelakangi dipilihnya Kota Depok karena memiliki jumlah kasus kekerasan terhadap anak tertinggi dibandingkan dengan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Silalahi, 2012). Pada tahun 2011, Pemerintah Kota Depok menggunakan pendekatan buttom-up dalam mengimplementasikan KLA yakni dengan menunjuk beberapa RW (Rukun Warga) sebagai proyek percontohan RW Layak Anak. Salah satunya adalah RW 06, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok. Namun, sebelum RW 06 ditunjuk sebagai oleh Pemerintah Kota Depok, pada bulan Juli 2010 sudah terbentuk Lingkungan Layak Anak (LLA) yang menjadi cikal bakal RW Layak Anak. Masyarakat RW 06 mengembangkan LLA berdasarkan inisitif, upaya mandiri dalam menanggulangi masalah anak-anak di lingkungannya. Hal tersebut dilihat sebagai manifestasi keswadayaan masyarakat. LLA diwujudkan melalui serangkaian proses identifikasi masalah, diskusi untuk menemukan solusi melalui organisasi informal dalam masyarakat seperti Fokus (forum komunikasi khusus), Hadiran, dan Pengajian. Upaya tersebut dilakukan oleh masyarakat tanpa intervensi dari Pemerintah Kota Depok. Gagasan tentang LLA diungkapkan oleh salah satu tokoh masyarakat yang resah
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
dengan
permasalah
anak-anak
seperti
merokok,
konsumsi
narkoba,
dan
tidak
dimanfaatkannya jam belajar pada rentang waktu pukul 18.00- 20.30. Tokoh masyarakat tersebut melakukan diskusi dengan pihak-pihak terkait kemudian menyusun program dan mensosialisasikan kepada masyarakat supaya turut berpartisipasi. Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti memilih RW 06 Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok sebagai lokasi penelitian guna mengetahui keswadayaan masyarakat dalam pengembangan RW Layak Anak. Dengan demikian, permasalahan pokok yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana Keswadayaan Masyarakat RW 06 Kelurahan Tanah Baru dalam Pengembangan RW Layak Anak di Kota Depok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Keswadayaan Masyarakat dalam Pengembangan RW Layak Anak di Kota Depok (Studi Pada Masyarakat RW 06, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok). Tinjauan Teoritis Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah keswadayaan masyarakat. Keswadayaan masyarakat adalah kemandirian masyarakat dalam memutuskan apa yang menjadi masalah dan kebutuhannya dan apa yang akan dilakukan untuk masa depannya (Soetomo, 2012: 32).Terdapat beberapa unsur keswadayaan masyarakat. Pertama, kebutuhan bersama, dapat dilihat dari adanya visi yang ideal dan abstrak diturunkan ke dalam formulasi yang lebih operasional. Dalam proses tersebut dibutuhkan kesadaran masyarakat dan partisipasi lokal. Kesadaran meliputi kesadaran akan kondisi yang diharapkan, kesadaran akan kondisi kehidupan saat ini, serta kesadaran akan adanya kesenjangan di antara keduanya. Sedangkan partisipasi lokal dibutuhkan dalam mengumpulkan dan konsolidasi dukungan masyarakat serta mempermudah implementasi, memelihara kesinambungan kegiatan, pengembangan atau perluasan kegiatan. Hal tersebut mendorong masyarakat untuk lebih inisiatif, mengurangi apatis dan rasa putus asa dalam menghadapi permasalahan (Hailu, 1995) Kedua, adanya potensi dan sumber daya lokal. Hal tersebut dapat dilihat dari tiga upaya yang
mengubah sumber daya yang laten menjadi manifes. Pertama, identifikasi
kebutuhan masyarakat secara terus menerus sejalan dengan perkembangan yang terjadi di dalam lingkungan tersebut. Kedua, identifikasi potensi, sumber daya dan peluang yang juga selalu berkembang. Identifikasi ini harus mampu meliputi keseluruhan potensi dan sumber daya yang ada, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun sumber daya sosial. Ketiga, proses dan upaya untuk mencari cara yang lebih menguntungkan dalam memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Masyarakat memiliki sumber daya yang terbatas sehingga perlu pemanfaatan yang efisien dan maksimal sehingga memungkinkan
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang pada akhirnya mengapresiasi kemampuan mereka sendiri. Masyarakat harus mampu memilah mana sumber daya yang mampu mendukung pencapaian jangka pendek dan mana yang mampu mendukung pencapaian jangka panjang. Pemanfaatan dengan cara tersebut akan memungkinkan masyarakat menggunakan cara yang sama dalam memanfaatkan sumber daya yang berasal dari pihak eksternal (Hailu, 1995: 6). Menurut Marinova dan Hossain (2006: 4) pemanfaatan sumber daya juga harus menganut prinsip kesederhanaan sehingga ketergantungan dapat dihindari. Pihak eskternal berfungsi sebagai kontributor yang mempercepat atau menunjang proses yang berjalan. Peranan pihak eskternal masuk atas permintaan masyarakat sesuai perencanaan dan skenario yang sudah dibuat masyarakat. Ketiga, pengetahuan dan kearifan masyarakat yang terbentuk dari proses interaksi antarwarga masyarakat dan interaksi terhadap lingkungannya. Dalam proses tersebut terjadi tindakan yang bersifat adaptif dan inovatif. Terdapat pula proses bekerja sambil belajar dimana kemampuan dan kreativitas masyarakat terakumulasi dari proses saling bertukarnya pengetahuan, keahlian, dan aset material yang dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama (Alene, 2011: 5). Pengetahuan dan kearifan lokal selalu berkembang baik secara kumulatif maupun verifikatif. Kumulatif artinya pengetahuan masyarakat dapat berkembang semakin luas dan semakin banyak sejalan dengan pengalaman yang semakin bertambah. Verifikatif artinya melalui pengalaman dalam implementasi pengetahuan dan pengalaman lokal yang dimiliki, masyarakat dapat belajar tentang kekurangan dan kelebihan yang kemudian dijadikan sebagai umpan balik untuk melakukan perbaikan. Keempat, keberadaan institusi sosial yang dapat dilihat dari proses bekerja sambil belajar dalam kehidupan keseharian yang sudah menjadi rutinitas yang kemudian menghasilkan aktivitas bersama yang terpola. Kehadiran institusi sosial merupakan manifestasi kemampuan masyarakat untuk mengorganisasikan kegiatan bersama. Institusi sosial merupakan media partisipasi masyarakat, perumusan perencanaan lokal, memberikan pelayanan, mobilisasi sumber daya lokal, sarana identifikasi kebutuhan lokal, dan sarana peningkatan kesadaran dan komitmen untuk tindakan bersama dalam rangka mewujudkan visi bersama. Kelima, adanya energi sosial berasal dari nilai kemanusiaan, solidaritas, kesadaran kolektif, tanggungjawab sosial yang mendorong terwujudnya tindakan bersama. Energi sosial yang ada di dalam masyarakat khususnya dalam kehidupan komunitas berbasis atas
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
resiprositas, solidaritas dan kepercayaan. Hubungan timbal balik dan kerjasama merupakan manifestasi dari resiprositas. Keenam, adanya proses dan mekanisme yang dapat dilihat dari 4 variasi proses dan mekanisme suatu tindakan bersama yang didorong oleh adanya energi sosial diantaranya: (a) gagasan dari dalam, energi dari dalam, (b) gagasan dari luar, energi dari dalam, (c) gagasan dari dalam, energi dari luar, (d) gagasan dari luar, energi dari luar. Dalam pandangan keswadayaan masyarakat, variasi yang ideal adalah tipe (a) sedangkan kombinasi tipe (a) dan tipe (c) merupakan pola yang lebih realistis. Penggunaan tipe (b) masih memungkinkan, hal ini disebabkan karena dalam proses interaksi dan interkonektivitas masyarakat dengan lingkungan makronya dimungkinkan interaksi gagasan dan ide. Sedangkan tipe (d) merupakan pola yang harus dihindari. Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah positivis yang bersifat nomotetik dan menggunakan logika berpikir deduktif. Jenis penelitian berdasarkan tujuan adalah deskriptif, dilihat dari segi manfaat merupakan penelitian murni, sedangkan berdasarkan waktu penelitian termasuk cross sectional. Teknik pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam, sedangkan untuk data sekunder melalui observasi lapangan dan studi kepustakaan. Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa pihak dari Pemerintah Kota Depok seperti BPKM (Badan Pemberdayaan Keluarga dan Masyarakat), LSM Fokla (Forum untuk Kota Layak Anak), Kelompok Kerja Lingkungan Layak Anak serta pengurus RT dan RW 06, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok. Setelah data terkumpul, maka dilakukan analisis data. Data disusun menjadi suatu rumusan yang sederhana agar informasi yang terdapat di dalam data dapat dipahami dan dapat diinterpretasikan polanya. Penyusunan data berasal dari wawancara catatan lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Bogdan, 1982 dalam Sugiyono, 2007). Hasil dan Pembahasan Daerah RW 06 Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok memiliki areal seluas 7,5 hektar. RW 06 dibagi atas 4 RT dengan 476 KK (Kepala keluarga) dan jumlah penduduk sebanyak 1753 yang terdiri dari 851 perempuan dan 902 laki-laki. Jumlah anak berdasarkan usia sekolah (Pra SD, SD, SMP dan SMA) adalah 1.538 anak. Anak usia Pra SD
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
adalah 502 anak, usia SD/MI adalah 273 anak, usia SLTP/MTs adalah 225 anak, sedangkan usia SLTA/MA adalah 538. Lingkungan Layak Anak RW 06 yang menjadi cikal bakal RW Layak Anak terbentuk pada tanggal 26 Juli 2010. Terdapat beberapa sub-program dalam RW Layak Anak yakni: memberlakukan jam belajar (belajar di rumah, masjid/musholla) mulai pukul 18.00- 20.30; setiap rumah memastikan televisi, radio, video games dan sejenisnya pada jam tersebut; tidak ada anak-anak yang bermain, bermain gitar/alat musik lain, bermain telepon genggam, bergerombol di luar rumah atau di jalan, warung, warnet (warung internet) pada jam tersebut; melarang keras anak-anak usia sekolah merokok; menghimbau orang-orang dewasa untuk tidak merokok di depan anak-anak atau wanita serta di tempat umum (sekolah, masjid/musholla, posyandu, dan lain-lain); mencegah dan melaporkan ke pihak yang berwajib dengan segera bila ada kegiatan perjudian, minum-minuman keras, penggunaan/peredaran narkoba, asusila dan kejahatan lainnya; patroli/SIDAK (Inspeksi Mendadak) oleh petugas/pokja. Kegiatan lingkungan layak anak dikoordinasi oleh sebuah kelompok kerja yang terdiri dari Pokja Tingkat RW dan Pokja Tingkat RT. Pokja Tingkat RW terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan 2 orang anggota. Sedangkan Pokja Tingkat RT terdiri dari ketua dan beberapa orang anggota tergantung dari SDM yang ada di masing-masing RT. Program lingkungan layak anak awalnya menggunakan dana dari kas uang PHBI RW 06, dimana 60% dari keseluruhan uang kas dapat dipergunakan terlebih dahulu. Selain itu, dana dikumpulkan juga dari sumbangan warga yang melalui kegiatan fokus, hadiran, pengajian mingguan PHBI (uang shalawat), sodaqoh, infaq, zakat, bantuan pemerintah, LSM dan organisasi lainnya yang sifatnya tidak mengikat. Dari segi sarana pendukung, terdapat: (a) tempat ibadah (musholla di setiap RT dan Masjid Jami’ Darul Istiqomah); (b) sekolah yang berada di lingkungan RW 06 yaitu PAUD Al-Muqorrobin dan MIT Nurul Iman; (c) Posyandu Markisa; (d) lapangan bermain; (e) sarana kebersihan lingkungan; (f) kantor sekretariat lingkungan layak anak RW 06. Kebutuhan Bersama dalam Pengembangan RW Layak Anak Pengembangan RW Layak Anak tidak lepas dari keberadaan visi. Visi dapat diartikan sebagai tujuan atau gambaran kondisi kehidupan yang diharapkan. Semakin ideal suatu visi semakin membutuhkan waktu yang lama untuk mewujudkannya dan berlaku pula sebaliknya. Tujuan
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
yang hendak dicapai dalam program RW Layak Anak termasuk dalam visi yang ideal. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan salah satu Ketua RT di lingkungan RW 06. “...ya pertama sih visi misinya supaya anak-anak kita itu kan memiliki akhlaqul karimah intinya gitu ya. Jadi mereka memiliki kepedulian terhadap pengembangan dirinya supaya menjadi orang-orang yang paham ketika mereka dewasa besar dan tinggal di masyarakatnya mau memberikan kontribusinya” (Hasil wawancara mendalam dengan Ketua RT 02, Abdul Mu’min, 21 April 2013). Berdasarkan pernyataan tersebut, visi yang hendak diwujudkan melalui program RW Layak Anak adalah terbentuknya kepribadian anak-anak yang memiliki sifat akhlaqul karimah. Tujuan tersebut membutuhkan waktu yang lama karena pada dasarnya mengubah pola asuh anak yang melibatkan peran orang tua, dan menyediakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang anak. Visi atau tujuan tersebut kemudian diturunkan dalam bentuk yang lebih operasional yakni 8 sub-program yang telah disepakati dalam program RW Layak Anak. Sebelum tercetus ide mengenai pembentukan Lingkungan Layak Anak (cikal bakal RW Layak Anak) pada tahun 2010, terdapat beberapa anggota masyarakat yang prihatin terhadap kondisi anak-anak secara umum dan khusus. Secara umum, masyarakat melihat fenomena anak-anak usia sekolah yang sudah melakukan tindakan orang-orang dewasa dan banyak yang diberitakan di media massa. Sedangkan secara khusus dilihat dari kondisi anakanak yang ada di lingkungan RW 06, banyak anak-anak yang bermain di gang atau sekedar duduk bersama dengan teman-teman di saat jam belajar. Bahkan ditemui pula contoh tindakan orang tua yang seharusnya tidak boleh diperlihatkan kepada anak-anak yakni berjudi. Masyarakat berupaya untuk mempelajari kondisi lingkungan serta menemukan solusinya. Hal tersebut juga menunjukkan pula adanya kesadaran anggota masyarakat terhadap kesenjangan kondisi yang diharapkan dengan kondisi kehidupan yang dihadapi dengan segala persoalan yang melingkupinya. Kesadaran tersebut merupakan hasil proses belajar sosial yang digerakkan oleh salah tokoh masyarakat yang juga menjadi penggagas lingkungan layak anak. Tokoh masyarakat tersebut adalah Ustadz Mahari yakni pihak yang mampu melihat permasalahan, kemudian memunculkan suatu solusi dengan membentuk lingkungan layak anak. Gagasan tentang program lingkungan layak anak kemudian disosialisasikan ke pihak-pihak penting terkait yakni pengurus RT, RW dan tokoh masyarakat. Sosialisasi tersebut merupakan sebuah bentuk transformasi untuk menjadikan
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
gagasan sebagai kebutuhan bersama. Proses transformasi memanfaatkan institusi sosial yang sudah melembaga, salah satunya adalah Fokus yang diselenggarakan tiap satu bulan sekali. Sosialisasi dilaksanakan melalui Fokus, Hadiran, dan Pengajian. Selain itu, terdapat spanduk yang ditempatkan di lokasi strategis dan menyebarkan selebaran. Melalui sosialisasi, masyarakat mengetahui apa saja sub-program yang dilaksanakan serta mendorong lebih banyak anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengembangan program. Partisipasi masyarakat
mutlak
diperlukan
untuk
menjamin
keberlangsungan
program.
Fokus
dimanfaatkan sebagai media untuk melibatkan partisipasi masyarakat. Melalui Fokus dibahas tentang masalah-masalah apa saja yang ditemui terkait program RW Layak Anak dan bagaimana cara mengatasinya. Ketika program RW Layak Anak menjadi sebuah kebutuhan bersama maka akan mendorong masyarakat untuk lebih inisiatif dalam menjalankan sub-program. Misalnya dalam hal pemberlakuan jam belajar pukul 18.00 hingga 20.30, yang dahulunya orang tua membiarkan anak bermain ketika seharusnya mereka memanfaatkan waktu untuk belajar, akan tetapi saat ini orang tua dituntut untuk lebih inisiatif mengarahkan anak supaya belajar pada jam-jam tersebut. Berdasarkan hasil observasi dalam penelitian ini, ketika ada anak-anak yang bermain di depan sebuah warung yang berada di kawasan RT 02, orang tua langsung menegur mereka dan mengajaknya pulang untuk belajar. Keberadaan masyarakat yang inisiatif memang dapat mendukung kesuksesan pelaksanaan program, akan tetapi perlu diperhatikan juga adanya masyarakat yang apatis. Apatis yang dimaksud dalam konteks ini adalah ketidakmauan anggota masyarakat untuk terlibat dalam berbagai program yang dilaksanakan di RW 06 termasuk program RW Layak Anak. Anggota masyarakat yang apatis tersebut tidak terlalu peka terhadap isu-isu sosial yang ada di lingkungan. Masyarakat yang apatis adalah pendatang yang mengontrak rumah di lingkungan RW 06. Akan tetapi, para Pengurus RT sebagai bagian dari Pokja RW Layak Anak tidak membiarkan begitu saja anggota masyarakat yang apatis tersebut. Pengurus RT menggunakan pendekatan lain untuk tetap dapat berkomunikasi dan menyerap masukan melalui forum pengajian ibu-ibu PKK. Potensi dan Sumber Daya Lokal dalam Pengembangan RW Layak Anak Dalam mewujudkan kondisi lingkungan yang lebih baik dan layak untuk anak-anak maka diperlukan sumber daya baik yang sifatnya materi maupun non materi yang tersedia di lingkungan masyarakat. Dibutuhkan kemampuan untuk mengelola sumber daya berdasarkan dinamika internal yang berlangsung dalam masyarakat supaya mendapatkan hasil sesuai dengan tujuan. Terdapat beberapa tahapan tentang bagaimana pemanfaatan sumber daya
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
menjadi efektif. Pertama, masyarakat perlu mengidentifikasi kebutuhan yang tercakup dalam program RW Layak Anak dengan memperhatikan dinamika perkembangan lingkungan. Masyarakat RW 06 senantiasa melakukan identifikasi kebutuhan anak-anak sesuai dengan perkembangan yang berlangsung. Misalnya, ketika program RW Layak Anak diresmikan oleh Pemerintah Kota Depok dan dijadikan sebagai proyek percontohan, maka timbul urgensi untuk segera melengkapi kebutuhan sarana untuk tumbuh kembang anak dan mengembangkan bakat dan minat anak. Hal tersebut juga didasari oleh pemikiran bahwa ketika anak-anak ditegur atau dilarang melakukan suatu kegiatan maka dibutuhkan kegiatan positif untuk mengalihkan perhatian anak-anak supaya tidak melakukan hal-hal yang dilarang tersebut. Pada akhirnya diputuskan untuk menyediakan lapangan bermain. Menanggapi munculnya kebutuhan tersebut maka diperlukan sumber daya. masyarakat berupaya untuk memenuhi kebutuhan lapangan bermain dengan memanfaatkan sumber daya dan peluang yang ada. Sumberdayanya adalah lapangan yang tidak terpakai, sedangkan peluangnya adalah dimungkinkannya pemakaian lapangan tanpa harus membayar, dan tinggal berkoordinasi saja dengan pemilik tanah tentunya dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dengan tidak mendirikan bangunan semi permanen. Untuk melengkapi sarana bermain anak, maka dimanfaatkan pula bantuan dari Pemerintah Kota Depok berupa peralatan olahraga. Setelah kebutuhan anak-anak teridentifikasi berikut potensi dan sumber daya serta peluang yang ada, maka langkah selanjutnya adalah memanfaatkan sumber daya secara efisien, maksimal (efektif) untuk menghindari ketergantungan dengan pihak eksternal. Hal tersebut misalnya terlihat dari upaya pengelola Saung Pintar (tempat diselenggarakannya kegiatan belajar mengajar anak-anak secara informal) dalam memanfaatkan dana dari masyarakat untuk penyelenggaraan kegiatan. Terdapat dana dari masyarakat sebesar Rp 720.000, dana tersebut tidak digunakan secara rutin untuk kegiatan operasional Saung Pintar dan hanya digunakan untuk pembelian kertas media untuk menggambar bagi anak-anak. Kegiatan operasional dibiayai oleh pengurus Saung Pintar. Walaupun berupaya untuk membiayai sendiri program RW Layak Anak, akan tetapi tetap memungkinkan bantuan dari pihak eksternal seperti Pemerintah Kota Depok. Bantuan eksternal bersifat komplementer dan tidak diutamakan karena berupaya menghindari ketergantungan. Terdapat bantuan dana dari Pemerintah Kota Depok berupa uang sebesar Rp. 20.000.000 untuk pembangunan Saung Pintar. Akan tetapi, dana tersebut tidak cukup untuk membangun sebuah Saung Pintar sehingga untuk menambah dana pembangunan dilakukan penggalangan dana dari masyarakat sebesar Rp 60.000.000.
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
Bantuan dan sumber daya yang berasal dari internal maupun eksternal masyarakat dimanfaatkan untuk kesinambungan program baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam pemahaman masyarakat, pengertian pemanfaatan sumber daya untuk pencapaian jangka pendek dimaknai dengan penyelenggaraan kegiatan dalam rentang waktu yang tidak berlangsung lama dan melibatkan anak-anak dalam program RW Layak Anak seperti rencana pelaksanaan lomba pada waktu tertentu. Sedangkan pengertian pemanfaatan sumber daya untuk pencapaian jangka pendek dimaknai dengan penyediaan sarana pendukung program RW Layak Anak berupa lahan bermain, kegiatan pendukung yang memiliki durasi waktu yang lama. Pengetahuan dan Kearifan Masyarakat Ketika masyarakat melaksanakan program dan belajar dari pengalaman yang dilaluinya maka bertambah pula pengetahuan masyarakat tentang cara mewujudkan lingkungan kondusif untuk anak-anak. Salah satu contohnya, pada awal pelaksanaan program pada tahun 2010, para pengurus Pokja RW Layak Anak berpikir bahwa program yang dijalankan tidak membutuhkan biaya operasional. Akan tetapi, muncul kebutuhan sarana pendukung anak supaya lingkungan kondusif seperti Saung Pintar. Akhirnya masyarakat belajar bagaimana menemukan solusi dan mewujudkannya. Hal tersebut menunjukkan adanya proses bekerja sambil belajar dan dinamika masyarakat. Pengetahuan yang didapatkan oleh masyarakat menjadi bekal untuk beradaptasi dengan ketentuan-ketentuan baru yang diatur dalam program. Akan tetapi, adaptasi tersebut bukan tanpa hambatan. Salah satu hambatan tersebut misalnya lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak-anak khususnya terhadap penggunaan barang elektronik seperti telepon genggam yang berpotensi menampilkan materi yang tidak selayaknya dilihat dan dibaca oleh anak-anak. Di samping dituntut untuk beradaptasi sesuai dengan ketentuan yang berlangsung, masyarakat juga dituntut untuk menciptakan tindakan yang inovatif. Tindakan inovatif tentunya mempertimbangkan kearifan lokal masyarakat dan kebutuhan. Salah satu contohnya adalah kegiatan yang menggabungkan perayaan hari-hari besar Islam atau HUT Kota Depok yang melibatkan anak-anak akan tetapi tetap bernuansa Islami. “...kalo yang mengembangkan model-model Ustadz kan pembawaannya tenang, kondusif. Kalo standarnya Ustadz kan banyak kegiatan pengajian, kegiatan islami. Menurut saya itu udah bagus. Memang kearifan lokalnya kayak gitu. Kita nggak dapat menuntut mereka untuk lebih dari itu. Misalnya lagi mereka mau bikin tasyakuran dalam rangka HUT Depok yang melibatkan peran anak-anak, itu sudah inovatif menurut saya. Belum tentu di RW lain mikirnya sampai bikin tasyakuran sampe’ ngelibatin anak-
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
anak” (Hasil wawancara mendalam dengan Ketua LSM Fokla, Retno, 16 April 2013). Proses adaptasi dan mewujudkan tindakan inovatif merupakan manifestasi dari pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat. Pengetahuan berkembang secara kumulatif dan verifikatif. Upaya mengembangkan pengetahuan secara kumulatif dapat dilihat dari kegiatan penambahan pengetahuan kepada para ibu melalui dua kegiatan yakni parenting yang bekerjasama dengan LSM Fokla dan konsultasi dengan psikolog khusus untuk anak-anak yang bermasalah. Dalam kegiatan parenting para ibu diberi pengetahuan seputar bagaimana memaksimalkan tumbuh kembang anak. Sedangkan wujud dari pengetahuan verifikatif tercermin dari upaya masyarakat memanfaatkan segala pengalaman dan pengetahuan tersebut untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan program dan bagaimana menjadikannya sebagai umpan balik untuk perbaikan. Salah satu kelemahan program adalah belum adanya rencana tahunan kegiatan Saung Pintar yang nantinya berpengaruh terhadap ketidakjelasan arah dan tujuan yang ingin dicapai. Institusi Sosial dalam Masyarakat Institusi sosial yang dimaksud merupakan wadah atau organisasi, menggambarkan suatu pola aktivitas yang sudah terlembagakan. Terdapat tiga institusi sosial yang ada di masyarakat RW 06 yakni Fokus, Hadiran dan Pengajian. Hadiran dilaksanakan setiap seminggu sekali di tiap RT, sedangkan Pengajian dilaksanakan setiap dua minggu sekali. Dalam institusi sosial terdapat interaksi sosial antar anggota masyarakat. Masyarakat berusaha memanfaatkan institusi sosial sebagai media yang dapat membantunya dalam merespon perubahan sesuai dengan dinamika lingkungan. Terdapat beberapa peranan institusi sosial yang terlihat di dalam lingkungan RW 06. Pertama, sebagai media partisipasi masyarakat. Keikutsertaan masyarakat dalam Hadiran yang diselenggarakan seminggu sekali di setiap RT dapat dilihat sebagai wujud partisipasi. Kegiatan ini diselenggarakan secara formal di awal berupa arisan kemudian diikuti dengan diskusi bebas dimana masyarakat dapat menyampaikan masalah yang dihadapi di lingkungan atau juga mengusulkan saran. Peranan institusi sosial yang kedua adalah sebagai media untuk perumusan perencanaan lokal atas kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ketua Pokja RW Layak Anak. “...termasuk kita koordinasi mengenai acara-acara yang akan diselenggarakan, dananya gimana, siapa aja yang mau kita santuni. Kita bahas semuanya di situ” (Hasil wawancara mendalam dengan Ketua Pokja RW Layak Anak, Ustad Mahari, 15 April 2013).
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
Peranan institusi sosial yang ketiga adalah sebagai media yang dapat memberikan pelayanan. Pelayanan yang diberikan adalah pemberian informasi dimana Ketua RT dalam hadiran tidak hanya memberikan informasi terkait RW Layak Anak saja, akan tetapi juga terkait informasi yang didapatkan dari pihak kelurahan. Hal tersebut disampaikan melalui forum Hadiran di tiap RT. Peranan institusi sosial yang keempat adalah sebagai media untuk meningkatkan kesadaran dan komitmen masyarakat untuk selalu mendukung dan ikut terlibat dalam pelaksanaan RW Layak Anak. Para pengurus Pokja RW Layak Anak seringkali melakukan himbauan dan mengingatkan betapa pentingnya program yang dijalankan. Peranan institusi sosial selanjutnya adalah sebagai sarana identifikasi kebutuhan. Masukan berupa kritik, saran, dan masalah yang diutarakan oleh masyarakat baik di dalam Hadiran, Fokus, maupun pengajian menjadi titik awal untuk mengidentifikasi kebutuhan. Peranan institusi sosial selanjutnya adalah sebagai sarana identifikasi kebutuhan. Masukan berupa kritik, saran, dan masalah yang diutarakan oleh masyarakat baik di dalam Hadiran, Fokus, maupun pengajian menjadi titik awal untuk mengidentifikasi kebutuhan. Meskipun di lingkungan RW 06 terdapat tiga institusi sosial yang berperan dalam pengembangan RW Layak Anak, akan tetapi tidak semua masyarakat terlibat di dalamnya. “...nah tidak semua warga mengikuti pertemuan itu. Kayak misalnya pertemuan pengajian yang rutin itu kan, pengajian di musholla sama pertemuan PKK RT. Tidak semua warga ikut di situ” (Hasil wawancara mendalam dengan Pengelola Saung Pintar, Popi Rofikoh, 19 April 2013). Tidak terlibatnya seluruh anggota masyarakat dalam institusi sosial akan berdampak pada pengetahuan masyarakat tentang program RW Layak Anak. Pada akhirnya, ada sebagian masyarakat yang tahu dan tidak tahu akan keberadaan dan perkembangan program. Energi Sosial dalam Pengembangan RW Layak Anak Pengembangan program RW Layak Anak membutuhkan pendorong yakni energi sosial. Peranan energi sosial dapat menggerakkan seluruh anggota masyarakat untuk melakukan tindakan bersama mengembangkan program. Untuk menjamin kesinambungan program maka dibutuhkan pula energi sosial yang permanen dan terus menerus. Terdapat beberapa sumber energi sosial. Pertama, nilai kemandirian yang perlu dijaga. Sekalipun ada interaksi dengan pihak eksternal maka semestinya berfungsi untuk mendorong dan mengembangkan program, bukan menurunkan kompetensi kemandirian masyarakat. Nilai kemandirian belum menjadi suatu kesepakatan bersama yang dianut oleh masyarakat RW 06. Ketua RW 06, Edy Yusuf, menganggap bahwa dengan dijadikannya RW Layak Anak sebagai proyek percontohan maka Pemerintah Kota Depok (berperan sebagai pihak eksternal) harus
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
memberikan bantuan terus. Ketua RW merasa masyarakat hanya dibantu ketika RW Layak Anak diresmikan dan setelah itu tidak ada lagi bantuan pemerintah hingga muncul anggapan pemerintah sudah lepas tangan begitu saja. Di sisi lain, Ketua RT 04, Rohsaidin, menganggap bahwa dalam pengembangan program RW Layak Anak masih perlu mengutamakan kemandirian. Dengan kemandirian baik dari segi keuangan maupun manajemen maka derajat kebebasan untuk menentukan jenis kegiatan dan arah tujuan lebih tinggi. Bantuan dari pemerintah memang diperlukan sepanjang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, bantuan yang sifatnya menuntut masyarakat untuk melakukan perubahan program sesuai dengan keinginan pemerintah dikhawatirkan mengganggu kebebasan dalam menentukan hal tersebut. Sumber energi sosial yang kedua adalah solidaritas. Solidaritas tercipta ketika ada seluruh anggota masyarakat besedia untuk berkontribusi dalam bentuk apapun untuk mengembangkan RW Layak Anak. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan lingkungan, ada masyarakat yang masih mampu memberikan kontribusi dan ada yang tidak. Akan tetapi, dalam pandangan keswadayaan masyarakat, perubahan tersebut bukan berarti melemahkan solidaritas masyarakat. Justru masyarakat belajar bahwa solidaritas tidak harus selamanya memberi kontribusi akan tetapi dapat saling membantu. Hal tersebut terjadi pula di masyarakat RW 06. Misalnya dalam hal iuran, tidak semua anggota masyarakat diminta untuk memberikan iuran terkait kegiatan apapun yang diselenggarakan di lingkungan tersebut termasuk untuk RW Layak Anak. Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah maka tidak akan dipungut iuran. Akan tetapi, bagi yang berpenghasilan menengah ke atas akan dipungut iuran. Bentuk solidaritas menggunakan iuran tersebut diwujudkan dalam pemberian santunan kepada para janda, dhuafa, dan anak yatim. Sumber energi sosial selanjutnya adalah kesadaran kolektif. Kesadaran atas adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang ingin dicapai. Akan tetapi, untuk dapat dikatakan sebagai kesadaran kolektif, maka semua anggota masyarakat harus mengetahui akan tujuan, kondisi saat ini, dan seberapa besar kesenjangan di antara keduanya. Setiap orang tua di lingkungan menginginkan anak-anaknya supaya menjadi pribadi yang lebih baik dan tahu bagaimana seharusnya bertindak kepada anak-anak. Akan tetapi, orang tua cenderung mengabaikan anak-anak bermain pada saat jam belajar. Hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran memang sudah ada, namun baru pada taraf sekedar tahu dan tidak menindaklanjutinya dengan aksi yang nyata. Kesadaran yang terbentuk belum dapat dikatakan sebagai kesadaran kolektif karena masyarakat pun hanya memberikan kontribusi uang akan tetapi tindakan nyata belum ada.
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
Ketika kesadaran kolektif belum terbentuk, maka akan sulit pula menguatkan sumber energi sosial lainnya yang berupa tanggung jawab sosial. Memang masyarakat sudah menganggap program RW Layak Anak sebagai sebuah tanggung jawab sosial. Akan tetapi, hal itu hanya ada menguat di permulaan saja hingga kemudian melemah seiring dengan dinamika lingkungan yang terjadi. Proses dan Mekanisme dalam Pengembangan RW Layak Anak Gagasan maupun energi yang bersumber dari dalam atau luar dengan berbagai variasinya akan berpengaruh terhadap proses dan mekanisme yang terjadi di dalam masyarakat. Gagasan yang berasal dari dalam menunjukkan adanya dinamika kemampuan belajar masyarakat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan menghubungkannya dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Gagasan dari luar menunjukkan adanya interkonektivitas dengan pihak eksternal dalam mengidentifikasi kebutuhan. Energi yang berasal dari dalam lebih diutamakan karena mencerminkan upaya kemandirian dalam mengupayakan kesinambungan program. Sedangkan energi dari luar idealnya diposisikan sebagai suplemen dan komplementer energi dalam apabila tidak mencukupi dalam mewujudkan tindakan bersama. Gagasan terbentuknya RW Layak Anak berasal dari pihak internal masyarakat. Dalam pengembangan program RW Layak Anak di RW 06, variasi gagasan dan energi merupakan kombinasi tipe (a) dan tipe (c) yakni gagasan berasal dari dalam akan tetapi energi yang digunakan berasal dari dalam dan luar. Gagasan berasal dari internal masyarakat yakni Ustadz Mahari. Berawal dari keprihatinan terhadap kondisi anak-anak yang tidak banyak berkeliaran di waktu jam belajar hingga ada yang mengonsumsi narkoba, menimbulkan kebutuhan menciptakan lingkungan yang layak bagi anak-anak. “...akhirnya kita memang, dipelopori oleh Ustadz Mahari waktu itu dengan kekhawatiran kita bersama, maka dibuatlah satu wadah dimana wadah itu dapat mengayomi anak-anak. Akhirnya karena kita juga ada pertemuan tiap satu bulan sekali di tingkatan RW itu namanya Fokus RW 06 yang terdiri atas tokoh masyarakat, pengurus RT, pengurus RW, akhirnya terbentuklah lingkungan layak anak” (Hasil wawancara mendalam dengan Ketua RW 06, Edy Yusuf, 18 April 2013). Gagasan tersebut disepakati sebagai kebutuhan bersama melalui institusi sosial yang bernama Fokus yang keberadaannya sudah ada sebelum program RW Layak Anak terbentuk. Dibutuhkan energi/pendorong supaya mewujud sebagai tindakan bersama. Energi baik yang berasal dari dalam maupun luar sama-sama dimanfaatkan oleh masyarakat. Energi yang berasal dari dalam misalnya solidaritas masyarakat dalam membayar iuran. Pada awalnya
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
untuk mengembangkan program RW Layak Anak dana yang dipakai berasal dari kas PHBI. Dana PHBI dahulunya dipakai untuk membiayai kegiatan perayaan hari-hari besar Islam, akan tetapi dengan diselenggarakannya program RW Layak Anak maka fokus penggunaan dana PHBI pun diubah untuk membiayai program. Terdapat hal-hal lain yang sifatnya perlu meminta bantuan dari pihak eksternal (energi luar) karena dirasa energi internal tidak mencukupi untuk mengembangkan program. Bantuan yang dirasa penting keberadaannya adalah pendampingan dan pembinaan untuk mengembangkan sub-program yang ada. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, keberadaan bantuan pihak eksternal merupakan suplemen dan komplementer. Terdapat LSM Fokla yang memberikan pendampingan untuk mengembangkan konsep saung pintar dan menghubungkannya dengan pihak pemerintah supaya mendapatkan bantuan pendanaan. Meskipun mendapatkan bantuan dari pihak eksternal, masyarakat tetap berusaha supaya tidak tergantung dengan bantuan yang diberikan. Melalui kegiatan pendampingan dan pembinaan, masyarakat juga teredukasi, bertambah pengetahuannya, dan pada akhirnya belajar untuk melengkapi energi yang dibutuhkan untuk mengembangkan program. Misalnya terlihat dari upaya masyarakat untuk tidak tergantung dengan bantuan dana pemerintah dalam operasionalisasi kegiatan di Saung Pintar. “...jadi memang sumbangan dari pihak luar dari luar nggak ada lagi, kita ngandelin dari masyarakat aja. Makanya yang paling kita salut itu memang dari pengelolaan saung. Anak-anak tidak dipungut biaya, dari pokja juga nggak ngasih sumbangan intensif apa-apa” (Hasil wawancara mendalam dengan Ketua Pokja RW Layak Anak, Ustadz Mahari, 15 April 2013). Di samping itu dengan teredukasinya pengelola Saung Pintar berkat pembinaan yang didapatkan dari LSM Fokla, maka dapat memberikan informasi ketika terdapat beberapa ibu yang konsultasi mengenai permasalahan anak. Hal ini didukung oleh pernyataan pengelola Saung Pintar, “...tapi kalo orang tuanya nanya-nanya ada ya, curhat. Kita ngambil juga momen di PKK ada program parenting namanya. Kita mengisi di situ ke orang tuanya” (Hasil wawancara mendalam dengan Pengelola Saung Pintar, Popi Rofikoh, 19 April 2013). Apabila dilihat kembali, pemanfaatan energi internal cenderung digunakan untuk menyediakan pendanaan program sedangkan energi eksternal cenderung dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan bagaimana mengatasi permasalahan anak dan memperlakukannya dengan baik. Kesimpulan Keswadayaan masyarakat RW 06 dalam pengembangan RW Layak Anak sudah terbentuk dilihat dari beberapa indikator yakni kebutuhan bersama, pengetahuan dan kearifan
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
masyarakat, potensi dan sumber daya lokal, institusi sosial, energi sosial, proses dan mekanisme. Namun, setelah hampir tiga tahun berjalan mengalami pelemahan. Pelemahan tersebut tercermin dari beberapa hal yakni proses adaptasi mengalami hambatan dari sisi orang tua, terdapat beberapa anggota masyarakat tidak ikut dalam institusi sosial seperti Fokus, Hadiran, dan Pengajian, energi sosial melemah seiring dengan perubahan dinamika internal. Saran Dari hasil penelitian, rekomendasi yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah pentingnya melihat upaya masyarakat RW 06, Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok untuk memelihara kesinambungan program RW Layak Anak. Bagi masyarakat RW 06, perlu adanya pemanfaatan secara optimal institusi sosial yang ada untuk menguatkan komitmen dan menambah pengetahuan masyarakat dalam mengembangkan RW Layak Anak, melakukan
pendekatan
terhadap
anggota
masyarakat
yang
apatis
dengan
mengikutsertakannya ke dalam Fokus, serta meningkatkan intensitas pelaksanaan subprogram khususnya sidak dengan memperhatikan jadwal kesibukan masing-masing anggota. Daftar Pustaka Buku Soetomo. 2012. Keswadayaan Masyarakat Manifestasi Kapasitas Masyarakat untuk Berkembang secara Mandiri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235. _________________. Permen Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Pengembangan Kabupaten/ Kota Layak Anak. Publikasi Ilmiah Alene, Getu Demeke. 2011. “Community Self-Help Development, Space for Scalling-Up: A Case Study of Awura Amba Rural Self-Help Community in Northern Ethiopia”. Norwegian University of Science and Technology, Norway. Hailu, A. 1995. “The Significance of Community Self-Help Development in Promoting Social and Development”. Journal of Social Development in Africa 10: 1,5-24
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013
Marinova, Dora dan Hossain, Amzad. 2006. Principles for Self Reliances and Sustainability: Case Study of Bangladesh. Proceedings of the Anti-Poverty Academic Conference with International Participation, Institute for Sustainability and Technology Policy, Murdoch University, Perth Nur Rasiana, Mustining. 2007. Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar). Diunduh pada tanggal 15 September 2012 Sumber Lainnya Kelompok Kerja Lingkungan Layak Anak RW 06 Tanah Baru, Beji. 2011. Lingkungan Layak Anak RW 06 Tanah Baru, Beji, Depok Sebagai Pilot Project Kota Layak Anak Kota Depok. ____________________________________________________________. 2011. Profil Lingkungan Layak Anak RW 06 Kelurahan Tanah Baru, Kecamatan Beji, Kota Depok. Website BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2011. Profil Anak 2011. http://www.bps.go.id. (diakses 31 Agustus 2012) BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2012. Profil Anak 2012. http://www.bps.go.id. (diakses 6 Juli 2013) Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Kemenkumham. 2012. UU Sistem Peradilan Anak Telah Disahkan. http://www.ham.go.id/modul.php?md=mod_pengumuman&mnow=0 (diakses pada 6 Juli 2013) Nasikhah, Duratun dan Hidayatul Masruroh. 2012. Koreksi Pelaku Kejahatan. http://psikologiforensik.com/2012/04/27/87/ (diakses 6 Juli 2013) Redaksi Jakarta Today. 2012. Netty Heryawan: Anak Rentan Tindak Kekerasan. http://jabartoday.com/hukum/2012/07/06/0117/3486/netty-heryawan-anak-rentan-tindakkekerasan (diakses 14 September 2012) Redaksi Sejiwa. 2010. Kekerasan Terhadap Anak Makin Memiriskan. http://sejiwa.org/kekerasan-terhadap-anak-makin-memiriskan/ (diakses 14 September 2012) Redaksi Fokus Riau. 2013. Riau Ranking 8 Kasus Kekerasan Seks Terhadap Anak. http://fokusriau.com/berita-riau-ranking-8-kasus-kekerasan-seksual-terhadap-anak.html (diakses 30 Juni 2013)
keswadayaan Masyarakat..., Ika Narwidya Putri, FISIP UI, 2013