LAPORAN PENELITIAN “DINAMIKA SOSIO EKONOMI MASYARAKAT TINGKAT RW: KASUS RW 06 KELURAHAN KUKUSAN, DEPOK” A. Gambaran Umum Kelurahan Kukusan. Kukusan adalah salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Beji, Kota Depok. Terletak 5 Km di sebelah utara pusat pemerintahan Kota Depok dan berbatasan dengan Kotamadya Jakarta Selatan. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Beji di sebelah selatan, Kelurahan Srengseng di sebelah utara, kelurahan Tanah Baru
di
sebelah barat dan Kampus Universitas Indonesia di sebelah timur. Kelurahan Kukusan dilewati oleh sebuah jalan raya yang merupakan jalan alternatif yang menghubungkan antara Kota Depok dengan Kodya Jakarta Selatan. Jalan ini akan padat dilalui oleh kendaraan pribadi yang mencari jalan alternatif guna menghindari kemacetan di Jalan Raya Margonda sebagai jalan utama di Kota Depok, khususnya pada hari Senin pagi dan sore, saat warga Depok berangkat dan pulang pada hari pertama kerja setiap pekannya. Sarana transportasi umum yang dapat digunakan oleh warga Kukusan untuk menuju Kota Depok dan perbatasan Jakarta adalah angkutan kota dengan jumlah penumpang maksimal 14 orang. Angkutan ini berupa colt kecil, yang menghubungkan Terminal Kota Depok dengan Desa Kalibata yang terletak di pinggiran Jakarta Selatan dan melalui Kelurahan Kukusan. Dengan ongkos Rp. 1000,-/ orang, warga Kukusan sudah dapat menggunakan transporasi ini untuk menuju kedua arah tujuan tersebut. Kelurahan Kukusan terdiri dari 8 RW. Awalnya hanya terdiri dari 4 RW. Pemekaran jumlah RW di kelurahan ini terjadi sejak Depok berubah status dari Kota Administratif menjadi Kotamadya, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kota Depok pada tanggal 27 Maret 1999. Pada awalnya Kukusan hanyalah sebuah kampung yang sangat jarang warganya. Merupakan bagian dari wilayah administratif Desa Kukusan, Kecamatan Depok. Pada Tahun 1983, Depok berubah status menjadi
Kota
Administratif. Perubahan status ini berdampak pula pada perubahan status Kukusan dari desa menjadi kelurahan yang dipimpin oleh seorang lurah. Wilayah administratifnya tidak lagi berada dibawah Kecamatan Depok namun menjadi bagian wilayah
1
administratif Kecamatan Beji hingga kini. B. Sejarah Kelurahan Kukusan. Kampung Kukusan sudah berdiri sejak jaman penjajahan Belanda dan Jepang. Dahulu Kukusan hanyalah sebuah kampung. Ada tiga kampung yang saling bertetanggaan yakni Kampung Kukusan, Kampung Serdang dan Kampung Bambon. Kampung Kukusan telah tumbuh dan berkembang menjadi kelurahan dengan etnis warga aslinya adalah Betawi pinggiran. Betawi pinggiran ini berbeda dengan etnis Betawi di Jakarta seperti di daerah Condet, Kemandoran dan Kemayoran. Perbedaan ini disebabkan karena letak Kukusan yang terletak dipinggiran Jakarta dan dahulunya masuk wilayah administratif Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kondisi ini menyebabkan warga Kukusan mendefinisikan dirinya sebagai etnis Betawi pinggiran. “Suku Betawi tapi masuk Bogor tapi nggak bisa ngomong Sunda”, ujar Pak Ali, salah seorang warga asli Kukusan yang menjadi informan. Walaupun berbeda, etnis Betawi pinggiran di Kukusan ini memiliki ciri khas yang relatif sama dengan etnis Betawi pada umumnya. Bicara ceplas-ceplos terkadang tanpa kehalusan bahasa, diselingi lelucon yang mengundang tawa lawan bicaranya adalah ciri yang mudah dijumpai. Dialeknyapun merupakan dialek penduduk kampung pinggiran. Kampung Bambon kini sudah tidak ada lagi. Sebagian wilayah Kampung ini telah menjadi bagian dari kampus Universitas Indonesia yakni lokasi berdirinya Fakultas Teknik dan Stadion UI. Namun orang-orang disekitar Fakultas Teknik masih sering menyebut wilayahnya dengan sebutan Basis yang merupakan singkatan dari Bambon sisa. Identifikasi ini digunakan untuk menunjukkan bahwa wilayah ini pernah menjadi bagian dari wilayah Kampung Bambon dan masih tersisa sebagian yang kini merupakan bagian Kelurahan Kukusan. Berbatasan dengan Kampung Bambon adalah perkebunan karet yang hinggi kini masih dapat dilihat di Kompleks Universitas Indonesia. Sedangkan Kampung Serdang juga telah hilang. Serdang kini juga menjadi
2
bagian wilayah administratif Kukusan. Namun wilayahnya masih utuh hingga kini. Terletak di sepanjang jalur tempat ditanamnya pipa gas pertamina dan dibatasi oleh Jalan Raya Kukusan. Penduduk disekitar jalur pipa gas inipun masih sering menyebut nama Kampung Serdang dan mengidentifiksai wilayahnya dengan sebutan Kampung Serdang. Ketiga Kampung ini, dahulunya menjadi bagian dari Desa Kukusan, Kecamatan Depok dengan pusat administratifnya di Kampung Kukusan yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Pada tahun 1983, seiring dengan perubahan status Depok menjadi kota administratif, berubah pula status Desa Kukusan menjadi Kelurahan Kukusan. Wilayah administratifnya tidak lagi menjadi bagian Wilayah Kecamatan Depok, namun berada dibawah Wilayah Kecamatan Beji hingga kini. Pimpinan desapun turut berubah dari kepala desa menjadi kepala kelurahan yang diangkat sebagai pegawai negeri sipil dengan mendapatkan gaji tetap setiap bulannya. Sebelumnya, kades mendapatkan jatah tanah bengkok sebagai upah menjabat kepala desa dengan periode kepemimpinan 8 tahun. Asal-muasal nama Kukusan diambil dari nama buah sejenis duku yang dahulu banyak tumbuh di kampung ini. Orang menyebutnya dengan nama buah Kokosan. Buah-buahan, baik duku maupun kokosan ini dijual ke Jakarta oleh warga setempat sebagai mata pencaharian. Lokasi penjualannya bahkan ada yang mencapai wilayah Pasar Senen yang dicapai dengan berjalan kaki. Dari nama kokosan inilah kemudian orang menyebut sebagai kampung kokosan (pusatnya buah kokosan). Dalam perkembangannya, penyebutan nama kokosan mengalami perubahan vokal sehingga lebih dikenal dengan nama Kukusan Kukusan mengalami pertumbuhan pesat sejak proses belajar mengajar Universitas Indonesia pindah dari Jakarta ke kampus baru di Depok pada tahun 1987. Kukusan yang wilayahnya berbatasan langsung dengan kampus UI mengalami manfaat langsung dari keberadaan kampus negeri ini. Sejak itu banyak berdiri tempat-tempat kost, pondokan-pondokan dan asrama-asrama yang dibangun guna menampung mahasiswa daerah yang belajar di UI dan membutuhkan tempat kost yang lokasinya dekat dengan kampus. Perintis pondokan mahasiswa pertama di Kukusan adalah Yayasan Supersemar
3
yang membangun 100 unit pondokan yang dikenal dengan nama RPT (Rumah Pondokan Tumbuh). Salah satu pengurusyayasan ini adalah Presiden Soeharto, saat beliau masih berkuasa. RPT ini dibangun diatas lahan milik warga yang berdasarkan perjanjian, dalam jangka waktu 7 tahun akan dikelola oleh yayasan dan setelah itu akan menjadi hak milik warga yang diatas lahan atau halamannya dibangun RPT ini. Setiap unit RPT terdiri dari 4 kamar tidur dan dua unit kamar mandi yang terletak di luar kamar. Namun belum genap pengelolaan ini berumur tujuh tahun, yayasan sudah tidak mampu lagi untuk meneruskan pengelolaannya. Baru empat tahun berjalan, pengelolaan sudah diserahkan kepada warga setempat. Dari seratus unit yang diperkirakan akan terisi penuh oleh mahasiswa yang kost, hanya 50 % yang terisi. Ini sangat sulit bagi yayasan untuk mengelolanya karena pemasukan yang diharapkan tidak mencapai sasaran alias rugi. Disisi lain, keadaan ini justru menguntungkan bagi warga Kukusan yang diatas lahannya dibangun RPT karena akan mendapatkan pendapatan tetap perbulannya dari uang sewa atau uang kost mahasiswa yang mondok di RPT ini. Kini pertumbuhan tempat-tempat kost bak jamur di musim hujan. Begitu juga dengan tumbuh fasilitas lainnya seperti warung makan, warung telekomunikasi, photo copi, rental komputer dan ojek motor. Secara tidak langsung keberadaan UI telah menggerakan perekonomian masyarakat Kukusan. Sayangnya, sebagian besar usaha tersebut justru dimiliki oleh para pendatang yang memiliki modal besar. Warga asli Kukusan semakin tersisih. Apalagi modal mereka berupa warisan tanah --- sebagaimana umumnya modal pada etnis Betawi --- telah banyak dijual dan dibeli oleh orang luar sementara mereka tidak memiliki keahlian bisnis atau kemampuan lainya untuk bersaing dengan orang luar. Walaupun Kukusan telah tumbuh dan berkembang menjadi kelurahan yang lebih maju dengan indikator munculnya pondokan-pondokan, asrama, rumah makan, warung telekomunikasi, photo kopi dan rental komputer, suasana desa --- woodland kampung --- masih terasa. Pohon-pohon rindang seperti pohon kelapa, nangka, duku, rambutan serta pisang masih mudah dijumpai. Areal kebun, empang, peternakan sapi juga masih ada. Suasana segar dan udara bersih pada pagi hari masih bisa dirasakan
4
selain suasana sunyi dan tenang pada malam hari yang nyaman untuk belajar. Saat ini bangunan-bangunan rumah mulai ramai, tetapi pada RW-RW tertentu,. rumah-rumah yang manandai adanya pemukiman warga masih relatif jarang. Jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya dapat mencapai lima puluh hingga seratus meter. Halaman rumah warganyapun relatif luas. Luas bangunan rumah warga asli ada yang mencapai 200 meter persegi. Seperti lokasi RW yang dekat dengan kantor kelurahan, disana masih dapat dijumpai kandang sapi, empang dan rimbunan rumput ilalang. Data kependudukan yang dimiliki oleh kelurahan tidak tersalin dengan rapi. Berdasarkan data kependudukan pada akhir tahun 2000 diperoleh rincian kategori penduduk sebagai berikut : I. Jumlah Kepala Keluarga Jumlah KK
: 2.146 KK
II. Berdasarkan Tingkat Pendidikan Taman Kanak-kanak Sekolah Dasar SLTP SLTA Akademi/D-3 Sarjana (S1 – S3) Pondok Pesantren Madrasah Keagamaan SLB
III.
866 orang 756 orang 751 orang 413 orang 335 orang 122 orang 32 orang 63 orang 1 orang 3 orang
Berdasarkan Jenis kelamin
Laki – laki Perempuan
4.369 orang 4.163 orang
5
Jumlah
8.532 orang
IV. Berdasarkan Mata Pencaharian Pegawai Negeri Sipil ABRI Wiraswasta/pedagang Tani Pertukangan Pensiunan Jasa
254 orang 25 orang 303 orang 51 orang 172 orang 56 orang 118 orang
Data jumlah penduduk berdasarkan agama tidak tercantum dalam monografi tersebut. C. Gambaran Umum RW 06 Saat Kukusan berubah status menjadi Kelurahan, tahun 1983, jumlah RW yang ada hanya 4 RW yakni RW 1, RW 2 RW 3 dan RW 4. RW adalah kepanjangan dari Rukun Warga yang merupakan unit masyarakat di bawah kelurahan dan diatas Rukun Tetangga atau RT namun bukan merupakan struktur pemerintahan formal. Jumlah rumah atau kepala keluarga di setiap RW biasanya berkisar antara 200 – 300 kepala keluarga. Ketua RW dipilih oleh warga dari setiap RT namun tidak mendapat gaji tetap dari pemerintah. Kini jumlah RW telah bertambah menjadi 8. Pemekaran ini terjadi sejak Depok menjadi Kodya yang kini lebih disebut Kota Depok. Salah satu pemekaran yang terjadi adalah di RW tempat penelitian ini dilakukan yakni RW 06. Sebelumnya, RW 06 termasuk bagian dari RW 03. Setelah pemekaran, RW 03 dibagi menjadi dua yakni RW 05 dan RW 06. Di RW 06 inilah pusat organisasi Muhammadiyah di Kota Depok berdiri. Secara umum, RW 06 tidak jauh berbeda dengan RW-RW lainnya di Kelurahan Kukusan. Warga asli yang mendefinisikan dirinya sebagai etnis Betawi pinggiran mudah dijumpai. Umumnya rumah-rumah mereka tidak memiliki pagar baik pagar tembok maupun pagar besi. Gaya bicaranya relatif ceplas-ceplos dan --- kadang-
6
kadang --- tanpa kehalusan bahasa yang mengundang gelak tawa lawan bicaranya. Layaknya gaya bicara orang kampung pinggiran. Halaman rumah mereka relatif luas dan masih ditanami pohon yang rindang yang menyejukkan suasana rumahnya. Mereka tidak menaruh curiga dan mudah akrab dengan orang lain. Saat penulis mengutarakan maksud untuk melakukan wawancara dan menyebut identitas penulis berasal dari Universitas Indonesia, dengan mudah para calon informan menerima penulis tanpa menanyakan surat tugas terlebih dahulu walaupun mereka belum pernah mengenal sama sekali. Hubungan ketetanggaan diantara mereka relatif kuat. Kuatnya hubungan ketetanggaan ini disebabkan masih dekatnya hubungan kekerabatan antara warga Kukusan, khususnya warga asli. Umumnya mereka masih memiliki hubungan darah, saudara maupun hubungan perkawinan sesama warga Kukusan. Mereka yang telah menikah dan berpisah dari rumah orang tua akan memilih tinggal di Kukusan pula karena adanya warisan tanah yang diberikan oleh orang tua mereka. Bila dirunut garis hubungan kekerabatan ke nenek moyang mereka, dapat bertemu hubungannya baik dari garis keturunan ibu maupun garis keturunan ayah. Sebagai contoh, tiga orang anak Pak Haji Yunus (tokoh Muhammadiyah saat ini) ---- salah satunya yang bergelar doctor ----- tinggal di RW 06. Besan dari Pak Haji Yunuspun tingal disana. Begitu pula dengan salah seorang anak Pak Ali yang telah menikah, memiliki rumah dan bertempat tinggal dengan sela dua rumah saja dari rumah orang tuanya. Rukun Warga 06 memanjang kurang lebih 800 meter yang di belah oleh Jalan Raya Kukusan yang menghubungkan Kelurahan Kalibata di Jakarta Selatan dan Kota Depok. Terdapat 5 Rukun Tetangga. Setiap Rukun Tetangga biasanya terdiri dari 40-50 rumah tangga atau kepala keluarga. Bangunan fisik berupa rumah mulai terasa padat. Pembangunan tempat-tempat kost dan rumah-rumah baru terus bermunculan. Namun suasana kesejukan karena masih banyaknya pohon rindang masih bisa dirasakan. Batas wilayah RW 06 adalah jalan KH. Ahmad Dahlan yang terus memanjang hingga bertemu Jalan Palakali Raya dan jalur pipa gas pertamina hingga ke arah Tanah baru dan pemakaman umum Kukusan. Rukun Warga 06 sangat kental dengan nuansa muhammadiyahnya. Sebuah
7
organisasi massa islam di Indonesia yang berdiri pada tahun 1912 dan merupakan organisasi massa terbesar kedua setelah NU. Dapat dikatakan bahwa basis muhammadiyah di Kelurahan Kukusan --- bahkan juga di Kota Depok --- terletak di RW 06 ini. Bahkan ketua RW 06, yakni Pak Syamsul (57 tahun) dengan bangganya mengatakan bahwa seluruh ketua RT di RW 06 adalah kader dan anggota muhammadiyah. Hal ini dapat difahami mengingat perintis dan pendiri muhammadiyah di Kukusan --- juga di Kota Depok ---, yakni Pak Haji Said berasal dari RW 06 ini. Pak Haji Said kini telah meninggal dunia kurang lebih 2 – 3 tiga tahun yang lalu. Pak Haji Said tidak hanya menjadi tokoh dan terkenal di tingkat Kelurahan Kukusan, tetapi beliau juga menjadi tokoh dan perintis muhammadiyah yang dikenal di Kota Depok. Muridnya tersebar hingga di Kelurahan Rangkapan Jaya, Parungbingung, Meruyung, Cipayung yang berjarak 10 km dari Kukusan. Keturunannya masih ada dan tinggal pula di RW 06 yang juga tokoh muhammadiyah tingkat kelurahan., yakni Pak Haji Ali yang berusia 55 tahun. Umumnya warga Kukusan mengenal Pak Haji Ali karena beliau adalah putra Pak Haji Said. Saat ini beliau mengajar di SD Muhammadiyah yang terletak di depan masjid Al Iman yang merupakan masjid muhammadiyah. Disebut masjid Muhammadiyah karena pengurus dan imam masjidnya berfaham muhammadiyah. Selain itu papan nama pengurus muhammadiyah ---- sebagai indicator ---- pemuda muhammadiyah dan A’isyiyah (kewanitaan muhammadiyah) ranting Kukusan terpampang di depan masjid ini. Pengajian yang diselenggarakanpun bercorak muhammadiyah karena kitab yang digunakan adalah kitab tarjih muhammadiyah. Sebuah kitab yang menjadi rujukan orang-orang muhammadiyah yang berisi tentang hadits-hadits yang telah ditafsirkan oleh ulama-ulama muhammadiyah. Pengajian yang diselenggarakan rutin adalah pengajian kaum bapak pada hari senin malam setelah sholat Maghrib hingga sholat ‘isya. Konon, pengajian ini telah berlangsung lama sejak renovasi masjid pada tahun 1975 hingga sekarang. Jumlah peserta pangajian ini berkisar antara 35 hingga 50 orang. Selain itu, ada pula pengajian yang diselenggarakan pada hari Minggu pagi setelah sholat subuh. Pesertanya terdiri dari kaum bapak dan kaum ibu berkisar antara
8
35 hingga 50 orang. Materi pengajian biasanya berupa ceramah umum yang disampaikan oleh guru-guru yang juga pengurus masjid dan tokoh muhammadiyah ranting Kukusan. Selain itu di RW 06 juga terdapat tokoh muhammadiyah yang dituakan dan menjadi imam masjid Al Iman. Namanya Pak Haji Yunus. Usianya sudah mencapai 68 tahun. Orangnya berpenampilan tenang namun agak dingin dan hati-hati serta tidak banyak mengobral bicara. Beliau termasuk murid generasi pertama Pak Haji Said sejak beliau merintis pendirian sekolah dasar di Kukusan. Walaupun hanya mengenyam pendidikan agama yang tidak terlalu tinggi tetapi belisau sangat dihormati oleh warga Kukusan dan juga oleh aparat kelurahan. Salah satu faktor yang turut memperkuat ketokohan beliau --- selain karena murid Pak Haji Said, Imam Masjid Al Iman, pemahaman keagamaannya dan tetua asli Kukusan
---
adalah
karena
kepemimpinannya
dalam
struktur
kepengurusan
muhammadiyah ranting Kukusan dan keberhasilannya dalam mendidik anak-anaknya. Pak Haji Yunus termasuk orang yang paling lama memimpin muhammadiyah ranting Kukusan yakni selama 35 tahun sejak tahun 1965. Selama itu tidak ada yang menggantikan beliau memimpin muhammadiyah di Kukusan. Baru pada tahun 2000 posisi Pak HajiYunus diganti. Namun posisinya sebagai imam masjid Al Iman tetap dipegang oleh beliau. Selain karena faktor-faktor diatas, faktor yang tidak kalah signifikannya sebagai tokoh masyarakat dan agama adalah keberhasilan beliau dalam menghantar anak-anaknya menuju tangga kesuksesan. Salah satu anaknya, yakni anak pertama beliau berhasil meraih gelar doktor dari luar negeri dalam bidang eksak. Kini, anak pertamanya bertugas di BPPT dan mengajar pada beberapa universitas di Jakarta. Saat inipun sedang ditugaskan kembali untuk tugas belajar di Taiwan. Padahal Pak Haji Yunus hanya seorang guru SD yang membuka warung untuk menambah penghasilannya dan hanya mengenyam pendidikan sekolah agama yang tidak tinggi. Jumlah anak beliaupun relatif besar yakni sembilan orang. Keberhasilan dalam menghantar pendidikan anak-anaknya hingga jenjang pendidikan tinggi --- apalagi hingga bergelar doktor dan diperoleh dari luar negeri (Amerika) --- inilah yang merupakan kesuksesan diatas rata-rata bagi ukuran warga
9
Kukusan. Selain itu, kesembilan anaknya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi dan hanya 2 orang saja yang hanya sampai jenjang D-3, disamping pembawaannya yang tenang dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Faktor inilah yang membuat Pak Haji Yunus begitu dihormati dan disegani. Masjid Al Iman sebagi simbol muhammadiyah di Kukusan memang relatif. besar. Berukuran 20 x 30 meter dan bertingkat pada sisi selasarnya membuat mesjid ini tampak asri dan megah. Berbagai kegiatan yang rutin dilaksanakan di masjid ini adalah pengajian TPA (Taman Pendidikan Al Qur’an) bagi anak-anak usia sekolah dasar setiap sore sejak Senin hingga Kamis. Pengajian rutin muhammadiyah kaum bapak setiap Senin malam sejak setelah Sholat Maghrib hingga ‘Isya dan pengajian rutin muhammadiyah kaum ibu setiap hari Selasa setelah Sholat Dzuhur (jam 13.00) hingga tiba sholat ‘Ashar. Pengajian rutin umum untuk kaum bapak dan ibu juga dilaksanakan setiap Minggu pagi setelah sholat Subuh. Juga kegiatan Sholat Jum’at dan Sholat Tarawih pada setiap bulan Ramadhan. Untuk kegiatan musyawarah ranting muhammadiyah juga sering menggunakan masjid ini, sementara pemuda muhammadiyahnya akan menggelar acara bazaar dan bakti sosial dalam menyemarakkan acara musyawarah ranting tersebut. Kentalnya nuansa muhammadiyah di RW 06 ini juga tampak pada penggunaan nama jalan berupa gang-gang umum untuk pejalan kaki dan pengguna motor. Lebar jalan setaip gang umumnya 1 meter dan menggunakan paving blok, semacam cetakan-cetakan semen yang mudah disusun dan dipasang satu sama lain. Seluruh nama jalan/gang di RW 06 menggunakan nama K.H. Ahmad Dahlan mulai dari Jl. K.H. Ahmad Dahlan Raya, K.H. Ahmad Dahlan I hingga K.H. Ahmad Dahlan VI. Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah pendiri muhammadiyah di Indonesia. Penggunaan nama Kyai Haji Ahmad Dahlan ini memang ditujukan untuk mengabadikan nama pendiri muhammadiyah dan juga untuk menunjukkan bahwa Kukusan merupakan basis muhammadiyah. Bahkan nama jalan raya Kukusan sedang diusulkan untuk diganti dengan nama Jalan Raya Haji Said, seorang perintis muhammadiyah di Kukusan sebagai hasil dari keputusan musyawarah ranting yang baru saja diadakan. Selain masjid dan tokoh Pak Haji Said, RW 06 juga terkenal dengan sebutan
10
kampung guru. Banyak tokoh muhammadiyah yang bermukim di RW 06 --- tidak hanya pak Haji Yunus --- berprofesi sebagai guru dan mengajar di sekolah-sekolah muhammadiyah seperti SD Muhammadiyah, madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) dan madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP), tidak hanya di Kukusan tetapi sudah menjangkau kelurahan-kelurahan lain di Depok. Merekalah yang sering pula memberi ceramah agama pada acara-acara keRT-an seperti pengajian, arisan maupun perkawinan. Tokoh-tokoh tersebut seperti Pak Muhayar, Pak Dedi Suhadi, Pak Haji Ali dan Pak Syamsul berdomisili di RW 06. Memang, Kukusan sangat terkenal dengan profesi gurunya sejak tahun 1970an. Kader-kader muhammadiyah Kukusan yang menjadi guru telah mengajar di sekolah-sekolah yang relatif jauh dari Kukusan seperti tugas di Kelurahan Gunung Sindur yang jaraknya kurang lebih 15 – 20 km. Tugas-tugas ceramah dalam rangka mengisi hari-hari besar islam maupun pengajian menyebabkan Kukusan sangat terkenal dengan para penceramah yang berfaham muhammadiyah. Fasilitas umum yang ada di RW 06 selain SD (sebelum menjadi RW 05 saat ini) dan masjid Al Iman, juga terdapat Taman Kanak-Kanak Nasyi’atul ‘Aisyiyah, lapangan bola volly merangkap lapangan bulutangkis dan pos yandu. TK Nasyi’atul ‘Aisyiyah adalah TK yang dikelola oleh ‘Aisyiyah, badan otonomi kewanitaan muhammadiyah. Sedangkan sarana pos yandu dibangun secara swadaya oleh masyarakat yang digunakan untuk kegiatan penimbangan bayi setiap bulannya. Kegiatan ini dilaksanakan oleh kaum ibu di RW 06. Pos yandu ini relatif besar, dapat menampung 50 orang sehingga dapat pula digunakan untuk rapat-rapat ke RW-an.
D. Sejarah Muhammadiyah di Kukusan. Sejarah masuknya muhammadiyah di Kukusan diperkirakan sudah berlangsung sejak tahun 1938. Awalnya, Pak Haji Said merintis pendirian sekolah madrasah bersama guru-guru yang lain. Sekolah ini tidak secara eksplisit menunjukkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan yang berfaham dan berafiliasi ke organisasi muhammadiyah, karena pada saat itu pak Haji Said belum bersentuhan dengan faham ini.
11
Namun orang-orang di Kukusan sudah memahami bahwa sekolah ini cenderung berfaham muhammadiyah karena ada salah satu guru yakni Pak Syuaib yang telah diketahui berfaham muhammadiyah. Selain itu metode pendidikan yang digunakan menunjukkan ciri khas yang bukan NU --- ormas islam terbesar yang dianggap berseberangan --- seperti pesanttern dengan metode sorogannya. Sementara muhammadiyah menggunakan metode madrasah yang menyerupai sekolah umum. Setelah madrasah ini berjalan, Pak Haji Said memutuskan untuk keluar karena terlibat perselisihan dengan beberapa orang guru. Hanya tidak dijelaskan perselisihan apa yang muncul. Selanjutnya Pak Haji Said memutuskan untuk merantau ke Batavia dan menunutut ilmu agama disana. Dalam perantauan inilah, Pak Haji Said bersentuhan dengan tokoh-tokoh muhammadiyah dan menuntut ilmu agama darinya. Pada tahun 1942, Pak Haji Said kembali ke Kukusan dan mengembangkan ilmu yang didapatnya dengan mengajar di kampung halamannya. Beliau merintis kembali berdirinya madrasah yang berfaham muhammadiyah dan membentuk pengajian dari rumah ke rumah. Pengajian dari rumah ke rumah ini terus berkembang sehinggan menjalar ke kampung-kampung lain. Salah seorang murid yang juga menjadi anak angkat beliau adalah Pak Haji Yunus, Imam Masjid Al Imam saat ini. Dari pengajian dari rumah ke rumah inilah faham muhammadiyah mulai tumbuh dan berkembang serta terus menjalar ke seluruh kampung. Media penyebarannya tidak hanya melalui pengajian saja. Acara-acara semacam perkawinan juga menjadi media dalam menyebarkan faham ini. Bila saat itu acara perkawinan selalu diisi oleh pertunjukkan semacam wayang, lenong, layar tancap, dangdutan oleh Pak Haji Said diubah dengan menyelipkan acara pengajian dan ceramah didalamnya. Lama kelamaan acara-acara perkawinan senantiasa diisi dengan pembacaan Al Qur’an dan ceramah sehingga tradisi yang sudah mendarah daging berangsur-angsur hilang. Perubahan terhadap ajaran islam yang berbau syirik sebagaimana dilaksanakan oleh penganut berfaham NU juga dilakukan oleh Pak Haji Said. Ajaran islam yang bercampur dengan mengakui adanya kekuatan gaib pada benda seperti pohon, keris dan cincin dianggap tidak pernah ada tuntunannya. Begitu pula dengan acara pemberian sesajen, selametan, tahlilan, puji-pujian diberantas habis oleh Pak Haji Said. Pak Haji
12
Said berargumentasi dengan kitab-kitab dan dalil-dalil yang mendukung pendapatnya sehingga warga Kukusan menjadi paham dan mengikutinya. Beliau sering membanggakan diri karena berhasil mengalahkan argumen-argumen orang NU dengan rujukan kitab tarjih muhammadiyahnya. Acara pengajian dari rumah ke rumah ini berlangsung hingga ke kampung tetangga seperti kampung Bambon dan kampung Serdang. Beliau juga sering diundang berceramah dan mengisi pengajian di beberapa tempat seperti Pondok Cina, Depok, Pancoran Mas hingga ke Parung Bingung dan Cipayung. Ketika diundang untuk mengisi ceramah inilah, beliau merintis kembali pembentukan pengajian dari rumah ke rumah di setiap kelurahan yang dikunjunginya. Terkadang, untuk menuju lokasi pengajian mereka harus berjalan berramairamai di kegelapan malam dengan menggunakan obor, karena pada saat itu aliran listrik belum ada. Begitu pula bila ada acara hajatan salah seorang anggota muhammadiyah di kelurahan lain, tidak jarang mereka berangkat dari Kukusan pada sore hari dan bermalam di lokasi, baru kembali keesokan paginya. Kegiatan ini juga berlangsung pada saat bulan Ramadhan tiba. Pak Ali menyatakan : “….. dulu kita kalau ada pengajian atau hajatan di kampung lain kita jalan rame-rame. Waktu ada yang kawinan di Kampung Meruyung kita jalan sore-sore baru pulang besok paginya. Pas Ramadhan juga kita keliling sampai ke Rangkapan Jaya, Mampang, Cipayung dan Parung Bingung. Kita nginap di sana sampai 10 hari baru pulang ke Kukusan ….” Tokoh-tokoh muhammadiyah Kukusan juga mengadakan kegiatan tarawih keliling di kelurahan lain seperti Rangkapan Jaya, Parung Bingung, Cipayung, meruyung, Pancoran Mas dan Depok. Kegiatan ini dilakukan selama satu minggu atau lebih. Biasanya, selama tarawih keliling ini, mereka meninggalkan Kukusan dan menginap di lokasi yang dikunjungi. Belum adanya transportasi yang lancar pada saat itu, menyebabkan mereka tidak dapat pulang ke Kukusan setiap hari selama kegiatan tarawih keliling ini. Di setiap kelurahan yang dikunjungi ini, Pak Haji Said mulai mendirikan
13
ranting-ranting
muhammadiyah.
Dewan
Pimpinan
Ranting
adalah
struktur
kepengurusan muhammadiyah di tingkat kelurahan. Di tingkat kecamatan dinamakan Dewan Pimpinan Cabang. Di tingkat kabupaten dinamakan Dewan Pimpinan Daerah. Di tingkat propinsi dinamakan Dewan Pimpinan Wilayah hingga Pengurus Pusat Muhammadiyah di tingkat nasional. Saat dibentuk, ranting Kukusan berada dibawah Cabang Depok, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pendirian ini diikuti dengan pendirian ranting-ranting lain yang tokoh-tokoh pendirinya berasal dari Kukusan.
Pak Haji Said sendiri pernah
menjabat sebagai ketua Dewan Pimpinan Cabang Depok. Pada tahun 1999, sejalan dengan perubahan status Depok menjadi Kotamadya
maka dibentuk pula Dewan
Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok, dimana Pak Ali, anak Pak Haji Said pernah menjabat sebagai sekretaris umum. Kini, muhammadiyah Kukusan terkonsentrasi di RW 06. Tokoh-tokoh perintis dan penggerak di awal-awal berdirinya ormas itu masih ada. Pak Haji Yunus, Pak Haji Ali, Pak Syamsul dan Pak Mu’in adalah tokoh yang menyusun program kegiatan di musholla-musholla dan masjid-masjid muhammadiyah di Kukusan. Mereka dipandang sebagai “orang tua” dan “sesepuh” Kukusan, yang tidak hanya dihormati oleh warga, tetapi juga oleh lurah dan aparat kelurahan.
Dari RW 06 inilah ---
khususnya masjid Al Iman --- berbagai program tadi digulirkan dengan segala dinamikanya.
E. Pemimpin dan Kepemimpinan di Kukusan. Dinamika masyarakat RW 06, tidak lepas dari peran dan nuansa muhammadiyah para tokohnya. Tokoh-tokoh seperti Pak Haji Yunus, Pak Haji Ali, Pak Syamsul (ketua RW) dan Pak Maman (ketua RT 01) adalah kader-kader muhammadiyah yang sangat berpengaruh di RW tersebut, walaupun masih ada tokoh muhammadiyah
lain
yang belum disebutkan disini. Mereka memberikan nuansa
keagamaan --- khususnya faham muhammadiyah --- terhadap berbagai kegiatan di RW
14
06 ini. RT 01, penulis jadikan representasi karena di RT inilah umumnya tokoh-tokoh diatas berdomisili. Di RT ini pula letak masjid Al Iman dan kegiatan yang relatif aktif dibandingkan RT-RT lainnya. Umumnya, kegiatan di setiap RT memiliki corak yang sama sehingga pemilihan RT 01 dapat mewakili RT-RT lainnya. Kegiatan yang menonjol di RT 01 --- juga di RT yang lain --- adalah kegiatan pengajian dan arisan. Ada dua jenis pengajian yang diadakan yakni pengajian kaum bapak dan pengajian kaum ibu. Dua jenis pengajian ini dilaksanakan setiap pekan. Pengajian kaum bapak dilaksanakan setiap Kamis malam (malam Jum’at), dimulai pukul 19.00 hingga selesai pukul 22.00. Sedangkan pengajian kaum ibu dilaksanakan pada hari Sabtu siang, dimulai pukul 13.00 hingga selesai pukul 16.00. Pelaksanaannya dilakukan secara berpindah-pindah, dari satu rumah ke rumah yang lain. Secara otomatis setiap rumah akan mendapat giliran dua kali. Giliran pertama untuk kaum bapak, sedangkan giliran kedua untuk kaum ibu. Bisa juga sebaliknya. Seluruh
warga di RT 01 mengikuti kegiatan ini. Pemimpin acara pada
pengajian ini adalah Pak Maman sebagai ketua RT. Pak Maman harus memimpin pengajian ini karena kegiatan ini merupakan kegiatan RT. Dialah yang akan membuka, mengarahkan dan menutup acara, sejak awal hingg akhir. Setiap pekan, bentuk acara pengajian diisi dengan acara yang telah diformat bervariasi. Bila pada pekan ini acaranya adalah ceramah umum, maka pekan depannya akan diisi dengan acara belajar Al Qur’an. Selain untuk tidak menimbulkan kebosanan, masih banyaknya warga yang belum bisa membaca Al Qur’an turut menjadi pertimbangan diformatnya acara pengajian seperti ini. Pemberi ceramah maupun pengajar belajar membaca Al Qur’an ini tidaklah sulit untuk dicari. Biasanya mereka akan memanggil guru yang di RW mereka sendiri. Pak Haji Yunus, Pak Haji Ali, Pak Muhayar dan Pak Syamsul adalah orang-orang yang punya kemampuan dalam bidang ini serta mudah dihubungi dan siap sedia bila diminta. Secara bergiliran mereka memberi materi pada pengajian ini. Mereka juga turut serta dalam acara pengajian RT ini. Bapak-bapak datang secara bergelombang, kemudian duduk bersila secara melingkar, memenuhi ruang tamu dan ruang teras. Biasanya acara akan dimulai dengan pembukaan oleh tuan rumah dan Pak RT. Setelah pembukaan dilanjutkan dengan
15
pembacaan ayat suci Al Qur’an oleh salah seorang warga. Sesaat kemudian, inti acara berupa ceramah agama dilaksanakan. Tenggat waktunya sekitar 30 menit hingga 45 menit. Tokoh yang paling sering memberi ceramahnya adalah Pak Haji Yunus. Ia memberi materi berupa tafsir qur’an, fiqih (hukum) Islam dan ceramah umum. Terkadang beliau juga menyesuaikan dengan konteks yang sedang dihadapi masyarakat seperti saat pemilu, narkoba dan lain-lain. Setelah acara ceramah selesai, Pak RT akan menginformasikan beberapa pengumuman yang dipandang perlu. Informasi yang disampaikan bisa berupa pengumuman dari kelurahan, RW maupun RT. Sebagai contoh, informasi tentang pemutihan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang harus dilakukan oleh warga baru-baru ini. Peraturan tentang pemutihan IMB ini merupakan Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Pemda. Setiap warga yang memiliki bangunan harus memiliki IMB sebagai sertifikat resmi. Pak Maman menyampaikan informasi tentang pemutihan IMB kepada warga lewat acara pengajian ini. Ia mengungkapkan, sangat efektif dan efisien untuk menyampaikan segala pengumuman RT, RW maupun Kelurahan pada acara pengajian. Dipandang efisien, karena tidak harus mengeluarkan surat edaran kepada setiap warga dan tidak perlu mengadakan rapat berulang-ulang. Efektif, karena seluruh warga langsung mengetahui setiap pengumuman yang disampaikan oleh Pak RT. Pengajian ini awal mulanya adalah pengajian yang diadakan muhammadiyah dari rumah ke rumah dan dilaksanakan tanpa batasan teritorial. Ia melibatkan warga kampung tetangga seperti Serdang dan Bambon. Pengertian pengajian muhammadiyah adalah
pengajian
yang
dilaksanakan
oleh
ormas
muhammadiyah,
bercorak
muhammadiyah dan pengisi materinya juga tokoh-tokoh muhammadiyah pula. Setelah adanya teritorial RT dan RW di Kukusan, pengajian ini dilanjutkan dan diadopsi menjadi pengajian RT. Diperkirakan sekitar tahun 80-an. Sekalipun sudah relatif lama usianya, pengajian itu hingga kini masih bertahan. Bahkan selalu melibatkan warga baru yang mengontrak atau kost di RW tersebut. Setelah acara pengajian dan pengumuman-pengumuman selesai dilaksanakan, pertemuan itu dilanjutkan dengan acara arisan. Acara pengajian dan arisan ini dilakukan dalam satu waktu yang berurutan. Dengan kata lain, acara yang diadakan tidak hanya
16
pengajian tetapi juga arisan. Menurut Pak Haji Yunus, model pengajian dan arisan seperti ini adalah ciri khas pengajian muhammadiyah. Arisan adalah semacam iuran (pengumpulan) uang dari warga peserta yang selanjutnya
secara
bergilir
akan
diberikan
kepada
individu
yang
berhak
mendapatkannya setelah melalui proses undian (pengocokan). Besarnya iuran per peserta tidaklah sama. Rentangnya antara Rp. 10.000,- hingga Rp. 20.000,-. Tidak sama sebagaimana iuran pada umumnya. Besarnya iuran tergantung pada kemampuan dan kebutuhan peserta. Pengundian nama-nama orang yang berhak mendapatkan iuran arisan dilakukan
pada
pertemuan
pembukaan
atau
pada
saat
pertemuan
pertama
diselenggarakan sehingga tidak perlu diundi lagi pada pertemuan pekan berikutnya. Misalkan nama-nama yang muncul pada pekan I yakni Pak Haji Yunus, pekan II adalah Pak Syamsul, pekan III adalah Pak Ali dan begitu seterusnya. Pada pertemuan pekan II, secara otomatis, Pak Syamsul akan menarik iuran dari warga peserta yang lain. Begitu setiap pekannya hingga selesai. Setiap pekan satu orang berhak mendapat giliran menarik iuran arisan ini dan belum tentu selesai dalam waktu satu tahun untuk setiap periodenya.. Mekanisme pembayarannya juga sangat unik; misalkan pada penarikan pertama (pekan pertama), Pak Haji Yunus mendapat giliran penarikan. Pak Haji Yunus akan mendapat bayaran dari para peserta lainnya yang jumlahnya dapat dilihat pada daftar peserta berikut uangnya. Misalkan Pak Ali membayar Rp. 15.000,-, Pak Syamsul membayar Rp. 20.000,- dan Pak Maman membayar Rp. 12.000,-kepada Pak Haji Yunus. Maka pada saat Pak Ali mendapat kesempatan penarikan berikutnya, Pak Haji Yunus harus membayar sejumlah uang yang sama besar ketika Pak Ali sebesar Rp. 15.000,-. Bila tiba pada giliran Pak Syamsul yang mendapat giliran penarikan maka Pak Haji Yunus harus membayar sejumlah Rp. 20.000,-. Begitu seterusnya sehingga dalam setiap penarikan jumlah uang yang dibayar tidaklah selalu sama, berubah-ubah dan sesuai dengan kemampuan pembayaran setiap peserta. Uniknnya, acara pengajian dan arisan ini tidak hanya diikuti oleh warga yang beragama Islam dan beraliran Muhammadiyah, tetapi juga diikuti oleh warga yang berfaham lain, bahkan berbeda agama seperti Kristen. Di RT 01 ada dua kepala
17
keluarga yang beragama Kristen. Satu KK terdiri dari suami dan istri yang beragama Kristen, sedang satu KK lagi hanya suaminya saja yang beragama Kristen, sementara isterinya tetap beragama Islam. Pasangan suami isteri yang kedua ini awalnya beragama Islam. Namun, suaminya kembali ke agama semula. Isterinya tidak mau mengikuti agama suaminya. Ia lebih baik memilih cerai dari pada berpindah agama dari Islam menjadi Kristen. Menghadapi sikap keras isterinya, suaminya memilih untuk tetap beragama Kristen tetapi tidak cerai dan membiarkan isterinya tetap beragama Islam. Kedua kepala keluarga ini, walaupun berbeda agama, turut serta dalam pengajian dan arisan ini. Namun, bila secara kebetulan tempat acaranya dilaksanakan di kediaman kedua kepala keluarga ini maka acara pengajiannya ditiadakan. Hanya acara arisan saja yang dilaksanakan, agar toleransi terhadap yang berbeda agama tetap terjalin. Walaupun pihak tuan rumah yang beragama kristen tidak keberatan untuk dilaksanakan pengajian dirumahnya, tetapi warga menghendaki acara arisan saja, demi toleransi. Lain lagi bila acara pengajian dan arisan kaum ibu ini dilaksanakan di kediaman kepala keluarga yang isterinya tetap beragama Islam maka acara pengajian tetap dilaksanakan. Sang suami hanya memaklumi dan dapat bertoleransi. Gambaran mengenai sikap toleransi ini digambarkan oleh Pak Haji Yunus : “….disini acara pengajiannya diterusin sama acara arisan. Tujuannya untuk saling mengikat sesama warga. Model pengajian muhammadiyah memang begitu, pengajian langsung arisan, bergilir dari rumah ke rumah. Tapi yang ikut nggak cuma orang Islam. Itu orang kristennya juga ikut. Tapi pas giliran di rumah dia kita nggak ngadain pengajian, cuma arisan aja. Walaupun dia ngijinin. Tapi kita toleransi sama dia. Ada dua KK disini yang Kristen. Kita ngadaian pengajiannya sekalian sama arisan. Arisannya sich hanya untuk mengikat warga aja biar pada ikut, kumpul-kumpul bareng. Sekaligus tahu kalau ada pengumuman-pengumuman…” Untuk membiayai acara arisan dan membayar guru ngajinya, setiap penarikan dipotong sebesar Rp. 25.000,- dan untuk mengisi uang kas RT, setiap warga dikenakan iuran sebesar Rp. 500,- per pertemuaannya.
18
Ketokohan Pak Haji Yunus, ---- selain sebagai pemberi materi dan penceramah agama, baik di RT maupun masjid ---- ia juga dipandang sebagai tempat meminta pertimbangan dalam beberapa pengambilan keputusan yang dilakukan oleh RW. Pak Syamsul selaku Ketua RW 06 sering meminta pertimbangan beliau. Beliau baru menjabat ketua RW selama 2 tahun dan akan berakhir pada tahun 2002 untuk masa jabatan 3 tahun. Secara usia Pak Syamsul lebih muda dibanding Pak Haji Yunus. Pengalaman mengajar agamanyapun tidak sedalam Pak Haji Yunus. Ketokohan, dan kedekatannya dengan tokoh Pak Haji Said, tingkatannya masih berada di bawah Pak Haji Yunus. Walaupun Pak Syamsul adalah seorang staf di kelurahan dan juga mengajar di Madrasah Tsanawiyah, tetapi ia sangat hormat dengan Pak Haji Yunus, untuk masalah-masalah RW sekalipun. Pada saat menyambut dan mengisi kegiatan 17-an bulan Agustus kemarin, Pak Syamsul mengundang
Pak Haji Yunus ke rumahnya. Mereka membicarakan
kegiatan apa yang cocok dan akan digulirkan bagi warga di RW 06. Pak Syamsul meminta pertimbangan Pak Haji Yunus agar tidak menimbulkan pro-kontra di kemudian hari. Pembicaraan ini dilakukan secara pribadi, empat mata. Pak Haji Yunus memberi saran agar kegiatan yang dilaksanakan itu sesuai karakter warga RW 06 yang agamis, basis muhammadiyah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirnya disepakati bentuk acara yang diadakan hanyalah perlombaan. Di tingkat RT perlombaan yang diadakan seperti sepakbola mini, catur, tenis meja dan menangkap ikan tanpa alat. Di tingkat RW perlombaan yang diadakan sangat kental nuansa keagamaannya seperti MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), cerdas cermat dan menyusun kalimat Al Qur’an. Ada juga acara hiburannya, tetapi hanya acara lomba balap karung. Tidak ada acara hiburan semacam panggung, band atau dangdut. Pertimbangan untuk meminta saran dan pendapat kepada Pak Haji Yunus didasarkan pada pengalaman tahun sebelumnya. Pak Syamsul pernah mengadakan pertunjukkan musik dangdut dalam rangka memperingati 17 agustus di RW-nya. Pertunjukkan ini ditujukan untuk mengakomodir aspirasi warga yang menyukai musik dangdut. Namun, setelah pertunjukkan itu berlangsung timbul pro-kontra dan kasakkusuk di tingkat warga. Pak Haji Yunus termasuk pihak yang kontra dengan pertunjukkan dangdut. Beliau langsung menasehati dan mengingatkan Pak Syamsul
19
untuk tidak mengadakannya lagi. Alasannya, karena masyarakat RW 06 adalah masyarakat yang agami dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Berdasarkan pengalaman itulah, Pak Syamsul agak hati-hati untuk mengambil keputusan
yang
diperkirakan
akan
menimbulkan
pro
kontra.
Beliau
akan
mengkonsultasikan terlebih dahulu, khususnya kepada Pak Haji Yunus. Pak Syamsul mengungkapkan tentang pengalamannya : “… dulu saya pernak ngadain dangdut waktu nyambut tujuh belasan. Saya pikir khan banyak orang yang suka musik dangdut. Tapi muncul protes. Ada yang setuju, ada yang nggak. Pak Haji Yunus termasuk yang tidak setuju. Malahan dia langsung dan bilang ke saya, jangankan ngadain musik dangdut, ngasih tahu dimana ada musik dangdut itu juga haram…” Protes keras dari Pak Haji Yunus inilah yang menyebabkan Pak Syamsul meminta pertimbangan Pak Haji Yunus pada peringatan kemarin. Pada saat menjelang pelaksanaaan pemilu di masa reformasi tahun 1999 yang lalu, ketokohan Pak Haji Yunus juga turut mendongkrak perolehan suara Partai Amanat Nasional sebagai represantasi politik warga muhammadiyah. Perolehan suara PAN berada di peringkat teratas di RW 06, juga di Kukusan. Partai Golkar yang selalu unggul pada pemilu di masa orde baru terpuruk pada possisi ke-empat. Media pengajian dan arisan di setiap RT ini dimanfaatkan oleh Pak Haji Yunus dan tokoh-tokoh yang lain untuk mensosialisasikan PAN sebagai partainya warga muhammadiyah. Dalam ceramah-ceramahnya Pak Haji Yunus senantiasa menyelipkan pesan ini. Beliau memang tidak memaksa bahwa warga muhammadiyah harus memilih PAN, tetapi kesungkanannya warga di RW 06 terhadap kebesaran nama beliau memang turut mempengaruhi pendongkrakan perolehan suara mutlak PAN. Apalagi pembinaan melalui pengajian dan arisan ini telah lama dilakukan. Seluruh ketua RT-nyapun merupakan kader muhammadiyah, sehingga tidak ada kesulitan untuk menyampaikan pesan politik ini. Pak Haji Yunus mengungkapkan :
20
“… waktu itu saya sering ngisi ceramah di pengajian RT. Saya bilang ke warga bahwa PAN itu bukan partai Islam. Jadi yang diluar Islam juga boleh milih PAN. Juga bukan partainya orang muhammadiyah. Tapi yang jadi ketua PAN, ya ketua muhammadiyah. Bapak–bapak silahkan pilih partai yang sesuai menurut bapak-bapak…” Pada era pemilu orde baru, Pak Haji Yunus dan tokoh-tokoh muhammadiyah lainnya cenderung menjadikan PPP sebagi pilihan politiknya. Begitu pula dengan Pak Syamsul yang pada era orde baru menjadi juru kampanye Golkar. Sekalipun sebagai juru kampanye Golkar, pilihan politik beliau tetap PPP. Kesamaan ideologi politik antara PPP dan muhammadiyah ---- dalam hal ini Islam ---- menyebabkan tokoh-tokoh muhammadiyah menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh Ujang. Ujang (28 tahun) adalah kader karang taruna dan LKMD pada masa kelurahan kukusan dijabat oleh Pak Hardi (sejarah beliau diuraikan pada paragrap setelah ini). Pernah menjabat sebagai ketua karang taruna tingkat RW dan duduk sebagai salah satu ketua seksi karang taruna tingkat kelurahan Ia juga simpatisan muhammadiyah yang menjadi pelopor kegiatan remaja di sebuah musholla dekat rumahnya..Ia warga asli dan lahir di Kukusan. Menamatkan jenjang SMA-nya pada tahun 1992. Kedua orang tuannya telah meninggal dunia sejak ia masih kecil. Keramahan dan supelnya pergaulan Ujang, menyebabkan ia akrab dengan siapa saja, terutama para pemuda dan pengangguran di kelurahannya. Sedangkan Pak Hardi adalah lurah (dahulu kepala desa) yang menjabat sejak tahun 1972 hingga 1995. Iapun warga asli Kukusan. Ia juga seorang tokoh dan sekretaris muhamadiyah ranting kukusan. Tahun 1972, ketika Pak Hardi masih bekerja di Jakarta, terjadi pemilihan kepala desa di Kukusan. Ia dicalonkan oleh para tokoh muhammadiyah karena kapasitasnya sebagai sekretaris ranting dan putera asli kukusan. Dalam pemilihan itu, Pak Hardi berhasil menang dan terpilih sebagai kepala desa. Kepemimpinan Pak Hardi berlanjut hingga pemilihan-pemilihan berikutnya, Tahun 1983 dan tahun 1990, ketika status kepala desa berubah menjadi kepala kelurahan dan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Tahun 1995, beliau memasuki masa pensiun.
21
Selama beliau menjadi lurah, banyak pula permasalahan yang muncul dan mengundang ketidaksukaan warga. Beliau membeli dan memiliki tanah di kukusan yang relatif luas. Memiliki peternakan sapi sebanyak 40 ekor yang polusi limbahnya sangat menyengat hidung dan mengganggu warga. Polusi limbah peternakan sapi, yang berdekatan dengan pabrik tahu milik seorang warga ini pernah di protes oleh warga Kukusan lainnya. Protes ini menyebabkan pabrik tahu ditutup dan peternakan sapinya dikurangi serta keharusan membayar kompensasi di lokasi warga yang tercemar polusi ini. Pak Hardi juga pernah punya keinginan menguasai lapangan sepak bola yang merupakan tanah wakaf. Keinginan menguasai lapangan sepak bola ini karena Pak Hardi beranggapan bahwa lapangan ini bisa menjadi asset kelurahan yang mendatangkan keuntungan. Apalagi, saat itu Pak Hardi menjabat sebagai lurah yang mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan bagi kepentingan warga di kelurahan. Keinginan beliau ditentang oleh warga kebanyakan karena salah seorang tetua yang turut menandatangani diwakafkannya lapangan sepak bola untuk kepentingan umum masih hidup hingga kini. Dalam perjanjian itu dinyatakan bahwa lapangan sepak bola tidak boleh dimiliki atau menjadi asset siapapun. Berbagai kenyataan di atas menyebabkan beliau kurang disukai oleh warga kukusan. Salah satunya adalah Ujang. Walaupun ia menjadi anggota karang taruna dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) di kelurahan, tidak suka dan seringkali berbeda dengan Pak Hardi, tetapi disampaikan secara sembunyi-sembunyi. Setiap kali menjelang pemilu, kelurahan selalu mengadakan briefing dan pelatihan. Ujang dan teman-temannya sebagai kader dan pengurus karang taruna di kelurahan sering ikut pelatihan karena sebagai anggota karang taruna. Ia tidak ada menolak atau protes terhadap program yang diselenggarakan oleh kelurahan itu. Namun setiap kali pemilu berlangsung, Ujang tidak memilih tanda gambar pohon beringin. Ia cenderung memilih tanda gambar ka’bah sebagai pilihannya. Alasanalasan seperti sentimen agama, kekecewaan terhadap kepemimpinan Pak Hardi dan keinginan untuk mengimbangi suara golkar agaknya menjadi pertimbangan pilihan politiknya pada saat pemilu. Faktor inilah yang menyebabkan suara PPP --- walaupun kalah ---- tetap mendapatkan suara yang relatif signifikan.
22
Faktor itu pula yang menyebabkan tokoh-tokoh muhammadiyah menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP, tidak ke Golkar. Sekalipun lurah mereka berasal dari muhammadiyah. Apalagi sentimen anti Golkar relatif kuat di Kukusan karena terlalu besarnya intervensi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap warga dalam menentukan pilihan politiknya, apalagi menjelang pemilu. Pada umumnya, warga beranggapan bahwa pegawai negeri adalah pendukung Golkar. Karena pegawai kelurahan termasuk pegawai negeri maka, secara otomatis mereka di cap sebagai pendukung Golkar. Pak Maman dan isterinya, selaku Ketua RT 01 pernah mengungkapkan hal ini: “…. Orang-orang disini mah dulu milihnya nggak ke Golkar. Kita milihnya ke PPP. Orang Walikota sampai marah-marah ke sini. Dia khan bantuin kita bikin lapangan Volley yang bagus. Giliran pas pemilu kita nggah milih dia (maksudnya Golkar). Orang walikotanya sampai ngomong, “minta lapangan iya.Pas pemilu dibantu kagak”…” Saat pemilu di era reformasi pilihan politik tokoh-tokoh muhammadiyah kepada PAN ternyata menimbulkan gesekan di tingkat massa, terutama kaum muda. Ujang sebagai tokoh pemuda di kukusan tidak dapat menyembunyikan rasa kecewanya akibat dampak yang timbul dari terlibatnya tokoh-tokoh muhammadiyah dalam arena politik praktis. Menjelang pemilu 1999, kampanye gencar dilakukan. Tidak luput pula musholla Al Ikhsan tempat Ujang menggerakan kegiatannya. Pak Haji Yunus turut memperkenalkan PAN pada acara pengajian pemuda di musholla Al Ikhsan. Sikap ini membuat ketidaksukaan para pemuda. Ada anggapan bahwa secara tidak langsung Pak Haji Yunus telah membawa wilayah politik ke tempat-tempat ibadah. Menurut para pemuda, politik tidak layak dibawa-bawa ke tempat ibadah dan hanya mencari kesempatan saja bila acara pengajian digunakan untuk memperkenalkan partai. Menurut mereka partai hanya menyebabkan perpecahan. Akibatnya, muncul reaksi dari ketidaksukaan itu. Para pemuda enggan lagi menghadiri pengajian-pengajian dan pertemuan yang diadakan oleh muhammadiyah di musholla Al Ikhsan. Ujang sangat kecewa karena untuk membina para pemuda itu ia memerlukan waktu lima tahun. Sejak para pemuda itu masih berusia belasan tahun ketika masih duduk di
23
bangku SMP. Sebelum adanya perselisihan diatas, Ujang juga pernah mengalami kekecewaan dengan salah seorang tokoh muhammadiyah yang lain yakni Pak Haji Ali, anak Pak Haji Said. Awalnya. Ketika orang tua Ujang wafat dan meninggalkan tanah wakaf, orang tua Ujang memberikan tanah wakaf itu untuk pembangunan sekolah, yang kini menjadi bangunan Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah, setingkat SMP. Dalam pemberian tanah wakaf itu, orang tua Ujang yang juga simpatisan muhammaadiyah membuat semacam perjanjian bahwa seluruh anak dari orang tua Ujang boleh bersekolah disitu dan tidak dipungut biaya. Perjanjian ini juga disaksikan oleh Pak Haji Yunus. Pada kenyataannya perjanjian itu dilanggar dan tidak ditepati. Adik Ujang yang saat itu bersekolah kelas dua MTs hanya menikmati fasilitas bebas biaya sekolah selama satu tahun. Tahun berikutnya, adik Ujang dikenakan biaya sekolah sebagaiman umumnya anak sekolah yang lain tanpa dispensasi apapun. Kejadian ini membuat Ujang sangat kecewa. Sejak itu ia memutuskan untuk tidak hadir pada rapat-rapat dan pertemuan yang diadakan oleh pemuda muhammadiyah ranting kukusan di masjid Al Iman. Ujangpun menyesalkan sikap Pak Haji Yunus yang “diam” saja padahal beliau turut menjadi saksi saat penyerahan tanah wakaf tersebut. Pak Haji Ali yang saat itu baru merintis pendirian sekolah madrasah Tsanawiyah menjabat kepala sekolah hingga kini. Lamanya jabatan kepala sekolah inipun mengundang tanda tanya dan kekecewaan di benak Ujang. Dia melihat tidak ada kader-kader muhammadiyah yang muncul ke permukaan untuk menjabat kepala sekolah di MTs. Guru-guru di MTs yang awalnya diisi oleh kader-kader dan anggotaanggota muhammadiyah di kukusan kini sudah tidak ada lagi. Mereka keluar satu per satu dari tugas mengajar di MTs karena mengalami kekecewaan. Guru-guru di MTs kini lebih banyak diisi oleh “orang luar” yang belum tentu muhammadiyah. Puncak dari kekecewaan Ujang terjadi pada saat pemilu era reformasi tahun 1999 lalu. Kukusan yang menjadi basis muhammadiyah turut menghantarkan PAN sebagai pemenang pemilu dan mengalahkan golkar yang selalu menjadi pemenang pemilu pada masa orde baru secara telak. Kemenangan PAN ini berakibat pada tergusurnya lurah a yang lama dan digantikan oleh yang baru. Sebelumny Lurah yang
24
baru berdinas sebagai staf di Kecamatan Beji dan berasal dari daerah Cariu, Bogor. Lurah ini dianggap bukan orang kukusan asli, tidak tahu seluk-beluk kukusan dan tidak didukung oleh kaum mudanya. Ketika pemilu era reformasi 1999, Pak Ikhsan --- sebagai lurah lama --- sudah memprediksi bahwa golkar akan mengalami kekalahan seiring dengan suasana euforia reformasi dan penghujatan kepada golkar hingga ke tingkat grass root. Pak Iksan adalah lurah yang dianggap sebagai putra kukusan, sebelumnya pernah menjabat lurah Tanah Baru, sebuah kelurahan tetangga Kukusan. Ketika memimpin kelurahan Tanah Baru, beliau menorehkan prestasi dengan keberhasilan kelompencapir kelurahannnya juara di tingkat nasional. Sejak
tahun
1995,
Pak
Ikhsan
menjabat
sebagai
lurah
Kukusan.
Kepemimpinan beliau didukung oleh pemuda baik di karang taruna maupun LKMD karena selain putera kukusan juga pengalaman organisasi beliau. Bahkan Kelurahan Tanah Baru yang ditinggalkannya berani membayar beliau untuk menjadi lurah disana kembali. Ketika pemilu 1999, Pak Ikhsan berharap, agar kekalahan golkar yang sudah diprediksi bukanlah kekalahan yang amat telak. Dia dapat memaklumi bila golkar kalah tetapi dengan jumlah suara yang masih bisa dikendalikan. Tanpa diduga perolehan suara golkar sangat jauh terpuruk. Pak Ikhsan menganggap bahwa beliau sudah tidak diinginkan memimpin kukusan lagi. Keterpurukan golkar ini juga dipandang sebagai kegagalan beliau “menguasai” warganya. Hasil ini menyebabkan beliau digeser dan diganti oleh pejabat lurah yang baru. Keterpurukan perolehan suara golkar ini, oleh Ujang dianggap sebagai permainan orang-orang tua, tokoh-tokoh muhammadiyah yang hanya mementingkan kelompok dan partainya saja. Mereka tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dan daerahnya. Kekakalahan golkar secara telak ini telah menyebabkan Pak Ikhsan turun dari kursi lurahnya. Ia meninggalkan Kukusan untuk menetap dikelurahan tetangga yakni Beji. Keadaan ini semakin menambah kekecewaan Ujang. Dia menarik diri dari segala rapat dan kegiatan, baik yang diadakan oleh kelurahan, masjid maupun muhammadiyah. Dia tidak pernah hadir lagi dan dianggap lurah yang baru tidak tahu
25
seluk beluk kukusan. Pengunduran ini Ujang ini diikuti pula oleh pemuda-pemuda lainnya karena keaktifan dan ketokohan Ujang sebagai penggerak karang taruna dan LKMD di kelurahan. Ujang mendeskripsikan keadaan ini dalam pernyataannya : “….Puncak kekesalan saya sama orang-orang muhammadiyah pas pemilu kemarin, tahun 1999. Kita-kita dukung lurah yang lama, Pak Ikhsan karena dia orang asli kukusan, jadi tahu tentang kukusan dan kebutuhan kukusan. Dia juga pernah bikin prestasi di Tanah Baru waktu kelompok kelompencapirnya juara tingkat nasional. Orang Tanah Baru aja berani untuk ngebayar dia biar dia jadi lurah di Tanah Baru lagi. Waktu pemilu kemaren dia udah ngomong, wanti-wanti sama warga, nggak apa-apa golkar kalah, tapi kalahnya kalau bisa tipis saja, nggak jauh beda. Nggak tahunya Golkar kalah telak, gara-gara PAN yang didukung orang-orang muhammadiyah. Mereka cuma mikirin kelompoknya, cuma mikirin muhammadiyah sama PAN-nya aja, cuma mikirin partai doang. Nggak mikirin buat kemajuan daerahnya. Gara-gara kalah telak, Pak Ikhsan jadi kabur dari kukusan, pindah ke Beji. Saya jadi malas lagi ikut-ikut rapat. Nggak lagi saya ikut-ikut di kelurahan, sama muhammadiyah juga. Di undang juga saya nggak mau. Saya udah sering ngomong kalau kukusan pengin maju, kukusan harus dipmpin sama orang pinter, bukan sama orang kuat. Pak Iksan itu orangnya pinter organisasi. Kalau tokoh-tokoh itu cuma kuat pengaruh karena dia orang tua disini dan pendiri disini tapi khan belum tentu pinter mimpin Kukusan. Waktu Pak Ikhsan jadi lurah dia rajin datang kalau ada acara pengajian, hajatan, kawinan sama kematian. Jadi dia dikenal sama warga. Kalau lurah yang sekarang mah nggak pernah datang kalau ada acara-acara kayak gitu. Jadi dia nggak dekat sama warga. Makanya sekarang acaraacara karang taruna jadi sepi. Dulu saya kesal gara-gara adik saya sekolah di MTs ditarik bayaran. Padahal tanahnya itu wakaf dari orang tua saya dan perjanjiannya saya dan adik-adik saya gratis. Padahal ada Pak Haji Yunus, tapi dia diam aja tuh Mungkin kalau orang tua saya masih hidup, nangis kali…” Eksistensi muhammadiyah juga dipertahankan bila muncul kekhawatiran
26
masuknya paham baru yang berbeda, sekalipun dilakukan oleh kader mereka. Wisman adalah seorang pernceramah yang sering mengisi pengajian dan memberikan ceramah di masjid-masjid. Usianya sekitar 35 tahun dan lulusan sekolah tinggi agama.
Ia
tercatat sebagai kader pemuda muhammadiyah. Pengalaman organisasi dan latar belakang pengetahuan agama yang diperoleh dari sebuah sekolah tinggi agama menyebabkan dia dipercaya untuk mengisi pengajian di RT-RT dan memberikan ceramah. Adanya
perbedaan
paham
di
sana
masih
terasa
antara
NU
dan
muhammadiyah. Muhammadiyah menganut paham tidak adanya acara tahlilan untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal. Lain bagi paham NU. Tidak ada masalah untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal dengan mengadakan acara acara tahlilan. Umumnnya warga yang mengadakan acara tahlilan dikategorikan sebagai warga pendatang. Suatu ketika Wisman diminta untuk mengisi acara pengajian dan mengikuti acara tahlilan. Wisman tidak menolak karena menghormati sang tuan rumah. Ia berpendapat, untuk memperkecil perbedaan yang ada, tidak salah bila mengikuti acara tersebut. Namun rekasi keras muncul dari para tokoh muhammadiyah bahwa kadernya mengikuti acara tahlilan yang dianggap tidak ada petunjuknya dalam Islam. Ia ditegur. Sejak itu, Wisman tidak pernah lagi mengikuti acara tahlilan walaupun masih memberi pengajian di RT-RT di lain RW. Hal ini juga dirasakan oleh salah seorang anak tokoh muhammadiyah yakni Mila. Mila saat ini berusia 25 tahun dan puteri dari Pak Ali. Ia lulusan dari jurusan Kesejahteraan Sosial FISIP UI. Mila sudah menggunakan jilbab --- penutup kepala wanita muslim ---
sejak kecil. Orang tuanya yang tokoh muhammadiyah telah
mengajarkan untuk menggunakan jilbab ini. Sejak SMA, Mila sudah aktif pada kegiatan Kerohanian Islam. Ketika masih kuliah di FISIP UI pun dia semakin intens bersentuhan dengan kegiatan-kegiatan
keislaman. Sekalipun orang tuanya
sebagai tokoh
muhammadiyah, tidak berarti afiliasi politiknya sama dengan afiliasi politik ayahnya yakni PAN. Sebagaimana umumnya mahasiswa yang aktif pada kegiatan kerohanian islam, Mila berafiliasi ke salah satu partai yakni Partai Keadilan. Perbedaan politik ini
27
menyebabkan Mila tidak berani secara terang-terangan menunjukkan afiliasi politik di depan ayahnya. Berbagai kegiatan Partai Keadilan yang diadakan di Masjid Al Iman dan beberapa tempat di Kelurahan Kukusan lainnya tidak pernah diikuti oleh Mila. Dia mengakui, ayahnya akan marah bila tahu ia pendukung Partai Keadilan. Begitu pula saat seorang temannya datang untuk memberitahukan tentang kegiatan Partai Keadilan di Masjid Al Iman. Teman Mila datang kerumahnya dan secara tidak sengaja memberitahu kegiatan tersebut. Suara yang terlalu keras menyebabkan Mila harus memberi isyarat kepada temannya agar bersuara pelan karena ayahnya ada didalam rumahnya. Seorang temannya pernah mengungkapkan keadaan ini : “…. Dulu waktu-waktu kampanye saya datang ke rumah Mila. Saya langsung ngomong ke dia “la, elu nggak datang ke masjid. Di Masjid khan anak-anak --- Partai Keadilan --- ngadain periksa kesehatan gratis sama bazar. Dia langsung ngasih isyarat seraya berbisik “ssst, jangan keraskeras. Di dalam ada bapakku tuh …” Pada kenyataannya Mila memang tidak pernah mengikuti dan menghadiri kegiatan-kegiatan Partai Keadilan yang saat itu tumbuh subur di kelurahannya. Banyaknya mahasiswa yang kost mewarnai tumbuhnya partai ini. Kegiatan-kegiatannya relatif marak dan memberi manfaat bagi warga sekitar. Selain untuk menyediakan kegiatan riil, acara yang diselenggarakan partai keadilan memang ditujukan untuk memperkenalkan partai ini di masyarakat. F. Implikasi Teori Dalam konteks Kukusan, terjadinya proses perubahan sosio politik ditingkat makro ternyata turut mengimbas pada masyarakat di tingkat mikro. Munculnya partaipartai baru sebagai dampak euphoria politik akibat runtuhnya rezim orde baru oleh gerakamn mahasiswa tahun 1998 memang disambut antusias oleh masyarakat di tingkat grass root. Apalagi, pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama sejak orde baru berkuasa yang pelaksanaannya sangat demokratis. Muhammadiyah yang merupakan gerakan sosial keagamaan terrepresentasi
28
dalam Partai Amanat Nasional sebagai pilihan politiknya. Elit-elit informal Kukusan yang merupakan tokoh agama dan juga tokoh muhammadiyah memainkan perannya dalam mendongkrak perolehan suara PAN. Ketokohan dan kekharismatikannya memiliki pengaruh kuat dalam mengarahkan pilihan politik massa grass root. Pilihan politik massa grass root di Kukusan bukanlah didasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi lebih pada pertimbangan emosional sebagai pengikut satu gerakan keagamaan. Permasalahan akan munculnya perpecahan sebagai akibat pilihan yang didasarkan pada pertimbangan emosional ini bukanlah pandangan yang penting untuk dipikirkan. Sikap oposan yang telah ditunjukkan sejak era orde baru oleh elit-elit informal inipun diikuti oleh massa pengikutnya. Kecenderungan untuk berlawanan dengan “partai pemerintah” senantiasa ditunjukkan pada setiap pesta demokrasi. Semangat ini pula yang menjadi salah satu faktor penyebab telaknya kekalahan “partai pemerintah” pada pemilu era reformasi. Kuatnya jaringan yang telah dibangun sekian lama oleh tokoh-tokoh muhammadiyah turut mempermudah pendongkrakan suara PAN dan memproteksi masuknya “paham baru” yang akan mempengaruhi eksistensi muhammadyah dan tokohnya. Jaringan yang dibangun inipun tidak hanya mengandalkan pada jaringan kader sebagai hasil pembinaan, tetapi juga pada jaringan kekerabatan yang relatif kuat karena pola pemukiman yang tidak keluar dari kampungnya dan tidak jauh dengan tempat tinggal orang tuannya. Selain karena pola pemukiman, jaringan juga terbentuk karena hubungan perkawinan yang sesama satu kampung. Pengenalan dan sosialisasi partai tidak hanya dilakukan pada saat kampanye menjelang pemilu. Keefektifan sosialisasi justru terjadi melalui media pengajian dan arisan yang dihadiri oleh seluruh warga. Faktor ketokohan dan kedekatan hubungannya dengan warga yang sebagian besar saling kenal menyebabkan sosialisasi partai mudah dilakukan tanpa kekhawatiran terjadi penentangan. Media ini sangat berperan dalam sosialisasi yang telah dilakukan sebelum era kampanye dimulai. G. Kesimpulan Partai Keadilan adalah salah satu partai peserta pemilu yang bernafaskan islam
29
tetapi memiliki perbedaan dalam tata cara ibadah yang dipraktekkannya sehari-hari. Tata cara ibadah yang berbeda tampak dalam hal berpakaian. Bagi aktivis Partai Keadilan penggunaan kaos kaki dalam pakaian sehari-hari menjadi keharusan, tetapi tidak bagi orang-orang muhammadiyah. Selain itu mekanisme pernikahan dan tata cara pelaksanaannya sangat asing dan menjadi bahan pergunjingan bagi orang-orang muhammadiyah.
30