55
PEMBAHASAN Berdasarkan karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh, hasil penelitian menunjukkan bahwa profil contoh mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) pada contoh yang hanya mengikuti pendidikan kewirausahaan formal, contoh paling banyak adalah berjenis kelamin perempuan, berasal dari suku Jawa dengan rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) dan uang saku bulanan lebih besar dibandingkan dengan kedua kelompok contoh yang lainnya, dan juga mempunyai ayah dan ibu dengan jenjang pendidikan tertinggi yaitu sampai perguruan
tinggi;
(2)
pada
contoh
yang
hanya
mengikuti
pendidikan
kewirausahaan nonformal, contoh paling banyak adalah berjenis kelamin lakilaki, rata-rata usia lebih tinggi dibandingkan dengan kedua kelompok contoh yang lainnya, namun rata-rata uang saku bulanan lebih kecil dibandingkan kedua kelompok contoh yang lainnya; (3) pada contoh yang mengikuti pendidikan kewirausahaan kombinasi formal dan nonformal, persentase suku Minang terbesar ada pada kelompok ini, begitu juga ayah dan ibu contoh yang bekerja sebagai wirausaha kebanyakan berada di kelompok ini. Perilaku berwirausaha dapat dilihat melalui intensi karena intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan (Krueger & Carsrud dalam Indarti dan Rokhima 2008). Seseorang dengan intensi untuk memulai usaha akan memiliki kesiapan dan kemajuan yang lebih baik dalam usaha yang dijalankan dibandingkan seseorang tanpa intensi untuk memulai usaha. Intensi dapat dijadikan sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan menjadi wirausaha (Choo & Wong 2006). Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) intensi seseorang terhadap perilaku dibentuk oleh dua faktor utama yaitu sikap perilaku tertentu (attitude toward the behavior) dan norma subjektif (subjective norms) yang dikenal dengan Theory of Reasoned Action (TRA). TRA dinilai memiliki kelemahan, adanya penekanan pada faktor norma subjektif dianggap terlalu melemahkan faktor individu sebagai pengendali atas tingkah lakunya sendiri. Oleh karenanya, pada tahun 1985 Icek Ajzen mengembangkan TRA menjadi Theory of Planned Behavior (TPB). Dalam TPB satu lagi faktor ditambahkan sebagai penentu niat seseorang, yakni kontrol perilaku (perceived behavioral control). Selanjutnya Ajzen menjelaskan bahwa perilaku seseorang tidak hanya dikendalikan oleh dirinya sendiri, tetapi juga kontrol
yang
ketersediaan
sumber
daya
dan
kesempatan
tertentu.
56
Kesimpulannya, intensi seseorang terhadap perilaku tertentu dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku (Ajzen 1988). Secara umum, jika seseorang memiliki sikap positif terhadap
perilaku
berwirausaha, mendapatkan dukungan lingkungan untuk melakukan suatu tindakan berwirausaha, dan ia merasa bahwa tidak ada hambatan untuk melaksanakannya,
maka
intensi
kewirausahaannya
akan
kuat.
Dengan
demikian, kemungkinan orang tersebut untuk berperilaku sangat tinggi. Sebagian besar contoh mempunyai sikap dengan kategori tinggi. Sikap contoh pada kelompok formal lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nonformal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Artinya mata kuliah yang berhubungan dengan kewirausahaan yang diikuti contoh dalam pendidikan kewirausahaan formal dapat membentuk sikap positif
contoh terhadap
berwirausaha. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Azzahra (2009), bahwa pengambilan Mata Kuliah Kewirausahaan memiliki hubungan nyata dengan sikap. Hal ini berarti kuliah Kewirausahaan yang diikuti contoh dapat membentuk sikap positif tentang wirausaha. Variabel yang berhubungan nyata dengan sikap adalah suku (daerah), uang saku bulanan, dan jumlah pendidikan kewirausahaan formal yang diikuti contoh. Suku (daerah) mempunyai hubungan yang nyata dengan sikap (Tabel 19). Hasil penelitian Azzahra (2009) mengungkapkan bahwa karakteristik suku (daerah) memiliki hubungan nyata dengan sikap dan tindakan wirausaha. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan dan persepsi positif terhadap profesi wirausaha oleh beberapa suku (daerah) di Indonesia seperti suku Minang yang terkenal dengan jiwa wirausaha yang tinggi, sehingga bisa mempengaruhi sikap wirausaha contoh. Penilaian sosial kewirausahaan menunjukkan bagaimana kebudayaan berperan dalam menentukan perilaku berwirausaha (Zahra et al. 1999). Uang saku bulanan mempunyai hubungan yang positif dan nyata dengan sikap (Tabel 23). Artinya semakin tinggi uang saku bulanan maka semakin baik sikap contoh untuk berwirausaha. Hal ini dapat terjadi karena untuk mendapatkan informasi yang dapat membentuk sikap seseorang terhadap berwirausaha
membutuhkan
biaya
seperti
biaya
mengikuti
seminar
kewirausahaan, pelatihan kewirausahaan, mata kuliah yang berhubungan dengan kewirausahaan, dan lain-lain. Contoh yang banyak mendapatkan
57
paparan informasi kewirausahaan bisa membentuk sikap dan persepsi yang positif terhadap kewirausahaan. Selain
itu,
jumlah
pendidikan
kewirausahaan
formal
mempunyai
hubungan yang positif dan nyata dengan sikap (Tabel 23). Artinya semakin banyak jumlah mata kuliah yang diikuti dalam pendidikan kewirausahaan formal maka semakin baik sikap contoh untuk berwirausaha. Hal ini juga terlihat dari rata-rata sikap pada kelompok formal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nonformal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Temuan ini menegaskan hasil penelitian Hansemark (1998) yang menerangkan bahwa pendidikan kewirausahaan formal mempengaruhi sikap mahasiswa terhadap kewirausahaan sebagai pilihan karir. Hampir separuh contoh mempunyai norma subjektif dengan kategori sedang. Norma subjektif contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Hal ini dapat terjadi karena semua contoh pada kelompok ini merasa bukan diri mereka sendirilah yang mendorong mereka untuk berwirausaha. Norma Subjektif menunjukkan keyakinan individu atas adanya persetujuan atau tidak dari figur-figur sosial jika ia melakukan suatu perbuatan (Fishbein & Ajzen 1975). Figur-figur sosial yang penting bisa saja termasuk di dalamnya orang tua, teman dekat, suami atau istri, rekan kerja (Wijaya 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir separuh contoh menjawab teman adalah figur sosial yang paling mendorong contoh untuk berwirausaha. Hal ini sesuai dengan pendapat Al-Mighwar (2006) yang menyatakan bahwa anak yang beranjak dewasa menghabiskan sebagian waktunya di luar rumah bersama dengan teman sebayanya, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman sebaya terhadap sikap, minat pembicaraan, penampilan dan perilaku lebih besar dibandingkan dengan keluarga. Teman diartikan sebagai anak-anak yang mempunyai umur sebaya, mempunyai tingkat kematangan yang sama, memiliki minat, dan kegemaran yang sama. Lebih dari separuh contoh mempunyai kontrol perilaku dengan kategori rendah. Kontrol perilaku contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Pendidikan ibu mempunyai hubungan yang negatif dan nyata dengan kontrol perilaku (Tabel 23). Artinya semakin tinggi pendidikan yang dimiliki ibu contoh maka contoh tidak semakin tergantung pada kesempatan dan sumber
58
daya eksternal dalam menampilkan perilaku berwirausaha. Dalam hal ini semakin contoh mempunyai ibu yang tingkat pendidikannya tinggi, pendidikan contoh akan semakin baik. Contoh yang mempunyai pendidikan yang baik tidak terlalu tergantung pada kesempatan dan sumber daya eksternal dalam menampilkan perilaku berwirausaha. Hal ini dapat terjadi karena ibu dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih banyak sehingga diharapkan dapat memberikan pengasuhan yang lebih baik dengan memberikan stimulasi yang tepat pada anak. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua maka semakin besar pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan. Anak yang mendapatkan pendidikan yang tinggi akan membentuk cara berfikirnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Guhardja et al. (1992) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan membentuk cara, pola dan karakter berpikir, presepsi,
pemahaman,
dan
kepribadian.
Kontrol
perilaku
contoh
akan
membentuk intensi yang tinggi jika ada kesempatan dan sumber daya. Lebih dari separuh contoh mempunyai intensi berwirausaha dengan kategori tinggi. Intensi berwirausaha contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta kelompok kombinasi formal dan nonformal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Azzahra (2009) bahwa terdapat hubungan nyata antara keikutsertaan pada seminar/pelatihan kewirausahaan dengan tindakan dan perilaku wirausaha mahasiswa IPB peserta PKMK dan PPKM. Hubungan ini menunjukkan bahwa seminar/pelatihan kewirausahaan yang diikuti oleh contoh bukan lagi ditujukan untuk merubah pengetahuan contoh mengenai kewirausahaan, melainkan sudah ditujukan untuk melakukan tindakan berwirausaha sehingga berhubungan nyata pula dengan intensi berwirausahanya. Variabel
yang
berhubungan
positif
dan
nyata
terhadap
intensi
berwirausaha adalah jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal yang diikuti, sikap, dan norma subjektif. Jumlah pendidikan kewirausahaan nonformal mempunyai hubungan yang positif dan nyata dengan intensi berwirausaha (Tabel 23). Artinya semakin banyak contoh yang mengikuti pendidikan kewirausahaan nonformal maka semakin baik intensi berwirausaha contoh. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata intensi berwirausaha contoh pada kelompok nonformal memiliki skor yang lebih tinggi dibandingkan kelompok formal serta
59
kelompok kombinasi formal dan nonformal. Kram et al dalam Farzier dan Niehm (2008) menemukan bahwa pendidikan dan pelatihan mempengaruhi persepsi orang terhadap karir kewirausahaan, dengan menyediakan kesempatan untuk mensimulasikan memulai usaha. Dari ketiga komponen TPB, hanya sikap dan norma subjektif yang berhubungan positif dan nyata dengan intensi berwirausaha. Artinya semakin baik
sikap
dan
norma
subektif
contoh
maka
semakin
besar
intensi
berwirausahanya. Menurut Citra (2010) secara umum, orang yang meyakini bahwa melakukan perilaku tertentu dengan probabilitas yang tinggi dapat memberikan hasil yang paling positif. Hal ini akan menyebabkan orang itu akan memiliki sikap yang mendukung perilaku tersebut. Hasil penelitian ini juga memperkuat hasil penelitian Kusminanti (2005) yang menunjukkan bahwa norma subjektif memiliki hubungan yang signifikan terhadap intensi. Sementara itu, uji lanjutan dengan menggunakan uji regresi menunjukkan bahwa hanya sikap yang mempunyai pengaruh positif dan nyata terhadap intensi berwirausaha (p<0,01) dengan menggunakan model TPB. Artinya semakin tinggi sikap contoh maka semakin besar intensi berwirausahanya. Apabila model TPB digabungkan dengan variabel lain seperti pekerjaan ayah dan pendidikan kewirausahaan dalam satu model regresi, ternyata sikap masih merupakan variabel yang berpengaruh terhadap intensi berwirausaha. Kedua persamaan regresi menunjukkan betapa kuatnya pengaruh sikap terhadap intensi berwirausaha meskipun kedua variabel lain dalam model TPB tidak berpengaruh. Namun uji hubungan seperti yang disajikan pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa norma subjektif berhubungan positif dan nyata dengan sikap (r=0,427; p<0,01). Artinya semakin baik norma subjektif maka sikap contoh terhadap berwirausaha semakin besar. Norma subjektif pada penelitian ini mempengaruhi intensi berwirausaha melalui sikap. Hasil uji hubungan juga menunjukkan bahwa kontrol perilaku berhubungan positif dan nyata dengan norma subjektif (r=0,287; p<0,01). Artinya semakin baik kontrol perilaku maka norma subjektif contoh semakin besar. Kontrol perilaku pada penelitian ini tidak secara langsung mempengaruhi intensi berwirausaha tetapi dengan melalui norma subjektif dan sikap. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kontrol perilaku berhubungan positif dan nyata dengan norma subjektif. Selanjutnya, norma subjektif berhubungan positif dan nyata dengan sikap. Akhirnya sikap berhubungan dan
60
berpengaruh positif
dan
nyata
terhadap
intensi berwirausaha.
Hal ini
menunjukkan untuk meningkatkan intensi berwirausaha mahasiswa perlu upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dengan menyediakan kesempatan dan sumber daya berupa modal usaha untuk berwirausaha (adanya kontrol perilaku). Sumber daya dan kesempatan berwirausaha akan membuat figur sosial berpikiran positif terhadap berwirausaha dan mempunyai harapan yang tinggi agar mahasiswa berwirausaha sehingga keinginan contoh untuk memenuhi harapan tersebut juga semakin tinggi karena adanya dukungan dari pihak-pihak yang berperan penting dalam hidupnya (adanya norma subjektif). Akhirnya dengan adanya sumber daya dan dukungan terhadap mahasiswa maka sikap mahasiswa dalam hal berwirausaha akan semakin tinggi yang dapat meningkatkan intensi berwirausahanya. Model pada penelitian ini hanya memberikan kontribusi terhadap intensi berwirausaha dengan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 15,5 persen dan 16,6 persen. Variabel-variabel lain yang diduga mempengaruhi intensi berwirausaha menurut Brockhaus dalam Fawaqa (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang berwirausaha dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (1) karakteristik psikologi (need for achievement, locus of control, risk taking propensity, dan personal value), (2) efek pengalaman (pengalaman kerja sebelumnya, efek pengalaman orang lain sebagai role model juga dapat menjadi pemicu keputusan wirausaha), dan (3) karakteristik personal (umur, pendidikan, dan kediaman). Hasil penelitian Wijaya (2007) menyatakan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan (Adversity Intelligence) memberikan kontribusi terhadap intensi berwirausaha yang ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien determinasi (R 2) sebesar 11 persen.