KESALAHAN GRAMATIKA DALAM BERBAHASA TUTUR (Studi Kasus Mahasiswa Ma’had ‘Âlî Hâsyim Asy‘arî PP Tebuireng Jombang) TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab
Oleh: AHMAD SHOLIHUDDIN NIM: 06.2.00.1.13.08.0031 Pembimbing: Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA.
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2008
ii
PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya : Nama
: Ahmad Sholihuddin
Tempat dan tanggal lahir
: Surabaya, 24 Januari 1972
NIM
: 06.2.00.1.13.08.0031
Alamat
: Benowo III / 28 Surabaya
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul : ”Kesalahan Gramatika Dalam Berbahasa Tutur : Studi Kasus Mahasiswa Ma’had ‘Âlî Hâsyim Asy‘arî PP Tebuireng Jombang” adalah benar-benar karya saya sendiri, didukung oleh berbagai sumber terkait. Jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dan akan dibetulkan sebagaimana mestinya. Dan jika ternyata tesis ini bukan karya saya sendiri, maka saya siap dicabut gelar Magister saya. Ciputat, 29 Agustus 2008 Yang membuat pernyataan,
Ahmad Sholihuddin
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis dengan judul : KESALAHAN GRAMATIKA DALAM BERBAHASA TUTUR : Studi Kasus Mahasiswa Ma’had ‘Âlî Hâsyim Asy‘arî PP Tebuireng Jombang, yang ditulis oleh Nama
: Ahmad Sholihuddin
NIM
: 06.2.00.1.13.08.0031
Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah diperbaiki sesuai dengan permintaan, saran dan masukan pembimbing dan disetujui untuk dibawa ke sidang ujian tesis.
Jakarta, 29 Agustus 2008 Pembimbing,
Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA.
iv
PERSETUJUAN TIM PENGUJI Tesis saudara Ahmad Sholihuddin (NIM : 06.2.00.1.13.08.0031) yang berjudul KESALAHAN GRAMATIKA DALAM BERBAHASA TUTUR : Studi Kasus Mahasiswa Ma’had ‘Âlî Hâsyim Asy‘arî PP Tebuireng Jombang, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada hari Kamis, tanggal 4 September 2008, dan telah diperbaiki sesuai saran serta rekomendasi dari Tim Penguji Tesis.
TIM PENGUJI Ketua Sidang / Penguji,
Pembimbing / Penguji,
Prof. Dr. Suwito, MA
Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA
Tanggal:
September 2008
Tanggal:
September 2008
Penguji,
Penguji,
Prof. Dr. Moh. Matsna, HS, MA
Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA
Tanggal:
September 2008
Tanggal:
v
September 2008
ABSTRAK Penelitian ini membuktikan bahwa kesalahan-kesalahan dalam berbahasa asing (B2) tidak semata-mata disebabkan oleh pengaruh bahasa ibu (B1) pemelajar (interferensi), akan tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor keberkembangan pemelajar dalam merespon kaidah-kaidah B2 yang berbeda dengan B1nya. Keberkembangan ini berakibat kepada kesalahan-kesalahan berbahasa yang disebabkan oleh kesalahan melakukan overgeneralisasi, penerapan kaidah yang tidak sempurna, kesalahan menghipotesiskan konsep, dan ketidaktahuan pembatasan kaidah. Kesalahan ini dikenal dengan intralingual dan developmental. Penelitian ini memperkuat pendapat Richards yang mengkoreksi Lado dkk. Lado dengan teori interferensinya mengklaim bahwa kesalahan berbahasa semata-mata disebabkan oleh pengaruh sistem B1 pemelajar yang mempengaruhi penggunaan B2nya. Teori ini melahirkan analisis kontrastif. Richards kemudian menemukan bahwa analisis kontrastif ternyata belum dapat mempredikasi semua kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh pemelajar B2. Menurutnya, kesalahan B2 merupakan implikasi dari proses keberkembangan pemelajar, sehingga melahirkan bahasa pemelajar yang khas dengan bentuk-bentuk tertentu, dan bentuk-bentuk tertentu tersebut bukan sebagai B1 dan bukan pula sebagai bentuk B2. Pada akhirnya bentuk-bentuk ini berangsur-angsur mendekati sistem B2. Bahasa khas inilah yang oleh Selinker disebut dengan istilah interlanguage, dan Namser menamakannya approximative system, serta Corder mengistilahkannya dengan idiosyncratic dialects. Hasil koreksi ini kemudian melahirkan teori analisis kesalahan. Penelitian ini secara spesifik tidak membedakan antara kesalahan performansi dan kompetensi, meskipun Corder (dengan dukungan Chomsky) membuat pembedaan untuk itu. Pembedaan ini penting, akan tetapi sebagaimana dinyatakan oleh Dulay bahwa dalam kenyatannya sering kali terjadi kesukaran untuk menentukan sifat atau substansi suatu kesalahan tanpa mengadakan analisis secara cermat dan mendalam, manakah yang termasuk kesalahan kompetensi dan manakah yang termasuk performansi. Yang lebih penting dalam hal ini adalah, bahwa kesalahan ditentukan berdasarkan ukuran ketidakberterimaan, dan juga bahwa kompetensi dan performansi merupakan dua hal yang terkait, yakni bahwa kompetensi pemelajar muncul dalam performansinya. Data utama penelitian ini adalah keterampilan berbicara mahasiswa Ma’had ‘Âlî Hâsyim Asy‘arî PP Tebuireng Jombang yang dikumpulkan melalui metode simak, berupa pengamatan peristiwa berbicara dalam bentuk diskusi dan presentasi perkuliahan dalam berbagai matakuliah agama dan bahasa Arab. Data yang terkumpul kemudian dilakukan identifikasi kesalahan dari aspek morfologi dan sintaksis, dengan cara membandingkan tuturan subyek penelitian dengan bahasa yang baku, kemudian dikelompokkan sesuai dengan jenis konstruksinya. Setelah itu direkonstruksi dengan vi
cara memberikan bahasa bakunya, ditentukan jenis kesalahannya, frekuensi kesalahannya, dan dilakukan interpretasi data. ABSTRACT This research proves that second language errors (L2) are not only caused by interference from the learner mother language (L1), but also influenced by learner developmental to response L2 system that defferent with L1 system. The developmental causes learner fall in language errors such as overgeneralization, ignorance of rule restrictions, incomplete application of rules, and false concepts hypothesized. These errors called by intralingual or developmental errors. This research also enforces Richards findings which corrected Lado and friends. Lado ‘s interference theory claimed that language errors caused by interference form L1 system. It produced contrastive analysis study. Then Richards findings explained that contrastive analysis could not predict yet all of language errors. He said that L2 errors showed learner developmental process expressed special form of language that he is using. Selinker named it interlanguage, and Namser named it approximative system, and Corder named it idiosyncratic dialects. Research makes no different between performance and competence errors, although Corder (supported by Chomsky) distinguished them. The distinguish is important but as Dulay said that practically there is difficulty to establish characteristic and substantive of errors which one belongs to classified to performance and competence errors without depth and neat analysis . The more important is language errors are based on unacceptable and both of the performance and competence are interrelation. The learner performance expresses his competence. Primary data of this research are speaking skill of students of Ma’had ‘Âlî Hâsyim Asy‘arî Tebuireng which collected by listening method, by observing in classroom discussion and subject presentation in several religions and language subject. The data were processed by several steps, identifying based on errors morfology and syntax by comparing between learner language and Arabic standard language, making errors category according to kinds of structure, reconstructing learner language (sentence) in standard language, establishing kinds of errors and the frequencies, and finally data interpretating.
vii
viii
. .
.
interlanguage
approximative system
idiosyncratic dialects .
.
ix
TRANSLITERASI ARAB LATIN
A. Konsonan Arab
Latin
Arab
Latin
ء ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص
' b t ts j h kh d dz r z s sy sh
ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ـه ي
dh th zh ‘ gh f q k l m n w h y
B. Vokal panjang = اـَـâ = وـُـû = يـِـî C. Syaddah ( ّ ) Syaddah dilambangkan dengan konsonan ganda. D. Kata sandang
x
Kata sandang “ ” ـلاdialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti dengan huruf syamsiyyah maupun diikuti dengan huruf qamariyyah. Contoh:
سوردلا
ةعراضملا
: al-durûs
: al-mudlâra’ah
E. Ta' marbûthah Setiap ta' marbûthah ditulis dengan "h" jika kata tersebut berdiri sendiri, seperti "al-lughah". Hal yang sama juga berlaku jika ta' marbûthah diikuti oleh kata sifat, seperti "al-jumlah al-ismiyyah", dan pada ta' marbûthah pada dua kata yang bacaannya terpisah, seperti kata "al-lughah al-’arabiyyah ".
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Jenis-jenis Kesalahan Morfologi
hal. 54
Tabel 2
Jenis-jenis Kesalahan Isytiqâq pada Ism
hal. 63
Tabel 3
Jenis-jenis Kesalahan Isytiqâq pada fi‘l
hal. 70
Tabel 4
Jenis-jenis Kesalahan Sintaksis
hal. 110
Tabel 5
Jenis-jenis Kesalahan Ketidaksesuaian dalam Nau‘
hal. 115
xii
KATA PENGANTAR
ِِAlhamdulillâh, berkat rahmat dan hidayah Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul : KESALAHAN GRAMATIKA DALAM BERBAHASA TUTUR (Studi Kasus Mahasiswa Ma’had ‘Alî Hâsyim Asy’arî PP Tebuireng Jombang). Shalawat dan salam tetap terlimpahkan kepada teladan kita Muhammad SAW beserta umatnya. Karya ilmiah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Karena itu, dengan penuh ketulusan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Direktur SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para deputi direktur; Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA, Dr. Ujang Thalib, MA, juga Koordinator program khusus; Dr. Yusuf Rahman, MA. 3. Prof. Dr. Aziz Fachrurozi, MA, pembimbing dan juga penguji tesis yang senantiasa memberikan waktu kepada penulis dengan tulus untuk berkonsultasi, memberikan bimbingan serta arahan hingga penulisan tesis ini selesai. 4. Tim penguji tesis, Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. Moh. Matsna, HS, MA, dan Dr. Muhbib Abdul Wahab, MA, yang telah memberikan arahan dan koreksi demi kesempurnaan tesis ini. 5. Segenap civitas akademika SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, manajemen dan staf tata usaha, beserta unit perpustakaan. 6. Para dosen SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya
walikelas
Prof. Dr. HD Hidayat, MA, dengan segala keikhlasannya membimbing dan mengarahkan selama masa perkuliahan. xiii
7. Departemen Agama, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Mapenda yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk menyelesaikan program magister di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Kedua orang tua penulis tercinta, Ayahanda H. Abdullah (almaghfûr lah) dan Ibunda Hj. Chusnah yang telah mengorbankan segalanya, mendidik dan mendoakan untuk kebaikan hidup penulis, beserta segenap keluarga penulis. 9. Keluarga besar Pondok Pesantren Tebuireng, khususnya pengasuh, KH M. Yusuf Hasyim (almaghfûr lah) beserta KH. Ir. Shalahuddin Wahid. Juga keluarga besar M.A Salafiyyah Syafi’iyyah, Kepala Madrasah beserta teman-teman guru, tempat menimba pengalaman dan berkhidmat, yang telah memberikan izin dan do’a bagi penulis untuk melanjutkan studi ini. 10. Keluarga besar Civitas akademika Ma’had ’'Alî Hâsyim Asy’arî Pondok Pesantren Tebuireng, tempat penulis melakukan penelitian. 11. Manajemen dan pengelola unt-unit perpustakaan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Malang, yang memberikan keleluasaan dalam mengakses berbagai referensi untuk penulisan tesis ini. 12. Keluarga besar Nawal di Pesantren Tebuireng yang senantiasa menemani penulis tempat berbagi segala suka dan duka. 13. Sahabat-sahabat penulis di SPs UIN Jakarta yang tinggal bersama penulis selama dua tahun di Asrama Putra dan telah memberikan banyak bantuan dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari akan keterbatasan ilmu dan pengalamannya, karenanya kritik dan saran dari pihak manapun sangat diharapkan. Akhirnya, dengan senantiasa berharap ridha dan rahmat Allah SWT, penulis mempersembahkan karya ini kepada mereka pejuang pendidikan di pesantren dan madrasah. Semoga bermanfaat, dan berbarakah. Amin. Ciputat, 29 Agustus 2008. Penulis,
xiv
Ahmad Sholihuddin DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i SURAT PERNYATAAN ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING iii LEMBAR PERSETUJUAN TIM PENGUJI iv ABSTRAK v PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN viii DAFTAR TABEL ........................................................................................... x KATA PENGANTAR xi DAFTAR ISI xiii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 1
B. Permasalahan
BAB II
10
1. Identifikasi Masalah .
10
2. Pembatasan Masalah ..
11
3. Rumusan Masalah .
11
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
12
D. Tujuan Penelitian
14
E. Manfaat/ Signifikansi Penelitian
15
TEORI ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA TUTUR
17
A. Hakikat Kesalahan Berbahasa
18
B. Taksonomi Kesalahan Berbahasa
22
1. Taksonomi Linguistik .
22
2. Taksonomi Siasat Permukaan .
27
3. Taksonomi Komparatif .
32
4. Taksonomi Efek Komunikatif .
34
xv
C. Penyebab Kesalahan Berbahasa
36
D. Karakteristik Bahasa Tutur
40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
BAB IV
A.
Jenis dan Pendekatan
43
B.
Sumber Data, Populasi, dan Sampel
44
C.
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
48
D.
Teknik pengolahan dan analisa data
50
E.
Keterbatasan Penelitian
52
KESALAHAN MORFOLOGI
53
A. Klasifikasi Kesalahan Morfologi
54
B. Penyebab Kesalahan Morfologi
82
1. Frekuensi Kesalahan .
83
2. Faktor Penyebab Kesalahan .
85
C. Upaya Mengatasi Kesalahan Morfologi
BAB V
43
102
1.
Strategi Pembetulan Kesalahan
103
2.
Latihan Materi Kebahasaan
105
3.
Prioritas Materi Pengajaran
106
KESALAHAN SINTAKSIS
109
A. Klasifikasi Kesalahan Sintaksis
110
B. Penyebab Kesalahan Sintaksis
149
1. Frekuensi Kesalahan .
150
2. Faktor Penyebab Kesalahan .
152
C. Upaya Mengatasi Kesalahan Sintaksis
167
1. Strategi Pembetulan Kesalahan
168
2. Latihan Materi Kebahasaan
170
3. Prioritas Materi Pengajaran
172
xvi
BAB VI
PENUTUP
174
A. Kesimpulan
174
B. Saran
175
DAFTAR PUSTAKA
177
LAMPIRAN : I. Persentase Kesalahan II. Pengelompokan Kesalahan III. Sebaran Kurikulum IV. Jadwal Perkuliahan V. Data Mahasiswa VI. Transkrip Kesalahan VII. Surat Penelitian
xvii
18
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di antara isu pokok yang berkembang dalam pemerolehan dan pengajaran bahasa kedua (bahasa asing) adalah, pertama isu tentang peranan pengetahuan gramatika, yang mempunyai anggapan bahwa pengetahuan gramatika merupakan faktor utama dalam belajar bahasa kedua. Isu kedua, terkait dengan anggapan bahwa balikan (feedback hasil koreksi) yang diberikan oleh guru, atau pihak lain yang berkompeten terhadap kesalahan gramatika yang dilakukan oleh pembelajar akan sangat membantu mereka menguasai bahasa target (yakni bahasa asing, baik sebagai bahasa keduanya atau ketiga. Untuk selanjutnya, penulis menggunakan istilah bahasa kedua, yang dalam hal ini adalah bahasa Arab). Pandangan pertama berpendapat bahwa dengan menguasai kaidah-kaidah / gramatika bahasa kedua, pembelajar bahasa akan dengan sendirinya menguasai kemampuan berkomunikasi dalam bahasa tersebut. Dengan demikian pemahaman ini menyiratkan bahwa kemampuan berkomunikasi sebanding dengan perkembangan penguasaan gramatika bahasa si pembelajar. Penelitian Widiatmoko menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara gugus variabel kompetensi gramatika dan gugus variabel keterampilan berbicara. Sebagai konsekuensi dari pemahaman ini maka pembelajaran bahasa Arab diarahkan kepada pemahaman terhadap kaidah-kaidah gramatikal bahasa. Model pembelajaran yang seperti ini dengan mudah kita dapati di banyak lembaga pendidikan di Indonesia mulai tingkat dasar hingga pendidikan tinggi. Survey Universitas al-Azhar Indonesia (2007) menjadi bukti kuat bahwa gramatika masih menjadi isu utama dalam pembelajaran bahasa Arab di Indonesia. Survey tersebut sekaligus membuktikan bahwa gramatika masih menjadi problema utama dalam pembelajaran bahasa Arab. Tercatat mayoritas siswa MA (57,1%) mendapatkan skor <5 untuk pemahaman gramatika. Kesimpulan lainnya, bahwa dalam
19
keterampilan membaca lagi-lagi aspek gramatika menduduki peringkat yang memprihatinkan, yakni peringkat keempat dengan nilai 5,29 dari lima aspek penilaian keterampilan membaca (aspek kosa kata, gramatika, fakta/definisi, terjemahan, dan simpulan). Pentingnya aspek gramatika dalam pengajaran bahasa Arab juga didukung oleh penelitian tersebut bahwa 67,5 % guru menjadikan kemampuan membaca sebagai tujuan utama dalam pengajaran bahasa Arab, dan hanya 20 % yang mengajarkan empat keterampilan sekaligus. Isu kedua, beranggapan bahwa balikan (koreksi) yang diberikan oleh guru buku atau pihak lain yang berkompeten terhadap kesalahan gramatika yang dilakukan oleh pembelajar sangat membantu mereka menguasai bahasa kedua. Pandangan ini beranggapan bahwa dengan memberikan koreksi pada pembelajar setiap kali mereka melakukan kesalahan akan membuat mereka segera menguasai bahasa target secara sempurna. Bahwa kesalahan yang dilakukan pembelajar sebenarnya merupakan hal yang wajar dan menunjukkan arah dan tingkat perkembangan. Karena itu kesalahan yang dilakukan sebenarnya dapat dijadikan sebagai refleksi bagi pengajaran bahasa kedua untuk dilakukan perbaikan-perbaikan dalam pengajaran. Lado dalam I Nyoman Sudiana menyatakan bahwa perbedaan bahasa pertama (bahasa pembelajar, baik bahasa ibu maupun bahasa nasionalnya) dan bahasa kedua merupakan sumber utama kesalahan dan kesulitan di dalam belajar bahasa kedua tersebut. Sinyalemen Lado ini kemudian menghasilkan hipotesis analisis kontrastif. Hipotesis analisis kontrastif lebih lanjut menyatakan bahwa seorang pembelajar bahasa asing seringkali melakukan "transfer" dari bahasa pertama ke bahasa kedua dalam bentuk penggunaan struktur bahasa untuk mengungkapkan gagasan dalam bahasa keduanya. Oleh Weinreich, transfer inilah yang disebutnya sebagai hal yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam berbahasa yang pada akhirnya menjadikan kesulitan dalam belajar bahasa kedua, inilah yang disebut dengan interferensi, penggunaan sistem B1 dalam berbahasa kedua sedangkan sistem tersebut tidak sama
20
dalam kedua bahasa antara B1 dan B2, dan kesalahannya disebut dengan kesalahan interferensi. Menurut Weinreich (dalam Aslinda, 2007) penyimpangan berupa interferensi adalah sebagai akibat adanya kontak bahasa pada diri seorang dwibahasawan. Kontak bahasa ini pada akhirnya menimbulkan saling pengaruh, yang manifestasinya –kebanyakan- terwujud didalam penerapan kaidah gramatika B1 di dalam penggunaan B2. Salah satu akibat negatif dari praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian seperti ini adalah terjadinya kekacauan pemakaian bahasa, sebagaimana yang disinyalir oleh Lado dan menjadi penghambat dalam belajar bahasa target. Kekurangsempurnaan B2 pembelajar mengakibatkan mereka mengambil dan menggunakan sistem B1nya yang tidak sama pada saat menggunakan B2nya sehingga menyebabkan pembelajar jatuh dalam kesalahan berbahasa. Selain kesalahan interferensi atau antarbahasa, Richards (dalam Oller, Jr dan Richards, 1973) menyebut ada dua jenis kesalahan lain dalam pemerolehan bahasa kedua, yakni kesalahan intralingual, dan developmental. Kesalahan intralingual dan developmental mencerminkan kompetensi pembelajaran pada tingkat tertentu dan menggambarkan ciri umum pemerolehan bahasa. Kesalahan intralingual seperti generalisasi yang salah, penggunaan aturan yang tidak lengkap, dan kegagalan mempelajari syarat-syarat penggunaan aturan. Kesalahan developmental merupakan gambaran usaha pembelajar dalam membangun hipotesa tentang bahasa kedua berdasarkan pengalamannya yang terbatas. Munculnya teori kesalahan intralingual tersebut merupakan tindaklanjut dari teori analisis kontrastif sebelumnya yang mendasarkan upaya mengatasi kesalahan berbahasa melalui pemerian perbedaan B1 dengan B2 pembelajar. Richards menawarkan pendekatan analisis non kontrastif bagi upaya penyelesaian terhadap kesalahan berbahasa. Hasil pemeriannya terhadap kesalahan berbahasa Inggris sebagai
21
B2 pada suatu pembelajaran bahasa, menyatakan bahwa terdapat kesalahan B2 pembelajar bukan disebabkan oleh B1nya, melainkan oleh kesalahan yang disebutnya sebagai kesalahan intralingual dan developmental. Kesalahan intralingual dan developmental berupa kesalahan yang mencerminkan ciri-ciri umum belajar kaidah, baik kesalahan dalam melakukan generalisasi yang berlebihan, penerapan kaidah yang tidak sempurna, maupun kegagalan pembelajar dalam mempelajari kondisi-kondisi menerapkan kaidah tersebut. Kesalahan ini terjadi karena kaidah-kaidah pada B2 tidak dimiliki oleh B1 sehingga penerapan kaidah B2 oleh pembelajar, kesalahannya sama dengan kesalahan pembelajar dalam penerapan kaidah B1nya. Dengan demikian kesalahan yang terjadi pada jenis ini sama dengan yang dibuat oleh anak-anak yang belajar B1 mereka. Januar (2006) dalam penelitiannya terhadap kemampuan menulis mahasiswa semester III dan V (yang kesemua sampelnya adalah lulusan MA) jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Sultan Thaha Jambi menyimpulkan, bahwa terdapat kesalahan morfologi sebesar 28,72 % dan kesalahan sintaksis sebesar 39,60 %. Kesalahan-kesalahan tersebut menurutnya disebabkan oleh faktor interlingual dan intralingual. Kesalahan interlingual adalah kesalahan akibat interferensi B1, dan kesalahan intralingual adalah kesalahan karena keterbatasan kompetensi kebahasaan B2 yang dimiliki pembelajar. Emzir, berdasarkan hasil penelitian kecilnya tentang kemampuan menulis bahasa Arab pada mahasiswa tahun III Program Studi Bahasa Arab Universitas Negeri Jakarta, menunjukkan bahwa wujud kesalahan karena interferensi bahasa Indonesia terhadap penggunaan bahasa Arab dalam keterampilan menulis memang ada, yang dapat diklasifikasikan menjadi interferensi fonologi dan sintaksis. Penelitian Tim Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah (2001) menyimpulkan bahwa dari sejumlah kesalahan insya' mahasiswa semester VI jurusan PBA dan jurusan terjemah yang ditemukan, sebagian besar terkait dengan gramatika,
22
yakni morfologi 25,2 % dan sintaksis 54,7 %. Penelitian-penelitian di atas (dan masih banyak lagi penelitian tentang kesalahan berbahasa) membuktikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi didominasi pada bidang gramatika. Sebagaimana hasil penelitian UAI tentang kemampuan membaca siswa MA yang menunjukkan masih lemahnya kemampuan gramatika mereka, juga pesan kuat standar isi mata pelajaran bahasa Arab untuk penguasaan gramatika, dan fungsi gramatika sebagai himpunan kaidah-kaidah dan penjelasan dari kompetensi, dimana ia memberikan gambaran pengetahuan kebahasaan yang analog antara penutur dengan pendengar, maka penulis berkeyakinan bahwa kesalahan-kesalahan yang timbul dapat diatasi melalui pemetaan kesalahan-kesalahan untuk kemudian dicarikan pemecahannya dan pada gilirannya dapat menjadi feedback dalam pembenahan materi pengajaran bahasa Arab. Di sisi lain, dewasa ini pengajaran bahasa Arab juga mulai banyak diarahkan untuk penguasaan keterampilan berbicara. Standar Isi mata pelajaran Bahasa Arab (2006) dan Model KTSP MA (2007), meskipun mengamanatkan penguatan keterampilan membaca dalam pengajaran Bahasa Arab, tetapi tidak meninggalkan untuk penguasaan tiga keterampilan lainnya, terutama berbicara. Trend penguasaan keterampilan berbicara ini juga dapat dilihat dari kebijakan Departemen Agama pada saat mendirikan Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) tahun 1987, yang penyelenggaraannya mensyaratkan adanya boarding school (asrama) bagi para siswanya untuk mendukung penguasaan keterampilan berbicara bahasa Arab dan Inggris. Program MAK ini menjadi primadona pada zamannya dengan banyak berdirinya MAK swasta yang penyelenggaraannya terintegrasi dengan pesantren-pesantren yang selama ini memang telah eksis dengan pendidikan model madrasah. Inilah model modernisasi pesantren yang selama ini dicap dengan pengajaran bahasa Arab tradisionalnya. Berdirinya MAK melengkapi pola pengajaran bahasa Arab di pesantren yang sebelumnya hanya sebatas untuk eksplorasi kitab
23
kuning, menjadi lebih modern melalui pengajaran bahasa Arab untuk berbicara / berkomunikasi aktif. Saat ini MAK telah diakuisisi oleh MA reguler dengan memasukkannya menjadikannya program keagamaan meski secara substansial perhatian bahasa asing tetaplah menjadi hal yang utama. Selain fenomena MAK, belakangan ini muncul pula istilah sekolah/madrasah bilingual. Dari namanya, sekolah ini jelas juga menggunakan bahasa kedua (asing) dalam proses belajar-mengajarnya. Demikian juga munculnya madrasah berstandar internasional, dan yang tak kalah gencarnya adalah pola pembelajaran Bahasa Arab intensif di kalangan mahasiswa perguruan tinggi Islam (STAIN, IAIN, UIN, STAIS, IAIS). Kesemuanya menambah deretan lembaga pengajaran bahasa Arab yang telah menggunakan keterampilan berbicara sebagai salah satu keterampilan bahasa yang harus dikuasai, seperti di beberapa pesantren modern, maupun pesantren tradisional yang melakukan inovasi dan modifikasi pembelajaran bahasa Arab. Berangkat dari kenyataan seperti di atas, penulis berkeyakinan kuat bahwa penelitian tentang keterampilan berbicara bahasa Arab yang terkait dengan kesalahan gramatika menjadi sangat diperlukan. Hasil penelitian yang didasarkan pada data jenis-jenis kesalahan akan menyimpulkan kepada sekumpulan bahan ajar yang terpilih secara akurat guna mengatasi kesalahan-kesalahan gramatika, sehingga kesulitan-kesulitan dalam belajar bahasa Arab yang terkait dengan keterampilan berbicara akan menjadi mudah dan pada akhirnya terselesaikan. Penelitian ini akan memberikan manfaat secara maksimal bagi kemajuan penguasaan bahasa Arab sebagai bahasa kedua, baik manfaat bagi pembelajar, guru pengajar, maupun lembaga penyelenggara pembelajaran bahasa Arab, terutama yang menjadikan keterampilan berbicara sebagai core dalam pembelajaran bahasa Arab. Demikian pula halnya yang terjadi pada Ma’had ’Âlî Hâsyim Asy’arî Tebuireng (MAHAT) Jombang. Sebagai lembaga pendidikan yang menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar perkuliahan, yang dengan demikian para mahasiswanya
24
diharuskan menguasai bahasa tersebut secara lisan maupun tulisan, maka penguasaan bahasa tersebut merupakan suatu keniscayaan. Mahasiswa MAHAT dituntut memiliki kemampuan berbahasa Arab baik dalam hal lisan maupun tulisan. Dalam hal lisan karena mereka senantiasa berdiskusi dan berdialog dengan dosen maupun sesama mahasiswa dengan menggunakan bahasa Arab. Dan dalam hal tulisan karena terkait dengan pembuatan makalah maupun tugas-tugas perkuliahan yang lainnya. Perkuliahan dalam bentuk ceramah, dialog, maupun diskusi merupakan penggunaan ragam bahasa lisan yang tergolong formal. Artinya, bahwa dalam kondisi seperti ini maka gramatikalisasi bahasa lisan menjadi penting untuk diperhatikan, dan tidak dapat disamakan dengan bahasa lisan yang cenderung non formal. Gramatika memiliki peran penting terkait dengan tingkat formalitas berbahasa. Di sisi lain, bahwa salah satu bidang kompetensi komunikatif adalah kompetensi gramatikal, yang mencakup pengetahuan mengenai kosa kata, kaidah-kaidah pembentukan kata dan kalimat, semantik linguistik, ucapan dan ejaan. Dengan demikian, perkuliahan di MAHAT yang menggunakan bahasa pengantar bahasa Arab memerlukan keterampilan berbicara dalam ragam formal yang memenuhi aspek kompetensi komunikatif, yang salah satu unsurnya adalah kompetensi gramatikal, meliputi aspek nahw dan sharf. Mahasiswa MAHAT dituntut menguasai kompetensi gramatikal ini dalam keterampilan berbicaranya. Kompetensi gramatikal yang terbukti memberikan sumbangan tidak kecil pada keterampilan berbicara, terutama pada bahasa lisan ragam formal, dapat dilihat ketepatan dan kebenaran penggunaannya. Ketepatan dan kebenaran penggunaannya ini dapat dijadikan sebagai bahan refleksi penguasaan keterampilan berbicara mereka. Untuk itulah maka penulis mengambil judul penulisan tesis sebagai berikut : " Kesalahan Gramatika Bahasa Arab dalam Berbahasa Tutur; Studi Kasus Mahasiswa Ma’had ’Âlî Hâsyim Asy’arî Pondok Pesantren Tebuireng Jombang"
25
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Crystal sebagaimana dikutip Ruru dan Ruru (1985) menyatakan bahwa analisis kesalahan adalah suatu teknik untuk melakukan serangkaian kegiatan secara prosedural yang berupa identifikasi, klasifikasi, dan interpretasi secara sistematis terhadap kesalahan-kesalahan pembelajar dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur berdasarkan linguistik. Obyek linguistik yang berupa bahasa menjadi obyek analisis kesalahan bahasa. Terkait dengan analisis kesalahan yang penekanannya lebih kepada B2 atau bahasa asing, maka yang menjadi obyek penelitian adalah B2 pembelajar yang sedang dipelajarinya. Dengan demikian obyek analisis kesalahan berbahasa terkait dengan fonologi, morfologi, sintaksis, maupun semantik. Karena itulah, dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang terkait dengan judul penelitian sebagaimana berikut : 1. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek fonologi. 2. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek morfologi. 3. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek sintaksis. 4. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek semantik. 5. Kesalahan berbahasa tutur dalam aspek kosa kata. 2. Pembatasan Masalah Terkait dengan keterbatasan-keterbatasan penulis, maka dalam penelitian ini perlu adanya pembatasan masalah. Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan maka penelitian ini dibatasi pada aspek-aspek gramatika apa saja yang di dalamnya terjadi kesalahan-kesalahan, yakni pada tataran sintaksis dan morfologi. Terkait dengan bahasa tutur maka penelitian ini difokuskan pada proses berbicara, baik berupa proses komunikasi di antara siswa maupun siswa dengan guru.
26
Termasuk pembatasan di sini adalah mahasiswa sebagai subyek penelitian dan waktu penelitian. Subyek penelitian adalah mahasiswa pada Ma’had ’Âlî Hâsyim Asy’arî PP Tebuireng Jombang, yang memiliki lingkungan berbahasa Arab dalam kesehariannya., sebuah lembaga pendidikan yang telah menerapkan lingkungan berbahasa bagi siswa-siswanya dalam kegiatan belajar-mengajarnya sehari-hari. Adapun waktu penelitian direncanakan pada rentang bulan Mei hingga Juni 2008. 3. Perumusan Masalah Dari pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : Dalam hal apa saja kesalahan gramatika pada bahasa tutur mahasiswa Ma’had ’Âlî Hâsyim Asy’arî PP Tebuireng Jombang, dan apa saja yang menjadi penyebab kesalahan-kesalahan tersebut ? C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Beberapa karya tulis yang telah ada terkait dengan penelitian ini antara lain : Interferensi Bahasa Indonesia dalam Bahasa Arab Tulis Mahasiswa, penelitian oleh Emzir. Penelitian pada tahun 2000 dilakukan terhadap hasil karangan mahasiswa tahun III Program Studi Bahasa Arab Universitas Negeri Jakarta. Emzir mengambil secara acak 10 hasil pekerjaan tes mengarang / insyâ' mahasiswa pada saat mengikuti Ujian Tengah Semester. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa kesalahan interferensi terjadi pada tataran fonologi dan sintaksis. Pada tataran fonologi interferensi terjadi pada (1) penghilangan vokal panjang huruf alif dan ya' ; (2) penggantian fonem / ح/dengan / ـه/ , / ص/ dengan / س/ , dan / ش/ dengan / س/ . Pada tataran sintaksis, interferensi meliputi : (1) penggantian kata tugas dengan kata tugas yang lain ; (2) penghilangan kata tugas; (3) penambahan kata tugas ; (4) tidak terdapat kesesuaian kata dengan kedudukan kalimatnya ; (5) tidak adanya persesuaian antara kata kerja dengan subyeknya ; (6) tidak ada persesuaian antara kata sifat dengan yang disifatinya
27
; (7) penghilangan kata ganti yang mengacu pada kata sebelumnya ; dan (8). urutan kata dalam kalimat. Hasil penelitian tidak menyebutkan jumlah prosentasi kesalahan akibat interferensi tersebut, dan penelitian ini memang memfokuskan pada jenis kesalahan interlingual / interferensi. Kesalahan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi dalam Pembelajaran Insya', Tesis, tahun 2006, ditulis oleh Januar, mahasiswa PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penelitian dilakukan tanpa melihat faktor interferensi akan tetapi lebih fokus kepada semua jenis kesalahan mahasiswa semester III dan V jurusan PBA Fakultas Tarbiyah, berdasarkan tes mengarang bebas / insyâ' hur yang dibuat oleh peneliti. Penelitiannya menyimpulkan bahwa (1) kesalahan paling dominan ada pada aspek sintaksis, kemudian morfologi, kosa kata, dan penulisan kata ; (2) faktor yang menyebabkan terjadinya kesalahan adalah, pada kategori umum, terjadi kesalahan karena proses interlingual (interferensi), dan performansi. Sedangkan pada bagian khusus, terjadi kesalahan karena faktor intrabahasa atau keterbatasan kompetensi kebahasaan yang dimiliki oleh mahasiswa. Di sini sudah terdapat penggolongan / klasifikasi jenis kesalahan ke arah interlingual dan intralingual. Tim Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) meneliti kesalahan redaksional mahasiswa tingkat V dan VI program persiapan (i'dady) tahun 1984-1985. Penelitian ini menemukan bahwa kesalahan berbahasa Arab pada umumnya terjadi karena ketidaksesuaian (tathâbuq) dalam mudzakkar-muannats, i'râb, 'adad-ma'dûd, nakirah-makrifah, mubtada'-khabar, penggunaan fi'il muta'addî dan lâzim, isytiqâq, dan dzarf zamân. Penelitian ini lebih mendasarkan pada analisis kontrastif dengan melihat kepada kecenderungan munculnya kesalahan berbahasa Arab yang dilakukan oleh para mahasiswa tersebut. Tim Peneliti Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah (2001) meneliti hasil kerja mahasiswa semester VI jurusan PBA dan jurusan terjemah. Penelitian
28
menyimpulkan bahwa kesalahan yang ditemukan, meliputi aspek morfologi sebanyak 25,2 %, sintaksis 54,7 %, semantik 9,2 %, dan kesalahan penulisan sebanyak 10,9 %, dari 349 jumlah total kesalahan. Kesalahan terbanyak pada aspek morfologi terdapat dalam isytiqâq, pada aspek sintaksis terdapat dalam tarkîb washfî dan idhâfî. Interferensi (pengaruh bahasa asal) dinyatakan sebagai penyebab yang paling menonjol terjadinya kesalahan-kesalahan tersebut. Abdul Muin, meneliti tentang interferensi gramatikal antara bahasa Arab dengan bahasa Indonesia. Data penelitian berupa tes tertulis terhadap mahasiswa semester VI Program Pendidikan Bahasa Arab UPI Bandung. Tes yang dilakukan berupa kemampuan dalam lingkup kalimat (jumlah) dan unsur bawahannya berupa kata dan frasa sebagai pembentuk kalimat dan pengisi subyek, predikat, dan obyek. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kesalahan mahasiswa sebesar 63,72 % pada aspek sintaksis, 33,79 % pada aspek morfologi, dan 2,49 % pada aspek penulisan. Kesalahan pada aspek sintaksis terbanyak pada jenis persesuaian ’adad antara khabar dan mubtada’, dan pada aspek morfologi kesalahan terbanyak pada jenis ta’yîn. Dari beberapa hasil penelitian yang didapatkan oleh penulis di atas, seluruhnya menggunakan data tertulis sebagai data primer penelitiannya. Hingga sejauh ini penulis belum menemukan yang secara spesifik mendasarkan data penelitiannya pada bahasa tutur. Karakteristik bahasa tutur yang memiliki perbedaan dibandingkan bahasa tulis tetap dapat dijadikan bahan penelitian terkait dengan bidang gramatikanya, pada aspek morfologi dan sintaksis. Hal ini karena pada penerapannya, bahasa tutur juga memiliki kesamaan dengan bahasa tulis seperti kesamaan berdasarkan atas sistem bunyi, gramatika, dan mufradat. Penulis memiliki dugaan bahwa data penelitian tersebut di atas yang diambil berdasarkan hasil bahasa tulis tentu akan memiliki implikasi berbeda apabila diterapkan dalam bahasa tutur. Untuk itulah penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang akan dilakukan memiliki sisi perbedaan yang signifikan dengan penelitian-penelitian yang
29
telah ada sebelumnya. Pada akhirnya akan didapatkan peta kesalahan gramatika dalam bahasa tutur sehingga dapat menghindarkan pembelajar bahasa Arab jatuh pada kesalahan berbahasa saat bertutur. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini ingin mengungkap kesalahan-kesalahan dalam hal apa saja yang terkait dengan aspek nahw dan sharf dalam berbahasa tutur. Dengan demikian akan diketahui juga, bahwa dalam bahasa lisanpun diperlukan penguasaan gramatika bahasa Arab, karena selama ini kebanyakan penelitian menggunakan data tertulis (keterampilan menulis) sebagai obyek penelitiannya. Penelitian ini sekaligus juga ingin membuktikan bahwa kesalahan gramatika sebenarnya dapat diatasi melalui pembenahan materi ajar yang didesain berdasarkan munculnya frekuensi kesalahan, khususnya dalam bertutur. Untuk mengarah ke sana maka hal yang dilakukan terlebih dahulu adalah mengelaborasi kesalahan-kesalahan dalam berbahasa tutur untuk kemudian membuat peta kesalahan gramatika sebagai pijakan menyimpulkan sekumpulan materi yang penting untuk diperhatikan pada saat mengajar bahasa Arab. Hasil ini merupakan umpan balik/feedback dalam pengajaran bahasa Arab khususnya keterampilan berbicara, yakni menghasilkan sekumpulan materi pengajaran yang memberikan fokus pada materi gramatika tertentu yang banyak memberikan kontribusi kesalahan pada saat pembelajar bertutur. E. Signifikansi Penelitian Suatu kenyataan bahwa distorsi yang dibuat oleh pembelajar berhubungan erat dengan perbedaan-perbedaan diantara dua bahasa (B1 dan B2) pada diri pembelajar. Brown (1980) dalam Pateda, mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan memperbaharui kesalahan pembelajar bahasa, maka hal ini dapat dilakukan melalui tiga cara : (1) mengoreksi kesalahan di kelas, (2) menjelaskan bentuk gramatikal yang baik,
30
dan (3) membuat pola terhadap bahan ajar yang dikaitkan dengan kurikulum. Baradja menegaskan bahwa dengan pendekatan analisis kesalahan diharapkan kesalahan pembelajar dalam berB2 dapat diselesaikan, yang kemudian hasilnya dapat dibuat hierarki kesulitan untuk dapat dipergunakan sebagai salah satu bagian dari bahan ajar. Uraian di atas meneguhkan akan nilai signifikansi hasil penelitian ini. Para praktisi bilingualisme yang menjadikan bahasa Arab sebagai B2 pembelajar secara aktif dalam fungsi komunikasi/berbicara dapat memanfaatkannya sebagai bahan ajar. Upaya penciptaan lingkungan berbahasa yang saat ini sedang menggejala di berbagai level pendidikan baik pada tingkat dasar, menengah maupun pendidikan tinggi, akan dapat terwujud secara benar dalam tataran gramatikal melalui pemanfaatan hasil analisa kesalahan pembelajar bahasa Arab di Indonesia. Dengan demikian isu kesalahan dan kesulitan belajar bahasa Arab dalam ujaran untuk aspek gramatika dapat direduksi bahkan diatasi dengan maksimal. Sesuai dengan hasil penelitian yang diuraikan di muka, terkait dengan urgensi gramatika dalam belajar bahasa dan juga sumbangan kompetensi gramatika terhadap keterampilan berbicara, maka hasil penelitian yang berangkat dari dua aspek gramatika yakni morfologi dan sintaksis yang berbasiskan data kesalahan pembelajar B2 diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pembelajar akan materi gramatika yang digunakan dan dipakai dalam konteks senyatanya pada kehidupan keseharian. Dengan berbasiskan data keterampilan berbicara maka diharapkan menghasilkan gambaran bentuk-bentuk dan pola ujaran yang biasa dipakai dalam berkomunikasi yang memang menjadi salah satu tujuan belajar bahasa.
BAB II TEORI ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA TUTUR Kesalahan berbahasa merupakan suatu hal yang wajar terjadi pada seseorang yang sedang dalam proses belajar bahasa asing, sebagai bahasa kedua atau ketiganya. Timbulnya kesalahan ini dapat dimengerti berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada antara bahasa yang telah dimiliki oleh pembelajar dengan bahasa asing yang sedang dipelajari. Perbedaan-perbedaan ini pada awalnya menimbulkan studi analisis kontrastif yang mengelaborasi perbedaan dan persamaan bahasa sumber (bahasa yang telah dikuasai pembelajar) dan bahasa target (bahasa asing yang sedang dipelajari), untuk menghindarkan dari munculnya kesalahan berbahasa. Akan tetapi orientasi pembelajaran bahasa target kemudian bergeser ke arah studi analisis kesalahan berbahasa. Pada akhirnya analisis kesalahan akan menghasilkan pemerian bahan ajar yang dipilih dan ditata sedemikian rupa sehingga menghindarkan siswa melakukan kesalahan-kesalahan dalam aktivitas berbahasanya, baik melalui media tulisan maupun lisan. Analisis kesalahan membantu pengajar guna memudahkan pembelajar menguasai bahasa asing melalui pemilihan dan penekanan pada materi-materi ajar tertentu yang dianggap banyak menimbulkan kesulitan sehingga mengakibatkan kesalahan dalam berbahasa. A. Hakikat Kesalahan Berbahasa Dalam studi penguasaan bahasa asing dikenal istilah kompetensi dan performansi. Demikian juga dalam analisis kesalahan berbahasa dikenal kesalahan performansi dan kompetensi. Perbedaan keduanya merupakan konsekuensi dari adanya berbagai macam istilah yang merujuk pada kesalahan yang ditimbulkan oleh pembelajar bahasa asing. Kesalahan-kesalahan tersebut terjadi pada saat pembelajar sedang dalam proses penguasaan bahasa target yang sedang dipembelajarinya. Berbagai macam
48
kesalahan yang dimaksud adalah lapses, error, dan mistake. Ketiga istilah tersebut diperkenalkan oleh Piet S Corder. Lapses, merupakan kesalahan akibat salah pengucapan, sehingga disebut juga dengan slip of tongue. Dalam hal ini pembelajar melakukan pengucapan yang salah akan tetapi dia sebenarnya telah mengetahui sehingga dapat membetulkannya segera setelah menyadari kesalahannya tersebut. Dengan demikian lapses merupakan keliru pengucapan, keliru menerapkan kaidah, salah susun, atau kekurang cermatan menentukan pilihan kata yang lebih sesuai. Error, merupakan kesalahan berbahasa yang dilakukan pembelajar terkait dengan pelanggaran aturan tata bahasa. Kesalahan ini lebih mengarah kepada kekurangsempurnaan pengetahuan pembelajar tentang aturan tata bahasa. Dalam kondisi seperti ini, maka pembelajar berusaha untuk membangun pengetahuannya sebatas apa yang telah diketahuinya. Dari sinilah muncul kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan, karena pembelajar berkreasi dalam berbahasa berdasarkan atas tingkat pengetahuannya. Kreasi ini berupa gramatika yang khas, Corder menyebutnye idiosinkratik atau kompetensi transisional, atau interlanguage oleh Slinker. Sedangkan mistake, mengarah kepada kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar bahasa asing karena salah pengungkapan, baik dalam hal aturan tata bahasa maupun pilihan kata. Namun kesalahan ini dibangun di atas kesempurnaan pengetahuan bahasa sasaran yang sedang dipembelajari, bukan karena kekurangsempurnaan pengetahuan bahasa. Kesalahan yang terjadi lebih diakibatkan oleh faktor luar seperti keterbatasan ingatan, kelelahan, dan yang semacamnya, dan dapat segera dibetulkan oleh pembelajar, namun ada juga yang tidak dapat segera dibetulkan. Dalam hal ini sebenarnya lebih tepat diistilahkan dengan lapses, Batasan pengetahuan yang dimiliki pembelajar inilah yang membedakan kesalahan kompetensi dan performansi. Kesalahan kompetensi mengarah kepada kesalahan karena kurangsempurnanya pengetahuan pembelajar, yang pada akhirnya
49
akan menggunakan bahasa khasnya (bahasantara atau interlanguage). Kesalahan kompetensi terkait dengan penguasaan B2 yang minim. Kesalahan ini bersifat sistematik dan merupakan cermin tingkat penguasaan pembelajar terhadap kaidah B2 yang dipembelajarinya. Pembelajar berada pada masa transisional perkembangan kaidah gramatikal dan dalam usaha penguasaan B2nya secara menyeluruh. Sedangkan kesalahan performansi terkait dengan penampilan dalam pemakaian bahasa sehari-hari, dan tidak berhubungan dengan tingkat kemampuan bahasa. Pembelajar sebenarnya telah memiliki sejumlah kemampuan kaidah-kaidah bahasa yang mencukupi, akan tetapi dalam penampilan berbahasanya melakukan kesalahan yang sebenarnya dia mengetahui kesalahan yang dilakukannya. Hal ini berbeda dengan kesalahan kompetensi. Termasuk dalam kelompok kesalahan performansi ini adalah lapses dan mistake. Dalam bahasa Arab dikenal kata "ghalath" dan "khatha'", keduanya merujuk kepada arti kesalahan, namun memiliki perbedaan. Kata "ghalath" lebih mengarah kepada suatu kesalahan performansi/"adâ'" , penampilan berbahasa. Sedangkan "khatha'" lebih mengarah kepada kesalahan kompetensi, keterbatasan kaidah-kaidah bahasa yang dikuasai oleh pembelajar. Dengan demikian "ghalath" lebih condong ke mistake, dan "khatha'" mengarah ke error. Pateda, memberikan istilah, mistake dengan error, dalam bahasa Indonesia dengan term kekeliruan dan kesalahan. Dalam konteks yang terakhir inilah seharusnya penelitian tentang analisis kesalahan dilaksanakan, karena akan dapat diketahui seberapa banyak kesalahan terjadi terkait dengan kompetensi pembelajar B2. Kesalahan yang terkait dengan performansi sebenarnya juga dapat dihilangkan karena hal itu terkait dengan faktor non linguistik. Namun demikian, sebagaimana Dulay bahwa meskipun melakukan pembedaan antara kesalahan kompetensi dan performansi merupakan hal penting, akan tetapi sering kali terjadi kesukaran untuk menentukan sifat atau substansi suatu kesalahan tanpa mengadakan analisis secara cermat dan mendalam. Karena itulah maka untuk
50
memberikan kemudahan acuan pada penyimpangan-penyimpangan yang belum terklasifikasikan sebagai kesalahan kompetensi atau performansi, maka penelitian ini tidak membatasi istilah kesalahan dalam batasan kompetensi saja, akan tetapi berlaku untuk setiap penyimpangan dari norma baku bahasa Arab. Berangkat dari kategori kesalahan jenis error inilah diharapkan dapat dihasilkan pemerian data kesalahan yang dikumpulkan dari bahasa tutur. Sebagaimana dimaksudkan dalam pengajaran bahasa asing, bahwa upaya menghindarkan kesulitan dan kesalahan pembelajar merupakan hal yang utama. Kajian ini berorientasi dan membahas kesalahan-kesalahan pembelajar, dan menjadi feedback bagi pengajaran B2 di masa berikutnya, sehingga kesalahan tidak terulang. Dengan demikian, analisis kesalahan adalah suatu upaya identifikasi, klasifikasi, dan interpretasi kesalahan-kesalahan pembelajar B2 dengan menggunakan teori-teori dan prosedur linguistik. Analisis kesalahan berangkat dari deskripsi kesalahan-kesalahan pembelajar. Deskripsi tersebut menghasilkan peta kesalahan berbahasa dalam berbagai kategori. Berdasarkan kategori yang dihasilkan, analisis kesalahan kemudian membuat kesimpulan yang terkait dengan penyebab kesalahan dan materi bahan ajar yang perlu pendalaman. B.
Taksonomi Kesalahan Berbahasa Dalam subbab ini, diuraikan pembagian kesalahan berdasarkan
macam-macam taksonomi yang dibuat oleh Dulay, Burt, dan Krashen. Dulay membagi taksonomi kesalahan menjadi empat macam, yaitu taksonomi kategori linguistik, kategori strategi lahir atau siasat permukaan, kategori komparatif, dan kategori efek komunikasi. Di antara empat kategori tersebut, analisis kesalahan lebih didasarkan pada taksonomi linguistik, berdasarkan komponen-komponen bahasa, untuk kemudian dikelompokkan juga berdasarkan taksonomi lainnya. 1. Taksonomi Linguistik
51
Aspek linguistik merupakan klasifikasi kesalahan-kesalahan berbahasa berdasarkan komponen linguistik, seperti fonologi, gramatika (sintaksis dan morfologi), semantik dan leksikal, dan wacana. Komponen-komponen linguistik tersebut merupakan cakupan elemen-elemen yang mengandung setiap komponen bahasa. Dengan demikian dalam komponen sintaksis misalnya, kesalahan dapat lebih ditelusuri lagi apakah pada klausa utama ataukah klausa bawahan. Dari sini dapat dirinci lagi, konstituen manakah dalam klausa yang dipengaruhi, apakah frasa verba, nomina, preposisi, adverbia, adjektifa, dan lain sebagainya. Pengklasifikasian kesalahan berbahasa berdasarkan taksonomi linguistik ini memberikan manfaat kebutuhan praktis pengajaran bahasa asing, berupa kemudahan penyusunan kurikulum pengajaran bahasa yang terejawantahkan dalam sekumpulan materi bahan ajar, buku pembelajaran, maupun buku kerja yang berisi latihan-latihan. Bahan ajar, buku pembelajaran, maupun latihan-latihan disusun berdasarkan skala prioritas materi yang harus dipembelajari untuk menghindari terjadinya kesalahan yang berulang-ulang. Para pengembang kurikulum dapat menjadikan hasil analisis kesalahan sebagai umpan balik materi pengajaran yang tepat dan cepat untuk penguasaan bahasa asing secara maksimal dan terhindar dari kesulitan yang bisa saja disebabkan oleh urutan penyajian materi yang tidak sistematis dan terukur. Analisis kesalahan berdasarkan aspek linguistik ini juga berguna bagi para peneliti sebagai sarana laporan yang mengorganisasi kesalahan-kesalahan yang telah dikumpulkan. Kesalahan-kesalahan yang telah dikelompokkan dapat digunakan sebagai data awal untuk masuk kepada kajian linguistik lebih lanjut. Juga, akan menjadi penuntun bagi penelitian lebih lanjut seperti akses masuk kepada unsur-unsur komponen linguistik yang lebih kecil, dari kalimat, ke frasa, hingga kata. Bagi guru dan siswa, taksonomi ini sangat membantu mereka dalam merefleksi diri terhadap capaian aspek-aspek bahasa tertentu dalam kelas mereka. Mereka dapat dengan segera mengukur kemampuan gramatikanya dengan
52
menggunakan hasil analisis kesalahan. Kesalahan-kesalahan dalam kategori apa saja di kelompok fonologi, sintaksis, morfologi, semantik dan leksikon, serta wacana. Dalam penelitian ini, hanya dua aspek linguistik saja yang menjadi fokus analisis data, sesuai dengan maksud pembahasan yang merujuk kepada sisi gramatika, yakni sisi morfologi dan sintaksis. Gramatika dijadikan sebagai fokus utama dan satu-satunya standar klasifikasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian. Dengan demikian uraian yang terkait dengan kesalahan-kesalahan dalam bidang morfologi dan sintaksis menjadi pokok bahasan dan salah satu bagian analisis yang mendalam. 1.1 Kesalahan Morfologis Secara umum, diketahui bahwa subsistem bahasa meliputi fonetik, fonologi, morfologi, dan sintaksis. Morfologi, merupakan subsistem bahasa yang pembahasannya terpusat kepada kata per kata, dan bukan keterkaitan antara kata yang satu dengan kata yang berikutnya. Kesalahan morfologis mendasarkan analisis kesalahan berdasarkan kajian morfologi. Dengan demikian obyek kajian kesalahan morfologis adalah kata itu sendiri yang berdiri sendiri, dan kemudian dianalisis unsur-unsur pembentukannya. Kata ”muslimûna” merupakan gabungan dari ”muslim” dan wau-nun. Demikian juga kata ”inkasara” merupakan gabungan ”kasara”dan alif-nun. Penekanan dalam hal ini adalah morfologi sebagai suatu proses, yaitu cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lainnya. Untuk melihat kesalahan morfologis suatu kata dapat ditempuh dengan cara membandingkan berbagai proses morfologis yang ada di suatu kata seperti afiksasi, reduplikasi, modifikasi intern, komposisi, dan juga klitisasi. Dalam Bahasa Arab, pembentukan kata ada dua, inflektif dan derivatif. Yang pertama berupa perubahan bentuk yang tidak merubah makna dasarnya, dengan menambahkan morfem terikat pada morfem bebas. Morfem terikat ada yang berupa infleksi dan derivasi. Infleksi ini dapat ditandai dengan hurûf dan dapat ditandai
53
dengan harakah. Sebagai contoh adalah perubahan “muslim” menjadi “muslimâni” atau “muslimûna” .Yang kedua, derifatif, berupa tambahan, yakni perubahan yang seperti yang terdapat pada verba (fi‘l), seperti perubahan “jalasa” menjadi “jâlasa” ; “qatala” menjadi “taqâtala”, dan lain sebagainya. Atau perubahan kata dengan berbagai variasinya, seperti “jalasa” menjadi “majlis”, “jâlis”; “kataba” menjadi “maktûb”, “kâtib”, “maktab”, “kuttâb”, dan lain sebagainya. 1.2 Kesalahan Sintaksis Sintaksis, dalam banyak pengertian dipahami sebagai kajian hubungan antar kata dalam suatu konstruksi. Sintaksis adalah tata bahasa yang mengkaji struktur frasa dan kalimat, karena kata tunggal yang berdiri sendiri tidak dapat dikaji secara sintaksis. Konstruksi kata-kata yang membentuk frasa, atau kalimat menjadi kajian sintaksis. Dengan demikian sintaksis merupakan subsistem bahasa/linguistik yang mencermati hubungan kata dengan kata baik dalam susunan yang luas seperti kalimat, maupun yang lebih kecil seperti frasa. Susunan ”Abî 'Abdullah yushallî fî al-masjid”, secara sintaksis dapat dikaji hubungan kata demi katanya, antara kata ”abî dengan ”'abdullah”, kata ”yushallî” dengan sebelumnya, dan demikian juga frasa ”fî al-masjid”. Terkait dengan sintaksis ini, dalam bahasa Arab dikenal juga susunan frasa, klausa, dan kalimat. Berdasarkan teori-teori pembahasan frasa, klausa, dan kalimat, maka dilakukan analasis kesalahan terhadap data-data ketrampilan berbicara. Kesalahan-kesalahan dalam aspek sintaksis akan dianalisis dengan beberapa model konstruksi atau susunan dalam bahasa Arab. Berkaitan dengan struktur kalimat dalam bahasa Arab, dikenal adanya beberapa macam konstruksi yang merupakan satuan-satuan pengisi struktur kalimat. Ada enam macam susunan (tarkîb), yaitu: a. Tarkîb isnâdî, yaitu struktur sintaksis yang terdiri dari musnad dan musnad ilaih, atau disebut juga dengan jumlah yang dalam bahasa Arab dikenal ada 2 macam yakni fi‘liyyah dan ismiyyah. Jumlah ismiyyah adalah suatu struktur yang mengandung pola mubtada’ dan khabar atau yang asalnya merupakan mubtada’
54
dan khabar. Sedangkan yang dimaksud dengan jumlah fi‘liyyah adalah susunan kalimat yang mengandung pola fi‘l dan fâ ‘il atau fi‘l dengan nâib al-fâ ‘il. b. Tarkîb idhâfî, yaitu susunan kata yang terdiri dari mudhâf dan mudhâf ilaih. c. Tarkîb bayânî, yaitu susunan dua kata yang keduanya berperan menjelaskan kata yang pertama. Susunan ini terbagi atas 3 macam, yaitu : ·
Tarkîb washfî, yaitu susunan terdiri dari kata sifat dan benda yang disifati.
·
Tarkîb taukîdî, yaitu susunan yang terdiri dari muakkid dan muakkad.
·
Tarkîb badalî, yaitu susunan kata yang terdiri dari badal dan mubdal minhu.
d. Tarkîb ‘athfî, yaitu susunan yang terdiri dari ma‘tûf dan ma‘thûf alaih, di antara kedua kata tersebut terdapat hurûf ‘athaf yang menyambung keduanya. e. Tarkîb mazjî, yaitu dua kata yang dijadikan satu, membentuk kesatuan kata. f. Tarkîb ‘adadî, yaitu susunan ‘adad (bilangan) dan ma‘dûd (benda yang dihitung). 2 Taksonomi Siasat Permukaan Taksonomi jenis ini merupakan sisi pandang analisis kesalahan dari prespektif perubahan-perubahan yang nampak pada struktur luar bahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah cara-cara yang terjadi dan digunakan pembelajar. Cara-cara tersebut dapat berupa penghilangan (omission), penambahan (addition), salah formasi (misformation), dan salah susun (misordering). Yang dimaksud dengan penghilangan adalah apabila terdapat ketiadaan suatu butir yang seharusnya ada dalam sebuah ucapan. Tarigan memberikan contoh, bahwa dapat dipahami apabila setiap morfem atau kata dalam suatu kalimat memiliki potensi untuk penghilangan. Akan tetapi, terdapat beberapa morfem yang justeru lebih sering dihilangkan daripada yang lainnya. Menurutnya beberapa morfem penuh seperti nomina, ajektifa, dan adverbia merupakan pendukung makna referensial dalam sebuah kalimat. Dalam praktiknya, seringkali pembelajar menghilangkan unsur morfem gramatikal, kata tugas, dibandingkan morfem penuh.
55
Morfem gramatikal yang dimaksud adalah seperti preposisi, konjungsi, dan artikel. Penghilangan ini menjadi lebih sering terjadi pada bahasa percakapan dibandingkan dengan bahasa tulis. Sebagaimana telah menjadi ciri bahasa percakapan atau tutur, bahwa penutur memiliki kencederungan untuk berbicara yang pendek-pendek, simpel, dan dengan struktur yang tidak kompleks. Maka dalam keadaan seperti inilah sering kali dijumpai penghilangan butiran yang seharusnya ada dan disebutkan oleh penutur. Penghilangan morfem gramatikal ini memang sering kali tidak memberikan pengaruh dalam pemaknaan, namun demikian hal ini akan dapat mengganggu harmonisasi kalimat apabila dipraktikkan dalam bahasa tulis. Kesalahan berbahasa yang berwujud penghilangan ini sering kali terjadi pada masa awal tahap pemerolehan B2. Penghilangan ini umumnya terjadi karena kurangnya kosa kata, terbatasnya perbendaharaan kata, dan para pembelajar kebanyakan menyatakan kesadarannya atas unsur-unsur yang hilang tersebut. Dalam keadaan yang demikian, beberapa pembelajar berinisiatif menggunakan gerak-gerik, isyarat untuk menjelaskan makna yang diinginkan. Contoh kongkrit penghilangan adalah pada sejumlah latihan pemahaman bacaan yang menggunakan pertanyaan WH question. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat berupa jawaban yang lengkap dan panjang dengan pengulangan pertanyaannya. Namun dapat juga jawaban pertanyaan berupa kalimat yang langsung merujuk pada jawaban yang dimaksudkan oleh pertanyaan, tanpa mengulangi redaksional kalimat pertanyaan. Adapun penambahan, hal ini merupakan kebalikan dari penghilangan di atas. Kesalahan berupa penambahan ini berwujud pada munculnya suatu butir yang seharusnya tidak ada dalam sebuah ucapan yang semestinya. Kesalahan berupa penambahan ini dapat dikatakan sebagai akibat dari pemakaian kaidah-kaidah bahasa yang terlalu teliti, ataupun pemakainya terlalu hati-hati, meski sebenarnya kehati-hatian itu malah menyebabkan penambahan butiran-butiran yang seharusnya tidak diperlukan
56
kehadirannya. Kesalahan penambahan ini banyak dilakukan oleh pembelajar B2 yang telah banyak menerima kaidah-kaidah bahasa. Dugaan bahwa kesalahan-kesalahan yang ada pada jenis penambahan ini terjadi pada pembelajar B2 yang telah banyak menerima kaidah bahasa, dapat dilihat dari tipe-tipe kesalahan yang ada. Tarigan, dengan mengutip pendapat para pakar, menyatakan bahwa dalam kesalahan penambahan ini terdapat tiga tipe kesalahan pada ujaran pembelajar, baik B1 maupun B2. Tiga tipe kesalahan penambahan itu adalah penandagandaan (double markings), regularisasi (regularizations), dan penambahan sederhana (simple additions). Penandaan ganda adalah penambahan yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai kegagalan menghilangkan beberapa unsur, yang dalam sebuah konstruksi linguistik diperlukan namun tidak perlu dihilangkan pada konstruksi lain, seperti menambahkan kata penanda jamak pada kata yang sudah menunjukkan jamak. Beberapa contoh berikut menunjukkan kesalahan penandaan ganda, yakni : beberapa anak-anak, banyak mobil-mobil, para bapak-bapak, yang semestinya cukup diringkas menjadi : beberapa anak, banyak mobil, dan para bapak. Kedua, regularisasi, berupa upaya pembelajar menerapkan aturan-aturan tertentu yang sebenarnya menjadi sebuah ketentuan umum, akan tetapi pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Ketika sebuah aturan berlaku untuk hampir semua konstruksi linguistik, maka hal ini menjadi sebuah gejala regular yang bersifat umum. Dalam bahasa yang ringkas dapat dikatakan bahwa terdapat pengecualian untuk aturan-aturan yang sudah baku. Dalam posisi seperti ini, pembelajar terkadang terjebak untuk mengikuti aturan regular ini sehingga menimbulkan kesalahan. Contoh dari regularisasi ini seperti pembentukan verba kala lampau menggunakan akhiran "ed" untuk beberapa kata yang ternyata malah salah kalau dibuat demikian, antara lain comed, eated, runned, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Arab ditemui misalnya jamak kata "thâlib" bukanlah "thâlibûna", akan tetapi "thullâb".
57
Ketiga, penambahan sederhana, salah satu sub kategori kesalahan kenis penambahan. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai penampungan terhadap jenis kesalahan-kesalahan yang tidak dimasukkan dalam kelompok penandaan ganda maupun regularisasi. Maka dalam hal ini tidaklah dapat dikemukakan ciri-ciri khusus sebagai penanda kelompok kesalahan ini, selain ciri secara umum yang berupa penyimpangan atas penggunaan unsur yang tidak terdapat pada ujaran atau ucapan yang benar. Di antara contoh untuk kelompok kesalahan ini antara lain : Kita-kita ini bukan orang sembarangan ; Pak Umar tidak masuk karena pergi ke kota ; Berulang kali saya menasehati tetapi dianya saja yang bandel. Contoh-contoh tersebut seharusnya disederhanakan menjadi "Kita", "Karena", dan "Dia". Beberapa penambahan yang seharusnya tidak ada adalah "kita", "di-kan", dan "nya". Selain penghilangan dan penambahan, termasuk kesalahan dalam taksonomi siasat permukaan adalah salah formasi, yang dalam hal ini ditandai oleh pemakaian bentuk morfem atau struktur yang salah. Pembelajar sebenarnya telah menyediakan dan memberikan sesuatu (jadi bukan penghilangan), namun ternyata hal itu sama sekali tidak benar. Terdapat tiga tipe salah formasi, yaitu regularisasi, bentuk arki (archi forms), dan bentuk pengganti (alternating forms). Tipe pertama, regularisasi, pengertian dasarnya sama dengan yang dimaksud regularisasi pada jenis kesalahan penambahan. Perbedaannya ada pada kategori "penambahan" dan "salah formasi" saja. Kategori penambahan menitikberatkan pada adanya penambahan dalam sebuah konstruksi linguistik, sedangkan salah formasi lebih mengacu pada kesalahan bentukan, yang tidak selalu melalui penambahan. Sebagai contoh, kesalahan pada kata "hisself" yang seharusnya "himself". Tipe kedua, archi forms, yakni suatu bentuk yang oleh pembelajar B2 telah dipahami sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pemahaman melekat, yang kemudian dipergunakan untuk bentuk lain pada hal yang sama. Archi forms muncul melalui pemilihan salah satu anggota suatu kelas bentuk untuk mewakili atau
58
menggambarkan yang lainnya dalam kelas yang sama. Seorang pembelajar menggunakan "that" untuk yang seharusnya hanya untuk kata tunggal, tetapi dipergunakannya juga untuk plural, seperti "that books". "Me" yang seharusnya hanya untuk posisi obyek, tetapi dipergunakannya juga untuk subyek : "Me angry" Tipe ketiga, bentuk pengganti, terjadi apabila kosa kata dan tata bahasa pembelajar telah tumbuh dan berkembang, sehingga penggunaan bentuk archi forms sering kali memberikan peluang kepada pemilihan bebas yang agak jelas terhadap berbagai anggota kelas dengan yang lainnya. Dalam penggunaan kata ganti penunjuk misalnya, dapat dicontohkan "those dog" dan "this cats". Dalam pemakaian pronomina, seperti penggunaan "he" untuk "she" ; "they" untuk "it" ; "her" untuk "she", dan lain-lain yang semacamnya. Bagian terakhir dari kesalahan taksonomi siasat permukaan adalah salah susun. Sebagaimana namanya, salah susun merupakan salah letak, ditandai oleh penempatan yang tidak benar bagi suatu morfem atau kelompok morfem dalam suatu ujaran atau ucapan. Dengan demikian salah susun adalah kesalahan letak, atau penempatan sebuah morfem atau kelompok morfem. Salah letak ini berupa pertukaran tempat yang semestinya di belakang ternyata diletakkan di depan, dan sebaliknya. Contoh salah susun seperti "He is all the time present " yang seharusnya frasa all the time diletakkan di belakang sehingga menjadi "He is present all the time". Demikian juga "What Daddi is reading?" yang seharusnya "What is Daddy reading?" Kesalahan "misordering" ini terjadi pada pembelajar B2 dengan secara sistematis dalam konstruksi-konstruksi yang telah didapatkan, terutama pada pertanyaan-pertanyaan sederhana yang langsung dan cakupan yang tidak langsung. 3. Taksonomi Komparatif Nilai komparasi pada taksonomi ini terdapat pada metode yang digunakan berupa penggolongan kesalahan-kesalahan berdasarkan pada
59
perbandingan-perbandingan antara struktur kesalahan-kesalahan B2 dan tipe-tipe konstruksi tertentu lainnya. Kesalahan-kesalahan yang dibuat pembelajar B2 dibandingkan dengan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar yang menjadikan B2 tersebut sebagai B1nya. Kesalahan-kesalahan yang dibuat pembelajar Bahasa Arab di Indonesia misalnya, dibandingkan dengan kesalahan-kesalahan pembelajar Bahasa Arab di negaranya (di negara Arab yang B1nya adalah bahasa Arab). Dalam taksonomi komparatif ini, kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat dibedakan atas (1) kesalahan perkembangan, (2) kesalahan antarbahasa, dan (3) kesalahan lainnya. Kesalahan perkembangan ini berlaku juga bagi pembelajar B1. Kesalahan berbahasa Arab oleh pembelajar Indonesia memiliki kesamaan dengan kesalahan berbahasa Arab yang dilakukan oleh pembelajar negara Arab. Demikian juga dalam hal pembelajaran bahasa Inggris. Pembelajar Indonesia sama dalam membuat kesalahan seperti penghilangan artikel atau penanda kala lampau, seperti "Cat eat it" untuk yang seharusnya "The cat ate it". Demikian juga seperti "I like eat it" untuk yang seharusnya "I like to eat it", "I not talking" untuk "I'm not talking ". Kesalahan antarbahasa, merupakan kesalahan yang sepenuhnya mengacu kepada kesalahan-kesalahan B2, tanpa memperhatikan proses-proses internal maupun kondisi eksternal yang menjadi penyebabnya. Dalam kaitan ini, yang menjadi dasar adalah bahwa sekecil apapun, diyakini bahasa ibu (B1) secara otomatis ikut campur tangan dengan B2 pada saat pembelajaran. B1 dengan sendirinya ikut larut dan berpindah pada sistem B2 pembelajar yang sedang berusaha menguasainya. Perkembangan system B2 pembelajar secara tidak sengaja dipengaruhi oleh sistem B1 yang telah melekat pada pembelajar tersebut. Dengan demikian kesalahan antar bahasa merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dihindari pada saat pembelajar berusaha membangun sistem B2nya. Dalam hal ini yang dapat dilakukan adalah meminimalisasi pengaruh B1 terhadap pembelajaran B2 melalui pemahaman yang
60
konprehensif dan pembiasaan yang intensif dengan pendalaman dan pembiasaan. Kesalahan-kesalahan antarbahasa akan lebih tampak jelas melalui proses penterjemahan bentuk gramatikal kalimat atau frasa pembelajar ke dalam B2nya. Para pembelajar sering kali menambahkan huruf sin ( )سke verba mudhâri’ untuk menyatakan kegiatan yang segera dilakukannya kemudian, seperti
.
Di luar kelompok kesalahan perkembangan dan antar bahasa, ditemukan kesalahan lain yang dianggap unik dan tidak dapat dimasukkan ke dalam dua kelompok tersebut. Dianggap unik dan masuk kategori "lain" karena kesalahan yang dibuat bukan cerminan perkembangan pembelajar dalam membangun sistem kaidah B2nya, dan juga bukan pengaruh dari B1. Penggunaan kata دنعyang dipahami sebagai terjemahan kata "memiliki' untuk menyatakan dijadikan contoh untuk jenis kesalahan ini. Oleh Dulay dan Burt, kesalahan ini memang cermin khas dari pembelajar B2 dan merupakan upaya konstruksif yang bersifat kreatif dari pembelajar. 4. Taksonomi Efek Komunikatif Dalam taksonomi ini, peninjauan kesalahan didasarkan kepada efek yang muncul bagi pendengar, penyimak, atau pembaca. Kesalahan berbahasa yang dilakukan pembelajar tentunya memiliki efek bagi penyimak ataupun pembaca yang mendengar ataupun yang membacanya. Taksonomi efek komunikatif memandang kesalahan dari perspektif akibat yang ditimbulkan bagi orang yang terlibat sebagai penyimaknya, melalui ujaran lisan ataupun tulisan. Analisis kesalahan ini mendasarkan diri pada pembedaan antara kesalahan-kesalahan yang dapat menimbulkan salah paham komunikasi dan yang tidak demikian. Manakah di antara kesalahan-kesalahan yang dapat membuat suatu frasa atau kalimat menjadi tidak dapat dipahami oleh penyimak atau pembaca, sehingga menimbulkan gangguan komunikasi. Berdasarkan taksonomi efek komunikatif ini, kesalahan dapat dibedakan atas dua macam, yakni kesalahan global, dan kesalahan lokal.
dapat
61
Apabila kesalahan yang dibuat oleh pembelajar ternyata mempengaruhi secara signifikan terhadap sebuah struktur kalimat sehingga dapat mengganggu komunikasi, maka hal ini dikategorikan ke dalam kesalahan global. Dalam bahasa Indonesia ditemukan hal-hal seperti (1) salah penyusunan dalam unsur pokok, contohnya : Warung yang murah dan enak banyak orang disenangi, yang seharusnya adalah : Warung yang murah dan enak disenangi banyak orang; (2) salah penempatan atau pemakaian kata sambung, contohnya : Kamu akan berhasil sampai kamu sungguh-sungguh, yang seharusnya adalah : Kamu akan berhasil jika kamu sungguh-sungguh; dan (3) hilangnya ciri kalimat pasif, contohnya : Proposal penelitian kelas diperiksa pada pimpinan sekolah, yang seharusnya : Proposal penelitian kelas diperiksa oleh pimpinan sekolah. Sedangkan kesalahan lokal, terjadi apabila kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar B2 terjadi pada sebuah unsur dalam struktur sebuah kalimat, akan tetapi tidak berakibat pada terganggunya proses penyampaian pesan komunikasi. Dalam hal ini penyimak atau pembaca masih dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pengujar. Dengan demikian kesalahan lokal terjadi sebatas pada suatu bagian kalimat saja, seperti contoh-contoh berikut : Jumlah pasangan cagub dan cawagub berjumlah lima pasang ; Penyerahan BLT secara simbolis diserahkan oleh bapak gubernur DKI Jakarta ; Peringatan seabad kebangkitan nasional diperingati secara besar-besaran oleh pemerintah RI. Contoh-contoh tersebut seharusnya : Pasangan cagub dan cawagub berjumlah lima pasang ; BLT secara simbolis diserahkan oleh gubernur DKI Jakarta ; Seabad kebangkitan nasional diperingati secara besar-besaran oleh pemerintah RI. Pembagian kesalahan ke dalam jenis lokal dan global ini menyiratkan strata urgensi dan signifikansi penguasaan tata bahasa global dan lokal. Penguasaan tata bahasa lokal menjadi mutlak dilakukan untuk menuju kepada kesempurnaan komunikasi seperti pemilik bahasanya. Pembelajar bahasa Arab harus memperhatikan tata bahasa lokal secara maksimal untuk dapat menyamai orang Arab dalam melakukan
62
komunikasi. Akan tetapi apabila pembelajar mencukupkan untuk sekedar tercapaianya fungsi komunikasi minimal, maka penguasaan tata bahasa global sudah dianggap memadai dan memenuhi kebutuhan. Maka di sini berlaku ukuran urgensi dan signifikansi komunikasi yang dilakukan oleh pengujar bahasa. C.
Penyebab Kesalahan Berbahasa Di antara kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar B2, secara
keseluruhan dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu kesalahan antarbahasa dan kesalahan intrabahasa. Keduanya merefleksikan peristiwa-peristiwa yang mengiringi proses pembelajaran B2 pada seorang pembelajar. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud adalah, bahwa seorang pembelajar B2 dalam upaya membangun kesempurnaan aspek-aspek linguistik B2nya tidak dapat melepaskan pengaruh B1 yang telah dimilikinya, maka terjadilah interferensi dan menimbulkan kesalahan interferensi atau interlingual. Selain itu, masih dalam upaya menyempurnakan pengetahuan linguistiknya, seorang pembelajar berupaya membangun kemampuannya dengan mendasarkan kepada pengetahuan B2 sebatas yang telah dikuasainya, hasil dari pembelajaran B2 yang sedang berlangsung, maka muncullah kesalahan-kesalahan intrabahasa. Kesalahan antarbahasa merupakan kesalahan yang timbul akibat pembelajar B2 yang secara otomatis mengambil dan menggunakan sistem B1 yang telah dimilikinya pada saat menggunakan B2nya, melalui tulisan ataupun lisan. Transfer B1 merupakan suatu keniscayaan yang sulit dihindari. Analisis kontrastif telah membuktikan adanya peristiwa transfer bahasa tersebut. Hipotesis analisis ini menyatakan bahwa adanya perbedaan-perbedaan yang terdapat pada bahasa sumber (B1) dan bahasa sasaran (B2) dapat menimbulkan masalah-masalah dan kesulitan dalam performansi. Dengan
63
demikian maka kesalahan yang dibuat oleh pembelajar merupakan cerminan kesalahan yang strukturnya adalah sama dengan B1 pembelajar. Kesalahan intrabahasa berupa kesalahan-kesalahan yang merefleksikan ciri-ciri umum kaidah B2 yang sedang dipembelajari oleh pembelajar. Dalam hal ini pembelajar B2 melakukan kesalahan-kesalahan yang bukan merupakan refleksi dari struktur dan kaidah B1 yang telah dimilikinya. Akan tetapi melakukan kesalahan-kesalahan yang mencerminkan struktur B2 yang sedang dipembelajarinya. Dari sinilah muncul istilah intrabahasa, intralingual dan bukan antarbahasa atau interlingual / interferensi. Dalam kesalahan intrabahasa, Richards (1971) dan Fisiak (1985) menyatakan bahwa penyebab kesalahan meliputi penyamarataan yang berlebihan (over generalization), ketidaktahuan pembatasan kaidah (ignorance of rule restrictions), penerapan kaidah yang tidak sempurna (incomplete application of rules), dan salah menghipotesiskan konsep (false concepts hypothesized). Generalisasi yang berlebihan berupa upaya pembelajar menciptakan struktur yang menyimpang dengan berdasarkan pengalamannya mengenai struktur-struktur lain dalam B2. Penciptaan inilah yang pada akhirnya memunculkan kesalahan-kesalahan melalui upaya generalisasi berlebihan berupa penggunaan strategi-strategi atau siasat-siasat yang telah tersedia sebelumnya di dalam situasi-situasi yang baru. Pembelajar melalui pengalamannya akan mengambil suatu kesimpulan-kesimpulan melalui upaya men-generalisasi kaidah-kaidah yang telah diterimanya berdasarkan fakta-fakta B2 yang dipembelajarinya. Namun pada kesempatan lain, upaya generalisasinya ini hanya mendasarkan pada kesamaan-kesamaan aspek luar, sehingga berakibat menyesatkan dan tidak dapat diterapkan, yang pada akhirnya membawanya kepada berbuat kesalahan-kesalahan berbahasa. Contoh dari generalisasi berlebihan ini antara lain : He must comes,
yang seharusnya
He must come
64
I comes from,
yang seharusnya
I come from
Dalam bahasa Arab, ditemukan ungkapan seperti : Yushallûna al-muslimûna fi al-masjid, yang seharusnya Yushallî al-muslimûna fî al-masjid Hal yang tidak berbeda jauh dengan generalisasi berlebihan adalah kegagalan pembelajar dalam mencermati pembatasan-pembatasan terhadap struktur-struktur yang ada. Kegagalan yang dimaksud adalah pembelajar B2 menerapkan kaidah-kaidah terhadap konteks-konteks yang sebenarnya tidak dapat menerima penerapan tersebut. Beberapa kesalahan yang dapat digolongkan ke dalam kegagalan pembatasan kaidah ini adalah seperti penambahan dan penghilangan. Hal ini terjadi karena pembelajar membentuk kalimat atau bentuk bahasa lain hanya berdasarkan analogi terhadap sistem dan kaidah B2 yang telah mereka ketahui. Dalam hal ini siswa belum mengetahui bahwa sebenarnya terdapat kaidah lain yang benar dan tepat. Sedangkan penerapan kaidah yang tidak sempurna berupa penyimpangan-penyimpangan yang mengindikasikan gambaran taraf perkembangan kaidah-kaidah yang diperlukan untuk menghasilkan keberterimaan atas suatu susunan bahasa. Kesalahan-kesalahan dalam kelompok ini seperti penggunaan pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab. Dalam hal ini pembelajar melakukan proses transformasi-transformasi berangkai yang mungkin dihilangkan, atau suatu kata tanya yang dapat ditambahkan begitu saja ke dalam bentuk pernyataan. Pembelajar mengulang begitu saja kata-kata yang terdapat dalam bentuk pertanyaan. Beberapa contoh menunjukkan hal tersebut, seperti : Do you eat much, dijawab oleh pembelajar : Yes I eat much. Pertanyaan : What was she saying ?, dijawab : She saying she would ask him. Dalam bahasa Arab, ketika diajukan Man hum al-muhâjirûna?, dijawab : Hum al- muhâjirûna al-rijâlu wa al-nisâk. Adapun kesalahan akibat kekeliruan dalam menghipotesiskan konsep, terjadi apabila pembelajar memiliki pemahaman yang salah terhadap pembedaan-pembedaan
65
di dalam B2 yang dipembelajarinya. Di antara hal yang tergolong seperti ini adalah terkait dengan gradasi butir-butir pengajaran yang tidak selaras. Dalam bahasa Inggris dicontohkan tentang pemahaman to be untuk kala lampau dan sekarang was, were dan is, are, dimana pembelajar membedakannya berdasarkan klasifikasi kala. Contoh-contoh itu seperti One day it was happened ; He is talks much ; Teachers were went to the library ; We are play football every Sunday morning. D.
Karakteristik Bahasa Tutur Bertutur atau berbicara adalah berkomunikasi secara langsung. Untuk dapat
tersampaikannya pesan tutur sebagai tujuan utama berkomunikasi, maka seorang penutur harus memiliki kemampuan bertutur atau berbicara. Untuk itu dalam berbahasa tutur terdapat hal-hal yang harus diperhatikan untuk kelancaran proses kemunikasi antara penutur dengan pendengar. Hal ini terkait dengan perbedaan dan karakteristik bahasa tutur yang tidak sama dengan bahasa tulis. Dalam hal ini harus dimiliki keterampilan bertutur yang tidak saja melibatkan unsur kebahasaan (linguistik) tetapi juga unsur non kebahasaan. Unsur-unsur kebahasaan yang dimaksud adalah ketepatan ucapan; penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai; pilihan kata; dan ketepatan sasaran pembicaraan. Sedangkan unsur-unsur non kebahasaan meliputi suasana sosiolinguistik dan psikolinguistik yang meliputi peristiwa bertutur tersebut. Hal yang terkait dengan ketepatan ucapan adalah pengucapan bunyi-bunyi bahasa dengan artikulasi yang tepat. Meskipun disadari bahwa tidak selalu berhasil dilakukan pengucapan artikulasi dengan tepat, akan tetapi hendaknya diusahakan bunyi-bunyi yang keluar tidak melenceng jauh dari ketentuan pengucapannya. Dengan demikian dalam memproduksi bunyi bahasa harus diperhatikan dengan seksama bagaimana posisi alat bicara seperti lidah, gigi, bibir, dan langit-langit membentuk bunyi, baik itu bunyi vokal maupun konsonan. Ketepatan memproduksi bunyi bahasa
66
menjadi salah satu kunci pokok dalam keberhasilan penyampaian pesan komunikasi untuk sampai dengan tepat kepada sasaran (pendengar/lawan bicara). Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan juga durasi ikut menjadi faktor penentu bagi pemahaman suatu pesan bahasa tutur, selain juga dapat menjadi daya tarik tersendiri dalam bertutur. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sering kali terjadi kesalahpahaman akibat penentuan tekanan, nada, dan juga durasi bertutur yang kurang tepat. Kesalahan pengambilan kesimpulan pesan oleh pendengar terhadap pesan yang disampaikan oleh penutur dapat terjadi akibat kesalahan persepsi yang dtitimbulkan oleh penempatan tekanan maupun jeda bertutur yang kurang pas. Pemberian tekanan pada suatu kata atau suku kata merupakan suatu keniscayaan dalam bertutur. Demikian juga durasi dan jeda bertutur selalu ikut dan melingkupi peristiwa bertutur seseorang. Oleh karena itu penempatan tekanan berikut besarannya, pengambilan jeda dan intonasi yang selalu mengiringi penuturan seharusnya dilakukan secara tepat untuk berlangsungnya proses komunikasi yang efektif. Demikian juga halnya dengan pemilihan kata saat bertutur. Pilihan kata yang tepat, jelas, mudah dipahami akan memberikan efek komunikasi yang lebih nyata dibandingkan dengan yang sebaliknya. Dalam hal ini juga harus diperhatikan persoalan dengan siapa bertutur dan dalam hal apa topik atau pokok pembicaraan tersebut. Penutur harus menyesuaikan pilihan kata-katanya berdasarkan faktor siapa yang diajak berbicara dan dalam hal apa fokus pembicaraanya. Pilihan kata juga menunjukkan pengungkapan ekspresi pembicara, karena itu harus benar-benar tepat. Sedangkan ketepatan sasaran pembicaraan terkait dengan pemakaian kalimat. Penggunaan kalimat efektif akan sangat membantu sasaran pembicara dalam memahami maksud pembicaraan. Kalimat efektif memiliki ciri-ciri keutuhan, perpautan, pemusatan perhatian, dan kehematan. Keutuhan yang dimaksud adalah dalam hal kelengkapan struktur pembentuk kalimat tersebut. Perpautan berhubungan dengan keterkaitan antara unsur pembentuk kalimat, seperti antar kata, atau antar
67
frasa. Pemusatan perhatian dapat dilakukan dengan menempatkan bagian yang dianggap penting pada awal atau akhir kalimat dengan memberikan tekanan pada saat berbicara. Sedangkan kehematan terkait dengan pemakaian kata yang tidak berlebihan, tidak ada pemborosan kata yang tidak memiliki maksud yang jelas. Dari semua hal di atas, yang tidak dapat dilepaskan dan terkait langsung dalam kaitannya dengan berbahasa tutur adalah pengucapan. Yang menjadi ciri utama pengucapan adalah hal-hal yang berkaitan dengan ketepatan bunyi atau makhraj, durasi pengucapan atau mad, pemenggalan kata-suku kata atau maqtha‘, jeda atau saktah, tekanan kata atau nabr, dan juga intonasi atau tanghîm. Kesemuanya merupakan kajian yang terkait dengan bunyi, unsur utama dalam berbahasa tutur.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dengan pendekatan kontrastif dan non kontrastif. Deskriptif kualitatif karena menghasilkan data deskriptif yang kemudian dilakukan analisa dan interpretasi menjadi kesimpulan. Hal ini sesuai dengan Tarigan bahwa fenomena-fenomena dalam perilaku pembelajaran B2 merupakan tujuan dari riset kualitatif. Fenomena-fenomena tersebut adalah peristiwa berbicara B2 mahasiswa subyek penelitian. Data penelitian dianalisa secara kualitatif, dengan mendeskripsikan aspek morfologi dan sintaksis dalam berbicara. Penelitian ini menggunakan model classroom research, dan merupakan penelitian kasus, karena mengambil peristiwa berbicara subyek penelitian dalam kegiatan belajarnya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa bahasa Arab merupakan peristiwa alamiah yang sudah menjadi kebiasaan dalam keseharian belajar mereka di kelas. Penggalian informasi yang menyeluruh membantu mencapai tujuan penelitian. Dari sisi teknik analisis kesalahan, pendekatan yang digunakan meliputi dua hal, yakni kontrastif dan non kontrastif. Pendekatan kontrastif dilakukan dalam rangka mencari unsur interferensi yang menjadi penyebab munculnya kesalahan berbahasa terkait dengan unsur B1 pembelajar. Kontrastif dilakukan dengan cara mencari bandingan bentuk dan struktur linguistik B1 pembelajar. Dengan cara ini akan diketahui persamaan dan perbedaan yang mengakibatkan kesalahan B2. Hal ini sejalan dengan hipotesis analisis kontrastif versi kuat yang menyatakan bahwa kesalahan B2 adalah akibat interferensi B1 pembelajar. Sedangkan pendekatan non kontrastif dilakukan untuk melihat kesalahan yang ternyata tidak disebabkan oleh unsur interferensi B1 pembelajar. Dalam hal ini dilakukan eksplorasi kesalahan-kesalahan yang ada tanpa melihat bandingannya dalam
69
B1 pembelajar. Hal ini sejalan dengan temuan Richards dkk yang menyatakan bahwa terdapat kesalahan-kesalahan B2 yang bukan diakibatkan oleh faktor interferensi B1 pembelajar. Karena itulah, maka dua pendekatan, kontrastif dan non kontrastif digunakan dalam analisis kesalahan ini. B. Sumber Data, Populasi dan Sampel Penelitian 1. Sumber Data a. Data Primer Dalam studi analisis kesalahan, data yang digunakan dapat berupa ragam tulisan, dan dapat juga berupa ragam lisan. Ragam tulisan berupa pemanfaatan media tulis dengan menggunakan tulisan huruf sebagai unsur dasarnya, sedangkan ragam lisan dicirikan dengan penggunaan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasarnya. Kepada dua ragam bahasa ini dapat dilakukan penelitian analisis kesalahan sesuai dengan karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing ragam tulisan dan lisan tersebut. Karakteristik akan menentukan aspek apa saja yang dapat dijadikan sebagai kategorisasi kesalahan. Data primer penelitian ini adalah kegiatan berbicara mahasiswa semester IV Ma’had ’Âlî Hâsyim Asy’arî PP Tebuireng Jombang. Kegiatan berbicara tersebut berupa presentasi dan diskusi matakuliah yang menggunakan bahasa Arab, baik berupa presentasi subyek penelitian melalui penjelasan, maupun interaksi tanya jawab/diskusi. Topik pembicaraan adalah sesuai dengan jadwal matakuliah, dan urutan presentasi subyek penelitian juga sesuai jadwal. Pemilihan diskusi sebagai data penelitian dengan pertimbangan keunggulannya terkait dengan penekanan aspek gramatikal dalam analisis kesalahan ini, dibandingkan dengan keterampilan berbicara lainnya, seperti pidato maupun percakapan. Aspek gramatikal berupa morfologi dan sintaksis akan muncul lebih lengkap dalam variasi bentuk dan susunannya melalui diskusi
70
dibandingkan dengan bentuk lain. Selain itu, diskusi dianggap memiliki tingkat kewajaran dan naturalitas yang tinggi untuk mendapatkan susunan yang lengkap. Kegiatan diskusi pada kelas ini dapat dikelompokkan atas tiga bagian, pertama presentasi mahasiswa (penyaji) terhadap makalah yang ditulisnya, dengan cara membacanya sebagai pengantar. Kedua, pemberian keterangan oleh penyaji yang merupakan lanjutan dari pembacaan. Dan ketiga, tanya jawab yang melibatkan anggota kelas. Penulis hanya mentranskrip kesalahan-kesalahan berbahasa yang dihasilkan dari bagian ke dua dan ke tiga saja, karena pada bagian pertama bukanlah menunjukkan kemampuan berbicara yang sesungguhnya. b. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini berupa data penunjang yang terkait dengan keadaan dan latar belakang subyek penelitian, hal-hal yang terkait dengan MAHAT seperti kurikulum dan keadaan tenaga pengajar, yang diperoleh melalui teknik dokumentasi. Data sekunder lain juga berupa buku-buku yang berisi penjelasan tentang gramatika dan bahasa tutur, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Data sekunder ini sekaligus dipakai sebagai alat verifikasi data kesalahan yang telah ditemukan. 2. Populasi dan Sampel Penelitian Mengingat penelitian ini adalah studi kasus dalam bentuk penelitian kelas, maka populasi adalah sekaligus sampelnya, yang dalam hal ini adalah seluruh mahasiswa semester IV MAHAT yang berjumlah 25 orang. Dipilihnya mahasiswa semester IV sebagai subyek penelitian dengan pertimbangan karena pada kelas ini matakuliah kebahasaan yang terkait dengan gramatikal telah diberikan, yakni sharf pada semester 2 dan nahw pada semester 4. Demikian juga matakuliah yang diberikan semuanya menggunakan bahasa Arab, kecuali satu mata kuliah yakni bahasa Inggris.
71
Dengan demikian, dari target populasi kegiatan berbicara sebanyak 25 mahasiswa, penulis menjadikan keseluruhannya sebagai sampel juga. Hal ini untuk mendapatkan data yang dapat menggambarkan subyek penelitian secara utuh dan sesungguhnya. Sebagaimana disebutkan, bahwa populasi penelitian memiliki tingkat homoginitas yang relatif tinggi berdasarkan kenyataan bahwa mereka adalah hasil seleksi ujian masuk yang ketentuan pelulusannya menitikberatkan pada aspek penguasaan bahasa Arab lisan maupun tulisan. Demikian juga, bahwa pengajaran yang berlangsung dengan pengantar bahasa Arab telah dilalui selama hampir empat semester. Dengan demikian sebenarnya pengambilan sampling dapat dibenarkan meskipun peneliti tidak melakukannya dengan pertimbangan yang telah disebutkan.. C. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dalam penelitian ini menggunakan metode simak.. Metode simak digunakan untuk mengamati peristiwa berbicara siswa, sebagai data primer kesalahan bertutur. Teknik simak ini memiliki teknik dasar sadap, dan teknik lanjutan berupa simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catat, dan rekam.. Data penelitian diambil dengan cara mengikuti alur perkuliahan dengan harapan data yang terkumpul bersifat natural, alamiah, dan tidak dibuat-buat oleh responden. Data yang demikian ini akan menunjukkan kepada hal yang lebih mendekati terhadap data yang sesungguhnya, sesuai dengan sifat penelitian deskriptif.. Instrumen pengumpulan data yang utama adalah peneliti sendiri. Untuk itu diperlukan alat-alat yang mendukung metode pengumpulan data tersebut. Dalam hal ini alat rekam baik elektronik (tape recorder, MP3 Recorder) maupun manual seperti catatan-catatan diharapkan dapat membantu mengumpulkan data yang diharapkan. Sedangkan untuk data sekunder/penunjang, digunakan teknik dokumentasi. Dokumentasi digunakan untuk mengumpukan informasi yang terkait dengan keadaan
72
pengajaran seperti jadwal pelajaran, keadaan siswa, dan kegiatan belajar-mengajar.data sekunder juga diambil melalui teknik wawancara dengan pengelola MAHAT, yang dalam hal ini adalah wakil direktur, staf TU dan tenaga pengajar. D. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Data yang dianalisis pada penelitian ini berupa kalimat-kalimat yang salah menurut prinsip-prinsip keberterimaan (acceptability). Analisis kesalahan gramatikal dilaksanakan berdasarkkan pada penggunaan komponen-komponen struktur gramatikal dalam kalimat. Komponen-komponen tersebut seperti susunan kata (word order), infleksi, derivasi, dan hubungan antar bentuk atau kesesuaian (corrrelation of forms, concord, agreement). Selanjutnya, dilanjutkan dengan upaya mencari dan menata secara sistematis rekaman hasil observasi dalam rangka mencari bukti terhadap hal-hal yang sedang diteliti. Upaya mencari bukti tersebut dilakukan dengan cara menindaklanjuti analisa yang telah dilakukan, yakni dengan berupaya mencari makna/meaning. Namun sebelumnya, dilakukan pengolahan data terlebih dahulu sebagai langkah awal untuk memudahkan dan mengantarkan pada analisa data. Secara umum, langkah-langkah analisis kesalahan adalah sebagaimana Tarigan yakni: mengumpulkan data kesalahan berbahasa, mengidentifikasi dan mengklasifikasikannya, dengan cara mengenali, memilah dan menggolongkan berdasarkan kategorisasi kebahasaan. Memperingkat kesalahan, dengan mengurutkan atau mempersentase frekuensi kesalahan. Menjelaskan kesalahan, melalui deskripsi kesalahan, penyebabnya, dengan menuliskan pembetulannya. Maka terkait dengan penelitian ini, langkah-langkah pengolahan data adalah: 1. Pemeriksaan data hasil penelitian, untuk mengecek jumlah data apakah sudah sesuai dengan jumlah subyek penelitian. Pemeriksaan dilakukan untuk mengecek apakah data rekaman dapat didengarkan untuk kemudian dilakukan transkrip secara tulisan. Apabila didapati rekaman yang tidak mungkin untuk dilakukan transkrip tulisan, maka dicarikan data pengganti melalui rekaman lain yang
73
tersedia. Dalam hal ini peneliti melakukan langkah antisipasi dengan menyediakan dua buah alat perekam (MP3 Recorder). 2. Data rekaman ditranskrip melalui tulisan dengan hanya mencatat kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh subyek penelitian. 3. Pengolahan korpus (data rekaman kesalahan) dilanjutkan dengan menggarisbawahi bagian-bagian yang salah dalam aspek morfologis dan sintaksis. Selanjutnya langkah-langkah analisis data, dengan tahapan sebagai berikut : 1. Identifikasi kesalahan bahasa, dari aspek morfologis dan sintaksis, dengan cara membandingkan tuturan subyek penelitian dengan bahasa yang baku. 2. Mengelompokkan kesalahan-kesalahan tersebut sesuai jenis konstruksinya. 3. Merekonstruksi tuturan yang dimaksud oleh subyek penelitian dengan cara memberikan bahasa bakunya sesuai dengan maksud tuturan. 4. Membandingkan bahasa tuturan subyek penelitian dengan bahasa Arab bakunya. 5. Menentukan jenis kesalahan bahasa tuturan subyek penelitian. 6. Menentukan frekuensi masing-masing konstruksi kesalahan. 7. Menentukan proporsi kesalahan masing-masing jenis konstruksi dengan cara memproyeksikan kesalahan terhadap total jumlah kesalahan. 8. Interpretasi data berdasarkan hasil langkah-langkah sebelumnya. Interpretasi yang dimaksud juga dikaitkan dengan data sosiolinguistik mahasiswa, latarbelakang pendidikan, dan prestasi bahasa Arab, untuk mengekplorasi penyebab kesalahan. Semua langkah-langkah di atas, merupakan penjabaran dari inti prosedur studi analisis kesalahan berbahasa. Bahwa prosedur analisis kesalahan mencakup tiga hal, identifikasi kesalahan, deskripsi kesalahan, dan (3) interpretasi data-data kesalahan. E. Keterbatasan Penelitian Penulis berusaha semaksimal mungkin untuk menghasilkan penelitian yang representatif, namun penelitian ini tidak luput dari berbagai keterbatasan, antara lain :
74
1. Media berbahasa tutur yang menjadi sumber data utama penelitian ini terbatas pada diskusi, belum mencakup atau dilengkapi dengan semua macam keterampilan berbicara, seperti percakapan, wawancara terstruktur, berpidato dengan batasan-batasan tertentu, dan lain sebagainya. 2. Penelitian ini belum menjangkau unsur-unsur yang melekat pada bahasa tutur itu sendiri seperti nabr, tanghim, saktah, dan lain sebagainya. Hal ini karena penelitian ini lebih memfokuskan pada aspek gramatikal semata. Kompleksitas bahasa tutur dibandingkan dengan bahasa tulis, seperti yang terkait dengan unsur-unsur di atas belum terpenuhi pada penelitian ini. 3. Alat verifikasi data pada penelitian ini terbatas pada data dokumentasi kurikulum lembaga dan data sosiolinguistik subyek penelitian, belum didukung dengan wawancara yang mendalam terhadap subyek penelitian. 4. Variabel penelitian ini terbatas pada aspek morfologi dan sintaksis saja, belum pada aspek-aspek lain seperti kosa kata, semantik, atau penggunaan preposisi, dan juga terutama yang terkait dengan berbahasa tutur seperti fonologi. 5. Keterbatasan waktu yang tersedia menyebabkan proses observasi dan rekaman terhadap berbahasa tutur belum dapat dilakukan untuk jangka waktu yang lama (longitudinal), misalnya selama satu semester.
111
BAB IV KESALAHAN MORFOLOGI Yang dimaksud dengan kesalahan morfologi (sharf) dalam penelitian ini adalah kesalahan dalam bentuk, kala (tenses), dan derivasi kata dalam kalimat. Termasuk dalam kategori ini adalah kesalahan penggunaan dhamîr pada fi‘l, maupun ism, dan kesalahan menggunakan wazn atau shîghah. Hal ini sesuai dengan ruang lingkup morfologi itu sendiri yakni terpusat kepada kata per kata, dan bukan keterkaitan antara kata yang satu dengan kata yang berikutnya. Kesalahan morfologis mendasarkan analisis kesalahan berdasarkan kajian morfologi, di mana obyek kajian kesalahan morfologis adalah kata itu sendiri yang berdiri sendiri, dan kemudian dianalisis unsur-unsur pembentukannya. Dalam hal ini, penekanannya adalah morfologi sebagai suatu proses, yaitu cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lainnya. Untuk melihat kesalahan morfologis suatu kata dapat ditempuh dengan cara membandingkan berbagai proses morfologis yang ada di suatu kata seperti afiksasi, reduplikasi, modifikasi intern, komposisi, dan juga klitisasi. Dari total kesalahan gramatika yang ada (441 kesalahan), 29 % nya atau 128 buah adalah kesalahan pada aspek morfologi. Bab ini membahas hal-hal yang terkait dengan kesalahan morfologi tersebut, yakni klasifikasi kesalahan morfologi, penyebab dan upaya menanggulangi kesalahan. A. Klasifikasi Kesalahan Morfologi Kesalahan pada aspek morfologi ini adalah pada penggunaan bahasa Arab dalam kegiatan perkuliahan sehari-hari pada mahasiswa Ma’had ‘Âlî Hâsyim Asy’arî PP Tebuireng Jombang (MAHAT) semester IV tahun pelajaran 2007-2008. Perkuliahan yang pengantarnya berbahasa Arab mengharuskan para mahasiswa memiliki keterampilan berbicara dalam situasi formal, seperti ketika mempresentasikan dan mendiskusikan makalahnya. Salah satu hal yang harus dimiliki oleh mahasiswa
112
dalam berbahasa tutur ketika diskusi tersebut adalah kompetensi gramatikal pada aspek morfologi, agar tidak salah dalam melakukan pembentukan kata-kata ketika berbicara. Berikut ini adalah kesalahan berbicara dalam aspek morfologi pada diskusi perkuliahan mahasiswa MAHAT. Kesalahan dapat dikelompokkan menjadi empat jenis sebagaimana tabel I berikut ini : Tabel I Jenis-jenis Kesalahan Morfologi No
Jenis Kesalahan
Jum lah
1 2 3 4
Menjadikan ma‘rifah di tempat nakirah, atau sebaliknya Muta‘addî (verba transitif) dan Lâzim (verba intransitif) Isytiqâq (Derivasi) Zamân (Kala) Jumlah
11 37 77 3 128
% kesel % uruh an* 8,6 2,5 28,9 8,4 60,2 17,5 2,3 0,7 100,0 29,0
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
1. Menjadikan ma‘rifah di tempat nakirah, dan sebaliknya Dari 128 kesalahan dalam aspek morfologi, 11 diantaranya masuk dalam kategori kesalahan ini, yaitu menjadikan bentuk ma‘rifah pada ism yang seharusnya berbentuk nakirah (sebanyak 9 kesalahan), dan menjadikan bentuk nakirah pada ism yang seharusnya berbentuk ma‘rifah (sebanyak 2 kesalahan). Hal ini berarti kesalahan dalam kategori ini mencapai 8,6 % dari kesalahan morfologi, dan 2,5 % dari total kesalahan gramatika yang ada. Kategori kesalahan dalam kelompok ini dapat dibedakan atas dua macam yaitu : a. Menggunakan bentuk kata ma‘rifah, padahal yang seharusnya digunakan adalah kata berbentuk nakirah. Contohnya adalah : (1)
, ungkapan tersebut seharusnya
113
(2)
,
seharusnya ..
Dalam kelompok ini ditemukan sebanyak 9 kesalahan, atau 7,0 % dari kesalahan morfologi, dan 2,0 % dari total kesalahan gramatika. b. Menggunakan bentuk kata nakirah, padahal yang seharusnya digunakan adalah kata berbentuk ma‘rifah. Contohnya adalah : (3)
, yang seharusnya adalah , yang seharusnya adalah
(4)
Dalam kelompok ini ditemukan sebanyak 2 kesalahan, atau 1,6 % dari kesalahan morfologi, dan 0,5 % dari semua kesalahan gramatika. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam sistem bahasa Arab dikenal bentuk ma‘rifah dan nakirah. Ma‘rifah adalah ism (nomina) yang menunjukkan kepada suatu benda tertentu. Kebalikan ma‘rifah adalah nakirah. Diantara penanda ma‘rifah adalah adanya alif dan lam ( ) لاdi awal kata, seperti “al-masjid”, “al-kitâb”, dll. Kata yang tidak diawali alif dan lam dikategorikan sebagai nakirah. Bahasa Arab mensyaratkan penggunaan bentuk ma‘rifah untuk posisi-posisi tertentu, seperti mubtada’, isim yang menjadi awal permulaan sebuah kalimat. Bentuk ma‘rifah juga digunakan untuk mengacu kepada sesuatu yang telah jelas rujukannya. Karena itu dalam bahasa Arab, bilamana menggunakan sesuatu yang sudah jelas rujukannya, maka harus menggunakan bentuk ma‘rifah. Demikian juga sebaliknya, apabila mengungkapkan sesuatu yang belum diketahui, maka digunakan bentuk nakirah. Karena itulah kesalahan dalam hal ini dapat terjadi seperti pada contoh-contoh di atas, baik no (1), (2), (3) maupun (4). Untuk contoh no (1) dan (2) seharusnya digunakan bentuk nakirah, karena pembicara bermaksud untuk menjelaskan sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui lebih spesifik lagi. Pembicara dapat menggunakannya dalam bentuk ma‘rifah apabila kata tersebut
114
telah disebutkan dalam ungkapan sebelumnya, sehingga penyebutan ke dua menjadikannya sebagai sesuatu yang telah jelas. Sedangkan untuk contoh no (3) dan (4) adalah sebaliknya, seharusnya digunakan bentuk ma‘rifah untuk merujuk kepada suatu kaidah yang telah dimaksudkan oleh pembicara. Istilah ma‘rifah dan nakirah tidak dikenal dalam bahasa Indonesia, sebagaimana yang dikenal dalam sistem bahasa Arab sebagaimana tersebut di atas. Kata dalam bahasa Indonesia untuk merujuk kepada sesuatu yang jelas maupun yang belum jelas tidak ada perubahan leksikal sebagaimana dalam bahasa Arab. Untuk menyatakan sesuatu yang sudah jelas, dalam bahasa Indonesia dilakukan dengan penambahan leksikal sebagai keterangan bahwa kata yang dimaksud memang adalah merujuk kepada suatu pemahaman tertentu, seperti, “masjid itu”, “buku yang saya tulis”, dan seterusnya. Dalam kaitannya dengan penyebab kesalahan berbahasa asing, maka hal ini dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) generalisasi yang salah dan (2) tidak mengetahui kaidah. Dalam hal ini, pembicara membuat generalisasi yang salah dalam berbahasa sehingga menimbulkan kesalahan dalam membuat ma‘rifah pada kata yang seharusnya nakirah, sebagaimana yang terlihat pada contoh (1) dan (2). Yang dimaksud dengan generalisasi yang berlebihan adalah upaya pembelajar menciptakan struktur yang menyimpang dengan berdasarkan pengalamannya mengenai struktur-struktur lain dalam B2. Penciptaan inilah yang akhirnya memunculkan kesalahan-kesalahan melalui upaya penggunaan strategi-strategi atau siasat-siasat yang telah tersedia sebelumnya untuk diterapkan di dalam situasi-situasi yang baru. Pembelajar melalui pengalamannya akan mengambil suatu kesimpulan melalui upaya menyamaratakan kaidah-kaidah yang telah diterimanya berdasarkan fakta-fakta B2 yang telah dipelajarinya. Namun pada kesempatan lain, generalisasi ini hanya mendasarkan pada kesamaan aspek luar, sehingga berakibat
115
menyesatkan dan tidak dapat diterapkan, yang pada akhirnya membawanya kepada berbuat kesalahan-kesalahan berbahasa. Sedangkan untuk penyebab kedua, kesalahan pembicara terdapat pada penggunaan bentuk nakirah untuk kata yang seharusnya ma‘rifah. Dalam hal ini pembelajar gagal dalam mencermati pembatasan-pembatasan terhadap struktur-struktur yang ada. Kegagalan yang dimaksud adalah pembelajar B2 menerapkan kaidah-kaidah terhadap konteks-konteks yang sebenarnya tidak dapat menerima penerapan tersebut. Beberapa kesalahan yang dapat digolongkan ke dalam kegagalan pembatasan kaidah ini adalah seperti penambahan dan penghilangan, yang dalam hal ini adalah terkait dengan al ( )لاta‘rîf. Hal ini terjadi karena pembelajar membentuk kalimat atau bentuk bahasa lain hanya berdasarkan analogi terhadap sistem dan kaidah B2 yang telah mereka ketahui. Dalam hal ini siswa belum mengetahui bahwa sebenarnya terdapat kaidah lain yang benar dan tepat. Perbedaan sistem tanda penjelas untuk kata yang ada antara bahasa Indonesia dengan bahasa Arab menjadi penyebabnya.
2. Muta‘addî (verba transitif) dan Lâzim (verba intransitif) Dalam kelompok ini, dari 128 kesalahan dalam aspek morfologi, 37 diantaranya merupakan kesalahan penggunaan muta‘addî dan lâzim, yaitu membuat muta‘addî pada kata yang seharusnya lâzim (sebanyak 6 kesalahan), dan membuat lâzim pada kata yang seharusnya muta‘addî (sebanyak 31 kesalahan). Hal ini berarti kesalahan dalam kategori ini mencapai atau 29,1 % dari kesalahan morfologi, dan 8,4 % dari total kesalahan gramatika yang ada. Kategori kesalahan dalam kelompok ini dapat dibedakan atas dua macam yaitu : a. Membuat muta‘addî untuk kata yang seharusnya lâzim. Contohnya adalah : (1)
, yang seharusnya
116
(2)
,
yang seharusnya
Dalam kelompok ini terdapat 6 kesalahan, yang berarti 4,7 % dari kesalahan morfologi, atau 1,4 % dari total kesalahan gramatika. b. Membuat lâzim untuk kata yang seharusnya muta‘addî. Contohnya adalah : (3) (4)
, yang seharusnya , yang seharusnya
Dalam kelompok ini ditemukan sebanyak 31 kesalahan, atau 24,2 % dari kesalahan morfologi, dan 7 % dari semua kesalahan gramatika. Dalam bahasa Arab dikenal dua jenis fi‘l (verba) yaitu muta‘addî (transitif) dan lâzim (intransitif). Hal ini juga ditemukan dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, apabila dikaitkan dengan preposisi sebagai kata tugas dalam muta‘addî maka hal ini seringkali menimbulkan kesalahan. Terdapat muta‘addî yang tidak dapat begitu saja disambung dengan ism sebagai maf‘ûl bih (obyeknya), akan tetapi harus di dahului oleh preposisi. Meskipun terkesan sebagai sesuatu hal yang kecil akan tetapi preposisi memiliki fungsi yang tidak dapat diabaikan begitu saja, meskipun seandainya salah dalam pemakaian maka tidak selalu menimbulkan kesalahan dalam mengambil suatu pemahaman. Sebagai kata tugas, preposisi hanya memiliki arti gramatikal, tidak memiliki arti leksikal dan tidak mengalami perubahan bentuk. Artinya, jika preposisi dalam suatu kalimat dihilangkan, maka kalimat tersebut tidak berterima secara gramatikal. Dengan demikian, preposisi tidak memiliki makna apapun dalam kesendiriannya. Ia hanya dapat diidentifikasi maknanya apabila direlasikan dengan kata lain dalam sebuah kalimat. Dalam penelitian ini, terdapat kesalahan-kesalahan berupa penghilangan preposisi setelah fi‘l yang memang seharusnya ada. Demikian pula sebaliknya, terdapat kesalahan berupa penambahan preposisi setelah fi‘l yang sebenarnya hal itu tidak perlu. Dalam penelitian ini terdapat ungkapan yang seharusnya
117
menggunakan preposisi akan tetapi pembicara tidak menggunakannya. Ada juga ungkapan yang seharusnya tidak menggunakan preposisi akan tetapi pembicara menggunakannya. Contoh (1) dan (2) masuk dalam gejala penghilangan preposisi. Penghilangan preposisi pada contoh (1) selain memberikan akibat ketidakberterimaan gramatikal, juga ketidakberterimaan semantik. Hal ini karena untuk kata tersebut, ”raghiba” memiliki idiom dengan preposisi-preposisi yang apabila tidak tepat penggunaannya maka dapat berakibat pada kesalahan makna. Sedangkan penghilangan pada contoh (2) hanya menimbulkan ketidakberterimaan gramatikal saja. Contoh (3) dan (4) masuk dalam gejala penambahan preposisi setelah verba. Secara gramatikal, penambahan ini tidak dibenarkan, meski tidak selalu menimbulkan ketidakberterimaan makna (semantis). Hal ini dicontohkan pada no. (4), di mana penambahan preposisi “‘an” tidak berakibat pada ketidakberterimaan makna. Akan tetapi pada contoh (3) penambahan preposisi “‘an” setelah fi‘l “bahatsa” dapat berakibat kesalahan pemaknaan. Dengan demikian, meski kesalahan dalam penggunaan preposisi setelah fi‘l tidak selalu berakibat kepada ketidakberterimaan semantis, namun demikian tetap harus diperhatikan penggunaan-penggunaan preposisi tertentu yang ternyata dapat berakibat demikian. Berdasarkan taksonomi efek komunikatif, hal yang pertama dikenal dengan kesalahan lokal, dan hal yang ke dua disebut dengan kesalahan global. Apabila kesalahan yang dibuat oleh pembelajar ternyata mempengaruhi secara signifikan terhadap sebuah struktur kalimat sehingga dapat mengganggu komunikasi, maka hal ini dikategorikan ke dalam kesalahan global. Disebut "global" karena cakupan kesalahan yang luas sehingga mempengaruhi susunan/strutur bahasa secara signifikan, yang pada akhirnya menyebabkan kesalahpahaman pada penyimak/pembacanya. Sedangkan jenis ke dua, kesalahan
118
lokal, terjadi apabila kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar B2 terjadi pada sebuah unsur dalam struktur sebuah kalimat, akan tetapi tidak berakibat pada terganggunya proses penyampaian pesan komunikasi. Dalam hal ini penyimak atau pembaca masih dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh pengujar. Dengan demikian kesalahan lokal terjadi sebatas pada suatu bagian kalimat saja. Dulay, Burt, dan Krashen (1982) dalam Khasairi, menyatakan bahwa pengurangan dan penambahan termasuk kesalahan dalam kategori strategi lahiriyah. Dalam hal ini kesalahan didasarkan pada strategi pembelajar dalam menghasilkan ungkapan dengan menggunakan strategi perubahan sistem pada ungkapan yang dimaksud. Corder menyebut kesalahan ini masuk dalam tahapan kebangkitan (stage of emergent), di mana pembelajar sebenarnya telah memiliki sejumlah pengetahuan tentang kaidah-kaidah bahasa asing yang dipelajarinya, dapat membedakan dan menginternalisasi sejumlah kaidah-kaidah, akan tetapi dalam waktu tertentu masih juga membuat kesalahan. Tahap kebangkitan ini merupakan kelanjutan dari tahap sebelumnya, yakni kesalahan acak (stage of random errors). Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada penambahan ataupun pengurangan preposisi setelah fi‘l ini pada dasarnya disebabkan oleh belum sempurnanya penguasaan pembelajar terhadap uslûb/susunan bahasa Arab. Sehingga dalam upayanya menghasilkan ujaran bahasa Arab, pembelajar berupaya dengan usahanya sendiri yang pada akhirnya muncul pengaruh bahasa sumber/bahasa ibu sehingga muncullah transfer negatif. Untuk contoh (3) dapat diduga bahwa pembelajar mendapat pengaruh bahasa sumbernya, dan dikelompokkan pada jenis kesalahan interlingual. Sedangkan untuk contoh (1), (2), dan (4) dapat dikatakan termasuk kesalahan intralingual, karena pembelajar belum mampu membedakan verba transitif dan intransitif melalui penggunaan preposisi. Kesalahan intralingual ini
119
bukti bahwa pembelajar masih dalam tahap membangun kaidah-kaidah menuju kelengkapan dan kesempurnaan. 3. Isytiqâq (Derivasi) Kesalahan dalam kategori ini menduduki posisi yang paling tinggi, karena 77 dari 128 kesalahan yang ada pada aspek morfologi adalah pada isytiqâq, atau 60,2 %. Sedangkan secara keseluruhan dalam kesalahan gramatika, menempati posisi nomor tiga yakni dengan persentase sebesar 17,5 %. Kesalahan isytiqâq dikelompokkan atas jenis kata yakni isytiqâq pada ism dan fi‘l, yang masing-masing pengelompokan itu terdiri dari beberapa macam lagi. Proses morfologis berupa isytiqâq dalam bahasa Arab yang terjadi pada dua kelompok kata, yakni ism dan fi‘l ini tidak terjadi pada hurûf karena ia sendiri tidak dapat berdiri sendiri dan tidak memiliki makna kecuali bila digandengkan dengan kata lain. Karena itu kesalahan isytiqâq hanya pada dua kelompok tersebut, yakni: a. Kesalahan isytiqâq pada ism , meliputi : Kesalahan isytiqâq pada ism dapat dibedakan atas beberapa kelompok lagi, sebagaimana terlihat pada tabel II berikut ini : Tabel II Jenis-jenis Kesalahan Isytiqâq Ism No
Jenis Kesalahan
1 2 3 4 5
Pembentukan ‘adad Pembentukan jam‘ al-taksîr Pembentukan mashdar Pembentukan ism mansûb Pembentukan ism al- shifât Jumlah
Jum lah 1 4 17 3 7 32
%
% se mua*
0,8 3,1 13,3 2,3 5,5 25,0
0,2 0,9 3,9 0,7 1,6 7,3
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
- Kesalahan pembentukan ‘adad, berjumlah 1 atau 0,8 % dari kesalahan morfologi, 0,2 % dari seluruh kesalahan gramatika. Contohnya adalah :
120
, yang seharusnya Dalam bahasa Arab, dikenal dua pola (wazn) yang dapat digunakan untuk menyatakan bilangan (‘adad), yaitu bilangan pokok (cardinal numbers) dan bilangan bertingkat (ordinal numbers), di mana pola pertama adalah bentuk dasar bilangan seperti wâhid, itsnâni, tsalâtsah, dst. Sedangkan pola ke dua mengikuti pola fâ‘il seperti tsâni, tsâlits, dst. Dalam ungkapan di atas seharusnya bentuk yang digunakan adalah bilangan pokok dan bukan bilangan bertingkat sesuai dengan fungsinya. Hal ini dapat diketahui dari kata-kata sebelumnya yang merujuk kepada penjumlahan, dan bukan urutan (tertib), sehingga dalam hal ini bentuk yang digunakan seharusnya berpola bilangan pokok, padahal kata yang digunakan oleh penutur yakni tsâni menggunakan pola fâ‘il yang bermakna urutan, karena itu hal ini menimbulkan kesalahan. - Kesalahan pembentukan jam‘ al- taksîr, berjumlah 4 ungkapan atau 3,1 % dari kesalahan morfologi dan 0,9 dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah : (1) (2)
, seharusnya , seharusnya Dalam bahasa Arab, pola pembentukan kata yang menunjukkan
makna jamak (plural, lebih dari dua) dapat melalui tiga pola, yakni jam‘ al-mudzakkar al-sâlim, jam‘ al-muannats al-sâlim, dan jam‘ al-taksîr. Di antara tiga macam pola tersebut di atas, jam‘ al-taksîr tidak memiliki pola yang baku. Jam‘ al-taksîr dibentuk melalui perubahan bentuk kata, baik melalui penambahan, pengurangan huruf-hurufnya, atau melalui perubahan fonem (harakah). Meski tidak memiliki pola yang baku, akan tetapi para
121
ahli bahasa Arab membuat pengelompokan yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam membuat bentuk jamak. Pengelompokan itu adalah jam‘ al-qillah dan jam‘ al-katsrah. Pada contoh (1) penutur membuat pola jamak untuk merujuk kepada jumlah empat, karena itu penutur dapat merujuk kepada salah satu pola jam‘ al-qillah, dan diantara pola yang terdapat dalam jam‘ al-qillah tersebut adalah af’ilah, sehingga dalam contoh (1) untuk menyatakan frasa “empat imam” maka seharusnya kata “imâm dipolakan menjadi “a’immah”. Sedangkan kata firqah pada contoh (2) seharusnya dibuat bentuk plural menjadi firaq. Musthafa al-Ghalayain membuat rincian untuk bentuk-bentuk plural bahwa terdapat 13 macam pola bentukan jam‘ al-katsrah yang dapat dijadikan pola pembentukan jamak. Salah satunya menyebutkan bahwa ism yang mengikuti pola fi‘lah maka bentuk pluralnya mengikuti pola fi‘al. Kata “firqah” sebagaimana dalam contoh (2) bentuknya mengikuti pola fi‘lah dan juga menunjukkan jumlah yang lebih dari tiga yang tidak terbatas. Dengan demikian pembentukan jamak kata “firqah” harus dirubah menjadi “firaq”. - Kesalahan pembentukan mashdar, berjumlah 17 ungkapan, atau 13,3 % dari kesalahan morfologi dan 3,9 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah : (1)
, seharusnya
(2)
,
seharusnya Mashdar merupakan kata yang merujuk pada makna sebuah kejadian, namun tidak disertai dengan kala/waktu. Inilah yang membedakan mashdar dengan fi‘l. Tidak ada pola khusus untuk pembentukan mashdar,
122
karena kebanyakan bersifat simâ‘î. Kecuali untuk yang berakar kata lebih dari tiga huruf, maka memiliki pola-pola yang telah ditentukan. Pada contoh (1) penutur menggunakan bentuk ism al-fâ‘il, yaitu bentuk kata yang menunjukkan makna pelaku perbuatan (pembentukan ism al-fâ‘il yang berakar kata tiga huruf mengikuti pola fâ‘il). Padahal yang benar seharusnya penutur menggunakan bentuk mashdar, karena penutur bermaksud merujuk kepada makna hasil sebuah perbuatan, dan bukan pelaku perbuatan. Demikian juga untuk contoh (2) yang seharusnya penutur menggunakan bentuk mashdar, sebagaimana kata sebelumnya (tatsniyah) dan bukan bentuk ism al-maf‘ûl, suatu bentuk kata yang merujuk kepada makna dikenai pekerjaan (seperti obyek). Untuk pembentukan mashdar yang akar katanya tiga huruf, meskipun kebanyakan bersifat simâ‘î akan tetapi ada juga pola-pola tertentu yang dapat diikuti. Dalam kajian ilmu sharf, pembentukan mashdar memiliki pola isytiqâq yang lebih kaya dan variatif dibandingkan dengan pola isytiqâq pada jenis kata yang lainnya. Keragaman pola isytiqâq ditambah dengan tidak adanya pola yang baku untuk yang berakar kata tiga huruf (tsulâtsi), sebagaimana pada kata yang berakar lebih dari tiga huruf, menjadikan pembelajar banyak mengalami kesulitan sehingga muncul kesalahan-kesalahan dalam membuat bentuk mashdar yang dimaksud. Di sisi lain, makna yang didapat pada bentukan mashdar, sebagai konsekuensi dari beragamnya pola bentukannya, juga sangatlah beragam. Bentukan mashdar yang sedemikian beragam ini pada akhirnya dapat menampung hampir semua ragam makna melalui pembentukan mashdar dengan berbagai pola bentukannya tersebut. Karena itulah penggunaan mashdar merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam ujaran untuk pemunculan makna sebagaimana yang diinginkan.
123
Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa mashdar dapat diaplikasikan pada berbagai posisi dan kedudukan dalam struktur kalimat. Mashdar dapat diposisikan sebagai maf‘ul muthlaq, dengan berbagai fungsinya seperti taukîd, marrah, dan nau‘. Mashdar juga dapat diposisikan sebagaimana fâ‘il maupun maf‘ûl bih. Demikian juga mashdar dapat berfungsi sebagai fi‘l, seperti fi‘l al-amr dan juga fi‘l mudhâri‘ yang didahului huruf “an”. Dengan keragaman yang demikian ini, baik dari segi pola, wazn, maupun makna dan juga posisi dalam struktur kalimat, sehingga menjadikan mashdar sebagai suatu keniscayaan dalam pemakaiannya, maka menjadi suatu hal yang wajar apabila ternyata sering kali terjadi kesalahan yang terkait dengan pembentukan mashdar pada diri seorang pembelajar bahasa Arab sebagai B2nya. - Kesalahan pembentukan mansûb, berjumlah 3 ungkapan, atau 2,3 % dari kesalahan morfologi dan 0,7 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah : , seharusnya Pembentukan ism mansûb dilakukan untuk memberikan bentuk sifat pada sebuah kata (ism) dengan cara menambahkan “ya’” ber-tasydîd pada akhir kata tersebut. “Ya’” ber-tasydid tersebut berfungsi untuk memberikan rujukan kepada makna berupa menghubungkan sesuatu dengan lainnya berupa keterkaitan dalam hal sifat. Al-adillah al-Syarî‘ah merupakan frasa ajektifa (tarkîb washfi), karena itu penggunaan kata al-syarî‘ah tidak memenuhi syarat tarkîb ini. Penutur bermaksud memberikan bentuk sifat syarî‘ah kepada kata al-adillah, karena itu harus ditambahkan “ya’” nisbah di akhir kata “al-syarî‘ah” sehingga menjadi “al-syar‘iyyah”. Meskipun hanya berupa penambahan huruf “ya’”
124
ber-tasydîd di akhir kata, namun terdapat aturan-aturan tentang tata cara penambahan huruf “ya’” untuk menjadi bentuk mansûb. Aturan-aturan tersebut muncul terkait dengan bermacam-macamnya bentuk akhir kata, seperti kata yang berakhiran “alif” mamdûdah, “alif” maqshûrah, “ta’” ta’nîts, dan lain sebagainya. - Kesalahan pembentukan al-shifât, berjumlah 7 ungkapan, atau 5,5 % dari kesalahan morfologi dan 1,6 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah (1) (2)
, seharusnya , seharusnya Yang dimaksud al-shifât dalam hal ini adalah isim-isim yang
memberikan pengertian kepada pemberian sifat kepada sesuatu, seperti ism al-fâ‘il, ism al-maf‘ûl, al-shifât al-musyabbahah bi ism al-fâ‘il, dan ism al-tafdhîl . Ism tersebut diberi label sebagai al-shifât karena memberikan pengertian hubungan sifat/keterangan dengan kata yang menjadi rangkaiannya. Berbeda dengan bentuk mansûb yang dibuat melalui imbuhan huruf “ya’” tasydîd di akhir kata sehingga memunculkan makna ajektifa dihubungkan dengan sesuatu yang lain dalam konstruksi frasa washfî, isim-isim shifât dibentuk hanya dengan derivasi kata mengikuti pola-pola yang ada, seperti fâ‘il, maf‘ûl, af’al, dan lain lain. Pada contoh (1) penutur bermaksud membuat makna “pengecualian”, namun terjebak dalam bentuk mashdar, padahal yang dimaksud dengan pengecualian adalah sesuatu / hal-hal yang dikecualikan. Karena itu seharusnya digunakan bentuk ism al-maf‘ûl, dan bukan mashdar. Sedangkan pada contoh (2) penutur menggunakan bentuk
125
mashdar shinâ‘î. Hal ini tidak benar karena semestinya cukup dengan menggunakan bentuk al-shifât al-musyabbahah bi ism al-fâ‘il, yaitu “jamîlah”. Penutur tidak perlu menggunakan ism al-mansûb, yakni “jamâliyah”, karena tanpa memberikan tambahan “ya’” nisbah di akhir kata, pola yang diikuti “jamîlah” sudah mengandung makna ajektifa. b. Kesalahan isytiqâq pada fi‘l, berjumlah 52 ungkapan, meliputi : Kesalahan isytiqâq pada fi‘l juga dapat dibedakan atas beberapa kelompok lagi. Kelompok-kelompok tersebut sebagaimana terlihat pada tabel III berikut ini : Tabel III Jenis-jenis Kesalahan Isytiqâq pada Fi‘l Jum lah
No
Jenis Kesalahan
1 2 3 4 5
Pembentukan ‘adad Pembentukan fi‘l dengan hurûf al-mudhâra‘ah Pembentukan fi‘l mabnî ma‘lûm Pembentukan fi‘l mabnî majhûl Pembentukan fi‘l mujarrad-mazîd
2 7 8 13 15 45
Jumlah
1,6 5,5 6,3 10,2 11,7
% kesel uruh an* 0,5 1,6 1,8 2,9 3,4
35,2
10,2
%
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
- Pembentukan ‘adad, berjumlah 2 ungkapan, atau 1,6 % dari kesalahan sintaksis dan 0,5 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah : , seharusnya Dalam hal ini penutur menggunakan bentuk perintah/fi‘l al-amr (imperatif). Pembentukan fi‘l al-amr mengambil bentuk fi‘l mudhâri‘ yang dibuang hurûf mudhâra‘ah-nya, kemudian dilakukan
126
penyesuaian-penyesuaian selanjutnya. Penutur sudah tepat dalam mengambil bentuk seperti itu, akan tetapi karena yang menjadi khithâb adalah jamak / plural maka seharusnya pembentukan fi‘l al-amr juga mengikuti pola jamak. Kesimpulan untuk mengambil pola jamak berdasarkan kata setelahnya yang merujuk kepada bentuk jamak yaitu adanya pronomina (dhamîr) antum, pada kata “waraqâtikum”. Sebagaimana pada ism, fi‘l juga selalu terkait dengan bilangan (‘adad), dan juga jenis (nau‘). Terdapat pola-pola tertentu untuk pembentukan fi‘l al-amr terkait dengan jumlah. Dan untuk bentuk jamak maka ditambahkan wau sebagai penanda jamak pada akhir fi‘l al-amr sebagaimana yang ada dalam pembetulan contoh di atas. - Pembentukan hurûf al-mudhâra‘ah, berjumlah 7 ungkapan, atau 5,5 % dari kesalahan sintaksis dan 1,6 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah : (1) (2)
, seharusnya , seharusnya Di antara ciri fi‘l mudhâri‘ adalah adanya hurûf al-mudhâra‘ah.
Di setiap fi‘l mudhâri‘ dijumpai huruf-huruf yang sekaligus berfungsi sebagai penanda pelaku fi‘l tersebut. Huruf-huruf tersebut adalah hamzah, nun, ya’, dan ta’. Hamzah digunakan untuk merujuk kepada pelaku mutakallim mufrad (orang pertama tunggal). Nûn digunakan untuk merujuk kepada pelaku mutakallimin (orang pertama jamak). Ya’ digunakan untuk merujuk kepada pelaku ghâib mudzakkar mufrad (orang ke tiga tunggal maupun jamak dari jenis laki-laki). Ta’ digunakan untuk merujuk kepada pelaku mukhâthab (orang ke dua, baik untuk jenis laki-laki
127
maupun perempuan), dan juga untuk ghâibah (orang ke tiga perempuan tunggal). Pembentukan fi‘l mudhâri‘ memiliki kaidah-kaidah tersendiri, seperti adanya hurûf al-mudhâra‘ah tersebut. Pada contoh (1) pembentukan mudhâri‘ seharusnya menggunakan huruf nûn karena harus menyesuaikan dengan pronomina (dhâmir) yang mendahului sebelumnya yaitu nahnu (kita). Di sini berlaku kaidah persesuaian antara ism dengan fi‘l dalam tarkîb isnâdî yakni jumlah ismiyah dengan khabar berupa jumlah fi‘liyah. Dalam hal ini disyaratkan adanya râbith (pengikat) yang merujuk ke kata sebelumnya (mubtada’). Sedangkan pada contoh (2) berlaku persesuaian dalam jumlah fi‘liyah, antara fi‘l (verba/predikat) dengan fâ‘il (pelaku/subyek). Penutur melakukan kesalahan dalam memahami struktur/susunan yang seharusnya digunakan. Di sini terlihat pengaruh bahasa ibu/bahasa sumber kepada bahasa sasaran, atau yang dikenal dengan transfer negatif. Berbeda dengan kata lain, fi‘l “wajaba – yajibu” memiliki kaidah tersendiri dalam hubungannya dengan pembentukan fâ‘il (pelaku). Bila kata lain cukup dengan memasukkan unsur pelaku melalui hurûf al-mudhâra‘ah, maka untuk fi‘l tersebut harus melalui mediasi hurûf jarr yaitu ‘alâ dan kemudian disusul dengan fi‘l lain yang dapat ditambahkan dengan hurûf al-mudhâra‘ah sesuai pelaku. - Pembentukan fi‘l ma‘lûm, berjumlah 8 ungkapan, atau 6,3 % dari kesalahan sintaksis dan 1,8 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah : (1)
, seharusnya
128
(2)
, seharusnya Dalam bahasa Arab dikenal fi‘l (verba) bentuk ma‘lûm (aktif) dan
majhûl (pasif). Ma‘lûm adalah fi‘l yang menyertakan pelakunya (fâ‘il/subyek) dalam ujaran, atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata kerja aktif. Sedangkan bentuk majhûl tidak menyertakan pelaku. Sebagai gantinya disertakan obyek (maf‘ûl bih) yang menduduki posisi pelaku (fâ‘il). Bentuk ini ada pada fi‘l mâdhi dan juga fi‘l mudhâri‘. Pembentukan fi‘l ma‘lûm digunakan apabila pelaku (fâ‘il) disertakan juga dalam ujaran. Sedangkan fi‘l majhûl digunakan apabila pelaku tidak disebutkan dalam ujaran dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Pada contoh (1) penutur menggunakan bentuk fi‘l majhûl, padahal disertakan juga pelakunya, yaitu kata “umm”, karena itu seharusnya fi‘l menggunakan bentuk ma‘lûm. Sedangkan untuk contoh (2) penutur menggunakan bentuk mashdar untuk bentuk yang seharusnya fi‘l, dalam hal ini adalah fi‘l mâdhi. Terdapat perbedaan makna apabila pada permulaan ungkapan tersebut menggunakan bentuk mashdar dan bila menggunakan bentuk fi‘l. Bila penutur menggunakan bentuk mashdar maka dhamîr “hâ” yang bersambung dengan mashdar menunjukkan makna possesive, kepemilikan, yang dalam hal ini menunjukkan pelaku dari mashdar (yang juga berfungsi/‘amal seperti fi‘l) tersebut. Dengan demikian maka tentu kata setelahnya, “‘urwah”, menjadi maf‘ûl bih (obyek). Kalau memang demikian yang dimaksud maka tidaklah tepat, karena yang lebih tepat menjadi obyek dari kata “tazawwaja” seharusnya perempuan, sedangkan pada kata setelahnya adalah berjenis laki-laki. Sehingga yang lebih tepat adalah kata setelahnya menjadi fâ‘il dari “tazawwaja”, dan dhamîr “hâ” menjadi maf‘ûl bih dari fi‘l tersebut. Dengan demikian tarkîb-nya adalah isnâdî dalam bentuk jumlah fi‘liyah.
129
- Pembentukan fi‘l majhûl, berjumlah 13 ungkapan, atau 10,2 % dari kesalahan sintaksis dan 2,9 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah : (1) (2)
, seharusnya , seharusnya Pada contoh (1) kesalahan terjadi pada penggunaan bentuk
ma‘lûm untuk fi‘l yang seharusnya majhûl. Kesalahan tersebut dapat diidentifikasi dari aspek makna. Apabila penutur menggunakan bentuk ma‘lûm maka kata setelahnya diposisikan sebagai fâ‘il, yang dalam hal ini tentu saja tidak tepat secara maknawi, karena tidak mungkin seseorang yang telah meninggal dapat melakukan suatu pekerjaan. Selain dari aspek makna, kesalahan penutur juga dapat diidentifikasi dari penggunaan fi‘l setelahnya yang menggunakan majhûl. Dengan demikian yang lebih tepat adalah fi‘l pertama seharusnya juga menggunakan bentuk majhûl. Sedangkan pada contoh (2), penutur telah menggunakan bentuk majhûl, hal ini terbukti dengan pola bentukan yang digunakannya, yakni perubahan fonem di huruf awal dan huruf sebelum akhir kata tersebut. Memang demikianlah pola bentukan untuk kata yang memiliki binâ’ (rancang bangun kata) yang shahîh, yakni salah satu huruf pembentuk kata tersebut tidak berupa huruf ‘illah (alif, wau, dan ya’). Namun untuk kata yang termasuk mu‘tall (terdapat huruf ‘illah) maka tentu berlaku penyesuaian-penyesuaian. Penutur kurang cermat dalam melakukan penyesuaian sehingga melakukan kesalahan. Adanya pola majhûl pada fi‘l tentu dilandasi adanya suatu kebutuhan yang bersifat semantik. Bahasa sebagai ekspresi dan kebutuhan
130
dalam berkomunikasi tentu diharapkan memiliki berbagai pola dan konstruksi bentukan yang dapat digunakan sebagai saluran ekspresi tersebut. Termasuk salah satunya adalah penggunaan pola majhûl. Karena itulah, dalam hal ini penggunaan bentuk majhûl memiliki beberapa tujuan sehingga mengharuskan penutur menyatakan dalam bentuk demikian. Di sisi lain, tidak selamanya fi‘l memiliki binâ’ (rancang bangun kata) yang shahîh, yang tidak terdapat huruf ‘illah di dalamnya. Pada kondisi seperti ini tentu dibutuhkan pengetahuan yang lebih karena pembentukan majhûl tentu harus memenuhi penyesuaian-penyesuaian sesuai dengan keadaan kata yang tidak shahîh tersebut. Adanya fi‘l yang huruf pembentuknya berupa huruf ‘illah memang memberikan kesulitan tersendiri bagi pembelajar B2 yang sedang dalam tahap membangun dan menyempurnakan kaidah-kaidah dalam B2nya. Maka pembelajar harus lebih memperhatikan pola pembentukan majhûl pada bentuk-bentuk kata seperti ini, sehingga terhindar dari kesalahan gramatika. - Pembentukan mujarrad-mazîd, berjumlah 15 ungkapan, atau 11,7 % dari kesalahan sintaksis dan 3,4 % dari seluruh kesalahan gramatika, contohnya adalah : (1) (2)
, seharusnya , seharusnya Fi‘l dalam bahasa Arab dapat berbentuk mujarrrad dan dapat
juga dalam bentuk mazîd. Disebut mujarrad apabila akar kata pada fi‘l mâdhi (verba lampau) tidak terdapat unsur huruf tambahan. Jadi pada fi‘l mâdhi terdiri dari huruf-huruf asli pembentuknya. Contohnya kata “hadhara”, “qatala”, dll. Dan disebut mazîd apabila pada bentuk mâdhi terdapat unsur huruf-huruf tambahan, seperti tambahan huruf hamzah pada
131
“ahdhara”, tambahan alif pada “qâtala”. Penambahan huruf-huruf tersebut menimbulkan konsekuensi pemaknaan yang berbeda dari bentuk mujarradnya. Dengan demikian pola penambahan ini harus dipahami agar tidak keliru dalam pemaknaan baik dalam memahami maupun ketika menggunakannya. Pada contoh (1) penutur membuat bentuk mazîd untuk fi‘l yang seharusnya tetap mujarrad. Penambahan hamzah pada bentuk mujarrad salah satu fungsinya adalah menjadikan fi‘l berstatus muta‘addî (transitif). Sedangkan kata “ghashaba” sebenarnya telah berstatus muta‘addî . Karena itulah seharusnya penutur tetap menggunakan bentuk mujarradnya. Dengan penambahan hamzah pada kata tersebut maka penutur telah membuat suatu tahshîl al-hâshil, yakni membuat suatu hal yang tidak ada gunanya, karena apa yang diupayakannya sebenarnya sudah didapati pada keadaan yang sudah ada. Dalam hal ini penutur membuat suatu generalisasi yang berlebihan (over generalization), berupa penambahan hamzah tersebut. Upaya pembelajar menciptakan struktur yang menyimpang ini adalah berdasarkan pengalamannya mengenai struktur-struktur lain dalam B2. Penciptaan inilah yang pada akhirnya memunculkan kesalahan-kesalahan melalui upaya generalisasi berlebihan berupa penggunaan strategi-strategi atau siasat-siasat yang telah tersedia sebelumnya di dalam situasi-situasi yang baru. Berdasarkan pengalamannya, pembelajar mengambil suatu kesimpulan-kesimpulan melalui upaya men-generalisasi kaidah-kaidah yang telah diterimanya berdasarkan fakta-fakta B2 yang diperoleh sebelumnya. Namun pada kesempatan lain, upaya generalisasinya ini hanya mendasarkan pada kesamaan-kesamaan aspek luar, sehingga berakibat menyesatkan dan tidak
132
dapat diterapkan, yang pada akhirnya membawanya kepada berbuat kesalahan-kesalahan berbahasa. Sedangkan pada contoh (2) adalah sebaliknya, penutur yang seharusnya menggunakan bentuk mazîd ternyata menggunakan mujarrad. Berbeda dengan mâdhi yang dari aspek penulisannya memang dapat diidentifikasi dan dibedakan antara mujarrad dengan mazîd (dalam hal ini adalah pola penambahan hamzah di awal kata), maka pada mudhâri‘ yang mengikuti pola tersebut, cirinya tidak dapat diidentifikasi berdasarkan penulisan. Karena baik untuk mujarrad maupun mazîd dengan hamzah di depan, penulisannya untuk bentuk mudhâri’ tidak ada perbedaan. Identifikasi yang dapat dilakukan hanyalah melalui aspek semantik (pemaknaan). Karena itulah penutur melakukan kesalahan dalam pelafalan yang hal itu berangkat dari pola mazîd bi harf wâhid (penambahan satu hurf) yakni hamzah di awal kata. Pada kesalahan kedua, pembelajar membuat suatu bentuk yang dikenal dengan archi forms. Archi forms merupakan suatu bentuk yang oleh pembelajar B2 telah dipahami sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pemahaman yang melekat, untuk kemudian dipergunakan dalam bentuk lain pada hal yang sama. Archi forms muncul melalui pemilihan salah satu anggota suatu kelas bentuk untuk mewakili atau menggambarkan yang lainnya dalam kelas yang sama. Dalam hal ini penutur menggunakan bentuk mudhâri‘ dari fi‘l mujarrad padahal yang seharusnya adalah dari fi‘l mazîd bi harf wâhid. Sebagai salah satu karakteristik bahasa Arab, isytiqâq (derivasi) memberikan kekayaan bahasa yang membantu untuk memenuhi fungsi bahasa sebagai media pengungkapan ekspresi, ide, perasaan, kehendak yang
133
kesemuanya itu merupakan kebutuhan pengguna bahasa. Banyaknya ragam isytiqâq ini digambarkan mencapai hingga 25 turunan kata. Keragaman isytiqâq dalam bahasa Arab memang membantu dan memberikan kemudahan bagi ekspresi bahasa yang dapat diungkapkan dengan cukup memberikan turunan katanya saja, karena dari satu kata tersebut dapat dikembangkan dengan berbagai pola untuk memberikan pemaknaan baru sesuai yang diinginkan oleh penutur. Di sinilah letak kemudahannya, dengan cukup mengetahui satu kata dapat diturunkan menjadi berbagai macam makna. Namun, di sisi lain, keragaman pola isytiqâq ini juga memberikan konsekuensi yang tidak ringan bagi kemudahan belajar bahasa Arab sebagai B2. Konsekuensi yang dimaksud adalah bahwa keragaman isytiqâq tersebut menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pembelajar Non Arab. Bahwa pada tiap bahasa dijumpai isytiqâq memanglah demikian adanya, namun tidaklah selalu sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, dalam pola isytiqâq nya. Imam Hasan mengemukakan macam-macam proses morfologi dalam bahasa Arab yang meliputi afiksasi, reduplikasi, modifikasi intern, suplisi, dan modifikasi kosong. Proses-proses morfologi di atas ada yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri dengan kompleksitas konstruksinya. Kompleksitas konstruksi berupa adanya lapisan-lapisan konstruksi, adanya konstruksi yang satu sesudah konstruksi yang lain. Lapisan tersebut tidak dapat dibentuk secara mana suka yang tidak menentu, melainkan terdapat aturan-aturan yang telah ditentukan untuk diikuti. Hal yang demikian inilah menjadikan isytiqâq tidak sesederhana yang ada dalam B1 pembelajar bahasa Arab. Akibatnya adalah pembelajar banyak melakukan kesalahan dalam pembentukan turunan suatu kata. Dengan kenyataan di atas, tentu saja hal ini harus diantisipasi oleh pembelajar bahasa
134
Arab sebagai B2nya, dengan lebih fokus lagi terhadap materi pelajaran yang terkait dengan isytiqâq ini.
4. Zamân/Kala (Tense) Kesalahan yang masuk dalam kategori ini sebanyak 3 kesalahan, atau sebesar 2,3 % dari kesalahan morfologi, dan 0,7 % dari seluruh kesalahan gramatika. Ada dua macam kesalahan yang termasuk dalam kategori zamân/kala ini, yaitu kesalahan menggunakan fi‘l mâdhi untuk menunjukkan waktu sekarang, akan datang, atau kebiasaan (yang seharusnya menggunakan fi‘l mudhâri‘), dan kesalahan menggunakan fi‘l mudhâri‘ untuk yang seharusnya menggunakan fi‘l mâdhi. Kesalahan-kesalahan itu adalah : a. Kesalahan menggunakan fi‘l mâdhi untuk menunjukkan waktu sekarang, akan datang, atau kebiasaan. Terdapat 1 kesalahan atau 0,8 % kesalahan morfologi dan 0,2 % kesalahan keseluruhan. Kesalahan tersebut adalah : , seharusnya
b. Kesalahan menggunakan fi‘l mudhâri‘ untuk yang seharusnya menggunakan fi‘l mâdhi. Terdapat 2 kesalahan atau 1,6 % kesalahan morfologi dan 0,5 % kesalahan keseluruhan, contohnya : , seharusnya Fi‘l mâdhi digunakan untuk merujuk kepada terjadinya peristiwa yang telah lewat (masa lalu), sedangkan fi‘l mudhâri‘ digunakan untuk peristiwa yang sedang berlangsung atau yang akan datang. Karena itu pada contoh (1) seharusnya penutur menggunakan bentuk mudhâri‘ karena dia merujuk kepada peristiwa yang sedang dan masih berlangsung, yaitu kegiatan belajar mereka.
135
Sedangkan pada contoh (2) yang menuturkan cerita masa lampau maka seharusnya digunakan bentuk mâdhi. Pada dasarnya penggunaan fi‘l mâdhi memang untuk merujuk ke arah masa yang telah lewat, dan mudhâri‘ merujuk ke masa sekarang atau yang akan datang. Namun demikian bukan berarti tidak ditemukan atau diperbolehkan penggunaan masing-masing untuk waktu yang bertolak belakang dengan ketentuan tersebut. Dalam kenyataannya memang ditemui juga fi‘l mâdhi untuk merujuk pada masa sekarang atau akan datang. Demikian juga pada mudhâri‘, digunakan untuk merujuk kepada waktu yang telah lewat, dan bukan merujuk kepada waktu sedang berlangsung atau yang akan datang. Untuk hal yang demikian ini tentu saja ada ketentuan-ketentuan atau keadaan tertentu sehingga pemakaian keduanya untuk konteks yang berbeda dapat dibenarkan. Fi‘l mâdhi dapat digunakan untuk masa sekarang dan juga akan datang apabila : (1) dipakai pada ungkapan-ungkapan kata mutiara, hikmah dan yang semacamnya; (2) makna yang terkandung pada ungkapan menunjukkan untuk sesuatu yang berlaku selamanya; (3) apabila ungkapan menunjukkan kalam insyâ’ dan bukan kalam khabar, seperti pada pada saat melakukan akad (transaksi), sumpah, atau do’a; (4) apabila terletak setelah frasa syartî; (5) apabila diikuti mâ mashdariyyah zamânî; dan (6) apabila dimaksudkan untuk mempertegas sesuatu yang benar-benar akan terjadi di masa yang akan datang. Sedangkan pada fi‘l mudhâri‘, untuk penggunaan masa / waktu yang berkebalikan (masa lampau) dapat dibenarkan apabila : (1) dalam posisi menjadi hâl atau maf‘ûl bih yang sebelumnya didahului oleh fi‘l mâdhi ; dan (2) apabila dikehendaki untuk merujuk kepada waktu yang telah lewat, namun dipandang baik untuk tetap menggunakan bentuk mudhâri‘. Pada contoh-contoh (1) dan (2) tidak dijumpai kondisi-kondisi sebagaimana yang diperbolehkan penggunaan fi‘l mâdhi untuk masa yang
136
sedang berlangsung dan akan datang, atau mudhâri‘ digunakan untuk masa yang telah lewat. Karena itu penggunaan mâdhi dan mudhâri‘ pada contoh (1) dan (2) tidak dapat dibenarkan. Sebenarnya penggunaan fi‘l yang berkesesuaian waktu dengan peristiwa tidaklah sulit, karena tidak memiliki kaidah yang rumit dalam pembentukannya. Karena itulah kesalahan penggunaan fi‘l mâdhi dan mudhâri‘ yang terkait dengan masalah waktu tidaklah banyak. Kesalahan-kesalahan yang ada bisa jadi masuk dalam kelompok performansi, sehingga lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor di luar kemapanan pengetahuan (kompetensi). B. Penyebab Kesalahan Morfologi Salah satu tahapan yang terpenting dalam prosedur analisis kesalahan adalah melakukan pemetaan dan pemeringkatan kesalahan, dengan cara mengurutkan atau membuat persentase berdasarkan frekuensi terjadinya kesalahan-kesalahan. Tahapan ini penting untuk mengetahui kesalahan pada aspek apa saja yang memiliki frekuensi paling sering terjadi. Dari sini pula nantinya dapat diidentifikasi penyebab kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis maupun gramatika. Karena itu pembahasannya didahului dengan frekuensi kesalahan dan kemudian faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan. 1. Frekuensi Kesalahan Morfologi Data rekaman kegiatan belajar mahasiswa yang berupa diskusi mata kuliah ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu agama merupakan jawaban atas masalah-masalah dalam penelitian ini. Hasilnya berupa kalimat-kalimat yang memberikan gambaran tentang kesalahan berbicara dan penguasaan bahasa Arab mereka, khususnya penguasaan pada tata bahasa, yakni morfologi (sharf) dan sintaksis (nahw). Data lengkap kesalahan baik dalam rangkuman persentase maupun transkrip kalimat disajikan dalam lampiran.
137
Berdasarkan lampiran I yang memuat persentase kesalahan gramatika dalam bahasa tutur mahasiswa, diketahui bahwa dalam bahasa tutur yang berupa kegiatan diskusi selama berlangsungnya perkuliahan, mahasiswa membuat kesalahan-kesalahan dalam aspek morfologi sebagai berikut : Jumlah seluruh kesalahan morfologi adalah sebanyak 128 dari total seluruh kesalahan yang ada (441), atau sebesar 29 % yang terdiri atas : (1) Kesalahan ma‘rifah – nakirah : 11 (8,6 % kesalahan morfologi atau 2,5 % seluruh kesalahan morfologi dan sintaksis) (2) Kesalahan muta‘addî - lâzim : 37 (28,9 % kesalahan morfologi atau 8,4 % seluruh kesalahan morfologi dan sintaksis) (3) Kesalahan isytiqâq : 77 (60,5 % kesalahan morfologi atau 17,5 % seluruh kesalahan morfologi dan sintaksis) (4) Kesalahan zamân : 3 (2,3 % kesalahan morfologi atau 0,7 % seluruh kesalahan morfologi dan sintaksis) Dari perincian di atas, dapat diketahui bahwa kesalahan-kesalahan berbahasa dalam berbicara mahasiswa terbagi atas empat jenis yakni kesalahan dalam ta‘yîn, muta‘addî-lâzim, isytiqâq, dan zamân. Dari empat jenis tersebut, kesalahan yang paling banyak terjadi pada aspek morfologi adalah kesalahan dalam isytiqâq yakni sebanyak 77 kesalahan atau 60,5 % dari seluruh kesalahan morfologi, kemudian disusul oleh kesalahan pembentukan muta‘addî – lâzim, kemudian kesalahan pembentukan ma‘rifah dan nakirah, dan terakhir dalam zamân. Dalam hal jenis kesalahan terbesar pada aspek morfologi ini, yakni isytiqâq, terdapat beberapa kesalahan terbesar pada jenis ini, yakni kesalahan dalam hal pembentukan mashdar, yakni 17 kesalahan, atau 13,3 % dari kesalahan morfologi dan 3,9 % dari total kesalahan morfologi dan sintaksis. Kesalahan terbesar ke dua adalah pada pembentukan fi‘l mujarrad-mazîd, yakni sebanyak 15 kesalahan, atau 11,7 % dari kesalahan morfologi dan 3,4 % dari total kesalahan, dan kesalahan terbesar ke tiga
138
adalah pada pembentukan fi‘l majhûl, yakni sebanyak 13 kesalahan, atau 10,2 % dari kesalahan morfologi dan 2,9 % dari total kesalahan. Melihat fakta tersebut di atas, hal ini menunjukkan bahwa isytiqâq paling banyak memunculkan kesalahan. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa penggunaan isytiqâq berada pada frekuensi yang paling banyak dipakai, terutama pada tiga jenis kesalahan yang paling tinggi, yakni pembentukan mashdar, fi‘l mujarrad – mazîd, dan fi‘l majhûl. Karena itu pola pembentukan isytiqâq dalam tiga hal tersebut harus mendapatkan perhatian yang lebih serius dibandingkan dengan pembentukan isytiqâq pada bentuk yang lain. Artinya, mahasiswa dituntut untuk lebih terampil lagi dalam pembentukannya, yang hal ini dapat diupayakan antara lain melalui pengajaran remedial, penambahan jam pelajaran, atau latihan-latihan yang lebih intensif pada materi-materi tersebut.
2. Faktor Penyebab Kesalahan Morfologi Dari uraian deskripsi dan frekuensi kesalahan sebelumnya, maka dapat diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan. Di antara kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar B2, secara keseluruhan penyebabnya dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu kesalahan antarbahasa (interferensi) dan kesalahan intrabahasa. Kedua kesalahan tersebut merefleksikan peristiwa-peristiwa yang mengiringi proses pembelajaran B2 pada seorang pembelajar. Artinya, bahwa hal itu menunjukkan tingkat perkembangan B2 pembelajar. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud adalah, bahwa seorang pembelajar B2 dalam upaya membangun kesempurnaan aspek-aspek linguistik B2nya tidak dapat melepaskan pengaruh B1 yang telah dimilikinya, maka terjadilah transfer negatif (interferensi) dan menimbulkan kesalahan interferensi atau interlingual (antarbahasa).
139
Selain itu, masih dalam upaya menyempurnakan pengetahuan linguistiknya, pembelajar berupaya membangun kemampuannya dengan mendasarkan kepada pengetahuan B2 sebatas yang telah dikuasainya, hasil dari pembelajaran B2 sebelumnya dan yang sedang berlangsung. Maka dari sini muncullah kesalahan-kesalahan intrabahasa.
a. Kesalahan Antarbahasa (Interferensi) Kesalahan antarbahasa merupakan kesalahan yang timbul akibat pembelajar B2 yang secara otomatis mengambil dan menggunakan sistem B1 yang telah dimilikinya pada saat menggunakan B2nya, melalui tulisan ataupun lisan. Transfer bahasa bagi pembelajar B2 yang telah memiliki B1 merupakan suatu keniscayaan yang sulit dihindari. Analisis kontrastif telah membuktikan adanya peristiwa transfer bahasa tersebut. Hipotesis analisis ini menyatakan bahwa adanya perbedaan-perbedaan yang terdapat pada bahasa sumber (B1) dan bahasa sasaran (B2) dapat menimbulkan masalah-masalah dan kesulitan dalam performansi. Dengan demikian maka kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar merupakan cerminan kesalahan-kesalahan yang strukturnya adalah sama dengan B1 pembelajar. Pada aspek morfologi, beberapa kesalahan yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini adalah yang terkait dengan kesalahan penggunaan bentuk ta‘yîn, muta‘addî – lâzim, dan penggunaan zamân untuk fi‘l. Kesalahan-kesalahan yang terkait dengan penggunaan ta‘yîn (tanda penjelas, yakni ism ma‘rifah dan nakirah) dapat disebabkan antara lain oleh kenyataan bahwa B1 pembelajar tidak mengenal ketentuan penggunaan kata yang harus berstatus jelas, tertentu (ma‘rifah) kecuali untuk kepentingan-kepentingan yang dikehendaki dengan menambahkan leksikal seperti ”ini”, ”itu”, ”tersebut” dan lain sebagainya. Hal ini berbeda dengan bahasa Arab yang memiliki ketentuan penggunaan status ma‘rifah
140
atau nakirah dalam posisi tertentu. Beberapa contoh berikut ini menunjukkan kesalahan yang terkait dengan status ma‘rifah dan nakirah, misalnya
, di
mana kata bergaris bawah seharusnya berstatus ma‘rifah dengan penambahan huruf ”alif” dan ”lam”/”al”. Hal ini karena diyakini bahwa kata tersebut merujuk kepada suatu hal yang telah jelas. Sedangkan pada contoh yang berikut ini , , kata bergaris bawah tidak seharusnya dihadirkan dalam status ma‘rifah karena pada pola seperti ini memang biasanya yang digunakan adalah bukan bentuk ma‘rifah, akan tetapi nakirah. Selain itu penggunaan bentuk nakirah menunjukkan bahwa penutur bermaksud memberitahukan suatu hal yang belum diketahui, karena baru akan disampaikan pada waktu setelah perkataannya tersebut. Indikasi kesalahan antarbahasa juga dapat dilihat pada kesalahan yang terkait dengan pembentukan pola fi‘l muta‘addî - lâzim. Kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pola ini banyak dipengaruhi oleh pola B1 pembelajar, melalui penggunaan hurûf jarr setelah fi‘l. Banyak didapati penggunaan hurûf jarr yang seharusnya tidak perlu, atau keliru penggunaan hurûf jarr sehingga mengakibatkan kesalahan pemaknaan. Di antara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada kelompok ini, misalnya :
, penutur meletakkan hurûf jarr ”‘an” setelah fi‘l ”yubayyin” yang seharusnya tidak perlu, karena cukup dengan fi‘l saja dan langsung menjadikan ism setelahnya sebagai obyek. Nampaknya penutur terpengaruh dengan pola pada bahasa Indonesia di mana kata dapati frasa ”menjelaskan tentang” yang kemudian ditransfer ke bahasa Arabnya dengan meletakkan hurûf jarr ”’an”. Demikian pula pada contoh lain, seperti seharusnya tidak memerlukan hurûf jarr ”lam” setelah fi‘l ”amara”. Ungkapan tersebut terjemahannya adalah ”Kita mengerjakan perbuatan-perbuatan yang telah diperintahkan oleh Allah kepada kita”. Nampak bahwa penggunaan hurûf jarr ”lam”
, yang
141
merupakan transfer penggunaan kata ”kepada” setelah kata kerja ”diperintahkan/memerintahkan” dalam B1 pembelajar. Dalam ungkapan bahasa Arab, sebenarnya tanpa menggunakan ”lam” sudah mengandung makna demikian, karena ”lam” tidak selalu diterjemahkan dan digunakan untuk arti ”kepada”. Sedangkan yang berkebalikan, yakni yang harus ditambahkan hurûf jarr akan tetapi ternyata langsung ke ism, contohnya adalah
. Dalam ungkapan
tersebut terdapat fi‘l ”yahtâj” yang dalam konstruksinya sebenarnya harus ber-idiom dengan hurûf jarr ”ilâ” . Dalam bahasa Indonesia sebagai B1 pembelajar, memang kata ”yahtâj” yang diterjemahkan membutuhkan tidak selalu diikuti dengan kata lain sebelum ke obyeknya. Karena itulah penutur mentransfernya dalam ungkapan bahasa Arab seperti contoh kesalahan di atas. Demikian pula pada ungkapan di mana penutur membuat muta‘addî untuk fi‘l yang lâzim, yang seharusnya diberikan hurûf jarr ternyata langsung ke obyeknya. Fi‘l ”targhabu” tidak dapat langsung bersambungan dengan ism sebagai obyek (maf‘ûl bih) nya akan tetapi harus didahului dengan hurûf jarr, yakni ”fî” atau ”‘an”, tergantung makna yang diinginkan oleh penutur. Selain dua hal di atas, penambahan dan penghilangan, ditemukan juga kesalahan antarbahasa dalam bentuk kesalahan penghadiran hurûf jarr, yakni salah meletakkan hurûf jarr yang sesuai untuk makna yang diinginkan. Diantara kesalahan pada jenis ini adalah
, di mana penutur melakukan kesalahan
dalam menghadirkan hurûf jarr berupa “‘an”. Penghadiran ”‘an” setelah fi‘l ”yabhats” akan memunculkan makna mencari, dan bukan mempelajari, atau membahas, sebagaimana yang dapat dipahami dari ungkapan penutur. Sebenarnya, tanpa penghadiran ”‘an” sudah dapat didapatkan makna yang dimaksud, atau seandainya ditambahkan dengan hurûf jarr maka dapat menggunakan ”fî”.
142
Kesalahan antarbahasa juga dapat diidentifikasi pada kesalahan penggunaan zamân (kala) pada fi‘l. Penggunaan fi‘l pada bahasa Arab sekaligus memiliki konsekuensi waktu pemakaiannya. Ketika mengucapkan fi‘l maka hal itu sekaligus menunjukkan waktu pemakaiannya. Artinya, bahwa penggunaan fi‘l harus memperhatikan bentuk/pola karena hal itu memiliki implikasi keterangan waktu. Suatu hal yang berbeda dengan B1 pembelajar, di mana tidak selalu mengharuskan kehadiran keterangan waktu pada saat menggunakan kata kerja (fi‘l). Meskipun pada hasil penelitian ini tidak menunjukkaan frekuensi kesalahan yang signifikan (karena hanya ditemukan 3 kesalahan saja atau 0,7 % dari seluruh kesalahan), akan tetapi tetap harus mendapatkan perhatian. Diantara contoh kesalahan dalam penggunaan fi‘l yang terkait dengan zamân ini adalah
. Fi‘l
bergaris bawah menunjukkan masa yang telah lewat (mâdhi), padahal ungkapan tersebut dimaksudkan untuk konteks yang sedang berjalan (mudhâri‘). Demikian pula pada contoh berikut,
, di mana penutur menggunakan
fi‘l mudhâri‘ yang menunjukkan waktu sekarang atau yang akan datang, padahal ungkapan itu menjelaskan kejadian yang telah lewat. Penutur pada kedua ungkapan di atas tidak memperhatikan implikasi penggunaan fi‘l terkait dengan waktu, karena memang dalam B1 mereka tidak ditemui keharusan menyertakan keterangan waktu pada fi‘l (kata kerja) kecuali untuk konteks-konteks yang memang mengharuskannya. b. Kesalahan Intrabahasa Kelompok kesalahan ini, yakni intrabahasa, berupa kesalahan-kesalahan yang merefleksikan ciri-ciri umum kaidah B2 yang sedang dipelajari oleh pembelajar. Dalam hal ini pembelajar B2 melakukan kesalahan-kesalahan yang bukan merupakan refleksi dari struktur dan kaidah B1 yang telah dimilikinya. Akan tetapi melakukan
143
kesalahan-kesalahan yang mencerminkan struktur B2 yang sedang dipelajarinya. Karena itulah dari sini muncul istilah intrabahasa, intralingual dan bukan antarbahasa atau interlingual/interferensi. Dalam kesalahan intrabahasa, Richards (1971) dan Fisiak (1985) menyatakan bahwa penyebab kesalahan meliputi penyamarataan yang berlebihan (over generalization), ketidaktahuan pembatasan kaidah (ignorance of rule restrictions), penerapan kaidah yang tidak sempurna (incomplete application of rules), dan salah menghipotesiskan konsep (false concepts hypothesized). Data yang diperoleh dari kegiatan diskusi mahasiswa memang tidak seluruhnya menunjukkan adanya kesalahan akibat pengaruh B1 atau interferensi. Dalam kenyataannya ditemui juga adanya kesalahan yang bukan disebabkan oleh faktor B1nya akan tetapi karena belum lengkapnya kaidah, atau sudah memiliki kaidah akan tetapi belum sampai pada tahap stabilisasi sehingga terkadang masih melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan merupakan hal yang wajar dalam proses penguasaan B2 karena hal itu sekaligus menunjukkan perkembangan penguasaan B2nya. Kesalahan morfologi yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini misalnya yang terkait dengan isytiqâq. Isytiqâq (derivasi) sebagai salah satu karakteristik bahasa Arab, memberikan kekayaan bahasa yang membantu untuk memenuhi fungsi bahasa sebagai media pengungkapan ekspresi, ide, perasaan. Keragaman isytiqâq dalam bahasa Arab memang membantu dan memberikan kemudahan bagi ekspresi bahasa yang dapat diungkapkan dengan cukup memberikan turunan katanya saja, karena dari satu kata tersebut dapat dikembangkan dengan berbagai pola untuk memberikan pemaknaan baru sesuai yang diinginkan oleh penutur. Di satu sisi, isytiqaq memberikan kemudahan, karena dengan cukup satu kata dapat diturunkan menjadi berbagai macam makna. Namun, di sisi lain, keragaman pola isytiqâq ini juga memberikan konsekuensi
144
yang tidak ringan bagi pembelajar Indonesia yang menjadikan bahasa Arab sebagai B2nya. Konsekuensi yang dimaksud adalah bahwa keragaman isytiqâq tersebut menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pembelajar Non Arab. Bahwa pada tiap bahasa dijumpai isytiqâq memanglah demikian adanya, namun tidaklah selalu sama antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, dalam pola isytiqâq nya. Proses-proses morfologi dalam isytiqâq ada yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri dengan kompleksitas konstruksinya. Kompleksitas konstruksi berupa adanya lapisan-lapisan konstruksi, adanya konstruksi yang satu sesudah konstruksi yang lain. Lapisan tersebut tidak dapat dibentuk secara mana suka yang tidak menentu, melainkan terdapat aturan-aturan yang telah ditentukan untuk diikuti. Hal yang demikian inilah menjadikan isytiqâq tidak sesederhana yang ada dalam B1 pembelajar bahasa Arab. Akibatnya adalah pembelajar banyak melakukan kesalahan dalam pembentukan turunan suatu kata. Beberapa contoh berikut ini menunjukkan kesalahan dalam isytiqâq, seperti : (1)
, (2)
, (3) , dan (5)
(2), dan (3) merupakan kesalahan isytiqâq pada ism, dan contoh (4) dan (5) kesalahan isytiqâq pada fi‘l. Kesalahan-kesalahan tersebut berupa kekeliruan dalam melakukan proses morfologis karena memang terdapat banyak cara dan pola isytiqâq dalam bahasa Arab terkait dengan wazn (pola) dan juga shîghah (bentukan) yang bermacam-macam. Demikian juga terkait dengan jumlah huruf pembentuk kata yang dapat bertambah, yang pada akhirnya masing-masing memiliki konsekuensi pola bentukan sendiri-sendiri. Proses morfologis pada isytiqâq ini berbeda sama sekali antara bahasa Indonesia dengan bahasa Arab. Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang bertipe
145
aglutinasi, yakni proses pembentukan kata dalam bahasa yang beraglutinasi dilakukan melalui afiksasi (pengimbuhan), seperti prefik (penambahan awalan), sufik (penambahan akhiran) dan infik (penyisipan). Dengan demikian pada kata dasar tidak mengalami perubahan sama sekali, tetapi hanya mendapat penambahan baik awalan, akhiran, awalan dan akhiran maupun penyisipan. Sedangkan dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa bertipe infleksi, proses pembentukan kata dilakukan melalui perubahan bentuk dasar menjadi bentuk lainnya. Perubahan bentuk yang dimaksud bukan hanya dilakukan melalui penambahan awalan, penyisipan, dan penambahan akhiran saja, tetapi lebih dari itu adalah pembentukan kata yang memiliki makna baru melalui proses derivasi dan infleksi. Dengan demikian, kesalahan yang terjadi pada isytiqâq tidak dapat dikatakan sebagai akibat pengaruh B1 pembelajar atau transfer negatif, karena pembentukan kata diantara kedua bahasa pembelajar memang berbeda sama sekali. Kesalahan yang terjadi pada isytiqâq lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan kaidah-kaidah isytiqâq sehingga terkadang pembelajar membuat upaya-upaya mandiri dengan mencoba-coba menghadirkan bentuk kata berdasarkan pengalaman atas kaidah B2 yang telah diterimanya. Upayanya mengkaitkan dengan kaidah-kaidah B2 yang telah diterimanya inilah yang menjadikannya jatuh pada kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang ada pada contoh di atas menunjukkan hal tersebut. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa kesalahan gramatika disebabkan oleh belum mantapnya pemahaman kaidah tata bahasa. Kesalahan ini terkait dengan karakteristik linguistik pada bahasa Arab yang bisa saja ternyata berbeda antara bahasa Arab dengan dengan B1 pembelajar, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia. Diantara karakteristik bahasa Arab ada yang memang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia, namun ada juga yang dimiliki oleh bahasa Indonesia akan tetapi memiliki perbedaan. Karakteristik inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kesalahan berbahasa dalam aspek morfologi.
146
Hasil verifikasi data kesalahan berbahasa menunjukkan bahwa kesalahan-kesalahan gramatikal mahasiswa memang terkait dengan karakteristik bahasa Arab. Karakteristik tersebut ada yang ditemui juga dalam B1 pembelajar, dan ada juga yang memang tidak dimiliki. Beberapa karakteristik bahasa Arab dalam aspek morfologis yang menimbulkan kesalahan tersebut adalah : a. Konsep isytiqâq, di mana bahasa Arab memiliki pola pembentukan yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Bahasa Arab yang merupakan bahasa bertipe infleksi, memiliki pola perubahan atau pembentukan kata yang berbeda dengan bahasa Indonesia yang bertipe aglutinasi. Pada bahasa tipe infleksi perubahan atau pembentukan kata berlangsung melalui perubahan bentuk dasar menjadi bentuk lainnya. Hal ini berbeda dengan tipe aglutinasi pada bahasa Indonesia yang pembentukan atau perubahan kata berlangsung melalui pola-pola afiksasi (pengimbuhan), yang meliputi pengimbuhan di awal kata (prefik), pengimbuhan di akhir kata (sufik) dan melalui penyisipan (infik). Pada bahasa Arab misalnya terdapat perubahan dari shîghah (bentuk) mâdhi ke mashdar, atau ke ism fâ‘il, ke ism maf‘ûl dan seterusnya. Belum lagi perubahan dari fi‘l yang mujarrad (yang kosong belum ada tambahan) ke mazîd (penambahan) . Perhatikan perubahan kata berikut ini, misalnya kata “‘alima” dapat berubah ke “‘ilm, ‘âlim, ma‘lûm”, dan seterusnya. Kata tersebut juga dapat berubah ke bentuk mazîd menjadi “‘allama, ta’allama, ista’lama”, yang masing-masing juga dapat berubah ke bentuk mashdar, ism fâ‘il, ism maf‘ûl yang berbeda. Sedangkan dalam bahasa Indonesia hanya ditemui kata “ajar”, berubah menjadi “belajar, mengajar, pelajaran, mengajarkan, ajari, diajarkan, diajari”, yang masing-masing hanyalah berupa penambahan di awal atau di akhir kata ajar. Dengan demikian pada kata dasar tidak mengalami perubahan sama sekali, tetapi hanya mendapat penambahan baik awalan, akhiran, awalan dan akhiran maupun penyisipan. Sedangkan dalam bahasa Arab proses pembentukan kata dilakukan melalui perubahan bentuk dasar menjadi
147
bentuk lainnya. Perubahan bentuk yang dimaksud bukan hanya dilakukan melalui penambahan awalan, penyisipan, dan penambahan akhiran saja, tetapi lebih dari itu adalah pembentukan kata yang memiliki makna baru melalui proses derivasi dan infleksi. Hal ini menjadikan perubahan kata pada bahasa Arab menjadi lebih rumit dan kompleks dibandingkan dengan pada bahasa Indonesia. Terbukti dari macam kesalahan pada isytiqâq ini yang terdiri dari berbagai bentukan, seperti pada isytiqâq ism, kesalahannya meliputi pembentukan ‘adad, jam‘ taksîr, mashdar, mansûb, dan shifât. Kesalahan terbanyak ada pada pembentukan mashdar, yakni 17 dari 32 kesalahan pada isytiqâq ism ini. Pada isytiqâq fi‘l kesalahannya meliputi pembentukan yang terkait dengan ‘adad, hurûf mudhâra‘ah, ma‘lûm, majhûl, dan mujarrad-mazîd. Kesalahan terbanyak ada pada pembentukan mujarrad-mazîd, yakni 15 dari 45 kesalahan. Kesalahan yang terjadi dalam isytiqâq ini pun menunjukkan frekuensi yang tinggi, yakni 60,2 % dari kesalahan morfologi, dan 17,5 % dari seluruh kesalahan. Tingginya kesalahan dalam hal ini menunjukkan masih kompleksnya materi yang terkait dengan isytiqâq dan kerumitan pola pembentukannya. b. Konsep lâzim (intransitif) melalui melalui penambahan hurûf (preposisi), yang hal ini terkadang merupakan idiom kesatuan dengan fi‘l-nya sehingga kesalahan pemilihan hurûf yang mengikuti fi‘l tersebut dapat mengakibatkan kesalahan dalam pemaknaan. Problem besar yang ada pada kesalahan kelompok ini adalah penambahan hurûf jarr (preposisi) pada fi‘l yang seharusnya tidak perlu. Dalam bahasa Arab fi‘l yang demikian disebut dengan muta‘addî, yang langsung berhubungan dengan ism sebagai maf‘ûl bih tanpa melalui perantara hurûf jarr. Ketika dihadirkan hurûf jarr maka fi‘l tersebut berstatus menjadi lâzim, atau muta‘addî bi ghairih. Kesalahan inilah yang memiliki frekuensi cukup tinggi, yakni 31 dari 37 kesalahan yang ada pada kelompok muta‘addî – lâzim ini. Yang 6 kesalahan berupa sebaliknya, yakni meniadakan hurûf jarr pada fi‘l lâzim sehingga
148
berstatus menjadi muta‘addî. Secara keseluruhan pada kelompok ini kesalahannya mencapai 28,9 % kesalahan morfologi, atau 8,4 % kesalahan secara keseluruhan morfologi dan sintaksis. Tingginya frekuensi kesalahan mahasiswa dalam jenis ini menunjukkan kesulitan mereka dalam penggunaannya. Hal ini terbukti dari tingginya frekuensi kesalahan pada penggunaan hurûf yang sebenarnya tidak perlu tersebut. Fi‘l yang sudah berstatus muta‘addî, yang dengan demikian harus langsung diikuti ism sebagai maf‘ûl bih (obyeknya) dan tidak perlu ditambahkan hurûf, ternyata oleh pembelajar ditambahkan sehingga statusnya menjadi lâzim. Sebenarnya dalam bahasa Indonesia juga terdapat konsep transitif dan intransitif, akan tetapi yang berbeda adalah penggunaan hurûf (preposisi) dalam bahasa Arab yang menyebabkan verba menjadi intransitif. Penggunaan hurûf ini bahkan ada yang menjadi sebuah idiom sehingga harus benar-benar tepat penerapannya dengan fi‘l untuk didapatkan makna yang tepat sesuai dengan yang dikehendaki. c. Konsep nakirah dan ma‘rifah pada ism, yang dalam hal ini terkait dengan penggunaan ism ma‘rifah melalui penambahan “alif” dan “lam” (al). Nomina dalam bahasa Arab (ism) selalu terkait dengan konsep nakirah dan ma‘rifah. Artinya, penyebutan ism selalu dapat diikuti dengan apakah ism tersebut tergolong ma‘rifah ataukah nakirah. Hal ini penting terkait dengan fungsi ma‘rifah dan nakirah dalam pembentukan kalimat. Ma‘rifah digunakan untuk merujuk kepada sesuatu (nomina) yang sudah jelas / tertentu, sedangkan nakirah merujuk kepada sesuatu yang belum jelas. Masing-masing juga memiliki konsekuensi dalam penggunaannya. Ma‘rifah tidak bisa digunakan dalam konteks nakirah, dan demikian pula sebaliknya. Sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak mengenal istilah nakirah dan ma‘rifah. Bahasa Indonesia tidak memiliki konsep seperti ini, dan dengan sendirinya tidak terdapat kaidah ataupun aturan yang mengharuskan penggunaan dengan bentuk seperti nakirah ataukah ma‘rifah. Namun demikian bukan berarti dalam bahasa Indonesia tidak dijumpai sama sekali penggunaan yang
149
seperti ini, karena ada pengungkapan-pengungkapan yang merujuk ke arah sesuatu yang jelas melalui penambahan kata penunjuk, seperti “ini”, “itu”, “tersebut”, atau melalui keterangan dalam bentuk penambahan frasa maupun klausa. Kesalahan yang dibuat oleh mahasiswa subyek penelitian memang tidak menunjukkan angka yang tinggi, yakni 11 kesalahan atau 8,6 % kesalahan morfologi dan 2,5 % kesalahan secara keseluruhan. Namun demikian ada hal yang perlu menjadi perhatian, yakni kesalahan yang lebih banyak pada kelompok ini adalah membuat ma‘rifah pada yang seharusnya nakirah, mencapai 9 dari 11 kesalahan. d. Konsep zamân, atau kala dalam fi‘l (verba). Verba dalam bahasa Arab selalu terikat dengan waktu, bisa yang telah lalu, sekarang maupun yang akan datang. Artinya, setiap fi‘l merujuk kepada dua hal, pertama kandungan peristiwa perbuatan, dan kedua, waktu perbuatan/peristiwa itu terjadi. Keterkaitan dengan waktu ini kemudian melahirkan pembagian fi‘l berdasarkan waktu kepada tiga macam, yakni mâdhî, mudhâri‘, dan amr. Masing-masing fi‘l tersebut memiliki pola-pola bentukan yang tertentu dan sekaligus disesuaikan dengan pelaku (subyek / fâ‘il dalam bentuk dhamîr). Sedangkan dalam bahasa Indonesia, pengungkapan zamân dilakukan melalui penambahan leksikal sebagai keterangan waktunya, karena pengungkapan fi‘l dalam bahasa Indonesia tidak terkait dengan waktu tertentu. Pembelajar yang membuat ungkapan dalam bahasa Arab harus mempertimbangkan bentuk yang pas untuk fi‘l sesuai dengan waktu terkait karena kesalahan mempergunakan fi‘l yang tidak sesuai dengan waktunya akan menyebabkan kesalahan pemahaman terhadap waktu kejadian / peristiwa. Data kesalahan berbahasa yang terjadi pada mahasiswa subyek penelitian ini juga tidak banyak, yakni hanya terjadi sebanyak tiga kali, atau 2,3 % dari kesalahan morfologi, dan 0,7 % dari kesalahan keseluruhan. Hal ini dapat dipahami berdasarkan penalaran, bahwa data diskusi yang berupa penjelasan dan interaksi kebanyakan memang menggunakan bentuk mudhâri‘. Hal ini terbukti dari lebih
150
banyaknya kesalahan yang berupa penggunaan mudhâri‘ dibandingkan dengan sebaliknya, yakni 2 dari 3 tiga kesalahan yang ada. Berbeda dengan bercerita misalnya, yang sangat mungkin menggunakan variasi waktu lampau dengan sedang atau yang akan datang. e. Konsep ‘adad (bilangan), baik ism maupun fi‘l selalu terkait dengan konsep ini, yang meliputi tunggal (mufrad), dual (mutsannâ), dan plural (jam‘). Artinya, ketika mengucapkan ism maka hal itu selain merujuk kepada arti benda, juga menunjukkan jumlah benda. Untuk itu terdapat pola-pola untuk mengungkapan benda dalam jumlah tertentu, apakah tunggal, dual ataukah plural. Pembelajar B2 tidak bisa melakukan penyebutan benda begitu saja sebagaimana yang pada B1nya yang untuk penunjuk jumlah harus ditambahkan secara leksikal. Konsep ‘adad ini juga mengikat pada fi‘l, artinya setiap fi‘l selain mengandung makna peristiwa/perbuatan, dan waktu terjadinya perbuatan tersebut, juga mengandung makna jumlah pelaku. Dalam bahasa Indonesia konsep bilangan hanya berlaku untuk nomina saja, dan itupun tidak bersifat include, atau melekat pada nomina melainkan diberikan penambahan leksikal yang menunjukkan bilangan, atau melalui reduplikasi. Konsep bilangan yang melekat pada leksikal baik nomina maupun verba dalam bahasa Arab ini menyebabkan pembelajar harus melakukan penyesuaian dalam pemilihan bentuk agar tidak terjatuh kepada melakukan kesalahan. Kesalahan yang terkait dengan ‘adad ini secara keseluruhan mencapai 20 dari 441 kesalahan atau 4,5 %. Maksud secara keseluruhan adalah kesalahan baik yang masuk dalam kelompok tawâfuq ‘adad maupun isytiqâq yang terkait dengan ‘adad. f. Konsep nau‘ (penanda jender) untuk ism maupun fi‘l. Selain ‘adad (bilangan), hal lain yang melekat pada ism dan fi‘l adalah sistem nau‘. Setiap ism dan fi‘l tidak terlepas dari salah satu jenis muannats (feminin) ataukah mudzakkar (maskulin). Artinya, ketika menyebutkan ism atau fi‘l maka pada keduanya dapat diidentifikasi
151
apakah ia tergolong untuk mudzakkar ataukah muannats. Penandaan untuk jenis ini pada ism pun dapat berbeda-beda. Demikian juga pada fi‘l terdapat kaidah-kaidah melalui penambahan unsur-unsur tertentu pada kata tersebut. Selain untuk menunjukkan status suatu benda, adanya sistem nau‘ ini juga untuk menta’ati asas persesuaian yang berlaku pada susunan bahasa Arab, baik dalam tingkat frasa, klausa, maupun kalimat. Bahasa Indonesia tidak memiliki sistem seperti ini, dan tidak mengenal adanya jenis baik untuk nomina maupun verba. Untuk merujuk kepada status jenis suatu benda/sesuatu maka ditambahkan leksikal “laki-laki” atau “perempuan” setelahnya. Hal yang demikian ini termasuk salah satu yang menyebabkan kesulitan dalam memahami sistem nau‘ dalam bahasa Arab. Terbukti dari tingginya kesalahan yang terkait dengan nau‘, yakni terdapat 127 dari 441 kesalahan secara keseluruhan, atau besarannya mencapai 28,8 %. Dari uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa faktor penyebab timbulnya kesalahan-kesalahan berbicara dalam bahasa Arab pada aspek morfologi oleh mahasiswa subyek penelitian dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, terdapat kecenderungan mahasiswa mengalihkan pola-pola kalimat B1 mereka yakni bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab sehingga hasil ketika mereka berbicara dalam konteks presentasi dan diskusi perkuliahan masih kelihatan adanya pengaruh bahasa Indonesia terhadap bahasa Arab. Pengaruh-pengaruh ini seperti kesalahan penggunaan bentuk ta‘yîn, muta‘addî – lâzim, penggunaan zamân untuk fi‘l, dan persoalan pembentukan ’adad, nau‘ maupun ta‘yîn. Kesalahan yang semacam ini disebut dengan kesalahan interlingual/antarbahasa. Di samping itu, ada kesalahan yang disebabkan oleh faktor kesulitan dalam bahasa Arab itu sendiri, misalnya adanya perbedaan pada unsur-unsur bahasa antara bahasa Indonesia dengan Arab seperti di atas. Kesalahan yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini misalnya yang terkait dengan isytiqâq. Isytiqâq dalam bahasa Arab
152
dengan berbagai macam bentuk dan pengggunaannya tidak jarang menimbulkan kesalahan. Hal-hal inilah yang menimbulkan kesalahan dalam keterampilan berbicara atau berbahasa tutur mahasiswa MAHAT. Kesalahan yang semacam ini disebut dengan kesalahan intralingual atau intrabahasa. C. Upaya Mengatasi Kesalahan Morfologi Kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar bahasa asing merupakan umpan balik yang baik bagi guru, pembelajar dan juga peneliti. Bagi guru kesalahan yang muncul akan memberikan petunjuk atas seberapa jauh penguasaan pembelajar atas materi yang telah diberikan dan juga seberapa jauh kemajuan mereka. Guru juga akan mengetahui efektifitas teknik dan metode pengajaran yang digunakannya. Selaini itu, adanya kesalahan tersebut juga merupakan informasi dalam usaha merencanakan silabus dan program pengulangan pengajaran (remedial). Sedangkan bagi pembelajar, kesalahan itu sendiri merupakan refleksi atas kemampuan mereka selama ini. Pembelajar akan tahu bagian-bagian mana saja yang masih menyisakan problem penguasaan pada B2 mereka. Dan bagi peneliti, kesalahan tersebut merupakan petunjuk bagaimana bahasa seharusnya dipelajari, strategi dan prosedur apa yang digunakan dan seharusnya dikembangkan dalam rangaka penguasaan bahasa asing. Terkait dengan hal di atas maka hal yang penting dilakukan setelah diketahuinya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar, dan setelah kesalahan-kesalahan berbahasa dalam berbicara dapat diidentifikasi, diklasifikasikan, dan dicari faktor-faktor penyebabnya, maka selanjutnya adalah bagaimana membuat agar kesalahan tidak lagi terjadi melalui upaya-upaya seperti strategi pembetulan kesalahan, pemberian latihan-latihan, dan penyusunan materi. 1. Strategi Pembetulan Kesalahan
153
Chaudron sebagaimana dikutip oleh Suwarna menyatakan, bahwa pembetulan kesalahan akan efektif jika (1) dilakukan pada saat yang tepat (2) aktifitas merupakan instruksional formal atau bertujuan pembelajaran, dan (3) mendasarkan pada prinsip pedagogis. Dengan demikian, maka seharusnya upaya pembetulan kesalahan bersifat selektif dan dilakukan pada saat aktifitas kegiatan pembelajaran berlangsung. Selain itu pembetulan juga dilakukan apabila pembelajar belum mampu membetulkan sendiri terhadap kesalahan yang telah dilakukannya. Di sisi lain, Tarigan menyatakan bahwa pembetulan kesalahan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pembetulan secara langsung ini dengan cara pengajar menunjukkan kesalahan itu dan bagaimana cara membetulkannya, sedangkan siswa bertugas merekonstruksi pernyataannya yang salah dengan pernyataan baru yang benar. Sedangkan pembetulan secara tidak langsung adalah dengan cara yang tidak disadari oleh pembelajar kalau dirinya sedang dibetulkan oleh pengajarnya. Tentu saja hal ini harus memperhatikan berbagai kondisi yang sesuai dengan kegiatan belajar-mengajar. Dengan memperhatikan jenis kesalahan yang terjadi pada data kesalahan berbahasa mahasiswa MAHAT sebagai subyek penelitian, dan data sosiolinguistik mereka yang kesemuanya merupakan lulusan pesantren maka teknik yang dikemukakan oleh Long dan Choudron (dalam Ellis) dapat dijadikan rujukan. Teknik pembetulan yang dimaksud adalah (1) pengajar mengulang kesalahan yang dibuat oleh pembelajar dan kemudian memberikan pembetulannya; (2) mengatur perlakuan yang mengarah kepada pembelajar untuk berusaha melakukan koreksi sendiri; (3) strategi yang mengarah kepada pemancingan respon yang benar dari pembelajar; (4) dengan melakukan reaksi apapun yang mengarah kepada upaya pembetulan; (5) penguatan positif dan negatif yang melibatkan persepsi setuju atau tidak setuju. Persepsi setuju dan tidak setuju dapat dilakukan melalui upaya kinesik, paralinguistik, ekspresi wajah, anggota badan, dan lain sebagainya.
154
Dengan cara pembetulan yang secara tidak langsung maka akan memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk ikut serta berperan aktif dan kreatif karena akan berusaha membetulkan kesalahannya sendiri. Pembelajar juga merasa dihargai kemampuannya untuk membetulkan sendiri sehingga tidak terasa menyakitkan terhadap pembetulan kesalahan yang dilakukannya. Selain itu hal ini juga akan memberikan efektifitas dan efisiensi dalam pembelajaran karena tidak setiap kesalahan harus dibetulkan oleh pengajar. Berdasarkan pengamatan penulis, dan pengecekan data rekaman menunjukkan bahwa peran pengajar dalam pembetulan kesalahan belum ditemukan. Nampaknya para pengajar belum merasa perlu untuk melakukan pembetulan-pembetulan di saat pengajaran mata kuliah mereka. Bisa saja hal ini disebabkan oleh waktu yang tersita lebih banyak untuk pembahasan materi kuliah yang bersangkutan, sehingga waktu digunakan habis untuk menerangkan atau mengulang pembahasan yang telah disampaikan oleh mahasiswa melalui media diskusi kelas. Dengan adanya hasil penelitian ini tentu saja diharapkan pembetulan kesalahan bukan hanya merupakan tanggung jawab pengajar materi bahasa Arab, atau hanya terjadi pada saat mata kuliah yang terkait dengan bahasa Arab saja. Peran pengajar secara keseluruhan, yang selain kompeten dalam bidang keilmuan masing-masing juga cakap dalam kemampuan berbahasa Arab aktif, merupakan kebutuhan mutlak dalam rangka ikut membantu meminimalkan kesalahan mahasiswa dalam berbahasa lisan. 2. Latihan Materi Kebahasaan Di samping teori yang terkait dengan materi kebahasaan, dalam aspek morfologi, latihan juga perlu diberikan terutama untuk kesalahan-kesalahan yang paling banyak dibuat oleh mahasiswa. Latihan-latihan tersebut perlu diintensifkan dan dikembangkan sehingga kesalahan-kesalahan yang sama diharapkan tidak terulang lagi.
155
Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang terjadi maka yang perlu mendapatkan porsi latihan adalah sebagai berikut : a. Latihan tentang isytiqâq. Kesalahan dalam isytiqâq mencapai 18,4 % atau sebanyak 83 dari 451 seluruh kesalahan. Hal ini berarti masih menunjukkan sulitnya penguasaan isytiqâq dengan berbagai macam polanya. Mengingat banyaknya pola yang ada dalam isytiqâq ini, baik pada ism maupun fi‘l maka latihan-latihan yang dapat dilakukan antara lain dengan cara membantu pemahaman makna berdasarkan perubahan kata, latihan membedakan arti untuk bentuk-bentuk yang berbeda. b. Latihan mengenai penggunaan preposisi (hurûf jarr) dalam kaitannya dengan fi‘l. Yang dimaksud dengan latihan preposisi adalah terkait dengan idiom, yakni keterkaitan dengan fi‘l sebelumnya. Persoalan idiom memang menjadi permasalahan tersendiri mengingat kesalahan yang terjadi pada kelompok ini tidaklah sedikit, terutama yang terkait dengan kesalahan membuat lâzim pada fi‘l yang muta‘addî. Hal ini menunjukkan kecenderungan pembelajar memasukkan hurûf jarr berdasarkan keterkaitan dalam sistem B1nya. Metode-metode yang digunakan dalam latihan dapat merujuk kepada strategi pengajaran bahasa Arab. Metode latihan yang dimaksud tentu saja yang sesuai dengan aspek gramatika, khususnya morfologi (sharf). Metode latihan yang berkembang belakangan menunjukkan ke arah perlunya penyajian gramatika fungsional (al-nahw al-wadzîfî). Untuk itu perlu penekanan kepada materi dan latihan yang terkait dengan gramatika fungsional tersebut. Dalam hal ini terdapat berbagai macam latihan, yakni latihan mekanis, bermakna, dan komunikatif. Masing-masing latihan ini memiliki teknik-teknik yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan tingkatan materi yang diajarkan. 3. Prioritas Materi Pengajaran
156
Kesalahan berbahasa yang sepintas menunjukkan suatu hal yang menyakitkan ternyata dapat memberikan manfaat yang besar bagi keberhasilan pengajaran bahasa. Sebagai suatu keniscayaan maka kesalahan tidak dapat ditolak keberadaanya. Namun berawal dari munculnya kesalahan inilah pada akhirnya ditemukan manfaat linguistis maupun pedagogis dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa asing. Dari sinilah kemudian muncul analisis kontrastif yang kemudian disempurnakan dengan analisis kesalahan. Analisis kesalahan akan memberikan umpan balik yang sangat berharga bagi pengevalusian dan perencanaan pengajaran, terutama terkait dengan penyusunan materi dan strategi pengajaran, meskipun pada kenyataanya pada hal pertamalah yang lebih banyak diarahkan, yakni tersusunnya suatu materi pengajaran yang lebih mengena dan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sidhar (dalam Tarigan) menyatakan bahwa analisis kesalahan ditujukan untuk menentukan urutan penyajian butir-butir pengajaran di kelas dan buku teks, misalnya dari hal yang mudah ke sukar. Selain itu juga menentukan urutan jenjang relatif penekanan, penjelasan, dan latihan bahan pengajaran, serta merencanakan latihan dan pengajaran remedial beserta memilih butir-butir bagi pengujian kemahiran siswa. Berdasarkan pemaparan data kesalahan mahasiswa subyek penelitian pada bagian sebelumnya, maka pengajar dapat menentukan urutan bahan pengajaran berdasarkan besaran kesalahan yang dibuat oleh pembelajar. Besaran kesalahan yang dibuat oleh pembelajar selain menunjukkan kemampuan penguasaan bahasa mereka, juga menunjukkan problematika materi pengajaran, artinya terdapat bahan-bahan ajar yang memang berpotensi menimbulkan kesalahan karena sulitnya materi tersebut. Untuk itulah diperlukan prioritas penyajian materi pengajaran yang dianggap berpeluang menimbulkan kesalahan. Dalam rangka inilah, maka pemberian materi kuliah bahasa Arab yang terkait dengan aspek morfologi perlu penekanan baik dalam hal pemberian teori maupun
157
dalam latihan-latihan, yang terkait dengan bidang kesalahan mahasiswa. Dengan melihat mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa, sebenarnya penguasaan aspek gramatika seharusnya telah dapat meminimalkan atau menghilangkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh mereka. Sebagai lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab dalam perkuliahannya, Ma’had ’Âlî dianggap cukup dalam memberikan porsi bahasa Arab. Namun dengan adanya penemuan kesalahan-kesalahan berbicara mahasiswanya, hal ini dapat dipakai sebagai refleksi dalam urutan penyajian bahan perkuliahan bahasa Arab yang terkait dengan gramatika. Urutan penyajian materi tersebut dapat disusun dengan memperhatikan besaran kesalahan yang dibuat oleh mahasiswa, yakni mendahulukan hal-hal yang terkait dengan isytiqâq, dan penggunaan hurûf jarr dengan fi‘l. Urutan penyajian yang dimaksud dapat diberikan dalam bentuk pengajaran remedial. Sebagaimana fungsi remedial itu sendiri, yakni memberikan penguatan melalui pengulangan materi yang dianggap memiliki tingkat kesulitan pemahaman yang tinggi sehingga sering kali menyebabkan timbulnya kesalahan. Alternatif lain adalah pengajaran tetap berjalan sesuai dengan kurikulum dan urutan silabi yang telah ada, namun dengan penguatan dan latihan-latihan yang lebih intensif pada bagian-bagian yang sering menimbulkan kesalahan.
BAB V KESALAHAN SINTAKSIS Yang dimaksud dengan kesalahan sintaksis dalam penelitian ini adalah kesalahan dalam penggunaan struktur bahasa Arab, yang terkait dengan hubungan antar kata dalam kalimat. Hal ini sesuai dengan ruang lingkup sintaksis itu sendiri yakni kajian hubungan antar kata dalam suatu konstruksi, kajian struktur frasa dan kalimat, karena kata tunggal yang berdiri sendiri tidak dapat dikaji secara sintaksis. Sintaksis terkait dengan subsistem bahasa/linguistik yang mencermati hubungan kata dengan kata baik. Terkait dengan pembahasan sintaksis ini, dalam bahasa Arab dikenal juga susunan frasa, klausa, dan kalimat. Dalam bahasa Arab terdapat beberapa bentuk susunan (tarkîb), seperti isnâdî, idhâfî, bayânî, washfî, taukîdî, badâlî, ‘athfî, mazjî, dan ‘adadî. Berdasarkan teori-teori pembahasan frasa, klausa, dan kalimat inilah, maka nantinya akan dilakukan analasis kesalahan terhadap data-data ketrampilan berbicara. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis ini meliputi : tawâfuq (persesuaian) dalam hal ‘adad (bilangan) baik untuk ifrâd (tunggal), tatsniyah (dual), maupun jam‘ (plural); tawâfuq dalam hal nau‘ (jenis) yaitu tadzkîr (laki-laki) dan ta’nîts (perempuan); dan dalam hal ta‘yîn (tanda penjelas) yaitu ta‘rîf (definitif) dan tankîr (indefinitif). Kesalahan sintaksis juga terkait dengan masalah i’râb, dan pembentukan struktur atau tarkîb dengan berbagai variasi dan macamnya. Bab ini membahas hal-hal yang terkait dengan kesalahan sintaksis, yakni klasifikasi kesalahan sintaksis, penyebab dan upaya menanggulangi kesalahan tersebut. c. Klasifikasi Kesalahan Sintaksis Kesalahan dalam aspek sintaksis lebih besar daripada kesalahan yang terjadi pada aspek morfologi. Dari total kesalahan gramatika yang berjumlah 441 kesalahan,
215
313 diantaranya terjadi pada aspek ini atau 71% nya. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat jenis sebagaimana tabel IV berikut ini : Tabel IV Jenis-jenis Kesalahan Sintaksis No 1
2
3
4
Jenis Kesalahan Persesuaian (agreement / tawâfuq) a. Dalam hal ‘adad (bilangan) b. Dalam hal nau‘(jenis) c. Dalam hal ta‘yîn (tanda penjelas) I‘râb a. Ism b. Fi‘l Kaidah khusus a. Membuat konstruksi ‘adad b. Membuat dua fâ‘il atau lebih untuk satu fi‘l c. Menjadikan mudhâf dalam bentuk ma‘rifah Struktur a. Penambahan kata b. Penghilangan kata c. Susunan yang lemah Jumlah
F
%
% kesel uruh an*
17 135 14
5,4 42,7 4,4
3,8 29,9 3,1
98 3
31,0 0,9
21,6 0,7
3 1 7
0,9 0,3 2,2
0,7 0,2 1,6
16 5,1 15 4,7 7 2,2 316 100,0
3,5 3,3 1,6 70,1
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
1. Persesuaian a. Persesuaian dalam ‘adad, jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 17 ungkapan atau 5,4 % dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 3,9 % dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi. Kesalahan yang terkait dengan persesuaian dalam hal ‘adad ini terbagi atas dua kelompok, yakni ketidaksesuaian antara ism dengan fi‘l, dan ketidaksesuaian antara ism dengan dhamîr.
216
- Ketidaksesuaian antara ism dengan fi‘l, terdapat kesalahan sebanyak 12 ungkapan, atau 3,8 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 2,7 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah: (1)
, seharusnya
(2)
,seharusnya
Persesuaian dalam hal ‘adad antara ism dengan fi‘l dapat terjadi pada berbagai macam tarkîb, seperti isnâdî, bayânî, maupun washfî. Setiap fi‘l yang didahului oleh ism yang menjadi subyeknya (fâ‘il / pelaku), maka fi‘l tersebut harus memiliki kesesuaian dengan ism dalam hal ‘adad (jumlah). Apabila ism mengandung jumlah tunggal maka fi‘l juga dibentuk untuk subyek tunggal, demikian pula apabila ism menunjukkan jumlah dua ataupun lebih. Pada contoh (1) kata “kuffâr” menunjukkan jam‘ (plural) maka fi‘l setelahnya juga harus dibentuk untuk pelaku jam‘ menjadi “yaqbalûna”. Sedangkan untuk contoh (2) ism menunjukkan jumlah tunggal (anta) sehingga fi‘l setelahnya yang memiliki subyek ism tersebut harus dibentuk untuk tunggal pula. Dalam hal ini, pada fi‘l harus terdapat râbith berupa dhamîr yang sesuai dengan ism sebelumnya. Râbith pada fi‘l yang didahului oleh isimnya sebagai subyek maka harus memiliki kesesuaian dalam ‘adad. Fi‘l “tatakabbarû” yang diucapkan oleh penutur mengandung dhamîr jam‘ “antum” yang dilambangkan dengan huruf wau, padahal ism yang mendahuluinya, yang mengindikasikan sebagai subyek, bukanlah jam‘ akan tetapi tunggal “anta”. Karena itulah harus disesuaikan dan dirubah sebagaimana yang ada pada pembetulannya, dengan menghilangkan wau.
217
- Ketidaksesuaian antara ism dengan dhamîr, terdapat kesalahan sebanyak 5 ungkapan, atau 1,6 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 1,1 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah : (1)
, seharusnya
(2)
, seharusnya Dalam bahasa Arab dikenal pula klausa, yaitu satuan kelompok kata
yang minimal dibentuk oleh subyek dan predikat dan memiliki potensi untuk menjadi kalimat. Karena itu klausa masih memungkinkan untuk dibuat menjadi kalimat. Pada contoh (1) terdapat klausa “huwa waratsah al-anbiyâ’”. Mengingat sebelumnya telah didahului oleh ism yang kemudian diikuti klausa menggunakan dhamîr (pronomina / kata ganti) maka dalam hal ini dhamîr harus mengikuti ism sebelumnya, baik dalam ‘adad (bilangan) maupun nau‘ (jenis). Kata “‘Ulamâ’” berbentuk jam‘ (plural) sehingga ketika pada urutan berikutnya diberikan kata lain yang terkait dengan kata tersebut, baik berfungsi sebagai predikatnya, atau sebagai penegas, maka harus sesuai dalam hal ‘adad maupun nau‘. Karena itulah dhamîr yang tepat untuk digunakan sebagai pengganti kata “‘ulamâ’” haruslah “hum”. Sedangkan pada contoh (2) ketidaksesuaian ism dengan dhamîr terjadi antara kata “walad” dengan “ummuhum”. Konstruksi yang terdapat kesalahan adalah maushûl dan shilah dalam hal ‘adad. Sebagaimana ketentuan yang berlaku pada frasa mushûlî, bahwa diantara ism maushûl dengan shilah harus terdapat kesesuaian, yakni kesesuaian yang meliputi nau‘ dan ‘adad. Kata “ummuhum” yang didalamnya mengandung dhamîr “hum” yang merujuk kepada makna jam‘ (plural) tidak sesuai dengan kata “walad” yang merujuk kepada makna tunggal (ifrâd), padahal dalam konstruksi frasa maushûlî
218
disyaratkan adanya râbith yang sesuai dengan mashûl dalam ‘adad. Karena itulah dhamîr “hum” pada kata “ummuhum” seharusnya diganti dengan dhamîr “hû” sehingga menjadi “ummuhû”. Dari kenyataan-kenyataan di atas, diketahui bahwa dalam konstruksi bahasa Arab banyak menyertakan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan persesuaian, yang salah satunya adalah persesuaian dalam ‘adad (bilangan). Persesuaian dalam ‘adad adakalanya berupa ism dengan fi‘l, yang dalam hal ini dapat terjadi pada konstruksi yang menghubungkan ism dengan fi‘l, seperti yang ada pada tarkib isnâdî, yakni jumlah ismiyyah. Pembentukan jumlah ismiyyah harus memperhatikan persesuaian ini agar tidak jatuh dalam kesalahan. Kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar bahasa Arab sebagai B2nya, disebabkan belum matangnya pengetahuan yang dimilikinya. Apalagi hal yang seperti ini, yakni persesuaian ‘adad dalam konstruksi kalimat seperti jumlah ismiyyah, tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh penutur merupakan kesalahan akibat penerapan kaidah yang tidak sempurna, mengingat adanya unsur yang dipandang sebagai suatu kerumitan dalam bahasa Arab. Ketentuan berupa kesesuaian dalam hal ‘adad tidak diaplikasikan secara sempurna oleh pembelajar. Kerumitan yang dimaksud adalah apabila dibandingkan B1 pembelajar yang berbeda dengan B2 yang dipelajarinya. B1 yang telah dimiliki pelajar tidak ditemui adanya ketentuan yang mengatur kesesuaian dalam hal ‘adad sebagaimana pada B2. Karena itulah pembelajar dituntut untuk memahami secara sempurna terhadap kaidah B2 yang terkait dengan persesuaian. Pemahaman yang tidak terbatas pada tataran teori saja, akan tetapi juga pada tataran aplikasinya, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Namun demikian, terkait dengan kedudukan bahasa lisan yang
219
memegang peranan penting pada pembelajar subyek penelitian, maka aplikasi pada bahasa lisan menjadi penting untuk diperhatikan. b. Persesuaian dalam nau‘ (jenis), jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 127 ungkapan atau 40,6 % dari kesalahan sintaksis dan 28,8 % dari seluruh kesalahan yang terjadi. Kesalahan yang terkait dengan persesuaian dalam hal nau‘ ini terbagi atas enam kelompok, yakni ketidaksesuaian antara ism dengan fi‘l, antara ism dengan dhamîr, antara maushûl dengan ‘âid shilah, antara fi‘l dengan fâ‘il, antara na‘t dengan man‘ût, dan antara isyârah dengan musyâr ilaih. Tabel V Jenis-jenis Kesalahan Ketidaksesuaian dalam Nau’ No 1 2 3 4 5 6
Jenis Kesalahan Ketidaksesuaian ism dengan fi‘l Ketidaksesuaian ism dengan dhamîr Ketidaksesuaian maushûl dengan ‘âid shilah Ketidaksesuaian fi‘l dengan fâ‘il Ketidaksesuaian na‘t dengan man‘ût Ketidaksesuaian isyârah dengan musyâr ilaih Jumlah
F
%
28 19 6 31 23 20 127
8,9 6,1 1,9 9,9 7,3 6,4 40,6
% kesel uruh an* 6,3 4,3 1,4 7,0 5,2 4,5 28,8
* keseluruhan kesalahan gramatika (morfologi dan sintaksis)
- Ketidaksesuaian antara ism dengan fi‘l , dalam hal ini terdapat kesalahan sebanyak 28 ungkapan, atau 8,9 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 6,3 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah : (1)
, seharusnya
(2)
, seharusnya
220
(3)
, seharusnya
(4)
, seharusnya
Kesesuaian antara ism dengan fi‘l dapat terjadi pada berbagai macam tarkîb (susunan). Hal ini terjadi apabila dhamîr yang tersimpan pada fi‘l memiliki rujukan ke ism sebelumnya. Untuk keadaan yang demikian ini memang disyaratkan adanya kesesuaian antara fi‘l dengan ism sebelumnya dalam hal nau‘ (maupun ‘adad). Adanya bermacam-macam susunan tersebut terkait dengan dimungkinkannya suatu jumlah (baik ismiyyah maupun fi‘liyyah) menduduki posisi (mahall) i‘râb tertentu dalam sebuah kalimat, baik rafa‘, nashab, maupun jarr, dan inilah yang disebut dengan al-jumlah lahâ mahall min al-i‘râb,. Demikian juga sebaliknya, dimungkinkan untuk adanya jumlah lâ mahalla lahâ min al-i’rab. Maka fi‘l yang memiliki dhamîr berkesesuaian dengan ism sebelumnya dalam hal nau‘ maupun ‘adad, dapat berposisi sebagai khabar dalam mahall rafa‘, dapat berposisi sebagai maf‘ul bih dalam mahall nashab, dan dapat pula berposisi sebagai na‘t dalam mahall jarr. Juga dapat berada di tengah-tengah kalimat meskipun tanpa memiliki posisi (mahall) i‘râb. Contoh (1) dan (2) menunjukkan jumlah yang berposisi dalam mahall rafa‘ sebagai khabar dari ism sebelumnya. Kedua contoh tersebut sama-sama memiliki ketidaksesuaian dalam nau‘ antara ism dengan fi‘l-nya, namun berbeda dalam kesesuaian tadzkîr-ta’nîts-nya. Contoh (1) menunjukkan ketidaksesuaian antara ism yang mudzakkar sedangkan fi‘l-nya muannats. Contoh (2) adalah kebalikannya, ism berjeniskan muannats tetapi fi‘lnya berjeniskan mudzakkar. Pada contoh (1) Kata “kull” menunjukkan jens mudzakkar, karena tidak didapati tanda muannats pada fi‘l tersebut. Karena itulah maka fi‘l setelahnya yang berposisi sebagai khabar dari ism tersebut harus diganti dan disesuaikan dengan fi‘l yang mengandung dhamîr mudzakkar, menjadi “yarji‘u”, bukan muannats sebagaimana yang digunakan oleh penutur pada awalnya. Berkebalikan dengan contoh (1) adalah contoh (2) yang menuntut kesesuaian dalam jenis muannats antara fi‘l dengan ism sebelumnya. Kata “nafs” dengan “yamût” tidak berkesesuaian dalam hal nau‘ yakni muannats. “Nafs” merujuk kepada jenis muannats sedangkan “yamût” merujuk kepada mudzakkar. Penutur menganggap “nafs” sebagai ism berjeniskan mudzakkar karena secara leksikal (lahiriah/tertulis) tidak didapati tanda
221
muannats, sehingga fi‘l mudhâri‘ yang digunakannya berjeniskan mudzakkar. Secara leksikal, kata “nafs” memang tidak menampakkan jenis muannats, akan tetapi kata tersebut dikategorikan oleh penutur asli bahasa Arab masuk kepada kelompok kata berjeniskan muannats, sehingga mudhâri‘ yang digunakan setelahnya harus mengandung dhamîr yang berjeniskan muannats pula , yaitu “tamût”. Sedangkan pada contoh (3) dan (4), fi‘l yang tidak berkesesuaian dengan ism sebelumnya bukan dalam hubungan isnâdî (dalam hal ini jumlah ismiyyah), akan tetapi dalam tarkîb washfî. Pada contoh (3) f’il yang tidak berkesesuaian tersebut berposisi sebagai na‘t dari kata sebelumnya, sehingga dalam hal ini fi‘l berada pada mahall jarr . Fi‘l “yusabbibu” yang berjeniskan mudzakkar harus disesuaikan dengan ism sebelumnya, “a‘mâl”, yang berjeniskan muannats, sehingga harus dirubah menjadi “tusabbibu”. Secara leksikal, kata “a‘mâl” tidak menunjukkan muannats, sebagaimana tanda muannats yang nampak pada umumnya, namun demikian ia dikategorikan muannats karena merupakan jam‘ ghair ‘âqil. Pada contoh (4) fi‘l tidak memiliki posisi (lâ mahalla lahâ min al-i‘râb). Meskipun demikian hal ini dapat dibenarkan sebagaimana pada saat fi‘l berstatus kebalikannya (lahâ mahall min al-i‘râb). Pada status memiliki posisi maupun tidak, fi‘l tetap dipersyaratkan memiliki kesesuaian dalam hal nau‘ (dan juga ‘adad) apabila memang memiliki keterkaitan, baik keterkaitan dalam târkîb isnâdî maupun lainnya seperti bayânî pada contoh (4) tersebut. Fi‘l “tattabi‘” menjadi penjelas bagi susunan sebelumnya, yakni “nukallif al-syarî‘ah”.
- Ketidaksesuaian antara ism dengan dhamîr, terdapat kesalahan sebanyak 19 ungkapan, atau 6,1 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 4,3 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada ketidaksesuaian ini adalah : (1)
, seharusnya
222
(2)
, seharusnya
Persesuaian dalam hal nau‘ juga harus dipenuhi antara ism dengan dhamîr yang menggantikannya. Dalam hal ini dhamîr dapat berupa munfashil, dan dapat pula berupa muttashil. Dhamîr berfungsi untuk menggantikan kata (ism dzâhir) yang telah disebutkan di muka sehingga kata tersebut tidak perlu disebutkan secara berulang karena cukup dengan menggunakan kata gantinya saja sehingga kalimat menjadi lebih ringkas. Penggunaan dhamîr ini harus sesuai dengan ism dzâhir yang digantikannya dalam hal nau‘ (jenis) dan juga ‘adad (jumlah). Ketidaksesuaian dalam keduanya mengakibatkan kesalahan sebagaimana pada dua contoh di atas. Contoh (1) menunjukkan ketidaksesuaian nau‘ antara ism dengan dhamîr muttashil. Ism yang digantikan dengan dhamîr adalah “mar’ah” yang merujuk kepada jenis perempuan. Karena itu dhamîr yang menggantikannya seharusnya berjenis perempuan juga. Dhamîr muttashil untuk perempuan tunggal adalah “hâ”, bukan “hû” karena “hû" digunakan untuk laki-laki tunggal. Pada contoh tersebut dhamîr muttashil bersambungan dengan hurûf jarr yaitu lam , pada mahall jarr. Sedangkan pada contoh (2), menunjukkan ketidaksesuaian antara ism dengan dhamîr munfashil. Kata “tharîqah al-‘aql” menunjukkan kepada jenis perempuan, karena itu apabila digantikan dengan dhamîr maka yang sesuai dengannya adalah berjenis perempuan juga. Pada contoh tersebut dhamîr munfashil menduduki posisi rafa‘ sehingga yang tepat adalah "hiya" untuk menggantikan kata "tharîqah al-‘aql" yang menunjukkan jenis perempuan tunggal. Sedangkan dhamîr yang dipergunakan oleh penutur pada contoh (2) tersebut menunjukkan jenis laki-laki tunggal, karena itu “huwa” tidak tepat dan harus diganti.
- Ketidaksesuaian antara ism maushûl dengan ‘âid shilah , dalam hal ini terdapat kesalahan sebanyak 6 ungkapan, atau 1,9 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 1,4 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah :
223
, seharusnya
Bahasa Arab memang kaya dengan ragam konstruksi dan susunan baik dalam kerangka frasa, klausa, maupun kalimat. Salah satu konstruksi itu adalah ism maushûl dengan shilah-nya. Adanya susunan ini berfungsi menjadi penjelas bagi kata sebelumnya, atau bagi ism maushûl itu sendiri yang tidak didahului oleh ism dzâhir sebelumnya. Shilah yang mengikuti ism maushûl itulah menjadi penjelas bagi ism sebelumnya, karena itu ada persyaratan yang terkait dengan konstruksi shilah. Persyaratan tersebut adalah keharusan adanya râbith dalam shilah yang menghubungkan dengan ism maushûl. Karena berfungsi menghubungkan itulah maka shilah harus memiliki dhamîr yang kembali ke maushûl dan dhamîr ini dikenal dengan sebutan ‘âid. Pada contoh di atas, ism maushûl digunakan setelah ism dzâhir sebagai penjelasnya. Ism dzâhir yang dimaksud adalah kata “al-ma‘âni” yang merupakan jam‘ dari “al-ma‘nâ”. Karena termasuk jam‘ taksîr maka ism maushûl yang dapat dipakai adalah “al-latî”. Demikian pula shilah yang digunakan setelah ism maushûl harus memiliki râbith yang dalam hal ini berupa dhamîr ‘âid. Kata “yakhruju” menyimpan dhamîr “huwa” untuk jenis laki-laki tunggal yang berarti hal ini tidak sesuai dengan ism maushûl “al-latî”. Karena itulah maka harus diletakkan shilah yang menyimpan dhamîr “hiya” sesuai dengan ism maushûl-nya, sehingga diganti menjadi “takhruju”.
- Ketidaksesuaian antara fi‘l dengan fâ‘il, dalam hal ini ditemui kesalahan sebanyak 31 ungkapan, atau 9,9 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 7,0 % dari seluruh kesalahan aspek sintaksis maupun morfologi. Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain : (1) (2)
, seharusnya , seharusnya
224
Berdasarkan jenis kata yang mengawali, sebuah kalimat dapat dibedakan atas dua macam, yaitu ismiyyah dan fi‘liyyah. Apabila yang mengawali suatu kalimat adalah ism maka disebut jumlah ismiyyah, dan bila yang mengawalinya adalah fi‘l maka disebut jumlah fi‘liyyah. Jumlah ismiyyah strukturnya terdiri dari mubtada’ dan khabar, sedangkan fi‘liyyah terdiri dari fi‘l dan fâ‘il. Kedua struktur tersebut memiliki ketentuan yang sama dalam hal kesesuaian nau‘, tetapi berbeda dalam kesesuaian ‘adad. Antara fi‘l (predikat) dan fâ‘il (subyek) hanya dipersyaratkan adanya kesesuaian dalam nau‘ (jenis). Contoh (1) dan (2) sama-sama tidak memiliki kesesuaian nau‘ antara fi‘l dengan fâ‘il-nya sebagaimana persyaratan dalam jumlah fi‘liyyah. Pada contoh (1) kata “ahad” sebagai fâ‘il menunjukkan jenis laki-laki, akan tetapi penutur menggunakan bentuk muannats untuk fi‘l-nya, “tarâ”. Kata “tarâ” adalah fi‘l mudhâri‘ yang diawali dengan huruf ta’. Ta’ adalah hurûf al-mudhâra‘ah sebagai penanda mudhâri‘ yang digunakan untuk pelaku orang ke dua, atau orang ke tiga perempuan tunggal. Sedangkan untuk pelaku orang ke tiga laki-laki adalah dengan huruf “ya’” sehingga menjadi “yarâ”. Pada contoh (2) kesesuaian nau‘ tidak terdapat pada susunan “ghâba al-syams”. Kata “al-syams” termasuk muannats, sehingga fi‘l-nya juga harus muannats. Kata “ghâba” adalah fi‘l mâdhi yang berjenis laki-laki. Untuk menunjukkan jenis perempuan agar sesuai dengan fâ‘il-nya maka pada mâdhi harus ditambahkan huruf “ta’” sebagai penanda muannats pada akhir mâdhi. “Ta’” tersebut adalah “ta’” ta’nîts sâkinah untuk membedakan dengan huruf “ta’” lain yang juga dapat ditambahkan pada akhir mâdhi, yaitu “ta’” fâ‘il. Kata “ghâba” pun harus dirubah menjadi “ghâbat”.
- Ketidaksesuaian antara na‘t dengan man‘ût : terdapat kesalahan sebanyak 23 ungkapan, atau 7,2 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 5,2 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah : (1) (2)
, seharusnya , seharusnya Apabila kita ingin memberikan sifat kepada sesuatu maka cukup dengan
menambahkan kata setelahnya. Kata inilah yang disebut dengan shifah atau na‘t, sedangkan
225
kata yang pertama disebut dengan man‘ût, yang diberi sifat. Diantara keduanya diharuskan adanya persesuaian dalam beberapa hal, salah satunya adalah nau‘. Apabila kata yang disifati (kata pertama) berjeniskan mudzakkar maka kata sifat (kata berikutnya/yang ke dua) juga harus mudzakkar, demikian pula jika kata pertamanya muannats, maka kata ke dua juga harus muannats. Pada contoh (1) kesesuaian tidak didapati antara kata “al-usbû‘” dan “al-mâdhiyah”. Kata “al-usbû‘” menunjukkan jenis mudzakkar, sedangkan “al-mâdhiyah” menujukkan bentuk muannats, padahal keduanya merupakan susunan na‘t dan man‘ût yang harus memiliki kesesuaian dalam nau‘. Secara leksikal (lafdziyyah) kata “al-mâdhiyah” menunjukkan muannats dari ciri adanya penambahan “ta’” marbûthah di akhir kata. Maka supaya ada kesesuaian diantara keduanya, akhiran “ta’” marbûthah harus dihilangkan sehingga menjadi “al-mâdhi”. Penutur mungkin mengira bahwa kata “al-usbû‘” adalah jam‘ taksîr, sehingga dihukumkan sama dengan muannats mufrad. Karena secara maknawi memiliki arti tujuh hari yang berarti menunjukkan jumlah lebih dari tiga. Dari makna inilah penutur menyamakannya dengan muannats padahal sebenarnya dia adalah mudzakkar karena secara lafdziyyah bentuknya adalah mufrad mudzakkar dan ia memiliki bentuk jam‘ taksîr. Kesalahan penutur dalam memastikan jenis suatu kata juga terjadi pada contoh (2). Frasa “al-wasâikh al-maujûdûn” menunjukkan hubungan na‘t-man‘ût, namun ternyata keduanya berbeda dalam jenis dan bilangan yang menjadi persyaratan susunan na‘t-man‘ût. Kata “al-wâsa’ikh” merupakan jam‘ ghair ‘âqil sehingga statusnya sama dengan muannats mufrad. Karena itu kata setelahnya yang berfungsi sebagai man‘ût seharusnya juga muannats mufrad. Akan tetapi penutur membuat bentuk yang bukan muannats mufrad, melainkan jam‘ mudzakkar sâlim, yakni kata “al-maujûdûn”. Tanda jam‘ mudzakkar sâlim dapat diidentifikasi pada akhirannya yakni adanya tambahan wau dan nûn. Seharusnya penutur cukup dengan membuatnya dalam bentuk muannats mufrad saja. Karena untuk jam‘ ghair ‘âqil dapat diberikan na‘t dalam bentuk muannats mufrad.
- Ketidaksesuaian antara isyârah denggan musyâr ilaih, terdapat kesalahan sebanyak 20 ungkapan, atau 6,4 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 4,5 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek
226
sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah : (1)
, seharusnya
(2)
, seharusnya Konstruksi isyârah dan musyâr ilaih juga mengharuskan adanya persesuaian dalam
nau‘. Konstruksi ini dapat terjadi melalui dua cara, yaitu berdiri sendiri dan bersambungan dengan kata lain, yang berupa ism ma‘rifah dengan alif lam ()لا. Pada saat berdiri sendiri maupun bersambungan dengan ism ma‘rifah “alif lam”, isyârah dapat menempati dan berkedudukan sebagaimana ism lain yang memiliki i‘râb. Ketika pada posisi bersambungan maka musyâr ilaih berkedudukan sebagai badal. Dua contoh di atas menunjukkan macam dua penggunaan tersebut. Sesuai dengan adanya persyaratan persesuaian dalam nau‘, maka ism isyârah dibedakan atas jenis untuk kata-kata yang masuk dalam kelompok mudzakkar dan untuk muannats. Contoh (1) kesesuaian terkait dengan konstruksi mubtada’ – khabar, di mana ism isyârah berdiri sendiri sebagai mubtada’. Ism isyârah yang digunakan oleh penutur menunjukkan jenis mudzakkar, sedangkan khabar setelahnya menunjukkan muannats. Dalam hal ini penutur harus jelas dan tepat, apakah ia akan menggunakan isyârah laki-laki ataukah perempuan untuk mewakili ism dzâhir yang sebelumnya sebagai musyâr ilaih-nya. Apabila yang dimaksud oleh penutur adalah ism dzâhir berstatus mudzakkar maka penutur sudah tepat dengan menggunakan “hâdzâ”, dan yang salah adalah khabar-nya. Akan tetapi apabila penutur bermaksud menggantikan kata berjenis muannats maka yang harus diganti adalah isyârah-nya, dan khabar-nya sudah tepat. Pada contoh (2) konstruksi isyârah dengan musyâr ilaih-nya berupa badal dan mubdal minhu, berbeda dengan contoh (1) sebelumnya yang berupa mubtada’ dan khabar. Meskipun demikian, diantara keduanya sama-sama harus bersesuaian dalam nau‘. Kata “al-mas’alah” yang berjenis muannats, oleh penutur diberikan isyârah “hâdzâ” yang sebenarnya untuk mudzakkar. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian dalam nau‘ diantara keduanya. Isyârah yang tepat adalah dalam bentuk muannats juga yaitu hâdzihî.
227
Seluruh ketidaksesuaian susunan-susunan di atas terkait dengan nau‘ (jenis). Nau‘ menjadi permasalah tersendiri dalam belajar bahasa Arab sebagai B2 oleh pembelajar Indonesia. Dalam bahasa Arab, nau‘ dapat diidentifikasi secara gramatikal, artinya setiap kata dalam bahasa Arab dapat secara langsung dikategorikan jenisnya, mudzakkar (laki laki) ataukah muannats (perempuan) berdasarkan tulisan kata tersebut. Hal ini karena nau‘ sudah inklusif dengan kata tersebut melalui pengungkapan secara gramatikal, sehingga setiap kata, baik ism (nomina) maupun fi‘l (verba) pasti berjenis atau mengandung salah satu jenis diantara mudzakkar dan muannats. Hal ini berbeda dengan bahasa Indonesia sebagai B1 pembelajar Indonesia yang sebaliknya, di mana nau‘ tidak inklusif dalam kata. Untuk merujuk ke arah nau‘, maka dalam bahasa Indonesia harus ditambahkan
secara
leksikal.
Masing-masing
bahasa
memang
memiliki
karakteristiknya sendiri, yang berbeda dengan bahasa lainnya. Dan hal ini bisa menjadi salah satu permasalahan dalam pembelajaran B2 sehingga menyebabkan jatuhnya pembelajar ke dalam kesalahan. Belum lagi permasalahan yang terkait dengan dasar penentuan nau‘ untuk suatu kata, khususnya ism yang kadang tidak beraturan atau tidak konsisten. Dalam bahasa Arab, secara umum terdapat tanda-tanda gramatikal yang membedakan antara ism yang berjenis mudzakkar dan yang berjenis muannats, seperti “ta’” marbûthah. Atau, dengan kata lain bahwa kata yang tidak memiliki “ta’” marbûthah dikelompokkan ke dalam mudzakkar. Namun demikian, dalam kenyataannya didapati pula ism yang tidak memiliki tanda ta’ marbuthah tetapi digolongkan ke dalam kelompok muannats, seperti “syams”, “dâr”, “‘ain”, dan lain-lain. Hal-hal yang seperti ini juga dapat menimbulkan kesulitan, meski ada yang disertai dengan kaidah-kaidah tertentu untuk pengelompokannya. Hal berikutnya yang juga ikut menambah daftar kesulitan terkait dengan nau‘ ini adalah fungsi dan penggunaannya. Adanya penggolongan kata
228
berdasarkan nau‘ ini sudah pasti memiliki tujuan penggunaan secara gramatikal, seperti terkait dengan tujuan untuk menerangkan dua fenomena berbeda, yakni acuan dhamîr (kata ganti/pronomina) dan persesuaian shifât (ajektifa). Bahkan ada yang penerapannya tidak terbatas pada antara ism dan shifât, melainkan juga antara ism dan fi‘l serta beberapa keterangan. Berbagai kesalahan yang ada di atas menunjukkan beragamnya fungsi dan penggunaan yang timbul sebagai konsekuensi dari adanya persesuaian nau‘. Demikianlah, nau‘ dalam bahasa Arab berimplikasi luas kepada pemakaiannya secara sintaksis maupun morfologis. Adanya ketentuan persesuaian nau‘ dalam sintaksis mengakibatkan adanya proses morfologis kata untuk penyesuaian dalam hal nau‘. Adanya persesuaian antara ism dengan fi‘l mengakibatkan fi‘l berubah secara morfologis menyesuaikan jenisnya dengan ism sebelumnya. Demikian pula persesuaian antara ism maushûl dengan ‘âid shilah-nya, antara fi‘l dengan fâ‘il-nya, na‘t dengan man‘ût, dan isyârah dengan musyâr ilaih. Semua konstruksi di atas mensyaratkan adanya persesuaian dalam hal nau‘. Kesemua hal di atas menunjukkan luasnya pengaruh adanya nau‘ dalam bahasa Arab yang berimplikasi terhadap sistem sintaksis maupun morfologisnya. Pembelajar Indonesia yang tidak menemukan hal seperti ini dalam B1nya, sedikit kerepotan untuk secara konsisten menguasainya dalam waktu singkat. Karena itu diperlukan latihan-latihan dan perhatian yang lebih maksimal agar tidak sering jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan. Beberapa contoh kesalahan di atas menunjukkan bahwa memang adanya nau‘ berpotensi menyebabkan kesalahan karena berbedanya sistem B1 pembelajar dengan B2 yang sedang dipelajari. Perbedaan ini harus disikapi secara bijaksana melalui upaya-upaya akademik sehingga ditemukan jalan keluar yang maksimal untuk menghindarkan pembelajar dari kesalahan-kesalahan seperti tersebut di atas.
229
Melihat kenyataan di atas, sebenarnya kesalahan yang terjadi banyak disebabkan oleh kesalahan menghipotesiskan konsep. Bahasa Indonesia yang tidak memiliki konsep nau‘ sebenarnya ada positifnya, karena pembelajar menjadi tidak terganggu dengan perbedaan konsep (seandainya ada dan kemudian berbeda) yang ada diantara kedua bahasa. Akan tetapi mengingat beragam kaidah yang berlaku dalam beberapa konstruksi yang timbul sebagai akibat adanya konsep nau‘ ini, menjadikan pembelajar lebih kompleks dalam memahaminya untuk kemudian menerapkannya secara konsisten. Kesalahan akibat kekeliruan dalam menghipotesiskan konsep, terjadi apabila pembelajar memiliki pemahaman yang tidak lengkap terhadap pembedaan-pembedaan di dalam B2 yang dipelajarinya. Kesalahan menghipotesiskan konsep ini berawal dari banyaknya batasan-batasan yang dipakai dalam penggolongan kelompok mudzakkar dan kelompok muannats. Belum lagi berbedanya penanda muannats untuk ism yang berbeda dengan fi‘l. Bahkan pada ism sendiri terdapat banyak penanda muannats yang dapat dikenali untuk membedakannya dengan mudzakkar. Demikian juga, masih banyak ditemukan aturan-aturan terkait dengan tata cara pembentukan mudzakkar dan muannats sehingga pembelajar harus memaksimalkan memorinya untuk secara konsisten menguasainya, seperti pembentukannya pada ism shifât. Adanya pengecualian-pengecualian juga berpotensi dan memberikan kontribusi kepada munculnya kesalahan-kesalahan dalam menghipotesiskan konsep. Sebagai contoh adalah penggolongan mudzakar dan muannats berdasarkan penanda ”ta’” marbûthah. Menurut ketentuan ini, bahwa kata yang tidak memiliki tanda tersebut digolongkan muannats, akan tetapi dalam kenyataannya dijumpai hal yang bertolak belakang, di mana kata yang tidak memiliki ”ta’ marbûthah” ternyata dikelompokkan ke dalam muannats, seperti ”syams”, ”dâr”, dan lain-lain. Untuk itu diperlukan strategi-strategi yang lebih tepat dalam pengajaran ataupun mempelajari bahasa Arab agar membantu dan
230
memudahkan dalam memahami konsep nau‘ sehingga menjadi lebih sederhana dan mudah diingat namun tetap dapat mencakup semua keberagaman ketentuan-ketentuan di atas. c. Persesuaian dalam ta‘yîn (tanda penjelas), jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 13 ungkapan atau 4,2 % dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 2,9 % dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi. Kesalahan yang terkait dengan persesuaian dalam hal ta‘yîn ini hanya terjadi pada penggunaan bentuk nakirah pada man‘ût yang na‘t-nya ma‘rifah. Sedangkan untuk yang sebaliknya, yaitu penggunaan bentuk ma‘rifah pada man‘ût yang na‘t-nya nakirah tidak ditemukan adanya kesalahan. Diantara kesalahan penggunaan man‘ût berbentuk nakirah dan na‘t berbentuk ma‘rifah, contohnya adalah : , seharusnya Diantara konstruksi yang paling sering banyak dipakai adalah frasa na‘tî (na‘t dan man‘ût). Musthafâ al-Ghalayain menamakannya dengan tarkîb washfî dan merupakan bagian dari tarkîb bayânî. Dalam konstruksi ini disyaratkan adanya kesesuaian dalam beberapa hal, yaitu nau‘ (mudzakkar-muannats), i‘râb (marfû‘, manshûb, majrûr), ta‘yîn (nakirah-ma‘rifah), dan ‘adad (mufrad, mutsannâ, jam‘). Terkait dengan persesuaian dalam ta‘yîn, frasa na‘tî dapat disusun dari dua kata yang sama-sama nakirah atau sama ma‘rifah-nya. Pada contoh di atas, ketidaksesuaian terjadi antara kata “asmâ” dan “al-husnâ”. Kata pertama berstatus nakirah, sedangkan kata ke dua ma‘rifah. Pola yang demikian ini biasanya untuk frasa idhâfî, yang terdiri atas mudhâf dan mudhâf ilaih. Dalam bahasa Arab keduanya memiliki perbedaan ketentuan dan juga pemaknaan. Susunan dua kata tersebut lebih tepat dibuat dengan frasa na‘tî dan bukan idhâfî meskipun sama-sama terdiri dari dua kata. Hal ini karena frasa idhâfî sebenarnya menyimpan hurûf al-jarr sebagai penafsiran susunan dua kata tersebut. Sedangkan pada frasa na‘tî tidak ada penafsiran menggunakan hurûf al-jarr karena yang dimaksudkan dengan susunan tersebut adalah hubungan ajektifa (keterangan). Karena itulah
231
keduanya harus memiliki kesesuaian dalam ta‘yîn dengan merubah kata pertama menjadi ma‘rifah, “al-asmâ”. Kesalahan-kesalahan yang muncul dalam susunan na‘t dengan man‘ût semuanya berupa ketidaksesuaian dalam ta‘rîf, yakni penutur membuat man‘ût (kata pertama/yang diterangkan) dalam bentuk nakirah sedangkan na‘t (kata kedua/yang menerangkan kata pertama) berbentuk ma‘rifah, dan tidak ditemukan kesalahan yang bersusunan sebaliknya. Nampaknya hal ini lebih dipengaruhi oleh susunan yang sama dalam B1 pembelajar, yakni bahasa Indonesia. Tidak sedikit ungkapan bahasa Arab yang bersusunan frasa na‘tî menjadi milik masyarakat Indonesia, karena digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari. Namun demikian, ungkapan tersebut sudah mengalami perubahan karena disesuaikan dengan struktur dan kemudahan pelafalan masyarakat Indonesia, seperti penghilangan “al” ta‘rîf dalam berbagai ungkapan, contohnya “al-akhlâq al-karîmah”, “al-asmâ’ al-husnâ”, menjadi akhlakul-karimah, asmaul-husna, dll. Hal yang demikian ini kemudian memberikan pengaruh kepada pembelajar bahasa Arab yang kemudian menerapkannya dalam susunan bahasa Arab yang sesungguhnya, sehingga kesalahan yang muncul adalah penghilangan “al” pada kata pertama.
2. I‘râb, jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 101 ungkapan atau 32,3 % dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 22,9 % dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi, yakni baik dalam aspek sintaksis maupun morfologi. Kesalahan dalam i‘râb ini terbagi atas dua kelompok, yakni i‘râb pada ism dan i‘râb pada fi‘l. - Kesalahan dalam i‘râb ism , yang dapat dibagi lagi menjadi kesalahan pada i‘râb rafa‘, nashab, dan jarr. Kesalahan pada i‘râb rafa‘ mencapai 18 ungkapan atau 5,8 % dari kesalahan pada aspek sintaksis dan 4,1 % dari seluruh kesalahan sintaksis dan morfologi. Kesalahan pada i‘râb nashab mencapai 56 ungkapan atau 17,9 % dari kesalahan pada aspek sintaksis dan 12,7 % dari seluruh kesalahan sintaksis dan morfologi. Dan kesalahan pada i‘râb jarr mencapai 24 ungkapan atau 7,7 % dari kesalahan pada aspek sintaksis dan 5,4 % dari seluruh kesalahan sintaksis dan morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada i‘râb ini contohnya adalah :
232
(1) (2)
, seharusnya , seharusnya
(3) (4)
, seharusnya , seharusnya I‘râb yang merupakan salah satu ciri khas pada bahasa Arab berupa perubahan
akhir kata disebabkan oleh adanya ‘âmil (sesuatu yang mempengaruhi struktur kalimat) yang masuk/mendahului kata tersebut. Perubahan (i‘râb) pada ism ada tiga macam, yaitu rafa‘ nashab, dan jarr. Contoh (1), (2), dan (3) i‘râb berupa harakat, masing-masing rafa‘ dengan dlammah, nashab dengan fathah, dan jarr dengan kasrah. sedangkan pada contoh (4) i‘râb rafa‘ berupa huruf, yaitu wau sebagai ganti dlammah. Pada contoh (1) kata “umm” berkedudukan sebagai fâ‘il (subyek) sehingga harus dibaca marfû‘ (diberi i‘râb rafa‘) dengan tanda dlammah karena ia termasuk ism mufrad (berbilangan tunggal). Tetapi penutur memberi tanda kasrah yang sebenarnya tanda tersebut adalah untuk i‘râb jarr. Karena itulah maka kesalahan ada pemberian tanda i‘râb sehingga harus diganti dengan dlammah. Pada contoh (2), kata “al-‘afwa” berkedudukan sebagai maf’ûl bih sehingga harus dibaca manshûb dengan fathah, karena termasuk ism mufrad. Pada contoh (3), kata “ru’yah” berkedudukan sebagai mudhâf ilaih sehingga harus dibaca majrûr dengan tanda kasrah karena ia termasuk ism mufrad. Sedangkan pada contoh (4), pemberian i‘râb tidak menggunakan harakah tetapi hurûf. Kata “akhînâ” yang berkedudukan sebagai fâ‘il seharusnya diberikan tanda i‘râb huruf wau, karena huruf ya’ adalah tanda i‘râb jarr dan nashab.
- Kesalahan dalam i‘râb fi‘l, dalam hal ini terdapat kesalahan sebanyak 3 ungkapan, atau 1 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 0,7 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi adalah : (1)
, seharusnya
233
(2)
, seharusnya I‘râb yang terdapat pada fi‘l meliputi rafa‘, nashab, dan jazm. Namun, yang
berstatus mu’rab hanyalah fi‘l mudhâri‘. Sedangkan mâdhi dan amr statusnya mabnî. Pada dasarnya, mudhâri‘ selalu marfû‘, kecuali jika ada ‘âmil yang menyebabkannya menjadi manshûb, atau majzûm, sebagaimana contoh (1) dan (2). Pada contoh (1) mudhâri‘ menjadi nashab karena didahului oleh nawâshib (‘âmil / huruf-huruf yang menyebabkan mudhâri‘ menjadi manshûb) yaitu “hattâ”. Karena itulah yang asalnya marfû‘ (dengan tanda dlammah) berubah menjadi manshûb (ditandai dengan fathah). Sedangkan pada contoh (2) menjadi majzûm karena didahului oleh jawâzim (‘âmil / huruf-huruf yang menyebabkan mudhâri‘ menjadi majzûm) yaitu “lam”. Dengan demikian kata “yunkiru” seharusnya diberikan tanda i‘râb jazm yaitu sukun karena mudhâri‘ tersebut tidak termasuk kelompok al-af‘âl al-khamsah . Sistem i‘râb yang menimbulkan kesalahan sebagaimana contoh di atas, berlaku untuk semua kata-kata dalam bahasa Arab, kecuali yang masuk kepada kelompok mabnî. Adanya i‘râb berupa pemberian tanda pada akhir kata dengan harakah atau hurûf termasuk hal yang membuat rumit dalam penguasaan bahasa Arab, mengingat beragamnya tanda dan ‘amil yang menjadi penyebab perubahan i‘râb tersebut. Belum lagi pengetahuan pembelajar harus terbagi dengan mengingat dan memahami hal-hal yang terkait dengan mabnî agar tidak salah dalam menerapkan tanda i‘râb dan tidak bercampur dalam penggunaan tanda tersebut, karena mabnî juga memiliki tanda tersendiri. Perbedaan sistem B2 dengan B1 pembelajar yang tidak mengenal i‘râb menambah kesulitan dalam penguasaannya. Perubahan akhir suatu kata akibat perubahan fungsi atau posisinya dalam kalimat baik melalui perubahan fonem (harakah) kata maupun perubahan bentuk kata tidak dikenal oleh pembelajar dalam B1nya yakni bahasa Indonesia. Kata dalam bahasa Indonesia selamanya akan tetap dalam bentuk penulisan dan pengucapannya dimanapun dia berada. Hal ini berbeda dengan bahasa Arab di mana posisi suatu kata mempengaruhi keadaan akhir kata tersebut. Karena itulah pada ism didapat tiga macam keadaan yaitu marfû‘, manshûb, dan majrûr. Demikan pula terdapat posisi-posisi kapan ism harus dibaca marfû‘, manshûb, dan majrûr sehingga muncul kelompok-kelompok marfû‘ât al-asmâ’, manshûbât al-asmâ’ dan majrûrât al-asmâ. Belum lagi untuk kelompok fi‘l
234
sehingga hal ini menambah panjang materi pengajaran yang harus dikuasai oleh pembelajar.
3. Kaidah khusus, yakni kesalahan yang terkait dengan tidak diketahuinya kaidah-kaidah bahasa yang bersifat langka. Hal ini seperti kaidah dalam penyusunan ‘adad ma‘dûd (bilangan dan benda terbilang). Jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 11 ungkapan atau 3,5 % dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 2,5 % dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi. Kesalahan yang terkait dengan kaidah khusus ini terbagi atas tiga macam, yaitu kesalahan dalam konstruksi ‘adad, kesalahan karena membuat dua atau lebih fâ‘il untuk satu fi‘l, dan kesalahan karena membuat mudhâf dalam bentuk ma‘rifah. - Kesalahan pada konstruksi ‘adad, terdapat kesalahan sebanyak 3 ungkapan, atau 1 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 0,7 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada kelompok ini adalah : (1)
, seharusnya
(2)
, seharusnya
(3)
, seharusnya
‘Adad-ma‘dûd (bilangan dan benda yang terbilang) memiliki kaidah sendiri yang terdiri dari beberapa macam susunan. Mu’minin menyimpulkan ada lima macam pola susunan, yaitu ‘adad mufrad, ‘adad murakkab, ‘adad ma‘thûf, ‘adad mudhâf, dan ‘adad ‘uqûd. Masing-masing pola penyusunan tersebut memiliki kaidah yang berbeda satu dengan lainnya
berdasarkan
konstruksi
yang
digunakan.
Dengan
demikian
penyusunan
masing-masing konstruksi harus memperhatikan ketentuan yang berlaku. Kesalahan-kesalahan di atas memiliki konstruksi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada kesalahan (1) pola susunannya mengikuti ‘adad murakkab yang berlaku
235
untuk hitungan sebelas hingga sembilan belas. Pada pola ini ma‘dûd harus diposisikan sebagai tamyîz dalam bentuk mufrad-nya. Namun penutur menggunakan bentuk jam‘ taksîr, yakni “masâ’il”, yang sebenarnya digunakan untuk ‘adad mufrad, hitungan antara tiga hingga sembilan, karena itu kata tersebut seharusnya dirubah menjadi mufrad manshûb dalam posisi tamyîz, yakni “mas’alah”. Kesalahan juga ada pada nau‘ ‘adad yang dipakai, yakni “itsnâ ‘asyara” yang seharusnya mengikuti nau‘ dari ma‘dûd yang berbentuk muannats karena masih dalam satuan antara satu hingga dua, sehingga ‘adad tersebut diatas harus dirubah menjadi “itsnatâ ‘asyarata”. Kesalahan (2) dan (3) termasuk ke dalam pola ‘adad mufrad yang memiliki ketentuan berkebalikan dalam hal nau‘ antara ‘adad dengan ma‘dûd. Pada pola ini ma‘dûd didatangkan dalam bentuk jam‘, sesuai dengan ketentuan bentukannya, jam‘ mudzakkar sâlim, jam‘ muannats sâlim, atau jam‘ taksîr. Pada ungkapan di atas, penutur sudah tepat mendatangkan bentuk jam‘, akan tetapi kesalahan ada pada bentukan ‘adad yang harus berkebalikan dalam nau‘ dengan ma‘dûd. Artinya, bila ma‘dûd berupa mudzakkar maka ‘adad harus muannats, dan sebaliknya. Maka pada no (2) kata “banât” yang muannats seharusnya diberikan ‘adad dalam bentuk mudzakkar yakni “tsalâts”, bukan “tsalâtsah”. Pada kesalahan no (3) pola ‘adad ma‘dûd mengikuti susunan na‘t man‘ût, yang dengan demikian harus mengikuti ketentuan susunan tersebut, yakni kesesuaian dalam nau‘. Penutur mendatangkan na‘t dalam bentuk mudzakkar, “al-tsalatsah” padahal man‘ût yakni “al-marâtib” adalah muannats. Sepintas hal ini memang kelihatan tepat, akan tetapi ‘adad yang mudzakkar berkebalikan dengan ciri muannats sebagaimana biasanya yang berakhiran “ta’” marbûthah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa ‘adad yang menunjukkan bilangan di atas tiga untuk semua satuan tingkatan (belasan maupun puluhan) memiliki ciri berkebalikan dalam nau‘. Karena itu penutur seharusnya menggunakan kata “al-tsalâts”.
- Kesalahan dalam membuat dua fâ‘il atau lebih untuk satu fi‘l, terdapat kesalahan sebanyak 1 ungkapan, atau 0,3 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 0,2 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Kesalahan tersebut adalah : , seharusnya
236
Konstruksi kalimat (jumlah/kalâm) dalam bahasa Arab ada dua macam, pertama dimulai dengan ism dan ke dua dimulai dengan fi‘l. Yang pertama disebut dengan jumlah ismiyyah dan yang ke dua disebut dengan jumlah fi‘liyyah. Ismiyyah berupa susunan yang berpola mubtada’ – khabar. Khabar dapat berupa ism dan dapat pula berupa fi‘l. Bila berupa fi‘l maka harus sesuai dengan mubtada’ dalam hal nau‘ (jenis/mudzakkar-muannats) dan ‘adad (jumlah / mufrad, mutsannâ, jam‘). Sedangkan dalam pembentukan jumlah fi‘liyyah yang diawali dengan fi‘l berlaku ketentuan persesuaian antara fi‘l dengan fâ‘il dalam hal nau‘ saja, tidak dalam ‘adad. Penulis memasukkan kesalahan di atas pada kelompok kaidah khusus meskipun bisa dimasukkan
dalam kelompok kesalahan
kesesuaian
‘adad,
karena penutur
menghadirkan fi‘l (mudhâri‘) mutsannâ untuk fâ‘il mutsannâ. Penulis menduga bahwa sebenarnya penutur ingin menghadirkan dua subyek (fâ‘il) sehingga dibuatlah fi‘l yang mutsannâ. Akan tetapi penutur kurang tepat menggunakan konstruksi yang ingin dipakai, jumlah ismiyyah ataukah fi‘liyyah. Dugaan penulis, penutur ingin menggunakan fi‘liyyah karena dihadirkan fi‘l mudhâri‘ yang mutsannâ. Karena itu susunan yang digunakan semestinya fi‘l mufrad dengan perubahan konstruksi sebagaimana tertulis dalam pembetulan.
- Kesalahan dalam bab idhâfah , yakni membuat mudhâf dalam bentuk ma‘rifah yang seharusnya berbentuk nakirah. Terdapat kesalahan sebanyak 7 ungkapan, atau 2,2 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 1,6 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah : (1)
(2)
, seharusnya
, seharusnya Frasa idhâfî berupa gabungan dua kata ism yang memiliki hubungan atributif, yakni
kata ke dua merupakan atribut kata pertama (sebagai unsur pusat). Dalam bahasa Arab, frasa terbagi atas beberapa macam fungsi, yakni fungsi atributif, koordinatif, dan apositif.
237
Frasa idhâfî memiliki ketentuan berupa kata pertama harus nakirah, sedangkan untuk kata ke dua dapat berupa nakirah dan dapat pula ma‘rifah dengan alif lam ( )لا. Dengan ketentuan tersebut maka contoh (1) pada kata “haqquhû” yang ma‘rifah harus dirubah menjadi nakirah yakni “haqq”. Kata “haqquhû” sebenarnya merupakan frasa idhâfi antara ism “haqq” dengan dhamîr muttashil “hû”, sehingga menjadikannya ma‘rifah dan tidak tepat digunakan untuk mudhâf. Sedangkan pada contoh (2) meskipun sama kesalahannya dengan contoh (1), yakni mudhâf berupa ma‘rifah, akan tetapi berbeda dalam pembentukan ma‘rifah-nya. Kata “al-qiyâm” (yang tepat adalah iqâmah, bukan qiyâm, di sini terdapat kesalahan isytiqâq juga) sebagai mudhâf dibentuk menjadi ma‘rifah dengan penambahan “alif lam” di awalnya. Karena itu pembetulannya dengan cara menghilangkan “alif lam” penanda ma‘rifah tersebut menjadi “iqâmah”. Kesalahan-kesalahan yang terkait dengan kaidah khusus lebih disebabkan oleh generalisasi yang salah. Dalam hal ini pembelajar berupaya menciptakan kaidah berdasarkan pengalamannya mengenai struktur-struktur lain dalam B2. Penciptaan inilah yang pada akhirnya memunculkan penyimpangan-penyimpangan melalui upaya generalisasi berupa penggunaan strategi-strategi atau siasat-siasat yang telah tersedia sebelumnya di dalam situasi-situasi yang baru.
Melalui pengalamannya,
pembelajar
mengambil
kesimpulan-kesimpulan
dengan
melakukan generalisasi kaidah-kaidah yang telah diterimanya berdasarkan fakta-fakta yang telah dipelajarinya. Namun pada kesempatan lain, upaya generalisasinya yang hanya mendasarkan pada kesamaan-kesamaan aspek luar, berakibat menyesatkan dan tidak dapat diterapkan, sehingga membawanya kepada berbuat penyimpangan-penyimpangan dalam berbahasa. Pada jenis kesalahan pertama, kesalahan konstruksi ‘adad, kesalahan disebabkan oleh ketidaksesuaian nau‘ antara ‘adad dengan ma‘dûd. Sebagaimana ism lainnya, ‘adad juga ada yang mudzakkar dan muannats, dari sinilah awal mula munculnya kesalahan. Dalam aturannya, untuk ma‘dûd mudzakkar digunakan ‘adad mudzakkar yang memiliki tanda muannats yakni ”ta’” marbûthah, dan demikian pula sebaliknya. Hal yang demikian ini terkadang membingungkan bagi pembelajar yang belum mantap pengetahuannya. Sehingga ketika dihadapkan pada susunan ‘adad ma‘dûd terkadang tidak selalu dapat menerapkannya dengan tepat. Demikian pula pada jenis kesalahan ke dua, membuat dua fâ‘il atau lebih untuk satu fi‘l. Pembelajar membuat generalisasi yang salah untuk jumlah fi‘liyyah, dengan mengambil
238
analogi dari jumlah ismiyyah. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam jumlah ismiyyah diharuskan adanya kesesuaian dalam ‘adad (selain dalam hal nau‘), pembelajar kemudian menganalogikan hal ini ke dalam jumlah fi‘liyyah yang sebenarnya hanya disyaratkan memiliki kesesuaian dalam nau‘ saja. Pembelajar melakukan kesalahan dengan membuat fi‘l yang mengandung ‘adad sejumlah ‘adad yang ada pada fâ‘il. Pada jenis kesalahan ke tiga, yakni membuat mudhâf dalam bentuk ma‘rifah yang seharusnya berbentuk nakirah, pembelajar menganalogikan dengan frasa na‘ti, susunan na‘t – man‘ût yang memang dipersyaratkan adanya kesamaan dalam ta‘yîn, yakni kesesuaian dalam ma‘rifah atau nakirah. Hal ini tidak berlaku intuk frasa idhâfî, susunan mudhâf-mudhâf ilaih, di mana kata pertama harus nakirah. Pada kesalahan di atas, pembelajar menerapkan ketentuan yang berlaku pada frasa na‘tî kepada frasa idhâfî melalui generalisasi dengan menyamaratakan ketentuan yang ada pada kedua frasa tersebut.
4. Struktur , jumlah kesalahan pada kelompok ini sebanyak 44 ungkapan atau 14,1 % dari kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis dan 10 % dari jumlah keseluruhan kesalahan yang terjadi. Kesalahan dalam struktur ini dapat berupa penambahan kata, penghilangan kata, dan susunan yang lemah. - Menambah kata dalam kalimat, terdapat kesalahan sebanyak 20 ungkapan, atau 6,4 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 4,5 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah : (1)
, seharusnya
(2) (3)
, seharusnya , seharusnya Pada contoh (1) terjadi penumpukan ism maushûl yaitu al-ladzî dan mâ. Dalam
bahasa Arab terdapat dua macam ism maushûl, yang khâsh (khusus) dan musytarak (umum). Ism maushûl yang khâsh mengandung konsekuensi penyesuaian dalam nau‘ dan ‘adad sesuai dengan yang diinginkan penggunanya. Sedangkan ism maushûl yang musytarak
239
diberlakukan tanpa melihat nau‘ dan ‘adad. Pada contoh di atas, penutur menggunakan dua macam ism maushûl tersebut secara beriringan sehingga hal ini perlu dibuang salah satunya. Membandingkan dua macam ism maushûl yang digunakan tersebut, nampaknya yang harus digunakan adalah ism maushûl yang musytarak yakni “mâ”, karena ia mencakup kepada semua hal yang terkait dengan pengertian sunnah sebagaimana diinginkan penutur. Contoh (2) menunjukkan kekurangtepatan penutur dalam menggunakan ism maushûl yang seharusnya tidak disertakan. Kata “a‘mâl” yang nakirah tidak perlu menggunakan ism maushûl, dan cukup langsung bersambung dengan jumlah setelahnya, sebagai na‘t. Karena dengan langsung ke jumlah setelahnya telah menunjukkan hubungan keterangan, sehingga tidak perlu ditambahkan ism maushûl yang juga menjadi penjelas (keterangan). Sedangkan pada contoh (3) terdapat penambahan “mâ” maushûl yang diikuti dengan ism shifah (berupa ism fâ‘il). Seharusnya, penutur tidak perlu menambahkan “mâ” karena ism shifah setelahnya sudah cukup memenuhi makna yang diinginkan oleh penutur.
- Menghilangkan kata dalam kalimat, terdapat kesalahan sebanyak 16 ungkapan, atau 5,1 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 3,6 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi ini contohnya adalah : (1)
(2)
, seharusnya
, seharusnya Contoh (1) penutur menghilangkan ism maushûl yang seharusnya
dihadirkan setelah ism ma‘rifah. Sebagaimana tujuannya, ism maushûl dihadirkan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap ism yang telah disebutkan sebelumnya melalui penambahan jumlah yang disebut dengan shilah al-maushûl. Sedangkan pada contoh (2) terjadi penghilangan huruf nashab yakni “an” yang berfungsi mejadikan fi‘l setelahnya berfungsi sebagaimana bentuk mashdar-nya. Pada contoh (2) ini terdapat dzarf
240
(kata-kata yang digunakan untuk menunjukkan keterangan waktu ataupun tempat) “ba‘da”. Kata ini selalu dalam pola mudhâf-mudhâf ilaih, sehingga kata setelahnya jika berupa fi‘l harus di-ta’wîl mashdar. Fi‘l mudhâri‘ “a‘thâ” dapat di-ta’wil mashdar dengan cara menambahkan huruf “an” mashdariyyah yang berakibat menjadikan mudhâri‘ tersebut manshûb. - Struktur yang lemah, yakni kelemahan dalam uslûb / rangkaian kata. Yang dikategorikan dalam kesalahan ini adalah apabila ditemukan lebih dari satu kesalahan struktur dalam satu kalimat. Dalam hal ini terdapat kesalahan sebanyak 8 ungkapan, atau 2,6 % dari kesalahan yang ada pada aspek sintaksis, dan 1,8 % dari seluruh kesalahan yang terjadi baik pada aspek sintaksis maupun morfologi. Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi pada kelompok ini contohnya adalah : (1)
(2)
, seharusnya
, seharusnya
Pada dua contoh di atas, penutur membuat susunan yang tumpang tindih dan tidak beraturan, karena menerapkan urutan yang ada pada B1nya. Contoh (1) menujukkan bahwa sebenarnya penutur membuat jumlah ism maushûl dengan shilah-nya yang menggunakan jumlah ismiyyah. Shilah dengan jumlah ismiyyah pada no (1) di atas sebenarnya dapat disederhanakan dengan menggunakan fi‘lnya, sehingga menjadi lebih ringkas dan mudah dipahami. Demikian juga pada contoh (2), terdapat banyak susunan yang tidak tertib urutan. Kata “awâmir wa al-nawâhî min Allah” dapat disederhanakan
241
menjadi “awâmir Allah wa nawâhîhî”. Struktur yang pertama tidak memenuhi kaidah mudhâf-mudhâf ilaih dan penggunaan dhamîr. Kesalahan-kesalahan di atas termasuk dalam kategori strategi lahiriah/siasat permukaan. Kesalahan dalam kelompok ini merupakan sisi pandang analisis kesalahan dari prespektif perubahan-perubahan yang nampak pada struktur bahasa. Perubahan-perubahan yang dimaksud adalah cara-cara yang terjadi dan digunakan oleh pembelajar dalam berbahasa. Cara-cara yang dimaksud tersebut dapat berupa penghilangan, penambahan, salah formasi atau salah susun. Kesalahan jenis pertama, menambah kata dalam kalimat, berupa munculnya suatu butir yang seharusnya tidak ada dalam sebuah ungkapan. Kesalahan berupa penambahan ini dapat dikatakan sebagai akibat dari pemakaian kaidah-kaidah bahasa yang terlalu teliti, terlalu hati-hati, meski sebenarnya hal itu malah menyebabkan penambahan butiran-butiran yang seharusnya tidak diperlukan kehadirannya. Dari sini dapat diperkirakan bahwa kesalahan penambahan ini banyak dilakukan oleh pembelajar B2 yang telah banyak menerima kaidah-kaidah bahasa. Contoh-contoh kesalahan di atas menunjukkan adanya gejala tersebut, di mana penutur pada contoh (1) meletakkan dua ism maushûl yakni ”al-ladzi” dan ”mâ” ; (2) menambahkan ism maushûl ; dan (3) menambahkan ”mâ” maushûl. Contoh-contoh tersebut sekaligus menunjukkan indikasi telah banyaknya kaidah yang telah dipelajari oleh penutur. Dugaan bahwa kesalahan-kesalahan yang ada pada jenis penambahan ini terjadi pada pembelajar B2 yang telah banyak menerima kaidah bahasa, dapat dilihat dari tipe-tipe kesalahan yang ada. Tarigan menyatakan bahwa dalam kesalahan penambahan ini terdapat tiga tipe, yakni penandagandaan, regularisasi, dan penambahan sederhana. Penandaan ganda, yang dimaksud adalah penambahan yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai kegagalan menghilangkan beberapa
242
unsur, yang dalam sebuah konstruksi linguistik diperlukan, namun pada konstruksi lain tidak perlu dihilangkan. Hal ini seperti terlihat pada contoh (1) di atas, di mana penutur meletakkan “al-ladzî” dan “mâ”, yang keduanya sama-sama ism maushûl. Kedua, regularisasi, berupa upaya pembelajar menerapkan aturan-aturan tertentu yang sebenarnya menjadi sebuah ketentuan umum, akan tetapi pada kenyataannya tidaklah selalu demikian. Ketika sebuah aturan berlaku untuk hampir semua konstruksi linguistik, maka hal ini menjadi sebuah gejala regular yang bersifat umum. Artinya, bahwa terdapat hal-hal yang tidak dapat diberlakukan sebagaimana aturan-aturan yang sudah baku. Dalam posisi seperti ini, pembelajar terkadang mengikuti begitu saja aturan regular ini sehingga menimbulkan kesalahan berbahasa. Contoh (2) berupa menambahkan “al-ladzî” setelah ism nakirah yang sebenarnya hal ini tidak diperlukan karena telah tercukupi oleh fi‘l setelahnya. Ketiga, penambahan sederhana, salah satu sub kategori kesalahan jenis penambahan. Kelompok ini dapat dikatakan sebagai penampungan terhadap jenis kesalahan-kesalahan yang tidak dimasukkan dalam kelompok penandaan ganda maupun regularisasi. Maka dalam hal ini tidaklah dapat dikemukakan ciri-ciri khusus sebagai penanda kelompok kesalahan ini, selain ciri secara umum yang berupa penyimpangan atas penggunaan unsur yang tidak terdapat pada ujaran atau ucapan yang benar. Contoh (3) menunjukkan gejala ini, di mana ”mâ” maushûl yang ditambahkan mengiringi ism shifâh menjadi tidak ada fungsinya. Kesalahan kelompok kedua, menghilangkan kata dalam kalimat, adalah apabila terdapat ketiadaan suatu butir yang seharusnya ada dalam sebuah ucapan. Memang dapat dipahami bahwa setiap kata dalam suatu kalimat memiliki potensi untuk penghilangan. Akan tetapi terdapat beberapa kata yang justeru lebih sering dihilangkan daripada yang lainnya. Dalam praktiknya, pembelajar seringkali
243
menghilangkan unsur morfem gramatikal, kata tugas, dibandingkan morfem penuh. Dalam bahasa Arab morfem gramatikal yang dimaksud adalah yang masuk kelompok hurûf, bukan ism maupun fi‘l. Namun demikian terdapat juga ism yang masuk dalam kelompok yang berpotensi kehilangan ini, seperti ism maushûl pada contoh (2) di atas. Penghilangan morfem gramatikal seperti hurûf ini memang sering kali tidak memberikan pengaruh dalam pemaknaan, namun demikian hal ini akan dapat mengganggu harmonisasi kalimat apabila dipraktikkan dalam bahasa tulis. Kesalahan berbahasa yang berwujud penghilangan ini sering kali terjadi pada masa awal tahap pemerolehan B2. Yang ketiga adalah adalah salah formasi atau salah susun. Sebagaimana penamaannya, salah susun merupakan salah letak, ditandai oleh penempatan yang tidak benar bagi suatu kata atau susunan kata (frasa/klausa) dalam suatu kalimat. Dengan demikian salah susun adalah kesalahan letak, atau penempatan sebuah kata atau kelompok kata yang tidak tepat. Salah letak ini berupa pertukaran tempat yang semestinya di belakang ternyata diletakkan di depan, dan sebaliknya. Kedua contoh di atas, pada kelompok kesalahan struktur yang lemah, memperlihatkan jenis kesalahan salah susun ini di mana penutur pada contoh (1) membuat frasa shilah maushûl dalam bentuk jumlah ismiyyah dengan pengulangan kata sebelumnya yang menjadikannya tidak efisien, sehingga perlu dirubah ke bentuk jumlah fi‘liyyah. Demikian juga pada contoh (2) pembentukan jârr majrûr yang dapat disingkat melalui frasa idhâfî. Pembentukan frasa idhâfî dirasakan lebih tepat dibandingkan dengan pola jârr majrûr. d. Penyebab Kesalahan Sintaksis Salah satu tahapan yang terpenting dalam prosedur analisis kesalahan adalah melakukan pemeringkatan kesalahan, dengan cara mengurutkan atau membuat prosentase berdasarkan frekuensi terjadinya kesalahan-kesalahan. Tahapan ini penting
244
untuk mengetahui kesalahan pada aspek apa saja yang memiliki frekuensi paling sering terjadi. Dari sini pula nantinya dapat diidentifikasi penyebab kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis. Karena itu pembahasannya meliputi frekuensi kesalahan dan faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan. 3. Frekuensi Kesalahan Sintaksis Data rekaman kegiatan belajar mahasiswa yang berupa diskusi mata kuliah ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu agama merupakan jawaban atas masalah-masalah dalam penelitian ini. Hasilnya berupa kalimat-kalimat yang memberikan gambaran tentang kesalahan berbicara dan penguasaan bahasa Arab mereka, khususnya penguasaan sintaksis (nahw). Data lengkap kesalahan baik dalam rangkuman prosentase maupun transkrip kalimat disajikan dalam lampiran II. Berdasarkan lampiran I yang memuat prosentase kesalahan gramatika dalam bahasa tutur mahasiswa, diketahui bahwa dalam berbahasa tutur yang berupa kegiatan diskusi selama berlangsungnya perkuliahan, mahasiswa membuat kesalahan-kesalahan dalam aspek sintaksis sebagai berikut : Jumlah seluruh kesalahan sintaksis adalah sebanyak 313 dari total seluruh kesalahan yang ada, atau sebesar 71 %, yang terdiri atas : (1) Kesalahan dalam persesuaian ‘adad : 17 (5,4 % kesalahan sintaksis, atau 3,9 % total kesalahan) (2) Kesalahan dalam persesuaian nau‘ : 127 (40,6 % kesalahan sintaksis, atau 29,9 % total kesalahan) (3) Kesalahan dalam persesuaian ta‘yîn : 13 (4,2 % kesalahan sintaksis, atau 2,9 % total kesalahan) (4) Kesalahan dalam hal i‘râb : 101 (32,3 % kesalahan sintaksis, atau 22,9 % total kesalahan) (5) Kesalahan yang terkait dengan kaidah khusus : 11 (3,5 % kesalahan sintaksis, atau 2,5 % total kesalahan)
245
(6) Kesalahan dalam hal struktur kalimat : 44 (14,1 % kesalahan sintaksis, atau 10 % total kesalahan) Dari perincian di atas, dapat diketahui bahwa kesalahan-kesalahan berbahasa dalam berbicara mahasiswa pada aspek sintaksis terbagi atas enam jenis yakni kesalahan persesuaian dalam hal ‘adad, kesalahan persesuaian dalam hal nau‘, kesalahan persesuaian dalam hal ta‘yîn, kesalahan i‘râb, kesalahan yang terkait dengan kaidah khusus, dan kesalahan dalam hal struktur kalimat. Dari enam jenis tersebut, kesalahan yang paling banyak dibuat oleh mahasiswa pada aspek sintaksis ialah kesalahan dalam tawâfuq nau‘, yakni sebanyak 127 kesalahan atau 40,6 % dari seluruh kesalahan sintaksis. Pada jenis kesalahan ini, sebenarnya masih terbagi atas beberapa sub jenis kesalahan sebagai wujud adanya beberapa konstruksi (pola susunan) yang terdapat pada ungkapan bahasa Arab. Sub-sub tersebut, sebagaimana dapat dilihat pada lampiran, adalah kesalahan dalam persesuaian antara ism dengan fi‘l, antara ism dengan dhamîr, antara maushûl dengan ’âid shilah, antara fi‘l dengan fâ‘il, antara na‘t dengan man‘ût, dan antara isyârah dengan musyâr ilaih. Tawâfuq nau‘ menduduki kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh mahasiswa dalam berbahasa tuturnya, yakni 135 kesalahan atau 42,7 % kesalahan morfologi, dan 29,9 % kesalahan keseluruhan, yang hal ini menunjukkan bahwa pembelajar masih belum memiliki kemantapan kaidah dalam pengungkapan secara lisan untuk pola-pola susunan yang diharuskan memenuhi persyaratan persesuaian ini. Melihat banyaknya sub jenis kesalahan yang tidak sedikit (6 sub jenis kesalahan) hal ini juga menunjukkan dominannya peran sistem nau‘ dalam konstruksi kalimat bahasa Arab. 4. Faktor Penyebab Kesalahan Sintaksis Dari uraian deskripsi dan frekuensi kesalahan sebelumnya, maka dapat diketahui faktor-faktor yang menjadi penyebab kesalahan. Diantara
246
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar B2, secara keseluruhan penyebabnya dapat dikelompokkan atas dua macam, yaitu kesalahan antarbahasa (interferensi) dan kesalahan intrabahasa. Kedua kesalahan tersebut merefleksikan peristiwa-peristiwa yang mengiringi proses pembelajaran B2 pada seorang pembelajar. Artinya, bahwa hal itu menunjukkan tingkat perkembangan B2 pembelajar. Peristiwa-peristiwa yang dimaksud adalah, bahwa seorang pembelajar B2 dalam upaya membangun kesempurnaan aspek-aspek linguistik B2nya tidak dapat melepaskan pengaruh B1 yang telah dimilikinya, maka terjadilah transfer negatif (interferensi) dan menimbulkan kesalahan interferensi atau interlingual (antarbahasa). Selain itu, masih dalam upaya menyempurnakan pengetahuan linguistiknya, seorang pembelajar berupaya membangun kemampuannya dengan mendasarkan kepada pengetahuan B2 sebatas yang telah dikuasainya, hasil dari pembelajaran B2 sebelumnya dan yang sedang berlangsung, maka muncullah kesalahan-kesalahan intrabahasa. c. Kesalahan Antarbahasa (Interferensi) Kesalahan antarbahasa merupakan kesalahan yang timbul akibat pembelajar B2 yang secara otomatis mengambil dan menggunakan sistem B1 yang telah dimilikinya pada saat menggunakan B2nya, melalui tulisan ataupun lisan. Transfer bahasa bagi pembelajar B2 yang telah memiliki B1 merupakan suatu keniscayaan yang sulit dihindari. Analisis kontrastif telah membuktikan adanya peristiwa transfer bahasa tersebut. Hipotesis analisis ini menyatakan bahwa adanya perbedaan-perbedaan yang terdapat pada bahasa sumber (B1) dan bahasa sasaran (B2) dapat menimbulkan masalah-masalah dan kesulitan dalam performansi. Maka kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pembelajar merupakan cerminan kesalahan-kesalahan yang strukturnya
247
adalah sama dengan B1 pembelajar. Beberapa kesalahan yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini adalah yang terkait dengan persoalan tawâfuq, baik dalam ‘adad, nau‘ maupun ta‘yîn. Persoalan persesuaian ini tidak dijumpai dalam B1 pembelajar karena itu kesalahan dalam jenis ini termasuk yang paling banyak dilakukan, yakni masing-masing ‘adad, nau‘ maupun ta‘yîn adalah 3,9 %, 28,8 % dan 2,9 % dari seluruh kesalahan. Tingginya frekuensi kesalahan pada persesuaian ini karena banyaknya konstruksi yang mensyaratkan persesuaian-persesuaian, sehingga mengharuskan pembelajar B2 benar-benar memahaminya dengan tuntas agar tidak selalu jatuh pada kesalahan karena hal ini tidak ditemukan dalam B1 mereka. Akibatnya mereka membawa kaidah B1 yang tidak memiliki persamaan ini ke dalam B2 mereka pada saat membuat ungkapan bahasa Arab. Konsep ‘adad terkait dengan ism maupun fi‘l dan melekat pada kedua macam kata tersebut, artinya setiap kali menyebutkan ism maupun fi‘l maka kata itu selalu diikuti dengan ‘adad. Berikut ini adalah contoh kesalahan sebagaimana yang dimaksud,
, di mana fi‘l yang diucapkan oleh penutur tidak
menunjukkan bilangan jam‘ padahal dari konteks ungkapan, dapat dipahami bahwa yang dimaksudkannya adalah untuk bilangan yang lebih dari dua. Maka seharusnya fi‘l (kata bergaris bawah) seharusnya dibuat dalam bentuk jam‘ (plural), bukan mufrad (tunggal) sebagaimana contoh di atas. Nampaknya, penutur mentransfer begitu saja pola yang ada dalam B1nya, yakni bahasa Indonesia yang tidak mengenal konsep kesesuaian ‘adad. Demikian juga yang terjadi pada ism, misalnya contoh berikut, Pada ungkapan tersebut seharusnya kata bergaris bawah dihadirkan dalam bentuk jam‘ sesuai dengan persyaratan kesesuaian ‘adad dalam konstruksi jumlah ismiyyah, yakni
.
248
antara mubtada’ (subyek) dengan khabar (predikat). Dhamîr ”hum” sebagai subyek menunjukkan bilangan jam‘ karena itu kata setelahnya sebagai predikat harus sesuai dengan subyek dalam ‘adad, sehingga harus dibentuk jam‘ pula. Hal ini membuktikan bahwa nampaknya penutur melakukan transfer pola dalam B1nya yang tidak mengenal kesesuaian antara subyek dengan predikat dalam hal bilangan, sehingga mengucapkan predikat apa adanya (bentuk mufrad-nya) tanpa merubah menjadi bentuk jam‘. Tawâfuq nau‘ juga demikian halnya, dipergunakan dalam banyak konstruksi, bahkan mungkin lebih banyak lagi konstruksi yang mengharuskan adanya persesuaian dalam nau‘ dibandingkan dengan ‘adad. Terbukti bahwa tawâfuq nau‘ ini menduduki kesalahan yang paling banyak dilakukan oleh mahasiswa dalam bahasa tuturnya, yakni 127 kesalahan atau 40,6 % dalam kesalahan morfologi, dan 28,8 % dalam keseluruhan kesalahan. Artinya, hal ini menunjukkan bahwa banyak konstruksi dalam bahasa Arab yang menjadikan persesuaian nau‘ ini sebagai salah satu persyaratan. Hal ini juga dapat dilihat pada banyaknya sub jenis kesalahan (yakni macam-macam konstruksi) yang terjadi. Diantara contoh kesalahan-kesalahan dalam tawâfuq nau‘ ini, misalnya (1) , (2)
, dan (3)
, kesemua konstruksi tersebut sama-sama tidak memiliki persesuaian dalam nau‘ meskipun berbeda dalam konstruksi. Konstruksi pertama dan kedua berupa tarkîb isnâdî , yang pertama dalam pola jumlah ismiyyah yang terdiri dari mubtada’ dan khabar, dan yang ke dua dalam pola jumlah ismiyyah yang terdiri dari fi‘l dan fa’il, sedangkan konstruksi ke tiga berupa tarkîb washfî yang terdiri dari man‘ût dan na‘t. Adapun tawâfuq ta‘yîn memang tidak dipergunakan pada banyak konstruksi sebagaimana tawâfuq ‘adad dan nau‘. Hal ini juga terbukti dari frekuensi kesalahan yang terjadi pada bahasa tutur mahasiswa, yakni sebanyak 13 kesalahan, atau 4,2 % kesalahan sintaksis dan 2,9 % kesalahan secara keseluruhan. Kesalahan sebanyak 14 kali itu pun hanya pada satu macam saja, yakni man‘ût berbentuk nakirah sedangkan
249
na‘t berbentuk ma‘rifah. Untuk kesalahan yang berpola sebaliknya, yakni man‘ût berbentuk ma‘rifah dan na‘t berbentuk nakirah ternyata tidak ada. Diantara kesalahan-kesalahan sebagaimana yang dimaksud adalah seperti dan juga
. Kedua contoh tersebut berupa
tarkîb washfî yang menuntut kesamaan ta‘yîn antara man‘ût dengan na‘t. Dalam bahasa Indonesia sebagai B1 pembelajar, untuk konstruksi seperti itu tidak dikenal adanya aturan kesesuaian, apalagi dalam B1 mereka juga tidak dikenal konsep ta‘yîn secara khusus, maksudnya bahwa rujukan ta‘yîn dengan menggunakan penambahan leksikal seperti “ini”, “itu”, “tersebut”, dan lain sebagainya. Karena itulah penutur mengambil dan mentransfer pola yang ada pada B1nya sehingga menghasilkan ungkapan yang mengandung kesalahan sebagaimana kedua contoh di atas. Hal lain yang juga menyebabkan kesalahan karena pengaruh B1 pembelajar adalah terkait dengan struktur atau pola susunan kalimat. Dalam bahasa Arab banyak dijumpai susunan baik pada tingkat frasa maupun klausa. Belum lagi pola-pola itu memiliki perbedaan dengan pola yang ada dalam B1 pembelajar. Diantara pola yang paling menyolok perbedaannya adalah adanya susunan jumlah fi‘liyyah, di mana pada pola ini yang menjadi awal kalimat adalah fi‘l (kata kerja/verba/predikat) baru kemudian fâ‘il (subyek), meskipun tidak ditemukan kesalahan yang banyak untuk pola ini. Kesalahan pada pola ini seperti
, di mana penutur membuat
bentuk mutsannâ pada fi‘l, padahal seharusnya cukup dengan bentuk mufrad-nya meskipun fâ‘il menunjukkan mutsannâ atau jam‘ . Pola lain yang berbeda adalah seperti ungkapan
. Dalam bahasa
Arab dikenal pola frasa mashdar muawwal yang terdiri dari “an” dan fi‘l. B1 pembelajar tidak memiliki pola seperti ini sehingga pada susunan di atas penutur
250
langsung saja menghadirkan fi‘l mudhâri setelah “qabla” yang seharusnya didahului dengan huruf “an”. Demikian pula halnya yang terjadi pada contoh berikut ini, , di mana terjadi penambahan kata “al-ladzi” yang sebenarnya tidak perlu. Juga dapat dilihat pada ungkapan yang berikut ini, . Shilah pada ungkapan tersebut dapat lebih disederhanakan dengan menggantinya dalam bentuk jumlah fi‘liyyah dibandingkan dengan menggunakan jumlah ismiyyah sebagaimana contoh. Keseluruhan contoh tersebut menunjukkan adanya pengaruh B1 pembelajar dalam membuat ungkapan-ungkapan dalam B2nya. Kesalahan yang ada terkait dengan salah susun atau penambahan dan penghilangan ini mencapai 44 kali, atau 10 % dari total kesalahan keseluruhan. Itulah antara lain contoh-contoh yang menunjukkan adanya transfer negatif atau interferensi akibat penggunaan kaidah atau pola B1 pembelajar pada saat menggunakan B2nya. Kesalahan interferensi atau antarbahasa dalam proses belajar B2 ini menunjukkan belum sempurnanya penguasaan kaidah-kaidah B2 pembelajar sehingga pada saat tertentu ia masih memanggil dan merujuk kaidah B1nya dan menggunakannya dalam pengungkapan B2nya. Inilah yang dikenal dengan istilah dwibahasawan yang tidak seimbang, karena memang masih dalam tahap belajar dan penyempurnaan kaidah-kaidah B2.
d. Kesalahan Intrabahasa Kelompok kesalahan ini, yakni intrabahasa, berupa kesalahan-kesalahan yang merefleksikan ciri-ciri umum kaidah B2 yang sedang dipelajari oleh pembelajar. Dalam
251
hal ini pembelajar B2 melakukan kesalahan-kesalahan yang bukan merupakan refleksi dari struktur dan kaidah B1 yang telah dimilikinya. Akan tetapi melakukan kesalahan-kesalahan yang mencerminkan struktur B2 yang sedang dipelajarinya. Karena itulah dari sini muncul istilah intrabahasa, intralingual dan bukan antarbahasa atau interlingual/interferensi. Dalam kesalahan intrabahasa, Richards (1971) dan Fisiak (1985) menyatakan bahwa penyebab kesalahan meliputi penyamarataan yang berlebihan (over generalization), ketidaktahuan pembatasan kaidah (ignorance of rule restrictions), penerapan kaidah yang tidak sempurna (incomplete application of rules), dan salah menghipotesiskan konsep (false concepts hypothesized). Data yang diperoleh dari kegiatan diskusi mahasiswa memang tidak seluruhnya menunjukkan adanya kesalahan akibat pengaruh B1 atau interferensi. Dalam kenyataannya ditemui juga adanya kesalahan yang bukan disebabkan oleh faktor B1nya akan tetapi karena belum lengkapnya kaidah, atau sudah memiliki kaidah akan tetapi belum sampai pada tahap stabilisasi sehingga terkadang masih melakukan kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan yang dilakukan merupakan hal yang wajar dalam proses penguasaan B2 karena hal itu sekaligus menunjukkan perkembangan penguasaan B2nya. Beberapa kesalahan yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini misalnya yang terkait dengan i‘râb dan juga pembentukan pola atau susunan tertentu. Kesalahan pada i‘râb terjadi karena B1 pembelajar sama sekali tidak mengenal konsep itu. I‘râb bukan sekedar menjadi penanda akhir sebuah kata, akan tetapi juga menunjukkan posisi dan kedudukan kata tersebut. Dengan tiadanya konsep i‘râb pada B1 pembelajar, maka tidak dapat dikatakan bahwa kesalahan pada penandaan i‘râb merupakan pengaruh B1. Pembelajar tidak akan melakukan transfer negatif kalau pada B1nya tidak dikenal konsep yang sama. Dengan demikian kesalahan yang terjadi pada masalah ini semata-mata merupakan kesalahan pembelajar dalam
252
menduga atau menciptakan kreasi berdasarkan pengalaman B2 yang telah dipelajari sebelumnya, untuk menyesuaikan dengan kaidah yang sebenarnya. Diantara contoh-contoh kesalahan dalam i‘râb adalah : (1) , (3)
(2) . Ketiga contoh tersebut
menunjukkan bahwa penutur masih terpengaruh dengan pola jumlah ismiyyah di mana ism pertamanya dibaca rafa‘. Penutur belum mengetahui (atau mungkin sudah mengetahui akan tetapi kurang sempurna pemahamannya) adanya kaidah yang menyebabkan suatu kata dibaca rafa‘, nashab, atau jarr. Akan tetapi, dalam kasus tersebut dia tidak tepat dalam memberikan i‘râb, sehingga bergaris bawah yang seharusnya dibaca berbeda (tidak dalam keadaan rafa‘ sebagaimana ism pertama jumlah ismiyyah) ternyata diberikan penanda i‘râb yang sama, yakni rafa‘ (dengan harakah dlammah). Nampaknya penutur mengambil kaidah mubtada’, di mana ism yang ada pada permulaan kata harus dibaca rafa‘. Demikian juga yang terjadi pada contoh berikut,
, di
mana kesalahan yang dibuat oleh penutur merupakan pengaruh dari kaidah B2 yang telah dipelajarinya, yakni hukum “kâna” wa akhawâtuhâ. Pada pola yang normal ism “kâna” terletak setelahnya, akan tetapi pada ungkapan di atas terletak setelah khabar yang mendahuluinya. Karena itulah penutur mentransfer pola normal dengan melakukan generalisasi sehingga mengakibatkan adanya kesalahan. Hal yang demikian ini wajar terjadi, yakni pembelajar mentransfer dan menggunakan kaidah B2 yang telah diperolehnya untuk digunakan pada pola-pola baru yang berbeda. Kesalahan intrabahasa juga terjadi pada struktur-struktur atau susunan yang dalam bahasa Arab memang banyak macamnya, salah satunya adalah tarkîb idhâfî. Pola ini memiliki kemiripan dengan tarkîb washfî, karena itulah kedua pola ini memiliki problema tersendiri terkait dengan pembentukannya. Berikut ini contoh kesalahan
253
yang dimaksud, yakni
, dan
. Kesalahan
keduanya sama-sama pada pembentukan mudhâf (kata pertama) berupa ma‘rifah, padahal seharusnya nakirah. Susunan keduanya (mudhâf dan mudhâf ilaih) yang sama-sama ma‘rifah (dengan “alf” “lam”/“al”) memiliki kesamaan dengan pembentukan pada tarkîb washfî yang mensyaratkan sama-sama ma‘rifah atau sama-sama nakirah. Diduga, bahwa penutur menyamakannya dengan tarkîb washfî yang secara fisik dan leksikal memang memiliki kesamaan. Kesalahan pada kedua ungkapan di atas bukan merupakan akibat pengaruh B1 pembelajar, karena seandainya merupakan transfer B1 maka justru akan mengakibatkan penutur mengungkapkannya secara benar, karena dia akan memindah kata “qiyâm/iqâmah” atau “ahruf” begitu saja, tanpa perlu menambahkan awalan “alif” “lam”. Penalaran yang demikian lebih mendekati kepada penyebab kesalahan yang sebenarnya dibandingkan mengkaitkannya dengan pengaruh B1 pembelajar. Contoh kesalahan tarkîb idhâfî berikut ini ikut memperkuat dugaan tersebut, . Penutur memberikan awalan “alif” “lam” pada kata yang sebenarnya telah menunjukkan tarkîb idhâfî. Penambahan ini dipengaruhi oleh bentukan ism ma‘rifah yang biasanya sering dipakai pada banyak susunan. Karena itulah penutur ikut menggunakannya pada kata yang seharusnya tidak perlu. Dalam hal ini penutur melakukan over generalisiasi, dengan menambahkan “alif” “lam” / “al” pada kata yang seharusnya tidak perlu. Penutur menduga bahwa dengan penambahan yang dilakukannya akan menjadikan benar akan tetapi malah menjatuhkannya pada kesalahan. Struktur lain yang berpeluang membuka terjadinya kesalahan adalah pada pola ‘adad dan ma‘dûd. Bahkan untuk mengungkapkan ‘adad dan ma‘dûd ini saja didapati lebih dari satu pola. Contoh-contoh berikut ini menunjukkan beragamnya pola yang
254
harus digunakan untuk menyatakan susunan ‘adad dan ma‘dûd, yaitu dan
. contoh pertama menunjukkan pola
yang harus digunakan untuk merujuk kepada angka 3 hingga 10. sedangkan contoh ke dua menunjukkan pola yang harus digunakan untuk merujuk kepada angka belasan. Dan masing-masing pola memiliki aturan tersendiri yang berbeda-beda. B1 pembelajar tidak mengenal pola susunan yang berbeda dengan aturan-aturan tersendiri sehingga terkesan rumit. B1 pembelajar tidak memiliki pola ‘adad ma‘dûd yang diatur-atur sehingga terkesan rumit. Pada contoh di atas, pola yang digunakan tidak ada yang mirip atau sama dengan pola pada B1 pembelajar. Karena itulah dalam hal ini tidak ditemukan pemindahan atau transfer negatif B1 pembelajar ke B2nya. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa kesalahan gramatika disebabkan oleh belum mantapnya pemahaman kaidah tata bahasa. Kesalahan ini terkait dengan karakteristik linguistik pada bahasa Arab yang bisa
saja ternyata
berbeda antara bahasa Arab dengan dengan B1 pembelajar, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia. Diantara karakteristik bahasa Arab ada yang memang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia, namun ada juga yang dimiliki oleh bahasa Indonesia akan tetapi memiliki perbedaan. Karakteristik inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya kesalahan berbahasa dalam aspek sintaksis. Hasil
verifikasi
data
kesalahan
berbahasa
menunjukkan
bahwa
kesalahan-kesalahan gramatikal mahasiswa memang terkait dengan karakteristik bahasa Arab baik yang berhubungan dengan sintaksis. Karakteristik tersebut ada yang ditemui juga dalam B1 pembelajar, dan ada juga yang memang tidak dimiliki. Beberapa karakteristik bahasa Arab dalam aspek sintaksis yang menimbulkan kesalahan tersebut adalah :
255
g. Konsep i‘râb , yang berupa perubahan akhir suatu kata dari satu bentuk ke bentuk yang lain, baik berubah dalam fonem (harakah) maupun penambahan atau perubahan huruf pada akhir kata. Perubahan tersebut terkait dengan perubahan fungsi atau posisinya dalam sebuah susunan kalimat. I‘râb dengan segala macam jenis dan tandanya memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi terjadinya kesalahan pada pembelajar. Data menunjukkan bahwa kesalahan i‘râb pada mahasiswa subyek penelitian mencapai 101 dari 313 kesalahan sintaksis, atau mencapai 32,3 %-nya, dan 22,9 % dari seluruh kesalahan morfologi dan sintaksis yang berjumlah 441. Yang juga menjadi catatan adalah kesalahan terbanyak ada pada i‘râb ism, mencapai 98 dari 101 kesalahan i‘râb. Hal ini karena pada umumnya fi‘l bersifat mabni, berbeda dengan ism yang pada umumnya mu’rab. Hal yang demikian ini berbeda dengan B1 pembelajar yang tidak memiliki konsep tentang i‘râb ini, sehingga membuat pembelajar harus memahami dengan sebaik-baiknya agar tidak melakukan kesalahan, terutama yang terkait dengan i‘râb pada ism. h. Konsep tawâfuq, hubungan bentuk-bentuk atau persesuaian yang meliputi persesuaian dalam ‘adad, nau‘ dan ta‘yîn. Persesuaian yang dimaksud adalah bahwa kalimat yang merupakan susunan yang terdiri dari kata-kata memiliki sistem yang mengharuskan antara satu dengan kata lain sesuai dalam ‘adad. Susunan jumlah ismiyyah misalnya, yang terdiri dari mubtada’ dan khabar, maka keduanya harus sesuai dalam ‘adad, artinya apabila kata pertama, mubtada’ menunjukkan mufrad maka kata berikutnya yang menjadi khabar harus menunjukkan mufrad pula. Demikian juga untuk mubtada’ yang menunjukkan mutsannâ dan jam‘. Persesuaian dalam nau‘ juga diberlakukan dalam susunan bahasa Arab sebagaimana persesuaian dalam ‘adad. Bilamana mubtada’ menunjukkan muannats maka khabar juga harus muannats, demikian juga untuk mudzakkar. Pada susunan jumlah fi‘liyyah juga disyaratkan adanya persesuaian nau‘ ini.
256
Apabila fâ‘il mudzakkar maka fi’il yang digunakan juga harus mudzakkar, dan demikian pula untuk muannats. Sedangkan persesuaian dalam ta‘yîn misalnya pada tarkîb washfî, yakni susunan na‘t man‘ût. Bila kata pertama (man‘ût) berbentuk ma‘rifah maka na‘t juga harus ma‘rifah, dan demikian pula untuk sebaliknya. Persesuaian semacam ini tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia sebagai B1 pembelajar, karena konsep ketiganya, yakni ‘adad, nau‘, dan ta‘yîn yang melekat pada ism ataupun fi‘l tidak ditemukan pada bahasa Indonesia sebagaimana yang ada pada bahasa Arab. Persesuaian yang melibatkan tiga konsep tersebut menjadikan problema tersendiri bagi pembelajar bahasa Arab. Terbukti pada data kesalahan berbahasa yang menunjukkan frekuensi kesalahan tawafuq menduduki posisi yang paling tinggi. Gabungan kesalahan pada tiga macam tawafuq tersebut mencapai 157 dari 313 kesalahan sintaksis, atau 50,2 %-nya, dan 35,6 % kesalahan keseluruhan sintaksis dan morfologi yang berjumlah 441 kesalahan. i. Beragamnya pola tarkîb (susunan). Susunan dalam bahasa Arab memiliki banyak ragam pola yang bervariasi. Susunan dalam tingkat frasa, klausa maupun kalimat dalam bahasa Arab memang menunjukkan keragaman dan kekayaan, namun demikian hal ini sekaligus menimbulkan kerumitan bagi pembelajar asing, apalagi yang tidak memiliki kesamaan dalam B1nya. Diantara pola yang biasa digunakan saja, seperti tarkîb isnâdî, terdapat dua macam pola, yakni pola yang diawali dengan ism, disebut dengan jumlah ismiyyah, dan pola yang diawali dengan fi‘l, disebut dengan jumlah fi‘liyyah. Dua jumlah yang masih dalam satu jenis tarkîb ini dapat menimbulkan kerumitan karena yang dikenal oleh pembelajar dalam sistem B1nya, hanyalah pada jenis pertama yakni jumlah ismiyyah. Hal ini terbukti masih adanya kesalahan dalam pembentukan fi’il yang seharusnya mufrad ternyata dibentuk mutsannâ pada jumlah fi‘liyyah, padahal ketentuan yang berlaku untuk pola ini adalah berapapun jumlah fâ‘il maka fi’il tetap dalam bentuk mufrad. Ini yang disebut dengan kesalahan membuat dua atau lebih fâ‘il untuk satu fi’il.
257
Kesalahan ini memang tidak banyak akan tetapi tetap menunjukkan perbedaan sistem B1 dengan B2 mengakibatkan adanya kesalahan. Atau sedikitnya kesalahan pada jenis ini disebabkan oleh tingkat pengetahuan pembelajar subyek penelitian yang memang termasuk kategori lanjutan, sesuai dengan karakteristik data yang telah penulis sebutkan pada bab sebelumnya. Tarkîb lain yang juga rentan menimbulkan kesalahan adalah idhâfî. Tarkîb ini memiliki kemiripan dengan washfî. Terbukti kesalahan yang dibuat mahasiswa subyek penelitian pada tarkîb idhâfî ini kesemuanya adalah membuat ma‘rifah pada mudhâf yang seharusnya nakirah. Dengan membuat mudhâf dalam bentuk ma‘rifah yang mudhâf ilaihnya juga ma‘rifah maka hal ini sama dengan ketentuan yang berlaku pada tarkîb washfî yang mensyaratkan adanya persesuaian dalam ta‘yîn. Kesalahan dalam jenis ini mencapai 7 kali atau 2,2 % kesalahan sintaksis dan 1,6 % kesalahan keseluruhan sintaksis dan morfologi. Kesalahan akibat beragamnya tarkîb ini juga didukung oleh kesalahan yang terjadi pada pola ‘adad dan ma‘dûd. Pola ‘adad – ma‘dûd yang memiliki banyak macam ini berbeda dengan pola serupa yang ada pada B1 pembelajar. Pada pola ini terjadi kesalahan sebanyak 3 kali, atau 1 % kesalahan morfologi, dan 0,7 % kesalahan keseluruhan. Dari uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa faktor penyebab timbulnya kesalahan-kesalahan berbicara dalam bahasa Arab pada aspek sintaksis oleh mahasiswa subyek penelitian dapat disebabkan oleh dua hal. Pertama, terdapat kecenderungan mahasiswa mengalihkan pola-pola kalimat B1 mereka yakni bahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab sehingga hasil ketika mereka berbicara dalam konteks presentasi dan diskusi perkuliahan masih kelihatan adanya pengaruh bahasa Indonesia terhadap bahasa Arab. Pengaruh-pengaruh ini seperti kesalahan yang terkait dengan persoalan tawâfuq, baik dalam ‘adad, nau‘ maupun ta‘yîn. Kesalahan yang semacam ini disebut dengan kesalahan interlingual/antarbahasa.
258
Di samping itu, ada kesalahan yang disebabkan oleh faktor kesulitan dalam bahasa Arab itu sendiri, misalnya adanya perbedaan pada unsur-unsur bahasa antara bahasa Indonesia dengan Arab seperti di atas. Beberapa kesalahan yang dapat dikelompokkan dalam kategori ini misalnya yang terkait dengan i‘râb dan juga pembentukan pola atau susunan tertentu, seperti tarkîb washfî dan idhafî. Hal-hal inilah yang menimbulkan kesalahan dalam berbahasa tutur oleh mahassiswa MAHAT pada saat kegiatan diskusi pelajaran di kelasnya. Kesalahan semacam ini disebut dengan kesalahan intralingual atau intrabahasa. e. Upaya Mengatasi Kesalahan Kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar bahasa asing merupakan umpan balik yang bagus bagi guru, pembelajar dan juga peneliti. Bagi guru kesalahan yang muncul akan memberikan petunjuk atas seberapa jauh penguasaan pembelajar atas materi yang telah diberikan dan juga seberapa jauh kemajuan mereka. Guru juga akan mengetahui efektivitas teknik dan metode pengajaran yang digunakannya. Selaini itu, adanya kesalahan tersebut juga merupakan informasi dalam usaha merencanakan silabus dan program pengulangan pengajaran (remedial). Sedangkan bagi pembelajar, kesalahan itu sendiri merupakan refleksi atas kemampuan mereka selama ini. Pembelajar akan tahu bagian-bagian mana saja yang masih menyisakan problem penguasaan pada B2 mereka. Dan bagi peneliti, kesalahan tersebut merupakan petunjuk bagaimana bahasa seharusnya dipelajari, strategi dan prosedur apa yang digunakan dan seharusnya dikembangkan dalam rangaka penguasaan bahasa asing. Terkait dengan hal di atas maka hal yang penting dilakukan setelah diketahuinya kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pembelajar, dan setelah kesalahan-kesalahan berbahasa dalam berbicara dapat diidentifikasi, diklasifikasikan, dan dicari faktor-faktor penyebabnya, maka selanjutnya adalah bagaimana membuat
259
agar kesalahan tidak lagi terjadi melalui upaya-upaya seperti strategi pembetulan kesalahan, pemberian latihan-latihan, dan penyusunan materi bahan ajar bahasa Arab. 4. Strategi Pembetulan Kesalahan Tarigan menyatakan bahwa pembetulan kesalahan dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pembetulan secara langsung ini dengan cara pengajar menunjukkan kesalahan itu dan bagaimana cara membetulkannya, sedangkan siswa bertugas merekonstruksi pernyataannya yang salah dengan pernyataan baru yang benar. Sedangkan pembetulan secara tidak langsung adalah dengan cara yang tidak disadari oleh pembelajar kalau dirinya sedang dibetulkan oleh pengajarnya. Tentu saja hal ini harus memperhatikan berbagai kondisi yang sesuai dengan kegiatan belajar-mengajar. Dinyatakan juga oleh Chaudron sebagaimana dikutip oleh Suwarna, bahwa pembetulan kesalahan akan efektif jika (1) dilakukan pada saat yang tepat (2) aktifitas merupakan instruksional formal atau bertujuan pembelajaran, dan (3) mendasarkan pada prinsip pedagogis. Dengan demikian, maka seharusnya upaya pembetulan kesalahan bersifat selektif dan dilakukan pada saat aktifitas kegiatan pembelajaran berlangsung. Selain itu pembetulan juga dilakukan apabila pembelajar belum mampu membetulkan sendiri terhadap kesalahan yang telah dilakukannya. Dengan memperhatikan jenis kesalahan yang terjadi pada data kesalahan berbahasa pembelajar mahasiswa subyek penelitian, dan data sosiolinguistik mahasiswa yang kesemuanya merupakan lulusan pesantren maka teknik yang dikemukakan oleh Long dan Choudron (dalam Ellis) dapat dijadikan rujukan. Teknik pembetulan yang dimaksud adalah (1) pengajar mengulang kesalahan yang dibuat oleh pembelajar dan kemudian memberikan pembetulannya; (2) mengatur perlakuan yang mengarah kepada pembelajar untuk berusaha melakukan koreksi sendiri; (3) strategi yang mengarah kepada pemancingan respon yang benar dari pembelajar; (4) dengan melakukan reaksi
260
apapun yang mengarah kepada upaya pembetulan; (5) penguatan positif dan negatif yang melibatkan persepsi setuju atau tidak setuju. Persepsi setuju dan tidak setuju dapat dilakukan melalui upaya kinesik, paralinguistik, ekspresi wajah, anggota badan, dan lain sebagainya. Dengan cara pembetulan yang secara tidak langsung maka akan memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk ikut serta berperan aktif dan kreatif karena akan berusaha membetulkan kesalahannya sendiri. Pembelajar juga merasa dihargai kemampuannya untuk membetulkan sendiri sehingga tidak terasa menyakitkan terhadap pembetulan kesalahan yang dilakukannya. Selain itu hal ini juga akan memberikan efektivitas dan efisiensi dalam pembelajaran karena tidak setiap kesalahan harus dibetulkan oleh pengajar. Berdasarkan pengamatan penulis, dan pengecekan data rekaman menunjukkan bahwa peran pengajar dalam pembetulan kesalahan belum ditemukan. Nampaknya para pengajar belum merasa perlu untuk melakukan pembetulan-pembetulan di saat pengajaran mata kuliah mereka. Bisa saja hal ini disebabkan oleh waktu yang tersita lebih banyak untuk pembahasan materi kuliah yang bersangkutan, sehingga waktu digunakan habis untuk menerangkan atau mengulang pembahasan yang telah disampaikan oleh mahasiswa melalui media diskusi kelas. Dengan adanya hasil penelitian ini tentu saja diharapkan pembetulan kesalahan bukan hanya merupakan tanggung jawab pengajar materi bahasa Arab, atau hanya terjadi pada saat mata kuliah yang terkait dengan bahasa Arab saja. Peran pengajar secara keseluruhan, yang selain kompeten dalam bidang keilmuan masing-masing juga cakap dalam kemampuan berbahasa Arab aktif, merupakan kebutuhan mutlak dalam rangka ikut membantu meminimalkan kesalahan mahasiswa dalam berbahasa lisan. 5. Latihan Materi Kebahasaan
261
Di samping teori yang terkait dengan materi kebahasaan, dalam aspek morfologi maupun sintaksis, latihan juga perlu diberikan terutama untuk kesalahan-kesalahan yang paling banyak dibuat oleh mahasiswa. Latihan-latihan tersebut perlu diintensifkan dan dikembangkan sehingga kesalahan-kesalahan yang sama diharapkan tidak terulang lagi. Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang terjadi pada aspek sintaksis, maka yang perlu mendapatkan porsi latihan adalah sebagai berikut : c. Latihan mengenai tawâfuq, baik dalam hal nau‘, ‘adad, maupun ta‘yîn. Kesalahan dalam kelompok ini menempati posisi kesalahan yang paling tinggi diantara kesalahan lain, terutama tawâfuq yang terkait dengan nau‘, yakni 28,8 %. Sedangkan dua tawâfuq lainnya masing-masing ‘adad sebesar 3,9 %, dan ta‘yîn 2,9 %. Dalam usaha pemberian latihan ini harus diperhatikan agar materi latihan benar-benar yang terkait dengan kesalahan yang telah terjadi. Dengan demikian materi latihan harus benar-benar mencerminkan upaya pelatihan menuju kesempurnaan penguasaan hal-hal yang terkait dengan tawâfuq. d. Latihan mengenai i‘râb. Kesalahan yang dilakukan mahasiswa sebagai subyek penelitian dalam hal i‘râb mencapai 101 kesalahan, atau 22,9 % dari seluruh kesalahan gramatika. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal i‘râb masih sering terjadi kesalahan, karena itu latihan yang terkait dengan i‘râb sudah semestinya menjadi bagian yang diutamakan. Meskipun dalam keterampilan berbicara terdapat kecenderungan untuk meniadakan huruf akhir dalam harakah (bunyi), namun kenyataanya data penelitian menunjukkan masih tingginya kesalahan dalam hal i‘râb ini. e. Latihan tentang susunan kata, terutama dalam hal tarkîb washfî, idhâfî, dan ‘adad. Secara khusus memang tidak diketahui berapa prosentase kesalahan pembelajar dalam macam-macam tarkîb di atas. Akan tetapi, dengan melihat kesalahan yang terkait tawâfuq dan kaidah khusus, maka dapat diprediksi susunan mana saja yang
262
harus dilatihkan untuk menghindarkan kesalahan pembelajar. Latihan yang dapat diberikan dalam jenis ini dapat berupa memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk memperbanyak membaca dan latihan secara intensif. Teks-teks yang disediakan harus mencakup aspek-aspek yang terkait dengan beragam susunan dalam bahasa Arab. Dengan demikian pembelajar akan lebih mengenal dan terbiasa dengan macam-macam pola dan susunan dalam bahasa Arab. Metode-metode yang digunakan dalam latihan dapat merujuk kepada strategi pengajaran bahasa Arab. Metode latihan yang dimaksud tentu saja yang sesuai dengan aspek gramatika, dalam hal ini adalah sintaksis (nahw). Metode latihan yang berkembang belakangan menunjukkan ke arah perlunya penyajian gramatika fungsional (al-nahw al-wadzîfî). Dalam hal ini ada berbagai macam latihan yakni latihan mekanis, bermakna, dan komunikatif. Masing-masing latihan ini memiliki teknik-teknik yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan tingkatan materi yang diajarkan. 6. Prioritas Materi Pengajaran Kesalahan berbahasa yang sepintas menunjukkan suatu hal yang menyakitkan ternyata dapat memberikan manfaat yang besar bagi keberhasilan pengajaran bahasa. Sebagai suatu keniscayaan maka kesalahan tidak dapat ditolak keberadaanya. Namun berawal dari munculnya kesalahan inilah pada akhirnya ditemukan manfaat linguistis maupun pedagogis dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa asing. Dari sinilah kemudian muncul analisis kontrastif yang kemudian disempurnakan dengan analisis kesalahan. Analisis kesalahan akan memberikan umpan balik yang sangat berharga bagi pengevalusian dan perencanaan pengajaran, terutama terkait dengan penyusunan materi dan strategi pengajaran, meskipun pada kenyataanya pada hal pertamalah yang lebih banyak diarahkan, yakni tersusunnya suatu materi pengajaran yang lebih mengena dan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sidhar (dalam Tarigan) menyatakan bahwa
263
analisis kesalahan ditujukan untuk menentukan urutan penyajian butir-butir pengajaran di kelas dan buku teks, misalnya dari hal yang mudah ke sukar. Selain itu juga menentukan urutan jenjang relatif penekanan, penjelasan, dan latihan bahan pengajaran, serta merencanakan latihan dan pengajaran remedial beserta memilih butir-butir bagi pengujian kemahiran siswa. Berdasarkan pemaparan data kesalahan mahasiswa subyek penelitian pada bagian sebelumnya, maka pengajar dapat menentukan urutan bahan pengajaran berdasarkan besaran kesalahan yang dibuat oleh pembelajar. Besaran kesalahan yang dibuat oleh pembelajar selain menunjukkan kemampuan penguasaan bahasa mereka, juga menunjukkan problematika materi pengajaran, artinya terdapat bahan-bahan ajar yang memang berpotensi menimbulkan kesalahan karena sulitnya materi tersebut. Untuk itulah diperlukan prioritas penyajian materi pengajaran yang dianggap berpeluang menimbulkan kesalahan. Untuk itu, dalam memberikan materi kuliah bahasa Arab, yang terkait dengan aspek sintaksis, maka perlu penekanan baik dalam hal pemberian teori maupun dalam latihan-latihan, yang terkait dengan bidang kesalahan mahasiswa. Dengan melihat mata kuliah yang diberikan kepada mahasiswa, sebenarnya penguasaan aspek sintaksis seharusnya telah dapat meminimalkan atau menghilangkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh mereka. Sebagai lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab dalam perkuliahannya, Ma’had ’Âlî dianggap cukup dalam memberikan porsi bahasa Arab. Namun dengan adanya penemuan kesalahan-kesalahan berbicara mahasiswanya, hal ini dapat dipakai sebagai refleksi dalam urutan penyajian bahan perkuliahan bahasa Arab yang terkait dengan aspek sintaksis. Urutan penyajian materi tersebut dapat disusun dengan memperhatikan besaran kesalahan yang dibuat oleh mahasiswa, yakni mendahulukan hal-hal yang terkait dengan tawâfuq, kemudian i‘râb, dan hal-hal yang terkait dengan kaidah khusus. Dalam hal ini penyajian materi dapat disampaikan dalam bentuk pengajaran remedial, kalau memang dipandang lebih sesuai dengan cara
264
tersebut. Hal ini berdasarkan pertimbangan silabus materi bahasa Arab yang mungkin saja telah dibakukan sejak awal. Alternatif lain adalah pengajaran tetap berjalan sesuai dengan kurikulum dan urutan silabi yang telah ada, namun dengan penguatan dan latihan-latihan yang lebih intensif pada bagian-bagian yang sering menimbulkan kesalahan.
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap data kesalahan gramatika mahasiswa Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang (selanjutnya disingkat MAHAT) dalam bahasa tutur, maka dapat disimpulkan bahwa kesalahan gramatika yang dilakukan oleh mahasiswa MAHAT memperlihatkan dua sumber/penyebab kesalahan berbahasa, yakni kesalahan antarbahasa atau interferensi, dan kesalahan intrabahasa. Kesalahan antarbahasa bersumber pada pengaruh sistem bahasa ibu pembelajar, dalam hal ini adalah bahasa Indonesia. Pemelajar (dalam hal ini adalah mahasiswa MAHAT) membuat peralihan-peralihan sistem B1 ke dalam sistem B2 sehingga terjadilah kesalahan-kesalahan berbahasa. Pemelajar melakukan transfer bahasa dalam konteks negatif yang mengakibatkan interfernsi B1 kepada B2, dan menimbulkan kesalahan. Kesalahan kedua, intrabahasa, berupa kesalahan-kesalahan yang diakibatkan oleh ketidaktersediaan kaidah B2 pada B1 pembelajar. Kemudian pembelajar menerapkan B2 yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesalahan. Kesalahan intrabahasa merupakan kesalahan yang mencerminkan ciri-ciri umum belajar gramatika, seperti kesalahan melakukan overgeneralisasi, penerapan kaidah yang tidak sempurna, kesalahan menghipotesiskan konsep, dan ketidaktahuan akan pembatasan kaidah. Hal ini kemudian menimbulkan apa yang disebut dengan bahasa khas pembelajar, karena merupakan upaya pembelajar dalam membangun kesempurnaan kaidah B2nya berdasarkan kaidah-kaidah yang telah diterimanya. Slinker menyebutnya dengan istilah interlanguage, Namser menamakannya approximative system, dan Corder mengistilahkannya dengan idiosyncratic dialects. Kesalahan seperti ini
266
merupakan hal yang wajar karena menunjukkan arah perkembangan pembelajar menuju tahap stabilisasi. Temuan lain, terkait dengan aspek gramatika, bahwa persoalan tawâfuq merupakan kesalahan yang paling banyak dilakukan, terutama pada nau’. Kemudian berturut-turut persoalan tentang i’râb, isytiqâq, struktur, dan pola muta’addî-lâzim dengan hurûf jarr. Besaran kesalahan tersebut sekaligus menunjukkan frekuensi penggunaan pola yang dimaksud, sekaligus problematika kompleksitas sistem B2 yang tidak sama atau tidak dimiliki pada sistem B1 pembelajar. Pola dan problematika kompleksitas yang dimaksud adalah terkait dengan konsep isytiqâq, muta’addî-lazîm, ta’yîn, zamân, ‘adad, nau’, i’râb, tawâfuq, dan tarkîb. B. Saran Berdasarkan temuan-temuan pada kesimpulan di atas, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut : Perlunya dilakukan treatment terkait dengan jenis-jenis kesalahan berbahasa tutur tersebut. Dalam hal ini dapat diwujudkan melalui strategi pembetulan kesalahan, dan pemberian latihan-latihan terutama terkait dengan jenis-jenis kesalahan yang dibuat oleh mahasiswa MAHAT. Juga, keterlibatan semua tenaga pengajar yang notabene memiliki keterampilan bahasa yang bagus dapat dimaksimalkan dalam setiap aktivitas pengajaran. Bahwa kesalahan berbahasa bukanlah tanggungjawab tenaga pengajar bidang studi bahasa saja, akan tetapi semua pihak yang menjadi bagian dari lembaga penyelenggara pengajaran di MAHAT. Selain itu dapat dipertimbangkan juga perlunya restrukturisasi bahan pengajaran terutama dalam aspek gramatika, nahw dan sharf. Hal ini penting mengingat gramatika merupakan unsur utama dalam semua aspek keterampilan
267
berbahasa, tidak terkecuali keterampilan berbicara yang menjadi salah satu core keterampilan yang harus dikuasai oleh mahasiswa MAHAT. Terkait dengan kelanjutan penelitian, bahwa penelitian ini baru sebatas permulaan yang selanjutnya dapat dilakukan dengan lebih intens dan menyeluruh. Keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini menyisakan masalah-masalah yang dapat ditindaklanjuti penelitiannya. Hal-hal sebagaimana dimaksud adalah seperti jenis-jenis keterampilan berbahasa tutur lainnya selain diskusi; penelusuran unsur-unsur yang terkait dengan bahasa tutur seperti nabr, tanghîm, saktah, dan lain sebagainya; dan juga variabel
penelitian
selain morfologi dan sintaksis seperti kosa kata,
semantik, atau penggunaan preposisi, dan juga terutama yang terkait dengan berbahasa tutur seperti fonologi.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Suparman Ibrahim dkk, Ma’had ‘Aly Profil Pendidikan Tinggi Pondok Pesantren di Indonesia, Yogyakarta: RDI Indonesia, 2001. Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Abdul Hamied, Fuad, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta: Ditjen Dikti, Depdikbud, 1987. Abdul Massîh, Mu’jam Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnân, 1987. Abdul Muin, Analisis Kontrastif Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia; Telaah terhadap Fonetik dan Morfologi, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru, 2004. Abdul Muin, Interferensi Gramatika antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab, Tesis, PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2003. Abdul Wahab, Muhbib, “Ragam Bentuk, Makna, dan Aplikasi Mashdar dalam Bahasa Arab”. Makalah dalam Jurnal al-Turats, Vo. 13 No. 1 Januari 2007. Afghani, Said, al-, Fî Ushûl al-Nahwî, Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1987. Ainin, Moh, “Tahapan Perkembangan Bahasantara dan Implikasinya”. Makalah dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 22 No. 1 Pebruari 1994, FPBS IKIP, Malang. ________“Menyoal Penyelenggaraan Tes Kemampuan Berbicara, di MA”. Makalah dalam al-Hadlarah, Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab, Tahun I No.I 2001, IMLA. Ali, Muhammad, Penilaian Kependidikan Prosedur dan Strategi, Bandung: Angkasa, 1982. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Arsyad, Maidar G, Mukti US, Pembinaan Kemampuan Berbicara Bahasa Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1988. ’Askarî, Abu Hilal, al-, al-Furûq al-Lughawiyyah, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt. Aslinda, Leni Syafyahya, Pengantar Sosiolinguistik, Bandung: Refika Aditama, 2007. Asrori, Imam, “Generalisasi Konstruksi Maf’ûl Fih” Makalah pada Jurnal Bahasa dan Seni, Vol.XXI No.2 1993, FPBS IKIP Malang. ________, Sintaksis Bahasa Arab; Frasa-Klausa-Kalimat, Misykat, Malang, 2004 Aziez, Furqanul, A.Chaedar alwasilah, Pengajaran Bahasa Komunikatif; Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.
337
Baradja, MF, Peranan Analisis Kontrastif, Jakarta: Penlok, Depdikbud, 1981 ________, "Peranan Analisis Kontrastif dan Analisis Kesalahan dalam Pengajaran Bahasa". Makalah dalam Bahasa dan Sastra, Th.VI No.6,1980, Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa, Jakarta. ________, Kapita Selekta Pengajaran Bahasa, IKIP Malang, 1990. Basyar, Kamâl, ‘Ilm al-Ashwât, Kairo: Dâr Gharîb, 2000. Basyîr, Ahmad ‘Abdullâh al-, al-Akhthâ’ al-Tahrîriyyah, Dirâsah fî dhau al-tahlîl al-Taqâbulî, Jakarta: LIPIA, 1985. Bek, Hifni, dkk, Qawâ‘id al-Lughah al-‘Arabiyyah, alih bahasa Chatibul Umam dkk, Jakarta: Darul Ulum Press, 2002 Brooks, Nelson, Language and Language Learning: Theori dan Practice, New York: Harcourt Brace, 1964. Broto, A.S, Pengajaran Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Ke dua di SD Berdasarkan Pendekatan Linguistik Kontrastif, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Brown, Douglas, Principles of Language Learning and Teaching, Longman, San Francisco State University, 1987. Cowan, David, An Introduction to Modern Literacy Arabic, Cambridge University Press, 1958. Danny D, Introduction to Psycholigusitics, London: Longman, 1993. Depdikbud, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993. Dhaif, Syauqî, Tajdîd al-Nahw, Kairo: Dar al-Ma’arif, tt. Dulay, Heidy, Language Two, New York: Oxford University, 1982 Effendi, Ahmad Fuad, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang: Misykat, 2005. Ellis, Rod, Second Language Acquisition, Oxford University, 2003 ________, The Study of Second Language Acquisition, New York: Oxford University Press, 2002. Emzir, “Interferensi Bahasa Indonesia dalam Bahasa Arab Tulis Mahasiswa”, dalam al-Hadharah, Jurnal Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab, Tahun I No. I, Januari 2001, Fak.Sastra UGM Yogyakarta Fachrurrozi, Aziz, “Pembelajaran Gramatika sebagai Ilmu Bantu Memahami Teks”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Model Pengembangan Pembelajaran Bahasa Arab, UIN Jakarta, 24 Mei 2007.
338
Farkhan, Muhammad, An Introduction to Linguistics, Jakarta: UIN Press, 2006. Fauzi, Muslihah, ”Konsep Madrasah Terpadu”. Makalah dalam Conciencia, Jurnal Pendidikan Islam, No.1 Vol IV Juni 2004, PPS IAIN 'Raden Fatah Palembang. Ghalayain, Musthofa, al-, Jâmi' al-Durûs al-'Arabiyyah, Beirut: Maktabah ‘Ashriyyah, 2005. Hadi, Amirul, Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 1998. Haidar, Farida Abu, A Study of The Spoken Arabic of Baskinta, E.J Brill / Leiden & London, 1979. Hamied, Fuad Abdul, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta: Ditjen Dikti, Depdikbud, 1987. Hammâsah, ‘Abdul Latîf, Muh., dkk, al-Nahw al-Asâsî, Madînah Nasr: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1997. ________, Binâ’ al-Jumlah al-‘Arabiyyah, Kairo: Dâr Gharîb, 2003. Hasan, Imam, “Proses Morfologi dalam Bahasa Arab”. Makalah dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 29, No. 2, Agustus 2001, FPBS, UM, Malang. Hassân, Tammâm, Al Lughâh Al-‘Arabiyyat Ma’nâhâ Wa Mabnâhâ, Kairo: ’Âlam al-kitab, 1998. ________, al-Khulâshah al-Nahwiyyah, Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2000. ________, Manâhij al-Bahts fî al-Lughah, Dâr al-Tsaqâfah, 1979. Hastuti, Sri, Sekitar Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia, Yogyakarta: Mitra Gama, 1989. Hidayat, H.D, ”al-Lughah al-Manthûqah wa Khalq al-Bî’ah”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Model Pengembangan Pembelajaran Bahasa Arab, UIN Jakarta, 24 Mei 2007. ________, ”Mencairkan Kebekuan Komunikasi Dalam Bahasa Arab”. Makalah, disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Nasional Bahasa Arab III, Jakarta 4-6 September 2003. ________, “Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia; Masalah dan Cara Mengatasinya”. Makalah disampaikan pada Seminar LPBA as-Su’ûdî di Jakarta, 1-3 September 1986 Hijâz, Mahmûd Fahmî, Madkhal Ilâ ‘Ilm al-Lughah, Kairo: Dâr al-Tsaqâfah, 1978. Ibnu Mâlik, Nadzm al-Alfiyah fî al-Nahw wa al-Sharf, Bandung: al-Ma‘ârif, tt.
339
IM, Thoyib,”Pengajaran Bahasa Arab dan Politik Bahasa Nasional”. Makalah dipresentasikan pada PINBA III Jakarta, 4-6 September 2003. Januar, Kesalahan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi dalam Pembelajaran Insya', Tesis, PPs UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006. Jawa Pos Senin 23 Juli 2007. Khasairi, Moh., ”Aspek Gramatikal dalam Bahasa Arab Lisan Pebelajar”. Makalah dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 26, No. 2 Agustus 1998, FPBS IKIP Malang. _______, “Kesilapan Penggunaan Preposisi dalam Bahasa Arab ”. Makalah dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 30 No. 1 Perbuari 2002, FPBS UM Malang. Kholisin, “Genus dan Peranannya dalam Gramatika”. Makalah dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 27 No. 2, Agustus 1999, Fak. Sastra UM, Malang. Kushartanti dkk, Pesona Bahasa, Langkah Awal Memahami Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Madkûr, ‘Alî Ahmad, Tadrîs Funûn al-Lughah al-‘Arabiyyah, Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 2000. Mastna, Moch, HS. Orientasi Pemikiran Semantik al-Zamakhsyary, Jakarta: Anglo Media, 2006. ________, HS. dkk, Interferensi Dalam Kesalahan Berbahasa Mahasiswa Program Bahasa IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laporan Penelitian, Jakarta : Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak dipublikasikan, 2001. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosdakarya, Cet. 15, 2001. MS, Mahsun, Metode Penelitian Bahasa, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005. Mu’minin, Iman Saiful, Kamus Ilmu Nahwu dan Sharf, Jakarta: Amzah, 2008 Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1989. Muhammad, Abu Bakar, Metode Praktis Tashrif, Surabaya: Karya Abditama, 2000. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir; Kamus Arab – Indonesia, Yogyakarta: PP A-Munawwir, 1984. Nababan, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta: Gramedia, 1984.
340
Ni‘mah, Fuâd, Mulakhash Qawâ‘id al-Lughah al-‘Arabiyyah, Beirut: Dâr al-Tsaqâfah, tt. Nunan, David, Research Methods in Language Learning, Cambridge University Press, 1992. Nurhadi - Roekhan, Dimensi-dimensi dalam Belajar Bahasa Ke Dua, Bandung: Sinar Baru, 1990. Parera, Jos Daniel, Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa, Jakarta: Gramedia, 1993. ________, Linguistik Edukasional, Metodologi Pembelajaran Bahasa, Analisis Kontrastif Antar Bahasa, Analisis Kesalahan Berbahasa, Jakarta: Erlangga, cet. 2,1997. ________, Sintaksis, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Edisi Kedua, 1991. Pateda, Mansoer, Analisis Kesalahan, Flores NTT: Nusa Indah, 1989. ________, Linguistik Terapan, Flores: Nusa Indah, 1991. Poerwadarminto WJS, Bahasa Indonesia Untuk Karang-Mengarang, Jakarta: UP Indonesia, 1984. Raharjo, Mudjia, Pengantar Penelitian Bahasa, Malang: Cendekia Paramulya, 2002. Richards, Jack C, Error Analysis, Perspectives on Second Language Acquisition, London: Longman, 1973. Rombepajung, JP, Pengajaran dan pembelajaran Bahasa Asing, Jakarta: Depdikbud, 1988. Samsunuwiyati, Psikolinguistik, Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2005. Samsuri, Analisis Bahasa;Memahami Bahasa Secara Ilmiah, Jakarta: Erlangga, 1987. Sevilla, Consuelo G, An Introduction to Research Methods, alih bahasa Alimuddin Tuwu, Jakarta: UI Press, 1993. Shînî, Mahmûd Ismâ‘îl, Al-Amin, M.Ishaq, al-Taqâbul al-Lughawî wa Tahlil al-Akhthâ', Riyâdh: Jâmi‘ah Malik al-Su'ûd, 1982. Soekemi, Kem, dkk, Metodologi Penelitian Bahasa, Surabaya: Unesa University Press, 2000. Subyakto Sri Utari, Nababan, Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta: Gramedia, 1993. Stenberg, D, Psycholinguistics : Language Mind, and World, Longman Linguistic Library, 2001.
341
Stevick, Earl W Teaching and Learning Languages, Cambridge University Press, 1982. Sudja’i, M. dkk, Pemakaian Bahasa Indonesia di Lingkungan Masyarakat Tionghoa Jawa Timur, Jakarta: Pusat Pengembangan-Pembinaan Bahasa, Depdikbud, 1986. Sugiyono, Pedoman Penelitian Bahasa Lisan: Fonetik, Depdiknas, 2003.
Jakarta: Pusat Bahasa,
Sugono, Dendy, Berbahasa Indonesia dengan Benar, Jakarta: Kilat Grafika, 1986.
Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Rosdakarya, 2005. Suprayogo, Imam, Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama, Bandung: Rosdakarya, Cet.II, 2003. Suwarna, “Pembetulan Kesalahan dalam Pengajaran Bahasa Ke Dua”. Makalah pada Jurnal Cakrawala Pendidikan, Nomor 2 Tahun XI, Juni 1992, Pusat Pengabdian pada Masyarakat, IKIP Yogyakarta. Suwendi, ”Restrukturisasi MAK, Studi Kebijakan Penyelenggaraan Program Tafaqquh fid din Era UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003”. Makalah dalam Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 4 No. 4 Oktober – Desember 2006, Puslitbang Depag. Syadzali, Munawir, ”MAPK : Eksperimen itu Ternyata Berhasil”. Makalah dalam Madrasah, Jurnal Komunikasi Dunia Perguruan, Vo. 1 N0. 4 1998, PPIM IAIN Jakarta. Syâhin, Taufîq M, Tanmiyah al-Lughah al-‘Arabiyyah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1980. Syamsuddin AR, Damaianti, Vismaia, Metodologi Penelitian Pendidikan Bahasa, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006. Tadjudin, M, dkk, Pemerolehan Bahasa Asing, Jakarta: Depdikbud, 1999. Tarigan, Henry Guntur; Djago Tarigan, Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1988. ________, Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1990. Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Kompetensi Bahasa, Bandung: Angkasa, 1990. ________, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, Bandung: Angkasa, 1988. ________, Pengajaran Remedi Bahasa, Bandung: Angkasa, 1990.
342
________, Prinsip-prinsip Dasar Metode Riset Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa, Bandung: Angkasa, 1993. ________, Psikolinguistik, Bandung: Angkasa, 1984. Thu‘aimah, Rusydî Ahmad, Ta‘lîm al-‘Arabiyyah li Ghair al-Nâthiqîna bihâ; Manâhijuhû wa Asâlîbuhû, Rabath: Isesco, 1989. Tim, Model KTSP MA, Dit Pend. Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam, Depag, 2007. Tim, Standar Isi Bahasa Arab, Standar Isi Madrasah Aliyah, Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama, 2006. ‘Ubâdah, Muhammad Ibrâhîm, al-Jumlah al-‘Arabiyyah; Anwâ‘uhâ, Tahlîluhâ, Kairo: Maktabah al-Adab, 2001.
Mukawwanâtuhâ,
Usthâ, ’Abdullah Muhammad, Al-, Al Ta‘rîf Fi ‘Ilm Al-Tashrîf; Dirâsah Sharfiyyah Tathbîqiyyah, Troplis: Kulliyyah Al Da’wah Al Islâmiyyah, 1982. Univ.Al-Azhar Indonesia, ”Hasil Survey Kemampuan Membaca Bahasa Arab Siswa MA di Indonesia”. Kerja sama Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Depag-Fakultas Sastra Univ.Al-Azhar Indonesia, 2007. Verhar, J.W.M, Pengantar Linguistik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992. Walcott, William H, Knowledge, Competence, and Communication, London: Black Rose Books, 2007. Widiatmoko, “Sumbangan Kompetensi Gramatikal terhadap Keterampilan Berbicara”. Makalah pada Jurnal Lingua, Vol.3 No.1 Maret 2004, LIA Jakarta. Zamzami, Kajian Kegramatikalan Kalimat dalam Penerapan EYD dalam Tesis Berbahasa Indonesia Mahasiswa IKIP Yogyakarta, 1985, Disertasi, tidak diterbitkan.
LAMPIRAN
344
Lampiran II : Data Kesalahan Gramatika (Morfologi dan Sintaksis) Mahasiswa Ma’had ‘Aly Hasyim Asy’ari PP Tebuireng Jombang dalam Berbahasa Tutur (Diskusi) I. Kesalahan dalam Aspek Morfologi (Sharf) 1. Kesalahan Ma‘rifah – Nakirah No. Resp.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No
6
1
6
2
11
3
/
14
4
..
16
5
19
6
22
7
23
8
24
9
24
10
25
11
11
..
JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah : a. Membuat ma‘rifah pada kata yang seharusnya nakirah, berjumlah 9 ungkapan, yakni nomor 1,2,4,5,6,7,8,9,11. b. Membuat nakirah pada kata yang seharusnya ma‘rifah, berjumlah 2 ungkapan, yaitu nomor 3,dan 10. 2. Kesalahan Muta’addî-Lâzim No. Resp.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No
168
345
1
1
1
2
1
3
1
4
2
5
2
6
2
7
3
8
3
9
3
10
5
11
6
12
8
/
13
7
14
9
15
12
16
12
17
12
18
14
19
15
20
16
21
16
22
18
23 169
346
18
24
18
25
19
26
19
27
21
28
22
29
22
30
23
31
23
32
23
33
23
34
25
35
25
36
25
37
37
JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah : a. Membuat muta‘addî pada kata yang seharusnya lâzim, berjumlah 6 ungkapan, yaitu nomor 11,14,21,22,29,30. b. Membuat lâzim pada kata yang seharusnya muta‘addî, berjumlah 31 ungkapan, yaitu nomor 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13,15,16,17,18,19,20,23,24,25,26,27,28,31,32,33,34,35, 36,dan 37. 3. Kesalahan dalam isytiqâq (derivasi) No. Resp.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No
1
1
2
2
2
3
2
4
2
5 170
347
3
6
3
7
4
8
4
9
4
:
10
5
11
5
12
5
13
5
14
5
15
6
16
6
17
6
18
6
19
7 7
20
7
21
8
22
8
23
8
24
9
25
10
26
11
27
11
28
12
29
12
30
13
31 171
348
14
32
14
33
14
34
14
35
14
36
14
37
14
38
14
39
14
40
15
41
15
42
15
43
15
44
15
45
16
46
16
47
16
48
17
49
17
50
17
51
18
52
18
53
19
54
172
..
349
19
55
19,19
56
19
57
21
58
21
59
22
60
22
61
22
62
22
63
22
64
22
65
22
66
22
67
23
68
23
69
23
70
24
71
24
72
24
73
25
74
25
75
77
JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini dikelompokkan sebagai berikut : a. Kesalahan isytiqâq pada ism berjumlah 32, terdiri dari : - Pembentukan ‘adad, berjumlah 1 ungkapan, yaitu nomor 72. - Pembentukan jam‘ taksîr, berjumlah 4 ungkapan, yaitu nomor 6,16,30,dan 67. 173
350
- Pembentukan mashdar, berjumlah 17 ungkapan, yaitu nomor 13,17,21,22,23,29,35,37,41,45,48,55,56,59,62,73,dan 75. - Pembentukan mansûb, berjumlah 3 ungkapan, yaitu nomor 3,7, dan 32. - Pembentukan shifah, berjumlah 7 ungkapan, yaitu nomor 2,24,26,42,61,69, dan 71. b. Kesalahan isytiqâq pada fi‘il, berjumlah 45 ungkapan, terdiri dari : - Pembentukan ‘adad, berjumlah 2 ungkapan, yaitu nomor 1 dan 4. - Pembentukan hurûf mudhâra‘ah, berjumlah 7 ungkapan, yaitu nomor 5,20,25,31,33,39,dan 40 - Pembentukan fi‘l ma‘lûm, berjumlah 8 ungkapan, yaitu nomor 8,12,14,15,19,51,58,dan 74. - Pembentukan fi‘l majhûl, berjumlah 13 ungkapan, yaitu nomor 9,10,11,18,36,43, 46,50,52,54,56,66, dan 70. - Pembentukan mujarrad-mazîd, berjumlah 15 ungkapan, yaitu nomor 20,27,28,34,38,44,47,49,53,57,60,63,64,65,dan 68. 4. Kesalahan dalam Zamân (kala/tense) No. Resp.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No
3
1
7
2
14
3
4
JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah : a. Fi‘l mâdhi digunakan untuk menunjukkan waktu sekarang, akan datang, atau kebiasaan, hanya ada satu ungkapan kesalahan, yaitu pada nomor 1. b. Fi‘l mudhâri’ digunakan untuk seharusnya menggunakan fi‘l mâdhi, berjumlah 2 ungkapan, yaitu pada No.2 dan 3. II. Kesalahan dalam Aspek Sintaksis (Nahw) 1. Kesalahan dalam persesuaian (Tawâfuq / Agreement) a. Persesuaian dalam hal ‘adad (bilangan) No.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No 174
351
Resp.
2
1
2
2
3
3
3
4
6
5
6
6
7
7
7
8
8
9
8
10
10
11
11
12
12
13
16
14
17
15
18
16
25
17
17
JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah : a. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan fi‘l, berjumlah 12 ungkapan, yaitu pada nomor 1,2,3,5,7,8,9,10,11,14,15,dan 16. b. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan dhamîr, berjumlah 5 ungkapan, yaitu pada nomor 4,6,12,13, dan 17. b. Persesuaian dalam hal nau’(penanda gender) 175
352
No. Resp.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No
1
1
1
2
1
3
1
4
1
5
1
6
1
7
1
8
1
9
1
10
1
11
2
12
2
13
2
14
2
15
2
16
2
17
2
18
2
19
2
20
2
21
2
22
2
23
2
24
2
25 176
353
2
26
2
27
3
28
3
29
3
30
3
31
3
32
3
33
3
34
3
35
3
36
3
37
3
38
3
39
6
40
6
41
6
42
7
43
7
44
7
45
7
46
7
47
8
48 177
354
8
49
8
50
8
51
8
52
8
53
8
54
10
55
10
56
......
10
57
11
58
11
59
11
60
11
61
11
62
11 11
63
11
64
...
11
65
11
66
12
67
12
68
12
"
69
12
70 178
"
355
12
71
12
72
13
73
14
74
14
75
14
/
76
14
77
15
78
15
79
15
80
15
81
15
.........
82
16
83
16
84
16
85
16
86
16
87
16
88
17
89
17
90
18
91
18
92
179
.....
356
18
93
19
94
19
"......."
"......."
95
19
96
19
97
20
98
20
99
20
100
20
101
21
102
21
103
21
104
21
105
22
106
22
107
22
108
22
109
22
110
22
111
22
112
23
113
23
114
23
115
23
116
24
117
24
118 180
357
24
119
24
120
24 24
121
24 24
122
25
123
25
124
JUMLAH 127 Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah : a. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan fi‘l, berjumlah 28 ungkapan, yaitu pada nomor 1,2,6, 8,9,10,15,16,25,26,27, 33,39,44,59,61,62,69,71,72,75,87,89,90,98,108,121,dan 124. b. Tidak adanya kesesuaian antara ism dengan dhamîr, berjumlah 19 ungkapan, yaitu pada nomor 3,5,23,28,29,31,34,35,45,57,68,77,78,82,99,101,106,114 dan 117. c. Tidak adanya kesesuaian antara ism maushûl dengan ‘âid shilah, berjumlah 6 ungkapan, yaitu pada nomor 37,38,52,53,65,dan 121. d. Tidak adanya kesesuaian antara fi‘l dengan fâ’il, berjumlah 31 ungkapan, pada nomor 11,13,21,22,30,32,46,49,54,60,66,79,80,81,83,86,91,96,97,100,107,109,110,111,112,1 13,118,119,120,dan 122(2x). e. Tidak adanya kesesuaian antara na’t dengan man’ût, berjumlah 23 ??ungkapan, yaitu pada nomor 17,18,19,20,24,42,43,47,48,55,56,58,63,73,74,76, 84,88,93,105,115,116, dan 123. f. Tidak adanya kesesuaian antara isyârah dengan musyâr ilaih, berjumlah 20 ungkapan, yaitu pada nomor 4,7,12,14,36,40,41,50,51,63,64,67,70,85,92,94,95,102,103,dan 104. c. Persesuaian dalam hal ta’yîn (tanda penjelas) No Resp.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No
1
1
1
2
1
3
8
4
9
5
10
6 181
358
14
7
14
8
17
9
18
10
19
11
23
12
24
13
13
JUMLAH
Semua kesalahan yang ada berupa man’ut dalam bentuk nakirah, na’at berbentuk ma’rifah 2. Kesalahan dalam i’râb dan tandanya No Resp.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No
1
1
1
2
1
3
1
4
1
5
2
6
2
7
2
8
2
9
2
10
2
11
3
12
3
13
3
14
3
15 182
359
3
16
3
17
4
18
4
19
4
20
4
21
4
22
4
23
4
24
4
25
4
26
5
27
5
28
5
29
5
30
5
31
5
32
5
33
7
34
7
35
7
36
7
....
37
7
38
7
39
9
40
10
41
11
42
11
43 183
360
12
44
12
45
12
46
13
47
13
48
13
49
13
50
13
51
13
52
14
53
14
54
14
55
15
56
15
57
16
58
16
59
16
60
16
61
16
62
17
63
17
64
18
65
18
66
18
67
18
68 184
361
18
69
18
70
18
71
19
72
19
73
19
74
19
75
19
76
19
77
19
78
19
79
19
80
20
81
20
82
20
83
21
/
84
21
85
21
86
21
87
21
88
22
89
22
90
22
91
22
92
22
93 185
362
23
94
24
95
24
96
24
97
24
98
25
99
25
100
25
101
101
JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah : a. Kesalahan pada i’râb ism berjumlah 98 ungkapan, terdiri dari : - Kesalahan i’râb rafa’ : 18 ungkapan, yaitu nomor 8,17,23,27,28,38,41,47,48,59,74,75,82,89,96,98,99,dan 101. - Kesalahan i’râb nashab : 56 ungkapan, yaitu nomor 1,2,5,6,9,10,11,13,14,15,18,19, 20,21,22,29,32,34,35,37,42,43,44,45,46,49,53,55,56,57,58,60,61,62,63,65,66,68,69 ,70,71,73,76,78,80,81,83,84,86,87,88,91,93,94,95, dan 97. - Kesalahan i’râb jarr : 24 ungkapan, yaitu nomor 3,7,12,16,24,26,30,31,33,36,39,40,50,51,52,54,64,67,72,77,79,85,90,dan 92. b. Sedangkan kesalahan pada i’râb fi‘l, hanya berjumlah 3 ungkapan, yaitu pada nomor 4,25,dan 100. 3. Kesalahan karena tidak mengetahui kaidah khusus No Resp.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No
1
1
1
2
2
3
6
4
7
5
11
6
13
7 186
/
363
13
8
15
9
22
10
24
11
11
JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah : a. Kesalahan pada bab ‘adad, terdapat pada 3 ungkapan, yaitu nomor 1,2,dan 11. b. Kesalahan membuat dua fâ’il atau lebih untuk satu fi‘l, yaitu pada nomor 3 saja. c. Kesalahan membuat ma’rifah pada mudhâf, terdapat pada 7 ungkapan, yaitu nomor 4,5,6,7,8,9 dan 10. 4. Kesalahan dalam struktur kalimat No Resp.
Seharusnya
Ungkapan Yang Salah
No
1
1
1
2
2
3
2
4
2
5
3
6
3
7
3
8
6
9
6
10
6
11 187
364
7
12
7
13
7
14
8
15
8
16
8
17
8
18
11
19
12
20
13
21
14
22
14
23
14
24
14
25
14
26
14
27
14
28
14
29
16
30
16
31
16
32
17
33
17
34
17
35
17
...
.. 188
36
365
18
37
18
38
19
39
19
40
22
41
22
42
25
43
25
44
44
JUMLAH
Macam dan jumlah kesalahan dalam kategori ini adalah : a. Penambahan kata, terdapat pada 20 ungkapan, yaitu nomor 1,3,6,8,9,10, 11,13, 14, 18, 20,21,24,26, 30,34,37,41,43, dan 44 b. Penghilangan kata, terdapat pada 16 ungkapan, yaitu pada nomor 2,4,5,7, 12,15,17,19,23,25,29,32,33,35,40, dan 42. c. Struktur yang lemah, terdapat 8 ungkapan, yaitu pada nomor 16,22,27,28,31,36,38,dan 39.
189