KERTAS KERJA ELSAM
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai salah satu Agenda Hak Asasi Manusia di Aceh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai salah satu Agenda Hak Asasi Manusia di Aceh
Setelah Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding Between the Government of the Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement) tanggal 15 Agustus 2005 lalu muncul berbagai tanggapan. Penandatanganan nota kesepahaman ini bak menjadi titik balik dari seluruh rangkaian konflik dan kekerasan yang terjadi di Aceh, selama kurang lebih tiga dekade. Dalam nota kesepahaman tersebut setidaknya disepakati enam poin perdamaian damai, yaitu menyangkut: (1) Penyelenggaraan pemerintahan di Aceh; (2) Hak Asasi Manusia; (3) Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat; (4) Pengaturan keamanan; (5) Pembentukan misi monitoring di Aceh; dan (6) Penyelesaian perselisihan.1 Salah satu persoalan yang banyak mendapat perhatiaan adalah agenda hak asasi manusia. Dalam nota kesepahaman ini kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini sekaligus juga telah memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi. Salah satu agenda terpenting dari MoU adalah adanya kesepakatan tentang hak asasi manusia dengan 3 (tiga) butir kesepakatan yaitu: a. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; b. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh; dan c. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Implementasi ketiga poin ini mengundang kontroversi, karena adanya perbedaan dalam menafsirkan masing-masing poin, terutama poin b dan c. Sebagian pihak menyatakan pembentukan Pengadilan HAM di Aceh ditujukan untuk mengadili peristiwa pelanggaran HAM ke masa datang yang bertolak dari tanggal ditandatanganinya MoU. Sementara
1
Lihat Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka. pg. 1
sekelompok yang lain menafsirkan pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu dan di masa datang. Dalam kesempatan ini ELSAM ingin menyampaikan pandangan seputar persoalan jalan keluar dari masalah HAM di Aceh pasca-MoU. Hal ini dirasa perlu oleh ELSAM karena perdebatan mengenai persoalan HAM ini lebih banyak dari perspektif kalkulasi politik dan kekhawatiran yang berlebihan. Termasuk dalam konteks menempatkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, yang lebih bercirikan dan mengontekstualisasikan dengan persoalan-persoalan yang terjadi di Aceh. Agar kontroversi yang kontraproduktif ini tidak berlanjut menjadi opini negatif yang justru akan kian mempersulit penyelesaian permasalahan di Aceh, khususnya yang terkait dengan hak asasi manusia, maka ELSAM memandang perlu untuk agenda HAM pasca-MoU kita kembali kepada ketentuan normatif dan perundang-undangan yang ada. Untuk itu, ELSAM hendak menyampaikan beberapa pokok-pokok pikiran berikut ini: I.
Pembentukan Pengadilan HAM
Kontroversi seputar penerapan asas retroaktif dalam klausul pembentukan pengadilan HAM di Aceh harusnya mengacu pada norma hukum nasional maupun internasional yang ada. 1.
Dalam hukum nasional, untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bisa diadili di Pengadilan HAM ad hoc atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu yang dibentuk dengan keputusan presiden (Pasal 43 Ayat (1); dan
2.
Terlebih dalam UU No. 26 Tahun 2000 juga menentukan bahwa kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat tidak mengenal kadaluarsa. Artinya kapan pun pelanggaran HAM yang berat terjadi, termasuk di Aceh, dapat diperiksa oleh Pengadilan HAM ad hoc. Dalam konteks Aceh Pengadilan HAM ad hoc bisa dibentuk asal DPR mengusulkan dan Presiden mengeluarkan Keppres untuk itu.
3.
Pembentukan pengadilan HAM di Aceh tidak bertentangan dengan hukum nasional karena pengadilan HAM sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 adalah peradilan khusus dibawah peradilan umum yang dapat dibentuk di setiap wilayah pengadilan negeri (Kabupaten atau Kota) (Pasal 2 dan 3). Oleh karena itu, pembentukan pengadilan HAM dapat dibentuk di setiap wilayah pengadilan negeri di Aceh.
pg. 2
4.
UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dinyatakan berlaku sejak diundangkan yaitu November 2000. Dengan demikian MoU harus diletakkan dalam posisi tidak menganulir ketentuan undang-undang tersebut. Dengan demikian Pengadilan HAM memiliki kewenangan untuk memeriksa pelanggaran HAM yang berat di seluruh Indonesia, tak terkecuali Aceh sejak November 2000. Sehingga tanggal 15 Agustus 2005 sebagai tanggal disetujui MoU tidak bisa mengeyampingkan ketentuan UU No.26 Tahun 2000 tersebut.
5.
Dengan mengacu pada ketentuan UU No. 26 Tahun 2000 maka perdebatan mengenai penerapan asas retroaktif menjadi tidak relevan karena negara tetap mempunyai kewajiban untuk melakukan proses penuntutan terhadap praktik pelanggaran HAM yang berat berdasarkan hukum nasional maupun tanggung jawab internasional.
6.
Prinsip dalam hukum internasional menentukan bahwa negara berkewajiban untuk melakukan proses penuntutan terhadap segala bentuk pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights). Jika negara tidak melakukan penuntutan atas kejahatan tersebut menunjukkan bahwa negara telah melanggengkan praktik impunitas. Dalam praktik internasional pengadilan atas pelaku pelanggaran HAM yang berat adalah pengadilan terhadap individu-individu yang diduga melakukan kejahatan (individual criminal responsibility) dan bukan pengadilan atas sebuah institusi atau bangsa tertentu. Oleh karena itu individu tersebut bisa berasal dari anggota militer, polisi atau pun pihak lain.
II.
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), selain menjadi amanat dari kesepakatan damai Helsinki, khusus untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh, juga menjadi mandat utama dari Tap MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan Nasional. Di dalam Tap MPR tersebut, dengan tegas disebutkan, untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah-langkah nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan KKR ini penting sebagai salah satu panduan dalam perjalanan bangsa ke depan, atau dalam Tap MPR ini salah satunya disebutkan, akan sangat berpengaruh pada penegakkan supremasi hukum dan perundang-undanngan, yang diterapkan secara konsisten dan bertangungjawab, serta menjamin dan menghormati hak asasi manusia. Untuk menjamin terlaksananya itu semua, perlu didahului dengan penyelesaian berbagai kasus korupsi, kolusi,
pg. 3
dan nepotisme, serta pelanggaran hak asasi manusia. 2 Dalam pengimplementasiannya, TAP MPR ini menyebutkan perlunya membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, sebagai sebuah lembaga ekstra-yudisial yang jumlah dan anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), juga dimandatakan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, khususnya terkait dengan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Dalam Pasal 47 UU HAM di sebutkan sebagai berikut: (1) Pelanggaran hak sasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2) Komisi Kebenaran danRekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undang-undang. Sebagaimana telah disinggung di awal, klausula tersebut juga diikuti oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang merupakan kelanjutan atau implementasi lebih jauh dari Kesepakatan Damai Helsinki. Di dalam bagian Hak Asasi Manusia MoU, salah satunya disebutkan bahwa KKR di Aceh akan dibentuk oleh KKR Indonesia, dengan tugas untuk memformulasikan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi. 3 Selanjutnya ketentuan tersebut diakomodasi di dalam Pasal 229 dan Pasal 230 UU Pemerintahan Aceh, yang secara detail menyatakan:
(1) (2)
(3) (4)
Pasal 229 Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang- undangan. Dalam menyelesaikan kasus pelangggaran hak asasi manusia di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh dapat mempertimbangkan prinsip-prinsip adat yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 230 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan, penetapan anggota, organisasi dan tata kerja, masa tugas, dan biaya penyelenggaraan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh diatur dengan Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. 2 3
Tap MPR No. V/MPR/2000 Bab IV Arah Kebijakan Butir 3. Lihat Memorandum of Understanding antara Pemerintah RI dengan GAM. pg. 4
Pada perkembangan berikutnya, melalui putusan No. 006/PUU-IV/2006 MK memutuskan untuk membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. MK mengemukakan bahwa UU KKR, baik dalam rumusan normanya maupun kemungkinan pelaksanaan normanya di lapangan, tidak dimungkinkan untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang diharapkan. Dengan pertimbangan demikian, MK berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU KKR, tidak mungkin dapat diwujudkan, karena tidak adanya jaminan kepastian hukum (rechtsonzekerheid). Oleh karena itu, MK menilai UU KKR secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun begitu, untuk tetap memastikan berlangsungnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi, sebagai bagian dari transisi demokrasi, dalam putusannya, MK memberikan tiga alternatif penyelesaian, pertama dengan bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal; kedua dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi; dan ketiga dengan amnesti secara umum. 4 Alasan belum terbentuknya KKR nasional kemudian menjadi dalih bagi penundaan KKR Aceh, sebagai akibat dari ketentuan Pasal 229 ayat (2) dan ayat (3), yang menegaskan bahwa KKR Aceh menjadi bagian tak terpisahkan dari KKR nasional, serta KKR Aceh yang musti diatur dengan undang-undang. Perdebatan tersebut sesungguhnya bisa terjawab sendiri oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Pasal 229 ayat (1)-nya, yang secara eksplisit menyebutkan undang-undang tersebut membentuk KKR Aceh, yang selanjutnya akan diatur dengan Qanun KKR Aceh, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 230. Selanjutnya sebagai panduan, seperti tertuang di dalam Pasal 229 ayat (3), yang menyebutkan bahwa KKR Aceh bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan, sedikit banyak terjawab dengan keluarnya UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam ketentuan Pasal 7 huruf b undang-undang tersebut ditegaskan kembali, bahwa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) adalah menjadi bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan. 5 Pemberlakuan kembali ketetapan MPR ini menjadikan kita untuk bisa merujuk pada Tap MPR No. V/MPR/2000, sebagai panduan atau batasan-batasan kaedah hukum bekerjanya komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Sebab di dalam 4
Lihat Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, hal. 131. Di dalam penjelasannya dikatakan, “Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003”. 5
pg. 5
Pasal 4 Tap MPR No. I/MPR/2003 disebutkan, Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. 6 Oleh karena itu secara logika hukum ditafsirkan keberadaan Tap MPR tersebut, bisa ditempatkan sebagai pengganti sementara UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sampai terbentuknya UU KKR yang baru. Tap MPR sendiri menyatakan dengan tegas, tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang, dan diperkuat dengan lahirnya UU No. 12 Tahun 2011. Mengapa bisa merujuk kepada ketetapan MPR ini? Bab V Tap MPR No. V/MPR/2000 perihal Kaidah Pelaksanaan, di dalam butir 3 secara lengkap menyebutkan: Membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai lembaga ekstrayudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan undang-undang. Komisi ini bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa, dengan sepenuhnya memerhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Bersandar pada ketentuan di atas, setidaknya bisa tergambar batasan-batasan dan ruang lingkup pekerjaan dari KKR yang akan dibentuk di Aceh, yang antara lain meliputi: Pertama, menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau; Kedua, melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa; Ketiga, langkah-langkah setelah pengungkapan kebenaran, dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa menciderai rasa keadilan dalam masyarakat.
6
Tap MPR No. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002, menyatakan bahwa ketetapan MPR tentang pemantapan persatuan nasional dinyatakan tetap berlaku. Ketetapan MPR yang lebih dikenal dengan ‘Tap Sapu Jagad’ ini membagi Ketetapan MPRS/MPR dari periode 1960-2002 ke dalam enam kategori: Kategori I: (1) TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan); (2) Kategori II: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan); (3) Kategori III: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan); (4) Kategori IV: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya UndangUndang (11 Ketetapan); (5) Kategori V: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan); (6) Kategori VI: TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan(104 Ketetapan). pg. 6
Selain batasan-batasan kerja atau ruang lingkup kewenangan KKR Aceh, dalam proses pembentukan KKR di Aceh juga perlu diperhatikan beberapa hal berikut ini: 1. KKR di Aceh semestinya difungiskan bukan sebagai penganti proses pengadilan, (subtitusi). KKR, ditempuh karena adanya keterbatasan pengadilan dan konteks transisi yang mengakibatkan tidak memungkinkannya keadaan dan sulitnya melakukan penuntutan. 2. KKR mempunyai fungsi yang sangat luas dan bukan hanya sekedar upaya rekosiliasi. KKR harus diarahkan untuk mencapai beberapa tujuan dasar pembentukannya. Pada dasarnya, KKR memiliki empat tujuan utama yaitu: a. memberikan sumbangan terhadap proses transisi ke arah demokrasi dengan melakukan catatan imparsial tentang masa lalu; b. memberikan ruangan resmi bagi korban untuk mengungkapkan kebenaran dan menuntut kompensasi, rehabilitasi dan pemulihan; c. memberikan rekomendasi menuju perubahan institusi dan perubahan hukum guna pencegahan terulangnya pelanggaran pada masa depan (nonrecurrence principle); d. menentukan siapa yang bertanggungjawab dan memberikan saran untuk memperoleh akuntabilitas dan mematahkan budaya impunitas. 3. Berdasarkan tujuan dari pembentukan KKR diberbagai negara, maka KKR di Aceh seharusnya bukan semata-mata menentukan upaya rekonsiliasi tetapi memberikan sebuah catatan resmi tentang pelanggaran HAM masa lalu (historical record of past abuses). Dari catatan ini akan menentukan dan menjadi dasar bagaimana memperlakukan para pelaku, memperlakukan korban dan memperbaiki kondisi yang selama ini tercabik-cabik dalam konflik. 4. Untuk tujuan tersebut, menentukan mandat dari KKR yang akan dibentuk di Aceh sangat relevan dengan melihat kondisi riil konteks pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Maka dari itu sebelum KKR di Aceh dibentuk perlu terlebih dahulu dibentuk Panitia Bersama yang melibatkan perwakilan pemerintah RI, mantan GAM, dan seluruh komponen masyarakat Aceh untuk menentukan dua hal yaitu persoalan apa dan sampai kapan masa lalu yang hendak ditelusuri. Kedua adalah menentukan siapa Komisioner dari KKR Aceh itu. Hasil dari Panitia Bersama inilah yang seharusnya ditindaklanjuti oleh KKR Aceh. Hal ini penting agar seluruh komponen di Aceh merasa terlibat dari awal dalam pembentukan KKR di Aceh.
pg. 7
Jakarta, 16 April 2013 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [ELSAM]
pg. 8
Profil ELSAM
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [Institute for Policy Research and Advocacy], disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal HAM Perserikatan BangsaBangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM). VISI Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia. MISI Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. KEGIATAN UTAMA 1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia 2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya 3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia 4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia PROGRAM KERJA 1. Meniadakan kekerasan atas HAM, termasuk kekerasan atas HAM yang terjadi di masa lalu dengan aktivitas dan kegiatan yang berkelanjutan bersama lembaga-lembaga seperjuangan lainnya. 2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme Pasar, Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai Bentuknya. 3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas Lembaga. STRUKTUR ORGANISASI Badan Pengurus: Ketua : Ifdhal Kasim, S.H. Wakil Ketua : Sandra Moniaga, S.H. Sekretaris : Roichatul Aswidah, M.Sc. Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LL.M. Bendahara II : Abdul Haris Semendawai S.H., LL.M. Anggota Perkumpulan: Abdul Hakim G. Nusantara, S.H., LL.M.; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, M.A.; Ir. Agustinus Rumansara, M.Sc.; Hadimulyo; Lies Marcoes, M.A.; Johni Simanjuntak, S.H.; Kamala Chandrakirana, M.A.; Maria Hartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Ir. Yosep Adi Prasetyo; Francisia Saveria Sika Ery Seda, pg. 9
Ph.D.; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos.; Tugiran S.Pd.; Herlambang Perdana Wiratraman, S.H., M.A. Badan Pelaksana: Direktur Eksekutif : Indriaswati Dyah Saptaningrum Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan : Wahyu Wagiman Deputi Direktur Pengembangan sumberdaya HAM : Zainal Abidin Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan : Otto Adi Yulianto Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi : Triana Dyah Staf: Ahmad Muzani; Andi Muttaqien; Ari Yurino; Daywin Prayogo; Elisabet Maria Sagala; Elly F. Pangemanan; Ester Rini Prasnawati; Ikhana Indah Barnasaputri; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena; Paijo; Rina Erayanti; Siti Mariatul Qibtiyah; Sukadi; Wahyudi Djafar; Yohanna Kuncup. Alamat Jl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia - 12510 Tel: +62 21 7972662, 79192564, Fax: +62 21 79192519, Surel:
[email protected] Laman: www.elsam.or.id/ Linimasa: @elsamnews @ElsamLibrary
pg. 10