Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan Dan
KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI, PERMASALAHAN DAN PROSPEKNYA Tjipta Lesmana
ABSTRACT Abstract. As a nation and state Indonesia is currently in a terribly "bad shape " facing multi-dimension crisis, foremost are economic crisis, judicial crisis and moral crisis. Etnic as well as vertical conflicts are pervasive everywhere. Promoting national unity and reconciliation are absolute prerequiste to address those crisis. Creation of Commission for Truth and Reconciliation as stipulated in Act Number 34/2004 is a positive and important step for crisis management. Implementation of The Commission, however, should be carefully and wisely guided. The Commission is not to punish, bur rather to uncover and heal the nation. Those who confessed their crimes truthfully should be granted immunity from prosecution. Ultimately, the goals of Commission is to contribute to end and account for past abuses of authority, to promote national reconciliation and/or bolster a new political order or legitimize new policies. To fulfil its objective it is imperative that the Commission comprise of members whose loyalty to Unity State (NKRI), Pancasila and Constitution is firm, non-pratisan, and has a strong drive to promote the just and prosperous Indonesia in the future. Key words: truth, reconciliation, rehabilitation, and amnesty.
national unity, prosecution,
Pendahuluan
compensation,
yang besar dari masyarakat; namun
Ketikatulisan ini disusun, proses
disisi lain angka ini juga menimbulkan
penjaringan calon anggota Komisi
k e c e m a s a n sementara
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
bahwa rupanya KKR hanya dipandang
sedang berlangsung. Jumlah yang
sebagai tempat untuk mencari kerja.
melamar sangat fantastis: sekitar
Mereka yang kebetulan
1.500. Di satu pihak jumlah
menganggur melihat ini peluang yang
ini
merupakan indikasi bahwa masalah
bagus untuk
rekonsiliasi bangsa mendapat perhatian
"pengangguran"nya.
kalangan
menghapus
Law Review, Fakultas llukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No. I, Juli 2005
sedang status
278
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Membludaknya pelamar juga disebabkan
begitu
longgarnya
persyaratan untuk menjadi anggota KKR. Persyaratan
Dan
jabatan 5 (lima) tahun; sesudahnya masa tugas Komisi dapat diperpanjang lagi, tapi hanya untuk 2 tahun (Pasal 45).
keanggotaan
Pembahasan RUU tentang
menurut ketentuan Pasal 31 ayat (1)
KKR di DPR berjalan sangat alot dan
UU No 34 Tahun 2004 tentang KKR
cukup lama. Di satu sisi mereka yang
hanyalah: (a) warganegara Indonesia;
tergabung dalam LSM, aktivis pro-
(b) sehat jasmani dan rohani; (c)
demokrasi dan praktisi hukum terus-
berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan
menerus menekan
tidak tercela (d) berumur paling rendah
secepatnya meng-goa/-kan RUU
30 tahun; (e) setia kepada Pancasila
tersebut, karena dinilai Komisi seperti
dan UUD
memiliki
ini memang sangat dibutuhkan oleh
pengetahuan atau kepedulian di bidang
bangsa kita. Namun, di sisi lain tidak
hak asasi manusia; (g) tidak berstatus
sedikit komponen masyarakat yang
sebagai anggota TNI atau Polri; (h)
melihat masalah ini dengan skeptis.
bersedia melepaskan
diri dari
Mereka khawatir kiprah KKR justru
keanggotaan partai politik, organisasi
akan lebih memecah-belah bangsa,
kemasyarakatan
lembaga
sebab diwarnai oleh semangat balas
swadaya masyarakat dan (i) tidak
dendam. Setelah satu tahun lebih
pernah terlibat dalam pelanggaran hak
diperdebatkan di DPR, akhirnya pada
asasi manusia.
6 Oktober 2004 - hanya 14 hari
Sesuai ketentuan Pasal 34 UU, Panitia Seleksi akan mengusulkan 42 orang calon yang dinilai memenuhi persyaratan kepada Presiden. Dari 42 calon itu, Presiden kemudian menetapkan 21 orang yang akan diusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperoleh persetujuan. KKR beranggotakan 21 orang Mereka bekerja untuk masa
sebelum masa kepresidenannya habis
279
1945; (f)
atau
DPR
untuk
- Megawati Soekanoputri memberikan pengesahanya. Anehnya, setelah UU KKR disahkan dan proses rekrutmen anggota berlangsung, kontroversi antara kedua kelompok tadi semakin sengit. Kelompok LSM khawatir KKR hanya menjadi ajang penekan oleh para pelaku kejahatan HAM untuk
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No.I, Juli 2005
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Dan
Sebaliknya, tudingan bahwa KKR
hadiah perdamaian Nobel. Pembentukan TSC Afrika Selatan pada 1995, secara implisit, memang diamanatkan oleh Konstitusi Afrika Selatan 1993. Dalam preambule konstitusi, antara lain ditegaskan:
semata-mata ajang balas dendam tetap
The Constitution states that the
bergaung sangat keras. Carmel
pursuit of national unity, the well-
Boediardjo, aktivis yang selama Orde
being of all South Africa citizens and
Baru bermukim di London karena
peace, require reconciliation
sangkaan terlibat dalam Gerakan 30
tween the people of South Africa
September/PKI, terang-terangan
and the reconstruction
membersihkan "dosa-dosa" mereka. Mereka
mengkritik
minimnya
"pendekar HAM" yang melamar sebagai calon anggota, sehingga meragukan kinerja KKR kelak.
be-
of society
menolak kehadiran KKR. Alasannya,
There is need for understand-
siapa pun yang melakukan kejahatan
ing but not for vengeance, a need
kemanusiaan harus diadili dan
for reparation but not for retaliation,
dihukum. Dengan adanya KKR, kata
a need for ubuntu not for victimiza-
Carmel, maka jalan penyelesaian di
tion
pengadilan menjadi tertutup. Dan itu tidak adil, sehingga "tidak bisa ada perasaan damai diantara semua warganegara
kalau belum ada
keadilan" (Kompas, 12-5-2005). Hakikat KKR Konsep KKR, jujur saja, adalah hasil impor dari luar negeri secara khusus mungkin dari Afrika Selatan yang terkenal dengan lembaga bernama Truth and Reconciliation Commission (TRC) yang diketuai oleh Uskup Agung Desmond Tutu, peraih
Dalam Pembukaan Konstitusi Afrika Selatan itu ditegaskan bahwa rekonstruksi bangsa Afrika Selatan bukan untuk balas dendam, tapi untuk pemahaman yang benar tentang apa yang terjadi di masa lampau; bukan untuk retaliasi tapi untuk reparasi. Jika kita buka kamus, istiiah "rekonsiliasi" sesungguhnya mempunyai makna yang luas. "Rekonsiliasi" mengandung unsur-unsur (a) memaafkan, (b) melupakan, (c) mengampuni, (d) amnesti, (e) menyembuhkan luka (healing), (f) truth telling dan (g)
IMW Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No.l, Juli 2005
280
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
penghukuman (punishment). Semua itu tercakup dalam konsep "rekonsiliasi" dan tidak ada boleh ada satu pun unsuryang dihilangkan. Rekonsiliasi kerap lebih enak diucapkan daripada dilaksanakan. Konflik antara bangsa Serbia dan Kroasia, misalnya, yang berawal dari Perang Dunia I dan berlanjut sampai Perang Dunia II, ternyata, masih terus berimbas walaupun dua etnis ini kemudian sudah bersatu dalam Negara Yugoslavia. Dendam kesumat dua etnis ini juga yang menjadi salah satu penyebab pecahnya perang saudara serta hancurnya Negara Yugoslavia. Orang-orang Serbia selalu berkata "Kami bisa memaafkan pengkhianatan orang Kroasia, namun kami takkan pemah melupakannya". Forgive, but never forget them, demikian sikap etnis Serbia terhadap Kroasia. Tentu, sikap seperti ini tidak menunjang gerakan rekonsiliasi. Sebab konsep "rekonsiliasi" yang sesungguhnya sekaligus mencakup forgiveness (memaafkan) dan forgetting (melupakan). Rekonsiliasi bisadilihat sebagai hasil akhir (end result), bisa juga
281
Dan
sebagai suatu proses. Sebagai end result, rekonsiliasi bertujuan untuk (a) terciptanya stabilitas atau tatanan baru pada bangsa yang bersangkutan; (b) pembangunan kembali suatu komunitas moral dan (c) sebagai prakondisi untuk tegaknya demokrasi. Ketiga tujuan di atas kerapkali sukar dicapai, sebab rekonsiliasi sebagai proses mengandung banyak masalah. Untuk tercapainya rekonsiliasi sebagai akibat dari konflik masa lampau, terlebih dahulu mutlak diperlukan interpretasi yang sama antara pelaku dan korban atau keluarga korban — terhadap kebenaran (truth) seputar konflik tadi. Jika kebenaran itu tidak bisa disepakati, bagaimana rekonsiliasi bisa dicapai? Masalahnya, kebenaran menurut korban dan kebenaran menurut pelaku kejahatan seringkali sulit direkonsiliasikan. Korban seringkali tidak sependapat dengan cerita pelaku; sebaliknya, pelaku mempunyai pandangan yang berbeda tentang kejadian atau peristiwa yang dipermasalahkan. Sebagian dari mereka mungkin secara ikhlas meminta maaf pada korban; sebagian lagi bersikeras menolak mengakui kesalahannya; bahkan
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No. J, Juli 2005
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Menurut Freemantle, tiap-tiap
sebagian lagi merasa bangga terhadap apa yang dilakukannya.
Dan
Negara yang hendak mentransformasi-
Seorang aktivis hak-hak asasi
kan dirinya menuju demokrasi mutlak
manusia di New York, Priscilla Hayner,
memerlukan pertanggungjawaban atas
seperti dikutip oleh Tony Freemantle
segala tindakan pelanggaran HAM
(1996), berpendapat bahwa suatu
yang
Komisi Kebenaran harus memenuhi
sebelumnya, entah melalui tuntutan
kriteria sebagai berikut untuk bisa
peradilan atau komisi kebenaran. Jalan
bekerja efektif:
pertama, yaitu tuntutan peradilan, diakui
dilakukan
oleh
regime
terlalu mahal harganya atau dapat a.
b.
c.
Orientasi fokusnya harus pada
menggoyahkan pemerintahan yang
kejadian masa lampau.
baru. Maka, penyelesaian yang lebih
Fokus perhatian ditujukan pada
bijak adalah melalui komisi kebenaran.
pelanggaran berat HAM atau
Untuk itulah dibentuk KKR. Dengan
pelanggaran atas hukum inter-
demikian KKR - seperti disebutkan
nasional secara umum, bukan
dalam Pasal 3 UU No 27 Tahun 2004
berdasarkan kasus per kasus.
adalah lembaga non-judicial
Eksistensi Komisi hanya untuk jangka waktu singkat. Setelah selesai mengumumkan hasil kerjanya, Komisi harus segera
yang
bertugas menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia di luar pengadilan (huruf tebal, pen.) guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa.
dibubarkan. Malah, di beberapa Negara, Komisi tidak meng-
Tugas berat KKR
umumkan laporan akhirnya
Para pemimpin Afrika Selatan mengakui bahwa KKR mereka (Truth and Reconciliation Commission, TRC) merupakan hasil kajian dan studi banding dari lembaga serupa - walaupun dengan nama yang tidak selalu sama— yang pernah dibentuk di sejumlah negara Amerika Latin, antara Chili,
karena berbagai pertimbangan. d.
Komisi harus diberikan akses informasi atau data baik dari regime yang kini berkuasa, maupun regime masa lalu.
IMW Review, Fakultas Hukum Universitas
Harapan, Vol. V, No. I, Juli 2005
282
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Peru, Bolivia dan Argentina. TRC — yang sering dijadikan model oleh negara-negara lain yang hendak membentuk Komisi serupa - lahir berdasarkan Undang-Undang mengenai Pemantapan Persatuan Bangsa dan Rekonsiliasi (The Promotion of National Unity and Reconciliation Act). Bagaimana Komisi dapat menjalankan tugas yang diamanatkan oleh UU, Section 3(1) UU tersebut menjawab: It shall establish as complete a picture as possible of the causes, nature, and extent of the gross violations of human rights which were committed.....including the antecedents, circumstances, factors and context of such violations, as well as the perspectives of the victims and the motives and perspectives of the persons responsible for the commission of the violations, by conducting investigations and holding hearings. " Singkatnya, dalam rangka menegakkan kebenaran dan mencapai rekonsiliasi sehubungan dengan peristiwa pelanggaran HAM berat, KKR harus bisa mengungkap selengkap mungkin:
283
Dan
a.
sebab-sebab, hakikat dan tingkat pelanggaran HAM tsb.,
b.
peristiwa prolog, faktor-faktordan konteks yang melatarbelakangi pelanggaran HAM;
c.
perspektif korban dan
d.
perspektif dan motif para pelaku yang bertanggungjawab atas tindakan pelanggaran HAM dengan cara melakukan investigasi serta dengar pendapat.
Tugas KKR, dengan demikian, sangat berat dan rumit. Komisi tidak boleh hanya memfokuskan perhatiannya pada pelanggaran HAM, tapi terlebih dahulu harus diungkap sebabsebab terjadinya pelanggaran HAM, bagaimana prolog atau antecedentnya, apa motif si pelaku, apa yang ada dalam benak si pelaku (perspektif) sebelum mereka ikut melakukan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan itu. Untuk menjawab semua pertanyaan itu, mutlak diperlukan kejujuran dan kearifan semua pihak yang terkait untuk bersedia mengakui "dosa-dosanya". Semua pihak yang terkait perlu diingatkan berulang-ulang bahwa
Law Review, Fakullas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No.I, Juli 2005
Tjipta Lesmana : Komisi Kehenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Dan
penegakan kebenaran bukan bertujuan
Pemantapan Persatuan Bangsa dsan
untuk membalas-dendam, tapi justru
Rekonsiliasi di Afrika Selatan dengan
dalam
dan
jelas mengamanatkan bahwa sebab-
pemantapan persatuan dan kesatuan
sebab perbuatan pelanggaran HAM
bangsa. Dalam konteks ini, jika hakikat
harus diungkap terlebih dahulu, agar
permasalahannya sudah berhasil
diketahui latarbelakang dan motif
dirumuskan secara jelas, pelaku
peristiwa, siapa biang keladi dan apa
diminta keberaniannya - secara moral
sebab mereka melakukan tindakan tsb.
— untuk meminta maaf secara
Untuk itu, semua peristiwa anteced-
terbuka. Sebaliknya, pihak korban pun
ent pun harus diungkap, sebab mustahil
dengan ikhlas menyatakan pemberian
suatu peristiwa terjadi begitu saja tanpa
maaf dan membebaskan pelaku dari
didahului oleh kejadian-kejadian
hukuman kurungan badan {impunity).
sebelumnya.
Untuk itu, orang-orang yang menjadi
Mengapa ada peristiwa G30S? Ini sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab, bahkan sejarahwan kita pun tidak mempunyai pandangan yang sama. Selama 30 tahun lebih pemerintahan Soeharto, kita diajarkan bahwa G30S adalah tindakan makar Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno yang berkonspirasi dengan oknumoknum dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, khususnya Angkatan Darat (Kopkamtib, 1978; Samsudin, 2004). Di seantero dunia, makar memang selalu dihadapi dengan perlawanan bersenjata pula. Maka, setelah G30S berhasil dilumpuhkan oleh Angkatan Darat pimpinan Mayor
korban
upaya
rekonsiliasi
pantas
mendapatkan
rehabilitasi, kompensasi dan restitusi dari Negara. Mereka yang menjadi pelaku pun berhak mendapatkan pengampunan dan amnesti. Tugas ini tidak ringan. Ambil misalnya satu contoh, yaitu peristiwa Gerakan 30 September pada 1965. Bagaimana KKR harus bersikap? Dalam era reformasi ini, kita sering mendengar teriakan mereka yang mengaku "korban kekejaman milker" dan menuntut keadilan. Tapi, bagaimana kita dapat bicara tentang kompensasi, rehabilitasi dan restitusi bagi korban jika kebenaran tentang G30S belum ditegakkan? UU tentang
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No. I, Juli 2005
2X4
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Jenderal Soeharto, terjadilah men-hunt besar-besaran - mungkin yang terbesar dalam sejarah peradaban manusia terhadap orang-orang kornunis. Soeharto dan kawan-kawannya mungkin berteori bahwa PKI harus dihancurkan sampai keakar-akarnya, sebab partainya sudah dua kali melakukan pemberontakan bersenjata (sebelumnya, peristiwa Madiun pada 1948). Dengan keyakinan bahwa PKI suatu ketika bakal bangkit kembali dan mencoba merebut kekuasaan kembali, maka siapa saja yang diketahui anggota atau kader PKI, atau simpatisan PKI harus dieliminasi. Tujuannya, menutup rapat-rapat kemungkinan PKI untuk come back dalam panggung kekuasaan di Indonesia. Setelah Orde Baru jatuh pada Mei 1998, muncullah berbagai versi tentang peristiwa G30S. Versi yang paling menonjol adalah yang, antara lain, dikisahkan oleh Kolonel A.Latief, ex. Komandan Brigade Infantri Jaya Sakti yang turut mengambil bagian dalam G30S. Menurut Latief (2000), mastermind G30S tidak lain adalah Jenderal Soeharto yang didukung penuh oleh Amerika. Tapi, apakah benar Soeharto otak G30S? Dalam arti, 285
Dan
dia yang mendesain, dia yang mengatur semua strategi - termasuk strategi menjebloskan PKI dalam "perangkap kudeta" — dan dia sendiri yang melaksanakan strategi itu secara sempurna sampai akhirnya pada tahun 1967 dia berhasil mendepak Soekarno dari kursi kepresidenan secara konstitusional? Saya sungguh ragu. Kecuali itu, masih ada banyak versi lain, seperti (a) versi Soekarno: bahwa G-30-S adalah tindakan keblingerdm segelintir pimpinan PKI (khususnya Aidit dan Sjam) yang didukung oleh sejumlah perwira Angkatan Darat. (b) versi Cornell Papers: G-30-S adalah anti-klimaks dari pertikaian sengit antara PKI dan Angkatan Darat di mana Amerika turut "bermain" (Sulastomo, 2003). (c) versi CIA: Sejumlah jenderal Angkatan Darat memang sudah lama "dibina" oleh pemerintah AS melalui CIA untuk menjatuhkan Soekarno. Peristiwa G30-S merupakan keberhasilan Washington mengadu-domba Angkatan Darat dan PKI dengan korban Soekarno, karena kedekatan Soekarno pada PKI (Scott, 1985). (d) versi PKI dan orang-orang kiri: G-30-S adalah murni pertikaian dalam tubuh Angkatan
Law Review, FakuUas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No.I, Juli 2005
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Darat yang bermuara pada perebutan kekuasaan dari tangan Soekarno. (e) versi Soebandrio (mantan Wakil Perdana Menteri I/Kepala Badan Pusat Intelijen): G-30-S adalah keberhasilan Soeharto menyingkirkan jenderal-jenderal saingannya (a.l. Jenderal Achmad Yani dan Jenderal Nasution)di Angkatan Darat, sekaligus merebut kekuasaan Soekarno dengan memanfaatkan beberapa bekas anakbuahnya (Letnan Kolonel Untung dan Kolonel Latief)-
Dan
dari prinsip sebab-akibat dalam ilmu sosial - dalam arti tidak ada satu pun peristiwasosial-politik yang lahir dalam keadaan vakum, mau tidak mau KKR harus meneliti semua peristiwa antecedent G30S. Dan di sana pasti akan ditemukan sekian banyak anggota TNI yang dibunuh secara kejam pula oleh anasir-anasir PKI - seperti dari unsur BTI (Barisan Tani Indonesia) atau SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Sebab bukan rahasia lagi, G30S merupakan kuliminasi dari konflik sengit selama bertahun-tahun antara TNI dan PKI. Dan Bung Karno, tampaknya, terjepit diantara dua kekuatan politik besar ini. Keluarga korban di pihak TNI pun, dengan demikian, layak menuntut kompensasi dan restitusi.
Untuk menegakkan keadilan seputar G30S, KKR mutlak mengungkap terlebih dahulu latarbelakang dan sebab-sebab terjadinya G30S. Tugas ini tidak mudah, sebab saksi-saksi sejarah yang masih hidup kini bisa dihitung dengan jari. Soeharto sebagai salah satu "pemain utama" pun mungkin tidak bisa dimintai kesaksiannya, karena faktor usia dan kesehatan. Bahwa dalam kasus itu terdapat pelanggaran HAM berat, saya kira pembuktiannya tidak terlalu sukar. Ratusan ribu penduduk tidak berdosa di Jawa Tengah dan Jawa Tmur dikabarkan dibunuh secara kejam oleh aparat keamanan. Tapi, jika kita berangkat
Guizot (1851), salah seorang sejahrawan terbesar asal Perancis, menulis bahwa fakta sejarah sesungguhnya terdiri atas (a) material/ visible facts, (b) moral facts, (c) individual facts, (d) general facts, dan (e) historical facts. Jika Anda mendengar seseorang berbicara tentang fakta sejarah seputar G-30-S, perlu dipertanyakan fakta yang mana yang dimaksudkannya?
IMW Review, Fakultas Hukum Vniversitas
Harapan, Vol. V,No.l, Juli 2005
286
Tjipta Lesmana : komist Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Diantara kelima fakta tsb., menurut Guizot, yang paling sulit ditegakkan adalah fakta historis. Kaum sejarahwan kerap terjebak dalam menyusun fakta historis secara obyektif karena mereka "more liable to error in giving an account of them, and it is no easy thing to give them life and animation, to exhibit them in clear and vivid colors
" Namun, jika
diusut ke belakang lagi, menurut Guizot, penyebab pokoknya adalah kita cenderung mengukur atau menilai perbuatan manusia di masa lampau dengan standard masa kini. Guizot sangat kokoh dengan pendiriannya bahwa menilai kejadian masa lampau dengan standar masa kini adalah kebijakan yang tidak obyektif (Vol.1: xx). Sebelum dianalisis bagaimana prospek KKR di Indonesia, marilah kita tengok sejenak pengalaman KKR di beberapa negara. Pengalaman di beberapa negara Di Argentina, Presiden Raul Alfonsin pada 16 Desember 1983 membentuk Comision Nacional sobre de la Desaparicion de Personas
287
Dan
(semacam "Kontras" kita), beranggotaan 16 orang. Tugas pokok Komisi menyelidiki raibnya 9.000 penduduk yang terjadi selama regime militer berkuasa pada 1976 hingga 1983. Komisi hanya membutuhkan kurang dari setahun untuk menyusun laporannya yang lengkap yang kemudian diserahkan kepada Presiden. Di Chili, Presiden Patricio Ay Iwin pada Februari 1991 membentuk KKR. Komisi beranggotakan 8 orang itu ditugaskan untuk menyelidiki kasuskasus pembunuhan dan penghilangan nyawa penduduk yang terjadi dalam pemerintahan Jenderal Pinochet sejak 11 September 1973 sampai 11 Maret 1990. Sierre Leone sebuah Negara kecil di benua Afrika yang selama 10 tahun (sejak 1991) dilanda perang saudara. Pihak pemberontak dan pemerintah akhirnya sepakat untuk membentuk KKR. Komisi itu disahkan secara bersama oleh Presiden dan parlemen pada 2000. Setelah empat tahun bekerja, KKR pada 5 Oktober 2004 berhasil merampungkan laporannya yang diberikan kepada Dewan Keamanan PBB. Secara lengkap, laporan itu memuat
IMW Review, Fakultas Hukum UniversUas Pelita Harapan, Vol. V, No. I, Juli 2005
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
latarbelakang konflik bersenjata, bentuk pelanggaran HAM dan korban yang jatuh, sekaligus memberikan sejumlah rekomendasinya. Ghana mungkin negara yang memiliki kurun waktu terjadinya pelanggaran HAM paling lama. National Reconciliation Commission yang disahkan parlemen pada 11 Januari 2002 mendapat mandat luas untuk melakukan investigasi secara menyeluruh pelanggaran HAM berat yang terjadi di negeri itu selama 36 tahun, tepatnya mulai 6 Maret 1957 hingga 6 Januari 1993. Setelah bekerja kurang-lebih dua tahun, Komisi pimpinan K.E. Amua Sekyl, mantan Ketua Mahkamah Agung, telah mendengar tidak kurang 2000 keterangan saksi-saksi, termasuk mantan Presiden John Jerry Rawlings dan orang kuat No 2, Kojo Tsikata, mantan Penasehat Keamanan Dalam Negeri. Komisi berhasil merampungkan sebuah laporan yang sangat tebal berisikan kisah tentang tindak penculikan, penyiksaan, penahanan dan pembantaian sadis yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap penduduk. Serangkaian rekomendasi untuk memberikan ganti rugi dan rehabilitasi Law Review, FakuUas Hukum Universitas
Dan
kepada para keluarga korban, disamping usulan pembaruan aparatur negara dalam upaya mencegah terulangnya "lembaran hitam" dalam sejarah Ghana disampaikan oleh Komisi. Di Peru, Truth and Reconciliation Commission yang diresmikan pada 13 Juli 2001 dipimpin oleh Dekan sebuah universitas Katholik yang juga dikenal seorang filsuf negeri itu, yakni Salomon Lerner Fresnes. Komisi beranggotakan 12 orang itu ditugaskan untuk menyelidiki kematian 30.000 orang, disamping 6.000 hilang, yang terjadi pada 3 regime sebelumnya, yaitu regime Fernando Belaunde (19801985), Alan Garcia (1985-1990) dan Alberto Fujimori (1990-2000). Tanggal 28 Agustus 2003 Komisi berhasil merampungkan laporannya. KKR Afrika Selatan beranggotaan 17 orang dan dipimpin oleh Uskup Agung Desmond Tutu. Tugasnya meneliti semua kejahatan pelanggaran HAM yang terjadi dalam pemerintahan apartheid 1960-1994. Setelah 3 tahun bekerja, pada bulan Oktober 1998 Komisi menyerahkan laporannya kepada Presiden Nelson Mandela. Mereka yang mengakui dan Harapan. Vol. V. No.I. Juli 2005
288
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
menyesali perbuatan brutalnya misalnya terhadap Steve Biko, pemimpin kulit hitam kharismatik yang dipukuli hingga tewas - diampuni dan dibebaskan dari tuntutan hukum (Stanley, 2003). Hanya beberapa pentolan penguasa lama yang diseret ke pengadilan dan dijatuhi hukuman berat, antara lain Panglima Angkatan Bersenjatadan Kepala Intelijen Militer. Uniknya, sampai hari ini KKR Afrika Selatan masih melanjutkan tugasnya untuk menuntaskan semua kasus pelanggaran berat HAM di negeri itu. Tidak semua KKR berhasil menjalankan tugasnya. Di Filipina, tidak lama setelah menjabat Presiden, Ny. Corazon Aquino membentuk Presidential Committee on Human Rights yang bertugas menyelidiki semua pelanggaran HAM yang terjadi selama Presiden Marcos berkuasa, 1972-1986. Komisi beranggotakan 7 orang itu tidak pernah mengumumkan hasil kerjanya kepada rakyat Filipina. Di Bolivia, Amerika Latin, Presiden Hernan Siles Suazo pada 28 Oktober 1982 mengeluarkan Dekrit tentang pembentukan National Commission on Inquiry into Disappearances. Tugasnya: menyelidiki kasus-kasus 289
Dan
hilangnya penduduk yang terjadi dalam kurun waktu 1967-1982. Komisi beranggotakan 8 orang itu sebenarnya berhasil membuat dokumentasi 155 kasus penculikan dan penghilangan penduduk. Namun, tiga tahun setelah dibentuk, Komisi ini bubar tanpa mengumumkan laporan akhirnya. Di Yugoslavia, KKR yang dilantik oleh Presiden Yugoslavia, Yojislav Kostunica pada 22 Februari 2002, beranggotakan 15 orang dengan mandat kerja 3 tahun. Komisi bertugas menyelidiki pelanggaran HAM yang terjadi selama negeri itu dikoyak-koyak perang saudara pada dekade 1990-an, khususnya yang terjadi di Slovenia, Kroasia, Bosnia dan Kosovo. Hingga kini nasib Komisi itu tidak diketahui, sebab negara Yugoslavia sudah raib daripetabumi.
KKR Indonesia Pada konsep awal, RUU tentang KKR megandung nuansa balas dendam. Hal ini, misalnya, bisa dilihat dari Penjelasan Umum. Di sana antara lain dikatakan "Apabila pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka pelaku
Law Review, Fakultas Hukum UniversUas Pelita Harapan, Vol. V, No. J, Juli 2005
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut harus diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc." Padahal, semua orang tahu bahwa salah satu tujuan dari pembentukan KKR ialah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat dengan jalan damai dan rekonsiliasi, dengan pertimbangan bahwa jika ditempuh jalan hukum dikhawatirkan akan menimbulkan perasaan dendam dan destabilitas politik, disamping prosesnya yang bertele-tele. Oleh sebab itu, semangat KKR adalah semangat perdamaian, bukan balas dendam. Konsekuensinya, KKR seyogianya tidak merekomendasikan penuntutan hukum terhadap orang-orang yang disangka menjadi pelaku kejahatan pelanggaran hak asasi manusia berat. Pasal 3 butir (a) UU No 27 Tahun 2004 sendiri mengatakan "Tujuan pembentukan Komisi adalah menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa lain di liiar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa". Bahkan di beberapa negara, KKR sama sekali tidak menyebut nama-nama pelaku, sebab dengan penyebutan nama, hal itu
IJXW Review, Fakultas Hukum Universitas
Dan
dinilai sama dengan vonis hukum; padahal tingkat kebenarannya belum 100% solid. Beruntung, wakil-wakil rakyat di DPR akhirnya menghapus alinea yang berbunyi "Apabila pelaku tidak bersedia " dan seterusnya. KKR di mana-mana menyebutkan secara spesifik rentang waktu di mana pelanggaran HAM berat yang hendak diselidiki terjadi. Di Argentina, misalnya, KKR diminta melakukan investgasi pelanggaran HAM yang terjadi antara 1976-1983, Chili 19731990, Sierre Leone 1991-2000, Ghana 1957-193, Peru 1980-2000, Afrika Selatan 1960-1994, Filipina selama Marcos berkuasa. Bagaimana dengan Indonesia? Tidak secara eksplisit. Konsideran (a) UU No 27 Tahun 2004 menyatakan "pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia harus ditelusuri kembali untuk
"Tapi, retroaktifnyasampai
kapan? Tidak disebutkan. Apakah ini berarti KKR diharuskan mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM sejak
Harapan, Vol. V, No.l, Juli 2005
290
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
RI merdeka pada 17 Agustus 1945? Tampaknya demikian, apalagi jika kita kaitkan dengan Penjelasan Umum butir (2) yang antara lain berbunyi "Penyelesaian menyeluruh terhadap pelanggaran hak asas manusia yang berat yang terjadi pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sangat urgen untuk segera dilakukan (garis tebal, pen.) karena ketidakpuasan dan ketegangan politik tidak boleh dibiarkan terus berlanjut tanpa kepastian penyelesiaiannya". Tatkala DPR membahas RUU KKR, sebagian anggota Dewan mengusulkan agar pelanggaran HAM masa lalu yang diselidiki dibatasi sampai lahirnya Orde Baru. Tapi, gagasan ini ditentang oleh pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra. MenurutYusril, pembatasan seperti itu tidak adil. "Jika dibatasi hanya sampai lahirnya Orde Baru, maka yang mendapat perlindungan hanya korban G-30-S/PKI. Padahal, PKI juga melakukan pelanggaran dan Masyumi menjadi korbannya." (Media Indonesia, 26-9-2003). Secaraekstrim, Yusril 291
Dan
mengemukakan rekonsiliasi bahkan seharusnya bisa dilakukan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi sejak zaman Nabi Adam ! Ketika disetujui untuk disahkan pada 2004, UU KKR memang tidak memberikan batasan mengenai pelanggaran HAM yang menjadi kewenangan KKR untuk menyelidikinya. Dengan demikian, KKR bisa saja menggali semua "kuburan HAM" yang terjadi sejak bangsa kita merdeka 60 tahun yang silam ! Jelas, hal ini menuntut enormous efforts, enormous time consuming and enormous amount of money] Apakah tindakan ini tidak mubazir? Jangan lupa, hingga penghujung dekade 70-an isu HAM masih belum terdengar. Ketika bangsa kita, juga bangsa-bangsa lain di Dunia Ketiga, hendak merebut dan kemudian mempertahankan kemedekaannya dari kaum penjajah, pemimpin mana yang masih sempat memikirkan soal HAM? Lagipula, kalau rentang waktu kerja KKR ditarik mundur sampai 17 Agustus 1945, apa Negara mempunyai cukup dana untuk membiayai semua kegiatan KKR, termasuk dana untuk membayar kompensasi, dan restitusi kepada para korban? Bagaimana suatu
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No. I, Juli 2005
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan Dan
kebenaran bisa diungkap, jika semua pelaku sejarahnya sudah meninggal? Kita ragu bagaimana KKR mampu mengungkap kebenaran seputarperistiwa PRRI, Permesta, DI/ Til dan masih banyak lagi pemberontakan bersenjata pada tahun 1950-an. Di mata pemerintah Soekamo ketika itu, mereka semua pemberontak yang hendak membentuk negara sendiri. Karena itu, aksi bersenjata mereka dihadapi dengan senjata pula. Dan dalam peperangan, jatuhnya korban sipil selalu tidak dapat dielakkan. Kini setelah 50 tahun atau 45 tahun berlalu, mungkin banyak orang yang mengaku keluarga atau ahli waris korban tiba-tiba muncul ke permukaan serta menuntut rehabilitasi, kompensasi dan restitusi. Bagaimana rekonsiliasi bisa dicapai jika para pelaku sudah tidak ada? Padahal salah satu prinsip tegaknya rekonsiliasi ialah "to reconcile conflict around truth and collective memory, a single interpretation of the past must emerge", yaitu mutlak diperlukan satu interpretasi tunggal tentang kejadian masa lalu itu, interpretasi yang sama antara pelaku dan korban.
Sifat pelanggaran HAM berat yang hendak dibongkar oleh KKR kita, tampaknya, berbeda dengan pelanggaran HAM berat di beberapa negara yang sudah memiliki Komisi serupa. Yang sulit bagi Indonesia ialah sebagian pelanggaran HAM itu merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu pemberontakan bersenjata. Sedang di luar negeri, pelanggaran HAM itu umumnya berdiri sendiri, terbatas pada perbuatan penculikan, penganiayaan berat, penghilangan nyawa manusia dan pembunuhan keji sehingga lebih mudah ditelusuri, diselidiki dan diidentifisir para pelakunya. Di Afrika Selatan, tidak sulit membongkar kasus-kasus pelanggaran HAM berat selama regime apartheid berkuasa. Begitu juga dengan Filipina: penculikan, penghilangan nyawa, pembunuhan politik dan sejenisnya menjadi praktek sehari-hari dalam pemerintahan represif Marcos. Di Indonesia, peristiwa penculikan, penganiayaan berat dan penghilangan nyawa yang terjadi menjelang kejatuhan Presiden Soeharto mungkin tidak terlalu sukar diungkap; begitu juga pelanggaran HAM pada masa DOM (Daerah
law Review, FakuUas Hukum Universitas Harapan, Vol. V,No.l, Juli 2005
292
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan
ionsiliasi, Permasalahan Dan
Operasi Militer) di Aceh tempo hari. Tapi, bagaimana dengan pemberontakan PRRI, Permesta, DI/TII dan G30S dll? Disini kiranya diperlukan single interpretation terlebih dahulu terhadap peristiwa-peristiwa tsb. sebelum ditelusuri pelanggaranpelanggaran HAM yang terjadi.
kembali tentang kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya yang terkait dengan pemberontakan bersenjata kelompok tertentu terhadap pemerintah sah ketika itu, dikhawatirkan hanya akan memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa, bukan memperkokoh persatuan bangsa yang merupakan semangat utama rekonsiliasi!
Setelah Soekarno wafat, setelah Soeharto lengser, bangsa Indonesia seakan terbebas dari segala belenggu kekuasaan, sehingga rakyat merasa bebas berbicara dan bertindak apa saja. Ekses negatif dari kebebasan yang berlebihan dalam era reformasi sudah sama-sama kita saksikan, yaitu lumpuhnya law enforcement dan suburnya anarkisme. Di mana-mana kita menyaksikan fenomena pemaksaan kehendak dari warga masyarakat. Ketika kehendak mereka tidak dituruti - seperti calon mereka dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) gagal dipilih oleh KPUD, polisi menolak tuntutan massa agar warga kampungnya yang diduga mencuri dibebaskan dari tahanan polisi, atau perubahan trayek angkutan kota tidak dituruti — mereka pun mengamuk dan bertindak anarkis. Dalam situasi seperti itu, penyelidikan
Di Kamboja, sepertiga penduduk dibunuh secara kejam dan sistematis oleh tentara Khmer Merah, atau mati kelaparan dalam pemerintahan Khmer Merah pimpinan Pol Pot setelah Khmer Merah berhasil merebut kekuasaan dari Jenderal Lon Nol pada 17 April 1975. Kekejaman regime Pol Pot dalam membantai rakyatnya sendiri kerap disetarakan dengan kekejaman Adolf Hitler, khususnya terhadap orang Yahudi. Namun, setelah regime tsb. jatuh 3,5 tahun kemudian, pemerintah baru pimpinan Hun Sen tidak pemah berpikir untuk melakukan tindakan balas dendam. Hun Sen justru gigih mengupayakan rekonsiliasi nasional. Belum ada satu pun tokoh Khmer Merah yang diseret ke
293
sitas Pelita Harapan, Vol. V, No.l, Juli 2005
Law Review, Fakultas Hukum
Pengalaman Kamboja
Tjipta lesmana
: Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi,
pengadilan. Pol Pot memang dicaricari. Tapi, sebelum diadili, ia meninggal karena penyakit yang sudah lama dideritanya. Beberapa tokoh kunci lain kini sedang diupayakan untuk dibawa ke pengadilan. Rekonsiliasi nasional di Kamboja berjalan mulus tanpa perlu dibentuk KKR. Padahal pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Khmer Merah tidak sulit diselidiki, karena kebijakan nasional Pol Pot sendiri memang sudah berbau "pelanggatran HAM"(Kiernan, 1997; Kamm, 1998). Empat dari 8 (delapan) kebijakan pokok pemerintah Pol Pot berbunyi: (a) menggiring seluruh rakyat dari kotakota ke desa; (b) memecat semua biarawan Budha dan mewajibkan mereka bekerja di sawah; (c) membunuh seluruh pemimpin regime Lon Nol, dimulai dari para pemimpin puncaknya dan (d) mengusir semua kaum minoritas Vietnam dari Kamboja.. Tapi, herannya, para korban atau keluarga korban keganasan regime Khmer Merah tidak pernah berpikir untuk balas dendam atau menuntut ganti rugi pada pemerintah Hun Sen.
Permasalahan
Dan
Konsep rekonsiliasi bangsa Khmer, menurut Wakil Ketua Senat, Pangeran Sisowath Chivon Monirak yang kami jumpai di kantornya pada Oktober 2002, didasarkan atas tiga hal, yaitu (a) menerima dalam satu kursi untuk bekerjasama dalam perbedaan, (b) menghentikan segala bentuk kekerasan dan balas-dendam, serta (c) menghilangkan keinginan untuk saling mengalahkan. Faktor agama - mayoritas beragama Budha - tampakny a menjadi salah satu faktor dominan berhasilnya proses rekonsiliasi di Kamboja. Agama mereka mengajarkan bahwa mengundang dendam hanya akan membuka luka lama yang takkan pernah selesai. Tentu saja Khmer Merah tidak akan pernah dilupakan rakyat Kamboja. Dokumentasi tentang genocide regime Pol Pot bisa ditemui dengan mudah di perpustakaan, toko buku maupun tempat-tempat bersejarah, khususnya Tuol Sleng, kamp konsentrasi di Phnom Penh tempat penyiksaan dan pembantaian puluhan ribu rakyat Khmer. Anehnya, rakyat di pinggir-pinggir jalan umumnya enggan bicara tentang Khmer Merah jika kita bertanya. "Khmer Merah?
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. V, No. I, Juli 2005
294
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Tidak. Kami tidak pernah memikirkannya lagi." Semua petinggi pemerintah yang kami wawancarai dalam kunjungan mengemukakan bahwa mereka tidak lagi mau menengok masa lalu; yang dipikirkan adalah masa depart, yaitu bagaimana banggsa Khmer bergulat untuk meningkatkan kesejahteraan, mengangkat harkat dan martabat mereka di panggung dunia. Dan nyaris tidak ada LSM di dalam negeri atau keluarga korban yang menuntut agar pemerintah memberikan kompensasi atau restitusi kepada ahli waris korban keganasan Khmer Merah. Orang-orang eks. milisi Khmer Merah melebur ke masyarakat tanpa kesulitan apa pun. Sekitar 20% personil angkatan bersenjata Kerajaan Kamboja sekarang terdiri atas eks. milisi Khmer Merah.
Mewujudkan rekonsiliasi Bangsa Indonesia saat ini sungguh dalam kondisi terpuruk, dihantam oleh berbagai krisis, terutama krisisekonomi, hukum dan moral. Total utang kita, luar dan dalam negeri, mencapai lebih dari Rp 7.000 trilyun. Kita tidak tahu bagaimana dan kapan 295
Law Review, Fakultas Hukum Uni\
Dan
kitamampu melunasi kewajiban utang yang demikian besar. Di bidang hukum, bangsa kita juga sedang "menangis". Beberapa tahun yll. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan utusan khususnya ke Indonesia untuk mempelajari sistem hukum kita. Hasilnya: law enforcement di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Buruknya wajah hukum negera kita, terutama, dicerminkan oleh ketidakpastian hukum di segala bidang, tata-hukum tersubordinasi oleh "hukum rimba", maraknya tindak anarkisme dan Indonesia tercatat sebagai Negara paling korup ke-6 di dunia. Krisis moral juga parah. Kita seakan tidak lagi memiliki pedoman jelas antara perbuatan yang baik dan yang merugikan orang banyak. Kebenaran dengan mudah dimanipulasi oleh siapa pun. Pengadilan kerap sekadar panggung sandiwara antara hakim, jaksa dan penasehat hukum. Bukan kebenaran dan keadilan sejati yang ditegakkan, tapi kebenaran dan keadilan yang ditopang oleh uang dan kekuasaan. Konflik etnis dan konflik horizontal terjadi di mana-mana. Reformasi yang bergulir sejak Mei 1998 sudah Pelita Harapan, Vol. V, No. J, Juli 2005
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
berada pada tahap memprihatinkan. Reformasi itu telah melahirkan pola berpikir dan pola perilaku yang terlalu bebas, sehingga pemerintah - baik Pusat apalagi daerah kerap dikesankan tidak lagi mampu mengendalikan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat rakyat kita. Terorisme menjadi ancaman baru bangsa kita. Enam tahun terakhir kita menyaksikan ledakan bom di manamana, termasuk di jantung Ibukota dengan kerugian - baik nyawa manusia maupun materi - yang tidak kecil. Sementara bangsa ini terkoyakkoyak oleh konflik internal dan multi krisis, alam pun seakan-akan memalingkan wajahnya dari kita. Berbagai musibah nasional seperti gempa bumi dahsyat, tsunami, banjir banding, gunung meletus, tanah longsor dan kekeringan tidak henti-hentinya menggoyang Nusantara. Segudang permasalahan itu hanya bisa ditangani dengan menyatukan segenap potensi yang kita miliki. Bangsa yang terkoyak-koyak, bangsa yang selalu dirundung oleh konflik internal takkan mampu memecahkan permasalahan yang luiw Review, FakuUas Hukum Universitas Pi
Dan
dihadapinya. Sebaliknya, permasalahan itu justru hanya menjadi faktor pelipatganda dari konflik dan krisis yang sudah ada. Untuk itu, persatuan dan kesatuan bangsa merupakan prasyarat mutlak. Pemantapan persatuan bangsa memang selalu akan terganjal jika bangsa kita tidak mau berdamai dengan dirinya sendiri. Rekonsiliasi merupakan proses yang perlu dijalani menuju "perdamaian bangsa sendiri". Namun, rekonsiliasi - jika tidak ditangani
secara
arif
-
bisa
menimbulkan efek boomerang, yakni hanya akan lebih memecah-belah bangsa. Belajar dari bangsa-bangsa lain dalam proses menyadari
rekonsiliasi
permasalahan
dan yang
dihadapi bangsa kita dewasa ini, maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diusulkan mengambil kebijakan sebagai . berikut: I.
Terhadap semua gerakan pemberontakan/makar yang terjadi sebelum tahun I960 dinyatakan sebagai "kecelakaan sejarah". Biarkanlah semua peristiwa itu hanya menjadi catatan sejarah.
Harapan, Vol. V, No. I, Juli 2005
2%
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan
Dan semua pihak yang terlibat saling memaafkan. Jika diteliti sebab dan akibat gerakan-gerakan bersenjata tsb. dikhawatirkan Komisi takkan pernah berhasil karena kompleksitas permasalahannya. 2.
3.
297
Semua kelompok, apakah partai, individu atau organisasi kemasyarakatan, termasuk mereka yang dulu pernah dituduh melakukan maker, perlu membuat ikrar bersama yang berisikan pengakuan bahwa (a) Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah "harga mati" yang harus dipertahankan dari ancaman apa pun oleh semua komponen bangsa, (b) Pancasila merupakan Dasar Negara dan ideologi bangsa Indonesia dan (c) Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar yang lestari, tetapi tetap terbuka untuk amandemen bila memang dikehendaki oleh mayoritas rakyat. Terhadap pelanggaran HAM berat yang terkait dengan Gerakan 30 September/PKI, KKR harus berani mengusut secara tuntas. Para pelaku yang secara sadar
Dan
mengakui kesalahannya perlu diberikan impunity dan amnesti. Mereka yang sebenarnya tidak berdosa tapi menjadi korban perlu direhabilitir nama baiknya dan diberikan kompensasi dan restitusi. Mereka yang sekadar ikut-ikutan, atau yang hanya dicurigai terlibat, juga perlu direhabilitir nama baiknya; paling tidak, stigma negatif harus dihilangkan. 4.
Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru perlu diselidiki dan dicari kebenarannya. Namun, bukan dengan tujuan untuk balasdendam, tapi semata-mata untuk direkonsiliasikan kedua kelompok yang bertikai, yaitu si pelaku dan korban. Pelaku yang mengakui kejahatan yang dilakukannya, sesuai semangat UU No 27 tahun 2004 tentang KKR, selayaknya diberikan pengampunan. Sebaliknya, kepada korban atau keluarga korban diberikan ganti rugi, disamping rehabilitasi martabatnya.
5.
Untuk mewujudkan kebijakan di atas, KKR sendiri mutlak diisi oleh
Law Review, Fakultas Hukum llniversitas Pelita Harapan, Vol. V, No. J, Juli 2005
Tjipta Lesmana : Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi, Permasalahan Dan orang-orang yang non-partisan, yang gandrung akan persatuan bangsa, yang loyalitasnya kepada NKRI, Pancasila dan UUD 1945 tidak diragukan, dan yang betulbetul bekerja untuk melihat kejayaan Indonesiadi masadepan; bukan
untuk
kepentingan
kelompok atau partai tertentu, apalagi kepentingan asing yang mungkin
memiliki
misi
tersembunyi untuk menghancur-
Kamm, Henry. 1998. Cambodia, the Stricken Land. New York: Arcade Publishing, Inc. Kiernan, Ben. 1997. The Pol Pot Regime. Rise Power and Genocide in Cambodia under the Khmer Rouge. C h i a n g m a i : Silkworm Book. K o m a n d o Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. 1978. Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/ PKI).
kan Negara Indonesia!***
Daftar Pustaka Asmal, Kader, et al. 1997. Reconciliation through Truth. A Reckoning of Apartheid's Criminal Governance. New York: St. Martin's Press. Guizot, F. 1851. The History of Civilization. From the fall of the Roman Empire to the French Revolution. London: David Bogue. Freemantle, Tony. 1996. "Truth Commissions Try to Put the Past to Rest", http://www.chron.com Jeannette Rankin Library Program. "Truth Commissions Digital Collection", www.usip.org/librarv/truth.html.
Latief, A. 2000. Pledoi Kol. A. Latief Soeharto Terlibat G30S. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. Lesmana, Tjipta. 2003. "Kebenaran Seputar G - 3 0 - S / P K I " . Harian Suara Karya, 14-10-2003. Samsudin. 2004. Mengapa
G-30-S/
PKI Gagal? Jakarta: Yayasan Obor. Scott, Peter Dale. 1985. "The United States and the O v e r t h r o w of Sukarno, 1965-1967". www.namebase.org/scott.html Stanley, Ronald. 2003. "Be Reconciled!" www.catholiccenter.rutgers.edu/be.htm Sulastomo. 2003. "Di Balik Tragedi G30S/PKI". Harian Kompas, 1 -10-2003.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelila Harapan, Vol. V, No. J, Juli 2005
298