Perkumpulan HAK
25
MAJALAH BULANAN HAK ASASI MANUSIA
Edisi 25 - Mei 2003
Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Leste. Tel.: +670.390.313323 Fax: +670.390.313324 E-Mail:
[email protected]
Menuju Rekonsiliasi dan Kebenaran Proses rekonsiliasi komunitas di Oecusse. Foto: CAVR
DAFTAR
ISI
DIREITO UTAMA: Menuju Rekonsiliasi dan Kebenaran Hal. 1 - 2 Pengungkapan Fakta Oleh CAVR Hal. 3 Adakah Keadilan Dalam PRK? Hal. 4 - 5 DIALOG: Jose Luis de Oliveira Hal. 6 JUSTIÇA: Pertangunjawaban Pelaku Hal. 7 PEMBERDAYAAN RAKYAT: Cooperativa Mina Timor Hal. 8 - 9 TEROPONG KEBIJAKAN: RUU Keamanan Interna, Melindungi atau Melangar HAM? Hal. 10 -11 HAK ASASI: Waktu Yang Terbatas Dalam PRK Hal. 12 INSTRUMEN HAM: Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial Hal. 13 Hak Korban dan Keluarga Korban Atas Keadilan Hal. 14 GUGAT: Legalitas Sertifikat Alvara da Consecao Atas Kepemilikan Tanah Hal. 15 SERBA-SERBI: Evaluasi Tengah Tahunan Perkumpulan HAK Hal. 16 AMI LIAN: Kami Sudah Berekonsiliasi, Kami Butuh Keadilan 16
T
imor Leste sedang menjalankan sebagian dari proses penting dalam rangka menyelesaikan kekerasan-kekerasan yang terjadi di masa lalu. Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação (CAVR, Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi) mengadakan dua kegiatan penting untuk itu, yaitu rekonsiliasi komunitas untuk menerima kembali orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang melukai sesama anggota masyarakat dan pengumpulan fakta untuk mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran yang terjadi dalam masa antara April 1974 dan Oktober 1999. Memfasilitasi rekonsiliasi dan mengungkapkan kebenaran adalah dua dari tiga mandat yang harus dijalankan oleh CAVR. Mandat ketiga adalah menyusun laporan tentang temuan-temuannya dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan masyarakat luas. Tiga mandat tersebut diberikan oleh Regulasi Pemerintah Transisi PBB di Timor Leste (UNTAET) No. 10/2001 yang dikeluarkan pada tanggal 13 Juli 2001. Setelah Timor Leste merdeka, keberadaan CAVR diperkuat oleh Konstitusi Republik Demokratik Timor Leste yang pada pasal 162 ayat 2 menyatakan “Merupakan wewenang dan tanggungjawab Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi untuk melaksanakan fungsifungsi yang dilimpahkan kepadanya berdasarkan Regulasi UNTAET No.10/2001.” Ide untuk membentuk komisi ini awalnya datang dari CNRT. Usul tentang hal ini muncul pada Kongres Nasional CNRT bulan Agustus design by nobodycorp.
DIREITO UTAMA
Kiprah CAVR
S
alah satu faktor penentu sukses tidaknya pembangunan di sebuah negara bekas wilayah konflik adalah sejauhmana negara tersebut mampu memecahkan persoalan-persoalan di masa lalunya. Pemecahan atas persoalan masa lalu mengandung pergertian sebagai (1) Pengungkapan kebenaran dari konflik-komflik di masa lalu, (2) Mendamaikan pihak-pihak yang karena konflik itu telah hidup saling bertentangan, (3) Menuntut pertanggungjawaban hukum dari mereka yang karena keterlibatan dalam komflik-konflik itu, telah menyebabkan banyak korban di pihak rakyat tidak berdosa dan (4) Menjamin dan menegakan keadilan bagi korban dari konflikkonflik tersebut. Sama seperti negara bekas wilayah konflik lainnya, di negara ini juga ada komitmen kuat untuk memecahkan persoalan di masa lalunya. Hal ini bisa dimaklumi karena dampaknya memang cukup tragis pada hampir semua orang di negara ini. Nah, kehadiran CAVR sebenarnya tidak lepas dari konteks itu. Komisi ini didirikan dengan maksud untuk mendorong proses penyelesaian atas persoalan-persoalan masa lalu negara ini. Peran yang dilakukan CAVR dalam rangka itu lewat dua kegiatan penting yang menjadi mandatnya, yakni mengungkap kebenaran tentang konflik-konflik yang terjadi dari tahun 1974 hingga tahun 1999 dan mengupayakan rekonsiliasi antara para pelaku dan korban atas konflik-konmflik ringan. Sejak lahirannya CAVR pada tahun 2001 lalu, memang telah berbuat banyak hal dalam menjalankan kedua mandatnya itu. Dengan begitu, kita bisa yakin bahwa jalan menuju penyelesaian persoalan masa lalu kita sudah semakin terbuka lebar. Tapi itu tidak berarti kita akan membiarkan semua urusan pemecahan masalah masa lalu itu ditangani sendiri oleh CAVR. Pertama, kemampuan CAVR untuk bisa melakukan semua urusan itu memang terbatas. Kedua, tanggung jawab untuk urusan itu sesungguhnya ada pada kita semua. Mulai dari pemerintah, para korban, para pelaku, dan seluruh komponen masyarakat. Artinya bahwa tanpa dukungan semua pihak, kerja CAVR tidak akan sukses. Makanya jika ingin kerja CAVR sukses, berilah dukungan kepada CAVR. Dukungan bisa dalam bentuk ide atau usulan, maupun mengkritik kebijakan dan kegiatan CAVR yang dinilai melenceng dari misi yang seharusnya dijalankan CAVR. 2
2000. Selanjutnya, dibentuk suatu Komite Pengarah yang beranggotakan Pe. Domingos Soares dan Francisco Guterres mewakili CNRT, Ricardo Ribeiro (mewakili Presidum Juventude Lorico Assuwain), Manuel Abrantes (Komisi Keadilan dan Perdamaian Dioses Dili), Aniceto Guterres Lopes (Yayasan HAK), Olandina Caeiro Alves (ET-WAVE), Maria Domingas Fernandes (FOKUPERS), Patrick Burgess dan Galuh Wandita (Unit Hak Asasi Manusia UNTAET), dan Christina Planas (UNHCR). Komite bertugas memilih calon komisaris nasional, dengan lebih dulu mengadakan konsultasi di seluruh distrik dan di tempat pengungsian di Timor Barat. Kemudian sebuah Kantor Interim di bawah pimpinan Pat Walsh dari Unit Hak Asasi Manusia UNTAET mengerjakan tahap awal pembentukan Komisi di bawah pengarahan Komite Pengarah. Dengan pelantikan tujuh orang Komisaris Nasional pada Januari 2001, resmi dimulai kerja CAVR. Para Komisaris Nasional itu adalah: Aniceto Guterres Lopes (Ketua, berasal dari Yayasan HAK), Pe. Jovito do Rego (Wakil Ketua, dari Gereja Katolik), Isabel Amaral Guterres (pekerja bantuan kemanusiaan), Jacinto Alves (Asosiasi Eks-Tahanan/ Narapidana Politik), Olandina Caeiro (aktivis perempuan, ET-WAVE), José Estevão (dari kalangan pro-otonomi), dan Pendeta Agostinho Vasconcelos (Gereja Protestan). Memfasilitas rekonsiliasi adalah tugas yang penting bagi CAVR. Menurut regulasi, tindak kejahatan yang bisa diselesaikan dengan rekonsiliasi adalah yang tidak tergolong kejahatan berat. “Komisi harus melakukan rekonsiliasi berdasarkan keadilan. Kami yakin bahwa kalau tidak ada rekonsiliasi tidak akan ada keadilan, kalau tidak ada keadilan tidak akan ada rekonsiliasi,” demikian kata Ketua Komisaris Nasional CAVR Aniceto Guterres Lopes pada saat pelantikan para Komisaris Regional bulan Juli 2002. Komisi menganggap bahwa untuk kejahatan berat seperti pembunuhan, perkosaan, …. harus diselesaikan melalui pengadilan. “Kejahatan berat harus diselesaikan melalui pengadilan, karena kalau tidak kita hanya memperkuat impunitas [kekebalan hukum] bagi pelaku dan ini tidak mendukung pengembangan budaya penegakan hak asasi manusia. Kita harus membangun bangsa kita di atas landasan hukum dan hak asasi manusia,” kata Aniceto Guterres dalam sebuah pertemuan dengan pers pada bulan April 2003. Bahwa rekonsiliasi hanya diperuntukkan bagi kejahatan tidak berat agaknya didasari oleh kesadaran para perancang CAVR bahwa masyarakat Timor Leste pada umumnya tidak menginginkan diberikannya amnesti (pengampunan) kepada para pelaku kejahatan berat. Seperti terungkap dalam kunjungan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Mary Robinson dan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, masyarakat umumnya menginginkan agar para pelaku kejahatan berat diadili. Pengungkapan kebenaran adalah tugas sangat penting yang sekaligus berat. Selama bertahun-tahun pelanggaran hak asasi manusia yang berat terjadi di Timor Leste tanpa diketahui oleh dunia luar karena ditutup kuat-kuat oleh penguasa pendudukan Indonesia. Selain itu banyak ketidakjelasan tentang pertanggungjawaban pelanggaran hak asasi manusia, karena orang Timor Leste juga digunakan oleh tentara pendudukan untuk menindas rekan sebangsa mereka. Banyak pula orang Timor Leste yang terpaksa masuk dalam aparat represif penguasa pendudukan, sambil tetap aktif dalam perjuangan bawah tanah. Kenyataan seperti itu mempersulit kerja CAVR untuk pengungkapan kebenaran. Mandat ketiga CAVR, memberikan rekomendasi kepada pemerintah juga bukan hal yang mudah. Setelah melakukan penelitian dan pengumpulan pernyataan untuk pengungkapan kebenaran serta menyelanggarakan rekonsiliasi, CAVR akan memberikan rekomendasi tentang apa yang harus dikerjakan oleh pemerintah. Dari pengalaman komisi seperti ini di Afrika Selatan, salah satu kemungkinan rekomendasi adalah pemberian ganti rugi kepada para korban. Kemungkinan lain adalah rekomendasi untuk mengadili orang-orang yang menjadi pelaku kejahatan berat. Nah seberapa kuat rekomendasi komisi ini mengikat Presiden, Parlemen, dan Dewan Menteri Republik Demokratik Timor Leste? edisi 25 - Mei 2003
DIREITO UTAMA
Pengungkapan Fakta Oleh CAVR Komisi CAVR dibentuk oleh Pemerintahan Transisi UNTAET untuk melakukan pengumpulan fakta-fakta pelangaran hak asasi manusia yang terjadi di Timor Lorosae dari tahun 19741999. Komisi ini selain untuk memfasilitasi Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) juga untuk mencari fakta dan kebenaran atas semua kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di masa lalu masyarakat Timor Lorosae. Tetapi apaka semua akan tuntas, mengingat masa waktu kerja komisi terbatas. ekerasan dalam ukuran yang luas dan berat serta dalam waktu yang sangat lama adalah salah satu masalah besar yang dialami Rakyat Timor Leste di masa lalu. Kini salah satu proses untuk menanganinya sedang dijalankan di tengah masyarakat. Suatu komisi dibentuk oleh Pemerintahan Transisi UNTAET untuk menjalankan pengumpulan fakta tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi mulai 25 April 1974 hingga 25 Oktober 1999 dan memfasilitasi rekonsiliasi antara pelaku kejahatan tidak berat dengan para korbannya sedang menjalankan tugasnya. Selain memfasilitasi proses rekonsiliasi. Komisi juga mempunyai tugas lain yaitu untuk mengungkap kebenaran atas semua kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi di masa lalu masyarakt Timor Lorosae. Untuk mencari kebenaran ini, telah banyak melakukan penelitian dan investigasi untuk mendapatkan data-data yang akurat mengenai kebenaran itu sendiri. Selain melalui pengumpulan data baik dari korban, pelaku maupun saksi-saksi ahli yang menyaksikan langsung terjadinya suatu kekerasan atau kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Lorosae. Untuk mencari kebenaran ini, yang sering dilakukan oleh komisi juga adalah public Hearing. Masyarakat Timor Lorosae memang sangat mengharapkan komisi bisa mengungkap kebenaran dari semua kejadian masa lalu. Tetapi yang menjadi persoalan, apakah dengan masa waktu komisi yang sangat terbatas, bisa mengungkap semua persoalan dengan tuntas? Salah satu proses juga untuk mengungkap kebenaran itu melalui Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) yang sebenarnya bertujuan untuk mendamaikan kembali masayarakat atau dua pihak yang pernah bermasalah di masa lalunya. Yang mana proses ini hanya terbatas pada kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dalam kategori kekerasan ringan.
K
edisi 25 - Mei 2003
Proses PRK sudah banyak dilakukan di Timor Lorosae yang difasilitasi oleh CAVR. Dalam proses PRK itu sendiri apakah ada keadilan atau tidak, bagi korban dan pelaku, itu juga adalah persoalan. Dan betulbetul bisa menyelesaikan masalah, artinya betul-bentul terjadi rekonsiliasi dalam masyarakat juga adalah persoalan. Tetapi dalam rangka pengungkapan kebenaran, pada beberapa PRK yang telah dilakukan juga merupakan bagian dari pengunkapan kebenaran itu sendiri. Di mana
ma menjadi anggota POLRI pada PRK tersebut. Ia pun akan bersedia menjadi saksi di pengadilan apa bila pelaku yang dia sebutkan kalau diseret ke pengadilan. Hal ini juga dipahami oleh masyarakat, terutama mereka yang menjadi korban dalam kekerasan 99. Seorang korban warga Beto Comoro, Marcelino Guteres yang pernah disiksa oleh milisi Aitarak setelah Jajak Pendapat, menyatakan dirinya menyerimah para deponen yang melakukan rekonsiliasi dengan mas-
Tiga orang Komisaris Tinggi CAVR, dalam sebuah sidang Foto: Dok. CAVR.
mereka atau pelaku yang sering datang melakukan rekonsiliasi lebih cenderum untuk memberikan kesaksian atas mereka (orang lain) yang melakukan kejahatan berat seperti pembunuhan atau pemerkosaan tetapi masih di Indonesia. Misalnya seperti pada salah satu PRK yang dilakukan di Sucu Dato Liquiça, seorang deponen yang berinisial “FPS” bersaksi atas salah satu korban yang hilang pada saat tragedi pembantaian di gereja Liquica. Ia memberikan keterangan atas orang yang membawa hilang korban saat korban ditahan di Polres Liquica. Ia klarifikasikan hal itu pada saat ia mengungkapkan perbuatannya sela-
yarakat Beto. Baginya yang penting para deponen mengungkapkan apa yang sebenarnya mereka lakukan pada waktu itu. Dan mereka betulbetul mau bersaksi atas pemimpin mereka yang melakukan kekerasan berat atas kemanusia yang terjadi seperti mereka ungkapkan dalam PRK. Menurut Guteres juga bahwa PRK merupakan proses menuju keadilan. “PRK ini merupakan proses awal menuju keadilan. Artinya kita bisa mendapatkan data dan keterangan dari deponen mengenai yang melakukan kekerasan berat terhadap kemanusiaan tahun 99 sebelum dan sesudah jajak pendapat”, katanya menjelaskan. 3
DIREITO UTAMA
ADAKAH KEADILAN DALAM PROSES REKONSILIASI KOMUNITAS? Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) merupakan suatu proses yang difasilitasi CAVR untuk mendamaikan atau mempersatukan kembali masyarakat atau pihak-pihak yang bertikai di masa lalunya. Proses rekonsiliasi ini tetap berdasarkan asas keadilan baik bagi korban maupun pelaku sendiri dan betul-betul adanya penyatuan kembali masyarakat. Tetapi adakah semua itu dalam sebuah rekonsiliasi komunitas? erdasarkan Regulasi UNTA ET Nomor 10 Tahun 2001 sa lah satu mandat dari Comissão Acolhamento Verdade e Reconciliasão (CAVR) di Timor Lorosae adalah menfasilitasi penyelesaian pelanggaran hak asasi berskala ringan melalui Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK). Atau dengan pengertian lain bahwa PRK sebagai suatu mekanisme untuk menciptakan perdamaian, mengakhiri konflik menurut asas keadilan sosial. Menfasilitasi rekonsiliasi antara seorang pelaku (dalam proses PRK disebut Deponen) dengan korban atau keluarga korban berasaskan pada prinsip keadilan yang merupakan hal sulit dalam memastikannya. PRK tidak semata sebagai mekanisme penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi berskala ringan di dalam masyarakat. PRK juga adalah bagian terpenting dari proses pengungkapan kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia dan sejarah masyarakat Timor Lorosae. Proses pengungkapan kebenaran tidak terbatas pada usaha-usaha mencari, meneliti tentang pelanggaran yang terjadi, dengan mengetahui jumlah, nama korban dan pelaku. Tetapi kebenaran yang diungkap dalam pengakuan pelaku di PRK diharapkan sejujurnya dan adanya penyesalan serta pengutukan terhadap tindakan kekerasan skala ringan yang dilakukannya di masa lalu supaya bisa memberikan kepuasan kepada korban sebagai salah satu keadilan. Tetapi PRK jangan hanya sebagai target kegiatan yang dilakukan begitu saja dalam satu atau dua hari kemudian selesai. Dan setelah itu kedua belah pihak tetap saling bermusuhan dalam komunitasnya. Korban menuntut pertanggungjawaban pelaku atas perbuatan pelanggarannya yang telah dilakukan atas seseorang. Sedangkan pelaku
B
4
Pengakuan deponen pada salah satu PRK di Liquica Foto: R. Soares/Dir
memberi pengakuan dan klarifikasi atas perbuatan yang dituduhkan sebelum panel PRK mengambil keputusan. Berdasarkan pengamatan kami terhadap rangkaian proses PRK yang difasilitasi oleh panel PRK di setiap tempat, kami mengidentifikasi tiga hal pokok dalam PRK yang perlu diperhatikan apakah ada keadilan bagi korban atau pelaku sendiri antara lain pengungkapan kebenaran itu sendiri, dasar penetapan suatu kasus dalam kategori pelangaran ringan dan keputusan panel. Proses mencari kebenaran adalah proses yang paling sulit. Proses mencari kebenaran melalui pengungkapan fakta-fakta tentang suatu pelanggaran hak asasi kerapkali terbatas pada fakta tentang siapa pelaku dan korban, dimana dan kapan pelanggaran terjadi dan sulit untuk merumuskan fakta-fakta tentang mengapa dan bagaimana pelanggaran hak asasi itu terjadi. Proses investigasi atas kasus pelanggaran skala ringan dan klarifikasi atas jenis tindakan apa saja yang dilakukan oleh anggota panel PRK kadang-kadang tidak menyen-
tuh pertanyaan mengenai mengapa dan bagaimana pelanggaran itu terjadi. Fakta yang diungkapkan oleh seorang pelaku atas kerelaannya sendiri untuk melakukan tindakan pelanggaran serta situasi di mana seseorang melakukannya karena dipaksa atau terpaksa sangat sulit dirumuskan sebagai kebenaran. Faktorfaktor politik adalah bagian terpenting dari proses mencari kebenaran itu sendiri. Kami mencatat bahwa ada deponen yang mengaku melakukan tindakan atas dasar keinginannya sendiri dan ada yang mengaku karena terpaksa atau dipaksa. Situasi yang diungkapkan sebagai kerelaannya untuk melakukan tindakan pelanggaran atas dasar membela pilihan politik tertentu adalah suatu kebenaran juga. Ini juga sama sulitnya dengan situasi dimana seseorang melakukannya dengan cara dipaksa atau terpaksa. Sebagai pelaku pelanggaran ringan, tentu tidak bisa dipisahkan antara pelanggaran yang dilakukannya dengan proses awal dimulaiedisi 25 - Mei 2003
DIREITO UTAMA nya pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh militer Indonesia. Dalam kebiasaan hukum internasional sebenarnya tidak dikenal adanya pembedaan kasus pelanggaran hak asasi ke dalam pelanggaran skala ringan dan skala berat. Sangat sulit untuk menentukan suatu pelanggaran hak asasi manusia sebagai pelanggaran skala ringan dan skala berat. Pelanggaran hak asasi yang terjadi di Timor Lorosae adalah suatu kejahatan melawan kemanusiaan. Menurut kebiasaan hukum Internasional suatu kejahatan masuk dalam kategori kejahatan melawan kemanusiaan tidak dapat dibagi-bagi. Pelanggaran skala ringan dengan kateogori seperti disebutkan diatas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan melawan kemanusiaan. Dan; pemerintah mempunyai kewajiban untuk melakukan penyelidikan, mengajukan tuntutan, mengadili dengan hukum berat serta melakukan rehabilitasi, memberikan kompensasi dan pemulihan kepada korban dan keluarga korban. Berdasarkan Regulasi UNTAET No.10 tahun 2001 kantor Wakil Jaksa Agung Bidang Kejahatan Berat di
Sulitnya menentukan pelanggaran skala ringan dan pelanggaran berat mengakibatkan keputusan Kantor Wakil Jaksa Agung Bidang Kejahatan Berat terkadang menyimpang. Menurut pemantauan kami terhadap proses PRK di suco Dato, Liquisa (30/5), kami menemukan telah terjadi pemaksaan kepada keluarga korban untuk melakukan rekonsiliasi dengan seorang deponen. Korban menolak karena kasus yang melibatkan deponen adalah masuk kategori pelanggaran berat. Menurut pengakuan keluarga korban bahwa; deponen dengan inisial ‘FPS’ mantan anggota Polisi Indonesia, terlibat dalam kasus pelanggaran berat dimana deponen telah menangkap dan menahan seorang korban yang kemudian mengakibatkan korban hilang. Menurut kami, walaupun deponen hanya terlibat dalam proses penangkapan dan penahanan selama beberapa hari, kasus ini termasuk dalam kasus pelanggaran berat karena akibat penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh deponen mengakibatkan korban hilang. Ini melanggar mandat sebagaimana diatur di dalam Regulasi UNTAET No.10 tahun 2001. Sebenarnya menurut kami panel harus dapat membatalkan rekonsiliasi atas kasus ini, karena deponen bagian dari pelangaran berat dan saat mana keluarga korban menolak untuk rekonsiliasi dengan deponen. Atas dasar itu, proses pengungkapan kebenaran tidak saja terbatas pada mencari seseorang melakukan pelanggaran atas orang lain. Tetapi proses pengungkapan kebenaran harus diarahkan untuk meneliti seberapa jauh seseorang melakukan pelanggaran, motifnya dan keadaan yang mendukung atau menghambatnya melakukan pelanggaran. Hukuman kepada seorang deponen harus tetap konsisten pada petunjuk untuk konsultasi dengan korban, keSesama rakyat kecil saling bermaafan. Foto: Rogério Soares/Direito luarga korban dan tetap perhatikan Timor Lorosae dapat memberi re- mencatat tidak ada proses konsulta- nilai-nilai hak asasi manusia. Menukomendasi kepada CAVR untuk si dengan para korban (masyarakat rut kami, kesalahan dalam memberi melakukan PRK atas pelanggaran suco tersebut) mengenai hukuman hukuman sebagai akibat dari ketidakskala ringan. Menurut regulasi ter- yang dijatuhkan dan tidak ada usu- telitian terhadap pentunjuk pelaksasebut, CAVR diberi mandat untuk lan dari korban setempat tentang naan proses PRK. Sedangkan menmemfasilitasi penyelesaian kasus-ka- hukuman bagi kedua deponen. Dari genai kasus-kasus yang dapat diselesus kategoti pelanggaran ringan se- segi hak asasi, merupakan pelanggar- saikan melalui PRK harus tetap meperti: pembakaran rumah, penusu- an terhadap hak deponen atas kea- lihat rantai pelanggaran sebagai bakan/penyiksaan yang tidak berakibat dilan dan keputusan tersebut sangat gian kejahatan melawan korban jiwa, perkelahian/pertengka- diskriminatif dan ekploitatif. kemanusiaan. Aniceto Neves edisi 25 - Mei 2003
ran mulut, pencurian, penghancuran milik pribadi, pemindahan secara paksa, mengancam dan intimidasi. Kantor Wakil Jaksa Agung Bidang Kejahatan Berat Timor Lorosae dapat mengambil keputusan setelah melalui penelitian yang cermat atas bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi kategori ringan. Ini sematamata sebagai keputusan politik pemerintah. Menurut mekanisme dan ketentuan PRK, panel dapat menetapkan sanksi/hukuman kepada pelaku setelah melakukan konsultasi dengan korban yang masih hidup atau keluarga korban. Kami telah mencatat suatu penyimpangan atas prosedur dan mekanisme ini. Dalam salah satu proses PRK di suco Loscabubu, Manleuana, Dili (26/5), keputusan panel memberikan hukuman kepada seorang deponen tidak berdasarkan pada permintaan korban. Dalam proses PRK panel memutuskan menghukum dua deponen masingmasing; Marcelino da Silva, Afonso Saldanha Soares, sebagai anggota milisi AITARAK untuk bekerja kepada komunitas, pemerintah local dan gereja selama setahun. Kami
5
DIALOG
José Luís de Oliveira;
CAVR Tidak Bisa Menyelesaikan Semua Masalah Masa Lalu CAVR (Comissao Acoilhamento Verdade e Reconciliacao) dibentuk dengan regulasi UNTAET dan diperkuat dengan pasal 162 Konstitusi RDTL, guna menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang terjadi masa lalu. Namun, apakah semua persoalan HAM masa lalu bisa diselesaikan oleh CAVR? Berikut wawancara Rogerio Soares dari Direito dengan Jose Luis de Oliveira, Direktur Eksekutif Perkumpulan HAK. Apakah CAVR bisa menyelesaikan semua masalah pelanggaran HAM masa lalu? Tidak! Karena dilihat dari jangka waktu kerja CAVR, tidak memungkinkan menyelesaikan secara tuntas persoalaan HAM masa lalu. Walaupun menurut mandatnya, cakupan kerja CAVR mulai dari tahun 1974 hingga Oktober 1999. Ini sangat kontradiktif, dimana sebuah tugas berat harus diselesaikan dalam waktu singkat. Kenapa tidak? Mungkin orang yang buat regulasi tidak paham betul beratnya masalah. Dikira masalah HAM di Timor Leste seperti kerusakan komputer yang bisa diperbaiki dalam hitungan hari. Lihat saja sekarang muncul persoalan CPD RDTL dengan Presiden Xanana. Ini bagian dari masalah lalu yang tidak ada ruang di CAVR untuk menyelesaikannya. Ada
José Luís de Oliveira. Foto: Rogério Soares 6
anggapan dari sebagian besar masyarakat, termasuk kalangan pemerintah, bahwa CAVR adalah sebuah komisi nasional untuk menyelesaikan masalah masa lalu negara ini. Harapan ini tidak realistis. Tetapi dilihat dari sumber daya yang dimiliki seperti materi, staf dan ahli-ahli dari luar negeri, maka sepantasnya CAVR harus menyelesaikan semua masalah masa lalu bangsa ini. Jangan sampai tugas CAVR selesai, bukannya meringankan beban bangsa ini, malah membuat beban baru untuk negara ini -–terutama pemerintah. Lalu yang dikerjakan CAVR itu apa? Saya kira yang dikerjakan CAVR sekarang, bisa dikatakan proses awal dari sebuah pekerjaan panjang. Proses awal pembelajaran bagi semua orang untuk tidak mengulang perilaku buruk. Proses penyembuhan bathin, proses penerimaan antara korban dan pelaku, dan proses pelurusan sejarah. Proses ini harus diteruskan minimal 5-6 tahun hingga mendapatkan fondasi yang kuat. Sekarang ini prosesnya masih labil. Apakah masalah CPD RDTL juga merupakan masalah lalu? Ya…ini soal keadilan bagi korban, karena sebagian besar massa CPD RDTL adalah aktivis kemerdekaan yang pernah menjadi korban. Dan ini juga soal pengungkapan kebenaran tentang sejarah dan kasus pelanggaran HAM yang terjadi semasa perjuangan. Dan persoalan masa lalu tidak saja itu. Selama ini ada kecenderungan yang miring bahwa yang melakukan pelanggaran HAM adalah yang punya hubungan dengan Indonesia. Peran dan tanggungjawab negara lain seperti Portugal tidak diungkapkan. Akibatnya, mereka (Portugal) tidak merasa salah dengan perbuatan mereka masa lalu, kemudian sekarang kembali berupaya merekolonisasi Timor Leste. Lihat saja apa yang terjadi di Kementrian Pendidikan
dan lembaga peradilan. Begitu juga Australia dan Amerika dengan persoalan minyak di laut Timor. Saya khawatir jangan sampai CAVR hanya instrumen dari pihak lain untuk menggadaikan keadilan guna kepentingan bisnis, politik dan karier. Kalau ini yang terjadi, maka sungguh tidak berperikemanusiaan. Lalu, bagaimana mengantisipasinya? Mandatnya harus direvisi dan diperpanjang. Pekerjaan rekonsiliasi bukan proyek yang penyelesaiannya ditentukan oleh si-patron. Ini pekerjaan nasional dan tidak terikat waktu karena telah diamanatkan dalam konstitusi. Persoalan dana, sepantasnya negara-negara yang pernah membuat masalah di sini harus menanggung. Ini bukan soal mengemis sedekah, tapi prinsip pertanggungjawaban hukum dan moral yang harus dimiliki negara-negara besar terhadap perbuatan mereka. Namun, tahun depan CAVR akan menyelesaikan misinya? Ya...saya kira mulai sekarang hal ini sudah harus mulai didiskusikan guna mengantisipasi konsekwensi yang muncul dari berakhirnya tugas CAVR. Ini persoalan bangsa, bukan urusan para konsultan, dimana nasib bangsa ini ditentukan di belakang meja kerjanya. Jadi harus dibuka ke publik, supaya publik tahu dan memahami keterbatasan dari CAVR, dan bagaimana mencari jalan keluar. Termasuk pihak pemerintah juga mulai antisipatif mempersiapkan alternatif lain, bila tidak tuntasnya penyelesaian masalah lalu oleh CAVR. Janganlah membiarkan rakyat hidup dengan harapan-harapan kosong, seperti jaman UNAMET dimana janjinya tidak akan membiarkan rakyat memderita, namun tidak berdaya di saat rakyat dibantai oleh milisi dan TNI. Begitu juga dengan sandiwara UNTAET atau UNMISET dengan pekerjaan Serious Crime, dimana tidak berani bertanggungjawab untuk membawa Wiranto ke Pengadilan. Jadi, supaya CAVR tidak mengulang ketidakseriusan lembaga UN dalam menegakan keadilan, maka kiranya mulai sekarang sudah harus diambil langkah antisipatifnya. Misalnya, bila PRK tidak dirasakan adil bagi korban, lalu apa yang harus dilakukan. Begitu juga, bila pengungkapan kebenaran memunculkan kebencian baru, lalu apa yang harus dilakukan untuk mendamaikan pihakpihak yang terkait. Demikian juga dengan nasib orang Timor Leste yang masih masih ada di Timor Barat, siapa yang mengurus kondisi untuk penerimaan mereka di masa datang? edisi 25 - Mei 2003
JUSTIÇA
PROSES PERTANGUNJAWABAN PARA PELAKU KEJAHATAN KEMANUSIAAN DI TIMOR LESTE Dalam tahap akhir Pengadilan HAM ad hoc Jakarta telah memvonis enam orang terdakwa bersalah tetapi sampai saat ini mereka masih bebas berkeliaran di luar penjara. Masa hukuman yang dijatuhkan rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan mereka (terdakwa) yang divonis bersalah oleh Panel Khusus Pengadilan Distrik Dili untuk kejahatan berat terhadap kemanusiaan. ahap akhir proses sidang Pengadilan Negeri Ja karta Pusat (Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesi a) terhadap 18 orang pelaku yang didakwa atas kejahatan berat terhadap kemanusiaan, telah memutuskan bersalah untuk dipenjara atas enam orang terdakwa antara lain: (1) Abilio Osorio Soares, dijatuhi hukuman 3 tahun pada 13 Agustus 2002, (2) Eurico Gutteres, dijatuhi hukuman 10 tahun pada 27 November 2002, (3) Soedjarwo, dijatuhi hukuman 5 tahun pada 27 Desember 2002, (4) Hulman Gultom, dijatuhi hukuman 3 tahun pada tanggal 20 Januari 2003, (5) Noer Moeis, dijatuhi hukuman 5 tahun pada 12 Maret 2003, (6) Mayor Jenderal Adam Damiri dengan hukuman 3 tahun, pada 5 Agustus 2003. Ke enam terdakwa yang diputus bersalah itu, sampai saat ini tidak ada yang ditahan dengan alasan hakim bahwa terdakwa bersikap kooporatif dalam persidangan dan tidak ada kekhawatiran akan melarikan diri dan selama ini dengan berbagai dalil pemerintah maupun pihak yang pro terhadap proses ini menyatakan bahwa masih akan dilanjutkan naik banding, jadi tidak ingin intervensi terhadap proses pengadilan. Seharusnya sejak menjadi tersangka dan dalam proses penyelidikan sampai dengan penuntutan sudah ditahan. Apalagi saat ini mereka telah divonis bersalah secara meyakinkan. Jika dilihat dari proses awalnya, tidak satu pun para tersangka, ditahan oleh Kejaksaan Agung guna keperluan penyelidikan. Akibatnya beberapa terdakwa dari kalangan militer atau polisi mendapatkan promosi jabatan dan naik pangkat. Dengan sendirinya para terdakwa terus menjalankan tugas dan pengaruhnya di lingkungan kemiliteran. Hal itu menunjukan pemerintah merestui tindak kejahatan yang dituduhkan kepada para terdakwa atau membenarkan tindakan mereka selama bertugas di Timor Leste. Pembiaran tanpa penahanan itu telah memberikan hak istimewa yang secara leluasa bisa mereka gunakan di tengah masyarakat untuk membuat opini dan menghimpun dukungan atas tindakan mereka di Timor-Timur saat itu. Restu pemerintah serta opini dan dukungan itu telah menempatkan mereka sebagai pahlawan atas tindakannya bukan sebagai pihak yang sedang diperiksa kesalahannya. Sedang proses yang terjadi di Timor Leste pada Unit Serius Crime (SCU) terus melimpahkan dakwaan 10 kasus perioritasnya ke Panel Khusus Pengadilan Distrik Dili. Terhadap kasus pembunuhan Biawarati dan rombongannya di Lospalos, Panel Khusus memvonis salah satu terdakwa dengan hukuman diatas 30 tahun penjara. Menyusul dengan vonisan lain terhadap para terdakwa yang berhasil ditangkap atau menyerahkan diri secara suka rela untuk diadili atas kejahatannya dengan hukuman rata-rata diatas 10 - 30 tahun.
T
edisi 25 - Mei 2003
Terdakwa lain yang divonis oleh Panel Khusus adalah mereka yang terlibat langsung dalam perbuatan kriminal atau terlibat langsung di lapangan. Sedangkan otaknya tidak berada di Timor Leste, mendapatkan hukuman yang berbeda serta tidak dikenai penahanan atau dipenjarakan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta. Para aktor kejahatan itu berada di Indonesia yang tidak bisa dijangkau oleh SCU dan Panel Khusus. Kendala lainnya dalam proses SCU di Timor Leste dari 10 kasus besar yang dakwaannya telah dilimpahkan ke Panel Khusus sampai dengan saat ini belum ada sebuah surat penangkapan resmi yang dikeluarkan oleh Panel Khusus Pengadilan Distrik Dili terhadap para otak besar yang tidak berada di Timor Leste walaupun telah dimohon Jaksa Serius Crimes. Yang paling menyolok dalam hal ini adalah dakwaan terhadap Jenderal Wiranto Cs. Bila terjadi, proses Extradisi yang belum diatur atau disepakati oleh kedua negara tetap menjadi kendala. Tetapi untuk menegakan hukum sebaiknya menggunakan segala peluang yang memungkinkan, sesuai untuk memproses tuntutan keadilan ini. Hilangnya dukungan politik dari pemimpin negara Indonesia dan Timor Leste adalah salah satu faktor yang dirasakan dalam proses penuntutan ini. Dengan lebih memperioritaskan hubungan baik antara kedua negara. Pemimpin kedua bangsa ingin mengesampingkan kepedihan yang dialami para korban selama ini. Dimana sudah tidak mendapat keadilan dari proses hukum dan tidak ada perhatian atau rehabilitasi pada para korban. Malah kenyataan sekarang keadilan sedang ditukar dengan sebuah hubungan baik. Bila para pelaku kejahatan tidak diadili, bukan saja para pemimpin akan menodai komitmen bersama umat manusia untuk mencegah kejahatan itu terulang lagi melainkan juga akan melanggar amanat Konstitusi RDTL dan melukai hati para korban. Sedangkan apa yang akan terjadi dengan Indonesia kalau begitu banyaknya pelaku kejahatan kemanusiaan yang masih berkeliaran dan berkuasa di Indonesia. Sebaiknya semua pihak menyadari bahwa perbuatan pidana yang didakwakan pada para pelaku adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan kejahatan internasional yang mana masyarakat internasional telah menyatakan sebagai musuh bersama umat manusia yang menuntut semua negara untuk memeranginya. Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan yang dikutuk umat manusia, dan perlunya hukuman bagi pelaku sebagai sebuah keadilan bagi korban dan fungsi pencegahan melalui proses hukuman terhadap pelaku mutlak dilakukan. Ketiadaan hukuman terhadap pelaku akan merupakan virtual licence bagi pelaku atau orang lain untuk mengulangi kejahatan serupa dikemudian hari. Rosentino Amado Hei 7
PEMBERDAYAANRAKYAT
KOPERASI MINA TIMOR :
SOLUSI DARI SEBUAH PROTES Koperasi Mina Timor adalah salah satu kumpulan para pemilik mobil tangki yang awalnya beroperasi secara sendiri-sendiri. Tetapi sekarang mereka bersatu dalam satu wadah usaha secara kooperatif. Hal ini terjadi ketika mereka sadar bahwa usaha secara perorang tanpa modal tidak bisa berbuat banyak ketika menghadapi masalah. Walaupun sekarang dalam koperasi juga banyak ada tetapi mereka hadapi secara kelompok. operasi adalah sarana kerja sama antara sejumlah orang dalam rangka memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka. Kenapa kerja sama begitu penting untuk bisa memenuhi kebutuhan sosial ekonomi tiap orang. Alasan paling logisnya, karena tanpa bantuan orang lain, setiap orang memang sulit memenuhi kebutuhannya sendiri. Untuk bisa makan sepiring nasi misalnya, kita di kota harus membeli beras di pasar atau di tokoh. Beras di toko atau di pasar berasal dari padi yang ditanam para petani. Jika para petani yang menanam padi itu tidak ada maka toko atau pasar tidak akan jual beras dan kita tidak akan makan nasi. Begitulah kehadiran badan usaha kooperasi adalah salah satu wujud kerja sama
san Caicoli, Dili, plus beberapa perlengkapan administrasinya. Layaknya seperti kooperasi yang lain, kooperasi ini juga memiliki statutanya sendiri dan juga sejumlah pengurusnya yang dipilih secara demokratis oleh para anggota kooperasi tersebut. Menilik sejarah pembentukan Cooperativa Mina Timor, memang menarik untuk dibicarakan. Ide pembentukannya muncul setelah terjadi sebuah aksi protes terhadap pertamina oleh sejumlah pemilik kendaraan tenki pada bulan Mei 2002. Aksi protes itu dilakukan karena para pemilik kendaraan tenki itu merasa telah diperlakukan tidak adil oleh pertamina dan pemerintah karena mereka tidak pernah diberi akses untuk mengangkut BBM dari pertamina ke instansi-instansi pemerintah RDTL dan UNMISET. Padahal perusahaan yang melakukan distribusi selama itu, kondisinya ternyata sama saja dengan kondisi mereka. Perusahaan itu memiliki beberapa kendaraan tenki, dan kenderaan tenki yang sama juga dimiliki mereka. Yang mereka pertanyakan adalah kenapa yang dipakai adalah perusahaan itu, sementara kendaraan tenki mereka tidak pernah diberi akses. Sesuai peKantor Koperasi Mina Timor, Caicoli, mantauan Direito, waktu itu memang Dili. Foto: Rogério Soares/Direito. ada indikasi kuat pertamina sedang untuk memecahkan ketidakmampu- memonopoli sebagian besar usaha an para anggotanya dalam meme- BBM di negeri ini. Termasuk di binuhi kebutuhan sosial ekonomi me- dang distribusinya ke instansi-instansi pemerintah RDTL dan UNMIreka secara sendiri-sendiri. Cooperativa Mina Timor lahir ber- SET. Ada dua perusahaan yang waktu dasarkan pada logika seperti itu. Kooperasi ini dibentuk pada 14 Juni itu melakukan distribusi BBM dari 2002 lalu dan bergerak di bidang pertamina ke instansi-instansi pemedistribusi dan penjualan Bahan Bakar rintah RDTL dan UNMISET. Dari Minyak - BBM. Walaupun pemben- beberapa sumber informasi terpertukannya sejak Juni 2002, tetapi ko- caya dari kalangan dalam pertamioperasi ini baru mulai aktif menja- na, diketahui bahwa kedua perusalankan usahanya pada tiga bulan ke- haan itu adalah perusahaan-perusamudian, yakni 7 Oktober 2002. Kini haan yang sengaja didirikan oleh kooperasi ini telah memiliki sebuah pertamina, alias anak perusahaan kantor tetap yang terletak di kawa- pertamina. Pantas saja akses distri-
K
8
busi BBM dari pertamina dengan mudah dikuasai oleh kedua perusahaan itu. Karena merasa telah diperlakukan tidak adil oleh pertamina dan hal itu ternyata dibiarkan saja oleh pemerintah, maka dilakukanlah aksi protes itu. Sayangnya bahwa aksi protes tersebut kurang ditanggapi baik oleh pertamina. Karena tidak ditemukan jalan keluar lain lagi, maka kasus itupun akhirnya diadukan ke Assosiasi HAK. Setelah menerima pengaduan kasus tersebut, langkah pertama yang dilakukan Assosiasi HAK adalah bersama-sama dengan para pemilik kendaraan tenki itu mendatangi kantor secretario do estado guna meminta kejelasan kebijakan pemerintah di bidang pendistribusi BBM dari pertamina ke instansi-instansi pemerintah RDTL. Pertemuan dengan secretario do estado berhasil dilakukan pada akhir Mei 2002 dan hasilnya pemerintah mengatakan akan memperhatikan tuntutan para pemilik tenki itu. Ternyata betul bahwa pemerintah memang memperhatikannya. Seminggu setelah pertemuan tersebut, pemerintah memanggil para pemilik kendaraan tenki dan pertamina ke kantor secretario do estado untuk menindaklanjuti penyelesaian atas tuntutan para pemilik kendaraan tenki yang melakukan protes tadi. Dalam pertemuan yang ke dua kalinya tersebut, berhasil mencapai kesepakatan antara pemerintah (secretario do estado) dengan pihak pertamina. Pihak pertamina, dalam pertemuan itu menetujui sejak saat itu akan memberi akses kepada para pemilik kendaraan tenki untuk melakukan distribusi BBM juga dari pertamina ke salah satu instansi pemerintah, yakni EDTL. Kesepakatan kedua, berupa kesediaan para pemilik kendaraan tenki untuk segera mengorganisir diri dalam sebuah badan usaha, sebagai syarat administratif untuk bisa mengakses pada sistem distribusi BBM dari pertamina. Atas dasar kesepakatan itu, kususnya kesepakatan yang kedua, para pemilik kendaraan tenki itu mulai edisi 25 - Mei 2003
PEMBERDAYAANRAKYAT
Mobil tengki minyak yang yang sedang antrian di Pertamina, Dili. Foto: Rogeri Soares/Direito
berusaha mencari bentuk badan usaha bersama mereka. Diskusidiskusi untuk itupun mulai dilakukan secara intensif di Aula Assosiasi HAK. Setelah melalui diskusi panjang maka, muncullah ide agar badan kerja sama itu berbentuk kooperasi saja. Ide ini ternyata didukung para pemilik kendaraan tenki, setelah mereka tahu dan paham tentang kelebihan-kelebihan usaha kooperasi ketika dibandingkan dengan jenis badan usaha yang lain. Aspek kerja sama dan solidaritas yang menjadi substansi dari usaha dalam bentuk kooperasi, rupanya menjadi hal yang telah membuat para pemilik kendaraan tenki itu tertarik pada usaha kooperasi. Maka pada 14 Juni 2002 lahirlah kooperasi milik para pemilik kendaraan tenki itu dengan nama Cooperativa Mina Timor. Sebagai modal awal usaha kooperasi itu, disepakati bahwa setiap pemilik kendaraan tenki yang menjadi anggota harus menumbangkan kendaraan tenki mereka dan uang sebesar USD 500 untuk tiap kendaraan tenki kepada Cooperativa Mina Timor. Kedua jenis modal awal itu akan dikelola bersama lewat kooperasi dan hasilnya akan dibagi secara adil kepada para pemilik kendaraan tenki, yang tidak lain adalah para anggota kooperasi itu sendiri. Perjalanan Coperativa Mina Timor ternyata tidaklah berjalan mudah. Ini juga biasa terjadi dengan kooperasi edisi 25 - Mei 2003
lainnya. Tantangan yang segera mereka hadapi adalah dengan hadirnya beberapa perusahaan asing bermodal besar yang ikut dalam setiap tender distribusi BBM. Perusahaan-perusahaan asing itu telah menumpang beberapa perusahaan lokal hingga mereka bisa lolos menjadi peserta tender dengan status sebagai perusahaan lokal. Jelas bahwa hal itu akan merugikan Cooperasi Minyak Timor dan perusahan-perusahaan lokal lainnya yang modalnya sangat kecil. “Itu akan merugikan kami dan perusahaan-perusahaan lokal lain yang modalnya kecil”, ujar menager Cooperativa Mina Timor, Virgilio Pedro. Kekawatiran adanya KKN dalam tender juga dirasakan sebagai tantangan lain, walaupun KKN itu masih dalam dugaan saja. Lebih lanjut, pria lulusan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang ini mengatakan lagi bahwa, tantangan lainnya adalah bersifat internal. Mulai dari kenyataan belum cukupnya kemampuan menagemen keuangan dan administrasi di kalangan anggota dan terutama pengurus Cooperativa hingga kenyataan tidak cukupnya perlengkapan kantor untuk memenuhi kebutuhan adminstrasi perkantoran secara layak. Walaupun banyak tantangan yang dihadapi oleh Cooverativa Minyak Timor tetapi tidak menyurutkan semangat dan komitmen kerja sama para anggota dalam mengelolah koperasinya. “Sampai sekarang kami tetap solid dalam mem-
bangun kerja sama dan solidaritas di dalam kooperasi kami, sehingga selama ini kami selalu bisa mengantisipasi dan mengatasinya masalah yang kami hadapi”, jalas Romao Magno dan Teresinha Araujo, dua anggota Cooperativa Mina Timor kepada Rui Viana dari Direito. Maju tidaknya Cooperativa Mina Timor memang akan tergantung sepenuhnya pada bagaiamana usaha dari para anggota dan pengurusnya untuk terus meningkatkan kerja sama di antara mereka dalam mengelolanya. Sesuai pantauan Direito, aspek kerja sama para anggota kooperasi ini memang sudah cukup bagus. Buktinya, ketika ada persoalan diantara anggota atau yang menyangkut urusan usaha dari kooperasi ini, selalu diatasi dan diputuskan bersama lewat rapat-rapat atau lewat diskusidiskusi bersama antara para anggota dan pengurus kooperasi tersebut. Beberapa persoalan yang ternyata tidak bisa dipecahkan bersama, pihak berkompeten lain akan diminta untuk memecahkannya. Satu contoh, pada pertengahan bulan September ini, kooperasi akan memintah bantuan kepada Assosiasi HAK untuk memfasilitasi sebuah pelatihan tentang menagemen keuangan dan administrasi kepada para anggota dan penggurus kooperasi, ujar Menager Coopertaiva Mina Timor, Vergilio Pedro. “ Asosiasi HAK sendiri sudah mengatakan bersedia” lanjutnya. Rui Viana 9
TEROPONGKEBIJAKAN
RUU Keamanan Internal;
Melindungi atau Melangar Hak Asasi Manusia?
Akhir bulan Agustus lalu, Parlamen Nasional telah menyetujui RUU tentang Keamanan Internal, guna disahkan Presiden RDTL. Reaksi pro-kontra dari masyarakatpun bermunculan. Perkumpulan HAK – walaupun agak terlambat, juga memberikan komentarnya terhadap RUU tersebut. Berikut inti komentar Perkumpulan HAK
elalui sebuah surat yang di sampaikan kepada Presiden Parlamen Nasional dan Presiden RDTL pada tanggal 15 September lalu, Perkumpulan HAK menyampaikan bahwa RUU tentang Keamanan Internal ini tidak dimaksudkan khusus untuk mengekang kebebasan pers sebagaimana dikritik beberapa pihak akhir-akhir ini - walaupun akan ada dampaknya ke pers. RUU ini muncul sebagai akibat meluaskannya kampanye anti terorisme. Langkah yang bisa dikatakan positif yaitu upaya antisipatif untuk melindungi hak atas kekebasan rakyat dari ancaman terorisme. Namun hal ini juga bisa menjadi bumerang bagi rakyat Timor Leste apabila persoalan terorisme sendiri tidak dipahami betul. Karena pengalaman menunjukan bahwa pada tahun 1975-an, beberapa pihak tanpa mengerti dengan baik tentang Komunisme, ikut-ikutan pihak luar mengkampanyekan anti komunisme. Dan sewaktu sadar, telah banyak
M
saudara-saudara kita yang dibantai oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) karena menginvasi negara kita dengan mengatasnamakan gerakan anti komunisme. Pada dasarnya, suatu negara memang wajib mengambil tindakan dengan membuat peraturan seperti UU Keamanan Internal untuk menjamin pemenuhan hak asasi rakyatnya. Rakyat suatu negara punya hak untuk menikmati kebebasan, misalnya bebas dari rasa takut, bebas dari penyiksaan, bebas untuk berpergian, dan lain sebagainya. Agar kebebasan tersebut bisa dipenuhi, maka negara wajib membuat kebijakan untuk menjamin agar semua rakyat bisa menikmati kebebasan tersebut tanpa diganggu orang lain, dan/atau agar orang lain tidak boleh menggunakan kebebasanya yang melebihi atau melanggar kebebasan orang lain. Dijelaskan dalam surat tersebut bahwa, pelanggaran hak asasi manusia (HAM) tidak selamanya karena
Polisi Timor Lorosae sedang mengamankan kembali seorang nara pidana yang kabur dari LP becora. Foto: Rogerio Soares/Direito 10
adanya intervensi berlebihan dari negara melalui aparatnya terhadap kekebasan warga negara (by commission). Tetapi juga pelanggaran HAM bisa terjadi apabila negara tidak mengambil upaya apapun untuk mencegah daan melindungi kekebasan warga negaranya (by ommission). Jadi menurut Perkumpulan HAK RUU ini penting untuk negara RDTL. Namun supaya RUU ini tidak bertentangan dengan komitmen penegakan hak asasi manusia yang telah dilakukan, maka Perkumpulan HAK mengharapkan agar mempertimbangkan beberapa hal yang menyangkut substansi dari RUU, sehingga dalam penerapannya bisa konsisten dengan semangatnya sebagaimana tercantum pada pasal 1 ayat 1 dari RUU ini. 1. Dalam RUU ini tidak mencantumkan secara tegas keadaan apa yang hendak dilawan dengan undang-undang Keamanan Internal. Pada Pasal 1 ayat 3 disebut “kejahatan terorganisir khususnya terorisme dan sabotase”. Keadaan kejahatan terorganisir itu apa? dan kriterianya apa? Begitupun dengan defenisi terorisme dan sabotase itu apa? Ini harus jelas, karena kalau tidak dalam pelaksanaannya bisa disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Misalnya, UU ini bisa saja digunakan untuk menindas gerakan oposisi atau organisasi massa lainnya seperti CPD RDTL atau Colimau 2000. Begitu juga harus diperjelas dengan apa yang dimaksud Institusi Demokrasi (pasal 1 ayat 1). Institusi demokrasi dalam arti orangnya atau pejabatnya? Jangan sampai UU ini disalahgunakan untuk memberi kekebalan terhadap pertanggungjawaban hukum pejabat yang melakukan kriminal. 2. Soal kebijakan keamanan nasional. Pasal 3 dari RUU ini berjudul Kebijakan Keamanan Nasional, tidak nampak kebijakan yang diatur soal keamanan internal. Seharusnya pasal ini merupakan inti dari RUU ini yaitu berisi tindakan atau langkah seperti apa yang diizinkan untuk dilakukan oleh aparat negara/ pemerintah (polisi dan badan intelijen) guna melawan situasi yang luar biasa sebagaimana disebutkan pada pasal 1 ayat 3 dari RUU ini yaitu kejahatan terorganisir dalam bentuk terorisme dan sabotase. Karena untuk menindak tindakan kejahatan biasa, maka Undang-Undang yang ada sudah cukup untuk menjaedisi 25 - Mei 2003
TEROPONGKEBIJAKAN wab situasinya, seperti KUHP. Isi kebijakannya harus jelas. Karena kalau tidak jelas, maka bisa disalahartikan dan disalahgunakan oleh aparat keamanan. Misalnya, memakai undang-undang untuk menindak sebuah kelompok merencanakaan melakukan demonstrasi, karena disangka melakukan kejahatan terhadap lembaga kedaulatan. Padahal mengkritik kebijakan pemerintah bukan sesuatu kejahatan, tetapi hal wajar dalam demokrasi. Di sisi lain, bahwa kalau Pasal 3 dari RUU ini tidak berisi tentang kebijakan apa yang diatur, maka hal ini belum memenuhi mandat Konstitusi RDTL, Pasal 95 ayat 2 point o. Jadi sebagai pemilik wewenang Legislasi, maka Parlamen seharusnya membuat substansi dari kebijakan tentang keamanan nasional. Substansi dari kebijakan inilah, lalu diinplementasi oleh pihak Eksekutif yaitu pemerintah, sebagaimana diatur pada Pasal 8 RUU ini (kecuali ayat 2 point a. Karena point a merupakan wewenang legislator). 3. Soal pertanggungjawaban inplementasi. Sebagai negara hukum, maka segala perbuatan harus berdasarkan hukum dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam RUU tentang Keamanan Internal, belum secara tegas mengatur tentang pertanggungjawaban pelaksanaan kebijakan keamanan internal. Kewenangan Parlamen Nasional untuk fiskalisasi sebagaimana pada Pasal 7 dari RUU ini masih lemah unsur akuntabilitasnya. Seharusnya, secara prinsip diatur bahwa pemerintah dapat mempertanggungjawaban pelaksanaan kebijakan keamanan internal kepada Parlamen Nasional, bukan hanya sekedar menerima informasi (ayat 2) dan memeriksa laporan (ayat 3). Dan apabila terjadi ekses atau penyimpangan dalam pelaksanaan di lapangan, aparat keamanan harus mempertanggungjawabkan perbuatanya secara hukum di pengadilan. Ini untuk menjamin tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat di lapangan. 4. Soal keikutsertaan semua orang untuk bekerja sama dengan petugas, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 5 ayat 3 dari RUU ini bisa bertentangan dengan peraturan yang lain. Karena menurut etika dan hukum (Regulasi UNTAET No. 25/ 2001, dan KUHP Pasal 322), para rohaniawan, dokter dan pengacara dilindungi untuk tidak diwajibkan edisi 25 - Mei 2003
untuk memberikan informasi yang vitas kriminal biasa atau aktivitas berkaitan dengan klien mereka. Dan politik warga negara. apabila UU ini akan mencabut perKedua, bahwa sesuai regulasi lindungan yang dimiliki para profe- UNTAET No. 25/2001, khusus tensional tersebut, maka kiranya hal ini tang Hukum Acara Pidana, dan Reperlu dipertimbangkan baik-baik gulasi UNTAET No. 16/2000, tendampaknya terutama aspek hak asa- tang Kejaksaan, diatur bahwa pihak si manusianya. Kejaksaan yang mempunyai weweuntuk mengkoordinir suatu 5. Soal pemantauan komunikasi nang penyidikan yang dilakukan polisi. sebagaim a n a diatur pada Pasal 17 RUU ini masih terdapat pertentangan dengan aturan hukum lainnya. Dijelaskan bahwa istilah pemantauan komunikasi pada pasal ini tidak sama dengan Aksi PNTL dalam sebuah insiden di LP Becora, Dili. Foto: R. Soares/Direito kontrol a t a u pembatasan komunikasi. Menurut Sehingga menurut Perkumpulan Perkumpulan HAK persoalan inti HAK bahwa bila aturan Pasal 17 pada pasal ini bukan terletak pada RUU ini akan mengesampingkan pembatasan atau kontrol kebebasan wewenang jaksa, maka hal ini komunikasi sebagaimana diributkan melanggar prinsip sistem peradilan, beberapa kalangan di media massa sehingga akan berdampak ketidakakhir-akhir ini, namun persoalannya jelasan sistem penegakan hukum. terletak pada; Pertama, tidak jelasnya unsur-unsur atau indikator seperti 6. Legalitas aparat pelaksana di apa yang menunjukan sebuah akti- lapangan. Menurut Pasal 13 RUU ini vitas yang masuk dalam kategori ke- mengatur bahwa aparat pelaksana jahatan terorganisir (terorisme atau keamanan internal adalah Polisi sabotase) yang harus diminta izin ke- (PNTL) dan Badan Intelijen dan pada hakim untuk dipantau. Kalau Keamanan Negara (BIKN). Namun unsur atau indikator tidak jelas, maka hingga sekarang PNTL belum punya bisa memberi ruang kepada aparat UU baru yang mengakomodasi perkeamanan (khususnya inteligen) kembangan institusinya seperti sekamemantau pembicaraan orang yang rang, begitu juga hingga sekarang dianggap tidak suka pada kebijakan belum ada UU tentang Badan pemerintah. Kalau ini yang terjadi Intelijen. Sehingga menurut Peradalah pelanggaran terhadap hak kumpulan HAK, agar tidak menguasasi manusia. Karena sikap tidak lang perbuatan pemerintah Indonesuka pada kebijakan pemerintah bu- sia, dimana TNI dan SGI melakukan sesuatu kriminal, dan wajar da- kan aktivitas ilegal atau ekstrajudilam demokrasi. Menurut Perkum- sial, maka sebelum pemberlakuan pulan HAK bahwa sebenarnya pe- UU tentang Keamanan Internal yang mantauan komunikasi yang dimak- memperluas kewenangan PNTL dan sudkan pada pasal 17 RUU ini ditu- BIKN dalam situasi luar biasa, maka jukan kepada pihak yang diduga se- seharusnya dibuat dulu UU organik dang dan akan melakukan suatu tin- tentang PNTL dan BIKN guna dakan terorisme atau sabotase, bu- mengatur fungsi dan tugasnya dalam kan untuk memantau dugaan akti- situasi biasa. 11
HAK ASASI
Waktu Yang Terbatas Dalam Proses Rekonsiliasi Komunitas Merupakan Ketidakadilan Bagi Korban ejak masa kolonialisme portugis, masyarakat Timor Lorosae su dah dipecah-pecahkan oleh kolonial untuk melangengkan kekuasaannya. Masyarakat semakin terjerumus dalam perpecahan ketika terjadi revolusi bunga di Portugal dimana terbentuknya parpol di Timor Lorosae yang sebenarnya bertujuan baik. Tetapi karena ketidakmatangan politik maka terjadilah perpecahan lebih jauh dengan adanya golpe. Ditambah lagi pencaplokan militer Indonesia selama 24 tahun. Dalam perpecahan yang sengaja dibuat oleh kolonial untuk mempertahankan kepentingannya, banyak terjadi kekerasan-kekerasan antar sesama orang Timor Lorosae sendiri. Puncak perpecahan dan kekerasan terjadi pada tahun 1999 ketika adanya penentuan nasip sendiri oleh rakyat Timor Lorosae lewat referendum. Kekerasan-kekerasan yang terjadi seperti pengambil-alihan milik pribadi, mengancam, intimidasi dan pemukulan yang tidak menimbulkan korban jiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan ringan dan kekerasan yang sampai menimbulkan korban jiwa, pemerkosaan yang dikategorikan sebagai kekerasan berat. Perpecahan yang telah banyak menyimbulkan kerugian bagi masyarakat Timor Lorosae, baik secara mental, harta benda bahkan nyawa, tidak akan terungkap kalau tidak ada niat baik dari masyarakat Timor Lorosae sendiri untuk mengungkapnya. Kalau tidak ada pengungkapan maka masalah akan tetap menghantui kehidupan masyarakat terutama mereka yang menjadi pelaku dan korban di masa lalunya. Maka setelah Timor Lorosae merdeka, untuk mengungkap kebenaran atas semua kekerasan yang terjadi dan mendamaikan kembali pihak-pihak yang pernah bermasalah telah dibentuk Comissão Acoilhamento Verdade e Reconsiliasão (CAVR) pada 7 April 2002 untuk memfasilitasinya. Semua yang difasilitasi CAVR dalam mencari kebenaran dan rekonsiliasi selalu berjalan dalam ko-
S
edisi 25 - Mei 2003
ridor keadilan masyarakat. Selain mengungkap kebenaran proses yang sekarang sudah dirasakan oleh masyarakat di banyak tempat di Timor Lorosae adalah rekonsiliasi komunitas. Rekonsiliasi komunitas dilakukan untuk menyatukan kembali atau mendamaikan kembali pihak-pihak yang bermasalah di masa lalunya. Tetapi proses ini hanya dilakukan untuk mereka yang terlibat dalam kekerasan ringan seperti pembakaran rumah, penusukan/pemukulan yang tidak berakibat korban jiwa, perkelahian atau pertengkaran mulut, pencurian, penghancuran hasil panen/ hewan, pemindahan secara paksa, kelakuan yang mengancam dan intimidasi. Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) yang bertujuan untuk mendamaikan atau mempersatukan dua pihak yang bermasalah ini kadang sulit menjamin adanya keadilan dan betul-betul menyatukan masyarakat. Karena waktu PRK sangat terbatas (1-2 hari) dan jumlah deponen yang banyak (sampai belasan orang) dalam suatu PRK. Dalam waktu yang singkat korban atau komunitas tidak mempunyai cukup waktu untuk mengklarifikasi semua pengakuan yang dilakukan oleh pelaku dalam suatu PRK. Misalnya salah satu PRK yang dilakukan di Sucu Suleur, Comoro-Dili, yang menghadirkan 15 orang deponen yang terlibat dalam kekerasan ringan baik terhadap komunitas maupun individu setempat ketika mereka menjadi anggota milisi Aitarak (1999). Selama satu setengah hari digunakan oleh deponen untuk melakukan pengakuan atas tindakan-tindakan mereka kepada korban dan komunitas. Sedangkan waktu untuk korban dan komunitas untuk mengklarifikasi pengakuan pelaku hanya setengah jam. Maka korban ada yang merasa tidak puas karena tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk klarifikasi pengakuan deponen. Dan waktu sudah tidak ada maka deponen langsung menutup PRK dengan memberi keputusan yang sebenarnya ti-
dak adil bagi korban. Pada hal dalam sebuah rekonsiliasi supaya betulbetul terjadi kedamaian dan penyatuan kembali, korban adalah pihak yang penting selain pelaku dalam sebuah PRK yang harus menjamin bahwa betul-betul menyerimah kembali pelaku. Kepuasan ada ketika ada kejujuran dan penyesalan pelaku. Artinya korban akan puas dan bisa menyerimah kembali pelaku apa bila pelaku sendiri mengakui secara jujur apa yang dilakukan di masa lalunya kepada korban dan keluarga korba baik melalui pengakuannya maupun klarifikasi korban. Dan juga harus ada semacam penyesalan atau pengutukan terhadap apa yang dilakukan itu adalah sesuatu yang tidak boleh terulang kembali. Kadang-kadang juga korban secara individu tidak puas dengan apa yang diungkapkan oleh pelaku dalam melakukan suatu kekerasan tetapi tidak bisa berbuat apa-apa ketika komunitas secara umum menyerimah deponen. Dalam kondisi seperti itu, walaupun korban tidak puas tetapi terpaksa menyerimanya karena suaranya sangat minoritas dan tidak ada lagi waktu untuk minta penjelasan lebih lanjut kepada pelaku atas tindakannya supaya betulbetul diterimah korban. Misalnya dalam PRK yang dilakukan di Sucu Suleur, seorang korban minta klarifikasi atas motornya yang diyakini dijarah oleh salah satu deponen tetapi dalam pengakuannya tidak disebutkan. Klarifikasi korban ini malah membuat korban kesal dan meningalkan PRK sebelum ditutup karena deponen mengaku tidak mengambil motor milik korban. Motor yang diambil pelaku adalah jenis motor lain bukan yang dimiliki korban. Pelaku malah minta korban untuk menunjukan saksinya yang bisa menyatakan pelaku yang merampas motor korban. Hal ini sempat menjadi adu mulut antara kedua pihak yang langsung diambil alih oleh panel karena waktunya sudah tidak ada lagi untuk melakukan klarifikasi lebih lanjut. 12
INSTRUMEN HAM
KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEMUA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL
Masalah diskriminasi rasial menjadi catatan buruk dalam sejar umat manusia di dunia. Dari sejarah yang buruk itu lahir kovenan internasional tentang penghapusan segala macam bentuk diskriminasi atas manusia di manapun karena manusia pada dasarnya sama harkat dan martabatnya. alam literature biografi umat manusia menyatakan bahwa kehidupan umat manusia di muka bumi ini sangatlah kelam. Kelompok yang kaya dan kuat sebagai serigala bagi yang miskin dan lemah. Hal ini dapat kita lihat pada abadabad pertengahan. Bangsa-bangsa Eropa berkulit putih, mulai melakukan ekspansi untuk menguasai dan menjajah bangsa-bangsa di daratan Asia, Afrika dan Amerika. Dalam ekspansi ini bukan saja harta kekayaan yang dikuasai, tetapi termasuk juga manusia pribumi yang hidup di daerah-daerah itu. Peristiwa ini berlangsung sampai dengan abad ke-20an. Dari waktu ke waktu umat manusia yang hidup di Asia, Afrika dan Amerika mulai timbul rasa nasionalisme untuk melawan imperealisme bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya terjadilah perang di mana-mana. Setelah berakhirnya perang dunia ke II, para pemimpin negara-negara yang ada pada waktu itu mulai muncul pemikiran untuk mengakhiri biografi umat manusia yang kelam itu. Maka pada tahun 1945 terbentuklah PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Walaupun PBB telah terbentuk, tetapi masih juga sejarah kelam itu belum berakhir. Sebagian bangsabangsa di Asia dan Afrika belum memperoleh satu kebebasan yang hakiki. Sebagai contoh Timor Leste misalnya yang dulu dikuasai oleh kolonial Portugis melarang rakyat biasa Timor Lorosae tidak boleh lewat berjalan-jalan kota kecuali orang kulit putih. Kolonial Portugis tidak memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengikuti pendidikan kecuali orang kulit putih dan Liurai. Hal ini terjadi ratusan tahun lamanya di Timor Lorosae. Sudah pada tahun 1974-1975, Pemerintah Portugal baru memberikan kesempatan kepada orang Timor Leste untuk melaksanakan salah satu kebebasan hakikinya, yakni demokrasi untuk berpolitik. Itupun terjadi karena revolusi yang terjadi di Portugal sendiri. Jika tidak, apakah mungkin de-
D
edisi 25 - Mei 2003
Rumah kumuh masyarakat kecil. Foto: R. Soares/Direito.
mokrasi dan politik itu akan terjadi di Timor Leste pada waktu itu? Pada tahun 1948, Majelis Umum PBB telah menyetujui (DUHAM) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang berisikan suatu daftar hak-hak dasar manusia, sebagai standar prestasi bersama bagi semua orang dan semua bangsa. Semenjak itu, telah disetujui banyak instrumen tambahan, yang berupa perjanjianperjanjian internasional yang yang menurut hukum mengikat, yang bersifat global maupun regional. Naskah-naskah ini menyajikan rincian lebih lanjut mengenai hak-hak yang telah disebutkan di dalam DUHAM. Meskipun PBB sudah memberlakukannya DUHAM dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya mengenai hak asasi manusia, namun persoalan rasisme masih saja dipraktekkan di beberapa negara. Misalnya di Afrika Selatan yang di kenal dengan politik aparheit yaitu melembagakan perbedaan masyarakat berdasarkan ras yang menjadi sumber penindasan yang sangat hebat. Jutaan orang menderita hanya semata-mata terlahir dari keturunan yang warna kulitnya hitam dibandingkan dengan penguasa yang berwarna kulit putih. Mengingat persoalan rasisme ini se-
bagai salah satu persoalan HAM yang mendasar maka, lahirlah Konvensi Internasional mengenai rasisme ini. Ketika lahirnya konvensi ini merupakan buah dari satu pergulatan yang panjang dan melelahkan dalam memperjuangkan komitmen terhadap ide persamaan manusia. Umat manusia ternyata membutuhkan waktu yang sangat lama hingga akhirnya menerima ide persamaan tersebut. Konvensi ini diterima oleh Majelis Umum PBB pada 21 Desember 1965, dan mulai efektif berlaku pada 4 Januari 1969. Sebelum lahir dalam bentuk treaty, Majelis Umum sebenarnya pada 20 November 1963 telah menerimanya dalam bentuk soft law, yakni tertuang dalam Declaration on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination. Akan tetapi ini dirasa belum kukuh fondasi hukumnya, karena itu diperlukan fondasi hukum yang lebih kukuh. Akhirnya muncul dalam bentuk konvensi atau perjanjian multilateral ini. Hingga tahun 1996, konvensi ini telah diratifikasi oleh 150 negara. Bagaimana dengan negara kita Timor Lorosae? Apakah kita juga sudah meratifikasi konvensi ini? Jawabannya belum!. Silverio Babtista 13
INSTRUMEN HAM
GUGAT
HAK KORBAN DAN KELUARGA KORBAN ATAS KEADILAN Korban dan keluarga korban berhak untuk restitusi atau pemulihan, kompensasi dan rehabilitasi dari apa yang mereka dapatkan dari para pelaku. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk merealisasikan hal itu kepada korban. asus pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terja di Timor Lorosae adalah kategori Kejahatan Melawan Kemanusiaan sesuai dengan Statuta Roma. Dua Komisi Penyelidikan Independen, masing-masing dibentuk oleh Pemerintah Indonesia (KPP-HAM) dan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, menemukan suatu pelanggaran berat HAM yang terjadi secara berencana, sistematis dan meluas di Timor Lorosae pada tahun 1999. Ada bukti menunjukan bahwa Pemerintah Indonesia melalui aparatur militernya (TNI dan kepolisian) dan beberapa pejabat sipil politik ikut bertanggungjawab atas semua kejahatan yang terjadi. Berdasarkan pada Kebiasaan Hukum Internasional dan termasuk dalam Perjanjian 5 Mei 1999, pemerintah Indonesia harus memenuhi kewajiban Internasional untuk melaksanakan penyelidikan, melakukan penuntutan, memberi hukuman yang berat kepada pelaku dan memberi kompensasi atau ganti rugi kepada korban yang masih hidup dan keluarga korban. Ini adalah prosedur Internasional yang wajib diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Dan PBB memiliki tanggungjawab untuk memastikan bahwa; prosedurprosedur tersebut telah diterapkan, dan jika gagal, maka PBB bertanggungjawab mengambil alih untuk membentuk Pengadilan Internasional sehingga para pelaku pelanggaran berat hak asasi itu mempertanggunjawabkan perbuatannya.
K
Penyelidikan dan Penuntutan; Di bawah Hukum Internasional, PBB mempunyai tanggungjawab untuk memastikan bahwa bentuk kejahatan apapun melawan martabat umat manusia harus diproses secara hukum. Atas dasar itu, maka harus dipastikan bahwa kejahatan-kejahatan terhadap umat manusia sebagaimana terjadi di Timor Lorosae adalah hal yang luar biasa dan bukan sebuah kebiasaan. Oleh karena edisi 25 - Mei 2003
itu, proses-proses hukum atas kasuskasus kejahatan semacam itu harus ada kepastian hukumnya dari PBB. Disadari bahwa menuntut sebuah pengadilan internasional untuk mengadili para pelaku adalah sesuatu sulit dan mahal harganya. Tetapi dengan adanya penuntutan dari berbagai pihak, terutama para korban dan keluarga korban untuk mendapatkan keadilan merupakan usahausaha untuk mendapatkan sebuah pengadilan internasional dalam mengadili kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang bersifat sistematis dan meluas di Timor Lorosae (1999) perlu diperhatikan, terutama komunitas internasional yang peduli dengan nilai-nilai kemanusia. Penuntutan para pelaku kejahatan adalah suatu strategi yang tidak hanya untuk mendapatkan keadilan kepada korban tetapi juga untuk mencegah agar suatu kejahatan berat yang sama terhadap kemanusia tidak boleh terjadi lagi di masa depan dan di mana saja. Suatu keadilan bisa didapatkan oleh korban ketika memberi rasa kepuasan kepada korban, memulihkan harkat dan martabat umat manusia dan sebagai referensi bagi pembentukan institusi-institusi sosial baru serta untuk membangun kepercayaan korban kepada institusi-institus pemerintah yang baru itu. Penyelidikan atas kasus pelanggaran berat HAM penting, tidak saja bagi kepentingan penuntutan di pengadilan. Akan tetapi lebih dari itu adalah untuk memastikan betulbetul adanya pelanggaran berat terhadap hak asasi rakyat Timor Lorosae, dan para pelaku serta Pemerintah Indonesia yang bertanggungjawab dapat mengakui kesalahan-kesalahannya atas pelanggaran yang terjadi. Dan pelaku harus memenuhi kondisi-kondisi tuntutan yang dilakukan oleh para korban pencari keadilan serta untuk memastikan bahwa pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, penghancuran massal, deportasi paksa dan bentuk pelanggaran lainnya yang terjadi sepanjang tahun
1999 atas dasar diperintah, terjadi secara resmi dengan sifat yang meluas dan sistematis dapat dibantah oleh pelaku. Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi; PBB harus memastikan bahwa Pemerintah-Negara Indonesia sebagai pihak yang bertanggungjawab dapat memenuhi kewajiban untuk untuk melakukan restitusi atau pemulihan, rehabilitasi dan memberikan kompensai kepada korban pelanggaran HAM. Restitusi harus diberikan untuk menegakkan kembali situasi yang ada pada korban seperti sebelum terjadi pelanggaran atas diri mereka, mengembalikan hak milik korban yang telah diambil paksa, pemulihan kebebasan kewarganegaraan, tempat tinggal, lapangan kerja, pengantian biaya-biaya yang timbul akibat jatuhnya korban, dan penyediaan jasa oleh pelaku. Kompensasi diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis seperti; kerusakan fisik dan mental, kesakitan, penderitaan dan tekanan batin, kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan, hilangnya mata pencaharian dan kemampuan untuk mencari nafkah, biaya medis, kerugian terhadap hak milik, kerugian terhadap reputasi dan martabat, biaya dan bayaran yang masuk akal untuk bantuan hukum atau keahlian untuk memperoleh pemulihan. Dan terakhir adalah melakukan rehabilitasi yakni untuk menyediakan pelayanan hukum, psikologis atau perawatan lainnya yang cukup. Pemenuhan kewajiban tersebut dengan jaminan bahwa kejahatan yang sama tidak dapat terjadi di waktu lain oleh pelaku maupun yang lain. Serta bertujuan untuk menghentikan pelanggaran yang berkelanjutan, pengungkapan kebenaran, dan keputusan diumumkan bagi kepentingan korban, permintaan maaf kepada korban, pengakuan kepada publik dan penerimaan tanggungjawab, pelaku kejahatan diajukan ke pengadilan, serta mencatat secara akurat kejahatan yang terjadi sebagai bagian dari sejarah umat manusia. Bahwa keadilan bagi korban dan keluarga korban dapat tercapai bila memenuhi unsur-unsur kewajiban sebagaimana di atas yakni; melakukan penyelidikan dan menuntut dan menghukum para pelaku serta melakukan pemulihan, memberikan kompensasi dan rehabilitasi. Aniceto Guró Berteni Neves
14
GUGAT
LEGALITAS KEPEMILIKAN TANAH BERDASARKAN SERTIFIKAT “ALVARA DA CONSSECÃO”. Persoalan tanah dan harta benda tak bergerak adalah persoalan yang sulit untuk diselesaikan sekarang. Pemerintah sendiri belum memiliki aturan yang jelas untuk hal ini yang kadang membingunkan masyarakat sendiri yang saat ini memiliki tanah dan harta benda lain yang tidak bergerak dengan versi sertifikat yang berbeda. etelah merdeka, salah satu per soalan besar yang muncul di Timor Leste adalah sengketa tanah dan benda tidak bergerak peninggalan kolonial Portugis dan Indonesia. Persoalan ini sangat sulit untuk diselesaikan karena merupakan persoalan yang tertumpuk sejak jaman Portugis dan Indonesia. Dan diperumit lagi oleh pembumihangusan Timor Leste pada tahun 1999 yang menyebabkan bukti-bukti kepemilikan tanah dan rumah hilang terbakar. Sekarang seseorang memiliki sebidang tanah atau rumah dengan dua sertifikat berbeda yaitu dari jaman Portugis dan Indonesia. Ada juga, sebidang tanah dimiliki oleh dua orang yang berbeda dengan sertifikat yang berbeda. Dan yang lebih tragis lagi bahwa sertifikat kepemilikan atas tanah pada jaman Indonesia di anggap illegal. Jadi Tanah dan bangunan yang pernah disengketakan Foto: R. Soares/Direito. hal-hal semacam ini merupakan persoalan yang sulit, khususnya men- nah kepada pemohon kalau tidak Alvara da Concessão maupun Proada klaim atas tanah tersebut yang priedade da Perfeita hanya dapat dimiyangkut tanah dan rumah. Pada jaman kekuasaan portugis, diumumkan sebelumnya selama tiga liki oleh orang yang beritikad baik, tanah petani dikuasai oleh para de- bulan lebih. Sertifikat Alvara da con- tetapi apabila ia tidak memenuhi portados. Sebagai salah contoh serti- cessão ini dapat diberikan untuk tem- kewajibannya membayar pajak maka fikat hak atas tanah pada jaman itu pat tingal, sawah dan kebun. Sertifi- pemerintah dapat mengambil kemdikenal dengan sertifikat Alvara da kat ini diberikan kepada seseorang bali tanah tersebut dan diberikan keConcessão. Yang sekarang, pemegang untuk memakai sebidang tanah, bu- pada orang lain yang mampu memesertifikat ini salah menafsirkan se- kan sebagai hak milik atau propriedade nuhi persyaratannya. bagai hak milik. Pada hal yang sebe- da prefeita,sebab untuk hak ini wakSekarang untuk menyelesaikan narnya pemengang sertifikat Alvara tunya kurang lebih 30 tahun. Walau- semua persoalan tanah dan harta da Concessão hanya sebatas hak pakai pun sertifikat Alvara da Concessão benda tidak bergerak perlu suatu ahanya sebagai hak pakai tetapi bisa turan jelas dari pemerintah untuk atas sebidang tanah Prosedur perolehan hak atas diwariskan kepada ahli waris ketika mengatur tentang legalitas sertifikat obyek berupa tanah pada jaman Por- pemegang sertifikat meningal dunia. hak milik atas tanah dan hak pakai. Tujuan pemerintah portugis me- Sampai saat ini pemerintah sendiri tugis, seseorang mengajukan permohonan pengunaan tanah kepada pe- nerbitkan Alvara da Concessão adalah belum mempunyai format yang jelas merintah. Isi dari permohonan itu lebih pada pertimbangan agar rak- tentang sertifikat kepemilikan. Pemeharus jelas tentang identifikasi tanah yat dapat membayar pajak kepada pe- rintah hanya mengatakan sertifikat dan pengunaannya (tecnico planta dan merintah. Hal ini menyebabkan ha- yang diperoleh pada jaman Indoneidentificacao da terra), kalau tidak pe- nya sedikit orang yang memiliki Pro- sia itu illegal. Kemudian timbul permerintah akan menolak permoho- priedade da Perfeita. Propriedade da tanyaan, legal dan adakah dasar hunan tersebut. Dan setelah pemerin- Perfeita diberikan kepada seseorang kum bagi mereka yang mengklaim tah menyetujui permohonan dengan bukan untuk memiliki tanah akan te- kembali tanah dan rumah yang tememberikan sertifikat Alvara da Con- tapi hanya bebas dari kewajiban lah mereka ting galkan selama cessão tetapi dalam pemakaianya ti- membayar pajak. Jadi Propriedade da puluhan (20-30) tahun dengan dak sesuai tecnico planta dan identificacao Perfeita diberikan kepada seseoang membawa sertifikat Alvara da Conda terra yang diajukan maka peme- pada jaman itu bukan untuk meligi- cessao bahwa tanah dan rumah terrintah akan mengambil kembali ta- timasi orang tersebut mempunyai sebut adalah milik mereka? nahnya. Sertifikat tersebut diterbit- hak miliki atas tanah tetapi bebas Natersia B. de Deus kan secara ofisial atas sebidang ta- dari kewajiban pajak.
S
edisi 25 - Mei 2003
15
serba-serbi
Evaluasi Tengah Tahun kegiatan yang telah direncanakan nya untuk dilaksanakan” kata Jhon dalam tahun ini dari tiap-tiap Di- Chambel salah satu anggota P-HAK Perkumpulan HAK visi (Divisi Kajian Kebijakan, Di- yang juga merupakan MPA yang saat apat evaluasi tengah tahunan Perkumpulan HAK (PHAK), 28 Juni 2003 di Aula P-HAK merupakan rapat evaluasi tenggah tahunan untuk menilai pencapaian hasil pelaksanaan kegiatan selama enam bulan dan merumuskan upaya perbaikan terhadap persoalan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan program kegiatan selama enam bulan pertama ini. Rapat ini dihadiri sebagian besar anggota Perkumpulan HAK, Majelis Perwakilan Anggota (MPA) dan semua staf Badan Eksekutif (BE). Rapat evaluasi tengah tahunan ini dipimpin oleh ketua MPA Pdt, Francisco de Vasconcelos dan dibantu oleh dua orang staf BE, masing-masing Silveiro Pinto Baptista dan Celestino Marques. Agenda yang dibicarakan dalam rapat evaluasi ini antara lain melaporkan hasil kegiatan dan kendalakendala yang dihadapi selama enam bulan dalam melaksanakan program
R
visi Investigasi dan Monitoring, Divisi Penanganan Kasus, Divisi Pemberdayaan, Divisi Pelayanan Anggota, Divisi Kelembagaan) yang terdapat dalam BE yang bertangunjawab melaksanakan kegiatan sehari-hari di Perkumplan HAK. Kegiatan HAK untuk menegakkan hukum, hak asasi dan keadilan di Timor Lorosae, pada enam bulan tahun ini BE banyak menghadapi banyak kendala dan tantangan, walaupun sebagian besar kegiatan yang sudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi P-HAK selama ini. Hasil laporan kegiatan tiap-tiap Divisi itu banyak mendapat tanggapan dari anggota dan MPA yang hadir. “Hasil laporan kegiatan yang disampaikan sangat sistematis dan informatif. Walaupun ada beberapa program kegiatan yang tidak dilaksanakan dalam enam bulan pertama tahun ini, kita akan mencari solusi-
ini berdomisili di Kupan, Indonesia. Setelah melaporkan hasil kegiatan dari tiap-tiap Divisi, proses selanjutnya adalah mencari solusi dan alternatif untuk bisa melaksanakan kegiatan yang belum terlaksana dan mengantisipasi kesulitan yang akan dihadapi dalam pelaksanaan program kegiatan enam bulan ke depan dengan lebih baik. Selain itu juga membahas isu-isu atau persoalan nasional yang sedang berkembang di Timor Lorosae yang dapat pengaruh luas terhadap kehidupan banyak orang dalam bangsa dan negara ini ke depan. Salah satu persoalan yang banyak dianggkat oleh anggota dan merekomendasikan kepada BE untuk diperhatikan dan dilaksanakan adalah masalah Hak Ekonomi Sosial. Sesuai dengan persoalan yang banyak dianggkat oleh anggota mengenai kondisi perekonomian rakyat yang sulit saat ini maka perlu adanya pengembangan ekonomi rakyat.
AMI LIAN
Kami Sudah Berekonsiliasi, Kami Butuh Keadilan
P
roses Rekonsiliasi Komunitas (PRK) adalah salah satu kegi atan CAVR (Comissăo de Acolhamento, Verdade e Reconciliaçăo) yang sudah dilakukan di 13 distrik di Timor Lorosae. PRK ini dimaksud untuk menyatukan kembali masyarakat, baik kelompok maupun individu yang terpisah akibat masalahmasalah masa lalu yang tidak terselesaikan. Berikut tanggapan masyarakat tentang PRK yang dihimpung oleh Rogério Soares dari Direito. “Rekonsiliasi komunitas merupakan langkah menuju keadilan” kata Marcelino Guterres, penduduk Beto, Dili. Menurutnya, rekonsiliasi komunitas yang dilakukan, selain masyarakat saling menerima kembali juga untuk mendapatkan data-data dari pengakuan para deponen yang bisa digunakan untuk mengadili orang-
orang yang terlibat dalam kekerasan kategori berat. Guterres yang merupakan salah satu korban milisi Aitarak pada September 99 itu, menyatakan menerima para deponen yang mau merekonsiliasi. “saya menerima mereka, yang penting mereka mengakuai kesalahannya dan apa yang mereka ketahui secara jujur”, katanya di Beto, Dili, saat berlangsungnya sebuah PRK. Hal senada diungkapkan oleh Domingos soares (47 thn) di sucu Loidahar distrik Liquica. “Kami mendukun rekonsiliasi komunitas”, katanya pada saat mengikuti PRK di Sucu Loidahar. Soares juga mengatakan, sebagai salah satu korban yang pernah dipukul oleh anggota milisi BMP, dirinya bisa memaafkan setelah berekonsiliasi. “Saya menerimanya Kalau
PENERBIT: Perkumpulan HAK. PENGELOLA : José Luís de Oliveira, Rui Viana, Rogério Soares, Nug Katjasungkana, Oscar da Silva, Mariano Fereirra, F.X. Sumaryono, Aneceto Guro Berteni Neves, Julino Ximenes, Silverio Babtista| ALAMAT REDAKSI: Rua Governador C.M. Serpa Rosa T-091, Farol, Dili, Timor Lorosae. Tel.: +670.390.313323 Fax:+670.390.313324 E-mail:
[email protected]
mereka (deponen) mengakui kesalahannya secara jujur dan berjanji tidak melakukan lagi” katanya. “Begitupun masyarakat Loidahar secara umum akan menerimanya kalau mereka tidak melakukan kejahatan berat”, lanjut Soares. Lain lagi dengan Jose Pinto, salah satu penduduk Comoro-Dili. Menurutnya sebelum CAVR melakukan PRK, masyarakat sudah melakukan rekonsiliasi. “Kami sudah melakukan rekonsiliasi, sudah saling menerima, jadi tidak perlu PRK lagi. Kami hanya butuh keadilan”, tegasnya. “PRK yang sekarang dilakukan oleh CAVR hanya mengunkit kembali rasa sakit hati yang membuat para korban emosi ketika para depone tidak melakukan pengakuannya secara sejujur”, lanjutnya. Rogério Soares TERBITAN INI DIDUKUNG OLEH: