IMPLIKASI PEMBATALAN UNDANG-UNDANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI TERHADAP PROSPEK PENANGANAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI MANUSIA Agus Raharjo* Abstract Law ofNo. 27 Year 2004 about Truth and Reconciliation Commission has been canceled by Constitution Supreme Court. This cancellation brings consequence in solution of gross violation of human rights past time in Indonesia can only be done through of human rights ad hoc court. One of the cancellation reason is giving of compensation, restitution and rehabilitation for victim gross violation of human rights depend to giving amnesty for perpetrator of gross violation of human rights past time. Amnesty for perpetrator of gross violation of human rights according to rule of international law and law of humaniter international do not be enabled, so that from this side of the cancellation have correctness. However that cancellation have the character of totally, so that door for solution of gross violation of human rights past time by using Truth and Reconciliation Commission become closed, though existence of the commission is expected can express the truth of past which can 't be done by court. Image of the Indonesian criminal court which is ugly to be worried of become appliance for the creation of impunity to gross violation of human rights past time and also as medium for the giving of amnesty for his perpetrator. If it does created condition, hence litigation at the most merely creating bureaucratic justice and is progressively left by him transitional justice or substantive justice to all victim gross violation of human rights. Bata kunci implikasi, KKR, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004, pelanggaran berat HAM A. Pendahuluan Pemerintahan masa lalu mewariskan banyak masalah bagi negeri ini. Sejak jaman orde lama dan terutama orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, pelanggaran hak As Isi manusia (HAM) ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi hal yang terkait dengan upaya pelanggengan kekuasaan. Rakyat yang menjadi korban rindu menanti
keadilan yang tiada kunjung hadir memberi kenyamanan. Meskipun rezim Soeharto telah runtuh dan berganti rezim yang konon lebih demokratis, tetapi upaya-upaya penyingkapan kebenaran akan masa lalu yang kelam sampai sekarang belum menemui titik terang. Kita sedang mengalami masa transisi, dan keadilan yang didambakan para korban pelanggaran HAM dalam
Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed). Purwokerto.
2 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18
kajian politik dan sosial dinamakan keadilan transisional (transitional justice)) Pemerintahan Habibie memang telah memberi angin pada kehidupan demokrasi, akan tetapi Soeharto tak tersentuh, demikian pula dengan Pemerintahan Abdulrahman Wahid, Megawati dan sekarang Susilo Bambang Yudoyono. Dalam persoalan penyediaan instrumen hukum, Pemerintahan Habibie dan terutama pemerintahan Abdulrahman Wahid2 dan Megawati memang telah memenuhinya, yaitu dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta diratifikasinya berbagai instrumen internasional mengenai HAM. Namun demikian, dalam pelaksanaannya dapat dikatakan mengalami kegagalan karena yang terjadi adalah pembiaran (impunity) dan pengampunan (amnesty) terhadap kejahatan masa lalu. Apabila pengadilan yang dijadikan sebagai ujung tombak menggapai keadilan dapat diandalkan, sebenarnya ide tentang perlu tidaknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak perlu diperdebatkan.
Ironisnya, kondisi peradilan di negeri ini, termasuk pengadilan HAM, merupakan salah satu yang terburuk di dunia sehingga penyelesaian melalui jalur non litigasi menjadi sebuah altematif pencarian kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, TAP MPR Nomor V/MPRJ2000 Bab V Butir (3) dan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 dalam Pasal 47 ayat (1) dan (2) mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai altematif penyelesaian kasus pelanggaran HAM di luar pengadilan. Amanat tersebut terealisasi pada 6 Oktober 2004 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. KKR ini dimaksudkan untuk mengungkap kebenaran masa lalu, menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai HAM sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional. Misi KKR ini sirna ketika Mahkamah Konstitusi pada tanggal 6 Desember 2006 membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. Pembatalan ini tentu saja segera mengundang reaksi, tidak hanya dari
Keadilan transisional timbul dalam konteks transisi - suatu perubahan dalam tataran politik. Batasannya adalah perubahan politik pasca rcvolusi. Masalah kcadilan transisional timbul pada jangka waktu terbatas, antara dua pcmcrintahan. Teitel mcnekankan bahwa kajian terhadap pola-pola format legal yang mcnunjukkan suatu paradigma jurisprudensi transisional di mana konsepsi keadilan bersifat parsial. kontekstual dan berada di tengah dua tatanan legal dan politik. Yurisprudensi transisional berpusat pada penggunaan hukum secara paradigmatik dalam konstruksi normatif rezim politik yang baru. Bagi Teitel. masalah kcadilan transisional yang tidak terscicsaikan dapat mcnimbulkan implikasi yang berkepanjangan pada suatu negara. Ruti G. Teitcl, 2004, Keadilan Tansisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif, tterjemahan Tim Elsam). Elsam. Jakarta, him. 5-6, 463- 477. Lihat juga Eddie Riyadi Terre. "Keadilan Transisional: Sebuah Pencarian Keadilan Dalam Rcmang Menjclang Fajar," artikcl dalam Dignitas. Jurnal Hak Asasi Manusta. Vol. I. No. 1, Tahun 2003, Elsam, Jakarta, hlm. 210. Gus Dur waktu itu bahkan menolak pengerunaan kckuatan milt= untuk rnc-nvelaikan konflik Acch dan justru mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahtm 2001 yane menyatakan diberlakukannya kebijakan untuk menyclesaikan konflik yang tcrjadi melalui pentkkatan-acnekiratan yang iebih komprchensif dcngan memperhatikan aspek-aspek politik, ekonomi. sosial. htrktr km.:manir. dan informasi scrta komunikasi dan
permasalahan Acch. Lihat dalam Irene I. Hadiprayttno. -Pertaneetanuawahari Kcjahatan HAM Ditinjau Dari Kcrangka Hukum HAM Intcmasional: Studi Kasus Kekamsan NetrZrZ Da :arn Konflik Acch,'' artikcl dalam Jurnal Analisis CS1S, Tahun XXXI/2002. No. 3. Jakarta. him_ 367.
Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang
para korban, praktisi dan teoritisi, melainkan juga dari kalangan legislatif dan eksekutif yang merancang dan merumuskan undangundang tersebut. Tulisan ini bermaksud untuk membahas implikasi pembatalan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terhadap prospek penanganan pelanggaran berat HAM masa lalu. Apalagi bagi sebagian besar kalangan aktivis dan pembela HAM, putusan itu dinilai melebihi apa yang diminta (ultra petita). Pembahasan dimulai dengan penyelesaian pelanggaran berat HAM di masa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004, arti penting KKR dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM dan dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004. B. Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu Ketentuan hukum materiil mengenai pelanggaran berat HAM sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 hanya mengenal 2
(dua) macam, yaitu kejahatan genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).3 Selain kedua jenis tersebut, kejahatan jenis lain sebagaimana disebutkan dalam instrumen internasional (Statuta Roma 1998) — berupa agresi dan kejahatan perang — bukan/belum merupakan pelanggaran berat HAM di Indonesia.4 Hal ini terjadi karena Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998 sehingga tidak ada kewajiban untuk memenuhi seluruh ketentuan dalam statuta tersebut.5 Kebanyakan pelanggaran berat HAM di masa lalu yang dilakukan oleh rezim pemerintahan terdahulu (Orde Lama dan Orde Baru) adalah dua jenis kejahatan itu, seperti pembunuhan massal di tahun 19651966, invasi Indonesia ke Timor-Timur pada tahun 1975, represi terhadap kaum muslim di tahun 1980-an, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, penculikan dan pembunuhan (pembunuhan misterius) tahun awal 1980an, kasus Tanjung Priok yang tak terungkap di pengadilan, kasus Warsidi di Lampung tahun 1989, kasus penculikan aktivis demokratis/HAM tahun 1990-an, serta pelanggaran
Bandingkan dengan pendapat Abdul Hakim Garuda Nusantara yang mengatakan bahwa pelanggaran beratHAM pada umumnya dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia. Lihat dalam Abdul Hakim Garuda Nusantara, "Pencrapan Hukum Intemasional Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Di Indonesia", artikcl dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1, No. 4, Juli 2004, Lembaga Pengkajian Hukum Intemasional FH UI, Jakarta, him. 757. Piagam Pcngadilan Militer Internasional Nuremberg mengkategorikan tiga pelanggaran berat HAM, yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kcjahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former Yugoslavia Since 1991 — ICTY yang dibentuk berdasarkan Resolusi
Dewan Keamanan PBB No. 827 Tahun 1993 menyebutkan pelanggaran berat HAM yang menjadi kompetensinya, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Demikian pula dengan Statuta Pengadilan Intemasional untuk Rwanda (ICTR). Lihat dalam ibis, hal. 758-759. Indonesia nampaknya mengikuti kategori yang ditentukan dalam ICTY dan ICTR, di samping alasan politis belum meratifikasi Statuta Roma. Statuta Roma ban' diadopsi dalam konferensi diplomatik oleh Indonesia sehingga statuta terscbut hanya dijadikan sebagai acuan raja, lagi pula dua jenis kejahatan lain yaitu agresi dan kcjahatan perang masih claim perdcbatan di antara negara anggota PBB dan Indonesia scndiri belum menentukan sikap. Lihat dalam Romii Atmasasmita, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, CV Utomo, Bandung, hlm. 3.
4
Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang
HAM di Timor Timur pasca jajak pendapat pada tahun 1990-an akhir.6 Pelanggaran berat HAM di atas (kecuali invasi ke Timor Timur 1975) dilakukan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Perbuatan pemerintah ini merupakan hal yang biasa dalam rezim yang totaliter sebagaimana terjadi di banyak negara dengan rezim yang sama seperti di Spanyol. Yunani, Ceko, Hungaria, Argentina, dan Chili di masa lalu. Ketika rezim totaliter masih berkuasa. pelanggaran berat HAM tersebut di peti-eskan dan dianggap sebagai perbuatan legal. Para penentang pemerintah itu diadili dengan undang-undang subversi. Namun dengan berjalannya waktu dan bergantinya pemerintahan dari rezim otoriter ke rezim yang lebih demokratis, tuntutan untuk mengungkap kembali kebenaran masa lalu muncul dan memerlukan penyaluran yang tepat. Dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu di Indonesia, muncul tiga pendekatan utama. Pertama, dengan memaafkan dan melupakan apa yang telah terjadi, kemudian "melanjutkan hidup" begitu saja; Kedua, dengan menuntut semua pelaku melalui jalur hukum dengan menciptakan suatu pengadilan HAM; Ketiga, menerima 6
apa yang terjadi di masa lalu, sampai pada suatu tingkat dan kondisi tertentu, dengan fokus tujuan pada menguak kebenaran dan menvediakan kompensasi dan rehabilitasi untuk para korban dengan mendirikan suatu "Komisi Kebenaran", dan hanya menuntut pelaku utama untuk diajukan ke pengadilan.ff Pilihan dalam mengambil kebijakan mengenai jalan mana yang hendak ditempuh diantara Ketiga pendekatan ini oleh pemerintahan di masa transisi menghadapi dua persoalan. Pertama, apakah akan mengineat atau melupakan kejahatan yang terjadi (masalah pengakuan); Kedua, apakah akan menjatuhkan sanksi terhadap individu yang bertanegune jawab atas kejahatan tersebut (masalah pertan e eungj awaban).8 Pendekatan pertama tidak dianjurkan dalam praktek, karena akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan masa kini dan masa yang akan datang. Pendekatan kedua dapat ditempuh, meskipun menghadapi permasalahan sehubungan dengan adanya pro dan kontra penyelesaian melalui jalur litigasi atau non litigasi. Mereka yang pro penyelesaian lewat pengadilan — baik parsial maupun massal — memberikan alasan-alasan tersendiri. Pertama, mengadili pelaku dari
Sebenamya angka kejahatan atau pelanggaran berat HAM di Indonesia cukup banyak, baik yang terjadi secara vertikal - di mana negara dan aparatumya merupakan aktor utama - maupun secara vertikal - seperti konflik anis, agama dan scbagainya. Akan tetapi pembicaraan tentang pclanggaran berat HAM saat ini masih berat scbelah karena titik bcrat pembicaraan adalah pclanggaran bcrat HAM yang dilakukan oleh negara dan aparaturnya (sipil maupun militer). Untuk gambaran tentang pclanggaran berat HAM di Indonesia dapat dibaca pada AR. Locbis, 1999, Kemelut Berdarah Indonesia,Pabelan Jayakarta, Jakarta. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1999, Negeri Dalam Kobaran Api: Sebuah Dokumen Tentang Tragedi Mei 1998, Jakarta: versi ringkas dapat dibaca pada FS. Swantoro, "Maraknya Pelanggaran bcrat HAM Di Indonesia", artikel pada Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000, No. 2, Jakarta, hlm. 199-214. Agung Yudhawiranata, "Mcnycicsaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu", artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1, Tahun 2003, Elsam, Jakarta, him. 25. Lihat jun Togi Simanjuntak, "Jalan Terjal Mcnggapai Kcadilan: Quo Vadis Komisi Kcbcnaran dan artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. 1, No. 1, Tahun 2003. Elsam, Jakarta. hlm. 170 dm: 183. 'bid, him. 32. Romli Atmasasmita, op.cit, him. 23.
5
6 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18
rezim lama mempermudah usaha membangun kembali suatu orde yang adil secara moral. Ini sebagai bukti konkrit bahwa "keadilan telah ditegakkan"; Kedua, berhubungan dengan pendirian dan penjunjung tinggian demokrasi yang menggantikan sistem otoriter. 9
bangnya teknologi informasi yang dapat menyiarkan peristiwa di Indonesia kepada dunia dalam sekejap, maka tuntutan untuk segera mendirikan pengadilan HAM tidak hanya dari dorongan dalam negeri, melainkan juga dari para aktivis HAM dan lembaga internasional di luar negeri.
Indonesia adalah negara hukum dan salah satu pilar dalam demokrasi adalah adanya supremasi hukum. Salah satu bentuk penghargaan terhadap paham supremasi hukum yang dianut adalah penyelesaian perkara melalui peradilan. Dalam masa pemerintahan transisi dari masa otoriter ke masa demokrasi, jika salah satu pilar tidak tersentuh maka akan merobohkan pilar yang lain atau masih dianggap sebagai pro-otoriter dan yang akan terjadi adalah hukum rimba kernbali berkuasa.
Akhirnya keluar Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Perdebatan yang selalu muncul berkaitan mengenai pengadilan HAM ini adalah tentang asas retroaktif (berlaku surut) undang-undang ini dan terdapat dalam Pasal 43 (dan juga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam Penjelasan Pasal 4). Ketentuan retroaktif itu kemudian diikuti dengan keharusan membentuk pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili kejahatan-kejahatan masa lalu sebelum terbitnya undang-undang Mi.
Semangat untuk mendirikan pengadilan HAM di akhir 1990-an begitu deras seiring dengan tuntutan para korban untuk memperoleh keadilan atas perilaku penguasa masa lalu. Indonesia sebenarnya bukanlah negara yang penuh dengan gross violation of human rights, akan tetapi sejak peristiwa penculikan aktivis pro demokrasi pada 1997, peristiwa Timor-Timur pasca jajak pendapat pada 1999 ditambah dengan semakin berkem-
Perdebatan ini terjadi karena pada satu sisi penganut asas legalitas yang menginginkan penerapan asas tersebut secara konsekuen apalagi dengan adanya ketentuan dalam Konstitusi (Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 Amandemen Kedua) yang menegaskan larangan berlaku surut.10 Pada sisi
Agung Yudhawiranata, op.cit, hal. 32-33. Bandingkan dengan pendapat Neil J. Kritz yang mengatakan bahwa pengadilan domestik dapat meningkatkan legitimasi dan kredibilitas pemerintahan baru yang masih rapuh dan menunjukkan keseriusannya mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan rezim terdahulu yang melanggar HAM. Pengadilan domestik juga lebih sensitif terhadap budaya lokal dan keputusannya bisa memiliki kekuatan simbolis yang lebih besar dan segera terasa karena keputusan itu dibuat oleh pengadilan yang dikenal penduduk setempat. Lihat dalam Neil J. Kritz, "Menyikapi Kekejaman: Tinjauan Terhadap Mekanisme Pertanggungjawaban Terhadap Pelanggaran Massal Hak Asasi Manusia", Artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1, Tahun 2003, Elsam, Jakarta, hlm. 143. 10
Asas legalitas merupakan salah satu pilar utama dalam negara demokrasi yang mencmpatkan hukum sebagai suprcmasi (supremacy of law), selain pengakuan, perlindungan dan penghargaan HAM scrta indcpendensi peradilan. Prinsip legality merupakan karakteristik yang essential, baik is dikemukakan olch Rule of Law — konscp maupun olch faham Rechtstaat dahulu, maupun oleh konscp Socialist Legality. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum pidana sccara rctroaktif atau retrospective, larangan analogi berlakunya asas nullum delictum dalam hukum pidana, kcsemuanya itu merupakan refleksi dari prinsip legality. Lihat dalam Ocmar Seno Adji, 1980, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, him. 21.
Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang
lain, penganut asas retroaktif (khusus untuk kasus pelanggaran berat HAM), memiliki argumen-argumen yang didasarkan pada pengalaman historis penerapan asas ini 11 dan ketentuan dalam hukum intemasional yang mengedepankan HAM.12 Pada tingkat peradilan, memang pihak kedua yang menang,13 akan tetapi penerapan asas itu masih debut14 able, khususnya apabila diajukan uji ma-
12
13
teriil kepada Mahkamah Konstitusi seperti yang terjadi pada penerapan asas retroaktif pada Perpu Nomor 2 Tahun 2002/UndangUndang Nomor 16 Tahun 2003.15 Komisi Kebenaran dan pengadilan adalah dua mekanisme penting dalam sebuah transisi demokratis. Masing-masing melayani tujuan-tujuan unik yang tidak bisa dicapai oleh hanya salah satunya; mereka ti-
Berdasarkan praktek-praktek peradilan pidana intemasional dimulai dari pengadilan intemasional terhadap penjahat perang di Nuremberg, Tokyo, Pengadilan Pidana Intemasional ad hoc untuk Yugoslavia dan Rwanda, serta pengadilan distrik Jerusalem untuk pelanggaran berat HAM genosida (kasus Adolf Eichman) asas retroaktif disimpangi demi tegaknya keadilan. Lihat Agung Yudhawiranata dalam Press Release No. 004/ PR/ELSAM/IV/2002, Hasil Sementara Pemantauan Elsam Terhadap Pengadilan Ham Ad Hoc Kasus TimorTimur, 29 April 2002, Jakarta. Lihat juga Ari Siswanto, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 3-9; Niken Savitri, "Pengaruh Mahkamah Pidana Intemasional Ad Hoc Terhadap Pembentukan International Criminal Court", artikel dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XVIII, No. 3, Juli 2000, FH UNPAR Bandung, hlm. 28-29. I Wayan Parthiana. 2004, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, hlm. 103-126. Praktek peradilan intemasional juga mengembangkan penggunaan yurisdiksi universal terhadap pelanggaran berat HAM, di mana setiap negara bahkan wajib mengadili pelaku kejahatan tanpa melihat kejadian, kewarganegaraan pelaku maupun korban. Mengadili para pelanpaar berat HAM dan extra ordinary crimes merupakan sebuah norma ius cogens yaitu norma hukum yang hares dipatuhi dan diikuti di mana semua negara terikat untuk melaksanakannya (obligatio erga omnes), meskipun hams mengabaikan asas legalitas dan aturan hukum nasional. Lihat Agung Yudhawiranata dalam Press Release. Ibid.- I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 108 dan Abdul Hakim Garuda Nusantara, op.cit, hlm. 767. Bandingkan dene-an pendapat Moeljatno yang justru mengemukakan tentang dampak buruk penetapan kejahatan sebagai criminal extra ordinaria yang menempatkan raja-raja secara sewenang-wenang menggunakan hukum pidana untuk kepentingan dan kebutuhannya sendiri. Moeljatno, 1987, Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. him. 24. Ini tcrlihat dari persidangan terhadap pelanggar berat HAM di Timor-Timur. Pertimbangan hakim terutama dalam hal rctroaktivitas sebagai sebuah Iangkah main dan inosatif yang banyak mengacu pada praktek-praktek peradilan intemasional tersebut saneat tepai meneineat kesciunitan klausul mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26/2000 yang menjadi cheer t -rsebut diadopsi dari Statuta Roma sementara di tingkat nasional Indonesia sendiri memang behun m niliki penealaman di tingkat nasional yang dapat dirujuk sebagai acuan oleh hakim. Press Release_ ibid Ini terjadi karena Suara yang menentang pernberiaicuan asas rztroaktif berpendapat bahwa eksistensi asas ini nyatanya justru dapat menimbuikan prescdm buruk dalam ht:kum pidana. setidak-tidaknya carat akan wacana p olitis. Dahulu asas ini dipakai para rata demur vane absolut untuk melaku kan balas dendam terhadap rakyat yang menehendaki suasarra ketatarraan vans dernokratis. Pada abad ke - 20, asas ini juga dipakai sebagai arena balas ckndarn chri 7-21iak penile (Sekutu) terhadap Jerman, J epanii dan para kolaboratomya. Pada abad 21 ini dikt21/2L'•iz: zs ite ni-en3acE sarana political revenge secara rutin terhadap para oposan di sctiap era peralffon katuarsaan. Inclrryazto Seno Adji. Catatan Tentang Pengadilan HAM dan Masalahnya, Artikel dalam 3.12ah Hilk11111 Pre ;user:an Tahun XIX No. 1. Januari 2001, FH. UN PAR Bandung, hlm. 38. Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 01371X-1'2003 taroggal 22 kit 2004 yang membatalkan penerapan asas retroaktif pada Perpu No. 2 Talim 2002:151.: No 16 Tahoe 2003 tentanz Pemberlakuan Pcrpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pe brralaziast Toxlak Pidana Tcrorismc untuk Kasus Bom Bali I. Argumcn yang pro dan kontra inenecrx ntroaktii &or. z1,: .hat pada putusan tersebut dan dapat dijadikan sebagai landasan berfikir dalam pertictszar 1.7112CEME1".. ?SP rctroaktif dalam pelanggaran berat HAM. Lihat juga pendapat pcmerintah dal= Ramat Acas,t-,-z-.s....L 2004. Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian Hccca Mitra Utama. Jakarta. blot 17-96
7
8 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18
dak saling menggantikan melainkan mereka
saling melengkapi, dan pemenuhan sejauh munekin jangkauan tujuan yang ada hanya dapat dicapai bila terdapat sekaligus pengadilan pidana dan komisi kebenaran walaupitm beberapa negara mengambil keputusan tmtuk tidak memilih kedua-duanya. Pengadilan pidana dapat melakukan hal-hal yang ddak dapat dilakukan Komisi Kebenaran, demikian pula sebaliknya.I6
serta masalah-masalah lainnya semasa rezim sebelumnya, serta memperbolehkan keikutsertaan publik dan pada akhir kerjanya menyusun laporan yang menjelaskan apa yang terjadi di rezim sebelumnya dan kemudian menyiapkan rekomendasi untuk mencegah terulangnya kembali kejadian itu di masa yang akan datang.I7
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengakui bahwa tidak semua pelanggaran berat HAM di masa lalu dapat ditangani secara hukum — melalui pengadilan — sehingga didalamnya disiapkan langkah lain untuk menanganinya, yaitu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang memperoleh landasan hukum dalam UU No. 27 Tahun 2004. Kondisi peradilan yang buruk juga merupakan alasan tersendiri untuk menggunakan penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM melalui jalur KKR Mi.
Berdasarkan penelitiannya, Priscilla B. Hayner akhirnya merumuskan bahwa KKR yang bermutu memiliki empat kriteria fundamental. Pertama, memfokuskan din pada masa lalu; Kedua, tidak memfokuskan din pada kejadian khusus, tetapi berusaha menggambarkan seluruh potret pelanggaran HAM atau pelanggaran hukum humaniter intemasional selama kurun waktu tertentu; Ketiga, bekerja dalam kurun waktu tertentu (bersifat sementara) dan selesai dengan terbitnya laporan fakta-fakta hasil temuan komisi; Keempat, memiliki kekuasaan yang memadai, dukungan dana, akses kepada informasi, jaminan keamanan untuk menggali masalahmasalah yang peka, dan pengaruh yang luas saat menerbitkan laporan. 18
Komisi Kebenaran adalah sebuah komisi yang beranggotakan individu-individu independen yang terpilih atas dasar kredibilitas, sikap netral, dan pertimbangan-pertimbangan serta posisi di masyarakat yang dimilikinya, yang pada umumnya selama proses perdamaian atau transisi demokratis mempelajari masalah pelangggaran HAM
Komisi kebenaran sangat berguna pada sebuah masa transisi, karena dapat mencegah proses pengadilan berkepanjangan yang sangat merugikan. Komisi kebenaran bukanlah sebuah institusi hukum dan juga tidak memiliki kekuatan hukum sehubungan dengan pemberian hukuman kepada pelaku kejahatan HAM, tetapi pada saat yang sama
C. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
16
Agung Yudhawiranata, op.cit, hlm. 45. Definisi ini menurut Agung Yudhawiranata merupakan basil dart diskusi antara Komnas HAM dan LSM-LSM yang bergcrak di bidang HAM serta Ford Foundation, 14 Februari 2000. Lihat dalam Agung Yudhawiranata, op.cit, him. 44. Priscilla B. Hayner, "Fifteen Truth Commissions 1974 to 1994: A Comparative Study", dalam: Human Rights Quaterly 16 (1994), hlm. 604. Lihat juga dalam Priyambudi Sulistiyanto, "Politik Rekonsiliasi di Indonesia: Menuntut, Mcmaafkan dan Melupakan?" Artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1. Tahun 2003, Elsam, Jakarta, hlm. 63-64.
Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang
memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi bagi pemerintah untuk mengambil langkah-langkah hukum.I 9 Rekonsiliasi dapat dimengerti sebagai sebuah usaha untuk mencapai solusi damai dengan mengajak semua pihak yang bertikai. tanpa memandang perbedaan motif, latar belakang dan tujuan.2° Rekonsiliasi merupakan salah satu strategi yang lebih ditujukan untuk menyelesaikan sebuah sengketa sampai ke akar-akarnya daripada sekedar mengatasi perbedaan-perbedaan yang muncul sesaat. Meskipun rekonsiliasi merupakan proses yang lamban — karena memakan waktu yang tidak sedikit — tetapi proses ini harus dilihat sebagai pilihan paling rasional dart pilihan-pilihan yang ada.21 Selain argumen-argumen pro penyelesaian lewat pengadilan diatas, dapat dikemukakan beberapa argumen yang menentang penyelesaian pelanggaran berat HAM meialui jalur pengadilan. Pertama, banyak analis meragukan apakah hanya proses hukum sudah cukup untuk menangani pelanggaran HAM di masa lalu, khususnya ketika proses hukum atau pengadilan itu dicoba pada saat transisi di mana belum tercapai kestabilan politik; Kedua, bahwa demokrasi yang barn berdiri ini adalah bangunan yang rapuh. Oleh karena alasan ini, beberapa analis berargumen bahwa toleransi dalam menangani pelanggaran masa lalu adalah syarat agar proses demokrasi dapat bertahan; I0 20
2
dapat memiliki dampak rang merusak sebuah demokrasi dan ststem hukum yane masih barn, dan bahwa keadiian pasca transisi melibatkan setumlah keputusan yang dapat melanggar prinsip-prinsip hukum yang ada; Keempat, Ketiga. babwa pengadilan
jika pengadilan mengikuti hukum pidana substantif dart rezim lama, penuntutan akan saneat jarane terjadi dan banyak pelaku akan lobos dan penehuktunan. Hal ini disebabkan kuranenya ketentuan dalam KUHP mengenai kejahatan oleh aparat pemerintah yang dilakukan dalam kapasitas resmi mereka dan kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer terhadap rakyat sipil sebagai akibat "salah interpretasi" dart perintah yang dikeluarkan_ = Peneadiian pi dana dapat melakukan halhal yang tidak dapat dilakukan oleh Komisi Kebenaran. Mereka dapat menjamin vonis bersalah dalam proses peradilan individuinclividu tertentu atas kejahatan-kejahatan tertentu dan dapat menjatuhkan hukuman penjara serta bentuk-bentuk hukuman lainnya. Kemampuan untuk menjatuhkan vonis bersalah serta menetapkan hukum membuat pengadilan pidana dapat melaksanakan tiga fungsi publik. Pertama, untuk menjamin retributive justice.
Walaupun retributive
justice hanya salah satu dan berbagai aspek
keadilan. namun tak urung banyak orang merasa bahwa hukuman bagi pihak yang bersalah sudah merupakan bagian dart ke-
Priyambudi Sulistiyanto, op.cit, hlm. 65. Priyambudi Sulistiyanto, op.cit, hlm. 65. Bandingkan dengan pcnecrtian rckonsiliasi dalam Pasal I angka 2 UU No. 24 Tahun 2004 yang mcnyatakan "Rekonsiliasi adalah hasil dart suatu proses pcngungkapan kcbcnaran, pengakuan dan pcngampunan mclalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rangka mcnycicsaikan pelanggaran hak asasi manusia yang bcrat untuk tcrciptanya perdamaian dan persatuan bangsa." Bantarto Bandoro, "Pcnycicsaian Masalah Aceh Melalui Rekonsiliasi: Perspektif Aspirasi dan Politik", artikel dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000, No. 2. Jakarta. him.195. Agung Yudhawiranata, op.cit, him. 34-36.
9
10 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18 adilan: Kedua, hukuman-hukuman dan vonis pidana dapat membantu mengatasi impunity serta menghentikan suatu pola yang terjadi di rezim-rezim otoriter di mana penguasa, anggota-anggota militer dan polisi dapat melakukan tindakan yang bersifat kriminal dan mereka tidak akan pernah dituntut atau dihukum. Ketiga, dengan menghancurkan "aturan" dan persepsi impunity, pengadilan pidana dapat membantu membangun supremasi hukum karena menegaskan bahwa tidak seorangpun, walaupun dia berkuasa sebagai pemimpin negara, berada di atas hukum dan tidak dapat dihukum.23 Komisi Kebenaran dapat melakukan beberapa hal penting yang secara umum tidak dapat dicapai melalui proses persidangan di pengadilan pidana. Pertama, dapat menangani kasus dalam jumlah relatif besar dibandingkan dengan pengadilan pidana. Kedua, dapat menyediakan bantuan praktis bagi korban dengan secara spesifik mengidentifikasikan dan membuktikan individuindividu atau keluarga-keluarga mana saja yang merupakan korban kejahatan masa lampau sehingga secara hukum berhak untuk mendapatkan semacam bentuk reparasi di masa yang akan datang; Ketiga, dapat membantu terlaksananya semacam resolusi dengan mengakui penderitaan yang dialami korban, membuat pemetaan atas pengaruh dari kejahatan di masa lalu dan merekomendasikan reparasi. Keempat, dapat mereko
mendasikan pembaruan-pembaruan tertentu di dalam institusi-institusi publik, seperti di dalam kepolisian dan pengadilan dengan tujuan mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM; Kelima, dapat memilih antara persoalan-persoalan pertanggungjawaban dan mengungkap siapa pelaku-pelakunya.24 Dengan kelebihan dan kekurangan KKR itu sesungguhnya dapat diharapkan akan memberikan hasil yang memuaskan dalam penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia. Namun demikian, penyelesaian melalui KKR ini juga memerlukan kemauan politik dari penguasa atau pemerintah yang belum terwujud hingga Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 itu dicabut. Kemauan politik tersebut akan sangat menentukan kinerja KKR karena langsung menentukan sendi dasar KKR. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai pengalaman KKR di sejumlah negara.25 Afrika Selatan misalnya mampu menangani pengalaman masa lampaunya dan mencegah terjadinya tindak balas dendam massal kulit hitam terhadap kulit putih bukan karena adanya undangundang yang mengatur hal itu tetapi karena pihak korban —yang dilambangkan dalam diri Nelson Mandela — mampu membuka jalan barn: pemulihan harkat kemanusiaan (konsep Afrika Selatan: ubuntu atau harkat kemanusiaan sejati). 26 Sikap ini mampu menjadi kemauan politik yang mengalahkan
1bid, hlm. 45. Ibid, him. 47-48. Lihat juga Neil J. Kritz, op.cit, hlm. 152. Daan Bronkhorst, 1995, Truth and Reconciliation: Obstacles and opportunities for Human Rights, Amstcr-
dam: Amnesty International Dutch Section, hlm. 85-89. Penulis itu mencliti berbagai kincrja KKR yang tclah dibcntuk di lima benua sejak tahun 1971-1995. Lihat jugs Jose Zalaquett, Menangani Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu, Prinsip-prinsip Penvelesaian dan Kendala Politik, Artikel dalam Dignitas. Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. 1, No. 1, Tahun 2003. Elsam. Jakarta, him. 100-103. Desmond Tutu, No Future without Forgiveness. London: Rider Book, 1999, hlm. 34-35.
Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang
segala nafsu balas dendam.27 Uganda (1974) pemerintah membentuk KKR atas tekanan komunitas internasional dan kemudian menerbitkan laporan 1.000 halaman tetapi tidak mampu mengumumkan kasus-kasus individual sehingga gambaran masalah begitu umum, kabur, dan diabaikan oleh pemerintah Idi Amin yang berkuasa. Di Chiie (1 990- 1 99 1), kemauan politik untuk menangani masa lalu tidaklah sungguh besar sehingga ketika laporan KKR (1.800 halaman) diumumkan oleh Presiden Ay! win dan pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban, faksi militer mulai melakukan teror dan pembunuhan politik terhadap senator terkemuka dari partai oposisi. Akibamya seluruh proses rekonsiliasi terhenti dan junta militer kembali berkuasa. Kelemahan yang terjadi di Uganda terulang di Chad (19911992). KKR berhasil menerbitkan laporannya tetapi oleh pemerintah laporan tersebut dijadikan sarana ampuh untuk cuci tangan28 saja tanpa tindak lanjut yang memadai.29 Pandangan yang lebih luas terhadap konsep KKR didasarkan pada kepercayaan bahwa rekonsiliasi antara pelaku dan korban pelanggaran HAM membutuhkan pengungkapan kebenaran di belakang semua kejadian secara menyeluruh.3° Memberikan korban kesempatan untuk bicara dan menerima penjelasan tentang kejadian-kejadian penting yang berhubungan dengan pelanggaran
HAM di masa lalu adalah hal yang penting. Karenany a diharapkan hal ini dapat meletakkan fondasi untuk rekonsiliasi.3I D. Implikasi Pembatalan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), Solidaritas Nusa Banzsa (SINTB), lnisiatif Masyaraka: Parusrpatif untuk Transisi Berkeadilan amp:mid), Lembaga Penelitian Korban Per_strwa 65 (LPKP 65), Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim ORBA (LPR-KROB ). Raharja Waluya Jati, dan K Tjasman Setyo Prawiro dengan kuasa hukum Tim Advokasi Keadilan dan Kebenaran menzajukan pembatalan Pasal 1 Angka 9, Pasal 27. dan Pacal 44 UU KKR. Pengajuan pembatalan terhadap pasalpasal tersebut di atas disebabkan karena pembenan kompensasi dan rehabilitasi digantungkan - diberi atau tidak - pada pemberian amnesti kepada pelaku pelanggaran berat HAM. Pasal 27 UU KKR menyebutkan -Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan."
Ketentuan pasal ini bagi para penggugat mengisyaratkan pemberian kompensasi dan rehabilitasi merupakan hal yang sekunder dan yang primer adalah pemberian amnesti
J. Budi Hernawan OFM, Mengisi Gagasan Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Konteks Papua, Sumbangan Pikiran untuk Workshop "Menggagas Masa Depan untuk Pencgakan HAM" oleh KontraS Papua, Jayapura, 10-14 Juni 2002, Sekretariat Kcadilan dan Perdamaian Kcuskupan Jayapura, hlm. 3. Priscilla B. Hayncr, op.cit, hlm. 597-655. " J. Budi Hemawan OFM, op.cit, him. 4. " Karlina SupcIli. Berdamai Dengan Masa Lampau. Antara Penghukuman dan Pengampunan, makalah disampaikan dalam seminar Dealing with the past Human Rights Violations: Between Truth and Justice, Jakarta, 12 April 2000. Agung Yudhawiranata, op.cit, him. 43. 1 3
11
12 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18
yang merupakan hak pelaku pelanggaran berat HAM. Hal ini berarti, diberi atau tidak kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban tergantung kepada pemberian amnesti oleh Presiden, jika amnesti ditolak, maka korban tidak mendapat apa-apa.
gugat.33 Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra, terutama berkaitan dengan landasan hukum Mahkamah Konstitusi memutuskan melebihi apa yang diminta oleh para penggugat.34
Dalam sidang pembacaan putusan perkara 006/PUU-IV/2006. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 27 UndangUndang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) bertentangan dengan UUD 1945. Namun demikian, karena seluruh operasionalisasi UU KKR bergantung dan bermuara pada pasal tersebut, maka implikasi hukumnya mengakibatkan seluruh pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga seluruh ketentuan dalam UU KKR menjadi tidak mungkin untuk dilaksanakan.32 Dengan pembatalan UU KKR itu, maka Mahkamah Konstitusi melebihi apa yang diminta oleh para peng
Dengan pembatalan ini, penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu diserahkan kepada pengadilan, dalam hal ini pengadilan HAM ad hoc. Asmara Nababan mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi dengan mengatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu kembali ke titik nol. Pembatalan itu menyebabkan harapan yang ditumbuhkan dengan adanya KKR menjadi layu kembali, dan para korban digiring untuk masuk ke pengadilan. Mahkamah Konstitusi sebenarnya tidak perlu membatalkan UU KKR, cukup apa yang diminta saja oleh para penggugat, dan pasal-pasal itu di kemudian hari dapat diperbaiki.
Lihat dalam UU KKR Bertentangan Dengan UUD 1945, Berita Mahkamah Konstitusi, 7 Desember 2006, versi elektronik dapat diperoleh di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ berita.php?newscode=248 tanggal akscs 17 Desember 2006. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pembatalan keseluruhan UU KKR tersebut dapat dilakukan dan tidak melanggar hukum acara, meskiputi permohonan (petitum) yang diajukan hanya mcnyangkut Pasal I Angka 9, Pasal 27, dan Pasal 44 UU KKR, karena pada dasarnya hukum acara yang berkaitan dengan pcngujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 mcnyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya bersifat erga omnes, sehingga tidak tepat untuk mclihatnya scbagai hal yang bersifat ultra petita yang dikenal dalam konsep hukum perdata. Larangan untuk mengadili dan memutus melebihi apa yang dituntut (petitum) termuat dalam Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta padanannya dalam Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg, yang merupakan hukum acara yang bcrlaku di Pengadilan Ncgeri dan Pengadilan Agama di Indonesia. Namun, pertimbangan keadilan dan kepantasan dapat dijadikan alasan, scbagaimana tampak antara lain dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Mci 1970, tanggal 4 Fcbruari 1970, dan tanggal 8 Januari 1972 serta putusan lain yang lebih, kcmudian di mana ditegaskan bahwa Pasal 178 Ayat (2) dan (3) HIR serta Pasal 189 Ayat (2) dan (3) RBg tidak bcrlaku sccara mutlak karena adanya kewajiban Hakim untuk bersikap aktif dan selalu hams berusaha mcmberikan putusan yang benar-benar menyclesaikan perkara. Ibid. Lihat pendapat mereka yang kontra terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat ultra petita ini, antara lain Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung Nasution, dan LSM HAM, scperti KontraS, Demos, SNB. YLBHI, IKOHI, PEC, LBH YAPHI, dan Imparsial. LSM itu berpcndapat bahwa putusan MK yang membatalkan UU KKR mcrupakan bukti bahwa pcmcrintah bcrsama-sama dengan DPR tidak memiliki kcjclasan sikap dalam penanganan kasus pclanggaran berat HAM masa lalu. Lihat dalam Hukumonline, Putusan MK Tentang UU KKR Dianggap Ultra Petita, 11 Dcsember 2006, versi elektronik dapat dilihat di http://www.hukumonlinc. com/detail.asp?id=bcrita, tanggal akscs 17 Desember 2006.
Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang
Sebelum munculnya putusan Mahkamah Konstitusi itu. International Center for Transitional Justice (1CTJ) telah melakukan pengkajian terhadap UU KKR itu. Dalam kajiannya, ICTJ menyatakan bahwa UU KKR bertentangan (contravenes) dengan hukum intemasional. Secara khusus, ICJT menyoal keabsahan dari ketentuan-ketentuan di dalam UU KKR yang memperkenankan pemberian amnesti serta persyaratan-persyaratan lainnya di dalam undang-undang ini yang menempatkan hak korban untuk memperoleh reparasi (victims right to reparation) di bawah syarat pemberian amnesti (bagi pelaku).35 UU KKR juga bertentangan dengan sejumlah konvensi intemasional lainnya, termasuk Kovenan Internasional bagi Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR)36 serta Konvensi Anti Penyiksaan (Convention against Torture/CAT).37 Di samping itu UU
KKR bertentangan dengan sumber-sumber tidak tertulis (non-treaty sources) hukum intemasional lainnya seperti "Reports and Statements of Principle" (prinsip-prinsip hukum intemasional yang termuat dalam berbagai Laporan dan Deklarasi).38 Sejumlah pengadilan domestik di negara-negara lain telah menjatuhkan putusan-putusan yang menyimpangi (dan menyatakan tidak absah) undang-undana amnesti vana dibuat negara.39 Kajian yang dilakukan oleh ICTJ tersebut sebenamya iebih menitikberatkan pada larangan pemberian amnesti dan impunitas bagi pelaku pelanggaran berat HAM, khususnya yang terjadi di masa lalu. Kajian tersebut sama sekali tidak melarang adanya KKR sebagai salah satu cara menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa lalu yang tidak dapat diselesaikan oleh pengadilan HAM. Amnesti sendiri berasal dari kata amnestia (Yunani) yang berarti lupa.4° Black's Law Dictionary mendefinisikan amnesti se-
International Center for Transitional Justice. ICTJ Written Submission " Legality of Truth and Reconciliation Commission, July 2006, hlm. 1. Terdapat konsensus yang muiai diterima dalam hukum intemasional bahwa paling tidak bagi pelanggaran berat terhadap HAM dan hukum internasional. amnesty besar-besaran tidak boleh diijinkan. Neil J. Kritz. op.cit, hlm. 144-145. 36 ICTJ menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan UU KKR yang rnembuka kernunekinan pemberian amnesti dan yang mengharuskan pemberian reparasi di bawah syarat pemberian amnesti [bagi pelaku] adalah bertentangan dengan Pasal 2(3), 6(1), 7, 9(5) dan 14(6) ICCPR. Pada tanaral F-bmari 2006 Indonesia telah mengaksesi (acceded) ICCPR. Dalam pemyataan ini kami memfolcuskan diri pada pertentangan atau pclanggaran-pelanggaran Pasal 2(3), 6(1) dan 7 ICCPR yang merupakan pasai-pasal vane peinag reievan dalam permasalahan ini. Betapapun, perlu dicatat bahwa terdapat pula areumen-argumen lcuat untuk mendukung dalil (proposition) 'bahwa UU KKR bertentangan dengan Pasal 9(5) dan 14(6) ICCPR_ Mid hlm_ 5. 3, Pasal 1 angka 9 dan Pasal 44 UU KKR melanggar Pasal 4. 7. 12 dan 13 CAT: dan Pasal 27 UU KKR melanggar Pasal 14 ayat (1) CAT. UU KKR juga dianggap bertentangan denean Konvensi Imernasional tentang Perlindungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa Ibid. him_ 21-25. Dapat disebutkan misalnya Deklarasi Penyiksaan. Deklarasi Penehilangan. Resolusi Dewan Kcamanan 1325 (2000) tentang kewajiban mengakhiri impunitas bagi pelaku pelauggar berat HAM: Laporan Sckretaris Jenderal PBB berkenaan dengan Pembentukan Tribunal Khusus untuk Sierra Leone. Laporan Sekretaris Jendcral mengenai Supremasi Hukum (Rule of Law) dan Keadiian Transisional rTansitional Justice) bagi Masyarakat Berkonflik maupun Pasca Konflik, dan Laporan Pakar Independen berkenaan dengan Prinsip-Prinsip Impunitas. Ibid, hlm. 26-32. Ibid.
Daniel T. Kobil, The Quality of Mercy Strained: Wrestling the Pardoning Power from the King, Texas Law Review 69 (1991), p. 576.
13
Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang
bagai pemberian pengampunan oleh pemerintah kepada setiap orang41 yang telah dinyatakan bersalah melakukan kejahatan atau tindak pidana di masa lalu.42 Pengampunan yang diberikan pemerintah itu tidak sekalikali menghapus kesalahan atau kejahatan yang pernah dilakukan.43 Dalam sejarahnya, amnesti diberikan sebagai salah satu cara untuk mengakhiri perang, mempertahankan kedamaian dan untuk tujuan rekonsiliasi,44 sekaligus merupakan ekspresi dari kemauan politik rezim barn untuk membatasi dan menjauhkan diri dari kejahatan-kejahatan
14
yang dilakukan rezim sebelumnya. Selain itu, negara yang berada dalam masa transisi biasanya memiliki badan yuridis yang rapuh sehingga pertimbangan memberikan amnesti adalah sebuah cara karena penghukuman dinilai tidak praktis.45 Dalam hukum internasional, sebenarnya ada dua perspektif mengenai pemberian amnesti. Pertama, adalah yang sama sekali melarang pemberian amnesti,46 baik amnesti yang bersifat amnesik (amnesic amnesty) atau amnesti menyeluruh (blanket amnesty);47 amnesti kompromi (compromise amnesty);48
Pengertian setiap orang di sini bisa berarti sekelompok orang atau sebuah kelas individu tertentu. Lihat dalam Louis Joinet, Special Rapporteur, The Administration of Jusctice and the Human Rights od Detainees: The Question of Impunity for Perpetrators of Human Rights Violation, Annex 1, Agenda Item 11(d). U.N. Doc. E/ CN.4.Sub.2/1997120/Rev.1; Gwen K. Young, Amnesty and Accountability, 35 U.C. Davis L. Rev. 427 (January 2002), p. 433. Amnesty: A Sovereign act of forgiveness for past acts, granted by government to all persons (or to certain classes of persons) who have been guilty of crime and delict, generally political offences, - treason, sedition,' rebellion, draft evasion, - and often conditioned upon their return to obedience and duty within a prescribed time. Black, Henry Campbell, Black's Law Dictionary, 6 ed., by the publisher's editorial staff; contributing authors, Joseph R. Nolan et. all., St. Paul Minn.: West Publishing, Co, 1990, p. 82-83. 43 Leslie Sebba, "The Pardoning Power: A World Survey", Journal of Criminal Law and Criminology 68 (1977), p. 120. Naomi Roht-Arriaza, Commission and Amnesties in Latin America: The Second Generation, 92 Am. Soc'y Intl L. Proc. (1998), hlm, 313-314; Michael P. Scharf, The Amnesty Exception to the Jurisdiction of the International Criminal Court, 32 Cornell Int'l L. J. 507 (1999), him. 508. 45 Martha Minow, 2000, The Hope for Healing: What Can Truth Commission Do?, in Truth v. Justice, dalam Robert I. Rotberg & Dennis Thompson (ed), him. 235-237. Larangan ini misalnya terdapat dalam Pasal 27 dari Vienna Convention on the Law of Treaties. Selain itu negara yang terikat dengan kewajiban konvensi ini (Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Genosida, Konvensi Anti Penyiksaan, ICCPR dan the AmeriCan Convnetion on Human Rights/ACHR)juga tidak dapat memberikan amnesty bagi pelakunya. Amnesti amnestik menurut Ronald C. Slye adalah amnesti tanpa syarat yang diberikan tanpa menghiraukan motif atau tujuan pihak yang diberi amnesty dan bersifat menutupi kejahatan masa lalu. Pengidentifikasian amnesty dilakukan melalui karakteristik kelompok dan tidak menycdiakan kompensasi untuk korban. Lihat dalam Ronald C. Slye, The Legitimacy of Amnesties Under International Law and General Principles of Anglo-America Law: Is a Legitimate Amnesty Possible?, 43 Va. J. Int' I L. 173 (Fall 2002), hlm. 241-242. Contoh amnesty bentuk ini terjadi tahun 1978 ketika Presiden Chili waktu itu Augusta Pinochet memberikan blanket amnesty terhadap dirinya sendiri dan pemimpin militernya atas kejahatan yang dilakukan pada 1973 dan 1978. Lihat dalam Decree Law No. 2191 (April 18, 1978) (Chili), Published in Diario Oficial No. 30, 042 (April 19. 1978): Chile Report, Human Rights Watch, vcrsi elcktronik dapat dijumpai di http://www.hrw.org/hrw/reports/1999/chile/ Patrik01 .htm#p164<uscore>5157 tanggal akses 30 Maret 2005 Amnesti ini merupakan hasil kompromi politis di akhir sebuah konflik atau pergantian rezim tirani, yang pcmberiannya dibatasi untuk tindakan yang dilakukan dengan motif atau tujuan tertentu. Untuk mendapatkan amnesty jenis ini, pelaku harus memenuhi persyaratan atau prosedur tertentu dan diumumkan setiap saat olch pemerintah untuk menunjukkan konsekuensi dari pelanggaran di mans amnesty dibcrlakukan seperti komisi kebenaran dan reparasi. Ronald C. Slye, op.cit, hlm. 33. Contoh dari amnesty ini adalah pemberian amnesty untuk pelanggaran HAM di Uganda di bawah pemerintahan Milton Obote dan Idi Amin. Komisi Klarifikasi di Guatemala, dan Komisi Kejujuran di Argentina 1983. 41
2 4
44
6 4
7 4
15 MIMBAR HUKUM Volume 19. Nomor
maupun amnesti akuntabel (accountable amnesty).49 Perspektif kedua, adalah vane membolehkan pemberian amnesti yang chsebabkan karena keadaan darurat dan kebutuhan mendesak5° serta dalam konflik bersenjata non internasional.51 Namun demilaan. pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan militer masa lalu bukan merupakan kategori cialarr, perspektif kedua, sehingga pemberian amnesti bagi para pelakunya tidaklah reievan. Dengan dibatalkannya UU KKR_ make ada dua hal yang perlu dicermati. Perramsa. tertutupnya pemberian amnesti bagi par pelaku pelanggaran berat HAM; Kedua. tertutup pula pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi para korban. Pengadilan HAM ad hoc yang akan dijadikan sebagai sairana penyelesaian pelanggaran berat HAM belum tentu dapat memberikan keadilan bagi korban, bahkan dapat dijadikan sebagai saranaN2C-2: 'pen :Adair pada pembiaran ter-
- ?X- -aa—an / - 18
hadoPIPalingg=1:: HANI ituIBEdwer k6khawauran terhadap penyelesaim ze:zinzgaran berat HAM masa his imam jalur pengadilan HAM ad loc. Kekhawatiran ini didasarkan psis 1eit:2:22C kondisi peradilan
di tanah kandisi peradilan kita merupakartsaLan.' yang terburuk di dunia, Ck---iirsr-ir:AL-L=1 yam demikian akankah kenail= benar-benar dapat diwu*ikon nia-4Nakan tanda tanya besar;52 pensalarnan membuktikan bahwa dim HAM ad hoc untuk kasus Timorrimr roc._ clunk pendapat, ternyata hanya ratmea. .zeorane Enrico Guiterres yang n,,tak 7312 sedangkan pejabat 7,..ermlahan bebas. Ini merupakan buruk. Kejadian ini dapat terhadap peradilan HAM stam kasus pelanggaran berat HAM Arriama::
" Menurut Slye, amnesti ini harus memenuiu cismat.Imam amnesty harus demokratis dalam pembentukannya dengan melibatkan mab-yanced ______________zarnem I:2111S menerapkan prosedur terbuka atau akuntabilitas pada penerimanya: ketiga :,,.a-as kcsempatan bagi para korban untuk bertanya dan melawan klaim individu yang mr=moa celeirc4,z ,er n-harus menyediakan keuntungan konkrit bagi korban, biasanya dalarn bectuk r tatrg crima amnesty maupun negara; dan kelima, amnesty hams dirancang memfauilus. = yang 1ebih bersahabat atau bagian dari program rekonsiliasi. Ibid, him, 245 -247. Ciccwi7 amnesty yang diberikan oleh KKR Afrika Selatan. 50 Pemberian amnesti dalam hal ini dimunekink perriimzin. keadaan darurat terbatas olch 1CCPR dan ACHR asal tindakan tersebut konsisten den= fah hokum intemasional, scdangkan tentang "kebutuhan mendcsak" tak dapat dijadikar a" :: C allowsn - jika negara tcrlibat dalam kondisi yang menyebabkan "kebutuhan mendosak- ate Seasni Deowar-Joig of Human Rights in Situations of Public Emergency: The Experience of the EuTopeax Comeaskos ore Hassaw RIghts, 9 Yale J. of World Pub. Ord. 113, 129 (1982). Pemberian amnesti dengan alasan ini diperbolchkan txrdearkala tea: 6 t5t Protocol 11 Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 (Protocol Ht. Kckhawatiran ini bukan tanpa dasar. Hasil dan sanci PERC &Political Economic Risk Consultancy) dan 1cmbaga survey internasional lain menempatkan ithscria pada seem peacruan dan kepolisian Indonesia pada posisi yang buruk. Lihat dalam "Warning Dan Cumarassam,".. Rep Karnis 25 Juli 2002, Jakarta, hlm, 5; untuk pcmbahasannya lihat Agus Raharjo. "Huta= disc Dina Pznoaraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum Dalam Teori dan Praktik)", artikei daiam Arra Hui:kw Ft iustina. Vol. 24, No. 1, Januari 2006, FH Universitas Parahyangan Bandung, him. 12 ;25. Bradlee's= dm= pendapat Irene I. Hadiprayitno yang mcngkhawatirkan kondisi peradilan HAM di indoo....a Karaia.a-' peradilan HAM yang mcncrapkan konscp fair trial and impartiality dikhawatirkan tidak dapat bcpaim =it-men:eat sistem peradilan kita merupakan sistcm yang korup dan tidak add, kurang profesionai dan ktharanzantar manakin lengkap dcngan sumbcrdaya yang tidak mcmadai apalagi untuk kondisi di luar rid= ;awls irenc I Hadiprayitno. op.cit, him. 372.
Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 16
lainnya; Ketiga, peradilan kita — termasuk pengadilan HAM — belum dapat lepas dari pengaruh kekuasaan masa lalu yang masih kuat mencengkeram sehingga dikhawatirkan pengadilan HAM ad hoc hanya merupakan proses belaka untuk memenuhi syarat legitimasi pemberian impunitas terhadap pelanggar berat HAM masa lalu; Keempat, mengadili pelanggar berat HAM masa lalu dihadapkan pada persoalan pelaku dan saksi yang sudah meninggal, barang bukti yang susah didapat dan kesulitan-kesulitan lain dalam hukum acara menyebabkan nantinya pengadilan hanya sekadar menjalankan prosedur birokrasi peradilan yang menghasilkan putusan yang sesuai dengan prosedur (procedural justice) tanpa memperhatikan keinginan yang diharapkan oleh korban (substansial/transitional justice); Kelima, pengadilan HAM ad hoc hanya dapat mengadili perkara-perkara yang bersifat individual. Pelanggaran HAM merupakan bagian dari represi yang meluas dan sistematis dan bukan sekadar kasus-kasus individual, sehingga pengadilan HAM akan menemui kesulitan jika menghadapi pelanggaran HAM yang bersifat massal. Dengan demikian, penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu hanya kepada pengadilan HAM ad hoc mengandung kekhawatiran besar atas ketidakberhasilannya dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan nasional. Putusan Mahkamah Konstitusi itu membuktikan bahwa pemerintah tidak banyak belajar dari pengalaman negara lain dalam menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dapat dikatakan sukses. Pengembalian penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM pada pengadilan HAM merupakan upaya untuk menjauhkan keadilan transisional (tran-
sitional justice) atau keadilan substansial (substansial justice) bagi para korban dan mendekatkan kepada keadilan prosedural (procedual justice) — keadilan berdasarkan urut-urutan prosedur dalam beracara di pengadilan — yang hanya bersifat birokratis belaka. Pemerintah dan legislatif diharapkan segera mengambil langkah-langkah dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu agar kita tidak dianggap sebagai bangsa yang tak beradab. E. Penutup Pembatalan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Mahkamah Konstitusi menimbulkan persoalan dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM di Indonesia. Dengan pembatalan itu, semua kasus pelanggaran berat HAM masa lalu diselesaikan melalui jalur pengadilan yaitu pengadilan HAM ad hoc. Namun demikian, adanya citra pengadilan Indonesia yang buruk, dikhawatirkan yang terjadi dan tercipta bukan keadilan substansial (substantial justice) melainkan keadilan prosedural (procedural justice) karena pengadilan hanya menerapkan prosedur-prosedur dalam proses pengadilan. Jika demikian keadaannya, yang muncul dari produk pengadilan HAM ad hoc adalah pembiaran dan impunitas pada pelaku pelanggaran berat HAM masa Ialu seperti halnya putusan pengadilan HAM ad hoc pada kasus pelanggaran HAM di TimorTimur. Bagi korban, kondisi pengadilan yang demikian semakin mengurangi harapan untuk mendapatkan keadilan, apalagi dengan ditutupnya kemungkinan penyelesaian melalui KKR.
Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang 17
DAFTAR PUSTAKA Adji, Indriyanto Seno, "Catatan Tentang Pengadilan HAM dan Masalahnya", Artikel dalam Majalah Hukum Pro Justitian, Tahun XIX, No. 1, Januari 2001, FH. UNPAR Bandung. Adji, Oemar Seno, 1980, Peradilan Bebas
Konflik Aceh, artikel dalam Jumal
Analisis CSIS. Tahun XXXI/2002, No. 3. Jakarta. Hayner. Priscilla B.. Fifteen Truth Commissions 1974 to 1994: A Comparative Study. dalam: Human Rights Quaterly
Negara Hukum, Erlangga, Jakarta. Atmasasmita, Romli, 2004, Kapita Selelaa
16 (1994). Hernawan OFM, J. Budi; Mengisi Gagasan
Hukum Pidana Internasional, CV Uto-
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Konteks Papua, Sumbang-
mo, Bandung. --------------------- , 2004, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Hecca Mitra Utama, Jakarta. Bandoro, Bantarto, "Penyelesaian Masalah Aceh Melalui Rekonsiliasi: Perspektif Aspirasi dan Politik", artikel dalam Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX 2000, No. 2, Jakarta.
an Pikiran untuk Workshop "Menggagas Masa Depan untuk Penegakan HAM- oleh KontraS Papua, Jayapura, 10-14 Juni 2002, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura. Hukumonline. Putusan Tentang UU KKR Dianggap Ultra Petita, 11 De-
Black, Henry Campbell, 1990, Black's Law Dictionary, 6 ed., by the publisher's editorial staff; contributing authors, Joseph R. Nolan et. all.. St. Paul Minn.: West Publishing, Co.
sember 2006, versi elektronik dapat dilihat di http://www.hukumonline. comdetail.asp?id=berita, tanggal akses 17 Desember 2005. International Center for Transitional Justice,
Bronkhorst, Daan, 1995, Truth and Recon-
ICTJ Written Submission: Legality of Truth and Reconciliation Commission,
ciliation: Obstacles and opportunities for Human Rights, Amsterdam: Am-
nesty International Dutch Section. Decree Law No. 2191 (April 18, 1978) (Chili), Published in Diario Oficial No. 30, 042 (April 19, 1978): Chile Report, Human Rights Watch, versi elektronik dapat dijumpai di http://www.hrw.org/ hrw/reports/1999/chile/PatrikOl.htmil p164<uscore>5157, tanggal akses 30
Maret 2005. Hadiprayitno, Irene 1., Pertanggungjawaban Kejahatan HAM Ditinjau Dari Kerangka Hukum HAM Internasional: Studi Kasus Kekerasan Negara Dalam
July 2006. Joinet, Louis, Special Rapporteur, The Administration of Jusctice and the Human Rights od Detainees: The Question of Impunity for Perpetrators of Human Rights Violation, Annex 1,
Agenda Item 11(d). U.N. Doc. E/ CN .4. Sub.2/1997/20/Rev. 1 . Kobil, Daniel T., The Quality of Mercy Strained: Wrestling the Pardoning Power from the King, Texas Law Re-
view 69 (1991), p. 576.
18 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18
Kritz, Neil J., "Menyikapi Kekejaman: Tinjauan Terhadap Mekanisme Pertanggungjawaban Terhadap Pelanggaran Massal Hak Asasi Manusia", Artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. 1, No. 1, Tahun 2003, Elsam, Jakarta. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 1999, Negeri Dalam Kobaran Api: Sebuah Dokumen Tentang Tragedi Mei 1998, Jakarta.
(1998). Savitri, Niken, "Pengaruh Mahkamah Pidana Internasional Ad Hoc Terhadap Pembentukan International Criminal Court", artikel dalam Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XVIII, No. 3, Juli 2000, FH UNPAR Bandung. Scharf, Michael P., The Amnesty Exception to the Jurisdiction of the International Criminal Court, 32 Cornell Int'l L. J.
507 (1999).
Loebis, AR., 1999, Kemelut Berdarah Indonesia, Pabelan Jayakarta, Jakarta. Minow, Martha, 2000, The Hope for Heal-
Schreuer, Derogation of Human Rights in
ing: What Can Truth Commission Do?, in Truth v. Justice, dalam Robert
tion on Human Rights, 9 Yale J. of
I . Ro tb er g & D e n ni s T ho mp so n (ed). Moeljatno, 1987, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. Nusantara, Abdul Hakim Garuda, "Penerapan Hukum Internasional Dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Di Indonesia", artikel dalam Jurnal Hukum Internasional, Vol. 1, No. 4, Juli 2004, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI Jakarta. Parthiana, I Wayan, 2004, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013/ PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004. Raharjo, Agus, "Hukum dan Dilema Pencitraannya (Transisi Paradigmatis Ilmu Hukum Dalam Teori dan Praktik)", artikel dalam Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 24, No. 1, Januari 2006, FH Universitas Parahyangan Bandung. Roht-Arriaza, Naomi, Commission and Amnesties in Latin America: The Second Generation, 92 Am. Soc'y Int'l L. Proc.
Situations of Public Emergency: The Experience of the European Conven-
World Pub. Ord. 113, 129 (1982). Sebba, Leslie, "The Pardoning Power: A World Survey ", Journal of Criminal Law and Criminology 68 (1977). Simanjuntak, Togi, "Jalan Terjal Menggapai Keadilan: Quo Vadis Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi", Artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1, Tahun 2003, Elsam, Jakarta. Siswanto, Ari, 2005, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional,
Jakarta: Ghalia Indonesia. Slye, Ronald C., The Legitimacy of Amnesties Under International Law and General Principles of Anglo-America Law: Is a Legitimate Amnesty Possible?, 43 Va. J. Intl L. 173 (Fall 2002).
Sulistiyanto, Priyambudi, "Politik Rekonsiliasi di Indonesia: Menuntut, Memaafkan dan Melupakan?" Artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1, Tahun 2003, Elsam Jakarta. Supelli, Karlina, Berdamai Dengan Masa
19 MIMBAR HUKUM Volume 19, Nomor 1, Februari 2007. Halaman 1 - 18 Lampau: Antara Penghukuman dan
makalah disampaikan dalam seminar Dealing with the past Human Rights Violations: Between Truth and Justice, Jakarta, 12 April 2000. Pengampunan,
Swantoro, FS., "Maraknya Pelanggaran Berat HAM Di Indonesia", artikel pada Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000, No. 2, Jakarta. Teitel, Ruti G., 2004, Keadilan Tansisional, Sebuah Tinjauan Komprehensif, (terjemahan Tim Elsam), Elsam, Jakarta. Terre, Eddie Riyadi, "Keadilan Transisional: Sebuah Pencarian Keadilam Dalam Remang Menjelang Fajar", artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. I, Tahun 2003, Elsam, Jakarta. Tutu, Desmond, 1999, No Future without Forgiveness, Rider Book, London. UU KKR Bertentangan Dengan UUD 1945,
Berita Mahkamah Konstitusi, 7 Desember 2006, versi elektronik dapat diperoleh di http://www.mahkamahkon-
stitusi.go.idberita.php?newscode=248,
tanggal akses 17 Desember 2006. Warning Dan Cumaraswamy, Republika, Kamis 25 Juli 2002. Jakarta. Young. Gwen K.: Amnesty and Accountability. 35 U.C. Davis L. Rev. 427 (January 2002). p. 433. Yudhawiranata_ Agung; "Menyelesaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu- artikel dalam Dignitas, Jurnal Hak Asasi Manusia, Vol. I, No. 1 Tahun 2003, Elsam. Jakarta. .
Hasil Sementara Pernataucm Elsam Terhadap Pengadilan Ham Ad Hoc Kasus Timor-Timur, Press
Release No. 004,PR/ELSAM/IV/2002, 29 April 2002. Jakarta Zalaquett. Jose: "Menangani Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Masa Lalu, Pringp-prinsip Penyelesaian dan Kendal:a Polity L Artikel dalam Dignitas", _hem! Hak Asasi Manusia, Vol. I, Na I_ Tabun 2003, Elsam, Jakarta.