eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1(2) : 555-566 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2013
KERJASAMA KONSERVASI HUTAN ANTARA INDONESIA-NORWEGIA DALAM KERANGKA REDD+ ( REDUCING EMISSIONS FROM DEFORESTATION AND FOREST DEGRADATION ) TAHUN 2010 SAID ALFRILLIAN NOOR1 NIM. 0702045023
Abstract: This study aims to provide an explanation for the implementation of forest conservation cooperation between Indonesia and Norway within the framework of REDD+ to reduce the impact of climate change. The author uses descriptive research method, which describes a phenomenon based on the facts that occurred. In this case the cooperation process and implementation of forest conservation in Indonesia - Norway REDD+ framework to mitigate the effects of climate change. This cooperation begins with the signing of the LoI between Indonesia and Norway on May 26, 2010, in Oslo Norway. Furthermore, the Indonesian government follow up this cooperation with issuing regulations and policy work program in accordance with the Letter of Intent has been agreed by the two countries. Further in this research, the writer used descriptive research, which describes a phenomenon based on the facts that occurred. In this case the cooperation process and implementation of forest conservation in Indonesia – Norway REDD+ framework to mitigate the effects of climate change. Keywords: REDD+, Conservation and Forest Pendahuluan Perubahan Iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan yang mengakibatkan hutan sebagai paru-paru dunia semakin berkurang. Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan hutan di antaranya adalah kayu, hasil hutan bukan kayu dan satwa. Sedangkan manfaat tidak langsungnya adalah berupa jasa lingkungan, baik sebagai pengatur tata air, fungsi estetika, maupun sebagai penyedia oksigen dan penyerap karbon. Penyerapan karbon sendiri terjadi didasarkan atas proses kimiawi dalam aktivitas fotosintesis tumbuhan yang menyerap gas karbondioksida 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 555-566
(CO2) dari atmosfer dan air dari tanah yang akhirnya menghasilkan oksigen dan karbohidrat. (Cadangan Karbon Pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia, http://www.redd indonesia.org/images/stories/publikasi/cadangan_carbon_15_Januari11.pdf) Ketika hutan ditebang atau dirusak secara berlebihan, biomassa yang tersimpan di dalam pohon akan membusuk atau terurai dan menghasilkan gas CO2, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer yang menyimpan panas yang kemudian dipancarkan permukaan bumi. Beberapa kegiatan manusia yang menjadi pemicu kerusakan hutan di antaranya ialah penebangan liar, pembakaran hutan dan konversi lahan hutan (perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah, pertambangan dan pemukiman). Akibat dari kerusakan hutan dapat berakibat pada kehilangan fungsi penyerapan karbon yang secara terus menerus menyerap CO2 yang ada di atmosfer. Sehingga mengakibatkan peningkatkan GRK yang pada akhirnya mengakibatkan suhu permukaan bumi akan semakin memanas, panas inilah yang kita kenal sebagai pemanasan global (Global Warming) sebagai pemicu perubahan iklim. (Protokol Kyoto: solusi terhadap pemanasan global, http://www.chem-istry.org/kategori/artikel_kimia) Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan hutan sangat luas dan beraneka ragam jenisnya dengan tingkat kerusakan yang cukup tinggi akibat pembakaran hutan, penebangan liar, dan lain sebagainya. Meski memiliki luasan hutan yang cukup luas namun penebangan hutan di Indonesia termasuk yang cukup parah selain Pantai Gading, Gabon dan Filipina. Selain itu jumlah pelepasan karbon di Indonesia sudah masuk dalam tingkatan yang mengkhawatirkan, polusi karbon di Indonesia sudah disejajarkan dengan negaranegara maju seperti Amerika Serikat dan China. Faktor utama yang menyebabkan besarnya pelepasan karbon di Indonesia adalah kerusakan hutan lahan gambut. Kalimantan tengah dengan luas lahan gambut sekitar 3 juta ha diperkirakan dapat menyimpan karbon setara 22 gigaton CO2, bila lahan gambut itu dikonversi menjadi lahan pertanian dan lain sebagainya potensi lepasnya CO2 ke udara sangat besar. Norwegia merupakan negara annex 1 yang terus melakukan upaya untuk meningkatan nilai dari sumber daya energi yang ada saat ini dan meningkatkan pengetahuan yang diperlukan untuk mengembangkan sistem energi yang baru dan ramah lingkungan, termasuk metode dan teknologi untuk meningkatkan efisiensi energi. Kebijakan energi negara ini memiliki contoh positif bagi negara lain, Norwegia merupakan negara yang terus berinvestasi dalam mengembangkan langkah-langkah baru untuk mencapai tujuan akhir menjadi negara bebas karbon pada tahun 2050. Namun Norwegia sebagai salah satu negara Annex I selain melakukan sendiri pengurangan emisi GRK yang dihasilkan di negaranya, Norwegia juga menawarkan kerjasama dengan Indonesia untuk pengembangan proyek REDD+
556
Kerjasama Konservasi Hutan Indo-Norwegia dlm kerangka REDD+ Thn 2010 (S. Alfrillian.N)
di Indonesia, dimana hal ini menunjukkan bahwa Norwegia merupakan negara yang memiliki kepedulian cukup besar dalam kontribusinya untuk mengurangi dampak perubahan iklim secara global. Dengan berbagai permasalahan kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia, Menarik perhatian Norwegia untuk melakukan kerjasama dengan Indonesia untuk pengembangan proyek REDD+. REDD+ adalah mekanisme internasional untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan dengan cara melakukan konservasi untuk menjaga kelestarian hutan sebagai fungsi penyerapan karbon, dan bersifat sukarela (voluntary) serta menghormati kedaulatan negara (soveregienty). REDD+ juga memiliki sedikit perbedaan dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan. Dalam kerjasama konservasi antara Indonesia dengan Norwegia dalam kerangka REDD+ ini termasuk dalam kerjasama fungsional, dimana kerjasama yang terjalin untuk dapat memenuhi kebutuhan masing-masing pihak yang perlu dicapai melalui kerjasama fungsional ini, kerjasama ini memerlukan adanya power dalam memenuhi kebutuhan ataupun kepentingan masing-masing pihak dan kedua belah pihak saling melengkapi dan mendukung, namun jika salah satu pihak tidak dapat melakukan fungsinya maka kerjasama tersebut tidak dapat berjalan. (R. Soeprapto, 1997) Sehingga, pada tanggal 26 Mei 2010 di tandatangani nota kesepahaman kerjasama pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia. Untuk memperlancar proses kerjasama tersebut, dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) persiapan kelembagaan REDD+ dimana badan ini akan mengkoordinir proses pengembangan strategi nasional REDD+ di Indonesia. Kemudian pemerintah Indonesia dan Norwegia sepakat menetapkan Kalimantan Tengah sebagai contoh proyek REDD+ dan mendirikan kantor REDD+ di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. (Norwegia Gelontorkan Puluhan Juta Dollar untuk 'Toilet Karon', http://erabaru.net/nasional/50jakarta/16572-norwegia-gelontorkan-puluhan-juta-dolar-untuk-toilet-karbon) Landasan Teori dan Konsep Konsep Kerjasama Internasional Konsep kerjasama merupakan suatu bentuk hubungan yang terjalin antar individu yang satu dengan yang lain, antar keompok-kelompok bahkan antar negara untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama antar negara di era sekarang ini suatu kewajiban untuk mewujudkan tujuan mulia, yaitu perdamaian dunia yang abadi. Kerjasama dapat terjadi dalam konteks yang berbeda. Kebanyakan transaksi dan interaksi kerjasama terjadi secara langsung diantara dua negara yang menghadapi masalah atau hal tertentu yang mengandung kepentingan bersama. (K.J. Holsti, 1988)
557
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 555-566
Menurut Harold dan Margareth Sprout, perjanjian dan kerjasama dapat menimbulkan perselisihan kepentingan diantara negara-negara kebangsaan, sehingga dapat berakibat kegagalan, campur tangan pihak luar dan lain-lain. Sebenarnya suatu perjanjian adalah pengambilan keputusan dimana beberapa susunan perencanaan dan ketentuan pelaksanaannya bersifat biasa atau kompleks. Batasan dari setiap keputusan adalah pengertian dari maksud dan tujuan atau kata akhir yang berupa pedoman. (Frans Bona Sihombing, 1983) Hubungan kerjasama tidak hanya mencakup unsur politik saja tetapi juga mencakup unsur ekonomi, sosial ,budaya, hankam dan sebagainya. Meskipun sebagian besar aktifitas pemecahan masalah kolektif yang dilakukan oleh negaranegara telah dikembangkan melalui kebiasaan, perjanjian dan persetujuan tertulis yang kurang formal, pendekatan khusus itu efektif selama masalahnya bisa di identifikasi dan pemecahannya disepakati. (William D. Coplin & Marsedes Marbun, 1993) Mengenai kerjasama Internasional Budiono membaginya ke dalam empat bentuk, yaitu: (R. Soeprapto, 1997) 1. Kerjasama Global Adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam suatu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama bagi kerjasama global 2. Kerjasama Regional Kerjasama Regional merupakan kerjasama antar negara yang secara geografis letaknya berdekatan. 3. Kerjasama fungsional Kerjasama fungsional berangkat dari pragmatisme pemikiran yang mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada masing-masing mitra (partner) kerjasama. 4. Kerjasama Ideologi Dalam hal kerjasama ideologi, batas-batas teritorial tidaklah relevan. Berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujuannya dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan yang terbuka di forum global. Dalam kerjasama antara Indonesia dengan Norwegia tentang REDD+ (Reducing Emissions Deforestation and forest Degradation) ini termasuk dalam kerjasama fungsional, dimana kerjasama yang terjalin dapat memenuhi kebutuhan masingmasing pihak yang perlu dicapai melalui kerjasama fungsional ini, kerjasama ini memerlukan adanya power dalam memenuhi kebutuhan ataupun kepentingan masing-masing pihak dan kedua belah pihak saling melengkapi dan mendukung, namun jika salah satu pihak tidak dapat melakukan fungsinya maka kerjasama tersebut tidak dapat berjalan. Sebagaimana yang telah di atur dalam protokol kyoto bahwa ada beberapa opsi mekanisme fleksibel yang harus di ambil oleh negara-negara annex 1 untuk tetap
558
Kerjasama Konservasi Hutan Indo-Norwegia dlm kerangka REDD+ Thn 2010 (S. Alfrillian.N)
memenuhi komitmenya dalam pengurangan emisi domestik di negara mereka, di antaranya ialah melakukan kerjasama pengurangan emisi antar negara annex 1 ataupun melakukan perdagangan karbon (carbon trading) dengan negara-negara non – annex yang berstatus sebagai negara pemilik hutan yang cukup luas. Dalam kasus ini, kita dapat melihat kerjasama antara Indonesia dengan Norwegia dalam kerangka REDD+ guna mengatasi perubahan iklim. Kerjasama ini disepakati guna memenuhi kepentingan masing-masing pihak, dimana pemerintah Norwegia membutuhkan bantuan Indonesia sebagai negara pemilik hutan hujan tropis untuk melakukan kerjasama konservasi hutan dalam kerangka REDD+, hal ini dilakukan untuk memenuhi pengurangan emisi yang merupakan kewajiban Norwegia sebagai negara annex 1. Norwegia memberikan dana insentif postif bagi indonesia untuk melakukan konservasi hutan guna mengurangi laju deforestasi dan degradasi di negara ini. Dengan adanya kerjasama ini Indonesia mengharapkan agar masalah deforestasi dan degradasi hutan yang merusak keutuhan hutan dapat dikurangi serta dapat berkontribusi menekan dampak perubahan iklim baik secara global maupun nasional. Permasalahan perubahan iklim merupakan isu yang sangat sentisif bagi negara kepulaun seperti Indonesia karena dapat mengakibatkan banyak kerugian, sehingga dengan adanya kerjasama REDD+ ini diharapkan dapat mengurangi atau memperlambat dampak perubahan iklim di negara ini. Konsep Konservasi Hutan Salah satu langkah menghadapi ancaman dan permasalahan kerusakan hutan dapat dilakukan dengan upaya pelestarian atau konservasi. Definisi konservasi adalah berbagai usaha untuk melestarikan dan memperbaharui sumber-sumber alam agar dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat dalam jangka panjang. Sumber-sumber alam yang harus dilestarikan dan diperbaharui antara lain adalah sungai, danau, laut, hutan dan kawasan alam terbuka serta populasi fauna yang beraneka ragam. Sedangkan dari segi ekonomi dan ekologi, konservasi dipandang sebagai upaya pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam untuk mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya secara berkelanjutan. (Siti Khotijah, 2010.) Mendukung pernyataan diatas ahli kehutanan Zain, menyatakan bahwa konservasi adalah kegiatan pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan secara lestari sumber daya hayati, tanah dan air yang dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap menjamin dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. (Alam Setia Zain, 1998) Konservasi hutan adalah pengelolaan sumber daya hutan yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya. Konservasi dilaksanakan melalui kegiatan perlindungan keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem secara berkelanjutan. (Putro Haryono, 2004)
559
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 555-566
Secara operasional, konservasi sumberdaya hutan dilaksanakan melalui pengurusan dan pengelolaan hutan yang berorientasi pada kepentingan lokal, nasional, regional dan global. Pelestarian sumberdaya hutan dilaksanakan dengan menetapkan kebijakan yang menciptakan terwujudnya kondisi pengelolaan sumberdaya hutan, antara lain: alokasi sumberdaya menurut fungsinya, penataan hak kelola dan menetapkan aturan main yang dibenarkan bagi pemegang hak kelola hutan. Walaupun pengelolaan hutan dilapangan dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, maupun lembaga kemasyarakatan. Kinerja pengurusan hutan diukur dari kemampuan pemerintah dalam memberikan perlindungan hak publik, misalnya: kinerja Kabupaten, kinerja Provinsi dan kinerja Nasional dalam pengelolaan sumberdaya hutan. REDD+ sendiri adalah mekanisme internasional yang memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi deforestasi dan degradasi hutan mereka. Mekanisme ini merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan dengan cara melakukan konservasi untuk menjaga kelestarian hutan sebagai fungsi penyerapan karbon, dan bersifat sukarela (voluntary) serta menghormati kedaulatan negara (soveregienty). REDD+ juga memiliki sedikit perbedaan dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari dapat diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon internasional. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian dan perkebunan. (REDD, apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan,perubahan iklim dan REDD, http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/media/MediaGuide_REDD_Ind onesian.pdf) Metode Penelitian Tipe penelitian yang dipergunakan adalah deskriptif analisis, yaitu menggambarkan dan menjelaskan hal-hal yang menyangkut implementasi Kerjasama Konservasi Hutan antara Indonesia - Norwegia dalam Kerangka REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) Tahun 2010 di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari telaah pustaka berupa buku-buku resmi, laporan-laporan dan sumber data online dari internet dengan materi terkait. Teknik analisa data yang digunakan adalah data kualitatif.
560
Kerjasama Konservasi Hutan Indo-Norwegia dlm kerangka REDD+ Thn 2010 (S. Alfrillian.N)
Hasil Penelitian Perubahan iklim global pada prinsipnya disebabkan oleh naiknya gas karbon dioksida (CO2), gas metana (CH4), dan gas lain pada dekade ini. Gas tersebut secara normal yang berada dalam jumlah kecil di atmosfer dapat meneruskan cahaya matahari sehingga menghangatkan permukaan bumi. Namun, gas tersebut beserta uap air menahan pantulan energi panas dari bumi sehingga memperlambat pengeluaran panas bumi ke angkasa. Gas ini dikenal dengan sebutan gas rumah kaca karena mereka berfungsi seperti kaca yang meneruskan cahaya matahari. tetapi menagkap energi panas dari dalamnya. Semakin tebal kosentrasi gasnya, semakin banyak panas bumi yang tertahan di permukaan sehingga meningkatkan suhu udara yang dekat dengan permukaan bumi. Pengaruh yang ditimbulkannya dikenal dengan nama efek rumah kaca yang selanjutnya menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim. (Daniel Murdiyarso, 2003) Efek rumah kaca sangat penting dalam memelihara kehidupan, tanpa adanya efek ini maka suhu permukaan bumi akan turun drastis. Namun, selama 100 tahun terakhir ini, tingkat gas-gas tersebut meningkat tajam disebabkan oleh penggunaan sumber energi fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam yang terus meningkat dan adanya pegrusakan hutan dan pembakaran hutan untuk tanah pertanian ataupun pemukiman. Masyarakat internasional untuk pertama kalinya bertemu dan membahas tentang situasi lingkungan hidup secara global di Stockholm pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (Human Environmental) tahun 1972. Gagasan dan program untuk menurunkan emisi GRK secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994. Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut dan telah mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994. Agar Konvensi tersebut dapat dilaksanakan oleh para pihak, dipandang penting adanya komitmen lanjutan, khususnya untuk negara pada Annex I (negara industri atau negara penghasil GRK) untuk menurunkan GRK sebagai unsur utama penyebab perubahan iklim. Namun, mengingat lemahnya komitmen para pihak dalam Konvensi Perubahan Iklim, Conference of the Perties (COP) III yang diselenggarakan di Kyoto pada bulan desember tahun 1997 menghasilkan kesepakatan Protokol Kyoto yang mengatur dan mengikat Para Pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-sama. (Anto Ismu Budianto, 2001) Protokol Kyoto bertujuan menjaga konsentrasi GRK di atmosfer agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim bumi. Untuk mencapai tujuan itu, Protokol mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5 % di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode 2008-2012 yang tercipta dalam suatu prinsip kerja sama yang dapat terlihat pada mekanisme yang ada pada Protokol Kyoto seperti: JI, ET dan CDM. (Sekilas Perubahan Iklim dalam
561
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 555-566
Kerangka Negosisasi Internasional, upload/files/FCT1189527007.pdf)
http://www.wwf.or.id/admin/file-
Namun dua mekanisme Protokol Kyoto, IET dan JI hanya berlaku untuk negaranegara Annex I. Satu mekanisme lagi, CDM hanya melibatkan negara berkembang tapi dibatasi tidak lebih dari 1% total emisi tahunan negara maju. Artinya mekanisme JI, IET, maupun CDM hanya pelengkap (additional) atas tujuan utama Protokol Kyoto yakni mendesak negara Annex I agar mengurangi emisi domestiknya. (Di antara hijaunya daun dan hijaunya dolar, http://lisasuroso.wordpress.com) Dampak dari kurang efektifnya tiga mekanisme Protokol Kyoto tersebut, kemudian memunculkan sebuah pemikiran untuk memberikan insentif positif bagi negara-negara pemilik hutan yang mampu mengurangi dampak deforestasi. Pemikiran pemberian insentif tersebut dipelopori oleh Papua Nugini dan Kostarika yang mengajukan proposal avoided deforestation yang pada akhirnya masuk dalam agenda CoP ke XI di Montreal dengan nama Reducing Emission From Deforestation in Developing Countries (REDD). Kemudian dalam perkembangannya, REDD kemudian berkembang menjadi REDD+. Dimana REDD+ menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon. Sehingga REDD+ memiliki pengertian sebuah mekanisme internasional untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan dengan cara melakukan konservasi untuk menjaga kelestarian hutan sebagai fungsi penyerapan karbon, dan bersifat sukarela (voluntary) serta menghormati kedaulatan negara (soveregienty). (REDD Apakah itu? Pedoman Cifor tentang hutan.perubahan iklim dan REDD, http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/media/MediaGuide_REDD_Ind onesian.pdf) Salah contoh bentuk kebijakan energi negara annex I yang memiliki contoh positif bagi negara lain adalah Norwegia. Norwegia merupakan negara yang terus berinvestasi dalam mengembangkan langkah-langkah baru untuk mencapai tujuan akhir menjadi negara bebas karbon pada tahun 2050. Dengan pencapaian Norwegia dalam bidang pelestarian lingkungan, baik itu dari teknologi rendah emisi yang terus mereka kembangkan maupun dukungan dana yang cukup besar akan cukup mudah bagi Norwegia untuk mencapai target penurunan emisi di negaranya. Namun Norwegia sebagai salah satu negara Annex I selain melakukan sendiri pengurangan emisi GRK yang dihasilkan di negaranya, Norwegia juga menawarkan kerjasama dengan Indonesia untuk pengembangan proyek REDD+ di Indonesia, dimana hal ini menunjukkan bahwa Norwegia merupakan negara yang memiliki kepedulian cukup besar dalam kontribusinya untuk mengurangi dampak perubahan iklim secara global. (Norwegia: Selangkah di Depan Dalam
562
Kerjasama Konservasi Hutan Indo-Norwegia dlm kerangka REDD+ Thn 2010 (S. Alfrillian.N)
Energi Terbarukan, http://ropiudin.wordpress.com/2011/03/27/norwegiaselangkah-di-depan-dalam-energi-terbarukan/) Sehingga, pada tanggal 26 Mei 2010 di tandatangani nota kesepahaman kerjasama pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Norwegia. Untuk memperlancar proses kerjasama tersebut, dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) persiapan kelembagaan REDD+ dimana badan ini akan mengkoordinir proses pengembangan strategi nasional REDD+ di Indonesia. Kemudian pemerintah Indonesia dan Norwegia sepakat menetapkan Kalimantan Tengah sebagai contoh proyek REDD+ dan mendirikan kantor REDD+ di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. (Norwegia Gelontorkan Puluhan Juta Dollar untuk 'Toilet Karbon', http://erabaru.net/nasional/50jakarta/16572-norwegia-gelontorkan-puluhan-juta-dolar-untuk-toilet-karbon) Sejak ditandatanginya nota kesepahaman kerjasama pengurangan emisi GRK dari deforestasi dan degradasi hutan pada tanggal 26 Mei 2010 di Oslo, Norwegia. Indonesia diwajibkan membuat atau memperbaharui regulasi kebijakan di negara mereka yang berkaitan dengan konservasi hutan dan Proyek REDD+, serta membentuk kelembagaan dan struktur yang berkaitan dengan persiapan kelembagaan REDD+ yang berkerjasama dengan Norwegia. Hal ini berkaitan dengan implementasi yang dibuat oleh Indonesia sesuai dengan LoI “ Kerjasama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia tentang pengurangan emisi GRK dari Deforestasi dan Degradasi Kehutanan”. Berikut adalah regulasi kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia sebagai Implementasi tahap awal sesuai dengan LoI “Kerjasama Konservasi Hutan antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia dalam kerangka REDD+”: 1. Instruksi Presiden Repubik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2010 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 4. Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK 2771/Menhut-VII/IPSDH/2012 5. Nota Kesepahaman antara Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah 6. Peraturan Presiden No.61 Tahun 2011 7. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 10 Tahun 2012. Provinsi Kalimantan Tengah ditunjuk sebagai provinsi percontohan dari Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia dalam hal Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) pada Sidang Kabinet 23 Desember 2010, Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ (selanjutnya disebut Satgas REDD+) dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah telah menginisiasi berbagai kegiatan kegiatan REDD+ di Provinsi Kalimantan Tengah. Nota Kesepahaman antara Ketua Satgas REDD+ dan Gubernur Kalimantan Tengah yang ditandatangani pada 16 September 2011 menjadi landasan kerjasama kegiatan REDD+ yang dilakukan secara bersama di provinsi ini.
563
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 555-566
Guna mendukung pengembangan organisasi dan operasional Sekretariat Bersama REDD+ Kalimantan Tengah, maka Satgas REDD+ dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, menyepakati dukungan manajemen, koordinasi operasional dan administrasi kegiatan Sekber REDD+ Kalimantan Tengah (selanjutnya disebut Sekber REDD+). Terkait hal ini maka Satgas REDD+ mengeluarkan Surat Tugas Satgas REDD+ No: ST_09/REDDII/STR/04/2012 untuk menugaskan Bambang Irawan Wibisono sebagai Kepala Sekretariat Bersama Sekber REDD+ Bidang Operasional dan Mayang Meilantina sebagai Staf Ahli Sekretariat Bersama Bidang Program. Sedangkan Komisi Daerah REDD+ Kalimantan Tengah KOMDA (Selanjutnya disebut KOMDA REDD+) melalui Gubernur Provinisi Kalimantan Tengah telah menunjuk dan menugaskan Mursid Sumarsono yang adalah Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Kalimantan Tengah sebagai Kepala Sekber Bidang Komunikasi dan Koordinasi, serta Darmae Nasir sebagai penanggung jawab untuk pelaksanaan Sosialisasi dan Konsultasi Publik Strategi Daerah REDD+ (selanjutnya disebut STRADA REDD+) Kalimantan Tengah. Pembentukan Sekber REDD+ Kalimantan Tengah merupakan kelanjutan dan perubahan kebijakan dari Kantor Pendukung REDD+ di Provinsi Kalimantan Tengah yang mulai beroperasi sejak Maret 2011. Pada awal tahun 2012 Kantor Pendukung ini kemudian berubah menjadi Sekretariat Bersama antara Satgas REDD+ dan Pemprov Kalimantan Tengah/KOMDA REDD+ Kalimantan Tengah, yang bertugas mengkoordinasikan implementasi kegiatan-kegiatan REDD+ yang dilaksanakan di Kalimantan Tengah. Pelaksanaan kegiatan yang dikoordinasikan oleh Sekber REDD+ Kalimantan Tengah dilaksanakan dengan beberapa pendekatan, yang dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat, 2. Dilaksanakan oleh mitra-mitra pelaksana Sekber REDD+ dan kombinasi dari pendekatan 1 dan 2. Pada poin 1 pelaksanaan kegiatan dikoordinasikan langsung oleh Sekber REDD+ Kalimantan Tengah bekerjasama dan atau dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat. Sedangkan pada poin 2 dilaksanakan oleh pihak ke-3, melalui proses tenders dan penyampaian proposal yang diteliti dan diproses sesuai mekanisme pengembangan kerjasama dengan mitra pelaksana kegiatan. Selanjutnya adalah kombinasi pelaksanaan kegiatan yang dilaksanakan atau dikoordinasikan oleh Sekber REDD+ dan dengan dukungan dari pihak mitra kerja terkait. Berikut ini adalah laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan-kegiatan utama yang secara langsung dikoordinasikan atau dilaksanakan oleh Sekber REDD+ Kalimantan. Beberapa kegiatan yang turut dikoordinasikan dan difasilitasi oleh Sekber juga dilaporkan, berdasarkan ketersediaan data serta tingkat keterlibatan dan proses koordinasi antara pelaksana kegiatan dengan Sekber REDD+ Kalimantan Tengah: (Laporan Akhir Tahun 2012 Sekretariat Bersama REDD+ Kalimantan Tengah 31 Desember 2012,
564
Kerjasama Konservasi Hutan Indo-Norwegia dlm kerangka REDD+ Thn 2010 (S. Alfrillian.N)
http://www.satgasreddplus.org/download/Laporan-Akhir-Tahun-Sekber-REDDKalteng.pdf) 1. Penanggulangan Kebakaran Hutan berbasis Masyarakat 2. Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan 3. Citizen Journalism (Journalisme Warga) 4. Sosialisasi dan Konsultasi STRADA (Strategi Daerah) 5. Inisiatif pengembangan kegiatan “Desa Hijau” (Green Village) 6. Penerapan MRV (Monitoring, Report and Verification) Kesimpulan Berdasarkan analisis dan hasil pembahasan tentang bagaimana implementasi Kerjasama Konservasi Hutan antara Indonesia dan Norwegia dalam Kerangka REDD+, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah: Bahwa implementasi tahap pertama (awal) kerjasama konservasi hutan antara Indonesia dan Norwegia dalam kerangka REDD+ telah berjalan dengan baik dan sesuai dengan LoI antara pemerintah Indonesia dan Norwegia guna mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Walaupun belum secara keseluruhan implementasi dilakukan secara penuh, namun ada beberapa regulasi kebijakan awal yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia sebagai tindak lajut implementasi LoI antara Indonesia dan Norwegia untuk mengurangi emisi GRK. Selain beberapa kemajuan dalam hal regulasi kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah Indonesia, juga terdapat beberapa kemajuan dalam hal teknis opersional yang telah dilakukan oleh Satuan Tugas REDD+ bersama Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga terkait sebagai implementasi mekanisme REDD+ di daerah percontohan Kalimantan Tengah. Beberapa kegiatan yang terus berjalan hingga kini ialah melakukan sosialisi, pelatihan dan loka karya yang berbasis pelestarian lingkunagan hidup kepada masyarakat. Daftar Pustaka Buku: Budianto, Anton Ismu. 2001. Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional. Coplin, William D & Marsedes Marbun. 1993. Pengantar Politik InternasionalSuatu Telaah Teoritis edisi kedua. Jakarta: Sinar Baru. Haryanto, Putro. 2004. Panduan Konservasi Hutan Bagi Pengambilan Keputusan. Indonesia Forest and Media (INFORM) Campaign. Holsti, K.J. 1988. Politik Internasional, Suatu Kerangka Analisis. Jakarta: PT. Penerbit Erlangga. Kotijah, Siti. 2010. Implementasi Prinsip-prinsip Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Hutan. Yogyakarta: Penerbit Bimotry. Murdiyarso, Daniel. 2003. Protokol Kyoto Implikasinya bagi Negara Berkembang. Jakarta: Kompas. Sihombing, F.B, Drs. Ilmu Politik Internasional, Teori, Konsep dan Sistem. Jakarta: PT. GI. 1983.
565
eJournalIlmuHubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, 2013: 555-566
Soeprapto, R. 1997. Hubungan Internasional,Sistem Interaksi dan Prilaku. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persasda. Zain, Alam Setia. 1998. Aspek Pembinaan Kawasan Hutan & Strafikasi Hutan rakyat. Jakarta: PT. Rineke Cipta. Media Internet: Cadangan Karbon Pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia, diakses dari http://www.reddindonesia.org/images/stories/publikasi/cadangan_carbon_15_Januari11.pd f, pada tanggal 15 April 2011. Di antara hijaunya daun dan hijaunya dolar, diakses dari http://lisasuroso.wordpress.com, pada tanggal 9 April 2011. Norwegia Gelontorkan Puluhan Juta Dollar untuk 'Toilet Karbon', di akses dari: http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/16572-norwegia-gelontorkanpuluhan-juta-dolar-untuk-toilet-karbon, pada tanggal 9 April 2011. Laporan Akhir Tahun 2012 Sekretariat Bersama REDD+ Kalimantan Tengah 31 Desember 2012, terdapat dalam: http://www.satgasreddplus.org/download/Laporan-Akhir-Tahun-SekberREDD-Kalteng.pdf REDD, apakah itu? Pedoman CIFOR tentang hutan,perubahan iklim dan REDD, diakses dari http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/media/MediaGuide_RED D_Indonesian.pdf, pada tanggal 09 April 2011. Sekilas Perubahan Iklim dalam Kerangka Negosisasi Internasional, diakses dari http://www.wwf.or.id/admin/file-upload/files/FCT1189527007.pdf
566