eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (3) 809-822 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
RESPON MASYARAKAT ADAT ULU-MASEN, ACEH TERHADAP PROGRAM REDUCING EMISSIONS FROM DFORESTATION AND FOREST DEGRADATION (REDD) Pratama Handri Putra1 Nim. 0802045184 Abstract This research had purpose to acknowledge how people from Ulu-Masen, Aceh responding to the Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation program inside Ulu-Masen Tribe areal of forest. Type of research used in this report is descriptive analysis which contained the description of response from Ulu-Masen, Aceh people regarding this International System REDD, in this case implemented in Ulu-Masen areal of forest, and also the defiance faced by REDD to operate the mechanism itself. Type of data used in this research are secondary data which collected from, books, literatures, articles, official websites regarding the following subject, research department websites, and other official websites that related to the theme and subject of this research. Results given from this research showed that the response from people of Ulu-Masen Tribe, Aceh were negative and those response influenced by perception and ideology regarding the forest itself. However, the presence of REDD program is highly required to suppress greenhouse gas emission level related to global warming, counseling and all the act of socialization still has to be done by local government in Aceh with cooperation along Flora Fauna International. Keywords : REDD, Tribe areal forest, Ulu-Masen. Pendahuluan Sektor kehutanan di Indonesia dianggap sebagai salah satu penyumbang emisi yang cukup besar terhadap emisi gas rumah kaca. Tingginya deforestasi dan degradasi hutan, telah menempatkan Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar ke-3 di dunia. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia dihadapkan pada tekanan agar dapat mengurangi laju emisi di negaranya. Sejak Desember 2007, Departemen Kehutanan mengumumkan bahwa Indonesia siap melaksanakan kegiatan percontohan untuk mencoba berbagai aspek REDD, proyek percontohan akan dilaksanakan antara tahun 2008 dan 2012.Wilayah Ulu Masen ditetapkan sebagai salah satu wilayah uji coba penerapan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), sebuah skema mitigasi untuk mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. 1
Mahasiswa S1 Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Soasial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 809-822
Istilah “Ulu Masen” mulai diperkenalkan oleh Flora Fauna International (FFI), sebuah organisasi nonpemerintah yang berbasis di Inggris, pada tahun 2007 atas keputusan komunitas yang diwakili oleh Imum Mukim atau kepala masyarakat adat Kabupaten Aceh Jaya pada tahun 2003. Penamaan Ulu Masen diambil dari istilah “Pucok Masen” yang terletak di Kecamatan Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya. Nama Ulu Masen dianggap mampu mewakili satu kawasan ekosistem hutan di bagian utara Provinsi Aceh ini. Sedangkan nama “masen” berasal dari nama sungai yang hulunya berada dalam kawasan hutan tersebut. Kawasan Ulu Masen luasnya 750.000 hektar berada di lima wilayah administratif Aceh: Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, Pidie Jaya dan Aceh Besar. Terdiri dari 21 kecamatan dan 52 Mukim dengan populasi sebesar 982. 010 orang.Pemerintah Aceh melakukan kemitraan dengan Carbon Conservation International Pty Ltd dan organisasi lingkungan internasional Flora dan Fauna International (FFI) telah menetapkan Ulu Masen sebagai kawasan uji coba REDD. Aceh merupakan daerah yang menempatkan adat sebagai sebuah sistem yang terstruktur dan bernilai historis. Secara konstitusi, dikuatkan melalui Pasal 98 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengatur lembaga adat sebagai bagian dari penjabaran perjanjian damai Helsinki. Untuk pengimplementasiannya diatur dalam Qanun No. 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Lembaga Adat Aceh dan Qanun No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Upaya dalam menangani isu perubahan iklim di mulai pada bulan Juni 1992, sekitar 120 negara di dunia berkumpul di Rio De Janeiro, Brazil dalam pertemuan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED), namun perjanjian ini gagal di laksanakan oleh beberapa negara yang menandatangani.Pada bulan Desemeber 1997, PBB kembali mengadakan suatu konferensi yang dinamakan sebagai United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Kyoto, Jepang. Dari konferensi ini menghasilkan perjanjian yang di namakan Protokol Kyoto. Jika REDD dilaksanakan dengan baik, peluang bagi negara berkembang untuk mengurangi kerusakan hutan dan mitigasi perubahan iklim melalui penyediaan dana lebih besar. Selain itu, Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation (REDD) juga berpotensi memperkuat masyarakat hutan untuk memperoleh manfaat dari pengelolaan hutan secara lestari. Terkait dengan permasalahan dalam respon Masyarakat Adat Aceh – Ulu Masen terhadap pelaksanaan REDD, maka dengan alasan tersebut peneliti ingin meneliti bagaimana Respon Masyarakat hutan adat Ulu-Masen terhadap Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation (REDD).
810
Respon Masyarakat Adat Ulu-Masen Aceh Terhadap Program REDD (Pratama Handri P)
Kerangka Dasar Teori dan Konsep Teori Indegenous Culture Indigenous Culture adalam kajian ilmiah mengenai perilaku dan mental manusia yang bersifat pribumi, tidak dibawa dari daerah lain, dan didesain untuk masyarakatnya sendiri.Pendekatan ini mendukung pembahasan mengenai pengetahuan, keahlian, kepercayaan yang dimiliki seseorang serta mengkajinya dalam bingkai kontekstual yang ada. Teori, konsep, dan metodenya dikembangkan secara indigenous disesuaikan dengan fenomena daerah yang kontekstual. Tujuan utama dari pendekatan indigenous cultural adalah untuk menciptakan ilmu pengetahuan yang lebih teliti, sistematis, universal yang secara teoritis maupun empiris dapat dibuktikan Pendekatan indigenous cultural mempertanyakan konsep universalitas dari teori-teori psikologi yang ada dan berusaha menemukan psikologi yang universal dalamkonteks sosial, budaya, dan ekologi. Hal ini didukung dengan keterangan dari Enriquez (1993), Kim & Berry (1993), Koch & Leary (1985), Shweder (1991) yang dikutip oleh Kim, et al (2006) yang menyatakan bahwa sejumlah penelitian menyebutkan bahwa teori-teori psikologi sebenarnya berkaitan dengan batasan budaya (culturebound), nilai-nilai daerah (value-laden) dan dengan validitas yang terbatas. Hutan Adat Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dimana hutan tersebut telah dipercayakan oleh masyarakat adat dalam segi pengelolaan sumber daya hutan dan pelestarian hutan tersebut. Terbitnya surat keputusan Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan perkara nomor ;35/PUUX/2012 menyebut hutan adat bukan lagi menjadi bagian hutan negara sebagaimana di maksud dalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang Kehutanan. Kata ”negara” dalam pasal 1 angka 6, yaitu: “Hutan adat adalah hutan “negara” yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga definisi hutan adat yang di maksud pasal 1 angka 6 berubah menjadi, Hutan adat adalah hutan Negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat" demikian amar keputusan MK terkait pasal 1 angka 6 dalam UU Nomor 41 tahun 1999. Keputusan MK tersebut juga membatasi wewenang Negara dalam hutan adat , Hutan adat termasuk hutan marga hutan pertuanan atau sebutan lain semua dalam cakupan lain yang di sebut ulayat atau hutan ulayat karena berada dalam kesatuan wilayah masyarakat umum adat, terbitnya keputusan tersebut di iringi dengan keluarnya surat edaran Mentri Kehutanan nomor SE.1/Menhut-II/2013 yang mengimplementasikan surat MK kepada Bupati dan Gubernur seluruh Indonesia. Dengan demikian hutan adat di serahkan sepenuhnya oleh masyarakat adat, tanpa turut campur negara, dan negara tidak berhak mengatur apa yang dilakukan masyarakat adat terhadap hutan mereka. Pemanfaatan hutan adat oleh masyarakat hukum adat juga harus sesuai dengan fungsinya. Jadi jika hutan adat berada pada kawasan hutan produksi, maka fungsi yang berlaku adalah fungsi produksi. Jika hutan adat berada dalam kawasan hutan lindung, maka fungsi yang berlaku adalah fungsi lindung dan jika hutan adat berada dalam kawasan hutan konservasi, maka fungsi yang berlaku adalah fungsi konservasi.
811
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 809-822
Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakantipe penelitian deskriptif, yaitu berupaya untuk menggambarkan respon masyarakat adat Ulu-Masen, Aceh terhadap program REDD serta tantangan dari pelaksanaan REDD. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tinjauan pustaka (library research) dengan mengumpulkan datadata sekunder yang bersumber dari buku-buku, artikel, dan data-data dari internet yang tingkat kapabilitasnya terhadap permasalahan yang dihadapi dan validitasnya dapat dipertanggung jawabkan. Jenis data yang digunakan adalah data Skunder. Teknik analisis data yang digunakan dalam menganalisis data yang di peroleh dari penelitian, menggunakan metode kualitatif. Dalam menganalisis permasalahan di gambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada dan kemudian menghubungkan fakta yang satu dengan fakta lainnya dalam hal ini respon masyarakat adat Ulu-Masen, Aceh terhadap program REDD serta tantangan dari pelaksanaan REDD. Hasil Penelitian Isu lingkungan hidup terkait dengan pemansan global menarik perhatian negaranegara dunia, dimana negara-ngera telah mencari solusi dalam menanggulangi isu lingkungan hidup. REDD merupakan mekanisme yang di yakini dapat menekan emisi gas rumah kaca dan dapat menjadi solusi dalam penanggulangan global warming. Dimana mekanismeREDD berupa konservasi hutan, dimana dalam korservasi hutan tersebut, sebuah negara menjalin kerja sama baik dengan negara lain, mapun dengan perusahaan asing. Berbagai persoalan dalam program REDD telah terjadi, salah satunya implementasi REDD di wilayah hutan adat, dimana terdapat masyarakat yang sudah turun temurun tinggall di sekitar wilayah hutan adat, dan hutan tersebut menjadi tempat mata pencaharian masyarakat sekitar hutan serta hutan tersebut sangat di jaga karena hutan tersebut memiliki nilai sebagai warisan leluhur. Respon masyarakat adat Ulu-Masen, Aceh terhadap program REDD serta tantangan dari pelaksanaan REDD Adanya respon negatif terhadap program REDD yang sosialisasikan oleh pemda Aceh dan pihak FFI dikarenakan masyarakat Ulu-Masen sendiri sama sekali tidak mengetahui apa itu REDD dan dampak serta resikonya, ditambah lagi program REDD tersebut di sponsori oleh pihak-pihak asing. Proyek REDD di Ulu-Masen disponsori oleh pihak-pihak asing, antara lain Flora Fauna International (FFI), Carbon Conservation International Pty LtddanBank AS Merrill Lynch. Masyarakat adat Ulu-Masen, Aceh yang merupakan masyarakat dimana menempatkan adat sebagai sebuah sistem yang terstruktur dan bernilai historis. Secara konstitusi, dikuatkan melalui pasal 98 UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh mengatur lembaga adat sebagai bagian dari penjabaran damai Helsinki. Untuk pengimplementasianya diatur dalam Qanun No. 9 tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan lembaga adat Aceh dan Qanun No. 10 tahun 2008 tentang lembaga adat. Dan sebagaimana hutan adat, yang merupakan hutan warisan nenek moyang masyarakat adat sekitar, serta kebudayaan dan tradisi masyarakat, yang memunculkan adanya respon negatif terhadap program REDD.
812
Respon Masyarakat Adat Ulu-Masen Aceh Terhadap Program REDD (Pratama Handri P)
Khazanah adat budaya ini masih melekat sebagai sebuah kearifan lokal yang masih ada dan harus dipertahankan, terutama pada kemukiman yang berwilayah di sekitar dan di wilayah hutan adat. Hal tersebut yang membuat masyarakat adat berpendapat bahwa program REDD yang masuk bisa mengancam, tradisi, budaya serta sistem mukim. Dengan adanya sponsor pihak asing, masyarakat adat sekitar hutan UluMasen menganggap bahwa hutan yang merupakan wilayah warisan nenek moyang telah dibeli oleh pihak asing, dan apa yang menjadi kearifan lokal/adat Aceh yang meliputi adat hutan, adat bersawah, adat perkebunan, adat berkebun sayuran/palawija (meulampoih), adat berladang, adat berburu, adat mengambil sarang burung walet (cok umpung cieem), adat mengambil madu lebah (cok meunisan uno), adat beternak hewan, adat terhadap makhluk hidup lainnya, dan adat menambang hasil bumi akan diatur oleh pihak asing. Adapun nilai-nilai yang harus dijaga di antara lain : 1. Sumber daya budaya yang bersifat fisik. Proyek ini akan mempengaruhi kekayaan budaya buatan manusia. Juga ada kemungkinan bahwa proyek REDD dapat menghilangkan nilai kawasan hutan spiritual yang unik atau yang bernilai adat/tradisional dalam proses pemetaan masyarakat dan zonasi program REDD. Daerah ini bisa digolongkan sebagai kekayaan budaya, seperti halnya ‘hutan arwah’. Hilangnya Identifikasi kekayaan budaya yang menjadi sebuah keanekaragaman suku/etnis. 2. Nilai Hutan Adat dan hak ulayat Munculnya pihak luar yang ikut serta menjadi donatur atau sponsor di dalam pengembangan REDD di anggap masyarakat adat (mukim) sebagai ancaman akan hilangnya hutan adat sebagai warisan nenek moyang, karena masyarakat adat sekitar Ulu-Masen takut dengan adanya ekploitasi dan campur tangan pihak asing dalam mengatur tata hutan yang akan menghilangkan atau memudarkan hukum adat dan tata kelola adat terhadap hutan Ulu-Masen. Karena hutan adat sampai saat ini masih dianggap sebagai warisan leluhur yang harus di jaga, sehingga masyarakat adat Ulu-Masen menganggap bahwa masuknya pihak asing dan adanya kebijakanpemerintah mengenai status dari suatu kawasan dimana didalamnya terdapat sekelompok masyarakat adat, membuat ruang gerak dari masyarakat hukum adat menjadi terbatas dalam hal pemanfaatanya. Ada beberapa sikap dan tuntutan dari masyarakat adat dalam hal Pengelolaan Sumber daya Alam yang ada di Aceh seperti : 1. Majelis Duek Pakat Mukim Aceh Besar, sebagai sebuah wadah persatuan para imuem mukim dan mantan imuem mukim se-Aceh Besar menyatakan sikap dan tuntutan yang tegas atas Rencana Pemerintah Aceh untuk menjadikan beberapa wilayah mukim di Aceh Besar sebagai lokasi pelaksanaan REDD. Pernyataan sikap tersebut menyatakan bahwa: a. Mukim-mukim di wilayah Aceh Besar yang wilayahnya dimasukkan ke dalam kawasan Ulu Masen tidak sepakat membicarakan tentang REDD sebelum adanya kejelasan tentang wilayah mukim, Tata Batas Wilayah antar Mukim, Tata Ruang Mukim, Pengakuan Hak Masyarakat atas tanah, dan Pengakuan Kewenangan Mukim Atas Sumber Daya Alam & Harta Mukim lainnya.
813
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 809-822
b. Menolak Kawasan ”Ulu Masen” yang mengklaim wilayah Aceh Besar tanpa persetujuan masyarakat, karena masyarakat Aceh Besar tidak mengenal kawasan tersebut dan, juga karena konsep pengelolaan dan peruntukannya tidak jelas. c. Semua penggunaan dan pengelolaan ruang dalam kawasan mukim harus mendapat persetujuan dari kelembagaan adat mukim berdasarkan ketentuan adat setempat melalui proses duek pikedan duek pakat masyarakat mukim 2. Pernyataan Sikap mukim dari 5 kabupaten di Aceh (Aceh Besar, Aceh Jaya, pidie, Pidie Jaya dan Aceh Barat) dimana mereka menuntut agar Pemerintah mengembalikan Kedaulatan Mukim atas Sumber daya Alam, yaitu kejelasan tata batas wilayah antar mukim, tata ruang mukim, pengakuan hak masyarakat atas Tanah dan pengakuan kewenangan mukim atas sumber daya alam dan harta mukim lainnya. a. Pernyataan Dukungan Elemen Sipil Aceh untuk Pernyataan Sikap Mukim atas Kedaulatan Mukim Terhadap Sumber Daya Alam. b. Aksi penolakan Pertemuan GCF III oleh Forum Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Mukim. c. Setidaknya ada 50 organisasi masyarakat sipil (persatuan imuem mukim, organisasi rakyat, persatuan mahasiswa pelajar, dan LSM) yang tergabung dalam Forum Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Mukim telah melakukan aksinya dan menyatakan sikap “Menolak Pertemuan GCF (Governor Climate and Forest) tanggal 17-22 Mei 2010 yang menjadikan Masyarakat sebagai Alat Legitimasi atas nama REDD”. Serta menuntut pemerintah Aceh dan semua pihak pendukung implementasi REDD di Aceh untuk: c.1. Hentikan semua pembahasan tentang REDD dan proses membangun legitimasi untuk melaksanakan “politik dagang” REDD di Aceh c.2. Kembalikan sepenuhnya Kedaulatan Mukim atas Wilayah dan Sumber Daya Alamnya, yaitu: Kejelasan Tata Batas Wilayah Mukim, Tata Ruang Mukim, Pengakuan Hak Masyarakat atas Tanah, dan Pengakuan Kewenangan Mukim atas Sumber daya Alam dan harta mukim lainnya c.3. Serahkan sepenuhnya kewenangan mukim dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat mukim c.4. Meninjau Ulang SK.Gubernur Aceh No. 522/372/2009 tanggal 7 Juli 2009 tentang Pencadangan lahan untuk Kawasan Strategis Ulue Masen Aceh sebagai areal pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. c.5. Aksi penolakan Pertemuan GCF III oleh Forum Masyarakat Sipil untuk Kedaulatan Mukim. 3. Aksi walk out 21 dari 23 perwakilan mukim sebagai peserta Side Event pada pertemuan GCF III merupakan bentuk kekecewaan mukim atas sikap Gubernur yang tidak merespons sejumlah poin tuntutan hasil kesepakatan para mukim di Aceh, juga disebabkan kehadiran para imuem mukim dan tokoh masyarakat dalam pertemuan itu hanya dinilai sebagai pelengkap dalam forum.
814
Respon Masyarakat Adat Ulu-Masen Aceh Terhadap Program REDD (Pratama Handri P)
4. Pernyataan sikap Mukim Aceh Besar, dimana mereka menuntuk kedaulatan Mukim atas sumber daya alam, para imum mukim menuntut pemerintah untuk memberikan kejelasan tentang; Tata Batas Wilayah antara Mukim, Tata Ruang Mukim, Pengakuan Hak Masyarakat atas tanah, dan Pengakuan Kewenangan mukim atas sumber daya alam & harta mukim-gampong lainnya, maka Kami tidak sepakat membicarakan tentang ”REDD”. 5. Pernyataan Sikap mukim dari 5 kabupaten di Aceh (Aceh Besar, Aceh Jaya, pidie, Pidie Jaya dan Aceh Barat) dimana mereka menuntut agar Pemerintah mengembalikan Kedaulatan Mukim atas Sumber daya Alam, yaitu kejelasan tata batas wilayah antar mukim, tata ruang mukim, pengakuan hak masyarakat atas Tanah dan pengakuan kewenangan mukim atas sumber daya alam dan harta mukim lainnya. a. Mengakui akan keberadaan dan wilayah kelola masyarakat adat b. Menghormati Aturan Adat yang berlaku di komunitas masyarakat adat c. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat (sebagai Pelaku utama) dalam setiap tahapan Perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program REDD d. Peningkatan kapasitas masyarakat dan lembaga adat yang ada di tingkat kaomunitas e. Untuk menghindari tingkat korupsi terhadap anggaran kompensasi maka pemerintah dan pemrakasa harus transparan kepada masyarakat termasuk penghitungan staok karbon, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dari masyarakat terhadap pemerintah. f. Adanya mekanisme penyampaiaan keluhan dan aspirasi dari masyarakat maupun pihak lain terhadap proses pelaksanaan REDD di Aceh. Masyarakat adat juga menolak tiga lokasi yang dicadangkan untuk Program REDD oleh pemda Aceh : 1. Kawasan Ulu Masen, berdasarkan SK Gubernur Aceh No.522/372/2009 tentang Pencadangan Lahan untuk Kawasan Strategis Ulu Masen Aceh Sebagai Areal Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD), 7 July 2009, daerah Ulu Masen seluas 750,000 hektar yang meliputi 6 kabupaten (Pidie, Pidie Jaya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar dan Aceh Tengah) telah dijadikan proyek demonstrasi implementasi REDD di Aceh. Pada bulan Juli, nota kesepahaman mengenai penjualan dan pemasaran karbon telah ditandatangani oleh pemerintah Aceh dan Carbon Conservation. Selain institusi, Perusahaan Australia asing, pemerintah juga melibatkan FFI, pemerintah Aceh, perusahaan Australia Carbon Conservation dan Bank AS, Merrill Lynch. Diharapkan dari proyek dapat mengurangi deforestasi dasar sejumlah 9.500 hektar setiap tahunnya sebesar 85%, mencapai pengurangan emisi hingga 1 juta ton CO2 per tahun.
815
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 809-822
2.
3.
Ekosistem Leuser, yang rancangan kesepakatannya telah ditandatangani oleh pemerintah Aceh dan Sustainable Forest Management South East Asia Ltd, bagi pendirian perusahaan untuk menjalankan usaha lingkungan di Leuser, termasuk perdagangan karbon. Pemerintah Aceh bersama dengan Yayasan Ekosistem Leuser International menyiapkan proyek menuju pelaksanaan REDD. Kawasan Rawa Tripa, Hutan Rawa Tripa di Pesisir Barat Aceh punya banyak fungsi, salah satunya untuk mencegah gelombang tsunami, dan saat ini kawasan ini juga direncanakan menjadi sebuah kawasan program REDD yang ada di Aceh, namun hingga kini kawasan ini sebahagin besar telah dikuasai oleh perusahan-perusaan (HGU) untuk membangun perkebunan sawat, dimana dari 61.803 ha luas hutan Tripa, yang tersisa kini hanya 31.410 ha. Sebagian besar telah dikonversi untuk perkebunan sawit, dan pertanian masyarakat.
Masyarakat menganggap bila ketiga proyek ini dijalankan, akan memiliki beberapa implikasi terhadap masyarakat yang tinggal secara langsung di kawasan itu. Di Ulu Masen, Leuser dan Rawa Trifa yang terdapat beberapa komunitas masyarakat dari sembilan komunitas, dan puluhan sub-etnik dengan bahasa yang beragam. Kelompok etnik dan sub-etnik ini dengan identitas ini memiliki akar sejarah keturunan yang berbeda-beda, unit-unit wilayah, dialek atau bahasa ibu, sosial dan budaya, hukumhukum tradisional. Kelompok komunitas ini merupakan kelompok otonom dan independen dalam mengatur komunitasnya dan mengelola sumber daya alam. Tantangan Program REDD di wilayah Ulu-Masen Proyek REDD di Aceh mengalami beberapa tantangan dan ancaman utama, terutama dalam upaya mengurangi emisi karbon. Tantangan utama bisa dilihat dari beberapa aspek nyata yang terjadi di Aceh hari ini, misalnya laju kerusakan hutan; tata ruang yang tidak jelas; institusi pemerintah dan NGO yang diberi kewenangan mengurusi hutan tumpang tindih antara satu dengan lainnya; tingkat pemahaman pemerintah dan masyarakat disekitar wilayah yang diusulkan untuk wilayah program REDD diantaranya : Pertama, kerusakan Hutan di Aceh. Pemerintah Aceh melaporkan pada tahun 2007 kerusakan hutan di Aceh terus berlanjut hingga 21.000 hektar pertahun. Kerusakan selain disebabkan oleh pembukaan hutan untuk perkebunan, pertambangan dan pembangunan infrastruktur jalan, kebakaran lahan gambut; dan aktifitas illegal logging. Kegiatan-kegiatan diatas jelas merupakan hambatan bagi upaya pengurangan emisi karbon di Aceh dan hambatan dalam proyek REDD. Kedua, kesadaran, pemahaman dan kapasitas kelembagaan. Seperti juga tantangan di Indonesia, tantangan yang paling umum ditemukan di Aceh dalam proyek REDD ada beberapa hal. Kesadaran komunitas dan pemerintah yang masih harus terus ditingkatkan, karena REDD dan keterkaitan dengan kepentingan pembangunan nasional. Sebagian besar pemerintah menganggap bahwa REDD adalah sesuatu yang dapat mendatangkan uang besar hanya dengan menunjukkan yang memiliki stok karbon tertentu.
816
Respon Masyarakat Adat Ulu-Masen Aceh Terhadap Program REDD (Pratama Handri P)
Ketiga, Kebijakan Lokal dan Nasional. Dalam skala yang lebih luas kebijakan REDD berimplikasi terhadap kebijakan lokal dan hak-hak warga negara- pelaku bisnis dan perekonomian lokal. Dalam konteks kebijakan, pelaksanaan dan institusi misalnya, resiko itu bisa terjadi dalam beberapa hal: Pertama berhubungan gap tata ruang, terutama berkaitan dengan Kebijakan Tata dan sampai saat ini perubahan tata ruang di Aceh belum tuntas sejak daerah ini di landa Tsunami Desember 2004 silam. Konflik tata Ruang dalam penggunaan lahan masih terus terjadi, antara kepentingan konservasi disatu sisi, pelaku bisnis dan masyarakat local Ke-empat, pengelolaan Sumberdaya Alam, serta kelembagaan, yang merupakan masalah yang tidak mudah untuk diselesaikan. Kelembagaan Kehutanan di Aceh, selain lembaga resmi pemerintah, seperti Dinas Kehutanan juga hadir beberapa lembaga tambahan pelaksana pengelolaan kehutanan, seperti Badan Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh Green dan Tipereska. Diluar itu, juga masih ada Yayasan Leuser Internasional-yang memiliki legitimasi setingkat Keputusan Presiden berperan dalam pengembangan Kawasan Ekosistem Leuser. Namun kesumuanya hingga saat ini belum maksimal Kelima, Pemahaman yang masih kabur, meskipun ditingkat nasional, departemen kehutanan telah memiliki regulasi mengenai REDD, namun di tingkat pemerintahan lokal regulasi ini masih cenderung tidak dipahami secara benar. Sehingga berpeluang terjadinya salah implementasi dan memicu konflik dengan warga yang akan menjadi calon yang memper-oleh keuntungan dari proyek ini. Cara lain untuk menetapkan dasar hukum bagi proyek Ulu Masen adalah berupa Surat Keputusan dari Gubernur, yang telah mendukung proyek Ulu Masen sejak konsepsinya pada tahun 2007. Surat Keputusan tersebut akan mengakui Mukim sebagai pengelola sah dari hutan masyarakat, dan menetapkan bagaimana proyek REDD+ akan bekerjasama dengan mereka. Pada pertengahan tahun 2011, Gubernur Aceh mengeluarkan Surat Keputusan yang mengakui hak lima Mukim pesisir untuk mengelola perairan pantai mereka dan perikanan terkait. Lima Mukim tengah berada dalam proses penyelesaian pemetaan wilayah adat mereka, dan diharapkan begitu peta telah selesai, Gubernur akan mengeluarkan Surat Keputusan yang mengakui hak-hak pengelolaan Mukim atas wilayah-wilayah tersebut. Ada perkembangan baru pada penghujung 2011 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau Nama Lain di Aceh, yang ditandatangani pada 20 Desember 2011. SKB ini menegaskan bahwa semua sengketa atau perselisihan yang terjadi di tingkat gampong dan mukim yang bersifat ringan wajib diselesaikan di tingkat gampong dan mukim terlebih dahulu. Perkara yang diurus di tingkat mukim adalah perkara yang tidak bisa diselesaikan di tingkat gampong. Mekanisme penyelesaian sengketa ini adalah peradilan adat.
817
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 809-822
Adapun tugas perwakilan Mukim dalam struktur Unit Manajemen Proyek REDD Ulu Masen Aceh yang dibuat oleh tim Task Force REDD Aceh adalah: 1. Memberikan saran dan masukan terkait pelaksanaan REDD Ulu Masen. 2. Memfasilitasi proses pelaksanaan REDD Ulu Masen. 3. Besama dengan PMU melaksanakan kegiatan perlindungan hutan dan konservasi sumber daya alam kehutanan, perhitungan karbon, verifikasi dan validasi, dan kegiatan lain terkait dengan hal sosial ekonomi. 4. Melakukan komunikasi dan konsolidasi masyarakat terkait dengan pelaksanaan REDD Ulu Masen. 5. Bersama ketua PMU Perwakilan Mukim Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya melaporkan pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada ketua Project Board. Selain itu juga masih terdapat banyak kekhawatiran bahwa penduduk asli atau masyarakat adat disekitar hutan tidak dapat menerima manfaat dari insentif untuk REDD, atau bahkan mendapatkan efek negatif apabila pemerintah yang otoriter atau pemilik lahan besar menggusur mereka agar dapat menerima insentif dari REDD (Griffiths, T. (2007) Melihat “RED”, Program Penduduk Kehutanan.). Terkait dengan persoalan hutan misalnya, dalam UU Kehutanan ditentukan bahwa, hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 angka 6). Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara dan hutan hak. (1) Hutan negara, dapat berupa hutan adat, (2) Pemerintah menetapkan status hutan, (3) hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya, (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah (Pasal 5) Dalam ayat (3) di atas jelas disebutkan bahwa sepanjang kenyataan hutan adat dengan hak ulayatnya masih ada dan diakui keberadaannya, maka selama itu pula negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat. Sebaliknya, apabila masyarakat adatnya tidak ada lagi, maka hak ulayat tersebut kembali ke pemerintah. Jadi syaratnya adalah ada fakta, ada pengakuan, dan adanya masyarakat hukum adat. Mencermati catatan-catatan dalam literatur sebelum kemerdekaan, di Aceh telah lama ada dan diakui keberadaan hak ulayat atas tanah,hutan, pantai, sungai, alur, dan lain-lain, yang antara satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai nama yang berbeda-beda. Misalnya istilah bur prutemen untuk menunjukkan hak ulayat masyarakat adat Gayo Luwes dalam pengembalaan hewan. Masalahnya, keberadaan fakta saja tidak cukup, tetapi harus pula disertai dengan pengakuan secara hukum. Jadi harus ada aturan hukum yang menegaskan bahwa hakhak ulayat dari masyarakat hukum adat tersebut memang senyatanya telah diakui. Pengakuan hukum tersebut dapat tertera dalam Qanun Provinsi atau Qanun Kabupaten atau pada peraturan yang lebih rendah.
818
Respon Masyarakat Adat Ulu-Masen Aceh Terhadap Program REDD (Pratama Handri P)
Sehingga dengan adanya pengakuan juridis ini akan menjadi jelas apa, dimana, berapa luas, dan berbatasan dengan apa wilayah hutan adat hak ulayat masyarakat gampong atau mukim. Malah sebaiknya, setiap kabupaten di Aceh memiliki peta hak ulayat atau hutan adat masyarakatnya, yang dimuat sebagai lampiran peraturannya. Pengakuan secara Hukum ini menjadi makin penting, yaitu manakala Pemerintah akan melakukan berbagai programnya yang mengundang investasi asing di wilayah hak ulayat, yang mengharuskannya mempertimbangkan eksistensi masyarakat hukum adat. Adanya penegasan juridis ini penting untuk mencegah terjadinya konflik antara masyarakat adat dengan para investor, dimana kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan hak ulayat tersebut adalah: 1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat, 2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai ruang hidup yang merupakan obyek hak ulayat; 3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hukum. Persyaratan tersebut diatas tidak perlu dipenuhi secara kumulatif, hal itu merupakanpetunjuk bahwa hak adat atas tanah dan sumber daya alam di kalangan masyarakatadat tersebut masih ada. Kriteria ini diharapkan bukan menjadi pembatas suatukomunitas dikatakan bukan masyarakat adat, tapi membantu para pengambilkeputusan untuk menerima keberadaan suatu masyarakat adat. Sedangkanwewenang Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Hutan yang dimaksudumumnya mencakup; 1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok tanam, dll), persediaan (pembuatan pemukiman/persawahan baru dll), dan pemeliharaan tanah. 2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah (memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu) 3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual beli, warisan dll). Wewenang masyarakat adat tidak sekedar atas obyek tanah, tetapi juga atas obyekobyek sumber daya alam lainnya yaitu semua yang ada di atas tanah (pepohonan, binatang, bebatuan yang memiliki makna ekonomis); didalam tanah bahan-bahan galian), dan juga sepanjang pesisir pantai, juga diatas permukaan air, di dalam air maupun bagian tanah yang berada didalamnya. Terdapat banyak kekhawatiran bahwa penduduk asli atau masyarakat adat disekitar hutan tidak dapat menerima manfaat dari insentif untuk REDD, atau bahkan mendapatkan efek negatif apabila pemerintah yang otoriter atau pemilik lahan besar menggusur mereka agar dapat menerima insentif dari REDD (Griffiths, T. (2007) Melihat “RED”, Program Penduduk Kehutanan.).
819
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 809-822
Sistem nasional dapat dan seharusnya dirancang bersama-sama dengan penduduk asli dan memastikan bahwa mereka mendapatkan keuntungan. Dimana kita ketahui bahwa hutan memberikan sumber mata pencaharian bagi ratusan juta orang di seluruh dunia. Oleh karenanya, perhatian lebih harus diberikan pada kepemilikan lahan dan hak penggunaan secara adat sehingga masyrakat adat yang berada disekitar kawasan program REDD di Aceh maupun di seluruh Indonesia dapat sejahtera.
Kesimpulan Implementasi REDD bagi pemerintah Aceh memberi kesempatan pemerintah daerah menata pembangun kedalam integrasi pembangunan berkelanjutan. Memperoleh manfaat mereduksi kerusakan hutan, keanekaragaman hayati, mengurangi kemiskinan, memberi kontribusi bagi pengurangan emisi karbon dunia. REDD dapat menjadi jembatan pembangunan antara negara annex 1 dan negara annex 2. Dalam proyek REDD di Aceh, pemerintah Aceh saat ini sudah menyediakan tiga kawasan yang nantinya akan menjadi kawsan program REDD yaitu, Ulu Masen seluas 750.000 Ha yang tersebar di 5 kabupaten, Kawasan ekosistem Leuser dan Kawasan Rawa Tripa. Dimana wilayah hutan tersebut akan dikonservasi oleh PEMDA Aceh bersama pihak asing. Hutan yang akan menjadi proyek REDD merupakan hutan adat, dimana masyakarat pribumi tinggal serta menggantungkan hidupnya pada hutan dan sumber daya hutan tersebut. Rencana Implementasi REDD di Aceh masih mendapat tentangan keras dan penolakan dari berbagai komponen masyarakat sipil di Aceh, termasuk dari masyarakat adat. Karena masyarakat masih belum paham akan apa itu REDD dan unsur budaya dan kepercayaan yang ada akan penting nya hutan adat yang merupakan warisan leluhur mereka. Dari hasil penelitan banyak persoalan yang ditemukan ditingkat masyarakat seperti :Informasi, kapasitas, sosial dan ekonomi masyarakat adat serta hak-hak masyarakat adat terhadap wilayahnya.Pemerintah Aceh baru bisa mengetahui persetujuan masyarakat (menerima atau menolak) atas rencana implementasi REDD di Aceh jika Pemerintah Aceh telah mengembalikan sepenuhnya Kedaulatan Mukim atas Wilayah, Sumber Daya Alam dan Tata Pemerintahan. akan diberikan setelah semua permasalahan dan tuntutan mukim dipenuhi.
Daftar Pustaka Buku Arief, A. 1994. Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap lingkungan. Yayasan. Obor Indonesia. Jakarta Atmadja, S. Dan Wollenberg, E. 2010 Indonesia dalam springate-baginski, O. dan Wollenberg, E. REDD, forest governance and rural livelihoods: the emerging agenda, 73-94. CIFOR, Bogo. Indonesia
820
Respon Masyarakat Adat Ulu-Masen Aceh Terhadap Program REDD (Pratama Handri P)
Aufa, John Wiclif. 1997. Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Setani di Tinjau dari UUPA. Yogyakarta Bagong, Suyanto J. Dwi Narwoko. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarata: Kencana Media Group Imam Sudiyat, 2010, Hukum Adat Sketsa Asas, penerbit Liberty Jogjakarta Kim, U. & Berry, J.W. 1993. Indigenous Psychologies: Experience and Research in Cultural Context. Newbury Park, CA: Sage Publication Maria S.W.Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Tjasyono,Bayong. 1987. Iklim dan Lingkungan. Bandung: PT Cendekia Jaya Utama
Internet Forest Condition Ulu Masen – Aceh https://gayoaceh.wordpress.com/category/redd/page/2/ Green World 2007, www.wordpress.com/2010/04/14/redd-ulu-masen-realita diakses 05 Oktober 2014 Kerusakan hutan di Indonesia terdapat di www. indonesia.org/id/story/tokohmasyarakat-adat-angkat-bicara-tentang-ulu-masen-kami diakses 20 OKtober 2014 Laporan kajian kebijakan kehutanan masyarakat dan kesiapan dalam REDD+ http://fkkehutananmasyarakat.files.wordpress.com/2012/03/laporan-kajiankebijakan-km-dan-kesiapan-redd1.pdf diakses pada 10 agustus 2013 Skema implementasi program REDD Ulu Masen Aceh terdapat di https://gayoaceh.wordpress.com/2011/06/06/distribusi-manfaat-dari-proyekredd/#more-740 diakses 07 Juni 2015 Skema Proyek REDD I Aceh terdapat http://www.jkma-aceh.org/kedaulatanmasyarakat-adat-dalam-proyek-redd-di-aceh/ diakses 21 Mei 2014 Slideshare “strategi REDD – Indonesia fase readiness 2009 – 2012 dan progress implementasinya.” http://www.slideshare.net/ignoramus/buku-strategi-reddindonesia-2009-2012pdf diakses pada 11 Mei 2015
821
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 3, 2015: 809-822
Paper__Buku 5 Tahun DNPI-Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban Bangsa-Bab 1.pdf http://dnpi.go.id/DMS.V3/download.php?id=350 diakses pada 21 Mei 2014 sekilas_tentang_perubahan_iklim_2.pdf
822