Kerangka Acuan
SOSIALISASI UU ORMAS Oleh: Koalisi Kebebasan Berserikat [KKB]
A. TUJUAN DAN SASARAN Kerangka acuan sosialisasi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disingkat UU Ormas) merupakan saluran untuk mengetahui secara umum proses pembentukan dan substansi UU Ormas, sekaligus mendapatkan gambaran tentang dinamika yang menyertai pembahasannya. Basis penyusunan kerangka acuan ini adalah hasil pemantauan terhadap seluruh perkembangan dari penyusunan, pembahasan hingga pengesahan (R)UU Ormas. Kerangka acuan ini dapat dibaca dan dirujuk oleh siapapun yang ingin mendalami profil UU Ormas. Para pihak yang mampu memahami kerangka acuan ini dapat turut berpartisipasi menyebarluaskannya ke berbagai kalangan. Target dari penggunaan kerangka acuan adalah sekelompok individu yang telah dan akan membentuk organisasi, baik berbadan hukum (yayasan maupun perkumpulan) atau tidak berbadan hukum, yang diperkirakan akan terkena dampak pengaturan UU Ormas. Penguasaan secara tepat terhadap kerangka acuan sosialisasi UU Ormas dapat memandu para pihak yang ingin merespon latar belakang dan implementasi UU Ormas. Selain itu, kerangka acuan ini dapat menjadi bekal atau pegangan tersendiri bagi para pihak yang ingin melakukan advokasi apabila pelaksanaan UU Ormas menimbulkan atau disertai tindakan sewenang-wenang dan penindasan.
B. SEJARAH Desakan untuk segera membahas (R)UU Ormas merupakan salah satu (mandat) dari kesimpulan rapat kerja gabungan antara DPR dan Pemerintah pada Senin, 30 Agustus 2010. Rapat tersebut melibatkan Komisi II, Komisi III, dan Komisi VIII dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Agama, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Intelijen Negara. Diketuai oleh Priyo Budi Santoso (Wakil Ketua DPR RI/Koordinator Bidang Politik dan Keamanan), rapat tersebut menyepakati sejumlah kesimpulan, yaitu: 1. Menolak seluruh bentuk tindakan kekerasan atas nama apapun (suku, agama, kelompok etnis, kelompok kepentingan, dan lain-lain) karena bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Mendorong Pemerintah dan aparat penegak hukum agar tegas dalam penegakan hukum terhadap perilaku-perilaku kekerasan dan anarkis oleh siapapun yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. 3. Mendorong Pemerintah dan aparat penegak hukum agar bertindak cepat dan tegas terhadap Ormas yang perilakunya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 4. Segera melakukan revisi terhadap UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana pandangan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang berkembang dalam rapat gabungan. Selain berdasarkan hasil rapat kerja gabungan antara DPR dan Pemerintah, 30 Agustus 2010, latar belakang (R)UU Ormas dapat ditelusuri juga melalui bacaan terhadap dokumen Naskah Akademik (NA) (R)UU Ormas. Terdapat 3 (tiga) landasan yang mendasari kelahiran (R)UU Ormas, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Landasan Filosofis
•
Kebebasan berserikat merupakan jantung dari sistem 1|Page
• • Landasan Sosiologis • • • Landasan Yuridis •
berdemokrasi sehingga perlu diberi ruang dan perlindungan. Negara berkewajiban menjamin dan memfasilitasi kegiatan masyarakat, termasuk yang dilakukan secara berorganisasi. Relasi antar individu dalam menyelesaikan persoalan dan memenuhi kebutuhannya mengandalkan kebersamaan dan kerjasama dalam pola berkelompok. Antarkelompok melakukan interaksi yang kemudian membentuk kesatuan sosial yang lebih besar. Untuk mempertahankan kesatuan sosial perlu menyepakati sejumlah pegangan, termasuk dalam hal ini perangkat hukum. Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Bagian dari hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia se-Dunia (Universal Declaration of Human Rights) pada 10 Desember 1948. Keberadaan UU 8/1985 sudah tidak sesuai dengan perkembangan sosial politik Indonesia, khususnya era reformasi.
Dari yang termuat dalam NA (R)UU Ormas atau yang dibahas selama Rapat Kerja Gabungan 30 Agustus 2010, setidaknya terdapat 2 (dua) alasan yang seringkali dikemukakan oleh DPR dan Pemerintah yang kemudian menjadi alasan utama kehadiran (R)UU Ormas, yaitu: Pertama, mereka berdalih bahwa keberadaan (R)UU Ormas diperlukan untuk menindak organisasi yang memiliki massa dan melakukan kekerasan (dalam bentuk demonstrasi dengan kekerasan, sweeping, dll). Selama ini pemerintah hanya bisa menjerat pelaku di lapangan, sedangkan pengurus atau pihak yang memberikan perintah tidak bisa dijangkau. Bahkan ketika ingin membubarkan suatu ormas pelaku kekerasan dan yang sudah nyata berbuat onar, Pemerintah tidak mampu berbuat apa-apa karena beranggapan tidak memiliki landasan hukum yang tepat. Kedua,selain soal kekerasan di ruang publik, DPR dan Pemerintah berulang kali menyatakan bahwa urgensi (R)UU Ormas, salah satunya adalah mewujudkan tata kelola ormas, terutama yang terkait dengan transparansi dan akuntabilitas. DPR dan Pemerintah menganggap bahwa selama ini ormas tidak mampu bersikap profesional dalam mengelola urusan administrasi, keuangan hingga kinerja keorganisasian. Bahkan mengacu data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), DPR dan Pemerintah mencurigai adanya LSM yang tidak transparan dan akuntabel dalam menerima dan menggunakan dana yang bersumber dari pihak asing atau bahkan APBN/APBD. Dikhawatirkan, pengelolaan dana asing bertujuan sebagai sarana pencucian uang dan kegiatan terorisme. Untuk itu, DPR dan Pemerintah memerlukan landasan hukum yang memungkinkan seluruh ormas mampu berlaku transparan dan akuntabel. Keduanya merasa perangkat peraturan perundang-undangan yang ada selama ini masih belum mampu membentuk profil ormas yang transparan dan akuntabel. Melalui sebuah Panitia Khusus (Pansus), DPR bersama dengan Pemerintah (yang diwakili oleh Kementerian Dalam Negeri) membahas (R)UU Ormas hampir dua tahun. DPR memperpanjang periode pembahasan hingga 7 (tujuh) kali masa sidang. Bahkan DPR dan Pemerintah sempat menunda pengesahan (R)UU Ormas dalam dua kali Rapat Paripurna, yaitu 12 April 2013 dan 25 Juni 2013. Pada kesempatan satu minggu penundaan pengesahan (R)UU Ormas, terhitung mulai 25 Juni 2013, DPR mengadakan sosialisasi kepada kelompok organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Pertemuan tersebut menargetkan “segala masukan akan diterima guna mencari kesepakatan bersama”. Namun akhirnya Muhammadiyah, KWI, dan PGI tetap bersikap menolak dan menyampaikan masukan tentang kesalahan paradigmatik yang mendasari (R)UU Ormas hingga kelahiran (R)UU Ormas yang tidak diperlukan karena tidak menjawab persoalan yang berkembang di
2|Page
masyarakat. Sementara NU memberikan catatan kritis mencampuradukkan ormas, perkumpulan, yayasan hingga LSM.
tentang
definisi
ormas
yang
Sikap yang kurang lebih sama yaitu mempertanyakan bahkan menolak (R)UU Ormas ditunjukkan pula oleh beberapa lembaga, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Hukum Nasional (KHN), dan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI). Setelah KHN pada Juli 2012, Komnas HAM pada Februari dan Juni 2013 merilis Pokok-pokok Pikiran tentang (R)UU Ormas Dalam Perspektif HAM. Menurut Komnas HAM, pengaturan ormas melalui bentuk dan bukan dalam hal substansinya. Langkah ini dilakukan dalam lingkup melengkapi UU Yayasan (UU No. 16 Tahun 2001) dan membentuk UU Perkumpulan. Sedangkan P2P LIPI menyatakan bahwa penyusunan (R)UU Ormas sangat keliru, karena cenderung melihat masyarakat sebagai sumber ancaman, konflik sosial, dan disintegrasi bangsa (Juli 2013). Melalui Rapat Paripurna 2 Juli 2013,(R)UU Ormas akhirnya disepakati menjadi Undang-Undang melalui mekanisme voting. Tercatat, tiga fraksi yaitu Fraksi PAN, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura menyatakan tidak setuju. Sedangkan 6 (enam) fraksi lainnya antara lain Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PKS, Fraksi PPP, dan Fraksi PKB, menyatakan setuju. Pada 22 Juli 2013, (R)UU Ormas yang sudah disetujui resmi diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Ditempatkan di Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 116 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5430. Saat ini, Pemerintah sedang menyiapkan sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan teknis (turunan) dari UU Ormas. Beberapa diantaranya yang sudah dikonfirmasi oleh pejabat Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Hukum dan HAM adalah PP tentang Pendaftaran Ormas, PP Pemberdayaan Ormas, PP Ormas Asing, PP Sistem Informasi Ormas, PP Tata Cara Penyelenggaraan Ijin Operasional Ormas, PP Tata Cara Pengawasan, dan PP Penjatuhan Sanksi.
C. PROFIL Bagian ini hanya menginformasikan beberapa materi pengaturan (dalam UU Ormas) yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Dengan kata lain, profil UU Ormas tidak menyajikan seluruh muatan UU Ormas, sehingga proses mendalami kerangka acuan (sosialisasi UU Ormas) perlu menyertakan naskah UU Ormas. Batang Tubuh UU Ormas terdiri dari 87 pasal dan 19 bab, yaitu: BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII BAB VIII BAB IX BAB X BAB XI BAB XII
KETENTUAN UMUM ASAS, CIRI, DAN SIFAT TUJUAN, FUNGSI, DAN RUANG LINGKUP PENDIRIAN PENDAFTARAN HAK DAN KEWAJIBAN ORGANISASI, KEDUDUKAN, DAN KEPENGURUSAN KEANGGOTAAN AD DAN ART ORMAS KEUANGAN BADAN USAHA ORMAS PEMBERDAYAAN ORMAS
Pasal 1 Pasal 2 s/d Pasal 4 Pasal 5 s/d Pasal 8 Pasal 9 s/d Pasal 14 Pasal 15 s/d Pasal 19 Pasal 20 s/d Pasal 21 Pasal 22 s/d Pasal 32 Pasal 33 s/d Pasal 34 Pasal 35 s/d Pasal 36 Pasal 37 s/d Pasal 38 Pasal 39 Pasal 40 s/d Pasal 42 3|Page
BAB XIII BAB XIV BAB XV BAB XVI BAB XVII BAB XVIII BAB XIX
ORMAS YANG DIDIRIKAN OLEH WARGA NEGARA ASING PENGAWASAN PENYELESAIAN SENGKETA ORGANISASI LARANGAN SANKSI KETENTUAN PERALIHAN KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43 s/d Pasal 52 Pasal 53 s/d Pasal 56 Pasal 57 s/d Pasal 58 Pasal 59 Pasal 60 s/d Pasal 82 Pasal 83 Pasal 84 s/d Pasal 87
Definisi Ormas Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila1. Siapa yang Diatur Berdasarkan Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, minimal tiga orang warga negara Indonesia atau lebih, bisa mendirikan ormas. Jika ada yang ingin mendirikan ormas dalam bentuk yayasan, maka tidak disyaratkan jumlah minimal, karena yayasan merupakan bentuk organisasi yang tidak berbasiskan anggota. Sedangkan yang berbasis anggota merupakan organisasi berbentuk perkumpulan. UU Ormas mengatur jenis ormas yang berbadan hukum (seperti yayasan dan perkumpulan) dan juga yang tidak berbadan hukum. Apapun ruang lingkup Ormas, apakah itu nasional, provinsi, atau kabupaten/kota, tetap akan dijangkau oleh UU Ormas. UU Ormas mengecualikan organisasi sayap partai politik. Di saat yang bersamaan, UU Ormas mengatur organisasi yang bergerak nyaris di seluruh bidang, mulai dari keagamaan hingga seni. Artinya secara praktek, lembaga pengelola pesantren, amil zakat, panti asuhan, rumah sakit, sekolah, organisasi kepemudaan, komunitas pecinta seni dan film, asosiasi atau perkumpulan keilmuan, profesi, hobi, organisasi sosial/filantropi hingga paguyuban keluarga akan diatur oleh UU Ormas.
Contoh Penerapan Pengertian Ormas (dalam bentuk yayasan): UU Ormas berlaku bagi yayasan yang beraktivitas di tingkat desa hingga ibukota negara. Yayasan baru dan lama. Yayasan milik warga negara Indonesia, warga negara asing atau keduanya. Yayasan yang didirikan oleh warga biasa, tokoh agama, tokoh masyarakat atau pejabat pemerintah hingga kalangan swasta. Apapun jenis kegiatan yayasan akan diatur oleh UU Ormas. Salah satu contoh, mulai dari sosial-pendidikan (Yayasan Pendidikan Maarif, Yayasan Atmajaya, dan Yayasan Pendidikan Anak Cacat), sosial-keagamaan (Yayasan Dompet Dhuafa dan Yayasan Gloria), seni budaya (Yayasan Swara Mahardika dan Yayasan Pusat Perfilman Haji Umar Ismail), sosial-kesehatan (Yayasan Jantung Indonesia dan Yayasan Kanker Indonesia), hingga sosial-filantropi (Kick Andy Foundation, Sampoerna Foundation, dan Djarum Foundation).
Apa Yang Diatur Dalam UU Ormas? • Pendirian Ormas
1
Bandingkan dengan pengertian Ormas berdasarkan Pasal 1 UU 8/1985 yaitu organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
4|Page
Pasal 12 dan Pasal 13 memberikan petunjuk tentang syarat pendirian ormas yang berbentuk perkumpulan dan yayasan. Bagi yang ingin mendirikan perkumpulan, syaratnya yaitu: 1. akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD dan ART; 2. program kerja; 3. sumber pendanaan; 4. surat keterangan domisili; 5. nomor pokok wajib pajak atas nama perkumpulan; dan 6. surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau dalam perkara di pengadilan. Adapun syarat mendirikan yayasan mengikuti ketentuan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. • Pendaftaran Ormas Dari Pasal 15 diketahui bahwa ormas yang berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan pengesahan badan hukum. Dengan demikian, ketika suatu ormas sudah memperoleh status badan hukum (yayasan atau perkumpulan), maka ormas tersebut tidak memerlukan Surat Keterangan Terdaftar (SKT). Bagi ormas yang tidak berbadan hukum, pendaftarannya dilakukan dengan pemberian SKT. Adapun syaratnya berdasarkan Pasal 16 ayat (2) yaitu: a. akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat AD atau AD dan ART; b. program kerja; c. susunan pengurus; d. surat keterangan domisili; e. nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas; dan f. surat pernyataan tidak sedang dalam sengketa kepengurusan atau tidak dalam perkara di pengadilan; dan g. surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan.
Contoh organisasi yang diberikan SKT oleh Kementerian Dalam Negeri Berdasarkan dokumen Daftar Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat Yang Terdaftar di Kementerian Dalam Negeri Tahun 2010 ditemukan (salah satu contohnya) adalah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (Nomor SKT No. 003/D.III.3/I/2010 tanggal 4 Januari 2010), Yayasan Peduli Pemulung (Nomor SKT No. 102/D.III.3/III/2010 tanggal 24 Maret 2010), Perkumpulan Kaligrafi dan Seni Indonesia (Nomor SKT No. 018/D.III.3/I/2010 tanggal 14 Januari 2010), Komunitas Sepeda Tua Indonesia (Nomor SKT No. 032/D.III.2/I/2010 tanggal 13 Januari 2010), Persatuan Beladiri Tradisional Tarung Bebas Ujungan Indoboxing (Nomor SKT No. 148/D.III.2/IV/2010 tanggal 14 April 2010), Himpunan Petani Karet dan Sawit Masyarakat (Nomor SKT No. 277/D.III.2/VI/2010 tanggal 16Juni 2010),dan Asosiasi Kontraktor Konstruksi Indonesia (Nomor SKT No. 345/D.III.2/VIII/2010 tanggal 11 Agustus 2010). Contoh lain dari Direktori Organisasi Kemasyarakatan Tahun 2009 yang dipublikasikan oleh Pusdatinkomtel Kementerian Dalam Negeri antara lain Kelompok Warga Pecinta Kali Bersih (Nomor SKT No. 23/D.I/II/2003), Paguyuban Seni Pernapasan Chikung “SINAR SEJATI” (Nomor SKT No. 21/D.I/II/2003), Asosiasi Ahli Rias Pengantin Modifikasi dan Modern Indonesia (Nomor SKT No. 72/D.III.3/VII/2008), dan Ikatan Pengemudi Truck Seluruh Indonesia (Nomor SKT No. 118/D.I/X/2003).
• Keuangan Ormas Mengenai keuangan ormas, UU Ormas mengidentifikasi sumbernya dari: 1. iuran anggota; 2. bantuan/sumbangan masyarakat; 3. hasil usaha ormas; 4. bantuan/sumbangan dari orang asing atau lembaga asing; 5. kegiatan lain yang sah menurut hukum; dan/atau 5|Page
6. anggaran pendapatan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah (Pasal 16 ayat (1)). UU Ormas mewajibkan pengelolaan keuangan ormas menggunakan rekening pada bank nasional (Pasal 16 ayat (3)).Terkait dengan sumber keuangan ormas dari iuran anggota, UU Ormas mewajibkan pembuatan laporan pertanggungjawaban keuangan sesuai dengan standar akuntansi secara umum atau sesuai dengan AD dan/atau ART (Pasal 38 ayat (1)). Sedangkan sumber keuangan yang berasal dari bantuan/sumbangan masyarakat, UU Ormas mewajibkan ormas mengumumkan laporan keuangan kepada publik secara berkala (Pasal 38 ayat (2)). • Badan Usaha Ormas Ormas yang berbadan hukum (yayasan atau perkumpulan) dapat mendirikan badan usaha (Pasal 39). • Ormas Asing Ada tiga wujud ormas asing yang diatur oleh UU Ormas, yaitu: 1. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain; 2. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga negara asing atau warga negara asing bersama warga negara Indonesia; atau 3. badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing (Pasal 43). Ormas asing yang ingin melakukan kegiatan di Indonesia harus memiliki dua bentuk izin, yaitu izin prinsip dan izin operasional. Pasal 44 s/d Pasal 47 mengatur prosedur mendapatkan kedua prinsip tersebut dan persyaratan pengesahan ormas asing. Saat melaksanakan kegiatannya, setiap ormas asing wajib bermitra dengan Pemerintah dan ormas yang didirikan oleh warga negara Indonesia atas izin Pemerintah (Pasal 48). • Larangan Ormas Pasal 59 UU Ormas mengatur berbagai larangan bagi ormas. Ada dua kategori larangan, pertama, bersifat administratif, mulai dari menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera atau lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau lambang ormas. Kedua, berdasarkan kegiatan atau tindakan, seperti melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan, mengumpulkan dana untuk partai politik hingga menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. • Sanksi Jenis sanksi yang diatur melalui UU Ormas adalah sanksi administratif (Pasal 60) dan ditujukan bagi ormas (baik yang berbadan hukum maupun tidak, termasuk ormas asing) yang melanggar sejumlah ketentuan yang diatur Pasal 21 dan Pasal 59. Namun, sebelum sanksi administratif diberikan kepada ormas yang melanggar ketentuan Pasal 21 dan Pasal 59, Pemerintah lebih dulu melakukan upaya persuasif. Jenis sanksi administratif yaitu: a. peringatan tertulis (berjenjang dari kesatu, kedua, dan ketiga); b. penghentian bantuan dan/atau hibah; c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau d. pencabutan SKT atau pencabutan status badan hukum (Pasal 61). Pasal 62 hingga Pasal 82 mengatur lebih lanjut terkait tahapan pemberian sanksi seperti periode waktu yang disediakan dan pihak-pihak yang terlibat hingga upaya hukum yang memungkinkan bagi ormas dalam melakukan pembelaan diri. Bagaimana Ormas yang Didirikan Sebelum UU Ormas Diberlakukan?
6|Page
Lantas, ketika UU Ormas mulai berlaku, bagaimana status ormas yang sekarang ada? Ada 4 (empat) situasi yang diantisipasi oleh UU Ormas melalui Pasal 83, yaitu: 1. Ormas yang telah berbadan hukum (yayasan atau perkumpulan) sebelum berlakunya UU Ormas tetap diakui keberadaannya; 2. Ormas yang telah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang PerkumpulanPerkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan konsisten mempertahankan NKRI, tetap diakui keberadaan dan kesejarahannya sebagai aset bangsa, tidak perlu melakukan pendaftaran; 3. SKT yang sudah diterbitkan sebelum UU Ormas berlaku, tetap berlaku sampai akhir masa berlakunya; dan 4. Ormas yang didirikan oleh warga negara asing, warga negara asing bersama warga negara Indonesia, atau badan hukum asing yang telah beroperasi harus menyesuaikan dengan ketentuan UU Ormas dalam jangka waktu paling lama tiga tahun terhitung sejak UU Ormas diundangkan.
D. DAMPAK PENGATURAN 1. Kerancuan Hukum Akibat UU Ormas yang menempatkan yayasan dan perkumpulan dalam satu kelompok pengertian (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11), maka akan timbul kerancuan. Yayasan merupakan bentuk organisasi (berbadan hukum) yang tidak berbasiskan anggota dan sudah diatur dalam undang-undang tersendiri (UU No. 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah oleh UU No. 28 Tahun 2004). Tentu tidak tepat jika koridor pengaturannya diletakkan secara bersamaan dan dinaungi oleh UU Ormas yang menyertakan juga organisasi (berbadan hukum) yang tidak berbasiskan anggota, dalam hal ini Perkumpulan yang juga (masih) diatur dalam aturan khusus (yaitu Staatsblad 1870 Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum). Dengan kata lain, sesungguhnya organisasi yang berbadan hukum telah diatur dalam undang-undang tersendiri. Keberadaan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 justru menyempitkan amanat UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berorganisasi hanya menjadi “ormas”. 2. Belenggu Kerumitan Administrasi dan Birokrasi Ada kekhawatiran jika UU Ormas menjadi “UU payung”. Untuk apa? Pengaturan ormas sebagai “UU payung” hanya akan menambah panjang birokrasi, perijinan, dan mekanisme yang rumit yang pada ujungnya akan menciderai kemerdekaan berserikat dan berorganisasi di Indonesia. Sebagai contoh, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 mengatur ruang lingkup ormas (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota). Aturan yang terlihat mengikuti logika partai politik ini akan menentukan otoritas pendaftaran dan pengawasan. Jika sekelompok orang ingin mendirikan organisasi dalam bentuk yayasan misalkan, maka prakteknya secara umum tidak mengenal pembagian kepemilikan struktur organisasi dan kepengurusan pada sejumlah wilayah tertentu. Tidak tertutup kemungkinan suatu yayasan masih akan disyaratkan dengan seperangkat sarana administrasi untuk memenuhi kualifikasi otoritas berdasarkan implementasi Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25. 3. Memperluas Pendekatan dan Kontrol politik UU Ormas akan menimbulkan kekacauan mendasar karena mencampuradukkan badan hukum yayasan ke dalam kategori ormas. Ketika suatu organisasi memilih (identitas) yayasan, apakah kemudian di saat yang bersamaan dia diikat pula dengan kewajiban terhadap pengakuan sebagai ormas? Kapan organisasi tersebut sebagai yayasan dan ormas? Ribuan yayasan yang sudah ada selama ini (yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, kesehatan, seni budaya, dll) akan terseret ke ranah politik di bawah kendali pengawasan Pemerintah (Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik/Kesbangpol, Kementerian Dalam Negeri)/Dinas Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas). Konsekuensinya,
7|Page
yayasan dapat dibekukan hingga dibubarkan, bukan hanya melalui instrumen UU Yayasan, tapi juga ditambah dengan UU Ormas. Tidak tertutup kemungkinan di kemudian hari konsekuensi tidak langsung dari “kendali pengawasan” yayasan oleh Kementerian Dalam Negeri/pemerintah daerah merambah pada wilayah organisasi seperti administrasi, keuangan, hingga pemberlakuan sanksi, yang kesemuanya mengatasnamakan kepentingan pembinaan dan ketertiban Ormas. 4. Konflik Norma Konsekuensi UU Ormas yang mencampuradukkan yayasan dan perkumpulan,ke dalam kategori ormas mengakibatkan konflik norma dan kompleksitas tataran implementasi, karena sebuah organisasi harus tunduk pada dua undang-undang yang mengatur pembidangan-pembidangan yang sama. Menempatkan UU Ormas sebagai undang-undang payung bagi berbagai bentuk organisasi kemasyarakatan adalah pemikiran yang keliru. Istilah undang-undang payung menunjukkan DPR dan Pemerintah kebingungan menempatkan UU Ormas ini secara hierarkis, jika bukan karena kekurangtelitian atau bahkan mengarah pada kegagalan tahapan harmonisasi dan sinkronisasi. UU Ormas menimbulkan potensi konflik dengan UU Yayasan. Melalui Pasal 35 ayat (2), UU Ormas berupaya mengatur lebih jauh kategorisasi materi AD/ART yayasan. Padahal seharusnya materi AD/ART yang diperuntukkan bagi badan hukum yayasan lebih tepat dan relevan berpedoman kepada UU Yayasan sendiri. Selain itu, Pasal 35 ayat (2) ini tidak konsisten dengan norma Pasal 13 yang menyatakan bahwa badan hukum yayasan diatur dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini UU Yayasan). Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan setiap anggota ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama akan menimbulkan potensi kesalahpahaman. Jika yang dimaksud “setiap anggota ormas memiliki hak dan kewajiban yang sama” termasuk anggota (ormas) yayasan, maka ini berbeda (makna “setiap anggota ormas”) dengan organ dalam yayasan yang dibedakan antara pembina, pengurus, dan pengawas. Antara posisi pembina, pengurus, dan pengawas memiliki perbedaan peran dan kewenangan karena berasal dari hak dan kewajiban yang berbeda pula. Contoh lain adalah pemberlakuan sanksi administratif dalam UU Ormas (Pasal 60 s/d Pasal 82). Perlu diketahui bahwa sanksi administratif (terhadap organisasi berbadan hukum yayasan) sangat berkaitan erat dengan sejumlah tindakan pendahuluan yang memungkinkan dan memerlukan serangkaian pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 s/d Pasal 56 UU Yayasan. Jika posisi UU Ormas ini memayungi semua badan hukum termasuk yayasan (dan dikembalikan lagi pada konsistensi Pasal 13 serta dengan alasan bahwa UU Yayasan belum mengatur lebih detail mengenai sanksi administratif), maka kebutuhan tentang pengaturan sanksi administratif terhadap badan hukum yayasan seharusnya dikembalikan dan diatur lebih lanjut dalam RUU Perubahan UU Yayasan. 5. Ketentuan Larangan Multitafsir Pasal 59 UU Ormas memuat serangkaian larangan berkategori multitafsir yang berpeluang disalahgunakan sesuai selera penguasa. Organisasi anti korupsi yang sedang menyuarakan upaya penindakan terhadap pejabat atau pemimpin formal yang korup dapat dianggap sebagai organisasi yang membahayakan keselamatan negara. Organisasi yang mengkampanyekan perlawanan terhadap pelanggaran HAM berat kepada dunia internasional, bisa saja dinilai sebagai organisasi yang melakukan kegiatan yang mengancam, mengganggu, dan/atau membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI. Organisasi yang menerima dana asing, misalnya dari lembaga kerjasama internasional, badan PBB, funding agency, secara kelembagaan atau perorangan, mungkin saja dilarang karena dianggap sebagai kaki tangan asing dan bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Ada berbagai kewajiban ormas dalam UU Ormas, diantaranya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI, memelihara nilai-nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat, menjaga ketertiban umum dan terciptanya 8|Page
kedamaian dalam masyarakat, dan berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara (Pasal 21). Kelompok pecinta klub sepakbola (sebut saja Jakmania atau Bonek) misalnya, mungkin tidak akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI, atau nilai-nilai agama. Namun akan sulit untuk melihat bagaimana keberadaan kelompok pecinta klub sepakbola akan mempromosikan nilai-nilai tersebut. Berbagai yayasan dalam bidang kesehatan atau panti asuhan akan sulit memperlihatkan keterkaitan dengan promosi persatuan dan kesatuan bangsa. Banyak contoh organisasi yang memiliki praktek melampaui persyaratan minimum good governance, akuntabilitas keuangan, dan partisipasi dalam organisasinya. Pemaksaan persyaratan yang sama bagi berbagai bentuk dan ukuran organisasi, justru akan menyulitkan pemenuhan persyaratan tersebut. Misalnya terkait kepengurusan (Pasal 29) akan sulit dipenuhi karena banyak organisasi berukuran kecil di Indonesia yang mempraktekkan rangkap jabatan.
E. BAHAN BACAAN DAN PENDALAMAN Daftar bahan bacaan dan pendalaman sangat membantu para pihak dalam memahami secara komprehensif kerangka acuan sosialisasi UU Ormas. Bacaan terhadap konteks kelahiran UU Ormas dapat ditemukan pada dokumen Naskah Akademik (R)UU Ormas. Sedangkan keterangan tentang peraturan perundang-undangan berupaya membuka pemahaman publik terhadap urgensi UU Ormas yang sesungguhnya sudah dijawab oleh berbagai aturan, mulai dari UU hingga Peraturan Presiden (Perpres). Selain bacaan dokumen, tersedia juga dalam bentuk video yang bisa diakses melalui fasilitas Youtube. Dokumen (1) Naskah Akademik (R)UU Ormas (September 2011) (2) Naskah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (3) Kajian Penafsiran UU Ormas Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan (1) UUD 1945 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) (3) Staatsblad (Stb) 1870-64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtpersoonlijkheid van Verenegingen) dan RUU tentang Perkumpulan (4) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2011 tentang Yayasan (5) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (6) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (7) UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (8) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (9) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (10) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (11) UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (12) Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 35 Tahun 2011 dan Perpres No. 70 Tahun 2012. Video (1) Visualisasi kajian tentang pengaturan kehidupan organisasi di Indonesia http://www.youtube.com/watch?v=15C2toG3d6Q 9|Page
(2)
Kampanye penolakan (R)UU Ormas https://www.youtube.com/watch?v=WVkJ0wWHQK8
F. PENANGGUNG JAWAB Kerangka acuan sosialisasi UU Ormas ini dibuat oleh Sekretariat Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB). KKB tidak bertanggung jawab terhadap penggunaan dokumen atau informasi yang termuat (dalam dokumen ini) di luar dari tujuan sebagaimana dimaksud pada huruf A (TUJUAN DAN SASARAN). Tidak menutup kemungkinan, sebagian informasi yang termuat memerlukan konfirmasi ulang dan pendalaman. Sekretariat KKB membuka saluran komunikasi bagi para pihak yang ingin mendapatkan informasi dan mempelajari lebih lanjut perjalanan advokasi serta berbagai kajian yang terkait dengan UU Ormas. Sekretariat KKB juga menyediakan narasumber untuk kebutuhan penelitian, peliputan maupun diskusi/seminar. Sekretariat KKB dapat dihubungi melalui nomor telfon 021-8191623 ; faks 021-8500670 ; dan email
[email protected] dengan Saudari Viri.
10 | P a g e