KERAJINAN SULAMAN BENANG EMAS “KASAB ACEH” (Kajian terhadap Corak dan Fungsinya bagi Masyarakat Aceh) Rida Safuan Selian* Abstrak Aceh merupakan daerah yang paling dalam menggurat sejarah kebudayaan Islam di Indonesia, seiring dengan meluasnya kekuasaan serta kejayaan kerajaan Aceh pada masa lalu sehingga mempengaruhi hasil-hasil karya seni yang ada di dalam masyarakatnya. Karya-karya seni tersebut diciptakan untuk memenuhi fungsi sebagai salah satu sarana dakwah agama Islam. Seni kriya atau seni kerajinan sebagai salah satu hasil budaya bangsa pada mulanya bersifat spiritual fungsional yang dibuat dengan teknik atau perwujudan yang menggunakan keterampilan tangan yang tinggi dengan diberi hiasan tertentu. Dalam perkembangannnya, seni kriya atau seni kerajinan yang ada justru menjadi seni-seni tradisional yang secara turun-temurun tetap diperlukan guna memenuhi fungsi-fungsi praktis di kalangan masyarakat. Kerajinan sulaman benang emas “kasab Aceh” merupakan salah satu komponen penting dalam perlengkapan upacara-upacara adat masyarakat Aceh, terutama pada upacara perkawinan, upacara puesijuk atau tepung tawar, pacara sunat rasul dan upacara lainnya yang berfungsi sebagai penghias interior dan barang pakai untuk keperluan upacara. Kata kunci : kebudayaan, seni kriya, seni kerajinan, sulaman
Pendahuluan
Daerah Aceh terletak di ujung pulau sumatera. Daerahnya mencakup wilayah seluas 53.400 Km persegi. Rangkaian pegunungan berbaris sepanjang wilayah tersebut. Di penghujung pulau menampilkan lembah-lembah subur yang membentang ke arah lautan. Banda Aceh sebagai ibukota propinsi terletak di lembah bagian Utara. Aceh merupakan daerah yang paling dalam menggurat sejarah pengaruh Islam di Indonesia. Pengaruh Islam berkembang seiring dengan meluasnya kekuasaan serta kejayaan kerajaan Aceh pada zaman keemasan kerajaan Aceh. Zaman keemasan ini mencapai puncaknya pada saat kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636) dan Sultan Iskandar Thani (1636 – 1641). Di bawah bimbingan dan pemerintahan mereka kebudayaan dan * Penulis adalah dosen Kesenian FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Magister Pendidikan Seni
1
2
kesenian berkembang secara melimpah. Istana kerajaan mengkaryakan seniman-seniman dalam jumlah ratusan, termasuk penyair, pemintal, penyulam, pengayam, pandai emas dan pandai besi, serta pengukir kayu. Orang-orang Aceh yang dapat dikatakan memiliki jalinan sejarah dengan bangsa Arab, yakni salah satu suku bangsa yang senang bersyair yang mempunyai pembawaan lebih dapat merasakan kata-kata yang bersajak dari pada ucapan dalam bentuk susunan kalimat-kalimat biasa. Demikian juga bentuk-bentuk karya seni rupa terutama di bidang kerajinan banyak menggunakan motif-motif dengan stilisasi tumbuh-tumbuhan, bentuk benda alam seperti air, awam, batu dan bentuk-bentuk garis geometris, serta lainnya. Bentuk-bentuk motif dengan penggambaran yang realistis dari bentuk manusia dan hewan sangat jarang digunakan untuk menghiasi benda-benda kerajinan. Jika pun ada, bentuk-bentuk tersebut telah distilisasi atau digubah. Pemilihan motif dengan bentuk tumbuh-tumbuhan dan benda alam berkaitan dengan kepercayaan atau agama orang-orang Aceh yaitu agama Islam. Dalam agama Islam yang mereka percayai dan mengatur jalannya kehidupan masyarakat Aceh terdapat larangan-larangan dalam penggambaran makhluk hidup seperti manusia dan hewan sebagai sumber motif. Orang-orang Aceh mengganggap kalau mereka menggambarkan motif dengan bentuk makhluk hidup seperti penggambaran manusia atau binatang maka pada hari kiamat nanti mereka dituntut untuk memberikan nyawa atau roh kepada bentuk motif binatang atau manusia yang mereka gambarkan. Hal ini mengakibatkan bentukbentuk motif dengan penggambaran makhluk hidup sangat tidak berkembang. Motif-motif dengan bentuk stilisasi tumbuh-tumbuhan dan benda alam seperti air, awan, batu dan lainnya memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Mereka mempercayai bahwa dengan menggambar bentukbentuk motif seperti motif dengan bentuk stilisasi tumbuh-tumbuhan dan benda alam seperti air, awan, batu dan lainnya akan menyatakan sekaligus memberi kesuburan, kekayaan alam dan ketentraman di daerah mereka. Motif-motif stilisasi tumbuh-tumbuhan dan benda alam banyak diambil dari tumbuhtumbuhan yang ada di lingkungan mereka. Penerapan motif ini banyak digunakan untuk kerajinan ukir kayu, ukir logam, tenunan dan sulaman, sedangkan motif-motif garis geometris banyak digunakan
3
pada benda-benda kerajinan anyaman seperti tikar, keranjang, dan kantong. Kerajinan sulaman semakin banyak diminati dan digemari oleh masyarakat karena selain harganya terjangkau juga memiliki motif-motif berupa tumbuhantumbuhan yang sangat bervariasi. Kerajinan sulaman dalam bermacam corak juga menjadi salah satu komponen penting dalam perlengkapan upacara perkawinan masyarakat Aceh. Berdasarkan latar belakang tersebut maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimanakah perwujudan kerajinan sulaman benang emas “kasab Aceh” dari segi corak dan fungsinya bagi masyarakat Aceh.
Konsep Seni Kerajinan
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan atau sistem-sistem makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis. Model-mosel pengetahuan ini digunakan secara selektif oleh warga masyarakat
pendukungnya
untuk
berkomunikasi,
melestarikan
dan
menghubungkan pengetahuan, dan bersikap serta bertindak dalam menghadapi lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan (Geerzt dalam Rohidi 2000: 6). Kriya merupakan kegiatan seni yang menitik-beratkan kepada keterampilan tangan dan fungsi untuk mengolah bahan baku yang sering ditemukan di lingkungan menjadi benda-benda yang tidak hanya bernilai pakai, tetapi juga bernilai estetis. Kriya bisa "meminjam" banyak pengetahuan dalam seni rupa murni seperti cara mematung atau mengukir untuk menghasilkan produk, namun tetap dengan tidak terlalu berkonsentrasi kepada kepuasan emosi seperti lazimnya terjadi misalnya pada karya lukis dan patung. Kriya juga lebih sering mengikuti tradisi daripada penemuan yang sering ditemukan secara individu oleh seorang perupa.
4
Pengertian seni kriya atau kerajinan sampai saat ini masih sering menjadi bahan diskusi yang tidak habis-habisnya dibahas, terdapat beberapa pendapat yang bermacam-macam, hal ini dapat dimaklumi mengingat masing-masing pendapat memiliki sudut pandang dan pendekatan yang berbeda. Soedarso (1990) menyatakan bahwa seni kriya atau kerajinan adalah cabang seni rupa yang sangat memerlukan kekriyaan (craftmanship) yang tinggi seperti misalnya ukir kayu, seni keramik, anyam-anyaman, jahit-jahitan dan sebagainya. Sementara craftmans adalah seniman yang memiliki keterampilan teknik. Lebih lanjut Gustami (1992) menjelaskan sebagai berikut: “Bahwa yang dimaksud seni kriya dalam bahasan ini adalah suatu karya seni yang unik dan karakteristik yang di dalamnya mengandung muatan nilainilai yang mantap dan mendalam menyangkut nilai estetik, simbolik, filosofis, dan fungsinya. Oleh karena itu di dalam perwujudannya didukung “craftmanship” tinggi, akibatnya kehadiran seni kriya termasuk dalam kelompok seni-seni adiluhung ... selanjutnya seni kriya pada massa lampau itu, sekarang mendapat predikat sebagai seni-seni tradisional” Lebih lanjut lagi diungkapkan oleh Gustami sebagai berikut:
“Istilah kriya dan kerajinan dilahirkan dari terjadinya stratifikasi sosial yang telah mengantarkan dualisme budaya dalam masyarakat, budaya agung dalam “tradisi besar” berkembang di dalam tembok keraton di kalangan kaum bangsawan. Sedangkan budaya alit dalam “tradisi kecil” berkembang di luar tembok keraton. Istilah kriya lahir dari tradisi besar untuk menyebut hasil karya seni yang dihasilkan oleh abdi dalem kriya (kriyawan). Istilah kerajinan untuk menyebut hasil karya seni para perajin yang lahir dari tradisi kecil, sedangkan tempat melakukan kegiatan tersebut disebut “desa kerajinan”, oleh karenanya istilah ini lebih memasyarakat”. Pengertian seni kriya sering diselaraskan dengan kerajinan, istilah kriya juga senring dikaitkan dengan applied art atau seni terapan dengan ciri-ciri khusus yang didasarkan atas lekatnya tujuan-tujuan dekonatif yang dalam perwujudannya di dukung oleh keterampilan teknik yang tinggi. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian seni kriya merupakan sesuatu yang dikerjakan dengan kecendrungan lebih banyak melibatkan kemampuan dan keahlian yang dihasilkan tangan oleh tangan terampil serta bersifat dekonatif atau secara visual dibuat dengan sangat artistik dan sering kali merupakan produk yang memiliki fungsi praktis (berguna).
5
Perkembangan selanjutnya ialah bahwa seni kriya dalam pengerjaannya bisa saja menggunakan bantuan peralatan, asalkan sepanjang proses pembuatannya, pembuat sepenuhnya dapat menguasai seluruh proses pengerjaan. Sesungguhnya ada perbedaan istilah yang agak berbeda antara seni kriya dan seni kerajinan dengan latar belakang yang tidak jauh berbeda terutama dalam nilai-nilai yang menyangkut segi kualitas dari penghayatan terhadap cita rasa estetik dan filosofi serta simbol-simbol ekspresi yang tertuang dan mengandung muatan nilai-nilai yang lebih dalam serta sesuai dengan fungsinya yang menyangkut segi-segi ritual dan simbol status. Penampilannya bahkan lebih sempurna dan memuaskan di antaranya mencapai tingkat klasik. Sebaliknya pada seni kerajinan, meskipun seringkali mempunyai fungsi fisik yang sama, tetapi perhatian terhadap muatan tadi sering kali sangat berkurang. Bentuk perwujudannya berkesan wantah, datar, dangkal, dan tidak bermakna, bahkan sering kali tampak kasar dan tidak selesai. Dalam perkembangan lebih lanjut seni-seni tradisional yang secara turun-temurun tetap diperlukan guna memenuhi fungsi-fungsi praktis di kalangan masyarakat luas.
Corak dan Fungsi Kerajinan Sulaman Aceh Kerajinan sulaman benang emas di Aceh atau sering disebut dengan “kasab Aceh” lahir di daerah Aceh Besar. Kerajinan ini pertama-tama muncul di daerah pemukiman atau kecamatan Meuraxa Ulee Lheue dari keturunan sebuah keluarga Teuku. M. Yusuf di kampung Dayah Glumpang Ulee Lheue. Tokoh-tokoh tua dalam kesenian atau kerajinan sulaman benang emas atau kasab Aceh antara lain ibu Siti Hawa dan keluarganya yang sudah turun temurun menekuni kerajinan tersebut. Keluarga ibu Siti Hawa mampu menciptakan motif-motif asli Aceh dan kreasi baru. Bentuk motif-motif tersebut pada umumnya merupakan stilisasi dari tumbuh-tumbuhan yang berupa daun, kelopak, bunga, buah atau suluran-suluran. Selain motif tumbuh-tumbuhan ada juga yang dikombinasikan dengan motif-motif geometris. Sementara motif hewan dan manusia sangat jarang ditemukan, karena terkait dengan kepercayaan atau
6
agama yang mereka anut yaitu agama Islam yakni melarang penggambaran berbentuk hewan atau manusia. Sulaman benang emas dari keluarga tersebut ternyata digemari oleh masyarakat sekitarnya sehingga berkembang pesat dengan sulaman yang rapi dan cermat. Selanjutnya perkembangan kerajinan sulaman benang emas atau kasab Aceh terus berkembang pada anak-anak gadis di kampung Dayah Geuleumpang dan kampung sekitarnya, sehingga kecamatan Meuraxa menjadi dikenal sebagai penghasil kerajinan sulaman benang emas kasab Aceh. Perkembangan sulaman kasab Aceh tak dapat dipisahkan dari kalangan gadisgadis kampung tersebut karena mereka memiliki waktu luang di rumah sehabis pulang sekolah atau membantu orang tua membersihkan rumah. Waktu luang yang cukup telah digunakan untuk membuat sulaman benang emas. Sulaman benang emas yang dibuatnya tidak menggunakan alat-alat yang mahal dan tidak terlalu berat dan berbahaya untuk dikerjakan oleh gadis-gadis. Alat dan bahan yang digunakan adalah kain beludru, benang emas atau perak, benang sulam, benang wool, benang biasa, pisau, gunting, kayu landasan atau spanram, dan jarum tangan. Kerajinan sulam memerlukan kecermatan dan kesabaran untuk menyulam benang-benang emas atau benang sulam lainnya dalam membentuk suatu motif yang diinginkan. Noerbeti adalah salah seorang perajin sulaman benang emas atau kasab Aceh. Sebelum membuat sulaman ia memperhatikan garis-garis meliuk yang tergambar pada permukaan kain beludru merah yang terpasang pada sebuah spanram yang berbentuk bulat. Jari-jari tangannya bergumul dengan benang-benang sulam yang telah diberi jarum tangan. Jarum tangan yang telah ada benang sulam keluar masuk dari pori-pori kain sehingga membentuk suatu motif. Cara menyulam boleh dikatakan sangat sederhana, seorang penyulam hanya memakai jarum dan ram. Mula-mula dibuat desain dengan motif-motif yang inginkan. Bagi yang sudah biasa, tangan sang gadis penyulam seakanakan menari-nari di atas kain sulam dan tidak berapa lama telah terbentuk motifmotif yang indah dan sangat mengagumkan. Motif-motif yang digunakan biasanya dipilih dari bentuk fauna dan flora yang telah distilisasi (digubah) di samping motif-motif lain hasil imajinasi para penyulam sendiri. Sejumlah motif sulam kasab Aceh antara lain disebut gigo
7
daruet (gigi belalang), pucok reubong (pucuk rebung), oun ranub (daun sirih), oun labu (daun labu), manouk (ayam), ticem (burung), oun ubi (daun ubi), bungong keupula (bunga tanjung), bungong jeumpa (bunga cempaka), bungong seulanga (bunga kenanga), puta talo (putar tali), bungong meulu (bunga melur), boh aneuh (buah nenas), sisek meuria (sisik buah rumbia), sisek naga (sisik naga), oun paku (daun pakis), udeung (udang), bintang buleun (bintang bulan), awan meucanek (awan berarak atau beriringan), bungong mata uro (bunga matahari), serta ada pula motif merpati, angsa, dan lain lain. Barang-barang hasil sulaman biasanya berupa tampok (kepala bantal) dengan bentuk yang bermacam-macam antara lain berbentuk segi empat, segi tiga, lonjong, bulat, bentuk daun sirih, dan lain sebagainya. Tampok bantal atau kepala bantal ini ditempatkan di ujung bantal guling, sarung bantal tidur, bantal kursi dan sebagainya. Kerajinan sulaman benang emas lainnya adalah berupa tiree atau tirai yang digunakan antara lain untuk dekorasi dinding yang dibuat sesuai dengan ruangan atau tempat pemakaiannya. Ukuran tiree atau tirai ini biasanya 5 x 2,5 meter. Tiree dibuat dari kain yang memiliki warna bermacam-macam dan di atas kain yang berwarna tersebut disulam berbagai macam motif dengan benang emas, benang perak, benang kasab, benang sutera, dan benang lainnya. Berikutnya ialah langet-langet. Langet-langet merupakan barang kerajinan sulaman yang dipergunakan untuk menghiasi bagian atas ruangan yang berfungsi untuk menutup plafon ruangan baik untuk ruangan tamu maupun ruangan lainnya. Langet-langet bersulamkan motif-motif yang bermacam-macam dan biasanya merupakan stilisasi dari tumbuh-tumbuhan. Langet-langet ini terdiri dari taloe ie yaitu gantungan kain yang bermotif tali berpilin, lidah ubiet dan lidah rayeek yaitu gantungan kain seperti dasi yang bermotif tumbuh-tumbuhan daerah setempat. Hasil sulaman lain ialah pada lapek duk. Lapek duk merupakan lapisan untuk tempat duduk yang dibuat dari anyaman daun pandan kemudian dilapisi dengan kain yang bersulam. Ada juga lapek duk yang langsung dibuat dari kain, kemudian di dalamnya dimasukkan kapas atau pun kain-kain perca dan di atasnya dilapisi dengan kain yang bersulam. Lapek duk dipergunakan untuk tempat duduk tamu terutama tamu-tamu terhormat dan pengantin pada upacara
8
peusijuk atau upacara tepung tawar, sunatan rasul, dan upacara lainnya. Lapek duk ada yang satu lapis, dua lapis, tiga lapis, lima lapis, dan tujuh lapis. Banyaknya lapisan ini tergantung kepada tempat dan waktu serta tamu yang akan duduk di atasnya. Ada juga yang dipergunakan untuk tempat duduk seharihari, tetapi sekarang ini hampir tidak dipergunakan lagi kecuali pada saat upacara-upacara adat tertentu. Barang lain yang terdapat sulamannya ialah angkin. Angkin dipergunakan pada kelambu untuk tidur atau pun di tempat-tempat dekorasi lainnya. Angkin berfungsi sebagai pengganti tali untuk menyangkutkan kelambu dengan bentuk bagian atasnya agak lebih kecil dan semakin ke bawah semakin besar. Di sekelilingnya diberi kain-kain yang berumbai-rumbai. Di tengah-tengahnya ditempatkan beberapa cermin kecil dan di sekelilingnya disulam dengan berbagai macam motif hias. Kipah (kipas) adalah salah satu alat untuk mengipas, biasanya digunakan pada upacara-upacara adat seperti perkawinan, upacara peusijuk atau tepung tawar dan sebagainya yang juga merupakan barang bersulam. Bentuknya bermacam-macam, ada yang bulat, lonjong, segi tiga, dan sebagainya. Di pinggirnya diberi kain yang berwarna kuning, merah, biru, dan sebagainya serta di beri rumbai-rumbai
dari benang. Pada bagaian kedua sisi kipas diberi
sulaman dengan berbagai macam motif yang berwarna kontras dengan dasar kainnya. Benang sulam yang banyak digunakan di Aceh dewasa ini adalah benang emas sintetis berintikan bahan katun. Dalam bahasa India benang ini adalah kasab. Jika diperhatikan nama bahan katun yang disebut kasab memang memiliki kaitan dengan orang-orang Aceh yang banyak dari keturunan Arab, Cina, Eropa, dan India. Jadi pengaruh orang-orang Mogul dan Gujarat dari India pada abad ke-16 dan 17 yang pernah singgah di Aceh pada masa kejayaan kerajaan Aceh. Mereka berniaga dan kawin campur dengan masyarakat lokal sehingga terjadi pembauran budaya. Warna-warna yang sering digunakan oleh orang-orang Aceh untuk motif-motif tradisional banyak yang menggunakan warna emas, kuning, hijau, merah, biru dan hitam. Penggunaan benang-benang emas di Aceh disebabkan karena selama pemerintahan Khalifah Ottomaniah di Turki, kota Bursa dikenal sebagai pusat
9
kerajinan emas sehingga pengaruhnya sampai ke Aceh ketika terjadi hubungan dagang dengan kerajaan Aceh. Selain itu daratan China yang tersohor dengan kerajinan sulam menyulam menggunakan aneka warna yang cerah dan indah, sejak berabad-abad telah dikenal tradisi menjahit sulaman timbul dengan menggunakan benang sutera berwarna, benang emas, dan benang perak. Penggunaan benang emas di Eropa juga telah dikenal sejak ratusan tahun lalu yang diterapkan dengan teknik jahit timbul, terutama pada pakaian kebesaran untuk upacara keagamaan. Hubungan perdagangan bangsa-bangsa Arab, China, Eropa, dan India dengan kerajaan Aceh telah menjadikan sulaman benang emas berkembang di Aceh. Sulaman benang emas yang diterapkan pada pakaian atau kain hiasan dinding dan pelaminan tempat duduk pengantin pada umumnya diasosiasikan dengan bangsa-bangsa Melayu yang Islam karena bentuk-bentuk motif tumbuhtumbuhan yang memberi kesan kesuburan
dan kekayaan alam mereka.
Pemandangan yang indah dan meriah dari karya-karya sulaman benang emas atau kasab Aceh dapat dilihat dalam suasana perayaan pernikahan. Ruang tamu dan kamar pengantin dihias secara semarak dan berlimpah dengan hiasan kain gantung dan kain-kain bersulam. Ada yang berupa hiasan kain gantung untuk dinding berukuran besar, ada kain bersulam untuk menutup langit-langit bahkan ada yang berumbai-rumbai kecil untuk menghias talam nasi dan pintu-pintu di ruang tamu dihias dengan hiasan-hiasan kain gantung yang disulam dengan benang emas yang menjadikan ruangan pengantin seolah-olah sorga di atas bumi, seperti halnya taman-taman gaya Mogul di India. Penataan ruangan ini juga merupakan sebuah pencerminan taman Firdaus di bumi atau pencerminan sebuah sorga. Dalam pembuatan sulaman benang emas ada yang disebut dengan teknik timbul atau couching, yaitu sulaman yang dalam penerapannya menggunakan 2 jenis benang, salah satu di antaranya adalah benang sutera atau benang emas yang sangat berharga. Potongan-potongan emas walaupun panjang dan tipis, bersifat kaku dan sukar untuk dibentuk. Lambat laun ditemukan cara untuk melunakkannya, yaitu dengan cara mencampur larutan cairan emas dengan perak sebelum dimasukkan melalui lubang-lubang yang kian menyempit dan akan keluar menjadi benang-benang kawat emas yang halus namun kuat dan
10
lebih lentur. Benang kawat itu kemudian ditempa hingga pipih lalu melilit pada bahan kain sutera bewarna jingga atau kuning. Cara demikian pertama kali dikembangkan oleh orang-orang Timur. Ada cara lain dengan prinsip serupa yang masih diterapkan oleh perajin sulaman benang emas atau kasab Aceh hingga kini. Lembaran tipis emas yang melekat pada kertas kemudian dililit dan direkatkan pada bahan sutera, sehingga menghasilkan benang-benang yang cerah, tidak kusam dan sangat lentur yang dikenal dengan sebutan “Japaness Gold” (benang emas Jepang). Tetapi benang jenis ini hanya dapat dipakai untuk sulaman jahit timbul pada permukaan kain. Benang kedua yang sering digunakan oleh perajin sulaman kasab Aceh adalah benang katun berwarna yang dipakai untuk menahan benang emas pada permukaan kain. Benang emas yang ditata di atas permukaan kain mengikuti motif dan ditahan dengan cara benang katun yang dijahit menindih benang emas. Benang logam atau benang emas untuk menghias kain telah digunakan sejak beribu-ribu tahun lalu. Peninggalan benang emas dan perak banyak ditemukan dalam makam-makam di kota Thebe pada jaman Mesir kuno. Penggunaan benang emas memiliki kaitan erat dengann pakaian-pakaian kebesaran atau keagamaan dan kain-kain upacara. Di Aceh, hiasan-hiasan gantung yang padat dengan sulaman benang emas merupakan bagian kebudayaan keraton pada abad ke-15 dan 16 yaitu pada masa kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ala Uddin Syah hingga sepanjang keemasan kerajaan Aceh di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani. Sulaman-sulaman benang emas atau kasab Aceh ada yang berbentuk persegi empat panjang yang menghias bagian pintu di sebut ceradi. Ceradi banyak persamaannya dengan “toran” di India. Hiasan kain gantung yang besar biasanya selebar sprei tidur dan bahan yang digunakan adalah kain satin atau brokat. Hiasan kain gantung dapat berbeda menurut daerahnya atau antara penyelenggara perayaan pernikahan yang satu dengan yang lain, namun tujuannya adalah sama.
11
Kesimpulan Sulaman benang emas atau kasab Aceh sudah dikenal sejak dahulu, dan mulai dikembangkan kemudian di pemukiman Dayah Geulumpang kecamatan Meuraxa Ulee Lheue. Sulaman benang emas ini banyak digunakan untuk menghiasi ruangan-ruangan pernikahan dalam masyarakat Aceh terutama ruangan pengantin dan pelaminan. Teknik jahit sulaman benang emas secara umum menggunakan teknik jahit timbul atau couching dengan pola-pola hiasan yang berupa stilisasi tumbuh-tumbuhan. Motif-motif berbentuk hewan dan manusia dengan penggambaran yang realis sangat jarang ditemukan pada kerajinan tersebut, karena berdasarkan keyakinan agama orang Aceh yaitu agama Islam terkait dengan adanya larangan untuk menciptakan atau menggambarkan bentuk-bentuk mahkluk hidup yang berupa kewan dan manusia.
Gambar Produk Sulam Benang Emas Aceh Searah jarum jam: dekorasi tempat pelaminan yang penuh dengan aneka sulaman, hiasan tempat tidur, dan kipas yang dihias dengan motif floratif. Sumber: Leigh 1989
12
Daftar Pustaka Depdikbud. 1980/1981. “Kesenian Tradisional Aceh”. Hasil lokakarya 4 s/d 8 Januari 1981 di Banda Aceh. Frits a Wagner. 1959. Art of The World indonesia. Holle and Co, Germany. Gustami, SP. “Filosofi Seni Kriya Tradisional Indonesia”. Seni, Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni, Edisi 11/01 Januari, BP. ISI Yogyakarta. Gustami, SP. 1991. “Seni Kriya Indonesia, Dilema Pembinaan dan Pengembangan Seni”. SENI, Jurnal Pengetahuan dan Pencipataan Seni, Edisi I/03 Oktober, BP. ISI Yogyakarta. Gustami, SP. 1997. Seni Kerajinan Mebel Ukir Jepara Abad XIX sampai Abad XX. ISI Yogyakarta. Hornbay, A.S. 1963. Oxford Advance Learner’s Dictionary of Current English. New York :Oxford University Press. John M. Echols, J.M. 1980. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Leigh, B. 1989. The Craft Of Aceh. Jakarta: IKAPI . Meuraxa, D. 1974. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Firma Hasmar. Rohidi, T. R. 2000. Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan. Bandung: STISI Press. Soedarso, SP. 1990. Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta: Saku Dayar Sana. Zainuddin, H.M. 1961. Tarich Aceh Dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda.