KERAGAMAN DAN KELIMPAHAN CENDAWAN PADA RIZOSFER KELAPA SAWIT SEHAT DAN TERSERANG Ganoderma boninense
MUHAMMAD JULYANDA
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRAK MUHAMMAD JULYANDA. Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit nomor satu di dunia dan memberikan devisa yang besar. Kendala utama saat ini dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB) yang disebabkan oleh Ganoderma boninense. Studi dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis keragaman dan kelimpahan serta mengidentifikasi cendawan pada rizosfer kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense. Hipotesis: bahwa keragaman dan kelimpahan cendawan rizosfer kelapa sawit sehat lebih tinggi dibandingkan dengan rizosfer kelapa sawit terinfeksi G. boninense. Studi dilakukan dengan mengambil sampel tanah dari rizosfer tanaman kelapa sawit untuk dianalisis keragaman dan kelimpahan cendawan. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode pengenceran dan pencawanan (dilution and plating methods). Pengenceran berseri dari sampel rizosfer dibuat hingga tingkat pengenceran 10-5 dan pencawanan dilakukan mulai tingkat pengenceran 10-3 hingga 10-5. Pencawanan dilakukan pada media Agar Kentang Dekstrosa (AKD) yang telah diberi antibiotik (Chloramphenicol). Pengamatan dilakukan dengan menghitung keragaman dan kelimpahan setelah 3 Hari Setelah Pencawanan (HSP). Keragaman menggunakan rumus Indeks Keragaman Shanon-Wiener dan kelimpahan menggunakan rumus Standard Plate Count (SPC). Identifikasi cendawan dilakukan dengan pengamatan morfologi dan kunci identifikasi (Watanabe dan “Doctor Fungus”). Dari hasil isolasi cendawan rizosfer kelapa sawit sehat maupun yang terinfeksi telah diperoleh 29 isolat koloni cendawan dan hasil identifikasi diketahui sebanyak 20 jenis cendawan yang berbeda. Nilai Indeks Keragaman Cendawan (IKC) pada rizosfer tanah tanaman sehat dan muda lebih tinggi dibandingkan dengan IKC pada rizosfer tanah tanaman terinfeksi dan berumur tua. Keragaman dan kelimpahan cendawan terutama cendawan yang bersifat antagonis bagi G. boninense pada tanah rizosfer kelapa sawit berindikasi kuat untuk memprediksi apakah tanaman kelapa sawit sudah terinfeksi dan ketepatan penerapan budidaya tanaman. Namun hal ini perlu diklarifikasi lanjut dengan memperbanyak ulangan. Kata kunci : Ganoderma boninense , Kelapa sawit, Keragaman, Kelimpahan
KERAGAMAN DAN KELIMPAHAN CENDAWAN PADA RIZOSFER KELAPA SAWIT SEHAT DAN TERSERANG Ganoderma boninense
MUHAMMAD JULYANDA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense Nama Mahasiswa : Muhammad Julyanda NIM : A34070070
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc NIP. 19501125 197603 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc NIP. 19640204 199002 1 002
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lubuk Pakam, Sumatera Utara pada tanggal 1 Juli 1988. Penulis merupakan putra ketiga dari lima bersaudara pasangan Bapak Ir. H. Abdul Aziz dan Ibu Hj. Nirwana Saragih. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di SMA Negeri 2 Medan pada tahun 2006. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studinya di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD). Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan (2007), Himpunan Mahasiswa Islam (2008), dan Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) pada divisi Public Relationship (2009-2010). Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Setahun (2010) dan asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Proteksi Tanaman (2011).
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Keragaman dan Kelimpahan Cendawan pada Rizosfer Kelapa Sawit Sehat dan Terserang Ganoderma boninense”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2011. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak dapat berbuat maksimal dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu dengan rasa tulus pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, MSc selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan, masukan, dan arahan kepada penulis; 2. Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.Agr selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan arahan dan saran yang bermanfaat; 3. Kebun kelapa sawit Adolina, PT Perkebunan Nusantara IV, Sumatera Utara atas izin dan kerjasamanya dalam pengambilan contoh tanah; 4. Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara IV atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) PTPN IV; 5. Ayahanda dan Ibunda serta kakak dan adik Chandra Dalimunthe, Eka Suci Ramadhani, Muhammad Taufan, Inda Lusiana, Baby Nur Maharani, dan Muhammad Reza yang tak henti-hentinya memberi perhatian dan bantuan moril maupun spiritual, yang mana setiap langkah, gerak, dan ucapnya merupakan do’a bagi penulis; 6. Sahabat seperjuangan Proteksi Tanaman 44, khususnya kepada Alice Mayella Ayudya, Avanty Widias Mahar, dan Harwan Susetio; 7. Rekan kerja di Laboratorium Mikologi, Bapak Dadang Surachman, mba Dian Safitri, Alchemi Putri Juliantika Kusdiana, Nur’asiah, Etika Ayu Kusumadewi, Veronica, dan Bapak Fajar Rianto; 8. Sahabat IMMAM, Anggi Rhaditya Lubis, Fandi W. Iksani, Ginda Pramana Putra, M. Nanda Rahadiansyah, Yuri Dalian, Indra Yudhika Zulmi, bang Amril, Rizqi Febrina, Rini Utami, dan Dhinda Hidayanthi; 9. Mahasiswa, dosen, staff, beserta laboran Departemen Proteksi Tanaman, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kedepannya. Akhir kata penulis serahkan skripsi ini dengan penuh rasa bangga. Bogor, November 2011 Muhammad Julyanda
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
x
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1 Latar belakang ...................................................................................... Tujuan Penelitian ................................................................................. Hipotesis ........................................................................................... Manfaat Penelitian ...............................................................................
1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 4 Tanaman Kelapa Sawit ........................................................................ Deskripsi Tumbuhan .................................................................. Penyakit BPB pada Kelapa Sawit ........................................................ Patogen Penyebab BPB ............................................................. Sebaran dan Arti Penting Penyakit BPB. .................................. Gejala Penyakit BPB .................................................................. Mikroorganisme rizosfer .................................................................. Hama dan Penyakit Tanaman Kelapa Sawit ........................................ Hama ........................................................................................ Penyakit ....................................................................................
4 4 5 5 6 6 7 9 9 9
BAHAN DAN METODE .............................................................................
11
Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. Bahan .................................................................................................. Metode ................................................................................................ Pengambilan Sampel Tanah ....................................................... Analisis Keragaman, Kelimpahan, dan Identifikasi ................... Indeks Keragaman Spesies ......................................................... Kelimpahan spesies ................................................................... Identifikasi ................................................................................ Rancangan Percobaan .......................................................................... Analisis Data .............................................................................
11 11 11 11 12 12 13 13 13 13
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................
14
Keragaman dan Kelimpahan Cendawan .............................................. Identifikasi Cendawan ........................................................................
14 19
KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
27
Kesimpulan .......................................................................................... 27 Saran ..................................................................................................... 27 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
28
vii
LAMPIRAN ..................................................................................................
32
DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengaruh kondisi rizosfer tanaman terhadap rataan indeks keragaman cendawan ...........................................................................
16
2 Hasil identifikasi .................................................................................
20
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah S98 ......
14
2
Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah H98 .....
15
3
Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah H06 .....
15
4
Kelimpahan cendawan ada sampel tanah S98 ...................................
17
5
Kelimpahan cendawan ada sampel tanah H98 ..................................
18
6
Beragam koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah H06 .....
18
7
Aspergillus fumigatus dan A. niger ....................................................
21
8
Fusarium solani, Gongronella butleri, dan Mortierella uniramosa ..
22
9
Paecilomyces inflatus, P. victoriae, dan Phialophora malorum ........
23
10 Penicillium corylophilum, P. lanosum, dan Rhizoctonia solani .........
23
11 Pythium acanthicum, P. aphanidermatum, dan P. irregulare ............
24
12 Gliocladium roseum, G. viride, Trichoderma pseudokoningii, T. harzianum .......................................................................................
25
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Isolat hasil isolasi cendawan dari tanah rizosfer kelapa sawit ...............
33
2 Keragaman dan kelimpahan isolat pada media AKD ............................
35
3 Analisis ragam RAL respon IKC ............................................................ 36
PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan industri penting penghasil Crude Palm Oil (CPO), minyak goreng, dan sebagai bahan bakar terbarukan (biodiesel). Kebutuhan produksi kelapa sawit meningkat tajam seiring dengan meningkatnya kebutuhan CPO dunia, seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Selain itu dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia, membuat CPO menjadi pilihan untuk bahan baku pembuatan bioenergi sebagai alternatif bahan bakar. Diperkirakan beberapa tahun ke depan investasi terbesar sub sektor perkebunan masih didominasi oleh kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit nomor satu di dunia. Luas area perkebunan kelapa sawit pada tahun 2009 mencapai 4,5 juta hektar serta mampu memproduksi 12,9 juta ton minyak sawit dan 2,9 juta ton biji sawit (BPS 2009). Sepanjang tahun 2010, nilai ekspor CPO dan produk turunan sawit Indonesia mencapai US$ 16,4 miliar, mengalami kenaikan 50% dibandingkan dengan produksi pada tahun 2009 yang berjumlah US$ 10 miliar total ekspor 15,6 juta ton. Ekspor CPO berjumlah 8.779.940 ton (56,2%) dan sisanya produk turunan CPO berjumlah 6.876.405 ton (43,8%) (Gapki 2010). Saat ini kendala utama yang terjadi dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit ialah serangan patogen G. boninense yang menyebabkan penyakit Busuk Pangkal Batang (BPB). Kejadian penyakit BPB semakin tinggi pada area kebun kelapa sawit yang telah mengalami peremajaan. Hal ini dimungkinkan karena akumulasi inokulum patogen dan berkurangnya keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami pada area pertanaman kelapa sawit (Sinaga et al. 2003). Biasanya penyakit BPB hanya menyerang tanaman diatas umur 10 tahun, namun pada tanaman yang mengalami peremajaan apalagi pertanaman dengan peremajaan berulang dapat ditemukan BPB pada tanaman dibawah umur 5 tahun (PTPN IV 2007).
2
Cendawan G. boninense termasuk dalam kelompok cendawan busuk putih (white rot fungi) yang bersifat lignolitik yang mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dalam mendegradasi lignin (Susanto 2002; Paterson 2007). Kisaran inang untuk patogen ini sangat luas, dapat menyerang tanaman perkebunan lain seperti kelapa, karet, teh, dan kakao, serta berbagai jenis tanaman berkayu (Ariffin et al. 2000). Pengendalian patogen tanaman secara biologi termasuk BPB pada kelapa sawit menjadi sangat penting, apalagi perkebunan kelapa sawit dituntut melakukan perlindungan kualitas lingkungan. Penggunaan pestisida untuk patogen tanah, selain sangat berbahaya bagi manusia dan tanah, juga sasarannya tidak tercapai karena sebelum pestisida sampai ke target sudah terdegradasi. Pestisida dilaporkan dapat menurunkan keseimbangan ekosistem tanah, sehingga mengakibatkan penurunan produksi tanaman. Potensi G. boninense sebagai patogen tular tanah sangat berkaitan dengan keragaman dan kelimpahan mikroba terutama pada rizosfer. Rizosfer merupakan daerah yang ideal bagi tumbuh dan berkembangnya mikroba tanah, termasuk di dalamnya agens pengendalian hayati. Oleh karena itu diperlukan suatu informasi mengenai keragaman dan kelimpahan mikroorganisme pada rizosfer. Pada kepadatan volume akar tertentu dan dengan semakin kaya kandungan bahan organik pada rizosfer, maka akan semakin beragam dan berlimpah mikroba tanah yang menguntungkan (Soesanto 2008). Informasi keragaman dan kelimpahan mikroorganisme pada rizosfer kelapa sawit pada tanaman sehat dan terserang dapat menjadi sebuah indikasi dini untuk menentukan strategi pengendalian BPB.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaman dan kelimpahan cendawan pada rizosfer kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense.
3
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa keragaman dan kelimpahan cendawan rizosfer kelapa sawit sehat lebih tinggi dibandingkan dengan rizosfer kelapa sawit terinfeksi G. boninense.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah diperoleh informasi mengenai keragaman dan kelimpahan cendawan pada rizosfer kelapa sawit sehat dan terinfeksi G. boninense dapat menjadi dasar pertimbangan yang akurat untuk penerapan strategis pengendalian BPB kelapa sawit (G. boninense), serta dapat memprediksi awal apakah tanaman kelapa sawit terinfeksi penyebab BPB.
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kelapa Sawit Deskripsi Tumbuhan Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) tergolong dalam kingdom tumbuhan, divisi Embryophyta Siphonagama, kelas Angiospermae, ordo Monocotyledonae, famili Arecaceae, subfamili Cocoideae, dan genus Elaeis (Pahan 2006). Kelapa sawit berbentuk pohon dan mampu mencapai ketinggian 24 meter. Kelapa sawit dapat tumbuh baik di daerah antara 15o LU dan 15o LS. Curah hujan rata-rata 2.000-2.500 mm/tahun. Lama penyinaran matahari optimal 5-7 jam per hari dengan suhu harian 25-30 oC. Kelembaban udara 80% – 90% pada ketinggian dari dataran rendah sampai 500 m dpl. Akar kelapa sawit merupakan akar serabut yang mengarah ke bawah yang mencapai kedalaman ±1 m, ke arah samping mencapai >6 m, serta beberapa akar napas yang tumbuh mengarah samping atas untuk mendapatkan aerasi (Setyamidjadja 2006). Akar utama kelapa sawit membentuk akar sekunder, tertier, dan kuartener. Batang kelapa sawit berbentuk selinder dan tidak bercabang dengan diameter sekitar 20–75 cm. Tinggi batang bertambah sekitar 45 cm per tahun. Dalam kondisi lingkungan yang sesuai pertambahan tinggi dapat mencapai 100 cm per tahun. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah membentuk spiral hingga umur 12 tahun. Setelah umur 12 tahun pelapah yang mengering akan terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa (Setyamidjadja 2006). Daun kelapa sawit tersusun majemuk menyirip. Susunan daun kelapa sawit seperti umumnya jenis palmae. Daunnya berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda dari daunnya. Panjang pelepah daun mampu mencapai sekitar 7,5-9 m dengan jumlah anak daun setiap pelepahnya mencapai 250-400 helai. Selama satu tahun kelapa sawit mampu menghasilkan 20-30 pelepah (Sunarko 2007). Kelapa sawit merupakan tanaman monoecious diclin yaitu tanaman berumah satu dengan bunga jantan dan betina terpisah namun masih dalam satu
5
pohon. Tanaman kelapa sawit biasanya melakukan penyerbukan silang karena waktu pematangan bunga jantan dan bunga betina berbeda sehingga sangat jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan berbentuk lancip dan panjang sedangkan bunga betina berukuran lebih besar dan mekar (Sastrosaryono 2003). Saat berumur 12-14 bulan kelapa sawit sudah mulai berbunga. Kelapa sawit memiliki beberapa jenis, berdasarkan ketebalan cangkangnya tanaman ini dibagi menjadi Dura, Pisifera, dan Tenera. Tipe dura memiliki ketebalan cangkang antara 2-8 mm dan tidak terdapat cincin serabut. Persentase daging buah 35-60 % dengan rendemen minyak 17-18 %. Tipe dura digunakan sebagai induk betina dalam pemuliaan kelapa sawit. Tipe ini berasal dari Kebun Raya Bogor yang dimasukan dari Afrika pada tahun 1848 dan kemudian dikembangkan di Deli, Sumatera Utara. Tipe Pisifera tidak memiliki cangkang tetapi terdapat cincin serabut yang mengelilingi inti dan daging buahnya tebal. Intinya sangat kecil jika dibandingkan dengan tipe dura ataupun tenera. Ratio ketebalan daging buah dengan diameter buahnya dan kandungan minyaknya relatif tinggi. Tipe pisifera digunakan sebagai induk jantan pada pemuliaan tanaman. Tipe tenera merupakan hasil silang antara dura dan pesifera sehingga sifatnya merupakan kombinasi dari kedua induknya. Ketebalan cangkangnya mencapai 0,5-4 mm dan mempunyai cincin serabut walaupun tidak sebanyak tipe pesifera. Perbandingan daging buah terhadap buahnya 60-90 % dengan rendemen minyak 22-24% (Setyamidjadja 2006).
Penyakit BPB pada Kelapa Sawit Patogen Penyebab BPB Penyebab penyakit BPB adalah patogen cendawan dari genus Ganoderma yang pertama kali diungkapkan pada tahun 1915 di Republik Kongo, Afrika Barat. Penyebab BPB pada kelapa sawit berbeda untuk setiap negara. Di Afrika Selatan BPB disebabkan oleh G. lucidum Karst. sedangkan di Nigeria disebabkan oleh G. zonatum, G. encidum, G. colossus, dan G. applanatum. Di Malaysia, 4 spesies teridentifikasi sebagai penyebab busuk pangkal batang yaitu G. boninense, G. miniatocinctum, G. zonatum dan G. tornatum. Cendawan
6
G. boninense yang paling sering ditemukan sedangkan G. tornatum hanya ditemukan tumbuh di pedalaman dan dataran tinggi dengan curah hujan tinggi. Di Indonesia, G. boninense teridentifikasi sebagai spesies yang paling umum menyerang kelapa sawit (Abadi 1987).
Sebaran dan Arti Penting Penyakit BPB Di Indonesia tingkat kejadian penyakit BPB awalnya rendah pada tanaman kelapa sawit muda hingga berusia 12 tahun, semakin tua kejadian penyakit dapat meningkat sebesar 40% (Ariffin et al. 2000). Pada lahan dengan peremajaan keempat, penyebab BPB bisa menyerang tanaman kelapa sawit berumur 1 hingga 2 tahun (Sinaga et al. 2003). Susanto (2002) menyatakan bahwa gejala penyakit BPB bisa muncul pada bibit-bibit kelapa sawit sejak di persemaian. Hal ini dimungkinkan
karena
akumulasi
inokulum
patogen
dan
berkurangnya
keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami pada area pertanaman kelapa sawit. Sinaga et al. (2003) menyatakan, bahwa penyakit BPB merupakan ancaman utama bagi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, terutama pada kebun yang telah mengalami peremajaan berulang tanpa ada rotasi tanaman. Penyakit BPB dapat menyebabkan kehilangan hasil secara langsung terhadap minyak sawit dan penurunan bobot tandan buah segar (TBS), sedangkan kerugian tidak langsung berupa penurunan bobot batang terhadap tandan kelapa sawit (Susanto et al. 2005). Di beberapa perkebunan di Indonesia, penyakit ini telah menyebabkan kematian tanaman sampai lebih dari 80% dari seluruh populasi kelapa sawit, dan menyebabkan penurunan produk kelapa sawit per unit area (Susanto 2002)
Gejala Penyakit BPB Gejala awal penyakit sulit diidentifikasi dikarenakan perkembangannya yang lambat. Saat tubuh buah sudah terbentuk, maka penyakit ini sudah menyebar luas ke tanaman kelapa sawit sehingga sudah sangat sulit untuk dikendalikan. Gejala utama BPB adalah terhambatnya pertumbuhan, warna daun menjadi hijau pucat dan busuk pada batang tanaman. Pada tanaman belum menghasilkan (TBM), gejala awal ditandai dengan penguningan tanaman atau daun terbawah
7
diikuti dengan nekrosis yang menyebar ke seluruh daun. Pada tanaman menghasilkan (TM), semua pelepah menjadi pucat, semua daun dan pelepah mengering, daun tombak tidak membuka (terjadinya akumulasi daun tombak) dan suatu saat tanaman akan mati (Purba 1993). Gejala ditandai dengan mati dan mengeringnya tanaman dapat terjadi bersamaan dengan adanya serangan rayap. Dapat diasumsikan jika gejala pada daun terlihat, maka setengah batang kelapa sawit telah hancur oleh Ganoderma. Pada TBM, saat gejala muncul, tanaman akan mati setelah 7 sampai 12 bulan, sementara tanaman dewasa akan mati setelah 2 tahun. Saat gejala tajuk muncul, biasanya setengah dari jaringan di dalam pangkal batang sudah mati oleh Ganoderma. Sebagai tambahan, gejala internal yang ditandai dengan busuk pangkal batang muncul. Dalam jaringan yang busuk, luka terlihat dari area berwarna coklat muda diikuti dengan area gelap seperti bayangan pita, yang umumnya disebut zona reaksi resin (Semangun 2000). Secara mikroskopik, gejala internal dari akar yang terserang Ganoderma sama dengan batang yang terinfeksi. Jaringan korteks dari akar yang terinfeksi berubah menjadi coklat sampai putih. Pada serangan lanjutan, jaringan korteks menjadi rapuh dan mudah hancur. Jaringan stele akar terinfeksi menjadi hitam pada serangan berat (Rahayu 1986). Hifa patogen umumnya berada pada jaringan korteks, endodermis, perisel, xilem, dan floem. Klamidospora sering dibentuk untuk bertahan hidup pada kondisi ekstrim. Tanda lain dari penyakit ialah munculnya tubuh buah atau basidiokarp pada pangkal batang kelapa sawit.
Mikroorganisme Rizosfer Rizosfer merupakan bagian tanah yang berada di sekitar perakaran tanaman dan berfungsi sebagai pertahanan luar bagi tanaman terhadap serangan patogen akar. Keragaman dan kelimpahan mikroorganisme di rizosfer biasanya lebih banyak dan beragam dibandingkan pada tanah yang bukan rizosfer (Lynch 1983). Mikroorganisme rizosfer adalah organisme berukuran kecil yang terdapat pada perakaran tanaman atau hidup dalam tanah disekitar perakaran dan dapat membantu dalam berbagai proses penguraian tanah, siklus nutrisi, maupun pembentukan struktur tanah. Mikroorganisme rizosfer juga dapat mempengaruhi
8
pertumbuhan tanaman karena dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan mempertahankan kesuburan tanah akibat dari pengaruh aktivitas mikroorganisme yang ada didalam tanah. Kehadiran sejumlah populasi mikroorganisme baik yang bersifat antagonis maupun saprofit dapat menambah keragaman spesies di dalam komunitas alami tanaman (Jeger 2001). Tanah memiliki potensi mikroorganisme yang bersifat antagonis yang mampu menekan perkembangan patogen tular tanah dan sebagian besar mikroorganisme antagonis tersebut hidup sebagai saprofit. Mikroorganisme yang hidup pada daerah rizosfer biasanya digunakan sebagai agens pengendalian hayati dan keberadaanya dapat menghambat penyebaran dan infeksi akar oleh patogen. Interaksi tanaman dengan mikroorganisme sulit untuk diamati karena perubahan pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh mikroorganisme menyerupai perubahan yang dipengaruhi oleh bahan organik tanah. Bahan organik tanah juga mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Mikroorganisme merombak bahan organik yang kemudian melepaskan hara anorganik yang dibutuhkan oleh tanaman. Jika mikroorganisme tidak ada maka bahan organik akan terakumulasi dan unsur hara tidak akan tersedia bagi tanaman. Cendawan yang bersimbiosis mutualisme dengan perakaran tanaman tingkat tinggi adalah mikroriza. Mikoriza menginfeksi dan mengkoloni akar tanpa menimbulkan gejala nekrosis yang umumnya terjadi pada cendawan patogen dan mendapat pasokan nutrisi secara teratur dari tanaman. Mikoriza secara efektif dapat meningkatkan penyerapan unsur hara baik unsur hara makro maupun mikro. Selain itu akar yang bermikoriza dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan yang tidak tersedia bagi tanaman (Anas 1997). Mikoriza juga menghasilkan metabolit yang berguna untuk pertumbuhan tanaman dan sebagai induksi pertahanan
tanaman
terhadap
patogen
tanah
(Rao
1994).
Berdasarkan
perkembangan cendawannya mikoriza dibagi menjadi dua golongan, yaitu ektomikoriza dan endomikoriza (Schneck 1982). Ektomikoriza adalah jamur yang berkembang di permukaan luar akar dan diantara sel-sel korteks akar. Sedangkan endomikroza berkembang di dalam akar di antara dan di dalam sel-sel korteks akar.
9
Hama dan Penyakit pada Tanaman Kelapa Sawit Hama Hama pada kelapa sawit dapat menyerang tanaman pada pembibitan, TBM, dan TM. Hama yang umum menyerang pada pembibitan antara lain Apogonia expeditionis, Adoretus compressus, Aphis sp., Tetranychus piercei, Spodoptera litura, Setora nitens, Metisa plana, Valanga nigricornis, Cryllus sp., keong (snail), dan tikus. Untuk hama yang menyerang pada TBM adalah Oryctes rhinoceros, tikus, babi hutan, dan Apogonia expeditionis. Sedangkan untuk hama yang menyerang TM adalah ulat api (Thosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Thosea bisura, Ploneta diducta, dan Susica pellide) dan ulat kantong (Mahasena corbetti, Metisa plana, dan Cremastopsyche pendula) (SPO PTPN IV 2007). Serangan hama ulat api dan ulat kantong telah banyak menimbulkan masalah yang berkepanjangan dengan terjadinya eksploitasi dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan kehilangan daun tanaman yang berdampak langsung terhadap penurunan produksi. Pada serangan yang berat hama ini dapat mengakibatkan kehilangan daun mencapai 100% yang bisa menyebabkan menurunkan produksi hingga 70% (Pahan 2006). Gejala serangan tikus berupa bekas bekas gerekan pada bagian pangkal pelepah hingga titik tumbuh tanaman yang menyebabkan kematian pada tanaman. hama ini juga menyerang buah kelapa sawit yang menyebabkan kehilangan produksi hingga 5% (Pahan 2006) Penyakit Pada kelapa sawit berbagai penyebab penyakit dapat menyerang setiap fase perrtumbuhan tanaman. Penyakit yang umum terjadi pada tanaman selain BPB adalah penyakit busuk akar pada persemaian yang disebabkan Rhizoctonia sp. dan Pythium sp.; antraknosa yang disebabkan patogen Spetriodiplodia sp., Glomerella cingulata, dan Melanconium elaedis; bercak daun yang disebabkan oleh Culvularia sp., Helminthosporium sp., dan Drechclera halodes; busuk tandan yang disebabkan oleh Marasmius palmivorus; layu pucuk yang disebabkan oleh Fusarium sp.; dan busuk batang atas yang disebabkan oleh Fomes noxius (SPO PTPN IV 2007).
10
Penyakit busuk tandan ini sering menyerang tanaman yang baru mulai berbuah (3-9 tahun) pada daerah dengan kelembaban udara tinggi. Pada serangan yang berat penyakit ini dapat menurunkan produksi hingga 25%. Serangan semakin meningkat pada musim hujan dan buruknya kebersihan serta sanitasi tanaman. (SPO PTPN IV 2007) Penyakit busuk batang atas biasanya menyerang tanaman yang berumur lebih dari 10 tahun dan serangan muncul bersamaan dengan serangan BPB. Gejala serangan menyebabkan jaringan tanaman membusuk dan berwarna coklat tua dan munculnya tubuh buah pada pangkal batang atas jika serangan sudah sangat parah (Semangun 2000).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2011 di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel tanah yang berasal dari rizosfer tanaman kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense penyebab BPB di Perkebunan Kelapa Sawit Adolina PTPN IV Sumatera Utara dan media Agar Kentang Dekstrosa (AKD). Metode Analisis keragaman dan kelimpahan cendawan pada rizosfer kelapa sawit dilakukan dengan beberapa tahap. Dimulai pengambilan sampel tanah dari rizosfer tanaman sehat dan terserang G. boninense. Selanjutnya dilakukan analisis keragaman, kelimpahan, dan identifikasi cendawan yang terisolasi dengan metode pengenceran dan pencawanan (dilution and plating methods).
Pengambilan Sampel Tanah Sampel tanah diambil dari rizosfer tanaman kelapa sawit sehat dan terserang G. boninense. Tanah rizosfer diambil sebanyak 100 g pada kedalaman 25 cm sampai dengan 40 cm dengan menggunakan bor tanah. Setiap sampel tanah diambil dari 10 titik dimana pada satu pohon ada 2 titik sehingga diperlukan 5 pohon untuk setiap sampel. Sampel tanah diambil dari TBM yang sehat dengan tahun tanam 2006 (H06), TM yang sehat dengan tahun tanam 1998 (H98), dan TM yang terserang G. boninense dengan tahun tanam 1998 (S98). Untuk sampel tanah sehat diambil pada tanaman yang sehat diantara tanaman-tanaman yang terserang G. boninense. Setiap sampel tanah yang diambil mewakili 1 blok (25 ha) lahan.
12
Beda tanaman yang terserang G. boninense dengan yang sehat dengan melihat penampakan gejala luar. Tanaman terserang menunjukkan empat-lima daun tombak yang tidak membuka dan berwarna hijau pucat, lilit batang pada pangkal daun nampak mengecil, pada batang bawah sudah terdapat bercak coklat, dan jumlah buah semakin sedikit dengan ukuran buah yang semakin kecil.
Analis Keragaman, Kelimpahan dan Identifikasi Sebanyak 10 g dari tiap sampel rizosfer diambil untuk analisis keragaman dan kelimpahan cendawan melalui metode pengenceran dan pencawanan. Tiap 10 g sampel dilarutkan dengan air steril sehingga didapat suspensi tanah sebanyak 100 ml. Suspensi diguncang dengan menggunakan alat orbital shaker selama 20 menit dengan kecepatan 150 rpm. Suspensi kemudian diencerkan segera secara seri dengan cara mencampurkan 1 ml suspensi tanah dengan 9 ml air steril dalam tabung reaksi sehingga didapat pengenceran 10-1. Suspensi pengenceran 10-1 diencerkan dengan mencampurkan 1 ml larutan 10-1 dengan 9 ml air steril dalam tabung reaksi sehingga didapat pengenceran 10-2. Pengenceran terus dilakukan hingga tingkat pengenceran 10-5. Untuk pengenceran 10-3 sampai 10-5 di ambil 1 ml kemudian dibiakan dalam media AKD. Hasil biakan diamati tiga hari setelah pencawanan (HSP) dengan asumsi semua mikroba sudah tumbuh.
Indeks Keragaman Spesies Indeks keragaman dihitung berdasarkan rumus Shannon-Wiener (Maguran 1987) sebagai berikut:
dimana; H’ = Keragaman spesies pi = Proporsi setiap spesies s
= Spesies
13
Kelimpahan Spesies Kelimpahan spesies dihitung dengan menggunakan rumus Standard Plate Count (Kusumaningrum et al. 2010) sebagai berikut: N = ΣC/[(1 x n1) + (0.1 x n2)]d dimana; N = Jumlah kelimpahan spesies (cfu/ml) ΣC = Jumlah koloni spesies yang tumbuh n1 = Jumlah dari cawan pengenceran terendah n2 = Jumlah dari cawan pengenceran tertinggi d
= Pengenceran terendah
Identifikasi Koloni cendawan yang tumbuh diisolasi dan dimurnikan, kemudian diidentifikasi sampai tingkat spesies dengan bantuan kunci identifikasi (Watanabe 2002) dan “Doctor Fungus” (http://nt.ars-grin.gov/). Untuk mempermudah identifikasi dilakukan pemurnian biakan.
Rancangan Percobaan Rancangan
percobaan
untuk
menganalisis
indeks
keragaman
dan
kelimpahan cendawan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 faktor perlakuan; tanah TBM sehat tahun 2006 (H06), TM sehat tahun 1998 (H98), dan TM sakit tahun 1998 (S98). Setiap perlakuan dilakukan sebanyak enam ulangan, sehingga terdapat 18 unit percobaan. Penghitungan jumlah koloni diamati pada tiga HSP. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan Microscoft Office Excel 2007 dan analisis sidik ragam menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3. Perlakuan yang berpengaruh nyata diuji lanjut dengan uji Tukey dengan taraf = 5% (Mattjik & Sumertajaya 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman dan Kelimpahan Cendawan Rizosfer Kelapa Sawit Analisis keragaman dan kelimpahan rizosfer kelapa sawit yang dilakukan hanya dari golongan cendawan, sedangkan untuk bakteri tidak dilakukan. Dari rizosfer kelapa sawit sehat (H98 dan H06) dan terinfeksi G. boninense (S98) dapat diisolasi berbagai jenis cendawan dengan keragaman dan kelimpahan yang berbeda. Pada tahap awal isolasi cendawan dari sampel tanah rizosfer, diketahui secara umum kelimpahan cendawan baik pada S98, H98, maupun H06 termasuk rendah. Hal ini nampak pada saat metode pencawanan dengan tingkat pengenceran 10-5, 10-6, dan 10-7 tidak terdapat koloni cendawan yang tumbuh, sehingga pencawanan dilakukan pada tingkat pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5. Koloni cendawan hanya tumbuh pada pencawanan tingkat pengenceran 10-3 dan 10-4, sedangkan pada pengenceran 10-5 sangat sedikit atau tidak ada koloni cendawan yang tumbuh. Hal ini terjadi diduga karena sampel tanah yang digunakan berasal dari tanah dengan ordo Entisol, dimana tanah Entisol merupakan tanah yang bertekstur pasir dengan kandungan bahan organik yang sangat rendah (Rosmarkam 2002). Sehingga dapat dipahami bahwa pada tanah dengan kandungan bahan organik yang rendah dan penggunaan pupuk kimia sintetis serta pestisida yang intensif akan mengkondisikan penyempitan keragaman dan kelimpahan mikroorganisme terutama cendawan. Pertumbuhan koloni cendawan baru tampak pada 3 HSP. Penghitungan keragaman dan kelimpahan cendawan dilakukan pada 3 HSP karena saat itu koloni cendawan sudah dapat dibedakan secara morfologi (Gambar 1, 2, dan 3).
Gambar 1. Beragam Koloni cendawan hasil pencawanan sampel rizosfer tanah S98 dengan pengenceran 10-3 (A dan B) dan 10-4 (C) pada 3 HSP
15
Gambar 2. Beragam Koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah rizosfer H98 dengan pengenceran 10-3 (A dan B) dan 10-4 (C) pada 3 HSP
Gambar 3. Beragam Koloni cendawan hasil pencawanan sampel tanah rizosfer H06 dengan pengenceran 10-3 (A dan B) dan 10-4 (C) pada 3 HSP Saat berumur dibawah 3 HSP koloni cendawan sudah tumbuh tetapi cendawan masih terlalu muda sehingga sangat sulit untuk dibedakan antar koloninya. Pada umur lebih dari 3 HSP pertumbuhan koloni cendawan sudah terjadi penumpukan antar koloni yang menyulitkan dalam penghitungan jumlah koloni dan pemurniannya. Berdasarkan analisis keragaman rizosfer tanah yang berbeda dari perlakuan, diketahui bahwa umur dan kondisi tanaman berpengaruh nyata terhadap Indeks Keragaman Cendawan (IKC) rizosfer (Lampiran 3). Berdasarkan uji lanjut Tukey diketahui bahwa IKC pada tanah rizosfer S98, H98, dan H06 berbeda nyata ( = 5%, Tabel 1). Nilai IKC tanah rizosfer sehat lebih tinggi dibandingkan dengan IKC tanah rizosfer terserang G. boninense. Rendahnya indeks keragaman pada tanah rizosfer memungkinkan G. boninense untuk tumbuh dan menginfeksi akar karena tidak adanya pesaing. Menurut Krebs (1978), adanya kompetisi antara organisme yang berakhir dengan dominasi salah satu organisme dapat mengakibatkan menurunnya indeks keragaman organisme tersebut dalam suatu area. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa IKC pada rizosfer tanaman yang
16
terserang G. boninense lebih rendah dibandingkan IKC pada rizosfer tanaman sehat. Nilai IKC pada rizosfer tanaman yang lebih muda lebih tinggi dibandingkan dengan IKC pada rizosfer tanaman tua. Diduga rendahnya IKC pada rizosfer tanah tanaman tua karena kandungan bahan organik yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah tanaman muda. Kandungan bahan organik sangat mempengaruhi populasi mikroba tanah karena bahan organik digunakan sebagai penyusun tubuh dan sumber energi bagi mikroba tanah (Simanungkalit et al. 2006). Menurut Bergeret (1977), tanah di tanaman tua memiliki kandungan bahan organik yang rendah karena telah dilakukan pengolahan lahan yang intesif. Bergeret juga menyatakan budidaya monokultur tanpa rotasi menyebabkan hilangnya bahan organik tanah. Sampel tanah S98 dan H98 berasal dari tanah sawit peremajaan ke-3, sedangkan H06 berasal dari tanah sawit tanam ke-1 yang sebelumnya tanah ditanam tanaman kakao dan karet. Hal ini menjelaskan bahwa S98 dan H98 berasal dari tanah tanaman kelapa sawit yang dibudidayakan secara monokultur tanpa dilakukan rotasi tanam. Sehingga dapat dimengerti bahwa indeks keragaman pada rizosfer tanaman muda lebih tinggi dibandingkan pada rizosfer tanaman tua.
Tabel 1 Pengaruh kondisi rizosfer tanaman terhadap rataan indeks keragaman cendawan Ulangan KePerlakuan Rataan* 1 2 3 4 5 6 S98
1,81
1,73
2,00
2,05
2,62
2,55
2.13 c
H98
1,96
3,62
3,06
3,36
4,86
6,01
3.81 b
H06
6,01
6,26
5,29
6,01
4,31
4,24
5.35 a
* Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (uji Tukey 5%)
Hal-hal lain yang mempengaruhi IKC ialah aplikasi pupuk anorganik dan pestisida. Berdasarkan Standar Prosedur Operasional (SPO) PTPN IV (2007) ada delapan jenis pupuk yang diaplikasikan untuk TBM yaitu pupuk majemuk N.P.K.Mg , pupuk tunggal Urea, P2O5, TSP, KCL, Kieserit, dan Borax. Pada TM
17
menggunakan lima jenis pupuk yaitu pupuk N, P, K, Mg, dan pupuk majemuk hara mikro. Pupuk ini diaplikasikan secara bertahap dan ada juga diaplikasikan secara bersama. Aplikasi pestisida dilakukan apabila terjadi serangan hama atau penyakit yang penanganannya harus cepat. Beberapa bahan aktif pestisida yang digunakan adalah Karbofuran 3G, Karbaril 4%, dan Lindan 4% untuk hama kumbang, Brodifacaoum dan Walfarin untuk hama tikus, senyawa monokrotofos dan senyawa metamidofos untuk hama ulat, Propineb 70%, Carbendazim 60%, Mankozep 80%, dan Klorolatonil 75% untuk penyakit busuk buah yang disebabkan Marasmius palmivorus, serta herbisida berbahan aktif Glyphosat untuk mengendalikan gulma. Kelimpahan cendawan tidak diolah secara statistik karena cendawan yang tumbuh pada setiap perlakuan berbeda jenis genus/spesiesnya dan hanya beberapa yang sama dan tidak dapat mewakili keseluruhan komunitas cendawan pada tiap kondisi rizosfer. Pada sampel tanah S98 kelimpahan tertinggi terdapat pada isolat A. niger dan terjadi dominasi karena nilai kelimpahan isolat A. niger sangat berbeda jauh dengan isolat-isolat lainnya (Gambar 4). Pada sampel tanah H98 kelimpahan tertinggi juga terdapat pada isolat A. niger dan terjadi dominasi karena nilai kelimpahan isolat A. niger sangat berbeda jauh dengan isolat-isolat lainnya (Gambar 5). Pada sampel tanah H06 kelimpahan tertinggi terdapat pada isolat P. lanosum dan G. roseum, namun tidak terjadi dominasi salah satu cendawan karena nilai kelimpahannya tidak ada yang terlalu berbeda jauh
x 102 cfu/ml
(Gambar 6).
350 300 250 200 150 100 50 0
332
74 39 3
30
2
6
Isolat Gambar 4. Kelimpahan cendawan pada sampel tanah S98
8
x 102 cfu/ml
18
350 300 250 200 150 100 50 0
185
26
55 17
11
17
9
5
8
3
x 102 cfu/ml
Isolat Gambar 5. Kelimpahan cendawan pada sampel tanah H98
350 300 250 200 150 100 50 0
62
73
33
27
35
6
18
6
6
Isolat Gambar 6. Kelimpahan cendawan pada sampel tanah H06
Total Kelimpahan Cendawan (TKC) pada sampel S98, H98, dan H06 secara berturut-turut adalah 4,94x104 cfu/ml, 3,33x104 cfu/ml, dan 2,67x104 cfu/ml. Hal ini menunjukkan sampel H06 memiliki nilai TKC paling rendah dibandingkan dengan TKC pada sampel S98 dan H98. Tingginya nilai TKC pada S98 dan H98 didominasi oleh nilai kelimpahan Aspergillus fumigatus. Oleh karena itu walaupun nilai TKC S98 dan H98 tinggi, hal ini tidak mempengaruhi serangan G. boninense karena A. fumigatus belum pernah dilaporkan bersifat antagonis terhadap G. boninense. Kelimpahan suatu spesies sangat dipengaruhi oleh faktor kondisi kimiawi dan fisik, serta habitat tumbuh. Faktor-faktor ini harus berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut. Tanah merupakan habitat bagi berbagai
19
ragam mikroba tanah, sehingga tercipta suatu pola interaksi antar mikroba yang hidup pada habitat yang sama demi mempertahankan hidupnya. Pola interaksi yang dibangun dalam kehidupan bersama antar dua atau lebih spesies mikroba dapat bersifat mutualistik, asosiatik, netral, atau antagonistik. Isolat- isolat yang memiliki kelimpahan tinggi berarti mampu bertoleransi dengan kondisi lingkungan pada rizosfer tanah. Sampel tanah S98, H98, dan H06 memiliki isolat dengan kelimpahan yang berbeda-beda. Keragaman dan kelimpahan mikroba dipengaruhi oleh perubahan kandungan bahan organik. Menurut Six et al. (1988), salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas dan kesehatan tanah adalah kandungan bahan organik. Rendahnya keragaman dan kelimpahan untuk setiap sampel menunjukkan kandungan bahan organik yang rendah juga. Walaupun demikian pada sampel H06 diketahui memiliki kelimpahan cendawan yang bersifat antagonis yang mampu menekan perkembangan patogen tular tanah. Sehingga dengan mengetahui perbedaan antara indeks keragaman dan kelimpahan cendawan rizosfer terutama cendawan yang bersifat antagonis bagi G. boninense dapat diketahui lebih cepat apakah tanaman beresiko tinggi untuk diserang patogen tanah atau tidak.
Identifikasi Cendawan Koloni yang tumbuh dari hasil pencawanan dipisahkan berdasarkan bentuk dan warna koloni pada media AKD. Dari hasil pemurnian didapat 28 isolat yang berasal dari tanah rizosfer kelapa sawit. Hasil identifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi masih bersifat sementara karena untuk mendapatkan hasil identifikasi permanen harus diuji secara molukuler. Berdasarkan hasil identifikasi terdapat 20 jenis cendawan (Tabel 2). Cendawan P. lanosum dan T. harzianum ditemukan di ketiga sampel tanah. Cendawan P. lanosum memiliki kelimpahan secara berturut dari yang tertinggi adalah sampel tanah H06, H98, dan S98. Sedangkan T. harzianum memiliki kelimpahan secara berurut dari yang tertinggi adalah sampel S98, H06, dan H98. T. Harzianum merupakan agens antagonis G. boninense, mekanisme antagonisnya
20
parasitisme yaitu dengan melilit hifa patogen kemudian mengeluarkan enzim kitinase dan glukanase (Susanto 2002).
Tabel 2 Hasil identifikasi (sementara) Nama Spesimen Aspergillus fumigatus
Penicillium corylophilum
Aspergilus niger
Penicillium lanosum
Fusarium solani
Phialophora cinerescens
Gongronella butleri
Phialophora malorum
Gliocladium roseum
Pythium acanthicum
Gliocladium viride
Pythium aphanidermatum
hifa steril
Pythium irregulare
Mortierella uniramosa
Rhizoctonia solani
Paecilomyces inflatus
Trichoderma harzianum
Paecilomyces victoriae
Trichoderma pseudokoningi
Karakter mikroskopis yang penting dalam taksonomi Aspergillus sp. adanya aspergilum berupa struktur bantalan spora, memiliki miselium yang menghasilkan konidiofor tunggal tegak lurus dengan panjang sumbu sel yang membesar dipuncaknya membentuk seperti klub bulat, elips, atau berbentuk vesikel. Pada vesikel terdapat phialid yang menghasilkan rantai panjang spora atau konidia. Spora warna hitam mengidentifikasikan spesies Aspergillus dalam kelompok A. niger dan hijau untuk A. fumigatus (Raper & Fennell 1965). Cendawan A. niger memiliki panjang konidiofor sampai 740 µm dengan lebar 10-14 µm, vesikelnya memiliki panjang 55-75 µm, phialid dengan panjang 5-13,8 µm, dan diamter konidia 3,7-4,5 µm. Cendawan A. niger yang stadia perfectnya adalah jamur Ascomycetes, hidup diberbagai macam lingkungan salah satunya dibagian tanaman yang membusuk. Cendawan A. niger secara ekonomis berperan penting sebagai organisme fermentasi yang digunakan untuk produksi asam sitrat (Baker et al. 2006) tapi juga bersifat patogenik pada benih/biji-bijian. Cendawan A. fumigatus memiliki panjang konidiofor 55-125 µm, diameter vesikel (12,5-)13,3-14,6(-16,3) µm, phialid dengan panjang 3,6-4,9 µm dan lebar 2,5 µm,
21
serta diameter konidia 2,4-2,7 µm. Cendawan A. fumigatus menghasilkan mikotoksin yang kuat yang dapat menyebabkan penyakit (Pasqualotto 2009). Cendawan A. fumigatus belum pernah dilaporkan bersifat antagonis terhadap patogen G. boninense. Sehingga tingginya kelimpahan S98 dan H98 yang didominasi oleh A. fumigatus
tidak mempengaruhi serangan patogen
G. boninense.
Gambar 7. A. konidiofor A. fumigatus B. konidiofor dan konidia A. niger
Cendawan F. solani memiliki hifa bersekat dan hialin, konidiofor tidak bercabang atau bercabang dengan panjang 50-165 µm dan lebar 2,4-4,3 µm, serta memiliki konidia yang melengkung, kekar, dan berdinding tebal, serta bersekat tiga sampai lima dengan panjang 31,5-59,4 µm dan lebar 4,6-6,2 µm untuk makrokonidia sedangkan mikrokonidianya memiliki panjang 7,2-15 µm dan lebar 2,4-3,9 µm (Nelson et al. 1983). Fusarium selain berperan penting bagi industri makanan dan obat-obatan juga sebagai penyebab berbagai penyakit tanaman. Cendawan G. butleri memiliki sporangiofor hialin, tegak, sederhana atau bercabang dengan panjang 54-340,5 µm, bersekat didekat sporangia yang berbentuk bulat dan berwarna abu-abu dengan diameter 15-20,7 µm (Hesseltine & Ellis 1964). Cendawan G. butleri merupakan penghasil kitosan yang tinggi (Tan et al. 1996) yang bermanfaat sebagai anti bakteri dan cendawan, serta membantu pertumbuhan akar tanaman. Cendawan M. uniramosa memiliki sporangiofor hialin, tegak, sederhana atau bercabang sekali dibagian atas, meruncing kearah puncak dengan panjang (85-) 100-250 (-275) µm. Sporangia memiliki diameter 14-15 µm yang banyak terdapat di sekitar kolumela (Gams 1977). Menurut Wagner (1993), cendawan
22
Mortierella spp. memiliki sifat antagonis terhadap beberapa jenis patogen tular tanah penyebab penyakit-penyakit pada apel, bit, beri, dan lobak.
Gambar 8.
A. Hifa dan konidia F. solani C. Sporangiofor M. uniramosa
B. Sporangiofor G. butleri
Paecilomyces memiliki hifa bersekat hialin, konidiofor bercabang, dan terdapat phialid diujungnya. Phialidnya langsing membesar dipangkalnya dan memanjang diujungnya dan biasanya berkelompok seperti sikat berupa struktur di ujung konidiofornya. Konidia berbentuk oval, hialin, dan muncul dalam bentuk rantai yang panjang (Brown & Smith 1957). Paecilomyces sp. adalah cendawan entomopatogen untuk beberapa serangga dan juga dapat mengendalikan nematoda (Johnson et al. 2009). Cendawan P. inflatus memiliki konidiofor dengan panjang 6-13,4 µm dan lebar 2,9-3,9 µm, konidia dengan panjang 4,8-5,6 µm dan lebar 2,4-3,7 µm. Cendawan P. victoriae memiliki konodiofor dengan panjang 22,5-64 µm, phialid panjangnya 6,3-22 µm dan lebar 2,7-2,8 µm, serta memiliki konidia dengan diameter 2,5-3 µm. Untuk beberapa spesies tertentu Paecilomyces dikombinasikan dengan Trichoderma spp. untuk meningkatkan imunitas akar terhadap patogen tular tanah seperti G. boninense pada kelapa sawit. Genus Phialophora memiliki konidiofor coklat, tegak, sederhana atau bercabang. Setiap ujung konidiofor terdapat phialid yang berkelompok dan diujungnya terdapat konidia hialin, berbentuk silender atau oval, dan bersel satu (Schol-Schwarz 1970). Cendawan P. cinerescens memiliki konidiofor dengan panjang 11,5-40 µm dan lebar 2,2-2,5 µm, phialid dengan panjang 5,5-12,5 µm, dan konidia dengan panjang 3,7-5 µm dan lebar 1,8-2,6 µm Cendawan P. malorum memiliki phialid dengan panjang 12 µm dan konidia dengan panjang 6,3-12,6 µm dan lebar 2,1-2,2 µm Cendawan ini merupakan patogen tular tanah terhadap tanaman anyelir (Arbelaez 1988)
23
Gambar 9. A. Phialid dan konidia P. inflatus B. Konidiofor dan rantai konidia P. victoriae C. Phialid P. malorum Penicillium memiliki hifa hialin bersekat, konidiofor sederhana, atau bercabang yang diatasnya terdapat metula berupa cabang sekunder. Setiap metula terdapat phialid yang diujungnya terdapat konidia yang membentuk seperti rantai (Samson & Pitt 1990). Cendawan P. corylophilum memiliki konidiofor dengan panjang 120-220 µm, phialid dengan panjang 10,5-12,5 µm dan lebar 2,5 µm, konidia dengan panjang 2,7-3,5 µm dan lebar 2,2-2,3 µm. Cendawan P. lanosum memiliki konidiofor dengan panjang 12,5-62,5 µm dan lebar 2,5-2,8 µm, phialid dengan panjang 10-13,8 µm dan lebar 2,5-3 µm, konidia dengan diameter 2,7-4 µm. Penicillium memiliki kemampuan antagonisme in vitro yang tinggi terhadap patogen R. lignosus (Kusdiana 2011). Rhizoctonia memiliki hifa coklat atau coklat pucat dengan lebar 5-8 µm, bercabang dengan membentuk hampir siku-siku yang disamping basal menyempit (Sneh et al. 1991). Rhizoctonia tidak selalu bersifat patogen, tetapi juga beberapa diantaranya bermanfaat bagi tanaman dengan membentuk mikoriza (Rasmussen 1995).
Gambar 10.
A. Konidiofor P. corylophilum C. Percabangan hifa R. solani
B. Konidiofor P. lanosum
24
Genus Pythium memiliki hifa yang tidak bersekat, hialin, oogoniumnya berisi oospora tunggal dengan antherium memanjang dan membentuk seperti klub (Plaats-Niterink 1981). Cendawan P. acanthicum memiliki oogonia dengan diameter 21,8-30 µm, P. Aphanidermatum 25-32,5 µm, dan P. irregulare 15-25 µm. Cendawan ini menyebabkan kerusakan dan menghambat pertumbuhan akar tanaman.
Gambar 11.
A. Oogonia P. acanthicum B. Oogonia P. aphanidermatum C. Oogonia P. irregulare
Gliocladium sp. memiliki konidiofor hialin, tegak, dan bercabang sederhana dengan massa spora di phialid dan konidianya hialin dan berlendir. Cendawan G. roseum memiliki konidiofor dengan panjang 21,8-36,5 µm dan lebar 2,1-2,7 µm, phialid dengan panjang 13,3-24,3 µm dan lebar 2,4-3,2 µm, serta konidia dengan panjang (4,3-) 5,1-6,1 (-9) µm dan lebar 2,6-3,9 µm. Cendawan G. viridae memiliki konidiofor dengan panjang 59,5-201,5 µm dan lebar 3,6-3,7 µm, phialid dengan panjang 14-23,1 µm dan lebar 2,4-2,7 µm, serta konidia dengan panjang 5,1-7,3 µm dan lebar 2,4-4,4 µm. Genus Trichoderma memiliki konidia yang berdinding tipis dan berbentuk semi bulat hingga oval pendek, koloni berwarna hialin hingga putih kehijauan. Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida yaitu pada bagian bawah cabang lateral yang berulang-ulang dan semakin keujung percabangannya menjadi pendek. Phialid langsing dan panjang pada bagian apeks dari cabang (Domsch et al. 1993). Cendawan T. pseudokoningii memiliki konidiofor dengan panjang sampai 50 µm, phialid dengan panjang (4.2-)6-10(-14) µm,
dan
konidia
dengan
panjang
(2.7-)3.5-5.5(-9.7)
µm
dan
lebar
(1.7-)2.2-3.0(-5.0) µm. Cendawan T. harzianum memiliki konidiofor dengan panjang sampai 150 µm, phialid dengan panjang 6.5-6.7 µm, dan konidia dengan panjang (2.0-)2.7-3.5(-5.0) µm dan lebar (1.8-)2.5-3.0(-4.0) µm. Kemampuan
25
berbagai spesies dari kedua genus ini untuk menghasilkan enzim hidrolitik dan senyawa-senyawa antifungi, antikhamir dan antibakteri, tak lepas dari kemampuannya untuk melindungi tanaman dari berbagai penyakit. Enzim hidrolitik yang dihasilkan Trichoderma dan Gliocladium berfungsi untuk memperoleh makanan atau digunakan untuk melawan cendawan atau mikroba lainnya (Druzhinina et al. 2006).
Gambar 12. A. Konidiofor G. roseum B. K onidiofor G. viride C. Konidiofor T. pseudokoningi D. Phialid dan konidia T. harzianum Hasil identifikasi menunjukkan beberapa cendawan yang telah dilaporkan bersifat antagonis pada beberapa patogen tular tanah. Cendawan tersebut antara lain adalah G. butleri, G. roseum, G. viride, M. Uniramosa, P. inflatus, P. victoriae, P. corylophilum, P. lanosum, T. harzianum, dan T. pseudokoningi. Nilai TKC yang bersifat antagonis pada sampel S98, H98, dan H06 secara berturut-turut adalah 1,53 x104 cfu/ml, 0,47 x104 cfu/ml, dan 2,42 x104 cfu/ml. Walaupun nilai TKC yang bersifat antagonis pada sampel S98 lebih tinggi dibandingkan dengan H98, hal ini tidak mempengaruhi serangan G. boninense karena
cendawan-cendawan
yang bersifat
antagonis
pada
sampel
S98
dimungkinkan memiliki kemampuan yang rendah dalam menekan populasi dan partgenesis G. boninense. Sedangkan nilai TKC yang bersifat antagonis pada sampel H06 paling tinggi dibandingkan dengan sampel yang lain, Hal ini
26
menunjukkan cendawan-cendawan yang bersifat antagonis pada sampel H06 memiliki jumlah populasi dan kemampuan yang tinggi dalam menekan perkembangan patogen.
27
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Nilai Indeks Keragaman Cendawan (IKC) pada pada rizosfer tanah tanaman sehat dan muda lebih tinggi dibandingkan IKC pada rizosfer tanah tanaman terinfeksi dan berumur tua. Kelimpahan cendawan yang tinggi pada tanah rizosfer tanaman sakit dan tanaman tua yang sehat di dominasi oleh A. fumigatus yang tidak dilaporkan sebagai agens antagonis. Diantara 28 isolat cendawan tanah rizosfer kelapa sawit sakit dan sehat telah teridentifikasi 20 jenis cendawan yang berbeda. Keragaman dan kelimpahan cendawan terutama cendawan yang bersifat antagonis bagi G. boninense pada tanah rizosfer kelapa sawit di Perkebunan Kelapa Sawit Adolina PTPN IV Sumatera Utara berindikasi kuat untuk memprediksi infeksi G. boninense pada kelapa sawit dan ketepatan penerapan budidaya tanaman.
Saran Perlu dilakukan studi serupa dengan lebih banyak ulangan dan studi lanjut mengenai kemampuan antagonisme terhadap G. boninense dari isolat-isolat yang asal tanah rizosfer kelapa sawit sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi AL. 1987. Biologi Ganoderma boninense Pat pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) dan pengaruh beberapa mikroba tanah antagonistik terhadap pertumbuhannya [Disertasi]. PPS IPB. Bogor. 147 p. Anas I. 1997. Bioteknologi Tanah. Laboratorium Biologi Tanah. Bogor: Intitut Pertanian Bogor. Arbelaez G. 1988. Fungal and bacterial diseases on carnation in Colombia. Acta Horticulturae 216: 151-157. Ariffin D, Idris AS, Singh G. 2000. Status of Ganoderma in oil palm. Di dalam: Flood J, Bridge PD, Holderners M. (Editor), Ganoderma Disease of Perenial Crops. UK: CABI Publishing 49-68. Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Virginia: Burgers Publishing Company. Baker SC. 2006. Aspergillus niger genomics: past,present and into the future. Med. Mycology Suppl. 44 : 517–521. Bergeret A. 1977. Ecodevelopment.
Ecologycal Viable Systems of Production. Paris:
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Luas tanaman perkebunan besar menurut jenis tanaman. http://bps.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2011. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Produksi perkebunan besar menurut jenis tanaman http://bps.go.id diakses tanggal 25 Agustus 2011. Brown AHS and Smith G. 1957. The genus Paecilomyces Bainier and its perfect stage Byssochlamys Westling. Trans. Br. Mycol. Soc. 40: 17–89. Doctor Fungus. 2007. Description of fungi. http://nt.ars-grin.gov/. diakses tanggal 25 Agustus 2011. Domsch KH, Gams W, and Anderson TH. 1980. Compendium of soil fungi. London: Academic Press. Druzhinina IR, Kopchinskiy AG, Druzhinina IS. 2006. The first 100 Trichoderma species characterized by molecular data. Mycoscience 47(2): 55-64. Gams W. 1977. A key to the species of Mortierella. Persoonia 9: 381-391. [Gapki] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2010. Perkembangan Volume Ekspor dan Nilai Ekspor CPO dan Jenis CPO Lainnya. http://www.gapki.or.id diakses tanggal 25 Agustus 2011 Hesseltine CW and Ellis JJ. 1964. The genus Absidia: Gongronella and cylindrical-spored species of Absidia. Mycologia 56: 568–601. Jeger MJ. 2001. Biotic Interaction and Plant-pathogen Association. New york: CABL publishing.
29
Johnson D, Sung GH, Hywel-Jones NL, Luangsa-Ard, JJ, Bischoff JF, Kepler RM, Spatafora JW. 2009. Systematics and evolution of the genus Torrubiella (Hypocreales, Ascomycota). Mycol. Res. 113: 279-289. Kusdiana APJ. 2011. Eksplorasi danidentifikasi cendawan antagonis terhadap Rigidoporus lignolosus penyebab jamur akar putih pada karet [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kusimaningrum HD, Suliantari, Nurjanah S, Hariyadi RD, Nurwitri CC. 2010. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Ed ke-3. Bogor: IPB Press. Lynch JM. 1983. Soil Biotechnology: Microbiological Factors in Crop Productivity. London: Blackwell Scientific Publication. Magurran AE. 1987. Ecologycal Diversity and its Measurement. New Jersey: Princeton University Press Mattjik AA, Sumertajaya M. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Naibaho PM. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Penelitian Kelapa Sawit.
Medan: Pusat
Nelson PE, Toussoun TA, and Marasas WFO. 1983. Fusarium Species. An Illustrated Manual For Identification. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press Pahan I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya. Pasqualotto AC. 2009. Differences in pathogenicity and clinical syndromes due to Aspergillus fumigatus and Aspergillus flavus. Porto Alegre: UFRGS. Paterson RRM. 2007. Ganoderma disease of oil palm-a white rot perspective necessary for integrated control. Crop Protection 26: 1369-1376. Plaats-Niterink AJ. 1981. Monograph of the genus Pythium. Stud. Mycol. 21: 1– 242. [PTPN IV] Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV. 2007. Standar Prosedur Operasi: Bidang Tanaman/Pabrik Kelapa Sawit, Tanaman/Pabrik Teh, PPIS dan Pabrik Kompos Organik RKAP 2008. Medan: Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara IV. Purba RY. 1993. Busuk Pangkal Batang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang Disebabkan Oleh Ganoderma dan Manajemen Pengendaliannya. Medan: LPP. Rahayu G. 1986. Telaah histopatologi akar dan batang kelapa sawit (Elaeis guineensis) yang terserang Ganoderma sp. laporan tahunan kerjasama Penelitian P.P. Marihat-Biotrop tahun 1986. Rao NSS. 1944. Soil Microorganisms and Plant Growth. Oxford and IBM Publishing Co. Raper KB and Fennell DI. 1965. The genus Aspergillus. Baltimore : Williams & Wilkins.
30
Rasmussen HN. 1995. Terrestrial Orchids, From Seed To Mycotrophic Plant. Cambridge: Cambridge University Press. Rosmarkam dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Jakarta: Kanisius. Samson RA and Pitt JI. 1990. Modern Concepts in Penicillium and Aspergillus Classification. New York: Plenum Press. Sastrosaryono S. 2003. Prospek Bertanam Kelapa Sawit. Jakarta: Agromedia Pustaka. Schol-Schwarz, MB. 1970. Revision of the genus Phialophora (Moniliales). Persoonia 6: 59-94 Semangun H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Ed ke-4. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Setyamidjaja D. 2006. Kelapa Sawit Tehnik Budi Daya, Panen dan Pengolahan. Yogyakarta: Kanisius. Simanungkalit RDM, Suriadikarta DA, Saraswati R, Setyorini D, Hartatik W. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Badan Litbang Pertanian. Sinaga MS, Bonny PWS, Susanto A. 2003. Keragaman mikroorganisme rhizosfer kelapa sawit dan patogenesitas Ganoderma boninense Pat. sebagai dasar pengendalian penyakit busuk pangkal batang. Laporan Akhir Hibah Bersaing IX. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sinaga MS. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Ed ke-2. Jakarta: Penebar Swadaya. Six J, Elliott ET, Paustion K, and Doran JW. 1998. Aggregation and soil organic matter accummulation in native grassland soils. Soil Science Society of America Jorunal. 65: 1367 – 1377 Sunarko. 2007. Petunjuk Praktis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit. Jakarta : Agromedia Pustaka Susanto A. 2002. Kajian pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat, penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit [disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Susanto A, Sudharto PS, Purba RY. 2005. Enhancing biological control of basal stem root disease (Ganoderma boninense) in oil palm plantations. Mycopathologia 159(1): 153-157 Sneh B, Burpee L, and Ogoshi A. 1991. Identification of Rhizoctonia species. St. Paul: APS Press. Soesanto L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman: Suplemen ke Gulma dan Nematoda. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Tan SC, Tan TK, Wong SM, Khor E. 1996. The chitosan yield of zygomycetes at their optimum harvesting time. Carbohydr. Polym. 30: 239 –242. Wagner JE. 1993. The Antogonistic Potency of Several Fungus Species In Cultivated Soil In Tropics. New Delhi: Tata McGraw-Hill Pub. Co.
31
Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi. Ed ke-2. Florida: CSC Press.
.
LAMPIRAN
33
Lampiran 1 Isolat hasil isolasi cendawan dari tanah rizosfer kelapa sawit
34
Keterangan : Koloni isolat hasil isolasi cendawan sampel S98 (S1-S8), H98 (HA1-HA11), dan H06 (HB1-HB10).
35
Lampiran 2. Keragaman dan kelimpahan isolat pada media AKD S
I
∑
I
∑
SB 31
S1
1
HB 2
1
HA 1
2
HB 3
1
HC 52
HA 1
5
HI 51
-
-
HD 31
HA 1
2
HJ 31
HB 1
12
1
HA 6
4
HB 9
3
S1
18
HA 5
3
HB 7
5
17
S6
1
HA 11
2
HB 5
1
S6
6
S4
1
HA 3
2
HB 4
4
S8
1
SD 51
S1
8
HA 1
4
HB 1
7
S9
1
SD 52
S1
3
HA 5
6
HB 2
16
S3
2
HB 31
HA 1
18
HA 6
8
HB 5
3
S1
30
HA 2
16
HA 4
1
HB 1
3
S6
2
HA 3
1
HA 7
2
HB 5
1
S1
29
HA 4
3
HA 10
5
HB 9
1
S8
2
HA 1
16
HA 1
5
HB 2
3
SB 51
S1
46
HA 6
13
HA 4
1
HB 10
6
SB 52
S1
80
HA 3
1
HA 11
1
HB 1
7
S2
1
HA 4
2
HA 6
1
HJ 51
-
-
S1
11
HA 1
28
HA 7
2
HJ 52
-
-
S3
2
HA 6
1
HA 5
1
HK 31
HB 1
4
S6
3
HA 2
1
HA 1
3
HB 2
6
S2
1
HA 1
20
HD 51
HA 1
8
HB 6
4
S1
22
HA 4
2
HD 52
-
-
HB 3
3
S6
5
HA 9
1
HI 31
HB 5
6
HB 7
1
S1
27
HA 6
1
HB 2
3
HB 5
3
S6
1
HB 51
HA 1
24
HB 3
5
HB 1
8
S5
1
HB 52
HA 1
12
HB 4
1
HB 2
4
S1
15
HC 31
HA 1
7
HB 7
4
HB 3
6
S3
2
HA 6
2
HB 8
1
HB 4
3
S1
50
HA 7
2
HB 2
4
HB 5
5
S2
1
HA 3
1
HB 3
5
HB 2
3
SC 52
S1
42
HA 1
11
HB 4
2
HB 5
3
SD 31
S1
2
HA 4
2
HB 7
2
HB 2
1
S3
10
HA 6
3
HB 8
3
HB 5
1
S6
17
HA 3
2
HB 4
1
HK 51
-
-
S4
5
HA 1
8
HB 3
2
HK 52
-
-
S1
3
HA 6
2
HB 2
1
S3
9
HA 1
3
HB 4
1
SB 32
SB 41 SB 42
SC 31
SC 32 SC 41
SC 42 SC 51
SD 32
I
∑
28
S6
7
S4
13
S4
1
S3
1
S1
S9
4
S6
6
S2
1
S1
S
SD 41
SD 42
HB 32
HB 41
HB 42
HC 32
HC 41 HC 42
I
∑
HA 6 HC 51
17
S6
1
S8
Keterangan: S=Sampel; I=Isolat; ∑=Jumlah cendawan
S
HD 32
HD 41
HD 42
HI 32
HI 41
HI 42
S
HJ 32
HJ 41
HJ 42
HK 32
HK 41 HK 42
36
Lampiran 3. Analisis Ragam RAL respon IKC Source
DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F
Model
2
31.25467778
15.62733889
Error
15
14.88475000
0.99231667
Corrected Total
17
46.13942778
15.75 0.0002