Kepuasan Pernikahan Pada Istri Yang Dipoligami (Studi Pada Istri Pertama) JULIATI Pembimbing : Dona Eka Putri, Psi., M.Psi. ABSTRAK Kepuasan pernikahan terjadi karena adanya kesesuaian antar peran diri dan pasangan yang mereka jalankan dalam pernikahan, jadi seseorang yang telah menikah akan dihadapkan oleh perubahan-perubahan peran yang telah ditentukan. Bila mampu berperan sesuai harapan atau ketentuan yang ada, maka tidak akan mengalami masalah. Sebuah perkawinan poligami akan lebih baik bila dilakukan oleh suami yang mampu bersikap adil dari sisi materi atau non materi seperti kasih sayang dan perhatian. Sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan perkawinannya kelak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kepuasan pernikahan dan faktor faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan pada istri yang dipoligami. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek dal am penelitian ini dua orang istri yang berstatus istri pertama. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara dan catatan lapangan Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek 1 memiliki kepuasan pernikahan, karena hubungan subjek dengan pasangan yang baik. Itu terlihat dari baiknya komunikasi antara subjek dengan pasangan dan tanggung jawab yang dilakukan sesuai dengan peran masing masing. Akan tetapi pada kasus subjek 1 terdapat satu karakteristik yang tidak dapat dianalisis yaitu interaksi yang positif. Sedangkan subjek 2 tidak puas dengan pernikahannya, karena komunikasi antara subjek dan pasangan tidak baik. Subjek juga merasa bahwa pasangan subjek sudah tidak percaya lagi terhadap subjek dan pasangan juga kurang bertanggung jawab dalam melakukan perannya sebagai suami. Selain itu,subjek 1 merasakan adanya kepuasan dalam pernikahannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti subjek 1 merasa pasangan telah berlaku adil dalam membagi penghasilannya sehingga subjek s udah merasa puas, adanya kepuasan dalam hubungan seksual, pasangan juga sudah adil dalam membagi kasih sayangnya terhadap anak dan tidak ada perubahan sejak pasangan berpoligami. Pada subjek 2 merasa tidak ada kepuasan dalam pernikahannya karena dipengaruh i oleh beberapa faktor yaitu, suami tidak adil dalam membagi penghasilannya terhadap subjek sehingga subjek merasa sangat tidak puas. Subjek 2 juga merasa jarang saling berbagi dan tidak saling pengertian satu sama lain. Akan tetapi hingga saat ini, subjek 2 masih mencintai pasangannya. Subjek 2 juga merasa puas dengan hubungan seksualnya selama ini, meskipun tidak ada perubahan dari frekuensi atau kualitas sebelum atau sesudah subjek dipoligami. Hubungan suami subjek 2 dengan anak -anak sangat baik dan tidak mengalami peru bahan sama sekali.
Kata kunci : Kepuasan Pernikahan, Poligami
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah S e b a gi an b es a r o ra n g y a ng menikah mengharapkan perkawinan mereka akan bertahan selamanya dan juga memberikan kebahagian bagi pasangannya (Roberts, 1968). Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, tentu dilandasi dengan sejuta harapan dan i mpi an y aitu, b erh arap k elak pasangan hidupnya akan setia dan tetap mencintai dirinya seorang hingga akhir hayatnya (Setiati, 2007). Dalam kajian antropologi yang mempelajari pola-pola kebudayaan masyarakat, perkawinan antara laki -laki dan perempuan mengakibatkan munculnya suatu kelompok kekerabatan (kin group) yang disebut keluarga inti (nuclear family). Keluarga inti ini terdiri atas seorang suami, seorang istri dan anak-anak. Bagi anak tiri dan anak angkat yang secara resmi biasanya diakui mempunyai hak dan wewenang yang kurang lebih sama dengan anak kandung. Namun keluarga inti yang demikian merupakan bentuk yang sederhana, yang biasa disebut sebagai keluarga inti monogami (monogamy). Selain itu ada keluarga inti yang lebih kompleks, yakni apabila ada lebih dari seorang suami atau istri dan anak-anak yang disebut sebagai keluarga inti poligami ( poligamy ). Apabila keluarga inti itu terdapat seorang suami dengan lebih dari seorang istri, disebut keluarga inti yang berdasarkan poligini (poliginy). Sebaliknya, bila istri yang memiliki lebih dari seorang suami disebut keluarga inti yang berdasarkan poliandri (polyandry). Namun dalam
diartikan sama dengan poligini, yaitu satu suami memiliki banyak istri. Oleh karena itu istilah poligami yang kemudian lebih banyak dipakai (Rajab, 2003). Perkawinan poligami dalam Islam adalah mubah (boleh) dan halal. Sesuai dengan surah An -nissa ayat 3 (dalam Fathurrahman, 2007) yang artinya : ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak hak) perempuan yang y atim (bilamana kamu mengawini), maka kawinilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah leb ih dekat kepada tak berbuat aniaya ”. Masalah poligami selalu menarik perhatian, tidak saja bagi kaum laki-laki yang sebagian besar menjadikan poligami sebagai bagian dari obsesinya. Namun juga bagi kaum perempuan yang tidak menyukai poligami dan menganggapnya sebagai sesuatu yang membahayakan kedudukan dan perannya sebagai seorang istri. Muhammad Abduh (dalam Machalli, 2005), tokoh reformis Mesir, mengatakan bahwa poligami itu merupakan persoalan yang sulit dan membutuhkan syarat yang berat untuk berlaku adil dan aman dari perbuatan dosa. Dalam pernikahan, umumnya pasangan menyadari bahwa mereka harus melakukan penyesuaian diri agar
masyarakat kita, poligami cenderung 2
hidup bersama secara harmonis. Hal ini m e n u n j u k k a n p e n t i n g n y a p ro s e s penyesuaian diri dalam pernikahan. Adapun masalah dalam penyesuaian pernikahan meliputi kepuasan dalam pernikahan yang berkaitan dengan interaksi suami -istri, sehingga kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing dapat diketahui, dihormati, dan dipuaskan. Dalam kehidupan rumah tangga, terdapat pembagian tanggung jawab di antara pasangan. Isu yang terkait dengan hal tersebut adalah pembagian tanggung jawab yang dipersepsikan secara adil oleh masing -masing pasangan. Sementara itu, masalah-masalah yang terkait dengan komunikasi dan konflik antara lain yaitu hambatan dalam mengkomunikasikan perasaan yang mendalam, harapan, keinginan, dan kebutuhan pribadi (Ariyani, 2004).
mereka telah salah paham, lebih sering dan lebih intens dalam menggunakan pesan negatif, sering kali berbeda dalam menginginkan seberapa erat kedekatan (self-disclosure) dalam hubungan (aryaverdiramadhani.blogspot.com/200 8 ). Praktek poligami memang menghasilkan berbagai dam pak, baik positif maupun negatif, seperti poligami akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki -laki dibandingkan perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise dihadapan masyarakat karena mempunyai banyak istri. Sedangkan pihak istri lebih sering mendapatkan d a m p a k n e g a t i f p a d a p e rn i k a h a n poligami. Seperti, para istri yang tinggal serumah dapat kehilangan privasi masing-masing. Selain itu mereka juga harus berbagi wilayah yang biasanya dipahami sebagai tempat perempuan seperti dapur. Sedangkan para istri yang tinggal di tempat yang berbeda dapat menyebabkan tekanan -tekanan kepribadian seperti, cemburu, konflik kepribadian, kompetisi dan ketidak sena nga n ana k t erh a dap i bu y ang berbeda.
Kesulitan penyesuaian yang umumnya muncul dalam pernikahan adalah komunikasi. Komunikasi yang efektif penting bagi keberhasilan pernikahan. Hasil penelitian juga mengidentifikasi area dari fungsi pernikahan yang membedakan antara pasangan yang merasa puas dan tidak puas. Dari tiga area fungsi terpenting , dua di antaranya melibatkan komunikasi, yaitu kenyamanan pasangan dalam membagi informasi satu sama lain dan kemauan mereka untuk mengenali dan menyelesaikan konflik di antara mereka. Area yang ketiga adalah kualitas hubungan seksual mereka. Sejumlah penelitian telah membandingkan pola komunikasi pada pernikahan yang bahagia dan tidak bahagia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasangan yang tidak bahagia terjadi halhal sebagai berikut, mengalami kesulitan dalam menyampaikan pesan positif, lebih sering mengalami kesalahpahaman satu sama lain, kurang menyadari bahwa
Secara psikologis, semua istri akan merasa saki t hati jika melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Setidaknya ada dua faktor psikologis. Pertama, didorong oleh rasa cinta setia istri yang dalam kepada suaminya. Kedua, istri tidak mampu memenuhi kepuasan biologis. Problem psikologis lainnya adalah dalam bentuk konflik internal, baik diantaranya sesama istri, istri dan anak tirinya, atau diantara anak-anak yang berlainan ibu (Machalli, 2005). Dengan poligami, para suami sudah pasti akan membagi kasih
3
sayangnya antara istri pertama dan istri kedua, ketiga dan keempat. Sebelum poligami, biasanya suami selalu ada di rumah, menemani istri beserta keluarga mulai hari senin ketemu senin lagi, tetapi dengan poligami semuanya akan terbagi. Para istri tidak menerima kasih sayang yang utuh dan penuh, melainkan kasih sayang yang terbagi. Dengan banyaknya ketidak adilan para suami yang berpoligami terhadap istrinya, membuat jati diri poligami dianggap negatif, karena dapat mengakibatkan istri ya ng satu senang karena selalu diperhatikan, sedangkan istri lainnya terkatung-katung tak dipedulikan. Inilah yang dikhawatirkan oleh sebagian kalangan bahwa adanya poligami bisa menimbulkan diskriminasi pada para wanita (Husein, 2007). Poligami adalah sama dengan monogami, memiliki dasar hukum agama yang kuat. Kalau mengikuti syariah dan syarat-syaratnya dipenuhi baik pada monogami maupun poligami pasti membahagiakan. Sebaliknya kalau tidak sesuai syariah dan ada kemunafikan baik monogami maupun poligami akibatnya sangat fatal bagi keluarga (Aedy, 2007) Dari pernyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa poligami hukumnya boleh, akan tetapi harus melewati beberapa syarat. Salah satunya adalah syarat adil terhadap para istri baik itu dalam pemberian nafkah lahir atau batin. Kepuasan dalam pernikahan akan dirasakan jika pasangan suami istri dapat melalui beberapa faktor yang menunjang agar terciptanya keluarga yang harmonis dan bahagia.
kepuasan pernikahan pada istri yang dipoligami. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian : 1. Manfaat Praktis Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan pemahaman tingkah laku mengenai kehidupan pasangan suami istri yang berpoligami, serta dapat menjadi bahan masukan yang berguna khususnya untuk para suami yang bermaksud untuk berpoligami, agar dapat menciptakan suasana yang tepat bagi perkembangan tentang diri, pasangan dan lingkungannya. 2. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ragam dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan untuk pengembangan teori tentang poligami di bidang psikologi sosial dan psikologi umum, serta dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan poligami. TINJAUAN PUSTAKA Kepuasan Pernikahan Hawkins (dalam Olson dan Hamilton, 1983) mengemukakan pengertian kepuasan pernikahan adalah perasaan subjektif yang dimiliki oleh pasangan suami istri yang berhubungan dengan aspek-aspek yang terdapat dalam pernikahannya. Perasaan subjektif ini berada pada titik kontinum antara kepuasan dan ketidak puasan. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah suatu perasaan yang bersifat subjektif tentang kebahagiaan yang diperoleh pasangan yang menikah dalam kehidupan perkawinannya, baik itu
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepuasan pernikahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
4
secara menyeluruh maupun terhadap aspek-aspek dari pernikahannya. Karakteristik Kepuasan Pernikahan Sedangkan Rice & De Genenova (2002) membagi karakteristik kepuasan perkawinan menjadi enam faktor, yaitu : a. Komunikasi Komunikasi yang efektif melibatkan kemampuan untuk bertukar pikiran, sikap dan keyakinan. Perkawinan yang mengalami masalah disebabkan oleh komunikasi yang buruk dan itu akan menghasilkan tekanan, kemarahan dan rasa frustasi. b. Interaksi Yang Positif Salah satu aspek penting dalam p e rk a wi n a n a d a l a h a fe k s i , y a i t u kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Kasih sayang diungkapkan dengan katakata atau perbuatan merupakan salah satu faktor dalam perkawinan yang sukses, dengan demikian kepuasan perkawinan akan tercapai. c. Komitmen Perkawinan yang sukses memerlukan derajat motivasi yang tinggi untuk membuat pekerjaan dalam perkawinan dan kesediaan pasangan untuk menggunakan waktu dan usahanya untuk mengerjakan tugas perkawinannya. Suksesnya suatu perkawinan lebih dapat dicapai jika komitmen antara suami istri berjalan dengan baik (saling timbal balik). d. T a n g g u n g Jawab dalam Perkawinan Tanggung jawab dalam perkawinan melibatkan pembagian tugas dan tanggung jawab yang seimbang dalam memelihara keluarga. Perkawinan yang sukses tergantung pada perasaan saling berbagi dan pembagian tanggung jawab dalam keluarga. e. Pemenuhan Kebutuhan Psikologis
Adanya dukungan dan kepercayaan diantara pasangan suami istri juga m e ru p a k a n fa k t o r p e n t i n g d a l a m kepuasan perkawinan. Dalam suatu perkawinan pasangan diharapkan dapat mengerti dan memahami keinginan pasangannya, dengan demikian pasangan tidak hanya dapat menerima semua kelebihan pasangannya tetapi juga dapat menerima kekurangan pasangannya. f. Minat Bersama Pasangan yang memiliki minat dan hobi yang sama biasanya akan lebih sering menghabiskan atau meluangkan waktu bersama dengan pasangannya dan itu akan meningkatkan jumlah interaksi diantara keduanya. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan Roberts (1968) mengemukakan beberapa faktor penting yang berperan untuk membangun sebuah perkawinan yang bahagia, yaitu : a. Mature love, yakni kualitas dan jenis cinta yang memberikan ciri terhadap seseorang yang telah matang (mature) dan teraktualisasi. b. Pertemanan dan saling berbagi (companionship and sharing), perkawinan dikokohkan oleh ikatan ikatan afeksi, yan g didas ari ol eh aktivitas-aktivitas dan tanggung jawab yang luas, dalam, dan bervariasi yang dibagi bersama. Hal ini berarti adanya kesamaan dalam banyak hal yang berarti adanya saling pengertian tehadap minat, kemampuan, pemikiran, tujuan dan karakter masing-masing. c. Kepuasan seksual, cinta butuh untuk diekspresikan secara fisik (secara seksual), dan hal ini dipertinggi nilainya dalam perkawinan. Hubungan seksual adalah salah satu cara atau bentuk berbagi dalam hidup, dan hanyalah satu
5
dari sekian banyak hal yang mempengaruhi kebahagiaan suatu perkawinan. d. Anak, mempunyai anak adalah satu dari dua fungsi dasar seksualitas pada manusia dan merupak an salah satu tujuan utama dari suatu perkawinan. e. Keyakinan religiusitas utama, kegagalan dalam perkawinan lebih banyak terjadi pada mereka yang tidak memiliki afiliasi religiusitas yang aktif, baik dari kurangnya minat maupun dari pilihan untuk mengabaikan religi kedua belah pihak dalam rangka menghindari konflik. Secara umum, stabilitas dan kebahagiaan dalam perkawinan lebih banyak terjadipada keluarga dimana keyakinan religiusitas merupakan faktor utama dalam kehidupan keluarga. f. Jaminan ekonomi, kebutuhan material bukanlah hal yang utama. Kebutuhan terhadap materi merupakan kebutuhan yang didapatkan, dan kepuasannya merupakan persoalan conditioning, pola hidup yang telah menjadi kebiasaan.
dari satu tanpa menceraikan salah satu istrinya. Sebab-sebab Yang Mendorong Untuk Berpoligami Muthbaqoni (2005) membedakan sebab-sebab yang mendorong seorang pria beristri lebih dari satu (poligami), yaitu : a. Sebab Umum 1). Bertambahnya jumlah wanita yang terlambat menikah dan yang dicerai. 2). Berkurangnya jumlah laki-laki dengan sangat drastis karena peperangan. b. Sebab Khusus 1). Kemandulan Tujuan asasi dalam menikah, diantaranya adalah keinginan mendapatkan keturunan, maka kalau ternyata seorang istri dinyatakan positif tidak bisa melahirkan dan bertahun tahun lamanya seorang suami hidup bersamanya, maka ada kemungkinan seorang suami akan berniat untuk melakukan poligami. 2). Tidak ma mpu menu naikan kewajiban keluarga karena sakit atau yang lainnya. Jika istri tidak mampu menunaikan kewajibannya sebagai seorang istri dikarenakan sakit, maka termasuk bagian dari menepati janji adalah membiarkan istri menjadi tanggungan suaminya dan suami bisa menikah lagi dengan wanita lain untuk dijadikan istri keduanya. 3 ). Keinginan suami untuk menikah lagi Ada banyak kesempatan yang membuat seorang laki-laki berkenalan dengan seorang wanita, terutama di suatu masyarakat yang tingkat persinggungan laki-laki dan wanita cukup besar. Atau
Poligami Secara etimologis, istilah poligami dari bahasa Yunani yaitu apolus yang artinya banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Kata lain yang mirip dengan itu ialah poligini, juga berasal dari bahasa Yunani yaitu polus yang berarti banyak dan gene yang artinya perempuan. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan poligami dan poligini adalah suatu sistem perkawinan dimana seorang lakilaki menga wini lebih dri seorang perempuan dalam waktu bersamaan (Nurrohmah, 2003). Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa poligami adalah sebuah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan memiliki istri lebih
6
melakukan praktek poligami melebihi batas maksimal yang telah ditentukan. b. Berlaku adil terhadap para istri Allah memerintahkan kepada orang yang hendak berpoligami agar berlaku adil terhadap istri-istrinya. c. Kemampuan memberi nafkah Ti d ak b ol e h m e ni k ah i s a tu o ra ng perempuan atau lebih, kecuali mampu memenuhi keperluan dan biaya nikah serta nafkah yang menjadi hak istri.
dia mendengar keistimewaan yang dimiliki seorang wanita yang terkadang itu tidak dimiliki istrinya, maka dia pun berkeinginan untuk menikahi wanita tersebut. 4). Suami yang tidak menyukai istrinya Seseorang yang hari ini adalah seorang kekasih hati, sangat mungkin esok hari tidak demikian, bahkan terkadang kebencian itu menggunung dan sering terjadi pertengkaran. 5). Seringnya suami bepergian dalam waktu yang lama dan bermukim di negara lain Beberapa suami ada yang pekerjaannya berpindah dari satu negara ke negara lain, maka istrinya merasa capek kalau harus terus menerus ikut suami pindah dari satu negara ke negara lain. 6). Dorongan biologis Sebagian laki-laki ada yang mempunyai kekuatan di atas rata-rata, bahkan kekuatan yang dimiliki laki-laki pada kondisi-kondisi biasa mampu memenuhi hak lebih dari satu istri. 7). Ketertarikan seorang wanita Terkadang seorang laki-laki tergolong ahli kebaikan, berakhlak mulia, memiliki kepribadian yang luar biasa memikat dan mempunyai kedudukan yang terhormat di masyarakat, sehingga banyak wanita yang bersedia mendampinginya sebagai istri.
Dampak-dampak Poligami
Perkawinan
Setiati (2007) mengungkapkan dampak umum yang terjadi terhadap istri atau wanita yang suaminya melakuk an perkawinan poligami diantaranya : a. Didalam diri istri akan muncul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat ketidak mampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya. b. Selama masa perk awi nan, sudah ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami yang memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak -anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari hari. c. Sering terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. d. Banyak laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu, akan tetapi secara diamdiam melakukan perkawinan dengan wanita lain di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatat pada kantor pencatatan nikah.
Syarat-syarat Poligami Islam melegalkan prakterk poligami dengan syarat-syarat tertentu (Arfiah, 2006), yaitu : a. Jumlah maksimal yang dibolehkan Jumlah maksimal yang dibolehkan oleh Islam dalam poligami adalah empat orang istri. Seorang laki-laki tidak boleh
7
Kepuasan Pernikahan Pada Istri Yang Dipoligami
Manfaat Poligami Setiati (2007) juga menyimpulkan bahwa perkawinan poligami tidak semuanya berkesan negatif, karena ada sisi kebaikan dari praktik poligami yang patut diketahui, yaitu : a. Melatih sabar Menghadapi keadaan ini, tidak semua wanita bisa langsung menerimanya, karena pada dasarnya wanita memiliki perasaan cemburu. Bagaimana tidak, wanita lebih bermain dengan perasaan dari pada logika sehingga mudah terluka hatinya, begitu mengetahui bahwa suaminya terpikat pada wanita lain dan berkeinginan untuk menikah dengan wanita itu. b. Melatih ikhlas dalam berbagi kebahagiaan dengan wanita lain Umumnya hal ini sulit diterima oleh wanita, karena tidak ada seorang pun wanita yang rela suaminya bermesraan dengan wanita lain. c. Pasrahkan hati semata-mata karena Tuhan Merelakan suami berbagi dengan wanita lain untuk beristri adalah karena Tuhan. d. Melatih hidup sehat dan bersih Merelakan suami beristri lagi dengan cara yang legal sama artinya dengan menjaga agar suami terhindar dari hubungan seks bebas. e. M e l a t i h d i ri u n t u k s e l a l u meningkatkan kualitas Dengan mengijinkan suami melakukan perkawinan poligami, akan membuat setiap istri termotivasi untuk selalu menjaga kualitas diri. f. Melatih untuk tidak memiliki sifat dengki Berbagi suami, bagi seorang istri yang pendengki akan membuatnya selalu makan hati, depresi, mungkin juga tekanan darah tinggi.
Dalam suatu pernikahan, suami istri harus berusaha sebaik mungkin untuk me nyes ua ik an diri deng an pasangannya. Apabila penyesuaian diri dapat dilakukan dengan lancar, diharapkan kepuasan pernikahan juga akan tewujud. Seperti yang dikemukakan oleh Atwater (1999) bahwa penyesuaian terhadap pasangan, penyesuaian terhadap peran-peran baru dan juga penyesuaian terhadap hal-hal lainnya dalam pernikahan berpengaruh tehadap kepuasan pernikahan masingmasing pihak. Membangun perasaan intim, membentuk kesepakatan peran dan nilai keluarga merupakan sebagian tugas yang dihadapi pasangan suami istri dalam pernikahan. Apabila tugas-tugas tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka dapat tercipta pernikahan yang langgeng dan membahagiakan. Untuk mencapai semua itu, secara timbal balik dan terus menerus diperlukan pembicaraan dan kesempatan-kesempatan untuk memutuskan sesuatu. Begitu pula dengan perkawinan poligami. Poligami dan monogami sama-sama memiliki dasar hukum agama yang kuat. Dalam perkawinan monogami maupun poligami kalau mengikuti syariah dan syarat-syaratnya dipenuhi pa sti membahagiakan. Sebaliknya kalau dalam perkawinan monogami ataupun poligami tidak mengikuti syariah dan syarat-syaratnya tidak dipenuhi, maka akibatnya akan fatal bagi keluarga (Aedy, 2007). Dalam perkawinan poligami, syarat mutlak yang harus dimiliki seorang laki -laki atau suami yang memiliki keinginan untuk berpoligami adalah ia harus memiliki sikap adil yang
8
merata kepada istri-istri yang dinikahinya (Setiati, 2007). Oleh karena itu, jika seorang suami ingin melakukan poligami hendaknya melihat dulu kemampuan yang ada pada diri sendiri, karena poligami akan lebih baik jika dilakuk an oleh su a m i yan g tel ah memiliki ilmu keimanan dan agama yang tinggi dan mampu bersikap adil lahir dan batin. Bersikap adil di dalam perkawinan poligami tidaklah mudah, karena bentuk perkawinan poligami tidak seperti dalam perkawinan monogami, dimana suami hanya memiliki seorang istri, hak-hak dalam tali perkawinan itu otomatis hanya menjadi milik istrinya seorang. Hak dan kewajiban suami beserta istri-istri dalam perkawinan poligami berbeda dengan hak dan kewajiban yang terdapat di dalam perkawinan monogami. Dalam pernikahan, umumnya pasangan menyadari bahwa mereka harus melakukan penyesuaian diri agar hidup bersama secara harmonis. Hal ini m e n u n j u k k a n p e n t i n g n y a p ro s e s penyesuaian diri dalam pernikahan. Adapun masalah dalam penyesuaian pernikahan meliputi kepuasan dalam pernikahan yang berkaitan dengan interaksi suami -istri, sehingga kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing dapat diketahui, dihormati, dan dipuaskan. Dalam kehidupan rumah tangga, terdapat pembagian tanggung jawab di antara pasangan. Isu yang terkait dengan hal tersebut adalah pembagian tanggung jawab yang dipersepsikan secara adil oleh masing -masing pasangan. Sementara itu, masalah-masalah yang terkait dengan komunikasi dan konflik antara lain yaitu hambatan dalam mengkomunikasikan perasaan yang
mendalam, harapan, keinginan, dan kebutuhan pribadi (Ariyani, 2004). Praktek poligami memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif, seperti poligami aka n lebi h b any ak m engh asilk an k eu nt un g a n p ad a pi h ak l ak i - l ak i dibandingkan perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise dihadapan masyarakat karena mempunyai banyak istri. S edangkan pihak istri lebih sering mendapatkan dampak negative pada pernikahan poligami. Seperti, para istri yang tinggal serumah dapat kehilangan privasi masing-masing. Selain itu mereka juga harus berbagi wilayah yang biasanya dipahami sebagai tempat perempuan seperti dapur. Sedangkan para istri yang tinggal di tempat yang berbeda dapat menyebabkan tekanan -tekanan kepribadian seperti, cemburu, konflik kepribadian, kompetisi dan ketidak senangan anak terhadap ibu yang berbeda. Secara psikologis, semua istri akan merasa sakit hati jika melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Setidaknya ada dua faktor psikologis, pertama, didorong rasa cinta setia istri yang dalam kepada suaminya. Umumnya, istri mempercayai dan mencintai sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang untuk cinta terhadap laki-laki lain. Istri selalu berharap suaminya berlaku sama terhadap dirinya. Oleh karena itu, istri tidak menerima jika suaminya membagi cinta kepada perempuan lain. Faktor kedua, istri merasa dirinya inferior seolah-olah suaminya berbuat demikian lantaran istri tidak mampu memenuhi kepuasan biologisnya. Sangat banyak wanita menolak terjadinya poligami dalam keluarganya dengan berbagai macam alasan yang
9
diyakininya. Namun terdapat pula beberapa wanita yang menerima konsep poligami dalam keluarganya. Berikut contoh perilaku poligami yang didukung oleh istri, seperti memilihkan calon istri atau bahkan istri pertama yang meminangkan wanita lain untuk suaminya. Hal ini biasanya disebabkan oleh kefahaman mereka terhadap bahaya bertambahnya jumlah wanita yang menua tapi belum m enikah, serta dampak negatif yang ditimbulkan t e rh a d a p k e h i d u p a n m a s y a r a k a t . Penikahan poligami baru akan terjadi pada diri seorang laki-laki atau suami, tatkala ia telah meniti kebahagiaan kehidupan berumah tangga monogami bersama istri pertamanya. Banyak hal yang menjadi dasar pertimbangan suami meminta izin kepada istri pertamanya untuk menikahi wanita lain (Setiati, 2007). Kebahagiaan dan kesejahteraan rumah tangga terletak pada kesucian, kesetiaan, kesabaran, pengorbanan dan kepedulian kedua belah pihak yaitu suami dan istri. Walaupun demikian, kebahagiaan ini tentunya bersifat relatif dan subjektif. Jelasnya suatu hal yang dapat menjadi kebahagiaan seseorang belum tentu menjadi kebahagiaan bagi orang lain, juga karena sesuatu yang dapat membahagiakan pada saat tertentu mungkin tidak akan menimbulkan kebahagiaan pada saat atau waktu yang lain. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Sarantok (dalam Poerwandari, 1998) pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan pandangan-pandangan dasar interpretif dan fenomenologis. Cresw ell (dalam Heru, 2006) mendefinisikan kualitatif sebagai suatu proses penelitian untuk
memahami masalah-masalah manusia atau social dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-kata , melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar ( setting) yang alamiah. Subjek Penelitian 1.
Ka ra k t e ris ti k S u bj ek Subjek dalam penelitian ini adalah seorang istri yang berstatus sebagai istri pertama. 2. Jumlah Subjek Menurut Patton (1990) penelitian kualitatif menyatakan tidak ada aturan yang pasti tentang jumlah subjek dalam penelitian kualitatif. Penentuan jumlah subjek tergantung pada apa yang ingin diketahui, tujuan dan manfaat penelitian, serta apa yang dilakukan dalam jangka waktu yang tersedia, maka dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti dua orang subjek. Tahap-tahap Penelitian Tahap-tahap persiapan dan pelaksanaan yang dilakukan dalam penelitian yaitu : 1. Tahap Persiapan Penelitian Peneliti melakukan persiapan dengan menyusun pedoman wawancara, panduan observasi dan lembar data diri. Me nyi apk an tape recorder untuk merekam wawancara agar tidak ada yang terlupa. 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian Sebelum pengumpulan data subjek, peneliti menghubungi dan membuat janji dengan subjek untuk melakukan wawancara. Setelah bertemu, peneliti memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan penelitian, mengajukan
10
pertanyaan dan segala sesuatu yang berhubungan. Saat pelaksanaan, peneliti melakukan observasi, mencatat ataupun merekam semua jawaban subjek. Setelah peneliti melakukan wawancara dan observasi, peneliti menganalisis data yang ada dan menulis laporannya. Teknik Pengumpulan Data c. . Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode wawancara dan observasi. 1. Wawancara Menurut Banister (dalam Poerwandari, 1998) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahk an u ntuk m e nca pai tuju an tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk me mperoleh pengeta huan tentang makna-makna subjek yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Patton (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan ada tiga yang membedakan pendekatan dasar dalam memperoleh data kualitatif melalui wawancara, yaitu : a. Wawancara konvensional yang informal Proses wawancara didasarkan sepe nuhn ya pa da be rke m ban gny a pert any aan -p erta nya anny a s ec ara spontan dan interaksi ilmiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan peneliti yang melakukan observasi partisipan. b. Wawancara dengan pedoman umum Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara yang
a.
b.
c.
d.
11
sangat umum, yang mencantumkan isu isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek -aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist). Wawancara dengan pedoman terstandar yang terbuka Dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulisi secara rinci, lengkap dengan set pertanya an dan penjabarannya dalam kalimat. Dalam penelitian ini akan digunakan tipe wawancara dengan menggunakan pedoman umum. Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk memiliki panduan dalam mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hal -hal yang diteliti, namun tetap fleksibel tergantung pada perkembangan dan situasi dalam wawancara. Smith (dalam Poerwandari, 1998) menguraikan aspek yang perlu diperhatikan dalam menyusun pertanyaan dalam wawancara, antara lain : Pertanyaan harus bersifat netral, tidak diwarnai nilai-nilai tertentu dan tidak mengarahkan. P e n e l i t i perlu menghindari penggunaan istilah-istilah yang canggih, resmi, maupun tinggi. Jauh lebih efektif menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti sekaligus dapat meningkatkan rapport. P e n e l i t i perlu menggunakan pertanyaan terbuka, bukan pertanyaan tertutup. P e r t a n y a a n tertutup adalah pertanyaan yang hanya menarik jawaban “ya” atau “tidak” atau jawaban lain sesuai alternatif yang tersedia dan tidak mengajak responden bercerita lebih
lanjut. Dengan pertanyaan tertutup, peneliti akan sulit mengembangkan pemahaman tentang pemikiranpemikiran dan perasaan-perasaan responden. 2.
Observasi Istilah observasi diturunkan dari bahasa latin yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut (Poerwandari, 1998). Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologi, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) maupun dalam konteks alamiah (Banister dkk, dalam Poerwandari, 1998). Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998) observasi merupakan metode pengumpul data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat, observasi sebagai metode alamiah harus dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan-latihan yang memadai, serta telah mengadakan persiapan yang diteliti dan lengkap. D a l a m p e n e l i ti a n i n i p e n e l i t i menggunakan catatan lapangan karena catatan lapangan akan menjadi sumber yang sangat penting saat peneliti melakukan analisis. Alat Bantu Penelitian Istilah kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain-lain. Berkaitan dengan hal tersebut dalam penelitian kualitatif ini
peneliti menggunakan instrumen penelitian berupa : d. Pedoman Wawancara Pedoman wawancara berisi pertanyaanpertanyaan yang berkaitan dengan masalah penelitian agar apa yang ingin diketahui oleh peneliti tidak terlewatkan. e.
Alat Perekam (tape recorder) Tape recorder akan digunakan sebagai alat bantu untuk me rekam semua pertanyaan dan jawaban subjek atas pertanyaan yang diutarakan peneliti. Perekaman dilakukan atas sepengetahuan dan seizin subjek. f. Alat Tulis Pulpen dan buku tulis atau notes digunakan untuk mengobservasi tingkah laku subjek pada saat wawancara berlangsung. Keakuratan Penelitian Moleong (1995) triangulasi merupakan suatu bentuk teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk pengecekan atau pembanding data. Denzin (dalam Mol eon g, 19 95) m e mb agi t eknik triangulasi menjadi empat macam, yaitu : a. Triangulasi dengan sumber atau data. Menurut Patton (dalam Moleong, 1995) berarti membandingkan dan mengecek derajat kepercayaan informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. b. Triangulasi dengan metode, berarti penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode wawancara, metode observasi atau metode kualitatif. c. Triangulasi dengan penyidik dilakukan dengan jalan memanfaatkan peneliti atau
12
pengamat untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. d. Triangulasi dengan teori. Menurut Lincon dan Guba (dalam Moleong, 1995) berdasarkan anggapa n bahwa fakta tertentu tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Untuk menjaga keabsahan dan keajegan penelitian, peneliti menggunakan beberapa triangulasi diantaranya triangulasi sumber atau data, dimana peneliti membandingkan data wawancara subjek dan significant other, data observasi dan data wawancara. Yang kedua menggunakan triangulasi metode, dimana peneliti menggunakan metode wawancara dengan subjek dan significant other, serta metode observasi. Dan yang ketiga peneliti menggunakan triangulasi teori, Patton (dalam Moleong, 1995) berpendapat bahwa hal itu dapat dilaksanakan dan hal itu dinamakan penjelasan banding.
Setelah peneliti selesai mengorganisasikan data, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengkodean atau koding. Proses koding terdapat tiga bagian, yakni koding terbuka (open coding), koding aksial (axial coding ), dan koding selektif (selective coding ). Proses koding dimulai dengan menyusun transkip verbatim dari data hasil wawancara. Peneliti lalu memberi kode-kode atau penomoran disebelah kanan atau kiri transkip. Pemberian kode atau nomor dapat dilakukan secara berurutan dari satu baris ke baris yang lain atau dilakukan pada tiap-tiap paragaraf baru (Poerwandari, 1998). Peneliti harus memilih kode atau nomor yang mudah diingat. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998) menjelaskan bahwa proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul dari jawaban atau kata-kata responden sendiri (indigenous concepts) maupun konsep -konsep yang dikembangkan atau dipilih peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis (sentizing concepts). Kata-kata kunci dapat diambil dari istilah yang dipakai oleh responden sendiri, yang oleh peneliti dianggap benar-benar tepat dan dapat mewakili fenomena yang dijelaskan.
Dalam penelitian ini, peneliti tidak m engg una kan tri ang ulasi d eng an penyidik, karena peneliti mengecek kembali derajat kepercayaan data hanya dengan dosen pembimbing saja. Teknik Analisa Data Dalam melakukan analisis data terdapat beberapa tahapan atau langkahlangkah yang harus dilakukan. Pengolahan dan analisis data dimulai dengan mengorganisasikan data dengan rapih, sistematis dan selengkap mungkin. Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 1998) mengatakan bahwa organisasi data memungkinkan peneliti untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.
PEMBAHASAN Dari uraian diatas terdapat persamaan dan perbedaan yang terjadi antara subjek 1 dan subjek 2 yang dijelaskan sebagai berikut : 1. Karakteristik Kepuasan Pernikahan a. Komunikasi Pada kasus ini kedua subjek memiliki komunikasi yang berbeda dengan pasangan. Komunikasi subjek 1
13
dengan pasangan sangat baik karena mereka sering bertukar pikiran dan selalu mengambil keputusan bersama terutama mengenai anak atau pekerjaan suami. Sedangkan subjek 2 cenderung tidak dapat berkomunikasi dengan baik karena sering bertengkar dan berselisih paham, sehingga subjek 2 jarang bertu kar pikiran d an juga j arang mengambil keputusan bersama. Walaupun demikian, subjek 2 dengan pasangan pernah mengambil keputusan bersama mengenai anak. Rice & De Genova (2002) berpendapat bahwa komunikasi yang efektif melibatkan kemampuan untuk bertukar pikiran, sikap dan keyakinan. Perkawinan yang mengalami masalah disebabkan oleh komunikasi yang buruk dan itu akan menghasilkan tekanan, kemarahan dan rasa frustasi. Dalam hal ini subjek 2 cenderung merasa tertekan karena pasangan menjadi mudah marah terhadap subjek. Sehingga komunikasi antara subjek dan pasangan tidak baik. Duvall & Miller (1985) juga mengatakan bahwa komunikasi perkawinan yang terbentuk dengan baik akan menyebabkan pasangan dapat merasakan kebersamaan dan kedekatan dengan pasangannya walaupun terpisah secara jarak maupun waktu. Komunikasi yang efektif dan jelas terbukti berhubungan positif dengan kepuasan perkawinan. b. Interaksi Yang Positif
pembanding data. Sedangkan pada subjek 2 merasa dengan seringnya pasangan berada dirumah, maka itu membuktikan bahwa pasangan sudah mengekspresikan kasih sayangnya. Seperti yang dikatakan oleh Rice & De Genova (2002) bahwa salah satu aspek penting dalam perkawinan adalah afeksi, yaitu kebutuhan akan cinta dan kasih sayang. Kasih sayang diungkapkan dengan kata-kata atau perbuatan merupakan salah satu faktor dalam perkawinan yang sukses, dengan demikian kepuasan perkawinan akan tercapai. Selain itu, subjek 2 merasa bahwa pasangan terlihat perhatian belakangan ini. Itu terlihat dari raut muka pasangan yang tidak masam lagi jika melihat subjek. Dalam menerima kritikan atau pendapat yang kurang menyenangkan, subjek 2 cenderung tidak menerima karena subjek 2 merasa bahwa pasangan selalu membeda bedakan subjek dengan istrinya yang lain. Bell (1973) berpendapat masing masing pihak merupakan sumber afeksi bagi pihak yang lain. Karena cinta merupakan alasan utama untuk menikah dan penting pula untuk kelangsungan perkawinan, maka pasangan harus dapat memastikan bahwa perasaan cinta tetap ada diantara mereka. Melalui cinta dan afeksi, pasangan dapat melestarikan perasaan saling membutuhkan. Sifat timbal balik dalam hubungan cinta ini dapat me muaskan ke butuhan ego masing-masing pihak.
Pada kasus subjek 1 tidak bisa dianalisis, karena informasi yang didapat peneliti tidak dapat dibandingkan derajat kepercayaannya antara subjek dengan significant other. Sehingga untuk kasus subjek 1 khususnya interaksi yang positif tidak bisa ditriangulasi. Seperti yang dikatakan oleh Moleong (1995) triangulasi merupakan suatu bentuk teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk pengecekan atau
c.
Komitmen Pada kasus ini subjek 1 tidak pernah membuat komitmen dengan pasangan. Sedangkan subjek 2 pernah berkomitmen dengan pasangannya sebelum dipoligami. Rice & De Genova (2002) mengatakan bahwa suksesnya
14
suatu perkawinan lebih dapat dicapai jika komitmen antara suami dan istri berjalan baik (saling timbal balik). Dalam hal ini subjek 2 pernah berkomitmen dengan pasangan untuk tetap sayang dan dapat berlaku adil setelah berpoligami. Namun pasangan tidak menepatinya. Selain itu, subjek 1 merasa selalu meluangkan waktu untuk mengerjakan tugas-tugas pernikahannya, seperti selalu melayani dan memenuhi semua kebutuhan pasangan. Begitu juga dengan p a s a n g a n y a n g t e rk a d a n g s e l a l u membantu subjek untuk melakukan tugas-tugas pernikahan pernikahan tersebut, seperti membantu subjek membersihkan rumah. Pada subjek 2 merasa selalu melayani dan memenuhi kebutuhan pasangan meskipun terkadang pasangan menolak. Subjek 2 juga merasa bahwa pasangan tidak pernah meluangkan waktu untuk melaksanakan tugas-tugas pernikahannya, karena pasangan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Rice & De Genova (2002) juga berpendapat bahwa perkawinan yang sukses memerlukan derajat motivasi yang tinggi un tu k m e m b u a t p e k e rj a a n d al a m perkawinan dan kesediaan pasangan untuk menggunakan waktu dan usahanya untuk mengerjakan tugas perkawinannya.
menikah akan dihadapkan pada peranperan yang mengandung sejumlah alternatif tingkah laku yang ditentukan. Bila ia mampu berperan sesuai dengan harapan atau ketentuan yang ada, maka ia tidak akan menghadapi banyak masalah. Tetapi masalah akan timbul bila keinginan pribadinya tidak sesuai dengan harapan-harapan dan ketentuan yang ada, atau tidak sesuai dengan keinginan pasangannya. Dalam hal ini, subjek 2 merasa kurang puas dengan peran pasangan sebagai suami. Karena m enu rut subj ek, pas ang an h any a melaksanakan perannya sebagai orang tua saja. Hal ini juga dikuatkan oleh Rice & De Genova (2002) tanggung jawab dalam perkawinan melibatkan pembagian tugas dan tanggung jawab yang seimbang dalam memelihara keluarga. Perkawinan yang sukses tergantung pada perasaan saling berbagi dan pembagian tanggung jawab dalam keluarga. e. Pemenuhan Kebutuhan Psikologis Pada kasus ini subjek 1 cenderung saling mendukung dan saling terbuka satu sama lain terutama masalah anak dan kebutuhan keluarga. Akan tetapi subjek 1 terkadang kurang mendukung pasangan dalam masalah bisnis yang ingin dijalani. Karena menurut subjek, pasangan sering tertipu oleh rekan bisnisnya. Pada subjek 2 juga cenderung saling mendukung satu sama lain terutama masalah anak dan usaha yang dijalani sekarang. Karena subjek 2 dan pasangan mempunyai usaha masingm a si n g b e ru p a wa ru ng k e ci l d a n bengkel. Namun subjek 2 dan pasangan cenderung kurang saling terbuka. Karena subjek 2 merasa takut ada kesalah pahaman diantara mereka, jadi subjek 2 lebih banyak diam. Rice & De Genova
d.
Tanggung Jawab Pada kasus ini, subjek 1 sudah merasa puas dengan tanggung jawab pasangan selama ini. Karena menurut subjek, pasangan dapat melakukan perannya sebagai suami dan orang tua dengan baik meskipun subjek sudah dipoligami. Pada subjek 2 merasa tanggung jawab pasangan masih dianggap kurang baik. Karena peran pasangan sebagai orang tua lebih baik daripada sebagai suami. Bell (1973) mengatakan bahwa seseorang yang 15
(2002) berpendapat bahwa adanya dukungan dan kepercayaan diantara pasangan suami istri juga merupakan faktor penting dalam kepuasan pernikahan. Dalam hal ini, subjek 1 kurang percaya terhadap pasangan sejak dipoligami, terutama jika pasangan ingin bepergian. Namun pasangan sangat mempercayai subjek. Pada subjek 2 merasa bahwa pasangan sudah tidak percaya terhadap subjek terutama masalah materi. Karena pasangan selalu curiga terhadap subjek jika kehilangan uang. Namun sampai saat ini subjek masih mempercayai pasangan. Hal ini juga dikuatkan oleh Duvall & Miller (1985) adanya rasa saling percaya dari suami kepada istri dan juga sebaliknya, itu penting karena kecurigaan yang timbul diantara pasangan dapat memicu konflik dalam kehidupan pernikahan. f. Minat Bersama
pasangan mengajak subjek dan cucunya berjalan-jalan. Berdasarkan pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa subjek 1 memiliki kepuasan dalam pernikahannya. Karena hubungan subjek dengan pasangan yang cukup baik. Itu terlihat dari baiknya komunikasi antara su bj e k 1 d e ng a n p a s a ng a n, s e rt a tanggung jawab yang dilakukan sesuai dengan peran masing-masing. Subjek 1 dan pasangan juga saling mendukung satu sama lain terutama masalah anak dan kebutuhan keluarga, walaupun subjek kurang mendukung pasangan dalam urusan bisnis. Karena menurut subjek, pasangan sering tertipu oleh rekan bisnisnya. Akan tetapi subjek 1 kurang percaya terhadap pasangan sejak subjek dipoligami. Terutama jika pasangan ingin berpergian, subjek 1 selalu merasa curiga.
Pada kasus ini kedua subjek tidak mempunyai minat atau hobi yang sama dengan pasangan. Karena subjek 1 lebih senang berada dirumah dan pasangan merasa tidak betah jika selalu dirumah. Pada subjek 2 juga merasa lebih senang berada dirumah dan subjek juga lebih sering menghabiskan waktu bersama cucunya, sedangkan pasangan lebih sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya sambil bermain catur. Rice & De Genova (2002) berpendapat pasangan yang memiliki minat atau hobi yang sama biasanya akan lebih sering menghabiskan atau meluangkan waktu bersama pasangannya dan itu akan meningkatkan jumlah interaksi diantara keduanya. Dalam hal ini menurut subjek 1, pasangan menginginkan subjek untuk selalu senyum dan tidak mudah marah jika pasangan berada dirumah dan itu dapat meningkatkan jumlah interaksi diantara mereka. Pada subjek 2 merasa belakangan ini pasangan sudah tidak mu dah ma ra h lagi d an te rka da ng
Sedangkan pada subjek 2 tidak merasakan adanya kepuasan dalam pernikahannya karena hubungan subjek 2 dengan pasangan cenderung kurang baik. Itu terlihat dari komunikasi antara subjek 2 dengan pasangan tidak baik, sehingga subjek 2 jarang bertukar pikiran dengan pasangan, walaupun subjek 2 pernah mengambil keputusan bersama pasangan mengenai sekolah anak. Subjek 2 juga merasa bahwa pasangan subjek sudah tidak percaya lagi terhadap subjek. Walaupun belakang ini, subjek 2 merasa bahwa pasangan mulai perhatian terhadap subjek dan saling mendukung satu sama lain terutama masalah anak dan usaha. Subjek juga merasa bahwa pasangan sudah bertanggung jawab sebagai orang tua, meskipun tanggung jawab sebagai suami masih dianggap kurang oleh subjek. Karena pasangan subjek hanya
16
melakukan perannya sebagai orang tua d en g a n m e m b i ay a i s e ko l ah a n ak , sedangkan perannya sebagai suami kurang dijalani oleh pasangan subjek. Seperti yang dikatakan oleh Duvall & Miller (1985) kepuasan pernikahan adalah perasaan subjektif dimana bagi suami berarti terpenuhinya p e ra s a a n d i h a rg a i , k e s e t i a a n d a n perjanjian terhadap masa depan dari hubungan tersebut, sedangkan bagi istri, kepuasan pernikahan berarti terpenuhinya rasa aman secara emosional, komunikasi dan terbinanya kedekatan. Dalam hal ini, sebelum dipoligami subjek 2 pernah membuat perjanjian dengan pasangan untuk tetap sayang dengan subjek. Namun, setelah 3 bulan pasangan berubah terhadap subjek. Pasangan lebih mudah marah sehingga komunikasi antara subjek 2 dengan pasangan tidak baik. Hal ini juga diperkuat oleh Landis & Landis (19 70) perkawinan yang bahagia dapat diperoleh jika individu yang terikat dalam perkawinan mau menyesuaikan diri. Penyesuaian terbaik pada perkawinan bahagia adalah tercapainya saling pengertian dan simpati antara kedua pasangan.
2.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan a. Keyakinan Religiusitas Utama Pada kasus ini kedua subjek sama-sama aktif dalam melakukan kegiatan agama. Kedua subjek juga merasa bahwa keyakinan dalam beragama ini mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap hubungan subjek selama ini, sehingga mereka dapat mempertahankan rumah tangganya sampai saat ini. Roberts (1968) mengatakan kegagalan dalam perkawinan lebih banyak terjadi pada mereka yang tidak memiliki afiliasi
religiusitas ya ng a k tif, baik da ri kurangnya minat maupun dari pilihan untuk mengabaikan religi kedua belah pihak dalam rangka menghindari konflik. Secara umum, stabilitas dan kebahagiaan dalam perkawinan lebih banyak terjadipada keluarga dimana keyakinan religiusitas merupakan faktor utama dalam kehidupan keluarga. Hal ini juga diperkuat oleh Landis & Landis (1970) Kaitan antara religiusitas dengan kualitas perkawinan sebenarnya terletak pada frekuensi kehadiran seseorang pada suatu pelayanan agama. Kehadiran tersebut merupakan indikator adanya partisipasi sosial seseorang sebagaimana juga religiusitasnya, dan kedua hal ini mendukung terciptanya keberhasilan perkawinan. Agama berhubungan erat dengan tingkat kepuasan perkawinan. Dalam hal ini kedua subjek merasa lebih sabar jika sedang menghadapi masalah. b. Anak Pada kasus ini kedua subjek mempunyai hubungan yang sangat baik terhadap anak. Begitu juga dengan pasangan kedua subjek yang mempunyai hubungan sangat baik pula terhadap anak. Kedua subjek juga merasa bahwa pasangan sudah adil dalam memberikan kasih sayangnya. Karena pasangan dari kedua subjek hanya memiliki anak dari subjek, sedangkan dari istri yang lain tidak. Hurlock (1999) mengatakan adanya hubungan yang baik antara anak dan orang tua merefleksikan penyesuaian perkawinan yang berhasil, sekaligus turut menyumbang pada keberhasilan penyesuaian perkawinan itu sendiri. Jika hubungan orang tua dan anak kurang begitu baik, suasana dalam rumah akan banyak diwarnai oleh perselisihan, dimana pada akhirnya membuat penyesuaian perkawinan menjadi sulit. Hal ini juga diperkuat oleh
17
Roberts (1968) mempunyai anak adalah satu dari dua fungsi dasar seksualitas pada manusia dan merupakan salah satu tujuan utama dari suatu perkawinan. c. Kepuasan Seksual Pada kasus ini kedua subjek samasama merasa puas dengan hubungan seksualnya selama ini. Subjek 1 merasa tidak mengalami perubahan dalam berhubungan seksual baik sesudah atau sebelum dipoligami, walaupun belakangan ini subjek merasa risih jika berhubungan dengan pasangan. Sedangkan subjek 2 merasa tidak ada perbedaan dari kualitas atau frekuensi baik itu sebelum atau sesudah dipoligami. Roberts (1968) mengatakan cinta butuh untuk diekspresikan secara fisik (secara seksual). Hal ini dipertinggi nilainya dalam perkawinan. Hubungan seksual adalah salah satu cara atau bentuk berbagi dalam hidup, dan hanyalah satu dari sekian banyak hal yang mempengaruhi kebahagiaan suatu perkawinan. Hal ini juga diperkuat oleh Landis & Landis (1970) hubungan seksual yang memuaskan merupakan hasil yang turut menyumbang terhadap keberhasilan suatu perkawinan secara keseluruhan. Dalam hal ini subjek 1 cenderung merasa puas dengan hubungan seksualnya selama ini, walaupun sebenarnya subjek merasa risih dengan pasangan sejak dipoligami. Pada subjek 2 juga demikian, merasa puas dengan hubungannya, walaupun subjek merasa tidak ada perbedaan dari frekuensi atau kualitas baik itu sebelum atau sesudah subjek dipoligami. d. Mature Love Pada kasus ini subjek 1 merasa tidak mencintai pasangan karena jika berada didekat pasangan, subjek merasa seperti berada didekat orang tua. Itu dikarenakan usia subjek terpaut sangat jauh dari pasangan dan subjek menikah menimbulkan perselisihan adalah
juga karena dijodohkan sehingga berpengaruh terhadap hubungan subjek dengan pasangan. Pada subjek 2, subjek masih mencintai pasangan sampai saat ini. Karena pasangan subjek merupakan cinta pertama subjek sehingga subjek sulit melepaskannya. Bell (1973) berpendapat bahwa masing -masing pihak merupakan sumber afeksi bagi pihak yang lain. Karena cinta merupakan alasan utama untuk menikah dan penting pula untuk kelangsungan perkawinan, maka pasangan harus dapat memastikan bahwa perasaan cinta tetap ada diantara mereka. Melalui cinta dan afeksi, pasangan dapat melestarikan perasaa n saling membutuhkan. Hal ini juga diperkuat oleh Machalli (2005) didorong oleh rasa cinta setia istri yang dalam kepada suami. Umumnya, istri mempercayai dan mencintai sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang untuk cinta terhadap laki-laki lain. Ka ren a itu istri tidak da pat menerima suaminya membagi cinta kepada perempuan lain. Dalam hal ini subjek 1 merasa bahwa pasangan tidak adil dalam membagi cintanya, walaupun kasih sayang pasangan tidak mengalami perubahan. Sedangkan pada subjek 2 merasa bahwa pasangan sudah adil dalam membagi cintanya, walaupun cinta pasangan berkurang dan mengalami perubahan dibandingkan sebelum dipoligami. Karena menurut subjek 2, cinta pasangan sudah terbagi dua dengan istrinya yang lain. e. Jaminan Ekonomi Pada kasus ini kedua subjek merasa puas dengan kondisi ekonomi dan keadaan tempat tinggalnya saat ini. Selama ini, kedua subjek yang mengatur segala keperluan dan kebutuhan rumah tangganya. Hurlock (1999) berpendapat dalam banyak keluarga, salah satu persoalan yang paling banyak seputar uang. B e ra p a p u n 18
j u m l a h pendapatan yang diterima oleh suatu keluarga, keluarga yang belajar untuk mengatur pengeluaranpengeluarannya sehingga bisa terjadinya hutang dan merasa puas dengan apa yang bisa diusahakan dengan pendapatannya t e r s e b u t , cenderung memiliki penyesuaian yang lebih baik dibandingkan dengan keluraga dimana istri terus menerus mengeluh tentang pendapatan suaminya atau keluarga dim an a sua mi m enc ari pe ke rjaa n sampingan untuk menambah jumlah pendapatannya. Dalam hal ini subjek 1 m e r a s a s a n g a t p u a s d e n g a n c a ra pasangan membagi hasil. Karena subjek yang memegang uang pensiun pasangan dan uang kontrakan dan itu dianggap adil oleh subjek. Sedangkan subjek 2 merasa tidak puas dengan cara pasangan membagi penghasilannya karena subjek hanya mengandalkan uang dari warung kecil dan gaji anak-anaknya, walaupun pasangan mempunyai bengkel di sebelah warung kecilnya dan itu dianggap tidak adil oleh subjek. Hal ini juga diperkuat oleh Robert (1968) kebutuhan material bukanlah hal yang utama. Kebutuhan terhadap materi merupakan kebutuhan yang didapatkan, dan kepuasannya merupakan persoalan conditioning, pola hidup yang telah menjadi kebiasaan.
awal pernikahannya. Namun ketika mulai timbul banyak perbedaan dan terlalu sedikit hal-hal yang bisa dibagi, mereka mulai terpisah dan hidup didunia yang berbeda, menemukan kepuasan yang lebih besar dengan orang lain, kemudian perkawinan mereka pun berakhir. Selain itu, subjek 1 merasa saling pengertian satu sama lain terutama dalam hal pembagian waktu dengan istrinya yang lain. Karena subjek takut dosa jika melarang pasangan untuk pergi ke tempat istrinya yang lain. Subjek juga merasa sudah memahami karakt er masing-masing terutama dalam dalam mengimbangi emosi masing -masing. Pada subjek 2 merasa tidak saling pengertian satu sama lain. Karena subjek merasa pasangan cenderung suka membeda -bedakan subjek dengan istrinya yang lain. Subjek juga merasa sudah memahami karakter masing masing terutama jika subjek atau pasangan sedang emosi. Hal ini juga diperkuat oleh Hurlock (1999) saling mengerti merupakan faktor penting yang harus dibina oleh pasangan suami istri. Namun, ada saat-saat dimana seseorang bukan hanya membutuhkan pengertian, tetapi juga bantuan dalam memecahkan m a s al a h da n m a u m e nd e n ga rk a n masalah tersebut. Istri akan merasa puas jika suami penuh pengertian dan secara langsung membantu memecahkan masalah.
f. Pertemanan dan Saling Berbagi (companionship and sharing) Pada kasus ini subjek 1 cenderung saling berbagi satu sama lain terutama masalah anak atau bisnis pasangan ingin dijalani. Pada subjek 2 cenderung kurang saling berbagi dengan pasangan. Karena jika subjek ingin bercerita, pasangan subjek kurang menganggapi. Roberts (1968) mengatakan banyak pasangan yang benar-benar saling mencintai ketika mereka menikah dan pada masa-masa
PENUTUP Kesimpulan 1. Bagaimana kepuasan pernikahan pada istri yang dipoligami ? Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa secara umum subjek 1 merasakan
19
adanya kepuasan dalam pernikahannya, karena subjek 1 memiliki komunikasi yang baik dengan pasangan. Subjek 1 dan suami juga selalu meluangkan waktu untuk mengerjakan tugas -tugas pernikahan, saling mendukung dan terbuka satu sama lain. Subjek 1 juga merasa sudah puas dengan tanggung jawab suami selama ini. Sedangkan subjek 2 tidak merasakan adanya kepuasan dalam pernikahannya, karena komunikasi antara subjek 2 dengan suami cenderung tidak baik karena sering bertengkar dan berselisih paham. Subjek 2 juga merasa kurang puas dengan tanggung jawab suami selama ini. Subjek 2 merasa bahwa suami sudah tidak percaya lagi terhadap subjek terutama masalah materi. Akan tetapi, subjek 2 merasa belakangan ini suami terlihat perhatian. Subjek 2 juga cenderung saling mendukung satu sama lain, terutama masalah anak dan usaha yang dijalani sekarang
merasa puas dengan cara pasangan dalam membagi penghasilannya. Sampai saat ini subjek 1 dan pasangan saling berbagi dan saling pengertian. Sedangkan subjek 2 cenderung kurang saling berbagi dan tidak saling pengertian satu sama lain. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka peneliti mencoba memberikan saran, yaitu sebagai berikut : 1. Untuk Subjek Untuk kedua subjek yang dipoligami disarankan agar tetap saling menghargai dan menghormati antara suami dan istri serta lebih menilai positif pada dirinya sendiri. 2. Untuk Peneliti Selanjutnya Bagi penelitian selanjutnya yang terta rik untuk m enel iti kepu as an pernikahan pada istri yang dipoligami, agar mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan observasi untuk memperkuat hasil penelitian, karena pada penelitian ini peneliti tidak menggunakan pedoman observasi, tapi menggunakan catatan lapangan. Sehingga pada penelitian ini terdapat salah satu karakteristik yang tidak dapat ditriangulasi, dan itu menjadi suatu kelemahan dalam penelitian ini. Untuk penelitian selanjutnya juga agar lebih mengungkap aspek-aspek lain yang berkaitan dengan istri yang dipoligami serta mencari subjek penelitian lebih banyak dari penelitian ini untuk melihat kepuasan pernikahan seorang istri yang dipoligami.
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepuasaan pernikahan tersebut ? . Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan pada kedua subjek meliputi, keyakinan religiusitas dimana kedua subjek merasa lebih sabar jika sedang menghadapi masalah. Hubungan antara suami dengan anak-anak pada kedua subjek pun masih baik. Kedua subjek juga merasa puas dengan hubungan seksualnya selama ini. Sampai saat ini subjek 1 merasa tidak mencintai pasangannya, sedangkan subjek 2 masih mencintai pasangannya. Kedua subjek juga sama-sama merasa puas dengan kondisi ekonomi dan keadaan tempat tinggalnya, walaupun subjek 2 merasa tidak puas dengan cara pasangan dalam membagi penghasilannya. Sedangkan subjek 1
DAFTAR PUSTAKA Aedy, H., H. (2007) Poligami Syariah dan Perjuangan Kaum
20
Perempuan . Bandung : Alfa Beta
Beristri Dua. Jakarta : Mizan.
Arfiah, Y. (2006) Adil Terhadap Para Istri (Etika Berpoligami) . Jakarta : Darus Sunnah Press.
Gullota, A & Alexander (1986) Today’s Marriages and Families : A wellness Approach . California : Brooks/Cole.
Astuti, L. S. (2005) Gambaran Ke pu asa n Pe rni k ah an Pada Pasangan yang Mengalami Infertilitas . Skripsi Sarjana. Depok : Fakultas Psikologi UI
Hasan, Z. dkk (2007) Menuju Rumah Tangga Sakinah : Pedoman Konseling Perkawinan. Jakarta : BP4. Heru Basuki. (2006) Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan Budaya. Jakarta : Penerbit Gunadarma.
Atwater, E. & Duffy, K. G. (1999) Psychology for Living : Adjustment, Growth, and Behaviour Today . New Jersey : Prentice Hall Inc.
Hurlock, E. B. (1999) Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa : Istiwidayanti & Soedjarwo. Edisi ke -5. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Bell, R. R. (1973) Marriage and Family Interaction. Illinois : The Dorsey Press Bird, G. & Melville, K. (1994) Families and Intimate Relationships. New York : McGraw Hill.
Landis, J. T. & Landis, M. G. (1970) Personal Adjustment : Marriage & Family Living (Fifth Edition). New Jersey : Prentice Hall Inc. Levinson, D. (1995) Encyclopedia of Marriage and The Family. New York : Simon & Schuster Macmillan.
Chox, F. D. (1984) Human Intimacy: Marriage, The Family and It’s Meaning. 3rd ed. Minessota : West Publishing Company. Duvall, E. M., & Miller, C. M. (1985) Marriage and Family Development. 6th ed. New York : Harper & Row Publisher.
Machalli, R. (2005) Wacana Poligami di Indonesia. Bandung : Mizan Pustaka.
Fathurrohman, I. (2007) Saya Tidak Ingin Poligami Tapi Harus Poligami : Menelisik Alasan Kenapa Aa Gym
Moleong, L. J. (1995) Metodologi P e n e l i ti a n Ku a li t ati f . Bandung : P T. R em a ja Rosdakarya.
21
Muthbaqoni, M. S. (2005) Beristri 2, 3, Fenomena. Jakarta : Cisera atau 4?. Jakarta : Publishing. Cakrawala Publishing. Suprapto, B (1990) Lika-liku Poligami. Nurrohmah, L. (2003) Jurnal Yogyakarta : Penerbit AlPerempuan : Menimbang Kautsar. P o l i g a m i 3 1. h a l . 3 1 . Jakarta: Yayasan Jurnal Walgito, B. (2000) Bimbingan dan Perempuan Konseling Perkawinan . Edisi kedua. Yogyakarta : Andi Offset. Olson, H. D., & Hamilton, I. (1983) Families What Makes Them Yafie, M. A. (2003) Satu Istri Tak Works. Beverly Hills : Sage Cukup. Jakarta : PT. Publisher. Khazanah. Peck, J. C. (1991) Wanita dan Keluarga. Yogyakarta : Kanisius. Poerwandari, E. K. (1998) Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikolog. Jakarta : LPSP3 UI Rajab, B. (2004) Perkawinan Poligami Tinjauan Antropologi. Jakarta : Makalah Seminar Rice, F. P & De Genova, M. K. (2002) Intimate Relationship, Marriages and Families. 5th ed. New York : Mc Graw Hill Companies. Riyanto, Y. (2001) Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya : Sic. Roberts, G. L. (1968) Personal Growth and Adjustment. Boston : Holbrook Press Inc. Sadarjoen, S. (2005) Konflik Marital. Bandung : Retika Aditama. Setiati, E., Dra. (2007) Hitam Putih Poligami : Menelaah Poligami Sebagai Sebuah
22