sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXI, Nomor 4, Tahun 2006 : 31 - 38
ISSN 0216-1877
KEPITING BERACUN SUKU XANTHIDAE : KAJIAN DAN HIPOTESIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBABNYA Oleh A'an J. Wahyudi 1) ABSTRACT POISONOUS CRABS FAMILIA XANTHIDAE : STUDY AND HYPOTHESIS FACTORS CAUSES. Some Xanthidae are known as poisonous crabs, there are genus Atergatis, Etisus, Demania, Zosimus, Platvpodia and Lophozozvmus. Poisons in these poisonous crabs were contained of domoic acid, okadaic acid, dynophysistoxin, tetrodotoxin, saxitoxin, neosaxitoxin, brevetoxin, surugatoxin, nereitoxin, gonyautoxin and palytoxin. However, many researches and evidences show that these poisons were not only found in crabs, but also in many marine organism. For this reason, there are some hypothesis that believed as factors causing this crabs become poisonous organisms. These factors were contamination and accumulation poisonous compounds via dietary poisonous organisms, bacteria association and autonomy synthesis.
informasi terutama tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab kepiting memiliki sifat beracun.
PENDAHULUAN Xanthidae adalah salah satu suku (familia) dari subfilum Crustacea, Ordo Decapoda dan terdiri dari delapan subfamilia yaitu Xanthinae, Actancinae, Chlorodinae, Menippinae, Pilumninae, Polydectinae, Trapeziinae dan Zalasiinae (SAKAI, 1976). SERENE, NG et al. dan NG (dalam WIDYASTUTI, 2003) menyebutkan kepiting beracun dari Suku Xanthidae terdiri dari marga
RACUN DALAM TUBUH KEPITING Dari hasil kajian telah diketahui beberapa jenis racun dalam tubuh kepiting, antara lain: 1. Domoic acid Racun ini bersifat asam dan dapat terakumulasi dalam jaringan dan organ dalam kepiting dan kerang-kerangan (HORNER et al., 1996).
(genus) Atergatis, Etisus, Zosimus, Demania, Platypodia dan Lophozozymus. WIDYASTUTI (2003) juga menyebutkan ciri-ciri morfologi beberapa anggota dari Xanthidae beracun yaitu
2. Okadaic acid
Lopozozymus pictor, Atergatis floridus, Platypodia granulosa, Demania scaberima, Zosimus aeneus dan Etisus splendidus. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan 1)
Okadaic acid bersifat asam dan memiliki mekanisme kerja yang mirip dengan Domoic
acid (SATO et al., 1996).
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta
31
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
3. Palytoxin (Palytoksin)
6. Neosaxitoxin, Brevetoxin, Surugatoxin, Nereistoxin, Gonyautoxin Senyawa-senyawa ini merupakan neurotoksin dan tidak hanya ditemukan di tubuh kepiting, melainkan juga pada moluska dan cacing laut (BAKER & MURPHY, 1976; NG, 1998; SIDHARTA, 2000 dan TRAINER et al., 1996). Neosaksitoksin dan gonyautoksin merupakan turunan dari saksitoksin (LEHANE, 2000).
Palytoxin (palytoksin) memiliki berat molekul 2.681 dan diketahui terdapat pada ikan yang mengkonsumsi zoanthid Palythoa yang merupakan organisme mirip anemon. Palytoksin bekerja dengan cara membentuk channel membran baru yang melebihi normal sehingga transpor ion menjadi tidak terkontrol dan menyebabkan malfungsi sel serta jaringan tubuh (LLEWELLYN & DAVIE, 1987). 4. Tetrodotoxin (TTX; Tetrodotoksin) NG (1998) menyebut racun ini sebagai Tetrotoxin, tetapi banyak peneliti dan penulis menyebutkan sebagai Tetrodotoxin (TTX; Tetrodotoksin). Tetrodotoksin dideteksi pertama kali pada ikan suku Tetraodontidae. Racun ini merupakan neurotoksin dengan mekanisme penghambatan pada transpor ion natrium (Sodium Channel Blocking Toxin) (GALLACHER et al, 1996; NG, 1998 dan SIDHARTA, 2000).
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEPITING MENJADI BERACUN Faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab kepiting (Xanthidae) memiliki sifat beracun adalah : kontaminasi dan akumulasi senyawa beracun via diet biota beracun, asosiasi dengan bakteri, dan sintesis mandiri. Sebelum memasuki kajian ini, terlebih dahulu perlu diketahui bahwa kepiting beracun dikelompokkan menjadi dua kategori. Kajian kali ini khusus mengenai Xanthidae sehingga dibatasi pada suku ini. Xanthidae beracun terdiri atas Xanthidae beracun permanen dan Xanthidae beracun temporer. Menurut NG (1998) kategori pertama, beracun permanen adalah kepiting-kepiting yang hampir selalu beracun (sifat toksisitasnya permanen). Contoh kepiting- kepiting tersebut adalah Lopozozymus pictor, Demania spp., Zosimus aeneus, Platypodia granulosa dan Atergatis floridus. Makan kepiting-kepiting tersebut walau telah dimasak dengan benar akan membahayakan dan berakibat fatal bagi tubuh. Kategori kedua, beracun temporer yaitu adalah kepiting-kepiting yang sifat toksisitasnya tidak tetap (NG, 1998). Kepiting-kepiting kategori kedua ini tidak selalu beracun, dan tingkat toksisitasnya tergantung pada tempat/habitat dan waktu (bersifat temporer). Contoh Xanthidae kategori kedua ini adalah Atergatis integerrimus dan Atergatis spp.
5. Saxitoxin (STX; Saksitoksin) Saksitoksin merupakan neurotoksin kuat dan mendapat perhatian lebih seperti halnya tetrodotoksin. Saksitoksin merupakan senyawa racun non protein, bersifat larut dalam air dan memiliki efek penghambatan transpor ion natrium pada membran sel. Racun ini mencegah masuknya ion natrium ke dalam sel yang berpengaruh pada metabolisme sel. Semua sel dan jaringan terpengaruh oleh hal ini, tetapi yang paling terpengaruh adalah sel saraf, karena aktivitas sel saraf sangat tergantung dari perbedaan potensial yang dibentuk oleh ion natrium dan kalium di luar dan di dalam sel (BAKER & MURPHY, 1976; LEHANE, 2000 dan LLEWELLYN & DAVIE, 1987).
32
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Pola diet semacam ini dapat menyebabkan kepiting terkontaminasi dan/atau kemudian mengakumulasi senyawa beracun atau senyawa lain yang sebenarnya dihasilkan oleh alga atau biota lainnya (kerang-kerangan, polychaeta). NG (1998) menyatakan keberadaan racun dalam tubuh kepiting tergantung pada makanan yang dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak. Berbagai laporan menyebutkan, senyawasenyawa beracun ditemukan pada alga-alga tertentu. Domoic acid dilaporkan dihasilkan oleh alga Pseudo-nitzschia spp., okadaic acid dan dynophysistoxin dihasilkan oleh alga Dinophysis spp. (HORNER et al., 1996 dan SATO et al., 1996). Saksitoksin dan tetrodotoksin
Kontaminasi dan akumulasi senyawa beracun via diet biota beracun Banyak anggota Xanthidae adalah predator (karnivora), tetapi beberapa yang lainnya omnivora atau herbivora (GROVES & HUNT, 1980; NG, 1998 dan WARNER, 1977). SULKIN (1975) dalam penelitiannya mengenai diet larva kepiting menyatakan bahwa pada kondisi larva, kepiting paling banyak mengkonsumsi dinoflagellata (serta jenis-jenis alga yang lain), cilliata dan larva polychaeta. HENDERSON (1997) menyatakan bahwa suplai makanan utama untuk kepiting Xanthidae adalah kerang-kerangan (gastropoda dan bivalvia). 33
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
menurut GROVES et al. (1980) dihasilkan oleh dinoflagellata, walaupun demikian ternyata kedua jenis senyawa beracun ini ditemukan pada berbagai macam biota laut. Keberadaan senyawa beracun pada biotabiota laut tertentu (kerang-kerangan, cacing dan moluska) sebenarnya juga tidak terlepas dari peran alga-alga tersebut. Laporan mengenai keterlibatan diet biota beracun yang menyebabkan Xanthidae menjadi memiliki sifat beracun telah banyak dilakukan. Namun demikian mengenai mekanisme pencernaan sehingga dapat terjadi akumulasi senyawa beracun tersebut, sampai saat ini masih belum banyak penjelasan. Mekanisme eksositosis dan endositosis diduga kuat sebagai salah satu bagian dari proses terakumulasinya senyawa beracun dalam jaringan tubuh dan sel-sel pencernaan kepiting Xanthidae. Hal tersebut sedikit mendapat masukan setelah diketahui bahwa menurut NG (1998) senyawa beracun sebagian besar ditemukan pada organ hati, usus dan gonad. NEGRI & LLEWELLYN (dalam LEHANE, 2000) memberikan postulat berdasarkan penelitiannya pada Xanthidae (Euzanthus exsculptus, Lophozozymus octodentatus, Platypodia pseudogranulosa) bahwa beberapa Xanthidae memiliki mekanisme resistensi terhadap racun (saxitoksin, neosaksitoksin dan turunannya). Mekanisme ini menghasilkan protein haemolimph yang secara farmakologi sama dengan saxiphilin. Sedangkan kepiting dari suku lainnya, kecuali spesies-spesies yang toleran, justru mati hanya dengan dosis kecil dari racun-racun tersebut.
Saksitoksin dan neosaksitoksin ternyata dihasilkan oleh Pseudomonas sp., Alteromonas sp., Acinetobacter sp. (LEVASSEUR et al., 1996). KODAMA et al. (dalam SIDHARTA, 2000) juga menyebutkan bakteri laut Moraxella sp. juga mampu menghasilkan toksin ini. Lebih lanjut disebutkan oleh SIDHARTA (1999) bahwa keempat jenis bakteri tersebut di atas menghasilkan saksitoksin secara mandiri/ otonomi. YASUMOTO et al. (dalam SIDHARTA, 1999) melaporkan tetrodotoksin dan anhydro-tetrodotoksin dihasilkan oleh Pseudomonas sp. secara mandiri. Bakteri lainnya yang juga memproduksi tetrodotoksin adalah dari kelompok Vibrionaceae (SIMIDU et al., dalam SIDHARTA, 1999). Penemuan lain menyebutkan tetrodotoksin dihasilkan oleh bakteri simbiotik pada Xanthidae, Atergatis floridus (NAGUCHI et al., dalam GALLACHER et al, 1996). BRINKMEYER et al. (dalam LEHANE, 2000) menggunakan 16S RNA-target probe untuk mengamati bakteri penghasil senyawa beracun dan menyebutkan bahwa bakteri yang ditemukannya adalah dari genus Alteromonas dan Roseobacter. Asosiasi Xanthidae dengan bakteri penghasil senyawa beracun dapat dengan mudah terjadi, mengingat habitatnya yang bersinggungan. Bakteri yang tersebar luas mempengaruhi hal itu pula. NG (1998) menyebutkan senyawa racun pada kepiting dapat ditemukan pada eksoskeleton. Hal ini dapat menjadi awal yang mendasari bahwa pada eksoskeleton Xanthidae diduga terdapat jenisjenis bakteri penghasil senyawa beracun. NG et al. dan NG (dalam WIDYASTUTI, 2003) menyebutkan bahwa dalam tubuh kepiting Xanthidae dapat ditemukan lebih dari satu macam senyawa beracun.
Asosiasi dengan bakteri Keberadaan senyawa-senyawa beracun seperti saksitoksin dan tetrodotoksin yang ditemukan pada berbagai jenis biota membuat para ahli merekonstruksi ulang ideidenya, dan kemudian sampai pada dugaan bahwa terdapat keterlibatan mikrooganisme. Hal ini kemudian diperkuat dengan hadirnya berbagai laporan sebagai fakta-fakta baru.
Sintesis mandiri Kemampuan kepiting Xanthidae untuk mensintesis racun secara mandiri belum banyak dilaporkan. Walaupun penemuan yang ada mengantarkan pada peran bakteri dan pola diet, 34
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
HENDERSON, J. 1997. Tropical Marine Life of Indonesia. Periplus Edition (HK), Ltd. Singapore : 64 pp.
namun tidak menutup kemungkinan bahwa sesungguhnya Xanthidae mampu mensintesis racun secara mandiri. Terdapat sebuah dugaan bahwa dengan pola diet, mengkonsumsi biotabiota laut yang mengandung racun, Xanthidae kemudian dapat mengakumulasi dan mensintesis turunan atau analog racun tertentu. Tentunya banyak penelitian perlu dilakukan untuk membuktikan hal ini.
HORNER, R.A.; L. HANSON; C.L. HARFIELD and J.A. NEWTON 1996. Domoic Acid in Hood Canal, Washington, USA. Harmful and Toxic Algal Bloom- Intergovermental Oceanographic Commission of UNESCO: 127-129.
PENUTUP Faktor-faktor yang dihipotesiskan sebagai penyebab Xanthidae sehingga memiliki sifat beracun adalah kontaminasi dan akumulasi senyawa beracun via diet biota beracun, asosiasi dengan mikroorganisme (bakteri) dan sintesis racun secara mandiri. Kajian dan penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menguak fakta-fakta tentang Xanthidae beracun tersebut. Beberapa hal yang dapat menjadi kajian menarik adalah mekanisme resistensi kepiting Xanthidae terhadap racun, serta kemungkinan sintesis racun secara mandiri.
LEHANE, L. 2000. Paralytic Shellfish Poisoning: A review. National Office of Animal and Plant Health, Agriculture, Fisheries and Forestry Australia, Canberra. LEVASSEUR, M.; P. MONFOR; G.J. DOUCETTE and S. MICHAUD 1996. Preliminary Study of Bacteria As PSP Producers In The Gulf of St. Lawrence, Canada. Harmful and Toxic Algal Bloom Intergovermental Oceanographic Commission of UNESCO : 363-366.
DAFTAR PUSTAKA
LLEWELLYN, L and P. DAVIE 1987. Crabs and Other Crustaceans In : J. COVACEVICH, P. DAVIE and J. PEARN. Toxic Plant and Animals : A Guide for Australia. Queensland Museum. Brisbane : 504 pp.
BAKER, J.T. and V. MURPHY 1976. Handbook of Marine ScienceCompounds From Marine Organisms Vol 1. CRC Press, Inc. Ohio : 226 pp. GALLACHER, S.; K.J. FLYNN; J. LEFTLEY; J. LEWIS; P.D. MUNRO and T.H. BIRKBECK 1996. Bacterial Production of Sodium Channel Blocking Toxins. Harmful and Toxic Algal Bloom Intergovermental Oceanographic Commission of UNESCO: 355-358.
NG, P.K.L. 1998. Crabs. In : K.E. CARPENTER and VOLKER H. NIEM (Eds). FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes. The Living Marine Resources of The Western Central Pacific (2). Food and Agriculture Organization. Rome : 1048-1049.
GROVES, D.G. and L.M. HUNT 1980. Ocean World Encyclopedia. McGrawHill Book Company. New York : 443 pp.
SAKAI, T. 1976. Crabs of Japan and the Adjacent Seas. Kodansha, Ltd. Tokyo: 773 pp. 35
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SATO, S.; K. KOIKE and M. KODAMA 1996. Seasional Variation of Okadaic Acid and Dynophysistoxin-1 in Dinophysis spp. In Association with the Toxicity of Scallop. Harmful and Toxic Algal Bloom. Intergovermental Oceanographic Commission of UNESCO : 285-288.
TRAINER, V.L.; D.G. BADEN and W.A. CATTERALL 1996. Brevetoxin and Saxitoxin Binding To Sodium Channel Transiently Expressed In Human Kidney Cells. Harmful and Toxic Algal Bloom. Intergovermental Oceanographic Commission of UNESCO : 467-470.
SIDHARTA, B.R. 1999. Asosiasi Antara Bakteri dengan Ledakan Populasi Alga Berbahaya. Biologi 2 (7): 381-395.
WARNER, G. F. 1977. The Biology of Crabs. Elek Science. London : 197 pp. WIDYASTUTI, E. 2003. Kepiting Beracun, Suku Xanthidae. Oseana XXVIII (2): 11-19.
SULKIN, S.D. 1975. The Significance of Diet in the Growth and Development of Larvae of The Blue Crab, Callinectes sapidus Rathburn, Under Laboratory Conditions. J. Exp. Mar Biol. Ecol. 20 : 119-135.
36
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Lampiran 1
37
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
38
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006