Kepercayaan Orang Bali terhadap Leyak Sebagai Penyebab Penyakit dan Penanggulangannya Nengah Bawa Atmadja (Universitas Udayana)
Abstract
The Balinese believe that leyak or ghost is an etiology of illness. To become a leyak or to ngleyak, one must perform black magic or pangleyakan. The method of obtaining the pangleyakan is by studying under a dukun pangleyakan or dukun pangiwa, a special indigenous medical practitioner who masters the pangleyakan. A person can also obtain the pangleyakan from his/her parent. Moreover, he or she can request the pangleyakan to Goddess Durga, the goddes of black magic. When pangleyakan is used by somebody, he/she becomes a leyak, and will have the ability to take the shape of a certain animal, a ghostly light, a body without a head - the varieties are endless. This can only be performed at night. A leyak disturbs other people until they are sick or even die. Nevertheless, they believe that they can cope with the leyak through the use of amulet or by performing the magical religious ritual.
Pendahuluan Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar yang sangat penting bagi manusia (lihat Sudjatmoko, 1983). Hal ini erat kaitannya dengan kenyataan bahwa manusia yang sehat jasmani dan rohani memungkinkannya untuk berperan dalam suatu sistem sosial sesuai dengan statusnya (Drijarkara, 1985; Parsons, 1990). Untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan, setiap masyarakat mengembangkan sistem medis atau sistem kesehatan, yang berisi tentang berbagai kepercayaan, pengetahuan, dan praktek sebagai suatu kesatuan
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
1
aktivitas untuk memelihara kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit, baik jasmani maupun rohani. Sistem medis merupakan kompleks kebutuhan dari anggota suatu masyarakat. Karena itu sistem medis pada hakekatnya adalah pranata sosial yang memberi pedoman atau petunjuk bagi kelakuan manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan dalam suatu sistem sosial (lihat Kalangie, 1976:15). Salah satu sistem medis adalah tentang etiologi penyakit (etiology of illness), yaitu kepercayaan tentang sebab terjadinya suatu penyakit. Hal ini sangat penting, sebab asas penyembuhan dalam semua sistem kesehatan selalu didasarkan pada kepercayaan tentang sebab terjadinya penyakit (lihat Mosley dan Chen, 1988 : Pelly, 1989, Rienks, 1988; Wellin, 1977). Pada suatu masyarakat lazimnya dikenal berbagai etiologi penyakit, (h.2) yang secara garis besar dapat dipilah menjadi dua kategori. Pertama, sebab-sebab supranatural atau etiologi personalistik, yaitu keadaan sakit yang dipandang sebagai sebab dari adanya campur tangan suatu agen seperti orang halus, jin, setan, hantu, atau mahluk-mahluk halus lainnya. Kedua, sebab-sebab alamiah atau etiolog i naturalistik, yaitu keadaan sakit yang dijelaskan secara impersonal dan secara sistematis. Orang yang disakit dianggap sebagai akibat dari adanya gangguan sistem dalam tubuh manusia atau karena kecelakaan yang timbul dalam interaksi manusia dengan lingkungan biofisiknya (Allard, 1970; Foster dan Anderson, 1986; Howe, 1989; Koentjaraningrat,1976, 1984; Maretzki, 1980). Namun dalam kenyataannya, sebagaimana dinyatakan oleh Koentjaraningrat (1984), dapat saja kedua etiologi penyakit tersebut dipercaya menimpa seseorang secara simultan. Artinya, penyakit yang diderita seseorang diyakini tidak saja disebabkan oleh etiologi naturalistik, tetapi juga memiliki unsur personalistiknya. Dalam kaitannya dengan etiologi penyakit personalistik, orang Bali mengenal adanya kepercayaan tentang leyak . Dengan meminjam pendapat Nitibaskara (1990) maka leyak termasuk kedalam ilmu sihir atau ilmu tenung, karena hal itu berkaitan dengan suatu kepercayaan bahwa seorang anggota suatu masyarakat bisa mencelakakan orang lain, yakni jatuh sakit atau bahkan kematian, yang dilakukan secara gelap dan diam-diam dengan memakai kekuatan gaib. Uraian berikut ini mencoba menunjukkan kepercayaan orang Bali sebagai etiologi penyakit dan berbagai cara untuk menanggulanginya. Data yang dipergunakan dari telaah kepustakaan, termasuk di dalamnya studi terhadap Lontar Aji Pangleyakan dan Lontar Pangiwa, yakni dua buah lontar
2
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
yang khusus membahas tentang cara-cara menjadi leyak. Kemudian ditelaah pula beberapa lontar usada, yaitu naskah-naskah kuno yang memuat tentang sistem penyembuhan suatu penyakit, termasuk di dalamnya penyakit yang disebabkan oleh leyak .1 Lontar usada memiliki fungsi sangat penting, terutama bagi para balian atau dukun, ya kni dipakai sebagai pedoman untuk menanggulangi suatu penyakit (Geriya, 1983). Selain itu, data didapat pula dari hasil studi terhadap beberapa cerita rakyat, seperti cerita Duku Siladri, Garuritan Basur, Babad Pasek dan Calon Arang, cerita ini memiliki kedudukan sangat penting, yakni acapkali dipakai sebagai lakon dalam seni pertunjukkan rakyat. Bahkan cerita Calon Arang bagi masyarakat Bali dapat dipandang sebagai acuan dalam menjelaskan konsepsi mereka tentang leyak ataupun penyakit yang ditimbulkannya. Untuk memperoleh data tambahan, dilakukan pula wawancara mendalam terhadap beberapa orang balian di suatu desa di Kecamatan Siririt Buleleng dan Kecamatan Baturiti Tabanan. Leyak sebagai Penyebab Penyakit Masyarakat Bali percaya bahwa ada orang-orang tertentu yang dianggap mampu menjadi leyak atau lazim pula disebut bisa ngleyak. Agar bisa menjadi leyak , seseorang harus menguasai ilmu gaib atau black magic yang biasanya disebut pangleyakan. Cara memperoleh Pangleyakan
Cara yang ditempuh oleh seseorang untuk memperoleh pangleyakan antara lain adalah (halaman 3) dengan cara belajar pada tokoh tertentu yang dianggap sebagai pakar leyak. Dalam cerita-cerita rakyat yang terkenal di Bali, seperti cerita Dukuh Siladri, dan Calon Arang, ditunjukkan cara orang mempelajari pangleyakan, yakni melewati suatu perguruan atau pasraman yang khusus mengajarkan dan mengembangkan pangleyakan . Hal yang sama dijumpai pula pada Babad pasek. Di Pasraman, guru dan murid (sisya) hidup bersama dalam suatu tempat tinggal. Dengan demikian, sang guru tidak saja 1
Lontar adalah naskah kuno yang terbuat dari potongan daun lontar atau rontar, yang didalamnya berisi ajaran tertentu sesuai dengan namanya. Demikian misalnya, Lontar Pangleyakan isinya adalah ajaran tentang leyak . Lontar Usada isinya tentang usada atau obat-obatan tradisional. ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
3
secara intensif bisa menurunkan ilmunya, namun sekaligus ia bisa pula membimbing dan mengawasi praktek-praktek pangleyakan yang dilakukan oleh para muridnya (lihat Santiko, 1987; Kamajaya, 1986; Sugriwa, 1977; Anonim, 1992). Pengajaran pangleyakan tidak selamanya dengan seseorang tinggal pada sebuah perguruan atau di rumah gurunya, melainkan bisa pula dengan cara sang murid dengan datang sewaktu-waktu untuk menghadap kepada sang guru. Demikian misalnya, seseorang yang ingin bisa ngleyak dapat belajar pada seorang guru, yang lazimnya adalah balian yang khusus menguasai pangleyakan. Balian serupa ini acapkali disebut baliyan pangiwa atau balian yang menguasai ilmu kiri) atau black magic. Sang guru kemudian memberikan kepada muridnya suatu yang lazim disebut sabuk pangleyakan lengkap dengan mantra-mantranya. Pemberian pangleyakan ini selalu disertai dengan suatu ritual. Hubungan antara murid dengan gurunya tetap berlangsung bahkan mereka terkait dalam jalinan ketergantungan. Pada saat-saat tertentu sang murid menghadap sang guru, misalnya untuk menghidupkan jimatnya kalau mati, atau belajar lebih lanjut agar peringkat pangleyakan-nya bisa lebih tinggi. Sang guru memperole h imbalan jasa biasanya dalam bentuk uang. Karena itu, orang yang bisa ngleyak dengan cara serupa ini lazimnya disebut bisa ngleyak baan meli atau bisa ngleyak ulihan meli. Hal ini umum dikenal di Bali dan sering dipraktekkan oleh orang yang terlibat dalam konflik sosial. Selain itu, dapat pula terjadi seseorang memiliki pangleyakan dengan cara newas raya atau memohon langsung kepada Dewi Durga, yaitu penguasa segala mahluk demonis dan juga penguasa ilmu hitam, yang bahkan sering pula dianggap sebagai ratu dari segala bentuk leyak (lihat Kamajaya, 1986, Goris, 1974; Santiko, 1987; Grader,1969). Tempat memohon pangleyakan adalah di kuburan, sebab kuburan adalah tempat tinggal Dewi Durga (Santiko, 1987:358). Dapat pula hal itu dilakukan di pura Dalem, sebab pura ini berfungsi sebagai tempat suci untuk memuji Dewa Siwa dan Dewi Durga. Dewi ini adalah isteri atau sakti Dewa Siwa (lihat Parisada Hindu Dharma, 1978: Nala dan Wiratmadja, 1991:186). Pola serupa itu ditunjukkan oleh cerita-cerita rakyat, misalnya, Garuritan Basur dan Calon Arang. Dalam Garuritan Basur misalnya, diuraikan tentang seorang tokoh yang bernama Ni Garu, yang merasa sakit hati karena dihina oleh I Gede Basur. Untuk membalaskan sakit hatinya, Ni Garu memohon pangle yakan kehadapan Dewi Durga dengan cara pergi ke kuburan saat tengah malam. Dewi Durga bermurah hati memberikan anugerah pangleyakan kepada Ni Garu. Caranya adalah Dewi Durga memerintahkan Ni
4
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Garu agar menjulukan lidahnya, yang kemudian dirajah, yaitu ditulisi gambar dan atau huruf-huruf magis . Dengan demikian, Ni Garu pun bisa ngleyak. Orang yang bisa ngleyak karena memperoleh anugerah dari Dewi Durga biasanya disebut bisa ngleyak baan panugrahan. Selanjutnya, seorang dapat pula ngleyak karena pemberian orang tuanya, atau orang lain yang memiliki pangleyakan. Maka sifatnnya adalah pewarisan dari seseorang kepada orang lainnya. Pewarisan pangleyakan (h.4) itu dilakukan bersamaan dengan proses sosialisasi dalam lingkungan keluarga. Konon caranya adalah anak yang diasuhnya acapkali diberi ludah, sehingga apabila si anak sudah dewasa, ada kemungkinan akan mampu pula ngleyak. Selain itu dapat pula terjadi bahwa seseorang yang bisa ngleyak konon menjelang ajalnya seringkali tersiksa (kagela-gela), karena rohnya diikat oleh pangleyakan yang dimilikinya. Pada saat inilah dia sangat memerlukan orang yang mau menerima pangleyakan-nya. Secara rahasia dia dapat menyerahkan pangleyakannya kepada salah seorang anaknya atau orang lain yang disukainya. Penyerahan tersebut dilakukan dengan cara menyuruh si penerima menghisapnya dari mulut atau memegang tangannya; dan sejalan dengan ini maka pangleyakan itu pun akan mengalir dari tubuh si pemilik ke tubuh si penerimanya. Dengan cara ini si penerima konon bisa pula ngleyak. Mereka yang mampu mengajarkan atau mewariskan pangleyakan kepada orang lain hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu tingkat tinggi. Hal ini sejalan dengan kepercayaan orang Bali bahwa pangleyakan yang dikuasai oleh seseorang tidaklah sama, melainkan mempunyai peringkat-peringkat. Tingkat pangleyakan yang terendah adalah apa yang disebut penemblekan, yakni tahap pemula yang dimulai dengan latihan mencium atau mencicipi tai blek (tahi ayam yang lembek berwarna hitam), dengan tujuan agar mereka terbiasa dengan bau amis. Apabila ilmunya telah meningkat, barulah dia menyukai mayat yang telah dikuburkan sebab itulah, kalau ada orang menguburkan mayat, maka pada malam harinya dianggap sebagai saat yang menakutkan, karena pada waktu itulah para leyak berpesat di kuburan. Namun apabila pangleyakan seseorang telah mencapai tingkat tinggi, mereka tidak menyukai lagi segala sesuatu yang berbau amis, sehingga mereka tidak suka lagi mencium ataupun mencicipi mayat. Sebaliknya mereka melakukan ngisep sari, yakni hanya menyukai sarisari bunga. Orang seperti inilah baru bisa menduduki status sebagai pengajar pangleyakan kepada orang lain. Status yang diduduki oleh seseorang dalam dunia pangleyakan tentu berkaitan pula dengan keluasan dan kedalaman yang dimilikinya. Bahkan
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
5
sebagaimana yang ditunjukkan dalam Garuritan Basur, semakin luas dan semakin dalam pangleyakan yang dikuasai seseorang tidak saja peringkatnya semakin tinggi, namun dapat pula ia mengalahkan orang-orang lain yang bisa ngleyak, terutama kalau mereka bermusuhan. Ada berbagai ilmu pangleyakan yang dapat dikuasai atau dipelajari oleh seseorang, misalnya Geni Sabhuwana, Siwa Wijaya, Candra Berag, Rambut Sapetik, Maduri Reges, Brahma Maya Murtti, Pangiwa Swanda, Sanghyang Sarasija Maya Hireng, Ni Calon Arang, Ratna Geni Sudha Mala, Surya Sumedang, Desthi Angker, Gringsing Wayang, Sanghyang Sumedang, I Tumpang Wreddha, Siwer Mas, Pitik Bengil, Puntang Panting, Kakreb Akasa dan lain-lain (lihat Lontar Aji Pangleyak, Lontar Pangiwa dan Sugriwa, 1975). Karena banyaknya aji pangleyakan , maka sulit bagi seseorang untuk menguasai keseluruhannya, sehingga selalu bisa terjadi, orang hanya memakai salah satu diantaranya sebagai ilmu andalannya (lihat Sugriwa, 1975:130-131). Cara Leyak Menimbulkan Penyakit
Orang yang bisa ngleyak diyakini dapat menimbulkan penyakit atau bahkan kematian, kecelakaan, kegagalan panen, dan berbagai bentuk ketidak beruntungan yang lainnya (Angelino, 1921; Arinton, 1985; Covarrubias, 1972; Eiseman, 1988). Dalam melaksanakan aksinya, dia harus mengikuti cara-cara tertentu, dan salah satu diantaranya ialah apa yang disebut nglekas, yakni meru bah wujud menjadi leyak . Lontar Aji Pangleyakan menunjukkan tentang cara orang nglekas sesuai dengan ilmu yang dipakainya. Demikian misalnya, kalau orang nglekas pakai Aji Pangleyakan Sanghyang Sarasija Maya Hireng , ia memerlukan peralatan ritual atau sesajen, antara lain sebuah nasi tumpeng berwarna hitam, seekor ayam panggang berbulu hitam, sebelas buah canang gantal, canang lengawangi, canang buratwangi, pasepan, dan tempat meletakkan sesajen, yakni sanggah cucuk. Ritual tersebut dilakukan di kuburan, yakni pada bagian kuburan yang biasanya dipakai tempat membakar mayat yang disebut pangluangan. Ritual dilakukan pada saat tengah malam. Pada saat melaksanakan ritual orang harus menghadap ke sanggah cucuk , sambil mengucapkan mantra sebagai berikut : Hidep aku Sanghyang Maya Hireng. Melang-melang kadi indit. Wijil geni hireng ring wuwunanku. Dumilah kadi tathit.
6
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Mangedeg aku marep wetan. Manembah Ki leyak Putih ring aku, mangadeg aku marep kidul, manembah Ki Leyak Abang ring aku. Mangadeg aku marep kulon, manembah Ki Leyak Kuning ring aku. Mangadeg aku marep lor, manembah Ki Leyak hireng ring aku. Gurun ta maguru ring aku. Apan aku Sanghyang Kundhi Manik Hireng. Mangadeg aku tan patalapakan. Miber aku tan pahelar. Tan hana jurang, tan hana pangkung, Teka asah, asah, asah. Aku angadeg tengah ing tan hana. Sarwa detya, danawa, raksasa, sarwa dewa, widyadara-widyadari, rumangsuk ring awak sariranku, aku angrangsuk sarwa aeng, sarwa galak. Singha ring tanganku tengen. Barong ring tanganku kiwa. Garuda ring arepku. Naga ring wungkurku Sing aneleng awak sasiranku pada ngeb. Teka ngeb sirep kukul dungkul ke satru musuhku kabeh. Kumatap-kumitip ngeb. Sing matangan, masoca. Makarna, mahirung, macangkem, pada ngeb. Tan kwasa ngucap-ucap awak sairanku. Pamedhi ngeb. Panunggun karang ngeb. Tonyan marga ngeb. Asu ngeb. Sing mara pada bega. Manak I cili manandan. Sakti kamajaya. Marga kita ring Gagelang, mulih ngambah kabeten langkangane. Sirep bungkem sastru musuhku wong kabeh. Tan kwasa ngucap -ucap awak sariranku. Poma, Poma, Poma. Dengan melakukan ritual tersebut seseorang konon bisa menjadi leyak. Wujudnya tercermin dari isi mantra yang diucapkan, sebab mantra tersebut berisi gambarran tentang wujud leyak yang diinginkannya. Sesuai dengan isi mantra itu, maka wujud leyak dari Aji Pangleyakan Sanghyang Sarasija Maya Hireng adalah manusia berwajah angker dan galak. Ia mampu berdiri tanpa menyentuh tanah dan mampu terbang tanpa sayap, serta tidak ada lembah dan bukit yang sanggup menghalanginya. Kepalanya mengeluarkan api hitam yang disertai oleh percikan-percikan api laksana kilat. Apabila ia berdiri menghadap ke timur, leyak yang mengeluarkan api putih akan menyembah, bila ia berdiri menghadap ke selatan, semua leyak yang mengeluarkan api merah akan menyembah, bila ia berdiri menghadap ke barat, semua leyak yang mengeluarkan api kuning akan menyembah, dan kalau ia menghadap ke utara, semua leyak yang mengeluarkan api hitam akan menyembah. Semua leyak takut dan berguru kepadanya. Raksasa, bidadari, dan dewa takut kepadanya. Semua mahkluk hidup yang bertangan, bermata, bertelinga, berhidung dan bermulut merasa ketakutan dan tidur lelap karena terpengaruh oleh ilmu sihirnya. Anjing yang suka menggonggong di malam hari juga akan tertidur pulas. Apabila ada ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
7
orang yang memergokinya, maka dia akan bungkam dan tidak bisa bergerak karena tidak memiliki tenaga. Dengan demikian leyak tersebut akan dapat dengan mudah melakukan aksinya. Pola yang sama ditunjukkan pula oleh Garuritan Basur. Dalam Gaguritan ini dikisahkan I Gede Basur nglekas dengan melakukan ritual di kuburan pada saat tengah malam. Dia membawa peralatan ritual, yaitu canang buratwangi, daging ayam merah brahma (siap biying brahma), kertas bergambar (marajah) Dewi Durga, dan tempat meletakkan sesajen, yaitu sanggak cucuk. I Gede Basur duduk memusatkan pikiran atau beryoga, menghadap sesajen yang terletak di sanggah cucuk . Aji Pangleyakan yang dipakainya adalah Bajra Kalika. I Gede Basur berubah wujud, yakni mukanya angker, matanya melotot, lidahnya menjulur sampai ke tanah, dan dari sekujur tubuhnya keluar api. I Gede Basur juga bisa terbang. Cerita Calon Arang juga menunjukkan secara rinci tentang cara orang ngleyak. Dalam kaitan ini, Randa Girah pergi ke kuburan pada saat tengah malam diiringi oleh para muridnya. Sesampainya di kuburan, mereka menarinari. Kemudian Randa Girah mencari mayat yang meninggal pada hari Sabtu Kliwon, yang terkubur di tengah kuburann. Mayat itu diberdirikannya pada pohon kepuh, lalu dihidupkannya. Lehernya dipenggal sehingga darahnya memancar, lalu dipakai mencuci rambut oleh Randa Girah. Ususnya dipakai sebagai selendang serta dikalungkan, badannya dipakai untuk persembahan bagi Dewi Durga dan para bhuta . Dewi Durga datang menerima persembahan itu, dan sekaligus mengabulkan permintaan Randa Girah. Randa Girah dan para muridnya pergi ke perempatan jalan untuk melanjutkan kegiatannya. Di tempat ini mereka kembali menari-nari (lihat Santiko, 1987). Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa orang yang nglekas yakni merubah wujud dari manusia menjadi leyak melakukannya menjadi suatu ritual pada saat tengah malam dan dilaksanakan pada tempattempat tertentu, misalnya di kuburan atau di Pura Dalem. Kedua lokasi ini dipilih karena memiliki fungsi penting, yaitu sebagai tempat bersemayamnya Dewi Durga. Selain itu, orang nglekas bisa pula di perempatan jalan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kepercayaan orang Bali bahwa perempatan jalan adalah titik magis dari suatu kawasan pemukiman (Covarrubias, 1972). Karena itu, penempatan jalan acapkali dianggap sebagai tempat angker. Pada saat berlangsungnya ritual, seseorang bersaji dengan disertai pula pengucapan mantra sambil memusatkan pikiran atau beryoga, bahkan bisa pula hal itu diikuti oleh tarian-tarian magis tertentu, yang kesemuanya itu disesuaikan dengan aji
8
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
pangleyakan yang mereka pakai. Dengan cara inilah seseorang bisa berubah wujud menjadi leyak . Peralatan ritual yang dipergunakan pada saat nglekas tidak boleh hilang, sebab ada kepercayaan di kalangan orang Bali bhwa kalau peralatan ritual itu dicuri orang, terutama sanggah cucuk nya, maka orang tersebut tidak bisa lagi menjadi manusia sehingga dia selamanya akan berwujud sebagai leyak . Di samping itu ada pula kepercayaan di kalangan warga masyarakat Bali bahwa orang ngleyak hanya rohnya saja yang bisa berubah, sedangkan badan kasarnya tetap berada di tempat tidur (Eiseman, 1988:128-129). Hal ini sesuai pula dengan penuturan seorang balian dari daerah Seririt Buleleng yang mengaku pernah mempelajari pangleyakan. Konon pada suatu tengah mala m, setelah dia mengucapkan mantra yang dipelajarinya, di pun tertidur. Akhirnya dia mengalami suatu peristiwa seperti orang mimpi. Dia merasakan dirinya terbang ke kebun milik tetangganya. Di tempat ini dia memakan nangka. Keesokan harinya dia mengecek peristiwa mimpinya dan alangkah ajaibnya sebab nangka tersebut tidak lain adalah bangkai anjing yang sedang membusuk. Cerita serupa ini memang tersebar luas di kalangan warga masyarakat Bali. Dengan demikian, menurut pandangan masyarakat Bali ada dua cara orang ngleyak , yakni nglekas atau seluruh badannya berubah menjadi leyak , atau bisa pula yang berubah wujud hanya rohnya saja, sendagkan badan kasarnya tetap di temapt tidur. Cara ngleyak yang disebutkan terdahulu, konon berlaku bagi mereka yang memiliki pangleyakan karena anugerah Dewi Durga, atau yang kegiatan nglekasnya dilakukan lewat ritual di kuburan, Pura Dalem, perempatan jalan ataupun tempat-tempat angker lainnya. Cara ngleyak serupa ini acapkali diperlihatkan dalam seni pertunjukan rakyat yang mengambil lakon Calon Arang atau yang bertemakan pangleyakan. Cara ngleyak yang disebut belakangan, konon digunakan oleh orang yang bisa ngleyak karena kesaktiannya diperoleh dengan cara membeli, yakni dalam bentuk sabuk pangleyakan. Apabila sabuk dipakai, maka kekuatan gaib yang terdapat di dalamnya akan mampu membawa dan merubah roh seseorang menjadi leyak dengan wujud tertentu. Wujud leyak ada bermacam-macam, misalnya kera, babi betina (bangkung), anjing kurus, ayam, jaka tunggul (pohon enau yang bagian atasnya terpotong), bade (menara alat pengusung jenazah dalam upacara ngaben), pangpang (sejenis raksasa berkepala botak dan berperut gendut), rangda (sejenis raksasa berwajah angker dengan lidah menjulur ke luar), dan lain-lain (lihat Eiseman 1988:128). Bahkan yang tidak kalah pentingnya, menurut kepercayaan
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
9
warga masyarakat Dewa Gunungsari Tabanan, konon ada pula leyak yang berbentuk sepeda, sepeda motor, ataupun mobil. Hanya saja mengenai leyak yang berwujud mobil misalnya, pembentukannya memerlukan kerjasama antara beberapa orang, paling sedikit dua orang, yakni seorang menjadi bagian depannya dan seorang lagi menjadi bagian belakangnya. Wujud leyak tersebut sesuai dengan tingkat pangleyakan yang dimiliki seseorang. Leyak yang berwujud binatang misalnya, acapkali dianggap sebagai perwujudan leyak tingkat rendah, sedangkan untuk rangda, sebagaimana yang lazim diperlihatkan dalam seni pertunjukan rakyat , adalah perwujudan leyak paling tinggi, sebab wujudnya menyamai Dewi Durga.2 Namun apapun bentuk leyak tersebut, tujuannya adalah membuat orang lain menjadi takut, sakit ataupun mati. Hanya saja, leyak tidak mengganggu semua orang, melainkan terbatas pada orang-orang tertentu yang dianggap berbuat salah terhadap orang yang bisa ngleyak. Demikian misalnya, kalau seseorang menyakiti hati orang yang bisa ngleyak, kemungkinan dia membalas dendam dengan memakai pangleyakan. Namun dapat pula terjadi, orang yang bisa ngleyak suka mencari-cari kesalahan, misalnya dengan meminta sesuatu, dan kalau ditolak dia akan mencelakakannya. Karena itu orang yang bisa ngleyak kalau meminta sesuatu kepada tetangganya, maka permintaan itu acapkali dikabulkan, dengan harapan agar dia tidak mengganggunya. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, bisa pula terjadi leyak mencelakakan orang lain karena disewa. Suatu contoh, kalau seseorang merasa sakit hati atau menaruh dendam terhadap orang lain, maka untuk membalasnya dia bisa menyewa atau membayar jasa orang yang bisa ngleyak (lihat Kamajaya, 1986; Santiko, 1987; Gaguritan Basur, dan cerita Calon Arang). Kegiatan orang yang bisa ngleyak dalam mencelakakan orang lain, tidaklah semata-mata untuk membalas dendam, melainkan sering pula dikaitkan dengan pencarian korban untuk menaikkan peringkat kesaktiannya. Bahkan apabila korban dari luar keluarganya sendiri sudah tidak ada lagi atau sulit didapat, tidak tertutup pula kemungkinan baginya utk mengorbankan (h. 8) anggota keluarganya sendiri. Karena itu kalau ada suatu keluarga yang berkalikali mengalami kematian bayi atau anak-anak mereka, maka hal ini acapkali 2
Hal ini dapat dilihat misalnya pada relif yang terdapat di pura Maduwe Karangn di Desa Kubutambahan Buleleng yang menggambarkan Durga Mahisasuramar dini, yang wujudnya persis seperti rangda yang lazim tampil dalam seni pertunjukan rakyat di Bali.
10
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
dikaitkan dengan kepercayaan bahwa ibu atau salah seorang anggota keluarganya ada yang bisa ngleyak. Dalam rangka menimbulkan suatu penyakit atau kematian, ada berbagai cara yang ditempuh oleh leyak . Hal ini bisa dilakukan dari jarak jauh, yakni setelah orang itu menjadi leyak , dia menyalurkan kekuatan tenungnya sehingga orang yang menjadi sasarannya jatuh sakit (lihat Santiko, 1987; Kamajaya, 1986; Gaguritan Basur, cerita Calon Arang). Selain itu, bisa pula terjadi penyakit tersebut ditimbulkan melalui kontak fisik. Dalam kaitan ini, leyak tersebut langsung mendatangi orang yang menjadi sasarannya tanpa terlihat (niskala) atau bisa pula ia terlihat (sekala) oleh si korban, namun ia sendiri tidak berdaya menghalanginya. Bahkan yang tidak kalah pentingnya, dalam kehidupan biasa atau tanpa terlebih dahulu mengubah dirinya menjadi leyak , dia pun bisa mencelakakan orang lain, yaitu melalui sentuhan fisik yang disengaja. Demikian misalnya, leyak atau orang bisa ngleyak dengan memegang bagian tubuh si korban, maka dia pun bisa jatuh sakit. Lontar Usada Sari menunjukkan ciri-ciri penyakit yang ditimbulkan oleh Leyak , yakni pikirannya menerawang, kakinya gelisah, dan tidak bisa tidur (Anandakusuma, 1982:24). Namun sering pula terjadi sesuatu penyakit yang sulit disembuhkan sehingga menjadi penyakit menahun. Walaupun pada mulanya bisa saja penyebabnya adalah etiologi naturalistik, hal serupa ini acapkali dikaitkan dengan leyak . Begitu pula kematian yang mendadak sering dihubungkan dengan leyak sebagai penyebabnya. Untuk memperkuat dugaan itu dicarilah bukti- bukti, misalnya dengan cara memberi petunjuk pada mimpi atau melakukan kajian terhadap perilaku maupun pengalaman si korban, apakah ia pernah berbuat salat atau bagian badannya pernah disentuh oleh orang yang dicurigai bisa ngleyak. Suatu contoh adalah kasus yang terjadi di Desa Tianyar Barat, Karangasem. Seorang anak bernama I Nengah Karya pernah dipegang oleh I Gede Bongkok yang dicurigai bisa ngleyak . I Nengah Karya jatuh sakit bahkan akhirnya meninggal dunia. Pada saat I Nengah Karya sakit, dia sering mimpi dan mengigau menyebut-nyebut nama I Gede Bongkok. Peristiwa inilah yang dipakai sebagai petunjuk untuk menentukan bahwa peristiwa sakit sampai matinya I Nengah Karya disebabkan oleh pangleyakan yang dimiliki oleh I Gede Bongkok (lihat Bali Post, Rabu 17 Juni 1992:3). Peranan balian tidak bisa diabaikan dalam menentukan dan menjelaskan etiologi penyakit yang diderita oleh seseorang. Dengan kemampuan yang dimilikinya, seseorang balian dapat menentukan apakah penyakit seseorang
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
11
disebabkan oleh leyak atau tidak. Karena otoritas yang dimilikinya, maka ucapan sang balian acapkal diyakini kebenarannya sehingga kalau dia mengatakan bahwa penyakit seseorang disebabkan oleh leyak, orang pun percaya kepadanya. 3. Cara Menanggulangi Leyak Sejalan dengan adanya kepercayaan orang Bali bahwa leyak adalah penyebab suatu penyakit, maka mereka pun memiliki cara-cara tertentu untuk menanggulanginya. Di masa lampau, penanggulangan terhadap leyak melibatkan pula pihak penguasa. Demikian misalnya, dalam Babad Pasek dikisahkan bahwa pada abad ke XVII rakyat kerajaan Mengwi mengusir dari desa mereka orangorang yang dicurigai bisa ngleyak. Tindakan ini memperoleh pula persetujuan dari Raja Mengwi, yaitu I Gusti Agung Sakti (Su (h.9) griwa, 1975:130). Hal yang sama terjadi pula pada abad ke XIX, yakni raja Klungkung menetapkan suatu kebijakan, yaitu memakai Nusa Penida sebagai pulau tempat untuk membuang orang-orang yang dianggap bisa ngleyak (Sidemen, 1980:80). Dengan cara ini diharapkan Pulau Bali atau daerah Klungkung pada khususnya terbebas dari gangguan leyak, sehingga ketentraman masyarakat lebih terjamin. Cara menanggulangi leyak serupa itu tentu tidak berlaku lagi di Bali saat ini. Meskipun demikian orang Bali tetap mewaspadai bahaya yang ditimbulkan oleh leyak, karena itu mereka mengembangkan aneka teknik pencegahan dan perlindungan diri. Salah satu bentuknya adalah menjadikan rumah atau komplek perumahan mereka sebagai suatu benteng, yakni dikelilingi oleh tembok atau lazim disebut panyengker. Tembok tersebut fungsinya sangat penting, tidak saja sebagai pembatas antara kompleks rumah penduduk yang satu dengan yang lainnya, tetapi juga berfungsi sebagai pencegah masuknya aneka ba haya dan gangguan, baik yang berasal dari ternak, misalnya babi, maupun yang berasal dari kekuatan-kekuatan jahat, termasuk di dalamnya leyak (Atmadja, 1992). Selanjutnya, untuk memasuki kompleks rumah tersebut orang harus melewati sebuah pintu masuk atau kori. Persis berhadapan dengan pintu masuk itu terdapat sebuah tembok kecil atau aling-aling yang juga berfungsi untuk menolak atau menghalangi setiap pengaruh jahat yang ingin masuk untuk mencelakakan para penghuninya (Budihardjo, 1986:60). Sela in itu, di dekat pintu masuk atau bisa pula pada halaman paling belakang terdapat sebuah palinggih atau bangunan suci, yaitu Panunggun Karang. Palinggih ini berfungsi sebagai tempat bersemayamnya Ratu Nyoman Pengadangan (Kagami, 1988:82).
12
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Sesuai dengan namanya, yaitu Pengadangan yang berarti pencegatan, maka dewa ini berfungsi sebagai kekuatan yang akan mencegat, menghadang, atau membendung segala kekuatan jahat yang ingin memasuki kompleks perumahan seseorang. Maka, Ratu Nyoman Pengadangan dapat diibaratkan sebagai polisi yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan penghuni suatu rumah, sehingga terhindaar dari segala mara bahaya, termasuk yang ditimbulkan oleh leyak . Di samping itu dalam setiap kompleks rumah yang dimiliki oleh suatu keluarga, selain terdiri dari aneka bangunan tempat tinggal mempunyai pula kompleks bangunan suci yang disebut Sanggah Kemulan. Fungsinya adalah sebagai tempat suci untuk memuja Dewa Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa; yang berkedudukan sebagai Dewa Pencipta, Pelindung, dan Pemralina (pengatur kematian). Selain itu Sanggah Kemulan berfungsi pula sebagai tempat suci untuk memuja roh-roh leluhur yang telah disucikan, yang dimiliki oleh kelaurga bersangkutan. Dewa-dewa dan roh le luhur atau roh nenek moyang itu memiliki kedudukan sangat penting, yakni juga sebagai pelindung bagi keluarga yang memujanya. Bahkan orang Bali berkeyakinan bahwa bila dewa-dewa dan roh nenek moyang yang bersemayam di Sanggah Kemulan, setia melindungi mereka, maka segala bahaya atau aneka macam penyakit yang disebabkan oleh leyak niscaya akan tertanggulangi (Departemen Agama Republik Indonesia, 1992:13). Meskipun orang Bali telah membuat sistem pertahanan atau sistem perlindungan yang tangguh, na mun gangguan leyak mungkin saja terjadi. Hal ini disebabkan oleh sistem perlindungan yang ada bersifat disfungsional. Demikian misalnya, Sanggah Kemulan atau Panunggun Karang mengabaikan tugasnya, karena keluarga yang memujanya tidak pernah melakukan ritual yang diwajibkan oleh agama. Karena itu dewa-dewa dan roh nenek moyang yang bersema (h.10) yam di Sanggah Kemulan, begitu pula Ratu Nyoman Pengadangan yang bersemayam di Palinggih Panunggun Karang, membiarkan ataupun mengizinkan begitu saja segala kekuatan jahat yang ingin mencelakakan penghuninya. Atau bisa pula terjadi tempat suci itu leteh, sehingga para dewa dan roh nenek moyang tidak mau bersemayam di dalamnya. 3 Akibatnya, keluarga yang memuja tempat suci itu kurang 3
Leteh berarti kesucian suatu tempat suci tercemar, karena orang melanggar pantangan tertentu pada saat memasuki tempat suci. Misalnya wanita haid tidak boleh memasuki tempat suci, karena menimbulkan leteh. Untuk mengembalikan kesuciannya harus dilakukan lewat ritual pembersihan. ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
13
memperoleh perlindungan sehingga leyak lebih mudah mengganggunya. Belum terhitung lagi kalau orang yang bisa ngleyak berasal dari lingkungan keluarga mereka sendiri sehingga tentu lebih gampang untuk mencelakakannya. Dengan adanya kenyataa serupa itu orang Bali masih memerlukan lagi cara-cara lain untuk menanggulangi leyyak dan dalam kaitan inilah peranan balian sangat penting. Orang Bali membedakan dua jenis balian, yaitu balian pangiwa dan balian panenengan. Balian pangiwa adalah dukun yang mempraktekkan magi hitam atau ilmu kiri (pangiwa berari kiri), sedangkan balian panenengan adalah dukun yang mempraktekkan magi putih atau ilmu kanan (panenengan berarti kanan) (lihat Geriya, 1983:83). Untuk menanggulangi leyak , orang akan meminta bantuan kepada balian panenengan sebab merekalah yang dianggap memiliki kemampuan untuk mengatasi gangguan leyak yang termasuk ilmu kiri. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan orang Bali yang mendasarkan diri pada konsep Rwa Bhineda atau dualistik sehingga cara untuk mengatasi keburukan, magi hitam atau ilmu kiri adalah dengan memakai kebaikan, magi putih atau ilmu kanan. Dengan demikian ilmu kiri terkalahkan dan orang pun terhindar atau tersembuhkan dari penyakit karena leyak. Dalam melakukan tindakan penanggulangan terhadap leyak , yakni sesuai dengan permintaan pasiennya, ada berbagai kegiatan yang mereka lakukan, antara lain adalah tindakan pencegahan. Hal ini misalnya dilakukan dengan cara memberi jimat tertentu dan atau lewat ritual yang bersifat magis. Demikian misalnya, Lontar Wrespati Kalpa (lihat Bidja, 1989;177) menunjukkan bahwa salah satu tumbal yang bisa dipakai menanggulangi leyak adalah dengan cara membakar garam, yang disertai pengucapan mantra sebagai berikut : Sagara minaka dasarku, danu minaka rangi ulunku, ih teka engko buta dengen, tluh tranjana, wani engko lumabu ring sagara danu, wani engko lumabu ring sagara danu, wani engko ring awak sariranku, tan wani engko lumabu ring sagara danu, tan wani engko ring awak sariran ku, teka ngeb, teka ngeb, teka ngeb. Sesuai dengan makna yang terkandung pada mantra itu, maka tempat di mana ritual dilakukan, misalnya rumah seseorang, apabila dilihat oleh leyak menjadi terkecoh sehingga penghuni rumah itu akan terhindar dari gangguan leyak . Lontar Usada Rare menunjukkan pula jimat untuk mencegah gangguan leyak , yakni memakai sarana rerajahan - gambar yang memiliki kekuatan magis 14
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
yang digambarkan pada lempengan perak. Adapun bentuk gambar itu terlihat pada Gambar 1. Rerajahan ini bernama Pamugpug Desti. Sebelum dipakai jimat atau rerajahan itu dihidupkan lewat suatu ritual yang lazim disebut mapasupati. Dalam pelaksanaan ritual itu balian mengucapkan mantra dengan rumusan sebagai berikut : Ong Sang Buta Raja Pati, ring kenetasira alungguh, yan ana leyak bebai ring rakianku, poma sira ngapusana Ong sing akarya ala ring aku, poma alihakena saguna penaruhe, Ong sidi rastu tastastu astu. Ong-Lang-Rang-Bang nama suaha. Lewat ritual itu jumat memiliki kekuatan magis yang kasiatnya sesuai dengan makna yang terkandung dalam mantra, yaitu mampu menolak dan menghapuskan segala pengaruh leyak , bahkan yang tidak kalah pentingnya adalah magi destruktif yang dimiliki oleh leyak itu akan berbalik menimpa dirinya sendiri. Selain itu, kekuatan magis kekuatan magis jimat tersebut tercermin pula pada makna rarajahannya. Gambar itu berkaitan dengan aspek Siwa yang terlihat dari empat buah senjata Tri Sula atau Gada yang terdapat pada setiap sudut segi empat. Tri Sula maupun Gada adalah senjatanya Dewa Siwa, sedangkan gambar kepala raksasa dibawah segi empat melambangkan Siwa Mahakala (Soekmono, 1987: 93). Dewa Siwa adalah suami dari Dewi Durga, yakni raja leyak. Dengan demikian pemakaian rerajahan tersebut pada dasarnya menggunakan Dewa Siwa sebagai tameng, baik untuk mengalahkan leyak maupun untuk menakut-nakuti dan menjinakan hati Dewi Durga sehingga leyak pun tertanggulangi. Jimat tersebut dipasang di atas tempat tidur dan dari sanalah kekuatan magisnya akan menyebar ke segenap penjuru arah angin. Selain itu balian juga bisa mengobati penyakit yang disebabkan oleh leyak . Sistem pengobatannya adalah dengan cara memohon. Sistem pengobatannya adalah dengan cara memohon kepada dewa atau roh tertentu yang memberikan sang balian kesaktian sehingga memungkinkan untuk menjalankan profesinya. Permohonan itu dilakukan melalui suatu ritual. Obat yang diberikan lazimnya adalah tirtha atau air suci yang memiliki kekuatan magis karena merupakan anugerah dari dewa atau roh yang dipuja oleh balian. Namun bisa juga terjadi balian memberikan obat tambahan yang ramuannya terbuat dari tumbuhan tertentu, misalnya, bawang merah, daun sirih, kelor, dan ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
15
lain-lain (lihat Gaguritan Basur). Ramuan tersebut memiliki khasiat dingin sehingga dengan demikian diharapkan mampu menetralisir atau pun menurunkan suhu panas yang ditimbulkan oleh leyak. Pemberian suatu jimat bisa pula terjadi sebagai sarana penyembuh maupun sebagai penangkal, yakni mencegah agar leyak tidak berani lagi mengganggunya. Di samping itu balian bisa juga menangkap atau me mbasmi leyak. Hal ini dilakukan dengan memakai kesaktian yang dimilikinya atau dengan memakai mantra-mantra yang terdapat dalam lontar-lontar usada, pangleyakan, pangiwa ataupun lontar-lontar yang lainnya. Demikian misalnya Babad Pasek (lihat Sugriwa, 1975 :133-134) memuat rumusan tiga buah mantra yang konon memiliki khasiat untuk membasmi leyak, yakni Mantra Geni Wirocana, Pasupati Rencana dan Sulambang Mahageni. Cerita Dukuh Siladri (Kamajaya, 1986) menyebutkan pula mantra pembasmi leyak, yakni mantra Pamungkas dan Pamungkul Agung. Hal yang sama terdapat pula dalam Lontar Usada Sari, Lontar Aji Pangleyakan, dan Lontar Pangiwa. Sebagai contoh dapat ditunjukkan rumusan Mantra Pangesengan Desti atau leyak yang terdapat dalam Lontar Aji Pangleyakan sebagai berikut : Ong Geni murub saka wetan, kahyangan den ira bhatara Iswara. Aku angeseng I Leyak Putih. Teka geseng, tekea geseng teka geseng. Ong geni murub saka kidul, kahyangan den ira bhatara Brahma, Aku angeseng I leyak Abang. Teka geseng, teka geseng, teka geseng. Ong geni murub saka kulon, kahyangan den ira Bhatara Mahadewa. Aku angeseng I leyak Kuning. Teka geseng, teka geseng, teka geseng. Ong geni murub saka lor, kahyangan den ira Bhatara Wisnu. Aki angeseng I leyak Hireng. Teka geseng, teka geseng, teka geseng. Ong geni murub saking tengah, kahyangan den ira Bhatara Siwa. Aku angeseng I leyak Manca Warna. Teka geseng, teka geseng, teka geseng. Ong geni Pasupati ring lamben ku. Geni maya-maya ring swaranku. Geni ngibek ring rat ring awak sariran ku kabeh. Aku anglebur angeseng desthi, leyak kabeh. Ong siddhir astu ya namah swaha. Ang Ung mang. Sesuai dengan isi mantra tersebut, maka orang yang ingin mengalahkan atau membasmi leyakadalah lewat permohonan bantuan kepada Panca Dewata, yakni lima dewa yang menempati empat penjuru mata angin, ditambah satu di tengah, yakni Dewa Iswaradi timur membantu mengalahkan I leyak Putih, Dewa 16
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
Brahma di selatan membantu mengalahkan I leyak Merah, Dewa Mahadewa di barat membantu mengalahkan I leyak Kuning, Dewa Wisnu di utara membantu mengalahkan I leyak Hitam dan Dewa Siwa di tengah membantu mengalahkan I leyak Lima Warna. Atas bantuan para dewa tersebut semua bentuk leyak akan hangus terbakar. Dengan demikian leyak tidak saja akan terbasmi, tetapi orang yang sakit pun tersembuhkan. Penanggulangan terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh leyak dilakukan pula oleh keluarga si sakit, yakni melalui pelaksanaan aneka ritual, yang dilakukan atas suruhan balian maupun prakarsa mereka sendiri. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari adanya keyakinan orang Bali bahwa akeh ubad dadi pilih, lamun widine nguakang, yadian ia magedong batu, masih tulus pacang pejah (lihat Gaguritan Basur). Artinya banyak obat yang bisa dipilih, namun kalau Tuhan (Ida Sanghyang Widdhi) sudah memutuskan, meskipun orang itu berlindung pada benteng batu, niscaya ia akan mati juga. Karena itu dalam menanggulangi suatu penyakit orang Bali tidak sepenuhnya mengandalkan diri pada dukun ataupun sektor profesional, misalnya melalui praktek dokter, melainkan selalu diikuti oleh pelaksanaan ritual, yakni memohon kesembuhan ke hadapan Tuhan atau para dewa yang bersemayam pada pura tertentu. Dalam kaitan ini Dewa Siwa dan istrinya, Dewi Durga, yang bersemayam di Pura Dalem, memiliki kedudukan sangat penting. Dewa Siwa adalah Dwa Pemralina atu Dewa Pelebur, termasuk di dalamnya mengatru peristiwa kematian. Di pihk lain Dewi Durga adalah penguasa leyak. Karena itu, ada kepercayaan di kalangan orang Bali bahwa kalau seseorang jatuh sakit, terutama yang disebabkan oleh leyak, diyakini pula bahwa rohnya dipersembahkan oleh orang yang bisa ngleyak kepada Dewi Durga di Pura Dalem. Maka untuk menanggulanginya, orang harus melakukan ritual mapakeling atau ritual nebusin yang bertujuan untuk memohon kepada Dewa Siwa agar peleburan terhadap si sakit ditunda, sedangkan ke hadapan Dewi Durga mereka memohon agar roh si sakit dikembalikan dan sekaligus juga dilindungi dari gangguan leyak . Dengan cara ini si sakit pun diharapkan tersembuhkan. Disamping itu, menurut pandangan orang Bali, Dewi Durga diyakini pula sebagai dewi penyembuh atau pun dewi pelindung terhadap segala mara bahaya, termasuk di dalamnya gangguan penyakit. Hal ini tentu bisa saja dimaklumi, sebab Dewi Durga sebagai raja leyak, sedangkan leyak adalah penyebab penyakit. Maka Dewi Durga pun dianggap sangat memahami aneka masalah penyakit dan cara-cara menanggulanginya. Sebagai bukti bahwa Dewi Durga dianggap pula sebagai dewi penyembuh atau pelindung manusia dari penyakit
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
17
dapat ditunjukkan isi Lontar Usada Sari yang memuat keterangan bahwa ciri-ciri suatu penyakit dan pengobatannya adalah anugrah Dewi Durga yang diberikan kepada seorang pertapa yang bernama Sang Budhakecapi (lihat Anandakusuma, 1982). Begitu pula dengan Lontar Taru Premana yang memuat khasiat aneka tanaman untuk obat tradisional, juga dianggap sebagai anugrah Dewi Durga. Lontar itu mengisah (h.13)-kan Mpu Kuturan sebagai balin, namun acapkali mengalami kegagaln dalam menyembuhkan pasiennya. Mpu Kuturan lalu bertapa di kuburan, dan pada saat itulah Dewi Durga memberikan anugrah, yakni kemampua untuk mengetahui khasiat tanam-tanaman untuk obat tradisional yang kemudian dihimpun dalam Lontar Taru Premana (lihat Putra, 1989). Dengan demikian, menurut pandangan orang Bali, Dewi Durgaadalah bersifat ambivalen, yakni tidak saja sebagai Dewi yang merestui penyebaran suatu penyakit yang dilakukan oleh leyak , melainkan bisa juga memberikan pertolongan dalam penyembuhannya. Karena itulah kedudukan Dewi Durga dan pasangannya, yaitu Dewa Siwa sangat penting dalam sistem religi orang Bali. Bencana yang ditimbulkan oleh leyak dapat mengakibatkan rasa dendam atau rasa takut bagi keluarga si korban, jika hal itu menimpa pula anggota keluarganya yang lain. Hal ini mendorong mereka melakukan tindakan kekerasan dalam menanggulangi leyak , misalnya membunuh secara berencana orang yang dianggap bisa ngleyak. Peristiwa ini sering terjadi di Bali, misalnya pernah terjadi di Desa Seraya Barat, Dewa Sudaji, Desa Banjar, dan lain-lain (lihat Atmadja, 1992a). Pembunuhan terhadap orang yang bisa ngleyak dapat pula dilakukan secara tidak berencana. Hal ini biasanya terjadi karena seseorang yang berpergian di malam hari dihadang oleh leyak tingkat rendah, misalnya dalam bentuk babi betina. Orang tersebut berani melawan, misalnya dengan cara memukuli babi betina itu sampai babak belur dan akhirnya hilang. Apabila terjadi peristiwa serupa itu, keesokan harinya konon akan ada orang yang jatuh sakit, misalnya seluruh badannya memar seperti bekas dipukuli orang. Untuk menyembuhkannya, dia biasanya meminta obat kepada orang yang memukulinya. Konon apabila obat diberikan, apapun bentuknya, maka orang yang bisa ngleyak itu pasti akan sehat kembali seperti sediakala. Hal yang sama berlaku pula bagi orang sakit yang disebabkan oleh leyak. Untuk menyembuhkannya dia pun dapat meminta obat kepada orang bisa ngleyak yang mencelakakannya. Apabila dia bermurah hati, apapun bentuk obat yang diberikan, maka si korban niscaya akan tersembuhkan.
18
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998
4. Kesimpulan berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa menurut kepercayaan orang Bali. Leyak adalah salah satu etiologi penyakit. Agar seseorang bisa ngleyak , ia harus menguasai pangleyakan. Cara yang bisa ditempuh untuk menguasai pangleyakan adalah dengan cara belajar, membeli, pewarisan atau memohon langsung ke hadapan Dewi Durga. Dalam melakukan aksinya, orang yang bisa ngleyak harus nglekas, yakni merubah wujud menjadi leyak . Hal ini dilakukan pada saat tengah malam bertempat di kuburan, Pura Dalem atau tempat-tempat angker lainnya, yang disertai pelaksanaan suatu ritual dan pengucapan mantra-mantra tertentu, sesuai dengan aji pangleyakan yang dipakainya. Namun bisa pula terjadi orang ngleyak yang berubah hanya rohnya saja, sedangkan badan kasarnya tetap di tempat tidur. Leyak hanya mengganggu orang yang bersalah kepadanya. Korban leyak ditandai oleh adanya penyakit yang sulit disembuhkan, atau kematian yang mendadak. Untuk memperkuat dugaan suatu penyakit disebabkan oleh leyak, maka dicarilah bukti-bukti, misalnya melalui suatu peristiwa mimpi atau meminta penjelasan dari seorang dukun, cara leyak menimbulkan penyakit adalah dengan memakai ilmu sihir dari jarak jauh atau bisa pula melalui sentuhan fisik. Orang Bali memiliki cara-cara tertentu untuk menanggulangi bahaya leyak , yaitu (h.14) dengan bentuk sistem perlindungan pada rumah mereka dengan membuat tembok rumah berkeliling, aling-aling, Panunggun Karang , dan Sanggah Kemulan. Peranan dukun tidak bisa diabaikan. Dengan kemampuan yang dimilikinya, dukun dapat mencegah maupun mengobati penyakit yang disebabkan oleh leyak . Peranan keluarga si sakit ikut pula melengkapinya, yakni melalui pelaksanaan suatu ritual yang ditunjukkan ke hadapan pada Dewa, terutama Dewa Siwa dan Dewi Durga yang bersemayam di Pura dalem. Na mun tidak tertutup pula kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan tindakn kekerasan dengan cara membunuh orang yang dicurigai sebagai ngleyak. Dengan cara ini diharapkan penyakit seseorang tersembuhkan dan sekaligus hal ini juga merupakan upaya untuk mencegah meluasnya korban leyak .
Daftar Pustaka
ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998
19
1. Buku dan Artikel Alland, Alexander 1970 Adaptation in Cultural Evolution : An Approach to Medical Anthropology. New York : Knoff. Anandakusuma, Sri Resi 1982 Usada Sari Sang Bhudakecapi. Klungkung : Sanggar Nirmala Anonim 1992 Riwayat Empu Bharadah. Denpasar : Toko Buku Ria Arinton, I Gusti Ngurah 1985 "Bibliografi Beranotasi Folklor Bali
20
ANTROPOLOGI INDONESIA 54. 1998