KEPENTINGAN AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG PERIODE 2006 – 2012 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Ahmad Despuriansyah 110113000018
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa kepentingan Amerika Serikat terhadap perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012. Penelitian skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan data dikumpulkan melalui studi pustaka. Kerangka pemikiran yang digunakan adalah kepentingan nasional dan konsep aliansi. Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kepentingan Amerika Serikat dalam perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang periode 2006 – 2012 adalah untuk menjalankan strategi extended deterrence dengan memperkuat aliansi militer bersama Jepang yang ditujukan kepada Tiongkok dan Korea Utara, agar stabilitas kawasan Asia Timur terjaga. Tiongkok dan Korea Utara telah dianggap AS sebagai ancaman dalam kepentingannya di kawasan ini. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang dianggap AS sebagai langkah yang penting untuk menangkal kekuatan kedua negara tersebut di kawasan Asia Timur. Kepentingan AS di Asia Timur akan terwujud jika Jepang mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan, dan tidak lagi mengikuti isi pasal 9 Konstitusi 1947 yang menyatakan Jepang dilarang memiliki kekuatan militer dan hanya berlindung pada kekuatan militer AS. Untuk itulah AS memiliki kepentingan dibalik perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, yaitu sebagai jalan demi tercapainya kepentingan di Asia Timur. Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ketika Badan Pertahanan Jepang ditingkatkan statusnya menjadi Kementerian Pertahanan, anggaran belanja militer konsisten naik, dan berkembangnya teknologi militer Jepang. Kata Kunci: Kepentingan Nasional, Aliansi, Militer, Kebijakan Pertahanan dan Keamanan, Pasal 9 Konstitusi 1947 Jepang, Extended Deterrence
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang Periode 2006 - 2012”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan mencapau gelar Sarjana Strata 1 (S1) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari peran berbagai pihak yang terlibat dalam skripsi ini. Sehubungan dengan itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Keluarga tercinta terutama Papa dan Mama yaitu Azran Bakri dan Purnamawati Siregar, Abang dan Kakak kandung dan keponakan, Anri Tirta Pratama, Inra Riady Widarta, Nurhasanah Ayu Andira, Desty Natalia Wuriyanti, dan Maulida Salsabilah Anrety, serta semua keluarga di Palembang yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, mereka yang telah memberikan dukungan dan doanya untuk kelancaran skripsi ini. 2. Ibu Debbie Affianty selaku Dosen Pembimbing Skripsi dan Ketua Jurusan Hubungan Internasional, Beliau juga salah satu orang yang ikut memudahkan kelancaran skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih banyak.
ii
3. Bapak M. Adian Firnas selaku Dosen Pembimbing Akademik, dosen jurusan Hubungan Internasional UIN Jakarta yaitu Bapak Agus Nilmada, Bapak Irfan Hutagalung, Bapak Nazarudin Nasution, Ibu Sri Mulyati, Bapak Agus Nugraha, Ibu Eva Mustofa, Bapak Wendi Prajuli, Bapak Jajang Saprijal dan segenap dosen, tenaga pengajar serta TU FISIP UIN Jakarta yang tidak bisa saya sebutkan semua, terima kasih telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, FISIP UIN Jakarta. 4. Teman – teman Keluarga Dubbing 2010, Muslim, Yuri, Idris, Miftah, Rima, Ty, Randy, Nanda, Ana, Rosi, Dek Dita, Dini, Tiwi, Kak Winda, Manda, Septin, Eed, Angga, Inun, Alaptia, Ayu, Dwi, Acun, Melia, dan spesial buat Miss Erna Wati, serta Guru MAN 3 Palembang lainnya Aba Zai, Abi Wahab, Ustd Rozi, Bapak Novir, Bapak Subroto, Bapak Pane, Bapak Mahendra, Ibu Hernawati, Emak kantin belakang dan semuanya yang tidak bisa disebut kan satu per satu terima kasih semua untuk dukungan dan doanya, semoga kita selalu bersama dan diridhoi Allah Swt. 5. Teman – teman alumni SMP N 9 Palembang, Reffy, Nopi, Iqbal, Aldy, Febri, Alem, Aldo, Ari, Lisan, Edi, Eko, Amen, Dayat, Faisal, Beta, Bebeng, Rahman, Hasan, Husin, Nurbeta, Topek, Sandi, beserta para guru, Bapak Musa, Bapak Basarrudin (Alm), Ibu Komalasari, Bapak Syaiful, Bapak Arfani, Ibu Mariani, Ibu Pariani, Ibu Sinaga dan semuanya yang tidak bisa disebut kan satu per satu terima kasih semua untuk dukungan dan doanya, semoga kita selalu bersama dan diridhoi Allah SWT.
iii
6. Kawan-kawan HI-A 2010 seperjuangan terutama kepada Alva, Bewok, Mul, Bang Wahyu, Navis, Kopet, Adam, Yoga, Anggi, Murdok, Defa, Detty, Yuri, Zakia, Peni, Dieny, Eko dll yang tidak bisa penulis sebut satu persatu. Terimakasih atas dukungan moril bahkan materilnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 7. Teman – teman seperjuangan alumni Asrama UIN Jakarta, Nadi, Halimi, Indra, Jajat, Imam, Aul, Ucim, Jambul, Arif, dan semua yang tidak sempat disebutkan, terima kasih atas dukungannya, semoga bagi yang belum selesai skripsinya segera dapat menyusul. Penulis berharap semoga bantuan dan dukungan yang mereka berikan mendapat imbalan dari Allah SWT dan dicatat sebagai sebuah amal ibadah. Penulis menyadari dalam penulisan skrispsi ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk bahan koreksi dimasa yang akan datang.
Jakarta, 27 Januari 2015
Ahmad Despuriansyah
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAK.......................................................................................... KATA PENGANTAR........................................................................ DAFTAR ISI....................................................................................... DAFTAR SINGKATAN.................................................................... DAFTAR GAMBAR.......................................................................... DAFTAR TABEL DAN GRAFIK.....................................................
i ii v vii viii ix
BAB I:
1 1 7 7 8 14 14 16 18 20 21 22
PENDAHULUAN.............................................................. 1.1 Latar Belakang Masalah............................................... 1.2 Pertanyaan Penelitian.................................................... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan...................................... 1.4 Tinjauan Pustaka........................................................... 1.5 Kerangka Pemikiran...................................................... 1.5.1 Kepentingan Nasional......................................... 1.5.2 Konsep Aliansi.................................................... 1.5.3 Kebijakan Luar Negeri........................................ 1.5.4 Teori Defensive Structural Realism.................. 1.6 Metode Penelitian......................................................... 1.7 Sistematika Penulisan..................................................
BAB II: KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG 2006 – 2012........................................................... 2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan Amerika Serikat dan Jepang...................................................................... 2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2006 – 2012...................................................................... BAB III: PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012................................... 3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang............................................................ 3.1.1 Kekuatan Militer Jepang........................................ 3.1.2 Teknologi Milter Jepang........................................ 3.1.3 Doktrin Tujuan Penggunaan Kekuatan Militer....
v
24 24 28
40 40 41 51 53
BAB IV: KEPENTINGAN NASIONAL AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG.................. 4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri AS. 4.2 Faktor – Faktor Penyebab Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang................................... 4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang................. 4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok.............. 4.2.3 Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara................... 4.3 Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Perubahahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang............................................................................. 4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur............................. 4.3.2 Extended Deterrence AS terhadap Kekuatan Militer Tiongkok dan Korea Utara....................... 4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan AS di Asia Timur......................................................... BAB V :
KESIMPULAN................................................................
vi
59 59 65 66 69 76
82 82 88 93 97
DAFTAR SINGKATAN
A2 AD APEC AS ASCM ASEAN BMD BOP GDP GSDF GSOMIA IAEA ICBM JSDF KLN LDP MBT MEF NATO NDPG NDPO NPT PBB PD PKO QDR RUU SCC SDA UNODA
: Anti-Access : Area Denial : Asia-Pacific Economic Cooperation : Amerika Serikat : Anti Ship Cruise Missile : Association of Southeast Asia Nations : Ballistic Missile Defense : Bilateral Common Operational Picture : Gross Domestic Product : Ground Self Defense Force : General Security of Military Information Agreement : International Atomic Energy Agency : Intercontinental Ballistic Missile : Japan Self Defense Force : Kebijakan Luar Negeri : Liberal Democratic Party : Main Battle Tank : Marine Expeditionary Force : North Atlantic Treaty Organization : National Defense Program Guideline : National Defense Program Outline : Non-Proliferation Nuclear Treaty : Perserikatan Bangsa Bangsa : Perang Dunia : Peace Keeping Operation : Quadrennial Defense Review : Rancangan Undang Undang : Security Consultative Commitee : Sumber Daya Alam : United Nations Office for Disarmament Affairs
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Pangkalan Militer AS di Okinawa...........................................
26
Gambar 2. Peta Pangkalan Udara Militer AS di Kadena Selatan Provinsi Okinawa dalam SCC Joint Statement 2012......................
37
Gambar 3. Peta Jangkaun Misil Korea Utara .................................................... 81 Gambar 4. Proyek Tahun 2020 Pengembangan Pangkalan Aliansi Militer AS – Jepang ....................................................................................
92
Gambar 5. Peta Jalur Perdagangan AS di Kawasan Asia Pasifik ...................... 95
viii
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Tabel 1. Kekuatan Persenjataan Aliansi Militer Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1996 – 2005 ......................................................................... 29 Tabel 2. Daftar Penambahan Peralatan Miltier setelah SCC Joint Statement 2012 .............................................................................. 36 Tabel 3. Kekuatan Militer Jepang Tahun 2012 .................................................... 47 Tabel 4. Teknologi Baru Militer Jepang .............................................................
52
Tabel 5. Kepemilikan Misil Korea Utara ............................................................ 80 Tabel 6. Nilai ekspor barang dan jasa AS pada pasar Asia 2006 – 2012 ............ 96
Grafik 1. Jumlah Pasukan Angkatan Darat Jepang dari beberapa periode ...... .... 43 Grafik 2. Jumlah Kekuatan Persenjatan Militer Jepang ....................................... 44 Grafik 3. Anggaran Pertahanan Jepang 2002-2012 .............................................. 49 Grafik 4. Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi ......... 69 Grafik 5. Anggaran Militer Tiongkok 2000-2004 ................................................ 75
ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Skripsi ini akan berfokus pada analisa tentang
kepentingan Amerika
Serikat dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan yang dilakukan oleh Jepang. Wilayah Asia Timur secara khusus akan menjadi fokus utama dalam skripsi ini. Menurut Wahyu Wardani di dalam tulisannya berjudul “Realm Asia Timur” (2009), Asia Timur merupakan sebuah sub-wilayah Asia di mana luasnya sekitar 11,839,074 km2 atau 15 persen dari benua Asia. Asia Timur terletak di antara Rusia di utara dan di selatan negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara. Wilayah Asia Timur ini membentang dari daerah gurun di Asia Tengah sampai di Kepulauan Jepang dan Taiwan di kawasan tepi Pasifik Barat (Wardani 2009). Sub-wilayah Asia Timur meliputi wilayah Tiongkok, Hong Kong, Jepang, Taiwan Mongolia, Korea Utara dan Korea Selatan, dengan populasi sekitar 1500 juta jiwa dan kepadatan 133 jiwa/ km2 (Wardani 2009, h.2). Negara-negara di wilayah Asia Timur yang menjadi fokus utama dalam skripsi ini di antaranya adalah Tiongkok, Korea Utara dan Jepang. Menurut Ralph A. Cossa dalam tulisan yang berjudul “The U.S AsiaPacific Security Strategy for the Twenty-First Century” (2000), Amerika Serikat berkomitmen untuk menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus utama di bidang politik, ekonomi, serta militer (Cossa 2000). Selain karena kawasan Asia 1
2
Timur menjadi prioritas pertama AS, keterlibatan AS pada kawasan ini juga demi kepentingan masa depan AS dalam menjaga hegemoni di kawasan Asia. Keberlanjutan keterlibatan AS pada kawasan Asia dikarenakan Quadrennial Defense Review (QDR) pada tahun 1997 menjelaskan komitmen AS untuk menjaga stabilitas kawasan Asia. Quadrennial Defense Review (QDR) merupakan dokumen nasional AS untuk menjelaskan doktrin militer AS, yaitu dengan penggunaan
kekuatan militer secara efektif demi kepentingan nasional AS
(Shambaugh & Yahuda 2008). Komitmen AS diperjelas pada masa Presiden Obama dengan mengeluarkan “The Pivot to Asia” yaitu perubahan prioritas Kebijakan Luar Negeri AS pada kawasan Asia Timur (The Foreign Policy Initiative 2012). Selanjutnya aliansi militer AS-Jepang menjadi upaya dalam menjaga stabilitas kawasan Asia Timur, karena dengan berkembangnya kekuatan militer Tiongkok, masalah konflik semenanjung Korea dan beberapa masalah sengketa wilayah membuat kawasan ini rentan dengan konflik (Moore 2008). AS menilai kekuatan militer Tiongkok sebagai ancaman yang besar bagi kawasan. Penilaian AS tersebut terlihat dari anggaran militer Tiongkok yang terus meningkat dari tahun 1994, sebesar 18% pada tahun 1995 meningkat lagi sebesar 21%, tahun 2005 meningkat sebesar 12,6%, tahun 2006 meningkat sebesar 14,7% dan tahun 2007 meningkat sebesar 17,8% menjadi 44,94 miliar Dollar AS (Kompas, 5 Maret 2007). Tiongkok juga sangat agresif dalam sengketa Kepulauan Senkaku dan Laut Tiongkok Selatan. Pada tahun 2006, terlihat Kebijakan pemerintah Tiongkok
3
yang agresif pada sengketa Kepulauan Senkaku dengan membangun pipa gas di Chunxiao sekitar Kepulauan Senkaku. Kemudian kebijakan ini mendapat protes dari Jepang ketika pertemuan “China-Japan Sea of Peace Cooperation and Friendship” pada Desember 2007. Pada pertemuan tersebut kedua negara tidak menemukan kesepakatan kongkrit masalah konflik ini, karena Tiongkok menolak menghentikan aktivitas pembangunan jalur pipa gas di sekitar Kepulauan Senkaku dan mengancam akan menyerang negara yang menentang kebijakan ini (Karismaya 2013). Kemudian pada bulan Juli 2007, terjadi tindakan agresif militer Tiongkok pada sengketa Laut Tiongkok Selatan. Kapal Angkatan Laut Tiongkok menembaki sebuah kapal nelayan Vietnam kemudian menewaskan seorang pelaut di sekitar Kepulauan Paracel. Insiden tindakan Angkatan Laut Tiongkok ini membuat konflik Laut Tiongkok Selatan memanas (The Straits Times 2007). Dapat disimpulkan dari beberapa konflik yang sedang dihadapi Tiongkok, sangat terlihat perkembangan militer Tiongkok dapat meningkatkan posisinya dalam proses tawar menawar pada level internasional. Hal ini menguatkan persepsi kawasan terhadap Tiongkok dalam menjadi ancaman bagi kawasan Asia Timur. Selain itu pada tahun 2006 terdapat ancaman senjata nuklir Korea Utara yang dapat menjangkau hampir seluruh dari wilayah Asia Pasifik. Misil Taepoodong II dan Intercontinental Ballistic Missile atau ICBM milik Korea Utara memiliki jangkauan 3500 - 6000 km, dapat mengenai wilayah teritori Jepang (Moore 2008). Pada 9 Oktober 2006 Korea Utara melakukan uji coba nuklir perdana dengan bahan plutonium, bukan seperti pada masa sebelumnya
4
hanya dengan uranium yang diperkaya (BBC News 2006). Uji coba yang dilakukan Korea Utara inilah yang memicu ketegangan keamanan di kawasan Asia Timur. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kerjasama militer bagi AS demi menjaga kepentingan di kawasan Asia Timur. Kepentingan AS pada kawasan Asia Timur menjadikan Jepang sebagai sekutu yang penting pada kawasan ini. Pada pertemuan antara Presiden George W. Bush dan Perdana Menteri Shinzo Abe pada 18 November 2006 terdapat kesepakatan peninjauan kerjasama keamanan bilateral AS-Jepang, khususnya di bidang pertahanan rudal balistik (BMD), dalam rangka memikirkan kembali potensi ancaman dari Korea Utara dan Tiongkok (Xu 2014). AS meminta Jepang untuk terus meningkatkan kekuatan militernya agar mempermudah, memperlancar dan memperbanyak bentuk kerjasama militer kedua negara (Avery & Reinhart 2013). Presiden Bush meminta Jepang untuk segera mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan mereka demi memperkuat kekuatan aliansi militer AS-Jepang. Dengan semakin berkembangnya militer Jepang semakin mudah dan banyak kerjasama militer yang mungkin dilakukan AS-Jepang di masa mendatang. Dalam rangka perubahan kebijakan pertahanan dan keamanannya Jepang diminta AS untuk mendirikan Kementerian Pertahanan agar dapat mengajukan anggaran pertahanan dengan lebih mudah (Deutche Welle News 2007). Ini diikuti dengan perubahan doktrin militer yaitu meninggalkan Pasal 9 Konstitusi 1947 yang melarang Jepang untuk memiliki kekuatan militer (Cossa 2000).
5
Amerika Serikat juga meminta Jepang mengubah doktrin pertahanannya yang lama dan mengganti dengan white paper pertahanan yang baru. Selanjutnya National Defense Program Guidelines (NDPG) paling baru yang dikeluarkan pada tahun 2010 atas dorongan dari Amerika Serikat dalam rangka merespon pengembangan kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara (Avery & Reinhart 2013). Perubahan penting yang terjadi adalah dengan digantikannya “Basic Defense Force Concept” menjadi “Dynamic Defense Force”. Artinya Jepang diminta aktif dalam keamanan kawasan, dan tidak hanya sekedar berlindung pada kekuatan militer AS (Japan Ministry of Defense 2010). Atas dorongan AS, Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ketika RUU usulan Perdana Menteri Shinzo Abe yang berkaitan dengan transisi dari Badan Pertahanan Jepang untuk Kementerian Pertahanan disahkan oleh Majelis dan menjadi Undang-undang pada tanggal 15 Desember 2006. Parlemen menyetujui usulan Perdana Menteri Shinzo Abe tersebut dan diwujudkan pada 9 Januari 2007 atau 53 tahun setelah pembentukan Badan Pertahanan pada tahun 1954. Dengan berdirinya Kementerian Pertahanan yang merupakan sebuah badan pemerintah yang dibawahi langsung oleh seorang menteri pertahanan, memungkinkan Jepang untuk memiliki anggaran sendiri dalam pertahanan dan keamanan, serta memungkinkan untuk membuat undang – undang pertahanan dan keamanan sendiri. Hal ini kemudian diikuti dengan anggaran militer yang konsisten naik, berkembangnya teknologi militer Jepang dan perubahan doktrin penggunaan kekuatan militer (Japan Ministry of Defense 2007).
6
Sejak berubah status menjadi Kementerian Pertahanan, anggaran pertama diajukan hingga 4.86 triliun Yen atau sebesar 43 miliar Dollar AS dan mengajukan anggaran sebesar 200 juta Dollar AS khusus alokasi untuk misil penangkal, atau naik 56,5 persen dibanding anggaran tahun – tahun sebelumnya yang telah berjalan (Harian Kompas 19 Februari 2007, Hal. 12). Hal ini memperlihatkan Jepang mengalami transformasi perubahan kebijakan strategis pertahanannya yang lebih gencar dalam mengadaptasi lingkungan eksternal atas dorongan AS. Dapat disimpulkan bahwa peningkatan status Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan, peningkatan anggaran militer sejak Kementerian Pertahanan berdiri, perkembangan teknologi militer dan perubahan doktrin militer, merupakan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan yang telah dilakukan Jepang atas dorongan mitra aliansinya Amerika Serikat (Wang 2008). Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ini mencerminkan adanya keinginan AS agar Jepang memainkan peran lebih besar dalam
mengatasi
ancaman keamanan di kawasan (Deming 2004). Akan dijelaskan pada bab - bab selanjutnya bagaimana bentuk kerjasama keamanan Jepang-AS yang lebih intensif terjadi pasca Jepang mendirikan Kementerian Pertahanan.Pasca Kementerian Pertahanan Jepang resmi berdiri, revisi aliansi Jepang-AS terjadi dengan ditandatanganinya sebuah perjanjian oleh kedua pihak yaitu Joint Statement of the Security Consultative Committee Alliance Transformation:
Advancing
United
States-Japan
Security
and
Defense
Cooperation. Kesepakatan ini untuk memperkuat aliansi AS-Jepang khususnya
7
untuk menghadapi ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara dengan peninjauan kembali beberapa kesepakatan lama yang dinilai tidak efektif (Japan Ministry of Defense 2007). Hal penting lainnya pada penelitian ini adalah apa yang menjadi kepentingan AS dalam perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, serta kerjasama aliansi bilateral keamanan kedua negara ini. Tahun 2007 dipilih sebagai awal periode dalam penelitian ini karena pada tahun ini merupakan awal momentum Jepang dalam proses modernisasi militer negaranya karena dorongan AS dalam merespon perkembangan militer Tiongkok dan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. Pada tahun ini atas dorongan dari AS Badan Pertahanan secara resmi berubah menjadi bentuk kementerian, anggaran belanja militer mulai naik signifikan, teknologi militer mulai berkembang dan terjadinya perubahan doktrin penggunaan kekuatan militer. Akhir periode dalam penelitian ini adalah tahun 2012 karena tahun tersebut merupakan tahun paling akhir dari revisi kesepakatan aliansi AS-Jepang.
1.2
Pertanyaan Penelitian Penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitan sebagai berikut:
“Mengapa Amerika Serikat Mendorong Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang pada periode 2006-2012 ?”
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang 2006 - 2012
8
2.
Untuk menganalisa kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan dengan menggunakan konsep kepentingan nasional dan aliansi.
3.
Diharapkan tulisan ini menjadi rujukan bagi penelitian serupa di masa mendatang, khususnya tentang kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Timur.
1.4
Tinjauan Pustaka Tulisan yang menjadi tinjauan pustaka dalam penelitian ini yaitu skripsi
yang berjudul “Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) terhadap Kerjasama Bilateral AS – Jepang dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan periode 2001-2006” yang ditulis oleh Faris Bimantara. Faris Bimantara adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, FISIP, UIN Jakarta tahun 2007. Faris Bimantara (2012) dalam tulisannya menjelaskan bahwa Amerika Serikat membuat pangkalan militer di Okinawa yang bertujuan agar AS tetap dapat mengontrol keamanan di Asia Pasifik lebih efektif dan efisien. Pangkalan militer AS di Okinawa mempunyai nilai strategis karena letak kepulauan Okinawa di Jepang sangat menguntungkan bagi kegiatan basis militer AS. Tujuan membendung pengaruh komunis dan konflik di Asia Timur adalah bagian dari upaya mencegah masuknya kekuatan-kekuatan komunis di wilayah Asia Pasifik. Dalam hal ini, Okinawa (Jepang) dinilai sebagai daerah yang tepat bagi tentara AS untuk kepentingan tersebut (Bimantara, 2012). Tulisan Faris Bimantara ini membahas tema kerjasama militer AS-Jepang yang merupakan tema yang sama dengan analisa penelitian yang akan dilakukan
9
pada skripsi ini. Perbedaan skripsi tulisan Faris Bimantara dan penelitian skripsi ini terletak pada fokus analisa penelitiannya.
Penelitian Faris Bimantara
menganalisa secara detail tentang pengaruh Pangkalan Militer di Okinawa terhadap hubungan bilateral keamanan AS-Jepang. Sedangkan skripsi ini menganalisa kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang. Kerangka pemikiran yang dipakai pada skripsi Faris Bimantara yaitu konsep aliansi, kepentingan nasional dan power, perbedaan dengan penelitian skripsi ini hanya pada konsep power yang tidak digunakan dalam skripsi ini. Skripsi kedua yang menjadi tinjauan pustaka pada penulisan skripsi ini adalah skripsi oleh Satria Satya Nugraha (2014) mahasiswa Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan judul “Dampak Nasionalisasi Kepulauan Senkaku terhadap Hubungan Jepang – Cina 2012-2013". Skripsi ini fokus utamanya pada konflik Kepulauan Senkaku antara Jepang dan Tiongkok. Pada skripsi ini dijelaskan beberapa dampak yang membuat semakin tegang hubungan Jepang – Tiongkok pasca tindakan Jepang melakukan nasionalisasi Kepulauan Senkaku secara sepihak. Pada tulisan ini dijelaskan faktor utama Jepang menasionalisasi Kepulauan Senkaku adalah karena strategisnya wilayah Senkaku bagi militer Jepang dan kepentingan Jepang untuk menguasai sumber daya alam di Kepulauan Senkaku (Nugraha 2014). Persamaan skripsi Satria Satya Nugraha dengan tulisan skripsi ini adalah analisa hubungan Jepang – Tiongkok atas konflik Kepulauan Senkaku. Perbedaan antara skripsi Satria Satya Nugraha dan skripsi ini terdapat pada skripsi Satria
10
Satya Nugraha yang melihat kepentingan Jepang pada Kepulauan Senkaku, sedangkan penelitan pada skripsi ini melihat kepentingan AS pada transfomasi militer Jepang, di mana konflik Kepulauan Senkaku hanya sebagai faktor pendorong Jepang melakukan transformasi militer. Skripsi Satya Nugraha juga menggunakan konsep kepentingan nasional seperti dengan penelitian skripsi ini. Perbedaan kerangka pemikiran yang digunakan penulisan skripsi ini dengan Satya Nugraha pada penggunaan konsep Sengketa Internasional. Kemudian skripsi dari Mahasiswi FISIP Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Indonesia tahun 2008 yang bernama Rosy Handayani, dengan judul “Transformasi Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin (1990-2007)”. Skripsi Rosy Handayani ini merupakan bentuk penelitian dengan tema yang lebih detail membahas masalah perubahan pertahanan dan keamanan Jepang dengan periodisasi yang cukup panjang, yaitu pasca Perang Dingin sampai era modern Jepang tahun 2007. Dalam penelitian ini Rosy Handayani melihat kebijakan strategis Jepang pasca Perang Dingin (1990-2007) sebagai bentuk adaptasi Jepang terhadap tuntutan internal dan eksternal negaranya. Rosy Handayani juga menyatakan bahwa Jepang memandang adanya indikasi dari negara-negara di sekitar
untuk
mengembangkan
pertahanan
negara
mereka.
Dalam
mempertimbangkan masalah keamanan Jepang perlu juga mempertimbangkan kondisi Jepang yang ada, termasuk di dalamnya keterbatasan Jepang dalam masalah strategi militer (Handayani 2008). Terdapat perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Rosy Handayani, yaitu penelitian pada skripsi ini lebih fokus pada
11
kepentingan nasional Amerika Serikat dibalik perubahan signifikan Jepang dalam bidang pertahanan. Momentumnya saat Jepang mengeluarkan kebijakan perubahan status Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan, serta saat white paper Jepang pada tahun 2010 yang mengeluarkan kebijakan berupa The National Defense Program Guidelines (NDPG) yang tentu pada penelitian Rosy Handayani belum tercantum. Berbeda dengan skripsi ini, Rosy Handayani menggunakan konsep Security Dilemma dan Deterrence dalam penulian skripsinya. Selanjutnya tulisan oleh Robyn Lim (2002) yang berjudul “Limits of U.S.Japan alliance” dalam jurnal Far Eastern Economic Review Volume 165, dalam tulisan ini dijelaskan bagaimana aliansi militer AS-Jepang memiliki kelemahan karena Jepang masih bersandar pada Konstitusi 1947 yang melarang Jepang untuk terlibat dalam aktivitas menggunakan militer. Dalam tulisan ini juga dijelaskan bahwa AS harus melakukan strategi deterrence terhadap Tiongkok dan Korea Utara walaupun aliansi militer bersama Jepang dinilai masih kurang dari beberapa segi, seperti unit senjata militer, doktrin militer dan perjanjian militer yang masih lemah. Lim mengatakan masih perlu adanya perbaikan dalam kerjasama militer AS-Jepang dalam merespon Tiongkok dan Korea Utara (Lim 2002). Perbedaan rujukan ini dengan skripsi Rosy Handayani terdapat pada periode penelitian, di mana tulisan ini meniliti pada tahun 2002 yang memang belum terjadinya revisi Security Consultative Commitee atau SCC antara ASJepang. Sedangkan penelitan skripsi ini pada periode 2006-2012, aliansi militer AS-Jepang telah merevisi Joint Statement aliansi pada 2005, 2006, 2012. Revisi
12
tersebut memperbaiki perjanjian sebelumnya dengan mengadakan unit senjata militer yang lebih banyak, doktrin militer yang lebih dinamis serta beberapa penambahan pangkalan militer aliansi. Kemudian, tulisan dari Young June Park (2010) yang berjudul Japan’s National Defense Program Guidelines 2010 dalam The East Asia Institute Journal Vol. 56, menjelaskan jika Jepang telah mengubah doktrin militer dengan mengeluarkan white papar dalam National Defense Program Guidelines atau NDPG pada tahun 2010. Park mengatakan Jepang secara tidak langsung telah mengabaikan Pasal 9 Konstitusi 1947 yang mana mengatur Jepang agar tidak terlibat dalam penggunaan kekuatan militer. NDPG 2010 berisi bahwa doktrin militer Jepang berubah dari “Basic Defense Force Concept” menjadi “Dynamic Defense Force”, yang berarti Jepang harus lebih aktif dalam kegiatan intelijen, pengawasan dan pengintaian. Militer Jepang dituntut lebih aktif
dengan
menjalankan serangkaian operasi militer agar lebih siap dalam menghadapi ancaaman baik ancaman tradisional maun non-tradisional (Park 2010). Tulisan Park (2010) lebih berfokus pada perubahan doktrin militer Jepang, walaupun terdapat analisa mengenai dampak perubahan tersebut pada kawasan Asia Timur. Young June Park juga tidak banyak menjelaskan mengenai kesepakatan aliansi militer AS-Jepang pada tahun 2010. Sementara skripsi ini lebih melihat bagaimana kepentingan AS pada kawasan Asia Timur dalam mendorong perubahan kebijakan militer Jepang, termasuk juga doktrin militernya. Terdapat juga penjelasan mengenai perbuahan doktrin militer Jepang yang dianalisa dengan faktor-faktor yang mendorong perubahan tersebut. Menurut
13
penelitan skripsi ini AS sangat besar dalam mempengaruhi perubahan doktrin militer Jepang sehingga pada tahun 2010 dikeluarkan NDPG baru. Rujukan yang terakhir adalah penelitian yang dilakukan oleh Namzariga Adamy seorang pengamat kawasan Asia Timur, tulisannya yang berjudul “Kebijakan Peacekeeping Operation Jepang di Kamboja: Suatu Tinjauan Terhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin.” Dengan dipicu oleh peristiwa Perang Teluk, Jepang melakukan re-orientasi terhadap kebijakan politik luar negerinya dengan mengirim pasukan untuk berpartisipasi dalam PKO PBB di Kamboja. Peristiwa ini merupakan peristiwa yang sangat penting karena pertama kalinya Pasukan Bela Diri Jepang dikirim ke luar negeri sejak Perang Dunia II. Menurut Azami, penting menekankan agenda keamanan nasional (national security) suatu negara, kemampuan milliter (military capability) dan suatu perimbangan kekuatan (balance of power) sebagai elemen utama dalam memelihara stabilitas politik internasional (Adamy 2004). Tulisan Adamy secara detail menjelaskan bagaimana peran militer Jepang pada level internasional. Perbedaan karya Adamy dengan skripsi ini terdapat pada fokus utama di mana karya Adamy hanya pada periode Jepang mengirim Pasukan Perdamaian Internasional ke Kamboja, sedangkan skripsi ini menggambarkan secara umum transformasi militer yang dilakukan Jepang dan kepentingan AS sebagai mitra aliansi Jepang. Kerangka pemikiran karya Adamy menggunakan konsep Ballance of Power yang berbeda dengan skripsi ini, tetapi persamaannya Adamy dan penelitain skripsi ini sama-sama menggunakan konsep kepentingan nasional.
14
1.5
Kerangka Pemikiran
1.5.1 Kepentingan Nasional Konsep kepentingan nasional sangat penting dalam menjelaskan dan memahami perilaku internasional. Konsep kepentingan nasional merupakan dasar dalam menjelaskan perilaku luar negeri suatu negara (Art & Jervis 2007). Kepentingan nasional juga dapat dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara secara khas atau berbeda dengan negara lain. Selain itu, kepentingan nasional merupakan unsur-unsur yang membentuk kebutuhan negara paling vital seperti pertahanan, keamanan, militer dan kesejahteraan ekonomi (Art & Jervis 2007). Dalam menjelaskan konsep kepentingan nasional seperti yang dikatakan oleh Daniel S. Papp dalam bukunya Contemporary International Relations (1997) dapat digunakan beberapa kriteria antara lain kriteria ekonomi, ideologi, dan militer. Pertama, kriteria ekonomi dapat dijadikan dasar dalam menjelaskan kepentingan nasional. Artinya setiap kebijakan yang memperkuat perekonomian suatu negara dapat dianggap sebagai suatu kepentingan nasional. Meningkatkan neraca perdagangan suatu negara, memperkuat industri, minyak dan gas dianggap sebagai suatu kepentingan nasional. Kedua, ideologi di mana kebanyakan negara baik secara formal maupun non formal menggunakan ideologi untuk memberikan legitimasi kepada kebijakan mereka. Bagi beberapa negara, faktor ideologi mempengaruhi kepentingan nasional. Ketiga, faktor militer, bahwa tanggung jawab utama dari sebuah negara adalah memberikan keamanan kepada warga
15
negaranya. Sehingga militer menjadi penting untuk kepentingan pertahanan dan keamanan sebuah negara (Papp 1997). Berdasarkan pernyataan diatas, kepentingan nasional dapat mempengaruhi power dan militer sebuah negara sehingga dapat menjadi lebih kuat dan besar. Oleh karena itu, Waltz (1979) menunjuk kepentingan nasional berdasarkan definisi power, artinya bahwa posisi power yang harus dimiliki negara merupakan pertimbangan utama yang memberikan bentuk kepada kepentingan nasional. Konsekuensi dari pemikiran tersebut adalah bahwa suatu tujuan nasional harus diukur menggunakan tolak ukur posisi power negara. Lebih lanjut dalam pemikiran Waltz, dijelaskan bahwa kepentingan nasional merupakan produkpolitik (perilaku atau kebijakan negara), dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang membentuk sistem. Semua yang terjadi dalam politik internasional dalam kerangka Neorealism harus dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam sistem (Burchil 1996). Kepentingan nasional diakui sebagai konsep kunci dalam politik luar negeri. Artinya, bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri dapat didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ideologis atau atas pertimbangan kepentingan (Burchil 1996, h.106). Kepentingan dan ideologis menjalin hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi untuk membuat suatu kebijakan. Kepentingan nasional selalu berkaitan erat dengan keamanan, kesejahteraan, dan juga power (Steans & Pettiford 2001, h.20). Kepentingan nasional adalah kepentingan-kepentingan yang dimiliki oleh sebuah negara untuk menjaga kelangsungan hidup negara dan keamanan yang dihadapkan pada suatu politik
16
internasional (sebagai arena persaingan), serta untuk mencapai pertumbuhan kekayaan, ekonomi dan kekuasaan suatu negara (Stean & Pettiford 2001). Dari berbagai definisi tentang konsep kepentingan nasional, dalam skripsi ini akan dilihat bagaimana kepentingan nasional Amerika Serikat pada Jepang dalam cakupan kawasan Asia Timur. Amerika Serikat memiliki kepentingan terhadap kawasan ini, maka dari itu Jepang merupakan kunci utama bagi AS untuk tetap menjadi hegemon di kawasan Asia Timur. Apalagi dengan kebangkitan militer Tiongkok yang berideologi berbeda dengan AS, menjadikan AS semakin gencar melakukan aliansi militer dengan Jepang. Jadi dalam penulisan skripsi ini pertanyaan utama yang akan dijawab pada bab - bab berikutnya adalah mengenai kepentingan nasional AS dalam mendorong Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan sebagai respon terhadap peningkatan kekuatan militer Tiongkok dan kepemilikan nuklir Korea Utara. 1.5.2 Konsep Aliansi Menurut Stephen M. Walt (1985) dalam tulisan Alliance Formation and the Ballance of World Power dengan teori terkenalnya ballance of threat, aliansi merupakan upaya negara bergabung dengan negara lain untuk menangkal ancaman bersama. Strategi yang aman yaitu bergabung dengan pihak yang mempunyai kepentingan terhadap ancaman bersama. Walt memberikan istilah balancing yaitu upaya menyatukan kapabilitas kekuatan dengan pihak lain untuk mengimbangi ancaman bersama. Ada alasan utama bagi negara untuk melakukan balancing yaitu jika negara tidak melakukan balancing, maka negara tersebut
17
mempunyai resiko untuk menerima dampak dari ancaman negara yang dianggap dapat mengancam. (Walt 1985). Dalam skripsi ini dibahas mengenai AS dan Jepang melakukan aliansi karena menganggap kekuatan Tiongkok dan Korea Utara sebagai ancaman bersama. Aliansi AS dan Jepang digunakan untuk melakukan balancing atau mengimbangi kekuatan terhadap ancaman militer dari kedua negara tersebut. Semakin kuatnya hubungan aliansi militer AS-Jepang dikarenakan keadaan security dilemma di kawasan yang dibuat oleh Tiongkok dan Korea Utara seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Menurut Robert Jervis (1978) dalam tulisan Cooperation under the Security Dilemma, semakin besar peningkatan militer suatu negara dapat menimbulkan kekhawatiran yaitu rasa tidak aman yang besar juga pada negara di sekitarnya. Strategi offense-defense dari Robert Jervis (1978) menjelaskan dalam keadaan security dilemma negara yang merasa terancam memiliki dua pilihan untuk merespon negara yang mengeluarkan ancaman, yaitu dengan bertindak menyerang langsung (offense) atau bertahan (defense) dengan memperkuat militernya (Jervis 1978). Pada penelitian skripsi ini, AS yang merasakan kekhawatiran terhadap perkembangan militer Korea Utara dan Tiongkok dan memilih merespon dengan cara bertahan (defense) dengan menggunakan strategi extended deterrence. Extended deterrence menurut Justin V. Anderson dan Jefrey A. Larsen (2013) dalam tulisan “Extended Deterrence and Allied Assurance: Key Concepts and Current Challenges for U.S. Policy”, merupakan sebuah strategi militer suatu negera, yaitu dengan membangun kekuatan militer pihak ketiga yang merupakan
18
mitra aliansi. Kekuatan dibangun untuk melindungi pihak ketiga dari ancaman sekaligus kekuatan militer yang dibangun digunakan sebagai alat provokasi pada pihak lawan (Anderson & Larsen 2013, h.5). Pada skripsi ini AS memberikan perlindungan Jepang pada hubungan aliansi militer AS-Jepang dari ancaman militer Tiongkok dan nuklir Korea Utara. Kekuatan aliansi militer AS-Jepang yang semakin juga digunakan sebagai alat untuk menghalangi (to deter) kekuatan Tiongkok dan Korea Utara. Strategi extended deterrence yang dipilih AS karena kawasan ini berjarak jauh dengan wilayah teritori AS. Meningkatkan kekuatan aliansi militer bersama Jepang merupakan pilihan yang tepat bagi AS untuk mengamankan kepentingan AS pada kawasan ini. 1.5.3 Kebijakan Luar Negeri Menurut Kenneth Waltz (1967) dalam tulisannya “Foreign Policy and Democratic Politics: The American and British Experience”, tidak ada tempat bagi pembuat kebijakan luar negeri dalam pandangan Waltz yang bebas dari struktur sistem. Sistem internasional membentuk cara negara berprilaku dan berinteraksi, termasuk dalam membuat kebijakan luar negeri. Bagi Waltz, bagaimanapun juga, kepentingan nasional terlihat beroperasi seperti sebuah sinyal otomatis yang memerintah para pemimpin negara ketika dan kapan harus bergerak. Pemimpin negara akan secara otomatis mengambil Kebijakan Luar Negeri berdasarkan kepentingan nasional yang dipengaruhi sistem (Waltz 1967). Gambaran Waltz pada pemimpin negara dalam menjalankan kebijakan luar negeri hampir menyerupai gambaran mekanis yang mana pilihan-pilihan mereka
19
dibentuk oleh hambatan-hambatan struktural internasional yang mereka hadapi, seperti ditekankan pada perkataan Waltz berikut: “Kepentingan para penguasa, dan kemudian negara, membuat suatu rangkaian tindakan; kebutuhan kebijakan muncul dari persaingan negara yang diatur; kalkulasi yang berdasarkan pada kebutuhankebutuhan ini dapat menemukan kebijakan-kebijakan yang akan menjalankan dengan baik kepentingan-kepentingan negara; keberhasilan adalah ujian terakhir dari kebijakan itu, dan keberhasilan didefinisikan sebagai memelihara dan memperkuat negara. Hambatan-hambatan struktural pada sistem menjelaskan mengapa metode-metode tersebut digunakan berulang kali disamping perbedaaan-perbedaan dalam diri manusia dan negaranegara yang menggunakannya” (Waltz 1979). Kebijakan luar negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya. Kebijakan luar negeri menurutnya ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan kelangsungan hidup suatu negara. Lebih lanjut, menurut Rosenau, apabila kita mengkaji kebijakan luar negeri suatu negara maka kita akan memasuki fenomena yang luas dan kompleks, meliputi kehidupan internal (internal life) dan kebutuhan eksternal (eksternal needs) termasuk didalamnya adalah kehidupan internal dan eksternal seperti aspirasi, atribut nasional, kebudayaan, konflik, kapabilitas, institusi, dan aktivitas rutin yang ditujukan untuk mencapai dan memelihara identitas sosial, hukum, dan geografi suatu negara sebagai negara-bangsa (Yani 2007). Pada penelitian skripsi ini, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negeri dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang. Kebijakan AS dalam membentuk hubungan aliansi militer bersama Jepang merupakan bentuk kebijakan luar negeri AS terhadap lingkungan eksternal (Jepang). Kebijakan luar negeri AS terkait dengan bentuk kerjasama aliansi bersama Jepang
20
tersebut, merupakan dalam rangka merespon persepsi ancaman kekuatan Tiongkok dan Korea Utara (pengaruh sistem internasional). Termasuk juga dengan kebijakan luar negeri AS yaitu “the Pivot to Asia” yang dipengaruhi oleh kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara. Perkembangan pesat militer Tiongkok dan Korea Utara mempengaruhi stabilitas kawasan Asia Timur yang berdampak pada kekhawatiran AS dan Jepang.
1.5.4 Teori Defensive Structural Realism Menurut John J. Mearsheimer (2007), teori structural realism menjelaskan bahwa untuk memperoleh kekuasaan adalah hal yang terpenting bagi teori ini dalam sistem politik internasional. Hal yang membedakan antara realisme klasik dengan structural realism disini adalah jika realisme klasik akan memandang itu sebagai kebutuhan dasar manusia yang pada hakekatnya selalu haus akan kekuasaan. Namun structural realism disini berpendapat bahwa sifat manusia tidak ada hubungannya dengan mengapa negara ingin berkuasa. Bahwa ini hanyalah sebuah strukturisasi dalam sistem internasional lah yang akhirnya memaksa suatu negara untuk memperoleh kekuasaan itu sendiri. Serta mempertahankan diri dengan membangun kekuatan pertahanan yang kuat merupakan pilihan yang penting bagi suatu negara untk bertahan (defense) dari pengaruh sistem internasional. Istilah “defensive structural realism” inilah yang menjelaskan perilaku negara yang memilih strategi bertahan (defense) dengan membangun pertahanan yang kuat atau menciptakan hubungan aliansi militer yang banyak (Mearsheimer 2007).
Teori defensive structural realism
juga menjelaskan bahwa mengejar
hegemoni yang berlebihan itu hanyalah merupakan suatu bentuk ekspansi yang berlebihan. Negara dalam mempertahankan hidupnya tidak harus mengejar
21
kekuasaan, namun sebaliknya yaitu dengan mencapai jumlah kekuasaan yang sesuai. Tujuan utama dari setiap negara menurut teori ini adalah untuk tetap survive atau bertahan (defense) sebagai sebuah negara. Sebagaimanapun banyaknya tujuan-tujuan baik secara politik, sosial, ekonomi, keamanan dan pertahanan sebuah negara tetap tujuan utamanya adalah untuk bertahan hidup. Teori ini percaya bahwa dengan membatasi diri adalah solusi yang sesuai. Defensive structural realism percaya jika ada satu negara yang terlalu
memaksimalkan power dan hegemoninya, hal ini justru akan memicu negaranegara lain untuk beraliansi dan berusaha untuk menandingi hegemoni yang dicapai negara tersebut (Mearsheimer 2007). Pada penelitian skripsi ini, Tiongkok dan Korea Utara memaksimalkan power dengan menjadi ancaman di kawasan Asia Timur yang berdampak pada kekhawatiran aliansi AS-Jepang. Skripsi ini berfokus pada level analisis sistem, dimana sistem internasional telah memaksa aliansi AS-Jepang memperkuat kekuatan militernya dan pada akhirnya AS mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan teori d efensive structural realism, pada skripsi ini aliansi AS-Jepang memilih strategi bertahan (defense) dengan membangun sistem pertahanan yang kuat dalam rangka untuk merespon perkembangan militer Tiongkok dan senjata rudal nuklir Korea Utara.
1.6
Metode Penelitian Pendekatan yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan
kualitatif. Menurut John W. Creswell (1994) dalam buku yang berjudul Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches, penelitian kualitatif adalah
22
suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada fenomena sosial dan masalah manusia, merupakan penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Pendekatan kualitatif untuk menunjang fakta yang terjadi dan dengan teori dapat menganalisa fenomena tersebut (Creswell 1994). Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu cara untuk membuat gambaran dan analisa berbagai situasi yang menjadi bagian dari permasalahan yang ingin diteliti secara sistematis. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menghubungkan teori dengan data-data
yang didapatkan melalui riset
perpustakaan (library research), yaitu dari perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Daerah DKI Jakarta serta perpustakaan Universitas Indonesia. Data-data tersebut didapatkan dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar dan sumber lainnya (document analysis). Selain itu, dalm skripsi ini juga menggunakan sarana internet dalam proses pengumpulan data yang berkaitan dan relevan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah terkumpul data–data dianalisis dengan teori dan konsep yang digunakan sehingga menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini. 1.7
Sistematika Penulisan Dalam penelitan ini skripsi ini dengan membagi menjadi lima bab, yang
mana pada tiap bab memiliki inti penjelasan tersendiri. Berikut jabaran dari tiap bab pada penelitian ini: BAB I:
PENDAHULUAN:
23
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 BAB II:
Latar Belakang Masalah Pertanyaan Penelitian Tujuan dan Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Metode Penelitian Sistematika Penulisan
KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG 2006 – 2012 2.1 Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2.2 Aliansi Keamanan Amerika Serikat dan Jepang 2006 - 2012
BAB III:
PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012 3.1 Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 3.1.1 Kekuatan Militer Jepang 3.1.2 Teknologi Militer Jepang 3.1.3 Tujuan Penggunaan Kekuatan Militer
BAB IV : KEPENTINGAN AS DALAMMENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 4.1 Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri AS 4.2 Faktor Penyebab AS Mendorong Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 4.2.1 Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 4.2.2 Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok 4.2.3 Ancaman Senjata Nuklir Korea Utara 4.3 Kepentingan Amerika Serikat terhadap Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 4.3.1 Stabilitas Kawasan Asia Timur 4.3.2 Extended Deterrence terhadap Kekuatan Militer Tiongkok dan Korea Utara 4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan di Kawasan Asia Timur BAB V : KESIMPULAN
BAB II KERJASAMA KEAMANAN AMERIKA SERIKAT DAN JEPANG 2006 – 2012
Pada latar belakang telah dijelaskan bahwa Amerika Serikat berkomitmen untuk menjadikan kawasan Asia Timur sebagai fokus utama politik internasional, dikarenakan Amerika Serikat menempatkan kawasan Asia Timur sebagai prioritas utama dalam kepentingan nasional mereka pada kawasan Asia Timur. Bab sebelumnya juga menjelaskan secara singkat latar belakang dari perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai sejarah dan bentuk kerjasama keamanan Amerika Serikat dan Jepang. Bab ini akan dibagi menjadi dua bagian, pertama sejarah singkat kerjasama keamanan AS-Jepang pada masa awal pasca Perang Dunia II sampai tahun 2005, dan kedua kerjasama keamanan AS-Jepang pada masa dari awal Jepang melakukan modernisasi militer sampai revisi terakhir aliansi militer AS-Jepang (2006-2012). 2.1
Sejarah Singkat Kerjasama Keamanan AS - Jepang Kekalahan yang dialami Jepang pada Perang Dunia II memaksa Jepang
menandatangani perjanjian kesepakatan yang berisi bahwa Jepang dikuasai Amerika Serikat untuk sementara waktu. Perjanjian ini berdampak pada campur tangan AS untuk kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang yaitu pasal Konstitusi 1947 (Irsan 2005).
24
9
25
Di bawah Konstitusi 1947, AS memaksa Jepang untuk tidak memiliki kekuatan militer dan memulai suatu pola yang secara jelas membagi ekonomi dan politik (Maswood 1990). Menurut Hikmahanto Juwana (1993) dalam tulisan yang berjudul Japan’s Defence Conception and it’s Implication For Southeast Asia, masalah pertahanan dan keamanan Jepang bersandar pada Amerika Serikat. Amerika menempatkan sejumlah pasukannya di Jepang untuk memelihara tatanan dan mempertahankan Jepang dari serangan luar. Jepang lebih fokus pada pembangunan ekonomi domestik negara daripada kebijakan pertahanannya. Jepang menyerahkan masalah pemeliharaan keamanannya kepada Amerika Serikat dalam sebuah perjanjian keamanan Jepang - Amerika Serikat tahun 1951 di San Francisco (Juwana 1993). Perjanjian San Francisco tahun 1951 mengakhiri konsekuensi dan segala urusan pada Perang Dunia II, serta adanya pembicaraan langkah awal mengenai aliansi militer AS dan Jepang. Sekitar 10 tahun kemudian U.S – Japan Mutual Security Treaty ditandatangani. Pada tahun 1960 perjanjian ini direvisi sehingga berubah nama menjadi Treaty of Mutual Cooperation and Security (Japan Ministry of Defense 2007). Perjanjian militer ini memberikan hak untuk AS mendirikan pangkalan militer di wilayah Okinawa sebagai komitmen dalam memenuhi janji AS menjaga pangkalan militer AS di Okinawa.
pertahanan Jepang. Di bawah ini peta dari
26
`Gambar 1: Pangkalan Militer AS di Okinawa pada Treaty of Mutual Cooperation and Security 1960
Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp diakses pada 15 Juli 2014
Pangkalan AS di Pulau Okinawa terletak tepat di tengah-tengah wilayah yang sangat padat. Misalnya, Kota Kadena telah dipakai untuk Air Base Military (Pangkalan Militer Angkatan Udara). Pangkalan militer AS di kota ini telah mengambil 83% dari lahan Kota Kadena, dan menyisakan 17 % untuk warga di kota itu. Adapun daerah di Okinawa yang dijadikan tempat bagi pangkalan militer AS adalah Futenma Air Station, Kadena Air Base, Camp Hansen, Camp Schwab, Henoko, Stasiun Komunikasi Tori (Kodansha Encyclopedy of Japan 1983). Pada masa Perang Dingin strategi AS untuk terus membendung kekuatan komunis Uni Soviet adalah dengan sebanyak banyaknya membentuk aliansi. Jepang dijadikan sekutu aliansi oleh AS karena untuk membantu menangkal
27
kekuatan Soviet. Pada awal aliansi AS-Jepang terbentuk, 50.000 anggota angkatan perang AS ditempatkan di Jepang termasuk 2.600 personil Angkatan Darat, 21.000 Marinir (dengan wing udara dan kapal amphibi), dan 230 pesawat tempur Angkatan Udara ditempatkan pada pangkalan militer di Okinawa (Karismaya 2013). Kapabilitas teknologi dan perindustrian canggih yang dimiliki Jepang merupakan hasil dari pemanfaatan teknologi militer yang diperoleh dari AS sejak 1960-an. Pertukaran teknologi dengan AS bagi Jepang merupakan suatu upaya untuk mendapatkan keuntungan lain dari bentuk aliansi militer. Jepang berhasil menyerap teknologi militer melalui lisensi produk persenjataan AS, yang dilandasi the Mutual Defence Assistance Agreement tahun 1954 (Rosa 2008). Sejak itu, Amerika Serikat dan Jepang semakin menjalin hubungan militer yang kuat. Pada tahun 1970 kerjasama militer AS-Jepang mengalami peninjauan kembali, hal yang terpenting dari revisi perjanjian ini adalah diberlakukannya anggaran militer Jepang sebesar 1% dari APBN. Sebelumnya, Jepang hanya diperbolehkan mengeluarkan anggaran militer di bawah 1% dari APBN. Hal ini menandakan bahwa AS mulai meminta Jepang untuk mengubah kebijakan pertahanan agar lebih mandiri dan tidak secara berlebihan berlindung pada payung militer AS (Akaha 1990). Ketika Perang Dingin berakhir pada awal 1990an, Perjanjian Keamanan Jepang-AS mulai melemah, hal ini memunculkan gagasan untuk mencari bentuk baru dari perjanjian Jepang-AS. Pada 17 April 1996 akhirnya Jepang dan AS
28
memperbaharui perjanjian keamanannya dengan menandatangani Japan-US Joint Declaration on Security—Alliance for the Twenty-First Century. Sebagai bagian dari kesepakatan ini, kedua negara setuju untuk meninjau kembali Guidelines for Japan-US Defense Cooperation yang pernah disepakati pada tahun 1978 (Japan Ministry of Defense 2007). Adanya Joint Statement pada tahun 1997, menciptakan landasan yang solid untuk kerjasama Jepang-AS baik dalam keadaan keamanan Asia Timur yang normal maupun tidak menentu. Ada tiga prinsip dasar yang dihasilkan dari Joint Statement ini, yaitu: pertama, hak dan kewajiban dalam The Japan-U.S Treaty of Mutual Cooperation and Security dan perjanjian-perjanjian lainnya tidak akan berubah; kedua, kerangka dasar kerjasama aliansi Jepang-AS tidak akan berubah; ketiga Jepang akan bertindak sesuai dengan batasan dalam konstitusinya (East Asia Strategic Review 2000). Pada November 2003, Pertemuan Jepang-AS diadakan di Tokyo yang dihadiri Menteri Pertahanan, Shigeru Ishiba dan Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld. Pada pertemuan tersebut, keduanya mendiskusikan masalah-masalah penting, seperti kerjasama pertahanan Jepang-AS, peningkatan militer Tiongkok, dan masalah nuklir Korea Utara. Ishiba dan Rumsfeld setuju bahwa kedua negara perlu meningkatkan kerjasama tidak hanya di kawasan tetapi juga pada masalah keamanan global (Morrison 2003, h.49). Pada tanggal 29 Oktober 2005, AS-Jepang dalam Security Consultative Committee (SCC) menyetujui rekomendasi untuk penataan kembali pasukan AS di Jepang. AS dan Jepang bersama meningkatkan keamanan nasional negaranya
29
berdasarkan Joint Statement tahun 1997, yang secara bersama menjaga keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik dan menghalau segala kemungkinan terjadinya penyerangan terhadap AS (Irsan 2007). Berikut gambaran kekuatan persenjataan aliansi AS-Jepang yang mengalami perubahan dari tahun 1996 yaitu awal pemasukan senjata sampai dengan tahun 2005. Tabel 1: Kekuatan Persenjataan Aliansi Militer Amerika Serikat dan Jepang pada tahun 1996 – 2005
Tahun Kekuatan Militer Tank Artillery Piece Armored Personel SSM Anti Tank Helicopter Transport Helicopter Surface to air quided missile Destroyer Submarine Fixed wing anti-submarine patrol aircraft (P-3c) Anti Submarine Minessweeping Helicopter Fighter Interceptor (F15) Transport Helicopter (CH-47 J) Transport Aircraft
1996 25 35
1997 56 68 45
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 52 52 56 30 26 20 50 100 61 49 49 50 67 67 80 90 61 60 71 73 9 13 300 400
-
6 8
16 8
16 8
16 8
16 9
8 8
8 6
4 4
4 6
-
4
5
5
5
3
3
3
3
3
-
1
1
1
2
2
3
3
4
5
10
3 1 10
2 1 9
1 1 9
3 1 10
2 1 8
3 2 7
3 3 9
6 17 14
7 17 15
16 2
13 4
17 4
12 2
12 4
11 4
5 1
7 4
6 5
6 7
10
12
12
12
11
5
7
7
12
27
3
3
2
3
4
5
6
6
12
23
1
2
4
4
5
6
7
8
8
20
30
Sumber: Japan Ministry of Defense diakses pada 2 November 2014 dan International Military And Defence Encyclopedia oleh Trevor N. Dupuy Dari data diatas dapat ditarik beberapa kenyataan bahwa aliansi AS-Jepang tiap tahun mengalami kenaikan persenjataan dan armada tempur, guna menghadapi serangan musuh. AS dalam hal ini mengakomodasi dan memodernisasi alat-alat tempur Jepang yang telah dikontrol oleh AS, guna menjaga keberlanjutan kerjasama AS-Jepang di Asia Pasifik (Sinaga 2007). Kekuatan militer Jepang memang tidak sekuat negara-negara lain di Asia Timur. Akan tetapi keberadaan Amerika Serikat di Okinawa sebagai payung militer, membuat kekuatan Jepang disegani dan ditakuti oleh banyak negara pasca Perang Dingin (Irsan 2007). Pasca SCC 2005 hubungan aliansi militer AS-Jepang semakin kuat, dengan ditandai banyak masuknya persenjataan militer. Realisasi dari kesepakatan aliansi militer AS-Jepang terlihat pada periode ini. Berawal pada tahun 1996 senjata militer banyak didatangkan, hingga pada tahun 2005 senjata militer konsisten bertambah untuk kepentingan aliansi militer. Walaupun beberapa tahun terjadi penurunan jumlah unit persenjataan pada hubungan aliansi militer ASJepang, tetapi periode ini merupakan awal dari masa efektifnya aliansi militer ASJepang. Tahun 2006, Aliansi Keamanan AS-Jepang memasuki periode baru ditandai dengan transformasi militer yang dilakukan Jepang pada tahun 20062007.
31
2.2
Aliansi Keamanan Amerika Serikat – Jepang Periode 2006 – 2012 Percobaan senjata nuklir Korea Utara di tahun 2006, membuat terjadi
adanya pembicaraan pada aliansi AS-Jepang. Pemerintahan Bush memasukkan Korea Utara ke dalam daftar hitam negara – negara yang dinilai dapat mengancam kestabilan sistem internasional. Amerika Serikat meminta Jepang untuk membantu terlibat kembali dalam Deklarasi Pyongyang (Avery & Rinehart 2013). Provokasi peluncuran senjata nuklir oleh Korea Utara menjadi salah satu faktor pendorong bagi Jepang dalam mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan negara, salah satunya dengan dibentuknya Kementerian Pertahanan pada tahun 2007 (Xu 2014). Kunjungan Perdana Menteri Jepang Junichiro Koizumi ke White House disambut baik oleh Presiden George W. Bush pada 29 Juni 2006. Kunjungan ini dalam rangka merayakan ikatan persahabatan AS-Jepang. Dalam pertemuan ini, kedua pihak juga mengingat dan mengevaluasi pencapaian yang didapat dari aliansi AS-Jepang ini, serta kemungkinan adanya perluasan dan penambahan bentuk kerjasama lain (Japan Ministry of Defense 2007). Pada pertemuan ini kedua pihak sepakat untuk terus berkomitmen dalam aliansi berdasarkan nilai – nilai keamanan universal dan kepentingan bersama. Jepang dan Amerika Serikat kemudian menyepakati Initial Actions for the Implementation of the Joint Statement pada 13 februari 2007 dan difokuskan kepada masalah Korea Utara. Terdapat lima hal penting dari tujuan strategis bersama yang disepakati kedua pihak, yaitu: (Sinaga 2007)
32
Pertama mencapai denuklirisasi Korea Utara melalui Six-Party Talks dan memperhatikan normalisasi hubungan Korea Utara, Amerika Serikat dan Jepang. Menyadari kontribusi Tiongkok dalam keamanan regional dan global serta mendorong Tiongkok untuk meningkatkan transparansi dalam anggaran militernya. Kedua meningkatkan kerjasama untuk memperkuat kerjasama dalam APEC sebagai forum ekonomi regional yang memiliki peran penting dalam mencapai stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di kawasan. Ketiga mendukung usaha ASEAN dalam mempromosikan nilai-nilai demokrasi, pemerintahan yang baik, aturan hukum, kebebasan, dan ekonomi pasar di Asia Tenggara, serta membangun kerjasama regional pada isu-isu keamanan tradisional dan transnasional secara bilateral melalui ASEAN Regional Forum. Keempat memperkuat kerjasama trilateral antara Jepang, Amerika Serikat, dan Australia termasuk dalam hal keamanan dan pertahanan berdasarkan nilai-nilai demokrasi. Kelima, mencapai kerjasama yang lebih erat antara Jepang dan NATO mengingat NATO memberikan kontribusi global bagi perdamaian dan keamanan serta tujuan strategis dalam aliansi Jepang dan Amerika Serikat. Kemudian penerapan dari Joint Statement 2007 yaitu proses relokasi militer dari Okinawa ke Guam baru ditandatangani pada tahun 2009, di mana 8000 pasukan marinir AS tersebut akan dipindah dari pangkalannya di Futenma, Pulau Okinawa, Jepang, ke Guam, yang masih merupakan teritori AS (Kompas 2009). Keputusan tersebut memperlancar kesepakatan untuk mengorganisir kembali hampir 50.000 pasukan Amerika Serikat yang berdiam di Jepang. Relokasi pasukan di Jepang merupakan bagian dari upaya Amerika Serikat untuk
33
mentransformasikan pasukan militernya menjadi lebih modern (Moore 2008). Relokasi akan mengurangi jumlah pasukan marinir Amerika Serikat di Okinawa, sebuah wilayah paling miskin di Jepang, menjadi sekitar 7.000 dari 18.000 marinir yang ada saat ini. Target pada 2014 relokasi militer ini sepenuhnya selesai. (Japan Ministry of Defense 2007) Faktor penyebab utama pengurangan pasukan AS di Okinawa karena di dalam negeri Jepang terjadi penolakan kehadiran pasukan Amerika Serikat. Keberadaan pasukan Amerika Serikat di kepulauan Okinawa sudah lama menjadi masalah kontroversial di dalam negeri. Warga lokal di Okinawa mengatakan keberadaan Futenma sebagai pangkalan militer yang dekat dengan kota sangat berbahaya dan bising. Warga ingin agar pangkalan tersebut dipindahkan ke pulau lain. Selain membahayakan, di kawasan ini kerap terjadi tindak kriminal yang dilakukan oleh personel militer Amerika Serikat, termasuk kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh tiga anggota militer Amerika Serikat terhadap seorang gadis berusia 12 tahun pada 27 April 2009 (Tempo, 21 Agusutus 2009). Warga
Okinawa
menginginkan
semua
fasilitas
militer
tersebut
dipindahkan keluar dari pulaunya. Bahkan Gubernur Okinawa mendesak Tokyo merevisi Kesepakatan Status Pasukan (Status of Forces Agreement) yang memberikan keleluasaan bagi pasukan AS dalam masalah-masalah hukum (Kompas 2009). Faktor domestik Amerika Serikat juga mendorong pasukan militer AS segera dipindahkan. Parlemen Amerika Serikat menekan Pemerintah AS untuk segera merelokasi pasukan dari Okinawa atas nama HAM masyarakat Okinawa (Moore 2008).
34
Pada awal 2009 sejak Obama menjabat sebagai Presiden AS ada upaya pendekatan dan penguatan hubungan aliansi keamanan secara bilateral dengan negara-negara Asia Pasifik (Khairunissa 2013). Istilah rebalance policy yang menggambarkan AS di Asia Pasifik yang baru, atau dikenal sebagai “The Pivot to Asia” merupakan perubahan prioritas AS terhadap negara-negara di Asia. Hal tersebut terlihat dari upaya AS menambah pasukan di kawasan Asia Pasifik dan memperkuat hubungan dengan negara-negara di kawasan Asia. Tidak hanya itu, AS juga mendorong negara-negara aliansinya untuk mengadopsi kebijakan yang sama (The Foregin Policy Initiative 2014). Anggota Security Consultative Comitee (SCC) AS-Jepang pada 28 Mei 2010 kembali mengeluarkan Joint Statement of the U.S.-Japan Security Committee. Dalam pertemuan ini masalah – masalah yang telah dibicarakan pada Joint Statement SCC 2007 kembali dibahas, seperti masalah relokasi militer dari Okinawa ke Guam, mengkonstruksi ulang fasilitas militer di Henoko Saki, lebih memikirkan dampak lingkungan dan dampak terhadap penduduk setempat (SCC Joint Statement Document 2010). Pada 21 Juni 2011 kembali dikeluarkan kesepakatan SCC yaitu Joint Statement of the Security Consultative Committee Toward a Deeper and Broader U.S.-Japan Alliance: Building on 50 Years of Partnership. Masalah yang dibahas pada pertemuan dalam rangka setengah abad aliansi AS-Jepang ini berkaitan dengan bencana alam yang terjadi pada Jepang yaitu pada 11 Maret 2011, gempa bumi dan tsunami, serta keadaan darurat reaktor nuklir Fukushima. Kerja sama ini melibatkan operasi gabungan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Pasukan
35
Pertahanan Bela Diri Jepang (SDF) dan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat. Hal ini telah memberikan keyakinan baru kepada aliansi ini untuk saling membantu bila salah satu pihak tertimpa bencana (Japan Ministry of Defense 2007). Usaha pembentukan Joint Force dalam aliansi kemudian direncanakan akan dibicarakan pada pertemuan SCC berikutnya. Selanjutnya 27 April 2012 pertemuan SCC dilakukan oleh Menteri Pertahanan Leon Panetta dan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dari AS, serta Jepang diwakili Menteri Pertahanan Naoki Tanaka dan Menteri Luar Negeri Koichiro Genba. Pertemuan ini menghasilkan Joint Statement of the Security Consultative Committee yang intinya memperkuat aliansi bersama serta beberapa revisi terhadap kesepakatan sebelumnya. Revisi tersebut diantaranya mengkomposisi ulang unit militer di Okinawa, Guam, dan daerah luar Jepang lainnya, mengkonsolidasikan pangkalan militer kembali ke Okinawa, membangun fasilitas militer kembali di Futenma, dan mengembalikan pangkalan udara Kadena Selatan (SCC Joint Statement Document 2012). Kesepakatan bersama SCC pada tahun 2012 ini kemudian menghasilkan beberapa pengaturan ulang terhadap kesepakatan SCC United States-Japan Roadmap for RealignmentI Implementation yang pernah disepakati pada tahun 2006, untuk penempatan fasilitas militer di provinsi Okinawa dan beberapa tempat di dalam negeri dan luar negara Jepang (Dupuy 2012). Beberapa penempatan ulang unit militer pada provinsi Okinawa diantaranya: Marine Corps Air Station (MCAS) di Futenma, Pelabuhan Naha, Markas Kuwae, Markas
36
Zukeran di Futenma Barat, Daerah Perbaikan Makiminato, dan Pangkalan Udara di Kadena Selatan. Selain itu revisi kesepakatan SCC ini juga berisi tentang penambahan senjata dan unit militer seperti, penambahan armored vehicle, missiles, mortar,rifle, grenade, howitzer, helicopter, Recon UAV, aircraft dan sebagainya. Penambahan senjata ini dikarenakan beberapa pangkalan militer yang baru dikembalikan di Okinawa membutuhkan fasilitas baru (SCC Joint Statement Document 2012). Berikut tabel penambahan senjata militer untuk aliansi setelah kesepakatan SCC tahun 2012 dan peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena Selatan, Provinsi Okinawa dalam SCC Joint Statement 2012. Tabel 2: Daftar Penambahan Peralatan Militer setelah SCC Joint Statement 2012
Nama Alat
Type 10 Main Battle Tank Type 89 Infantry Fighting Vehicle Maneuvr Combat Vehicle Type 73 Armored Personnel Carrier FH-70 Towed Howitzer Chemical Reconnaussance Vehicle Type 92 Mine Clearance Vehicle Bushmaster Protected Mobility Vehicle LR-2 Super King Aircraft Lr-1 MU-2 aircraft Bell Ah-1 Cobra OH-6D Scout Helicopter RT 120mm Heavy Mortar L16 81mm Mortar
Jumlah Unit Sebelum Kesepakatan SCC 2012 10 9 4 24 200 5 10 50
Jumlah Unit Sebelum Kesepakatan SCC 2012 53 68 103 338 310 47 5 4 7 2 88 106
50
430
-
5
37
Type 91 Portable Air Missile
100
210
Sumber: Japan Ministry of Defense dan International Military And Defence Encyclopedia oleh Trevor N. Dupuy
Dapat disimpulkan dari tabel di atas, aliansi militer AS-Jepang pada kesepakatan SCC 2012 menghasilkan kebijakan aliansi untuk menambah jumlah persenjataan yang ada dan menghasilkan pengadaan jenis senjata yang baru. Selain itu Kesepakatan SCC 2012 juga menghasilkan beberapa keputusan untuk mengembalikan beberapa markas militer yang sebelumnya pada 2009 telah dihentikan sementara. Di bawah ini peta dari pangkalan udara AS di Kadena Selatan. Gambar 2: Peta Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Kadena Selatan Provinsi Okinawa dalam SCC Joint Statement 2012
Sumber: Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang diakses dari www.mod.go.jp diakses pada 20 September 2014
38
Gambar diatas menjelaskan peta Kadena Selatan berdasarkan daerah mana yang paling memenuhi syarat untuk dikembalikan fasilitas militernya setelah perjanjian Futenma Replacement Facility atau FRF dan Joint Statement SCC 2012. Pengembalian wilayah pangkalan militer ini telah disetujui oleh Parlemen Jepang. Dengan pengembalian wilayah ini membuktikan Okinawa siap kembali menjadi tuan rumah dalam pangkalan militer aliansi (Japan Ministry of Defense 2012). Dapat disimpulkan sejak Jepang melakukan tranformasi militer hingga tahun 2012, hubungan militer AS-Jepang mengalami banyak sekali perubahan dan revisi kesepakatan bersama. Pada tahun 2006 provokasi yang dilakukan Korea Utara dalam meluncurkan senjata nuklir serta perkembangang pesat kekuatan militer Tiongkok berdampak pada revisi yang banyak pada kesepakatan bersama aliansi, di mana beberapa pertemuan SCC menghasilkan keputusan untuk terus memperbaiki kinerja dari aliansi militer ini. Hubungan aliansi mulai mendapat pertentangan dari internal Jepang saat munculnya isu perlakuan asusila dan kriminalitas yang dilakukan para tentara AS di Okinawa. Hal ini berdampak pada wacana pengurangan pasukan militer Amerika Serikat di Jepang bahkan adanya wacana mengusir penuh. Akan tetapi hubungan buruk ini tidak berlangsung lama, pada tahun 2009 melalui “The Pivot to Asia”, Presiden Obama memfokuskan Kebijakan Luar Negeri AS pada kawasan Asia Pasifik khususnya Asia Timur. Hal ini kemudian direalisasikan pada tahun 2012 dengan mengeluarkan dokumen resmi Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense. Hal ini menjadikan
39
Jepang sebagai mitra aliansi yang sangat penting untuk kepentingan AS (Khairunissa 2013). Hal ini merupakan bentuk penguatan aliansi AS-Jepang
dalam
menghadapi kekuatan ancaman dari Tiongkok dan Korea Utara. Jepang sejak tahun 2006 terus mengarahkan militernya untuk terus berkembang sangat bergantung pada Amerika Serikat, karena dengan penguatan aliansi militer maka militer Jepang mendapatkan pembelajaran strategi militer, teknologi militer yang canggih serta pengelolahan militer yang baik (Avery & Reinhart 2013). Bagi Amerika Serikat, Jepang adalah mitra aliansi yang penting demi kepentingan mereka yang ingin terus mempunyai pengaruh di kawasan Asia Timur. Jepang menjadi perpanjangan tangan AS untuk menyebarkan pengaruh dan nilai – nilai demokrasi, liberalisme, kemerdekaan dan sebagainya serta menunjukkan power untuk membendung paham komunis Korea Utara dan Tiongkok agar tidak menyebar di kawasan Asia Timur (Dupuy 2012). Tetap menjadi kekuatan hegemoni di Asia Pasifik menjadi prioritas utama pendekatan Kebijakan Luar Negeri AS di era Presiden Obama. Untuk itu memperkuat aliansi militer bersama Jepang secara konsisten merupakan langkah penting bagi Amerika Serikat.
BAB III PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 -2012
Pada Bab II telah dijelaskan sejarah dan bentuk kerjasama keamanan dan pertahanan aliansi Amerika Serikat dan Jepang, bermula dari masa setelah Perang Dunia II, Perang Dingin, pasca Perang Dingin, sampai di masa Jepang melakukan modernisasi militer hingga revisi terakhir aliansi keamanan AS-Jepang tahun 2006 - 2012. Dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa hubungan aliansi AS-Jepang mengalami pasang surut, tetapi pada akhirnya kesepakatan SCC 2012 menandai hubungan AS-Jepang semakin erat. Akan dijelaskan pada bab ini perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang. Bab ini berisi bentuk perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang; jumlah kekuatan, teknologi kekuatan, dan penggunaan kekuatan militer. 3.1
Bentuk Perubahan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang 2006 – 2012 Menurut Stephen Biddle dalam bukunya Military Power: Explaining
Victory and Defeat In Modern Battle (2004), untuk mengukur kapabilitas militer suatu negara dapat dilihat dari tiga cara. Pertama, dengan melihat jumlah kekuatan militer, suatu negara tentu dengan mudah diidentifikasi kapabilitas militernya dengan melihat secara langsung jumlah kekuatan militernya. Kedua,
40
41
indikator teknologi militer. Negara dengan kapabilitas militer yang besar adalah dengan teknologi militer yang tinggi dan canggih, bukan sekedar jumlah tetapi juga kualitas teknologi militernya. Ketiga, doktrin tujuan dari penggunaan kekuatan militer. Kapabilitas militer suatu negara dapat diukur dengan doktrin tujuan dari penggunaan kekuatan militer tersebut (Biddle 2004). Kemudian indikator – indikator ini akan dibahas secara detail dalam beberapa sub-bab berikut ini. 3.1.1 Kekuatan Militer Jepang Jepang mengalami peningkatan jumlah pasukan militer semenjak kekuatan pertahanannya dibangun kembali pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II. Sedikit berbeda dengan pasukan militer di negara lain, dibentuknya pasukan bernama Japan Self Defense Force atau JSDF pada tahun 1954 sebatas hanya pasukan bela diri bukan sepenuhnya militer. Pasukan bela diri ini terdiri dari 165.000 pasukan. Pada doktrin National Defense Program Guidelines (NDPG) 1976, ditambah pasukan bela diri baru jsekitar 25.000 pasukan sehingga totalnya menjadi sekitar 190.000 pasukan. Akan tetapi pasca Perang Dingin hingga sekarang, jumlah pasukan bela diri Jepang menurun. Pada tahun 2012 Jepang hanya mempunyai pasukan darat yang terdiri dari personel aktif yang berjumlah sekitar 150.000 pasukan, dan pasukan cadangan yang berjumlah sekitar 8.500 pasukan (Japan Ministry of Defense 2012). Menurut analisa dalam skripsi ini, peningkatan jumlah terjadi pada masa Perang Dingin, dan mulai mengalami penurunan, setelah berakhirnya
42
Perang Dingin, dikarenakan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang lebih diarahkan untuk menciptakan pasukan yang lebih efektif dan efisien, Jepang melakukan peningkatan kualitas terhadap kekuatan Japan Self Defense Force atau JSDF pada masa pasca Perang Dingin, yaitu melalui kebijakan Japan Defense Build Up Program pada NDPG 1995 . Jepang lebih mefokuskan pada peningkatan kualitas pertahanannya, khususnya pada kekuatan maritim dan udaranya. Kemudian melakukan efisiensi terhadap kekuatan daratnya dengan melakukan pengurangan persenjataannya, khususnya Tank Penyerang Utama atau Main Battle Tank dan artileri yang dimilikinya. Pengurangan jumlah alutsista dari tahun 1976 hingga masa pasca Perang Dingin, sampai masa awal pembentukan Kementerian Pertahanan serta pada akhirnya pada tahun 2012 merupakan bentuk program baru Jepang untuk lebih meningkatkan kualitas militernya (Karismaya 2013). Berikut ini grafik yang menjelaskan jumlah pasukan bersenjata dan senjata militer yang dimiliki Jepang dari masa 1976 sampai tahun 2012.
43
Grafik 1: Jumlah Pasukan Angkatan Darat Jepang dari beberapa periode
NDPG 2012
NDPG 2010
Pasukan Utama
NDPG 2004
Pasukan Cadangan NPDG 1995
NDPG 1976 0
50000
100000
150000
200000
/ pasukan
Sumber: Website Kementerian Pertahanan Jepang, www.mod.jp.go diakses pada 10 Oktober 2014 Pada grafik di atas menjelaskan jumlah pasukan militer Jepang dari awal doktrin militer pada NDPG pertama di tahun 1976 sampai NDPG terbaru di tahun 2012. Pada NDPG 1976, jumlah pasukan militer (pasukan bela diri pada saat itu) Jepang yang terbanyak, dengan jumlah hampir 180.000 pasukan utama dan tidak ada pasukan cadangan karena pada saat itu belum ada pembagian pasukan utama dan cadangan. NDPG merupakan doktrin militer awal Jepang pasca kekalahan Perang Dunia II, dimana doktrin ini menakankan pada jumlah pasukan dan persenjataan, tidak heran jumlah pasukan militer Jepang hampir 180.000 pasukan (Japan Ministry of Defense 2012).
Kemudian pada NDPG selanjutnya Jepang mengurangi jumlah pasukan militer dikarenakan mulai berdatangannya pasukan aliansi militer dari AS. Sampai pada NDPG 2012, pasukan utama militer Jepang berjumlah 155.000 pasukan dan pasukan cadangan berjumlah 15.000 pasukan.
44
Kemudian di bawah ini grafik yang menggambarkan kekuatan persenjataan militer Jepang berdasarkan jumlah pada Angaktan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Grafik 2: Jumlah Kekuatan Persenjatan Militer Jepang 14000
1976
12000
1996-1999 (Pasca Perang Dingin)
10000
2001
8000
2005
6000
2007
4000
2012
2000 0 Angkatan Darat
Angkatan Laut
Angkatan Udara
Sumber: Diolah dari Website Kementerian Pertahanan Jepang, www.mod.jp.go dan Military Balance 2012 diakses pada 8 Oktober 2014
Seperti yang dapat dilihat dalam grafik di atas, alutsista yang dimiliki oleh Jepang dalam beberapa periode mengalami penurunan jumlah pada persenjataan yang dimiliki oleh Angkatan Darat. Pada NDPG 1976, Jepang terkesan hanya memikirkan kuantitas persenjataan daripada kualitasnya, sekitar 13.000 senjata pada Angkatan Darat. Akan tetapi jika melihat pada Angkatan Laut dan Angkatan Udara militer Jepang berjumlah sangat sedikit, hanya sekitar 200 senjata dan tidak mengalami kenaikan besar seiring berubahnya doktrin pada NDPG baru.
45
Peningkatan kualitas dan mengurangi kuantitas unit militer yang kurang efektif menjadi doktrin baru dalam militer Jepang. Persenjataan yang efektif dan efisien merupakan tujuan dari Jepang melakukan pengurangan terhadap armada militernya. Contoh Jepang mengurangi Tank Tipe-74 secara bertahap yang rencananya akan digantikan oleh Tank terbaru Tipe-10, dan meningkatkan jumlah Tank Tipe-90 yang dinilai canggih dan efisien. Pada Angkatan Udara dan Angkatan Laut Jepang terjadi peningkatan, karena pada white paper sebelum 2012 Jepang tidak terlalu fokus pada pengembangan armada udara dan maritim (Military Ballance 2012). Kemudian Jepang melakukan transformasi pada segi alat pengintaian dan radar dan armada udara. Tercatat saat ini Jepang mempunyai empat unit satelit pengintai, empat unit pesawat pengisi bahan bakar tipe KC-767, lima unit helikopter anti kapal selam tipe SH-60J dan satu unit helikopter penumpang atau aircraft carrier helicopter pada tahun NDPG 2010. NDPG 2010 menambah armada laut Jepang dengan menambah ssistem pertahanan rudal balistik yang dipasang pada kapal tempur. Kemudian menambah enam buah kapal tempur kelas Kongo dan penambahan dua unit kapal tempur kelas Atago (Japan Ministry of Defense 2012). Ketika AS mendorong Jepang untuk meningkatkan status Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan dari 2006 – 2007, merupakan suatu momentum penting bagi Jepang dalam sejarah transformasi militernya. Kementerian Pertahanan kini dapat secara langsung mengajukan rancangan undang-undang dalam pertemuan kabinet dan memberikan permohonan anggaran
46
pertahanan ke Kementerian Keuangan tanpa harus melalui kementerian lainnya (di mana sebelumnya, posisi dan status Badan Pertahanan yang berada di bawah kementerian lainnya membuatnya tidak mempunyai wewenang penuh atas bidang pertahanan). Tanggung jawab utama pertahanan nasional akan berpindah dari Perdana Menteri kepada Menteri Pertahanan, akan tetapi untuk kepentingan kontrol sipil terhadap Self Defense Force (SDF), Perdana Menteri akan tetap menjadi Panglima Tertinggi dengan kuasa untuk memerintahkan mobilisasi untuk keperluan pertahanan dan untuk menegakkan hukum dan ketertiban (Irsan 2007). Dengan berdirinya Kementerian Pertahanan Jepang secara mandiri dan tidak lagi di bawah kementerian lain berdampak pada kapabilitas militer Jepang yang mengalami perkembangan pesat. Menurut Ashley J.T. dan Janice Bially (2000) dalam buku Measuring National Power in the Postindustrial Age, kapabilitas militer suatau negara dapat dilihat dari kekuatan militernya dalam menghadapi ancaman dari luar demi menjaga keamanan nasional. Kapabilitas militer juga dilihat bagaimana negara dapat memanfaatkan semua armada militernya dalam menghadapi ancaman negara dan demi kepentingan nasional (Ashley & Bially 2000). Kapabilitas militer Jepang dalam doktrin NDPG 2010 lebih memfokuskan pada peningkatan kualitas armada tempur dan mengurangi kuantitas armada tempur yang dianggap tidak sesuai dengan ancaman pada zaman sekarang. Peningkatan kualitas militer ini terlihat dari pengurangan jumlah Tank Kelas Utama tipe lama digantikan dengan tipe baru, meningkatkan senjata artileri dengan rudal kendali yang dapat mencapai target di udara (surface to air), serta
47
dalam segi komando dengan jaringan yang efisien yaitu membangun unit siaga. Atas dorongan AS, Pencipataan kekuatan militer Jepang yang lebih efisien, mobilitas dan fleksibilitas tinggi untuk menghadapi ancaman militer Korea Utara dan Tiongkok. AS akan terus memberikan Jepang pembelajaran militer demi menciptakan sistem pertahanan yang kuat (NDPG Document 2010). Jepang juga melakukan peningkatan pada kekuatan armada maritimnya untuk mengantispasi kemungkinan adanya ancaman pada kepulauan teritori Jepang yang di sekitar empat pulau utama (Park 2010). Berikut ini adalah tabel mengenai peningkatan kekuatan Jepang yang dilihat melalui kepemilikan alutsista. Tabel 3: Kekuatan Militer Jepang Tahun 2012 Nama Unit Militer Satelit pengintai
Jumlah (buah) 4
Pesawat pengintai maritim
95
Pesawat peringatan Dini MBT (Main Battle Tank)
17 850
Helikopter Serang 185 Artilery 1880 Kapal Selam 40 Kapal Tempur Permukaan Utama 49 Aircraft Carrier Helicopter 40 Armor Cruiser 2 Destroyer 30 Frigates 16 Coastal and patrol combatants 6 Pesawat dengan kemampuan tempur 469 Fighter Ground Attack & Fighter 361 Sumber: Japan Ministry of Defense 2012 diakses dari http://www.mod.go.jp pada 13 Agustus 2014 Tabel di atas menggambarkan kekuatan militer Jepang pada tahun 2012, dimana jumlah armored cruiser sangat sedikit yaitu hanya dua buah. Armored Cruiser merupakan kapal perang pada medan perang lautan lepas dan samudera,
48
Jepang banyak kehilangan kapal perangnya pada Perang Dunia II, sekitar puluhan Cruiser Jepang tennggelam oleh sekutu AS (Bishop 1998). Pada masa sekarang AS lebih berperan dalam menyiapkan cruiser untuk kekuatan aliansi militer kedua negara. Pada tabel di atas juga terlihat Jepang memiliki banyak artileri atau senjata meriam, terdiri dari Rocket Launcher atau penembak roket: 120 mm Six-Rocket Launcher, 200 mm Rocket Launcher Model 1 200 mm, Rocket Launcher Model 2200 mm, Rocket Launcher Model 3, 450 mm Heavy Rocket Launcher, dan tipe lainnya. Selain Rocket Launcer, artilery militer Jepang juga terdiri dari heavy anti-aircraft gun anti tank guns type 3 12 cm aa gun, model 96 25 mm at/aa guntype 1 37 mm, anti-tank gun, light anti-aircraft gun type 93 13.2 mm aa machinegun, medium anti-aircraft gun model 96 25 mm, dual purpose antitank/anti-aircraft gun, vickers type 40 mm at/aa gun, dan lainnya dengan total artilery atau senjata meriam sebesar 1880 senjata dengan beberapa bentuk dan model yang telah dijelaskan di atas (Japan Ministry of Defense 2012). Selain dengan melihat gambaran persenjataan militer secara langsung, kita dapat melihat peningkatan jumlah kekuatan persenjataan dengan melihat anggaran belanja militer yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Jepang. Pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Takeo Miki pada tanun 1976, Jepang memberlakukan pembatasan terhadap anggaran pertahanannya dalam batasan 1% dari APBN. Sampai saat ini Jepang memberlakukan pembatasan tersebut kecuali di tahun 1987 pada masa pemerintahan Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone, yang melebihi sedikit di atas 1% APBN. Akan tetapi pasca Kementerian
49
Pertahanan berdiri, anggaran belanja militer Jepang konsisten naik walaupun porsi di APBN masih 1% dikarenakan APBN Jepang yang juga naik (Irsan 2007). Berikut grafik anggaran belanja militer Jepang pada satu dekade (2002-2012). Grafik 3: Anggaran Pertahanan Jepang 2004-2014 80 70 60
/ Miliar Dollar
50 2006-2012
40
2013-2014 30 20 10 0 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber: Diolah dari Website resmi Kementerian Pertahanan Jepang www.mod.go.jp/e/d_budget/ dan Bank Dunia www.worldbank.org di akses pada 25 September 2014
Dari data yang didapat dari World Bank, dalam kurun waktu 10 tahun belakangan (1992-2012), grafik anggaran pertahanan Jepang menunjukkan konsisten meningkat setelah tahun 2007. Setelah sempat mengalami penurunan pada tahun sebelum 2007, anggaran pertahanan Jepang mulai mengalami peningkatan kembali dari tahun 2007 sampai tahun 2012. Pada tahun 2007 anggaran belanja militer Jepang sebesar 43 miliar Dollar AS, meningkat di tahun 2008 sebesar 45 miliar Dollar AS, meningkat lagi pada tahun 2009 sebesar 50 miliar Dollar AS, berturut dari tahun 2010-2012 meningkat sebesar 55-65 miliar
50
Dollar AS (Japan Ministry of Defense 2012). Pada tahun berikutnya yaitu 2013 anggaran belanja Jepang hanya meningkat sedikit, yaitu menjadi 66 miliar Dollar AS, serta pada 2014 menjadi 68 miliar Dollar AS (World Bank 2014). Awal kenaikan pada tahun 2007 dikarenakan pengaruh peningkatan status Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan yang secara resmi dapat mengajukan langsung anggaran pertahanannya (Wang 2008). Yang kemudian menjadi perhatian adalah bahwa angka 1% dari APBN tidak memberikan gambaran bahwa Jepang memiliki anggaran pertahanan yang lebih rendah dibandingkan negara lain yang memiliki jumlah persen anggaran pertahanan yang lebih besar dari APBN. Negara dengan kemampuan ekonomi yang besar seperti Jepang, walaupun hanya mengalokasikan bagian kecil dari APBN untuk pertahanan dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan kekuatan militer yang terlihat dari grafik yang konsisten naik (Deming 2004). Kekuatan militer adalah salah satu indikator untuk melihat kapabiltas militer suatu negara, dalam isu ini Jepang terlihat mengalami penurunan kuantitas alutsista Angkatan Darat dari tahun 1976 hingga 2012. Dapat dilihat juga peningkatan kuantitas dari pengadaan persenjataan atau sistem pertahanan baru yang belum pernah dimiliki oleh Jepang sebelumnya. Dilihat dari grafik anggaran pertahanan dari 2002-2012, Jepang konsisten dalam peningkatan jumlah walaupun tidak signifikan kenaikannya, dikarenakan pengaruh peningkatan status Badan Pertahanan menjadi Kementerian Pertahanan yang secara resmi dapat mengajukan langsung anggaran pertahanannya. Kesimpulannya, Jepang lebih memfokuskan pada peningkatan kualitas pertahanannya bukan kuantitasnya,
51
khususnya pada kekuatan maritim dan udaranya. Selain itu juga melakukan efisiensi
terhadap
kekuatan
daratnya
dengan
melakukan
pengurangan
persenjataannya (Military Balance 2012). Artinya dana pertahanan yang terus naik digunakan Jepang dalam pengadaan senjata baru yang lebih modern dan mengurangi kuantitas senjata lama yang dianggap tidak mampu bersaing di zaman ini. 3.1.2 Teknologi Militer Jepang Teknologi Militer merupakan salah satu indikator yang sering dilihat untuk melihat kapabilitas militer suatu negara. Teknologi militer Jepang mulai berkembang pasca dikeluarkannya NDPG 1976. Dalam white paper tersebut mengarahkan Jepang untuk melakukan transformasi pada alutsista misalnya dengan pengadaan peralatan militer dan pengembangan dengan meningkatkan (upgrade) senjata militer tersebut (Halloran 1995). Dalam bidang teknologi, Jepang termasuk negara dengan teknologi yang maju, sehingga sangat rasional jika teknologi menjadi salah atau andalan yang dimiliki Jepang dalam kebijakan pertahanan dan keamanannya. Ditunjang dengan APBN yang besar. Kementerian Pertahanan Jepang mengajukan anggaran hingga 43 miliar Dollar AS pada tahun 2007. Khusus pembelian misil penangkal, diajukan dana 220 juta Dollar AS atau naik 56,5 persen dibanding anggaran tahun sebelumnya yang telah berjalan. Dengan kemampuan demikian, sangat terbuka bagi Jepang untuk meningkatkan kapabilitas atau kemampuan tempurnya (Toki 2013). Dibawah ini tabel yang menjelaskan teknologi baru pertahanan Jepang yang telah dikembangkan.
52
Tabel 4: Teknologi Baru Militer Jepang Nama Teknologi Control Missile Type-99 Air-toair Missile Type-03 Chu-SAM Radar FBX-T SH-60J Helicopter SM-3 Missile AH-64 D Longbow Apache MBT-X Type 10 16DDH/Hyuga P-3C Orion Submarine ASW Hunter Killer F-35 Lightning II C4ISR ATD-X Shinshin
Jenis
Tahun
Misil Pengendali
2006
Pertahanan Misil Radar Pertahanan Helikopter Anti Kapal Selam Penangkal Misil Balistik Helikopter tempur Tank tempur Kapal induk pengangkut (Aircraft Carrier) Pesawat Pengintai Kapal Selam Jet tempur Sistem Teknologi Satelit Jet tempur
2006 2007 2007 2007 2007 2008 2009 2010 2010 2011 2012 2012
Sumber: Diolah dari website resmi Kementerian Pertahanan Jepang www.mod.go.jp dan www.globalsecurity.org/military/world/japan diakses pada 5 November 2014
Dari tabel di atas terlihat banyak teknologi militer baru yang dikembangkan Jepang pasca berdirinya Kementerian Pertahanan. Walaupun ada beberapa teknologi yang dikembangkan pada tahun 2006, ketika Jepang telah lebih memikirkan ulang dalam masalah pertahanannya. Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya tentang kapabilitas militer Jepang, Jepang lebih memilih meningkatkan kualitas teknologi senjata militernya daripada meningkatkan kuantitas senjata militernya, dengan mengurangi kuantitas senjata yang dianggap tidak layak bersaing di era modern dan memperbanyak temuan teknologi militer yang canggih merupakan upaya dalam perubahan kebijakan dan pertahanan bagi Jepang (Toki 2013).
53
3.1.3 Doktrin Penggunaan Kekuatan Militer Doktrin penggunaan kekuatan militer adalah tujuan dari suatu negara menggunakan kekuatan militernya dan bagaimana cara suatu negara dalam memakai kekuatan militernya. Penggunaan kekuatan, salah satunya dapat dilihat melalui doktrin pertahanan suatu negara, karena dalam doktrin tersebut akan dapat terlihat bagaimana negara menggunakan kekuatan militer yang ada untuk kepentingan negara tersebut. Jepang telah beberapa kali mengganti white paper pertahananya, dimulai pada tahun 1976 yaitu National Defense Program Guidelines-nya (NDGP) yang pertama, yang diikuti dengan NDPG berikutnya, tahun 1995, 2004 dan yang terakhir tahun 2010. NDPG adalah doktrin militer tertinggi dari kebijakan pertahanan Jepang untuk menetapkan dasar, nilai – nilai serta prinsip pertahanan dan keamanan dari Japan Self Defense Force (SDF) (Shoji 2011). Pada tahun 1976, Jepang mengeluarkan white paper mengenai kebijakan pertahanan dan keamanan yaitu National Defense Program Guidelines (NDPG). Pada kebijakan ini, doktrin “Basic Defense Force Concept” pertama kali diperkenalkan pada militer Jepang. Tujuan dalam doktrin ini adalah untuk menciptakan pertahanan untuk menangkal segala bentuk invasi ke Jepang. Penerapannya terlihat pada peran Japan Self Defense Force (JSDF) yang bertransformasi dari yang awal sebatas pasukan bela diri menjadi pasukan militer. Doktrin 1976 juga menjelaskan jika Jepang mulai dapat terlibat dalam segala bentuk Peace Keeping Operation (PKO) yang dipimpin militer AS. Ini
54
membuktikan Jepang mulai meninggalkan Pasal 9 Konstitusi 1947 (Deming 2004). Kemudian Badan Pertahanan Jepang membuat dokumen tambahan pada NDPG 1976. Jepang mengeluarkan dokumen New Defense Build Up Plan yang masih tercantum pada NDPG 1976. Dokumen ini
terdiri dari empat tahap
penerapan yaitu sebagai berikut: Pertama, peningkatan kemampuan pertahanan Jepang agar siap dalam menghadapi serangan langsung, melalui pemeliharaan dan pengawasan atas laut dan udara Jepang. Kedua dengan mencegah ancaman negara yang berusaha untuk menduduki wilayah Jepang. Ketiga yaitu pencegahan atas serangan dari luar di bawah perjanjian keamanan dengan AS atau usaha-usaha melalui perdamaian PBB. Keempat, ketergantungan Jepang akan payung nuklir AS, dalam rangka mencegah ancaman penggunaan senjata nuklir. Hal ini dilakukan karena Jepang menganut tiga prinsip non nuklir pada tahun 1971, yaitu tidak memiliki, tidak membuat serta tidak mengijinkan masuknya senjata nuklir ke wilayah Jepang. Jepang ikut menandatangani Nuclear Non Poliferation Treaty tahun 1976, yang menyatakan bahwa Jepang adalah negara yang tidak memiliki senjata nuklir (Nakanishi 2003). Pada tahun 1995, Jepang kembali mengeluarkan National Defense Program Guidelines (NDPG). Pada NDPG kali ini banyak revisi dalam rangka merespon keadaan Hubungan Internasional yang baru tercipta yaitu pasca runtuhnya Uni Soviet. Keadaan kawasan yang belum stabil pasca Uni Soviet runtuh membuat Jepang perlu mengubah doktrin militernya. Perubahan doktrin militer pada tahun ini terlihat pada peran angkatan militer Jepang atau JSDF
55
diperkuat dalam rangka merespon ancaman dari kemungkinan invasi ke Jepang dalam sekala besar. Kemudian JSDF ditingkatkan perannya selain ikut sebagai operasi penjaga perdamaian bersama AS, JSDF juga bertanggung jawab pada semua kejadian bencana alam dikarenakan pada masa ini Jepang sering tertimpa bancana gempa bumi dan Tsunami. JSDF bukan sekedar tentara bela diri Jepang lagi, melainkan telah menjadi angkatan bersenjata yang sama dengan tentara pada negara – negara di dunia secara umumnya (Shoji 2011). National Defense Program Guidelines 2004 dikeluarkan ketika Jepang mulai terancam oleh berbagai ancaman baru, seperti meningkatnya jumlah proliferasi senjata pemusnah masal dan misil balistik Korea Utara, perkembangan militer Tiongkok serta munculnya organisasi teroris. NDPG 2004 berisi prinsip dasar kebijakan pertahanan yaitu sebagai berukut: pertama, mencegah ancaman langsung mencapai Jepang, dan jika itu terjadi mengusir dan meminimalisir kerusakan yang disebabkannya; dan kedua, meningkatkan keamanan lingkungan internasional untuk mengurangi potensi ancaman mencapai Jepang. Dua tujuan tersebut diikuti dengan tiga pendekatan yaitu melalui usaha Jepang sendiri, kerja sama dengan mitra aliansi AS, dan kerja sama dengan komunitas internasional (PBB) (Japan Ministry of Defense 2004). Yang terakhir adalah NDPG paling baru yang dikeluarkan pada tahun 2010 atas dorongan dari Amerika Serikat dalam rangka merespon pengembangan kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara (Park 2010). Doktrin “Basic Defense Force Concept” yang dibuat pada tahun 1976 berubah menjadi “Dynamic Defense Force” pada NDPG terbaru ini. NDPG tersebut membangun kekuatan militer
56
Jepang yang dapat secara efektif merespon berbagai ancaman keamanan yang ada saat ini termasuk ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara. Membangun kekuatan
militer
yang
besar
sangat
diutamakan
dikarenakan
untuk
mengoptimalkan waktu secara efisien daripada mengandalkan peringatan yang ada dalam menangkal ancaman (Japan Ministry of Defense 2010). Di dalam NDPG 2010 dijelaskan bahwa prinsip-prinsip dasar keamanan yang akan diterapkan adalah: 1) mencegah ancaman potensial dan meminimalisir kerusakan yang mungkin terjadi ; 2) berusaha membuat keadaan keamanan kawasan Asia Timur yang stabil, dan mencegah ancaman kawasan dengan meningkatkan keamanan kawasan; dan 3) pada level internasional bersuaha menjadi pasukan kedamaian dengan bergabung dengan AS pada Peace Keeping Operation (PKO) di PBB (NDPG Document 2010). Jadi dapat disimpulkan doktrin militer Jepang
berubah dari
“Basic
Defense Force Concept” menjadi “Dynamic Defense Force”, yang berarti Jepang harus lebih aktif dalam kegiatan intelijen, pengawasan dan pengintaian. Militer Jepang dituntut lebih aktif dengan menjalankan serangkaian operasi militer agar lebih siap dalam menghadapi ancaaman baik ancaman tradisional maun nontradisional. Perubahan doktrin ini momentum awalnya saat Kementerian pertahanan berdiri. Dapat disimpulkan pergeseran ancaman juga ikut memperluas peran JSDF, di mana ancaman tidak lagi dilihat hanya berupa ancaman keamanan tradisional, akan tetapi juga telah memasukkan ancaman non-tradisional ke dalamnya, seperti bencana alam, teroris, kemanusiaan, dan lainnya. Dengan peran
57
JSDF diperluas otomatis kapabiltas militer Jepang meningkat, sehingga Jepang semakin siap dalam menghadapi ancaman di kawasan Asia Timur. Dari ketiga indikator yang telah dijelaskan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Jepang mengalami peningkatan kapabilitas militernya, tidak dalam jumlah kuantitatifnya, akan tetapi lebih mengarah pada modernisasi alutsista melalui peningkatan dan penggunaan teknologi. Peningkatan pertahanan Jepang mengarah kepada kekuatan yang berorientasi kepada teknologi ketimbang kepada kuantitas. Selain itu, dalam aliansi dengan AS, Jepang diminta lebih mementingkan masalah pertahanan dan keamanan dalam respon ancaman di kawasan Asia Timur. Perkembangan penting lainnya yang dapat dilihat dalam NDPG adalah perluasan tanggung jawab pertahanan yang semakin diungkapkan secara eksplisit oleh Pemerintah Jepang. Jika dalam NDPG pertama Jepang hanya menitik beratkan pada pertahanan dalam negerinya untuk menciptakan efek tangkal terhadap invasi dalam skala kecil, dalam NDPG selanjutnya Jepang sudah mulai memasukkan wilayah “surrounding region” walaupun tidak didefinisikan secara jelas, dan pada NDPG 2004,
Jepang memasukkan “international security
environment”, hingga NDPG terbaru yang secara eksplisit mengungkapkan “AsiaPasific region” dan “global security environment”. Hal tersebut dapat dilihat sebagai sebuah bentuk kepercayaan diri Jepang yang semakin meningkat seiring berkembangnya peran dan tanggung jawabnya dalam dunia internasional. Salah satu hal yang tidak mengalami perubahan melihat NDPG adalah Jepang masih menganggap penting perjanjian keamanan Jepang-AS sebagai salah
58
satu dasar dalam pertahanan keamanannya, walaupun pada dua NDPG terakhir Jepang juga menyebutkan pendekatan melalui penggunaan kekuatan sendiri dan dengan kerja sama dunia internasional. Di sisi lain, Jepang telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan dalam penggunaan kekuatan militernya.
BAB IV KEPENTINGAN AMERIKA SERIKAT DALAM MENDORONG PERUBAHAN KEBIJAKAN PERTAHANAN DAN KEAMANAN JEPANG 2006 – 2012
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, khususnya mengenai bentuk perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang yaitu: jumlah kekuatan, teknologi kekuatan, dan doktrin penggunaan kekuatan militer. Pada bab ini akan berfokus pada faktor – faktor yang mempengaruhi AS mendorong perubahantio kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang dan jawaban dari pertanyaan penelitian skripsi yaitu kepentingan Amerika Serikat dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang 2006-2012. Bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian pertama menjelaskan peran partai politik dominan di AS dalam mempengaruhi perumusan Kebijakan Luar Negeri AS yang mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang; kedua, berfokus pada faktor – faktor yang mempengaruhi AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang; ketiga yaitu kepentingan AS untuk menjaga Jepang yang masih merupakan bagian wilayah Asia Timur dari ancaman kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara, menjelaskan extended deterrence AS terhadap kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara serta pengamanan jalur perdagangan AS di kawasan Asia Timur. 4.1
Peran Partai Politik dalam Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Menurut John F Bibby (2005) dalam tulisannya yang berjudul “Political
Parties in The United States”, setiap pengambilan Kebijakan Luar Negeri AS
59
60
sangat dipengaruhi dari ideologi partai Presiden yang sedang memimpin. Kebijakan Luar Negeri AS yang dominan menentukan adalah dari pihak pemerintah yaitu Presiden dan Kementerian Luar Negeri AS (U.S Department of State) daripada suara Kongres AS. Suatu isu internasional yang dibicarakan oleh pihak Pemerintah dan Parlemen jika berbeda pendapat, maka pada akhirnya Kebijakan Luar Negeri yang diambil adalah keinginan pemerintah itu sendiri. Ini terlihat pada Kebijakan Invasi AS ke Irak di tahun 2003 yang diambil oleh Presiden Bush walaupun suara Kongres AS dominan tidak menginginkan kebijakan tersebut (Bibby 2005). Paul Allen Beck dan Frank J.Sorauf (1992) dalam buku “Party Politics in America”, mengidentifikasi perbedaan ciri khas foreign policy yang diambil antara Partai Republik dan Partai Demokrat jika sedang berkuasa di pemerintahan AS. Ideologi Partai Republik sangat konservatif yaitu tidak menekankan pada perubahan dan cenderung status quo dengan pemerintahan yang telah berjalan. Bagi Partai Republik, negara dapat menggunakan kekuatan militer demi mencapai kepentingan nasionalnya. Partai Republik dipengaruhi paham Realisme sehingga sering menggunakan pendekatan pada hard power dalam Kebijakan Luar Negeri yang diambil. Sedangkan Partai Demokrat lebih berorientasi pada pendekatan yang lebih soft power, dan paham Liberalisme dianut oleh partai ini. Sesuai dengan ciri khas paham Liberalisme, Partai Demokrat tidak dengan mudah menggunakan kekuatan militer dalam proses tawar menawar dengan negara lain. Partai Demokrat lebih memikirkan cost-benefit dalam setiap kebijakan luar negeri yang akan diambil AS (Beck & Sorauf 1992).
61
Skripsi ini menganalisa di masa Presiden Bush yaitu awal Jepang mengubah kebijakan pertahanannya atau ketika Partai Republik berkuasa di pemerintahan. Ciri khas Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat yang berasal dari Partai Republik yaitu penggunaan force atau kekuatan militer, yang dapat digunakan untuk memaksa negara lain dalam proses tawar menawar. Jika Partai Republik sedang berkuasa di pemerintahan AS, maka anggaran belanja negara akan banyak dikeluarkan pada bidang pertahanan dan keamanan (Beck & Sorauf 1992). Kebijakan invasi Afghanistan di tahun 2001, Irak di tahun 2003, dan peningkatan jumlah pasukan dan armada militer aliansi bersama Jepang (SCC 2005) merupakan Kebijakan Luar Negeri dengan pendekatan force pada masa Presiden Bush. Partai Republik pada masa kepemimpinan Presiden Bush sangat besar memberikan pengaruh pada pengambilan Kebijakan Luar Negeri AS. Selain fokus kepada negara - negara kawasan Timur Tengah, isu peluncuran senjata nuklir oleh Korea Utara di kawasan Asia Timur pada 9 Oktober 2006 juga menjadi fokus utama Kebijakan Luar Negeri yang diambil oleh Presiden Bush. Presiden Bush memasukkan Korea Utara sebagai salah satu daftar hitam negara yang dapat mengancam dunia internasional karena
memiliki senjata nuklir (BBC News
2006). Kemudian Presiden Bush meminta kepada mitra aliansinya di Asia Pasifik yaitu Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Filipina untuk segera mengadakan pembicaraan bilateral perihal masalah ini (Shambaugh & Yahuda 2008). Permasalahan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara juga dibahas pada level domestik AS, Kongres AS mengadakan rapat paripurna membahas perlu
62
tidaknya kenaikan anggaran pertahanan AS yang akan dialokasikan kepada mitra aliansi di Asia Pasifik dalam rangka merespon peluncuran senjata nuklir Korea Utara. Hasil pengambilan voting kongres AS tersebut yaitu 70% setuju jika anggaran belanja pertahanan aliansi meningkat menjadi 10% - 15% (ABC News 2006). Anggota parlemen AS pada rapat paripurna tersebut didominasi dari Partai Republik yang pendekatannya pada penggunaan militer, tidak heran jika hasil voting mendukung kebijakan AS menggunakan kekuatan militer. Selain itu, Kongres yang didominasi Partai Republik tersebut juga meminta pada pemerintah AS agar pada setiap hubungan aliansi AS perlu memikirkan kembali Joint Statement yang telah dibuat demi kepentingan nasional pada kawasan Asia Pasifik (Xu 2014). Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan mitra aliansi agar mewaspadai kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara yang terus berkembang (Avery & Reinhart 2013). Kemudian hasil dari permintaan Partai Republik tersebut terlihat pada aliansi AS-Jepang, dimana Security Consultative Committee Joint Statement U.S – Japan 2007 disepakati sesuai usulan Partai Republik. Skripsi ini juga menganalisa Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat pada masa Kepresidenan Barrack Obama yang berasal dari Partai Demokrat. AS pada masa Partai Demokrat berkuasa di eksekutif, tidak sering menggunakan kekuatan militer, sangat berbeda pada masa Presiden Bush yang sering melakukan invasi ke kawasan timur tengah. Penggunaan force hanya sebatas pada misi Pasukan Perdamaian Dunia PBB dan NATO. Misalnya pada krisis di Libya, AS bergabung
63
dengan pasukan aliansi NATO mengintervensi Libya atas dasar Humanitarian Intervention pada tahun 2011 (BBC News 2011). Pada masa kepresidenan Obama, paham liberalisme yang dianut Partai Demokrat mempengaruhi ciri khas foreign policy AS, yaitu lebih mementingkan kepentingan ekonomi. Kepentingan AS pada kawasan Asia Timur selain pada bidang politik dan militer, tetapi juga pada bidang ekonomi (Sutter 2005). Hal ini ditandai dengan jumlah kegiatan ekspor-impor yang meningkat di kawasan ini ketika masa Presiden Obama, kemudian akan dijelaskan secara rincih pada subbab selanjutnya. Selain itu, “the Pivot to Asia” merupakan Kebijakan Luar Negeri Presiden Obama yang memprioritaskan pada kawasan Asia Timur, termasuk juga prioritas kepentingan ekonomi (The Foreign Policy Initiative 2012). Walaupun mengutamakan kepentingan ekonomi, AS juga tidak mengurangi kegiatan aliansi militernya bersama Jepang, karena membuat stabil kawasan Asia Timur merupakan langkah utama AS dalam menjaga kepentingan ekonominya pada kawasan ini (Cossa 2000). Seperti yang telah dijelaskan bahwa kepentingan nasional sebagai konsep kunci dalam Kebijakan Luar Negeri. Artinya, bahwa keputusan dan tindakan politik luar negeri dapat didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan ideologis atau atas pertimbangan kepentingan nasional (Burchil 1996, h.106). Pada skripsi ini Kebijakan Luar Negeri AS pada masa Presidan Bush banyak dipengaruhi oleh ideologi dan nilai yang dianut Partai Republik. Pada masa Presiden Obama paham Liberalisme Partai Demokrat yang banyak memberikan pengaruh pada Kebijakan Luar Negeri yang diambil. Menurut analisa pada penelitan skripsi ini, faktor peran
64
Partai Republik pada masa Presiden Bush dan peran Partai Demokrat pada masa Presiden Obama menentukan apa yang menjadi Kepentingan Nasional AS pada kawasan Asia Timur. Jadi dapat disimpulkan ketika awal momentum Jepang mengubah kebijakan pertahanan dan keamanannya, pada saat itu pengaruh Kebijakan Luar Negeri AS masih didominasi oleh Partai Republik. Mendorong Jepang untuk melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan serta peningkatan anggaran aliansi militer AS, merupakan ciri dari Kebijakan Luar Negeri yang berdasarkan penggunaan militer. AS mulai lebih menaruh perhatian Kebijakan Luar Negeri mereka pada kawasan Asia Timur. Hal ini ditandai dengan beberapa agenda rapat kongres AS mengenai masalah peluncuran senjata nuklir Korea Utara. AS kemudian sedikit mengubah prioritas, ketika Obama menjadi Presiden pada tahun 2008. Kepentingan ekonomi menjadi prioritas utama AS pada kawasan Asia Timur selain kepentingan di bidang keamanan dan politik. Dalam mengamankan kepentingan ekonomi, AS masih memperkuat kekuatan aliansi militer bersama Jepang, karena masih adanya ancaman kekuatan militer Tiongkok dan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara. Kekuatan militer Tiongkok dan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara dapat mengancam kepentingan ekonomi AS pada kawasan ini. Jadi AS pada masa Obama masih memiliki kepentingan dalam aliansi bersama Jepang, AS tidak bisa begitu saja untuk meninggalkan atau meminimalkan hubungan aliansinya, walaupun Partai Demokrat yang tidak menganut paham penggunaan force sedang berkuasa di pemerintah.
65
4.2
Faktor – Faktor yang Mempengaruhi AS Mendorong Perubahan dan Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang Seperti telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, Jepang melakukan
perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan bermula pada NDPG 2004, orientasi kebijakan pertahanan mengarah untuk sebisa mungkin mempertahankan Jepang dari ancaman yang mulai terlihat saat itu yaitu nuklir Korea Utara dan kemajuan militer Tiongkok. Tahun 2007 menjadi awal momentum Jepang dalam transformasi militer di mana Kementerian Pertahanan Jepang dibentuk atas dorongan dari Amerika Serikat, menandakan Jepang mengubah orientasi kebijakan pertahanannya untuk lebih serius. AS meminta perubahan doktrin militer Jepang sehingga dikeluarkannya NDPG 2010, berisi bahwa orientasi “Basic Defense Force Concept” berubah menjadi “Dynamic Defense Force”, a rtinya Jepang harus lebih aktif dalam masalah pertahanan terkait persepsi ancaman bertambah, tidak hanya ancaman tradisional tapi juga ancaman nontradisional. Jepang melakukan transformasi kebijakan pertahanan dan keamanan tentu memiliki faktor penyebabnya, baik itu faktor internal maupun eksternalnya. Pada sub bab ini dibagi menjadi dua bagian, pertama faktor internal yang mempengaruhi perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, yaitu keinginan Jepang untuk melakukan amandemen pasal 9 Konstitusi Jepang 1947. Selanjutnya yang kedua, faktor eksternal yaitu masalah kepemilikan senjata nuklir Korea Utara yang menjadi ancaman kawasan, serta peningkatan militer Tiongkok yang menimbulkan efek Security Dilemma bagi Jepang.
66
4.2.1
Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 AS meminta Jepang untuk ikut berpartisipasi dalam pasukan militer
multinasional yang dipimpin oleh AS, misalnya keterlibatan dalam perang di Afghanistan. Militer Jepang juga bergabung dalam Operasi Penjaga Perdamaian PBB. Di Afghanistan kapal-kapal laut Jepang beroperasi di Samudera Hindia untuk memberi bahan bakar dan bantuan logistik lainnya bagi pesawat-pesawat AS. Di bawah PM Junichiro Koizumi, pasukan Jepang juga bergabung dalam misi penjaga perdamaian di Irak. Penempatan pasukan di Irak merupakan keikutsertaan pertama ke dalam zona perang sejak PD II. Misi-misi semacam itu selalu memicu perdebatan publik mengenai apakah tindakan semacam itu bertentangan atau tidak dengan Konstitusi Jepang. Karena itu pula Shinzo Abe menginginkan Pasal 9 diamandemen untuk perluasan wewenang bagi militer Jepang yang sesuai dengan konstitusi (The Diplomat 2012). Amandemen tersebut, apabila berhasil dilakukan akan mengubah arsitektur politik luar negeri Jepang dari yang selama ini pasif, menjadi lebih agresif. Perubahan ini sangat baik bagi keamanan nasional Jepang, namun di sisi lain telah menimbulkan berbagai kecurigaan dari negara-negara tetangganya, khususnya di Asia Timur (Prajuli 2008). Sikap ekspansionisme militer Jepang pada masa Perang Dunia dan memburuknya kondisi keamanan di kawasan menjadi faktor utama kecurigaan negara-negara tetangga Jepang dalam menanggapi amandemen konstitusi Jepang ini (Wang 2008). Amandemen Pasal 9 merupakan bagian dari upaya merevisi kebijakan keamanan untuk keluar dari kebijakan pasifisme yang selama ini dianut oleh
67
Jepang. Pasal 9 itu sendiri berbunyi (Japan Ministry of Defense 2012, http://www.mod.go.jp/e/dpolicy diakses pada 12 September 2014) “1) Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of setting international disputes; 2) In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized” Yang diterjemahkan sebagai berikut: “1)Dalam keinginan yang sesungguh-sungguhnya akan mencapai perdamaian berdasarkan keadilan dan ketertiban, bangsa Jepang untuk selama-lamanya menolak perang sebagai hak kedaulatan bangsa dan ancaman atau penggunaan kekuatan sebagai wahana untuk menyelesaikan perselisihan internasional. 2)Demi mencapai tujuan tersebut, tidak akan dibina angkatan darat, laut, dan udara maupun potensi perang lainnya. Hak perang negara tidak akan diakui” Berdasarkan Pasal 9 Konstitusi 1947 tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa Jepang tidak akan membangun kekuatan militer. Namun, para penguasa Jepang tidak pernah menginterpretasikan larangan itu secara ketat, sehingga kemudian Jepang dimungkinkan untuk memiliki kekuatan militer terbatas untuk memenuhi kebutuhan pertahanan yang mereka sebut Self-Defense Force/SDF (pasukan bela diri) (Prajuli 2008).
Untuk melancarkan keinginan mengamandemen Pasal 9, Jepang harus mengubah Pasal 96 dahulu yang mengatur proses perubahan konstitusi. Berikut isi dari Pasal 96 Konstitusi Jepang 1947 (Konstitusi Jepang 1946 diakses dari Kantei.go.jp 2015): “1) Amendments to this Constitution shall be initiated by the Diet, through a concurring vote of two-thirds or more of all the members of each House and shall thereupon be submitted to the
68
people for ratification, which shall require the affirmative vote of a majority of all votes cast thereon, at a special referendum or at such election as the Diet shall specify. 2) Amendments when so ratified shall immediately be promulgated by the Emperor in the name of the people, as an integral part of this Constitution” Yang diterjemahkan sebagai berikut: “1) Amandemen Konstitusi ini harus dimulai oleh Dewan Parlemen, melalui pemungutan suara dari dua pertiga atau lebih dari semua anggota masing-masing faksi dan kemudian akan diserahkan kepada rakyat untuk ratifikasi, yang akan memerlukan suara mayoritas setuju dari semua faksi, pada referendum khusus atau seperti di pemilu Dewan Parlemen harus menetapkan. (2) Amandemen setelah diratifikasi harus segera diumumkan oleh Kaisar atas nama rakyat, sebagai bagian dari Konstitusi ini” Dengan mengubah Pasal 96, Jepang dengan mudah memproses perubahan konstitusional lainnya, termasuk mengamandemen Pasal 9. Sekalipun partai Abe, Partai Demokrat Liberal Jepang (LDP) mendominasi di majelis rendah dan majelis tinggi, langkah Pemerintahan Abe tidak akan berjalan mudah karena masyarakat Jepang belum semua menginginkan perubahan pasal 9 tersebut (New York Times 2012). Pergeseran pendapat publik Jepang terjadi pada tahun 2012 di mana berdasarkan survei Nikkei Asian Reviews (2012), 56% responden percaya bahwa konstitusi harus direvisi. Menurut survei dari Nikkei Asian Reviews itu, 28% responden warga Jepang tidak menginginkan perubahan konstitusi. Persentase ini terendah dalam delapan tahun terakhir setelah sebelumnya selalu berada di atas 30%. Angka ini dinilai banyak pengamat dikarenakan pengaruh militer AS di Okinawa berdampak pada opini publik Jepang untuk meningkatkan kekuatan militer mereka (Nikkei Asian Reviews 2012).
69
Grafik 4: Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi
Survei Publik Jepang mengenai Amandemen Pasal 9 Konstitusi 16%
Setuju Amandemen Pasal 9 (56%) Tidak Setuju (28%)
28%
56%
Tidak Mengerti (16%)
Sumber: Nikkei Asian Reviews 2012 Dari survei di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Jepang mulai menginginkan perubahan dalam konstitusi, khususnya dalam bidang pertahanan dan keamanannya. Hal ini menjadi faktor internal pendorong bagi Jepang untuk terus mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan. Walaupun hingga sekarang pasal 9 belum juga diamandemen, tetapi dalam implementsinya Jepang tidak lagi berlandaskan pada pasal tersebut, hanya menunggu waktu saja agar pasal 9 Konstitusi 1947 diamanden (Prajuli 2008). 4.2.2
Peningkatan Kekuatan Militer Tiongkok Faktor yang mempengaruhi AS dalam mendorong perubahan kebijakan
pertahanan dan keamanan Jepang adalah peningkatan militer Tiongkok yang dalam beberapa tahun terakhir terus meningkatkan kekuatan militernya. Amerika Serikat yang mempunyai kepentingan untuk terus menjadi hegemon di kawasan Asia Timur melihat kebangkitan militer Tiongkok sebagai ancaman serius di kawasan ini. Dengan kemitraan yang dibangun bersama Jepang dan Korea Selatan, AS mengharapkan kawasan Asia Timur bebas dari pengaruh Tiongkok
70
dan Korea Utara. Jepang juga melihat kekuatan militer Tiongkok yang terus berkembang
menimbulkan
Security
Dilemma,
di
mana
Jepang
harus
meningkatkan kekuatan militernya untuk setidaknya dapat mempertahankan wilayahnya dari ancaman Tiongkok. Perubahan kekuatan militer dibutuhkan Jepang untuk memberi rasa aman ketika bersengketa dengan Tiongkok yang memiliki kekuatan militer yang kuat, misalnya pada sengketa wilayah Kepulauan Senkaku (Sukma 2009). Akan tetapi jika melihat kebelakang, militer bukan awal fokus dari Tiongkok dalam pembangunan negara. Sejak tahun 1980 Tiongkok memulai sebuah program untuk menghilangkan hambatan-hambatan antara sipil dan militer. Program ini menunjukkan kesuksesan untuk beberapa tahun, tetapi dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pusat membuat pemerintah mengalihkan perhatian ke perekonomian dibandingkan modernisasi kekuatan militer (Lilley 1996). Tiongkok memang menginginkan untuk membangun negara dengan tingkat ekonomi kelas dunia. Namun ternyata mereka juga berkomitmen untuk membangun kekuatan militer yang modern. Maka dari itu para pemimpin sipil dan militer di Tiongkok mendukung tujuan nasional untuk menciptakan status Tiongkok sebagai kekuatan dunia. Mereka menganggap bahwa kunci untuk menjadi negara yang kuat harus memiliki kekuatan baik itu dalam bidang ekonomi maupun militer (Sukma 2009). Tiongkok dipersepsikan oleh banyak negara akan menjadi superpower baru di masa depan, tidak hanya karena ekonominya yang mengalami pertumbuhan sangat kuat hingga mencapai rata-rata 9-10% per tahun (terutama
71
pada dekade 1990-an) tetapi juga karena kekuatan militernya (Moore 2008). Perkembangan
Ekonomi Tiongkok yang pesat berdampak besar pada
meningkatnya anggaran militer Tiongkok yang berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan militernya. Pengembangan kekuatan militer Tiongkok inilah yang menjadi isu hangat internasional, khususnya di kawasan Asia Timur (Kharismaya 2013). Tiongkok telah berhasil sebagai kekuatan potensial yang mampu mengimbangi AS sebagai pemain utama di kawasan Asia Timur. Fenomena kebangkitan Tiongkok ini merupakan hasil langsung dari proses modernisasi yang dijalankan oleh pemerintah Tiongkok pasca Mao Zedong sejak tahun 1979 (Tjeng 1983). Secara ekonomi, Tiongkok telah menjadi raksasa yang impresif. Dalam hal purchasing power parity, ekonomi Tiongkok diperkirakan akan menyamai ekonomi AS pada tahun 2020 atau 2030. Pada tahun 2050, Tiongkok diperkirakan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia, melampaui AS, Jepang dan Eropa (Sukma 2009). Kemajuan ekonomi memungkinan Tiongkok untuk mengalokasikan sebagian dari kekayaannya itu untuk memodernisasi dan membangun kekuatan militer. Dalam U.S Annual Report to Congress on The Military Power of The PRC 2003, Tiongkok melakukan transformasi militer tidak hanya pada persenjataan mereka, tetapi juga pada anggaran dan doktrin militer. Peningkatan kekuatan militer Tiongkok dapat dilihat juga dari doktrin militer mereka yang berubah, dari “predominately annihililation” menjadi menggunakan “coercive war fighting”. Doktrin “coercive war fighting” memiliki dua strategi dalam operasional pasukan
72
militer Tiongkok, yaitu pertama, “actively taking initiative” atau penyerangan dengan memanfaatkan waktu dengan optimal; kedua
”catching enemy
unprapared” tipuan pada persembunyian pasukan agar musuh mengira mereka menang jumlah pasukan dan selanjutnya melakukan serangan kejutan dengan pasukan yang bersembunyi (U.S Annual Report to Congress on The Military Power of The PRC 2003). Tiongkok juga melakukan peningkatan pada kekuatan persenjataan pada semua angkatan bersenjatanya. Beberapa peningkatan kekuatan militer Tiongkok pada Angkatan Darat, Laut dan Udara: pertama, kekuatan darat Tiongkok dengan meningkatkan kekuatan lebih dari 1000 tank dengan senjata tipe 59, memproduksi tank tipe 96 di tahun 2005, dan Angkatan Darat Tiongkok lebih efektif lagi dalam menerapkan Command, Control, Communications, Computers and Intelligence (C41); kedua, dari kekuatan laut, Tiongkok memproduksi sendiri kapal selam dengan tenaga dissel-listrik (SONG YJ-82) yang mempunyai misil dalam laut dan memproduksi kapal selam penyerang tipe 93 dengan torpedo dan misil penghancur; ketiga, Angkatan Udara Tiongkok meningkatkan jangkauan udara dengan radar AA-12/ADDER dan menambah jumlah unit pesawat tempur Su30MKK Fighter dari Rusia (Sutter 2005). Terdapat perubahan dalam prioritas strategi militer Tiongkok dengan meningkatkan sistem pertahanan udara, laut berikut persenjataannya. Maka dari itu sampai saat ini prioritas kapabilitas militer Tiongkok tidak hanya pada kekuatan darat, tetapi juga udara dan laut. Untuk menjaga keamanannya, Tiongkok mendeklarasikan untuk mempertahankan kedaulatan nasional, integritas
73
wilayah dan hak dan kepentingan di wilayah laut dan untuk mengembangkan masyarakat dan perekonomiannya serta untuk terus memperkuat kekuatan nasional yang komprehensif, Tiongkok sampai saat ini tetap menjaga keseimbangan antara konstruksi ekonomi dan pertahanan (Kharismaya 2013). Tiongkok secara agresif mempromosikan Revolution in Military Affairs with Chinese Characteristics berdasarkan strategi militer untuk memenangkan Informationalized War, termasuk pada Perang Teluk, Konflik Kosovo, dan Perang Irak (Shambaugh & Yahuda 2009). Untuk mencapai tujuannya tersebut maka Tiongkok memodernisasi militernya. Secara spesifik, Tiongkok mengurangi personil militer dan memodernisasi kekuatan bersenjatanya terutama kekuatan udara dan laut serta kapabilitas misil dan nuklir. Selain itu Tiongkok juga memfokuskan pada energi dan pelatihan personil berbakat serta perbaikan kapabilitas operasional. Dengan adanya modernisasi militer Tiongkok yang pesat, Tiongkok memfokuskan hal tersebut sebagai implementasi dari isu Taiwan. Namun dalam memodernisasi kapabilitas militernya, Tiongkok memberikan transparansi terbatas mengenai hal tersebut (Kharismaya 2013) Secara historis, Tiongkok tidak menutupi segala informasi mengenai kepemilikan perlengkapan, pelatihan dan operasi militer yang dilakukan dan dimilikinya. Namun setelah Tiongkok menjadi negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik di kawasan, kecenderungan peningkatan kapabilitas militer diberikan perhatian khusus oleh sejumlah negara di kawasan. Di bawah kondisi
74
yang seperti ini menuntut Tiongkok untuk meningkatkan transparansi mengenai kebijakan pertahanan nasional dan kapabilitas militernya (Tjeng 1983). Pada Desember 2006, Tiongkok mengeluarkan China’s National Defense in 2006. Dokumen ini sangat penting untuk dikeluarkan untuk mengetahui transparansi kapabilitas militer yang dimilikinya. Namun ternyata kelima buku putih tersebut tidak secara substansif memberikan transparansi mengenai kapabilitas militernya. Sebagai contoh mengenai anggaran pertahanan nasional, buku putih tersebut hanya menerangkan mengenai jumlah total dan tujuan umum yang terdiri dari tiga kategori yaitu jumlah personil, peningkatan biaya operasi, dan biaya untuk perlengkapan (Japan Defense White Paper 2006). Selain itu pada Januari 2007, ketika Tiongkok melakukan uji senjata anti satelit, kemudian Jepang meminta Tiongkok untuk memberikan penjelasan mengenai hal tersebut. Namun ternyata Tiongkok tidak bisa menjelaskan secara substantif mengenai uji senjata anti satelit kepada Jepang. Sedangkan mengenai biaya pertahanan nasional, salah satu elemen untuk menghitung kekuatan militer sebuah negara, Tiongkok mengumumkan anggaran pertahanan nasionalnya untuk tahun 2007 sekitar 347,2 juta yuan, meningkat sebanyak 17,8 % dibandingkan tahun 2006. Anggaran militer Tiongkok mengalami pertumbuhan sekitar 10 % untuk jangka waktu selama 19 tahun. Fase peningkatan ini meningkat sebanyak 16 kali dalam waktu 19 tahun terakhir. Adanya keterhubungan antara pertahanan dan ekonomi nasional tercermin dalam China’s National Defense pada tahun 2006 menyatakan prinsipnya dalam pembangunan pertahanan dan ekonomi nasional.
75
Sehingga dapat dikatakan bahwa Tiongkok menempatkan peningkatan kapabilitas militer dan ekonomi sama pentingnya (BBC News 2006) Anggaran belanja militer Tiongkok juga menunjukkan perubahan yang konsisten, dengan menambah anggaran belanja militernya setiap tahun. Pada tahun 2000, Tiongkok mengeluarkan dana 15 miliar dollar AS untuk belanja militernya atau 1,9% dari seluruh total APBN. Kemudian konsisten meningkat dari tahun 2001 menjadi 17 miliar (1,9 % APBN) , tahun 2002 menjadi 20 miliar, hingga kemudian 2005 menjadi 30 miliar dollar AS (2,1 % APBN) (World Bank 2014). Di bawah ini grafik yang menunjukkan anggaran belanja militer Tiongkok pada periode 2006 – 2012. Grafik 5: Anggaran Militer Tiongkok 2000-2012
Sumber: BBC News Diakses dari http://news.bbcimg.co.uk/media/images/7338100 pada 5 Oktober 2014
76
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa anggaran militer Tiongkok dari tahun 2006 hingga 2012 dalam kurun waktu 6 tahun telah meningkat lebih kurang 300%. Pada tahun 2006 sebesar 32 miliar Dollar AS meningkat menjadi 106 miliar Dollar AS pada tahun 2012. Angka 300% dalam kurun waktu 6 tahun menandakan Tiongkok sangat serius membenahi kebijakan pertahanannya, dan berdampak pada kekhawatiran AS dan Jepang. Pada tahun 2010, Tiongkok merupakan negara kedua yang menghabiskan dana paling besar untuk belanja militer. Dalam rentang waktu sepuluh tahun (2001-2010) Tiongkok mengalami peningkatan belanja militernya sebanyak 189%. Belanja militer Tiongkok pada tahun 2010 diperkirakan mencapai angka US$ 78,6 miliar. Tahun 2012 anggaran pertahanan Tiongkok menjadi US$ 106 miliar, mengalami kenaikan sebanyak 11.2 % dari tahun 2011 sebesar US$ 91,5 miliar (US Annual Report, 2009-2012). Peningkatan kekuatan militer Tiongkok menjadi pertimbangan AS mendorong Jepang untuk ikut juga dalam meningkatkan kekuatan militernya. Amerika Serikat kemudian meminta aliansi AS-Jepang melakukan sejumlah peningkatan Joint Statement, menjadikan Tiongkok sebagai objek ancaman utama di kawasan (Sutter 2005). Menurut AS, Jepang akan semakin terancam jika masih menjalankan kebijakan militer yang pasif sesuai Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 dan hanya bersandar pada kekuatan AS saja. Maka penting bagi AS agar Jepang meningkatkan kekuatan militernya demi memperkuat kekuatan aliansi di kawasan Asia Timur (Sukma 2009).
77
4.2.3 Ancaman Senjata Nuklit Korea Utara Salah satu faktor eksternal yang menjadi pertimbangan AS mendorong Jepang mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan adalah kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara. Akan dijelaskan pada bagian ini bahwa ancaman senjata nuklir Korea Utara menjadi salah faktor pendorong AS untuk meminta Jepang mengubah kebijakan pertahanan dan keamanannya. Bermula pada tahun 1994 pada krisis nuklir Korea Utara, ketika International Atomic Energy Agency (IAEA) dilarang pemerintah Korea Utara untuk menyelidiki reaktor nuklir di Yongbyeon. Kemudian Korea Utara menutup reaktor nuklirnya di Yongbyeon dengan imbalan bantuan pasokan minyak solar dari AS. Pada tahun 1998, Korea Utara membuat kecurigaan dunia internasional ketika rudal berjangkauan 1.700-2.200 km diluncurkan. Akhirnya pada tahun 2001, setelah melakukan penyelidikan dan uji reaktor nuklir selama tiga tahun, IAEA menuduh Korea Utara memiliki setidaknya dua senjata rudal nuklir. Setahun kemudian AS menghentikan bantuan pasokan solarnya atas embargo kepemilikan senjata nuklir Korea Utara (KBS News 2014). Pemerintahan Bush menyikapi masalah ini dengan reaksi keras. Pada tahun 2002 Korea Utara dianggap AS sebagai bagian “axis of evil” selain terorisme. Kemudian AS meminta kepada semua negara di dunia untuk mengecam tindakan Korea Utara dan menghentikan semua bentuk bantuan pada Korea Utara (Kim 2011). Dampak lainnya adalah pada pertemuan aliansi ASJepang pada tahun 2004, Bush meminta masalah nuklir Korea Utara dijadikan sebagai agenda utama keamanan kawasan selain perkembangan militer Tiongkok.
78
Setelah efek Security Dilemma yang disebabkan Korea Utara, AS dan Jepang berkomitmen untuk terus memperkuat aliansi militer dalam rangka menjaga kestabilan kawasan (Hughes 2009). Pada 4-5 Juli 2006, Korea Utara melakukan uji coba peluncuran rudal Taepodong-2. Uji coba yang dilakukan Korea Utara tersebut mendapat reaksi keras dari banyak negara, Amerika Serikat dan Australia mengecam uji coba rudal itu. Bahkan Dewan Keamanan PBB mengadakan pertemuan darurat untuk menyikapi aksi Korea Utara itu. PBB akhirnya mengeluarkan Resolusi DK PBB untuk melarang peluncuran rudal yang dilakukan Korea Utara. (Kompas, 14 Juli 2006). Kemudian pada 9 Oktober 2006, Korea Utara melakukan uji coba rudal nuklir, kali ini dengan bahan nuklir plutonium khusus, bukan seperti pada masa sebelumnya hanya dengan uranium yang diperkaya dengan sedikit kandungan nuklir (BBC News 2006). Dunia internasional melalui International Atomic Energy Agency (IAEA) dan Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapon (NPT) terus meminta Korea Utara menghentikan ujicoba nuklirnya karena dapat mengancam keamanan internasional (UNODA 2014). IAEA meminta Korea Utara yang statusnya bukan sebagai negara anggota NPT untuk secara transparan memberitakan data dari kegiatan perkembangan nuklir. Korea Utara menolak dengan alasan tidak ada kewajiban membuat laporan kepada IAEA dan NPT karena Korea Utara telah lama keluar dari keanggotaan NPT (April 2003 Korea Utara keluar dari keanggotan NPT). Korea Utara mengatakan jika pengembangan nuklir yang dilakukannya hanya sebatas pengembangan tenaga nuklir untuk konsumsi sama
79
halnya dengan produksi listrik bukan untuk membuat senjata pemusnah massal yang selama ini dituduh AS dan IAEA (China Daily 2003). Korea Utara memiliki alasan sendiri untuk terus mengembangkan nuklirnya dan tidak mendengarkan permintaan dunia internasional. Alasan yang pertama Korea Utara ingin melindungi diri dari ancaman Korea Selatan, karena pasca Perang Korea 1953 belum ada perjanjian damai antara keduanya tetapi hanya sekedar gencatan senjata; kedua karena faktor ekonomi, Korea Utara menggunakan peluncuran senjata nuklir sebagai alat memeras negara – negara di sekitarnya, seperti Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok. Korea Utara akan menghentikan peluncuran dan pengembangan senjata nuklir dengan imbalan bantuan dana dari negara yang diperas; ketiga, kepemilikan senjata nuklir adalah alat Korea Utara untuk pencitraan di kawasan Asia Timur. Korea Utara ingin mengangkat citranya di kawasan dengan kepemilikan senjata nuklir (Moore 2008). Bagi Jepang, kepemilikan nukir Korea Utara sangat mengancam keamanan nasional mereka dan menimbulkan Security Dilemma. Menurut laporan IAEA dan UNODA, Korea Utara memiliki beberapa jenis senjata nuklir yang jangkauannya dapat menjangkau setengah dari wilayah Asia. Rudal nuklir dengan nama Taepodong II merupakan jenis rudal nuklir yang jangkauan 3500-6000 km. Rudal nuklir Korea utara dengan nama Intercontinental Ballistic Missile Defense (ICBM) dengan jangkauan 9000-10000 km, merupakan rudal yang jangkauan paling luas di dunia (UNODA 2014). Di bawah ini tabel rudal nuklir yang dimiliki Korea Utara beserta jangkauan, jumlah dan jumlah peluncuran.
80
Tabel 5: Kepemilikan Misil Korea Utara
Sumber: Global Security diakses melalui http://www.globalsecurity.org/wmd/world/dprk/nuke.htm pada 23 November 2014
Amerika Serikat kemudian meminta Jepang untuk mewaspadai kegiatan uji coba nuklir Korea Utara, dan mengusulkan Jepang untuk meningkatkan serangan penangkal mereka. Jepang kemudian mempertimbangkan usulan untuk serangan penangkal ke basis-basis peluru kendali Korea Utara sebagai hak konstitusional Jepang dalam mempertahankan diri (Gray 1995). Meski konstitusi Jepang melarang penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa internasional dan melarang Jepang memiliki angkatan bersenjata untuk perang, namun AS meyakinkan Jepang jika peraturan itu memperbolehkan negara memiliki angkatan bersenjata untuk membela diri (Avery & Reinhart 2013). Uji coba yang dilakukan Korea Utara pada tahun 2006 inilah yang memicu ketegangan keamanan di kawasan Asia Timur. Tidak lama kemudian, atas dorongan dari Presiden Bush, Perdana Menteri Shinzo Abe menyerukan memperkuat badan pertahanan untuk memperkuat respon dalam mengatasi ketegangan dengan Korea Utara (Moore 2008).
81
Pada April 2009, Korea Utara kembali meluncurkan rudal nuklirnya. Peluncuran ini dengan rudal Scoud B dengan jangkauan 3000 km (BBC News 2009). Dalam merespon hal ini, AS meminta pertemuan Anggota Security Consultative Comitee (SCC) AS-Jepang pada 28 Mei 2010 perihal membahas ancaman senjata nuklir Korea Utara (Shoji 2011). Di bawah ini jangkauan misil nuklir Korea Utara yang menjadi ancaman kawasan.
Gambar 3: Jangkauan Misil Korea Utara
Sumber: www.globalsecurity.org diakses pada 20 September 2014
Dari gambar diatas sangat jelas bahwa ancaman yang dimiliki Korea Utara memiliki efek Security Dilemma bagi kawasan khususnya bagi Jepang dan Korea Selatan karena jarak teritori Jepang sangat dekat dengan Korea Utara. Faktor ancaman dari eksternal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan Amerika Serikat mendorong Jepang untuk terus meningkatkan kekuatan militer dengan
82
semakin menjalin hubungan militer dengan Amerika Serikat. AS terus meminta Jepang terus waspada dan meningkatkan kekuatan militer mereka demi menangkal ancaman militer Korea Utara.Dengan perubahan NPDG 2010 dikatakan bahwa Jepang harus ikut lebih bertanggung jawab atas keamanan kawasan Asia Timur, maka penting bagi Jepang melakukan transformasi militernya. 4.3
Kepentingan Amerika Serikat dalam Mendorong Kebijakan Pertahanan dan Keamanan Jepang
4.3.1
Stabilitas Kawasan Asia Timur
Perubahan
Amerika Serikat memiliki kepentingan dari perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang. Kepentingan tersebut terkait dengan keinginan AS menjaga kawasan Asia Timur dari kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok. Security Dilemma yang disebabkan Tiongkok dan Korea Utara mengancam kepentingan AS pada kawasan ini. Beberapa kepentingan AS dalam keterlibatan di Asia Timur antara lain, berusaha mencegah negara – negara yang berada pada kawasan ini menjadi hegemon; kepentingan jalur akses transit AS pada negara mitra di kawasan ini; kepentingan menjaga jalur perdagangan demi investasi masa depan; dan yang terakhir yaitu hubungan aliansi dengan mitra AS di kawasan semakin kuat untuk membendung kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok (Dosch 2004). Tiongkok dan Korea Utara adalah ancaman paling besar di kawasan Asia Timur. Disisi lain dibandingkan dengan sekutu AS lainnya, Jepang keamanan dan pertahanannya masih dinilai memerlukan perubahan untuk menghadapi kekuatan
83
Tiongkok dan Korea Utara. Untuk itu AS terus fokus dalam membantu modernisasi militer Jepang demi kepentingan menjaga kawasan dari kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara (Dosch 2004). Ada tiga kepentingan utama AS di kawasan Asia Timur dalam buku East Asian Strategic Review (2000) yaitu pertama, untuk selalu mencegah kekuatan tunggal yang ingin mendominasi kawasan. Negara-negara di kawasan Asia Pasifik memiliki populasi yang besar, kekuatan militer yang signifikan dan memiliki potensi ekonomi serta teknologi yang canggih. Sehingga besar kemungkinan ada kekuatan-kekuatan baru di kawasan yang mengancam kekuatan besar AS. Kedua, untuk menjaga stabilitas dan tatanan negara-negara di kawasan. Asia Timur dianggap sangat rentan terhadap konflik antar negara dan konflik lainnya. Ketiga, kepentingan ekonomi. Kawasan Asia Timur merupakan kawasan yang penting bagi kepentingan komersial AS. Kawasan ini menjanjikan jaminan wilayah bagi investasi AS (East Asian Strategic Review 2000). Kepentingan – kepentingan AS pada kawasan Asia Timur yang telah dijelaskan di atas merupakan tujuan utama dalam kepentingan AS terhadap perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang. Amerika Serikat memposisikan diri pada kawasan Asia Timur sebagai penyeimbang dalam rangka membendung Security Dilemma yang diciptakan oleh kekuatan militer Tiongkok dan menentang kepemilikan nuklir Korea Utara. Kepentingan Amerika Serikat di Asia Timur ialah sikap yang konsisten mengenai perdamaian dan keamanan agar stabilitas sistem internasional dapat berjalan sebagaimana mestinya. Perdamaian ini sukar didapatkan ketika kondisi keamanan
84
antar negara tidak bisa dikontrol oleh sistem dan peraturan yang mengikat (U.S Department of Defense Office of Internasional Security Affairs 2005). Atas dasar tersebut, Amerika Serikat membuat sebuah kebijakan di Asia Timur yang selaras dengan kepentingan keamanan, ekonomi dan tantangan politik dalam dinamika kawasan Asia Timur (Tjeng 1983). Strategi militer AS di kawasan Asia Timur tergolong ke dalam ballance of threat yang cenderung dilakukan oleh negara yang memiliki kekuatan besar untuk mencegah munculnya negara yang berpotensi menjadi hegemoni dan mengganggu kondisi ballance of power di suatu kawasan tertentu (Walt 1985). Kebijakan militer AS dilakukan melalui pembentukan koalisi dengan negara-negara Asia Timur yang memiliki persamaan pandangan mengenai Tiongkok dan Korea Utara sebagai “potensi ancaman” terhadap ballance of power di kawasan kemudian membuat negara-negara Asia Timur mendukung kehadiran AS di kawasan (Prabhakar 2006). Kehadiran militer AS diperlukan sebagai counterballance untuk meningkatkan posisi bargaining mereka dalam upaya penyelesaian yang tengah diupayakan. Pertimbangan negara-negara Asia Timur mengacu pada kekuatan militer yang mereka miliki cenderung lebih lemah jika dibandingkan dengan Tiongkok yang terus mengalami peningkatan dan modernisasi. Keberadaan AS dengan kekuatan militernya dapat mengimbangi dan membendung perkembangan pesat kekuatan militer Tiongkok di kawasan. Walaupun pada saat ini Tiongkok dengan kekuatan besarnya yang terus mengalami peningkatan pesat tersebut bukanlah sebuah ancaman, akan tetapi di masa depan, tanpa adanya kekuatan
85
penyeimbang (counterballancer), Tiongkok memiliki kemungkinan besar untuk menjadi ancaman keamanan bagi negara sekitarnya (Prabhakar 2006). Tiongkok dianggap AS sebagai kekuatan yang dapat mengancam kawasan Asia Timur yang terlihat pada tahun 2003. Saat itu Tiongkok memperkuat armada udaranya dengan teknologi SU-30 (naval strike version) yang mampu memyerang dengan meluncurkan rudal anti ship cruise yang mempunyai daya hancur besar. Tiongkok juga membeli empat buah Jet Tempur dari Rusia di tahun yang sama. Hal ini menimbulkan Security Dilemma kawasan dan kekhawaitran bagi Amerika Serikat yang ingin menjaga kawasan Asia timur dari kekuatan militer Tiongkok (US Annual Report on The Military Power of The PRC, 2003). Kemudian dalam merespon peningkatan kekuatan militer Tiongkok pada November 2003, Pertemuan Jepang-AS diadakan di Tokyo yang dihadiri Menteri Pertahanan, Shigeru Ishiba dan Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld. Pada pertemuan tersebut, keduanya mendiskusikan peningkatan militer Tiongkok. Ishiba dan Rumsfeld setuju bahwa peningkatan militer Tiongkok adalah ancaman kawasan Asia Timur. Kedua negara perlu meningkatkan kerjasama tidak hanya di kawasan tetapi juga pada masalah keamanan global. Selalu mengawasi peningkatan kekuatan militer yang dilakukan Tiongkok, AS meminta Jepang untuk semakin memperkuat pertahanan dan keamanan negaranya (Morrison 2003). Pada April 2007 di Washington, Presiden Amerika Serikat George W. Bush dan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe sepakat akan meningkatkan tekanan pada Korea Utara agar menghentikan program nuklirnya. Setelah
86
pertemuan di peristirahatan presiden di Camp David, Presiden Bush meminta Jepang untuk ikut aktif dalam menekan Korea Utara dalam kepemilikan senjata nuklirnya. Amerika Serikat berjanji akan terus mendukung kekuatan aliansi militer AS-Jepang demi menjaga kestabilan kawasan Asia Timur (Deutche Welle News 2007). Menurut Christoper W. Hughes dalam bukunya “Japanese Military Modernization In Search of a Normal Security Role” (2005), Amerika Serikat meminta Jepang untuk terus memperbaiki keadaan militer dan tidak lagi bergantung penuh pada payung militer AS. Amerika Serikat menjelaskan pada Jepang bahwa ancaman–ancaman dari kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara yang sangat mungkin terjadi (Hughes 2005). NDPG atau National Defense Program Guidelines 2004 merupakan hasil dari pengaruh AS yang meminta Jepang dalam tranformasi kekuatan militernya. NDPG 2004 merupakan awal landasan dasar bagi Jepang dalam perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan terkait respon Jepang dalam persepsi ancaman Korea Utara dan Tiongkok. Kemudian berlanjut pada NDPG 2010, di mana merupakan dampak dari dilema keamanan yang dibuat Tiongkok dan Korea Utara (Wang 2008). Pada masa kepresidenan Obama di tahun 2009, AS mengeluarkan Kebijakan Luar Negeri “The Pivot to Asia” yaitu mengubah fokus kepentingan dari kawasan Timur Tengah ke kawasan Asia Pasifik. Hal ini memperkuat alasan AS untuk terus terlibat pada kawasan Asia Timur (U.S Departmen of State 2009). Dalam wawancara yang dilakukan The Foregin Policy Initiative dengan Assistant
87
Secretary of State for East Asian and Pacific Affairs Kurt Campbell pada Desember 2012, Kurt Campbell mengatakan Kebijakan Luar Negeri “The Pivot to Asia” yang diambil Presiden Obama dikarenakan pengaruh kondisi kawasan Asia Pasifik yang beresiko dikuasi oleh kekuatan Korea Utara dan Tiongkok. Amerika Serikat menurut Kurt Campbell harus memperkuat aliansi dengan mitra aliansinya di Asia Pasifik yaitu Jepang, Korea Selatan, Australia dan Filipina. Kemudian AS akan terus berusaha untuk mendekati Tiongkok dan Korea Utara dalam memperbaiki hubungan demi kepentingan AS di kawasan Asia. Kurt Campbell mengatakan jika AS memiliki hubungan baik kepada semua pihak maka kepentingan AS di kawasan Asia dapat tercapai (The Foregin Policy Initiative 2012). Amerika Serikat mempertegas kebijakan The Pivot to Asia yaitu dengan meningkatkan kehadiran militer di kawasan Asia Timur meskipun anggaran pertahanan berkurang akibat krisis ekonomi. “Setelah ekonomi membaik dan anggaran pertahanan kembali naik, kami akan segera meningkatkan kehadiran militer Amerika Serikat di Asia Pasifik untuk menyeimbangkan kembali konstelasi kekuatan di kawasan," kata Wakil Menteri Pertahanan AS Ashton Carter (Antara News 2012). Lebih dari itu, Carter mengatakan bahwa AS bertanggung jawab untuk menjaga perdamaian dari kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok di Asia Timur. Kehadiran militer AS telah membuat negara-negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan dapat berkonsentrasi membangun ekonomi sehingga kesejahteraan negara-negara tersebut meningkat. "Kehadiran
88
kami di Jepang dan Korea Selatan untuk mencegah hadirnya kekuatan komunisme pada masa lalu, telah membuat kedua negara ini aman dan demikian sejahtera" kata Ashton Carter yang berbicara dalam forum Jakarta International Defence Dialogue (Jakarta International Defence Dialogue 2014). Jadi kepentingan Amerika Serikat terhadap perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang adalah untuk menjaga wilayah Asia Timur dari kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok. Peningkatan kekuatan militer Tiongkok yang menimbulkan Security Dilemma di kawasan Asia Timur, serta kepemilikan senjata nuklir Korea Utara merupakan dua bentuk ancaman bagi AS dalam keterlibatannya di Asia Timur. Maka menjalin hubungan militer dengan Jepang merupakan jalan yang tepat bagi AS dalam usaha menjaga kestabilan kawasan. Aliansi AS-Jepang adalah penggabungan kekuatan dalam mengimbangi ancaman (ballance of threat) dari kekuatan militer Tiongkok dan senjata nuklir Korea utara. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ke arah lebih baik yang dilakukan Jepang merupakan suatu dorongan bagi AS demi mencapai kepentingannya di kawasan Asia Timur. 4.3.2 Extended Deterrence AS terhadap Kekuatan Militer Tiongkok dan Korea Utara Salah satu kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang adalah terkait erat dengan hubungan aliansi militernya bersama Jepang. Seperti yang telah dijelaskan pada kerangka pemikiran, aliansi merupakan upaya negara bergabung dengan negara lain untuk menangkal ancaman bersama. AS bersama-sama Jepang menggabungkan kekuatan militer mereka untuk mengimbangi kekuatan militer Korea Utara dan
89
Tiongkok yang merupakan ancaman di kawasan ini. Upaya Ballance of Threat dari aliansi AS-Jepang menjadikan sebuah strategi Extended Deterrence dalam rangka merespon Security Dilemma kawasan yang diciptakan oleh Korea Utara dan Tiongkok. Menurut Koji Murata (1998) dalam tulisan “Japan Military Cooperation and Alliances in the Asia-Pacific Region”, AS dan Jepang menjalin aliansi militer bukan untuk menjadi ancaman bagi negara-negara di kawasan Asia Timur, akan tetapi dengan mempertimbangkan kepentingan kawasan yang selalu dipromosikan Amerika Serikat yaitu demi terciptanya perdamaian di kawasan Asia Timur. Kepentingan AS menciptakan perubahan militer pada Jepang adalah untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi ancaman dari nuklir Korea Utara dan militer Tiongkok (Murata 1998). Untuk itulah Amerika Serikat dalam setiap Joint Statement Security Consultative Committee (SCC) aliansi militer AS-Jepang dari pasca Perang Dingin sampai SCC 2012 selalu mendorong Jepang agar terus memodernisasi militernya. Menurut Michael Green (2008) dalam tulisannya “Japan in Asia” pada buku “International Relations of Asia”, aliansi militer antara Amerika Serikat dan Jepang merupakan suatu hubungan saling ketergantungan di mana kedua negara saling memiliki kepentingan sendiri. Amerika Serikat memiliki kepentingan dalam mencegah kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara dengan memperkuat aliansi militer dengan Jepang. Cara memperkuat aliansi militer oleh AS adalah dengan terus mendorong Jepang untuk bertransformasi dalam militernya.
90
Sedangkan bagi Jepang faktor keamanan nasional adalah prioritas utama dalam menghadapi kekuatan Tiongkok dan Korea Utara. Dengan memanfaatkan teknologi militer dari aliansi militer bersama AS, Jepang menyerap teknologi demi menciptakan militer lebih kuat (Shambaugh & Yahuda 2008). Jepang diarahkan untuk terus membangun militernya agar lebih kuat dengan cara mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan. Dengan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang maka kerjasama aliansi militer ASJepang akan semakin meningkat (Shambaugh & Yahuda 2008). Dalam bab sebelumnya telah menjelaskan pasca Jepang memiliki Kementerian Pertahanan, aliansi militer AS-Jepang mengalami penambahan jumlah kerjasama, Puncaknya setelah kesepakatan bersama SCC 2012 di mana kerjasama militer aliansi ASJepang meningkat pesat. Peningkatan kerasama militer AS-Jepang tidak terlepas dari pendekatan Kebijakan Luar Negeri AS pada masa Presiden Obama di mana wilayah Asia Pasifik lebih diprioritaskan. Penegasan dan pernyataan resmi perubahan fokus kebijakan ke kawasan Asia Pasifik secara umum dan khususnya Asia Timur baru dikeluarkan oleh pemerintahan Obama pada akhir tahun 2011. Akan tetapi, sejak Obama menjabat sebagai Presiden AS telah ada suatu upaya pendekatan dan penguatan hubungan aliansi keamanan secara bilateral dengan negara-negara Asia Timur termasuk Jepang. Ditambah dengan komitmen kebijakan militer AS dalam dokumen resmi Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense yang dikeluarkan Kementerian Pertahanan pada Januari 2012. Korea Utara dan
91
Tiongkok menjadi pelaku utama ancaman kawasan Asia di dalam dokumen ini. Dalam dokumen tersebut, AS akan berusaha mencegah setiap aktivitas Korea Utara dan Tiongkok dalam pembetukan Anti Access/ Area Denial (A2/AD) yang dapat membatasi akses di wilayah perairan internasional. Semua ini demi kepentingan kelancaran akses AS untuk menjangkau seluruh wilayah Asia Pasifik (Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense 2012). Dalam dokumen Army Strategic Planning Guidance menyatakan strategi Extended Deterrence akan menjadi strategi AS dalam menghadapi tantangan serta potensi ancaman Tiongkok dan Korea Utara di abad ke-21. Extended deterrence memerlukan pasukan militer yang berkualitas dengan adanya kapabilitas dan kapasitas yang memadai, serta mampu menjalankan misi secara internasional dengan tetap menjaga kepentingan nasional AS di Asia Timur. Dalam implementasinya, kebijakan militer AS cenderung difokuskan ke sub-kawasan Asia Timur, wilayah di mana Tiongkok dan Korea Utara menjadi ancaman (Document of Army Strategic Planning Guidance 2012). Dalam penerapan extended deterrence, Amerika Serikat mengajak Jepang terus meningkatkan hubungan aliansi militer di mana AS telah menyiapkan proyek aliansi militer jangka menengah 2020 dan proyek aliansi jangka panjang 2049. Dalam beberapa pertemuan SCC, AS telah menjelaskan pada Jepang proyek jangka menengah 2020 dan belum menjelaskan proyek jangka panjang 2049. Isi dari proyek jangka menengah 2020 adalah dengan mengoptimalkan pembangunan 7 fasilitas pangkalan militer aliansi AS-Jepang, yaitu Pangkalan Udara Yokota, Pangkalan Udara Miwa, Pangkalan Udara Kadena, Stasiun Udara Futenma,
92
Stasiun Udara Iwakuni, Pangkalan Angkatan Laut Sasebo, dan Pangkalan Kapal Yokosuka. Semua pangkalan militer ini tersebar di seluruh wilayah Jepang dalam rangka strategi Extended Deterrence di kawasan Asia Timur. Berikut adalah gambaran dari proyek aliansi militer yang ingin dikembangkan Amerika Serikat tersebar di seluruh wilayah Jepang (Project-2049 Institute 2014). Gambar 4: Proyek 2020 Pengembangan Pangkalan Aliansi Militer
Sumber: Project-2049 Institute, http://www.project2049.net diakses pada 28 November 2014. Dengan mengembangkan proyek ini, AS sangat yakin dapat meningkatkan kekuatan aliansi militer yang lebih efektif dari sebelumnya serta dapat menciptakan extended deterrence yang besar di kawasan Asia Timur. Proyek aliansi ini dapat cepat terlaksana jika pemerintah Jepang menciptakan NDPG yang baru berisikan inti dari proyek aliansi jangka menengah ini. Dibutuhkan NDPG paling baru yang dapat memperbarui NDPG 2012 terakhir yang belum menjelaskan proyek aliansi militer ini (Project-2049 Institute 2014). Untuk itulah perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang menentukan sejauh ma
93
na tingkat aliansi militer AS-Jepang. Kembali lagi ini semua demi kepentingan AS yang ingin terciptanya kawasan Asia Timur yang bebas dari kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok Dapat disimpulkan bahwa kepentingan AS di kawasan Asia Timur adalah menciptakan kawasan yang bebas dari kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara. Demi mencapai kepentingan tersebut, AS mendorong Jepang untuk mengubah kebijakan pertahanan dan keamanannya ke arah lebih modern dan canggih. 4.3.3 Pengamanan Jalur Perdagangan AS di Asia Timur Selain karena kawasan Asia Timur menjadi prioritas pada politik luar negeri AS, menurut Robert Sutter (2005) dalam tulisan berjudul The United States in Asia: Challenged but Durable Leadership, keterlibatan AS pada kawasan ini juga demi kepentingan masa depan AS dalam menjaga jalur perdagangan di kawasan Asia secara keseluruhan. Kawasan Asia merupakan pasar terbesar bagi perdagangan Amerika Serikat pasca Perang Dingin. Telah dijelaskan sebelumnya menjadikan kawasan ini stabil tanpa ada kekuatan militer yang mengancam adalah kepentingan dari AS. Selain itu kepentingan AS berada pada sektor perdagangan. AS membuat kawasan ini stabil dari ancaman nuklir Korea Utara dan militer Tiongkok juga untuk memberikan keamanan pada kegiatan perdagangan pada kawasan ini. Jika kondisi kawasan Asia aman untuk melakukan kegiatan perdagangan maka kepentingan AS juga terjaga. Untuk itulah penting bagi AS memberikan dorongan agar meningkatkan kekuatan militer kepada Jepang dan negara mitra aliansi lain yang berada pada kawasan ini (Sutter 2005).
94
Masa kepresidenan Obama dari tahun 2008 menjadikan AS kembali fokus pada urusan perdagangannya di kawasan ini. Selama Presiden Bush berkuasa, Kebijakan Luar Negeri AS pendekatannya
cenderung lebih fokus pada
penggunaan militer dan sedikit mengabaikan urusan perdagangan. Ketika Partai Republik berkuasa anggaran menjadi defisit karena banyak dikeluarkan untuk militer, termasuk kekuatan aliansi militer bersama Jepang yang menghabiskan banyak dana sekitar 452 miliar Dollar AS pada tahun 2006, meningkat defisitnya menjadi 455, sampai tahun akhir kekuasaan Presiden Bush di tahun 2007 menjadi 455 miliar Dollar AS (US Census Bureau 2012). AS mengalami defisit dalam pembuatan pangkalan militer, tank tempur, senjata personil dan lain sebagainya (Shoji 2011). Untuk itulah, sejalan dengan The Pivot to Asia yang telah diumumkan oleh Presiden Obama, wilayah Asia-Pasifik adalah fokus semua bentuk Kebijaka Luar Negeri AS baik itu politik atau ekonomi. Maka penting bagi AS untuk menjaga kegiatan perdagangan AS di kawasan ini karena merupakan investasi jangka panjang bagi AS (The Foregin Policy Initiative 2012). Kawasan Asia menjadi salah satu tujuan utama ekspor komoditas AS. Mitra perdagangan AS pada kawasan Asia Timur meliputi wilayah Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong serta negara – negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Laos, dan Vietnam. Pada kawasan ini, Amerika Serikat lebih memfokuskan pada komoditas senjata militer, kendaraan, pesawat, elektronik, alat rumah tangga, mesin pabrik, pipa pabrik dan sebagainya (CNBC News 2014). Dibawah ini jalur perdagangan AS pada kawasan Asia.
95
Gambar 5: Peta Jalur Perdagangan AS di Kawasan Asia Pasifik
Sumber: http://www.geographic.org/maps/new2/us-trade-asia pada 20 November 2014 Dari gambar di atas dapat disimpulkan jalur perdagangan AS di Asia sangat dekat dan rentan dengan ancaman militer Tiongkok dan senjata nuklir Korea Utara. Asia Timur merupakan pintu masuk awal dari jalur perdagangan AS untuk mencapai ke Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Sangat penting bagi AS demi investasinya di kawasan ini membuat kawasan Asia Timur aman dari ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara (Geographic 2014). Kepentingan AS untuk mengamankan investasi pada jalur Asia Pasifik kuncinya adalah membuat kawasan Asia Timur menjadi stabil seperti telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. Hal ini mengingat kegiatan perdagangan AS di kawasan ini nilainya
96
sangat besar. Berikut tabel yang menjelaskan jumlah nilai ekspor komoditas AS pada pasar Asia (US Census Bureau 2012) Tabel 6: Nilai ekspor barang dan jasa AS pada pasar Asia 2006 – 2012 Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Nilai Ekspor (juta dollar AS) 290,765.1 327,285.9 359,151.2 307,896.6 387,360.6 439,240.7 456,538.2
Sumber: US Census Bureau 2012 diakses dari https://www.census.gov/foreigntrade/balance/c0016.html
Dari data tabel diatas terlihat jumlah ekspor komoditas AS pada kawasan ini ternilai sangat besar pada tahun 2012 yaitu 456.538 juta Dollar AS, meningkat jauh dari tahun 2006 yang bernilai 290,765 juta Dollar AS, hal inilah yang menjadikan kawasan Asia sangat penting bagi AS. AS tidak hanya memiliki kepentingan pada bidang politik dan keamanan tapi juga pada bidang ekonomi. Untuk itulah kegiatan perdagangan Amerika Serikat di Asia harus aman dari ancaman militer Tiongkok dan Korea Utara karena hal ini merupakan investasi jangka panjang AS.
BAB V KESIMPULAN
Berawal pada masa Presiden Bush, AS mendorong perubahan kebijakan dan pertahanan Jepang karena adanya ancaman senjata nuklir Korea Utara dan perkembangan pesat militer Tiongkok. Presiden Bush meminta Jepang untuk segera mengubah kebijakan pertahanan dan keamanan demi memperkuat kekuatan aliansi militer AS-Jepang. Dengan adanya perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang, AS mengharapkan semakin mudah dan banyak kerjasama militer yang mungkin dilakukan AS-Jepang di masa mendatang dalam rangka menangkal ancaman kekuatan Korea Utara dan Tiongkok. Amerika Serikat pada masa kepemimpinan Presiden Obama menempatkan kawasan Asia Pasifik menjadi prioritas utama pada Kebijakan Luar Negeri AS. Kebijakan ini dikenal dengan nama “The Pivot to Asia” Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk menjadi negara hegemon di kawasan Asia Pasifik tanpa kekuatan penyaing. Bagi Amerika Serikat setidaknya memiliki empat tujuan utama yang mendasari keterlibatannya di daerah Asia Timur, antara lain pertama mencegah munculnya hegemoni regional yaitu kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara; kedua, mempertahankan jalur transit di daerah Asia Timur baik jalur laut maupun udara, ketiga menjaga akses komersial yang dibutuhkan untuk menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan perdagangan; keempat memperkuat dan mempertahankan hubungan keamanan di antara sekutu dalam rangka membendung kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok di kawasan Asia Timur.
97
98
Kekuatan militer
Tiongkok dan Korea Utara
yang mengalami
perkembangan pesat dianggap AS dapat menghalangi kepentingannya di kawasan ini. Kekuatan Tiongkok dan Korea Utara berada pada sub-kawasan Asia Timur, yang mana pada kawasan ini AS memiliki hubungan aliansi dengan Jepang. Untuk itulah Amerika Serikat menganggap persekutuan bersama Jepang adalah strategi untuk membendung kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara di kawasan Asia Timur. Perkembangan pesat militer Tiongkok dan kepemilikan senjata nuklir oleh Korea Utara mengakibatkan AS meminta Jepang untuk lebih memperhatikan masalah pertahanannya. Perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang dianggap AS sebagai langkah yang penting dalam kepentingan untuk menangkal kekuatan militer Tiongkok dan Korea Utara. Jepang melakukan perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan ketika Badan Pertahanan Jepang ditingkatkan statusnya menjadi Kementerian Pertahanan yang dipimpin langsung oleh seorang menteri dan berhak secara langsung mengajukan anggaran pertahanan sendiri. Berdirinya Kementerian Pertahanan Jepang menjadi momentum penting bagi Jepang untuk terus bertransformasi dalam kekuatan militernya. Kementerian Pertahanan berdiri diikuti dengan kenaikan anggaran belanja militer pada 2006, perkembangan teknologi militer dan perubahan doktrin penggunaan kekuatan militer. Semua perubahan ini atas dorongan Amerika Serikat kepada Jepang dalam merespon ancaman yang terlihat dari perkembangan militer Tiongkok dan kepemilikan senjata nuklir Korea Utara.
99
Penambahan fasilitas militer serta semakin banyak ditandatanganinya nota kesepakatan bersama AS-Jepang merupakan bukti bahwa kekuatan aliansi militer AS-Jepang semakin kuat pasca Kementerian Pertahanan Jepang berdiri. Tujuan transformasi militer Jepang ini agar Jepang tidak lagi mengikuti pasal 9 Konstitusi 1947 yang berisi tentang ketergantungan Jepang terhadap payung militer AS, tetapi menjadi sekutu aliansi yang mandiri demi menghadapi ancaman kekuatan Tiongkok dan Korea Utara. Jadi kepentingan AS dalam mendorong perubahan kebijakan pertahanan dan keamanan Jepang adalah untuk ballance of threat yaitu berusaha menyeimbangi kekuatan militer Korea Utara dan Tiongkok, dengan strategi extended deterrence yang ditujukan pada Tiongkok dan Korea Utara. Tiongkok dan Korea Utara dianggap Amerika Serikat sebagai hambatan yang dapat menghalangi AS dalam mencapai kepentingan nasionalnya di kawasan ini, termasuk kepentingan investasi ekonominya pada jalur perdagangan Asia Pasifik.
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Adamy, Namzariga. Kebijakan Peacekeeping Operation Jepang di Kamboja : Suatu TinjauanTerhadap Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang Pasca Perang Dingin, Jakarta : UI, 2004. Akaha, Tsuneo. Japan Security After US Hegemony , The International Relation of Japan, Kathlen Newland : London Publishing Group, 1990. Anderson, Justin V & Jeffrey A. Larsen. Extended Deterrence and Allied Assurance: Key Concepts and Current Challenges for U.S. Policy,Colorado: USAF Institute for National Security Studies, September 2013. Anggoro, Kusnanto. Makalah Pembanding Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII: Keamanan Nasional, Pertahanan Negara dan Ketertiban Umum, Jakarta: CSIS, 2003. Art, Robert J & Robert Jervis Robert.International Politics Enduring Concepts and Contemporary Issues, New York : Pearson Longman, 2007. Ashley J.T., & Janice Bially. Measuring National Power in the Postindustrial Age. New York: Rand, 2000. Avery Emma & Rinehart Ian E. U.S – Japan Alliance. Congressional Research Service: December 2013. Beck, Paul Allen dan Frank J.Sorauf. (1992). Party Politics in America. USA : HarperCollins Publisher Betts, Richard K. Conflict After the Cold Arguments on Cause of War and Peace, Mac Millan Publishing Company, 1994. Burchill, Scott. Theoris of International Relation, New York : Palgrave, 1996. Biddle, Stephen. Military Power: Explaining Victory and Defeat In Modern Battle. New Jersey: Princeton University Press, 2004. Bishop, Chris (eds) The Encyclopedia of Weapons of World War II. Barnes & Nobel. 1998. Buzan, Barry.“An Introductionto Strategic Studies: Military Technology and International Relations” dalam ikrar Nusa Bakti, “Forum Regional ASEAN dan Pengaturan Keamanan Regional di Asia Pasifik”..Jurnal Ilmu Politik, No.10 1997. Buzan, Barry & Eric Herring, The Arms Dynamic in World Politics, (London:Lynne Rienner Publisher, 1998) Dupuy, Trevor N.International military and defence Encylopedia : vol : 1-6 Brassery’s (US) NY : 2012 Cossa, R A. The U.S Asia-Pacific Secuirity Strategy for the Twenty-First Century, pada The Security Environment in The Asia-Pacifi, (eds) Tien H & T. Cheng. New York: M.E. Sharpe & An East Gate Book, 2000. Creswell, John W. 1994. Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks : SAGE Publications,IncCharles,William Maynes. The perils of (and for) an Imperial America, foreign Policy, Summer, 1998.
x
Dosch, John. 2004. “The United States in the Asia Pacific”, pp. 17-34 in Michael K Connors, Remy Davidson, Jorn Dosch (eds), The New Global Politics of the Asia-Pacific. Kim, Suk Hi, Terence Roehrig adn Bernhard Seliger. The Survival of North Korea.USA: McFarland & Company, Inc. Publishers, 2011. Kodansha Encyclopedy of Japan. Tokyo: Kodansha.1983. Gray, Colin. “The Arm Race Phenomenon”, dalam Bilveer Singh, The Chalenge of Conventional Arms Proliferation In East Asia , CSIS, Jakarta:1995. Gill, Stephen & David Law. Perspective, Problems and Policies, Baltimore: The Hopkins University Press, 1998. Griffiths, M. Fifty Key Thinkers in International Relations. New York: Routledge. 2001. Goldstein, Joshua S. International Relations. Longman, 2004. Halloran, Richard. “Japan’s Military Force: Return of The Samurai”. Parameters, No. 25, Winter, 1995. Herz, John. Political Realism and Political Idealism : A Study in Theories and Realities, Chicago : Chicago University Press, 1951. Hughes, Christopher W. Japan’s Remilitarisation. New York: Routledge. 2009. Irsan, Abdul. Budaya dan Perilaku Politik Jepang di Asia. Jakarta : Grafindo, 2007. Irsan, Abdul. Jepang: Politik Domestik, Global, dan Regional. Makassar: Hasanuddin University Press, 2005. Jackson, R. & Sorensen, G. Introduction to International Relations, Oxford University Press. 1999. Lilley, James. “Foreword” in Military Modernization.1996. London: TJ Press. Maswood, Javed S. Japanese Defence : The Search for Political Power, Singapura: ISEAS, 1990. Murata, Koji. “Japan Military Cooperation and Alliances in the Asia-Pacific Region”pada pada The Security Environment in The Asia-Pacifi, (eds) Tien H & T. Cheng. New York: M.E. Sharpe & An East Gate Book, 2000. Morrison, Charles E.,2003. 200. Asia Pacific Security Outlook, Tokyo: Japan Center for International Exchange, Inc. Papp, Daniel S. Contemproray International Relations: Framework for Understanding, US: Maemilan College, 1997. Prabhakar, Lawrence W, Joshua H. Ho, and Sam Bateman. The Evolving Maritime Balance of Power in the Asia Pacific. Singapore: Institute of Defense and Strategic Security dan World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2006. Reinard, John C. Communication Research Statistics, SAGE, 2006. Shambaugh, David & Yahuda Michael. International Relations of Asia (Asia in World Politics). New York: Rowman & Littlefields Publisher, Inc, 2009. Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. Hubungan Internasional : Perpektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Sutter, R. G. China’s Rise in Asia: Promises and Perils. Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005. ___________. The United States in Asia: Challenged but Durable Leadership Lanham, MD: Rowman & Littlefield, 2005.
xi
Tjeng, Lie Tek. Percaturan politik di kawasan Asia Pasifik. Jakarta: PT karya universe, 1983. Waltz, Kenneth N. Foreign Policy and Democratic Politics: The American and British Experience. Little, Brown and Company. New York: 1967. Waltz, Kenneth N. Theory of Internasional Politics, Addison-Wesley Publishing Company, Philippines, 1979 Wang, Ke. Japan’s “Defense” Policy: Strengthening Conventional Offensive Capability, University of Pennsylvania, 2008. Wardani, Wahyu. Realm Asia Timur. Malang: Universitas Negeri Malang, 2009.
Jurnal : Deming, Rust, 2004. “Japan’s Contitution and Defense Policy: Entering New Era” . Jurnal Strategi Forum 213 Nov. East Asian Strategic Review 2000, “A New Legal Framework for Japan-U.S. Defense Cooperation”, Vol. XI, No. 12, Tokyo: The National Institue for Defense Studies, 2000. Hughes, C. W. (2009). "Super-sizing" the DPRK threat: Japan's evolving military posture and north korea. Asian Survey, Vol 49(2), 291-311. Jervis, R. "Cooperation under the Security Dilemma," World Politics vol. 30, no.2, January 1978. Juwana, Hikmahanto. Japan’s Defence Conception and it’s Implication For Southeast Asia, The Indonesian Quarterly, Vol XXI, No. 4, Fourth Quarter. 1993. Karismaya, Hesti. Manajemen Konflik Jepang-Cina dalam Mengatasi Sengketa Kepulauan Senkaku. Journal ilmu hubungan internasional, Mei Vol 127, Universitas Mulawarman, 2013 Khairunissa. Kebijakan Militer Amerika Serikat di Kawasan Asia Pasifik 2009-2012. Ejournal Ilmu Hubungan Internasional Universitas Mulawarman Volume 1 No.3 589-604, 2013. Lim, Robyn. (2002). Limits of U.S.-japan alliance. Far Eastern Economic Review, Vol 165 (17), p.20. Mergel, S., & Dueck, C. (2012). Hard line: The republican party and U.S. foreign policy since world war II. Journal of American Studies, volume 46(2), 517518 Monica, Sandra. Strategi Jepang Menghadapi Rusia Terhadap Sengketa Kepulauan Kuril Tahun 2008-2012, Universitas Riau, 2013. Moore, Gregory J., 2008. “How North Korea Threatens China’s Interests: Understanding Chinese duplicity’ on the North Korean Nuclear Issue”, International Relations of the Asia Pacific, Volume 8, Nakanishi, Hiroshi. Toward a New Foreign Policy Doctrine. Vol. 44, No 23. Japan Inst. of International Affairs, 2003 Park, Young June. Japan’s National Defense Program Guidelines 2010 and Its Implication to South Korean Security Policies, Republic of Korea: The East Asia Institute Journal Vol. 56, 2010.
xii
Prajuli, Wendy A. Amandemen Pasal 9 Konstitusi Jepang: Mungkinkah Berhasil Dilakukan?.Jurnal Hubungan Internasional II Volume III No. 2 Februari 2008. Rosa, Rizki. Dual-Use Technology Jepang dan Kepentingan Keamanan Nasional AS. Jurnal Hubungan Internasional II Volume III No. 2 Februari 2008. Sinaga, Obasatar. Aliansi Jepang-Amerika Serikat dalam Menghadapi Pembangunan Kapabilitas Militer China dan Korea Utara. Jurnal Hubungan Internasional II Volume II No. 1 Februari 2007. Sukma, Rizal. Kebangkitan dan Peran Strategis Cina dalam Kerja Sama Asia Timur: Perspektif Indonesia. Analisis CSIS Vol. 38 No. 3 September 2009. Suryohadiprojo, Sayidiman. Kebijakan Pertahanan Jepang. Jurnal Studi Jepang Volume 1, Jakarta: Universitas Indonesia, 1999. Shoji, Tomotoka “Japan’s Security Outlook: Security Chalange and the New National Defense Program Guidelines”, dalam Security Outlook of the AsiaPasific Countries and Its Implications for the Defense Sector. NIDS Joint Research Series No. 6, 2011. Walt. Stephen M. Spring. 1985. Alliance Formation and the Balance of World Power. International Security Vol 9 No. 4. MIT Press. Hal 4 Skripsi : Bimantara, Faris. “Pengaruh Pangkalan Militer AS di Okinawa (Jepang) terhadap Kerjasama Bilateral AS-Jepang dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan Periode 2001-2006”.Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012. Handayani, Rosy. “Transformasi Pertahanan Jepang Pasca Perang Dingin (19902007)”. Universitas Indonesia: Jurusan Hubungan Internasional, 2008. Nugraha, Satya. “Dampak Nasionalisasi Kepulauan Senkaku terhadap Hubungan Jepang – Cina 2012-2013”. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakart, 2014. Dokumen Resmi : Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. US Annual Report to Congress on The Military Power of The PRC 2003 _______________________. Document of Army Strategic Planning Guidance 2012 ______________________. Document of Sustaining US Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense 2012 Kementerian Pertahanan Jepang. National Defense Program Guidelines 2004 ________________________. National Defense Program Guidelines 2010 ________________________. National Defense Program Guidelines 2012 Security Consultative Committee U.S-Japan. Joint Statement Document 2010 ___________________________________. Joint Statement Document 2012 Konstitusi Jepang. Diakses dari http://japan.kantei.go.jp/constitution_and_government_of_japan/constitution _e.html pada 20 Desember 2014 Koran dan Media Online: Harian Kompas 19 Februari 2007, Hal.7 Harian Kompas 5 Maret 2007, Hal.8
xiii
Harian Republika 30 Agustus 2006, Hal 12. Harian Tempo 21 Agustus 2006, Hal.5 ABC News. Diakses dari http://abcnews.go.com/ pada 9 Desember 2014 Antara News, http://www.antaranews.com/berita/364372/as-akan-lanjutkankebijakan-penyeimbangan-kembali-di-asia-pasifik diakses pada 3 Desember 2014 BBC News, http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/6036491.stm diakses pada 5 Oktober 2014 China Daily, 19 Desember 2003. Diakses dari http://eresources.pnri.go.id:2056/docview/257710001?pq-origsite=summon pada 24 Desember 2014 Deutsche Welle News http://www.dw.de/alliance+U.S=Japan diakses pada 16 November 2014 The Diplomat Magazine, http://thediplomat.com/2014/12/the-okinawa-reality/ diakses pada 15 November 2014 KBS News. Pada 24 Desember 2014 dan diakses dari http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/news_02.htm New
York Times http://www.nytimes.com/2014/05/09/opinion/japans-pacifistconstitution.html diakses pada 13 November 2014
The Straits Times. www.straitstimes.com diakses pada 30 Desember 2014 Tempo
Online http://www.tempo.co/read/news/2012/04/27/116400174/AmerikaSerikat-Tarik-Marinirnya-dari-Okinawa diakses pada 10 November 2012
Website: Bibby, John F. Political Parties in the United States, 2005. diakses dari https://www15.uta.fi/FAST/US4/REF/pparties.html pada 25 Desember 2014 Geographic, 2014. Dikases dari http://www.geographic.org pada 20 November 2014 Global Security http://www.globalsecurity.org pada 5 November 2014 Halloran, Richard. Real Clear Politics: January 08, 2007 diakses dari http://www.realclearpolitics.com/articles/2007/01/japans_defense_chang_sy mbolic pada 6 Juni 2014 The Foregin Policy Initiative, “The Pivot to Asia” http://www.foreignpolicyi.org/content/obama-administrations-pivot-asia diakses pada 6 Desember 2014 Jakarta International Defence Dialogue, 2012. Diakses dari http://www.apsdex.com/jidd-2014/ Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat. http://www.state.gov diakses pada 20 November 2014 Kementerian Luar Negeri Jepang http://www.mofa.go.jp diakses pada 19 Juni 2014. Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. http://www.defense.gov diakses pada 19 November 2014 Kementerian Pertahanan Jepang. http://www.mod. go.jp diakses pada 15 Juli 2014
xiv
Nikkei Asian Review http://asia.nikkei.com/japan+constitution+1947 diakses pada 18 Oktober 2014 Military Ballance. https://www.iiss.org pada 8 Oktober 2014 Politics Stacks Exchange http://politics.stackexchange.com/questions/817/does-theus-republican-party-have-a-demographics-problem diakses pada 14 Desember 2014 Project 2049 Institute, U.S.-Japan Exchange Program Capstone Report. http://www.project2049.net diakses pada 28 November 2014. Toki, Masako. “Japan's Defense Guidelines”: New Conventional Strategy, Same Old Nuclear Dilemma. 2011. http://www.nti.org/analysis/articles/japans-defenseguidelines/ diakses pada 21 April 2013 United Nations Office for Disarmament Affairs (UNODA). diakses dari http://www.un.org/disarmament/WMD/Nuclear/NPT.shtm pada 1 November 2014 US Census Bureau 2012. Diakses dari https://www.census.gov/foreigntrade/balance/c0016.html pada 15 Desember 2014 World Bank. Dari http://data.worldbank.org/indicator/MS.MIL.XPND.GD.ZS pada 25 September 2014 Xu, Beina. “The U.S.-Japan Security Alliance”. Council on Foreign Relations: diakses dari http://www.cfr.org/japan/us-japan-security-alliance/p31437 pada 24 September 2014 Yani, Yanyan Mochammad. Politik Luar Negeri. Universitas Padjajaran Bandung: 2007 diakses melalui http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/politik_luar_negeri.pd f pada 4 Februari 2015
xv