w w w .bpkp.go.id
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR: PER- 434 /K/SU/2011 TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA BUKAN KEKURANGAN PERBENDAHARAAN DI LINGKUNGAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib administrasi di bidang keuangan negara khususnya kerugian keuangan negara sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum/kelalaian yang dilakukan oleh Pegawai Negeri bukan Bendahara dalam melaksanakan tugasnya perlu segera diselesaikan dengan melakukan tuntutan ganti rugi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tentang Pedoman Penyelesaian Kerugian Negara Bukan Kekurangan Perbendaharaan di Lingkungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; Mengingat : 1. 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW, Staatsblad 1847 Nomor 23); 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150); 4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3448); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4488) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4652); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4890); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 135);
w w w .bpkp.go.id
10. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005; 11. Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4212) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lemberan Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418); 12. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; 13. Keputusan Presiden Nomor 68/M Tahun 2010; 14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 31/PMK.07/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Usul, Penelitian, dan Penetapan Penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah dan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.07/2005; 15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara; 16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara; 17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang Kementerian Negara /Lembaga dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih. MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA BUKAN KEKURANGAN PERBENDAHARAAN Dl LINGKUNGAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ini yang dimaksud dengan: 1. Kerugian Negara Bukan Kekurangan Perbendaharaan, selanjutnya disebut Kerugian Negara, adalah berkurangnya kekayaan negara sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun karena kelalaian seseorang dan atau disebabkan sesuatu keadaan di luar dugaan dan atau di luar kemampuan manusia (force majeure). 2. Jumlah Kerugian Negara adalah perhitungan berkurangnya kekayaan negara yang ditetapkan dengan bukti-bukti yang sah (masuk akal, dapat dipertahankan, mempunyai dasar hukum). 3. Kekayaan Negara adalah uang dan atau barang milik negara yang berasal/dibeli dengan dana yang bersumber seluruhnya atau sebagian dari APBN atau yang diperoleh dengan cara lain yang sah yang dikuasai/dibawah pengurusan Kementerian Keuangan baik di dalam maupun di luar negeri. 4. Tim Penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi, yang selanjutnya disebut TPTGR, adalah tim yang menangani penyelesaian kerugian negara yang diangkat oleh Kepala BPKP. 5. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau perbuatan melanggar hak orang lain atau berlawanan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat
w w w .bpkp.go.id
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Kelalaian adalah melakukan sesuatu dengan kurang melihat ke depan atau kurang mempertimbangkan secara tepat terhadap akibat yang akan terjadi atau tidak melakukan kewajiban untuk berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang semestinya dilakukan yang merupakan tanggung jawabnya. Wanprestasi adalah suatu keadaan apabila pihak yang berkewajiban melakukan sesuatu dengan surat perintah atau dengan suatu akta sejenis telah dinyatakan lalai, atau jika perikatannya sendiri menetapkan bahwa pihak yang berkewajiban itu harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Keadaan memaksa (force majeure) adalah suatu keadaan yang terjadi di luar dugaan dan/atau kemampuan manusia yaitu gempa bumi, tsunami, badai, banjir, huru-hara, pemogokan, embargo, perang, kebakaran, peledakan, sabotase, atau ditetapkan oleh Pemerintah sehingga membebaskan pihak yang menimbulkan kerugian dari kewajiban mengganti kerugian. Tuntutan Ganti Rugi (TGR) adalah suatu proses tuntutan yang dilakukan terhadap pegawai negeri bukan Bendahara sebagaimana dimaksud Pasal 63 UU Nomor 1 Tahun 2004 dengan tujuan untuk mendapatkan penggantian atas suatu kerugian yang diderita oleh negara sebagai akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pegawai negeri tersebut dalam rangka tugas jabatannya dan atau melalaikan tugas kewajibannya. Pegawai Negeri adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepala Kantor/Satuan Kerja adalah Kepala Direktorat/Kepala Biro/Kepala Pusat/lnspektorat di BPKP Pusat dan Kepala Perwakilan BPKP di tingkat daerah. Atasan langsung dari Kepala Kantor/Satuan Kerja adalah Kepala BPKP untuk Kepala Perwakilan, Kepala Pusat dan Inspektur, Sekretaris Utama untuk Kepala Biro dan Deputi untuk Direktur. Hubungan sebab akibat antara kerugian yang diderita oleh negara dengan perbuatan melawan hukum/kelalaian pegawai negeri bersangkutan, adalah kerugian negara yang hams merupakan akibat secara langsung ataupun tidak langsung karena perbuatan melawan hukum dan/atau kelalaian pegawai negeri dalam rangka menjalankan tugas kewajibannya. Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTM) adalah keterangan yang merupakan pengakuan serta kesanggupan secara tertulis di atas meterai yang cukup dari pegawai negeri bukan Bendahara untuk mengembalikan kerugian negara secara sukarela dalam waktu tidak lebih dari 24 bulan. Surat Pernyataan Bertanggungjawab (SPB) adalah pernyataan tertulis yang dibuat oleh pegawai negeri/pihak ketiga yang merugikan negara dan merupakan pengakuan serta kesanggupan untuk mengganti secara sukarela walaupun jumlah kerugian negara belum dapat dipastikan. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Penghapusbukuan Piutang Negara (PPN) adalah rangkaian kegiatan untuk menghapuskan suatu piutang negara dari administrasi piutang negara yang berdasarkan alasan-alasan tertentu tidak dapat ditagih. PPN ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dan tidak menghapuskan Hak Tagih Negara.
w w w .bpkp.go.id
18. Penghapusan Piutang Negara adalah rangkaian kegiatan dan usaha untuk menghapuskan suatu piutang negara dari administrasi piutang negara yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan karena berdasarkan alasan-alasan daluwarsa menurut KUH Perdata. 19. Pihak Ketiga adalah orang atau badan yang bukan pegawai negeri tetapi dianggap bertanggung jawab atau ikut bertanggung jawab atas kerugian negara. 20. Pembebasan Tagihan Negara adalah upaya untuk meniadakan kewajiban seseorang untuk membayar hutang kepada negara baik sebagian atau seluruhnya yang menurut hukum menjadi tanggung jawabnya berdasarkan alasan pertimbangan keadilan, kondisi sosial ekonomi pegawai bersangkutan. 21. Pengawasan Atasan Langsung adalah serangkaian kegiatan yang bersifat pengendalian yang terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 22. Pembebasan Tagihan Negara adalah upaya untuk meniadakan kewajiban seseorang untuk membayar hutang kepada negara baik sebagian atau seluruhnya yang menurut hukum menjadi tanggung jawabnya berdasarkan alasan pertimbangan keadilan,kondisi sosial ekonomi pegawai bersangkutan. 23. Pengawasan Atasan Langsung adalah serangkaian kegiatan yang bersifat pengendalian yang terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB II TUJUAN DAN FUNGSI
(1)
(2)
Pasal 2 Pedoman Penyelesaian Kerugian Negara Bukan Kekurangan Perbendaharaan bertujuan untuk menangani masalah kerugian negara bukan kekurangan perbendaharaan, sehingga kerugian negara segera dikembalikan. Dalam pelaksanaannya, Pedoman Penyelesaian Kerugian Negara Bukan Kekurangan Perbendaharaan mempunyai fungsi untuk meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai/pejabat serta administrasi menjadi lebih tertib.
BAB III PENGUNGKAPAN, PELAPORAN, DAN PEMBUKTIAN KERUGIAN NEGARA Pasal 3 Negara dapat
(1) Pengungkapan Kerugian diketahui sumber/informasi, yaitu: a. pengawasan Atasan Langsung; b. pemeriksaan oleh Aparat Pengawasan Fungsional; c. informasi lain.
dari
berbagai
(2) Pelaporan terjadinya kerugian negara atau terdapat sangkaan/dugaan terjadinya kerugian negara merupakan kewajiban bagi pegawai atau pejabat di lingkungan BPKP yang mengetahui terjadinya kerugian negara atau terdapat sangkaan/dugaan terjadinya kerugian negara tersebut. (3) Pembuktian Kerugian Negara merupakan langkah selanjutnya yang perlu dilakukan dengan cara segera mengadakan penelitian dan mengumpulkan bahan bukti mengenai kerugian negara untuk melengkapi laporan yang telah disampaikan.
w w w .bpkp.go.id
BAB IV PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA
(1)
(2)
(3)
Pasal 4 Penyelesaian kerugian negara bukan kekurangan perbendaharaan terdiri dari: a. penyelesaian secara sukarela; b. tuntutan ganti rugi (TGR); c. pembebasan penuntutan; d. penyelesaian administrasi. Penyelesaian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b perlu memperhatikan: a. tindakan pendahuluan sebagai upaya untuk memperoleh kelengkapan bukti sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan proses TGR; b. proses TGR; c. penyelesaian berdasarkan Ketentuan Hukum Perdata; d. penuntutan berdasarkan Ketentuan Hukum Pidana; e. penyelesaian berdasarkan Hukum Pidana Khusus;. Penyelesaian kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan apabila kerugian negara menyebabkan barang milik negara memenuhi persyaratan untuk penghapusan barang milik negara, maka penyelesaian administrasi selanjutnya adalah penghapusan barang inventaris. BAB V PENAGIHAN
(1)
(2)
Pasal 5 Untuk pemulihan kerugian keuangan negara dilakukan dengan: a. penagihan, dan dapat dilakukan upaya penagihan secara paksa; b. penghapusan piutang negara; c. pembebasan tagihan negara; d. pengembalian kelebihan tagihan negara. Penghapusan piutang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui tahap: a. penghapusbukuan piutang negara; b. penghapusan piutang negara. BAB VI SANKSI TUNTUTAN GANTI RUGI
Pasal 6 Sanksi yang dapat dikenakan terhadap pegawai negeri bukan Bendahara selain mengganti kerugian adalah: 1. sanksi kepegawaian; 2. sanksi perdata; atau 3. sanksi pidana. BAB VII ORGANISASI DAN PENATAUSAHAAN Pasal 7 Organisasi yang melaksanakan proses penyelesaian kerugian negara, terdiri dari: 1. Kepala Kantor atau Satuan Kerja untuk tingkat perwakilan, pusat-pusat, dan Inspektorat; 2. Kepala BPKP dan Tim TPTGR untuk tingkat pusat; Pasal 8 (1) Penatausahaan kasus kerugian negara oleh Tim TPTGR dan setiap pimpinan unit organisasi di lingkungan BPKP wajib dilaksanakan.
w w w .bpkp.go.id
(2) Kewajiban penatausahaan sebagaimana dimaksud dilaksanakan secara sistematis, tertib dan kronologis.
pada
ayat
(1)
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pedoman Penyelesaian Kerugian Negara Bukan Kekurangan Perbendaharaan di Lingkungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebagaimana tercantum dalam lampiran ini merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan ini. Pasal 10 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Mei 2011 KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN, ttd. MARDIASMO
w w w .bpkp.go.id
LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN NOMOR : PER - 434/K/SU/2011 TANGGAL : 5 Mei 2011 BAB I PENGUNGKAPAN, PELAPORAN, DAN PEMBUKTIAN KERUGIAN NEGARA
A.
PENGUNGKAPAN KERUGIAN NEGARA 1. Pengungkapan Kerugian Negara Kerugian negara dapat diketahui dari berbagai sumber/informasi yaitu; a. Pengawasan Atasan Langsung Apabila di dalam pelaksanaan pengawasan melekat ditemukan/ diduga terdapat kerugian negara, maka pengungkapan kerugian negara tersebut dilakukan sesegera mungkin pada kesempatan pertama (Contoh Formulir-1). b. Pemeriksaan oleh Aparat Pengawasan Fungsional 1) Inspektorat Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2) Badan Pemeriksa Keuangan Rl (BPK-RI). Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan fungsional ditemukan/diduga terdapat kerugian negara, maka pengungkapan kerugian negara tersebut dilakukan sesegera mungkin pada kesempatan pertama (Contoh Formulir-2). c. Informasi Lain 1) Pemberitaan media massa baik dari koran, majalah, radio, televisi maupun media massa lainnya. 2) Pengaduan langsung dari masyarakat yang dapat berasal dari perorangan/kelompok maupun lembaga/badan hukum. 3) Keputusan pejabat yang berwenang yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. 4) Laporan pejabat/pegawai berdasarkan PP Nomor 53 Tahun 2010. Dalam hal diperoleh informasi melalui sumber-sumber dimaksud, maka: Dalam hal diperoleh informasi melalui sumber-sumber dimaksud, maka: 1) Jika terjadi kehilangan barang, laporan ditujukan ke Biro Umum; 2) Jika terjadi kehilangan uang, laporan ditujukan ke Biro Keuangan; 3) Jika terdapat pengaduan maka dilaporkan ke Inspektorat. Selanjutnya penerima laporan dapat mengupayakan data tertulis mengenai hal tersebut dan dapat minta kepada unit dimana diduga terjadi peristiwa yang merugikan negara agar segera melaporkan hal tersebut menurut tata cara pelaporan sebagaimana diatur dalam Bab II.B. Petunjuk ini (Contoh Formulir-3) 2. Pengelolaan Informasi a. Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib meneliti apakah informasi yang diterima tersebut mengenai/berhubungan dengan kekayaan negara yang diurus/menjadi tanggung jawabnya. b. Apabila informasi tersebut mengenai/berhubungan dengan kekayaan negara yang diurus/menjadi tanggung jawabnya, maka Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib meneliti kembali apakah hal tersebut telah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti dalam rangka proses penyelesaian kerugian negara. c. Penelitian pada huruf b di atas dituangkan dalam bentuk Berita Acara Pemeriksaan/Penelitian, yang dimaksudkan untuk memperoleh kepastian mengenai: 1) Jumlah/besarnya kerugian negara. 2) Pihak-pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kerugian negara.
w w w .bpkp.go.id
3) Bukti-bukti tertulis yang dapat dipertanggungjawabkan untuk mendukung butir 1) dan 2) di atas. B.
PELAPORAN KERUGIAN NEGARA 1. Kewajiban Melapor Apabila terjadi kerugian negara atau terdapat sangkaan/dugaan bahwa Negara c.q. BPKP dirugikan, maka: a. Pegawai atau pejabat di lingkungan BPKP yang mengetahui adanya hal tersebut wajib segera melaporkan kepada atasannya secara lisan ataupun tertulis (Pasal 3 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010) {Contoh Formulir-4). b. Kepala Kantor/Satuan Kerja yang mengetahui atau menerima laporan tentang adanya hal tersebut di atas, selambat-lambatnya 1 (satu) hari setelah mengetahui atau mendapat laporan wajib melakukan penelitian/pemeriksaan atas kejadian atau sangkaan/ dugaan tersebut, dan melaporkannya sesuai dengan tata cara yang tersebut pada butir 2 berikut ini. 2. Tata Cara Pelaporan dan Tindakan yang Harus Dilakukan a. Bilamana terjadi kerugian negara atau terdapat sangkaan/dugaan bahwa negara c.q. BPKP dirugikan, maka Kepala Kantor/Satuan Kerja mengambil tindakan sebagai berikut: 1) Kerugian Negara yang Diakibatkan oleh Perbuatan Pegawai Negeri Bukan Bendahara. a) Membuat Berita Acara Pemeriksaan (Contoh Formulir-5). b) Mengupayakan penyelesaian kerugian negara dengan cara sukarela menurut tata cara sebagaimana diatur dalam BAB II A Petunjuk ini. c) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadi kerugian negara atau terdapat sangkaan/dugaan bahwa negara dirugikan, membuat laporan kepada Kepala BPKP (Contoh Formulir-9), dengan melampirkan: (1) Daftar pertanyaan untuk menyusun laporan kerugian negara guna keperluan proses tuntutan ganti rugi dan Jawaban atas pertanyaannya (Contoh Formulir-10). (2) Berita Acara Pemeriksaan (Contoh Formulir-5). (3) Apabila kerugian negara dapat diselesaikan dengan cara sukarela, dilampirkan pula Surat Pernyataan Bertanggungjawab (SPB) apabila jumlah kerugian negara belum pasti (Contoh Formulir-6), atau Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTM) apabila jumlah kerugian negara sudah pasti (Contoh Formulir-7). (4) Bukti-bukti lain yang berkaitan dengan kasusnya. Tembusan laporan disampaikan kepada: (1) Sekretaris Utama dan Inspektur. (2) Ketua Tim Penyelesaian Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi (Tim TPTGR). (3) Kepala Biro Keuangan. (4) Kepala Biro Umum. (5) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerjabersangkutan. 2) Kerugian Negara yang Diakibatkan oleh Perbuatan Pihak Ketiga: a) Pencurian dan Perampokan. (1) Melaporkan kejadian tersebut secara tertulis kepada pihak Kepolisian setempat (Contoh Formutir-11). (2) Membuat Berita Acara Pemeriksaan terhadap pegawai/pejabat yang bertanggung jawab atas pengurusan uang atau barang yang dicuri, dirampok, dan sebagainya (Contoh Formulir-5) (3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadi kerugian negara atau terdapat sangkaan/dugaan bahwa negara dirugikan, membuat laporan kepada Kepala BPKP (Contoh Formulir-9); dengan melampirkan:
w w w .bpkp.go.id
(a) Daftar pertanyaan untuk menyusun laporan kerugian Negara guna keperluan proses tuntutan ganti rugi (Contoh Formulir-10) dan jawaban atas pertanyaannya. (b) Berita Acara Pemeriksaan (Contoh Formulir-5). (c) Foto copy Laporan Kejadian (Contoh Formulir-11). (d) Surat Keterangan dari pihak Kepolisian setempat di Tempat Kejadian Perkara (TKP). (e) Bukti-bukti iainnya yang berkaitan dengan kasusnya. Tembusan laporan disampaikan kepada: (a) Sekretaris Utama dan Inspektur. (b) Ketua Tim TPTGR. (c) Kepala Biro Keuangan. (d) Kepala Biro Umum. (e) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. b) Wanprestasi (1) Membuat Berita Acara Pemeriksaan terhadap pegawai/pejabat yang bertanggung jawab atas pengurusan uang atau barang (Contoh Formulir-5) (2) Mengupayakan penyelesaian kerugian negara terhadap pihak ketiga yang wanprestasi dengan cara sukarela menurut tata cara sebagaimana diatur dalam BAB II A. (3) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadi kerugian negara atau terdapat sangkaan/dugaan bahwa negaradirugikan, membuat laporan kepada Kepala BPKP (Contoh Formulir-9), dengan melampirkan: (a) Daftar pertanyaan untuk menyusun laporan kerugian Negara guna keperluan proses tuntutan ganti rugi (Contoh Formulir-10) dan Jawaban atas pertanyaannya. (b) Berita Acara Pemeriksaan (Contoh Formulir-5). (c) Bukti-bukti Iainnya yang berkaitan dengan kasusnya. Tembusan laporan disampaikan kepada: (a) Sekretaris Utama dan Inspektur. (b) Ketua Tim TPTGR. (c) Kepala Biro Keuangan. (d) Kepala Biro Umum. (e) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. 3. Kerugian Negara yang Diakibatkan oleh Peristiwa di Luar Kemampuan Manusia {force majeure). a) Membuat Berita Acara Pemeriksaan terhadap pegawai/pejabat yang bertanggung jawab atas pengurusan uang atau barang (Contoh Formulir-5). b) Membuat Laporan Kejadian kepada Kepolisan setempat (Contoh Formulir-11). c) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah terjadi kerugian negara membuat laporan kepada Kepala BPKP (Contoh Formulir-13) dengan melampirkan: (1) Daftar pertanyaan untuk menyusun laporan kerugian negara guna keperluan proses tuntutan ganti rugi (Contoh Formulir- 10) dan jawaban atas pertanyaannya. (2) Berita Acara Pemeriksaan (Contoh Formulir-5). (3) Surat Keterangan/Keputusan dari instansi yang berwenang tentang suatu kejadian/keadaan yang bersifat force majeure (bila ada). Tembusan laporan disampaikan kepada: (1) Sekretaris Utama dan Inspektur. (2) Ketua Tim TPTGR. (3) Kepala Biro Keuangan. (4) Kepala Biro Umum.
w w w .bpkp.go.id
b.
c.
d.
e.
f.
g.
(5) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. Apabila kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan pegawai negeri bukan Bendahara tersebut mengandung unsur tindak pidana khusus (sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dan atau Undangundang Nomor 5 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi), maka dalam laporan kepada Kepala BPKP tersebut wajib dinyatakan adanya unsur tindak pidana khusus, sedangkan penyerahan perkaranya kepada Kepolisian atau Kejaksaan dilakukan setelah diperoleh petunjuk dari Kepala BPKP c.q Deputi Bidang Investigasi dan Kepala Biro Hukum dan Humas. Apabila Kepala Kantor/Satuan Kerja tidak dapat menyelesaikan sendiri permasalahan dimaksud, maka selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah diketahui adanya kerugian negara harus melaporkan kepada Kepala BPKP, dengan disertai dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kasusnya (Contoh Formulir-14). Tembusan laporan disampaikan kepada: 1) Sekretaris Utama dan Inspektur. 2) Ketua Tim TPTGR. 3) Kepala Biro Keuangan. 4) Kepala Biro Umum. 5) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. Pejabat Atasan Langsung Kepala Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan yang menerima tembusan laporan dimaksud pada butir 2 huruf c di atas, wajib menyampaikan pendapat kepada Kepala BPKP melalui Tim TPTGR bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima tembusan laporan tersebut, mengenai: 1) Sanksi kepegawaian berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku, dan/atau 2) Usulan penyelesaian kerugian negara bersangkutan. Tim TPTGR meneliti tembusan laporan dimaksud pada butir 2 dan pendapat Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan untuk kemudian menyampaikan pendapat dan usul sebagaimana dimaksud pada huruf d di atas kepada Kepala BPKP. Tim TPTGR melaporkan dan memberikan pendapat serta usul tentang penyelesaian huruf d di atas kepada Kepala BPKP melalui Sekretaris Utama yang meliputi: 1) Apakah kerugian negara terjadi karena kesalahan atau kelalaian pegawai negeri bersangkutan, atau karena kesalahan atau kelalaian pihak ketiga atau karena sebab force majeure; 2) Apakah terhadap pegawai negeri yang karena kesalahan atau kelalaian mengakibatkan kerugian negara tersebut dapat dikenakan sanksi disiplin berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) Apakah kerugian negara tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada pegawai negeri bersangkutan atau kepada pihak ketiga; 4) Apakah dalam kasus kerugian negara tersebut mengandung unsur tindak pidana khusus dan apakah perlu diserahkan kepada Kejaksaan; 5) Apakah kerugian negara dapat diselesaikan secara sukarela. Pelaporan tindak lanjut penyelesaian kerugian negara dilaksanakan oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja kepada Kepala BPKP up. Sekretaris Utama sebulan sekali (Contoh Formulir-15). Tembusan laporan tindak lanjut tersebut di atas disampaikan kepada: 1) Ketua Tim TPTGR. 2) Kepala Biro Keuangan. 3) Kepala Biro Umum. 4) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja yang bersangkutan.
w w w .bpkp.go.id
C.
D.
PEMBUKTIAN KERUGIAN NEGARA 1. Oleh karena pengungkapan pertama pada umumnya tidak/belum cukup memberikan data/bukti yang kuat untuk keperluan tuntutan ganti rugi, maka setelah Kepala Kantor/Satuan Kerja melaporkan kerugian negara tersebut, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah segera mengadakan penelitian dan mengumpulkan bahan bukti untuk melengkapi laporan yang telah disampaikan, yaitu mengenai: a. Peristiwa terjadinya kerugian negara. b. Jumlah kerugian negara yang pasti. c. Siapa saja yang tersangkut (pegawai negeri, pejabat maupun pihak ketiga). d. Unsur salah (besar/kecilnya kesalahan) dari masing-masing pihak. e. Keterangan lain yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan, misalnya adanya putusan hakim (vonis), jumlah yang telah diganti dan sebagainya. 2. Dalam rangka pengumpulan data dan penelitian mengenai kerugian negara oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja dapat dibentuk Tim Pencari Fakta. Perlu tidaknya pembentukan Tim dimaksud tergantung pada bobot permasalahan kerugian negara. 4. Hasil penelitian dan pengumpulan bahan bukti mengenai kerugian negara tersebut dilaporkan kepada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama dengan menunjuk pada laporan sebelumnya. Tembusan laporan tersebut disampaikan kepada: a. Kepala BPKP. b. Ketua Tim TPTGR. c. Inspektur. d. Kepala Biro Keuangan. e. Kepala Biro Umum. f. Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja yang bersangkutan 5. Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib menyimpan bukti-bukti/berkasberkas yang berkaitan dengan kerugian negara tersebut. PENETAPAN BESARNYA KERUGIAN NEGARA Jumlah kerugian negara merupakan unsur yang menentukan dalam rangka menetapkan besarnya beban yang harus ditanggung oleh pihak yang mengakibatkan timbulnya kerugian negara. Pada prinsipnya mengenai besarnya tuntutan ganti rugi tidak boleh melebihi jumlah kerugian yang diderita negara. Untuk itu perlu diberikan petunjuk sebagai berikut: 1. Kerugian berupa Uang Jumlah kerugian negara ditetapkan berdasarkan jumlah selisih kurang yang terdapat dalam pembukuan dan/atau catatan lainnya. 2. Kerugian berupa Barang Pada dasarnya besarnya kerugian negara ditetapkan berdasarkan harga pada saat barang hilang/rusak (harga taksiran pada waktu hilangnya barang tersebut). Agar lebih jelasnya untuk masing-masing jenis barang ditentukan sebagai berikut: a. Kendaraan Bermotor. 1) Jumlah kerugian negara ditetapkan berdasarkan harga pasar pada saat kejadian (barang hilang) yaitu nilai jual kendaraan bermotor untuk menghitung Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) di instansi yang berwenang (Kepolisian/ Samsat) yang berlaku pada saat kejadian (barang hilang). 2) Jumlah kerugian negara, antara lain karena tabrakan, nilai kerugian negara ditetapkan berdasarkan nilai kerugian/biaya perbaikan.
w w w .bpkp.go.id
b.
c.
d.
e.
f.
3) Khusus terhadap sopir yang dalam rangka tugas jabatannya selaku demikian yang dalam tugas dinasnya mengemudikan kendaraan dinas bila terjadi tabrakan yang disebabkan oleh kelalaiannya maka yang bersangkutan bertanggungjawab sebesar 10% (sepuluh persen) dari biaya perbaikan kendaraan tersebut. Barang Peralatan Kantor (Bukan Mesin) dan Barang-barang lainnya. Jumlah kerugian negara ditetapkan berdasarkan standar nilai jual sesuai Surat Keputusan Bersama antara Direktorat Jenderal Anggaran dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasionai yang dikaitkan pula dengan standar harga sesuai Surat Keputusan Gubernur yang bersangkutan dengan pembanding harga pasar atau biaya perbaikan dalam hal terjadi kerusakan barang. Barang Peralatan Mesin-mesin Kantor. Jumlah kerugian negara ditetapkan berdasarkan standar nilai jual yang diterbitkan melalui Surat Keputusan Sekretaris Negara setiap tahun dengan pembanding harga pasar atau biaya perbaikan dalam hal terjadi kerusakan barang. Berbagai Jenis Obat dan Peralatan Medis. Jumlah kerugian negara ditetapkan berdasarkan standar harga oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan dan Pedagang Besar Farmasi setempat pada saat kejadian atau biaya perbaikan dalam hal terjadi kerusakan barang. Bangunan Jumlah kerugian negara ditetapkan berdasarkan perhitungan perkiraan nilai barang (bangunan) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, dikurangi penyusutan sesuai ketentuan yang berlaku, yaitu: 1) Bangunan Permanen sebesar 2 % per tahun. 2) Bangunan Semi Permanen sebesar 4% per tahun. 3) Bangunan Darurat sebesar 10% per tahun. Untuk bangunan tersebut diatas penyusutannya tidak boleh melebihi batas tertinggi sebesar 80% (delapan puluh persen). Apabila terjadi gagal bangunan, jumlah kerugian dihitung berdasarkan besarnya bagian bangunan yang tidak berfungsi atau besarnya nilai perbaikan terhadap bangunan yang tidak berfungsi, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Tanah Jumlah kerugian negara ditetapkan berdasarkan perkiraan nilai jual tanah yang berpedoman pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, juga memperhatikan pedoman harga tanah dari Pemerintah Daerah setempat pada tahun bersangkutan.
w w w .bpkp.go.id
BAB II PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA
A. PENYELESAIAN SECARA SUKARELA Setelah dilakukan penelitian, apabila ternyata terdapat bukti kuat bahwa seorang pegawai negeri bukan Bendahara baik sendiri maupun bersamasama dengan pegawai/pihak ketiga telah melakukan pelanggaran dan/atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian negara, maka dalam upaya memperoleh pergantian atas kerugian negara tersebut Kepala Kantor/Satuan Kerja dapat melakukan penyelesaian setempat dengan ketentuan bahwa pegawai negeri yang bertanggung jawab dapat mengembalikan kerugian negara yang menjadi tanggungjawabnya dalam waktu 2 x 24 jam terhitung sejak kerugian negara diketahui. Jika upaya tersebut tidak dapat dilakukan, Kepala Kantor/Satuan Kerja harus berusaha menyelesaikan masalah tersebut secara sukarela sedini mungkin untuk memperoleh penggantian atas kerugian yang diderita oleh negara dengan sepenuhnya, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dengan jaminan yang cukup sesuai dengan besarnya kerugian yang diderita oleh negara. 1. Syarat-Syarat Penyelesaian Secara Sukarela Kepala Kantor/Satuan Kerja mengusahakan menyelesaikan kerugian negara secara sukarela dengan syarat-syarat sebagai berikut: a. Jumlah kerugian negara sudah dapat diketahui dengan pasti; Kepastian jumlah kerugian negara tersebut ditetapkan oleh Tim TPTGR dengan bepedoman pada BAB I huruf D Pedoman ini; b. Adanya pengakuan dan pernyataan bertanggungjawab secara tertulis dan keinginan pegawai negeri bukan Bendahara untuk mengganti dengan sukarela atas kerugian negara yang dinyatakan dengan membuat dan menandatangani di atas materai cukup Surat Pernyataan Bertanggungjawab (SPB) apabila jumlah kerugian negara belum pasti (Contoh Formulir-6), atau Surat Keterangan Tanggungjawab Mutlak (SKTM) apabila jumlah kerugian negara sudah pasti (Contoh Formulir-7); c. Penyelesaian secara sukarela dengan SKTM harus disertai dengan jaminan yang nilainya sepadan dengan jumlah kerugian negara, yang dapat berupa : 1) Surat-surat berharga; 2) Surat-surat tanah; 3) Surat-surat kendaraan bermotor; 4) Bukti-bukti kepemilikan rumah/bangunan. Penyerahan surat-surat/bukti-bukti jaminan tersebut disertai dengan: 1) Surat Pernyataan Jaminan (Contoh Formulir-16), dan 2) Surat Kuasa untuk Menjual/Melelang/Menagih dari pegawai negeri bersangkutan atau yang diberi kuasa untuk itu bilamana yang bersangkutan tidak melaksanakan isi SKTM (Contoh Formulir-17). Asli surat-surat/bukti-bukti jaminan serta Surat Pernyataan Jaminan dan Surat Kuasa untuk Menjual/Melelang/Menagih tersebut diserahkan kepada Kepala Kantor/Satuan Kerja, sedangkan tembusan/foto copynya oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja, disampaikan kepada Pejabat Eselon I bersangkutan. d. Pemulihan kerugian negara tersebut dilaksanakan dalam waktu tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) bulan, terhitung sejak tanggal SPB/SKTM ditandatangani. e. SPB/SKTM dibuat dalam rangkap 6 (enam). Lembar pertama di atas kertas yang bermeterai cukup serta diketahui oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. 2. Tahap-Tahap Penyelesaian Secara Sukarela a. Penyelesaian secara sukarela untuk kerugian negara yang belum dapat dipastikan jumlahnya.
w w w .bpkp.go.id
1) Untuk menjamin kepentingan negara, walaupun kerugian negara jumlahnya belum dapat dipastikan, pegawai negeri yang merugikan negara tersebut dapat menyatakan bertanggung jawab atas seluruh kerugian negara dengan membuat SPB yang diketahui oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja. 2) Kepala Kantor/Satuan Kerja sebelum menandatangani untuk menyetujui SPB yang dibuat oleh pegawai negeri bersangkutan wajib mempertimbangkan apakah dengan cara tersebut kerugian negara dapat dipulihkan. Kepala Kantor/Satuan Kerja bertanggung jawab atas SPB yang telah ditandatanganinya. 3) Berdasarkan SPB tersebut, Kepala Kantor/Satuan Kerja melaporkan hal tersebut kepada Ketua Tim TPTGR dengan melampirkan: a) Copy SPB; b) Bukti tertulis yang dapat mendukung kepastian jumlah kerugian negara; c) Copy surat-surat jaminan (bila ada); Tembusan laporan disampaikan kepada: a) Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama; b) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja. 4) Berdasarkan bukti yang disampaikan oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja tersebut Kepala BPKP c.q. Ketua Tim TPTGR menetapkan besarnya kerugian negara. 5) Apabila Tim TPTGR memandang bukti yang disampaikan Kepala Kantor/Satuan Kerja belum dapat mendukung pembuktian jumlah kerugian negara maka Tim TPTGR dapat: a) Mencari bukti tambahan melalui Tim yang dibentuknya; b) Meminta pendapat kepada Atasan Langsung KepalaKantor/Satuan Kerja. 6) SPB dibuat dalam rangkap enam, lembar asli disimpan oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan, sedangkan lembar selanjutnya disampaikan kepada : a) Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama; b) Ketua Tim TPTGR; c) Kepala Biro Keuangan; d) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan; e) Pegawai yang bersangkutan. Penyampaikan SPB dimaksud dengan menggunakan Surat Pengantar. 7) Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib memantau pelaksanaan SPB tersebut. 8) Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib melaporkan pelaksanaan penyelesaian secara sukarela dengan SPB tersebut kepada Sekretaris Utama melalui Tim TPTGR dan mengusulkan agar: a) Terhadap pegawai negeri yang tidak melaksanakan isi SPB, dilakukan proses penuntutan; b) Terhadap pegawai negeri bersangkutan dikenakan sanksi administratif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) Dapat ditetapkan kembali jumlah kerugian negara yang harus dipertanggungjawabkan oleh pegawai negeri bersangkutansehubungan dengan adanya bukti baru Dalam memberikan laporan tersebut harus dilampirkan bukti pendukungnya. Tembusan lapaoran disampaikan kepada: a) Kepala Biro Keuangan; b) Kepala Biro Umum; c) Atasan Langsung Kepala kantor/Satuan Kerja bersangkutan.
w w w .bpkp.go.id
9) Ketua Tim TPTGR pada butir 5) diatas selanjutnya meneruskan usulan dengan disertai pertimbangan kepada Kepala BPKP up. Sekretaris Utama. 10) Apabila terdapat unsur pidana, penyelesaian secara sukarela tersebut tidak menutup kemungkinan pemrosesan lebih lanjut ke aparat penegak hukum. Kepala Kantor/Satuan Kerja menyampaikan laporan kepada Sekretaris Utama/Atasan Langsung Kepala Kantor/ Satuan Kerja untuk dipertimbangkan penerusannya kepada: a) Pihak Kepolisian setempat dalam hal terdapat unsur pidana umum. b) Pihak Kejaksaan dalam hal terdapat unsur Pidana khusus setelah memperoleh petunjuk dari Kepala BPKP c.q. Deputi Bidang Investigasi dan Kepala Biro Hukum dan Humas. Selain itu terhadap pegawai negeri bersangkutan dapat dikenai sanksi kepegawaian berupa hukuman disiplin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Penyelesaian Secara Sukarela Untuk Kerugian Negara yang Jumlahnya Sudan Dipastikan 1) Berdasarkan jumlah kerugian negara yang ditetapkan Kepala BPKP (Contoh Formulir-19), Kepala Kantor/Satuan Kerja menawarkan kepada pegawai negeri bersangkutan untuk menyelesaikan kerugian negara secara sukarela dengan membuat SKTM, bila berdasarkan pertimbangannya kerugian negara dapat dipulihkan dengan cara demikian. 2) Apabila pegawai negeri bersangkutan menerima tawaran penyelesaian secara sukarela dengan SKTM, Kepala Kantor/Satuan Kerja menyarankan agar pegawai negeri tersebut membuat dan menandatangani SKTM dalam rangkap enam selanjutnya ikut menandatangani SKTM sebagai bukti persetujuan bahwa kerugian negara diselesaikan secara sukarela. 3) Kepala Kantor/Satuan Kerja menyampaikan SKTM kepada : a) Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama; a) Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama; b) Ketua Tim TPTGR; c) Kepala Biro Keuangan; d) Kepala Biro Umum; e) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja; f) Pegawai Negeri bersangkutan 4) Penyelesaian kerugian negara secara sukarela dapat dilakukan dengan cara: a) Pembayaran secara Kompensasi. Diperhitungkan dengan penghasilan tetap yang diperoleh dari negara, yang dilakukan dengan cara : (1) Penghasilan tetap yang dibayarkan melalui Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN), dipotong sesuai dengan jumlah yang disepakati melalui Bendahara bersangkutan dengan surat kuasa pemotongan (Contoh Formulir-20). Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib meminta bukti penyetoran ke rekening Kas Negara sebagai bahan laporan tindak lanjut penyelesaian kerugian negara. (2) Penghasilan tetap lainnya yang tidak dibayarkan melalui KPPN, dipotong sebesar jumlah yang disepakati dan disetorkan ke rekening Kas Negara. Dalam hal ini hams dibuat kesepakatan secara tertulis. Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib melampirkan bukti penyetoran sebagai bahan laporan tindak lanjut penyelesaian kerugian negara.
w w w .bpkp.go.id
b) Pembayaran secara Langsung. Pegawai negeri yang bertanggung jawab atas kerugian negara dapat menyetor langsung melalui Bank Pemerintah/Giro Pos untuk rekening Kas Negara. Dalam hal ini pegawai bersangkutan harus menyerahkan bukti penyetoran tersebut kepada Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan sebagai bahan penyelesaian selanjutnya. c) Penjualan Barang Jaminan. Penjualan barang jaminan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan surat kuasa dari penanggung jawab kerugian negara (Contoh Formulir-17) kepada pejabat yang ditunjuk dalam Surat Pernyataan Jaminan (Contoh Formulir-16). Hasil penjualan barang jaminan disetorkan ke Kas Negara sebesar jumlah kerugian negara dan sisa hasil penjualan diserahkan kepada penanggung hutang atau ahli waris atau mereka yang memperoleh hak. Apabila penjualan barang jaminan belum dapat inenutup seluruh kerugian negara, maka kekurangannya wajib dilunasi oleh penanggung hutang atau ahli warisnya atau mereka yang memperoleh hak. 5) Dalam hal terjadi perubahan jangka waktu pengembalian kerugian dan/atau jumlah angsuran sebagaimana tercantum dalam SKTM yang telah dibuat, maka harus dibuat SKTM yang baru dengan ketentuan sebagai berikut: a. Jangka waktu maksimal 24 bulan sebagai jangka waktu pengembalian kerugian negara tetap dihitung dari tanggal SKTM yang lama. b. Dalam batas waktu tersebut jumlah kerugian negara dapat dilunasi. 6) Bilamana penyelesaian secara sukarela tersebut mengalami kemacetan dan/atau belum terselesaikan pada saat telah sampai pada waktu yang diperjanjikan sebagaimana tertulis pada SKTM, maka Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib melaporkan hal tersebut kepada Sekretaris Utama dengan tembusan kepada: a) Ketua Tim TPTGR; b) Kepala Biro Keuangan; c) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan; 7) Atasan langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib memberikan pendapat atas tembusan laporan pada butir 6) di atas kepada Ketua Tim TPTGR. 8) Ketua Tim TPTGR meneliti tembusan laporan pada butir 6) dan pendapat atasan langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja pada butir 7) untuk dilaporkan kepada Sekretaris Utama. 9) Sekretaris Utama selanjutnya menindaklanjuti laporan tersebut di atas sebagai berikut: a). Meneliti apakah langkah yang dilakukan oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b). Menilai apakah langkah Kepala Kantor/Satuan Kerja untuk menyelesaikan kerugian negara sudah tepat dan dapat dilaksanakan. c). Menyampaikan pendapat/tanggapan atas upaya sukarela yang ditempuh Kepala Kantor/Satuan Kerja tersebut kepada Kepala BPKP; d). Bila perlu, meminta bukti tambahan dari Kepala Kantor/ Satuan Kerja guna mendukung pendapat/tanggapannya tersebut sebagai lampiran atas pendapat/tanggapan dimaksud huruf c) di atas.
w w w .bpkp.go.id
3. Hubungan Sanksi Tuntutan GantiRugi dengan Sanksi Lainnya a. Hubungan dengan Sanksi Kepegawaian Sanksi di bidang Tuntutan Ganti Rugi yang telah dijatuhkan kepada pegawai negeri bukan Bendahara tidak menutup kemungkinan untuk dijatuhkan sanksi kepegawaian sesuai dengan ketentuan yang berlaku kepada pegawai negeri bersangkutan. Pengenaan masing-masing sanksi tersebut tidak perlu saling menunggu, namun demikian apabila sanksi TGR ternyata diputus lebih dahulu maka dapat dipakai sebagai pertimbangan bagi penjatuhan sanksi kepegawaian. Sebaliknya bila sanksi kepegawaian diputuskan lebih dahulu, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menentukan besar kecilnya jumlah pembebanan ganti rugi yang akan dijatuhkan kepada yang bersangkutan. b. Hubungan dengan Sanksi Perdata/Pidana Apabila putusan hakim pidana yang menjatuhkan sanksi pidana dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap pegawai negeri bukan Bendahara, maka putusan hakim tersebut dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk menetapkan Tuntutan Ganti Rugi berdasarkan Pasal 64 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Namun dalam hal putusan hakim pidana membebaskan pegawai negeri bukan Bendahara yang bersangkutan, putusan tersebut tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk membebaskan yang bersangkutan dari sanksi Tuntutan Ganti Rugi. 4. Penyelesaian Sukarela terhadap Pihak Ketiga Apabila kerugian negara diakibatkan oleh perbuatan pihak ketiga yang wanprestasi, penyelesaian secara sukarela pada dasarnya dilaksanakan sebagaimana tahapan angka 1 dan 2 di atas dan jika penyelesaian secara sukarela tidak dapat dilaksanakan dapat dilakukan penyelesaian secara Hukum Perdata, jika perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut mengandung unsur tindak pidana, Kepala Kantor/Satuan Kerja menyerahkan proses penyelesaian selanjutnya kepada pihak Kepolisian setempat. B. TUNTUTAN GANTI RUGI Penuntutan terhadap pegawai negeri bukan Bendahara, atau pejabat lain dilakukan apabila telah terjadi kerugian negara akibat perbuatan melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara dan yang bersangkutan tidak mau mengganti kerugian negara tersebut secara sukarela (Pasal 59 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004). Untuk melakukan proses tuntutan penggantian kerugian yang selanjutnya disebut Tuntutan Ganti Rugi (TGR), hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Tindakan Pendahuluan Dimaksudkan dengan tindakan pendahuluan adalah upaya untuk memperoleh kelengkapan bukti sebagai dasar pertimbangan untuk melakukan proses TGR Upaya tersebut meliputi: a. Penelitian bukti Oleh karena proses TGR tersebut dilakukan oleh Kepala BPKP yang bagian anggarannya dirugikan, maka beban pembuktian ada pada Kepala BPKP sebagai penuntut, sebagai pimpinan lembaga yang bagian anggarannya dirugikan. Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama berdasarkan laporan yang diterima dari Kepala Kantor/Satuan Kerja dan/atau Ketua Tim TPTGR, wajib membuktikan tentang: 1). Besarnya jumlah kerugian negara; 2). Besar/kecilnya kesalahan pegawai negeri bersangkutan;
w w w .bpkp.go.id
3). Hubungan sebab akibat antara kerugian negara dan perbuatan melanggar hukum dan atau kelalaian yang dilakukan oleh pegawai negeri bersangkutan. Bila dipandang perlu Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama dapat membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk melakukan tugas pencarian bukti-bukti. Keanggotaan TPF ini dapat berasal dari Tim TPTGR selanjutnya disebut Tim Pencari Fakta. b. Pertimbangan Penuntutan. Berdasarkan hasil penelitiannya, Tim Pencari Fakta melaporkan kepada Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama disertai pertimbangan mengenai perlu tidaknya dilakukan proses penuntutan lebih lanjut. 2. Proses Tuntutan Ganti Rugi Apabila Kepala BPKP atas pertimbangan Tim TPTGR berkeyakinan bahwa terhadap pegawai negeri bersangkutan perlu dilakukan proses TGR, maka langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: a. Sekretaris Utama menerbitkan Surat Pemberitahuan Ganti Rugi (SPGR) kepada pegawai bersangkutan (Contoh Formulir-18). SPGR tersebut disampaikan kepada pegawai bersangkutan melalui Kepala Kantor/Satuan Kerja dengan membuat tanda terima (Contoh Formulir-21 dan Formulir-22). Salinan SPGR dan fotokopy tanda terima disampaikan kepada: 1). Ketua Tim TPTGR; 2). Inspektur; 3). Kepala Biro Keuangan; 4). Kepala Biro Umum; 5). Atasan langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. b. Atas SPGR tersebut pegawai negeri bersangkutan dapat mengajukan pembelaan diri secara tertulis selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak diterimanya SPGR tersebut dengan disertai bukti-bukti yang kuat, yang disampaikan kepada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama melalui Kepala Kantor/Satuan Kerja. c. Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama meneruskan pembelaan dimaksud kepada Tim TPTGR untuk memperoleh penilaian dan pendapat. Catatan : Apabila pegawai negeri yang bersangkutan telah menanda tangani SKTM, maka penuntutan tidak dimulai dengan menerbitkan SPGR, tetapi langsung diterbitkan Surat Keputusan Pembebanan Ganti Rugi Tingkat Pertama. d. Pembebanan Ganti Rugi Tingkat Pertama. 1). Apabila pegawai negeri yang bertanggung jawab atas kerugian negara mengajukan pembelaan dan diterima, maka Kepala BPKP segera menerbitkan Keputusan Pembebasan, dan disampaikan kepada pegawai negeri bersangkutan melalui Kepala antor/Satuan Kerja yang dibuat (Contoh Formulir-19.1); 2). Kepala Kantor/Satuan Kerja selanjutnya menyampaikan Keputusan di maksud butir 1) kepada pegawai negeri bersangkutan dengan membuat tanda terima menurut (Contoh Formulir-21 dan Formulir- 22). Salinan Keputusan dan foto copy tanda terima disampaikan kepada; a). Sekretaris Utama; b). Ketua Tim TPTGR; c). Kepala Biro Keuangan; d). Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan.
w w w .bpkp.go.id
3). Apabila pegawai negeri yang bertanggungjawab atas kerugian negara tidak mengajukan pembelaan diri atau apabila pembelaan diri yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada huruf b ditolak, maka Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama segera menerbitkan Keputusan Pembebanan Ganti Rugi; Tingkat pertama (Contoh Formulir-19), dan disampaikan kepada pegawai negeri bersangkutan melalui Kepala Kantor/Satuan Kerja. 4). Atas Keputusan Pembebanan tersebut, pegawai negeri yang bersangkutan dapat mengajukan banding kepada Presiden melalui Kepala BPKP selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya keputusan tersebut. 5). Kepala BPKP selanjutnya menugasi Tim TPTGR untuk menilai permohonan banding pegawai negeri bersangkutan. 6). Setelah meneliti permohonan banding, Tim TPTGR dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari wajib menyampaikan hasil penilaiannya tersebut kepada Kepala BPKP melalui Sekretaris Utama. 7). Kepala BPKP selanjutnya meneruskan permohonan banding dimaksud kepada Presiden dengan disertai pendapat dan saran. 8). Dalam hal permohonan banding ditolak, maka Kepala BPKP meneruskan keputusan tersebut kepada pegawai bersangkutan melalui Kepala Kantor/Satuan Kerja dengan membuat tanda terima (Contoh Formulir-21 dan Formulir-22). 9). Dalam hal permohonan banding diterima seluruh atau sebagian, maka Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama memberitahukan hal tersebut kepada pegawai negeri bersangkutan melalui Kepala Kantor/Satuan Kerja dan selanjutnya akan dilakukan penghapusan seluruh atau sebagian tagihan/kerugian negara. Walaupun pegawai bersangkutan mengajukan banding kepada Presiden, Keputusan Pembebanan Ganti Rugi Tingkat Pertama yang diterbitkan oleh Kepala BPKP tersebut wajib dilaksanakan apabila hal tersebut tertuang dalam Keputusan pembebanan dimaksud. 3. Penyelesaian Berdasarkan Ketentuan Hukum Perdata Kerugian negara bukan kekurangan perbendaharaan dapat diselesaikan melalui proses TGR berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 sepanjang hal tersebut belum daluwarsa. Berdasarkan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, kewajiban pegawai negeri bukan Bendahara atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi daluwarsa jika: a. dalam waktu lewat 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut; atau b. dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan; Dalam hal pegawai negeri bukan Bendahara, atau pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian negara berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari pegawai negeri bukan Bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan. Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian negara menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada pegawai negeri bukan Bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian negara (Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara). Apabila kerugian negara tersebut sudah kedaluarsa, maka penyelesaian kerugian negara tidak dapat lagi dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 melainkan
w w w .bpkp.go.id
menggunakan ketentuan hukum perdata. a. Kerugian Negara yang disebabkan Perbuatan Melawan Hukum oleh Pegawai Negeri. 1). Atas dasar laporan kerugian negara sebagaimana di maksud pada BAB II huruf B butir 2 pedoman ini yang disampaikan oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja, Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama selanjutnya menugasi Kepala Biro Hukum dan Humas untuk menyelesaikan kerugian negara yang telah daluarsa tersebut melalui peradilan perdata. 2). Kepala Biro Hukum dan Humas melaporkan penyelesaian tersebut kepada Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama dengan tembusan kepada: a) Ketua Tim TPTGR; b) Kepala Biro Keuangan; c) Kepala Biro Umum; d) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja; e) Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan; b. Kerugian Negara yang Disebabkan Perbuatan Melawan Hukum o!eh Pihak Ketiga karena wanprestasi 1). Apabila pihak ketiga tidak bersedia menyelesaikan kerugian negara dengan cara sukarefa sebagaimana di maksud pada BAB II A, maka Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib mencantumkan hal tersebut dalam laporannya kepada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama. 2). Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama selanjutnya menugasi Kepala Biro Hukum dan Humas untuk menyelesaikan masalah tersebut berdasarkan ketentuan hukum perdata. 3). Kepala Biro Hukum dan Humas melaporkan penyelesaian tersebut kepada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama dengan tembusan kepada: a) Ketua Tim TPTGR; b) Kepala Biro Keuangan; c) Kepala Biro Umum; d) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja; e) Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. 4). Penuntutan Berdasarkan Ketentuan Hukum Pidana. Kerugian Negara selain dapat diselesaikan berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 dan ketentuan hukum perdata sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas, juga dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum pidana. Penyelesaian berdasarkan ketentuan hukum pidana ini dilakukan apabila dalam kerugian negara tersebut memenuhi unsur pidana. 4. Penuntutan Berdasarkan Hukum Pidana Umum. Kerugian Negara yang memenuhi unsur ketentuan hukum pidana umum adalah sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti pencurian, perampokan, penggelapan, dan pemalsuan. 1). Kerugian Negara yang disebabkan Perbuatan Melanggar Hukum oleh pegawai negeri. Kerugian negara yang memenuhi unsur pidana umum sekali-kali tidak dianggap selesai begitu saja walaupun pegawai negeri tersebut telah mengganti sepenuhnya kerugian negara atau telah dikenai hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. 2). Kerugian Negara yang disebabkan Perbuatan Melanggar Hukum oleh pihak ketiga karena pencurian dan perampokan. Apabila kerugian negara diakibatkan oleh perbuatan pihak ketiga, dan penyelesaian secara sukarela tidak dapat dilaksanakan, Kepala Kantor/Satuan Kerja menyerahkan proses penyelesaian selanjutnya kepada pihak Kepolisian setempat;
w w w .bpkp.go.id
3). Langkah-langkah Kepala Kantor/Satuan Kerja dalam upaya membantu penyelesaian kerugian negara yang memenuhi unsur pidana umum adalah : a) Segera membuat laporan tertulis dan menyampaikan kepada Kepolisian setempat (Contoh Formulir-11). Tembusan laporan disampaikan kepada : (1) Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama; (2) Ketua Tim TPTGR; (3) Kepala Biro Keuangan; (4) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan; b) Mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai kejadian, macam dan jumlah kerugian, selanjutnya mengambil kesimpulan yaitu: (1) Meneruskan proses lebih lanjut sesuai Tuntutan Ganti Rugi, dan/atau; (2) Melakukan pengawasan melekat berupa hukuman disiplin, dan/atau; (3) Melakukan penahanan sementara terhadap kekayaan negara yang masih bisa diamankan; c) Melaporkan hasil penelitian tersebut pada butir a) dan b) di atas kepada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama. Tembusan laporan disampaikan kepada: (1) Inspektur; (2) Kepala Biro Hukum dan Humas; (3) Kepala Biro Keuangan; (4) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan; d) Memantau perkembangan penyelesaian kasus tersebut dan melaporkan hasilnya kepada Kepala BPKP up. Sekretaris Utama meliputi: (1) Tahapan/tingkat penyelesaian perkara di pengadilan; (2) Putusan Pengadilan; (3) Eksekusi putusan pengadilan antara lain: (a) Nilai barang-barang yang dirampas untuk negara, dan/atau; (b) Denda, Pembayaran uang pengganti dan/atau; (c) Sanksi-sanksi lain yang dapat dinilai dengan uang. Tembusan laporan disampaikan kepada: (1) Ketua Tim TPTGR; (2) Inspektur; (3) Kepala Biro Keuangan; (4) Kepala Biro Umum; (5) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja; 5. Penyelesaian Berdasarkan Hukum Pidana Khusus Kerugian Negara yang memenuhi unsur ketentuan hukum pidana khusus adalah sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan atau Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Langkah-langkah Kepala Kantor/Satuan Kerja dalam upaya penyelesaian kerugian negara yang memenuhi unsur tindak pidana khusus ini adalah : a. Apabila dalam suatu peristiwa kerugian negara mengandung unsur tindak pidana khusus, maka Kepala Kantor/Satuan Kerja di dalam laporannya sebagaimana dimaksud pada BAB I huruf C wajib menyatakan adanya unsur tindak pidana khusus tersebut, sedang penyerahan perkaranya kepada Kejaksaan dilakukan setelah adanya petunjuk dari Kepala BPKP c.q. Kepala Biro Hukum dan Humas; b. Memantau perkembangan penyelesaian kasus tersebut dan melaporkan hasilnya kepada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama mengenai antara lain:
w w w .bpkp.go.id
1) Tahapan/tingkat penyelesaian perkara di pengadilan; 2) Putusan pengadilan; 3) Eksekusi putusan pengadilan, meliputi: a) Nilai barang-barang yang dirampas untuk negara, dan/atau; b) Denda, Pembayaran uang pengganti dan/atau c) Sanksi-sanksi lain yang dapat dinilai dengan uang Tembusan laporan disampaikan kepada : 1) Inspektur; 2) Kepala Biro Hukum dan Humas; 3) Ketua Tim TPTGR; 4) Kepala Biro Keuangan; 5) Kepala Biro Umum; 6) Atasan langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. c. Apabila terhadap pegawai negeri oleh Pengadilan dijatuhi pula hukuman pembayaran uang pengganti, maka hal tersebut merupakan hutang yang harus dibayar oleh yang bersangkutan kepada negara dan diperhitungkan sebagai pembayaran kerugian negara. Jika dengan pembayaran tersebut kerugian negara belum dipulihkan maka terhadap sisa kerugiannya dilakukan proses TGR seperti telah dikemukakan pada BAB II huruf B butir 2. C. PEMBEBASAN PENUNTUTAN Terhadap pegawai negeri/pihak ketiga yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh negara dan kepadanya belum dilakukan suatu penuntutan karena tidak cukup bukti untuk dilakukan penuntutan, maka Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama dengan suatu surat dapat membebaskan penuntutan terhadap pegawai negeri/pihak ketiga bersangkutan (Contoh Formulir-14). Pembebasan penuntutan ini tidak menutup kemungkinan untuk dibukanya proses penuntutan kembali, apabila dikemudian hah ternyata diperoleh bukti baru yang cukup.
w w w .bpkp.go.id
BAB III PENYELESAIAN ADMINISTRASI Apabila kerugian negara menyebabkan barang milik negara memenuhi persyaratan untuk penghapusan barang milik negara maka penyelesaian administrasi selanjutnya adalah penghapusan barang inventaris. Penghapusan adalah tindakan menghapus barang Milik Negara dari daftar barang dengan menerbitkan keputusan dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara untuk membebaskan Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama dan/atau Kepala Biro Umum dari tanggung jawab administrasi dan fisik barang yang berada dalam penguasaannya. Penghapusan Barang Milik Negara dilakukan dengan cara menghapuskannya dari daftar barang berdasarkan surat keputusan penghapusan Barang Milik Negara oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Penghapusan Barang Milik Negara meliputi: 1. Penghapusan dari Daftar Barang Pengguna pada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama dan/atau Kepala Biro Umum; dan 2. Penghapusan dari Daftar Barang Milik Negara pada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
w w w .bpkp.go.id
BAB IV PENAGIHAN A. DASAR PENAGIHAN Untuk pemulihan kerugian negara perfu dilakukan tindakan penagihan. Dasar dilakukannya penagihan terhadap pegawai negeri yang karena perbuatan melawan hukum dan/atau melalaikan kewajiban negara yang mengakibatkan kerugian negara adalah : 1. Surat Pernyataan Bertanggungjawab (SPB) atau Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTM) disertai Surat Kuasa Pemotongan Gaji/Penghasilan. 2. Surat Keputusan Pembebanan Ganti Rugi atau Surat Keputusan Pembebanan Ganti Rugi Tingkat Banding yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. B. TATA CARA PENAGIHAN Tata cara penagihan untuk memulihkan kerugian tersebut dilakukan sebagai berikut: 1. Kepala Kantor/Satuan Kerja dalam waktu tujuh hari kerja sejak diterimanya surat pernyataan/surat keputusan/surat penetapan di maksud huruf A di atas, menerbitkan Surat Penagihan (SPn) atas nama pegawai/pihak ketiga yang telah mengakibatkan/bertanggung jawab atas kerugian negara. 2. Kepala Kantor/Satuan Kerja memantau penerbitan SPn dan realisasi pelunasannya serta melaporkan perkembangan penagihan tersebut kepada Kepala BPKP u.p. Sekretahs Utama. Tembusan laporan disampaikan kepada : a. Inspektorat; b. Ketua Tim TPTGR; c. Kepala Biro Keuangan; d. Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. C. PENAGIHAN SECARA PAKSA Apabila penagihan kerugian negara mengalami kemacetan sehingga tidak membawa hasil selama tiga bulan berturut-turut, maka penagihan selanjutnya diserahkan kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) c.q. Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) untuk dilakukan penagihan secara paksa Proses penagihan secara paksa tersebut dilakukan sebagai berikut: 1. Kepala Kantor/Satuan Kerja wajib melaporkan kemacetan tersebut kepada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama dengan tembusan Ketua Tim TPTGR; 2. Tim TPTGR setelah meneliti tembusan laporan pada butir 1 di atas paling lambat 7 ( tujuh) hari menyampaikan pendapat dan usul kepada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama agar penagihan atas kerugian negara yang mengalami kemacetan diserahkan kepada DJKN c.q. PUPN. 3. Kepala BPKP cq. Sekretaris Utama menyerahkan piutang macet tersebut kepada DJKN c.q. PUPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. Dengan diserahkannya piutang macet kepada DJKN c.q. PUPN, maka pengurusan piutang selanjutnya beralih kepada DJKN c.q. PUPN dan sejak saat itu BPKP menghentikan penagihan piutang tersebut. 5. DJKN c.q. PUPN setempat menerbitkan keterangan berupa Piutang yang untuk Sementara Belum Dapat ditagih (PSBDT) dalam hal upaya penagihan yang telah dilakukan terhadap penanggung hutang tidak membawa hasil. D. PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA Penghapusan piutang negara dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penghapusbukuan piutang negara dan penghapusan piutang negara.
w w w .bpkp.go.id
1. Penghapusbukuan Piutang Negara Agar piutang negara yang termasuk dalam Piutang yang untuk Sementara Belum Dapat Ditagih (PSBDT) sebagai dimaksud dalam huruf C tidak terus menerus tercatat dalam administrasi piutang negara sehingga diperoleh gambaran yang sesungguhnya mengenai jumlah yang akan diterima, maka terhadap piutang tersebut perlu diusulkan untuk dihapusbukukan. Kegiatan yang perlu dilakukan: a. Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama setelah menerima PSBDT dari DJKN c.q. PUPN meminta rekomendasi kepada BPK-RI untuk usul penghapusbukuan piutang negara bersangkutan. b. Dalam hal BPK-RI dapat menyetujui penghapusbukuan piutang negara tersebut, rekomendasi dari BPK-RI dipergunakan sebagai dasar bagi Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama untuk mengusulkan penghapusbukuan piutang negara tersebut kepada Menteri Keuangan melalui DJKN c.q. PUPN. c. DJKN c.q. PUPN menyampaikan pertimbangan untuk penghapusan piutang negara kepada Menteri Keuangan. d. Atas pertimbangan DJKN c.q. PUPN, Menteri Keuangan dapat menyetujui atau menolak usul tersebut. e. DJKN c.q. PUPN menyampaikan persetujuan atau penolakan tersebut kepada Kepala BPKP u.p. Sekretaris Utama selaku penyerah piutang. f. Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui usul penghapusbukuan maka Kepala BPKP c.q. Sekretaris Utama selaku penyerah piutang menerbitkan keputusan penghapusbukuan piutang negara sebagai dasar untuk menghapuskan piutang dari buku piutang pada Sekretaris Utama dan unit vertikal. g. Dalam hal Menteri Keuangan menolak usul penghapusbukuan, maka Kepala BPKP memberitahukan penolakan tersebut kepada Sekretaris Utama. 2. Penghapusan Piutang Negara a. Piutang-piutang negara yang telah dihapusbukukan setelah melampaui batas waktu daluwarsa menurut hukum perdata dapat dihapuskan dengan keputusan Menteri Keuangan yang proses pelaksanaannya difakukan oleh DJKN c.q. PUPN. b. DJKN c.q. PUPN setelah melakukan penghapusan piutang negara dimaksud wajib memberitahukan kepada Kepala BPKP up. Sekretaris Utama selaku penyerah piutang untuk selanjutnya secara hierarkhis meneruskan pemberitahuan tersebut kepada Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. E. PEMBEBASAN TAGIHAN NEGARA Tagihan negara dianggap tidak layak untuk ditagih dan karena itu dapat dibebaskan. Dasar pertimbangan pembebasan tagihan negara tersebut adalah keadilan, yaitu selain karena kondisi sosial ekonomi penanggung hutang tidak memadai juga dinilai pegawai bersangkutan mempunyai jasa yang besar terhadap negara. Dengan demikian pembebasan tagihan negara ini merupakan keuntungan bagi pihak yang berhutang. Langkah-langkah dalam upaya penyelesaian administrasi lebih lanjut berupa pembebasan tagihan negara adalah: 1. Yang berhutang secara aktif mengajukan permohonan kepada Kepala BPKP secara tertulis dengan melampirkan bukti-bukti pendukung yang diperlukan (misalnya: tanda jasa, keterangan tidak mampu dan sebagainya). 2. Kepala BPKP c.q. Tim TPTGR meneliti permohonan tersebut untuk memastikan apakah permohonan tersebut layak diterima atau ditolak. 3. Dalam hal permohonan layak diterima, Kepala BPKP meminta pertimbangan kepada BPK-RI. 4. Atas pertimbangan BPK-RI tersebut Kepala BPKP menerbitkan
w w w .bpkp.go.id
Keputusan Pembebasan Tagihan Negara (SK Pembebasan) yang disampaikan kepada pegawai bersangkutan melalui Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan dengan tembusan kepada: a. BPK-RI; b. Inspektorat; c. Kepala Biro Keuangan; d. Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan. 5. BPKP c.q. Biro Keuangan berdasarkan tembusan SK Pembebasan tersebut menghapuskan tagihan negara dari buku catatan piutang; 6. Dalam hal permohonan pembebasan ditolak Kepala BPKP, penolakan tersebut disampaikan kepada pegawai bersangkutan secara tertulis. F. PENGEMBALIAN KELEBIHAN TAGIHAN NEGARA Dalam hal dapat dibuktikan bahwa atas jumlah kerugian negara yang telah dibayarkan ke rekening Kas Negara ternyata lebih besar daripada yang seharusnya dan/atau yang seharusnya tidak dibayar, yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pengembaiian kelebihan tagihan negara dan/atau yang telah dibayarkan dengan tata cara sebagai berikut: 1. Pegawai yang bersangkutan mengajukan permintaan pengembalian jumlah uang yang telah terlanjur disetor ke rekening Kas Negara kepada Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan, dengan melampirkan: a. Fotocopy tanda bukti setor (SSBP) yang jelas; b. Nama bank tempat pembayaran. 2. Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan meneruskan permintaan pengembaiian tersebut kepada KPPN setempat, dengan melampirkan : a. Fotocopy tanda bukti setor (SSBP) yang jelas; b. Nama bank tempat pembayaran. 3. Bendahara mengajukan SPP dan SPM yang sudah ditandatangani oleh pejabat penandatangan SPM kepada KPPN setempat. 4. KPPN setelah menerima SPP dan SPM dari Bendahara, menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). 5. Bendahara mencairkan dana dari Bank, kemudian menyerahkan kepada pegawai yang bersangkutan.
w w w .bpkp.go.id
BAB V ORGANISASI DAN PENATAUSAHAAN A. ORGANISASI YANG MELAKSANAKAN PROSES PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA 1. Kepala Kantor/Satuan Kerja dimana kerugian negara terjadi, ditugaskan membantu proses penyelesaian kerugian negara tersebut sampai dengan Surat Pernyataan Bertanggungjawab (SPB) dan pelaksanaan penagihan. 2. Pada tingkat pusat, Kepala BPKP menunjuk Sekretaris Utama dan Tim TPTGR untuk membantu proses penyelesaian kerugian negara yang terjadi di BPKP dengan menetapkan jumlah kerugian negara dan mengupayakan penyelesaian sukarela serta pengusulan kepada Kepala BPKP guna proses penyelesaiannya. B. PENATAUSAHAAN KASUS KERUGIAN NEGARA 1. Dalam rangka menunjang kelancaran penyelesaian kerugian negara, setiap pimpinan unit organisasi baik tingkat daerah maupun tingkat pusat di lingkungan BPKP wajib melaksanakan penatausahaan berkas kasus kerugian negara yang ada pada unitnya secara sistematis tertib/teratur dan kronologis. 2. Berkas yang harus ada pada setiap kasus kerugian negara adalah: a. Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja atau oleh Aparat Pengawasan Fungsional. b. Laporan kejadian beserta lampiran-lampirannya. c. Daftar pertanyaan untuk menyusun Laporan Kerugian Negara guna proses Tuntutan Ganti Rugi. Berkas-berkas lain yang berkaitan dengan kasus kerugian negara (bila ada) seperti: 1) Laporan kepada pihak Kepolisian/Kejaksaan. 2) Surat Pernyataan Bertanggungjawab (SPB)/Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak (SKTM). 3) Surat Kuasa Pemotongan Gaji/Penghasilan. 4) Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Aparat Pengawasan Fungsional. 5) Laporan Kepala BPKP ke BPK-RI. 6) Surat Pemberitahuan Ganti Rugi (SPGR). 7) Surat Pembelaan. 8) Surat Keputusan Pembebanan Ganti Rugi Tingkat Pertama. 9) Surat Permohonan Banding. 10) Surat Keputusan Pembebanan Tingkat Banding. 11) Surat Penagihan (SPn). 12) Foto copy Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) yang disahkan. 13) Surat Keputusan Penghapusan Tagihan Negara. 14) Vonis Hakim Pengadilan. 3. Kepala Kantor/Satuan Kerja tempat kerugian negara terjadi wajib: a. Membuat Daftar Kerugian Negara (Contoh Formulir-37) b. Mencatat perkembangan tindak lanjut penyelesaian kerugian negara dalam Daftar dimaksud pada huruf a di atas dan melaporkannya kepada pimpinan unit Eselon I bersangkutan. c. Menyimpan dan mengamankan semua berkas/buku, dokumen/surat dan alat bukti lainnya yang terkait dengan peristiwa yang menimbulkan kerugian negara. 4. Atasan Kepala Kantor/Satuan Kerja dimaksud pada butir 3 di atas wajib: a. Membuat Daftar Kerugian Negara sebagaimana dimaksud pada butir 3 huruf a di atas, sebagai alat pemantau. b. Mencatat perkembangan tindak lanjut penyelesaian kerugian negara dalam Daftar dimaksud, atas dasar laporan tindak lanjut tersebut di atas.
w w w .bpkp.go.id
5. Penatausahaan dalam hal pegawai/debitur pindah domisili. a. Kewajiban Kepala Kantor/Satuan Kerja tempat kerugian negara terjadi: 1) Memberitahukan kepindahan tersebut kepada Kepala Kantor/Satuan Kerja domisili yang baru dengan menggunakan Surat Pemberitahuan, dengan tembusan kepada: a) Ketua Tim TPTGR; b) Kepala Biro Keuangan; c) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja domisili baru. 2) Mencatat kepindahan dimaksud pada butir 1) di atas dalam lajur keterangan pada Daftar Kerugian Negara. 3) Mencatat tindak lanjut penyelesaian kerugian negara berdasarkan tembusan laporan yang diterimanya dari Kepala Kantor/Satuan Kerja domisili baru. b. Kewajiban Kepala Kantor/Satuan Kerja domisili baru. 1) Membuat Daftar Kerugian Negara seperti dimaksud pada butir 3 huruf a atas nama pegawai/debitur bersangkutan. 2) Mencatat tindak lanjut penyelesaian kerugian negara bersangkutan dalarn daftar dimaksud pada butir 1) di atas. 3) Melaporkan tindak lanjut penyelesaian kerugian negara kepada Ketua Tim TPTGR dengan tembusan kepada; a) Kepala Biro Keuangan; b) Atasan Langsung Kepala Kantor/Satuan Kerja bersangkutan; c) Kepala Kantor/Satuan Kerja tempat Kerugian Negara terjadi. C. TIM PENCARI FAKTA 1. Dalam rangka melengkapi bukti yang akan digunakan untuk suatu proses penuntutan, Kepala Kantor/Satuan Kerja dimana kerugian negara terjadi dapat membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). 2. Tim Pencari Fakta sebagaimana di maksud pada butir 1 di atas dapat juga dibentuk oleh unit atasannya. 3. Dalam rangka pengumpulan bukti dimaksud, Kepala BPKP membentuk Tim Pencari Fakta yang anggotanya berasal dari Tim TPTGR. D. TIM PENYELESAIAN TUNTUTAN PERBENDAHARAAN DAN TUNTUTAN GANTI RUGI 1. Pembentukan Tim TPTGR Guna membantu Kepala BPKP dalam rangka penyelesaian kasus-kasus kerugian negara di lingkungan BPKP, dibentuk Tim Penyelesaian TPTGR dengan Keputusan Kepala BPKP. 2. Organisasi dan Keanggotaan Tim TPTGR Organisasi dan keanggotaan Tim TPTGR terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Anggota yang berasal dari pejabat struktural di lingkungan Sekretariat Utama dan Inspektorat. Tim TPTGR dalam pelaksanaan tugasnya dibantu Tim Sekretariat yang dibentuk dengan Keputusan Sekretaris Utama berdasarkan usulan Tim TPTGR. 3. Tugas Pokok dan Fungsi Tim TPTGR Untuk membantu pimpinan BPKP, Tim TPTGR mempunyai tugas pokok memberikan pertimbangan atau saran-saran dalam rangka penyelesaian kasus kerugian negara di lingkungan BPKP. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Tim TPTGR mempunyai fungsi : a. Memberi pertimbangan mengenai perlu tidaknya kasus kerugian negara yang diajukan diproses berdasarkan ketentuan TGR. b. Membentuk Tim Pencari Fakta untuk melengkapi bukti apabila bukti yang dikumpulkan dinilai masih kurang. c. Melakukan koordinasi dengan TPF atau pejabat lain yang terkait dalam upaya mendalami/mengungkap kasus kerugian negara.
w w w .bpkp.go.id
d. Memberikan pertimbangan mengenai besarnya jumlah/nilai kerugian negara. e. Memberikan pertimbangan kepada pimpinan BPKP apakah suatu kasus kerugian negara perlu dilimpahkan kepada aparat penegak hukum yang berwenang. f. Memberikan saran terhadap penjatuhan hukuman/sanksi kepada pelaku kerugian negara. g. Memberikan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang memutus banding dalam kasus kerugian negara atas memori banding yang diajukan oleh pelaku kerugian negara. h. Menyebarluaskan/memasyarakatkan Pedoman Penyelesaian Kerugian Negara Bukan Kekurangan Perbendaharaan kepada semua unit kerja di lingkungan BPKP.
KEPALA BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN ttd MARDIASMO