Kenalkan Peluang Bisnis Kecantikan di Wilayah Eks Lokalisasi Dolly UNAIR NEWS – Sekitar 195 mahasiswa program studi Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga berlomba-lomba untuk menjalankan ide kreatif mereka dalam sebuah projek wirausaha. Ide kreatif ini bermula dari matakuliah Kewirausahaan yang dibimbing oleh Luthfi Nur Rosyidi, S.E., M.M., dan tim. Ada tiga kategori yang harus dipilih masing-masing tim untuk menjalankan idenya, yaitu event-preneur, entrepreneur.
sociopreneur,
atau
murni
commercial
Salah satu tim dari matakuliah ini yaitu tim Beauty-preneur Organizer, sebuah event organizer yang bergerak dalam bidang kecantikan. Tim ini diketuai oleh Nurhayati Dwi Kirana Sari, dengan anggota Devi Arum Saputri, Aisyah Amini, Hasta Kurnia Prawira dan Ikhlasul Amal Rizki Aziz. Mereka merupakan mahasiswa Ekonomi Islam angkatan 2013. “Tahun lalu kelas Kewirausahaan Ekonomi Islam berhasil mencapai omzet 365 juta untuk keseluruhan bisnis yang dilakukan dalam 1 semester. Itu berarti rata-rata kelompok sejumlah 13.5 juta. Tahun ini kami mengejar untuk bisa mencapai total omzet 800 juta untuk keseluruhan projek yang dilaksanakan oleh 39 tim,” ujar Nurhayati. Dalam menjalankan bisnisnya, Nurhayati dan tim membuat kegiatan seperti workshop, talkshow, pelatihan, lomba, dan kegiatan sosial yang masih dalam bidang kecantikan. Ada 2 jenis event yang ditawarkan. Event regular yang diadakan setiap bulan, dan spectacular yang diadakan hanya untuk momen tertentu. Sebagai bagian dari perayaan hari ulang tahun Surabaya ke-723,
tim Beauty-preneur Organizer mengadakan workshop “Ayo Ayu” yang dilaksanakan di daerah Putat Jaya, wilayah yang dulu dikenal sebagai kawasan lokalisasi Dolly. “Kami ingin memberi edukasi kepada warga untuk mengenal bisnis yang sesuai dengan passion. Ini merupakan sarana untuk memperkenalkan potensi kaum wanita Indonesia dengan berbagai kemampuan yang dimiliki, khususnya wanita di kawasan eks lokalisasi Dolly atau yang sekarang disebut dengan kawasan Putat Jaya,” ujar Nurhayati. Nurhayati mengatakan, kegiatan ini diadakan dengan tujuan ingin menampilkan bisnis, keahlian, serta perubahan pola hidup wanita di kawasan eks lokalisasi Dolly. Tujuannya agar wanitawanita dikawasan tersebut semakin produktif dan dapat mengasah keahlian yang dimiliki, khususnya dalam bidang bisnis.
Suasana demo make up Beauty of Wedding Muslimah yang diadakan oleh tim Beauty-preneur Organizer (Foto: Istimewa) Dalam menjalankan workshop “Ayo Ayu”, tim Beauty-preneur Organizer bekerjasama dengan perusahaan Wardah Cosmetics,
Butik Karita Muslim Square, Klinik kecantikan Emdee Skin Clinic, Kemayu Agency Model, Komunitas Hijabers Mom Community Surabaya, Radio Suara Muslim Surabaya, dan Kelurahan Putat Jaya. “Kami ingin menggali dan menyalurkan minat bakat para wanita dikawasan eks lokalisasi Dolly dengan menggali potensi diri dalam dunia bisnis. Selain itu kami ingin berbagi ilmu pengetahuan dan informasi tentang dunia bisnis kecantikan, kesehatan, dan lain sebagainya,” ujar Nurhayati. Sampai saat ini, program bisnis yang dijalankan Nurhayati dan tim masih berjalan. Dari omzet yang ditargetkan sebesar 15 juta untuk masing-masing tim, tim Nurhayati berhasil mencapai lebih, yaitu 22 juta. “Harapannya untuk bisnis ini, pencapaian tiap mahasiswa yang awalnya tidak mungkin menjadi mungkin. Hal ini bisa membawa mahasiswa berpola pikir tentang kerja keras dan pantang menyerah. Semoga dari kelas Kewirausahaan dan bisnis Islam ini mahasiswa mampu meningkatkan kreatifitas berbisnis dan berani mencapai targer,” pungkas Nurhayati. (*) Penulis : Nurhayati Dwi Kirana Sari Editor : Binti Q. Masruroh
Lahan Penelitian Klientelisme Politik Lokal Masih Terbuka Luas UNAIR NEWS – Sivitas akademika program studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
kedatangan Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra, Selasa (24/5). Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada itu memberikan kuliah umum tentang ‘Klientelisme dan Otonomi Daerah di Indonesia’ di hadapan puluhan peserta. Dalam literatur ilmu sosial, konsep klientelisme berpasangan dengan konsep patronase. Kedua konsep itu biasa dipakai untuk menunjukkan pola hubungan patron (pemilik wewenang) dan klien (pelanggan) dalam menganalisis fenomena sosial. Ilmuwan politik mulai menengok fenomena patronase karena group theory tidak selalu dapat menjelaskan fenomena politik di tingkat lokal, seperti pedesaan. “Para ahli antropologi generasi berikutnya merasa bahwa pendekatan ini kurang mampu menampilkan dinamika politik yang penuh dengan persaingan dan konflik,” tutur Prof. Heddy. Menurut Prof. Heddy, teori patronase dan jaringan sosial lebih dapat menjelaskan fenomena politik di tingkat lokal di negara berkembang. Inilah yang kemudian membuat para ilmuwan politik tertarik meneliti politik lokal. Tak hanya itu, ilmuwan politik menggunakan patronase sebagai model untuk memahami politik di tingkat nasional dan internasional. Dalam kuliah umum tersebut, ia juga menjelaskan perihal relasi klientelisme dengan otonomi daerah. Beliau mengemukakan bahwa pendekatan struktural-fungsional dapat digunakan untuk memahami hubungan otonomi daerah dan fenomena patronase di berbagai daerah di Indonesia, atau politik di tingkat desa hingga tingkat provinsi. “Diterapkannya otonomi daerah di Indonesia sangat banyak mengubah kondisi fisik-material dan kondisi sosial-budaya masyarakat di daerah pedesaan maupun di tingkat kabupaten. Hal ini tentu berpengaruh terhadap keberlangsungan hubungan patronase di situ. Hal itu tidak berarti bahwa kita tidak perlu menggunakan paradigma-paradigma prosesual. Semua paradigma dapat digunakan untuk memahami fenomena patronase,”
pungkasnya. Menurutnya, ada beberapa kemungkinan timbulnya corak patronase baru di era otonomi daerah. Salah satu di antaranya adalah kepala daerah menjadi patron tunggal karena kepala daerah dapat memanfaatkan anggaran belanja daerah untuk menampilkan citranya sebagai patron. Selain itu, patron yang muncul berasal dari kelompok kekerabatan tertentu. Hal itu disebabkan adanya dukungan kerabatan kepala daerah yang meminta untuk mempertahankan jabatan. Prof. Heddy juga menjelaskan tentang prospek penelitian klientelisme di Indonesia yang bagi beliau masih memiliki lahan penelitian luas karena belum banyak diteliti meskipun dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat jumlahnya. Tak hanya itu, penelitian tersebut sangat memungkinkan memberikan sumbangan teoretis, khususnya pada kajian tentang patronase yang disebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya di lingkungan masyarakat. Dalam proses demokratisasi di tingkat lokal, penelitian klientilisme juga memungkinkan untuk memberikan banyak sumbangan praktis karena akan memberikan banyak pemahaman mengenai proses politik pada tataran tersebut. “Dan juga sangat mungkin memberikan banyak sumbangan untuk memahami budaya dan masyarakat lokal di Indonesia, serta dinamika politiknya,” tutupnya. (*) Penulis: Lovita Martafabella Editor: Defrina Sukma S.
Ramadhan, Momentum Penyadaran Diri UNAIR NEWS – Rektor Universitas Airlangga Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak., mengajak kepada kita, khususnya jemaah Masjid Ulul ‘Azmi Kampus C UNAIR untuk benar-benar bisa memanfaatkan bulan suci Ramadhan 1437 H ini untuk meningkatkan ibadah dan kecintaan kepada Allah SWT. Mengapa hal itu ditekankan, karena yang bisa memuliakan diri kita ini selain kita sendiri juga Allah yang memberi kesempatan. “Allah memberikan kesempatan kepada kita melalui bulan Ramadhan ini harus bisa kita manfaatkan semaksimal mungkin,” kata Rektor dalam “Kultum” (Kuliah tujuh menit) perdana di Masjid “Ulul ‘Azmi” Kampus C UNAIR, Senin (6/6). Kultum ini merupakan kesempatan pertama mengawali tradisi Ramadhan di UNAIR setelah masjid bantuan Alumni UNAIR itu diresmikan Jumat (27/5) lalu. Menurut Guru Besar Bidang Akuntansi FEB UNAIR ini, kalau ingin mulia di hadapan Allah maka tidak ada jalan lain selain harus memanage nilai-nilai kecintaan kita kepada Allah. Misalnya rela berkorban untuk tidak terlalu mencintai dunia (hubbud dunya), menjaga kehormatan untuk tidak berbuat tercela semisal menjadi koruptor, dan tidak melakukan perbuatan hina. “Karena itu mari kita kelola cinta kita kepada Allah secara sadar bahwa kita ini hamba-NYA, dan bukan hamba dunia. Sebab hubbud dunya secara berlebihan bisa merusak kemuliaan kita dihadapan Allah,” lanjut Rektor. Disebutkan bahwa hal diatas merupakan satu dari dua hal yang harus bisa kita atasi, setidaknya momentum itu dimulai pada Ramadhan bulan yang penuh hikmah ini. Hal yang kedua adalah posisi kita sebagai konsumen pada dunia yang mengarah pada kapitalistik dan sosialisme, dimana kedua paham tersebut tidak
berkembang sesuai ajaran Islam. ”Kapitalisme itu mengarah kepada kepentingan dunia, yang merangsang untuk cinta dunia secara berlebihan,” tambahnya. Peringatan itu sudah terjadi, yakni sebanyak 20% penduduk Indonesia sudah menguasai 80% kekayaan alam Indonesia. Harta kekayaannya tidak saja tidak habis untuk tujuh turunan, tetapi mungkin juga untuk belasan turunan. Artinya, hanya 20% kekayaan alam Indonesia saja yang harus dibagi untuk 80% penduduk Indonesia lainnya. Inilah yang juga mengakibatkan ketimpangan sosial ekonomi dan jurang kaya-miskin yang semakin lebar. ”Karena itu di bulan Ramadhan inilah sebenarnya kita diajarkan dan diharapkan untuk tahu diri, dan melalui puasa sesungguhnya Allah mengajarkan keseimbangan antara dunia dan akhiratnya. Harta benda dan kekayaan bukan segala-galanya, dan puasa mengajarkan kita untuk tidak menjadi hamba dunia,” demikian Prof. Moh Nasih dalam ceramah kultumnya. (*) Penulis : Bambang Bes Editor : Nuri Hermawan