PUSARAN EKONOMI DI BALIK BISNIS PROSTITUSI DI LOKALISASI DOLLY-JARAK SURABAYA Mutimmatul Faidah Fakultas Teknik Universitas Negeri Surabaya
[email protected] Abstract: The closing of Dolly and Jarak localization evoke variaty of rejection and resistance. It occurs because the localization bring a huge economical impact. There are a lot of works and business that depend on the sex trade. This research is qualitative research using phenomonology approach. The object of the research is Sex Commercial Worker (PSK), pimp, and the resident around the localization. The collection of the data are interview, observation, and documentation. The results shows that there is a huge dependency of several businesses on the sex trade, which make localization become a central place of money circulation. As a center of the main economic business, prostitution is hardly broken off. Therefore, the closure of the "Dolly" and “Jarak” prostitution must be accompanied by the changing profession of Sex Commercial Worker (PSK) and the relocation of localization as a trade centre that bring contribution to the lives of the people around. Keywords: localization, sex, women, economy. Pendahuluan Pekerja Seks Komersial (PSK) merupakan istilah yang memperhalus sebutan yang diarahkan masyarakat kepada penjual seks ini. Kehadiran PSK tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan tempat prostitusi (lokalisasi) yang memfasilitasi penjualan jasa seksual untuk uang. Prostitusi menjadi masalah krusial di berbagai wilayah di Indonesia seiring kian menjamurnya jumlah PSK yang terlibat didalamnya. Di Jawa Timur pada tahun 2012, terdapat 47 lokalisasi yang tersebar di 33 kabupaten/kota dengan jumlah 7.121 orang PSK yang dipekerjakan dan 1.031 mucikari sebagai agentnya (Indra, 2012:3). Surabaya sebagai kota propinsi di Jawa Timur merupakan kota dengan jumlah PSK yang besar. Di Surabaya terdapat dua lokalisasi besar, yaitu: Dolly dan Jarak. Lokalisasi Dolly dan Jarak merupakan lokalisasi yang menjadi barometer bisnis prostitusi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan kedua lokalisasi yang berada dalam satu kelurahan tersebut merupakan lokalisasi dengan jumlah PSK terbesar di Asia Tenggara. Data statistik pemerintah kota Surabaya pada bulan Mei 2014 tercatat ada 1.181 orang PSK dan 300 mucikari yang berada di Dolly dan Jarak (Supomo,2014:5). Jumlah ini dibantah oleh anggota Persatuan Pekerja Lokalisasi 17
(PPL) yang menyatakan ada 2.000 lebih PSK yang bekerja di Dolly dan Jarak, yang sebagian mereka memilih tinggal di luar lokalisasi, tetapi setiap sore hingga pagi hari berada di Dolly dan jarak untuk menjual diri (Wawancara dengan Indah, Pengurus Persatuan Pekerja Lokalisasi, tanggal 9 Juni 2014). Merujuk fakta di atas, pemerintah akan melakukan penutupan lokalisasi dan alih profesi di Dolly dan Jarak pada Juni 2014 ini. Penolakan dan demonstrasi menentang penutupan lokalisasi dilakukan dengan berbagai cara. Hal tersebut lebih dikarenakan bisnis prostutusi ini telah memberikan kontribusi ekonomi yang cukup signifikan bagi warga. Penelitian terkait PSK dan lokalisasi sudah pernah dilakukan. Namun sejauh pengamatan peneliti, penelitian yang secara spesifik mengkaji ragam usaha ekonomi atau pekerjaan yang terlibat di jaringan prostitusi belum pernah diteliti. Penelitian yang pernah dilakukan lebih memfokus pada aspek religiusitas PSK sebagaimana dilakukan Nur Syam (2010:35). Penelitian ini lebih memotret kamar derita dan air mata PSK di balik senyum dan tawa yang selalu menghias penampilan mereka. Temuan penelitian ini adalah adanya kehadiran Tuhan dalam diri PSK, walaupun Tuhan hadir sangat lemah hanya pada saat mereka sadar akan ketidakberdayaan. Sunarto dari IAIN Sunan Ampel Surabaya (2012:54) meneliti tentang kyai prostitusi. Penelitian ini menyorot peran agamawan dalam mengentas PSK dari lembah prostitusi. Hasil penelitian ini mengerucut pada kebutuhan PSK akan pendampingan yang dapat memperkuat mereka untuk keluar dari lokalisasi. Ansyari (2013:13) meneliti tentang pravalensi PSK mengidap penyakit HIV/AIDS. Penelitian ini lebih memfokus perilaku seksual PSK kaitannya dengan ancaman tertular HIV/AIDS. Hasil penelitian menunjukkan adanya relasi kuasa yang tidak imbang antara PSK dan lelaki pemakai layanannya, sehingga kebanyakan PSK tidak menggunakan alat kontrasepsi karena alasan kenyamanan pasangan serta kekerasan seksual yang sering dialami. Penelitiaan yang sudah ada lebih menitikberatkan pada aspek seksualitas seperti temuan Ansyari atau sisi religiusitas seperti temuan Nur Syam dan Sunarto. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini akan memotret pusaran ekonomi dalam bisnis prostitusi yang menjadikan PSK sebagai komoditas.
18
Istilah PSK memicu beragam kontroversi. Hal tersebut disebabkan kata pekerja dalam istilah PSK berkaitan dengan lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan dengan standar upah yang dibayarkan. Lapangan pekerjaan yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui oleh pemerintah. “Seks” tidak termasuk kelompok suatu jenis jabatan maupun pekerjaan. Istilah pekerja seks komersial tidak tepat ditujukan bagi pelacur. Istilah pekerja seks merupakan sebuah pemolesan bahasa yang dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut. Oleh karena itu, Majelis Ulama’ Indonesia menolak penggunaan istilah PSK dan tetap menggunakan istilah Wanita Tuna Susila (Shomad, (2011:7). Melacur merupakan sebuah keterpaksaan struktural yang terlanjur menjadi
“pilihan”. Profesi
ini
bukanlah pilihan merdeka
yang
menyamankan. Keterbatasan akses ekonomi menjadi dalih utama untuk mencebur di dalamnya. Dunia pelacuran berhadap-hadapan dengan struktur-sistemik: Negara. Pelacur adalah korban dari relasi kekuasaan yang timpang, terpinggirkan dari keterjaminan sosial-ekonomi hingga dengan terpaksa menjual tubuhnya. Era kapitalisme memanfaatkan tubuh perempuan sebagai komoditas, sehingga pelacur tidak lebih hanyalah “buruh-budak” yang diperas untuk membubungkan keuntungan ekonomis. Dalam pandangan agama Islam melacur juga disebut dengan zina, zina termasuk perbuatan dosa besar. Zina dianggap keji menurut Islam, akal dan fitrah karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak keluarganya atau suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis keturunan, dan melanggar tatanan lainnya. Perbuatan zina yang terorganisir dan tersistem secara baik terwujud dalam keberadaan wisma-wisma di area lokalisasi yang menjadikan PSK sebagai komoditas. Pelacuran memberikan pengaruh negatif yang sangat memprihatinkan
bagi
harmonisasi
kehidupan
masyarakat,
diantaranya:
(1)
menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin atau kulit; (2) merusak sendisendi kehidupan keluarga; (3) memicu kriminalitas dan menjadi tempat perputaran Narkoba; (4) merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama; (5) eksploitasi 19
manusia oleh manusia lain yang menempatkan Pekerja Seks Komersial sebagai komoditas.
Metode Penelitian Sesuai dengan tujuan yang ingin diraih, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Untuk dapat menggali data yang diharapkan pendekatan yang tepat dalam penelitian ini adalah fenomenologi dan konstruksionis. Munculnya fenomenologi lazimnya dikaitkan dengan Edmund Husser, yang memperkembangkan aliran ini sebagai cara atau metode pendekatan dalam pengetahuan manusia. Menurut prinsip yang dicanangkannya, fenomenologi haruslah kembali pada data bukan pada pikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Dalam hubungannya dengan dunia realitas (baca: sosial), fenomenologi memfokuskan kajiannya kepada cara-cara yang dilakukan aktor dalam memahami dan menafsirkan dunia sosial dengan memperhatikan pencerapan data (sense-data) ke dalam tipikasi atau penggambaran secara mental (Suyanto, 2005:220). Ini berarti dalam tradisi fenomenologi yang dimaksud dengan hakikat adalah hakikat yang bisa ditangkap oleh peneliti menurut perspektif sang aktor sendiri (objek) (Soekanto, 2006: 35). Objek penelitian ini adalah PSK, mucikari, dan warga yang secara langsung terlibat dalam bisnis prostitusi. Cara pengumpulan data dalam penelitian ini dengan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan tujuan untuk membuat penggambaran tentang sesuatu keadaan secara objektif dalam suatu deskripsi situasi (Creswell, 1994: 32). Berkaitan dengan teknik deskriptif tersebut, analisis data dilakukan selama dan setelah kegiatan pengumpulan data berlangsung. Analisis selama pengumpulan data dimaksudkan agar peneliti dapat langsung melakukan analisis sedini mungkin data yang dibutuhkan dan sekaligus dapat melakukan pembenahan jika terdapat kekurangan data. Sedangkan analisis setelah kegiatan pengumpulan data dimaksudkan untuk mengolah lebih lanjut data yang terkumpul sesuai temuan fokus penelitian. Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisis isi (content analysis) dan analisa deskriptif (descriptive analysis). Analisis isi digunakan dengan alasan bahwa pada pengolahan data ditekankan pada kajian isi sesuai dengan fokus penelitian yang akan dibahas. 20
Moleong (2000:163) menyatakan bahwa kajian isi adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara obyektif dan sistetamtis. Pengujian keabsahan data dilakukan dengan ketelitian dan pengamatan. Ketelitian pengamatan dimaksudkan agar penelaahan yang dilakukan semakin mendalam. Kedalaman telaah yang dilakukan terhadap data penelitian akan menentukan kualitas penelitian yang dilakukan. Selain ketelitian pengamatan, pengujian keabsahan data dilakukan dengan triangulasi.
Hasil dan Pembahasan 1. Potret Lokalisasi Dolly dan Jarak Pada awalnya, kawasan Dolly adalah tempat pemakaman warga Tionghoa pada masa penjajahan Belanda. Pemakaman ini dirubah oleh seorang Noni Belanda bernama Dolly van Der Mart pada tahun 1800-an sebagai tempat yang menyediakan beberapa gadis melayani kebutuhan biologis tentara Belanda. Tempat ini menyediakan para wanita penghibur yang didatangkan dari Semarang, Kudus, Pati, Purwodadi, Nganjuk, Surabaya, dan Kalimantan. Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat luas. Tidak hanya prajurit Belanda yang berkunjung, warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan wanita penjaja cinta tersebut. Peningkatan jumlah pengunjung berpengaruh kepada penambahan jumlah PSK dan memperluas rumah-rumah di gang Dolly yang dialihfungsikan menjadi wisma prostitusi. (Purnomo dan Siregar, 1982:26). Gang Dolly berubah menjadi kompleks lokalisasi yang terkenal hingga manca negara. Dolly menjadi nama yang melegenda sebagai pusat prostitusi terbesar di Indonesia. Jumlah rumah yang dialihfungsikan sebagai wisma pelacuran dan kafe minuman keras semakin banyak, menyebar di wilayah Kupang Gunung Timur, Putat Jaya, hingga mencapai sebagian Jalan Jarak. Rumah penduduk yang dulunya dijadikan tempat hunian, bergeser menjadi rumah yang disewakan untuk prostitusi. Saat ini, Dolly menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana (Firdaus, 2013). Peta lokasi Dolly dan Jarak dapat dilihat dalam gambar berikut.
21
Gambar 1. Peta Lokalisasi Dolly dan Jarak Surabaya (Sumber: Gaya Nusantara, 2013) Untuk mengetahui kondisi riel kehidupan di Dolly, peneliti melakukan observasi dan wawancara dengan PSK, mucikari, dan warga setempat. Berdasar hasil observasi dapat dideskripsikan bahwa lokalisasi Dolly bersebelahan dengan lokalisasi Jarak. Kedua lokalisasi terbesar di Surabaya ini berada di kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan Surabaya. Lokalisasi Dolly dan Jarak berada dalam satu wilayah, namun ada perbedaan. Dolly membidik kelas menengah ke atas, dengan PSK yang relatif lebih muda, dan wisma yang relatif lebih bagus. Terdapat dua wisma terbesar di Dolly, yaitu Barbara dan New Barbara dengan pemilik yang sama. New Barbara memiliki bangunan yang relatif baru dan kokoh terdiri dari enam lantai yang dilengkapi dengan lift. Setiap kamar dilengkapi Air Condition dan kamar mandi dalam. Lokalisasi Jarak lebih banyak didatangi kelas menengah ke bawah dengan PSK yang berusia setengah tua. Wismanya biasa-biasa saja dan tersebar hingga ke dalam gang sempit. Terdapat sistem stratafikasi di dua lokalisasi bersebelahan ini. Para PSK yang sudah di bawah kriteria Dolly akan direlokasi ke lokalisasi Jarak (Wawancara dengan Ngadimin, warga area lokalisasi tanggal 5 Juni 2014). Tarif PSK untuk satu jam nilainya bervariasi dengan harga termurah Rp 100 ribu, Rp 150 ribu, Rp 200 ribu dan Rp 250 ribu. Ada juga PSK dengan harga mulai 1 juta ke atas. Perbedaan harga didasarkan atas kecantikan, bentuk tubuh, kesesuaian dengan keinginan pelanggan dan juga virginitas.
22
Jumlah PSK yang berada di lokalisasi Dolly dan Jarak berdasarkan data statistik pemerintah kota Surabaya pada bulan Mei 2014 terdapat 1.181 PSK dan 300 mucikari (Pemkot Surabaya). Jumlah ini dibantah oleh anggota Persatuan Pekerja Lokalisasi (PPL) yang menyatakan ada 1.000 PSK Dolly dan 1.000 PSK di Jarak. Perbedaan angka tersebut karena pemerintah hanya mencatat PSK yang bertempat tinggal di lokalisasi. Seiring dengan rencana penutupan, ada perubahan tren, sebagian PSK memilih tinggal di kost-kostan di luar lokalisasi, tetapi setiap sore hingga pagi hari berada di Dolly dan jarak untuk menjual diri (Wawancara dengan Indah, mucikari di lokalisasi Jarak tanggal 11 Juni 2014). Suasana malam di jalan-jalan dan gang yang ada di lokalisasi seperti pasar malam. Terdengar iringan musik dangdut yang meriah, ramai dikunjungi para lelaki yang ingin memuaskan nafsunya dengan hilir-mudik kendaraan roda dua dan empat, lalu lalang para penjual makanan, dan para makelar yang sudah berada di depan wisma untuk menawarkan tubuh perempuan. Para PSK dengan busana mini yang menonjolkan lekuk tubuh dipajang berderet duduk di atas kursi di tengah sorotan lampu yang temaram. Warga menyebutnya dengan ikan lohan yang berada dalam aquarium. Dua sisi kehidupan yang bertolak belakang terlihat di kawasan lokalisasi ini. Kawasan Dolly bersebelahan dengan rumah-rumah penduduk. Di luar sisi gang Dolly dan Jarak berdiri masjid, musholla, Taman Pendidikan Al-Qur’an, Madrasah Diniyah dan juga Gereja, selain sederet toko dan ragam jenis usaha yang menopang perekonomian di area Dolly. Lokalisasi ini mulai ramai dikunjungi pada pukul 17.00 sampai fajar. Di tengah suara dentuman musik dan lampu yang berkelap-kelip terdengar pula lantunan suara adzan, sholawat, bacaan Al-Qur’an dari pengeras suara masjid dan musholla. Satu sisi kehidupan yang kontras, namun nyata. Lokalisasi Dolly-Jarak bukanlah kawasan steril yang jauh dari pemukiman warga. Ia merupakan lokalisasi di tengah kehidupan warga padat penduduk.
2. Ragam Pekerjaan di Pusaran Prostitusi Keramaian di lokalisasi Dolly dan Jarak menggambarkan perputaran roda perekonomian dan melibatkan berbagai kalangan dari berbagai jenis usaha yang turut mencari rejeki. Keberadaan bisnis seks ini memberikan mutiplying effect (dampak 23
berganda) dalam sektor perekonomian. Sebagian masyarakat sudah menggantungkan kebutuhan hidup dari bisnis ini. Berdasar hasil observasi di dua lokalisasi ini dapat dipetakan 37 jenis pekerjaan dalam 9 bidang yang terlibat dan terdampak langsung oleh keberadaan lokalisasi, yaitu : a. Prostitusi yang terlibat secara langsung, terdiri dari : 1) Mucikari atau GM (germo), mucikari ini bisa lelaki dan wanita yang memiliki modal untuk menyewa rumah di lokalisasi dan berperan mengendalikan
bisnis
prostitusi.
Sebagian
mucikari
perempuan
merupakan mantan PSK yang beralih peran. Sebagian yang lain merupakan warga dari luar wilayah Putat Jaya dan Kupang Gunung yang sengaja menjalankan prostitusi di lokalisasi tersebut. Beberapa mucikari yang bermodal besar memiliki beberapa wisma, tidak hanya di lokalisasi Dolly dan Jarak, tetapi juga di lokalisasi lain di luar Surabaya (Wawancara dengan Kasun, mucikari lokalisasi Jarak tanggal 28 Mei 2014). 2) Pekerja Seks Komersial (PSK) yang dijadikan komoditas dalam bisnis ini, sebagian ada yang tinggal di wisma, sebagian yang lain memilih kontrak rumah atau kost di rumah warga sekitar lokalisasi. 3) Makelar, makelar ini kebanyakan lelaki yang berperan menawarkan PSK kepada para lelaki yang lalu-lalang di sekitar lokalisasi. Makelar inipun menentukan harga per-jam dan melakukan transaksi. Harga didasarkan atas kesepakatan, harga mulai Rp. 100.000,00 perjam sampai tak terbatas tergantung kondisi fisik PSK. 4) Pemilik Rumah yang menyewakan rumahnya untuk dijadikan tempat bordir. Pemiliki rumah sebagaian besar adalah warga di sekitar lokalisasi. Sewa rumah di area lokalisasi ini terhitung mahal dibanding harga sewa rumah di wilayah Surabaya lainnya. Di lokalisasi Dolly sewa rumah sekitar 10 – 20 juta tiap bulan atau 100 – 150 juta pertahun dengan ukuran rumah 6 x 15 m ( terdiri dari 1 lantai) dengan kondisi bangunan rumah yang relatif standart atau bukan rumah mewah (Wawancara dengan Ngadimin tanggal 10 Juni 2014). 24
b. Bidang Kebersihan, meliputi: (1) buruh cuci, biasanya direkrut dari PSK yang sudah tidak mampu lagi bersaing karena usia atau alasan lain. Para wanita yang beralih profesi menjadi buruh cuci ini memilih bertahan hidup di lokalisasi karena ketidaksiapan pulang ke daerah asal, tidak memiliki keluarga di daerah asal ataupun karena stigma yang sudah dilabelkan kepada mereka; (2) Jasa Loundry; dan (3) Tukang Kebersihan Wisma. c. Bidang Penyedia Jasa Transportasi, meliputi (1) Tukang Ojek; (2) Sopir Taxi; (3) Rental Mobil/Sepeda Motor; (4) Jasa Sopir; dan (5) Tukang Becak, yang biasa mangkal di ujung area lokalisasi. d. Bidang Penyedia Jasa Kecantikan, meliputi: (1) Perias Salon dan (2) Beutycian/Teraphis. e. Bidang Penyedia Kebutuhan Konsumsi, meliputi: (1) Penjaja makanan ringan, minuman, dan rokok. Pedagang kaki lima ini merupakan pendatang yang menjual dagangannya di Jalan Jarak dan di ujung Gang Dolly di malam hari; (2) Penjual nasi goreng, sate, soto, bakso dan lainnya. Ada yang mangkal, ada pula yang lalu lalang membawa rombong di sekitar lokalisasi; (3) Kedai minuman keras; (4) Penjual Kelontong; dan (5) Kedai Kopi. f. Bidang Keamanan, meliputi: (1) Centheng keamanan wisma melibatkan preman yang sengaja dibayar oleh mucikari untuk menjamin keberlansungan bisnis; (2) Satpam dari LINMAS RW; (3) Pemilik lahan parkir, lahan parkir biasanya teras rumah warga yang disulap menjadi tempat parkir. Ada juga rumah, lantai bawah digunakan untuk parkir dan lantai atas untuk prostitusi. Tarif parkir mobil mulai Rp 15.000,00 dan motor, mulai harga Rp 5.000,00. Tarif akan berlipat jika menginap dan pada momen tertentu; dan (4) Penjaga parkir g. Bidang Kesehatan dan Supranatural, meliputi: (1) Bidan; (2) Dukun Bayi; (3) Paranormal; (4) Toko Obat Kuat; (5) Kedai Jamu; (6) Tukang Pijat; dan (7) Pasang Susuk. h. Bidang Layanan Hiburan, meliputi: (1) Penyanyi Karaoke; (2) Waiters; (3) Pengamen; dan (4) Penari. i. Bidang Jasa Perkreditan, meliputi: (1) Pemasok kebutuhan PSK dengan sistem kredit; (2) pegadaian; dan (3) Bank Titil. 25
Pada fenomena pekerja seks, terdapat beberapa unsur transaksi bisnis yang merupakan unsur dari mekanisme kerja, dimana sang subjek menggunakan tubuh sebagai komoditas untuk dijual dalam satuan harga yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak tanpa ada yang merasa dirugikan dan kedua belah pihak merasa puas (Abdullah, 2001:17). Uang atau barang tertentu menjadi elemen utama perantara kedua subjek yang tengah melakukan kesepakatan. Pekerjaan menjual tubuh pada faktanya menjadi bagian dari mata pencaharian, dimana mereka menumpukan sandaran pada kerja tersebut. Jika lokalisasi ditutup, maka hilanglah mata pencaharian PSK sebagai andalan dan sandaran hidup mereka. Tidak hanya unsur PSK dan mucikari yang terlibat secara langsung dalam bisnis prostitusi ini. Terdapat pula beberapa sektor perekonomian yang bergantung pada bisnis prostitusi. Hal ini menjadikan area lokalisasi sebagai tempat yang kokoh berdiri dengan perputaran uang yang melimpah dan tidak mudah tersentuh oleh aparat. Kebergantungan berbagai sektor menjadi mata rantai bisnis prostitusi yang tidak mudah diurai dan diputus. Penutupan lokalisasi inipun menuai penolakan, penentangan dan demonstrasi. Masyarakat yang turut ambil bagian dalam bisnis tersebut mendirikan beberapa forum organisasi seperti; Persatuan Pekerja Lokalisasi (PPL), Forum Komunikasi Masyarakat Lokalisasi Surabaya (FKMLS), dan Komite Independen Indonesia (KOPI). Forum-forum ini dibentuk untuk menyuarakan lokalisasi harus tetap dipertahankan. Warga yang terdampak langsung oleh penutupan lokalisasi menolak keras program ini dengan melakukan berbagai perlawanan. Sejumlah spanduk perlawanan dipasang di sejumlah gang di lokalisasi Jarak dan Dolly. Spanduk yang berwarna merah itu mengecam kebijakan pemerintah. Selain itu, sedikitnya ada 7 sirine yang dipasang di berbagai titik. Sirine itu difungsikan sebagai sinyal apabila ada aparat yang mendatangi lokalisasi untuk melakukan penutupan (Wawancara dengan Sukamto- Forum Komunikasi Masyarakat Lokalisasi Surabaya (FKMLS) tanggal 12 Juni 2014). Kehadiran lokalisasi di satu sisi memberikan sejumlah akses perekonomian bagi warga. Namun dalam aspek sosial, kehadiran lokalisasi di tengah pemukiman warga berdampak pada ketidaknyamanan dan ketidaktenangan kehidupan keluarga. Anak-anak yang menjadi matang secara biologis di usia dini dikarenakan tontonan 26
vulgar yang ditemui setiap hari serta kerentanan keluarga karena godaan seksualitas yang terpampang. Dalam aspek yang lain, keberadaan lokalisasi menyuburkan praktek human trafficking. Indonesia juga menempati urutan ke-3 sebagai negara yang bermasalah dalam memberantas human trafficking. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mensinyalir 30% prostitusi perempuan di Indonesia adalah perempuan di bawah umur 18 tahun. Sebanyak 40.000 s/d 90.000 per tahun, anak Indonesia menjadi korban kekerasan seksual. Perempuan dan anak Indonesia diperdagangkan untuk eksploitasi seksual. Lokalisasi menjadi hilir dari perdagangan anak dan perempuan di Indonesia. Merujuk dari fakta di atas, mempertahankan keberadaan lokalisasi berarti membiarkan anak-anak warga di sekitar lokalisasi terancam secara mental dan kepribadian serta memberi jalan keberlangsungan perdagangan manusia. Prostitusi menjadi masalah yang dapat menghambat lajunya pembangunan karena dapat mengancam kesehatan dan ketentraman jasmani, rohani, maupun sosial. Tidak hanya itu, prostitusi telah menempatkan wanita sebagai komoditas dan menurunkan harkat dan martabat manusia. Prostitusi bertentangan dengan nilai-nilai dan norma yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia. Prostitusi memberikan efek domino berupa munculnya perjudian, peredaran Narkoba dan minuman keras, menjalarnya penyakit menular seksual, HIV/AIDS dan mangkalnya pelaku kriminal. Tidak dapat dipungkiri, lokalisasi memberikan sumbangsih perekonomian warga di sembilan bidang sebagaimana temuan di atas. Sektor yang ada dapat digerakkan tanpa keberadaan lokalisasi. Dengan demikian, yang menjadi nilai penting adalah melakukan alih profesi PSK dan mucikari dengan bekal skill dan kepercayaan diri untuk merubah hidup dan memilih pekerjaan yang bermartabat serta alih fungsi area lokalisasi menjadi sentra perdagangan yang didesain untuk menghadirkan banyak orang datang tidak untuk menyalurkan kebutuhan seks, tetapi bekerja dengan mencari rizki halal yang bermartabat. Smart City sebuah konsep yang digagas oleh pemerintah seharusnya tidak sekedar sebagai wacana, tetapi segera direalisasi seiring dengan pasca penutupan lokalisasi. Dengan demikian, penutupan lokalisasi tidak memicu konflik horizontal yang berkepanjangan.
27
Penutup Lokalisasi Dolly dan Jarak bukanlah tempat yang sengaja didirikan sebagai tempat perdagangan seks. Lokalisasi ini berawal dari satu rumah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan seks prajurit Belanda pada masa penjajahan. Seiring dengan banyaknya jumlah pengunjung yang mencari kepuasan seks, jumlah rumah yang menyediakan perempuan pelayan sekspun terus meningkat. Pada tahap selanjutnya, wilayah ini menjadi kompleks lokalisasi yang dikenal dengan sebutan Dolly dan Jarak. Kebergantungan beberapa sektor perekonomian dalam bisnis prostitusi ini menjadikan area lokalisasi sebagai tempat yang kokoh berdiri dengan perputaran uang yang melimpah dan tidak mudah tersentuh oleh pemerintah. Terdapat 37 jenis usaha dalam sembilan sektor, yaitu: prostitusi, keamanan, kebersihan, penyedia kebutuhan konsumsi pangan, jasa kesehatan dan supranatural, jasa transportasi, jasa kecantikan, jasa kredit, dan layanan hiburan. Ketergantungan berbagai sektor dan jenis usaha tersebut menjadi mata rantai bisnis prostitusi yang tidak mudah diurai dan diputus. Dengan demikian, penutupan lokalisasi yang telah menjadi sumber ekonomi banyak kalangan harus disertai alih profesi PSK dan alih fungsi lokalisasi menjadi lahan produktif secara perekonomian. Daftar Pustaka Abdullah, Irwan. 2001. Seks, Gender, dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta:Tarawang Ansyari, Isa. 2013. Pekerja Seks Komersial dan HIV/AIDS. Surabaya: Hasil Penelitian Tidak Diterbitkan Berger, Peter. 1975. The Social Construction of Reality. Penguins Books: Australia Creswell. 1994. Qualitative Inquiry and Research Design. Sage Publications Inc: USA Foucoulth. The History of Sexuality I: Will to Knowledge. New York: Mc Graw-Hill, 1998 Firdaus, Rendy Ferdi. 2013. ”Sejarah Gang Dolly Sampai Terbesar Se Asia Tenggara” dalam http://www.merdeka.com. Diakses 12 Juni 2014 Indra dan Tim Pemprov Jawa Timur. 2012. Data Lokalisasi dan Pekerja Seks Komersial di Jawa Timur. Surabaya, Tidak Diterbitkan Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Purnomo, Tjahjo dan Siregar. 1982. Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly. Jakarta: Grafiti Pers Shomad, Buchori. 2013. Himpunan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia. Surabaya: MUI Jatim 28
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial (Berbagai Alternatif Pendekatan). Jakarta: Kencana Prenada Media Group Syam, Nur. 2009. Agama Pelacur. Yogyakarta: LKIS Sunarto. 2013. Kyai Prostitusi. Surabaya: IDIAL MUI Jatim Supomo dan Tim Pemkot Surabaya. 2014. Data Pekerja Seks Komersial dan Mucikari di Lokalisasi Dolly dan Jarak. Surabaya, Tidak Diterbitkan
29