KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK DAN RESPON KEBIJAKAN UNTUK MEMINIMISASI DAMPAK NEGATIF TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
TRI ISDINARMIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Respon Kebijakan untuk Meminimisasi Dampak Negatif terhadap Perekonomian Indonesia adalah karya Saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2011 Tri Isdinarmiati, SE NRP H151090184
ABSTRACT TRI ISDINARMIATI. The Increasing of Electrical Price and Policy Responses to Minimize Its Negative Impacts on Indonesian Economic Performance. Supervised under RINA OKTAVIANI and TONY IRAWAN. Electricity is one of the strategic commodities in Indonesia. The Increasing of electrical price (so called TDL stand for Tarif Dasar Listrik) administered by the government will be negative impact on Indonesian economic performance. Based on this research analysis, a rise of TDL will have negative impact on macro and sectoral economic performance. This study aims to analyze the effects of a rise of TDL and policy responses to minimize its negative impacts on Indonesian economic performance. The data which is used in this research are Input Output Table, Social Accounting Matrix (SAM) and SUSENAS data. Sources of data obtained from Board Central of Statistics. The analysis using Computable General Equilibrium (CGE) model is called INDOTDL CGE model. The simulation results show that a rise of TDL will have negative impact on economic growth, household consumption, export, employment and sectoral demand. This study also shows that an increase of efficiency in electricity sector by 10 percent is expected to decrease the electrical price. In addition, a rise of TDL which is followed by an increase of efficiency or decrease of value added tax (VAT) policy in all sector have positive impact on macro and sectoral economic performance on Indonesian. The most effective policy to economic improvement is to increase efficiency of electricity sector, so TDL doesn’t need to be increased. Keywords : TDL, CGE, efficiency, VAT, economic performance.
RINGKASAN TRI ISDINARMIATI. Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Respon Kebijakan untuk Meminimisasi Dampak Negatif terhadap Perekonomian Indonesia. Dibimbing oleh RINA OKTAVIANI dan TONY IRAWAN.
Listrik merupakan komoditi strategis yang digunakan hampir disemua sektor sehingga tarif dasar listrik (TDL) ditentukan pemerintah. Kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional PLN, oleh karena itu Pemerintah harus memberikan subsidi agar tidak merugikan PLN. Tahun 2010 subsidi listrik meningkat sebesar Rp 17,3 triliun namun masih terdapat defisit subsidi listrik sebesar Rp 4,87 triliun, sehingga Pemerintah dengan persetujuan DPR harus menaikkan TDL. Kebijakan kenaikan TDL yang berlaku mulai 1 Juli 2010 hanya untuk pelanggan yang berdaya 1300 VA ke atas dengan tingkat kenaikan yang berbeda pada tiap kelompoknya. Kelompok rumahtangga mengalami kenaikan TDL sebesar 18 persen, sedangkan sektor industri kenaikannya dibatasi antara 6 15 persen. Namun awal tahun 2011, PLN mencabut pembatasan kenaikan TDL di sektor industri sehingga kenaikan TDL sektor industri mencapai 20-30 persen. Kenaikan TDL selain bertujuan mengurangi beban subsidi listrik pada APBN juga mencegah subsidi yang salah sasaran, namun juga berdampak luas pada kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia. Penelitian ini mengkaji kenaikan tarif dasar listrik dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel I-O tahun 2008 dan Tabel SNSE tahun 2008 yang bersumber dari BPS. Data dasar disusun dengan melakukan agregasi dan disagregasi pada Tabel I-O dan Tabel SNSE menjadi 21 sektor. Analisis penelitian menggunakan model CGE INDOMINI (Oktaviani, 2008) yang dikolaborasi dengan model CGE WAYANG (Wittwar, 1999) dan selanjutnya disebut model CGE INDOTDL. Hal yang berbeda pada mdel CGE INDOTDL dengan model INDOMINI adalah rumahtangga dipisah menjadi 2 yaitu rumahtangga berdaya listrik 450VA-900VA (rumahtangga bawah) dan rumahtangga berdaya 1300 VA ke atas (rumahtangga atas). Analisis jangka waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah jangka pendek (short run) dengan asumsi stok kapital dan upah riil tetap dan jangka panjang (long run) dengan asumsi telah terjadi penyesuaian pada stok kapital dan upah riil akibat adanya guncangan dalam perekonomian. Untuk melihat dampak kenaikan TDL dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia dilakukan analisis dengan 4 skenario. Dimana skenario 1 adalah gonjangan harga listrik berdaya 1300 VA ke atas pada sektor industri sebesar 30 persen dan rumahtangga sebesar 18 persen. Skenario 2 adalah gonjangan jika ada peningkatan efisiensi produksi di sektor listrik sebesar 10 persen. Dan skenario 3 merupakan simulasi pada skenario 1 yang diikuti peningkatan efisiensi pada seluruh sektor ekonomi sebesar 1 persen. Sedangkan skenario 4 adalah simulasi dimana skenario 1 jika diikuti kebijakan penurunan PPN pada seluruh sektor sebesar 1 persen.
Kebijakan kenaikan TDL yang dilakukan pemerintah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia (skenario 1). Secara makro, kebijakan tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan PDB riil, penyerapan tenaga kerja, konsumsi rumahtangga, dan investasi sekaligus menyebabkan inflasi. Secara sektoral, kebijakan kenaikan TDL berdampak negatif terhadap output, tenaga kerja, dan tingkat harga. Penurunan output dan penyerapan tenaga kerja paling besar terjadi pada industri logam dasar besi, baja dan bukan besi, sedangkan industri semen merupakan sektor yang mengalami kenaikan harga tertinggi akibat kebijakan kenaikan TDL. Dampak kebijakan kenaikan TDL juga berdampak pada penurunan konsumsi pada kedua kelompok rumahtangga, dimana kelompok rumahtangga atas dampak negatifnya jauh lebih besar dibanding rumahtangga bawah. Melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebijakan kenaikan TDL baik terhadap kinerja makro maupun sektoral yang cukup besar, maka dilakukan simulasi peningkatan efisiensi di sektor listrik (skenario 2). Peningkatan efisiensi di sektor listrik sebesar 10 persen mampu menurunkan harga listrik hingga 24,97 persen sehingga kebijakan kenaikan TDL bisa dihindari. Peningkatan efisiensi di sektor listrik juga berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Hasil simulasi kebijakan kenaikan TDL yang diikuti peningkatan efisiensi sebesar 1 persen di seluruh sektor ekonomi (skenario 3) berdampak positif pada peningkatan PDB riil, penyerapan tenaga kerja, peningkatan total konsumsi dan ekspor walaupun masih mendorong inflasi. Begitu juga dengan kebijakan kenaikan TDL yang diikuti penurunan PPN sebesar 1 persen pada seluruh sektor (skenario 4) yang berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro maupun sektoral di Indonesia. Bahkan kebijakan penurunan PPN tersebut mampu mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar sehingga kebijakan tersebut sangat efektif untuk mengatasi pengangguran di Indonesia. Selain itu kebijakan kenaikan TDL yang diikuti peningkatan efisiensi maupun penurunan PPN di seluruh sektor ekonomi mampu meningkatkan total konsumsi pada tiap kelompok rumahtangga. Dimana dampak terhadap peningkatan total konsumsinya lebih besar pada rumahtangga bawah. Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran ke depan antara lain: (1) sektor listrik sebaiknya meningkatkan efisiensi sebesar 10 persen karena mampu menurunkan harga listrik hingga 24,97 persen sehingga pemerintah tidak perlu menetapkan kebijakan kenaikan TDL, (2) kenaikan TDL yang berdampak meningkatnya biaya produksi pada sektor ekonomi hendaknya diimbangi dengan peningkatan efisiensi oleh produsen sehingga output yang dihasilkan bisa bersaing harga baik dipasar domestik maupun luar negeri (3) Pemerintah perlu membuat kebijakan menurunkan PPN saat perekonomian melemah karena dampak kenaikan TDL, sehingga industri tetap mampu berproduksi dengan harga output sesuai daya beli masyarakat, (4) Pemerintah untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan TDL harus berperan dalam menarik investor sehingga mau menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah harus memberikan iklim investasi yang kondusif bagi investor dengan cara memberikan kepastian hukum, menstabilkan sosial politik dan keamanan. Kata Kunci : TDL, CGE, efisiensi, PPN, perekonomian
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK DAN RESPON KEBIJAKAN UNTUK MEMINIMISASI DAMPAK NEGATIF TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA
TRI ISDINARMIATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Tesis Nama NRP
: Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Respon Kebijakan untuk Meminimisasi Dampak Negatif terhadap Perekonomian Indonesia : Tri Isdinarmiati : H151090184
Disetujui Komisi Pembimbing
Tony Irawan, SE, M.App, Ec Anggota
Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. R.Nunung Nuryartono, M.Si
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 27 Mei 2011
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Heru Margono, M.Sc.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Kenaikan Tarif Dasar Listrik dan Respon Kebijakan untuk Meminimisasi Dampak Negatif terhadap Perekonomian Indonesia, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan penulisan tesis ini. Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih kepada, yang terhormat : 1. Dr. Rusman Heriawan, SE, M.Si (Kepala Badan Pusat Statistik), yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB. 2. Kepala Pusdiklat BPS beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran administrasi selama Penulis mengikuti program Tugas Belajar. 3. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S dan Tony Irawan, SE, M.App, Ec selaku Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat dalam menyusun tesis ini. 4. Dr. Heru Margono, M.Sc (Kepala BPS Kota Jakarta Pusat), selaku Penguji Luar Komisi pada pelaksanaan Ujian Tesis. 5. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana IPB beserta jajarannya, yang telah membantu kelancaran proses kegiatan belajar. 6. Supriyanto, SE, MA (Direktur Neraca Produksi, BPS Pusat), yang telah memberikan ijin dan dorongan kepada Penulis untuk menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana IPB. 7. Agus Nuwibowo, S.Si, MM (suami penulis), Alya, Isna, Faris (ketiga anak penulis) dan seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. 8. Teman-teman mahasiswa pascasarjana IPB, khususnya PS Ilmu Ekonomi. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu penyelesaian tesis ini meskipun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Tidak ada satupun yang sempurna, begitu juga tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang telah penulis kerjakan ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak terutama pemerintah dan kalangan akademisi. Bogor, Mei 2011 Tri Isdinarmiati, SE
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magelang pada tanggal 3 Januari 1975 dari Bapak R. Achmad Koerdi dan Ibu Sri Sulastri. Penulis merupakan anak bungsu dari sepuluh bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Agus Nuwibowo dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Alya Shafarana, Isnaini Haya Amani dan Faris Abisali Abrisam. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Tidar II Magelang kemudian melanjutkan ke SMPN 8 Magelang pada tahun 1987 dan lulus pada tahun 1990. Setelah lulus SMP penulis melanjutkan ke SMAN 2 Magelang. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan di Akademi Ilmu Statistik Jakarta dan lulus tahun 1996. Penulis bekerja di BPS Kabupaten Karawang pada tahun 1996 kemudian Penulis pindah bekerja di Direktorat Neraca Produksi, BPS pusat Jakarta pada tahun 1998. Penulis berkesempatan menjadi mahasiswa Ilmu Statistik di Universitas terbuka dan lulus tahun 2003. Tahun 2002 penulis mendapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dan lulus tahun 2003. Pada tahun 2009 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar kerja sama BPS-IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………..……….……………
vii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………..…….
ix
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………..…….
xi
1. PENDAHULUAN ……….…………………………………………..…
1
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
Latar Belakang ….…………………………………….……… Rumusan Masalah ………………………………………….… Tujuan Penelitian ….……………………………………….… Kegunaan Penelitian ………………………………………..… Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ….…….……..…
1 6 8 8 9
2. KERANGKA TEORI …………………………………………………..
11
2.1 Tinjauan Teori ….………………………………….……….… 2.1.1 Teori Dasar Subsidi …………………………………… 2.1.2 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian …….…… 2.1.3 Model Keseimbangan Umum …………………………. 2.2 Tinjauan Studi Terdahulu ……………………….…………… 2.3 Kerangka Pemikiran …….………………...………………..…
11 11 12 13 18 22
3. METODE PENELITAN ………….………………….…………….…… 25 3.1 Jenis dan Sumber Data ……….……………………….……… 3.2 Metode Pengolahan Data …………………….………..……… 3.3 Model Keseimbangan Umum (CGE) INDOTDL .……..… 3.3.1 Data dan Struktur Data Model INDOTDL …..……..….. 3.3.2 Sistem Persamaan pada Model INDOTDL ……….…… 3.3.3 Analisis Jangka Waktu dalam Model CGE ………..….. 3.4 Keunggulan dan Keterbatasan Model CGE …………..…...… 3.5 Simulasi Kebijakan ………………………………..….………
25 26 27 28 30 48 50 52
4. KONSTRUKSI DATA DASAR …………………………….….………
55
4.1 Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2008 …………….……… 4.2 Tabel Input-Output UKM Indonesia Tahun 2003 ……………. 4.3 Struktur Input-Output …………………………................…… 4.4 Agregasi dan Disagregasi Sektor …..……………….…………. 4.5 Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) ………….……....…… 4.6 Klasifikasi Input Primer ……………………….………....…… 4.7 Klasifikasi Pengguna (User) ……………………………..….… 4.8 Klasifikasi Rumahtangga …………………………….…..…… 4.9 Klasifikasi Sumber ……………………………………….…… 4.10 Elastisitas dan Parameter Lain ………………………………
55 56 56 57 60 62 62 63 63 64
vi
4.10.1 Elastisitas Armington ………………………...…….… 4.10.2 Elastisitas Substitusi Input Primer ……….…………… 4.10.3 Elastisitas Permintaan Ekspor ………………………… 4.11 Membuat File Header Array ………………….……..……… 4.12 Software GEMPACK .…………………………………..…… 4.13 Prosedur Kerja GEMPACK ……………………………..…… 4.14 Membuat File Tablo ………………………………...…..……
64 65 66 66 68 69 71
5. GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA …
73
5.1 Sistem Ketenagalistrikan Indonesia ……………………...…… 5.2 Perkembangan Pelanggan Listrik yang Diproduksi dan Dijual Di Indonesia ……………………………..………………….… 5.3 Pola Konsumsi Listrik Industri dan Rumahtangga …….…..… 5.3.1 Pola Konsumsi Listrik Industri di Indonesia ……………. 5.3.2 Pola Konsumsi Listrik Rumahtangga di Indonesia .……. 5.4 Kebijakan Kenaikan TDL di Indonesia ..…………….….…… 5.5 Problematika Ketenagalistrikan di Indonesia ..…..….…………
74
6. HASIL DAN PEMBAHASAN
…………………………….…..……
6.1 Dampak Kenaikan TDL terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia ……………………………….……….… 6.1.1 Dampak Kenaikan TDL terhadap Kinerja Ekonomi Makro di Indonesia ………..…...…….………….……... 6.1.2 Dampak Kenaikan TDL terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral di Indonesia ...…………………..…………..... 6.2 Kebijakan Untuk Meminimisasi Dampak Negatif Kenaikan TDL terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia …………..… 6.2.1 Dampak Peningkatan Efisiensi di Sektor listrik …...…... 6.2.2 Dampak Kenaikan TDL yang diikuti Peningkatan Efisiensi di Seluruh Sektor …...................................…... 6.2.3 Dampak Kenaikan TDL yang diikuti Penurunan PPN di Seluruh Sektor ……………………….……………… 7. KESIMPULAN DAN SARAN
75 78 80 82 85 89 93 94 94 96 101 102 106 111
………………….…..……….….… 117
7.1 Kesimpulan ………………………………………..…….…… 117 7.2 Saran .…………………………………………………..……. 118 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
………….……………………………..….. 121
…………………….……………………………….. 125
vii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Perubahan asumsi dari subsidi listrik dalam APBN 2010 ……..……..
2
2
Kenaikan TDL per 1 Juli 2010 ………………………………………
5
3
Set header array pada model INDOTDL…………………..…….…..
30
4
Closure jangka pendek pada model INDOTDL …………………...
45
5
Closure jangka panjang pada model INDOTDL …….……..………..
47
6
Klasifikasi sektor dalam penelitian menurut lapangan usaha
…....
58
7
Mapping sektor penelitian (21 sektor) dengan Tabel I-O (66 sektor).
59
8
Pengelompokan sektoral dari Tabel Input-Output dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi ………………………………………………………
61
9
Parameter elastisitas yang digunakan dalam model…………………
65
10
Komposisi energi yang diproduksi menurut pembangkit ………..…
74
11
Perbandingan biaya pembangkitan listrik rata-rata tahun 2004-2009.
75
12
Perkembangan jumlah pelanggan listrik, KWh yang dibangkitkan dan KWh yang dijual di Indonesia .…………………………………
76
13
Produksi, susut energi, energi yang terjual dan jumlah pelanggan listrik menurut wilayah di Indonesia tahun 2009…………………….. 77
14
Listrik yang terjual dan share perkelompok pelanggan di Indonesia tahun 2002-2009 …………………………………………………..…
79
Nilai dan share listrik yang dibeli industri besar sedang di Indonesia tahun 2008 ………………..………………………………….….…..
81
16
Konsumsi dan share menurut kelompok rumahtangga tahun 2008 ...
84
17
Kebijakan kenaikan TDL di Indonesia tahun 2001-2011…..………..
86
18
Dampak kenaikan TDL terhadap peubah-peubah ekonomi makro…………..…………………………………………….……..…
95
15
viii
19
Dampak kenaikan TDL terhadap output, tingkat harga dan permintaan tenaga kerja ………………….………..……..……..…..
98
20
Dampak kenaikan TDL terhadap konsumsi rumahtangga persektor
100
21
Dampak kenaikan TDL terhadap total pendapatan dan konsumsi rumahtangga .……..………………………………………………… 101
22
Dampak peningkatan efisiensi di sektor listrik terhadap peubahpeubah ekonomi makro ……….………………………………..…… 103
23
Dampak peningkatan efisiensi di sektor listrik terhadap output, tingkat harga dan permintaan tenaga kerja ………….…………..…... 105
24
Dampak peningkatan efisiensi di sektor listrik terhadap total pendapatan dan konsumsi riil rumahtangga .…..………………..….. 106
25
Dampak kenaikan TDL diikuti peningkatan efisiensi di seluruh sektor terhadap peubah- peubah ekonomi makro ……………..….… 107
26
Dampak kenaikan TDL diikuti peningkatan efisiensi di seluruh sektor terhadap output, tingkat harga permintaan tenaga kerja …… 109
27
Dampak kenaikan TDL diikuti peningkatan efisiensi di seluruh sektor terhadap total pendapatan dan konsumsi rumahtangga ……. 111
28
Dampak kenaikan TDL diikuti penurunan PPN di seluruh sektor terhadap peubah-peubah ekonomi makro ………….…………….… 113
29
Dampak kenaikan TDL diikuti penurunan PPN di seluruh sektor terhadap output, tingkat harga dan permintaan tenaga kerja ……..… 115
30
Dampak kenaikan TDL diikuti penurunan PPN di seluruh sektor terhadap total pendapatan dan konsumsi rumahtangga ………..…… 116
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Dampak pengurangan subsidi terhadap keseimbangan ekonomi makro …………………………..……………………….……………..
11
Diagram edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua faktor produksi …………………………………………………….…….…..
15
3.
Production possibility curve (PPC) ekonomi makro …………….…...
16
4.
Diagram edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua individu .
17
5.
Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi ……………...……..….
18
6.
Kerangka pemikiran penelitian ……………………….......………….
23
7.
Aliran struktur database pada model INDOTDL……..……….……....
28
8.
Struktur input output produksi berjenjang…………………….……..….
34
9.
Struktur permintaan konsumen (rumahtangga) berjenjang ….......….…
37
2.
10. Closure ekonomi makro untuk analisis jangka pendek…..……….…
46
11. Closure ekonomi makro untuk analisis jangka panjang …..……….…
48
12. Analsisis kebijakan model comparative static …………………….……
49
13. Prosedur melakukan running file tablo dan file STI……………….…
69
14. Prosedur memperoleh file solusi pada gempack …………………...…
70
15. Jumlah pelanggan listrik di Indonesia tahun 2009 ………..........……
78
16. Share biaya bahan bakar pembangkit listrik PLN
90
………….……
x
Halaman ini sengaja dikosongkan
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Blok persamaan pada file input tablo model CGE INDOTDL ....................
125
2.
Jumlah bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik PLN tahun 2001-2009 ..............................................................................................
134
Harga bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik tahun 2001-2009................................................................................................
134
Nilai biaya bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik tahun 2001-2009...............................................................................................
135
Share nilai biaya bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik tahun 2001-2009.....................................................................................
135
6.
Ringkasan hasil penelitian empiris sebelumnya
136
7.
Surat edaran menteri energi dan sumberdaya mineral No. 7 tahun 2010.............................................................................................
3. 4. 5.
…….………......…..
139
xii
Halaman ini sengaja dikosongkan
1. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Listrik merupakan salah satu sumber daya energi dan mempunyai sifat
sebagai barang publik yang mendekati kategori barang privat yang disediakan pemerintah (publicly provided private good). Penyediaan dan pemenuhan kebutuhan listrik merupakan masalah yang menyangkut hidup seluruh masyarakat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33. Listrik merupakan komoditi strategis yang digunakan oleh hampir semua sektor dalam produksi sehingga kebijakan yang kurang pas akan menyebabkan meningkatnya harga output kemudian berdampak pada menurunkan daya beli masyarakat. Campur tangan pemerintah untuk mendorong proses produksi dan distribusi listrik yang lebih merata mutlak diperlukan terutama dalam menentukan harga
listrik yang
terjangkau dan dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas. Pemerintah berdasarkan UU Nomor 15 tahun 1985 memberikan wewenang kepada PT. PLN (Persero) sebagai pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan dan bertugas sebagai penyedia tenaga listrik bagi masyarakat. Kenaikan harga BBM yang cukup tinggi pada tahun 2005 dan tahun 2008 baik secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan meningkatnya biaya produksi diberbagai sektor ekonomi terutama pada sektor listrik. PLN dalam memproduksi listrik menggunakan pembangkit yang berbahan bakar BBM sekitar 20 persen, namun biaya BBM mencapai 70 persen dari biaya bahan bakar keseluruhan. Hal ini karena BBM memang relatif lebih mahal dari bahan bakar lain seperti batubara dan gas alam sehingga kenaikan BBM ini berefek pada meningkatnya biaya operasional PLN. Dampak kenaikan harga BBM terhadap peningkatan biaya operasional PLN tidak langsung diikuti dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada periode tahun 2004-2009. Hal ini terjadi karena Pemerintah telah memutuskan untuk kurun waktu tersebut tidak ada kenaikan TDL, karena perekonomian nasional dan daya beli masyarakat tidak mendukung. Berdasarkan UU nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN,
Pemerintah harus memberikan subsidinya untuk menutupi
melonjaknya biaya produksi listrik sehingga tidak merugikan PLN. Pemerintah
2
juga harus memantau PLN agar melakukan efisiensi dalam produksi baik dengan mengurangi pemakaian BBM atau mencari bahan bakar alternatif misalnya dengan batubara, gas bumi dan tenaga surya. Besar subsidi listrik yang dikeluarkan pemerintah tiap tahun berbeda dan berdasarkan data APBN dari tahun 1998 hingga tahun 2004 tidak terlalu besar namun sejak tahun 2005, subsidi listrik mengalami peningkatan yang sangat besar. Peningkatan subsidi yang sangat tinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar Rp. 30.393,3 milliar dari subsidi ditahun 2005 yang hanya Rp. 8.850,6 milliar. Bahkan pada tahun 2008 subsidi yang dikeluarkan pemerintah mencapai angka Rp. 83.906,5 milliar dan ditahun 2009 besar subsidi mencapai Rp. 57.420 milliar. Nilai subsidi listrik ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : nilai penjualan tenaga listrik (GWh), harga minyak mentah dunia (US $/barel), dan nilai tukar/kurs rupiah terhadap dollar. Harga minyak mentah dunia
yang
meningkat terus dan perubahan dari nilai tukar rupiah serta peningkatan laba usaha PLN menyebabkan adanya perbedaan asumsi pada APBN 2010 dan APBN-P 2010 seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Perubahan asumsi dari subsidi listrik dalam APBN 2010 Satuan
APBN 2010
APBN 2010 –P
Perbedaan
Nilai Tukar
(Rp/USD)
10.000
9.200
800
Harga Minyak (ICP)
USD/bbl
65
80
15
Margin Usaha
( persen)
5
8
3
(Twh)
144,5
144,5
0
Indikator
Penjualan Listrik
Sumber: RDP Komisi 3 Mei 2010
Berdasarkan APBN‐P 2010, biaya pokok penyediaan (BPP) lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual tenaga listrik (HJTL) dimana rata‐rata BPP listrik nasional Rp. 1.105,94/kWh sedangkan rata‐rata HJTL Rp.732,08/kWh. Perubahan asumsi ICP yang meningkat 15 USD/bbl dan peningkatan margin listrik sebesar 3 persen membawa konsekuensi pada peningkatan kebutuhan subsidi listrik tahun 2010 sebesar Rp 17,30 triliun yaitu dari Rp 37,80 triliun (APBN 2010) menjadi
3
Rp 55,10 triliun (APBN‐P 2010). Subsidi listrik tahun 2010 meningkat namun masih terdapat defisit subsidi listrik sebesar Rp 4,87 triliun, sehingga pemerintah dengan persetujuan DPR menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 2009 tentang ketenagalistrikan. Pemerintah mulai 1 Juli 2010 mengeluarkan kebijakan menaikkan TDL pada pelanggan 1300 VA ke atas dengan tingkat kenaikan yang berbeda pada tiap kelompoknya. Alasan kenaikan TDL selain mengurangi beban subsidi listrik pada APBN juga mencegah subsidi yang salah sasaran. Kenaikan TDL akan berdampak cukup luas yaitu dampak negatif terhadap pendapatan riil masyarakat dan permintaan sektoral. Artinya tidak hanya dampak terhadap inflasi atau laju pertumbuhan ekonomi secara makro, tapi juga ada dampak riil yang langsung ditanggung masyarakat dimana daya beli semakin menurun, meningkatnya PHK yang berujung pada meningkatnya pengangguran. Menurut Makmun dan Abdurrahman (2003) dampak kenaikan TDL sebesar 10 persen untuk masyarakat golongan bawah, menyebabkan income riil rumahtangga buruh tani turun sekitar 1,47 persen dan rumahtangga non pertanian golongan bawah turun 3,47 persen. Secara sektoral, hal ini menyebabkan permintaan terhadap sektor industri makanan akan berkurang sebesar 3,15 persen, sektor pertanian tanaman pangan (1,44 persen), dan sektor perdagangan (1,07 persen). Dampak sektoral tersebut akan mengurangi nilai balas jasa faktor produksi yang menyebabkan penerimaan para pemilik modal bisa berkurang sampai 3,52 persen. Pada akhirnya, kenaikan tarif dasar listrik akan mengurangi pendapatan institusi, dimana kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami penurunan income riil adalah rumahtangga bukan pertanian golongan bawah dengan besaran sampai 5,26 persen. Kenaikan TDL juga berdampak pada pengurangan balas jasa yang diterima perusahaan sekitar 1,46 persen. Kenaikan TDL ini juga menyebabkan penurunan konsumsi listrik yang merupakan kebutuhan masyarakat yang cukup vital. Berdasarkan data dari statistik PLN, pada tahun 2002 energi listrik yang terjual pada pelanggan rumahtangga sebesar 33.993,56 GWh kemudian meningkat menjadi 54.945,41 GWh ditahun 2009. Begitu juga pada pelanggan industri, energi listrik yang dikonsumsi juga mengalami peningkatan yaitu dari 36.381,30 GWh ditahun 2002
4
meningkat menjadi 46.204,21 GWh ditahun 2009. Tingginya konsumsi pada pelanggan rumahtangga dan industri juga terlihat dari share listrik terjual perkelompok
pelanggan, dimana pada tahun 2009 masing-masing mencapai
40,83 persen dan 34,33 persen. Oleh karena itu Pemerintah dalam menaikkan TDL harus melihat semua kepentingan, tidak hanya kepentingan keberlangsungan operasional PLN saja, tapi juga kepentingan APBN, kepentingan industri nasional dan kepentingan masyarakat luas. Pemerintah sadar akan dampak negatif yang ditimbulkan dari kebijakan yang diambil sehingga untuk meminimisasi dampak ekonomi yang ditimbulkan diberlakukan kenaikan TDL yang berbeda pada tiap kelompoknya. Kenaikan TDL pada kelompok pelanggan rumahtangga diatas 900 VA mencapai 18 persen sedangkan pada pelanggan 450VA - 900 VA tidak mengalami kenaikan karena pemerintah berusaha meminimisasi dampak ekonomi pada kelompok ini. Kelompok industri yang dianggap paling besar terkena dampak ekonomi, diberlakukan capping (pembatasan) kenaikan TDL yang bervariasi dari 6 persen hingga 15 persen atas persetujuan DPR walaupun beberapa industri maupun bisnis mengalami kenaikan TDL yang sangat tinggi yaitu sebesar 20 hingga 30 persen. Pembatasan kenaikan TDL pada pelanggan industri disebabkan sebagian besar industri tidak mampu menyesuaikan produksi dengan kenaikan TDL dalam waktu dekat sehingga kenaikannya ditunda. Harga Listrik untuk keperluan kereta api listrik (KRL) mengalami kenaikan hanya sebesar 9 persen karena transportasi ini merupakan kebutuhan masyarakat banyak. Kenaikan TDL pada kelompok pelanggan lainnya seperti terlihat pada Tabel 2. Baru sebulan kenaikan TDL tahun 2010 diputuskan,
muncul wacana
kenaikan TDL sebesar 15 persen di tahun 2011 yang tertuang dalam materi nota keuangan dan RAPBN tahun 2011 yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di forum parlemen. Alasan rencana kenaikan TDL tahun 2011 karena adanya fluktuasi moneter, pemeliharaan pembangkit, dan kurs dollar. Rencana kenaikan TDL tahun 2011 merupakan bagian dari rencana pengurangan subsidi listrik secara bertahap, yaitu dari Rp 55,1 triliun pada 2010 menjadi Rp 41 triliun pada 2011. Rencana pemerintah kembali menaikkan TDL di tahun 2011 tersebut sempat menuai kontroversi terutama dikalangan dunia usaha.
5
Tabel 2 Kenaikan TDL per 1 Juli 2010 di Indonesia No
Pelanggan
Kenaikan (Persen)
1
450 VA s/d 900 VA
Tidak Naik
2
6.600 VA ke atas dengan batas hemat 30% (semula 50%)
Tidak Naik
3
Pelanggan Sosial (S) Lainnya
10
4
Pelanggan Rumahtangga (R) Lainnya
18
5
Pelanggan Bisnis (B) Lainnya
12-16
6
Pelanggan Industri (I) Lainnya
6-15
7
Pelanggan Pemerintah (P) Lainnya
15-18
8
Traksi (untuk keperluan KRL)
9
9
Curah (untuk apartemen)
15
10
Multiguna (untuk pesta, layanan khusus)
20
Sumber : Rapat kerja komisi VII DPR 15 Juni 2010
Awal tahun 2011 dunia usaha kembali bergejolak karena PLN secara diamdiam kembali menaikkan TDL untuk sektor industri hingga mencapai 20-30 persen. Walaupun PLN berdalih tidak menaikkan TDL tetapi hanya mencabut capping (pembatasan) kenaikan TDL pada dunia usaha namun hal itu menimbulkan polemik karena tanpa persetujuan DPR. Kalangan industri mengancam tidak akan membayar rekening karena sangat terbebani dengan kenaikan TDL yang sangat besar dan mendadak. Berdasarkan informasi di atas, terlihat bahwa dampak kebijakan kenaikan TDL terhadap perekonomian sangatlah komplek dan pemerintah telah berusaha meminimisasi dampak ekonominya. Dunia usaha merasa dirugikan dengan kebijakan kenaikan TDL sehingga perlu diteliti bagaimana kenaikan TDL dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Di Indonesia, penelitian ini cukup penting karena persoalan TDL sebenarnya masalah klasik yang terus dihadapi bangsa ini karena TDL tergantung dari kemampuan APBN dalam memberikan subsidi listrik. Hal inilah yang
melatarbelakangi penulis melakukan penelitian tentang dampak kenaikan TDL. Dalam penelitian ini, penulis tidak hanya melihat bagaimana dampak dari shock
6
kebijakan kenaikan TDL terhadap kinerja ekonomi makro, tetapi juga melihat pengaruhnya terhadap kinerja sektoral dengan menggunakan alat analisis Computable General Equilibrium (CGE). 1.2 Perumusan Masalah Listrik merupakan komoditi strategis sehingga pemerintah perlu campur tangan untuk mendorong proses produksi dan distribusi listrik yang lebih merata terutama dalam menentukan harga listrik yang terjangkau dan dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas. Pemerintah mengatur tarif dasar listrik (TDL) berdasarkan daya
beli masyarakat dan perekonomian
nasional dengan
memberikan subsidi listrik kepada PLN. Beban subsidi yang semakin besar terhadap
APBN
berdampak pada
peningkatan defisit APBN. Defisit anggaran merupakan permasalahan yang cukup krusial di Indonesia karena memberikan tekanan pada perencanaan anggaran, terutama pada sisi pengeluaran. Kenaikan TDL merupakan salah satu cara pemerintah dalam mengatasi kenaikan subsidi yang selalu meningkat dari tahun ketahun akibat meningkatnya harga BBM dan turunnya nilai tukar rupiah. Kenaikan TDL menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga kurva penawaran agregat jangka pendek (SRAS) bergeser ke kiri atas. Hal ini akan mengakibatkan harga-harga naik (inflasi) dan output keseimbangan yang baru akan turun. Sektor industri merupakan pelanggan listrik yang rentan terkena dampak kenaikan TDL, karena konsumsi listriknya cukup besar yaitu mencapai 46.204, 21 GWh atau memiliki share hingga 34,33 persen dari total listrik terjual keseluruh pelanggan listrik pada tahun 2009. Kenaikan TDL dari sisi produsen secara langsung akan meningkatkan biaya produksi yang berdampak pada turunnya konsumsi listrik oleh industri sehingga menyebabkan produktivitasnya menurun. Turunnya produktivitas pada sektor industri menyebabkan penurunan output sehingga aktivitas ekonomi mengalami penurunan yang berdampak pada turunnya kesempatan kerja dan pendapatan rumahtangga. Penurunan pendapatan rumahtangga dan kenaikan harga barang/jasa akibat kenaikan TDL berdampak pada menurunkan konsumsi masyarakat sehingga akan memengaruhi jumlah permintaan barang/jasa yang ada di pasar. Kenaikan TDL
7
yang berdampak terhadap menurunnya produksi barang/jasa sehingga penyerapan
tenaga
kerja
berkurang
menyebabkan
menurunkan
laju
pertumbuhan ekonomi dan mempersempit lapangan kerja sehingga semakin mempersulit pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Permasalahannya adalah sejauh mana kenaikan TDL berpengaruh pada kinerja perekonomian makro seperti penyerapan tenaga kerja, investasi, konsumsi, neraca perdagangan dan terhadap kinerja sektoral terutama pada sektor- sektor yang paling rentan. Di sisi lain pemerintah juga sadar akan dampak ekonomi dari kenaikan TDL tersebut sehingga diberlakukan kenaikan TDL yang berbeda pada tiap kelompok pelanggannya sesuai dengan daya beli masyarakat. Pemerintah seharusnya juga membuat rencana kebijakan ekonomi yang mampu mengurangi dampak negatif terhadap perekonomian nasional terutama pada sektor yang
rentan terhadap
kenaikan TDL. Kebijakan penurunan pajak pertambahan nilai (PPN) bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi melonjaknya biaya produksi akibat kenaikan TDL. Kebijakan penurunan PPN diharapkan mendorong sektor industri tetap berproduksi dan meningkatkan outputnya dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat, sehingga roda perekonomian tetap berputar. Kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif dari kenaikan TDL ini seharusnya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri. PT. PLN maupun NON PLN yang membangkitkan listrik seharusnya melakukan efisiensi produksi sehingga subsidi listrik tidak melonjak dan kenaikan TDL bisa dihindari. Sektorsektor yang terkena dampak kenaikan TDL juga perlu melakukan kebijakan meningkatkan efisiensi sehingga tetap bisa meningkatkan produksinya. Efisiensi bisa menekan melonjaknya biaya produksi sehingga industri tetap mampu bersaing dan menghasilkan output sesuai daya beli masyarakat. Jika pemerintah, sektor listrik dan dunia usaha bersama-sama melakukan kebijakan yang tepat maka dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian di Indonesia dapat diminimisasi sehingga pertumbuhan ekonomi tetap meningkat. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan utama yang ingin dibahas didalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh (shock) suatu kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) terhadap
perekonomian di Indonesia dan
8
alternatif respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Berdasarkan paparan tersebut, maka pada penelitian ini permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakan pola konsumsi konsumsi listrik rumahtangga dan industri di Indonesia?
2.
Bagaimanakah dampak kebijakan kenaikan tarif dasar listrik terhadap perekonomian di Indonesia?
3.
Bagaimanakah respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian di Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian
1.
Menganalisis pola konsumsi listrik rumahtangga dan industri di Indonesia.
2.
Menganalisis dampak kenaikan tarif dasar terhadap perekonomian Indonesia.
3.
Menganalisis
respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif
terhadap perekonomian Indonesia. 1.4
Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis
sendiri juga bagi pihak-pihak lain. 1.
Bagi penulis yaitu meningkatkan pengetahuan, memperluas wawasan dalam penerapan Computable General Equilibrium(CGE).
2.
Bagi pembaca, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kondisi terkini tentang kenaikan tarif dasar listrik dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian di Indonesia.
1.5
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan model CGE INDOMINI (Oktaviani, 2008)
yang berinduk pada MINIMAL (Horridge, 2001 dalam Oktaviani, 2008). Model ini kemudian dikolaborasi dengan model CGE WAYANG (Wittwar,
9
1999) yang selanjutnya disebut model CGE INDOTDL sebagai alat analisis utama. Penelitian ini memiliki dua keterbatasan utama, yaitu dari sisi model CGE yang digunakan dan dari sisi cakupan penelitiannya. Dari sisi modelnya, model CGE INDOTDL merupakan model komparatif statik karena belum memasukkan unsur waktu (Oktaviani 2008). Sementara dari sisi cakupannya, penelitian ini hanya menfokuskan perhatiannya pada kenaikan TDL di rumahtangga dan sektor industri. Respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian dilakukan melalui peningkatan efisiensi disektor listrik begitu juga disisi produsen dengan meningkatkan efisiensi produksi di seluruh sektor ekonomi. Respon kebijakan yang dilakukan pemerintah berupa penurunan PPN di seluruh sektor ekonomi. Kebijakan lain seperti dan penurunan suku bunga, bantuan langsung tunai (BLT) bagi rumahtangga berdaya listrik 900 VA ke bawah dan penurunan harga barang subtitusi listrik bagi industri seperti BBM, batubara dan gas
bumi tidak tercakup dalam penelitian ini. Selain itu kebijakan
peningkatan produktivitas PLN dengan penggunaan teknologi baru juga tidak diteliti sehingga bisa dilakukan untuk penelitian selanjutnya.
10
Halaman ini sengaja dikosongkan
2. KERANGKA TEORI 2.1
Tinjauan Teori
2.1.1 Teori Dasar Subsidi Menurut Pindyck (2003), subsidi merupakan pembayaran yang mengurangi harga pembeli di bawah harga penjual dan dapat disebut sebagai pajak negatif. Subsidi menimbulkan efek yang berlawanan dari efek yang ditimbulkan pajak. Pemberian subsidi menimbulkan efek yang positif dan negatif. Efek positif subsidi adalah peningkatan daya beli masyarakat sehingga terjadi peningkatan output. Efek negatif subsidi adalah menimbulkan distorsi perekonomian yakni alokasi sumber daya yang tidak efisien. Hal ini tercermin adanya kecenderungan masyarakat mengkonsumsi barang yang disubsidi secara berlebihan. Disisi lain penyelenggaraan untuk keperluan subsidi
ini semakin membebani APBN
sehingga sejak tahun anggaran 2000 pemerintah mengambil keputusan pengurangan subsidi BBM dan tarif dasar listrik secara bertahap.
LRAS
SRAS1
Harga SRAS0
P1
B
C
P0 A AD0
Y’
Y*
Output
Sumber: Lipsey et al, 1997
Gambar 1 Dampak pengurangan subsidi terhadap keseimbangan ekonomi Makro. Secara teoritis dampak pengurangan subsidi listrik akan menyebabkan kenaikan harga-harga dan penurunan output. Analisis grafis dapat dilihat pada Gambar 1, dimana jika terjadi pencabutan subsidi listrik kurva SRAS akan
12
bergeser ke kiri atas. Jika diasumsikan AD tetap, maka pergeseran SRAS tersebut akan menyebabkan keseimbangan baru berada pada tingkat harga P1 dan output Y’. Kondisi dimana terjadinya inflasi yang diikuti dengan penurunan output disebut stagflasi. 2.1.2 Peranan Pemerintah dalam Perekonomian Menurut Keynes intensitas kegiatan perekonomian ditentukan oleh besaran pengeluaran agregat (konsumsi maupun investasi). Tingkat belanja tersebut pada periode tertentu tidak sesuai lagi dengan kebutuhan untuk mencapai tingkat optimum tercapainya kondisi full employment. Hal ini karena investasi yang dilakukan pihak swasta lebih kecil daripada tabungan yang dibutuhkan dalam perekonomian. Bagi Keynes, pasar bebas tidak mampu menjamin tercapainya kondisi full employment, sebagaimana yang diteorikan oleh Adam Smith, untuk itu perlu intervensi pemerintah dalam perekonomian. Alasan perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian (Stiglitz 2000) adalah untuk : (1) menjamin kepastian hukum melalui berbagai peraturan yang tidak mampu dihasilkan oleh sektor swasta; (2) mengkoreksi adanya kegagalan pasar yang disebabkan imperfect competition, public goods, externality, dan asymmetric information; dan (3) adanya merit goods, yaitu barang yang tetap harus disediakan walaupun tidak diminta masyarakat. Selaras dengan pendapat Keynes, Musgrave menyatakan bahwa fungsi pemerintah dalam perekonomian modern adalah untuk memenuhi tiga fungsi, yaitu pertama, fungsi alokasi, pemerintah harus mengupayakan pengalokasian sumberdaya ekonomi secara efisien. Kedua, fungsi distribusi, pemerintah harus menjamin terciptanya distribusi pendapatan yang merata dan terwujudnya keadilan sosial. Ketiga, fungsi stabilisasi, pemerintah berkewajiban menjaga kondisi perekonomian dalam keadaan full employment dan menjalankan kebijakan ekonomi makro. Di samping peran pemerintah yang strategis tersebut, ternyata pemerintah juga menghadapi resiko kegagalan dalam mencapai tujuannya. Terdapat empat sumber pokok kegagalan pemerintah yaitu, keterbatasan informasi, keterbatasan kendali atas respon pasar, keterbatasan kendali atas birokrasi, dan keterbatasan karena proses politik (Priyarsono et al 2007).
13
2.1.3 Teori Model Keseimbangan Umum (General Equilibrium) Dalam suatu perekonomian terdapat berbagai macam pasar yang saling terkait satu dengan lainnya, sehingga perubahan yang terjadi pada satu pasar akan menyebabkan pasar lainnya juga ikut berubah. Suatu keseimbangan umum akan tercapai bila permintaan dan penawaran pada masing-masing pasar, baik pasar faktor produksi maupun pasar komoditas, berada dalam keseimbangan. Pembentukan model ekonomi yang menggambarkan suatu perekonomian yang terdiri dari semua pasar dan semuanya dalam keseimbangan yang dikomputasikan disebut dengan model Computable General Equilibrium (CGE). Dalam model CGE ini terdapat sekumpulan fungsi permintaan dan penawaran, yang mencakup pasar komoditas maupun faktor produksi. Dalam model CGE juga terdapat himpunan persamaan yang menentukan arus pendapatan dari setiap pelaku dalam perekonomian. Pengembangan model keseimbangan umum dipelopori oleh Leontief, Manne, Johansen, Jorgensen, Adelman, Shoven dan Whalley (Dixon et al. 1992). Menurut mereka model ini dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari suatu kebijakan secara kuantitatif. Kebijakan yang dianalisis dapat berupa kebijakan pajak, hambatan perdagangan (trade barriers), perubahan belanja pemerintah, harga komoditas, teknologi dan kebijakan di bidang lingkungan. Dampak dari kebijakan tersebut dapat dianalisis pada tingkat industri, jenis pekerjaan, rumahtangga, pemerintah dan wilayah serta berbagai peubah ekonomi makro, seperti inflasi, neraca perdagangan, investasi dan sebagainya (Sahara 2003). Model keseimbangan umum memandang perekonomian sebagai suatu sistem yang lengkap. Model ini tidak hanya dibangun pada tingkat agregat, tetapi dapat pula dibangun sampai dengan tingkat mikro secara rinci, yang menyatakan saling ketergantungan dari berbagai komponen ekonomi di dalamnya, yaitu antar industri, komoditas, rumahtangga, investor, pemerintah, importir, eksportir dan antar pasar yang berbeda. Keseimbangan umum dapat tercapai bila perekonomian diasumsikan dalam kondisi pasar persaingan sempurna dan tidak terdapat kondisi increasing returns to scale (Sudarsono 1995). Asumsi-asumsi lain yang mendorong terciptanya kondisi keseimbangan
14
umum adalah; (1) pada pasar komoditas dan pasar input, total permintaan sama dengan total penawarannya; (2) pada tingkat harga keseimbangan keuntungan perusahaan sama dengan nol; (3) pendapatan rumahtangga sama dengan pengeluarannya; dan (4) penerimaan pemerintah sama dengan pengeluarannya. Pada model keseimbangan umum berlaku hukum Walras yang menyatakan bahwa semua harga dan kuantitas barang di semua pasar ditentukan secara simultan melalui proses interaksi satu dengan lainnya. Keseimbangan umum tercapai bila tidak ada excess demand pada semua vektor harga. Konsep dasar keseimbangan umum didasarkan pada kondisi pareto optimum pada setiap pelaku ekonomi, yaitu produsen, konsumen, investor dan pemerintah. Pareto optimum adalah suatu kondisi dimana satu pihak tidak dapat meningkatkan kepuasaannya (better off) tanpa mengurangi kepuasan pihak untuk mencapai kondisi pareto optimum dalam keseimbangan umum, yaitu keseimbangan produksi, keseimbangan konsumsi dan keseimbangan simultan. 2.1.3.1 Keseimbangan Produksi (Production Efficiency) Kondisi keseimbangan produksi ini dapat tercapai apabila substitusi teknik marginal atau Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS) untuk pasangan input adalah sama untuk produksi dua barang yang menggunakan dua jenis input, yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K). Untuk kasus dua input (L dan K) dan dua barang (X1 dan X2) tingkat MRTS input L dan K dalam memproduksi barang X1 harus sama dengan MRTS input L dan K dalam memproduksi barang X2 atau MRTSLK x1 = MRTSLKx2 . Teori produksi menyatakan bahwa produsen berada dalam keseimbangan bila MRTSlk =
dimana W1 adalah harga faktor L dan W2 adalah harga faktor K.
Pada kasus dua perusahaan yang masing-masing menghasilkan komoditas yang berbeda, yaitu X1 dan X2, keseimbangan simultan yang terjadi bisa dijelaskan melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk X1 dan X2 tercapai pada saat isoquant X1 bersinggungan dengan isoquant X2 pada berbagai tingkat output. Titik singgung tersebut membentuk yang disebut dengan Kurva Kotrak atau Contract Curve (CC). Pilihan tingkat output yang akan diproduksi ditentukan oleh rasio harga faktor produksi.
15
OX2
X21
E4 X22
K
X14
E3 X2
3
X13 X24
E2 E1 X12 X1
1
1
L
OX1 Sumber: Nicholson, 2002
Gambar 2
Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua faktor produksi
Dalam ekonomi pertukaran, semua alokasi yang efisien terletak di sepanjang kurva kontrak. Titik yang berada selain di kurva kontrak adalah tidak efisien, karena seseorang dapat memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi jika berpindah dari titik tersebut ke kurva kontrak. Di sepanjang kurva kontrak preferensi individu bersaing satu dengan lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh seseorang hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lain. Secara matematis permasalahan di atas dapat diformulasikan sebagai berikut: MRTSlk x1 = MRTSlkx2 =
…………………………………..(2.1)
Dimana MRTS adalah slope dari isoquan. Production Possibility Curve (PPC) diderivasi dari CC yang terbentuk dalam
kotak
Edgeworth.
PPC
adalah
kumpulan
titik-titik
yang
menggambarkan berbagai tingkat produksi barang X1 dan X2 yang efisien. PPC disebut juga kurva transformasi produk karena menggambarkan transformasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi produksi. Slope dari PPC disebut marginal rate of product transformation (MRPT). Pada pasar persaingan sempurna didapatkan :
16
MRTP12 =
…………………………..……………………………..(2.2)
OX1 E1 x2 4 x2 3
E2
E3
x22
E4
x21
OX2 X11
X12
X13
X14
Sumber: Nicholson, 2002
Gambar 3 Production possibility curve (PPC). Daerah batas PPC memperlihatkan berbagai kombinasi penggunaan L dan K yang efisien untuk menghasilkan X 1 dan X2 . Kurva tersebut ditransfer dari lokus titik-titik efisien pada Gambar 2. Slope PPC menunjukkan bahwa output X dapat ditukarkan terhadap output Y dengan tetap menggunakan sejumlah sumberdaya yang sama. 2.1.3.2 Keseimbangan Konsumen (exchange efficiency) Kondisi pareto optimum pada konsumen didekati dengan konsep Tingkat Pertukaran Marginal atau Marginal Rate of Substitution (MRS). MRS menunjukkan kesediaan seorang konsumen untuk menukarkan satu unit terakhir dari suatu barang untuk mendapatkan beberapa unit barang lainnya. Setiap konsumen akan selalu menyamakan MRS dengan harga relatif kedua barang yang akan dikonsumsinya untuk mencapai kepuasan yang optimal (Oktaviani 2008). Untuk kasus dua barang (X1 dan X2) dan dua individu (U dan V), MRS individu U dalam mengkonsumsi barang X1 dan X2 harus sama dengan MRS individu V dalam mengkonsumsi barang X1 dan X2. Keseimbangan di sektor konsumsi adalah kondisi pada saat konsumen mencapai kepuasan maksimum
17
dengan kendala pendapatan. Berdasarkan Gambar 4, Uv menggambarkan kurva indiferen individu V, sedangkan Uu menggambarkan kurva indiferen individu U. Semakin jauh dari titik asal masing-masing individu tersebut, tingkat kepuasan yang diperoleh semakin tinggi. Titik-titik di sepanjang kurva Ou dan Ov adalah efisien. Dengan kata lain, individu U tidak dapat menjadi lebih baik tanpa membuat individu V menjadi lebih buruk dan sebaliknya. Di sepanjang kurva Ou–Ov, MRS individu U sama dengan MRS individu V, sehingga MRSux1,x2 = MRSux1,x2 Ov
UV1 E4
UV2
X2
UU4
E3
UV3
UU 3
UV4
E2 E1
UU2 UU1
X1
Ou Sumber: Nicholson, 2002
Gambar 4 Diagram Edgeworth box untuk kasus dua komoditas dan dua individu. Secara teoritis kepuasan maksimum konsumen U atau V tercapai pada saat MRS antara dua
komoditas sama dengan harga relatifnya. Jika P1
harga komoditas X1 dan P2 adalah harga komoditas X2,maka kepuasan konsumen MRS12 =
P1
/P2 untuk kasus dua komoditas dan dua individu.
2.1.3.3 Keseimbangan Simultan (production-mix efficiency) Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi (keseimbangan simultan) tercapai pada saat MRPT12 = MRS12 = P1/P2 . MRPT menunjukkan tingkat transformasi suatu produk terhadap produk lain. MRS menunjukkan tingkat kesediaan konsumen dalam mempertukarkan suatu komoditas dengan komoditas
18
lainnya. Keseimbangan terjadi jika transformasi produksi sesuai dengan tingkat substitusi konsumsi atau MRPT=MRS. Pengertian ekonomi dari keseimbangan simultan ini adalah bahwa kombinasi output X1 dan X2 harus optimal baik dari sudut produsen maupun konsumen. Keseimbangan ini diilustrasikan pada Gambar 5. Keseimbangan simultan harus terpenuhi dengan adanya
keseimbangan
alokasi
pada
sektor
produksi
dan
konsumsi.
Keseimbangan ini tercipta melalui mekanisme harga, sehingga akan tercapai efisiensi dalam perekonomian.
Sumber: Nicholson, 2002
Gambar 5 Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi 2.2 Tinjauan Studi Terdahulu Kebutuhan listrik di Indonesia semakin hari semakin besar, seiring bertambahnya jumlah penduduk serta peningkatan aktifitas sosial ekonomi. Konsumen terbesar dari energi listrik untuk semua periode adalah sektor industri, kemudian disusul sektor rumahtangga, komersial dan pemerintahan. Sedangkan yang paling kecil mengkonsumsi listrik adalah sektor transportasi, karena pada sektor transportasi bahan bakar listrik hanya dimanfaatkan oleh kereta rel listrik (KRL). Meskipun pemanfaatan listrik cukup prospektif, tetapi terdapat kendala dalam proses pembangkitannya, mengingat sebagian besar dari bahan bakar yang dimanfaatkan oleh pembangkit listrik di Indonesia adalah bahan bakar fosil (Sugiyono, 2000).
19
Pemakaian bahan bakar primer sebagai pembentuk energi listrik seperti, bahan bakar minyak dan batubara harganya semakin lama semakin mahal. Ilustrasi untuk menghasilkan energi memakan biaya cukup besar dapat dilihat pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuan Unit 1 dan 2 yang belum lama ini diresmikan pengoperasiannya oleh Presiden RI. Dengan kapasitas sebesar 300 Mw, PLTU Labuan mengkonsumsi batubara sebagai bahan bakar sebanyak 180.000 Kg per jam setara dengan pemakaian BBM 69.000 liter per jam, sehingga biaya operasi yang harus ditanggung PLN jika menggunakan batubara adalah Rp.48.692.340
per
jam
sedangkan
jika
menggunakan
BBM
sebesar
Rp.402.649.500 per jam. Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik seharusnya sama dengan tarif dasar listrik (TDL) yang dibayar oleh konsumen, namun saat ini TDL masih di bawah BPP sehingga untuk menutupi kekurangannya dipenuhi melalui subsidi. Alokasi subsidi listrik berdasarkan UU No.2 tahun 2010 tentang APBN-P 2010 adalah sebesar Rp55,1 triliun. Dari tinjauan singkat tersebut di atas, memberikan isyarat bahwa PLN perlu menaikkan harga jual secara bertahap hingga mencapai nilai ekonominya. Kebijakan penghapusan subsidi listrik akan membebani masyarakat, baik rumahtangga maupun sektor produksi. Dampak negatif dari penurunan subsidi listrik pada sisi makro adalah adanya inflasi, menurunnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan menurunnya daya saing perdagangan di pasar internasional. Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk meminimalkan dampak ekonomi dengan cara penurunan secara bertahap subsidi listrik yang berefek kenaikan TDL dimana diberlakukan kebijakan kenaikan yang berbeda menurut kelompok penggunanya. Penelitian banyak dilakukan berkenaan dengan dampak kebijakan kenaikan TDL dalam mengatasi defisit APBN akibat beban subsidi yang semakin membesar. Komaidi dan Rakhmanto (2010) mengukur dampak ekonomi kenaikan TDL 2010
dengan Financial Social Accounting Matrix (FSAM), metode
Weighted Average Price (WAP) dan Model Ekonometrik. Hasil penelitian menunjukan kenaikan TDL sebesar 10 persen – 20 persen berpotensi menambah biaya produksi sektor utama pengguna listrik rata‐rata sebesar 2,13 – 4,25 persen dan menambah besaran inflasi nasional sebesar 0,63–1,36 persen. Kenaikan TDL
20
juga berpotensi menurunkan konsumsi listrik dan permintaan tenaga kerja masing‐masing sebesar 6,70 - 13,40 persen dan 1,17 - 2,35 persen. Menurunnya permintaan tenaga kerja itu merupakan upaya sektor industri melakukan efisiensi. Kenaikan TDL juga memicu industri mengurangi jumlah mesin produksi untuk memangkas pemakaian listrik, sehingga kebutuhan terhadap mereka yang selama ini mengoperasikan mesin produksi juga berkurang. Sehingga, pengangguran dan kemiskinan akan sangat berpeluang semakin meningkat. Floriasari (2009) dalam skripsinya yang berjudul dampak peningkatan subsidi listrik terhadap distribusi pendapatan rumahtangga melakukan penelitian dengan menggunakan analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) tahun 2005. Hasil penelitiannya menunjukan kenaikan subsidi listrik akan menyebabkan kenaikan pendapatan tertinggi diterima oleh rumahtangga pengusaha golongan atas yang berada di perkotaan sekaligus pemilik modal. rumahtangga buruh pertanian akan mendapatkan pendapatan terkecil. Kenaikan subsidi listrik meningkatkan pendapatan namun kesenjangan pendapatan semakin lebar. Penelitian tentang mengukur dampak kenaikan tarif dasar listrik terhadap konsumsi listrik dan pendapatan masyarakat yang dimuat dalam jurnal ekonomi dan moneter menggunakan metode analisis dampak dengan Social Accounting Matrix (SAM). Hasil penelitian tersebut menunjukan kenaikan TDL sebesar 10 persen berdampak turunannya income riil rumahtangga buruh tani sekitar 1,47 persen dan rumahtangga non pertanian golongan bawah turun 3,47 persen. Secara sektoral menyebabkan penurunan pada permintaan sektor - sektor ekonomi yang akan mengurangi nilai balas jasa faktor produksi sehingga penerimaan para pemilik modal bisa berkurang sampai 3,52 persen. Kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami penurunan income riil adalah rumahtangga bukan pertanian golongan bawah yaitu turun sebesar 5,26 persen. Dampak kenaikan TDL juga menyebabkan pengurangan balas jasa yang diterima perusahaan sekitar 1,46 persen. (Makmun dan Abdurahman 2003) Sahara (2003), dalam tesisnya yang berjudul dampak kenaikan harga bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, tarif telephon dan penyaluran dana kompensasi terhadap ekonomi makro dan sektoral di Indonesia melakukan penelitian dengan menggunakan alat analisis utama Computable General Equilibrium (CGE) dengan
21
model INDOF (Oktaviani 2000). Hasil penelitian menunjukan kebijakan menaikkan harga BBM, TDL dan tarif telephon yang dilakukan pemerintah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Dampak yang ditimbulkan dari kenaikan harga BBM lebih besar dari kenaikan TDL. Kenaikan TDL akan menyebabkan penurunan GDP riil sebesar 0,49 persen pada jangka pendek dan penurunan GDP riil
sebesar 2,21 persen pada jangka panjang. Kenaikan TDL direspon oleh
rumahtangga dengan penurunan konsumsi disemua sektor ekonomi pada jangka pendek sebaliknya pada jangka panjang berdampak pada
peningkatan
konsumsinya. Kenaikan TDL pada jangka pendek maupun panjang menyebabkan penurunan penggunaan tenaga kerja pada semua jenis pekerjaan. Tribuana (2000) dengan menggunakan alat analisis utama Computable General
Equilibrium
(CGE)
melakukan
pengkajian
tekno
ekonomi
ketenagalistrikan bidang harga jual tenaga listrik. Hasil Penelitian menunjukan kenaikan TDL sebesar 1 persen menyebabkan GDP riil turun hanya sebesar 0,002 persen pada kondisi short run, dan turun sebesar 0,04 persen pada kondisi jangka panjang. Untuk setiap 1 persen kenaikan TDL menyebabkan total investasi riil turun sebesar 0,01 persen pada kondisi jangka pendek dan turun sebesar 0,03 persen pada kondisi jangka panjang. Pada kondisi short-run, kenaikan TDL pengaruhnya relatif kecil (0,004 persen) terhadap penurunan penggunaan tenaga kerja, karena pada kondisi ini penggunaan kapital dan tenaga kerja relatif saling melengkapi. Pada kondisi jangka panjang, setiap 1 persen kenaikan tarif dasar listrik mengakibatkan penurunan penggunaan tenaga kerja sebesar 0,065 persen. Penelitian ini memberi kesimpulan bahwa kenaikan tarif dasar listrik dampaknya relatif baik terhadap kinerja sektor industri dan komersial, maupun terhadap kinerja perekonomian secara nasional Perbandingan hasil-hasil penelitian di atas disajikan pada lampiran 6. Berdasarkan hasil penelitian tersebut terlihat kenaikan TDL berpengaruh terhadap inflasi, penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan konsumsi, penurunan permintaan tenaga kerja, dan penurunan investasi riil juga penurunan pendapatan rumahtangga. Hasil penelitian tersebut menunjukan dampak kenaikan TDL cukup komplek namun pemerintah tetap melakukan kebijakan menaikkan
22
TDL karena membengkaknya susbsidi listrik sangat membebani APBN. Hal inilah yang mendorong penelitian ini untuk melihat lebih jauh sektor sektor ekonomi yang rentan terhadap dampak kenaikan TDL dan respon kebijakan dalam meminimisasi dampak terhadap perekonomian Indonesia. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memberi wacana yang lebih mendalam tentang kebijakan kenaikan TDL tahun 2010 dan rencana kenaikan TDL selanjutnya sehingga bermanfaat untuk menentukan kebijakan selanjutnya. 2.3 Kerangka Pemikiran Analisis kenaikan tarif dasar listrik (TDL) pada penelitian ini sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dimulai dari kondisi adanya perubahan asumsi subsidi listrik pada APBN 2010. Kenaikan harga minyak mentah dunia dan meningkatnya laba perusahaan menyebabkan subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah melonjak
sehingga membebani APBN.
Pemerintah dalam mengatasi defisit APBN mulai membatasi subsidi listrik dan mulai 1 Juli 2010 memberlakukan kebijakan kenaikan TDL yang berbeda pada tiap pelanggan. Kenaikan TDL menyebabkan meningkatnya biaya produksi pada sektor-sektor ekonomi terutama sektor yang mengkonsumsi listrik dalam. jumlah besar pada proses produksinya. Peningkatan biaya produksi ini akan disikapi oleh perusahaan/produsen dengan mengurangi konsumsi listrik sehingga produksi
barang/jasa
akan
berkurang
yang
berefek
pada
penurunan
penawaran/supply barang dan jasa yang ada di pasar. Penurunan supply barang/jasa akan mendorong impor barang/jasa masuk kepasar dan sebaliknya akan mengurangi jumlah ekspor barang/jasa ke luar negeri. Sesuai dengan mekanisme pasar, kelangkaan barang/jasa yang tersedia semakin mendorong naiknya harga barang/jasa yang diperjual belikan di pasar. Turunnya produksi barang/jasa pada sektor-sektor ekonomi akibat adanya kenaikan TDL
menyebabkan
turunnya kesempatan kerja dan pendapatan
rumahtangga. Semakin rendahnya kesempatan kerja akan semakin menurunkan pendapatan riil rumahtangga. Dari sisi konsumen
penurunan pendapatan ini
berpotensi menurunkan konsumsi masyarakat yang akan memengaruhi jumlah
23
permintaan barang/jasa yang ada di pasar termasuk barang impor sehingga terjadi penurunan
impor. Turunnya permintaan barang/jasa juga berdampak pada
kenaikan harga barang/jasa yang ada dipasar sehingga akan terjadi keseimbangan harga baru. Sehingga secara bersamaan penurunan penawaran (supply) dan permintaan (demand) akan menyebabkan perubahan harga barang baru yang ada dipasar. Kenaikan Tarif Dasar Listrik Model CGE
Model CGE Biaya Produksi Kesempatan Kerja Produksi Barang/Jasa Ekspor
Pendapatan Rumahtangga
Supply
Permintaan Barang/jasa
Impor
Harga Barang/jasa
Impor
Ekonomi Makro
Respon Kebijakan
Gambar 6 Kerangka pemikiran penelitian. Kenaikan TDL yang berdampak terhadap penurunan permintaan dan penawaran barang/jasa yang memengaruhi jumlah barang/jasa yang diekspor dan impor sehingga akan berpengaruh pada ekonomi makro Indonesia. Dengan demikian, kebijakan kenaikan TDL yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi defisit dapat memengaruhi kestabilan perekonomian nasional jika dilakukan tidak tepat. Pemerintah sadar akan dampak negatif kebijakan
24
menaikkan TDL ini sehingga untuk meminimisasi dampak terhadap perekonomian Indonesia
dilakukan kebijakan kenaikan TDL yang berbeda
pada tiap pelanggan. Pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat idealnya juga merespon dengan kebijakan lain yang dapat meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu sektor-sektor yang rentan terhadap kenaikan TDL ini juga harus melakukan kebijakan untuk meminimisasi dampaknya negatif terhadap kelangsungan produksinya terutama pada sektor industri yang merupakan motor penggerak pembangunan. Alasan ini yang mendasari penelitian ini dalam menfokuskan analisisnya pada kenaikan tarif dasar listrik dan respon
kebijakan untuk
meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia Paparan di atas menjelaskan dasar dan alur dari kerangka pikir pada penelitian ini. Kebijakan kenaikan tarif dasar listrik sebagai salah satu strategi
pemerintah
dalam
mengatasi
defisit
APBN,
akan
dianalisis
menggunakan model CGE INDOTDL. Perbedaan penelitian ini terhadap penelitian sebelumnya adalah rumahtangga dalam penelitian ini telah didisagregasi menjadi 2 kelompok yaitu rumahtangga berdaya listrik 900 VA ke bawah dan 1300 VA ke atas. Sektor listrik juga didisagregasi menjadi listrik yang berdaya 900 VA ke bawah dan listrik berdaya 1300 VA ke atas sehingga dalam melakukan shock kenaikan TDL hanya dilakukan untuk pelanggan yang berdaya 1300 VA sesuai dengan kebijakan pemerintah. Penelitian ini akan merepresentasikan proses evaluasi atas efektivitas pelaksanaan kebijakan kenaikan TDL 1 Juli 2010 yang diberlakukan berbeda pada tiap golongan pelanggannnya dan adanya kebijakan PLN meningkatkan TDL industri tanpa persetujuan DPR pada awal tahun 2011. Penelitian ini juga akan menganalisis implikasi kebijakan dari hasil simulasi yang dihubungkan kembali pada tujuan pemerintah menerapkan kebijakan kenaikan TDL dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.
3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder, yang dikumpulkan dari berbagai sumber dan instansi terkait maupun hasil-hasil penelitian sebelumnya yang dianggap relevan, yaitu: 1.
Tabel Input-Output (I-O) Indonesia tahun 2008 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
2.
Tabel Input-Output (I-O) UKM Indonesia tahun 2003 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
3.
Tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Indonesia tahun 2008 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
4.
Data Produk Domestik Bruto (PDB) menurut lapangan usaha tahun 2008 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
5.
Data Susenas tahun 2008 KOR dan Modul yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
6.
Data Statistik PLN tahun 2009 yang bersumber dari PT. PLN
7.
Data sekunder lain yang relevan dari berbagai sumber.
8.
Parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya yang relevan.
3.2 Metode Pengolahan Data Kenaikan TDL dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif perekonomian Indonesia dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan model CGE INDOTDL yang diambil dari model CGE INDOMINI (Oktaviani, 2008) yang dikombinasikan dengan model CGE WAYANG (Wittwer 1999). Model CGE INDOMINI menggunakan model dasar MINIMAL (Horridge 2001), yang dikembangkan dengan cara menambahkan sejumlah sektor ekonomi (komoditi) sesuai dengan tujuan penelitian dimana rumahtangga hanya satu. Model CGE WAYANG merupakan model yang lebih komplek dimana rumahtangga telah didisagregasi. Model CGE dalam penelitian ini
26
sebagian besar menggunakan model CGE INDOMINI hanya ada beberapa persamaan
rumahtangga diadopsi dari model
CGE WAYANG sehingga
diperoleh model CGE INDOMINI yang rumahtangganya telah didisagregasi menjadi dua. Dalam model CGE INDOTDL rumahtangga didisagregasi menjadi 2 golongan menurut kelompok daya listrik yang tersambung. Setelah data disusun sesuai dengan kebutuhan matrik data dalam model CGE INDOMINI, selanjutnya diolah (running data) dengan menggunakan software GEMPACK (Sahara dan Oktaviani 2008). Solusi yang diperoleh dari hasil pengolahan data ini merupakan respons dari simulasi kebijakan yang dianalisis. Perangkat lunak (software) yang digunakan dalam penelitian adalah Microsoft Word 2007, Microsoft Excell 2007, SPSS 13.0 dan Gempack versi 10.0. Data yang dimasukkan ke dalam model CGE INDOTDL adalah Tabel I-O tahun 2008, Tabel I-O UKM tahun 2003, Tabel SNSE tahun 2008 dan Data Susenas tahun 2008 yang bersumber dari BPS dan beberapa sumber data lainnya seperti elastisitas. Penyusunan data diawali dengan melakukan disagregasi dan agregasi sektor dimana untuk memadukan agregasi yang digunakan pada model dengan Tabel I-O dan SNSE maka dilakukan pemetaan tabel sehingga lebih mudah menghitung nilai agregasi dari sektor-sektor perekonomian tersebut. Klasifikasi sektor ekonomi (komoditi) yang terdapat di Tabel I-O tahun 2008 maupun sektor produksi pada SNSE tahun 2008 akan didisagregasi dan agregasi menjadi 21 sektor penelitian. Disagregasi dilakukan pada sektor listrik, gas kota dan air menjadi 4 sektor yang terpisah pada Tabel I-O tahun 2008 dari 66 sektor menjadi 69 sektor sedangkan pada tabel SNSE tahun 2008 dari 24 sektor produksi yang ada menjadi 27 sektor produksi. Dari hasil disagregasi sektor pada tiap tabel kemudian dilakukan agregasi menjadi 21 sektor. Pada model ini input primer (faktor produksi) yang digunakan hanya terdiri dari kapital dan tenaga kerja. Faktor kapital meliputi pembayaran atas lahan dan sewa barang modal yang digunakan dalam proses produksi oleh masing-masing sektor. Pembayaran atas faktor tenaga kerja meliputi upah dan gaji yang dibayarkan oleh masing-masing sektor atas penggunaan input tenaga
27
kerja. Pengguna barang dan jasa dikelompokkan menjadi pengguna antara dan pengguna akhir. Pengguna antara adalah pembelian yang dilakukan oleh masingmasing dari ke-21 industri (sektor) dalam penelitian. Pengguna akhir dibagi menjadi empat kelompok, yaitu untuk investasi dan perubahan stok, konsumsi rumahtangga, belanja pemerintah dan ekspor. Rumahtangga sebagai pengguna akhir dibagi menjadi 2 kelompok sehingga dalam penelitian ini terdapat 25 pengguna (user). Berdasarkan sumbernya, komoditi dibedakan menurut komoditi yang diproduksi di dalam negeri (domestik) dan didatangkan dari luar negeri (impor). Nilai komoditas domestik dapat diperoleh dari Tabel I-O transaksi domestik dan nilai komoditas impor diperoleh dari pengurangan Tabel I-O transaksi total terhadap Tabel I-O transaksi domestik. Selain data dasar di atas, model CGE INDOTDL ini juga membutuhkan data-data behavioral lainnya, yaitu parameter elastisitas. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model meliputi; elastisitas Armington, elastisitas substitusi input primer dan elastisitas permintaan ekspor. Dengan keterbatasan yang ada pada penelitian ini, maka nilai-nilai parameter tersebut diperoleh dari hasil penelitian terdahulu terutama hasil penelitian Oktaviani (2000). 3.3 Model Keseimbangan Umum (CGE) INDOTDL Seperti pada model CGE INDOMINI, struktur teoritis yang digunakan dalam model CGE INDOTDL juga mengandung sistem persamaan non-linear tentang permintaan tenaga kerja, permintaan terhadap input primer, permintaan terhadap input antara, permintaan terhadap input gabungan (composite), komposit output dari suatu industri, permintaan terhadap barang modal (investment goods), permintaan rumahtangga, ekspor dan permintaan akhir lainnya, margin permintaan, persamaan keseimbangan pasar, harga di tingkat pembeli, pajak tak langsung, dan PDB dari sisi pendapatan dan pengeluaran. Perbedaan Model CGE INDOTDL dengan model CGE INDOMINI hanya pada sistem persamaan non-linear di blok permintaan rumahtangga yang telah dirinci menjadi dua. Solusi model ditentukan dengan cara melakukan linearisasi setiap persamaan,
yaitu
dengan
menyatakan
semua
peubah
dalam
bentuk
28
pertumbuhannya (percentage change). Persamaan yang dilinearkan mengandung sekumpulan koefisien yang equivalent dengan persamaan non-linear. 3.3.1 Data dan Struktur Data Model INDOTDL Penjelasan pada bagian subbab ini mengacu kepada penjelasan yang diberikan oleh Horridge (2001) dalam Oktaviani (2008). Sebagaimana telah dinyatakan pada bagian terdahulu, data yang digunakan dalam model CGE INDOTDL adalah data Tabel I-O tahun 2008, Tabel I-O UKM tahun 2003 dan Tabel SNSE tahun 2008. Seluruh data dihitung dalam satuan moneter (rupiah) dan dilakukan disagregasi dan agregasi ke dalam 21 sektor (komoditi) penelitian. Struktur data yang digunakan pada model CGE INDOTDL ini mengikuti alur yang terdapat pada Gambar 7. Absorption Matrix 1
2
3
4
5
Producers
Investors
Household
Export
Government
R
1
1
Size
I
Domestic Flows
1
USE(commodity,"domestik",user)
C
C
USE(commodity,"impor",user)
Imported Flows Labour
Capital
Output tax
1
1
FACTOR (labour) FACTOR (capital)
1
C = Number of Commodities = 21 I
= Number of Industries = 21
R = Number of Household = 2
V1PTX
Tax on imports Size
1
C
V0MTX
Sumber: Horridge, 2001
Gambar 7 Aliran struktur database pada model INDOTDL.
Total Sales
29
Setiap kolom pada Gambar 7 menunjukkan lima pelaku ekonomi yaitu produsen domestik, investor, rumahtangga, ekspor dan pemerintah. 1
Produsen domestik menunjukkan permintaan antara yang terdiri dari i sektor (komoditi); i = 1, 2, ..., 21.
2
Investor merupakan bagian dari komponen permintaan akhir (final demand) yang menggunakan barang/jasa bukan untuk tujuan konsumsi dan umur penggunaannya lebih dari satu periode akuntansi atau sebagai barang modal (investasi). Investasi dapat dilakukan oleh swasta maupun pemerintah.
3
Konsumsi rumahtangga merupakan bagian dari komponen permintaan akhir yang menggunakan barang/jasa untuk tujuan konsumsi dan hal ini dilakukan oleh rumahtangga yang terdiri dari 2 kelompok ; R= 1,2.
4
Ekspor merupakan bagian dari komponen permintaan akhir yang digunakan /diminta oleh konsumen akhir dari luar negeri. Pencatatan pada kolom ini merupakan ekspor neto, yaitu nilai ekspor setelah dikurangi dengan nilai impor
5
Konsumsi pemerintah, merupakan bagian dari komponen permintaan akhir yang digunakan/diminta pemerintah untuk tujuan konsumsi seperti pengeluaran rutin, belanja pegawai (upah dan gaji) dan belanja alat-alat pertahanan dan keamanan. Pengguna dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengguna antara (intermediate
product) dan pengguna akhir (final user). Proses produksi diasumsikan menggunakan dua faktor primer yaitu tenaga kerja dan modal tetap. Masingmasing komoditi C, yang terdapat di dalam model merupakan komoditi yang berasal dari produk domestik dan impor dari luar negeri. Komoditi dengan sumber spesifik (domestik dan impor) digunakan oleh industri sebagai input produksi sekarang dan pembentukan modal. Barang-barang yang diproduksi di dalam negeri yang muncul di kolom ekspor artinya tidak ada ekspor dari barang yang dimpor. Pendefinisian data dalam model CGE INDOTDL yang menjadi header array dalam database ditunjukkan oleh Tabel 3.
30
Tabel 3 Set header array pada model INDOTDL Set Header Row
Keterangan
COM (c)
Komoditas, dalam penelitian ini diperlakukan sebagai sektor ekonomi. Terdiri dari 21 komoditas, yaitu: (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan penggalian (3) Industri makanan, minuman dan tembakau (4) Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan, (5) Industri Bambu, kayu, rotan & barang dr kayu (6) Industri kertas, barang dari kertas dan karton, (7) Industri Kimia,Pupuk,dan hasil kilang, (8) Industri barang karet, plastik & mineral bukan logam, (9) Industri semen, (10) Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi, (11) Industri barang dari logam, (12) Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya, (13) Industri lainnya, (14) Listrik 900 VA ke bawah, (15) Listrik 1300 VA ke atas(16) Gas kota & air, (17) Bangunan, (18) Perdagangan, hotel dan restoran, (19) Pengangkutan dan komunikasi, (20) Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan dan (21) Jasa.
IND (i)
(1) Pertanian, (2) Pertambangan dan penggalian (3) Industri makanan, minuman dan tembakau (4) Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan, (5) Industri Bambu, kayu, rotan & barang dr kayu (6) Industri kertas, barang dari kertas dan karton, (7) Industri Kimia,Pupuk,dan hasil kilang, (8) Industri barang karet, plastik & mineral bukan logam, (9) Industri semen, (10) Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi, (11) Industri barang dari logam, (12) Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya, (13) Industri lainnya, 14) Listrik 900 VA ke bawah, (15) Listrik 1300 VA ke atas(16) Gas kota & air, (17) Bangunan, (18) Perdagangan, hotel dan restoran, (19) Pengangkutan dan komunikasi, (20) Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan dan (21) Jasa.
SRC (s)
Sumber Komoditas: (1) domestik dan (2) impor
USER (u)
Pengguna; Pengguna antara ditambah dengan pengguna akhir, terdiri dari : (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan penggalian (3) Industri makanan, minuman dan tembakau (4) Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan, (5) Industri Bambu, kayu, rotan & barang dr kayu (6) Industri kertas, barang dari kertas dan karton, (7) Industri Kimia,Pupuk,dan hasil kilang, (8) Industri barang karet, plastik & mineral bukan logam, (9) Industri semen, (10) Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi, (11) Industri barang dari logam, (12) Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya, (13) Industri lainnya, (14) Listrik 900 VA ke bawah, (15) Listrik 1300 VA ke atas(16) Gas kota & air, (17) Bangunan, (18) Perdagangan, hotel dan restoran, (19) Pengangkutan dan komunikasi, (20) Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan dan (21) Jasa. (22) Investasi dan stok, (23) rumahtangga berdaya listrik 450-900 VA (24) rumahtangga berdaya listrik lebih dari 1300 VA(25) Ekspor (26) pemerintah
FAC (f)
Faktor produksi: tenaga kerja dan modal (capital)
3.3.2 Sistem Persamaan pada Model INDOTDL Seluruh persamaan yang terdapat dalam model CGE INDOTDL sebagian sebagian besar mengadopsi dari model CGE INDOMINI, dimana persamaan yang menunjukkan model ekonomi makro diimplementasikan dalam Gempack dan dikumpulkan ke dalam file input tablo. File input tablo menjabarkan spesifikasi aljabar dari model dalam bentuk linier dan persamaan-persamaan
31
tersebut dikumpulkan ke dalam sejumlah blok persamaan. Masing-masing pernyataan persamaan dimulai dengan nama yang umumnya mengacu pada peubah di sisi kiri. Semua peubah dinyatakan dalam bentuk perubahan persentase (percentage change). Peubah ditulis dengan huruf kecil dan koefisien ditulis dengan huruf kapital (besar). Terdapat 15 (lima belas) set persamaan dalam file input tablo, yaitu: 1.
Keseimbangan pasar untuk setiap komoditi.
2.
Substitusi antara komoditi impor dan domestik
3.
Struktur produksi
4.
Permintaan untuk faktor primer.
5.
Permintaan untuk industri di level atas.
6.
Permintaan rumahtangga.
7.
Permintaan ekspor
8.
Keseimbangan pasar domestik dan harga
9.
Harga impor
10. PDB dari sisi permintaan 11. PDB dari sisi pengeluaran 12. Persamaan yang berkaitan dengan peubah ekonomi makro lainnya 13. Peubah pasar faktor produksi 14. Pembaharuan (update) aliran data, dan 15. Ringkasan data a. Keseimbangan Pasar untuk Setiap Komoditi Blok persamaan 3 pada file input tablo (Lampiran 1) menyatakan penjumlahan permintaan setiap komoditi antar pengguna (user) dari masingmasing sumber (domestik atau impor). Pengkodean pada file input tablo merepresentasikan hal-hal sebagai berikut; c = “komoditi atau sektor ekonomi”,s= “domestik” menunjukkan sumber komoditi berasal dari produksi domestik dan “impor” sumber komoditi berasal dari impor (luar negeri). Persamaan E_x0 menghitung permintaan total untuk komoditi tertentu yang berasal dari domestik dengan menjumlahkan permintaan dari masing-masing pengguna. Pengguna pada penelitian ini terdiri dari pengguna antara (21 sektor) dan pengguna akhir (investasi, rumahtangga, pemerintah dan ekspor). Persamaan E_x0 memasukkan
32
peubah-peubah dalam bentuk perubahan persentase dan dinyatakan sebagai berikut:
Penulisan dengan huruf besar (upper-case letter) memiliki arti yang berbeda dengan huruf kecil (lower-case letter). Notasi total permintaan komoditi c dari sumber s, sementara notasi
menyatakan jumlah menyatakan
persentase perubahan total pemintaan komoditi c dari sumber s. Notasi menunjukkan jumlah permintaan pengguna u untuk komoditi c dari sumber s, sedangkan
menunjukkan perubahan permintaan dalam persentase.
Aturan penulisan tersebut digunakan secara umum dalam pengkodean file input tablo. Persamaan (3.1) diturunkan ke dalam bentuk persamaan linear, sehingga diperoleh bentuk persamaan sebagai berikut:
Langkah selanjutnya adalah merubah persamaan (3.2) sesuai dengan nilai dalam data dasar (database). Semua pengguna diasumsikan membayar dengan tingkat harga yang sama,
, yaitu harga untuk pengguna komoditi c
yang bersumber dari s. Langkah ini dilakukan dengan cara mengalikan kedua sisi persamaan (3.2) dengan
Aliran
nilai
), sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut:
(Gambar
7)
berhubungan
pada sisi kanan persamaan (3.3). Notasi
dengan
bentuk
juga dapat digunakan
pada file input tablo. Kode s = “domestik”, artinya data berada pada blok aliran domestik dan kode s = “impor”, berada dalam blok aliran impor. Bentuk pengguna Gambar.
pada sisi kiri persamaan (3.3) adalah penjumlahan antar yang disebut
atau merupakan total sales pada
33
Persamaan (3.4), selanjutnya diubah kedalam persamaan yang dapat dibaca oleh bahasa tablo sebagai berikut: Notasi c (COM) menyatakan seluruh set komoditi dan s (SRC) menyatakan sumber. Perintah
dan
, dalam file input tablo,
pada persamaan E_x0 menyatakan bahwa software GEMPACK mengevaluasi sisi kiri persamaan (3.4) untuk seluruh komoditi dan kedua sumber. Karena notasi ∑ tidak terdapat dalam bahasa tablo, maka dinyatakan dengan “sum” sebagaimana ditunjukkan pada persamaan (3.5). b. Substitusi antara Komoditi Impor dan Domestik Masing-masing industri dan permintaan akhir saling bersubstitusi untuk menggunakan antara komoditi yang bersumber dari domestik dan impor. Rasio pembelian komoditi domestik dan impor oleh masing-masing komoditi dan pengguna merupakan fungsi dari harga relatif dari kedua sumber. Fungsi ini diturunkan dari fungsi produksi CES (Constant Elasticity of Substitution) yang secara luas digunakan pada pemodelan CGE. Terdapat tiga persamaan dalam bentuk perubahan persentase yang menentukan besaran rasio permintaan komoditi impor dan domestik pada jenis komoditi yang sama dari kedua sumber, yaitu: ; menyatakan harga rata-rata komoditi impor dan domestik
(3.6)
; menyatakan permintaan manufacture domestic………....
(3.7a)
; menyatakan permintaan manufacture impor…………….... (3.7b)
Notasi impor,
dan
dan
menunjukkan permintaan komoditi domestik dan
adalah harga komoditi domestik dan impor. Notasi P dan X
juga disebut sebagai harga dan permintaan composite (gabungan). Symbol σ menyatakan elastisitas substitusi permintaan antara komoditi (yang sejenis) impor dan domestik, dikenal dengan elastisitas Armington. Blok Persamaan 4 pada Lampiran 1 merepresentasikan persamaan (3.6), (3 .7a), dan (3 .7b) untuk masingmasing komoditi dan pengguna dalam bahasa tablo.
34
c. Struktur Produksi Model CGE INDOTDL mengasumsikan bahwa output masingmasing industri adalah fungsi dari input yang digunakannya, yaitu: ... (3.8)
Fungsi F diasumsikan: ... (3.9)
Pada masing-masing industri, komposit faktor primer merupakan fungsi produksi agregat CES dari modal dan tenaga kerja yang dinyatakan sebagai berikut: ..(3.10)
Komoditi komposit menggunakan fungsi agregat CES yang diproduksi secara domestik dan dari impor: ... (3.11) Output X1TOT Bentuk Fungsi
Input atau Output
Leontief
Komoditi 1
…sampai
Komoditi c
Faktor Primer
CES
CES
CES
Komoditi Domestik 1
Komoditi Impor 1
Komoditi Domestik C
Komoditi Impor C
Sumber: Horridge, 2001
Gambar 8 Struktur input output produksi berjenjang.
Tenaga Kerja
Modal
35
Asumsi di atas menggambarkan bahwa permintaan input industri memiliki struktur yang berjenjang, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Fungsi produksi berjenjang dapat diinterpretasikan bahwa produsen membagi keputusan input ke dalam langkah-langkah yang berbeda. Pada level atas, kompo sit
komoditi
dan
komposit
faktor
primer
dikombinasikan
dengan
menggunakan fungsi produksi Leontief. Konsekuensinya, komposit komoditi dan faktor primer seluruhnya merupakan permintaan yang langsung digunakan untuk memproduksi output,
. Meskipun semua pangsa industri memiliki
struktur produksi yang umum, proporsi input dan parameter perilaku dimungkinkan berbeda antar industri. d. Permintaan untuk Faktor Primer Blok Persamaan 5 dalam file input tablo (Lampiran 1) menunjukkan persamaan yang menentukan permintaan modal dan tenaga kerja. Untuk masingmasing industri, i, persamaan diturunkan dari masalah optimasi sebagai berikut: Memilih input modal dan tenaga kerja,
dan
.
Untuk meminimumkan biaya input ; dimana ; dianggap eksogen untuk masalah dan
dan
Peubah dinyatakan dalam bentuk level, sehingga penulisan notasinya dengan menggunakan huruf besar. Pada kondisi ini, harga tenaga kerja (tingkat upah) diasumsikan tidak berbeda antar industri, sehingga tenaga kerja bebas bergerak (mobile) antar industri. Solusi terhadap masalah minimasi biaya, dalam bentuk perubahan persentase, ditunjukkan dengan
E_x1lab, E_x1cap, dan E_p1prim. Persamaan
E_x1lab menunjukkan bahwa permintaan tenaga kerja proporsional untuk keseluruhan pengguna faktor primer, X1PRIM(i), dan harga. Harga dibentuk dari elastisitas substitusi, SIGMA1PRIM (i), dikalikan dengan rasio [p1lab-p1cap(i)]
36
dalam bentuk perubahan persentase yang menunjukkan harga relatif rata-rata biaya faktor primer. Upah yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya substitusi terhadap tenaga kerja. Rata-rata biaya faktor primer dalam bentuk perubahan persentase, p1prim(t), sehingga dalam persamaan E_p1prim dapat dituliskan: p1prim(i) = S1LAB(i) * p1lab + S1CAP(i) * p1cap(i) ………………..................(3.12) S1LAB(i) dan S1CAP(i) adalah nilai pangsa (share) biaya tenaga kerja dan biaya modal terhadap biaya faktor primer, sehingga p1prim(i) adalah biaya rata-rata terbobot untuk harga modal dan tenaga kerja. Jika kedua sisi persamaan E_x1lab dikalikan dengan S1LAB(i), dan kedua sisi persamaan E_x1cap dikalikan dengan S1CAP(i), dan kedua persamaan ditambahkan secara bersama, semua bentuk harga dihilangkan, maka persamaan akan menjadi: x1prim(i) = S1LAB(i) * x1lab(i) + S1CAP(i) * x1cap(i) …….……….......................(3.13) Persamaan (3.13) adalah bentuk perubahan persentase dari fungsi produksi CES. e. Permintaan untuk Industri dilevel Atas Blok Persamaan 6 pada file input tablo (Lampiran 1) memuat sebagian besar permintaan input yang berjenjang seperti pada Gambar 8. Komoditi komposit dan faktor primer kompo sit dikombinasikan dengan menggunakan fungsi dan dapat dituliskan sebagai berikut: X 1TOT MIN [
X 1PRIM (i ) All , c.COM : X _ S (c, i ) / A _ S (c, i )].i IND .......( 3.14) A1PRIM (i )
Industri diasumsikan akan meminimumkan biaya, maka industri akan menggunakan input sesuai dengan keperluan. Hal ini dapat dituliskan dalam persamaan berikut: X _ S ( c , i ) A _ S ( c , i ). X 1TOT (i ).i IND , c COM .......... .......... .......... ......( 3 .15 ) X 1PRIM (i ) A1PRIM (i ). X 1TOT (i ).i IND .......... .......... .......... .......... ......( 3 .16 )
Kedua katagori input yang berada di level atas merupakan permintaan langsung terhadap XITOT(i). Pada Blok Persamaan 6 pada file input tablo (Lampiran 1) terdapat hubungan persamaan E_x1 dan E_x1prim.
37
Persamaan terakhir pada Blok Persamaan 6 menunjukkan bahwa perubahan nilai output, V1TOT(i), adalah sama dengan penjumlahan dalam pengeluaran bahan baku dan faktor primer. Masing-masing bentuk persamaan pada sisi kanan persamaan adalah sama untuk 100 kali perubahan pengeluaran untuk beberapa input. Sisi kiri persamaan adalah sama untuk 100 kali perubahan dalam total biaya. Persamaan tersebut disebut sebagai persamaan ”zero pure profit” atau laba nol, yaitu keuntungan yang tidak memasukkan lagi input lain. Model juga mengasumsikan teknologi bersifat constant returns to scale (CRS). Asumsi ini mengakibatkan harga output merupakan fungsi dari harga input, jika tidak ada perubahan teknologi. f.
Permintaan Rumahtangga Rumahtangga diasumsikan memaksimumkan utilitas (kepuasan) dengan
mengkonsumsi sekumpulan komoditi yang optimal, dengan kendala anggaran (budget constraint). Utilitas diasumsikan menggunakan fungsi utilitas berjenjang dimana jenjang terluar merupakan kombinasi komoditi komposit yang menggunakan fungsi agregat Cobb Douglas, dan jenjang di bawahnya merupakan komposit komoditi dari sumber domestik dan impor yang menggunakan fungsi agregat CES untuk masing-masing komoditi komposit. Penjelasannya diilustrasikan pada Gambar 9. Utilitas Bentuk
Input atau
Fung
Cobb Douglas
Komoditi
Komoditi
…sampai
CE
CE
S
S
Komoditi Domestik 1
Komoditi Impor 1
Komoditi Domestik C
Sumber: Horridge, 2001 Gambar 9 Struktur permintaan konsumen (rumahtangga) berjenjang.
Komoditi Impor C
38
Barang
C
rumahtangga
yang
atas
dikonsumsi
terdiri
dari
21
oleh
rumahtangga
komoditi
bawah
komposit.
maupun
Rumahtangga
memaksimumkan utilitas dengan anggaran tertentu dan diasumsikan bahwa masing-masing komoditi yang dikonsumsi menghasilkan biaya minimum. Dengan fungsi CES preferensi yang berlaku merupakan konsumsi antara komoditi domestik dan impor. Konsumen diidentifikasi sebagai pengguna (u = “rumahtangga bawah dan rumahtangga atas atau HouseHB dan HouseHA”). Persamaan E_x dalam Blok Persamaan 3 didahului dengan memberikan instruksi (all,c,COM) (all,s,SRC) (all,u,LOCALUSER).
Didalam LOCALUSER,
semua pengguna telah dimasukkan kecuali untuk ekspor. Oleh karena itu, komposisi Armington di masing-masing komoditi komposit digunakan konsumen yang sudah ditentukan pada Blok Persamaan 3 (Lampiran 1). Struktur permintaan konsumen dalam bahasa tablo seluruhnya dijelaskan pada Blok Persamaan 7 (Lampiran 1). Kendala anggaran yang dihadapi pada tiap kelompok rumahtangga adalah nilai total pembelian tiap kelompok rumahtangga merupakan peubah eksogen bagi rumahtangga. Model CGE INDOTDL ini tidak menghubungkan antara pengeluaran rumahtangga, artinya tidak ada keputusan menabung/mengkonsumsi. Kesediaan anggaran untuk dikonsumsi pada tiap kelompok rumahtangga dinyatakan dalam bentuk nominal W3TOT_hh. X _ S (c, HH )
a c xW 3TOT _ HH ; (c COM )(u HH )......... .......... .......... (3.17 ) P _ S (c, HH )
X 3TOT P 3TOT
X _ S (c, HH ) P _ S (c, HH ).......... .......... (3.18) di
uHH cCOM
mana: X_S(c,HH)
= jumlah komoditi yang dikonsumsi tiap kelompok rumahtangga.
P_S(c,HH)
= harga komoditi yang dikonsumsi tiap kelompok rumahtangga.
W3TOT_HH = anggaran yang tersedia untuk konsumsi perkelompok rumahtangga. X3TOT
= konsumsi riil total rumahtangga.
P3TOT
= harga konsumen.
ac
= pangsa anggaran rumahtangga untuk komoditi c.
39
HH
= rumahtangga bawah, rumahtangga atas Harga ditingkat pengguna akhir disebut harga pembeli (purchases price)
yang bebeda dengan harga ditingkat produsen. Rumahtangga merupakan pengguna akhir dimana harga diterima antara kelompok rumahtangga bisa berbeda-beda. Pebedaan itu bisa karena adanya perbedaan rate pajak atau subsidi yang melekat pada barang yang dikonsumsi perkelompok rumahtangga. Harga barang ditingkat pembeli pada tiap kelompok rumahtangga dirumuskan : V3PUR(c,s,u)*p3(c,s,u) = V3PUR(c,s,u)*[p(c,s)+f3tax(c,u)] V3PUR(c,s,u) = USE(c,s,u)+ V3TAX(c,s,u)
…..………..(3.19) …………….(3.20)
c COM , s SRC , u HH dimana : V3PUR = nilai pembelian ditingkat rumahtangga. V3TAX = nilai pajak rumahtangga.
g.
f3tax
= shifter pajak rumahtangga
p3
= harga pembelian ditingkat rumahtangga.
Permintaan Ekspor Model CGE INDOTDL menggunakan fungsi permintaan dari luar negeri
(ekspor) untuk komoditi produksi domestik sangat sensitif terhadap harga. Jika harga komoditi domestik meningkat secara relatif terhadap harga dunia, maka permintaan ekspor akan menurun. Persamaan E_x4a pada Blok Persamaan 8 (Lampiran 1) menunjukkan slope negatif permintaan luar negeri untuk ekspor, pada tingkat level, persamaan akan menjadi sebagai berikut:
… .(3.21) merupakan elastisitas permintaan artinya ekspor komoditi c merupakan
fungsi
relatif,
yang
menurun
terhadap
harga
mata
uang
, relatif harga domestik terhadap harga dunia
WORLD(c). Nilai tukar PHI merupakan konversi mata uang domestik terhadap mata uang asing.
40
h. Keseimbangan Pasar Domestik dan Harga Set peubah persamaan keseimbangan pasar untuk komoditi domestik, E_x1tot, dinyatakan pada Blok Persamaan 9 (Lampiran1). Set tersebut menunjukkan bahwa output masing-masing industri, X1TOT(i), adalah sama dengan permintaan total untuk komoditi yang diproduksi secara domestik X0(c,”domestik”). Adapun persamaan E_pA menghubungkan antara harga pengguna barang domestik, P(c,”domestik”) dengan biaya produksi P1TOT(c) dan tingkat pajak output PTXRATE(c). Hubungan persamaan tersebut dinyatakan sebagai berikut:
………..…...(3.22) Karena PTXRATE(c) tidak memiliki satuan unit, dan dapat berubah tanda (pajak bertanda negatif merupakan subsidi), maka diperlukan proses transformasi ke dalam peubah ordinal (bukan persentase). Persamaan (3.22) dapat ditransformasi menjadi :
…...(3.23) i.
Harga Impor Persamaan yang berhubungan dengan peubah harga impor adalah
persamaan E_pB, sebagaimana ditunjukkan pada Blok Persamaan 10 (Lampiran 1). Persamaan E_pB menghubungkan harga pengguna komoditi impor, P(c,”impor”) dengan harga mata uang domestik, PHI*PWORLD(c) dan untuk tingkat pajak impor MTXRATE(c). Hubungan persamaan tersebut dinyatakan sebagai berikut: …………… ….(3.24) j. PDB dari Sisi Pendapatan Koefisien V0GDPINC menyatakan PDB sebagai penjumlahan dari biaya faktor primer dan pajak tak langsung. Persamaan E_w0gdpinc pada Blok
41
Persamaan 11 (Lampiran1) menjelaskan persamaan tersebut dalam bentuk linear. Sisi kiri persamaan, V0GDPINC*w0gdpinc, merupakan 100 kali perubahan PDB nominal. Pada sisi kanan juga merupakan 100 kali perubahan nilai. Persamaan pajak produksi dinyatakan sebagai berikut: …(3.25) Persamaan 3.25 dapat dipecahkan ke dalam dua bentuk. Bentuk pertama berhubungan dengan tingkat pajak: yaitu 100*(pajak dasar resmi)*( perubahan tingkat pajak). Bentuk kedua berhubungan dengan perubahan pajak dasar, yang proporsional untuk penerimaan pajak, V1PTX(i), dan untuk persentase perubahan dalam pajak dasar. k. PDB dari Sisi Pengeluaran Penghitungan perubahan persentase PDB nominal dari sisi pengeluaran direpresentasikan pada Blok Persamaan 12 (Lampiran 1). Persamaan tersebut membagi perubahan PDB nominal kedalam komponen harga dan kuantitasnya. Rumusan untuk V0GDPEXP menyatakan PDB sebagai jumlah permintaan akhir (dinilai pada harga pengguna) dikurangi dengan impor (C+I+G+X-M). Persamaan E_w0gdpexp menyatakan bentuk perubahan dari PDB tersebut. Total penghitungan nilai PDB dari sisi pengeluaran dan penerimaan harus sama, baik pada level maupun dalam persentase perubahan dapat dinyatakan sebagai berikut:
Persamaan E_p0gdpexpa sama dengan persamaan E_w0gdpexp, kecuali bentuk harga yang dimasukkan. Persamaan E_p0gdpexpa mendefinisikan p0gdpexp sebagai rata-rata terbobot permintaan akhir untuk harga domestik dikurangi rata-rata harga impor. Persamaan E_x0gdpexp menggunakan p0gdpexp sebagai PDB deflator untuk memperoleh ukuran perubahan PDB riil. Persamaan dalam bentuk level untuk persamaan E_x0gdpexp adalah:
l. Persamaan yang Berkaitan dengan Peubah Ekonomi Makro Lainnya
42
Lima
persamaan
pada
Blok
Persamaan
13
(Lampiran1)
mendefinisikan lima peubah ekonomi makro yang penting. Empat persamaan pertama mendefinisikan harga dan volume. Persamaan E_x4tot dapat ditulis sebagai berikut:
Notasi x4tot menunjukkan rata-rata terbobot perubahan volume ekspor dengan menggunakan nilai ekspor sebagai pembobot. Persamaan aktual dalam Blok persamaan 13 (Lampiran 1) ditulis secara lebih lengkap, tetapi tetap memiliki arti yang sama. Persamaan akhir pada Blok Persaman13 mengukur neraca perdagangan. Karena terdapat perubahan tanda (positif atau negatif), neraca perdagangan dihitung sebagai perubahan biasa, bukan perubahan persentase. Penggunaan unit dihindari dengan menggunakan perubahan sebagai bagian dari PDB. m. Peubah Pasar Faktor Produksi Blok persamaan peubah pasar faktor produksi seperti ditunjukkan oleh Blok Persamaan 14 (Lampiran 1), mendefiniskan beberapa peubah yang berguna dalam memodelkan pasar faktor produksi. Pertama, mendefinisikan upah riil sebagai upah nominal dibagi dengan indek harga konsumen, p3 tot. Pada level persamaan ini menjadi:
Satu cara untuk memodelkan pasar tenaga kerja kaku (sticky) adalah dengan mempertahankan upah konstan. Persamaan selanjutnya mendefinisikan indek perubahan persentase tenaga kerja agregat. Cara menghitungnya dengan menggunakan upah terbobot yang merefleksikan produk marginal relatif tenaga kerja dalam industri yang berbeda. Jika tingkat upah berbeda antar sektor, peubah “employ” mungkin tidak akurat mewakili jumlah jam kerja (atau orang yang dipekerjakan). Adapun persamaan akhir diturunkan dari bentuk level
43
menjadi:
Persamaan (3.30) merepresentasikan tingkat pengembalian kotor pada unit modal baru adalah penerimaan tahunan (P1CAP) dibagi dengan biaya untuk menghasilkannya (P2TOT). Dalam keseimbangan jangka panjang diharapkan penyesuaian perilaku investor untuk menstabilkan rasio tersebut. Untuk simulasi jangka pendek harus diperhatikan GRET adalah penerimaan masa depan modal baru dalam beberapa industri akan sama dengan penerimaan hari ini. n. Pembaharuan (update) Aliran Data Bagian solusi Gempack memerlukan prosedur yang dapat menggunakan hasil simulasi seperti peubah dalam bentuk perubahan persentase, untuk menghasilkan pasca-simulasi atau pembaharuan database. Aturan pembaharuan disediakan dan dijelaskan pada Blok Persamaan 15 (Lampiran 1). Ada dua jenis pernyataan pembaharuan, tiga baris pertama disebut “pembaharuan produk” sebagai jenis kedua. Jenis pertama menunjukkan bahwa masing-masing sel dalam matrik aliran USE adalah harga dan kuantitas produk yang formulasikan sebagai berikut: USE ( c , s , u ) P ( c , s ) * X ( c , s , u ).c COM , s SRC ,U USER
Gempack kemudian memperbaharui USE menjadi:
Dua baris terakhir dari pernyataan perbaharuan dalam Blok Persamaan 15 (Lampiran 1) adalah “pembaharuan perubahan”. Pada kasus ini model menawarkan rumusan secara eksplisit, berisi nilai koefisien dan peubah, untuk perubahan biasa dalam nilai data dasar. Perubahan penerimaan pajak impor, V0MTX, dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: pertama, V0CIF(c)*Delmtxrate(c), adalah perubahan dalam tingkat pajak dikali nilai pajak (nilai impor di perbatasan). Kedua, persamaan: 0.01 *V0MTX(c)*
44
[x0(c,”imp”)+pworld(c)+phi], adalah merupakan penerimaan pajak dikali perubahan proporsional (=%/100) dari nilai dasar. o. Ringkasan Data Dua bagian terakhir dari file input tablo pada model CGE INDOTDL adalah file yang berisi ringkasan data. File ini digunakan untuk memeriksa apakah input data telah menjumlahkan dengan baik dan membantu menjelaskan hasilnya. Blok Persamaan 16 dan 17 dalam Lampiran 1 memperlihatkan file ringkasan data pada file input tablo. Pangsa modal yang dihitung pada Blok Persamaan 17 secara terbalik dihubungkan dengan elastisitas jangka pendek. Pangsa
impor
yang
tinggi
menunjukkan
bahwa
industri
domestik
memperlihatkan persaingan impor yang signifikan. p. Penutup Model Seperti model CGE pada umumnya, model INDOTDL memiliki lebih banyak peubah daripada persamaannya. Peubah dapat dibedakan menjadi dua jenis, peubah endogen yang dijelaskan di dalam model dan peubah eksogen yang nilainya ditentukan di luar model. Pilihan tertentu terhadap peubahpeubah dengan mendefinisikannya ke dalam peubah eksogen disebut sebagai closure atau penutup model. Pemilihan closure dapat bebas dilakukan dengan ketentuan minimial bahwa jumlah peubah endogen harus sama dengan jumlah persamaan. Ketentuan ini menunjukkan bahwa masing-masing persamaan hanya mampu menjelaskan satu peubah. Banyaknya persamaan yang terdapat dalam model CGE dan adanya keterkaitan peubah dan persamaan satu dengan lainnya memungkinkan terdapat peubah yang merupakan endogen dan sekaligus dapat pula menjadi eksogen. Pengguna model CGE dapat melakukan perubahan-perubahan closure (swap). Strategi pemilihan closure adalah sebagai berikut: 1.
Identifikasi peubah yang dijelaskan masing-masing persamaan, mungkin saja peubah tersebut adalah peubah endogen.
2.
Peubah yang tidak dijelaskan di dalam persamaan merupakan peubah
45
eksogen dan tidak dapat dijadikan peubah endogen. 3.
Penggantian peubah yang diswap harus memiliki ukuran yang sama. Dimensi matrik pada peubah biasanya dijelaskan pada sisi kanan penamaan peubah tersebut. Misalnya persamaan E_x(COM*SRC*IMPUSER) memiliki tiga dimensi yang terdiri atas matrik COM, SRC, dan IMPUSER.
4.
Penggantian peubah-peubah yang awalnya peubah endogen menjadi peubah eksogen perlu memperhatikan adanya hubungan antar peubah yang diswap. Seluruh peubah yang masuk katagori eksogen didefinisikan dalam file
closure tersendiri di dalam software Gempack. Closure jangka pendek yang digunakan pada model INDOTDL ditunjukkan pada Tabel 4. Jangka pendek adalah suatu keadaan yang diasumsikan bahwa stok capital dan upah riil tidak mengalami perubahan. Tabel 4 Closure jangka pendek pada model CGE INDOTDL No.
Peubah variabel
1
Phi
2
Ukuran (size)
Keterangan
1
Nilai tukar Rp/$US
x_s(COM,” InvStock”)
COM
Permintaan investasi
3
x_s(COM,” GovGE”)
COM
Permintaan pemerintah
4
x1cap
IND
Stok modal saat ini
5
Realwage
6
f3tax(COM, "HouseHB")
COM
Shifter pajak rumahtangga bawah
7
f3tax(COM,"HouseHA")
COM
Shifter pajak rumahtangga atas
8
a1prim
IND
Perubahan teknis penggunaan faktor produksi
9
Pworld
COM
Harga dunia ($US)
10
f4q
COM
Shifter permintaan ekspor
11
Delmtxrate
COM
Tingkat pajak impor
12
Delptxrate
COM
Tingkat pajak produksi
1
Upah riil
Sumber: Oktaviani, 2008 yang dimodifikasi
Dalam model CGE, peubah-peubah ekonomi makro tidak hanya memiliki keterkaitan antar satu peubah dengan peubah lainnya, melainkan juga terkait
46
dengan perubahan yang terjadi pada tingkat ekonomi sektoral dan rumahtangga. Peubah-peubah PDB, inflasi, kesempatan kerja dan neraca perdagangan dibentuk oleh peubah-peubah pada tingkat ekonomi sektoral dan rumahtangga. Bila kondisi ini dikaitkan dengan dampak suatu kebijakan, maka perubahan suatu peubah ekonomi makro dapat juga disebabkan oleh perubahan ekonomi makro itu sendiri yang diperlakukan sebagai eksogen.
Tingkat pengembalian modal
Upah riil
Perubahan tehnis penggunaan faktor
Tenaga kerja
PDB
=
Stok kapital
Produksi produksi
Investasi
+
Konsumsi rumahtangga
+
Konsumsi pemerintah
+
Neraca perdagangan
keterangan
Eksogen
E n d o g e n
Sumber: Horridge, 2001 (dimodifikasi)
Gambar 10 Closure ekonomi makro untuk analisis jangka pendek. Pemerintah menetapkan kebijakan kenaikan TDL karena subsidi listrik terus menerus meningkat sehingga membebani APBN. Penelitian ini kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dianggap sebagai penurunan pengeluaran pemerintah karena
47
adanya pengurangan subsidi dalam rangka mengurangi defisit anggaran. Peubah eksogen dalam jangka pendek pada penelitian ini adalah peningkatan pajak dengan asumsi subsidi diperlakukan sebagai pajak produksi negatif sehingga pengurangan subsidi listrik diperlakukan sebagai peningkatan pada pendapatan pemerintah.
Closure jangka pendek pada penelitian ini diilustrasikan pada
Gambar 10. Tabel 5 Closure jangka panjang pada model CGE INDOTDL No.
Peubah variable
1
Phi
2
Ukuran (size)
Keterangan
1
Nilai tukar Rp/$US
x_s(COM,” InvStock”)
COM
Permintaan investasi
3
x_s(COM,” GovGE”)
COM
Permintaan pemerintah
4
Gret
IND
Tingkat pengembalian modal
5
Employ
6
f3tax(COM,"HouseHB")
COM
Shifter pajak rumahtangga bawah
7
f3tax(COM,"HouseHA")
COM
Shifter pajak rumahtangga atas
8
a1prim
IND
Perubahan teknis penggunaan faktor produksi
9
Pworld
COM
Harga dunia ($US)
10
f4q
COM
Shifter permintaan ekspor
11
Delmtxrate
COM
Tingkat pajak impor
12
Delptxrate
COM
Tingkat pajak produksi
1
Penyerapan tenaga kerja
Sumber: Oktaviani, 2008 yang dimodifikasi
Closure jangka panjang yang digunakan pada model INDOTDL ditunjukkan pada Tabel 5. Jangka panjang adalah suatu keadaan yang diasumsikan bahwa stok kapital sudah mengalami penyesuaian (adjustment) guna mempertahankan tingkat pengembalian modal yang tetap (fixed). Peubah eksogen dalam jangka panjang pada penelitian ini adalah shifter pajak rumahtangga, investasi (oleh pemerintah), tenaga kerja, perubahan tehnis penggunaan faktor produksi, tingkat pengembalian modal, konsumsi pemerintah, tingkat pajak impor, tingkat pajak produksi, nilai tukar rupiah terhadap dollar
48
(Rp/US $) dan harga dunia ($ US). Closure jangka panjang tersebut diilustrasikan pada Gambar 11.
Upah riil
Tingkat pengembalian modal
Perubahan tehnis penggunaan faktor Produksi produksi
Tenaga Kerja
PDB
=
Konsumsi rumahtangga
+
Investasi
Stok kapital
+
Konsumsi pemerintah
+
Neraca perdagangan pemerintah
keterangan
Eksogen
E n d o g e n
Sumber: Horridge, 2001 (dimodifikasi)
Gambar 11 Closure ekonomi makro untuk analisis jangka panjang. 3.3.3 Analisis Jangka Waktu (Timescale Analysis) dalam Model CGE INDOTDL: Analisis Jangka Pendek dan Jangka Panjang Analisis yang digunakan pada model CGE INDOTDL merefleksikan jangka waktu yang dibutuhkan terjadinya proses penyesuaian berbagai peubah ekonomi untuk mencapai kondisi keseimbangan yang baru (new equilibrium). Pada penelitian ini analisis jangka waktu yang digunakan adalah jangka pendek (short run) dan jangka panjang (long run). Masing-masing jenis analisis ini didasari oleh asumsi yang berbeda.
49
Terdapat dua asumsi dasar pada analisis jangka pendek, yaitu pertama, stok kapital dianggap tetap (fixed), hal ini didasari anggapan bahwa investasi barang
modal
membutuhkan
waktu
yang
relatif
lama
untuk
dapat
memengaruhi perekonomian. Shock yang terjadi tidak dapat secara langsung menambah stok kapital. Kedua, adanya kekakuan dalam pasar tenaga kerja (rigidities in the labor market), pada kondisi ini upah riil dianggap tetap. Menurut Horridge (2001), durasi jangka pendek tidak dapat dinyatakan secara eksplisit, tetapi umumnya sekitar satu sampai tiga tahun. Analisis jangka panjang didasarkan pada asumsi bahwa telah terjadi penyesuaian pada stok kapital .
Tenaga kerja
C
B A
T
Waktu
Sumber: Horridge, 2001
Gambar 12 Analisis kebijakan model comparative static Analisis pada model CGE INDOTDL belum memasukkan unsur dinamis (waktu), sehingga disebut sebagai model komparatif statik (Oktaviani 2008). Pada model ini analisis dilakukan dengan membandingkan perbedaan nilai peubah tertentu pada waktu yang akan datang (T), dengan atau tanpa adanya kebijakan (shock) pada peubah eksogen. Semua persamaan ataupun peubah pada model menunjukkan keadaan perekonomian pada periode yang akan datang. Model ini diilustrasikan pada Gambar 12 dimana sumbu vertikal menunjukkan perubahan permintaan tenaga kerja dan sumbu horizontal menunjukkan waktu (T). Pada awal periode (periode 0), jumlah tenaga kerja
50
sebesar A. Bila tidak ada perubahan kebijakan atau implementasi suatu kebijakan tidak berjalan maka jumlah tenaga kerja pada periode T sebesar B, sedangkan bila terdapat kebijakan dan terimplementasikan dengan baik maka jumlah tenaga kerjanya sebesar C. Simulasi model comparative static ini akan menghasilkan persentase perubahan tenaga kerja sebesar 100*(C-B)/B , yang menunjukkan dampak kebijakan terhadap penyerapan kerja pada periode T. Pilihan jangka waktu pada kebijakan ini tergantung pada closure yang digunakan. 3.4 Keunggulan dan Keterbatasan Model CGE Terdapat beberapa model ekonomi yang dapat digunakan untuk menganalisis dampak perubahan peubah-peubah ekonomi makro. Selain model CGE, model ekonometrika sering digunakan untuk analisis keseimbangan parsial (partial equilibrium), model Input-Output dan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Penelitian ini menggunakan model CGE yang memiliki beberapa keunggulan dan keterbatasan dibandingkan dengan model ekonomi lainnya (Oktaviani 2008). Keunggulan dari model CGE antara lain adalah: a.
Dibandingkan dengan model keseimbangan parsial, model CGE sudah memasukkan semua transaksi antara pelaku-pelaku ekonomi secara keseluruhan, baik di pasar faktor produksi maupun pasar komoditi. Sehingga dampak dari suatu kebijakan dapat dianalisis pengaruhnya secara kuantitatif terhadap kinerja ekonomi baik secara ekonomi makro maupun ekonomi sektoral.
b.
Model CGE sudah memasukkan kemungkinan substitusi antar faktor produksi, sehingga jika terjadi perubahan harga relatif suatu faktor produksi, maka produsen akan merubah komposisi penggunaan faktor produksi kearah faktor produksi yang harganya relatif lebih murah. Pada model CGE dampak kebijakan dapat dianalisis pada tingkat institusi, distribusi pendapatan antar golongan rumahtangga, distribusi pendapatan antar faktor produksi primer, neraca perdagangan dan sebagainya dibandingkan dengan SNSE atau Social Accounting Matrix (SAM), model CGE sudah memasukkan persamaan non-linear. Disamping itu, pada model
51
CGE harga sudah dimasukkan sebagai peubah endogen. c.
Dibandingkan dengan model makro ekonometrika, model CGE dapat mengacu pada tahun tertentu (particular benchmark years), sedangkan pada model makro ekonometrika data yang digunakan merupakan data deret waktu (time series), sehingga tidak dapat diaplikasikan pada tahun tertentu. Disamping itu dengan menggunakan model CGE hubungan antara ekonomi makro dangan mikro ekonomi dapat diketahui, sementara pada model makro ekonometrika analisis dampak hanya dapat dilakukan di tingkat makro.
d.
Model CGE dapat mengatasi permasalahan ketersediaan data deret waktu yang terbatas, terutama di negara berkembang dan inkonsistensi data yang diperlukan model makro ekonometrika maupun model simultan. Pencatatan data dan keakuratan data dari waktu ke waktu di negara berkembang saat ini masih menjadi kendala untuk ketersediaan data yang lengkap.
Disamping itu, model CGE juga memiliki kelemahan, antara lain: a.
Asumsi utama dalam model CGE mengenai struktur pasar persaingan sempurna (PPS) dengan kondisi constant return to scale, sehingga pada komoditi dengan pasar non PPS penggunaan asumsi ini menjadi kelemahan model.
b.
Adanya ketergantungan model keseimbangan umum pada parameter benchmark yang dikalibrasi. Hal ini dikarenakan model CGE tidak mengestimasi parameter-parameter tersebut, tetapi diambil dari hasil estimasi di luar model.
c.
Model CGE terlalu kompleks dan terlalu banyak asumsi yang digunakan, sehingga akan muncul permasalahan black box yang sulit untuk dijelaskan jika hasil estimasinya tidak sesuai dengan teori ekonomi atau prediksi yang diharapkan.
d.
Tidak seperti model ekonometrika, pada model CGE tidak ada validitas terhadap hasil pengolahan, sehingga bagi pihak-pihak yang mengutamakan kevalidan dalam model akan merasa sangat riskan menggunakan model CGE.
52 e.
Model CGE tidak dapat menangkap perubahan perekonomian yang sangat besar (tidak dapat menganalisis perubahan persentase lebih dari 100 persen). Semakin kecil perubahan kebijakan yang dianalisis, semakin tepat model dalam mengestimasi perubahan non-linier.
3.5 Simulasi Kebijakan Dampak kenaikan tarif dasar listrik terhadap perekonomian Indonesia terjadi secara langsung melalui kenaikan harga listrik yang menyebabkan peningkatan biaya produksi pada sektor ekonomi yang sebagian besar menggunakan listrik dalam berproduksi. Penurunan konsumsi rumahtangga terjadi karena adanya dampak tidak langsung dari kenaikan TDL yang menyebabkan kenaikan harga barang hasil produksi. Hasil simulasi dampak kenaikan TDL dapat diketahui dengan melakukan guncangan (shock) pada peubah harga listrik. Guncangan (shock) dalam penelitian ini akan dilakukan pada peubah harga listrik untuk konsumsi rumahtangga dan sektor industri. Kedua sektor penelitian tersebut dipilih karena konsumsi listriknya besar sehingga sangat rentan terkena dampak negatif dari kenaikan TDL. Besaran persentase guncangan harga listrik dalam penelitian ini berdasarkan kebijakan kenaikan TDL yang berlaku mulai 1 Juli 2010 di Indonesia dan kenaikan TDL sektor industri di awal tahun 2011 yang belum disetujui DPR. Pelanggan dengan daya 1300VA ke atasyang mengalami kenaikan TDL, sedangkan pelanggan 450 VA - 900 VA tidak mengalami kenaikan harga listrik. Oleh karena itu guncangan harga listrik akan dilakukan pada kelompok rumahtangga atas (berdaya 1300 VA keatas) yang mengalami kenaikan TDL sebesar 18 persen. Kenaikan TDL tahun 2010 pada sektor industri sebesar 5-16 persen hanya berlaku untuk pelanggan industri lama sedangkan industri baru dikenakan kenaikan TDL 20-30 persen. Namun pada awal tahun 2011, TDL pelanggan industri mengalami penyesuaian dengan satu harga sama sesuai daya terpasangnya yaitu meningkat hingga 30 persen. Jadi penelitian ini menggunakan guncangan harga listrik yang berdaya 1300 VA ke ataspada sektor industri sebesar 30 persen dan rumahtangga atas sebesar 18 persen sesuai dengan kenaikan TDL yang berlaku.
53
Dampak kenaikan TDL yang cukup kompleks direspon pemerintah dengan kebijakan kenaikan TDL yang berbeda-beda pada tiap pelanggan, namun masih banyak yang mengencam kebijakan tersebut terutama kalangan usaha. Penelitian ini juga akan melakukan simulasi kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian Indonesia. Kenaikan TDL akan meningkatkan biaya produksi terutama pada sektor industri sehingga akan mengurangi produksi barang/jasa yang akan mengganggu perekonomian nasional. Dampak negatif kenaikan TDL ini akan diminimisasi dengan melakukan simulasi pada kebijakan yang mampu memperkecil biaya produksi listrik yaitu peningkatan efisiensi di sektor listrik sehingga harga listrik bisa diturunkan. Selain itu sektor industri yang paling rentan terkena dampak kenaikan TDL dapat meningkatkan efisiensi produksi, sehingga penelitian ini juga akan melakukan simulasi dengan shock pada peningkatan efisiensi di seluruh sektor ekonomi. Pemerintah selaku pemegang kebijakan dapat meminimisasi dampak kenaikan TDL dengan penurunan PPN sehingga peningkatan biaya produksi bisa dihindari. Berdasarkan uraian di atas maka diturunkan 4 skenario dalam melakukan shock sehingga akan diperoleh hasil yang berbeda dari suatu kebijakan kenaikan TDL dengan atau tanpa disertai kebijakan lain. Hasil simulasi dengan 4 skenario ini diharapkan memperoleh informasi yang paling efektif untuk meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian. Skenario 1, Kenaikan tarif dasar listrik berdaya 1300 VA ke atas pada Rumahtangga atas sebesar 18 persen Sektor industri sebesar 30 persen. Skenario 2, Peningkatan efisiensi di sektor listrik sebesar 10 persen. Skenario 3, Skenario 1 diikuti Peningkatan efisiensi pada seluruh sektor ekonomi sebesar 1 persen. Skenario 4, Skenario 1 diikuti Penurunan PPN pada seluruh sektor ekonomi sebesar 1 persen.
54
Halaman ini sengaja dikosongkan
4. KONSTRUKSI DATA DASAR Sumber data utama yang digunakan untuk membangun data dasar (data base) pada model CGE INDOTDL adalah Tabel I-O Indonesia tahun 2008. Model CGE INDOTDL merupakan model CGE yang analisisnya masih bersifat statis komparatif, sehingga faktor produksi hanya terdiri dari tenaga kerja dan modal. Disagregasi hanya dilakukan pada kelompok rumahtangga menurut daya terpasang listriknya. Penelitian ini tidak melakukan disagregasi tenaga kerja menurut tingkat pendidikan dan modal menurut kepemilikan tanah. Model CGE INDOTDL dengan rumahtangga yang didisagregasi memerlukan data Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) tahun 2008 atau Social Accounting Matrix (SAM) untuk melengkapi data yang tidak tercakup pada Tabel I-O. Data Susenas tahun 2008 digunakan untuk memisahkan rumahtangga menjadi dua berdasarkan daya terpasang listriknya. Data Tabel I-O UKM tahun 2003 digunakan untuk mendisagregasi sektor listrik menjadi dua menurut daya terpasangnya berdasarkan share konsumsi listrik di tiap skala usahanya. Bab ini menjelaskan langkah-langkah dalam membangun data dasar model CGE INDOTDL dengan menggunakan data yang relevan. 4.1 Tabel Input-Output Indonesia Tahun 2008 Tabel I-O yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tabel I-O Indonesia tahun 2008 atas dasar harga produsen yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Tabel I-O Indonesia tahun 2008 terdiri dari dua sub-grup tabel, yaitu tabel dasar dan tabel analisis. Tabel dasar terdiri dari tabel transaksi total atas dasar harga konsumen, tabel transaksi total atas dasar harga produsen, tabel transaksi domestik atas dasar harga konsumen, tabel transaksi domestik atas dasar harga produsen dan tabel transaksi impor atas dasar harga produsen. Tabel I-O Indonesia tahun 2008 terdiri dari 66 klasifikasi sektor. Tabel analisis dalam penelitian ini diperoleh dari tabel dasar setelah dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Tabel ini meliputi tabel koefisien input, matriks kebalikan total atas dasar harga produsen dan matriks kebalikan domestik atas dasar harga produsen.
56
4.2 Tabel Input-Output Usaha Kecil dan Menengah Indonesia (Tabel I-O UKM ) Tahun 2003 Penelitian ini selain menggunakan Tabel I-O Indonesia tahun 2008, juga menggunakan Tabel I-O UKM Indonesia tahun 2003. Tabel I-O UKM terdiri dari 233 klasifikasi sektor ekonomi dan diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Tabel IO UKM dapat untuk melihat keterkaitan antarsektor ekonomi khususnya UKM dalam
perekonomian
Indonesia,
dapat
digunakan
untuk
penghitungan
produktivitas tenaga kerja UKM serta dapat digunakan untuk analisis Tabel I-O UKMK untuk berbagai kebutuhan. Pada penelitian ini Tabel I-O UKM digunakan untuk mendisagregasi sektor listrik menurut daya terpasangnya menggunakan pendekatan share konsumsi listrik pada tiap skala ekonominya. Klasifikasi Tabel I-O UKM dibuat berdasarkan omzet yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi. Dimana definisi Usaha Kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta dan penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 miliar. Usaha Menengah adalah usaha yang memiliki penjualan tahunan di atas Rp. 1 miliar hingga Rp. 50 miliar. Usaha Besar adalah usaha yang memiliki penjualan tahunan di atas Rp. 50 miliar. 233 sektor pada klasifikasi Tabel I-O UKM sektor terdiri dari 72 sektor Usaha Kecil (UK), 72 sektor Usaha Menengah (UM) dan 85 sektor Usaha Besar (UB). 4.3 Struktur Input-Output Struktur lengkap Tabel I-O dapat dilihat pada Gambar 8 (Bab 3). Matriks yang terdapat pada Tabel I-O terdiri dari matriks penyerapan input (absorption matrix) di tiap industri, matriks produk bersama dan matriks pajak. Kolom dari matriks penyerapan menunjukkan lima pelaku ekonomi yaitu produsen domestik, investor, rumahtangga, ekspor dan pemerintah. Semua data yang tertera pada Tabel I-O dihitung dalam satuan rupiah. Baris pada Gambar 8 (pada Bab 3) menunjukkan asal dari pembelian komoditas yang dilakukan oleh pelaku ekonomi pada setiap kolom yang meliputi aliran bahan baku, tenaga kerja, modal, tanah, pajak tak langsung dan biaya lainnya. Aliran bahan baku dasar pada kolom pertama dan kedua menunjukkan aliran komoditas impor dan domestik yang digunakan oleh industri sebagai input
57
atau pembentukan modal. Kolom pertama dan baris pertama adalah nilai dari bahan baku (input antara) dari komoditas (c) dan sumber (s) yang digunakan oleh setiap industri (i) pada proses produksinya. Selanjutnya aliran komoditas ke kolom ketiga menunjukkan komoditas yang dikonsumsi oleh rumahtangga. Aliran komoditas ke kolom keempat dan kelima menunjukkan nilai komoditas yang diekspor dan dikonsumsi pemerintah. Disini dapat dilihat bahwa hubungan antar komoditas pada Tabel I-O menunjukkan hubungan sektoral antar industri dan hubungan agregat dari pelaku-pelaku ekonomi dalam ekonomi makro. Alur tenaga kerja dari baris ketiga adalah upah dan gaji yang diterima oleh pekerja sebagai balas jasa faktor tenaga kerja yang digunakan oleh industri. Balas jasa faktor modal dimatrikskan pada baris keempat. Baris keempat ini menunjukkan besarnya biaya sewa modal yang digunakan oleh industri dalam proses produksi. Pajak produksi (pajak tak langsung) dimatrikskan pada baris kelima menunjukkan pajak yang dibayar oleh konsumen melalui produsen sebagai pajak tak langsung dikurangi dengan subsidi yang diterima. Matriks bea impor mencatat pembayaran bea impor atas tiap komoditas yang diimpor oleh setiap industri. Penelitian ini mengasumsikan bahwa sebuah industri hanya dapat memproduksi sebuah komoditas. 4.4 Agregasi dan Disagregasi Sektor Sesuai dengan tujuan penelitian, maka sektor yang tercakup dalam penelitian ini terdiri dari 21 sektor. Bila sektor-sektor tersebut dikategorikan ke dalam sembilan sektor seperti pada PDB menurut lapangan usaha, maka disagregasi ke-21 sektor dalam penelitian dapat dikelompokkan sebagai berikut: sektor pertanian (1 sektor), sektor pertambangan dan penggalian (1 sektor), sektor industri pengolahan (didisagregasi menjadi 11 sektor), sektor listrik, gas dan air bersih (didisagregasi menjadi 3 sektor), sektor bangunan (didisagregasi 1 sektor), sektor perdagangan, hotel dan restoran (1 sektor), sektor pengangkutan dan komunikasi (1 sektor), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan
(1 sektor) dan sektor jasa (1 sektor). Disagregasi sektor menurut
PDB lapangan usaha ke dalam sektor penelitian ditunjukkan pada Tabel 6.
58
Tabel 6 Klasifikasi sektor dalam penelitian menurut lapangan usaha Sektor PDB menurut
Sektor Penelitian (21 sektor)
Lapangan Usaha 1. Pertanian 2.
Pertambangan & Penggalian
3. Industri
1 Pertanian
Tambangali
1 Makanan, minuman dan tembakau
IndMakmin
5 Kimia,Pupuk,dan hasil kilang 6 Barang karet, plastik & mineral bukan logam 7 Semen 8 Logam dasar besi dan baja & bukan besi
Bersih
Pertanian
1 Pertambangan dan penggalian
2 Tekstil, pakaian, kulit dan pemintalan 3 Bambu, kayu, rotan & barang dr kayu 4 kertas, barang dari kertas dan karton
4. Listrik, Gas dan Air
Notasi
9 Barang dari logam Mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat 10 pengangkutan dan perbaikannya 11 Industri lainnya, 1 Listrik berdaya 900 VA ke bawah 2 Listrik berdaya 1300 VA ke atas 2 Gas dan Air bersih
IndTekstPak IndBambuKy IndKertas IndKimia IndKrtPlstk IndSemen IndLgmDsr IndBrgLgm IndMesin Indlainnya Listrik900 Listrik1300 Gasair
5. Bangunan
1 Bangunan
Bangunan
6. Perdagangan, Hotel dan Restoran
1 Perdagangan dan Hotel dan restoran
PerdagHR
7. Pengangkutan dan Komunikasi
1 Pengangkutan dan Komunikasi
Angkom
8. Keuangan dan Jasa Perusahaan
1 Keuangan dan jasa perusahaan
KeuJspersh
9. Jasa
1 Jasa
JasaLain
Sumber: BPS, 2010 (diolah)
Untuk memadukan hasil agregasi dan disagregasi sektor ekonomi yang digunakan dalam penelitian dengan Tabel I-O 2008 dan SNSE 2008, maka dilakukan mapping (pemetaan) antara sektor ekonomi yang terdapat dalam penelitian (21 sektor) dan sektor ekonomi yang terdapat pada Tabel I-O 2008 (66 sektor) dan tabel SNSE 2008. Proses mapping antara sektor pada Tabel I-O dan sektor PDB dalam penelitian ini seperti pada Tabel 7.
59
Kenaikan TDL per 1 juli 2010 hanya dibebankan pada pelanggan listrik yang berdaya 1300 VA ke atas, sehingga pelanggan listrik 450-900 VA merasa lega karena tidak mengalami kenaikan TDL. Untuk melihat dampak kebijakan kenaikan TDL yang sesuai dengan kejadian sebenarnya, maka dilakukan disagregasi sektor listrik menggunakan Tabel I-O UKM. Proses disagregasi dan agregasi sektor pada penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sektor sektor yang rentan terkena dampak kenaikan TDL terutama sektor industri yang mengkonsumsi listrik dalam jumlah besar. Tabel 7 Mapping sektor penelitian (21 sektor) dengan Tabel I-O (66 sektor) Agregasi sektor dalam Tabel I-O tahun 2008 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Klasifikasi sektor Padi Tanaman kacang-kacangan Jagung Tanaman umbi-umbian Sayur-sayuran dan buah-buahan Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa sawit Tembakau Kopi Teh Cengkeh Hasil tanaman serat Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan Pemotongan hewan Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan Penambangan batubara dan bijih logam Penambangan minyak, gas & panas bumi
Penambangan dan penggalian lainnya Industri pengolahan & pengawetan makanan
Industri minyak dan lemak Industri penggilingan padi Industri tepung, segala jenis Industri gula Industri makanan lainnya Industri minuman Industri rokok Industri pemintalan Industri tekstil, pakaian dan kulit
Agregasi sektor dalam Penelitian No. 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 1 1 1 1 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4
Klasifikasi sektor Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Industri makanan minuman & tembakau
Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertambangan dan Penggalian Pertambangan dan Penggalian Pertambangan dan Penggalian Industri makanan minuman & tembakau Industri makanan minuman & tembakau Industri makanan minuman & tembakau Industri makanan minuman & tembakau Industri makanan minuman & tembakau Industri makanan minuman & tembakau Industri makanan minuman & tembakau Industri makanan minuman & tembakau Industri tekstil, pakaian, kulit & pemintalan Industri tekstil, pakaian, kulit & pemintalan
60
Tabel 7 Lanjutan Agregasi sektor dalam Tabel I-O tahun 2008 No.
Klasifikasi sektor
Agregasi sektor dalam Penelitian No.
Klasifikasi sektor
37
Industri bambu, kayu dan rotan
5
Industri bambu, kayu dan rotan
38
Industri kertas, barang dari kertas & karton
6
Industri kertas, barang dari kertas dan karton
39
Industri pupuk dan pestisida
7
40
Industri kimia
7
41
Pengilangan minyak bumi
7
42
Industri barang karet dan plastik
8
43 44 45 46 47 48 49
Industri barang-barang dari mineral bukan logam Industri semen Industri logam dasar besi dan baja Industri logam dasar bukan besi Industri barang dari logam Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik
9 10 10 11
Industri alat pengangkutan dan perbaikannya
12
8
12
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik gaskota dan air bersih Bangunan Perdagangan Restoran dan hotel Angkutan kereta api Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi
61
Lembaga keuangan
20
62
Real estat dan jasa perusahaan
20
63 64 65 66
Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa sosial kemasyarakatan Jasa lainnya Kegiatan yang tak jelas batasannya
21 21 21 21
50
13 14 -16 17 18 18 19 19 19 19 19 19
Industri kimia pupuk pestisida dan Pengilangan minyak bumi Industri kimia pupuk pestisida dan Pengilangan minyak bumi Industri kimia pupuk pestisida dan Pengilangan minyak bumi Industri barang karet plastik dan mineral bukan logam Industri barang karet plastik dan mineral bukan logam Industri semen Industri logam dasar Industri logam dasar Industri barang dari logam Industri mesin, perlengkapan listrik dan alat angkut Industri mesin, perlengkapan listrik dan alat angkut Industri barang lain yang belum digolongkan dimanapun Listrik dan gasair Bangunan Perdagangan hotel dan Restoran Perdagangan hotel dan Restoran Angkutan dan komunikasi Angkutan dan komunikasi Angkutan dan komunikasi Angkutan dan komunikasi Angkutan dan komunikasi Angkutan dan komunikasi Lembaga keuangan, real estate & jasa perusahaan Lembaga keuangan, real estate & jasa perusahaan
Jasa lainnya Jasa lainnya Jasa lainnya Jasa lainnya
Sumber: BPS, 2010 (diolah)
4.5 Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) SNSE menyediakan informasi mengenai keadaan sosial ekonomi makro Indonesia, tidak hanya meliputi informasi Tabel I-O tapi juga mengenai distribusi pendapatan untuk semua faktor produksi, pendapatan rumahtangga, dan pola dari pengeluaran rumahtangga. Dibanding dengan Tabel I-O, SNSE tidak hanya mengidentifikasi struktur produksi tetapi juga bermanfaat dalam menjelaskan distribusi pendapatan, tenaga kerja dan akumulasi modal.
61
Tabel 8 Pengelompokan sektoral dari Tabel Input-Output dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Agregasi sektor dalam Penelitian No.
No.
Klasifikasi sektor
Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri makanan, minuman dan tembakau Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan Industri Bambu, Kayu, rotan & Barang dr Kayu Industri kertas, barang dari kertas dan karton Industri Kimia, Pupuk,dan hasil kilang
1-5 6-7 8
Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri Makanan, Minuman & Tembakau
Industri barang karet , plastik & mineral bukan logam Industri semen
12
Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi Industri barang dari logam
11
11
13
Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya Industri lainnya
14 15 16 17 18 19
Listrik berdaya 900 VA kebawah Listrik berdaya 1300 VA kebawah Gas kota & air Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran, Pengangkutan dan komunikasi
13 13 13 14 15-17 18-19
20
Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan Jasa lainnya
21-22
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
21
Klasifikasi sektor
Sektor dalam SNSE
9
Industri TPT
10
Industri Kayu & Barang dr Kayu
11
Industri Kertas , Percetakan, Angkutan, Barang Logam & Lainnya Industri Kimia,Pupuk,Hasil Tanah Liat,Semen Industri Kimia,Pupuk,Hasil Tanah Liat,Semen Industri Kimia, Pupuk ,Hasil Tanah Liat, Semen Industri Kertas , Percetakan, Angkutan, Barang Logam &Lainnya Industri Kertas , Percetakan, Angkutan, Barang Logam &Lainnya Industri Kertas , Percetakan, Angkutan, Barang Logam &Lainnya
12
12
11
11
23-24
Industri Kertas , Percetakan, Angkutan, Barang Logam &Lainnya Listrik,Gas & Air Minum Listrik,Gas & Air Minum Listrik,Gas & Air Minum Konstruksi Perdagangan, hotel dan restoran, Angkutan darat, udara, Air, dan Komunikasi Bank & Asuransi, Real Estate & Jasa Perusahaan Jasa lainnya
Sumber: BPS, 2010 (diolah).
SNSE banyak digunakan sebagai data dasar
dalam penerapan model
keseimbangan umum di Indonesia. SNSE Indonesia dikeluarkan dalam 3 kelompok sektoral yaitu versi 105 X 105, versi 37 x 37 dan versi 13 X 13. Pengelompokan sektor pada SNSE berbeda dengan pengelompokan pada Tabel IO. Penelitian ini menggunakan SNSE sebagai data tambahan dalam Tabel I-O 2008, untuk menggabungkan data SNSE dan Tabel I-O dilakukan pengelompokan antara sektor keduanya (Oktaviani 2008). Pengelompokan sektor antara SNSE dan Tabel I-O disajikan pada Tabel 8.
62
4.6 Klasifikasi Input Primer Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, karena model INDOTDL merupakan model CGE komparatif statis, maka pada penelitian ini input primer hanya terdiri dari tenaga kerja dan modal. Modal meliputi pembayaran atas lahan dan sewa barang modal yang digunakan dalam proses produksi oleh masing-masing sektor produksi. Pembayaran tenaga kerja meliputi upah dan gaji yang dibayar oleh setiap sektor perekonomian (industri). 4.7 Klasifikasi Pengguna (User) Pengguna barang dan jasa dapat dibedakan menurut dua kelompok utama, yaitu pengguna antara (intermediate product) dan pengguna akhir (final user). Pengguna antara adalah pembelian yang dilakukan oleh industri tertentu terhadap output industri-industri lainnya dengan tujuan bukan untuk konsumsi, investasi, ekspor, dan inventori. Pembelian barang/jasa oleh pengguna antara tersebut untuk mendukung proses produksi dan bersifat habis pakai dalam satu periode akuntansi. Pengguna antara pada penelitian ini meliputi 21 sektor ekonomi, yaitu (1) Pertanian, (2) Pertambangan dan penggalian (3) Industri makanan, minuman dan tembakau (4) Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan, (5) Industri Bambu, kayu, rotan & barang dr kayu (6) Industri kertas, barang dari kertas dan karton, (7) Industri Kimia,Pupuk,dan hasil kilang, (8) Industri barang karet, plastik & mineral bukan logam, (9) Industri semen, (10) Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi, (11) Industri barang dari logam, (12) Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya, (13) Industri lainnya, (14) Listrik berdaya 900 VA ke bawah, (15) Listrik berdaya 1300 VA ke atas, (16) Gas kota & air, (17) Bangunan, (18) Perdagangan, hotel dan restoran, (19) Pengangkutan dan komunikasi, (20) Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan dan (21) Jasa lain. Pengguna akhir terdiri dari 5 kelompok, yaitu: (1) investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB), (2) konsumsi rumahtangga bawah, (3) konsumsi rumahtangga atas (4) konsumsi pemerintah dan (5) ekspor. Pembelian barang dan jasa oleh pengguna akhir ini ditujukan untuk konsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, investasi dan ekspor. Tiga bagian pertama
63
merupakan pengguna akhir dari dalam negeri (domestik) dan satu bagian lainnya merupakan
pengguna
akhir
luar
negeri
(ekspor).
Ketentuan
tersebut
menunjukkan bahwa tujuan pembelian barang dan jasa oleh pengguna akhir adalah dalam rangka menambah aset karena umur penggunaannya lebih dari satu periode akuntansi. Rumahtangga dikelompokan menjadi 2 sehingga total pengguna pada penelitian ini sebanyak 26 pengguna, yang merupakan penjumlahan dari pengguna antara dan pengguna akhir. Sementara jumlah pengguna domestik adalah sebanyak 25 pengguna, yaitu total pengguna dikurangi dengan pengguna luar negeri (ekspor). 4.8 Klasifikasi Rumahtangga Pada penelitian ini pengguna akhir untuk konsumsi rumahtangga dibagi menjadi 2 kelompok yaitu rumahtangga bawah (HouseHB) dan rumah rumahtangga atas (HouseHA). Pembagian 2 kelompok rumahtangga ini mengacu pada kebijakan kenaikan TDL yang hanya berlaku untuk pelanggan listrik yang berdaya 1300 VA ke atas saja sedangkan pelanggan listrik 900 VA ke bawah masih disubsidi. Kelompok rumahtangga atas terdiri dari semua rumahtangga yang daya tersambung listrik 450-900 VA, sedangkan kelompok rumahtangga atas adalah semua rumah yang berdaya listrik 1300 VA ke atas. Untuk mengetahui rumahtangga menurut daya terpasang listriknya dibutuhkan
data Susenas tahun 2008 baik KOR maupun Modul. Proporsi
rumahtangga diperoleh sebagai indikator untuk membagi rumahtangga menjadi dua kelompok berdasarkan daya terpasangnya listriknya. Pembagian proporsi rumahtangga tersebut digunakan mengalokasikan rumahtangga menjadi 2 kelompok yaitu dengan melakukan agregasi dan disagregasi pada delapan kelompok rumahtangga dalam SNSE tahun 2008. 4.9 Klasifikasi Sumber Output yang berwujud barang dan jasa pada suatu wilayah (perekonomian), sesungguhnya bersumber dari produksi dalam negeri wilayah itu sendiri dan berasal dari produksi luar negeri. Berdasarkan kondisi ini maka sumber komoditas dibedakan menjadi dua sumber, yaitu domestik dan impor. Nilai komoditas yang
64
diimpor menurut industri dapat diperoleh dari Tabel I-O transaksi impor, sedangkan nilai komoditas domestik menurut industri diperoleh dari Tabel I-O transaksi domestik. BPS mempublikasikan Tabel I-O Indonesia tahun 2008 menurut transaksi total dan transaksi domestik, maka untuk memperoleh nilai transaksi impor dilakukan dengan cara mengurangkan Tabel I-O transaksi total dengan Tabel I-O transaksi domestik. Semua jenis transaksi dalam Tabel I-O tersebut dihitung menurut harga produsen. 4.10 Elastisitas dan Parameter Lain Data-data lain yang dibutuhkan untuk membangun model CGE INDOTDL selain yang telah disebutkan di atas, dibutuhkan juga data-data parameter behavioral lainnya. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model CGE INDOTDL antara lain elastisitas Armington, elastisitas substitusi input primer dan elastisitas permintaan ekspor. 4.10.1 Elastisitas Armington Armington mengemukakan teori mengenai permintaan barang dalam aktivitas perdagangan internasional. Dalam teori yang dikembangkannya, Armington memperkenalkan asumsi bahwa produk yang diperdagangkan secara internasional berbeda berdasarkan lokasi produksinya. Armington juga mengasumsikan
bahwa
dalam
suatu
negara,
setiap
industri
hanya
menghasilkan satu produk dan bahwa produk ini berbeda dari produk industri yang sama dari negara lain. Dari sudut pandang konsumen, produk suatu industri yang berasal dari berbagai negara merupakan sekelompok barang yang dapat saling bersubstitusi. Tingkat substitusi di antara barang yang dihasilkan oleh industri domestik dan industri di negara lain besifat tidak sempurna (imperfect of substitution). Derajat substitusi di antara kedua barang tersebut selanjutnya dikenal secara luas sebagai elastisitas substitusi Armington atau elastisitas Armington. Asumsi Armington terhadap produk yang terdiferensiasi secara nasional telah diadopsi secara luas dalam model CGE untuk mendefinisikan permintaan barang-barang domestik dan barang-barang impor. Nilai elastisitas
65
Armington untuk tiap komoditas dalam penelitian ini, mengikuti model yang dikembangkan oleh Oktaviani (2000). Nilai elastisitas Armington diestimasi dengan menggunakan data time series yang tersedia. Elastisitas Armington diestimasi dengan data volume dan harga barang impor serta data produksi dan harga barang domestik. Nilai parameter elastisitas tersebut disajikan pada 9. Tabel 9 Parameter elastisitas yang digunakan dalam model No
Sektor penelitian
Armington
Elastisitas Substitusi Input Primer
Permintaan Ekspor
1
Pertanian
2,81
0,50
4,33
2
Pertambangan dan penggalian
1,70
0,50
3,13
3
Industri makanan, minuman dan tembakau
1,97
0,50
4,71
4
Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan
4,10
0,50
7,30
5
Industri Bambu, Kayu, rotan & Barang dari Kayu
3,20
0,50
6,00
6
Industri kertas, barang dari kertas dan karton
3,00
0,50
5,50
7
Industri Kimia, Pupuk,dan hasil kilang
3,00
0,50
5,70
8
Industri barang karet , plastik & mineral bukan logam
3,00
0,50
7,40
9
Industri semen
3,00
0,50
1,60
10
Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi
4,20
0,50
7,40
11
Industri barang dari logam
4,20
0,50
7,20
12
Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan 4,30 dan perbaikannya 0,50
7,90
13
Industri lainnya
4,40
0,50
7,40
14
Listrik berdaya 900 VA kebawah
6,00
0,50
5,70
15
Listrik berdaya 1300 VA kebawah
6,00
0,50
5,70
16
Gas kota & air
6,00
0,50
5,70
17
Bangunan
3,00
0,50
2,50
18
Perdagangan, hotel dan restoran,
2,00
0,50
2,50
19
Pengangkutan dan komunikasi
1,90
0,40
3,80
20
Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan
1,90
0,40
3,80
21
Jasa lain
1,90
0,40
3,80
Sumber: Oktaviani, 2000 (dimodifikasi)
4.10.2 Elastisitas Substitusi Input Primer Elastisitas substitusi input primer menunjukkan bagaimana respon dari setiap input pada setiap sektor akibat perubahan harga input. Pada fungsi
66
produksi CES, faktor primer disubstitusi sesamanya dengan elastisitas substitusi yang konstan. Nilai yang sama juga diberlakukan untuk semua faktor yang saling berpasangan. Biasanya nilai yang digunakan untuk elastisitas ini adalah 0,5. Kisaran nilai 0,5 tersebut telah digunakan dalam model ORANI, ORANI-F dan ORANI-G pada perekonomian Australia [Horridge et al (1993) dan Horridge et al (1997) dalam Delis (2008)]. Penentuan nilai elastisitas substitusi input primer dalam penelitian ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Oktaviani (2000). Nilai elastisitas substitusi input primer masing-masing sektor/komoditas disajikan pada Tabel 9. 4.10.3 Elastisitas Permintaan Ekspor Elastisitas
permintaan
ekspor
menunjukkan
respons
permintaan
komoditas ekspor terhadap perubahan harganya di pasar internasional. Pada perekonomian internasional, Indonesia diasumsikan sebagai negara kecil, sehingga ekspor Indonesia tidak akan memengaruhi harga dunia. Nilai elastisitas permintaan ekspor dalam penelitian ini mengikuti model yang dikembangkan oleh Oktaviani (2000), yang diestimasi dengan menggunakan data volume dan nilai ekspor. Elastisitas permintaan ekspor masing-masing sektor/komoditas disajikan pada Tabel 9. 4.11 Membuat File Header Array File header array merupakan file yang memuat matriks-matriks data dasar dan set dari setiap komoditas, industri, pengguna, sumber komoditas beserta faktor produksi (input) yang digunakan. Pada umumnya dimensi matriks-matriks yang terdapat pada data dasar berukuran dua dimensi, tetapi beberapa matriks memiliki ukuran tiga dimensi. File ‘har’ telah dibuat sedemikian hingga memungkinkan untuk membuat data dasar yang memiliki dimensi matriks lebih dari dua. Setelah semua data dasar yang dibutuhkan tersedia, maka prosedur yang dilakukan untuk membuat file header array adalah sebagai berikut: 1.
Melakukan entry data terhadap data pada Tabel I-O Indonesia tahun 2008 ke dalam software excel 2007. Tabel I-O yang digunakan adalah Tabel I-O transaksi total dan Tabel I-O transaksi domestik atas dasar
67
harga produsen. Tabel I-O transaksi impor atas dasar harga produsen diperoleh dengan cara mengurangkan Tabel I-O transaksi total atas dasar harga produsen dengan Tabel I-O transaksi domestik atas dasar harga produsen. 2.
Melakukan disagregasi 66 sektor menjadi 69 sektor yang diolah dari tabel Tabel I-O Indonesia
tahun 2008, kemudian dilakukan agregasi
menjadi 21 sektor penelitian (Tabel 7). Proses agregasi dapat dilakukan dengan menggunakan software excel 2007, Gempack maupun program “GRIMP”. 3.
Melakukan penyesuaian kolom dan baris pada Tabel I-O sesuai kebutuhan data dasar pada model CGE INDOTDL, dengan cara sebagai berikut: a. Menghapus baris jumlah input antara dan nilai tambah kotor yang
terdapat pada Tabel I-O, baik pada Tabel I-O transaksi total, domestik maupun impor. Dihapuskannya baris ini adalah untuk menghilangkan masalah perhitungan ganda pada nilai input. b.
Menghapus nilai total permintaan antara, total permintaan akhir, total permintaan, total impor, margin perdagangan besar, margin perdagangan kecil, biaya transportasi dan margin perdagangan total dan biaya transportasi total pada kolom yang terdapat pada Tabel I-O (tabel total, domestik dan impor). Dihapuskannya nilai yang terdapat pada matriks permintaan adalah untuk menghilangkan masalah perhitungan ganda, sedangkan dihapuskannya nilai matriks margin dikarenakan nilai-nilai yang terdapat pada matriks tersebut bernilai nol.
c.
Menambahkan baris pajak impor (tarif impor) pada baris terakhir pada data dasar.
4.
Menggunakan program Modhar, semua data di atas dikonversi ke dalam file har. File har tersebut merupakan matriks-matriks dasar pada model CGE INDOTDL. Selain data di atas, file lain yang dibutuhkan untuk membuat file har adalah sebagai berikut:
68
a. File Modraw.inp sebagai input statemen ketika melakukan running program Modhar. File ini terdiri dari file header array yang akan dibuat dan semua file .csv di atas. b. File Dgscale.inp sebagai input statemen untuk membagi nilai-nilai yang terdapat pada data input statemen dengan angka 1000. File ini digunakan sebagai input statemen pada program DAGG. c. Rawdata.bat sebagai file bat untuk melakukan running program Modhar dan program DAGG dalam “batch” mode. File ini merupakan statemen untuk melakukan running program Modhar dan DAGG. 4.12 Software GEMPACK Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa analisis pada penelitian ini menggunakan metode CGE INDOTDL yang dijalankan oleh Software Gempack (General Equilibrium Modelling PACKage), selanjutnya disebut sebagai Gempack. Gempack dapat menyelesaikan masalah ekonomi secara luas dan mempunyai kapasitas yang baik dalam memecahkan model intertemporal.
Gempack
berguna
untuk
membangun
data
dasar,
memodifikasi/membangun persamaan-persamaan dan melakukan simulasi kebijakan yang diinginkan. Secara garis besar Gempack terdiri dari: 1.
File Tablo yang memuat persamaan-persamaan ekonomi yang ditulis dalam bentuk linear dan dibagi menjadi blok-blok persamaan, misalnya blok produksi, faktor produksi, investasi dan lain-lain. File ini bukan merupakan bahasa program, sehingga dapat dibaca bagi yang tidak mengerti bahasa program.
2.
File STI yang berisi perintah untuk mengubah bahasa tablo menjadi bahasa program.
3.
File HAR yang berisi matrik-matrik data yang sesuai dengan sistem persamaan yang dibangun dalam model CGE. Data yang digunakan bersumber dari Tabel I-O dan parameter-parameter lainnya yang dibutuhkan dalam model.
4.
File CMF yang memuat file data yang dibutuhkan, file output yang akan dihasilkan, pilihan variabel eksogen (closure) dan variabel endogen, metode
69
simulasi, pilihan dan besarnya shock perubahan kebijakan yang dianalisis. 5.
GEMSIM yang digunakan untuk untuk melakukan running file CMF dan menghasilkan solusi dari simulasi.
6.
Berbagai fasilitas lainnya yang digunakan untuk membangun dan memodifikasi data dasar.
4.13
Prosedur Kerja GEMPACK Gempack terdiri dari beberapa file, yaitu file tablo, file har dan file cmf.
File-file tersebut dibuat secara terpisah yang kemudian dikombinasikan oleh Gempack menjadi satu kesatuan. Untuk mempermudah pengertian file tablo dan file har diberi nama menjadi file INDOTDL. INDOTDL adalah aplikasi model CGE dengan menggunakan Gempack yang diadopsi dari model INDOMINI yang rumahtangganya didisagregasi mengikuti persamaan model CGE wayang.
Nama-nama
file
tersebut
diubah
menjadi:
INDOTDL.tab,
INDOTDL.sti, INDOTDL.har, dan INDOTDL.cmf. INDOTDL.tab
Tablo Program
INDOTDL.sti
INDOTDL.for
Keterangan:
FORTRAN Compiler
Text File
Binary File
Program
INDOTDL.a
INDOTDL.a
Sumber : Horridge dan Powel, 2001
Gambar 13 Prosedur melakukan running file tablo dan file STI.
IndoTDL .exe
70
Gambar 13 mendeskripsikan prosedur Gempack dalam melakukan proses spesifikasi terhadap file-file di atas guna menemukan “solution file” pada suatu simulasi kebijakan. Dengan menggunakan Tablo program, kedua jenis teks file (INDOTDL.tab dan INDOTDL.sti) diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan auxiliary file yaitu file INDOTDL.for yang kemudian dikonversi ke dalam Fortran. Selanjutnya Fortran akan mengkompilasi file INDOTDL.for ke dalam eksekusi program yaitu INDOTDL.exe. Tablo program juga memproduksi dua jenis auxiliary files, yaitu INDOTDL.axs and INDOTDL.axt.
CMF File
IndoTDL.axs
Closure
Auxiliary file Shock
Solution Method
IndoTDL.axs
Auxiliary file
IndoTDL. exe
RunGem
IndoTDL.ax s Pre-simulation (base) data
Summary of
(base) data
Summary of
Update data
Post -Simulation Update data
SL4 solution file of simulation results
Sumber : Horridge dan Powel, 2001
Gambar 14 Prosedur memperoleh file solusi pada Gempack. Gambar 14 mendeskripsikan prosedur program INDOTDL.exe dalam memproduksi sebuah solusi akhir. Pada tahap ini dibutuhkan dua auxiliary files lainnya, yaitu INDOTDL.axs dan INDOTDL.axt. File-file lain yang dibutuhkan adalah INDOTDL.har dan INDOTDL.cmf. Dengan menggunakan file-file tersebut program INDOTDL.exe akan menghasilkan:
71
1.
Sebuah file solusi (SL4) yang memuat dampak yang ditimbulkan oleh perubahan peubah eksogen (policy shock) terhadap variabelvariabel endogen. Besaran efek tersebut dihitung dalam satuan persentase.
2.
Sebuah file update data dasar, file ini memiliki format yang sama dengan INDOTDL.har tetapi memuat data-data setelah dilakukan simulasi (post-shock equilibrium).
3.
Dua file summary (summary files) merupakan ringkasan nilai-nilai total (misalnya nilai PDB total dari sisi pengeluaran dan penerimaan) sebelum dan setelah dilakukan simulasi kebijakan.
4.14
Membuat File Tablo File Tablo memuat persamaan-persamaan beserta set, subset, peubah,
koefisien dan parameter-parameter yang digunakan dalam model CGE INDOTDL. Mengingat jumlah persamaan yang terdapat dalam file tablo sangat banyak maka pada penelitian ini, file Tablo disajikan pada Lampiran 1.
72
Halaman ini sengaja dikosongkan
5. GAMBARAN UMUM KETENAGALISTRIKAN DI INDONESIA Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, memeratakan distribusi pendapatan masyarakat, meningkatkan hubungan ekonomi regional dan mengusahakan pergeseran kegiatan ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier. Pembangunan ekonomi merupakan prioritas utama bagi bangsa Indonesia dalam merealisasikan kesejahteraan masyarakat karena dengan lancarnya
pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi,
diharapkan akan secara langsung berpengaruh terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dipungkiri bahwa energi merupakan salah satu syarat utama, terutama setelah menjadi energi listrik. Listrik
merupakan
tulang
punggung
bagi
awal
dan
kelanjutan
pengembangan industri dan tingkat hidup masyarakat. Hal ini dikarenakan energi listrik merupakan bahan bakar bagi industri sehingga tersedianya tenaga listrik akan memudahkan perkembangan industri yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu adanya penerangan listrik memungkinkan masyarakat melakukan aktivitas di malam hari yang akan dapat menambah penghasilan. Konsumen listrik dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama merupakan kelompok konsumtif, termasuk di sini adalah rumahtangga yang menggunakan listrik untuk penerangan dengan pola permintaan cenderung pada malam hari. Kelompok yang kedua adalah kelompok produktif, termasuk disini adalah industri yang komersial yang menggunakan listrik sebagai sumber tenaga proses produksi dengan pola permintaan cenderung siang hari. (Hayati, 2008). Listrik merupakan komoditi yang vital dan merupakan barang publik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang bersifat natural monopoli dimana distribusi dan transmisinya tidak dapat dilakukan oleh banyak perusahaan. Di Indonesia
perusahaan
pembangkit
listrik
lebih
dari
satu
tetapi
yang
mendistribusikan listrik kekonsumen listrik hanya PLN. Monopoli listrik oleh PLN ini bertujuan agar kesejahteraan masyarakat dapat diutamakan karena pemerintah dapat memberikan harga yang sesuai daya beli masyarakat melalui kebijakan tarif dasar listrik (TDL) yang berbeda pada setiap kelompok pelanggan listrik.
74
5.1 Sistem Ketenagalistrikan Indonesia. Sistem ketenagalistrikan di Indonesia dikelola oleh PT. PLN yang melakukan transmisi dan distribusi listrik kepada seluruh masyarakat Indonesia. Penyediaan energi listrik oleh PLN bersumber dari listrik yang diproduksi sendiri maupun yang dibeli dari perusahaan listrik swasta (luar PLN). Tahun 2009 jumlah energi listrik yang diproduksi sendiri sebesar 120.628 GWh (77 persen), dari jumlah tersebut 38 persen diproduksi oleh PLN Holding dan 62 persen diproduksi anak perusahaan yaitu PT. Indonesia Power, PT. PJB, PT. PLN Batam dan PT. PLN Tarakan. Energi listrik yang dibeli dari luar PLN sebesar 36.168 GWh (23 persen), dimana pembelian terbesar berasal dari PT. Jawa Power di Jawa Timur yaitu mencapai 25,2 persen dan PT. Paiton Energy Company sebesar 24,8 persen. Tabel 10 Komposisi energi yang di produksi menurut pembangkit Tahun
Komposisi Energi yang diproduksi (persen) PLTA
PLTU
PLTG
PLTGU
PLTP
PLTD
Total
2004
9,60
44,73
3,41
32,97
3,38
5,91
100,00
2005
10,01
43,05
6,15
31,85
3,06
5,87
100,00
2006
8,62
46,98
4,95
30,41
3,09
5,95
100,00
2007
9,84
48,35
4,38
29,05
2,95
5,42
100,00
2008
9,48
46,19
4,69
31,53
2,99
5,13
100,00
2009
8,93
45,88
6,77
30,10
3,04
5,29
100,00
Sumber : Diolah dari Statistik PLN tahun 2009.
PLN
dalam
memproduksi
listrik
menggunakan
bermacam jenis
pembangkit listrik sesuai dengan kondisi wilayahnya. Tahun 2009, energi listrik paling besar yaitu hampir 46 persen dihasilkan oleh PLTU yang berbahan bakar utama batubara. PLTGU merupakan pembangkit listrik yang bahan bakar utamanya gas alam dan batubara, menduduki peringkat kedua dalam menghasilkan energi listrik dengan share sebesar 30 persen. PLTA dengan biaya produksi paling murah hanya memiliki share sebesar 9 persen terhadap total produksi listrik. PLTG, PLTD dan PLTP masing-masing memiliki share sebesar 7 persen, 5 persen dan 3 persen dari total produksi listrik PLN seperti pada tabel 10.
75
Tabel 11 Perbandingan biaya pembangkitan listrik rata-rata tahun 2004-2009 Biaya Pembangkitan rata-rata (Rp/Kwh)
Tahun PLTA
PLTU
PLTG
PLTGU
PLTP
PLTD
Total
2004
123,26
273,46
862,66
370,27
415,62
673,34
351,34
2005
114,71
316,72
953,79
560,78
514,70
925,18
469,78
2006
143,19
389,48
1.999,15
889,33
579,74
1.631,36
705,96
2007
118,80
405,91
2.155,67
873,80
615,10
2.438,47
706,62
2008
131,60
597,26
3.298,03
1.278,45
746,61
3.578,25
1.051,84
2009
139,48
598,31
1.422,71
739,79
639,87
2.696,52
767,79
Sumber : diolah dari Statistik PLN tahun 2009.
PLN dalam membangkitkan listrik menggunakan pembangkit listrik yang berbeda tergantung dengan kondisi wilayahnya dan kepentingan. Pembangkit listrik jenis PLTA memerlukan biaya pembangkitan listrik paling rendah yaitu hanya Rp. 139.48 per KWh pada tahun 2009. Hal ini disebabkan PLTA dalam memproduksi listrik memanfaatkan tenaga air yang sudah tersedia. Keberadaan air yang selalu mengalir sangat diperlukan PLN untuk membuat PLTA sehingga jumlah PLTA sangat terbatas. Begitu juga dengan pembangkit PLTP yang memiliki biaya pembangkitan rata-ratanya rendah namun terbatas dengan sumber daya yang ada. PLTU dengan bahan bakar utama batubara, biaya pembangkitan rata-ratanya cukup murah yaitu Rp. 598,31 per KWh pada tahun 2009. Sejalan dengan kenaikan harga BBM, biaya pembangkitan listrik pada PLTD paling tinggi hingga mencapai Rp. 2.696,52 per KWh. Seperti pada Tabel 11. 5.2 Perkembangan Pelanggan Listrik yang diproduksi dan dijual di Indonesia. Kebutuhan listrik masyarakat selama dipenuhi oleh PLN dimana pemerintah ikut mengawasi pelaksanaan transimisi dan distribusi listrik keseluruh wilayah Indonesia melalui kebijakan tarif dasar listrik (TDL). Tarif dasar
listrik
ditentukan pemerintah atas persetujuan DPR dengan harga yang berbeda pada setiap pelanggan. Perbedaan harga listrik diberlakukan dengan harapan sesuai dengan daya beli masyarakat sehingga roda pembangunan tetap berputar.
76
Perkembangan jumlah pelanggan, jumlah tenaga listrik yang dibangkitkan dan dijual di Indonesia seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Perkembangan jumlah pelanggan listrik, KWh yang dibangkitkan dan KWh yang dijual di Indonesia Tahun
Pelanggan
Pertum buhan
Kwh yang diproduksi (Gwh)
Pertum Kwh yang dijual buhan (Gwh)
Pertum buhan
2002
30.953.919
3,78
108.359,85
6,60
87.088,74
3,04
2003
32.151.416
3,87
113.019,68
4,30
90.440,95
3,85
2004
33.366.446
3,78
120.244,31
6,39
100.097,47
10,68
2005
34.559.353
3,58
127.369,82
5,93
107.032,23
6,93
2006
35.751.224
3,45
133.108,39
4,51
112.609,83
5,21
2007
37.333.729
4,43
142.440,79
7,01
121.246,81
7,67
2008
38.844.086
4,05
149.436,51
4,91
129.018,81
6,41
2009
40.117.685
3,28
156.797,27
4,93
134.581,98
4,31
Sumber : Diolah dari Statistik PLN tahun 2009.
Pada periode tahun 2002-2009 jumlah pelanggan listrik terus meningkat dari 30.953.919 pelanggan pada tahun 2002 menjadi 40.117.685 pelanggan pada tahun 2009 atau mengalami pertumbuhan rata-rata 3,77 persen pertahun. Meningkatnya jumlah pelanggan ini dikarenakan banyak didirikan perumahan-perumahan baru baik oleh perorangan maupun oleh pengembang, juga semakin banyaknya jumlah rumahtangga
yang semula
tidak
menggunakan
listrik,
sekarang mulai
menggunakan listrik. Selain itu sektor industri dan komersial semakin berkembang sebagai wujud pembangunan ekonomi di Indonesia. Peningkatan jumlah pelanggan listrik yang diiringi dengan meningkatnya jumlah KWh yang dibangkitkan rata-rata sebesar 5,57 persen pertahun, dari 108.360 GWh pada tahun 2002 menjadi 156.797 GWh pada tahun 2009. Permintaan listrik masyarakat juga meningkat yang ditunjukan dari peningkatan KWh yang terjual dengan pertumbuhan rata-rata mencapai 6,01 persen pertahun. Pertumbuhan permintaan listrik pada periode tahun 2004-2008 ternyata lebih tinggi dari listrik yang disediakan. Peningkatan jumlah pelanggan pada tahun 2009 hanya mencapai 3,28 persen sehingga pertumbuhan permintaan listriknya lebih rendah dari produksi listriknya.
77
Tabel 13 Produksi, susut energi, energi yang terjual dan jumlah pelanggan listrik menurut wilayah di Indonesia tahun 2009. Uraian Produksi (Gwh)
Wilayah Luar Jawa
Jawa
Share Total
Luar Jawa
Jawa
Total
37.742
116.784
154.526
24,42
75,58
100,00
Susut Energi (Gwh)
4.097
11.262
15.359
26,68
73,32
100,00
Energi Terjual (Gwh)
33.263
101.319
134.582
24,72
75,28
100,00
Jumlah Pelanggan
13.780.397
26.337.288
40.117.685
34,35
65,65
100,00
Daftar Menunggu
973.405
322.056
1.295.461
75,14
24,86
100,00
Sumber : diolah dari Statistik PLN Tahun 2009.
Pada tahun 2009 listrik yang diproduksi untuk wilayah luar Jawa hanya mencapai 37.742 Gwh (24, 42 persen) padahal jumlah pelanggannya mencapai 34,35 persen. Bahkan share daftar tunggu untuk berlangganan listrik di luar Jawa mencapai 75,14 persen ini ini menunjukkan produksi listrik diluar Jawa masih kurang sehingga pemerintah perlu membuat pembangkit listrik untuk memenuhi konsumsi listrik terutama untuk luar Jawa. Proyek PLTU 10.000 MW
yang
diresmikan tahun 2006 hingga sekarang belum selesai, padahal ini proyek ini dibuat dengan tujuan untuk mengatasi pasokan listrik yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Proyek PLTU 10.000 MW diharapkan tidak akan ada lagi pemadaman listrik bergilir dan kebutuhan listrik untuk wilayah Jawa dan luar Jawa terpenuhi. PLN dalam membangkitkan listrik selalu mengalami susut energi baik pada saat transmisi maupun saat distribusi. Pada tahun 2009, susut energi listrik pada transmisi hanya 2,18 persen namun susut saat distribusi mencapai 7,93 persen dari total listrik yang dibangkitkan. Tingginya susut saat distribusi salah satu penyebabnya adalah tingginya tingkat pencurian listrik di Indonesia. Namun dengan peningkatan efisiensi baik dalam proses produksi maupun pengawasan pada saat distribusi listrik ke pelanggan maka kerugian PLN bisa diminimisasi. Pertumbuhan permintaan listrik yang lebih cepat dari jumlah pelanggan listrik, menunjukan besar konsumsi listrik bukan hanya disebabkan meningkatnya penggunaan listrik oleh pelanggan, namun perkembangan teknologi yang mendorong munculnya produk-produk baru yang menggunakan tenaga listrik juga
78
ikut berperan. Pendapatan masyarakat yang meningkat juga menambah kemampuan masyarakat untuk meningkatnya permintaan akan barang/jasa termasuk barang yang bertenaga listrik. Bisnis 1.879.429 5%
Industri 47.900 0%
lainnya 1.090.526 3%
Rumah tangga 37,099,830 92%
Gambar 15. Jumlah pelanggan listrik di Indonesia tahun 2009.
Pelanggan listrik PLN menurut pengguna dibedakan menjadi 6 kelompok yaitu rumahtangga, industri, bisnis, sosial, pemerintah dan penerangan jalan umum. Hal ini dilakukan oleh PLN supaya dapat membedakan besarnya tarif dasar listrik pada setiap kelompok pelanggan sesuai daya belinya. Pelanggan listrik PLN dengan jumlah terbesar yaitu kelompok rumahtangga dimana tahun 2009 berjumlah 37.099.830 dengan share mencapai 92 persen dari total pelanggan listrik di Indonesia. Pelanggan listrik PLN lainnya jumlahnya jauh lebih sedikit, bahkan share dari seluruh pelanggan industri, bisnis dan lainnya hanya 8 persen. Seperti terlihat di gambar 15. 5.3 Pola Konsumsi Listrik Industri dan Rumahtangga di Indonesia. Dengan
melihat
pola
konsumsi
energi
listrik
menurut
sektor
(rumahtangga, industri, komersial, dan publik/lainnya) di suatu negara atau suatu wilayah dapat diketahui karakteristik perekonomian negara atau wilayah tersebut. Negara industri seperti Amerika Serikat mempunyai pola konsumsi listrik menurut sektor yang mencerminkan karakter perekonomiannya sebagai negara maju. Share di antara ketiga sektor tidak berbeda secara tajam. Bahkan, tidak seperti di negara berkembang, share sektor industri telah
79
terlampaui oleh share sektor rumahtangga dan komersial. Hal ini dapat mencerminkan berbagai hal: tingkat elektrifikasi yang sudah sangat tinggi, peran sektor jasa (services) yang lebih tinggi dibandingkan peran sektor industri, serta penggunaan listrik oleh sektor industri yang lebih efisien dibandingkan penggunaan listrik oleh sektor industri di negara berkembang. Tabel 14 Listrik yang terjual dan share perkelompok pelanggan di Indonesia tahun 2002-2009 Pelanggan TAHUN
2002
Listrik terjual(GWh) Share (%)
2003
Listrik terjual(GWh) Share (%)
2004
Listrik terjual(GWh) Share (%)
2005
Listrik terjual(GWh) Share (%)
2006
Listrik terjual(GWh) Share (%)
2007
Listrik terjual(GWh) Share (%)
2008
Listrik terjual(GWh) Share (%)
2009
Listrik terjual(GWh) Share (%)
RT
Pemerinta Peneranga h n jalan
Industri
Bisnis
Sosial
Jumlah
33.993,56
36.831,30
11.845,04
1.842,89
1.281,49
1.294,46
87.088,74
39,03
42,29
13,60
2,12
1,47
1,49
100,00
35.753,05
36.497,25
13.223,84
2.021,60
1.433,19
1.512,02
90.440,95
39,53
40,35
14,62
2,24
1,58
1,67
100,00
38.588,28
40.324,26
15.257,73
2.237,86
1.644,74
2.044,60
100.097,47
38,55
40,28
15,24
2,24
1,64
2,04
100,00
41.184,29
42.448,36
17.022,84
2.429,84
1.725,66
2.221,24
107.032,23
38,48
39,66
15,90
2,27
1,61
2,08
100,00
43.753,17
43.615,45
18.415,52
2.603,63
1.807,93
2.414,13
112.609,83
38,85
38,73
16,35
2,31
1,61
2,14
100,00
47.324,91
45.802,51
20.608,47
2.908,70
2.016,36
2.585,86
121.246,81
39,03
37,78
17,00
2,40
1,66
2,13
100,00
50.184,17
47.968,85
22.926,29
3.082,42
2.095,80
2.761,28
129.018,81
38,90
37,18
17,77
2,39
1,62
2,14
100,00
54.945,41
46.204,21
24.825,24
3.384,36
2.334,66
2.888,10
134.581,98
40,83
34,33
18,45
2,51
1,73
2,15
100,00
Sumber : diolah dari Statistik PLN tahun 2009
Indonesia termasuk negara sedang berkembang, namun pada periode 2002-2009 telah terjadi terjadi pergeseran share konsumen listrik terbesar yaitu dari pelanggan industri ke pelanggan rumahtangga. Perkembangan konsumsi listrik
PLN oleh pelanggan dilihat melalui listrik yang terjual pada setiap
pelanggan. Listrik yang terjual pada kelompok industri pada tahun 2002 sebesar 33.993,56 GWh dengan share mencapai 42,29 persen
dan pada tahun 2009
meningkat menjadi 46.204,21 GWh namun sharenya mengalami penurunan menjadi 34,33 persen dari total listrik yang dijual PLN. Pergeseran dominasi
80
share penjualan energi listrik PLN kepada pelanggannya dari kelompok pelanggan Industri ke kelompok pelanggan rumahtangga, dalam Tabel 14 terlihat pangsa industri dalam pembelian listrik PLN cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya share kelompok rumahtangga mengalami peningkatan yaitu dari 39,09 persen pada tahun 2002 menjadi 40,83 persen pada tahun 2009. 5.3.1 Pola Konsumsi Listrik Industri di Indonesia. Pergeseran dominasi share penjualan energi listrik PLN kepada pelanggannya dari kelompok pelanggan industri ke kelompok pelanggan rumahtangga ditenggarai adanya deindustrialisasi dan switching. Pengalihan sumber listrik di sektor industri dari PLN ke non PLN, yang bisa berupa pembangkitan
sendiri
atau
pembelian
listrik
dari
perusahaan
lain.
Keterbatasan jumlah, jaringan, dan kualitas listrik PLN di satu sisi, sementara di sisi lain harga bahan bakar minyak domestik yang masih disubsidi, impor diesel/genset yang dibebaskan bea masuknya, serta dibukanya peluang bagi swasta untuk berinvestasi di bidang pembangkitan telah mendorong industri untuk melakukan switching. Selain faktor deindustrialisasi dan switching, penurunan share penjualan listrik ke sektor industri juga disebabkan oleh transformasi struktur ekonomi dari perekonomian industri ke perekonomian jasa-jasa. Transformasi struktur ekonomi tidak relevan dalam kasus Indonesia. Penurunan share kelompok industri dalam total penjualan listrik PLN tersebut akan berdampak negatif terhadap masa depan kinerja PLN. Sebagaimana diketahui, biaya produksi listrik, selain ditentukan oleh harga bahan bakar juga ditentukan oleh waktu/saat listrik dikonsumsi pelanggan. Pola harian konsumsi listrik oleh pelanggan dari kelompok industri umumnya bersifat flat atau tidak mengalami perbedaan yang tajam antara saat konsumsi tinggi dengaan saat konsumsi rendah. Perbedaan konsumsi listrik industri pada pagi dan siang hari tidak terlampau berbeda dengan konsumsi pada malam hari sehingga bisa menekan biaya operasional PLN. Listrik merupakan komoditi yang cukup strategis terutama untuk industri besar dan sedang dimana hampir semua industri tersebut menggunakan listrik
81
untuk berproduksi. Nilai listrik yang dikonsumsi pada setiap sektor industri di Indonesia tergantung dari jumlah perusahaan dan besar listrik yang digunakan untuk produksi. Tabel 15 menunjukan sektor industri besar sedang yang mengkonsumsi
listrik
terbesar
adalah
industri
mesin
dan
alat-alat
perlengkapan listrik karena listrik termasuk bahan baku utama dalam proses produksi sektor tersebut. Industri mesin dan alat-alat perlengkapan konsumsi listriknya sebagian menggunakan listrik non PLN sehingga dampak kenaikan TDL tidak langsung meningkatkan harga outputnya. Tabel 15 Nilai dan share listrik yang dibeli Industri Besar Sedang (IBS) di Indonesia Tahun 2008 No.
SEKTOR
Jumlah Perusahaan
Share (Persen)
Nilai Listrik yang Dibeli (Miliar Rp.) PLN
Non PLN
Jumlah
PLN
Non PLN
Jumlah
1
Industri makanan, minuman dan tembakau
7.194
4.568
162
4.730
15,51
2,55
13,20
2
Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan
5.695
5.819
152
5.971
19,75
2,38
16,66
3
Industri Bambu, Kayu, rotan & Barang dari Kayu
1.435
1.017
45
1.062
3,45
0,71
2,96
4
Industri kertas, barang dari kertas dan karton
1.225
2.874
178
3.052
9,75
2,80
8,52
5
Industri Kimia, Pupuk,dan hasil kilang
1.140
2.478
250
2.727
8,41
3,92
7,61
6
Industri barang karet , plastik & mineral bukan logam
3.623
3.848
800
4.648
13,06
12,57
12,97
7
Industri semen
20
1.709
1
1.710
5,80
0,01
4,77
8
Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi
252
2.398
1.025
3.423
8,14
16,10
9,55
9
Industri barang dari logam
913
828
162
990
2,81
2,54
2,76
1.628
3.282
3.560
6.842
11,14
55,91
19,10
10 11
Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan dan perbaikannya Industri lainnya Total
2.569
641
33
673
2,17
0,51
1,88
25.694
29.461
6.368
35.829
100,00
100,00
100,00
Sumber : diolah dari Statistik Industri Besar Sedang tahun 2008, BPS.
Di Indonesia jumlah perusahaan industri makanan, minuman dan tembakau yang memiliki pegawai 20 orang ke atas mencapai 7.194 perusahaan, sehingga konsumsi listrik di sektor tersebut juga besar hingga 13,20 persen. Begitu juga dengan sektor industri teksil, pakaian, kulit dan pemintalan yang share konsumsi listrik hingga 16,66 persen akibat jumlah
82
industrinya yang mencapai 5.965 perusahaan. Industri makanan, minuman, dan tembakau juga
industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan pemintalan
konsumsi listriknya sebagian besar dari PLN sehingga kenaikan TDL mendorong peningkatan biaya produksi. Industri semen di Indonesia hanya berjumlah 20 perusahaan, namun share konsumsi listriknya terhadap total konsumsi listrik industri besarsedang mencapai 4,77 persen. Hal ini menunjukan industri semen konsumsi listriknya sangat besar sehingga tergantungnya dengan listrik terutama listrik PLN.
Kenaikan TDL pada industri semen akan sangat memengaruhi
melonjaknya harga semen karena listrik yang digunakan mencapai 10 persen dari total biaya produksi semen. Selain itu listrik hanya diproduksi didalam negeri sehingga kenaikan TDL tidak bisa dihindari. Industri logam dasar besi baja dan bukan besi konsumsi listriknya cukup besar karena mesin-mesin industrinya digerakan dengan energ litrik yang sebagian berasal dai PLN dan juga membangkitkan sendiri dengan generator. 5.3.2 Pola Konsumsi Listrik rumahtangga di Indonesia Rasio elektrifikasi Indonesia tahun 2009 baru mencapai 63,75 persen artinya, baru 63,75 persen dari total keluarga di Indonesia yang dapat menikmati fasilitas listrik. Sementara itu sisanya, sebanyak 36,25 persen belum mendapatkan fasilitas pelayanan listrik. Penyebab utamanya adalah kekurangmampuan mereka untuk membayar biaya beban listrik atau lokasi rumah mereka yang belum terjangkau jaringan listrik. Hal ini mengindikasikan bahwa industri listrik di Indonesia masih harus dikembangkan lagi di masa yang akan datang, agar rasio elektrifikasi di Indonesia bisa lebih ditingkatkan lagi. Kelompok rumahtangga yang belum menikmati pasokan listrik pada dasarnya dapat dibedakan antara kelompok rumahtangga yang berada di daerah terpencil dan rumahtangga yang sebenarnya berada dalam jangkauan pelayanan PT. PLN, tetapi belum tersedia jaringan yang mengarah ke daerah tersebut. Jumlah pelanggan yang terbatas akan menyebabkan biaya operasional perusahaan lebih besar dari pendapatan yang mereka peroleh. Namun sebagai warga negara,
83
mereka berhak mendapatkan pelayanan yang sama maka diperlukan subsidi bagi perusahaan penyedia fasilitas listrik dalam rangka investasi dan operasi. Bagi rumahtangga yang secara ekonomis kurang mampu perlu disediakan subsidi terarah. Pola subsidi ini, masyarakat yang kurang mampu, yaitu masyarakat yang menggunakan daya listrik sampai jumlah tertentu, diberi kemudahan untuk membayar tagihan rekening listrik dengan tarif di bawah standar. Rumahtangga mampu dan rumahtangga berlebih tidak perlu diberikan subsidi listrik sehingga beban subsidi dapat dikurangi.. Pola harian konsumsi pelanggan rumahtangga secara keseluruhan sangat fluktuatif, yaitu konsumsi pada malam hari (beban puncak) jauh lebih tinggi dari pada konsumsi pada pagi dan siang hari. Mengingat share rumahtangga relatif dominan, sebagai konsekuensinya biaya pembangkitan listrik di malam hari jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di pagi dan siang hari. Penurunan share industri di satu sisi dan peningkatan share rumahtangga di sisi lain akan berimplikasi pada meningkatnya biaya pembangkitan listrik. Mengingat biaya transmisi dan distribusi untuk pelanggan rumahtangga relatif lebih mahal dibandingkan untuk pelanggan industri, secara total pergeseran share tersebut akan mengakibatkan peningkatan total biaya pengadaan listrik. Peran sektor rumahtangga dalam total permintaan energi, termasuk dan terutama energi listrik, telah dan akan terus bertumbuh dengan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan permintaan energi listrik oleh sektor industri dan sektor komersial. Beberapa faktor penjelas hal tersebut antara lain adalah: (1) pertumbuhan penduduk dan perubahan demografi serta urbanisasi, dan (2) peningkatan taraf ekonomi. Urbanisasi juga menyebabkan meningkatnya permintaan listrik oleh rumahtangga. Di satu sisi keluarga inti cenderung tinggal di perkotaan, sementara di sisi lain kota-kota kecil tumbuh menjadi kota besar baik karena pertumbuhan yang otonom maupun karena efek ekspansi kota besar yang berdekatan. Pertumbuhan kota tersebut tentunya menuntut peningkatan jumlah dan kualitas pasokan energi listrik. Peningkatan taraf ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan perkapita akan menyebabkan meningkatnya
84
permintaan energi listrik oleh rumahtangga. Tabel 16 Konsumsi dan share rumahtangga persektor tahun 2008 Konsumsi (Milyar Rp)
Sektor
Kode
Share (%)
HouseHB
HouseHA
354.403
60.842
16,44
8,13
899
173
0,04
0,02
526.298
85.277
24,42
11,40
Industri tekstil, pakaian dan kulit dan pemintalan81.804
15.031
3,80
2,01
Industri Bambu, Kayu, rotan & Barang dari Kayu28.256
5.229
1,31
0,70
Industri kertas, barang dari kertas dan karton
13.163
2.107
0,61
0,28
7
Industri Kimia, Pupuk,dan hasil kilang
76.919
15.875
3,57
2,12
8
Industri barang karet , plastik & mineral bukan logam 54.132
11.172
2,51
1,49
1
Pertanian
2
Pertambangan dan penggalian
3
Industri makanan, minuman dan tembakau
4 5 6
HouseHB
HouseHA
9
Industri semen
0
0
0,00
0,00
10
Industri logam dasar besi dan baja & bukan besi
0
0
0,00
0,00
11
Industri barang dari logam
15.814
2.531
0,73
0,34
12
Industri mesin, alat-alat, perlengkapan listrik dan alat pengangkutan 192.044 30.735 dan perbaikannya 8,91
4,11
13
0,19
14
Industri lainnya Listrik berdaya 900 VA kebawah
15
Listrik berdaya 1300 VA keatas
16
Gas kota & air
17
Bangunan
18 19 20 21
8.951
1.433
0,42
25.695
0
1,19
0,00
0
4.384
0,00
0,59
7.663
1.308
0,36
0,17
0
0
0,00
0,00
Perdagangan, hotel dan restoran,
200.115
415.910
9,28
55,58
Pengangkutan dan komunikasi
214.813
37.159
9,97
4,97
Lembaga keuangan, real estat dan jasa perusahaan 130.780 Jasa lain 223.823
22.520
6,07
3,01
36.654
10,38
4,90
748.340
100,00
100,00
Total
2.155.572
Sumber : diolah dari Tabel I-O
Peningkatan
permintaan
listrik
rumahtangga
disebabkan
oleh
peningkatan daya beli dan pengalihan penggunaan energi non-listrik seperti kayu bakar dan miyak tanah, ke energi listrik yang memberikan kemudahan dan kenyamanan. Rumahtangga di perkotaan konsumsi listriknya lebih banyak dibanding
rumahtangga
di
pedesaan
sesuai
dengan
pendapatan
masyarakatnya. Berdasarkan faktor-faktor demografis tersebut, dapat diduga pertumbuhan permintaan listrik oleh sektor rumahtangga di masa mendatang akan lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan listrik oleh sektor industri. Rumahtangga dalam penelitian ini dipisah menjadi 2 yaitu rumahtangga bawah (HouseHB) dan rumahtangga atas (HouseHA). Rumahtangga bawah adalah rumahtangga yang berdaya listrik 450 VA hingga 900 VA sedangkan
85
rumahtangga atas adalah rumahtangga yang berdaya listrik 1300 VA ke atas. Pada umumnya rumahtangga atas tinggal diperkotaan yang kebutuhan akan listriknya tinggi.
Pendapatan rumahtangga atas yang jauh lebih besar
dibanding rumahtangga bawah, sehingga share konsumsi listrik (0,59 persen) pada rumahtangga atas terhadap total konsumsinya lebih kecil dibanding rumahtangga bawah (1,19 persen), seperti di tabel 16. 5.4 Kebijakan Kenaikan Tarif Dasar Listrik di Indonesia. Listrik merupakan salah satu komoditi strategis dalam perekonomian Indonesia karena selain digunakan secara luas oleh masyarakat terutama untuk keperluan penerangan, listrik juga merupakan salah satu sumber energi utama bagi sektor industri. Oleh karena itu, Pemerintah menaruh perhatian yang cukup besar terhadap harga penjualan listrik kepada konsumen, mengingat perubahan harga listrik akan mempunyai dampak yang cukup siginifikan terhadap kenaikan harga-harga umum, yang pada gilirannya akan berpengaruh juga terhadap perekonomian secara makro. Salah satu faktor yang menentukan tingkat harga penjualan listrik adalah biaya penyediaan tenaga listrik. Pada tanggal 1 April 2001 pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM dunia industri sekitar 50 sampai 100 persen. Pada tanggal 17 Mei 2001 kembali menaikkan harga semua jenis BBM sebesar 30 persen dan mulai 15 Juni 2001, tarif dasar listrik (TDL) naik sebesar 20 persen. Selain itu, pada Juli 2001 pemerintah juga menaikkan PPN (pajak pertambahan nilai) dari 10 persen menjadi 12,5 persen. Hal ini terjadi karena adanya komitmen pemerintah untuk mengurangi segala bentuk subsidi secara bertahap termasuk subsidi BBM dan TDL, sesuai dengan nota kesepakatan antara pemerintah RI dengan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). Kenaikan tarif dasar listrik pada tahun 2003 tertuang dalam Kepres No 89/2002 dimana kenaikan TDL per tiga bulan 6 persen, mulai Januari 2003 dan hanya berlaku pada tahun 2003. Kenaikan abonemen (biaya beban) untuk golongan rumahtangga R-1, misalnya, untuk 900 VA naik dari Rp16.200 menjadi Rp18.100. Biaya beban golongan industri I-2 di atas 2200 VA sampai 200 KVA naik dari Rp28.700 menjadi Rp30.400. Alasan kenaikan TDL pada tahun 2003
86
tersebut untuk mengantisipasi terjadinya krisis listrik di Jawa dan Bali 20042005. Tabel 17 Kebijakan kenaikan tarif dasar listrik di Indonesia tahun 2001-2011 TAHUN DITETAPKAN
TINGKAT KENAIKAN (persen)
15 Juni 2001
20
Januari 2003
6
1 Juli 2010
6-20
Rencana Tahun 2011
15
Peraturan Menteri kenaikan
KETERANGAN
per tiga bulan naik berbeda tiap pelanggan ditunda
ESDM Nomor : 07 Tahun 2010 mengatur tentang
tarif dasar listrik yang berlaku mulai 1 Juli 2010, selain itu juga
menetapkan biaya-biaya lain, yaitu: (1) Biaya kelebihan pemakaian daya reaktif (kVArh), (2) Biaya penyambungan tenaga listrik, (3) Uang jaminan langganan, (4) Biaya keterlambatan pembayaran, (5) Tagihan susulan atas penertiban pemakaian listrik tidak sah. Peraturan Menteri ESDM tersebut juga menegaskan, bahwa PLN harus meningkatkan pelayanan dengan ditetapkannya beberapa indikator tingkat mutu pelayanan, antara lain lama gangguan, jumlah gangguan dan atau kesalahan baca meter. Apabila tingkat mutu pelayanan tersebut tidak terpenuhi, maka PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen yang bersangkutan. Kenaikan TDL ini memberi sinyal yang baik bagi calon investor kelistrikan untuk berinvestasi di Indonesia, dan memberi sinyal positip bagi pelanggan untuk berhemat. Kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) telah diberlakukan per 1 Juli 2010 merupakan bagian dari langkah pemerintah dalam menghemat pengeluaran terutama pada bidang energi. Pemerintah dan DPR sudah menyetujui kenaikan tarif dasar listrik (TDL) bagi semua pelanggan kecuali untuk golongan berdaya 450 sampai 900 VA mulai 1 Juli 2010. Kelompok rumahtangga mengalami kenaikan TDL sebesar 18 persen, sedangkan kelompok industri kenaikan TDL berkisar antara 6-15 persen dan kelompok bisnis sekitar 12-16 persen. Adanya
87
kenaikan tarif dasar listrik pada kelompok pelanggan industri dan bisnis tentunya akan disikapi oleh pelaku usaha baik dalam bentuk efisiensi, penurunan margin, maupun hingga peningkatan harga jual. Kebijakan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) tahun 2010 ditetapkan dengan alasan pertama, kenaikan TDL terakhir kali adalah tahun 2003 atau tujuh tahun lalu. Kedua, TDL bisa berdampak serius, mengingat selisih antara biaya keekonomian dan tarif listrik makin jauh. Artinya, PLN bisa kesulitan melakukan investasi dan rakyat yang dirugikan karena kurang pasokan listrik. Alasan lain pemerintah menaikkan TDL adalah dikarenakan bahwa beban biaya operasional yang ditanggung oleh PLN semakin berat, subsidi listrik yang didapat PLN dari pemerintah tidak menutupi biaya produksi, dan harga listrik saat ini dipandang belum mencapai harga yang ekonomis. Kenaikan TDL tahun 2010 disebabkan beberapa alasan tersebut untuk menutupi kekurangan subsidi listrik dan pemerintah ingin menaikkan marjin keuntungan PT PLN dari 5 persen menjadi 8 persen. Kebijakan kenaikan TDL tahun 2010 yang naik rata-rata 10 persen dimana pelanggan untuk golongan 450-900 VA tidak mengalami kenaikan, padahal jumlah pelanggan golongan tersebut 32 juta pelanggan. Dalam keputusan kenaikan TDL juga ditetapkan tarif dayamax dan multiguna dihapuskan, padahal BUMN listrik itu mendapat tambahan pendapatan sebesar Rp 12 triliun. Akibatnya, yang harus naik hanya 8 juta pelanggan, sementara dari jumlah pelanggan tersebut, ada juga pelanggan golongan industri yang justru mengalami penurunan. PLN
mengalami kesulitan dalam mengatur kenaikan TDL yang
berbeda pada setiap pelanggannya apalagi dengan diberlakukan pembatasan (capping) kenaikan TDL
tahun 2010 maksimum 18 persen pada kelompok
industri atas persetujuan DPR. Kenaikan TDL diperkirakan masih akan terjadi, pemerintah mengusulkan kenaikan TDL pada tahun 2011 walaupun akhirnya ditunda. Alasan kenaikan TDL tahun 2010 adalah harga jual minyak mentah Indonesia yang diperkirakan di level 80 dollar AS per barrel serta nilai tukar rupiah di posisi Rp 9.300 per dollar AS. Tahun 2010 nilai tukar rupiah diasumsikan berada di level rata- rata Rp
88
9.200 per dollar AS. Sementara marjin usaha PLN ditetapkan 8 persen. Alasan lain, diperkirakan terjadi kenaikan penjualan listrik dari 6,6 persen pada 2010 menjadi 7,4 persen pada tahun 2011, selain itu diperkirakan susut jaringan menurun dari 9,41 persen menjadi 9,35 persen. Kenaikan TDL tahun 2010 menambah besar biaya produksi sehingga sektor ekonomi pengguna energi listrik cukup terbebani dengan kebijakan tersebut. Pelanggan bisnis merasa keberatan dengan rencana kenaikan TDL tahun 2011 sehingga DPR membuat pembatasan (capping) kenaikan TDL di bawah 18 persen untuk sektor industri. Pada awal tahun 2011 tagihan listrik beberapa sektor industri mengalami kenaikan, hal ini terjadi karena PLN mencabut capping TDL untuk sektor industri yang sebesar maksimum 18 persen. Komisi VII DPR meminta pemerintah untuk tetap memberlakukan capping TDL untuk sektor industri, namun anggaran subsidi listrik tetap berpedoman kepada UU NO. 10 tahun 2010 tentang APBN 2011 yaitu sebesar Rp 40,7 Triliun. PLN tetap mencabut capping tersebut karena subsidi listrik tidak mampu menutupi biaya operasional PLN, selain itu juga karena industri yang menikmati insentif capping hanya sekitar 9.000-an perusahaan dari total 48.000 pelanggan industri. Kalau capping tidak dicabut, maka sejumlah industri akan mendapat tarif lebih murah dari umumnya industri sejenis. Kebijakan tersebut melanggar UU persaingan usaha yang dikontrol oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sehingga mulai tahun 2011 seluruh pelanggan industri pada sesetiap kelompok mengalami kenaikan TDL yang sama yaitu 20-30 persen. Dengan adanya kenaikan TDL pada bulan Juli 2010, khususnya pada kelompok industri, secara tidak langsung akan berpotensi terjadinya inflasi. Biaya bahan baku dan bahan penolong meskipun tidak terkait langsung dengan kenaikan TDL, untuk beberapa industri yang sumber bahan baku atau bahan penolongnya juga menggunakan komponen listrik maka terdapat potensi peningkatan harga bahan baku/bahan penolong yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan biaya produksi secara umum sehingga laju inflasi sudah dipastikan akan semakin naik. Pemerintah berkilah bahwa kenaikan TDL hanya berlaku bagi pelanggan kategori besar, dan tidak untuk pelanggan kategori kecil, namun dampak yang
89
ditimbulkan tentu saja akan lebih dirasakan oleh masyarakat kecil. Kenaikan TDL untuk industri misalnya, tentu saja akan memicu laju kenaikan harga barangbarang produksi sehingga membuat harga barang-barang kebutuhan pokok masyarakat juga ikut melambung (multiplier efek) penurunan daya beli dan berujung pada penurunan produksi yang berdampak pada pemutusan hubungan karyawan/pengangguran. 5.5 Problematika Ketenagalistrikan di Indonesia Persoalan kelistrikan di Indonesia adalah selain mahalnya biaya produksi listrik juga adalah kurangnya pasokan listrik sehingga banyak masyarakat yang tidak dapat menikmati aliran listrik. Penyebab masalah di atas adalah inefisiensi dan mahalnya bahan bakar pembangkit listrik yang berasal dari BBM serta tidak mencukupinya pasokan bahan bakar pembangkit listrik. Kenaikan BBM akan menyebabkan naiknya biaya produksi listrik pada pembangkit yang berbahan bakar BBM. Pembangkit listrik yang berbahan bakar batu bara dan gas yang harganya jauh lebih murah dari BBM, ternyata pasokan untuk kebutuhan dalam negeri justru tidak mencukupi, karena lebih banyak untuk kepentingan ekspor. Pada tahun 2009 ekspor gas bumi Indonesia mencapai 390.450,85 MMSCFD melalui tanker, sebanyak 219.485,26 MMSCFD melalui pipa. Tahun 2008 ekspor gas bumi melalui tanker sebesar 994.627 MMSCFD dan melalui pipa 234.964 MMSCFD. Meskipun berdasarkan data ekspor gas Indonesia sesetiap tahunnya memang terus turun namun angkanya masih sangat besar yang diekspor (Detik Finance, 2010) Pemerintah sesungguhnya mudah mengatasi mahalnya harga BBM dan kurangnya pasokan bahan baku pembangkit listrik jika PLN menggunakan bahan baku batubara dan gas alam yang murah dan pasokannya sangat besar dan mencukupi. Namun kebijakan tersebut tidak diambil pemerintah, padahal pemerintah bisa membuat kebijakan untuk memberikan prioritas pasokan bahan baku industri dalam negeri ketimbang ekspor. Wewenang pengelolaan BUMN MIGAS ada pada pemerintah namun seolah ada faktor lain yang membuat masalah dalam kebijakan energi yang ada tidak bisa dirubah. PLN berencana membangun PLTG skala besar dengan membeli semua gas dari proyek Donggi Senoro di Sulawesi Tengah dengan harga US$ 6-6,5 per
90
MMBTU. Listrik yang dihasilkan dari pembangkit tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Pulau Sulawesi, bahkan kalau pasokan gasnya berlebih, sebagian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Ambon dan sekitarnya. Pemerintah telah mengesahkan alokasi gas dari lapangan DonggiSenoro dengan porsi gas domestik dari lapangan tersebut hanya 25 persen, sisanya untuk alokasi ekspor. Padahal jika kebutuhan pasokan gas domestik mendapat prioritas, maka kekurangan pasokan gas untuk PLN akan terpenuhi. 100% 90% 80%
GAS ALAM
BATUBARA
70% 60% 50%
BBM
40% 30% 20% 10% 0% 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Gambar 16 Share biaya bahan bakar pembangkitan listrik PLN. Pada tahun 2009, energi yang dibangkitkan PT. PLN paling besar dari PLTU (45,88 persen) dan PLGU (30,10 persen) yang bahan bakar utamanya gas bumi dan batubara. Selain itu PLN juga menggunakan PLTD yang berbahan bakar minyak (BBM) dengan energi yang diproduksi sebesar 5,29 persen dari total listrik yang dibangkitkan. Energi listrik yang dihasilkan PLTD kecil, namun biaya bahan bakarnya paling besar karena harga BBM sangat tinggi terutama terutama saat ada kebijakan kenaikan BBM pada tahun 2005 dan 2008. Batubara merupakan bahan bakar pembangkit listrik yang paling murah, dimana Indonesia kaya akan sumberdaya tersebut. Jika ketersediaan bahan bakar pembangkit yang murah dan dalam jumlah besar terjamin, maka pemerintah melalui PLN dapat segera memperbesar kapasitas produksi listrik, sehingga dapat mengatasi kekurangan pasokan serta menambah luasnya jangkauan pelayanan listrik kepada masyarakat bahkan mengurangi subsidi sehingga harga TDL tidak perlu mengalami kenaikan.
91
PT. PLN pada Maret 2006 mendapat tugas untuk membangun proyek PLTU 10.000 MW senilai Rp. 170 triliun (sekitar 56 persen untuk investasi pembangkit). Proyek PLTU dipilih karena cadangan batubara di Indonesia melimpah dengan harapan dalam waktu 3 tahun mampu memenuhi kekurangan pasokan listrik di Indonesia. Proyek tersebut hingga sekarang belum selesai karena menggunakan pembangkit teknologi China yang harus menggunakan batubara dengan sulfur rendah padahal di Indonesia batubara tersebut sulit didapat. Menurut
Kurtubi,
renegosiasi
gas
Tangguh
dengan
China
perlu
dipertimbangkan dan diteruskan. Gas Tangguh yang tidak jadi dijual ke Sempra dan gas Donggi Senoro sebaiknya dialihkan ke PLN sehingga 2011 tidak perlu menaikkan TDL. Pemerintah tidak melakukan perbaikan kebijakan sehingga alokasi bahan bakar gas alam untuk PLN tetap kurang. Hal ini bisa terjadi jika ada kepentingan pihak yang tidak ingin kehilangan penghasilannya dari pasokan BBM ke PLN atau karena ada komisi dari penjualan ekspor gas keluar negeri. Kenyataanya kebijakan migas memberikan keleluasaan bagi swasta untuk mendapatkan keuntungan yang banyak-banyaknya. Dari segi ekonomi, seharusnya pemerintah tidak boleh menjadikan rakyat sebagai tumbal untuk menanggung beban operasional PLN. Padahal masalah sebenarnya sejak zaman orde baru hingga saat ini adalah sebagian daya listrik PLN dipasok oleh pembangkit-pembangkit swasta atau Independent Power Producer (IPP), sehingga PLN membeli lebih mahal daripada harga yang semestinya. Mahalnya BBM untuk PLN akibat kebijakan pemerintah yang mengharuskan PLN membeli sumber energinya (BBM, gas, batubara) dengan harga internasional yang dikehendaki oleh perusahaan-perusahaan asing juga menambah beban biaya produksi listrik. Pasokan gas alam dan batubara yang sangat minim untuk PLN sehingga sangat menghambat PLN dalam memenuhi kebutuhan listrik disetiap wilayah Indonesia.
92
Halaman ini sengaja dikosongkan
6. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Mengingat sejak bulan Juli 2010 terjadi kenaikan TDL yang berbeda pada tiap kelompok pelanggan listrik, dan awal 2011 khususnya sektor industri kembali mengalami kenaikan TDL walau tanpa persetujuan pemerintah, maka besar shock akan dilakukan sesuai dengan keadaan nyata dengan 4 skenario. Keempat skenario tersebut dianalisis baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Tabel I-O memiliki keterbatasan untuk
mengakomodasi shock yang dilakukan melalui skenario perubahan harga, hal tersebut menjadikan simulasi pada penelitian ini dilakukan secara tidak langsung, yaitu melalui guncangan (shock) penurunan subsidi listrik yang akan berdampak pada kenaikan harga listrik (TDL), dimana dalam model ini subsidi dianggap sebagai pajak negatif. Closure simulasi yang dipakai untuk kenaikan TDL pada pelanggan industri adalah dengan memberikan shock pada peubah eksogen delptxrate (c) atau Ordinary change in rate of domestic tax, untuk komoditi berdaya 1300 VA ke atas.
Simulasi kenaikan TDL pada pelanggan rumahtangga dengan
memberikan shock pada peubah eksogen f3tax (c,u) atau shifter in power of taxes on Household usage, untuk komoditi listrik berdaya 1300 VA ke atas pada kelompok rumahtangga atas yang berdaya 1300 VA ke atas (HouseHA). Selain shock pada kenaikan TDL akan dilakukan juga simulasi yang diharapkan bisa meminimisasi dampak negatifnya terhadap perekonomian Indonesia. Simulasi kebijakan meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL dilakukan pada sektor listrik yaitu dengan kebijakan peningkatan efisiensi. Penelitian hanya mencakup efisiensi pada faktor primer yaitu efisiensi penggunaan tenaga kerja dan modal. Selain itu shock peningkatan efisiensi produksi juga akan dilakukan pada seluruh sektor ekonomi dengan menggunakan shock pada peubah eksogen a1prim (i) atau All primary-factor augmenting technical change. Simulasi kebijakan pemerintah untuk meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL melalui penurunan PPN dengan memberikan shock pada peubah eksogen delptxrate (c) atau Ordinary change in rate of domestic tax, untuk seluruh sektor ekonomi.
94
6.1
Dampak Kenaikan TDL terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia Kebijakan kenaikan tarif dasar listrik per Juli tahun 2010 hanya
diberlakukan untuk pelanggan listrik yang berdaya 1300 VA ke atas sedangkan pelanggan yang berdaya 900 VA ke bawah masih menerima subsidi sehingga tidak mengalami kenaikan TDL. Selain itu terdapat perbedaan tingkat kenaikan TDL pada tiap pelanggan listrik, sehingga penelitian ini menggunakan shock kenaikan TDL pada kelompok rumahtangga atas sebesar 18 persen dan pelanggan industri sebesar 30 persen (skenario 1). Hasil simulasi dalam penelitian ini memperlihatkan adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kenaikan TDL baik secara makro maupun sektoral. Kondisi ini berlaku dalam jangka pendek dan panjang, berikut akan dibahas dampak kenaikan TDL terhadap ekonomi makro dan sektoral di Indonesia . 6.1.1 Dampak Kenaikan TDL terhadap Kinerja Ekonomi Makro di Indonesia Hasil simulasi kebijakan kenaikan TDL terhadap kinerja ekonomi makro Indonesia dapat dilihat pada Tabel 18. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan TDL dalam jangka pendek maupun jangka panjang berdampak negatif terhadap peningkatan PDB riil. PDB riil mengalami penurunan sebesar 0,27 persen dalam jangka pendek, demikian pula dalam jangka panjang mengalami penurunan yang jauh lebih besar yaitu sebesar 1,56 persen. Penurunan PDB riil tersebut disebabkan oleh penurunan output disemua sektor ekonomi akibat kenaikan TDL. Dari sisi permintaan agregat besarnya penurunan GDP riil lebih tajam pada jangka panjang karena adanya penurunan ekspor yang sangat besar, yaitu sebesar 3,28 persen. Hal ini disebabkan pada jangka panjang terjadi kenaikan harga ekspor sebesar 0,25 persen. Kenaikan harga tukar tersebut akan menyebabkan kenaikan harga output di pasar internasional meningkat yang berdampak pada menurunnya daya saing produk ekspor Indonesia di luar negeri. Sama halnya dengan volume ekspor, pada jangka pendek maupun jangka panjang terjadi penurunan volume impor masing-masing sebesar 0,21 persen dan 0,54 persen. Penurunan impor tersebut cenderung pada produk antara untuk produksi yang bahan bakunya sebagian besar masih tergantung pada impor.
95
Selain itu di Indonesia, sumber utama pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumahtangga sehingga turunnya konsumsi rumahtangga pada jangka pendek maupun jangka panjang juga ikut berperan dalam penurunan PDB riil. Pergeseran kurva agregrat penawaran ke kiri atas juga akan menyebabkan pergeseran ke bawah kurva permintaaan tenaga kerja. Pada jangka pendek, penurunan tenaga kerja yang terjadi adalah sebesar 0,89 persen. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut akan semakin memperburuk kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia. Tabel 18 Dampak kenaikan TDL terhadap peubah-peubah ekonomi makro di Indonesia. DAMPAK (%)
DESKRIPSI Peubah Ekonomi Makro Neraca perdagangan/PDB (delB)
SR
LR
0,00
-0,01
-0,89
0,00
Indeks deflator PDB sisi pengeluaran (p0gdpexp)
0,07
0,25
Upah nominal (p1lab)
0,09
-0,67
Indeks harga investasi (p2tot)
0,06
0,15
Indeks harga konsumen (p3tot)
0,09
0,24
Indeks harga ekspor (p4tot)
0,02
0,25
Upah riil (realwage)
0,00
-0,91
Indeks volume impor (x0cif_c)
-0,21
-0,54
PDB riil penggunaan (x0gdpexp)
-0,27
-1,56
Konsumsi RT (x3tot)
-0,44
-1,29
Indeks volume ekspor (x4tot)
-0,24
-3,28
Tenaga kerja (employ)
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
Besarnya inflasi akibat kebijakan kenaikan TDL adalah sebesar 0,09 persen pada jangka pendek dan 0,24 persen pada jangka panjang. Sejalan dengan inflasi nasional tingkat upah nominal tenaga kerja meningkat sebesar 0,09 persen pada jangka pendek. Pada jangka panjang upah nominal tenaga kerjanya mengalami
96
penurunan sebesar 0,67 persen. Hal ini terjadi karena permintaan kapital dijangka panjang mengalami penyesuaian sehingga produsen bisa bebas menentukan kapital yang akan digunakan dan dapat menekan upah riil tenaga kerjanya. Kenaikan harga investasi akibat kenaikan TDL pada jangka panjang mencapai 0,15 persen lebih besar dari jangka pendek yang hanya naik sebesar 0,06 persen. Kenaikan harga investasi ini menyebabkan investor kurang tertarik menanamkan modalnya. Padahal penanaman modal yang dilakukan oleh investor menjadi stimulus bagi sektor produksi untuk meningkatkan produksinya. Hasil analisis di atas menunjukan dampak negatif kenaikan TDL terhadap ekonomi makro di Indonesia jauh lebih besar untuk jangka panjang jika tidak diikuti kebijakan lain. 6.1.2 Dampak Kenaikan TDL terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral di Indonesia Analisis dampak kenaikan TDL terhadap kinerja ekonomi sektoral akan dibedakan menurut 2 kelompok analisis, yaitu (1) dampaknya terhadap output domestik, harga output dan permintaan tenaga sektoral dan (2) dampaknya terhadap konsumsi tiap kelompok rumahtangga sektoral. Analisis terhadap kedua kelompok tersebut akan dilihat dampak secara umum kebijakan kenaikan TDL terhadap masing-masing sektor (komoditas) ditinjau dari pola dan keterkaitan antar sektor. 6.1.2.1
Dampak Kenaikan TDL terhadap Output Domestik, Tingkat Harga dan Permintaan Tenaga Kerja Sektoral.
Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan tarif dasar listrik (TDL) pada pelanggan listrik yang berdaya 1300 VA ke atas dimana sektor industri meningkat sebesar 30 persen dan kelompok rumahtangga meningkat sebesar 18 persen akan menyebabkan pergeseran kurva penawaran ke kiri atas, sehingga output akan turun. Dari hasil simulasi menunjukkan kenaikan TDL berdampak pada penurunan output di seluruh sektor ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Penurunan output terbesar terjadi pada sektor listrik 1300 VA ke atas, hal ini terjadi karena sektor tersebut terkena dampak langsung kenaikan TDL sehingga permintaan listrik konsumen turun.
97
Sektor industri merupakan sektor yang paling rentan terkena dampak kenaikan TDL mengalami penurunan output dalam jangka pendek berkisar antara 0,10 persen (industri kimia) sampai dengan 0,66 persen (industri tekstil, pakaian jadi, kulit dan industri logam dasar besi, baja dan bukan besi). Dalam jangka panjang sektor industri mengalami penurunan output dengan kisaran yang lebih tinggi dibanding jangka pendek, yaitu 0,34 persen (industri semen) sampai dengan 9,69 persen (industri logam dasar besi, baja, dan bukan besi). Penurunan yang cukup besar di sektor industri logam dasar besi, baja dan bukan besi dalam jangka panjang tersebut disebabkan karena pengaruh penurunan investasi secara agregat sebagai dampak dari kenaikan harga investasi padahal sektor ini termasuk sektor yang padat modal. Sektor listrik yang berdaya 1300 VA ke atas yang terkena kenaikan TDL, pada jangka pendek justru outputnya mengalami penurunan paling besar yaitu sebesar 2,13 persen. Penurunan tersebut disebabkan karena pangsa listrik terhadap sektor listrik itu sendiri cukup besar yaitu sebesar 16,85 persen. Besarnya pangsa listrik yang digunakan sendiri oleh sektor listrik, selain karena digunakan untuk proses produksi juga adanya listrik yang susut/hilang dalam proses transmisi maupun distribusi pelanggan yang cukup besar. Kondisi ini menunjukan bahwa kebijakan pemerintah meningkatkan TDL ternyata tidak positif terhadap kenaikan output sektor listrik tersebut. Kenaikan TDL akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi, yang pada akhirnya akan meningkatkan biaya output. Kenaikan biaya output pada jangka pendek terjadi hampir disemua sektor ekonomi kecuali beberapa sektor seperti pertambangan dan penggalian, industri kimia, listrik berdaya 900 VA ke bawah dan sektor keuangan dan jasa perusahaan yang mengalami penurunan harga output. Sektor industri mengalami kenaikan harga output berkisar antara 0,01 persen (industri bambu, kayu dan rotan) hingga 1,41 persen (industri semen). Tingginya kenaikan harga output semen, karena kebutuhan listrik untuk produksinya semen sangat tinggi yaitu mencapai 10,01 persen dari total biaya produksinya. Kenaikan TDL menyebabkan melonjaknya biaya produksi semen karena hampir semua listrik yang digunakan berasal dari PLN. Selain itu tidak adanya impor listrik di Indonesia menyebabkan industri semen tidak bisa
98
menghindari peningkatan biaya produksi akibat kenaikan TDL tersebut. Pada jangka panjang hampir seluruh sektor ekonomi mengalami kenaikan harga kecuali sektor pertanian turun 0,01 persen. Kenaikan harga output akibat kenaikan TDL pada sektor industri berkisar antara 0,05 persen (industri kimia) sampai 1,71 persen (industri semen) pada jangka panjang. Tabel 19 Dampak kenaikan TDL terhadap output, tingkat harga dan permintaan tenaga kerja.
SEKTOR
OUTPUT (%)
HARGA OUTPUT (%)
PERMINTAAN TENAGA KERJA (%)
SR
LR
SR
LR
SR
LR
Pertanian
-0,31
-1,23
0,00
-0,01
-1,39
5,91
Tambangali
-0,03
-1,55
-0,02
0,05
-0,23
-0,51
IndMakMin
-0,35
-1,41
0,01
0,05
-1,18
1,19
IndTekstPak
-0,66
-6,69
0,05
0,67
-2,00
-6,17
IndBambuKy
-0,13
-1,02
0,01
0,32
-0,47
-0,73
IndKertas
-0,28
-2,27
0,03
0,59
-0,92
-1,98
IndKimia
-0,10
-1,73
-0,02
0,05
-0,42
-0,79
IndKrtPlstk
-0,43
-2,11
0,05
0,28
-1,20
-1,60
IndSemen
-0,18
-0,34
1,41
1,71
-0,60
-0,05
IndLgmDsr
-0,66
-9,69
0,05
0,90
-3,75
-9,38
IndBrgLgm
-0,28
-0,90
0,15
0,37
-0,78
-0,38
IndMesin
-0,32
-2,55
0,02
0,30
-1,03
-1,99
Indlainnya
-0,64
-3,19
0,14
0,75
-1,54
-2,96
Listrik900
-0,06
-1,14
-0,20
-0,01
-0,25
-0,84
Listrik1300
-2,13
-4,09
30,26
30,10
-7,88
-3,80
Gasair
-0,40
-1,70
0,09
0,83
-1,58
-1,09
Bangunan
-0,02
-0,12
0,06
0,13
-0,06
0,14
PerdagHR
-0,34
-1,58
0,05
0,42
-1,08
-1,02
Angkom
-0,48
-2,11
0,04
0,20
-1,51
-0,78
KeuJspersh
-0,13
-1,49
-0,19
0,16
-0,57
-0,98
JasaLain
-0,32
-0,68
0,18
0,04
-0,47
-0,28
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
Pergeseran kurva penawaran ke kiri atas disamping menurunkan output, juga akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Semakin besar penurunan output, akan semakin besar juga penurunan tenaga kerja. Sejalan
99
dengan kenaikan outputnya, pada sektor industri, kenaikan TDL mengakibatkan penurunan permintaan tenaga kerja yang berkisar antara 0,47 persen (industri bambu, kayu dan rotan) sampai 3,75 persen (industri logam dasar besi, baja dan bukan besi) pada jangka pendek. Penurunan permintaan tenaga kerja yang terjadi pada sektor industri rata-rata semakin besar pada jangka panjang, bahkan sektor industri logam dasar besi, baja dan bukan besi merupakan sektor yang mengalami penurunan penyerapan tenaga kerja terbesar yaitu 9,38 persen. Sebaliknya pada jangka panjang industri makanan, minuman dan tembakau terjadi kenaikan penyerapan tenaga kerja akibat kenaikan TDL. Hal ini bisa terjadi karena pada jangka panjang stok kapital dan upah riil mengalami penyesuaian
akibat
kenaikan
TDL
sehingga
turunnya
upah
riil
dan
meningkatnya harga investasi mendorong permintaan tenaga kerja. Kenaikan TDL pada sektor listrik yang berdaya 1300 VA ke atas, pada jangka pendek menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja yang sangat tajam pada sektor listrik itu sendiri hingga turun sebesar 7,88 persen, namun pada jangka panjang hanya turun sebesar 3,8 persen. Kebijakan kenaikan TDL berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja pada sektor bangunan sebesar 0,06 persen pada jangka pendek. Namun sebaliknya, pada jangka panjang sektor bangunan yang merupakan satu-satunya sektor yang mengalami kenaikan permintaan tenaga yaitu meningkat sebesar 0,14 persen. Hal ini bisa terjadi karena penurunan output sektor bangunan akibat kenaikan TDL adalah yang terkecil, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang yaitu hanya turun 0,02 persen dan 0,12 persen. 6.1.2.2 Dampak Kenaikan persektor.
TDL
terhadap
Konsumsi
Rumahtangga
Kenaikan TDL akan direspon rumahtangga dalam jangka pendek, melalui penurunan konsumsi. Penurunan konsumsi pada keluarga atas yang berdaya listrik 1300 VA ke atas terjadi pada semua sektor, sedangkan pada rumahtangga bawah yang berdaya listrik 900 VA ke bawah masih ada peningkatan konsumsi dibeberapa sektor ekonomi seperti listrik 900 VA ke bawah dan jasa keuangan. Pada jangka pendek maupun panjang penurunan konsumsi rumahtangga atas akibat kenaikan tarif dasar listrik 1300 VA ke atas akan lebih besar dijangka
100
panjang. Sebaliknya rumahtangga bawah mengalami peningkatan konsumsi listriknya sebesar 0,06 persen pada jangka pendek. Pada jangka pendek maupun panjang, kenaikan TDL berdampak cukup besar pada penurunan konsumsi semen yang cukup besar di rumahtangga atas maupun rumahtangga bawah. Penurunan konsumsi semen rumahtangga akibat melonjaknya harga semen yang sangat besar karena terkena dampak kenaikan TDL. Tabel 20 Dampak kenaikan TDL terhadap konsumsi rumahtangga persektor KONSUMSI RUMAH TANGGA (%) SEKTOR
SR
LR
HouseHB
HouseHA
HouseHB
HouseHA
Pertanian
-0,13
-1,62
-0,83
-2,31
Tambangali
-0,11
-1,60
-0,88
-2,37
IndMakMin
-0,14
-1,63
-0,89
-2,37
IndTekstPak
-0,18
-1,67
-1,39
-2,87
IndBambuKy
-0,14
-1,63
-1,15
-2,63
IndKertas
-0,16
-1,65
-1,25
-2,74
IndKimia
-0,12
-1,62
-0,86
-2,35
IndKrtPlstk
-0,18
-1,67
-1,08
-2,56
IndSemen
-1,52
-2,99
-2,51
-3,97
IndLgmDsr
-0,19
-1,68
-1,73
-3,19
IndBrgLgm
-0,25
-1,75
-1,13
-2,61
IndMesin
-0,15
-1,65
-1,09
-2,57
Indlainnya
-0,23
-1,72
-1,33
-2,81
Listrik900
0,06
0,00
-0,83
0,00
Listrik1300
0,00
-24,48
0,00
-24,92
Gasair
-0,23
-1,72
-1,66
-3,13
Bangunan
-0,20
-1,69
-0,97
-2,45
PerdagHR
-0,19
-1,68
-1,24
-2,72
Angkom
-0,17
-1,67
-1,02
-2,50
KeuJspersh JasaLain
0,05
-1,45
-0,99
-2,47
-0,31
-1,80
-0,87
-2,35
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
Kenaikan TDL secara agregat akan berdampak negatif pada total pendapatan dan total konsumsi pada tiap kelompok rumahtangga baik pada jangka pendek maupun panjang seperti pada tabel 21. Penurunan konsumsi rumahtangga tersebut selain akibat langsung kenaikan TDL juga karena dampak tak langsung
101
kenaikan TDL yang menyebabkan kenaikan harga output terutama industri. Kebijakan kenaikan TDL hanya berlaku untuk rumahtangga atas menyebabkan penurunan total pendapatan maupun total konsumsi rumahtangga atas cenderung lebih tinggi daripada rumahtangga bawah. Sejalan dengan penurunan total pendapatan perkelompok rumahtangga, pada jangka pendek total konsumsi rumahtangga bawah dan rumahtangga atas juga mengalami penurunan masingmasing sebesar 0,16 persen dan sebesar 2,09 persen. Tabel 21
Dampak kenaikan TDL terhadap total pendapatan dan konsumsi rumahtangga
KELOMPOK
TOTAL PENDAPATAN (%)
KONSUMSI RIIL (%)
SR
LR
SR
LR
Rumahtangga Bawah
-0,14
-0,84
-0,16
-1,01
Rumahtangga Atas
-1,63
-2,32
-2,09
-2,93
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
6.2 Kebijakan untuk Meminimisasi Dampak Negatif Kenaikan TDL terhadap Perekonomian Indonesia. Kebijakan kenaikan TDL hanya berlaku pada pelanggan listrik 1300 VA ke atas dan ada perbedaan kenaikan TDL pada tiap pelanggannya. Hal itu dibuat pemerintah untuk meminimisasi dampak ekonominya. Walaupun kebijakan kenaikan TDL telah dilakukan berbeda pada tiap kelompok pelanggan, ternyata hasil simulasi di atas menunjukan masih adanya dampak negatif dari kenaikan TDL baik ditingkat makro maupun sektoral dan rumahtangga. Penelitian ini juga akan melihat kebijakan lain yang diharapkan mampu meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian Indonesia. Analisis kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif kenaikan TDL terhadap pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini akan dibedakan menjadi 3 kelompok analisis. Kelompok analisis pertama adalah kebijakan melakukan efisiensi produksi pada sektor listrik untuk menghindari kenaikan TDL (skenario 2). Analisis kedua yaitu
kebijakan kenaikan TDL yang diikuti
102
kebijakan perusahaan yang melakukan efisiensi produksi di seluruh sektor ekonomi (skenario 3) dan kelompok analisis ketiga adalah kenaikan TDL yang diikuti kebijakan pemerintah dengan menurunkan pajak produksi (PPN) pada semua sektor ekonomi (skenario 4). Analisis terhadap keempat skenario kebijakan tersebut selanjutnya akan dianalisis secara umum baik pada tingkat makro maupun sektoral pada kondisi jangka pendek dan jangka panjang. 6.2.1 Dampak Peningkatan Efisiensi di sektor Listrik. Kenaikan harga minyak mentah dunia mendorong meningkatnya biaya operasional sektor listrik dalam membangkitkan listrik, yang berdampak pada melonjaknya subsidi listrik di APBN. Melonjaknya subsidi listrik akan membebani APBN, sehingga pemerintah mengambil kebijakan kenaikan TDL untuk membatasi subsidi yang harus dikeluarkan. Dari hasil simulasi di atas kenaikan TDL berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia.
Kebijakan kenaikan TDL ini
harus melihat semua kepentingan, tidak hanya kepentingan PLN atau kepentingan APBN namun juga harus memperhatikan kepentingan dunia industri nasional dan kepentingan masyarakat luas. Melonjaknya subsidi listrik di Indonesia dimungkinkan adanya ketidakefisiensian dalam proses produksi maupun distribusi listrik. Penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar minyak (BBM) yang harganya semakin tinggi
merupakan sumber ketidakefisiensian dalam
proses produksi. Share susut energi (losses) listrik hingga 10,13 persen menunjukkan ketidakefisiensian dalam transmisi dan distribusi listrik. Subsidi listrik sebenarnya bisa dibatasi dengan meningkatkan efisiensi produksi di sektor listrik sehingga bisa menekan biaya operasional. Peningkatan efisiensi di sektor listrik maupun
kapital
yang
produktif
dalam penggunaan tenaga kerja
mampu
menurunkan
biaya
pokok
penyediaan listrik (BPP). Penurunan biaya pokok penyediaan listrik akan menyebabkan penurunan harga output listrik sehingga subsidi listrik bisa dibatasi tanpa merugikan PLN maupun masyarakat. Kebijakan efisiensi di sektor listrik cukup efektif untuk menghindari kenaikan TDL tanpa membebani APBN.
103
6.2.1.1 Dampak Peningkatan Efisiensi di Sektor Listrik terhadap Kinerja Ekonomi Makro di Indonesia. Hasil penelitian dengan meningkatkan efisiensi produksi pada sektor listrik sebesar 10 persen berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia terlihat di tabel 22. Pada jangka panjang maupun jangka pendek peningkatan efisiensi di sektor listrik berdampak pada peningkatan PDB riil masing-masing sebesar 0,34 persen dan 0,57 persen. Peningkatan PDB riil ini didorong peningkatan output pada seluruh sektor ekonomi dan peningkatan total konsumsi rumahtangga. Peningkatan output akan mendorong permintaan tenaga meningkat,
sehingga
kebijakan
tersebut
pada
jangka
pendek
akan
meningkatkan total penyerapan tenaga kerja mencapai 0,64 persen. Tabel 22
Dampak peningkatan efisiensi di sektor listrik terhadap peubahpeubah ekonomi makro di Indonesia DAMPAK (%)
DESKRIPSI Peubah Ekonomi Makro
SR
LR
Neraca perdagangan/PDB (delB)
0,00
0,00
Tenaga kerja (employ)
0,64
0,00
Indeks deflator PDB sisi pengeluaran (p0gdpexp)
-0,10
-0,10
Upah nominal (p1lab)
-0,13
0,17
Indeks harga investasi (p2tot)
-0,04
-0,03
Indeks harga konsumen (p3tot)
-0,13
-0,11
Indeks harga ekspor (p4tot)
0,01
-0,06
Upah riil (realwage)
0,00
0,29
Indeks volume impor (x0cif_c)
0,42
0,30
PDB riil penggunaan (x0gdpexp)
0,34
0,57
Konsumsi RT (x3tot)
0,79
0,68
-0,10
0,82
Indeks volume ekspor (x4tot) Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
Dampak peningkatan efisisiensi di sektor listrik pada jangka panjang semakin besar terlihat dari peningkatan PDB riilnya hingga 0,57 persen akibat peningkatan volume ekspornya sebesar 0,82 persen. Peningkatan volume
104
ekspor ini disebabkan adanya penurunan harga ekspor sehingga harga output mampu bersaing di pasar internasional. Penurunan harga investasi akan mendorong penanaman modal pada sektor ekonomi sehingga perekonomian akan berputar dimana upah riilnya meningkat hingga 0,29 persen pada jangka panjang. 6.2.1.2 Dampak Peningkatan Efisiensi di Sektor Listrik terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral di Indonesia. Peningkatan efisiensi di sektor listrik sebesar 10 persen mendorong kenaikan output di seluruh sektor ekonomi, dimana peningkatan output terbesar terjadi pada sektor listrik itu sendiri karena penurunan harganya meningkatkan permintaan akan listrik semakin tinggi. Efisiensi pada sektor listrik menyebabkan harga listrik 900 VA ke bawah turun hingga 11,58 persen dan listrik 1300 VA ke atas turun 24,97 persen. Turunnya harga listrik mampu menekan biaya produksi sektor-sektor pengguna listrik, sehingga harga output tiap sektornya menurun sehingga permintaan output sektoral meningkat. Peningkatan output sektoral akan diikuti dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja sektoral. Sebaliknya efisiensi di sektor listrik menyebabkan penurunan penyerapan tenaga kerja pada sektor listrik 1300 VA ke atas hingga 23,86 persen pada jangka pendek. Pada listrik 900 VA ke bawah penurunan penyerapan tenaga kerjanya jauh lebih sedikit yaitu sebesar 4,97 persen. Peningkatan efisiensi di sektor listrik mampu menurunkan harga outputnya dan berdampak positif pada kinerja ekonomi sektoral. Sebaliknya jika terjadi kebijakan kenaikan tarif dasar listrik akan berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi sektoral karena adanya keterkaitan antar sektor ekonominya. Jika sektor listrik meningkatkan efisiensi sebesar 10 persen akan mampu menurunkan harga listrik sebesar 24,97 persen sehingga subsidi listrik bisa dibatasi dan tidak terlalu membebani
APBN. Dengan peningkatan efisiensi
di sektor listrik maka
kebijakan kenaikan TDL yang berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia bisa dihindari.
Kebijakan efisiensi akan berdampak positif dalam
meningkatkan output sehingga mendorong penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor kecuali sektor listrik itu sendiri.
105
Tabel 23 Dampak peningkatan efisiensi di sektor listrik terhadap output, tingkat harga dan permintaan tenaga kerja OUTPUT (%)
HARGA OUTPUT (%)
SEKTOR
PERMINTAAN TENAGA KERJA (%)
SR
LR
SR
LR
SR
LR
Pertanian
0,47
0,58
0,01
0,00
2,09
-1,18
Tambangali
0,05
0,47
0,04
-0,01
0,34
0,21
IndMakMin
0,45
0,61
0,01
-0,01
1,51
-0,05
IndTekstPak
0,60
1,88
-0,03
-0,16
1,84
1,74
IndBambuKy
0,13
0,32
0,03
-0,07
0,47
0,25
IndKertas
0,26
0,68
0,01
-0,14
0,86
0,61
IndKimia
0,12
0,60
0,04
-0,01
0,52
0,36
IndKrtPlstk
0,42
0,66
-0,03
-0,07
1,17
0,53
IndSemen
0,16
0,09
-1,14
-0,36
0,54
0,02
IndLgmDsr
0,51
2,32
-0,04
-0,20
3,04
2,23
IndBrgLgm
0,27
0,26
-0,12
-0,08
0,76
0,13
IndMesin
0,31
0,74
0,00
-0,07
0,98
0,59
Indlainnya
0,58
0,89
-0,08
-0,17
1,41
0,83
Listrik900
9,65
5,82
-11,58
-6,96
-4,97
-4,83
Listrik1300
2,91
1,24
-24,97
-6,36
-23,86
-8,95
Gasair
0,45
0,66
0,16
-0,17
1,84
0,51
Bangunan
0,03
0,04
-0,04
-0,03
0,08
-0,02
PerdagHR
0,40
0,61
0,03
-0,12
1,29
0,47
Angkom
0,51
0,71
-0,02
-0,05
1,59
0,37
KeuJspersh
0,16
0,58
0,30
-0,04
0,73
0,45
JasaLain
0,41
0,30
-0,16
-0,01
0,59
0,20
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
6.2.1.3
Dampak Peningkatan Efisiensi di Sektor Listrik terhadap Total Pendapatan dan Konsumsi Rumahtangga.
Pada jangka pendek, kenaikan TDL yang diikuti efisiensi di sektor listrik berdampak positif pada total pendapatan dan total konsumsi di setiap kelompok rumahtangga. Peningkatan
total konsumsi
rumahtangga
bawah
maupun
rumahtangga atas masing-masing sebesar 0,66 persen dan 1,58 persen pada jangka pendek. Peningkatan konsumsi rumahtangga akibat penurunan harga output terutama sektor listrik karena adanya efisiensi. Pada jangka panjang peningkatan total konsumsi rumahtangga atas semakin kecil yaitu meningkat hanya 0,65 persen.
106
Tabel 24 Dampak peningkatan efisiensi di sektor listrik terhadap total pendapatan dan konsumsi rumahtangga KELOMPOK
TOTAL PENDAPATAN (%) SR
LR
KONSUMSI RIIL (%) SR
LR
Rumahtangga Bawah
0,55
0,57
0,66
0,69
Rumahtangga Atas
1,31
0,54
1,58
0,65
6.2.2 Dampak Kenaikan TDL diikuti Peningkatan Efisiensi di Seluruh Sektor. Kebijakan kenaikan TDL pada tahun 2010, pada sektor industri sebesar 6-15 persen hanya berlaku untuk industri yang sudah lama berdiri sedangkan industri baru dikenakan kenaikan TDL hingga 30 persen. Namun awal tahun 2011 sektor industri mengalami penyesuaian kenaikan TDL sehingga kenaikan TDL pada tiap sektor industri sama yaitu sebesar 20-30 persen. Sektor industri yang sebagian besar tergantung dengan listrik PLN, untuk tetap berproduksi harus melakukan efisiensi yang mampu menekan membengkaknya biaya produksi akibat kenaikan TDL. Efisiensi yang dilakukan industri di seluruh sektor ekonomi pada penelitian ini hanya meliputi efisiensi faktor primer yaitu penggunaan tenaga kerja dan kapital dalam proses produksi. Efisiensi tenaga kerja bisa dilakukan dengan
pengurangan
tenaga
kerja
yang
tidak
produktif
maupun
peningkatan keahlian tenaga kerja yang akan digunakan. Pemerintah juga bisa berperan dalam efisiensi disemua sektor ekonomi dengan pemberian insentif berupa menyediaan fasilitas training tenaga kerja sehingga industri semakin mudah melakukan efisiensi produksi. 6.2.2.1 Dampak Kenaikan TDL yang diikuti Peningkatan Efisiensi di Seluruh Sektor terhadap Kinerja Ekonomi Makro di Indonesia. Hasil simulasi dampak kenaikan TDL yang diikuti efisiensi produksi terhadap kinerja ekonomi makro Indonesia dapat dilihat pada Tabel 25. Dimana efisiensi produksi pada semua sektor ekonomi yang ditujukan untuk mengurangi dampak kenaikan TDL berdampak positif dalam meningkatkan
107
PDB riil sebesar 1,55 persen pada jangka pendek. Pada jangka panjang efisiensi berdampak lebih baik yaitu meningkatkan PDB riilnya hingga mencapai 5,12 persen. Peningkatan PDB riil tersebut disebabkan oleh peningkatan output hampir disemua sektor ekonomi akibat adanya kenaikan efisiensi produksi di seluruh sektor ekonomi. Kenaikan PDB riil pada jangka pendek didorong oleh lonjakan ekspor riil dan peningkatan total konsumsi rumahtangga masing-masing sebesar 1,47 persen dan 1,99 persen. Pada jangka panjang peningkatan PDB riil juga karena lonjakan pada volume ekspor yang mencapai 5,62 persen dan kenaikan total konsumsi rumahtangga yang melonjak hingga 6,31 persen. Tabel 25 Dampak kenaikan TDL diikuti peningkatan efisiensi di seluruh sektor terhadap peubah-peubah ekonomi makro di Indonesia DAMPAK (%)
DESKRIPSI Peubah Ekonomi Makro
SR
LR
Neraca perdagangan/PDB (delB)
0,00
0,01
Tenaga kerja (employ)
1,72
0,00
-0,36
-0,20
0,01
1,82
Indeks harga investasi (p2tot)
-1,05
-0,15
Indeks harga konsumen (p3tot)
0,01
-0,14
-0,06
-0,25
Upah riil (realwage)
0,00
1,96
Indeks volume impor (x0cif_c)
0,40
1,34
PDB riil penggunaan (x0gdpexp)
1,55
5,12
Konsumsi RT (x3tot)
1,99
6,31
Indeks volume ekspor (x4tot)
1,47
5,62
Indeks deflator PDB sisi pengeluaran (p0gdpexp) Upah nominal (p1lab)
Indeks harga ekspor (p4tot)
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
108
Kenaikan volume ekspor pada jangka pendek maupun panjang disebabkan penurunan harga ekspor sehingga meningkatkan daya saing produk ekspor dipasar internasional. Sama halnya dengan volume ekspor, pada jangka pendek maupun jangka panjang volume impor mengalami peningkatan sebesar 0,4 persen dan 1,34 persen. Peningkatan volume impor tersebut cenderung karena adanya peningkatan output sektor industri yang
memproduksi barang yang
bahan bakunya sebagian besar masih tergantung pada barang impor. Pada jangka panjang, tingginya kenaikan total konsumsi rumahtangga disebabkan adanya peningkatan upah riil tenaga kerja sebesar 1,96 persen akibat adanya efisiensi tenaga kerja sehingga hanya tenaga kerja yang produktif yang tetap bekerja. Kenaikan TDL yang diikuti efisiensi produksi, dalam jangka pendek menunjukan peningkatan permintaan tenaga kerja sebesar 1,72 persen. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan efisiensi produksi mampu memperbaiki kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia yang tidak semakin menurun akibat kenaikan TDL. Oleh karena itu pemerintah selaku pembuat kebijakan kenaikan TDL selayaknya membuat kebijakan lain untuk mendukung efisiensi di seluruh sektor ekonomi sehingga dampak negatif kenaikan TDL terhadap perekonomian Indonesia bisa segera diminimisasi. Selain dampak positif di atas, kebijakan efisiensi produksi yang dilakukan semua sektor ekonomi sebesar 1 persen mampu merendam inflasi akibat kenaikan TDL pada jangka pendek. Pada jangka panjang terjadi penurunan indeks harga konsumen sebesar 0,14 persen akibat penurunan harga outputnya di seluruh sektor. 6.2.2.2 Dampak Kenaikan TDL diikuti Peningkatan Efisiensi di Seluruh Sektor terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral di Indonesia. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan TDL berdampak pada penurunan output seluruh sektor, sehingga dilakukan simulasi kenaikan TDL yang diikuti dengan efisiensi produksi di seluruh sektor ekonomi dengan harapan kebijakan ini mampu meningkatkan kembali outputnya (skenario 3). Pada jangka pendek, hasil simulasi menunjukan kenaikan output di seluruh sektor kecuali sektor listrik 1300 yang sedikit turun sebesar 0,66 persen. Sektor pertanian mengalami kenaikan output tertinggi yaitu sebesar 3,46 persen dan diikuti industri makanan, minuman dan tembakau yang meningkat sebesar 2,67 persen pada jangka pendek. Peningkatan output yang cukup tinggi ini terjadi karena kedua
109
sektor tersebut merupakan sektor yang padat karya (labour intensive) sehingga peluang tenaga kerja tidak produktif semakin besar. Kebijakan efisiensi tenaga kerja dan kapital pada industri semen hanya mampu meningkatkan outputnya sebesar 0,15 persen, karena industri ini penggunaan listriknya sangat besar sehingga biaya produksinya melonjak dan kebijakan efisiensi hanya mampu meningkatkan sedikit outputnya.
Hal yang sama juga terjadi pada sektor
bangunan yang hanya mengalami peningkatan output sebesar 0,11 persen setelah ada kebijakan kenaikan TDL yang diikuti efisiensi produksi di seluruh sektor ekonomi. Tabel 26 Dampak kenaikan TDL diikuti peningkatan efisiensi di seluruh sektor terhadap output, tingkat harga dan permintaan tenaga kerja SEKTOR
OUTPUT (%)
HARGA OUTPUT (%)
PERMINTAAN TENAGA KERJA (%)
SR
LR
SR
LR
SR
LR
Pertanian
3,46
10,96
-0,23
-0,64
10,82
-7,32
Tambangali
1,23
5,18
-0,19
-0,75
1,42
1,57
IndMakMin
2,67
9,49
-0,11
-0,47
5,57
1,83
IndTekstPak
0,83
0,29
0,02
0,31
-0,55
-2,00
IndBambuKy
1,01
2,09
-0,22
-0,15
0,01
0,37
IndKertas
0,94
2,30
0,00
0,20
-0,22
0,59
IndKimia
1,41
7,60
-0,04
-0,50
1,76
4,13
IndKrtPlstk
1,07
2,93
-0,05
-0,09
0,17
0,64
IndSemen
0,15
0,28
-0,20
1,13
-2,80
-1,40
IndLgmDsr
0,44
-2,99
-0,02
0,31
-3,22
-4,73
IndBrgLgm
0,83
1,04
-0,32
0,06
-0,50
-1,21
IndMesin
1,13
2,87
-0,02
0,01
0,38
0,48
Indlainnya
0,71
1,45
0,09
0,46
-0,71
-0,14
Listrik900
1,38
6,13
0,81
-0,59
1,47
4,31
Listrik1300
-0,66
1,40
31,45
29,36
-6,22
-0,34
Gasair
1,28
5,15
0,72
0,23
1,08
2,58
Bangunan
0,11
0,36
-1,37
-0,20
-2,27
-1,23
PerdagHR
1,23
4,24
0,12
-0,01
0,70
1,81
Angkom
1,65
4,84
-0,06
-0,14
2,00
0,52
KeuJspersh
1,26
4,81
0,15
-0,40
1,11
2,52
JasaLain
1,20
2,51
-0,37
0,21
0,28
0,50
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
110
Pada jangka panjang kebijakan kenaikan TDL yang diikuti efisiensi produksi di seluruh sektor ekonomi mampu meningkatkan outputnya jauh lebih besar kecuali industri logam dasar besi, baja dan bukan besi yang sedikit mengalami penurunan output akibat dampak kenaikan TDL yang sangat besar pada sektor ini. Sektor pertanian yang konsumsi listriknya sedikit sehingga dampak kenaikan TDLnya juga kecil dengan adanya efisiensi mampu meningkatkan outputnya hingga 10,96 persen pada jangka panjang. Seperti di jangka pendek, industri makanan minuman yang memiliki peningkatan output terbesar kedua akibat kenaikan TDL yang diikuti efisiensi produksi. Industri semen yang produksinya sangat tergantung listrik PLN mengalami kenaikan output hanya sebesar 0,28 persen pada jangka panjang. Pada jangka panjang kenaikan TDL yang diikuti efisisen di seluruh sektor menyebabkan peningkatan output yang jauh lebih besar. Efisiensi di seluruh sektor ekonomi bertujuan untuk mengurangi biaya produksi akibat kenaikan TDL sehingga harga outputnya tidak mengalami kenaikan yang sangat besar. Pada jangka pendek maupun panjang kenaikan TDL yang diikuti efisiensi produksi berhasil mengurangi kenaikan harga output hampir di seluruh sektor kecuali sektor listrik. Sektor listrik berdaya 1300 VA ke atas pada jangka pendek mengalami penurunan output sebesar
0,66 persen dan
kenaikan harganya mencapai 31,45 persen. Hal ini bisa terjadi karena sektor listrik terkena dampak langsung dari kenaikan TDL sehingga kebijakan efisiensi produksi yang hanya 1 persen tidak mampu menekan harganya. efisiensi produksi di industri semen mampu menekan harganya akibat kenaikan TDL hingga turun 0,20 persen pada jangka pendek. Namun pada jangka panjang harga semen masih meningkat sebesar 1,13 persen karena adanya peningkatan upah tenaga kerja sebesar 1,82 persen. Kenaikan TDL yang diikuti efisiensi produksi berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja di beberapa sektor baik pada jangka pendek maupun jangka panjang.
Pada jangka pendek terjadi peningkatan
penyerapan tenaga kerja yang cukup besar pada sektor pertanian dan industri makanan, minuman dan tembakau masing-masing sebesar 10,82 persen dan 5,57 persen. Peningkatan ini terjadi karena kedua sektor ini menggunakan tenaga
111
kerja dengan jumlah besar sehingga kenaikan outputnya mampu memperluas penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Sebaliknya industri semen dan industri logam dasar besi, baja dan bukan besi merupakan sektor yang padat modal sehingga efisiensi belum mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerjanya. 6.2.2.3
Dampak Kenaikan TDL diikuti Efisiensi di Seluruh Sektor terhadap Total Pendapatan dan Konsumsi Rumahtangga.
Kenaikan TDL yang diikuti efisiensi di seluruh sektor ekonomi ternyata berdampak positif pada total pendapatan dan total konsumsi di setiap kelompok rumahtangga baik pada jangka pendek maupun panjang seperti terlihat pada tabel 27. Peningkatan konsumsi rumahtangga terjadi pada rumahtangga bawah maupun rumahtangga atas masing-masing sebesar 2,29 persen dan 0,27 persen pada jangka pendek. Peningkatan konsumsi rumahtangga tersebut akibat penurunan harga output di seluruh sektor karena efisiensi di seluruh sektor ekonomi. Pada jangka panjang peningkatan total konsumsi rumahtangga semakin besar sejalan dengan peningkatan total pendapatannya. Hasil penelitian menunjukan kebijakan kenaikan TDL yang diikuti efisiensi produksi pada seluruh sektor ekonomi lebih dinikmati rumahtangga bawah karena pada kelompok rumahtangga ini tidak terkena dampak langsung kenaikan TDL. Tabel 27
Dampak kenaikan TDL diikuti peningkatan efisiensi di seluruh sektor terhadap total pendapatan dan konsumsi rumahtangga
KELOMPOK
TOTAL PENDAPATAN (%) SR
LR
KONSUMSI RIIL (%) SR
LR
Rumahtangga Bawah
2,23
6,40
2,29
6,62
Rumahtangga Atas
0,66
4,76
0,27
4,50
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
6.2.3
Dampak Kenaikan TDL diikuti Penurunan PPN di seluruh Sektor terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia. Kenaikan TDL berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia
seperti penurunan PDB riil, penurunan penyerapan tenaga kerja dan adanya
112
inflasi. Penurunan PDB riil tersebut disebabkan adanya penurunan output hampir di setiap sektor ekonomi akibat dampak kenaikan TDL yang meningkatkan
biaya produksinya. Pemerintah bisa meminimisasi dampak
negatif kenaikan TDL tersebut dengan membuat kebijakan lain seperti penurunan pajak produksi (PPN) di seluruh sektor ekonomi atau di sektor tertentu. Penurunan PPN di seluruh sektor akan dijadikan shock dalam penelitian ini untuk mengurangi meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan TDL sehingga diharapkan dapat meningkatkan PDB riil. 6.2.3.1 Dampak Kenaikan TDL diikuti Penurunan PPN di Seluruh Sektor terhadap Kinerja Ekonomi Makro di Indonesia. Pada jangka pendek maupun jangka panjang, dampak kenaikan TDL yang diikuti penurunan PPN di seluruh sektor (skenario 4) mampu meningkatkan PDB riilnya. Peningkatan PDB riil tersebut disebabkan oleh peningkatan output hampir disemua sektor ekonomi akibat adanya penurunan PPN di seluruh sektor ekonomi yang mampu menekan meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan TDL. Pada jangka pendek kenaikan PDB riil sebesar 1,43 persen didorong oleh lonjakan ekspor riil dan peningkatan total konsumsi rumahtangga masing-masing sebesar 1,46 persen dan 1,86 persen. Pada jangka panjang peningkatan PDB riil yang sangat tinggi hingga 10,98 persen karena lonjakan pada volume ekspor yang mencapai 16,06 persen dan kenaikan total konsumsi rumahtangga yang melonjak hinga 11,81 persen. Tingginya PDB riil akibat kebijakan penurunan PPN pada jangka panjang mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut akan direspon lebih baik dimasa depan. Kenaikan volume ekspor pada jangka panjang disebabkan penurunan harga ekspor sehingga meningkatkan daya saing produk yang ekspor dipasar internasional. Begitu juga volume impor mengalami peningkatan karena adanya peningkatan konsumsi rumahtangga dan peningkatan output sektor industri yang memproduksi barang dimana bahan bakunya sebagian besar masih tergantung pada barang impor. Pada jangka panjang, tingginya kenaikan total konsumsi rumahtangga disebabkan adanya peningkatan upah riil tenaga kerja sebesar 5,47 persen akibat adanya penyesuaian upah tenaga kerjanya yang semakin meningkat walaupun indeks harga konsumennya menurun.
113
Tabel 28 Dampak kenaikan TDL diikuti penurunan PPN di seluruh sektor terhadap peubah-peubah ekonomi makro di Indonesia. DESKRIPSI Peubah Ekonomi Makro
DAMPAK (%) SR
LR
Neraca perdagangan/PDB (delB)
0,00
0,03
Tenaga kerja (employ)
4,58
0,00
-0,18
-0,62
0,07
4,97
-0,58
-0,56
Indeks harga konsumen (p3tot)
0,07
-0,47
Indeks harga ekspor (p4tot)
0,02
-0,71
Upah riil (realwage)
0,00
5,47
Indeks volume impor (x0cif_c)
0,54
3,20
PDB riil penggunaan (x0gdpexp)
1,43
10,98
Konsumsi RT (x3tot)
1,86
11,81
Indeks volume ekspor (x4tot)
1,46
16,06
Indeks deflator PDB sisi pengeluaran (p0gdpexp) Upah nominal (p1lab) Indeks harga investasi (p2tot)
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
Kenaikan TDL yang diikuti penurunan PPN pada seluruh sektor berdampak pada peningkatan permintaan tenaga kerja sebesar 4,58 persen pada jangka pendek. Kebijakan penurunan PPN mampu menekan harga output sesuai dayabeli konsumen sehingga permintaan outputnya meningkat. Peningkatan output pada seluruh sektor akibat penurunan PPN tersebut mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan pemerintah menurunkan PPN sebesar
1 persen
pada seluruh sektor ekonomi
mampu memperbaiki
perekonomian baik pada PDB riil maupun kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia. Dampak inflasi akibat kenaikan TDL pada jangka pendek dapat diminimisasi dengan kebijakan penurunan PPN bahkan pada jangka panjang indeks harga konsumennya menurun sebesar 0,47 persen.
114
6.2.3.2
Dampak Kenaikan TDL yang diikuti Penurunan PPN di Seluruh Sektor terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral.
Kebijakan kenaikan TDL yang diikuti dengan kebijakan penurunan pajak produksi di seluruh sektor ekonomi sebesar 1 persen (skenario 4). Hasil simulasi tersebut menunjukan pada jangka pendek maupun jangka panjang terjadi peningkatan output di seluruh sektor. Pola peningkatan output sektoral yang terjadi akibat dampak kenaikan TDL yang diikuti diikuti penurunan PPN ternyata sejalan dengan kenaikan TDL yang diikuti kebijakan efisiensi. Sektor pertanian dan industri makanan minuman, dan tembakau juga merupakan sektor yang kenaikan outputnya terbesar. Pada jangka pendek peningkatan output pada industri makanan, minuman dan tembakau mencapai 4,37 persen, dan pada jangka panjang kenaikan outputnya semakin besar hingga 21,98 persen. Tingginya peningkatan output industri makanan, minuman dan tembakau karena penurunan PPN pada sektor tersebut mampu menekan biaya produksinya yang meningkat akibat kenaikan TDL. Pada jangka pendek terjadi sedikit penurunan harga pada beberapa sektor ekonomi, namun pada jangka panjang hampir semua sektor ekonomi mengalami penurunan harga yang cukup besar. Pada jangka pendek maupun jangka panjang sektor listrik 1300 VA ke atas harganya masih mengalami peningkatan yang sangat besar karena dampak langsung dari kenaikan TDL pada sektor tersebut. Kebijakan penurunan PPN sebesar 1 persen pada seluruh sektor ekonomi hanya mengurangi sedikit kenaikan harga output pada jangka pendek sehingga perlu kebijakan lain seperti efisiensi produksi. Industri semen baik jangka pendek maupun jangka panjang harganya masih meningkat namun peningkatannya jauh lebih kecil. Kenaikan TDL akan menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga berdampak pada penurunan output dan kenaikan harga, juga akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja. Semakin besar penurunan output, akan semakin besar juga penurunan tenaga kerja. Pada sektor industri, kenaikan TDL yang diikuti penurunan PPN sebesar 1 persen mengakibatkan peningkatan permintaan tenaga kerja yang berkisar antara 0,02 persen (industri semen) sampai 14,87 persen (industri makanan, minuman dan tembakau) pada jangka
115
pendek. Peningkatan permintaan tenaga kerja yang terjadi pada sektor industri makanan, minuman dan tembakau juga terjadi pada jangka panjang namun cenderung lebih kecil. Hal ini terjadi juga pada sektor lain yang padat karya karena penurunan PPN ini bisa direspon langsung oleh sektor-sektor tersebut dengan peningkatan outputnya. Industri logam dasar besi, baja dan bukan besi merespon kebijakan penurunan PPN tersebut dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja jauh lebih besar di jangka panjang. Hal ini terjadi karena sektor tersebut padat modal sehingga perlu penyesuaian modal untuk meningkatkan outputnya. Tabel 29
Dampak kenaikan TDL diikuti penurunan PPN di seluruh sektor terhadap output, tingkat harga dan permintaan tenaga kerja persektor
SEKTOR
OUTPUT (%)
HARGA OUTPUT (%)
PERMINTAAN TENAGA KERJA (%)
SR
LR
SR
LR
SR
LR
Pertanian
3,80
20,98
-0,19
-0,90
16,93
-25,66
Tambangali
0,30
9,30
-0,01
-0,88
2,02
2,01
IndMakMin
4,37
21,98
-0,31
-1,19
14,87
2,29
IndTekstPak
0,55
9,27
0,05
-0,31
1,67
5,37
IndBambuKy
0,36
4,83
0,10
-0,69
1,28
2,83
IndKertas
0,36
6,93
0,21
-0,45
1,20
4,94
IndKimia
0,90
16,38
0,01
-1,00
4,03
9,27
IndKrtPlstk
1,14
8,99
-0,07
-0,73
3,18
5,29
IndSemen
0,01
0,82
0,96
0,64
0,02
-1,08
IndLgmDsr
0,06
9,25
0,01
-0,69
0,33
6,83
IndBrgLgm
0,49
2,66
-0,10
-0,15
1,35
-0,82
IndMesin
0,98
10,11
-0,01
-0,65
3,16
6,09
Indlainnya
0,42
6,43
0,17
-0,13
1,01
4,76
Listrik900
0,77
11,95
1,54
-1,37
3,09
9,71
Listrik1300
-0,99
6,83
33,50
28,40
-3,80
4,70
Gasair
0,72
10,14
1,48
0,11
2,94
5,75
Bangunan
0,09
0,74
-0,78
-0,69
0,24
-0,91
PerdagHR
0,82
8,97
0,45
-0,31
2,65
4,97
Angkom
1,57
10,40
-0,06
-0,38
4,93
0,95
KeuJspersh
0,52
9,62
0,77
-0,50
2,32
6,01
JasaLain
1,32
4,65
-0,57
0,66
1,92
1,85
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
116
6.2.3.3
Dampak Kenaikan TDL Diikuti Penurunan PPN di Seluruh Sektor terhadap Total Pendapatan dan Konsumsi Rumahtangga.
Pada jangka pendek, kenaikan TDL yang diikuti penurunan PPN berdampak pada penurunan harga output hampir di seluruh sektor ekonomi. Kebijakan tersebut direspon kedua kelompok rumahtangga dengan peningkatan konsumsi pada sektor yang mengalami penurunan harga. Pada jangka pendek, total konsumsi rumahtangga bawah meningkat sebesar 2,18 persen. Peningkatan total konsumsi rumahtangga atas akibat kenaikan TDL yang diikuti penurunan PPN hanya 0,53 persen. Pada jangka panjang, peningkatan total konsumsi rumahtangga bawah dan rumahtangga atas semakin besar masing-masing mencapai 12,46 persen dan 9,86 persen. Peningkatan total konsumsi rumahtangga yang sangat besar ini didorong adanya kenaikan upah riil hingga 5,47 persen di jangka panjang. Tabel 30
Dampak kenaikan TDL diikuti penurunan PPN di seluruh sektor terhadap total pendapatan dan konsumsi rumahtangga.
KELOMPOK
TOTAL PENDAPATAN (%) SR
LR
KONSUMSI RIIL (%) SR
LR
Rumahtangga Bawah
2,18
11,54
2,17
12,14
Rumahtangga Atas
0,53
9,75
0,05
9,86
Keterangan : SR = jangka pendek (short-run) LR = jangka panjang (long-run)
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1.
Kebijakan kenaikan TDL yang dilakukan pemerintah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang
berdampak negatif terhadap kinerja
ekonomi makro dan sektoral di Indonesia. Secara makro, kebijakan tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan PDB riil, penyerapan tenaga kerja agregat, total konsumsi rumahtangga, dan investasi sekaligus menyebabkan inflasi. 2.
Secara sektoral, kebijakan kenaikan TDL juga berdampak negatif terhadap output, tenaga kerja, konsumsi rumahtangga dan tingkat harga. Penurunan output dan penyerapan tenaga kerja paling besar terjadi pada industri logam dasar besi, baja dan bukan besi, sedangkan industri semen merupakan sektor yang mengalami kenaikan harga tertinggi akibat kebijakan kenaikan TDL.
3.
Kebijakan kenaikan TDL juga berdampak pada penurunan total konsumsi rumahtangga atas maupun rumahtangga bawah, dimana penurunan rumahtangga atas jauh lebih besar daripada rumahtangga bawah. Pada jangka panjang, dampak negatif kenaikan TDL terhadap penurunan total konsumsi rumahtangga akan semakin besar karena upah riilnya tenaga kerja mengalami penurunan.
4.
Dampak kenaikan TDL akan lebih dirasakan dalam jangka panjang dibanding jangka pendek. Ini dikarenakan pada jangka panjang kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan
investasi
yang
lebih
besar,
sehingga
menghambat
perkembangan sektor ekonomi. 5.
Peningkatan efisiensi di sektor listrik sebesar 10 persen mampu menurunkan biaya produksi listrik sehingga dengan kebijakan tersebut
118
tidak perlu adanya kebijakan kenaikan TDL. Peningkatan efisiensi di sektor listrik juga berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi makro maupun sektoral. Hal itu terlihat dari meningkatnya PDB riil, total konsumsi rumahtangga dan penyerapan tenaga kerja baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Secara sektoral peningkatan efisiensi di sektor listrik mampu meningkatkan output di seluruh sektor. Peningkatan output tersebut mampu memperluas kesempatan kerja di seluruh sektor kecuali listrik yang penyerapan tenaga kerjanya turun akibat efisiensi di sektornya. 6.
Kebijakan kenaikan TDL jika diikuti peningkatan efisiensi sebesar 1 persen di seluruh sektor ekonomi dalam pada jangka pendek berdampak positif pada peningkatan PDB riil, penyerapan tenaga kerja, peningkatan total konsumsi dan ekspor. Kebijakan tersebut masih mendorong inflasi. Pada jangka panjang dampak positif kebijakan tersebut semakin besar.
7.
Kebijakan kenaikan TDL yang diikuti penurunan PPN sebesar 1 persen pada seluruh sektor dalam jangka pendek maupun jangka panjang berdampak positif terhadap kinerja ekonomi makro maupun sektoral di Indonesia. Secara sektoral
dampak positif penurunan PPN tersebut
mampu menekan harga dan meningkatkan output sektoral walaupun masih menyebabkan inflasi. Meningkatnya output sektoral mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja yang cukup besar sehingga kebijakan ini sangat efektif untuk mengatasi pengangguran di Indonesia. 8.
Kebijakan kenaikan TDL yang diikuti peningkatan efisiensi maupun penurunan PPN di seluruh sektor ekonomi mampu meningkatkan total konsumsi pada tiap kelompok rumahtangga, dimana dampak peningkatan total konsumsinya lebih besar pada rumahtangga bawah.
7.2 Saran 1.
Sektor listrik sebaiknya meningkatkan efisiensi karena mampu menurunkan harga listrik sehingga pemerintah tidak perlu menetapkan kebijakan
119
kenaikan TDL. Sebagaimana ditunjukkan efisiensi 10 persen di sektor listrik mampu menurunkan harga listrik hingga 24,97 persen. 2.
Meningkatnya biaya produksi pada sektor ekonomi akibat kebijakan kenaikan TDL hendaknya diimbangi dengan peningkatan efisiensi oleh produsen sehingga output yang dihasilkan bisa bersaing harga baik dipasar domestik maupun luar negeri.
3.
Pemerintah perlu membuat kebijakan menurunkan PPN saat perekonomian melemah akibat kenaikan TDL, sehingga industri tetap mampu berproduksi dengan harga output sesuai daya beli masyarakat.
4.
Dalam jangka pendek dan panjang, untuk memulihkan pertumbuhan ekonomi akibat kenaikan TDL Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan perusahaan untuk melakukan efisiensi produksi, namun harus berperan dalam menarik investor sehingga mau menanamkan modalnya di Indonesia. Pemerintah harus memberikan iklim investasi yang kondusif bagi investor dengan cara memberikan kepastian hukum, menstabilkan sosial politik dan keamanan.
5.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut, terutama mengenai dampak kenaikan TDL yang dirinci menurut golongan tarif pada tiap kelompok pelanggan sesuai dengan kebijakan yang berlaku sehingga dampak yang diperoleh mampu mencerminkan keadaan sebenarnya. Disamping itu, untuk menghindari masalah black blox dalam model CGE, penelitian lebih lanjut tersebut hendaknya disertai dengan perbaikan data-data pendukung yang kualitasnya lebih baik dan diperoleh dari data empiris.
120
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR PUSTAKA Abimanyu A. 2004. Kajian Dampak Perubahan Trend Penggunaan Tenaga Listrik pada Sektor Industri. Laporan Akhir. Jakarta : Depkeu dan Center For Energy and Power Studies (CEPS). Boccanfuso D. 2007. Electricity Reforms in Senegal: A Macro–Micro Analysis of the Effects on Poverty and Distribution. Department of Economics, Université de Sherbrooke Canada. Cahier de recherche / Working Paper 07-12 GREDI. Bojanic A and Krakowski M. 2003. Regulation of the Electricity Industry in Bolivia: Its Impact on Access to the Poor, Prices and Quality. Hamburg Institute of International Economics (HWWA) Germany. Discussion Paper 250. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 Jakarta: BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia Tahun 2008 Jakarta: BPS [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Tabel Input Output UKM Tahun 2003. Jakarta : BPS Clements J dan Gupta. 2007. Real and Distributive Effects of Petroleum Price Liberalization : The Case of Indonesia . International Monetary Fund, The Developing Economies, XLV-2 (June 2007): 220–237 Delis A. 2008. Dampak Alokasi Dana Pembangunan Infrastruktur terhadap Kinerja Ekonomi di Indonesia: Suatu Pendekatan Model Keseimbangan Umum [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Detikfinance. 2010. Dirut PLN Beberkan Penyebab Kenaikan TDL Industri hingga 80 persen. Error! Hyperlink reference not valid.. Dixon PB, Parmenter BR, Powell A, dan Wilcoxen PJ. 1992. Notes and Problems in Applied General Equilibrium Economics. Amsterdam: North Holland. Escom. 2001. Dampak Kenaikan Harga BBM, Telepon dan TDL terhadap Inflasi. http://www.escom-online.com. Floriasari. 2009. Dampak Peningkatan Subsidi Listrik terhadap Distribusi Pendapatan Rumahtangga. [Skripsi]. Jakarta : Sekolah Tinggi Ilmu Statistik.
122
Hayati F. 2008. Permintaan Konsumen Terhadap Listrik Pada Rumahtangga. [Skripsi]. Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia. Horridge M. 2001. Minimal: A Simplified general Equilibrium Model. Australia: Centre of Policy Studies and Impact Project, Monash University. Komaidi dan Rakhmanto P. 2010. Mengukur Dampak Ekonomi Kenaikan TDL 2010. Konferensi Pers ReforMiner Institute. Jakarta Lypsey R.G, Courant, Purvis dan Steiner. 1997. Pengantar Makroekonomi . Bina Rupa Aksara, Jakarta. Mankiw NG. 2007. Makroekonomi. Lisa F, Imam N, penerjemah; Hardani W, Devri B, Suryadi S, editor. Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Macroeconomics. Makmun dan Abdurrahman. 2003. Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik Terhadap Konsumsi Listrik dan Pendapatan Masyarakat. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 6 Nomor 2.63-83. Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Mahendra IGNB, Abdul A, penerjemah; Kristiaji WC, Yati S, Nurcahyo M, editor. Edke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Intermediate Microeconomics and Its Application. Oktaviani R. 2008. Model Ekonomi Keseimbangan Umum: Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Bogor: FEM IPB. Oktaviani R. 2000. The Impact of APEC Trade Liberalization on Indonesian Economy and Its Agricultural Sektor [Disertasi]. The Sidney University. Oktaviani R. 2008. Model Ekonomi Keseimbangan Umum: Teori dan Aplikasinya di Indonesia. Bogor: FEM IPB. Oktaviani R, Dedi BH, Hermanto S, and Sahara. 2007. Impact of a Lower Oil Subsidy on Indonesia Macroeconomic Performance Agricultural Sector and Poverty Incidence: A Recursive Dynamic Computable General Equilibrium Analysis. MPIA Working Paper 2007-08. [PLN] Perusahaan Listrik Negara. 2010. Statistik PLN tahun 2009. Jakarta : PLN Pouris R dan Anastassios I. 2010. Forecasting electricity demand in South Africa: Acritique of Eskom’s projections. Department of Economics, University of Pretoria, South Africa. Research Letter Vol. 106 No. 1/2 Page 1 - 4. Priyarsono DS. 2008. Ekonomi Publik. Jakarta: Universitas Terbuka.
123
Praptono. 2006. TDL, Titik Awal Efisiensi Nasional Majalah Warta Anggaran, Direktorat Jenderal Anggaran. Depkeu Edisi 5 Tahun 2006. Punt C. 2005. A Computable General Equilibrium(CGE) Analysis of the Impact of an Oil Price Increase in South Africa. Elsenburg Working Paper 2005: 1 Purwoko. 2006. Analisis Peran Subsidi bagi Industri dan Masyarakat Pengguna Listrik. Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 6 Nomor 2 .44-62 Pyndick RS. 2003. Mikro Ekonomi Jilid 1. Jakarta : PT. Indeks Riadi M. 2010. Dampak Kebijakan Stimulus Fiskal Bidang Infrastruktur Padatkarya terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Ekonomi Sektoral di Indonesia. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sahara. 2003. Dampak Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak, Tarif Dasar Listrik, Tarif Telephon dan Penyaluran Dana Kompensasi terhadap Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sahara dan Rina O. 2008. Penggunaan Program GEMPACK untuk Membangun Data Dasar dan Simulasi Model CGE. Bogor : Institut Pertanian Bogor Saragih F, 2010. Pengaruh Pelaksanaan Proyek Infrastruktur terhadap Perkembangan Variabel Makro . Jakarta Stiglitz JE. 2000. Economics of the Public Sektor. Third Ed. New York: W.W. Norton & Company. Sudarsono. 1995. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta: LPPPES. Sugiyono A. 2009. Dampak Kebijakan Energy terhadap Perekonomian di Indonesia. Kolokium Nasional Program Doktor Tahun 2009. Yogyakarta Sugema 2005. Dampak Kenaikan Harga BBM dan Effektivitas Program Kompensasi. Jakarta: Tim INDEF dan FEM IPB. Tribuana N. 2000. Laporan Akhir Pengkajian Tekno Ekonomi ketenaga listrikan Bidang Harga Jual Tenaga listrik. Proyek Induk Sarana Pengujian dan Penunjang Ketenagalistrikan. Jakarta : Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi Wittwer G. 1999. WAYANG: A General Equilibrium Model Adapted for Indonesian Economy. Centre for International Economic Studies, School of EcAdelaide.
124
Halaman ini sengaja dikosongkan
Lampiran 1 Blok persamaan pada file input tablo Model CGE INDOTDL. ! INDOTDL 21 model: IO 2008 ! ! Excerpt 1 of TABLO input file: ! ! Sets and flows data! Set ! User categories: IO table columns ! IND # Industries # (Pertanian, Tambangali, IndMakMin, IndTekstPak,IndBambuKy, IndKertas, IndKimia, IndKrtPlstk, IndSemen, IndLgmDsr, IndBrgLgm, IndMesin, Indlainnya, Listrik900, Listrik1300, Gasair, Bangunan, PerdagHR, Angkom, KeuJspersh, JasaLain); ! subscript i ! FINALUSER # Final demanders # (InvStock, HouseHB, HouseHA, Export, GovGE); ! subscript u ! USER # All users #= IND union FINALUSER; IMPUSER # Non-export demanders: users of imports # (Pertanian, Tambangali, IndMakMin, IndTekstPak, IndBambuKy, IndKertas, IndKimia, IndKrtPlstk, IndSemen, IndLgmDsr,IndBrgLgm, IndMesin, Indlainnya, Listrik900, Listrik1300, Gasair, Bangunan, PerdagHR, Angkom, KeuJspersh, JasaLain, InvStock, HouseHB, HouseHA, GovGE); HH # Total household demand # (HouseHB, HouseHA); Subset IMPUSER is subset of USER; IND is subset of IMPUSER; HH is subset of IMPUSER; Set ! Input categories: IO table rows ! COM # Commodities # (Pertanian, Tambangali, IndMakMin, IndTekstPak, IndBambuKy, IndKertas, IndKimia, IndKrtPlstk, IndSemen, IndLgmDsr, IndBrgLgm, IndMesin, Indlainnya, Listrik900, Listrik1300, Gasair, Bangunan, PerdagHR, Angkom, KeuJspersh, JasaLain); ! subscript c ! SRC # Source of commodities # (domestik,impor); !subscript s ! FAC # Primary factors # (Labour, Capital); ! subscript f ! Coefficient (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,USER) (all,f,FAC)(all,i,IND) (all,i,IND) (all,c,COM) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH)
USE(c,s,u) # USE matrix #; FACTOR(f,i) # Wages and profits #; V1PTX(i) # Production tax revenue# ; V0MTX(c) # import tax revenue #; V3TAX(c,s,u) # Taxes on households #;
File BASEDATA # Flows Data File #; Read USE from file BASEDATA header "USE"; FACTOR from file BASEDATA header "1FAC"; V0MTX from file BASEDATA header "0TAR"; V1PTX from file BASEDATA header "1PTX"; V3TAX from file BASEDATA header "3TAX";
126
! Excerpt 2 of TABLO input file: ! ! Useful aggregates of the base data ! Coefficient (all,c,COM)(all,u,USER) USE_S(c,u) # USE matrix, dom+imp together#; (all,u,USER) USE_CS(u) # Total user expenditure on goods #; USE_C(s,u) (all,u,USER)(all,s,SRC) # Expenditure by user u on total goods of source s #; SALES(c,s) # Total value of sales #; (all,c,COM)(all,s,SRC) V1PRIM(i) # Wages plus profits #; (all,i,IND) V1TOT(i) # Industry Costs #; (all,i,IND) V3TOT_HH(u)# Total purchases by each households# ; (all,u,HH) V3TOT # Total purchases by households #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH) V3PUR(c,s,u) # Households purch. value #; V0CIF(c) # Aggregate imports at border prices #; (all,c,COM) Formula (all,c,COM)(all,u,USER) (all,u,USER) (all,u,USER)(all,s,SRC) (all,c,COM)(all,s,SRC) (all,i,IND) (all,i,IND) (all,u,HH)
USE_S(c,u) = sum{s,SRC,USE(c,s,u)}; USE_CS(u) = sum{c,COM,USE_S(c,u)}; USE_C(s,u) = sum{c,COM,USE(c,s,u)}; SALES(c,s) = sum{u,USER,USE(c,s,u)}; V1PRIM(i) = sum{f,FAC,FACTOR(f,i)}; V1TOT(i) = V1PRIM(i) + sum{c,COM,USE_S(c,i)}; V3TOT_HH(u) = sum{c,COM, USE_S(c,u) }; V3TOT = sum(u,HH,V3TOT_HH(u)); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH) V3PUR(c,s,u) = USE(c,s,u)+ V3TAX(c,s,u); V0CIF(c) = SALES(c,"impor") - V0MTX(c); (all,c,COM)
! Excerpt 3 of TABLO input file: ! ! Total demands for commodities ! Variable (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,USER) x(c,s,u) # Demand by user u for good c, source s #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH) x3(c,s,u) # Demand by household u for good c, source s #; (all,c,COM)(all,s,SRC) x0(c,s) # Total demand for good c, source s #; Equation E_x0 (all,c,COM)(all,s,SRC) SALES(c,s)*x0(c,s)= sum{u,USER,USE(c,s,u)*x(c,s,u)}; ! Excerpt 4 of TABLO input file: ! ! Import/Domestic sourcing decision for all non-export users! Variable (all,c,COM)(all,s,SRC) p(c,s) #User price of good c,source s #; (all,c,COM)(all,u,IMPUSER) p_s(c,u) # User price of composite good c #; (all,c,COM)(all,u,HH) p3_s(c,u) # Purchaser's price household of composite good c #; p3(c,s,u) # Purchaser's price, household #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH) (all,c,COM)(all,u,IMPUSER) x_s(c,u) # Use of composite good c #; (all,c,COM)(all,u,HH) x3_s(c,u) # Use household of composite good c #; (all,c,COM)(all,u,HH) f3tax(c,u) # shifter in power of taxes on Household usage#;
127
Coefficient (all,c,COM) SIGMA(c) # elasticity of substitution: domestic/imported #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,IMPUSER) SRCSHR(c,s,u) # imp/dom shares #; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH) SRCHH(c,s,u) # imp/dom household shares #; (all,c,COM)(all,u,HH) V3PUR_S(c,u) # Dom+imp households purch. value #; Read SIGMA from file BASEDATA header "ARM"; Formula (all,c,COM)(all,u,HH) V3PUR_S(c,u) = sum{s,SRC,V3PUR(c,s,u)}; (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,IMPUSER) SRCSHR(c,s,u) = USE(c,s,u)/USE_S(c,u); (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH) SRCHH(c,s,u) = V3PUR(c,s,u)/V3PUR_S(c,u); Equation E_x (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,IMPUSER) x(c,s,u) = x_s(c,u) - SIGMA(c)*[p(c,s) - p_s(c,u)]; Equation E_x3 (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH) x3(c,s,u)= x3_s(c,u) - SIGMA(c)*[p3(c,s,u)- p3_s(c,u)]; Equation E_x3_s (all,c,COM)(all,u,HH) x3_s(c,u)= sum{s,SRC,x(c,s,u)}; Equation E_p_s (all,c,COM)(all,u,IMPUSER) p_s(c,u) = sum{s,SRC, SRCSHR(c,s,u)*p(c,s)}; Equation E_p3_s (all,c,COM)(all,u,HH) p3_s(c,u) = sum{s,SRC, SRCHH(c,s,u)*[p3(c,s,u)]}; Equation E_p3 # Purchasers prices - households # (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH) V3PUR(c,s,u)*p3(c,s,u) = [V3PUR(c,s,u)]*[p(c,s)+f3tax(c,u)]; ! Excerpt 5 of TABLO input file: ! ! Demands for capital and labour ! Variable (all,i,IND) (all,i,IND) (all,i,IND) (all,i,IND) (all,i,IND)
x1prim(i) # Industry demand for primary-factor composite #; p1prim(i) # Price of primary factor composite #; x1lab(i) # Employment by industry #; p1lab # Economy-wide wage rate #; x1cap(i) # Current capital stock #; p1cap(i) # Rental price of capital #;
Coefficient (all,i,IND) SIGMA1PRIM(i) # CES substitution, primary factors #; Read SIGMA1PRIM from file BASEDATA header "P028"; Equation E_x1lab (all,i,IND) x1lab(i) = x1prim(i) - SIGMA1PRIM(i)*[p1lab-p1prim(i)];
128
Equation E_x1cap (all,i,IND) x1cap(i) = x1prim(i) - SIGMA1PRIM(i)*[p1cap(i)-p1prim(i)]; Equation E_p1prim (all,i,IND) V1PRIM(i)*p1prim(i) = FACTOR("Labour",i)*p1lab + FACTOR("Capital",i)*p1cap(i); ! Excerpt 6 of TABLO input file: ! ! Demands for composite inputs to production ! Variable (all,i,IND) x1tot(i) # Industry output #; (all,i,IND) a1prim(i) # All primary-factor augmenting technical change #; (all,i,IND) p1tot(i) # Unit cost of production #; Equation E_x1 # demand for commodity composites # (all,c,COM)(all,i,IND) x_s(c,i)= x1tot(i); Equation E_x1prim # demand for primary-factor composites # (all,i,IND) x1prim(i) = a1prim(i) + x1tot(i); Equation E_p1tot # cost of production = cost of all inputs # (all,i,IND) V1TOT(i)*[p1tot(i)+ x1tot(i)] = sum{c,COM,sum{s,SRC, USE(c,s,i)*[p(c,s) + x(c,s,i)]}} + FACTOR("Labour",i)*[p1lab + x1lab(i)] + FACTOR("Capital",i)*[p1cap(i)+ x1cap(i)];
! Excerpt 7_T of TABLO input file: ! ! Total household demands ! Variable (all,u,HH) (all,u,HH) (all,u,HH)
w3tot_hh(u) x3tot_hh(u) p3tot_hh(u) p3tot x3tot w3tot
# Nominal total consumption, each household #; # Real total consumption, each household #; # consumer price index, each household #; # Consumer price index #; # Real total household consumption #; # Nominal total household consumption #;
Equation E_x3_hh (all,c,COM) (all,u,HH) x_s(c,u) + p_s(c,u) = w3tot_hh(u);
129
Equation E_x3tot_hh # Real consumption # (all,u,HH)V3TOT_HH(u)*x3tot_hh(u) = sum{c,COM,sum{s,SRC,V3PUR(c,s,u)*x3(c,s,u)}}; Equation E_p3tot_hh # Consumer price index # (all,u,HH)V3TOT_HH(u)*p3tot_hh(u) = sum{c,COM,sum{s,SRC,V3PUR(c,s,u)*p3(c,s,u)}}; Equation E_w3tot_hh # Household budget constraint # (all,u,HH)w3tot_hh(u) = x3tot_hh(u) + p3tot_hh(u); Equation E_x3tot # Real consumption # V3TOT*x3tot = sum{u,HH,V3TOT_HH(u)*x3tot_hh(u)}; Equation E_p3tot # Consumer price index # V3TOT*p3tot = sum{u,HH,V3TOT_HH(u)*p3tot_hh(u)}; Equation E_w3tot # Household budget constraint # w3tot = x3tot + p3tot; ! Excerpt 8 of TABLO input file: ! ! Export demands ! Variable (all,c,COM) (all,c,COM)
pworld(c) f4q(c) phi
# World prices, measured in foreign currency #; # Quantity shift in foreign demand #; # Exchange rate, (local $)/(foreign $) #;
Coefficient (all,c,COM) EXP_ELAST(c) # Export demand elasticities #; Read EXP_ELAST from file BASEDATA header "P018"; Equation E_x4a (all,c,COM) x(c,"domestik","Export") = f4q(c)-EXP_ELAST(c)*[{p(c,"domestik")-phi}- pworld(c)]; Equation E_x4b (all,c,COM) x(c,"impor","Export") = 0; ! Excerpt 9 of TABLO input file: ! ! Market clearing and prices for domestic commodities ! Subset COM is subset of IND; Equation E_x1tot (all,c,COM) x1tot(c) = x0(c,"domestik"); Variable (change)(all,c,COM) Delptxrate(c) # Ordinary change in rate of domestic tax #; Equation E_pA !Prices for domestic commodities ! (all,c,COM) p(c,"domestik") = p1tot(c) + 100*[V1TOT(c)/(V1TOT(c)+V1PTX(c))]*Delptxrate(c);
130
! Excerpt 10 of TABLO input file: ! ! Prices for imported commodities ! Variable (change)(all,c,COM) Delmtxrate(c) # Ordinary change in rate of import tax #; Equation E_pB !Prices for import commodities ! (all,c,COM) p(c,"impor") = pworld(c)+phi +100*[V0CIF(c)/SALES(c,"impor")]*Delmtxrate(c); ! Excerpt 11 of TABLO input file: ! ! GDP from income side ! Variable w0gdpinc # Nominal GDP from income side #; Coefficient V0GDPINC # GDP from income side #; Formula
V0GDPINC = sum{i,IND, sum{f,FAC, FACTOR(f,i)}} + sum{c,COM, V1PTX(c) + V0MTX(c)};
Equation E_w0gdpinc V0GDPINC*w0gdpinc = sum{i,IND, FACTOR( "Labour",i)*[p1lab + x1lab(i)]} +sum{i,IND, FACTOR("Capital",i)*[p1cap(i) + x1cap(i)]} +sum{c,COM, 100*V1TOT(c)*Delptxrate(c) + V1PTX(c)*[ x1tot(c)+ p1tot(c)]} +sum{c,COM, 100*V0CIF(c)*Delmtxrate(c) + V0MTX(c)* [x0(c,"impor")+pworld(c)+phi]}; ! Excerpt 12 of TABLO input file: ! ! Expenditure-side GDP measures ! Variable w0gdpexp # Nominal GDP from expenditure side #; p0gdpexp # GDP price index, expenditure side #; x0gdpexp # Real GDP from expenditure side #; Coefficient V0GDPEXP # GDP from expenditure side #; Formula V0GDPEXP = sum{c,COM, sum{s,SRC,sum{u,FINALUSER, USE(c,s,u)}} V0CIF(c)};
131
Equation E_w0gdpexp V0GDPEXP*w0gdpexp = sum{c,COM, sum{s,SRC,sum{u,FINALUSER, USE(c,s,u)*[p(c,s)+x(c,s,u)]}} - V0CIF(c)*[x0(c,"impor")+ pworld(c)+phi]}; Equation E_p0gdpexp V0GDPEXP*p0gdpexp = sum{c,COM, sum{s,SRC,sum{u,FINALUSER, USE(c,s,u)*p(c,s)}} -V0CIF(c)*[pworld(c)+phi]}; Equation E_x0gdpexp x0gdpexp = w0gdpexp - p0gdpexp; ! Excerpt 13 of TABLO input file: ! ! More macro variables ! Variable x4tot # Export volume index #; p4tot # Export price index #; p2tot # Investment price index #; x0cif_c # Import volume index, CIF prices #; (change) delB # (Balance of trade)/GDP #; Equation E_x4tot sum{c,COM, USE(c,"domestik","Export")*[x4tot - x(c,"domestik","Export")]} = 0; Equation E_p4tot sum{c,COM, USE(c,"domestik","Export")*[p4tot - p(c,"domestik")]} = 0; Equation E_p2tot sum{c,COM, sum{s,SRC, USE(c,s,"InvStock")*[p2tot - p(c,s)]}} = 0; Equation E_x0cif_c sum{c,COM, V0CIF(c)*[x0cif_c - x0(c,"impor")]}=0; Equation E_delB 100*V0GDPEXP*delB=sum{c,COM, USE(c,"domestik","Export")*[p(c,"domestik")+ x(c,"domestik","Export")-w0gdpexp] - V0CIF(c)*[x0(c,"impor")+ pworld(c)+phi-w0gdpexp]};
132
! Excerpt 14 of TABLO input file: ! ! Variables to assist factor market closure ! Variable
realwage # Wage rate deflated by CPI #; employ # Aggregate employment #; (all,i,IND) gret(i) # Gross rate of return #;
Equation E_realwage realwage = p1lab - p3tot; Equation E_employ sum{i,IND, FACTOR("Labour",i)*[employ - x1lab(i)]}=0; Equation E_gret
(all,i,IND) gret(i) = p1cap(i) - p2tot;
! Excerpt 15 of TABLO input file: ! ! Updating rules ! Update (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,USER)
USE(c,s,u)
= p(c,s)*x(c,s,u);
(all,i,IND)
FACTOR("Labour",i) = p1lab*x1lab(i);
(all,i,IND)
FACTOR("Capital",i) = p1cap(i)*x1cap(i);
(change) (all,c,COM)(all,s,SRC)(all,u,HH) V3TAX(c,s,u) = V3TAX(c,s,u)* [x(c,s,u) + p(c,s)]/100 + V3PUR(c,s,u)*f3tax(c,u)/100; (change)(all,c,COM) V0MTX(c) = V0CIF(c)*Delmtxrate(c) + 0.01*V0MTX(c)*[x0(c,"impor")+ pworld(c)+phi]; (change)(all,c,COM) V1PTX(c) = V1TOT(c)*Delptxrate(c) + 0.01*V1PTX(c)*[x1tot(c)+ p1tot(c)]; ! Excerpt 16 of TABLO input file: ! ! Summarize and check data ! File (new) SUMMARY # output file for summary data #; Coefficient (all,c,COM) CHECK(c) # (costs + tax) - sales : should = 0 #; Formula
(all,c,COM) CHECK(c) = V1TOT(c) + V1PTX(c) – SALES(c,"domestik");
133
Set COSTCAT # cost categories # = SRC union FAC; Coefficient (all,c,COSTCAT)(all,i,IND) COSTMAT(c,i) # Summary of industry costs #; Formula (all,i,IND)(all,s,SRC) COSTMAT(s,i) = sum{c,COM,USE(c,s,i)}; (all,i,IND)(all,f,FAC) COSTMAT(f,i) = FACTOR(f,i); Write CHECK to file SUMMARY header "CHEK"; COSTMAT to file SUMMARY header "COST"; SALES to file SUMMARY header "SALE"; V1PRIM to file SUMMARY header "1PRM"; V1TOT to file SUMMARY header "1TOT"; V0CIF to file SUMMARY header "0CIF"; V0GDPEXP to file SUMMARY header "GDPE"; V0GDPINC to file SUMMARY header "GDPI"; ! Excerpt 17 of TABLO input file: ! ! More summary data ! Set MAINUSER # broad user groups # (Intermediate, InvStock, HouseHB, HouseHA, Export, GovGE); Subset FinalUser is subset of MAINUSER; Coefficient (all,c,COM)(all,u,MAINUSER) MAINSALES(c,u) # Summary of sales #; Formula (all,c,COM) MAINSALES(c,"Intermediate") = sum{i,IND,USE(c,"domestik",i)}; (all,c,COM)(all,u,FINALUSER) MAINSALES(c,u) = USE(c,"domestik",u); Coefficient (all,i,IND) CAPSHR(i) # Share of capital in primary factor costs #; Formula (all,i,IND) CAPSHR(i) = FACTOR("capital",i)/V1PRIM(i); Coefficient (all,c,COM) IMPSHR(c) # Share imports in local purchases #; Formula (all,c,COM) IMPSHR(c) = sum{u,IMPUSER,USE(c,"impor",u)}/sum{u,IMPUSER,USE_S(c,u)}; Write MAINSALES to file SUMMARY header "MSAL"; CAPSHR to file SUMMARY header "KSHR"; IMPSHR to file SUMMARY header "MSHR"; ! end
134
Lampiran 2 Jumlah bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik PLN tahun 2001-2009. Jumlah BBM (kilo liter)
Tahun HSD
IDO
MFO
Batubara (Ton)
Tot
Gas Alam (MMSCF)
2001
3.575.480
30.457
1.793.283
5.399.220
14.027.713
222.421
2002
4.625.521
40.682
2.300.603
6.966.806
14.054.377
192.927
2003
5.024.362
31.573
2.557.546
7.613.481
15.260.305
184.304
2004
6.299.706
36.935
2.502.598
8.839.239
15.412.738
176.436
2005
7.626.201
27.581
2.258.776
9.912.558
16.900.972
143.050
2006
7.586.916
23.977
2.387.622
9.998.515
19.084.438
157.894
2007
7.874.290
13.557
2.801.128
10.688.975
21.466.348
171.209
2008
8.127.546
28.989
3.163.954
11.320.489
20.999.521
181.661
2009
6.365.116
11.132
3.032.657
9.408.905
21.604.464
266.539
Lampiran 3 Harga bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik tahun 2001-2009. Harga BBM (Rp/ liter)
Tahun HSD
IDO
MFO
Batubara (Rp/Kg)
Tot
Gas Alam (Rp/MSCF)
2001
879
797
655
804
200
26.074
2002
1.407
1.332
127
1.314
220
23.497
2003
1.741
1.705
1.595
1.680
231
21.550
2004
1.829
1.694
1.698
1.740
231
21.258
2005
2.819
2.486
2.418
2.574
252
25.324
2006
5.629
5.351
3.535
4.838
336
24.186
2007
5.350
5.275
3.563
4.881
339
23.481
2008
8.738
8.650
5.762
7.906
489
29.128
2009
5.601
5.552
4.316
5.187
732
37.998
135
Lampiran 4
Nilai biaya bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik tahun 2001-2009. Nilai (juta RP) BBM
Tahun HSD
IDO
MFO
2001
3.141.131
24.275
2002
6.507.137
54.179
2003
8.746.962
53.835
2004
11.522.855
62.572
2005
21.499.405
2006
42.708.343
2007
42.124.381
2008 2009
Tot
1.174.098
Batubara
Gas Alam
Total
4.339.503
2.799.932
5.799.356
12.938.791
292.294
6.853.610
3.088.449
4.533.190
14.475.249
4.079.670
12.880.467
3.522.384
3.971.825
20.374.675
4.248.661
15.834.088
3.556.489
3.750.685
23.141.262
68.566
5.462.150
27.030.120
4.251.440
3.622.564
34.904.124
128.292
8.439.122
51.275.757
6.408.745
3.818.760
61.503.262
71.519
9.981.568
52.177.467
7.271.940
4.020.157
63.469.564
71.020.529
250.762
18.231.019
89.502.310
10.273.596
5.291.451
105.067.356
35.651.460
61.809
13.088.523
48.801.792
15.821.381
10.128.077
74.751.250
Lampiran 5 Share nilai biaya bahan bakar yang digunakan untuk membangkitkan listrik tahun 2001-2009. Komposisi BBM
Tahun HSD
IDO
2001
24,28
0,19
2002
44,95
2003
42,93
2004
MFO
Tot
Batubara
Gas Alam
Total
9,07
33,54
21,64
44,82
100,00
0,37
2,02
47,35
21,34
31,32
100,00
0,26
20,02
63,22
17,29
19,49
100,00
49,79
0,27
18,36
68,42
15,37
16,21
100,00
2005
61,60
0,20
15,65
77,44
12,18
10,38
100,00
2006
69,44
0,21
13,72
83,37
10,42
6,21
100,00
2007
66,37
0,11
15,73
82,21
11,46
6,33
100,00
2008
67,60
0,24
17,35
85,19
9,78
5,04
100,00
2009
47,69
0,08
17,51
65,29
21,17
13,55
100,00
136
Lampiran 6 Ringkasan hasil penelitian empiris sebelumnya No.
Peneliti/tahun
Data Dasar
Alat Analisis
Hasil
1.
Komaidi dan
FSAM 2005
Metode WAB
Kenaikan TDL sebesar 10% – 20% berpotensi menambah biaya
Rakhmanto P.
produksi sektor utama pengguna listrik rata‐rata sebesar 2,13 – 4,25 %
(2010)
dan menambah besaran inflasi nasional sebesar 0,63% – 1,36 % juga berpotensi menurunkan konsumsi listrik dan permintaan tenaga kerja masing‐masing sebesar 6,70% – 13,40 % dan 1,17% – 2,35%. Dari hasil simulasi 10 sektor ekonomi yang terdampak besar terkait kenaikan TDL, merupakan sektor‐sektor ekonomi yang padat tenaga kerja
2.
Floriasari AS.
SNSE 2005
(2009)
Analisis dampak SAM dan Jalur transmisi
Kenaikan subsidi
listrik akan menyebabkan kenaikan pendapatan
tertinggi diterima oleh rumah tangga pengusaha golongan atas yang berada di perkotaan sekaligus pemilik modal. Rumah tangga buruh pertanian akan mendapatkan pendapatan terkecil. Kenaikan subsidi listrik meningkatkan pendapatan namun kesenjangan pendapatan semakin lebar.
3.
Makmun dan Abdurahman (2003)
SNSE 2003
Analisis
Kenaikan TDL sebesar 10 persen berdampak terhadap turunannya
dampak SAM
income riil rumah tangga buruh tani sekitar 1,47 persen dan rumah tangga non pertanian golongan bawah turun 3,47 persen. Kelompok masyarakat yang paling banyak mengalami penurunan income riil adalah rumah tangga bukan pertanian golongan bawah, yang turun income riilnya sampai 5,26 persen. Sedangkan pengurangan balas jasa yang diterima perusahaan sekitar 1,46 persen.
138
4
Sahara.
Tabel I-O
Analisis CGE
Kenaikan TDL akan menyebabkan penurunan GDP riil sebesar 0,49%
(2003)
1995 dan
dengan model
pada jangka pendek dan sebesar 2,21 % pada jangka panjang. Kenaikan
SNSE 1995
INDOF,
TDL direspon oleh dengan penurunan konsumsi pada jangka pendek sebaliknya
pada
jangka
panjang
berdampak
pada
peningkatan
konsumsinya. Kenaikan TDL pada jangka pendek maupun panjang menyebabkan penurunan penggunaan tenaga kerja pada semua jenis pekerjaan. 5.
Tribuana N. (2000)
Tabel I-O 1995
Analisis CGE.
Kenaikan TDL sebesar 1 % menyebabkan GDP riil turun sebesar 0,002 % pada kondisi short run, dan turun sebesar 0,04 % pada kondisi long-run. Untuk setiap 1 % kenaikan TDL menyebabkan total investasi riil turun sebesar 0,01 % pada kondisi short-run dan turun sebesar 0,03 % pada kondisi long-run. Pada kondisi short-run, kenaikan TDL pengaruhnya relatif kecil (0,004%) terhadap penurunan penggunaan tenaga kerja . Pada kondisi long-run, setiap 1 % kenaikan tarif listrik mengakibatkan penurunan penggunaan tenaga kerja sebesar 0,065 % .
139
Halaman ini sengaja dikosongkan