KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA DI DESA PERKEBUNAN (Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)
VIDYA HARTINI SIMARMATA I34051442
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT Local poverty definition in Padajaya Village and Padajembar Village are an inability to attain a minimum standard of living and having no house. Agrarian problems of upland village are contour and fertility of land, relation between peasants and Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), small land ownership by peasants, environment damages, low access of transportation access, credit, cooperation, and agriculture extension. Agrarian reform consists of landreform and access reform. Access reforms that must be done in Padajaya Village and Padajembar Village are: developing peasant organisation, infrastructure, increasing capacity of agent of change and research, creating credit incentives. Key Word : Agrarian reform, upland poverty, agrarian problem and access.
RINGKASAN VIDYA HARTINI SIMARMATA. Kemiskinan Dan Reforma Akses Agraria Di Desa Perkebunan. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor (di bawah bimbingan IVANOVICH AGUSTA). Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS per Maret 2008, menunjukkan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan sebagian besar penduduk miskin berada di daerah perdesaaan (63,47%). Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah agraria khususnya tanah. Menurut Syahyuti (2006), asumsi dasar yang melandasinya adalah karena sebagian besar rakyatnya masih menggantungkan hidupnya pada tanah. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk memetakan dan menganalisis kontruksi kemiskinan, masalah agraria yang masyarakat hadapi dan kegiatan reforma akses agraria apa saja yang relevan diterapkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Peneliti memilih Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dikarenakan keunikan dari kedua kampung tersebut, yang masih termasuk ke dalam daerah perkebunan Cianten, akan tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dari kampung lainnya. Pada Kampung Padajaya, sebagian besar masyarakatnya tidak menopangkan hidupnya pada perkebunan, sedangkan pada Kampung Padajembar, sebaliknya sebagian besar penduduknya menopangkan hidupnya pada perkebunan. Definisi kemiskinan lokal Kampug Padajaya dan Kampung Padajembar adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki rumah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa, yaitu tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMP. Tangga kehidupan masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: fakir miskin, fakir, miskin, sedang, standar dan mampu. Pembuatan indikator dari tangga kehidupan ini dibuat berdasarkan tingkat penghasilan yang dimiliki oleh warga masyarakat di dusun tersebut, yang kemudian dikembangkan. Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak. Masyarakat pada umunya menanam padi sebagai komoditas utama, karena padi adalah kebutuhan utama pangan mereka. Masalah agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu penguasaan yang sempit oleh petani, degradasi tanah, akses transportasi yang sulit, tidak adanya penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit, tidak adanya koperasi. Reforma akses agraria yang harus dilakukan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: pembangunan infrastruktur, peningkatan produktivitas tanah, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit, adanya penyuluhan dan penelitian di yang terakhir yaitu perlu adanya pemerataan akses agaria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sesuai dengan tingkat kesejahteraan yang dapat dilihat melalui tangga kehidupan warga dan luas lahan pertanian yang mereka miliki.
KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA DI DESA PERKEBUNAN (Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)
VIDYA HARTINI SIMARMATA I34051442
SKRIPSI Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Vidya Hartini Simarmata
Nomor Pokok : I34051442 Judul
: Kemiskinan dan Reforma Akses Agraria di Desa Perkebunan (Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong,
Desa
Purwabakti,
Kecamatan
Pamijahan,
Kabupaten Bogor).
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ivanovich Agusta SP, MSi NIP. 19700816 199702 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001
Tanggal Lulus Ujian: ___________________
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KEMISKINAN
DAN
REFORMA
AKSES
AGRARIA
DI
DESA
PERKEBUNAN. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor” INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH
DIAJUKAN
SEBAGAI
KARYA
ILMIAH
PADA
SUATU
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENARBENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHANBAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA
DAN
SAYA
JAWABKAN PERNYATAAN INI.
BERSEDIA
MEMPERTANGGUNG-
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, 20 April 1987 sebagai anak kedua dari pasangan suami istri Janson P. Simarmata, MSc dan Norma Siahaan, BA. Pada tahun 1993 penulis masuk Sekolah Dasar Budhi Bhakti Bogor. Tahun 1999 meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri I Darmaga Bogor dan tahun 2002 melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Kornita Bogor. Pada tahun 2005, penulis diterima masuk ke IPB melalui jalur USMI (Usulan Masuk IPB) dan tercatat sebagai Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disamping belajar, penulis aktif sebagai panitia penyelenggara pada beberapa kegiatan di luar dan di dalam kampus dan sebagai anggota beberapa organisasi dalam kampus diantaranya sebagai divisi Multimedia And Advertising (MUSELSI) pada Himpunan Mahasiswa Peminat Komunikasi dan Pengembangan Masyarkat (HIMASIERA), Humas Onigiri Japan Club IPB, dan Komisi Pelayanan Khusus (KoPelKhu) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB. Pengalaman kerja penulis adalah sebagai penyiar di Radio Pertanian Ciawi dan notulen seminar.
KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan atas kasih dan pernyertaan Tuhan Yesus Kristus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kemiskinan dan Reforma Akses Agraria di Desa Perkebunan. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor” sebagai syarat kelulusan pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penekanan skripsi ini terletak pada kemiskinan sebagai dampak dari masalah-masalah agraria yang ada di desa perkebunan. Masalah-masalah yang penulis uraikan merupakan masalah yang umum terjadi di desa perkebunan Indonesia. Dalam tulisan ini juga, penulis menjabarkan kemiskinan yang terjadi di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dan penanggulangan kemiskinan melalui reforma akses agraria. Skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi mahasiswa lain yang juga tertarik dalam membahas kajian agraria. Penulis mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Bogor, September 2009
Penulis
UCAPAN TE RIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Bapa yang di Surga yang telah memberikan
kasih,
kekuatan
dan
berkatNya,
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tidak dapat penulis selesaikan tanpa mendapat bantuan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Ivanovich Agusta, SP, MSi selaku dosen pembimbing studi pustaka sekaligus dosen pembimbing skripsi, yang telah mengajarkan banyak hal mengenai penulisan, mengembangkan pola pikir dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan pengertian selama proses belajar menulis skripsi ini. 2. Ir. Said Rusli, MA atas kesediaan menjadi dosen penguji utama pada sidang dan masukan-masukan berharga yang telah diberikan. 3. Martua Sihaloho, SP, MSi atas kesediaan menjadi dosen penguji perwakilan departemen pada sidang skripsi, masukan-masukan yang membangun dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan di KPM. 4. Orang tua penulis, Bapak Janson P. Simarmata, MSc dan Ibu Norma Siahaan, BA atas dukungan doa selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 5. Saudara dan saudari penulis, Posmalini Simarmata, SE, Astrid Rahayu Kristi, SKPM, Doris Martugiana, dan Richard Simarmata atas motivasi dan doa selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 6. Pangihutan Sutan Sugondo Samosir, STp, atas dukungan yang selalu diberikan. 7. Mas Sohib ‘Sayogyo Inside’ atas bimbingan, saran, diskusi-diskusi, jurnal dan bahan-bahan agraria serta pinjaman buku yang diberikan. 8. Mas Eko ‘Sayogyo Inside’, Cici, Fahroji dan Yayan, atas transfer ilmu pengetahuan yang diberikan kepada penulis. 9. Aditya Rahman, teman sebimbingan penulis, yang selalu memberi semangat, dan selalu berjuang bersama baik suka dan duka.
10. M. Iqbal Banna, partner kerja penulis, atas teguran halus dan teguran kerasnya, yang membuat penulis belajar banyak hal selama penulis bekerja sambil mengerjakan skripsi ini. 11. Teman-teman Perwira 45 Teresia Tandean, STp, Veronica Gunawan, STp, Mervina, SGz, Franz Sahidi, Stella A.G, STp yang selalu mengerti keadaan penulis dan memberi semangat. 12. Teman-teman KPM 42 Wina, Ficha, Lidia, Mora, Palupi, Tamimi, Edu, Dito, Bibob, Rio, Yuda, Rizal, Anvina, Fahmi yang selalu membantu penulis dalam suka dan duka. 13. Sahabat penulis Narendra, Rifan, Kiki, Lina, Wanya, Fitri, dan Wani. 14. Keluarga kelompok kecil penulis Ci uke, Nina, Melda, Vania, dan Nikita atas doanya.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................... x DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 5 1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................... 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Kemiskinan ......................................................................................... 6 2.1.1 Konsep Kemiskinan .................................................................... 6 2.1.2 Indikator Kemiskinan : Aset dan Pendapatan .............................. 8 2.1.3 Penanggulangan Kemiskinan ...................................................... 12 2.2 Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan ........................... 14 2.3 Masalah-masalah Agraria di Perkebunan ............................................. 16 2.3.1 Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan ..................................... 18 2.3.2 Penguasaan yang Sempit oleh Petani .......................................... 19 2.3.3 Kerusakan Lingkungan ............................................................... 20 2.4 Reforma Agraria ................................................................................. 21 2.4.1 Konsep Reforma Agraria ............................................................. 21 2.4.2 Reforma Akses Agraria .............................................................. 24 2.4.3 Dampak Reforma Agraria ........................................................... 26 2.5 Kerangka Pemikiran ............................................................................ 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ............................................................................... 30 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................. 31 3.3 Pemilihan Tineliti dan Informan .......................................................... 36 3.4 Metode Pengambilan Data .................................................................. 38 3.4.1 Wawancara Mendalam ................................................................ 39 3.4.2 Pengamatan Berperan Serta ........................................................ 41 3.4.3 Penelusuran Dokumen ................................................................ 42 3.5 Teknik Analisis Data ........................................................................... 42 3.6 Bias Penelitian .................................................................................... 43
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA, DUSUN, KAMPUNG DAN PERKEBUNAN 4.1 Desa Purwabakti ................................................................................. 45 4.1.1 Kondisi Geografis Desa Purwabakti ........................................... 45 4.1.2 Kependudukan Desa Purwabakti ................................................ 46 4.1.3 Pendidikan Desa Purwabakti ...................................................... 48 4.2 Dusun Cigarehong .............................................................................. 49 4.3 Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar .................................... 50 4.3.1 Keadaan Geografi Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar50 4.3.2 Pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ..... 52 4.4 PTP. Nusantara VIII Perkebunan Cianten ............................................ 55 4.4.1 Keadaan Geografi ....................................................................... 55 4.4.2 Pekerja Perkebunan .................................................................... 57 4.4.3 Sejarah Perkebunan .................................................................... 59 4.4.4 Visi, Misi dan Kontribusi Perkebunan ........................................ 61 4.4.5 Penggunaan Lahan Perkebunan .................................................. 62 BAB V KONSTRUKSI KEMISKINAN LOKAL 5.1 Sejarah Penduduk Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ....... 64 5.2 Masyarakat sebagai Pekerja Perkebunan ............................................. 65 5.3 Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal ............... 72 5.4 Kemiskinan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ................ 78 5.5 Mobilitas Sosial .................................................................................. 84 5.5.1 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Miskin ............................................................................ 93 5.5.2 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jatuh Miskin ............................................................................. 95 5.5.3 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Kaya ......................................................................................... 98 5.5.4 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jadi Kaya ........................................................................................ 99 5.6 Modal Sosial Masyarakat .................................................................... 101 BAB VI MASALAH AGRARIA 6.1 Kontur Wilayah Perkebunan dan Kesuburan Tanah ............................. 103 6.2 Hubungan Petani dengan TNGH ......................................................... 107 6.3 Penguasaan yang Sempit oleh Petani .................................................... 109 6.4 Kerusakan Lingkungan ....................................................................... 114 6.5 Sulitnya Akses Transportasi ................................................................ 115 6.6 Tidak Adanya Penyuluhan .................................................................. 118 6.7 Tidak Adanya Penyaluran Kredit ........................................................ 121 6.8 Tidak Adanya Koperasi ....................................................................... 124
BAB VII REFORMA AKSES AGRARIA 7.1 Pengembangan Keorganisasian Petani ................................................ 7.2 Pembangunan Infrastruktur ................................................................ 7.3 Penyuluhan dan Penelitian ................................................................. 7.4 Pemberian Kredit ............................................................................... 7.5 Pemerataan Akses .............................................................................. BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan .......................................................................................... 8.2 Saran .................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. LAMPIRAN ..............................................................................................
128 129 130 131 131 137 138 139 141
DAFTAR TABEL
No.
Teks
Halaman
1.
Struktur permasalahan agraria di Indonesia ...........................................
17
2.
Topik Wawancara Penelitian .................................................................
40
3.
Luas dan Penggunaan Lahan Desa Purwabakti ......................................
46
4.
Struktur Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Purwabakti ...............
47
5.
Mata Pencaharian Penduduk Desa Puwabakti .........................................
48
6.
Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Purwabakti .....................................
49
7.
Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTPN VIII Kebun Cianten
57
8.
Penggunaan Lahan Perkebunan ...............................................................
63
9.
Mobilitas sosial Masyarakat ...................................................................
91
10. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009 ..........................................................
93
11. Jumlah Pemilik Sawah Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar .. 123
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Halaman
1.
Kerangka Pemikiran .............................................................................. 29
2.
Waktu Penelitian ................................................................................... 35
3.
Peta Desa .............................................................................................. 45
4.
SDN Ciasmara IV ................................................................................. 52
5.
Tempat Penitipan Anak (TPA) .............................................................. 53
6.
Pemetik Teh Mengantri Giliran untuk Penimbangan ............................. 66
7.
Juru Tulis Perkebunan ........................................................................... 67
8.
Tangga Kehidupan, Indikator Kemiskinan Lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar .................................................................... 74
9.
Grafik Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar 79
10. Indikator Mobilitas sosial ....................................................................... 86 11. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009 ......................................................... 92 12. Sawah yang Sesuai dengan Kontur Tanah Daerah Perkebunan ............... 104 13. Sayuran yang di Tanam Sesuai Kontur Tanah ....................................... 105 14. Tanaman Rempah dan Pohon Pisang Warga ........................................ 105 15. Padi Komoditas Utama Pertanian Masyarakat ....................................... 106 16. Grafik Luas Sawah Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar .......................................................................................... 112 17. Batu Kali di Tengah Sawah Masyarakat ................................................ 115 18. Sebaran Sawah Masyarakat Di Kampung Padajaya Dan Kampung Padajembar ........................................................................................... 124
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Halaman
1.
Pedoman Pertanyaan Penelitian ............................................................. 141
2.
Daftar Pengkategorian Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ........................................................................... 160
3.
Karaksteristik Rumah Tangga Miskin Menurut BPS ............................. 166
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Studi mengenai pedesaan di Indonesia tidak lepas dari permasalahan
kemiskinan. Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS per Maret 20081, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan sebagian besar penduduk miskin berada di daerah perdesaaan (63,47%). Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah agraria khususnya tanah. Menurut Syahyuti (2006), asumsi dasar yang melandasinya
adalah
karena
sebagian
besar
penduduk
desa
masih
menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan tanah yang lebih adil dan pemerataan akses terkait pengelolaan tanah tersebut kepada masyarakat merupakan instrumen yang esensial untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan penghasilan di pedesaan. Upaya untuk menanggulangi kemiskinan di pedesaan salah satunya dengan implementasi dari program reforma agraria, yang pada tahun 2007 dicanangkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Agrarian reform, atau adakalanya disebut reforma agraria dan pembaruan agraria (istilah resmi sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No. IX tahun 2001), memiliki pengertian yang lebih luas, yang mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana mencapai produksi dari tanah yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan (Cohen, 1978 dalam Pangkurian, 2008). 1
http://www.bps.go.id/releases/Other_Press_Releases/Bahasa_Indonesia/more3.html
Selain itu, urgensi dari reforma agraria tidak hanya untuk menanggulangi kemiskinan, menahan laju urbanisasi, menciptakan lapangan pekerjaan di desa, tetapi tujuan-tujuan ekonomis dari pelaksanaan reforma agraria juga akan mendukung pembangunan nasional yang kokoh. Melalui kokohnya pertanian, diharapkan Indonesia mempunyai kemadirian pangan dan dapat berdikari “Berdiri diatas kaki sendiri” sehingga dari pola perekonomian yang berbasis pertanian berubah menuju perekonomian yang berbasis industri dan tetap diperkuat oleh bidang pertanian (Wiradi, 2000). Sasaran reforma agraria bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanahtanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan, dan sumbersumber agraria lainnya, temasuk hak atas air, proteksi dari perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati (Wiradi, 2006). Desa perkebunan adalah salah satu sasaran dari reforma agraria. Menurut Mubyarto (1992), terutama pada perkebunan-perkebunan besar, banyak ditemui kasus rendahnya kesejahteraan buruh perkebunan karena upah yang diterima rendah. Rendahnya upah pada masyarakat perkebunan memaksa mereka untuk mencari tambahan penghasilan yaitu salah satunya dengan bertani menggunakan tanah-tanah yang tidak digunakan oleh perkebunan. Akan tetapi hasil yang didapatkan masyarakat dari bertani tidaklah banyak, bahkan tidak mencukupi untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Selain disebabkan oleh sempitnya lahan pertanian, masalah pertanian yang dihadapi oleh masyarakat perkebunan yaitu sulitnya akses terhadap “dunia luar” sehingga mereka sulit dalam mendapatkan fasilitas-fasilitas dari pemerintah dalam hal pertanian, baik
penyuluhan, pemberian bibit unggul, irigasi, maupun peningkatan inovasi teknologi dalam pertanian. Reforma agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi, di mana redistribusi tanah tidak diutamakan. Ada pula dengan menitikberatkan kepada perombakan struktur sosial dan asas pemerataan, dengan sasaran utama adalah redistribusi tanah. Redistribusi tanah seringkali disebut sebagai aspek landreform yaitu penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara itu, aspek nonlandreform adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah dengan menerapkan teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian dan lain-lain (Syahyuti, 2006).
1.2
Perumusan Masalah Kemiskinan di pedesaan dapat disebabkan oleh masalah pertanian maupun
non-pertanian. Akan tetapi penelitian ini akan lebih difokuskan pada masalah pertanian yang terdapat di daerah pedesaan, khususnya desa perkebunan, yaitu di Desa Purwabakti. Menurut Mubyarto (1992), kemiskinan di pedesaan, khususnya pada desa perkebunan, terjadi karena bekerjanya sistem “kapitalistik” pada perkebunan tersebut. Perkebunan dianggap sebagai “pabrik” pertanian sehingga dibutuhkan efisiensi dan efektifitas dalam setiap kegiatan produksi untuk menghasilkan untung yang sebesar-besarnya bagi pengelola pabrik tersebut, salah satunya yaitu dengan menekan upah dari karyawannya.
Penduduk yang menjadi karyawan dari perkebunan mengusahakan lahan yang ada disekitarnya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari karena kurangnya gaji yang didapatkan dari perkebunan. Di desa-desa perkebunan ditemukan petak-petak tanah pertanian penduduk yang menggunakan lerenglereng yang tidak digunakan oleh perusahaan perkebunan karena ketinggiannya yang tidak layak untuk penanaman komoditas perkebunan itu sendiri. Reforma akses agraria diharapkan dapat memberikan solusi bagi penduduk di pedesaan untuk keluar dari kemiskinan yang mereka alami. Reforma akses agraria ini berupa pemberian akses kepada masyarakat terkait pengelolaan tanah yang mereka gunakan agar dapat memaksimalkan produktivitas tanah mereka, untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas hasil panen yang maksimal, dengan tidak merusak alam. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pertanyaan penelitian ialah: 1. Bagaimana konstruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana masalah agraria memberikan kontribusi terhadap kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor? 3. Bagaimana masalah agraria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria?
1.3
Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan
untuk menjawab pertanyaan pada perumusan masalah. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Memahami konstruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. 2. Menganalisis masalah agraria yang memberikan kontribusi terhadap kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis masalah agraria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor yang dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria.
1.4
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan data kuantitatif mengenai
kemiskinan, masalah agraria dan reforma agraria khususnya pada desa perkebunan. Hasil analisis data tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penerapan program-program kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan di daerah tersebut, dan masukan bagi lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang hendak melaksanakan reforma agraria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.
BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1
Kemiskinan
2.1.1
Konsep Kemiskinan Pada hakikatnya, kemiskinan merupakan persoalan yang selalu ada, dari
dulu, dan mungkin akan selalu ada sampai kapanpun. Belum ada upaya penanggulangan kemiskinan yang berhasil dengan sempurna. Akan tetapi memahami konsep kemiskinan tetap penting, yaitu untuk menemukan indikator kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kemiskinan diartikan secara berbeda-beda oleh para pakar kemiskinan. Hal ini dikarenakan sudut pandang yang berbeda dalam melihat akar dari kemiskinan tersebut. Menurut Sudibyo (1995), kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki. Dari kelima deprivation trap tersebut, kerentaan dan ketidakberdayaan merupakan penyebab yang perlu mendapatkan perhatian. Kerentaan dan ketidakberdayaan tersebut mengakibatkan perbedaan kepemilikan faktor produksi. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, dan masing-masing pelaku ekonomi hanya akan memperoleh penghasilan yang sebanding dengan apa yang dikorbankan dan faktor produksi apa yang dimiliki. Menurut Syahyuti (2006), miskin adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut.
Soedjatmoko pada seminar ilmiah HIPIIS 2 menyatakan terdapat dua hubungan antara kemiskinan dan ketidakadilan. Ketidakadilan pada pemerataan terhadap pengadaan sumber-sumber daya maupun pelayanan sosial yang menyebabkan terjadinya kemiskinan mutlak. Adanya ketidakadilan ini juga berkaitan dengan pola organisasi sosial dan dengan pola pengaturan institusional. Sedangkan menurut Amartya Sen dalam Syahyuti (2006), “orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki sesuatu”. Maka kunci pemberantasan kemiskinan menurutnya adalah “akses”, yaitu akses ke lembaga pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hidup dengan kondisi yang berbeda dengan orang lain dalam hal aset yang berdampak pada akses mereka terhadap sumber daya yang ada dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Ketidaksamaan aset dan akses pada sumber daya tertentu pada tiap kelompok ataupun individu dalam masyarakat menyebabkan lahirnya ketidakadilan dalam struktur sosial yang akan menghasilkan kesenjangan dan kecemburuan sosial. Menurut Syahyuti (2006), kemiskinan dapat diukur secara absolute ataupun secara relative. Kemiskinan absolute terlihat dari kehidupan di bawah garis minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Sementara kemiskinan relative dilihat dalam perbandingan dengan segmen masyarakat yang lebih atas. Kemiskinan juga didekati dari sisi objektif dan subyektif. Sisi objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah
2
Seminar Ilmiah HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) yang berlangsung pada bulan November 1979 di Malang.
didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan sisi subyektif berasal dari penilaian masyarakat setempat Kemiskinan dapat dilihat pada level individu, keluarga, komunitas, maupun negara. Kemiskinan pada level individu dipercaya muncul karena perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya. Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena faktor keluarga dimana si miskin hidup, faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola hidup, serta pola pembelajaran dan prinsip berbagi dari komunitasnya, faktor luar misalnya karena peran kebijakan pemerintah atau karena struktur ekonomi yang tidak adil, dan penyebab struktural dimana kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial yang tidak adil. Pada sebagian kalangan, yang melihatnya sebagai isu politik, kemiskinan disebabkan karena kebijakan politik yang salah selanjutnya melahirkan ketidakadilan sosial, dan lemahnya kesempatan untuk memperoleh pendudukan (Syahyuti, 2006).
2.1.2
Indikator Kemiskinan: Aset dan Penghasilan Terdapat perbedaan pandangan dalam melihat
kemiskinan
yaitu
berdasarkan kepemilikan aset dan tingkat penghasilan. Menurut Sherraden (2006), aset merujuk pada jumlah kekayaan yang ada dalam keluarga. Sebaliknya, penghasilan (income) merujuk pada arus sumber daya dalam sebuah keluarga, sebuah konsep yang diasosiasikan dengan konsumsi terhadap barang dan jasa atau pelayanan serta terhadap standar hidup. Alasan utamanya adalah bahwa penghasilan hanya akan mempertahankan budaya konsumtif, sedangkan aset dapat mengubah cara berpikir masyarakat dan cara mereka berinteraksi dengan
dunia. Aset akan membuat orang berpikir untuk tujuan-tujuan jangka panjang dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut menjadi kenyataan. Dengan kata lain, penghasilan berfungsi untuk mengisi “kebutuhan perut”, sedangkan aset “merubah pola pikir masyarakat”. Selain itu, menurut Grobakken (2005), pengurangan tingkat kemiskinan melalui peningkatan aset dasar dapat membuat penduduk miskin sadar akan kemampuannya, sehingga dapat memimpin hidup mereka sendiri lewat peningkatkan rasa pemberdayaan yang lebih baik serta pemenuhan "kebutuhan dasar". Berdasarkan Sherraden (2006), aset terdiri dari modal investasi yang pada gilirannya akan menghasilkan laju pemasukan di masa depan. Aset dibagi menjadi aset nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible). A. Aset-aset yang Nyata (Tangible Asset) Aset yang nyata adalah sesuatu yang sah dimiliki termasuk di dalamnya properti fisik sebagaimana hak milik dan berfungsi sama seperti properti fisik, meliputi: 1. Tabungan uang yang pemasukannya dalam bentuk bunga. 2. Saham, surat tanggungan, dan semua bentuk jaminan finansial yang bentuk pemasukannya seperti saham, bunga, dan/atau keuntungan modal (atau kerugiannya). 3. Properti nyata, seperti bangunan atau tanah, dengan pemasukan dalam bentuk pembayaran sewa beserta keuntungan (juga kerugiannya). 4.
Aset-aset “berat” selain real estate, dengan pemasukan dalam bentuk keuntungan modal (juga kerugiannya).
5. Mesin, alat-alat dan komponen produksi nyata lainnya, dengan bentuk keuntungan penjualan dari produk yang dihasilkan (juga kerugiannya). 6. Barang keluarga yang kuat dan tahan lama, dengan keuntungan lewat meningkatnya efisiensi tugas keluarga. 7. Sumber alam, seperti perkebunan, minyak, mineral dan kayu hutan dengan keuntungan penjualan panen atau komoditas yang diambil (juga kerugiannya). 8. Hak cipta dan hak paten dengan keuntungannya dalam bentuk royalti dan biaya penggunaan lainnya. B. Aset tidak Nyata (Intangible Asset) Aset yang tidak nyata lebih bersifat tidak pasti, tidak secara legal diatur dan seringkali diatur secara tidak jelas oleh karakter individu atau hubungan sosial dan ekonomi. 1. Akses pada kredit (kapital yang dimiliki oleh orang lain) dengan keuntungan tergantung dari penggunaan kredit tersebut (layaknya dalam investasi). 2. Modal manusia (human capital), yang secara umum memiliki intelegensia, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, pengetahuan, keterampilan dan kesehatan, dan juga energi, visi, harapan dan imaginasi, dengan bentuk pemasukannya adalah gaji dan kompensasi lainnya setelah melakukan pekerjaan, layanan, dan ide. 3. Modal budaya (cultural capital), dalam bentuk pengetahuan dari subyek yang secara kultural signifikan, kemampuan untuk menghadapi situasi sosial dan birokrasi formal, termasuk kosa kata, aksen, cara berpakaian,
penampilan dengan bentuk keuntungan mendapatkan penerimaan dari pola asosiasi. 4. Modal sosial informal (informal social capital) dalam bentuk keluarga, teman, koneksi yang kadang disebut dengan “jaringan sosial” dengan bentuk keuntungan dukungan material, dukungan emosional, informasi dan akses yang lebih mudah pada pekerjaan, kredit, perumahan dan tipe aset lainnya. 5. Modal sosial formal, atau modal organisasi yang artinya adalah strukur atau teknik organisasi formal yang berlaku pada modal nyata, penanamannya dalam bentuk peningkatan efisiensi keuntungan. 6. Modal politis dengan bentuk partisipasi, kekuatan dan pengaruh dengan keuntungan peraturan dan keputusan yang menguntungkan serta diinginkan pada level pemerintahan negara juga lokal. Menurut Grobakken (2005), tanah merupakan aset yang dapat digunakan oleh penduduk miskin untuk mendapatkan akses ke aset lainnya. Akses terhadap tanah dapat memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lain yang diperlukan oleh masyarakat. Selain itu, tanah dapat dijual atau digunakan sebagai jaminan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang produktif, bisnis atau usaha yang dapat membantu petani miskin untuk meningkatkan tingkat ekonominya. Bila diasumsikan panen yang diproduksi mencapai tingkat produktivitas yang tinggi, hal ini dapat meningkatkan kemampuan petani untuk menyimpan bibit, uang atau aset lainnya selain pengeluaran biaya hidup sehari-hari.
2.1.3
Penanggulangan Kemiskinan Menurut Syahyuti (2006), setidaknya ada dua paradigma atau teori besar
(grand theory) mengenai kemiskinan, yaitu: paradigma neo-liberal dan sosial demokrat. Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahankelemahan, atau karena pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Negara hanya turun tangan apabila keluarga, kelompok-kelompok swadaya, atau lembagalembaga keagamaan tidak mampu lagi menangani. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual” atau sementara. Sebaliknya, menurut kaum sosial demokrat, kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai
sumber-sumber
kemasyarakatan.
Pencapaian
kebebasan
hanya
dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumbersumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan penghasilan yang cukup. Negara harus berperan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam
transaksi-transaksi
kemasyarakatan
yang
memungkinkan
mereka
menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Untuk itu, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional atau melembaga (Syahyuti, 2006). Dalam UU No.5 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), terdapat empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu: 1.
Penciptaan kesempatan (create opportunity) melalui pemulihan ekonomi makro, pembangunan, dan peningkatan pelayanan umum.
2.
Pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dengan peningkatan akses kepada sumber daya ekonomi dan politik.
3.
Peningkatan kemampuan (increasing capacity) melalui pendidikan dan perumahan.
4.
Perlindungan sosial (social protection) untuk mereka yang menderita cacat fisik, fakir miskin, keluarga terisolir, terkena PHK, dan korban konflik sosial. Pada proses perumusan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan,
kurangnya akses pertanahan juga diidentifikasi sebagai salah satu permasalahan yang dihadapi oleh orang miskin. Berbagai hasil kajian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa bagi orang miskin tanah menjadi aset yang sangat berharga dan seringkali menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Ini terjadi terutama pada masyarakat yang hidup di daerah pertanian, hutan dan perkebunan (Godril dalam, Yuwono 2005). Pilot project PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) telah berjalan di tahun anggran 2007, umumnya terdiri dari dua bentuk yakni pendaftran tanah perorangan atas tanah-tanah yang dahulu pernah ditegaskan sebagai tanah obyek landreform, dan penyelesain konflik antara petani dengan perkebunan swasta dengan cara sebagian tanah diredistribusi secara perorangan pada petani dan sebagian lagi diberikan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahan perkebunan. Kedua bentuk ini sama sekali tidak dapat dianggap bentuk yang dapat diandalkan (adequate solution) untuk menghadapi masalah-masalah agraria (agrarian questions), yang secara fenomenal ditandai oleh kemiskinan dan keterbelakangan agraria yang kronis, kesenjangan atau ketidakadilan kepemilikan
aset yang tajam, pengangguran terbuka dan terselubung yang besar, kerusakan lingkungan yang mengguncang, kekurangan bahan makanan, konflik agraria yang meledak-ledak, ketidakmampuan rakyat pedesan memiliki tabungan (domestic capital) dan mengembangkan teknologi untuk memperbaiki produksi, dan kondisi-kondisi keberlangsungan hidupnya (Fauzi, 2008).
2.2
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan Perkebunan sering disebut “pabrik” pertanian karena proses produksi
output komoditas perkebunan melalui perpaduan aneka faktor produksi (input) (tanah, tenaga kerja, dan modal serta manajemen) laksana sebuah pabrik saja. Tanah dan tenaga kerja yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan (Mubyarto, 1992). Hal ini menyebabkan perkebunan berusaha menekan upah buruhnya seminimal mungkin yang menyebabkan buruh perkebunan hidup dalam kemiskinan karena upah yang diberikan oleh perkebunan tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Tingkat upah buruh3, yang berlaku secara umum adalah Rp 7.000,00 per “beduk” untuk tenaga kerja pria dan Rp 6.000,00 untuk tenaga kerja wanita. Sebedug adalah kerja dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.00 dengan waktu istirahat selama satu jam. Kegiatan memanen pucuk teh biasanya dikerjakan oleh tenaga kerja wanita, karena dipandang hasil kerjanya lebih bersih, lebih rapih dan telaten. Sistem pengupahannya dengan cara penimbangan hasil petikan yakni seharga Rp 250,00 per kilogram. Seorang pemetik teh yang terampil bisa
3
Penelitian dilakukan di Perkebunan Ciwangi, yaitu salah satu perkebunan swasta di Cianjur
memperoleh upah kerja sekitar Rp 18.000,00 sampai dengan Rp 20.000,00 per hari (Herlina, 2002). Selain upah, kemiskinan di perkebunan terkait juga dengan akses yang berbeda antara buruh dan kelompok manajemen perkebunan. Menurut Mubyarto (1992), perbedaan antara kelompok manjemen dan buruh tidak hanya terletak pada kekuasaan dalam pengambilan kekuasaan tetapi juga dalam hal gaji dan fasilitas lain yang menyangkut kesejahteraan sosial mereka masing-masing. Perbedaan dalam mengakses fasilitas dan juga gaji menyebabkan masyarakat miskin di pedesaan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti masyarakat lainnya dalam desa tersebut. Kemiskinan di perkebunan ini bersifat struktural, karena terjadi ketimpangan akses ekonomi, kesehatan dan pelayanan lainnya antara kelompok buruh dengan kelompok manajemen. Kemiskinan yang bersifat struktural tersebut memaksa pekerja perkebunan mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaan di perkebunan (Mubyarto, 1992). Dalam Herlina (2002) yang meneliti di desa perkebunan teh di Desa Sukajembar, Kabupaten Cianjur, pekerjaan yang banyak ditekuni oleh masyarakat adalah usaha perkebunan tehPer. Sebagian lagi berusaha tani padi dan holtikultura. Tanaman holtikultura yang banyak dibudidayakan adalah tomat, sayur putih (sampo), bakung, cabe dan kacang panjang. Namun pengelolaan usaha tani padat modal ini tidak dilakukan secara optimal, karena kurangnya pengetahuan teknik bercocok tanam serta akses terhadap modal yang rendah. Selain usaha tani dan buruh tani, terdapat
beberapa
aktivitas
perekonomian
sebagai
sumber
penghasilan
masyarakat, di antaranya berdagang kebutuhan sehari-hari, tengkulak hasil
pertanian, industri pengolahan teh dan pembuatan gula aren, serta sebagai jasa angkutan. Hubungan masing-masing tingkat kepegawaian tersebut dipisah dengan tegas dan kaku oleh status dan sistem upah. Status dan sistem upah yang ada di perkebunan menyebabkan timbulnya stratifikasi sosial di daerah perkebunan yang sesuai dengan jabatannya dalam perkebunan. Menurut Mubyarto (1992) perbedaan dalam kehidupan sosial ekonomi terjadi pula antara kelompok staf dan non-staf perkebunan dengan masyarakat sekeliling perkebunan. Rumah-rumah yang besar dengan fasilitas yang lengkap yang ada dalam perkebunan serta kehidupan yang serba mewah sangat kontras dengan kehidupan yang sangat paspasan dari masyarakat yang ada di perkebunan. Dalam situasi tersebut tidak dapat dihindari lagi munculnya rasa kecemburuan sosial di kalangan masyarakat perkebunan itu sendiri maupun di kalangan masyarakat yang ada di sekitarnya.
2.3
Masalah-Masalah Agraria di Perkebunan Secara etimologis, istilah ”agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa
Latin, ”ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah negara. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit”, ”wilayah” dan lain-lain itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya (Wiradi, 2000). Menurut Syahyuti (2006) dari pengertian etimologis ini tampak bahwa yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekadar ”tanah” atau ”pertanian” saja. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit” dan ”wilayah” jelas menunjukkan arti yang lebih luas karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di
”pedusunan” terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan, dan masyarakat manusia. Menurut Syahyuti (2006), istilah agraria tidak seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang pada umumnya, yang hanya menyangkut tanah saja, melainkan mencakup banyak hal, baik fisik maupun non-fisik. Hubungan antara aspek landreform dan aspek non-landreform, masalah yang dihadapi dan aktivitas pembaruan agraria yang dapat dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Struktur Permasalahan Agraria di Indonesia Aspek dan Faktor-faktor pembentuknya Aspek Landreform Dibentuk oleh faktor tatanan hukum (negara dan ada), tekanan demografis, kondisi ekonomi (mis.lapangan kerja non-pertanian), kelembagaan lokal, dan lain-lain
Aspek Non-Land reform Dibentuk oleh faktor geografi, topografi, kesuburan tanah, infrastruktur, kondisi ekonomi lokal-global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan kredit, keuntungan usaha pertanian, dan lain-lain. Sumber: Syahyuti (2006)
Masalah yang dihadapi saat ini 1. Konflik penguasaan dan pemilikan secara vertikal dan horizontal. 2. Inkosistensi hukum (antara UUPA dan “turunannya”) 3. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan 4. Penguasaan yang sempit oleh petani, sehingga tidak ekonomis 5. Ketidaklengkapan dan inkosistensi data 1. Degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebih atau karena ketidaktepatan secara teknis 2. Konflik penggunaan/ pemanfaatan secara vertikal dan horizontal 3. Tanah semakin menjadi komoditas pasar dengan maraknya jual-beli tanah
Aktivitas pembaharuan agraria yang relevan 1. Penetapan objek tanah landreform 2. Penetapan petani penerima 3. Penetapan harga tanah dan cara pembayaran 4. Pendistribusian tanah kepada penerima 5. Perbaikan penguasaan, (mis.perbaikan sistem penyakapan) 6. Penertiban tanah guntay (absentee)
1. Berbagai bentuk pengelolaan dan penguasaan tanah 2. Pembangunan infrastruktur 3. Peningkatan produkvifitas tanah 4. Perbaikan sistem pajak tanah 5. Pemberian kredit usaha tani 6. Penyuluhan dan penelitian 7. Penyediaan pasar pertanian 8. Pengembangan keorganisasian petani
Aspek fisik dapat berupa tanah, baik yang digunakan sebagai perumahan, perkebunan, pertanian, daerah hutan ataupun pertambangan. Aspek non-fisik terdiri dari hubungan-hubungan yang terkait dengan tanah tersebut, baik hukum yang
berlaku
atas
kepemilikan tanah
tersebut,
struktur
agraria
yang
mempengaruhi akses setiap subyeknya terhadap sumber-sumber agraria dan berpengaruh besar terhadap keadilan dan tingkat kesejahteraan masing-masing subyek agraria, maupun politik yang mempengaruhi pasar dari hasil tanah tersebut (bidang pertanian).
2.3.1
Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan Pada masyarakat di desa perkebunan, pemilikan atau penguasaan lahan
sangat penting sebagai pembuka peluang untuk meningkatkan produksi dan memaksimalkan keuntungan. Petani di sini berperan sebagai manajer yang dalam dirinya lekat kekayaan lahan sebagai merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus lambang status sosial di pedesaan. Ada perasaan bangga yang mengikat kuat dan memotivasi untuk berusaha (Herlina, 2002). Selain itu, penguasaan dan pemilikan pada masyarakat perkebunan menjadi penting dikarenakan buruh perkebunan membutuhkan tanah untuk diolah sebagai tambahan penghasilan dari upah rendah yang mereka dapatkan dari perkebunan. Berdasarkan kajian Wijarnako (2005) upah rata-rata buruh petik pada perkebunan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 250.000,00 per bulan. Ketimpangan penguasaan dan pemilikan yang terjadi di desa perkebunan yang melahirkan sengketa agraria, menurut Wijarnako (2005), bersumber dari dominasi sistem pengelolaan tanah dan kekayaan alam termasuk perkebunan,
yang datang atau berasal dari negara, yang secara sepihak memberikan porsi kesempatan begitu besar pada pemilik-pemilik modal dalam mengelola sumber agraria. Isu kesenjangan ekonomi antara pihak perkebunan dengan desa perkebunan sekitarnya merupakan akibat dari tindakan eksploitasi terhadap sumber daya dan memanfaatkannya secara sepihak demi peningkatan produksi. Pemilik modal dalam perkebunan yang menekankan pada keuntungan semata membuat posisi masyarakat di desa perkebunan terdominasi. Pemberian harga sewa tanah yang mahal membuat masyarakat di desa perkebunan yang memiliki akses kepada penguasaan dan pemilikan tanah di desa perkebunan adalah masyarakat yang memiliki posisi dalam perkebunan, karena mereka memiliki modal yang berasal dari upah dari perkebunan untuk membayar sewa dan memenuhi kebutuhan dengan mengolah tanah tersebut. Sementara itu buruh perkebunan yang membutuhkan tanah untuk tambahan penghasilan tidak dapat menikmati akses dari tanah karena keterbatasan modal. Buruh hanya menjadi petani yang tidak memiliki tanah, sedangkan akumulasi pemilikan dan penguasaan tanah hanya terletak pada masyarakat yang memiliki modal (Wijarnako, 2005).
2.3.2
Penguasaan yang Sempit oleh Petani Sempitnya penguasaan oleh petani di desa perkebunan dikarenakan
sebagian besar wilayah pertanian yang digunakan merupakan Hak Guna Usaha yang dikuasai perkebunan. Berdasarkan studi Alfiasari (2004), lahan yang digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan yang tidak
digunakan ini merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak digunakan karena kemiringannya tidak cocok untuk tanaman teh. Pada lahan pertanian masyarakat, tanaman yang biasanya ditanami antara lain, padi, pisang, singkong, cabe, tomat, kacang panjang, dan bawang daun. Hasil sawah dan ladang biasanya mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk dikomersialkan banyak hambatannya, baik dari kuantitas produksi yang sedikit serta sarana transportasi yang masih sulit. Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena ini terlihat pada rendahnya tingkat produktivitas maupun kualitas dari hasil produksi perkebunan rakyat. Hal ini merupakan implikasi dari kesulitan petani dalam menerapkan kultur teknis yang benar, yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tinggi serta dukungan modal yang besar.
2.3.3
Kerusakan Lingkungan Menurut Godril dalam Yuwono (2005), persoalan sumber daya alam juga
dihadapi oleh masyarakat miskin dan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan mereka: yaitu persoalan air, terjadinya degradasi lingkungan di daerah pesisir pantai yang merusak terumbu karang, terjadinya polusi, tingginya biaya saprodi, banyaknya hama, jauhnya pasar atau buruknya akses ke pasar, terjadinya banjir dan longsor, sulitnya bagi masyarakat miskin untuk meminjam modal di lembaga keuangan karena adanya persyaratan dimana harus memiliki agunan (yang tidak bisa dipenuhi petani dan nelayan miskin) yang prosedurnya berbelit-belit, mekanisasi pertanian berdampak terhadap hilangnya ruang pekerjaan bagi petani miskin, juga program peningkatan keterampilan kebanyakan ditujukan kepada
masyarakat desa secara umum dan tidak spesifik pada merek yang miskin akibatnya. Terdesak oleh keadaan, lapisan bawah terpaksa melakukan pekerjaan apa saja yang dapat memperpanjang hidupnya, termasuk menebang pohon di hutan lindung atau menambang di bawah bumu maupun di bawah permukaan laut. Akibatnya, tanah menjadi tandus atau kemudian terjadi tanah longsor, banjir, pendangkalan sungai, hancurnya terumbu karang, dan perusakan lingkungan lainnya (Tjondronegoro, 2008a). Masalah-masalah agraria dapat diselesaikan dengan reforma agraria. Akan tetapi pendekatan dan cara penyelesaian untuk masing-masing permasalahan tidaklah sama, dan tidak semua hal yang tercakup dalam reforma agraria harus dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan agraria di tiap daerah. Landreform yang merupakan bagian dari agraria reform dapat dilakukan di daerah yang mempunyai permasalahan kemiskinan yang terkait dengan banyaknya jumlah petani gurem yang tidak mempunyai lahan, sedangkan open access agraria untuk mengatasi ketidakadilan dalam penguasaan sumber-sumber agraria, dan gabungan dari keduanya dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan agraria.
2.4
Reforma Agraria
2.4.1
Konsep Reforma Agraria Reforma sgraria hakekat maknanya adalah penataan kembali (atau
pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah. Dalam pasal 2
Tap MPR IX/2001, Pembaharuan Agraria didefinisikan sebagai ”suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria...” (Wiradi, 2000). Ben Cousin (2007) dalam Noer Fauzi (2008) membuat enam golongan land reform berdasarkan pada landasan teoritik yang mendasarinya: 1. Pendekatan neo-liberal terobsesi pada efisiensi produksi, sehingga mengagendakan kebijakan-kebijakan yang mempromosikan penggunaan optimal dari tanah, tenaga kerja dan modal tanah, dimana “kekuatan pasar” adalah sandaran pokok untuk pembentuk kekayaan dan kesejahteraan. 2. Pendekatan neo-populis yang mengasumsikan bahwa bentuk dan skala produksi merupakan pokok terpenting dalam berbagai kebijakan dan program. Umumnya mereka percaya adanya hubungan berkebalikan (inverse relationship) antara skala dan efisiensi. Usaha ekonomi skala kecil lebih produktif dan efisien dari pada usaha ekonomi skala besar. 3. Pendekatan sustainable livelihood mengutamakan beragam sumber penghasilan orang miskin (the multiple livelihood sources of poor people), dan menghindari pemahaman yang sempit hanya pada aktivitas pertanian saja atau pada lokasi pedesaan saja. 4. Pendekatan welfarist menjadikan ketersediaan makanan di unit rumah tangga (household food security) dan pengurangan ancaman-ancaman terhadap ketersediaan makanan ini sebagai maksud utama dari program land reform. 5. Pendekatan radical populist mengedepankan keharusan perubahan struktur agraria baik di wilayah, nasional maupun internasional, baik berupa
redistribusi sumber daya maupun badan usaha, yang diukur dengan kepemilikan tanah dan kekayaan lain maupun penghasilan kelompok miskin yang dipersatukan dalam berbagai pengelompokan yang dibagi berdasar gender, etnik maupun kedudukan sosial atau geografi lainnya. 6. Pendekatan marxist yang mengevaluasi praktek land reform dengan memperluas konsep
efisiensi produksi,
keberlanjutan hidup
atau
kesejahteraan keluarga petani, atau perubahan struktur agraria ke dalam fokus perubahan bentuk-bentuk eksploitasi kelas maupun gender yang mendasari bentuk-bentuk organisasi produksi, distribusi hingga akumulasi kekayaan Menurut Tjondronegoro (2008), syarat sektor industri sebagai sektor penting dalam proses pembangunan dan modernisasi yang harus memajukan pertanian yaitu: 1. Realokasi sumber daya di sektor pertanian yang bukan saja merangsang produksi tetapi merubah struktur masyarakat pedesaan dari yang feodal atau setengah feodal ke struktur yang lebih demokratis, artinya juga lembaga-lembaga yang menghambat emansipasi petani kecil disisihkan dan diganti dengan orang lain. 2. Realokasi sumber daya tadi sekaligus juga mengurangi jumlah tenaga kerja di sekitar pertanian yang menganggur atau tidak dimanfaatkan (underutilized). Setelah sumber daya tanah sebagai faktor produksi diatas lebih efisien dan berimbang dengan tenaga kerja, kelebihannya disalurkan ke industri pengolah pertanian, pembangunan prasarana dan lain-lain usaha pembangunan yang bersifat padat karya.
3. Kelebihan dari peningkatan produksi pertanian yang merupakan “tabungan” dapat ditanam sebagai modal dalam sektor industri. Dalam rangka ini memang produksi pangan bukan saja mencukupi tetapi melampaui kebutuhan penduduk. Surplus lain di sektor pertanian yang menghasilkan devisa dapat mempercepat proses industrialisasi. 4. Perusahaan, pemerintah dan wiraswasta sudah mampu dikelola oleh pengusaha-pengusaha di dalam negeri secara efisien. Tidak perlu diperjelas lebih lanjut bahwa gejala-gejala birokrasi yang menghambat korupsi dan sebagainya pada tahap ini sudah dapat diatasi dengan cukup baik dan tidak lagi menjerat jalannya perusahaan.
2.4.2
Reforma Akses Agraria Menurut Syahyuti (2006), reforma agraria terdiri dari dua pokok
permasalahan yaitu ”penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan ”penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Landreform adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen ”non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian ”soil”), yaitu dengan menerapkan teknologi baru, perbaikan infrasturuktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Sedangkan menurut Fauzi (2008), reforma agraria adalah politik redistribusi asset produktif bagi kaum miskin di pedesaan, yang pada gilirannya, setelah diberikan suatu asistensi modal, pendidikan dan teknologi, maka akan sampai juga pada pembentukan modal didalam pedesaan. Selain itu, menurut Tjondronegoro (2008), konsolidasi tanah karena itu bukan semata-mata perubahan fisik tata
ruang, tetapi sebenarnya juga memerlukan pengaturan kembali peran sosioekonomi penghuni golongan lemah. Sehingga dapat dikatakan landreform dan reforma agraria adalah dua hal yang berbeda. Akan tetapi orang sering salah mengartikan dengan menyatakan landreform adalah reforma agraria, padahal landreform hanya sebagian kecil dari reforma agraria, karena reforma agraria adalah landreform ditambah dengan halhal lain yang membuat redistribusi tanah tersebut menjadi hal yang lebih bermanfaat dibandingkan hanya sebagai bagi-bagi tanah saja. Landreform tanpa akses reform akan membuat petani yang telah mendapatkan tanah tetap menjadi miskin karena ketidakberdayaaan mereka dalam mengolah dan memanfaatkan lahan tersebut, bahkan petani mungkin akan menjual kembali lahan tersebut. Sehingga yang dibicarakan dalam reforma agraria tidak hanya penggunaan dan pemanfaatannya saja tanpa membahas hal yang paling dibutuhkan oleh masyarakat (Syahyuti, 2006). Menurut Wiradi (2006), pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara lain: perkreditan, penyuluhan, pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain).
Faktor-faktor
yang sering hilang dalam reforma agraria adalah
infrastruktur, akses terhadap air, akses terhadap pasar, dan bantuan teknis ekstensif untuk pemilik tanah. Hal ini adalah faktor yang sama pentingnya dengan memberi tanah kepada masyarakat dan jika tidak dilakukan akan membuat masyarakat menjual kembali tanahnya dan kembali tidak mempunyai tanah (Grobakken, 2005). Menurut Tjondronegoro (2008) redistribusi harus dibarengi dengan tindakan-tindakan penunjang seperti mengembangkan sistem kredit untuk petani kecil, penyatuan usaha ke dalam koperasi, perlindungan terhadap petani dengan hukum, tetapi juga dengan subsidi bila perlu dan lain-lain usaha, bahkan termasuk mendirikan organisasi petani-petani kecil agar usaha pemerintah dapat didukung dengan kekuatan sosial politik dari golongan yang berkepentingan (interest group).
2.4.3
Dampak Reforma Agraria Menurut Wiradi (2006)4, dampak positif dari reforma agraria secara umum
adalah: 1. Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat terutama kaum tani, 2. Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil, 3. Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan socialeuphoria dan familly security sehingga para petani termotivasi untuk mengelola usahataninya dengan lebih baik,
4
Http://rumahkiri.net/index.php. Gunawan Wiradi. Dampak Perekonomian Negara. 2002. Di unduh pada tanggal 22 Maret 2008.
Land
Reform
Terhadap
4. Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga gejolak kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine, bukan stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru). 5. Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi. Sedangkan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat/nasional5: 1. Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun produksi pertanian menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat pesat. Sejumlah besar rakyat desa yang semula tunakisma atau buruh tani lalu menjadi petani pemilik penggarap, mula-mula canggung. Namun dalam jangka panjang mereka malahan berkembang menjadi pengelola usahatani yang rasional dan bertanggung jawab (justru karena bangga atas terjadinya perubahan status). 2. Anak-anak dari para petani pemilik tanah luas (yang kemudian tanahnya dipotong oleh “land reform”) terpaksa tidak lagi bisa menikmati kekayaan orang tuanya yang berasal dari tanah luas itu, dan tidak lagi bisa meneruskan profesi orang tuanya. Namun mereka justru beralih ke profesi lain (melalui pendidikan tinggi, yang biayanya dimungkinkan oleh sisasisa kekayaan orang tuanya), dan menjadi tenaga-tenaga ahli yang kompeten. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menyumbang bagi perkembangan perekonomian negaranya. (Contoh: Meksiko, Mesir, dan negara-negara di sektiar Timur Tengah).
5
Mosher, A.T., 1976. Thinking About Rural Development. New York: Agricultural Development Council, Inc.
3. Pemilik/Penguasa tanah luas yang sebagian tanahnya terpangkas oleh ‘land reform’ itu kemudian mengalihkan investasinya ke luar desa, yang pada gilirannya menopang proses industrialisasi.
2.5
Kerangka Pemikiran Permasalahan kemiskinan di pedesaan dibagi menjadi dua yaitu masalah
agraria dan non-agraria. Masalah agraria meliputi masalah pertanian yang terdapat di
desa
tersebut,
sedangkan
masalah
non-agraria
meliputi
masalah
ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kependudukan, komunikasi dan peranan wanita. Masalah agraria paling ditonjolkan pada penelitian ini, dikarenakan dalam konteks pembangunan pedesaan, masalah agraria merupakan bagian paling penting untuk masyarakat pedesaan yang sebagian besar penduduknya menopangkan hidup pada sektor pertanian. Berdasarkan Syahyuti (2006) ada empat permasalahan agraria di Indonesia secara umum, yaitu ketidakkonsistenan hukum dan perundang-undangan6, serta degradasi sumber daya alam7. Khusus untuk pertanian, permasalahan agraria yang dihadapi adalah penguasaan yang sempit dan cenderung semakin kecil, konflik penguasaan, lahan kritis dan marjinal tingginya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, sulitnya mewujudkan konsolidasi usahatani, dan semakin besarnya ketimpangan penguasaan lahan antar petani.
6
Salah satu konflik yang ramai adalah konflik penguasaan antara petani dengan pihak swasta. Keterlibatan swasta besar dimulai dari lahirnya Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) yang mengundang pihak swasta kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang perkebunan. 7 Permasalahan ini tercantum dalam Tap MPR Bo.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Reforma agraria adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah. Reforma agraria terbagi menjadi dua titik berat, yaitu aspek landreform dan aspek non-landreform atau yang disebut juga reforma akses agraria. Kedua aspek ini dilakukan sesuai dengan urgensi masing-masing. Pada desa perkebunan, aspek yang harus dilakukan pertama kali adalah aspek non-landreform. Dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pengolahan tanah mereka sendiri, diharapkan masyarakat dapat semakin mengembangkan dirinya sendiri, meningkatkan produktifitas dari lahannya dan yang terpenting adalah masyarakat dapat mengetahui permasalahan agraria yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Sehingga bila aspek landreform dilakukan, masyarakat sudah siap, dan tidak menjual kembali tanah yang mereka dapatkan, ataupun membiarkan lahan tersebut dikelola oleh orang lain karena ketudaktahuan mereka dalam menggunakan lahan tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Masalah Agraria
Kemiskinan di Desa Perkebunan
Ø Kontur wilayah perkebunan dan keseburan tanah Ø Hubungan petani dengan perkebunan dan TNGH Ø Penguasaan yang sempit oleh petani Ø Kerusakan lingkungan Ø Sulitnya askes transportasi Ø Tidak adanya penyuluhan Ø Tidak adanya penyaluran kerdit Ø Tidak adanya koperasi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Reforma Akses Agraria Ø Pembangunan Infrastruktur Ø Peningkatan produktifitas tanah Ø Pemberian kredit usaha tani Ø Penyuluhan dan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang digunakan
untuk memetakan dan menganalisis kontruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. mengembangkan
pemahaman
Pendekatan yang
rinci
kualitatif tentang
ini digunakan untuk pemaknaan
mengenai
kemiskinan, indikator kesejahteraan dan tangga kehidupan dari masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Analisis penyebab dari kemiskinan di dua kampung ini dipersempit kepada permasalahan agraria yang masyarakat hadapi saja. Melalui permasalahan agraria yang dihadapi oleh masyarakat, didapat upaya menanggulangi kemiskinan yang terdapat baik di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, salah satunya yaitu penyusunan usulan aktivitas reforma akses agraria yang relevan untuk diterapkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Metode kualitatif juga digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana masalah agraria memberikan kontribusi terhadap kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Dengan mengetahui akar kemiskinan dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat, peneliti dapat menggali peluang sejauh mana peran masalah agraria menciptakan kemiskinan di dua kampung di Dusun Cigarehong ini. Dengan metode ini pula, akan diketahui aktivitas reforma akses agraria yang perlu dilakukan dan sesuai dengan kondisi masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.
Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan salah satu strategi dalam penelitian kualitatif yang mempunyai pengertian memilih lebih dari satu kejadian atau gejala sosial untuk diteliti dengan menerapkan serumpun metode penelitian (Sitorus, 1998). Studi kasus pada penelitian ini yaitu kasus kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Pemilihan kasus ini dikarenakan peneliti ingin memahami lebih dalam mengenai kemiskinan yang ditelaah melalui jumlah penghasilan, pemilikan tanah maupun barang lainnya yang dimiliki oleh warga. Dengan memahami kemiskinan dan penyebabnya, dapat diketahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan tersebut. Tipe penelitian ini bersifat eksplanatif, dimana diharapkan penelitian ini memberi gambaran mengenai kemiskinan dari sudut pandang tineliti dan menjelaskan masalah-masalah agraria yang menyebabkan kemiskinan sehingga dapat disusun usulan aktivitas reforma akses agraria apa saja yang dapat dilaksanakan di dusun tersebut. Penelitian ini dilakukan melalui interaksi langsung antara peneliti dengan tineliti, karena peneliti ingin mengetahui dan memahami pandangan tineliti mengenai kemiskinan, masalah-masalah agraria yang menyebabkan kemiskinan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka untuk bisa keluar dari kemiskinan.
3.2
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar yang termasuk kedalam Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan
secara sengaja (purposif). Sebelum menentukan lokasi penelitian, peneliti telah melakukan observasi melalui penelusuran kepustakaan hasil penelitian dari peneliti lain, serta narasumber yang memberikan informasi mengenai kemiskinan dan masalah agraria yang terdapat di Dusun Cigarehong pada umumnya. Pustaka hasil penelitian dari peneliti lain yaitu tesis dari Alfiasari yang berjudul “Analisis Modal Sosial pada Kelompok Usaha Berbasis Komunitas” yang studi kasusnya adalah Kebun Cianten. Setelah dilakukan observasi awal, akhirnya peneliti memililih Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sebagai tempat penelitian. Peneliti memilih Kampung Padajaya
dan Kampung Padajembar
dikarenakan keunikan dari kedua kampung tersebut, yang masih termasuk ke dalam daerah Kebun Cianten, akan tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dari kampung lainnya. Pada Kampung Padajaya (RT 01 dan RT 02), sebagian besar masyarakatnya tidak bertumpu pada perkebunan, sedangkan pada Kampung Padajembar (RT 03 dan RT 04), sebaliknya sebagian besar penduduknya bertumpu pada perkebunan. Letak dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar juga berbeda. Kampung Padajaya yang bersejajar dengan jalan utama yang menghubungkan dengan jalan alternatif menuju Sukabumi, menyebabkan masyarakatnya banyak bertumpu pada perdagangan dan sedikit yang mempunyai sawah. Letak dari Kampung Padajembar yang mengumpul dan masuk ke dalam daerah perkebunan, menyebabkan kampung ini jauh dari akses jalan, sehingga sebagian besar masyarakat yang bekerja di perkebunan mempunyai sampingan sebagai petani dan sebagian besar memiliki sawah.
Penduduk Dusun Cigarehong umumnya tidak mempunyai kepemilikan resmi atas tanah, begitu pula penduduk di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Karena tanah di wilayah tersebut merupakan Hak Guna Usaha (HGU) milik perkebunan teh PTPN VIII Kebun Cianten, atau sebagian wilayah di bawah penguasaan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). TNGH sendiri mengelilingi wilayah Kebun Cianten. Tanah kosong yang tidak digunakan oleh perkebunan digunakan oleh masyarakat untuk bersawah atau berladang, sedangkan bagian lahan dari perkebunan teh yang kosong dimanfaatkan untuk kandang ternak kambing. Hutan dari TNGH yang berdekatan dengan sungai Cianten, digunakan warga sebagian areal persawahan mereka. Hutan tersebut dibuka dan dijadikan persawahan. Tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah milik perkebunan dan milik TNGH, maka semua aktivitas yang menyangkut pemanfaatan lahan baik untuk prasarana umum, tempat tinggal maupun untuk pertanian, perikanan dan peternakan harus mendapat persetujuan dari PTPN VIII Kebun Cianten maupun TNGH. Kondisi keterbatasan lahan mengakibatkan kepemilikan lahan di kampung ini ditinjau dari luas tanah yang dimiliki masih relatif merupakan lahan sempit. Selain itu pemanfaatan lahan pertanian di Dusun Cigarehong biasanya tidak diusahakan untuk orientasi komersial namun untuk kebutuhan sehari-hari (subsisten). Proses penelitian berlangsung mulai bulan Mei sampai dengan bulan September 2009. Penyusunan proposal penelitian dilaksanakan pada bulan Mei, sedangkan kolokium dilaksanakan pada bulan Juni. Studi lapang atau pengambilan data di lapang dilaksanakan pada bulan Juli. Proses penulisan
laporan hasil penelitian dilaksanakan pada bulan Juli dan pada bulan Agustus adalah pelaksanaan ujian skripsi. Rincian waktu penelitian dapat dilihat pada Gambar 2. Proses pengambilan data di lapangan sendiri sudah dimulai sejak observasi awal yang berlangsung selama dua hari pada bulan Mei. Peneliti mendatangi Kampung Padajaya, Kampung Cigarehong, Kampung Padajembar, dan Kampung Legog Makam, penulis kemudian tinggal dirumah salah satu warga. Pada awal bulan Juni, peneliti sudah mengambil data sekunder perkebunan dan data sekuder Desa Purwabakti. Pengambilan data ini sekaligus peneliti lakukan sebagai bagian dari pendamping mahasiswa angkatan 43 dan angkatan 44 yang melakukan kegiatan turun lapang bersama. Setelah mengantar kepulangan mahasiswa dampingan, penulis kembali ke lapang dan mewawancarai Hasanudin dan Odang sebagai perwakilan dari perkebunan, dan Mahrop sebagai Kepala Desa Purwabakti. Tanggal 23 Juni 2009 penulis melakukan kolokium untuk mendapatkan masukan dan perbaikan dari proposal penelitian yang penulis buat. Tanggal 25 Juni 2009-13 Juli 2009 penulis tinggal bersama warga masyarakat, mewawancarai dan ikut serta dalam kegiatan masyarakat.
No
Mei
Kegiatan 1
I
Proposal dan Kolokium 1. Penyusunan Darft Proposal 2. Konsultasi Proposal dan Revisi 3. Observasi Lapangan 4. Kolokium
II
Studi Lapangan 1. Pengumpulan Data 2. Analisis Data
III
Penulisan Laporan 1. Analisis Lanjutan 2. Penyusunan Draft Skripsi 3. Konsultasi dan Revisi Draft 4. Penyelesaian Skripsi
IV
Ujian Skripsi 1. Sidang Skripsi 2. Perbaikan Pasca Sidang
3. Skripsi Selesai Catatan : Penelitian dilakukan pada tahun 2009
Gambar 2. Waktu Penelitian
2
Juni 3
4
1
2
Juli 3
4
1
2
Agustus 3
4
1
2
3
September 4
1
2
3
3.3
Pemilihan Tineliti dan Informan Peneliti membutuhkan bantuan dari tineliti dan informan dalam
memberikan data dan informasi. Informan merupakan pihak yang memberikan keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya, sedangkan tineliti merupakan pihak yang memberi keterangan tentang diri dan kegiatan yang dilaksanakan. Tineliti dipilih secara purposif (sengaja) berdasarkan pada kebutuhan data untuk menjawab permasalahan penelitian. Informan awal penelitian ini adalah Kepala Desa Purwabakti yaitu Mahrop yang memberikan data sekunder mengenai keadaan desa. Sedangkan informan mengenai perkebunan diambil dari Bagian Umum PTPN VIII Kebun Cianten yaitu Hasanudin dan informan mengenai perkebunan, pekerja, dan keadaan lingkungan dari sektor delapan (daerah Dusun Cigarehong) ialah mandor besar sektor delapan, Odang. Tineliti dalam penelitian ini dipilih oleh peneliti berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan, maupun dari rujukan warga masyarakat dari dua kampung tersebut. Tangga kehidupan (Ladder of Life) beserta indikator kemiskinan lokal dibuat peneliti bersama dengan masyarakat di rumah warga. Diskusi ini dihadiri oleh sembilan orang masyarakat yang terdiri dari ketua RT, tokoh intelektual dan tokoh tetua di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Masyarakat yang hadir pada diskusi ini adalah: Ketua RT 01 Anas (47 tahun), Ketua RT 02 Atma (47 tahun), Ketua RT 03 Torik (51 Tahun), Ketua RT 04 Odih (39 tahun), tokoh tetua Saleh (58 tahun), tokoh tetua Aep (47 tahun), tokoh tetua Kamim (58 tahun), tokoh intelektual Ajat (33 tahun) dan tokoh intelektual Asep (33 tahun).
Penentuaan warga masyarakat yang masuk kedalam tangga kehidupan dilakukan melalui diskusi peneliti dengan ketua RT 01 dan dua orang perwakilan dari masyarakat untuk menempatkan masyarakat dari Kampung Padajaya pada masing-masing tangga kehidupan yang telah mempunyai indikator kesejahteraan masing-masing, dan menanyakan posisi warga tersebut pada 10 tahun sebelumnya. Begitupula dengan Kampung Padajembar, penelilti melakukan diskusi dengan ketua RT 04 dan dua orang perwakilan dari masyarakat untuk menempatkan masyarakat dari Kampung Padajembar pada masing-masing tangga kehidupan yang telah memiliki indikator kesejahteraan masing-masing, dan menanyakan posisi warga tersebut pada 10 tahun sebelumnya. Melalui tangga kehidupan ini, diketahui tingkat kesejahteraan masyarakat saat ini dan keadaanya pada 10 tahun yang lalu, sehingga diketahui kelompok masyarakat yang tetap miskin sejak dari 10 tahun yang lalu, masyarakat yang jatuh miskin, masyarakat yang menjadi kaya dan masyarakat yang tetap kaya sejak 10 tahun yang lalu. Lewat hasil ini, diambil satu rumah tangga yang masuk ke dalam masing-masing kategori, yaitu rumah tangga Apul yang masuk ke dalam kategori tetap miskin sejak 10 tahun yang lalu, rumah tangga Tatang yang masuk ke dalam kategori jatuh miskin, rumah tangga Emis yang menjadi kaya dibandingkan 10 tahun yang lalu, dan rumah tangga Uci yang tetap kaya sejak 10 tahun yang lalu. Keempat orang rumah tangga ini dipilih, selain karena mereka masuk ke dalam kategori tersebut, juga karena masing-masing memiliki hubungan dengan bidang pertanian. Peneliti ingin mengetahui hubungan antara kepemilikan terhadap lahan pertanian maupun pekerjaan yang terkait dengan pertanian, dengan
status kesejaheraan mereka
masing-masing.
Wawancara mendalam
dan
pengamatan berperan-serta dilakukan pada empat rumah tangga ini yaitu yang menyangkut masalah agraria yang dihadapinya, hubungan mereka dengan pihak perkebunan dan TNGH, pandangannya terhadap perkebunan maupun TNGH, dan harapan-harapannya terkait dengan reforma akses agraria.
3.4
Metode Pengumpulan Data Peneliti menggunakan beberapa metode pengumpulan data untuk
memperoleh informasi dan pemahaman mengenai kemiskinan serta struktur penguasaan dan pemilikan tanah di Dusun Cigarehong. Pendekatan pengumpulan data yang digunakan adalah triangulasi. Menurut Denzim (1970) dalam Sitorus (1998), triangulasi adalah kombinasi sumber data, tenaga peneliti, teori dan metodologi dalam suatu penelitian tentang suatu gejala sosial. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi metodologi. Triangulasi metodologi yaitu penggunaan sejumlah metode dalam suatu penelitian (Denzim 1970, dalam Sitorus, 1998). Triangulasi diperlukan karena setiap metode memiliki kelemahan dan keunggulannya sendiri. Dengan memadukan tiga metode, yaitu pengamatan berperanserta, wawancara mendalam, dan analisis dokumen, maka satu dan lain metode akan saling menutup kelemahan sehingga tanggapan atas realitas sosial menjadi lebih valid. Metode pengumpulan data ini digunakan untuk memperoleh data kualitatif. Menurut Patton (1990) dalam Sitorus (1998) data kualitatif dapat dipilah kedalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan, hasil pembicaraan, dan bahan tertulis. Penelitian ini akan mengumpulkan data baik data sekunder maupun
data primer. Data primer didapat dari wawancara mendalam dan pengamatan berperan-serta dengan tineliti dan informan. Data sekunder didapat dari dokumendokumen yang terkait dengan struktur organisasi desa, kepemilikan lahan, dan informasi mengenai jumlah penduduk serta tingkat kemiskinan di daerah tersebut. Tahap-tahap yang dilakukan dalam pengambilan data, yaitu penelusuran melalui buku dan penelitian terdahulu mengenai Kampung Padajaya, Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, PTPN VIII melalui e-jurnal, artikel, buku mengenai perkebunan, kemiskinan dan reforma agraria, wawancara mendalam terhadap pihak aparat pemerintahan dan pihak perkebunan. Kemudian dilakukan diskusi dengan warga untuk menentukan indikator kesejahteraan, dan batas kemiskinan, selanjutnya peneliti melakukan diskusi dengan perwakilan dari ketua RT dari masing-masing kampung untuk mengkategorikan masyarakat sesuai dengan indikator yang telah dibuat sebelumnya. peneliti kemudian melakukan wawancara mendalam terhadap masyarakat yang masuk ke dalam masing-masing kategori tersebut. Tahap terakhir yaitu pengamatan berperan-serta terhadap empat orang yang sudah diwawancara mendalam sebelumnya. Peneliti mengikuti kegiatan tineliti agar lebih memahami dan merasakan berbagai gejala sosial yang terjadi pada tineliti. Selain itu, melalui teknik berperan-serta ini, peneliti dapat melihat langsung validitas data yang telah tineliti berikan pada peneliti sebelumnya.
3.4.1
Wawancara Mendalam Wawancara mendalam merupakan percakapan dua arah dalam suasana
kesetaraan, akrab dan informal, serta bersifat luwes, terbuka, tidak terstruktur dan
tidak baku (Sitorus, 1998). Wawancara mendalam bertujuan untuk mengetahui pemaknaan kemiskinan menurut tineliti, sumber penghasilan, jumlah penghasilan, kepemilikan atas tanah, dan aset berharga lainnya yang dijadikan indikator kemiskinan lokal di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Panduan pertanyaan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1, yang digunakan oleh peneliti untuk mengetahui masalah-masalah agraria yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan oleh tineliti untuk dapat keluar dalam kemiskinan yang ia rasakan melalui program reforma akses agraria. Tabel 2. Topik Wawancara Penelitian Topik Profil PTPN VIII Kebun Cianten
Informan Hasanudin (Bagian Umum PTPN VIII Kebun Cianten) dan Odang (Mandor Besar Sektor 8/ Dusun Cigarehong)
Indikator kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar Tangga kehidupan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar Hubungan Masyarakat dengan perkebunan
Diskusi Bersama Perwakilan Masyarakat dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Masalah Agraria
Perwakilan warga dari masing-masing kategori yang telah didapat sebelumnya Perwakilan warga dari masing-masing kategori yang telah ditemukan sebelumnya
Masalah agraria yang dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria
Deskripsi Mengetahui profil PTPN VIII Kebun Cianten, sejarah Kebun Cianten, pendapat perusahaan mengenai masyarakat yang memiliki sawah di daerah HGU perkebunan, gaji dan pekerjaan dari para karyawan baik karyawan lepas maupun karyawan tetap, hak dari karyawan lepas dan karyawan tetap. Mengetahui definisi kemiskinan menurut masyarakat, indikator kemiskinan, tangga kehidupan, dan batas kemiskinan lokal
Salah Satu Ketua RT dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Mengetahui masyarakat dari masingmasing kampung yang termasuk kedalam masing-masing tangga kehidupan
Perwakilan warga dari masing-masing kategori yang telah didapat sebelumnya
Mengetahui pandangan masyarakat terhadap kebijakan perkebunan mengenai sewa rumah maupun lahan pertanian, hak yang mereka dapatkan dengan bekerja di pekerbunan Mengetahui luas tanah yang digunakan untuk pertanian dan masalah-masalah agraria yang dihadapinya
Sumber: Simarmata (2009)
Mengetahui kebutuhan masyarakat yang terkait dengan masalah agrarian yang mereka hadapi, dan dapat diatasi oleh reforma akses agrarian yang dapat diterapkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Teknik wawancara mendalam dan topik penelitian yang dapat dilihat pada Tabel 2, peneliti dapat memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya khususnya kemiskinan, pengalamannya ataupun situasi dan pilihan-pilihan yang dibuat oleh tineliti dalam hidupnya baik yang berkaitan dengan kemiskinan dan masalah agraria yang dihadapinya maupun yang tidak berkaitan dengan masalah tersebut.
3.4.2
Pengamatan Berperanserta Pengamatan berperanserta adalah proses penelitian yang mensyaratkan
interaksi sosial antara peneliti dan tineliti dalam lingkungan sosial tineliti (Taylor dan Boglan, 1984 dalam Sitorus, 1998). Metode pengamatan berperan serta merupakan pengamatan langsung di lapangan. Menurut Molneng (1989) sebagaimana dikutip Sitorus (1998) pengamatan ini dilakukan agar peneliti dapat melihat, merasakan dan memaknainya, serta memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan tineliti. Melalui metode ini penulis dapat menganalisis kemiskinan yang terjadi di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar tidak saja dari satu sudut pandang saja, yaitu lewat pengamatan dari segi fisik tineliti, akan tetapi juga dari segi sosial melalui kegiatan-kegiatan dan pertemuan-pertemuan yang tineliti hadiri, sehingga dapat memahami cara pandang tineliti dalam menghadapi kemiskinan yang dialaminya. Peneliti melihat kondisi kemiskinan dari segi aset yang dimiliki oleh tineliti, kepemilikan tineliti terhadap lahan pertanian atau pekerjaan yang terkait dengan pertanian, dan penghasilan total yang dimiliki oleh tineliti yang merupakan unit keluarga. Peneliti melakukan pengamatan berperan serta, dengan
tinggal bersama tineliti dan mengamati bagaimana cara tineliti melakukan aktivitasnya dan juga pekerjaan, aset yang dimiliki oleh tineliti.
3.4.3
Penelusuran Dokumen Penelusuran dokumen dilakukan dengan mengumpulkan literatur yang
terkait dengan masalah kemiskinan, agraria dan reforma agraria yang didapat melalui e-jurnal, buku, artikel dan skripsi. Selain itu literatur berasal dari data monografi desa untuk mendapatkan gambaran umum lokasi penelitian. Penelusuran dokumen bertujuan untuk membantu peneliti dalam memperoleh informasi yang nantinya akan membantu peneliti dalam memahami mengenai masalah penelitian ini.
3.5
Teknik Analisis Data Analisis data ditujukan untuk menjelaskan hasil dari penelitian. Teknik
pengolahan dan analisis data dilakukan melalui tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Menurut Sitorus (1998), reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data pada penelitian ini diambil dari catatan harian penulis dan rekaman yang didapat dari hasil analisis wawancara mendalam dan pengamatan berperan-serta. Reduksi dilakukan dengan menulis ulang catatan harian dan rekaman waancara dengan mengelompokannya sesuai dengan topik wawancara penelitian. Hasil wawancara yang tidak sesuai dengan topik wawancara penelitian tidak peneliti masukkan.
Setelah ditulis ulang, penulis menyajikan data berupa tabel, grafik dan gambar, untuk memudahkan penulis dalam menarik kesimpulan dan meringkas hasil penelitian agar lebih mudah dipahami dan dibaca oleh orang lain. Kemudian, penulis menarik kesimpulan dari data yang telah penulis kumpulkan dengan memikirkan ulang kejadian dilapangan dan menghubungkan kejadian satu dengan yang lainnya, melakukan transfer ilmu dengan teman sekelas penulis dan mengikuti pelatihan metode penulisan agraria dan seminar yang terkait dengan agraria.
3.6
Bias Penelitian Selama melakukan penelitian, peneliti merasakan adanya bias penelitian.
Posisi peneliti sebagai mahasiswa yang menanyakan tentang kemiskinan, hubungan dengan perkebunan, maupun mengenai status kepemilikan lahan pertanian menyebabkan masyarakat tidak jujur sepenuhnya kepada peneliti. Mempertanyakan
mengenai
kemiskinan
merupakan
hal
yang
tidak
menyenangkan, karena menyangkut masalah internal dari warga dan sensitif. Warga tertutup dan curiga terhadap pertanyaan peneliti. Terkadang terdapat kesalahpahaman dari warga masyarakat yang mengira peneliti merupakan suruhan pemerintah yang ingin melihat siapa saja yang warga yang tidak berhak mendapatkan BLT akan tetapi mendapatkan BLT di daerah tersebut. Masyarakat juga sulit terbuka mengenai masalah yang mereka hadapi dengan perkebunan, karena mereka menyadari bahwa perkebunan merupakan tempat mereka untuk hidup. Pada awalnya beberapa pertanyaan yang dikemukakan
peneliti
terhadap
warga
dijawab
dengan
memutar-mutar
pembicaraan, ataupun jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan peneliti. Selain itu, masyarakat takut data penelitian ini jatuh ke tangan pihak perkebunan, yang dapat membahayakan status mereka di perkebunan di masa datang. Pertanyaan yang sulit untuk masyarakat utarakan jawabannya, salah satunya yaitu bagaimana masyarakat mendapatkan lahan pertanian mereka selain dari hasil pembagian warisan. Masyarakat sulit menjawab pertanyaan ini dikarenakan masyarakat menyembunyikan adanya pelebaran lahan ke daerah perkebunan atau TNGH, serta adanya praktek jual beli lahan pertanian yang merupakan HGU dari perkebunan ataupun TNGH. Bila TNGH dan perkebunan mengetahui adanya jual-beli dan pelebaran lahan ini, masyarakat akan mendapatkan sanksi, sehingga masyarakat sulit untuk mengeluarkan informasi sebenarnya terkait masalah ini kepada peneliti. Masyarakat mulai terbuka dan menceritakan berbagai hal pada peneliti setelah peneliti tinggal satu minggu bersama masyarakat. Tercipta kedekatan antara masyarakat dengan peneliti, menyebabkan masyarakat tidak sungkansungkan lagi kepada peneliti, dan menceritakan keadaan dirinya tanpa ditutuptutupi lagi. Selain itu, karena adanya proses mengenal satu sama lainnya, masyarakat yakin bahwa peneliti tidak akan memberikan hasil penelitian ini kepada pihak perkebunan dan TNGH.
BAB IV GAMBARAN UMUM DESA, DUSUN, KAMPUNG DAN PERKEBUNAN 4.1
Desa Purwabakti
4.1.1
Kondisi Geografis Desa Purwabakti Desa Purwabakti merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan
Pamijahan, Kabupaten Bogor dengan curah hujan sebanyak 250/300 m3 dan berada di 650/1000 meter diatas permukaan laut. Luas Desa Purwabakti yaitu 1.662 hektar yang dapat dilihat pada peta Desa Purwabakti pada Gambar 3.
Gambar 3. Peta Desa Purwabakti
Desa Purwabakti terbagi dalam 5 Dusun 12 Rukun Warga (RW) serta 39 Rukun Tangga (RT). Penggunaan lahan di desa purwabakti mempunyai banyak macam, yang didasarkan pada pemanfaatan atau penggunaan tanah tersebut. Penggunaan tanah dan luas lahan adalah sebagai berikut: Tabel 3. Luas dan Penggunaan Lahan Desa Purwabakti No.
Penggunaan Lahan
Luas (Hektar)
Persentase (%)
1
Perumahan/Pemukiman dan Pekarangan
10
2.5
2
Sawah
162
40.4
3
Ladang
200
49.9
4
Jalan
15
3.7
5
Pemakaman/Kuburan
3
0.7
6
Perkantoran
0.1
0.0
7
Tanah/Bangunan Pendidikan
1
0.2
8
Tanah/Bangunan Pribadi
10
2.5
401.1
100
Jumlah Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008
Masyarakat Desa Purwabakti menopangkan hidupnya pada sektor pertanian, yang dilihat dari besarnya penggunaan lahan sebesar 90,3 persen pada sawah dan ladang yang dapat dilihat pada Tabel 3. Melalui alokasi penggunaan tanah di Desa Purwabakti, dapat disimpulkan Desa Purwabakti mempunyai lahan yang kering, karena sebagian besar lahannya digunakan sebagai ladang yaitu sebesar 49,9 persen.
4.1.2
Kependudukan Desa Purwabakti Jumlah penduduk Desa Purwabakti adalah 7330 jiwa, dengan rincian laki-
laki sebanyak 3676 jiwa, dan perempuan sebanyak 3654 jiwa. Jumlah kepala keluarga yaitu sebanyak 1795 jiwa. Data kependudukan Desa Purwabakti sampai 30 Desember 2007 dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Struktur Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Purwabakti Kelompok
Jumlah Jiwa
Umur
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah (Orang)
0-4
330
326
656
9.0
5-9
255
253
508
6.9
10-14
383
384
767
10.5
15-19
309
311
620
8.5
20-24
227
225
452
6.2
25-29
221
221
442
6.0
30-34
229
218
447
6.1
35-39
224
220
444
6.1
40-49
226
227
453
6.2
50-54
227
231
458
6.3
55-59
225
223
448
6.1
60-64
220
221
441
6.0
65-69
205
206
411
5.6
70-Keatas
391
388
779
10.6
3654
7326
100
Jumlah 3672 Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008
Persentase (%)
Dilihat dari perkembangan penduduk Desa Purwabakti, rasio angka kelahiran dan kematian terlihat berbeda cukup tinggi, angka kelahiran penduduk pada bulan April 2009 yaitu sebesar 53 orang, sementara angka kematian 14 orang. Kepadatan penduduk di Desa Purwabakti sebanyak 7.530 orang pada bulan April 2009 dengan gerak mobilitas yang tergolong cukup rendah, yaitu pendatang sebanyak dua orang dan jumlah penduduk yang pindah sebanyak dua orang. Sebagian besar penduduk Desa Purwabakti beragama Islam. Mata pencaharian utama penduduk Desa Purwabakti didominasi oleh sektor swasta dengan persentase 61,1 persen (lihat Tabel 5). Sektor swasta ini merupakan masyarakat yang bekerja sebagai karyawan di Kebun Cianten. Selain swasta, mata pencaharian utama penduduk juga sebagai petani yaitu sebesar 16
persen dan pengrajin 11,7 persen. Penduduk yang bekerja sebagai pengrajin, merupakan pengrajin kayu rotan, yang letaknya jauh dari Kebun Cianten. Tabel 5. Mata Pencaharian Penduduk Desa Puwabakti No.
Mata Pencaharian
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
1
Tani
653
16.0
2
Pedagang
300
7.3
3
Pegawai Negri
8
0.2
4
TNI/POLRI
0
0.0
5
Pensiunan/Purnawirawan
2
0.0
6
Swasta
2500
61.1
7
Buruh Pabrik
20
0.5
8
Pengrajin
480
11.7
9
Tukang Bangunan
30
0.7
10
Penjahit
5
0.1
11
Tukang Las
1
0.0
12
Tukang Ojek
65
1.6
13
Bengkel
1
0.0
14
Sopir Angkutan
15
0.4
15
Lain-lain
Total Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008
4.1.3
10
0.2
4090
100
Pendidikan Desa Purwabakti Tingkat pendidikan Desa Purwabakti (lihat Tabel 6) termasuk kedalam
rendah, karena sebagian besar masyarakatnya yaitu 43 persen hanya lulus Sekolah Dasar, dan 25,8 persen yang tidak lulus Sekolah Dasar. Tingkat pendidikan yang rendah ini akan berdampak terhadap rendahnya tingkat kemajuan desa tersebut dibandingkan wilayah perkotaan. Kurangnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai aktor pembangunan di Desa Purwabakti berdampak pada laju pembangunan dan tingkat kemiskinan di desa tersebut.
Tabel 6. Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Purwabakti No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
1
Tidak Tamat SD/Sederajat
275
25.8
2
Tamat SD/Sederajat
458
43.0
3
Tamat SLTP/Sederajat
256
24.1
4
Tamat SLTA/Sederajat
75
Total Sumber: Monografi Desa Purwabakti 2008
1064
7.0 100
4.2
Dusun Cigarehong Dusun Cigarehong adalah salah satu tempat permukiman di Kebun
Cianten. Dusun Cigarehong memiliki dua RW yaitu RW 08 dan RW 07. Dusun ini terletak paling ujung dari Kebun Cianten, dan memiliki enam kampung. Kampung tersebut yaitu: Cigarehong (RW 07/RT 01), Cikandang (RW 7/ RT 02), Babakan Salim (RW 07/RT 03), Legog Makam (RW 07/RT 04), Padajaya (RW 08/RT 01 dan RT 02) dan Padajembar (RW 08/RT 03 dan RT 04). Dusun Cigarehong pada awalnya hanya terdiri dari rumah karyawan tetap perkebunan, yang merupakan rumah dinas dari perkebunan yang dibuat di Kampung Cigarehong. Tapi pada akhirnya, karena pertambahan penduduk dan bertambahnya pendatang yang datang untuk bekerja baik pada perkebunan maupun
PT.Cevron
LTD,
masyarakat
pendatang
tersebut
membuat
pemukimannya sendiri-sendiri, dan membuat koloni yang menjadi sebuah kampung. Wilayah Dusun Cigarehong terbagi menjadi dua, yaitu wilayah perkebunan dan wilayah yang masuk Taman Nasional Gunung Halimun, selain itu di Dusun Cigarehong terdapat beberapa titik yang merupakan tempat pengeboran
minyak dari PT.Cevron LTD. Dusun ini adalah dusun terakhir dari wilayah Kebun Cianten yang berbatasan dengan wilayah Sukabumi. Fasilitas perkebunan yang terdapat di Dusun Cigarehong, yaitu SDN Ciasmara IV, Madrasah Aliyah Tarbiyatul Aftal 2 dan Tempat Penitipan Anak (TPA). Berdasarkan wawancara terhadap kepala sekolah SDN Ciasmara IV, perkebunan tidak pernah memberikan bantuan kepada SDN ini. Perkebunan hanya memberikan bantuan pada tahun 1981 berupa makanan (minyak dan gula) kepada murid kelas enam yang hendak melaksanakan ujian, dan juga memberikan bantuan pada guru. Sejak itu perkebunan tidak pernah lagi memberikan bantuan. Menurut kepala sekolah juga, perkebunan hanya memberikan bantuan kepada Madrasah Aliyah. Karena Madrasah Aliyah termasuk kedalam program bantuan perkebunan, sedangkan SDN Ciasmara IV tidak termasuk kedalamnya.
4.3
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
4.3.1
Keadaan Geografis Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah Kampung terujung
dari Dusun Cigarehong. Jumlah rumah tangga di dua kampung tersebut yaitu 152 kepala yang dapat dilihat pada Lampiran 2. Kampung Padajaya dan Kampung padajembar memiliki lokasi yang berbeda satu sama lainnya. Kampung Padajaya berada di paling ujung dan bentuk kampung ini terbagi menjadi dua, RT 01 berbentuk memanjang sesuai dengan jalan utama yang menghubungkan Sukabumi dan Leuwiliang, sedangkan RT 02 berbentuk koloni. Pada Kampung Padajembar, baik RT 03 maupun RT 04, memiliki bentuk yang sama, yaitu bentuk koloni, dan berbaur satu sama lain dan tidak terpisah.
Kampung di Dusun Cigarehong identik dengan tali persaudaraan. Penduduk dalam satu kampung, biasanya memiliki saudara baik kakak atau adik, menantu, orang tua dan anak, akan tetapi pada kampung lain di Dusun Cigarehong, penduduk tersebut tidak memiliki saudara dekat, hanya saudara jauh. Contohnya adalah Ida warga dari RT 03 Kampung Padajembar, ibunya tinggal di RT 04 di kampung yang sama, sedangkan adik-adiknya tinggal tidak jauh dari kediamannya, hanya berbeda satu atau dua rumah saja. Akan tetapi Ida tidak memiliki saudara dekat di Kampung Padajaya. Mata pencaharian dan jumlah penghasilan antara masyarakat di Kampung Padajaya dan Padajembar berbeda. Masyarakat Kampung Padajaya, sebagian besar tidak menopangkan hidupnya pada perkebunan, mereka bekerja sebagai pedagang dan karyawan pada PT.Cevron LTD, jarang yang memiliki tanah pertanian. Masyarakat di Padajembar sebagian besar menopangkan hidupnya pada perkebunan dan memiliki tanah pertanian. Wilayah pertanian dan rumahnya merupakan bagian dari wilayah perkebunan. Perbedaan ini dikarenakan lokasi kedua kampung tersebut yang berbeda satu sama lain. Kampung Padajaya merupakan kampung yang berada di tepi jalan, jalan tersebut sering dilintasi truk atau mobil yang Bogor-Sukabumi, karena jalan tersebut merupakan jalan alternatif menuju daerah sukabumi dan pelabuhan ratu, dan sering dilewati oleh wisatawan lokal yang ingin menikmati suasana perkebunan. Sedangkan untuk memasuki Kampung Padajembar, harus melewati jalan kecil, berbatu dan terjal, sehingga geliat ekonomi di Kampung Padajembar kurang ’hidup” dibandingkan dengan geliat ekonomi di Kampung Padajaya.
4.3.2
Pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar Fasilitas pendidikan yang terdapat di daerah Kebun Cianten yaitu: Satu
unit Taman Kanak-Kanak Tunas Karya, Tiga Unit Sekolah Dasar, Tiga Unit unit Madrasah Diniyah, dan satu unit Sekolah Menengah Pertama. Fasilitas perkebunan yang dapat digunakan oleh warga masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu sekolah SDN IV Ciasmara (lihat Gambar 4), Tempat Penitipan Anak (TPA) (lihat Gambar 5.), dan juga Madrasah Aliyah yang semuanya terletak di Kampung Cigarehong. Pada Dusun Cigarehong, anak-anak bersekolah dari pukul 7.00 sampai dengan pukul 12.00 di sekolah formal, dan melanjutkan sekolah pukul 14.00 sampai dengan pukul 16.00 sekolah madrasah.
Gambar 4. SDN Ciasmara IV
Gambar 5. Tempat Penitipan Anak (TPA) Fasilitas lain yang diberikan oleh perkebunan yaitu satu unit balai pengobatan, delapan unit masjid, 22 unit mushola, lima unit Tempat Penitipan Anak (TPA). Bantuan yang diberikan perkebunan kepada STK (Rp 500,00 per anak), TPA (Rp 500,00 per anak), posyandu (Rp 500,00 per anak), pakaian kerja, pengobatan, dua rit per hari jemputan anak sekolah Tunjangan Hari Raya (THR) dan tunjangan jasa produksi kepada karyawan. Anak perempuan dan laki-laki di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar hanya bersekolah sampai dengan Sekolah Menegah Pertama (SMP) dan akan dinikahkan setelah tamat SMP. Hal ini dikarenakan, adanya pandangan dari masyarakat yaitu untuk apa sekolah tinggi-tinggi karena pekerjaannya hanya akan seperti orangtuanya juga. Selain itu, masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar tidak menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dikarenakan Sekolah Menengah Atas (SMA) letaknya jauh dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Sekolah tersebut berada di
Leuwiliang dan Sukabumi yang jaraknya 25 kilometer dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Pulang-pergi setiap hari membutuhkan waktu dan biaya Rp 26.000,00. Hal ini merupakan jawaban dari rendahnya tingkat pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) “bisa dihitung dengan jari”. Warga masyarakat yang bersekolah sampai tingkat SMA ini adalah warga yang berprofesi sebagai guru dan mandor. Mereka adalah warga yang dituntut oleh pekerjaannya untuk mendapatkan ijazah yang lebih tinggi. Selain itu, mereka yang bersekolah sampai dengan jenjang SMA karena orangtuanya menuntut
anak-anaknya
terus
bersekolah
setinggi-tingginya
agar
bisa
memperbaiki kehidupan keluarga. Salah satu contohnya yaitu Asep (30 tahun) yang bersekolah sampai ke tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan merupakan mandor petik perkebunan. Ia bersekolah karena orangtuanya yang merupakan karyawan pemetik teh perkebunan, menginginkan Asep memiliki kehidupan yang lebih baik dari pada kehidupan orantuanya, sehingga orangtua Asep menyekolahkan Asep ke jenjang yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak lainnya di kampung tersebut. Untuk menjadi mandor di perkebunan, selain keahlian, yang dibutuhkan adalah ijazah setingkat SMK/SLTA. Masyarakat yang sudah lama menjadi karyawan tidak bisa langsung menjadi mandor, akan tetapi dibutuhkan keahlian tertentu. Contohnya mandor petik dan mandor besar di sektor delapan memiliki tingkat pendidikan yang tinggi. Mandor petik sektor delapan Asep merupakan lulusan SMK Pertanian, sedangkan mandor mesar sektor delapan Odang mempunyai gelar Diploma Satu Informatika Teknologi.
4.4
PTP Nusantara VIII Kebun Cianten
4.4.1
Keadaan Geografi PTPN VIII Kebun Cianten memiliki luas areal konsensi 857.74 hektar.
Pada umumnya topografi bergelombang dan terletak pada ketinggian 800 meter sampai 1000 meter diatas permukaan laut wilayah ini berpenduduk sekitar 4.000 jiwa. Sepenuhnya bekerja pada perkebunan teh, mulai dari pembibitan, persemaian, pemeliharaan, panen sampai pengolahan teh. Kebun Cianten berada di Propinsi Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bogor. Kebun Cianten berjarak 25 Kilometer dari Kecamatan Leuwiliang dan termasuk dalam dua wilayah kerja Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Pamijahan. Kebun Cianten juga terbagi kedalam dua desa yaitu Desa Purasari Kecamatan Leuwiliang (Afdeling I) dan Desa Purwabakti Kecamatan Pamijahan (Afdeling II) dan kebun berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi yang dikelilingi Gunung Gagak, Gunung Keneng, dan Gunung Tanjungsari yang merupakan anak Gunung Halimun. Kondisi iklim tergolong daerah tipe B menurut perhitungan Sekmidt dan Ferguson. Temperatur rata-rata berkisar antara 19°C sampai 30°C dengan kelembaban nisbi antara 38 sampai 80 persen curah hujan lima tahun terakhir ratarata 5,238 milimeter per tahun. Kebun Cianten relatif jauh dari perkampungan penduduk. Jarak terdekat dengan perkampungan penduduk kurang lebih tujuh kilometer, yaitu kampung Tanjungsari, sedangkan jarak dengan kantor Desa Purasari kuranglebih 11 kilometer, dengan Desa Purwabakti kurang lebih 12 Kilometer.
4.4.2
Pekerja Perkebunan Kebun Cianten yang dipimpin langsung oleh seorang administratur dan
wakilnya atau lazimnya disebut kepala tanaman. Kebun dibagi menjadi lima bagian atau divisi, yaitu bagian administrasi dikepalai seorang kepala administrasi bagian teknik dikepalai oleh kepala teknik, bagian pengolahan dikepalai oleh kepala pengolahan, bagian afdeling Cianten I dikepalai kepala afdeling Cianten I, dan bagian afdeling Cianten II dikepalai oleh kepala afdeling Cianten II. Masingmasing sinder atau kepala bagian membawahi beberapa petugas. Setiap mandor besar membawahi beberapa mandor yang memiliki 20 sampai 40 orang anak buah. Khusus untuk kelancaran administrasi masing-masing sinder dibantu oleh JTU kepala. Guna membantu administrasi dalam pengawasan terhadap kinerja seluruh bagian administratur dibantu oleh bagian Pengawas Intern Kebun (PIK). Jumlah karyawan borongan perkebunan lebih banyak dari pada karyawan tetap perkebunan yang dapat dilihat pada Tabel 7, dengan persentase 58 persen sedangkan karyawan pelaksana sebesar 32,6 persen. Banyaknya karyawan borongan, dikarenakan sudah beberapa tahun terakhir perkebunan tidak mengadakan perekrutan karyawan borongan menjadi karyawan tetap. Menurut mandor sektor delapan, hal ini dikarenakan perkebunan sedang mengalami penurunan hasil panen setiap tahun, yang disebabkan oleh cuaca dan umur tanaman yang sudah tua. Berdasarkan mitos yang didapat dari para leluhur, masyarakat percaya bahwa suatu saat perkebunan akan bangkrut sehingga masyarakat tidak memaksakan dirinya menjadi karyawan perkebunan. Menurut masyarakat dengan dapat hidup saja bagi mereka kerja sudah cukup.
Tabel 7. Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTPN VIII Kebun Cianten No.
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
1
Karyawan pimpinan golongan IIIA-IVD
Uraian
6
0.5
2
Karyawan pelaksana I Golongan IB-IID
101
8.9
3
Karyawan pelaksana II Golongan A
368
32.6
4
Karyawan borong/PKWT
655
58.0
1130
100
Total Sumber: PTPN VIII Kebun Cianten 1 April 2009
Perumahan dinas karyawan perkebunan tersebar di beberapa komplek: 1. Emplasemen: Pondok Pia, Pondok Asmara, Bunisari dan Sindang Resmi 2. Afdeling Cianten I: Pematang/Sarkawi/Taman Saat, Cirohani, Kampung Baru, Kampung Limus, Cianten Herang, Pel Girang, Pel Tengah, Pel Hilir, Sindang Sari, Kampung Saung, Pondok Lapang, Pondok Pasar, Pondok Cau dan Pondok Pensiun. 3. Afdeling Cianten II: Sindang Reret, Cimapag, Pasirpari, Cisurupan, Garehong, Emplasement, Padajembar, Padajaya, dan Cikandang. Total penduduk yang bertempat tinggal di Kebun Cianten kurang lebih 4000 penduduk. Sebagian besar penduduk tersebut bekerja di perkebunan, sedangkan sisanya menjadi guru, petani, pedagang dan supir. Pekerja dari perkebunan terbagi menjadi dua yaitu karyawan tetap dan karyawan lepas. Karyawan tetap mendapatkan fasilitas perusahaan, gaji hari libur dan gaji dari hasil pekerjaannya (pemetikan teh, pemeliharaan atau penyemprotan tanaman). Sedangkan karyawan lepas hanya mendapatkan gaji dari hasil pekerjaannya saja. Pada karyawan pemetikan, harga teh yang di petik sesuai dengan kualitas hasil petikan tersebut yaitu kurang lebih Rp 400,00 sampai
dengan Rp 460,00 per kilogram. Harga ini berbeda untuk setiap mandor, karena mandor mempunyai otoritas untuk menetapkan harga kepada pemetik. Administartur PTPN VIII Kebun Cianten yang menjabat sekarang bari diangkat pada bulan Februari 2009. Setelah adanya pergantian administatur, terjadi beberapa perubahan kebijakan pada peraturan PTPN VIII Kebun Cianten. Salah satu kebijakan perkebunan yang berubah yaitu mengenai penggunaan lahan pertanian oleh masyarakat di daerah PTPN VIII Kebun Cianten. Pada beberapa kepemimpinan administatur yang lalu, masyarakat tidak diperbolehkan membuat sawah yang berdekatan dengan kebun teh. Bahkan pada periode kepemimpinan administratur sebelumnya, pernah ada kebijakan perkebunan yang melarang warga menanam tanaman (pisang, pepaya, padi sayur-sayuran, dll) di sekitar tanaman teh perkebunan, sehingga pohon yang ditanam oleh masyarakat dirubuhkan oleh pihak perkebunan. Akan tetapi pada kepemimpinan administratur yang baru, masyarakat diperbolehkan bertanam di areal perkebunan dan diharapkan dapat membantu perkebunan dengan mengambil rumput pada tanaman teh, atau melaporkan tanaman teh yang rusak, dan sebagainya. Jarak dari perkebunan ke Kecamatan Leuwiliang kurang lebih 25 kilometer, sedangkan jarak dari perkebunan menuju Desa Purwabakti yaitu 15 kilometer. Hal ini menyebabkan akses masyarakat menuju pasar sangat terbatas. Hanya ada pasar kaget yang muncul setiap satu bulan sekali pada tanggal gajian yaitu tanggal empat tiap bulan yang didirikan di dekat pabrik perusahaan. Jarak yang jauh antara Kantor Desa dan kampung di Kebun Cianten menyebabkan Kepala Desa Purwabakti jarang berkunjung ke kampung-kampung di Kebun
Cianten. Menurut masyarakat Padajembar, terhitung baru dua kali Kepala Desa Purwabakti Mahrop datang ke kampung mereka selama masa kepemimpinannya. Transportasi menuju dan dari Kebun Cianten, yaitu mobil L300 milik warga Kampung Cigarehong, yang beroperasi hanya satu kali setiap hari. Mobil tersebut berangkat dari Dusun Cigarehong ke pasar Leuwiliang pukul 04.00 dan pulang ke Dusun Cigarehong dari pasar Leuwiliang pukul 09.00 dengan tarif Rp 13.000,00. Selain mobil L300, alat transportasi lain menuju pasar Leuwiliang yaitu ojek dengan tarif Rp 30.000,00 sedangkan ojek dari pasar Leuwiliang menuju Dusun Cigarehong tarifnya Rp 50.000,00. Perbedaan harga ini karena pengojek dari Leuwiliang bukanlah warga Dusun Cigarehong, sehingga pengojek tersebut akan menaikkan tarifnya. Transportasi lokal di dalam Kebun Cianten, khusus untuk karyawan perkebunan, disediakan oleh perusahaan PTPN VIII Kebun Cianten. Transportasi ini berupa truk yang membawa pulang dan pergi karyawan dari rumah menuju lokasi pemetikan dan sebaliknya. Perkebunan juga menyediakan transportasi antar jemput anak-anak sekolah di daerah Kebun Cianten dari rumah mereka ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terletak dekat pabrik perkebunan.
4.4.3
Sejarah Perkebunan Pada tahun 1981 dilakukan pembukaan hutan oleh Pemerintah Hindia
Belanda di Kampung Cipacet untuk pembuatan lahan perkebunan. Pekerja didatangkan dari daerah di sekitar perkebunan yaitu Desa Puraseda, Desa Cisarua dan Desa Muara. Pembukaan lahan tersebut dilanjutkan dengan penanaman benih (biji) teh. Tahun 1912 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan bangunan pabrik
serta prasarana lainnya termasuk pemukiman untuk para pekerja, dan Kampung Cipacet berubah menjadi “ondernoming” atau masyarakat setempat sering menyebutnya “Kontrak Cianten”. Pada saat itu, pemimpin tertinggi di Kontrak Cianten lazim disebut Juragan Kawasa. Juragan kawasa yang pertama adalah Juragan Kawasa Harja Aurata” kemudian digantikan oleh Juragan Kawasa Hasan. Tahun 1943 Pemerintah Jepang melakukan agresi terhadap Pemerintah Belanda yang menduduki Indonesia dan Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Otomatis seluruh aset Republik Indonesia yang diakui Belanda jatuh ke tangan Jepang, tetapi sayang Jepang tidak melakukan sistem yang sama seperti yang dikelola oleh Belanda. Kontrak Cianten tidak beroperasi lagi. Selama kurun waktu tahun 1943 sampai dengan tahun 1948 Kontrak Cianten digarap oleh rakyat secara tradisional. Pertengahan tahun 1948 Kontrak Cianten kembali dibuka dan dikelola kembali oleh Pemerintah Indonesia dengan nama PPH, tahun 1964 namanya berubah menjadi PPN Cianten dan pada tahun yang sama dirubah menjadi PPN Kesatuan. Pada tahun 1971 PPN Kesatuan kemudian digabungan dengan PMP yang berasal dari beberapa perkebunan yang lain dalam naungan PTP XII sampai tahun 1994. Pada tahun 1994 beberapa perkebunan yang bernaung dibawah PTP XI, PTP XII, PTP XIII yang berada di Provinsi Jawa Barat digabungkan menjadi PTP Group Jabar. Sejak tahun 1996 sampai sekarang seluruh perkebunan yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) digabungkan ke dalam wadah PTP. Nusantara I-XIV, dan PTP. Nusantara VIII dengan 46 perkebunan yang ada tersebar di Jawa Barat. Kebun Cianten termasuk kedalam PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) yang berkantor di Jalan Sindangsirna No.4 Bandung.
Pada tahun 1986, pabrik Kebun Cianten beralih fungsi dari pengolahan teh Ortodok menjadi pengolahan teh CTC, dengan pertimbangan bahwa pasar dunia saat ini banyak meminati hasil olahan pabrik teh CTC.
4.4.4
Visi, Misi dan Kontribusi Perkebunan PTPN VIII Kebun Cianten memiliki visi yaitu : menjadikan perusahaan
agribisnis global yang dipercaya, mengutamakan kepuasan pelanggan dan kepedulian lingkungan dengan berlandaskan kepada mutu dan produktivitas tinggi, serta didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional. Misi perusahaan mengelola perusahaan sesuai prinsip Good Coorporate Governance untuk menghasilkan produk yang bermutu tinggi dan ramah lingkungan yang senantiasa berkembang dan lestari sebagai karya SDM yang handal dalam upaya memuaskan pihak-pihak yang berkepentingan. Kontribusi perkebunan terhadap lingkungan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu: bidang ekologi, ekonomi, fungsi sosial dan lain-lain (MultifierEffect). Pada bidang ekologi, kontribusi perkebunan terhadap kelestarian Sumber Daya Alam (SDA) antara lain: tata air (hidrologi), perlindungan sumber atau mata air,
penanaman pohon lindung, konservasi kesuburan lahan terutama lahan
pertanian seperti pemupukan organik atau anorganik, kenyamanan iklim (atmosfir) sebagai akibat akitivitas hidup pohon-pohonan. Kontribusi perkebunan pada
bidang
ekonomi
memberikan penghasilan
ekonomis
yang
dapat
dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat berupa deviden, pajak, retribusi, perusahaan memberikan karyawan dan batihnya berupa upah atau gaji untuk
penghidupan dan kehidupan, dan perusahaan memberikan kemitraan atau pembinaan usaha kecil dan koperasi kepada masyarakat sekitar. Penciptakan lapangan kerja, dan bina lingkungan melalui Community Development (CD) merupakan kontribusi perkebunan dalam bidang sosial. Kontribusi perkebunan yang lainnya yaitu membangun dan meningkatkan perekonomian masyarakat sebagai Agent Of Development.
4.4.5
Penggunaan Lahan Perkebunan Lahan dari perkebunan mempunyai bentuk seperti jari, dengan bagian luar
dari jari tersebut merupakan milik dari Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Alokasi penggunaan lahan perkebunan dapat dilihat pada Tabel 8. Lahan tidak produktif di perkebunan yang dapat dilihat pada Tabel 8 paling banyak dipakai oleh pihak ketiga dalam bentuk sawah yaitu 3,8 persen, hal ini membuktikan bahwa perkebunan mendata tanah perkebunan yang digunakan oleh masyarakat sebagai perkebunan. Alokasi lahan yang digunakan pada bidang pertanian yang digunakan oleh pihak ketiga lebih banyak digunakan untuk sawah dari pada perikanan (kolam), hal ini dikarenakan debit air yang sulit didapatkan didaerah lereng-lereng gunung.
Tabel 8. Penggunaan Lahan Perkebunan No. 1
Uraian Areal Tanaman Teh: - Tanaman Menghasilkan (TM) - Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) - Persemaian/Kebun Entrys - Lancuran Total
2
Areal Cadangan: - Cadangan dari Lancuran Total
3
Lahan Tidak Produktif: - Situ/Rawa - Hutan/Jurang/Sungai - Dipakai Pihak Ketiga (Bangunan) - Dipakai Pihak Ketiga (Sawah) - Dipakai Pihak Ketiga (Daratan) - Dipakai Pihak Ketiga (Kolam) - Dipakai Pihak Ketiga (Chevron LTD) Total
4
Areal Lain-Lain - Emplasemen - Jalan PTPN, VIII - Jalan Umum - Lapangan Olahraga - Kuburan Total
Total Area Sumber: PTPN VIII Kebun Cianten 1 April 2009
Luas (Hektar)
Persentase (%)
647.14
75.4
0 0 93.45
0.0 0.0 10.9
740.59
86.3
0
0.0
0
0.0
11.08 8.86 3.89 32.93 15.12 2.7 4.63
1.3 1.0 0.5 3.8 1.8 0.3 0.5
79.21
9.2
15.2 18.24 0 1 3.5
1.8 2.1 0.0 0.1 0.4
37.94
4.4
857.74
100
BAB V KONSTRUKSI KEMISKINAN LOKAL 5.1
Sejarah Penduduk Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar Sebagian besar penduduk Cianten merupakan masyarakat pendatang.
Mereka datang dari desa-desa di sekitar perkebunan, karena mendengar adanya lapangan pekerjaan di perkebunan. Pada Kampung Padajembar, diperkirakan terdapat pemukiman karena masyarakat yang merupakan pekerja dari perkebunan membuat saung di dekat sungai. Wilayah ini dipilih karena nyaman dan masayarakat bisa sambil memancing ikan di sungai. Warga kemudian membuat rumah yang tidak jauh dari saungnya tersebut agar jaraknya lebih dekat. Rumah ini menjadi awal mula dari pemukiman yang terdapat di Kampung Padajembar, sedangkan saung ini merupakan awal mula dari banyaknya sawah di Kampung Padajembar yang mengikuti aliran sungai. Sejarah dari Kampung Padajaya berbeda dengan Kampung Padajembar. Kampung Padajaya adalah kampung yang dibentuk oleh pendatang yang membuka warung di sekitar jalan. Pendatang tersebut melihat potensi mendapatkan keuntungan dengan membuka warung di daerah tersebut. Jalan tembus menuju Sukabumi ini sudah ada sejak lama, akan tetapi baru pada tahun 1999 yaitu sejak adanya pengaspalan jalan, mulai banyak dilewati oleh masyarakat dari Leuwiliang yang menuju Sukabumi dan sebaliknya. Kampung Padajaya dipenuhi oleh masyarakat pendatang yang bekerja di PT Cevron LTD, yang dulunya adalah PT Unocal. Perpindahan penduduk dari desa diluar Kebun Cianten ke daerah Cianten, khususnya Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar terus menerus terjadi
sampai sekarang, akan tetapi dalam bentuk yang berbeda. Datangnya masyarakat luar ke Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ini ditandai dengan pernikahan antara warga masyarakat diluar Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dengan masyarakat dari kampung tersebut. Penduduk dari luar Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar merasa Dusun Cigarehong mempunyai daya tarik tersendiri, selain suasananya yang dingin dan tenang, wilayah Dusun Cigarehong juga dekat dengan dua perusahaan besar yang membutuhkan tenaga kerja, yaitu PT Cevron LTD dan PTPN VIII Kebun Cianten, dan didukung oleh wilayah hutan yang dapat digunakan masyarakat untuk bersawah yang dimiliki oleh Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Mobilitas penduduk dari Kampung Padajembar dan Kampung Padajaya ke desa lain jarang terjadi, kebanyakan masyarakat tetap bertahan di kampungnya karena mereka nyaman dengan suasana kampung yang kekeluargaan, seperti yang diutarakan oleh Tatang RT 03, yang menyatakan dirinya lebih senang bekerja di kampung, walaupun gaji yang ia terima dari perkebunan sedikit, akantetapi di kampung ia mempunyai tetangga dan teman yang baik yang dapat membantu bila ia sedang kesusahan, selain itu kampung juga mempunyai suasana yang tenang dan sejuk.
5.2
Masyarakat sebagai Pekerja Perkebunan Panen teh yang ”bagus” yaitu pucuk teh yang terbaik yang dapat diekspor
tidak teratur beberapa tahun belakangan ini, menurut mandor besar sektor delapan. Hal ini dikarenakan pengaruh dari global warming. Sehingga terjadi perubahan cuaca yang berdampak pada hasil panen teh. Tahun 2009, panen teh
yang ”bagus” adalah pada bulan April sampai dengan Mei. Akan tetapi, pada tahun 2008, panen teh yang bagus terjadi pada bulan Agustus sampai dengan November. Tanaman teh mengalami panen yang baik bila bulan-bulan sebelumnya adalah musim hujan, dan setelah musim hujan tersebut sinar matahari datang dengan sinar yang ”cukup” yaitu sinar matahari yang tidak terlalu panas yang menyinari daun untuk proses fotosintesa tanpa merusak tanah dengan menguapkan air dalam tanah, yang menyebabkan tanah kekurangan air dan gersang, yang berdampak pada kualitas pucuk teh.
Gambar 6. Pemetik Teh Mengantri Giliran untuk Penimbangan
Bila sedang panen teh yang ”bagus”, satu orang pemetik teh bisa mendapat 1,2 ton per bulan atau 40 sampai 50 kilogram per harinya. Sedangkan bila panen teh sedang ”tidak bagus”, sebulan pemetik teh hanya mendapatkan 700 kilogram, atau sekitar 20 sampai 30 kilogram per harinya. Gaji pemetik teh di hitung berdasarkan berapa kilogram hasil petikan yang ia dapatkan. Satu kilogram hasil
petikan teh dihargai Rp 400,00 sampai dengan Rp 460,00, sehingga pemetik teh bisa mendapatkan penghasilan Rp 200.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00 per bulannya. Harga teh per kilogramnya tergantung kualitas petikan tanaman teh. Semakin bagus kualitasnya, maka harganya akan semakin tinggi. Harga ini sama untuk semua pemetik dalam satu mandor petik. Penimbangan dilakukan setiap hari pukul 10.00, pukul 12.00, dan sore hari tergantung kedatangan dari truk perkebunan yaitu sekitar pukul 15.00 sampai dengan pukul 14.00. Kegiatan pemetik teh yang menunggu penimbangan teh dapat dilihat pada Gambar 6. Orang yang mencatat dari hasil timbangan merupakan pekerja dari perkebunan yang disebut sebagai juru tulis yang dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Juru Tulis Perkebunan
Pekerja pada bidang pemeliharaan dibayar per patok yang berhasil ia pangkas. Begitu pula pada bidang pengendalian hama dibayar per patok. Untuk
satu patok dibayar Rp 20.000,00 sampai dengan Rp 22.000,00. Satu orang pekerja pemeliharaan dapat mengerjakan 15 sampai 25 patok per bulan, sehingga penghasilan perbulannya bisa mencapai Rp
330.000,00 sampai dengan Rp
550.000,00. Tidak semua pekerja dapat mengerjakan bagian pemeliharaan dan pengendalian hama. Dibutuhkan keterampilan dan juga ketahanan terhadap pestisida dari tanaman teh, sehingga karyawan yang bekerja pada bagian pemeliharaan dan pengendalian hama sedikit dibandingkan dengan karyawan bidang pemetikan teh. Ketua RT 04, Odih yang merupakan salah satu orang dari dua orang di Kampung Padajembar yang menopangkan hidupnya pada pertanian, yaitu bersawah, masyarakat yang tidak mau menggantungkan hidupnya pada perkebunan dikarenakan penghasilan dari perkebunan yang kecil. Penghasilan Odih dari perkebunan termasuk kecil karena Odih adalah karyawan lepas perkebunan bagian pemetikan teh, sehingga penghasilan yang didapatnya hanya dari hasil petikan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00. Odih bekerja di perkebunan selama dua tahun menjadi karyawan lepas perkebunan, dan akhirnya menjadi wiraswasta karena gaji yang didapat dari perkebunan sedikit dan tidak mencukupi untuk hidup keluarganya, membayar uang sekolah anak. Menurutnya gaji dari perkebunan hanya akan mencukupi kebutuhan makannya sendiri saja. PTPN VIII memiliki banyaknya pemetik teh perempuan dibandingkan pemetik teh laki-laki. Menurut Odang dari pihak perkebunan, hal ini dikarenakan perempuan lebih telaten dari laki-laki, sehingga mutu kualitas tanaman teh yang didapatkan lebih baik pada petikan perempuan dibandingkan dengan petikan laki-
laki. Laki-laki di perkebunan bekerja sebagai karyawan pemeliharaan dan penyemprotan hama pada tanaman teh. Pekerja dari perkebunan mendapatkan gaji setiap awal bulan pada tanggal empat atau lima. Aktivitas yang sering terjadi pada tanggal tersebut adalah adanya pasar kaget di dekat pabrik perusahaan yang menjual berbagai macam, barang kebutuhan dapur, sampai kebutuhan yang lainnya.. Pada PTPN VIII Kebun Cianten, satu mandor besar mengurus satu sektor ini, memiliki bawahan tiga mandor petik dan dua mandor rawat. Kelimanya merupakan
karyawan
tetap
perkebunan,
yang
masing-masing
memiliki
bawahannya masing-masing juga. Selain mandor-mandor tersebut, mandor besar juga memiliki mandor yang merupakan karyawan lepas dari perkebunan, yang akan dipanggil untuk bekerja secara borongan, bila buruh petik yang merupakan karyawan tetap tidak cukup untuk bekerja. Mandor tidak tetap ini juga memiliki karyawan petik lepas yang bergantung padanya untuk mata pencaharian. Karyawan dari perkebunan dibagi menjadi dua secara umum yaitu karyawan tetap dan karyawan lepas. Karyawan tetap mempunyai hak-hak sebagai berikut: 1. Mendapatkan upah sosial, yaitu upah yang dibayarkan bila karyawan tetap perkebunan tidak bekerja karena hari libur nasional, yang pembayarannya tergantung golongan dari karyawan tersebut. Golongan karyawan tetap perkebunan didapat dari prestasi karyawan tersebut, kualitas pekerjaan, dan kehadiran. Karyawan perkebunan bekerja dari hari Senin sampai dengan hari Sabtu, sehingga setiap hari Minggu. Karyawan tetap dari perkebunan mendapatkan upah sosial yang besarnya sekitar Rp 22.500,00.
2. Karyawan tetap perkebunan mendapatkan jatah cuti, yang lamanya tergantung jenis cuti. Cuti tahunan diperoleh selama 12 hari, sedangkan cuti panjang, yaitu enam tahun sekali diperoleh selama satu bulan. 3. Karyawan tetap juga mendapatkan fasilitas kesehatan, yaitu bila mereka sakit “ringan” yaitu sakit yang perawatannya harus menginap di rumah sakit, mendapatkan pengobatan gratis di klinik dan bila sakitnya “berat” yaitu sakit yang pengobatannya harus dilakukan dengan perawatan menginap di rumah sakit, mendapatkan biaya penggantian pengobatan. Akan tetapi peraturan perusahaan tersebut tidak diketahui oleh kebanyakan karyawan perkebunan, sehingga ada beberapa pegawai yang menyatakan tunjangan kesehatan hanya akan didapat oleh orang yang bekerja di perkebunan saja yang berstatus pegawai tetap. Akan tetapi ada juga pegawai yang mengetahui bahwa tunjangan kesehatan dapat digunakan oleh seluruh keluarga yang salah satu orangnya bekerja sebagai karyawan tetap diperusahaan. Keluarga tersebut termasuk didalamnya ayah/ibu dan dua orang anak. 4. Santunan kematian. Perusahaan juga memberikan santunan kematian bagi pekerja perkebunan yang meninggal ketika masih aktif bekerja di perkebunan, bukan pensiunan. 5. Pekerja perkebunan juga mendapatkan uang pensiun, Untuk pekerja dengan pengabdian kurang lebih 30 tahun kerja, kurang lebih 30 sampai 50 juta rupiah, tergantung golongan dari pekerja tersebut. Karyawan lepas perkebunan tidak mendapatkan hak-hak seperti karyawan tetap perkebunan. Mereka hanya mendapatkan penghasilan per bulan saja sesuai
dengan pekerjaan mereka yaitu Rp 300.000,00 untuk karyawan bagian pemetikan teh dan Rp 500.000,00 untuk karyawan bagian pemeliharaan teh. Menjadi karyawan tetap perkebunan prosesnya tergolong sangat sulit. Terdapat seleksi untuk pemilihan karyawan tetap perkebunan. Pada pemilihan karyawan tetap perkebunan posisi mandor, terdapat tes tertulis, tes wawancara dan tes psikotes. Pada posisi pemetik teh, terdapat tes tertulis dan tes pemetikan di lapangan yang langsung diawasi oleh tim penilai yang menilai kualitas petikan dan kecepatan pemetikan tanpa melukai tanaman yang akan tumbuh selanjutnya. Sejak tahun 2003 tidak ada pengangkatan karyawan lepas menjadi karyawan tetap. Menurut Mang odang, mandor besar dari sektor delapan Dusun Cigarehong, hal ini dikarenakan kondisi perusahaan yang semakin lama semakin menurun, dan juga tanaman teh yang sudah lama, melebihi 30 tahun sudah tidak berproduktifitas dengan baik lagi. Bekerja di PT Cevron LTD lebih besar penghasilannya dibandingkan bekerja di perkebunan. Penghasilan di PT Cevron LTD Rp 2.000.000,00 sampai dengan Rp 4.000.000,00 perbulannya, sudah termasuk uang lembur. Akan tetapi menurut masyarakat yang pernah bekerja di PT Cevron LTD, bekerja di PT Cevron LTD memang menghasilkan banyak uang, akan tetapi uang tersebut akan habis dengan gaya hidup para pekerjanya yang berbeda dengan masyarakat lainnya, sehingga mereka yang bekerja di PT Cevron LTD mengaku tidak mempunyai tabungan. Selain gaya hidup, masyarakat yang bekerja di PT Cevron LTD juga sebagian memiliki istri dua, sehingga pengeluaran yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan dengan masyarakat lainnya.
5.3
Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal Diskusi dalam merekonstruksi ulang kemiskinan, indikator kemiskinan
local, dan tangga kehidupan dilakukan beserta dengan perwakilan masyarakat dari dua kampung yaitu Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Diskusi ini dihadiri oleh ketua RT dari masing-masing kampung, yaitu ketua RT 1 Anas (47 tahun), ketua RT 2 Atma (47 tahun), ketua RT 3 Torik (51 tahun), ketua RT 4 Odih (39 tahun), selain itu terdapat beberapa orang yang dipilih karena mereka adalah tokoh dari kedua kampung tersebut yaitu kamim (58 tahun), saleh (58 tahun), Aep (47 tahun), asep (33 tahun) dan Ajat (33 tahun). Asep dan ajat dipilih karena mereka berdua di hormati oleh warga karena keduanya memiliki jenjang pendidikan yang tinggi. Asep lulusan SMK pertanian, sedangkan ajat lulusan D1 dan berprofesi sebagai guru di SDN Cianten. Melalui hasil diskusi, didapat definisi kemiskinan, tangga kehidupan dan batas kemiskinan lokal. Menurut masyarakat, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki rumah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa, yaitu tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMP. Dari definisi ini, perwakilan yang hadir dalam diskusi memiliki kesimpulan yang sama bahwa semua keluarga yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar termasuk kedalam keluarga miskin karena tidak ada keluarga yang mempunyai kepemilikan yang resmi atas tanah maupun sawah. Definisi kemiskinan lokal di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sesuai dengan definisi kemiskinan dari Sudibyo (1995) yaitu kemiskinan adalah kondisi depriviasi terhadap sumber-sumber pemenuhan
kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dasar. Karena masyarakat melihat kemiskinan dari bagaimana mereka memenuhi pangan, papan dan pendidikan dasar mereka. Dalam penentuan indikator kemiskinan untuk setiap tangga kehidupan, masyarakat menentukannya berdasarkan penghasilan dan mata pencaharian dari masyarakat tersebut. Tangga kehidupan di dua kampung ini dibagi menjadi enam tingkatan (Gambar 8). Tingkat paling bawah disebut fakir miskin, yang ditempati oleh keluarga yang tidak memiliki penghasilan dan sudah lanjut usia. Pada tingkatan ini, penduduk yang sudah lanjut usia ini selain tidak mempunyai pekerjaan, keluarganya tidak memperhatikan atau keluarganya tidak dapat memberikan bantuan karena memiliki masalah ekonomi. Sehingga penghasilan yang ia dapatkan hanya bantuan dari masyarakat ataupun dengan mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Tangga kehidupan kedua dari bawah disebut fakir oleh anggota diskusi. Pada tangga ini dihuni oleh keluarga yang memiliki penghasilan di bawah Rp 100.000,00. Jenis penghasilan ini adalah penghasilan yang tidak tetap, yang kadang bisa di dapatkan dan kadang tidak bisa di dapatkan. Pada tangga ini, penduduk yang sudah lanjut usia juga masuk ke dalam kategori ini. Akan tetapi, penduduk yang sudah lanjut usia ini masih dapat bekerja, ataupun memiliki anak yang dapat memberikan uang kepada dia.
Mampu Standar
- > Rp 800.000 Sedang - Rp 500.000- - PT Cevron LTD Miskin - Rp 300.000- 800.000 - Suami dan 500.000 Fakir - Rp Fakir Miskin - Pekerjaan 100.000- - Suami+Istri Istri KTP - Suami/Istri KLP tidak tetap 300.000 - Tidak - Banyak - Buruh Tani KTP dan mempunyai - Lanjut Suami/Istri tanggungan - Pedagang pekerjaan Usia KLP - Lanjut usia - Memiliki - Suami/Istri - Karyawan KLP keluarga - Tidak PT Cevron -Penghasilan punya LTD tidak keluarga tetap
Gambar 8. Tangga Kehidupan, Indikator Kemiskinan Lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Tangga kehidupan selanjutnya adalah tangga ketiga dari bawah dimana tangga yang disebut miskin oleh masyarakat di dua kampung ini diisi oleh penduduk yang memiliki penghasilan dari Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00. Penduduk pada tangga ini mempunyai penghasilan, akan tetapi mempunyai banyak tanggungan, sehingga penghasilannya tidak mencukupi. Penduduk yang menempati tangga ini adalah penduduk yang suami atau istrinya bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas perkebunan. Selain itu pekerjaan penduduk yang masuk ke dalam tangga ini juga adalah penghasilan yang tidak tetap dan menghasilkan sedikit uang, seperti pengrajin gendongan teh untuk buruh petik perkebunan, karena pekerjaan ini hanya terkadang dilakukan bila ada yang memesan saja, sedangkan yang memesan hanya sedikit, karena tidak adanya pertambahan pekerja pada perkebunan secara signifikan. Tangga kehidupan yang berada di posisi ketiga dari atas adalah penduduk yang mempunyai penghasilan Rp 300.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00. Pada tangga ini, penduduk adalah rumah tangga dengan suami dan istrinya bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas dari perkebunan, menjadi buruh tani, dan berdagang. Buruh tani yang masuk ke dalam kategori ini adalah buruh tani yang bekerja sebagai buruh di lahan orang lain, walaupun ia sendiri mempunyai lahan sendiri. Penduduk yang bekerja sebagai pedagang pada tangga ini adalah penduduk yang berdagang secara kecil-kecilan, yang hanya menjual kebutuhan rumah tangga, makanan anak kecil dan rokok secara kecil-kecilan. Tangga kehidupan yang berada ke dua dari atas adalah penduduk dengan penghasilan Rp 500.000,00 sampai dengan Rp 800.000,00. Penduduk dengan penghasilan ini adalah rumah tangga yang suami atau istri nya bekerja di
perkebunan sebagai karyawan tetap perkebunan dan salah satunya juga bekerja di perkebunan, selain itu mata pencaharian penduduk yang berada dalam tangga ini adalah penduduk yang suaminya bekerja di PT Cevron LTD, ataupun berdagang, dengan warung yang sudah cukup besar. Tangga kehidupan yang berada paling atas diisi oleh penduduk dengan penghasilan diatas Rp 800.000,00 yang rata-rata diisi oleh penduduk yang bekerja di PT Cevron LTD. Keluarga yang dianggap miskin menurut perwakilan masyarakat adalah keluarga yang menduduki tangga kehidupan fakir miskin, fakir, miskin, dan sedang. Sedangkan keluarga yang dianggap sudah mampu untuk memenuhi kehidupannya secara layak adalah keluarga yang menempati tangga kehidupan standar, dan juga mampu. Perwakilan dari masyarakat yang mengikuti diskusi mengatakan sepakat bahwa mereka semua yang tinggal di daerah perkebunan dan taman nasional adalah keluarga miskin. Karena bila mereka diusir dari tempat tinggal mereka yang sekarang, mereka tidak memiliki tempat tinggal lain, dan mereka akan langsung menjadi gelandangan. Hal ini dikarenakan semua keluarga yang berada baik di Kampung Padajembar maupun Kampung Padajaya tidak memiliki rumah pribadi, rumah yang mereka dirikan berada di atas tanah perkebunan dan taman nasional, sehingga mereka tidak memiliki kepemilikan resmi dari rumah. Begitupula dengan mata pencaharian, bila perkebunan dan PT Cevron LTD tidak ada, maka masyarakat akan kesulitan dalam mendapatkan penghasilan. Karena rata-rata penduduk di dua kampung tersebut menopangkan dirinya pada dua perusahaan tersebut, adapun kegiatan lainnya seperti berdagang merupakan aktivitas mata pencaharian yang tidak langsung bergantung pada PT Cevron LTD
dan juga perkebunan, karena mereka dapat berjualan karena masyarakat yang bekerja di dua perusahaan tersebut. Hanya kegiatan bertani yang merupakan mata pencaharian yang paling aman, karena tidak bertopang pada kedua perusahaan tersebut, akan tetapi lahan pertanian yang digunakan oleh masyarakat adalah lahan pertanian dari tanah milik perkebunan dan taman nasional. Indikator kemiskinan lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar berbeda dengan karakteristik rumah tangga menurut BPS (Lampiran 3), yang memasukkan luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, fasilitas tempat buang air besar, sumber penerangan rumah tangga, sumber air minum, bahan bakar untuk memasak, konsumsi daging/ayam/susu/per minggu, pembelian pakaian baru setiap anggota rumah tangga setiap tahun, frekuensi makan dalam sehari, kemampuan membayar untuk berobat ke puskesmas atau dokter, lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan pemilikan aset/harga bergerak maupun tidak bergerak. Sedangkan pada dua kampung ini, jenis rumah (bahan pembentuknya yaitu dari semen atau dari bambu) bukan merupakan indikator kemiskinan karena rumah tidak menjadi hal penting bagi masyarakat. Rumah hanya dibuat untuk kenyamanan saja, dan bentuk rumah tidak menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat di dua kampung tersebut. Begitupula dengan motor, kepemilikan motor bukanlah indikator kemiskinan di dua kampung tersebut. Karena orang yang termasuk kaya di kampung tersebut belum tentu memiliki motor. Penggunaan motor bukan untuk prestise,
akan tetapi
lebih kepada kepentingan dan kebutuhan dalam
menggunakannya. Masyarakat yang bekerja diperkebunan, akan lebih memilih
untuk berjalan kaki ke tempat bekerjanya (baik perkebunan maupun PT Cevron LTD) ataupun menggunakan truk yang disediakan oleh perkebunan untuk aktivitas perkebunan. Menurut masyarakat, dengan adanya kepemilikan motor, tidak memberikan akses yang lebih kepada masyarakat dalam mengangkut hasil pertanian mereka ke pasar. Karena hasil pertanian yang mereka dapatkan tidak dijual ke luar, hanya sekitar Dusun Cigarehong saja. Persamaan dari indikator kemiskinan lokal dan karakteristik menurut BPS yaitu frekuensi makan dalam sehari, lapangan pekerjaan, dan pendidikan. Akan tetapi pada lapangan pekerjaan, pada indikator karakteristik BPS yang dapat dilihat pada lammpiran 5, penghasilan rumah tangga dibawah Rp 600.000,00 per bulan, sedangkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, keluarga yang termasuk ke dalam kategori miskin masuk ke dalam penghasilan di bawah Rp 500.000,00, dan pendidikan pada kategori BPS berdasarkan pendidikan dari kepala rumah tangga, sedangkan kemiskinan pada kategori kemiskinan lokal berdasarkan tingkat pendidikan dari anak keluarga tersebut.
5.4
Kemiskinan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar Pada Kampung Padajaya terdapat ketimpangan penghasilan yang dapat
dilihat dari adanya dua gunung pada grafik keluarga miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar (lihat Gambar 9). Pada Kampung Padajaya, gunung pertama tercipta pada tangga kehidupan mampu, lembah pada tangga kehidupan standar, kembali naik pada tangga kehidupan sedang, relatif sama pada tangga kehidupan miskin, kemudian menurun membuat lembah lagi di tangga kehidupan fakir dan naik lagi pada tangga kehidupan fakir miskin. Kampung Padajembar
juga memiliki dua gunung. Lembah pada tangga mampu, naik pada tangga standar, turun lagi pada tangga sedang kemudian naik lagi pada tangga miskin, lembah pada tangga fakir dan fakir miskin. Dua gunung pada Gambar 9 memperlihatkan adanya ketimpangan struktur sosial di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Ketimpangan ini dikarenakan perbedaan penghasilan dan perbedaan akses masyarakat terhadap mata pencaharian dan informasi. Program penanggulangan kemiskinan di dua kampung ini harus memperhatikan kesenjangan tersebut, agar program yang diimplementasikan dapat dibagi merata tidak hanya dinikmati oleh masyarakat yang sudah mampu, akan tetapi dinikmati oleh semua masyarakat yang membutuhkan.
Gambar 9. Grafik Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Terdapat perbedaan jumlah penduduk pada masing-masing tangga di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Kampung Padajaya memiliki keluarga yang masuk ke dalam tangga kehidupan mampu lebih banyak dibandingkan Kampung Padajembar. Keluarga yang masuk ke dalam kategori mampu di Kampung Padajaya dan Padajembar rata-rata adalah keluarga yang bekerja di PT Cevron LTD, selebihnya adalah keluarga yang menopangkan hidupnya pada pertanian. Keluarga mampu lebih banyak di Kampung Padajaya dibandingkan dengan keluarga di Kampung Padajembar dikarenakan ketua Forum Empat Desa merupakan warga dari Kampung Padajaya, sehingga kebanyakan pekerja yang diambil adalah keluarga atau tetangga dari ketua tersebut. Seperti Uci dari RT 2, yang mendapatkan pekerjaan di PT Cevron LTD karena Tatang, ketua Forum Empat Desa adalah mertua dari beliau. Sehingga ini dapat menjelaskan fenomena adanya perbedaan yang signifikan tingkat kesejahteraan pada kategori mampu di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Forum Empat Desa adalah forum yang diketuai oleh Tatang dari RT 2. Forum ini dibentuk dengan inisiatif warga dari empat desa di sekitar wilayah PT Cevron LTD yaitu desa cibunian, desa ciasmara, desa purwabakti dan desa purasari. Tujuan dari forum ini adalah sebagai wadah PT Cevron LTD untuk memberikan timbal balik kepada masyarakat yang wilayahnya terusik karena adanya PT Cevron LTD. Lewat Forum Empat Desa ini, PT Cevron LTD mengambil masyarakat disekitar wilayahnya untuk bekerja di PT Cevron LTD. Akan tetapi pada prakteknya, masyarakat harus membayar sejumlah uang kepada Forum Empat Desa untuk menjadi dapat bekerja di PT Cevron LTD. Untuk dapat
bekerja di PT Cevron LTD, masyarakat harus memberikan uang sekitar Rp 1.000.000,00 dan dipotong Rp 50.000,00 per bulannya untuk biaya administrasi. Tangga kehidupan standar (Lihat Gambar 9) Kampung Padajembar memiliki jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan tangga kehidupan standar Kampung Padajaya dikarenakan pada Kampung Padajembar, keluarga yang masuk ke dalam kategori ini adalah keluarga yang bekerja di perkebunan sebagai karyawan tetap baik suami maupun istri, sedangkan pada Kampung Padajaya, tidak adanya mata pencaharian lain yang dapat dikerjakan selain bekerja pada PT Cevron LTD ataupun berdagang, yang membutuhkan modal, membuat masyarakat di Kampung Padajaya sulit untuk masuk kedalam tangga kehidupan ini. Penghasilan dari berdagang Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar memiliki perbedaan. Penghasilan dari hasil berdagang di Kampung Padajaya lebih besar dibandingkan Kampung Padajembar, karena letak geografis dari kedua kampung yang sangat berbeda. Kampung Padajaya adalah kampung yang memanjang dan sebagian (khususnya RT 1) berada di tepi jalan. Sehingga warga yang berjualan disekitar jalan warungnya dikunjungi oleh orang-orang yang sedang berekreasi ke daerah perkebunan atau TNGH, maupun orang yang menuju Sukabumi atau menuju Leuwiliang. Karena jalan besar yang melintasi kampung ini adalah jalan alternatif menuju sukabumi. Warung di Kampung Padajembar adalah warung untuk warga yang berada di kampung tersebut. Selain itu, letak geografis Kampung Padajembar yang jauh dari jalan utama dan mengumpul pada satu titik, tidak memanjang sesuai dengan jalan dan adanya perbedaan tingkat penghasilan di dua kampung juga mempengaruhi hasil berdagang. Kampung
Padajaya yang merupakan wilayah dari pekerja PT Cevron LTD memiliki tingkat konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kampung Padajembar yang masyarakatnya hanya mempunyai uang yang pas-pasan untuk hidup. Pada tangga kehidupan sedang, Kampung Padajaya memiliki jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan Kampung Padajembar. Karena banyaknya buruh tani, pedagang, buruh bangunan di Kampung Padajaya di bandingkan dengan Kampung Padajembar. Hal ini dikarenakan Kampung Padajaya memiliki alternatif pekerjaan yang lebih variatif dibandingkan dengan Kampung Padajembar, dimana Kampung Padajembar hanya diisi oleh karyawan perkebunan. Jumlah orang pada tangga kehidupan miskin dan tangga fakir di Kampung Padajaya dan kampung
Padajembar relatif sama. Pada Kampung Padajaya,
kategori ini diisi oleh buruh tani, pedagang sedangkan pada Kampung Padajembar diisi oleh keluarga yang menopangkan hidupnya pada perkebunan termasuk di dalamnya pensiunan dari perkebunan. Karyawan tetap perkebunan menerima uang pensiun yang berbeda-beda. Karyawan yang telah pensiun sejak lama, hanya mendapatkan uang pensiun yang kecil, yaitu kurang lebih 10 juta. Sedangkan untuk karyawan yang baru saja pensiun, lima sampai enam tahun kebelakang, uang pensiunnya bisa lebih besar yaitu sekitar 30 sampai 50 juta. Sehingga mereka yang telah pensiun juga masuk kedalam kategori yang berbeda pula dalam penelitian ini, tergantung besarnya uang pensiun. Pada tangga kehidupan fakir miskin, Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar memiliki perbedaan yang sangat besar. Hal ini dikarenakan pada Kampung Padajaya masyarakat yang sudah lanjut usia tidak ada yang masih
bekerja pada perkebunan, sedangkan pada Kampung Padajembar, warga masyarakat yang sudah usia lanjut tetap bekerja di perkebunan sebagai pemetik teh. Total jumlah antara keluarga miskin dan tidak miskin antara dua kampung tidak jauh berbeda, karena masing-masing kampung memiliki jumlah keluarga miskin yang berbeda-beda satu sama lainnya pada tiap tangga kehidupannya. Hal ini dikarenakan tidak semua masyarakat di Kampung Padajaya
yang
menopangkan hidupnya pada PT Cevron LTD dan berdagang, banyak masyarakat yang tidak bekerja di PT Cevron LTD dan tidak berdagang dikarenakan tidak adanya modal, menyebabkan mereka harus menjadi buruh tani atau pekerjaan lain yang tingkat pendatannya berbeda jauh dengan bekerja sebagai pekerja di PT Cevron LTD. Sedangkan pada Kampung Padajembar memiliki kemerataan, dikarenakan hampir semua masyarakatnya bekerja di perkebunan dan mempunyai penghasilan yang relatif sama. Masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dapat dikatakan sebagai daerah yang miskin, karena sebagian besar masyarakatnya yaitu 110 keluarga (71%) berada pada kondisi miskin baik menurut masyarakat maupun berdasarkan standar BPS. Pada Kampung Padajaya, kemiskinan terjadi karena banyak masyarakat di kampung ini yang tidak bekerja pada PT Cevron LTD, berdagang maupun sebagai pekerja di perkebunan. Mereka tidak bekerja pada PT Cevron LTD terkait dengan modal dan koneksi pada Forum Empat Desa, tidak berdagang karena tidak mempunyai modal, sedangkan tidak bekerja di perkebunan dikarenakan sebagian besar warga di Kampung Padajaya menanggap
pekerjaan di perkebunan memakan banyak tenaga sedangkan hasil yang didapatkan sedikit. Kemiskinan di Kampung Padajembar terjadi karena gaji dari perkebunan yang sedikit, sehingga masyarakat tidak dapat menabung dan berinvestasi sehingga tidak ada peningkatan kesejahteraan pada hidup masyarakat. Kemiskinan karena upah yang desikit di perkebunan ini mempunyai korelasi dengan yang dinyatakan oleh Mubyarto (1992), bahwa perkebunan adalah ”pabrik pertanian” karena memproduksi hasil berupa output komoditi perkebunan adalah melalui proses memadukan aneka faktor produksi (input) ”modem” (tanah, tenaga kerja, dan modal serta manajemen) laksana sebuah pabrik saja, sehingga tanah dan tenaga kerja yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan. Sehingga penekanan upah untuk mendapatkan tenaga kerja yang murah merupakan bagian dari perkebunan yang tidak dapat pisahkan, karena itu merupakan suatu hal yang mustahil menaikkan upah dari buruh karena dapat mempengaruhi harga komoditi dari teh. Kemiskinan yang struktural ini memaksa pekerja perkebunan mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaan di perkebunan (Mubyarto, 1992). Sehingga pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dibutuhkan suntikan
modal,
ilmu
pengetahuan
dan
akses-akses
lainnya
untuk
mengembangkan diri dan memulai usaha lain yang dapat membuat mereka tidak menggantungkan hidupnya pada perkebunan. 5.5
Mobilitas sosial Indikator mobilitas sosial (lihat Gambar 10) di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar didapat dari
hasil diskusi peneliti dengan perwakilan
masyarakat dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Melalui indikator mobilitas sosial ini, diketahui penyebab-penyebab masyarakat turun dari tangga kehidupan, naik tangga kehidupannya ataupun tetap pada tangga kehidupannya dari 10 tahun yang lalu sampai dengan sekarang. Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang tetap berada pada tangga kehidupan fakir miskin dan tangga kehidupan fakir sejak 10 tahun yang lalu karena warga tersebut sudah memasuki usia lanjut sejak 10 tahun yang lalu, sehingga tidak ada perubahan pada tangga kehidupan mereka. Pembeda pada tangga kehidupan fakir miskin dan fakir yaitu, pada warga yang tetap pada fakir sejak 10 tahun yang lalu masih memiliki penghasilan walaupun penghasilan ini tidak berubah sampai sekarang jumlahnya. Masyarakat yang berada tetap pada tangga kehidupan miskin, sedang dan standar memiliki persamaan yaitu memiliki warisan dari orangtuanya, baik tanah untuk rumah, kambing, sawah dan alat elektronik yang dapat digunakan warga tersebut untuk tambahan penghasilannya. Sawah dapat digunakan warga untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri sehingga mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan pangannya. Kambing digunakan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran yang tidak terduga seperti slametan dan sakit. Rumah dan alat elektornik mengurangi beban warga untuk membeli peralatan dan membangun rumah, sehingga dapat menyimpan penghasilannya untuk hal yang lain, ataupun menabung dengan membeli kambing, atau tidak menjualnya.
- Pernah bekerja di PT Cevron LTD PT Cevron LTD - Pernah bekerja di luar kampong - Mempunyai modal - Orangtua Mampu 6 - Bekerja di PT Cevron LTD - Pernah bekerja 5 di luar kampung - Bekerja di 4 - Memiliki PT Cevron dua - Dari mengagur penghasilan 3 berubah menjadi 2 memiliki
Mampu Standar
Sedang
1
Miskin Fakir
Fakir Miskin
- Sudah - Sudah lanjut Lanjut usia usia sejak 10 sejak 10 tahun lalu tahun yang - Tidak lalu adanya perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu
- Tidak ada perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu - Tidak adanya variasi pekerjaan - Tidak memiliki modal - Bertambah tanggungan - Memiliki warisan
7 - Terkena sakit - Masuk penjara Gambar 10. Indikator Mobilitas sosial
- Tidak ada - Tidak ada perubahan penghasilan perubahan penghasilan sejak 10 tahun lalu sejak 10 - Tidak tahun lalu - Bertambah adanya Tanggungan kenaikan jabatan - Tidak - Memiliki adanya warisan kenaikan jabatan sejak 10 tahun yang lalu - Memiliki warisan
8 - Kondisi fisik semakin lemah
- Pernah Bekerja di luar kampung - Sudah lama bekerja di PT Cevron LTD - Mempunyai “networking” dengan Forum Empat Desa, dan aparat desa - Memiliki warisan dan Orangtua yang kaya - Pertanian sukses
9 - Terkena sakit - Tidak mendapatkan warisan - Orangtua “Gulung Tikar”
Persamaan pada masyarakat yang tetap berada pada tangga kehidupan miskin, sedang dan standar yaitu tidak adanya kenaikan jabatan, hal ini dikarenakan pada ketingga tangga tersebut rata-rata diisi oleh masyarakat yang bekerja pada perkebunan. Sudah beberapa tahun terakhir, perkebunan tidak menaikkan harga petikan teh dari para karyawannya, kalaupun ada kenaikan harga petikan hanya beberapa puluh perak saja yang berubah. Sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2009, perubahan harga teh per kilogram yaitu dari harga Rp 350,00 sampai Rp 450,00. Selain tidak adanya kenaikan penghasilan, perkebunan juga tidak mengadakan ”open recruitmen” terhadap karyawan lepas perkebunan menjadi karyawan tetap perkebunan. Tidak adanya alternatif pekerjaan lain juga menyebabkan masyarakat tetap berada pada tangga kehidupan miskin. Masyarakat yang tidak bekerja baik pada PT Cevron LTD, perkebunan maupun tidak mempunyai modal untuk berdagang, terpakasa menjadi bisnis bangunan, penghulu dan pekerja lainnya yang penghasilannya tidak tetap. Bertambahnya tanggungan bagi pasangan yang sudah menikah pada tangga kehidupan miskin dan sedang juga menyebabkan warga pada tangga kehidupan miskin tidak dapat menaiki tangga kehidupan yang lebih tinggi, karena penghasilan yang didapatkan tetap sama, sedangkan pengeluaran bertambah. Masyarakat yang berada tetap pada tangga kehidupan mampu, merupakan warga masyarakat yang selama hidupnya tidak bekerja lama di perkebunan yaitu dua kali bulan sampai dua tahun. Warga masyarakat ini mencari jalan lain untuk dapat menghidupi dirinya, baik dari pertanian, maupun bekerja di luar kampung, sehingga sejak dahulu warga ini termasuk kedalam tangga kehidupan mampu, dan
setelah kembali ke desa, mereka bekerja di PT Cevron LTD atau yang dulunya disebut PT Unocal, yang penghasilannya termasuk kedalam tangga mampu di kampung ini. Warga masyarakat yang tetap berada pada tangga kehidupan mampu ini juga rata-rata adalah warga dari Kampung Padajaya yang memiliki koneksi dengan Forum Empat Desa sehingga dapat dengan mudah bekerja di PT Cevron LTD. Pertanian yang sukses di kampung menyebabkan warga tetap berada pada tangga kehidupan mampu. Hal yang paling utama yang menyebabkan masyarakat tetap berada pada tangga kehidupan mampu yaitu warga tersebut memiliki orang tua yang masuk kedalam tangga kehidupan mampu juga, sehingga mereka mendapatkan warisan yang lebih banyak dibandingkan warga masyarakat lainnya, selain harta warisan dalam bentuk material, warga ini juga mendapatkan warisan koneksi dari orangtuanya, sehingga orangtua yang sebelumnya memiliki koneksi dengan aparat desa ataupun dengan PT Unocal mewariskan koneksi tersebut kepada anaknya. Hal inilah yang membedakan masyarakat yang masuk kedalam tangga kehidupan mampu sejak dulu dengan masyarakat lain yang tetap berada pada posisi tangga kehidupannya. Warga masyarakat yang tangga kehidupannya naik satu tangga kehidupan sejak 10 tahun yang lalu dikarenakan: 1. warga tersebut berubah status pekerjaannya dari menganggur menjadi memilki pekerjaan, 2. memiliki dua penghasilan yaitu dari berdagang dan pertanian. Warga ini awalnya hanya bertani, kemudian hasil dari pertaniannya ini dijadikan modal untuk berdagang dan menambah luas dari sawahnya,
3. karena bekerja di PT Cevron LTD, warga menaiki tangga kehidupan setingkat lebih tinggi dari sebelumnya, 4. warga juga naik tangga kehidupannya dikarenakan pernah bekerja di luar kampung, sehingga memiliki modal, untuk memperbanyak lahan sawahnya dan membeli penggilingan padi. Warga yang naik satu tangga kehidupan lebih tinggi pada tangga kehidupan sedang ke tangga kehidupan standar dan pada tangga kehidupan standar ke tangga kehidupan mampu memiliki persamaan yaitu bekerja di PT Cevron LTD, yang membedakan keduanya adalah upah yang diterima dari PT Cevron LTD, sehingga mereka menempati tangga kehidupan sekarang yang berbeda pula. Warga yang naik dua tangga sekaligus hanya sedikit. Kenaikan ini dikarenakan warga tersebut pernah bekerja di luar kampung sehingga mempunyai modal untuk membuka usaha peternakan dan berladang cabai, selain itu keluarga warga tersebut merupakan keluarga yang termasuk tangga kehidupan standar, sehingga uang yang dihasilkan dari bekerja diluar tidak digunakan, melainkan ditabungkan dalam bentuk pembelian kambing. Warga yang turun tangga kehidupannya sejak 10 tahun yang lalu terbagi menjadi tiga yaitu yang menurun tangga kehidupannya dari tangga kehidupan mampu menjadi tangga kehidupan miskin, dari tangga kehidupan sedang menjadi miskin, dari tangga kehidupan sedang menjadi tangga kehidupan fakir miskin. Warga yang 10 tahun lalu berada pada tangga kehidupan mampu menurun menjadi tangga kehidupan miskin dikarenakan sebelumnya orangtuanya merupakan salah satu warga yang masuk kedalam tangga kehidupan mampu, akan
tetapi karena orangtua warga tersebut ”gulung tikar” maka tidak ada harta yang diwariskan, sehingga warga tersebut menjadi jatuh miskin. Selain itu, warga yang 10 tahun lalu berada pada tangga kehidupan mampu dan mengalami penurunasn ke tangga kehidupan miskin dikarenakan terkena sakit, yang menyebabkan penghasilan yang ia dapatkan harus ia gunakan untuk perawatan rumah sakit. Warga yang turun satu tangga dari tangga kehidupan sedang menjadi miskin adalah warga yang sudah semakin tua, sehingga kondisi fisik melemah, dan hasil petikan yang ia dapatkan tidak banyak, yang berpengaruh pada penghasilannya. Terakhir, warga yang turun dari tangga kehidupan sedang menjadi fakir miskin, dikarenakan warga tersebut masuk penjara, sehingga tidak ada yang membiayai pengeluaran dari keluarganya. Jumlah masyarakat yang tetap berada pada posisi tangga kehidupannya sejak 10 tahun yang lalu, ataupun mengalami perubahan baik naik atau turun pada tangga kehidupannya, dapat dilihat pada Tabel 9. Sebagian besar masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajaya tidak memiliki perubahan status kesejahteraan (tidak berubah posisi dalam tangga kehidupan) sejak sepuluh tahun yang lalu. Warga yang menempati kategori tetap kaya maupun tetap miskin (89,5%) lebih banyak dibandingkan warga yang menempati kategori jatuh miskin dan jadi kaya (10,5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar jarang terjadi perubahan posisi pada tangga kehidupan, kehidupan di dua kampung tersebut selalu tetap dari 10 tahun yang lalu sampai dengan sekarang.
Tabel 9. Mobilitas sosial Masyarakat Tahun
Jumlah
Persentase
1999
2009
(Orang)
(%)
Sedang
Mampu
10
6.6
Mampu
Mampu
3
2.0
Standar
Mampu
3
2.0
Sedang
Standar
4
2.6
Standar
Standar
22
14.5
Miskin
Sedang
1
0.7
Sedang
Sedang
30
19.7
Miskin
Miskin
45
29.6
Fakir
Miskin
2
1.3
Sedang
Miskin
1
0.7
Mampu
Miskin
2
1.3
Fakir
Fakir
7
4.6
Fakir Miskin
Fakir Miskin
20
13.2
Sedang
Fakir Miskin
2
1.3
152
100
Total Sumber: data primer (2009)
Melalui tangga kehidupan, diketahui tangga kehidupan keluarga yang sekarang dan keadaanya pada sepuluh tahun yang lalu. Dari data ini, rumah tangga dikelompokkan berdasarkan garis kemiskinan lokal menjadi empat kategori yaitu: tetap miskin, jatuh miskin, tetap kaya, jadi kaya (lihat Gambar 11). Warga masyarakat yang menempati kategori tetap miskin pada Tabel 10 lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat yang masuk ke dalam kategori lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebagian besar warga masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, merupakan masyarakat miskin yang sejak 10 tahun yang lalu sampai dengan sekarang berada pada status miskin.
Gambar 11. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009
Tabel 10. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009 No.
Mobilisasi Kemiskinan
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
1
Tetap Miskin
108
71,1
2
Tetap Kaya
28
18,4
3
Jatuh Miskin
2
1,3
4
Jadi Kaya
14
9,2
152
100
Jumlah Sumber: data primer (2009)
Lewat hasil ini, diambil satu orang warga yang masuk kedalam masingmasing kategori, yaitu Apul yang masuk kedalam kategori tetap miskin sejak sepuluh tahun yang lalu, Tatang yang masuk kedalam kategori jatuh miskin, Emis yang menjadi kaya dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, dan Uci yang tetap kaya sejak sepuluh tahun yang lalu.
5.5.1
Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Miskin Apul (30 Tahun) adalah karyawan lepas perkebunan sebagai pemetik teh.
Gaji Apul Rp 200.000,00 per bulan. Pekerjaan lain yang dilakukan oleh Apul selain memetik teh, yaitu mengurus kambingnya yang berjumlah dua ekor dengan mengambil rumput setiap habis memetik teh untuk kambing tersebut, selain itu Apul bekerja sambilan di sawah dengan luas tiga gedeng, yang dikerjakan setelah mengambil rumput, dan pada hari libur perkebunan yaitu hari minggu. Dari hasil memetik teh digunakan oleh Apul untuk resiko dapur, yaitu istilah dalam perkebunan untuk kredit sembako, yang langsung dipotong pada saat apul menerima gaji, sehingga gaji bersih yang didapatkannya per bulan Rp 50.000,00
yang digunakan untuk jajan anaknya, dari hasil memelihara kambing, digunakan oleh Apul untuk membiayai hal-hal yang diluar pengeluaran sehari-hari, seperti biaya melahirkan anak, nujuh bulan, dan slametan. Biaya ini didapatkan dari hasil jual anak kambing, yaitu Rp 100.000,00 per ekornya. Sedangkan dari hasil kerja sambilan disawah, hasil panen beras dapat digunakan untuk makan keluarga selama menunggu masa panen berikutnya. Apul memiliki tanggungan istri, anak pertama (4,5 tahun), anak kedua (tiga bulan), istri tidak bekerja karena harus mengurus anak yang masih Balita. Apul memiliki rumah, sawah dan TV. Ketiganya didapat dari orangtua setelah Apul menikah, selain itu harta lain yang dimiliki Apul adalah ayam lima ekor dan dua kali ekor kambing milik sendiri. Apul mulai bekerja di perkebunan sejak umur 12 tahun (tahun 1991). Tahun 2000, Apul pernah bekerja di kota, akan tetapi hanya bertahan paling lama dua bulan selama tiga kali keberangkatan ke kota. Apul di kota bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan gaji Rp 75.000,00 per bulan bersih, akan tetapi gaji ini tidak dapat ditabung karena hanya cukup untuk membeli keperluan Apul saja, sehingga tidak ada peningkatan ekonomi pada tahun tersebut. Pada Tahun 2004 Apul menikah. Pada tahun 2004 tersebut Apul bekerja sebagai pekerja perkebunan bagian perawatan yang menyemprot tanaman teh, akan tetapi hanya berlangsung satu setengah tahun, karena Apul terkena sakit, sehingga tidak diperbolehkan untuk menghirup semprotan pestisida. Gaji yang didapat dari penyemprotan tanaman teh ini lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga Apul dapat menyisihkan uang yang digunakan untuk slametan anak nujuh bulan dan membeli kambing. Pertengahan tahun 2006, Apul kembali
menjadi pemetik teh. Pada tahun-tahun berikutnya apul merasa tidak ada perubahan dalam hidupnya, malah lebih sulit karena tanggungan bertambah lagi satu. Apul, memiliki sawah dengan luas tiga gedeng yang merupakan warisan dari orangtuanya dan didapat setelah menikah. Hasil panen hanya cukup untuk menunggu sampai ke jarak panen selanjutnya. Apul tidak memperluas lahannya, karena tidak mampu mengurus dan tidak adanya modal, bila sawah diperluas, maka jam kerjanya akan meningkat, sedangkan Apul tidak sanggup bekerja sendirian dan tidak mempunyai cukup waktu bila harus bekerja di lahan yang lebih luas.
5.5.2
Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jatuh Miskin Tatang (31 tahun) bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas bagian
pemetikan teh. Selain bekerja di perkebunan, Tatang juga bekerja sebagai pemelihara kambing yang diparo-paro oleh pemiliknya kepada Tatang. Sistem paro-paro kambing ini adalah sistem bagi hasil ternak, dimana pemilik ternak akan memberikan kambingnya untuk diurus kepada orang lain, dan orang tersebut akan memelihara kambing, bila kambing melahirkan, anak kambing akan dibagi dua antara pemilik dan pemeliharanya. Selain itu, Tatang juga bekerja sebagai buruh, buruh ini meliputi berbagai hal, dari memotong kayu, buruh di sawah, atau apapun yang disuruhkan kepada Tatang. Gaji yang didapat Tatang dan istrinya dari perkebunan yaitu sebesar Rp 300.000,00. Istri Tatang ikut membantu memetik teh sebagai karyawan lepas
perkebunan. Hasil yang didapat Tatang lebih kecil dibandingkan karyawan lainnya karena Tatang sangat mematuhi peraturan dari perkebunan, Tatang tidak menggunakan sarung tangan pada saat memetik, agar tidak merusak tanaman teh yang akan dipanen selanjutnya, hal ini menyebabkan hasil yang didapatkan Tatang sedikit. Gaji dari perkebunan ini digunakan oleh Tatang untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya, akan tetapi gaji ini tetap tidak cukup, sehingga Tatang harus berhutang kepada tetangganya dan dibayarkan dengan cara menjadi buruh mereka yaitu membantu bila masyarakat membutuhkan Tatang di sawah, ataupun memperbaiki rumah, dll. Hasil dari paro-paro kambing digunakan oleh Tatang untuk kebutuhan diluar keperluan sehari-hari seperti slametan, keperluan sekolah anak, dll. Tahun 1993-1998, Tatang pergi dari kampungnya dan bekerja di Jakarta. Tatang kesulitan mencari pekerjaan di Jakarta, bila dapat pekerjaan, gaji yang didapat sangat sedikit dan hanya cukup untuk kebutuhannya sendiri, bahkan terkadang kurang. Hal ini mungkin dikarenakan kondisi fisik Tatang yang kecil, kurus dan ada luka di bagian matanya. Pada tahun 1998, Tatang kembali ke kampungnya dan mulai bekerja di perkebunan sebagai pemetik teh. Tahun 2000 Tatang menikah dan mempunyai anak. Pada tahun 2002, ayah Tatang meninggal dan tidak memberikan warisan pada Tatang dan tidak lagi memberikan bantuan ekonomi pada Tatang. Pada tahun ini Tatang diusir dari rumahnya dan tidak memiliki rumah lagi, tetangga dan seluruh masyarakat dari Kampung Padajembar membantu Tatang membuat rumah, mereka bergotong royong membuat rumah Tatang baik dari segi tenaga maupun bantuan uang, sehingga untuk membuat rumah yang sekarang Tatang tempati, Tatang hanya mengeluarkan uang Rp
100.000,00 sisa kebutuhan pembuatan rumahnya ditanggung bersama oleh masyarakat Kampung Padajembar. Pada tahun 2003 Tatang memiliki anak lagi, dan Tatang merasa hidupnya semakin sulit karena memiliki tambahan tanggungan tanpa adanya tambahan penghasilan. Tanggungan Tatang yaitu istri, anak pertama (8 tahun), anak kedua (4 tahun), Tatang memiliki TV yang dibeli pada tahun 2007 dengan cara kredit. Tatang membeli TV walaupun tidak mampu, karena malu anaknya harus menonton di rumah tetangga sampai malam. Tatang tidak memiliki harta lainnya, termasuk sawah, karena ayah Tatang bangkrut sehingga tidak mewariskannnya apapun pada Tatang, selain itu ayah Tatang memiliki dua orang istri dan dari sebelum sampai akhirnya ayah Tatang bangkrut, semua harta ayahnya dikuasai oleh ibu tirinya. Rumah yang ditempati Tatang sekarang adalah rumah yang dibuat oleh masyarakat dengan cara bergotong-royong, baik dalam hal dana maupun tenaga. Tatang memiliki kambing yang diparo sebanyak lima ekor. Perbedaan antara Apul dan Tatang yaitu, Apul memiliki orangtua yang dapat mewarisinya harta dan membantu perekonomian Apul pada saat kesulitan, sehingga Apul memiliki jaminan. Sedangkan Tatang tidak memiliki orangtua ataupun saudara yang memberikannya harta untuk modal dan membantu perekonomian Tatang pada saat kesulitan ekonomi. Begitupula dengan gaji, gaji yang diterima Tatang lebih besar Rp 100.000,00 dibandingkan Apul, akan tetapi Tatang tetap tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini dikarenakan Tatang tidak memiliki sawah, sehingga Tatang harus mengeluarkan uang untuk membeli beras, sedangkan Apul memiliki sawah, selain itu anak Tatang umurnya
lebih besar daripada anak Apul, sehingga kebutuhan anak juga lebih besar anak Tatang dibandingkan anak Apul yang masih Balita.
5.5.3
Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Kaya Uci (47 tahun) mempunyai pekerjaan sebagai pegawai PT Cevron LTD
sejak tahun 2007 dengan penghasilan Rp 2.500.000,00 per bulan. Selain bekerja di PT Cevron LTD, Uci memiliki sawah seluas delapan gedeng yang diurus oleh istri dan dua pekerjanya. Uci juga memiliki enam ekor kambing yang juga diurus oleh istri dan 30 ekor ayam. Dari hasil bekerja di PT Cevron LTD, sudah lebih dari cukup untuk membiayai pengeluaran Uci dan keluarganya. Jumlah tanggungan Uci yaitu: dua orang istri, anak terakhir dari istri pertama (17 tahun) dan anak dari istri kedua (7 tahun), anak-anak Uci yang lainnya sudah menikah. Sebelum tahun 1985, Uci pernah bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas pada bidang pemetikan teh. Akan tetapi, Uci memutuskan untuk berhenti, karena merasa bekerja di perkebunan capai dan tidak menghasilkan penghasilan yang setimpal dengan pekerjaan yang dilakukan. Tahun 1985 sampai tahun 2000an Uci mulai bekerja pada sektor pertanian, awal mulanya bersawah, akan tetapi Uci mulai belajar dan menyadari bahwa tanah didaerahnya tidak cocok ditanami oleh padi, sehingga Uci beralih ke tanaman cabai, kacang panjang, jagung, pisang dan sayur-sayuran. Tanaman selain padi ternyata lebih baik hasilnya dari pada padi. Pada saat Uci bertanam cabai, kacang panjang, jagung, pisang dan sayur-sayuran, hasil panennya dijual sampai ke Leuwiliang dan komersil, sehingga mendapatkan untung yang besar. Selain bekerja di bidang
pertanian, pada tahun 1988-1998 Uci juga bekerja sambilan di Perum Perhutani sebagai kader konservasi. Uci dapat mempertahankan posisi tangga kehidupannya, karena Uci sejak awal sudah tidak bekerja di perkebunan dan menopangkan hidupnya pada pertanian yang lebih menghasilkan, sehingga Uci dapat menabung dan menginvestasikan uangnya pada bidang lain, yang sedikit demi sedikit memberikan hasil pada Uci dan memperbanyak hartanya.
5.5.4
Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jadi Kaya Emis (30 tahun) bekerja sebagai petani dan pedagang. Dari hasil dagang,
Emis dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya, warung dijaga oleh istri sambil menjaga anaknya di rumah. Emis bertani cabe, kacang panjang, dan bawang. Dari hasil bertani ini ditabung untuk memperluas lahan kebunnya dan juga untuk modal membuat ternak ayam di samping rumahnya. Luas lahan Emis yaitu 125 meter yang dibantu oleh dua orang pekerja. Emis memiliki tanggungan yaitu: istri dan seorang anak (5 tahun). Emis memiliki kebun, warung, TV, motor, emas, kerbau dan ayam. Tahun 1994 sampai tahun 2001, sejak lulus SMP, Emis bekerja di kota Bogor yaitu di pasar Warung Jambu). Emis memutuskan untuk kembali ke kampung karena tidak tahan dengan persaingan yang semakin sulit di pasar, yang ditandai dengan semakin banyaknya orang yang berdagang dan persaingan harga yang semakin ketat, sehingga untung yang didapat semakin sedikit. Setelah berada di kampung, Emis sempat menganggur dan bekerja sambilan, kambing miliknya
dijual sebagai modal dan kebutuhan hidup. Selama bekerja di pasar, Emis sering mengirimkan uang kepada orangtuanya. Karena orangtua Emis cukup berada, dan dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri, maka uang Emis ditabungkan oleh orangtua Emis dalam bentuk kambing. Selama bekerja di pasar juga, Emis mengkredit motor, dua tahun setelah Emis tidak bekerja di pasar, motor tersebut telah habis masa kreditnya dan menjadi milik Emis. Tahun 2004 Emis menikah dan mulai membuka warung dari hasil jual kambing. Dari modal yang Emis kumpulkan sejak bekerja di pasar, Emis berbisnis jualan ayam yang dijual secara kredit kepada masyarakat di Dusun Cigarehong dan sekitarnya. Akan tetapi bisnis jualan ayam ini tidak berhasil, bahkan merugi, karena orang yang membeli ayam secara kredit tidak membayar lunas pada Emis. Sehingga Emis merugi dari usaha ini. Pada tahun 2005, Emis dan temannya bekerja sama bertani cabe. Emis sebagai orang yang menanamkan modal, sedangkan temannya yang mengelola cabe tersebut. Hasil dari bertani cabe ini yaitu Rp 1.000.000,00. Tahun 2007 Emis bekerja di PT Cevron LTD, selama enam bulan, gaji dari PT Cevron LTD habis begitu saja, akan tetapi tersisa sebesar Rp 2.000.000,00 yang dibelikan ladang untuk bertanam cabe dan kacang panjang yang sekarng sedang Emis lakukan. Pekerja PT Cevron LTD mendapatkan penghasilan yang cukup besar, berkisar Rp 2.000.000,00 sampai dengan Rp 4.000.000,00 per bulannya. Akan tetapi sebagian besar dari pekerja yang bekerja di Cevron tidak dapat menabungkan hasil kerjanya, uang tersebut akan habis dengan gaya hidup berfoya-foya, dan juga memiliki istri lebih dari satu orang. Sehingga banyak ditemukan di Kampung Padajaya yang memiliki istri lebih dari satu orang dan
beberapa orang yang memiliki suami, akan tetapi tidak diketahui siapa suami warga tersebut.
5.6
Modal Sosial Masyarakat Menurut Agung (2007), satu hal yang masih bisa diharapkan dan menjadi
semacam roh untuk mempertahankan hidup komunitas-komunitas di pedesaan adalah budaya gotong-royong. Praktek gotong-royong, yang dalam istilah akademis sering disebut sebagai social capital ini, terjadi dalam hampir semua segi kehidupan masyarakat. Pada masyarakat di Kampung Padajembar dan Kampung Padajaya, kegiatan gotong-royong ini masih terasa sangat kental. Gotong-royong tidak hanya dalam hal memperbaiki atau membuat fasilitas umum akan tetapi dalam berbagai hal, mulai dari kegiatan tandur, panen peanian, saling membantu bila ada yang sakit, slametan, kawinan, nujuh bulan. Pola gotongroyong ini banyak menanggulangi kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya keluar dalam bentuk uang tunai, dan menanggulangi beban masyarakat yang tidak memiliki uang pada saat tersebut. Pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari juga merupakan bagian dari gotong-royong ini, karena masyarakat yang sudah tidak memiliki beras dapat meminjam beras kepada tetangga atau saudaranya yang masih memiliki cadangan beras hasil panennya. Orang yang meminjam beras dapat mengembalikan beras tersebut baik dalam bentuk beras ataupun membantu di sawah ataupun buruh bila tetangganya tersebut membutuhkan bantuan tenaga. Selain beras, modal sosial masyarakat juga dalam bentuk kambing. Kambing yang cukup merupakan tabungan yang dirasa lebih nyata bagi petani.
Masyarakat yang memiliki uang akan menyimpan uangnya dalam bentuk kambing, kemudian kambing diparo-paro, yang dimaksud adalah kambing dibeli akan tetapi diurus oleh orang lain, bila kambing melahirkan, anak dari kambing tersebut adalah milik si pembeli dan yang mengurus dari kambing tersebut.
BAB VI MASALAH AGRARIA Perkebunan dan pegunungan selalu dibayangkan sebagai tempat yang sejuk dengan suasanan pedesaan yang kental dan terasa damai. Bagi orang kota suasana seperti itu merupakan tempat yang tepat untuk melepaskan rasa bosan dan lelah karena rutinitas harian. Kekaguman yang mendalam akan keindahan alam lereng pegunungan dan kebun teh yang terhampar luas mengesan bagi orang kota. Namun tidak demikian halnya dengan masyarakat setempat. Mereka menyimpan problemanya sendiri. Hijaunya hutan dan perkebunan bukanlah tolak ukur kemakmuran oleh sebagaian besar orang, khususnya orang-orang kota, bahwa di balik tirai pegunungan yang hijau dan segar itu sedang terjadi proses pemiskinan yang telah berlangsung dan masih berlangsung sampai sekarang. Beberapa permasalahan agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ialah sebagai berikut:
6.1
Kontur Wilayah Perkebunan dan Kesuburan Tanah Bila dilihat dari atas perkebunan, maka deretan dari persawahan di
Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar tidak akan terlihat, karena letaknya yang mengikuti kontur (lembah) sehingga tidak terlihat adanya aktivitas pertanian di kampung tersebut. Bentuk sawah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar berbentuk terasering yang disesuaikan dengan kontur tanah daerah perkebunan (lihat Gambar 12). Lahan yang digunakan oleh masyarakat ini adalah Hak Guna Usaha dari perkebunan yang tidak digunakan oleh perkebunan karena ketinggiannya tidak sesuai dengan tanaman teh yang perkebunan budidayakan.
Gambar 12. Sawah yang Sesuai dengan Kontur Tanah Daerah Perkebunan
Sawah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dibuat sesuai dengan kontur tanah sehingga warga tidak menggunakan kerbau untuk pembajakan lahan pertanian mereka, karena letak dan bentuk sawah ini. Hal ini menyebabkan warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar harus melakukan
pembajakan
sendiri
terhadap
lahan
mereka.
Warga
harus
mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga yang lebih untuk mengerjakan hal ini. Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak (lihat Gambar 13 dan Gambar 14). Masyarakat pada umumnya menanam padi sebagai komoditas utama, karena padi adalah kebutuhan utama pangan mereka (lihat Gambar 15). Karena kontur wilayah yang berbukit-bukit, maka warga memanfaatkan lahan kosong sebaik mungkin.
Gambar 13. Sayuran yang di Tanam Sesuai Kontur Tanah
Karena kontur wilayah yang berbukit-bukit, maka warga memanfaatkan lahan kosong sebaik mungkin. Pada Gambar 13, masyarakat tetap menggunakan lahan kosong yang ada, walaupun lahan tersebut cukup miring.
Gambar 14. Tanaman Rempah dan Pohon Pisang Warga
Gambar 15. Padi Komoditas Utama Pertanian Masyarakat
Topografi wilayah Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang berada pada dataran tinggi menyebabkan produktivitas tanaman padi di kampung ini lebih rendah dibandingkan dengan kampung-kampung lain di luar Kebun Cianten. Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, satu gedeng dapat menghasilkan 150 liter beras (luas satu gedeng sawah setara dengan 1500 m2) dengan masa panen empat bulan sampai dengan lima bulan. Sedangkan di desa lain, satu gedeng dapat menghasilkan 300 liter beras. Perbedaan hasil ini menurut warga dikarenakan tanah pada desa lain di luar perkebunan dengan tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar berbeda tingkat kesuburannya. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat yang memiliki sawah, sawah dengan luas dua gedeng sampai dengan tiga gedeng dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarga sampai dengan musim panen berikutnya yaitu empat sampai dengan lima
bulan mendatang. Dengan asumsi empat orang dewasa dengan tingkat konsumsi beras 10 liter sampai 12 liter per minggunya.
6.2
Hubungan Petani dengan Perkebunan dan TNGH Berdasarkan informasi baik dari mandor besar Sektor delapan dan Bagian
Umum PTPN VIII Kebun Cianten, perkebunan memberikan ijin kepada masyarakat yang membuat sawah maupun perumahan di dalam wilayah perkebunan, dan mengenakan sewa atas sawah dan rumah tersebut. Syaratnya masyarakat tidak diperbolehkan menjadikan rumah tersebut menjadi bangunan permanen, yaitu menggunakan batu bata dan semen, dan sawah tidak boleh diperluas ke areal tanaman teh. Akan tetapi terkadang ada beberapa masyarakat yang tidak mematuhi peraturan tersebut. Tanpa sepengetahuan pihak perkebunan, warga sedikit demi sedikit memperluas areal sawah dan rumah mereka baik ke daerah perkebunan maupun daerah Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Hal ini dikarenakan tidak adanya data dari perkebunan mengenai luas sawah dari masyarakat secara detail. Administrasi ini tidak lengkap dikarenakan setiap administratur memiliki kebijakan sendiri-sendiri mengenai hal ini, sehingga ada yang memungut biaya untuk sawah dan rumah warga yang berada di dalam Kebun Cianten, dan ada pula yang tidak memungut biaya. Salah satu penduduk yang memperluas lahannya adalah Odih. Odih memperluas lahan rumahnya kearah tanaman perkebunan. Selama lima tahun belakang rumahnya menjadi bertambah empat meter. Tanaman teh yang ada didepan rumahnya di potong dan dibongkar tanahnya untuk memperluas rumah. Pihak perkebunan tidak mengetahu pelebaran ini, karena tidak ada bagian khusus
dari perkebunan yang mengawasi areal lahan baik rumah ataupun sawah untuk masyarakat. Selain itu, orang-orang yang bekerja di perkebunan di daerah rumah Odih tidak menegur Odih karena hal ini sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Kampung Padajembar. Pemilikan dan penguasaan tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, dilakukan dengan cara jual beli tanah. Jual-beli tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar berbeda dengan desa lain di luar Kebun Cianten. Jual-beli tanah di kampung ini, hanya perpindahan penggunaan sawah saja dari orang yang sebelumnya menguasai sawah tersebut kepada orang lain. Hal ini dikarenakan lahan yang masyarakat gunakan bukan milik, melainkan tanah dari perkebunan maupun dari TNGH, yang tidak diperbolehkan untuk diperjual belikan. Pergantian pengelolaan dari Perum Perhutani menjadi TNGH di Dusun Cigarehong baru terjadi pada bulan Februari. Setelah adanya pergantian, pihak TNGH memberitahukan kepada warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar bahwa mereka diperbolehkan untuk tetap bersawah atau berladang dan memiliki perumahan di daerah TNGH, akan tetapi baik sawah, ladang maupun perumahan tersebut tidak diperbolehkan untuk diperluas, bila diperluas akan mendapatakan sangsi. Masyarakat juga tidak diperbolehkan untuk menebang hutan di daerah TNGH. Pada tahun 2006 seorang warga Padajaya yang bernama Ahdi ditangkap karena menebang pohon di hutan TNGH dan mendapat hukuman penjara. Hal ini menyebabkan masyarakat mulai enggan untuk menebang pohon, Menurut Uci yang merupakan sukarelawan dari TNGH sejak lima belas tahun yang lalu, orang yang menebang hutan TNGH adalah warga yang berasal dari luar
Dusun Cigarehong. Karena penduduk dusun ini sudah mengetahui sanksi yang terjadi bila melanggar peraturan dari TNGH, seperti yang terjadi pada tetangga mereka. Akan tetapi masih ada beberapa pihak yang ”nakal” dan melanggar peraturan dari TNGH dengan memperlebar lahan sawah mereka perlahan-lahan, tanpa diketahui pihak TNGH.
6.3
Penguasaan yang Sempit oleh Petani Penguasaan sawah baik di Kampung Padajaya maupun Kampung
Padajembar berdasarkan sistem warisan yang diberikan secara turun-temurun dari orang tua kepada anak atau menantunya. Pada wanita, tanah diberikan setelah mereka menikah, sedangkan pada laki-laki tanah diberikan sejak mereka dianggap telah bisa mengurus tanah itu sendiri. Karena adanya sistem warisan ini, masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah tidak dapat menurunkan tanah kepada anaknya, sehingga anak mereka tidak memiliki sawah. Penguasaan sawah berdasarkan sistem warisan ini menjadi jawaban mengapa petani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar memiliki lahan pertanian yang sempit. Karena setiap orangtua tidak hanya memiliki satu anak saja. Sehingga tanah yang ia miliki akan dibagi-bagikan kepada semua anaknya dan anak-anaknya mendapatkan lahan orangtua yang sudah semakin kecil karena dibagi-bagikan tersebut. Penguasaan lahan pertanian yang sempit di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar mendorong masyarakat mengadakan perluasan lahan, untuk meningkatkan produktivitas dari hasil pertanian mereka. Perluasan ini dilakukan baik ke tanah perkebunan maupun ke tanah TNGH. Akan tetapi,
perluasan ini memakan biaya yang besar. Berdasarkan wawancara dengan Asep, biaya yang dikeluarkan untuk memperluas lahan yaitu kurang lebih Rp 1.000.000,00. Biaya ini digunakan untuk membayar orang untuk membuka lahan hutan TNGH maupun perkebunan sebesar dua sampai tiga gedeng. Tanah sebelumnya harus ”diurug”, tanaman-tanaman diatas tanah tersebut dicabut sampai akarnya. Kemudian tanah dicangkul agar gembur, kemudian dibuat irigasi dari sungai yang terdekat dengan sawah. Karena biaya perluasan lahan sangat mahal bagi masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, maka biasanya hanya masyarakat yang termasuk kedalam tangga kehidupan mampu dan tangga kehidupan standar saja yang dapat memperluas lahan pertanianny, karena mereka mempunyai modal. Tindakan perluasan oleh Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, dilakukan dengan cara sembunyi-bunyi yang disebut resistensi kecil dari petani. Perluasan ini dilakukan sedikit demi sedikit sehingga tidak diketahui oleh pihak perkebunan, karena tidak adanya kontrak tertulis dan juga tindakan administratif dari perkebunan untuk menunjukkan luas dari wilayah perkebunan yang digunakan oleh masyarakat. Kalaupun ada data dari perkebunan, data itu merupakan data yang sudah lama, karena masyarakat sudah selama dua tahun terakhir tidak dimintai sewa tanah dan sawah mereka, dan tidak adanya yang mendata jumlah dari sawah dan rumah mereka. Odih misalnya, yang melakukan perluasan rumahnya tiga meter kearah perkebunan teh selama lima tahun terakhir dan juga melakukan perluasan sawah dengan cara membuka hutan TNGH sebesar tiga gedeng. Menurut Odih, tidak hanya dirinya yang melakukan perluasan tanah tersebut, hampir seluruh
masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar melakukan perluasan area baik sawah maupun rumah, dan perluasan ini sudah merupakan suatu hal yang umum dilakukan. Asep juga menyatakan hal yang sama, bahwa areal tanah untuk pertanian di dua kampung ini masih banyak yang bisa digunakan, khususnya hutan TNGH, perluasan sawah ataupun pembuatan sawah baru di lahan TNGH masih dapat dilakukan karena wilayahnya yang luas dan TNGH tidak akan mengetahui adanya perluasan tersebut. Berdasarkan Gambar 16 rata-rata luas sawah masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu tiga gedeng. Dengan luas dua gedeng, rumah tangga dengan jumlah empat orang sudah dapat memenuhi kebutuhan pangannya sehari-sehari sampai menunggu masa panen berikutnya. Luas tiga gedeng selain dapat memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga dengan jumlah empat orang, dapat juga memberikan pinjaman beras dan menggunakan berasnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran lain, diantaranya perelek dan slametan. Karena di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, lazimnya bila datang ke slametan membawa beras. Usahatani adalah proses pengorganisasian faktor-faktor produksi yaitu, alam, tenaga kerja, modal dan pengelola yang diusahakan oleh perseorangan ataupun sekumpulan orang untuk menghasilkan output yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen (Soeharjo dan Patong, 1973). Kegiatan usahatani berdasarkan coraknya dapat dibagi menjadi dua, yaitu usahatani subsisten dan usahatani komersial. Usahatani subsisten bertujuan memenuhi konsumsi keluarga, sedangkan usahatani komersial adalah usaha dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Gambar 16. Grafik Luas Sawah Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Pada dua kampung ini, masyarakat yang luas lahannya lebih dari dua sampai empat
gedeng adalah masyarakat
yang mampu
menjual atau
meminjamkan beras yang dimilikinya pada tetangga. Warga ini termasuk kedalam usaha tani subsisten karena hanya memilki sawah kurang dari satu hektar yang hasilnya hanya dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Warga masyarakat yang memilki luas sawah lima sampai sembilan gedeng termasuk kedalam warga yang berusaha tani komersial. Dengan luas sawah lebih dari satuhektar, mereka memiliki hasil panen yang berlebih bila digunakan hanya untuk kebutuhan sendiri. Kemudian, warga tersebut menjual hasil panennya ke tetangganya di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar akan tetapi tidak dijual ke pasar. Karena hasil panen mereka hanya mencukupi kebutuhan pangan
di dua kampung tersebut, sehingga hasil panen tidak perlu dibawa keluar kampung untuk dijual. Kebutuhan keluarga dimana satu keluarga terdiri dari empat orang selama lima bulan yaitu 200 liter. Satu gedeng tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar setara dengan 1500 m2 tanah, hasil satu gedeng tersebut selama lima bulan adalah 150 liter beras. Sehingga warga masyarakat yang memilki lahan dua sampai empat gedeng dapat memenuhi kebutuhan keluarganya akan tetapi tidak untuk dijual. Sehingga masyarakat yang memiliki sawah lebih dari empat gedeng, adalah masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjual hasil panennya. Total masyarakat yang memiliki lahan sempit yaitu dua sampai empat gedeng atau kurang dari 6000 m2 yaitu 36 orang, sedangkan total masyarakat yang memiliki lahan yang tidak termasuk sempit yaitu lima sampai sembilan gedeng atau lebih dari 7500 m2 yaitu 17 orang. Sehingga sebagian besar masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar termasuk kedalam penguasaan lahan yang sempit. Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena sempitnya lahan pertanian terlihat pada rendahnya tingkat produktivitas maupun kualitas dari hasil produksi perkebunan rakyat yang sebenarnya merupakan implikasi dari kesulitan petani menerapkan kultur teknis yang benar yang di samping memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang tinggi juga perlu dukungan modal yang besar. Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, hal ini terjadi pada bidang pertanian sawah yang ditekuni oleh masyarakat sebagai usaha sambilan, akibat sempitnya lahan pertanian yang dimiliki oleh petani,
mereka kesulitan menerapkan kultur teknis yang benar, karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan serta kurangnya modal.
6.4
Kerusakan Lingkungan Sawah yang dibuat oleh warga Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar berada di daerah lereng-lereng bukit. Untuk mendapatkan air yang mengairi sawah, maka sawah dibuat sejajar atau berdekatan dengan sungai. Sungai utama yang mengalir di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah Sungai Cianten dan anak-anak sungainya. Dalam membuat sawah, warga masyarakat ”menguruk” sungai. Pengurukan ini terjadi karena menurut warga, tanah sungai lebih subur dibandingkan tanah yang jauh dari sungai. Pengurukan ini juga memudahkan warga untuk pengairan sawah mereka, karena dekat dengan sumber mata air. Karena adanya pengurukan ini, maka akan sering dijumpai batu kali besar hasil pengurukan sungai yang masih terdapat di sawah masyarakat (lihat Gambar 17). Batu ini tetap ada karena masyarakat sulit untuk memindahkan dan menghancurkannya, sehingga tetap dibiarkan di sawah mereka. Pengurukan sungai di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar terjadi karena masyrakat tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai irigasi sawah. Cara irigasi yang didapatkan hanya ilmu dari turun-temurun dari orangtua ke anak. Irigasi sederhana yang dibuat oleh masyarakat hanya menggunakan bambu yang menghubungkan sawah dengan sawah lainnya untuk pengairan, dan bambu juga digunakan untuk menyambungkan sungai dengan sawah.
Gambar 17. Batu Kali di Tengah Sawah Masyarakat Menurut Tjondronegoro (2008), terdesak oleh keadaan, lapisan bawah terpaksa melakukan pekerjaan apa saja yang dapat memperpanjang hidupnya, termasuk menebang pohon di hutan lindung atau menambang di bawah bumi maupun di bawah permukaan laut yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam. Hal ini terjadi di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, karena masyarakat tidak memiliki pengetahuan akan dampak ”pengurukan” sungai dan tidak ada yang dapat dilakukan lagi selain ”menguruk” sungai untuk membuat pengairan, berdampak pada aliran sungai yang semakin kecil ke hilir. Rusaknya lingkungan alam di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang disebabkan oleh warga masyarakat perlu diperhatikan lebih lanjut, agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah lagi. Perlu penyadaran kepada warga agar warga mengetahui dampak dari apa yang mereka perbuat, sehingga masyarakat menghentikan aktivitas perusakan tersebut.
6.5
Sulitnya Akses Transportasi Trayek kendaraan umum dari dan ke Kampung Padajaya dan Kampung
Padajembar belum ada. Akan tetapi di Kampung Cigarehong terdapat warga yang memiliki mobil L300 Colt yang digunakan sebagai angkutan umum setiap harinya bagi masyarakat dari Dusun Cigarehong yang hendak pergi ke Pasar Leuwiliang. Dalam sehari, mobil hanya melakukan satu kali rute yang berangkat dari Dusun Cigarehong pukul 04.00 dan pulang dari Pasar Leuwiliang pukul 10.00. Tarif per orang dari Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ke Pasar Leuwiliang ataupun sebaliknya adalah Rp 13.000,00. Masyarakat yang akan pergi menggunakan mobil ini, harus memesan dulu sebelumnya agar mobil menunggu kedatanggannya atau menjemput langsung ke rumahnya, karena kondisi Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar pada pukul 04.00 masih cukup gelap dan berangin kencang. Harga tarif angkutan ini cukup mahal untuk masyarakat. Sehingga warga tidak terlalu sering pergi meninggalkan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Hanya beberapa orang yang pergi belanja ke Pasar Leuwiliang untuk membeli keperluan bertani (pupuk, pestisida) ataupun membeli barangbarang untuk keperluan warung bagi warga yang berdagang. Perjalanan dari pasar Leuwiliang menuju Dusun Cigarehong memakan waktu satu setengah jam sampai dengan dua jam. Untuk sampai ke Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, warga harus melewati beberapa desa dan memasuki kawasan hutan TNGH. Kawasan hutan TNGH cukup luas, sehingga sebelum masuk ke dalam wilayah Kebun Cianten, warga harus melewati pohon-pohon yang sangat rimbun disebelah
kiri jalan dan lereng yang terjal di sebelah kanan jalan. Selain wilayah yang sulit untuk dilewati, jalan menuju Kebun Cianten, sudah rusak. Terdapat longsor di berbagai tempat dan aspal yang bolong-bolong dan longsor ke lereng sangat mengkhawatirkan. Kondisi ini menyebabkan wilayah perkebunan semakin terisolir dari wilayah luar, selain karena sedikitnya angkutan umum yang menuju Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, lokasi yang jauh dari pasar, jarak tempuh yang lama, dan kondisi jalan yang tidak bagus, menyebabkan masyarakat sulit untuk mendapatkan akses infomasi dan membawa hasil pertanian mereka ke luar Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Sehingga masyarakat tidak memiliki motivasi yang kuat untuk meningkatkan hasil produktivitas pertanian mereka, karena kendala dalam memasarkan hasil pertanian mereka. Akses transportasi dan terisolirnya Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar juga menyebabkan warga tidak akses terhadap informasi. Dalam bidang pertanian, kurangnya akses masyarakat terhadap informasi menyebabkan masyarakat masih menggunakan bibit yang sudah lama digunakan dan tidak menggunakan bibit unggul karena ketidaktahuan mereka, begitupula dengan irigasi yang masih sangat sederhana dengan menggunakan bambu yang dihubungkan dengan sungai untuk pengairan sawah. Sulitnya transportasi yang disebabkan juga oleh infrastruktur jalan yang kurang memadai menyebabkan Kepala Desa Purwabakti jarang berkunjung ke Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Sehingga aspirasi masyarakat terkait kebutuhan mereka terhadap penyuluhan dan tidak adanya bantuan pemerintah terkait pertanian di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.
6.6
Tidak adanya Penyuluhan Penyuluhan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar jarang
terjadi, kalaupun ada penyuluhan adalah penyuluhan tentang pelestarian lingkungan, tidak ada penyuluhan khusus tentang pertanian. Penyuluhan yang pernah ada yaitu penyuluhan yang diadakan oleh JAICA yang memberikan penyuluhan tentang pelestarian alam, agar masyarakat tidak menebang hutan di TNGH. Akibat tidak adanya penyuluhan pertanian, pengetahuan masyarakat tentang pertanian hanya didapat dari turun-temurun. Kurangnya akses informasi kepada warga masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar menyebabkan masyarakat mempunyai pandangan yang masing-masing mengenai kurang produktivitasnya sawah mereka di dibandingkan sawah lain di kampung lain di luar Kebun Cianten, seperti desa Cibunian dan Desa Ciasmara. Kampung Padajaya menganggap kurang produtivitasnya sawah mereka karena daerah mereka yang dingin, sehingga tanaman seperti padi tidak cocok ditanam disini karena airnya yang dingin, sehingga banyak dari warga Kampung Padajaya yang tidak mengusahakan sawah karena warga mengetahui kesia-siaan usaha yang mereka lakukan bila warga menanam padi. Karena hasilnya tidak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Warga Padaya menyadari, tanaman yang paling berkembang di daerah mereka adalah cabe, kacang panjang, dan sayursayuran.
Warga Kampung Padajembar menganggap rendahnya produktivitasnya lahan pertanian mereka karena tanah di daerah mereka berkapur, sehingga tidak cocok untuk padi. Akan tetapi, warga Padajembar tetapmengolah sawah mereka tidak seperti warga pada Kampung Padajaya, karena warga Kampung Padajembar membutuhkan hasil panen padi untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Warga Kampung Padajembar yang rata-rata adalah pekerja dari perkebunan tidak dapat memenuhi bertahan hidup tanpa sawah, karena penghasilan yang mereka dapatkan dari perkebunan hanya cukup untuk kebutuhan diluar beras, dan beras untuk makan sehari-hari, warga dapatkan dengan mengolah sawah mereka. Warga Padajembar juga tidak dapat beralih menjadi pedagang warung, karena wilayahnya yang tidak dekat dengan akses jalan, dan tidak dapat bekerja di PT Cevron LTD karena mereka tidak punya modal dan tidak mempunyai koneksi di Forum Empat Desa. Adanya perbedaan ilmu pengetahuan antara Kampung Padajembar dan Kampung Padajaya ini juga disebutkan oleh seorang tokoh, dikarenakan warga yang berhasil dalam bidang pertanian pada masing-masing kampung tidak mau membagikan rahasia kesuksesan pertanian mereka masingmasing. Sehingga perbedaan ini semakin mencolok. Akibat tidak adanya penyuluhan, masyarakat tidak menggunakan bibit yang terbaru dan masih menggunakan bibit yang lama yaitu: morneng, segong, riau, serenet dan goli. Dengan masa tanam yaitu empat sampai lima bulan. Bibit ini digunakan setiap tahun, yang membedakan adalah, bibit diputar setiap kali musim tanam, hal ini dikarenakan penduduk belajar dari pengalaman, dengan menggunakan bibit yang sama pada setiap musim panen akan menyebabkan hama tetap hidup dan tidak mengalami siklus kematian dan malah berkembang. Karena
masa tanam yang cukup lama ini, menyebabkan hasil panen yang masyarakat dapatkan hanya cukup dikonsumsi selama menunggu masa panen selanjutnya. Bahkan bagi keluarga yang memiliki jumlah tanggungan yang besar, hasil panen ini kurang untuk dikonsumsi selama menunggu masa panen tersebut, sehingga masyarakat terpaksa harus membeli beras ataupun meminjam untuk konsumsi sehari-harinya. Tidak adanya penyuluh menyebabkan masyarakat tetap menggunakan pupuk dan pestisida kimia pada tanamannya, tanpa mengetahui bahaya penggunaan pupuk dan pestisida kimia bagi kesehatan dan kesuburan tanah. Pupuk yang digunakan oleh masyarakar di dua kampung ini adalah pupuk urea. Melalui pengalaman selama berpuluh-puluh tahun, penduduk menyadari dengan menggunakan pupuk urea yang berlebihan akan menyebabkan hasil panen tidak bagus, yaitu daun menjadi bagus dan hijau, tetapi isi dari gabah kosong. Hal ini menyebabkan penduduk tidak lagi menggunakan pupuk urea secara berlebihan. Akan tetapi, pengunaan pupuk tetap digunakan dikarenakan bila tidak menggunakan pupuk, kuantitas hasil panen akan menurun. Hama yang merusak sawah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu babi hutan, burung pipit, kungkang atau wereng, dan ulet. Hama yang ada ini di atasi dengan cara tradisional. Babi yang memakan padi dan merusak tanaman dengan menginjak-injak tanaman sayur-sayuran warga diusir dengan teriakan warga ataupun menyalakan api bila babi datang. Sehingga warga harus melakukan ronda pada saat musim panen untuk menghalau babi masuk ke daerah persawahan mereka. Hama babi tidak boleh dibunuh, karena babi adalah hewan peliharaan dari TNGH, yang juga menguntungkan bagi perkebunan karena
dapat menggemburkan tanah dari tanaman teh. Hama tikus dibasmi dengan cara memberi racun tikus pada singkong, hama burung pipit diusir dengan cara menaruh orang-orangan sawah dan berganti-gantian menjaga sawah, sedangkan ulet dan wereng di basmi dengan insektisida. Karena tidak adanya penyuluhan, cara bertani masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar masih tradisional yang berdampak pada kualitas dan kuantitas dari hasil panen.
6.7
Tidak Adanya Penyaluran Kredit Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar biaya untuk membuat
sawah dengan luas dua sampai tiga gedeng yaitu Rp 1.000.000,00 sampai dengan Rp 2.000.000,00. Harga jual sawah seluas dua gedeng sampai tiga gedeng yaitu Rp 2.000.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00. Biaya untuk satu kali tanam bervariasi. Bila sawah diurus sendiri, dengan luas tiga gedeng dibutuhkan modal: Rp 200.000,00 untuk pupuk dan insektisida, dan Rp 100.000,00, sehingga modal yang dibutuhkan untuk satu kali tanam yaitu Rp 300.000,00 dengan perhitungan untuk orang yang membantu menyangkul dan tandur, sedangkan orang-orang lain yang membantu baik orang tua atau istri tidak dihitung biayanya. Sedangkan modal untuk sawah yang dengan bantuan orang lain dengan luas tiga gedeng, membutuhkan modal: Rp 200.000,00 untuk pupuk dan insektisida, dan untuk orang yang membantu dari menyangkul, agon, benih, tandur, dan ngarembet mencapai Rp 500.000,00 sehingga total sekali tanam untuk model ini yaitu Rp 700.000,00. Besarnya modal untuk pembuatan, pembelian sawah dan biaya untuk sekali masa tanam ini, menyebabkan hanya sebagian masyarakat saja yang bisa
tetap bertani. Masyarakat yang tidak memiliki modal, biasanya hanya akan mengusahakan satu gedeng dari tiga gedeng tanahnya, bahkan karena tidak dapat mengusahakan tanahnya, ada masyarakat yang menjual tanahnya. Sehingga dibutuhkan adanya penyaluran kredit lunak bagi masyarakat yang hendak bertani, khususnya masyarakat yang bertani untuk dikomersialkan. Selain itu, pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, mengenal adanya sistem sewa. Warga yang tidak memiliki sawah dapat menyewa sawah warga lainnya. Sistem pembayaran sewa yaitu 4:1 dari hasil panen, dimana empat bagian yang paling besar diberikan kepada penyewa dan satu bagian diberikan kepada pemilik dari lahan tersebut, dengan biaya pupuk, pestisida ditanggungkan kepada penyewa. Akan tetapi sistem sewa ini jarang dilakukan oleh masyarakat, karena rata-rata masyarakat mengolah sawah mereka sendiri. Sistem yang umum adalah buruh tani, dimana buruh tersebut dibayar Rp 20.000,00 per hari, dan makan sehari selama disawah akan ditanggung oleh pemilik sawah. Sistem sewa ini juga membutuhkan tidak hanya modal yang sedikit, sehingga perlu adanya bantuan modal bagi masyarakat untuk dapat mengembangkan pertanian mereka. Modal yang dibutuhkan masyarakat untuk bertani mempengaruhi jumlah warga yang mampu membuat sawah ataupun mengolah sawah hasil dari warisan orantuanya. Dari jumlah warga masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar 152 orang yang yang memiliki sawah hanya 54 orang (35%). Jumlah warga masyarakat yang memiliki sawah di Kampung Padajaya (lihat Tabel 11) yaitu 13 orang (24,1%) dan Kampung Padajembar 41 orang (75,9%). Sebagian besar warga Kampung Padajembar masyarakatnya memiliki sawah baik dari orangtua maupun dari hasil jual-beli. Warga masyarakat
Kampung Padajembar yang tidak memiliki tanah merupakan masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah karena sudah dijual untuk kehidupan sehari-hari ataupun karena tidak mendapatkan tanah warisan dari orangtuanya. Sebaliknya, di Kampung Padajaya hanya sembilan orang yang memiliki sawah, hal ini dikarenakan
sebagian
besar
masyarakat
Kampung
Padajaya
tidak
menggantungkan hidupnya pada pertanian. Tabel 11. Jumlah Pemilik Sawah Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar RT 1 2 3 4 Total Sumber: Data Primer 2009
Masyrakat (Orang) 9 4 24 17 54
Persentase (%) 16.7 7.4 44.4 31.5 100
Warga Kampung Padajembar lebih banyak yang memiliki sawah dibandingkan dengan warga Kampung Padajaya. Menurut masyarakat, hal ini dikarenakan banyak masyarakat Kampung Padajaya yang tidak mampu untuk membuat sawah, sehingga mereka hanya bisa menjadi buruh tani dan buruh bangunan. Hal ini dikarenakan banyaknya warga masyarakat Kampung Padajaya yang masuk kedalam tangga kehidupan sedang dan tangga kehidupan miskin, yang menyebabkan mereka tidak memiliki modal untuk membuat sawah dan tidak mendapatkan warisan dari orangtuanya karena sebagian besar warga masyarakat di Kampung Padajaya adalah warga pendatang, yang berbeda dengan warga masyarakat dari Kampung Padajembar yang merupakan penduduk asli dan beberapa warganya mendapatkan warisan sawah dan tanah dari orangtuanya masing-masing. Oo Salah satu warga dari Kampung Padajaya mengatakan bahwa ia menginginkan sawah agar bisa memenuhi kebutuhan berasnya sendiri, akan
tetapi karena ketiadaan modal, menyebabkan ia tidak dapat membuat sawah mereka sendiri, dan harus bekerja dilahan orang lain dan membeli beras dari orang lain. Sebaran sawah masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Sebaran Sawah Masyarakat Di Kampung Padajaya Dan Kampung Padajembar
6.8
Tidak adanya Koperasi Koperasi Usaha Tani (KUT) pernah ada sebelumnya di Kampung
Padajembar yang dikelola oleh ayah Tatang. Koperasi ini bangkrut pada tahun 2002, yang disusul dengan kematian dari ayah Tatang. Sebelumnya KUT ini tidak berjalan dengan baik karena adanya korupsi di tubuh KUT yang melibatkan aparat
desa dan ayah Tatang. KUT tidak berjalan sebagaimana mestinya, yaitu kurangnya penyuluhan pertanian, tidak adanya kredit usaha tani, tidak lancarnya penyediaan pupuk dan pestisida untuk tanaman. Koperasi petani yang kuat adalah koperasi yang mampu mengelola kebutuhan keuangan anggotanya baik untuk kebutuhan sehari-hari, kebutuhan saprodi pertanian, pusat penyediaan bibit, menampung produksi, sebagai pusat informasi (harga, kegiatan dan teknologi pertanian), bahkan kemampuan untuk memasarkan produksi ke berbagai pasar dengan harga bersaing untuk mengatasi kejamnya mekanisme pasar yang selama ini dirasakan. Orientasi semacam ini disadari oleh masyarakat, perlunya dukungan berbagai stakeholders yang memiliki concern dan keprihatinan terhadap petani (Agung, 2007). Tidak adanya KUT di Kampung Padajembar dan Kampung Padajaya memberikan dampak yang besar pada pertanian di dua kampung tersebut, yaitu tidak adanya pendukung usaha pertanian di daerah tersebut yang menyebabkan pertanian Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar kurang kokoh. Setiap petani berdiri sendiri dan tidak terorganisasir usaha taninya satu sama lain, sehingga tetap mempertahankan pola pertanian subsisten dan tidak dapat berubah menjadi pola pertanian komersil. Di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, perubahan pola pertanian dari subsisten menjadi komersil sangat dibutuhkan untuk menambah penghasilan dari masyarakat di kedua kampung tersebut. Sehingga pertanian tidak lagi hanya mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari dari petani, tapi pertanian dapat menjadi salah satu usaha sampingan petani yang menguntungkan.
Penguatan pertanian di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dapat dilakukan dengan penguatan kelembagaan koperasi di kampung tersebut. Penguatan kelembagaan koperasi dapat meningkatkan
kemandirian dan
kemampuan masyarakat dalam bidang pertanian sehingga terjadi peningkatan kualitas maupun kuantitas produk hasil pertanian petani.
BAB VII REFORMA AKSES AGRARIA
.... Jalan keluar dari kemiskinan menurut masyarakat yaitu melalui kemauan dan kerja keras. Orang miskin di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dapat memenuhi kebutuhan makannya sendiri dengan membuka lahan dari areal taman nasional yang masih luas menurut mereka, untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga mereka, setidaknya tidak ada masyarakat disini yang akan kelaparan bila orang tersebut mau berusaha. Selain itu banyaknya tetangga dan saudara di sekitar kampung dapat membantu orang tersebut untuk tetap dapat bertahan hidup dengan keluarganya, asalkan mereka dapat bersosialiasi dengan baik dengan masyarakat. Permasalahan agraria yang dihadapi masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: kontur wilayah perkebunan dan kesuburan tanah, hubungan petani dengan perkebunan dan TNGH, penguasaan yang sempit oleh petani, kerusakan lingkungan, sulitnya akses transportasi, tidak adanya penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit, , tidak adanya koperasi. Beberapa masalah agraria yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar tersebut termasuk kedalam aspek non-landreform. Menurut Syahyuti (2006), reforma agraria terdiri dari Landreform adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen ”non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian ”soil”), yaitu dengan menerapkan teknologi baru, perbaikan infrasturuktur, bantuan kredit, dukungan
penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Sehingga dalam menyelesaikan masalah agraria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dapat dilakukaan dengan beberapa kegiatan reforma akses agraria berikut: pengembangan keorganisasian petani, pembangunan infrastruktur, penyuluhan dan penelitian, dan pemberian kredit usaha tani.
7.1
Pengembangan Keorganisasian Petani Petani membuat kelompok-kelompok tani atau paguyuban petani sebagai
wadah membagi beban kehidupan. Jika memungkinkan untuk mengubah hidup kearah yang lebih baik (Agung, 2007). Dibutuhkan penguatan keorganisasian petani
pada
keorganisasian
Kampung petani,
Padajaya petani
dan
dapat
Kampung
Padajembar.
mengembangkan
dirinya
Melalui sendiri,
meningkatkan kerjasama antar petani di dua kampung tersebut, menjadi wadah pertukaran informasi antar petani, suplai kebutuhan pertanian (pupuk, bibit, obatobatan), menyelenggarakan penyuluhan pertanian bagi petani dan menguatkan tali kekeluargaan di dua kampung tersebut. Kelompok tani atau paguyuban tani ini bisa dalam bentuk Koperasi Usaha Tani. Koperasi Usaha Tani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sudah tidak ada sejak tahun 2002. Pendirian kembali koperasi ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan petani. Perlu adanya bantuan dari pihak ketiga baik pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membantu mengkoordinir masyarakat untuk pembentukan koperasi, memberikan dana awal, dan memantau jalannya koperasi. Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang terpecah dalam
hal pertanian, yaitu tidak saling memberikan informasi tentang pertanian menyebabkan butuhnya bantuan pihak ketiga untuk menyatukan kedua masyarakat ini. Penyatuan keduanya diperlukan, agar kedepannya tidak terjadi ketimpangan baik informasi maupun akses terhadap koperasi baru bentukan bersama ini.
7.2
Pembangunan Infrastruktur Kondisi jalan menuju Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang
rusak dan waktu perjalanan yang cukup lama menuju pasar hasil pertanian menyebabkan masyarakat kesulitan dalam memasarkan hasil pertanian mereka. Terdapat beberapa hal yang harus dilakukan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pasar hasil pertanian, yaitu dengan perbaikan infrastruktur jalan, dan pencarian alternative pasar hasil pertanian lain perlu dilakukan untuk pemasaran hasil pertanian dari masyarakat. Dengan adanya peningkatan akses masyarakat pada pasar, dapat meningkatkan hasil jual dari hasil pertanian mereka, selain itu juga dapat meningkatkan motivasi dari masyarakat untuk merubah pola sistem pertanian dari subsisten menjadi pertanian komersil. Sulit dijangkaunya Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar juga menyebakan Kepala Desa Purwabakti jarang datang ke dua kampung ini, yang menyebabkan
kebutuhan-kebutuhan
Kampung
Padajaya
dan
Kampung
Padajembar terkait pertanian tidak dibantu untuk dipenuhi oleh pemerintah baik penyuluhan pertanian maupun pembuatan irigasi sawah. Infrastruktur berupa pembuatan irigasi sawah diperlukan oleh masyarakat, agar masyarakat tidak melakukan pengurukan sungai lagi yang merusak
lingkungan alam sekitarnya. Pemerintah harus membantu dalam hal ini, karena bila pembangunan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar akan ditingkatkan pada bidang pertanian, maka yang harus dilakukan adalah memperbaiki dan membuat prasarana dan sarana terkait bidang pertanian yang lebih lagi di dua kampung ini.
7.3
Penyuluhan dan Penelitian Karakteristik utama Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu
pertanian sawah, akan tetapi hasil dari pertanian sawah kurang maksimal karena baik ketinggian maupun kondisi tanah di daerah tersebut tidak sesuai dengan tanaman padi. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai tingkat kesuburan tanah dan ketinggian tempat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, sehingga dapat diketahui tanaman apa yang paling cocok untuk ditanam di wilayah tersebut, maupun hal-hal apa saja yang diperlukan oleh masyarakat untuk meningkatkan kesuburan tanah. Tanaman yang paling cocok ditanam di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah tanaman cabe, jagung, kacang panjang dan pisang. Perlu adanya peningkatan produktivitas pertanian sesuai dengan karakteristik dua kampung ini untuk meningkatkan hasil produksi pertanian mereka, yang dapat meningkatkan tarf hidup masyarakat juga. Penyuluhan hasil penelitian dan teknologi pertanian yang terbaru perlu dilakukan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, karena masyarakat yang masih menggunakan bibit lokal dan tidak menggunakan bibit unggul dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas dari hasil panen warga masyarakat itu sendiri.
7.4
Pemberian Kredit Pada Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, terdapat kesulitan
dalam hal kredit dan arisan, karena pengembalian masyarakat yang macet karena gaji yang didapatkan masyarakat dari perkebunan sedikit dan tidak mencukupi untuk kebutuhan lain selain kebutuhan sehari-hari mereka. Perlu adanya upaya pemberian modal kredit dari luar kampung ini yang disuntikkan kepada kampung tersebut, dengan pendampingan agar pengembalian kredit lancar. Salah satu bentuk pendampingan ini yaitu mengambil langsung uang kredit ke rumah masyarakat dan juga uang kredit yang diberikan jumlahnya tidak terlalu besar, sehingga dalam pengembalian beberapa minggu atau bulan masyarakat dapat mengembalikannya lagi. Pemberian kredit usaha tani ini juga dapat dalam bentuk Lembaga Keuangan Mikro (LMK). LKM sebagai lembaga penyedia jasa keuangan alternative perlu memperhatikan sustainabilitas usahanya agar mampu memberikan manfaat yang optimal bagi masyarkat miskin dan usaha mikro dalam jangka panjang. Tujuan ini hanya dapat dicapai apabila layanan jasa keuangan LKM sesuai dengan waktu, tempat, jenis kegiatan ekonomi, dan tingkat perkembangan ekonomi masyarakat. LKM secara internal juga harus mulai menerapkan standar tata kelola perusahaan yang sesuai dengan perkembangan usahanya (Kusmoljono, 2009).
7.5
Pemerataan Akses Pemerataan akses bagi warga masyarakat Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar merupakan hal yang paling utama dalam implementasi reforma akses agraria di dua kampung ini. Tanpa adanya pemerataan yang
memperhatikan kondisi struktur sosial, akan terjadi ketimpangan sosial yang lebih tajam di dua kampung tersebut. Perlu adanya perbedaan dalam implementasi reforma akses agraria di dua kampung tersebut, agar yang menikmati kegiatan kegiatan reforma akses agraria tidak hanya masyarakat yang memiliki luas sawah yang luas, akan tetapi juga masyarakat berlahan sempit dan masyarakat tidak bertanah, yang karena kondisi kemiskinannya tidak dapat mengakses kegiatan reforma agraria yang ditujukan padanya. Perbedaan dalam pemberian akses kepada warga masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar membutuhkan hal-hal berikut: kemudahan mengakses kegiatan reforma akses agraria bagi seluruh warga masyarakat, pemberian akses-akses khusus kepada warga masyarakat yang dikhawatirkan tidak dapat menjangkau program-program pengelolaan tanah yang telah disediakan dan diharapkan pemberian program ini langsung diberikan pada masyarakat yang membutuhkan oleh pemerintah secara langsung dengan pengawasan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang netral dan tidak memihak, agar tidak terjadi lagi ketimpangan penghasilan karena adanya lembaga yang melakukan KKN dalam penyalurannya seperti Forum Empat Desa. Warga di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar rata-rata tidak memiliki sawah yang sebarannya dapat dilihat pada Gambar 19. Pada tangga kehidupan miskin, jumlah masyarakat yang tidak memiliki sawah yaitu 20 orang, dan masyarakat yang memiliki sawah dengan luas dibawah empat gedeng sejumlah dua orang. Seluruh masyarakat di tangga kehidupan ini semuanya tidak memiliki lahan yang mencukupi untuk dikomersilkan hasil pertaniannya. Akan tetapi pada tangga ini, warga masyarakatnya adalah masyarakat yang sudah lanjut
usia, dengan pemberian akses agraria ataupun pemberian tanah kepada masyarakat tidak akan menaikkan pendapatan dari warga di tangga kehidupan fakir miskin ini. Pada tangga ini, yang dibutuhkan adalah penguatan modal sosial, baik dalam ranah keluarga maupun ranah masyarakat, sehingga masyarakat pada tangga kehidupan fakir miskin mendapatkan bantuan dari masyarakat sekitarnya, karena mereka sudah tidak dapat menghidupi hidupnya sendiri. Selain itu, butuh bantuan pemerintah pada warga di tangga kehidupan fakir miskin yang dapat diberikan dalam bentuka Bantuan Tunai Langsung. Pemberian tanah bagi masyarakat pada tangga kehidupan ini tidak akan efektif meningkatkan penghasilan warsga. Karena warga pada tangga kehidupan fakir miskin tidak dapat menggunakan tanah dan mengakses agraria akibat kondisi fisik yang semakin lemah dikarenakan usia yang sudah lanjut.
Gambar 19. Tangga Kehidupan dan Luas Sawah Masyarakat
Seluruh warga pada tangga kehidupan fakir tidak memiliki lahan pertanian. Warga pada tangga ini sudah mengalami penurunan kesehatan, sehingga untuk mengolah tanah yang luas, warga tidak mampu untuk mengolahnya secara maksimal. Akan tetapi pada tangga ini, masyarakat tetap membutuhkan tanah dan akses terhadap agraria untuk mencukupi kebutuhan pangannya sehari-hari, sehingga tidak menambah beban keluarga ataupun tetangga mereka. Pada tangga kehidupan miskin, warga yang tidak memiliki sawah yaitu 25 orang, sedangkan warga yang memiliki lahan pertanian dibawah empat gedeng yaitu 19 orang dan warga yang memiliki lahan pertanian di atas empat gedeng yaitu enam orang. Warga masyarakat yang tidak memiliki tanah pada tangga kehidupan sedang yaitu 22 orang, warga yang memiliki tanah dengan luas dibawah empat gedeng yaitu empat orang, dan warga yang memiliki lahan diatas empat gedeng yaitu lima orang. Pada tangga kehidupan standar, masyarakat yang tidak memiliki lahan 13 orang, masyarakat yang memiliki lahan dengan luas dibawah empat gendeng yaitu delapan orang, dan masyarakat yang memiliki lahan dengan luas diatas empat gedeng yaitu lima orang. Terakhir masyarakat pada tangga kehidupan mampu, warga yang tidak memiliki lahan pertanian memiliki jumlah yang hampir sama dengan jumlah masyarakat pada tangga kehidupan standar yaitu 12 orang, masyarakat yang memilki lahan dengan luas dibawah empat gedeng yaitu satu orang dan masyarakat yang tidak memiliki lahan pertanian diatas empat gedeng yaitu tiga orang. Dari data ini, warga masyarakat pada tangga kehidupan miskin dan lebih banyak yang memiliki sawah dibandingkan masyarakat pada tangga kehidupan
lainnya. Akan tetapi jumlah lahan yang dimiliki masyarakat pada tangga kehidupan miskin dan sedang lebih merata luasnya, dan pada tangga kehidupan standar dan mampu, masyarakat yang memiliki sawah sedikit dan luas lahannya tergolong cukup besar. Pada tangga kehidupan miskin, sedang dan standar, warga tidak dapat naik tangga kehidupan yang lebih tinggi yaitu dikarenakan tidak adanya modal, bertambahnya tanggungan dan tidak memiliki warisan. Warga dapat naik ketangga berikutnya bila warga masyarakat tersebut melakukan mobilitas keluar kampung dan mendapatkan dua penghasilan (yaitu melalui hasil panen). Mobilitas masyarakat diperlukan agar masyarakat dapat mengakumulasikan modal dari luar dan pengetahuan yang didapat semakin luas. Perlu pemberian tanah dan akses agraria pada warga di tangga kehidupan miskin. Melalui pemberian tanah, masyarakat pada tangga ini dapat memberikan warisan kepada anak mereka, sehingga warga dapat naik tangga kehidupan, dan pemberian tanah dapat meningkatkan penghasilan masyarakat, sehingga masyarakat dapat menabung dan meningkatkan produktifitas pertaniannya melalui pembelian faktor-faktor produksi lainnya. Luas lahan yang diberikan kepada masyarakat harus diperhitungkan dulu sebelumnya. Pembagian tanah harus disesuaikan dengan kemampuan warga dalam mengelola tanah dan disesuaikan dengan luas tanah yang dimiliki oleh masyarakat sekarang. Pembagian tanah bagi masyarakat yang tidak memiliki tanah, masyarakat yang memiliki sawah dibawah empat gedeng dan masyarakat yang memiliki sawah diatas empat gedeng harus disesuaikan masing-masing, sehingga tidak ada masyarakat yang mendapatkan total tanah (luas tanah awal ditambah pemberian tanah yang baru) lebih besar
dibandingkan masyarakat lainnya, yang dapat menyebabkan ketimpangan pada masyarakat semakin melebar. Pemberian tanah kepada masyarakat juga harus disesuaikan dengan kemampuan warga dalam mengelola tanah, sehingga tanah yang diberikan dapat digunakan sebaik-baiknya dan tidak ditelantarkan.
BAB VIII KESIMPULAN 8.1
Kesimpulan Hasil diskusi dengan perwakilan masyarakat dari Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar, didapat definisi kemiskinan, indikator kemiskinan, tangga kehidupan dan warga yang masuk kedalam setiap tangga kehidupan tersebut. Menurut masyarakat, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki rumah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa, yaitu tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMP. Tangga kehidupan masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: fakir miskin, fakir, miskin, sedang, standar dan mampu. Pembuatan indikator dari tangga kehidupan ini dibuat berdasarkan tingkat penghasilan yang dimiliki oleh warga masyarakat di dusun tersebut, yang kemudian dikembangkan. Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak. Masyarakat pada umunya menanam padi sebagai komoditas utama, karena padi adalah kebutuhan utama pangan mereka. Masalah agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu kontur wilayah perkebunan dan kesuburan tanah, hubungan petani dengan TNGH, penguasaan yang sempit oleh petani, kerusakan lingkungan, akses transportasi yang sulit, tidak adanya penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit dan tidak adanya koperasi.
Reforma akses agraria yang harus dilakukan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: pengembangan keorganisasian petani, pembangunan infrastruktur, penyuluhan dan penelitian, pemberian kredit, dan yang terakhir yaitu perlu adanya pemerataan akses agaria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sesuai dengan tingkat kesejahteraan yang dapat dilihat melalui tangga kehidupan warga dan luas lahan pertanian yang mereka miliki.
8.2
Saran Reforma agraria, baik landreform maupun reforma akses agraria yang
akan dilakukan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar harus memperhatikan tingkat kesejahteraan dari penerima reforma agraria tersebut, agar tidak terjadi ketimpangan yang semakin tajam setelah adanya pelaksanaan dari reforma agraria ini. Selain itu, perlu adanya pihak ketiga yang memantau pelaksanaan reforma agraria yang dilakukan oleh pemerintah, agar semua masyarakat dapat mengakses, tidak sebagian kecil saja. Perlu adanya pengukuran luas tanah yang efisien diberikan kepada masyarakat yang sesuai dengan tingkat produktifitas tanah di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.
DAFTAR PUSTAKA
Alfiasari. 2004. Analisis Modal Sosial pada Kelompok Usaha Berbasis Komunitas. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Fauzi, Noer. 2008. Gelombang Baru Reforma Agraria: Telaah Perkembangan Gerakan-Gerakan Rakyat di Dunia Ketiga. Makalah Paparan Tim Reforma Agraria-BPN. Grobakken, Ida Annete. 2005. Poverty and Empowerment of Women In Guatemala. University of Oslo: Master’s Thesis in Political Science Department of Political Science. Hardjono, Joan. 1990. Tanah, Pekerjaan dan nafkah di Pedesaan Jawa Barat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Herlina. 2002. Orientasi Nilai Kerja Pemuda pada Keluarga Petani Perkebunan. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Jayanti, Utari. 2007. Pemaknaan Masyarakat Miskin Mengenai Kemiskinan dan Keberhasilkan Program Penanggulangan Kemiskinan. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kurnia, Kiki. 2003. Analisi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja Pemetik Teh. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nasoetion, Lutfi I. 2002. AKATIGA
Konflik Pertanahan (Agraria). Bandung: Yayasan
Mubyarto. 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Pangkurian, Nurina. 2008. Strategi Resistensi dan Organisasi Petani dalam Menyoal Hak Atas Tanah: Suatu Tinjauan untuk Memahami Gerakan Sosial Petani di Jawa. Http:/rukip.wordpress.com/resistensi/petani. Tanggal akses 5 Mei 2009. Reyes, Celia M. 2002. Impact of Agrarian Reform on Poverty. Philippine Journal of Development. Makaty City: Vol.29, Iss.2; pg.63,69 pgs Sherraden, Michektarel. 2006. Aset Untuk Orang Miskin. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sitorus, MT Felix. 1998. Penelitian Kulaitatif Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan dan Pertanian. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara. Tauchid, Mochektarmmad. 1952. Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Bagian Kedua). Jakarta: Tjakrawala. Tjondronegoro, S.M.P. 2008a. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan. Bogor: KPM IPB. Tjondronegoro, S.M.P. 2008b. Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia (Kumpulan Tulisan Prof.Dr.Sediono M.P. Tjondronegoro). Bandung: Yayasan AKATIGA. Wiradi, Gunawan. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist, KPA, dan Pustaka Pelajar. Yuwono, G.D, Mursalin, ling. Setiawan D.A, Manembu, Angel. 2005. Kepengurusan Tanah dan Kekayaan Alam: Penyebab Kemiskinan. dalam Tanah Masih di Langit: Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Kemala.
Lampiran 1. Panduan Pertanyaan Penelitian PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan
: Mengetahui Profil PTPN VIII Kebun Cianten
Informan
: Bapak Hektarsanudin (Bagian Umum PTPN VIII Kebun
Cianten) Hektarri/Tanggal
:
Lokasi Wawancara
:
Nama/Umur responden
:
Pekerjaan
:
Pendidikan
:
Pertanyaan penelitian : ·
Bagaimana sejarah PTPN VIII Kebun Cianten ?
·
Bagaimana awal mula dibukany perkebunan ?
·
Sebelum
menjadi
wilayah
perkebunan,
bagaimanakah
daerah
ini
sebelumnya ? ·
Bagaimana hubungan perkebunan dengan stakeholder lainnya (masyarakat, Taman Nasional, dan Cevron) ?
·
Bagaimana kerjasama yang terjadi antara perkebunan dan stakeholder ?
·
Kapan terjadi konflik dengan stakeholder ?
·
Apa tanaman yang diusahakan oleh PTPN VIII Kebun Cianten ?
·
Tanaman unggulan yang diusahakan oleh PTPN VIII Kebun Cianten ?
·
Selain tanaman, unit usaha apa saja yang diusahakn oleh PTPN VIII Kebun Cianten ?
·
Berapa gaji dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar PTPN VIII Kebun Cianten sebelum krisis moneter?
·
Berapa bonus per tahun dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar PTPN VIII Kebun Cianten sebelum krisis moneter?
·
Berapa gaji dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar PTPN VIII Kebun Cianten sekarang?
·
Berapa bonus per tahun dari buruh petik, mandor petik, dan mandor besar PTPN VIII Kebun Cianten sebelum krisis moneter?
·
Apa saja fasilitas yang diberikan oleh perusahaan terhadap karyawan tetap ?
·
Apa saja fasilitas yang diberikan oleh perusahaan terhadap karyawan musiman?
·
Bagaimana cara menjadi karyawan tetap PTPN VIII Kebun Cianten?
·
Berapa sewa tanah yang diberikan pihak perkebunan bagi masyarakat yang menggunakan lahan baik untuk pertanian maupun perumahan ?
·
Bagaimana hubungan kerjasama perkebunan terhadap masyarakat yang membuka lahan untuk pertanian di wilayah perkebunan ?
·
Kapan konflik yang terjadi antara masyarakat yang membuka lahan dengan perusahaan terjadi ? bagaimana solusinya ?
·
Berapa
persen
masyarakat
yang
menggantungkan
hidupnya
dari
perkebunan? ·
Berapa persen masyarakat yang secara tidak langsung menggantungkan hidupnya dari perkebunan ?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan
: Mengetahui Tingkat Kesejahteraan Kampung Padajaya Dan Kampung Padajembar dan Indikatornya
Responden
: 4 Orang Masyarakat Kampung Padajaya Dan Kampung
Padajembar Hari/Tanggal
:
Lokasi Wawancara
:
Nama/Umur responden
:
Pekerjaan
:
Pendidikan
:
Pertanyaan penelitian : ·
Sekarang tolong diceritakan tentang warga desa yang menduduki status paling bawah dan status paling atas di desa ini:
Kita mulai dengan tangga terbawah a. Apa sajakah tanda-tanda warga yang berada di tempat paling bawah ini (paling tidak sejahtera/mampu) b. Bagaimana menjelaskan kehidupan seseorang yang berada di tempat paling bawah ini? Biasanya dinamai golongan apakah warga yang berada di tempat paling bawah ini? c. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari? Sekarang kita berpindah ke tangga teratas: d. Apa sajakah tanda-tanda warga yang berada di tempat paling atas ini (paling sejahtera) e. Bagaimana menjelaskan kehidupan seseorang yang berada di tempat paling atas ini? Biasanya dinamai golongan apakah warga yang berada di tempat paling atas ini?
f. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari? Sekarang kita naik ke status persis di atas warga yang berada di tangga paling bawah: g. Apa sajakah tanda-tanda warga yang menempati status ini? h. Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari? Sekarang kita naik lagi ke status persis di atasnya. (Akan ditanyakan terus golongan-golongan di atasnya, sampai golongan paling atas dicapai. Untuk setiap golongan, tanyakan):
·
i.
Apa sajakah tanda-tanda warga yang menempati status ini?
j.
Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari?
Bagaimana keadaan warga desa ini dibandingkan dengan warga desa tetangga? k. Apakah warga desa ini lebih baik atau lebih buruk kesejahteraannya dari warga desa tetangga? l.
Apakah Bapak/Ibu merasa perlu menambah nama golongan atau status sosial baru dalam pembicaraan kita? Jika ya, dimana dan apa tandatanda golongan atau status sosial tambahan itu?
·
Nah, sekarang Bapak/Ibu telah menjelaskan sejumlah golongan atau status sosial warga desa ini dan desa-desa di sekitarnya. Sekarang, jika dibandingkan 10 tahun yang lalu, apakah ada golongan atau status sosial yang terlewat dan belum masuk dalam pembicaraan kita?
·
Apakah kita perlu menambah status sosial itu dalam pembicaraan ini? Jika ya: m. Apa tanda-tanda golongan atau status sosial tambahan itu? n. Supaya saya yakin bahwa saya benar-benar mengerti yang anda maksud, saya akan menggambar semua kategori yang anda sebutkan dalam suatu tangga kehidupan
Memilah-milah rumahtangga ke dalam tangga kehidupan di desa ini ·
Sebutkan nama tiap-tiap keluarga yang ada di daftar dan tanyakan pada peserta diskusi:
a. Dimana letak rumah tangga itu saat ini di tangga kehidupan yang telah dibuat? b. Dimana posisi rumah tangga itu 10 tahun yang lalu di tangga kehidupan yang telah dibuat?
Mobilitas masyarakat ·
Mari kita mulai diskusi ini dengan keadaan desa ini, dan hal-hal yang terjadi selama ini. Bisakah Bapak/Ibu ceritakan tentang kekuatan atau halhal yang positif dari desa ini? Dibandingkan 10 tahun yang lalu, apakah menurut Bapak/Ibu desa ini lebih sejahtera? i.
sama saja?
ii.
atau justru menurun kesejahteraannya?
·
Mengapa dikatakan demikian?
·
Bagaimana perubahan kehidupan masyarakatnya?
·
Apa sajakah hal-hal yang berbeda saat ini?
·
Apakah kini warga desa semakin sulit mencari penghasilan dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya, atau sebaliknya semakin mudah? Mengapa dikatakan demikian?
·
Apa sajakah peristiwa, kejadian atau faktor-faktor yang paling menolong desa ini untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya selama 10 tahun terakhir? Mengapa dikatakan demikian?
·
Apa sajakah peristiwa, kejadian atau faktor-faktor yang menyebabkan penurunan kesejahteraan desa selama 10 tahun terakhir? Mengapa dikatakan demikian?
·
Dibandingkan sekarang, untuk 10 tahun ke depan apakah desa ini akan a. lebih sejahtera? b. Sama saja ? c. atau sebaliknya menurun kesejahteraannya?
Mengapa dikatakan demikian? ·
Apa alasan-alasan yang paling umum yang dialami warga desa sehingga meninggalkan desa ini selamanya?
·
Apakah umumnya mereka yang meninggalkan desa menjadi lebih sejahtera atau menurun kesejahteraanya?
Perubahan dalam Hal Kesenjangan di Desa ·
Ada kesenjangan yang besar antara golongan warga (rumahtangga) yang paling atas/sejahtera dan paling bawah/tidak sejahtera di desa ini [Tunjukkan tangga yang telah dibuat, tunjuk tangga terbawah dan teratas]. Menurut Bapak/Ibu, apakah selama 10 tahun terakhir ini kesenjangan (jarak) antara yang paling atas dengan yang paling bawah itu: a.
Meningkat?
b.
Sama saja? Menurun?
·
Mengapa dikatakan demikian?
·
Apakah ada perubahan tanda-tanda rumahtangga pada setiap tangga selama 10 tahun terakhir?
·
Apa sajakah perbedaan tanda-tanda rumahtangga miskin tersebut saat ini dan 10 tahun yang lalu?
·
Bisa saja ada perbedaan penting antara rumahtangga dalam satu golongan atau status sosial. c.
Apakah ada perbedaan pada setiap golongan/tangga-tangga tersebut? Tangga yang mana saja dan apa perbedaan sifat-sifat dan tandatandanya?
d.
Apakah keadaan di golongan/tangga itu mengalami perubahan jika dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu?
Faktor- faktor yang menyebabkan peningkatan atau kemandekan kesejahteraan ·
Apa sajakah faktor-faktor yang membantu suatu rumah tangga untuk naik ke anak tangga lebih atas? a.
Bagaimana hal ini bisa terjadi di desa ini?
b.
Apakah di antara penyebab yang membantu rumahtangga itu muncul bersama-sama, atau satu per satu – yaitu satu faktor dulu diikuti faktor yang lain? Apa sajakah faktor tersebut?
c.
Jika satu per satu, bagaimana urutan kejadiannya? Atau
d.
Jika bersama-sama, apakah faktor-faktor tersebut? Bagaimana hal ini terjadi, jelaskan!
·
Selain itu, apa sajakah faktor-faktor yang menghalangi suatu rumahtangga untuk naik ke anak tangga yang lebih tinggi? e.
·
Mengapa dikatakan demikian?
Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong suatu rumahtangga untuk turun ke anak tangga yang lebih bawah? f.
Bagaimana hal ini bisa terjadi di desa ini?
g.
Apakah di antara penyebab yang mendorong turunnya rumahtangga itu muncul bersama-sama, atau satu per satu, yaitu satu faktor dulu diikuti faktor yang lain? Apa sajakah faktor tersebut?
h.
Jika satu per satu, bagaimana urutan kejadiannya? Atau
i.
Jika bersama-sama, apakah faktor-faktor tersebut? Bagaimana hal ini terjadi, jelaskan!
·
Manakah status sosial atau anak tangga yang tidak lagi dianggap sebagai golongan miskin? j.
Selama ini bagaimana cara mencapai golongan ini?
k.
Apakah tangga ini mudah atau sulit dicapai?
Mengapa dikatakan
demikian? [Tandai dengan jelas golongan ini berada pada anak tangga yang mana di dalam tangga kehidupan] ·
Apakah ada rumahtangga yang naik beberapa tangga sekaligus? Jika ada, faktor-faktor apa sajakah yang membuat hal itu terjadi?
·
Dalam golongan manakah sebagian besar warga desa berada? l.
Bagi golongan ini, apa sajakah faktor-faktor yang membantu suatu rumah tangga untuk naik ke anak tangga berikutnya? Mengapa dikatakan demikian?
m. Bagi golongan ini, apa sajakah faktor-faktor yang menyulitkan suatu rumah tangga untuk naik ke anak tangga berikutnya? Mengapa dikatakan demikian? ·
Di dalam golongan atau anak tangga manakah warga desa paling mudah naik ke anak tangga atau golongan lebih atas? n.
Mengapa dikatakan demikian? [Bandingkan dengan pengalaman Bapak/Ibu sendiri atau warga desa lain yang Bapak/Ibu ketahui].
·
Di dalam golongan atau anak tangga manakah warga desa paling sulit naik ke anak tangga atau golongan lebih atas? o.
Mengapa dikatakan demikian? [Bandingkan dengan pengalaman Bapak/Ibu sendiri atau warga desa lain yang Bapak/Ibu ketahui].
·
Manakah status sosial atau anak tangga yang dianggap sebagai golongan menengah [samakan persepsi dulu antara peneliti dan partisipan diskusi tentang arti golongan/kelas menengah: relatif lebih bebas, bisa mengontrol golongan atas/pemerintah]? p.
Apakah golongan ini mudah atau sulit dicapai?
Faktor-faktor yang mendorong warga desa jatuh ke kemiskinan dan membuat mereka terjebak dalam kemiskinan ·
Mungkin saja ada rumahtangga yang naik dari satu golongan/anak tangga ke golongan/anak tangga di atasnya, tapi kemudian kembali lagi ke golongan semula. [Gunakan visualisiasi dengan menunjuk anak tangga yang telah dibuat]: a.
Mana sajakah golongan atau anak tangga yang paling mudah turun kembali ke golongan atau anak tangga di bawahnya? - Bagaimana hal ini bisa terjadi?
b.
Mana sajakah golongan atau anak tangga yang paling mudah turun kembali ke anak tangga di bawahnya tetapi bukan turun menjadi miskin (meluncur jatuh miskin? - Bagaimana agar mereka tidak lagi turun ke tingkat lebih bawah?
·
Mari kita kembali ke golongan atau anak tangga di mana rumahtangga pada golongan ini tidak lagi dianggap miskin. c.
Bagaimana bisa terjadi rumah tangga pada golongan ini (sudah tidak miskin lagi), tapi kemudian jatuh miskin?
d.
Bagaimana bisa terjadi sekelompok rumahtangga lainnya di golongan ini lebih mampu bertahan untuk tidak jatuh miskin?
·
Apa sajakah hal yang paling penting, yang dapat membantu rumah tangga agar tidak jatuh miskin?
Hubungan antara anaktangga dimana rumah tangga tidak lagi dianggap miskin dengan garis kemiskinan pemerintah [Di Indonesia, garis kemiskinan yang resmi di daerah pedesaan yang digunakan menyatakan seseorang miskin itu hanya memiliki penghasilan sekitar Rp 150.000 per orang per bulan, atau Rp 5.000 per hari. Kalau dalam satu rumahtangga Indonesia rata-rata ada sekitar 4,5 orang, maka penghasilan rumahtangga itu hanya Rp 1.000.000. Penghasilan juga diartikan sebagai barang-barang yang dibuat untuk digunakan sendiri, atau pemberian tetangga dan kerabat] a.
Apakah garis kemiskinan ini sudah pas untuk digunakan di desa ini?
b.
Mengapa dikatakan demikian?
c.
Dimanakan tempat rumahtangga yang mempunyai penghasilan sebesar itu dalam golongan atau tangga kehidupan di desa ini?
·
Jika golongan atau anak tangga yang ditempati oleh rumah tangga yang tidak lagi dianggap miskin, dibandingkan dengan garis kemiskinan resmi pemerintah, apakah golongan atau anak tangga tersebut terletak: d.
Di atas garis kemiskinan pemerintah?
e.
Sama dengan garis kemiskinan pemerintah?
f.
Di bawah garis kemiskinan pemerintah?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan
: Mengetahui Struktur Kemiskinan di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar Responden
: Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Hari/Tanggal
:
Lokasi Wawancara
:
Nama/Umur responden
:
Pekerjaan
:
Pendidikan
:
Tingkat kesejahteraan responden: ·
Berapa tanggungan bapak/ibu? (anak atau orang tua)
·
Berapa penghasilan bapak/ibu perbulan?
·
Berapa lama bapak/ibu bekerja dalam sehari untuk pekerjaan tersebut ?
·
Apakah penghasilan tersebut cukup untuk membiayai pengeluran per bulan?
·
Apakah bapak/ibu mempunyai tambahan penghasilan lain ? Berapa penghasilan tersebut ?
·
Berapa lama bapak/ibu bekerja dalam sehari untuk tambaahan pekerjaan tersebut ?
·
Dengan penghasilan total, apakah telah mencukupi kebutuhan hidup bapak/ibu ?
·
Bila tidak mencukupi, bagaimana bapak/ibu memenuhi kebutuhan tersebut?
·
Berapa pengeluaran bapak/ibu? Sebutkan ?
·
Apakah bapak/ibu mempunyai tabungan atau barang berharga lainnya? darimana tabungan atau barang tersebut berasal?
Kepemilikan aset nyata
·
Apakah bapak/ibu mempunyai tabungan? darimana tabungan atau barang tersebut berasal?
·
Apakah bapak mempunyai kambing/ternak lainnya?
·
Apakah bapak/ibu mempunyai tanah/rumah/sawah di tempat lain ?
·
Barang elektronik apa sajakah yang bapak/ibu miliki?
·
Apakah bapak mempunyai alat/mesin untuk berproduksi?
·
Apakah bapak mempunyai usaha lainnya?
Kepemilikan aset tidak nyata ·
Apakah bapak pernah mendapatkan kredit untuk usaha bapak? Dari mana ?
·
Apakah bapa pernah mencoba untuk mencari kredit tersebut?
·
Apakah ada pihak-pihak yang pernah menawarkan kredit kepada bapak?
·
Sebelum bekerja seperti sekarag, apakah pekerjaan bapak sebelumnya?
·
Apakah bapak pernah mengikuti pelatihan-pelatihan ?
·
Apakah pernah ada sebelumnya pihak-pihak yang mengadakan pelatihan?
·
Apakah bapak bisa berbaur dengan masyarakat yang lain?
·
Bagaimana pemilihan tokoh di desa ini?
·
Apakah dengan menjadi tooh desa dapat mengakses sumber daya yang tidak bisa diakses oleh masyarakat biasa ?
·
Apakah pekerjaan (bekerja di perkebunan/diluar perkebunan) dapat memberikan perbedaan pada kemampuan bapa untuk mengakses hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat biasa?
·
Apakah status pekerjaan bapak di perkebunan (tetap/musiman) dapat memberikan perbedaan pada kemampuan bapa untuk mengakses hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat biasa?
·
Apakah posisi pekerjaan bapak di perkebunan (mandor/buruh) dapat memberikan perbedaan pada kemampuan bapa untuk mengakses hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat biasa?
·
Apakah dengan menjadi ketua RT bapak bisa lebih leluasa untuk mengakses sumber daya agraria ?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan
: Mengetahui Hubungan Masyarakat dengan Perkebunan
Responden
: Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar
Hari/Tanggal
:
Lokasi Wawancara
:
Nama/Umur responden
:
Pekerjaan Utama
:
Pendidikan
:
Pertanyaan penelitian: ·
Kapan pencatatan lahan dari perkebunan terhadap lahan bapak/ibu terjadi?
·
Apakah pernah ada perjanjian baik tertulis maupun lisan dari perkebunan terhadap masyarakat yang mempunyai lahan pertanian di daerah perkebunan ?
·
Berapa sewa tanah pertanian dan tempat tinggal bapak/ibu ?
·
Apakah sewa tersebut memberatkan bagi bapak/ibu ? Mengapa ?
·
Sejauh mana hubungan kedekatan bapak dengan mandor sektor 8 ? apakah bapak pernah berhutang ? apakah mandor tersebut pernah menjenguk bapa bila bapak sakit ?
·
Apakah yang membedakan antara mandor dan pegawai di daerah ini?
·
Fasilitas apa yang diberikan oleh perkebunan yag dapat digunakan bersama oleh warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ini ?
·
Apa pendapat bapak/ibu terhadap warga yang bekerja di perkebunan dan berwirausaha sendiri ?
·
Bagaimana pemilihan orang yang bisa mendapatkan fasilitas, baik dari perkebunan maupun pemerintah di dusun ini? Apakah ada hubungannya hal tersebut dengan pekerjaan orang tersebut di dalam perkebunan?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKA T KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan
: Mengetahui Masalah Agraria yang terjadi di Kampung Padajaya
dan Kampung Padajembar Informan : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar Hari/Tanggal
:
Lokasi Wawancara
:
Nama/Umur responden
:
Pekerjaan Utama
:
Pendidikan
:
Pertanyaan penelitian: ·
Apakah bapak mempunyai sawah ?
·
Berapa luas lahan bapa tersebut ?
·
Bagaimana bapak mendapatkan lahan tersebut ?
·
Berapa luas awal lahan yang bapa miliki ?
·
Siapakah yang mengolah lahan tersebut ? Bila ada yang mengolah, berapa bapak bayar orang tersebut ? dengan jam kerja mulai sampai dengan jam berapa ? dan kapan saja orang tersebut bekerja di lahan bapak ?
·
Bagaimana hasil panen dari lahan ini mencukupi untuk kebutuhan pangan bapak sehari-hari ? Apakah mencukupi/tidak mencukupi ?
·
Jenis padi apa yang bapak tanam ?
·
Hama apa saja yang bapak hadapi ?
·
Masalah pertanian apa yang bapak hadapi ?
Konflik Penggunaan/Pemanfaatan secara Vertikal dan Horizontal ·
Milik siapakah tanah ini ?
·
Bagaimana bapak mendapatkan tanah ini dan sejak kapan ?
·
Apakah perkebunan mengetahui tanah bapak tersebut ? Apakah sudah ada pencatatan sebelumnya?
·
Apakah sudah ada perjanjian dengan perkebunan mengenai tanah yang bapak kelola ini ? Bagaimana sistem perjanjian tersebut ? Apakah terdapat perjanjian tertulis ?
·
Bagaimana sistem sewa tanah dengan perkebunan ? Berapa sewa yang perkebunan berikan per meter?
·
Apakah bapak keberatan dengan sewa tersebut ? mengapa ?
·
Bagaimana sejarah penggunaan tanah disini ?
·
Bagaimana sistem pembagian hasil di dusun ini ?
·
Bagaimana gaji yang diberikan oleh tuan tanah dapat mencukupi kebutuhan bapak sehari-hari ?
·
Bagaimana hubungan kedekatan antara tuan tanah dan penggarap di dusun ini?
·
Mengapa bapak tidak mempunyai lahan di dusun ini ?
Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan ·
Di dusun ini, siapakah yang memiliki lahan paling luas ? Berapa luasnya ?
·
Bagaimana orang tersebut mendapatkan lahan tersebut ?
·
Apakah penguasaan lahan yang luas itu berkaitan dengan status orang tersebut dalam perkebunan ? Mengapa ?
·
Apakah penguasaan lahan yang luas itu berkaitan dengan kedudukan orang tuanya sebelumnya ? Mengapa?
·
Apakah orang tersebut mengolah tanahnya sendiri ? Mengapa?
Penguasaan yang Sempit oleh Petani ·
Berapa luas tanah pertanian bapak ?
·
Berapa hasil setiap panen dari tanah tersebut ?
·
Berapa modal yang bapak keluarkan untuk membuat sawah ini sebelumnya?
·
Berapa modal untuk menanam padi ? (pupuk, saprotan, bibit) ?
·
Bagaimana bapak mendapatkan pupuk, saprotan, dan bibit tersebut ?
·
Apakah hasil panen dapat bapak jual dan mencukupi untuk kebutuhan pangan bapak sendiri ?
·
Bagaimana irigasi dari sawah bapak dilakukan ?
·
Tanaman apa saja yang bapak tanam ?
Degradasi Tanah ·
Menurut bapak apakah tanah ini sudah memberikan hasil panen yang terbaik ? mengapa ?
·
Bagaimana kaitannya kerusakan tanah di dusun ini dengan penggunaan pupuk atau penyemprotan hama yang salah ?
·
Apa bapak mengetahui adanya pertanian organik ? apakah bapak mau mengganti cara bertani bapak menjadi pertanian organik?
·
Sudah berapa lama bapak menggunakan lahan ini ?
·
Bagaimana aktifitas menebang hutan di sekitar tanah bapak ini ?
·
Bagaimana kaitan antara hasil panen bapak dengan kondisi wilayah yang berada di atas bukit ?
PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM MASYARAKAT KAMPUNG PADAJAYA DAN KAMPUNG PADAJEMBAR
Tujuan
: Menganalisis masalah agraria di Kampung Padajaya dan
Kampung Padajembar yang dapat
diselesaikan dengan reforma akses
agraria Informan : Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar Hari/Tanggal
:
Lokasi Wawancara
:
Nama/Umur responden
:
Pekerjaan Utama
:
Pendidikan
:
Pertanyaan penelitian: Kebutuhan masyarakat terkait access reform ·
Menurut bapak/ibu apa yang paling dibutuhkan oleh bapak/ibu terkait dengan masalah agraria yang bapak/ibu hadapi?
·
Menurut bapak/ibu apakah kebutuhan tersebut akan membuat bapak/ibu keluar dari kemiskinan?
·
Bagaimana cara agar kebutuhan tersebut agar bisa sampai langsung kepada bapak/ibu?
Pembangunan Infrastruktur ·
Menurut bapak/ibu apakah terdapat kendala dalam membawa hasil pertanian ke daerah penjualan?
·
Menurut bapak/ibu apakah jalan menuju dan dari dusun ini harus diperbaiki?
·
Bagaimana pengaruh jalan terhadap hasil jual dari hasil pertanian bapak/ibu?
·
Apa harapan bapak/ibu terkait dengan pembangunan di dusun ini?apa yang paling penting untuk diperbaharui atau di bangun?
Bantuan kredit ·
Apakah bapak/ibu pernah mendapatkan bantuan kredit?
·
Dari siapakah bantuan kredit tersebut?
·
Cukup kah bantuan kredit tersebut untuk memenuhi kebutuhan modal bapak/ibu?
·
Bagaimana bapak/ibu menggunakan bantuan kredit tersebut? Bagaimana pengembaliannya?
·
Apa harapan bapak/ibu untuk bantuan kredit kedepannya?
·
Bagaimana
bantuan
kredit
mempengaruhi
bapak/ibu
mengurangi
kemiskinan yang bapak/ibu alami? Penyuluhan pertanian ·
Apakah bapak/ibu pernah mendapatkan penyuluhan pertanian? Dari siapa?
·
Apakah penyuluhan tersebut bermanfaat bagi bapak/ibu?
·
Bagaimana penyuluhan tersebut tepat mengatasi masalah agraria yang bapak/ibu hadapi?
·
Apa harapan bapak/ibu kepada penyuluhan pertanian?
Lampiran 2. Daftar Pengkategorian Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar No.
Nama KK
Kampung
RT
Mata Pencaharian
Sawah
1999
2009
Mobilitas
4
6
4
6
6
2
1
Kandi
1
1
1
2
Uci Sanusi
1
1
1
3
Ending
1
2
1
4
6
4
4
Urji
1
2
1
4
6
4
5
Juli
1
2
1
4
6
4
6
Obar
1
2
1
6
6
2
7
Emis
1
2
2
4
6
4
8
Enceh
1
2
7
4
6
4
3
7
9
Bambang
1
2
1
4
6
4
10
Ajat
1
2
1
4
6
4
11
Pena
1
2
1
4
6
4
12
Eruk
1
2
1
6
6
2
13
Dani
1
2
1
4
6
4
14
Aja
2
3
1
6
6
2
15
Odih
2
3
3
8
5
6
2
16
Apeng
2
4
1
5
5
6
2
17
Dana
1
1
1
4
5
4
18
Anas
1
1
3
5
5
2
19
Yusuf Yani
1
1
7
5
5
2
20
Rosad
1
2
9
4
5
4
21
Suma
1
2
9
4
5
4
22
Iyos
1
2
1
4
5
4
23
Ali
2
3
12
5
5
2
24
Asep
2
3
14
2
5
5
2
25
Tori
2
3
12
9
5
5
2
26
Maman
2
3
12
5
5
5
2
27
Rawan
2
3
12
5
5
5
2
28
Nanan
2
3
14
5
5
2
29
Duki
2
3
12
2
5
5
2
30
Saad
2
3
12
4
5
5
2
31
Ajum
2
3
7
5
5
2
32
Aleh
2
3
12
5
5
2
33
Ading
2
4
12
5
5
2
34
Ibin
2
4
4
5
5
2
35
Saca
2
4
12
5
5
2
36
Rahmat
2
4
14
5
5
2
7
11 4
Ket
11
No.
Nama KK
Kampung
RT
Mata Pencaharian
Sawah
1999
2009
Mobilitas
Ket
4
5
5
2
8 8
37
Rahman
2
4
5
38
Madhawi
2
4
13
5
5
2
39
Sukarma
2
4
12
5
5
2
40
Juanas
2
4
12
4
5
5
2
41
Uceng
2
4
13
3
5
5
2
8
42
Daden
2
4
13
3
5
5
2
10
43
Yusuf Erna
1
1
7
3
4
1
44
Sairin
1
2
6
4
4
1
45
Suganda
1
2
6
4
4
1
46
Ganda
1
2
23
4
4
1
47
Minong
1
2
26
4
4
1
48
Atar
1
2
6
4
4
1
49
Uda
1
2
6
4
4
1
50
Ading
1
2
13
4
4
1
9
51
Isak
1
2
13
4
4
1
9
52
Ali
1
2
6
4
4
1
53
Ajid
1
2
13
4
4
1
54
Sama
1
2
19
4
4
1
55
Anwar
1
2
6
4
4
1
56
Acun
1
2
7
4
4
1
57
Pepen
1
2
7
4
4
1
58
Herman
1
2
6
4
4
1
59
Dedi
1
2
18
4
4
1
60
Isak
1
2
7
4
4
1
61
Sarmin
1
2
4
4
4
1
62
Ma Isur
1
2
10
4
4
1
5
63
Bu Dede
1
2
26
4
4
1
2
64
Bu Yana
1
2
26
4
4
1
2
65
Oting
2
3
9
4
4
1
66
Pudin
2
3
15
4
4
1
67
Odi
2
3
13
4
4
4
1
68
Shohib
2
3
13
5
4
4
1
69
Santa
2
3
4
7
4
4
1
70
Ajat
2
3
17
3
4
4
1
71
Daman
2
3
16
5
4
4
1
72
Emis
2
4
4
4
4
1
73
Ini
2
4
13
4
4
1
74
Nana
1
1
6
3
3
1
75
Otang
1
1
6
3
3
1
3
3
5
9 3
3
9
No.
Nama KK
Kampung
RT
Mata Pencaharian
Sawah
1999
2009
Mobilitas
3
3
1
3
3
1
Ket
76
Udin
1
1
6
77
Samin
1
1
6
78
Oleh
1
1
6
3
3
1
79
Idim
1
1
6
3
3
1
80
Saleh
1
1
6
2
3
1
81
Adang
1
1
17
2
3
1
82
Nanang
1
1
27
3
3
1
83
Haman
1
1
18
3
3
1
84
Hendra
1
1
27
3
3
1
85
Suri
1
1
7
3
3
1
86
Diding
1
1
6
3
3
1
87
Yono
1
1
23
3
3
1
4
88
Marna
1
1
7
3
3
1
4
89
Una
1
2
7
3
3
1
90
Atma
1
2
20
3
3
1
91
Hamim
1
2
21
3
3
1
92
Aep
1
2
22
3
3
1
93
Sairin
1
2
4
3
3
1
94
Acang
1
2
20
3
3
1
95
Oji
2
3
13
3
3
3
1
96
Saron
2
3
11
5
4
3
1
97
Hadi
2
3
9
2
3
3
1
98
Usup
2
3
13
2
3
3
1
99
Apul
2
3
13
3
3
3
1
100
Ihsan
2
3
13
5
3
3
1
101
Jaja
2
3
11
3
3
3
1
102
Oman
2
3
4
3
3
3
1
103
Heri
2
3
13
3
3
1
104
Aris
2
3
13
3
3
1
105
Tatang
2
3
13
6
3
3
106
Kanta
2
3
13
3
3
3
1
107
Nukman
2
3
13
6
3
3
1
108
Ade
2
3
13
3
3
3
1
109
Mujid
2
3
25
3
3
1
110
Ma Iyat
2
4
10
3
3
1
111
Ma Anih
2
4
13
6
3
3
112
Nata
2
4
13
3
3
1
113
Karma
2
4
6
3
3
1
114
Ading
2
4
13
3
3
1
5
3 3
3
3
4 5
9
7
No.
Nama KK
Kampung
RT
Mata Pencaharian
Sawah
1999
2009
Mobilitas
Ket
115
Diding
2
4
13
4
3
3
1
116
Suhanta
2
4
6
2
3
3
1
117
Ma Ae
2
4
10
3
3
1
118
Asik
2
4
11
3
3
1
119
Rahman B
2
4
6
3
3
3
1
120
Arja
2
4
13
2
3
3
1
121
Djunaedi
2
4
13
3
3
1
122
Ija
2
4
11
5
3
3
1
123
Hamim
2
4
13
2
3
3
1
124
Odik
1
1
6
2
2
1
125
Nermi
1
1
6
2
2
1
126
Bu Iis
1
2
7
2
2
1
6
127
Linda
1
2
7
2
2
1
1
128
Ma Emis
2
3
13
2
2
1
129
Ma Omoh
2
3
13
2
2
1
130
Ma Oob
2
4
16
2
2
1
131
Ali
1
1
26
3
1
1
1
5
132
Adul
1
1
26
4
1
1
1
5
133
Pitok
1
1
26
1
1
1
5
134
Ma Acih
1
1
26
1
1
1
5
135
Ma Fatimah
1
1
26
1
1
1
5
136
Ma Anah
1
1
26
1
1
1
5
137
Ma Eli
1
1
26
1
1
1
5
138
Ma Ami
1
1
26
1
1
1
5
139
Ma Ika
1
1
26
1
1
1
5
140
Ahdi
1
1
26
3
1
1
5
141
Engkom
1
2
26
1
1
1
5
142
Malen
1
2
26
1
1
1
5
143
Sanen
1
2
26
1
1
1
5
144
Ma Anah
1
2
26
1
1
1
5
145
Suhad
1
2
26
1
1
1
5
146
Ma Yayah
1
2
26
1
1
1
5
147
Ma Onih
1
2
26
4
1
1
5
148
Hada
2
3
26
1
1
1
5
149
Ma Marhati
2
3
26
1
1
1
5
150
Ma Onoy
2
4
26
1
1
1
5
151
Ma Mbanah
2
4
26
1
1
1
5
152
Ma Emot
2
4
26
1
1
1
5
Keterangan : No 1
2
3
4
5
6
Keterangan Kampung Padajaya Padajembar Mata Pencaharian Cevron Tani dan Dagang Tani Tani dan Pensiunan Tanid, dagang, Pensiunan Buruh Tani Dagang Ketua Forum 4 Desa Buruh Bangunan Pensiunan Perkebunan Baru Pensiunan Perkebunan Lama Karyawan Tetap Perkebunan Karyawan Lepas Perkebunan Mandor Tetap Perkebunan Mandor Lepas Perkebunan Karyawan Lepas Perkebunan, Pensiunan Lama Guru Ojeg Bisnis Kayu Bisnis Bambu Penghulu Mancing Supir Batu Pengamen Sales Kompor Tidak Memiliki Pekerjaan Buruh Panggilan Sawah Memiliki Sawah Tidak Memiliki Sawah Tangga Kehidupan Fakir Miskin Fakir Miskin Sedang Standar Mampu Mobilitas Tetap Miskin Tetap Kaya Jatuh Miskin Jadi Kaya Keterangan Pendatang
Kode 1 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 0 1 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 1
Suami Kaya Istri Kaya Bekerja di Luar Kampung Jompo Janda Punya Penyakit Asma Istri Karyawan Tetap Perkebunan Istri Karyawan Lepas Perkebunan Ustad Sawah Besar
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Lampiran 3. Karakteristik Rumah Tangga Miskin menurut BPS No. 1
Variabel Kemiskinan Luas lantai bangunan tempat tinggal
Karakteristik Kemiskinan Kurang dari 8 m2 per orang
2 3
Jenis lantai bangunan tempat tinggal Jenis dinding bangunan tempat tinggal
4
Fasilitas tempat buang air besar
5 6
Sumber penerangan rumah tangga Sumber air minum
7 8 9
Bahan bakar untuk memasak Konsumsi daging/ayam/susu/per minggu Pembelian pakaian baru setiap anggota rumah tangga setiap tahun Frekuensi makan dalam sehari Kemampuan membayar untuk berobat ke puskesmas atau dokter Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga
Tanah/bambu/kayu murahan Bambu/rumbai/kayu kualitas rendah/tembok tanpa plester Tidak ada, menumpang rumah lain Bukan listrik Sumur, mata air tidak terlindung/sungai/air hujan Kayu bakar/arang/minyak tanah Satu kali atau dua kali seminggu Tidak pernah membeli/satu stel
10 11 12
13
Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga
14
Pemilikan aset/harta bergerak maupun tidak bergerak
Sumber BPS 2005
Satukali/dua kali sehari Tidak mampu membayar Petani dengan luas lahan kurang dari 0,5 Ha/buruh tani/nelayan/buruh bangunan/pekerjaan lainnya dengan penghasilan rumah tangga dibawah Rp 600.000 per bulan Tidak sekolah/tidak tamat SD/ hanya tamatan SD Tidak punya tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp 500.000 seperti sepeda motor (kredit maupun bukan kredit), emas, perhiasan, perahu motor dan barang modal lainnya.